tugas 4 partisipasi politik

24
Daftar Isi I. Pendahuluan.......................................................1 II. PEMBAHASAN........................................................2 2.1. Pengertian Partisipasi Politik Menurut Para Ahli...............2 2.2. Landasan Partisipasi Politik...................................4 2.3. Partisipasi Politik Dalam Pemilihan Umum.......................4 2.3.1. 98 dan awal baru kebebasan berserikat......................5 2.3.2. Rakyat; Menjawab Dengan Golput.............................6 2.3.3. Representasi Semu Wakil Rakyat.............................8 2.3.4. Memperkuat Peran Partai Politik............................9 III. PENUTUP........................................................ 11 3.1. Kesimpulan....................................................11 Daftar Pustaka 0

Upload: suratmanalimuddin

Post on 19-Oct-2015

55 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Daftar IsiI.Pendahuluan1II.PEMBAHASAN22.1.Pengertian Partisipasi Politik Menurut Para Ahli22.2.Landasan Partisipasi Politik42.3.Partisipasi Politik Dalam Pemilihan Umum42.3.1.98 dan awal baru kebebasan berserikat52.3.2.Rakyat; Menjawab Dengan Golput62.3.3.Representasi Semu Wakil Rakyat82.3.4.Memperkuat Peran Partai Politik9III.PENUTUP113.1.Kesimpulan11Daftar Pustaka

PENDAHULUAN Partisipasi politik adalah kegiatan yang dilakukan warga dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan politik . Partisipasi politik ini dilakukan warga mengingat posisinya sebagai anggota masyarakat dan menjalankannya dengan sukarela, bukan dimobilisasi oleh pejabat politik ataupun partai yang berkuasa. Menurut Paige yang dikutip Oleh Ramlan (1999:144) Yang menentukan tinggi-rendahnya partisipasi politik seseorang adalah kesadaran politik serta kepercayaan terhadap pemerintah/sistem politik. Sebagaimana dikemukakan oleh Herbert Miclosky (1991:9) bahwa partisipasi politik adalah suatu bentuk kegiatan sukarela dari warga masyarakat tanpa paksaan dimana mereka ikut andil dalam proses pemlihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, ikut ambil bagian dalam proses pembentukan kebijakan publik. Dalam hal ini, masyarakat hendaknya ikut serta dalm politik berdasarkan hati nurani.Indonesia adalah negara demokrasi yang kita tahu bahwa Dari rakyat, Oleh rakyat dan Untuk rakyat. Oleh karena itu, keikutsertaan individu sebagai anggota masyarakat sangat memengaruhi dalam mewujudkan kepentingan umum. Kegiatan itu hendaknya didukung dengan rasa suka rela dan spontan ketika merealisasikannya dalam wujud keikutsertaan. Melalui kegiatan-kegiatan politik ini pula, partisipasi masyarakat dapat meningkat. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan partisipasi seperti pemilihan dan kampanye dapat dijadikan tolak ukur tingkat partisipasi suatu masyarakat. Namun dalam pembahasan kali ini, kita akan lebih fokus pada partisipasi dalam pemilu. Dan adapun poin yang akan dibahas adalah :1. Definisi Partisipasi Politik2. Landasan Terjadinya Partisipasi Politik3. Partisipasi Politik Dalam Pemilu Di Indonesia4.

PEMBAHASAN

Secara etimologis, partisipasi berasal dari bahasa latin pars yang artinya bagian dan capere, yang artinya mengambil, sehingga diartikan mengambil bagian. Dalam bahasa Inggris, participate atau participation berarti mengambil bagian atau mengambil peranan. Sehingga partisipasi berarti mengambil bagian atau mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik suatu negara.Dan secara etimologis, kata politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Jadi, Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.Pengertian Partisipasi Politik Menurut Para AhliUntuk memperjelas konsep arti dari partisipasi politik para ahli merumuskan beberapa rumusan tentang pengertian partisipasi politik sebagai berikut:1) Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science; Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga Negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat Negara dan/atau tindakan-tindakan yang mereka ambil.2) Michael Rush dan Philip Althoft, Partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik. Indikatornya adalah berwujud keterlibatan individu dalam sistem politik dan memiliki tingkatan-tingkatan partisipasi.3) Ramlan Surbakti, Partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Partisipasi politik berarti keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Indikatornya adalah keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik dan dilakukan oleh warga negara biasa4) Prof. Miriam Budiharjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik; Partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang dalam partai politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta secara langsung atau tak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Indikatornya adalah berupa kegiatan individu atau kelompok dan bertujuan ikut aktif dalam ke-hidupan politik, memilih pim-pinan publik atau mempenga-ruhi kebijakan publik.Berdasarkan beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang dikemukakan beberapa sarjana ilmu politik tersebut, secara substansial menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang dilakukan termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi politik dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa, sehingga seolah-olah menutup kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang dilakukan oleh non-warga negara biasa.Keikutsertaan warga negara dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik.Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, memberi catatan berbeda: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik.Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).

