undang-undang dasar 1945

Upload: i-gusti-ngurah-santika-spd

Post on 18-Oct-2015

109 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945Oleh: I Gusti Ngurah Santika, SPdA. Sejarah singkat perjalanan UUD 1945

Dengan diserangnya Pearl Harbour oleh Angkatan Udara Jepang, maka sejak tanggal 8 Desember 1941 terjadi peperangan antara Jepang dengan Amerika Serikat serta sekutu-sekutunya. Dalam waktu yang relatif singkat telah jatuh jajahan Inggris, Amerika Serikat dan Belanda. Pada tanggal 8 Maret 1942 Angkatan Perang Kerajaan Belanda yang berada di Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang (Soemantri,1979;14). Pesan radio terakhir dari kawasan yang dikuasai Belanda berbunyi: Kami mengundurkan diri. Selamat tinggal, sampai jumpa kelak disaat-saat yang lebih menyenangkan (Tahija,1997;38). Pernyataan Belanda tersebut tidak lain merupakan suatu hinaan terhadap bangsa Indonesia, yang telah dijajahnya selama 3 abad di bawah penindasan dengan sistem kerja rodi yang memaksakan penduduk untuk bekerja di bawah pemerintahan Belanda.Perginya Belanda dari bumi pertiwi ini tentunya membawa suatu harapan yang cukup besar, terutama untuk mencapai kemerdekaan yang memang sudah lama sekali didambakan oleh bangsa Indonesia, setelah sekian lama berjuang untuk mengusirnya dengan berbagai macam cara terutama lewat pemberontakan bersenjata selain dengan cara-cara diplomasi. Bahkan, Jepang yang telah berhasil menaklukan Belanda menyatakan kepada bangsa Indonesia dengan penuh percaya diri serta meyakinkan, bahwa Jepang merupakan saudara tua daripada bangsa Indonesia yang datang hanya untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penindasan Belanda selama ini. Memang pada awal mula pada masa pendudukan bala tentara Jepang, bangsa Indonesia sangat mempercayai terhadap propaganda-propaganda yang dilancarkan oleh Jepang pada waktu kedatangannya 8 Maret 1942. Berbagai taktik yang dilakukan oleh Jepang untuk menarik hati bangsa Indonesia, seraya dengan tujuan untuk mendapatkan suatu dukungan yang luas daripada segenap komponen bangsa Indonesia dalam perang Asia Timur Raya. Berikut ini merupakan taktik yang merupakan tipu muslihat daripada bangsa Jepang untuk menarik simpati rakyat Indonesia, dengan harapan bahwa bangsa Indonesia akan mendukung daripada tindakan Jepang dalam menghadapi kekuatan Sekutu pada saat berlangsungnya perang dunia kedua, yaitu.a. Jepang mempropagandakan bahwa kedatangannya untuk menolong bangsa-bangsa terjajah dan menyelenggarakan kemakmuran bersama dalam Asia Raya.b. Pemimpin Indonesia yang dibuang dan ditawan Belanda dibebaskan.c. Kedatangan Jepang disambut dengan pengibaran bendera merah putih di samping bendera Jepang dan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya (karena dikira akan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan sesuai dengan ramalan Jayabaya). Tetapi ternyata rakyat Indonesia tertipu, karena kemudian segera keluar larangan mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya (Rindjin,2009;42-43).Terkait dengan tujuan kedatanganan bangsa Jepang ke Indonesia, seperti dinyatakan di atas yang disertai dengan berbagai janji yang benar-benar mampu untuk sementara waktu meyakinkan bangsa Indonesia, sebenarnya hanyalah merupakan suatu tipu muslihat daripada bangsa Jepang itu sendiri untuk menutupi kedok merupakan tujuan yang sebenarnya. Berbagai tindakan Jepang yang begitu ramah pada awalnya merupakan hanya sebuah taktik semata, tidak lain hal ini dilakukan untuk merebut hati bangsa Indonesia dalam mendukung Jepang terutama dalam kaitannya dengan perang Asia Raya yang memang sedang berlangsung pada waktu itu. Namun, jika kita teliti kembali secara saksama terutama dengan bukti-bukti sejarah, sebenarnya tujuan daripada kedatangan Jepang ke Indonesia adalah mengeksploitasi kekayaan daerah yang dijajah (Sukirno,2010;5). Bahkan, kedudukan Jepang yang hanya dalam waktu 3 Tahun saja, namun merupakan suatu penindasan terkejam yang mungkin pernah dialami bangsa Indonesia selama dijajah oleh bangsa-bangsa lain. Kekejaman Jepang terhadap rakyat Indonesia, dapat kita temukan terhadap sistem kerja paksa yang diterapkan oleh Jepang selama menjajah bangsa Indonesia yaitu dengan nama romusa. Soekarno (1989;25) yang jauh-jauh hari sebelum kedatangan bangsa Jepang ke Indonesia telah menyatakan dengan tegas tentang kejamnya suatu penjajahan. Dalam pidato pembelaannya di Landraad Bandung, menurut Soekarno bahwa tujuan penjajahan yang sesungguhnya ialah memeras keuntungan dari suatu bangsa, yang lebih rendah tingkat kemajuannya. Bahkan, dengan lebih rendahnya tingkat kemajuan suatu bangsa yang dijajah, baik dilihat dari sudut ekonomi, maupun pendidikan juga menyebabkan rendahnya kesadaran rakyat untuk memiliki kehendak bersama dalam membangun kehidupan suatu bangsa dalam arti politis bukan sebagai rakyat jajahan. Namun, kemiskinan dan tertindasnya rakyat Indonesia merupakan awal mula daripada perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajah, untuk mendapatkan sebuah kemerdekaan yang abadi, meskipun berbagai perlawanan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia selalu kandas atau mengalami suatu kegagalan yang berarti tidak hanya mengorbankan harta benda namun juga jiwa dan raga. Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan kegagalan perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah ialah karena kurangnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam menghadapi penjajah, selain itu adanya politik devide et impera(Slameto,2010;77) dari penjajah, di samping itu disebabkan oleh karena kalah modern dalam persenjataan antar penjajah dengan rakyat yang dijajahnya. Politik pecah belah dan menguasai, sebagaimana dimaksud oleh Slameto, merupakan senjata yang sangat ampuh bagi setiap penjajah yang bercokol di Indonesia. Dengan memanfaatkan keberaneka ragaman bangsa Indonesia, baik dilihat daripada berbagai pulau, maupun suku, etnis, yang kemudian dihidupkannya kembali tingkatan-tingkatan sosial dalam masyarakat, yang tentunya dalam hal ini akan semakin menjauhkan antara rakyat sendiri untuk meraih sebuah persatuan guna melawan penjajah untuk meraih kemerdekaan. Selain itu, juga terlihat dengan jelas belum adanya suatu perlawanan secara menyeluruh (komperhensif) oleh rakyat terhadap penjajah, tidak lain dikarenakan masih tergantung daripada pemimpin serta diliputi oleh semangat kedaerahan. Di samping itu, dikarenakan belum timbulnya kesadaran politik dari rakyat untuk membentuk satu bangsa Indonesia dalam arti politis, sebab masih memperjuangkan daerahnya sendiri yang tentunya perjuangan tersebut hanya bertujuan untuk membentuk bangsa bersifat sosiologis antropologis. Tentunya dalam hal ini akan sangat menguntungkan penjajah yang jika dilihat dari kekuatan rakyat yang berjuang untuk melawannya. Namun, nampak terlihat bahwa perjuangan bangsa Indonesia nantinya tidaklah sia-sia, walaupun hanya dengan dibekali dengan semangat dan senjata seadanya namun akhirnya mampu mewujudkan kemerdekaan yang telah dicita-citakan.Pada waktu Perang Pasifik, Jepang berkuasa atas sebagian besar daerah-daerah di Asia Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia, oleh karena angkatan Perangnya (Noer,1983;10). Sementara itu, jika kita lihat kembali dalam sejarah maka sejak akhir tahun 1943 perkembangannya menunjukan bahwa kekuasaan serta kedudukan Jepang di Asia mulai goncang dan terancam. Oleh karena kedudukan Jepang yang semakin terdesak oleh Sekutu, bukti nyata yang menunjukan terdesaknya Jepang oleh Sekutu yang ditandai dengan berbagai kekalahan Jepang dalam berbagai fron peperangan. Oleh karena itu satu-satunya jalan Jepang mulai menunjukan simpatinya kepada orang-orang bangsa Indonesia, bahkan pada tanggal 7 September 1944 Jepang berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia nanti pada tanggal 24 Agustus 1945 (Soehino,1984;14). Pernyataan Jepang tentang ada suatu janji berupa diberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dikemudian hari, juga dapat ditemui dan dilihat dalam Anshari (1986;15) yang menyatakan bahwa The Japanese Empire (hereby) announce the future independence of all Indonesian people. Memang sejarah menunjukan, bahwa di masa-masa yang genting, jika terjadi pergolakan-pergolakan internasional menimbulkan kegoncangan, maka pemerintah kolonial itu selalu memberikan hadiah-hadiah(Subekti,1989;4). Janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan di kemudian hari kepada Indonesia, tentu hanyalah merupakan taktik daripada Jepang untuk menarik simpati untuk mendapatkan dukungan sepenuhnya dari bangsa Indonesia guna melawan Sekutu yang pada waktu itu kian lama makin mendesak Jepang dalam peperangan, bahkan sudah sangat jelaslah terlihat kekalahan Jepang di depan mata. Karena itulah, terlihat kebaikan Jepang kepada bangsa Indonesia dengan memberikan janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia kelak di kemudian hari.Untuk mempersiapkan pelaksanaan janji Jepang tersebut di atas, maka pada tanggal 29 April dibentuklah BPUPKI terdiri atas ketua Dr. K.R.T Rajdjiman Wedyodiningrat (Kansil dan Christine,2011;18) dan wakil ketua Itibangase Yosio serta R. P Soeroso dengan jumlah anggotanya sebanyak 60 orang yang dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 (Setneg,1995;xxv). Badan ini merupakan badan buatan Jepang, sebagai realisasi daripada janji Jepang tentang kemerdekaan Indonesia dikemudian hari. Perlu di ketahui di sini pada awal dibentuknya badan ini oleh Jepang bukanlah disertai dengan nama BPUPKI seperti yang dibaca dalam buku-buku sekarang ini, melainkan BPUPK nama yang diberikan oleh Jepang terhadap badan ini. Namun, tidak mengurangi makna yang sama dengan kedua istilah tersebut di atas, tidak lain dikarenakan sudah menjadi kelaziman dalam dunia akademis yang memberikan nama Indonesia di belakangnya, maka sudah merupakan suatu kesepakatan bersama, dapatlah dikatakan demikian.Badan penyelidik ini mengadakan sidang hanya dua kali. Sidang pertama tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 1 Juni 1945. Sidang kedua tanggal 10 Juli sampai dengan tanggal 17 Juli1945 (Syam,1987;14). Badan ini memiliki tugas yaitu secara legal mempersiapkan kemerdekaannya, untuk merumuskan syarat-syarat bagi suatu negara merdeka (Darmodiharjo,1984;47). Dalam sidang BPUPKI pertama ini tokoh-tokoh bangsa berpidato yaitu Muh Yamin (29 Mei 1945), Sopomo (31 Mei 1945), dan Soekarno (1 Juni 1945), untuk menanggapi pertanyaan dari ketua BPUPKI Radjiman Widyodiningrat tentang dasar negara Indonesia merdeka. Dari berbagai pidato yang disampaikan tersebut yang paling menarik adalah pidato oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Perlu diketahui, bahwa nantinya hasil dari pekerjaan BPUPKI akan dibahas kembali dalam suatu badan yang bertugas untuk menetapkan kemerdekaan Indonesia secara final. Dengan demikian, hasil pekerjaan dari BPUPKI tersebut tidaklah mengikat daripada panitia yang selanjutnya akan menggantikannya kelak dikemudian hari. Itulah maksud daripada Jepang untuk membentuk sebuah badan yang bernama BPUPKI, sehingga dari hal tersebut dapatlah diketahui bahwa kehendak Jepang untuk memberikan suatu kemerdekaan yang berupa janji tersebut kepada bangsa Indonesia, tidaklah sepenuhnya didasari oleh kehendak yang tulus untuk benar-benar memberikan kemerdekaan, dikarenakan panitia yang selanjutnya dibentuk tersebut tentunya akan kembali