tiga hari terakhir bersama rodrigo gularte - christina w

11
Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte oleh Christina W Pertemuan pertamaku dengan Rodrigo Gularte, warga negara Brasil di Lapas Pasir Putih, Nusakambangan terjadi pada pertengahan bulan Februari 2009, ketika aku mengikuti pelayanan Romo Carolus, O.M.I. di Lapas itu. Saat kami saling memperkenalkan diri, Rodrigo sangat sopan, sederhana, dan terlihat yang paling muda diantara narapidana lainnya dalam ruang Kapel - tempat beribadat bagi narapidana Katolik dan Kristen – di lingkungan Lapas Pasir Putih tersebut. Pada bulan-bulan berikutnya, pada keikutsertaan saya dalam pelayanan Rm. Carolus, O.M.I. - setiap hari Rabu minggu ketiga - makin terbiasa saya melihat ketidaknormalan pada diri Rodrigo. Sering sekali saya melihat dia berbicara sendiri dengan tembok di sebelah kiri ataupun kanannya, baik sebelum maupun setelah Misa terlaksana dalam Kapel itu. Ketika saya sapa, Rodrigo sangat komunikatif, sopan, dan sangat murah senyum kepada siapapun. Setiap kali setelah saya selesai berkomunikasi dengan dia dan kemudian melihat dia berbicara sendiri, saya selalu berdoa untuk dia, “Tuhan kasihanilah dia dan jagalah dia selalu dalam Lapas Pasir Putih ini, karena dia sangat menderita dengan kondisinya itu. Amin”. Perkenalan saya dengan Rodrigo akhirnya membuat saya juga berkenalan dengan keluarganya, yaitu dengan ibu serta kakak perempuannya, Adriana, ketika mereka sedang berkunjung ke Lapas Pasir Putih. Kami sempat berfoto bersama di dalam Kapel, tentu dengan seijin Petugas Lapas Pasir Putih, karena sedang ada acara bersama ketika itu.

Upload: lbh-masyarakat

Post on 22-Jul-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Ketika saya sedang berusaha menguatkan perasaan saya dari rasa bersalah, karena saya tidak akan pernah bisa meloloskan dia dari pelaksanaan eksekusi 3 hari kemudian, seorang eksekutor yang berkacamata menyampaikan, “Bu Christina, tolong besok dijelaskan sekali lagi pada Rodrigo, ya, supaya dia bisa menerimanya dan ibu harus bisa menyampaikan kepada kami, apa 4 permintaan terakhir Rodrigo, karena dalam peraturan diberikan hak-haknya demikian sebelum dieksekusi.” Sambil mengangguk saya berkata dalam hati, “Tuhan, kuatkanlah Rodrigo, kuatkanlah kami.”

TRANSCRIPT

Page 1: Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte - Christina W

Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte

oleh Christina W

Pertemuan pertamaku dengan Rodrigo Gularte, warga negara Brasil di Lapas

Pasir Putih, Nusakambangan terjadi pada pertengahan bulan Februari 2009, ketika

aku mengikuti pelayanan Romo Carolus, O.M.I. di Lapas itu. Saat kami saling

memperkenalkan diri, Rodrigo sangat sopan, sederhana, dan terlihat yang paling

muda diantara narapidana lainnya dalam ruang Kapel - tempat beribadat bagi

narapidana Katolik dan Kristen – di lingkungan Lapas Pasir Putih tersebut.

Pada bulan-bulan berikutnya, pada keikutsertaan saya dalam pelayanan Rm.

Carolus, O.M.I. - setiap hari Rabu minggu ketiga - makin terbiasa saya melihat

ketidaknormalan pada diri Rodrigo. Sering sekali saya melihat dia berbicara sendiri

dengan tembok di sebelah kiri ataupun kanannya, baik sebelum maupun setelah

Misa terlaksana dalam Kapel itu. Ketika saya sapa, Rodrigo sangat komunikatif,

sopan, dan sangat murah senyum kepada siapapun. Setiap kali setelah saya selesai

berkomunikasi dengan dia dan kemudian melihat dia berbicara sendiri, saya selalu

berdoa untuk dia, “Tuhan kasihanilah dia dan jagalah dia selalu dalam Lapas Pasir

Putih ini, karena dia sangat menderita dengan kondisinya itu. Amin”.