Landasan Partisipasi PolitikLandasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:1) Kelas Individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.2) Kelompok atau komunalIndividu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa.3) LingkunganIndividu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.4) PartaiIndividu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan5) Golongan atau faksiIndividu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.Partisipasi Politik Dalam Pemilihan Umum Salah satu hasil dari gerakan reformasi pada medio Mei 98 yang dipelopori mahasiswa, hadirnya ruang kebebasan politik, dimana rakyat secara bebas untuk menjadi anggota dan mendirikan partai politik baru, diluar partai politik yang ada dan golkar. Kerinduan rakyat akan partai politik baru ini ditangkap oleh kalangan elit politik republik ini, dengan mendirikan partai politik dan menawarkan kembali idiologi-idiologi besar yang pernah tampil dipanggung politik Indonesia dimasa pemilu tahun 1955 Ada yang menghadirkan kembali ide besar Bung Karno dengan marhaenismenya; idiologi sosialisme ala Indonesia/sosialisme kerakyatan; ada yang mendasarkan pada ikatan-ikatan keagamaan, misalnya Islam, Kristen; selain itu juga yang mencoba bermain-main dengan mendasarkan pada basis konstituen kaum buruh, petani, nelayan, serta kaum miskin kota. 98 dan awal baru kebebasan berserikatKebebasan berpartai politik ini terekspresi dengan banyaknya jumlah partai politik, ada sekitar 180 partai baru berdiri, meskipun hanya 142 partai yang dapat didaftarkan, dan hanya 48 yang lolos ikut bertanding dalam pemilu 1999. Pemilu pertama setelah jatuhnya rejim otoriter Soeharto. Uforia rakyat untuk terlibat dalam politik pun, seperti tidak terbendung. Ajang kampaye partai politik dihadiri ribuan/bahkan jutaan simpatisan pendukungnya. Rakyatpun meluapkan kebebasannya dengan melakukan arak-arakan di jalan-jalan raya, sebuah kejadian yang tidak pernah terjadi selama dibawah kekangan kokang senjata rejim Orde Baru selama 32 tahun. Jutaan rakyat tumpah-ruah dan berduyun-duyun menghadiri kampaye yang diadakan partai politik. Rakyat dengan kesadarannya, mendatangi tempat-tempat kampaye untuk mendengarkan para juru kampaye berkotbah, tentang visi kedepan bangsa Indonesia. Uforia rakyat untuk terlibat dalam aktivitas politik, ini terlihat dari banyaknya massa yang mendatangi kampaye, dan memberikan suaranya dibilik-bilik pemungutan suara, dengan satu harapan pemilihan umum kali ini akan melahirkan sosok pemimpin/wakil rakyat, yang benar-benar memperjuangakan kepentingan rakyat, pemimpin yang bersih dan tidak melakukan tindakan-tindakan seperti yang lazim terjadi di masa Orde Baru, seperti kolusi, korupsi, dan nepotisme. Tidak kurang seratus lima juta lebih rakyat menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum tahun 1999. Terlepas dari segala kritik yang memgikutinya, pemilu tahun 1999, dinilai sukses oleh sebagian besar kalangan, sebagai pemilu yang demokratis kedua setelah pemilu tahun 1955. Pemilu di tahun 1999, kemudian menghadirkan elit-elit politik baru dalam pentas politik nasional, dan sebagian juga berasal dari elit politik lama, terutama dari partai Golkar. Rakyat kemudian menaruh harapan yang besar pada elit baru yang baru tumbuh, yang diharapkan akan membawa kesejahteraan rakyat dan jauh dari praktek-praktek korupsi. Harapan rakyat yang besar pada wakil-wakilnya yang duduk di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, tidak berbanding lurus dengan tingkah laku para elit partai politik, banyak dari anggota DPR yang terlibat dalam kasus- kasus korupsi, sebagain dari elit partai ini tampil bak orang kaya baru, dengan menggunakan mobil-mobil mewah, bahkan mumcul anekdot cari mobil mewah, ya di senayan, gedung DPR menjadi showroom mobil mewah paling lengkap. Perilaku/gaya hidup yang jauh dari kehidupan konstituen yang mereka wakili. Perilaku elit partai politik ini kemudian, disikapi secara apatis oleh rakyat, dengan menganggap/memandang secara sinis apapun yang berkaitan dengan politik; banyak argumentasi yang dikemukakan rakyat bahwa politik hanya menjadi urusan perebutan kekuasaan antar elit partai, dan rakyat hanya digunakan untuk menjadi alat dari perebutan kekuasaan semata. Argumentasi yang lebih jauh menunjukkan bahwa politik hanya menjadi permainan bagi segelintir elit partai, yang pada akhirnya hanya menjadi ajang berkarir, dan memperkaya diri sendiri. Apatisme rakyat akan politik disatu sisi, dengan lemahnya kontrol rakyat akan kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan dirinya, rakyat mendapati para wakil-wakilnya tidak pernah memperjuangkan secara nyata beberapa kebijakan yang berimplikasi pada kehidupan rakyat, kebijakan kenaikan BBM, upah buruh yang jauh dari layak, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, kenaikan harga pupuk dan kelangkaan pupuk yang selalu dialami para petani. Rakyat kemudian bertanya dimana wakil-wakil yang dulu dipilih saat pemilu, sikap lanjut dari apatisme rakyat, melahirkan fenomena yang dikenal sikap antipartai politik, bahwa sudah tidak ada beda lagi antara partai politik yang satu dengan lain, partai hanya hadir menjelang diadakannya perhelatan akbar kampaye, begitu masa kampaye usai, partai-partai kemudian menghilang bak ditelan bumi, Rakyat; Menjawab Dengan Golput Pemilu tahun 2004, seakan menjadi hukuman bagi partai politik, dimana pada pemilu tahun ini, jumlah golput mencapai rekor tertinggi sepanjang perhelatan pemilihan umum digelar. Golput yang pada tahun-tahun sebelumnya hanya berkisar pada angka 10%, pada pemilu tahun 2004 menjadi 23,34%, fenomena golput juga semakin meningkat dibeberapa pilkada yang baru digelar Juni 2005, kecenderungan meningkatnya golput berdampak pada jumlah dukungan suara yang masuk kepada masing-masing pasangan calon peserta pilgub dan pilbup atau walikota. Kisaran angka 30% golput saja membuat pasangan peserta tidak akan meraih dukungan di atas 50%. Tidak mengherankan, jika kemenangan baik di pilihan gubernur, pilihan bupati atau walikota lebih banyak mencapai kisaran 40%, bahkan kurang dari 40%. Secara formal, legitimasi kemenangan memang sudah sah. Namun, legimatimasi dukungan masyarakat secara riil menjadi berkurang. Lebih jelasnya suara golput saat pemilu dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tahun PemiluPemilih TerdaftarSuara SahGolput

