tata ruang pembangunan kawasan perdesaan (seri buku saku uu desa)

28
Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan Seri Buku Saku UUDesa TATA RUANG DAN PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN Borni Kurniawan TATA RUANG DAN PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

Upload: infest-yogyakarta

Post on 26-Jul-2016

311 views

Category:

Documents


54 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

Maju Perempuan Indonesiauntuk Penanggulangan Kemiskinan

Seri Buku Saku UUDesa

TATA RUANG DAN PEMBANGUNAN

KAWASAN PERDESAANBorni Kurniawan

TATA RUANG DAN PEMBANGUNAN

KAWASAN PERDESAAN

Page 2: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)
Page 3: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)
Page 4: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

Seri Buku Saku UU Desa

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Penulis: Borni KurniawanPenyunting : Heru Prasetya & M. Irsyadul IbadReviewer : Frisca Arita Nilawati Proof Reader: Sofwan HadiIlustrasi Sampul : Dani YuniartoSampul dan Isi : Akbar BinbachrieWahyu Hidayat

Didukung oleh:

Maju Perempuan Indonesiauntuk Penanggulangan Kemiskinan

Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama, kecuali untuk kepentingan komersil.

Buku ini dikembangkan dan diterbitkan oleh INFEST dengan dukungan dari Program Maju Perempuan Indonesia Untuk Penanggulangan Kemiskinan (MAMPU). Program Mampu merupakan inisiatif bersama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan perempuan. Informasi yang disampaikan dalam buku ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab tim penyusun dan tidak serta merta mewakili pandangan Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Australia.

ISBN: 978-602-14743-8-9

Diterbitkan pertama kali Tahun 2016 oleh:

Page 5: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

i

SEKAPUR SIRIH

afas baru pengelolaan desa melalui Undang-Undang Nomor 6 NTahun 2014 tentang Desa menjamin kemandirian desa. Melalui asas

rekognisi dan subsidiaritas, peran desa bergeser dari objek menjadi

subjek pembangunan. Melalui kewenangan berdasarkan hak asal usul dan

kewenangan lokal berskala desa, desa diharapkan menjadi pelaku aktif dalam

pembangunan dengan memperhatikan dan mengapresiasi keunikan serta

kebutuhan pada lingkup masing-masing.

Desa yang kini tidak lagi menjadi sub-pemerintahan kabupaten berubah

menjadi pemerintahan masyarakat. Prinsip desentralisasi dan residualitas

yang berlaku pada paradigma lama melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004, digantikan oleh prinsip rekognisi dan subsidiaritas. Kedua prinsip ini

memberikan mandat sekaligus kewenangan terbatas dan strategis kepada

desa untuk mengatur serta mengurus urusan desa itu sendiri.

Membumikan makna desa sebagai subjek paska UU Desa bukanlah sesuatu

yang mudah dilakukan. Pelbagai ujicoba dilakukan oleh elemen pemerintah

dan masyarakat sipil untuk dapat menggerakkan desa agar benar-benar

menjadi subjek pembangunan. Berbagai praktik dan pembelajaran telah

muncul sebagai bagian dari upaya menggerakkan desa menjadi subjek

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 6: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

ii

pembangunan seutuhnya. Idiom subjek tidak bermakna pemerintahan desa

semata, melainkan juga bermakna masyarakat. Desa dalam kerangka UU

Desa adalah kesatuan antara pemerintahan desa dan masyarakat yang

terjawantah sebagai masyarakat pemerintahan (self governing community)

sekaligus pemerintahan lokal desa (local self government).

Pemaknaan atas subjek tersebut masih kerap ada dalam situasi yang

problematis akibat kuatnya cara pandang lama tentang desa di kalangan

pemerintahan desa dan masyarakat. Pada pemerintahan desa, anggapan

bahwa desa semata direpresentasikan oleh kepala desa (Kades) dan

perangkat masih kuat bercokol. Hal ini berimplikasi minimnya ruang

partisipasi yang dibuka untuk masyarakat agar dapat berperan dalam

pembangunan desa. Sebaliknya, masyarakat masih bersikap tidak peduli atas

ruang “menjadi subjek” yang sebenarnya telah terbuka luas.

