kontribusi kaum paderi dalam modernisasi pendidikan di...

182
1 Kontribusi Kaum Paderi dalam Modernisasi Pendidikan di Minangkabau Abad XVII – Awal Abad XX OLEH: NINA WONSELA NIM: 2113022100003 Diajukan Kepada Program Pascasarjana Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Humaniora (M.Hum) Di Dalam Bidang Sejarah Kebudayaan Islam Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2017

Upload: ngonguyet

Post on 29-Aug-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

 

1  

Kontribusi Kaum Paderi dalam Modernisasi

Pendidikan di Minangkabau Abad XVII – Awal

Abad XX

OLEH: NINA WONSELA 

NIM: 2113022100003

Diajukan Kepada Program Pascasarjana

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Magister Humaniora (M.Hum)

Di Dalam Bidang Sejarah Kebudayaan Islam

Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam

Fakultas Adab dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta 2017

 

i  

Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puja dan puji saya haturkan kepada Allah SWT, Tuhan setiap manusia, yang telah memberikan anugerahnya-Nya untuk menetapkan hati, raga dan pikiran penulis agar fokus dan tidak melalaikan kewajiban agama, kewajiban sosial, serta kewajiban akademik. Shawalat serta salam, saya kumandangkan untuk pemimpin para nabi dan rasul, Muhammad SAW, nabi yang teguh menyebarkan agama Islam, hingga sampai ke tanah Nusantara. Dari keyakinan sampai pada peradaban.

Tidak terasa, setelah melewati saat-saat kerja keras, akhirnya tesis selesai disusun. Berbagai macam pengalaman senang dan sedih, mudah dan susah sudah saya alami dalam menyusun tesis ini. Membaca kembali sejarah para datuk-datuk Minangkabau, adalah suatu kesenangan tersendiri, sampai-sampai hampir lupa bahwa masa studi ada batasnya. Inilah yang kemudian yang membuat saya untuk segera mengasingkan diri sejenak dari pekerjaan yang lain, mengkhususkan waktu untuk menyusun dan melewati fase-fase ujian hingga tahap akhir.

Saran serta kritik selalu saya tunggu untuk perbaikan kerja saya. Tidak bisa dipungkiri, dalam menyusun suatu sajian bacaan sejarah yang bermutu akan selalu diikuti oleh kesalahan ketikan, analisa serta pengambilan sumber yang kurang tepat. Oleh sebab itu, setiap masukan yang membangun, akan menjadi bahan pertimbangan saya, untuk selalu berhati-hati dalam menyajikan tulisan sejarah yang kronologis, analitis dan argumentatif.

Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih beberapa pihak, antara lain:

1. Ucapan terimakasih saya tujukan kepada Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag yang telah memberikan nasehat-nasehat serta kiat-kiat bagaimana bisa menyelesaikan studi magister dengan baik dan terukur. Beliau adalah pribadi yang begitu baik dan inspiratif. Sosok yang begitu saya hormati. Beliau bisa

 

ii  

menempatkan posisi di mana mesti menjadi penunjuk arah dan kapan saatnya menjadi kawan diskusi yang baik.

2. Ungkapan terima kasih saya sampaikan pula kepada jajaran pengurus Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab, terutama kepada Dr. Abdullah, M.Ag, Dr Halid, M.Ag sebagai Direktur Program, serta Dr. M. Adip Misbahul Islam, M.Hum sebagai sekretaris, Prof. Oman Fathurahman, M.Hum, Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA sebagai penguji dan Dr. Ujang Toyib, Dr. Jajad Burhanuddin, M.Hum serta jajaran dosen-dosen Program Magister SKI yang telah banyak membantu, membesarkan hati, serta menyemangati saya untuk segera menyelesaikan tugas akhir.

3. Ucapan terima kasih, saya sampaikan kepada dosen pembimbing saya Prof. Dr. M. Dien Madjid yang tidak jemu menuntun saya dan memberikan arahan-arahan sumber serta analisa serta memberikan dorongan semangat agar tetap istiqomah menyelesaikan tesis ini.

4. Rangkaian kata terima kasih saya alamatkan pula pada sahabat-sahabat seperjuangan di Magister SKI, utamanya angkatan pertama pendahulu saya. Kalian adalah teman berbagi yang terbaik, tempat segala keluh kesah ketika saya susah, dan rekan dialog yang tepat dan menggugah jiwa.

5. Terimakasih kepada suami tercinta, Afrizal yang tidak jemu mendampingi saya menyusun tesis, bahkan ketika malam sudah larut. Juga kepada anak-anak, Yordan yang sulung, Marsela Hingis kedua, Daffa Malderama ketiga, dan bungsu Galas Maharani, kalian adalah sumber kekuatan dan hidup ibu, nak. Semoga kalian mendapatkan apa yang kalian impikan dan cita-citakan. Amin.

6. Terimakasih pula kepada orang tua, ayah Raf Darnys dan almarhumah ibu Syafrida, yang telah mengajarkan saya untuk selalu sabar dan bekerja keras sejak kecil. Semoga kalian diberi kesehatan, kelapangan rezeki serta limpahan anugerah dari Allah SWT.

7. Terakhir, terima kasih saya sampaikan pula bagi sejawat, kawan, serta pihak-pihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Tidak ada yang bisa membalas kebaikan serta kabajikan kalian semua, selain kehendak dan anugerah dari Allah SWT. Semoga kalian semua

 

iii  

mendapat kesenangan, kemudahan dan kelapangan rezeki dalam setiap hari-hari dalam hidup ini. Amin.

Harapan saya, semoga tesis ini bisa menjadi inspirasi terutama untuk menggugah jiwa dan ingatan kesejarahan, betapa agung dan mulianya hasil karya para generasi pendahulu.

Wasalam

Depok, 13 Oktober 2017

Nina Wonsela

 

iv  

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Nina Wonsela

NIM : 2113022100003

Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 27 Januari 1970

Jurusan : Magister Sejarah Kebudayaan Islam

Fakultas : Adab dan Humaniora

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul “ Kontribusi

Kaum Paderi dalam Modernisasi Pendidikan Islam di Minangkabau

Abad XVII – Awal Abad XX” adalah benar asli karya saya, kecuali kutipan

– kutipan yang disebutkan sumbernya. Apabila terdapat temuan, kesalahan

dan kekeliruan didalamnya, menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar – benarnya.

Depok, 13 Oktober 2017 Yang membuat pernyataan,

Nina Wonsela NIM. 2113022100003  

 

 

 

v  

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Nina Wonsela

NIM : 2113022100003

Program Studi : Magister Sejarah Kebudayaan Islam

Fakultas : Adab dan Humaniora

Judul Tesis :Kontribusi Kaum Paderi dalam Modernisasi

Pendidikan Islam di Minangkabau Abad XVII – Awal

Abad XX.

Telah berhasil dipertahankan pada sidang munaqosah dan diterima sebagai

persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora

(M.Hum) Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan

Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Panitia Sidang Munaqosah

Ketua Sidang (Dr. Halid, M.Ag)

NIP:

Sekretaris Sidang (DR. M. Adib Misbachul Islam,

M.Hum) NIP:

Penguji I

(Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum)

NIP: Tanggal : 13 Oktober 2017

Penguji II

(Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA) NIP: Tanggal :13 Oktober 2017

Pembimbing I

(Prof. Dr. M. Dien Madjid ) NIP: 194907061971091001 Tanggal :.13 Oktober 2017

 

vi  

Abstrak

Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu tipologi masyarakat yang terlibat dalam proses perubahan sosial yang mempengaruhi perkembangannya ke depan. Muncul dan berkembangnya paham Paderi, ikut merombak tatanan lama masyarakat di sana yang sebelumnya hidup dalam suasana yang dipenuhi dengan unsur kriminalitas seperti merebaknya sabung ayam dan perjudian. Kaum Paderi terlibat persengketaan yang serius dengan kaum adat yang kemudian dibantu oleh kolonial Belanda hingga memuncak pada pecahnya Perang Paderi (1821-1838). Meskipun pasukan Paderi berhasil dikalahkan tentara Belanda, para ulama mereka masih menempati posisi yang tinggi di tengah masyarakat. Terbukti dari beberapa latar keluarga ulama generasi kemudian, seperti Syekh Ahmad Khatib dan Haji Rasul, adalah para ulama yang berpaham Paderi. Dimulai dari keberangkatan Syekh Ahmad Khatib ke Mekkah maka pembaruan di Minagkabau sudah mulai dilakukan. Murid-murid Syekh Ahmad Khatib-lah yang belakangan banyak berperan dalam pembaruan pendidikan Islam di Minangkabau seperti Haji Rasul, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdullah Ahmad dan lain-lain. Ada tiga pertanyaan yang disampaikan sebagai rumusan masalah yakni; 1) Bagaimana keadaan sosial di Minangkabau pada abad 19 ?; 2) bagaimana model pemikiran Wahabi yang mengilhami lahirnya pembaruan Islam di Minangkabau ?; 3) ulama dan lembaga pendidikan mana saja yang disinyalir mendapat pengaruh dari ajaran Paderi ? Penelitian ini menekankan pada penelitian sejarah sosial. Pada bagian kerangka teori, penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi, dengan melihat pada fenomena perubahan sosial. Hadirnya paham Paderi membawa serta pada perubahan di bidang pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang lahir belakangan, dibangun oleh para ulama yang berlatarbelakang keilmuan dan ajaran Paderi, meskipun tidak sepenuhnya mengikuti pola-pola dakwah dan pengajaran kaum Paderi masa awal.

 

vii  

Pedoman Transliterasi

Huruf Arab Huruf Latin

tidak اdilambangkan

b ب

t ت

ث

j ج

ح

kh خ

d د

ذ r ر

z ز

s س

sy ش

ص

ض

ط

ظ

‘ ع

g غ

f ف

q ق

k ك

l ل

m م

n ن

w و

h ه

ء

y ي

 

viii  

Vokal Pendek _____ = a كتب kataba _____ = i سئل su ila _____ = u يذھب ya habu 

 

Vokal Panjang qala قال a = ... ا qila قيل i = اي u yaqulu = يقول Diftong ي ا = kaifa كيف و ا = aula حول

Sumber : Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mentri P dan K Nomor 158 tahun 1987- Nomor: 0543 b/u/1987.

 

 

 

 

 

ix  

Daftar Isi

HALAMAN JUDUL .................................................................................... KATA PENGANTAR .................................................................................. HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .................................... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI ................ ABSTRAKSI ................................................................................................ PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ......................................... DAFTAR ISI ................................................................................................ BAB I: PEDAHULUAN ..............................................................................

A. Latar Belakang ................................................................................. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... C. Penelitian Terdahulu ......................................................................... D. Kerangka Teori .,............................................................................... E. Metode Penelitian ............................................................................. F. Sistematika Penulisan........................................................................

BAB II: MINANGKABAU SEKITAR ABAD XVII..................................

A. Keadaan Sosial Masyarakat ............................................................. B. Masuk dan Berkembangnya Islam di Minangkabau ....................... C. Surau: Tempat Ibadah, Pendidikan dan Kegiatan Sosial ................

BAB III: MASA KOLONIALISME DI MINANGKABAU .......................

A. Interaksi dengan Dunia Luar ............................................................ B. Aktivitas Belanda dan Inggris .......................................................... C. Kebijakan Kolonial di Bidang Pendidikan .......................................

BAB IV: KEDATANGAN DAN PENGUATAN POSISI PADERI DI ALAM MINANGKABAU ...........................................................................

A. Munculnya Golongan Paderi ............................................................ B. Kaum Paderi dan Ajaran Wahabi …………………………………. C. Perubahan Model Pendidikan Masa Paderi ...................................... D. Ulama Terkenal di Masa Paderi .......................................................

BAB V: KONTRIBUSI PADERI TERHADAP PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI MINANGKABAU ........................................................

A. Kemunculan Kaum Mudo ................................................................ B. Pembaruan Lembaga Pendidikan ..................................................... C. Kaum Paderi sebagai Aktor Perubahan Sosial .................................

i iv v vi vii ix 1 1 12 15 17 20 23 25 25 36 45 53 53 59 72 81 81 92 104 113 124 124 134 146

 

x  

BAB VI: KESIMPULAN ............................................................................. DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

161 164

 

 

 

1  

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nusantara menyimpan beragam khazanah masa lalu yang menantang

untuk diungkap. Jajaran pulau-pulau yang diikat oleh sabuk akuatik

merupakan cangkang dari banyak cerita-cerita masa lampau, yang di satu sisi

masih melokal dan belum banyak ditelaah para sejarawan. Di mana ada

manusia bermukim, maka di situ pula wawasan sejarah dibina, dikelola dan

disimpan sebagai memori kolektif bagi generasi masa depan. Akan selalu

ada yang bisa dituai dari timbunan kisah orang lampau. Satu wilayah yang

memiliki anyaman cerita yang unik ini adalah Minangkabau.

Minangkabau merupakan satu daerah yag terbentuk dari dinamika

zaman yang panjang. Kota wilayah yang menyelimuti kaki Bukit Barisan ini,

menjadi persemayaman orang-orang besar yang berkontribusi penting dalam

kelahiran bangsa Indonesia. Satu yang unik dari wilayah ini adalah

perkembangan corak keberislamannya yang tertempa dengan kuat, sehingga

tidak ayal wilayah ini begitu kental dengan nuansa Islam, sampai-sampai

muncul istilah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Terkaitnya

deretan kata tersebut tentu bukanlan muncul begitu saja, melainkan adalah

tampilan dari geliat manusia dalam memaknai perkembangan zamannya.

 

2  

Dalam sejarah, Minangkabau dikenal sebagai wilayah penghasil lada

dan emas. Daerah ini juga tersohor sebagai penghasil tenun dan kerajinan

tangan lainnya. Perdagangan emas dan lada sudah dilakukan sejaka tahun

1347 sampai 1665, antara pedagang Minangkabau dengan pedagang Aceh.

Di kemudian waktu perdagangan ini juga terjalin dengan para pedagang

Inggris dan Belanda. Hasil pernigaan dua komoditas itu nantinya

mengundang bangsa-bangsa Eropa untuk melakukan upaya monopoli guna

menangguk keuntungan yang labih banyak.

Pusat pemerintahan Minangkabau terletak di Pagaruyung, namun Raja

Pagaruyung hanya dipandang sebagai simbol pemersatu. Penguasa

sesungguhnya atas tanah Mianangkabau adalah para penghulu adat. Balai

adat yang diisi oleh para penghulu bertugas memutuskan sesuatu, yang

berimplikasi pada kebijakan politik yang dijalankan atas negeri (desa)

masing-masing. Para penghulu ini bukanlah wakil raja atas suatu daerah,

melainkan adalah pemimpin yang ditunjuk sesuai “sakato alam” atau

konsensus masyarakat. Kepemimpinan sombolik Raja Pagaruyung di

samping sebagai lambang, juga dianggap sebagai pengikat adat, yang dalam

praktiknya dibantu oleh Basa Ampek Balai, yang di dalamnya ada Datuk

Bandaro Sungai Tarab (Ketua Adat), Tuan Makhudum di Sumanik (menteri

kerajaan atau rantau), Tuan Kadi di Padang Ganding (menteri urusan

agama), dan Tuan Gadang di Batipuh (menteri keamanan).

Melihat keadaan di atas, Tuanku Koto Tuo, seorang ulama yang

dihormati sekitar awal abad ke 19, mulai mengadakan peletakan dasar-dasar

pemurnian ajaran Islam. Ia menyeru untuk kembali mempelajari al-Qur’an

dan hadis. Sayangnya, pendekatan persuasif yang dilakukan oleh Tuaku

Koto Tuo tidak sepenuhnya diikuti oleh murid-muridnya yang memiliki

 

3  

pandangan radikal, terutama Tuanku Nan Renceh, seorang ulama yang juga

berpengaruh dan memiliki banyak murid di wilayah Luhak Agam.1

Sementara itu, sekitar tahun 1803, telah datang dari Mekkah tiga orang

haji yeng bernama Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari VIII

Kota dan Haji Piobang dari Tanah Datar. Sebelumnya saat di Mekkah,

mereka menjadi saksi atas bagaimana kaum Wahabi melakukan pembaruan

Islam dengan membasmi aktivitas maupun pemahaman yang dianggap

bid’ah (bidat). Oleh gerakan tersebut, mereka seakan memperoleh ilham dan

inspirasi untuk melakukan aktvitas serupa di Minangkabau. Haji Miskin

dengan bantuan seorang penghulu bernama Kuncir bergelar Datuk Batuah,

melarang sabung ayam di Pandai Sikat. Seruan itu ditanggapi dingin oleh

penduduk di sana, keadaan yang membuat Haji Miskin semakin marah. Pada

suatu malam, ia membakar balai yang sering dijadikan adu ayam. Kaum

Adat pun marah dan mengejar Haji Miskin. Haji Miskin lari dan mendapat

perlindungan dari Tuanku Mensiangan. Pertikain pun semakin meluas, antara

pengikut Haji Miskin dan kaum Adat terlibat perkelahian di dekat Balai

Panjang di Kota Lawas.2

Masuknya Islam ke Minangkabau tercatat sekitar abad ke 16, tepatnya

setelah kejatuhan Malaka. Dalam perkembangannya, ajaran Islam mulai

bercampur baur (sinkretisme) dengan tradisi setempat dan proses ini berjalan

dengan lama. Hal inilah yang kemudian tercermin dalam pepatah adat

basandi syara, syara basandi kitabullah. Dapat dijelaskan bahwa Islam di

sana menerima penyesuaian terhadap struktur dan landasan kultural

masyarakat Minangkabau yang matrilinealistik, di mana sistem hak waris

                                                            1 Taufik Abdullah dkk, ed, Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis Ulama

Indonesia, 1991) hlm. 154-155.  2 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme

(Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1973) hlm. 90-91.  

 

4  

terdapat dari garis ibu. Di akhir abad ke 18, situasi peradatan di

Minangkabau mengalami perluasan makna, bahkan mulai bersentuhan

dengan hal-hal yang sebenarnya tidak diperkenankan ajaran agama seperti

perjudian, adu ayam, minum-minuman keras dan madat.3 Berbagai penyakit

masyarakat itu nyatanya mendapat dukungan dari raja, para bangsawan serta

penghulu. Dengan begitu, adat yang diagungkan semakin jauh dari ajaran

Islam, dan menjadi sesuatu yeng menggelisahkan kaum ulama.4

Adat dan Islam di Minangkabau adalah dua hal yang telah saling

berbicara sejak lama. Dialogisasi ini tentu saja banyak menyebabkan dampak

yang signifikan terhadap perkembangan masyarakat, khusunya mengenai

pemahaman agama. Sekitar abad 19, terjadi gerakan perubahan besar di

jantung keagamaan orang Minang, yakni dengan adanya program pemurnian

agama yang dimotori oleh tiga haji sebagaimana yang disebutkan

sebelumnya. Mereka melancarkan pembaruan dengan membatasi gerak adat

Minang yang meskipun sudah ada unsur Islam di dalamnya, namun dianggap

belum menampilkan ajaran Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah.

Dalam keadaan itu, pesona adat Minang dihadapkan pada pilihan yang sulit,

antara eksis di bawah dominasi Islam (dengan tidak diketahui pengikut 3 haji

tersebut) atau tumpas diberangus.

Perang Paderi yang terjadi pada medio pertama abad 19, merupakan

titik kulminasi dari desakan orang Minang manghapuskan kuasa Belanda.

Perang ini dimotori oleh orang-orang Paderi. Istilah “Paderi” sendiri berasal

dari kata Portugis yang merujuk pada sosok ahli agama yang mengenakan

busana putih. Orang-orang yang tergabung dalam perang ini mengenakan

                                                            3 William Marsden menyebutkan bahwa perjudian dan sabung ayam merupakan

permainan favorit yang bisa ditemukan hampir di seluruh belahan Sumatera. Lebih lanjut lihat William Marsden, Sejarah Sumatera, Terj. A.S. Nasution dan Mahyudin Mendam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999)  

4 Taufik Abdullah, Sejarah Umat ..., hlm. 155.  

 

5  

pakaian serba putih sebagai simbolisasi bahwa perang tersebut adalah perang

di jalan Allah dan untuk membela agama Islam. Kelompok Paderi ini

mengambil warna putih sebagai antitesa terhadap kelompok adat yang

mengenakan busana hitam.5 Jika dilihat dari seragam saja, sudah terasa ada

perbedaan cara pandang yang besar akan penghayatan Islam di tengah orang

Minang. Sebagai catatan kelompok adat itupun juga sebagian besar

beragama Islam, hanya saja mereka lebih mengedepankan aturan adat dalam

menyelesaikan masalah mereka, ketimbang menggunakan ajaran-ajaran

muamalat dalam Islam.

Sebenarnya, di dalam adat Minangkabau pun banyak unsur-unsur Islam

yang dapat ditemukan, sebelum kedatangan tiga haji dari Mekkah. Sebagai

contoh adalah persyaratan pembentukan nagari, yang salah satunya adalah

memiliki masjid. Suatu nagari harus memiliki kelengkapan: satu berlabuh

(punya jalan), kedua bertapian, ketiga berbalai, keempat bermesjid dan

kelima bergelanggang. Nagari hendaknya memiliki jalan yang bisa dilewati

untuk keluar masuk nagari tersebut. Kemudian, suatu nagari harus memiliki

sumber air untuk minum, mandi dan kebutuhan lain-lain. Balai atau yang

disebut juga balai adat adalah sekumpulan orang yang ditunjuk sebagai

dewan penghulu yang bertugas mengadakan musyawarah atau memutuskan

perkara yang terkait kepentingan sosial. Masjid yang layak digunakna

adalah masjid yang bisa menampung jamaah shalat Jumat yang biasanya

dipimpin oleh khatib, imam atau bilal. Yang dimaksud dengan gelanggang

adalah lapangan luas yang digunakan untuk kepentingan orang banyak.

                                                            5 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 89. 

 

6  

Lapangan ini biasanya digunakan untuk melepas penat dan tempat bermain-

main bagi para muda-mudi.6

Kedatangan ajaran Paderi menimbulkan gempita di tengah masyarakat

Minangkabau. Kaum beradat memandang Paderi sebagai salah satu

ancaman, mengingat pola dakwahnya yang menghalalkan kekerasan.

Serangan-serangan ofensif yang dialamatkan pada masyarakat adat begitu

membekas, hingga menyebabkan kebencian mereka terhadap kelompok

tersebut. Namun, dalam babakan sejarah nasional, kebencian terhadap

mereka direalisasikan dalam cara yang justru bertentangan dengan eksistensi

mereka, yakni dengan menjadi rekan Belanda dalam menghadapi tentara

Paderi kelak.7 Keadaan yang menyebabakan perubahan posisi dalam

percaturan politik Minangkabau, di mana Paderi yang tadinya datang sebagai

ancaman, saat itu menjelma menjadi sosok heroistik yang menentang

dominasi Belanda yang disokong beberapa kaum adat.

Paham Wahabisme, sebagaimana yang dianut oleh 3 haji di atas,

merujuk pada suatu aliran keagamaan yang berkembang di Saudi Arabia

sekitar akhir abad ke 18. Ajaran ini pertama kali diperkenalkan oleh

Muhammad bin Abdul Wahab yang menemukan momentum

perkembangannya setelah dirinya bersatu dengan Muhammad bin Saud dari

Dirayah, Nejed, seorang kepala suku lokal. Keduanya kemudian bersatu

melapangkan dakwah Wahabi ke seantero wilayah Arabia bahkan hingga

menentang keberadaan pemerintahan Usmani yang saat itu menjadi penguasa

atas Haramain dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Puncak keemasan aliran

keagamaan ini adalah saat menjungkalkan kedudukan Syarif Mekkah, lantas

                                                            6 Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso, peny, Sejarah Sosial Di Daerah Sumatra

Barat (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983-1984) hlm. 32.  7 Sartono, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 94.  

 

7  

menjadi penguasa atas wilayah-wilayah penting di sekitar Hijaz sekitar

medio kedua abad 18.

Ajaran Wahabisme bermula dari semacam romantisme menghadirkan

kembali konsep ajaran Islam Nabi Muhammad pada abad ke 7. Mereka

menganggap bahwa model keberislaman di waktu itu sudah jauh

menyimpang, dan harus segera dimurnikan sesuai dengan asalnya.

Penegasan ketuhanan mereka begitu radikal, hingga mengharamkan untuk

menyembah dan percaya kepada selain Allah. Mereka begitu mengharamkan

perbuatan musyrik (menyekutukan Tuhan) dan penyembahan berhala. Dua

dosa yang tidak akan diampuni oleh Tuhan. Ekspresi ritual Islam lokal

semacam tarekat-tarekat dan ajaran kesufian mereka tolak. Tidak berhenti

sampai situ, pengikut Wahabi bahkan menghancurkan makam-makam tokoh-

tokoh Islam yang semula dianggap suci dan ramai dikunjungi peziarah.

Pohon-pohon yang dikeramatkan ditumbangkan. Mereka dikenal

memaksakan ajaran mereka, dan jika menolak maka akan diseret pada

hukuman-hukuman tertentu.8

Adat matrialistik dan pelegalan perbuatan-perbuatan yang melanggar

agama, sebagaimana yang telah disebutkan, merupakan sebagian dari yang

ingin dirubah oleh ketiga haji tersebut. Oleh sebab terjadi penolakan yang

keras dari masyarakat adat, para pengikut Wahabi tersebut akhirnya

melancarkan serangan-serangan yang berakibat pada pebunuhan mereka

yang tidak sepakat dengan gerakan orang Paderi. Oleh sebab penyebarannya

yang begitu masif, kelompok Paderi berhasil menancapkan pengaruhnya di

beberapa wilayah termasuk Empat Angkat, IV Kota, Candung dan Kota Tua.

                                                            8 John L. Esposito, Islam dan Politik, Terj. Joesoef Sou’yb (Jakarta: Bulan Bintang,

1990) hlm. 140-142.  

 

8  

Tuanku Nan Renceh bersama dengan ketujuh ulama kawannya, seperti

disebutkan di atas, membentuk persekutuan untuk memperkuat posisinya.

Mereka dikenal sebagai Harimau Nan Selapan, julukan ini merujuk pada

cara-cara dakwah mereka yang keras. Kelompok ini mendatangi Tuanko

Koto Tuo untuk memintanya menjadi pemimpin. Tuanku Koto Tuo

sebenarnya amat bersimpati dengan kelompok ulama ini, hanya saja ia

keberatan jika cara-cara yang keras dan kasar dilakukan dalam berdakwah.

Hal ini juga yang membuatnya menolak ajakan bergabung mereka.

Kedudukan pimpinan mereka akhirnya dijabat oleh Tuanku Mensiangan.

Kaum Adat pun mulai bersiap menyongsong pangikut Paderi. Mereka

sengaja mengadakan semacam perayaan yang didalamanya diadakan sabung

ayam besar-besaran di Kampung Batabuh, dekat Sungai Puar. Tuanku Koto

Tuo yang mengetahui aksi itu begitu mengecamnya, namun murid-muridnya

bergerak menuju lokasi dan pecahlah pertempuran di Batipuh. Pertempuran

ini membuat kaum adat dan kaum Paderi terlibat dalam kebencian yang kian

mendalam dan di antaranya telah terjalin kebulatan tekad untuk saling

menahan pengaruh dari lawan-lawannya.9

Beberapa buku yang menjelaskan tentang seputar Perang Paderi, banyak

menyorot hal ini dalam konteks anti-kolonialisme atau pertentangan adat dan

agama serta mengenyampingkan perubahan kultur Minangkabau. Jikapun

ada, maka sifatnya hanyalah sebagai pelengkap dan tidak dianalisa secara

eksplanatif dan mendalam.10 Maksud penulis adalah ingin menghadirkan

dampak kedatangan purifikasi Islam Paderi terhadap kelangsungan budaya

                                                            9 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 91-92.  10 Beberapa yang bisa disebutkan seperti Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso, peny,

Sejarah Sosial Di Daerah Sumatra Barat (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983-1984).  

 

9  

Minangkabau, dengan melihat pada beberapa produk budaya yang berubah

dan disinyalir mendapat pengaruh dari pemaham Islam Paderi.

Paham Wahabi, sebagaimana yang diprakatekkan di wilayah asalnya,

sepertinya memiliki perbedaan corak dengan yang ada di Minangkabau.

Belakangan paham ini menjelma menjadi gelora rakyat melawan kedudukan

Belanda. Sebagian kelompok adat pun, bergabung dengan Belanda sebagai

bagian dari kelanjutan resistensi mereka terhadap meruyaknya golongan

Paderi. Jadi, peta yang didapatkan adalah orang Paderi berhadapan dengan

Belanda yang disokong pula oleh kaum adat. Pertikaian ini mengerucut pada

upaya kaum Paderi mengusir penjajah. Upaya yang tidak berhasil

dilaksanakan hingga masa akhir perlawanan Paderi pada 28 Desember 1838

ini, ditandai dengan mundurnya pasukan Paderi pimpinan Haji Muhammad

Saleh dan Tuanku Tambusai.11

Kontak dagang rakyat Minangkabau dengan VOC terjadi sekitar awal

abad ke 17. Saat itu, para pedagang Belanda, bersama dengan pedagang

asing lainnya, banyak yang berlalu-lalang di pesisir pantai Sumatera Barat,

seperti di Tiku, untuk mendapatkan emas dan dari pedalaman Minangkabau.

Posisi mereka belumlah bisa dikatakan sebagai penguasa atau penjajah,

karena kehadiran mereka adalah murni berdagang.12

Penulis melihat gerakan purifikasi agama di Minangkabau membawa

dampak baru bagi perkembangan pendidikan Islam di sana. Persentuhan

ketiga haji Paderi di atas dengan pusat-pusat perkumpulan umat Muslim di

dunia, membawa wacana baru bagi cita keberagamaan di sana. Sebagian

masyarakat, termasuk ulama yang berafiliasi kepada mereka, paling tidak

                                                            11 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 119.  12 Mardjani Martamin dkk, Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme di Sumatera

Barat (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983) hlm. 23 dan 26 – 27.  

 

10  

mendapatkan suatu bahan berpikir baru yang menjadi landasan mereka untuk

melakukan suatu perbuatan. Ketika membicarakan Wahabi di Minangkabau,

memang tidak seharusnya melulu dibawa pada kasus pertentangan adat

dengan agama, namun bisa pula ditinjau dari sudut persentuhannya dengan

sendi-sendi masyarakat yang vital, umpamanya saja pendidikan.

Beberapa tokoh ulama pembaharu Minangkabau, sebagian ada yang

terinspirasi dari gerakan Paderi. Mereka memang tidak lagi melakukan

perlawanan terhadap Belanda dan kaum adat, namun lebih mencurahkan

perhatiannya terhadap perkembangan agama Islam, salah satunya adalah

Syekh Ahmad Khatib. Menurut Agus Salim, Syaikh Ahmad Khatib, yang

lahir sekitar tahun 1855, adalah seorang anak hakim Paderi, yang memiliki

latar belakang keluarga yang taat beragama juga beradat Minangkabau. Ia

berkesempatan menimba ilmu di Mekkah dan memutuskan untuk tidak

kembali lagi ke kampungnya. Meskipun demikian, ia tetap membina

hubungan yang baik dengan jemaah haji dari Nusantara, termasuk dari

Minangkabau. Bahkan, beberapa muridnya asal Minangkabau, banyak yang

menjadi tokoh-tokoh agama yang berpengaruh di kemudian waktu. Beberapa

yang bisa disebutkan adalah Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Syaikh

Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Syaikh Sulaiman ar-Rasuli,

dan dari Jawa ialah K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hashim Asyari.13

Hamka menegaskan bahwa meskipun gerakan Paderi tidak sampai

membuat suatu negara Islam, namun pengaruhnya masih terasa hingga masa

berikutnya. Hal ini dibuktikan dengan polarisasi Islam yang kian menguat di

sanubari rakyat Minangkabau. Mereka tidak lantas bersedia berganti agama

                                                            13 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES,

1980) hlm. 38-39. 

 

11  

menjadi Kristen sebagaimana yang terjadi di Tanah Batak setelah kalahnya

Si Simangaradja XII.

Suatu keyakinan yang mempercayai bahwa perang Paderi merupakan

puncak dari pertikaian kaum agama dan kaum adat tidak seluruhnya tepat.

Pendapat itu sebenarnya adalah propaganda yang dilancarkan kolonial agar

persatuan di kalangan orang Minangkabau terpecah belah. Yang menjadi

sasaran Paderi hanya perbaikan akhlak masyarakat, yang sebelum tahun

kedatangan Haji Miskin tahun 1803, sudah sangat jauh dari ajaran Islam.

Kekalahan kaum Paderi pada 1838 dari Kompeni tidak lantas diratapi

oleh para simpatisan Paderi. Sebaliknya, muncul gelora baru di kalangan

para pelajar agama untuk menuntut ilmu agama, bahkan sampai ke kiblat

dunia Islam, yakni Mekkah. Jika kemudian sekolah Raja didirikan Belanda

adalah untuk keturunan bangsawan Minangkabau, maka keturunan ulama

dan pejuang Paderi, atau orang yang tidak langsung terlibat dalam gerakan

Paderi, memilih untuk menyekolahkan anaknya ke Mekkah. 14

Penulis tertarik untuk mendudukkan dampak dari munculnya gerakan

pemurnian Islam di Minangkabau dalam masalah pendidikan. Alasan utama

yang dikedepankan adalah ketertarikan peneliti untuk mengungkap sejauh

mana jejak-jejak pengaruh purfikasi Islam ini mewarnai geliat pendidikan

Minangkabau, khususnya di masa-masa modern awal. Melalui studi terhadap

ulama, lembaga pendidikan serta kurikulum pendidikan dalam kurun waktu

tersebut, harapannya akan didapat suatu telaah baru mengenai sejarah

pendidikan Di Minangkabau, yang disinyalir memiliki koneksi dengan

ajaran-ajaran Paderi.

                                                            14 Hamka, Muhammadiyah di Minangkabau (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, tanpa

tahun) hlm. 7 – 8.  

 

12  

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembaruan di Minangkabau ditinjau dari segi pendidikan, memang

merupakan tema yang masih sangat luas. Oleh sebab itu, hal itu

membutuhkan beberapa pembatasan yang nantinya bisa menjadi suatu

tampilan yang mewakili perbincangan mengenai tema itu. Peneliti

mengartikan pembaruan pendidikan ke dalam beberapa kata, yakni ulama

dan jaringannya serta lembaga pendidikan, yang disinyalir mempunyai corak

ajaran-ajaran kaum Paderi. Ulama merupakan suatu jenis profesi dalam

masyarakat yang mempunyai otoritas dalam bidang agama. Ismuha

mengungkapkan bahwa terjadi penyempitan makna ulama jika ditinjau dari

bahasa asalnya. Ulama merupakan jamak dari kata alim, yang berarti orang

berilmu. Di masa kini, ulama hanya diperuntukkan bagi orang yang

mempunyai pengetahuan tentang agama Islam.15

Dalam tesis ini, penulis menyebut kelompok ulama di Minangkabau

yang mengadakan pembaruan dengan istilah kaum Paderi. Paderi sendiri

adalah penyebutan bagi orang yang baik dan teguh memegang ajaran agama.

Adapaun pengertian gerakan Paderi di Minangkabau adalah gerakan yang

dimotori orang-orang saleh untuk membenahi lunturnya akhlak terpuji di

sekitar mereka serta menghapuskan sistem matriarkat (sistem keluarga yang

condong ke garis ibu).16

Dalam Encyclopaedie van Nederlansch-Indie, dijelaskan bahwa Padri

adalah sebuah sekte Muslim kuat yang ada di dataran tinggi Padang.

Penganut Paderi dikenal sebagai umat Mohammadanisme (Islam) yang taat

dan lurus. Mereka melakukan pemantauan yang ketat terhadap lembaga-

                                                            15 Ismuha, Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah (Jakarta: LIPI, 1976) hlm. 1. 16 B. J. O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatra Barat: Sebuah Sumbangan

Bibliografi, Terj. Soegarda Poerbakawatja (Jakarta: Bhratara, 1973) hlm. 4.  

 

13  

lembaga adat Minangkabau dan berusaha dengan kekuatannya untuk

menertibkan orang-orang yang jauh dari hukum Islam untuk kembali

menaati ajaran agamanya itu.17

Hamka meyakini bahwa terbitnya gerakan Paderi di Minangkabau

adalah membawa ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Wahab atau yang

dikenal dengan Wahabi yang berasal dari Saudi Arabia. Di Minangkabau,

Haji Miskin, salah satu penyebarnya yang datang pada 1803, terinspirasi dari

ajaran Wahabi untuk memberantas praktek-praktek menyimpang masyarakat

seperti sabung ayam, minum tuak dicampur dengan darah kerbau, perang

batu di antara satu suku atau kampung dengan suku atau kampung lainnya,

serta berbagai kebiasaan lain yang dianggap merugikan dan menyalahi ajaran

Islam.18

B. J. O. Schrieke berkeyakinan berbeda dengan Hamka. Ia berketetapan

bahwa kaum Paderi Minangkabau tidaklah terpengaruh ajaran Paderi. Tidak

semua orang Muslim yang melakukan ajaran agama Islam dengan ketat dan

tekun dianggap Wahabi. Kepercayaan Schrieke bersumber dari

pembacaannya akan ceritera Djalaloeddin dan memori dari Tuanku Laras

yang didapatkannya dari Bataviaasch Genootschap di bagian Naskah

Melayu. Dalam dua naskah itu tidak ditemukan keterangan bahwa terbitnya

gerakan Paderi adalah sejak diperkenalkan oleh Haji Miskin, Haji Sumanik

dan Haji Piobang yang datang dari Mekkah yang memang saat itu di Mekkah

sendiri sudah kental dengan nuansa ajaran Wahabi.

Kemudian, sejauh pembacaan Schrieke, tidak ditemukan praktek-

praktek ekstrem Wahabi dalam beberapa pandangan orang Paderi. Dalam

                                                            17 Entri “Padri’s” dalam P. A. Van der Lith dkk, Encyclopaedie van Nederlandsch-

Indie, Jilid 3 (Leiden: Martinus Nijhoff – E. J. Brill, 1896) hlm. 168. 18 Hamka, Muhammadiyah …, hlm. 7.  

 

14  

kasus penghormatan akan Nabi Muhammad SAW misalnya, kaum Paderi

tidak melakukan pelarangan sebagaimana yang dilakukan penganut Wahabi.

Begitu pula dalam ritual pemujaan (pengkeramatan) para orang suci yang

sudah mengakar di Minangkabau, tidak lantas dilarang oleh kaum Paderi.

Jika dibandingkan dengan yang terjadi di Mekkah adalah sebaliknya, yakni

ritual semacam itu mengalami pelarangan dan dianggap keliru. Jadi, tidak

tepat jika dikatakan kaum Paderi adalah juga kaum Wahabi.19

Adapaun lembaga pendidikan yang dimaksud, adalah lembaga

pendidikan yang dimaknai sebagai tempat memperoleh pengajaran agama.

Dalam konteks Minangkabau, lembaga pendidikan yang dibahas bukan

hanya yang dikatakan sebagai sekolah modern semata, namun juga lembaga

pendidikan tradisional lainnya, seperti surau yang didalamnya tempat orang

mengaji, yang guru-gurunya ditengarai mendapat pengaruh pemikiran dari

gerakan Paderi. Termasuk dalam hal ini, akan dibahas tentang sistem

pendidikannya, kurikulum, aktivitas belajar serta kitab atau buku apa yang

dikaji di dalamnya.

Kemudian, pembatasan selanjutnya adalah mengenai waktu dari tema

yang diangkat. Peneliti mempersempit cakupan waktu hanya berkisar pada

abad ke XIX hingga awal XX. Di abad tersebut banyak terjadi peristiwa-

peristiwa yang menjadi momen penting dalam pembaruan pendidikan

Minangkabau. Wacana mengenai persinggungan adat dengan agama,

dikotomi pendidikan Belanda dengan pribumi serta aktivitas intelektual yang

dilakukan beberapa cerdik pandai di sana menjadi beberapa pembahasan

yang bisa ditemui pada kurun waktu ini.

                                                            19 Schrieke, Pergolakan Agama …, hlm. 17 – 18.  

 

15  

Untuk mempermudah pembahasan nantinya, maka masalah-masalah

tersebut akan dirumuskan menjadi beberapa pertanyaan, yakni:

1. Bagaimana keadaan setting sosial Minangkabau pada abad XIX?

2. Bagaiamana model pemikiran Wahabi yang mengilhami lahirnya

pembaruan Islam di Minangkabau?

3. Ulama dan lembaga pendidikan mana saja yang disinyalir mendapat

pengaruh dari ajaran Paderi?

C. Penelitian Terdahulu

Beberapa buku serta tulisan yang ditemukan mengenai modernisasi

Islam sudah cukup banyak. Namun, jika sampai pada tema mengenai

modernisasi Islam dalam konteks Minangkabau, agaknya belum begitu

banyak dijumpai. Mengenai modernisasi Islam, salah satu buku yang

mengupas tema tersebut adalah buku yang ditulis oleh Harun Nasution

dengan judul Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya.20 Buku ini

menitikberatkan pembahasan mengenai konsep modernisasi serta pengaruh

modernisasi Islam secara global. Dalam pembahasan lainnya, buku ini

melihat bahwa munculnya Timur Tengah sebagai salah satu kekuatan

intelektual di dunia modern, adalah respon dari pengaruh agama Katolik

yang beberapa dasawarsa belakangan sedang mengalami perkembangan

yang pesat. Buku ini membantu penulis dalam memahami perkembangan

Islam modern, utamnya ketika mnyinggung tradisi pribumi. Disebutkan pula,

meskipun gejolak modernisasi dimulai di dunia Barat, namun auranya

terbawa sampai ke belahan dunia Muslim. Buku ini tentu saja berbeda

dengan pembahasan peneliti, yang meneropong modernisasi Islam dalam

skup geografis, hanya di wilayah Minangkabau saja.

                                                            20 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1986).  

 

16  

Masuk dan perkembangan kaum Paderi dalam babakan sejarah

Nusantara, merupakan salah satu fase penting terbitnya modernisme Islam di

Minangkabau. Mengangkat Perang Paderi sebagai suatu even masa lalu

yang menabalkan peran kaum puritan Islam sebagai aktor-aktor pembebas

dari belenggu adat dan kolonialisme Belanda, menjadi suatu keharusan untuk

dimunculkan. Terdapat buku yang dieditori oleh Sartono Kartodirdjo, yang

isinya antara lain mengupas Perang Paderi. Buku ini berjudul “Sejarah

Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme” terbit pada 1973. Buku ini

berisikan tentang beberapa perang heroik yang mempunyai pengaruh

signifikan dalam perkembangan sejarah bangsa. Perang-perang seperti

Perang Jawa, Perang Aceh, Perang Jagaraga di Bali, Perang Paderi dan lain-

lain, adalah beberapa momen heroik yang kedudukannya vital sebagai

wahana memupuk patriotisme dan kecintaan terhadap negeri.21 Sayangnya,

Perang Paderi dalam buku ini lebih banyak ditekankan pada aspek militer

dan perang sebagai solusi, sedikit menempatkan perbincangan mengenai

persinggungan adat dan agama, serta dampak-dampak perang Paderi dalam

bidang pendidikan.

Literatur lain yang membahas tentang persinggungan kaum Paderi

dengan kolonial Belanda adalah ditulis oleh Elizabeth E. Graves, berjudul

The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The Nineteenth

Century. Di dalam buku ini dipaparkan mengenai keadaan kaum Paderi

setelah melewati fase perang terbuka dengan pasukan kolonial serta reaksi

mereka terhadap semakin mengakarnya kedudukan Belanda di Minangkabau

bahkan di sebagian besar wilayah Sumatera, terhitung sejak tahun 1837.

Disampaikan pula mengenai rekruitmen tenaga pribumi untuk mengisi

                                                            21 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme

(Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1973) 

 

17  

struktur birokrasi kolonial.22 Mengenai pengaruh ajaran Paderi terhadap

perkembangan pendidikan di Minangkabau, agaknya belum banyak disentuh

di buku ini.