mengadakan sidang mulai awal untuk mempersiapkan kembali kemerdekaan Indonesia, dikarenakan tidak mengikatnya hasil-hasil kerja daripada sebuah badan yang bernaman BPUPKI. Dengan demikian, dapatlah dipastikan kemerdekaan Indonesia tidak akan kunjung tercapai, karena hanya berdebat dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Selain dibentuknya BPUPKI sebagai badan yang bertugas menyiapkan kemerdekaan Indonesia, ternyata juga dibentuk sebuah Panitia Kecil yang diketuai oleh Soekarno dengan 7 orang anggota yang memiliki tugas untuk menampung dan memeriksa semua usul anggota mengenai usaha persiapan kemerdekaan. Panitia Kecil tersebut dalam menjalankan tugasnya mengadakan sidang pada tanggal 22 Juni 1945 dengan anggota-anggota badan penyelidik dalam sidang tersebut yang dihadiri sekitar 38 orang yang berada di Jakarta. Pertemuan antara 38 orang anggota itu bertempat di gedung kantor besar Jawa Hooko Kai. Dari pertemuan itulah mereka kemudian membentuk panitia kecil yang terdiri atas sembilan orang anggota dan popular disebut dengan nama Panitia Sembilan. Dalam sidang tersebut dicapai suatu kesepakatan tentang rancangan UUD yang disebut dengan nama Piagam Djakarta.Menurut keterangan yang diperoleh dari Mahmud MD (2009;19) yang dalam bukunya Konstitusi dan Hukum, menyatakan bahwa berkaitan dengan kedudukan panitia 8 (Delapan) dibandingkan dengan panitia Sembilan (9), dengan tegas ia menyatakan bahwa Panitia 8 inilah sebenarnya yang merupakan panitia yang resmi bentukan BPUPKI, sedangkan panitia 9 merupakan panitia tidak resmi yang dibentuk sendiri oleh Soekarno ketika sidang VIII 38 orang anggota Cou Sangi in 18-21 Juni 1945 di Jakarta. Hal ini disebabkan oleh keadaan yang pada waktu itu sangat mendesak sehingga tidak bisa diselesaikan hanya dengan prosedural formal belaka, itulah pernyataan Soekarno di depan ketua BPUPKI dalam laporannya.Dalam cerita sejarah, kekalahan Jepang berturut-turut di berbagai pron peperangan dalam melawan Sekutu, yang kemudian disusul suatu peristiwa dramatis yaitu terutama pada saat Amerika Serikat melakukan pengeboman terhadap kota Hirosima pada tanggal 6 Agustus 1945 menyebabkan kedudukan Jepang semakin terdesak. Kemudian pada tanggal 7 Desember 1945 tentara Jepang mengumumkan akan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan (Dukuritu Zyunbi Iinkai) dengan tujuan untuk memeriksa hasil-hasil kerja dari BPUPKI. Yang nantinya setelah merdeka badan PPKI tersebut merupakan badan yang mewakili seluruh golongan di Indonesia. Setelah badan ini disempurnakan dan ditambah dengan wakil-wakil daerah dan golongan sehingga lebih memenuhi syarat sebagai suatu Badan Perwakilan Rakyat yang bersifat nasional (PPKI gaya baru) maka segera ditugaskan untuk menyusun alat-alat perlengkapan negara (IKIP Malang,1979;48). Sebelum dibentuknya PPKI yang akan menggantikan BPUPKI, beberapa tokoh bangsa Indonesia yaitu Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat pergi ke Saigon dengan tujuan untuk memenuhi panggilan Jenderal Terauchi. Dalam pertemuannya tersebut ditetapkan bahwa Indonesia akan segera membentuk sebuah badan PPKI, sedangkan terkait dengan waktu dan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia tergantung dari usaha bangsa Indonesia sendiri.Kaelan (2008;44) menyatakan bahwa sekembalinya dari Saigon pada tanggal 14 Agustus 1945 di Kemayoran Ir. Soekarno mengumumkan di muka orang banyak bahwa bangsa Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga (secepat mungkin), dan kemerdekaan bangsa Indonesia bukan merupakan hadiah dari Jepang melainkan hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Sementara itu, pada tanggal 9 Agustus 1945 Jepang dijatuhi bom atom kedua oleh Sekutu sampai akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Bahkan menurut Agung (1995) bahwa pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dan dengan demikian berakhirlah Perang dunia II. Dengan demikian, lenyaplah janji kemerdekaan dari Jenderal Terauchi. Dengan penandatanganan penyerahan Jepang tanpa syarat kepada Sekutu di atas kapal Amerika Serikat missouri lenyap pulalah cita-cita Jepang untuk membentuk kemakmuran bersama Asia Timur Raya di bawah pimpinannya (Tutik,2008;127). Dengan kata lain, Jepang yang kalah perang pada waktu harus tunduk pada perintah Sekutu, yang merupakan pemenang dalam perang dunia ke II. Sehingga secara otomatis Jepang tidak memiliki kewenangan apapun terhadap semua daerah jajahannya, tidak lain hal ini dikarenakan adanya suatu perjanjian yang isinya berupa perintah dari Sekutu agar Jepang tetap mempertahankan status quo terhadap daerah-daerah jajahannya, sehingga tidak dapat melakukan tindakan apapun terhadap semua daerah jajahannya, kecuali atas perintah-perintah yang diberikan oleh Sekutu. Oleh karena itu, perlu ditegaskan kembali bahwa janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia tidak mungkin dilaksanakan lagi dan di Indonesia terjadi kekosongan kekuasaan (Widjaja,1987;10). Terjadinya kekosongan kekuasaan (vacuum of power) merupakan suatu kesempatan bagi bangsa Indonesia yang tidak boleh disia-siakan untuk menyatakan sendiri kemerdekaannya. Sehingga dengan demikian, kemerdekaan Indonesia bukanlah pemberian dari bangsa lain, melainkan usaha yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Perlu diketahui pada saat itu, bahwa terkait dengan kebenaran berita menyerahnya Jepang kepada Sekutu, ternyata imformasinya belumlah banyak diketahui oleh pemimpin-pemimpin perjuangan bangsa Indonesia. Bahkan, akibat kesimpangsiuran berita tentang kekalahan Jepang telah menyebabkan ketegangan antara Soekarno-Hatta dengan para pemuda, yang berakibat Soekarno dan Hatta sendiri diamankan oleh Pemuda ke Rengasdengklok. Ini tidak lain disebabkan perbedaan pendapat terkait waktu pelaksanaan kemerdekaan, yang berbeda kehendak antara golongan tua dengan golongan muda tersebut. Dalam hai ini golongan muda ingin cepat-cepat untuk dilaksanakannya suatu kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, dilain pihak golongan tua menyatakan belum saatnya menyatakan kemerdekaan Indonesia, dikarenakan belum adanya kepastian tentang berita kekalahan Jepang terhadap Sekutu. Namun, setelah memperoleh kepastian bahwa Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, maka Dwitunggal SoekarnoHatta setuju untuk dilaksanakannya proklamasi kemerdekaan, akan tetapi tempat dilaksanakan kemerdekaan Indonesia adalah di Jakarta. Akhirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia berhasil dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Terkait dengan kemerdekaan Indonesia, Kansil (1985;20) dalam hal ini berpendapat bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 itu sampailah perjuangan Rakyat Indonesia mengantarkan Rakyat dan Bangsa Indonesia ke Jembatan Emas Kemerdekaan. Salah satu hal yang sangat menarik dari pernyataan Kartohadiprodjo dalam Sutrisno (2006;70) yang terkait dengan adanya pernyataan kemerdekaan Indonesia yakni berkenaan dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang menurut sudut ketatanegaraan merupakan suatu pembrontakan atau revolusi. Tidak lain dikarenakan Indonesia (Hindia Belanda) dulu merupakan bagian daripada Belanda, hal ini setidaknya menurut Konstitusi Belanda pada waktu itu. Namun, perjuangan bangsa Indonesia sebagai sebuah revolusi tidak dimulai dalam waktu yang singkat, namun sudah melalui perjalanan yang sangat panjang dengan mengorbankan semangat serta jiwa dan raga demi kepentingan bangsa. Revolusi nasional yang merupakan lanjutan dari rentetan konflik bersenjata sejak Belanda menanamkan kekuasaannya di Indonesia, meletus pada tanggal 17 Agustus 1945 dalam bentuk Proklamasi Kemerdekaan (Djumhur dan Danasaputra,1976;199). Apakah yang sebenarnya dapat membenarkan tindakan bangsa Indonesia untuk melakukan revolusi terhadap penjajahan Belanda, untuk mencapai kemerdekaan dengan menyatakan suatu proklamasi kemerdekaan? Dengan demikian, keberhasilan bangsa Indonesia dalam melakukan suatu revolusi untuk melawan penjajahan merupakan tindakan yang sah dan dibuktikan kemudian dengan mendapatkan dukungan sepenuhnya dari rakyat Indonesia. Pernyataan ini diperkuat lagi oleh Suny dalam Joeniarto (1982;41) yang menyatakan bahwa dari sudut pandangan hukum, suatu revolusi yang jaya dengan sendirinya merupakan suatu kenyataan yang menciptakan hukum. Suatu revolusi yang berhasil jelas menunjukan bahwa pemerintah (atau negara) yang digulingkan itu tidak mempunyai cukup kekuasaan untuk melaksanakan undang-undangnya (Rodee,2011;31). Dengan demikian, mungkin dulunya menurut hukum kolonial tindakan bangsa Indonesia merupakan tindakan dalam bentuk pemberontakan (subversi) tentunya tindakan yang menentang pemerintahan yang sah. Oleh karena itu, tentunya bertentangan dengan hukum yang berlaku pada waktu itu (hukum positif, ius costitutum), namun jika lihat dari sudut pandang keberhasilan bangsa Indonesia dalam mengkosolidasikan kekuasaan yang merupakan hasil dari kemerdekaannya yang diikuti dengan kemampuan untuk mempertahankan tertib hukumnya yang baru dibentuk, maka tidak lain bahwa bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa sah yang terlahir dari revolusi. Terkait dengan revolusi atau kudeta, jika ditinjau dari sudut hukum internasional, Kelsen (2011;314) dalam hal ini berpendapat bahwa.Revolusi atau kudeta yang berhasil adalah yang tidak menghancurkan identitas tatanan hukum yang dirubahnya. Tatanan hukum yang ditegakan oleh revolusi atau kudeta harus dipandang sebagai modifikasi dari tatanan hukum lama, bukan sebagai tatanan hukum baru, jika tatanan hukum ini berlaku untuk teritorial yang sama. Pemerintahan yang berkuasa melalui suatu revolusi atau kudeta, menurut hukum internasional, adalah pemerintahan yang sah dari negara tersebut, yang identitasnya tidak dipengaruhi oleh peristiwa ini. Karena itu, menurut hukum internasional, revolusi atau kudeta yang berhasil harus ditafsirkan sebagai prosedur perubahan tatanan hukum nasional. Kedua peristiwa ini, ditinjau dari sudut hukum internasional, merupakan fakta pembentukan hukum. Demikian pula, e injuria jus oritur, dan lagi-lagi efektivitaslah yang diterapkan.Tindakan revolusi yang diambil oleh bangsa Indonesia, tidak lain merupakan tujuan yang memang sudah lama diidam-idamkan oleh rakyat Indonesia, yang selama ini dalam sejarahnya mengalami berbagai bentuk penindasan oleh penjajahan, tidak kurang dari tiga setengah abad di bawah penjajahan Belanda dan tiga setengah tahun di bawah penjajahan Jepang. Sedangkan tujuan revolusi Indonesia itu sendiri menurut Soepomo (2003;1) yaitu suatu revolusi melawan Barat yang tidak hanya semata-mata suatu perjuangan untuk mencapai kemerdekaan politik. Namun, juga merupakan suatu revolusi sosial dan ekonomi, yang ditimbulkan oleh suatu bangsa yang telah bertekad sebulat-bulatnya, untuk menempatkan nasib Indonesia dalam tangannya sendiri. Hampir sama dengan pendapat dari Soepomo, Andasasmita (1983;58) juga menyatakan bahwa kemerdekaan politik di Indonesia, setelah terjadinya revolusi melawan penjajahan Barat (Belanda), selain bertujuan untuk mencapai kemerdekaan politik, juga merupakan suatu revolusi sosial dan ekonomi dari rakyat Indonesia yang bertekad menempatkan nasibnya dalam tangannya sendiri, oleh karena kemerdekaan politik hanyalah suatu jembatan dalam membangun kembali masyarakat Indonesia. Dengan demikian, kemerdekaan politik hanya merupakan suatu