Perkenalan saya dengan Rodrigo akhirnya membuat saya juga berkenalan

dengan keluarganya, yaitu dengan ibu serta kakak perempuannya, Adriana, ketika

mereka sedang berkunjung ke Lapas Pasir Putih. Kami sempat berfoto bersama di

dalam Kapel, tentu dengan seijin Petugas Lapas Pasir Putih, karena sedang ada

acara bersama ketika itu.

Page 2: Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte - Christina W

Pada awal Februari 2015, saya juga mulai bersahabat sangat dekat dengan

Angelita Aparecida Muxfeldt, lebih akrab dipanggil Angelita, saudara sepupu

Rodrigo. Tepatnya, setelah diketahui bahwa nama Rodrigo masuk dalam daftar 10

terpidana mati yang akan dieksekusi pada tahap II yang belum jelas kapan

pelaksanaannya itu.

Persahabatanku dengan Angelita membuat aku menjadi salah satu kuasa

hukum/pengacara dari tim kuasa hukum Rodrigo Gularte1 melalui Angelita sebagai

sepupu Rodrigo, dengan surat kuasa tertanggal 12 Maret 2015. Setelah Angelita

mencabut kuasanya pada pengacara yang lama.

Sebagai bagian dari tim kuasa hukum/pengacara Rodrigo, saya yang

kebetulan berdomisili di Cilacap, bisa dengan mudahnya membezuk Rodrigo di

Lapas Pasir Putih, Nusakambangan pada setiap hari Selasa dan Kamis bersama-

sama Angelita. Setiap kali kami berdua besuk, baru bisa bertatap muka dengan

Rodrigo pada sekitar jam 11.00, karena harus melewati tahap-tahap pemeriksaan

sejak di Pelabuhan Wijayapura hingga Lapas Pasir Putihnya. Bersama-sama

Angelita, kami mulai bekerja keras memperjuangkan supaya Rodrigo tidak

dieksekusi pada rencana pelaksanaan eksekusi tahap II.

Kesedihan, ketakutan serta ketegangan sudah mulai dirasakan oleh keluarga

dari 10 terpidana mati yang masuk dalam daftar para terpidana mati yang akan

dieksekusi pada tahap II.

Segala upaya advokasi untuk mencegah pelaksanaan eksekusi bagi Rodrigo

mulai kami (tim pengacara, Angelita dan Perwakilan Kedutaan Brasil) lakukan

dengan gencarnya sejak Kejaksaan Agung (Kejagung) RI mengumumkan nama-

nama para Narapidana yang masuk tahap II. Sebagai salah satu bukti kuat yang

kami peroleh dari keluarga (Angelita) dan bisa kami gunakan dalam advokasi kami

adalah hasil pemeriksaan psikiatri oleh tim dokter dari RSUD Cialacap (dr. Sri

Rahayu Hartini, Sp.KJ bersama Prof. DR.dr. H. Soewadi, MPH, SpKJ (K) pada hari

Selasa, 10 Februari 2015 pukul 09.00 hingga selesai terhadap Rodrigo Gularte (42

th) di Poliklinik LP. Pasir Putih, menyatakan bahwa pasien menunjukkan tanda-tanda

gangguan mental kronis dengan diagnosis Skizofrenia Paranoid dan DD: Gangguan

1 Tim kuasa hukum Rodrigo Gularte terdiri dari pengacara-pengacara dari LBH Masyarakat, Kontras, JPIC-OMI,

LAPDI, dan PJS.

Page 3: Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte - Christina W

bipolar dengan ciri psikotik. Kemudian disarankan oleh tim psikiatri agar Rodrigo

segera mendapatkan perawatan dan pengobatan psikiatri intensif di RS. Jiwa. Serta

bukti-bukti sangat penting lainnya dari Brasil, yang diupayakan oleh pihak keluarga

Rodrigo di Brasil.

Strategi advokasi kami yang pertama-tama adalah mengajukan permohonan

Pengampuan bagi Rodrigo di PN Cilacap, Angelita sebagai Pemohon Pengampu

bagi Rodrigo yang benar-benar menderita kelainan jiwa, sebenarnya sudah diderita

sejak dia masih remaja. Permohonan kami telah diterima dan dijadwalkan akan

disidangkan pada hari Rabu, 6 Mei 2015. Upaya permohonan grasi yang kedua dan

juga upaya mengajukan gugatan PTUN terhadap Keputusan Presiden RI No.5/G

Tahun 2015 juga telah dilakukan oleh kami selaku tim pengacara Rodrigo.