Suara%Suara%

195543.084.71937.785.29987,75.299.42012,3

197158.558.77654.635.33893,33.923.4386,7

197770.670.15364.733.86091,65.936.2938,4

198282.002.54574.122.10090,397.880.4459,61

198793.965.95386.082.21091,617.883.7438,39

1992107.565.00097.789.53490,99.775.4669,1

1997125.640.000112.991.15089,912.648.85010,1

1999117.738.000105.786.66189,811.951.33910,2

2004148.000.041113.456.84076,6634.543.20123,34

K

Keterangan: Angka Golput = DPT-(pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya + jumlah suara tidak sah).Apabila menyimak angka-angka dalam tabel di atas menunjukkan bahwa, pelaksanaan pemilihan umum dari waktu ke waktu, jumlah golongan putih (golput) menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Jika pada Pemilu 1955, yang dikenal paling luber dan paling demokratis, tingkat golput mencapai 12,3 persen. Fenomena golput masih belum tinggi di era pemilu orde baru yang rakyatnya masih dimobilisasi dalam pemilu. Pemilu 1971 golput mencapai 6,7 persen, kemudian meningkat menjadi 8,4 persen dalam Pemilu 1977 dan meningkat lagi dalam Pemilu 1982 menjadi 9,61 persen. Dalam Pemilu 1987 turun menjadi 8,39 persen dan meningkat lagi dalam Pemilu 1992 menjadi 9,1 persen, dan 10,1 persen dalam Pemilu 1997. Sedangkan suara golput yang dicapai pada Pemilu 1999, pasca jatuhnya rezim otoriter, angka golput juga masih meningkat, yakni mencapai 10,2% persen. Hal ini bila memasukkan jumlah suara yang tidak sah karena berbagai alasan sebagai suara golput. Pada saat Pemilu 2004 angka golput meningkat tajam menjadi 23,34% persen. Pertanyaan yang layak diajukan kemudian, bagaimana bisa terjadi perubahan yang begitu cepat sikap rakyat terhadap partai politik dan rendahnya partisipasi politik, rakyat yang ditahun 1999, menyambut secara gegap-gempita hadirnya partai politik baru, dan terlibat secara suka rela untuk mendatangi kampaye dengan berarak-arakan, maupun datang ke bilik-bilik tempat pemungutan suara, untuk memberikan suaranya. Kondisi ini kemudian berbalik pada pemilihan umum tahun 2004. Pertayaan yang lebih lanjut sebenarnya bagaimana peran partai politik ditengah-tengah masyarakat. Representasi Semu Wakil Rakyat Pemilu pertama setelah rezim otoriter soeharto, melahirkan sirkulasi elit-elit baru dari pentas politik nasional, lahirnya elit politik baru/para wakil rakyat diharapkan akan membawa kepentingan rakyat yang menjadi konstituennya, selain itu para wakil rakyat ini menjadi representasi dari partai politik, yang lebih jauh sebenarnya merupakan representasi rakyat yang ada di lembaga perwakilan rakyat. Hadirnya elit baru ini dimungkinkan karena salah satu dari fungsi partai politik, yakni rekrutmen politik. dimana partai politik berkewajiban untuk melakukan seleksi dan rekruitmen dalam rangka mengisi posisi dan jabatan politik tertentu. Dengan adanya rekruitmen politik maka dimungkinkan terjadinya rotasi/mobilitas politik. Tanpa rotasi dan mobilitas politik pada sebuah sistem politik, maka akan muncul diktatorisme dan stagnasi politik dalam sistem tersebut. Hadirnya para wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat, diharapkan membawa kepentingan para konstituennya, dan memperjuangkan apa yang menjadi kehendak rakyat, akan tetapi kehendak ini jauh dari harapan semula, banyak kasus dijumpai para wakil rakyat lebih mengendepankan kepentingan pribadi dan partainya, fenomena penggusuran yang dialami pedagang