jalan untuk mencapai kemerdekaan lainnya seperti ekonomi dan sosial. Terkait dengan pendapat di atas, dalam hal ini Seomantri (1992;16) menyatakan bahwa dari sejarah umat manusia kita mengetahui bahwa dianutnya faham kemerdekaan mempunyai pengaruh pula dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Soekarno (1989;71) jauh hari sebelum kemerdekaan Indonesia dicapai telah menyatakan dengan tegas bahwa mencapai kekuasaan politik bagi rakyat jajahan adalah berarti mencapai pemerintahan nasional, mencapai kemerdekaan nasional, mencapai hak untuk mengadakan undang-undang sendiri, mengadakan aturan-aturan sendiri, mengadakan pemerintahan sendiri. Dengan demikian, hanya dengan kemerdekaanlah kita dapat bebas untuk menentukan nasib kita sendiri, serta bebas untuk berpolitik mencapai kesejahteraan rakyat. Revolusi kemerdekaan 17 Agustus 1945, merupakan revolusi yang membutuhkan waktu yang lama, namun hasil-hasil dari revolusi tersebut sangatlah mendasar. Hal ini dikarenakan Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan contoh suatu revolusi yang tepat momentum nya. Pada waktu itu, perasaan tidak puas di kalangan bangsa Indonesia telah mencapai puncaknya dan ada pemimpin-pemimpin yang mampu menampung keinginan-keinginan tersebut, sekaligus merumuskan tujuannya (Soekanto,2009;271). Oleh karena itu, revolusi Indonesia dalam mencapai kemerdekaan seperti sebagaimana dimaksud di atas bukanlah hal yang tidak direncanakan, namun sudah direncanakan secara mata melalui perjuangan sejak dahulu kala, dimana sejak dimulainya penjajah menancapkan kuku imperialismenya di Indonesia. Dimulai dari Zaman Perintis di mana pada waktu dibentuk berbagai organisasi yang melopori perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui pergerakan nasionalnya, yaitu Budi Utomo (20 Mei 1908) kemudian perjuangan berlanjut dengan adanya Ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) yang kemudian dikenal sebagai Zaman Penegas dan barulah kemudian datangnya Zaman Pendobrak (17 Agustus 1945) dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (lihat Winarno,2009;147). Bahwa, hanya dengan kemerdekaan berupa suatu proklamasi kita dapat membentuk tertib hukum, yang merupakan sumber hukum sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang merdeka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaga Administrasi Negara,tt;1). Dalam hal ini Joeniarto (1996;10) menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah merupakan perwujudan formal daripada salah satu gerakan revolusi bangsa Indonesia, untuk menyatakan baik kepada diri kita sendiri, maupun kepada dunia luar (dunia internasional), bahwa bangsa Indonesia mulai pada saat itu telah mengambil sikap untuk menentukan bangsa dan nasib tanah air. Kemerdekaan adalah syarat yang amat penting baginya untuk bisa melawan dan memberhentikan imperialisme itu dengan seleluasa-leluasanya. Kemerdekaan adalah pula syarat yang amat penting bagi pembaikan kembali segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan, suatu syarat yang amat penting bagi rekonstruksi nasionalnya. Menurut Santoso (2010;37) proklamasi kemerdekaan dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu dari sudut yuridis dan politis. Dari segi yuridis, proklamasi kemerdekaan merupakan saat tidak berlakunya hukum kolonial dan saat mulai berlakunya hukum nasional, sedangkan dari segi politis, proklamasi kemerdekaan mengandung arti bahwa bangsa Indonesia terbebas dari penjajahan bangsa asing dan memiliki kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri. Semakin jelaslah bahwa, hanya dengan menyatakan suatu Proklamasi Kemerdekaan oleh bangsa Indonesia adalah suatu tanda untuk memutuskan ikatan dengan bangsa penjajah sekaligus mengukuhkan hukum nasional dan penolakan secara tegas terhadap hukum colonial. Yang kemudian kemerdekaan itu sendiri merupakan cerminan sebagai bangsa yang berdaulat, baik de facto maupun de yure yang memang telah diperjuangkan oleh rakyat selama ini. Kemerdekaan ini berarti perjuangan seluruh rakyat. Oleh sebab itu, Republik Indonesia ini milik seluruh rakyat (Lubis dkk,1981;18)Setelah Proklamasi Kemerdekaan dinyatakan dengan tegas, yang disertai dengan bentuk negara kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk semangat perjuangan bangsa, perlu diingat kembali bahwa kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh wakil Bangsa Indonesia Soekarno-Hatta di Jakarta... (Susanto,1985;15). Yang kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno mengadakan sidang(Santoso,2010;37), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang diketuai P. Y. M. (baca: Paduka Yang Mulia, pen) sendiri sebelum dipilih menjadi Presiden dan dengan P.Y.M. Drs Mohammad Hatta sebelum menjadi Wakil Presiden sebagai wakil ketuanya,(Notosusanto,1984). Selain mengangkat Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden secara aklamasi oleh PPKI, peristiwa lainnya yang pada waktu itu memiliki kaitan lainnya dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yaitu dalam sidangnya yang pertama pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan ditetapkan Undang-Undang Dasar (Notonagoro,1974;42). Undang-Undang Dasar yang telah disahkan oleh Panitia Persiapan tanggal 18 Agustus 1945 tersebut di atas, bahan-bahannya telah dipersiapkan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dukuritsu Junbi Cosakai), disingkat : Badan Penyelidik(Panyarikan,1981;198). Walaupun pada saat itu PPKI menetapkan UUD 1945 hanya dalam waktu 2 jam (Winarno,2009;72), namun semangat kenegarawanan yang dimiliki oleh para pendiri bangsa ini, kian memperpendek jarak perbedaan yang ada, sampai akhirnya berhasil mengesahkan hukum dasar yang pertama. Walaupun pada saat penetapan UUD 1945 diliputi oleh suasana yang sangat menegangkan. Namun akhirnya berhasil, tidak lain dikarenakan berkat perjuangan seluruh bangsa Indonesia UUD 1945 tetap berlaku di seluruh tanah air (Kansil,1985;1). Dengan demikian, mulai tanggal 18 Agustus 1945 hingga saat ini setidaknya bangsa Indonesia ternyata mengenal paling tidak lima konstitusi yang pernah berlaku, yaitu selain hukum dasar hasil karya BPUPKI. Berikut ini merupakan undang-undang dasar beberapa periode, yang pernah berlaku di Indonesia dan gerak pelaksanaannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai perwujudan dari sistem konstitusi yang dimiliki oleh bangsa ini, yaitu sebagai berikut.1. Periode 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 (Masa Revolusi).Tidak lama setelah berlakunya UUD 1945 setelah ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 muncul gerakan untuk tidak memberlakukan UUD 1945 yang terutama dipelopori oleh Sjahrir, BM. Diah, dan lain-lain pemuda. Hal ini menurut Soebagio (1977;39) dikarenakan bahwa ketentuan pasal IV Aturan Peralihan UUD itu ternyata dalam dunia internasional telah mengundang kesan bahwa negara yang baru berdiri dengan nama republik Indonesia itu menganut pemerintahan diktaktor. Hal ini dapat dimengerti, dikarenakan bahwa besarnya kekuasaan yang diberikan oleh UUD 1945 pada waktu itu hanya kepada satu orang, yaitu presiden yang menyebabkan seolah-olah menjadikan UUD 1945 itu sendiri sebagai konstitusi bersifat tidak demokratis. Alasan itulah kemudian yang dijadikan tumpangan oleh Belanda untuk menghancurkan Indonesia dengan mempropagandakan kepada dunia internasional bahwa negara Indonesia yang baru berdiri adalah buatan Jepang yang bersifat fasis. Diberikannya kekuasaan yang begitu besar kepada Presiden oleh UUD 1945, tidak lain dikarenakan pada saat pemberlakuan UUD 1945, diliputi oleh keadaan yang sangat mendesak, yaitu dimana pada saat itu berkecamuk perang pasifik bahkan adanya keinginan pihak Belanda untuk menjajah Indonesia kembali. Dalam keadaan yang demikian, tentunya tidak mungkin bagi bangsa Indonesia untuk dapat membentuk lembaga-lembaga negara seraya membagi-bagikan kekuasaan seperti sebagaimana diinginkan oleh UUD 1945 itu sendiri. Dalam masa berlakunya UUD 1945 yang masih murni, yakni sejak 18 Agustus 1945 sampai 14 November, roda pemerintahan dalam negara Republik Indonesia belum bekerja sempurna. Meskipun UUD 1945 telah memberikan kekuasaan kepada Presiden Republik Indonesia untuk menjalankan pemerintahan dan mengatur berbagai peraturan perundang-undangan negara, namun oleh suasana kenegaraan yang masih diliputi oleh masalah-masalah perwalanan terhadap pihak penjajahan yang bermaksud kembali meneruskan penjajahannya, maka lembaga-lembaga dan pranata-pranata kenegaraan dan pemerintahan Republik Indonesia masih belum berkembang sebagaimana mestinya (Attamimi,1990;247). Oleh karena itu, jalan keluar yang diambil oleh PPKI sebagai lembaga yang berwenang untuk menetapkan UUD 1945, maka pada waktu itu dibuatlah rumusan Pasal IV Aturan Peralihan yang berbunyi sebagai berikut. Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional (kursif penulis).Dengan adanya ketentuan tersebut, diserta dengan harapan Presiden akan lebih efektif dalam mengambil tindakan yang mana membutuhkan keputusan yang cepat guna menghadapi situasi pada waktu itu. Namun, jika disimak dengan jelas bahwa dengan adanya ketentuan dari Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 menyebabkan tidak adanya pemisahan kekuasaan yang jelas antara lembaga negara sebagaimana dimaksud UUD 1945. Namun perlu diingat bahwa adanya ketentuan tersebut tentunya hanyalah bersifat untuk sementara waktu saja. Ketentuan tersebut tentunya tidak akan berlaku jika sudah dibentuknya lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945, hal ini terlihat jelas dari maksud ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan tersebut. Namun, terkait dengan situasi pada saat itu pembentukan lembaga baru seperti MPR, DPR dan DPA memang tidak dapat dilakukan, maka jalan keluar untuk sementara waktu Presidenlah yang akan menjalankan kekuasaan lembaga-lembaga neara tersebut seperti yang tercantum secara jelas dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Sehingga, secara otomatis dengan adanya ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, semua kekuasaan lembaga-lembaga negara yang belum sempat dibentuk sebagaimana dimaksud tulisan di atas akan dilaksanakan oleh Presiden sepenuhnya. Bahkan, pada dasarnya UUD 1945 sendiri merupakan undang-undang dasar yang masih bersifat sementara (intrim), karena undang-undang dasar tersebut dibuat dalam keadaan yang sangat mendesak. Sehingga, Soekarno menamakan UUD 1945 sebagai konstitusi revolusi, yang dalam hal ini juga ditegaskan kembali dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yaitu pada waktu pengesahan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, bahwa UUD 1945 merupakan suatu undang-undang dasar yang bersifat sementara. Yang nantinya jikalau kehidupan kenegaraan sudah lebih baik, akan dibentuk undang-undang dasar baru, yang akan menggantikan undang-undang dasar tersebut. Namun, setelah disahkannya UUD 1945 oleh PPKI, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan, seolah-olah menyebabkan kekuasaan Presiden cenderung menjadi absolut, setidaknya demikianlah pandangan negara-negara Barat terhadap sistem pemerintahan yang dianut pada waktu itu oleh bangsa Indonesia. Banyak kecaman yang dilontarkan oleh para pemuda terkait dengan ketentuan dari Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, karena dengan adanya ketentuan tersebut berarti telah menempatkan kekuasaan Presiden yang