tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · analog basa adalah senyawa dengan struktur kimia mirip...
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Krisan
Bunga krisan memiliki banyak varietas atau kultivar. Dewan Standarisasi
Nasional (1998) mengelompokkan bunga krisan sebagai berikut:
a. Tunggal : bunga hanya berdiri sendiri pada tangkainya. Piringan dasar
bunga lebih sempit daripada lingkar mahkota.
b. Anemone : bunga mirip seperti bunga tunggal, tetapi piringan dasarnya lebih
besar dan lebih tebal.
c. Pompon : bunga berbentuk bulat seperti bola, mahkota bunga menyebar ke
semua arah dan piringan dasar tidak tampak.
d. Dekoratif : bentuk bunga seperti aster, tidak tampak piringan dasarnya,
mahkota bunga bertumpuk rapat, di tengah pendek dan makin ke tepi makin
panjang.
e. Bunga besar : bunga hanya berdiri sendiri pada tangkainya, piringan dasar
bunga tidak tampak, garis tengah bunga lebih besar dari 10 cm. Bunga krisan
besar ini dibagi lagi menjadi empat sub golongan, yaitu:
1. Incurve : ujung mahkota bunga melekuk ke dalam.
2. Kiku : ujung mahkota bunga melekuk ke luar.
3. Spider : mahkota bunga pipih dan panjang seperti kaki laba-laba.
4. Spoon : seperti spider tetapi ujung mahkota bunga agak melebar sehingga
berbentuk seperti sendok.
Selain itu, kuntum bunga krisan memiliki karakter masing-masing, yaitu
standar dan spray. Krisan standar memiliki satu kuntum bunga berukuran besar
tiap tangkai, sedangkan tipe spray memiliki sekitar 10-20 kuntum bunga dengan
diameter 2-3 cm.
Syarat Tumbuh Krisan
Krisan tumbuh dengan baik di dataran medium hingga tinggi, yaitu pada
kisaran 600-1200 m dpl. Krisan kurang menyukai cahaya matahari dan percikan
air hujan langsung serta tanah yang tergenang. Hujan deras atau curah hujan
tinggi yang langsung menerpa tanaman krisan dapat menyebabkan tanaman
mudah roboh, rusak, dan menghasilkan bunga dengan kualitas rendah. Oleh
karena itu, budidaya krisan di daerah bercurah hujan tinggi dapat dilakukan di
dalam bangunan rumah lindung berupa rumah plastik atau rumah kaca. Sifat fisik
media tumbuh optimal untuk tanaman krisan, yaitu memiliki kerapatan jenis
0.2-0.8 g/cm (berat kering), total porositas 50-75 %, kandungan udara dalam pori
10-20 %, kandungan garam terlarut 1-1.25 dS/m dan kisaran pH 5.5-6.5
(Balithi, 2008).
Krisan dapat tumbuh pada kisaran suhu harian 17-30 °C. Tanaman krisan
membutuhkan kisaran suhu harian 22-28 °C pada siang hari dan tidak melebihi
26 °C pada malam hari untuk pertumbuhan optimal saat fase vegetatif. Suhu juga
berpengaruh terhadap kualitas bunga yang dihasilkan. Suhu harian ideal pada fase
generatif adalah 16-18 °C. Apabila suhu lebih dari 18 °C, bunga yang dihasilkan
cenderung berwarna kusam, pucat, dan memudar (Balithi, 2008).
Kelembaban udara juga berpengaruh terhadap pertumbuhan bunga krisan.
Tanaman krisan membutuhkan kelembaban 90-95 % pada awal pertumbuhan
untuk pertumbuhan akar. Sedangkan pada tanaman dewasa, pertumbuhan optimal
tercapai pada kelembaban udara sekitar 70-85 % (Balithi, 2008).
Perbanyakan Krisan
Perbanyakan krisan dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif.
Perbanyakan krisan secara generatif jarang dilakukan karena sulit dan bersifat
heterozigot sehingga keturunan dari biji tidak sama dengan induknya. Selain itu,
perbanyakan secara generatif membutuhkan waktu lama dan penanganan khusus.
