teknik silvikultur jenis sengon
DESCRIPTION
budidaya sengonTRANSCRIPT
1
TEKNIK SILVIKULTUR JENIS SENGON LAUT ( Paraserianthes falcataria L. Nielsen)
Oleh :
A. Syaffari Kosasih
Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan
I. PENDAHULUAN
Paraserianthes falcataria L.Nielsen. termasuk dalam famili Mimosaceae
dan lebih dikenal dengan nama daerah Sengon atau Jeunjing merupakan jenis
tanaman yang cepat tumbuh. Jenis ini dahulunya oleh masyarakat di daerah jawa
dan sekitarnya dimanfaatkan sebagai tanaman pelindung di perkebunan, seiring
dengan semakin meningkatnya kebutuhan papan sebagai bahan baku untuk
perumahan maka jenis ini juga dimanfaatkan untuk keperluan tersebut.
Selanjutnya pemanfaatan jenis tersebut meluas untuk kayu pertukangan antara lain
triplek, peti kemas, korek api, konstruksi ringan dan juga sebagai bahan baku
untuk pembuatan pulp dan kertas. Di Ambon kulit Sengon dapat digunakan
sebagai bahan penyamak jaring.
Menurut Martawidjaya et al (1987) jenis Sengon termasuk dalam kelas
awet IV dan V, kelas kuat III dan IV dan memiliki berat jenis 0,33. Keawetan
kayu jenis ini cukup baik, sehingga kayu Sengon banyak dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai bahan bangunan. Dengan banyaknya kegunaan yang dapat
diperoleh dari kayu Sengon ini, maka kegiatan pengembangan atau budidaya jenis
ini telah dikuasai oleh masyarakat terutama dalam kegiatan pengembangannya
dalam bentuk Hutan rakyat. Beberapa daerah sentra pengembangan Sengon dapat
dijunpai di Banten, Sukabumi, Ciamis, Tasikmalaya (Jawa Barat), Banyumas,
Banjarnegara (Jawa Tengah), Kediri, Pacitan, Lumajang, Bojonegoro dan
Banyuwangi (Jawa Timur).
II. KETERANGAN BOTANI
Jenis ini merupakan jenis pohon yang pertumbuhannya tercepat, karena
pada umur 1 tahun dapat mencapai tinggi 7 m dan pada umur 12 tahun dapat
mencapai tinggi 39 m dengan diameter 63,5 cm (Hidayat et al, 2002) .
2
Batang umumnya tidak memilki banir, berbentuk lurus, silindris. Memiliki kulit
yang licin, berwarna abu-abu atau kehijau-hijauan. Tajuk berbentuk perisai,
jarang dan selalu berwarna hijau. Daunnya berbentuk majemuk, dan panjang bisa
mencapai 10 cm.
III. TEMPAT TUMBUH
Jenis ini dapat tumbuh mulai dari pantai hingga ketinggian 1500 m dpl.
Elevasi yang optimal umumnya dijumpai antara 0 – 800 m dpl dengan suhu rata-
rata 22o – 29o C. Tumbuh dengan baik pada daerah dengan iklim basah sampai
agak kering, dengan curah hujan tahunan berkisar antara 2000 – 4000 mm.
Tumbuhan tropik ini dapat tumbuh di tanah-tanah yang kering, lembab atau agak
masin, dengan tekstur tanah dari yang ringan hingga berat dan pH tanah asam
sampai netral. Disamping itu pula jenis ini memerlukan tanah dengan drainase
yang baik dan tidak tergenang (Departemen Kehutanan, 1999 dan Hidayat et al,
2002).
IV. TEKNIK PERBENIHAN
A. Pengadaan Benih
1. Pengumpulan Biji
Musim pembungaan biasanya terjadi pada bulan Maret – Juni dan bulan
Oktober-Desember. Musim pembuahan hampir terjadi sepanjang tahun.