begitu besar, tentunya akan berpotensi menjadikan Presiden sebagai penguasa otoriter.Untuk menanggapi respon dari kaum muda pada waktu itu, maka pada tanggal 16 Oktober 1945, atas pertimbangannya sendiri Moh. Hatta atas nama Presiden mengeluarkan Maklumat No. X yang ditanda tangani sendiri olehnya. Maklumat ini sendiri telah mengubah bunyi dari ketentuan dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang pada awalnya hanya menempatkan kedudukan KNIP sebagai pembantu Presiden, kemudian dengan keluarnya maklumat tersebut menyebabkan berubahnya kedudukan KNIP menjadi sebuah badan legislatif yang bersifat otonom dan memiliki kedudukan yang sejajar dengan Presiden. Dengan adanya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 kemudian terjadilah perubahan dalam praktek ketatanegaraan, namun bukan berarti terjadi perubahan terhadap naskah UUD 1945, dikarenakan UUD 1945 itu sendiri tetap utuh seperti semula terutama terkait dengan ketentuan dari Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Pasal IV Aturan Peralihan yang menempatkan Presiden sebagai pemegang kekuasaan yang sangat besar, dikarenakan selain sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 ternyata presiden juga memegang kekuasaan lembaga negara lain, seperti MPR,DPR dan DPA. Namun, seketika itu setelah keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 telah mengakibatkan kekuasaan Presiden terutama dalam bidang legislatif berkurang. Menurut penulis, dapatlah dikatakan bahwa Maklumat Wakil Presiden No X Tahun 1945 berkaitan dengan materinya tentu memiliki kedudukan yang sejajar dengan segala ketentuan yang ada pada UUD 1945. Tidak lain hal ini dikarenakan dengan adanya Maklumat tersebut, ketentuan dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 menjadi tidak berlaku. Idealnya sebuah peraturan hanya dapat dihapuskan oleh peraturan yang lebih tinggi ataupun aturan yang sederajat dengan yang dirubahnya. Namun, jika Maklumat Wakil Presiden No. X tersebut, kita dikatakan kedudukannya berada lebih rendah dari ketentuan UUD 1945 khususnya dengan Pasal IV Aturan Peralihan, tentunya ketentuan dari Maklumat tersebut adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mungkinlah dapat merubah praktek guna menyesuaikan dengan dinamika ketatanegaraan pada saat itu juga. Terkait dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945, apakah yang menyebabkan Maklumat tersebut dinamakan dengan Maklumat Wakil Presiden, kenapa bukan dinamakan dengan Maklumat Presiden, padahal pada waktu itu Hatta yang menandatangani Maklumat tersebut atas nama Presiden. Menurut Radjab (2005;193) terkait penyebab Hatta yang menandatangani maklumat tersebut atas nama Presiden dikarenakan, hal ini dilakukan untuk mewakili Pemerintah sebab pada saat itu Presiden Soekarno tidak dapat hadir karena kepergiannya ke luar kota sehingga secara yuridis sebetulnya maklumat tersebut harus dinamakan maklumat Presiden. Terkait dengan Maklumat tersebut Mahmud MD (2010;26) menyatakan bahwa ihwal konstitusional atau dasar konstitusional dikeluarkannya Maklumat Nomor. X Tahun 1945 sebenarnya tak perlu lagi dipersoalkan sebab faktanya Maklumat tersebut langsung dan diikuti dalam praktik ketatanegaraan meskipun tanpa secara resmi disertai pencabutan atas UUD 1945. Maka dapat dikatakan keberlakuan Maklumat tersebut tidak hanya diterima secara politis, namun juga diterima secara sosiologis oleh rakyat Indonesia melalui praktek, walaupun secara yuridis ketentuan Maklumat Wakil Presiden tersebut terlihat berlawanan dengan ketentuan UUD 1945, khususnya dengan ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan. Namun, tidaklah mengurangi legitimasi yang dimiliki oleh Maklumat Wakil Presiden tersebut karena hal ini ditandai dengan dilaksanakannya semua ketentuan dalam Maklumat tersebut, yang berarti tidak mengikuti bunyi dari ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Bahkan dapat dikatakan dengan adanya ketentuan Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945, merupakan awal mula daripada tindakan untuk meletakan suatu prinsip-prinsip/sendi-sendi konstitusionalisme dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sebagai sebuah negara demokrasi yang demokratis. Dengan demikian, KNIP sendiri merupakan awal dari kelahiran lembaga legislatif Indonesia, sehingga unsur demokrasi, dalam rangka pembentukan undang-undang nampak secara perlahan-lahan namun pasti (Soehino,2010;59). Bahkan dalam hal ini, Dahl (2001;65) menyatakan bahwa pemerintah kolonial secara tidak sengaja telah membantu pada terbentuknya kepercayaan dan lembaga-lembaga demokrasi. Bahkan, kekuasaan legislatif yang diterima oleh KNIP itu sendiri merupakan tekanan secara tidak langsung dari para penjajah, namun perlu diakui merupakan sesuatu yang perlu dilakukan. Maklumat tersebut merupakan pemotong potensi untuk menjadikan Presiden sebagai seorang penguasa diktaktor dan menempatkan lembaga KNIP sebagai sebuah lembaga perwakilan, yang nantinya mengimbangi kekuasaan Presiden dalam bidang pembentukan undang-undang. Dengan berlakunya Maklumat No.X ini, maka kedudukan KNIP bukan lagi badan pembantu semata-mata, tetapi menjadi badan yang berwenang penuh yakni bersama-sama dengan presiden melaksanakan wewenang perundang-undangan (menurut pasal 5 ayat (1), 20, 21, dan 22 ayat (2) UUD 1945) dan malahan ikut pula menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara (sebagian tugas MPR yang tersebut dalam Pasal 3 UUD 1945) (Kansil,1985;128). Jadi, Pentingnya Maklumat Wakil Presiden No X Tahun 1945, bertujuan untuk menciptakan sebuah pemerintahan yang mengandung gagasan konstitusionlisme. Akan tetapi, apabila dikaji Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang telah dikemukakan, jelas bukanlah suatu pemberitahuan atau pengumuman. Bahkan, seperti telah diuraikan penulis di atas bahwa maklumat tersebut berisi materi muatan undang-undang dasar. Maklumat tersebut ternyata bukan satu-satunya peraturan yang mempunyai kedudukan dalam bidang hukum tata negara (Soemantri,1985). Dikarenakan nantinya dalam perjalanan revolusi bangsa Indonesia dalam usahanya mempertahankan kemerdekaan, akan dikeluarkan berbagai peraturan lainnya, yang tentunya juga memiliki kedudukan yang penting secara konstitusional dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Menurut Ghaffur (2011;80) terkait dengan keluarnya Maklumat No. X menyatakan bahwa masa bulan madu besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden Soekarno sedikit berkurang dengan dikeluarkannya Maklumat No. X oleh Wakil Presiden Moh. Hatta atas Usul dari Komite Nasional Pusat yang ditetapkan pada tanggal 16 Oktober 1945. Ada beberapa pendapat para pakar Hukum Tata Negara dan politik mengenai Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945, antara lain yang menyatakan bahwa Maklumat Wakil Presiden tersebut adalah jalan keluar yang terbaik pada saat itu agar perjuangan Indonesia melalui jalur politik (perundingan dengan negara-negara lain terutama negara-negara Barat) di samping perjuangan senjata melawan agresi Belanda dapat berjalan mulus, dan pendapat lain yang mengatakan bahwa pembentukan kabinet parlementer dalam UUD 1945 berdasarkan Maklumat Wakil Presiden tersebut adalah perjuangan terhadap UUD 1945 (Sarigih dalam Hutabarat dkk,1996;37). Nampaknya, kelirulah menyatakan bahwa Maklumat Wakil Presiden sebagai dasar daripada pembentukan pemerintahan berdasarkan sistem parlementer, dikarenakan Maklumat Wakil Presiden tersebut hanyalah mengubah kedudukan daripada KNIP, yang semula kedudukannya hanya sebagai pembantu Presiden sebagaimana dimaksud bunyi dari Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, kemudian selanjutnya menjadi sebuah badan yang memiliki kedudukan sejajar dengan Presiden terutama dalam bidang pembentukan undang-undang, seperti yang ditentukan dalam pasal-pasal UUD 1945, bukan mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer sebagaimana pernyataan Sarigih dalm Hutabarat.Lebih lanjut terkait dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945, nampaknya masih banyak orang yang belum mengetahui dan memahaminya, maka untuk memperjelas maksud dari Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 oleh Moh. Hatta di atas, maka dalam hal ini Mahmud MD (2009;119) menyatakan bahwa istilah nomor X bukanlah nomor sepuluh (number ten) dalam angka Romawi melainkan X dalam arti tidak dikenal pasti karena bukan merupakan urutan dari peraturan perundang-undangan yang ada sebelumnya. Ketika Maklumat itu dibuat di kantor KNIP, Menteri Sekretaris Negara Ag. Pringgodigdo tidak ingat nomor urut UU yang telah ada sehingga ketika diminta nomor oleh KNIP dan Bung Hatta dia mengusulkan Nomor X saja.Selain adanya ketentuan seperti Maklumat Wakil Presiden seperti di atas, tidak berselang dalam waktu yang lama kemudian menyusul berbagai bentuk penyimpangan terhadap UUD 1945 dilakukan oleh para pemimpin bangsa untuk menanggapi keadaan saat itu yang genting dan memaksa serta memerlukan tindakan yang cepat untuk diselesaikan. Salah satu masalah yang tidak dapat diabaikan bahkan dapat mengancam eksistensi negara Indonesia yang baru berdiri tersebut adalah adanya suatu propaganda dari NICA bahwa negara Indonesia adalah negara buatan Jepang yang tidak demokratis. Di mana propaganda NICA bahwa bangsa Indonesia adalah negara bentukan Jepang yang tidak demokratis dilancarkan semakin intensif dalam pergaulan internasional, bahkan dalam hal ini menurut NICA sendiri bahwa bangsa Indonesia harus dihancurkan. Dengan adanya propaganda dari Belanda tersebut tentunya membuat gerah para pemimpin bangsa dikarenakan tentunya para pemimpin bangsa ini tahu yang sebenarnya niat Belanda yaitu untuk menduduki bangsa Indonesia atau dengan kata lain menjajah bangsa Indonesia kembali. Tidak ada hal lain lagi yang dapat dilakukan oleh para pemimpin bangsa Indonesia, selain mengambil tindakan untuk mengatasi masalah tersebut walaupun tentunya berpotensi untuk bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini tidak lain dikarenakan intensifnya propaganda Belanda dalam dunia Internasional untuk mendapat sebanyak mungkin dukungan guna menghancurkan bangsa Indonesia yang baru merdeka itu. Selain itu, ditambah adanya propaganda Belanda lainnya yang mengatakan bangsa Indonesia bukanlah sebagai bangsa yang demokratis, hal ini dikarenakan ada sebuah usul dari Achmad Subardjo untuk membentuk sebuah partai negara, yaitu PNI yang dipimpin oleh Soekarno. Terkait dengan adanya usul untuk pembentukan sebuah partai tunggal, menurut Safaat (2011;125) bahwa pada tanggal 22 Agustus 1945, PPKI menyelenggarakan rapat yang salah satu keputusannya adalah membentuk Partai Nasional Indonesia. PNI diharapkan menjadi partai tunggal atau partai negara dan sebagai pelopor dalam kehidupan bangsa Indonesia. Namun, karena semakin intensifnya propaganda Belanda tentang tidak demokratisnya Indonesia dalam dunia internasional seperti hanya ada satu partai negara sehingga seolah-olah merupakan suatu negara yang sistem pemerintahannya otoriter. Menanggapi hal tersebut, para pemimpin bangsa cepat mengambil langkah dengan membentuk aturan yang akan menjadi dasar bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis dengan sistem kepartaian yaitu menganut sistem multipartai. Aturan sebagaimana dimaksud tersebut adalah Maklumat Pemerintah 3 November 1945 tentang kebebasan rakyat untuk mendirikan partai