tinjauan hukum dan konsesi lahan -...

14
165 5 TINJAUAN HUKUM DAN KONSESI LAHAN Legal Review and Land Base Concession Ilyas Ismail Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh Indonesia I. LATAR BELAKANG kosistem hutan rawa gambut Tripa (Tripa Peat Swamp Forest = TPSF) merupakan suatu areal yang terletak di Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kabupaten Nagan Raya. Dalam areal tersebut terdapat suatu areal hutan rawa gambut, yang dikenal dengan sebutan areal TPSF yang merupakan salah satu dari tiga areal rawa gambut di pesisir Barat Provinsi Aceh, selain Kluet dan Singkil. Secara administratif, 60% luas Rawa Tripa berada di Kecamatan Darul Makmur dan Tripa Makmur Kabupaten Nagan Raya, dan 40% berada di wilayah Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Areal TPSF tersebut telah ditetapkan menjadi bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (Keppres Nomor 33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Leuser). Sebagai bagian Kawasan Strategis Nasional maka wilayah ini harus mendapat perhatian khusus, terutama terkait dengan aspek lingkungan hidup. Upaya penanganan aspek lingkungan hidup di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) harus mendapat prioritas yang lebih tinggi bila dibandingan lokasi yang berada di luar KEL. Total luas ekosistem TPSF sekitar 60.657,29 ha. Namun hanya sekitar 12.455,45 ha (20,53%) dari total luas tersebut yang kodisinya masih ditutupi oleh hutan. Terdapat indikasi juga bahwa sebagian besar dari hutan rawa tersebut berada dalam areal perkebunan Hak Guna Usaha (Serambi Indonesia 8 September 2008). Ada 5 (lima) perusahaan perkebunan pemegang HGU berada dalam areal tersebut, yaitu (1) PT. Kalista Alam; (2) PT. Gelora Sawita Makmur; (3) PT. Cemerlang Abadi; (4) PT. Agra Para Citra (PT. Astra Agro Lestari/PT. Surya Panen Subur-2); dan (5) PT. Dua Perkasa Lestari, yang total luas arealnya sekitar 38.565 ha. Di satu sisi pemanfaatan lahan hutan untuk lahan usaha pertanian/perkebunan dapat mendatangkan manfaat secara ekonomi sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat atau keuntungan bagi perusahaan. Namun di sisi lain, pemanfaatan areal hutan dan lahan usaha pertanian/perkebunan yang tidak sesuai dengan aturan-aturan E

Upload: truongque

Post on 02-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

165

5

TINJAUAN HUKUM DAN

KONSESI LAHAN

Legal Review and Land Base Concession

Ilyas Ismail

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Syiah

Kuala, Darussalam Banda Aceh Indonesia

I. LATAR BELAKANG

kosistem hutan rawa gambut Tripa (Tripa Peat Swamp Forest = TPSF) merupakan

suatu areal yang terletak di Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kabupaten Nagan Raya.

Dalam areal tersebut terdapat suatu areal hutan rawa gambut, yang dikenal dengan

sebutan areal TPSF yang merupakan salah satu dari tiga areal rawa gambut di pesisir

Barat Provinsi Aceh, selain Kluet dan Singkil. Secara administratif, 60% luas Rawa Tripa

berada di Kecamatan Darul Makmur dan Tripa Makmur Kabupaten Nagan Raya, dan 40%

berada di wilayah Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Areal TPSF

tersebut telah ditetapkan menjadi bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (Keppres

Nomor 33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Leuser).

Sebagai bagian Kawasan Strategis Nasional maka wilayah ini harus mendapat perhatian

khusus, terutama terkait dengan aspek lingkungan hidup. Upaya penanganan aspek

lingkungan hidup di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) harus mendapat prioritas

yang lebih tinggi bila dibandingan lokasi yang berada di luar KEL.

Total luas ekosistem TPSF sekitar 60.657,29 ha. Namun hanya sekitar 12.455,45 ha

(20,53%) dari total luas tersebut yang kodisinya masih ditutupi oleh hutan. Terdapat

indikasi juga bahwa sebagian besar dari hutan rawa tersebut berada dalam areal

perkebunan Hak Guna Usaha (Serambi Indonesia 8 September 2008). Ada 5 (lima)

perusahaan perkebunan pemegang HGU berada dalam areal tersebut, yaitu (1) PT.

Kalista Alam; (2) PT. Gelora Sawita Makmur; (3) PT. Cemerlang Abadi; (4) PT. Agra Para

Citra (PT. Astra Agro Lestari/PT. Surya Panen Subur-2); dan (5) PT. Dua Perkasa Lestari,

yang total luas arealnya sekitar 38.565 ha.

Di satu sisi pemanfaatan lahan hutan untuk lahan usaha pertanian/perkebunan dapat

mendatangkan manfaat secara ekonomi sehingga dapat meningkatkan pendapatan

masyarakat atau keuntungan bagi perusahaan. Namun di sisi lain, pemanfaatan areal

hutan dan lahan usaha pertanian/perkebunan yang tidak sesuai dengan aturan-aturan

E

166 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

yang berlaku maka akan menjadi ancaman terhadap kelestarian alam yang pada

akhirnya juga akan menimbulkan kerugian secara materil bagi masyarakat setempat dan

pemerintah. Karena itu perlu dilakukan kajian hukum yang mendasar dan komprehensif

terhadap pemanfaatan lahan baik oleh perusahaan perkebunan, yang berada dalam

rencana areal TPSF.

