modernisasi dalam bingkai pembangunan politik
DESCRIPTION
Saat ini paradigma pembangunan politik mengacu pada sebuah pembangunan ekonomi atau modernisasi. Berdasarkan pendekatan deskriptif analitis, menganggap bahwa perbedaan antara Negara dunia pertama atau Negara maju dengan Negara dunia ketiga atau Negara berkembang dalam hal pembangunan politik adalah dikarenakan Negara maju lebih stabil, tingkat kemakmuran yang tinggi dan merata, sehingga dapat dengan mudah dalam hal pembangunan politik.Para penganut paham modernisasi menyatakan bahwa untuk dapat mencapai kemajuan suatu bangsa, khususnya bagi Negara dunia ketiga adalah dengan cara modernisasi dan mau membuka diri terhadap dunia luar secara bebas. Isu ini seolah menjadi senjata bagi Negara maju untuk melakukan ekspansi kepada Negara berkembang dan Negara miskin, baik itu ekspansi sumberdaya maupun ekspansi ideologi.TRANSCRIPT
Tugas Mata Kuliah
Pembangunan Politik
Modernisasi Dalam Bingkai
Pembangunan Politik
Oleh: Riduwan
NPM: 2009130011
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Jakarta2011
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-
Nya, sehingga makalah berjudul “Modernisasi Dalam Bingkai Pembangunan Politik” ini dapat
selesai tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Tengah Semester yang diberikan oleh
dosen mata kuliah “Pembangunan Politik” di Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta. Di samping itu juga sebagai referensi
akademik dalam menambah khazanah keilmuan politik.
Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik
berupa bimbingan, pengarahan, nasehat maupun dukungan moral.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dan solutif
dari semua pembaca sangat diharpakan untuk kebaikan dan kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan.
Jakarta, 2011
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................................i
DAFTAR ISI ...............................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................................1
BAB II ANALISA DAN PEMBAHASAN..................................................................................................3
2.1. Modernisasi dan Pembangunan .............................................................................................3 Modernisasi; Konsep Awal Spencer, Optimisme Schoorl dan Pesimisme Dube Kegagalan Modernisasi; Kajian Empirik Dove dan Sajogyo
2.2. Ketergantungan dan Keterbelakangan...................................................................................7 Radikalisme Ala Marx Pendekatan Historis Struktural Asumsi serta Tesis dari Frank dan Santos Sumbangan Cardoso, Galtung, Frank dan Roxbourgh Imperialisme dan Ketergantungan
2.3. Perspektif Sistem Dunia ........................................................................................................10 Dari Dependensi Menuju Sistem Dunia Tesis dan Asumsi Dasar Pengaruh Teori Sistem Dunia
2.4. Kelembagaan, Kapital Sosial dan Pembangunan .................................................................15 Kelembagaan Kapital Sosial Kelembagaan VS Kapital Sosial Proyek PIDRA ; Kasus Indonesia
2.5. Implikasi Bantuan dan Pembangunan ..................................................................................20 Bantuan untuk Pengembangan Kelembagaan Kegagalan Bantuan dalam Memacu Pertumbuhan Masyarakat Tradisional di Tengah Modernisasi
2.6. Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Politik ..............................................................26 Lahirnya Kapitalisme
2.7. Struktur Ketergantungan dan Moda Produksi .....................................................................29 Sosiologi Kerja dan Industri Moda Produksi Ala Marx Moda Produksi Struktur Ketergantungan dan Dinamika Pembangunan Pertanian
2.8. Partisipasi, Pemberdayaan dan Pembangunan ...................................................................32 Partisipasi Pemberdayaan Partisipasi Dan Pemberdayaan
BAB III KESIMPULAN .........................................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................39
1
BAB IPENDAHULUAN
Modernisasi merupakan suatu yang alamiah terjadi dalam perkembangan suatu Negara,
modernisasi sering diartikan sebagai peroses perubahan dari masyarakat yang bercorak tradisional
ke masyarakat Negara yang bercirikan modern. Negara tradisional biasanya sebagian besar
masyarakatnya hidup dari sektor pertanian, berorientasi masa lalu, masyarakat agamis, gotong
royong, statis, primitif, dan tertutup. Sedangkan ciri negara modern biasanya sebagian besar
masyarakatnya hidup di sektor industri, Future Oriented, Sekuler, individual, dinamis, dan terbuka.
Berbagai keunggulan dan manfaat serta didukung oleh tren perkembangan dunia, banyak negara dan
hampir disemua negara melakukan proses modernisasi yang dicirikan dalam proses pembangunan
disegala sektor, dan merubah corak tradisional negara ke bentuk modern lewat proses industrialisasi.
Menurut Widjojo Nitisastro, modernisasi adalah suatu transformasi total dari kehidupan
bersama yang tradisional atau pramodern dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke arah pola-
pola ekonomis dan politis. Soerjono Soekanto mengartikan modernisasi adalah suatu bentuk dari
perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan
social planning. Wilbert Moore mendefinisikan modernisasi sebagai transformasi total masyarakat
tradisional atau pra-modern ke tipe masyarakat teknologi dan organisasi sosial yang menyerupai
kemajuan dunia barat yang ekonominya makmur dan situasi politiknya stabil.
Melalui modernisasi kemudian diperkenalkan tahap-tahap pembangunan politik maupun
ekonomi sebagai gerak perubahan yang gradual. Tahap-tahap ini bagi negara-negara berkembang
yang dalam proses menuju negara modern seakan-akan harga mati untuk mencapai negara
sejahtera. Mereka menganalogikan masyarakat sebagai makhluk organik, yang lahir, tumbuh
berkembang menjadi dewasa, dan akhirnya mati. Mereka terlanjur menjadikan Barat sebagai model
puncak modernitas dalam tahap-tahap pembangunan.
Pembangunan merupakan situasi yang berkembang atau kepribadian seseorang
berkembang, untuk memperlihatkan sedikit lebih banyak daripada sekedar proses yang berlangsung,
meski sulit untuk membayangkan pola umum yang menjelaskan setiap proses perkembangan.
Sedangkan pembangunan politik dipandang sebagai usaha pencarian kemampuan umum belajar, dan
memperbaiki tingkah laku melalui proses ini. Pembangunan politik sebagai kemampuan penyelesaian
masalah yang timbul dari modernisasi .
Disini memang sering dipertanyakan, apakah suatu pembangunan politik akan selalu
berakibat terjadinya perubahan sosial dan bila itu memang terjadi apakah tendens perubahan
tersebut ke arah berkembangnya solidaritas social ataukah malah menimbulkan suatu lapisan
masyarakat yang tertutup. Langkah-langkah pembangunan politik akan mempengaruhi pula
2
perkembangan sistem-sistem politik yang berlaku di berbagai Negara. Pembangunan politik memiliki
kecendrungan yang tertentu dalam popularisasi ide-ide kemajuan atau tingkat kehidupan
kenegaraan yang lebih baik dibandingkan dengan masa lalu, misalnya ketika suatu Negara berada
dalam sistem penjajahan, maupun dalam fase memilih sistem-sistem politik yang sesuai dengan
kemerdekaan nasional yang diperoleh.
Masyarakat yang dianggap maju menurut teori social dan kebudayaan adalah masyarakat
yang modern dan karena itu sebagaimana diungkapkan Almond, ciri-ciri sistem politik yang maju
tersebut ada pada Negara modern. Karena itu dalam kerangka pembangunan politik mestilah
perubahan-perubahan politik menuju kepada cita-cita modernisasi. Menurut sebagian besar ahli
teori modernisasi sebagai salah satu tujuan dari pembangunan politik, perbedaan hakiki antara
masyarakat modern dan tradisional terletak pada lebih banyaknya kemapuan manusia modern
mengendalikan lingkungan alam dan lingkungan social.
Pembangunan politik sebagai bagian dari modernisasi senantiasa melibatkan ketegangan dan
konflik secara terus menerus antara proses pembangunan dengan syarat-syarat agar sistem politik
tetap pada keadaannya. Ketegangan maupun konflik tersebut merupakan sesuatu inheren dalam
pembangunan, yang meliputi tuntutan akan persamaan, proses-proses diferensiasi serta kebutuhan
akan kapasitas yang lebih besar. Merupakan suatu ha yang biasa bahwa setiap perubahan-perubahan
pada dimensi persamaan, diferensiasi dan kapasitas/kemampuan dalam pembangunan akan
mempengaruhi budaya politik elite dan massa, perubahan (smooth) dimana elite maupun massa
terakomodasi dalam budaya-budayanya. Hal ini menunjukkan dinamika modernisasi masyarakat.
Krisis mulai terjadi apabila budaya elite atau massa atau keduanya, menyebabkan ketegangan-
ketegangan yang inheren, misalnya antara dimensi kapasitas dengan dimensi persamaan yang
semakin membesar dan sangat terlihat sebagai suatu ancaman utama pemerintah atau rakyat
maupun kedua-duanya.
Pembangunan di segala sektor dalam upaya moderinasi juga terkait dengan pembanguan
politik sebuah negara, pembangunan politik biasanya terkait dengan peningkatan kualitas demokrasi,
penguatan sistem politik dan pemerintahan, penguatan partai politik menjadi lebih mapan serta
peningkatan partisipasi masyarakat. Tingginya partisipasi masyarakat merupakan cermin kuatnya
demokrasi dan legitimasi pemerintah atas masyarakat, terlebih bila didukung oleh sistem politik dan
partai politik yang bisa memfasilitasi partisipasi masyarakat dengan baik. Pembangunan politik
menjadi penting terkait dengan modernisasi terlebih merupakan prasyarat kesejahteraan
masyarakat.
3
BAB IIANALISA DAN PEMBAHASAN
2.1. MODERNISASI DAN PEMBANGUNAN
Pembangunan merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terencana melalui
berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Bangsa
Indonesia seperti termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mencantumkan
tujuan pembangunan nasionalnya. Kesejahteraan masyarakat adalah suatu keadaan yang selalu
menjadi cita-cita seluruh bangsa di dunia ini. Berbagai teori tentang pembangunan telah banyak
dikeluarkan oleh ahli-ahli sosial barat, salah satunya yang juga dianut oleh Bangsa Indonesia dalam
program pembangunannya adalah teori modernisasi. Modernisasi merupakan tanggapan ilmuan
sosial barat terhadap tantangan yang dihadapi oleh negara dunia kedua setelah berakhirnya Perang
Dunia II.
Modernisasi menjadi sebuah model pembangunan yang berkembang dengan pesat seiring
keberhasilan negara dunia kedua. Negara dunia ketiga juga tidak luput oleh sentuhan modernisasi ala
barat tersebut. berbagai program bantuan dari negara maju untuk negara dunia berkembang dengan
mengatasnamakan sosial dan kemanusiaan semakin meningkat jumlahnya. Namun demikian
kegagalan pembangunan ala modernisasi di negara dunia ketiga menjadi sebuah pertanyaan serius
untuk dijawab. Beberapa ilmuan sosial dengan gencar menyerang modernisasi atas kegagalannya ini.
Modernisasi dianggap tidak ubahnya sebagai bentuk kolonialisme gaya baru, bahkan Dube (1988)
menyebutnya seolah musang berbulu domba.
Modernisasi; Konsep Awal Spencer, Optimisme Schoorl dan Pesimisme Dube
Pemikiran Herbert Spencer (1820-1903), sangat dipengaruhi oleh ahli biologi pencetus ide
evolusi sebagai proses seleksi alam, Charles Darwin, dengan menunjukkan bahwa perubahan sosial
juga adalah proses seleksi. Masyarakat berkembang dengan paradigma Darwinian: ada proses seleksi
di dalam masyarakat kita atas individu-individunya. Spencer menganalogikan masyarakat sebagai
layaknya perkembangan mahkluk hidup. Manusia dan masyarakat termasuk didalamnya kebudayaan
mengalami perkembangan secara bertahap. Mula-mula berasal dari bentuk yang sederhana
kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks menuju tahap akhir yang sempurna.
Menurut Spencer, suatu organisme akan bertambah sempurna apabila bertambah kompleks
dan terjadi diferensiasi antar organ-organnya. Kesempurnaan organisme dicirikan oleh kompleksitas,
differensiasi dan integrasi. Perkembangan masyarakat pada dasarnya berarti pertambahan
diferensiasi dan integrasi, pembagian kerja dan perubahan dari keadaan homogen menjadi
4
heterogen. Spencer berusaha meyakinkan bahwa masyarakat tanpa diferensiasi pada tahap pra
industri secara intern justru tidak stabil yang disebabkan oleh pertentangan di antara mereka sendiri.
Pada masyarakat industri yang telah terdiferensiasi dengan mantap akan terjadi suatu stabilitas
menuju kehidupan yang damai. Masyarakat industri ditandai dengan meningkatnya perlindungan
atas hak individu, berkurangnya kekuasaan pemerintah, berakhirnya peperangan antar negara,
terhapusnya batas-batas negara dan terwujudnya masyarakat global.
Pemikiran Spencer dapat dikatakan sebagai dasar dalam teori modernisasi, walaupun
Webster (1984) tidak memasukkan nama Spencer sebagai dasar pemikiran teori modernisasi.
Teorinya tentang evolusi masyarakat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat industri yang
harus dilalui melalui perubahan struktur dan fungsi serta kompleksitas organisasi senada dengan
asumsi dasar konsep modernisasi yang disampaikan oleh Schoorl (1980) dan Dube (1988). Asumsi
modernisasi yang disampaikan oleh Schoorl melihat modernisasi sebagai suatu proses transformasi,
suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Dibidang ekonomi, modernisasi berarti
tumbuhnya kompleks industri dengan pertumbuhan ekonomi sebagai akses utama. Berhubung
dengan perkembangan ekonomi, sebagian penduduk tempat tinggalnya tergeser ke lingkungan kota-
kota. Masyarakat modern telah tumbuh tipe kepribadian tertentu yang dominan. Tipe kepribadian
seperti itu menyebabkan orang dapat hidup di dalam dan memelihara masyarakat modern.
Sedangkan Dube berpendapat bahwa terdapat tiga asumsi dasar konsep modernisasi yaitu
ketiadaan semangat pembangunan harus dilakukan melalui pemecahan masalah kemanusiaan dan
pemenuhan standart kehidupan yang layak, modernisasi membutuhkan usaha keras dari individu dan
kerjasama dalam kelompok, kemampuan kerjasama dalam kelompok sangat dibutuhkan untuk
menjalankan organisasi modern yang sangat kompleks dan organisasi kompleks membutuhkan
perubahan kepribadian (sikap mental) serta perubahan pada struktur sosial dan tata nilai. Kedua
asumsi tersebut apabila disandingkan dengan pemikiran Spencer tentang proses evolusi sosial pada
kelompok masyarakat, terdapat kesamaan. Tujuan akhir dari modernisasi menurut Schoorl dan Dube
adalah terwujudnya masyarakat modern yang dicirikan oleh kompleksitas organisasi serta perubahan
fungsi dan struktur masyarakat. Secara lebih jelas Schoorl menyajikan proses petumbuhan struktur
sosial yang dimulai dari proses perbesaran skala melalui integrasi. Proses ini kemudian dilanjutkan
dengan diferensiasi hingga pembentukan stratifikasi dan hirarki.