politik, namun tentunya kebebasan untuk membentuk partai politik bukanlah tanpa batas, karena di dalamnya dinyatakan bahwa partai yang dibentuk berdasarkan Maklumat tersebut adalah partai yang tentunya mendukung bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia untuk menghadapi revolusi yang bergolak dalam berhadapan dengan keinginan penjajah untuk menduduki Indonesia kembali. Tindak lanjut kemudian setelah dianutnya sistem multi partai berdasarkan Maklumat Pemerintah 3 November 1945, setelah itu disusul dengan adanya usul dari BP-KNIP untuk membentuk sistem pemerintahan parlementer yang berarti mengubah secara tidak langsung terhadap ketentuan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan yang dianut seharusnya pada waktu itu yaitu sistem pemerintahan presidensial (quasi presidensial). Berdasarkan usul BP-KNIP tersebut maka pada tanggal 14 November 1945 dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah yang mengubah sistem presidensial menjadi sistem parlementer dengan menunjuk Hatta sebagai perdana menteri parlementer pertama (Mahmud MD,2010;26). Apa yang dinyatakan oleh Mahmud MD memang benar bahwa setelah keluarnya Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945 tersebut sistem pemerintahan Indonesia berubah dari sistem pemerintahan presidensial (quasi presidensial) kemudian menjadi sistem pemerintahan parlementer, hanya saja dalam hal ini perdana menteri sebagaimana dimaksud oleh Mahmud MD sebagai menteri pertama tersebut adalah kurang tepat, hal ini dikarenakan padaa waktu itu perdana menteri pertama sistem pemerintahan parlementer berdasarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 adalah tunjukan Soekarno sendiri yaitu Sjahrir yang tentunya tidak memiliki hubungan dengan Jepang. Dikarenakan pada waktu ini, Seokarno sendiri dicela oleh Sekutu sebagai kolaborator Jepang. Dua ketentuan di atas (Maklumat Pemerintah No. 3 November dan Maklumat Pemerintah 14 November 1945) yang memiliki hubungan yang erat dengan sistem ketatanegaraan Indonesia, pertama berkaitan dengan berdirinya partai-partai untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa dan negara yang demokratis. Hal ini tidak lain dikarenakan oleh persepsi Barat yang keliru bahwa negara demokratis adalah negara yang hanya memiliki jumlah partai yang banyak (lebih dari satu partai). Maka mulai saat itulah kemudian disusul dengan banyaknya muncul partai-partai yang dibentuk oleh rakyat bertujuan untuk berpartisipasi dalam membangun bangsa Indonesia melalui perjuangan revolusi seraya membuktikan kepada Barat bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah kemerdekaan yang diberikan oleh Jepang yang merupakan negara fasis, dikarenakan sistem pemerintahan Jepang sendiri yang hanya berdasarkan pada sistem satu partai. Tidak adanya partai politik setelah kemerdekaan bukan berarti tidak ada keinginan untuk mendirikannya, hal ini tidak lain dikarenakan larangan daripada penjajah yang sangat intensif berupa paksaan, bahkan penjajah melarang setiap kegiatan yang berbau politik. Seperti terlihat sebelum kemerdekaan, yaitu pada masa pemerintahan bala tentara Jepang, semua organisasi politik dibubarkan, sehingga praktis pada saat Poklamasi kemerdekaan secara formal tidak ada partai politik (Kantaprawira,1990;80). Dengan adanya Maklumat Pemerintah tentang pendirian partai politik tentunya pemerintah berharap, bahwa partai-partai yang dibentuk nantinya dapat memperkuat perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi Belanda, atau dengan kata lain diharapkan partai mampu mempersatukan segala kekuatan yang ada. Perlu diketahui bahwa UUD 1945 pada saat itu tidaklah pernah menyebut-nyebut nama partai politik, karena dalam ketentuan UUD 1945 memang tidak terdapat ketentuan satupun yang mengatur tentang keberadaan partai politik. Ketentuan tentang mendirikan partai-partai politik mendapatkan angin yang lebih segar, ketika dimana setelah dikeluarkannya Maklumat Pemerintah 3 November 1945 kemudian disusul dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yang pada dasarnya telah mengubah sistem pemerintahan presidensial (quasi) yang sebenarnya memang secara tegas telah ditentukan dalam UUD 1945. Sistem pemerintahan sebagaimana dimaksudkan di atas pada waktu itu dalam UUD 1945 adalah sistem pemerintahan Presidensial (quasi presidensial), sedangkan dengan adanya Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945 telah meberubahnya menjadi sistem pemerintahan parlementer. Otomatis dengan adanya ketentuan ini, telah memisahkan kedudukan antara Presiden sebagai kepala negara kemudian kepala pemerintahan yang akan dipegang oleh perdana menteri. Melalui pemindahan ke sistem parlementer, maka secara otomatis jabatan kepala negara (presiden) dipisahkan dari jabatan kepala pemerintahan (perdana menteri). Selain dari memperluas basis perjuangan karena mengikutsertakan semua kekuatan anti fasis dalam perjuangan kemerdekaan, perubahan ini juga memungkinkan untuk tetap mempertahankan Presiden Soekarno sebagai simbol kepala negara dan pemersatu rakyat (Budiardjo,2008;199). Dengan demikian pada dasarnya, ada dua ketentuan yang sebenarnya mengubah praktek ketatanegaraan yang telah ditentukan dengan tegas dalam UUD 1945 yaitu berkaitan dengan kekuasaan Presiden. Terkait dengan keluarnya Maklumat Pemerintah Pada tanggal 14 November 1945, Thoha (2011;115) berpendapat bahwa inilah sebenarnya penyimpangan pertama dari UUD 1945, karena undang-undang dasar ini menetapkan mengikuti pemerintahan presidensial akan tetapi kenyataannya diarahkan berdasarkan maklumat ke sistem parlementer. Dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November dan Maklumat Wakil Presiden Nomor X, bukan saja kekuasaan Presiden menjadi sangat berkurang, akan tetapi sistem pemerintahan pun menjadi berubah (Soemantri,1985;16). Mulai saat itu kabinet kedua dan seterusnya dijabat oleh orang-orang partai politik dan bertanggungjawab kepada parlemen, sebagai penganut sistem pemerintahan parlementer. Berdasarkan sistem pemerintahan parlementer, Pemerintahan dijalankan oleh kabinet, yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Pembentukan kabinet dilakukan dengan persetujuan KNIP sebagai parlemen Indonesia saat itu. Menteri sebagai satu kesatuan kabinet maupun secara sendiri-sendiri bertanggung jawab kepada KNIP. KNIP menentukan pembentukan dan jatuhnya kabinet (Safaat,2011;133). Kelak dimana dalam perjalanannya sistem pemerintahan parlementer ditambah dengan banyaknya jumlah partai politik, yang disertai dengan kurangnya integritas partai politik dalam menegakan kehidupan yang demokratis, telah menyebabkan tidak terjaganya stabilitas pemerintahan dalam menjalankan program kerjanya. Dengan adanya beberapa ketentuan diluar UUD 1945 berupa Maklumat baik oleh Wakil Presiden maupun oleh Soekarno tersebut tentunya memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, bahkan dapat menjungkirbalikan semua kekuasaan Presiden dari semula yang telah diberikan oleh Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 sampai dengan semua ketentuan yang berhubungan dengan sistem pemerintahan yang diatur oleh UUD 1945. Begitu besarnya kekuasaan oleh Presiden yang diberikan oleh Pasal IV Aturan Peralihan dan UUD 1945 itu sendiri, bahkan dengan ketentuan dalam UUD tersebut dapat dikatakan bahwa seorang Presiden dapat berbuat apa saja terhadap ketatanegaraan Indonesia, namun setidaknya dengan adanya perubahan sistem pemerintahan dari sistem pemerintahan presidensial (quasi) menjadi parlementer setidaknya telah membawa dampak yang sangat besar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945. Di mana menurut Maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 itu yang paling penting tanggungjawab pemerintahan berada pada menteri. Otomatis menurut Soehino (2010;38) bahwa pada hari tanggal 14 November 1945, terjadilah perubahan sistem pemerintahan negara, dari sistem pemerintahan kabinet presidensiil berubah menjadi sistem pemerintahan negara kabinet parlementer. Sebenarnya dalam rapat plenonya ketiga di Jakarta pada tanggal 25-27 November 1945, KNIP menerima keputusan ini dan memberi dukungan kepada kebinet Sjahrir. Dengan demikian, praktis posisi Presiden dipisahkan dari posisi kepala eksekutif (Anwar,1998). Dengan diterimanya usul Badan Pekerja KNIP itu, kabinet presidensial di bawah pimpinan Presiden Soekarno meletakan jabatan pada tanggal 14 November 1945 dan diganti oleh kabinet baru dengan Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri (Kusnardi dan Sarigih,1986139). Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945, merupakan Maklumat berisi dua hal yang sangat penting, yaitu susunan Kabinet St. Sjahrir yang pertama dan pertanggungjawabannya. Menurut maklumat itu tanggungjawab berada di tangan menteri. Ini berarti, bahwa dengan keluarnya Maklumat Pemerintah di atas, telah terjadi perubahan sistem pemerintahan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Dengan kata lain telah terjadi perubahan terhadap Undang-Undang Dasar (Soemantri,1985). Sebenarnya, jika kita lihat dalam ketentuan Undang-Undang Dasar tidaklah ada perubahan, dikarenakan tidak ada bunyi dari ketentuan UUD 1945 yang berubah. Namun, jika kita lihat dalam kenyataan ataupun dalam praktik ketatanegaraan, dapatlah kita lihat perbedaan apa yang tertulis dalam UUD 1945 dan terlihat dalam praktek terkait dengan sistem pemerintahan. Dengan demikian, ketentuan UUD 1945 tidak mengalami perubahan, hanya saja prakteklah yang menyimpang dari UUD 1945 berkaitan dengan sistem pemerintahan presidensialisme menjadi sistem pemerintahan parlementer. Dalam hal ini, Suny (1986;40) menyatakan bahwa baik Maklumat Wakil Presiden No. X dan Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945 atas dasar Aturan-Aturan Peralihan dan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah konvensi-konvensi ketatanegaraan yang berasal dari ketentuan-ketentuan yang berdasarkan atas persetujuan yang dinyatakan (express-agreement) antara Presiden dan Badan Pekerja (KNIP). Dengan demikian, Suny menyatakan bahwa Maklumat Pemerintah 14 November 1945 merupakan suatu konvensi ketatanegaraan (convention of the constitution). Pertanyaannya adalah apakah suatu konvensi dapat bertentangan dengan UUD 1945 yang pada dasarnya merupakan hukum yang tertinggi dalam suatu negara?. Lagipula, konvensi merupakan suatu ajaran moral yang tentunya mengikat dalam kehidupan bernegara dalam arti secara pribadi merupakan suatu pedoman yang harus dipatuhi. Sebenarnya apa yang dinyatakan oleh Suny sesuai dengan pendapat Wheare dalam Budiardjo (2008;180) yang menyatakan bahwa dapat saja suatu peristiwa disebut konvensi tanpa sebelumnya telah terjadi, asal ada persetujuan yang jelas (express egreement); ia tidak lahir dari kebiasaan dan tidak pula mempunyai sejarah sebelumnya. Oleh karenanya, apakah suatu Maklumat yang merupakan suatu kesepakatan antara pemerintah dengan KNIP yang jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan UUD 1945 haruskah diikuti? Walaupun tindakan yang dilakukan oleh para the founding father adalah menyimpang jika dilihat dari sudut hukum konstitusi yang berlaku, namun perlu diketahui bahwa hal ini merupakan suatu respon terhadap keadaan yang genting dan memaksa pada saat waktu itu dan kenyataannnya memang dalam praktek dipatuhi (mirip dengan istilah dalam hukum pidana yaitu Overmacht dalam Pasal 48 KUHP, yang tentunya menghilangkan