tafsirisharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. selanjutnya...

224
- Tafsir Ishari Pendekatan Hermeneutika Sufistik Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa> dir al-Ji>la> ni>

Upload: others

Post on 20-Aug-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

-Tafsir IshariPendekatan Hermeneutika Sufistik

Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>

Aik Iksan Anshori

Page 2: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

-Tafsir IshariPendekatan Hermeneutika Sufistik

Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>

Aik Iksan Anshori

Page 3: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

-Tafsir IshariPendekatan Hermeneutika Sufistik

Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>

Aik Iksan Anshori

Aik Iksan Anshori

Page 4: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

Penulis: Aik Iksan Anshori Cetakan: I, September 2012

Ukuran: 16,5 X 24 Cm----195+xii Halaman

ISBN: 978-979-1488-13-6

Diterbitkan oleh:Referensi

Ciputat Mega Mall Blok B/22 & 25 - C/15Jl. Ir. H. Juanda No. 34 Ciputat

Telp./Faks.: 021-74707560Email: [email protected]

Hak Cipta Dilindungi Undang-undangAll Right Reserved

-Tafsir IshariPendekatan Hermeneutika Sufistik

Tafsir Shaikh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>

Aik Iksan Anshori

Page 5: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

v

TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi yang digunakan pada penelitian ini adalah ALA-LC yang diuraikan

sebagai berikut:

HURUF

ARAB NAMA

HURUF

LATIN NAMA

alif اtidak

dilambangkan

tidak

dilambangkan

ba b be ب

ta t te ت

tha th te dan ha ث

jim j je ج

dal d de د

{h}a h حh}a (dengan titik

dibawah)

kha kh ka dan ha خ

dhal dh da dan ha ذ

ra r er ر

za z zet ز

sin s es س

shin sh es dan ha ش

{s}ad s صes (dengan titik

dibawah)

{d}ad d ضde (dengan titik

dibawah)

{t}a t طte (dengan titik

dibawah)

z{a z} ظzet (dengan titik

dibawah)

Page 6: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

vi

ayn a عkoma terbalik

diatas

ghayn gh ge dan ha غ

fa f ef ف

qaf q qi ق

kaf k ka ك

lam l el ل

mim m em م

nun n en ن

waw w we و

ha h ha هـ

lam alif la el dan a ال

hamzah o| apostrop ء

ya y ye ي

Page 7: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

vii

KATA PENGANTAR

Sufisme adalah jalan untuk membantu manusia mewujudkan

tujuan yang diciptakan-Nya, yakni menjadi manusia pencari Tuhan yang

mengabdi penuh dalam menemukan kebenaran hingga menjadi manusia

yang sejati dan sempurna sebagai insan ka>mil. Dalam hal ini pengalaman

sufistik yang dicapai melalui intuitif merupakan transisi terbaik dan

biasanya setelah itu didesak oleh dorongan untuk mencapai kebenaran

transendensial yang dicapai oleh kaum sufi.

Penulis sufisme sepakat menyatakan bahwa sufisme merupakan

ekspresi murni tentang ajaran ruhani dalam Islam dan merupakan

perwujudan paripurna dari nilai-nilai ruhaniah ajaran agama Islam yang

“agamis”. Kaum sufi ortodoks mempunyai keyakinan sebagaimana yang

dianut oleh teolog sunni. Mereka juga mengikuti sepenuhnya aturan-

aturan yang telah dirumuskan oleh kaum mufassir-fuqaha’. Karena itu

kaum sufi ortodoks mempunyai legitimasi sumber-sumber Islam otoritatif

yang dapat dipertanggung jawabkan.

Kaum sufi ortodoks mempunyai kepedulian untuk meluruskan

penafsiran atau ucapan kaum sufi yang dianggap kurang taat asas dan

inkonsisten terhadap syariah seperti pelurusan atau bahkan kecaman

terhadap kaum sufi heteredoks, yaitu kaum sufi-falsafi. Karena itu

penafsiran sufi ortodoks atau suni-’amali cenderung toleran dan moderat

sehingga identik dengan model tafsir isha>ri: sebuah tafsir intermedia

antara mufassir zahir yang acuh terhadap aspek spritual dan mufassir sufi

falsafi-batin yang acuh aspek literal.

Pembakuan hermeneutika sufistik ini bukanlah tujuan utama,

tetapi hanya sebagai alat kepentingan dan perangkat untuk menarik

ajaran moral al-Qur’an sebagai makna yang objektif dan menemukan

validitas penafsiran isha>ri. Karena itu wajar jika penafsiran isha>ri relatif

aman dari kritik, dianggap ta’wil yang terpuji dan masuk mainstream,

terutama ketika standar ortodoksi lebih memihak kelompok sufi sunni

‘amali –jika menggunakan pembacaan objectif interpretation-nya Hirsch.

Konsekuensinya, makna yang dipahami kelompok heterodoks, dalam hal

ini penafsiran sufi-falsafi, dianggap subjektif dan menyimpang.

Page 8: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

viii

Memposisikan al-Ji>la>ni> sebagai seorang mufasir dan

menempatkannya dalam lingkaran akademis merupakan suatu diskursus

baru. Sebab selama ini al-Ji>la>ni> dalam stigma alam pikiran masyarakat

Indonesia lebih dikenal seorang waliyullah melalui tradisi manaqiban

yang sudah berkembang dan turun tumurun sampai sekarang.

Judul yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Hermeneutika

Sufistik Tafsir Isha>ri ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>”. Pemilihan prase

“hermeneutika” tidak lain untuk menjelaskan fungsi hermeneutika

sebagai kaidah terapan metodologi tafsir isha>ri bercorak sufistik,

sekaligus penafsiran hermeneutika sufisme dari kaidah-kaidah tersebut.

Di samping itu, penulis mempunyai pertimbangan akademis bahwa

hermeneutika dalam diskursus tafsir sufistik sudah menjadi habitus yang

berkembang di Barat, seperti salah satunya yang ditunjukkan oleh

Gerhard Bowering.

Kekuatan tesis ini adalah menempatkan al-Ji>la>ni> melalui tafsirnya

berjudul al-Fawa>tih} al-Ilahiyyah wa al-Mafa>tih} al-Ghaybiyyah al-

Muwad}d}ih}ah li al-Kalim al-Qur’a>niyyah wa al-H{ikam al-Furqa>niyyah,

selanjutnya populer disebut Tafsi>r al-Ji>la>ni>, menjadi seorang mufasir

sufistik yang disegani dalam tradisi akademik.

Tesis ini diangggap penting karena memberikan sumbangsih

mutakhir dalam memformat dan mengkodifikasikan hermeneutika

sufistik Isha>ri yakni ilmu-ilmu al-Qur’a>n bergenre sufistik-Isha>ri. Sebab

selama ini tafsir sufistik Ishari masih menjadi diskursus yang kabur dan

belum ada kajian secara komprehensif membahas tuntas.

Selama melakukan penelitian, penulis menemukan kendala-

kendala seperti keterbatasan kepustakaan yang memang susah dalam

diskursus tafsir sufistik sehingga harus bersusah payah mencari akses atau

ujian dan pekerjaan yang dirasa berat ditengah-tengah menyelesaikan

proyeksi penulisan tesis ini. Semua ini menjadikan tantangan tersendiri

untuk menaklukan keadaan ditengah-tengah harap, asa, dan cita.

Alhamdulillah, berkat Tuhan Yang Maha Kuasa, tesis ini bisa

diselesaikan sesuai target. Banyak pihak yang telah membantu dan ikut

terlibat andil di dalamnya baik mitra diskusi, motivator serta beberapa

pihak yang tidak bisa disebut satu persatu secara tidak langsung.

Page 9: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

ix

Pertama, penulis mengucapkan rasa terimakasih sedalam-

dalamnya kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr.

Komaruddin Hidayat, MA., kepada Direktur Sekolah Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., kepada jajaran

pimpinan dan seluruh dosen yang mentransfer pengetahuannya kepada

penulis sehingga menjadi mahasiswa yang banyak tahu dan tahu banyak

secara metodologis dan epistemologis. Lebih khusus kepada Dr. Yusuf

Rahman, MA., Prof. Dr. Amany Lubis, Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA,

Dr. Muchlis Hanafi, MA, yang dengan kesabarannya melayani kami.

Kedua, dengan penuh rasa hormat, penulis sampaikan terimakasih

dan penghargaan tinggi kepada Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku

pembimbing yang telah memberikan masukan-masukan berharga,

pengenalan pengetahuan yang tidak didapati ketika belajar di al-Azhar-

Mesir serta akses, informasi literatur dan tokoh-tokoh kunci yang

memuluskan penulisan ini. Dengan kesabaran dan pengertiannya penulis

merasa nyaman tanpa ada beban dan paksaan cepat-cepat menyelesaikan

tesis ini.

Ketiga, penulis berkewajiban menghaturkan terimakasih kepada

teman-teman yang masuk dalam lingkungan pergaulan intelektual

penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam

Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang selalu antusias dalam diskusi-

diskusi hangat sewaktu di LSAF. Kepada Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin,

MA., yang telah meluangkan waktu mendiskusikan tesis saya di Rumah

Kitab Bekasi. Kepada Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. yang telah

memberikan pencerahan al-Qur’a>n dan Sufisme ketika mengikuti

program pendidikan Kader Mufasir (PKM) di Pusat Studi al-Qur’a>n

(PSQ) di bawah asuhan Prof. Dr. Quraish Shihab, MA. Kepada Dr. Anwar

Syarifuddin, MA., Dosen Fakultas Usuludin UIN Syarif Hidayatullah,

yang begitu serius mengenalkan dan mendemonstrasikan keahlian

sufisme al-Qur’an, terutama sosok Abdurrahman al-Sulami dan lainnya

sehingga penulis bisa ngalap berkah ilmu darinya. Terutama sumbangan

teori hermeneutik E.D. Hirsch, Jr. yang menginspirasi penulis sebagai

pendekatan dalam menganalisa tafsir mistis simbolis (Tafsir Isha>ri).

Semoga Tuhan memberikan balasan berlipat kepada mereka atas

kebaikan-kebaikan yang diberikan kepada penulis.

Page 10: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

x

Terakhir, terima kasih setulus-tulusnya kepada Ibunda tercinta

yang dengan kasih sayangnya menyemangati, memotivasi, dan

mendoakan anak-anaknya tanpa pernah lelah agar menjadi manusia mulia

dan berharga. Kepada seluruh keluarga besar penulis serta orang-orang

yang mendukung penulis, diucapkan terimakasih. Jaza>kallah ah}sanal jaza>.

Semoga tesis ini menjadi pahala kebaikan bagi mereka semua.

Akhirnya penulis memohon maaf jika tesis ini masih jauh dari

sempurna namun penulis berharap karya awal nan sederhana ini

memberikan kontribusi akademik dan bermanfaat bagi pembaca. Paling

tidak sebagai awal yang baik menuju agenda masa depan, sebagaimana

sebuah pepatah “Adalah lebih baik kau nyalakan sebuah lilin betapapun

kecilnya, daripada engkau berlarut-larut dalam kegelapan”.

Page 11: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

xi

DAFTAR ISI

Pedoman Transliterasi v

Kata Pengantar vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................... 9

C. Penelitian Terdahulu ....................................................... 10

D. Tujuan Penelitian ............................................................ 21

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ...................................... 22

F. Metode Penelitian ............................................................ 22

G. Sistematika Penulisan .................................................... 26

BAB II KONTROVERSI HERMENEUTIKA SUFISTIK TAFSIR

ISHA<RI

A. Tafsir Isha>ri .................................................................... 30

B. Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir Sufi ............................ 34

1. Mazhab Ortodoks ..................................................... 35

2. Mazhab Heterodoks.................................................. 36

3. Corak Tafsir Sufistik ................................................ 37

C. Otoritas Tafsir Isha>ri ....................................................... 46

1. Nalar ‘Irfa>n ............................................................... 47

2. Takwil Isha>ri ............................................................ 48

3. Dialektika Zahir dan Batin ....................................... 55

D. Validitas Tafsir Isha>ri dan Hermeneutika Hircsh ............. 64

E. Tradisi Penafsiran Mistis Agama-Agama ........................ 70

BAB III ‘ABD AL-QA<DIR AL-JI<LA<NI< DAN KARYA TAFSIRNYA

A. Biografi

1. Riwayat hidup, Jaringan Intelektual dan Kontribusi 80

2. Setting Sosio-kultural Pada Masanya ..................... 86

3. Corak Sufisme dan Karya-karyanya ....................... 88

B. Tafsi>r al-Ji>la>ni>

1. OrisinalitasTafsi>r al-Ji>la>ni> ..................................... 91

2. Tinjauan Umum Karakteristik Tafsi>r al-Ji>la>ni> ....... 92

Page 12: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

xii

3. Penyajian Tafsi>r al-Ji>la>ni> ........................................ 93

BAB IV KODE ETIK TAFSIR ISHA<RI AL-JI<LA<NI<

1. Keimanan Yang Lurus/Ima>n al-S{a>diq .................. 99

2. Keikhlasan Niat/Ikhla>s al-Niyat .......................... 102

3. Mencintai al-Qur’a>n/H{ubb al-Qur’a>n .................. 105

4. Membaca al-Qur’a>n Sembari Berlindung kepada

Tuhan /Tila>wah al-Qur’a>n wa istia>dhah billah ..... 108

5. Sentralitas Global dan Organisir Visi Makna/al-Tarki>z

al-Kulli wa Jam‘ al-Ham ..................................... 115

BAB V KONSTRUKSI METODOLOGI TAFSIR ISHA<RI AL-JI<LA<NI<

A. PERANGKAT EKSOTERIK

1. Bahasa .................................................................. 126

2. Syariah ................................................................. 137

3. Adab Sastra-Sufistik ............................................. 142

4. Balaghah ............................................................... 150

B. PERANGKAT ESOTERIK

1. Simbol .................................................................. 153

2. Intuisi ................................................................... 162

3. Hakikat ................................................................. 167

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan .................................................................... 173

B. Saran-Saran ................................................................ 175

Daftar Pustaka

Indeks

Glosarium

Page 13: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

1

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kaum sufistik menilai bahwa al-Qur’a>n dipahami sebagai kitabyang tidak selalu membahas firman-firman Allah yang bernuansakanzahir berorientasi eksoterisme-formalistik. Al-Qur’a>n menyimpan pesanbatin berorientasi esoteris-sufistik yang tersembul dalam setiap ayat-ayatnya, melampaui pembacaan yang tidak terbaca (qira>’ah ma> la>yuqra’), makna yang tidak tersurat (al-masku>t ‘anhu) dalam teks-teksqur’anik sebagai anugerah Tuhan yang disebut dengan ilmu Simbol-Tanda (‘Ilm Isha>rah).1 Karena itu, kaum sufi senang bermain-maindengan aspek-aspek alegoris, perasaan hak istemewa akan kebebasandiri (claiming privileged), pendalaman makna esoterik bahkan acapkalimelabrak makna literal-ekstoterik.2

Secara praktis, kaum sufistik berhadapan dengan kaumformalistik fuqaha’, muhaddi>th dan mufassir ma’thu>r, yang terlalu sibukberkutat dan berputar-putar dalam kubangan makna lahiriah.Al-Zarkashi> (w. 794 H) menyatakan bahwa ucapan kaum sufistik dalammenafsirkan al-Qur’a>n bukanlah produk tafsir melainkan makna-maknadan penemuan inspiratif yang muncul ketika membaca al-Qur’a>n(tila>wah).3 Karena itu, jika dianggap produk penafsiran, sesungguhnyatelah merambah jalan batiniah sehingga lebih tepat disebut sebagai al-nazi>r, yakni analogi dan persenyawaan makna terhadap normativitasmakna al-Qur’a>n.4 Senada dengannya, al-Suyu>t}i (w. 911 H) jugamenganggap bahwa tafsir yang diproduksi oleh kaum sufistik tidak

1Al-Sarra>j al-T}usi, al-Luma‘ fi> Ta>rikh al-Tas}awuf al-Isla>mi>, (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), cet. ke-1, 100.

2Alexander D. Knysh, “Sufism and al-Qur’a>n” dalam J.D. McAuliffe (ed.),The Encyclopaedia of the Qur’a>n (Leiden-Boston: E.J. Brill, 2006) vol. 5, 137.

3Al-Zarkashi>, Al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Cairo: Dar al-Turath, tt) 171.4Al-Zarkashi>, Al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 171.

Page 14: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

2

layak dikategorikan sebagai produk tafsir. Al-Wa>hidi (w. 468 H)menganggap kafir orang yang meyakini tulisan al-Sulami (w. 963 H)dalam kitabnya, Haqa>’iq al-Tafsi>r, sebagai tafsir. Shams al-Di>n al-Dhahabi (w. 748 H) menilai Haqa>’iq al-Tafsi>r adalah kitab yang rawanmendatangkan musibah sebab penuh dengan penafsiran kaumba>t}iniyyah. Ibn al-Jawzi (w. 597 H) menganggap Haqa>’iq al-Tafsi>rsebagai tafsir sufi yang penuh dengan makna yang tidak wajar, tanpalandasan satupun dari ilmu pokok (us}u>l). Ibn S{ala>h (w. 643 H)menyatakan bahwa tafsir Sufi sebagai pelambang zikir (dhikr) dibandingkitab tafsir. 5

Padahal faktanya, jika kita mencoba menengok ke belakanggeneologi tafsir sufi, sejatinya akan didapati sumber dari al-Qur’a>n danH{adi>th. Al-Qur’a>n beberapa kali mengutip bahwa Allah mempunyainama lain, sebagaimana yang tertera dalam Asma al-Husna. Di sampingitu, jelas termaktub dalam al-Qur’a>n ajaran-ajaran mengenai sulukruhiyah (t}ari>q al-ru>h) dan suluk jasadiyah (t}ari>q al-jasad) seperti lakuasketis dalam perkara haram sebagaimana laku asketik dalam perkara-perkara halal.6 Sebab al-Qur’a>n merupakan manifesto kebebasan upaya(al-huriyyah al-muktasibah) yang bisa dicapai dan dilalui dengan duacara asketis di atas, sesuai dengan kapasitas keimanan individual dalammemahami dan mengaplikasikan dalam kehidupannya.7

Dalam pandangan kaum sufi, Nabi Muhammad merupakan potrettauladan kaum sufi yang sudah mencapai derajat tertinggi sekaligus sangjuru mutaqa>llib, yang mengontrol hati kaum sufistik. Tak ayal, banyakriwayat H{adi>th mawd}u‘ sufistik yang disandarkan kepada Nabi. Inimerupakan posisi dilematis yang menjebak sebab berdampak eksesnyabanyak kaum sufistik yang menganggap dirinya hakikat NabiMuhammad. Mereka berbicara dengan mengatas namakan diri Nabi

5Ibrahim Basyuni, dalam muqaddimah yang sangat panjang tentang posisikaum sufistik di hadapan kaum formalistik fuqaha’. Lihat, Al-Qushayri, Lat}’āif al-Ishārāt (Cairo: al-Hay’ah al-Mis}riyah, 2007), cet. ke-4, vol. I, 4. Alexander D. Knysh,“Sufism and al-Qur’a>n ” J.D. McAuliffe (ed.), The Encyclopaedia of the Qur’a>n, 143.

6‘Ali Sha>mi Nashar, Nash’ah al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam (Cairo: Da>r al-Ma‘a>ri>f, tt), cet. ke-9, vol. III, 85.

7‘Ali Sha>mi Nashar, Nash’ah al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, 85.

Page 15: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

3

serta kerap menganggap ucapan yang keluar dari mulut kaum sufi ituadalah H{adi>th qudsiyyah8. H{adi>th lain yang menguatkan keberadaanGeneologi tasawuf adalah H{adi>th yang diriwayatkan Ibn Abbas:

تنقضى عجائبه و ال تبلغ غايته فمن أوغل القرأن ذو شجون و فنون و ظهور و بطون ال9)احلديث(فيه برفق جنا ومن أخرب فيه بعنف هوى

Dengan demikian, jelas bahwa tafsir mistik mempunyaikenyataan akar geneologi dalam sumber al-Qur’a>n dan H{adi>th. Artinyatafsir sufistik cenderung mempunyai legitimasi shariah sebagai dasarlegal-formal yang sepatutnya mendapatkan pengakuan. Dengan katalain, asumsi ini membantah ulama fuqaha’ dan mufassir yangmenyatakan bahwa tafsir Isha>ri bukan termasuk kategori tafsir ataubentuk heretis yang khurafat.

Jika ditelusuri adanya watak perbedaan ini, hal ini erat kaitannyadan sangat berkelindan dengan kepentingan epistemologi sumberpengetahuan masing-masing bidang keilmuan. Seperti dilihat dalam akarpengetahuan di bawah ini:

Roots of Knowledge

1. The Senses/H{issiyah : Hearing, Sight, Smell, Taste andTouch

2. Report/al-Ma’thu>ra>t : Mutta>watir, Near to Mutta>watir,(Ahad, no root).

3. Reason/’Aql : Self-Consciousnesss, Logic,Deduction, Experience and Routine, Legal knowledge,Inspiration.10

8‘Ali Sha>mi Nashar, Nash’ah al-Fikr al-Isla>mi, 85.9Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, Dira>sah al-Maja>l al-

Ma‘rifi al-Us}u>li al-Awwal li> tafsi>r al-S}ufi (Yordania: ‘A<lam al-Kutub al-Hadi>th, 2008),cet.ke-1, 93.

10A. J. Wensinck, The Muslim Creed (New Delhi: Oriental Print, 1979), cet.ke-2, 260.

Page 16: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

4

Kategorisasi di atas, menunjukkan bahwa kaum fuqaha’ dankaum sufistik mempunyai perbedaan sumber pengetahuan. Sekalipunkeduanya masih bersumbu kepada landasan akar pengetahuan akal,kaum fuqaha’ tidak mengakui bahwa inspirasi atau ilham adalahperangkat yang patut dijadikan sumber pengetahuan.11 Pendapat iniditolak kaum sufistik, yang mengklaim sebagai golongan paling dekatdengan Tuhan. Inspirasi sebagai sumbu yang mengakar kepada akalnyatanya tidak menjadi kesepakatan mutlak bahkan menjadi wilayahyang mandiri dan tidak bisa dilogikakan. Tegasnya, mempunyai “logika”yang tidak bisa dinalar oleh logika akal. Inspirasi atau ilham adalahbisikan sanubari yang masuk ke dalam relung hati dan tidakberlandaskan kepada istidla>l atau naz}ar.12 Ra>jih ‘Abdul H{a>mid al-Kurdimenyebut bahwa akar pengetahuan ada empat: [1] Pengetahuaninderawi/al-ma‘rifah al-hissiyah. [2] Pengetahuan akal/al-ma‘rifah al-‘aqliyah. [3] Pengetahuan laduni/al-ma‘rifah al-ladunniyah [4]Pengetahuan kenabian melalui pewahyuan/al-ma‘rifah al-nabawiyah ‘ant}ari>q al-wahyu.13

Ilham merupakan pengetahun yang mandiri dan independen,sebab asal pengetahuan menurut kaum Sufi adalah mawhibah atauanugerah pengetahuan yakni api, sedangkan iman adalah cahaya;pengetahuan adalah penemuan, sedangkan iman adalah pemberian.Perbedaan antara mu’min dan ‘a<rif adalah sang mu’min melihat denganperantara cahaya Allah, sementara sang ‘a<rif melihat Allah denganperantara Allah langsung.14 Dengan demikian, sumber pengetahuan –yang dalam bahasa lain diungkapkan dengan was{a>il, us{u>l, mana>bi‘

11 Yang menarik, polemik ini merambat pula dalam pandangan kaum teolog.Al-Baghda>di (w. 429 H), teolog besar al-Ash’ariyah, misalnya menolak inspirasisebagai sumber pengetahuan, namun Abu> al-Baraka>t al-Nasa>fi (w. 710 H), seorangpembela teolog Maturidiyah, mengakuinya. Lihat: A. J. Wensinck, The Muslim Creed,246.

12Abdurrahman bin Zaid al-Junaydi, Mas}a>dir al-Ma‘rifah fi al-Fikr al-Di>niywa al-Falsafi (Riyad}: Maktabah al-Muayyad, 1992), cet. ke-1, 229.

13Ra>jih ‘Abd al-Ha>mid al-Kurdi, Naz}riyyah al-Ma‘rifah bayn al-Qur’a>n waFalsafah (Riyad}: Maktabah al-Muayyad, 1992), cet. ke-1, 513.

14Ra>jih ‘Abd al-Ha>mid al-Kurdi, Naz}riyyah al-Ma‘rifah bayn al-Qur’a>n waFalsafah, 673.

Page 17: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

5

sebagai perbandingan istilah mas}a>dir yang lebih populer15– adalahkonsekuensi logis pengetahun dari ragam perbedaan mazhab penafsiranatau madrasah keilmuan. Secara alami, fenomena perbedaan padadasarnya akan kembali kepada sumber pengetahuan tertentu yangdimaksud (mas}dar al-ma‘rifah al-mu‘ayyan) sesuai bidang keilmuan.16

Dengan melihat penjelasan evolusi sinkronik dan sumberpengetahuan di atas, akan menjadi jelas bahwa landasan penakwilan sufi(mas‘a> al-ta’wi>l) adalah sumber pengetahuan intuitif sebagai jalanmencapai pengetahuan hakiki demi menemukan tajalli ilahi dan kashfilahi.17 Ta’wil bagi kalangan sufi sunni ‘amali merupakan metodologiyang menggabungkan antara z}a>hir dan ba>t}in. Kalangan sufi tidakmengingkari adanya makna lahir sebagai sesuatu yang dikendaki. Justru“tahap awal pemaknaan” harus ditampilkan ke dalam dimensi lahiriahKemudian menuju kepada tahap kedua, yakni upaya menyingkapsimbol-simbol dan isyarat-isyarat tersembunyi dibalik fenomena ayat-ayat tersebut.18 Yang perlu dijadikan sebagai entry point adalah adanyakarakter penggabungan sekaligus penjagaan sisi lahiriah dan batiniahinterpretasi teks ini, yang tetap bersumbu kepada kekuatan pondasiintuitif, bukan kepada akal.19

Geneologi epistemik tafsir Sufi Isha>ri adalah tafsir yangmempunyai riwayat panjang. Dalam diakronik sejarah kebudayaan Arab,mulanya terdapat tiga epistem besar yang saling berbenturan satu samalain. Yakni epistem baya>ni, ‘irfa>ni dan burha>ni. Benturan-benturanepistem tersebut merupakan perdebatan antagonistik: fuqaha’ vis a viskaum sufi (baya>ni vis a vis ‘irfa>ni), fuqaha’ vis a vis filosof (baya>ni vis avis burha>ni), dan filosof vis a vis kaum sufi (burha>ni vis a vis ‘irfa>ni).

15Abdurrahman bin Zaid al-Junaydi, Mas}a>dir al-Ma‘rifah fi al-Fikr al-Di>niywa al-Falsafi, 95.

16Abdurrahman bin Zaid al-Junaydi, Mas}a>dir al-Ma‘rifah fi al-Fikr al-Di>ni> waal-Falsafi, 94.

17‘Abd al-Qa>dir Faydu>h, Naz}riyyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Isla>miyah (Damaskus: Da>r al-Awa>iel, 2005), cet. ke 1, 184.

18Muh}ammad bin Ah}mad Jahla>n, Fa‘a>liyyah al-Qira>’ah wa Ishka>liyah Tah}di>dal-Ma‘na fi> al-Nas}s} al-Qur’a>ni (Damaskus: Da>r al-S}afh}a>t, 2008), cet. ke-1, 232.

19‘Abd al-Qa>dir Faydu>h, Naz}riyyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Isla>miyah, 184.

Page 18: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

6

Benturan-benturan itu dianggap sebagai ekspresi krisis basisepistemologis pada abad ke-5 H. Untuk meredam benturan epistemtersebut dan menjembatani krisis basis epistemologis ini, kaum sufistiksunni ‘amali atau kaum filosof berupaya melakukan solusi harmonisasieklektik. 20

20‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz Dira>sah al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 2004), cet. ke-8, 485. Dalam nalar Arab-Islam, menurutpemikir Maroko, ‘A<bid al-Ja>biri, bahwa geneologi pengetahuan pada dasarnya akankembali kepada dua kategori besar: al-‘aql al-mukawwin dan al-‘aql al-mukawwan.Yang pertama adalah adalah bakat intelektual yang dimiliki setiap manusia dalamberpikir, di mana akal ini menciptakan teori-teori dan prinsip-prinsip dasar, yang taklain adalah potensi (malakah) yang dimiliki manusia dan erat kaitannya dengan segalasesuatu, serta dasar-dasar prinsip secara global dan pasti. Sedangkan yang kedua adalahakumulasi prinsip-prinsip dasar kaidah bentukan (al-‘aql al-mukawwan) yang berfungsisebagai basis epistemik atau kaidah-kaidah sistematis yang ditetapkan, diterima dandinilai sebagai nilai mutlak dalam suatu babak sejarah tertentu. Karakakter akalmukawwan ini memiliki relativitas dan dicirikan dengan sifat berubah-ubah secaradinamis. Dan hal inilah yang menjadikan ragam perbedaan antara satu disiplinkeilmuan dengan lainnya. Akal mukawwin adalah akal besar sebagai alat sistempengetahuan (niz}a>m al-ma‘rifiy). ‘A<bid al-Ja>biri, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut:Markaz Dira>sah al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 2002), cet.ke-7, 15. Dalam sejarahkebudayaan Arab-Islam, akal ini telah menciptakan formulasi nalar pengetahun, yangtermanifestasikan dalam tiga epistem besar: Baya>ni, ‘irfa>ni dan burha>ni. (1) Baya>niadalah sistem epistemologi struktural yang terdapat dalam bidang filologi,yurisprudensi Islam, ushul fiqh, teologi dan balaghah. Secara prosedural sistem inimuncul untuk menafsirkan teks-teks primer keagamaan dengan karakter metodeanalogi, sebab lebih menyandarkan kepada kekuatan tekstual. Kebiasaan ulamamempunyai istilah mandiri sesuai bidangnya namun punya esensi sama. Ahli hukumdan ahli nahwu menyebutnya istilah Qiya>s. Ahli balaghah dengan istilah al-Tashbi>h.Ahli teolog menyebutnya al-Istidla>l bi al-Sha>hid (far’) ‘ala al-Gha>ib (as}l). (2) ‘Irfa>niadalah sistem epistemologi gnostik yang yang melekat dalam sufisme, syi’ah,isma'iliyyah. Nalar ini merupakan interpretasi esoterik terhadap teks-teks keagamaan,dan filsafat iluminasi, yang didasarkan pada metode penyingkapan intuitif mistik (al-Kashf) atau ilham yang terpengaruhi oleh filsafat Hermetisme. (3) Burha>ni adalahsistem epistemologi demonstratif yang didasarkan pada metode observasi empiris daninferensi rasional (al-Istinta>j al-‘Aqliy) dan biasa digunakan oleh para filosof. Lihatlebih jauh, ‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 13/251/383. Klasifikasi ketigaepistemik ini sebetulnya jauh-jauh hari pernah digagas oleh para kaum Sufi seperti Dhu>Nun al-Mas}ri, al-Qushayri, Abi> ‘Ali al-Diqa>q dan lain-lain. Para sufi ini telahmenyadari adanya tiga sistem kognitif yang berkembang di tengah-tengah kebudayaanArab-Islam, yakni, ahl naql (baya>niyyu>n), ahl al-wisha>l (‘irfa>niyyun/gnostiques), danAhl al-‘Aql (Burha>niyyu>n). Yahya Muh}ammad, Naqd al-‘Aql al-‘Arabi fi> al-Mi>za>n,(Beirut: al-Intisha>r al-Arabi, 1997), cet. ke-1, 81.

Page 19: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

7

Al-H{a>rith al-Muh}a>sibi,> (w. 857 M) misalnya, berusahamengharmonisasikan secara eklektik antara nalar baya>ni dengan ‘irfa>niyang kemudian disebut tasawuf sunni.21 Tujuan mendamaikan dua nalarbesar ini tidak lain karena terdapat perbedaan secara ekstrim antaratafsir sufi naz}ari/batiniah dengan tafsir Sufi \Isha>ri atau rumu>zi.22

Dengan demikian, al-Muh}a>sibi> adalah sufi sunni pertama yangmemadukan dua epistem ini sekaligus sufi yang pertama kali membuatkaidah penafsiran sufistik secara global.23 Pasca al-Muh}a>sibi> adalah al-Qushayri (w. 1072 M). Dalam Risa>lah al-Qushayriyyah, ia berpendapatbahwa setiap syariat tanpa didukung oleh hakikat maka tertolak dansetiap hakikat tidak dilandasi syariat maka gagal: syariat adalah ibadahdan hakikat adalah saksi.24 Estafet ini terus berjalan kepada generasi sufisunni setelahnya, seperti yang dilakukan oleh Hujjatul Islam al-Gha>zali(w. 1111 M). Ia jauh melampaui al-Muh}a>sibi dan berhasilmenggabungkan ketiga nalar epistem sekaligus. Bahkan ia menelurkanistilah baku yang kemudian terpakai dalam dunia Sufistik tentangdikotomi antara tafsir dan ta’wil. Tafsir sebagai interpretasi harfiahz}a>hir teks al-Qur’a>n dan ta’wil adalah interpretasi ba>t}in kaum sufistik.25

21‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 486. Al-Kindi jugamengharmonisasikan baya>ni dan burha>ni. Ikhwa>n al-S{afa dan filosof-filosofIsmailiyyah mengharmonisasikan burha>ni dengan ‘irfa>ni. Harmonisasi eklektik antaratiga epistem sekaligus (baya>ni, burha>ni, dan ‘irfa>ni) untuk pertama kalinya terjadi ditangan al-Ghaza>li. Lihat: ‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-’Aql al-’Arabi, 485-487.

22Sedikit disinggung, bahwa mazhab Tasawuf ada dua aliran, yakni ortodoksdan heteredoks. Praktis dalam pola penafsiran mereka juga mempunyai corak orientasi.Pertama, tafsir orientasi teoritis (ittija>h al-naz}ari) yang didasarkan pada hasilpembahasan atau pendalaman yang bersifat teori ajaran-ajaran dan pandangan filosofis-sufistik. Kedua, tafsir orientasi praksis (ittij}a>h ‘amali) yang didasarkan riya>d}ah ataulaku asketisme. (lihat pembahasan lebih detail pada bab II).

23Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>m, 343.24Ibrahim Basyuni dalam muqaddimah-nya. Lihat: Al-Qushayri, Lat}’āif al-

Ishārāt, 6.25Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 337. Dikotomi ini

sebelumnya tidak pernah terjadi. Al-Muh}a>sibi, misalnya, menyamakan antara ta’wildan tafsir. Fakta ini sesuai dengan Ima>m al-T}abari (w. 925 H), di mana menggunakanfrase ta’wil dalam judul kitabnya, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta‘wi>l ayy al-Qur’a>n atau seringmenggunakan kalimat “fa ta’wi>luhu” -padahal jelas merupakan kategori tafsir bi al-ma’thu>r. Sering kali antara ta’wil, tafsi>r dan ma>’ani dianggap sinonim, karena metode

Page 20: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

8

Karena itu, golongan ini dianggap sebagai kaum sufi moderat (sharia-oriented).26

Tidak ketinggalan, seorang Wali Qut}b besar yang namanya tidakasing, Shaykh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> (w. 1166 M), sebagai objekpenelitian tesis ini, dalam tafsirnya berjudul al-Fawa>tih} al-Ilahiyyah waal-Mafa>tih} al-Ghaybiyyah al-Muwad}d}ih}ah li al-Kalim al-Qur’a>niyyahwa al-H{ikam al-Furqa>niyyah, yang berarti “Penyingkapan-penyingkapanIlahi dan Kunci-kunci Gaib yang Menjelaskan Kalam-kalam Al-Qur’a>ndan Hikmah-hikmah Kitab Pembeda antara Benar dan Salah”.(selanjutnya populer dengan sebutan Tafsi>r al-Ji>la>ni>)>. Ia berpendapatbahwa segala bentuk hakikat tanpa disaksikan oleh syariat akantermasuk perbuatan heretis/zindiq.27 Dengan demikian, jelaslah bahwatafsir milik Shaykh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> ini lebih tepat dipandangsebagai Tafsir Isha>ri.28 Penting dicatat, sebutan Tafsi>r al-Ji>la>ni> adalahinsiatif murni dari penyunting, Muh}ammad Fa>d}il al-Ji>la>ni> al-Hasani al-Taylani al-Jamazraqi. Pengarangnya, al-Ji>la>ni>, tidak mendaku bahwakitabnya merupakan kategori kitab tafsir murni, melainkan berisikandungan ilham-ilham dan isyarat-isyarat ilahiyah sesuai dengan judulkitab yang dinamainya. Karakter demikian adalah ciri khas tafsirbergenre Mistis Ishar>i.29

Persoalannya, sejauh amatan peneliti, kajian metodologi sufistiksebagai Perangkat Tafsir Isha>ri, khususnya Tafsir al-Ji>la>ni>, masih jarangyang menggarap secara maksimal dan memadai –terutama dalam jubahmanhaj al-mufassiri>n (atau ‘ulum al-Qur’a>n) versi sufistik. Nyatanya,kebanyakan metodologi yang ada cenderung berorientasikan tafsir

yang digunakan sama. Lihat: Nasaruddin Umar, “Konstruksi Ta’wil dalam Tafsir Sufidan Syi’ah” Jurnal Studi al-Qur’a>n . (Vol. II, No. 1, 2007), 38.

26Alexander D. Knysh, “Sufism and al-Qur’a>n ”, dalam J.D. McAuliffe (ed.),The Encyclopedia of the Qur’a>n, 143/146.

27‘Abd al-Mun’im al-Hafani, Al-Mawsu>‘ah al-S{u>fiyah (Cairo: Da>r al-Rasha>d,1992), cet. ke-1, 114.

28Lihat lebih jauh: ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni> (Istanbul: Markazal-Ji>la>ni> li al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2009) cet. ke-1, vol. 1, 34.

29Muh}ammad Fa>d}il al-Ji>la>ni> al-H{asani al-Tayla>ni al-Jamazraqi, MuqaddimahTafsi>r al-Ji>la>ni>, 30.

Page 21: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

9

mazhab konvensional yang cenderung eksoterik-formalistik, baik modelTafsi>r bi al-Ma’thu>r maupun Tafsi>r bi al-Ra’y. Inilah yang menjadikegelisahan akademis sekaligus pendorong penelitian, sehingga hendakmembukukan dan membakukan konsep metodologi HermeneutikaSufisme Isha>ri.

B. Permasalahan1. Identifikasi Masalah

a. Tidak adanya rumusan metodologi hermeneutika dalamTafsir Isha>ri secara teoritis.

b. Perbedaan ragam tafsir didasari oleh konsekuensi logisdari sumber pengetahuan.

c. Setiap penafsir sufi Isha>ri mempunyai substansi dan levelmakna tafsir yang berbeda antara satu dengan lainnya,sekalipun dalam metodologi yang digunakan relatifsejenis.

d. Tafsir Sufi Isha>ri mempunyai geneologi yang bersumberlangsung dari al-Qur’a>n dan H{adi>th secara legal-formal.

e. Perbedaan corak Tafsir Isha>ri dalam corak sufi, filosofi,ba>t}ini, dan tafsir z{a>hiri –sebagai representasi tafsirkonvensional.

f. Bagaimana otoritas penafsiran Isha>ri ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>.

g. Melalui kajian interteks dari karya-karyanya danpendekatan tekstual-filologis, bisa terlacak bahwa Tafsi>ral-Ji>la>ni> tersebut merupakan karya original ‘Abd al-Qa>diral-Ji>la>ni>.

2. Pembatasan MasalahDalam membatasi permasalahan, peneliti membagi menjadi

dua objek kategori. 1. Tafsir. Dalam hal ini, objek yang ditelitiadalah tafsir Isha>ri milik ‘Abd Qa>dir al-Ji>la>ni> berjudul al-Fawa>tih}al-Ilahiyyah wa al-Mafa>tih} al-Ghaybiyyah al-Muwad}d}ih}ah li al-Kalim al-Qur’a>niyyah wa al-H{ikam al-Furqa>niyyah (selanjutnya

Page 22: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

10

disebut Tafsi>r al-Ji>la>ni>). 2. Surat al-Qur’a>n. Peneliti akan berupayamenelusuri dan membuktikan bentuk metodologi dan epistemologipenafsiran mistik al-Ji>la>ni> dengan mengambil secara acak ayat-ayatal-Qur’a>n yang dianggap representatif untuk mewakili penafsiransufistiknya.

Judul yang diangkat dalam penelitian ini adalah“Hermeneutika Sufistik Tafsir Isha>ri ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>”.Pemilihan frase hermeneutika tidak lain untuk menjelaskan fungsihermeneutika sebagai kaidah terapan metodologi tafsir Isha>ribercorak sufistik, sekaligus penafsiran hermeneutika sufisme darikaidah-kaidah tersebut.30

Ada beberapa variabel nama terkait al-Ji>la>ni>. Sebagaimanaumumnya nama Arab, nama identik dengan penisbatan kepadadaerah kelahiran penulisnya. Nama Jayla>n merupakan daerah yangterletak di Persia, Iran Selatan. Sejarawan berselisih pendapatapakah daerah itu disebut Ji>la>n atau Ji>li> sebagaimana perselisihanterjadi pada huruf Jim. Sebagian menyebut Jim dengan lahjahKayla>ni> sebagian dengan lahjah Mesir dengan al-Geyla>ni> dan semuaini dianggap benar.31 Peneliti cenderung memilih kata al-Ji>la>ni>dengan menggunakan pendekatan geografis dan amalan tarikat sertadidukung oleh rujukan akademis32, sekalipun penyuntingnya,

30Jika dikaitkan dengan budaya penafsiran di Barat, proses interpretasiterhadap teks pada dasarnya ada dua pendekatan: (1) Exegesis, (2) Hermeneutis. Yangpertama hanya menjelaskan makna dalam dirinya sendiri (the text in itself), sementarayang kedua bisa dimaknai lebih luas, dan sangat terbuka untuk berbagai penafsirandengan berbagai pendekatan pembacaan yang dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural.Dengan demikian, hermeneutik bisa berfungsi sebagai suatu metodologi terapansekaligus penafsiran yang tidak terbatas pada dirinya sendiri atau lahiriah teks semata.Di sinilah kiranya kenapa peneliti mengambil kata hermeneutika yang sejalan denganpengertian yang diinginkan oleh Hirsch Daniel Patte, What Is Structural Exegesis(Philladhephia: Fortress Press, 1976), 3. Richard Palmer, Hermeneutics (North WesternUniversity Press, 1972), cet. ke-2, 3.

31‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar fi> ‘Ulu>m al-Di>n (Istanbul:Markaz al-Ji>la>ni> li al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2010), cet. ke-1, -15-16/18.

32Dalam buku besar ensiklopedia Islam disebut dengan ejaan Abd al-K{a>dir al-Dji>la>ni>. Ia lahir di Persia dari kampung Nayf (Nif) di daerah Dji>lan, yang berada diwilayah Selatan Laut Caspia. Lihat: E.J. Brill (ed.), The Encyclopedia of Islam(Leiden: EJB, 1986), cet. ke-1, Vol. I, 69.

Page 23: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

11

Muhammad Fa>d}il al-Ji>la>ni> menamai tafsir dengan sebutan Tafsi>r al-Jayla>ni>.

3. Rumusan MasalahBerdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah

untuk penelitian ini adalah: “Bagaimana Konstruksi HermeneutikaSufistik dalam Tafsir Isha>ri al-Ji>la>ni> Secara Teoritis-Metodologis?”.

C. Penelitian TerdahuluMenurut pembacaan peneliti, relatif susah mencari model

perangkat tafsir sufi secara teoritik pada literatur terdahulu. Hal inibukan berarti tidak ada sama sekali. Terdapat beberapa penelitianterdahulu yang bisa membantu tugas menunjukan ke arah kesimpulantesis yang dikehendaki peneliti untuk menggarap proyek kodifikasihermeneutika sufisme ini. Alasan yang mendorong penelitimenggunakan terma hermeneutika dalam penelitian ini tidak lainkarena diskursus ini sangat terbuka menggunakan pendekatan ilmu ini,seperti pendapat Muh}ammad bin Ah}mad Jahlan yang menganggap tafsirIsha>ri adalah diskursus yang paling baik dan sangat berpeluang untukpenerapan aplikasi hermeneutika, sebab memiliki karakter yang bebas,yang sesuai konteks literaly critism dan kesusasteraan kontemporer.33

Di samping itu, penafsiran sufistik memiliki elanvital bagikelangsungan pemikiran pengetahuan tasawuf itu sendiri, sebabmemainkan istilah-istilah terminologi, metodologi keilmuan secarateknis maupun ontologis sebagai kepanjangan bagi “kunci-kunci”entitas tasawuf.34

Perlu ditegaskan, sekali lagi, ketiadaan kaidah-kaidahhermeneutika sufisme bukan berarti mengarah pada satu konklusi bahwapenafsiran sufistik tidak mempunyai standar-standar baku dalam lautanmakna bebas tanpa batas. Justru yang dimaksud “bebas” dalam

33Muh}ammad bin Ah}mad Jahla>n, Fa‘a>liyyah al-Qira>’ah wa Ishka>liyah Tah}di>dal-Ma‘nafi al-Nas}s} al-Qur’a>ni, 237.

34Michael A. Sells, Early Islamic Mysticism (New York: Paulist Press, 1996),75.

Page 24: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

12

perspektif tasawuf sunni-‘amali bahwa tafsir Isha>ri adalah tafsir yang“bebas terkendali”. Dengan kata lain mempunyai perangkat dan standarkaidah interpretasi (Qanu>n al-Ta’wi>l).35 Inilah yang dikehendaki dalampenelitian ini. Berikut ini dijelaskan beberapa literatur penelitianterdahulu yang relevan dengan tema besar proyek penelitian ini.

Muhammad Anis Masduqi (tahun 2010), membuat laporanpenelitian mengenai metode tafsir al-Ji>la>ni>. Buku yang berjudul“Metode Tafsir Sufistik Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani” itu relatifmendapat respon masyarakat akademisi mengingat tren baru dan masihbelum ada buku yang membahas secara tuntas mengupas metodologitafsir al-Ji>la>ni>. Ia bisa dikatakan pembuka untuk kajian tafsir sufi al-Ji>la>ni> di Indonesia sehingga bisa membantu penulis meringankan tugaspenelitian ini, setidaknya dalam mengenal al-Ji>la>ni> dalam perspektif“the other”. Sayangnya buku ini pun tidak luput dari kritikan. Pertama,penulis membuat proyek penelitian ini dalam waktu yang relatif singkat,praktis akan mengurangi daya bobot ilmiah sebab tidak cukup waktumenelusuri karakteristik metodologi tafsir tersebut secara komprehensifdan intensif. Kedua, penelitian ini yang kurang menekankan padaeksplorasi konsep metodologi dan kaidah hermeneutika sufi –sepertiyang ditunjukkan pada judul. Pada bab IV, sebagai inti bab ini, penuliskurang mengulas metode tafsir sufistik secara kategoris dan detail sesuaidengan judul buku, kecuali membahas: A. Profil tafsir, B. Latarbelakang penulisan dengan sub kritik tafsir eksoteris dan kritik tafsir al-S}ufi al-Naz}ari. C. Tafsir sufistik al-Ji>la>ni> dan terakhir, D. Urgensi tafsiral-Ji>la>ni>.36

Singkatnya, proyek penelitian ini belum tuntas. Lebih bersifatpenelitian deskriptif dan belum menanjak kepada penelitian bersifateksplanatoris sebagai bentuk penelitian yang lebih kepada orientasipengembangan dan pendalaman kaidah hermeneutika sufistik. Dengan

35Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi: Dira>sah al-Maja>l al-Ma‘rifi al-Us}uli al-Awwal li al-Tafsi>r al-S{ufi, 327.

36Lihat detail: Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Syaikh ‘Abd al-Qadiral-Ji>la>ni>, (Yogyakarta: STIQ al-Nur, 2010), cet. ke-1, 93-126.

Page 25: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

13

kata lain, penelitian ini masih standar sehingga perlu penelitian lebihlanjut.

Mukhta>r Al-Fajjari (tahun 2008) berpendapat bahwa undang-undang pena’wilan sufistik pada dasarnya sudah terbentuk hingga abadke-5 H. Artinya, kaidah ini tidak terbentuk langsung dalam satu babakperodik sekaligus, melainkan hasil akumulasi teori yang pernah adadalam lintasan sejarah penafsiran sufistik dari abad ke-1 hingga abad ke-5 H.37 Indikasi ini dibuktikan oleh sufi generasi sunni pertama, al-Muh}a>sibi> (w. 857 M) dalam kitabnya al-‘Aql wa Fahm al-Qur’a>n . Iakerap mengutip kalimat “al-fahm min Allah” atau “al-‘aql min Allah”sebagai indikasi bahwa interpretasi sufistiknya merupakan emanasiTuhan, sembari juga menandaskan bahwa syarat mendapatkan“pemahaman” itu sangat berat. Di antara yang paling menonjol adalahkejujuran dalam ibadah dan keikhlasan niat. Hal ini pertama-tama danyang paling utama bisa terjadi dengan mengagungkan Sang Pencipta.Sebab menurutnya, “kedangkalan pemahaman manusia terhadapal-Qur’a>n disinyalir akibat dangkalnya pengagungan kepada SangPewicara al-Qur’a>n”.38

Al-Muh}a>sibi> menawarkan beberapa konsep metodologiinterpretasi sufistik yang harus dimiliki seorang mufassir sufi: 1.Keimanan yang Benar-Benar Tulus (Ima>n al-S{a>diq). 2. Keikhlasan Niat(Ikhla>s al-Niyat). 3. Mencintai al-Qur’a>n (H{ubb al-Qur’a>n ). 4. BanyakMembaca (Tila>wah al-Qur’a>n). 5. Sentralitas Umum dan Organisir VisiMakna (al-Tarki>z al-Kulli wa Jam‘ al-Hamm).39 Diakui bahwakarakteristik al-Muh}a>sibi> ini tampaknya lebih kepada psikologi danmoral etik seorang praktisi tasawuf untuk menjadi mufassir, sehinggatidak menuju kepada perangkat metodologi sufistik secara langsung.Yakni pra-syarat seorang sufi untuk memahami penafsiran al-Qur’a>nmelalui tahapan-tahapan di atas, agar mampu mendapatkan pemahamanyang benar. Bisa dikatakan bahwa perangkat metodologi tawaran al-Muh}a>sibi> ini disebut software/piranti lunak mufassir. Jadi secara

37Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 337.38Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 339.39Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 339-342.

Page 26: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

14

hardware/piranti kasar belum terkonseptualisasikan. Padahal, menurutpeneliti, yang terakhir ini sangat urgen untuk menjadi standar bakuhermeneutika sufistik.

Martin Wittingham, mengulas teori sekaligus aplikasihermeneutika pada seluruh karya-karya al-Ghaza>li, khususnya Jawa>hiral-Qur’a>n. Ia berhasil menemukan bahwa kunci teori al-Ghaza>li adalahharmonisasi makna eksoteris dan esoteris. Dikatakan harmonis, sebabkeduanya saling melengkapi satu sama lain. Al-Ghaza>li melihat tidakada kontradiksi dalam hal tujuan esensial. Lebih jauh, Wittinghammenguraikan dua makna ini. Dimensi z}a>hir sebagai visible yang ber-orientasi kepada physical realm; dan ba>t}in sebagai invisible yangberorientasi kepada spiritual realm.40 Visible word dalam interpretasi al-Ghaza>li sebagai ‘ala>m al-mulk (the world of power), ala>m al-mulk waal-shaha>dah (the world of power and witness) dan ‘ala>m al-h}issi watakhyi>l (the world of senses and imagination). Sementara invisiblesebagai dunia spiritual direpresentasikan sebagai ‘ala>m al-malaku>t (theworld of dominion), ‘ala>m al-ghayb (the world of what is hidden), atau‘ala>m al-amr (the world of command).41 Di antara dua dimensi initerdapat posisi ketiga, yakni intermedia yang disebut terma jabaru>t.Hanya saja, al-Ghaza>li lebih mengandalkan dwi-fungsi antara visible daninvisible dalam interpretasi hermeneutikanya.42

Al-Ghaza>li dalam Jawa>hir al-Qur’a>n bermaksud mengungkapkanmutiara-mutiara al-Qur’a>n yang tersembunyi, di samping melakukanelaborasi dikotomik antara disiplin keilmuan dan interpretasi al-Qur’a>nsebagai suatu perbandingan komparatif.43 Menurut Wittingham,perangkat metodologi kunci dalam Jawa>hir al-Qur’a>n adalah logosentrisBahasa. Bahasa Arab merupakan kostum mutiara al-Qur’a>n yangmampu menyingkap mutiara pada dasar lautan makna al-Qur’a>n. Daribahasa ini bercabang menjadi lima ilmu metodologi, dengan sebutanmetafora ilmu kulit, kerangka dan pakaian sekaligus. (1) Suara atau

40Martin Wittingham, Al-Ghaza>li and the Qur’a>n (London and New York:Routledge, 2007), cet. ke-1, 38

41Martin Wittingham, Al-Ghaza>li and the Qur’a>n, 38.42Martin Wittingham, Al-Ghaza>li and the Qur’a>n, 38.43Martin Wittingham, Al-Ghaza>li and the Qur’a>n, 42-43.

Page 27: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

15

Wicara Makhraj Huru>f. Ketika berbunyi adalah huruf-huruf yang keluardari tempatnya, namun ketika dikumpulkan menjadi bentuk logoskalimat. (2) Ilmu Bahasa/Lexicology. Sebagai pembuka tirai misteri-misteri kalimat al-Qur’a>n. (3) Ilmu Nahwu/Grammar. Sebagai aturantata-bahasa. (4) Ilmu Qira’a>t/Recitations. Sebagai varian bacaan al-Qur’a>n. Al-Ghaza>li menegaskan bahwa ilmu Nahwu dan bahasamerupakan faktor signifikan perangkat interpretasi. (5) IlmuZ{a>hir/Visible. Dengan adanya akumulasi dan kerjasama perangkatmetodologi ini hasilnya akan kembali juga kepada kepentinganinterpretasi makna lahiriah yang asasi. Sebab inilah tujuan interpretasiyang dikehendaki tentang ta’bi>r ilmu kulit, kerangka dan pakaian al-Qur’a>n.44

Pendapat Wittingham, hampir sependapat dengan Alexander D.Knysh (tahun 2006). Bedanya, ia melakukan ekstraksi dari metodologial-Ghaza>li secara lebih modern dan praktis. Secara prinsipil, Knyshmengakui paduan komparasi antara makna lahir dan batin (denganmemakai terma outward-inward). Namun, lanjutnya, untuk bisamenemukan makna sufistik, seorang mufassir sufi harus bisa menempuhdengan apa yang disyaratkan al-Ghaza>li. (1) Ilmu qira>’ah al-Qur’a>n (theScience of its Recitations) bagi pembaca atau penghapal. (2)Pengetahuan bahasa dan grammar (the Knowledge of it’s Language andGrammar) bagi filolog dan grammarian. (3) Ilmu tafsir tekstual(Outward Exegesis) bagi praktisi tafsir dengan memfokuskan danmenitik beratkan kepada kerangka eksternal tafsir (al-s}adaf).45

Nicholas Heer, menyatakan bahwa kombinasi harmonis antaradimensi esoterik-sufistik dengan eksoterik-formalistik yang disejajarkandengan perpaduan antara syariat dan hakikat adalah metodologi tafsir al-Ghaza>li secara global. Namun ia luput merinci detail mekanisme

44Martin Wittingham, Al-Ghaza>li and the Qur’a>n, 45. Bandingkan: al-Gha>zali,Jawa>hir al-Qur’a>n (Rashid Rida, ed.) (Beirut: Da>r Ihya al-Ulum, 1990), cet. ke-36.

45Alexander D. Knysh, “Sufism and al-Qur’a>n ”, dalam J.D. McAuliffe (ed.),The Encyclopaedia of the Qur’a>n, 149.

Page 28: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

16

penafsiran yang ditawarkan al-Ghaza>li.46 Pendapatnya sangat bertolakbelakang dengan apa yang terangkum oleh Wittingham yang relatifberhasil menemukan perangkat hermeneutika dalam tafsir Jawa>hir al-Qur’a>n. Sekedar informasi, kitab al-Ghaza>li ini pun pernahditerjemahkan oleh Muh}ammad Abu>l Qaseem (tahun 1977) untukdisertasi doktoralnya dibawah bimbingan supervisior orientalis kawakanMontgomery Watt di Edinburgh. Alih-alih ditujukan untuk menandingiterjemahan al-Qur’a>n terbitan A. J. Arberry (The Holy Qoran: AnIntroduction With Selections, London, 1953) sekaligus ditujukan untukpembaca Barat dalam mendalami esensi al-Qur’a>n secara mendalam.Sayangnya, ia luput untuk membedah metodologi tafsir tersebut.Padahal dalam tradisi modern, apalagi di bawah bimbingan orientalissekelas Montgomery Watt, sudah seharusnya mengurai metodologisebelum menyunting atau menerjemahkan suatu karya, agarmemudahkan pembaca dan demi kepentingan masyarakat akademis.47

Kristin Zahra Sands, secara cerdas dan bernas mampumendokumentasikan arsip-arsip kunci hermeneutika kaum sufistik.Termasuk bentuk-bentuk interpretasi ambiguitas dan multi-tafsir teksqur’anik di tangan mistikus Isha>ri. Hematnya, peran intelektual danspiritual menjadi elan vital bagi pencarian pengetahuan intuitif sufisme.Penemuan terpenting Kristin adalah keberhasilannya menyingkapmetode ta’wil metodologi hermeneutika sufisme. Ia menokohkan Abu>>Nas}r al-Sarra>j al-T{u>si (w. 1066 M), dalam kitabnya yang terkenal, al-Luma‘. Al-T{u>si menjelaskannya dalam sub-bab “karakteristik istinba>t}interpretasi yang benar dalam isha>rah dan pemahaman al-Qur’a>n”,bahwa setiap penafsir bisa menemukan kebenaran penafsiran melaluidua metodologi. (1) Metode Pemahaman. (2) Metodologi isyaratsimbolik. Untuk mencapai kepada tahap ini, ada tiga hal yang tidakboleh dilanggar: (1) Melakukan perubahan kalam. (2) Melupakan tugas

46Nicholas Heer, “Abu> Ha>mid al-Ghaza>li’s Esoteric Exegesis of the Koran”,Leonard Lewisohn (ed.), The Heritage of Sufism (Oxford: OnewordPublications,1999), vol. 1, 235.

47M Abul Qaseem, The Jewels of The Quran: al-Ghazali’s Theory (Malaysia:University of Malaya Press, 1977), 13-14.

Page 29: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

17

ibadah sebagai hamba Allah. (3) Melakukan distorsi makna.48 Tujuanmentaati kriteria ini agar penafsir diharapkan akan bisa mengetahuidikotomi antara penafsiran yang benar dan penafsiran yang keliru.Untuk aplikasi teori, al-T{u>si mencoba memberikan sampel penafsirandari keduanya sebagai parameter dan standarisasi penafsiran modelIsha>ri –persis seperti apa yang dikehendakinya. Bagi al-T{u>si, penalarananalogikal cukup dengan contoh kecil untuk menuju proses metodepenafsiran global: Istidla>l bi al-sha>hid ‘ala al-gha>ib.49

Persoalannya, sebagaimana diakui Kristin, bahwa metode yangditawarkan al-T{u>si masih terlalu dini, sehingga rawan disalah-pahamiatau disalah-artikan, sebab berada di luar jangkauan teks literal.Sementara al-T{u>si sendiri sekedar memberikan simulasi konsepesiTa’wil dari sampel-sampel ayat. Jadi bukan tawaran konsep Ta’wil yangmatang secara metodologis.50 Paling tidak, terdapat beberapa poinpenting konsep penafsiran sufi yang berhasil dilacak Kristin. Sepertiterma tafsi>r, ta’wil, isha>ra, fahm, d}arb al-mitha>l. Tidak kalah hebatnya,ia merekam beberapa penafsir(an) sufistik dengan sedikit ulasanbiografi, catatan ringan dan menyinggung metodologi taksonomis satudengan lainnya. Mulai dari al-Tustari (w. 896 M), al-Sulami (w. 1021M), al-Qushayri (w. 1074 M), al-Ghaza>li (w .1111 M), Rashi>d al-Di>n al-Maybudi (w. 1135 M), Ru>zbiha>n al-Baqli (w. 1209 M), al-Ka>sha>ni (w.1329 M) hingga al-Nisa>bu>ri (w 1327 M).51 Tentu arsip-arsip data iniakan menjadi informasi berharga untuk melakukan proyek rekonstruksimetodologi hermeneutika sufistik secara integral dan berharga bagikepentingan penelitian ini.

Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, membuat terobosan barudengan membangun elemen metodologi sufi secara partikular-afirmatifsecara cemerlang. Yakni memformat kaidah-kaidah hermeneutika dalam

48Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic ClassicalIslam (London and New York: Routledge, 2006), cet. ke-1, 35.

49Al-Sarra>j al-T{u>si, al-Luma‘ fi> Ta>rikh al-Tas}awuf al-Isla>mi, 82.50Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical

Islam 37.51Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical

Islam , 67-78.

Page 30: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

18

bentuk teoritis-sufistik, seperti yang ditunjukkan dalam tafsir agungmilik imam al-Qushayri, Lat}a>’if al-Isha>ra>t. Menurutnya, kitab tersebutmelandaskan kepada penggalian makna-makna halus yang tersembunyiatas lafal-lafal berbentuk singular (mufra>d) maupun jamak (mushtarak),sehingga tidak hanya berhenti kepada normativitas teks-teks z}a>hiri ataukepada pemakanaan sesuai standar kamus kosakata (mu‘jam) literalistik.Namun mampu juga menangkap arti lafal-lafal qur’anik tersebut sebagaiartikulasi isyarat dan simbol-simbol tersembul yang memiliki esensimendalam di luar pemahaman adat kebiasaan. Tirai ini hanya bisadisingkap oleh mereka yang telah dianugerahi ilmu intuitif oleh Tuhan.52

Untuk merumuskan metodologi ta’wil versi al-Qushayri, Ra>niaMuh}ammad mencoba menginventarisir perangkat-perangkat tafsir yangada dalam kitab Lat}a>’if al-Isha>ra>t. (1) Huruf Muqat}t}a’ah. Sebagaisesuatu yang sudah menjadi identitas kaum sufistik. Sebab penggalanhuruf dalam setiap surat mempunyai rahasia-rahasia yang hanya bisadisibak oleh kaum sufistik: dengan analisa kejiwaan (al-nafs) danpengalaman intituif seorang sufi.53 (2) Bahasa. Sebagai kunci untukmenemukan fenomen-fenomen rumus-rumus sufistik (dila>lah al-rumu>ziyah) serta isyarat. Yakni dengan penguasaan pemahamangramatika Nah}wu-S}araf (sintaksis-morfologis).54 Maka, akan tampaklahperbedaan ahli iba>rah, sebagai representasi kaum Z}ahiriyyah; dan ahliisha>rat sebagi representasi kaum sufistik.55 (3) Adab Sastra. Di manaartikulasi ayat-ayat al-Qur’a>n kebanyakan menggunakan isyarat-isyaratberorientasi kesusastraan. Baik penafsiran dengan gubahan syair,ungkapan kalimat bersastra tinggi, maupun kalam nashr.56 Adab, dalamkonteks sufisme, tidak bisa dipisahkan dari kaum sufi, sebab adab erat

52Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri (Alexandria: Mansya‘ah al-Ma‘a>rif, 2001), iv.

53Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 28.

54Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 42.

55Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 42.

56Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 65.

Page 31: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

19

kaitannya dengan keindahan dan kenikmatan yang diperoleh ketikamencapai ekstase klimaks dan pengalaman ruhani bercumbu denganSang Khalik. (4) Basmalah. Setiap basmalah dalam setiap suratmemiliki penafsiran rahasia yang berbeda satu dengan lainnya. Hal ini,disesuaikan dengan kandungan isi surat tersebut. (5) Shariah. Yakniharmonisasi antara shariah dan hakikat. Sehingga tidak mengabaikandan menafikan syariat untuk menuju hakikat, sebab shariah adalah“muqadimah” hukum-hukum ‘ubu>diyah dalam lingkaran dunia fikih,untuk menuju jenjang yang lebih tinggi, yakni lingkaran duniaTasawuf.57 (6) Balaghah. Yakni landasan menuju interpretasi dalammenangkap ide-ide ilham atau inspirasi sufistik yang terbingkai dalamlafal-lafal balaghah58 (7) Intuitif. Perangkat dhawq bagi kaum sufibertugas mem-ba>t}in-kan yang z}a>hir, man-ta’wil-kan yang tanzi>l. Bagial-Qushayri, terma “naz}am” dalam al-Qur’a>n tidak hanya berfungsisebagai seni akumulasi keindahan al-Qur’a>n –sebagaimana yangdipahami dalam ilmu balaghah–, namun berfungsi lafal-lafal yangmengandung eksistensi penggerak menuju kebahagian hakiki dariemanasi ketuhanan yang menembus hati kaum sufistik atas penglihatan(bas}irah) batinnya.59 Dengan demikian, jelaslah, dalam kitab tersebutRa>nia Muh}ammad berhasil memformat perangkat-perangkat tafsirsufistik secara partikular afirmatif. Penelitiannya bisa dikatakanmerupakan langkah awal dalam konteks metodologi hermeneutikasufistik.

Chaiwat Satha-Anand, menandaskan bahwa corak Tafsi>r al-Ji>la>ni>merupakan tafsir yang memadukan genre esoteris dan eksoteris –dimana pada masa al-Ji>la>ni> dua kutub ini berseberangan secara ekstrem,yakni kutub esoteris yang terlampau ekstrim menafikan syariat dankutub eksoteris yang terlalu kaku dalam membaca al-Qur’a>n secara

57Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 116.

58Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 144.

59Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 158.

Page 32: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

20

literalis.60 Corak tafsir ini ditemukan dalam kitab al-Ji>la>ni>: Futu>h al-Ghayb (the Revelation of the Unseen) yang begitu mendalam membahasaspek ajaran mistis tasawuf terutama tentang eksistensi ketuhanan dankemanusian sehingga mampu menyedot pengikut non-Muslim. Karenaitu, figur al-Ji>la>ni> patut masuk dalam diskursus dialog inter-religion.61 \Kekurangan Chaiwat Satha-Anand adalah luput mengupas aspekmetodologi yang ditawarkan al-Ji>la>ni> dalam kitab Futu>h al-Ghayb itusecara konseptual.

Gerhard Bowering, berpendapat bahwa hermeneutika sufi padadasarnya tidak memiliki metodologi tafsir secara teoritis-sufistik.Hermenetika sufisme, menurutnya, cukup mengandalkan inspirasimistisisme (mystical ideas), yakni penyandaran kepada asosiasikesatuan: moral, literal, spiritual dan simbol maknawi.62 Boweringmenangkapnya kepada tokoh Sahl al-Tustari (w. 896 M) yang diam-diam mengikuti model tafsir yang dikonsepsikan oleh Imam Syiah,Ja’far al-S{a>diq (w. 765 M). Yakni konsepsi: 1. ‘Iba>rah 2. Isha>rah 3.Lat}a>’if. 4. Haqa>iq. Dua makna pertama yakni dimensi ungkapan danisyarat diperuntukkan segmen kaum awam sementara dua makanterakhir, dimensi kelembutan untuk Awliya’ dan hakikat untukAnbiya’.63 Sahl al-Tustari dalam hal ini menggunakan dua metode,yakni (1) Exegesis, sebagai makna z{a>hir literalis; dan (2) Eisegesis,sebagai makna ba>t}in spiritualis. Hanya saja, menurut hemat Bowering,al-Tustari lebih menekankan aspek yang kedua, yakni tafsir eisegesissebagai nama lain esoteritas makna. Secara prinsipil metodologi antaraJa’far al-S{a>diq dan al-Tustari adalah sejenis. Sekalipun berbeda dalamcontent atau level kandungan tafsir keduanya –di mana Ja’far ber-

60Chaiwat Satha-Anand, “Self as a Problem in Islam: A Reading of AbdulQadir Gilani’s Discourse” dalam Syeda Saiyidain Hameed (ed.), ContemporaryRelevance of Sufisme (Newdelhi: Indian Council for Cultural Relations, 1993) cet. ke-1, 324.

61Chaiwat Satha-Anand, “Self as a Problem in Islam: A Reading of AbdulQadir Gilani’s Discourse” dalam Syeda Saiyidain Hameed (ed.), ContemporaryRelevance of Sufisme, 321-326.

62Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence in Classical Islam(Berlin & New York: De Gruyter, 1980), 136-139.

63Gerhard Bowering The Mystical Vision of Existence in Classical Islam, 141.

Page 33: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

21

ideologi syiah, sementara al-Tustari ber-ideologi sunni.64 Demikianlahpembacaan Bowering dalam menemukan konsepsi metodologi al-Tustaridalam tafsirnya al-Qur’a>n al-Az}}i>m.

Sekedar melengkapi, ada beberapa koreksi dari peneliti dalampembacaan Bowering terhadap mekanisme konsep metodologihermeneutika al-Tustari di atas: (1) al-Tustari adalah seorang tokoh sufisunni-‘amali. Praktis karakter tafsirnya adalah tafsir berbau Isha>ri, yangmenggabungkan makna eksoteris dan esoteris.65 Dengan kata lain, akantetap menggunakan penafsiran eksoteris sebelum berangkat kepadapenafsiran esoteris. Bahkan jika penafsiran literalis atau harfiah dinilaisudah cukup mendapatkan “pesan moralitas”, maka tidak perlu beranjakkepada makna batin.66 Inilah prinsip hermeneutika al-Tustari yang luputdibidik Bowering. (2) Bowering nampak mengabaikan sisi semantik dankebahasaan dalam konsep tafsir al-Tustari. Ia lebih sibuk menekankanmediasi tila>wah untuk menangkap inspirasi mistisisme (mystical ideas)atas makna-makna esoteritas an sich. (3) Bowering tidak mampumenginventarisir dan menemukan metodologi sufistik al-Tustari secarateoritis, sebagai perangkat-perangkat kasar yang diperbantukan dalamhermeneutika sufistik.

Terakhir, Bowering melakukan kesalahan besar ketika tidakmemasukkan Lat}a>’if al-Isha>ra>t-nya al-Qushayri sebagai kategori tafsirsufi, sebab ngotot dengan pakem mystically inspired uttrences sebagaiungkapan resmi sufistik. Dengan demikian, ia hanya mengakui tafsir

64Gerhard Bowering The Mystical Vision of Existence in Classical Islam, 142.65Sebagai perbandingan, penting disebut kategorisasi kitab-kitab tafsir mistik

yang mengandung dimensi Isha>ri dan tidak. 1. Tafsir Z{a>hir murni dan sama sekalitidak menyinggung Isha>ri. Seperti kitab Tafsir al-Bayd}awi atau Zamakhshari. 2. TafsirZ{a>hir mayoritas dan Isha>ri ala kadarnya. Seperti Tafsi>r Nis>abu>ri atau al-Alu>si.3. Tafsir Isha>ri mayoritas dan Z{a>hir alakadarnya. Seperti Tafsi>r Sahl al-Tustari. 4.Tafsir Ishari murni dan sama sekali tidak menyinggung Z{a>hir. Seperti Tafsi>r‘Abdurrahman al-Sulami. 5. Tafsir Isha>ri dan Naz}ari sekaligus tanpa menyinggungtafsir Z{a>hir. Seperti Tafsi>r Ibn ‘Arabi. Lihat, Husein al-Dhahabi, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Cairo: Maktabah Wahbah, 2000), vol. III, 28.

66Anwar Syarifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl al-Tustari”, JurnalStudi al-Qur’a>n (Vol. II, No. 1, 2007), 149.

Page 34: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

22

sufistik dengan kandungan esoteritas murni tanpa dibubuhi kandunganeksoteris.67

D. Tujuan PenelitianSebagaimana yang tertuang dalam rumusan masalah sebelumnya,

maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:a. Membuktikan bahwa tafsir mistis-simbolik atau yang lazim dikenal

Tafsi>r Isha>ri, pada dasarnya memiliki kaidah-kaidah hermeneutikasecara teoritis-sufistik yang dibangun di atas ortodoksi tafsir.

b. Membukukan dan membakukan epistemologi ‘ulu>m al-Qur’ansufistik bercorak Isha>ri dalam jubah manhaj al-mufassiri>n atau ‘ulumal-Qur’a>n versi sufistik.

c. Memberikan sumbangsih dan kontribusi metode penafsiran yangditawarkan al-Ji>la>ni> terhadap perkembangan penafsiran al-Qur’a>n,khususnya dalam penafsiran mistis simbolik.

E. Manfaat/Signifikansi PenelitianRiset ini menurut peneliti amat menarik dan penting untuk

mengisi ruang akademis dalam bidang tafsir sufistik. Adapun manfaatatau signifikansi yang terealisasi dari penelitian ini dapatdikelompokkan ke dalam dua dataran, yaitu secara teoritis dan praktis:1. Teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbanganterhadap prinsip-prinsip dan metodologi hermeneutika sufistikpenafsiran al-Ji>la>ni> sebagai representasi metodologi tafsir sufistikbercorak Isha>ri. 2. Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan memberikansumbangan informasi dan kontribusi pemahaman yang lebih mendalam,dalam mengungkap satu sisi pemikiran al-Ji>la>ni> dalam bidang tafsir,khususnya, yang jarang dikaji, dan secara umum diharapkan dapatbermanfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan, serta terhadap konsep-konsep aktual terutama mengenai masalah-masalah yang menyangkutsistem penafsiran al-Qur’a>n. Penelitian ini semata-mata untuk mengkaji

67Annabel Keeler, “Sufi Tafsir As Mirror al-Qushayri the Murshid in hisLata>’if al-Isha>rat”, terj. Eva F. Amrullah & Faried Saenong, Jurnal Studi al-Qur’a>n(Vol. II, No. 1, 2007), 178.

Page 35: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

23

metodologi hermeneutika sufisme dalam rangka memahami makna danpesan-pesan al-Qur’a>n dalam pandangan tasawuf, yang diharapkan dapatmenambah wawasan dalam tataran metodologi penafsiran yangberkembang sampai saat ini khususnya penafsiran bercorak sufistik.

F. Metodologi PenelitianSebagai suatu analisis yang difokuskan pada metodologi

penafsiran Isha>ri al-Ji>la>ni>, studi ini tidak cukup hanya terpaku secaranormatif tehadap gagasan-gagasan penafsirannya saja, akan tetapimengkaji juga bagaimana gagasan itu muncul, apa yang melatar-belakangi dan untuk kepentingan apa dimunculkan serta bagaimanaaplikasi gagasan tersebut dalam sebuah karya tafsirnya. Oleh karena itu,studi ini akan mengikuti prosedur dan alur penelitian sebagai berikut:

1. Jenis PenelitianPenelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka (library

research). Karena penelitian ini termasuk kedalam kajian tokoh, makaada dua metode yang fundamental untuk memperoleh pengetahuantentang tokoh tersebut. Kedua-duanya digunakan secara bersamaan. 1.Biografis. Yakni penelitian tentang kehidupan, lingkungan dan sosio-kultur yang melatarbelakangi. 1. Taksonomis. Penelitian tentanggagasan dan pemikiran karya-karya Shaykh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>,khususnya Tafsi>r al-Ji>la>ni>.68

Data yang ingin digali dalam penelitian ini adalah hal-hal yangterkait dengan prinsip-prinsip dan metode al-Ji>la>ni> dalam upayapenafsiran al-Qur’a>n dan analisis terhadap prinsip dan metode tersebutserta aplikasinya dalam penafsiran.

68Ada dua metode fundamental untuk memperoleh pengetahuan tentangseseorang dan keduanya harus dgunakan secara bersamaan. 1. Taksonomis. Yaknipenelitian tentang pikiran dan keyakinan. 2. Biografis. Yakni penelitian mengenaikehidupan. Lihat tulisan A. Mukti Ali, “Metodologi ilmu Agama” dalam MetodologiPenelitian Agama: Suatu Pengantar (Tiara Wacana, 2004), cet.-ke 2, 59.

Page 36: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

24

2. Sifat PenelitianDitinjau dari sifatnya, maka penelitian ini bersifat eksplanatoris-

kategoris, yaitu suatu penelitian yang berupaya memberikan gambaransecara deskriptif-analisis sekaligus mengeksplorasi secara mendalam danmendetail terhadap penjelasan-penjelasan aspek yang berhubungandengan permasalahan seputar metode dan prinsip-prinsip Tafsir Isha>riyang ditawarkan al-Ji>la>ni> untuk kemudian dianalisis agar memberikanpemahaman yang jelas tentang eksistensi dan pandangan al-Ji>la>ni>terhadap prinsip-prinsip dan metode tersebut serta aplikasinya dalampenafsiran sufistik al-Qur’a>n.

Di samping itu, untuk menemukan teori hermeneutika sufistikyang dibangun, peneliti sengaja melakukan kategorisasi teori denganmemanfaatkan ilmu hermeneutika era modern seperti teori hermeneutikaEric Donald Hirsch, Jr yang cocok dengan kepentingan penelitian, jugamelakukan studi geneologis terhadap kajian-kajian akademis yang intensmembahas “arsip-arsip kuno” kajian hermeneutika dalam penafsiranesoteris teks suci agama-agama.

3. Sumber DataSumber data atau bahan primer dalam penelitian ini adalah karya

tafsir al-Ji>la>ni> yang berjudul Tafsi>r al-Ji>la>ni>: al-Fawa>tih} al-Ilahiyyah waal-Mafa>tih} al-Ghaybiyyah al-Muwad}d}ih}ah li al-Kalim al-Qur’a>niyyahwa al-H{ikam al-Furqa>niyyah. Termasuk karya-karya al-Ji>la>ni> lainnya,seperti al-Gunyah, al-Fath} al-Rabbani wa al-Fayd} al-Rah}ma>ni, Sirr al-Asra>r fi ma> Yah}ta>j ilayh al-Abra>r, dan buku-buku primer lainnya yangberkaitan dengan diskursus Tafsir Isha>ri serta kaidah-kaidahhermeneutika atau yang membantu ke arah sana. Selain itu, datasekunder yang berkaitan dengan literatur Tasawuf, ‘Ulu>m al-Qur’a>nmaupun Tafsir Isha>ri sejenis untuk melengkapi kesempurnaan kajiandalam penelitian ini.

Page 37: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

25

4. Teknik Pengumpulan DataDalam hal pengumpulan data, peneliti menempuh teknik survei

kepustakaan dan studi literatur. Survey kepustakaan yaitu menghimpundata yang berupa sejumlah literatur yang diperoleh di perpustakaan ataupada tempat lain ke dalam sebuah daftar bahan-bahan pustaka.Sedangkan studi literatur adalah mempelajari, menelaah dan mengkajibahan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang menjadi objekpenelitian.

5. PendekatanDalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan interpretasi (interpretative approach),yakni menyelami pemikiran seorang tokoh yang tertuang dalam karya-karyanya, khususnya Tafsi>r al-Ji>la>ni>, untuk menangkap nuansa maknadan pengertian yang dimaksud secara khas hingga tercapai satupemahaman yang benar.69 Dengan menggunakan metode kualitatifsebagai metode analisis data. Metode kualitatif yaitu prosedur penelitianyang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisandari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.70 Sementara, untukmenangkap teori-teori hermeneutika sufisme dalam tafsir al-Ji>la>ni>, makapeneliti menggunakan hermeneutika Eric Donald Hirsch, Jr. tentangteori meaning and significant sebagai artikulasi penafsiran normatifdan simbolik.

Hirsch menyatakan bahwa interpretasi bisa dilandakan pada duasisi: (1) Level makna pertama, yang terbentuk oleh sosio-kultural,sejarah.71 Inilah yang dikehendaki dengan penafsiran (meaning) yangorisinil dan normatif sesuai kehendak Sang Author. Dalam tradisi tafsiral-Qur’a>n masuk sebagai konteks eksotersis. (2) Level makna kedua,

69Anton Bakker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat(Yogyakarta: Kanisius, 1990), 63. Lihat juga: Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat(Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1996), 42.

70Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. RemajaRosda Kaya, 2004), 4.

71Hirsch, E.D. Jr. Validity in Interpretation (New Haven: Yale UniversityPress, 1967), 216.

Page 38: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

26

yang bisa ditafsirkan lepas dari makna pertama sesuai kondisi zaman,proses mentalitas pribadi atau lainnya.72 Inilah yang dikehendaki dengansignificant, yang dalam tradisi tafsir mistik sebagai makna petandasimbolik. Namun masih dalam koridor level makna pertama bahkantidak lepas sama sekali dari “pesan makna pertama” secara prinsipil.Artinya, keberadaan dila>lah sebagai fungsi significant harus sepadan-semakna/muma>tsalah dengan kehendak Sang Autor.73 Inilah yangdimaksud hermeneutika Hircsh dengan kategori “ObjectiveInterpretation”, yakni dengan tidak coba-coba melakukan subyektivitasmakna sebebas-bebasnya dalam interpretasi. Karena itu, modelinterpretasi lurus dan benar adalah kesesuaian kaidah validitasinterpretasi.74

Di samping itu, peneliti juga mencoba menelusuri arkeologitafsir Isha>ri yang berada pada agama Judio-Kristiani. Hal ini dilakukansebagai studi banding penafsiran teks suci agama-agama, di sampingmembantu menemukan secara metodologis tentang teori hermeneutikasufistik yang dibangun peneliti.

G. Sistematika PenelitianSistematika pembahasan merupakan pengaturan langkah-langkah

penelitian agar sistematis, ada keterkaitan yang harmonis antarapembahasan pertama dengan pembahasan berikutnya, juga antara babsatu dengan bab-bab selanjutnya.

Untuk mempermudah dalam memberikan pemahaman dangambaran yang utuh dan jelas tentang isi penelitian ini, makapembahasan dalam tesis ini akan disusun dalam sebuah sistematikapembahasan yang teratur, di mana tesis ini secara keseluruhan terdiridari 5 (lima) bab:

72Hirsch, E.D. Jr. Validity in Interpretation, 216.73‘Abd al-Ghani Bara>h, al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah (Al-Jazair: al-Da>r al-

Arabiyah li al-‘Ulu>m Nas}irun, 2008), cet.ke-1, 336.74E.D. Hirsch, Jr. Validity in Interpretation, 212. Lihat juga: ‘Abd al-Ghani

Barah, al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 335.

Page 39: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

27

Bab Pertama. Bab ini merupakan bab pendahuluan yang didalamnya dijelaskan tentang latar-belakang munculnya permasalahanpenelitian ini. Setelah itu, permasalahan yang muncul akan dibatasi, lalukemudian, permasalahan yang menjadi masalah utama, berikut artipenting dan manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini bagi studiIslam akan ditetapkan.

