tinjauan analitis terhadap peran pemerintah dalam isu pengendalian tembakau

21
KERTAS POSISI Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau: Sumbangan bagi Arah Kebijakan Pemerintahan Baru Disusun bersama oleh: Indonesian NGO Coalition for Tobacco Control PP Muhammadiyah Lentera Anak Indonesia (LAI) Indonesia Corruption Watch (ICW) Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia Institute for Social Development (IISD) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Disampaikan kepada Tim Rumah Transisi Jokowi-JK untuk Perlindungan Kesehatan Publik dan Hak Asasi Manusia Jakarta, 11 September 2014

Upload: deni-kurniawan

Post on 16-Apr-2017

287 views

Category:

Data & Analytics


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

KERTAS POSISI

Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu

Pengendalian Tembakau: Sumbangan bagi Arah Kebijakan Pemerintahan Baru

Disusun bersama oleh:

Indonesian NGO Coalition for Tobacco Control

PP Muhammadiyah

Lentera Anak Indonesia (LAI)

Indonesia Corruption Watch (ICW)

Human Rights Working Group (HRWG)

Indonesia Institute for Social Development (IISD)

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

Disampaikan kepada Tim Rumah Transisi Jokowi-JK untuk Perlindungan Kesehatan Publik dan Hak Asasi Manusia

Jakarta, 11 September 2014

Page 2: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

Kertas Posisi

Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah

dalam Isu Pengendalian Tembakau:

Sumbangan bagi Arah Kebijakan Pemerintahan Baru

D A F T A R IS I

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

B. Pokok Permasalahan

C. Tujuan

II. Kerangka Normatif

A. Instrumen Hukum Pengendalian Dampak Rokok

B. Instrumen HAM yang sudah diratifikasi

C. Pengendalian Tembakau dalam FCTC

D. Prinsip-Prinsip UNGP bagi Industri

E. Korupsi dan HAM

III. Eksistensi Industri Rokok di Indonesia

A. Pertumbuhan Industri Rokok

B. Rokok sebagai Bahaya Epidemi

C. Relasi Kuasa Negara dan Industri Rokok

IV. Memperkuat Komitmen Pemerintah Melindungi Publik

A. Dampak Industri Rokok terhadap HAM

B. Aspirasi Publik untuk Aksesi FCTC

C. Arus Balik dalam RUU Pertembakauan

D. Aksesi FCTC dan Visi Pemerintahan Baru Jokowi-JK

V. Simpulan dan Rekomendasi

A. Simpulan

B. Rekomendasi

Page 3: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

1

Kertas Posisi Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah

dalam Isu Pengendalian Tembakau: Sumbangan bagi Arah Kebijakan Pemerintahan Baru

I. Pendahuluan A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia. Sedikitnya, sebanyak 90 juta orang di Indonesia merupakan pecandu rokok. Situasi yang tak menguntungkan ini diperburuk oleh makin meroketnya produksi rokok. Produksi rokok mencapai 341 miliar batang pada 2013 (Kompas, 7 Juni 2014), dan diperkirakan mencapai 353 milliar pada 2014 (JPNN, 9 September 2014). Angka produksi dan konsumsi rokok yang sangat tinggi ini menunjukkan Indonesia dalam keadaan darurat tembakau dan potensial mengancam kesehatan publik.

Selain itu, asap rokok merugikan orang-orang yang hadir di sekitar pecandu rokok. Menurut sebuah data, lebih dari 92 juta orang terpapar asap rokok. Celakanya, sebagian besar dari angka ini adalah perempuan dan anak-anak. Bahkan 11 juta orang di antaranya adalah anak berusia usia 0—4 tahun (Riskesdas 2010).

Produksi dan konsumsi rokok telah melipatgandakan keuntungan industri rokok. Namun angka-angka itu justru berbanding terbalik dengan kesejahteraan buruh dan petani yang bekerja pada industri ini. Upah buruh yang rendah dan tunjangan yang tidak manusiawi—bagian penting dari hak-hak buruh—merupakan cerita lama industri rokok. Perkembangan terbaru menunjukkan perusahaan rokok mengejar efisiensi dengan merumahkan puluhan ribu buruhnya, karena penggunaan mesin produksi yang lebih canggih. Pada bagian lain, petani tembakau juga dihadapkan pada tata niaga yang tidak adil. Daya tawar mereka tergerus di hadapan para tengkulak dan cukong. Mereka juga dihadapkan banjir impor daun tembakau dari luar negeri.

Keberadaan industri rokok, dengan demikian, berpotensi melanggar HAM kelompok rentan, utamanya hak anak, perempuan, buruh, dan petani. Pada titik inilah, peran negara diperlukan untuk memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM, khususnya kelompok rentan. Hal ini sangat penting mengingat Indonesia merupakan negara pihak pada perjanjian-perjanjian HAM internasional.

Pemerintah Indonesia memang sudah memberlakukan Undang Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) yang membatasi konsumsi rokok. Namun produk-produk legislasi tersebut belum memberikan perlindungan secara maksimal. Selain itu, penegakan hukum dan HAM yang berkaitan dengan industri rokok masih lemah. Bahkan akhir-akhir ini negara cenderung memosisikan industri rokok sebagai industri yang perlu perlindungan, bukan pengendalian.

Page 4: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

2

Berangkat dari persoalan inilah, berbagai kelompok masyarakat sipil yang memiliki perhatian atas kesehatan publik dan perlindungan HAM, utamanya kelompok rentan, berkumpul dan berdiskusi pada 28 Agustus 2014. Dari hasil diskusi inilah, kertas posisi ini disusun dan diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintahan baru Jokowi-JK dalam upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM, khususnya kelompok rentan, dalam isu pengendalian tembakau.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan pada bagian Latar Belakang, dapat disimpulkan dua hal. Pertama, Indonesia memasuki darurat tembakau yang membahayakan kesehatan publik dan berpotensi mengganggu HAM kelompok rentan (perempuan, anak, buruh, petani).

Kedua, negara kurang efektif mengatur industri rokok, khususnya dalam memperlakukan buruh dan petani tembakau serta dampak operasi dan produk perusahaan rokok terhadap HAM kelompok rentan.

Memperhatikan dua hal di atas, maka Kertas Posisi ini merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut: Apa langkah strategis dan bersifat segera yang harus ditempuh pemerintah baru Jokowi-JK dalam isu pengendalian tembakau?

C. Tujuan

Kertas posisi ini bertujuan untuk mendorong Pemerintahan Baru Jokowi-JK melakukan percepatan aksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (The Framework Convention on Tobacco Control—FCTC).

II. Kerangka Normatif

A. Instrumen Hukum Pengendalian Dampak Rokok Pemerintah telah menyusun berbagai peraturan yang mengatur perlindungan masyarakat akibat dampak rokok (Depkes 2004). Bagian ini menguraikan beberapa peraturan pokok yang terkait.