Jika polong sudah masak biasanya benih akan berhamburan di atas tanah
dan akan sulit untuk mengumpulkannya. Untuk mengatasi hal tersebut
biasanya pengumpulan polong dilkukan pada saat polong belum masak
benar, warna kuning kecoklatan. Pengambilan polong biasanya dilakukan
pada pagi atau siang hari. Polong yang sudah terkumpul dibelah dan
dikeluarkan bijinya. Jika jumlah polong banyak dapat dilakukan dengan
cara memukul –mukul polong yang dimasukkan dalam karung. kemudian
biji yang telah diperoleh dijemur sampai kering dan dibersihkan dari
kotoran/sampah dengan cara diayak/ditampi.
2. Penyimpanan Biji
Benih Sengon termasuk jenis orthodoks. Penyimpanan benih dilakukan
dengan menjaga kadar airnya sekitar 8% dan disimpan pada suhu 4-8 oC
dapat bertahan sampai 1,5 tahun tanpa penurunan viabilitas yang berarti.
Benih disimpan di dalam kantong plastik yang rapat (Hidayat et al, 2002).
Selain dengan cara tersebut penyimpanan dapat juga dilakukan dengan
menggunakan blek yang ditutup rapat. Blek tersebut disimpan di tempat
yang sejuk, agar viabilitas benih masih baik sampai beberapa tahun
(Pradjadinata dan Masano, 1996).
3
3. Perlakuan Benih
Biji Sengon termasuk jenis yang memiliki kulit tebal. Jika penaburan
dilakukan dengan tanpa diberi perlakuan pendahuluan, maka
perkecambahan benih akan terjadi sekitar 14 hari dengan persen kecambah
hanya sekitar 20%. Beberapa perlakuan pendahuluan yang dapat dilakuan
yaitu dengan cara :
a. Benih disiram sesaat dengan air panas sebanyak 4 kali volume dan
rendaman dingin selama 24 jam. Benih akan berkecambah setelah 5
hari dengan persen kecambah sekitar 90%.
b. Benih direndam dalam larutan H2SO4 90% selama 3 menit kemudian
direndam dalam air mengalir selama 24 jam. Setelah 5-8 hari persen
kecambah biji akan mencapai 85%.
B. Pengadaan Bibit
1. Pembuatan persemaian
a. Pemilihan tempat persemaian
Terdapat dua tipe persemaian yang dapat dipergunakan untuk
pembuatan bibit yaitu persemaian tetap/permanen dan sementara.
Persemaian tetap biasanya digunakan jika pengadaan bibit dalam jumlah
besar dan akses menuju tempat penanaman lancar (Anonimous, 1998).
Beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan dalam pembuatan
persemaian (Anonimous, 1998; Pradjadinata dan Masano, 1996) adalah
sebagai berikut : kemiringan tempat tidak lebih dari 5%, dekat dengan
sumber air, memiliki iklim dan suhu yang sesuai untuk jenis yang akan
dikembangkan, tanah yang akan digunakan relatif suibur dengan tekstur
ringan, serta tempat persemaian ditempatkan di tengah dekat lokasi
penanaman, jalan inspeksi dan sumber tenaga kerja.
b. Perencanaan lapangan persemaian
Dari luasan persemaian yang telah ditentukan, sekitar 60-70%
disiapkan untuk areal bedengan persemaian dan bedengan jenis tumbuhan
lainnya. Sedangkan sisanya dipergunakan untuk jalan inspeksi, saluran
air, bak penampungan air serta gubuk kerja atau bangunan lain
(Anonimous, 1998; Pradjadinata dan Masano, 1996).
c. Pembuatan bedeng tabur
Ukuran bedeng tabur umumnya 5x1 m arah memanjang dari utara
ke selatan., dengan bagian tepi diperkuat dengan batu bata atau bambu.
Atap dibuat miring ke timur dengan ukuran bagian timur tingginya 75 cm
dan bagian barat tingginya 50 cm. Media tanah yang akan digunakan
harus ringan dan halus, dapat juga ditambahkan pasir untuk
4
menggemburkan dengan komposisi 3 bagian tanah dan 1 bagian pasir
(Pradjadinata dan Masano, 2002). Biasanya untuk luasan bedeng tersebut
diperlukan sebanyak 200 gram benih untuk ditabur. Pada umumnya
anakan siap disapih setelah berumur 2 minggu (Hidayat et al, 2002).