Ciri manusia modern menurut Dube ditentukan oleh struktur, institusi, sikap dan perubahan
nilai pada pribadi, sosial dan budaya. Masyarakat modern mampu menerima dan menghasilkan
inovasi baru, membangun kekuatan bersama serta meningkatkan kemampuannya dalam
memecahkan masalah. Oleh karenanya modernisasi sangat memerlukan hubungan yang selaras
antara kepribadian dan sistem sosial budaya. Sifat terpenting dari modernisasi adalah rasionalitas.
Kemampuan berpikir secara rasional sangat dituntut dalam proses modernisasi. Kemampuan berpikir
secara rasional menjadi sangat penting dalam menjelaskan berbagai gejala sosial yang ada.
5
Masyarakat modern tidak mengenal lagi penjelasan yang irasional seperti yang dikenal oleh
masyarakat tradisional. Rasionalitas menjadi dasar dan karakter pada hubungan antar individu dan
pandangan masyarakat terhadap masa depan yang mereka idam-idamkan. Hal yang sama
disampaikan oleh Schoorl, walaupun tidak sebegitu mendetail seperti Dube. Namun demikian
terdapat ciri penting yang diungkapkan Schoorl yaitu konsep masyarakat plural yang diidentikkan
dengan masyarakat modern. Masyarakat plural merupakan masyarakat yang telah mengalami
perubahan struktur dan stratifikasi sosial.
Lerner dalam Dube (1988) menyatakan bahwa kepribadian modern dicirikan oleh :
1) Empati : kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
2) Mobilitas : kemampuan untuk melakukan “gerak sosial” atau dengan kata lain kemampuan
“beradaptasi”. Pada masyarakat modern sangat memungkinkan terdapat perubahan status
dan peran atau peran ganda. Sistem stratifikasi yang terbuka sangat memungkinkan individu
untuk berpindah status.
3) Partisipasi : Masyarakat modern sangat berbeda dengan masyarakat tradisional yang kurang
memperhatikan partisipasi individunya. Pada masyarakat tradisional individu cenderung pasif
pada keseluruhan proses sosial, sebaliknya pada masyarakat modern keaktifan individu
sangat diperlukan sehingga dapat memunculkan gagasan baru dalam pengambilan
keputusan.
Konsep yang disampaikan oleh Lerner tersebut semakin memperkokoh ciri masyarakat
modern Schoorl, yaitu pluralitas dan demokrasi. Perkembangan masyarakat tradisional menuju
masyarakat modern baik yang diajukan oleh Schoorl maupun Dube tak ubahnya analogi
pertumbuhan biologis mahkluk hidup, suatu analogi yang disampaikan oleh Spencer.
Schoorl dan Dube yang keduanya sama-sama mengulas masalah modernisasi menunjukkan
ada perbedaan pandangan. Schoorl cenderung optimis melihat modernisasi sebagai bentuk teori
pembangunan bagi negara dunia ketiga, sebaliknya Dube mengkritik modernisasi dengan
mengungkapkan kelemahan-kelemahannya. Schoorl bahkan menawarkan modernisasi di segala
bidang sebagai sebuah kewajiban negara berkembang apabila ingin menjadi negara maju, tidak
terkecuali modernisasi pedesaan.
Modernisasi yang lahir di Barat akan cenderung ke arah Westernisasi, memiliki tekanan yang
kuat meskipun unsur-unsur tertentu dalam kebudayaan asli negara ketiga dapat selalu eksis, namun
setidaknya akan muncul ciri kebudayaan barat dalam kebudayaannya (Schoorl, 1988). Schoorl
membela modernisasi karena dengan gamblang menyatakan modernisasi lebih baik dari sekedar
westernisasi. Dube memberikan pernyataan yang tegas bahkan cenderung memojokkan modernisasi
dengan mengungkapkan berbagai kelemahan modernisasi, antara lain keterlibatan negara
berkembang diabaikan, konsep persamaan hak dan keadilan sosial tidak menjadi sesuatu yang
penting untuk dibicarakan. Lebih lanjut Dube menjelaskan kelemahan modernisasi antara lain:
6
1) Modernisasi yang mendasarkan pada penggunaan ilumu pengetahuan dan teknologi pada
organisasi modern tidak dapat diikuti oleh semua negara.
2) Tidak adanya indikator sosial pada modernisasi.
3) Keterlibatan negara berkembang diabaikan, konsep persamaan hak dan keadilan sosial
antara negara maju dan berkembang tidak menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan.
4) Modernisasi yang mendasarkan pada penggunaan iptek pada organisasi modern tidak dapat
diikuti oleh semua negara.
5) Tidak adanya indikator sosial pada modernisasi.
6) Keberhasilan negara barat dalam melakukan modernisasi disebabkan oleh kekuasaan
kolonial yang mereka miliki sehingga mampu mengeruk SDA dengan mudah dari negara
berkembang dengan murah dan mudah.
Keberhasilan negara barat dalam melakukan modernisasi disebabkan oleh kekuasaan
kolonial yang mereka miliki sehingga mampu mengeruk sumberdaya alam dari negara berkembang
dengan murah dan mudah. Modernisasi tidak ubahnya seperti kolonialisme gaya baru dan engara
maju diibaratkan sebagai musang berbulu domba oleh Dube. Dube selain mengkritik modernisasi
juga memberikan berbagai masukan untuk memperbaiki modernisasi. Pendekatan-pendekatan yang
digunakan lebih “memanusiakan manusia”.
Kegagalan Modernisasi; Kajian Empirik Dove dan Sajogyo
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama ini juga tidak lepas dari
pendekatan modernisasi. Asumsi modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam pembangunan
menyebabkan beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi masalah krusial Bangsa
Indonesia. Penelitian tentang modernisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Sajogyo (1982) dan Dove
(1988). Kedua hasil penelitian mengupas dampak modernisasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil
penelitian keduanya menunjukkan dampak negatif modernisasi di daerah pedesaan. Dove mengulas
lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai akibat benturan dua budaya yang berbeda dan adanya
kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal dengan nilai budaya baru. Budaya baru yang masuk
bersama dengan modernisasi.
Dove dalam penelitiannya di membagi dampak modernisasi menjadi empat aspek yaitu
ideologi, ekonomi, ekologi dan hubungan sosial. Aspek ideologi sebagai kegagalan modernisasi
mengambil contoh di daerah Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah. Penelitian Dove menunjukkan
bahwa modernisasi yang terjadi pada Suku Wana telah mengakibatkan tergusurnya agama lokal yang
telah mereka anut sejak lama dan digantikan oleh agama baru. Modernisasi seolah menjadi sebuah
kekuatan dahsyat yang mampu membelenggu kebebasan asasi manusia termasuk di dalamnya
kebebasan beragama. Pengetahuan lokal masyarakat juga menjadi sebuah komoditas jajahan bagi
7
modernisasi. Pengetahuan lokal yang sebelumnya dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat
harus serta merta digantikan oleh pengetahuan baru yang dianggap lebih superior.
Sajogyo membahas proses modernisasi di Jawa yang menyebabkan perubahan budaya
masyarakat. Masyarakat Jawa dengan tipe ekologi sawah selama ini dikenal dengan “budaya padi”
menjadi “budaya tebu”. Perubahan budaya ini menyebabkan perubahan pola pembagian kerja pria
dan wanita. Munsulnya konsep sewa lahan serta batas kepemilikan lahan minimal yang identik
dengan kemiskinan menjadi berubah. Pola perkebunan tebu yang membutuhkan modal lebih besar
dibandingkan padi menyebabkan petani menjadi tidak merdeka dalam mengusahakan lahannya. Pola
hubungan antara petani dan pabrik gula cenderung lebih menggambarkan eksploitasi petani
sehingga semakin memarjinalkan petani.
2.2. KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN
Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif
teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan modernisasi membawa kemajuan
bagi negara dunia ketiga telah menumbuhkan sikap kritis beberapa ilmuan sosial untuk memberikan
suatu teori pembangunan yang baru, yang tentu saja mempunyai banyak kelebihan dibandingkan
dengan teori yang telah ada. Kritikan terhadap modernisasi yang dianggap sebagai “musang berbulu
domba” dan cenderung sebagai bentuk kolonialisme baru semakin mencuat dengan gagalnya
negara-negara Amerika Latin menjalankan modernisasinya. Frank sebagai pelopor kemunculan teori
dependensi, pada awalnya menyerang pendapat Rostow. Frank menganggap Rostow telah
mengabaikan sejarah. Sejarah mencatat bagaimana perkembangan dunia ketiga yang tatanan
ekonominya telah dihancurkan oleh negara dunia pertama selama masa kolonial. Pemikiran Frank
terus bergulir dan disambut oleh pemikir sosial lainnya seperti Santos, Roxborough, Cardoso dan
Galtung.
Radikalisme Ala Marx
Teori dependensi merupakan analisis tandingan terhadap teori modernisasi. Teori ini didasari
fakta lambatnya pembangunan dan adanya ketergantungan dari negara dunia ketiga, khususnya di
Amerika Latin. Teori dependensi memiliki saran yang radikal, karena teori ini berada dalam
paradigma neo-Marxis. Sikap radikal ini analog dengan perkiraan Marx tentang akan adanya
pemberontakan kaum buruh terhadap kaum majikan dalam industri yang bersistem kapitalisme.
Analisis Marxis terhadap teori dependensi ini secara umum tampak hanya mengangkat analisanya
dari permasalahan tataran individual majikan-buruh ke tingkat antar negara. Sehingga negara pusat
dapat dianggap kelas majikan, dan negara dunia ketiga sebagai buruhnya. Sebagaimana buruh, ia
8
juga menyarankan, negara pinggiran mestinya menuntut hubungan yang seimbang dengan negara
maju yang selama ini telah memperoleh surplus lebih banyak (konsep sosialisme). Analisis Neo-
Marxis yang digunakannya memiliki sudut pandang dari negara pinggiran.
Marx mengungkapkan kegagalan kapitalisme dalam membawa kesejahteraan bagi
masyarakat namun sebaliknya membawa kesengsaraan. Penyebab kegagalan kapitalisme adalah
penguasaan akses terhadap sumberdaya dan faktor produksi menyebabkan eksploitas terhadap
kaum buruh yang tidak memiliki akses. Eksploitasi ini harus dihentikan melalui proses kesadaran
kelas dan perjuangan merebut akses sumberdaya dan faktor produksi untuk menuju tatanan
masyarakat tanpa kelas.
Pendekatan Historis Struktural
Perspektif dependensi muncul setelah perspektif modernisasi diterapkan di banyak negara
terbelakang. Pengamatan yang dilakukan oleh ahli sejarah telah memberikan gambaran serta
dukungan bukti empirik terhadap kegagalan modernisasi. Sebagai sebuah kritik, dependensi harus
dapat menguraikan kelemahan-kelemahan dari modernisasi dan mengeluarkan pendapat baru yang
mampu menutup kelemahan tersebut.
Penggunaan metode hidtoris struktural telah memberikan bukti empirik yang sangat cukup
untuk memberikan kritik terhadap modernisasi. Sebagai sebuah proses perubahan sosial yang
memakan waktu sangat lama, pembangunan erat kaitannya dengan sejarah perkembangan suatu
negara. Oleh karena itu tidak salah apabila Frank menyatakan bahwa perkembangan ekonomi negara
saat ini tidak lepas dari begaimana keadaan sejarah ekonomi, politik dan sosialnya di masa lalu.
Asumsi serta Tesis dari Frank dan Santos
Asumsi dasar teori ketergantungan ini menganggap ketergantungan sebagai gejala yang
sangat umum ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih sebagai
masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global (Barat dan Non Barat, atau industri dan
negara ketiga), dan kondisi ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah
melahirkan pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi dan
ekonomi yang rendah diukur dari sistem kapitalis.
Terdapat beberapa asumsi dasar dalam perspektif dependensi yang disampaikan oleh
beberapa ahli. Frank menyatakan bahwa pemahaman terhadap sejarah ekonomi, sosial dan politik
menjadi suatu hal yang penting dalam menentukan kebijakan pembangunan pada suatu negara.
Karakteristik suatu negara yang khas dapat dikaji dari perspektif historis. Pendekatan pembangunan
yang dilakukan oleh negara terbelakang saat ini sebenarnya merupakan hasil pengalaman sejarah
negara maju yang kapitalis seperti negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Terdapat perbedaan
9
sejarah yang sangat mendasar antara negara maju dan negara bekas koloni atau daerah jajahan
sehingga menyebabkan struktur sosial masyarakatnya berbeda. Frank juga menganggap adanya
kegagalan penelitian sejarah dalam menganalisis hubungan ekonomi yang terjadi antara negara
penjajah dan negara jajahannya selama masa perdagangan dan imperialisme. Pembangunan
ekonomi merupakan sebuah perjalanan menuju sistem ekonomi kapitalisme yang terdiri dari
beberapa tahap. Saat ini negara terbelakang masih berada pada awal tahapan tersebut.
Pendapat yang disampaikan Frank sangat kental dengan nuansa pemikiran Marx tentang
kapitalisme dan eksploitasi. Frank memperkuat semua pendapatnya dengan menggunakan bukti-
bukti empirik dan menggunakan metode historis struktural. Bukti empirik yang dikumpulkan Frank
merupakan hasil penelitian sejarah perkembangan sosial dan ekonomi negara-negara Amerika Latin.
Santos mengamsusikan bahwa bentuk dasar ekonomi dunia memiliki aturan-aturan
perkembangannya sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara pusat adalah kapitalisme
sehingga menyebabkan timbulnya saha melakukan ekspansi keluar dan tipe hubungan ekonomi pada
negara periferi merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan oleh ekspansi kapitalisme oleh
negara pusat. Santos menjelaskan bagaimana timbulnya kapitalisme yang dapat menguasai sistem
ekonomi dunia. Keterbatasan sumber daya pada negara maju mendorong mereka untuk melakukan
ekspansi besar-besaran pada negara miskin. Pola yang dilakukan memberikan dampak negatif berupa
adanya ketergantungan yang dialami oleh negara miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara
yang terbelakang dalam pembangunan karena tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan
negara maju. Negara maju identik menjadi negara pusat, sedangkan negara miskin menjadi
satelitnya. Konsep ini lebih dikenal dengan istilah “pusat – periferi”.
Tesis yang diajukan oleh santos adalah pembagian ketergantungan menjadi tiga jenis yaitu
ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan dan ketergantungan teknologi industri.
Ketergantungan kolonial merupakan bentuk ketergantungan yang dialami oleh negara jajahan.
Ketergantungan kolonial merupakan bentuk ketergantungan yang paling awal dan hingga kini telah
dihapuskan. Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara
tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang galian
dan hasil bumi dari negara jajahan.
Sementara itu, jenis ketergantungan industri keuangan yang lahir pada akhir abad 19, maka
ekonomi negara tergantung lebih terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian. Ekspor
bahan mentah menyebabkan terkurasnya sumber daya negara, sementara nilai tambah yang
diperoleh kecil. Sumbangan pemikiran Santos terhadap teori dependensi sebenarnya berada pada
bentuk ketergantungan teknologi industri. Dampak dari ketergantungan ini terhadap dunia ketiga
adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta
terbatasnya perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri.