Perbanyakan krisan secara vegetatif biasanya dilakukan melalui setek pucuk,
anakan, dan kultur jaringan. Perbanyakan melalui setek pucuk dapat
menghasilkan tunas dalam waktu sekitar tiga bulan, sedangkan perbanyakan
melalui kultur jaringan dapat menghemat waktu dan diperoleh bibit dalam jumlah
banyak.
Setek pucuk diambil dari pucuk-pucuk batang tanaman induk yang masih
muda. Pengambilan setek pertama dari tanaman induk dapat dilakukan setelah
tanaman induk mempunyai tujuh daun atau kira-kira berumur 2 minggu setelah
tanam. Penyetekan pertama dilakukan dengan menyisakan 4 daun, dari 4 daun ini
diharapkan akan tumbuh minimal 2 tunas yang selanjutnya akan dijadikan bahan
setek pada periode berikutnya. Penyetekan kedua dapat dilakukan dengan
menyisakan 2 daun yang produktif, sehingga diharapkan dapat tumbuh 2 tunas.
Selanjutnya untuk merangsang pertumbuhan akar, bahan setek tersebut diberi
perlakuan dengan cara mencelupkan bagian pangkal setek ke dalam hormone
perangsang perakaran dengan kedalaman mencelup kira-kira 0.5 cm. Setelah itu
bahan setek tersebut dibiarkan sekitar 0.5 jam hingga larutan hormon yang
menempel pada pangkal batang mengering (Supari, 1999).
Tanaman induk krisan ditanam seperti cara menanam krisan potong, tetapi
dengan jarak tanam lebih besar dan lama penyinaran tambahan lebih lama. Jarak
tanam yang digunakan adalah 17 cm x 17 cm. Jarak yang lebih lebar dimaksudkan
untuk memberi tempat bagi percabangan tanaman yang banyak setelah tanaman
cukup tua, dan penyediaan faktor tumbuh yang banyak agar tanaman dapat
memproduksi tunas-tunas dengan baik (Supari,1999). Selain itu, pemupukan juga
sedikit berbeda dengan krisan potong. Pemupukan tanaman induk ditekankan
untuk merangasang pertumbuhan tunas-tunas baru, sehingga diberikan pupuk
nitrogen yang lebih banyak (Supari, 1999).
Tanaman krisan dapat dibudidayakan secara tungal (monokultur), maupun
dengan pola tumpang sari (Widyawan dan Prahastuti, 1994). Jarak tanam krisan
sangat bervariasi tergantung situasi lokasi penanaman (Soekartawi, 1996). Jarak
tanam krisan yang biasa digunakan adalah 10 cm x 10 cm, dan 12.5 cm x 12.5 cm.
Kualitas Bunga Krisan
Kualitas bunga krisan potong segar ditentukan berdasarkan panjang
tangkai minimum, diameter tangkai bunga, diameter bunga setengah mekar,
jumlah kuntum bunga setengah mekar pertangkai pada tipe spray, kesegaran
bunga, benda asing/kotoran, keadaan tangkai bunga, daun pada 2/3 bagian tangkai
bunga dengan penanganan pasca panen minimum. Dewan Standarisasi Nasional
telah menetapkan Standar Nasional Indonesia untuk bunga krisan potong seperti
yang tercantum pada Lampiran 6.
Kriteria yang paling menentukan mutu krisan nasional adalah panjang
tangkai bunga. Tanaman krisan yang memiliki panjang tangkai 76 cm akan
memiliki kualitas AA, 70 cm memiliki kualitas A, dan 60 cm memiliki kualitas B.
Penurunan kualitas akan mengakibatkan penurunan nilai komersial tanaman
tersebut.