Bab Kedua. Bab ini membahas kontroversi Tafsir Isha>ri. Untukmengetahui di mana posisi tafsir Isha>ri, akan dibuat pemetaan mazhabortodoksi dan heteredoksi tafsir sufi, yang mencakup mazhab ortodoksdan mazhab heteredoks. Berikut kupasan orientasi corak tafsir sufistik.Setelah itu, dikupas juga otoritas Tafsir Isha>ri, yang menyangkut: (1)nalar ‘irfan. (2) Ta’wil Ishari. (3, Dialektika Z}a>hir dan Batin.Selanjutnya, bab ini membahas wacana validitas Tafsir Isha>ri danhermeneutika Hirsch, yang menyangkut bentuk argumentasi secaralegal-formal dalam al-Qur’a>n dan H{adi>th serta bentuk hermeneutikaHircsh yang tepat diaplikasikan sebagai metodologi dalam dikursustafsir Isha>ri. Dan terakhir, mengupas tradisi penafsiran mistis agama-agama. Sub pembahasan ini dimaksudkan untuk mengingatkan bahwapenafsiran mistis terjadi pada agama-agama semit sebelum Islam.

Bab Ketiga. Bab ini mengulas ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> dan karyatafsirnya. Ini mencakup dua sub bab: [A] Biografi, yang terdiri dari subkecil: 1. Riwayat Hidup, Jaringan Intelektual dan Kontribusi. 2. SettingSosio-Kultural pada Masanya. 3. Tasawuf dan Karya-karya. [B] Tafsi>ral-Ji>la>ni>, yang mencakup: 1. Orisinalitas Tafsi>r al-Ji>la>ni>. 2. TinjauanUmum Karakteristik Tafsi>r al-Ji>la>ni>. 3. Penyajian Tafsi>r al-Ji>la>ni>.

Bab Keempat. Bab ini mengulas prasyarat kode etik penafsiranbagi mufassir sufi Isha>ri. Kode etik ini mencakup (1) KejujuranIbadah/Ima>n al-S{a>diq. (2) Keikhlasan Niat/Ikhla>s al-Niyat. (3)Mencintai al-Qur’a>n/H{ubb al-Qur’a>n. (4) Membaca al-Qur’a>n SembariBerlindung kepada Tuhan /Tila>wah al-Qur’a>n wa istia>dhah billah. (5)Sentralitas Visi dan Organisir Makna/al-Tarki>z al-Kulli wa Jam‘ al-Ham.

Bab Kelima. Bab ini mengulas tentang konstruksi metodologitafsir Isha>ri; A. Perangkat Eksoterik yang lebih dikenal sebagai

Page 40: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

28

perangkat nalar baya>n-z}a>hir mencakup: (1) Bahasa. (2) Shariah. (3)Adab Sastra-Sufistik. (4) Balaghah. Sementara untuk perangkat esoterikyang lebih dikenal sebagai perangkat nalar ‘irfa>n-ba>t}in mencakup (1)Simbol (2) Intuisi (3) Hakikat. Di bab ini akan diulas kontekstualisasidan analisis tafsi>r al-Ji>la>ni> sebagai bentuk aplikasi epistemologi tafsirini, yang mencakup huruf-huruf penggalan/al-h}uru>f al-muqatt{}a‘ah, al-basmalah, serta beberapa ayat yang menjadi pretensi dan argumentasidari konstruksi metodologi tafsir Isha>ri melalui pembuktian danartikulasi ayat-ayat sesuai runutan di atas.

Bab Keenam adalah rumusan kesimpulan berdasarkan hasiltemuan penelitian. Sekaligus sebagai bab penutup dan saran-saran.

Page 41: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

29

BAB II

KONTROVERSI HERMENEUTIKA SUFISTIK TAFSIR ISHA<RI

Pada bab II ini, akan dijelaskan mengenai diskursus Tafsir Isha>ri

sebagai representasi dari mufassir ortodoks atau sunni ‘amali. Penjelasan

ini mencakup beberapa varian yang dianggap kontroversial dan samar-

samar oleh sebagian kalangan ulama. Pertama: Definisi tafsir Isha>ri.

Untuk menuju ke sana, dijelaskan pemandangan umum tafsir sufi yang

mempunyai dua kategori. 1. Definisi secara teologis, yakni definisi yang

dikonstruksi oleh golongan sunni dari ulama klasik maupun kontemporer

yang masih ketat membatasi pada lingkaran sunni. 2. Definisi secara

taksonomis, yakni dengan melihat substansi pemikiran dalam lintasan

sejarah. Otoritas tafsi>r Isha>ri penting ditampilkan sebagai bentuk

otorisasi dan kuasa Tafsir Isha>ri atas tafsir lainnya. Karena itu

ditampilkan elemen-elemen seperti nalar ‘irfa>n, ta’wil Isha>ri dan

dialektika z}a>hir dan ba>t}in sebagai manifesto kekuasaan tafsir Isha>ri.

Pemetaan mazhab tafsir akan dikupas agar bisa mengetahui lalu lintas

dari tafsir sufistik secara holistik agar mengetahui posisi dari tafsir

Isha>ri berada. Dalam hal ini mazhab tafsir sufistik terbagi atas dua

kategori. Pertama, ortodoksi sebagai istilah mazhab yang mampu

mensinergikan antara syariat dan hakikat agama secara proporsional dan

murni –sehingga penafsirannya identik sebagai tafsir ishar>i. Kedua,

heterodoksi, sebagai istilah mazhab tafsir yang dianggap terlalu

melampaui koridor syariat serta mengapresasi dan mengakomodasi

Page 42: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

30

unsur inklinasi dan sinkretik ajaran-budaya lokal atau non Islam –

sehingga penafsirannya identik sebagai tafsir batini-falsafi.

Validitas Tafsi>r Isha>ri penting dikupas disini agar bisa

mengaktualisasikan dan menjustifikasi tafsir-tafsir Isha>ri secara valid

dan absah dalam bangunan argumentatif. Dengan demikian beberapa

varian yang hendak dijelaskan mampu mengurai entitas tafsir Isha>ri

dihadapan para akademisi atau ulama yang concern dengan tafsir sufi

secara umum dan tafsir Isha>ri secara khusus. Disamping itu, bagi

pembaca luar, membaca literatur sufistik tanpa penerimaan secara luruh

adanya realitas pengalaman mistik yang mereka alami, yang darinya

menghasilkan ragam penafsiran dalam bentuk simbolis –representasi

penafsiran kaum ortodoks– atau alegoris –representasi penafsiran kaum

heterodoks –, adalah bentuk distorsi dan reduksi terhadap karya tulisan

mereka.1 Karena itu, penting untuk menghargai dan mengapresiasi karya

mereka sebagai 1. kreativitas benturan kultur (creative clash of cultures)

yang menjadi konsekuensi perbedaan metodologis. 2. merupakan bentuk

kekayaan berharga aspek sentral tradisi Islam itu sendiri (central aspect

of classical islamic culture).2

1Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic ClassicalIslam (London and New York: Routledge, 2006), cet. ke-1, 2.

2Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic ClassicalIslam, 3.

Page 43: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

31

A. Tafsir Isha>ri

Terdapat banyak definisi dari pelbagai penafsir sufistik

tergantung dari keyakinan teologi dan prespektif esensinya.3 Paling

tidak dari pelbagai definisi itu ada titik konvergensi yang

mempertemukan satu dan lainnya secara esensial. Hal ini karena

menimbang bahwa suatu konsepsi terminologi harus meniscayakan

kontruksi (binyah). Dalam arkeologi sejarah sufisme, tafsir sufi pada

abad 6 H. dan sesudahnya telah terjadi perubahan konsep pengertian

tafsir sufi yang lebih spesifik kepada unsur-unsur karakteristik

kategoris.4 \ Dengan kata lain, tafsir sufi mempunyai dua kategori. 1.

Definisi secara mazhab teologis. Yakni definisi yang dikonstruksi oleh

ahlu sunnah wal jama‘ah atau sunni dari sarjana klasik maupun

kontemporer yang masih ketat membatasi kepada lingkaran sunni. 2.

Definisi secara tematik taksonomis. Yakni dengan melihat substansi

pemikiran dalam lintasan sejarah. Dalam hal ini akan mencakup seluruh

tafsir esoterik baik itu tafsir sufi falsafi atau ba>t}in ismaili.5 Tafsir sufi

3Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi Dira>sah al-Maja>l al-Ma‘rifi al-Us}u>li al-Awwal li> tafsi>r al-S}ufi (Yordania: ‘A<lam al-Kutub al-Hadi>th, 2008),cet.ke-1, 241.

4Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 24.5Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 24. Tafsir batiniyah

adalah tafsir aliran batiniah yang menentang terhadap eksoterik atau lahiriah al-Qur’a>ndan hanya mengandalkan terhadap makna batiniah. Sebab makna batin-lah yangsesungguhnya dikehendaki al-Qur’a>n. Legalitas penafsiran kelompok ini berdasarkanQS 57: 13. Di antara yang masuk pada aliran ini adalah Qaramit}ah (penisbatanterhadap Hamdan Qarmat}i), Ismailiyah (penisbatan kepada Ismail, anakterbesar/termasyhur dari imam Ja’far al-S{a>diq), Sab’iyyah (penisbatan kepada 7bilangan anggota), al-H{urmiyyah (penisbatan kepada kaum yang menghalalkanperkara-perkara haram), al-muhmirah (penisbatan kepada kaum menggunakan kostumserba merah). Diantara penafsiran batiniah ini adalah QS 27:16, yang menyatakanbahwa Ali RA mendapatkan warisan keilmuan dari Nabi. Atau ka’bah adalah

Page 44: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

32

secara teologis inilah yang kemudian dimonopoli sebagai sebutan

isha>ri.6

Isha>ri menurut al-Zarqa>ni> adalah menakwilkan al-Qur’a>n tanpa

melihat lahiriah tekstual melainkan isyarat-isyarat yang tersembunyi

yang tampak di hadapan para ahli suluk dan praktisi tasawuf.7

Sayangnya, para ulama tafsir klasik maupun kontemporer tidak

menyatakan Isha>ri ini sebagai tafsir resmi yang dibakukan. Sebab para

praktisi sufi sendiri tidak mematenkan diri atau agak acuh terhadap

istinbat atau eksplorasi penafsiran al-Qur’a>n yang digalinya sebagai

diskursus tafsir. Hanya saja, para pengikut atau orang-orang setelahnya

mengklaim penafsiran kaum sufistik itu sebagai karya tafsir.8

Kaum sufi sunni ‘amali acapkali menyatakan bahwa ijtihad

penafsirannya bukan dianggap sebagai tafsir atau syarah al-Qur’a>n.

Melainkan sejumlah makna, isyarat, atau kehalusan istilah (ma‘a>ni,

Muhammad, pintunya adalah Ali, s}afa adalah Nabi dan marwah adalah Ali, sertabeberapa penafsiran lain yang dianggap khurafat oleh kalangan sunni. Karena itulahpenafsiran golongan heterodoks dianggap menyeleweng keluar dari koridor kesuniansehingga dianggap telah melabrak bangunan syariat, mengindahkan struktur logikabahasa. Mereka, dalam pandangan kaum ortodoks, cenderung mengikuti hawa nafsudalam menafsirkan al-Qur’a<n. Karena itulah harus diterapkan syarat-syarat kaidahpenafsiran di mana premis awal yang tidak boleh dilanggar dan harus ditaati adalah (1)menaati undang-undang syariat, agar tidak melakukan kerancuan terhadap nas}-nas}syariat dan kontradiksi ajaran-ajaran Islam. (2) mentaati kaidah bahasa Arab, sebab al-Qur’a>n telah diturunkan bahasa Arab sesuai QS 12:2. Dengan demikian al-Qur’a>nharus dipahami dengan menggunakan kaidah bahasa Arab karena kearaban dari al-Qur’a>n itu sendiri. Jika tidak, niscaya tidak akan bisa diharapkan penalaran atasnyadan kandungan di dalamnya. Muhammad ‘Abdullah ‘Az}i>m al-Zarqa>ni, Man>ahil al-‘Irfa>n (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi, 1995), cet. ke-1, vol. II, 64

6Abd al-H{ayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’ (Tanpa Penerbit,1977), 30.

7Muhammad ‘Abdullah ‘Az}i>m al-Zarqa>ni, Man>ahil al-‘Irfa>n, 67.8Tafsir ini kemudian dikenal sebagai tafsir Isha>ri untuk membedakannya

dengan tafsir Batiniah. Lihat: Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi,241-242.

Page 45: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

33

isha>ra>t, lat}a>’if).9 Karena itulah lazim disebut sebagai tafsir Sufi Isha>ri.

Dalam hal ini Ibn S{alah berpendapat bahwa:

“kalam para praktisi tasawuf dalam al-Qur’a>n seperti halnya al-

Junaydi dan yang lainnya (….), mereka sejatinya tidak memaksudkan

ucapan-ucapan mereka sebagai tafsir al-Qur’a>n melainkan makna-

makna yang ditemukan ketika membaca (…) di mana Allah tiba-tiba

menurunkan ucapan-ucapan syarat manfaat kepada mereka”.10

Jika ditilik lebih jauh, selama ini nalar kategori tafsir terlalu

dibatasi oleh definisi tafsir yang berorientasi kepada argumentasi tafsir

Naqliyah (tafsir bi al-ma’tsu>r) atau tafsir Aqliyah (tafsir bi al-‘aql) yang

sangat tergantung kepada tektualitas kebahasaan. Di sinilah letak pokok

problematika definisi tafsir tesebut sehingga membentuk pakem

tersendiri terhadap wajah tafsir dan hanya terkesan menerima terhadap

tafsir bi al-ma’tsu>r dan tafsir bi ma‘qu>l. Akibatnya, tafsir sufistik

mengalami perkembangan agak terbelakang dan ketinggalan dari para

pendahulunya sehingga tidak bisa mengkodifikasikan tafsir Sufi secara

sempurna dan komprehensif sebelum akhirnya disusun terlebih dahulu

oleh generasi setelah itu. Menurut T}a>hir bin ‘A<shur, hal ini dikarenakan

oleh realitas bahwa kaum sufistik sendiri tidak mengakui perkataannya

sebagai bentuk tafsir melainkan kalam perumpamaan atau tamsil atas

9Al-Suyu>ti, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Cairo: Mat}ba’ah al-Azhariyah,1925), cet. ke-2, 488.

10Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 242.

Page 46: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

34

ayat-ayat yang kira-kira sesuai dengan kehendak pembicara

(mutakallim).11

Pakem atau pola pikir inilah yang terbentuk dalam pikiran para

sufi, sehingga tidak berani menyebut penafsirannya sebagai karya

tafsir.12 Pengakuan serupa juga terjadi pada sosok ‘Abd al-Qa>dir al-

Ji>la>ni>, sehingga ia tidak menamakannya sebagai karya tafsir, melainkan

ilham-ilham atau isyarat ilahi yang berumber dari hati hamba yang

langsung mendapatkan emanasi dari Tuhannya.13 Ironisnya, sejak awal

munculnya golongan sufistik, mereka sudah akrab menggunakan al-

Qur’a>n sebagai arena penafsiran atas praktek ajaran mereka,

sebagaimana yang terjadi pada kaum syiah yang sudah menerapkan

penafsiran sufsitik lewat tradisi yang mengakar kuat.14

Atas alasan ini, para pengkaji tasawuf kemudian menemukan

istilah dengan sebutan “tafsir Isha>ri”, di mana tujuan dasar dari

konseptualisasi terma ini adalah untuk melakukan upaya distingtif dari

tafsir esoterik ba>t}ini. Dengan demikian, sejatinya ada titik temu dan

titik beda antara keduanya, di mana disebut bahwa titik temu sebab

antara Isha>ri dan tafsir ba>t}ini sama-sama berinduk pada tafsir sufi yang

berorientasi pada makna-makna esoterik. Disebut pula bahwa titik beda

sebab antar keduanya berbeda secara metodologi dan ideologi.

Maksudnya, isha>ri masih menghargai otoritas makna lahiriah serta

11Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 242.12Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 242.13Muhammad Fa<>d}il al-Ji>la>ni> al-H{asani al-Tayla>ni al-Jamazraqi, Muqaddimah

Tafsi>r al-Ji>la>ni> (Istanbul: Markaz al-Ji>la>ni> li al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2009) cet. ke-1,vol.. I, 30.

14Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an (London & New York: Routledge,2006), cet.-ke 1, 86.

Page 47: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

35

menjadikan Sunni sebagai ideologi pijakannya dalam menerapkan

penafsiran esoteris. Sementara tafsir ba>t}ini hanya mengandalkan

penghargaan makna ba>t}in, dan itulah yang terkehendaki dalam al-Qur’a>n

menurut mereka. Tak ayal, tafsir golongan ini masuk kategori tafsir

ilh}a>diyah atau heretis –bentuk anti tesis kesebalikan Isha>ri yang masih

ketat menerapkan ideologi Sunni sebagai frame penafsiran sufistik

model Isha>ri.15

Sebagai perbandingan atas Isha>ri, tak segan-segan seorang

sarjana kontemporer dalam bukunya “al-Ittija>ha>t al-Sunniyah wa al-

Mu‘tazilah fi> Ta’wil al-Qur’a>n” menyatakan bahwa model pena’wilan

ba>t}in Isha>ri tidak ubahnya seperti konsep pena’wilan yang tidak

memiliki kaidah-kaidah dan standarisasi penafsiran. Namun demikian,

tidak ada ulama yang berani mengkafirkan para kaum sufistik itu atau

dianggap keluar dari agamanya. Sebab kaum sufistik yang menafsirkan

secara Isha>ri pada dasarnya tetap mengindahkan fenomena atau petanda-

petanda z}a>hir ayat atau normativitas teks bahkan mengakuinya sepenuh

hati sebagai titik tolak atau tiang pokok yang darinya kemudian

tersandar makna-makan lain yang berorientasi esoterik sehingga

mendapatkan petunjuk darinya.16

Karenanya tak heran jika terma “Isha>ri” tidak secara frontal

disebut sebagai penafsiran sufistik murni. Hal ini mengingat masih

mengakomodasi makna tekstual sehingga kerap juga dinamai dengan

tafsir sunni-‘amali sebagai representasi keberadaanya yang menempati

inter media atau al-manzilah bayn manzilatayn –jika meminjam terma

15Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 24216Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 242.

Page 48: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

36

Mu’tazilah– dengan pertimbangan inklinasi esoterisme (ba>t}iniyyah) di

satu sisi dan inklinasi eksoterisme (sunni) di sisi lain.17

B. Ortodoksi dan Heterodoks i Tafsir Sufi

Menjelaskan sejarah tasawuf sebagai titik pijakan geneologi

kemunculan tafsir sufi akan memudahkan memberikan pra-pemahaman

terhadap dua tipologi tafsir, yakni tafsir sufi ortodoks sebagai bentukan

tafsir Isha>ri dan tafsir sufi heterodoks sebagai bentukan tafsir Ba>t}ini-

Falsafi.

Sejarah tasawuf diakronik pada era awal kenabian bisa dikatakan

sebagai prototipe paling ideal dari tasawuf ortodoks, sebab cara-cara

yang dilakukan pada zaman tersebut relatif murni dan belum

terkontaminasi oleh budaya-budaya lokal. Pada perkembangannya,

wujud tasawuf mengalami fase-fase transformasi seiring dengan makin

berkembangnya Islam di daerah-daerah non-Arab melalui berbagai

penaklukan. Ibn Khaldun mencatat dengan apik fase-fase dimensi

kehidupan spritual ruhiyah menjadi tiga periode; 1. Fase asketisme

(marh}alah zuhu>d) 2. Fase sufisme praksis (marh}alah tas}awuf ‘amali) 3.

dan Fase sufisme filosofis (marh}alah tas}awuf falsafi).18

Penting disebut bahwa “konstruksi sejarah luar” (takawwun al-

kha>rij) tasawuf merupakan entry point yang akan membawa para

pengkaji tasawuf pada kesimpulan jawaban terkait sejauh mana

keterpengaruhan unsur lokal serta tradisi yang menyemai sebelum Islam

datang. Segala diskursus keilmuan dan kesejarahan di muka bumi tidak

17Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 242.18‘Ali> Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam (Cairo: Dar al-

Ma‘a>rif), cet.ke-9, vol. III, 30.

Page 49: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

37

akan lepas dari ruang dan waktu. Tasawuf tentu mengalami dialektika

antara konstruksi internal orisinal (takawun al-kha>lis}) sebagai elemen

tasawuf ortodoks dan konstruksi internal serapan (takawwun al-kha>rij)

sebagai elemen tasawuf heterodoks. Pada akhirnya konstruksi internal

sebagai sejarah luar diposisikan sebagai ‘ide media dan pembeda’ yang

turut meramaikan tumbuh-kembang tasawuf menjadi kian besar,

melebar dan beragam sesuai dengan kecenderungan nalar dan corak

tasawuf.

Abu> al-‘Ala Afifi, murid terkasih R. Nicholson, menguraikan

bahwa jantung tasawuf dicitrakan sebagai konseptualisasi ganda; elemen

internal dan eksternal. Elemen internal adalah yang bersumberkan pada;

1. al-Qur’a>n dan Hadith 2. Ilmu Kalam. Dan elemen eksternal adalah 1.

Neo-platonisme 2. Budaya India (Hindu dan Budha) 3. Kristen.19

Jika ditelisik, dua elemen ini pada saat yang sama akan

menciptakan dua arus besar yang relatif berseberangan, 1. Mazhab

Ortodoks 2. Mazhab Heterodoks .20

19Abu> al-‘Ala al-‘Afi>fi>, al-Tas}awuf; Thawrah al-Ru>hiyah fi> aI-Islam (Cairo:Dar al-Ma‘a>rif, 1963), cet.ke-1, 77.

20 Dikotomi terma ini sudah menjadi habitus dalam diskrsus tasawuf. Tasawufortodoks yang bersematan tasawuf berdoktrin ajaran sunni dan tasawuf heterodokssebagai yang bersematan tasawuf berajaran teori falsafi. Dua istilah ini lahirbelakangan setelah gelombang penentangan muncul dari ulama fikih dan mutakalimin.Mohamad Guntur Romli, Syahadat Cinta Ra>bi’ah al’Adawiyah, (Jakarta, RehalPustaka, 2012), cet. 1, 55. Begitu juga Aprinus Salam menggunakan dua terma inisebagai kecenderungan orientasi mazhab sufistik internal. Lihat: Aprinus Salam,Oposisi Sastra Sufi (Yogyakarta: LKIS, 2004), cet.ke-1, 8. Ortodoks adalah istilahmazhab yang berorientasi sufisme Suni dan Heterodoks adalah mazhab yangberorientasi sufisme filosofis. Schimel sendiri membedakan kedua tradisi besar dalamdua tipe, yaitu Mistik Kepribadian (Mysticsme of Personality) dan MistikKeterhinggaan (Mystisism of Infinity). Al-Taftazani membagi dua kecenderungantersebut ke dalam sufisme religius dan sufisme filosofis. Aprinus Salam, Oposisi SastraSufi, 29.

Page 50: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

38

(1) Mazhab Ortodoks

Unsur tasawuf ini murni bersumberkan; 1. al-Qur’a>n dan Hadith,

2. Ilmu kalam. Kelompok yang murni menggunakan elemen internal ini

terdapat dua mazhab. Pertama, tasawuf Sunni yang direpresentasikan

dua tokoh sufi populer, Ima>m al-Ghazali (w. 1111 M) atau Abu> al-

Qa>sim al-Junayd (w. 910 M). Corak tasawuf sunni dikenal mampu

mensinergikan antara syariat dan hakikat agama secara proporsional.21

Kedua, tasawuf neo-salaf, yang direpresentasikan oleh Ibn Taymiyah

(728 H/1328 M) dan Ibn Qayyim al-Jawziyah (w. 751/1350 H). Corak

tasawuf ini dikenal lurus dan hanya memahami dan menerima teks

secara normatif tekstualis.22 Praktis, dengan begitu, akan menyerang

habis terhadap aliran tasawuf yang tidak sejalur, bahkan tak segan-segan

mengkafirkan sejumlah sufi besar yang menelurkan gagasan pantheisme,

reinkernasi, dan lainnya seperti Ibn ‘Arabi (w. 1240 M), al-Hallaj (w.

922 M), Ibn Fa>rid} (w. 1235 M) serta sejumlah sufi besar lainnya.

Dalam persepsi neo-salaf, mereka terlalu jauh menakwilkan teks-

teks z}a>hir agama sehingga (dianggap) telah menyeleweng dari ajaran

ortodoksi. Ibn Taymiyah (w. 728 H) menekankan kehati-hatian

seseorang masuk dalam tiga horizon teks; antara syariat yang taken for

granted (al-shar‘i al-munazzal), syariat yang dita’wi>li (al-shar‘i al-

mu’awwal) dan syariat yang menyeleweng (al-shar‘i al-mubaddal). Di

21‘Ali> Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, vol. III, 19.22‘Ali> Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, vol. III, 19.

Page 51: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

39

sinilah urgensi untuk memahami tiga hal tersebut agar tidak terjebak

pada yang terakhir.23

Dua mazhab Sufi Ortodoks ini bisa dikatakan setia bertahan

dalam lingkungan Islam asli tanpa terpengaruh oleh budaya-budaya

setempat di mana mereka hidup. Yang unik, karena tasawuf bukan

merupakan suatu identitas firqah/ideologi, praktis keanggotaan mereka

melumer tanpa ada sekat batas/beda terhadap mazhab teologi atau ilmu

kalam tertentu.24 Ilmu kalam adalah aspek dasar Islam yang bisa dicapai

tujuannya dari titik mana pun. Karena itu ia acuh terhadap perbedaan

teologis atau mazhab fikih tertentu. Gejala ini terjadi pula pada kaum

Sufi heterodoks sebelum jauh mengembangkan dirinya kepada model

tasawuf tertentu, sebab unsur internal ini, bagaimanapun, merupakan

basis tasawuf dan identitas Islam sendiri.

(2) Mazhab Heterodoks

Tasawuf yang “keluar” dari jalur resmi (ortodoks) dan

mengalami derivasi serta metamorfosa dengan budaya lokal (dakhi>lah).

Gejala ini dikenal sebagai aspek keterpengaruhan natural (ta’thi>r wa

ta’aththur), atau dalam teori Barat dikenal sebagai bentuk “pinjaman

dan pengaruh” (borrowing and influence), yakni bentuk proses

pengawinan dua budaya: Islam dan lokal-pribumi. Artinya, model

tasawuf ini jika sudah melebur maka secara praksis akan berwajah

23 Ibn Taimiyah, al-Furqa>n bayn Awliya>’ al-Rah}man wa Awliya>’ al-Shayt}a>n(Cairo: Maktabah Muhamad Ali Shabih, 1958), cet.ke-2, ditahkik Mahmu>d AbdulWahab Fayid, 13.

24R. Nicholson, al-S}u>fiyah fi> al-Islam (Cairo: Maktabah Khanji, 2003), cet.ke-2, 37.

Page 52: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

40

islami, namun secara teoritis-geneologis bukan berasal dari ajaran murni

(ortodoks).25

Elemen-elemen eksternal ini sejatinya tidak hanya sebatas yang

disampaikan oleh al-‘Afi>fi dengan mencukupkan terhadap tiga elemen

eksternal di atas, yakni: 1. Neo-platonisme. 2. Budaya India (Hindu dan

Budha). 3. Kristen.26 Atas nama ‘konseptualisasi’, setidak-tidaknya

membutuhkan spektrum budaya lokal di mana Islam berkembang dan

menjadi agama pemeluk lokal. Bahkan ajaran Hellenestik, Hermetic,

Aristotelian merupakan faktor pendorong tumbuh-kembangnya aliran

gnostisisme, yang diadopsi oleh Syiah Ba>t}iniyyah dan metafisik, yang

diadopsi oleh teologi Sunni.27

C. Corak Tafsir Sufistik

Dalam pada itu, karena mazhab tasawuf mempunyai dua aliran,

yakni ortodoks dan heterodoks, praktis pola penafsiran mereka

mempunyai corak orientasi yang khas serta mempunyai pendekatan

metodologi sendiri. Pertama, tafsir orientasi praksis (ittija>h ‘amaliy)

yang didasarkan atas penyiksaan diri/riya>d}ah laku asketisme. Kedua,

tafsir orientasi teoritis, (ittija>h al-naz}ari) yang didasarkan pada hasil

pembahasan atau pendalaman yang bersifat teori ajaran-ajaran dan

pandangan filosofis-sufistik.28

25‘Ali> Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, vol. III, 19.26Abu> al-‘Ala al-‘Afi>fi>, al-Tasawuf; Thawrah al-Ru>hiyah fî aI-Islam, 77.27Louis Massignon, Essay on the Origins of the Technical Language of Islamic

Mysticism (Indiana: University of Notre Dame Press, 1997), 37.28 Istilah tasawuf ortodoks sebagai model praksis yang dimaksud adalah lebih

menonjolkan sisi amaliyah, sementara tasawuf heterodoks sebagai tasawuf teoritislebih menonjolkan ajaran teori, sekalipun tidak menutup kemungkinan satu dengan

Page 53: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

41

(1) Tafsir Tasawuf Praksis.

Tafsir aliran ini populer dengan sebutan Tafsir Isha>ri, yakni

pena’wilan ayat-ayat al-Qur’a>n yang “menyimpang” dari makna zahir

namun tetap memperhatikan norma-norma penafsiran legal-formal

sehingga ada korelasi kecocokan antara zahir dan isyarat batin.29 Tafsir

ini lebih menekankan gabungan harmonisasi antara syariat dan hakikat.

Syariat dalam pengertian melakukan perbuatan-perbuatan yang

diperintahkan oleh syara’ juga menghiasi diri dengan cara hidup yang

yang didasarkan pada asketisme. Kelompok ini dianggap sufi sunni

resmi, atau diakui penafsirannya sebagai Tafsir Isha>ri yang resmi sebab

ada persamaan dengan ahli tafsir resmi yang populer di kalangan muslim

sunni, dalam hal keduanya mempunyai dimensi zahir, bahasa, serta

terpenting, pengamalan praksis serta tidak bermain dalam wilayah

teoritis.30 Kebanyakan tokoh-tokoh tasawuf dalam golongan ini, seperti

Shaykh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Alu>si>, atau Imam al-Qushayri

sependapat bahwa apa-apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sufi

heterodoks aliran naz}ari-falsafi/ba>t}iniyyah mengenai penafsiran mereka

tantang ayat-ayat al-Qur’a>n umumnya menafikan syariat. Mereka

dianggap golongan pinggiran yang tersesat dari jalan kebenaran, sebab

kebanyakan kaum sufi tidak sampai mengabaikan syariat.

Bagaimanapun syariat adalah harga mati jalan menuju hakikat yang tak

bisa ditawar-tawar. Bagaimana mungkin fase ini dilewati begitu saja

dengan langsung kepada hakikat.

lainnya saling mengisi. Untuk terma ‘amali dan naz}ari dalam dunia tasawuf modernlihat: ‘Ali Sha>mi Nashar, Nash’ah al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, 19.

29Abd al-H{ayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’, 30.30Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 237.

Page 54: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

42

Al-Ji>la>ni> membagi dua golongan ortodoks dan heterodoks ini

sebagai kubu yang berseberangan. Pertama, kaum Sunni, di mana ucapan

dan perbuatannya sesuai dengan syariat dan hakikat secara total. Kedua,

kaum bid’ah, di mana ucapan dan tindakannya terkadang sudah jauh

melampaui batas syariat bahkan dianggap gugur dari takli>f syariat.31

Dalam Risa>lah al-Qushayriyyah, al-Qushayri berpendapat bahwa

setiap syariat tanpa didukung oleh hakikat maka tidak diterima dan

setiap hakikat tidak dilandasi Syariat maka tidak akan berhasil: syariat

adalah ibadah dan hakikat adalah saksi.32 Sehingga, jika tidak ada

petunjuk jalan syariat niscaya resiko tersesat dalam mencari hakikat

tersebut. Dan inilah yang menimpa pada aliran tasawuf heterodoks

dalam pandangan mazhab ini. Padahal seyogyanya harus tetap dipelihara

penafsiran dan pengertian tekstual tanpa mengabaikan aspek

kontekstual-ba>t}in. Mengenai perbedaan corak tafsir dan metodologi ini,

Ibnu Taymiyyah sendiri mengakuinya. Ia menulis bahwa tafsir sufi

terdapat dua kategori besar; 1. Tafsir heterodoks, di mana isyarat

tafsirnya sudah keluar dari jalur analogi fuqa>ha’ (qiya>s al-fuqaha’)

sehingga masuk kategori tafsir ba>t}iniyyah. Sebab pemahamannya yang

melangit dan cenderung ekslusif. Kelompok ini adalah isma>iliyyah,

31Al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r (Cairo: Mat}ba‘ah al-Bahiyyah al-Misr, tt), 93.al-Ji>la>ni> merinci kategori golongan yang masuk pada golongan bid’ah. Di antaranya,kaum Awliya’iyyah yaitu kaum yang mendaku sudah mencapai derajat kewalian.Golongan ini merasa lebih utama dibanding Nabi dan mereka beralasan bahwa nabimencapai derajat kenabian melalui perantara malaikat Jibril sementara wali langsungdari Tuhan tanpa perantara. Kaum Hubbiyah, yaitu kaum yang sudah mencapai tingkatmahabah Tuhan. Kedua golongan ini menganggap telah gugur menjalani syariatdengan capaian derajat yang diperolehnya. Lihat lebih lengkap: Al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r,93-95.

32 Ibrahim Basyuni dalam muqaddimah-nya. Lihat: Al-Qushayri, Lat}’āif al-Ishārāt, 6.

Page 55: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

43

qaramatiyyah, filosof dan kaum sufi yang terlalu jauh melencengkan

makna z}a>hirnya, baik sengaja atau tidak.33 2. Tafsir ortodoks, di mana

isyarat tafsirnya masuk dalam kategori analogi fuqaha’ serta relatif

bersahabat dengana masyarakat awam sebab menggunakan pemahaman

membumi yang bertitik tolak dari kontemplasi quranik (i’tiba>r al-

Qur’a>ni>) serta analogi fuqaha’. Hanya saja para kaum sufi sunni

menyebutnya lebih populer dengan isyarat.34 Di sinilah kemudian yang

menjadi titik beda sehingga dikenal populer sebagai undang-undang

perbedaan dan kesepakatan (qanu>n al-ikhtila>f wa i’tila>f).35

Namun pada dasarnya, kaum sufi baik aliran ortodoks atau

heterodoks, keduanya bersepakat bahwa metodologi yang digunakan

adalah metodologi isyarat (baca: isha>ri) terhadap pengertian-pengertian

yang rumit yang hanya bisa diungkapkan oleh orang-orang yang sudah

menempuh dan menguasai cara bagaimana jalan menuju Tuhan.36 Dan

cara itu didapati dari saripati pengertian-pengertian tekstual yang

dikehendaki dan diselami masing-masing kaum sufi: tergantung

kedalaman pengalaman olah ba>t}in dan rasa (dhauq wa ‘ishq ilahi). Tentu

dengan syarat mutlak kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati.

Manusia yang kemampuannya masih terbatas dan keimanannya belum

sempurna kerap terjebak dan bahkan mengingkari bahwa al-Qur’a>n

mempunyai bagian-bagian ba>t}in yang dilimpahkan oleh Allah kepada

batin hamba yang dikehendaki.

33Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 21234Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 213.35Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 213.36R. Nicholson, al-S{u>fiyah fi> al-Islam (Cairo: Maktabah Khanji, 2003), cet. ke-

2, 37.

Page 56: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

44

Al-Alu>si dalam Ru>h al-Ma‘a>ni umpamanya, memberikan isyarat

yang diberikan oleh firman Allah dalam surat al-Baqarah (QS. 2: 45)

“jadilah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang

demikian itu berat kecuali bagi orang-orang yang khusu”. Ayat Ini

menjelaskan bahwa shalat adalah sarana untuk mengonsentrasikan hati

demi menangkap penampakan diri (tajalli ilahi) Allah, dan hal ini sangat

berat kecuali bagi orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk

menerima cahaya-cahaya dari tajalli ilahi yang amat Maha Halus dan

menangkap kekuasannya yang Maha Perkasa. Merekalah orang-orang

yang yakin bahwa mereka benar-benar di hadapan Allah dan hanya

kepada-Nyalah tempat mereka kembali: dengan menghancurkan sifat-

sifat kemanusiaan mereka (kasr al-shahwah) dan meleburkannya ke

dalam sifat-sifat Allah sehingga mereka tidak menemukan selain

eksistensi Allah sebagai raja yang Maha Halus dan Maha Perkasa.37

Masuk dalam kategori ini adalah kitab-kitab karangan kaum sufi

ortodoks seperti tafsir al-Qur’a>n al-Ad}im karangan al-Tustari. Haqa>iq

Tafsir karya al-Sullami, ‘Ara>is al-Baya>n fi>al-Haqa>iq, Lat}a>’if al-Isha>ra>t

karya Imam al-Qushayri dan tak terkecuali Tafsi>r al-Jaila>ni> karya Wali

Qut}b Shaykh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>.

Dengan mengamati diskursus di atas, maka perkembangan proses

heterodoktifikasi tak begitu selalu linear, sebab di dalamnya

meniscayakan penggelembungan dan penyusutan konsep yang

bergantung pada masing-masing pengguna diskursus tasawuf serta

diskurus lain yang berkait-singgung dengannya. Tentunya, perumusan

37Al-Alu>si> al-Baghdadi, Ru>h al-Ma‘a>ni > (Beirut: Da>r Ihya al-Turats al-‘Arabi,tt), vol. I, 248.

Page 57: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

45

konsep yang berjalan mulai dari konsep praksis menuju teoritis akan

sangat tampak dalam tasawuf bercorak heterodoks ini, sebab

heterodoksifikasi sebagai sebuah perumusan metodis tentunya secara

aspek bawah sadar akan mengalami konsep banding serta perenungan-

perenungan mendalam hasil pengalaman atau gesekan budaya lokal yang

mengitarinya. Capaian ijtihad yang dihasilkan tokoh sufi golongan

heterodoks ini, sebagaimana uraian di atas, jauh berbeda dengan

spekulasi-spekulasi yang dibayangkan tasawuf ortodoks atau ulama-

ulama formal syariat, yang secara tidak disangka-sangka dan tak

disadari keluar dari koridor syariat dan tidak lagi dianggap murni ajaran

tasawuf. Ekses inilah yang kemudian dalam lanskap sejarah tasawuf,

yang memicu perseteruan-perseteruan abadi antara ulama

formal/tasawuf ortodoks dan tasawuf heterodoks. Para sufi pun tidak

kalah sengit, tidak segan-segan untuk mencemooh para fuqa>ha’ dengan

sebutan ulama>’ rusu>m (mencakup ulama tafsir, ulama fikih, ulama

Hadith), karena memahami secara dangkal, sebatas kulit luar tanpa

melihat aspek kedalaman syariat.38

Sementara ulama’ rusu>m tak kalah sengitnya mengatakan ahli

sufi sebagai golongan ahli bid’ah dan tak kepalang di cap kafir. Tidak

hanya sebatas kritikan dan hujatan, malah beberapa di antaranya

menghasut penguasa untuk menarik para pelaku tasawuf ini ke tiang

gantungan, dibakar atau disalib seperti yang diterjadi pada kasus al-

Suhrawardi al-Maqtu>l, al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi lainnya. Sejumlah

kitab dari kalangan fuqaha’, yang dalam level ini hampir disamakan

38Muhammad ibn T{ayyi>b, Islam al-Mutas}awwifah (Damaskus: Da>r al-T}ali>‘ah), cet.ke 1, 2007, 39.

Page 58: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

46

dengan tasawuf neo salafi secara lieterasi teks, telah ikut mengkafirkan

sufi-sufi besar. Ibn Taymiyyah secara mengerikan membunuh karakter

tasawuf heterodoks khususnya Ibn ‘Arabi dalam Sharah Fus}ul al-H{ikam;

dan Ibn Fa>rid} dalam Ta>’iyah al-Kubra, karena kandungan ajaran-

ajarannya yang dianggap telah menghantam bangunan syariat dan

meninggalkan cara berpikir logika hukum.39 Imam al-Suyu>t}i

menganggapnya sebagai tafsir bid’ah yang tidak terpuji, sementara

al-Dhaha>bi menganggapnya telah keluar dari pakem adat tafsir, bahkan

al-Wa>hidi, sebagaimana yang diriwayatkan Ibn S}ala>h, tak segan-segan

mengkafirkan orang yang ber-i’tikad bahwa Haqa>iq al-Tafsi>r karya

al-Sulla>mi sebagai kitab tafsir.40

Pada akhirnya, lepas dari perdebatan melelahkan di atas,

bagaimanapun ada benang merah keduanya, bahwa “aspek tak sadar”

sebagai bentukan eksternal/al-dahki>lah merupakan tangan kanan

konseptualisasi tasawuf heterodoks. Sementara aspek sadar mereka bisa

dinikmati bersama-sama dengan tasawuf ortodoks sebagai tugas dan

fungsi elanvital tasawuf dalam mengejawantahkan laku kesadaran dan

kesalehan budi guna dipahami dan kemudian diajar-wariskan kepada

sesama. Semua itu merupakan bentukan ejawantah pengalaman internal

sekaligus intropeksi moralitas laku kaum sufistik. Namun demikian,

yang perlu garis bawahi dari diskursus dua mazhab ini, setidaknya

memberikan kesimpulan bahwa adanya interaksi pendekatan dalam

mendekati pembacaan al-Qur’a>n yang masing-masing mempunyai

impuls, corak dan konteks bahasa tersendiri merupakan fakta atas

39Lihat secara khusus bab muna>badah al-s}ufiyah li al-naql wa shar’a dalamBurhanudin al-Biqa>i, Mis}ra’ al-Tasawuf (Cairo: Mat}ba’ah al-Muhamadiyah, tt), 212.

40Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 204.