Christine Dobbin, sarjana asing lainnya, juga menyorot aspek perang

Paderi dalam karyanya yang berjudul “Kebangkitan Islam dalam Ekonomi

Petani yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1781-1847.” Dobbin melihat

terjadinya perang Paderi melalui aspek ekonomi, bahkan ia berkeyakinan

bahwa aspek enonomilah yang mendasari berlangsungnya pertikaian

tersebut. Baik kaum Paderi maupun pemerintah, terlibat dalam perlombaan

akan penguasaan komoditas-komoditas dagang unggulan seperti yang bisa

ditemukan di lembah subur Mandailing atau tambang emas di Rao. Perang

yang berlangsung antara keduanya, tidak lebih hanyalah “perang

perdagangan”, bukan semata-mata reaksi atas kedatangan Belanda atau

dilandasi perang keagamaan.23 Kajian ini turut memperkaya khazanah

kesejarahan Perang Paderi, mengingat di masa – masa sebelumnya, tulisan

mengenai perang Paderi banyak yang menerbitkan anti-kolonialisme an sich

sebagai latar belakang terjadinya perang ini.

D. Kerangka Teori

Pengaruh dari kemunculan gerakan Paderi menimbulkan dampak yang

signifikan bagi kelangsungan masyarakat Minangkabau setelahnya. Hampir

setiap sendi kehidupan masyarakat, mengalami perubahan atau setidaknya

terdapat percampuran pengaruh Paderi. Islam kemudian menjelma menjadi

                                                            22 Elizabeth E. Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The

Nineteenth Century (Singapore: Equinox Publishing, 2010) hlm. 11. 23 Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah:

Sumatera Tengah 1781-1847 (Jakarta: INIS, 1992).  

 

18  

faktor elemental pembentuk adat, bahkan mampu bersinergi dengannya. Di

pihak lain, Islam ditampilkan pada ranah pendidikan sebagai salah satu alat

yang memperkenalkan orang Minangkabau pada ajaran Islam berbasiskan

pada komodernan.

Memang terdapat kesulitan ketika mendudukkan paham Paderi sebagai

pemicu lahirnya modernitas. Di satu sisi, Paderi mengajak pada puritanisme

yang sebagian besar menginduk pada ajaran murni Islam, namun di satu sisi

ajaran Paderi tampil sebagai pembebas adat Minangkabau dari belenggu

kegiatan-kegiatan negatif masyarakat, yang sebelumnya sudah diakui sebagai

bagian dari adat. Namun, terlepas dari kebingungan itu, Paderi melakukan

perubahan dalam keseharian Minangkabau, khususnya mengenai dunia

pendidikan di sana. Beberapa tokoh pembaharu Paderi, mendapatkan

pengaruh dari pemikiran ulama-ulama Paderi. Satu yang telah disebutkan

adalah Syekh Ahmad Khatib.

Tesis ini agaknya cocok jika ditinjau dari segi sejarah intelektual. Jika

mendudukkan antara pengaruh ajaran Paderi terhadap modernitas pendidikan

di Minangkabau, maka salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah dengan

menelisik geneologi keilmuan, termasuk juga ideologi dan penghayatan para

pelakunya. Sartono Kartodirdjo mengatakan bahwa ketika membicarakan

sejarah intelektual, maka akan bersinggungan dengan seberapa jauh formasi

ide atau ideologi menentukan atau mempengaruhi keadaan lokasi sosial.24

Gagasan, apakah nyatanya mampu merubah, memberi pengaruh atau bahkan

sekedar hidup dalam jangka waktu tertentu dalam suatu sistem sosial.

Peneliti tertarik untuk membicarakan masalah tema yang dipilih dalam

konteks hubungan sosial. Perubahan format pemikiran, lembaga pendidikan

                                                            24 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta:

Gramedia, 1990) hlm. 180.  

 

19  

bahkan kurikulum di Minangkabau pada abad ke 19, ada kaitannya dengan

beredarnya ajaran Paderi di masyarakat. Paham mereka seperti mendapat

momentum untuk tampil sebagai senyawa yang merubah kegelisahan sosial

akibat maraknya kegiatan penyakit masyarakat (perjudian dan sabung ayam)

yang disponsori oleh kaum adat. Ajaran Paderi berfungsi membenahi

keadaan masyarakat itu, di antaranya dengan pendidikan. Setelah masa

perang fisik berakhir, ide-ide Paderi disemai bahkan dilembagakan menjadi

sekolah-sekolah agama yang mempunyai reputasi baik di mata masyarakat.

Fenomena tersebut adalah satu fragmen dari perubahan sosial di

Minangkabau. Perubahan sosial sendiri memiliki tiga pemaknaan: 1)

perubahan sosial adalah berubahnya sistem sosial, yakni perubahan pada

struktur, kultur dan interaksi sosial; 2) merujuk pada penjelasan Charles R.

Harper, perubahan sosial berarti menyoroti perubahan struktur sosial; 3)

perubahan sosial berhubungan dengan transformasi dalam pengorganisasian

masyarakat.25 Meskipun ketiganya mengutarakan maksud yang berbeda,

namun ada suatu benang merah yang menyatukan ketiganya, yakni

kedudukan perubahan dari satu fase ke fase yang lain.

Perubahan sosial yang nantinya digunakan sebagai pisau analisa, adalah

disesuaikan dengan masalah pendidikan. Sebagai sampel atas uji tersebut,

maka akan dipaparkan beberapa kasus perubahan sosial yang tercermin

dalam diri ulama, lembaga pendidikan serta kurikulum pembelajaran. Ulama,

meskipun pengkajiannya terkesan individual, namun yang dikemukakan

adalah kedudukan mereka sebagai sentrum di tengah masyarakatnya. Ulama

adalah termasuk elit yang memiliki kapasitas sebagai salah satu elemen

pengatur umat, khususnya dalam hal sosio-keagamaan. Media yang

                                                            25 Yusron Razak, ed, Sosiologi Sebuah Pengantar (Jakarta: Laboratorium Sosiologi

Agama, 2008) hlm. 180-183.  

 

20  

digunakannya pun melalui metode pembelajaran, baik itu ceramah, seruan,

anjuran atau temu-temu ilmiah secara berkala.

E. Metode Penelitian

Penelitian mengenai dampak gerakan Paderi terhadap modernisasi

pendidikan di Minangkabau ini, adalah suatu model penelitian sejarah.

Dengan demikian, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode

penelitian sejarah. Metode ini terdiri dari empat langkah kerja, yakni

pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber, interpretasi dan penulisan

sejarah atau historiografi.

Pengumpulan sumber merupakan aktivitas pertama yang dilakukan

dalam penelitian ini. penulis mendatangi beberapa perpustakaan, termasuk

perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora dan Perpustakaan Utama,

keduanya di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk

mendapatkan referensi terkait. Termasuk pula tempat yang penulis datangi

adalah ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) yang terletak di kawasan

Kemang dan Perpustakaan Nasional RI di Salemba, keduanya di Jakarta. Di

kedua tempat terakhir, terdapat beberapa sumber primer yang bisa diakses.

Sumber primer yang sudah didapat antara lain adalah Tambo Minang.

Belum jelas betul, kapan Tambo Minang ditulis. Sumber ini berisikan

tentang penjelasan sejarah, masyarakat serta hukum yang ada di

Minangkabau, yang tercipta sudah sejak masa yang lama. Bahkan

disebutkan, Iskandar Zulkarnain adalah leluhur masyarakat Minangkabau.

Tambo ini penting untuk memberi informasi seputar sejarah sosial kehidupan

 

21  

masyarakat Minangkabau, termasuk di dalamnya asal-usul hukum yang

berlaku.26

Dalam penelitian sejarah, terdapat dua macam sumber, yakni sumber

primer dan sumber sekunder. Sumber primer diartikan sebagai sumber-

sumber tertulis ataupun lisan, yang diproduksi pada kurun waktu objek

penelitian. Oleh karena penelitian yang dipilih berkisar pada abad 19, maka

sumber-sumbernya adalah diproduksi pada waktu tersebut. Kelihatannya

sumber lisan tidak diutamakan dalam laporan ini mengingat informan pada

abad tersebut, sangat sulit untuk dijumpai. Sumber tertulis adalah yang

paling mungkin didapatkan, materinya berbentuk dokumen-dokumen, arsip,

majalah, buku, brosur, catatan harian, serta materi-materi tertulis lainnya

yang sezaman. Sedangkan sumber sekunder merujuk pada materi-materi

tertulis, dari pelbagai media penulisan, yang diproduksi bukan pada kurun

objek penelitian, termasuk di dalamnya adalah laporan penelitian atau buku-

buku relevan yang diterbitkan pada masa kini.27

Langkah selanjutnya adalah dengan melakukan kritik sumber terhadap

sumber-sumber tersebut. Dalam metode sejarah, terdapat dua macam kritik

sumber, kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal dilakukan untuk

mengidentifikasi keaslian sumber, yakni dengan melihat jenis kertas, model

tulisan, cap stempel, dan hal-hal lain yang menyangkut kondisi fisik sumber.

Jika telah dibuktikan bahwa sumber tersebut telah memenuhi syarat bahwa

itu diproduksi ketika masa objek penelitian berlangsung, maka bisa

ditetapkan sebagai sumber yang otentik. Kemudian, kritik internal ditujukan

pada informasi yang tertulis dalam sumber tersebut, apakan yang disebutkan

                                                            26 Sri Guritno, peny, Tambo Minang (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,

Departemen P dan K, 1994) hlm. 96 – 97 dan 120 – 121.  27 M.Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar (Jakarta:

Prenada, 2013) hlm. 219.  

 

22  

di dalamnya adalah informasi yang bernas atau bersumberkan pada suatu

rujukan yang bisa dipercaya, ataukah tidak.28

Selanjutnya, berdasarkan sumber-sumber yang sudah terkumpul, maka

akan dilakukan pembacaan kembali (interpertrasi) atasnya. Interpretasi

dalam kajian sejarah bertopang pada hasil analisa-analisa yang dilakukan

atas sumber, kemudian sampai pada penetapan uraian kritis atasnya, baik

berupa sanggahan, pemberian keterangan, atau memberi keketapan kembali

(pengakuan) atas sumber itu. Termasuk ke dalam interpretasi, adalah dengan

memberikan analisa-analisa mutakhir, yang bisa saja mematahkan atau

memberikan catatan kritis atau mengakui hasil-hasil penelitian yang lebih

dahulu dilakukan. Yang jelas, interpretasi ini merupakan corong untuk

menyuarakan suatu temuan baru dalam penelitian sejarah, meskipun temanya

bisa saja sudah terlebih dahulu diteliti para sarjana lain.

Historiografi menjadi destinasi terakhir dari proses penelitian sejarah.

Hasil-hasil penelaahan akan sumber-sumber dan hasil interpertasi tersebut

kemudian dituangkan ke dalam penulisan yang terstruktur dan diupayakan

kronologis, meskipun dalam prakteknya, bisa saja galur waktu yang diambil

bisa ke mencakup waktu yang lebih ke depan, atau ke belakang. Paling tidak

uraian yang ditampilkan memiliki narasi dan eksplanasi yang disesuaikan

batang utama kronologinya. Langkah historiografi dalam penelitian ini

adalah penulisan tesis ini sendiri.29

                                                            28 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995) hlm. 99-100;

lihat juga Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 2006) hlm. 98-99 dan 112.  

29 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 91-93. 

 

23  

F. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari lima bab. Bab pertama tesis ini adalah pendahuluan,

yang berisi tentang latar belakang penelitian, pembatasan dan perumusan

masalah, kajian terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

Bab kedua dari tesis ini adalah memerikan tentang keadaan sosial di

Minangkabau sekitar abad ke 19. Termasuk dalam pembahasan ini adalah

penjelasan tentang kehidupan dan adat istiadat masyarakat Minangkabau,

masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau serta bagaimana cara

keberislaman orang Minangkabau. Dipaparkan pula mengenai keberadaan

institusi pendidikan dan ulama yang mempunyai pengaruh pada masa itu.

Selanjutnya, bab ketiga menerangkan tentang keberadaan pasukan

kolonial di Minangkabau. Diketahui, perpecahan antara kalangan Adat dan

Paderi, semakin menemukan bilah tajamnya, manakala bersinggungan

dengan kepentingan kolonial. Sebagai kelompok yang memiliki persediaan

senjata yang memadai, maka amat cocok jika kelompok Adat menjadikan

mereka sebagai sekutu untuk menghadapi kelompok Paderi. Di samping

Belanda, Inggris juga pernah bersinggungan dengan kaum Adat meskipun

tidak selama Belanda

Pada bab keempat membahas tentang aktivitas orang Paderi di

Minangkabau. Ikut dipaparkan pula mengenai kedatangan 3 orang haji dan

aktivitas mereka dalam menyemikan ideologi Paderi. Perang Paderi ikut

ditampilkan pula sebagai kontinuitas eksistensi gerakan ini. Dijelaskan juga

mengenai konsep pemikiran Wahabi, paham yang melahirkan gerakan

Paderi, serta integrasinya dengan pola keislaman orang Minangkabau.

 

24  

Kemudian, seputar persinggungan kelompok Paderi dengan kolonial Belanda

juga turut ditampilkan.

Bab kelima, lebih mengerucut, menjelaskan tentang konstribusi paham

Paderi dalam modernisasi pendidikan di Minangkabau. Di dalamnya akan

dijelaskan mengenai ulama, lembaga pendidikan dan kurikulum serta pola

pengajaran di Minangkabau yang disinyalir mendapat pengaruh dari gerakan

Paderi. Perubahan sosial yang tampil di ranah pendidikan, akan menjadi

suatu kupasan yang bisa dijumpai dalam bab ini. Dijelaksan pula mengenai

kedudukan pendidikan Islam Minangkabau berhadapan dengan pendidikan

modern kolonial.

Bab terakhir berisikan tentang kesimpulan, yang merupakan jawaban

atas permasalahan yang dirumuskan di bab pertama, serta saran yang perlu

untuk disampaikan.

 

25  

BAB II

MINANGKABAU SEKITAR ABAD XVII

A. Keadaan Sosial Masyarakat

Minangkabau merupakan suatu jajaran wilayah yang terletak di Pulau

Sumatera, tepatnya di Sumatera bagian Barat. Dewasa ini, sebagian besar

wilayah Minangkabau masuk dalam provinsi Sumatera Barat. Di masa

kolonial Belanda, yakni sekitar abad 19, wilayah Minangkabau beribukota di

Bukittinggi, yang sekaligus tercatat sebagai kota terbesar di pedalaman

Sumatera Barat. Kota ini terletak di Kabupaten Agam. Dalam tradisi

Minangkabau, Bukittinggi adalah bagian dari Luhak Agam, yang merupakan

salah satu dari “Luhak nan Tigo”. Bukittingi dalam pelafalan administrasi

kolonial, Bukittinggi disebut Fort de Kock, merujuk pada keberadaan

benteng (fort) di sana yang dibangun oleh Kapten Bauer pada 1825 di atas

Bukit Jirek. Nama de Kock sendiri berasal dari nama perwira Belanda

bernama Baron Hendrik Markus de Kock, yang pernah menjadi komandan

militer dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Benteng tersebut menempati posisi penting sebagai simbol kuasa

kolonial di sana. Dari benteng inilah serangan dilancarkan untuk

membendung pergerakan tentara Paderi yang datang dari sekitar Luhak

Agam. Setelah pasukan Paderi berhasil ditundukkan dan keadaan sosial telah

 

26  

dipulihkan, pemerintah Belanda memberlakukan Tanam Paksa kopi, seperti

yang telah dilakukan Belanda di Priangan Jawa Barat.30 Bukittinggi

belakangan menjadi kota pengumpul kopi terbesar di pedalaman Sumatera

Barat. Untuk menyokong eksploitasi ekonominya, Belanda pun membentuk

pemerintahan sipil setempat, dengan berpedoman pada sistem kenegerian di

Minangkabau sebelumnya. Tuanku Laras, kepala kalarasan Kurai dan

Banuahampu adalah mitra Belanda dalam menguasai wilayah-wilayah

sekitarnya. Sampai abad 20, Bukittinggi masih menjadi ibukota Keresidenan

Padang Barat.31

Christine Dobbin menjelaskan bahwa pusat pemukiman orang

Minangkabau terdiri atas empat lembah di dataran tinggi. Keempatnya

berada dalam lingkup Bukit Barisan, di satu titiknya mempunyai lebar 50

mil, berbentuk dua deretan pegunungan yang terpisah. Mereka membentuk

wilayah yang lebih kecil yang lebarnya sekitar 18.000 mil persegi atau

sekitar 11 % dari tanah pulau itu. Lembah yang berada di ujung barat

memiliki ketinggian 3000 mdpl. Sedangkan lembah di ujung timur terhampar

hingga bertemu Selat Malaka, tingginya sekitar 1500 kaki. Semunya

memiliki kontur dasar yang lembab, berawa, sebagian terdiri dari telaga.

Sepertinya seluruh daerah itu dulunya pernah dilingkupi oleh telaga, atau

juga diisi air yang setiap periodenya mengalami penurunan.

Keempat lembah itu masing-masing dipisahkan oleh bukit-bukit

berbatu dan semuanya berdiri di dekat gunung berapi. Pada ketinggian 3000

mdpl, terdapat Lembah Agam yang terletak di kaki Gunung Singgalang.

Gunung Singgalang sendiri memiliki tinggi 9400 kaki. Di sebelah tenggara

                                                            30 Mengenai Tanam Paksa kopi di Priangan lebih lanjut lihat Jan Breman, Keuntungan

Kolonial dari Kerja Paksa Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870, Terj. Jugiarie Soegirto, dkk (Jakarta: YOI, 2014) 

31 Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso, peny, Sejarah Sosial Di Daerah Sumatra Barat (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983-1984) hlm. 1.  

 

27  

Lembah Agam terdapat Lembah Tanah Datar. Keduanya ditengahi oleh

kerucut puncak Gunung Merapi yang tingginya 9500 mdpl, dan menjadi titik

paling elok dari alam Minangkabau. Menurut sejarah, gunung tersebut

adalah pemukiman asal orang Minangkabau. Baru kemudian, orang

Minangkabau turun gunung mencari daerah yang memiliki kandungan air.

Turun perlahan-lahan dari Gunung Merapi, terhampar Lembah Singkarak-

Solok. Lembah ini sejajar dengan posisi Tanah Datar yang dipisahkan oleh

pegunungan rendah. Di dasar lembah, terdapat Danau Singkarak yang

berbentuk oval (bulat telur). Panjang danau ini sekitar 12,5 mil dengan lebar

maksinal 5 mil. Dari Danau ini mengalir suatu aliran air ke arah timur yang

nantinya akan bertemu dengan salah satu sungai terbesar di pantai Timur

Sumatera. Di lembah ini juga terdapat gunung berapi. Di sebelah Barat Laut

Lembah Singkarak-Solok berbatasan dengan Gunung Talang yang tingginya

kira-kira 4500 mdpl.32

Lembah keempat yang merupakan lembah terendah dari keempatnya

adalah Lima Puluh Kota. Lembah ini terdapat jauh di sebelah Timur sejajar

dengan Agam dan memiliki ketinggian 1500 mdpl. Lembah ini condong

pelan-pelan ke pantai timur. Di ujung tenggara, lembah ini bertetangga

dengan gunung berapi Sago yang memiliki tinggi 5000 kaki. Barisan-barisan

pegunungan inilah yang mempengaruhi terciptanya identitas sosial yang

saling berebeda. Meskipun terdapat faktor-faktor pembeda dari keempat

lembah itu, secara historis semuanya dianggap sebagai satu kesatuan oleh

orang Minangkabau. Lembah-lembah inilah yang merupakan tanah dan air

mereka. Cakupan keempat lembah inilah yang dinamakan alam

Minangkabau.

                                                            32 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi, Terj.

Liliad D. Tedjasudhana (Depok: Komunitas Bambu, 2008) hlm. 3-4.  

 

28  

Semua yang berada di luar keempat lembah tersebut adalah daerah luar.

Di keempat lembah itu memang terdapat perbukitan kecil, yang diisi dengan

danau, sungai, gunung-gunung, yang terelatak di sebelah barat laut dan

tenggara, disebut rantau. Daerah rantau adalah wilayah terdepan pemukiman

orang Minangkabau. Rantau ditinggali pula oleh orang Minangkabau, namun

wilayahnya tidak semua yang termasuk dalam alam Minangkabau.33

Anthony Reid membenarkan pendapat Dobbin dengan menyatakan

bahwa wilayah yang termasuk dalam pusat berkumpulnya manusia di

Minangkabau adalah di Tanah Datar, Lima Puluh Kota, Agam dan lembah

Solok di Selatan Danau Singkarak. Belakangan terjadi perpindahan

penduduk massif, tepatnya sejak berkecamuknya Perang Paderi, di mana

aktivitas kaum Paderi banyak berlalu-lalang di wilayah dataran tinggi. Kala

itu, masyarakat berbondong-bondong menuruni bukit dan berdiam di dataran

yang lebih rendah. Dampaknya, saat pemerintah kolonial melakukan suatu

sensus antara tahun 1852 dan 1890, didapati penduduk dataran tinggi naik

sebanyak empat kali, sedangkan dataran rendah membengkak menjadi 14

kali lipat.34

Orang Minangkabau merupakan entitas masyarakat yang terbentuk dari

budaya campuran. Mereka begitu dekat dengan tradisi hidup pegunungan

pedalaman seperti mencari gambir, rotan, kamper lantas mengantarkannya ke

hilir. Tapi mereka juga mempunyai tradisi maritim, khususnya mereka yang

berdiam di pesisir barat Sumatera. Tradisi lisan di sana banyak

mengkisahkan tentang kisah pengelana-pengelana, pelaut-pelaut dan orang-

orang jauh dari rumah secara puitis. Tidak seperti masyarakat kepulauan,

masyarakat model ini justru sulit dipastikan. Walaupun secara administratif

                                                            33 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 4-6.  34 Anthoni Reid, Menuju Sejarah Sumatera; Antara Indonesia dan Dunia, Terj. Masri

Maris (Jakarta: YOI, 2011)hlm. 51. 

 

29  

Minangkabau masuk dalam wilayah Sumatera Barat, namun ini sifatnya

arbitrer, karena ada bayang-bayang kolonial di balik pembentukannya.35

Kota Bukittinggi sebagai tempat berkumpulnya orang Minang, terletak

di simpang tiga yang menghubungkan Padang, Solok dan Padang Panjang di

sebelah Barat Daya; Payakumbuh di Timur Laut; dan Jurusan ke Bonjol,

Lubuk Sikaping dan Padang Sidempuan di Utara. Di kota ini juga terdapat

pula jalan kereta api yang menghubungkan Payakumbuh dengan Padang

Panjang. Di Padang Panjang terdapat dua cabang rela, menuju Solok di

Selatan dan Padang ke arah Baratnya. Kedua kota ini terletak tinggi di atas

permukaan laut. Oleh karena itulah rel menuju ke Padang Panjang dan

Payakumbuh menggunakan rel gigi. Karena permukaan tanah Bukittinggi

tidak datar, menyebabkan pasar di sana terbagi dua, yakni Pasar Atas dan

Pasar Bawah. Kedua pasar tersebut dihubungkan dengan suatu jembatan

gantung yang dinamakan Jenjang 40, diperuntukan bagi pejalan kaki.

Kota Bukittinggi berbatasan dengan: Sebelah Utara berbatasan dengan

Kecamatan Tilatang Kamang/Kamang; Sebelah Selatan dengan Kecamatan

Banuhampu/Sungai Puar; Sebelah Barat dengan Kecamatan IV Koto;

Sebelah Timur dengan Kecamatan IV Angkat/Candung. Kota ini adalah kota

yang luas dibuktikan dengan adanya lima jorong, yakni Jorong Mandiangin,

Jorong Aur Birogo, Jorong Koto Selayan, Jorong Tigo Baleh dan Jorong

Guguk Panjang.

Ketika Belanda berkuasa di Minangkabau, masing-masing jorong itu

diperintah oleh seorang penghulu, dan kelimanya berada dalam

kepemimpinan seorang bergelar Tuanku Laras (Tuanku Lareh, bahasa

                                                            35 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus; Matriarkat, Reformisme Agama dan

Kolonialisme di Minangkabau, Terj. Symasuddin Berlian (Jakarta: Freedom Institute, 2010) hlm. 6 

 

30  

Minangkabau). Selanjutnya, kelima jorong itu dibagi dua: 1) Tiga Baleh, Aur

Birugo dan Koto Selayan di bawah kepemimpinan seorang penghulu kepala;

2) Mandiangin dan Guguk Panjang diperintah pula seorang panghulu kepala.

Penghulu-penghulu tersebut tidak memperoleh gaji. Baru ketika jorong-

jorong itu mengalami pemekaran, dan ditetapkan bahwa masing-masing

dipimpin oleh seorang penghulu kepala, mereka mendapat gaji yang tetap.36

Mata pencaharian penduduk Minangkabau yang tinggal di pegunungan,

seperti Koto Gadang, adalah bertani sawah dan berladang, beternak, tukang

kayu dan tukang emas. Bertukang kayu bukanlah mata pencaharian pokok di

Koto Gadang, dan biasanya hanya digunakan di dalam nagari saja. Di masa

lampau, ketika orang ingin membangun rumah gadang, maka harus didahului

persetujuan keluarga se-paruik dan se-kaum. Kebulatan mufakat dari

pertemuan itu kemudian disampaikan kepada ninik mamak dan penghulu-

penghulu di kenegerian itu untuk meminta arahan menurut adat yang

berlaku. Penghulu-penghulu nagari nantinya akan menentukan banyak hal

menyangkut persiapan itu seperti kapan waktu yang tepat pergi ke rimba,

menebang dan mengolah kayu, membuat tonggak, mendirikan rumah, dan

lain-lain. nagari bertanggung jawab atas pembangunan rumah sampai pada

tahap diukir dan ditempati. Pemilik rumah hanya bertugas menyiapkan

makanan dan minuman saja.37

Dari uraian di atas, diketahui bahwa masyarakat Minangkabau

terbentuk dari adat yang bertumpu pada gotong-royong. Budaya saling

beramai-ramai membantu sanak saudara ini, tercermin dalam kalimat

sarayo-manyarayo38, atau tolong menolong. Kemudian, kedudukan orang

sekampung dan para memuka adat begitu dijunjung tinggi, sehingga masalah

                                                            36 Taufik Abdullah, Sejarah Sosial ..., hlm. 5-6.  37 Azizah Etek dkk, Koto Gadang Masa Kolonial (Yogyakarta: LKiS, 2007) hlm. 23. 38 Azizah Etek, Koto Gadang ..., hlm. 24.  

 

31  

pendirian rumah saja hingga melibatkan orang banyak. Hal ini tidak bisa

dipungkiri mengingat dalam rumah gadang yang besar, bisa ditinggali orang

banyak, dan mungkin saja ada saudara yang ikut tinggal di dalamnya. Prosesi

pembangunan rumah menjadi pantulan kebudayaan kolektif masyarakat di

sana.

Rumah Gadang, kampung atau suku merupakan cerminan dari tradisi

kekerabatan matriarkat orang Minangkabau. Matriarkat atau garis keturunan

ibu begitu kental dalam budaya Minang, sehingga membentuk jalinan kuat

dalam masalah institusi-institusi adat, pewarisan juga residensi matrilokal

yang menjadi komponen penting dalam bangunan budaya mereka. Seorang

laki-laki yang menikah dengan anggota suku besar, akan tetap terikat dengan

rumah ibu mereka. Sebagian waktu dalam seharinya, akan dihabiskan untuk

mengunjungi keluarga ibu, mengolah ladang, bahkan memulihkan diri ketika

sakit, sampai pada dimakamkan di kuburan keluarga

Di mata orang Minang kedudukan suami tidak ubahnya seperti orang

yang datang dan pergi. Dalam salah satu ungkapan orang Minang disebutkan

“Urang sumando itu seperti langau di ekor kerbau, atau abu di atas tunggul

(angin berembus kencang, abu melayang).” Seorang pejabat kolonial

menggambarkan kehidupan lelaki yang melenggang di waktu pagi ke rumah

ibu mereka dan bermalam di tempat sang istri, tidak lebib seperti chassez-

croisez di lingkungan kampung. Chassez-croisez sendiri merujuk pada istilah

dalam tarian balet, ketika penari perempuan berganti tempat melewati

pasangannya.39

Adat di Minangkabau memang memiliki keragaman. Antara satu

nagari dengan nagari lainnya mungkin saja ada yang berbeda. Misalnya saja

                                                            39 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada ..., hlm. 8-9.  

 

32  

yang ditemukan di Koto Gadang, tidak sama dengan di tempat lainnya. Di

Koto Gadang perempuan yang berkampung di Koto Gadang diwajibkan

untuk tidak boleh meninggalkan tanah asalnya. Sejak lahir perempuan Koto

Gadang tidak diperkenankan menetap di tempat lain. kaum laki-laki Koto

Gadang yang sudah menikah dan kebetulan bekerja sebagai tukang emas

yang merantau ke Padang, Pariaman, Bandar Sepuluh, Bengkulu dan lain

sebagainya, tidak diperkenankan membawa istrinya ke tempatnya bermukim.

Biasanya mereka hanya pulang dua kali dalam setahun, yakni waktu hari

raya dan maulid Nabis SAW. Oleh sebab itulah banyak orang Koto Gadang

yang menikah lagi di perantauannya. Di Bengkulu misalnya, ditemukan ada

orang Koto Gadang yang menikah lagi di sana. Di suatu kampung yang

bernama Malboro (mungkin dekat benteng Malboro), terdapat orang-orang

yang mengaku adalah keturunan laki-laki asal Koto Gadang, kasus yang

sama juga ditemukan di Padang.

Adat di Koto Gadang tersebut, ternyata juga mengalami fase

perubahan, khususnya mengenai perempuan yang semula tidak diizinkan

meninggalkan kampungnya. Sekitar tahun 1860-1870, perempuan Koto

Gadang mulai yang ikut suami berdiam di rantau. Walaupun demikian, jika

mereka hamil, maka akan pulang ke Koto Gadang sampai ia melahirkan.

Belakangan tradisi hamil pulang ke kampung ini pun berubah.

Tidak salah kiranya jika mengalamatkan suku Minangkabau sebagai

salah satu suku bangsa yang menjunjung tinggi adat istiadatnya. Bahkan,

dalam setiap kampung atau nagari bisa dimungkinkan perubahan dalam

istiadat dilatarbelakangi oleh suatu momen yang mempertemukan dua orang

suku beda kampung yang terlibat dalam suatu masalah. Dahulu, pernah ada

perempuan Koto Gadang yang menikah dengan laki-laki dari nagari lain,

yakni dari Guguk dan Sianok dan kejadian serupa ditemukan lagi pada 1820.

 

33  

Umumnya ketika itu, Orang Koto Gadang jarang yang mengambil menantu

dari Orang Sianok dan Guguk, dikarenakan perbedaan karakter

penduduknya.

Kaum lelaki Koto Gadang saat itu dikenal sebagai orang yang gemar

merantau dan menjalin perkawanan dengan orang dari tempat lain termasuk

orang Belanda. Perempuan Koto Gadang juga biasa bergaul dengan nyonya-

nyonya Belanda. Hal itu menyebabkan terjadinya perubahan dalam karakter

adat mereka. Orang Koto Gadang dikenal sebagai pribadi yang royal dalam

banyak hal. Mereka rela mengeluarkan biaya mahal untuk membeli barang-

barang rumah tangga dan pakaian yang mahal. Begitu juga dalam menjamu

tamunya, Orang Koto Gadang menyediakan makan dan minuman suguhan

bisa dikatakan berlebihan (lebih dari patut).

Di sisi lain, penghidupan Orang Sianok dan Guguk, selain bersawah

dan berkebun, adalah berdagang. Sifat seorang berdagang adalah penuh

perhitungan dan berhemat. Sifat ini dianggap berseberangan dengan

kebiasaan Orang Koto Gadang. Oleh sebab itu, dalam membina kehidupan

dianggap tidaklah cocok. Terlebih Orang Koto Gadang saat itu rata-rata

dikenal sebagai orang-orang berpendidikan sedangkan orang Sianok dan

Guguk tertinggal jauh dalam hal itu. Bukan hanya orang Koto Gadang saja

yang merasa tidak cocok dengan mengambil urang sumando dari kedua

nagari itu, begitu pula sebaliknya.40

Negeri Minangabau memang banyak petatah-petitih yang digunakan

sebagai ajaran hidup. Namun, menurut Snouck Hurgronje, bukan itu yang

menjadi sumber adat Minangkabau, melainkan adalah perkataan para kaum

adat. Hukum adat lebih cepat berubah ketimbang pepatah yang terjalin dari

                                                            40 Azizah Etek, Koto Gadang ..., hlm. 27-28. 

 

34  

mulut ke mulut. Yang dimaksud kaum adat adalah orang-orang tua, orang-

orang terkemuka dalam suatu keluarga suku atau wilayah. Mereka akan

memberikan keterangan atas peristiwa tertentu dan ucapannya itulah yang

diartikan sebagai hukum adat. Tidak mungkin mereka akan memutarbalikkan

apa yang sudah diutarakan sebelumnya.41

Mengenai hukum pewarisan matrilineal, menurut Snouck Hurgronje,

keberadaan sudah ada jauh sebelum agama Islam datang ke Minangkabau.

Ketika hukum Islam sudah mulai diberlakukan, beberapa hukum pernikahan

pra Islam masih pula ditemukan. Susunan adat matrilineal sudah dianggap

orang Minangkabau sebagai faktor yang sangat berguna bagi kepentingan

umum, sehingga peraturan adat dalam banyak segi masih dipilih sebagai

peraturan bermasyarakat. Dalam setiap periodenya, sistem adat matrilineal di

Minangkabau mengalami perkembangan, sebagai konsekuensi dari

perubahan sosial di dalamnya.42

Hukum adat Minangkabau merupakan gabungan dari hukum lokal dan

hukum Islam. Dalam Tambo Minang dijelaskan bahwa syara (hukum Islam)

merupakan instrumen penting pembentuk hukum di Minangkabau.

Disebutkan pula bahwa undang-undang dalam masyarakat Minangkabau

tercipta sejak masa yang lama dan tetap adanya. Artinya diturunkan secara

generasi ke generasi agar masyarakat Minangkabau senantiasa berada dalam

keadaan bijaksana.43

Bagi sebagian pengamat Barat, sistem kekeluargaan Minangkabau

menjadi masalah unik untuk diriset. George Wilken, seorang peneliti,

                                                            41 C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII (Jakarta: INIS,

1993) hlm. 13.  42 Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan ..., hlm. 16-17.  43 Sri Guritno, peny, Tambo Minang (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional,

Departemen P dan K, 1994) hlm. 120 – 121.  

 

35  

menyerukan pada 1880 agar para periset menjadikan sistem keluarga di

Minangkabau dan Malaysia sebagai objek penelitian. Evelyn Blackwood

menyebutkan bahwa kasus Minangkabau menganggung asumsi-asumsi

universal mengenai kedudukan perempuan di dunia.44 Usaha-usaha kolonial

untuk menciptakan suatu “gambaran besar” mengenai budaya Minangkabau

masih terus digunakan dalam riset etnografi selama abad 20. Pelbagai bentuk

klise-klise kebudayaan, tabel-tabel keluarga yang rumit, hingga diagram

pola-pola pewarisan yang malang melintang masih menjadi rujukan hingga

sekarang. Dalam etnografi Minangkabau, matriarkat bisa dipandang sebagai

egalitarianisme gender yang tinggi derajatnya, ketimbang sekedar dianggap

sebagai pantulan cermin budaya maskulin yang menindas.45

Anggapan miring mengenai matriarkat di Minangkabau sebenarnya

diperhalus oleh keberadaan agama Islam. adat waris yang menyatakan bahwa

anak perempuan menerima semua harta tak bergerak dan pandangan

mengenai satu keluarga yang hidup bersama di mana seorang istri bisa

bersendiri dengan suami sepupunya, sama sekali tidak ditolerir oleh ajaran

Islam. sejak abad 18, pengamat asing dan reformis Islam telah

memperkirakan bahwa al-Qur’an tentu akan merombak sendi-sendi adat

yang bersifat matriarkat. Pada kenyataannya, itu sama sekali tidak terjadi.

Para pakar kerap melihat pada keberadaan keluarga inti dan harato pencarian

yang diperoleh dari hasil keringat laki-laki atau suami, dan menganggapnya

sebagai bukti rapuh dan mundurnya hukum adat. Dalam ketentuan adat

Minangkabau, harta tersebut sejatinya termasuk dalam harta keluarga besar

                                                            44 Evelyn Blackwood, Webs of Power; Women, Kin and Community in Sumatran

Village (Lanham: Rowman & Littlefield, 2000) hlm. 9-10.  45 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada ..., hlm. 9-10.  

 

36  

matrilineal. Banyak penelitian tentang adat Minangkabau yang melihat

pertarungan antara adat dan agama, khususnya dalam urusan warisan.46

Dikatakan dalam Tambo Minang, bahwa dalam masyarakat

Minangkabau terdapat dua macam hakim, hakim adat dan hakim syara

(ulama). Antara hakim adat dan hakim syara hendaknya ada keselarasan

dalam bertindak. Keduanya tidak bisa saling memutuskan dengan tanpa

disertai musyawarah. Kedua hakim itu harus mempunyai pengetahuan

tentang adat dan hukum Islam. Hukum syara bersumber dari hadis dan dalil-

dalil agama (al-Quran). Darinya, hakim dapat mencari sandaran dalam

memutuskan sebuah perkara.47

Adat lokal sejatinya tidaklah mudah untuk tercerabut dan biasanya

mempunyai sisi kebal dan tahan banting terhadap perubahan. Perubahan

tentu saja ada, namun tidak sampai merubah sifat dasar atau ketentuan-

ketentuan yang dianggap wajib adanya. Adat Minangkabau mengalami

perjalanan sejarah yang dinamis. Masuknya kaum Wahabi yang diinisiai oleh

3 haji dari Mekkah agaknya menjadi tonggak yang penting adanya.

Kemudian, fase yang juga menyejarah, adalah tatkala adat Minang harus

bersinggungan dengan tata kelola masyarakat kolonial.48 Keduanya menjadi

pengaruh luar yang cukup menimbulkan pergulatan di jantung tradisi

Minang.

B. Masuk dan Berkembangnya Islam di Minangkabau

Islam merupakan salah satu agama besar yang memiliki akar sejarah

panjang di Minangkabau. Jika dirunut ke belakang, kemunculan agama ini,

jauh sebelum datangnya ketiga haji sebagaimana yang disinggung di atas.

                                                            46 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada ..., hlm. 11.  47 Sri Guritno, peny, Tambo Minang …, hlm. 142 – 144.  48 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada ..., hlm. 12.  

 

37  

Proses konversi keyakinan yang terjadi di Minangkabau, tidak bisa

dilepaskan dari keberadaan sebagian wilayah Minangkabau sendiri, terutama

pesisir, yang sejak masa yang lama menjadi persinggahan para saudagar

yang berniaga dengan penduduk lokal. Dari persentuhan ekonomi,

pembicaraan merambah ke pembahasan mengenai agama.

Mafri Amir menjelaskan bahwa pada abad ke 7 sudah ada pedagang

Arab asal Hadramaut yang berlabuh di bandar Minangkabau. Informasi ini

bisa diterima mengingat banyak dari pedagang Minangkabau yang saat itu

telah lalu lalang mengarungi Samudera Hindia sampai Cina jauh sebelum

kedatangan Islam. Namun, pegangan sejarah lain yang diyakini adalah

kedatangan Islam di Minangkabau terjadi pada abad 13, dengan menyisir

alur sungai di timur Sumatera hingga jauh ke pedalaman Minangkabau. Hal

ini bisa ditelusuri dari masa yang lebih awal. Datangnya Islam, sebagaimana

yang diyakini sejarawan, adalah di Pasai dan Perlak baru menuju Malaka.

Sampai di Malaka terbagi dua, sebagian melanjutkan ke pedalaman Malaya

hingga sampai ke Thailand dan Filipina, sebagian yang lain meneruskan ke

arah laut. Di laut Malaka, para pengamal Islam terbagi dua, yang satu

menuju timur Sumatera dan yang lain ke arah Indonesia bagian timur,

termasuk ke Maluku dan Sulawesi.

Berpijaknya Islam di Aceh membawa gelora baru bagi penduduk

Sumatera. Dari sini dakwah-dakwah Islam mulai dikumandangkan turun

hingga sampai ke pantai barat Sumatera, hingga sampai puncaknya, dari

abad 15 hingga 17, wilayah tersebut berada dalam kekuasaan Kesultanan

Aceh Darussalam. Di sisi lain, pendapat yang mengatakan datangnya Islam

dari pantai barat Sumatera atau Pariaman masih merupakan suatu keraguan.

Syekh Burhanuddin Ulakan (1646-1699), tokoh yang dinisbatkan dalam

pendapat ini, sejatinya bukanlah pembawa Islam pertama ke Minangkabau.

 

38  

Dia hanyalah seorang yang mengembangkan dakwah Islam dengan bertumpu

pada penyebaran Tarekat Syattariyah. Hal ini bisa dibuktikan dengan

Maharaja Pagaruyung Islam pertama, Sultan Maharaja Alif, sudah menjadi

Muslim sejak tahun 1581, sedangkan Syekh Burhanuddin baru datang dari

Aceh pada 1677. Syekh Burhanuddin sendiri pernah belajar Islam kepada

Taunku Madinah Sanur atau Syekh Abdul Arif. Atas nasehat gurunya ini,

Pono (nama remaja Burhanuddin) berguru kepada Syekh Abdurrauf Singkel

di Aceh, baru sepulang dari sana ia mengenakan gelar Syekh Burhanuddin,

nama yang diberikan Syekh Abdurrauf Singkel.49

Menurut Mangaradja Onggang Parlindungan, salah satu even yang bisa

dijadikan pijakan kapan Islam datang ke Minangkabau adalah ketika

Minangkabau berada dalam kekuasaan Aceh Darussalam pada abad ke 16.

Sejak tahun 1513, yakni ketika Laksamana Tuanku Burhanuddin Syah

berkuasa di pariaman, yang bertindak sebagai syahbandar Kerajaan Aceh di

sana di alam Minangkabau sudah banyak orang yang menganut Islam

mazhab Syiah sekte Karmatiyah. Salah satu pusat dakwah dan pengajaran

Islam saat itu adalah terletak di Ulakan yang sudah berdiri sejak tahun 1513.

Sekitar tahun 1700-an, Para juru dakwah tamatan Ulakan ini telah selesai

mengislamkan alam Minangkabau. Ajaran-ajaran Syiah di Minangkabau

perlahan sudah mengakar dalam tradisi Minangkabau yang terlihat pada

perayaan Tabut dan Upacara Basapah yang hingga tahun 1804, masih

dilakukan di makam Sultan Alif di Sumpur Kudus. Perkembangan tarekat

                                                            49 Mafri Amir, “Islam, Minangkabau dan Hamka” dalam

http://grepublishing.com/islam-minangkabau-dan-hamka/ diunduh pada 2 Maret 2016, Pukul 8.00 WIB.  

 

39  

Syattariyah juga dimotori oleh para pendakwah beraliran Syiah, termasuk

Tarekat Syattariyah.50

Nama Syekh Burhanuddin, jika dikatakan sebagai penyebar Islam

pertama di Minangkabau, memang masih menjadi perdebatan di kalangan

sejarawan. Mangaradja Onggang Parlindungan menyebutkan bahwa dalam

sejarah Minangkabau paling tidak dikenal empat orang yang bernama Syekh

Burhanuddin. Yakni:

1. Panglima Burhanuddin al-Kamil, wafat di daerah Kuntu/Kampar di

Minangkabau Timur pada tahun 610 H/ (=1214 M)

2. Laksamana Tuanku Burhanuddin Syah, saudara dari Sultan Aceh

pertama, Sultan Ali Mughayyat Syah. Ia menjadi Sultan Muda Aceh

Darussalam yang membawahi daerah Pariaman pada rentang tahun

1513-1530. Ia wafat di Aceh.

3. Iskandar Panah, cucu dari Laksamana Tuanku Burhanuddin Syaho.

Pada tahun 1580, ia mengislamkan Yang Dipertuan Raja Alam

Pagaruyung yang berganti gelar menjadi Sultan Alif. Ia berpulang di

Sungai Kampar pada tahun 1585.

4. Syekh Burhanuddin II, cucu dari cucu Laksamana Tuanku

Burhanuddin Syah yang mangkat di Ulakan pada tahun 1111 H atau

sekitar 1697 M.