Mutasi
Mutasi adalah perubahan pada sekuen DNA. Mutasi dapat terjadi pada
genom yang mana saja. Akan tetapi, perubahan-perubahan fenotipik hanya
teramati pada organisme jika mutasi terjadi dalam sekuens sebuah gen. Alel-alel
mutan memiliki sekuens yang sedikit berbeda dengan alel-alel wild
(Elrod and Stansfield, 2007). Mutasi dapat juga didefinisikan sebagai perubahan
materi genetik, yang merupakan sumber pokok dari semua keragaman genetik dan
bagian dari fenomena alam. Tipe perubahan genetik yang termasuk dalam mutasi
terjadi secara acak, maka mungkin saja perubahan tersebut justru meningkatkan
kemampuan organisme untuk bertahan hidup, tumbuh dan bereproduksi
(Aisyah, 2006).
Induksi mutasi dapat dilakukan dengan beberapa mutagen, yaitu analog
basa, mutagen kimia, dan mutagen fisik (Yuwono, 2008). Analog basa adalah
senyawa dengan struktur kimia mirip dengan salah satu basa nukleotida sehingga
dapat digabungkan dengan molekul DNA dalam proses replikasi. Analog basa
dapat menginduksi mutasi karena dapat menyebabkan kesalahan dalam
penyisipan nukleotida pada untaian DNA pasangannya. Senyawa ini dapat
menyebabkan mutasi transisi. Contoh dari senyawa ini adalah 5-bromourasil
(5-BU) dan 2-aminopurin (2-AP) (Yuwono, 2008).
Mutagen kimia yang banyak digunakan oleh pemulia adalah yang berasal
dari kelompok alkylating agents. Senyawa ini mengandung satu atau lebih
kelompok alkil reaktif yang dapat ditransfer ke molekul lain pada posisi dimana
kerapatan elektronnya tinggi. Alkylating agents ini akan bereaksi dengan DNA
dengan cara mengalkilasi kelompok fosfat, termasuk basa-basa purin dan
pirimidin. Mutagen kimia yang biasa digunakan diantaranya adalah EMS (ethyl
methane sulphonate), DES (diethylsulfate), El (ethylenimine), NMUT (N-nitroso-
N-methyl urethane), NMU (N-nitro-N-methyl urea), NEUT (N-nitrose-N-ethyl
urethane) dan NEU (N-nitrose-N-ethyl urea) (Aisyah, 2006).
Mutagen fisik secara khas dibedakan dari tipe radiasinya. Mutagen fisik
yang sering digunakan diantaranya adalah sinar-x, sinar gamma, ultraviolet, dan
neutron (Aisyah, 2006). Mutagen fisik lainnya adalah partikel alpha dan sinar
devteron (Welsh, 1981). Radiasi sinar-x, gamma, dan neutron mengionisasi
atom-atom dalam jaringan dengan cara melepaskan elektron-elektron dari
atomnya (Aisyah, 2006). Jumlah bahan yang diperlakukan akan mempengaruhi
keberhasilan dalam menghasilkan mutan. Oleh karena itu, dalam melakukan
pemuliaan mutasi perlu diperhatikan banyaknya bahan yang digunakan agar dapat
terjadi variasi-variasi genetika yang banyak (Soetarto dan Darsono, 1972).
Kecepatan mutasi bervariasi sesuai dengan dosis mutagen. Semakin tinggi
dosis mutagen, semakin sering terjadi mutasi, pemunculan kromosom-kromosom
dan kematian gen yang tidak diharapkan (Welsh, 1981). Dosis radiasi yang tinggi
tidak hanya dapat mempengaruhi materi-materi genetik, tetapi juga dapat merusak
organisme secara fisiologis. Bahkan radiasi yang tinggi pada tanaman dapat
mengurangi frekuensi germinasi, pertumbuhan yang terhambat dan mengurangi
kekuatan tanaman (Darussalam, 1972). Dosis yang dianggap efektif adalah yang
hanya mengakibatkan kematian 50% dari populasi yang diperlakukan. Dosis ini
disebut dosis letal 50% atau LD50 (Welsh, 1981).
Mutasi dapat terjadi pada setiap tahap perkembangan suatu organisme.