1. UU No. 36/ 2009 tentang Kesehatan Di dalam UU ini disebutkan bahwa tembakau dan

produknya merupakan zat adiktif yang perlu diamankan penggunaanya (Pasal 113). Selain itu, setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan (Pasal 114).

UU ini juga mencantumkan kewajiban menerapkan Kawasan Tanpa Rokok, antara lain fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan (Pasal 115).

2. Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012 tentang

Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan

Page 5: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

3

PP ini bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi dampak buruk penggunaan produk tembakau bagi kesehatan individu dan masyarakat. Beberapa hal yang diatur PP ini, yaitu: � Informasi kandungan kadar nikotin dan tar (pasal 10—11) � Produksi dan penjualan produk tembakau (pasal 12—14) � Kemasan dan pelabelan produk tembakau (pasal 13—24) � Larangan menjual produk melalui mesin layan diri, kepada

anak dan ibu hamil (pasal 25) � Iklan, promosi, sponsor produk tembakau (pasal 26—40) � Perlindungan Khusus Anak dan Perempuan (pasal 41—48) � Penetapan kawasan tanpa rokok (pasal 49—52)

3. UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah & Retribusi

Daerah Dalam UU ini dinyatakan bahwa tarif pajak rokok

ditetapkan sebesar 10% dari cukai rokok diperhitungkan dalam penetapan tarif cukai nasional (Pasal 29). Adapun hasil penerimaan pajak rokok diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (Pasal 94).

UU ini juga mengatur bahwa penerimaan pajak rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Pelayanan kesehatan masyarakat yang dimaksud, antara lain pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan masyarakat tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok (Pasal 31).

4. UU No 39 Tahun 2007 tentang Cukai

Kebijakan cukai dibuat untuk mengendalikan konsumsi. Oleh karena itu, keberhasilan kebijakan cukai rokok ditentukan oleh kemampuannya mengendalikan konsumsi rokok, bukan meningkatkan penerimaan negara.

Pasal 2 ayat 1 UU ini menyatakan bahwa cukai dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat: (a) Konsumsinya perlu dikendalikan; (b) Peredarannya perlu diawasi; (c) Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; (d) Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

5. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak Salah satu hak yang penting bagi kesehatan anak

adalah bahwa anak bebas dari kepulan asap rokok yang membahayakan kesehatannya.

Page 6: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

4

UU ini mengatur perlindungan atas hak-hak anak, termasuk hak anak untuk tumbuh dan berkembang di lingkungan yang sehat dan hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan dari asuhan keluarga (Pasal 45).

6. Inisiatif di Daerah

Hingga kini terdapat, sedikitnya, 150 peraturan daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota yang mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Inisiatif daerah untuk melindungi masyarakatnya dari bahaya rokok patut diapresiasi. Hal ini merupakan capaian yang baik mengingat di tingkat nasional belum ada regulasi tentang KTR yang komprehensif untuk melindungi kesehatan publik.

B. Instrumen HAM yang sudah diratifikasi

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM internasional (lihat table 1). Dengan langkah ini, maka Pemerintah Indonesia terikat dengan sejumlah norma yang terdapat dalam perjanjian internasional tersebut. Selain itu, langkah ratifikasi merupakan kodifikasi hukum internasional menjadi hukum nasional, seperti diatur di dalam Pasal 7 Ayat 1 dan 2 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM.

Tabel 1 Instrumen HAM yang sudah Diratifikasi

Instrumen HAM Tanggal disahkan melalui

Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik UU No. 12 Tahun 2005

Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya UU No. 11 Tahun 2005

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan

UU No. 7 tahun 1984

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia

UU No. 5 Tahun 1998

Konvensi Hak Anak Keppres No. 36 Tahun 1990, dikuatkan dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial

UU No. 29 Tahun 1999

Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Penyandang Disabilitas

UU No. 19 Tahun 2011

Pada bagian lain, hak atas kesehatan merupakan HAM.

Hal ini tercantum dalam salah satu instrumen pokok HAM yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB). Kovenan ini menyediakan ketentuan yang lengkap tentang hak atas kesehatan. Pasal 12 (1) KIHESB menyatakan bahwa negara mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar kesehatan tertinggi fisik dan mental yang terjangkau.

C. Pengendalian Tembakau dalam FCTC

FCTC adalah sebuah traktat internasional yang menegaskan kembali akan hak semua orang untuk memperoleh

Page 7: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

5

derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. FCTC disusun untuk menghadapi globalisasi epidemi tembakau, yang didukung oleh sejumlah faktor perdagangan yang kompleks dengan efek lintas negara, yang difasilitasi perdagangan bebas dan investasi asing, dengan dukungan beberapa kekuatan raksasa dalam pemasaran global.

FCTC memulai rute pengendalian tembakau dengan pengurangan permintaan (demand reduction), melalui: � perlindungan terhadap kepulan asap tembakau di ruang publik; � regulasi mengenai kandungan produk tembakau; � regulasi mengenai pengungkapan produk tembakau; � pengemasan dan pelabelan; � pendidikan, komunikasi, pelatihan dan peningkatan kesadaran

terhadap ancaman bahaya produk tembakau bagi kesehatan; � iklan, promosi dan sponsor tembakau; � segenap upaya pengurangan permintaan terkait

ketergantungan tembakau dan penghentian pemakaiannya. Sementara itu, untuk pengurangan pasokan (supply

reduction), FCTC mengatur sejumlah hal, antara lain: � perdagangan ilegal produk tembakau; � penjualan produk tembakau kepada dan oleh anak di bawah

umur; � pemberian bantuan untuk kegiatan alternatif yang layak-

laksana secara ekonomis.

FCTC berlaku secara hukum selama 90 hari setelah diratifikasi oleh 40 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Semua negara yang meratifikasi FCTC terikat secara hukum dengan segala ketentuan dalam FCTC. Setiap negara yang belum menandatangani traktat tersebut setelah 29 Juni 2004 diberi kesempatan untuk melaksanakan aksesi, sebuah langkah yang setara dengan ratifikasi.

D. Pertautan FCTC dan Instrumen HAM

FCTC menyediakan panduan bagi negara pihak untuk melaksanakan pengendalian tembakau. Untuk membantu pelaksanaannya, WHO memperkenalkan paket kebijakan MPOWER yang merupakan singkatan Monitor, Protect, Offer, Warn, Enforce, Raise (Spires et al, 2014).

Kerangka MPOWER mendorong intervensi untuk mempromosikan kesehatan yang konsisten dengan pendekatan kesehatan dan pengendalian tembakau yang berbasis HAM. Publikasi terbaru dari Institute for Global Tobacco Control (IGTC) mengidentifikasi pasal-pasal khusus dan redaksi dalam setiap perjanjian HAM internasional dapat diterapkan untuk mendorong pengendalian Tembakau (Lihat Tabel 2).

