toksisitas asam sianida

34
TOKSISITAS ASAM SIANIDA Marjoana Burju Harahap, 110810504 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran PENDAHULUAN Asam sianida merupakan senyawa racun yang dapat mengganggu kesehatan serta mengurangi bioavailabilitas nutrien di dalam tubuh. Sianida pertama kali diisolasi pada tahun 1802 dari bitter almods dan disebut prussic acid (Tapper, 1973). Sumber-sumber sianida lainnya dapat berasal dari bermacam-macam racun ikan, seperti NaCN dan KCN,

Upload: marjoana-burju-harahap

Post on 23-Nov-2015

185 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

toksikologi

TRANSCRIPT

TOKSISITAS ASAM SIANIDAMarjoana Burju Harahap, 110810504Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran

PENDAHULUAN

Asam sianida merupakan senyawa racun yang dapat mengganggu kesehatan serta mengurangi bioavailabilitas nutrien di dalam tubuh. Sianida pertama kali diisolasi pada tahun 1802 dari bitter almods dan disebut prussic acid (Tapper, 1973). Sumber-sumber sianida lainnya dapat berasal dari bermacam-macam racun ikan, seperti NaCN dan KCN, pestisida (HCN, Ca(CN)2), pupuk (kalsium sianamida), dan dari sisa-sisa buangan industri (Egekeze, 1980) .

Ekotoksikologi sianidaDi alam, umumnya asam sianida yang terikat ataupun yang bebas banyak terdapat di dalam tumbuh-tumbuhan. Beberapa tumbuhan yang banyak mengandung sianida dapat dilihat pada Tabel 1 . Sianida terdapat dalam lingkungan hidup, umumnya pada konsentrasi rendah. Konsentrasi lebih tinggi dapat ditemukan pada tumbuhan tertentu seperti dalam biji aprikot, singkong, dan banyak tanaman lainnya, dan hewan (spesies serangga yang mengandung glikosida sianogenik) atau di dekat sumber industri pertambangan.

Tabel 1. Beberapa Jenis Tanaman yang Mengandung Sianida

Toksisitas SianidaSianida merupakan senyawa kimia yang toksik dan memiliki beragam kegunaan, termasuk sintesis senyawa kimia, analisis laboratorium, dan pembuatan logam. Nitril alifatik (acrylonitrile dan propionitrile digunakan dalam produksi plastic yang kemudian dimetabolisme menjadi sianida. Obat vasodilator seperti nitroprusida melepaskan sianida pada saat terkena cahaya ataupun pada saat metabolisme . beberapa diantaranya dapat berguna, tergantung pada keperluan ethnobotanikal. Acetonitrile, sebuah komponen pada perekat besi, dapat menyebabkan kematian pada anak-anak (Olson, 2007).Sianida merupakan racun yang bekerja cepat, berbentuk gas tak berbau dan tak berwarna, yaitu hidrogen sianida (HCN) atau sianogen khlorida (CNCl) atau berbentuk kristal seperti sodium sianida (NaCN) atau potasium sianida (KCN) (Utama, 2006). Hidrogen sianida merupakan gas yang mudah dihasilkan dengan mencampur asam dengan garam sianida dan sering digunakan dalam pembakaran plastik, wool, dan produk natural dan sintetik lainnya. Keracunan hidrogen sianida dapat menyebabkan kematian, dan pemaparan secara sengaja dari sianida (termasuk garam sianida) dapat menjadi alat untuk melakukan pembunuhan ataupun bunuh diri (Olson, 2007). Pada tingkat paparan tinggi, sianida cepat bereaksi, sangat kuat, beracun bagi manusia, hewan dan tanaman. Keracunan sianida dapat terjadi karena menghirup gas sianida (hidrogen sianida), debu atau kabut; penyerapan melalui kulit setelah kontak kulit, atau dengan mengkonsumsi bahan yang mengandung sianida (seperti air minum, endapan, tanah, tanaman). Sianida bukan merupakan biokonsentrat karena mengalami metabolisme yang cepat pada kondisi yang terpapar. Akibat racun sianida tergantung pada jumlah paparan dan cara masuk tubuh, lewat pernapasan atau pencernaan. Racun ini menghambat sel tubuh mendapatkan oksigen sehingga yang paling terpengaruh adalah jantung dan otak. Paparan dalam jumlah kecil mengakibatkan napas cepat, gelisah, pusing, lemah, sakit kepala, mual dan muntah serta detak jantung meningkat. Paparan dalam jumlah besar menyebabkan kejang, tekanan darah rendah, detak jantung melambat, kehilangan kesadaran, gangguan paru serta gagal napas hingga korban meninggal (Utama, 2006).

BAHAN DAN METODE

BahanBahan atau materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Racun yang dipejankan adalah larutan kalium sianida (KCN). Bahan antidot yang digunakan adalah natrium tiosulfat dan natrium nitrit, aquadest yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi,Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan yang diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Penelitian (UPHP), Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Alat

Peralatan dan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Neraca atau timbangan elektrik, Alat-alat gelas, Jarum tuberkulin (preparat oral) yang digunakan untuk pemberian larutan sianida secara per-oral, Spuit intraperitonial