Keempat nama Burhanuddin itu berjasa menyebarkan Islam di wilayah

Minangkabau. Menurut penuturan Onggang Parlindungan mereka membawa

paham Syiah masuk ke Minangkabau. Selain berdakwah mereka juga

berperan dalam perdagangan rempah-rempah Minangkabau yang dikirim ke

Aceh lantas kemudian ke Gujarat. Onggang Parlindungan percaya bahwa

                                                            50 Mangaradja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao (Yogyakarta: LKiS, 2007) hlm.

125.  

 

40  

penyebaran Islam di Minangkabau tidak bisa dilepaskan dari apek

perdagangan rempah. Bahkan, ia beranggapan bahwa terbentuknya

kekuasaan Malaka yang kemudian diikuti oleh penanaman Islam mazhab

Syafii di sekitar Sungai Kampar di timur Minangkabau, juga untuk

mempermudah perdagangan rempah yang digalang Malaka.51

Untuk ketiga nama Burhanuddin sebelumnya memang belum banyak

diangkat dalam suatu kajian sejarah yang serius, sedangkan nama terakhir

merujuk pada nama Burhanuddin Ulakan sebagaimana yang diterangkan

sebelumnya. Untuk pelabelan Syiah sebagai mazhab yang disebarkan di

Minangkabau olehnya, tentu perlu dikaji lebih lanjut. Namun, jika melihat

adanya kesamaan tradisi Tabut yang hingga hari ini masih dilakukan di

Pariaman dengan pendapat yang mengatakan pernah eksisnya paham Syiah

Minangkabau tentu merupakan hipotesis yang bisa diyakini, sebelum

kemudian diadakan penelitian lebih mendalam. Terlebih dengan melihat

Ulakan yang juga terletak di wilayah Pariaman.

Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin banyak

bersendi pada ajaran tasawuf dan tarekat. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari

latar belakang keilmuannya yang dipengaruhi oleh Syekh Abdurrauf Singkel,

yang juga pakar dalam bidang tasawuf. Terdapat suatu suntingan naskah

berjudul Sejarah Ringkas Auliyaullahusshalihin Syekh Burhanuddin Ulakan

yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau Versi Imam

Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib yang didapatkan dari Pakeh Sainun

yang mendapatkannya dari Nagari Ulakan, Pariaman, Padang. Naskah ini

ditulis dalam huruf Arab-Melayu. Naskah ini ditulis pada tahun 1993, jadi

merupakan naskah yang berumur sangat muda.

                                                            51 Mangaradja, Tuanku Rao ..., hlm. 679-680.  

 

41  

Dalam naskah ini diceritakan beberapa pengajaran sufi yang diterima

Syekh Burhanuddin dari Syekh Abdurrauf Singkel. Selama hampir 30 tahun,

diceritakan Burhanuddin menggembalakan ternak gurunya dan membuat

kolam ikan di sekitar masjid. Pada suatu hari, Syekh Abdurrauf Singkel

meminta seluruh muridnya untuk mengambil suatu kapuran di dalam tebat

(kolam) yang dipenuhi dengan kotoran manusia. Murid-murid Syekh

Abdurrauf ragu dan menimbang-nimbang perintah itu, namun tiba-tiba,

Burhanuddin segera masuk ke kolam dan menemukan kapuran itu lantas

membersihakannya dan memberikannya kepada gurunya.

Dalam cerita lain, Syekh Burhanuddin diarahkan gurunya untuk

bertafakur atau mengasingkan diri ke suatu gua batu di hulu Sungai Aceh

selama setahun. Selama di perjalanan, ia banyak menjumpai berbagai

rintangan seperti bertemu kawanan babi, ular besar, harimau dan hutan yang

dipenuhi duri-duri. Oleh karena kebulatan tekad dan berserah diri kepada

Tuhan, ia berhasil melewati halangan tersebut dan sampai ke tempat tujuan.

Dalam naskah itu diceritakan ujian akhir gurunya kepada Burhanuddin

adalah ia dititahkan untuk menemani kedua anak gurunya. Syekh

Burhanuddin sudah mafhum bahwa ujian kali ini adalah menahan syahwat

dan hawa nafsu. Anak Syekh burhanuddin memiliki wajah yang manis,

rupawan dan penurut. Di suatu kesempatan Syekh Burhanuddin tidak kuasa

menahan syahwatnya, lantas untuk menahan itu ia memukul kemaluannya

sendiri. Karena kejadian itulah Syekh Burhanuddin tidak mempunyai istri

dan anak di kemudian hari. Setelah melalui ujian itu ia diperintahkan

gurunya untuk menyebarkan Islam di kampung halamannya.52

                                                            52 Nova Sri Dewi dkk, “Alih Aksara dan Alih Bahasa Teks Sejarah Ringkas

Aliaullahusshalihin Syekh Burhanuddin Ulakan Yang Mengembangkan Agama Islam DI Daerah Minangkabau Versi Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib” dalam Jurnal

 

42  

Sidi Ibrahim Boechari berpandangan bahwa penyebar Islam awal

berprofesi ganda, yakni muballigh (pendakwah) merangkap saudagar.

Mulanya, mereka memperkenalkan Islam kepada orang yang dekat

dengannya atau orang yang sudah menjadi sasarannya sejak awal. Tentu saja,

pergaulan mereka bertumpu pada kedekatan baik dilatarbelakangi motif

perdagangan maupun yang lainnya. Sistem semacam ini sudah berjalan sejak

masa yang lama. Metode ini tidak mengenal tempat dan waktu, dengan kata

lain terjadi ketika kesempatan itu ada.53

Para penyebar Islam generasi awal biasanya memiliki totalitas dalam

berdakwah. Cara dakwah yang dipilih mengedepankan metode yang mudah

diterima masyarakat luas. Tidak ada jadwal tertentu dalam melaksanakan

dakwah, mereka akan memaksimalkan kesempatan dan waktu yang dimiliki

apabila dianggap tepat untuk memperkenalkan Islam ke tengah penduduk

non-Muslim.

Rencana para muballigh (pendakwah atau penyebar) Islam bukan

hanya sebatas mengkonversi penduduk suatu wilayah, melainkan juga

membangun tempat ibadah (masjid). Setelah mendapat tempat untuk

berbicara, perhatian mereka akan tertuju pada bagaimana membangun masjid

sebagai sarana mendirikan shalat lima waktu sekaligus memperkuat

persatuan umat. Masjid juga digunakan sebagai tempat mengaji al-Qur’an

dan belajar agama Islam.54

Ajaran Syekh Burhanuddin tentang keislaman sedikit banyak

dipengaruhi oleh Syekh Abdurrauf Singkel. Merujuk pada penjelasan                                                                                                                                                          Bahasan dan Sastra, Vol. 2, No. 2. Maret 2014, Seri A; lihat http://ejournal.fip.unp.ac.id. Pada 2 Maret 2016 pukul 09.57 WIB.  

53 Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga, tanpa tahun) hlm. 69.  

54 Muhammad Sabaruddin, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum Kemerdekaan”, dalam Jurnal Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2013, hlm. 14. 

 

43  

Azyumardi Azra, meskipun Abdurrauf Singkel adalah sosok ulama yang

berkiprah dalam bidang tasawuf, namun model tasawufnya masihlah

bersintesa dengan hukum Islam. artinya, tasawuf yang diajarkan tidaklah

berseberangan dengan ketentuan dan ajaran Islam dari aspek syariatnya. Ia

adalah tipe ulama evolusioner dan bukan radikal. Hanya dengan

melaksanakan seluruh syariatnya (berupa ibadah ritual keseharian), para

penempuh jalan sufi dapat menyibak rahasia ilahi. Syekh Abdurrauf Singkel

juga dikenal karena tarekatnya, terutama tarekat Syattariyah.55

Sebelum masa menguatnya kedudukan Islam, biasanya dalam suatu

kampung atau nagari, orang yang paling dihormati dan termasuk dalam

jajaran pemimpin masyarakat adalah penghulu. Penghulu di sini memiliki

makna yang khusus, dan bertindak sebagai pemimpin tradisional. Kemudian,

sejak perkembangan Islam, terutama setelah pecahnya Perang Paderi,

kedudukan ulama semakin penting dan mengalami perluasan aktivitas.

Beberapa ulama mulai banyak yang ditunjuk sebagai pemimpin rakyat dan

suaranya amat menentukan dalam perjalanan kepemerintahan dalam suatu

nagari. Ulama adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam struktur

pemerintahan nagari.

Dikatakan dalam Tambo Minang bahwa terdapat pusaka yang menjadi

pedoman bagi orang yang tinggal di alam (nagari). Pusaka ini berupa

peraturan-peraturan para raja saat mereka memerintah, para penghulu

pembuat hukum serta para ulama yang dengan nasehatnya memberi

penerangan terhadap masalah-masalah umat.56

                                                            55 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad

XVII & XVIII (Jakarta: Kencana, 2007) hlm. 254 – 255.  56 Sri Guritno, peny, Tambo Minang …, hlm. 146. 

 

44  

Sebelum keberadaan tempat belajar agama yang layak (surau dan

sebagainya), agama Islam diajarkan dari keluarga ke keluarga. Sebuah

keluarga yang telah memeluk Islam, dari hari ke hari mempelajari Islam

dengan tekun. Mereka akan mencari satu di antara anggota keluarganya yang

dianggap lebih paham mengenai seluk beluk Islam dan memintanya untuk

mengajarkan kepada anggota keluarga lain yang belum mengerti. Tentu tidak

semua keluarga memiliki anggota keluarga yang paham tentang Islam. Jika

ditemukan keluarga yang di antara anggotanya tidak ada yang pengetahuan

Islamnya menonjol, maka mereka akan menggabungkan dengan rumah

tangga lain yang di dalamnya ada seseorang yang mengerti tentang Islam.

Dalam perkembangannya, terjadi perubahan mengenai siapa yang

diwajibkan mengkaji Islam. Jika sebelumnya pendidikan agama tidak

mengenal umur, maka di kemudian hari hanya kalangan muda, baik anak-

anak maupun pemuda pemudi tanggung, yang didorong untuk mengkaji

Islam secara rutin. Guru menyampaikan ajaran Islam dengan model narasi,

sedangkan para murid menyimak dengan seksama.

Tema-tema pengajaran Islam di abad-abad awal perkembangan Islam

di Minangkabau biasanya berisi ajaran praktis. Beberapa tema yang

diajarkan adalah mengenai ketuhanan, keimanan serta masalah-masalah yang

berhubungan dengan ibadah. Saat itu, belum ditemukan pengkhususan dalam

ilmu agama. Besar kemungkinan sistem pendidikan halaqah sudah dimulai

di masa itu. Halaqah merupakan metode belajar di mana guru

menyampaikan materi di surau, masjid atau di rumahnya sendiri. Para murid

duduk mengelilingi sang guru dan menyimak ilmu yang disampaikan.57

                                                            57 Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal …, hlm. 70.  

 

45  

Dengan semakin kompleksnya peran ulama, maka membawa ulama

pada gelanggang perpolitikan di Minangkabau. Khatib, imam, qadi bahkan

banyak yang menduduki jabatan penting dalam balai nagari. Di samping itu,

tentunya masih ada kelompok ulama lain yang menyibukkan dirinya dalam

tugas aslinya, yakni sebagai pendidik dan pengajar agama. Surau-surau

menjadi sentra aktivitas ulama dan masyarakat setempat. Jika suatu surau

mempunyai ulama yang muridnya banyak dan terkenal karena kedalaman

ilmunya, maka dengan sendirinya prestis nagari tempat surau itu ada

terangkat derajatnya. Dengan kata lain popularitas ulama menyumbang

ketinggian martabat nagari satu atas nagari lainnya.58

Surau menjadi salah satu bahasan yang ideal untuk mengupas

bagaimana perkembangan Islam di Minangkabau terbentuk. Ketika

membicarakan sejarah pendidikan tradisional di Minangkabau, memang

tidak hanya surau yang turut andil, namun alasan utama yang mendorong

penulis menyinggung surau sebagai lokus bangkitnya gairah intelektual

Islam di Minangkabau, adalah merunut pada jalur geneologisnya, yang

merupakan hasil dialektika dari islamisasi yang panjang.

C. Surau: Tempat Ibadah, Pendidikan dan Kegiatan Sosial

Perkembangan surau sebagai salah satu lembaga pendidikan dan

penyebaran agama Islam tidak bisa lepas dari sosok Syekh Burhanuddin

Ulakan. Sepulangnya dari Aceh, ia mendirikan surau di kampungnya,

Ulakan, Pariaman.59 Di surau inilah Syekh Burhanuddin mendidik murid-

                                                            58 Taufik Abdullah, Sejarah Sosial ..., hlm. 36-37.  59 Menurut penjelasan Muhammad Yunus, sebelum ke Ulakan, Syekh Burhanuddin

mengajar di tempat kelahirannya di Sintuk, baru kemudian ke Ulakan. Lihat Muhammad

 

46  

muridnya yang kelak banyak yang menjadi ulama terkenal di

Minangkabau.60 Surau, seperti pesantren di Jawa, mempunyai peran vital

dalam perkembangan dan pengajaran Islam di Minangkabau. Oleh sebab itu,

membincang Islam di Minangkabau pada masa awal, amat berhubungan

dengan surau sebagai wahana belajar rakyat.

Surau merupakan istilah yang lazim dijumpai di kawasan Asia

Tenggara. Daerah yang paling banyak menggunakan istilah itu adalah

Minangkabau, Sumatera Selatan, Semenanjung Malaysia dan Pattani

(Thailand Selatan). Di Aceh, surau lebih dikenal dengan sebutan rangkang

atau meunasah, dan di Jawa lazim dinamakan langgar atau pesantren. Surau

merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia sebelum kemudian menerima

pembaruan di bidang metode dan teori pembelajaran dari luar negeri, yang

merupakan ekses dari perubahan zaman yang menuntut sistem tradisional

dan agraris berubah menjadi sistem modern dan industri yang salah satu

visinya adalah merubah negara berkembang lepas landas menjadi negara

maju.61

M.H.D. Nasir menyatakan bahwa Surau sejatinya merupakan bangunan

asli Minangkabau yang sudah ada sejak masa Hindu-Budha. Biasanya surau

didirikan di atas tanah yang paling tinggi, atau paling tidak lebih tinggi dari

bangunan lain. salah satu surau yang paling tua diketahui, adalah pada tahun

1356, Raja Adityawarman mendirikan komplek surau Budha di sekitar Bukit

Gombak. Pada saat itu surau digunakan sebagai bangunan yang di dalamnya

diselenggarakan kepentingan kebudayaan dan adat. Tempat ini juga                                                                                                                                                          Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Nusantara (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzuriyyah, 2008) hlm. 13.  

60 Azyumardi Azra, “Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif Masyarakat” dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah (Jakarta: P2M, 1985) hlm. 156-167.  

61 Maimunah, “Sistem Pendidikan Surau: Karakteristik, Isi dan Literatur Keagamaan”, dalam Ta’dib, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012, hlm. 256.  

 

47  

digunakan sebagai tempat upacara ritual Hindu-Budha. Tempat ini juga

dikenal sebagai tempat bermusyawarah mufakat dalam membahas masalah

adat dan sosial, serta mempelajari adat dan tradisi. Dengan demikian, dapat

diketahui, sebelum kedatangan Islam, surau sudah menduduki tempat yang

tinggi dalam pergaulan masyarakat Minangkabau pra-Islam.

Ketika Islam datang ke Minangkabau, para penyebar Islam menemukan

surau sebagai sentrum penting di lingkungan masyarakat. Oleh sebab itu,

para pendakwah tidak menerapkan cara-cara radikal dalam berdakwah,

melainkan menggunakan produk budaya yang ada sebagai media

mendekatkan diri dan mengenalkan Islam kepada penduduk. Bangunan surau

tidak lantas ditukar dengan masjid. Mereka memanfaatkan surau sebagai

panggung untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Di beberapa daerah

ditemukan pula masjid yang dibangun dekat surau, atau sebaliknya. Hal

tersebut dapat dijumpai di wilayah Pariaman, di mana jarak antara masjid

dan surau tidaklah jauh, hanya terpisah dua meter saja.62

Dilihat dari bentuk bangunannya, surau terbagi dalam dua bagian yakni

surau gadang (surau besar) dan surau ketek (surau kecil).63 Surau gadang

adalah surau yang menjadi pusat atau titik temu dari surau-surau kecil di

sekitarnya. Di salam surau ini secara berkala diselenggarakan pengajian yang

dipandu oleh seorang syekh yang murid-muridnya adalah para guru yang

berasal dari surau-surau kecil sekitar. Pemberian nama surau gadang

biasanya dinisbatkan oleh nama sang syekh yang beraktivitas di surau itu,

atau sering juga disamakan dengan daerah tempat surau gadang berdiri.

Beberapa contohnya adalah surau gadang Tanjung Medan di Ulakan, Surau

                                                            62 M.H.D. Nasir, “Peranan Surau Sebagai Lambaga Pendidikan Islam Tradisional di

Padang Pariaman Sumatera Barat” dalam Pedagogi, Vol. XII, No. 2, November 2012, hlm. 39.  

63 Duski Samad, Surau Syekh Burhanuddin Ulakan dan Islamisasi di Minangkabau (Laporan Penelitain) (Padang: Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol, 2001) hlm. 102.  

 

48  

Koto Tuo Ampek Angkek, Surau Inyiak Candung di Bukittinggi, Surau

Inyiak Jaho di Padang Panjang, Surau Inyiak Parabek dan banyak yang

lainnya. Pada akhirnya, beberapa surau gadang ini banyak berubah menjadi

masjid, madrasah/pesantren atau tempat pengajian.64 Daya tampungnya yang

luas membuat masyarakat tidak ragu untuk memfungsikannya menjadi lokus

belajarnya warga dari berbagai surau sekitar.

Surau ketek mempunyai beberapa model. Model pertama adalah surau

kecil ini didirikan oleh kelompok suku, idu, jorong kampung dan pedagang.

Surau jenis ini banyak tersebar di Sumatera Barat dan mempunyai posisi

yang penting dalam ritual keseharian masyarakat setempat. Surau ini

diramaikan oleh banyak kegiatan baik yang bersifat keagamaan seperti

mengaji al-Qur’an, wirid bersama dan zikir tarekat, maupun juga yang

bernuansa kemasyarakatan seperti tempat latihan pidato adat (penatihan) dan

tempat berlatih kesenian. Di area surau ini juga kerap dijadikan tempat

berlatih pencak silat. Model yang kedua adalah surau ketek yang didirikan di

sekitar (berdekatan) dengan surau gadang. Surau ini dihuni oleh para murid-

murid yang mengaji kepada syekh di surau gadang. Surau semacam itu bisa

dijumpai di Komplek Surau Syekh Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan

Pariaman dan Surau Syekh Abdurrahman Batuhampar Payakumbuh,

Komplek Surau Tarbiyah Islamiyah Candung Bukittinggi, Komplek Surau

Tuanku Koto Tuo Agam, Komplek Surau Jaho di Padang Panjang dan lain

sebagainya.65

Pada perkembangannya, hampir di setiap nagari di Minangkabau

terdapat masjid sebagai lokasi diselenggarakannya shalat Jumat, dan pada

tiap-tiap kampung dibangun langgar atau surau sebagai tempat mengaji dan

                                                            64 Maimunah, “Sistem Pendidikan ...”, hlm. 259.  65 Duski Samad, “ Surau Syekh Burhanuddin ...”, hlm. 103.  

 

49  

mendirikan shalat lima waktu. Menurut kebiasaan saat itu, anak yang telah

berumur tujuh tahun harus dipisahkan dengan ibunya. Anak-anak itu

menginap di surau sambil belajar al-Qur’an kepada guru agama setempat.

Tingkat pendidikan terendah pada saat itu adalah mempelajari al-Qur’an atau

dinamakan pula pengajian al-Qur’an.

Pada tingkat permulaan, sang guru akan mengulang-ulang menyebut

huruf Hijaiyah, yang setelah diikuti oleh murid-muridnya. Pembelajaran saat

itu dilakukan dengan duduk bersila dan belum menggunakan kelas-kelas.

Setelah mengerti dan pandai huruf Hijaiyah barulah naik ke belajar membaca

al-Qur’an. Di sela-sela mempelajari al-Qur’an, diajarkan pula pengetahuan

fiqih dasar, seperti tata cara berwudhu, salat dan sebagainya. Di lain waktu,

mereka juga diajarkan aqidah serta keimanan yang materinya berkisar pada

sifat dua puluh dan hukum akan yang tiga, yakni wajib, mustahil dan jaiz.

Pengetahuan akhlak, diberikan kepada murid melalui metode cerita,

seperti mengkisahkan para nabi, orang-orang soleh serta teladan yang

diberikan oleh guru pengajian sehari-hari, baik melalui perkataan, perbuatan

dan sikap. Dengan beberapa keterangan sebelumnya, maka dapat

disimpulkan bahwa Pengajian al-Qur’an di surau mempunyai mata pelajaran

antar lain: 1) Membaca al-Qur’an (termasuk huruf hijaiyah); 2) ibadah,

seperti: berwudhu, shalat dan sebagainya; 3) keimanan (sifat dua puluh), dan;

4) akhlak dengan cerita-cerita.66

Sistem pengajaran Minangkabau lama adalah bersendi pada pengulang-

ulangan disertai dengan lagu pada mata pelajaran tertentu. Lagu inilah yang

menjadi penarik perhatian anak-anak untuk semangat belajar, meskipun

awalnya mereka tidak mengerti apa maksud dan makna dibalik lagu-lagu

                                                            66 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 30-31.  

 

50  

tersebut. Bahkan, dalam beberapa hal, materi pelajaran ada yang digubah

menjadi sajak, sebagai salah satu kesenian yang lazim ditemukan di surau.

Dalam sistem pendidikan ini, sang guru kerapkali keras mengajar dan tidak

segan memukul muridnya dengan rotan. Hal inilah yang membuat anak-anak

takut dan kecewa dalam belajar. Sesudah tahun 1900-an, tidak banyak lagi

dijumpai guru-guru yang membawa rotan.67

Setelah para murid menamatkan mengaji al-Qur’an, sebagian dari

mereka ada yang terjun ke masyarakat dan sebagian yang lain melanjutkan

pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tingkatan ini disebut juga

pengajian kitab. Kitab yang digunakan untuk mengkaji ilmu gramatika Arab

(Sharaf) disebut Kitab Dhammun, kitab yang disusun menggunakan tulisan

tangan namun tidak diketahui siapa pengarangnya (anonim). Setelah

menamatkan kitab tersebut, para murid mengkaji kitab nahwu yang berjudul

Al-Awamil. Setelah menyelsaikan kitab itu, murid diperkenalkan Kitab al-

Kalamu, yang mempunyai judul asli Kitab al-Jurumiyah. Kitab tersebut

banyak dikaji pula di pesantren, bahkan hingga hari ini. Dahulu kitab ini

masih ditulis tangan, namun sekarang sudah dicetak.68 Setelah murid

menyelesaikan Kitab al-Awamil, mereka akan mengkaji kitab tata bahasa

lainnya yang berjudul Kitab Syarh al-Awamil al-Mi’ah atau yang di

Sumatera lebih dikenal dengan nama Kitab Inna Awla.69

Untuk pelajaran fiqih, hampir di seluruh Minangkabau menggunakan

literatur yang sama, yakni kitab Minhaju al-Thalibin (pedoman bagi murid-

murid yang percaya). Kitab yang digunakan dalam pelajaran tafsir adalah

kitab Tafsir Jalalain, dan untuk pelajaran tauhid, para murid menelaah Kitab

Ushul Barahin karya al-Sanusi, yang di lingkungan pesantren Jawa lebih

                                                            67 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 35.  68 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan ... , hlm. 43.  69 Maimunah, “Sistem Pendidikan ...”, hlm. 262-263. 

 

51  

dikenal dengan nama Durrat (mutiara), sedangkan di surau disebut juga

dengan Sifat-Sifat Dua Puluh. Dalam pengajaran tasawuf mengkaji kitab

Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi.70

Selain tempat belajar, surau juga digunakan sebagai sarana

mempelajari dan mengamalkan ajaran tasawuf. Beberapa tarekat yang

berkembang di Minangkabau seperti Syattariyah, Naqsyabandiyah dan

Qadiriyah banyak yang memusatkan kegiatannya di surau. Tarekat sendiri

bisa diartikan sebagai persaudaraan sesama Muslim yang terbentuk sebagai

tanggapan atas kebutuhan masyarakat yang ingin mendekatkan diri kepada

Tuhan sedekat-dekatnya. Di dalam tarekat mereka diharuskan menjalankan

metode-metode zikir tertentu yang antara satu tarekat dengan tarekat lainnya

terdapat perbedaan. Biasanya, dalam kesempatan berkumpul, sang guru

tarekat (mursyid) juga memberikan ceramah seputar hukum-hukum Islam.

para pengamal tarekat sudah melebur dalam masyarakat Minangkabau pada

umumnya, sehingga hampir tidak ada perbedaan yang mencolok antara

anggota tarekat dan yang bukan.71

Sebagai salah satu tempat berkumpul masyarakat, surau juga beperan

dalam membina hubungan bersama. Kedudukan surau lebih multifungsi

ketimbang masjid. Beberapa kegiatan yang mensyaratkan berkumpulnya

orang banyak, umumnya seperti kegiatan-kegiatan sosial juga dilakukan di

surau. Rapat atau musyawarah kerap diadakan di surau. Hari-hari besar

keagamaan juga kerap diadakan di surau. Surau juga banyak digunakan

sebagai tempat tidur para murid dan tempat bermalam bagi musafir.72 Pada

                                                            70 Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah,

Sumatera Tengah (1784-1847), Terj. Lilian D. Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1992) hlm. 145-147.  

71 Maimunah, “Sistem Pendidikan ...”, hlm. 257.  72 M.H.D. Nasir, “Peranan Surau ...”, hlm. 39-40.  

 

52  

titik tersebut, surau berperan sebagai sarana yang ramah digunakan bagi

kepentingan yang lebih kompleks ketimbang masjid.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

53  

BAB III

MASA KOLONIALISME DI MINANGKABAU

A. Interaksi Dengan Dunia Luar

Perdagangan menjadi jalur yang menghubungkan tradisionalisme

Minangkabau dengan dunia luar. Di dalam perdagangan kontak antara

pembeli dan penjual terjadi, bahkan bisa mengarah pada hubungan yang

lebih intens. Konversi agama misalnya, merupakan salah satu perubahan

sosial yang terjadi berkat terbukanya kanal perniagaan. Alam Minangkabau

mempunyai modalitas untuk sekedar mengembangkan ekonomi, tetapi juga

menciptakan pergaulan yang kosmopolit, ramai dan beragam. Ini tercipta

berkat kesinambungan yang terjadi antara penduduk pedalaman dan pesisir,

sebelum kemudian merambah ke dunia yang lebih luas.

Masyarakat Minangkabau terbagi dalam dua bagian geografis yang

dalam beberapa hal bermata pencaharian berbeda. Mereka yang tinggal di

dataran tinggi, sejak lama mengandalkan pengelolaan sawah sebagai mata

pencahariannya. Beberapa profesi lain juga banyak dilakukan oleh mereka,

seperti menambang besi dan emas. Emas dan beras menjadi salah satu

komoditas pedalaman yang bernilai tinggi di pasaran, utamanya ketika sudah

mencapai pasar pantai. Di beberapa tempat di Minangkabau juga dikenal

 

54  

sebagai pengrajin alat-alat yang berbahasan dasar besi dan emas. Dari segi

pemasaran, mereka memperluasnya hingga ke tataran pesisir.73

Anthoni Reid berpendapat bahwa yang melatarbelakangi banyaknya

penduduk yang menanam padi, dan tanaman lainnya, di wilayah dataran

tinggi di Asia Tenggara pada umumnya, adalah temuan bahwa dataran

rendah merupakan tempat yang tidak ramah dan mudah untuk bercocok

tanam. Banjir merupakan bahaya laten yang menghancurkan tanaman,

mengancam kehidupan ternak, kehidupan rumah tangga dan ketersediaan air

bersihnya. Hanya dengan memanfaatkan sistem irigasi dan drainase yang

terpadu untuk mengelola debit air yang besar, yang kemudian digunakan

untuk mengairi sawah dan langsung diturunkan ke dataran rendah. Hal ini

lebih efisien dilakukan ketimbang mencari sumber air lainnya.

Dibukanya pertanian menuntut perombakan ekologi yang total dan

membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit. Berbekal teknologi yang

sederhana dan tenaga kerja yang tersusun dari satuan keluarga kecil, lembah-

lembah di dataran tinggi dengan aliran sungai kecil namun permanen yang

mengalir dari anak-anak sungai terasa mudah digarap. Sementara itu, sudah

menjadi kebiasan bahwa pembukaan lahan pertanian yang berpindah-pindah

dengan sawah yang permanen dilakukan secara bersama-sama digunakan

oleh penduduk sejak lama.74 Menimbang Minangkabau abad 19, rasanya

kebiasan ini sudah perlahan ditinggalkan oleh sebab sawah sudah menjadi

kekayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya.75

                                                            73 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri;

Minangkabau 1784-1847, Terj. Lilian D. Tedjasudhana (Depok: Komunitas Bambu, 2008) hlm. 34-36.  

74 Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatera; Antara Indonesia dan Dunia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 56.  

75 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 24.  

 

55  

Pembukaan lahan nomaden, sepertinya sudah sedikit demi sedikit

ditinggalkan.

Pengolahan besi adalah salah satu industri kecil yang berkembang di

Minangkabau. Pada era sebelum kedatangan kolonial, orang Minangkabau

sudah terbiasa menggunakan senapan produk sendiri. Pandai-pandai besi

Minangkabau biasanya berkumpul dalam suatu kampung yang bernama

Salimpaung. Kampung ini memang sudah mempunyai reputasi sebagai

pembuat senapan. Di kampung lain, yakni di Lima Kaum, Sungai Puar, dan

Tanjung Alam juga memproduksi berbagai jenis senjata seperti senapan,

keris, pisau, anak panah dan tombak. Munculnya industri-industri skala kecil

ini tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan bijih besi yang melimpah,

terutama yang lokasi produksinya berdekatan dengan Gunung Besi yang

terletak di sebelah barat Tanah Datar.76

Para penduduk dataran tinggi sudah mafhum bahwa orang di dataran

rendah, termasuk di pantai, membutuhkan pasokan bahan makanan. Hampir

setiap pagi, berduyun-duyun para pedagang pedalaman turun ke pasar-pasar

dataran rendah dengan membawa aneka sayuran seperti kol, cabai, tomat,

kopi dan pelbagai perabotan hasil kerajinan tangan seperti keranjang

anyaman, pot, periuk, hasil tenunan, sampai barang-barang perhiasan mereka

dagangkan di pasar-pasar daerah bawah. Kelangsungan daur hidup semacam

ini adalah bagian dari kebudayaan klasik Minangkabau, yang terbentuk sejak

lama.77

Masyarakat yang hidup di pesisir, pada umumnya tergabung dalam

kampung-kampung yang kecil. Satu kampung biasanya diisi oleh tidak lebih

                                                            76 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 49 dan 35.  77 Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern; Respons terhadap

Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Terj. Novi Andri dkk (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007) hlm. 8.  

 

56  

dari 50 rumah. Banyak dari mereka yang menggantungkan hidup sebagai

nelayan dengan mencari ikan di laut lepas dan muara sungai besar. Beberapa

hasil tangkapan diolah menjadi ikan asin, yang dipasarkan hingga ke wilayah

pedalaman. Kebun kelapa merupakan modal yang penting pula. Banyak

manfaat yang bisa dituai dari tanaman ini. Salah satu kekhasan lain dari

penduduk pesisir Minangkabau adalah menanam kapuk.78

J. Kathirithamby-Wells menyatakan bahwa hubungan hulu-hilir di

Sumatera, termasuk di Minangkabau, amat bergantung pada ketersediaan

jalur sungai sebagai alat penyambungnya. Orang di Sumatera sudah terbiasa

menggunakan sungai sebagai alat angkutan barang-barang dan manusia,

yang menuntut pengetahuan yang memadai tentang bagaimana sistem aliran

sungai bekerja. Aneka barang dagangan seperti hasil ukiran dan hasil

pertanian dialirkan ke pantai barat dan timur Sumatera. Hubungan yang

terjalin antara hulu-hilir sekaligus menjadi ajang pengenalan budaya serta

pelbagai bentuk kompromi yang merekatkan hubungan keduanya.79

Yang dikatakan sebagai penggerakan ekonomi di Minangkabau,

terutama saat memasuki abad XIX, adalah termasuk pula pada perpindahan

penduduk. Interaksi yang terbangun antara penduduk nagari pedalaman

dengan dunia luar, bisa dilihat dari tradisi merantau. Merantau mempunyai

makna “pergi ke rantau” atau pergi ke dunia di luar kampungnya, bisa juga

diartikan pergi ke luar nagari. Rantau (lokasi merantau) bisa dipilih di mana

saja, asalkan keluar dari nagari-nya, atau paling tidak ke tempat terdekat

seperti pasar, kota atau sekolah-sekolah agama di nagari-nya. Pada masa itu,

rantau yang jauh bisa mencapai pelabuhan-pelabuhan Riau dan Batavia.

                                                            78 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 73.  79 J. Kathirithamby-Wells, “Hulu-Hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East

Sumatra before The Mid-Nineteenth Century”, dalam Archipel, Vol. 45, 1993 hlm. 78.  

 

57  

Bagi sebagian orang yang merantau, merantau sendiri diartikan sebagai

petualangan atau pengalaman mengunjungi daerah geografis di luar

pengetahuannya selama ini. Orang nagari yang gemar mengunjungi rantau,

secara sadar ia sudah perlahan melepaskan diri dari ikatan kehidupan

kampungnya, meninggalkan sanak saudara dan rumahnya untuk mencoba

keberuntungan. Sebagian besar konsep merantau ini adalah buah komunikasi

yang terjalin antara mamak (paman) dan kemenakan. Pada umumnya ikatan

di rantau dilatarbelakangi oleh kesamaan darah, nagari, suku yang menjelma

dalam mobilitas geografis tertentu. Keluarga-keluarga yang mempunyai

tradisi merantau banyak yang mempunyai saudara di luar nagari-nya, baik di

sekitar Sumatera Barat maupun di tempat lainnya yang lebih jauh, bahkan

menginjak abad XIX, banyak kota besar di Indonesia yang dijejaki orang

Minangkabau.80

J. Thomas Linblad mengatakan bahwa terbukanya gerbang ekonomi

Indonesia pada masa awal modern, tidak saja bergantung pada ketersediaan

komoditas, melainkan juga elemen lain seperti sumber daya manusia.

Bahkan lebih jauh, ketersediaan pasar-pasar luar negeri adalah suatu

kemungkinan baru, tergeraknya manusia melakukan perindahan wilayah,

utamanya dalam kasus kehidupan di luar Jawa, seperti Minangkabau.

Dorongan eksogen (keluar) menjadi mungkin terjadi manakala kawasan

tersebut sudah memahami arti melakukan tindakan ekonomi di luar

wilayahnya sendiri.81

Menimbang pada tradisi bujang (anak lelaki menjelang dewasa) yang

terbiasa tidur di surau bersama kawan-kawannya, sepertinya paham

merantau tidak sulit untuk dicarikan akar terjadinya. Sebagaimana telah

                                                            80 E.E, Graves, Elite Minangkabau ..., hlm. 39.  81 J. Thomas Lindblad, Sejarah Ekonomi Modern Indonesia; Berbagai Tantangan

Baru, Terj. M. Arif Rohman dkk (Jakarta: LP3ES, 2000) hlm. 334-335.  

 

58  

dipaparkan di bab sebelumnya, anak laki-laki yang beranjak besar sudah

terbiasa melepaskan diri dari perhatian orang tuanya, utamanya ketika waktu

malam. Mereka memilih tidur di surau, karena memang keadaan dan adat

sudah terbentuk demikian. Merantau diibaratkan adalah fase selanjutnya dari

upaya melepaskan diri pada rumah dan orang tua, bedanya kini dimaknai

secara lebih radikal, yakni meninggalkan kampung halamannya untuk

mencari peruntungan baru.

Ramainya perdagangan di pesisir pelabuhan-pelabuhan Pantai Barat,

mengundang para saudagar asing untuk mencoba keberuntungannya di sana.

Beberapa pedagang yang berasal dari Eropa mulai berbelanja di pasar-pasar

dekat pelabuhan. Pedagang Belanda merasa wilayah tempatnya berniaga ini

adalah salah satu destinasi yang menjanjikan untung melimpah, terlebih saat

mengetahui koneksi para pedagang hulu dengan hilir telah terbangun sejak

lama. Tentu akan sangat berharga, jika hubungan yang baik bukan hanya

dijalin dengan kelompok pedagang, melainkan dengan para penguasa lokal

yang mempunyai wewenang atas transaksi perniagaan di pasar tersebut.

Selain melakukan perniagaan sebagaimana biasa, Belanda mulai melirik

untuk berkongsi dengan orang Cina guna menghancurkan kedudukan orang-

orang Aceh yang sejak lama menjadi pialang di pelabuhan-pelabuhan di

Pantai Barat. Untuk diketahui, profesi pialang adalah profesi yang

menghubungkan para pedagang daerah (pemasok) dengan para pembeli di

pesisir. Orang Aceh mempunyai kedudukan kuat di bandar-bandar

Minangkabau mengingat mereka banyak yang telah menjalin hubungan

keluarga dengan para pialang asal Minangkabau, melalui jalur pernikahan.

Orang-orang Aceh ini tidak seidkit yang merupakan mantan para pejabat

atau seorang yang bekerja untuk Kesultanan Aceh. Di antara mereka ada

pula yang berprofesi sebagai pedagang.

 

59  

Persaingan menjadi kenisacayaan yang tidak bisa diabaikan di kalangan

para pialang. Sudah sering terjadi persaingan antara sesama pedagang pantai,

pedagang antarpulau hingga pedagang pedalaman. Beberapa keluarga

pialang banyak yang menaruh kepercayaan ketika berbisinis dengan orang

Aceh, namun tidak sedikit di antara mereka yang tergiur dengan ajakan

Belanda, semata-mata untuk melancarkan bisnisnya sendiri dengan janji

akan dibantu oleh Belanda. Bagi sebagian keluarga, menjalin bisnis dengan

orang Aceh dirasa banyak mendatangkan keuntungan, namun seorang

pialang kaya asal Tiku pada saat itu mendukung diusirnya orang-orang Aceh

dengan alasan mengembalikan kendali perdagangan lada dan penetapan

harga-harganya kepada orang Minangkabau sendiri.82

Keberadaan jalur perdagangan yang menghubungkan Pantai Barat

Sumatera dengan Aceh ikut membuka peluang baru bagi penduduk

Minangkabau yang ingin berhaji. Pedir, salah satu bandar yang berada di

bawah kekuasaan Aceh Darussalam, adalah bandar yang kerap

memberangkatkan jamaah haji, termasuk yang berasal dai Minangkabau.83

Dari sini mereka berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji

sekaligus membuka kesempatan lain bagi para pelajar yang ingin melanjutan

pendidikannya ke Haramain.84

B. Aktivitas Belanda dan Inggris

Menginjak tanggal 20 Juli 1818, Thomas S. Raffles bersama dengan 13

perwakilan dari desa-desa yang berada di Lembah Solok dan perbukitan di

                                                            82 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 125.  83 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 204.  84 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono

(Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 1995) hlm. 214.  

 

60  

sekitarnya menandatangani suatu perjanjian. Para wakil desa menyerahkan

pengelolaan daerah pesisir kepada perusahaan Inggris. Mereka khawatir jika

hal ini tidak dilakukan, maka akan terjadi suatu keadaan yang tidak mereka

inginkan sebelumnya, yakni suatu perlakuan yang tidak adil dari perusahaan

Belanda kepada para pemimpin Melayu. Tidak lama lagi, Belanda akan

kembali mengambil alih tanah pesisir dari Inggris. Pelabuhan-pelabuhan di

sana sudah berada dibawah kuasa Inggris selama 23 tahun, dan sebelumnya

sudah 100 tahun di bawah kontrol Belanda.

Ketidakadilan yang dimaksud dalam perjanjian itu adalah menyangkut

perniagaan. Para ketua desa banyak yang tidak diuntungkan dengan langkah

politik Belanda, yang membuat keuntungan mereka semakin menipis.

Banyak dari mereka yang menyandarkan penghidupan dari pelabuhan

pesisir. Ketika Inggris berkuasa, mereka baru tersadar betapa banyak

permintaan luar negeri atas komoditas-komoditas alam Minangkabau,

sesuatu yang tidak mereka mengerti saat Belanda mengelola wilayah pesisir.

Melihat pada model berniaga orang Belanda sebelumnya, maka bukan tidak

mungkin kerugian sebelumnya bisa mereka alami kembali.

Ketika orang Inggris berada di Padang, perdagangan menjadi lebih

inklusif (terbuka). Arus keluar masuk barang meningkat 20 kali lipat

ketimbang masa Belanda terakhir. Orang Minangkabau mengatakan bahwa

Belanda semena-mena dalam menentukan harga. Kopi yang mereka tanam

secara sukarela, dihargai sesuai dengan keinginan Belanda. Konsekuensinya,

apabila para kepala rakyat berkeberatan dengan ketentuan itu, maka

pelabuhan-pelabuhan akan ditutup. Atas kejadian ini, mereka merasa ditipu

dan dipermainkan Belanda.85

                                                            85 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 17.  

 

61  

Kebijakan yang dilakukan Raffles ternyata tidak didukung oleh

atasannya. Bagaimanapun, Inggris harus menghormati kesepakatannya

dengan Belanda untuk menyerahkan pelimpahan kuasa pada waktunya atas

beberapa wilayah di Minangkabau. Orang-orang Belanda yang kini adalah

kepanjangtanganan dari Kerajaan Belanda pun mengambil alih pengelolaan

Pesisir Barat Minangkabau. Lima belas ketua adat dari daerah Tanah Datar

dan Singkarak-Solok amat gusar dengan kenyataan tersebut, dan berusaha

melakukan perjanjian lagi dengan Belanda, sesuatu yang sebenarnya tidak

mereka inginkan. Dengan perjanjian, mereka berpikir bahwa kepentingan

ekonomi mereka terjaga di mana kedua belah pihak saling menghormati hak

dan kewajibannya.

Langkah mereka menemui hasil, para wakil Tanah Datar dan Singkarak-

Solok, termasuk perwakilan kraton Pagarruyung dan Suruaso

menandatangani perjanjian dengan Belanda tertanggal 10 Februari 1821.

Kini, yang dijanjian kepada para pedagang jumlahnya lebih besar ketimbang

yang mereka tandatangani tahun 1818. Perjanjian ini juga melibatkan

bantuan militer Belanda atas seluruh wilayah Tanah Datar yang termasuk

wilayah inti Minangkabau. Sebagai konsinyasinya, Belanda mendapatkan

apa yang terekam dalam kata-kata berikut: “Kepada pemerintah Hindia

Belanda, penyerahan resmi dan tidak bersyarat, tanah-tanah Pagar Roeyong,

Soengi Tarap dan Soeroeassoe. Begitu pula sisa-sisa tanah Negara

Maninkabo.” Lahirnya perjanjian ini adalah dampak dari merosotnya

perekonomian internasional yang terjadi secara terus-menerus.86

Pada prakteknya, antara kerajaan Pagarruyung dengan nagari-nagari di

Alam Minangkabau tidak selalu mempunyai hubungan struktural-

administratif yang kuat. Pagarruyung tidak sepenuhnya mampu mengatur

                                                            86 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 18.  

 

62  

nagari-nagari, oleh karena para kepala nagari beserta dewan adatnya merasa

memiliki independensi dalam menjalankan pemerintahannya. Mereka tetap

menghormati Raja Pagarruyung, hanya saja mereka tidak lantas menjalankan

semua yang diperintahkan sang Raja. Antara satu nagari dengan nagari

lainnya bisa saja mempunyai hukum dan peraturan yang berbeda-beda.87

Oleh sebab itulah mereka para kepala nagari bisa dengan bebas menjalin

kesepakatan dengan bangsa Eropa tanpa harus mengabarkan ke Pagaruyung.