Studi aspek hukum berbagai konsesi di areal TPSF ini bertujuan untuk melakukan :

(1) Identifikasi status penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan dalam areal TPSF; dan

(2) Analisis yuridis terhadap pemanfaatan lahan oleh perusahaan perkebunan dalam areal TPSF.

II. RUANG LINGKUP STUDI

Ruang lingkup kegiatan Studi Aspek Hukum berbagai Konsesi di areal TPSF ini ini adalah sebagai berikut : (1) Mengidentifikasi status hukum terhadap semua lahan yang ada dalam areal TPSF; (2) Analisis yuridis persyaratan dan mekanisme perolehan hak atas tanah oleh

perusahaan perkebunan, atas lahan yang berada dalam areal TPSF; (3) Analisis yuridis pelaksanaan kewajiban perusahaan perkebunan pemegang HGU

yang berada dalam TPSF.

Ouput dari kegiatan Studi Aspek Hukum berbagai Konsesi yaitu berupa status hukum dari areal TPSF.

III. METODOLOGI

A. Tempat dan Waktu

Kegiatan studi Aspek Hukum berbagai Konsesi ini dilakukan terhadap areal TPSF di

Provinsi Aceh yang luasnya mencapai 60.657 hektar yang mencakup wilayah Kecamatan

Darul Makmur dan Tripa Makmur Kabupaten Nagan Raya (sekitar 60%), dan wilayah

Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya (sekitar 40 %) dari luas areal. Areal

yang merupakan ekosistem TPSF ini termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Secara geografis areal TPSF terletak pada 030 44’-030 56’ LU dan 960 23’ - 960 46’ BT.

Sebagaian besar luas areal TPSF ini dikuasai oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Kegiatan studi ini dilaksanakan mulai April sampai dengan Juni 2013 dengan jumlah hari

kalender sekitar 90 hari.

B. Bahan

Bahan yang digunakan dalam kegiatan studi Rawa Tripa (TPSF) ini sebagai berikut :

(a) Peta Letak ekosistem TPSF skala 1:250.000.

(b) Peta Penggunaan Lahan di areal TPSF sekala 1:250.000.

(c) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Provinsi khususnya di areal TPSF skala 1: 250.000.

(d) Peta Hak Guna Usaha (HGU) atau Konsesi/Izin Pemanfaatan Lahan untuk Perkebunan Kelapa Sawit di areal TPSF sekala 1:50.000.

TINJAUAN HUKUM DAN KONSESI LAHAN | 167

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

1. Surat keputusan pemberian hak (SK) HGU, dokumen AMDAL HGU, dan/atau Izin Usaha Perkebunan (IUP) perusahaan perkebunan, yaitu (1) PT. Cemerlang Abadi; (2) PT. Dua Perkasa Lestari; (3) PT. Agra Para Citra/PT. Astra Agro Lestari/PT. Surya Panen Subur; (4) PT. Kalista Alam; dan (5) PT. Gelora Sawita Makmur.

2. Ketentuan PerUndang-Undangan yang mengatur mengenai persyaratan dan mekanisme perolehan hak guna usaha atas tanah; yang mengatur mengenai hak dan kewajiban pemegang hak atas khususnya yang berada dalam areal Areal HutanGambut Rawa Tripa; yang antara lain yaitu (1) UU No. 5 tahun 1960; UU 41/1999; UU 12/1992; UU 18/2004; UU 11/2006; UU 32/2009; (2) PP 27/2012; PP 40/1996; PP 26/2008;PP 24/1997; (3) Keppres 32/1990; Inpres 10/2011; dan (4) Permentan 26/2007.

C. Metode dan Pendekatan Studi

Sesuai dengan tujuan dan ruang lingkup pekerjaan maka metodologi yang digunakan

dalam studi ini secara umum adalah metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif yaitu

melalui kegiatan survai lapangan dan analisis yuridis perolehan dan pemanfaatan lahan.

Kegiatan survai lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder.

Data primer berupa data penguasaan fisik lahan yang berada dalam areal TPSF yang

diperoleh melalui pengamatan/kunjungan lapangan dan wawancara dengan responden,

hasil pengamatan dan wawancara diharapkan dapat diperoleh data mengenai data areal

HGU yang telah dimanfaatkan untuk kebun kelapa sawit oleh Perusahaan HGU yang

meliputi yaitu jumlah luas dan waktu mulai pemanfaatan.

Selanjutnya data sekunder berupa dokumen surat keputusan pemberian hak guna usaha

dan badan hukum berupa ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan

perolehan dan pemanfaatan hak atas tanah yang berada dalam areal TPSF di peroleh

pada lembaga pemerintah, pemerintah daerah dan perusahaan perkebunan serta

institusi lainnya.

D. Teknik Pengumpulan Data

Pelaksanaan kegiatan studi dibagi atas beberapa tahapan, yaitu (1) Tahap Persiapan; (2) Tahap Pra-survai; (3) Tahap Survai/Pengamatan Lapangan; (4) Tahap Analisis Yuridis; dan (5) Tahap Penyusunan Laporan/Dokumen Studi.

Tahap Persiapan

Tahap persiapan merupakan tahap pertemuan dan diskusi Tim untuk memberikan gambaran rencana studi dan penyusunan Kerangka Acuan Kerja sesuai dengan bidang keahlian. Pada tahap awal ini juga dilakukan sosialisasi dan pembahasan berbagai permasalahan yang mungkin dihadapi sebelum dilakukan studi ke lapangan oleh Koordinator Tim dan seluruh peneliti.