Metode

A. Pengelompokkan hewan ujiHewan uji sebanyak 42 ekor dikelompokkan secara acak menjadi 7 kelompok, kelompok I diberi bahan pelarut yang digunakan yaitu aquadest, kelompok II diberi larutan KCN, kelompok III diberi larutan Na2S2O3 dosis160.72 mg/KgBB dan NaNO2 dosis 62.460 mg/KgBB sebagai kontrol antidotnya, kelompok IV diberi perlakuan KCN dosis 26 mg/KgBB dan sesaat setelahnya diberikan antidotum Na2S2O3 dosis 0.468 mg/kgBB + NaNO2 dosis 62.460 mg/KgBB, kelompok V diberi perlakuan KCN dosis 26 mg/KgBB dan sesaat setelahnya diberikan antidotum Na2S2O3 dosis 3.279 mg/KgBB + NaNO2 dosis 62.460 mg/KgBB, kelompok VI diberi perlakuan KCN dosis 26 mg/KgBB dan sesaat setelahnya diberikan antidotum Na2S2O3 dosis 22.960 mg/KgBB + NaNO2 dosis 62.460 mg/KgBB, kelompok VII diberi perlakuan KCN dosis 26 mg/KgBB dan sesaat setelahnya diberikan antidotum Na2S2O3 dosis 160.72 mg/KgBB + NaNO2 dosis 62.460 mg/KgBB. Peringkat kelompok VII ini merupakan kelompok yang diberi dosis tertinggi antidotum Na2S2O3.

B. Penanganan hewan ujiHewan uji yang akan digunakan diletakkan dalam wadah dan diberi sekamserta makanan dan minuman. Hewan uji yang sudah digunakan dan masih hidup diletakkan di wadah yang berbeda dari hewan uji yang belum digunakan untukpenelitian.

C. PengamatanPengamatan dilakukan mulai dari pemberian antidot Na2S2O3 dan NaNO2hingga 3 jam pengamatan. Jika hewan uji sampai 3 jam pengamatan tidak mengalami kematian maka pengamatan dilanjutkan hingga 1 x 24 jam dari waktu pemberian antidot. Kriteria klinik pengamatan meliputi:

a. pengamatan fisik terhadap gejala-gejala toksik. Pengamatan harus dilakukan mulai dari timbulnya gejala efek toksik yang berupa jantung berdebar, hilang kesadaran, gagal nafas, kejang, dan mati setelah pemejanan KCN.

b. kematian hewan uji pada masing masing kelompok.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kondisi pemejananHal-hal yang berkaitan dengan kondisi pemejanan sianida antara lain:a. Jenis pemejanan : akut dan kronisb. Jalur pemejanan : inhalasi, mata, dan saluran pencernaanc. Lama paparan : akut atau berulangd. Dosis :

Dosis letal dari sianida adalah : asam hidrosianik sekitar 2,5005,000 mg.min/m3, dan untuk sianogen klorida sekitar 11,000 mg.min/m3 (Meredith, 1993). Terpapar hidrogen sianida meskipun dalam tingkat rendah (150-200 ppm) dapat berakibat fatal. Tingkat udara yang diperkirakan dapat membahayakan hidup atau kesehatan adalah 50 ppm. Batasan HCN yang direkomendasikan pada daerah kerja adalah 4.7 ppm (5 mg/m3 untuk garam sianida). HCN juga dapat diabsorpsi melalui kulit (Olson, 2007). Ingesti pada orang dewasa sebanyak 200 mg sodium atau potassium sianida dapat berakibat fatal. Larutan dari garam sianida dapat diabsorpsi melalui kulit (Olson, 2007). 4) Keracunan sianida akut biasanya jarang terjadi dengan infusi nitroprusida (pada kecepatan infuse yang normal) atau setelah ingesti dari amigdalin (Olson, 2007). Saat pemejanan : makanan, rokok, lingkungan industri, bunuh diri, kesengajaan (Meredith, 1993).

2. Metabolisme Sianida

Sianida masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit, dan yang paling banyak melalui saluran pencernaan. Pada ruminansia, absorbsinya paling banyak terjadi di dalam rumen, sedangkan pada non-ruminansia, absorbsinya terjadi pada ususnya. Absorbsi melalui kulit dapat terjadi bila sianida dalam bentuk asam sianida, sedangkan uapnya akan terhisap oleh paru-paru (Egekeze, 1980) . Kecepatan absorbsinya relatif lambat dan tergantung dari pH larutan tersebut . Sianida yang terikat (glukosida sianogenat) dari tanaman lebih lama proses absorbsinya untuk sampai ke dalam tubuh, karena ikatannya harus terlebih dahulu dipecah agar melepas sianida. Pemecahan ikatan pada sianida tersebut dapat terjadi di dalam saluran pencernaan dengan bantuan enzim B-glukosidase yang dihasilkan dari pemecahan jaringan tanaman tersebut (2) .

Sebagian besar dari sianida yang masuk ke dalam tubuh segera mengalami detoksifikasi menjadi tiosianat dengan bantuan enzim sulfurtransferase (rodanase) . Sebagian lainnya mengalami perubahan melalui jalur sebagai berikut (Bourdoux, 1980) .

a. Sianokobalamin (vitamin B12 ), menjadi hidroksokobalamin.b . Jalur merkaptopiruvat-sulfurtransf erase, di sini sianida akan bergabung dengan 3-merkaptopiruvat yang berasal dari asam aminosistein, dan dengan bantuan sulfurtransferase membentuk tiosianat dan asam piruvatc. Sistin, yang akan bereaksi secara langsung dengan sianida dan dihasilkan 2-amino-tiazolin- 4-asam karboksilat; 4). Melalui pembentukan CO2 yang didahului dengan pembentukan sianat (CNO- ) . Secara skematis metabolisme glukosida sianogenat dan sianida dapat dilihat pada Gambar 1 .

Dari berbagai jalur metabolisme sianida tersebut, ternyata lebih dari 80 persen diekresikan melalui urine sebagai tiosianat. Jalur metabolisme ini melibatkan enzim rodanase (sulfurtransferase) yang terdapat dalam berbagai jaringan tubuh hewan, terutama pada hati dan ginjal (Bourdoux, 1980). Disamping itu, juga diperlukan adanya sulfur dalam bentuk tiosulfat yang biasanya berasal dari asam amino mengandung sulfur seperti metionin, sistein dan sistin .