Page 59: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

47

demonstrasi kaum sufistik sebagai pengakuan aspek sentral tradisi

sufistik Islam.41

(2) Tafsir Tasawuf Teoritis

Tafsir teoritis-filosofis lahir dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf

yang mencurahkan hidupnya untuk meneliti, mengkaji, memahami, dan

mendalami al-Qur’a>n dalam sudut pandang yang sesuai dengan teori

tasawuf ajaran mereka. Umumnya mereka man-ta’wi>l-kan al-Qur’a>n

dengan tidak lagi mengikuti kaidah-kaidah atau syarat-syarat yang

tercantum dalam pandangan penafsiran fuqaha’ atau mutakalimin.42

Justru mereka terkadang menjelaskan dengan penjelasan yang

menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan biasa

didukung oleh dalil syariat dan nas}s}, akal yang lazim dipakai oleh ulama

ahli sunni.43 Mereka menjelaskan melalui penafsiran alegoris dengan

media perantara ayat-ayat al-Qur’a>n itu.

Karakter penafsiran mereka sangat beragam dan cenderung

mencari tendensi untuk membenarkan semua ajaran-ajaran dan teori

yang ditemukannya melalui justifikasi al-Qur’a>n. Tak pelak, penafsiran

mereka kerap keluar dari makna z}a>hir yang diikat oleh shariah dan

bahasa. Karena itu, tafsir ini dalam pandangan kaum sufi ortodoks

cenderung ditolak.44

41Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic ClassicalIslam, 3.

42Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 443. ‘Ali> Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, 20.

43Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 21344Karakter lainnya yang membedakan dengan kaum ortodoks, kaum

heterodoks tidak menafsirkan secara runut dari ayat ke ayat sebagaimana tafsir Isha>riyang cenderung tah}li>li. Gejala ini bisa dilihat dari Ibn Arabi dalam kitabnya Futuha>t al-Makiyyah. Lihat: Abd al-H{ayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’, 29-30.

Page 60: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

48

Masuk dalam kategori heterodoks ini adalah aliran tasawuf

falsafi, di mana mereka berbicara dengan menggunakan intuisi (al-

adhwa>q), wuju>diyah, serta bisikan-bisikan kalbu yang dirasuki oleh

ilmu-ilmu Yunani atau ilmu hikmah kuno serta beberapa serapan ajaran

warisan agama-agama lokal.45 Di samping itu, terdapat aliran yang lebih

dikenal dengan ba>t}iniah, yakni aliran yang mempelajari ajaran-ajaran

secara spesifik dari Ima>m Ma’s}u>m.46 Ahli tafsir menuduh mereka telah

menyimpangkan penafsiran yang semestinya. Tafsir model ini pada

umumnya telah menyimpang dari maksud dan tujuan al-Qur’a>n yang

sebenarnya. Kadang terdapat kesan kesenjangan dan kontradiksi di

antara kedua tujuan tersebut. Mereka tidak lain hendak membelokkan

maksud al-Qur’a>n lebih jauh kepada maksud dan tujuan yang hendak

mereka capai dalam penemuan ajaran sebenarnya. Yakni dengan terang-

terangan melawan makna z{a>hir serta enggan untuk melakukan

sinkretitas makna z}a>hir dan ba>t}in.47 Al-Qur’a>n, tak ayal, dijadikan alat

untuk membangun dan memperkuat ajaran temuan teori dan pandangan

mereka sesuai prinsip dan kandungan kitab suci. Al-Qur’a>n tidak

dijadikan sebagai sumber i’tiba>r atau legitimasi, melainkan tergali dari

i’tiba>r al-wuju>di, yakni legitimasi yang bersumber dari ontologi.48 Oleh

karena itu praktek-praktek ritual yang biasa dilakukan oleh kaum sufi

ortodoks seperti dhikr dan tila>wah lebih dianggap sebagai ekspektasi

45‘Ali Sa>mi al-Nasha>r, Nash’ah al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, 20.46‘Ali> Sa>mi> al-Nashsha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi fi> al-Islam, 241.47Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 210.48Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 211. Perlu diketahui

bahwa i’tiba>r qur’a>ni yang datang kepada para arba>b al-qulu>b terdapat dua sumber.Pertama, sumber inspirasi spiritual (as}l al-infija>r) dari al-Qur’a>n seperti kaum sufiSunni Amali. kedua, sumber inspirasi spiritual-intelektual (as}l infija>r) dari mawjuda>t.Lihat: Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 211.

Page 61: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

49

dari bentuk mekanik dan teknis. Hal yang paling absolut dan esensial

bagi kaum heterodoks adalah pengalaman shat}h} sebagai sumber

pengetahuan makrifat tertinggi yang dialami melalui ekstase sufistik

(wajd) atau kehilangan kontrol kesadaran dan emosional.49

Singkatnya, terdapat standarisasi atau semacam teori untuk

mengidentifikasi mazhab ini, yakni jika terdapat suatu tafsiran

al-Qur’a>n yang menjelaskan tidak ada dikotomi pembeda antara i‘tiba>r

al-qur’a>ni dan i‘tib>ar al-wuju>di oleh ahli sufistik, maka jelas masuk

kategori tafsir sufi heterodoks sebab tidak mengindahkan qari>nah atau

illat dalam ta’wil ayat-ayat z}a>hir disamping sudah jauh dari pemaknaan

z{a>hir atau pengakuan z{ahir menurut ahli Sunni.50 Karena itu mistisme

yang dihasilkan oleh kaum heterodoks ini bisa tetap berlangsung tanpa

terpengaruh perkembangan periode gramatikal bahkan onomatopoeia,

yakni bentukan kata yang meniru suara-suara, bagi kaum sufistik

dianggap cukup, seperti suara isak tangis yang bisa dipahami

mengisyaratkan ilustrasi dari sanubari hati.51

D. Otoritas Tafsir Isha>ri

Sudah menjadi kesepakatan para waliyullah dan sarjana muslim

bahwa Abd Al-Qa>dir al-Ji>la>ni> mempunyai otoritas yang mumpuni dalam

bidang tasawuf hingga mencapai Wali Qut}b, di mana karakter

tasawufnya mengutamakan asketisme dan perbuatan antara ilmu dan

49Louis Massignon, Essay on the Origins of the Technical Language of IslamicMysticism , 74.

50Abu> Isha>q al-Sha>t}ibi, al-Al-Muwa>faqa>t (Cairo: Maktabah al-Waqfiyyah, tt),vol.. III, 343, Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 212.

51Louis Massignon, Essay on the Origins of the Technical Language of IslamicMysticism , 48.

Page 62: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

50

amal, yang merupakan petanda terang-benderang sebagai ciri khas sufi

sejati. Dalam karakter tafsirnya, sebagai representasi mufassir Isha>ri, al-

Ji>la>ni> berhasil memadukan kekuatan argumentasi nalar ‘irfa>ni melalui

kongruensi padu-padan antara z}a>hir dan ba>t}in; antara sisi ba>t}in quranik

dan sisi lahir qur’anik sebagai identitas tasawuf sufi sunni ‘amali –nama

lain mufassir Ishar>i. di sinilah otoritas Isha>ri yang dibangun al-Ji>la>ni>

dalam tafsirnya. Berikut ini diuraikan variabel-variabel yang menjadi

otorisasi dalam penafsiran Ishar>i.

1. Nalar ‘Irfa>n

Nalar ‘irfa>n adalah sumber pengetahuan asal bagi kaum sufistik

sebagaimana nalar burha>ni bagi filosof atau nalar baya>ni bagi para ahli

hukum. Epsitemologi ‘irfa>ni merupakan landasan pacu bagi kaum Sufi

untuk memetakan penafsirannya menjadi pengetahuan yang

membimbing menuju jalan Tuhan. Bagi kaum Sufi pengetahuan adalah

kasbiyah atau usaha memperoleh kebenaran pada awalnya dan menjadi

mawhibah atau anugerah pada akhirnya. Menurut al-Qushayri ada tiga

tingkatan penegetahuan. (1) Aqliyah, di mana sinarannya adalah burha>n

atau ilmu al-yaqi>n. (2) Qalbiyah, di mana sinarannya adalah baya>n atau

‘ayn al-yaqi>n, (3) Kashfiyah, di mana sinarannya adalah ‘irfa>n atau haq

al-yaqin. Singkatnya cahaya permulaan adalah cahaya akal, cahaya

pertengahan adalah cahaya ilmu, dan cahaya puncak adalah cahaya

‘irfa>ni.52 Dalam keadaan terakhir inilah para sufi menangkap rahasia di

52Ibrahim Basyuni>, al-Ima>m al-Qushayri: H{aya>tuhu wa Tas}awufuhu waThaqa>fatuhu (Cairo: Maktabah al-Ada>b, 1992 ), cet. ke-1, 96.

Page 63: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

51

balik rahasia (sir al-asra>r) yang sangat jauh berbeda dari dimensi akal

atau nafsu.53

Dalam pandangan al-Ja>biri, nalar ‘irfa>n pun terbagi dua kategori.

Pertama, ‘irfa>n sebagai mawqi>f atau identitas, yang ditujukan kepada

para mutasawif yakni praktisi sufi secara umum atau para sufi sang

ash}ab al-ah}wa>l yakni pelaku sufi sejati secara khusus. Kedua, ‘irfa>n

sebagai naz}riyah atau esensi teori pemikiran, yaitu ‘irfa>n kaum syi’ah

secara umum atau syi’ah ismailiyyah dan para filosof ba>t}iniyyah secara

khusus.54

Uniknya dalam pandangan al-Ja>biri, bahwa penakwilan al-Qur’a>n

bersifat‘irfa>ni, alih-alih mencoba melepasnya dari pengaruh syiah

ismailiyah atau kaum sufistik, niscaya sumber ‘irfa>n itu bukan

merupakan hasil eksplorasi istinba>t}, atau ilham, atau penyingkapan

(kashf) melainkan muatan-muatan (tad}mi>na>t) lafal al-Qur’a>n berupa

pemikiran-pemikiran hasil sumber warisan ‘irfa>n zaman pra-Islam.

Sebab, apapun bentuk pemikiran itu, tidak ada yang baru dan orisinil di

bawah matahari ini. Hanya saja secara langsung atau tidak langsung

kemudian terjadi infiltrasi ‘irfa>ni yang islami sebagaimana yang didaku

kaum sufistik melalui suatu proses usaha yang dinamakan “kashf” –baik

mendapatkannya melalui muja>hadah/asketik atau membaca al-Qur’a>n.55

Terlebih lagi jika diproblematisasikan bahwa terma ‘irfa>ni itu sendiri

bukan hasil murni dari rahim Islam atau dari budaya Arab melainkan

53Ibrahim Basyuni>, Al-Ima>m al-Qushayri:H{aya>tuhu wa Tas}awufuhu waThaqa>fatuhu, 96.

54‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 371.55‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 372.

Page 64: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

52

terma yang ditransfer ke dunia Islam atau Arab,56 yang asal muasalnya

dari pemikiran Fitagoras.57 Terpenting, tambahnya, bahwa nalar ‘irfa>n

inilah yang memberikan akses kepada dua diskursus Islam terbesar

dalam dunia sufistik. Yaitu: (1) Dimensi esoterik dan eksoterik di satu

sisi. (2) Dimensi nubuwwah dan wilayah di sisi lainnnya.58 Karenanya

ta’wi>l mutlak diperlukan agar bisa dalam menjembatani antara makna

z}a>hir dan ba>t}in demi upaya menemukan nalar ‘irfa>ni yang menjadi

identitas pengetahuan kaum sufistik.

Nalar ‘irfa>n merupakan representasi yang istimewa dari metodologi

pena’wilan yang berbeda dengan lainnya. Dikatakan istimewa sebab

berseberangan dengan penakwilan baya>ni, burha>ni, prediksi, istidla>l,

wahyu dan naz}ar, karena itu ia dianggap nalar eksotik yang mandiri

sebab tidak membunuh akal (istiqa>lah al-‘aql). Sejatinya tidak lain

adalah kontemplasi-kontemplasi pemikiran dan terbukanya pencerahan

akal (ta‘a>mula>t al-fikr wa futu>h}a>t al-‘aql).59

2. Ta’wi>l Isha>ri

Ta’wi>l dalam pandangan normatif, sebagaimana yang

ditunjukkan oleh Ibn Taimiyah, adalah hakikat yang berada di luar.

Menurutnya, paling tidak ada tiga penjelasan definisi terkait ta’wi>l yang

menghubungkan antara akal dan teks. 1. Memalingkan lafal dari makna

yang unggul (ra>jih }) atas makna yang diungguli (marju>h }) karena terdapat

dalil yang menyertainya. Definisi ini hampir terlaku dalam tradisi

56‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 373.57‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 375.58‘A<bid al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 371.59‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 481.

Page 65: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

53

muta’akhiri>n ahli hukum, ahli teologi, ahli Ha{di>th dan para praktisi

sufistik. 2. Menafsirkan kalam dan menjelaskan maknanya baik itu

sesuai dengan z}a>hir teks maupun bertolak belakang dengan z}a>hir teks.

Karenanya, pada level ini antara terma ta’wi>l dan tafsir hampir

berdekatan bahkan sepadan sebagai bentuk sinonimitas. Sebagaimana

yang ditunjukkan oleh mufasir periode awal seperti al-T{abari atau

Mujahid, murid T{abari>. 3. Selaras dengan apa yang dikehendaki oleh

kalam. Jika kalam itu berintonasi tuntutan (al-t}alab), maka ta’wi>lnya

adalah pekerjaan yang menuntut dilakukan, begitu juga jika kalam itu

berintonasi kabar berita, maka penakwilannya adalah kabar berita itu

sendiri.60 Lain lagi dalam pandangan al-Alu>si> sebagai representasi tokoh

sufistik. Ta’wi>l adalah isyarat sakralitas (isha>rah qudsiyyah) serta

pengetahuan suci (subh}aniyyah), di mana ahli suluk mampu membuka

ta’bir tirai-tirai ungkapan dalam al-Qur’a>n yang mengalir dari alam

transenden kepada mereka.61 Antara pengetahuan dan sakralitas

merupakan unsur yang tidak dipisahkan dalam ta’wil sufi sebagai suatu

produk penafsiran. Sakralitas sendiri bukan sekedar diskursus moralitas

etika, melainkan perasaan takut di hadapan Sang Maha Agung, yang

kemudian mendorong untuk menggali sumber keagungan Tuhan dengan

bahasa sufistik sehingga menghasilkan entitas kemakrifatan Tuhan.

Bahkan di kalangan praktisi sufistik elit (heterodoks), kondisi masuknya

mereka ke alam gaib dan penyaksian atas cahaya Tuhan, akan membawa

60Muhammad Fa>kir al-Mibadiy, Qawa>‘id al-Tafsi>r lada al-Shi’ah wa al-Sunnah (Teheran: al-Majma‘ al-‘A<lami li al-Taqrib bayn al-Madha>hib al-Isla>miyyah,2007), cet. ke-1, 26.

61Muhammad Fa>kir al-Mibadiy, Qawa>‘id al-Tafsi>r lada al-Shi’ah wa al-Sunnah, 26.

Page 66: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

54

fantasi “penampakan Tuhan” secara samar-samar atau shat}aha>t, yang

kemudian dita’wi>lkan melalui lisan.62

Visi dan misi tafsir sufi lebih kepada diskursus manusia menuju

jalan kepada Tuhannya dan tidak terlalu peduli menyibukkan diri

mengenal dan menggali zat Tuhan secara internal. Sebab bagi sufi,

teologi Tuhan tidak perlu diperdebatkan sebagaimana kaum teolog.

Alam adalah sesuatu di luar Tuhan dan mempertanyakan Tuhan dengan

pertanyaan-pertanyaan berelemen alam merupakan cacat iman bagi

kaum sufistik. Esensi Tuhan bagi kaum sufi sudah terang benderang.

Karena itu, orientasi tafsir sufi lebih kepada cita kemanusian. Prespektif

insan dalam tafsir sufi adalah mengawal manusia menuju jalan Tuhan

sekaligus mengenal sesama manusia. Makrifatullah tidak lain membahas

zat dari zat itu sendiri. Menjadi pameo umum dalam kalangan sufi

bahwa manusia adalah “mikro kosmos dan dan makro kosmos adalah

manusia”63 sehingga al-Ghaza>li pernah berujar:

“Ketahuilah bahwa kunci makrifatullah adalah mengenal diri sendiri

sebagaimana firman Allah … Nabi bersabda barang siapa mengenal

dirinya niscaya mengenal Tuhannya dan tidak ada sesuatu lebih dekat

kepadamu dibanding dirimu sendiri. Jika tidak mengenal dirimu maka

bagaimana bisa mengenal Tuhanmu.”64

62Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 436.63 كبيرإنسانوالكونصغيركوناإلنسان64Muhammad Fa>kir al-Mibadiy, Qawa>‘id al-Tafsi>r lada al-Shi’ah wa al-

Sunnah, 26.64Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 437.

Page 67: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

55

Dengan demikian, ta’wi>l merupakan ruang pengertian yang

mempunyai tempatnya sendiri-sendiri, sehingga kadang disandarkan

kepada naql kemudian disebut ta’wi>l baya>ni, kadang disandarkan kepada

akal kemudian disebut ta’wi>l burha>ni, kadang juga disandarkan kepada

dhawq atau hati kemudian popular disebut ta’wi>l ‘irfa>ni. Dengan

demikian Ta’wi>l mempunyai karakteristik dan bangunannya sendiri

tergantung di mana ia berdiri. Dalam kasus ta’wi>l sufistik, ta’wi>l ini

lebih berkonsentarsi kepada emanasi kashf (al-fayd} al-kashfi) sesuai

cakrawala sifat keindahan Tuhan yang terafirmasi dari keyakinannya.

Dalam hal ini kaum sufistik menggunakan perangkat hati dan intuisi

demi memproyeksikan kepada capaian makrifat dan kasyf kepada

Tuhan. Inilah yang kemudian membedakan atau bisa dikatakan

berseberangan dengan diskursus nalar akal dan ta’wi>l burha>ni sekaligus

sebagai identitas tafsir bi al-ma’qul.65 Lebih-lebih ta’wi>l sufsitik ini

tidak didapat dengan cara biasa melalui olah ijtihad atau istidla>l

melainkan hasil ilham atau bisikan dalam ruh dan menjadikannya

sebagai makrifat yang liyan, lain daripada lainnya baik dalam objek

maupun metodologi.66

Yang perlu dipertegas disini, bahwa maksud ta’wil sufistik

bukan juga memasukan kategori ta’wil ba>t}iniyyah –yang hanya

menyandarkan kepada penafsiran ba>t}in tanpa mengindahkan makna

z}a>hir. Sebab kaum sufistik yang dimaksud adalah golongan sufistik

Isha>ri yang masih ketat mengakui literal tekstualitas sebagaimana yang

65‘Abd al-Qa>dir Faydu>h, Naz}riyyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Isla>miyah, 183.

66‘Abd al-Qa>dir Faydu>h, Naz}riyyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Isla>miyah, 183.

Page 68: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

56

digunakan ahli syariat dalam menafsirkan z}a>hir teks serta

memperhatikan asba>b al-nuzu>l ayat. Yang membedakan dari golongan

ini adalah kenyataan bahwa golongan sufsitik ini menambahkan level

makna secara lebih mendalam dengan sentuhan intuisi dan nalar ‘irfa>ni

yang tidak akan dilampaui oleh golongan ahli z}a>hir sebab sudah

mencapai tingkat makna transenden dan sakral.67 Namun demikian,

golongan sufistik ini masih tetap mengakui bahwa makna z}a>hir adalah

makna asal dan pokok yang tanpa berangkat dari makna ini mustahil

mencapai dan menempatkan makna ba>t}in –lain halnya dengan

pandangan ba>t}iniyyah yang menjadikan makna ba>t}in adalah makna asal

dan tunggal.

Landasan penakwilan sufi (mas‘a> al-ta’wi>l) adalah sumber

pengetahuan ‘irfa>ni sebagai jalan mencapai pengetahuan hakiki demi

menemukan tajalli ilahi dan kashf ilahi.68 Di sinilah pentingnya Ta’wil

bagi kalangan sufi, khususnya s}ufi Isha>ri atau Fayd}i, di mana ta’wil

merupakan metodologi yang menggabungkan antara z}a>hir dan ba>t}in.

Kalangan sufi tidak mengingkari adanya makna lahir sebagai sesuatu

yang dikendaki. Justru “tahap awal pemaknaan” harus ditampilkan ke

dalam dimensi lahiriah. Kemudian menuju kepada tahap kedua, yakni

upaya menyingkap simbol-simbol dan isyarat-isyarat tersembunyi di

balik fenomena ayat-ayat tersebut.69

67Muhammad Ha>di Ma‘rifat, al-Ta’wi>l fi Mukhtalaf al-Madha>hib wa al-‘Ara>‘(Teheran: al-Majma’ al-‘a>lami li al-Taqrib bayn al-madhahib al-Islamiyah, 2006), cet.ke-1, 55-56.

68‘Abd al-Qa>dir Faydu>h, Naz}riyyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Isla>miyah, 184.

69Muh}ammad bin Ah}mad Jahla>n, Fa‘a>liyah al-Qira>’ah wa Ishka>liyah Tah}di>dal-Ma‘na fi> al-Nas}s} al-Qur’a>ni (Damaskus: Da>r al-S}afh}a>t, 2008), cet. ke-1, 232.

Page 69: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

57

Terpenting adalah karakter penggabungan sekaligus penjagaan

sisi lahiriah dan ba>t}iniyyah interpretasi teks ini tetap bersumbu kepada

kekuatan pondasi intuitif, bukan kepada akal.70 Karena banyaknya

pemahaman tentang ta’wil dengan segenap obyek bahasan dan

metodologinya, tak salah jika ada yang menyebutkan bahwa ta’wil

merupakan ilmu yang sudah terpisah dan menjadi ilmu mandiri71 –

sebagaimana al-Maqa>s}id al-Shari>’ah dari Us}u>l Fikih. Yang menarik,

Muhammad Fa>kir mampu mengkomparasikan dan menemukan titik

konvergensi dari tiga aliran ta’wil yang ada dengan terma tafsir: 1.

Ta’wil merupakan pemahaman dan penemuan terhadap ayat-ayat, hanya

saja lebih mendetail dan mendalam dibanding terma tafsir. 2. Tafsir

adalah penjelasan makna z}a>hir. Sementara ta’wil adalah penjelasan

makna ba>t}in, yang diekstrasikan melalui makna z}a>hir sebagai tahap

pertama kemudian makna-makna ba>t}in sebagai tahap kedua. Penting

disebutkan di sini, bahwa ta’wil sendiri bukan sesuatu yang terasing

atau hal lain dari lafal melainkan masuk kategori dila>lah lazim yang

tidak jelas (dila>lah al-iltiza>miyyah ghair al-bayyinah). 3. Sekalipun

ta’wil tidak ada kekhususan membidangi diskrusus ayat-ayat

mutashabiha>t, namun mempunyai keistimewaan dalam membidangi

secara khusus dan berkutat dalam menafsirkan simbolisasi ayat dan

isyarat-isyaratnya.72 Pertimbangannya karena eksistensi ta’wil sangat

terkait dengan pemahaman al-Qur’a>n dan bertujuan mencari apa yang

dikehendaki oleh Tuhan, Sang Pengarang al-Qur’a>n. Ia hampir-hampir

70‘Abd al-Qa>dir Faydu>h, Naz}riyyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Isla>miyah, 184.

71Mahmu>d Muhammad Rabi’, Asra>r al-Ta’wi>l, 10.72Muhammad Fa>kir al-Mibadiy, Qawa>‘id al-Tafsi>r lada al-Shi’ah wa al-

Sunnah, 39.

Page 70: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

58

serupa seperti tafsir sekalipun bukan tafsir itu sendiri sebab makna tafsir

terlalu dangkal.

Terdapat temuan menarik terkait penafsiran H{adi>th popular yang

disematkan kepada Ibnu al-‘Abbas berisi doa Rasulullah agar ia bisa

dipahamkan dalam masalah agama dan diberi ilmu penakwilan. Doa ini

begitu populer dikalangan fuqaha’ –sejak sahabat Umar mengalihkan

penafsiran ini kepada para tabi‘i>n kepada sosok Ibn ‘Abba>s- sebab

al-fahm yang semula sebagai pemahaman literal bertransformasi

menjadi pemahaman ilmu syariat yang kemudian di kenal sebagai

fikih.73 Namun dalam presfektif kaum sufi, H{adi>th ini menjadi lain

riwayat dan lain pemahaman. Secara riwayat, H{adi>th ini merupakan doa

Rasul kepada Abu Bakar.74 Secara makna terdapat pengertian berbeda

dengan yang dikenal selama ini. Dengan kata lain, merupakan doa

supaya Abu Bakar mampu memahami makna yang gelap dalam al-

Qur’a>n sesuai makna ta’wi>l yang benar sebagimana Yusuf dan Khidir.

Sebab kegelapan makna dalam al-Qur’a>n tidak tersimpan dalam bahasa

dahiriyah teks al-Qur’a>n melainkan dalam makna ba>t}iniah al-Qur’a>n itu.

Dalam H{adi>th ini sudah memberikan isyarat keberadaan al-Qur’a>n yang

mempunyai kandungan z}a>hir dan ba>t}in dengan kiasan yang indah. 1.

73Bahkan sebagian lagi menyebut doa ini untuk Sayyidina Ali, lihat: Mukhta>rAl-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 49.

74Asba>b al-wuru>d H{adith ini ketika turun surat al-Nasr (QS. 110). Ketikasemua sahabat bersuka cita dengan berita gembira akan datangnya pertolongan Allahdan kemenangan kaum muslimin justru Abu Bakar nampak sedih dan menangis.Sahabat memahami secara tafsir zahir sementara Abu Bakar memahami dengan tafsirisha>ri khususnya kata perintah “sabbih” dan “istaghfir” dalam surat itu mengisyaratkanajal Rasullullah telah dekat sebab Nabi hampir menyelesaikan misi dakwahnya.Jawaban inilah yang kemudian Rasulullah langsung terharu dan mendoakan H{adi>th اللھم

)الحدیث(التأویلعلمھوالدینفىفقھھ . lihat: Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 48.

Page 71: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

59

Makna faqih-hu fi al-di>n sebagai representasi (pencarian) pemahaman

lahiriah al-Qur’a>n. 2. ‘Alimhu al-ta’wil sebagai representasi pencarian

ilmu laduni dan ilmu ba>t}ini.75 Dengan demikian, dua makna ini masih

satu kesatuan diskursus dan tidak berseberangan atau berbeda

sebagaimana yang dipahami prespektif fikih antara ilmu fikih dan ilmu

Ta’wi>l.76

Di sinilah pendekatan hermeneutika Eric Donald Hirsch, Jr.

diperlukan, karena mampu menangkap teori-teori hermeneutika sufisme

untuk menjelaskan H{adi>th di atas mengenai pesan eksoteris dan esoterik

dalam al-Qur’a>n. Ada titik kesamaan dengan formula teori meaning and

significant sebagai artikulasi penafsiran normatif: fikih-z}a>hir dan

simbolik: ta’wil-ba>t}in. Tujuan Hermeneutika Hircsh adalah memetakan

kategori “Objective Interpretation”. Dengan tujuan ini penafsir tidak

akan melakukan subyektivitas makna sebebas-bebasnya dalam

interpretasi sehingga terhindar dari bentuk otorianisme. Karena itu,

model interpretasi lurus dan benar adalah kesesuaian kaidah validitas

interpretasi.77

Hirsch menyatakan bahwa interpretasi bisa dilandakan pada dua

sisi; 1. Level makna pertama, yang terbentuk oleh sosio-kultural dan

sejarah.78 Inilah yang dikehendaki dengan penafsiran (meaning) yang

orisinil dan normatif sesuai kehendak Sang Author. Dalam tradisi tafsir

al-Qur’a>n masuk sebagai konteks eksoteris. 2. Level makna kedua, yang

bisa ditafsirkan lepas dari makna pertama sesuai kondisi zaman, proses

75Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 49.76Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 49.77E.D.Hirsch, Jr.Validity in Interpretation (New Haven: Yale University Press,

1967), 212. Lihat juga: ‘Abd al-Ghani>Barah, al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 335.78E.D.Hirsch, Jr. Validity in Interpretation, 216.

Page 72: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

60

mentalitas pribadi atau lainnya.79 Inilah yang dikehendaki dengan

significant, yang dalam tradisi tafsir mistik sebagai makna petanda

simbolik. Namun masih dalam koridor level makna pertama, bahkan

tidak lepas sama sekali dari “pesan makna pertama” secara prinsipil.

Artinya keberadaan dila>lah sebagai fungsi significant harus sepadan

semakna/muma>tsalah dengan kehendak Sang Author.80 Inilah yang

dimaksud hermeneutika Hircsh dengan kategori “Objective

Interpretation”, yakni dengan tidak coba-coba melakukan subyektivitas

makna sebebas-bebasnya dalam interpretasi. Karena itu, model

interpretasi lurus dan benar adalah kesesuaian kaidah validitas

interpretasi.81

3. Dialektika Z}a>hir dan Ba>t}in

Tak bisa disangkal bahwa hampir semua sarjana klasik baik

ulama us}uliyi>n, mutakallim atau filosof bersepakat mengakui

keberadaan entitas al-Qur’a>n yang mempunyai dimensi lahir dan ba>t}in –

kecuali mereka pendukung z}a>hiriyah yang hanya mengakui keberadaan

tekstualitas makna atau pendukung ba>t}iniyyah yang hanya mengakui

eksistensi makna ba>t}in. Makrifat yang memegang teguh syariat tidak

akan mampu berdiri dengan elemen z}a>hir jika tanpa ba>t}in sebagaimana

ayat-ayat muh{kam tanpa mutasha>bih. Inilah kunci menuju kemanusiaan

yang sempurna.82 Sebab insan kamil atau manusia super (al-kamal al-

insa>ni >) dianggap berhasil menggabungkan unsur z}a>hir dan ba>t}in secara

79E.D.Hirsch, Jr. Validity in Interpretation, 216.80‘Abd ‘Abd al-Ghani> Bara>h, al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 336.81E.D.Hirsch, Jr.Validity in Interpretation, 212. Lihat juga: ‘Abd al-

Ghani>Barah, al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 335.82Nas}r H{a>mid Abu Zaed, Falsafah al-Ta’wi>l (Beirut: Dar al-Tanwir, 1983),

cet. ke-1, 197

Page 73: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

61

bersamaan. Dengan kata lain, kesempurnaan manusia tidak akan

terealisasikan tanpa makrifat yang bersandar kepada syariat secara z}a>hir

dan ba>t}in –sebagaimana halnya wujud mempunyai elemen z}a>hir dan

ba>t}in, manusia mempunyai dimensi z}a>hir dan ba>t}in, begitu juga syariat

mempunyai dimensi z}a>hir dan ba>t}in.83 Karena itu hadirnya “wujud

insan” dalam penalaran Abu> Zaid dan Nas}r H{a>mid semata-mata karena

telah mencapai kulminasi z}a>hir dan ba>t}in itu, hingga bisa mencapai

puncak kematangan makrifat: ba>t}in manusia adalah hakikat ilahiyah dan

z}a>hir manusia adalah hakikat kosmologi (kawniyah).84 Syariat, dengan

demikian, selalu berada dalam puncak struktur ungkapan kebahasaan

yang mempunyai dimensi sejarah temporal yang selalu berubah dan

bertransformasi menemukan bentuknya sebagai fenomena z}a>hir, namun

demikian, syariat sendiri akan selalu abadi dan ajeg dari dimensi ba>t}in.

Karena itu sangat naif dan irrasional jika Tuhan memberikan khita>b

kepada manusia sebatas z}a>hir tanpa melibatkan khitab kepada ba>t}in. Di

sinilah kemudian para kaum sufistik mampu menemukan jati diri dan

dunianya, sebab mengklaim lebih dekat dibanding kaum di luar mereka.

Mereka jelas lebih memahami makrifat hakikat ke dalam ba>t}in dan z}a>hir

sekaligus. Mereka tidak memenangkan dimensi z}a>hir untuk

mengalahkan dimensi ba>t}in sebagaimana yang terjadi pada kaum awam

atau z}a>hiriyah, dan tidak juga mengalahkan z}a>hir dengan memenangkan

ba>t}in sebagaimana kaum ba>t}iniyyah: sebab mereka membahas hukum-

hukum syariat secara dimensi ba>t}in tidak lain bertujuan menggabungkan

dua dimensi sekaligus, yakni z}a>hir dan ba>t}in.85

83‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 47884 Nas}r H{a>mid Abu Zaed, Falsafah al-Ta’wi>l, 195.85‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 479.

Page 74: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

62

Bagi kaum sufistik, dikotomi antara z}a>hir dan ba>t}in adalah

serupa al-‘iba>rat dan al-isha>rat, yang terbangun darinya bahasa manusia

sebagai logos z}a>hir-imanen dan bahasa Tuhan sebagai logos ba>t}in-

transenden.86 Makna awal adalah makna yang dipahami untuk kalangan

awam sebagai representasi makna ibarat yang dila>lah-nya merupakan

dila>lah bahasa normatif-positif (dila>lah ‘urfiyah tawa>d}u‘iyyah) serta

tidak permanen sebab bersifat manusiawi. Makna kedua adalah makna

yang tidak diketahui kecuali orang khusus dan merupakan bahasa Tuhan

yang mempunyai dila>lah esensial (dila>lah dha>tiyyah) sebagai

representasi makna isharat atau makna simbolik, yang tak lain adalah

makna ba>t}in yang tersimpan di bawah untaian kalam z}a>hir yang tidak

bisa diperoleh kecuali oleh ahlinya.87

Al-T{u>si menilai bahwa ilmu pun terbagi menjadi dua, yakni ilmu

z}a>hir dan ilmu ba>t}in dan itulah ilmu syariat yang menunjukan sekaligus

mengajak kepada perbuatan-perbuatan z}a>hir dan ba>t}in. Amal z}a>hir

adalah amal anggota tubuh yang tampak, seperti ibadah atau

menjalankan hukum-hukum perintah dan larangan Tuhan, sementara

amal ba>t}in adalah amal hati, yang terkait dengan dunia tingkatan-

tingkatan sufistik (maqa>ma>t) dan keadaan (ahwa>l), karena itu z}a>hir tidak

bisa lepas dari ba>t}in, begitu juga ba>t}in tidak bisa lepas dari z}a>hir.88

Keduanya selalu berkait kelindan dan kesatuan yang dinamis-harmonis-

dualitas yang sinergis.

86‘Abba>s Ami>r, al-Ma>‘na al-Qur’a>ni bayn al-Tafsi>r wa al-Ta’wi>l (Libanon: Al-Intisar al-‘Arabi, 2008), cet. ke-1, 291.

87‘Abba>s Ami>r, al-Ma>‘na al-Qur’a>ni bayn al-Tafsi>r wa al-Ta’wi>l, 292.88 Al-Sarra>j Al-T}u>si, Al-Luma‘ fi> Ta>rikh al-Tas}awwuf al-Isla>mi, 25-26.

Page 75: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

63

Serupa dengan al-T{usi, <al-Ji>la>ni> membagi amal yang benar

adalah pengamalan yang dilandaskan pada dua kesaksian. Yaitu saksi

z}a>hir dan ba>t}in. Saksi z}a>hir adalah menjalankan formalitas hukum

(istih}ka>m) sesuai syariat dalam perintah dan larangan Tuhan yang sudah

terang benderang. Sementara saksi ba>t}in adalah suluk syariat harus

dengan pengawalan dan kesaksian mata hati (bas{irah) sehingga akan

tampak di jalannya junjungan yang harus dianut umat yakni Muhammad

sebagai hamzah wasal atau mediator ruhani antara Allah, Nabi dan

hamba-Nya. Mediator spiritual Nabi inilah elan vital bagi

bersemayamnya tasawuf amaliyah, sebab ruhani dan jasmani Nabi tidak

bisa ditiru oleh syetan dan karena itu pantas dijadikan pegangan bagi

kaum sufi agar tidak terjebak “suluk buta”.89 Di sinilah kesatuan antara

z}a>hir dan ba>t}in menurut al-Ji>la>ni> yang tidak bisa dipisahkan dalam

tasawuf sunni ‘amali.

Bahkan al-Ji>la>ni> membagi z}a>hir dan ba>t}in menjadi kategori ilmu

yang masing-masing keduanya mempunyai 12 cabang displin ilmu

sesuai karakter kekhususan dan keumuman ilmu tersebut. Ilmu-ilmu itu

diringkas menjadi empat bab. Pertama, z}a>hir syariat, yang berupa

perintah dan larangan syariat serta hukum-hukum lainnya. Kedua, ba>t}in

syariat, yang dikenal sebagai “ilmu ba>t}in”. Ketiga, ba>t}in, yang dikenal

sebagai ilmu makrifat. Keempat, ba>t}in di atas ba>t}in, yakni ilmu

hakikat.90 Para kaum sufi harus bisa memperoleh dan mencapai

tingkatan ilmu ini sebagaimana sabda Nabi :

)احلديث(

89‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r, 95-96.90‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r, 24.

Page 76: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

64

“Syariat adalah pohon, tarikat adalah ranting-rantingnya dan

makrifat adalah daun-daunnya, sementara hakikat adalah buah

syariat”.91

Al-Qur’a>n telah mengakomodasi dan menampung tanpa

terkecuali hal ihwal dimensi di atas ini dengan menggunakan petunjuk

(dila>lah), simbol (isharah) baik berbentuk tafsir maupun ta’wil: Tafsir

bagi kalangan umum sementara takwil bagi kalangan khusus yang tak

lain dikenal sebagai al-ra>sikhu>n. Yakni para ulama yang sudah ajeg,

tetap dan kokoh dalam keilmuan.92

Dalam Al-Muwa>faqa>t, al-Sha>t}ibi menjelaskan diakletika makna

z}a>hir dan ba>t}in dalam diskursus Isha>ri. Dimensi z}a>hir adalah setiap

makna (Arab) yang tidak sepatutnya mendapatkan pemahaman

al-Qur’a>n terkecuali dengan keberadaan bunyi teks itu sendiri. Ia masuk

dalam kawasan fenomena makna z}a>hir semata. Sementara dimensi ba>t}in

adalah setiap makna yang menuntut konsekuensi mukha>tab atau

mukallaf dengan sifat kehambaan dan pengakuannya kepada Tuhan

dengan ketuhanannya. Inilah makna ba>t}in terdalam yang terkehendaki

dari turunnya al-Qur’a>n ke bumi.93 Karena itu, dalam pandangan

al-Sha>t}ibi, dimensi z}a>hir tidak ada perbedaan signifikan-substansial.

Sebab keduanya merupakan manifesto pemahaman tradisi Arab yang

tidak ada kesangsian lagi, karena hal yang sama dan hal yang berbeda

pada hakikatnya bersepakat bahwa semua bermuara dari faktor

diturunkannya al-Qur’a>n dalam bahasa Arab.

91‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r, 24.92‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r, 24.93‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 455.

Page 77: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

65

Kaum sufistik menyebut ta’wi>l sebagai ilmu isyarat. Yakni ilmu

yang terkandung dalam al-Qur’a>n berupa rahasia-rahasia dari tujuan

amaliyah ibadah hamba, karenanya kerap disebut juga ahlu safwah,

sebagai sebutan bagi komunitas kaum suci yang melakukan istinba>t}

yang benar dalam memahami al-Qur’a>n.94 Istinba>t} dalam pandangan

sufistik seperti al-T{usi adalah makna-makna yang digali oleh ahli

pemahaman pencari hakikat (al-mutahaqiqi>n) demi mencari

penyelarasan dengan kitab Allah secara z}a>hir dan ba>t}in, serta mengikuti

terhadap Rasulullah secara z}a>hir dan ba>t}in sekaligus mengamalkannya

secara z}a>hir dan ba>t}in. Maka, ketika para ahli itu mengamalkan terhadap

apa yang diketahuinya, niscaya Tuhan akan mewariskan ilmu yang tidak

diketahui mereka yaitu ilmu isyarah sebagai ilmu warisan amaliyah yang

disingkapkan Tuhan bagi hati-hati kekasih pilihan-Nya dari makna-

makna yang tersimpan, kehalusan makna, rahasia-rahasia harta makna

terpendam, ilmu-ilmu yang asing, dimensi-dimensi hukum, yang

keseluruhannya tercakup dalam makna al-Qur’a>n dan riwayat Hadith

Nabi yang bersumber dari keadaan (ah{wa>l), waktu dan kejernihan zikir-

zikir Nabi.95

Disinilah elan vital tema al-ra>sikhu>n yang terkandung pada surat

Ali Imran (QS. 3:7). Di mana kaum sufi mendakwa bahwa mereka

adalah kaum yang sudah menancap ilmunya. Bagi mereka ra>sikhun fi>

‘ilm adalah orang-orang yang sudah menancap ruh-ruh mereka dalam

transendensinya alam transenden (ghaibah al-ghuyub) dan dalam

rahasianya rahasia-rahasia (sir al-asra>r). Mereka akan mendefinisikan

94Mahmu>d Muhammad Rabi>’, Asra>r al-Ta’wi>l (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyahal-‘A<mah li al-Kita>b, 1993), 231.

95Mahmu>d Muhammad Rabi>’, Asra>r al-Ta’wi>l, 231.