Ketika merasa kedudukannya telah menguat, pemerintahan Kolonial di

Minangkabau mendirikan administrasi yang pucuk pimpinannya dijabat oleh

seorang gubernur yang berkedudukan di Markas Besar di Padang. Di bawah

gubernur terdapat residen “Padang Darat” (Padang Bovenlanden) yang

beribukota di Bukittinggi dan “Padang Dataran Rendah” (Padangsche

Benedenlanden) dengan ibukota di Padang. Yang pertama, sebagaimana

terdengar dari namanya, karesidenan ini membawahi wilayah yang

terbentang di daerah-daerah timur dari punggung perbukitan yang menengahi

kawasan pantai dan jantung Minangkabau (pedalaman). Pada tahun 1891,

wilayah karesidenan ini bertambah, membawahi negeri perbukitan di sebelah

utara yakni daerah yang terdapat di bagian utara Agam dan Tapanuli, yang

dalam pengertian orang Belanda disebut Ophir.

Setiap karesidenan terbagi ke dalam satuan administrasi yang disebut

Asisten Karesidenan. Di Padang Darat biasanya terdapat lima sampai

delapan, sedangkan di Padang Dataran Rendah mempunyai tiga sampai lima

asisten residen. Tingkat terbawah dari administrasi Belanda disebut

controleur atau kontrolir. Kontrolir bersinggungan langsung dengan kepala

laras dan kepala nagari, selain juga menjadi penghubung antara

                                                            87 Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Terj.

Gusti Asnan dan Akiko Iwata (Jakarta: Balai Pustaka, 2005) hlm. 28.  

 

63  

pemerintahan lokal dengan pemerintahan Hindia Belanda. Wilayah seorang

kontrolir sama luasnya dengan wilayah seorang kepala laras yang

membawahi suatu distrik, jika distrik itu dianggap berkedudukan Penting.

Namun pada umumnya, seorang kontrolir membawahi beberapa kepala laras.

Kontrolir dibagi ke dalam tiga tingkatan, tergantung pada urgensi daerah

yang diperintahnya. Tugas dan perhatian utama seorang kontrolir ketika

masa perdana menjabat, adalah menjaga dan memajukan tanaman ekspor.

Oleh sebab kian kemari tugas administrasi Belanda semakin kompleks,

beberapa elit atau orang Minangkabau kebanyakan dipekerjakan sebagai

pembantu mereka.88

Untuk memperbesar keuntungan yang didapat, pemerintah kolonial

menerapkan kebijakan kerja paksa di Minangkabau. Mereka kerap

memerintahkan kepala rakyat untuk membawa kopi ke pesisir. Untuk

mempersingkat waktu pengiriman kopi dan kemudahan akses dari Padang

Darat ke Padang, menginjak tahun 1841, pemerintah membuat jalan raya

yang menghubungkan daerah-daerah pedalaman di Minangkabau, terutama

daerah-daerah penghasil kopi dengan Padang. Pembangunan jalan yang

menghubungkan Padang ke Pariaman hingga menyentuh Mudik Pandang,

dengan menyisiri sepanjang Lembah Anai dan melewati beberapa tempat

seperti Gunung dan Batipuh (keduanya di Padang Panjang), juga melewati

Fort Van de Capellen dan Fort de Kock.

Memasuki akhir abad 19, sudah dibangun jalan dari Fort de Kock

menuju Pangkalan yang berada di Payakumbuh bagian timur. Dengan

berlayar menyisir Sungai Kampar kini orang bisa sampai di Bangkinang.

Selanjutnya, jalan bisa diteruskan melalui jalur darat hingga sampai ke Pekan

Baru. Jalan yang semakin baik semakin mempermudah mobilitas penduduk

                                                            88 Elizabeth E. Graves, Elite Minangkabau ..., hlm. 94-95.  

 

64  

pedalaman ke Pantai Barat maupun Pantai Sumatera Timur, maupun

sebaliknya. Mereka yang melewati jalan ini kebanyakan adalah para

pedagang, baik pedagang yang menetap di suatu tempat maupun yang

keliling. Di pihak lain, akses jalan membuat semakin banyak pedagang Cina

dan pedagang Timur Asing yang menuju ke pedalaman Minangkabau.

Seiring dengan pembuatan jalan-jalan lainnya, kota-kota di Sumatera

Barat semakin berkembang. Dua di antara yang paling terkenal adalah

Padang dan Bukittinggi. Jalan raya yang semula hanya diperuntukkan bagi

jalur pengangkutan kopi dan militer, perlahan semakin bermanfaat untuk

rakyat pada umumnya. Perpindahan penduduk pedalaman, terutaman yang

nagari-nya terbelakang, semakin tinggi. Mereka banyak yang memilih

destinasi Padang dan Bukittinggi sebagai tempat menyambung hidup.

Akibatnya, penduduk lokal setempat terdesak dan larut dalam arena

kompetisi mencari peruntungan.

Terdapat satu nuansa positif dari urbanisasi ini, yakni terlepasnya suatu

kungkungan “dendam kemiskinan” yang diidap para pendatang ketika masih

di kampung. Dampaknya, di tempat barunya ini mereka terbiasa dengan pola

hidup yang keras dan ulet dan di kemudian waktu banyak di antara mereka

yang mendapatkan prestasi tinggi di kota tinggalnya. Kala itu, dikenal istilah

loods (ruangan besar untuk berjualan) orang Sianok, loods orang Balingka,

loods orang Sungai Puar dan loods-loods lainnya. Pasar di Bukittinggi justru

digerakkan oleh orang-orang yang berasal dari sekitar Bukittinggi, dan yang

aneh justru tidak ada istilah loods Bukittinggi, padahal mereka adalah

penduduk asli.89

                                                            89 Taufik Abdullah dkk, Sejarah Sosial di Daerah Sumatera Barat (Jakarta: Direktorat

Sejatah dan Nilai-Nilai Tradisional, Departemen P dan K, 1983/1984) hlm. 13-14.  

 

65  

Perbaikan ekonomi, dalam beberapa segi tertentu, dan kemudahan akses

dari daerah urban ke kota besar ikut mempengaruhi terbukanya pemikiran

orang Minangkabau. Termasuk dari perubahan ini adalah inovasi untuk

menyekolahkan anaknya sampai pendidikan tertinggi. Dalam suatu laporan

dikatakan bahwa ketika seorang ayah orang Minangkabau mengetahui

anaknya tidak mengikuti perkembangan di sekitarnya, maka si anak akan

dimarahi ayahnya dengan perkataan: “bak orang Kurai jolong ke Gadung

(Bukittinggi), diam di laut tidak asin, diam di bandar tidak meniru.” Maksud

dari ungkapan tersebut adalah padahal di nagari Kurai (Bukittinggi) sudah

dibangun Sekolah Melayu Rendah, Sekolah Raja, Sekolah Belanda, Sekolah

Pegawai Negeri dan lain sebagainya, namun masih saja orang yang

memandang rendah bersekolah, dikarenakan untuk apa pendidikan, padahal

sawah ninik mamak masih luas untuk bekal hidup.90

Untuk mengamankan posisinya dan kepentingan ekonominya,

pemerintah Belanda membangun garnisun dan benteng-benteng di beberapa

titik yang dianggap strategis. Walaupun Perang Paderi berhasil mereka

tumpas, namun serangan-serangan kecil masih saja mengganggu urusan

pemerintahan Belanda. Di samping Benteng Fort de Kock yang dibangun

pada 1827 di Bukittinggi, bangunan yang sama juga didirikan di

Padangpanjang. Seiring berjalannya waktu, Bukittinggi dan Padangpanjang

menjadi destinasi berkumpulnya manusia yang datang ke pasar-pasar di sana.

Di antara mereka ada yang memutuskan menetap. Fenomena tersebut adalah

hal lumrah yang ditemui di kota-kota baru bentukan pemerintah kolonial.

Tempat-tempat di mana garnisun dan benteng berdiri tersebut, menjadi

pusat perekonomian mikro warga sekitar yang mengkhususkan diri memasok

kebutuhan penghuni dua benteng itu. Beberapa barang pangan seperti beras,

                                                            90 Taufik Abdullah, Sejarah Sosial ..., hlm. 14-15.  

 

66  

daging dan sayuran dipasarkan ke dalam benteng untuk memenuhi

kebutuhan militer. Para tukang kayu dan pengrajin-pengrajin arsitektural

juga didatangkan untuk membangun pemukiman-pemukiman baru. Pasar,

belakangan menjadi tempat yang kian ramai, karena menjadi salah satu

indikator kemajuan perekonomian kecil di era kolonial. Sepuluh tahun

berselang setelah pendirian Benteng Fort de Kock, yakni tahun 1837

merubah daerah benteng Fort de Kock dari semula pasar menjadi pusat

administrasi pemerintahan. Adapun Padangpanjang menjadi sentra

pengumpulan kopi sebelum diangkut ke Padangpanjang.91

Azizah Etek dkk mempunyai catatan tersendiri mengenai profesi orang

Minangkabau, khususnya yang berdiam di Kotogadang. Keahlian pandai

kayu sebenarnya tidak seluruhnya merupakan mata pencaharian pokok.

Awalnya bertukang kayu adalah keahlian digunakan di dalam nagari saja.

Dahulu, jika ada seorang yang ingin membangun rumah gadang, maka harus

didahului kesepakatan keluarga se-paruik dan se-kaum. Mufakat ini

kemudian dilaporkan kepada ninik-mamak dan penghulu-penghulu dalam

nagari supaya bisa diteruskan untuk meminta pertolongan warga untuk

mendirikannya sesuai ketetapan adat. Para penghululah yang kemudian

membagi tugas siapa saja yang pergi ke rimba, menebang dan mengolah

kayu, membuat pancang (tonggak), membangun rumah dan lain-lain. Nagari

bertanggung jawab selama pengerjaan rumah, mulai dari penyiapan bahan

material sampai pada siap dihuni. Pemilik rumah hanya menyediakan

makanan dan minuman.92

                                                            91 Yudhi Andoni, “Sekularisme vs Modernisme Islam: Konflik Pemikiran Kaum

Cendikiawan Sekular Barat dengan Cendikiawan Muslim di Sumatera Barat 1930-1942”, dalam Analisis Sejarah, Vol. 5, No. I, 2014, hlm. 82.  

92 Azizah Etek dkk, Koto Gadang Masa Kolonial (Yogyakarta: LKiS, 2007) hlm. 23.  

 

67  

Dalam membangun pelbagai bangunan-bangunan penting, Belanda

sudah tentu membutuhkan bantuan penduduk setempat. Para pandai kayu

yang dipekerjakan tentu saja telah terbiasa mengerjakan rumah-rumah

gadang serta bangunan lainnya di kampungnya. Menggunakan tenaga

mereka bisa saja dilakukan untuk membangun komunikasi yang lebih

intensif dengan masyarakat lokal, sehingga keharmonisan dan keakraban

dengan sendirinya tumbuh. Sebagaimana diketahui, tidak seluruh orang di

Minangkabau memerangi kedudukan Belanda, beberapa dari mereka justru

ada yang bersikap layaknya sahabat, tentunya dengan pelbagai motif yang

melatarbelakanginya. Koto Gadang misalnya, adalah suatu daerah yang

dikenal ketua-ketua adatnya dekat dengan Belanda.93

Kedudukan Belanda di Minangkabau sempat mengalami ancaman

ketika gerakan Paderi mulai melancarkan aksinya. M. C. Ricklefs

menyebutkan bahwa gerakan Paderi Minangkabau adalah gerakan awal umat

Islam terbesar di Indonesia. ketika Kompeni sibuk menguatkan kembali

skrup-skrup kekuasaannya, di waktu yang hampir bersamaan, di akar rumput

sedang terjadi perubahan sosial, agama dan politik yang sifatnya massif sejak

akhir abad ke 18 hingga awal abad 19. Bahkan, perubahan sosial di

Minangkabau ini, pada masa itu memiliki dampak yang lebih besar

ketimbang perubahan serupa yang terjadi di wilayah-wilayah Nusantara

lainnya.94

Hampir sama dengan kedatangan Belanda, kemunculan kaum Paderi

juga dalam beberapa hal adalah berkaitan dengan aspek perdagangan,

tepatnya sekitar tahun 1780-an di Agam.95 Salah satu tokoh penyebar paham

Paderi masa awal, Haji Miskin, memiliki kedekatan bisnis dengan Datuk

                                                            93 Azizah Etek, Koto Gadang ..., hlm. 24.  94 Ricklefs, Sejarah Indonesia ..., hlm. 213.  95 Rickelfs, Sejarah Indonesia ..., hlm. 213.  

 

68  

Batuah, penghulu di desa Pandai Sikat. Hal utama yang melatarbelakangi

akrabnya hubungan mereka adalah Haji Miskin kerap berbelanja kopi kepada

Datuk Batuah. Hubungan yang intens membuat Datuk Batuah sadar, ada

yang mesti dirubah dari perilaku menyimpang penduduknya. Oleh sebab itu

ia mengangkat Haji Miskin untuk merombak tatanan sosial Pandai Sikat

menjadi lebih agamis sesuai dengan anjuran Haji Miskin.96

Namun pada perkembangannya, gerakan Paderi menerbitkan dampak

lain yakni pertikaian antara kelompok adat dengan Paderi. Kelompok adat

dianggap para ulama Paderi sebagai sosok yang membiarkan perilaku

menyimpang masyarakat terjadi. Merekalah yang harus dimintai

pertanggungjawaban atas realitas sosial yang jauh dari apa yang dianjurkan

oleh agama. Sebaliknya, kelompok adat menganggap kelompok Paderi

sebagai sosok yang mengancam kedudukan mereka. Usaha pembaruan yang

dilakukan kaum Paderi selalu mendapat halangan dari kelompok adat.97

Akibat serangan kelompok Paderi yang sedemikian gencar dilakukan,

membuat beberapa penghulu mulai melirik bantuan Belanda. Pada bulan

Februari 1821, anggota kerajaan Pagarruyung yang berseberangan dengan

Paderi, menandatangani suatu perjanjian dengan Belanda untuk menumpas

musuh mereka itu. Imbalannya, mereka harus menyerahkan daerah bawahan

mereka (Minangkabau) kepada Belanda. Anggota kerajaan nantinya sama

sekali tidak berhak atas penguasaan riil bawahannya lagi, dan sudah

berpindah ke tangan Belanda. Setelahnya, pasukan Belanda pun bersiap dan

                                                            96 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 203.  97 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme

(Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1973) hlm. 90-91 

 

69  

meletuskan perang yang dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai Perang

Paderi (1821-1838).98

Selain menggunakan taktik militer, Belanda juga dibantu oleh seorang

keturunan Arab bernama Said Sulaiman al-Jufri untuk melakukan diplomasi

perdamaian kepada Paderi. Dikatakan bahwa ia adalah keturunan Arab yang

akrab dengan para pejabat kolonial yang bertugas di Sumatera Barat. Sejak

muda, Said Sulaiman sudah tinggal di Padang. Ia memiliki pengetahuan yang

mendalam mengenai agama Islam dan keadaan negeri-negeri di Alam

Minangkabau.

Said Sulaiman berkesimpulan bahwa perang yang terjadi antara Belanda

dan Paderi adalah karena masalah agama. Ia berpikir bahwa dirinya memiliki

kemampuan untuk menyelesaikan perang ini, terlebih menimbang statusnya

sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, golongan yang amat dihormati di

dunia Islam. Ia mendiskusikan peran barunya ini dengan residen Belanda di

Padang. Sang residen menyetujui usulnya itu.

Ia memulai misi diplomasinya itu dengan mengunjungi benteng Bonjol.

Di sana ia disambut layaknya tamu kehormatan. Ia menghadap Tuanku

Imam Bonjol kemudian mengutarakan maksudnya agar pemimpin Paderi itu

mau berdamai dengan Belanda. Said Sulaiman juga mengatakan bahwa

sesungguhnya Belanda sama sekali tidak bermaksud melarang aktivitas umat

Muslim. Dengan santun, Tuanku Imam Bonjol menjawab:

Habib, Kami tahu cita-cita mulia Habib! Memang tidaklah perlu darah ini tertumpah banyak. Tetapi ucapan Belanda yang seperti itu, dahulu pun saudah kami dengar pula, ketika perjanjian damai di Masang! Padahal, jika saja niat baik itu memang ada, mengapa Kota Lawas yang jelas-jelas di bawah lindungan kami, mereka duduki dan tidak ada niat bagi mereka untuk menyerahkannya kembali?

                                                            98 Ricklefs, Sejarah Indonesia ..., hlm. 215.  

 

70  

Mengapa di tempat-tempat yang sudah jelas masuk dalam wilayah kami, selalu diganggu dan dikepung? Dan lagi, jika benar Belanda hendak berdamai dengan kami, silahkan meninggalkan Luhak Agam! Karena itu masih termasuk wilayah kami. Katakanlah kepada Belanda, supaya mereka menghormati perjanjian yang telah sama-sama disepakati! Habib tentu paham bagaimana arti janji bagi orang Muslim! Kami merasa janji tersebut tidak pernah kami langgar!

Perkataan di atas membuat Said Sulaiman terkesima. Rupanya seorang

Imam Bonjol tidak begitu saja silau dengan kedudukannya sebagai keluarga

Rasulullah. Dengan malu ia tinggalkan Bonjol. Imam Bonjol dan para

pengikutnya melepas Said Sulaiman dengan kebesaran, seperti tamu agung

yang baru meninggalkan pertemuan. Keadaan yang tentu saja membuat Said

Sulaiman semakin tidak enak.

Said Sulaiman selanjutnya menuju Lintau untuk bertemu Tuanku

Pasaman. Ajakan berdamai Belanda disepakati oleh pemimpin Paderi di

sana. Singkat cerita, pada 29 Oktober 1825, dari Lintau dikirim satu delegasi

yang beranggotakan Tuanku Keramat di Buo sebagai kepala delegasi

sekaligus mewakili Tuanku Pasaman, Tuanku Bawah Tabing (Talawi),

Tuanku di Guguk di Limapuluh Koto dan Tuanku di Ujung yang mewakili

Tuanku Nan Renceh. Mereka diiringi pulaoleh 8 pemuda Paderi.

15 hari ke depan, selesailah pertemuan antara perwakilan Lintau dan

Belanda itu. Masing-masing pihak menyepakati beberapa poin yang

dianggap sama-sama memberi manfaat. Pertemuan itu memang tidak

dihadiri oleh seluruh pemimpin Paderi, namun Belanda menganggap dengan

begitu perlawanan Paderi berangsur-angsur bisa dilumpuhkan, karena dari

peristiwa ini akan terbit ketidaksamaan pendapat terkait posisi Belanda.

Dengan begitu, terbuka jalan bagi Belanda untuk melakukan politik pecah

belah. Kaum Paderi juga sudah mengakui kekuasaan Belanda atas Padang

serta benteng-bentengnya.

 

71  

Di pihak lain, bagi Paderi, Belanda bersepakat untuk tidak mengganggu

wilayah di bawah pengaruh Paderi di beberapa wilayah seperti di Lintau,

Lima puluh Koto, Talawi dan Kamang. Belanda juga berjanji tidak akan

mengganggu aktivitas Muslim di sana.

Melihat keberhasilan perjanjian di atas, Said Sulaiman al-Jufri merasa

senang sekali. Langkahnya berbuah manis. Dalam beberapa kesempatan

selanjutnya, ia melakukan cara-cara serupa untuk mengajak Paderi berdamai

dengan Belanda. Lama kelamaan ia sampai mendapat gelar “Raja

Perdamaian.” Aktivitasnya ini tidak berjalan lama. Pada bulan April 1829,

dikabarkan bahwa ia tewas dibunuh di suatu surau di Lintau.99

Setelah perang tersebut berakhir, Belanda pun mulai mengakarkan

kekuasaannya atas Minangkabau. Mereka semakin memperbesar perbedaan

antara kaum adat dan kaum agama. Pemisahan ini dimasudkan untuk

mencegah agar fanatisme Islam tidak berkembang secara massif lagi. Di sisi

lain, perbedaan ini menyebabnya semakin meredupnya wibawa kaum

penghulu. Pihak kolonial sama sekali tidak tergerak untuk melibatkan pihak

kerajaan Pagarruyung untuk mengelola Minangkabau. Mereka hanya

menempatkan jabatan para kepala-kepala pemerintahan layaknya para bupati

di Jawa.100

Pemerintah kolonial ternyata juga tidak senang dengan potensi

kemakmuran yang dikumpulkan para keluarga di Minangkabau. Pada tahun

1853 Mereka pun menerbitkan suatu kebijakan untuk mendaftarkan seluruh

harto pusako yang sudah dikumpulkan oleh setiap keluarga di Minangkabau.

Dalam kitab undang-undang kolonial, hak kepemilikan disebut juga

                                                            99 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) hlm. 127 –

129.  100 Ricklefs, Sejarah Indonesia ..., hlm. 215.  

 

72  

eigendom, dan keberadaannya wajib diketahui oleh pemerintah kolonial.

Pendataan tersebut dilakukan oleh suatu kelompok kerja yang berkantor di

kantor gubernur. Mereka yang sudah mendaftarkan hartanya, kemudian

diberi bukti kepemilikan properti yang dinamakan eigendome-akte.101

C. Kebijakan Kolonial di Bidang Pendidikan

Di sisi lain, Orang Minangkabau ternyata tidak seluruhnya melakukan

perlawanan layaknya kelompok Paderi. Di antara mereka justru ada yang

menganggap kehadiran kolonial membawa berkah tersendiri bagi

kehidupannya. Eizabeth E. Graves menyatakan bahwa salah satu tonggak

awal kesuksesan orang Minangkabau menjalani kehidupan, adalah ketika

mereka memberikan reaksi terhadap keberadaan kuasa kolonial pada abad

19.102 Setelah gerakan Paderi ditundukkan pada 1837, Belanda

memberlakukan kebijakan pendidikan dasar bagi penduduk Minangkabau

seperti membaca, menulis dan pengetahuan berhitung yang cukup.

Kemudian, mereka ditempatkan mengisi jawatan-jawatan birokrasi kolonial

yang semakin luas.

Sayangnya, kebijakan positif ini tidak dijalankan secara penuh. Masih

ada keraguan pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah

dalam jumlah besar. Jikapun ada sekolah untuk rakyat, hanya diprakarsai

oleh orang per-orang pejabat Belanda, dan sekolahnyapun termasuk kategori

sekolah swasta. Sikap ini ditengarai karena masih adanya perlawanan parsial

dari kelompok-kelompok fanatik Islam (Paderi) yang menginginkan agar

                                                            101 Franz von Benda-Beckmann, Property in Social Continuity; Continuity and Change

in The Maintenance of Property Relationships Through Time in Minangkabau West Sumatra (‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff Publishers, 1979) hlm. 209-210.  

102 Elizabeth E. Graves, Elite Minangkabau ..., hlm. xi. 

 

73  

kekuasaan Kristen Belanda harus pergi dari tanah Minangkabau. Beberapa

kelompok masyarakat juga belum banyak yang percaya terhadap sektor

pendidikan yang digarap pemerintah kolonial.

Beberapa sekolah yang didirikan pemerintah Belanda bertujuan untuk

menciptakan kelas elit bumiputera yang terdidik yang berasal dari kelas

penguasa tradisional, seperti yang ditemukan di Jawa. Tidak semua keluarga

bangsawan Minangkabau setuju memasukkan anaknya ke sekolah ini. Hal ini

menciptakan kekosongan yang kemudian diisi oleh keluarga-keluarga biasa

yang berharap anaknya bisa masuk ke sekolah Belanda yang bukan berasal

dari kelompok pemnguasa lokal. Dengan demikian eksistensi sekolah

kolonial selama abad 19, lebih mengandalkan sokongan dari bawah

ketimbang bergantung pada pemerintah Belanda itu sendiri.103

Modernitas pendidikan a la kolonial membawa serta pada modernitas

gaya hidup. Pembangunan kota yang massif di Bukittinggi dan

Padangpanjang merubah wajah sebagian penduduknya menjadi bergaya

barat atau ke-eropa-eropa-an. Simbol-simbol modernitas yang terlihat dari

gaya hidup, gaya berpakaian, arsitektur rumah, menjadi kelaziman yang

mudah ditemui di kehidupan orang Minangkabau yang tinggal di dua kota

tersebut. Pakaian misalnya, saat itu begitu dekat dengan model busana orang

Eropa. Pemakaian celana panjang, kemeja dan jas merupakan gejala yang

ditemui dalam kehidupan masyarakat kota di masa Hindia Belanda.104 Untuk

wanita, tidak semudah kaum lelaki, melainkan membutuhkan proses

dialektika yang agak lama. Lambat laun, perempuan-perempuan

Minangkabau mulai ada yang mengenakan busana wanita Eropa, seperti

memakai rok, gaun dan blus.

                                                            103 Elizabeth E. Graves, Elite Minangkabau ..., hlm. xi.  104 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan (Jakarta:

Gramedia, 2008) hlm. 156.  

 

74  

Salah satu agen yang menghembuskan gaya hidup model Eropa adalah

para murid Sekolah Raja di Bukittinggi. Para murid sekolah ini mengenakan

busana seragam berupa pakaian rapi (dengan kemeja, celana panjang dan

dasi) dengan sepatu kulit. Dalam bergaul, mereka juga bersikap menjauhi

masyarakat luar dan menganggap diri paling mulia, karena terpelajar.

Mereka membentuk kelompok tersendiri dalam masyarakat. Dalam sehari-

hari, dikelompoknya mereka berbicara menggunakan bahasa Belanda. Ketika

mereka lulus sekolah, banyak di antara mereka yang bekerja di instansi-

instansi pemerintah Hindia Belanda, seperti menjadi jaksa.105

Budaya merantau, sebagaimana yang ditemukan dalam tradisi

Minangkabau, seperti menemukan pasangannya ketika disandingkan dengan

pendidikan. Merantau adalah pintu gerbang untuk meningkatkan

pengetahuan dan karir. Pada masa itu, dengan pendidikan, kehidupan bisa

berubah secara radikal dalam pergaulan masyarakat. Dengan berpendidikan,

jenjang karir akan bisa dikejar dan kedekatan dengan dunia orang-orang

Eropa bisa digapai.106 Ini merupakan keniscayaan yang dihadapi para elit

pribumi jika tidak ingin selalu berada di bawah strata orang Eropa.

Stratifikasi sosial yang selama ini menjadikan mereka sebagai warga negara

kelas tiga, perlahan-lahan bisa dipangkas, sehingga anak-anak mereka bisa

mencicipi bagaimana hidup “hampir setara” dengan orang-orang Eropa.

Peradaban Eropa dan Islam merupakan dua hal yang bersinggungan

dengan Minangkabau. Dari keduanyalah, kultur Minangkabau bisa

mempersiapkan diri untuk bersentuhan dengan unsur-unsur di luar garis

batas geografisnya. Tentu tidak sepenuhnya benar, jika disebutkan bahwa

                                                            105 Yudhi Andoni, “Sekularisme vs Modernisme ...”, hlm. 83.  106 Ulbe Bosma and Remco Raben, Being “Dutch” in The Indies; A History of

Creolisation and Empire 1500 – 1920, Terj. Wendie Shaffer (Athens, USA: Ohio University Press, 2008) hlm. 215. 

 

75  

peradaban Eropa menjadi perusak dari adat istiadat dan tradisi di

Minangkabau. Kenyataannya, melalui penerimaan akan realitas demikian,

orang-orang Minangkabau bisa menemukan jalan keluar untuk berjumpa

dengan pergaulan lain di luar wilayahnya, di kemudian hari. Hal yang sama

juga pernah dialami Minangkabau dalam sejarah107, misalnya saja saat orang

Minangkabau berjumpa dengan orang Arab.

H. Agus Salim, salah satu cendikiawan Minangkabau yang sempat

bersekolah di sekolah-sekolah kolonial, menyatakan bahwa tidak seluruhnya

unsur pendidikan Eropa baik untuk kalangan bumiputra. Meskipun ia

mendapatkan sertifikat dari sekolah Europese Lagere School (sekolah untuk

anak-anak Belanda) dan melanjutkan pendidikannya di Hogere Burgerschool

(HBS) di Surabaya, lantas bekerja di instansi kolonial, tidak dianggapnya

sebagai kenikmatan hidup, melainkan adalah suatu fase hidup yang

dikatakannya “berlumpur”, atau penuh dengan kesusahan. Agus Salim,

sebagai sosok yang tidak sepakat dengan kehadiran kolonialisme di

Indonesia, tentu saja tidak sepaham dengan langkah kolonial yang hanya

menjadikan pendidikan sebagai alat mencetak orang-orang yang kemudian

bekerja bagi mereka lantas meninggalkan kewajiban memerdekakan

bangsanya.108

Sistem pendidikan kolonial yang berlaku di Indonesia mempunyai

karakteristik umum yang spesifik, yakni menerapkan jurang pemisah yang

lebar antara bangsa penjajah dan orang terjajah. Keduanya adalah dua

golongan masyarakat yang mempunyai strata sosial yang berbeda. Penduduk

Belanda dan Eropa akan lebih tinggi ketimbang orang Timur Asing (vreemde

                                                            107 P.E. de Josselin de Jong, Minangkabau and Negri Sembilan Sosio-Political

Structure in Indonesia (‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1980) hlm. 117.  108 Mohamad Roem, “Memimpin Adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim”,

dalam Taufik Abdullah dkk, ed, Manusia dalam Kemelut Sejarah (Jakarta: LP3ES, 1981) hlm. 118-119.  

 

76  

oosterlingen) dan pribumi (inlander).109 Jika ditelusuri lebih lanjut,

pemikiran semacam itu tercipta dari pelaksanaan kebijakan Islam Politiek

yang digagas oleh C. Snouck Hurgronje. Ia menasehatkan pemerintah untuk

membuka sekolah-sekolah secara luas, agar kelompok menengah pribumi

mendapatkan pengajaran Barat yang modern.110

Frances Gouda menerangkan bahwa dalam sudut pandang orang Eropa,

termasuk Belanda, menjadi seperti mereka harus siap dengan perubahan

struktur berpikir dan berbudaya dan mengikuti layaknya gaya hidup mereka.

Orang Eropa terbiasa dengan sesuatu yang liberal (bebas) dan netral. Mereka

tidak akan mencampurkan kepentingan politik dan agama. “Ke-Belanda-an”

atau “menjadi Belanda” (Dutchness) berhubungan dengan aturan politik

yang dikendalikan oleh segi-segi akomodasi, kompromi dan kebijaksanaan

menerima pengaruh luar. Di satu sisi, orang Belanda erat terikat dengan

tanah asalnya, dengan pergaulan model Eropa. Namun, dalam konteks

kolonial, visi moral dan norma behavioral (perilaku) bertransformasi dalam

kontes lokal, tempat di mana kolonisasi itu berlangsung, kecuali pandangan

mereka akan kemulyaan Orang Kulit Putih dan superioritas berbudaya.111

Jika menghubungkan pendapat Gouda di atas dengan aspek pendidikan,

maka ditemukan suatu benang merah yang jelas dan tegas, yakni pendidikan

kolonial bertujuan membentuk pribadi Eropa yang berbeda dengan kultur

aslinya. Minangkabau adalah wilayah yang rapat dengan peraturan adat dan

                                                            109 Stratifikasi sosial ini berujung pada pembatasan hak-hak bernegara, sebagaimana

yang dialami oleh kelompok-kelompok Arab dan Timur Jauh. Hal yang sama juga dialami oleh penduduk pribumi, lihat Nurhasan dkk, Orang Arab Betawi di Jaman Kolonial Belanda Abad Ke-19 (Laporan Penelitian) (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Kemenag RI, 2016) hlm. 188.  

110 Nor Huda, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Yogyakarta: Arruz Media, 2007) hlm. 101. 

111 Frances Gouda, Dutch Culture Overseas; Colonial Practice in The Netherlands Indies 1900-1942 (Singapore: Equinox Publishing, 2008) hlm. 18.  

 

77  

agama. khususnya agama, pihak Belanda tentu mempunyai alasan yang kuat

untuk melepaskan anak-anak didiknya dari pengaruh kehidupan religius di

sana, terlebih dalam kontestasi pengamalan ajaran Islam, kelompok Paderi

yang berseberangan dengan Belanda, memegang dominasi di Minangkabau.

Pemisahan dengan agama, memang menjadi proyek besar Belanda untuk

membaratkan orang-orang Minangkabau agar mereka tidak mudah

bergabung dan terperdaya untuk berontak terhadap supremasi kolonial.

Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan bagi kaum pribumi adalah

upaya Belanda memajukan intelektualitas yang bermuara pada pembentukan

negara kolonial yang kuat. Andrew Goss menyebutkan bahwa sejak akhir

1830-an, sebagian pemikir Belanda beralasan bahwa melalui riset tentang

aspek-aspek geografi, masyarakat dan lingkungan, orang-orang Belanda

dapat membentuk tata kelola politik yang sesuai dengan maket wilayah

koloni.112 Dengan kata lain majunya pendidikan di kolonial, termasuk pada

digalakkannya riset-riset berbagai ilmu alam dan ilmu sosial lainnya, adalah

untuk memperkuat kedudukan kolonial atas wilayah jajahan.

Muhammad Sabaruddin menerangkan hal yang berbeda terkait

penyelenggaraan pendidikan kolonial. Menginjak tahun 1831, tepatnya

ketika Van den Boss dilantik menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di

Batavia, ditetapkan suatu keputusan bahwa sekolah gereja dipandang perlu

sebagai pion dari sekolah pemerintah Hindia Belanda di seluruh penjuru

tanah jajahan Hindia Belanda. Departemen yang mengurusi masalah agama

dan pendidikan dilebur menjadi satu. Diputuskan pula bahwa di setiap

karesidenan wajib memiliki satu sekolah Kristen.

                                                            112 Andrew Goss, Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda Sampai

Orde Baru, Terj. Agung Sedayu dan Tasha Agrippina (Depok: Komunitas Bambu, 2014).  

 

78  

Apa yang ditetapkan Van den Boss di atas sesungguhnya terinspirasi

dari tindakan yang sudah dilakukan Van der Cappelen, pendahulunya, pada

tahun 1819. Saat itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda berinisiatif

mendirikan sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar kelak dapat

diperbantukan di kantor-kantor pemerintah. Dalam suatu surat edaran kepada

para bupati, Gubernur Jenderal menyatakan: “Dianggap penting utuk segera

mungkin menetapkan keputusan pemerintah yang menjamin semakin

luasnya kemampuan membaca dan menulis di kalangan penduduk pribumi,

agar mereka lebih mudah menaati undang-undang dan hukum negara”.113

Para ilmuwan Belanda melihat kebudayaan sastra Minangkabau adalah

suatu bahan telaah yang menarik untuk diungkap. Sejak abad 19, penelitian

dan penulisan dengan tema sastra Minangkabau sempat melahirkan beberapa

buku yang menandai perhatian pemerintah terhadap eksistensi kebudayaan

Minangkabau. Jenis karya sastra yang menjadi perhatian utamanya adalah

jenis kaba. Kaba bisa diartikan sebagai cerita. Kaba berbeda dengan cerita

Melayu pada umumnya. Jika cerita Melayu ditampilkan menggunakan

bahasa prosa biasa, kaba disitulis dengan gaya bahasa prosa berima.

Beberapa karya kajian ilmuwan Belanda mengenai karya sastra

Minangkabau ini antara lain; 1) Chabar Mama’ si Hetong 1892, Leiden:

PWM Trap, kemudian C. Snouck Hurgronje menerbitkan De Chabar Mama’

si Hetong (Minangkabausche Vertallingen) dalam TBG 38; 2) Kaba si Ali

Amat, Een Minangkabausche Vertelling oleh C.A. van Ophuysen, Leiden:

PWM Trap, 1895; 3) Kaba si Umbuik Mudo, Een Minangkabausche

Vertellingen, Oleh C.A. van Ophuysen, Leiden, 1896; 4) “Mandjau Ari,

Minangkabausche Vertelling”, oleh J.L. van der Toorn dalam VBG 45, 1891;

                                                            113 Muhammad Sabaruddin, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan

Sebelum Kemerdekaan”, dalam Jurnal Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2013, hlm. 148. 

 

79  

dan 5) Tjindoer Mata, Minangkabausche Legenda oleh J.L. van der Toorn,

dalam VBG 45.114

Perhatian para ilmuwan Belanda terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan mengenai aspek Minangkabau di atas, bukan tidak mungkin

ikut mendorong munculnya para sastrawan Minangkabau yang tersohor di

masa-masa berikutnya. Beberapa cendikiawan dan sastrawan asal

Minangkabau mempunyai perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan,

bukan hanya pengetahuan Islam melainkan juga pengetahuan umum.

Beberapa dampak yang bisa disebutkan dari majunya pendidikan di

Minangkabau adalah munculnya sastrawan yang karya-karya masih dibaca

hingga saat ini. di antara mereka ada menempuh pendidikan kolonial, atau

jika tidak, mereka bisa berbahasa Belanda dan bahasa Eropa lainnya. Marah

Rusli bin Abu Bakar misalnya, penulis roman Siti Nurbaya dan Memang

Jodoh, adalah seorang cendikiawan yang pernah bersekolah di Kweekschool

atau Sekolah Raja.115

Marah Rusli merupaka potret dari pelajar Minangkabau berhaluan barat

yang mempunyai perhatian yang besar terhadap budaya sastra Minangkabau.

Sastra Minangkabau merupakan satu dari beberapa budaya lama

Minangkabau yang masih bertahan menghadapi gempuran perubahan sosial

yang didengungkan kaum Paderi. Hampir di setiap keluarga tradisional di

Minangkabau, sejak sebelum masa Paderi, membudidayakan pengetahuan

sastra secara turun temurun atau dalam bahasa Minangkabau disebut kato-

kato (diwariskan secara oral). Bamisa atau bermisal, merupakan model sastra                                                             

114 Edwar Djamaris, Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001) hlm. 4 dan 8.  

115 Marah Rusli bin Abu Bakar termasuk sastrawan angkatan Balai Pustaka, yang lahir di Padang pada 7 Agustus 1889. Ia menceritakan kisah hidupnya yang tertuang dalam Novel Memang Jodoh, namun mengambil nama lain dalam karyanya itu, yakni Marah Hamli. Novel ini bisa dikatakan sebagai semiotobiografi Marah Rusli. Lihat Marah Rusli, Memang Jodoh (Bandung: Mizan, 2014) hlm. 22.  

 

80  

lain yang juga diungkapkan oleh orang tua kepada anak dan cucunya dari

generasi ke generasi.

Sastra bukan hanya dipandang sebagai keindahan bertutur atau sebatas

seni merangkai kata-kata, sebagaimana terekam dalam kaba. Bagi

masyarakat Minangkabau, sastra adalah instrumen pendidikan dini.

Mendendangkan kaba atau pantun yang dilakukan orang tua kepada anaknya

merupakan satu bagian dari proses pendidikan terhadap anak usia dini.

Sebelum si anak memasuki masa sekolah formal, biasanya anak-anak di

Minangkabau sudah mempunyai pengetahuan sastra Minangkabau yang

cukup, sehingga kelak nilai-nilainya dapat ia aplikasikan dalam

kehidupannya setelah dewasa.116

                                                            116 Wahyudi Rahmat, “Penerapan Kaba Minangkabau Sebagai Media Pelestarian

Bahasa Amai (Ibu) dan Kesusastraan dalam Pendidikan Literasi di Minangkabau” dalam Jurnal Ipteks Terapan, Vol. 10, No. 4, 2016, hlm. 238-239.  

 

81  

BAB IV

KEDATANGAN DAN PENGUATAN POSISI PADERI DI ALAM MINANGKABAU

A. Munculnya Golongan Paderi

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kemunculan gerakan Paderi

yang terinspirasi dari gerakan Wahabi di Tanah Hijaz, adalah akibat dari

terbukanya jalur perdagangan antara Pantai Barat Sumatera ke pelabuhan-

pelabuhan di Nusantara maupun dunia. Sejak lama, bandar-bandar di pesisir

didatangi para saudagar regional Asia Tenggara dan dari mancanegara

seperti India, Cina, Arab dan Eropa. Dari sini orang Minangkabau

menginisiasi perjalanan ibadah haji ke Mekkah. Pertama, mereka menuju

pelabuhan Pedir, lantas kemudian berangkat ke Mekkah.117

Mereka yang menunaikan ibadah haji, sebagian ada yang ingin berlama-

lama di sana. Salah satu alasan utama mereka berdiam lebih lama di sana

adalah untuk belajar agama. Mekkah dan beberapa tempat lain di Timur

Tengah merupakan surga bagi para pelajar dari Nusantara. Di sana mereka

bisa berjumpa dengan para ulama yang tersohor dan memiliki keluasan ilmu.

Kedekatan dengan situs-situs peribadatan yang diagungkan umat Muslim

dunia, seperti Ka’bah dan Masjid Nabawi di Madinah, menambah

kekhusyuan mereka menambah ilmu sekaligus melapangkan jalan beribadah.

                                                            117 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Paderi

(Depok: Komunitas Bambu, 2008) hlm. 204.  

 

82  

Pada medio abad 18, Timur Tengah, khususnya Semenanjung Arab,

digegerkan dengan munculnya gerakan yang memperjuangkan pemurnian

agama Islam. kelompok ini berpandangan bahwa kian kemari banyak umat

Muslim yang semakin melenceng dari pola kehidupan yang diajarkan al-

Quran dan hadis Nabi Muhammad. Peribadatan sudah tidak lagi murni dan

sesuai aturan, karena dianggap sudah membuat pembaruan-pembaruan yang

tidak ditemukan di masa Nabi SAW hidup. Oleh sebab itu, maka dianggap

perlu untuk mengadakan koreksi radikal untuk meluruskan pelbagai

kesalahan dalam beribadah dan berkehidupan yang disebutkan dalam korpus

agama (sumber hukum Islam utama, yakni al-Quran dan hadis).

Gerakan ini dinamakan Wahabi, dinamai demikian karena merujuk pada

pendirinya, yakni Syekh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787).118

Awalnya, gerakan ini hanya berkisar pada penyadaran suku-suku badui

pedalaman yang hidup saling terpisah di padang-padang pasir luas. Namun

oleh karena gerakannya yang disokong oleh kekerasan dan pemaksaan, maka

pengikutnya semakin banyak dan loyal. Gerakan ini semakin kuat manakala

pada tahun 1741, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab menjalin kerjasama

dengan Muhammad bin Saud, seorang pemuka keluarga Saud yang

terpandang di Nejd. Gerakan ini semakin membesar dan merubah haluannya

dari semata-mata gerakan agama, kini diikuti pula dengan ambisi politik

penguasaan wilayah seluas-luasnya.

Gerakan ini sampai di Haramain, dan setelah beberapa kali terlibat

kontak senjata dengan pemimpin lokal yang berada di bawah kekuasaan

Turki Usmani, mereka pun berhasil mengambil alih pemerintahan di sana.

Para ulama Wahabi segera mengadakan perubahan peraturan peribadatan

                                                            118 Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci; Hijaz (Mekah dan Madinah)

1800-1925 (Ciputat: Logos, 1999) hlm. 104.  

 

83  

maupun muamalat (hubungan sosial) yang dianggap menyalahi ajaran Islam.

makam-makam tokoh-tokoh besar Islam banyak yang dibongkar dan dibuat

sebagaimana makam pada umumnya. Praktek-praktek peribadatan

diseragamkan, dan yang berbeda dengan mereka dilarang karena dianggap

bidat (melenceng dari ajaran Allah dan Rasul-Nya). Tanpa menghitung

waktu lama, keadaan di wilayah-wilayah bawahan Wahabi mengalami

perubahan cara peribadatan yang sistemik dan monolitik (sejenis).119

Di tengah perubahan sosial yang berlangsung dengan pesat itulah,

seorang Minang bernama Haji Miskin menyaksikan hampir penggal demi

penggal gerakan Wahabi. Ia begitu terkesima dan takjub dengan gerakan

yang digalang kelompok Wahabi dan bercita-cita untuk menerapkannya

nanti, tatkala akan kembali ke Minangkabau. Tiba waktu yang dinantikan.