10
Sumbangan Cardoso, Galtung, Frank dan Roxbourgh
Roxborough sebagai tokoh dependensi, menjelaskan bahwa pengaruh kapitalisme terhadap
perubahan struktur sosial pedesaan akan lebih baik bila menggunakan analisa kelas. Eksistensi
kapitalisme sangat terkait dengan peran kelas. Penjelasan Lenin tentang dua jalur penetrasi
kapitalisme tersebut memberi hasil yang hampir sama, yaitu diferensiasi yang menjurus ke arah
polarisasi pemilikan lahan dan ekonomi.
Struktur ketergantungan secara bertingkat mulai dari negara pusat sampai periferi
disampaikan oleh Galtung. Imprealisme ditandai satu jalur kuat antara pusat di pusat dengan pusat di
periferi (CC-CP). Ditambahkan Frank, bahwa daerah desa yang terbelakang akan menjadi penghalang
untuk maju bagi negara bersangkutan. Struktur kapitalisme juga dapat dikaitkan dengan Cardoso
tentang dependensi ekonomi. Ketergantungan ekonomi terjadi melalui perbedaan produk dan
kebijakan hutang yang menyebabkan eksploitasi finansial.
Imperialisme dan Ketergantungan
Modernisasi yang disampaikan oleh negara dunia pertama tak ubahnya seperti imperialisme
yang mereka lakukan pada waktu lampau. Menurut Roxborough, teori imprealisme memberikan
perhatian utama pada ekspansi dan dominasi kekuatan imperealis. Imperealis yang ada pada abad 20
pertama-tama melakukan ekspansi cara produksi kapitalis ke dalam cara produksi kapitalis. Tujuan
ekspansi tersebut ke negara ketiga pada mulanya hanyalah untuk meluaskan pasar produknya yang
sudah jenuh dalam negeri sendiri, serta untuk pemenuhan bahan baku. Namun, pada pekembangan
lebih jauh, ekspansi kapitalis ini adalah berupa cara-cara produksi, sampai pada struktur ekonomi,
dan bahkan idelologi.
2.3. PERSPEKTIF SISTEM DUNIA
Teori-teori pembangunan dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yang berkembang
secara tesis dan antitesis yang perkembangannya mengikuti wacana teori dan aksi secara berulang-
ulang. Pada tahap pertama muncul teori modernisasi yang berada dalam kerangka teori evolusi.
Teori ini muncul di Amerika Serikat yang mengaplikasikannya dalam program Marshal Plan. Karena
ada ketidakpuasan terhadap pola pembangunan ini, maka kemudian lahir teori ketergantungan
(dependency theory) yang memiliki sisi pandang dari negara-negara dunia ketiga yang berada dalam
posisi tergantung terhadap negara-negara maju. Terakhir, untuk cara pandang yang lebih sempurna,
lahir teori sistem dunia (the world system theory), dimana dunia dipandang sebagai sebuah sistem
yang sangat kuat yang mencakup seluruh negara di dunia, yaitu sistem kapitalisme.
11
Teori sistem dunia masih bertolak dari teori dependensi, namun menjelaskan lebih jauh
dengan merubah unit analisisnya kepada sistem dunia, sejarah kapitalisme dunia, serta spesifikasi
sejarah lokal. Menurut teori sistem dunia, dunia ini cukup dipandang hanya sebagai satu sistem
ekonomi saja, yaitu sistem ekonomi kapitalis. Negara-negara sosialis, yang kemudian terbukti juga
menerima modal kapitalisme dunia, hanya dianggap satu unit saja dari tata ekonomi kapitalis dunia.
Teori ini yang melakukan analisa dunia secara global, berkeyakinan bahwa tak ada negara yang dapat
melepaskan diri dari ekonomi kapitalis yang mendunia.
Dari Dependensi Menuju Sistem Dunia
Pertentangan dua teori besar yang saling bertolak belakang, yaitu modernisasi dan
ketergantungan membawa dampak positif berupa lahirnya teori pembangunan baru yang dikenal
sebagai teori sistem dunia. Teori ini banyak dipengaruhi oleh teori dependensi. Teori sistem dunia
mengambil beberapa konsep yang telah terlebih dahulu diajukan oleh teori dependensi, yaitu konsep
ketimpangan nilai tukar, eksploitasi negara pinggiran oleh negara senter dan konsep pasar dunia.
Dari sejarahnya terlihat bahwa kapitalisme lahir lebih kurang tiga abad sebelum teori-teori
pembangunan muncul. Sehingga, berbagai perdebatan terhadap teori maupun praktek
pembangunan sudah berada di dalam alam kapitalisme. Karena itu, tidak mengherankan jika
kapitalisme sangat mewarnai teori-teori pembangunan.
Motivasi teori modernisasi untuk merubah cara produksi masyarakat berkembang
sesungguhnya adalah usaha merubah cara produksi pra-kapitalis ke kapitalis, sebagaimana negara-
negara maju sudah menerapkannya untuk ditiru. Selanjutnya dalam teori dependensi yang bertolak
dari analisa Marxis, dapat diakatakan hanyalah mengangkat kritik terhadap kapitalisme dari skala
pabrik (majikan dan buruh) ke tingkat antar negara (sentarl dan pinggiran), dengan analisis utama
yang sama yaitu eksploitasi. Demikian halnya dengan teori sistem dunia yang didasari teori
dependensi, menganalisis persoalan kapitalisme dengan satuan analisis dunia sebagai hanya satu
sistem, yaitu sistem ekonomi kapitalis.
Teori dependensi berbicara tentang kapitalisme dan eksploitasi sebagai penyebab kegagalan
negara pinggiran Frank menyajikan lima tesis tentang dependensi, yaitu :
1) Terdapat kesenjangan pembangunan antara negara sentral dan pinggiran, pembangunan
pada negara satelit dibatasi oleh status negara satelit tersebut.
2) Kemampuan negara satelit dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan industri
kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap negara sentral sedang melemah. Pendapat ini
merupakan antitesis dari modernisasi yang menyatakan bahwa kemajuan negara dunia
ketiga hanya dapat dilakukan dengan hubungan dan difusi dengan negara maju. Tesis ini
dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu “isolasi temporer” yang
12
disebabkan oleh krisis perang atau melemahnya ekonomi dan politik negara sentral. Frank
megajukan bukti empirik untuk mendukung tesisnya ini yaitu pada saat Spanyol mengalami
kemunduran ekonomi pada abad 17, perang Napoleon, perang dunia pertama, kemunduran
ekonomi pada tahun 1930 dan perang dunia kedua telah menyebabkan pembangunan
industri yang pesat di Argentina, Meksiko, Brasil dan Chili. Pengertian isolasi yang kedua
adalah isolasi secara geografis dan ekonomi yang menyebabkan ikatan antara “sentral-
satelit” menjadi melemah dan kurang dapat menyatukan diri pada sistem perdagangan dan
ekonomi kapitalis.
3) Negara yang terbelakang dan terlihat feodal saat ini merupakan negara yang memiliki
kedekatan ikatan dengan negara sentral pada masa lalu. Frank menjelaskan bahwa pada
negara satelit yang memiliki hubungan sangat erat telah menjadi “sapi perah” bagi negara
sentral. Negara satelit tersebut hanya sebatas sebagai penghasil produk primer yang sangat
dibutuhkan sebagai modal dalam sebuah industri kapitalis di negara sentral.
4) Kemunculan perkebunan besar di negara satelit sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan
peningkatan keuntungan ekonomi negara sentral. Perkebunan yang dirintis oleh negara
sentral ini menjadi cikal bakal munculnya industri kapitalis yang sangat besar yang
berdampak pada eksploitasi lahan, sumberdaya alam dan tenaga kerja negara satelit.
5) Eksploitasi yang menjadi ciri khas kapitalisme menyebabkan menurunnya kemampuan
berproduksi pertanian di negara satelit. Ciri pertanian subsisten pada negara terbelakang
menjadi hilang dan diganti menjadi pertanian yang kapitalis.
Frank telah memberikan alasan dari kegagalan negara pinggiran untuk maju seiring dengan
negara sentral. Kegagalan ini disebabkan oleh adanya eksploitasi dan sistem ekonomi kapitalisme
yang dilakukan oleh negara sentral. Santos mengamsusikan bahwa bentuk dasar ekonomi dunia
memiliki aturan-aturan perkembangannya sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara
sentral adalah kapitalisme sehingga menyebabkan timbulnya saha melakukan ekspansi keluar dan
tipe hubungan ekonomi pada negara pinggiran merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan
oleh ekspansi kapitalisme oleh negara sentral. Santos menjelaskan bagaimana timbulnya kapitalisme
yang dapat menguasai sistem ekonomi dunia. Keterbatasan sumber daya pada negara maju
mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran pada negara miskin. Pola yang
dilakukan memberikan dampak negatif berupa adanya ketergantungan yang dialami oleh negara
miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara yang terbelakang dalam pembangunan karena
tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan negara maju.
Apabila kita lihat, tampak bahwa teori dependensi memiliki kecenderungan untuk
mempersoalkan kapitalisme sebagai penyebab kemiskinan dan kegagalan pembangunan di negara
pinggiran. Eksploitasi sumber daya alam serta proses pertukatan yang tidak seimbang antara negara
13
sentral dan negara pinggiran menyebabkan tidak seimbangnya keuntungan yang didapatkan oleh
masing-masing kelompok negara.
Walaupun kedua teori tersebut mamiliki beberapa kesamaan, namun terdapat perbedaan
pokok anatar keduanya. Pertama, adalah apada unit analisis yang digunakan. Teori dependensi
menggunakan unit analisis pada tingkat negara atau nasional, sedangkan teori sistem dunia
menggunakan unit analisis global atau sistem dunia yang merupakan gambaran dari hubungan antar
negara. Perbedaan kedua adalah pada metode kajian. Teori dependensi menggunakan metode
historis struktural yang mempelajari masa pasang surut sebuah negara. Teori sistem dunia
menggunakan dinamika sejarah sistem dunia secara global.
Perbedaan ketiga adalah pada struktur teori, dimana teori dependensi menggunakan
struktur teori dua kutub, sedangkan teori sistem dunia menggunakan struktur teori tiga kutub.
Perbedaan selanjutnya adalah pada arah pembangunan. Teori dependensi menyatakan bahwa
pembangunan bersifat searah dan deterministik sari negara sentral ke negara pinggiran. Teori sistem
dunia menyatakan bahwa arah pembangunan lebih bersifat fleksibel dengan adanya peluang
perpindahan status suatu negara dalam sistem dunia. Sedangkan perbedaan terakhir adalah pada
arena kajian. Teori dependensi menjadikan negara pinggiran sebagai arena kajian, sedangkan teori
sistem dunia menggunakan negara pinggiran, negara semi pinggiran dan sistem ekonomi dunia
sebagai arena kajiannya.
Tabel. 1 Perbandingan antara Teori Dependensi dan Teori Sistem Dunia
Elemen Perbandingan Teori Dependensi Teori Sistem DuniaUnit Analisis Negara-Bangsa Sistem duniaMetode Kajian Historis struktural Dinamika sejarah dunia
Struktur Teori Dua kutub(sental-pinggiran)
Tiga kutub(sentral-semi pinggiran-pinggiran)
Arah Pembangunan Deterministik Peluang terjadinya mobilitas
Arena Kajian Negara pinggiran Negara pinggiran, negara semi pinggiran dansistem ekonomi dunia
Sumbe ; (Suwarsono dan So, 1991)
Tesis dan Asumsi Dasar
Tesis yang disampaikan oleh teori sistem dunia adalah adanya bentuk hubungan negara
dalam sistem dunia yang terbagi dalam tiga bentuk negara yaitu negara sentral, negara semi
pinggiran dan negara pinggiran. Ketiga bentuk negara tersebut terlibat dalam hubungan yang
harmonis secara ekonomis dan kesemuanya akan bertujuan untuk menuju pada bentuk negara
sentral yang mapan secara ekonomi.
Perubahan status negara pinggiran menuju negara semi pinggiran ditentukan oleh
keberhasilan negara pinggiran melaksanakan salah satu atau kombinasi dari strategi pembangunan,
14
yaitu strategi menangkap dan memanfaatkan peluang, strategi promosi dengan undangan dan
strategi berdiri diatas kaki sendiri. Sedangkan upaya negara semi pinggiran menuju negara sentral
bergantung pada kemampuan negara semi pinggiran melakukan perluasan pasar serta introduksi
teknologi modern. Kemampuan bersaing di pasar internasional melalui perang harga dan kualitas.
Negara semi pinggiran yang disampaikan oleh Wallerstein merupakan sebuah pelengkap dari
konsep sentral dan pinggiran yang disampaikan oleh teori dependensi. Alasan sederhana yang
disampaikannya adalah, banyak negara yang tidak termasuk dalam dua kategori tersebut sehingga
Wallerstein mencoba menawarkan konsep pembagian dunia menjadi tiga kutub yaitu sentral, semi
pinggiran dan pinggiran.
Terdapat dua alasan yang menyebabkan sistem ekonomi kapitalis dunia saat ini memerlukan
kategori semi pinggiran, yaitu dibutuhkannya sebuah perangkat politik dalam mengatasi disintegrasi
sistem dunia dan sarana pengembangan modal untuk industri dari negara sentral. Disintegrasi sistem
dunia sangat mungkin terjadi sebagai akibat “kecemburuan” negara pinggiran dengan kemajuan yang
dialami oleh negara sentral. Kekhawatiran akan timbulnya gejala disintegrasi ini dikarenakan jumlah
negara miskin yang sangat banyak harus berhadapan dengan sedikit negara maju. Solusi yang
ditawarkan adalah membentuk kelompok penengah antara keduanya atau dengan kata lain adanya
usaha mengurangi disparitas antara negara maju dan negara miskin. Secara ekonomi, negara maju
akan mengalami kejenuhan investasi sehingga diperlukan perluasan atau ekspansi pada negara lain.
Upaya perluasan investasi ini membutuhkan lokasi baru pada negara miskin. Negara ini kemudian
dikenal dengan istilah negara semi pinggiran.
Wallerstein mengajukan tesis tentang perlunya gerakan populis berskala nasional digantikan
oleh perjuangan kelas berskala dunia. Lebih jauh Wallerstein menyatakan bahwa pembangunan
nasional merupakan kebijakan yang merusak tata sistem ekonomi dunia. Alasan yang disampaikan
olehnya, antara lain :
1) Impian tentang keadilan ekonomi dan politik merupakan suatu keniscayaan bagi banyak
negara.
2) Keberhasilan pembangunan pada beberapa negara menyebabkan perubahan radikal dan
global terhadap sistem ekonomi dunia.
3) Strategi pertahanan surplus ekonomi yang dilakukan oleh produsen berbeda dengan
perjuangan kelas yang berskala nasional.