Page 8: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

6

Tabel 2 Ketentuan dan pasal-pasal dalam Perjanjian HAM Internasional dengan Kerangka MPOWER

Traktat M P O W E R

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

(C) : Pasal.7 Pasal.10.3 (H) Pasal.12

(H) Pasal.12.2

(C) : Pasal.10.3

International Covenant on Civil and Political Rights

(I) : Pasal.19.2

(I) : Pasal.19.3

Convention to Eliminate All Forms of Discrimination Against Women

(C): Pasal.11

(H) : Pasal.12.1 Pasal.14.2

(I) : Pasal.10

Convention on the Rights of the Child

Pasal.3.2 (H) : Pasal.24 (C) : Pasal.32.1

(H) dan (I) : Pasal.24.1

(I) : Pasal.13.1 Pasal.17.1 Pasal.24.1

(I) : Pasal.13.2 Pasal.17.1

Convention on the Rights of Per-sons with Disabilities

(I) : Pasal.31

Pasal.9.1 Pasal.28.2 Pasal.30.1 (C) : Pasal.27.1

(H) dan (I) : Pasal.24.1

(H) dan (I) : Pasal.24.1

International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination

(H): Pasal.5

Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment

International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families

(C): Pasal.70

Pasal.45.1 (C): Pasal.25.1 (H): Pasal.43.1

(I) : Pasal.13.2

(I) : Pasal.13.3

International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance

Tema yang terkait dengan tujuan pengendalian tembakau : (C) = Kondisi Kerja; (H) = Layanan Kesehatan; (I) = Informasi Kesehatan

Dari tabel di atas, diketahui bahwa tujuh dari sembilan perjanjian HAM internasional memiliki arah yang sejalan dengan area kebijakan MPOWER. Sebanyak 33 ketentuan dan teks sangat relevan dan sesuai dengan area kebijakan “P” (Protect), “O” (Offer), and “W” (Warn).

Tema-tema HAM yang teridentifikasi terkait dengan pengendalian tembakau, antara lain hak-hak terkait dengan kondisi kerja, akses pelayanan kesehatan, dan akses terhadap informasi kesehatan.

Ketujuh instrumen HAM itu dapat digunakan untuk implementasi atau memperkuat kebijakan KTR, strategi komunikasi yang efektif, termasuk peringatan kesehatan yang lebih kuat dalam kemasan bungkus rokok, dan penyertaan atau integrasi layanan berhenti merokok, termasuk konseling dan penyediaan pengobatan untuk berhenti merokok di dalam rencana kesehatan yang ditanggung negara. Selain itu, instrumen HAM juga dapat

Page 9: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

7

digunakan sebagai alat advokasi kebijakan pengendalian tembakau yang berfokus pada populasi khusus, termasuk penyandang disabilitas, pekerja migran, kelompok etnis atau ras minoritas, perempuan, dan anak-anak.

Langkah aksesi FCTC dalam isu pengendalian tembakau merupakan bagian penting dalam pemenuhan hak atas kesehatan. Langkah ini sejatinya sudah diserukan Komite Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) yang bersidang pada Pertemuan ke-40, 23 Mei 2014 (E/C.12/IDN/CO/1).

Komite Ekosob merilis sejumlah rekomendasi kepada pemerintah Indonesia pada 19 Juni 2014, antara lain: (1) Pemerintah Indonesia harus melakukan pencegahan atas resiko kesehatan yang serius terkait rokok, utamanya remaja dan anak; (2) memberlakukan peraturan antitembakau yang mencakup larangan merokok di ruangan dalam gedung; (3) memperkuat larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok; (4) menerapkan pendekatan berbasis HAM atas penggunaan tembakau, memberikan layanan kesehatan yang layak, rehabilitasi, dan dukungan layanan psikologis bagi pecandu rokok.

Secara umum, Komite Ekosob mendorong Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi FCTC. Sebagai negara pihak pada KIHESB, Pemerintah Indonesia seharusnya mulai merumuskan dan mengambil langkah-langkah untuk menjalankan rekomendasi Komite Ekosob tersebut.

E. Prinsip-Prinsip UNGP bagi Industri

Perhatian komunitas internasional atas dampak buruk operasi dan kebijakan perusahaan terhadap HAM mengemuka pada 1995 ketika terjadi insiden di Nigeria yang melibatkan Royal Dutch Shell.1 Sejak itu, lembaga-lembaga internasional mulai meletakkan isu bisnis dan HAM dalam agenda mereka dan meningkatkan tekanan mereka terhadap tanggung jawab perusahaan atas dampak negatif terhadap penikmatan HAM.2

Inisiatif-inisiatif baru lahir pada akhir 1990-an dan awal 2000-an untuk meminimalisasi dampak operasi perusahaan terhadap HAM. Salah satu dokumen penting yang mengatur hal ini adalah UN Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United Nations “Protect, Respect and Remedy” Framework (UNGP). Dokumen ini dikeluarkan pada 2011 oleh Utusan Khusus PBB untuk Bisnis dan HAM, John Ruggie.

UNGP berbasis pada 3 pilar, yaitu

1 Perusahaan multinasional yang bergerak di sektor minyak ini dinilai terlibat dalam eksekusi terhadap

Ken Saro-Wiwa, sastrawan dan aktivis lingkungan yang mengritik keras operasi Shell di Delta Sungai Niger, karena dianggap mencemari lingkungan. Shell akhirnya membayar kompensasi kepada korban belasan tahun kemudian. Lihat http://www.dw.de/shell-bayar-kompensasi-korban-ham/a-4313775, diunduh pada 17 Desember 2012. 2 Insiden Shell di Nigeria menjadi momentum bagi komunitas internasional untuk mendiskusikan

dampak-dampak HAM yang ditimbulkan oleh operasi perusahaan. Lihat Florian Wettstein, 2009, Multinational Corporations and Global Justice: Human Rights of a Quasi-Governmental Institution, Stanford University Press, California

Page 10: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

8

(1) Tanggung jawab negara untuk melindungi HAM dari pelanggaran oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan, melalui kebijakan, pengaturan, dan keputusan yang layak;

(2) Tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM melalui aksi sungguh-sungguh untuk mengidentifikasi, mencegah, dan/atau menyelesaikan dampak operasi perusahaan terhadap HAM. Untuk itu, perusahaan diharuskan memiliki kebijakan yang mengintegrasikan prinsip-prinsip penghormatan HAM dalam seluruh proses, fungsi, dan kebijakan internal;

(3) Akses yang luas bagi warga korban pelanggaran HAM untuk memperoleh skema pemulihan efektif, baik secara yudisial maupun nonyudisial. Mekanisme pengaduan yang efektif di perusahaan wajib disediakan sebagai mekanisme untuk menghormati HAM. Selain itu, negara juga harus melakukan langkah dalam yusrisdiksi mereka untuk memastikan korban memiliki akses untuk pemulihan efektif melalui cara yudisial, administratif, legislatif, atau cara lainnya.3

Meskipun bukan norma yang mengikat secara hukum,

UNGP diharapkan menjadi pedoman bagi negara dan perusahaan untuk menjalin sinergi dalam usaha menghormati, melindungi, dan memulihkan HAM.