Sebagai upaya untuk mendukung desa sebagai subjek, itulah alasan buku ini

hadir. Buku ini dapat menjadi pegangan bagi pegiat dan elemen di desa. Buku

ini salah satu sekuel dari rangkaian buku yang disusun oleh Tim Infest

Yogyakarta. Serial Buku Saku UU Desa terdiri dari: Lebih Dekat dengan

Kewenangan Desa, Mengenal dan Mengelola Aset Desa, Pendirian dan

Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa), Penyelenggaraan

Pemerintahan Desa, Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan.

Terima kasih kami sampaikan kepada tim penulis yang telah menyelesaikan

penulisan buku ini. Untuk Desa dan Indonesia, pengetahuan ini kami

persembahkan.

Muhammad Irsyadul Ibad

Direktur Eksekutif Infest Yogyakarta

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 7: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

Sekapur Sirih

iii

i

BAB 1UU Desa, Tata Ruang Desa, dan Kawasan Permukiman Pembentukan Desa dan Tata Ruang

Kawasan Permukiman

Tentang Penataan Ruang DesaBAB 2

Kesadaran Keruangan Desa

Marginalisasi Tata Ruang Desa

BAB 3Tata Ruang dan Seni Membangun

Hilangnya Kewenangan Desa

Menata Ruang Desa

1

14

66

7

11

11

13

Tentang Penulis 16

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 8: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 9: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

ada hakikatnya Tuhan menciptakan dunia atau bumi memiliki batas Pruang dan waktu. Masyarakat di bumi Nusantara membentuk koloni

yang kemudian di sebut desa atau nama lain juga memiliki batasan

ruang baik secara wilayah teritori maupun genealogis (berdasarkan garis

keturunan atau persaudaraan). Definisi desa menurut Undang-Undang No. 6

Tahun 2014 tentang Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan,

BAB 1

1

Pembentukan Desa dan Tata Ruang

UU Desa, Tata Ruang Desa, dan Kawasan Permukiman

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 10: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak

asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem

pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Definisi desa tersebut hendak menyatakan bahwa desa memiliki batas ruang.

Batas tersebut dapat berupa batasan wilayah secara fisik dan non fisik. Batas

fisik dapat diartikan sebagai batas teritorial desa yang secara empirik

menjelaskan perbedaan luasan antara satu desa dengan desa lainnya.

Batas desa yang berupa batas non fisik dapat berupa perbedaan asal usul

budaya dan kelembagaan lokal desa. Satu desa dengan desa lainnya memiliki

cara hidup dan tata hukum yang berbeda. Karenanya ada ungkapan ”lain

ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Ungkapan lain menyatakan ”di

mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.” Hal tersebut memberikan pesan

bahwa setiap desa memiliki pranata hidup yang berbeda, sehingga

membatasi perilaku dan interaksi sosial masyarakat di dalamnya. Pranata

hidup tersebut menjadi batas imajiner yang secara sosiologis membedakan

karakter kehidupan masyarakat desa di dalamnya, sehingga masyarakat di

dalamnya saling menghormati satu sama lainnya.

Secara teritorial, batas wilayah antara satu desa dengan desa lain biasanya

berupa sungai dan jalan. Yurisdiksi desa terdiri dari ruang-ruang kelembagaan

yang biasanya disusun secara hierarkis sehingga menghasilkan perbedaan

jangkauan otoritas di antara kelembagaan tersebut. Kelembagaan desa-desa

di Jawa terdiri dari RT, RW, dusun, lalu desa. Di Aceh, gampong terdiri dari

jurong dan dusun. Masing-masing wilayah kelembagaan dipimpin oleh warga

yang biasanya dipilih atau ditunjuk atas permufakatan bersama warga yang

tinggal di dalamnya. Misalnya, ketua RT adalah pimpinan wilayah untuk skop

RT. Demikian seterusnya untuk ketua RW dan kepala dusun.