Pengaruh Teori Sistem Dunia
Teori sistem dunia telah mampu memberikan penjelasan keberhasilan pembangunan
ekonomi pada negara pinggiran dan semi pinggiran. Negara-negara sosialis, yang kemudian terbukti
juga menerima modal kapitalisme dunia, hanya dianggap satu unit saja dari tata ekonomi kapitalis
15
dunia. Negara sosialis yang kemudian menerima dan masuk ke dalam pasar kepitalis dunia adalah
China, khususnya ketika periode pengintegrasian kembali (Penelitian So dan Cho dalam Suwarsono
dan So, 1991). Teori ini yang melakukan analisa dunia secara global, berkeyakinan bahwa tak ada
negara yang dapat melepaskan diri dari ekonomi kapitalis yang mendunia. kapitalisme yang pada
awalnya hanyalah perubahan cara produksi dari produksi untuk dipakai ke produksi untuk dijual,
telah merambah jauh jauh menjadi dibolehkannya pemilikan barang sebanyak-banyaknya, bersama-
sama juga mengembangkan individualisme, komersialisme, liberalisasi, dan pasar bebas. Kapitalisme
tidak hanya merubah cara-cara produksi atau sistem ekonomi saja, namun bahkan memasuki segala
aspek kehidupan dan pranata dalam kehidupan masyarakat, dari hubungan antar negara, bahkan
sampai ke tingkat antar individu. Sehingga itulah, kita mengenal tidak hanya perusahaan-perusahaan
kapitalis, tapi juga struktur masyarakat dan bentuk negara.
2.4. KELEMBAGAAN, KAPITAL SOSIAL DAN PEMBANGUNAN
Modernisme dianggap sebagai sebuah keharusan bagi negara terbelakang untuk dapat
mengejar ketertinggalannya dengan negara maju. Pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh
negara barat menggunakan pendekatan modernisme. Pembangunan seringkali diartikan sebagai
suatu usaha untuk mencapai keadaan yang telah direncanakan yang diartikulasikan dalam bentuk
sistem ekonomi dan struktur masyarakat barat. Tak salah apabila pembangunan dengan konsep
modernisme dianggap sebagai proses westernisasi. Pola pembangunan ini semakin berkembang
pesat dengan dukungan investasi kapitalis.
Pada tahap hubungan transnasional semakin kuat, dominasi kekuatan ekonomi negara maju
semakin kuat mencengkeram dan menghegemoni negara berkembang. Pola hubungan antar negara
menjadi semakin tergantung yang tentu saja menyebabkan terpuruknya negara terbelakang dan
negara berkembang. Ekspansi modal melalui investasi asing baik melalui perusahaan transnasional
dianggap sebagai suatu hal yang wajar dalam era globalisasi. Investasi asing merupakan usaha untuk
meningkatkan ekonomi negara berkembang melalui pendekatan pembangunan yang
mengedepankan modernisasi. Masuknya investasi asing telah berhasil merubah struktur sosial
masyarakat lokal berikut dengan nilai-nilainya. Oleh karena itu, transformasi sosial dapat dipahami
sebagai analisis hubungan transnasional dan hal ini mempengaruhi masyarakat nasional, komunitas
lokal, bahkan individual.
Transformasi sosial sangat berkaitan dengan globalisasi. Pada tingkatan yang paling umum,
globalisasi berarti sebuah proses perubahan yang mempengaruhi seluruh wilayah di dunia dalam
sektor yang beragam termasuk ekonomi, teknologi, politik, media, budaya, dan lingkungan. Definisi
yang lebih tepat mengenai globalisasi adalah sebuah proses atau rangkaian proses yang berwujud
16
suatu transformasi dalam organisasi spasial dari relasi serta transaksi sosial yang melahirkan pola
hubungan transcontinental atau interregional serta jaringan aktivitas dan interaksi.
Pembangunan sebagai sebuah kebijakan merupakan bentuk gejala perubahan sosial yang
terencana dan memiliki tujuan akhir yang pasti sama di seluruh negara di dunia ini. Tujuan
pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat suatu kondisi yang ideal
dan menjadi cita-cita seluruh bangsa dan masyarakatnya. Berbagai teori pembangunan telah banyak
diulas oleh para ilmuan sosial. Teori-teori pembangunan dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian
yang berkembang secara tesis dan antitesis yang perkembangannya mengikuti wacana teori dan
aksi secara berulang-ulang. Pada tahap pertama muncul teori modernisasi yang berada dalam
kerangka teori evolusi. Teori ini muncul di Amerika Serikat yang mengaplikasikannya dalam program
Marshal Plan. Karena ada ketidakpuasan terhadap pola pembangunan ini, maka kemudian lahir teori
ketergantungan (dependency theory) yang memiliki sisi pandang dari negara-negara dunia ketiga
yang berada dalam posisi tergantung terhadap negara-negara maju. Terakhir, untuk cara pandang
yang lebih sempurna, lahir teori sistem dunia (the world system theory), dimana dunia dipandang
sebagai sebuah sistem yang sangat kuat yang mencakup seluruh negara di dunia, yaitu sistem
kapitalisme.
Kelembagaan
Selama ini di desa telah ada seperangkat lembaga-lembaga yang muncul dan timbul dari
inisiatif masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya. Umumnya
lembaga-lembaga lokal ini masih bersifat sangat tradisional dengan berbagai kekurangankekurangan
yang ada dari segi organisasi atau kelembagaan modern. Padahal di sisi lain pemerintah sebagai
Stakeholder dari program pembangunan sangat memerlukan lembaga yang sangat mumpuni untuk
menjadi wadah atau saluran pembangunan bahkan sarana paling tepat untuk percepatan
pembangunan pedesaan. Berpijak pada realita semacam inilah maka pemerintah pun mengeluarkan
kebijakan mengenai perlunya pembentukan lembaga kemasyarakatan modern dalam rangka
pelaksanaan pembangunan di pedesaan dengan pertimbangan, bahwa lembaga kemasyarakatan
modern yang dibikin pemerintah yang memang dirancang secara khusus untuk kegiatan
pembangunan akan lebih memberikan peluang besar guna keberhasilan pembangunan itu sendiri
dari pada pemerintah menggunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada yang umumnya
bercorak kultural, agamis dan tradisional.
Uphoff (1986) memberikan gambaran bahwa selama kurun waktu yang panjang lembaga
donor internasional mengakui akan pentingnya pengembangan kelembagaan untuk mencapai tujuan
pembangunan. AUSAID dan Bank Dunia telah memberikan pembuktian terhadap pentingnya
pengembangan kelembagaan ini, bahkan seringkali proyek yang mengabaikan pengembangan
17
kelembagaan berakhir pada kegagalan. Sebagian besar lembaga donor hanya berkonsentrasi pada
pengembangan kelembagaan di tingkat pusat saja. Pemerintah dipandang sebagai sebuah lembaga
yang paling mudah disentuh serta merupakan lembaga yang telah memiliki kemampuan dalam
manajemen organisasi. Lembaga di tingkat lokal dianggap sebagai bagian “nomer dua” saja
dibandingkan lembaga di tingkat pusat atau nasional. Lembaga lokal ini hanya memainkan sedikit
peran serta mendapatkan alokasi sumberdaya yang sangat terbatas.
Pengembangan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan
lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Berbagai
istilah akan muncul, namun demikian semuanya memiliki tujuan peningkatan efektifitas penggunaan
sumberdaya suatu negara sehingga pembangunan yang dijalankan akan dapat berhasil. Israel (1990)
memberikan gambaran bahwa pengembangan kelembagaan telah manjadi bagian dari strategi
pembangunan pada berbagai negara seiring dengan desakan kalangan LSM. Rockfeller dan Ford
Foundation telah memiliki program pengembangan kelambagaan pada tahun 1950-an dan 1960-an,
demikian pula dengan USAID yang juga mempunyai program serupa pada dekade setelahnya.
Lebih jauh Israel (1990) mengungkapkan bahwa pengembangan kelembagaan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap proyek pembangunan yang didanai oleh Bank Dunia.
Selain membangun dalam bentuk sarana dan prasarana fisik, terdapat cakupan lain yang termasuk
dalam aspek pengembangan kelembagaan, walaupun masih sangat kecil. Berbeda halnya apabila
proyek pembangunan tersebut bersifat investasi di bidang jasa seperti penyuluhan pertanian,
kesehatan atau pendidikan, muatan pengembangan kelembagaan menjadi bagian yang menjadi
perhatian besar. Kesulitan yang dihadapi disini adalah pembangunan fisik ternyata jauh lebih mudah
dibandingkan dengan pengembangan kelembagaan. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa komponen
fisik pada suatu program pembangunan memiliki tingkat keberhasilan dua kali dibandingkan dengan
komponen pembangunan kelembagaan.
Kegagalan ini kemudian menyebabkan banyak praktisi pembangunan yang mencoba untuk
mengabaikan masalah kelembagaan sebagai aspek penentu keberhasilan proyek pembanguan.
Kelembagaan menjadi aspek yang dianggap tidak terlalu signifikan apabila dibandingkan dengan
investasi, pendidikan bahkan hingga perubahan budaya masyarakat. Bahkan, banyak pula yang
menghilangkan aspek kelembagaan yang dinilai tidak dapat dikuantifikasi dan menggantikannya
dengan faktor lain yang dapat dengan mudah dikuantifikasi menjadi berbagai formula. Israel (1990)
memberikan dua alasan yang mendasari hilangnya aspek kelembagaan dalam analisi ahli
pembangunan, antara lain :
1) Pendekatan pembangunan selama ini menggunakan perspektif ekonomi yang selalu berpikir
pada efisiensi penggunaan sumberdaya.
18
2) Kelembagaan merupakan persoalan yang rumit untuk dijelaskan. Perkembangan ilmu
manajemen dan administrasi pembangunan pun belum mampu menyentuhnya terlebih pada
negara berkembang.
Pengertian lembaga sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan yang sengit di kalangan
ilmuan sosial. Bahkan lebih jauh Uphoff (1986), memberikan gambaran yang jelas tentang
keambiguan antara lembaga dan organisasi. Istilah lembaga dan organisasi secara umum
penggunaannya dapat dipertukarkan dan hal tersebut menyebabkan keambiguan dan kebingungan
diantara keduanya. Israel (1990) memberikan penjelasan mengenai konsep umum tentang lembaga
yang meliputi pada semua tingkatan lokal atau masyarakat, unit manajemen proyek, badan atau
departemen pusat dan sebagainya. Pembedaan antara lembaga dan organisasi masih sangat kabur.
Organisasi yang telah mendapatkan kedudukan khusus dan legitimasi dari masyarakat karena
keberhasilannya memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat dalam waktu yang panjang dapat
dikatakan bahwa organisasi tersebut telah “melembaga”.
Tabel 2. Definisi Lembaga
No Definisi Lembaga Disampaikan Oleh1 Lembaga merupakan pola perilaku yang selalu berulang bersifat kokoh
dan dihargai oleh masyarakat. Organisasi dan prosedur memilikiberbagai tingkatan dalam proses pelembagaan. Pelembagaanmerupakan sebuah proses dimana organisasi dan prosedurmendapatkan nilai dan kemantaban.
Huntington (1965)
2 Lembaga merupakan sekumpulan norma dan perilaku telahberlangsung dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencapaitujuan bersama.
Uphoff (1986)
Kapital Sosial
Konsep kapital sosial menjadi sebuah konsep yang diterima secara umum oleh ilmuan sosial
dari berbagai disiplin ilmu. Konsep ini kemudian berkembang dengan pesatnya dan menjadi
perhatian banyak pihak. kapital sosial bahkan dengan dahsyatnya dianggap sangat berperan dalam
pembangunan ekonomi. Selain diterima oleh berbagai kalangan, kapital sosial juga menjadi bahan
perdebatan antara ilmuan sosiologi, antropologi, politik dan juga ekonomi. Kapital sosial memiliki
keunikan yaitu relasional. Kapital ekonomi terdapat pada rekening bank seseorang, kapital manusia
terdapat pada otaknya dan kapital sosial berada pada struktur hubungan antar individu. Untuk
mendapatkan kapital sosial, seseorang harus berhubungan dengan orang lain dimana diantaranya
saling mendapatkan manfaat (Portes dalam Narayan, 1999).
Sebagai sebuah bagian dari struktur sosial dimana individu berada, kapital sosial bukan
merupakan hak milik salah satu individu pun dalam struktur sosial, walaupun tiap-tiap individu
mendapatkan kesempatan menikmati keuntungan atas kapital sosial yang ada (Coleman dalam
19
Narayan, 1999). Kapital sosial hanya akan bermanfaat apabila didistribusikan antar individu dalam
suatu struktur sosial. Kapital sosial merupakan bagian dari struktur sosial yang mempunyai sifat
“barang milik umum”. Terdapat beragam pendekatan untuk memahami kapital sosial. Sebagai
contoh, Coleman mendefinisikan kapital sosial sebagai bentuk tanggung jawab dan harapan; norma
sosial dan saluran informasi. Selain itu kapital sosial juga dapat ditelaah menggunakan dimensi
kognitif dan struktural. Kapital sosial dapat diwujudkan dalam bentuk yang sangat kompleks dan
sering kali berupa fenomena abstrak seperti kepercayaan, nilai, norma kerjasama, jaringan formal
maupun informal, lembaga yang efektif dan stabil serta kohesi sosial.
Pemaknaan hubungan sosial menjadi dinamis seiring dengan hadirnya berbagai teori
pembangunan. Masing-masing teori pembanguan memberikan pendapat yang berbeda tentang
peran hubungan sosial dalam pembangunan ekonomi yang tentu saja berpengaruh terhadap
kebijakan pembangunan yang dilaksanakan. Pada tahun 1950 hingga 1960-an, teori modernisasi
menyatakan bahwa hubungan sosial dan gaya hidup tradisional menjadi faktor penghambat
pembangunan. Tahun 1970-an berkembang teori dependensi dan sistem dunia yang memberikan
penjelasan bahwa hubungan sosial antara pengusaha dan elit politik menjadi mekanisme utama
eksploitasi kapitalis. Karakteristik sosial negara miskin dapat dilihat dari hubungan mereka terhadap
alat produksi serta konflik kepentingan antara pengusaha dan buruh.
Tabel 3. Perspektif Kapital Sosial
No Perspektif Keterangan1 Modernisasi Hubungan sosial dan gaya hidup tradisional menghambat
pembangunan ekonomi.2 Dependensi dan
Teori Sistem DuniaHubungan sosial yang terjadi antara pengusaha dan elit politikmemperkokoh eksploitasi kapitalis.
3 Communitarian Menekankan kemampuan “swadaya” masyarakat lokal, menekankanpada kebaikan “pengasingan diri suatu komunitas” dan “swadaya”serta menolak pentingnya hubungan sosial untuk membangun lembagaformal yang efektif dan bertanggung jawab.
4 Neo Klasikal Menekankan pada pemilihan strategi yang rasional dalam interaksiantar individu.
Kelembagaan VS Kapital Sosial
Kedua konsep tersebut sangat terkait satu dengan lainnya. Kelembagaan baik berupa
organisasi maupun bukan merupakan salah satu penggerak pembangunan. Pengembangan
kelembagaan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan lembaga terutama lembaga lokal dalam
melaksanakan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanan hingga tahap evaluasi. Kesiapan
sumber daya manusia, sarana dan prasarana fisik serta yang tak kalah pentingnya adalah kapital
sosial. Kapital sosial merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial yang ada.
20
Kapital sosial telah melekat dalam masyarakat, bahkan mungkin menjadi suatu yang tidak disadari
keberadaannya oleh masyarakat tersebut.
Pengembangan kelembagaan seiring sejalan dengan semakin meningkatnya kapital sosial.