3. Gejala KlinikGejala klinik keracunan sianida akan terlihat dalam beberapa menit setela memakan bahan makanan yang banyak mengandung sianida . Terlihat pernafasan yang meningkat cepat dan dalam (dyspnoe) . Nampak juga gejala tremor pada otot-ototnya, dan menjadi limbung (ataksia). Kemudian hewan meronta-ronta, jatuh, megap- megap yang disertai dengan kekejangan (konvulsi) . Pupil mata berdilatasi (melebar), membrane mukosa nampak merah terang (cerah) oleh karena oksigen dalam darah tidak dapat dilepaskan . Disamping itu dapat juga disertai dengan salvias (mulut berbusa), serta mengeluarkan feses (kotoran) dan air kencing (Buck , 1976). Pada pemeriksaan pasca kematian akan dijumpai darah yang berwarna merah terang seperti buah cherry, dan biasanya disertai dengan bau bitter almond yang khas.

4. Mekanisme Terjadinya KeracunanSianida merupakan inhibitor nonspesifik enzim, meliputi asam suksinat dehidrognase, superoksida dismutase, karbonat anhidrase, sitokrom oksidase, dan lain sebagainya. Sianida memiliki afinitas tinggi terhadap ion besi pada sitokrom oksidase, metalloenzim respirasi oksidatif akhir pada mitokondria. Fungsinya dalam rantai transport elektron dalam mitokondria, mengubah produk katabolisme glukosa menjadi ATP. Enzim ini merupakan katalis utama yang berperan pada penggunaan oksigen di jaringan.Pada proses mekanisme, proses keracunan oleh sianida ini melibatkan enzim pernafasan selular (sitokrom oksidase). Reaksi ini terjadi di dalam mitokondria, tempat sitokrom oksidase membentuk komplek yang stabil dengan sianida . Dengan demikian proses transpor elektron pada rantai pernafasan sitokrom dihentikan, dan metabolism oksidasi serta posforilasi dihambat . Dengan demikian, maka sianida menimbulkan hipoksia selular atau cytotoxic anoxia (Buck, 1976), dalam tahap ini oksihemoglobin tidak dapat melepaskan oksigennya untuk proses transpor elektron dan menghambat sitokrom oksidase pada bagan sitokrom a3 dari rantai transport elektron. Ion hidrogen yang secara normal akan bergabung dengan oksigen pada ujung rantai tidak lagi tergabung (incorporated). Hasilnya, selain persediaan oksigen kurang, oksigen tidak bisa digunakan, dan molekul ATP tidak lagi dibentuk. Ion hidrogen incorporated terakumulasi sehingga menyebabkan acidemia (Meredith, 1993). Hipoksia yang terjadi pada tingkat susunan syaraf pusat di otak juga mempengaruhi pusat sistem pernafasan. Dengan adanya methemoglobin (Hb-Fe3+), sianida dapat dilepaskan dari ikatan komplek sianida- sitokrom oksidase (Cyt-Fe-CN) . Kemudian, enzim rodanase yang ada di mitokondria akan membantu mentransfer sulfur dari tiosulfat ke ion sianida (CN-), sehingga terbentuk tiosianat. Selanjutnya enzim pernafasan dibebaskan, dengan akibat pernafasan sel kembali normal (Egekeze, 1980) . Gangguan lain dapat terjadi pada keracunan sianida secara kronis . Di sini muncul gejala-gejala syaraf yang disebut Tropical Ataxic Neuropathy (TAN), lesio pada membran mukosa, spinal cord, dan syaraf-syaraf perifer. Efek samping tiosianat yang dihasilkan dari metabolisme sianida adalah berupa gangguan pada kelenjar tiroid, terutama pada yang kekurangan iodium . Tetapi hal ini hanya dapat terkena paparan kronis.Hiperlaktamia terjadi pada keracunan sianida karena kegagalan metabolisme energi aerob. Selama kondisi aerob, ketika rantai transport elektron berfungsi, laktat diubah menjadi piruvat oleh laktat dehidrogenase mitokondria. Pada proses ini, laktat menyumbangkan gugus hidrogen yang akan mereduksi nikotinamid adenin dinukleotida (NAD) menjadi NADH. Piruvat kemudian masuk dalam siklus asam trikarboksilat dengan menghasilkan ATP. Ketika sitokrom a3 dalam rantai transport elektron dihambat oleh sianida, terdapat kekurangan relatif NAD dan dominasi NADH, menunjukkan reaksi balik, sebagai contoh : piruvat dirubah menjadi laktat (Meredith, 1993).