Tahap Pra Survai

Tahap pra-survai yaitu melakukan survai pendahuluan ke lokasi studi (TPSF) yang diikuti oleh seluruh Tim Ahli dan Ketua/Koordinator Tim untuk melakukan orientasi lapangan agar mendapatkan kepastian tentang rencana lokasi pengamatan/kunjungan lapangan dan prediksi jumlah responden saat pelaksanaan survai utama. Kegiatan Pra-survai ini telah dilaksanakan selama 5 hari yaitu mulai tanggal 27 April sampai dengan 1 Mai 2013.

168 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Hasil kegiatan prasurvai ini telah didiskusikan kembali pada tanggal 3 Mei 2013 untuk perencanaan kegiatan selanjutnya terutama persiapan untuk survai utama/pengamatan lapangan.

Tahap Survai Utama

Survai utama dilaksanakan untuk mengamati secara langsung di lapangan sesuai dengan rencana yang telah dibuat pada kegiatan pra-survai. Survai lapangan dilakukan Tenaga Ahli dan surveyor yang telah dilatih secara khusus untuk melakukan pengumpulan data lapangan melalui daftar kuesioner dan wawancara serta pengumpulan dokumen dan bahan hukum yang akan dilaksanakan secara terpadu pada Minggu ke II bulan Mei 2013.

E. Analisis Data

Data yang dikumpulkan di lapangan melalui pengamatan, kuesioner dan wawancara responden, serta dokumen dan bahan hukum dikumpulkan pada lembaga pemerintah provinsi, pemerintah daerah, perusahaan perkebunan dan institusi lainnya digunakan untuk analisis yuridis untuk dapat diketahui status hukum areal TPSF; terpenuhi atau tidaknya persyaratan dan mekanisme perolehan HGU serta pemenuhan kewajiban; serta dilaksanakan atau tidaknya kewajiban sebagai pemegang hak dalam pemanfaatan Hak atas yang kuasai oleh perusahaan perkebunan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Status Tanah dalam Areal TPSF

Tanah atau lahan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu (1)

tanah yang melekat suatu hak (tanah hak) dan (2) tanah yang tidak melekat suatu hak

(Tanah Negara). Tanah hak meliputi tanah-tanah yang telah melekat suatu hak, baik

yang dipunyai oleh perorangan maupun yang dipunyai oleh suatu badan hukum dengan

suatu hak tertentu (Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai atau lainnya sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (biasa juga disebut Undang-Undang Pokok Agraria). Sedangkan

tanah negara merupakan bidang-bidang tanah yang tidak melekat suatu hak atas tanah

apapun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UUPA tersebut. Maria SW Soemardjono

(2008) menyebutkan bahwa disamping dua entitas status tanah tersebut dikenal juga

satu entitas status tanah yang lain yaitu tanah ulayat. Tanah ulayat merupakan entitas

tersendiri, yang tidak dapat dimasukkan dalam kategori tanah hak atau tanah negara.

Tanah Hak

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tanah hak merupakan tanah-tanah yang telah

melekat suatu hak tertentu. Hak-hak atas tanah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16

ayat (1), yang utama terdiri atas; hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan

(HGB) dan hak pakai. Hak milik dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu (1) penetapan

pemerintah/berdasarkan surat keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang,

yaitu terhadap tanah-tanah yang berasal dari tanah negara; (2) ketentuan undang-

undang/ketentuan konversi, yaitu terhadap tanah-tanah hak berdasarkan ketentuan

perundang-undangan sebelum berlakunya UUPA dan berdasarkan UUPA dikonversi

menjadi salah satu hak yang dikenal dalam UUPA sesuai dengan persyaratan yang

ditentukan untuk masing-masing hak atas tanah dimaksud; (3) berdasarkan hukum adat,

yaitu berdasarkan persyaratan dan mekanisme hukum adat setempat.

TINJAUAN HUKUM DAN KONSESI LAHAN | 169

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Hak Guna Usaha terjadi berdasarkan penetapan pemerintah dan ketentuan konversi, namun berdasarkan Pasal III Ketentuan Konversi UUPA bahwa HGU yang lahir berdasarkan ketentuan konversi hanya sampai dengan 24 September 1980, karena itu setelah batas waktu tersebut HGU hanya terjadi berdasarkan penetapan pemerintah/surat keputusan pemberian hak atas tanah Negara. Sedangkan hak pakai dapat terjadi berdasarkan penetapan pemerintah dan berdasarkan perjanjian dengan subjek hak milik.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa atas areal yang direncanakan untuk dijadikan areal lindung yang berada di Kecamatan Darul Kakmur dan Kecamatan Tripa Makmur Kabupaten Nagan Raya serta Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya terdapat tanah Hak Guna Usaha yang dipunyai oleh paling tidak 5 (lima) perusahaan perkebunan, yaitu;

(1) PT. Kalista Alam yang mempunyai tiga bidang HGU; yang terdiri atas:

a. HGU dengan luas areal 301.41 Ha, berada di Desa Pulo Ie Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya, sertifikat Nomor 00012 Tanggal 9 September 1996, yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2015.

b. HGU dengan luas 818,00 Ha berada di Desa Pulo Ie Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya, sertifikat Nomor 00026 Tanggal 23 Januari 1998, yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2032.

c. HGU dengan luas 5.769,00 Ha berada di Desa Pulo Kruet dan Desa Alue Bateung Brok Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya, sertifikat Nomor 00027 Tanggal 23 Januari 1998, yang berlaku sampai dengan 31 Desember 2032.