d. Pembuatan bedeng sapih
Ukuran bedeng sapih umunya 5x1 m arh memanjang dari utara ke
selatan, dengan begian tepi diperkuat dengan batu bata atau bambu. Atap
untuk naungan dapat digunkan kasa plastik atau shading net. Kontainer
untuk bibit sapihan dapat digunakan pot plastik, potrays tau polybag
biasanya berukuran 10 x 15 cm yang terlebih dahulu bagian dasarnya
diberi lubang. Media untuk bibit terlebih dahulu disterilisasi dengan cara
dijemur di bawah sinar matahari, atau diberi fungisida. Media yang
digunakan harus memiliki sifat dapat menahan akar, porous, mengandung
hara yang cukup, ringan dan steril (Anonimous, 1998).
2. Pembuatan bibit di persemaian
a. Penyemaian benih
Benih yang telah diberi perlakuan pendahuluan ditabur pada
bedeng tabur, pada larikan-larikan yang dalamnya 1 cm dan jarak antar
larikan sekitar 5 cm kemudian ditutp dengan tanah halus atau pasir halus.
Penyiraman harus dilakukan dengan hati-hati menggunakan sprayer yang
berukuran halus agar benih tidak bergeser. Perkecambahan benih akan
terjadi setelah 2-4 hari .
b. Penyapihan bibit
Penyapihan bibit dilakukan setelah bibit berumur 1 – 1,5 bulan dan
ditandai dengan kelopak biji sudah mulai terlepas. Penyapihan bibit ke
dalam kantong harus dilakukan dengan hati-hati jangan sampai gumpalan
tanah terlepas, dan menghindari terjadinya kerusakan akar. Pemeliharaan
bibit di bedeng sapih meliputi penyiraman, penyiangan terhadap gulma
dan pencegahan terhadap gangguan hama dan penyakit ). Bibit yang siap
ditanam di lapang jika sudah berumur 3-4 bulan di bedeng sapih
(Pradjadinata dan Masano, 1996)
Bibit yang sudah berada di bedeng sapih lebih dari 3 bulan dapat dibuat
menjadi bibit stump dengan ukuran panjang bagian batang 5-20 cm,
panjang bagian akar 20cm dan diameter keher batang 0,5 – 2,5 cm (Prad
.
5
V. PERSIAPAN LAPANGAN
A. Penataan Lapangan
Penataan areal penanaman dilakukan dengan tujuan untuk mengatur
tempat dan waktu, register tanaman, pengawasan dan keperluan pengelolaan
lainnya. Areal-areal dibagi menjadi blok-blok tata hutan dan selanjutnya dibagi
lagi menjadi petak-petak tata hutan. Unit-unit tersebut ditandai dengan patok
diukur dan digambar di atas peta dengan ukuran 1 : 10.000 . Luas blok yang baik
adalah 50 – 100 Ha, dan luas petak penanaman sekitar 4 – 25 Ha. Batas-batas
blok yang dapat digunakan antara lain batas alam (sungai, punggung bukit) atau
batas buatan (jalan, patok kayu atau beton) (Pradjadinata dan Masano, 1996).
B. Pembersihan Lapangan
Setiap jenis gulma dan vegetasi yang akan mengganggu pertumbuhan
tanaman pokok harus dibersihkan dari areal tanam. Pembersihan lapangan dapat
dilakukan dengan cara manual, kimia dan mekanis atau kombinasinya. Sisa-sia
vegetasi yang berupa sisa pohon sebaiknya tidak dibakar, tetapi dimanfaatkan
sebagai serpih (chip) untuk kayu > 10 cm. Sisa daun, ranting dan kulit kayu
dijadikan kompos di areal penanaman dan dikembalikan lagi ke areal tersebut
untuk meningkatkan kesuburan. Tonggak pohon sebaiknya dikeluarkan dari petak
penanaman (Anonimous, 1998).