Seperti juga industri ekstraktif yang menimbulkan dampak buruk bagi penikmatan HAM, industri rokok pun demikian. Industri rokok dipandang melahirkan dampak buruk terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), utamanya hak-hak kelompok rentan (anak, perempuan, pekerja, petani) dan hak atas kesehatan. Oleh karena itu, intervensi negara untuk mengatur industri rokok agar selaras-sejalan dengan prinsip-prinsip UNGP menjadi agenda yang mendesak.

Pada bagian lain, perhatian yang sama juga telah mendorong UNICEF, the UN Global Compact (UNGC), dan Save the Children untuk mengeluarkan dokumen the Children’s Rights and Business Principles pada 24 Juni 2010 di London. Dokumen ini berisikan prinsip-prinsip pedoman bagi perusahaan untuk menghormati dan mendukung hak-hak anak dalam rentang kendali perusahaan. Prinsip-prinsip itu antara lain perusahaan harus berkontribusi bagi pengurangan buruh anak dalam semua aktivitas dan hubungan bisnis serta menggunakan pemasaran dan iklan yang menghormati dan mendukung hak-hak anak.

F. Korupsi dan HAM

Indonesia menghadapi tantangan serius terkait meruyaknya korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini kemudian berimbas pada upaya mewujudkan substansi demokrasi, termasuk upaya perlindungan dan pemenuhan HAM.

3 Ruggie, John, 2011, “Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United

Nations “Protect, Respect and Remedy” Framework” (United Nations: New York). Document reference A/HRC/17/31.

Page 11: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

9

Praktek korupsi di Indonesia, untuk sebagian besar, terjadi dalam relasi kuasa antara penguasa dan pengusaha. Praktik korupsi mengakibatkan berkurangnya anggaran negara, termasuk anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk program-program kesejahteraan rakyat seperti kesehatan. Di titik inilah pertautan korupsi dan HAM terjadi. Dalam bentuknya yang paling brutal, praktik korupsi merupakan bentuk pelanggaran HAM yang serius.

Utusan Khusus PBB untuk Bisnis dan HAM menyebutkan bahwa praktik korupsi perusahaan multinasional merupakan pelanggaran HAM. Salah satu prinsip dalam UNGC juga menyerukan prinsip antikorupsi bagi sector bisnis. Dalam dokumen UNGC, disebutkan, “Business should work against corruption in all its forms, including extortion, and bribery” (UN.Doc. E/CN.4/2006/97, para 25—27).

Komentar Umum KIHESB juga mencatat kewajiban negara dalam pemenuhan hak atas kesehatan adalah memastikan pengadaan barang dan jasa dalam penyediaan fasilitas kesehatan harus terbebas dari unsur korupsi, mengingat, korupsi pada sector kesehatan, dapat berakibat langsung pada kematian.

III. Eksistensi Industri Rokok di Indonesia

Bagian ini menggambarkan eksistensi industri rokok, mulai dari pertumbuhan, bahaya, dan kapasitas industri mempengaruhi kebijakan yang merugikan regulasi mengenai tembakau.

A. Pertumbuhan Industri Rokok

Data Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan jumlah produksi rokok pada 2013 meningkat menjadi 332 miliar batang rokok. Angka ini naik 10,35% dari produksi pada 2012 yang tercatat sebesar 301 miliar batang rokok. Produksi rokok tersebut terbagi menjadi 3 jenis rokok, yaitu, rokok jenis SKM (Sigaret Kretek Mesin), jenis SKT (Sigaret Kretek Tangan), dan jenis SPM (Sigaret Putih Mesin).

Pangsa pasar rokok di Indonesia, didominasi oleh tiga perusahaan besar, yaitu Philip Morris International (PMI)—HM Sampoerna Tbk, Gudang Garam dan Djarum. Ketiga perusahaan ini meraup 65 persen pangsa pasar pada 2009. Pangsa pasar yang dipegang tiga besar ini, masing-masing adalah 29 persen oleh HM Sampoerna, disusul Gudang Garam dengan 21,1 persen, dan Djarum dengan 19,4 persen. BAT dan Bentoel menguasai 8%. Angka-angka ini menunjukkan bahwa 37% pasar rokok Indonesia dikuasai oleh industri asing (Philip Morris dan BAT).

Sementara itu, data Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menjelaskan bahwa pada 2011 jumlah impor tembakau Indonesia mencapai 64,8 juta kilogram atau senilai US$ 376,3 juta. Jumlah ini terus meningkat tajam pada 2012 yang sebanyak 104,4 juta kg atau senilai US$ 503,2 juta dan 2012 sebanyak 133,8 juta kg atau senilai US$ 665,5 juta. Angka-angka

Page 12: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

10

ini menunjukkan bahwa import terhadap daun tembakau lebih besar dari pada ekspor produk tembakau.

Hasil penelitian Balitbangkes pada 2010 menunjukkan bahwa jika dikalkulasikan kehilangan secara makro ekonomi akibat konsumsi rokok tahun 2010 sebesar 245,41 triliun rupiah (28,52 miliar USD) yang lebih tinggi daripada pendapatan cukai yang diperoleh oleh Pemerintah yaitu sebesar 55 triliun rupiah (6,16 miliar USD).

B. Rokok sebagai Bahaya Epidemi

Rokok adalah produk olahan tembakau yang bersifat adiktif dan mengandung 7.000 bahan kimia, 70 di antaranya bersifat karsinogenik. Sifat adiktif dari nikotin dalam rokok berasal dari tanaman tembakau nicotiana tabacum dan nicotiana rustica. Produk rokok yang mengandung zat adiktif juga membawa serta ribuan zat kimia berbahaya yang dalam penggunaan jangka panjang merusak organ tubuh penggunanya.

Dalam United Nations Summit on Non-Communicable Disease, New York 19—20 September 2011 ditegaskan bahwa konsumsi tembakau, di samping konsumsi alkohol, diet yang buruk (poor dietary) dan kekurangan kegiatan fisik (physical inactivities), merupakan empat faktor resiko utama bagi meningkatnya empat penyakit tidak menular utama yang semakin mengancam kehidupan manusia secara global.