Seluruh upaya hukum tersebut sudah kami beritahukan kepada pihak

Kejagung, agar pelaksanaan eksekusi mati bagi Rodrigo ditunda terlebih dahulu,

karena pihak Kejagung haruslah menghargai upaya-upaya hukum yang sedang

dilakukan oleh pihak keluarga Rodrigo.

Rupanya, pihak Kejagung sama sekali tidak mempedulikan hal itu dan tetap

akan melaksanakan eksekusi mati bagi 10 narapidana yang seara resmi diumumkan

oleh Kejagung pada awal bulan April 2015. Rodrigo Gularte benar-benar ada dalam

daftar nama 10 terpidana mati tersebut dan akan segera dieksekusi di Pulau

Nusakambangan, Cilacap.

Tiba waktunya pihak Kejagung RI akan memberikan notifikasi kepada

kesepuluh terpidana mati tersebut. Hari Jumat, 24 April 2015, yang rencananya

Angelita bersama kami, tim pengacara, akan menemui Prof. Soewadi di Yogyakarta,

sehubungan dengan permohonan kami bahwa beliau akan kami minta menjadi saksi

ahli dalam persidangan permohonan pengampuan, terpaksa kami batalkan. Hal ini

harus dilakukan karena pihak Kedutaan Brasil diberitahu oleh pihak Kementrian Luar

Negeri RI bahwa perwakilan Kedutaan Brasil harus segera ke Cilacap untuk

mendampingi Rodrigo Gularte dan keluarganya. Kepada Angelita, perwakilan

Kedutaan Brasil (Bapak Leonardo M) mengatakan prosesnya sama seperti ketika

akan dilaksanakannya eksekusi terhadap sdr. Marco pada eksekusi tahap I, akhir

bulan Januari 2015.

Page 4: Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte - Christina W

Kekecewaan, ketakutan, kebingungan dan kepanikan sudah mulai dialami

baik oleh Angelita dan pihak Kedutaan Brasil, maupun kami selaku tim

pengacaranya sejak Kamis, 23 April 2015 malam hari.

Hari Sabtu, 25 April 2015 adalah hari yang paling tidak bisa kami lupakan dan

merupakan hari yang terberat dalam hidup saya sebagai manusia biasa. Kepedihan

serta ketakutan sudah jelas menyelimuti batin kami semua: perwakilan Kedutaan

Brasil (2 orang), Angelita, serta 5 orang tim pengacara Rodrigo berkumpul di Hotel

Dafam menunggu undangan dari Kejagung RI, segera berkumpul di Kejaksaaan

Negeri Cilacap, karena akan disampaikan notifikasi tentang pelaksanaan eksekusi

mati bagi 10 terpidana mati tersebut.

Bersama-sama semua perwakilan kedutaan-kedutaan, keluarga-keluarga

serta semua tim Pengacara dari 10 orang terpidana mati pada tahap ke II ini, pada

jam 12.00 kami sudah berkumpul di Kejaksaan Negeri Cilacap, untuk siap-siap

mendengarkan notifikasi tersebut. Ternyata diperintahkan hanya perwakilan dari

masing-masing kedutaan hanya 1 orang serta pengacaranya juga 1 orang saja yang

diijinkan masuk ke dalam ruangan yang telah disediakan. Di saat itulah, Angelita

meminta kesediaan saya untuk mewakili keluarga. Hati saya berdebar-debar

sebenarnya, ada ketidaksiapan secara mental serta kelelahan bathin yang sudah

berhari-hari mengalami tekanan dari pihak luar sejak menjadi pengacara Rodrigo.

Akan tetapi karena kepercayaan yang telah diberikan oleh Angelita sejak pertama

kali kami bersahabat itulah yang membuat saya mengatakan “ya” untuk menjawab

permintaan Angelita itu. Kalau boleh jujur, ketika itu saya sangat berharap Angelita

meminta Ricky sebagai koordinator tim pengacara untuk maju mewakili kami.