5. Wujud efek toksikSetelah terpejan sianida, gejala yang paling cepat muncul adalah iritasi pada lidah dan membran mukus serta suara desir darah yang tidak teratur. Gejala dan tanda awal yang terjadi setelah menghirup HCN atau menelan garam sianida adalah kecemasan, sakit kepala, mual, bingung, vertigo, dan hypernoea, yang diikuti dengan dyspnoea, sianosis, hipotensi, bradikardi, dan sinus atau aritmea AV nodus (Meredith, 1993). Onset yang terjadi secara tiba-tiba dari efek toksik yang pendek setelah pemaparan sianida merupakan tanda awal dari keracunan sianida. Symptomnya termasuk sakit kepala, mual, dyspnea, dan kebingungan. Syncope, koma, respirasi agonal, dan gangguan kardiovaskular terjadi dengan cepat setelah pemaparan yang berat (Olson, 2007). Dalam keracunan stadium kedua, tampak kecemasan berlebihan, koma, dan terjadi konvulsi, kejang, nafas tersengal-sengal, kolaps kardiovaskular, kulit menjadi dingin, berkeringat, dan lembab. Nadi menjadi lemah dan lebih cepat. Tanda terakhr dari toksisitas sianida meliputi hipotensi, aritmia kompleks, gagal jantung, udem pada paru-paru dan kematian (Meredith, 1993). Warna merah terang pada kulit atau tidak terjadinya sianosis, jarang terjadi dalam keracunan sianida. Secara teoritis tanda ini dapat dijelaskan dengan adanya kandungan yang tinggi dari oksihemoglobin, dalam venus return, tetapi dalam keracunan berat, gagal jantung dapat dicegah. Kadang-kadang sianosis dapat dikenali apabila pasien memiliki bintik merah muda terang (Meredith, 1993).

6. Mengatasi Keracunan

Sianida dapat diserap melalui kulit dan, untuk sianida cair, pekerja dalam industri pertambangan yang menggunakan ekstraksi sianida sebaiknya memakai baju kerja yang dapat dibuang, sarung tangan PVC, dan sepatu bot anti air. Para pekerja harus mencuci tangan mereka sebelum makan, minum atau merokok, dan sebelum mengoleskan lotion, seperti tabir surya. Aktifitas-aktifitas ini tidak boleh dilakukan di tempat penggunaan atau penyimpanan sianida. Pakaian atau peralatan pelindung yang telah terkontaminasi harus dibuang secara aman, atau dicuci sebelum disimpan dan digunakan kembali.Pada kasus keracunan sianida, pertolongan awal adalah memberikan oksigen (bantuan pernapasan intens).

Dalam hal ini, pemberian terapi (treatment) dimaksudkan untuk menguraikan ikatan komplek sianida-sitokrom oksidase, agar sistem pernafasan selular dapat berjalan kembali . Nitrit dan tiosulfat merupakan bahan yang umum dipergunakan dalam menanggulangi keracunan sianida . Pemberian natrium nitrit (NaNO2) akan menguraikan komplek sianida-sitokrom oksidase dengan membentuk methemoglobin yang akan berkompetisi dengan sitokrom oksidase dalam mengikat sianida, sehingga akan banyak terbentuk sianmethemoglobin (Hb- Fe2+ -CN) . Beberapa aminofenol dapat memproduksi methemoglobin lebih cepat daripada NaNO2 (7) .Pemberian natrium tiosulfat (Na2S2O3) akan mengubah sianida menjadi tiosianat dengan bantuan enzim rodanase (sulfurtransferase) . Oleh karena itu, paling sering terapi keracunan sianida dilakukan dengan pemberian kombinasi natrium nitrit dan natrium tiosulfat. Antidot lain yang dapat diberikan untuk menanggulangi keracunan sianida adalah hidroksokobalamin (vitamin B12), yang dapat bergabung de ngan sianida membentuk sianokobalamin (vitamin B12 ) . Tetapi, zat ini mempunyai kelarutan yang rendah dan kurang efektif terhadap keracunan sianida akut.

7. DiagnosisDiagnosis dilakukan berdasarkan pada riwayat pemaparan atau tampaknya gejala dan tanda keracunan. Asidosis laktat parah biasanya terjadi dengan pemaparan yang signifikan. Tingkat saturasi oksigen vena dapat memperlihatkan penghambatan konsumsi oksigen selular. Cara klasik dengan mengenali bau kacang almond yang terdeteksi, karena vairiasi genetik dalam kemampuan untuk mengenali baunya (Olson, 2007).

a. Tingkat spesifik.Penentuan keracunan sianida tidak dapat digunakan dalam keadaan darurat, karena tidak dapat menunjukkan terapi tahap awal. Selanjutnya, penderita harus diinterpretasikan penyebabnya karena beragam komplikasi faktor teknis.

1) Tingkat darah lebih tinggi dari 0.5-1 mg/L.2) Untuk perokok tingkat darahnya di atas 0.1 mg/L.3) Infus nitroprusida yang cepat dapat menaikkan tingkat darah setinggi 1 mg/L, disertai dengan metabolik asidosis.

b. Penelitian lainnya di laboratorium.Penelitian laboratorium meliputi elektrolit, glukosa, serum laktat, gas darah arteri, campuran saturasi oksigen vena, dan karboksihemoglobin (bila pasien terpapar secara inhalasi) (Olson, 2007).

8. Antidotum SianidaDiklasifikasikan menjadi 3 kelompok utama sesuai dengan meaknisme aksi utamanya, yaitu : detoksifikasi dengan sulfur untuk membentuk ion tiosianat yang lebih tidak toksik, pembentukan methemoglobin dan kombinasi langsung. Pengobatan pasti dari intoksikasi sianida berbeda pada beberapa negara, tetapi hanya satu metode yang disetujui untuk digunakan di Amerika Serikat. Keamanan dan kemanjuran dari tiap-tiap antidotum masih menjadi perdebatan yang signifikan. Dan tidak terdapat konsensus antar seluruh negara untuk pengobatan intoksikasi sianida (Meredith, 1993).