Pada 1803, ia bersama dua haji lainnya bernama Haji Sumanik dan Haji

Piobang pun pulang ke tanah kelahirannya. Sebelum menuju Mekkah, ia

sempat terlibat dalam penyiaran dakwah Islam yang dimotori oleh Tuanku

Nan Tuo. Ingatan ini begitu membekas, sehingga berbekal ajaran Wahabi

yang dipelajarinya di Tanah Haram, ia merasa terpanggil kembali untuk

melakukan peruntungan kedua untuk menyadarkan masyarakatnya.120

Hamka menambahkan bahwa kejadian-kejadian yang terlihat di

Mekkah, membuat Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang itu begitu

terkesan dan bersemangat. Hal ini dikarenakan mereka segera mengingat

daerah asal mereka, Minangkabau, sebagai lahan yang tepat untuk

dikembangkannya ajaran Wahabi. Menurut mereka orang Minangkabau

hanya mengaku beragama Islam saja, tanpa tergerak untuk mengamalkan

ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Mereka menganggap ajaran Wahabi

                                                            119 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 204-205 120 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 206.  

 

84  

adalah ajaran Islam sejati yang sudah waktunya ditanamkan di

kampungnya.121

Tamar Djaja mengisahkan bahwa Haji Miskin berasal dari keluarga

yang hidupnya jauh dari kecukupan. Orang tuanya adalah petani sederhana.

Sejak kecil, ia sudah rajin mengkaji kitab-kitab berisikan hukum Islam

sembari bekerja. Disebutkan bahwa sebelum atau selepas belajar, Miskin

kecil membantu pengerjaan mengolah sawah di Kampung Kota Lawas.

Waktu senggangnya juga digunakan untuk membantu pengelolaan sawah

gurunya. Ia juga kerap membantu keluarga gurunya Sejak belia, ia lebih suka

hidup dan tinggal di surau.

Karena seringnya belajar, Miskin menjadi murid terpandai di surau.

Ketajaman pikirannya menyita perhatian guru-gurunya. Selapas shalat

subuh, Miskin kerap diperintahkan memijat kaki gurunya. Dari kedekatan

kecil semacam ini membuat gurunya iba pada Miskin yang hidupnya tidak

sejahtera itu. Sang guru pun bertekad akan menyeponsori pendidikan Miskin.

Sejak belia Miskin memang bercita-cita menjadi ulama yang akan

menciptakan pembaruan di kampungnya yang saat itu sudah disesaki dengan

tindak kriminalitas yang dilarang agama.122

Haji Miskin menyadari bahwa menggerakkan suatu perubahan tentu

didahului dengan memperkuat sendi-sendi perjuangan terlebih dahulu. Ia pun

memutuskan berniaga sebagai pintu gerbang mendekati para tokoh setempat.

Salah seorang tokoh masyarakat awal yang didekatinya adalah Datuk

Batuah, seorang penghulu dari Pandai Sikat. Pandai Sikat pada masa itu

terkenal karena tanaman akasia dan kopinya. Haji Miskin menjadi pelanggan

Datuk Batuah. Ketika keakraban sudah tumbuh, mulailah Haji Miskin

                                                            121 Hamka, Ayahku (Jakarta: Penerbit Umminda, 1982) hlm. 15 122 Tamar Djaja, Pusaka Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1965) hlm. 364. 

 

85  

memperkenalkan konsepnya tentang pembaruan bermasyarakat dan

beragama sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Datuk Batuah

menaruh simpati pada Haji Miskin, dan ikut tergerak melakukan proyek

kemanusiaan itu.

Pandai Sikat menjadi lahan pertama persemian ajaran Paderi di tanah

Minangkabau. Oleh sebab ajaran ini disokong oleh penguasa lokal, maka

Haji Miskin merasa bahwa tugasnya ini sedikit ringan. Di Pandai Sikat,

boleh dikatan Haji Miskin “menggunakan seluruh tenaganya untuk

berkhotbah dan memperbaiki keadaan di distrik itu.” Sasaran utama

dakwahnya adalah di pasar, yang saat itu amat lekat dengan praktek-praktek

kriminalitas, seperti perjudian dan sabung ayam. Di sela-sela berkumpulnya

orang, juga didapati di antara mereka ada yang minum-minuman keras dan

menghisap candu. Sungguh pemandangan yang perlu diperbaiki segera,

mungkin demikian pikir Haji Miskin.

Awalnya, Haji Miskin menerapkan cara yang baik-baik untuk

mengingatkan agar masyarakat menjauhi perbuatan-perbuatan yang dilarang

agama tersebut. Ia sering terlihat bekhutbah di titik-titik keramaian pasar,

tempat berkumpulnya para pengadu ayam, pemabuk dan pemadat. Lama-

kelamaan, ia pun berpindah haluan, dari sekedar dakwah lisan ke perbuatan.

Pada suatu ketika, ia pun membakar ajang adu ayam jago, yang selama ini

menjadi kebanggaan orang Pandai Sikat. Perbuatannya ini membuat marah

para orang-orang disekitarnya dan seketika keadaan berubah menjadi

perkelahian. Haji Miskin berhasil keluar dari kemelut itu lantas melarikan

diri ke Kota Lawas.123 Kawannya, Haji Sumanik bernasib sama, mendapat

perlawanan hebat dari masyarakatnya, sehingga ia memutuskan pindah ke

                                                            123 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 207. 

 

86  

Lintau. Hal berbeda dialami Haji Piobang yang tidak menemui halangan

yang berarti dalam dakwahnya.124

Mengenai sabung ayam yang menjadi sasaran orang Paderi, sebenarnya

ini memang termasuk ke dalam golongan penyakit masyarakat dilihat dari

hukum adat. Dalam Tambo Minang disebutkan bahwa: “pasal yang pertamo

halnyo menyambung ayam atau maadu burung atau kaliri, maadu lain-lain

binatang sijantu diluar dusun sudaronyo yang sarumah, maka ayam dan

burung atau kaliri ditangkap dan dibunuh.” Artinya: pasal pertama berisi

tentang mengadu ayam atau binatang lainnya, jika kelak diketahui, maka

binatang aduan itu akan disita (dibunuh).125

Haji Miskin melanjutkan pelariannya sampai di Kamang. Di sana ia

berjumpa dengan Tuanku nan Renceh (bergelar Macan dari Bukit Kemun126)

yang melindungi aktivitas dakwahnya. Dengan segera ajaran-ajaran Paderi

banyak diikuti oleh para warga di Empat Angkat, IV Kota, Candung dan

Kota Tua. Tuanku Nan Renceh juga tak tinggal diam, ia mengajak para

tuanku yang ada di Luhak Agam untuk membentuk suatu persekutuan

menghadapi kaum Adat. Ajakannya berhasil, sekumpulan ulama yang terdiri

dari Tuanku Nan Renceh, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Berapi, Tuanku

Ladang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Galung, Tuanku Biaro dan

Tuanku Kapau. Oleh sebab tindakan dan ajakan dakwah mereka yang keras,

perkumpulan ulama itu kemudian dinamakan Harimau nan Salapan.127

Tuanku Nan Renceh terus memperluas pengaruh Paderi hingga ke

Tilatang, Matur dan Candung, namun tiga daerah ini melakukan perlawanan.                                                             

124 Hamka, Ayahku ..., hlm. 15. 125 Sri Guritno, peny, Tambo Minang …, hlm. 87 dan 163.  126 De Redactie, “Oorsprong der Padaries; Eene Secte op de Weskust van Sumatra”,

dalam Tijdschrift voor Neerland’s Indie, 1e jaargang, 1e deel, hlm. 15.  127 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan terhadap Kolonialisme

(Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, Departemen Pertahanan Keamanan, 1973) hlm. 91. 

 

87  

Penduduk Luhak Limapuluh Kota secara umum telah berpindah menganut

paham Paderi. Di tempat lainnya, pasukan Paderi terlibat pertempuran yang

sengit dengan kaum Adat. Tuanku Koto Tuo, salah satu ulama yang

berpengaruh di Minangkabau saat itu, sampai-sampai turun melerai

pertempuran ini, namun usahanya sia-sia, kedua belah pihak masih saja

saling berebut kemenangan. Keduanya seperti telah mempunyai niat yang

bulat untuk saling mengalahkan.128

Pada dasarnya, kaum Wahabi bermazahab Hambali dan tetap mengakui

tiga mazahab utama lainnya. Oleh sebab itu, kaum Paderi di Minangkabau

tidak mempunyai agenda untuk mengganti mazhab Syafi’i yang telah lebih

dahulu diikuti penduduk dengan mazhab Hambali. Kaum Wahabi juga tidak

mempunyai tujuan untuk meminggirkan aliran sufisme, selama tidak

berpotensi merusak atau mengarahkan orang untuk menyimpang dari ajaran

agama. Untuk yang satu itu, terdapat perbedaan pemahaman dengan yang

dianut kaum Paderi. Kaum Paderi menunjukkan perangai ingin

memberangus ordo tarekat Syattariyah, suatu kelompok sufi yang banyak

dianut di Minangkabau.

Kebencian terhadap kelompok Syattariyah ditunjukannya dengan

membakar Kampung Paninjauan, suatu kampung yang terletak di desa Kapas

Kapas yang merupakan pusat Syattariyah tertua di dataran tinggi

Minangkabau dan didalamnya banyak bermukim para pelajar agama. Setelah

itu, rombongan pasukan Paderi berangkat ke Empat Angkat, dan segera

mengacungkan senjata kepada penduduk Koto Tuo, dan kampung-kampung

di sekitarnya. Peperangan dengan mereka berlangsung sekitar enam tahun.

Pada suatu hari, disetujuilah gencatan senjata oleh kedua belah pihak. Upaya

ini sebenarnya dilakukan sebagai media untuk membujuk Tuanku nan Tuo

                                                            128 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 91.  

 

88  

agar mendukung gerakan Paderi. Namun sang ulama menyatakan tidak

menyetujui sepenuhnya apa yang dilakukan oleh mereka. Peperangan pun

kembali pecah hingga kampung Koto Tuo dan daerah-daerah sekitarnya

hancur, lalu kemudian dikuasai kelompok Paderi.129

Di Luhak Agam dan IV Kota, paham Paderi sudah mulai bersemi dan

banyak mendapat simpatisan. Hal ini terjadi berkat upaya gigih Tuanku nan

Renceh dan Tuanku Mensiangan. Wilayah-wilayah seperti Peninjauan,

Kapas-kapas, Batipuh, Gunung Raja, Ladang Lawas, melakukan perlawanan

tatkala pasukan Paderi datang. Keadaan yang berbeda terjadi di Lembah

Alahan Panjang. Di sini paham Paderi telah banyak dianut penduduknya.

Lembah ini terdiri atas banyak kampung seperti Padang Lawas, Jambak,

Koto, Lubuk Ambacang, Alai, Bonjol, Pasir, Mandari, Padang Sikaduduk,

Marapak, Caniago, Talang, Tanjung Bungo dan Padang Bubus. Di sebelah

timur lembah ini terdapat Bukit Terjadi, dan di kaki bukit sebelah barat bukit

ini terdapat kampung Bonjol, kampung yang dikemudian waktu menjadi

pusat komando Paderi di Minangkabau.

Kampung Bonjol dipimpin oleh seorang pemimpin adat tertinggi di

Alahan Panjang yang bernama Datuk Bandaro. Kampung ini kemudian

dibangun menjadi sebuah benteng pertahanan. Kepemimpinan Datuk

Bandaro tidak bertahan lama, ia berpulang akibat keracunan makanan.

Kedudukannya digantikan oleh Peto Syarif yang kemudian mendapat gelar

Tuanku Imam Bonjol. Penunjukkannya sebagai pemimpin Bonjol tidak

terlepas dari wasiat Datuk Bandaro.

Tuanku Bonjol dilahirkan dengan nama Muhammad Syahab pada tahun

1774. Ia merupakan putra dari Chatib Bajanuddin, seorang yang berasal dari

                                                            129 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 214.  

 

89  

suku Melayu yang tinggal di Kampung Bubus di Tanjung Bungo. Chatib

Bajanuddin menikah dengan Hamatun dari suku Koto. Muhammad Syahab

adalah anak pertama, ketiga adiknya adalah perempuan. Chatib Bajanuddin

dikenal sebagai pribadi yang alim dan guru agama yang rajin dan pandai.

Oleh sebab pembawaannya itu ia mendapat gelar Peto (Pendito).

Muhammad Syahab seperti melanjutkan kiprah sang ayah. Ia juga termashur

karena kedalaman ilmu agamanya. Dia pun memperoleh gelar Peto Syarif,

baru kemudian ia menyandang gelar Tuanku Mudo dan pada akhirnya

Tuanku Imam Bonjol.130

Ketika tentara Paderi sedang gencar melakukan persebaran dakwahnya,

di pesisir barat pantai Sumatera, Inggris juga sedang giat melebarkan

pengaruhnya. Mereka sudah membuka kantor dagang di Air Bangis, Padang

dan Pulau Cinkuk. Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles melawat ke

Padang pada tahun 1818. Keberadaan Inggris menerbitkan kegembiraan di

kalangan kaum Adat. Dua orang Tuanku dari Suruaso yang mewakili Raja

Minangkabau datang menghadap Raffles. Mereka bernama Tuanku Tangsir

Alam dan Sultan Kerajaan Alam. Maksud kedatangan mereka adalah

meminta Inggris untuk membantu mengalahkan kaum Paderi.

Raffles tidak segera mengiyakan permintaan utusan Raja Minangkabau.

Ia membutuhkan waktu untuk melihat segala macam kemungkinan terkait

untung dan ruginya. Ia menyempatkan diri datang ke Padang Darat pada 18

Juli 1818. Dalam kunjungannya itu ia sempat bertemu dengan perwakilan

Paderi untuk bekerjasama. Maksud itu ditolak oleh kelompok Paderi. Raffles

memang sangat tertarik pada alam pedalaman Minangkabau yang subur itu.

Kesempatan yang tersedia kini hanyalah dengan menjalin kerjasama dan

mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Minangkabau.

                                                            130 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 91-93.  

 

90  

Upaya itu nyatanya tidak langsung tercapai, karena sesuai dengan

kesepakatan Traktat London, Inggris harus menyerahkan kembali wilayah

bawahan Belanda ke tangan Belanda. Kedudukan mereka di beberapa

wilayah di Pantai Barat Sumatera, semula adalah daerah yang dikuasai

Belanda. Pemerintah Belanda menunjuk James Du Puy sebagai Residen.

Setelah perpindahan kekuasaan itu, kaum adat pun datang kepadanya untuk

meminta bantuan mengalahkan kelompok Paderi.

Kota Padang yang dijadikan sebagai tempat pemerintahan residen,

sekaligus ditetapkan sebagai markas militer. Dari sini seluruh aliran serangan

ke kantong-kantong orang Paderi ditetapkan dan diberangkatkan. Sampai

dengan menyentuh abad 20, Padang juga ditetapkan sebagai pusat

perdagangan Belanda. Saat itu Padang sudah menjelma menjadi kota yang

dihuni oleh warga campuran, yakni sebagain warga asing dan yang lain

adalah pribumi. Sudah sejak lama kota ini dikunjungi oleh orang Eropa

lainnya, seperti Inggris, Prancis dan Portugis, baru belakangan orang Cina

mulai berdatangan.131

Pada tanggal 10 Februari 1821, Residen du Puy bersama dengan Tuanku

Suruaso diikuti oleh 14 Penghulu yang mewakili Raja Minangkabau

mengadakan perjanjian. Seminggu berselang, yakni pada 18 Februari 1821,

pasukan Belanda sudah menguasai Simawang dengan kekuatan seratus orang

serdadu di bawah komando seorang Letnan dan diperkuat dengan dua

meriam. Sejak saat itu, kaum Adat mulai mundur dari medan perang. Kaum

Paderi menghadapi musuh baru, yakni pasukan Belanda. Kaum adat kembali

ke posisinya sebagai kepala adat, namun kini sudah menjadi boneka Belanda.

                                                            131 Mardanas Safwan, Sejarah Kota Padang (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan

Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan , Departemen P dan K, 1987) hlm. 2.  

 

91  

Sejak saat itu peristiwa yang dikatakan perang Paderi telah benar-benar

berlangsung.

Raja Pagaruyung sebagai penguasa yang berpengaruh di Minangkabau

nyatanya tidak mampu berbuat banyak memotong gerak pasukan Paderi. Hal

ini dikarenakan kedudukannya yang dianggap sebagai simbol belaka oleh

sebagian nagari (negeri). Pada umumnya nagari bebas untuk menentukan

adat istiadatnya sendiri di bawah pimpinan pengulu dari setiap suku.132 Hal

ini pula yang menyebabkan mudahnya pasukan Paderi memperluas wilayah

dominasinya, karena setiap nagari bisa saja memiliki pandangan politik yang

saling beragam. Raja Pagaruyung, pada kenyataannya, hanya bisa

menyaksikan dari jauh tanpa bisa melindungi mereka.

Masa kaum Paderi melawan Belanda bisa dibagi menjadi tiga masa.

Masa pertama berlangsung sejak tahun 1821 hingga 1825 yang ditandai

dengan semakin melebarnya perlawanan rakyat hampir di seluruh alam

Minangkabau. Masa kedua terjadi pada 1825 sampai 1830, yang poin

pentingnya adalah perang yang berhenti secara berangsur-angsur, oleh

karena pihak Paderi setuju untuk membuat perjanjian dengan Belanda. Ada

dua faktor utama yang melatarbelakangi surutnya perang yakni pasukan

Paderi yang semakin melemah dan keengganan Belanda untuk mengirim

kekuatan militer yang lebih besar ke Minangkabau. Di belahan Nusantara

lainnya, saat itu Belanda juga disibukkan dengan Perang Jawa yang digalang

oleh Pangeran Diponegoro. Masa ketiga berlangsung dari tahun 1830 sampai

dengan 1838. Pada rentang waktu ini ditandai dengan perlawanan yang

kembali ditingkatkan oleh kaum Paderi dan penyerbuan dalam jumlah yang

besar dari pihak Belanda. Perang ini diakhiri dengan tertangkapnya beberapa

                                                            132 Mhd. Nor, “Raja Pagaruyung di Minangkabau dalam Perspektif Sejarah” dalam

Analisis Sejarah, Vol. 5, No. I, 2014, hlm. 63.  

 

92  

pemimpin Paderi133 yang berimbas pada semakin lemahnya daya tempur

pasukannya.

B. Kaum Paderi dan Ajaran Wahabi

Pemahaman Islam kaum Paderi dekat dengan ajaran Wahabi. Hal ini

dikarenakan persinggungan antara para tokoh awal Paderi Minangkabau

yang sempat mencari ilmu dan menyaksikan gerakan Wahabi di sekitar

Haramain. Mereka merasa inilah ajaran Islam yang sesungguhnya dan perlu

untuk disebarluaskan di kampung halamannya.

Merebaknya ajaran Wahabi bertalian dengan gejolak dunia Islam abad

19 yang dimeriahkan oleh kemunculan cara pandang baru mengenai

pemaknaan Islam. Berbagai tradisi dan budaya yang menambah ajaran-

ajaran Islam sebagaimana yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad

dikatakan sebagai sumber kemunduran umat Islam. Ajaran tambahan itu

dipandang sebagai takhayul, bid’ah dan khurafat. Tiga istilah ini bersumbu

pada pandangan mengakomodir ekspresi budaya lokal, baik yang bersifat

transendental (ketuhanan) maupun syariat (hukum Islam) dalam hukum

Islam utama (bersumber dari al-Qur’an dan hadis).

Oleh sebab itu, munculnya agen-agen pembaharu Islam, seperti Haji

Miskin dan dua kawannya, dibutuhkan untuk memberantas praktek-praktek

ibadah yang tidak ditemukan landasan hukumnya dalam kanon umat Islam

(al-Qur’an dan hadis). Jika ini tidak dilakukan, kaum pembaharu Islam

                                                            133 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 93-94. 

 

93  

percaya bahwa umat Islam akan selamanya berada dalam keterbelakangan

ditambah pula akan semakin menderita oleh pendudukan kolonial Eropa.134

Bentuk ajaran Wahabi yang ditemukan dalam aktivitas Paderi memang

mempunyai perbedaan dengan yang ada di Tanah Arab. Terdapat

penyesuaian-penyesuaian tertentu, terutama dalam hal memperkenalkan

paham ini ke tengah masyarakat. Keadaan sosial antara yang terjadi di Tanah

Arab dengan Minangkabau juga melatarbelakangi perbedaan itu. Haji Miskin

harus menjadi pedagang dahulu untuk dekat dengan Datuk Bandaro

misalnya, merupakan salah satu kasus yang belum ditemukan kaum Wahabi

yang ada di Arabia.

Ajaran Wahabi semula adalah bagian dari aliran teologis Ahl al-sunnah

wal jama’ah. Pondasi-pondasi utama dari ajaran ini juga tidak jauh berbeda

dengan Islam sunni. Penolakan mereka pada tradisi Islam yang menurut

mereka tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadis menjadi salah satu ciri

utama ajaran ini yang kemudian menjadi pembeda dari ajaran Ahl al-sunnah

dan jama’ah.

Di Arab, kaum Wahabi tidak menamakan dirinya sebagai Wahabi

melainkan menyebut diri mereka al-Muwahhidun atau ahl al-Tauhid. Nama

tersebut sekaligus menjadi identitas eksklusif mereka sebagai penganut

ajaran Tauhid yang benar menurut kelompok mereka. Inti ajaran Islam

adalah tauhid. Adapun tambahan-tambahan ritual ibadah lain di luar sumber

hukum Islam (al-Qur’an dan hadis) adalah syirik dan tertolak.135

                                                            134  Muhammad Dahlan M, “Motivasi Kebangkitan Dunia Islam Abad XIX-XX”,

Jurnal Adabiyah, Vol. XV, No. 1, 2015, hlm. 2-3. 135 Hamid Algar, Wahhabisme Sebuah Tinjauan Kritis (Jakarta: Democracy Project,

2011) hlm. 19-21.  

 

94  

Penyebutan Wahabi juga erat kaitannya dengan salafi. Kedua istilah ini

berbeda secara redaksi namun mempunyai kesamaan pemaknaan, yakni

segolongan Muslim yang menjalankan ketentuan al-Quran dan Sunnah Nabi

SAW dengan pemahaman dan keimanan yang murni. Mereka menolak

inovasi beragama sebagaimana yang terdapat dalam komunitas Muslim

lainnya yang telah berlangsung sejak lama.

Sebenarnya, di dalam tubuh salafi terdapat dua kelompok, yakni yang

setuju penggunaan kekerasan dan tidak setuju kekerasan. Kekerasan dan

pemaksaan kepada kelompok Muslim lain dilakukan oleh mereka yang

meyakini jihad fisik adalah suatu upaya untuk merubah keadaan masyarakat

yang salah menurut mereka. Namun, sebagian yang lain menolak langkah

tersebut dan lebih memilih upaya penyadaran lainnya, seperti merangkul

para pemimpin Muslim dunia.136

Menurut Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787), pendiri ajaran

Wahabi terdapat tiga pondasi tauhid dalam ajarannya. Pertama, adalah tauhid

al-rububiyah yang bermakna pengakuan bahwa hanya Allah yang

mempunyai sifat ketuhanan (sifat rabb), penguasa serta pencipta dunia, yang

menghidupkan sekaligus yang mematikan. Kedua, tauhid al-asma’ wa al-

sifat yang menerangkan tentang pembenaran nama-nama dan sifat-sifat yang

tersebut dalam al-Qur’an. Manusia tidak diperbolehkan menafsirkannya serta

menyematkan nama dan sifat tersebut kepada siapapun selain Allah. Dan

bentuk tauhid yang terakhir adalah tauhid al-ibadah, yakni seluruh bentuk

ibadah manusia dialamatkan kepada Allah.

                                                            136 Quintan Wiktorowicz, “A Geneology of Radical Islam” dalam Journal of Studies in

Conflict & Terrorism, Vol. 28, no. 2, 2005, hlm. 75. Didunduh dari http://www.tandfonline.com//. Pada Pukul 07.49 WIB, Kamis 11 Agustus 2016. 

 

95  

Prinsip tauhid al-ibadah melandasi cara ekspresi keislaman kelompok

Wahabi. Pada titik ini akan ditemukan pemahaman mengenai kekufuran bagi

mereka yang berseberangan dengan ajaran Wahabi. Penganut Wahabi hanya

ingin melaksanakan perintah agama yang jelas termaktub dalam al-Qur’an

dan melepaskan diri dari tradisi-tradisi keislaman meskipun itu sudah

dilakukan selama berabad-abad seperti ziarah kubur, pembacaan maulid

Nabi, atau menyertakan nama orang-orang suci Islam dalam berdoa

(tawassul) dan lain sebagainya. Mereka tidak segan menyalahkan dan

mengkafirkan Muslim yang masih menjalankan tradisi seperti itu.137

Kaum Wahabi cenderung tertuju pada sebagian literatur yang

diyakininya benar. Biasanya mereka banyak bersandar pada kitab-kitab yang

ditulis oleh Ibnu Taimiyah (w. 1328), seorang sarjana Islam terkenal, atau

kepada kitab-kitab yang ditulis Muhammad bin Abdul Wahab sendiri. Selain

dari dua ulama serta ulama Wahabi lainnya mereka tidak ingin menjadikan

pendapatnya sebagai rujukan. Hal ini pula yang mengindikasikan mereka

termasuk dalam golongan yang fanatik memegang ajarannya.

Kemudian, mereka berkeyakinan bahwa yang melakukan ritual

keislaman yang tidak ditemukan dalilnya dalam al-Qur’an adalah musyrik.

Mereka berpandangan bahwa kaum musyrik ini bukan hanya wajib

diingatkan, melainkan juga boleh diperangi. Membunuh mereka, mengambil

harta mereka serta menjadikan perempuan dan anak-anak mereka sebagai

budak adalah sesuatu yang dibenarkan. Kejadian itu pernah dialami oleh

umat Muslim di Karbala dan Thaif pada 1803 yang mendapat sebuan dari

                                                            137 Hamid Algar, Wahhabisme …, hlm. 46-47.  

 

96  

kaum Wahabi. Di tahun yang sama, Mekkah berhasil mereka kuasai lewat

perang, menyusul Madinah setahun berikutnya.138

Kaum Wahabi meyakini bahwa umat Muslim sudah diperdaya oleh hal-

hal yang menyesatkan. Sebab itu, mereka menyerukan kepada mereka untuk

memurnikan lagi ajaran mereka. Sudah saatnya mereka meninggalkan

aktivitas keagamaan yang dianggap kaum Wahabi sebagai bid’ah (praktek

baru dalam beragama) seperti membaca Barzanji (kitab maulid Nabi SAW),

zikir-zikir tarekat dan lain sebagainya. Kaum Wahabi bukan hanya

memerangi penyimpangan yang baru di temukan dalam masanya, tetapi juga

yang sudah ditradisikan sejak masa dahulu.139

Sebelum tersiarnya ajaran Wahabi ke seantero Semenanjung Arab,

masyarakat Hijaz hidup dalam pengamalan tradisi sebagaimana yang

disebutkan di atas. Bukan hanya pada hari besar Islam saja orang-orang

melakukan ziarah kubur, setiap minggu sekali, banyak kalangan yang

mengnjungi pemakaman Baqi’, tempat para sahabat Nabi SAW dikuburkan.

Para peziarah makam Nabi juga banyak yang melemparkan bunga-bunga

basah atau kering ke makam Nabi sebagai bentuk penghormatan.

Para penjaga makam Nabi SAW sesekali mengambil kembali bunga-

bunga peziarah dan lilin penerangan makam. Kemudian, mereka keluar dan

membagi-bagikan barang itu untuk para peziarah lainnya, terutama bagi

mereka yang datang dari tempat yang jauh. Muhammad Alwi al-Maliki,

seorang ulama Mekkah mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa tindakan itu

                                                            138 Carl Brockelmann, History of The Islamic Peoples (London: Routledge & Kegan

Paul Limited, 1949) hlm. 354.  139 Hamid Algar, Wahhabisme …, hlm. 48-51.  

 

97  

adalah mengambil kebaikan (tabarruk) dari pennggalan Nabi Muhammad.

Tabarruk adalah bentuk lain dari tawassul.140

Kondisi geografis dunia Arab yang terasing dari pantauan orang-orang

Eropa terutama Inggris, membuat penyemaian paham Wahhabi semakin

tidak terbendung. Inggris sebagai salah satu negara Eropa yang mempunyai

pengaruh kuat dalam perpolitikan Timur Tengah pada akhir abad 18 hingga

awal abad 19, tidak banyak melakukan korespondensi maupun kontak politik

dengan para penguasa dan ulama Wahhabi di Saudi Arabia. Para pejabat

Inggris di Timur Tengah dan India lebih banyak menuangkan perhatiannya

pada upaya penghentian aktivitas bajak laut di teluk Persia. Iklim politik

yang kondusif menjadi salah satu faktor kunci gencarnya persebaran ajaran

Wahhabi ke mancanegara.141

Muhammad bin Abdul Wahhab mempunyai pandangan yang sama

dengan Muhammad Abduh, seorang pembaharu Islam lain asal Mesir,

mengenai urgensi kebangkitan umat Islam. Mereka beranggapan bahwa

penting bagi umat Muslim untuk segera tersadar dan melibatkan diri dalam

kerja besar mematahkan dekadensi dan keterpurukan yang menimpa

masyarakat mereka. Usaha itu diperlukan agar umat Islam dapat mencicipi

kegemilangan masyarakat Islam di masa lalu. Upaya ini juga dibutuhkan

untuk mengimbangi bahkan mengalahkan kekuatan Barat yang di abad 18

dan 19 sudah mulai melingkupi dunia Islam.142

                                                            140 Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci; Hijaz (Mekah dan Madinah)

1800-1925 (Ciputat: Logos, 1999) hlm. 99-100.  141 Julia Stephens, “The Phantom Wahhabi: Liberalism and the Mulslimfanatic in mid-

Victorian India”, dalam Modern Asian Studies, Vol. 47, No. 1, Januari 2013, hlm. 27. 142 David Commins, “From Wahhabi to Salafi” dalam Bernard Heykel dkk, Saudi

Arabia in Transition; Insight on Political, Econimic and Religious Change (New York: Cambridge University Press, 2015) hlm. 152. 

 

98  

Keyakinan Tiga Haji Minang akan ajaran Wahabi, memang tidak

tumbuh begitu saja, melainkan adalah dampak dari keinginan mereka

berhaji. Sudah bukan rahasia lagi, banyak kaum Muslim Nusantara yang

mendambakan pergi ke Mekkah. Di samping itu, status haji di mata

msyarakat menempati posisi yang mulia. Mereka yang baru pulang berhaji,

kerap disebut sebagai pendeta Islam (ulama) yang bisa menjadi sandaran

masyarakatnya.143

Mereka seperti sudah sadar diri, sebagai pendatang baru, mereka tidak

mempunyai modal sosial apa-apa. Pengetahuan keislaman baru yang

dimilikinya tentu saja tidak lantas akan bisa didakwahkan dengan mulus dan

lancar di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, status haji yang disandangnya

menjadi modal penting untuk mereka terjun ke masyarakat. Gelar haji

membuat mereka lebih nyaman dan dipercaya membicarakan masalah

agama.

Orang Paderi berkeyakinan bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya

sumber hukum utama. Mereka mengkaji secara teliti rujukan utama Islam itu

dan mengamalkan segala perintah di dalam kitab itu. Mereka tidak

memberikan pemaknaan (tafsir) yang jauh dari apa yang tertulis dalam al-

Qur’an. Artinya, mereka benar-benar menjalankan perintah al-Qur’an

dengan tidak lagi menimbang apa maksudnya, karena berpotensi menyalahi

apa yang tertulis di dalamnya. Orang Paderi juga dikenal karena tekadnya

yang kuat.144

Gerakan pemurnian agama yang akan dilakukan, mendapatkan

perlawanan yang kuat dari kelompok tradisional. Untuk itu, mereka tentu

                                                            143 Jacob Vredenbregt, “Ibadah Haji Beberapa Ciri dan Fungsinya di Indonesia” dalam

Murni Jamal dkk, ed, Indonesia dan Haji; Empat Karangan di Bawah Redaksi Dick Douwes dan Nico Kaptein (Jakarta: INIS, 1997) hlm. 6.  

144 De Redactie, “Oorsprong der …”, hlm. 114-115 dan 124.  

 

99  

sudah menimbang dengan cermat bagaimana merumuskan langkah awal

yang efektif. Dengan mendekati beberapa tokoh agama, seperti Datuk

Batuah dan Tuanku nan Renceh145, tugas dakwah mereka bisa terlaksana

dengan lebih baik. Pengaruh dari tokoh-tokoh Islam lokal agaknya menjadi

gerbang pembuka tersiarnya paham yang mereka bawa ke seantero tanah

Minangkabau.

Di sebagian besar Sumatra, termasuk di Minangkabau, banyak guru

Islam tradisional yang dikenal karena kekeramatannya. Keramat di sini

dihubungkan pada kejadian-kejadian di luar nalar manusia biasa, dan erat

kaitannya dalam dunia mistik. Oleh Gottfried Simon mereka disebut The Old

Sorcerer (Penyihir Tua). Dengan keistimewaannya ini banyak orang yang

datang dan berguru padanya.146 Kelebihannya ini bukanlah dibuat-buat

semata, melainkan adalah pemberian (gift) dari Tuhan karena ketaatannya

dalam beribadah.147

Saat pertama datang ke Minangkabau, Tiga Guru Paderi dihadapkan

pada kebesaran nama para guru tua yang dikenal karena kekeramatannya.

Mereka membutuhkan pengaruh yang besar untuk mengimbangi popularitas

para guru tua, seperti halnya Tuanku Koto Tua. Oleh sebab itu, mereka perlu

menggalang kekuatan dengan mendekati ulama-ulama lainnya yang sepaham

dengan gagasan mereka agar pengaruh mereka kian mengakar.

Tentu tidak mudah untuk mengajak pengikut yang loyal kepada ajaran

Wahabi. Untuk itu, satu hal yang perlu ada di dalam pengikut Paderi adalah

fanatisme. Fanatisme orang Paderi, adalah suatu tekad yang kuat untuk

                                                            145 Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan …, hlm. 90-91.  146 Gottfried Simon, The Progress and Arrest in Sumatra (London: Marshall Brothers

Ltd., tanpa tahun) hlm. 82-83.  147Raymound L.R. Archer, “Muhammadan Mysticism in Sumatra”, dalam Journal of

Malayan Branch Royal Asiatic Society (JMBRAS), Vo. XV, Part II, 1938, hlm. 91.  

 

100  

mencapai suatu tujuan. Tiga Haji Minangkabau memperoleh kesungguhan

tekad menyebarkan Wahabi sejak berada di Hijaz.148 Keyakinan ini pula

yang kemudian mereka tularkan kepada sesama ulama dan para pengikutnya.

Selanjutnya, kelompok Paderi memperlebar pengaruhnya. Mereka

berhasil mengajak beberapa wilayah di Minangkabau, seperti Alahan

Panjang, Lubuk Sikaping, Alahan Mati dan Kumpulan menjadi kampung

Paderi. Hukum Melayu (tradisional) yang telah dijalankan selama bertahun-

tahun diganti dengan hukum Paderi yang bersumber dari al-Qur’an, dengan

tanpa disertai penjelasan lebih lanjut, atau dengan kata lain sumber al-Qur’an

secara utuh dan tetap adanya.149

Pemukiman orang Paderi amatlah berbeda dengan kampung

Minangkabau pada umumnya. Di pemukiman mereka syariat Islam

dijalankan sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan Sunnah. Di Bonjol

misalnya, hukum Islam dianggap sebagai kemenangan yang dibanggakan

oleh orang Paderi. Di sana Imam Paderi beserta para dewannya berada, dan

dikelilingi oleh para pengikutnya. Banyak para simpatisan serta pengikut

yang memutuskan untuk membangun rumah di Bonjol agar dekat dengan

pemimpinnya. Akibatnya Bonjol yang semula kampung kecil perlahan

berubah menjadi wilayah dengan jumlah penduduk yang terus membesar.

Bahkan, Belanda yang memang tidak setuju dengan kedudukan kaum Paderi

menyebut kampung ini sebagai kampung yang penuh dengan keburukan,

karena posisinya sebagai pusat kaum Paderi di Minangkabau.150

Sumber lain menyebutkan bahwa tidak seluruhnya gerakan Paderi di

Minangkabau melakukan kekerasan untuk mencapai cita-citanya. Datuak

                                                            148 De Redactie, “Oorsprong der …”, hlm. 113.  149 De Redactie, “Oorsprong der …”, hlm. 123.  150 De Redactie, “Oorsprong der …”, hlm. 125. 

 

101  

Bandaro seorang kepala adat di Alahan Panjang misalnya, tidak langsung

membawa ajaran Paderi ke tengah masyarakatnya. Datuak Bandaro adalah

pengagum Haji Miskin dan teman dekat Tuanku Nan Renceh. Ia sepakat

kepada dua ulama itu untuk membangun tatanan masyarakat yang sesuai

dengan hukum Islam.

Suatu hari, sepulangnya dari suatu acara khotbah Haji Miskin di Agam,

Datuak Bandaro ingin sekali menerapkan hukum Islam secara penuh di

kampungnya. Namun begitu, ia sempat ragu karena salah satu tokoh

terpandang di sana, Raja Ampek Sila, membuat arena sabung ayam di dekat

masjid, bahkan pelaksanaannya kerap dilakukan saat orang melaksanakan

shalat Jumat. Keraguannya timbul setelah berpikir bahwa seruannya untuk

kembali mengamalkan Islam tentu saja tidak langsung mendapat tanggapan

positif masyarakatnya. Saat itu, ia belum siap untuk beradu fisik dengan para

pendukung Raja Ampek Sila atau orang-orang yang masih menjalankan

praktek sabung ayam lainnya.

Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan untuk membangun

kampung sendiri. Kampung ini dikemudian hari dikenal dengan nama

Bonjol. Dari sini, Datuak Bandaro menjadi pelopor kaum adat yang

mendukung gerakan Paderi memerangi pelaku sabung ayam, peminum arak

dan penjudi. Kedudukannya masihlah dianggap sebagai pemangku adat.

Berbeda dengan pemangku adat lainnya di luhak Agam, Tanah Datar dan di

luhak nan bungsu Lima Puluh Kota yang justru menjadi lawan gerakan

Paderi, ia adalah segelintir kaum adat yang justru menginginkan agar hukum

Islam diterapkan secara penuh di Minangkabau.151

                                                            151 Safwan Razi, “Negoisasi Islam Kultur dalam Gerakan Paderi Rao di Sumatera

Tengah (1820-1833) dalam Kalam, Vol. 6, No. 1, Juni 2012, hlm. 92-93.  

 

102  

Pada prakteknya, terdapat kesamaan gerakan Paderi Minangkabau

dengan yang ada di Semenanjung Arab. Keduanya berjuang menggulingkan

tatanan masyarakat yang dianggapnya telah jauh melenceng dari ajaran Islam

yang sesungguhnya. Keduanya sama-sama menggunakan jalur kekerasan

sebagai upaya utama menanamkan gagasan dan pengaruhnya. Di

Semenanjung Arab, kaum Wahabi berusaha melepaskan Hijaz dari kuasa

Turki Usmani lewat perwakilan syarif Mekkah sekitar tahun 1924-1925,152

sedangkan di Minangkabau, kaum Paderi melawan ketimpangan sosial

akibat kontrol agama dan pemerintahan yang lemah yang mengakibatkan

maraknya praktek kemaksiatan, seperti sabung ayam dan berjudi. Gerakan

Paderi tampil untuk memberantas penyakit masyarakat itu dengan kekuatan

fisik.153

Meskipun begitu, terdapat perbedaan yang signifikan dari kedua

kelompok di atas, terutama mengenai kontinuitas (kelanjutan)

perjuangannya. Kaum Wahabi mendapatkan kemenangannya tatkala berhasil

merebut Hijaz dari tangan syarif Mekkah dan menghilangkan pengaruh

Turki Usmani secara berngasur-angsur. Dengan perlahan mereka

membangun kekuatan politiknya sehingga menjadi penguasa atas

Semenanjung Arab.154 Di sisi lain, kaum Paderi segera mendapatkan lawan

lain, yakni kolonial Belanda yang juga mengupayakan dominasi politik atas

Minangkabau.

                                                            152 Syarif adalah semacam pimpinan di Mekkah yang juga membawahi sebagian

wilayah Semenanjung Arab dan bertanggung jawab di bawah pemerintahan Turki Usmani. Ketika syarif mmegang tampuk kepemimpinan di Hijaz, masa ini dikenal sebagai periode Nizam al-Asyraf, dan pada masa gerakan Paderi berlangsung di Semenanjung Arab memasuki periode kedua Nizam al-Asyraf yang berlangsung dari 1800 – 1925. lebih lanjut lihat Badri Yatim, Sejarah Sosial …, hlm. 142 dan 156.  

153 Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra 1927-1933 (New York: Cornell University, 1971) hlm. 5.  

154 Badri Yatim, Sejarah Sosial …, hlm. 156.   

 

103  

Menanggapi hal di atas, terjadi perubahan cara berpikir di kalangan

Paderi. Semula, gerakan mereka ditujukan untuk merubah tatanan

masyarakat yang menurutnya telah hancur akibat lemahnya kontrol

pemimpin dan agama ke arah masyarakat Islam di mana hukum Islam

dijalankan oleh masyarakatnya. Begitu datang pasukan kolonial, gerakan

mereka dengan cepat berubah menjadi perlawanan rakyat atas penjajah yang

terang-terang ingin memantapkan pengaruh politik di Minangkabau. Terlebih

mereka juga didukung oleh kaum adat yang menjadi lawan orang Paderi

sebelumnya.

Gerakan Wahhabi pada abad 19, sudah menjadi momok bagi suatu

kuasa kolonial di Asia. Bukan hanya di Sumatera Barat, di belahan dunia

lain, tokoh serta penggiat Wahhabi terlibat dalam aksi-aksi makar terhadap

kuasa kolonial di wilayahnya. Salah satu yang bisa diketahui adalah laporan

tentang ditangkapnya dua orang pebisnis India bernama Ahmad dan

Hashmadad Khan pada Juli 1869 oleh pemerintah kolonial Inggris di India.

Mereka adalah anggota dari Masyarakat Pebisnis Calcutta (Calcutta’s

Business Community). Keduanya dikirim dan dipenjara di Bihar dengan

tanpa prosedur hukum formal. Ahmad dan Hashmadad Khan dituduh telah

membiayai pemberontakan Wahhabi di pos pertahanan Inggris di barat laut

India.

Sekitar tahun 1860-an, di India, istilah “Wahhabi” merujuk pada aneka

ragam gerakan Muslim yang menyuarakan reformasi dan mengambil jalur

poitik sebagai corong partisipasi mereka dalam pergaulan antarelit India.

Belakangan, kaum Wahhabi di India dilabeli sebagai gerakan politik yang

mengancam kepentingan pemerintah Inggris di sana. Mereka dianggap

sebagai lini militer yang akan menggulingkan kuasa kerajaan Inggris di

negeri jajahannya itu. Hampir sama dengan yang ditemukan di

 

104  

Minangkabau, Wahhabi di India dekat dengan paham fanatisme agama dan

anti-kolonialisme Eropa.155

C. Perubahan Model Pendidikan Masa Paderi

Kedatangan kaum paderi ternyata berdampak pula pada pengajaran

agama dan ilmu pengetahuan lainnya di Minangkabau. Para sarjana yang

berasal dari Mekkah tidak hanya menyibukkan diri pada dakwah untuk

merubah moral dan perilaku buruk orang-orang di kampungnya, melainkan

juga menyempatkan diri membuka kelas guna mencetak generasi baru yang

terpelajar. Generasi inilah yang mereka jadikan manusia tercerahkan sesuai

dengan ajaran-ajaran yang didapat sang guru tatkala di Mekkah. Boleh

dikatakan masa ketika kaum Paderi berkuasa, harkat dan martabat ilmu-ilmu

agama semakin naik, bahkan mutunya tidak kalah dengan yang ditemukan di

Mekkah.

Masuknya pengaruh Paderi ke dalam jantung Minangkabau, lebih luas

bahkan dikatakan sebagai awal mula munculnya ortodoksi dalam Islam

Melayu.156 Wajah Islam Minangkabau adalah mewakili wajah Islam Melayu

yang mengalami pergesekan dengan pengaruh Wahabi. Tidak bisa dipungkiri

merebaknya paham Wahabi ikut merubah beberapa struktur keislaman di

tataran masyarakat. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan nuansa romantisme

yang kuat, yakni menjadikan Minangkabau mendekati bentuk masyarakat

ideal sebagaimana yang ditemukan di Makkah ketika dipimpin oleh

kelompok Wahabi.