(2) PT. Gelora Sawita Makmur yang mempunyai HGU atas tanah seluas 8.604,80 Ha berada di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya, sertifikat Nomor 00005 Tanggal 2 September 1994, berlaku sampai dengan 31 Desember 2028.

(3) PT. Agra Para Citra (PT. Astra Agro Lestari/PT. Surya Panen Subur), yang mempunyai 2 (dua) bidang HGU, yaitu:

a. HGU atas tanah seluas 7.877,00 Ha berada di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya, sertifikat Nomor 00025 Tanggal 6 Desember 1997, berlaku sampai dengan 21 Juli 2032.

b. HGU atas tanah seluas 5.080,00 Ha berada di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya, sertifikat Nomor 00034 Tanggal 19 April 1999, berlaku sampai dengan 10 Desember 2033.

(4) PT. Cemerlang Abadi yang mempunyai HGU atas tanah seluas 7.516 Ha, berada di Desa Babah Rot Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya, SK Nomor 45/HGU/DA/87 Tanggal 7 November 1987, berlaku sampai dengan 31 Desember 2017.

(5) PT. Dua Perkasa Lestari yang mempunyai HGU atas tanah seluas 2.599 Ha berada di Desa Ie Mirah Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya, sertifikat Nomor 0002 Tanggal 29 Juni 2009, berlaku sampai dengan 7 Mei 2044.

Berdasarkan dokumen tersebut maka total luas tanah yang dipunyai oleh 5 (lima)

perusahaan perkebunan yang berlokasi di areal yang direncanakan untuk areal rawa

gambut tripa seluas 38.565,41 Ha. Hasil penelitian juga mengindikasikan bahwa

170 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

disamping penguasaan tanah dengan status HGU oleh perusahaan perkebunan terdapat

juga penguasaan tanah oleh perorangan warga setempat. Penguasaan tanah oleh

perorangan pada umumnya belum mempunyai surat bukti hak sebagaimana ditentukan

dalam ketentuan perundang-undangan tetapi menunjukkan adanya penguasaan secara

fisik. Penguasaan secara fisik dimaksud ada yang terindikasi adanya hubungan hukum

yang kuat antara orang dengan tanah yang dikuasainya yang ditunjukkan dengan adanya

pengusaaan tanah yang telah berlangsung lama dan terus menerus dan adanya tanaman

keras di atas tanah tersebut. Namun di samping itu terdapat juga penguasaan tanah

yang belum terindikasi adanya hubungan hukum yang kuat, tetapi masih pada tingkat

hubungan penggarapan yang ditunjukkan masih berupa lahan yang baru diusahakan.

Terhadap tanah-tanah yang telah diusahakan secara terus menerus, tanaman keras

telah produksi dan adanya pengakuan masyarakat setempat maka bidang tanah

tersebut dapat disebut sebagai tanah milik yang lahir berdasarkan hukum adat (tanah

milik adat) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1). Namun demikian tidak

dapat diketahui secara pasti berapa luas tanah yang berstatus tanah milik adat tersebut.

Sedangkan bidang-bidang tanah yang masih baru diusahakan dipandang masih berstatus

hak membuka tanah sebagaimana disebut Pasal 16 ayat (1) huruf f dan Pasal 46 UUPA.

Tanah Ulayat

Pasal 3 UUPA menyebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan

2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat

hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa

sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas

persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan

peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Namun demikian pengertian hak ulayat itu

sendiri tidak dijelaskan secara tegas, kecuali disebutkan “… yang dimaksud dengan hak

ulayat dan hak-hak serupa itu ialah apa yang dalam kepustakaan hukum adat disebut

“beschikkingsrecht” (Penjelasan Pasal 3 UUPA), karena itu pengertian atau batasan

tentang hak ulayat berpedoman kepada pendapat para ahli. Roestandi Ardiwilaga (1962

: 23) menyebutkan bahwa hak ulayat sebagai hak dari persekutuan hukum untuk

menggunakan dengan bebas tanah-tanah yang masih merupakan hutan belukar dalam

lingkungan wilayahnya, guna kepentingan persekutuan hukum itu sendiri dan anggota-

anggotanya atau untuk kepentingan orang luaran (orang asing) atas izin Kepala

Persekutuan dengan membayar recognisi.

Hak ulayat pada dasarnya berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat

hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Hubungan hukum tersebut

berisi wewenang dan kewajiban terhadap tanah dengan segala isinya, yakni perairan,

tumbuh-tumbuhan dan binatang dalam wilayahnya yang menjadi sumber kehidupan

dan mata pencahariannya (Maria SW. Sumardjono, 2008: 170). Oleh karena itu ruang

lingkup hak ulayat meliputi segala sumberdaya agraria yang ada dalam lingkungan

wilayahnya dan tanah merupakan obyek hak ulayat yang utama.