Page 78: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

66

apa yang dirasakan, didapatkan dan sengaja mendatangkan kehendak

ayat (muqtad}a al-ayat) pada makna yang tidak pernah didatangkan oleh

golongan di luar mereka sebab mereka tenggelam dalam lautan keilmuan

demi mencari makna-makna “hikmah mutiara” bagi kaum sufistik

khususnya, sehingga akan terbukalah tabir-tabir rahasia yang belum

terungkap dari pendaman harta karun makna. Harta karun itu tersimpan

dalam setiap huruf serta ayat yang diserap melalui proses pemahaman

sufsitik dan keajaiban pada teks itu sendiri. Praktis, dengan demikian,

akan muncul kemudian permata dan mutiara sehingga mereka mampu

berbicara dengan kalam hikmah penuh aura spritual sufistik.96

Sebagaian kalangan sufistik menyatakan bahwa kalam dalam

al-Qur’a>n terdapat dua kategori. Pertama, menggunakan riwayat, dan

karenanya tidak dapat dianggap kecuali sebagai bentuk kategori

transmisional (naql). Kedua, menggunakan pemahaman atau akal, dan

karenanya tidak dapat terjadi terkecuali melalui lisan yang hak dan

benar dengan tujuan menampakkan hikmah berupa rahasia dan makna-

makna yang samar pada lisan hamba-hamba pilihan. Singkatnya, makna

z}a>hir adalah tilawah atau pemahaman Arabisme sementara ba>t}in adalah

apa sesungguhnya yang dikehendaki Tuhan dibalik z}a>hir itu dalam

kalam dan khita>b-Nya.97

Al-Sha>t}ibi mempunyai standar dan syarat penafsiran ketika

unsur ba>t}in berdialektika dengan unsur z}a>hir sebagai syarat pembakuan

diskursus penafsiran sufistik Isha>ri. Pertama, sesuai dengan muqthad{a

z}a>hir atau ketetapan logika z}a>hir teks, mengikuti logika bahasa Arab

96Mahmu>d Muhammad Rabi>’, Asra>r al-Ta’wi>l, 230.97Abu> Ish}a>q al-Sha>t}ibi, al-Muwa>faqa>t (Cairo: Maktabah al-Waqfiyyah, tt),

vol.. III, 326.

Page 79: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

67

serta berjalan sesuai arus tujuan-tujuan dari Arabisme (maqa>s}id

‘arabiyah). Kedua, harus diperkuat oleh kesaksian nas}s} atau petanda

z}a>hir di tempat lain yang mengakui keabsahannya tanpa penentangan.98

Dengan demikian, bisa diuraikan bahwa maksud yang pertama tampak

terang benderang dari kaidah tersebut bahwa dengan keberadaan

al-Qur’a>n yang menggunakan media bahasa Arab, sehingga ketika ada

pemahaman yang tidak sesuai kalam Arab niscaya tidak bisa diklaim

sebagai bahasa Arab sama sekali. Sebab keberadaan Arab(isme) sangat

kuat dalam karakter al-Qur’a>n. Sementara yang kedua dari syarat di atas

adalah ketika tidak diketemukan kesaksian nass}} di tempat lain atau

terjadi kontradiksi, maka praktis ditolak oleh para ulama ‘‘Ulu>m al-

Qur’a>n” sebab masuk kategori klaim pendakuan yang bohong dan

menyesatkan.99

Dengan demikian, al-Sha>t}ibi sesungguhnya, dengan pemenuhan

dua syarat penafsiran sufistik Isha>ri ini, pada syarat pertama hendak

menyerang para penafsir aliran murni ba>t}iniyyah seperti ismailiyyah,

sebab dianggap ilmu ba>t}in yang tidak absah. Baginya, penafsiran yang

hanya berkonsentrasi pada dimensi ba>t}in dan tampak asing dalam tradisi

Arab dan tujuan-tujuan agungnya, maka praksis telah keluar dari

lingkaran ba>t}in sahih.100 Sementara pada syarat kedua hendak

menyerang para penafsir aliran z}a>hiriyah murni (seperti Dawud al-Z}a>hiri

dan Ibn Hazm) sebab dianggap ilmu z}a>hir yang tidak absah.101

98Abu> Ish}a>q al-Sha>t}ibi, al-Muwa>faqa>t, vol. III, 334-445.99Abu> Ish}a>q al-Sha>t}ibi, al-Muwa>faqa>t, 326. Lihat juga: ‘Abd al-Ghani> Barrah,

Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 455100‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 456.101‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 455.

Page 80: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

68

Al-Sha>t}ibi hendak merealisasikan pena’wilan yang yang moderat

dan seimbang dalam dua dimensi z}a>hir dan ba>t}in sekaligus, karena itu

tak salah jika ia dinobatkan sebagai pendiri al-Maqa>s}id al-‘Arabiyah

sebagai nama lain al-Maqa>s}id al-Shari>’ah.102 Sebab inilah sejatinya yang

telah direalisasikan oleh para generasi sahabat Salafus al-S}a>lih, mereka

adalah suri tauladan untuk penafsiran sufistik karena dianggap manusia

paling paham (afqah al-na>s) dan yang paling mengerti maksud-maksud

al-Qur’a>n berikut pemahaman ba>t}innya. Ia berkali-kali menegaskan

bahwa pemahaman terbaik al-Qur’a>n adalah melalui pengapaian visi-

misi dan cita-cita agung al-Qur’a>n itu sendiri yang ia sebut sebagai “al-

Qas}du” sebagai representasi dari dila>lah al-nas}s} atau Maqa>s}id al-

Arabiyyah, di mana teks mempunyai fase dan masing-masing strata; 1.

Teks yang terdiri dari diskursus sekelompok besar dari beberapa jumlah

kalimat. 2. Teks yang terdiri dari diskursus satu jumlah kalimat. 3. teks

yang terdiri dari diskursus lafal yang singular (lafz}ah mufradah), namun

terkadang memiliki kandungan teks yang multi-tafsir,103 sehingga sama

sekali tidak memberikan kesempatan kepada mutakalim atau penafsir

untuk bebas menafsirkan sesuai kehendak dan kepentingan pribadinya

sebab penafsir hanya menjelaskan kandungan al-Qur’a>n tanpa ada

intervensi. Di sinilah penafsir harus bisa membedakan antara sikap

otoritatif yang objektif sesuai kehendak kitab suci atau otorianisme

subjektif sesuai kehandak pengarang.104

102‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 455-457.103‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 458.104Kriteria dari otoritatif penafsir di sini salah satunya harus ketat

menggunakan kaidah bahasa Arab dan aturannya sebagai bentuk dila>lah nas}s} sertapenguasaan asba>b al-nuzu>l sebagai dila>lah tarikhiyyah agar bisa membantu pemahaman

Page 81: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

69

Nas}s } al-Qur’a>n bagi al-Sha>t}ibi adalah tunggal dalam tujuan dan

makna namun mengandung banyak dila>lah serta tranformasi makna

penakwilan. Karena itu kesatuan nas yang integral (nas}s}} ja>mi‘) inilah

yang disebut dila>lah al-tawh}i>d, yang akan selalu melahirkan turunan

penafsiran sepanjang zaman sesuai situasi dan kondisi serta mampu

dialektika sesuai dengan pembacaan terhadapnya.105 Sehingga disebut

nas} tanzi>l dan ta’wi>l dalam waktu bersamaan.106

Ta’wi>l dengan kata lain merupakan reproduksi pembacaan baru

terhadap nas}s }. Karena itu, demi menemukan formasi pena’wilan yang

sesuai serta transformasi pena’wilan yang berkelanjutan, maka ta’wi>l

terkadang menyepelekan sejarah atau tidak menggunakan asba>b al-nuzu>l

demi mencapai bentuk teks yang relevansional. Maksudnya bukan

berarti mengugurkan asba>b al-nuzu>l secara frontal melainkan hanya

meninggalkan momentum peristiwa dan kejadian waktunya serta

menemukan nilai-nilainya yang “tersimpan” yang “meresap” dalam

unsur-unsur kebahasaan, sehingga sampai di sini, makna tidak berhenti

pada asba>b al-nuzu>l semata namun mampu melahirkan progresivitas

makna yang baru dari eksplorasi teks tersebut.107 Karena itu, kedudukan

nas}s} tetap menjadi asal atau pokok dan bukan lagi sebagai obyek dan

cabang karena merupakan teks sejarah yang taken for granted atau

produk budaya yang terikat masa lalu. Ia bahkan menjadi subyek yang

hidup yang memproduksi sejarah dan budaya tapi pada saat bersamaan

dan mengaktualisasikan. Lihat: ‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 458-459.

105‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 460.106‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 461.107‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 463.

Page 82: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

70

teks itu kosong dari ruang sejarah untuk menemukan dan membentuk

sejarah secara berkelanjutan yang bersifat kekal abadi.108

Lebih jauh dalam hal ini, pengertian ta’wi>l z}a>hir, jika

diimplemantasikan kepada pengertian ba>t}in maka makna yang diseruput

dari z}a>hir adalah dengan cara penerapan aplikasi as}bah wa naz}a>ir (teori

keserupaan dan kesamaan) dari makna-makna yang terkandung di dalam

nas}s}} tersebut sesuai dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama

‘Ulu>m al-Tafsir dalam diskursus penafsiran sufistik.109 Dengan

demikian, makna z}a>hir adalah makna asal dan pokok sebab eksplorasi

makna ba>t}in hanya sebatas menganalogikan dari makan z}a>hir. Karena

itu tak salah jika Isha>ri oleh kalangan fuqaha’ seperti Ibn Taymiyyah

disebut tafsir al-qiya>si atau tafsir analogis. Pasca fase z}a>hir inilah para

penafsir sufi mendapatkan kesempatan melakukan istinb}a>t dan

pemahaman intuitif sesuai apa yang diperolehnya secara bebas

terkendali. Sebab jika tidak melewati fase awal –sebagai fase

penghukuman atas makna z}a>hir dan langsung kepada fase kedua yakni

memahami rahasia-rahasia ba>t}in al-Qur’a>n–, maka berarti telah

mendaku keliru dan dianggap sesat. Untuk hal ini, al-Suyu>ti

mengibaratkannya serupa orang yang ada di dalam rumah tanpa

melewati masuk pintu terlebih dahulu.110

Kesimpulan dualitas z}a>hir dan ba>t}in atau dialektika z}a>hir dan

ba>t}in (thana>‘iyyah wa jadaliyyah al-z}a>hir wa al-ba>t}in), merupakan

108‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 463. Apa yangdikehendaki ucapan Mundhir Iya>shi dalam kitabnya, al-Lisa>niya>t wa al-Dila>lah yangdinukil oleh Barrah tidak lain ingin menegas ulangkan kaidah al-‘ibrah bi al-umu>mlafal la> bi al-khusu>s al-sabab yang banyak ditemukan dalam kitab-kitab ulu>m al-Qur’a>n.

109‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 465.110‘Abd al-Ghani> Barrah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 466.

Page 83: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

71

kaidah yang terlaku sekaligus sebagai standarisasi pengetahuan makrifat

dan rukun-rukunnya, metodologinya atau keadaannya (ah}wa>l) bagi para

ahli ma’rifat. Dualitas inilah yang sesungguhnya melahirkan reproduksi

dualitas cabang seperti komposisi hakikat dan syariat, komposisi akal

dan hati serta beberapa komposisi kombinasi lainnya dalam hal z}a>hir

sebagai sesuatu yang inderawi dan ba>t}in sebagai sesuatu yang ruhani.111

Dalam pandangan Abdurahman al-Sulami, misalnya, ia pun

memberikan ilustrasi dalam kitabnya, Risa>lah al-Farq bayn ‘Ilm Syariat

wa ‘Ilm al-Haqiqah, bahwa dualitas (thana’iyya>h) juga terjadi dalam

ilmu riwa>yat dan ilmu dira>yat seperti dalam ilmu Hadith, atau ilmu

khidmah dan ilmu musha>hadah, begitu juga ilmu syariat dan ilmu

hakikat. Sebab, lanjutnya bahwa ilmu Syariat adalah ilmu riwayat, maka

barang siapa berijtihad dalam penerapan ilmu sesuai jalan Nabi maka

Tuhan akan mewarisi ilmu Dira>yah, yaitu ilmu hakikat sebab Nabi

bersabda “bahwa barangsiapa mengamalkan pada apa yang

diketahuinya, maka Tuhan akan mewariskan kepadanya ilmu yang tidak

diketahuinya”. Ilmu syariat adalah ilmu khidmah dan ilmu hakikat

adalah ilmu musha>hadah.112 Karena itu proses kedua dimensi ini

diartikan sebagai suatu relasi dinamis, dialektis, dualitas bertingkat-

tingkat dan bukan penamaan proses bersaing dan berhadapan (‘alaqah

taqa>bul) atau bahkan dualisme sebab dimensi z}a>hir adalah titik tolak

perjalanan dan dimensi ba>t}in adalah puncak dari perjalanan tersebut.

Dengan penyusuran dari satu fase atau keadaan menuju keadaan

selanjutnya.113

111Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 445.112Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 446.113Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 448-449.

Page 84: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

72

E. Validitas Tafsir Isha>ri dan Hermeneutika Hircsh

Validitas tafsir Isha>ri sangat erat dengan korelasi syariat dan

hakikat secara legal-formal dari al-Qur’a>n dan H{adith.114 Hal terpenting

dalam tradisi tafsir Ishari adalah argumentasi-argumentasi yang

dibangun di atas tradisi tersebut, baik secara naqliyyah dari al-Qur’a>n

dan H{adi>th maupun secara aqliyyah. Tafsir Isha>ri ternyata sudah tidak

asing dikenal sejak masa Nabi di mana al-Qur’a>n memberikan

argumentasinya dan kemudian ditetapkan oleh Nabi serta menjadi

bagian tradisi yang diikuti oleh para sahabat. Karena itu, tafsir Isha>ri

sejatinya sama-sama tuanya setua tafsi>r bi al-ma’thu>r sendiri.115

Al-Qur’a>n adalah obyek kawasan “pasar raya” tafsir, yang

mampu memposisikan diri sebagai asas tunggal bagi metodologi tafsir.

Setiap penggali tafsir akan mampu menemukan arkeologi diskursus

114Validitas penafsiran, sebagaimana yang dimaksud Hirsch, Jr. adalah sebuahargumen eksplisit maupun implisit dalam usahanya meyakinkan pembaca. Untukmenunjang ke sana diperlukan sumber-sumber legal formal yang bisa dipertanggung-jawabkan validitasnya sebagai antisipasi dari model penafsiran otoriter, menghinakandan tidak sitematis, disamping bisa menolak atau memodifikasi teori penafsiran yangtidak memiliki “standar validitas”. Lihat: E.D.Hirsch, Jr. Validity in Interpretation,168.

115Abd al-H{ayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’, 30. Sepertidalam surat al-Nasr (QS 110). Ketika semua sahabat bersuka cita dengan beritagembira akan datangnya pertolongan Allah dan kemenangan kaum muslimin justruAbu Bakar nampak sedih dan menangis. Sahabat memahami secara tafsir z}a>hirsementara Abu Bakar memahaminya dengan pendekatan tafsir Isha>ri, khususnya kataperintah “sabbih” dan “istaghfir” dalam surat itu mengisyaratkan ajal Rasullullah telahdekat sebab Nabi hampir menyelesaikan misi dakwahnya. Jawaban inilah yangkemudian Rasulullah langsung terharu. Lihat: Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 48.

Page 85: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

73

keilmuan apapun dalam kalam Tuhan itu.116 Ia merupakan kitab suci

yang bisa didekati berbagai pembacaan dan penafsiran. Abu>> Nuaim dan

Ibn ‘Abba>s dalam sebuah H{adi>th meriwayatkan bahwa al-Qur’a>n

mempunyai ragam wajah tafsir (dhu> wuju>h).117 Al-Suyu>t}i mensinyalir

bahwa H{adi>th ini muncul karena dua kemungkinan: pertama, ayat atau

kata-kata dalam al-Qura>n memungkinkan untuk dita’wilkan. Dengan

demikian, bisa memungkinkan disiplin ilmu hermeneutika masuk ke

dalamnya, baik sebagai kerangka teori maupun praktek. Kedua, al-

Qur’a>n mengandung wilayah perintah, larangan, sugesti, halal dan

haram.118

Ketidak-hinggaan makna dalam al-Qur’a>n menjadikannya

sebagai kalam Tuhan yang sangat eksotis, tidak lekang oleh zaman,

tidak rapuh oleh waktu, akan selalu memperbarui dan mengadaptasikan

diri kepada siapa pun, dan dalam disiplin ilmu apa pun. Sebagian ulama

(ba‘dl al-‘ulama>’) menyatakan makna al-Qur’a>n sampai 80.0000, di

mana setiap kata mengandung banyak ragam sumber pengetahuan,

sehingga bilangan itu masih memungkinkan berjumlah empat kali lipat

ketika al-Qur’a>n disandarkan pada empat aspeknya: lahir, batin, awal,

akhir.119 Salah satu hal yang menjadi dasar penafsiran Sufi adalah

116Pluralitas penafsiran dengan berbagai macam pendekatan metode ini,berlaku juga dalam Injil yang multi-interpretasi itu, seperti pendapat Peter Werenfelsseorang teolog-interpreter kristiani dalam pembukaan buku Ignaz Goldziher. Lihat:Ignaz Goldziher, Madhahi>b al-Tafsi>r al-Isla>mi>, terj. Dr. Abd al-H{ali>m al-Naja>r (Cairo:Da>r Iqra), cet. ke-3, 1.

117Redaksi Hadi>thnya: وجوههأحسنعلىفاحملوهوجوهذوذلولالقرآن . Lihat: al-Zarkashi,al-Burha>n fi ‘Ulu>mal-Qur’a>n, 180.

118Jalaluddi>n al-Suyu>t}i, al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr), Vol.2, 180.

119Muh}ammad ‘Abd al-’Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-Irfa>n fi Ulu>m al-Qur’a>n(Beirut: Da>r al-Fikr), vol. 1, 23.

Page 86: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

74

kenyataan bahwa kalamullah adalah dimensi yang tidak memiliki batas

(QS 18:109; 31:27). Sungguh tidak bijaksana jika membatasi al-Qur’a>n

hanya dengan satu penafsiran tertentu atau mazhab tafsir tertentu,

terlebih dianggap sebagai satu-satunya otoritas penafsiran tunggal

kehendak Allah.

Abd Allah Darra>z dalam al-Naba>’ al-Az}i>m bertutur:

“Apabila anda membaca al-Qur’a>n, maknanya akan jelas di hadapan

Anda. Tetapi jika membacanya sekali lagi, maka Anda akan

menemukan makna-makna yang lain yang berbeda dari makna

sebelumya. Demikian seterusnya, sampai-sampai Anda dapat

menemukan kata atau kalimat yang mempunyai arti bermacam-

macam, yang semuanya benar atau mungkin benar. Ayat-ayat al-

Qur’a>n bagaikan intan: setiap sudutnya memancarkan cahaya yang

berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya. Tidak

mustahil, jika Anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka

ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang Anda lihat”.120

Dalam hal ini, tafsir Isha>ri akan menjadi penafsiran yang dipuji

dan diterima ketika memenuhi persyaratan, yaitu: 1. Tidak menafikan

normativitas z}a>hir ayat al-Qur’a>n. 2. Saksi syariat yang menguatkan dan

mendukung. 3. Tidak kontradiktif dengan dalil syara’ dan akal. 4. tidak

mendaku bahwa penafsirannya adalah penafsiran tunggal yang

120‘Abd Allah Darra>z, al-Naba’ al-‘Az}i>m (Cairo: Da>r al-‘Urubah, 1960), 111.

Page 87: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

75

dikehendaki dengan menepikan makna z}a>hir, justru pertama-pertama

harus mendahulukan makna z}a>hir, kemudian beranjak makna isha>ri>.121

Umumnya kaum sufistik ini mempunyai argumentasi sendiri

sesuai temuan dan pengalaman dalam mengartikulasikan teks. Namun

ada satu titik kesamaan secara garis besar dan prinsipil tentang makna

esoteris al-Qur’a>n. Di antara dalil yang diajukan sebagai berikut:

1. Dalam al-Qur’a>n terdapat ayat yang menjelaskan bahwa al-Qur’a>n

mempunyai dimensi awal, akhir, dan z}a>hir ba>t}in.

هو األول واآلخر والظاهر والباطن وهو بكل شيء عليم

Artinya: Dialah Yang Pertama dan Terakhir, Yang Z}a>hir dan

Yang Ba>t}in, Dialah yang mengetahui segala sesuatu. (QS. al- H{adi>d

57:3)

Bahkan pada ayat lain, terdapat sindiran celaaan bagi mereka

yang ilmunya tidak melampaui batasan z}a>hir seperti dalam al-Ru>m QS

30: 7 dan Luqma>n QS 31: 20.122 Begitu juga dalam (QS. al-‘Ankabu>t 29:

64)

ار اآلخرة نـيا إال هلو ولعب وإن الد هلي احليـوان لو كانوا يـعلمون وما هذه احلياة الد

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan

main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya

kehidupan, kalau mereka mengetahui”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa kehidupan yang hakiki adalah

akhirat sementara kehidupan dunia hanyalah ilusi, senda gurau, dan

121Abd al-H{ayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’, 31.122‘Abba>s Ami>r, al-Ma‘na al-Qur’a>ni bayn al-Tafsi>r wa al-Ta’wi>l (Libanon: al-

Intis}ar al-‘Arabi, 2008), cet. ke-1, 296.

Page 88: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

76

permainan belaka. Ayat ini senada juga dengan firman Allah (QS. al-

Ru>m 30:7)

نـيا وهم عن اآلخرة هم غافلون يـعلمون ظاهرا من احلياة الد

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan

dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai”.

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa kehidupan dunia memiliki

dimensi lain yang berbeda dengan dimensi lahir namun dilupakan

kebanyakan orang, yakni kehidupan akhirat sebagai dimensi batin

kehidupan dunia.

2. Beberapa H{adi>th menyebut bahwa al-Qur’ān tidak hanya

memiliki penafsiran yang monolitik, tetapi setiap ayat al-Qur’ān

memiliki empat dimensi penafsiran: z}āhir, bāt}in, h}add, dan mat}la’.

Seperti H{adi>th yang diriwayatkan dari Abu> Ya‘la> yang sangat popular di

kalangan para sufi123:

)احلد يث(ولكل حد مطلعو بطن و لكل حرف حدلكل اية ظهر:ل اهللارسو قال

“setiap ayat mempunyai dimensi z}a>hir dan ba>t}in dan setiap huruf

terdapat had dan mat}la’”

Makna dari keempat istilah ini, seperti dijelaskan oleh Sahl al-

Tustari, terkait isi kandungan ayat-ayat al-Qur’ān secara keseluruhan

yang bisa dibedakan ke dalam 5 kategori: muh}kam, mutashābih, h}ala>l,

h}ara>m, dan amthāl.124 H{adi>th lain yang menjelaskan tentang makna

123Al-Alu>si, Ru>h} al-Ma‘a>ni, vol. 1, 7. H{adi>th mempunyai derajat Hasan danbisa didapati dalam kitab Musnad, S{ah}i>h{ Ibn H{ibban, al-T{abra>ni dalam al-Kabi>r dankitab al-Awsat }. Lihat lebih detail: al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n, 68.

124Sahl bin ‘Abd Allah al-Tustari, Tafsir al-Qur’ān al-Ad{īm (Cairo: Dār al-Kutub al-‘Arabiyyah al-Kubra, 1911), 3-5.

Page 89: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

77

z}a>hir dan ba>t}in yang merupakan dua sifat atau karakter dari al-Qura>n

sendiri.

)احلد يث(ه ظهر و بطن فظاهره حكمة وباطنه عميق ل

“Al-Qur’a>n mempunyai dimensi lahir dan ba>t}in, dimensi lahirnya

adalah hikmah dan dimensi ba>t}in-nya adalah makna terdalam”.

Ada juga riwayat yang senada:

) احلد يث(هرو بطن إن القرأن انزل على سبعة احرف ما منها حرف اال وله ظ

“Al-Qur’a>n sesungguhnya diturunkan atas tujuh huruf, tidak ada

bagian huruf di dalamnya kecuali mempunyai dimensi z}a>hir dan ba>t}in”.

)احلد يث(ال تفىن عجائبه و ال تنقضى غرائبه , وان القرأن ظاهره عانيق و باطنه عميق

“Al-Qur’a>n sesungguhnya pada sisi z}a>hirnya adalah dangkal

sementara sisi ba>t}innya adalah dalam, tidak akan pernah lekang

keajaiban-keajaibannya dan tidak akan pernah tuntas keasingan-

keasingannya”

Hadits-h{adi>th di atas sering kita jumpai kitab-kitab tafsir

esoterik baik sunni maupun syiah. Tidak terkecuali dalam kitab rujukan

utama ilmu-ilmu tafsir seperti al-Burha>n fi>‘Ulu>m al-Qur’a>n dan al-‘Itqa>n

fi>‘Ulu>m al-Qur’a>n.125

Dalam hal ini, validitas tafsir memiliki lima zona kawasan, yaitu:

1. al-Fikh, 2. al-Baya>n, 3. al-Fahm, 4. al-Hakikat, 5. al-Had. Dari sinilah

yang kemudian mengilhami Imam Ja’far al-S{a>diq yang membaginya

menjadi empat arus kategori besar, yaitu: 1. al-Iba>rat sebagai ungkapan,

125Abba>s Ami>r, al-Ma‘na al-Qur’a>ni bayn al-Tafsi>r wa al-Ta’wi>l, 290.

Page 90: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

78

2. al-Ishar>ah sebagai simbol, 3. al-Lat}a>’if sebagai kelembutan, 4. al-

Haqa>iq sebagai hakikat terdalam. Kemudian empat kategori ini

diekstraksi menjadi kaidah empat serangkai (al-Qa>idah al-Ruba>i’) yakni

z}a>hir, ba>t}in, had dan mat}la’.126

Dengan demikian al-Qur’ān tidak hanya memiliki satu arah

penafsiran yang monolitik, namun setiap ayat al-Qur’ān memiliki empat

wajah penafsiran (wuju>h atau ta’wi>l) sebagaimana disebut di atas.

Makna dari keempat istilah ini, meminjam konsep Sahl al-Tustarī,

berkait erat dengan isi kandungan ayat-ayat al-Qur’ān secara

keseluruhan bisa dibedakan ke dalam 5 kategori: Muh}kam, mutashābih,

h}ala>l, h}aram, dan amthāl127. Sebagaimana terlihat pada bagan di bawah

ini: Jika ditarik lebih jauh, kategorisasi-kategorisasi inilah yang

dimaksud Ibn ‘Abba>s (w. 430 H),128 sehingga akan didapatkan 4 dimensi

pemahaman terhadap teks al-Qur’ān yang secara kategoris dapat

dirangkum dalam bagan berikut ini129:

126Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 449.127John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural

Interpretation (New York: Prometheus Books, 2004), cet.ke-8, 243-244. Lihat juga:Sahl b. Abd Allāh al-Tustarī, Tafsir al-Qur’ān al-Az}īm (Kairo: Dār al-Kutub al-‘Abiyya al-Kubrā, 1911), 3-5.

128Empat level Ibn ‘Abba>s ini, dalam versi Gerhard Bowering menjadi: literal,alegorical, moral, anagogical. Di mana menjadi konsepsi ta’wil bagi sufi Sahl al-Tustari. Lihat, Gerhard Bowering, The Mystical Vision of Existence in Classical Islam,139. Namun demikian, empat dimensi ini tidak sama dalam dengan penafsiran yangada dalam biblical seperti yang ditunjukan oleh praktisi penafsir Origen (w. 282), yangmenetapkan tiga tingkatan makna bagi penafsiran kitab suci. Yaitu, makna historis,moral, dan mistikal. Origen menolak makna harfiah, sementara al-Tustarimengakomodirnya. Lihat: Anwar Syarifuddin, “Otoritas Penafsiran Sufistik Sahl al-Tustari”, Jurnal Studi al-Qur’a>n (Vol. II, No. 1, 2007), 153.

129M. Anwar Syarifuddin, “Menimbang Otoritas Sufi dalam Menafsirkan al-Qur’an dalam Jurnal Studi Agama dan Masyarakat (Vol. 1, no. 2, Desember 2004), 14.Praktikal adalah makna yang difahami kalangan awam, sementara legal adalah makna

Page 91: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

79

Al-

Qur’ān

Z}āhirTilāwah

(Bacaan)Muh}kam

Mā arafahu

al-ArabPraktikal

H{addH{alāl wa

H{arām

H{alāl Al-h}alāl wa

al-h}arāmLegal

H{arām

Bāt}inFahm

(Ta’wīl)Amthāl

Ma arafahu

al-ulamā’Metaforikal

Mat}la‘

Ishrāf al-

qalb ‘alā

al-murād

bihā

Mutashābih

Ma la

ya‘lamu

ta’wīlahu illa

Allah

Testimonial

Tentu, tidak semua orang dengan kapasitas intelektual yang

dimilikinya mampu menelaah seluruh makna dari empat kategori tadi.

Dua aspek pemahaman yang berlaku umum dan sepatutnya diketahui

sebagai panduan hidup manusia adalah aspek praktikal dan legal dari

ayat-ayat al-Qur’ān yang dibangun sebagai landasan aturan-aturan

hukum. Hanya beberapa kalangan tertentu saja, seperti kalangan ulama

dan para sufi (urba>b al-sulu>k wa ulu>l al-‘aql wa al-ra>sikhu>n fi> al-‘ilm),

yang mampu menyelami aspek metaforikal dan testimonial ayat-ayat al-

Qur’ān dimensi ba>t}in.130 Konsepsi empat kategori makna di atas

yang terkait dengan aspek hukum, metaforikal adalah makna alegoris, sedangtestimonial adalah dimensi hakikat. Jika dibaca dari sebelah kiri, maka urutannyaadalah 4 level makna yang ada dalam al-Qur’an menurut H{adi>th (kolom 2), maknanyamenurut Sahl al-Tustari (kolom 3), 5 divisi al-Qur’a>n menurut Sahl Tustari (kolom 4),lalu 4 tingkatan tafsir menurut Ibn ‘Abba>s (kolom 5), dan terakhir analisis pribadi(kolom 6).

130Muh}ammad bin Ah}mad Jahla>n, Fa‘a>liyah al-Qira>’ah wa Ishka>liyah Tah}di>dal-Ma‘nafi> al-Nas} al-Qur’a>ni, 232.

Page 92: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

80

merupakan dasar interpretasi kaum sufistik yang disebut sebagai dasar-

dasar empat siklus jejaring tafsir sufistik (qanu>n al-tarbi>‘ li al-ta’wi>l al-

sufi>) mencakup z}a>hir, bat}in, h}ad dan mat}la’.131

Di sinilah tampaknya hermeneutika model Hircsh sangat tepat

diaplikasikan. Karena kaum sufistik melakukan proses ini tidak lain

untuk mendapatkan validitas interpretasi penafsiran objektif. Senada

dengan Hircsh, kaum sufistik menyatakan bahwa intensi pengarang

harus mencerminkan keterukuran validitas interpretasi baik itu secara

makna verbal tulisan (baca: z}a>hir) maupun signifikan (baca: b}a>tin).

Artinya, intensi pengarang menjadi entitas yang menentukan di mana

fakta-fakta obyektif dapat dikumpulkan. Pengumpulan ini ditujukan

tidak lain untuk merengkuh makna pertama, yakni makna verbal,

tahapan selanjutnya makna tersebut dapat dibuat dan dikembangkan

serta tetap akan diakui sebagai makna universal yang valid.132 Di sinilah

pentingnya membedakan makna verbal (meaning) sebagai analisis

filologi intensif suatu verbal dan makna signifikansi (significance)

sebagai makna yang sama (meaningfulness) namun berada pada

persoalan yang berbeda.133 Meminjam bahasa Betty, ‘makna

(Bedeutung) harus dipisahkan dari signifikansi (Bedeutsamkeit)”.

Integritas filologi dan kemungkinan objektivitas penafsiran yang

mendekati validitas dimungkinkan jika sudah mencapai pada arah

131Mukhta>r al-Fajjari, H}afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 338.132Richard E Palmer, Hermeneutics, Interpretation Theory ini Schleiermacher,

Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: North Western University Press, 1972),cet. ke-2, 60.

133Hircsh,Validity In Interpretation, 246.

Page 93: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

81

distingsi ini.134 Dalam diskursus tertentu, tujuan hermeneutika harus

memandang terhadap kejelasan makna verbal itu, jadi bukan sekedar

untuk mendapatkan makna signifikansi semata. Keduanya dengan

demikian berkelindan dan tidak bisa dipisahkan. Hircsh mengatakan:

Oleh karena itu, ketika saya mengatakan makna verbal itu tetap saya

bermaksud bahwa ia merupakan entitas yang identik dengan

sendirinya. Selanjutnya, saya juga bermaksud bahwa ia merupakan

entitas yang selalu tetap sama dari satu momen ke momen selanjutnya

yaitu ketidak berubahan. Tentu saja kriteria ini diimplikasikan dalam

suatu kebutuhan bahwa makna verbal merupakan peniruan kembali,

yaitu selalu sama dalam perbedaan bentuk penafsiran, dengan

demikian, makna verbal adalah substansinya sendiri dan bukan sesuatu

yang lain, dan ia selalu sama. Itulah apa yang saya maksudkan dengan

determinasi”.135

Tugas hermeunetika, lanjut Hircsh, adalah mendeskrpsikan

secara jernih pertautan perangkat justifikasi teoritik bagi determinasi

obyek interpretasi. Kemudian membentuk norma-norma di mana

ketetapan, ketidakberubahan makna identik diri dapat dipahami.

Singkatnya, menegaskan landasan makna apa yang bisa dipilih

dibanding makna lainnya yang kita sebut sebagai diskurus “validitas”

penafsiran. Ini yang semestinya diterapkan dalam displin hermeneutika.

Lebih tegas Hirsch menandaskan kecewaan pada hermeneutika

yang ada, bahwa sesungguhnya hermeneutika yang tidak berurusan

134Richard E Palmer, Richard E Palmer, Hermeneutics, Interpretation Theoryini Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, 60-61.

135Hircsh,Validity In Interpretation, 46.

Page 94: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

82

dengan validitas bukanlah heremeneutika. Ia tidak segan mengkritik

arus hermeneutika yang diterapkan Heideggerian yang dianggap sudah

mapan itu sembari menyelanya karena telah mengesampingkan isu

validitas. Begitu juga ia menyela arus hermeneutika Schleiermacher dan

Delthy yang fokus kepada perhatian proses subyektif pemahaman. Hal

penting yang harus menjadi perhatian adalah persoalan mediasi antara

makna yang dipahami agar dapat menilai dengan adil, dengan persoalan

interpretasi yang paling memungkinkan menuju interpretasi yang benar.

Tentunya Hirsch juga menyadari bahwa hermeneutika awalnya

diskursus sederhana dalam pakem lama sebagai usaha filologis untuk

mengetahui apa yang dimaksud pengarang.136 Namun paradigmanya

akan menjadi berubah di tangan Hirsch dengan pendekatan logika

validitas, sehingga hermeneutika meniadakan “pemahaman” pada satu

sisi dan kritisme pada sisi yang lain. Hermeneutika menjadikannya

perangkat-perangkat prinsip bagi pengetahuan yang absah terkait

pengertian verbal teks penafsiran. Karena itu, konsepsi makna verbal ini

berdasarkan prasangka filosofis tertentu yang mengafirmasi bahwa

obyek intensional yang sama dapat difokuskan kepada beberapa

tindakan intensional yang berbeda. Inilah dasar filosofis Hirsch.137

Obyek hermeneutika merupakan momentum kata –seperti

disebut Ebeling. Pada perkembangannya, diperluas lagi dalam persoalan

realitas dan hakikat partisipasi pengarang dan penafsir dalam bahasa.

Hircsh telah berhasil mengkonstruksi sistem tunggal untuk sampai pada

yang dapat dibuktikan secara obyektif. Capaian prestasi terbesar yang

136Hircsh, Validity In Interpretation 57.137Richard E Palmer, Richard E Palmer, Hermeneutics, Interpretation Theory

ini Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer , 63.

Page 95: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

83

dibuat Hircsh adalah pertama, makna tetap, yakni norma dan standarnya

harus sesuai intensi pengarang. Kedua, makna obyektif, yakni reproduksi

makna verbal sebagai sebuah makna yang selalu sama serta dapat

dipisahkan dari makna itu sendiri sesuai klaim pengetahuan obyektif.138

Dengan demikian, jika dikontekstualisasikan dalam kajian ini

bahwa penggunaan aspek ta’wil sufistik sangat menonjol, cara kerja

interpretasi ta’wil sufistik ini tidak hanya menghasilkan meaning berupa

makna z}a>hir, tetapi juga untuk menarik “isyarat” untuk mendapatkan

significance dalam bentuk ajaran moral yang menjadi tujuan sufisme.

Sehingga akan tercapailah validitas makna objektif sesuai dengan yang

dikehendaki oleh Hircsh. Dalam kasus ini, contoh-contoh penafsiran sufi

al-Ji>lani yang akan dikupas pada bab inti sangat jelas mengungkapkan

dua dimensi ini, yaitu makna z}a>hir dan isyarat (meaning dan

significance), sehingga teori Hirsch bisa diterapkan.

F. Tradisi Penafsiran Mistis Agama-agama

Tujuan penulisan sub ini adalah untuk melakukan studi banding

dan pembelajaran terhadap diskursus penafsiran mistik yang memang

sudah ada sebelum penafsiran sufsitik bahkan sebelum Islam datang.

Namun demikian, bukan dalam artian penggiringan kepada satu hipotesa

bahwa penafsiran sufistik secara epsitemologis bersumber dari non

Islam. Kecuali jika kita sepakat bahwa beberapa laku asketis merupakan

produk impor dari luar Islam sehingga berpengaruh terhadap bentuk

penafsiran. Namun adanya persamaan epsitemologi dalam penafsiran

mistisme merupakan satu fakta ilmiah yang tidak terbantahkan. Hal ini

138Richard E Palmer, Richard E Palmer, Hermeneutics, Interpretation Theoryini Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, 71.

Page 96: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

84

dengan menimbang dan melihat bahwa agama Yudio-Kristiani ataupun

Islam sama-sama memiliki Kitab Suci sebagai pedoman bagi

penganutnya. Praktis tidak akan jauh berbeda dalam menggumuli dan

menghadapinya dalam tradisi penafsiran mistik. Karena itu dengan

meneliti geneologi historitas tradisi ini, hermeneutika sufsitik

mempunyai jaringan tradisi yang hampir mirip dalam prinsip-prinsip

penafsiran bibel (principles of biblical exegesis).139 Di samping, dengan

mempelajari tradisi penafsiran mistis yang ada dalam Yudio-Kriastiani,

setidaknya akan terlihat kelemahan dari varian atau mazhab penafsiran

tertentu, seperti penafsiran sufistik-falsafi, sehingga memungkinkan

untuk menjadi amunisi kritik yang ada di dalamnya.

Sebelum melangkah, kita akan mendapatkan premis-premis

terkait adanya pretensi sumber keaslian tasawuf Islam seperti yang

dicatat oleh Louis Massignon melalui pendekatan filologis. Ia berhasil

merangkum geneologi mistisme Islam secara cantik dan impresif.

1. Sumber al-Qur’a>n, karena dalam al-Qur’a>n sendiri bertebaran lafal

dan ayat-ayat yang menyimpan gudang kekayaan termonologi yang

mendukung spritual mistisme seperti dhikr, sirr, qalb, tajalli>, istima>‘,

istiwa>, nafs mutma’inna (QS: 89:17), nur: Allah (QS: 24:35), haqq (QS:

22:6) dan masih banyak lagi. Disamping itu, al-Qur’a>n juga menyimpan

oposisi-oposisi terminologi yang berpasangan seperti z}a>hir-ba>t}in (QS:

57:3), t}ul-‘ard} (QS: 40:3), qabd-bast} (QS: 2:246), fana>-baqa>’ (QS:

26:27). 2. Periode awal gramatika. Gramarian atau ahli nahwu pra-

139Gerhard Bowering, “The Scriptural “Senses” in Medieval S{ufi Qur’a>nExegesis” dalam Jane Dammen McAulife(ed.), With Reverence for the Word:Medieval Scriptural Exegesis in Judaism, Chiristianity, and Islam (New York: OxfordUniversity Press, 2003), 352.

Page 97: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

85

Sibaweih kerap kali melengkapi dan memberikan makna mistik terhadap

terminologi dan istilah yang digunakan dalam disipilin ilmu nahwu

sebagaimana mereka terinspirasi dari terma-terma al-Qur’a>n. Seperti

d}ami>r, huwa, s}ifa/wasf, haqiqa-maja<z, sha>hid, jam‘, ma‘rifat-nakirah,

‘illa, ha>l, kha>fi, tajalli, iqtira>n, mulhaq, ishar>a. 3. Peridoe awal ilmu

kalam, yakni sekte-sekte awal yang muncul dalam ilmu kalam Islam

seperti khawa>rij, murji‘a, qadariyyah dan jabariyyah. Dari sekte-sekte

ini mistisme mengadopsi terminologi yang biasa dipakai dalam

pembendaharaan ilmu teologi seperti ‘aql, ‘adl, tawhid, ‘arad-dha>t, s}ifa-

na‘at, sura>-ma‘na, qadi>m-muhdath (QS: 21: 2), tanzih, ‘azama, thubu>t,

wuju>d-‘adam. 4. Ajaran Hellenistik. Konstruksi mistisme dalam Islam

secara tidak langsung telah terpengaruh oleh kebudayaan filsafat

helllenistik, neo-platonik, hermetic sehingga menghasilkan sinkretik

filsafat tasawuf mistisme dalam Islam yang kemudian dikenal sebagai

nalar gnostik-’irfa>ni.140 \

Sejatinya, tafsir mistis (Isha>ri) telah berlangsung lama sejak

tradisi Yudio-Kristen. Yakni ketika kitab Bibel melakukan kontak

budaya dengan pengetahaun gnostik dan hermes. Istilah gnostik

merupakan kecenderungan usaha menyingkap rahasia-rahasia ketuhanan

dengan perantara pengetahuan yang paling tinggi. Dalam literatur Islam,

kaum sufi menamakannya dengan istilah kashf.141 Dalam terminologi

Yudio-Kristiani, seperti yang dijelaskan Jean Grondin dalam L’

universality de l'hermeneutique, bahwa kitab-kitab suci mempunyai dua

140Louis Massignon, Essay on the Origins of the Technical Language ofIslamic Mysticism, 34-37.