A. Pembentukan methemoglobinMethemoglobin sengaja diproduksi untuk bersaing dengan sianida di tempat ikatan pada sistem sitokrom oksidase. Sianida mempunyai ikatan khusus dengan ion besi pada sistem sitrokrom oksidase, sianida dalam jumlah yang cukup besar akan berikatan dengan ion besi pada senyawa lain, seperti methemoglobin. Jika produksi methemoglobin cukup maka gejala keracunan sianida dapat teratasi. Methemoglobinemia dapat diproduksi dengan pemberian amil nitrit secara inhalasi dan kemudian pemberian natrium nitrit secara intravena. Kira-kira 30% methemoglobinemia dianggap optimum dan jumlahnya dijaga agar tetap di bawah 40% senyawa lain seperti 4-DMAP dapat memproduksi methemoglobin secara lebih cepat (Meredith, 1993). Apabila methemoglobin tidak dapat mengangkut cukup oksigen maka molekul hemoglobin menjadi tidak berfungsi. Produksi methemoglobinemia lebih dari 50% dapat berpotensi fatal. Methemoglobinemia yang berlebih dapat dibalikkan dengan metilen biru, terapi yang digunakan pada methemoglobinemia, dapat menyebabkan terlepasnya kembali ion sianida mengakibatkan keracunan sianida. Sianida bergabung dengan methemoglobin membentuk sianmethemoglobin. Sianmethemoglobin berwarna merah cerah, berlawanan dengan methemoglobin yang berwarna coklat (Meredith, 1993).

Penggantian sianida dari sitrokrom a3 oksidase oleh methemoglobin

a. Peralatan antidotum sianida Sekarang ini, Amerika Serikat mendukung penggunaan kombinasi nitrit dan tiosulfat untuk pengobatan pada keracunan sianida. Natrium nitrit (10 ml pada larutan 3%) digunakan secara intravena dan dilanjutkan dengan pemberian natrium tiosulfat (50 ml pada larutan 25%) secara intravena. Natrium nitrit seharusnya diberikan 2,5-5 ml permenit hingga 2-3 menit. Natrium tiosulfat harus diberikan secara cepat setelah natrium nitrit dengan dosis 12,5 mg pada larutan 25% hingga 10 menit (Meredith, 1993).

b. Amil nitritHanya dapat memproduksi kira-kira 5% methemoglobin dan tidak cukup untuk digunakan sebagai terapi tunggal. Dosis amil nitrit yang dapat meningkatkan produksi methemoglobin sering berhubungan dengan terjadinya hipotensi. Sebenarnya, amil nitrit telah dihapus di Amerika Serikat karena pembentukan methemoglobin yang tidak dapat diprediksi dan berhubungan dengan vasodilatasi yang dapat menyebabkan hipotensi. amil nitrat juga dapat menyebabkan vasodilatasi yang dapat membalikkan efek awal sianidayang dapat menyebabkan vasokonstriksi (Meredith, 1993).

c. Natrium nitrit Merupakan obat yang paling sering digunakan untuk keracunan sianida. Dosis awal standart adalah 3% larutan natrium nitrit 10 ml, memerlukan waktu kira-kira 12 menit untuk membentuk kira-kira 40% methemoglobin. Dosis awal untuk natrium tiosulfat adalah 50 ml. Penggunaan natrium nitrat tidak tanpa risiko karena bila berlebihan dapat mengakibatkan methemoglobinemia yang dapat menyebabkan hipoksia atau hipotensi, untuk itu maka jumlah methemoglobin harus dikotrol. Penggunaan natrium nitrit tidak direkomendasikan untuk pasien yang memiliki kekurangan glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6DP) dalam sel darah merahnya karena dapat menyebabkan reaksi hemolisis yang serius (Meredith, 1993).

d. 4-DMAP. 4-DMAP merupakan senyawa pembentuk methemoglobin dengan efek yang cepat saat melawan sianida. 4-DMAP merupakan antidot yang lebih cepat dari pada nitrat dan toksisitasnya lebih rendah.

Gambar. 4-DMAP (4-dimethylaminophenol).Pada manusia, injeksi intravena dengan dosis 3 mg/kg dapat memproduksi 15% methemoglobin dalam waktu 1 menit (Meredith, 1993).4-DMAP harus digunakan dengan tiosulfat untuk mengubah ikatan sianida dengan methemoglobin menjadi tiosianat. 4-DMAP dapat menyebabkan nekrosis pada area yang diinjeksi setelah pemberian secara IM dan dapat menyebabkan nyeri, demam, dan meningkatkan enzim-enzim otot. Terapi menggunakan 4-DMAP dapat menyebabkan hemolisis meskipun pada dosis terapi, tetapi lebih sering terjadi pada pengobatan yang overdosis. Pengobatan dengan 4-DMAP dikontraindikasikan pada pasien yang kekurangan G6DP (Meredith, 1993). Senyawa lain yang juga merupakan pembentuk methemoglobin adalah paminoheptanoilfenon (PAHP), p-aminopropiofenon (PAPP), dan paminooktanoilfenon (PAOP). PAHP merupakan fenon yang paling aman. Senyawa-senyawa tersebut mengurangi jumlah sianida dalam sel darah merah.Efek PAPP secara khusus dapat meningkat dengan adanya tiosulfat (Meredith, 1993).

B. Detoksifikasi sulfurSetelah methemoglobin dapat mengurangi gejala yang ditimbulkan pada keracunan sianida, sianida dapat diubah menjadi tiosianat dengan menggunakan natrium tiosulfat.

Gambar. Pengubahan sianmethemoglobin menjadi tiosianat oleh rhodanasedan tiosulfat

Pada proses kedua membutuhkan donor sulfur agar rodanase dapat mengubah sianmethemoglobin menjadi tiosianat karena donor sulfur endogen biasanya terbatas. Ion tiosianat kemudian diekskresikan melalui ginjal (Meredith, 1993).