                                                            155 Julia Stephens, “The Phantom Wahhabi …”, hlm. 23-24.  156 Mohd Faizal bin Musa, “Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu” dalam

Jurnal al-Qurba, 1 (1), 1 – 23, 2010, hlm. 13.  

 

105  

Taufik Abdullah menerangkan bahwa kelompok Paderi menolak

keseimbangan antara adat dan agama. Kaum Paderi tidak hanya sekedar

“memurnikan ajaran agama” namun bertindak lebih jauh, menerapkan

konsep Wahabi ke dalam perangai dan perilaku kesehariannya. Mereka

melakukan pembaharuan hukum Islam yang semula berseberangan dengan

paham mereka, dan itulah yang mereka maksud sebagai harmoni yang

sebenarnya. Para milisi mereka tidak segan melawan hukum-hukum Islam

tradisional yang sejak lama dianut penduduk.157 Untuk menciptakan generasi

semacam itu, sudah barang tentu mereka membutuhkan tempat dan

kurikulum belajar yang memadai.

Bahasa Arab mulai diperkenalkan sebagai bahasa pengantar pendidikan

pada masa ini. Penguasaan terhadap bahasa membawa dampak pada

perubahan kurikulum model pengajaran lama. Jika dahulu pelajaran sharaf,

nahwu, fiqih dan tafsir dalam setiap tingkatan menggunakan satu macam

kitab, kini yang dikaji adalah berbagai macam kitab. Ilmu nahwu misalnya,

para murid akan mengkaji kitab-kitab seperti al-Jurumiyah, ‘Asymawi, Syekh

Khalid Azhari. Qathrun-Nada, Alfiyah (Ibnu Aqil), ‘Asymuni dan lain-lain.

Dalam kajian ilmu sharaf, kitab yang digunakan antara lain al-Kailani,

Taftazani dan yang lainnya. Pelajaran fiqih menggunakan kitah Fathul

Qarib, Fathul Mu’in, Iqna’, Fathul Wahab, al-Mahalli, bahkan terkadang

hingga mencapai kitab Tuhfah dan Nihayah. Sedangkan untuk ilmu tafsir,

menggunakan kitab Tafsir Jalalain, Baidlawi, Khazin dan sebagainya.

Oleh karena semakin populernya bahasa Arab sebagai bahasa

pengetahuan, membawa serta pada kenyataan semakin berkembang dan

beragamnya ilmu-ilmu agama yang dikaji di Minangkabau pada masa itu,

bahkan hingga mencapai dua belas jenis ilmu, antara lain:

                                                            157 Taufik Abdullah, Schools adn Politics …, hlm. 5. 

 

106  

1. Ilmu Nahwu

2. Ilmu Sharaf

3. Ilmu Fiqih

4. Ilmu Tafsir

5. Ilmu Tauhid

6. Ilmu Hadis

7. Ilmu Musthalah Hadis

8. Ilmu Mantiq (logika)

9. Ilmu Ma’ani

10. Ilmu Bayan

11. Ilmu Badi’

12. Ilmu Ushul Fiqih.158

Kemudian, perkembangan ilmu pengetahuan juga berdampak pada

kurikulum pengajaran keilmuan. Mahmud Yunus menyebutkan bahwa pada

masa transisi ini, setidaknya terdapat dua tingkat pendidikan yang ditempuh

oleh para murid yakni:

1. Pengajian al-Qur’an, yakni sebagaimana yang biasa dilakukan

sebelum tahun 1900

2. Pengajian Kitab, pengajian ini tersusun dari beberapa jenjang, yakni:

a. Mengaji ilmu nahwu, sharaf dan fiqih dengan mengacu pada

kitab; Al-Jurumiyah, Matan Bina’, Fathul Qarib dan

sebagainya

b. Mengkaji ilmu tauhid, nahwu, sharaf, fiqih, dengan menelaah

kitab-kitab seperti Sanusi, Syakh Khalid (Azhari, ‘Asymawi),

Kailani, Fathul Mu’in dan yang lainnya

                                                            158 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Mahmud

Yunus Wadzurriyyah, 2008) hlm. 51-52. 

 

107  

c. Mengkaji ilmu tauhid, nahwu, sharaf, fiqih, tafsir dan lain-lain

menggunakan kitab kitab berikut: Kifayatul ‘Awam (Ummul

Barahin), Ibnu ‘Aqil, Al-Mahalli, Tafsir Jalalain/Baidlawi

dan sebagainya. Di jenjang ini, para murid juga diajarkan

ilmu Mantiq atau logika, ilmu Balaghah, ilmu Tasawuf dan

yang lainnya dengan menggunakan kitab Sulam, Idlahul

Mubham, Jauhar Maknun/Talkhis, Ihya’ Ulumuddin dan lain

sebagainya

Di masa ini, kitab Dhammun dan al-Awamil yang ditulis dengan tangan

tidak digunakan lagi. Secara umum bahkan kitab-kitab yang di masa

sebelumnya banyak ditulis tangan, banyak yang sudah ditinggalkan,

mengingat pada masa itu mulai dikenal kitab-kitab hasil percetakan. Ini

merupakan perubahan yang signifikan dalam pendidikan di Minangkabau.

Pada awalnya, kitab-kitab yang dicetak itu dibawa dari Mekkah dan dari

Singapura. Selanjutnya, Toko Kitab Syekh Khalidi di Bukittinggi mulai

menjadi pemasok kitab-kitab percetakan yang didatangkan dari Mesir. Toko

kitab ini merupakan importir kitab dari Mesir yang pertama. Baru kemudian

diikuti oleh toko-toko kitab lainnya.

Masa ini ditandai dengan membajirnya kitab-kitab dari Mesir. Bahkan,

beberapa majalah Islam yang aktual dan membawa pengaruh baru bagi geliat

perkembangan umat Islam modern seperti Al-Manar, didatangkan pula dari

sana. Majalah itu dan yang lainnya banyak berkontribusi dalam

memodernisir pemikiran Islam di Nusantara. Aliran pemikiran baru di dunia

Islam itu dipelopori oleh pemikiran-pemikiran Syekh Jamaluddin al-Afghani,

Syekh Muhammad Abduh, Sayyid M. Rashid Ridha dan yang lainnya.159

                                                            159 Muhammad Yunus, Sejarah pendidikan ..., hlm. 53-54.  

 

108  

Adapun cara mengajarkan al-Qur’an pada masa Paderi ini adalah tidak

mengalamin perubahan dari yang ditemukan di masa sebelumnya. Masa ini

ditandai dengan semakin banyaknya qari-qari yang telah memahami ilmu

langgam yang khas sebagaimana yang ditemukan di dunia Arab. Di antara

para qari ada yang berguru hingga ke Mekkah selama beberapa tahun

lamanya. Pengajian-pengajian al-Qur’an tingkat lanjut, yang mencamtumkan

materi qira’ah, menjadi semakin banyak jumlahnya. Di antara para qari di

Minangkabau yang termashur adalah; H.M. Jamil, dari Padang Tarab,

Bukittingi; H.M. Rasyad dari Batuhampar, Payakumbuh; H. M. Arif dari

Padang; H. Rasyid Biaro dari Bukittinggi, dan lain sebagainya.160

Metode pengajaran kitab pada masa itu, terdiri dari dua macam yakni:

1. Untuk para murid yang termasuk kategori pemula (tingkat rendah),

maka pengajarannya bertumpu pada murid belajar seorang demi

seorang. Murid-murid yang rajin dan cerdas akan segera

menamatkan pengajiannya, sedangkan bagi murid yang malas dan

kurang pintar maka akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk

menyelesaikan tahapan ini, bahkan banyak di antara mereka yang

tidak tamat. Akibatnya banyak di antara mereka yang pulang dengan

tangan hampa.

Sedangkan untuk cara mengajarnya adalah dengan

membacakan matan kitab, seperti kitab al-Jurumiyah dalam bahasa

Arab, lantas menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu atau bahasa

daerah setempat. Setelah itu barulah dipaparkan maksudnya. Pada

prakteknya, walaupun sang guru menerangkan penjelasannya dengan

panjang lebar, masih ada di antara murid yang tidak segera mengerti

                                                            160 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 54-55.  

 

109  

maksudnya. Untuk itu, forum tanya jawab dibutuhkan untuk

mengurangi ketidakpahaman mereka.

Metode menghafal masih digunakan pada era ini. Bahkan

yang dihafal bukan hanya matan dan syara’ kitab melainkan sampai

pada penjelasan sang guru juga ikut dihapalkan. Oleh sebab itu

ketajaman otak serta kecepatan menangkap penjelasan merupakan

alat yang harus ada di diri para murid. Mereka yang serius dan rajin

tentu tidak akan kesulitan menghadapi pola itu, bahkan banyak di

antara mereka yang di kemudian hari menjadi ulama besar. biasanya,

setelah menjelaskan maksud dari kitab, langsung dilanjutkan pada

pembahasan kaidah-kaidah kata dan kalimat huruf Arabnya. Hal ini

dilakukan agar para murid terbiasa dalam mengaplikasikan gramatika

huruf Arab, mana saja yang termasuk isim, fi’il dan huruf.

Cara ini dianggap tepat untuk menumbuhkan perlombaan di

kalangan para murid. Dengan sendirinya akan tercipta persaingan

sehat untuk sedapat mungkin memperoleh banyak ilmu dari satu kali

majlis diselenggarakan. Mereka yang kurang rajin akan merasa malu

dengan kemajuan kawan-kawannya yang lain. Selepas jam belajar,

lazim dijumpai murid-murid yang kurang pandai berdiskusi dengan

murid yang dikenal pintar. Murid-murid pada jenjang ini hanya

belajar kepada guru bantu (guru tua) dan belum sampai berguru

kepada seorang Syekh atau guru besar.

2. Memasuki tingkat yang lebih tinggi, para murid diperkenalkan

dengan sistem pengajaran halaqah. Komposisi murid pada tingkat ini

adalah mereka yang telah menjadi guru-guru bantu dan murid yang

merasa sudah cukup persiapan mengikuti pelajaran yang lebih tinggi.

Kemudian, mereka menggabungkan diri membentuk lingkaran dan

 

110  

menghadap guru besar atau syekh. Sang guru juga berada dalam

posisi duduk.

Guru dan para murid memegang kitab yang sama, misalnya saja kitab

al-Mahalli. Awalnya, sang guru membaca matan kitab dalam bahasa

Melayu atau bahasa daerah tertentu, sedangkan para murid menyimak

dengan penuh perhatian. Setelah itu, sang guru menjelaskan

kandungan matan, sesekali sang guru mengulang bacaan matan

hanya pada kalimat yang ia rasa perlu disampaikan kembali,

kemudian ia menjelaskan maksudnya. Setelah pembahasan satu pasal

dari kitab itu selesai, kemudian diteruskan dengan mengkaji kitab

yang lain, misalnya saja kitab Alfiyah Ibnu ‘Aqil yang merupakan

kitab Nahwu, menggunakan sistem pembelajaran yang ditemukan di

masa sebelumnya. Selanjutnya berjalan seterusnya, dan para murid

hanya menyimak atau mendengarkan saja.

Esoknya, kajian dengan pola seperti di atas diteruskan kembali

dengan materi selanjutnya. Dalam pertemuan ini tidak diperkenankan

lagi murid bertanya pelajaran yang telah lalu. Biasanya pengajian

semacam ini dimulai pagi hari, yakni pukul 08.00 sampai dengan

pukul 10.30 untuk tiga pelajaran. Kemudian pelajaran kitab dimulai

kembali pada malam hari setelah shalat Maghrib, yakni pukul 19.00

sampai dengan 21.30, dan membahas tiga pelajaran pula. Dengan

begitu, jumlah pelajaran dalam sehari adalah enam pelajaran.

Sejatinya sistem halaqah yang bertumpu pada guru yang menjelaskan

dan murid hanya menyimak, adalah sama dengan sistem perkuliahan

zaman sekarang. Hanya saja perbedaannya, jika pada halaqah para

murid hanya melihat kitab, sedangkan para mahasiswa kerap

mencatat penjelasan guru besar. Salah satu manfaat dari pengajaran

sistem halaqah adalah para pelajar diberi kesempatan lebih awal

 

111  

untuk muthala’ah atau mempelajari pelajaran yang akan dipelajari

secara mandiri. Dengan begitu ketika sang Syekh menjabarkan

penjelasannya, sang murid diberi kesempatan mengakurkan

pemahamannya dengan penjelasan sang guru. Secara tidak langsung

sang murid diberikan kebebasan untuk menciptakan pemahamannya

sendiri, baru kemudian mencocokkan apakah yang dipahaminya itu

benar atau tidak.

Sistem pengajaran seperti ini membuat para murid harus memiliki

daya tangkap yang tajam mengenai penelaahan ilmu-ilmu agama.

Baik ketika memahami kitab secara pribadi dan ketika sang syekh

menuturkan penjelasannya. Mereka yang rajin mendawamkan pola

ini perlahan akan mencapai kepintarannya. Sistem ini memang tidak

lekas membuat seseorang pintar secara instan, melainkan memacu

mereka untuk setia dalam proses. Terlebih bagi mereka yang bertugas

sebagai guru bantu, maka akan semakin mengasah daya ingatnya.

Dalam jenjang-jenjang pendidikan di masa Paderi tidak dikenal

semacam ujian berkala. Untuk mengukur penguasaan murid senior bukan

dilihat dari ketika sudah menamatkan pengajian beberapa kitab kepada

Syekh, melainkan dengan melihat bagaimana kepandaiannya mengajar

sebagai guru bantu. Mereka bisa menyederhanakan pemahaman yang berasal

dari kitab-kitab yang sulit kepada para murid. Para murid pun akan dengan

sendirinya mengakui derajat kealiman guru bantunya, jika mereka merasa

mendapat pengetahuan baru yang berasal dari materi-materi yang belum

dipelajari, namun sudah mendapat gambaran dari lisan guru bantunya.161

                                                            161 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 54-55. 

 

112  

Masa menjadi guru bantu tidaklah selamanya ditempuh para murid

senior. Jika merasa sudah cukup, di antara mereka ada yang pulang ke

kampung halamannya masing-masing kemudian mendirikan pengajiannya

sendiri. Sedikit banyak pola-pola pengajaran sebagaimana yang diketahuinya

dahulu, dipraktekkan kembali di majlis ilmu binaannya. Fenomena ini

semakin terasa penting tatkala mendiskusikannya sebagai lanjutan dari suatu

jejaring keilmuan di tanah Minangkabau.

Ijazah atau diploma tidaklah dijumpai di zaman itu. Seorang murid

dikatakan sudah mencapai ambang batas pencarian ilmu formalnya, adalah

ketika ia sudah mendapat pengakuan dari masyarakat. Oleh sebab itu,

mereka baru bisa dikatakan alim atau orang berilmu yang telah pantas

membagi ilmunya, ketika mereka sudah mulai mengabdikan diri sebagai

guru masyarakat. Ketika mereka melakoni profesi sebagai guru bantu, secara

tidak langsung mereka sudah berkecimpung dalam profesi itu. Namun,

pengakuan itu menjadi lebih nyata, manakala mereka sudah membuka

pengajian tersendiri, sehingga semakin memperkuat klaim keilmuannya.

Muhammad Yunus memperoleh informasi dari gurunya Syekh M. Thaib

Umar, sistem halaqah seperti itu berpotensi melahirkan setidaknya satu

ulama besar dari seratus orang. jika seratus orang menjadi satu ulama besar,

maka yang 99 lainnya menolong membeli minyak goreng. Di masa itu belum

dikenal semacam iuran bulanan atau semacamnya, melainkan sekedar biaya

membeli minyak sekitar 2 ½ sen per minggunya. Bisa dibayangkan pada

masa itu para murid sudah dibiasakan untuk mengerti keadaan satu sama

lain, suatu bagian kecil dari pelajaran mengasah empati mereka.

Para guru yang mengajar masa itu sama sekali tidak memungut upah

dari para muridnya, melainkan mengajar secara ikhlas, semata-mata karena

Allah. Mereka juga tidak mendapatkan gaji dari guru-guru yang lebih senior.

 

113  

Guru-guru tersebut hanya mendapat jatah dari zakat padi atau zakat fitrah

setahun sekali dari murid-muridnya serta dari orang-orang kampung yang

tinggal di sekitar pengajian. Di waktu-waktu tertentu mereka juga mendapat

sedekah dari orang-orang dermawan. Rezeki para guru umumnya hanya

berasal dari zakat, sedekah dan hasil sawahnya, serta dari ikan-ikan yang

dipelihara di tebat (kolam) di sekitar suraunya.162

Tempat pendidikan Paderi mengikuti lokasi pemukiman Paderi itu

sendiri. Biasanya kampung yang dihuni orang Paderi terpisah dengan mereka

yang bukan penganut ajaran Paderi. Para guru Paderi akan mengajarkan

muridnya tanpa biaya apapun. Kebiasaan dan sikap orang Paderi berangsur-

angsur berubah dari ketika mereka sebelum masuk kelompok Paderi.

Perilaku mereka tidaklah sebebas seperti sebelumnya. Para ulama Paderi

mengajarkan kefanatikan (kesungguhan) dalam menjalankan ajaran Islam.163

D. Ulama Terkenal di Masa Paderi

Tidak bisa dipungkiri, terselenggaranya agenda-agenda kaum Paderi,

adalah berkat sosok ulama-ulamanya. Beberapa dari mereka menjadi amat

penting posisinya dalam wacana perkembangan wacana intelektual Islam di

Minangkabau. Ulama dengan surau atau pengajiannya menjadi tempat

tujuan yang paling tepat untuk mendalami ilmu agama. Kebesaran mereka

menjadi magnet yang menarik banyak murid dari seantero Minangkabau dan

sekitarnya untuk datang dan ikut larut dalam perbincangan tentang ilmu.

                                                            162 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 58-59.  163 A.V. Michiels, Neerlands Souvereiniteit over de Schoonste en Rijkste Gewesten van

Sumatra (Amsterdam: G.J.A. Beijerinck, 1846) hlm. 17- 18. 

 

114  

Pada bagian yang lalu diterangkan bahwa salah satu karakteristik orang

Minangkabau adalah kesukaan akan merantau. Alasan merantau memanglah

beragam mulai dari untuk mencari pengalaman termasuk pula mencari ilmu.

Semakin meluasnya pengikut Paderi, tidak menutup kemungkinan, adalah

disokong oleh keinginan diri untuk keluar dari kampungnya dan

menggabungkan diri dalam barisan perang Paderi. Penundukan-penundukan

wilayah kaum Adat, tentu membutuhkan jumlah manusia yang tidak sedikit.

Bergabungnya beberapa orang ke dalam milisi Paderi menjadi wahana yang

tepat untuk menyalurkan keinginan merantau sebagian orang.

Jika membincangkan jalannya perang Paderi maka kita akan menjumpai

beberapa tokoh kunci yang menggagas perang ini. Jauh sebelum perang

terjadi, kelompok Paderi memperkuat basis gerakannya dengan

mempertalikan sejumlah ulama-ulama yang memiliki visi yang sama, lantas

diterjemahkan ke dalam gerakan dakwah nyata. Namun sayang sekali, nama-

nama mereka belum dilengkapi dengan biografi yang utuh, atau setidaknya

memadai, sehingga tokoh Paderi yang “seolah-olah paling penting” adalah

Tuanku Imam Bonjol. Selain dia sebenarnya banyak tokoh lain yang

berperan, salah satunya adalah Tuanku nan Renceh.

Suryadi, filolog Minangkabau, mencoba mengumpulkan kembali

informasi mengenai jati diri Tuanku nan Renceh yang terserak. Ia

mendapatkan salah satu sumber berharga mengenai siapa Tuanku nan

Renceh dari sumber lokal bernama Surat Keterangan Syekh Jalaluddin

(SKSJ) yang ditulis oleh Fakih Shagir, seorang ulama Paderi moderat. Teks

SKSJ sendiri kini tersimpan di Malaysia dan sudah ditelaah oleh E. Ulrich

Kratz dan Adriyetti Amir.164

                                                            164 Lengkapnya Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir, Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin

Karangan Fakih Shagir (Kuala Lumpur: DBP, 2002). 

 

115  

Menurut keterangan SKSJ yang ditulis sebelum tahun 1829, ketika

Tuanku nan Renceh masih muda, di darek (pedalaman Minangkabau)

terdapat ulama yang tersohor bernama Tuanku nan Tuo dari Koto Tuo,

Empat Angkat. Banyak orang yang berguru agama kepadanya. Mereka

berdatangan dari seluruh penjuru alam Minangkabau, satu di antara mereka

adalah Tuanku nan Renceh sendiri. Terdapat murid yang berumur sama

dengan Tuanku nan Renceh lainnya yang bernama Fakih Shagir. Amat

dimungkinkan kedua orang ini sempat berjumpa.

Beberapa tahun terakhir pada abad 18, Tuanku nan Renceh bersama

sahabatnya Fakih Shagir sudah menyibukkan diri dalam berdakwah.

Merujuk pada keterangan SKSJ, mereka “berhimpun ... dalam masjid Kota

Hambalau di nagari Canduang Kota Lawas”.165 Secara berkala mereka terus

memperluas wilayah dakwah mereka, hingga empat tahun lamanya sebelum

kemudian Haji Miskin, seorang penganjur paham Wahabi datang dari

Mekkah pada tahun 1803.166 Suryadi menyebutkan bahwa ketika itu umur

Tuanku nan Ranceh masih muda namun sudah giat berdakwah. Kira-kira

sejak tahun 1799, ia sudah memulai pekerjaannya itu, jauh sebelum Haji

Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang melancarkan gerakan Paderi.

Tuanku nan Ranceh dikenal memiliki sifat yang radikal dan militan.

Modal inilah yang membuat namanya kian diperhitungkan dalam tubuh

kaum Paderi. Menjadi bagian dari Paderi sudah menjadi tujuan hidupnya. Ia

memutuskan berjuang dengan sepenuh hati dalam kelompok itu. Sepertinya

ia begitu terinspirasi dengan cerita-cerita tiga haji dari Mekkah. Sudah

merupakan kelaziman dalam soal Islam, jika seseorang mendengar cerita

tentang Mekkah, ia menjadi cepat tergugah seakan memendam kerinduan

                                                            165 Ulrich Kratz, Surat Keterangan ..., hlm 23.  166 Ulrich Kratz, Surat Keterangan ..., hlm. 25.  

 

116  

mendalam untuk kesana. Perasaan itu justru lebih hebat menggelora

ketimbang tiga haji yang pernah mengunjungi Mekkah. Namun begitu, tidak

ada catatan-catatan yang menyebutkan Tuanku nan Renceh pernah ke

Mekkah. Kefanatikan Tuanku nan Renceh terbetik saat dia mendengar cerita

tentang Mekkah.

Menginjak awal tahun 1820, dirinya sudah menempati posisi sebagai

komandan perang Paderi yang membawahi lima nagari, yakni Kamang,

Bukik, Salo, Magek dan Kota Baru. Pasukan pimpinannya amat ditakuti,

hampir ketika ia menyerang suatu kampung, dengan segera ia memperoleh

kemenangan. Nagari yang diserang menjadi wilayah yang penuh

penderitaan. Tarup atau lumbung padi dan rumah dibakarnya, penduduk

yang menentang akan ditawan atau dibunuh.

Fakih Shagir menerangkan akan aksi brutal Tuanku nan Renceh dalam

suatu penyerbuan ke nagari Tilatang, dengan perkataan: “maka sampailah

habis nagari Tilatang dan banyaklah (orang) berpindah dalam nagari; dan

sukar menghinggakan ribu laksa rampasan, dan orang terbunuh dan tertawan

lalu kepada terjual, dan wanita dijadikannya gundi’nya (gundiknya).”

Mereka yang banyak melakukan tindakan sadis adalah para pengikut Tuanku

nan Renceh dari Salo, Magek dan Kota Baru. Oleh sebab itulah para lawan

kerap menghina mereka dengan sebutan “kerbau yang tiga kandang”.167

Sebutan itu muncul dari perilaku mereka yang menyerang seperti binatang.

Fakih Shagir juga menerangkan bahwa Tuanku nan Renceh memiliki

postur “kecil tubuhnya”.168 Kata renceh sendiri dalam bahasa Minangkabau

bermakna kecil, lincah dan bersemangat. Suryadi mengutip H. A. Steijn

Parve dalam “De secte der Padaries in de Padangsche Bovenlanden” dalam

                                                            167 Ulrich Kratz, Surat Keterangan ..., hlm. 37.  168 Ulrich Kratz, Surat Keterangan ..., hlm. 24.  

 

117  

Indisch Magajizn169, dikatakan bahwa Tuanku nan Renceh mempunyai tubuh

kecil, kurus, bertabiat berangasan serta mempunyai pancaran mata yang

berapi-api terpancar dari sikapnya yang keras hati dan radikal.170

Tuanku nan Renceh memfokuskan dakwahnya pada pembenahan

perangai dan perilaku masyarakat, yang dinilainya telah jauh menyimpang.

Ia juga merasa berkewajiban untuk membuat keluarga kerajaan Pagarruyung

sadar, bahwa kerja ini merupakan bagian dari kewajiban mereka. Hidup

anggota kerajaan juga dinilai telah jauh melenceng dari ajaran-ajaran Islam.

mengetahui sepak terjang Tuanku nan Renceh, sang raja, Raja Muning Syah,

bukannya merasa terancam, justru mendukung aktivitas Tuanku nan Renceh.

Ia memberi kesempatan baginya untuk menerapkan pemahamannya di

tengah masyarakat.171

Saat berhadapan dengan Belanda Tuanku nan Renceh termasuk dalam

komandan perang yang disegani lawan. Dalam beberapa kesempatan ia

mampu menciptakan peluang bahkan menyudutkan pasukan kolonial.

Namun dalam beberapa waktu terakhir, khususnya sekitar 1825, ia mulai

                                                            169 H. A. Steijn Parve, “De secte der Padariesin de Padangsche Bovenlanden” dalam

Indisch Magajizn, 1e Twaalftal, No. 4, hlm. 21-40.  170 Adapun mengenai pakaian Tuanku nan Renceh, Suryadi menerangkan bahwa ia

mengenakan pakaian seperti kaum Paderi lain. Bagaimana tatanan bentuk pakaian Paderi bisa dilihat dari deskripsi dalam: P. J. Veth, “De Geschiedenis van Sumatra” dalam De Gids, 10e Jrg, Januarij, 1850, hlm. 21; Thomas Stamford Raffles, Memoir of The Life and The Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, Lady Sofia Raffles (ed) (Singapore: Oxford University Press: 1991 (cetak ulang)), hlm. 349-350. Bisa pula melihat sketsa vidual di; E. Francis, “Korte Beschrijving van het Nederlandsch Grondgebied ter Westkust Sumatra 1837” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (TNI) 2 -1, 1839, hlm. 28-45, 90-111, 131-154, dan 141. Dalam ilustrasi tersebut digambarkan seorang Paderi tampil dengan rambut yang dicukur, jenggot dipanjangkan, tasbih dan pedang selalu dikenakan sebagai “pakaian”, sorban dengan jubah panjang sampai bawah lutut berwarna putih. Mereka digambarkan pula membawa al-Qur’an yang disimpan di dalam tas merah yang digantungkan ke leher, namun tas ini biasanya disandang oleh ulama atau Panglima Paderi. Lihat Suryadi, “Kontroversi Kaum Paderi: Jika Bukan Karena Tuanku nan Renceh” dalam http://oman.uinjkt.ac.id/2007/11/kontroversi-kaum-paderi-jika-bukan.html?m=11, diunduh pada Rabu, 31 Maret 2016, pukul 17.14 WIB.  

171 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 218.  

 

118  

merasa perlu mengadakan pembaruan dalam perjuangan. Di saat yang

bersamaan Kolonel H.J.J.L. de Stuers, Residen Padang yang baru, menjajaki

kemungkinan perjanjian gencatan senjata dengan kaum Paderi. Sang Residen

menganggap sebenarnya penyerangan yang dilakukan Belanda terhadap

Paderi dilakukan secara tergesa-gesa dan alasan dasar melakukan hal itu

masih lemah. Berbeda dengan pendahulunya mantan residen Raff, ia justru

ingin mengadakan suatu kesepakatan pemeliharaan wilayah masing-masing.

Perjanjian tersebut dilakukan pada tanggal 15 November 1825

dilakukan di Padang. Dalam kesepakatan itu, utusan Tuanku nan Renceh

meminta agar Belanda segera meninggalkan pedalaman Minangkabau.

Permintaan itu tentu saja tidak bisa dipenuhi. Masa-masa setelah perjanjian

ini ditandai dengan penarikan sejumlah pasukan kolonial dari Minangkabau

dan di tempatkan ke Jawa untuk memperkuat pasukan yang bertugas dalam

perang Jawa. Pada September 1826, terdapat sekitar 682 pasukan Belanda di

seluruh Sumatera Tengah, dari jumlah tersebut kurang dari 300 personel

yang bertugas di pedalaman.172

Tuanku nan Renceh merupakan sosok yang penting dalam jajaran ulama

dan penghulu Paderi. Sifatnya yang loyal dan perangainya yang keras

merupakan modalnya menjadi salah satu pemimpin Paderi yang disegani.

Boleh dikatakan dirinyalah yang menjadi petunjuk jalan tersebarnya ajaran

Paderi di Minangkabau. Tiga orang Haji Paderi dari Mekkah tentu tidak bisa

berbuat banyak jika tidak menjalin kerjasama dengan para ulama dan

penghulu lokal Minang, seperti Tuanku nan Renceh ini.

Jika Tuanku nan Renceh adalah ulama yang banyak melibatkan diri

pada penguatan skrup-skrup kekuasaan Paderi di Minangkabau, maka Syekh

                                                            172 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 233-234.  

 

119  

Ahmad Khatib merupakan ulama generasi berikutnya yang lahir dari

keluarga Paderi, namun mengkhususkan diri pada pengembangan keilmuan

Islam bagi para ulama Minangkabau berikutnya. Syekh Ahmad Khatib,

meskipun tidak langsung terlibat dalam gerakan Paderi masa awal, namun

ayahnya dikenal sebagai seorang hakim yang beraliran Paderi. Ia juga

dikenal sebagai sosok yang berseberangan dengan kolonial.

Syekh Ahmad Khatib dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855.

Keluarganya dikenal sebagai keluarga yang mempunyai latar belakang

agama dan adat yang kuat. Syekh Ahmad Khatib menuntut ilmu di sekolah

rendah dan sekolah guru di kota kelahirannya. Untuk diketahui, sekolah

rendah dan sekolah guru adalah sekolah yang didirikan oleh Belanda.

Meskipun pernah mengenyam pendidikan Belanda, tidak lantas membuatnya

surut untuk memperbanyak ilmu-ilmu keislaman. Pada tahun 1876, ia

melanjutkan studi agamanya ke Mekkah, sampai ia memperoleh kedudukan

yang tinggi di sana, yakni sebagai imam mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.

Syekh Ahmad Khatib memutuskan untuk berdiam di Mekkah dan tidak

berencana kembali ke kampung halamannya. Meskipun begitu, ia tetap

menjalin relasi dengan para jamaah haji dan pelajar dari Nusantara yang

berada di Mekkah. Murid-muridnya di kemudian hari menjadi ulama-ulama

besar sekembalinya dari Mekkah. Di antara muridnya yang terkenal adalah

banyak yang menjadi ulama pembaharu di Minangkabau seperti Syekh

Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji

Abdullah Ahmad. Muridnya yang berasal dari Jawa adalah K.H. Ahmad

Dahlan pendiri Muhammadiyah. Muridnya yang lain dikemudian hari

dikenal karena berhasil mendirikan organisasi massa ulama yang berhaluan

tradisionalis, yakni Syeikh Sulaiman ar-Rasuli asal Candung, Bukittinggi

 

120  

dan K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri pesantren Tebuireng dan Nahdhlatul

Ulama.173

Rini Rahman menyebutkan bahwa Syekh Ahmad Khatib merupakan

ulama pelopor utama dalam reformasi pendidikan di Minangkabau. Ia

memang tidak pernah kembali ke Nusantara, tetapi melalui para muridnya,

ide-ide tentang pembaruan Islam darinya diterjemahkan dengan signifikan,

terarah dan masif. Di antara muridnya yang berasal dari Minangkabau seperti

Muhammad Thaib Umar, Abdul Latif Syakur, Abbad Abdullah, Ibrahim

Musa Parabek, Agus Salim, Abdul Karim Amrullah, Daud Rasyidin dan

Sutan Darap Sulaiman mempunyai perhatian yang besar terhadap reformasi

peran surau dan modernisasi di bidang pendidikan. Khusus bagi surau,

mereka merubah kedudukan surau menjadi lembaga pendidikan yang dapat

bersaing dengan lembaga pendidikan Hindia Belanda.174

Ulama lainnya yang sezaman dengan Syekh Ahmad Khatib adalah

Syekh Tahir Jalaluddin. Syekh Muhammad Tahir bin Syekh Muhammad

atau Syekh Muhammad Tahir Jalaluddin al-Falaki (1869-1956) lahir pada 7

November 1869, di Kota Tua Empat Angkat, Bukittinggi. Ia berasal dari

keluarga yang memiliki landasan tradisi keagamaan dan kepemimpinan yang

kuat. Kakeknya adalah Tuanku nan Tuo, ulama terkenal yang merupakan

guru besar dari para pejuang Paderi. Semasa kecil ia sudah yatim. Ia dirawat

oleh bibi dari pihak ibunya sampai menjelang ia berangkat ke Mekkah pada

1881.

                                                            173 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES,

1980) hlm. 38-39. 174  Rini Rahman, “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20 (Studi Kasus di

Sumatera Barat)” dalam Humanus, Vol. XIV, No. 2, 2015, hlm. 175; Lihat juga Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, jilid I (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993) hlm. 87.  

 

121  

Di Mekkah ia tinggal bersama sepupu tuanya, Syekh Ahmad Khatib,

selama 12 tahun. Di tahun 1894, ia memutuskan untuk belajar di Universitas

Al-Azhar di Kairo Mesir. Di sini, Tahir banyak terpengaruh dengan paham

reformisme Muhammad Abduh dan berkawan akrab dengan Muhammad

Rashid Ridha, yang saat itu sudah menjadi editor al-Manar. Setelah lulus

dari Al-Azhar pada 1897, ia kembali ke Mekkah dan membantu Syekh

Ahmad Khatib membantu mengajar para murid dari Nusantara. Ia sempat

pula mengajar calon ulama besar seperti Jamil Jambek, Karim Amrullah dan

Abdullah Ahmad.175

Hampir sama dengan Syekh Ahmad Khatib, Syekh Tahir lebih berposisi

sebagai pemantik lahirnya generasi baru ulama Minangkabau.

Persinggungannya dengan intelektualitas Mesir, yakni ketika paham

reformasi Islam sedang digaungkan, ikut pula mempengaruhi cara pandang

Syekh Tahir, utamanya mengenai gerakan Islam modern. Jika melihat pada

genealogi keilmuannya ini, kemungkinan besar dari merekalah para murid

Nusantara di Mekkah mendapatkan wacana pembaruan Islam.

Meskipun Mekkah saat itu masih menyandang status sebagai salah satu

kiblat keulamaan di Timur Tengah, namun sepertinya bukan tempat yang

cocok untuk menularkan semangat reformisme Islam seperti yang disuarakan

Abduh dan para pengikutnya. Hal ini mengingat saat itu Mekkah sedang

dikuasai oleh Dinasti Saud yang mempunyai pandangan tradisionalisme

Islam yang lebih condong ke budaya Arab.

Hamka dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari

Universitas Al-Azhar pada tanggal 21 Januari 1958, mempunyai catatan

tersendiri mengenai kehadiran ulama Nusantara di Mekkah. Tujuan utama

                                                            175 Hafiz Zakariya, “Islamic Reform in Malaya: The Contribution of Syaikh Tahir

Jalaluddin” dalam Intellectual Discourse, Vol. 13, No. 1, 2005, hlm. 51-52.  

 

122  

para ulama datang ke Mekkah adalah untuk menambah ilmu agama. Selain

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, terdapat nama besar lain seperti

Syekh Nawawi Bantam (Banten) dan lain-lain. Di sana mereka menelaah

kitab-kitab tafsir, hadis, fiqih dan lain-lain. Di antara mereka ada yang

pulang ke Indonesia, namun sejatinya mereka tidaklah membawa pembaruan

gagasan untuk kebangkitan, karena sejatinya di Mekkah sendiri masih

diliputi oleh suasana taqlid.176

Pemikiran tersebut tentu tidak seluruhnya benar. Meskipun beberapa

dari mereka tidak kembali ke Minangkabau, namun jangan lupa, sebagian

murid mereka banyak menjadi ulama berpengaruh di wilayahnya masing-

masing, termasuk di Minangkabau. Memang kekuasaan kolonial yang

menguat menyebabkan sistem-sistem sosio-masyarakat Minangkabau

mengalami perubahan, namun perubahan yang ada mampu didialogkan

menjadi sesuatu yang membangun diri dari para ulama generasi Paderi

maupun generasi setelahnya. Misalnya saja dalam kisah Syekh Ahmad

Khatib yang bersekolah di sekolah bentukan kolonial, tentu tidak terbersit

suatu perasaan memusuhi segala macam hal yang berkaitan dengan kolonial

secara membabi buta, akan ada hal lain yang disyukurinya. Mudahnya, yang

perlu dimusuhi adalah sistem kolonialnya, bukan ilmu pengetahuan yang

diperkenalkan oleh mereka.

Ketiga ulama tersebut di atas, adalah sebagian ulama yang membuka era

baru bagi wacana modern Islam di Minangkabau, termasuk di bidang

pendidikan. Murid mereka selanjutnya ada yang mendirikan lembaga

pendidikan yang meskipun tidak lagi sepenuhnya bernuansa paderi, namun

                                                            176 Taqlid diterjemahkan Hamka sebagai keadaan setelah kekalahan Kerajaan Saud

oleh seranagn komandas Pasha Mesir yang merupakan bawahan Kesultanan Turki Usmani, lihat Hamka, “Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia”, teks pidato dalam Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir tanggal 21 Januari 1958 (Djakarta: Tintamas Djakarta, Tanpa Tahun) hlm. 5. 

 

123  

tetap mempertahankan beberapa tradisi yang terdapat pada zaman itu. Di bab

selanjutnya akan dibahas secara lebih spesifik mengenai hal tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

124  

BAB V

KONTRIBUSI PADERI TERHADAP

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN MINANGKABAU

A. Kemunculan Kaum Mudo

Keberadaan gerakan Paderi menimbulkan perubahan sosial yang

signifikan di Minangkabau. Distribusi pasukan-pasukan Paderi sempat

menerbitkan ketegangan antara kaum Paderi dengan kaum adat, serta kaum

Paderi dengan kelompok Islam lainnya, seperti para pengamal tarekat.

Namun, pertentangan itu kian surut, seiring dengan melemahnya kekuatan

Paderi yang terdesar oleh Belanda. Meskipun begitu, ulama-ulama

Minangkabau sebagian tetap mewarisi kedudukan yang penting di mata

masyarakat. Bahkan telah tersambung suatu jejaring ulama Minangkabau,

yang di antaranya diisi oleh ulama Paderi.

Sepeninggal Perang Paderi, suasana keberislaman tetap masih melekat

di hati orang Minangkabau, terutama yang bersimpati kepada ajaran Paderi.

Aktivitas berperang boleh surut, namun tidak mudah untuk menghapuskan

keyakinan orang Paderi untuk mencintai agamanya. H.A. Steijn Perve

menulis tentang suatu gambaran masyarakat Minangkabau tatkala masa

Paderi dengan judul “Kaum Padari (Padri) di Padang Darat Pulau Sumatra”,

meyakini bahwa takdir bahwa perang adalah jalan menuju surga amat kuat

dipegang oleh orang Paderi. Karena keyakinan itulah membuat peluru dan

 

125  

senjata lawan tidaklah menjadi sesuatu untuk ditakutkan. Jika mereka mati

pun maka akan disambut di surga. Motivasi perang yang berlandaskan pada

keyakinan agama ini tentu saja tidak dijumpai di kalangan pasukan kolonial

Belanda, khususnya yang bukan Muslim.177

Keberadaan Syekh Ahmad Khatib dan Syekh Tahir Jalaluddin di

Mekkah membawa citra baru bagi perkembangan keilmuan di Minangkabau.

Kedudukan mereka yang begitu dimulyakan, serta menjadi tujuan belajar

beberapa tokoh Islam Nusantara yang berpengaruh belakangan, tidak bisa

dipungkiri, adalah dilatarbelakangi oleh keinginan yang kuat menuju

Mekkah. Kala itu, Mekkah memang sudah dikenal sebagai pusat pendidikan

dan peribadatan Muslim sedunia. Sekembalinya dari Mekkah, banyak

alumninya yang berperan besar menata umat, seperti Haji Miskin, Haji

Sumanik dan Haji Piobang yang menanamkan pengaruh Paderi.

Tidak bisa dipungkiri, keinginan ulama Minang generasi pasca-Paderi

untuk belajar ke Mekkah, tentu didorong oleh ingatan historis mengenai

ketiga haji itu. Memang diakui, model dakwah yang keras sebagaimana

yang dilakukan oleh mereka, sempat membuat panik kehidupan beragama di

Minangkabau. Namun terlepas dari itu, pengalaman belajar ke Mekkah itulah

yang justru menerbitkan keinginan di benak para pelajar Minangkabau untuk

datang dan belajar ke sana. Tersohornya Haji Miskin dan rekan-rekannya

adalah karena keilmuannya. Pengakuan itu semakin mengkristal karena

mereka telah belajar ke Mekkah, ke jantung berkumpulnya umat Islam dari

seluruh dunia. Ini yang menjadi prestis tersendiri.

                                                            177 H.A. Steijn Perve, “Kaum Padari (Padri) di Padang Darat Pulau Sumatra” dalam

Taufik Abdullah, ed, Sejarah Lokal di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996) hlm. 159-160.  

 

126  

Merujuk pada keterangan Snouck Hurgronje yang menyebut ibadah haji

sebagai “Perayaan Mekkah”, dikatakan bahwa prosesi ritual haji memiliki

rangkaian yang tertib sejak masa Nabi Muhammad SAW. Haji bisa

dikatakan sebagai kompromi antara ajaran Nabi Muhammad dengan budaya-

budaya Arab pra-Islam. upacara-upacara (ibadah) yang dilakukan di

Mekkah, berkisar pada kegiatan berdoa yang mengandung penebusan dosa.

Snouck bahkan masih tidak mengerti, mengapa haji mesti ada dan apa

kaitannya dengan peribadatan dengan Tuhan. Hal ini diyakininya adalah

berada pada tataran alam gaib dan tidak bisa diselami oleh pikiran

manusia.178 Hubungan transendental antara hamba dan Tuhannya seperti

berada pada kedekatan yang sangat tatkala berada di Mekkah.

Beberapa murid dari Syekh Ahmad Khatib dan Syekh Taher Jalaluddin,

yang kemudian berperan dalam perkembangan pendidikan dan intelektualitas

di Minangkabau adalah Syekh Muhammad Djmamil Djambek, Syekh

Muhammad Thaib bin Haji Umar Batu Sangkar, Haji Abdul Karim bin

Syekh Muhammad Amrullah Danau (Ayah Buya Hamka) dan Haji Abdullah

bin Haji Ahmad di Padang Panjang. Di antara mereka yang mempunyai

bakat cemerlang dalam dunia kepengarangan adalah Haji Abdullah bin

Ahmad. Dia menerbitkan majalah Islam bernama “Al-Munir”, yang

merupakan kelanjutan dari “Al-Imam.”179

                                                            178 C. Snouck Hurgronje, Perayaan Mekkah (Jakarta: INIS, 1989) hlm. 114.  179 Al-Imam adalah majalah Islam yang menjadi media tukar pemikiran para ulama-

ulama Nusantara. Majalah ini terbit berkat persahabatan seorang hartawan Arab Singapura bernama Syekh Muhammad bin Salim Alkalali dan Syekh Muhammad Taher bin Muhammad Jalaluddin al-Azhari asal Minangkabau. Syekh Taher ini adalah yang di bab sebelumnya dikatakan menuntut ilmu di Al-Azhar, Kairo dan bersahabat dengan Muhammad Rashid Rida. Majalah ini pertama terbit tahun 1906 dan tidak terbit lagi tahun 1909. Dikatakan bahwa majalah ini tidak bisa bersaing dengan majalah-majalah serupa yang banyak terbit belakangan. Lihat. Hamka, Ayahku (Jakarta: Penerbit UMMINDA, 1982) hlm. 96.98. 