2

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 11: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

Sebagaimana di Jawa dan Aceh, pola pembentukan ruang sosial masyarakat

dan wilayah administratif di Maluku bagian utara juga berangkat dari keluarga

(klan inti), kemudian bergabung menjadi beberapa rumah tangga klan inti

menjadi satu, yang disebut halu. Tahap berikutnya yaitu penggabungan

beberapa halu menjadi satu kelompok yang disebut dengan soa. Selanjutnya,

gabungan dari beberapa soa dalam satu wilayah atau teritori dalam bahasa

Halmahera disebut O'Kampono, dalam bahasa Melayu sama dengan

kampung. Skema pembentukan desa di Maluku Utara bisa dilihat pada

gambar di atas.

Keluarga

RT/Jurong

RW/Dusun

Desa/Gampong

Halu

Halu

Halu

Halu

Klen Inti

Halu

O’Kampono

Soa

Soa

Soa

Soa

Soa

Pola ruang sosial masyarakat Jawa dan Aceh

Pola ruang sosial masyarakat Maluku Utara

3

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 12: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

4

Manusia selalu berkembang biak sehingga jumlahnya selalu bertambah setiap

saat. Koloni penduduk yang semula menempati satu desa, kemudian meluas

karena terbentuknya kesatuan masyarakat yang baru di wilayah yang lain,

sehingga dalam suatu kawasan terbentuk beberapa desa. Meskipun secara

teritorial desa-desa dalam satu kawasan memiliki batasan ruang wilayah, tapi

secara imajiner sebenarnya mereka saling tersatukan atau terhubungan.

Keterhubungan ini bisa disebabkan karena kesamaan jenis mata pencaharian

penduduknya, kesamaan sosial sebagai daerah perkebunan, pertambangan,

ataupun daerah aliran sungai (DAS).

Kesamaan tersebut biasanya akan mendorong lahirnya prakarsa-prakarsa

kerjasama antar desa untuk mengatasi problem bersama yang dihadapinya.

Dulu, pada saat desa-desa di sepanjang Kali Code Yogyakarta belum

tersadarkan oleh arti pentingnya membangun kapasitas kesiapsiagaan

bencana antardesa, penduduk di masing-masing desa cenderung memikirkan

kenyamanan dan keselamatan hidup masing-masing. Penduduk yang hidup di

desa-desa bagian hulu cenderung tidak peduli dengan nasib desa-desa di

bagian tengah, manakala menebang hutan ataupun membuang sampah ke

sungai. Padahal, sampah-sampah yang dibuang ke sungai akan mengalir ke

desa-desa di bagian tengah dan bagian hilir sungai. Akibatnya, ketika musim

hujan tiba, sampah-sampah yang berasal dari desa-desa di bagian hulu sungai

menumpuk di bantaran sungai desa-desa di bagian tengah dan hilir sungai.

Kini, setelah berkali-kali diterjang banjir lahar Merapi, penduduk desa di

sepanjang Kali Code menyadari bahwa mereka berada dalam satu kawasan

daerah aliran sungai yang sama-sama menghadapi ancaman banjir, maka

mereka menjalin kerjasama dan komunikasi yang intensif satu sama lain.

Dengan cara ini resiko bencana banjir yang sewaktu-waktu tiba dapat

diminimalikan.

Demikian pula dengan desa-desa yang berada dalam satu kawasan yang

sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Maka

perilaku hidup petani satu desa dengan desa lainnya akan saling

memengaruhi. Dalam tradisi pertanian, bercocok tanam secara serentak

Kawasan Permukiman

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 13: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

dengan jenis tanaman yang sama sangat diutamakan. Jika tidak dilakukan

serentak, potensi serangan hama akan lebih mudah mereka terima.

Dengan pertimbangan seperti itu, para petani di desa-desa dengan karakter

kawasan pertanian umumnya memiliki etos yang sama. Pada saat musim

tanam tiba, secara serentak mereka akan segera menanami sawah dengan

jenis tanaman yang sama. Di sinilah arti penting berpikir dan menata ruang

antardesa dalam satu kawasan sebagai satu kesatuan wilayah yang saling

terhubung dan membutuhkan satu sama lain.

5

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 14: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

arga Desa Tanggunglangin, Desa Jaga Sima, Kecamatan WPetanahan, Kabupaten Kebumen kini menyadari bahwa gumuk

pasir di pesisir pantai selatan memiliki manfaat penting. Gumuk

pasir yang dulu menjadi pelindung desa dari ancaman tsunami dan angin laut

yang kencang kini hilang karena aktivitas penambangan pasir laut yang

berlangsung lama. Bahkan hingga kini. Tak hanya ancaman tsunami, hilangnya

gumuk pasir juga berpotensi mempercepat terjadinya intrusi air laut ke

daratan, sehingga sumber mata air penduduk yang semula tawar menjadi

asin.

Tidak mau bernasib sama, desa-desa di pesisir selatan Kebumen yang meliputi

Kecamatan Bulus Pesantren dan Ambal dan Mirit atau biasa dikenal kawasan

Urut Sewu berusaha keras menolak rencana eksploitasi pasir besi di desa-desa

mereka. Terlebih saat pemerintah tidak peduli lagi dengan hak kepemilikan

sah rakyat atas tanah pertanian di Urut Sewu, apalagi dengan cara

mengerahkan lembaga keamanan nasional (TNI), maka gelombang warga

mempertahankan kedaulatannya kian membesar.

Selain karena ancaman bencana, masyarakat di desa-desa yang menolak

kebijakan eksploitasi pasir besi tersebut menyadari bahwa pilihan sebagai

kawasan pertanian adalah pilihan yang terbaik. Selama ini masyarakat di

kawasan Urut Sewu sudah merasa nyaman dengan bekerja sebagai petani.

Tentang Penataan Ruang Desa

BAB 2

6

Kesadaran Keruangan Desa

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 15: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

Menurut mereka, tanah pesisir Urut Sewu sangat subur sehingga menjanjikan

produksi hasil pertanian yang lebih berjangka panjang daripada dikeruk

pasirnya untuk memenuhi kebutuhan produksi bijih besi. Kehebatan kawasan

pertanian di Urut Sewu ini dapat dibuktikan dari tinggi dan beragamnya produk

hasil pertanian seperti palawija, jagung, cabe, pepaya dan berbagai jenis sayur

mayur.

Dinamika politik ekologi yang melanda desa-desa di Urut Sewu dan desa-desa

lain yang bergejolak seperti di kawasan Gunung Kendeng, Rembang, dan

pesisir selatan Kulonprogo pada hakikatnya menunjukkan adanya kesadaran

warga desa atas ruang desa. Bagi mereka desa bukan sekadar sekumpulan

penduduk yang terdiri dari masyarakat dan pemerintah desa. Tapi lebih dari itu,

desa adalah kesatuan manusia dengan alamnya.

Marginalisasi Tata Ruang Desa

Kehidupan masyarakat desa sejak dahulu tidak bisa dipisahkan dari alam dan

lingkungan sekitarnya. Mereka membangun permukiman atau perumahan

pada umumnya tidak jauh dari sumber-sumber kehidupan seperti sungai, laut,

dan hutan. Marga-marga di Sumatera Selatan, misalnya di Kabupaten Musi

Banyasin, sebagian besar membangun permukiman di sepanjang hutan

pinggiran sungai Musi. Demikian pula dengan desa-desa di Kalimantan, juga

membangun gugus perumahan di hutan pinggiran sungai Kapuas. Menariknya,

mereka memanfaatkan sungai sebagai jalur transportasi perdagangan dan

komunikasi sosial antardesa, sehingga membangun rumah menghadap sungai

dulu menjadi bagian dari budaya masyarakat desa.