Sebelum masuk salah satu ruangan di Kejaksaan Negeri, saya sempatkan diri

mendekati Angelita hanya untuk mengatakan, “Angelita, please pray for me, I am

afraid.” Angelita menjawab, ”Yes, of course, Christina. I will pray for you. Don’t cry,

Christina. Please… for Rodrigo. You have to be strong!” Kemudian kami berpelukan

sejenak untuk saling menguatkan. Rupanya, di dalam ruangan kami masih harus

menunggu 2 jam lamanya tanpa ada kepastian kapan tim Kejagung akan datang

dan memberitahukan soal notifikasi itu.

Akhirnya pada pukul 14.00 lebih tim eksekutor yang didampingi pihak staf

Kementrian Luar Negeri RI serta para pejabat negara yang berwenang lainnya,

masuk ke dalam ruangan dan memberitahukan bahwa:

Page 5: Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte - Christina W

1. Pemberitahuan notifikasi pelaksanaan eksekusi akan disampaikan

pada hari ini juga, Sabtu, 25 April 2015 secara langsung kepada 10

terpidana mati di Lapas Besi dan masing-masing mereka hanya boleh

didampingi oleh 1 orang perwakilan kedutaan dan 1 orang pengacar.

Pihak keluarga tidak boleh mendampingi sama sekali. Oleh karena itu

kita semua akan segera berangkat ke Lapas Besi.

2. Pihak keluarga akan diberikan waktu khusus untuk bertemu dengan

para terpidana mati setelah notifikasi itu diterima oleh yang

bersangkutan.

3. Para pihak yang sudah diijinkan tersebut, pada poin 1 harus segera

melaporkan nama-namanya pada petugas. Akan disediakan

kendaraan khusus dengan pengawalan khusus dari pihak Kejagung

dan Kepolisian.

Dan tepat pukul 15.30 kami meninggalkan Kejaksaan Negeri Cilacap untuk

menuju ke Lapas Besi, Nusakambangan, dengan menggunakan kendaraan kami

masing-masing, karena koordinasi Kejagung mulai kelihatan tidak jelas dalam hal

kendaraan yang akan membawa kami tersebut. Sekali lagi Angelita memberikan

pelukan kepada saya sebelum saya berjalan menuju ke pos penjagaan, dengan

membisikkan kata-kata, “Don’t cry, Christina, and be strong for Rodrigo, okay?”

Tetapi saya tahu kepedihan hatinya, sama seperti yang sedang saya rasakan sejak

Rabu malam. Maka saya tidak bisa berkata apa-apa, hanya anggukan kepala sambil

menahan tangisku yang hampir meledak siang itu. Tiap langkah kakiku terasa amat

berat, kukatakan pada diriku dalam hati, “Christina, kamu harus kuat!” Akhirnya saya

(perwakilan tim pengacara), Pak Leonardo (wakil Atase Kedutaan Brasil) dan pak

Lukman (staf kedutaan) -pihak Kedutaan Brasil diijinkan ikut 2 orang- sampai di

Lapas Besi sore hari sekitar jam 16.30. Rupanya, pemberitahuan notifikasi bagi 10

narapidana dilakukan satu persatu, sehingga kami yang harus mendampingi Rodrigo

mendapatkan giliran yang terakhir.

Tepat jam 19.00 WIB, kami bisa bertemu Rodrigo dalam sebuah ruangan

yang sudah penuh dengan petugas dari Kejagung selaku Tim Eksekutor, ada meja

lain dimana sudah ada Okuwdili Ayotanze (Dili) dengan pengacaranya. Kami bertiga

dan Rodrigo diarahkan untuk menuju ke salah satu meja yang sudah ada 3 orang

petugas dari Tim Eksekutor. Salah satu eksekutor menyampaikan dengan sangat

Page 6: Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte - Christina W

tegas dan langsung. Pertama-tama mengklarifikasi data-data pribadi Rodrigo, yang

dibenarkan oleh Rodrigo. Saya langusng menyampaikan surat pernyataan dari

keluarga bahwa Rodrigo harus didampingi Rm. Carolus, O.M.I. sebagai pendamping

Rohaninya, karena Rodrigo beragama Katolik. Kemudian tim eksekutor

menyampaikan, “Saudara Rodrigo dengarkan baik-baik, ya. Kami beritahukan

bahwa permohonan grasi saudara telah ditolak oleh Presiden RI dengan Keputusan

No.5/G tahun 2015. Oleh karena itu, hukuman mati atas diri saudara akan

dilaksanakan pada 3 hari kemudian diperhitungkan sejak disampaikannya notifikasi

ini.” Reaksi Rodrigo langsung mengatakan, “Ini sebuah kesalahan, Pak, Bu. Karena

itu, saya tidak akan dieksekusi! Beberapa negara-negara sedang berkumpul untuk

bicarakan tentang hukuman mati dan hukuman mati sudah dinyatakan tidak ada lagi

di mana-mana, juga di Indonesia. Jadi, saya tidak akan dieksekusi. Narkoba itu hal