Apabila terjadi di dalam jaringan somatik, mutasi mengakibatkan pola mosaik
pada satu atau beberapa sel. Apabila di dalam jaringan generatif, mutasi dapat
dipindahkan kepada keturunannya, tetapi tidak terlihat untuk beberapa generasi.
Jaringan tertentu dari suatu organisme lebih sensitif terhadap mutagen daripada
jaringan lain. Embrio lebih sensitif daripada jaringan yang sudah tak berkembang.
Sel yang aktif tumbuh dan membelah lebih peka terhadap kerusakan daripada sel
yang lebih tua (Crowder, 2006).
Sebagian besar mutasi adalah resesif (mutasi maju), tetapi beberapa dapat
berbalik (mutasi balik). Mutasi letal menyebabkan kematian pada organisme
tersebut. Tipe yang merusak mengganggu aktivitas metabolisme. Sebagian besar
mutasi merugikan, tetapi kira-kira 0.01 persen menguntungkan (Crowder, 2006).
Sel-sel yang membawa sifat mutasi yang baru cenderung hilang dalam persaingan
dengan sel-sel normal (Aisyah, 2006). Mutasi pada sel dapat hilang dengan
matinya individu atau pun karena matinya sel yang termutasi sebelum multiplikasi
(Sinha and Sinha, 1982).
Mutasi dapat diklasifikasikan berdasarkan asal, arah, dan tipe sel. Berikut
ini merupakan klasifikasi mutasi:
1. Asal
a) Mutasi spontan: mutasi terjadi saat aktivitas selular normal, terutama saat
replikasi dan perbaikan DNA.
b) Mutasi terinduksi: mutasi terjadi sebagai akibat perlakuan dengan agen
mutagenik atau lingkungan, laju mutasi biasanya lebih tinggi daripada
mutasi spontan.
2. Arah
a) Mutasi maju (forward): menciptakan perubahan dari wild type menjadi
fenotipe abnormal.
b) Mutasi balik (reverse) atau mundur (back): perubahan sekuens nukleotida
kembali menjadi sekuens awalnya.
c) Mutasi supresor: menghasilkan perubahan dari fenotipe abnormal (atau
dengan kata lain, termutasi) kembali menjadi wild type.
Supresor intragenik: sebuah mutasi pada gen yang sama dengan yang
termutasi pada awalnya, tapi pada situs yang berbeda, sehingga
mengembalikan fungsi wild type.
Supresor intergenik: sebuah mutasi pada gen lain yang mengembalikan
fungsi wild type
3. Tipe sel
a) Mutasi sel somatik: terjadi pada semua sel tubuh, kecuali sel kelamin,
seringkali menghasilkan fenotipe mutan hanya pada satu sektor organisme
(mosaik atau kimera), bukan perubahan yang diwariskan.
b) Mutasi lini nutfah (germ line, gametik): terjadi pada sel-sel kelamin,
menghasilkan perubahan yang diwariskan (Elrod and Stansfield, 2007).
Radiasi
Radiasi elektromagnetik tersusun atas dua gelombang, yaitu gelombang
elektrik dan magnetik. Berikut ini merupakan spektrum elektromagnetik:
Gambar 1. Spektrum Elektromagnetik (Sumber : McDonald, 2003)
Radiasi adalah istilah yang digunakan untuk berbagai bentuk pancaran
energi seperti pancaran cahaya, pancaran panas, pancaran radio dan TV, dan sinar
ultra violet. Radiasi energi tinggi biasanya merupakan bentuk-bentuk yang
melepaskan tenaga dalam jumlah besar dan kadang-kadang disebut radiasi
ionisasi karena ion-ion dihasilkan dalam bahan yang ditembus oleh energi
tersebut. Tipe-tipe radiasi adalah sebagai berikut :
1. Sinar x, dari tabung sinar x yang tegangannya relatif rendah, panjang
gelombang agak panjang (150 – 0.15 Å), disebut sinar lemah, penting untuk
menginduksi perubahan-perubahan genetik.
2. Sinar gamma, dipancarkan dari isotop radioaktif, panjang gelombang lebih
pendek dari sinar x, lebih kuat daya tembusnya, dikenal sebagai sinar kuat,
penting untuk menginduksi perubahan genetik.
3. Sinar ultra violet, panjang gelombang berbeda-beda (3800 - 150 Å), terletak
antara sinar x (150 – 0.15 Å) dan cahaya yang terlihat (7800 – 3800 Å), daya
tembus rendah, menyebabkan perangsangan elektron (Crowder, 2006).
Radisi pengionisasi, misalnya sinar x menyebabkan mutasi pada gen dalam
perbandingan lurus dengan dosis radiasinya (Elrod and Stansfield, 2007). Jumlah
radiasi yang sama dengan intensitas tinggi untuk waktu pendek atau intensitas
rendah dengan waktu panjang, atau dosis yang berselang-seling, akan
menimbulkan jumlah mutasi yang sama. Tidak ada pengaruh intensitas pada
mutasi buatan tetapi pengaruh radiasi bersifat kumulatif. Baik gelombang pendek
maupun gelombang panjang mempunyai efektifitas sama pada dosis yang sama
(Crowder, 2006). Frekuensi mutasi dapat ditingkatkan dengan penambahan dosis
radiasi, tetapi penggunaan dosis radiasi yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
tidak berkecambahnya biji-biji (Hartana, 1972).
Radiasi menembus bagian tertentu dari gen yang menyebabkan perubahan
bahan DNA. Akibat tidak langsung, yaitu radiasi menimbulkan perubahan zat
kimia tertentu disekitar gen yang menghasilkan perubahan susunan nukleotida
(Crowder, 2006). Susunan nukleotida dalam gen merupakan pengkode bagi
protein yang ditentukan dari urutan asam aminonya. Karena itu perubahan
susunan nukleotida akan menentukan protein yang dihasilkan dan fungsinya
(Salisbury and Ross, 1995). Perubahan pasangan basa (urutan nukleotida)
mengubah struktur dan fungsi protein. Pergeseran dalam pembacaan kode triplet
mengubah urutan asam amino dari polipeptida atau mungkin mengakibatkan
terhentinya sintesis asam amino (Crowder, 2006).
Kerusakan pada sel akibat radiasi dapat mempengaruhi fungsi jaringan
atau organ bila jumlah sel yang mati/rusak dalam jaringan/organ tersebut cukup
banyak. Semakin banyak sel yang rusak/mati, semakin parah perubahan fungsi
yang terjadi sampai akhirnya organ tersebut kehilangan kemampuan untuk
menjalankan fungsinya dengan baik. Perubahan fungsi sel atau kematian dari
sejumlah sel menghasilkan suatu efek biologik dari radiasi yang bergantung pada
jenis radiasi, dosis, jenis sel, dan lainnya (Alatas, 2010). Biasanya terdapat
korelasi antara jumlah DNA, yaitu lebih sedikit DNA akan lebih tahan suatu
organisme terhadap radiasi (Crowder, 2006).
Radiasi gamma merupakan yang paling sering digunakan dalam mutasi
buatan. Sinar gamma memiliki panjang gelombang yang pendek, yaitu
10 – 0.01 nm dengan sumber utama radiasi adalah isotop Cobalt-60 (60
Co). Sinar
gamma dikelompokkan ke dalam gelombang elektromagnetik karena tidak
mempunyai massa dan muatan listrik. Sinar gamma mempunyai energi radiasi
tinggi, yaitu diatas 10 MeV sehingga mempunyai daya penetrasi yang kuat ke
dalam jaringan dan mampu mengionisasi atom-atom dari molekul yang
dilewatinya (Crowder, 2006).
Ionisasi dari radiasi sinar gamma terjadi menyebar sepanjang jalur ionisasi
partikel. Ketika agen ionisasi yang mengandung inti atom (seperti partikel alpha)
terlempar akibat radiasi, ionisasi menjadi lebih rapat terkonsentrasi di daerah
terebut. Ionisasi dapat menyebabkan pengelompokan molekul-molekul di
sepanjang jalur ion yang tertinggal karena radiasi. Pengelompokan baru ini
menyebabkan perubahan kimia yang mengarah pada mutasi gen atau pada
kerusakan atau pengaturan kembali kromosom (Aisyah, 2006).
Ethyl Methane Sulphonate
Ethyl Methane Sulphonate merupakan ethyl ester dari asam
methanesulphonic (methanesulphonic acid) dan cairan yang tidak berwarna di
suhu ruang. Ethyl Methane Sulphonate dapat terlarut pada air dan stabil dibawah
suhu dan tekanan normal (Akron, 2009). Ethyl Methane Sulphonate biasanya
digunakan dalam percobaan sebagai mutagen dan sebagai bahan untuk penelitian
biokimia (Akron 2009, HSBD 2009). Sifat fisik dan kimia EMS dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 1. Sifat Fisik dan Kimia EMS
Komponen Informasi
Berat molekul 124.2a
Titik leleh <-25°Cb
Tittik didih 213°C to 214°C at 761 mm Hga
Log Kow 0.09a
Kelarutan air 135 g/L at 25°Cb
Tekanan uap 0.328 mm Hg at 25°C Sumber:
aHSDB 2009,
bChemIDplus 2009
Rumus kimia ethyl methane sulphonate adalah sebagai berikut:
Ethyl Methane Sulphonate (EMS) merupakan agen ethylating yang
menyebabkan mutagenik mulai dari virus hingga mamalia. Data genetik yang
diperoleh dengan menggunakan mikroorganisme menjelaskan bahwa EMS
menyebabkan mutasi transisi dengan mengubah basa guanin dan timin (GT)
menjadi adenin dan timin (AT) serta adenin dan timin (AT) menjadi guanin dan
timin (GT). Telah diperoleh pula bukti yang menjelaskan bahwa EMS dapat
menyebabkan penyisipan (insersi) atau penghilangan (delesi) pasangan basa serta
penghapusan intragenik lebih luas. Pada organisme tingkat tinggi, EMS mampu
mematahkan kromosom, meskipun belum dipahami mekanismenya. Sebuah
hipotesis yang sering dikutip adalah bahwa etylasi basa DNA oleh EMS
(umumnya pada posisi N-7 dari guanin) secara bertahap menghidrolisis
deoxiribosa pada backbone DNA meninggalkan sebuah situs purin (atau mungkin
pirimidin) yang stabil dan dapat menyebabkan kerusakan untaian tunggal DNA
(Sega, 1984).
Penggunan EMS lebih efektif dibandingkan dengan radiasi pengionisasi
sinar x. Nauman (1976), menjelaskan bahwa Tradescantia klon 4430 lebih
sensitif terhadap EMS 6-7 kali dibandingkan dengan radiasi sinar x untuk
menghasilkan mutan. Selain itu, Mallikarjun et al. (2008), melaporkan bahwa
regenerasi in vitro melalui kalus dengan perlakuan EMS menciptakan variasi
tambahan pada tebu. Kalus yang diberi perlakuan EMS menghasilkan mutagen
potensial pada 0.5% untuk interval waktu yang berbeda.
Kloroplas
Kloroplas adalah plastid fotosintesis berwarna hijau yang mengandung
klorofil dan responsibel untuk menangkap energi cahaya. Kloroplas umumnya
berbentuk bulat hingga oval. Kloroplas lebih besar dibandingkan mitokondria dan
memiliki diameter 4-6 µm (McDonald, 2003). Aneka bentuk dan ukuran kloroplas
ditemukan pada berbagai tumbuhan. Kloroplas berasal dari proplastid kecil
(plastid yang belum dewasa, kecil, dan hampir tak berwarna, dengan sedikit atau
tanpa membran dalam). Pada umumnya proplastid berasal hanya dari sel telur
yang tak terbuahi, sperma tidak berperan di sini. Proplastid membelah pada saat
embrio berkembang, dan berkembang menjadi kloroplas ketika daun dan batang
terbentuk. Kloroplas muda juga aktif membelah, khususnya bila organ yang
mengandung kloroplas terpajan dengan cahaya, jadi tiap sel daun dewasa sering
mengandung beberapa ratus kloroplas (Salisbury and Ross, 1995).