Walaupun dalam sejarahnya istilah hak ulayat tidak dikenal dalam masyarakat Aceh,

namun istilah “tanoh umum” atau “tanoh masyarakat” mengandung makna yang sama

dengan tanah ulayat. Hanya saja dalam kenyataannya kewenangan masyarakat hukum

TINJAUAN HUKUM DAN KONSESI LAHAN | 171

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

adat terhadap “tanoh umum” atau “tanoh masyarakat” tersebut tidak seperti dahulu

kala, sehingga dengan sendirinya pula mempengaruhi keberadaannya (Hakimy, 1980:

48). “Tanoh umum” atau “tanoh masyarakat” dibedakan dengan tanah negara. Tanah

negara merupakan tanah-tanah yang belum ada suatu hak apapun di atasnya, baik hak

perorangan maupun hak masyarakat hukum. Bahkan pada masa kolonial antara tanah

negara dan “tanoh masyarakat” atau “tanoh umum” ditempatkan tanda-tanda batas

dan atau jalan-jalan batas, yang oleh masyarakat Lam Tamot Aceh Besar disebut “patok

atau jalan Boss Wezen” (Abdullah Ahmad, dkk., 2000 : 14), yang dimaknakan sebagai

batas hutan negara. Dalam areal hutan negara tersebut warga masyarakat dilarang

untuk mengusahakan atau memungut hasil hutan.

Hak ulayat dapat mengembang (menguat) dan mengempis (melemah), sama juga halnya dengan hak-hak perorangan dan ini pula yang merupakan sifat istimewa hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat. Apabila hak-hak perorangan menguat, maka hak masyarakat melemah dan apabila hak perorangan melemah maka hak masyarakat menguat kembali.

Untuk menentukan ada atau tidaknya hak ulayat diperlukan suatu penelitian. Penelitian

tersebut dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan pakar hukum

adat, masyarakat hukum adat yang bersangkutan, dan lembaga swadaya masyarakat

serta institusi-institusi yang mengelola sumberdaya alam, sebagaimana ditentukan

dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5

Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Di

dalam aturan tersebut juga ditentukan kriteria penentu eksistensi hak ulayat terdiri atas

tiga unsur, yaitu 1) terdapat masyarakat hukum adat tertentu sebagai subyek hak ulayat;

2) adanya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil

keperluan hidup masyarakat hukum adat tersebut; dan 3) terdapatnya tatanan hukum

adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan

ditaati oleh masyarakat hukum adat tersebut. Di lokasi penelitian terdapat indikasi

adanya hak masyarakat hukum adat atas tanah namun diperlukan penelitian secara

khusus dan mendalam sebagaimana diamanatkan ketentuan perundang-undangan

untuk memastikan ada atau tidak adanya hak ulayat.

Tanah Negara

Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa Tanah Negara atau disebut juga tanah yang

dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak

atas tanah. Dalam arti yang lebih sempit dan dikaitkan dengan pandangan Maria SW.

Sumardjono tersebut di atas maka tanah Negara adalah bidang-bidang tanah yang tidak

melekat suatu hak dan tidak berstatus hak ulayat. Tanah Negara yang dimaksudkan

dalam pembahasan ini berbeda terminologi tanah milik negara sebagaimana diatur

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik

Negara/Daerah. Tanah milik negara atau daerah merupakan tanah dengan suatu hak

tertentu yang dipunyai oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dan berdasarkan

ketentuan perundang-undangan bahwa hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh

pemerintah atau pemerintah daerah adalah hak pakai dan hak pengelolaan.

172 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

B. Analisis terhadap Persyaratan dan Mekanisme Perolehan Hak Atas Tanah

Dalam ketentuan perundang-undangan ditetapkan persyaratan dan mekanisme perolehan suatu hak atas tanah. Persyaratan dan mekanisme tersebut berbeda antara suatu hak atas tanah tertentu dengan hak atas tanah lainnya. Persyaratan tesebut pada dasarnya terkait dengan subjek hak dan objek hak.

Subjek Hak

Dalam Pasal 30 ayat (1) UUPA dan Pasal 2 PP 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak

Pakai Atas Tanah ditentukan bahwa yang dapat mempunyai HGU adalah Warga Negara

Indoenesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI). Orang asing dan badan hukum

asing tidak diperkenankan mempunyai tanah dengan status HGU. Lima perusahaan

perkebunan pemegang HGU di lokasi penelitian merupakan Perusahaan Terbatas (PT)

yang merupakan Badan Hukum Indonesia.

Objek Hak

Berdasarkan Pasal 28 UUPA dan Pasal 4 PP 40/1996 bahwa tanah yang dapat diberikan

HGU adalah Tanah Negara. Apabila tanah yang dimohonkan HGU merupakan Areal

Hutan maka pemberian HGU dapat dilakukan setelah tanah tersebut dikeluarkan dari

statusnya sebagai areal hutan. Disamping itu apabila atas tanah yang dimohonkan HGU

merupakan tanah ulayat dan tanah hak (Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 18 Tahun 2004) maka

terhadap tanah ulayat dan tanah hak tersebut harus dilesaikan terlebih dahulu sebelum

diberikan HGU. Penyelesaian tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak dan

tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan

perundang-undangan di bidang penataan ruang bahwa suatu hak atas tanah termasuk

HGU pada dasarnya hanya dapat diberikan atas areal dalam areal budi daya, tidak dapat

diberikan atas areal dalam areal lindung.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat satu bidang HGU

yang arealnya berasal dari status areal hutan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan

Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 170/Kpts-II/2000 tentang Penunjukkan

Areal Hutan dan Perairan di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Seluas ± 3.549.813

(Tiga Juta Lima Ratus Empat Puluh Sembilan Ribu Delapan Ratus Tiga Belas) Hektar.