kaki lima, penggusuran warga stren kali; mencerminkan betapa lemahnya para wakil rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat kecil dan kepentingan kelompok-kelompok marjinal di perkotaan. Ini sekali lagi menunjukkan representasi yang semu para wakil rakyat. Representasi yang semu dari para wakil rakyat, menunjukkan bahwa para wakil rakyat tidak berangkat dari dukungan rakyat dalam pengertian yang sesungguhnya. Mereka hanya menjadi kepentingan partai politik semata, banyak dari wajah-wajah anggota DPR yang tidak dikenal rakyat, akan tetapi mereka para wakil rakyat sebagai anggota DPR, hanya karena kedekatannya dengan elit partai politik atau memiliki modal financial yang cukup untuk membeli nomor urut pencalegkan, maupun untuk membeli suara pemilih. Secara social para wakil rakyat ini tidak tumbuh dan besar dengan pergumulan rakyat, sehingga menjadi wajar para wakil rakyat tidak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat. Rekrutment politik yang diharapakan sebagai sarana terjadinya rotasi dan mobilitas politik dalam tubuh partai, dimana terjadinya pergantian elit politik lama, dengan elit politik baru, baik secara alamiah maupun sebagai sarana hukuman rakyat terhadap elit. Rakyat sebenarnya berada pada posisi yang sentral dalam proses demokrasi, elit partai yang menjadi anggota DPR yang tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, akan dihukum dengan tidak memilihnya lagi pada pemilihan selanjutnya. Tetapi dalam kenyataannya partai politik selalu menghadirnkan elit-elit/caleg yang tidak mengakar pada rakyat, sehingga meskipun dimungkinkan untuk terjadi rotasi politik dalam tubuh partai, rakyat selalu mendapati para pemimpin yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat, proses politik ini akan meminimalkan partisipasi politik rakyat, karena tiadanya wakil rakyat yang layak untuk dipilih. Memperkuat Peran Partai Politik Partisipasi politik rakyat menjadi elemen yang penting dalam proses demokrasi, tanpa partisipasi politik aktif rakyat, proses pemilihan umum hanya menjadi prosedur demokrasi saja, selain itu minimnya partisipasi politik rakyat, hasil pemilihan umum menjadi lemah/kehilangan legitimasinya. Ada beragam cara untuk mendorong partisipasi politik rakyat; antara lain, Pertama; memperkuat kembali peran dan fungsi partai politik, peran dan fungsi partai politik antara lain sebagai sarana sosialisasi politik, Rekrutmen politik. Partisipasi Politik. Pemadu Kepentingan. Pengendalian Konflik, dan Kontrol politik. Selain itu partai politik memiliki struktur sampai pada tingkat yang paling bawah hingga pada tingkat RW, struktur ini akan efektif sebagai sarana pendidikan politik warga. Partai politik juga menjadi alat yang legal untuk melakukan pendidikan politik, peran-peran ini bila dilakukan secara maksimal akan menggantikan peran LSM dalam melakukan pendidikan politik rakyat. Kedua; memperkuat keterwakilan/representasi wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, partai harus lebih selektif dengan mempertimbangkan banyak aspek untuk menentukan caleg yang akan diajukan pada pemilihan, baik menjadi caleg/calonwalikota, baik kapasitas/kemampuan secara personal juga rekam jejaknya, selain itu aspek representasi ini juga memasukkan unsur kedekatan caleg atau cawawali dengan rakyat, ada kesejarahan antara kandidat yang akan diusung dengan kerja-kerja pendampingan pada rakyat.