 

127  

Salah satu produk perubahan yang lahir dari para ulama dari Mekkah itu

adalah ditularkannya ide-ide pembaruan Islam. pemikiran-pemikiran ulama

Muslim modern saat itu, seperti Seykh Jamaluddin al-Afghani, Syekh

Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rashid Ridha, telah ikut

menyadarkan para ulama Minangkabau tentang arti penting perubahan

mindset keberIslaman di tanah asalnya. Penerbitan majalah Islam dianggap

sebagai wahana efektif untuk mensosialisasikan pembaruan pemikiran

agama ke tengah masyarakat luas, sebagaimana yang telah dilakukan oleh

Syekh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh yang menerbitkan al-

Urwatul Wutsqa yang edisi pertamanya terbit pada 1884 di Paris.180

Setelah berpikir dan menimbang, Haji Abdullah Ahmad memutuskan

untuk pindah dari Padang Panjang ke Padang untuk memulai gagasannya itu.

Pada tanggal 1 April 1911, terbitlah nomor pertama majalah Al-Munir.

Disertakan bahwa susunan pengurus majalah ini adalah Haji Abdullah

Ahmad sebagai Pengarang, Haji Marah Muhammad bin Abdulhamid sebagai

Pengurus, Haji Sutan Jamaluddin Abubakar sebagai Ketua (Direksi),

pembantu-pembantunya antara lain: Haji Abdul Karim Amrullah Danau,

Muhammad Dahlan Sutan Lembak Tuah, Haji Muhammad Thaib Umar Batu

Sangkar, Sutan Muhammad Salim Hoofdjaksa pensiun (Ayah Haji Agus

Salim).

Dalam kata pengantar edisi pertama Al-Munir dituliskan: “Al-Munir

berarti pelita, atau yang membawa cahaya. Al-Munir bermaksud memimpin

dan memajukan anak-anak Melayu dan anak-anak Islam kita kepada agama

yang lurus dan i’tiqad yang betul. Al-Munir membawa damai dan sentausa

antara sesama manusia pada kehidupan dan supaya meneguhkan kehidupan

dan kesetiaan kepada pemerintah. Al-Munir sebagai penerangan dari gelap

                                                            180 Hamka, Ayahku ..., hlm. 94.  

 

128  

kesamaran, daripada kabut kejahilan kepada pengetahuan ilmu yakin yang

sebenarnya dan daripada sangka-sangka yang waham (meragukan) kepada

hakikat yang benar. Oleh karena itu Al-Munir ini, Insya Allah, akan menolak

beberapa tuduhan yang dituduhkan si penuduh pada agama kita yang bersih

ini, dan insyaallah akan memberi penerangan atas salah sangka setengah si

penyangka yang bahwa agama ini menghambat kemajuan atau menerbitkan

kemunduran ...” (dan seterusnya).”181

Hamka memberikan keterangan tersendiri terkait kata pengantar

tersebut. Menurutnya terlihat sudah jelas bahwa Al-Munir bertujuan

memberikan penjelasan terhadap hakikat agama, membersihkan keragu-

raguan (waham), melawan serangan yang tidak jelas, menyingkirkan

kebodohan tentang agama dan yang paling penting adalah menumbuhkan

persatuan dan kepercayaan. Termasuk pula adalah penegasan bahwa majalah

ini akan setia kepada pemerintah. Dalam masa itu, memperjelas kalimat

“kesetiaan pada pemerintah” adalah perlu, mengingat tingginya kecurigaan

pemerintah kolonial terhadap aktivitas dan gerak-gerik para orang pandai

pribumi. Jika tidak demikian, maka izin penerbitan majalah ini bisa saja

dicabut, apalagi terbitnya setelah tiga tahun kerusuhan di Kamang.182

Pindahnya Haji Abdullah Ahmad ke Padang, tidak bisa dipungkiri,

adalah karena saat itu Padang sudah menjadi kota besar yang ramai. A. Pruys

van Der Hoeven mengatakan Padang merupakan kota yang pantas dicintai.

Kota ini terletak tidak jauh dari pantai dan sungai. Banyak orang

menggunakan perahu untuk sampai ke padang, yang lain banyak pula yang

menyusuri Padang. Perahu besar dan kecil banyak ditambatkan di pinggir

kota. Kawasan pinggir ini disambungkan dengan jalan setapak berbatu

                                                            181 Hamka, Ayahku ..., hlm. 99-100.  182 Hamka, Ayahku ..., hlm. 100.  

 

129  

menuju kota. Di dalam kota tertata rapi kantor, kantor dagang, warung-

warung dan pecinan (chinesche wijk). Rumah-rumah di sana banyak

dibangun dari batu. Di sana terdapat lapangan yang dinamakan Lapangan

Michiels (Michielsplein). Sekali seminggu satu korps batalion memainkan

musik untuk menghibur orang Eropa di sana. Di Padang terdapat rumah-

rumah orang Melayu dan orang Nias.183

Mahmud Yunus menyebutkan bahwa sebelum Haji Abdullah Ahmad

bergerak di bidang jurnalistik, ia memulai karirnya sebagai guru di Surau

jembatan Besi Padang Panjang. Surau itu masih menggunakan sistem

pengajaran cara lama. Beberapa waktu berselang, ia memulai terobosannya,

yakni dengan mendirikan sekolah agama dengan menggunakan meja, bangku

dan papan tulis sebagai media belajar di sana. Langkahnya ini menuai

banyak kritik dan cacian, oleh karena dianggap menyimpang dari kewajaran.

Biasanya, kegiatan mengaji adalah dengan bersila mengelilingi sang guru,

dan bukan dengan berjajar rata, duduk di bangku serta menggunakan meja.

Itu sama saja dengan yang digunakan di sekolah Belanda.184

Pada masa itu, segala hal tentang Islam, amat lekat dengan identitas

kebangsaan. Orang yang beragama Islam, hampir selalu disebut sebagai

pribumi, baik ia orang Melayu, Jawa atau suku bangsa Nusantara lainnya.

Bahkan, orang Batak yang sebelumnya memiliki keyakinan Pelbegu, yang

memutuskan masuk Islam, ia sudah dianggap sebagai “orang yang punya

jiwa kebangsaan” dan telah menjadi “Orang Melayu”. Hal sama berlaku

                                                            183 A. Pruys van Der Hoeven, Een woord over Sumatra; In Brieven Verzameld en

Uitgegeven: Deel II; Sumatra’s Westkust en Palembang (Rotterdam: H. Nijgh, 1864) hlm. 2- 3. 

184 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008) hlm. 170.  

 

130  

tatkala banyak orang Cina yang masuk Islam di Sumatra, dengan sendirinya

mereka menyandang identitas sebagai Orang Melayu.185

Apa yang dilakukan Haji Abdullah Ahmad sejatinya berseberangan

dengan yang dipahami secara umum sebagai identitas orang Islam dan orang

Melayu. Meniru orang Belanda, dianggap sebagai kesalahan yang tidak bisa

ditolerir. Merubah kebiasaan pribumi masih dianggap tabu dan

dipersalahkan. Oleh sebab itu, perubahan hal yang sederhana seperti tata

ruang belajar dianggap sebagai melanggar adat dan kebiasaan baik yang

sudah ditetapkan oleh para generasi pendahulu. Dari kisah Haji Abdullah

Ahmad di atas, didapat suatu pemahaman bahwa dirinya adalah orang yang

visioner sejauh yang dia anggap baik maka ia akan melakukannya, termasuk

tatkala menerbitkan majalah Al-Manar.

Tidak bisa dipungkiri, meletupnya semangat jurnalisme awal adalah

geliat dari pencarian identitas kebangsaan. Dalam pada itu, Islam sudah

dianggap sebagai formula yang ampuh untuk menyokong gejolak pencarian

jati diri di kalangan para elit Minangkabau. Suasana semacam ini sebagian

tercipta dari ingatan historis mengenai gerakan Paderi yang telah

menorehkan pengaruh besar dalam cara pandang masyarakat mengenai

Islam. Identitas berbaju putih dan berserban di waktu kemudian menjelma

dalam semangat menyuarakan gagasan keIslaman, dan cara yang bisa

dilakukan adalah dengan menulis dalam majalah.

Para kaum pembaharu di Minang tersebut kerap disebut juga dengan

kaum muda. Kaum muda mendapatkan inspirasi pemikiran serta aktivitasnya

dengan para pendahulu yang sempat mengunjungi Mekkah. Mereka mulai

menyeponsori penghapusan bid’ah (sesuatu yang baru dalam pengalaman

                                                            185 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES,

1980) hlm. 8.  

 

131  

agama, yang tidak ditemukan di zaman Rasulullah SAW), dan mulai

mengenalkan peran akal, di samping iman, sebagai landasan ideologis

melakukan revolusi penghayatan agama. Dalam melancarkan dakwahnya,

mereka kerap menggunakan bahasa Melayu atau bahasa Minangkabau.

Kaum muda menolak sikap taqlid (sekedar mengikuti begitu saja) dalam

beragama. Mereka sering memikirkan kembali bahkan jika perlu mengoreksi

ajaran-ajaran Islam yang telah berurat akar di masyarakat. Mereka mulai

mendengungkan pembukaan pintu ijtihad (menghasilkan hukum berdasarkan

akal dan ilmu pengetahuan) dalam menciptakan perubahan. Oleh sebab itu

menjadi ciri selanjutnya dari gerakan mereka adalah kesibukan mereka

dalam bidang penerbitan brosur buku-buku agama serta majalah-majalah di

berbagai kota, termasuk Padang dan Bukittinggi. Kemudian, di antara

mereka mulai mendirikan lembaga pendidikan dan organisasi sosial yang

berkecimpung dalam bidang terkait.186

Sidi Ibrahim Boechari menyampaikan pendapat yang berbeda.

Menurutnya, kaum muda sudah dimulai sejak masa kedatangan tiga haji dari

Mekkah pada 1803. Mereka adalah kaum muda yang berseberangan dengan

paham Islam yang sebelumnya sudah dianut orang Minangkabau. Mereka

mengajak masyarakat Minangkabau untuk menjalankan ajaran al-Quran

seperti yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang saat itu sudah

ditertibkan untuk mengkaji ajaran Wahhabi. Paham mereka adalam simbol

gerak kaum muda menentang ajaran kaum tuo (ulama tradisional).187

Pembaruan yang ada di Minangkabau bersumber dari gerakan

revivalisme Islam dan bukan modernisme Islam. John L. Esposito

                                                            186 Taufik Abdullah, ed, Sejarah Sosial di Daerah Sumatera Barat (Jakarta:

Departemen P dan K, 1983-1984) hlm. 95.  187  Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan

Pergerakan Nasional di Minangkabau (Jakarta: Gunung Tiga, tanpa tahun) hlm. 61.  

 

132  

menyebutkan bahwa revivalisme Islam yang terjadi pada abad 18 dan 19,

sebagaimana yang dimotori oleh Wahabi, memberikan warisan penting bagi

terjadinya gerakan Islam abad 20. Berbeda dengan modernisme Islam,

revivalisme Islam muncul sebagai kritik atas kelemahan orang Islam internal

dibanding tanggapan atas hadirnya kolonialisme. Perpecahan dan

kemunduran umat Islam, oleh kalangan revivalis, bersumber dari

keengganan mereka untuk mengamalkan ajaran agama sebagaimana yang

diajarkan ulama terdahulu. Masyarakat banyak melakukan perilaku

menyimpang yang jauh dari ketentuan Tuhan.

Keberhasilan dan anugerah Tuhan, hanya diturunkan bagi umat yang

benar-benar beriman kepada-Nya, demikian keyakinan revivalis. Termasuk

dianggap sebagai faktor penghambat kemajuan umat Islam adalah

merebaknya ajaran sufi yang mengajak para pengikutnya untuk

membelakangi dan meninggalkan urusan duniawi. Hal itu sama saja

mengembalikan umat ke masa-masa awal ketika Islam diperjuangkan oleh

Nabi Muhammad SAW dan para Khulafaurrasyidin (para khalifah yang

cerdas).188 Meskipun pada tahap itu, kelompok revivalisme memiliki

kesamaan, namun mereka meminggirkan unsur kesufian dari gerakan

mereka. Hal ini bisa dilihat dari usaha pengurangan pengaruh tarekat di

Minangkabau oleh kelompok Paderi.

Dari uraian di atas diketahui bahwa meskipun gerakan revivalis

semacam Paderi di Minangkabau bertujuan untuk menyadarkan Muslim

untuk meninggalkan praktek-praktek bid’ah dan kembali pada ajaran Islam,

namun memiliki keterkaitan dengan perkembangan Islam di masa

setelahnya. Jika diperhatikan banyak dari kalangan ulama-ulama berikutnya

                                                            188 John L. Esposito, Islam dan Politik, Terj. Joesoef Sou’yb (Jakarta: Bulan Bintang,

1990) hlm. 55.  

 

133  

yang merupakan keturunan kelompok Paderi. Akar-akar pendidikan Paderi

tentu sempat mereka rasakan, khususnya dalam bidang agama. Generasi

kedua inilah yang merawat akar-akar tradisi Paderi untuk menumbuhkan

geliat pembaruan dalam wujud yang berbeda, dan mengalirkannya dalam

berbagai macam media, seperti penerbitan majalah, sekolah, maupun

mengenai bagaimana cara hidup yang sesuai dengan ajaran agama.

Meskipun ajaran-ajaran Paderi bersifat ortodoks dan cenderung pada

pemurnian Islam yang bertumpu pada penghayatan Islam di Mekkah, namun

pada prakteknya, di Minangkabau mengalami pergeseran perkembangan ke

arah yang lebih mutakhir. Penghayatan keIslaman di Minangkabau pada

masa setelah perang Paderi ikut merubah, seiring dengan perkembangan

zaman. Datangnya para pelajar dari Mekkah ikut meramaikan agenda-agenda

pendidikan masyarakat di sana. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut

belakangan berkembang menjadi sekolah Islam modern di Minangkabau.

Sidi Ibrahim Boechari mengatakan bahwa jika Haji Miskin, Haji

Sumanik dan Haji Piobang merupakan kaum mudo pertama, maka beberapa

waktu kemudian, setelah perang Paderi muncul kaum mudo kedua. Mereka

adalah anak dan cucu dari Jalaluddin Fakih Sangir, generasi terakhir dari

keluarga Paderi di Minangkabau. Jalaluddin sendiri adalah anak dari Tuanku

nan Renceh dan murid dari Tuanku nan Tuo. Di hari berikutnya ia bergelar

Tuanku Sami’. Dari Tuanku Sami’ inilah muncul apa yang dinamakan tiga

serangkai kedua yang juga bisa diartikan sebagai pelopor gerakan kaum

mudo kedua, yakni Syekh Ahmad Khatib, Syekh Taher Jalaluddin dan Inyik

Agus Salim.189

                                                            189 Sidi Ibrahim Boechari, Pengaruh Timbal …, hlm. 61 – 62.  

 

134  

Pandangan Islam Modern atau Islam Modernis dipahamai sebagai

suatu gagasan keislaman yang berupaya memahami kembali nilai-nilai dasar

yang terkandung dalam al-Qur’an dengan mempertimbangkan kondisi,

tantangan sosio-historis dan kultural yang dihadapi masyarakat Muslim di

era kontemporer (kekinian atau mondial). Kurun waktu kontemporer

merujuk pada masa dimana iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) sudah

berkembang dengan pesat.

Biasanya pandangan Islam Modenis tidak lagi mengindahkan konten-

konten khazanah intelektual Islam era klasik yang berkaitan dengan masalah

keagamaan dan kemasyarakatan. Islam modern mengedepankan upaya jalan

pintas (shortcut) yang cepat dalam mendudukkan hukum Islam dengan

realita kontekstual. Sifat dasar dari Islam Modernis adalah progresif dan

dinamis dalam merespon tuntutan dan kebutuhan di masa kontemporer.190

B. Pembaruan Lembaga Pendidikan Islam

Sekolah menjadi ajang tukar pengetahuan yang efektif. Pendidikan

menjadi tolok ukur kemajuan umat manusia. Namun, saat itu masyarakat

pribumi berada dalam posisi yang sulit. Hal ini dikarenakan tidak sembarang

orang bisa bersekolah di sekolah-sekolah negeri yang berada di bawah

naungan pemerintah kolonial. Padahal sekolah model Eropa adalah salah

satu simbol modernitas di masa itu. Mereka yang bersekolah di sana, bukan

hanya mendapatkan ilmu pengetahuan, melainkan prestis karena

berkesempatan untuk sejajar dengan derajat orang Eropa.

                                                            190 Muhammad Munawwir, “Corak Pemikiran Modern Pendidikan Islam (Studi

tentang Ideologi Pendidikan Islam Muhammad Natsir”, Journal of Islamic Education, Vol. I, No. 1, Mei 2016, hlm. 112.  

 

135  

Taufik Abdullah melihat ketika perang Paderi sudah surut terjadi

beberapa perubahan sosial di tengah masyarakat. Pemerintah kolonial

mereorganisasi kepemimpinan nagari dan mengangkat tuanku laras, sebagai

kepala adat dan kepala pemerintahan yang membawahi suatu wilayah

federasi nagari. Para penduduk mulai digerakkan untuk kerja paksa atau

kerja wajib (heerendiensten). Mereka juga dibebani membayar pajak kepada

pemerintah. Hanya kaum penghulu saja yang tidak dianjurkan membayar

pajak. Sejak saat itu orang Minangkabau disibukkan dengan upaya-upaya

keluar dari tekanan tersebut. Mereka tidak ingin mengikuti perintah tuan-

tuan Belanda. Di sisi lain mereka tidak ingin pula sampai harus

meninggalkan ajaran-ajaran kaum adat dan Islam. Mulai saat itu masyarakat

Minangkabau seperti dibayangi oleh belenggu adat, Islam dan Barat.191

Apa yang dikatakan Taufik Abdullah memang harus ditanggapi dengan

kritis. Adat dan agama memang pernah terlibat dalam pertentangan serius

yang termanifestasi dalam pertentangan kaum Paderi dengan kaum Adat.

Namun pertentangan itu tidak sampai menyebabkan berkurangnya populasi

penganut Islam. bahkan mereka yang bertentang, baik antara orang Paderi,

orang Adat hingga para penganut tarekat adalah beragama Islam semuanya,

dan hanya berbeda cara pandang satu dengan yang lain. Oleh sebab itu,

menyebut Islam sebagai belenggu masyarakat Minangkabau paska Paderi

merupakan sesuatu yang bisa diperdebatkan.

Sebagian kaum mudo banyak yang melebarkan sayap pembaruannya di

bidang pendidikan. Mereka merasa perlu untuk ikut membenahi pendidikan

umat Islam, yang sempat terganggu akibat adanya masa perang, sekaligus

untuk melanjutkan tradisi intelektualitas yang sempat terhenti.

                                                            191 Taufik Abdullah dalam “Pengantar” buku Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus;

Matriarkat, Reformisme Islam dan Kolonialisme di Minangkabau (Jakarta: Freedom Institute, 2010) hlm. xxxvi. 

 

136  

Ketersambungan jaringan dengan Syekh Ahmad Khatib menyebabkan para

murid dari Mekkah ini merasa perlu untuk kembali dan mendirikan

perguruan kajian Islam yang bersifat tradisional maupun yang modern. Cita-

cita mereka adalah menghadirkan wahana belajar yang bisa diakses

masyarakat untuk memperteguh identitas pendidikan Islam yang bisa

menjawab tantangan zaman.

Salah satu ciri dari pendidikan Nusantara tradisional adalah tempat

belajar agama yang dilangsungkan di masjid.192 Dalam kasus Minangkabau,

tidak hanya masjid yang digunakan sebagai tempat pendidikan agama, tetapi

juga surau. Surau dianggap juga sebagai masjid kecil. Pemikiran untuk

menggantikan tempat belajar dari semula di masjid atau di surau ke kelas,

merupakan gagasan yang baru yang sebelumnya belum pernah ada. Ini

adalah salah satu fenomena yang memperteguh kaum mudo sebagai

pembaharu dalam pendidikan agama di Minangkabau.

Deliar Noer mengisahkan bahwa menginjak awal abad 20, sudah ada

upaya untuk meningkatkan martabat pendidikan Islam. Para sarjana Islam

Minangkabau mulai memasukkan unsur-unsur belajar modern, sebagaimana

yang dilakukan oleh Haji Latif Syakur. Haji Latif Syakur lahir di Air Mancur

dekat Padang pada 16 Agustus 1881. Ia sempat menuntut ilmu di Mekkah

sejak tahun 1888 hingga 1902. Sekembalinya dari Mekkah, ia sempat

menjadi parewa (preman) selama tiga tahun. Menginjak tahun 1906, ia

mengajar di Biaro (Kamang, Bukittinggi) dan telah menggunakan papan tulis

dan meja-meja untuk para muridnya.

Tahun 1912, ia mendirikan sekolah bernama at-Tarbiyah al-Hasanah di

Tengah Sawah, Bukittinggi. Di sekolah itu sudah menggunakan

                                                            192 KM. Akhiruddin, “Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara” dalam Junal Tarbiya,

Vol. I, No. 1, 2015, hlm. 195-196. 

 

137  

pembelajaran dalam kelas dan penggunaan meja. Meja yang digunakan

adalah meja rendah, dan para murid masih duduk di lantai. Baru pada tahun

1915, sekolah ini menggunakan meja tinggi dan bangku untuk duduk para

murid, sebagaimana yang ditemukan dalam sekolah-sekolah pemerintah

Belanda.193

Meskipun Haji Latif sudah memperkenalkan papan tulis dan meja

sebagai media belajar siswa, namun salah satu pioner lembaga pendidikan

berpengaruh yang menggunakan sistem modern dalam belajar adalah

Sekolah Adabiyah (Adabiyah School).194 Lembaga pendidikan ini didirikan

pada tahun 1909 di Padang oleh Haji Abdullah Ahmad, pendiri majalah

Islam Al-Munir. Bisa dikatakan ini merupakan madrasah (sekolah agama)

pertama di Minangkabau, bahkan Muhammad Yunus meyakini madrasah ini

adalah yang pertama di Indonesia.

Pada tahun 1915, nama Adabiyah School diganti menjadi H.I.S.

(Hollands Inlandse School) Adabiyah. Adabiyah merupakan HIS pertama

yang memasukan kurikulum agama dalam rencana pelajarannya. Di

kemudian hari HIS Adabiyah berubah menjadi Sekolah Rakyat lantas di

waktu berikutnya menjadi SMP (Sekolah Menengah Pertama).195

Sejak tahun 1915, sekolah Adabiyah diambil alih pengelolaannya oleh

pemerintah kolonial. Oleh pemerintah namanya dirubah menjadi Hollandsch

Maleische School Adabiyah. Kepala sekolahnya pada saat itu dijabat oleh

orang Belanda. Mulai saat itu citra Adabiyah sebagai lembaga pendidikan

pembaruan Islam sedikit demi sedikit mulai berkurang. Palajaran agama

                                                            193 Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 52.  194 Deliar Noer juga menyebut Adabiyah sebagai sekolah pertama yang didirikan oleh

masyarakat dan berada di lingkungan Islam sebagai pembaruan atas sistem pendidikan model tradisional. Lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 52.  

195 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 63.  

 

138  

mulai kurang diperhatikan. Sekolah ini pun dimasukkan ke dalam kategori

Sekolah rendah, dan alumni-alumninya pun belum mampu menjawab

tantangan zaman saat itu.196

Lembaga pendidikan yang sempat mengalami transformasi dari

pendidikan tradisional ke pendidikan modern lainnya adalah Surau Jembatan

Besi. Dalam pengajarannya, materi fiqih dan tafsir al-Quran menjadi

pelajaran yang diutamakan. Keberadaan Haji Abdullah Ahmad dan Haji

Rasul yang mengajar di surau ini sekembalinya mereka dari Mekkah pada

tahun 1904, ikut merubah kurikulum di sini. Saat itu penekanan pelajaran

dilakukan pada mata pelajaran bahasa Arab dan ilmu alat, yang dikatakan

menjadi alat-alat perbekalan untuk menguasai ilmu-ilmu yang lainnya.

Tujuan penting lainnya adalah supaya murid bisa langsung mengkaji dari

sumber aslinya, yakni al-quran dan hadis.

Menginjak tahun 1916, lembaga pendidikan ini menggunakan sistem

murid belajar di kelas. Meskipun begitu para murid masih duduk di lantai.

Kelas yang tersedia baru berjumlah tiga ruangan, yakni untuk murid kelas

rendah, menengah dan tinggi. Di kemudian waktu, kelas rendah dipecah

menjadi empat kelas dan masing-masing dari mereka menamatkan waktu

standar penyelesaian studi selama setahun. Sedangkan untuk kelas menengah

dan tinggi dipecah menjadi kelas 5, 6, dan 7. Perubahan status dari surau

menjadi sekolah dengan kelas ikut pula merubah nama lembaga pendidikan

ini menjadi Sekolah Thawalib.197

H. M. Thaib Umar juga mendirikan madrasah yang sama dengan

Adabiyah di Batusangkar pada tahun 1909. Sayangnya sekolah yang ia bina

tidak berlangsung lama. Pada 1910, ia juga mendirikan madrasah di

                                                            196 Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 52.  197 Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 52-54.  

 

139  

Sungaiyang (suatu daerah di Bukittinggi) yang diberi nama Madras School.

Madras School hanya mempunyai satu ruangan kelas yang digunakan oleh

para murid senior untuk mengkaji kitab-kitab besar (kitab lanjutan) dan

masih menggunakan sistem halaqah (murid duduk bersila di hadapan guru

dan menyimak pembacaan dan keterangan guru mengenai kitab terkait).

Menginjak tahun 1913, Madras School sempat ditutup karena kekurangan

tempat. Pada tahun 1918, Mahmud Yunus membuka kembali Madras

School. Pada tahun 1923, Madras School berganti nama menjadi Diniyah

School dan kembali berganti nama menjadi Al-Jami’ah Islamiyah pada 1931

dan statusnya menjadi SMPI (Sekolah Menengah Pertama Islam) atau PGAP

(Pendidikan Guru Agama Pertama).

Pada tahun 1915, sekolah Diniyah School atau Madrasah Diniyah

didirikan pula oleh Zainuddin Labai Al-Yunusi di Padang Panjang.

Madrasah ini sempat mendapatkan reaksi positif dari masyarakat

Minangkabau. Di masa-masa setelahnya madrasah-madrasah dengan konsep

pembelajaran serupa semakin banyak didirikan di wilayah Minangkabau

lainnya dan di seantero Indonesia dalam cakupan yang lebih luas.198

Deliar Noer menyebut bahwa sosok Zainuddin Labai Al-Yunusi

merupakan sosok yang belajar menggunakan sistem otodidak. Ia tidak hanya

membatasi bacaannya pada teks atau buku yang berbahasa Arab dan Melayu,

melainkan juga bahasa Inggris dan Belanda. Berbagai macam disiplin ilmu ia

kaji mulai dari aljabar, ilmu bumi, kimia dan agama. Sebelum mendirikan

sekolah, Labai sempat membantu Syekh Haji Abbas dalam pengajaran di

suatu lembaga pendidikan tradisional di Padang Jepang selama enam tahun.

Di Padang Panjang, ia juga sempat mengajar di Surau Jembatan Besi.

                                                            198 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 63-65.  

 

140  

Di sekolah Diniyah yang didirikannya, Zainuddin Labai menggunakan

sistem belajar dalam kelas dan menggunakan kurikulum yang lebih teratur.

Ia juga memadukan antara kurikulum agama dan kurikulum pelajaran umum

seperti bahasa, matematika, sejarah, ilmu bumi selain pelajaran agama. Ia

juga mendirikan suatu klub musik yang beranggotakan para murid-muridnya.

Sepeninggal Zainuddin Labai, sekolah ini dipimpin oleh saudara perempuan

sekaligus muridnya Rahma Al-Yunusiyah. Di Minangkabau Rahma dikenal

sebagai “Kartini-nya Orang Islam Yang Taat”.199

Sekolah Diniyah menjadikan Mesir sebagai kiblat penyelenggaraan

pendidikan agama. Untuk pendidikan umum, sekolah ini terpengaruh dengan

model pendidikan yang diterapkan oleh Mustafa Kemal Pasha, Muhammad

Abduh dan Rasyid Ridha. Nuansa Mesir semakin kentara dengan pengkajian

kitab-kitab berbahasa Arab terbitan Mesir (Kairo) bagi pelajar tingkat atas.

Terdapat pendapat lain mengenai akhir dari sekolah ini. pada tahun 1924,

Zainuddin Labai meninggal dunia dan sejak itu sekolah Diniyah mengalami

kemunduran hingga pada tahun 1935 akhirnya ditutup.200

Madrasah-madrasah Minangkabau, di Nusantara muncul, selain sebagai

kelanjutan wacana intelektual, dianggap pula sebagai respon atas pendidikan

pemerintah Hindia Belanda. Dari lambaga-lembaga pendidikan ini kemudian

bersemi wacana gerakan pembaruan Islam yang mempunyai latar belakang

dan tujuan yang berbeda-beda. Merujuk pada pendapat Karel Steenbrink,

setidaknya ada empat hal yang melatarbelakangi lahirnya wacana perubahan

Islam di Indonesia, yaitu: 1) kesungguhan kembali pada al-quran dan hadis;

2) semangat nasionalisme melawan kolonial Belanda; 3) usaha yang kuat

dari internal umat Islam untuk memperkuat posisi di organisasi sosial,

                                                            199 Deliar Noer, Gerakan Moderen ..., hlm. 47-48.  200  Rini Rahman, “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20 (Studi Kasus di

Sumatera Barat)” dalam Humanus, Vol. XIV, No. 2, 2015, hlm. 178-179.  

 

141  

politik, ekonomi dan budaya; 4) usaha serius meningkatkan pendidikan

Islam.201

Tidak benar jika dikatakan pendidikan Islam, khususnya di

Minangkabau, selama masa penjajahan Belanda mempunyai kualitas yang

rendah di banding masa ketika kerajaan-kerajaan Nusantara masih eksis

(misal seperti Demak, Siak Sri Indrapura atau Banten).202 Antara masa

kerajaan Nusantara dan masa penjajahan Belanda mempunyai perbedaan

yang mencolok, dilatarbelakangi oleh kondisi politik, pendidikan dan budaya

di dua masa tersebut.

Memang, pada abad 19, Belanda sudah mulai menetapkan sekolah

Kristen sebagai salah satu agen perubahan sosial di wilayah yang diduduki

Belanda, namun hal ini tidak sampai mengganggu atau menghambat

perkembangan pendidikan Islam modern di Minangkabau. Gesekan-gesekan

dengan pemerintah Belanda mungkin saja pernah dialami oleh sekolah-

sekolah Islam modern, namun ini sama sekali tidak membuat kualitas

pendidikan Islam menjadi jatuh dan kurang diminati oleh masyarakat

Minangkabau. Justru lembaga pendidikan Islam modern menjadi saingan

terkuat bagi pendidikan model Barat sebagaimana yang dikelola oleh

pemerintah Hindia Belanda.

Murni Djamal menyatakan bahwa menurut tradisi madrasah di

Minangkabau, kurikulum agama yang dikaji bertautan dengan fiqih (hukum),

tauhid (teologi) dan mistik (tasawwuf). Seorang siswa dikatakan mencapai

tingkat paham agama jika dari sekolah dasar, ia melanjutkan ke sekolah-

sekolah tingkatan lanjut dengan kurikulum yang menyediakan kajian yang

                                                            201 Nor Huda, Islam Nusantara (Yogyakarta: Arruz Media, 2007) hlm. 392.  202 Muhammad Sabaruddin, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan

Sebelum Kemerdekaan”, dalam Jurnal Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2013, hlm. 149.  

 

142  

mendalam tentang ilmu agama. Sampai pada pertengahan abad 19, sudah ada

15 madrasah besar, dengan jumlah murid masing-masing antara seratus

sampai seribu orang.203

Munculnya pendidikan model Barat di Minangkabau adalah buah dari

menguatnya kolonialisme di sana. Sekolah pertama yang menggunakan

pendidikan Barat dibangun di Padang tahun 1825, dan hanya diperuntukkan

bagi anak-anak Belanda. Baru sekitar tahun 1843, sekolah untuk bumiputera

dibangun di Bukittinggi. Sekolah ini masuk dalam kategori Sekolah Rendah.

Di masa berikutnya, sekolah-sekolah serupa banyak didirikan di pusat-pusat

administrasi yang berdekatan dengan kebun kopi. Sekolah ini dibiayai dan

dikontrol oleh masing-masing nagari. Menginjak tahun 1870, pemerintah

kolonial mengadakan pembaruan pendidikan.

Tujuan utama didirikan sekolah-sekolah tersebut adalah melatih orang

pribumi menjadi pegawai sekaligus memberantas buta huruf. Sekolah model

Belanda ini berhasil menarik perhatian beberapa keluarga Minangkabau

untuk menyekolahkan anaknya di sana. Di akhir abad 19, semakin banyak

orang Minangkabau yang ingin menjadikan anaknya sebagai pegawai. Hal

ini mendorong pemerintah Belanda untuk semakin banyak mendirikan

sekolah. Bahkan, banyak orang Minangkabau yang tidak mendapat tempat di

kota-kota Sumatera Barat, mendaftarkan diri untuk sekolah di Aceh.204

Ada perbedaan yang tegas antara pendidikan Islam modern dengan

pendidikan kolonial. Lulusan sekolah Islam Modern banyak yang berperan di

tengah masyarakat seperti aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan,

pendidikan agama, serta kerja-kerja lain umumnya bersifat sosial. Sedangkan

                                                            203 Murni Djamal, DR. H. Abdullah Karim Amrullah; Pengaruhnya dalam Gerakan

Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke – 20 (Jakarta: INIS, 2002) hlm. 53  204 Taufik Abdullah, Sejarah Sosial ..., hlm. 66-67.  

 

143  

sekolah kolonial, ditujukan untuk menjadi pegawai-pegawai Belanda.

Terlihat, manfaat sekolah kolonial hanyalah mendapatkan status sosial yang

tinggi, karena menjadi pegawai, dan secara tidak langsung berpotensi

mengasingkan dirinya dari realitas sosial, meskipun tidak seluruhnya

dikatakan lulusan sekolah kolonial adalah akan mengabdi pada kepentingan

Belanda.

Sekolah Islam modern sejatinya lahir sebagai jawaban atas eksistensi

sekolah kolonial. Masuknya unsur-unsur pendidikan modern seperti

penggunaan bangku dan meja serta belajar di dalam kelas, dimaksudkan

untuk meningkatkan mutu pendidikan sekolah Islam modern supaya tidak

sampai jauh tertinggal dari sekolah Belanda. Setidaknya kualitas lulusan

sekolah Islam Modern bisa menyamai lulusan sekolah model Belanda.

Lembaga pendidikan Islam menjadi lokus yang mengakomodir

kebutuhan ilmu agama orang Minangkabau. Majunya pendidikan Barat,

tidak selalu ditanggapi secara berlebihan sebagai indikator pertumbuhan

kemajuan di kalangan masyarakat Minangkabau. Dalam beberapa kasus,

masyarakat di Minangkabau masih ada yang memandang penting arti kajian

agama Islam bagi anaknya.

Elizabeth E. Graves menceritakan bahwa pernah terdengar kasus guru

Belanda yang bernama Evans berselisih paham dengan seorang penghulu

adat tentang pembacaan al-Qura’n. Sang guru yang juga berprofesi sebagai

misionaris itu menunjukkan keteguhannya dalam berpendapat, sehingga

membuat penghulu adat itu tersinggung. Setelah pertikaian itu, pada tahun

1828, sang penghulu adat kemudian mengajak anaknya yang kebetulah

bersekolah di sekolah tempat Evans mengajar.

 

144  

Selanjutnya, Graves juga menyebutkan bahwa masyarakat yang

menginginkan anaknya besekolah di sekolah sekuler yang didirikan Belanda,

tidak selalu didorong oleh harapan bahwa sekolah sekuler menjanjikan

pendidikan yang lebih baik ketimbang sekolah lainnya. Pendidikan yang

ditawarkan sekolah Belanda juga tidak selalu dianggap penting dan berguna.

Beberapa dari mereka ada yang menyekolahkan anaknya di sekolah Belanda

hanya karena segan dengan kedudukan Belanda.205

Munculnya pendidikan model Barat di Minangkabau sejatinya

merupakan refleksi dari kolonisasi Belanda. Gert Oostindie menegaskan

bahwa apa yang dikenal sebagai kolonialisasi Belanda melingkupi

administrasi, militer, pemahaman geografis, arsitektur, sosial dan kehidupan

berbudaya.206 Pendidikan merupakan upaya untuk meningkatkan

kemampuan manusia dalam memahami dunia di mana ia hidup. Oleh sebab

itu pendidikan Belanda bagi masyarakat pribumi merupakan usaha untuk

menciptakan generasi pribumi yang mengerti struktur sosial, administrasi,

budaya serta hal-hal lain sesuai dengan cara pandang orang Belanda atau

orang Eropa.

Lembaga pendidikan Islam modern di Minangkabau juga merupakan

persemian gagasan Islam rasional. Dalam sejarahnya, wawasan Islam yang

berkembang di Minangkabau awalnya dekat dengan nuansa adat istiadat

yang bercampur dengan pemahaman yang berbeda, bahkan dikategorikan

menyalahi ajaran Islam yang sesungguhnya, dengan yang diperkenalkan Haji

Miskin dan kawan-kawan. Setelah didahului dengan konversi (penggantian)

                                                            205 Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern; Respons terhadap

Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Terj. Novi Andri dkk (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007) hlm. 152. 

206 Gert Oostindie, “Migration and Its Legacies in the Dutch Coloial World” dalam Gert Oostindie, ed, Dutch Colonialism, Migration and Cultural Heritage; Past and Present (Leiden: KITLV Press, 2008) hlm. 4.  

 

145  

pemahaman yang cukup tajam, yakni melalui jalan peperangan, perlahan

paham Islam paderi yang disemai di surau, kemudian mengalami

perkembangan di lembaga pendidikan Islam modern dan mulai terlihat

menjadi salah satu corak Islam modern yang berkembang di Minangkabau

ketika menyentuh awal abad 20.

Permurnian Islam yang ditanamkan Haji Miskin dan generasi-generasi

penerusnya memberatkan pada pengambilan al-Qur’an dan hadis sebagai dua

sumber utama yang terpercaya kebenarannya sebagai hukum Islam. Adapun

muatan hukum Adat istiadat Minangkabau yang diyakini sudah lama eksis

bukan merupakan sumber pengambilan hukum Islam. Jikapun ada beberapa

hukum Adat yang masih dipandang relevan sebagai pegangan dalam

menyelesaikan suatu permasalahan, kedudukannya pun harus berada di

bawah syara’ (hukum Islam). Hal tersebut terangkum dalam adagium adat

basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah.

Masyarakat Minangkabau pra-Paderi sudah mengenal satuan hukum

yang menggabungkan hukum lokal dengan hukum Islam. Hukum adat

sendiri terbentuk dari pemahaman suatu masyarakat akan karakter, nilai,

alam serta kepercayaan akan ketuhanan dalam perspektif lokal.207

Pergumulan keduanya melahirkan suatu cara pandang baru yang kental

dengan muatan keminangkabauan sehingga bukan lagi disebut hukum Islam,

melainkan hukum adat Minangkabau, di mana hukum Islam termasuk di

dalamnya. Hal ini mendapat peneguhan mengingat sebagian besar rakyat

Minangkabau adalah Muslim. Dengan demikian hukum Minangkabau

dianggap sudah merefleksikan pandangan hidup dan pandangan agama orang

Minangkabau.

                                                            207 Agung Setiyawan, “Budaya Lokal dalam Perpektif Agama: Legitimasi Hukum Adat

(‘urf) dalam Islam” dalam ESENSIA, Vol. XVIII, No. 2, 2012, hlm. 204. 

 

146  

Ketetapan di atas mengalami perubahan total ketika paham Paderi

masuk dan mengakar di Minangkabau. Wawasan hukum lokal yang

dianggap bertentangan dengan agama mulai dikikis dan digantikan dengan

hukum Islam yang diadopsi dari ajaran Wahhabi. Yang unik, pada

perkembangannya, nuansa hukum Wahhabi, sebagaimana yang ditemukan di

Arab Saudi, tidak serta merta mendominasi dan menjadi hukum baku

masyarakat Minangkabau berikutnya, sebagai pengganti hukum adat

Minangabau. Ajaran Wahhabi bercampur dengan sedikit hukum adat

Minangkabau, ditambah dengan penerimaan akan modernitas menjadi Islam

Modern Minangkabau yang menadi salah satu ekspresi Islam rasional.

C. Kaum Paderi sebagai Aktor Perubahan Sosial

Salah satu ciri dari masyarakat dinamis adalah pengalaman berjumpa

dengan perubahan. Perubahan ini selalu memiliki dua sisi mata uang, yakni

membawa kebaikan atau keburukan. Namun masalah baik dan buruk tentu

masih bisa diperdebatkan. Artinya hal itu hanyalah perbedaan sudut

pandang. Perubahan bisa datang dari dalam atau berasal dari luar. Yang

menjadi fokus dalam tesis ini adalah perubahan yang menyebabkan

bergesernya sendi-sendi sosial yang sebelumnya telah berdiri dengan tegap,

namun kemudian mengalami perubahan posisi. Perubahan sosial adalah

salah satu fenomena yang hampir pasti dijumpai dalam setiap masyarakat

untuk mendapatkan pencapaian-pencapain tertentu.

Perubahan sosial merupakan salah satu cabang pembahasan dari

sosiologi. Sejarah manusia hampir pasti bersinggungan dengan berbagai

bentuk perubahan yang tidak jarang bisa merubah jalur nasib serta kebiasaan

masyarakat tersebut. Hal demikian bisa dilihat di Minangkabau. Datangnya

 

147  

pengaruh Wahabi menjelma menjadi suatu cara beragama yang baru dan

tidak ditemukan di masa sebelumnya. Bahkan kelompok penganutnya, yang

dinamakan kaum Paderi, menjadi aktor dalam berbagai macam bentuk

pembaruan di kehidupan masyarakat Minangkabau khususnya dalam bidang

agama dan sosial.

Fenomena perubahan sosial yang terjadi di Minangkabau sekitar abad

18 sejatinya merupakan dampak dari merebaknya paham anti-kolonialisme

di wilayah-wilayah Islam yang dijajah bangsa Eropa. Kabar mengenai

pendudukan serta ancaman penaklukkan Eropa merebak begitu pesat di

Minangkabau sehingga sebagian masyarakatnya rela menyisihkan waktu

menghalau penjajah Barat. Besar kemungkinan, melalui cerita turun temurun

dari generasi Haji Miskin sampai dengan generasi Tuanku Imam Bonjol,

keburukan dari paham anti-kolonialisme sudah dimengerti oleh kaum Paderi.

Di bawah penjajahan bangsa-bangsa Eropa, umumnya, masyarakat

Muslim mengalami penderitaan yang mendalam. Mereka merasakan

kemerosotan dan kemunduran hampir di semua bidang kehidupan manusia,

terutama di bidang politik, ekonomi, pendidikan serta ilmu pengetahuan.

Kondisi ini menyebabkan umat Islam semakin terkucil dari pergaulan dunia

karena dianggap sebagai kaum marginal (pinggiran) yang jauh dari

kesejahteraan. Pemahaman ini yang membakar semangat kaum Paderi untuk

mempersiapkan diri, menata penduduk Minangkabau untuk satu tujuan,

yakni hijrah dari penyakit sosial lantas begitu datang ancaman dari musuh

yang sudah mengintai dari wilayah pesisir atau wilayah tetangga

Minangkabau, mereka sudah siap untuk mempertahankan tanah dan

airnya.208

                                                            208 Muhammad Dahlan M., “Motivasi Kebangkitan Dunia Islam Abad XIX-XX”,

Jurnal Adabiyah, Vol. XV, No. 1, 2015, hlm. 1-2. 