141Muh}ammad bin Ah}mad Jahla>n, Fa‘a>liyah al-Qira>’ah wa Ishka>liyah Tah}di>dal-Ma‘nafi> al-Nas} al-Qur’a>ni, 235.

Page 98: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

86

makna, yakni makna literalis/z}a>hir dan makna majazi/isha>ri. Di mana

makna yang kedua adalah makna yang asasi dalam penafsiran kitab suci,

sebab akan selalu memperbarui diri sesuai kebutuhan dan, karenanya,

akan selalu aktif. Jika makna yang pertama, yakni makna z}a>hir,

membunuh makna teks, maka makna kedua akan menghidupkannya. Hal

inilah yang terjadi ketika Phillo Alexandria melakukan pemaknaan ulang

terhadap kitab Perjanjian lama. Bahkan Phillo-lah orang pertama yang

melakukan terobosan dalam metode mistis ketika menemukan

kebuntuan pemahaman pada eksoteritas kitab suci.142 Penting dicatat,

penafsiran mistis dalam tradisi Yudio-Kristiani adalah suatu penafsiran

yang didasarkan kepada pengalaman spiritual. Sehingga, dari hasil

pengalaman itu, menemukan rahasia atau esensi-esensi tersembunyi. Hal

ini bukan hanya pengalaman yang terjadi kepada Phillo Alexandria,

namun merambat kepada Clement, Origen sampai Pseudo-Dyonisus.143

Karena itu, kita tidak harus sungkan-sungkan mengambil

pelajaran dari tradisi Kristiani dalam mempelajari diskursus simbolik,

misalnya. Analogi dan simbolik merupakan dua bentuk simbolik yang

populer digunakan pada abad pertengahan oleh para agamawan Kristen.

Analogi merupakan perangkat yang digunakan untuk menafsirkan alam

kodrati dan eksistensi manusia. Tuhan menciptakan keduanya agar

manusia mampu menunjuk kepada pikiran dan maksud Tuhan.

Sementara alegori adalah perangkat yang digunakan untuk membaca

teks-teks kitab suci dengan melihat teks-teks tersebut. Teks tersebut

142‘Abd al-Ghani>Barah, Al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah, 162143Lihat, Anthony, J. Steinbock, Phenomenology and Mysticism (USA:

Indiana University Press, 2007), 23.

Page 99: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

87

menyembunyikan noktah kebenaran pesan Tuhan dan tugas manusia

untuk membuka selubung tersebut.144

Analogi dapat memperluas pengetahuan ilmu alam dan pada

puncaknya memperluas ilmu tentang Tuhan. Metode ini, dalam

pandangan penginjil merupakan cara terbaik manusia agar jangan cepat

berpuas diri dengan penggunaan harfiah yang terbatas atau justru

melampaui di luar batas yang ada. Tokoh yang getol menggunakan

metode analogi ini adalah Thomas Aquinas, di mana tidak ada yang

lebih hebat melalui Summa-nya yang massif yang telah menunjukkan

secara tegas dan jelas keberadaan wujud ilahi, sekalipun tidak mencakup

akan Tuhan secara keseluruhan.145 Karena itu, selalu ada resiko atau

bahaya di mana analogi dipusatkan perhatiannya kepada satu analogi

yang disimpulkan secara harfiah. Karena itu ia bukan satu-satunya cara

dan perangkat penafsiran Tuhan. Dalam tradisi Islam golongan ini lebih

populer dengan sebutan mazhab z}a>hiriyyah (ahli

rusu>m/mutkallim/mufassir ahka>m), karena mereka berlandaskan pada

nalar baya>ni dengan menggunakan perangkat qiya>s atau analogi.

Karena itu, untuk menuju kepada sesuatu yang transendental dan

mengurai makna maka metode alegori menjadi suatu alternatif. Namun

ini tidak mudah karena menyisakan perdebatan mengenai kontestasi

simbol bersaing melawan alegori. Sifat alegori memisahkan,

menyejajarkan, mengatakan hal yang satu namun memaksudkan hal

yang lain dari apa yang dikatakan. Ia merupakan suatu penerjemahan

pengertian-pengertian abstrak ke dalam suatu bahasa atau gambar di

144F.W. Dillistone, The Power of Symbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002), cet.ke-5, 82.

145F.W. Dillistone, The Power of Symbols, 83.

Page 100: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

88

mana bahasa-gambar ini tidak lain hanyalah suatu abstraksi dari objek-

objek panca indra. Dengan kata lain, ia mewakili sesuatu yang abstrak

dengan susunan kata atau gambar yang tepat dan memikat. Dalam

tradisi Kristen, yang menggunakan metode ini pertama-tama adalah

Bapa Gereja Purba dan diteruskan oleh Teolog abad pertengahan karena

dua alasan. Pertama, mampu menjadi daya tarik perhatian orang dalam

pengalaman puitis dan peristiwa berulang-ulang, di mana para pujangga

mendapatkan ilham atau wahyu untuk mengucapkan atau menuliskan

kata-kata yang maknanya melampaui makna menurut kesadaran mereka

sendiri atau zaman mereka sendiri. Para penulis perjanjian lama jika

mendapatkan ilham mereka menafsirkan sesuai dengan kesaksian akan

misteri Kristus. Dalam tradisi sufistik Islam, disebut dengan istilah

panteisme (shat}ah}a>t) ilahiyah. Kedua, berpijak pada tradisi dan fakta

bahwa penafsir dewasa ini tidak akan melepaskan diri dari tradisi dan

pakem perjanjian lama gereja Kristen.146 Metode alegori merupakan

metode yang mengurai misteri teks-teks kitab suci dengan melampaui

makna yang jelas dalam wacana sehari-hari menuju kebenaran moral dan

mistis serta ruhani yang tertanam dalam kata-kata harfiah. St. Agustinus

memberikan ilsutrasi dengan menerangkan ayat perjanjian lama dan

baru, yakni dengan menunjukan istilah yang digunakan dalam perjanjian

itu, sesungguhnya menunjukkan realitas ruhani yang dapat

dipertanggung jawabkan. Para pendengar dan pembaca merasa turut

terlibat memecahkan misteri dan menguraikan teka-teki. Dengan begitu,

146F.W. Dillistone, The Power of Symbols, 87.

Page 101: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

89

tafsir terhindar dari pemahaman yang beku dan suram sebagai penafsiran

yang otoritatif dalam tradisi Kristen.147

Sementara dalam situasi yang berseberangan, para tokoh

reformasi Kristen cenderung menolak metode alegoris. Menurut mereka,

menghargai tradisi dalam tugas penafsiran tidak perlu harus menerima

bagaimana “cara tradisi asli” yang dilakukan oleh pemimpin gereja

kuno. Mereka memandang bahwa metode alegori hanya mendorong

untuk berkhayal dan tampak asing dalam menafsirkan kata yang

terlampau jauh. Dalam keadaan yang paling baik, cenderung untuk

meningkatkan kesesuaian satu-lawan-satu antara hal yang berlainan dan

bertolak-belakang. Dan hal ini dianggap asing bahkan bertentangan

dengan seluruh konsep simbolisme kreatif.148 Hakikat simbol adalah

mempersatukan dua entitas sementara hakikat alegori adalah

memisahkan dua entitas. Simbol selalu mengambil bagian realitas yang

dibuatnya dengan penuh pengertian dan karenanya dapat dimengerti

dalam komunitas simbolik.149 Ia menyatakan keseluruhan dan di lain

pihak simbol sendiri tetap merupakan suatu bagian yang hidup dari

kesatuan yang direpresntasikannya. Dalam hal ini terdapat dialektika

dan kesenyawaan antara harfiah dan simbolik; antara z}a>hir dan ba>t}in.

karakter simbol adalah menunjuk pada cakrawala yang luas tanpa

meninggalkan hubungan yang sudah menjadi tradisi. Ia memperluas

nama asli sedemikian rupa melalui adjektif, adverbial atau lainnya,

tetapi tetap mempertahankan susunan asli dengan menunjuk lebih jauh

lagi sesuai keakuan, imajinasi dan pengalaman sosial atau pribadi.

147F.W. Dillistone, The Power of Symbols, 86.148 F.W. Dillistone, The Power of Symbols, 88.149F.W. Dillistone, The Power of Symbols, 88.

Page 102: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

90

Dari paparan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa diskursus

perdebatan dan polemik di atas menjadi suatu keadaan yang menarik

untuk disimak lebih jauh. Adanya distingsi antara alegori dan simbol

sebab dalam dunia sufistik sendiri memang persis membedakan

keduanya: alegori lebih dominan dihasilan oleh sensor dan emosi yang

berasal dari cahaya iluminasi, sementara simbol merupakan hasil kreasi

dari bahasa, metafora, puisi, permainan kata-kata, kisah serta mitos

yang menjadikannya unik dan eksentrik dalam alam interpretasi

penafsiran sufistik.150 Dalam kacamata Bowering estimasi dalam tradisi

Yudio-Kristiani mungkin untuk ditemukan dalam tradisi sufistik. Ia

berhasil menemukan kecocokan epistemologi antara agama Judaisme

yang lebih menekankan arus utama metode alegori dengan sekte syiah

batiniah, ketika ia menemukan epsitemologi yang ditempuh oleh

Kristiani reformis pada aliran sufistik moderat, yang menggunakan

penafsiran simbolik atau menggabungkan zahir dan batin seperti yang ia

temukan pada tokoh Sahl al-Tustari yang begitu diidolaknnya sebagai

salah satu ikon Tasawuf Sunni.151

Hal ini bukan semata-mata masalah bahasa, sebab seluruh

pandangan manusia terlibat. Apakah manusia dan dunia sungguh

terpisah dan manusia senantiasa bertanggung jawab atas hubungan

dengan dunianya? Bagaimana mempersatukan realitas adikodrati dan

transduniawi? Jawaban atas rentetan pertanyaan di atas hanya bisa

ditemukan dalam dunia simbol kreatif. Simbolisme berkaitan dengan

150Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical Islam,138.

151Gerhard Bowering, “The Scriptural “Senses” in Medieval S{ufi Qur’a>nExegesis” dalam Jane Dammen McAulife(ed.),With Reverence for the Word: MedievalScriptural Exegesis in Judaism, Chiristianity, and Islam, 353.

Page 103: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

91

jawaban usaha mempersatukan hidup duniawi dengan ilahi dan

keikutsertaan dalam realitas transenden yang memang melampaui

bentuk-bentuk duniawi, namun juga dimanifestasikan dalam bentuk-

bentuk yang tidak lepas dari sifat keduniawian. Sementara alegori

berkaitan dengan bentuk-bentuk kehidupan agama yang bersifat

sektarian dengan memisahkan diri dari dunia secara ekstrim, di mana

kita dituntut meninggalkan kehidupan duniawi dan memasuki “syahwat

ilahi” dalam realitas tertinggi yang adikodrati.152

Yang menarik bahwa level empat siklus jejaring tafsir sufistik ini

(qanu>n al-Tarbi’/fourfold system) ternyata mempunyai titik korelasi dan

kemiripan dengan kitab Bibel abad pertengahan, sebagaimana yang

dikemukakan oleh beberapa sarjana Barat yang mendukung postulat ini:

Z{ahi>r: historia, Ba>t}in: alegoria, H{ad: tropologia, Mat}la’: anagoge.

Namun demikian, penting ditekankan bahwa relasi ini tidak bisa

dibenarkan sepenuhnya, seperti halnya alegorisme dalam tangan Phillon

dalam menerapkan Bibel, kendatipun secara prinsipil hampir sama,

namun sebagai agama yang berbeda mempunyai tradisi dan istilah yang

berbeda pula dalam pemaknaan sebagaimana yang telah kita maklumi.153

Tingkatan makna ini jika melihat tradisi penafsiran dalam Kristiani

adalah littera gesta docet, quid credas alegoria, moralis quid agas, quo

tendas anagogia. Sementara dalam tradisi penafsiran Judaisme adalah

peshat (literal meaning), remez (methaphorical interpretation), derash

(homiletical interpretation), sod (esoteric interpretation). Formulasi

istilah ini sekalipun berbeda istilah sesuai tradisi agamanya namun

152F.W. Dillistone, The Power of Symbols, 89.153 John Wansbrough, Qur’anic Studies, 243.

Page 104: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

92

secara prinsipil menghasilkan terminologi yang sama: literal, alegorical,

moral/tropological, anagogical.154 Jejaring makna ini merupakan jejaring

yang bertingkat (fourfold system) di mana hal ini merupakan formula

yang pertama kali diterapkan dan para Mufassir Sufi selalu menekankan

pertama kali kepada makna z}a>hir sebelum melangkah pada makna-

makna selanjutnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai korelasi

pencocokan makna yang senyawa antara z}a>hir sebagai aplikasi literal

(tat}bi>q) dan ba>t}in sebagai isyarat samar (isyara>t kha>fiyah/paralelisme

simbolis (symbolic parallelism).155

154Gerhard Bowering, The Scriptural “Senses” in Medieval S{ufi Qur’a>nExegesis, (Jane Dammen McAulife, ed.) With Reverence for the Word: MedievalScriptural Exegesis in Judaism, Chiristianity, and Islam, 352-353.

155John Wansbrough, Qur’anic Studies, 243.

Page 105: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

80

BAB III

‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> dan Karya Tafsirnya

Penulisan suatu biografi merupakan tugas penting dalammemahami pemikiran kesarjanaan seseorang. Dalam hal ini, penulissekedar menjelaskan kehidupan ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni dan terbatas padahal-hal yang berkaitan dengan karya tafsirnya. Hemat penulis,kehidupan al-Ji>la>ni> sudah semestinya diulas di sini sebagai pengantaretnografi dan sosio kultural keberadaan kitab tersebut agar bisa lebihmengenal karakter dan latar belakang pembuatan tafsir tersebut, sertadalam kondisi seperti apa dan periode kapan tafsir tersebut dikarangoleh al-Ji>la>ni>. Tentu sejarah terkait sesuatu tidak akan terlepas dariruang dan waktu. Artinya, selalu ada sejarah yang membentuk disekitarnya, dan di sinilah pentingnya mengulas sosok al-Ji>la>ni> denganmengurai riwayat hidup, jaringan intelektual berikut geneologi matarantai pendidikannya, atmosfir sosio-kultural pada masanya, coraksufisme agar mudah menemukan “identitas tasawuf”, serta juga karya-karyanya agar bisa mengenal genre tafsirnya. Di samping itu,pendeteksian atas orisinalitas karya tafsirnya bisa sangat terbantudengan mengkaji karya-karyanya yang lain dengan pendekatan studiintertekstualitas.

Sub A diurai untuk menjawab pertanyaan mendasar. Dalam halini, ada pertanyaan menarik yang pantas dimunculkan: Bagaimana al-Ji>la>ni> mampu mempertemukan kecenderungan epistemik mazhab al-Hanbali yang literal-skriptual dengan sufisme yang cenderung illiteral?

Selanjutnya, setelah mengupas lingkungan ma> h}awlahu/eksternalal-Ji>la>ni> sebagai pengantar antroposentrisme, kemudian diulas ontologidan internalitas karya tafsir secara lebih dekat guna mengenalorisinalitas, tinjauan umum, penyajian, berikut karakter tafsir tersebut.Dengan demikian, setidaknya kita bisa mengetahui bahwa keberadaantafsir ini tidak lain memiliki tujuan untuk meredam berbagai genre tafsireksoteris yang selama ini dipenuhi dengan berbagai perbedaan pendapat

Page 106: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

81

dan kontradiksi.1 Karena bagi al-Ji>la>ni, penafsiran hasil dari pengalamanspiritual merupakan wadah universal akhlak dan spritualitas, disampingitu memberikan kepuasan dimensi makna yang lebih mendalam sebagaicapaian keinginan dari setiap peminat kajian al-Qur’an.

Di sisi lain, kondisi sosio-kultural yang mengitari al-Ji>la>ni padamasa itu yang memprihatinkam dalam degradasi moral, menjadi pemicudalam membangun misi dan visi dakwah yang lebih bermoral. Dalamkerangka setting sosiol-kultural seperti ini, al-Ji>la>ni melahirkan karyatafsir sufistik yang diproyeksikan tidak hanya membangun tatananmasyarakat madani dan beradab serta menonjolkan etos sufistik. Takayal, background sosio-kultural munculnya Tafsir al-Ji>la>ni> dikarangkurang lebih untuk rekonsialisi peradaban masyarakat dan bentuk kritiksocial pada masanya.

A. Biografi

1. Riwayat Hidup, Jaringan Intelektual, dan Kontribusi

Ulama klasik dan modern telah banyak yang mengupas biografial-Ji>la>ni> dari berbagai sudut pandang. Pada era ini muncul MuhammadFad}i>l al-Ji>la>ni>, ulama keturunan langsung al-Ji>la>ni>, yang concernmenyunting dan mempublikasikan silsilah kitab-kitab al-Ji>la>ni>.

Al-Ji>la>ni> mempunyai nama asli dengan riwayat nasab panjanghingga bertemu Rasul, Muhyiddin ‘Abd al-Qa>dir ibn Fatimah bintiAbdillah ibn Mahmud ibn Abi al-Atha ibn Kamaluddin ibn Abi AbdillahAladudin ibn Ali Ridha ibn Musa al-Kazim ibn Ja’far al-S}a>diq ibnMuhammad al-Ba>qir Ibn Zain al-Abidin ibn Husain ibn Ali Ibn Ali Ibn

1Sebagaimana yang ia lakukan dalam kitabnya Futu>h} al-Ghaib, ia mencobamendamaikan dua kubu ekstrim antara kalangan zahiriyyah (ahlu rusu>m) dan kalanganbatiniyyah dengan mengambil jalan tengah antara keduanya. Ia bahkan memulaidiskursus yang memisahkan antara Tuhan dan kemanusian. Lihat: Chaiwat Satha-Anand, “Self as a Problem in Islam: A Reading of Abdul Qadir Gilani’s Discourse”dalam Syeda Saiyidain Hameed (ed.), Contemporary Relevance of Sufisme (NewDelhi: Indian Council for Cultural Relations, 1993) cet. ke-1, 324.

Page 107: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

82

Ali Abi Talib.2 Mengenai penisbatannya yang bersambung kepadaHasan ibn Ali RA, menurut minoritas ulama atau kepada Husainmenurut mayoritas ulama, hal ini merupakan perselisihan seputar nasabal-Ji>la>ni>, sebagaimana perselisihan juga terjadi pada rangkaian hirarkileluhur al-Ji>la>ni>. Namun terdapat nasab yang disepakati oleh parapenulis biografi bahwa al-Ji>la>ni> adalah keturunan Ali ibn Abi> T{a>lib danFa>timah al-Zahra.3 Sebagaimana kesepakatan itu dirangkum baru-baruini oleh cucu al-Ji>la>ni>, Muhammad Fa>d}il, sekaligus penyunting Tafsir al-Ji>la>ni> .4

Al-Ji>la>ni> mempunyai tiga gelar sesuai kapasitasnya. Dalampenasaban, al-Ji>la>ni> bergelar Majal ibn Hasan ibn al-Masna ibn al-Hasanibn Ali> ibn Abi> T{a>lib. Dalam keulamaan ada beberapa sematan gelar, IbnKathi>r menjuluki Shaikh ‘Abd al-Qa>dir ibn Abi> Sa>lih Muhammad al-Ji>li,Ibn Athi>r menjuluki Abu Muhammad al-Ji>li>, sementara ulama modernseperti al-Dh{ahabi menyebutnya ‘Abd al-Qa>dir ibn Abi> Abdillah ibnJanki Dausat al-Ji>li>. Adapun gelar akademik, al-Dhahabi menyebutnyaShaikh al-Isla>m dan al-Sam’ani menjuluki sebagai Imam al-Hana>bilahsebagaimana dinukil Ibn Rajab. Sementara dalam persepsi sufistik al-Ji>la>ni> merupakan sosok yang begitu diagungkan dan menjadi ikon rajapara wali sultan al-‘Awliya’, al-Qut}b al-Rabbani, al-Ghauth, al-Ba>z al-As}hab, dan lain-lain.5

‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> lahir di salah satu kota kecil, Niff, dikawasan Ji>la>n atau Kaylan, Iran pada 490 H. Sementara para sejarawanmodern bersepakat bahwa al-Ji>la>ni> lahir pada 470 H/1077 M, dan wafatpada tanggal 10 Rabi’ al-Thani tahun 561 H di daerah Bab al-Azaj,Baghdad.6 Al-Ji>la>ni> hidup selama 90 tahun –versi lain menyebutkan 92

2‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Sirrul Asra>r (Cairo: al-Bahriyyah al-Mishriyyah, tt),3.

3Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Imam al-Za>hidal-Qudwah (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1994), cet. ke-1, 88.

4Fa>d}il al-Ji>la>ni>, Nahr al-Qa>diriyah (Istanbul: Markaz Al-Ji>la>ni> li al-Buhu>tsal-‘Ilmiyyah, 2009), cet. ke-1, 67-61.

5Muhammad Fa>d}il al-Ji>la>ni>, Nahr al-Qadiriyyah (Istanbul: Markaz al-Ji>la>ni>lil al-Buhu>ts al-‘iImiyyah 2010), cet. ke-2, 73.

6Termasuk yang setuju dengan pendapat kelahiran al-Ji>la>ni> pada 1077 M.adalah Chaiwat Satha-Anand. lihat Chaiwat Satha-Anand “Self as a Problem in Islam:

Page 108: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

83

tahun.7 Keterangan yang disebut oleh Ibn al-Jauzi dalam al-Muntaz}im—di mana Ibn Jawzi termasuk sosok yang semasa dengan al-Ji>la>ni>, yaitulahir pada 471 H, dan wafat pada malam Sabtu 8 Rabi al-Tsani tahun561 H dalam usianya yang mencapai 90 tahun. Pendapat terakhir inirelatif dapat dipertanggung-jawabkan tentang kelahiran dan wafatnyaal-Ji>la>ni>.8

Pada masa itu, seorang ‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni> kecil ketikaberada di negeri Ji>lan sangat haus mendapatkan ilmu-ilmu agamaagama. Terlebih Baghdad saat itu merupakan ibu kota peradaban Islamsehingga membuat al-Ji>la>ni> kecil terobsesi menuntut ilmu ke Baghdad.Baghdad merupakan tempat tinggal Ahmad bin Hanbal, seorang sosokyang sangat dicintai dan dikagumi oleh penduduk Ji>la>n, sehinggamenjadi wajar jika penduduk kota Ji>la>n menganut mazhab Hanbali.Keberadaan Ahmad bin Hanbal inilah yang semakin menambahkerinduan sosok al-Ji>la>ni> kecil kepada kota Baghdad.9

‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni >>datang ke Baghdad pada 488 H,bertepatan dengan wafatnya Abu Fa>d}il Abdul Wahid al-Tamimi danmerupakan tahun di mana al-Ghazali meninggalkan pengajaran dimadrasah al-Nizamiyah di Baghdad, lalu kemudian mengasingkan diridan bersembunyi di Syam dan Baghdad.10 Saat itu al-Ji>la>ni> berusia 18tahun dan Baghdad sedang dalam masa kejayaan dan keemasannya.Baghdad menjadi pusat keilmuan dan kebudayaan dunia. Selama diBaghdad, al-Ji>la>ni> sempat mengalami lima masa kekhalifahan; al-Mustaz}hir, al-Murtashid, al-Rashi>d, al-Muqtafi, dan al-Mustanjid.11

A Reading of Abdul Qadir Gilani’s Discourse” dalam Syeda Saiyidain Hameed (ed.),Contemporary Relevance of Sufisme, 323.

7Abd al-Razzaq al-Kaelani, Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: Guru PencariTuhan (Bandung: Mizania, 2009), cet. ke-1, 86.

8Abd al-Razzaq al-Kaelani, Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: Guru PencariTuhan, 88.

9‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hidal-Qudwah (Damaskus: Dar al-Qalam, 1994), cet. ke-1, 93-94.

10‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 99.

11 ‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 101.

Page 109: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

84

Karir intelektual Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> selama di Baghdaddiklasifikasikan menjadi dua masa. Pertama, periode masuk Baghdadsebagai babak memulai ekspedisi intelektual dengan menimba berbagaidisplin ilmu. Inilah fase pembelajaran yang didapat dari satu madrasahke madrasah lain dan dari satu guru ke guru lain di Baghdad. Periode initerhitung mulai 488 H hingga 521 H. Kedua, masa sejak al-Ji>la>ni> belajardan memberikan pengajaran di madrasah di Baghdad pada 521 H sampaiia wafat tahun 561 H.12

Pada periode pertama, al-Ji>la>ni> menimba berbagai disiplin ilmu.Di bidang fikih, ia berguru pada Abu> al-Wafa’ Ali> ibn ‘Aqil al-Hanbali>dan Abu> al-Khithab Mahfudh ibn Ahmad al-Kalwadzani al-Hanbali>. Dibidang ilmu sastra, ia berguru kepada Abu> Zakariya Yahya al-Tibrizi>. Dibidang ilmu hadits, al-Ji>la>ni> berguru kepada ulama H{adi>th terkemuka, diantaranya Abu> Gha>in al-Ba>qilani>, Ibn Khunais, Abu> H{ana>im al-Ra>si,Abu> Bakr al-Tammara, dan Abu> Muhamad al-Sirra>j. Sementara dalamdisiplin tafsir dan ilmu al-Quran, ia menimba ilmu dari Abu> Wafa>’ Ali>bin ‘Aqi>l, Abu> al-Khithab Mahfu>z} al-Kalwadzani, Abu> al-Ghanaim, Abdal-Rahman bin Ahmad bin Yusuf, Abu al-Barakat Hibatullah al-Muba>rak, dan lain-lain.13

Al-D}hahabi mencatat al-Ji>la>ni> mempelajari sufisme kepadaH{ammad Ibn Muslim al-Dibas, sebagaimana juga diafirmasi oleh Ibn al-Ima>d. Terkait ketekunan yang luar biasa ini, Ibn Taymiyyah menyatakanbahwa al-Ji>la>ni> dan H{ammad adalah ahli istiqamah.14 Dalam beberapaketerangan sejarah, fikih mazhab Hanbaliyyah dan Shafi’iyyahmerupkan ilmu yang paling ditekuni oleh al-Ji>la>ni. Setelah menguasaifikih, al-Ji>la>ni> kemudian melengkapinya dengan tasawuf.15

12‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 102.

13‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 109.

14Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>(Yogyakarta: STIQ an-Nur, 2010), cet. ke-1, 67.

15 ‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 109.

Page 110: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

85

Sementara periode kedua adalah periode dakwah sebagai mastersufi. Periode ini dimulai sejak al-Ji>la>ni> berperan menggantikan gurunya,al-Mukharrami>, yang wafat pada tahun 521 H. Al-Ji>la>ni> adalah muridterbaik yang dipercaya oleh al-Mukharrami> sebagai penerusnya dimadrasah yang ia miliki.16 Sehingga sejak saat itu al-Ji>la>ni> disibukkanoleh kegiatan mengajar dan menulis beberapa karya. Pada masa inilahal-Ji>la>ni> mencapai puncak intelektual dan menjadi maha guru sufisetelah mendapatkan ilmu tasawuf dari Hammad bin Muslim al-Dabbasidan guru fikihnya, al-Mukharrami.17 Bisa jadi pada periode inilah Tafsiral-Ji>la>ni> ditulis, sekitar tahun 521 H hingga 561 H.

Namun demikian, sekalipun al-Ji>la>ni> adalah master sufi, disiplinilmu pertama yang justru dipelajarinya adalah disiplin keilmuan fikih, dimana tingkat penguasaannya telah sampai pada taraf pemegang otoritasimam bagi mazhab Hana>bilah. Karena kapasitas keilmuan fikih yangmumpuni ini, ia bahkan masuk ke dalam salah satu deretan ulama fikihHanbali yang disegani semenjak Ahmad bin Hanbal pertama kalimeletakan pondasi pemikiran mazhabnya. Kontribusinya yang signifikandalam teologi kepada mazhab Hanbali adalah mengembalikan reputasimazhab tersebut ketika terkena fitnah bahwa Tuhan mempunyai sifatantroposentrisme seperti halnya sifat-sifat manusia karena karangansalah satu ulama hanabilah, Abu> Ya’la (457 H.) mengarang buku tentangsifat Tuhan yang mempunyai antroposentrisme. Al-Ji>la>ni> tampilmenyelamatkan kekisruhan ini dan melakukan upaya tabayun konsepsiakidah.18 Kehadiran sosok al-Ji>la>ni>, sebagai seorang hanbalian yangtetap konsisten terhadap pakem literalis mazhab namun tetapmerupakan sufi besar sepanjang sejarah (Sultan al-’Awliya>’), telahmematahkan hipotesa yang menyebutkan bahwa inklinasi sufistik dalamruang mazhab Hanbali adalah kelemahan dalam bermazhab, mengingatbahwa karakter mazhab Hanbali cenderung literal-skriptual dan lebih

16‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 126.

17‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 125.

18 ‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 102.

Page 111: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

86

mengandalkan normatif teks. Sufisme merupakan fase terakhir epistemmazhab fikih yang dikenal berasaskan “hitam putih” dengan hanyamelihat fenomena obyek hukum. Namun di sini, al-Ji>la>ni >mampumelampaui batasan norma-norma fikih tanpa menerjangnya (hadmshariah) dengan semata mengasah penglihatan batin (bas{irah) hinggamemperlihatkan cahaya kebenaran. Dengan demikian, mazhab Hanbaliyang dianggap skriptual ternyata bisa sinergis dengan sufisme dalammenerima cahaya kebenaran, yang berasal dari keyakinan kebenaranmakna literalistik.19

Sebagian ulama salaf seperti Imam al-Sha’rani menilai bahwaal-Ji>la>ni> mengkompromikan mazhab Hanbali dan al-Shafi’i dalam fikih.Setelah waktu sembahyang z{uhur, al-Ji>la>ni> membaca ilmu qira’a>t dankemudian memberikan fatwa dengan kedua mazhab. Fatwa-fatwanyasering membuat orang yang mendengarnya takjub.20 Sebagian ulamaberpendapat bahwa keteguhan al-Ji>la>ni> dalam mazhab Hanbali adalahuntuk mempertahankan mazhab ini dari kepunahan. Hal ini dibuktikanoleh salah satu muridnya, Ibn Quddamah, yang pada akhirnyamempunyai peranan besar dalam pengembangan dan pelestarian mazhabHanbali.

Al-Ji>la>ni> menghabiskan 32 tahun mempelajari berbagai cabangkeilmuan. Ia membangun kepakaran dalam 13 cabang ilmu. Ia kemudianmendedikasikan diri mengajar dan didaulat menjadi rujukan fatwa sejaktahun 520 H. Disamping kesibukannya itu, ia memegang madrasah danribath. Madrasah ini didirikan sejak al-Ji>la>ni> berada di Bagdad sejaktahun 521 H sampai wafatnya tahun 561 H. Karir mengajarnya dimulaipada 1118 M, dan selama hidupnya ia dikenal memiliki ribuan pengikutyang tidak hanya dari kalangan muslim, tetapi juga dari kalangan non-muslim untuk menyimak pencerahan spiritual yang ditujukan terhadapsemua lapisan masyarakat dan pemeluk agama lain.21 Bahkan banyakpemeluk agama Yahudi dan Kristen yang memeluk agama Islam melalui

19Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, 66.20Al-Sha’rani, T{abaqa>t al-Kubra> (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt), 109.

21Chaiwat Satha-Anand, “Self as a Problem in Islam: A Reading of AbdulQadir Gilani’s Discourse” dalam Syeda Saiyidain Hameed (ed.), ContemporaryRelevance of Sufisme, 322.

Page 112: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

87

tangannya.22 Hal ini mengingat bahwa ajaran taswufnya bersifatuniversal dan toleran dalam interaksi hubungan antara Tuhan danmanusia, sehingga menjadi pedoman pemahaman inter-religi antaraIslam dan Buddhisme.23

Setelah ia wafat, madrasah itu diteruskan estafetkepemimpinannya oleh putranya, ‘Abdul Wahab (w. 593 H), laluditeruskan oleh ‘Abd Salam (w. 611 H), dan terakhir oleh Razzaq (w.603 H), putra kedua ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>. Madrasah Qa>diriyah inimasih berkembang sampai sekarang. Madrasah ini menyimpan banyakmanuskrip karya al-Ji>la>ni> dan salah satunya adalah Tafsir al-Ji>la>ni>.Al-Ji>la>ni> menelurkan banyak murid yang menjadi ulama terkenal sepertiIbn Qudamah, dengan magnum opusnya al-Mughni, sebuah kitab babonmazhab Hanbali. Murid lain tak kalah hebat, al-Hafidz Abd al-Ghanipenyusun kitab al-‘Umdah al-Ah}kam fi Kalam al-Khair al-Ana>m.24

Tarikat al-Qa>diriyah sendiri mulanya dari tempat di mana al-Jilani mengajar sampai akhir hayatnya di sebuah madrasah peninggalanal-Mukharrami, gurunya. Madrasah itu dibeli dari ahli waris al-Mukarrami oleh kaum dermawan hingga dibangunlah menjadi madrasahyang mapan untuk pengajian murid-murid al-Ji>la>ni>. Dari sinilahkemudian dikenal tarikat al-Qa>diriyah hingga sekarang.25 Tarikat inidikelola oleh para putra dan murid setianya untuk melanjutkan ajaran-ajaran spritualnya al-Qa>diriyyah dan merupakan tarekat pertama yangdiorganisasikan dalam rangka tujuan-tujuan sufistik. Tarekat inilah yangdikenal kemudian sebagai tarikat yang mempunyai salah satu pengikutterbesar Islam sedunia. Bahkan telah berjasa dan berkontribusi terkaitpelestarian dan kebangkitan spritualitas dunia Islam dan sumbanganperkembangan sufisme terutama melembagakan suatu tarekat yang pada

22Lihat: E.J. Brill (ed.), The Encyclopedia of Islam (Leiden: EJB, 1986), cet.ke-1, vol. I, 69.

23Chaiwat Satha-Anand, “Self as a Problem in Islam: A Reading of AbdulQadir Gilani’s Discourse” dalam Syeda Saiyidain Hameed (ed.), ContemporaryRelevance of Sufisme, 323-326.

24 Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, 69.25‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-

Za>hid al-Qudwah, 127.

Page 113: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

88

akhirnya turut menyuburkan spritualitas Islam dan ajaran Islam dikalangan umat sedunia.26

Kehidupan al-Ji>la>ni> yang penuh dinamika intelektual itumemberikan impul bahwa al-Ji>la>ni> memberikan karakter pada tafsirnyasebagai tafsir yang sangat memperhatikan aspek syariah. Hal ini daribeberapa pertimbangan. (1) al-Ji>la>ni> mengawali karir intelektual dariajaran fikih kemudian bertransformasi kepada tasawuf. (2) fikihdipelajarinya secara tekun dan mendalam tidak hanya sebataspermukaan sehingga dikenal dan diakui oleh guru fikihnya, Dabbassebagai ahli fikih sejati. Seperti kejadian dimana al-Ji>la>ni> terjatuh disungai, ia sekalian meniatkan sunah mandi sembahyang jum’at sebabtanpa niat tidak akan sah. Hal ini tidak akan terjadi kecuali seorang yangpaham fikih. (3) Guru fikihnya, al-Dabbas, sering menguji dan al-Ji>la>ni>sukses melewati ujian tersebut. (4) Ia dikarunia sifat kebijakan dan hatiyang ajeg. (5) Mempunyai obsesi dan cita-cita mulia yang ditancapkansehingga melalui hidupnya penuh kesusahan dan rintangan.27

2. Setting Sosio-Kultural Pada Masanya

Al-Ji>la>ni> menuju Baghdad pada tahun 488 H>. Saat itu wilayah inisedang mengalami puncak pemikiran dan peradaban, kendatipun di balikkeramaian intelektual dan megahnya peradaban, dalam saat yang samaBaghdad merupakan negeri yang dijangkiti oleh dekadensi moral danspiritual para penghuninya. Baghdad yang saat itu merupakan sebuahnegara adipower dengan jutaan penduduk dan merupakan ibu kota bagisebuah imperium terbesar sepanjang sejarah.28 Namun di dalamnyamenyisakan nuansa kehidupan sosio-politik yang penuh pertikaiankonflik kepentingan dan politik, disamping para penguasa dan kaumborjuisnya yang lekat dengan pola hidup materialism dan hedonisme.

26Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, 69.27 ‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-

Za>hid al-Qudwah, 117.28 ‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-

Za>hid al-Qudwah, 105.

Page 114: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

89

Keadaan ini sungguh kontras dan ironi tidak sebanding lurus dengankeberadaan universitas bergengsi, al-Niz}a>miyyah –dimana al-Ghazalimenjadi kepala universitas–, sebagai pusat pendidikan yang seharusnyamenjadi sentral peradaban dan pengaturan manusia.29 Kemajuanpengetahuan kerap kali memang tidak berbanding lurus denganterbangunnya peradaban manusia yang lebih baik. Fenomena inimenjadikan al-Ji>la>ni> yang baru memulai kehidupan awal di Baghdaddilanda stress dan ujian yang berat. Ia kerap dilanda fitnah, kefakiran,kelaparan tenggelam dalam berbagai kegelisahan dan perenungankontemplatif, tidur di emperan dan puing-puing bangunan sampaidigelari ‘Abd al-Qa<dir al-Majnu>n, si gila.30

Saat itu, kerap terjadi pertikaian tajam antara para pengikutmazhab. Bahkan sesama mazhab sunni saling memfitnah danmenumpahkan darah. Pengikut Hanbali berseteru tegang denganpengikut Hanafi masalah perbedaan dalam penafsiran al-Qur’a>n ataukasus minuman nabi>dh. Begitu juga pengikut Hanbali dengan pengikutShafi’i bertikai masalah jahr atau hukum mengeraskan bacaan basmalahdalam shalat.31 Diakui bahwa mazhab pemikiran pada masa ini terkesanmengekspresikan kebingungan dan anarki ketimbang penguatan spiritualdan intelektual. Ditambah lagi para ulama mazhab pun ikutmempropaganda dengan mengarang kitab yang makin memperuncingkeadaan seperti yang dilakukan Abu> Ya’la> ketika mengarang kitab sifat-sifat Tuhan.32 Dalam keadaan itu Islam mempunyai masalah internal daneksternal yang serius. Pertama, Perpecahan Abbasiyyah akibatkekuasaan. Kedua, serangan pasukan Salib hingga melakukanpembantaian masal. Dua faktor ini seolah menjadi krisis yang kianmelengkapi keburukan situasi umat Islam yang tengah krisis dan

29 29‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 105.

30‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 104.

31‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 102.

32‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 102.

Page 115: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

90

membutuhkan pembaharuan moral dan kebangkitan spiritual. UmatIslam menjadi terpecah-belah dan saling bermusuhan satu sama lain.33

Keprihatinan al-Ji>la>ni> melihat fenomena negeri di mana satu sisimerupakan mercusuar peradaban Islam waktu itu namun di sisi laindekadensi moral, kemiskinan dan penderitaan terjadi dalam saatbersamaan menjadikan al-Ji>la>ni> sudah tidak merasa nyaman tinggal dial-Niz}amiyyah, hingga baru beberapa saat di al-Niz}amiyyah, ia sudahmemutuskan untuk hengkang menuju Damaskus hingga tidak seorangpun tahu keberadaanya.34

Keberadaan situasional Baghdad yang demikian kontras,merupakan penegas cikal bakal benih-benih kehancuran Baghdad dariinternal. Persoalannya hanya tinggal menunggu waktu kehancurannyasaja. Moralitas sebagai sebuah pondasi bagi rakyat sudah tidakterbangun secara massif dan tidak ada kesadaran menuju reformasipembangunan mental spiritual. Karena itulah, seolah sudah disettingsedemikian rupa oleh tangan Tuhan, ketika Hulagu Khan datangmenyerang dan memporak porandakan negeri Baghdad, maka ibukotametropolitan itu langsung jatuh ke tangan musuh seolah menjadipenegas betapa kehancuran-kehancuran yang dialami Baghdad ternyatatelah berlangsung jauh sebelum yang diperkirakan orang. Hal inimengingatkan runtuhnya peradaban Baghdad hampir sama denganperistiwa hancurnya Imperium Romawi di Barat karena Romawi sedangberada dalam titik nadir kehancuran. Artinya, serangan fisik hanyasekedar penegas bahwa kelemahan dan kelengahan diam-diam telahmerasuki bahkan sebenarnya telah runtuh secara sistemik tanpamasyarakat menyadarinya.35

33 Anis Masduki, Metode Tafsir Sufistik Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, 64.34Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid

al-Qudwah, 106.

35Ketika Khulagu Khan dan pasukan Tartar merengsek ke Bagdad padatahun 650 H. banyak keturunanal-Ji>la>ni> yang menjadi korban peperangan. Tartar jugamenghancurkan madrasah dan masjid yang dibangun al-Ji>la>ni>. Madrasah dan masjidyang hancur lebur ini dibangun kembali pada tahun 914 H. lihat: ‘Abd. Al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar, 66-67.