yang biasa, narkoba itu seperti minum-minuman keras dan juga rokok, orang-orang

dewasa bebas untuk memutuskan sendiri akan menggunakan atau tidak. Saya tahu,

kalian semua tahu juga, pasti, bahwa ada juga orang di dalam ruangan ini yang

menggunakan narkoba”. Pada saat yang bersamaan seorang petugas eksekutor

menanggapi jawaban Rodrigo, “Kami akan segera menangkap pengedar narkoba.”

Hal itu mengakibatkan Rodrigo makin emosi dengan berkali-kali mengatakan “Ini

ada yang salah, saya hanya melakukan kesalahan 1 kali! Mengapa saya akan

dieksekusi?” Lalu, dia berpaling ke arah saya dengan berkata “Christina, help me.”

Saat itulah saya tersekat tidak bisa berkata apa-apa, perasaan bersalah yang begitu

besar mulai mempengaruhi diri saya. Karena Rodrigo tidak pernah berhenti bicara,

tiba-tiba seorang petugas eksekutor dengan nada keras berkata, “Stop, saudara

Rodrigo! Saudara diam dulu, ya.” Saya meraba punggung Rodrigo untuk

menenangkan dia, dan Rodrigo berhenti bicara. Eksekutor yang tinggi dan besar itu

melanjutkan lagi, “Ibu, anda pengacaranya kan? Tolong, dengarkan penjelasan saya

lalu terjemahkan untuk klien saudara ya. Grasi anda, Saudara Rodrigo, ditolak oleh

Presiden, lalu suka atau tidak suka, anda akan dieksekusi mati dalam waktu 3 x 24

jam terhitung mulai besok. Dalam waktu 3 x 24 jam itu, anda diberi kesempatan

untuk bertemu dengan keluarga dan anda boleh menyampaikan 4 permintaan

terakhir anda, akan kami penuhi sejauh kami bisa menfasilitasinya. Silahkan

terjemahkan, Bu.” Ketika saya akan menterjemahkan dalam Bahasa Inggris, Rodrigo

langsung menjawab, ”Saya sudah paham Christina, tapi ini ada yang salah dalam

Page 7: Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte - Christina W

hal ini, saya tidak akan menyampaikan apa-apa karena saya tidak akan dieksekusi.”

Kemudian, saya menyampaikan kepada para eksekutor bahwa “Rodrigo sudah

mendengarkan, Pak, hanya belum bisa menerimanya.” Sambil berdiri, sekali lagi

Rodrigo meminta kepada saya, “Christina, tolong saya!” Ia sudah diminta untuk

kembali lagi ke dalam sel isolasi. Sebelum berdiri, Rodrigo sempat mengatakan

kepada semua petugas eksekutor yang ada di hadapan kami “Bapak dan Ibu, saya

meminta maaf ya kalau tadi saya emosi, ya. Maaf-maaf, ya.” Para eksekutor itu

menjawab, “Ya, Pak Rodrigo, gak apa-apa”. Kaki saya terasa lemas dan seperti mau

jatuh rasanya, tapi saya harus kuat untuk Rodrigo. Saya sempat sampaikan ke dia,

“See you tomorrow Rodrigo, we will visit you again with Angelita”. “Yes, please. Help

me, Christina.” Jawaban itu menjadi kalimat terakhir dari dia sebelum dia

berbincang-bincang dengan Pak Leonardo sebelum meninggalkan ruangan.

Ketika saya sedang berusaha menguatkan perasaan saya dari rasa bersalah,

karena saya tidak akan pernah bisa meloloskan dia dari pelaksanaan eksekusi 3 hari

kemudian, seorang eksekutor yang berkacamata menyampaikan, “Bu Christina,

tolong besok dijelaskan sekali lagi pada Rodrigo, ya, supaya dia bisa menerimanya

dan ibu harus bisa menyampaikan kepada kami, apa 4 permintaan terakhir Rodrigo,

karena dalam peraturan diberikan hak-haknya demikian sebelum dieksekusi.”