Berbagai kasus yang diulas oleh Colleta (2000) memberikan gambaran tentang pentingnya kapital
sosial dalam pembangunan terutama pengambangan kelembagaan. Pada tingkat kapital sosial tinggi,
mampu memunculkan lembaga baru yang memiliki tingkatan organisasi mantab. Kasus di Somalia
menggambarkan bahwa pada tingkat kapital sosial tinggi di saat konflik juga mengalami ketegangan
yang tinggi, muncul pemerintahan de facto, gerakan perempuan, pelayanan publik oleh lembaga
keagamaan dan sebagainya. Pada tingkat kapital sosial yang rendah ternyata membawa dampak
pada hancurnya kelembagaan yang telah ada.
Proyek PIDRA; Kasus Indonesia
Kegagalan proyek pembangunan pertanian di Indonesia ditengarai karena belum siapnya
lembaga di tingkatan lokal dalam menjalankan proyek pembanguan tersebut. Pendekatan yang
dilakukan selama ini hanya bersifat “top down” serta lebih mementingkan pembangunan fisik
daripada pengembangan kelembagaan petani di tingkat lokal. Proyek PIDRA (Participatory Integrated
Development in Rainfed Areas) merupakan proyek pembangunan kelembagaan petani di tingkat
lokal pada daerah lahan kering. Muatan pokok proyek ini adalah pada peningkatan kapasitas
kelembagaan yang kemudian ditindaklanjuti dengan peningkatan kapasitas teknologi dan modal.
Peningkatan kapital sosial juga menjadi perhatian utama dalam proyek ini. Pengembangan
kelembagaan tanpa memperhatikan kapital sosial tentu menjadi hal yang percuma. Pembentukan
kelompok tani (proyek ini menggunakan istilah “kelompok mandiri”) merupakan perwujudan untuk
meningkatkan kepercayaan antar anggota. Kegiatan kelompok seperti arisan dan simpan pinjam
tentu tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila stok kapital sosial antara masyarakat sedemikian
rendahnya. Proyek ini memberikan gambaran tentang pentingnya kapital sosial dan pengembangan
kelembagaan dalam pembangunan pertanian doi perdesaan.
2.5. IMPLIKASI BANTUAN DAN PEMBANGUNAN
Pembangunan merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terncana melalui
berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Bangsa
Indonesia seperti termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mencantumkan
tujuan pembangunan nasionalnya. Kesejahteraan masyarakat adalah suatu keadaan yang selalu
menjadi cita-cita seluruh bangsa di dunia ini. Berbagai teori tentang pembangunan telah banyak
dikeluarkan oleh ahli-ahli sosial barat, salah satunya yang juga dianut oleh Bangsa Indonesia dalam
21
program pembangunannya adalah teori modernisasi. Modernisasi merupakan tanggapan ilmuan
sosial barat terhadap tantangan yang dihadapi oleh negara dunia kedua setelah berakhirnya Perang
Dunia II.
Modernisasi menjadi sebuah model pembangunan yang berkembang dengan pesat seiring
keberhasilan negara dunia kedua. Negara dunia ketiga juga tidak luput oleh sentuhan modernisasi ala
barat tersebut. berbagai program bantuan dari negara maju untuk negara dunia berkembang dengan
mengatasnamakan sosial dan kemanusiaan semakin meningkat jumlahnya. Namun demikian
kegagalan pembangunan ala modernisasi di negara dunia ketiga menjadi sebuah pertanyaan serius
untuk dijawab. Beberapa ilmuan sosial dengan gencar menyerang modernisasi atas kegagalannya ini.
Modernisasi dianggap tidak ubahnya sebagai bentuk kolonialisme gaya baru, bahkan Dube (1988)
menyebutnya seolah musang berbulu domba.
Bantuan Untuk Pembangunan
Pembangunan ala modernisasi tidak dapat lepas dari bantuan negara maju. Program bantuan
berawal dari kebijakan Marshall Plann yang diambil oleh Amerika Serikat untuk membangun kembali
Eropa Barat yang lemah dalam hal ekonomi sebagai akibat dari Perang Dunia II. Pada masa ini,
Amerika Serikat berhasil mengambil peran yang dominan dalam percaturan ekonomi dan politik
dunia. Bantuan yang ditawarkan oleh Amerika juga mempunyai misi politik yaitu untuk membendung
kekuatan ideologi komunis yang berkembang pesat. Terlebih lagi pada masa itu banyak bermunculan
negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Perang ideologi menjadi sebuah
alasan bagi Amerika Serikat untuk mencari “sekutu” baru dan membendung kekuatan komunis.
Kemunculan negara maju setelah Amerika Serikat menerapkan Marshall Plan membawa
dampak pada semakin banyaknya negara donor yang bersedia untuk memberikan bantuan kepada
negara miskin. Bantuan negara maju tidak ubahnya sebagai bentuk kolonialisme gaya baru, yang
menghegemoni negara miskin dan negara berkembang. Gejala bantuan asing semakin meningkat
tajam seiring tumbuhnya industri besar yang mampu memperkerjakan pekerja dan mengakumulasi
modal dalam jumlah yang besar. Terlebih lagi dengan kegagalan negara miskin dalam melaksanakan
pembangunan pasca kemerdekaannya.
Berbagai bantuan asing berkembang melalui organisasi nasional maupun internasional untuk
membantu berbagai program yang ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Program
tersebut terkadang juga diwujudkan dalam proyek-proyek pembangunan fisik untuk peningkatan
kualitas hidup masyarakat negara berkembang. Namun demikian, bantuan asing ini tidak lepas dari
misi politik negara maju. Tekanan politik diberikan kepada negara penerima bantuan yang diarahkan
pada kepentingan ekonomi dan politik dalam negeri negara maju. Negara-negara Eropa Barat
berusaha memperkokoh pengaruhnya pada bekas negara jajahan melalui program bantuan ini,
sedangkan Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk tetap mendominasi dalam percaturan dunia
internasional.
22
Bantuan antar pemerintah dalam bentuk hutang luar negeri menjadi sebuah pilihan rasional
negara miskin dibandingkan hutang dari pihak swasta melalui bank internasional yang lebih bersifat
komersial dengan bunga yang relatif tinggi. Terdapat tiga ciri bantuan asing yang menyebabkan
negara miskin lebih tertarik untuk mendapatkannya dibandingkan dengan mencari investasi swasta
asing, yaitu:
1) Bantuan asing tersebut dapat digunakan untuk pembangunan sarana sosial yang secara
ekonomi dianggap kurang menguntungkan bagi investor.
2) Bantuan asing lebih mudah dikontrol oleh pemerintah untuk menjamin kepastian
penggunaannya sesuai tujuan pemerintah.
3) Bantuan asing dapat diperoleh dari donor dalam berbagai bentuk dan berbagai syarat yang
dapat dinegosiasikan dibandingkan dengan investasi swasta serta yang tak kalah pentingnya
tingkat bunga yang jauh lebih rendah.
Namun kenyataan yang ada menunjukkan bahwa dengan tingkat bunga yang rendah
tersebut, negara miskin masih mengalami kesulitan untuk membayar hutang luar negeri. Beban
hutang luar negeri semakin lama semakin besar dan menjadi ciri tersendiri bagi pembangunan pada
negara dunia ketiga. Bantuan luar negeri dan invastasi swasta asing sebenarnya merupakan sebuah
sinergi karena sebagian besar bantuan asing membawa keuntungan komersial bagi perusahaan yang
berada di negara donor. Berbagai program pembangunan yang dilakukan oleh negara miskin
sebagian besar menggunakan tenaga ahli dan teknologi yang juga berasal dari negara donor.
Bantuan untuk Pengembangan Kelembagaan
Selama ini di desa telah ada seperangkat lembaga-lembaga yang muncul dan timbul dari
inisiatif masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya. Umumnya
lembaga-lembaga lokal ini masih bersifat sangat tradisional dengan berbagai kekurangankekurangan
yang ada dari segi organisasi atau kelembagaan modern. Padahal di sisi lain pemerintah sebagai
Stakeholder dari program pembangunan sangat memerlukan lembaga yang sangat mumpuni untuk
menjadi wadah atau saluran pembangunan bahkan sarana paling tepat untuk percepatan
pembangunan pedesaan. Berpijak pada realita semacam inilah maka pemerintah pun mengeluarkan
kebijakan mengenai perlunya pembentukan lembaga kemasyarakatan modern dalam rangka
pelaksanaan pembangunan di pedesaan dengan pertimbangan, bahwa lembaga kemasyarakatan
modern yang dibikin pemerintah yang memang dirancang secara khusus untuk kegiatan
pembangunan akan lebih memberikan peluang besar guna keberhasilan pembangunan itu sendiri
dari pada pemerintah menggunakan lembaga kemasyarakatan yang sudah ada yang umumnya
bercorak kultural, agamis dan tradisional.
23
Selama kurun waktu yang panjang lembaga donor internasional mengakui akan pentingnya
pengembangan kelembagaan untuk mencapai tujuan pembangunan. AUSAID dan Bank Dunia telah
memberikan pembuktian terhadap pentingnya pengembangan kelembagaan ini, bahkan seringkali
proyek yang mengabaikan pengembangan kelembagaan berakhir pada kegagalan. Sebagian besar
lembaga donor hanya berkonsentrasi pada pengembangan kelembagaan di tingkat pusat saja.
Pemerintah dipandang sebagai sebuah lembaga yang paling mudah disentuh serta merupakan
lembaga yang telah memiliki kemampuan dalam manajemen organisasi. Lembaga di tingkat lokal
dianggap sebagai bagian “nomer dua” saja dibandingkan lembaga di tingkat pusat atau nasional.
Lembaga lokal ini hanya memainkan sedikit peran serta mendapatkan alokasi sumberdaya yang
sangat terbatas.
Pengembangan kelembagaan mengacu pada proses untuk memperbaiki kemampuan
lembaga dalam mengefektifkan penggunaan sumberdaya manusia dan keuangan yang ada. Berbagai
istilah akan muncul, namun demikian semuanya memiliki tujuan peningkatan efektifitas penggunaan
sumberdaya suatu negara sehingga pembangunan yang dijalankan akan dapat berhasil.
Pengembangan kelembagaan telah manjadi bagian dari strategi pembangunan pada berbagai negara
seiring dengan desakan kalangan LSM. Rockfeller dan Ford Foundation telah memiliki program
pengembangan kelambagaan pada tahun 1950-an dan 1960-an, demikian pula dengan USAID yang
juga mempunyai program serupa pada dekade setelahnya.
Pengembangan kelembagaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap proyek
pembangunan yang didanai oleh Bank Dunia. Selain membangun dalam bentuk sarana dan prasarana
fisik, terdapat cakupan lain yang termasuk dalam aspek pengembangan kelembagaan, walaupun
masih sangat kecil. Berbeda halnya apabila proyek pembangunan tersebut bersifat investasi di
bidang jasa seperti penyuluhan pertanian, kesehatan atau pendidikan, muatan pengembangan
kelembagaan menjadi bagian yang menjadi perhatian besar. Kesulitan yang dihadapi disini adalah
pembangunan fisik ternyata jauh lebih mudah dibandingkan dengan pengembangan kelembagaan.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa komponen fisik pada suatu program pembangunan memiliki
tingkat keberhasilan dua kali dibandingkan dengan komponen pembangunan kelembagaan.
Kegagalan ini kemudian menyebabkan banyak praktisi pembangunan yang mencoba untuk
mengabaikan masalah kelembagaan sebagai aspek penentu keberhasilan proyek pembanguan.
Kelembagaan menjadi aspek yang dianggap tidak terlalu signifikan apabila dibandingkan dengan
investasi, pendidikan bahkan hingga perubahan budaya masyarakat. Bahkan, banyak pula yang
menghilangkan aspek kelembagaan yang dinilai tidak dapat dikuantifikasi dan menggantikannya
dengan faktor lain yang dapat dengan mudah dikuantifikasi menjadi berbagai formula. Terdapat dua
alasan yang mendasari hilangnya aspek kelembagaan dalam analisi ahli pembangunan, antara lain :
1) Pendekatan pembangunan selama ini menggunakan perspektif ekonomi yang selalu berpikir
pada efisiensi penggunaan sumberdaya.
24
2) Kelembagaan merupakan persoalan yang rumit untuk dijelaskan. Perkembangan ilmu
manajemen dan administrasi pembangunan pun belum mampu menyentuhnya terlebih pada
negara berkembang.
Kegagalan Bantuan dalam Memacu Pertumbuhan
Bantuan asing yang mengalir kepada negara maju dianggap gagal dalam memacu
kemandirian ekonomi negara miskin. Bantuan dianggap sebagai salah satu strategi untuk mengatasi
kekurangan investasi dan sebagai devisa untuk membayar kebutuhan teknologi bagi negara dunia
ketiga. Teknologi tinggi yang dihasilkan oleh negara maju dapat “ditransfer” pada negara miskin
melalui “pembelian” dengan menggunakan dana bantuan tersebut. Teknologi menjadi sebuah
keharusan bagi pembangunan ala modernisasi untuk mengembangkan industri dan pertanian di
negara miskin. Bantuan asing merupakan sarana untuk mencapai pertumbuhan pada beberapa
sektor yang diharapkan mampu memberikan dampak pada sektor ekonomi. Keberhasilan program
bantuan diukur melalui peningkatan GNP negara miskin. Permasalahan kemudian timbul ketika GNP
berhasil meningkat namun dibarengi pula oleh peningkatan angka pengangguran dan permasalahan
kependudukan lainnya seperti kemiskinan dan gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan
GNP tidak dibarengi dengan perbaikan standar hidup masyarakat.
Bentuan asing cenderung lebih menguntungkan negara donor dibandingkan dengan negara
penerima. Bantuan asing pada beberapa proyek sebagian besar kembali ke negara donor melalui
pembelian teknologi serta pembayaran tenaga ahli. Negara miskin yang dicirikan oleh jumlah
penduduk besar serta tingkat pendidikan dan angka pengangguran tinggi kurang tepat apabila
dipaksa untuk mengadopsi teknologi tinggi pada industri dan pertaniannya. Teknologi tinggi
cenderung lebih padat modal serta menggantikan tenaga kerja manusia dengan mesin-mesin
industri, hal yang sama terjadi pula pada bidang pertanian melalui mekanisasi pertanian. Jumlah
pengangguran akan semakin meningkat apalagi dengan tidak didukungnya sektor informal dalam
program pembangunan dengan biaya donor ini.
Kasus yang lebih menyedihkan lagi adalah bantuan pangan pada negara miskin. Amerika
Serikat sebagai negara pencetus ide bantuan pangan meraup keuntungan yang berlipat ganda
melalui programnya ini. Surplus produksi pangan Amerika Serikat terutama gandum memerlukan
saluran pemasaran baru. Usaha pemasaran langsung dianggap lebih menguntungkan dibandingkan
menggunakan teknologi penyimpanan yang membutuhkan biaya besar. Produksi yang melimpah
menyebabkan pasar tidak mampu menerimanya sehingga Amerika Serikat berusaha memperluas
pasar ke negara dunia ketiga melalui kedok bantuan. Negara dunia ketiga “terbujuk” dengan harga
yang murah, padahal secara tidak sadar mereka telah menjadi pasar baru produk pertanian Amerika
25
Serikat. Negara dunia ketiga tidak hanya menjadi pasar produk pertanian namun juga pasar teknologi
penyimpanan dan transportasi.