Page 116: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

91

Ketika al-Jila>ni> hengkang, ia pernah berkeinginan untukmeninggalkan Baghdad. Ia hampir putus asa dan mengurungkan niatmenuntut ilmu di Pusat Peradaban Islam, Baghdad. Karena kehilangandimensi spirit religiusitas dalam ranah keagamaan. Agama lebih sekedarsimbol ritual belaka tanpa melihat nilai substansional. Tentu tantanganal-Ji>la>ni> hidup di tengah-tengah masyarakat yang demikian menjaditantangan berat sehingga banyak merenung dan bertafakur ketika dalampengembaraannya. Ia memperbaharui niat dengan tujuan awalnya “akuharus menyempurnakan jalan dan meraih cita-citaku di negeri ini”.36 Iabahkan menganggap kondisi sosio-kultural inilah yang justru menjadipelecut baginya untuk membangun misi dan visi dakwah yangberorientasi ke masa depan yang lebih bermoral. Dalam kerangka settingsosiol-kultural seperti ini, al-Ji>la>ni> ia menulis sebuah tafsir sufistik yangdiproyeksikan demi tujuan kritik sosial. Tentu dengan memahami secarautuh background sosio-kultural munculnya Tafsir al-Ji>la>ni>. Tujuannyajelas yakni merubah tatanan masyarakat menuju masyarakat bermoraldan berspiritual.

3. Corak Sufisme dan Karya-karyanya

Tasawuf yang benar dalam pandangan al-Jila>ni> adalah integrasikeilmuan yang berlandaskan al-Qur’a>n dan H{adi>th serta konsistensipengamalan ajaran Islam dengan menjernihkan jiwa dan pikiran melaluipembersihan hati. Yakni dengan cara mengaktualisasikan dirimenyembah kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh dan memilikiakhlak yang terpuji ketika interaksi dengan manusia. Tasawuf yangbenar tidak hanya memiliki dampak kepada individu namun juga kepadasosial.37 Sufime al-Ji>la>ni> berdiri di atas landasan syariat yangmenekankan ilmu ketajaman interpretasi teks, serta amal yang didorongoleh kejernihan batin, untuk menjustifikasi atas penemuan-penemuanpengalaman batin. Penyucian batin merupakan uji sintesa ketika hati

36Al-Kaelani, Shaikh Abdul Qadir al-Jailani, 106-107.37 Fad}i>l al-Ji>la>ni>, Nahr al-Qa>diriyyah, (Istanbul: markaz al-jilani li al-buhuts

al-ilmiyyah, 2010), cet. ke-1, 185-189.

Page 117: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

92

sesuai ucapan perbuatan dan tindakan sebagai bentuk keimanan yangpaling sempurna dengan mampu mengabungkan antara iman, Islam danihsan sebagai representasi dan patron atas dwi fungsi: hablun minallahwa hablun minannas, yakni relasi Tuhan dan relasi manusia.

Al-Ji>la>ni> membatasi diri dari pertikaian mazhab dan aliran. Iaberusaha sejauh mungkin menghindari dampak buruk terutama daribenturan pemikiran aliran-aliran filsafat. Menurutnya bahwa dalil-dalilal-Qur’a>n merupakan makanan yang bermanfaat bagi setiap manusiasementara dalil-dalil mutakalimin ibarat obat yang hanya dikonsumsioleh sekelompok orang namun lebih banyak bahayanya bagi kebanyakanorang.38 Banyak riwayat yang menjelaskan sikap al-Ji>la>ni> terhadapfilsafat dan juga sufisme filosofis yang merupakan basis dari salah satugenre tafsir sufistik. Meski tenggelam dalam dunia sufisme dengankesadaran epistemik yang berbeda akan tetapi al-Ji>la>ni> masih berusahamenjaga konsistensi dengan syariat.39

Sufisme adalah keteguhan hati dalam kehadiran Tuhan dankebaikan akhlak dengan makhluk.40 Ciri khas Sufisme al-Ji>la>ni> adalahmengatur dua dimensi relasional, hubungan manusia dengan Tuhansebagai bentuk hubungan horizontal (ikatan Tuhan dan hamba) denganbentuk keteguhan beribadah, dan hubungan vertikal (ikatan antarmanusia) sebagai bentuk manifestasi makhluk sosial yang semestinyamenerapkan norma-norma akhlak yang terpuji. Dengan demukian,paradigma sufistik al-Ji>la>ni> adalah integrasi ilmu dan amal. Pesansufistik yang diemban al-Ji>la>ni> adalah jelas: ia berhasrat menjadi porostengah antara ulama rusu>m yang terlalu berkutat bergelut dengan ilmu-ilmu teori kognitif keagamaan dengan para sufi yang biasamendahulukan tataran amaliyah/asketisme namun kurang memerhatikanaspek keilmuan yang dibangun. Umat yang moderat adalah umat yangselalu terikat dengan syariat dengan cara menyesuaikan antarapengalaman batin sufistik dikongruensikan dengan normativitas al-

38 ‘Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 106.

39Al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar fi> ‘Ulu>m al-Di>n (Istanbul: Markaz al-Ji>la>ni> lial-Buhuth al-Ilmiyyah, 2010 ), cet. ke-1, 59.

40Al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar fi> ‘Ulu>m al-Di>n, cet. ke-1, 59.

Page 118: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

93

Qur’a>n dan Sunnah. Sebab hakikat yang tidak bisa dipersaksikan olehsyariat adalah batal.41 Al-Ji>la>ni>, tampaknya ingin menyatukan antarakejernihan dan ketajaman ruhani di dalam beragama dengan kedalamanfilsafat yang menderu-deru di satu sisi dan mempertahankan ritmekritisme intelektual di sisi lain.

Bisa dipastikan bahwa membaca kekhasan sufisme al-Ji>la>ni>adalah pengagungan akhlak kepada landasan syariat diatas segala-segalanya baik pada level lahir maupun batin. Arus vertikal danhorizontal merupakan bangunan sufisme al-Ji>la>ni sebagai keseimbanganantara manusia yang diciptakan untuk beribadah dalam level individual;serta manusia yang diciptakan untuk saling mengenal, tolong-menolongdan dalam level sosial. Betapa bahwa al-Ji>la>ni> memprioritaskanpentingnya gerak horizontal dalam praktek kemanusian dankemasyarakatan. Karena itu tidak heran jika sosok al-Ji>la>ni> luwesbergaul dengan semua level dan tingkat masyarakat seperti bergabung dimajlis-majlis para fakir miskin dan pemuda. Bahkan ia merupakan sosokyang gigih menentang penguasa yang berbuat lalim dan tidak mampuberbuat adil terhadap masyarakat dengan membiarkan kemiskinan dankemerosotan moralitas merajalela baik di tengah-tengah masyarakatmaupun level penguasa. Ia juga terkenal sebagai orang yang antikemapanan dan kritikus sosial sehingga dikenal dalam menegakkan amarma’ru>f nahyi munkar bahkan pasca meninggalnya sehingga banyakmendapatkan pujian termasuk Ibn Taymiyyah yang biasanya kerasdalam mengkritik kaum sufistik.

Menurut Annimeric Schimel, ada titik persamaan antara sufismeal-Ji>la>ni>> dan sufisme al-Ghazali. Sama-sama sebagai sufisme yangmoderat dan menekankan landasan syariah. Keduanya tidak melarangusaha-usaha pencapaian intelektual melalui artikulasi pemaknaan alamini sebagai manifestasi Tuhan yang mampu mengantarkaan kepadakedekatan dengan Tuhan. Secara historis, sufisme al-Ji>la>ni>> adalahkelanjutan dari sufisme al-Ghazali.42 Seperti halnya al-Ji>la>ni, al-Ghazali

41Al-Sha’rani, T{abaqa>t al-Kubra>, 112.42Annimeric Schimel,Reason and Mystical Expererience in Sufism (London:

IB Tauris, 2000), 143.

Page 119: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

94

menyarankan agar mereka, para murid, yang terlibat harus tenggelamdalam pengalaman-pengalaman sufistik melalui proses muja>hadah danriyad{ah atau olah jiwa lainnya. Di sisi lain keduanya kerap melakukankritik terhadap teori-teori sufistik filosofis seperti hulu>l dan ittih}ad.

Al-Ji>la>ni> merupakan tokoh prolifik yang menguasai berbagaidisiplin ilmu. Corak sufisme yang dibawanya hampir mewarnai seluruhkarya yang dihasilkannya. Tercatat karya-karya al-Ji>la>ni> mengupasseputar akidah, fiqh, kesusastraan, keutamaan amal ibadah, wirid danlain sebagainya. Konon ia menguasai 13 cabang ilmu. Sebagian karya-karya itu masih dalam bentuk manuskrip sehingga perlu penelitianmasih lanjut.

Secara umum karya-karyanya diakui oleh para ulama sebagaikarya yang teguh memegang tradisi kitab dan sunnah, sehingga bisadipastikan bahwa tasawuf yang menjadi jalan hidupnya tidak akankeluar dari manhaj sumber Islam. Berkat integrasinya dan ketaatannyamemegang teguh tasawuf ortodoks sebagai tasawuf murni Islam ini, iadijuluki oleh para ulama dengan sebutan “al-Shaikh al-‘A<bid al-Za>hid.al-‘A<rif billah, al-Sayyid al-Shari>f, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>rad}iya Allah ‘anhu”.43 Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa karya al-Ji>la>ni> sebetulnya banyak, sayangnya tidak sampai di tangan kita. Hal inikarena musibah ketika terjadi serangan pasukan Tatar yang membumihanguskan kota Baghdad tahun 565 H. yakni setelah 1 abad pascameninggalnya al-Ji>la>ni.44 Saat itu hampir semua kitab yang adadiperpustakaan di Baghdad dilemparkan ke sungai Dajlah termasuk didalamnya karya-karya al-Ji>la>ni>. Praktis, salinan kitab yang tidak ada diluar Baghdad ikut musnah dan yang tersisa adalah kitab-kitab salinanyang ada di luar Baghdad. Kitab utuh yang sekarang beredar dan sampaike tangan kita berjumlah lima buah. 1. al-Ghunyah, 2. al-Fath} al-

43 Muhammad al-Fa>d}il dalam muqaddimah Tafsi>r al-Ji>la>ni >(Istanbul: Markazal-Ji>la>ni> li al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2009) cet. ke-1, 27.

44 Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 320.

Page 120: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

95

Rabbani, 3. Futu>h} al-Ghayb, 4. al-Fuyud}a>t al-Rabbaniyah, 5. H{izb al-Basha>ir al-Khaira>t.45

Saat ini, Muhammad Fa>d}il, seorang turunan dan penyuntingkitab-kitab al-Ji>la>ni>, mendirikan pusat riset kajian ilmiah al-Ji>la>ni>(Markaz al-Ji>la>ni> lil al-Buh}u>ts al-‘Ilmiyyah) yang bermarkas di Istanbul,Turki. Tujuan lembaga antara lain 1. Menemukan kitab-kitab al-Ji>la>ni>di beberapa perpustakaan. Termasuk meneliti orisinalitas sebagian karyayang dinisbahkan kepada selain al-Ji>la>ni. 2. Melakukan kajian yangserius terhadap karya-karya Al-Ji>la>ni>. Karya-karya al-Ji>la>ni> yang sudahmelalui tahap penyuntingan, dan uji orisinalitas karya, diterbitkan dalambentuk silsilah karya al-Ji>la>ni> oleh Muhammad Fa>d}il al-Ji>la>ni.46

Al-Ji>la>ni> mengarang karya-karya yang tersebar dalam bidangus}ul dan furu>’ serta dalam hal ah}wa>l dan hakikat, di mana sebagiansudah ada tercetak, ada yang berbentuk manuskrif atau bahkan dalambentuk foto digital.47 Karya paling mashur yang dicatat oleh MuhammadFad}i>l antara lain adalah:

1. Al-Fawatih} al-Ilahiyyah wa al-Mafa>tih} al-Ghaybiyyah al-Muwadhihah li al-Kalim al-Ilahiyyah al-Qur’aniyyah wa al-H}ikamal-Furqaniyyah

2. Al-S{alawat wa al-Aurad3. Al-Rasa>il4. Yawa>qi>t al-H{ikam5. Al-Di>wan6. Sir al-Asra>r7. Asra>r al-Asra>r8. Jala>’ al-Kha>t}ir9. Al-Amr al-Muhakam10. Usu>l al-Saba’

45 Abd al-Raziq al-Kaylani, al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-Za>hid al-Qudwah, 320.

46Muhammad al-Fa>d}il dalam muqaddimah Tafsi>r al-Ji>la>ni>, 22.47 Muhammad Fa>d}il al-Ji>la>ni>, Nahr al-Qadiriyyah, 180.

Page 121: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

96

11. Usul al-Di>n12. Al-Mukhtas}ar fi ‘Ulu>m al-Di>n13. Hizb al-Raja’ wa al-Intiha>’14. Du‘a>’ al-Basmalah15. Al-Ghunyah li T}a>libi T}ari>q Al-Haq16. Al-Fath} al-Rabbani wa Fayd}u al-Rah}mani17. Futu>h} al-Ghaib18. Hizb Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>19. Al-Dala>’il al-Qa>diriyyah20. Wird al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>21. Al-T}uqus al-Lahutiyyah22. Basha>ir Al-Khairat48

B. Tafsir al-Ji>la>ni>1. OrisinalitasTafsi>r al-Ji>la>ni>

Muhammad Fa>d}il meneliti naskah-naskah Tafsi>r al-Ji>la>ni> dalambentuk manuskrip asli dan beberapa salinan yang tersisa yang seluruhnyaberjumlah enam sebagai berikut:

1. Naskah asli dengan tulisan al-Ji>la>ni>2. Naskah di India yang hilang salah satu dari bagiannya. Naskah

ini ditulis setelah 61 tahun al-Ji>la>ni>> meninggal dunia.3. Naskah “Alif” yang dijadikan pegangan Muhammad Fad}il.4. Naskah “Ba” yang dimanfaatkan sebagai pendukung.5. Naskah “Jim” yang dimanfaatkan sebagai pendukung.6. Naskah yang disalin dari naskah “Jim” yang berada di Syam dan

sampai sekarang hilang.49

Penemuan tafsir diawali dari kegigihan Muhammad al-Fad}i>lmemburu karya-karya al-Jila>ni> dimulai dari 1977-2002 M. di berbagaikota seperti penelusuran pertama di Madinah Munawwarah dan negara-negara Islam dan non Islam seperti kunjungan ke Vatikan, Roma Italia.

48 Muhammad Fa>d}il al-Ji>la>ni>, Nahr al-Qadiriyyah, 180-181. Lihat juga:Muhammad al-Fa>d}il dalam muqaddimah Tafsi>r al-Ji>la>ni>, 22

49Muhammad Fa>d}il al-Ji>la>ni>, Nahr al-Qadiriyyah, 180-181.

Page 122: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

97

Ia menghabiskan waktu untuk menelusuri dengan mengunjungi 50perpustakaan resmi dan puluhan perpustakaan pribadi bahkan ada yangia kunjungi sampai 20 kali. Sampai sekarang telah berhasilmengumpulkan 17 kitab dan 6 risalah di mana salah satunya adalahpenemuan Tafsi>r al-Ji>la>ni > yang tidak ada tandingan keindahannya didunia dalam versi penyunting.50

Seperti yang diriwayatkan beberapa orang yang terhormat,‘AbdAl-Muthalib Al-Kaylani mengabarkan dari Al-Haj Nouri, KepalaPerpustakaan Al-Qa>diriyah di Baghdad, begitu juga dari Umar Al-Rifa’idari Yusuf al-Kaylani, juga dari Musthafa al-Ji>la>ni> al-Halabi, yangmemiliki sebuah perpustakaan di Baghdad bahwa ada naskah dengantulisan al-Ji>la>ni> yang ada di Maktabah Qa>diriyah di Bagdad. Naskahdengan tulisan asli itu hilang sebelum beberapa abad dan ditemukansetelah itu di Syam. Muhammad Fa>d}il kemudian berupaya memburu keSyam untuk mendapatkan naskah ini, sayangnya naskah yang pernahbenar-benar ada itu hilang kembali.51

Disinyalir, salah satu hal yang menguatkan bukti adanya karyaal-Ji>la>ni> dalam bentuk tafsir al-Qur’a>n adalah persaksian NouriMuhammad S{abri, sekretaris perpustakaan al-Qa>diriyyah al-Ammah.Dalam bukunya yang berjudul, Maktabah al-Madrasah al-Qa>diriyyah al-‘A<mmah fi> Baghdad, ia menjelaskan bahwa salah satu buah karya al-Ji>la>ni> adalah tafsir al-Qur’a>n dengan tulisannya sendiri.52

2. Tinjauan Umum Karakteristik Tafsi>r al-Ji>la>ni>

Tafsir al-Ji>la>ni>> terdiri dari enam jilid tebal yang masing-masing jilidterdiri dari sekitar 500 halaman. Buku ini dicetak tahun 2009 dan sudahnaik cetak dua kali. Yang menarik di sampulnya tertulis Tafsir al-Ji>la>ni>dan bukan Al-Fawatih} al-Ilahiyyah wa al-Mafa>tih} al-Ghaybiyyah al-Muwadhihah li al-Kalim al-Ilahiyyah al-Qur’aniyyah wa al-H}ikam al-

50 ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, Vol. I, 24.51 Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, Vol. I, 26.52‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, Vol. I, 26.

Page 123: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

98

Furqaniyyah sebagaimana penyebutan al-Jilani sendiri di pendahuluan.53

Hal ini merupakan insiatif dari penyuntingnya, Muhammad Fadi>l demialasan praktis dan simpel barangkali. Masing-masing jilid, penerbitmembaginya sebagai berikut:

1. Jilid pertama dimulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Al-Ma>’idah.

2. Jilid kedua dimulai dari surat Al-An‘am sampai surat Ibrahim.3. Jilid ketiga dimulai dari surat Al-Hijr sampai surat Al-Nur.4. Jilid keempat dimulai dari surat Al-Furqa>n sampai surat Ya>sin.5. Jilid kelima dimulai dari surat Al-S}a>fat sampai surat Al-

Wa>qi’ah.6. Jilid keenam dimulai dari surat Al-H{adi>d sampai surat Al-Nas.

Fa>d}il Ji>la>ni> menyimpulkan bahwa unsur-unsur istidla>l dan ijtihadal-Ji>la>ni> dalam pemikirannya berdiri di atas prinsip-prinsip: 1.memaparkan nas}-nas }, kemudian melakukan istinba>t} dengan memaparkanjuga pendapat ahli fikih. 2. Memperbanyak menyebut dalil-dalil naqlimaupun aqli. 3. Memaparkan pendapat para ulama yang berbeda dalamsatu masalah kemudian memilih salah satu yang sesuai dengankecenderungannya. 4. Memberikan perhatian khusus kepada pendapatpemimpin mazhab Hanbali dan menukil dalil mereka. 5. Tidakmencukupkan diri dengan ayat al-Qur’a>n, akan tetapi menjelaskannyadengan Sunnah. 6. Mensenyawakan materi fikih dengan sentuhansufisme yang halus sehingga fikih mempunyai karakter tertentu. 7.Memperluas penjelasan dimensi etis dan memperbanyak menukilpendapat ulama dalam hal ini. 8. Tidak fanatik terhadap pendapattertentu atau mazhab tertentu.54

Jika mengikuti kategorisasi metodologis al-Farmawi, makaTafsir al-Ji>la>ni> termasuk ke dalam kategori al-tafsi>r al-tah}li>li>. Ia ditulisdengan sistematika yang tak berbeda dengan kitab-kitab tafsir klasikyang menggunakan tafsir ini. Penafsiran dengan cara tafsir al-tah}li>li>berlangsung dengan segenap aspek al-Qur’a>n yang terdiri dari huruf,

53 ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, Vol. I,34.54Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar fi Ulu>m al-Din, 61.

Page 124: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

99

kata dan kalimat, yang ditafsirkan melalui penguraian segenap dimensiyang ada sesuai dengan sistematika yang ada. Tafsir al-tah}li>li (analitik)adalah penjelasan terhadap kandungan makna al-Qur’a>n yangbertendensi mengungkapkan keseluruhan dimensi yang ada di dalamnya,dengan sistematika urutan ayat dan surat. Tafsir ini memiliki tingkatankeluasan dan kedalaman sesuai dengan kompetensi dan tujuan penafsir.Tafsir analitik memanfaatkan sumber-sumber corak tafsir seperti tafsirsufi, tafsir bi al-ma’thu>r, tafsir bi al-ra’y, tafsir ah}ka>m, tafsir ‘ilmi, tafsirfalsafi, tafsir adabi al-ijtima>’.55 Tafsir sufi adalah bentuk tafsir yangdidasarkan bukan kepada makna eksoteris melainkan makna yangtersembunyi yang dimunculkan oleh tendensi-tendensi pengalamanspiritual sufistik.56

3. Penyajian Tafsi>r al-Ji>la>ni>

Salah satu sisi yang menonjol pada tafsir al-Ji>la>ni> adalah nuansakebahasaan. Tentu hal ini tidak lepas dari dunia sufistik yang melihatsegala sesuatu dari sudut pandang keindahan. Tak pelak jika hampirsemua sufi mempunyai dewan syair tak terkecuali al-Ji>la>ni>. Al-Ji>la>ni>sangat indah menggubah tulisan-tulisan dalam tafsirnya. Bahasa yangmemukau dan mampu mempengaruhi siapa saja pembacanya tidakhanya terjadi pada karya tafsir ini. Jika membuka dan membacalembaran-lembaran al-Ghunyah fi T{a>libi T{ari>q al-Haq, al-Fath} Rabbani,atau doa-doa dan wirid yang ditransmisikan langsung dari al-Ji>la>ni>,maka akan tampak aura kehebatan al-Ji>la>ni> dalam bermain keindahanbahasa Arab meski sebenarnya ia adalah seorang Persia.

Yang unik adalah kebiasaan al-Ji>la>ni> dalam setiap menafsirkansatu surat selalu diawali dengan prolog pengantar visi dan misi tujuansurat tersebut (Fa>tih}ah al-Su>rah) dan diakhiri dengan epilogkesimpulan. Merupakan tantangan tersendiri bagi peminat tafsir iniuntuk menemukan relasi pesan yang disuguhkan al-Ji>la>ni> dalam kedua

55Abd al-H{ayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’ (Tanpa Penerbit,1977), 23-24.56 Abd al-H{ayy al-Farmawi, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’, 31.

Page 125: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

100

bagian itu dengan kandungan surat al-Qur’a>n yang ditafsirkan. Disamping itu, ia juga memberikan penjelasan global dalam surat pertamabahwa setiap surat mengandung makna ayat-ayat muh}kama>t danmutashabiha>t: Artinya bahwa setiap surat menyimpan hukum-hukumsyariat, adab tarikat dan rahasia-rahasia hakikat. Ini adalah keniscayaanbagi mereka yang tenggelam dalam lautan samudera al-Qur’a>n untukmengeluarkan ilmu yakin dan ‘irfa>n.57

Jika dibandingkan dengan tafsir-tafsir bergenre esoteris yangada, terlihat sekali corak esoteris Tafsi>r al-Ji>la>ni> di segenap tafsiranayat. Kedalaman tafsir sufistik di dalamnya juga menunjukkan betapaal-Ji>la>ni> adalah seorang sufi yang memiliki ketajaman batin teramathalus, dan di sisi lain juga merupakan seorang akademisi dengan ilmuyang begitu luas. Tanpa memiliki kualifikasi ini, nyaris sulit untukdibayangkan al-Ji>la>ni> mampu melahirkan tafsir dengan pilihan diksiyang sangat estetik, berikut substansi yang amat stabil dankomprehensif.108 Dengan merasakan dominasi kehalusan dan kejernihanisyarat batin yang dihamparkan al-Ji>la>ni> dalam kitab ini, dibandingkandengan dominasi ilmu dan pemahaman akal yang mewarnailembarannya, di mana yang pertama memang memiliki aroma yang lebihkuat.58 Tidak heran apabila Muhammad Fad}il, editor sekaligus inisiatorpenerbitan kitab ini, menulis bahwa Tafsi>r al-Ji>la>ni> tidak bersandar padapemahaman rasional sebagaimana lazimnya tafsir, akan tetapi hasilrekaman isyarat batin yang membangkitkan jiwa dan menguatkanketaatan. Di samping itu, Tafsi>r al-Ji>la>ni juga sarat dengan hamparanisyarat batin yang mengaitkan seorang murid dengan Shaikh dengandaya pengaruh tertentu untuk menaiki tangga-tangga kesempurnaan.59

Sehingga, tidak diragukan lagi bahwa tafsir al-Ji>la>ni > telahmemperkaya khazanah tafsir di dunia Islam. Ia juga menempati peranstrategis dalam peta tafsir yang berkembang saat ini. Jika tafsir yangselama ini berkutat di wilayah eksoteris yang memfokuskan kepada pada

57Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, 42.58Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, 28.59Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, 24.

Page 126: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

101

tafsir-tafsir hukum, (tafsir al-ah}ka>m/tafsir al-fiqhi>) dan bahasa (tafsir al-lughawi>), tafsir al-Ji>la>ni> justru menelisik kajian-kajian sufisme dalam al-Qur’an, yang biasanya ditulis dalam buku secara khusus membahasnya(metode tafsir mawd}ui), yang berbicara tentang sufisme denganmemaksimalkan al-tafsi>r al-tahli>li>.

Atas dasar itulah, penyajian umum Tafsi>r al-Ji>la>ni> secara acakadalah sebagai berikut:1. Mengunakan bahasa sastra.2. Pembukaan pada setiap awal dan diakhiri kesimpulan pada akhirsurat. Ciri ini merupakan karakter penyajian yang paling menonjoldibanding tafsir sejenis maupun tafsir lainnya.3. Tafsi>r al-Ji>la>ni> menjaga keseimbangan antara lahir dan batin, antarasyariat dan hakikat, dengan melandaskan diri pengalaman sufistik padamanhaj al-Qur’a>n dan Sunah.4. Tafsi>r al-Ji>la>ni> kerap melakukan kritik terhadap tafsir sufi al-naz}ariyang melegitimasi pemikiran filosofis-sufistik.5. Tafsir al-Ji>la>ni> syarat dengan pengetahuan, spritualitas dan moralitas.Visi tafsir ini lebih kepada orientasi sufistik yang mampu menjagaintegrasi antara ilmu dengan amal, serta relasi vertikal hubungan antaramanusia dan Tuhan dengan relasi horizontal hubungan antar manusia.

Page 127: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

98

BAB IV

KODE ETIK TAFSIR ISHA<RI AL-JI<LA<NI<

Pada bab ini akan diulas karakteristik penafsiran al-Ji>la>ni> yang

lebih mengarah pada orientasi kerangka prasyarat model tafsir isha>ri.

Hal ini penting dibahas, mengingat penafsiran sufistik lebih

mengutamakan landasan psikologi dan moral etik praktisi tasawuf untuk

menjadi mufasir. Dengan kata lain, peneliti tidak akan membahas

“syarat langsung” penafsiran sebagai bentuk perangkat metodologi

sufistik yang menyatu dalam tafsir, melainkan lebih kepada pembahasan

tentang titik tolak persiapan dan mentalitas pribadi sebelum seorang

penafsir terjun ke dalam dunia penafsiran sufistik. Hal ini merupakan

prasyarat seorang sufi dalam memahami penafsiran al-Qur’a>n melalui

tahapan-tahapan dan fase-fase asketis. Tradisi kenabian, membaca al-

Qur’a>n, laku kesalehan, ketinggian budi pekerti, semua itu bisa diserap

dan diafirmasikan secara tidak langsung melalui kata-kata “adab”.1

Mengingat sufi itu sendiri dalam salah satu pengertiannya adalah adab.

Karena itu prasyarat yang akan dikupas secara satu persatu dalam bab

ini lebih menggiring pada induksi dan teorisasi yang biasa digunakan

oleh kaum sufistik dalam penafsirannya. Tujuannya agar mampu

mendapatkan pemahaman yang benar dan suci dalam versi sufistik.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tawaran perangkat

metodologi ini disebut sebagai software/piranti lunak untuk subyek

mufasir. Dan tampaknya lebih tepat sebagai psikologi dan moral etik

penafsir sufistik secara umum, sebelum benar-benar terjun ke dalam

metodologi sufistik secara langsung. Metodologi sufistik secara

langsung inilah yang dimaksudkan sebagai perangkat hardware/piranti

kasar yang merupakan obyek perangkat penafsiran, yang dibahas pada

bab selanjutnya ditujukan untuk keduanya. Menurut peneliti, merupakan

urgensi untuk menjadi standar baku hermeneutika sufistik.

1Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical

Islam (London and New York: Routledge, 2006), cet. ke-1, 29.

Page 128: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

99

Kode Etik Sebagai Prasyarat Penafsiran Isha>ri

Prasyarat seorang praktisi mufasir sufi—yang dalam hal ini bisa

dinilai dari prinsip-prinsip kaidah hermeneutika sufisme yang

dikembangkan al-Ji>la>ni>, tampak menonjol dan mendominasi dalam

beberapa elemen: 1. Keimanan yang Jujur (Ima>n al-S{a>diq). 2. Keikhlasan

Niat (Ikhla>s al-Niyat). 3. Mencintai al-Qur’a>n (H{ubb al-Qur’a>n ). 4.

Banyak Membaca (Tila>wah al-Qur’a>n). 5. Sentralitas Global dan

Organisir Visi Makna (al-Tarki>z al-Kulli wa Jam‘ al-Hamm). Inilah

karakter yang dimiliki seorang sufi Isha>ri seperti yang ditunjukkan oleh

al-Ji>la>ni> dalam kajian inter-tekstual baik ditemukan dalam tafsirnya

maupun karya-karya lainnya.

Di samping memperkaya khazanah tafsir di belantika tafsir al-

Qur’a>n, Tafsir al-Ji>la>ni> secara khusus juga berpotensi melakukan

klarifikasi dan mendakwahkan sufisme yang murni dan sesuai dengan

ajaran-ajaran al-Qur’a>n dan H{a>dith. Al-Ji>la>ni> dalam praktik sufistiknya,

dan begitu juga dalam tafsirnya terhadap al-Qur’a>n dan H{a>dith, tidak

pernah keluar dari batas-batas keduanya. Hal itu tidak mengurangi

keluasan makna al-Qur’a>n, dan justru semakin menyuburkan dan

menjernihkan kandungan makna al-Qur’a>n sampai yang terdalam. Al-

Qur’a>n terdiri dari makna lahir dan makna batin yang terungkap.

Pengungkapan yang baik terhadap makna eksoteris dan makna esoterik

dengan tetap menjaga kongruesi keduanya, akan tetap memperkaya

dimensi makna al-Qur’a>n, tanpa harus mendistorsi ajaran-ajaran

prinsipilnya.

Yang menjadi rumus kaum sufi Sunni amali adalah larangan

pena’wilan pada arah tafsir Isha>ri simbolik kecuali mentaati prinsip

indikasi lafal dan penggunaan (dilala>h al-lafz}iyah wa isti‘ma>liyyah)

sesuai dengan konsekuensi lafal normatif dan ketentuan-ketentuan

umum dalam penafsiran eksoterisisme.2 Ayat yang dita’wil menurut

mereka masih dalam batas kewajaran dan sepantasnya: sejauh

representasi tujuan Pewicara atau Sang Pengarang yakni Allah. Dalam

2Muh}ammad bin Ah}mad Jahla>n, Fa‘a>liyah al-Qira>’ah wa Ishka>liyah Tah}di>d al-

Ma‘na fi> al-Nas}s} al-Qur’a>ni (Damaskus: Da>r al-S}afh}a>t, 2008), cet. ke-1, 232

Page 129: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

100

hal ini ketika kaum sufistik melakukan proses oral meditasi membaca al-

Qur’a>n kemudian makna-makna ayat tersebut menyembul keluar, maka

kaum sufi menangkap ide-ide tersebut sebagai isyarat energi sufistik

atas ayat-ayat tersebut dan kemudian merekamnya dalam bentuk catatan

tafsir.3

Al-Ji>la>ni> menawarkan beberapa kode etik penafsiran Isha>ri yang

harus dimiliki seorang mufasir sufi sebagai prasyarat penafsiran agar

mendapatkan pemahaman objektif sesuai dengan standar penafsiran

Isha>ri:

1. Keimanan Yang Lurus (Ima>n S{a>diq).

Setiap praktisi sufi berkewajiban untuk menjaga keimanan yang

benar dan tulus dalam menjalankan ibadah. Syarat ini penting

didahulukan sebab yang utama dan pertama bagi muslim adalah

memiliki keimanan sebagai bukti keberislamannya. Untuk mencapai

keimanan yang sempurna maka harus dicapai dengan tetap

mengamalkan ibadah-ibadah yang diperintahkan Tuhan serta tidak lalai

atau bahkan meninggalkannya. Di sinilah ujian bagi kaum sufistik agar

bisa mengamalkan dan menjaga adab syariah agar bisa membaca dan

menafsirkan al-Qur’a>n sesuai dengan mata batinnya. Karena itu, al-

Ji>la>ni> menjelaskan ada beberapa tingkatan iman. Ia memberikan uraian

derajat iman terdapat beberapa tingkatan: (1) Keyakinan. (2)

Keikhlasan. (3) Menunaikan kewajiban (al-fara>id}). (3) Menyempurnakan

ibadah sunah. (4) Menjaga adab dan akhlak dalam segala aspek ibadah

dan muamalah. Aspek keempat ini penting disebutkan sebagai benteng

pertahanan dan norma-norma moralitas bagi kaum sufistik, sebab

kendatipun sekuat tenaga senantiasa menjaga adab ini, setan dengan

segala cara akan selalu berusaha menggoda dan menembus benteng

pertahanan adab ini. Tak pelak, jika lalai menjaganya, maka setan akan

langsung menggoda tahapan selanjutnya yakni ritual sunah hingga

mampu menembus dan melewati level–level tinggi dan vital yakni

3Gerhard Bowering,The Mystical Vision of Existence in Classical Islam

(Berlin & New York: De Gruyter, 1980), 135.

Page 130: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

101

kewajiban, keikhlasan dan keyakinan, yang merupakan benteng

pertahanan terakhir dan bisa mengakibatkan kehilangan iman bahkan

Islam seseorang.4

Karena itu, merupakan kewajiban bagi kaum sufistik untuk bisa

menjaga adab-adab syariah ini agar bisa mencapai pengetahuan yang

layak diketahui dari Tuhan serta mendapatkan hakikat dari makrifat

akan keberadaan Tuhan Sang Pencipta Alam (al-S{a>ni‘). Hal ini hanya

bisa dilakukan melalui olah pekerjaan hati (‘a’ma>l al-Qulu>b), mengingat

tempat bersemayamnya iman adalah hati. Dengan pemantapan adab ini,

berarti akan menyinari keislaman secara lahir dan praktis juga sebagai

sinaran iman terdalam secara batin.5 Inilah yang kemudian menjadi

syarat mutlak kenapa keimanan yang benar menjadi prasyarat bagi para

mufasir secara umum bahkan tidak hanya kaum sufistik. Hanya saja,

letak distingsi dari keimanan mufasir zahir berbeda dengan keimanan

dalam persepsi mufasir sufistik yang cenderung lebih fokus pada

perangkat batin sebagai “kalbu al-Qur’a>n”.6 Al-Muh}a>sibi> berujar:

“… Dalam keadaan seperti ini, Allah membedakan antara orang

beriman yang jujur (al-S{a>diqi>n) dan para pendusta manakala mereka

membaca al-Qur’a>n atau orang-orang yang mengerti penafsiran al-

Qur’a>n namun tidak mencapai kepada pucak pemahaman dan orang-

orang yang jujur keimanannnya dan mencapai puncak pemahaman.

Sebab minimalitas sifat jujur seorang mu’min setelah pengakuan iman

kepada ayat al-Qur’a>n adalah pemahaman al-Qur’a>n langsung dari

Tuhannya kemudian mengamalkannya”7.

4‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah li> T{a>libi> T{ari>q al-H{aq (Beirut: Da>r al-

Ji>la>ni>, 1999), cet.ke-1, Vol. I, 149-150. 5‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 150. 6 Dalam hal ini, jika melihat kepada syarat penafsiran umum maka disebutkan

syarat keimanan yang benar (sihah al-‘aqi>dah). Hal ini memang perlu disebutkan untuk melandasi ragam penafsiran dari semua bentuk penafsiran secara umum. Bagi kaum sufistik, keimanan yang benar menjadi syarat mutlak adanya penafsiran di mana harus terbebas dari muatan subyektifitas atau muatan kepentingan ideologi yang kerap melanda genre tafsir non sufistik.

7Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n (Beirut: Dar> al-Fikr, 1971), cet.ke-1,

328.

Page 131: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

102

Ini sebabnya iman menjadi hal vital prasyarat penafsiran, sebab

kebanyakan orang lalai dan ceroboh untuk memahami al-Qur’a>n karena

sedikit sekali mengapresiasi dan mengagungkan pemilik dan pengucap

firman al-Qur’a>n, Sang Kalamullah, sebaliknya, yang terjadi justru

disposisi al-Qur’a>n, sebatas bacaan dan pegangan umat Islam.

Kejujuran merupakan watak dari iman, sebab secara etimologi

iman adalah membenarkan dengan hati berikut segenap kandungan ilmu

sekaligus membenarkan keilmuan tersebut. Sementara secara

terminologi syariah, iman adalah pembenaran ajaran. Yakni mengetahui

Allah dan sifat-Nya, sekaligus mengetahui seluruh ketaatan dari yang

bersifat wajib dan mengetahui kesunahan, serta menjauhi dari

ketergelinciran dosa dan maksiat.8 Iman adalah agama syariat dan millah

karena agama (al-di>n) secara bahasa berarti isyarat kepada pemeluknya

untuk mendekat dengan ketaatan beribadah, serta menjauhi perkara yang

tercela dan haram. Inilah sesungguhnya karakter sejati dari iman.

Sementara Islam merupakan bagian jumlah kategori dari iman: setiap

iman pasti Islam tapi tidak setiap Islam adalah iman. Islam berarti

kepasrahan dan kepatuhan kepada Sang Pencipta. Orang beriman pasti

berserah diri dan taat karena semata mendapatkan ridha Tuhannya. Iman

dengan demikian mencakup seluruh aspek keislaman yang berkaitan

dengan ucapan dan perbuatan akan ketaatan ajaran-ajaran di dalamnya.

Sementara Islam lebih ringan dibanding iman, bahkan secara praktis bisa

dikatakan sebagai aktualisasi ucapan dua syahadat beserta kedamaian

hati dan pelaksanaan atas kewajiban shalat lima waktu.9

Iman dalam pandangan al-Ji>la>ni> adalah ucapan dengan lisan,

mengetahui dengan hati, mengamalkan dengan anggota tubuh,

bertambah dengan ketaatan, berkurang dengan kemaksiatan, kuat dan

kokoh dengan keilmuan, lemah dengan kebodohan, serta mendapatkan

taufiq hidayah dari Tuhan.10

Hal ini diperkokoh dalam tafsirnya

sebagaimana dalam (QS. al-Anfal 8:2) bahwa orang yang beriman

dengan keimanan yang sempurna dan sudah bersungguh-sungguh

8‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I ,169. 9‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 169. 10‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 150.

Page 132: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

103

mencapai derajat keyakinan dan kearifan adalah jika disebutkan nama

Tuhannya maka akan bergetar ketakutan dan seakan-akan ambruk

kehilangan kendali hati karena keagungan dan kekuasaan-Nya, dan jika

dibacakan ayat-ayat Tuhan maka makin bertambahlah keimanannya,

kejujurannya, kepasrahaannya, keyakinannya, serta penampakan dalam

hal lahiriah dan ‘irfa>niyah.11

Dalam (QS. al-Taubah 9: 124) disebutkan bahwa iman

merupakan sumber utama bagi kaum sufistik sunni Isha>ri. Al-Ji>la>ni>

menyatakan bahwa orang yang beriman ketika berinteraksi dengan al-

Qur’a>n sembari merenung dan berkontemplasi (tadabbur) ayat-ayat

simbolik (marmuza>tiha>) niscaya akan bertambah keimanan, keyakinan

dan kedamaian hatinya sehingga mereka bersuka cita dan bergembira

dengan turunnya al-Qur’a>n untuk kebaikan hamba-nya. Sementara itu,

mereka yang hatinya sakit (marad} al-qalb), adalah mereka yang buta hati

atau pura-pura buta dari ayat-ayat Tuhan serta tidak mengindahkan

konsekuensi penafsiran-penafsiran Isha>ri dan simbol-simbolnya, niscaya

akan bertambah kejelekannya, kekufurannya dan berpotensi syirik yang

menjijikkan.12

2. Keikhlasan Niat (Ikhla>s} al-Niyat).

Keikhlasan adalah kunci dalam membaca dan menafsirkan bagi

kalangan sufistik, sebab ikhlas merupakan aset dan perangkat batin

untuk menghasilkan penafsiran yang benar-benar keluar dari mata hati

dan berdasarkan nalar ‘irfa>ni. Kalimat ikhlas adalah sesuatu yang begitu

berharga dan bertenaga serta paling utama untuk menolak godaan dan

rayuan setan. Dengannya, seseorang akan mampu menguasai diri untuk

tidak mudah terjerumus pada kehidupan duniawi yang melenakan serta

membuat lupa diri. Setan adalah biang malapetaka segala azab yang

menimpa seorang hamba. Karena itu, ketika seorang hamba meniatkan

kalimat ikhlas ini dalam hati serta melakukan segala konsekuensi yang

datang ke dalam kalimat ikhlas, dengan mengenakan baju ikhlas berupa

11‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni> (Istanbul: Markaz al-Ji>la>ni> li al-

Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2009) cet. ke-1, vol. II, 190. 12‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. II, 306-307.