Sambil mengangguk saya berkata dalam hati, “Tuhan, kuatkanlah Rodrigo,

kuatkanlah kami.”

Di dalam bis perjalanan pulang dari Lapas Besi ke penyebrangan Sodong,

saya menangis sepanjang jalan, pak Leonardo membiarkan saya menghabiskan

kepedihan dan rasa putus asa yang sedang aku alami, karena dia tahu aku tidak

akan menangis di hadapan Angelita. Hanya sekali dia berusaha menguatkan aku

dengan menepuk bahuku.

Hari Pertama.

Hari Minggu, 26 April 2015 adalah hari kunjungan pertama bagi Angelita,

setelah notifikasi pelaksanaan eksekusi disampaikan. Hari itu yang besuk: Pak

Leonardo, Angelita, Ricky, dan saya. Kami baru bisa bertemu Rodrigo kira-kira jam

11.00 dan diberi kesempatan hingga jam 16.00. Seluruh keluarga, wakil kedutaan-

kedutaan, pendamping rohani serta tim pengacara dari 9 terpidana yang akan

dieksekusi, memulai pertemuan dengan masing-masing terpidana. Kesedihan yang

Page 8: Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte - Christina W

mendalam, kebingungan, ketakutan dan ketegangan sangat bisa kami rasakan satu

sama lain. Setiap kali aku memandang wajah Rodrigo lalu wajah Angelita selama

kami bertemu dan berbincang bersama-sama, hatiku mengalami kepedihan yang

belum pernah aku alami dalam hidupku. Setiap kali, aku melihat Rodrigo tersenyum,

perasaan bersalah sangat kuat dalam batinku. Maka saya lebih sering memandang

kel antai setiap kali air mata saya akan jatuh, setelah saya bisa menguasai suasana

hati, baru saya menatap Rodrigo atau Angelita lagi. Petugas Kejagung (eksekutor)

yang semalam ada mendekati saya dan mengingatkan saya untuk menjelaskan

sekali lagi kepada Rodrigo dan juga hari itu juga saya harus bisa mendapatkan 4

keinginan terakhir Rodrigo. Dalam hati saya, “Setan betul ya, kamu, Pak!” Tapi yang

keluar dari mulut saya, “Sabar, kenapa sih Pak? Kan Bapak tau bahwa Rodrigo itu

sakit jiwa, jadi kita mesti hati-hati dan lebih sabar.” Siang itu Rodrigo sempat

mengatakan “Nasi padang,” adalah makanan favoritnya selama di Lapas Pasir Putih.

Rodrigo meminta pada Ricky dan saya sebagai Pengacara dia, untuk kerja

keras menolong dia mulai besok pagi. Rodrigo mengatakan besok tidak perlu ada di

ruang ini, kami berdua harus kerja keras. Dan kami menyampaikan bahwa kami

akan berjuang terus untuk menolong dia. Rodrigo menyampaikan terima kasihnya

kepada kami semua yang telah susah payah menjadi pengacara bagi dia dan

berjuang untuk dia.

Hari Kedua.

Hari Senin, 27 April 2015, pada hari kedua yang besuk di pagi hari hanya

Angelita. Kami, tim pengacara, berusaha maksimal melakukan koordinasi dengan

tim pengacara lain di Jakarta untuk melakukan audiensi dengan Jaksa Agung dan

juga mengajukan gugatan ke PTUN serta upaya-upaya non litigasi lainnya. Pak

Leonardo dan Rm. Carolus, O.M.I sebagai Pendamping Rohani membesuk Rodrigo

jam 13.00, menyusul Angelita yang sudah ada di dalam. Siang itu, seperti janji

eksekutor, Rodrigo diberi kesempatan untuk berkomunikasi dengan ibunya serta

saudara-saudaranya yang berada di Brasil dengan fasilitas telepon dari Kejagung,

hal itu dianggap sebagai salah satu permintaan Rodrigo melalui Angelita,

sepupunya. Pada sore hari, sebelum Angelita, Rm. Carolus dan Pak Leonardo

meninggalkan Rodrigo, mereka harus menandatangi pernyataan bahwa Rodrigo

menolak untuk dikremasi, dan meminta supaya jenazahnya dipulangkan kembali ke

Page 9: Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte - Christina W

Brasil. Hal itu oleh pihak eksekutor dianggap sebagai salah satu pemintaan terakhir

Rodrigo. Karena Rodrigo memang ingin sekali pulang ke Brasil, seperti yang

berulang kali dia katakan ketika Angelita dan saya membesuk dia, ketika masih di

Lapas Pasir Putih.