Masyarakat Tradisional di Tengah Modernisasi
Modernisasi selama ini menganggap budaya tradisional sebagai salah satu penghambat
dalam pembangunan. Budaya tradisional perlu digantikan oleh budaya modern yang lebih baik dan
mampu menumbuhkan kemajuan ekonomi masyarakat. Masyarakat tradisional yang tetap
memegang teguh nilai budaya tradisionalnya dianggap sebagai masyarakat terbelakang. Nilai budaya
tradisional harus mereka tinggalkan apabila mereka ingin menjadi masyarakat modern, suatu bentuk
masyarakat yang diidam-idamkan oleh pembangunan ala modernisasi.
Berbagai hasil penelitian telah mampu menunjukkan bahwa nilai budaya tradisional ternyata
tidak bertentangan dengan proses pembangunan ala modernisasi. Modernisasi perlu kita
terjemahkan ulang menjadi sebuah konsep pembangunan yang tetap memberikan ruang bagi nilai
budaya tradisional. Selama ini modernisasi identik dengan proses westernisasi yang berusaha
menyeragamkan budaya dunia menjadi satu budaya yang disebut dengan budaya global.
Pembangunan pada negara dunia ketiga pada dasarnya dapat dijalankan melalui dua skenario.
Skenario pertama adalah pembangunan yang bertumpu pada industrialisasi pada daerah perkotaan.
Sedangkan skenario kedua pembangunan yang bertumpu pada daerah pedesaan. Modernisasi
berusaha menggunakan skenario pertama dalam pelaksanaan pembangunan di negara dunia ketiga.
Berbagai kebijakan pembangunan baik yang menggunakan dana bantuan asing maupun tidak
telah mencoba merubah skenario dari skenario pertama menuju skenario kedua. Terlebih ketika
pengembangan kelembagaan sudah menjadi pokok perhatian dalam berbagai proyek pembangunan.
Masyarakat tradisional yang selama ini berada di daerah pedesaan menjadi tumpuan untuk
mencapai keberhasilan pembangunan ini. Pengembangan kelembagaan masyarakat tradisional
diharapkan akan mampu memberikan lebih banyak keberhasilan proyek-proyek pembangunan
pedesaan. Masyarakat pedesaan merupakan sumberdaya yang potensial untuk melaksanakan
pembangunan yang tentunya akan lebih menghargai nilai budaya dan pengetahuan lokal masyarakat.
Pengalaman pendekatan pembangunan pedesaan telah menunjukkan kemampuan,
tanggung jawab serta kecerdasan masyarakat pedesaan dalam memperbaiki kualitas hidup
masyarakat pedesaan. Namun demikian, terdapat kelemahan yang harus dibenahi terutama masalah
kemampuan organisasi lokal. Peningkatan kemampuan organisasi di tingkat lokal diharapkan mampu
mengerahkan dan mengelola sumberdaya secara efektif sehingga dapat memberikan manfaat bagi
lebih banyak orang.
26
2.6. PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PEMBANGUNAN POLITIK
Kapan sesungguhnya kapitalisme lahir di dunia sulit dipastikan waktunya, karena ada
beberapa pendapat tergantung batasan yang digunakan. Sebagian mengatakan kapitalisme lahir
pada abad ke-15 bersamaan dengan lahirnya kolonialisme Eropa. Namun, pada bentuknya yang
paling sederhana, kapitalisme sebagai cara berproduksi lahir pada abad 16 ketika terjadi penggantian
sistem pertanian feodal, yaitu perubahan orientasi produksi dari “produksi barang untuk dipakai
sendiri” menjadi “produksi untuk dijual”. Akibat lebih jauhnya dalam masyarakat kapitalisme adalah
menjual komoditi untuk keuntungan maksimal menjadi inti kehidupan ekonomi.
Dari sini terlihat bahwa bentuk kapitalisme yang pertama muncul adalah di dunia pertanian.
Kemudian, revolusi industri yang lahir abad 18 menjadi fase penting terhadap perkembangan
kapitalisme, karena menyebabkan produktivitas per orang yang tinggi, menurunkan biaya operasi,
tumbuhnya proletariat perkotaan, spesialisasi pekerjaan, dan urbanisasi; sehingga melahirkan
kapitalisme industri. Akhirnya pada abad 19, kapitalisme memasuki fase monopoli, yaitu ketika
perusahaan-perusahaan besar dengan investasi yang melintasi antar negara. Secara historis terlihat,
bahwa kapitalisme terus mengalami ekspansi secara geografis dan sekaligus berevolusi sehingga
dunia menjadi satu kesatuan.
Lahirnya Kapitalisme
Motivasi teori modernisasi untuk merubah cara produksi masyarakat berkembang
sesungguhnya adalah usaha merubah cara produksi pra-kapitalis ke kapitalis, sebagaimana negara-
negara maju sudah menerapkannya untuk ditiru. Selanjutnya dalam teori dependensi yang bertolak
dari analisa Marxis, dapat diakatakan hanyalah mengangkat kritik terhadap kapitalisme dari skala
pabrik (majikan dan buruh) ke tingkat antar negara (pusat dan pinggiran), dengan analisis utama
yang sama yaitu eksploitasi. Demikian halnya dengan teori sistem dunia yang didasari teori
dependensi, menganalisis persoalan kapitalisme dengan satuan analisis dunia sebagai hanya satu
sistem, yaitu sistem ekonomi kapitalis.
Perkembangan kapitalisme pada negara terbelakang menjadi sebuah topik yang menarik
untuk dikaji. Gejala kapitalisme dianggap sebagai sebuah solusi untuk melakukan pembangunan di
negara terbelakang. Teori sistem dunia yang disampaikan oleh Wallerstein merupakan keberlanjutan
pemikiran Frank dengan teori dependensinya. Pendapat Frank, Sweezy dan Wallerstein mengacu
pada model yang dikenalkan oleh Adam Smith. Menurut Smith, pembangunan yang dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat memiliki kesamaan dengan pembangunan produktivitas
tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja merupakan sebuah fungsi yang berhubungan dengan tingkat
pembagian kerja. Konsep inilah yang kemudian memunculkan pembedaan mode produksi menjadi
27
sektor pertanian dan manufaktur. Konsep ini kemudian semakin berkembang dengan munculnya
pembedaan desa dan kota sebagai sebuah mode produksi yang berbeda.
Inti pemikiran Smith adalah bahwa proses produksi dan distribusi ini harus lepas dari campur
tangan pemerintah dan perdagangan bebas. Proses ekonomi hanya akan berjalan melalui tangan-
tangan tak kelihatan yang mengatur bagaimana produksi dan distribusi kekayaan ekonomi itu
berjalan secara adil. Biarkan para pengusaha, tenaga kerja, pedagang bekerja mencari keuntungan
sendiri. Siapapun tak boleh mencampurinya, karena ekonomi hanya bisa muncul dari perdagangan
yang adil. Karenanya, pemerintah harus menjadi penonton tak berpihak. Ia tak boleh mendukung
siapapun yang sedang menumpuk kekayaan pun yang tak lagi punya kekayaan. Tangan-tangan yang
tak kelihatan akan menunjukkan bagaimana semua bekerja secara adil, secara fair. Marx
berpendapat sebaliknya. Bagi Marx sangatlah penting untuk melihat persaingan, kompetisi, sebagai
hal yang mesti dicampuri. Keadilan tak diperoleh dengan membebaskan penguasa ekonomi menjadi
lebih kuat dari penguasa politik.
Frank telah memberikan alasan dari kegagalan negara pinggiran untuk maju seiring dengan
negara sentral. Kegagalan ini disebabkan oleh adanya eksploitasi dan sistem ekonomi kapitalisme
yang dilakukan oleh negara sentral. Santos mengamsusikan bahwa bentuk dasar ekonomi dunia
memiliki aturan-aturan perkembangannya sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara
sentral adalah kapitalisme sehingga menyebabkan timbulnya saha melakukan ekspansi keluar dan
tipe hubungan ekonomi pada negara pinggiran merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan
oleh ekspansi kapitalisme oleh negara sentral. Teori dependensi menjelaskan bagaimana timbulnya
kapitalisme yang dapat menguasai sistem ekonomi dunia. Keterbatasan sumber daya pada negara
maju mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran pada negara miskin. Pola yang
dilakukan memberikan dampak negatif berupa adanya ketergantungan yang dialami oleh negara
miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara yang terbelakang dalam pembangunan karena
tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan negara maju.
Apabila kita lihat, tampak bahwa teori dependensi memiliki kecenderungan untuk
mempersoalkan kapitalisme sebagai penyebab kemiskinan dan kegagalan pembangunan di negara
pinggiran. Eksploitasi sumber daya alam serta proses pertukaran yang tidak seimbang antara negara
sentral dan negara pinggiran menyebabkan tidak seimbangnya keuntungan yang didapatkan oleh
masing-masing kelompok negara. Perkembangan kapitalisme yang semakin pesat menyebabkan
adanya ketimpangan antara negara pusat dan negara pinggiran. Negara pinggiran cenderung hanya
menghasilkan bahan mentah yang diperlukan oleh negara pusat dalam memproduksi barang industri.
Perbedaan nilai ekonomi antara kedua jenis barang ini sangatlah tinggi. Negara pinggiran menjadi
tergantung dengan negara pusat melalui produk barang industri yang dihasilkan oleh negara pusat.
Teori sistem dunia masih bertolak dari teori dependensi, namun menjelaskan lebih jauh
dengan merubah unit analisisnya kepada sistem dunia, sejarah kapitalisme dunia, serta spesifikasi
28
sejarah lokal. Menurut teori sistem dunia, dunia ini cukup dipandang hanya sebagai satu sistem
ekonomi saja, yaitu sistem ekonomi kapitalis. Negara-negara sosialis, yang kemudian terbukti juga
menerima modal kapitalisme dunia, hanya dianggap satu unit saja dari tata ekonomi kapitalis dunia.
Teori ini yang melakukan analisa dunia secara global, berkeyakinan bahwa tak ada negara yang dapat
melepaskan diri dari ekonomi kapitalis yang mendunia. Usaha menginterpretasikan perkembangan
historis kapitalisme dilakukan oleh Wallerstein dalam sejarah global dunia. Ia memandang
kapitalisme sebagai suatu sistem dunia yang mempunyai pembagian kerja yang kompleks secara
geografis.
Pandangan teori sistem dunia yang menganggap dunia sebagai sebuah kesatuan sistem
ekonomi kapitalis mengharuskan negara pinggiran menjadi tergantung pada negara pusat. Tansfer
surplus dari negara pinggiran menuju negara pusat melalui perdagangan dan ekspansi modal. Secara
tidak langsung teori ini memang mendukung pernyataan Smith yang memusatkan perhatian pada
tatanan kelas. Kenyataan yang terjadi dalam proses kapitalisme telah menimbulkan dampak berupa
pertumbuhan ekonomi yang terjadi karena arus pertukaran barang dan jasa serta spesialisasi tenaga
kerja. Kerangka pertukaran barang dan jasa serta spesialisasi tenaga kerja ini terwujud dalam bentuk
peningkatan produktivitas yang lebih dikenal dengan konsep maksimalisasi keuntungan dan
kompetisi pasar. Kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu
menguasai sumberdaya vital dan menggunakannnya untuk keuntungan maksimal. Maksimimalisasi
keuntungan menyebabkan eksploitasi tenaga kerja murah, karena tenaga kerja adalah faktor
produksi yang paling mudah direkayasa dibandingkan modal dan tanah. Lebih jauh, dalam wacana
filsafat sosial misalnya, kapitalisme dipandang secara luas tak terbatas hanya aspek ekonomi, namun
juga meliputi sisi politik, etika, maupun kultural.
Kapitalisme pada awalnya berkembang bukan melalui eksploitasi tenaga kerja murah,
melainkan eksploitasi kepada kaum petani kecil. Negara terbelakang merupakan penghasil barang
mentah terutama dalam sektor pertanian. Kapitalisme masuk melalui sistem perdagangan yang tidak
adil dimana negara terbelakang menjual barang mentah dengan harga relatif murah sehingga
menyebabkan eksploitasi petani. Masuknya sistem ekonomi perdagangan telah menyebabkan petani
subsisten menjadi petani komersil yang ternyata merupakan bentuk eksploitasi tenaga kerja secara
tidak langsung. Perkembangan selanjutnya telah melahirkan industri baru yang memerlukan
spesialisasi tenaga kerja. Kapitalisme yang menitikberatkan pada spesialisasi tenaga kerja dan
teknologi tinggi membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan menguasai teknologi. Keadaan ini
sangat sulit terwujud pada negara pinggiran. Proses ini hanya akan melahirkan tenaga kerja kasar
pada negara pinggiran, sedangkan tenaga kerja terampil dikuasai oleh negara pusat.
Ketidakberdayaan tenaga kerja pada negara pinggiran merupakan keuntungan bagi negara pusat
untuk melakukan eksploitasi. Ekspansi kapitalisme melalui investasi modal dan teknologi tinggi pada
negara pinggiran disebabkan oleh tersedianya tenaga kerja yang murah.
29
Berdasarkan perspektif Smithian, sangat tidak mungkin untuk menyetujui pandangan Frank
yang diadopsi oleh Wallerstein bahwa kapitalisme pada negara pinggiran sebagai akibat langsung
dari penggabungan negara pinggiran dengan pasar dunia. Frank menjelaskan bahwa keterbelakangan
yang terjadi pada negara pinggiran sebagai dampak transfer surplus dari pinggiran ke pusat, dan
ketergantungan negara pinggiran dalam pembagian kerja dunia. Tampak disini adanya kekuatan
politik pada negara pusat untuk menekan negara pinggiran.
Kapitalisme yang menjalar hingga negara terbelakang menjadikan struktur sosial di negara
terbelakang juga berubah. Kapitalisme memunculkan kelas sosial baru di negara terbelakang yaitu
kelas pemilik modal. Berkembangnya ekonomi kapitalis ini didukung oleh sistem kekerabatan antara
mereka. Kelas borjuis di negara terbelakang juga dapat dengan mudah memanfaatkan dukungan
politik dari pemerintah. Sebagai sebuah kesatuan ekonomi dunia, asumsi Wallerstein akan adanya
perlawanan dari negara terbelakang sebagai kelas tertindas oleh negara pusat menjadi hal yang tidak
mungkin terjadi. Kapitalisme telah menciptakan kelompok sosial borjuis di negara terbelakang yang
juga menggunakan kapitalisme untuk meningkatkan keuntungan ekonomi mereka, sehingga sangat
tidak mungkin mereka melakukan perjuangan kelas. Gagasan Marx tentang tahapan revolusi ternyata
runtuh. Marx menyatakan bahwa negara terbelakang akan memerlukan dua tahap revolusi, yaitu
revolusi borjuis dan revolusi sosialis. Revolusi borjuis dilakukan oleh kelas borjuis nasional untuk
melawan penindasan oleh negara maju dan kemudian baru berlanjut pada revolusi sosialis oleh kelas
proletar. Asumsi ini runtuh karena kelas borjuis nasional ternyata tidak mampu lagi melaksanakan
tugasnya sebagai pembebas kelas proletar dari eksploitasi kapitalisme, karena kelas borjuis nasional
sendiri merupakan bentukan dan alat kapitalisme negara maju.