HGU yang dimaksud adalah HGU yang dipunyai oleh PT. Agra Para Citra atas tanah

seluas 7.877,00 Ha berada di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten

Nagan Raya, yang diberikan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN

Nomor 82/HGU/BPN/97, Tanggal 22 Juli 1997. Tanah HGU tersebut tanah bekas areal

hutan yang telah dilepaskan kepada Negara berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan

Nomor 152/Kpts-II/1996, Tanggal 6 April 1996.

Pada saat ini Kepmenhutbun 170/Kpts-II/2000 sedang dalam proses perubahan

bersamaan dengan proses pembahasan RTRW Aceh, dan dalam Presentasi Gubernur

Aceh “Kondisi RTRW Aceh 2012 – 2032” pada Pertemuan dengan Duta Besar Norwegia

di BAPPEDA Aceh tanggal 29 Agustus 2013 disebutkan bahwa ada usulan perubahan

areal hutan dari 3.549.813 Ha menjadi 3.527.313 Ha (berkurang 22.500 Ha dari

Kepmenhutbun 170/2000). Usulan tersebut dalam proses finalisasi di Kementerian

TINJAUAN HUKUM DAN KONSESI LAHAN | 173

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Kehutanan yang nantinya akan terjadi perubahan terhadap Kemenhutbun 170/2000.

Berdasarkan Pasal 19 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa perubahan

peruntukan dan fungsi areal hutan ditetapkan oleh pemerintah yang didasarkan pada

hasil penelitian terpadu, bahkan apabila perubahan tersebut berdampak penting dan

cakupan yang luas serta bernilai strategis maka penetapan tersebut harus dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Di samping itu hasil penelitian menunjukkan juga bahwa HGU PT. Kalista Alam atas areal

seluas 301,41 ha yang berada di Desa Pulo Ie Kecamatan Darul Makmur Kabupaten

Nagan Raya telah diajukan permohonan perpanjangan jangka waktu HGU yang akan

berakhir pada 31 Desember 2015 dan berdasarkan Surat Kepala BPN RI Nomor

3182/14.3-300/IX/2012 Tanggal 11 September 2012 yang diujukan kepada Kepala

Kanwil BPN Provinsi Aceh bahwa permohonan tersebut dalam proses dan dimintakan

kepada Kepala Kanwil BPN Provinsi Aceh dan PT. Kalista Alam sesuai dengan

kewenangannya untuk memperbaiki dan melengkapi data yang dibutuhkan.

Mekanisme Perolehan Hak

Setiap orang yang bermaksud mempunyai suatu hak atas tanah Negara harus

mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang sebagaimana ditentukan

dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 telah beberapa kali

dirubah/diganti terakhir dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas

Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah, dengan melengkapi persyaratan dan melelui

mekanisme sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5

Tahun 1973 telah beberapa kali diubah/diganti terakhir dengan Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata

Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Untuk pengajuan permohonan HGU antara lain (1). Identidas pemohon; 2). Bukti yang

menunjukkan bahwa tanah yang dimohon merupakan tanah Negara yang tidak ada hak-

hak pihak lain di atasnya; yang dibuktkan dengan: (a) Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah

B, yang memuat antara lain bahwa tanah yang dimohon menurut Peraturan/RTRW

berada dalam areal budi daya non kehutanan; (b) Surat Kepala Dinas Kehutanan yang

menyatakan tanah yang dimohon tidak berada dalam areal hutan; (c) Keputusan Bupati

tentang Izin Lokasi Usaha Perkebunan; (d) Keputusan Gubernur tentang Izin Usaha

Perkebunan Budidaya; (e) Peta Bidang Tanah; (f) Surat Pertimbangan Setuju Kepala

Kanwil BPN Provinsi dan (g) Surat Pernyataan kesanggupan Pemohon untuk

pembangunan kebun masyarakat minimal 20% dari total areal kebun yang diusahakan

oleh perusahaan, serta (h) Izin Lingkungan. Terkait dengan Izin lingkungan diperoleh

data dokumen lingkungan hidup dari tiga perusahaan, yaitu:

a. PT. Kalista Alam yang beralokasi di Darul Makmur memiliki dokumen lingkungan

(AMDAL) berdasarkan Surat persetujuan dari Menteri Pertanian

No. 013/AMDAL/RKL-RPL/BA/VII/1997 tanggal 21 Juli 1997 tentang persetujuan

ANDAL dan RKL-RPL PT. Kalista Alam. Terhadap luas kebun PT. Kalista Alam sebesar

174 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

6.587 Ha berdasarkan Surat Kepmen Agraria/Kepala BPN No. 49/HGU/BPN/1997

tentang pemberian HGU atau tanah di Kabupaten Aceh Barat. PT. Kalista Alam telah

mengajukan permohonan pembuangan limbah cair kepada Bupati Nagan Raya

dengan melampirkan Surat Persetujuan Camat Darul Makmur No. 611.4/199/2013

Tanggal 13 Februari 2013 dan surat Izin Usaha No. 503/042/2009, namun

permohonannya ditolak dengan alasan tidak cukup administrasi pendukung.

b. PT. Gelora Sawita Makmur (PT. GSM) yang berlokasi di Gampong Pulo Kruet,

Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, menjalankan aktivitasnya

memiliki dokumen lingkungan berupa DPPL yang berdasarkan persetujuan

Kementrian Lingkungn Hidup Jakarta No. B.8051/Dep.I/LH/10/2009 Tanggal 28

Oktober 2009. Luas kebun PT. GSM sebesar 8.604,80 Ha dengan luas lahan

produktif 3.000 Ha berdasarkan Surat Kepmen Agraria/Kepala BPN Aceh Barat No. 1

tanggal 2 September 1994.

c. PT. Surya Panen Subur (PT. SPS) yang berlokasi di Gampong Pulo Kruet, Kecamatan

Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, dengan total luas areal 12.957 ha,

menjalankan aktivitasnya memiliki dokumen lingkungan berupa UKL-UPL yang

berdasarkan persetujuan KLH Nagan Raya No. 660.3/97/SK/2009 Tanggal 11 Maret

2009.