PENUTUPKesimpulan1. Partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang dalam Sistem Politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela melalui mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turut serta secara langsung atau tak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Indikatornya adalah berupa kegiatan individu atau kelompok dan bertujuan ikut aktif dalam ke-hidupan politik, memilih pim-pinan publik atau mempenga-ruhi kebijakan publik.

2. Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Adapun Landasannya antara lain : Kelas, Kelompok atau komunal, Lingkungan, Partai, dan Golongan atau faksi

3. Partisipasi politik dalam pemilihan umum di indonesia memulai babak baru ketika rezim orde baru ditumbangkan pada tahun 1998. Kerang partisipasi telah dibuka seluas-luasnya untuk memenuhi aspirasi rakyat dalam hal berserikat atau membentuk partai tersendiri. Namun tiap kali diadakan Pemilu, tingkat partisipasi masyarakat semakin menurun.

Daftar pustaka

Almond, Gabriel A. & Sidney Verba. 1984. Budaya Politik : Tingkah laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Jakarta, Bina Aksara Budiardjo, Miriam (ed).1982. Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: PT. Gramedia Huntington, Samuel.P. 1983. Tertib Politik di dalam Masyarakat yang Sedang Berubah , Jakarta: Rajawali Perss _________________ , dan Joan M. Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, cetakan kedua, Jakarta: Rineka Cipta Jan W. van Deth, 2008. Political Participation, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia Encyclopedia of Political Communication, California : Sage PublicationsKartono, Kartini. 1996. Pendidikan politik, Bandung : Mandar Maju Sukemi.2004. Sikap & Perilaku Partisipasi Politik.Jakarta : Penerbit Buku Kompas.Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia

Sosiologi PolitikPartisipasi Politik Dalam Pemilihan Umum Di Indonesia

Oleh :SURATMANE 111 11 265

SURATMANE111 11 265

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR20142