Pendapat yang menyatakan ekonomi sosialis sebagai perlawanan terhadap kapitalisme
ternyata dibantah oleh Wallerstein. Menurut Wallerstein kepemilikan negara tidak ubahnya sebagai
tahapan menuju kapitalisme. Wallerstein tidak memandang adanya perbedaan tentang siapa yang
menguasai faktor produksi entah individu, sekelompok orang atau bahkan negara. Negara dianggap
sebagai sebuah badan usaha bersama apabila telah masuk dalam sistem ekonomi kapitalis dunia.
2.7. STRUKTUR KETERGANTUNGAN DAN MODA PRODUKSI
Kapitalisme yang pada awalnya hanyalah perubahan cara produksi dari produksi untuk
dipakai ke produksi untuk dijual, telah merambah jauh jauh menjadi dibolehkannya pemilikan
barang sebanyak-banyaknya, bersama-sama juga mengembangkan individualisme, komersialisme,
liberalisasi, dan pasar bebas. Kapitalisme tidak hanya merubah cara-cara produksi atau sistem
ekonomi saja, namun bahkan memasuki segala aspek kehidupan dan pranata dalam kehidupan
masyarakat, dari hubungan antar negara, bahkan sampai ke tingkat antar individu. Sehingga itulah,
30
kita mengenal tidak hanya perusahaan-perusahaan kapitalis, tapi juga struktur masyarakat dan
bentuk negara.
Perubahan moda produksi dari yang semula berbasiskan pertanian menjadi industri menjadi
sesuatu yang menggejala di Indonesia. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini
bercirikan modernisasi dengan tolok ukur pertumbuhan ekonomi semakin membenarkan proses
perubahan moda produksi ini. Pada awal pemerintahan orde baru, kebijakan pembangunan
Indonesia masih bertupu pada sektor pertanian yang seiring berjalannya waktu terus bergeser
menuju sektor industri. Diantara kedua fase tersebut terdapat fase antara yaitu pembangunan yang
bertumpu pada sektor pertanian yang mampu menopang industri.
Sosiologi Kerja dan Industri
Perkembangan masyarakat pada abad 20 ini tidak dapat lepas dari berbagai macam
pengaruh masuknya introduksi teknologi dan tata nilai budaya yang baru. Industrialisasi berkembang
seiring revolusi industri yang berkembang di kawasan eropa yang ditandai dengan penemuan mesin-
mesin industri. Perubahan struktur masyarakat yang semula berbasis agraris menjadi berbasis
industri menyebabkan lahirnya topik kajian sosiologi yaitu sosiologi kerja dan industri. Topik kajian ini
dapat dibagi menjadi dua pendekatan, yaitu pendekatan teoritis dan pendekatan ranah studi. Secara
teoritis, terdapat enam teori besar yang dapat menjadi dasar pemikiran sosiologi kerja dan industri
sedangkan ranah studi dapat dibedakan menjadi lima bagian. Teori yang menjadi dasar pemikiran
sosiologi kerja dan industri antara lain manajerial psikologistik, Durkheim, interaksionisme,
Webberian, Marxian dan psotmodern. Sedangkan ranah studinya dibagi menjadi hubungan
pekerjaan, organisasi, masyarakat industri kapitalis, pekerjaan dan kerja.
Moda Produksi Ala Marx
Kapitalisme telah menyebabkan eksploitasi tenaga kerja besar-besaran. Upah yang diberikan
oleh pemilik modal hanyalah upah semu saja, karena nilai lebih yang dihasilkan oleh barang industri
tidaklah seimbang dengan “pengorbanan” yang dilakukan oleh buruh. Kapitalisme juga telah
membelenggu krativitas buruh. Terlebih dengan adanya introduksi mesin-mesin industri menjadikan
buruh semakin tersisih dan persaingan diantara buruh menjadi ketat. Akibat dari semua ini adalah
ketidakberdayaan buruh dalam menolak upah rendah, yang ada adalah keterpaksaan bekerja dengan
upah rendah daripada harus tidak menerima upah sama sekali.
Marx melihat pada moda produksi kapitalis bersifat labil dan pada akhirnya akan hilang. Hal
ini disebabkan pola hubungan antara kaum kapitalis modal dan kaum buruh bercirikan pertentangan
akibat eksploitasi besar-besaran oleh kaum kapitalis. Kaum buruh merupakan kaum proletar yang
kesemuanya telah menjadi “korban” eksploitasi kaum borjuis. Marx meramalkan akan terjadi suatu
31
keadaan dimana terjadi kesadaran kelas di kalangan kaum proletar. Kesadaran kelas ini membawa
dampak pada adanya kemauan untuk melakukan perjuangan kelas untuk melepaskan diri dari
eksploitasi. Perjuangan ini dilakukan melalui revolusi. Marx menyatakan bahwa negara terbelakang
akan memerlukan dua tahap revolusi, yaitu revolusi borjuis dan revolusi sosialis. Revolusi borjuis
dilakukan oleh kelas borjuis nasional untuk melawan penindasan oleh negara maju dan kemudian
baru berlanjut pada revolusi sosialis oleh kelas proletar. Asumsi ini runtuh karena kelas borjuis
nasional ternyata tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya sebagai pembebas kelas proletar dari
eksploitasi kapitalisme, karena kelas borjuis nasional sendiri merupakan bentukan dan alat
kapitalisme negara maju.
Moda Produksi
Moda produksi merupakan gabungan antara kekuasaan produksi (forces of production) dan
hubungan produksi (relation of production). Unsur hubungan produksi disini menunjuk pada
hubungan institusional atau hubungan sosial dalam masyarakat yang pada artinya menunjuk pada
struktur sosial. Karakteristik hubungan produksi ini sekaligus merupakan faktor penciri yang
membedakan satu dan tipe lain dari moda produksi dalam masyarakat.
Tipe-tipe moda produksi, antara lain :
1) Produksi subsisten, yaitu usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi
terbatas dalam keluarga inti dan hubungan antara pekerja bersifat egaliter.
2) Produksi komersialis, yaitu usaha pertanian ataupun luar pertanian yang sudah berorientasi
pasar dimana hubungan produksi menunjuk pada gejala eksploitasi surplus melalui ikatan
kekerabatan dan hubungan sosial antara pekerja yang umumnya masih kerabat bersifat
egaliter namun kompetitif.
3) Produksi kapitalis, yaitu usaha padat modal berorientasi pasar dimana hubungan produksi
mencakup struktur buruh-majikan atau tenaga kerja-pemilik modal.
Struktur Ketergantungan dan Dinamika Pembangunan Pertanian
Dari ulasan yang disampaikan di depan tampak bahwa moda produksi yang berubah menuju
moda produksi kapitalis menimbulkan struktur ketergantungan. Moda produksi kapitalis yang
dicirikan oleh tumbuhnya industri besar yang padat modal dan teknologi menyebabkan
ketergantungan terhadap investasi. Buruh ditempatkan pada posisi tergantung dengan kaum pemilik
modal. Hal serupa juga terjadi pada negara terbelakang yang juga tergantung dengan negara maju
sebagai akibat investasi yang telah diberikan oleh negara maju.
Moda produksi kapitalis tidak mampu menciptakan kemandirian, namun menciptakan
struktur ketergantungan. Moda produksi kapitalis yang juga melanda pedesaan kita melalui revolusi
32
hijau telah menyebabkan petani menjadi tergantung dengan pemerintah melalui kebijakan subsidi
sarana produksi. Ketergantungan petani terhadap pasar juga semakin meningkat dengan perubahan
moda produksi. Moda produksi kapitalis sangat tergantung dengan kondisi pasar yang berupa
sensitivitas terhadap permintaan dan penawaran. Selama orde baru, pembangunan pertanian
Indonesia ternyata telah menggeser moda produksi dari pra kapitalis menuju kapitalis. Disparitas
antara kaya dan miskin semakin lebar, struktur agraria menjadi sangat timpang yang menyebabkan
semakin meningkatnya jumlah “petani tanpa tanah”.
Pertanian yang menggunakan pendekatan industri ini tumbuh dengan baik karena didukung
oleh teknologi dan modal yang cukup kuat. Revolusi hijau yang berusaha meningkatkan produktivitas
lahan dengan menggunakan teknologi baru baik berupa benih, pupuk, pestisida ataupun penggunaan
mesin pertanian yang menggantikan tenaga kerja manusia. Pertimbangan efisiensi menyebabkan
penggunaan mesin-mesin pertanian lebih menjadi pilihan karena biaya operasional yang murah dan
hasil yang lebih besar.
Transformasi pertanian membawa dampak pertanian Indonesia yang semula padat karya
menjadi padat modal. Konsekuensinya adalah tenaga kerja yang semula mampu ditampung pada
sektor pertanian harus beralih ke sektor lainnya. Perpindahan tenaga kerja ini tidak semudah
membalik telapak tangan karena tidak semua tenaga kerja pertanian memiliki kemampuan untuk
bekerja di luar sektor pertanian apalagi industri. Akhirnya semua bermuara pada masalah baru, yaitu
kemiskinan.
2.8. PARTISIPASI, PEMBERDAYAAN DAN PEMBANGUNAN
Usman (2003) mengungkapkan bahwa pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara pada
saat ini tidak akan dapat lepas dari pengaruh globalisasi yang melanda dunia. Persolan politik dan
ekonomi tidak dapat lagi hanya dipandang sebagai persoalan nasional. Keterkaitan antar negara
menjadi persoalan yang patut untuk diperhitungkan. Masalah ekonomi atau politik yang dihadapi
oleh satu negara membawa imbas bagi negara lainnya dan permasalahan tersebut akan berkembang
menjadi masalah internasional.
Permasalahan yang muncul adalah “kekhasan” suatu masyarakat semakin lama semakin
pudar seiring model pembangunan modernisasi yang tidak ubahnya sama dengan westernisasi.
Dunia akan menjadi sebuah kesatuan budaya yang lahir melalui gejala globalisasi. Permasalahan
lainnya adalah bagaimana potensi lokal akan dapat berkembang atau mungkin sekedar bertahan di
tengah gencarnya serangan globalisasi. Pola pembangunan yang bercirikan lokalitas apakah masih
akan dapat disandingkan dengan globalisasi. Sedangkan permasalahan terakhir mengenai posisi
pemerintah dalam pembangunan nasional. Pemerintah memiliki posisi strategis baik sebagai
33
pelaksana kebijakan pembangunan, konsumen sekaligus produsen dan investor. Pemerintah juga
memiliki peran sebagai pengelola perusahaan negara yang bertujuan untuk mengelola sumberdaya
dan pemberi pelayanan publik terutama yang menyangkut “hajat hidup masyarakat” serta sebagai
regulator diantara komponen masyarakat. Peran pemerintah yang sedemikian penting dan rumit
semakin sulit seiring dengan gejala globalisasi dimana kepentingan negara tetap harus
memperhatikan kepentingan internasional. Pengalaman yang selama ini terjadi adalah dependensi
pemerintah justru semakin berkurang dan kalah oleh kepentingan negara donor serta perusahaan
transnasional.
Salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh Bangsa Indonesia dalam sistem ekonomi
globalisasi adalah dengan menciptakan produk unggulan yang bukan hasil “bantuan” negara lain,
sehingga mampunyai bargaining position yang kuat dalam perekonomian global. Modernisasi yang
selama ini dianut oleh pemerintah perlu untuk diorientasi kembali. Pendekatan pembangunan yang
lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dengan teknologi tinggi dan modal besar perlu
diubah menjadi pembangunan dengan wawasan lokalitas. Produk yang dihasilkan pun tidak perlu
membutuhkan teknologi tinggi yang praktis dikuasai oleh negara maju. Teknologi tepat guna menjadi
suatu solusi alternatif. Pembangunan yang bersifat desentralisasi tersebut memiliki arti yang cukup
baik dalam pembangunan nasional. Masing-masing daerah akan dapat mengembangkan potensi
unggulan tiap daerah serta menggunakan pendekatan pembangunan yang bercirikan lokalitas dan
menghargai indegenous knowledge.
Pendekatan pembangunan yang berbasis lokalitas bukan sekedar duplikasi pembangunan
nasional semata. Pembangunan daerah juga bukan “miniatur” pembangunan nasional, namun
pembangunan di tiap-tiap daerah akan memiliki ciri dan watak tersendiri sesuai dengan potensi, nilai
budaya daerah tersebut. Konsep pembangunan ini memerlukan kerjasama yang saling bertautan
antar instansi sehingga tidak dijumpai saling tumpang tindih antar instansi.
Pembangunan pedesaan yang selama ini “terpisahkan” dari pembangunan perkotaan juga
perlu untuk direorientasi. Keterkaitan desa-kota menjadi aspek yang sangat penting untuk menjadi
perhatian dalam pembangunan nasional. Hubungan desa dan kota tidak dapat dilihat sebagai bagian
yang terpisah, namun sebaliknya pola hubungan antara keduanya bersifat resiprokal.
Partisipasi
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan mutlak diperlukan, tanpa adanya partisipasi
masyarakat pembangunan hanyalah menjadikan masyarakat sebagai objek semata. Salah satu kritik
adalah masyarakat merasa “tidak memiliki” dan “acuh tak acuh” terhadap program pembangunan
yang ada. Penempatan masyarakat sebagai subjek pembangunan mutlak diperlukan sehingga
masyarakat akan dapat berperan serta secara aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga
34
monitoring dan evaluasi pembangunan. Terlebih apabila kita akan melakukan pendekatan
pembangunan dengan semangat lokalitas. Masyarakat lokal menjadi bagian yang paling memahami
keadaan daerahnya tentu akan mampu memberikan masukan yang sangat berharga. Masyarakat
loka denga pengetahuan serta pengalamannya menjadi modal yang sangat besar dalam
melaksanakan pembangunan. Masyarakat lokal-lah yang mengetahui apa permasalahan yang
dihadapi serta juga potensi yang dimiliki oleh daerahnya. Bahkan pula mereka akan mempunyai
“pengetahuan lokal” untuk mengatasi masalah yang dihadapinya tersebut.
Midgley (1986) menyatakan bahwa partisipasi bukan hanya sekedar salah satu tujuan dari
pembangunan sosial tetapi merupakan bagian yang integral dalam proses pembangunan sosial.
Partisipasi masyarakat berarti eksistensi manusia seutuhnya. Tuntutan akan partisipasi masyarakat
semakin menggejala seiring kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara. Kegagalan
pembangunan berperspektif modernisasi yang mengabaikan partisipasi negara miskin (pemerintah
dan masyarakat) menjadi momentum yang berharga dalam tuntutan peningkatan partisipasi negara
miskin, tentu saja termasuk di dalamnya adalah masyarakat. Tuntutan ini semakin kuat seiring
semakin kuatnya negara menekan kebebasan masyarakat. Post-modernisme dapat dikatakan sebagai
bentuk perlawanan terhadap modernisme yang dianggap telah banyak memberikan dampak negatif
daripada positif bagi pembangunan di banyak negara berkembang. Post-modernisme bukan hanya
bentuk perlawanan melainkan memberikan jawaban atau alternatif model yang dirasa lebih tepat.
Post-modernisme merupakan model pembangunan alternatif yang ditawarkan oleh kalangan ilmuan
sosial dan LSM. Isu strategis yang diusung antara lain anti kapitalisme, ekologi, feminisme,
demokratisasi dan lain sebagainya. Modernisme dianggap tidak mampu membawa isu-isu tersebut
dalam proses pembangunan dan bahkan dianggap telah menghalangi perkembangan isu strategis itu
sendiri. Post-modernisme dinyatakan sebagai model pembangunan alternatif karena memberikan
penawaran konsep yang jauh berbeda dengan modernisme. Tekanan utama yang dibawa oleh post-
modernisme terbagi dalam tiga aspek, yaitu agen pembangunan, metode dan tujuan pembangunan
itu sendiri.