C. Kombinasi langsungAda 2 macam mekanisme yang berbeda dari kombinasi langsung dengan sianida yang sering digunakan, yaitu kombinasi dengan senyawa kobalt dan kombinasi dengan hidroksobalamin (Meredith, 1993). a. Hidroksikobalamin (vitamin B12a). Merupakan prekursor dari sianokobalamin (vitamin B12). Penggunaan hidroksikobalamin sebagai pencegahan pada pemberian natrium nitroprusid jangka panjang sama efektifnya untuk pengobatan pada keracunan sianida akut selama lebih dari 40 tahun. Senyawa ini bereaksi langsung dengan sianida dan tidak bereaksi dengan hemoglobin untuk membentuk methemoglobin (Meredith, 1993).Hidroksikobalamin bekerja baik pada celah intravaskular maupun di dalam sel untuk menyerang sianida. Hal ini berlawanan dengan methemoglobin yang hanya bekerja sebagai antidot pada celah vaskular. Pemberian natrium tiosulfat meningkatkan kemampuan hidroksikobalamin untuk mendetoksifikasi keracunan sianida (Meredith, 1993). Sianokobalamin adalah kombinasi hidrosikobalamin dan sianida. Dosis minimal sebesar 2.5 gram pada dewasa diperlukan untuk menetralkan dosis letal sianida. Hidroksikobalamin tidak menimbulkan komplikasi yang serius. Beberapa pasien dapat mengalami urtikaria, tapi sangat jarang.

Gambar . (dimethyl-5,6-benzimadazolyl) hydroxocobamide

Hidroksikobalamin tidak ada tekanan darah atau menurunkan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen. Hipertensi dapat terjadi pada dosis terapi yang tinggi. Munculnya warna merah muda pada membran mukosa, kulit, dan urin terjadi pada kebanyakan pasien segera setelah pemberian hidroksokobalamin. Warna ini akan hilang setelah 24-48 jam setelah obatdiekskresikan melalui urin (Meredith, 1993).

b. Dikobalt-EDTA. Bentuk garam dari kobalt bersifat efektif untuk mengikat sianida. Kobalt-EDTA lebih efektif sebagai antidot sianida dibandingkan dengan kombinasi nitrat-tiosulfat. Senyawa ini mengkelat sianida menjadi kobaltisianida. Efek samping dari dikobalt-EDTA adalah reaksi anafilaksis, yang dapat muncul sebagai urtikaria, angiodema pada wajah, leher, dan saluran nafas, dispnea, dan hipotensi. Dikobalt-EDTA juga dapat menyebabkan hipertensi dan dapat menyebabkan disritmia jika tidak ada sianida saat pemberian dikobalt-EDTA. Pemberian obat ini dapat menyebabkan kematian dan toksisitas berat dari kobalt terlihat setelah pasien sembuh dari keracunan sianida (Meredith, 1993).

Gambar . Dicobalt-EDTA

9. Natrium TiosulfatNatrium tiosulfat merupakan donor sulfur yang mengkonversi sianida menjadi bentuk yang lebih nontoksik, tiosianat, dengan enzyme sulfurtransferase, yaitu rhodanase. Tidak seperti nitrit, tiosianat merupakan senyawa nontoksik, dan dapat diberikan secara empiris pada keracunan sianida. Penelitian dengan hewan uji menunjukkan kemampuan sebagai antidot yang lebih baik bila dikombinasikan dengan hidroksokobalamin (Olson, 2007).

Rute utama detoksifikasi sianida dalam tubuh adalah mengubahnya menjadi tiosianat oleh rhodanase, walaupun sulfurtransferase yang lain, seperti beta-merkaptopiruvat sulfurtransferase, dapat juga digunakan. Reaksi ini memerlukan sumber sulfan sulfur, tetapi penyedia substansi ini tebatas. Keracunan sianida merupakan proses mitokondrial dan penyaluran intravena sulfur hanya akan masuk ka mitokondria secara perlahan. Natrium tiosulfat mungkin muncul sendiri pada kasus keparahan ringan sampai sedang, sebaiknya diberikan bersama antidot lain dalam kasus keracunan parah. Ini juga merupakan pilihan antidot saat diagnosis intoksikasi sianida tidak terjadi, misalnya pada kasus penghirupan asap rokok. Natrium tiosulfat diasumsikan secara intrinsik nontoksik tetapi produk detoksifikasi yang dibentuk dari sianida, tiosianat dapat menyebabkan toksisitas pada pasien dengan kerusakan ginjal. Pemberian natrium tiosulfat 12.5 g i.v. biasanya diberikan secara empirik jika diagnosis tidak jelas (Meredith, 1993).Natrium tiosulfat merupakan komponen kedua dari antidot sianida. Antidot ini diberikan sebanyak 50 ml dalam 25 % larutan. Tidak ada efek samping yang ditimbulkan oleh tiosulfat, namun tiosianat memberikan efek samping seperti gagal ginjal, nyeri perut, mual, kemerahan dan disfungsi pada SSP. Dosis untuk anak-anak didasarkan pada berat badan (Meredith, 1993).

A. Indikasi

a. Dapat diberikan sendiri ataupun dikombinasikan dengan nitrit atau hidroksokobalin pada pasien keracunan sianida akut.b. Perawatan secara empiris pada keracunan sianida berhubungan dengan inhalasi.c. Profilaksis selama infus nitroprusida.d. Ekstravasasi dari mechlorethamin.e. Ingesti garam bromat (Olson, 2007).B. KontraindikasiTidak diketahui kontraindikasinya (Olson, 2007).C. Efek sampinga. Infus intravena dapat menyebabkan rasa terbakar, kejang otot dan gerakan tiba-tiba, dan mual dan muntah.b. Penggunaan pada wanita hamil. Kategori C berdasarkan FDA (Olson, 2007).D. Interaksi obatTiosulfat dapat menurunkan konsentrasi sianida pada beberapa metode (Olson, 2007).