Pada abad ke-20 ini diperkirakan bahwa produk tembakau dapat menyumbangkan kematian sebesar 100 juta kematian secara global dan apabila tidak diambil tindakan atau intervensi maka pada abad 21 diperkirakan mencapai 1 milyar kematian (Peto & Lopez, 2001). Produk tembakau merupakan penyebab sekitar 2.41 juta kematian di negara berkembang pada 2000 (Majid & Alan D, 2003). Angka ini menunjukkan terjadinya peningkatan kematian lebih dari satu juta dibandingkan kematian yang terjadi pada 1990.

Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok tertinggi di dunia, setelah Cina dan India, dengan prevalensi perokok yaitu 36,1% (Global Adult Tobacco Survey—GATS 2011). Dengan tingkat produksi rokok yang mencapai 302,5 miliar batang pada 2012 (Sampoerna, 2012) dan perkiraan jumlah penduduk mencapai 259 juta jiwa (kemdagri, 2011), maka di Indonesia terdapat 1.166 batang rokok di setiap mulut orang Indonesia, termasuk bayi yang baru lahir. Angka-angka ini sangat mengkhawatirkan bagi perlindungan kesehatan publik.

C. Relasi Kuasa Negara dan Industri Rokok

Berdasarkan Pasal 20 UUD 1945, kekuasaan untuk membentuk UU berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setiap Rancangan UU (RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Pada kenyataannya, pembentukan UU sangat dipengaruhi oleh tarik-menarik aspirasi para pemangku kepentingan. Proses

Page 13: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

11

legislasi di DPR sejatinya harus berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel dengan memperhitungkan aspirasi publik.

Kondisi ideal demikian tidak selalu terjadi. Salah satu contoh adalah hilangnya ayat “tembakau” ketika pembahasan RUU Kesehatan (Kompas, 14 Oktober 2009). Contoh lain adalah lolosnya RUU Pertembakauan dalam Program legislasi nasional (Prolegnas) 2013. RUU ini diusulkan Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), yang salah satu pendirinya adalah Sampoerna. Diduga kuat RUU ini merupakan aspirasi yang datang dari industri rokok.

Tarik-menarik kepentingan soal ini sebetulnya terjadi sejak 2009 ketika masuk usulan RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan (PDPTK). RUU ini lebih mencerminkan kepentingan pengendalian tembakau. Namun nasib RUU ini tidak jelas. Belakangan muncul usulan RUU Perlindungan Kesehatan Masyarakat yang merupakan penyempurnaan dari RUU PDPTK, namun gagal masuk Prolegnas 2013 (Kompas, 13 Desember 2012). Tiba-tiba RUU Pertembakauan yang dinilai mewakili kepentingan industri rokok masuk Prolegnas 2013.

Dalam pembahasan RUU Pertembakauan, terdapat situasi tidak lazim, misalnya kemunculannya yang tiba-tiba tanpa diketahui pengusulnya. Dengan alasan untuk melindungi petani tembakau, RUU ini dibahas. Padahal UU untuk perlindungan dan petani sudah diatur dalam UU No. 19 tahun 2013.

Peluang manipulasi, kolusi, suap, dan korupsi dalam setiap pembahasan RUU di DPR sangat terbuka. Situasi serupa bisa terjadi dalam pembahasan regulasi di bidang tembakau. Meski hal ini sulit dibuktikan secara hukum, namun pemerintah seharusnya memberi perhatian serius atas fenomena ini, karena terkait kemaslahatan publik.

IV. Memperkuat Komitmen Pemerintah Melindungi Publik

Pertumbuhan produksi dan konsumsi rokok di Indonesia sudah pada tingkat mengkhawatirkan. Jika kondisi ini dibiarkan oleh pemerintahan baru, maka kepentingan kesehatan publik dan HAM akan terganggu. Salah satu jalan yang harus ditempuh adalah mengefektifkan peran pemerintah dalam melindungi publik sekaligus mengendalikan industri rokok melalui langkah-langkah yang sesuai dengan kewenangannya.

A. Dampak Industri Rokok terhadap HAM

Peningkatan jumlah pecandu rokok sejalan dengan pertumbuhan industri rokok. Perhatian pada situasi ini seringkali mengabaikan fokus kita pada dampak yang ditimbulkan industri rokok terhadap HAM. Uraian berikut menggambarkan kelompok-kelompok rentan atas dampak rokok, seperti petani, anak, perempuan, dan buruh.

Dampak terhadap Hak Petani

Harga tembakau mengalami fluktuasi akibat pasar tembakau yang bersifat oligopsoni. Situasi ini menurunkan posisi

Page 14: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

12

tawar para petani.4 Mereka tidak memiliki akses langsung ke pabrik, sehingga proses jual-beli dilakukan melalui perantara (bandol/tengkulak/tauke/pedagang besar).5

Petani juga sering dicurangi, misalnya proses timbangan atau penentuan grade kualitas daun tembakau. Hal ini terjadi karena tiadanya regulasi dalam penentuan kualitas produk. Meskipun kebutuhan tembakau terus meningkat, petani tak kunjung untung. Apalagi kini mereka harus bersaing dengan tembakau impor yang dianggap lebih berkualitas dan murah.6 Kondisi ini telah menempatkan petani sebagai kelompok rentan dalam tata niaga tembakau. Dampak terhadap Hak Anak

Industri rokok mengurangi penikmatan hak-hak anak atas lingkungan yang sehat bagi perkembangannya. Di Indonesia, para perokok menjadi pecandu bahkan sejak mereka berusia remaja. Menurut sebuah data, sebanyak 70 % perokok mulai merokok sebelum usianya mencapai 19 tahun (Susenas 2004). Data Susenas (2001, 2004) dan Riskesdas (2007, 2010) memberikan gambaran tren perokok pemula remaja usia 10—14 naik hampir 2x lipat dalam waktu kurang dari 10 tahun (2001 sebesar 9,5% menjadi 17,5% pada 2010.

Angka ini tentu menggiurkan industri rokok. Mereka menjadikan anak-anak usia remaja sebagai target pasar potensial. Melalui iklan, promosi, dan strategi marketing lainnya, industri rokok menyasar segmen anak-anak usia remaja.

Gangguan atas hak anak juga terjadi karena tiadanya regulasi yang tegas mengenai KTR, termasuk di dalam rumah. Para perokok di Indonesia bebas merokok di dalam rumah. Tentu hal ini mempengaruhi kesehatan penghuni rumah, termasuk anak-anak. Sebuah data menunjukkan bahwa anak usia 0—4 tahun merupakan kelompok paling rentan terpapar asap rokok. Disebutkan bahwa sebesar 81% anak Indonesia terpapar asap rokok di tempat umum dan 65% terpapar asap rokok di dalam rumah (IGYTS 2009).

Selain itu, dampak kepulan asap rokok orang lain terhadap anak sangat buruk. Bagi ibu hamil, kepulan asap rokok berdampak pada peningkatan sesak nafas yang dialami oleh anak penderita asma (British Medical Association—BMA, 2004).