Seiring dengan modernisasi yang berjalan yang menempatkan revolusi industri

menjadi bagian dari roda perubahan peradaban manusia, secara tidak langsung

memengaruhi fokus pembangunan. Kota kemudian menjadi fokus utama

pembangunan. Di kota dibangun kawasan-kawasan industri, pasar, dan

berbagai pusat-pusat perekonomian lainnya. Kota dirancang menjadi sumber

produksi ekonomi yang bahan bakunya berasal dari desa.

7

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 16: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

Salah satu keunggulan kota dibanding desa adalah karena pembangunan

kota dilandasi dengan perencanaan tata ruang. Dari tekstur permukiman,

jaringan irigasi, jaringan lalu lintas, hingga penataan taman kota, semuanya

didasarkan pada kebijakan tata ruang kota. Bagi kota yang berhasil

menerapkan konsep ideal tata ruang kota, maka hasilnya akan

mengesankan. Tapi bagi kota yang tidak berhasil menerapkan tata ruangnya

dengan baik, maka hanya kesemrawutan yang didapatkan.

Coba bandingkan antara London dengan Jakarta. Keduanya sama-sama

berstatus sebagai ibu kota negara. Tapi keduanya memberikan pembelajaran

hasil pembangunan tata ruang yang berbeda kualitasnya. Sungai-sungai di

Jakarta masih dipenuhi sampah. Rumah-rumah di sepanjang sungai pun

memunggungi sungai. Semua jalur pembuangan sampah rumah tangga dan

pabrik masuk ke sungai. Akibatnya, sungai menjadi muara akhir pembuangan

segala macam jenis polutan. Pada akhirnya pendangkalan sungai tak lagi bisa

dihindari. Tidak mengherankan, ketika musim penghujan dating, Jakarta

menjadi langganan banjir.

Sebagian Wajah Kota London(Sumber: Natawisata.com)

Sebagian Wajah Kota Jakarta(Sumber: Tempo.co)

Sebaliknya, sungai-sungai di London menunjukkan model pembangunan

sungai dengan tingkat kebersihan yang jauh berbeda dengan penampakan

sungai-sungai di Jakarta. Sebagaimana masyarakat desa di Nusantara dahulu,

penduduk London dalam membangun permukiman penduduk tidak

memunggungi sungai. Dengan menghadap ke sungai, apalagi ketika sungai

dimanfaatkan sebagai jalur transportasi, maka penduduk di sepanjang aliran

8

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 17: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

9

sungai di London mau tidak mau terbiasa turut serta menjaga kebersihan dan

kelestarian ekosistem sungai. Jadi, sungai tidak menjadi kumuh karena bagi

masyarakat London sungai adalah wajah kota, bukan latar belakang kota.

Kembali kepada maraknya kebijakan ekonomi di bidang restrukturisasi

industri, desa kini tak luput menjadi target perluasan industri. Pembukaan

kawasan-kawasan industri di perdesaan menyebabkan topografi desa

berubah. Sawah-sawah desa yang terhampar luas dan produktif mengalami

penyempitan. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, keluarga tani di

Indonesia rata-rata hanya memiliki 0,25 hektar. Penyempitan lahan pertanian

ini tidak lain disebabkan oleh aksi penguasaan lahan yang berlebihan oleh

para pengusaha dan pemilik modal. Selain berubah menjadi pabrik, lahan

pertanian di desa telah berganti menjadi perumahan elit. Jika penyempitan

lahan pertanian ini terus dibiarkan terjadi, maka bukan tidak mungkin 20 atau

30 tahun mendatang, defisit pangan akan menjadi ancaman nyata bagi

bangsa Indonesia.

Ketika lahan-lahan pertanian yang seharusnya menjadi kantung

penyimpanan air tanah telah berganti bangunan, maka air permukaan di desa

pun semakin kehilangan kualitasnya sebagai sumber air bersih. Sungai-sungai

menjadi sasaran pembuangan limbah pabrik. Kadar polutan cair yang tak

terkendali dapat dipastikan diserap tanah dan memengaruhi air tanah yang

selama ini diandalkan penduduk desa sebagai sumber air minum.

Pertumbuhan kawasan industri, perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan di

kota, sampai dengan hotel pada akhirnya mendorong perubahan perilaku

penduduk kota. Bagi penduduk kota yang tidak mampu bersaing dalam hal

penguasaan lahan dengan para pemiliki modal mereka lebih memilih

melampiaskan kebutuhan perumahan di desa. Peluang ini kemudian

ditangkap oleh para pengembang (developer). Ke mana lagi kalau bukan ke

desa sebagai pilihan pengembangan industri perumahan.

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 18: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

Kerusakan ekologis yang begitu masif di desa merupakan ekses

pembangunan ekonomi yang berorientasi pada keuntungan semata dan

mengabaikan keberlanjutan sumber daya alam. Desa yang memiliki kekayaan

sumber daya alam berlimpah banyak dilirik perusahaan tambang. Bahkan

tidak sedikit desa yang menjadi target operasi perusahaan-perusahaan

tambang. Penghormatan dan pengelolaan kekayaan tambang di desa yang

buruk pada akhirnya berujung pada timbulnya gejolak sosial di desa. Gejolak

sosial, politik, dan ekonomi yang menimpa desa-desa di kawasan Urut Sewu,

Rembang, dan lainnya sebagaimana dicontohkan di atas, merupakan bukti

bahwa tata ruang desa dan kota pada hakikatnya satu kesatuan yang tidak

bisa dipandang secara parsial. Karenanya agresivitas dan dominasi

pembangunan kota tidak boleh memarginalkan desa.

10

Gb. Sawah dan Perumahan(Sumber: Ekuatorial.com)

Gb. Sawah dan Pabrik(Sumber: Kabarbisnis.com)

Rural

Sub Urban

Urban

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 19: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

ondisi saat ini, desa menghadapi tantangan konsep pembangunan Ktata ruang yang kadar keberpihakannya terhadap kedaulatan ruang

desa rendah.Tidak sedikit riak-riak konflik agraria yang muncul antara

masyarakat dengan pemerintah dilatarbelakangi kebijakan tata ruang kota

yang berpotensi meminggirkan desa. Konflik agraria yang terjadi di Urut Sewu

Kabupaten Kebumen, kasus pembunuhan petani dan aktivis anti tambang

“Salim Kancil” di Kabupaten Lumajang, atau sengketa lahan pertanian di Desa

Bentayan Kabupaten Banyuasin berakar pada tata kelola kebijakan tata ruang

yang diselenggarakan pemerintah kabupaten/kota tidak menghormati batas

teritori dan kewenangan desa.

Terlebih saat kebijakan ekonomi nasional syarat dengan muatan kepentingan

rezim pembangunanisme. Rezim ini bekerja menurut koridor logika teori

modernisasi di mana paradigma kolonialisme masih menjadi bagian penting

pengembangan ekonomi. Sebagai contoh, kebijakan ekonomi di bidang

industri perkebunan sawit. Pemerintah masih memberi ruang yang lentur

kepada perkebunan-perkebunan sawit untuk meluaskan kepemilikan lahan

perkebunannya. Ekspansi perkebunan tidak terkendali yang dilakukan

perusahaan-perusahaan minyak sawit pada akhirnya menyebabkan

terjadinya deteritorialisasi desa. Batas desa untuk melindungi wilayahnya

menjadi semakin kabur karena perusahaan mengantungi izin perluasan lahan

dari pemerintah. Dengan mengeluarkan izin perluasan lahan kepada

Tata Ruang dan Seni Membangun

BAB 3

11

Hilangnya Kewenangan Desa

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 20: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

perusahaan pada hakikanya pemerintah telah meniadakan batas wilayah desa

sebagai satu kesatuan ekosistem yang saling bergantung dan melengkapi satu

sama lain.Pada akhirnya desa kehilangan kewenangannya untuk menata

ruangnya sendiri.

Selama ini kewenangan untuk melakukan penataan ruang hanya berlaku

untuk pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah pusat. Kini, dengan UU

No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, melalui pemberlakuan asas subsidiaritas, Desa

mendapat pengakuan dari Negara untuk mendefinisikan siapa dirinya,

memetakan dan mengidentifikasi potensi sumber daya yang dimilikinya untuk

menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran desa. Tak terkecuali untuk

mendefinisikan batas wilayahnya.

Kesimpulan itu paling tidak mengacu pada definisi desa sebagaimana termuat

dalam UU Desa tersebut yang berbunyi bahwa Desa adalah kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat

setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asalusul, dan/atau hak

tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasar definisi tersebut, sekali lagi dapat ditarik kesimpulan bahwa desa

memiliki kewenangan untuk mengelola ruang dan wilayahnya sesuai dengan

batas wilayahnya sendiri. Namun demikian bukan berarti mengabaikan

keberadaannya sebagai bagian dari ruang dan wilayah NKRI. Maka dari itu,

dalam konteks mengurus diri, ruang, dan wilayahnya, antara desa satu dengan

desa lainnya tentu harus saling memperhatikan agar keseimbangan ekologis,

sosial, budaya, ekonomi, dan politik tetap terjaga.

12

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 21: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

Menata Ruang Desa

Menata ruang desa pada hakikatnya mengandung nilai seni. Bukan hanya

sekadar seni menata dan membangun desa secara fisik, tapi juga

membangun manusia dan hubungan antara manusia dengan alam dan

lingkungan yang mengitarinya. Artinya, menata ruang suatu wilayah bukan

berarti hanya mengurus benda mati yang bersifat ajek tapi menata unsur

yang bersifat hidup (dinamis).

Para leluhur Nusantara yang ahli di bidang tata ruang wilayah sebenarnya

telah mewariskan ilmu sebagai landasan teori pembangunan ruang dan

wilayah, tidak hanya untuk kota tapi desa. Warisan budaya tata ruang

tersebut berpangkal pada keluhuran budi pekerti yang diturunkan dari

kepercayaan dan mitos yang dianut mereka. Beberapa contohnya ilmu

petung bagi orang Jawa, dan tri hita kirana bagi orang Bali.

Di zaman dulu, orang-orang tua di Jawa selalu menggunakan pakem

petungan Jawa saat membangun rumah. Orang Jawa, ketika membangun

rumah tidak akan menghabiskan seluruh luasan tanah untuk bangunan.

Sumur di dalam rumah tidak boleh diberi atap, alias dibiarkan langsung

bersentuhan dengan sinar matahari. Di samping itu, orang Jawa pantang

menebang pohon besar. Terlebih kalau dibawahnya terdapat sumber air.

Sekalipun dengan alasan yang bernada mitos, tradisi orang Jawa tersebut

memiliki makna yang dalam dan dapat dicerna secara rasional sebagai bagian

dari ilmu tata ruang.

Orang-orang Bali sangat memegang teguh apa yang disebut Tri Hita Kirana

dan Hasta Kosala Kosali. Konsep ini dianut oleh masyarakat Bali dalam tata

lingkungan dan perumahannya. Dengan konsep ini, masyarakat Bali sangat

memperhatikan keseimbangan ekologis, baik ketika menata rumah, menata

ruang desa, maupun kota. Ada tiga kawasan yang selalu dipelihara di sini yaitu

kawasan bawah atau disebut nista. Kawasan ini biasanya area yang mengarah

ke laut (pesisir) dicadangkan sebagai kawasan palemahan yang lazim

digunakan sebagai area pekuburan. Kawasan berikutnya bagian tengah atau

bagian madya yang disebut pawongan. Arena ini diperuntukkan sebagai

13

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 22: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

14

perumahan penduduk. Sedangkan bagian teratas (utama) yang mengarah ke

gunung disebut pamerajan¸digunakan untuk tempat suci untuk memuja para

dewa atau roh-roh nenek moyang.