E. Dosis dan cara pemberiana. Untuk keracunan sianidaBerikan 12.5 g (50 mL dari 25% larutan) secara IV pada 2.5-5 mL/menit. Dosis untuk pediatrik sebesar 400 mg/kg (1.6 mL/kg dari 25% larutan) sampai 50 mL. Setengah dosis awal sebaiknya diberikan setelah 30-60 menit bila diperlukan (Olson, 2007).b. Untuk profilaksis selama infuse nitroprusida. Tambahan 10 mg tiosulfat pada tiap milligram nitroprusida pada larutan intravena dikatan dapat menjadi efektif, namun data kompatibilitasnya tidak tersedia (Olson, 2007).F. FormulasiParenteral, sebagai komponen pada paket antidot sianida, sodium tiosulfat, 25% larutan, 50 mL. juga tersedia dalam bentuk ampuldan vial yang berisi 2.5 g/10 mL atau 1 g/10 mL (Olson, 2007).

10. Natrium NitritNitrit menyebabkan methemoglobin dengan sianida membentuk substansi nontoksik sianmethemoglobin. Methemoglobin tidak mempunyai afinitas lebih tinggi pada sianida daripada sitokrom oksidase, tetapi lebih potensial menyebabkan methemoglobin daripada sitokrom oksidase. Efek samping dari penggunaan nitrit meliputi pembentukan formasi methemoglobin, vasodilatasi, hipotensi, dan takikardi. Mencegah pembentukkan formasi yang cepat, monitoring tekanan darah, dan pemberian dosis yang tepat akan mengurangi terjadinya efek samping. Ketika dilakukan terapi dengan nitrit, lihat konsentrasi hemoglobin. Tetapi jangan menunda terapi ketika menunggu hasil pengukuran kadar hemoglobin (Meredith, 1993).Sodium nitrit injeksi dan amil nitrit dalam bentuk ampul untuk inhalasi merupakan komponen dari antidot sianida. Kegunaan nitrit sebagai antidot sianida bekerja dalam dua cara, yaitu : nitrit mengoksidasi hemoglobin, yang kemudian akan mengikat sianida bebas, dan cara yang kedua yaitu meningkatkan detoksifikasi sianida endothelial dengan menghasilkan vasodilasi. Inhalasi dari satu ampul amil nitrit menghasilkan tingkat methemoglobin sekitar 5%. Pemberian dosis tunggal nitrit secara intravena dapat menghasilkan tingkat methemoglobin sekitar 20-30% (Olson, 2007).

A. KontraindikasiNitrit dikontraindikasikan untuk : pasien dengan methemoglobinemia (>40%), hipotensi berat, pemberian pada pasien yang keracunan karbonmonoksida (Olson, 2007).

B. Efek sampingNitrit memiliki efek samping yaitu :a. Sakit kepala, kemerahan pada muka, kepusingan, mual, muntah, takikardi, dan berkeringat. Efek samping ini dapat juga dijadikan tanda keracunan sianida.b. Pemberian secara intravena dapat menyebabkan hipotensi.c. Methemoglobinemia berlebihan dan fatal dapat terjadi.d. Penggunaan pada kehamilan (Olson, 2007).C. Interaksi obata. Hipotensi dapat menjadi parah apabila nitrit diberikan bersamaan dengan alkohol atau vasodilator atau agen antihipertensi lainnya. b. Metilen biru sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang keracunan sianida karena dapat membalikkan induksi methemoglobinemia oleh nitrit dan secara teori menghasilkan pelepasan ion bebas sianida.c. Ikatan dari methemoglobin pada sianida (sianomethemoglobin) dapat menurunkan tingkat methemoglobin bebas (Olson, 2007).

D. Dosis dan metode pemberiana. Amil nitrit dalam bentuk ampul. Gunakan 1 atau 2 ampul pada kain kasa, pakaian, atau spons dan letakkan di bawah hidung penderita, yang sebaiknya dihirup dalam-dalam selama 30 detik. Diamkan 30 detik, kemudian ulangi lagi (Olson, 2007).b. Sodium nitrit parenteral.1) Dewasa.Berikan 300 mg sodium nitrit (10 mL dari 3% larutan) IV selama 3-5 menit (Olson, 2007).2) Anak-anak. Berikan 0.15-0.33 mL/kg sampai batas maksimum sebesar 10 mL. Dosis pada anak-anak sebaiknya dihitung berdasarkan konsentrasi hemoglobin bila diketahui. Bila diduga mengalami anemia atau hipotensi, awali dengan dosis rendah, diencerkan dalam 50-100 mL saline, dan berikan selama 5 menit (Olson, 2007).3) Oksidasi dari hemoglobin menjadi methemoglobin terjadi dalam 30 menit. Bila tidak terjadi apa-apa dalam 30 menit, setengah dosis IV dari sodium nitrit perlu diberikan (Olson, 2007).E. Formulasia. Amil nitrit. Komponen dari antidot sianida, 0.3 mL dalam ampul (Olson, 2007).b. Sodium nitrit parenteral. Komponen dari antidot sianida, 300 mg dalam 10 mL pelarut steril (3%) (Olson, 2007).