sifat tindak pidana yang dilakukan). Dengan demikian, tidak dapatlah dipersalahkan kepada pemimpin bangsa, terkait langkah yang diambil pada waktu itu yang ternyata terlihat bertentangan dengan UUD 1945, karena keadaan memaksa (overmacht) sebagaimana dimaksud di atas. Terkait dengan The Convention of the constitution sebagaimana yang dinyatakan oleh Suny di atas, maka menurut Asshiddiqie (2006;13) mencakup: (a) kebiasaan-kebiasaan (habits), (b) tradisi-tradisi (tradition), (c) adat istiadat (custom), (4) praktek-praktek (practices and usages). Dapatlah dikatakan bahwa pada periode ini menurut Muhammad (1986;187) merupakan revolusi fisik antara tahun 1945 dan tahun 1950 dan beberapa tahun pertama sesudah tahun 1950 ituyaitu pada zaman yang kita perlukan untuk mengkonsolidasi segala yang telah kita peroleh sebagai hasil revolusi fisik antara tahun 1945 dan tahun 1950. Sehingga apa yang diharapkan oleh aturan formal yang berlaku tentunya tidak dapat dijalankan sepenuhnya, yaitu sesuai dengan apa yang benar-benar tercantum dalam teks UUD 1945, hal ini tentunya telah disadari pula oleh para pendiri bangsa yang lebih mempertimbangkan untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru dicapai ketimbang mengikuti prosedural formal semata. Bagi para pendiri negara itu sendiri kemerdekaan adalah segala-galanya, sedangkan konstitusi barulah akan berlaku jika kemerdekaan benar-benar dapat dicapai dan dipertahankan. Tanpa itu, konstitusi hanyalah sebuah secarik kertas yang tidak berharga tentunya karena tidak dapat berlaku.Seperti apa yang dikatakan oleh Mahmud MD (2001;90) seperti di bawah ini, yang dalam pernyataannya terkait dengan perjalanan UUD 1945 yang mengalami pasang surut.Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar 1945 dalam gerak pelaksanaannya juga mengalami pasang surut, pasang naik dan timbul tenggelam. Pasang naik dan pasang surut itu bisa digambarkan bahwa pada suatu saat Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku, tapi pada saat yang lain dinyatakan tidak berlaku lagi atau bisa juga, Undang-Undang Dasar 1945 itu dinyatakan berlaku secara resmi tapi dalam praktik pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan atau ditinggalkannya asas-asas yang terkandung di dalamnya.Hal yang senada dinyatakan oleh Joeniarto (1996;46) bahwa Undang-Undang Dasar adalah undang-undang dasar revolusi, undang-undang dasar perjuangan. Sebagaimana hal dengan revolusinya, maka Undang-Undang Dasar 1945 mengalami pula masa-masa pasang surut. Pernyataan demikian dapat diketahui dalam perjalanannya, mulai ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi hingga kemudian UUD 1945 diberlakukan sebagai konstitusi dalam salah satu negara bagian, yang dikarenakan digantikan dengan KRIS sebagai konstitusi serikat, yang mengubah bentuk negara kesatuan. Dengan demikian, sebenarnya UUD 1945 memang belum sepenuhnya dapat diterapkan sebagaimana mestinya, tidak lain dikarenakan berbagai keadaan yang menyebabkan untuk tidak memberlakukan UUD 1945. Dan hal itu, juga tentunya mendapatkan dukungan yang luas baik oleh para pendiri negara serta diterima secara luas oleh seluruh rakyat Indonesia. Sehingga diawali dengan adanya kesepakatan politik yang kemudian menjadi yuridis (yuritische geltung), sampai pada akhirnya diterima secara sosiologis (soziologische geltung) serta tentunya juga kekuatan keberlakuannya secara filosofis (filosopische geltung). Tentunya penerimaan dengan berbagai penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa-masa revolusi, karena berguna dan diakui kegunaannya (Anarkennungstheori) oleh rakyat, hal ini merupakan salah satu tinjauan dari sudut keberlakuan suatu hukum tentunya termasuk konstitusi sebagai sebuah hukum. Tentunya jika tinjau daripada kekuatan berlaku secara sosiologis (soziologische geltung) itu sendiri, dapat dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu :a. Menurut teori kekuatan (Mahchtstheori) hukum yang mempunyai kekuatan berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlaku oleh penguasa, terlepas dari diterima ataupun tidak oleh masyarakat.b. Menurut teori pengakuan (Anarkennungstheori) hukum yang mempunyai kekuatan berlaku secara sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga masyarakat (Mertokusumo,1996;81). Sehingga dari teori sosiologis (soziologische geltung) maka, berkaitan dengan tindakan yang diambil oleh para pendiri negara walaupun bertentangan dengan UUD 1945, namun dari segi sosiologis telah mendapatkan dukungan dari rakyat. Setidaknya hal ini disebabkan oleh pengakuan (Anarkennungstheori) rakyat terhadap kegunaan daripada penyimpangan tersebut.2. Periode 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950 (RIS)Beberapa saat setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, pihak Belanda berusaha untuk menguasai kembali bekas jajahannya dengan mendompleng Angkatan Perang Inggris yang diberi tugas oleh pihak Sekutu untuk menduduki daerah-daerah yang dikuasai oleh angkatan Perang Jepang. Usaha Belanda kembali ke Indonesia membawa akibat terjadinya konflik antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda (Soemantri,1985;5). Bahkan, berbagai usaha berupa percobaan untuk menghapuskan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dengan demikian Belanda berharap dapat menjajah kembali Indonesia. Usaha pertama yang dilakukan Belanda untuk menguasai Indonesia yaitu berupa Agresi Militer pertamanya pada tanggal 21 Juli 1947 yang tentunya telah menghianati perjanjian Linggarjati (Rindjin,2009;302). Kemudian disusul dengan peristiwa selanjutnya pada tanggal 18 Desember 1948, dimana pada saat Pemerintah Belanda melancarkan aksi militer kedua (Agung,1995). Keinginan Belanda yang ingin menjajah kembali bangsa Indonesia tentunya mendapat perlawanan yang sengit dari segenap komponen bangsa Indonesia. Dengan keyakinan, disertai cinta dan semangat yang tinggi untuk tetap mempertahankan tanah air (nationalism), segenap komponen bangsa dengan sadar mengadakan perlawanan baik dengan senjata, maupun dengan jalur diplomasi untuk menghadapi keinginan Belanda tersebut. Bahkan, di berbagai daerah telah meletus berbagai pertempuran antara pihak Belanda dengan Indonesia, yang telah menimbulkan korban yang tidak sedikit daripada kedua belak pihak. Dari pihak Belanda yaitu Van Mook mempunyai ide untuk menghancurkan negara NKRI secara perlahan-lahan yaitu dengan cara memecah belahnya menjadi negara-negara kecil, taktik ini bisa dikatakan dengan istilah devide et impera, sehingga dengan hancurnya negara republik Indonesia otomatis Belanda akan dapat menjajah Indonesia. Dalam hal ini, Kansil (1985;129) menyatakan bahwa di samping kekerasan senjata yang dilancarkan terhadap RI, Belanda menjalankan politik federalismus, sebagai politik devide et impera untuk memecah-belah persatuan bangsa. Hal tersebut memicu terjadinya berbagai pertempuran antara Indonesia dan Belanda, yang mengundang perhatian dunia khususnya PBB yang merasa prihatin terhadap meletusnya peristiwa tersebut sehingga atas desakannya agar Indonesia dan Belanda segera melakukan perundingan untuk mengakhir konflik antara Indonesia dan Belanda. Paling tidak untuk sementara waktu tidak terjadi tembak menembak antara kedua bela pihak untuk mengurangi korban. Dari berbagai usaha yang dilakukan oleh Indonesia dan Belanda baik yang dilakukan atas usaha kedua negara tersebut maupun atas tekanan dari dunia internasional akhirnya disepakatilah suatu perundingan yang dinamakan dengan Konperensi Meja Bundar. Terkait dengan hasil konperensi tersebut yang menyangkut bidang ketatanegaraan, Djamali (2008;114) menyatakan pendapatnya bahwa.Salah satu hasil konferensi yang menyangkut bidang ketatanegaran adalah berubahnya bentuk negara republik Indonesia dari bentuk negara kesatuan menjadi negara serikat atau berbentuk federal. Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Serikat sebagai konstitusinya. Menurut sejarahnya, pembentukan konstitusi RIS dilakukan sejak Konperensi antar Indonesia berlangsung dan pertemuan Jakarta tanggal 31 Juli -2 Agustus 1949 yang kemudian dilanjutkan di Belanda selama Konperensi Meja Bundar berlangsung.Setelah adanya perjanjian Meja Bundar antara Belanda dengan Indonesia, maka disetujui bahwa negara Indonesia tidak lagi berbentuk kesatuan, melainkan akan berbentuk federal. Negara federal mulai berdiri, yang ditandai dengan disahkan Konstitusi RIS, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949. Menurut Pasal 2 konstitusi RIS, Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah Indonesia, yaitu daerah bersama dari :a. Negara Republik Indonesia dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam persetujuan Renvile tanggal 14 Januari 1948, yaitu Negara Indonesia Timur. Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Jakarta. Negara Jawa Timur. Negara Madura. Negara Sumatra Timur, dengan pengertian bahwa status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu sehubungan dengan Negara Sumatra Timur tetap berlaku.b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri adalah sebagai berikut: Jawa Tengah. Bangka. Riau Kalimantan Barat (daerah istimewa). Dayak Besar. Daerah Banjar Kalimantan Tenggara. Kalimantan Timur.a dan b adalah daerah-daerah bagian yang dengan kegembiraan menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan federasi Republik Indonesia Serikat, berdasarkan yang ditetapkan dalam konstitusi ini.c. Daerahdaerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.Pemerintah Indonesia di Yogyakarta sebagai negara bagian dari Republik Indonesia Serikat mempunyai program kabinet, yang terpenting adalah : meneruskan perjuangan untuk mencapai Negara Kesatuan yang meliputi seluruh kepulauan Indonesia dan dimaksudkan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945 (Prodjodikoro, 2008;10-11). Jika kita lihat kembali, dikatakan bahwa Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah sebuah negara federal, yang menggambungkan lima belas negara bagian yang telah didirikan Belanda selama tiga tahun sebelumnya di wilayah yang didudukinya, sebagai bagian usaha melawan Republik Indonesia (RI) yang revolusioner itu. Namun, Republik revolusioner yang menjadi anggota keenam belas RIS inilah yang mendominasi struktur federal. Sehingga yang mereka yang naik ke tampuk kekuasaan pada bulan Desember 1949 adalah para pemimpin yang berkuasa dari masa revolusi. Soekarno menjadi presiden dan Hatta menjadi perdana menteri Republik baru itu (Feit,2001;10). Walaupun bentuk negara adalah serikat, pada dasarnya tidaklah mengurangi perjuangan bangsa Indonesia dalam membentuk negara kesatuan sebagaimana saat diproklamasikan.Dengan demikian, kedudukan UUD 1945 setelah keluarnya Konstitusi RIS sebagai hasil dari KMB, menurut Rato (2009;145-146) bahwa UUD 1945 tidak diberlakukan sejak berlakunya Konstitusi RIS (pada saat itu UUD 1945 hanya berlaku di Republik Indonesia), sebagai negara bagian RIS dengan ibu kotanya Jogyakarta. Otomatis kekuatan mengikatnya UUD 1945 tidak seperti sebelumnya, yang mana tentunya mengikat seluruh wilayah NKRI, sedangkan sekarang hanyalah merupakan sebuah negara bagian, yang tentunya UUD 1945 hanya mengikat negara bagian tersebut. Bahkan dalam hal ini, Kansil (1986;54) berpendapat bahwa pada masa Republik Indonesia Serikat, UUD 1945 menjadi turun derajatnya dan berkurang wilayah berlakunya, oleh karena UUD 1945 hanya berlaku di negara