C. Pengolahan Tanah
Pada dasarnya setiap tanaman berbeda-beda tuntutannnya terhadap sifat
fisik tanah, ada yang menghendaki tekstur tanah yang ringan dan ada pula yang
dapat hidup pada lahan bertekstur tanah yang berat. Untuk memperbaiki sifat
fisik tanah dalam rangka memenuhi kebutuhan tanaman tersebut, maka
diperlukan kegiatan pengolahan tanah. Areal tanam yang memiliki kemiringan <
10 derajat pengolahan tanah dilakuakan secara mekanis, dengan pembajakan
tanah dilakukan 2 kali sedalam 30 cm. Setelah pembajakan kedua, selisih kurun
waktu 1 -2 minggu dilakukan penggaruan satu kali (Anonimous, 1999).
VI. PENANAMAN DAN PEMELIHARAAN
A. Sistem Penanaman
1. Sistem Tumpangsari
Penanaman Sengon dapat dilakukan dengan sistem tumpangsari yaitu
masyarakat di sekitar diberi hak untuk menanam tanaman palawija di
antara tanaman pokok dan tanaman sela selama jangka waktu berlakunya
perjanjian kerja tersebut. Penanaman tanaman palawija tersebut harus
dilakukan secara berhati-hati agar tidak mengganggu pertumbuhan
tanaman pokok dan tanaman sela. Pada radius sekitar 30 cm di sekeliling
tanaman pokok dan tanaman sela dilarang dilakukan penanaman tanaman
6
palawija. Beberapa jenis palawija yang tidak diperkenankan untuk
ditanam yaitu antara lain : ketela pohon, ketela rambat, pisang, kentang,
kol, akar wangi dam sereh.
2. Sistem Cemplongan
Pembersihan lahan pada sistem ini tidak dilakukan secara total tetapi
hanya dalam radius 1 -2 m di sekitar lubang tanam. Sistem ini cocok
untuk diterapkan pada lahan miring yang tanahnya peka erosi.
B. Waktu Penanaman
Penanaman dilakukan pada awal musim hujan, biasanya sekitar bulan
Oktober – Desember. Pengamatan waktu musim hujan ini sangat penting karena
berkaitan dengan kebutuhan tanaman terhadap air (Anonimous, 1998;
Pradjadinata dan Masano, 1996).
C. Pengangkutan Bibit
Pengangkutan bibit ke lapangan dapat dilakukan dengan menggunakan
kotak-kotak yang terbuat dari papan yang tipis. Bibit disusun rapat supaya tidak
bergeser kalau diangkat dan dihindarkan untuk terjadinya penumpukan. Tiap
kotak umumnya berisi 25 sapai 50 bibit. Bibit yang berupa stump
pengangkutannya dilakukan dengan cara dibungkus dengan pelepah pisang atau
karung basah agar tidak cepat mengering. Perlu diperhatikan bahwa bibit harus
segera ditanam untuk menghindari kematian bibit .
D. Teknik Penanaman
Pembuatan tanaman Sengon dapat dilakukan dengan cara penanaman
langsung biji di lapangan, menggunakan bibit stump atau bibit dari persemaian.
Penanaman dengan menggunakan biji secara langsung di lapangan tidak
dianjurkan karena resiko kematian bibit cukup tinggi. Jarak tanam yang
umumnya digunakan adalah 3 x 2 m, 3 x 3 m, 3 x 5 m atau 4 x 5 m (Anonimous,
1998; Pradjadinata dan Masano, 1996).
Jika penanaman dilakukan dengan sistem tumpangsari maka penanaman
tanaman sela harus dilakukan lebih awal dengan cara menabur benih tanaman
tersebut pada larikan selebar 20 cm di antara larikan tanaman pokok. Jenis
tanaman sela yang umum digunakan adalah Kemlandingan ( Leucaena
leucocephala)
Tanaman tepi perlu ditanam untuk melindungi tanaman pokok, yaitu
meliputi tanaman pagar, tanaman sekat bakar dan tanaman pelindung. Tanaman
pagar berfungsi untuk melindungi tanaman pokok dari gangguan ternak.
Beberapa jenis tanaman pagar yang biasanya ditanam yaitu : Acacia tomentosa,
Lannea grandis, Caesalpinia sappum dan Dichrostochys cineren. Tanaman sekat
bakar umumnya ditanam pada areal yang sering mengalami kebakaran. Jenis-
jenis tanaman tersebut antara lain : Tamarindus indica, Antidesma bunius, Schima
7
walichii dan Acacia auriculiformis. Tanaman pelindung biasanya ditanam di tepi
sungai, jurang, pada bagian yang curam dengan jarak tnam 3m x 1 m. Jenis-jenis
yang biasa ditanam yaitu Cassia siamea dan Calliandra sp. (Pradjadinata dan
Masano, 1996).
E. Pemeliharaan
1. Penyiangan dan Penyulaman
Kegiatan penyiangan dimaksudkan untuk membersihkan tanaman liar dan
pengganggu bagi tanaman pokok. Kegiatan ini baisanya dilakukan 2-3 kali
setahun sampai tanaman berumur 2 tahun, sedangkan untuk tanaman yang
berumur 3-4 tahun kegiatan penyingan cukupp dilakukan 1 kali dalam setahun.
Kegiatan penyulaman dilakukan untuk menggantikan tanaman yang mati atau
pertumbuhannya merana. Kegiatan ini dilakukan pada tahun pertama selam
musim hujan masih berlangsung. Bibit yang digunakan untuk penyulaman dipilih
dengan ukuran tinggi yang hampir serupa dengan yang ditanam di lapang
(Anonimous, 1998)
2. Penjarangan
Kegiatan penjarangan mulai dilakukan sejak tanaman berumur 2 tahun.
Kegiatan penjarangan dilakuan setiap tahun. Jika tanaman sudah berumur 10
tahun, kegiatan penjarangan dilakukan setiap 3 tahun sekali
F. Hama Dan Penyakit
Informasi mengenai hama dan penyakit penting khususnya pada tanaman
Sengon telah dirangkum oleh Suharti (2002) adalah sebagai berikut :
* Hama pada Sengon
1. Hama Perusak Daun/Tajuk
a. Eurema spp.
Hama ini termasuk dalam famili Piridae, ordo Lepidoptera, merupakan
hama potensial pemakan daun. Hama ini dikenal dengan nama lain yaitu
hama kupu kuning. Terdapat 2 species yang sering menyerang tanaman
Sengon yaitu E. blanda dan E.hecabe. gejala tanaman yang terserang
yaitu daun habis dimakan oleh ulatnya (larva) sampai ke tulang daun
sehingga tanaman menjadi gundul.
b. Ulat Kantong
Hama ulat kantong termasuk famili Psychidae, ordo Lepidoptera. Hama
ini biasanya menyerng pada musim kemarau yang berkepanjangan. Gejala
tanaman yang terserang yaitu daun berlubang-lubang, meradang dan
kering, bahkan dapat menyebabkan tanaman menjadi gundul. Ualt yang
besar selain memakan daun juga memakan kulit kayu bagian luar.
c. Kutu Dompol (Ferrisia virgata Cock)
Hama ini dikenal juga dengan nama Pseudococcus virgatus termasuk
dalam famili Pseudococcidae, ordo Homoptera. Species ini juga
menyerang jenis tanaman lain seperti jmbu mete, lamtoro, ketapang
8
(Kalshoven, 1981 dalam Suharti, 2002). Hama kutu dompol dapat
menyerang bibit di persemaian dan tanaman muda dengan cara menghisap
cairan pucuk sehingga bibit akan kering bagian tajuknya.
2. Hama Perusak Batang
a. Uter-uter (Xystrocera festiva Pascoe)
hama uter-uter di beberapa daerah dikenal dengan nama Wowolan atau
Boktor, termasuk dalam famili Cerambycidae, ordo Coleoptera. Hama ini
pernah menjadi wabah pada tahun 1960 di KPH Malang, Banyuwangi,
Pasuruan dan Kediri. Tanda-tanda serangan yang dapat diamati yaitu
keluarnya serbuk gerek yang bercampur kotoran larva dan menempel pada
permukaan kaluit batang, warnya menjadi coklat kehitaman bila terkena
udara, kulit batang biasanya retak dan biasanya pecah.
b. Hama Arbella atau Indarbella acutistriata Mell.
Hama ini termasuk famili Metrbelidae, ordo Lepidoptera. Selintas bentuk
serangan mirip dengan serangan hama Boktor, yaitu ditandai dengan
patahnya pangkal cabang sebagai awal masuknya hama gerek tersebut.