12. Pengelolaan Keberadaan Sianida di Lingkungan

Sianida yang beracun tidak baik untuk biota air maupun darat (Donato dkk 2007; Mudder 2001) dan merupakan rute paparan utama bagi sebagian besar hewan yang terkena dampak keracunan sianida, tetapi paparan secara bersamaan dengan menghirup dan penyerapan kulit juga dapat terjadi. Selain itu, hewan dapat mengkonsumsi sianida secara tidak sengaja. A. PemantauanPemantauan kadar sianida dalam lingkungan merupakan bagian penting dari praktek unggulan pengelolaan sianida, pentingnya mengukur kadar sianida merupakan langkah tepat terhadap potensi toksisitas. Program pemantauan lingkungan tambang, yang harus menjadi bagian dari rencana pengelolaan lingkungan, harus mencakup: Spesifikasi lokasi pengambilan sampel, frekuensi pengambilan sampel, pelestarian danpenyimpanan sampel , metode analisis, parameter untuk mengukur, penggunaan bahan acuan bersertifikat, dan tindakan yang diperlukan pada deteksi unsur luar (senyawa penggangu). Kualitas air berdasar informasi yang ada (air permukaan dan air tanah) Pemantauan selama dan setelah kegiatan pertambangan kadar dan kualitas air permukaan dan air tanah, kolam proses, air minum, bendungan tailing pembentukan debu dan deposisi satwa rehabilitasi.

Pembentukan tailing asam dari tempat pembuangan batuan sisa, misalnya, dapat menyebabkan terlepasnya gas HCN. Peringatan potensi masalah tersebut dapat diperoleh dari pengetahuan tentang jalur paparan lingkungan terkait dengan pemantauan pH, sianida WAD dan sianida bebas Hanya analisis total dan sianida (dengan distilasi ) dapat dianggap tindakan yang handal dalam mengukur racun sianida . Selain itu , deteksi tingkat rendah dari total atau sianida mungkin merupakan hasil dari sianida yang dilepaskan dari sumber-sumber alam atau buatan lain, atau mungkin akibat dari kesalahan atau gangguan dalam berbagai prosedur analitis sianida ( Mudder 1997) . Pengukuran kadar total sianida di bawah 0,10 miligram per liter dan sianida WAD di bawah 0,05 miligram per liter yang ada dalam pertambangan terkait pembuangan mungkin tidak dapat diandalkan dan harus dilaporkan sebagai kurang dari dan tidak digunakan untuk tujuan kepatuhan ( Mudder 1997) . Kemungkinan alasan untuk melaporkan kadar sianida yang diukur di air permukaan atau limbah yang diolah perlu dipertimbangkan ketika menafsirkan hasil dari program pemantauan. Yang pertama adalah kesalahan analitis, yang kedua adalah sianida yang diproduksi secara alami yang diekskresi oleh tanaman, mikroorganisme dan serangga , dan yang ketiga adalah sianida buatan. Kesimpulan yang salah dapat dengan mudah ditarik , dengan konsekuensi yang berpotensi serius, jika pengukuran yang valid tidak digunakan.

Penilaian risiko

Alat manajemen dan komunikasi dapat dikembangkan dengan cara melakukan penilaian risikoyang diterapkan untuk mengendalikan berbagai dampak dari penggunaan bahan kimia seperti penggunaan sianida (Ricci 2006). Penilaian risiko dibentuk dalam beberapa langkah indentifikasi sumber dan bahaya, tanggapan dan paparan dosis, dan menghitung risiko (AS 2004). Ada sejumlah konsep pengelolaan risiko yang muncul dari paparan sianida di pertambangan emas yang berlaku untuk kesehatan publik dan lingkungan yang dapat diterima oleh pihak berwenang, para pemangku kepentingan dan patuh terhadap Kode.

Risiko yang berkaitan dengan sianida harus dihubungkan dengan rencana pengelolaan risiko lingkungan untuk memastikan semua potensi bahaya bagi para pekerja, masyarakat dan lingkungan telah diminimalkan mulai dari tingkat perencanaan, pengembangan, operasional dan penutupan tambang. Sistem-sistem untuk pengelolaan risiko dijelaskan dalam buku pedoman Penilaian dan Pengelolaan Risiko (DRET 2008a). Terdapat beberapa skenario risiko utama untuk penggunaan sianida di pertambangan yang dijelaskan dalam Kode (ICMI 2006) yang perlu ditangani melalui rencana yang dikhususkan untuk setiap lokasi: paparan tenaga kerja terhadap sianida yang berhubungan dengan produksi, pengangkutan, penanganan dan penyimpanan, dan semua aktifitas operasional dan penghentian. melindungi kesehatan pekerja dengan mengindentifikasi jalur paparan sianida; mengoperasikan dan memantau fasilitas secara aman dengan menghilangkan atau mengurangi sumber; serta memiliki rencana tanggap darurat paparan manusia (selain tenaga kerja) dan biota lainnya terhadap pelepasan sianidadari produksi, transportasi, penanganan dan penyimpanan, dan semua aktifitas operasional dan penghentian paparan pada manusia, hewan ternak dan biota lainnya melalui pelepasan sianida dalam larutan ke air permukaan atau air tanah dan selanjutnya mungkin dapat masuk ke sistem pencernaan.

Studi paparan biota mungkin perlu mempertimbangkan jenis sianida dan ketersediaan hayatinya. Prosedur yang diterima saat ini dalam Australia of the Department of Health and Aged Care untuk kesehatan manusia (eNHealth 2004) dan USEPA untuk kesehatan ekologi (USEPA 1998) memungkinkan pendekatan yang dirumuskan dari penilaian risiko untuk diterapkan bila diperlukan (Ricci 2006). Ada dua langkah yang berurutan: penilaian dilakukan terlebih dahulu lalu alat manajemen dikembangkan berdasarkan risiko yang teridentifikasi. Jika penilaian risiko lengkap tidak dilakukan karena alasan praktis maka alat pembuat keputusan dikembangkan untuk memberikan kerangka kerja berbasis risiko

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA