tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · analog basa adalah senyawa dengan struktur kimia mirip...

12
TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Krisan Bunga krisan memiliki banyak varietas atau kultivar. Dewan Standarisasi Nasional (1998) mengelompokkan bunga krisan sebagai berikut: a. Tunggal : bunga hanya berdiri sendiri pada tangkainya. Piringan dasar bunga lebih sempit daripada lingkar mahkota. b. Anemone : bunga mirip seperti bunga tunggal, tetapi piringan dasarnya lebih besar dan lebih tebal. c. Pompon : bunga berbentuk bulat seperti bola, mahkota bunga menyebar ke semua arah dan piringan dasar tidak tampak. d. Dekoratif : bentuk bunga seperti aster, tidak tampak piringan dasarnya, mahkota bunga bertumpuk rapat, di tengah pendek dan makin ke tepi makin panjang. e. Bunga besar : bunga hanya berdiri sendiri pada tangkainya, piringan dasar bunga tidak tampak, garis tengah bunga lebih besar dari 10 cm. Bunga krisan besar ini dibagi lagi menjadi empat sub golongan, yaitu: 1. Incurve : ujung mahkota bunga melekuk ke dalam. 2. Kiku : ujung mahkota bunga melekuk ke luar. 3. Spider : mahkota bunga pipih dan panjang seperti kaki laba-laba. 4. Spoon : seperti spider tetapi ujung mahkota bunga agak melebar sehingga berbentuk seperti sendok. Selain itu, kuntum bunga krisan memiliki karakter masing-masing, yaitu standar dan spray. Krisan standar memiliki satu kuntum bunga berukuran besar tiap tangkai, sedangkan tipe spray memiliki sekitar 10-20 kuntum bunga dengan diameter 2-3 cm. Syarat Tumbuh Krisan Krisan tumbuh dengan baik di dataran medium hingga tinggi, yaitu pada kisaran 600-1200 m dpl. Krisan kurang menyukai cahaya matahari dan percikan air hujan langsung serta tanah yang tergenang. Hujan deras atau curah hujan tinggi yang langsung menerpa tanaman krisan dapat menyebabkan tanaman

Upload: trinhthien

Post on 10-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Krisan

Bunga krisan memiliki banyak varietas atau kultivar. Dewan Standarisasi

Nasional (1998) mengelompokkan bunga krisan sebagai berikut:

a. Tunggal : bunga hanya berdiri sendiri pada tangkainya. Piringan dasar

bunga lebih sempit daripada lingkar mahkota.

b. Anemone : bunga mirip seperti bunga tunggal, tetapi piringan dasarnya lebih

besar dan lebih tebal.

c. Pompon : bunga berbentuk bulat seperti bola, mahkota bunga menyebar ke

semua arah dan piringan dasar tidak tampak.

d. Dekoratif : bentuk bunga seperti aster, tidak tampak piringan dasarnya,

mahkota bunga bertumpuk rapat, di tengah pendek dan makin ke tepi makin

panjang.

e. Bunga besar : bunga hanya berdiri sendiri pada tangkainya, piringan dasar

bunga tidak tampak, garis tengah bunga lebih besar dari 10 cm. Bunga krisan

besar ini dibagi lagi menjadi empat sub golongan, yaitu:

1. Incurve : ujung mahkota bunga melekuk ke dalam.

2. Kiku : ujung mahkota bunga melekuk ke luar.

3. Spider : mahkota bunga pipih dan panjang seperti kaki laba-laba.

4. Spoon : seperti spider tetapi ujung mahkota bunga agak melebar sehingga

berbentuk seperti sendok.

Selain itu, kuntum bunga krisan memiliki karakter masing-masing, yaitu

standar dan spray. Krisan standar memiliki satu kuntum bunga berukuran besar

tiap tangkai, sedangkan tipe spray memiliki sekitar 10-20 kuntum bunga dengan

diameter 2-3 cm.

Syarat Tumbuh Krisan

Krisan tumbuh dengan baik di dataran medium hingga tinggi, yaitu pada

kisaran 600-1200 m dpl. Krisan kurang menyukai cahaya matahari dan percikan

air hujan langsung serta tanah yang tergenang. Hujan deras atau curah hujan

tinggi yang langsung menerpa tanaman krisan dapat menyebabkan tanaman

mudah roboh, rusak, dan menghasilkan bunga dengan kualitas rendah. Oleh

karena itu, budidaya krisan di daerah bercurah hujan tinggi dapat dilakukan di

dalam bangunan rumah lindung berupa rumah plastik atau rumah kaca. Sifat fisik

media tumbuh optimal untuk tanaman krisan, yaitu memiliki kerapatan jenis

0.2-0.8 g/cm (berat kering), total porositas 50-75 %, kandungan udara dalam pori

10-20 %, kandungan garam terlarut 1-1.25 dS/m dan kisaran pH 5.5-6.5

(Balithi, 2008).

Krisan dapat tumbuh pada kisaran suhu harian 17-30 °C. Tanaman krisan

membutuhkan kisaran suhu harian 22-28 °C pada siang hari dan tidak melebihi

26 °C pada malam hari untuk pertumbuhan optimal saat fase vegetatif. Suhu juga

berpengaruh terhadap kualitas bunga yang dihasilkan. Suhu harian ideal pada fase

generatif adalah 16-18 °C. Apabila suhu lebih dari 18 °C, bunga yang dihasilkan

cenderung berwarna kusam, pucat, dan memudar (Balithi, 2008).

Kelembaban udara juga berpengaruh terhadap pertumbuhan bunga krisan.

Tanaman krisan membutuhkan kelembaban 90-95 % pada awal pertumbuhan

untuk pertumbuhan akar. Sedangkan pada tanaman dewasa, pertumbuhan optimal

tercapai pada kelembaban udara sekitar 70-85 % (Balithi, 2008).

Perbanyakan Krisan

Perbanyakan krisan dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif.

Perbanyakan krisan secara generatif jarang dilakukan karena sulit dan bersifat

heterozigot sehingga keturunan dari biji tidak sama dengan induknya. Selain itu,

perbanyakan secara generatif membutuhkan waktu lama dan penanganan khusus.

Perbanyakan krisan secara vegetatif biasanya dilakukan melalui setek pucuk,

anakan, dan kultur jaringan. Perbanyakan melalui setek pucuk dapat

menghasilkan tunas dalam waktu sekitar tiga bulan, sedangkan perbanyakan

melalui kultur jaringan dapat menghemat waktu dan diperoleh bibit dalam jumlah

banyak.

Setek pucuk diambil dari pucuk-pucuk batang tanaman induk yang masih

muda. Pengambilan setek pertama dari tanaman induk dapat dilakukan setelah

tanaman induk mempunyai tujuh daun atau kira-kira berumur 2 minggu setelah

tanam. Penyetekan pertama dilakukan dengan menyisakan 4 daun, dari 4 daun ini

diharapkan akan tumbuh minimal 2 tunas yang selanjutnya akan dijadikan bahan

setek pada periode berikutnya. Penyetekan kedua dapat dilakukan dengan

menyisakan 2 daun yang produktif, sehingga diharapkan dapat tumbuh 2 tunas.

Selanjutnya untuk merangsang pertumbuhan akar, bahan setek tersebut diberi

perlakuan dengan cara mencelupkan bagian pangkal setek ke dalam hormone

perangsang perakaran dengan kedalaman mencelup kira-kira 0.5 cm. Setelah itu

bahan setek tersebut dibiarkan sekitar 0.5 jam hingga larutan hormon yang

menempel pada pangkal batang mengering (Supari, 1999).

Tanaman induk krisan ditanam seperti cara menanam krisan potong, tetapi

dengan jarak tanam lebih besar dan lama penyinaran tambahan lebih lama. Jarak

tanam yang digunakan adalah 17 cm x 17 cm. Jarak yang lebih lebar dimaksudkan

untuk memberi tempat bagi percabangan tanaman yang banyak setelah tanaman

cukup tua, dan penyediaan faktor tumbuh yang banyak agar tanaman dapat

memproduksi tunas-tunas dengan baik (Supari,1999). Selain itu, pemupukan juga

sedikit berbeda dengan krisan potong. Pemupukan tanaman induk ditekankan

untuk merangasang pertumbuhan tunas-tunas baru, sehingga diberikan pupuk

nitrogen yang lebih banyak (Supari, 1999).

Tanaman krisan dapat dibudidayakan secara tungal (monokultur), maupun

dengan pola tumpang sari (Widyawan dan Prahastuti, 1994). Jarak tanam krisan

sangat bervariasi tergantung situasi lokasi penanaman (Soekartawi, 1996). Jarak

tanam krisan yang biasa digunakan adalah 10 cm x 10 cm, dan 12.5 cm x 12.5 cm.

Kualitas Bunga Krisan

Kualitas bunga krisan potong segar ditentukan berdasarkan panjang

tangkai minimum, diameter tangkai bunga, diameter bunga setengah mekar,

jumlah kuntum bunga setengah mekar pertangkai pada tipe spray, kesegaran

bunga, benda asing/kotoran, keadaan tangkai bunga, daun pada 2/3 bagian tangkai

bunga dengan penanganan pasca panen minimum. Dewan Standarisasi Nasional

telah menetapkan Standar Nasional Indonesia untuk bunga krisan potong seperti

yang tercantum pada Lampiran 6.

Kriteria yang paling menentukan mutu krisan nasional adalah panjang

tangkai bunga. Tanaman krisan yang memiliki panjang tangkai 76 cm akan

memiliki kualitas AA, 70 cm memiliki kualitas A, dan 60 cm memiliki kualitas B.

Penurunan kualitas akan mengakibatkan penurunan nilai komersial tanaman

tersebut.

Mutasi

Mutasi adalah perubahan pada sekuen DNA. Mutasi dapat terjadi pada

genom yang mana saja. Akan tetapi, perubahan-perubahan fenotipik hanya

teramati pada organisme jika mutasi terjadi dalam sekuens sebuah gen. Alel-alel

mutan memiliki sekuens yang sedikit berbeda dengan alel-alel wild

(Elrod and Stansfield, 2007). Mutasi dapat juga didefinisikan sebagai perubahan

materi genetik, yang merupakan sumber pokok dari semua keragaman genetik dan

bagian dari fenomena alam. Tipe perubahan genetik yang termasuk dalam mutasi

terjadi secara acak, maka mungkin saja perubahan tersebut justru meningkatkan

kemampuan organisme untuk bertahan hidup, tumbuh dan bereproduksi

(Aisyah, 2006).

Induksi mutasi dapat dilakukan dengan beberapa mutagen, yaitu analog

basa, mutagen kimia, dan mutagen fisik (Yuwono, 2008). Analog basa adalah

senyawa dengan struktur kimia mirip dengan salah satu basa nukleotida sehingga

dapat digabungkan dengan molekul DNA dalam proses replikasi. Analog basa

dapat menginduksi mutasi karena dapat menyebabkan kesalahan dalam

penyisipan nukleotida pada untaian DNA pasangannya. Senyawa ini dapat

menyebabkan mutasi transisi. Contoh dari senyawa ini adalah 5-bromourasil

(5-BU) dan 2-aminopurin (2-AP) (Yuwono, 2008).

Mutagen kimia yang banyak digunakan oleh pemulia adalah yang berasal

dari kelompok alkylating agents. Senyawa ini mengandung satu atau lebih

kelompok alkil reaktif yang dapat ditransfer ke molekul lain pada posisi dimana

kerapatan elektronnya tinggi. Alkylating agents ini akan bereaksi dengan DNA

dengan cara mengalkilasi kelompok fosfat, termasuk basa-basa purin dan

pirimidin. Mutagen kimia yang biasa digunakan diantaranya adalah EMS (ethyl

methane sulphonate), DES (diethylsulfate), El (ethylenimine), NMUT (N-nitroso-

N-methyl urethane), NMU (N-nitro-N-methyl urea), NEUT (N-nitrose-N-ethyl

urethane) dan NEU (N-nitrose-N-ethyl urea) (Aisyah, 2006).

Mutagen fisik secara khas dibedakan dari tipe radiasinya. Mutagen fisik

yang sering digunakan diantaranya adalah sinar-x, sinar gamma, ultraviolet, dan

neutron (Aisyah, 2006). Mutagen fisik lainnya adalah partikel alpha dan sinar

devteron (Welsh, 1981). Radiasi sinar-x, gamma, dan neutron mengionisasi

atom-atom dalam jaringan dengan cara melepaskan elektron-elektron dari

atomnya (Aisyah, 2006). Jumlah bahan yang diperlakukan akan mempengaruhi

keberhasilan dalam menghasilkan mutan. Oleh karena itu, dalam melakukan

pemuliaan mutasi perlu diperhatikan banyaknya bahan yang digunakan agar dapat

terjadi variasi-variasi genetika yang banyak (Soetarto dan Darsono, 1972).

Kecepatan mutasi bervariasi sesuai dengan dosis mutagen. Semakin tinggi

dosis mutagen, semakin sering terjadi mutasi, pemunculan kromosom-kromosom

dan kematian gen yang tidak diharapkan (Welsh, 1981). Dosis radiasi yang tinggi

tidak hanya dapat mempengaruhi materi-materi genetik, tetapi juga dapat merusak

organisme secara fisiologis. Bahkan radiasi yang tinggi pada tanaman dapat

mengurangi frekuensi germinasi, pertumbuhan yang terhambat dan mengurangi

kekuatan tanaman (Darussalam, 1972). Dosis yang dianggap efektif adalah yang

hanya mengakibatkan kematian 50% dari populasi yang diperlakukan. Dosis ini

disebut dosis letal 50% atau LD50 (Welsh, 1981).

Mutasi dapat terjadi pada setiap tahap perkembangan suatu organisme.

Apabila terjadi di dalam jaringan somatik, mutasi mengakibatkan pola mosaik

pada satu atau beberapa sel. Apabila di dalam jaringan generatif, mutasi dapat

dipindahkan kepada keturunannya, tetapi tidak terlihat untuk beberapa generasi.

Jaringan tertentu dari suatu organisme lebih sensitif terhadap mutagen daripada

jaringan lain. Embrio lebih sensitif daripada jaringan yang sudah tak berkembang.

Sel yang aktif tumbuh dan membelah lebih peka terhadap kerusakan daripada sel

yang lebih tua (Crowder, 2006).

Sebagian besar mutasi adalah resesif (mutasi maju), tetapi beberapa dapat

berbalik (mutasi balik). Mutasi letal menyebabkan kematian pada organisme

tersebut. Tipe yang merusak mengganggu aktivitas metabolisme. Sebagian besar

mutasi merugikan, tetapi kira-kira 0.01 persen menguntungkan (Crowder, 2006).

Sel-sel yang membawa sifat mutasi yang baru cenderung hilang dalam persaingan

dengan sel-sel normal (Aisyah, 2006). Mutasi pada sel dapat hilang dengan

matinya individu atau pun karena matinya sel yang termutasi sebelum multiplikasi

(Sinha and Sinha, 1982).

Mutasi dapat diklasifikasikan berdasarkan asal, arah, dan tipe sel. Berikut

ini merupakan klasifikasi mutasi:

1. Asal

a) Mutasi spontan: mutasi terjadi saat aktivitas selular normal, terutama saat

replikasi dan perbaikan DNA.

b) Mutasi terinduksi: mutasi terjadi sebagai akibat perlakuan dengan agen

mutagenik atau lingkungan, laju mutasi biasanya lebih tinggi daripada

mutasi spontan.

2. Arah

a) Mutasi maju (forward): menciptakan perubahan dari wild type menjadi

fenotipe abnormal.

b) Mutasi balik (reverse) atau mundur (back): perubahan sekuens nukleotida

kembali menjadi sekuens awalnya.

c) Mutasi supresor: menghasilkan perubahan dari fenotipe abnormal (atau

dengan kata lain, termutasi) kembali menjadi wild type.

Supresor intragenik: sebuah mutasi pada gen yang sama dengan yang

termutasi pada awalnya, tapi pada situs yang berbeda, sehingga

mengembalikan fungsi wild type.

Supresor intergenik: sebuah mutasi pada gen lain yang mengembalikan

fungsi wild type

3. Tipe sel

a) Mutasi sel somatik: terjadi pada semua sel tubuh, kecuali sel kelamin,

seringkali menghasilkan fenotipe mutan hanya pada satu sektor organisme

(mosaik atau kimera), bukan perubahan yang diwariskan.

b) Mutasi lini nutfah (germ line, gametik): terjadi pada sel-sel kelamin,

menghasilkan perubahan yang diwariskan (Elrod and Stansfield, 2007).

Radiasi

Radiasi elektromagnetik tersusun atas dua gelombang, yaitu gelombang

elektrik dan magnetik. Berikut ini merupakan spektrum elektromagnetik:

Gambar 1. Spektrum Elektromagnetik (Sumber : McDonald, 2003)

Radiasi adalah istilah yang digunakan untuk berbagai bentuk pancaran

energi seperti pancaran cahaya, pancaran panas, pancaran radio dan TV, dan sinar

ultra violet. Radiasi energi tinggi biasanya merupakan bentuk-bentuk yang

melepaskan tenaga dalam jumlah besar dan kadang-kadang disebut radiasi

ionisasi karena ion-ion dihasilkan dalam bahan yang ditembus oleh energi

tersebut. Tipe-tipe radiasi adalah sebagai berikut :

1. Sinar x, dari tabung sinar x yang tegangannya relatif rendah, panjang

gelombang agak panjang (150 – 0.15 Å), disebut sinar lemah, penting untuk

menginduksi perubahan-perubahan genetik.

2. Sinar gamma, dipancarkan dari isotop radioaktif, panjang gelombang lebih

pendek dari sinar x, lebih kuat daya tembusnya, dikenal sebagai sinar kuat,

penting untuk menginduksi perubahan genetik.

3. Sinar ultra violet, panjang gelombang berbeda-beda (3800 - 150 Å), terletak

antara sinar x (150 – 0.15 Å) dan cahaya yang terlihat (7800 – 3800 Å), daya

tembus rendah, menyebabkan perangsangan elektron (Crowder, 2006).

Radisi pengionisasi, misalnya sinar x menyebabkan mutasi pada gen dalam

perbandingan lurus dengan dosis radiasinya (Elrod and Stansfield, 2007). Jumlah

radiasi yang sama dengan intensitas tinggi untuk waktu pendek atau intensitas

rendah dengan waktu panjang, atau dosis yang berselang-seling, akan

menimbulkan jumlah mutasi yang sama. Tidak ada pengaruh intensitas pada

mutasi buatan tetapi pengaruh radiasi bersifat kumulatif. Baik gelombang pendek

maupun gelombang panjang mempunyai efektifitas sama pada dosis yang sama

(Crowder, 2006). Frekuensi mutasi dapat ditingkatkan dengan penambahan dosis

radiasi, tetapi penggunaan dosis radiasi yang terlalu tinggi dapat menyebabkan

tidak berkecambahnya biji-biji (Hartana, 1972).

Radiasi menembus bagian tertentu dari gen yang menyebabkan perubahan

bahan DNA. Akibat tidak langsung, yaitu radiasi menimbulkan perubahan zat

kimia tertentu disekitar gen yang menghasilkan perubahan susunan nukleotida

(Crowder, 2006). Susunan nukleotida dalam gen merupakan pengkode bagi

protein yang ditentukan dari urutan asam aminonya. Karena itu perubahan

susunan nukleotida akan menentukan protein yang dihasilkan dan fungsinya

(Salisbury and Ross, 1995). Perubahan pasangan basa (urutan nukleotida)

mengubah struktur dan fungsi protein. Pergeseran dalam pembacaan kode triplet

mengubah urutan asam amino dari polipeptida atau mungkin mengakibatkan

terhentinya sintesis asam amino (Crowder, 2006).

Kerusakan pada sel akibat radiasi dapat mempengaruhi fungsi jaringan

atau organ bila jumlah sel yang mati/rusak dalam jaringan/organ tersebut cukup

banyak. Semakin banyak sel yang rusak/mati, semakin parah perubahan fungsi

yang terjadi sampai akhirnya organ tersebut kehilangan kemampuan untuk

menjalankan fungsinya dengan baik. Perubahan fungsi sel atau kematian dari

sejumlah sel menghasilkan suatu efek biologik dari radiasi yang bergantung pada

jenis radiasi, dosis, jenis sel, dan lainnya (Alatas, 2010). Biasanya terdapat

korelasi antara jumlah DNA, yaitu lebih sedikit DNA akan lebih tahan suatu

organisme terhadap radiasi (Crowder, 2006).

Radiasi gamma merupakan yang paling sering digunakan dalam mutasi

buatan. Sinar gamma memiliki panjang gelombang yang pendek, yaitu

10 – 0.01 nm dengan sumber utama radiasi adalah isotop Cobalt-60 (60

Co). Sinar

gamma dikelompokkan ke dalam gelombang elektromagnetik karena tidak

mempunyai massa dan muatan listrik. Sinar gamma mempunyai energi radiasi

tinggi, yaitu diatas 10 MeV sehingga mempunyai daya penetrasi yang kuat ke

dalam jaringan dan mampu mengionisasi atom-atom dari molekul yang

dilewatinya (Crowder, 2006).

Ionisasi dari radiasi sinar gamma terjadi menyebar sepanjang jalur ionisasi

partikel. Ketika agen ionisasi yang mengandung inti atom (seperti partikel alpha)

terlempar akibat radiasi, ionisasi menjadi lebih rapat terkonsentrasi di daerah

terebut. Ionisasi dapat menyebabkan pengelompokan molekul-molekul di

sepanjang jalur ion yang tertinggal karena radiasi. Pengelompokan baru ini

menyebabkan perubahan kimia yang mengarah pada mutasi gen atau pada

kerusakan atau pengaturan kembali kromosom (Aisyah, 2006).

Ethyl Methane Sulphonate

Ethyl Methane Sulphonate merupakan ethyl ester dari asam

methanesulphonic (methanesulphonic acid) dan cairan yang tidak berwarna di

suhu ruang. Ethyl Methane Sulphonate dapat terlarut pada air dan stabil dibawah

suhu dan tekanan normal (Akron, 2009). Ethyl Methane Sulphonate biasanya

digunakan dalam percobaan sebagai mutagen dan sebagai bahan untuk penelitian

biokimia (Akron 2009, HSBD 2009). Sifat fisik dan kimia EMS dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 1. Sifat Fisik dan Kimia EMS

Komponen Informasi

Berat molekul 124.2a

Titik leleh <-25°Cb

Tittik didih 213°C to 214°C at 761 mm Hga

Log Kow 0.09a

Kelarutan air 135 g/L at 25°Cb

Tekanan uap 0.328 mm Hg at 25°C Sumber:

aHSDB 2009,

bChemIDplus 2009

Rumus kimia ethyl methane sulphonate adalah sebagai berikut:

Ethyl Methane Sulphonate (EMS) merupakan agen ethylating yang

menyebabkan mutagenik mulai dari virus hingga mamalia. Data genetik yang

diperoleh dengan menggunakan mikroorganisme menjelaskan bahwa EMS

menyebabkan mutasi transisi dengan mengubah basa guanin dan timin (GT)

menjadi adenin dan timin (AT) serta adenin dan timin (AT) menjadi guanin dan

timin (GT). Telah diperoleh pula bukti yang menjelaskan bahwa EMS dapat

menyebabkan penyisipan (insersi) atau penghilangan (delesi) pasangan basa serta

penghapusan intragenik lebih luas. Pada organisme tingkat tinggi, EMS mampu

mematahkan kromosom, meskipun belum dipahami mekanismenya. Sebuah

hipotesis yang sering dikutip adalah bahwa etylasi basa DNA oleh EMS

(umumnya pada posisi N-7 dari guanin) secara bertahap menghidrolisis

deoxiribosa pada backbone DNA meninggalkan sebuah situs purin (atau mungkin

pirimidin) yang stabil dan dapat menyebabkan kerusakan untaian tunggal DNA

(Sega, 1984).

Penggunan EMS lebih efektif dibandingkan dengan radiasi pengionisasi

sinar x. Nauman (1976), menjelaskan bahwa Tradescantia klon 4430 lebih

sensitif terhadap EMS 6-7 kali dibandingkan dengan radiasi sinar x untuk

menghasilkan mutan. Selain itu, Mallikarjun et al. (2008), melaporkan bahwa

regenerasi in vitro melalui kalus dengan perlakuan EMS menciptakan variasi

tambahan pada tebu. Kalus yang diberi perlakuan EMS menghasilkan mutagen

potensial pada 0.5% untuk interval waktu yang berbeda.

Kloroplas

Kloroplas adalah plastid fotosintesis berwarna hijau yang mengandung

klorofil dan responsibel untuk menangkap energi cahaya. Kloroplas umumnya

berbentuk bulat hingga oval. Kloroplas lebih besar dibandingkan mitokondria dan

memiliki diameter 4-6 µm (McDonald, 2003). Aneka bentuk dan ukuran kloroplas

ditemukan pada berbagai tumbuhan. Kloroplas berasal dari proplastid kecil

(plastid yang belum dewasa, kecil, dan hampir tak berwarna, dengan sedikit atau

tanpa membran dalam). Pada umumnya proplastid berasal hanya dari sel telur

yang tak terbuahi, sperma tidak berperan di sini. Proplastid membelah pada saat

embrio berkembang, dan berkembang menjadi kloroplas ketika daun dan batang

terbentuk. Kloroplas muda juga aktif membelah, khususnya bila organ yang

mengandung kloroplas terpajan dengan cahaya, jadi tiap sel daun dewasa sering

mengandung beberapa ratus kloroplas (Salisbury and Ross, 1995).

Kloroplas merupakan organel poliploid, yang terdiri dari banyak duplikat

DNA kloroplas (plastome) per kloroplas. Sekuen DNA tersedia dari beberapa

tanaman yang berbeda mengindikasikan bahwa semua enzim dan protein

esensial untuk replikasi plastid DNA dikodekan pada nuclear genome. Plastid

DNA pada umumnya homogeny pada salah satu spesies tanaman. Meskipun

demikian, hanya seperti semua sel somatik pada organisme memiliki set nuclear

gen yang sama tetapi mungkin mengekspresikan gen ini pada kombinasi yang

berbeda. Kloroplas diketahui mengandung semua gen rRNA kloroplas (3-5 gen),

sekitar 30 gen tRNA dan sekitar 100 gen pengkode protein, jumlah gen

mengestimasikan ukuran genom kloroplas (McDonald, 2003).

Tiap kloroplas dikelilingi oleh sistem satu selimut membran ganda yang

mengatur lalu lintas molekul keluar masuk kloroplas. Di dalam kloroplas

mengandung bahan amorf, iir-gel, dan kaya enzim yang disebut stroma. Di dalam

kloroplas juga dijumpai DNA, RNA, ribosom, dan tentu saja berbagai enzim.

Semua molekul ini sebagian besar terdapat di stroma, tempat berlangsungnya

transkripsi dan translasi. DNA kloroplas terdapat dalam 50 atau lebih lingkaran

jalur-ganda melilit dalam tiap plastid. Berbagai gen plastid menyandi semua

molekul RNA-pemindah (sekitar 30), dan molekul RNA-ribosom (empat) yang

digunakan oleh plastid untuk translasi (Salisbury and Ross, 1995).

Kloroplas mengandung materi genetik (gen atau DNA) yang juga dapat

termutasi. Energi radiasi sinar gamma dapat menyebabkan kerusakan atau mutasi

gen pada kloroplas. Mutasi pada gen kloroplas dapat menyebabkan kerusakan gen

mutan (defective mutant genes) yang kemudian dapat mengganggu proses

fotosintesis pada daun (Agustrial, 2008).

Pengamatan kuantitatif pada karakteristik sel seperti pengukuran sel sering

diterapkan untuk mengetahui adanya poliploidi. Materi yang paling sering dilihat

adalah sel penjaga dan stomata. Ukuran dan jumlah sel tersebut

per area daun menjadi hal yang umum untuk melacak perubahan ploidi

(Sybenga, 1992). Menurut Saria et al. (2000), jumlah kloroplas sel penjaga

menentukan tingkat ploidi suatu tanaman. Tanaman semangka diploid mempunyai

jumlah kloroplas sel penjaga sebanyak 11 – 12, yaitu sekitar dua kali lipat dari

tanaman haploidnya yang berjumlah 6 – 7. Pada umumnya, perubahan genetik

yang mencakup perubahan tingkat ploidi dipengaruhi oleh adanya pembelahan sel

yang tinggi. Perwati (2009), menunjukkan bahwa poliploidi menyebabkan

penambahan ukuran sel pada Adiantum raddianum. Selain itu, diketahui bahwa

terdapat kecenderungan penambahan ukuran stomata dan spora seiring

meningkatnya derajat ploidi.

Tanaman poliploid mempunyai kromosom yang lebih banyak daripada

diploidnya. Sifat umum dari tanaman popliploid adalah tanaman lebih kekar,

bagian-bagian tanaman menjadi lebih besar (akar, batang, daun), sel-selnya (sel

epidermis) lebih besar, ukuran stomata lebih besar. Selain itu, pada kebanyakan

spesies, tangkai dan helai daun menjadi lebih tebal (Suryo, 2007).