Serbuk gerek akan dihasilkan dan dirnagkai dengan kotoran larva serta
serpih daun atau kulit kayu membentuk seperti rumah rayap.
3. Hama Perusak Akar
a. Hama Uret atau Lundi
Hama uret sangat merusak bibit atau tnaman muda karena memakan
perakaran sehingga menyebbkan bibit akan mati. Beberapa species yng
sering ditemukan yaitu : Leucopholis rorida F; Lepidiota stigma,
Hollotrichia helleri dan Euchlora viridis.
b. Hama Rayap
Serangga jenis rayap termasuk dlam ordo Isoptera, kelas Insekta.
Beberapa species rayap yang sering menimbulkan kerusakan/kematian
pada tanaman yaitu antara lain :Cryptotermes spp, Coptotermes travians,
Macrotermes gilvus. Berdasarkan habiat dan cara hidupnya, rayap dapat
dibedakan menjadi 4 golongan yaitu: rayap pohon, rayap kayu lembab,
rayap kayu kering dan ryap subteran.
* Penyakit pada Sengon
1. Penyakit Biji
Infeksi cendawan pada biji dapat mengakibatkan berbagai gejala yaitu kulit
biji mengkerut, timbul luka atau peradangan dan menimbulkan perubahan
warna atau pembusukan. Beberapa jenis cendawan lapang yang menyerang
biji Sengon yaitu : Trichoderma sp, Cladosporium sp, Botryodiplodia sp dan
Fusarium sp. Sedangkan cendawan gudang antara lain : Aspergillus sp,
Rhizopus sp dan Penicillium sp (Zakir et al, 1993 dalam Suharti, 2002).
9
2. Penyakit Daun
Penyakit yang menyerang daun disebut juga penyakit embun jelaga karena
ditandai dengan timbulnya lapisan miselia berwarna hitam yang menutupi
permukaan daun, yang kondisi ini dapat menghambat proses fotosintesis
tanaman dan dapat menyebabkan kematian. Jika serangan sangat hebat, daun
akan berubah menjadi kuning , kering dan rontok. Cendawan penyebabnya
adalah Capnodium sp. Penyakit lain yang disebabkan oleh Agrobacterium
tumefasciens menyebabkan terjadinya benjolan/kanker pada tajuk, ranting,
cabang, tunas maupun batang terjadi di daerah Maluku, Kalimantan Selatan
dan Rangkasbitung
3. Penyakit Batang
Penyakit busuk batang yang pernah menyerang Sengon disebabkan oleh
cendawan Corticium salmonicolor atau cendawan upas. Akibat serangan
cendawan ini menyebabkan kulit batang pecah-pecah dan terjadi
pembengkakan. Penyakit batang yang lainnya adalah penyakit kanker yang
disebabkan oleh cendawan Nectria sp. Batang yang terserang akan mengalami
pertumbuhan yang abnormal. Awal infeksi biasanya terjadi pada batang yang
patah atau luka. Bisa juga melalui luka yang dibuat oleh serangga.
4. Penyakit Akar
Tanaman yang terserang penyakit akar biasanya pada awal serangan tidak
terlihat gejalanya, namun apabila serangan sudah lanjut ditandai dengan layu
atau tajuk menguning dan daun berwarna kusam, hingga tanaman mengalami
kematian (Semangun, 1971 dalam Suharti, 2002). Apabila akar tanaman
tersebut digali, maka akan terlihat akar mengalami pembusukan dan berwarna
coklat gelap.Penyakit busuk akar dapat juga disebabkan oleh cendawan
Ganoderma sp. Gejala serangan hampir mirip dengan gejala serangan
cendawan akar putih (Fomes sp.) tetapi miselia yangg menutupi akar berwarna
merah atau ungu. Jika gejala tersebut sudah terlihat pada tajuk biasanya
serangan sudah lanjut yaitu bagian perakaran dan pangkal batang sudah
rusak/busuk.