Hari Ketiga.

Hari Selasa, 28 April 2015 adalah hari terakhir bagi kami untuk bertemu

dengan Rodrigo, demikian juga bagi para terpidana mati lainnya, hari terakhir untuk

bertemu dengan anggota keluarganya, perwakilan kedutaannya, serta tim

pengacaranya. Pertemuan terakhir itu hanya diberi kesempatan hanya hingga jam

14.00. Ketika Rodrigo muncul menemui kami, dia mengatakan, “Maaf ya… saya

sudah merepotkan kalian semua, Angelita, Leonardo, Rm. Carolus, dan kamu,

Christina, juga lawyer lainnya.” Hampir bersamaan kami jawab, “Tidak apa-apa.”

Lalu, Rodrigo cerita panjang lebar tentang mimpinya, yang di dalamnya tersirat

bahwa dia menyalahkan diri sendiri.” Saya hanya menatap dia terus dengan

kesadaran saya tidak akan lagi melihat dia masih hidup besok. Sesekali, Rodrigo

melihat ke arah saya. Lalu, tiba-tiba dia berkata, “Christina, kamu juga pasti lelah

sekali ya.” Saya jawab, “Tidak, Rodrigo.” Dia katakan, sambal tersenyum, “Ya, kamu

kelihatan lelah sekali.” Saya selalu ingat cara dia tersenyum dan menguatkan saya.

Kesempatan itu saya gunakan untuk menyampaikan sesuatu pada dia, “Rodrigo

terima kasih ya… Kamu adalah klien yang tebaik yang pernah saya jumpai dalam

hidup saya. Kamu mengajari saya supaya saya harus ingat pada binatang ketika

saya sedang makan buah-buahan.“ Rodrigo menanggapi dengan menggelengkan

kepalanya sambil tersenyum.

Beberapa detik sebelum berpisah, karena waktu besuk kami sudah habis,

kami berpelukan satu per satu dengan Rodrigo, saya tidak bisa berkata apa-apa dan

tanpa kusadari mata saya sudah mulai berkaca-kaca. Rodrigo mengatakan “Don’t

cry, Christina. Thank you.”

Suasana histeris, tangisan anggota keluarga dari 9 para Narapidana yang

akan dieksekusi mati, menjadi kenangan kepedihan mendalam yang tidak pernah

bisa dilupakan oleh siapapun yang ada dalam Lapas Besi pada siang hari itu,

termasuk para eksekutornya. Angelita selalu memeluk mesra adik sepupunya

terkasih sambil menunggu giliran untuk dipisahkan oleh petugas. Ibunda Andrew

Page 10: Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte - Christina W

Chan dan saudara-saudaranya menangis tanpa henti, demikian juga ibu dari Myuran

Sukumaran serta adik perempuannya. Tangis mereka sangat menyayat perasaan

saya, belum lagi Mary Jane sendiri yang marah-marah sambil menangis karena

tidak diberitahu sebelumnya bahwa siang itu hanya diberikan waktu hanya sampai

dengan jam 14.00. Tidak tega saya melihat kedua anak Mary Jane yang masing

kecil-kecil harus menyaksikan kepedihan yang mendalam siang itu. Untuk

menguatkan batin saya, saya mencoba berkomunikasi dengan Sang Pencipta,

“Tuhan, seandainya saja semua orang yang menyetujui hukuman mati di bumi

Indonesia ini menyaksikan atau bahkan mengalami semua ini, pasti merekalah yang

akan meminta supaya hukuman mati segera dihapuskan dari bumi Indonesia

tercinta ini.”

Sebelum kembali ke Sodong, kami berempat masih menunggu barang-

barang yang sangat pribadi milik Rodrigo yang diantarkan oleh petugas Lapas Pasir

Putih ke Lapas Besi untuk kami bawa pulang. Hal itu atas permintaan Angelita.