bagian Republik Indonesia. Kesediaan bangsa Indonesia untuk menerima hasil konferensi di atas adalah, hanya sebuah taktik untuk membentuk negara kesatuan, sebagai mana pada saat proklamasi, seperti yang dinyatakan oleh Prodjodikoro di atas. Dengan demikian sasaran yang harus dicapai dengan KMB ialah mengakhiri segala pertikaian dan pertentangan dengan pihak Belanda di segala lapangan kenegaraan: politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan(Purbopranoto,1981;78). Dapat dikatakan bahwa Konperensi Meja Bundar, merupakan taktik dari pihak Indonesia agar dapat terlepas dari pertikaian yang berkepanjangan dikedua belah pihak, ini merupakan kebijakan yang diambil oleh pendiri negara pada waktu, yang lebih mendahulukan kepentingan rakyat, agar tidak ada lagi korban jiwa yang berjatuhan akibat konflik tersebut. Lagipula dalam hal ini, Konstitusi RIS adalah hasil maksimal yang bisa dicapai oleh pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang berjuang di pihak Republik, guna mewujudkan keutuhan dan kesatuan bangsa dan wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke (Damal,1986;35). Bagi bangsa Indonesia bentuk negara serikat hanyalah merupakan bentuk kesepakatan yang hanya bersifat sementara, yang nantinya akan diperjuangkan kembali lewat jalur konstitusional untuk mencapai negara kesatuan sebagaimana perjuangan awal bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam UUD 1945 yaitu untuk membentuk negara kesatuan yang dilandasi rasa persatuan. Artinya, dengan terbentuknya RIS melalui Konperensi Meja Bundar, belumlah berarti bahwa perjuangan bangsa Indonesia berakhir sampai di sini, bahkan dengan terbentuknya RIS merupakan titik tolak awal daripada perjuangan untuk kembalinya Indonesia dalam menyatukan bagian-bagian wilayah Indonesia sehingga menjadi negara kesatuan, sebagaimana yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Budiardjo (2008;281) yang menyatakan karena bentuk negara federal ini hanya dianggap sebagai suatu adempauze, saat bernapas, dalam perjuangan kita untuk menyelenggarakan terwujudnya negara kesatuan yang merdeka. Hal ini sangat terlihat jelas ketika permulaan tahun 1950 timbul desakan-desakan rakyat untuk membubarkan negara-negara bagian (Attamimi,1990;258). Dan akhirnya tidak lebih dari 8 bulan perjalanannya bentuk negara serikat dengan dasar hukumnya KRIS tidak berlaku, tidak lain dikarenakan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, dengan UUD Sementara 1950 sebagai dasar hukumnya. Konstitusi Republik Indonesia Serikat tidaklah dimaksudkan sebagai konstitusi yang bersifat tetap melainkan merupakan konstitusi yang hanya bersifat sementara, ketentuan tersebut dapatlah dilihat dari Pasal 186 KRIS. Intinya dalam ketentuan tersebut menyatakan, bahwa konstitusi Republik Indonesia Serikat bersifat sementara, yang nantinya akan diganti dengan konstitusi yang bersifat tetap oleh sebuah badan yang bernama Konstituante. Namun, pada kenyataan sampai berakhirnya KRIS, badan sebagaimana dimaksud oleh KRIS yang nantinya akan membuat konstitusi baru yang akan menggantikan KRIS belumlah dapat dibentuk.Sistem pemerintahan dianut oleh KRIS adalah sistem pemerintahan parlementer, dimana tanggungjawab utama pemerintahan terletak pada perdana menteri dan menteri sebagai kabinet. Namun, dalam sistem pemerintahan berdasarkan KRIS tidak ada kabinet yang jatuh dikarenakan mosi tidak percaya dari parlemen. Hal ini tidak lain dikarenakan belum adanya lembaga perwakilan rakyat yang anggota-anggotanya benar-benar dipilih melalui pemilihan umum yang dapat mewakili kehendak rakyat, sehingga dengan demikian tidaklah berhak untuk membubarkan kabinet.3. Periode 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 (Liberal)Akhirnya bentuk negara federal hasi rekaya Van Mook ternyata tidaklah berumur lama begitu juga dengan dasar hukum federasi tersebut yaitu Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dan ternyata hanya dalam waktu delapan bulan saja bentuk federal sudah dibatalkan dan dalam bulan Agustus 1950 diganti dengan bentuk negara kesatuan (Budiardjo,2008;281). Sejak Semula sudah terang bahwa rakyat dari daerah-daerah bagian diseluruh Indonesia menghendaki pembentukan suatu negara kesatuan. Di beberapa tempat timbul demonstrasi-demonstrasi yang menyatakan keinginan mereka untuk merubah bentuk negara federasi menjadi negara kesatuan (Suny,1986). Dari kenyataan itu jelas bahwa rakyat Indonesia tidak menghendaki lagi bentuk negara federal melainkan bentuk negara kesatuan (Soemantri,1992;139). Hal ini dapatlah kita ketahui bahwa awal mula perjuangan bangsa ini untuk merebut kemerdekaan dari penjajah adalah bertujuan untuk membentuk sebuah negara kesatuan yang tentunya bertumpu pada semangat persatuan, yaitu adanya kehendak bersama dan nasib sepenanggungan yakni sebagai bangsa yang terjajah. Maka tiada lain, hanya dengan membentuk negara kesatuan kembali sehingga rakyat tidak lagi melakukan berbagai bentuk tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan yang anarkis, padahal dalam hal ini sebenarnya hanya menginginkan Indonesia untuk kembali menjadi negara kesatuan dengan mengubah bentuk federal yang hanya merupakan rekayasa Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan Indonesia. Dan tampaknya keinginan rakyat tersebut akan cepat dapat diwujudkan oleh pemimpin bangsa, tidak lain dikarenakan berbagai situasi yang terjadi diberbagai daerah yang benar-benar mengancam keberadaan negara ini, sehingga tidak ada pertimbangan lagi untuk mempertahankan bentuk negara serikat tersebut. Menurut Prodjodikoro (2008;11) bahwa dalam beberapa bulan saja berturut-berturut hampir semua negara (daerah) bagian diluar Negara Bagian Republik Indonesia, sama menggabungkan diri pada Republik Indonesia sehingga pada pertengahan tahun 1950 Republik Indonesia serikat hanya terdiri atas tiga negara bagian, yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatra Timur. Karena tuntutan yang kuat untuk kembali ke negara kesatuan, akhirnya berdasarkan Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950 ditetapkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) yang disahkan pada tanggal 15 Agustus 1950 (Safaat,2011;133-134). Pada 17 Agustus 1950 Indonesia kembali kepada negara kesatuan dengan memberlakukan UUD Sementara 1950 (Mahkamah Konstitusi,2010;59,Jilid IV). Dengan disahkannya UUDS 1950, maka bentuk negara kesatuan kembali seperti setelah kemerdekaan, namun dikurangi Papua Barat (Irian Jaya). Jika ditinjau dari sudut ketatanegaraan dalam masa ini disebut dengan demokrasi liberal ditandai oleh dilaksanakannya UUD Sementara 1950, yang ditetapkan berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950, sebagai dasar negara kesatuan II, Republik Indonesia (Mudyahardjo, 2010;385). Jadi dasar yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk menyatakan bahwa NKRI adalah sebuah negara demokrasi yang sifatnya liberal oleh Mudyahardjo, yaitu UUDS 1950. Kalaulah kata liberal diterjemahkan berarti kebebasan, dengan kata lain bahwa istilah tersebut yang selalu diutamakan adalah kebebasan individu di atas kepentingan yang lain. Dengan kata lain, kepentingan yang bersifat pribadi merupakan kepentingan yang tidak bisa digantikan oleh yang lainnya. Tentunya bila kepentingan individu tersebut direalisasikan dalam kehidupan bernegara maka akan diperoleh bentuknya yang konkret yaitu sistem pemerintahan parlementer. Periode demokrasi parlementer (1950-1957) merupakan periode ketidakpastian yang ditandai oleh tidak tercapainya konsensus mengenai tujuan-tujuan sosial dan ekonomi yang hendak dicapai dan pemberontakan-pemberontakan daerah yang dilandasi oleh agama etnik dan ketidakpuasan terhadap kelemahan pusat (MacAndrews dan Amal,2003;13). Hal ini dapatlah terlihat berbagai gerakan yang dilakukan oleh daerah yang mencoba untuk memisahkan diri dari NKRI, dikarenakan adanya rasa ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat terutama terkait dengan konsep keadilan. Selain hal tersebut, yang menjadi sorotan utama dalam periode ini adalah stabilitas pemerintahan yang amat lemah, dengan ditandai oleh sering kali jatuhnya kabinet karena mosi tidak percaya dari parlemen. Berkaitan dengan sistem ketatanegaraan, jelaslah terlihat bahwa sebenarnya konsep yang dianut oleh KRIS dan UUDS adalah berbeda satu sama lainnya. Apabila kita membandingkan pokok isi UUD Sementara ini dengan pokok isi Konstitusi RIS. Maka perbedaannya, kecuali perbedaan yang terbawa oleh sebab Konstitusi RIS berbentuk federasi, sedang UUD Sementara ini berbentuk unitaristis (Soepomo,1954; 13). Hal yang sama tentang berlakunya UUD Sementara 1950 yang membawa akibat terbentuk negara kesatuan, juga dinyatakan oleh Wiranata (2005;42) bahwa akibat kondisi politik waktu pemerintah menetapkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 karena berbentuk negara Republik juga mengalami perombakan. Perombakan sebagaimana dimaksud adalah berubahnya bentuk negara dari negara serikat sebagaimana dalam KRIS, kemudian menjadi negara kesatuan seperti dalam UUDS 1950.Jika dipandang dari sudut sejarah maka Undang-Undang Dasar 1950 ini telah merupakan suatu perbaikan dari pada dua Undang-Undang Dasar yang berlaku lebih dulu, tapi tidak hanya Undang-Undang Dasar 1945 dan 1949, tapi Undang-Undang Dasar 1950 pun mengakui diri sebagai sementara karena tidak dibentuk oleh wakil-wakil yang terpilih oleh rakyat dalam pemilihan umum (Pringgodigdo,1981;15). Didasari pemikiran yang luhur bahwa idealnya sebuah konstitusi harusnya buat oleh sebuah lembaga perwakilan rakyat, yang anggota-anggotanya memang dipilih sendiri oleh rakyat melalui pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sehingga konstitusi yang dibentuk itu benar-benar merupakan kehendak rakyat serta merupakan konstitusi yang demokratis. Tetapi setidaknya, dengan adanya perubahan bentuk negara serikat kemudian menjadi negara kesatuan, yang bertujuan untuk memenuhi kehendak rakyat yang berdaulat tentunya sudah membuktikan bahwa UUDS 1950 adalah undang-undang yang demokratis. Dengan demikian, UUDS 1950 sedikit tidaknya telah memenuhi keinginan rakyat yang berdaulat terutama untukmembentuk sebuah negara dengan bentuk kesatuan. Terkait dengan bentuk negara kesatuan yang akan dibentuk pada waktu itu, Soepomo (1954;8) menyatakan bahwa negara kesatuan akan diperdapat dengan mengubah Konstitusi RIS sedemikian rupa, sehingga esentialia UUD Republik Indonesia, antara lain pasal-pasal 27, 29, dan 33 ditambah dengan bagian-bagian yang baik dari Konstitusi RIS termasuk di dalamnya. Ini membuktikan bahwa dengan dirubahnya KRIS 1949 menjadi UUDS 1950, hanyalah menyesuaikan ketentuan yang ada di dalamnya agar sesuai dengan bentuk negara kesatuan yang akan dibentuk, tentunya berbeda dengan ketentuan sebelumnya, yang pada dasarnya KRIS 1949 menganut bentuk negara serikat. Merupakan suatu agenda utama yang memang sangat dikehendaki untuk memenuhi kehendak rakyat secepatnya, serta dengan suatu pertimbangan yang matang bahwa UUDS 1950 yang dibentuk tersebut bukanlah undang-undang yang bersifat tetap melainkan suatu undang-undang dasar yang masih bersifat sementara (intrim). Dan tentunya nanti akan dibuat suatu konstitusi yang baru serta bersifat tetap yang dibuat oleh lembaga negara yang dibentuk dan anggota-anggota yang duduk di dalamnya dipilih oleh rakyat sendiri, sehingga konstitusi yang disusun benar-benarlah merupakan