* Teknik Pengendalian Hama dan Penyakit pada Sengon
a. Penanganan biji Sengon
Untuk menghindari serangan hama pada wadah simpan maka biji yang
disimpan pada wadah tertutup dicampur dengan daun mimba (Azadirachta
indica) dengan perbandingan 1 : 20 (setiap 100 kg biji dicampur dengan daun
Mimba sebanyak 5 kg). Sebelum kegiatan penaburan, biji direndam dalam
larutan Natrium hipoklorit 1% selama 3 menit (Suharti, 2002).
10
b. Pengendalian Hama Perusak Daun/pucuk
Beberapa kegiatan pengendalian ytang dapat dilakukan menurut Suharti
(2002) adalah sebagai berikut :
- Fisik/mekanik, memotong bagian tanaman yang terserang dan dibakar di
tempat tertentu (jika serangan masih relatif sedikit).
- Penyemprotan dengan pestisida nabati, jenis pestisida tersebut dapat dibuat
dari larutan kulit buah Mahoni yang direbus atau larutan kulit buah mahoni
tumbuk, perasan umbi gadung dengan dosis 200 g/lt, campuran buah
Bremuk atau Maja dengan tembakau (2 : 1 dalam 1 Lt air) atau larutan
daun kenikir atau babadotan dengan konsentrasi larutan 1 : 10 (b/v) .
- Cara biologi, yaitu dengan menggunakan suspensi jamur Beauveria bassiana
sebanyak 25 g pada media jagung sebanyak 1 l. Penyemprotan dilakukan
pada pagi hari atau sore hari.
- Cara kimiawi, dengan menggunakan pestisida kimia yang sistemik dengan
cara bacok oles.
c. Pengendalian Hama Penggerek Batang
Teknik pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengatasi serangan hama
penggerek batang menurut Suharti (2002) adalah sebagai berikut :
Menggunakan jamur entomopatogenik B. bassiana, dimana suspensi larutan
tersebut disemprotkan pada permukaan batang atau celah-celah kulit yang
retak. Penyemprotan dilakukan secara merata dan diulang sebanyak 3 kali
dengan frekuensi waktu setiap 3-4 minggu.
d. Pengendalian Hama Perusak Akar
Hama perusak akar terdiri dari rayap, lundi/embug atau gayas.
Pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara biologi dengan menggunakan
suspensi larutan jamur B. bassiana dan Metarhizium anisophilae atau dengan
cara fisik yaitu dengan mencangkul dan mengumpulkkan hama uretnya. Cara
kimia merupakan pilihan terakhir yaitu yang mengandung bahan aktif
diazinon 10%, karbofuran 3% atau karbaril 85% (Suharti, 20002).
VII. SARANA DAN PRASARANA
Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan
kegiatan pembuatan tanaman Sengon yaitu meliputi (Deparytemen Kehutanan,
1999);
a. Jalan inspeksi
Jalan dibuat selebar 3 m dengan bagian untuk roda masing-masing selebar 0,5
m diperkeras dan di kedua sisinya dibuat selokan untuk pembuangan air.
b. Pembuatan pondok kerja
Pondok kerja dibuat untuk pengawas dan timnya selama kegiatan penanaman,
selama kegiatan pemeliharaan dan pengamatan hasil penanaman.
11
c. Pembuatan menara api
Menara api biasanya dibangun pada daerah yang berbatasan dengan alang-
alang atau daerah yang rawan kebakaran dan digunakan untuk memantau jika
terjadi kebakaran pada suatu areal penanaman. Pada luasan 1000 ha dibangun
1 menara api, sedangkan untuk luasan 5000 ha dibangun sebanyak 3 menara
api
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 1998. Pedoman Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Badan
Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.
Hidayat, J; D, Iriantono dan P, Ochsner. 2002. Paraserianthes falcataria (L.)
Nielsen dalam Informasi Singkat Benih No. 23. Direktorat Perbenihan
Tanaman Hutan.
Martawidjaya, A; I, Kartasudjana; Y.I, Mandang; S, Among Prawira dan K,
Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor.
Suharti, M. 2002. Beberapa Hama Dan Penyakit Penting Pada Sengon
(Paraserianthes falcataria) Dan Teknik Pengendaliannya. Bull. Penelitian
Hutan No. 632 : 27-46.
Pradjadinata, S dan Masano, 1996. Teknik Penanaman Sengon (Paraserianthes
falcataria). Informasi Teknis No.1.