Kepedihan mendalam masih harus kami lalui sekali lagi, karena malam itu

sejak jam 20.00 hingga jam 00.35 dini hari, Angelita, Pak Leonardo dan saya di Pos

penyeberangan Sodong, Nusakambangan, harus menanti saat-saat pelaksanaan

eksekusi mati bagi 9 terpidana mati -yang sudah menjadi seperti saudara bagi kami-

di hadapan regu tembak di dalam pulau Nusakambangan, tepatnya berlokasi di

belakang Pos Polisi, kira-kira 2 km dari Sodong. Tepat jam 24.00 kami melihat

deretan mobil-mobil yang membawa para terpidana dengan para pendamping rohani

masing-masing dari kejauhan yang bisa kami lihat dengan jelas dari sisi kiri pos

Sodong, karena di kegelapan sinar lampu mobil-mobil itu menjadi jelas sekali. Sejak

mereka mematikan lampu, kami semua keluarga yang menanti di Sodong

menyalakan lilin untuk mereka yang akan dieksekusi dan bagi yang sudah

dieksekusi pada bulan Januari lalu. Kami semua duduk di depan lilin-lilin itu, sambil

berdoa sesuai dengan agama dan bahasa masing-masing. Saya berdoa Rosario

sambil mencoba menguatkan diri untuk mendengarkan hal terburuk yang akan kami

dengar. Akhirnya, 30 menit kemudian kami mendengar rentetan tembakan seperti

bunyi petasan kecil itu… dan setelah itu bunyi tembakan terkeras bersamaan dan

hanya sekali saja,

“Dor!”

Page 11: Tiga Hari Terakhir Bersama Rodrigo Gularte - Christina W

Serempak kami semua menjerit bersama dan melampiaskan tangisan kami

masing-masing sambil bergandengan tangan satu sama lain. Rasanya badan saya

seperti melayang sejenak dan saya memeluk Angelita untuk saling menguatkan.

Saya hanya sanggup mengatakan, “I am so sorry Angelita, I am so sorry.” Lalu,

Angelita, dalam tangisnya, mencoba menguatkan saya. Karena syok, saya tidak

mendengar lagi apa yang dikatakan Angelita. “Tuhan, ampunilah saya yang tidak

bisa menolong Rodrigo terlepas dari eksekusi di hadapan regu tembak itu”, hanya

hal itu saja yang saya ucapkan dalam hati saya, sambil menangis terus menerus

dalam keheningan malam itu. Saat itu, saya membayangkan tubuh Rodrigo

tertunduk telah mati tak berdaya di tiang kayu yang telah diikatkan sangat erat

dengan tubuhnya. Saya bisikkan kata-kata, “Selamat jalan, Rodrigo, saudaraku

terkasih. Kamu akan langsung menikmati kebahagiaan bersama Allah di Surga.

Doakan kami, ya, Rodrigo.”

Kepedihanku bertambah ketika, akhirnya pada sekitar pukul 4.00 pagi lebih,

kami bertiga, Angelita dipapah Rm. Carolus dan saya harus menyaksikan Rodrigo

Gularte yang sudah terbujur kaku di dalam ambulans. Kami harus memastikan

bahwa benar dia adalah Rodrigo yang sangat kami sayangi itu. “Ya Tuhanku dan

Allahku.” Hanya itu yang bisa keluar dari bibirku, saat melihat Rodrigo sudah terbujur

kaku. Tidak ada lagi senyum yang rupanya selama ini telah menguatkan aku.

“Selamat jalan, Rodrigo. Rest in peace, Rodrigo.”

Pengalaman pahit itu membuat saya merasa tidak berguna sama sekali

sebagai pengacara, alias saya telah gagal total menjadi pengacara untuk klien saya,

seseorang yang masih menderita kejiwaan skizofrenia dan bipolar disorder, tetap

tereksekusi di hadapan regu tembak di Pulau Nusakambangan.

Akhirnya aku bisa selesaikan tulisan ini, meskipun kepedihan itu menjadi terkuak

kembali, yang selama ini tidak pernah bisa saya memulai untuk menuliskannya.

Terima kasih atas support dan kepercayaan dari Angelita terkasih dan Ayu

(ELSAM), sehingga tulisan ini bisa saya selesaikan dengan baik.

Cilacap, 7 Juli 2015.

Christina Widiantarti, S.H.

Bekerja di YSBS dan untuk JPIC-OMI Provinsi Indonesia.