Pengeluaran atas belanja rokok akan sangat berpengaruh pada pola pengeluaran rumah tangga dengan penghasilan rendah. Dengan kata lain, pengeluaran untuk rokok akan mengurangi pengeluaran untuk sektor lain yang jauh lebih vital bagi keluarga, seperti kesehatan, pendidikan, makanan bergizi, dan kebutuhan penting lainnya, bagi tumbuh-kembang anak.

4 Presentasi Menteri Pertanian RI, “Upaya Perlindungan Petani Tembakau Indonesia”, Disampaikan

pada Seminar Nasional Pertanian Tembakau: Memetakan Masalah dan Solusi Bagi Kesejahteraan Petani Tembakau Universitas Muhammadiyah, Jakarta, 8 Januari 2014 5 Presentasi Ahmad Jayadi, Rumah Gemilang Indonesia, Sengsara di Timur Jawa

6 Presentasi Menteri Pertanian RI

Page 15: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

13

Dampak terhadap Hak Perempuan

Kepulan asap rokok orang lain menjadi masalah di Indonesia. Sebuah data (Riskesdas 2010) menunjukkan bahwa perokok pasif di Indonesia mencapai 92 juta orang, yang terdiri dari 62 juta orang perempuan dan 30 juta orang laki-laki. Di sini perempuan menjadi kelompok rentan akibat kepulan asap rokok.

Selain itu, dampak asap rokok sangat terasa bagi perempuan hamil. Berbagai penelitian membuktikan bahwa ibu perokok aktif yang hamil dan/atau ibu yang terpapar asap rokok selama kehamilan, merupakan penyebab utama terjadinya bayi dengan berat badan lahir rendah, keguguran spontan, menderita cacat bawaan, perkembangan otak terganggu, lahir mati dan komplikasi pada saat melahirkan (IARC, 2004). Data ini menunjukkan bahwa pandemi rokok mengancam hak reproduksi perempuan. Dampak terhadap Hak-hak Buruh

Pelanggaran hak-hak buruh bukan hal yang baru di Indonesia. Data yang dikeluarkan Komite Kebebasan untuk Berserikat (KKUB) memperlihatkan sedikitnya 49 jenis pelanggaran hak-hak buruh, mulai dari mutasi pengurus serikat, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pemberian sanksi akibat menjalankan kegiatan berserikat, dan kriminalisasi terhadap pengurus serikat.

Hal yang sama terjadi juga pada industri rokok. PT HM Sampoerna menutup dua dari tujuh pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 4.900 karyawannya pada 31 Mei 2014 (Kompas, 16 Mei 2014) PT Bentoel Internasional Investama Tbk juga menawarkan program berhenti kerja secara sukarela kepada 1.000 dari 8.000 karyawan yang ada sejak 8—10 September 2014 (Inilah.com, 9 September 2014).

PHK ini dilakukan demi efisiensi, mekanisasi, dan rasionalisasi perusahaan yang mengalihkan industri dari padat karya ke padat teknologi. Situasi ini sangat berpengaruh pada penikmatan hak-hak buruh. PHK sepihak/sewenang-wenang, absennya kebebasan berserikat, pemberlakukan pekerja outsourcing dan pekerja anak, keselamatan kerja, kontrak kerja, mogok kerja, serta jaminan sosial bagi pekerja menjadi situasi yang membuat penikmatan hak-hak buruh di industri rokok masih jauh panggang dari api.

Di sisi ain, sejak 2000—2011, rata-rata upah nominal pekerja industri rokok selalu lebih rendah dari rata-rata upah pekerja industri lainnya. Rata-rata upah nominal perbulan pekerja industri rokok selalu lebih rendah, misalnya dibandingkan dengan upah pekerja di industri makanan. Rata-rata upah nominal bulanan pekerja di industri rokok adalah Rp 615,7 ribu, sedangkan di industri makanan Rp 751,6 ribu dan di seluruh industri Rp 901 ribu.

Page 16: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

14

B. Aspirasi Publik untuk Aksesi FCTC FCTC bukanlah hal baru bagi pemerintah Indonesia.

Dalam kurun 1996—2003 Delegasi Pemerintah Indonesia menjadi salah satu peserta aktif yang terlibat dalam panitia perumusan naskah (drafting committee) dari FCTC. Ironisnya, ketika FCTC disahkan pada 2003 dan didorong menjadi hukum internasional, Pemerintah Indonesia tidak menandatanganinya. Bahkan ketika FCTC menjadi hukum internasional pada 2005, pemerintah tidak meratifikasi FCTC. Peluang yang mungkin dilakukan Pemerintah Indonesia adalah melakukan aksesi.

Upaya aksesi FCTC berulang kali dilakukan. Pada 2011 Menteri Kesehatan mengajukan permohonan pembahasan aksesi FCTC kepada Presiden. Namun presiden tidak merespon. Pada 2013, Menteri Kesehatan kembali mengajukan permohonan untuk aksesi FCTC dalam rapat kabinet. Namun upaya ini kembali gagal.

Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peta Jalan Pengendalian Tembakau Indonesia. Peta jalan ini dijadikan rujukan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 40 Tahun 2013. Di dalam dokumen tersebut, tercantum beberapa target, antara lain aksesi FCTC dan penurunan prevalensi perokok.

Di luar pemerintah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengajukan Naskah Akademis untuk aksesi FCTC ke DPR. Namun upaya ini pun tidak mendapatkan respon positif dari DPR. Agenda aksesi FCTC juga menuai dukungan luas dari berbagai lembaga masyarakat sipil, baik lembaga yang fokus pada isu kesehatan, HAM (hak anak, hak perempuan, hak atas kesehatan), lembaga keagamaan, maupun mahasiswa.

C. Arus Balik dalam RUU Pertembakauan

Baru-baru ini DPR RI tengah membahas RUU Pertembakauan. Kemunculan RUU ini memicu perdebatan panjang, karena RUU ini muncul secara tiba-tiba dan masuk ke dalam Prolegnas 2014. Kehadiran RUU ini merupakan arus balik atas aspirasi publik dalam pengendalian tembakau dan aksesi FCTC. RUU ini bahkan lebih mencerminkan aspirasi industri rokok ketimbang kepentingan perlindungan kesehatan publik.

Salah satu isu yang mengemuka dalam RUU Pertembakauan adalah tidak adanya penjelasan tentang pemisahan tempat khusus merokok dan tempat bebas dari asap rokok. Tentu hal ini akan berdampak pada kesehatan perokok pasif, yang mayoritas adalah perempuan dan anak-anak (Kompas, 28 Juni 2013).