Kloroplas merupakan organel poliploid, yang terdiri dari banyak duplikat
DNA kloroplas (plastome) per kloroplas. Sekuen DNA tersedia dari beberapa
tanaman yang berbeda mengindikasikan bahwa semua enzim dan protein
esensial untuk replikasi plastid DNA dikodekan pada nuclear genome. Plastid
DNA pada umumnya homogeny pada salah satu spesies tanaman. Meskipun
demikian, hanya seperti semua sel somatik pada organisme memiliki set nuclear
gen yang sama tetapi mungkin mengekspresikan gen ini pada kombinasi yang
berbeda. Kloroplas diketahui mengandung semua gen rRNA kloroplas (3-5 gen),
sekitar 30 gen tRNA dan sekitar 100 gen pengkode protein, jumlah gen
mengestimasikan ukuran genom kloroplas (McDonald, 2003).
Tiap kloroplas dikelilingi oleh sistem satu selimut membran ganda yang
mengatur lalu lintas molekul keluar masuk kloroplas. Di dalam kloroplas
mengandung bahan amorf, iir-gel, dan kaya enzim yang disebut stroma. Di dalam
kloroplas juga dijumpai DNA, RNA, ribosom, dan tentu saja berbagai enzim.
Semua molekul ini sebagian besar terdapat di stroma, tempat berlangsungnya
transkripsi dan translasi. DNA kloroplas terdapat dalam 50 atau lebih lingkaran
jalur-ganda melilit dalam tiap plastid. Berbagai gen plastid menyandi semua
molekul RNA-pemindah (sekitar 30), dan molekul RNA-ribosom (empat) yang
digunakan oleh plastid untuk translasi (Salisbury and Ross, 1995).
Kloroplas mengandung materi genetik (gen atau DNA) yang juga dapat
termutasi. Energi radiasi sinar gamma dapat menyebabkan kerusakan atau mutasi
gen pada kloroplas. Mutasi pada gen kloroplas dapat menyebabkan kerusakan gen
mutan (defective mutant genes) yang kemudian dapat mengganggu proses
fotosintesis pada daun (Agustrial, 2008).
Pengamatan kuantitatif pada karakteristik sel seperti pengukuran sel sering
diterapkan untuk mengetahui adanya poliploidi. Materi yang paling sering dilihat
adalah sel penjaga dan stomata. Ukuran dan jumlah sel tersebut
per area daun menjadi hal yang umum untuk melacak perubahan ploidi
(Sybenga, 1992). Menurut Saria et al. (2000), jumlah kloroplas sel penjaga
menentukan tingkat ploidi suatu tanaman. Tanaman semangka diploid mempunyai
jumlah kloroplas sel penjaga sebanyak 11 – 12, yaitu sekitar dua kali lipat dari
tanaman haploidnya yang berjumlah 6 – 7. Pada umumnya, perubahan genetik
yang mencakup perubahan tingkat ploidi dipengaruhi oleh adanya pembelahan sel
yang tinggi. Perwati (2009), menunjukkan bahwa poliploidi menyebabkan
penambahan ukuran sel pada Adiantum raddianum. Selain itu, diketahui bahwa
terdapat kecenderungan penambahan ukuran stomata dan spora seiring
meningkatnya derajat ploidi.
Tanaman poliploid mempunyai kromosom yang lebih banyak daripada
diploidnya. Sifat umum dari tanaman popliploid adalah tanaman lebih kekar,
bagian-bagian tanaman menjadi lebih besar (akar, batang, daun), sel-selnya (sel
epidermis) lebih besar, ukuran stomata lebih besar. Selain itu, pada kebanyakan
spesies, tangkai dan helai daun menjadi lebih tebal (Suryo, 2007).