Telaahan terhadap dokumen Surat Keputusan Pemberian HGU menunjukkan bahwa

permohonan HGU tersebut telah memenuhi persyaratan dan mekanisme yang

ditentukan dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 23 Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan

Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, dan sesuai Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara pemberian Hak

Atas Tanah terhadap pemberian HGU sebelum berlakunya PMNA/KBPN No. 9 Tahun

1999.

Terkait dengan persyaratan dan mekanisme tersebut hasil penelitian menunjukkan juga

bahwa terdapat suatu permohanan HGU yang diajukan oleh PT. Kalista Alam atas areal

seluas 1.605 ha yang berlokasi di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten

Nagan Raya yang telah diterbitkan Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) berdasarkan

Keputusan Gubernur Aceh Nomor 525/BP2T/5322/2011 Tanggal 25 Agustus 2011, yang

kemudian berdasarkan perintah Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan

Nomor 89/B/2012/PT.TUN-MDN tanggal 30 Agustus 2012 Gubernur menerbitkan

Keputusan Nomor 525/BP2T/5078/2012 Tanggal 27 September 2012 tentang

pencabutan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 525/BP2T/5322/2011 Tanggal 25 Agustus

2011. Terhadap putusan PT. TUN tersebut telah berkekuatan hukum tetap karena

putusan MA terhadap perkara tersebut (Nomor 455 K/TUN/2012) Tanggal 25 April 2013

menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh PT. Kalista Alam. Sehubungan dengan

hal tersebut maka lahan tersebut tidak lagi memenuhi syarat untuk diajukan

permohonan HGU, dan status hukum tanahnya menjadi tanah negara.

TINJAUAN HUKUM DAN KONSESI LAHAN | 175

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

C. Analisis terhadap Pelaksanaan Kewajiban Pemegang HGU

Setiap pemegang hak atas tanah mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban

tersebut ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan dan dalam Surat Keputusan

Pemberian Hak. Dalam ketentuan perundang-undangan disebutkan kewajiban-

kewajiban pemegang HGU, antara lain sebagai berikut:

a. Pasal 7 UU 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman menyebutkan, yaitu (1)

Setiap orang atau badan hukum yang membuka dan mengolah lahan dalam luasan

tertentu untuk keperluan budidaya tanaman wajib mengikuti tata cara yang dapat

mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup. Lebih lanjut dalam Pasal 44

disebutkan, yaitu (1) pemanfaatan lahan untuk keperluan budidaya tanaman

disesuaikan dengan ketentuan tata ruang dan tata guna tanah berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Pelaksanaan kegiatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian

dan kemampuan lahan maupun pelestarian lingkungan hidup khususnya konservasi

tanah.

b. Pasal 25 UU 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan pada intinya menyebutkan bahwa

(1) Setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan

hidup dan mencegah kerusakannya; (2) Untuk mencegah kerusakan fungsi

lingkungan hidup maka sebelum memperoleh izin usaha perkebunan perusahaan

perkebunan wajib, antara lain (a) membuat analisis mengenai dampak lingkungan

hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan

hidup dan (b) menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya

pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup; (3) apabila

tidak mebuat AMDAL atau UKL-UPL maka ditolak permohonan izin usahanya dan

apabila telah memperoleh izin usaha perkebunan tetapi tidak menerapkan AMDAL

atau UKL-UPL maka dicabut izin usahanya. Dalam Pasal 12 disebutkan bahwa

Menteri dapat mengusulkan kepada instansi yang berwenang di bidang pertanahan

untuk menghapus hak guna usaha apabila menurut penilaian Menteri hak guna

usaha yang bersangkutan tidak dimanfaatkan sesuai dengan yang dipersyaratkan

dan ditelantarkan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sejak diberikan hak guna

usaha yang bersangkutan.

c. Dalam Pasal 22 dan Pasal 34 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 3 PP 27 Tahun 2012 tentang Izin

Lingkungan disebutkan bahwa (1) setiap usaha dan/atau kegiatan yang

berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL dan (2)

usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal maka

wajib memiliki UKL-UPL.

d. Dalam Pasal 12 PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas

Tanah disebutkan kewajiban Pemegang Hak Guna Usaha; antara lain

(a) melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan

sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan

176 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

pemberian haknya; (b) mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik

sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi

teknis; (c) membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah

yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha; (d) memelihara kesuburan

tanah, mencegah kerusakan sumberdaya alam dan menjaga kelestarian

kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku; (e) menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai

pengunaan Hak Guna Usaha; lebih lanjut dalam Pasal 13 disebutkan bahwa Jika

tanah Hak Guna Usaha karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab

lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau

bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, maka pemegang Hak Guna

Usaha wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi

pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu. Berdasarkan Pasal 17 34 UUPA

dan Pasal 17 PP 40/1996 bahwa HGU dapat dibatalkan apabila tidak melaksanakan

kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan

maupun dalam keputusan pemberian haknya.