suatu cerminan daripada kedaulatan rakyat.Berkaitan dengan sistem pemerintahan yang dianut pada waktu itu adalah sistem pemerintahan parlementer, yang ditandai oleh kabinet atau dewan menteri yang silih berganti atau jatuh bangun. Penyebab utama jatuh bangunnya kabinet/dewan menteri tersebut tidak lain disebabkan sistem pemerintahan yang dianut yaitu sistem pemerintahan parlementer, yang mengutamakan tanggungjawab pemerintahan oleh kabinet kepada parlemen. Mungkin inilah yang bisa dikatakan sebagai ciri daripada liberalism dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yang memang mengutamakan kepentingan pribadi di atas segala-galanya, termasuk juga di atas kepentingan bangsa dan negara. Tentunya, dengan sering kali kabinet jatuh akan menjadi pemicu dari instabilitas jalannya pemerintahan, yang pada akhirnya tidak akan dapat menyelesaikan programnya untuk menyejahterakan rakyat. Inilah yang mendasari UUDS 1950 yang mengutamakan tanggungjawab pemerintahan pada perdana menteri beserta menteri-menterinya sebagai kesatuan kabinet kepada parlemen. Dengan demikian, ketentuan UUDS 1950 memiliki berbagai persamaan dengan negara-negara lain yang tentunya juga menganut sistem pemerintahan parlementer.Bahkan jika kita telusuri riwayat dari sejarah pembuatan UUDS 1950 itu sendiri, maka kita dapatlah mengutip pendapat dari Soepomo (1954;100) yang mengutip bunyi pasal 95 Konstitusi Itali membandingkan dengan ketentuan UUDS 1950 yang juga sama-sama menganut sistem pemerintahan parlementer, bunyinya yaitu The ministers are responsible collectively for actions of council of ministers and individually for those of their own ministers, serta Pasal 48 konstitusi Perancis yang berbunyi : The ministers shall be collectively responble to the National Assembly for general policy of cabinet and individually responble for their personel action. Dari kutipan pasal di atas tersebut, hanyalah bertujuan untuk membandingkan sistem pemerintahan parlementer antara Indonesia dengan dua negara yang pada dasarnya sama-sama menganut sistem pemerintahan parlementer yang mengutamakan tanggungjawab kabinet kepada parlemen. Akibat dari pertanggungjawaban kabinet kepada parlemen yang dianut oleh UUDS 1950, telah menyebabkan instabilitas pemerintahan yang ditandai dengan sering kalinya kabinet jatuh dikarenakan tidak mendapatkan dukungan suara dalam menjalankan pemerintahan dari parlemen. Hal ini terlihat dengan jelas dari jumlah kabinet yang jatuh hanya dalam kurun waktu 1950 sampai dengan 1959. Pada waktu itu, parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat merupakan suatu representasi daripada kedaulatan rakyat yang benar-benar menunjukan kinerja dan kelasnya sebagai wakil-wakil rakyat, dengan melakukan kontrol atau pengawasan yang sangat efektif terhadap kabinet, bahkan terlampau saking efektifnya dalam melaksanaan pengawasan terhadap kabinet oleh parlemen tersebut telah menyebabkan jatuhnya kabinet karena mendapat mosi tidak percaya dari parlemen.Tampak dari 7 (tujuh) buah kabinet yang muncul dan silih berganti dalam periode 1950 sampai 1959. Pada waktu berlakunya Undang-Undang Sementara 1950 yang memang menganut sistem pemerintahan parlementer - jadi selama lebih kurang 9 tahun Negara Kesatuan RI mempunyai 7 (tujuah) kabinet dengan usia sebagai berikut.1. Kabinet Moh. Natsir, 6 September 1950-21 Maret 1951;2. Kabinet Sukiman, 27April 1951 3 April 1952;3. Kabinet Wilopo, 3 April 1952 30 Juli 1953;4. Kabinet Ali, Wongso, Arifin, 30 Juli 1953 12 Agustus 1955;5. Kabinet Burhanuddin Harahap, 12 Agustus 1955 3 Maret 1956;6. Kabinet Ali, Roem, Idham, 24 Maret 1956 14 Maret 1957;7. Kabinet Djuanda, 9 April 1957 10 Juli 1959 (Djamali dalam Hutabarat dkk,1996;25).Hal tersebut menandakan bahwa Indonesia pada waktu itu memang mengalami krisis politik yang tidak berkesudahan dan menyusul berbagai kejadian yang lainnya yang turut menambah dan menjadikan situasi semakin sulit untuk bisa diatasi oleh para pengambil kebijakan. Menurut Cangara (2009;4) bahwa krisis politik yang menyebabkan kabinet telah menimbulkan rasa tidak puas di kalangan pemerintahan Indonesia, ditambah dengan mundurnya Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden 1956. Sebelumnya dapatlah dikatakan bahwa kecilnya peranan yang diberikan kepada seorang Presiden dan Wakil Presiden oleh UUDS 1950, padahal secara moral sebenarnya memiliki tanggungjawab yang begitu besar seperti diharapkan oleh publik. Penulis berani mengatakan demikian disebabkan kepribadian dan peranannya yang dilakukan dalam perjuangan kemerdekaan (Kusnardi dan Sarigih,1986;140). Sebelum mundurnya Hatta, Pada tahun 1952-1953 memperlihatkan secara umum melemahnya Hatta dan orang-orang lain yang serupa pandangannya, dan bersamaan itu terjadi kebangkitan Soekarno dan kelompok-kelompok nasional radikal di dalam partai-partai dan Angkatan Darat (Feit,2001;14). Sepeninggal Hatta pada tahun 1956 dari kursi Wakil Presiden dengan kemauan sendiri, sungguh pun banyak pihak-pihak yang mengharapkan ia terus juga memegang jabatan tersebut (Noer,1983;43). Keadaan ini tidak dapat dilepaskan dari situasi dan kondisi pemerintahan pada waktu itu, yang benar-benar tidak daya dalam menjalankan programnya, karena terlebih dahulu jatuh oleh mosi tidak percaya dari parlemen. Bahkan, alasan-alasan yang menjatuhkan kabinet terkadang bukanlah suatu kesalahan yang bersifat fatal bahkan sifatnya relatif, yang berarti faktor politislah yang mendominasi alasan parlemen untuk menjatuhkan kabinet. Dengan demikian, jelas sekali bahwa ketidakdewasaan dalam berpolitik merupakan faktor utama yang menyebabkan jatuh bangunnya kabinet, ditambah faktor lain lagi yaitu kurang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi ataupun golongan menyebabkan kesulitan untuk menemukan titik pemecahan permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun pada waktu itu telah diusahakan untuk membangun sebuah kabinet yang solid dengan menjalin koalisi antar partai politik, namun kenyataannya koalisi yang terbentuk belumlah sepenuhnya dapat menjamin adanya stabilitas pemerintahan. Tidak lain, disebabkan dengan terlalu banyaknya partai politik yang terlibat untuk berkompetisi dalam memperebutkan kursi di parlemen, menyebabkan tidak adanya satu kekuasaan mayoritas yang dapat menguasai kursi di parlemen, menyebabkan kabinet yang dibentuk berdasarkan koalisi dari berbagai macam kepentingan tidaklah dapat berbuat banyak dalam usahanya untuk merealisasikan programnya, karena tidak dapat bertahan dalam menghadapi terpaan badai berupa mosi tidak percayaa dari parlemen. Terkait dengan jatuhnya kabinet yang hanya dalam waktu singkat disebabkan oleh mosi tidak percaya dari parlemen yang pada dasarnya parlemen itu sendiri secara tidak langsung dibentuk oleh partai-partai politik yang memperoleh kursi setelah mengikuti pemilihan umum. Dengan 7 buah kabinet yang jatuh dalam waktu yang singkat seperti itu, dengan demikian berarti usia tiap-tiap kabinet kurang lebih 2 (dua) tahun. Oleh karena itu, Ismail Suny (1986;196) yang mengutip pidato Soekarno, yang dalam hal ini menyatakan ketidak puasannya terhadap sistem multipartai.Tak seorangpun akan membantah bahwa suatu parlemen yang bercorak sedemikian itu akan sukar untuk memegangnya. Diharapkan bahwa pemilihan umum akan menyapu bersih sebagian besar dari pembagian yang tak pada tempatnya ini. Komentar presiden Soekarno mengenai sistem partai pada waktu itu: Akan tetapi, perkembangan demokrasi itu kadang-kadang menunjukan gejala-gejala, bahwa penggolongan ke dalam dua macam-macam partai itu bukan lagi penggolongan yang sehat, tetapi sudah mendekati sifat perpecah-pecahan. Bukan sifat defrensiasi yang rasionil, tetapi sudah versplinitering. Saya katakan perpecah-pecahan atau versplintering, oleh karena banyak dari partai-partai itu tidak menunjukan perbedaan-perbedaan besar mengenai dasar yang prinsipil. Tidak! Banyak dari partai-partai itu sangat boleh jadi hanya disebabkan oleh nafsu menonjolkan diri dari beberapa orang yang kurang mendapat perhatian masyarakat; oleh nafsu distintie-drang; oleh nafsu ingin berpengaruh. Oleh nafsu dia -mau-kursi, bukan demokrasi. Apa yang kita alami diwaktu-waktu belakangan ini ialah kadang-kadang bukan mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat, melainkan mempertahankan kepentingan golongan sendiri dan kepentingan diri sendiri, dan menjamin kepentingan kepentingan golongan sendiri dan kepentingan sendiri.Dengan mengutip pendapat Sanusi, Kantaprawira (1990;68) yang mencoba untuk mengambarkan bagaimana situasi dan kondisi perpolitikan pada waktu itu, ia menyatakan bahwa semua pemerintahan pada dasarnya adalah bersifat koalisi; karena itu pergeseran dukungan dari kelompok yang kecil sekali pun sudah cukup untuk menimbulkan perimbangan baru dalam parlemen. Krisis kabinet bisa terjadi setiap saat akibat soal kecil-kecil yang dipermasalahkan beberapa orang wakil yang menimba keuntungan dari krisis tersebut. Masoed dan MacAndews (2006;55-56) menyatakan hal yang sama penyebab jatuhnya kabinet dikarenakan kekurang mantapan kabinet sebagian berasal pula dari kenyataan bahwa ia merupakan sebuah koalisi yang bisa digoyahkan oleh pertikaian-pertikaian yang terjadi antara partai-partai yang mendukungnya. Rupanya memang begitu, perangai mudah berkonflik masih melekat kuat, sehingga kabinet sering mengalami kesulitan mencapai consensus. Merpaung (2005;42) berpendapat bahwa dalam suasana pemerintahan parlementer, di mana partai-partai politik dan politisi dinilai tidak mampu mencegah pertarungan di antara mereka sehingga menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan.Dalam sistem pemerintahan demokrasi konstitusional parlemen adalah merupakan representasi dari rakyat, terutama dalam sistem pemerintahan parlementer yang meletakan pusat kekuasaan pada lembaga parlemen. Perlu diketahui bahwa keanggotaan dalam parlemen adalah biasanya dipilih melalui pemilihan umum, namun yang bisa ikut menjadi kontestan untuk mengajukan calon guna menduduki kursi di parlemen adalah partai politik. Dengan demikian, maka sistem kepartaian yang dipilih dalam suatu negara tentunya juga akan sangat berpengaruh terhadap sistem pemerintahan yang dijalankan. Jika saja sistem kepartaian yang digunakan adalah dua partai (dwi partai) dengan sistem pemerintahan parlementer maka akan jelaslah pembagian tugas antara partai politik yang memenangkan suara rakyat dalam pemilu yang berarti bertugas untuk memegang pemerintahan dengan partai politik yang kalah dalam pemilihan umum yang bertugas sebagai oposisi/pengecam. Jika ditelusuri riwayat sejarah dalam perjalanannya yaitu pada periode berlakunya UUDS 1950, dapat dikatakan bahwa tidak ada partai politik mayoritas yang memegang tanggungjawab yang jelas dalam pemerintahan, dikarenakan tidak adanya satu partai politik yang mampu memegang kursi lebih dari setengah di parlemen dengan tujuan untuk mengendalikan parlemen. Bahkan untuk menutupi kekurangan sistem kepartaian yang dianut pada waktu (multi partai) adalah dengan mengadakan koalisi antara partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen. Namun, patutlah disayangkan bahwa koalisi tersebut tidaklah mampu menegakan stabilitas daripada pemerintahan, dikarenakan partai-partai hanya mengkalkulasikan setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dengan keuntungan maupun kerugian yang diperoleh partai yang bersangkutan jika kebi