A. Aksesi FCTC dan Visi Pemerintahan Baru Jokowi-JK

Harapan akan kembalinya komitmen pemerintah untuk mengaksesi FCTC dalam rangka melindungi HAM kelompok rentan dan kesehatan publik kini bersandar sepenuhnya pada pemerintahan baru di bawah pimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Harapan itu bukan tanpa alasan jika kita mempelajari visi-misi Jokowi-JK ketika kampanye Pemilihan

Page 17: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

15

Presiden (Pilpres). Pasangan Jokowi-JK menorehkan visi dan misi yang kaya perspektif, khususnya menyangkut isu kesehatan.

Pasangan Jokowi-JK menyampaikan pokok-pokok pemikiran dalam dokumen yang berjudul “Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian”. Beberapa poin penting dalam dokumen ini yang relevan dengan semangat aksesi FCTC, pengendalian tembakau, perlindungan HAM kelompok rentan, dan kesehatan publik. Berikut poin-poin tersebut: 1. Uraian tentang tiga masalah pokok bangsa, salah satunya

“kelemahan sendi perekonomian bangsa”. Pada bagian ini ditulis, "Harapan akan penguatan sendi-sendi ekonomi bangsa menjadi semakin jauh ketika negara tidak kuasa memberi jaminan kesehatan dan kualitas hidup yang layak bagi warganya (hal 1)

2. Bagian Visi “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Pada bagian Kemandirian, ditulis “Kemajuan bangsa ditandai dengan sumber daya manusia yang memiliki kepribadian bangsa, berakhlak mulia, dan memiliki tingkat pendidikan, produktivitas, dan harapan hidup yang tinggi (hal 5).

3. Pada bagian “Sembilan Agenda Prioritas” (NAWA CITA) terdapat Agenda Prioritas Nomor 5, yaitu “meningkatkan kualitas hidup manusia indonesia dengan peningkatan layanan kesehatan”.

4. Pada bagian “Berdaulat dalam Bidang Politik”, terdapat aspek-aspek kehidupan bernegara, nomor 11 tertulis “Komitmen mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang berkeadilan”, terdapat 42 prioritas utama, dua di antaranya adalah: � Komitmen untuk menghapus regulasi yang berpotensi

melanggar HAM kelompok rentan, termasuk perempuan, anak, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas (bagian aa, hal 27);

� Jaminan pemenuhan hak atas kesehatan ... melalui regulasi yang berpihak pada kepentingan publik (bagian dd, hal 27).

5. Pada bagian “Berkepribadian dalam bidang kebudayaan” tertulis pada nomor 3, yaitu “Kami akan membangun jiwa bangsa melalui pemberdayaan pemuda dan olahraga”. Pada bagian ini terdapat 10 prioritas utama, salah satunya adalah komitmen akan melindungi segenap genarasi muda dari bahaya penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif (NAPZA), minuman keras, HIV/AIDS, dan penyakit menular di kalangan pemuda (hal 41).

V. Simpulan dan Rekomendasi Bagian ini merupakan simpulan atas berbagai penjelasan di atas dan sejumlah rekomendasi juga disampaikan kepada pemerintahan baru yang memiliki visi baru yang mumpuni.

Page 18: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

16

A. Simpulan Dari uraian di atas, maka the Indonesian NGO Coalition for

Tobacco Control menyimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Produksi dan konsumsi rokok di Indonesia sudah sangat

mengkhawatirkan dan bisa disebut sebagai kondisi darurat tembakau yang, dalam jangka panjang, akan membahayakan kesehatan publik dan regenerasi bangsa;

2. Pemerintah tidak melakukan tindakan efektif bahkan cenderung melakukan pembiaran atas kondisi darurat tembakau dengan menunda-nunda aksesi FCTC dan langkah-langkah strategis lain dalam pengendalian tembakau. Padahal langkah aksesi FCTC sudah direkomendasikan oleh badan perjanjian HAM internasional (Komite Ekosob) kepada pemerintah Indonesia;

3. Pemerintah baru di bawah Jokowi-JK memiliki komitmen yang tinggi terhadap isu-isu kesehatan, perlindungan HAM kelompok rentan, serta perlindungan anak remaja dari bahaya NAPZA.

4. Kebijakan, operasi, dan produk industri tembakau menimbulkan dampak buruk bagi penikmatan HAM kelompok rentan. Operasi bisnis industri tembakau belum sejalan dengan Prinsip-prinsip Pedoman PBB mengenai bisnis dan HAM (UNGP).

B. Rekomendasi

Mempertimbangkan simpulan di atas dan visi-misi pemerintahan baru di bawah Jokowi-JK yang sejalan dengan semangat pengendalian tembakau dan perlindungan HAM kelompok rentan, maka the Indonesian NGO Coalition for Tobacco Control (ICTC) merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut: 1. ICTC merekomendasikan pemerintah baru untuk mengambil

langkah-langkah strategis dan segera dalam upaya pengendalian tembakau demi melindungi HAM kelompok rentan dan kesehatan publik, termasuk mencegah regulasi baru yang hanya akan melindungi industri tembakau daripada publik.

2. ICTC merekomendasikan pemerintah baru untuk berperan aktif dalam melakukan aksesi FCTC. Selain bagian dari upaya pengendalian tembakau, mengaksesi FCTC juga merupakan bentuk ketaatan pemerintah baru terhadap badan perjanjian internasional (Komite Ekosob) yang merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk mengaksesi FCTC.

3. ICTC merekomendasikan Pemerintah baru untuk segera melaksanakan visi dan misi yang dijanjikan pada kampanye Pilpres, khususnya visi dan misi yang terkait dengan isu kesehatan, perlindungan HAM kelompok rentan, serta perlindungan anak remaja dari bahaya NAPZA.

4. ICTC merekomendasikan kepada industri rokok untuk mengurangi semaksimal mungkin dampak kebijakan, operasi, dan produk mereka terhadap penikmatan HAM kelompok rentan. ICTC juga menyerukan industri rokok untuk segera menerapkan Prinsip-prinsip Pedoman PBB mengenai bisnis dan HAM (UNGP) dalam kebijakan dan operasinya.

Page 19: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

DAFTAR PUSTAKA Majid, E., & Alan D, L. 2003. “Estimates of global mortality attributable to smoking in

2000”. The Lancet, 362 9387, 847-852. Hanjaya Mandala Sampoerna. 2009. Investing for the future: 2008 annual report.

Jakarta: Sampoerna Hanjaya Mandala Sampoerna. 2012. Laporan Tahunan HM Sampoerna 2012 IARC . 2004. IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Human:

Tobacco Smoke and Involuntary Smoking Vol 83. International Agency for Research on Cancer. Lyon, France: World Health Organization.

IARC. 2002. Monographs -Involuntary smoke Volume 83. Kosen, S. 2009. Beban biaya kesehatan penyakit akibat rokok. National Institute of

Health Research Development, Kementrian Kesehatan. Puslitbang Kemenkes RI.