Dalam keputusan pemberian HGU kepada perusahaan perkebunan sebagaimana tersebut di atas, antara lain ditentukan kewajiban-kewajiban pemegang hak sebagai berikut:

a. Tanah yang diberikan dengan HGU tersebut harus dipergunakan untuk usaha perkebunan dengan tanaman yang telah mendapat persetujuan dari instansi teknis;

b. Mengusahakan perkebunan secara produktif, sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;

c. Membangun serta memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah dalam areal tersebut;

d. Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumberdaya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai aturan yang berlaku;

e. Setiap perubahan penggunaan tanah dan setiap bentuk perbuatan hukum yang bermaksud mengalihkan HGU diperlukan izin Menteri Agraria/ Kepala BPN;

f. Apabila dalam areal yang diberikan HGU ternyata masih terdapat pendudukan/penggarapan rakyat secara menetap dan dilindungi oleh undang-undang serta belum mendapat penyelesaian maka menjadi tanggungjawab sepenuhnya penerima hak untuk menyelesaikannya.

Dalam kenyataannya menunjukkan bahwa terdapat indikasi tidak dilaksanakannya

semua kewajiban yang ditentukan dalam perundang-undangan dan keputusan

pemberiannya; terdapat areal yang telah diberikan HGU tetapi tidak diusahakan/

indikasi diterlantarkan dan adanya sanggahan dari warga masyarakat sekitar atas dasar

indikasi adanya lahan-lahan yang telah diusahakan oleh warga telah termasuk dalam

areal yang diberikan HGU yang belum mendapat penyelesaian.

Penetapan suatu bidang tanah terlantar adalah kewenangan Kepala BPN RI setelah

melalui tahapan (identifikasi, penelitian dan peringatan) sebagaimana ditentukan dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan

TINJAUAN HUKUM DAN KONSESI LAHAN | 177

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tanah Terlantar. Oleh karena itu Laporan Dinas Perkebunan tahun 2012 yang antara lain

memuat data tanah yang tidak dapat ditanami (yang melipti; HGU PT. Kalista Alam

seluas 1.553,00 ha, HGU PT. Gelora Sawita Makmur seluas 575,10 ha, HGU PT. Surya

Panen Subur seluas 4.438,68 ha, HGU PT. Cemerlang Abadi seluas 2.641.20 ha) perlu

kajian lebih lanjut tentang faktor penyebab tidak dapat dapat ditanaminya bagian dari

areal tersebut.

Salah satu contoh, sanggahan warga terhadap HGU PT. Dua Perkasa Lestari seluas 2.599

Ha berada di Desa Ie Mirah Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya, sertifikat

Nomor 0002 tanggal 29 Juni 2009, berlaku sampai dengan 7 Mei 2044; dan telah

diajukan permohonan pembatalan hak oleh Bupati Aceh Barat Daya berdasarkan surat

Nomor 525/635/2012, tanggal 26 September 2012, dengan alasan tidak melaksanakan

kewajiban yaitu berkenaan dengan penyelesaian ganti rugi terhadap lahan garapan

masyarakat yang berada dalam areal HGU sebagaimana ditentukan dalam Ketentuan

dan SK Pemberian Hak.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

a. Secara yuridis formal bahwa areal TPSF belum ditetapkan sebagai areal lindung walaupun dari aspek geofisik telah memenuhi kriteria yang ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan untuk ditetapkan sebagai areal lindung. Namun pada usulan RTRWA areal lindung yang diusulkan hanya seluas sekitar 12.000 Ha (masih dalam proses). Dalam areal rencana areal TPSF terdapat penguasaan tanah dengan status HGU oleh perusahaan perkebunan.

b. Secara yuridis formal bahwa semua HGU yang berada dalam areal TPSF telah mendaftarkan HGU pada Kantor Pertanahan setempat, tetapi atas areal HGU masih terdapat sengketa-sengketa dengan warga masyarakat karena dalam areal HGU terindikasi adanya lahan-lahan warga dan belum mendapat penyelesaian.

c. Terdapat indikasi adanya lahan-lahan yang telah diberikan HGU yang tidak diusahakan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan dan diterlantarkan.

B. Rekomendasi

a. Mengingat pada saat sekarang ini Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh dalam Proses finalisasi pembahasan maka diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam penetapan fungsi areal.

b. Khusus terhadap lahan 1.605 ha bekas areal IUP-B PT. Kalista Alam yang sekarang berstatus tanah Negara, perlu penanganan secara serius dengan melibatkan pihak-pihak terkait sehingga bebas dari pemaanfaatan oleh pihak manapun sampai ada kejelasan penetapan fungsi areal dan peruntukannya dalam RTRW Aceh.

c. Perlu kajian lebih komprehensif dengan melibatkan institusi teknis terkait khususnya BPN dan Dinas Perkebunan tentang pemanfaatan tanah oleh Perusahaan Perkebunan pemegang HGU dalam kerangka evaluasi pelaksanaan kewajiban perusahaan.

178 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Ahmad, dkk., 2000. Keberadaan Hak Ulayat Setelah Berlakunya Hukum Agraria Nasional di Kabupaten Aceh Besar, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat dan Islam UNSYIAH, Banda Aceh.

Hakimy, TI. El., 1980. Tatanan Tanah di Wilayah Pedesaan Aceh, Laporan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Maria SW. Sumardjono, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Roestandi Ardiwilaga R., 1962. Hukum Agraria Indonesia dalam Teori dan Praktek, Cetakan Kedua, NV. Masa Baru, Bandung.