Pembangunan dengan basis pertumbuhan ekonomi yang diusung oleh paradigma
modernisme memiliki banyak kekurangan dan dampak negatif. Pendekatan ini hanya
menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan indikator GDP yang tidak
mencerminkan adanya pemerataan. Kesenjangan antar penduduk mungkin saja terjadi sehingga
indikator pertumbuhan ekonomi hanya mencerminkan keberhasilan semu saja. Akumulasi modal
yang berhasil dihimpun sebagian besar merupakan investasi asing yang semakin memuluskan
jalannya kapitalisme global.
Perkembangan paradigma pembangunan alternatif sebagai bentuk kritik sekaligus
perlawanan modernisme semakin pesat seiring dengan semakin berkembangnya LSM baik dari
kuantitas maupun kualitas. Posisi tawar LSM yang semakin baik terhadap pemerintah memberikan
35
kontribusi berupa diterimanya ide-ide pembangunan yang selama ini mereka dengungkan. Faktor
yang kedua adalah meningkatnya kesadaran akan pembangunan berkelanjutan yang peka terhadap
isu ekologi. Modernisme selama ini dianggap sebagai pembawa kerusakan lingkungan dengan
industrialisasinya. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat ternyata diiringi pula oleh meningkatnya
kerusakan lingkungan. Kegagalan paradigma pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan
ekonomi pada beberapa negara berkembang, terlebih setelah terjadinya krisis moneter pada tahun
1990-an.
Paradigma pembangunan alternatif memiliki banyak varian dan model yang dikembangkan
oleh tiap-tiap ahli maupun LSM. Turunan dari model pembangunan alternatif ini semakin beragam
apabila dihadapkan pada permasalahan lokalitas yang berbeda di tiap wilayah. Kelebihan dari
paradigma pembangunan alternatif ini adalah sifatnya yang mampu menyesuaikan dengan kondisi
lokalitas yang ada. Konsekuensinya adalah bermunculannya model-model pembangunan dalam skala
mikro yang sangat sulit untuk diangkat dalam tataran makro.
Paradigma pembangunan alternatif dapat dikatakan sebagai sebuah proses transformasi
sosial dengan sasaran peningkatan kapasitas kelembagaan dan pembangunan manusia. Sasaran
inilah yang bertolak belakang dengan pembangunan berbasiskan pertumbuhan. Perbedaan
mendasar lainnya adalah pada sumberdaya yang digunakan dalam proses pelaksanaannya.
Pembangunan dengan konsep pertumbuhan mengedepankan arti penting dari modal, teknologi,
perdagangan, investasi asing serta ilmu pengetahuan modern yang biasanya berkembang dari luar
komunitas.
Post-modernisme berkembang dari realitas sederhana, dimana untuk mencapai gaya hidup
masyarakat menengah sebagai gaya hidup dunia sangatlah tidak mungkin. Paradigma ini merupakan
akumulasi dari penolakan pembangunan yang semakin menguat pada tahun 1980-an. Post-
modernisme diartikan sebagai penolakan terhadap upaya homogenisasi yang merupakan dampak
dari pembangunan ala barat. Semua tatanan sosial, budaya, selera dan gaya hidup seluruh manusia
di dunia ini akan dibawa pada sebuah nilai tunggal. Proses ini sebenarnya telah sedikit banyak
menunjukkan keberhasilannya saat ini. Globalisasi yang dapat diartikan sebagai bentuk negara tanpa
batas sehingga semua informasi dapat mengalir melintasi ruang dan waktu dengan begitu
mudahnya.
Pembangunan ala barat dapat berkembang dengan adanya dukungan dari perusahaan multi
nasional yang menghegemoni hingga ke seluruh pelosok negeri dengan model kapitalismenya.
Homogenisasi ini membawa dampak pada perubahan seluruh aspek pada tiap sistem sosial yang ada.
Post-modernisme dapat dikatakan sebagai bentuk neo-tradisionalisme yang membawa nilai-nilai
budaya tradisional untuk “melawan” pembangunan ala barat.
36
Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan sudah lahir sejak revolusi industri atau bahkan ada juga yang
menyebut sejak lahirnya Eropa modern pada abad 18 atau zaman renaissance, yaitu ketika orang
mulai mempertanyakan determenisme keagamaan. Kalau kemudian pemberdayaan dipandang
sebagai upaya untuk keluar atau melawan determinisme gereja serta monarki, maka pendapat
terakhir tersebut mungkinlah benar.
Konsep pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang kemudian mulai
mempertanyakan makna pembangunan. Di Eropa, wacana pemberdayaan muncul ketika
industriliasiasi menciptakan masyarakat penguasa faktor produksi dan masyarakat yang pekerja yang
dikuasai. Sedangkan di negara-negara sedang berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika
pembangunan menimbulkan disinteraksi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumber daya alam,
dan alienasi masyarakat dari faktor produksi oleh penguasa (Prijono, 1996).
Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model
industralisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun sebagai kerangka
logik sebagai berikut; (1). Proses pemusatan kekuasaan terbangunan dari pemusatan penguasaan
faktor produksi; (2). Pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan
masyarakat pengusaha pinggiran; (3). Keuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem
pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi yang manipulatif, untuk memperkuat
legitimasi; (4). Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum sistem politik dan ideologi, secara
sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat
tunadaya. Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan disisi lain
manusia dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan
pembebesan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless).
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai perolehan kekuatan dan akses terhadap sumber daya
untuk mencari nafkah. Bahkan dalam perspektif ilmu politik, kekuatan menyangkut pada
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Istilah pemberdayaan sering dipakai untuk
menggambarkan keadaan seperti yang diinginkan oleh individu, dalam keadaan tersebut masing-
masing individu mempunyai pilihan dan kontrol pada semua aspek kehidupannya. Konsep ini
merupakan bentuk penghargaan terhada manusia atau dengan kata lain “memanusiakan manusia”.
Melalui pemberdayaan akan timbul pergeseran peran dari semula “korban pembangunan” menjadi
“pelaku pembangunan”. Perpektif pembangunan memandang pemberdayaan sebagai sebuah
konsep yang sangat luas. Pearse dan Stiefel dalam Prijono (1996) menjelaskan bahwa pemberdayaan
partisipatif meliputi menghormati perbedaan, kearifan lokal, dekonsentrasi kekuatan dan
peningkatan kemandirian.
37
Partisipasi dan Pemberdayaan
Partisipasi dan pemberdayaan merupakan dua buah konsep yang saling berkaitan. Untuk
menumbuhkan partisipasi masyarakat diperlukan upaya berupa pemberdayaan. Masyarakat yang
dikenal “tidak berdaya” perlu untuk dibuat “berdaya” dengan menggunakan berbagai model
pemberdayaan. Dengan proses pemberdayaan ini diharapkan partisipasi masyarakat akan
meningkat. Partisipasi yang lemah dapat disebabkan oleh kekurangan kapasitas dalam masyarakat
tersebut, sehingga peningkatan kapasitas perlu dilakukan.
Pemberdayaan yang memiliki arti sangat luas tersebut memberikan keleluasaan dalam
pemahaman dan juga pemilihan model pelaksanannya sehingga variasi di tingkat lokalitas sangat
mungkin terjadi. Konsep partisipasi dalam pembangunan di Indonesia mempunyai tantangan yang
sangat besar. Model pembangunan yang telah kita jalani selama ini tidak memberikan kesempatan
pada lahirnya partisipasi masyarakat. Oleh karenanya diperlukan upaya “membangkitkan partisipasi”
masyarakat tersebut. Solusi yang bisa dilakukan adalah dengan memberdayakan masyarakat
sehingga masyarakat akan berpartisipasi secara langsung terhadap pembangunan.
38
BAB IIIKESIMPULAN
Saat ini paradigma pembangunan politik mengacu pada sebuah pembangunan ekonomi atau
modernisasi. Berdasarkan pendekatan deskriptif analitis, menganggap bahwa perbedaan antara
Negara dunia pertama atau Negara maju dengan Negara dunia ketiga atau Negara berkembang
dalam hal pembangunan politik adalah dikarenakan Negara maju lebih stabil, tingkat kemakmuran
yang tinggi dan merata, sehingga dapat dengan mudah dalam hal pembangunan politik.
Para penganut paham modernisasi menyatakan bahwa untuk dapat mencapai kemajuan
suatu bangsa, khususnya bagi Negara dunia ketiga adalah dengan cara modernisasi dan mau
membuka diri terhadap dunia luar secara bebas. Isu ini seolah menjadi senjata bagi Negara maju
untuk melakukan ekspansi kepada Negara berkembang dan Negara miskin, baik itu ekspansi
sumberdaya maupun ekspansi ideologi.
Pertumbuhan ekonomi memiliki kaitan yang erat dengan pembangunan politik yang
dijalankan oleh suatu negara. Kebijakan pembangunan membawa dampak pada pertumbuhan
ekonomi suatu negara, namun demikian pertumbuhan ekonomi semata tidak dapat dijadikan ukuran
keberhasilan sebuah pembangunan.
Pertumbuhan ekonomi pada negara terbelakang dapat dijelaskan sebagai suatu bentuk
ketergantungan dengan negara maju. Wujud ketergantungan tersebut kini dalam bentuk kesatuan
ekonomi kapitalis dunia. Pembangunan politik negara terbelakang memiliki peran dalam
menentukan pertumbuhan ekonomi. Negara terbelakang hendaknya mampu menghasilkan jenis
komoditas yang beragam, sehingga tidak tergantung pada hasil perdagangan (yang tidak seimbang)
satu jenis komoditas saja.
Kapitalisme yang telah melanda seluruh dunia mau tidak mau harus dilawan dengan
mewujudkan sistem ekonomi yang mandiri. Sistem ekonomi sosialis yang selama ini dianggap sebagai
tandingan dari kepitalisme ternyata menurut Wallerstein sama halnya dengan kapitalisme. Negara
dipandang sebagai sebuah badan usaha bersama yang menguasai alat produksi dan melakukan
eksploitasi. Kemandirian ekonomi harus menjadi konsep pembangunan yang dianut negara
terbelakang untuk melawan kapitalisme.
Berbagai ulasan tentang modernisasi yang telah disajikan di depan membawa kita pada
pertanyaan akhir yang layak untuk didiskusikan. Modernisasi masih bisakah dipertahankan sebagai
perspektif pembangunan bangsa kita. Modernisasi tentu harus kita oleh lebih jauh lagi dan tidak
menerimanya sebagai teori Tuhan yang berharga mati. Perbaikan-perbaikan konsep modernisasi
yang diselaraskan dengan budaya serta pengetahuan lokal masyarakat akan menjadi sebuah konsep
pembangunan yang berwawasan lingkungan dan kemanusiaan.
39
DAFTAR PUSTAKA
Alvin Y. SO Suwarsono,1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. LP3ES, Jakarta.
Andrew, Webster (1984). Introduction to the Sociology of Development. Cambridge: Macmillan.
Anirudh Krishna, Norman Uphoff dan Milton J. Esman (Eds). 1997. Reasons for Hope; InstructiveExperiences in Rural Development. West Hartford. Kumarian Press.
Bechtold, Karl Heinz W (eds). 1988. Politik dan Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian. YayasanObor Indonesia. Jakarta.
Brenner, Robert. 1992. The Origins of Capitalist Development; A Critique of Neo-Smithian Marxism.hal 54-57 dalam Hamza Alavi dan Teodor Shanin (eds). Introduction to The Sociology ofDeveloping Societies.
Cardoso, FH. 1982. Dependency and Development in Latin America in Introduction to The Sociology ofDeveloping Countries. Monthly Review Express. New York.
Colleta, Nat J dan Michelle LC. 2000. Violent Conflict and The Transformation of Social Capital.Washington DC. World Bank.
Dasgupta, P. 1997. Social Capital and Economic Performance. Washinton DC. The World Bank.
Dove, Michael R (ed). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. YayasanObor Indonesia, Jakarta.
Dube, S.C. 1988. Modernization and Development: The Search for Alternative Paradigms. Zed BooksLtd, London.
Erich Weede dan Horst Tiefenbach. Three Dependency Explanations of Economic Growth; A CriticalEvaluation. European Journal of Political Research. Volume IX, Number 4. Desember 1981.
F. Magnis Suseno. 1998. Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme.Jakarta. Gramedia.
Frank, AG. 1969. The Development of Underdevelopment in Latin America; Underdevelopment orRevolution. Monthly Review Express. New York.
Friedman, John. 1991. Empowerment; The Politics of Alternative Development. Cambridge. Blackwell.
Fukuyama, F. 1997. Social Capital. George Mason University; Institute of Public Policy.
Galtung, J. 1980. A Structural Theory of Imperialism in Dialectics of third World Development.Montelair. New York.
Garna, Y. K. 1999. Teori Sosial dan Pembangunan Indonesia: Suatu Kajian melalui Diskusi. Bandung:Primaco Academika.
40
Immanuel Wallerstein. 1982, The Rise and Future Demise of World Capitalist System; Concepts forComparative Analysis. in Hamza Alavi and Theodor Shanin. Introduction to The sociology ofDeveloping Societies.
Israel, Arturo. 1990. Pengembangan Kelembagaan; Pengalaman Proyek-Proyek Bank Dunia. Jakarta.LP3ES.
Killerby, Paul. Social Capital, Participation and Sustainable Development in International CommunityDevelopment Conference on April 2003. Rotorda. New Zealand.
Makol Abdul, Pute @ Rahimah. 1992. Capital, The State and The Emergense of Class Relations; TheCase of Rural Community in Southern Philippines. PhD Thesis. Universiti Pertanian Malaysia.
Midgley, James. 1986. Community Participation, Social Development and The State. London.Metheun.
Narayan, D. 1999. Bonds and Bridges; Social Capital and Poverty. Washington DC. World Bank.
Neufeldt,V. and D.B. Guralnik. 1988. Webster’s New World Dictionary of American English. Webter’sNew World. New York.
Prijono, OS dan AMW Pranarka. 1996. Pemberdayaan; Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta.CSIS.
Robert. A. Denemark et al. 2000. World System History: The Social Science of Long Term Change.London. Routledge.
Roxbourgh, I. 1986. Teori-Teori Keterbelakangan. LP3ES. Jakarta.
Sajogyo. 1982. Modernization Without Development. The Journal of Social Studies. Bacca,Bangladesh.
Santos, TD. 1970. The Structure of Dependence. American Economic Review, Volume 60, Nomor 2.
Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara SedangBerkembang. PT. Gramedia, Jakarta.
Spencer, Herbert.1963. ‘The Evolution of Societies’. Pp 9-13 in Etzioni, A. & Halevy, Eva Etzioni- (eds).Social Changes: Sources, Patterns and Consequences. Basic Books, New York.
T. Watson. 1997. Sociology, Work and Industry. London; Routledge and Vengan Paul.
Uphoff, Norman. 1986. Local Instutional Development; An Alatical Sourcebook. West Hartford.Kumarian Press.
Usman, Sunyoto. 2003. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
________. 1984. Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan Sosiologi. Pustaka Pulsar. Jakarta.