 

148  

Keberadaan kaum Paderi bisa dikatakan merupakan jawaban atas

merebaknya sikap abai terhadap tertatanya kehidupan sosio-keagamaan yang

baik. Menjamurnya penyakit-penyakit sosial seperti sabung ayam, perjudian

dan berbagai tindak kriminal lainnya, seakan menjadi bahan bakar

meledaknya gerakan Paderi. Di tambah lagi dengan absennya para pejabat

terkait yang ternyata tidak mampu mengatasi masalah-masalah tersebut,

semakin membawa kehidupan masyarakat kepada kemunduran. Tidak bisa

dipungkiri awal kedatangan Haji Miskin dan dua kawannya adalah untuk

membenahi masalah sosial ini.209

Namun, dalam perkembangannya kaum Paderi telah melakukan

perubahan lain yang tidak kalah radikal. Peminggiran kaum tarekat atau

kelompok-kelompok sufi seperti persaudaraan Syatariyyah dan

Naqsyabandiyah merupakan salah satu tindakan yang menyebabkan

perpecahan dalam tubuh umat Islam Minangkabau sendiri. Kebencian kaum

tasawuf terhadap sebenarnya berawal dari perbedaan cara pandang mengenai

konsep berdakwah, namun pada titik ini belum terbersit adanya api

permusuhan di antara mereka, sebagaimana terlihat dari perbedaan cara

pandang berdakwah Tuanku Koto Tuo dan Tuanku nan Renceh.210 Pertikaian

ini seperti bara dalam sekam yang belakangan ikut menyebabkan surutnya

gerakan Paderi.

Kehadiran kolonialisme Belanda di pedalaman Minangkabau ikut

memutar roda perubahan sosial di Minangkabau. Secara sistematis mereka

berhasil menundukkan gerakan Paderi pada sekitar tahun 1840-an.211 Setelah

                                                            209 Steijn Parve, “Kaum Padari ...”, hlm. 174.  210 Sartono Kartodirdjo,ed, Sejarah Perlawanan ..., hlm. 91.  211 Sejak ditetapkannya Plakat Panjang dianggap sebagai masa-masa akhir surutnya

gerakan Paderi. Plakat Panjang adalah semacam deklarasi panjang antara penduduk Minangkabau dengan pemerintah kolonial yang berkaitan dengan penenanam kopi,

 

149  

itu, mereka mulai membangun kota-kota di Minangkabau menjadi pusat-

pusat perkumpulan manusia yang modern dengan mengacu pada model kota

Eropa. Hal ini bisa disaksikan di Padang dan Bukittinggi. Arus migrasi

manusia yang semakin lancar mengalir, perlahan menimbulkan gaya hidup

baru, yakni model masyarakat kota dan model masyarakat desa. Keduanya

menjadi indikator adanya Modernitas a la Barat dan penjagaan akan

kehidupan tradisional khas Minangkabau.

Salah satu dampak perubahan sosial keberadaan Paderi adalah

bergesernya peran surau. Semula, surau menjadi pusat aktivitas keagamaan

penduduk, namun kemudian mengalami perluasan fungsi. Rizqi Handayani

menyebutkan bahwa tatkala Paderi menguasai suatu wilayah di

Minangkabau, mereka menjadikan surau, mereka menjadikan surau sebagai

tempat menyusun konsep, strategi perang, tempat beristirahat serta tempat

tinggal bagi para tuanku dan ulama. Gerakan Paderi inilah yang

menyebabkan peran surau semakin surut, khususnya di bidang pengajaran,

selain karena hambatan yang berasal dari merebaknya pendidikan kolonial.

Sebagian surau dewasa ini sudah ada yang roboh dan hilang. Sebagian yang

lain hanya dihidupkan oleh kalangan tradisionalis, seperti para pengamal

tarekat, ziarah bersama atau membaca al-Quran secara bersama-sama dan

lain sebagainya. Surau yang kemudian dikelola oleh kaum mudo bertumpu

pada pengembangan masyarakat yang berorientasi pada kegiatan sosial,

seperti memperingati hari-hari besar atau juga pengadaan panti asuhan.212

                                                                                                                                                         pemerintah desa yang tidak dapat dinggangu kepentingan kolonial dan pihak kolonial berjanji menghormati adat. Lihat Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi ..., hlm. 364.  

212 Rizqi Handayani, “Syair Fi Kaifiyat Al-Hajj: Perjalanan Haji Sebagai Bentuk Migrasi Orang Minangkabau”, dalam Jumantara Vol. 4, No. I, Tahun 2013, hlm. 90; lihat juga Azyumardi Azra, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003) hlm. 143-149.  

 

150  

Dalam kehidupan masyarakat tradisional, surau dianggap sebagai salah

satu tempat belajar ilmu agama. Fungsinya yang kian meluas di kemudian

hari merupakan dampak dari berubahnya latar dan sistem sosial di

sekitarnya. Bisa dikatakan imbas dari masuknya ajaran Paderi ikut pula

membawa perubahan di beberapa instrumen penting masyarakat, termasuk

surau. Di kemudian hari, keberadaan model belajar di kelas, merupakan

wajah baru dalam sistem pendidikan orang Minangkabau yang ditemui

ketika pengaruh sistem pendidikan modern dianggap sebagai suatu

pembaruan yang perlu diadakan.

Rini Rahman membenarkan bahwa pada pembaruan atau modernisasi di

Minangkabau pada abad 20, khususnya di bidang pendidikan, lebih banyak

terkonsentrasi di surau yang di masa sebelumnya sudah berkembang dengan

baik. Dari rumah ibadah yang merangkap lembaga pendidikan ini, para

pemuda yang mempunyai bekal pengetahuan agama yang cukup melanjutkan

studinya hingga ke Mekkah, lalu kembali lagi ke surau asalnya untuk

menyebarkan ilmu yang didapatnya di tanah rantau. Fenomena ini

berkembang dikarenakan surau mempunyai relasi yang terbuka dengan

masyarakat luas.213

Sudah menjadi pemandangan umum dijumpai perang selalu

menghadapkan dua atau banyak kelompok yang saling bertarung. Di antara

pertarungan mereka, terdapat sekumpulan masyarakat yang tergerak untuk

memilih satu dari kubu-kubu yang ada. Jika tidak maka keamanannya akan

terancam oleh pihak-pihak yang berperang itu. Terbelahnya masyarakat

Minangkabau ke dalam kubu-kubu yang ada, yakni Paderi dan Adat, atau

                                                            213 Rini Rahman, “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20 (Studi Kasus di

Sumatera Barat)” dalam Humanus, Vol. XIV, No. 2, 2015, hlm. 74; lebih lanjut lihat Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam (Kasus Sumatran Thawalib) (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995) hlm. 64. 

 

151  

belakangan Paderi dan kolonial, ikut menyebabkan arus perpindahan

penduduk yang juga massif.

Perang berintikan pada pergerakan pasukan yang terus menerus.

Pasukan akan selalu melakukan mode bertahan dan menyerang. Secara tidak

langsung, orang-orang yang terlibat di dalamnya akan berpindah dari satu

wilayah ke wilayah lainnya, untuk kepentingan strategi perang. Banyaknya

perpindahan-perindahan yang terjadi menyebabkan perpindahan penduduk

yang juga berhubungan dengan tradisi merantau masyarakat Minangkabau.

Orang Minangkabau dikenal sebagai suku bangsa yang suka merantau.

Meskipun dalam prakteknya merantau dipahami sebagai perpindahan

seseorang dari suatu tempat ke tempat lain, namun maksud dan tujuan

merantau bisa saja berbeda. Tsuyoshi Kato menyebutkan bahwa setidaknya

ada tiga jenis merantau, yakni merantau untuk pemekaran nagari, merantau

keliling dan merantau Cino. Merantau pemekaran nagari merujuk pada

perpindahan geografis untuk mendirikan suatu perkampungan baru.

Merantau keliling dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan baik

yang sudah menikah maupun yang belum. Biasanya motif merantau mereka

beragam, adat amat berkaitan dengan dorongan pribadi, seperti mendapatkan

penghasilan yang lebih baik, mencari pengalaman atau sekedar memenuhi

hasrat saja. Mereka yang melakukan perantauan jenis ini biasanya berprofesi

sebagai pedagang, guru, pegawai kantor dan pengrajin. Mereka tetap

menjaga hubungan baik dengan kampung asal, bahkan secara berkala masih

sempat pulang. Perpindahan mereka membentuk pola melingkar antara

daerah merantau dengan kampung asal. Merantau seperti ini tidak bersifat

permanen.

 

152  

Adapun merantau Cino adalah pola merantau dari satu atau sebagian

anggota keluarga inti ke luar daerahnya. Misalnya saja sang suami merantau

terlebih dahulu, baru disusul oleh istri dan anak-anaknya. Bisa pula mereka

berpindah seluruhnya sekaligus. Termasuk pula dalam jenis ini adalah

seorang bujangan yang merantau ia pulang untuk menikah di kampungnya,

lalu membawa serta istrinya ke tempat perantauan semula. Secara psikologis

perantau jenis ini merasa amat dekat dengan kampung halaman, namun

kesempatan untuk pulang tidaklah selebar orang yang merantau keliling.

Mobilitas mereka bersifat semi permanen.214

Mochtar Naim mempunyai pandangan yang berbeda dengan Tsuyoshi

Kato tentang konsep merantau. Menurutnya, orang Minangkabau memahami

kata “rantau” bukan sebagi tempat bermukim, namun sebagai alat (bukan

sebagai tujuan) untuk menjamin, memperbaiki dan memperkokoh

keududukannya di kampung halamannya. Rantau dianggap sebagai seuatu

yang menjanjikan harapan akan perubahan hidup ke arah yang lebih baik.

Harapan ini selalu tertuju dalam konteks sosial dan bukan politik. Merantau

dilakukan untuk mengembangkan diri dan mendapatkan kehidupan sosial

ekonomi yang semakin sesuai harapan. Dengan begitu, tujuan orang

merantau berkaitan dengan tiga hal yakni mencari harta atau penghidupan

(menjadi pedagang), mencari ilmu (belajar) dan mencari pengalaman.215

Merantau menjadi indikator kesuksesan orang Minangkabau. Banyak

orang Minangkabau meyakini, dengan merantau, mereka bisa mendapatkan

hasil pendapatan yang melimpah sehingga dapat memenuhi kebutuhan

sekunder bahkan tersiernya. Namun hal itu tetap tidak bisa tanpa melalui

                                                            214 Tsuyoshi Kato, Adat Mianangkabau dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: Balai

Pustaka, 2005) hlm. 13-14.  215 Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 1984) hlm. 3 dan 295. 

 

153  

proses yang waktunya relatif, tergantung pada keuletan dan kepandaian

berdagang atau berbisnis si orang Minang. Proses tetap tidak bisa diabaikan

dalam mencapai suatu cita-cita.

Oleh sebab itu, bagi seorang perantau baru, biasanya ia membutuhkan

mentor yang mengajarinya bagaimana hidup dan bertahan hidup di

lingkungan baru di luar kampungnya. Kebanyakan mentornya ini berasal dari

keluarganya sendiri yang lebih dahulu merantau dan berhasil mencicipi hasil

kerjanya. Si mentor akan dengan sabar membimbing anak didiknya supaya

kelak dapat mandiri dalam memilih dan mengembangkan karirnya.

Dalam filosofi orang Minangkabau diyakini bahwa seorang

Minangkabau tidak bisa dikatakan sukses dalam kehidupan apabila ia belum

berhasil memberi jalan bagi kesuksesan tiga orang Minangkabau lainnya.

Ajaran ini merupakan pantulan dari sikap kekeluargaan di tanah asal yang

kemudian tetap di pegang teguh di perantauan. Filosofi ini pula yang menjadi

semangat kesadaran kolektif bagi suku bangsa Minangkabau untuk bersama-

sama menjemput perbaikan nasib di negeri orang lain.216

Tradisi merantau seakan memperoleh momentumnya ketika peristiwa

Paderi berlangsung. Orang-orang yang tergerak untuk bergabung dengan

tentara Paderi maka ia harus siap meninggalkan kampung halamannya, baik

untuk memperdalam agama atau untuk ikut berperang. Alasan menambah

ilmu pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana yang diungkapkan Mochtar

Naim di atas, kelihatannya tepat untuk melatarbelakangi anggapan bahwa

peripndahan penduduk di masa Paderi juga berhubungan dengan kepentingan

tersebut.

                                                            216 Hafiz Rahman, “’Merantau, An Informal Entrepreneurial Learning Pattern in The

Culture of The Minangkabau Tribe in Indonesia” dalam DeReMa Jurnal Manajemen, Vol. 11, No. 1, Mei 2016, hlm. 16.  

 

154  

Semakin semaraknya sekolah di Minangkabau, tidak bisa dipungkiri

adalah buah dari gesekan kepentingan kaum Paderi dengan kolonial Belanda.

Paderi ingin memperkuat posisinya di tengah masyarakat Minangkabau

melalui jalur pendidikan dan kegiatan yang bernuansa sosial. Peran dari para

ulama menjadi kian penting, karena sejak masa sebelum Paderi sosok ulama

adalah orang yang dimulyakan di tengah masyarakat. Beberapa ulama

modern masa awal juga berasal dari keluarga Paderi, seperti Syekh Ahmad

Khatib dan Haji Rasul.

Bisa dikatakan, perubahan sosial terutama di bidang pendidikan di

Minangkabau adalah dampak dari keberadaan kaum Paderi. Sewaktu awal

mereka datang-pun sudah serius mengalami berbagai macam masalah sosial,

dan ketika kedudukan mereka mulai mapan, dan para ulama Paderi semakin

dianggap sebagai sosok yang berpengaruh, maka dengan sendirinya model-

model perubahan di bidang pendidikan berlangsung.217

Setelah berguru di beberapa madrasah, para sarjana Islam Minangkabau

ada yang kembali ke kampungnya, sebagian yang lain memilih pergi menjadi

guru agama di kampung lain. Guru agama seperti yang belakangan disebut

dinamai juga orang urang sekak. Dia merasa terpanggil untuk datang ke

beberapa tempat yang dahulu pernah memberinya sesuatu, sehingga tercipta

hubungan timbal balik dengan masyarakat di sana. Urang sekak ini biasa

diminta msyarakat menjadi pemimpin dalam ritual-ritual agama.

Oleh karena ia tidak hanya terikat dalam satu nagari saja, ia juga kerap

dijadikan sebagai simpul komunikasi antarnagari. Biasanya, masyarakat

yang dibinanya akan menyisihkan sebagian hartanya untuk keperluan hidup

urang sekak, seperti makanan atau keperluan-keperluan lain. Di lihat dari

                                                            217 Mengenai masalah perubahan pendidikan di masa Paderi lihat di bab sebelumnya,

atau lihat di Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan ..., hlm. 51-58.  

 

155  

sudut agama, keberadaan urang sekak adalah penting demi tersalurnya ajaran

agama kepada masyarakat kaitannya dengan hubungan antarsesama dan

untuk kepentingan adat.218

Tradisi merantau masyarakat Minangkabau juga diartikan sebagai upaya

untuk bepergian ke luar daerah. Para ulama paska perang Paderi yang

memutuskan untuk belajar di Mekkah, adalah bisa dianggap sebagai tokoh-

tokoh perubahan di bidang pendidikan. Memang, mereka tidak secara

langsung turun berperan di masyarakat Minangkabau. Murid-murid mereka

yang justru turut andil dalam perubahan di bidang pendidikan. Jika saja

mereka tidak belajar sampai Mekkah lantas bertemu dengan wacana

Modernisme Islam sebagaimana yang dikampanyekan Muhammad Abduh

dan lain-lain, maka perjalanan sejarah bisa saja berubah.

Perang Paderi mempunyai dampak yang luas tidak hanya di dataran

tinggi Minangkabau namun juga menyentuh wilayah Asahan. Perang Paderi

menyebabkan munculnya gelombang perpindahan etnis Mandailing ke

Kisaran, wilayah yang masih masuk wilayah Asahan. Kekisruhan perang

menyebabkan sebagian etnis Mandailing mencari pemukiman yang aman ke

Asahan dengan menempuh rute Mandailing-Angkola-Padang Lawas-Kota

Pinang. Jalur ini kemudian dikenal sebagai jalur perantauan Sumatera Timur.

Awal munculnya migrasi ini terjadi pada 1835.

Migrasi Mandailing merupakan salah satu wajah lain dari perubahan

sosial yang didorong oleh aktivitas kaum Paderi. Berbeda dengan motivasi

orang Minangkabau yang melakukan perantauan, selain karena didorong

oleh keinginan memperbaiki nasib dan keinginan untuk mendalami ajaran

agama, perpindahan orang Mandailing pada masa awal, terhitung sejak 1835,

                                                            218 Murni Djamal, Abdul Karim …, hlm. 53.  

 

156  

didorong oleh ketakutan terhadap serangan orang Paderi. Pada gelombang-

gelombang berikutnya, barulah diketahui bahwa perpindahan orang

Mandailing didorong oleh keinginan mendapatkan penghidupan yang lebih

layak di Asahan.219

Perubahan sosial yang ditorehkan kaum Paderi lebih tampak di bidang

pemikiran ketimbang aplikasinya di penyelenggaraan pendidikan dalam

artian fisik. Berseminya pendidikan Islam modern di Minangkabau berakar

dari munculnya perubahan sosial yang terjadi berkat aktivitas kaum Paderi

dan semakin menemukan momentumnya ketika Perang Paderi berlangsung.

Saat itu, terlihat, orang Minangkabau yang berada di sisi Tuanku Imam

Bonjol dan para panglimanya adalah golongan yang berusaha

mempertahankan bumi Minangkabau dari ancaman kolonial Belanda.

Barisan ini adalah benteng kokoh yang menyuarakan pembebesan dari

ancaman penjajahan.

Paska surutnya perang Paderi, para penyemai ajaran Paderi merubah

pola dakwah mereka yang semula banyak bertumpu pada gerakan massa,

bahkan beberapa terlibat dalam perilaku kekerasan dengan kaum Adat atau

kolonial Belanda, menjadi lebih defensif, yakni melalui lembaga-lembaga

pendidikan. Di sisi lain, munculnya nuansa baru dari kaum Paderi tersebut

berbarengan dengan maraknya fenomena perubahan sosial lainnya yang

ditunjukkan lewat gejolak merantau penduduk pendalaman ke wilayah

pesisir Minangkabau atau ke wilayah-wilayah lainnya.

Perkembangan Islam modern di Minangkabau tidak berlangsung secara

cepat dan masif. Di beberapa segi pemikiran, pandangan ini kerap

                                                            219 Norma Yanni Hasibuan, “Sejarah Migrasi Etnik Mandailing ke Kisaran Kabupaten

Asahan” , tesis belum diterbitkan (Medan: Universitas Negeri Medan, 2014) Tanpa halaman. 

 

157  

menimbulkan kersahan tersendiri di kalangan para ulama Minangkabau,

khususnya mereka yang berasal dari kelompok tradisional. Salah satu

episode pertentangan pemikiran kaum pembaharu dengan golongan

tradisional terjadi pada kasus ketidaksepahaman Haji Abdul Karim Amrullah

terhadap paham dan pengamalan tarekat Naqshabandiyah.

Haji Abdul Karim Amrullah menilai terdapat beberapa ekspresi

peribadatan yang salah dalam ritual tarekat Naqshabandiyah. Kritiknya ini

begitu keras disuarakan. Suara keras ini menjadi salah satu wujud

pemberontakan Haji Abdul Karim Amrullah terhadap kesalahan-kesalahan

yang sudah mengendap di ruang publik Minangkabau selama berabad-abad.

Ia tidak lagi menimbang kedudukan ayahnya yang termasuk dalam

kelompok pengamal tarekat ini. Perbedaan cara pandang antara ayah dan

anak tersebut tidak sampai membawa pertentangan dalam skala luas.

Sebaliknya, sang ayah merasa bangga terhadap anaknya karena berhasil

merumuskan kritik yang disertai dengan alasan yang logis dan dapat

dipertanggungjawabkan. Wujud pertanggungjawaban Haji Abdul Karim

Amrullah disuarakannya melalui dua kitab yang ditulisnya mengenai

pembantahan terhadap tarekat Naqshabandiyah yakni: Izhaar Asaathir al-

Mulhidin fi Tasyabbuhihim bi al-Muhtadin (terbit 1908), dan Qathi’u Riqab

al-Mulhidin fi Aqaid al-Mufsidin (terbit 1914).220

Islam modernis yang embrionya berasal dari pemahaman kaum Paderi

begitu mengakar di Minangkabau. Paham ini pada perkembangannya tidak

hanya menyentuh aspek pendidikan, melainkan aspek kebudayaan

Minangkabau. Salah satu yang dapat diperhatikan adalah adanya variasi

pandangan tentang harato pusako (harta pusaka). Sebelum berseminya

                                                            220 Zulmuqim, “Transformation of the Minangkabau Isamic Education: The Study of

Educational thought of Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad and Rahmah El-Yunusiyah”, dalam Al-Ta’lim Journal, Vol. 22, No. 2, Juli 2015, hlm. 157.  

 

158  

paham Paderi, jamak dimengerti bahwa kepemilikan harato pusako ada di

tangan keluarga garis ibu (matrilineal), namun seiring dengan terbukanya

wawasan masyarakat oleh ajaran paderi, memunculkan persepsi lain bahwa

keluarga ayah (patrilineal) juga berkesempatan memiliki harato pusako,

karena hal tersebut sesuai dengan yang digariskan oleh aturan agama Islam

yakni keluarga laki-laki baik ayah, anak maupun kakek juga berhak

mendapat bagian dari suatu warisan.221

Safwan Rozi mengatakan bahwa dampak dari akhir perang Paderi

terlihat dari adanya negoisasi antara doktrin agama dengan adat

Minangkabau yang sudah dianggap sebagai pola perilaku ideal. Adat

mengalami kodifikasi, di sisi lain, agama sebagai suatu sistem keyakinan dan

kepercayaan diperkuat. Meskipun gerakan Paderi tidak berhasil merubah

struktur sosial, kultural dan politik di Minangkabau, bahkan tidak mampu

menciptakan solusi atas terjadinya konflik antara agama dan adat, namun

perkembangan lain dapat diikuti, yakni mengenai semakin lebarnya ruang

penetrasi ajaran agama dalam sistem kemasyarakatan orang Minangkabau.222

Kedudukan harato pusako yang condong di tangan keluarga ibu

sebenarnya tidak tepat jika disederhanakan bahwa “perempuan lebih kuat di

banding laki-laki”. Seorang anak yang lahir dari rahim seorang ibu

Minangkabau maka dirinya sudah mendapatkan bekal penghidupan dari

keluarga si ibu. Sedangkan dari ayah orang Minangkabau, ia mendapatkan

perlindungan selain juga penghidupan dari penghasilan ayah dan ibunya.

Perlindungan yang lebih besar juga ditunjukkan oleh keluarga dari garis ibu,

seperti dari pamannya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa anak

                                                            221 Silvia Rosa, “Struktur, Makna dan Fungsi Pidato Adat dalam Tradisi Malewakan

Gala di Minangkabau”, disertasi belum diterbitkan (Universitas Gadjah Mada, 2014) hlm. 500. 

222 Safwan Rozi, “Negoisasi Islam Kultur dalam Gerakan Paderi Rao di Sumatera Tengah (1820-1833)”, dalam Kalam, Vol. 6, No. 1, Juni 2012, hlm. 87-88. 

 

159  

seorang Minangkabau telah lahir dalam kondisi tercukupi penghidupannya,

sehingga kelak jika ia menginginkan sesuatu, orang tuanya tidak perlu

bersusah payah lagi dalam mewujudkannya.223

Harato pusako mencakup harta yang berbentuk tanah dan bukan tanah.

Tanah yang dimaksud adalah mencakup sebidang tanah, apa yang tumbuh di

atasnya, apa yang terkandung di dalamnya dan apa yang terdapat di atasnya.

Sedangkan yang dimaksud dengan harta bukan tanah adalah harta yang tidak

bergerak seperti rumah, bangunan tempat usaha keluarga dan harta yang

bergerak seperti pakaian, keris, penghulu serta adat gelar kebesaran.

Tanah menduduki tempat yang tinggi dalam harato pusako. Bagi

masyarakat Minangkabau tanah merupakan salah satu simbol unsur institusi

adat matrilineal, penentu martabat serta kedudukan seseorang dalam suku,

petunjuk status bahwa seseorang adalah penduduk asli atau tidak asli yang

merupakan latar belakang menentukan pewarisan hak-hak kebesaran

negeri.224

Adat di Minangkabau tidak begitu saja lekang atau musnah paska

perang Paderi. Pemikiran-pemikiran para ulama Paderi belakangan ikut

mewarnai gempita keagamaan di tanah Minangkabau. Dari merekalah bibit-

bibit modernisme Islam dikembangkan melalui sekolah-sekolah agama yang

bentuknya baru dan mempunyai perbedaan dengan tradisi pengajaran Islam

di masa sebelumnya, seperti tercermin dalam perubahan fungsi surau

sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

                                                            223 Kustiniyati Mochtar, “Cuplikan Riwayat Hidup Agus Salim Si Manusia Bebas”,

dalam Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim, Seratus Tahun Haji Agus Salim (Jakarta: Sinar Harapan, 1996) hlm. 33. 

224 Iza Hanifuddin, “Muhammadiyah dan Adat Tanah Ulayat Minangkabau” dalam Juris, Vol. 14, No. 1, Juni 2016, hlm. 13; lihat juga A. M. Datuk Maruhum dkk, Hukum Adat dan Adat Minangkabau Luhak Nan Tiga Laras Nan Dua (Djakarta: Poesaka Aseli, 1954) hlm. 41.  

 

160  

Pemikiran Paderi mempunyai arti dalam perkembangan pendidikan

Islam Minangkabau berikutnya. Jika saja tidak terjadi revolusi sosial yang

dicetuskan oleh kaum Paderi, maka besar kemungkinan tradisi pengajaran

Islam akan langsung berhadapan dengan model pendidikan kolonial Belanda.

Masyarakat Minangkabau seperti berada di persimpangan jalan, untuk

memilih pendidikan Islam yang tradisional atau pendidikan Barat yang

diperkenalkan Belanda.

Dengan adanya ulama Paderi berikut pengajian yang dipimpinnya, maka

masyarakat Minangkabau mempunyai alternatif untuk menjembatani

kekhawatiran mereka dalam menyekolahkan anak-anaknya. Masuk ke

pengajian kaum Paderi atau yang gurunya pernah belajar dan terinspirasi

dengan ulama Paderi menjadi suatu kebanggaan tersendiri, karena dengan

melibatkan anaknya dalam sekolah tersebut, membuktikan bahwa orang

tuanya mempunyai harapan besar agar si anak menjadi seorang ulama besar

yang mempunyai pengaruh luas di masyarakat, layaknya ditunjukkan oleh

para ulama Paderi terdahulu. Perasaan ini tentu tidak ditemukan dalam

sekolah-sekolah yang didirikan Belanda seperti Sekolah Raja di Bukittinggi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

161  

BAB VI

KESIMPULAN

 

Memasuki abad 19, masyarakat Minangkabau dikejutkan oleh pelbagai

peristiwa penting yang mengubah jalur sejarahnya. Kedatangan pengaruh

Paderi membawa pembaruan terhadap kehidupan sosio-keagamaan di sana.

Kaum Paderi hadir untuk memberantas penyakit-penyakit masyarakat seperti

sabung ayam, perjudian dan lain-lain dan mengajak kepada masyarakat

untuk bersama membina kehidupan Islam yang lebih baik.

Cara-cara dakwah kaum Paderi bahkan sempat mendapat restu dari Raja

Pagaruyung, selaku pemegang otoritas tertinggi di dataran tinggi

Minangkabau. Meskipun begitu, metode dakwah yang dilakukan tidak

sepenuhnya disetujui oleh kelompok ulama lainnya. Tuanku Koto Tuo

merupakan ulama termashur Minangkabau yang sebenarnya mendukung

gerakan pembaruan kaum Paderi, namun ia tidak setuju dengan cara-caranya

yang keras.

Kaum Paderi menganut model pemikiran agama yang terinspirasi dari

paham Wahabi yang ada di Saudi Arabia. Dakwah yang mereka lakukan

adalah untuk memurnikan ajaran Islam (purifikasi) dari hal-hal yang tidak

diajarkan oleh Al-Quran maupun hadis. Mereka juga melakukan penertiban

bagi masyarakat yang masih gemar melakukan perbuatan kriminal seperti

 

162  

menyabung ayam dan perjudian. Untuk membuat jera mereka sampai

melakukan tindakan yang keras, yakni dengan memerangi mereka. Mereka

juga memusuhi kelompok-kelompok sufi dan tarekat yang sebelumnya telah

eksis di Minangkabau, seperti tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah, yang

dianggap tidak sepaham dengan agenda yang mereka lakukan.

Paska perang Paderi, masyarakat Minangkabau dihadapkan pada

penataan kehidupan yang baru dan berlainan dengan masa sebelumnya.

Menguatnya pengaruh kolonial membawa serta pada pembangunan-

pembangunan kota serta perkebunan kopi yang dikelola oleh masyarakat,

sedangkan pemasarannya menjadi urusan Belanda. Perkembangan kota-kota

juga merangsang para penduduk untuk merantau, guna mendapatkan

penghidupan serta pengalaman yang lebih baik.

Merantau sendiri, merupakan tradisi yang sebelumnya sudah hidup di

Minangkabau. Namun, sejak berlangsungnya perang Paderi serta

menguatnya posisi kolonial, merantau menjadi semakin populer dan seakan

menemukan momentumnya. Ketika perang Paderi misalnya, banyak orang

yang bergabung ke dalam barisan Paderi. Mereka bukan hanya menuntut

ilmu pada ulama Paderi, melainkan juga ikut berperang melawan kolonial.

Minangkabau awal abad ke 20, ditandai dengan munculnya lembaga-

lembaga pendidikan Islam modern yang didirikan oleh para ulama yang

sebelumnya berasal dari kalangan Paderi. Yang dikatakan sebagai lembaga

pendidikan modern adalah model pendidikan yang telah memasukkan unsur-

unsur modern di dalam sistem belajar mengajarnya, seperti penggunaan

bangku dan meja, papan tulis serta para murid belajar di dalam kelas dan

bukan lagi di surau. Beberapa lembaga pendidikan yang menjadi pioner

pembaruan adalah Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad,

 

163  

Sumatera Thawalib yang dipimpin oleh Haji Rasul, Madras School yang

didirikan H. M. Thaib Umar dan lain-lain.

 

164  

Daftar Pustaka

A. Buku Abdullah, Taufik dkk. ed, Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majelis

Ulama Indonesia, 1991. ___________________. peny, Sejarah Sosial Di Daerah Sumatra Barat,

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983-1984.  ______________. dalam “Pengantar” buku Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada

Putus; Matriarkat, Reformisme Islam dan Kolonialisme di Minangkabau, Jakarta: Freedom Institute, 2010.

______________. Hools adn Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933), New York: Cornell University, 1971. 

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah, Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Algar, Hamid, Wahhabisme Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta: Democracy Project, 2011.

Andoni, Yudhi. “Sekularisme vs Modernisme Islam: Konflik Pemikiran Kaum Cendikiawan Sekular Barat dengan Cendikiawan Muslim di Sumatera Barat 1930-1942”, dalam Analisis Sejarah, Vol. 5, No. I, 2014. 

Azra, Azyumardi. “Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif Masyarakat” dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, Jakarta: P2M, 1985. 

_______________. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta: Kencana, 2007. 

_______________. Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003.

Benda-Beckmann, Franz von. Property in Social Continuity; Continuity and Change in The Maintenance of Property Relationships Through Time in Minangkabau West Sumatra, ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff Publishers, 1979.  

Blackwood, Evelyn. Webs of Power; Women, Kin and Community in Sumatran Village, Lanham: Rowman & Littlefield, 2000.

 

165  

Boechari, Sidi Ibrahim. Pengaruh Timbal Balik antara Pendidikan Islam dan Pergerakan Nasional di Minangkabau, Jakarta: Gunung Tiga, tanpa tahun. 

Bosma, Ulbe dkk. Being “Dutch” in The Indies; A History of Creolisation and Empire 1500 – 1920, Terj. Wendie Shaffer, Athens, USA: Ohio University Press, 2008.

Breman, Jan. Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870, Terj. Jugiarie Soegirto, dkk, Jakarta: YOI, 2014.

Brockelmann, Carl. History of The Islamic Peoples, London: Routledge & Kegan Paul Limited, 1949.

Daya, Burhanuddin. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam (Kasus Sumatran Thawalib), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1995.

De Jong, P.E. de Josselin. Minangkabau and Negri Sembilan Sosio-Political Structure in Indonesia, ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1980.

Djaja, Tamar, Pusaka Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1965. Djamal, Murni. DR. H. Abdullah Karim Amrullah; Pengaruhnya dalam

Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke – 20, Jakarta: INIS, 2002.  

Djamaris, Edwar. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001. 

Dobbin, Christine. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri; Minangkabau 1784-1847, Terj. Lilian D. Tedjasudhana, Depok: Komunitas Bambu, 2008. 

_______________. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah (1784-1847), Terj. Lilian D. Tedjasudhana, Jakarta: INIS, 1992.

Esposito, John L. Islam dan Politik, Terj. Joesoef Sou’yb, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. 

Etek, Azizah dkk. Koto Gadang Masa Kolonial, Yogyakarta: LKiS, 2007. Goss, Andrew. Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda

Sampai Orde Baru, Terj. Agung Sedayu dan Tasha Agrippina, Depok: Komunitas Bambu, 2014.  

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 2006.  

 

166  

Gouda, Frances. Dutch Culture Overseas; Colonial Practice in The Netherlands Indies 1900-1942, Singapore: Equinox Publishing, 2008.  

Graves, Elizabeth E. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern; Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, Terj. Novi Andri dkk, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. 

________________. The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The Nineteenth Century, Singapore: Equinox Publishing, 2010.

Guritno, Sri, peny. Tambo Minang, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen P dan K, 1994. 

Hadler, Jeffrey. Sengketa Tiada Putus; Matriarkat, Reformisme Agama dan Kolonialisme di Minangkabau, Terj. Symasuddin Berlian, Jakarta: Freedom Institute, 2010. 

Hamka. “Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia”, teks pidato dalam Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir tanggal 21 Januari 1958, Djakarta: Tintamas Djakarta, Tanpa Tahun.

______. Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, tanpa tahun.

_______. Dari Perbendaharaan Lama, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982. ______. Ayahku, Jakarta: Penerbit UMMINDA, 1982. Heykel, Bernard dkk. Saudi Arabia in Transition; Insight on Political,

Econimic and Religious Change, New York: Cambridge University Press, 2015.

Hoeven, A. Pruys van Der. Een woord over Sumatra; In Brieven Verzameld en Uitgegeven: Deel II; Sumatra’s Westkust en Palembang, Rotterdam: H. Nijgh, 1864.

Huda, Nor. Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Yogyakarta: Arruz Media, 2007. 

Hurgronje, C. Snouck. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII, Jakarta: INIS, 1993. 

_________________. Perayaan Mekkah, Jakarta: INIS, 1989. Ismuha. Ulama Aceh dalam Perspektip Sejarah, Jakarta: LIPI, 1976. Jamal, Murni dkk, ed. Indonesia dan Haji; Empat Karangan di Bawah

Redaksi Dick Douwes dan Nico Kaptein, Jakarta: INIS, 1997.

 

167  

Kartodirdjo, Sartono. ed, Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme, Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1973. 

Kato, Tsuyoshi. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Terj. Gusti Asnan dan Akiko Iwata, Jakarta: Balai Pustaka, 2005. 

Kratz, Ulrich dkk. Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Shagir, Kuala Lumpur: DBP, 2002. 

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang, 1995. Lindblad, J. Thomas. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia; Berbagai

Tantangan Baru, Terj. M. Arif Rohman dkk, Jakarta: LP3ES, 2000. 

Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan, Jakarta: Gramedia, 2008. 

Madjid, M. Dien dkk. Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, Jakarta: Prenada, 2013. 

Marsden, William. Sejarah Sumatera, Terj. A.S. Nasution dan Mahyudin Mendam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Martamin, Mardjani dkk. Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme di Sumatera Barat, Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983.

Maruhum, A. M. Datuk dkk. Hukum Adat dan Adat Minangkabau Luhak Nan Tiga Laras Nan Dua, Djakarta: Poesaka Aseli, 1954.

Michiels, A.V. Neerlands Souvereiniteit over de Schoonste en Rijkste Gewesten van Sumatra, Amsterdam: G.J.A. Beijerinck, 1846. 

Naim, Mochtar. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1986.  

Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980. 

Nurhasan dkk, Orang Arab Betawi di Jaman Kolonial Belanda Abad Ke-19 (Laporan Penelitian), Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Kemenag RI, 2016.

Oostindie, Gert, ed. Dutch Colonialism, Migration and Cultural Heritage; Past and Present, Leiden: KITLV Press, 2008.

 

168  

Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim. Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta: Sinar Harapan, 1996. 

Parlindungan, Mangaradja Onggang. Tuanku Rao, Yogyakarta: LKiS, 2007. Parve, H.A. Steijn. “Kaum Padari (Padri) di Padang Darat Pulau Sumatra”

dalam Taufik Abdullah, ed, Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.

Raffles, Thomas Stamford. Memoir of The Life and The Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, Lady Sofia Raffles (ed), Singapore: Oxford University Press: 1991.

Razak, Yusron. ed, Sosiologi Sebuah Pengantar, Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008.  

Reid, Anthoni. Menuju Sejarah Sumatera; Antara Indonesia dan Dunia, Terj. Masri Maris, Jakarta: YOI, 2011. 

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono, Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 1995.

Ridwan, Kafrawi. Ensiklopedi Islam, jilid I, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993. 

Roem, Mohamad. “Memimpin Adalah Menderita: Kesaksian Haji Agus Salim”, dalam Taufik Abdullah dkk, ed, Manusia dalam Kemelut Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1981. 

Rusli, Marah. Memang Jodoh, Bandung: Mizan, 2014. Safwan, Mardanas. Sejarah Kota Padang, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan

Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen P dan K, 1987.  

Samad, Duski. Surau Syekh Burhanuddin Ulakan dan Islamisasi di Minangkabau (Laporan Penelitain), Padang: Pusat Penelitian IAIN Imam Bonjol, 2001.

Simon, Gottfried. The Progress and Arrest in Sumatra, London: Marshall Brothers Ltd., tanpa tahun.

Schrieke, B. J. O. Pergolakan Agama di Sumatra Barat: Sebuah Sumbangan Bibliografi, Terj. Soegarda Poerbakawatja, Jakarta: Bhratara, 1973.

Van der Lith, P. A. dkk. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, Jilid 3, Leiden: Martinus Nijhoff – E. J. Brill, 1896.

Yatim, Badri. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci; Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925, Ciputat: Logos, 1999.

 

169  

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008.

 

B. Jurnal, Tesis dan Disertasi Akhiruddin, KM. “Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara” dalam Junal

Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2015.

Archer, Raymound L.R. “Muhammadan Mysticism in Sumatra”, dalam Journal of Malayan Branch Royal Asiatic Society (JMBRAS), Vol. XV, Part II, 1938.

Francis, E. “Korte Beschrijving van het Nederlandsch Grondgebied ter Westkust Sumatra 1837” dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (TNI) 2 -1, 1839,

Handayani, Rizqi. “Syair Fi Kaifiyat Al-Hajj: Perjalanan Haji Sebagai Bentuk Migrasi Orang Minangkabau”, dalam Jumantara Vol. 4, No. I, Tahun 2013.

Hanifuddin, Iza. “Muhammadiyah dan Adat Tanah Ulayat Minangkabau” dalam Juris, Vol. 14, No. 1, Juni 2016.

Hasibuan, Norma Yanni. “Sejarah Migrasi Etnik Mandailing ke Kisaran Kabupaten Asahan”, tesis belum diterbitkan, Medan: Universitas Negeri Medan, 2014.

M, Muhammad Dahlan. “Motivasi Kebangkitan Dunia Islam Abad XIX-XX”, dalam Jurnal Adabiyah, Vol. XV, No. 1, 2015.

Maimunah, “Sistem Pendidikan Surau: Karakteristik, Isi dan Literatur Keagamaan”, dalam Ta’dib, Vol. XVII, No. 02, Edisi Desember 2012.

Munawwir, Muhammad. “Corak Pemikiran Modern Pendidikan Islam (Studi tentang Ideologi Pendidikan Islam Muhammad Natsir”, dalam Journal of Islamic Education, Vol. I, No. 1, Mei 2016.

Musa, Mohd Faizal bin. “Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu” dalam Jurnal al-Qurba, 1 (1), 1 – 23, 2010. 

Nasir, M.H.D. “Peranan Surau Sebagai Lambaga Pendidikan Islam Tradisional di Padang Pariaman Sumatera Barat” dalam Pedagogi, Vol. XII, No. 2, November 2012.

 

170  

Nor, Mhd. “Raja Pagaruyung di Minangkabau dalam Perspektif Sejarah” dalam Analisis Sejarah, Vol. 5, No. I, 2014.

Parve, H.A. Steijn. “De Secte der Padariesin de Padangsche Bovenlanden” dalam Indisch Magajizn, 1e Twaalftal, No. 4.

Rahman, Hafiz. “’Merantau, An Informal Entrepreneurial Learning Pattern in The Culture of The Minangkabau Tribe in Indonesia” dalam DeReMa Jurnal Manajemen, Vol. 11, No. 1, Mei 2016.

Rahman, Rini. “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20 (Studi Kasus di Sumatera Barat)” dalam Humanus, Vol. XIV, No. 2, 2015.

Rahmat, Wahyudi. “Penerapan Kaba Minangkabau Sebagai Media Pelestarian Bahasa Amai (Ibu) dan Kesusastraan dalam Pendidikan Literasi di Minangkabau” dalam Jurnal Ipteks Terapan, Vol. 10, No. 4, 2016.

Razi, Safwan. “Negoisasi Islam Kultur dalam Gerakan Paderi Rao di Sumatera Tengah (1820-1833) dalam Kalam, Vol. 6, No. 1, Juni 2012.

Rosa, Silvia. “Struktur, Makna dan Fungsi Pidato Adat dalam Tradisi Malewakan Gala di Minangkabau”, disertasi belum diterbitkan, Universitas Gadjah Mada, 2014.

Sabaruddin, Muhammad. “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum Kemerdekaan”, dalam Jurnal Tarbiya, Vol. I, No. 1, 2013.

Setiyawan, Agung. “Budaya Lokal dalam Perpektif Agama: Legitimasi Hukum Adat (‘urf) dalam Islam” dalam ESENSIA, Vol. XVIII, No. 2, 2012,

Stephens, Julia. “The Phantom Wahhabi: Liberalism and the Mulslimfanatic in mid-Victorian India”, dalam Modern Asian Studies, Vol. 47, No. 1, Januari 2013.

Veth, P. J. “De Geschiedenis van Sumatra” dalam De Gids, 10e Jrg, Januarij, 1850.

Wells, J. Kathirithamby. “Hulu-Hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East Sumatra before The Mid-Nineteenth Century”, dalam Archipel, Vol. 45, 1993.

Wiktorowicz, Quintan. “A Geneology of Radical Islam” dalam Journal of Studies in Conflict & Terrorism, Vol. 28, no. 2, 2005, hlm. 75.

 

171  

Didunduh dari http://www.tandfonline.com//. Pada Pukul 07.49 WIB, Kamis 11 Agustus 2016.

Zakariya, Hafiz. “Islamic Reform in Malaya: The Contribution of Syaikh Tahir Jalaluddin” dalam Intellectual Discourse, Vol. 13, No. 1, 2005.

Zulmuqim. “Transformation of the Minangkabau Isamic Education: The Study of Educational thought of Abdul Karim Amrullah, Abdullah Ahmad and Rahmah El-Yunusiyah”, dalam Al-Ta’lim Journal, Vol. 22, No. 2, Juli 2015.

 

C. Internet http://oman.uinjkt.ac.id/2007/11/kontroversi-kaum-paderi-jika-

bukan.html?m=11, http://ejournal.fip.unp.ac.id. http://grepublishing.com/islam-minangkabau-dan-hamka/