Nichter, M. Et al. “Reading culture from tobacco advertisements in Indonesia”. Tobacco Control 2009 Apr;182:98-107., 2, 98-107.

Oxford Business Group. 2009. Tobacco producers roll with the times. Emerging Markets Economic Briefings . Retrieved Juli 21, 2009

Florian Wettstein. 2009. Multinational Corporations and Global Justice: Human Rights of a Quasi-Governmental Institution, Stanford University Press, California

Global Smoke Free Partnership. 2009. Global Smoke Free Partnership. Retrieved May 16, 2011, from Global Voices Status Report 2009 Rebutting Tobacco Industry

Indonesia Institute for Social Development 2013, Jajak Pendapat Dukungan Masyarakat Terhadap Kebijakan Pengendalian Tembakau dan Aksesi FCTC.

Peto, R., & Lopez, A. 2001. Critical issues in global health. New York: NY: Jossey-Bass.

Spires M, Rutkow L, Feldhaus I, Cohen JE. The MPOWER framework and international human rights treaties: An opportunity to promote global tobacco control. Public Health. 2014; 1287:665-667

Shafey, O., Eriksen, M., Ross, H., & Mackay, J. 2009. The Tobacco Atlas, 3rd Edition. Atlanta, Georgia, USA: American Cancer Society.

Tobacco Control Support Center. 2012. Bunga Rampai Fakta Tembakau dan Permasalahannya di Indonesia

U.S. Department of Health and Human Services. 2010. How Tobacco Smoke Causes Disease: The Biology and Behavioral Basis for Smoking-Attributable Disease: A Report of the Surgeon General, Atlanta: GA: U.S

Dokumen dan Laporan UN. Doc. E/CN.4/2006/97, para 25-27 A/FCTC/INB1/PL/SR/5, 18 Oktober 2000; A/FCTC/INB1/PL/SR/6, 18 Oktober 2000. A/FCTC/INB2/PL/SR/1, 13 Juni 2001. BPS. 1995. Susenas BPS. 2004. Susenas BPS. 2006. Susenas . BPS. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta: BPS

Page 20: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

Departemen Pertanian. Statistik Pertanian,Badan Pusat Statistik 2002. Statistik Ekspor Impor 2001; Catatan: SITC Standard, International Trade Classification

Departemen Kesehatan RI. 2004. Data tembakau Indonesia data empiris untuk strategi pengendalian tembakau nasional. (Jakarta: Departemen Kesehatan)

Departemen Perindustrian RI, 2009, Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Roadmap Industri Pengolahan Tembakau

Hanjaya Mandala Sampoerna. 2012. Laporan Tahunan HM Sampoerna 2012 Kemenkes RI, RISKESDAS 2007 Kemenkes RI, RISKESDAS 2010 Masukan Publik Terhadap Pembahasan RUU Penyiaran tentang Pelarangan Iklan

dan Promosi Rokok Dalam RUU Penyiaran Sebagai Bentuk Perlindungan Anak Dari Zat Adiktif Rokok, Lentera Anak Indonesia: 2013

Masukan Kepada BAPENAS tentang Perlindungan Anak dari Zat Adiktif, Lentera Anak Indonesia: 2014

Presentasi Menteri Pertanian RI, “Upaya Perlindungan Petani Tembakau Indonesia”, Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanian Tembakau: Memetakan Masalah danSolusi Bagi Kesejahteraan Petani TembakauUniversitas Muhammadiyah, Jakarta, 8 Januari 2014

Presentasi Ahmad Jayadi, Rumah Gemilang Indonesia, Sengsara di Timur JawaDisampaikan pada Seminar Nasional Pertanian Tembakau: Memetakan Masalah danSolusi Bagi Kesejahteraan Petani TembakauUniversitas Muhammadiyah, Jakarta, 8 Januari 2014

Reynolds RJ. 1984. Perokok Remaja: Strategi dan Peluang,” Tobacco Company Memo Internal, 29 Februari 1984

Pointers from a hearing of Commission VI of the People's Representative Assembly of the Republic of Indonesia with GAPPRI and APTI. 2009

Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar 1945. Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang no. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang no. 27 tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Republik Indonesia. 2002. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang

Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktiff Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah. Ruggie, John. 2011. “Guiding Principles on Business and Human Rights:

Implementing the United Nations “Protect, Respect and Remedy” Framework” United Nations: New York. Document reference A/HRC/17/31.

Page 21: Tinjauan Analitis terhadap Peran Pemerintah dalam Isu Pengendalian Tembakau

WHO. 2008. WHO Report on The Global Tobacco Epidemi . WHO. 2008. WHO Report on the global tobacco epidemic, 2008: The MPOWER

package. WHO, Geneva. WHO. 2008. WHO Report on the global tobacco epidemic, 2008: The MPOWER

package. WHO, Geneva. WHO. 2005. Framework Convention on Tobacco Control. WHO. 2011, April 28-29. Global Status Report on Noncommunicable Disease 2010. Website http://dds.bps.go.id/65tahun/sp2010_agregat_data_perProvinsi.pdf http://www.bma.org.uk/images/smoking_tcm4121289.pdf http://bisnis.liputan6.com/read/603799/ri-produksi-332-miliar-batang-rokok-tahun-ini Ghosh A, Moestafa B. 2009. BAT to buy Indonesian clove-cigarette maker for $494

million. Bloomber.com; June 17 [cited 2010 April 5]; Available from: http://www.bloomberg.com/apps/news?pid=20601102&sid=ak8oj3i4n3c8

Global Adult Tobacco Survey GATS 2011 http://www.dw.de/shell-bayar-kompensasi-korban-ham/a-4313775, diunduh pada 17

Desember 2012. Hanjaya Mandala Sampoerna. 2009. Investing for the future: 2008 annual report.

Jakarta: Sampoerna Available from: http://www.sampoerna.com/default.asp?language=English&page=Investor.

SEARO WHO. 2009. Indonesia Ages 13-15 Global Youth Tobacco Survey GYTS Fact Sheet. Retrieved November 26, 2010, from SEARO WHO: http://www.searo.who.int/LinkFiles/GYTS_IndonesiaFactsheet2009.pdf

SEARO WHO. 2009. Indonesia Ages 13-15 Global Youth Tobacco Survey GYTS Fact Sheet. Retrieved November 26, 2010, from SEARO WHO: http://www.searo.who.int/LinkFiles/GYTS_IndonesiaFactsheet2009.pdf

The Lancet NCD Action Group and The NCD Alliance . 2011, April 6. Health Policy : Priority action for the non communicable disease crisis. Retrieved July 30, 2011, from OECD: http://www.oecd.org/dataoecd/15/9/47531330.pdf