Model pendekatan tata ruang yang diperkenalkan oleh para pendahulu kita

sebenarnya mewariskan pembelajaran pendekatan tata ruang wilayah yang

sangat ekologis. Bahkan sangat spiritualis-teologis. Nenek moyang kita dalam

membangun ruang desa secara horisontal sangat memperhatikan keseimbangan

ekologis antara manusia dengan alam, keseimbangan antroposentris antara

manusia dengan manusia, dan secara transendental memperhatikan ruang dan

wilayah sebagai bagian dari penataan hubungan antara manusia dengan

penciptanya. Sayangnya, kita sebagai orang desa sudah mulai meninggalkan

bahkan melupakan ilmu tata ruang warisan nenek moyang kita tersebut.

Bagaimanakah dengan kondisi desa kita? Sudahkah disusun berdasarkan tata

nilai seperti yang diwariskan para leluhur kita yang sangat memperhatikan aspek

keseimbangan hidup manusia dengan alam sekitarnya, bahkan manusia dengan

Tuhannya?

Mari sejenak kita mencari jawabannya dengan melakukan beberapa langkah

berikut ini:

Buatlah tim yang terdiri dari orang-orang desa yang memiliki kepedulian

terhadap merosotnya kualitas ruang dan wilayah desa.

Mengidentifikasi kemerosotan keruangan desa. Untuk tujuan ini, tim

dapat melakukannya dengan cara observasi dan pemetaan wilayah desa.

Teknologi GPS dapat membantu tim membuat citra desa tak perlu

bersusah payah membuat peta desa secara manual.

Menganalisis kemerosotan kualitas tata ruang desa hasil observasi

bersama masyarakat, agar masyarakat mengetahui dan sama-sama

terpanggil untuk mencegah kerusakan alam desa lebih jauh.

1.

2.

3.

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 23: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

Merancang maket atau model tata ruang desa yang ideal. Model ini

menggambarkan proyeksi arah pembangunan tata ruang desa di

masa mendatang. Cita-cita tata ruang desa ini sangat bergantung

pada cara pandang desa dalam melihat dirinya. Bagi desa yang

menghendaki menjadi desa wisata, perlu membuat scenario building

tata ruang desa yang mendukung tercapainya desa wisata. Bagi desa

yang berkontur desa industri tentu akan membuat model ruang desa

industri yang tidak hanya memikirkan bagaimana memenuhi

kebutuhan infrastruktur dan sarana prasarana ekonomi, tapi juga

mendesain bagaimana membuat ruang industri yang ramah

lingkungan dan kemasyarakatan.

Membuat peraturan desa tentang tata ruang desa untuk mengatur

dan mengarahkan perilaku sosial masyarakat desa lebih peka

terhadap perlindungan tata ruang desa.

Membangun kerjasama antar desa untuk membangun konsep tata

ruang desa bersama berdasarkan kesamaan karakter kawasan

permukiman.

15

3.

4.

5.

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 24: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

16

Kharis Fadlan Borni Kurniawan

Saat ini, Borni dipercaya sebagai Tenaga Ahli Utama Perencanaan Pembangunan Desa, Ditjen PPMD Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi. Borni juga aktif melakukan kajian tentang good governance dan isu desa. Ia juga aktif sebagai fasilitator serta pendampingan desa. Pria asli Kebumen ini juga aktif menulis buku, jurnal, dan surat kabar. Beberapa buku yang pernah ditulis oleh Borni antara lain: Memanusiakan Perempuan (2005: Indipt Press), Audit Sosial PNPM Antara Retorika dan Realita (2012: INFID), Desa Mandiri Desa Membangun (2015: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi).

Tentang Penulis

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 25: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

CATATAN

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 26: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

CATATAN

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 27: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)

CATATAN

Tata Ruang dan Pembangunan Kawasan Perdesaan

Page 28: Tata Ruang Pembangunan Kawasan Perdesaan (Seri Buku Saku UU Desa)