Page 133: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

104

kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan syariat, sehingga ketika

setan melihatnya berkostum demikian, niscaya setan akan menjauhkan

diri dan tidak berani melangkah kepadanya sehingga hamba akan

selamat dari fitnah-fitnah godaan dan rayuannya sebagaimana seorang

tentara selamat dari sabetan pedang musuh-musuhnya dalam

peperangan.13

Niat yang ikhlas adalah terhindarnya pekerjaan dari sifat takabur

dan popularitas sebab manusia diperintahkan Tuhan di dunia tidak lain

kecuali menyembah Tuhan dalam keadaan yang seikhlas-ikhlasnya

sebagaimana disebut dalam (QS. al-Naba’ 78: 5).14

Hal ini diperkuat

oleh sebuah H{adi>th “ikhlas adalah rahasia dari rahasia-rahasia yang ada

padaku, aku titipkan kepada hati hamba yang aku cintai”. Karena itu,

keikhlasan merupakan kunci bagi kaum sufistik untuk mendapatkan

pencerahan batin dari Tuhan sebab Tuhan telah menjamin anugerah

keikhlasan bagi hamba-hamba yang dicintai-Nya.15

Bagaimanapun, hal

penting yang harus didapatkan oleh manusia adalah keikhlasan niat,

sebab hal ini merupakan titik diferensial antara manusia yang berakal

dan binatang yang dalam tindak perbuatannya tidak menggunakan naluri

akal dan keihklasan niat.16

Ikhlas adalah tanpa pamrih serta tidak mengharap apapun dari

sesuatu apapun dan semata-mata karena Tuhan. Karena itu, kaum

sufistik harus bisa menjaga diri dari “sesuatu” selain anugerah karunia

Tuhan semata. Sesuatu itu berbentuk syahwat hiasan dunia, harta benda,

pujian dan sanjungan serta usaha keras untuk mengumpulkan kekayaan

dunia atau mendapatkan harapan hadiah-hadiah dari sesama karena telah

berbuat kebaikan. Harta dunia hakikatnya adalah harta setan dan

kekuasaanya yang digunakan sebagai alat hegemoni menguasai manusia,

sehingga jika hamba terjerat dengan tipu daya setan ini serta

menjauhkan diri dari al-Qur’a>n, maka akan menjadi teman bagi setan

13‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I ,249 14

‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Mukhtas}ar fi> ‘Ulu>m al-Di>n (Istanbul: Markaz al-

Ji>la>ni> li al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2010) cet. ke-1, 258. 15‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Mukhtas}ar fi> ‘Ulu>m al-Di>n , 258. 16‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Mukhtas}ar fi> ‘Ulu>m al-Di>n , 258.

Page 134: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

105

dalam hati, ucapan dan tindakan.17

Dalam (QS. al-Zukhruf 43: 36)

ditegaskan bahwa barang siapa yang hidup menghindar dan menjauhkan

diri dari sebutan al-Rah}man (dhikr al-Rah}ma>n), yaitu al-Qur’a>n dari

kehidupannya sebagai petunjuk jalan keimanan dan ‘irfa>n sufistik,

kemudian serta-merta dirinya membinasakan dan menyia-nyiakan

dengan memilih hidup bergelimangan harta serta kelezatan dunia dan

kehausan syahwat dunia yang merusak. Maka setan akan menguasai

dirinya dan menyesatkannya, selalu menggoda dan merayu dalam setiap

kehidupan ibadahnya. Sehingga hamba itu lalai dan menjadi hamba

setan selamanya dengan melakukan perbuatan maksiat dan dosa-dosa.18

Karena itu, agar terhindar dari fitnah setan dan godaannya, ikhlas

merupakan kunci agar hati bisa bersih serta mendekatkan diri kepada-

Nya melalui bacaan al-Qur’a>n. Dan proses inilah yang dibutuhkan oleh

kaum sufistik agar terbuka mata hatinya ketika menafsirkan al-Qur’a>n.

Bagaimana tidak, sebab ikhlas adalah kunci masuk surga sebagaimana

sebuah H{adi>th yang diriwayatkan Bukhari bahwa barang siapa

mengucapkan kalimat la> ilaha illa Allah dengan penuh keihklasan

niscaya akan masuk surga.19

Ikhlas menjadi elan vital dalam menuntut ilmu agar ilmu yang

dihasilkan benar-benar merupakan cahaya yang didapat dari Tuhan.

Karena itu, sifat ini menjadi adab bagi para penuntut ilmu agar terbebas

(takhallas})—sebagai bahasa lain dari “ikhlas”, dari jerat-jerat

kemunafikan hati. Dalam menuntut ilmu harus berpegang teguh bahwa

pencarian semata-mata karena mendapatkan ridha Ilahi, bukan karena

makhluk atau karena dunia. Tanda-tanda dari seseorang menuntut ilmu

yang mengharap ridha Tuhan-nya adalah sifat takut berdebar-debar dari

Sang Pencipta yang mengawasinya setiap saat ketika melaksanakan

perintah kewajiban dan menjauhi larangan agama. Dirinya merasa selalu

diawasai dan diintai oleh Tuhannya sehingga menjadikan hina diri di

hadapan Tuhan serta rendah hati di hadapan makhluk tanpa merasa

butuh bergantung kepada makhluk serta mengharap-harap dari tangan

17‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , , 250. 18‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, vol. V, 366. 19‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 249.

Page 135: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

106

makhluk. Jika mempunyai kekayaan maka akan bersedekah karena

Tuhan, bukan niat pamer kekayaan serta gemar menyantuni fakir miskin

dan mendatangi orang yang sakit. Sebab sedekah dengan mengharapkan

pamrih makhluk akan menghanguskan pahala karena pemberian

demikian akan tertolak: menandakan ketidak-iklhasan dan ketidak-

bersyukuran kepada Tuhan.20

Nabi bersabda: “Iman terdiri dari dua pangkal bagian; separuh

adalah kesabaran dan separuh adalah rasa syukur”.21

Wajar saja jika

ikhlas merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari keimanan

sebab menjadi jalan menuju keimanan dan kebenaran. Karena itu,

keihlasan niat menjadi piranti dan syarat bagi kaum sufistik dalam

mendapatkan pemahaman dan menafsirkan al-Qur’a>n.

3. Mencintai al-Qur’a>n (H{ubb al-Qur’a>n ).

Tidak kenal maka tidak sayang. Adagium bahasa Indonesia ini

sangat tepat merefleksikan kewajiban kecintaan kepada al-Qur’a>n bagi

kaum muslimin dan kaum sufistik khususnya. Mencintai al-Qur’a>n

merupakan syarat mutlak bagi kaum muslimin. Sebab al-Qur’a>n

merupakan kitab suci pegangan sekaligus pedoman utama bagi kaum

muslimin. Barang siapa mencintai sesuatu maka akan banyak

menyebutnya, demikian H{adi>th Nabi populer yang mengisyaratkan

kecintaan kepada sesuatu maka akan banyak menyebutnya. Kaum

sufistik setiap saat selalu melantunkan bacaan al-Qur’a>n karena

kerinduan mereka kepada sang pemilik al-Qur’a>n itu. Mencintai al-

Qur’a>n sebanding lurus dengan mencintai pemilik sejati al-Qur’a>n itu,

Tuhan Sang Mutakallim.

Bagi Al-Ji>la>ni>, al-Qur’a>n merupakan kalamullah sebagai firman

kalam Tuhan, kitabullah sebagai kitab milik Tuhan, khit}a>bullah sebagai

beban kewajiban kepada makhluk, sekaligus wahyu Tuhan yang

diturunkan melalui perantara malaikat Jibril kepada Muhammad,22

20

‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Fath} al-Rabbani> (Ahram Cairo: Dar al-Rayan li> al-

Tura>th, tt), 156. 21‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Fath} al-Rabbani, 156. 22‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 158.

Page 136: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

107

sebagaimana disebut dalam (QS. al-Shu‘ara>’ 26: 193-195). Dan tugas

Nabi adalah menyampaikan kepada umatnya sebagai amanat risalah

perintah Tuhannya sebagaimana disebut (QS. al-Ma>’idah 5: 67). Dengan

demikian, al-Qur’a>n bukanlah makhluk dan selamanya berbentuk

kalamullah baik ketika dibaca, ditulis, dilantunkan bahkan

bagaimanapun cara dibaca, cara dihapal dan cara ditulisnya, al-Qur’a>n

tetaplah merupakan kalamullah yang merupakan salah satu sifat dari

zatnya sendiri tanpa pernah menemui sifat diperbaharui, diganti,

dirubah, dikurangi, ditambahi, bahkan karangan atau buatan

Muhammad. al-Qur’a>n sangat jelas merupakan kitab yang diturunkan

Tuhan dan kepada-Nya hukum-hukum agama dikembalikan.23

Begitu agungnya posisi al-Qur’a>n sebagai kalamullah sampai-

sampai sahabat Usman bin Affan mengilustrasikan “keutamaan al-

Qur’a>n dibanding ucapan-ucapan makhluk lainnya sama halnya dengan

keutamaan Tuhan dibanding makhluk-makhluknya”.24

Karena itu bagi

kaum sufistik, asas pondasi tunggal dalam membaca dan menafsirkan al-

Qur’a>n adalah pengagungan kepada al-Qur’a>n (ta‘z}i>m) sebagai hal yang

pertama dan yang paling utama. Dalam pandangan al-Muh}a>sibi,>

kelalaian dan kecerobohan manusia dalam mendapatkan pemahaman

yang benar, asal muasalnya adalah minimnya pengagungan kepada Sang

Pemilik Kalamullah.25

Aktualisasi pengagungan dan penghormatan ini

harus diterjemahkan dengan cara menyandarkan pada pembacaan dan

pemahaman penafsiran yang sempurna atas al-Qur’a>n. Yakni dengan

memenuhi dan melaksanakan syarat dan adabnya. Di antaranya adalah

23‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 159. Akidah al-Ji>la>ni> dalam

menilai al-Qur’a>n sebagai kalamullah baik suara maupun tulisannya cenderung

mengikuti imam mazhabnya, H{anbali. Dalam hal ini al-Ji>la>ni> berbeda dengan

Ash‘ariyah yang membagi al-Qur’a>n menjadi dua elemen. (1) Berdiri pada zatnya

(qa>’im bi nafsih) sebagai kalamullah yang qadi>m dan (2) berdiri pada lafal (qa>’im bi lafzihi) sebagai sesuatu yang baru (muh}dath), bahkan al-Ji>la>ni> secara terang-terangan

menganggap Ash’ariyyah melakukan bid’ah sesat dan menyesatkan dalam diskurus al-

Qur’a>n. Lihat: ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I, 164. 24‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 159. 25Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 328.

Page 137: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

108

mencintai al-Qur’a>n, melantunkannya serta mengenal visi dan misi serta

cita-cita akbar yang didambakan al-Qur’a>n dalam pandangan Tuhan.26

Al-Muh}a>sibi> berujar :

“Ketika muncul dalam dadamu pengagungan dan penghormatan

kepada Sang Mutakallim, Sang Wicara al-Qur’a>n, niscaya tidak akan

ada dalam dirimu sesuatu yang lebih tinggi, lebih mulia, lebih

bermanfaat, lebih lezat, lebih manis, dibanding memperdengarkan

kalamullah ke dalam dirimu sembari memahami dan menghayati

firman-firmannya dengan penuh rasa agung, rasa cinta dan

penghormatan diri. Sebab manakala Tuhan yang maha tinggi itu

adalah Sang Wicara sejati, maka bisa dipastikan bahwa standar

kecintaan ucapan adalah tergantung pada siapa yang

mengucapkannya”.27

Yang perlu ditegaskan, perkataan Al-Muh}a>sibi> ini menjadi standar

umum bagi kaum sufistik As’ariyah sunni pasca al-Muh}a>sibi>.28

Konsepsi

ini menjadi landasan sunni yang dimulai ketika al-Mans}ur bin ‘Ama>r

menyatakan tidak ada perbedaan antara al-Qur’a>n dan Sang Wicara al-

Qur’a>n. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Ji>la>ni> bahwa tila>wah atau

membaca lantunan al-Qur’a>n merupakan al-Qur’a>n itu sendiri. Dengan

kata lain, membaca berarti sama halnya dengan apa yang dibaca dan

yang dimaksud “apa yang dibaca (al-matluw)” tidak lain adalah al-

Qur’a>n itu sendiri. Al-Ji>la>ni> mendukung pendapat ini dengan

menyandarkan kepada hukum Fikih dalam dua hal. Pertama, orang yang

bersumpah untuk puasa bicara ketika membaca al-Qur’a>n maka

sumpahnya tidak dilanggar. Kedua, shalat mewajibkan membaca surat

al-Fatihah dan surat-surat sunah lainnya sementara melarang untuk

berbicara kepada manusia selama shalat, logikanya jika bacaan al-

26Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, Dira>sahal-Maja>l al-

Ma‘rifi al-Us}u>li> al-Awwal li> tafsi>r al-S}ufi>, (Yordania: ‘A<<lam al-Kutub al-Hadi>th,

2008), cet. ke-1, 339. 27Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 302. 28Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 339.

Page 138: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

109

Qur’a>n merupakan bahasa manusia maka praktis akan membatalkan

shalat dan melakukan perbuatan dosa. Kedua postulat ini di hadapan al-

Ji>la>ni> sudah cukup menunjukkan bahwa “bacaan al-Qur’a>n” merupakan

bagian dari kalamullah sebanding lurus dengan al-Qur’a>n itu sendiri.29

Kecintaan kepada al-Qur’a>n dalam pandangan kaum sufistik

semata-mata karena bersumber pada kecintaan yang satu dan yang

pertama kali yakni kecintaan kepada Tuhan secara totalitas. Kecintaan

kepada Tuhan merupakan sumber utama untuk bisa mencintai seluruh

ciptaan-Nya termasuk al-Qur’a>n, makhluk dan seluruh isi alam

semesta.30

Al-Muh}a>sibi> mengajukan dalil aqli dalam konsepsi kecintaan

ini –di mana pada masanya hampir tidak ada kaum sufistik Sunni ‘Amali

yang berani kecuali menggunakan dalil naql– dan memberikan analogi

ketika manusia begitu menyayangi dan mencintai ucapan yang keluar

dari sanak saudara, para ulama, bahkan bahasa yang keluar dari mulut

kedua orang tua begitu manis menyejukkan dibanding ucapan orang lain.

Ini menjadi indikasi bahwa rasa mahabbah terhadap “apa yang

diucapkan” mereka berasal dari kecintaan mendalam dan kasih sayang

murni terhadap “siapa yang mengucapkannya”.31

Lebih jauh Al-Muh}a>sibi >memberikan standar dan parameter

seseorang tentang kecintaan kepada Tuhannya. Ia mengilustrasikan,

begitu mudah melihat dan mengetahui kecintaan seseorang kepada

Tuhan hanya dengan cara menilai pribadi orang tersebut sejauh mana

intensitas dan tinggi frekuensi dalam membaca al-Qur’a>n. Ia

menyandarkan kepada H{adi>th ‘Abdullah ibn ‘Umar “barang siapa ingin

mengetahui maka lihatlah apakah dia mencintai al-Qur’a>n”.32

29‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 162. 30

Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 339 31Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 303. 32Lebih jelas mengenai beberapa H{adi>th yang mendukung ini, lihat: Al-

Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 303-304.

Page 139: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

110

4. Membaca al-Qur’a>n sembari berlindung kepada Tuhan dari godaan

Setan (Tila>wah al-Qur’a>n wa ‘isti’a>dhah billah).

Sebagaian kalangan sufistik menyatakan bahwa kalam dalam al-

Qur’a>n terdapat dua kategori. Pertama, menggunakan riwayat.

Karenanya tidak dapat dianggap kecuali sebagai bentuk kategori

transmisional (naql). Kedua, menggunakan pemahaman atau akal.

Karenanya tidak dapat terjadi terkecuali melalui lisan yang hak dan

benar demi tujuan menampakkan hikmah berupa rahasia dan makna-

makna yang samar pada lisan hamba-hamba pilihan. Singkatnya, makna

zahir adalah tila>wah atau pemahaman Arabisme sementara batin adalah

apa sesungguhnya yang dikehendaki Tuhan dibalik zahir itu dalam

kalam dan khita>bnya.33

Louis Massignon menilai bahwa praktek-praktek

adab sufistik seperti konstansi dan frekuensi tila>wah al-Qur’a>n,

meditasi, praktek ibadah, sama‘ dan dhikr merupakan sumber mistisme

Islam sekaligus pondasi sufistik dalam penafsiran, sehingga mereka

mampu mendeklamasikan al-Qur’a>n dengan bentuk-bentuk prosa atau

beberapa versi ayat al-Qur’a>n yang berkaitan dengan tema pokok

meditasi sufistik.34

Membaca lantunan al-Qur’a>n merupakan syarat bagi kaum

sufistik untuk bisa memahami dan menyelami setiap kandungan

penafsiran al-Qur’a>n dengan seksama. Hal ini merupakan rangkain

kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari pra-syarat sebelumnya.

Kecintaan kepada al-Qur’a>n, bahkan menjadi tangga yang dilewati

setelahnya. Karena itulah manifestasi dan aktualisasi dari kecintaan

al-Qur’a>n harus dinyatakan dengan senyata-nyatanya melalui syarat

mutlak intensitas membaca al-Qur’a>n.35

Ritual ini merupakan tradisi

yang dijalankan oleh Nabi dan para sahabatnya serta kemudian menjadi

semacam ketergantungan ritual yang dilakukan oleh generasi

setelahnnya, khususnya kaum sufistik. Karena itulah, Al-Muh}a>sibi>

33Abu> Ish}a>q al-Sha>t}ibi, al-Muwa>faqa>t (Cairo: Maktabah al-Waqfiyyah, tt),

vol. III, 326.

34Louis Massignon, Essay on the Origins of the Technical Language of Islamic Mysticism (Indiana: University of Notre Dame Press, 1997), 73.

35Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 339.

Page 140: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

111

sebagai ikon kaum sufistik Sunni-‘Amali memberikan pengalaman yang

indah bahwa membaca lantunan al-Qur’a>n dan memahami makna-

maknanya merupakan hal yang paling nikmat dibanding apapun, serta

sangat bermanfaat untuk siraman ruhani dan merupakan nutrisi spiritual

kaum sufistik yang tidak akan pernah membosankan untuk selalu dibaca.

Ia tak akan merasakan kepuasan batin jika belum mendapatkan energi

makna dan pancaran ruhani yang mengalir ketika melakukan bacaan

al-Qur’a>n sebagai mediasi bercakap-cakap dan berdialog dengan

Tuhan.36

Dalam konteks ini, Sahl al-Tustari adalah tokoh yang harus

dimunculkan. al-Tustari adalah seorang tokoh sufi Sunni‘amali yang

praktis karakter tafsirnya merupakan tafsir berbau Isha>ri, yang

menggabungkan makna eksoteris dan esoteris hermeneutika sufisme.37

Dalam pembacaan Gerhard Bowering, mekanisme konsep metodologi

hermeneutik Sahl al-Tustari adalah dengan menggabungkan makna

eksoteris dan esoteris hermeneutika sufisme.38

Tapi di sisi lain,

Bowering nampak mengabaikan sisi semantik dan kebahasaan dalam

konsep tafsir al-Tustari. Ia cenderung lebih sibuk menekankan mediasi

tila>wah untuk menangkap inspirasi mistisisme (mystical ideas) atas

makna-makna esoteritas an sich. Bowering tidak mampu

menginventarisir dan menemukan metodologi sufistik al-Tustari secara

teoritis, sebagai perangkat-perangkat kasar yang diperbantukan dalam

hermeneutik sufistik. Atas dasar inilah, kemudian penulis memasukkan

metodologi al-Tustari berupa mediasi tila>wah, yang berhasil diperas oleh

Bowering, sebagai remahan metodologi partikular yang masih mentah.

Karena itu perlu dimasukan ke sini sebagai bagian kelengkapan

prasyarat penafsiran sufistik Isha>ri.39

Ibn S{ala>h sendiri mengakui bahwa pembacaan atas al-Qur’a>n

yang dilakukan oleh kaum sufi adalah saham terbesar dalam

36

Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 304. 37Gerhard Bowering,The Mystical Vision of Existence in Classical Islam,139. 38Gerhard Bowering,The Mystical Vision of Existence in Classical Islam,139. 39Gerhard Bowering,The Mystical Vision of Existence in Classical Islam,137.

Page 141: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

112

mendapatkan pemahaman Isha>ri.40 Karena itulah, kaum sufi Sunni

‘Amali acapkali menyatakan bahwa ijtihad penafsirannya bukan

dianggap sebagai tafsir atau syarah al-Qur’a>n. Melainkan makna-makna,

isyarat, atau kehalusan istilah (ma‘a>ni, isha>ra>t, lat}a>’if),41 dan lebih lazim

disebut sebagai Tafsir Sufi Isha>ri, yang dalam perkembangannya lebih

poluler sebagai Tafsir Sunni.42

Esensi dari membaca al-Qur’a>n adalah

mendapatkan pemahaman, namun demikian hal ini tidak harus ditempuh

dengan cara-cara umum seperti waktu belajar yang panjang bertahun-

tahun atau luasnya cakrwala referensi buku tafsir yang dibaca. Syarat

pemahaman menurut kaum sufistik sangat simpel namun tidak semua

orang mengalaminya, yakni niat yang penuh keikhlasan dan tujuan

membaca dengan hati yang benar-benar suci.43

Inilah kunci mendapatkan pemahaman sufistik ketika

bermeditasi melalui bacaan al-Qur’a>n sebab berapa banyak para penafsir

yang unggul dalam disiplin keilmuan dan mumpuni dalam pembacaan

ternyata tidak mendapatkan pemahaman sufistik yang utuh dan kalah

oleh sekian pembaca yang ummi atau bodoh namun mendapatkan

hidayah pemahaman dengan bermodalkan keikhlasan dan hati yang suci

dari noda-noda kesombongan, takabur dan lain-lain. Karena itu, perlu

dijelaskan di sini bahwa maksud dari mencintai al-Qur’a>n bukan berarti

mencintai lafal-lafal dan kata-kata al-Qur’a>n dan dengan serta merta

akan bisa memahami dan mengetahui bahasa Arab.44

Yang menjadi entry point adalah pemahaman akan didapat bukan

semata-mata karena bacaan al-Qur’a>n merupakan kalamullah atau

bahkan sama dengan al-Qur’a>n itu sendiri.45

Dan karena itu

mengagungkan bacaan sama seperti mengagungkan Sang Pemilik

bacaan tersebut. Tapi justru karena proses penghormatan dan

40Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 242. 41Al-Suyu>ti, al-Itqa>n fi ‘ulu>m al-Qur’a>n (Cairo: Mat}ba’ah al-Azhariyah,

1925), cet. ke-2, 488. 42Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 242. 43

Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 340. 44Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 340. 45‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I , 162. Lihat juga Mukhta>r Al-

Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 340.

Page 142: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

113

pengagungan dalam hati inilah yang menjadi sebab munculnya makna

dan pemahaman yang langsung dianugerahkan kepada kaum sufistik

disela-sela membaca al-Qur’a>n secara tiba-tiba. Dan bukan ketika

memahami lafal itu sendiri dengan pemaksaan.46

Sebab itulah, siapapun

akan mendapatkan jaminan pemahaman karena adanya satu keyakinan

bahwa bacaan al-Qur’a>n bukan merupakan bacaan manusia melainkan

bacaan Tuhan yang diperdengarkan melalui suara manusia, sekalipun

orang tersebut “ummi” dan tidak memahami lafal-lafal al-Qur’a>n atau

barangkali tidak mengerti bahasa Arab.47

Menarik dicermati, Al-Muh}a>sibi> dalam hal ini membangun

kembali argumentasi akal untuk melawan kaum Mu’tazilah yang

mengagung-agungkan nalar. Bahwa sudah menjadi sunatullah dan fitrah

manusia setiap ucapan yang dibukukan, yang datang dari para Nabi, para

filosof, para dai panutan atau para pujangga, maka hati manusia akan

condong dan tertarik untuk membaca dan mengulang-ulang karyanya

karena kecintaan secara alami yang datang dari sanubari. Terlebih

terhadap al-Qur’a>n yang datang dari Tuhan, maka tingkat keinginan

untuk mencintai dan membacanya terus-menerus sekalipun andaikata

bukan dengan menggunakan bahasa lisan manusia yang tidak mampu

dipahami maknanya.48

Hal ini diibaratkan ketika kita mendengarkan

gubahan lagu asing yang bisa menghayati dan menikmati tanpa paham

apa yang dimaksudkan.

Singkatnya, disinilah titik kesamaan antara al-Ji>la>ni> dan

al-Muh}a>sibi> dalam memahami sudut pandang tilawah al-Qur’a>n yang

tidak hanya bermuatan teologis melainkan juga menjadi modal agar bisa

memahami model penafsiran sufistik.

***

Adab lain yang harus diperhatikan sebagai syarat yang dipegang

kaum sufistik adalah berlindung kepada Tuhan saat akan membaca al-

Qur’a>n dengan menyebut nama-Nya. Al-Ji>la>ni> menyandarkan syarat ini

46Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 340. 47Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 308. 48Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 307.

Page 143: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

114

kepada firman Tuhan (QS. al-Nahl 16: 98). Artinya, “jika kamu

membaca al-Qur’a>n maka berlindunglah kepada Tuhan dari godaan setan

yang terkutuk”. Menurut penafsiran Ibn ‘Abbas, sebagaimana dinukil

dalam kitabnya, al-Ghunyah, jika kamu hendak membaca al-Qur’a>n,

maka katakanlah “aku berlindung kepada Tuhan dari godaan setan yang

terkutuk”, yang bermaksud: Aku meminta penjagaan dari setan yang

terkutuk. Konon dengan bacaan isti‘a>dhah ini, tidak ada yang lebih

dimurkai setan kecuali seseorang yang membacakannya saat mengawali

bacan al-Qur’a>n.49

Setan adalah makhluk yang jauh dari Tuhan, jauh dari kebaikan,

jauh dari surga dan dekat dengan neraka. Karena itu, Tuhan dan Nabi

memerintahkan kepada umatnya agar selalu berjaga-jaga dari setan yang

terkutuk dan dijauhkan dari rahmat serta terhindari dari api neraka.

Dengan bacaan ini, seolah-olah Tuhan berkata “wahai hambaku, setan

itu jauh dariku sementara engkau hambaku dekat denganku, maka

perbaguslah etika adabmu dalam menjaga sikapmu sehingga tidak ada

jalan bagi setan untuk menggodamu dari berbagai jalan”. Menjaga sikap

dalam hal ini adalah dengan memperbaiki dan melakukan perintah-

perintah Tuhan dan menyudahi larangan-Nya serta ridha dengan segala

yang ditakdirkan Tuhan. Baik dalam jiwa, harta benda, keluarga serta

segala hal yang berkaitan dengan kemakhlukan. Dengan menjaga

konsistensi sikap ini, niscaya akan terjaga dari fitnah dan godaan

setan.50

Begitu juga dianjurkan untuk banyak membaca basmalah sebab

setan akan menjadi kerdil oleh bacaan sakti ini.51

Basmalah ini,

sebagaimana dikutip kembali oleh al-Ji>la>ni>, tidak hanya berlaku dalam

membaca al-Qur’a>n, namun dalam segala hal-ihwal yang mengandung

perbuatan baik agar nanti mendapatkan keberkahan dalam setiap

pekerjaan amal shaleh itu. Komparasi kedua bacaan ini adalah sebuah

keindahan bagi kalangan kaum sufistik. Nabi bersabda “tutuplah

49Al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I, 244. 50 Al-Ji>la>ni, al-Ghunyah, vol. I, 246. 51 Al-Ji>la>ni, al-Ghunyah, vol. I, 249.

Page 144: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

115

gerbang maksiat dengan bacaan istia>dhah dan bukalah gerbang ketaatan

dengan bacaan basmalah”.52

Secara lebih khusus, al-Ji>la>ni> menyoroti dalam tafsirnya

mengenai istia>dhah ini yang disebutkan secara jelas dalam al-Qur’a>n

pada (QS. al-Nahl 16: 98). Salah satu bagian dari amal shaleh yang

membuahkan kehidupan baik, yang mencerahkan dan memberikan nilai

makna adalah membaca al-Qur’a>n. Tentu jika disesuaikan dengan

konteks pembacaan ini, maka bacaan yang dimaksud adalah bacaan yang

produktif, yakni bacaan yang melahap pengetahuan makrifat dan

hakikat, yang mampu menyingkap tira-tirai ilahi (mukasha>fah), bahkan

menyaksikan keharibaan Tuhan (musha>hadah), sehingga mencapai

martabat ‘irfa>n dan tauhid.53

Karena itu, untuk mencapai ke arah sana,

al-Ji>la>ni> menganjurkan agar seorang Mufasir yang hendak mencari dan

membuka tirai-tirai yang tersembunyi rapi di balik ayat-ayat simbolik

yang terpendam atau isyarat-isyarat Tuhan yang susah ditembus, maka

kunci pertama kali adalah ucapan isti‘a>dhah sebagai benteng penjagaan

sembari memohon perlindungan dan beranjak diri kepada Tuhan menuju

keberadaan sifat-Nya Yang Maha Agung, Yang Maha Menjaga hamba-

hambanya dari segala perbuatan maksiat dan dosa. Sehingga, dengan

demikian, akan terbebas dari segala bisik rayuan dan godaan setan yang

terlaknat yang terlempar dari rahmat Tuhan dengan keburukan dan

kejelekan, sang penguasa kejahatan yang menguasai alam hawa nafsu

dan alam syahwat manusia.54

Setan begitu takut dengan sorotan cahaya

makrifat yang keluar dari hati kaum makrifat, karena itu jika belum

mencapai derajat ini, maka wajib bagi kita untuk membaca isti‘a>dhah ini

sebagai benteng pertahanan diri orang-orang bertakwa (al-muttaqi>n)

hingga bisa mencapai pada puncak derajat orang-orang yang makrifat

(a>rifi>n).55

Sinaran hati yang sudah terjaga akan meruntuhkan kekuatan

dan tipu daya setan sehingga kita bisa menembus kedalaman makna

penafsiran al-Qur’a>n yang Tuhan hidangkan melalui ayat-ayat simbolik.

52

Al-Ji>la>ni, al-Ghunyah, vol. I, 248. 53‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, vol. III, 82. 54‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, vol. III, 83. 55 Al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I, 248.

Page 145: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

116

Dalam pandangan Al-Ji>la>ni>, ucapan istia>dhah mempunyai fungsi

dan nilai vital dalam agama. Pertama, menetapkan dan melanggengkan

keagamaan. Kedua, selamat dari kejelekan yang sia-sia dan tak

bermakna. Ketiga, masuk dalam benteng pertahanan yang kokoh dan

menuju kepangkatan derajat yang dipuji Tuhan. Keempat, sampai pada

kedudukan bersama para Nabi, siddiqi>n, shuhada>’a dan s}a>lih}i>n. Kelima,

memperoleh pertolongan Tuhan.56

Al-Ji>la>ni> menjelaskan maksud yang

kelima bahwa ketika dibacakan istia>dhah maka bagian kanan akan

dianugerahi hidayah; bagian kiri akan diberikan kesungguhan; bagian

belakang berupa penjagaan (‘is}mah}); bagian depan diberi pertolongan

Tuhan dari Setan sehingga dalam posisi ini tidak akan takut oleh bahaya

bisikan rayu dan godaan setan.

5. Sentralitas Global dan Organisir Visi Makna (al-Tarki>z al-Kulli wa

Jam‘ al-Hamm).

Syarat khusus ini berangkat dari pemahaman (QS. Qaf 50:37),

yang artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang

menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”.57

Ayat ini

mengandung pengertian mendalam dan menjadi landasan kaum Sufi

dalam menjadikan al-Qur’a>n sebagai titik tolak sebuah bacaan yang

mempunyai visi dan misi yang terpusatkan kepada idealisme makna

universal al-Qur’a>n. Sentralitas ini akan tercapai dengan menghilangkan

segala kesadaran diri yang berada di luar bentuk kesadaran apapun yang

bersemayam dalam akal, kemudian mentransformasikan akal ini menuju

akal yang dipersiapkan untuk menerima keharibaan Tuhan.58

Dengan menghilangkan kesadaran menuju alam sadar tertinggi

berarti telah mengosongkan seluruh aktivitas anggota tubuh di alam

material (al‘a>lam al-kha>rij) menuju alam transendental dan alam

maknawi (al-a>lam al-lahui wal ma‘a>ni). Akal dalam keadaan seperti ini

sudah menutup akses dari benak pikiran dan khayalan dan serta-merta

56 Al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, vol. I, 247. 57

إن فى ذلك(اآلية)لذكرى لمن كان له قلب او القى السمع وهو شهيد 58Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 342.

Page 146: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

117

terkumpulah seluruh kesadaran akal dan kehadiran hati sehingga hati

menjadi suci dan kuat serta sangat siap mencari dan mendapatkan

pemahaman yang yakin dan objektif. Pengaruhnya akan menjadikan suci

hati dan kuat pikiran ketika berzikir membaca al-Qur’a>n.59

Dalam hal

ini, kaum sufistik mempunyai tujuan yang sama secara prinsipil

sekalipun dalam ungkapan cenderung berbeda. Karena itu, tidak ada

perbedaan esensial melainkan perbedaan istilah permukaan. Bahkan

saling melengkapi satu dengan yang lain.

Sekali lagi, kunci pada syarat terakhir ini berdasarkan landasan

(QS. Qaf 50:37). Ayat ini secara eksplisit menjelaskan akan kunci

keterbukaan al-Qur’a>n sebagai gerbang zikir bagi mereka yang

mempunyai sanubari atau berusaha membaca dan mendengar alam

dalam keadaan terjaga. Dalam hal ini ada beberapa penafsiran kaum

sufistik mengenai ayat ini. Al-Ji>la>ni>, memberikan penafsiran bahwa

al-Qur’a>n sebagai kitab yang diturunkan kepada Muhammad adalah

sebagai zikir. Ia memberikan perluasan makna sebagai ajaran (‘iz}ah),

pengingat (tadhki>r), tauladan (‘ibrah) dan pengingat (tanbi>h) ketika

seseorang berada dalam dua kondisi. Pertama, kondisi di mana seseorang

memiliki hati yang cerdas, terbebas dari segala pakewuh hati dan

suasana suram yang selalu menyelimutinya, menuju derajat Yang Hak

yang mendapatkan nu>r tajalli yang sempurna dan agung. Kedua, kondisi

di mana seseorang mempunyai visi tujuan yang jujur penuh keikhlasan

dalam memperdengarkan atau membaca al-Qur’a>n sehingga jauh dari

sifat tercela seperti sombong dan membanggakan diri. Telinganya benar-

benar digunakan untuk mendengarkan kalimat yang hak yang datang

dari al-Qur’a>n dan hatinya benar-benar menjadi saksi akan keterjagaan

dan kehadiran sanubari, pengerahan segenap cita-cita (fa>rig al-Himmah),

cerdas-berakal serta lurus dan murni dalam visi dan misi ataupun

tujuan.60

59

Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi>, 342. Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 319.

60‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsir al-Ji>la>ni>, vol. VI, 405-406.

Page 147: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

118

Dan penjelasan ini didukung oleh (QS. al-A‘raf 7: 203-204).

Dalam hal ini al-Ji>la>ni> memaparkan dengan indah:

“Inilah al-Qur’a>n berserta segenap isinya, yang di dalamnya terdiri dari

simbol-simbol dan isyarat-isyarat, yang merupakan petunjuk

penglihatan batin (bas}a>ir) bagi ahli mata batin yang sudah tersingkap

hatinya dengan segala amanat titipan suci yang yang diberikan Tuhan

kepada hamba yang bersanubari. Manakala disingkapkan amanat

(makna-makna) titipan itu, niscaya kamu sekalian akan mangetahui

bahwa itu semua merupakan anugerah dari Tuhanmu sekaligus

petunjuk yang mengantarkan kamu pada karakter kuat karena-Nya,

yaitu tauhid dan ‘irfa>ni serta rahmat yang diturunkan Tuhanmu yang

akan membangunkanmu dari tidur kealfaan dan kelupaan. Semua itu

untuk kaum yang beriman, yakni kaum yang benar-benar mencapai

martabat yakin ilmi sampai kepada yakin aini dan yakin hak. […]

Setelah kalian mengetahui karakteristik al-Qur’a>n yang kalian semua

dengar dan ketika al-Qur’a>n itu dibacakan di sampingmu atau kamu

sekalian membacanya, maka hendaklah kamu benar-benar

mendengarkannya (fastami’u> lahu) dari lubuk hati terdalam: resapilah

makna-makanya dengan segala kekuatan yang kamu miliki serta

berdiamlah dan menjauhlah dari segala kekuatan yang mendorong

kamu ke sana dengan tidak berpaling darinya sama sekali agar kalian

semua menjadi hamba-hamba yang dikasihani, yang tersingkap mata

hatinya dan benar-benar mendapatkan secara nyata apa-apa yang

Tuhan titipkan ke dalam hatimu dengan sebab-sebab yang telah ada”.61

Inilah rahasia al-Qur’a>n yang hendak diutarakan oleh al-Ji>la>ni>

kepada umat Islam agar al-Qur’a>n benar-benar menjadi petunjuk, dengan

tidak hanya sebagai bacaan melainkan juga harus dipahami sebagai

sebuah hidayah menuju tahap-tahap keyakinan, mulai dari keyakinan

pengetahuan, keyakinan riil dan keyakinan kebenaran sebagai keyakinan

tertinggi. Di samping itu, yang paling utama adalah aksi pengalaman

setelah mendapatkan pengatahuan itu agar benar-benar menjadi orang

yang bahagia. Sebagaimana ia singgung dalam (QS. al-Zumar 39:18).

61‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. II, 184-185.

Page 148: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

119

Bahwa mereka yang mendengarkan ayat-ayat Tuhan serta tidak merasa

ragu sama sekali atasnya, bahkan kemudian diikuti oleh kebajikan

dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya

sesuai yang mereka dengar dan mereka dapatkan dari kalimat hak itu,

yakni al-Qur’a>n, adalah mereka yang berhak mendapatkan hidayah serta

termasuk dalam golongan ulul al-ba>b; para kaum sufi yang cendikia.62

Senada dengan al-Muh}a>sibi>, ia menyaratkan agar bisa

mendapatkan penafsiran al-Qur’a>n yang obyektif, yang dalam al-Qur’a>n

termasuk barisan dari ulu>l al-ba>b yang mendapatkan pancaran hidayah-

Nya, adalah mereka yang menghadirkan akalnya dengan segenap visi

idealisme makna (jam‘al-Hammi) dengan disertai niat yang baik serta

renungan dan harapan untuk mendapatkan pemahaman yang sesuai

dengan maksud Tuhan.63

Inilah adab untuk mendapatkan pemahaman

yang objektif dalam pandangan al-Muh}a>sibi>. Dalam memahami (QS. al-

Qaf 50: 37), al-Muh}a>sibi> memahami frase “Qalbun” sebagai akal dan

“alqa> al-Sam‘a”, seperti yang ia nukil dari al-Muja>hid, berarti tidak ada

bisikan di hatinya selain al-Qur’a>n yang diperdengarkan. Sementara

frase “Shahi>d”> diartikan sebagai kehadiran akan hati. Dengan kata lain,

al-Muh}a>sibi> memberikan dua kategori: Pertama, mereka yang berakal

dengan segenap konsentrasi pemahaman yang tinggi demi mendapatkan

visi idealisme makna yang terorganisir (jam‘al-Hammi). Kedua, mereka

yang menghadirkan hatinya dengan segenap kesaksian yang sadar tanpa

terbersit pikiran luar kecuali hanya mendengar apa yang dibacakan,

al-Qur’a>n.64

Al-Qushayri mempunyai penafsiran yang menyatukan perbedaan

antara al-Ji>la>ni> dan al-Muh}a>sibi>. Ia menafsirkan (QS. Qaf 50: 37),

“liman ka>na lahu al-Qalb” adalah orang-orang yang berakal pikiran dan

(atau) yang hatinya dihadirkan. Sementara kalimat “alqa> al-Sam‘a”

mempunyai zahir dan batin. Arti zahir adalah usaha mendengarkan

terhadap ajakan ayat ini secara zahir dari makhluk. Arti batin adalah

usaha untuk menerawang dan menggali terhadap rahasia-rahasia Tuhan

62‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. VI, 110. 63Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 322. 64Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 318.

Page 149: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

120

yang ada dalam lantunan setiap ayat al-Qur’a>n.65

Yang menarik, bagi

al-Qushayri, hati merupakan bejana bagi manusia, sebagaimana ia

mengutip sebuah H{adi>th66

, hati orang kafir seolah terbalik sehingga

tidak suatu apapun masuk dalam bejana itu, hati orang munafik tampak

seperti bejana yang retak-retak. Sesuatu yang masuk ke dalamnya akan

selalu bocor mengalir. Sementara ilustrasi hati seorang mukmin ibarat

bejana yang utuh dan tidak terbalik sehingga akan menampung iman

tanpa kebocoran. Hanya saja hati mukmin ini berbeda-beda sesuai kadar

si empunya: hati kadang ternoda dengan segala ekses dan pengaruh yang

masuk ke dalamnya sehingga hati menjadi kotor terkontaminasi.

Perumpamaan ini sama seperti halnya air yang masuk ke dalam bejana

yang dicampur dengan sesuatu, maka akan menjadi berwarna dan tidak

murni.67

Karena itu, menurut al-Qushayri, setiap hati yang lurus, yang

mampu tercegah dari karakter yang buruk serta dihiasai dengan

pembawaan sifat yang terpuji, itulah yang dimasud dalam (QS. Qaf

50;37).68

Betapa pentingnya ayat ini sebagai panduan bagi penafsiran

sufistik, karena itu, untuk memudahkan apa yang dimaksud dalam

konsepsi ini, alangah baiknya menyimak penggalan dialog antara al-

Junaydi dan al-Muh}a>sibi>:

Al-Muh}a>sibi: “Bagaimanakah aku dapat membantu menolong

pemahaman atas makna-makna ayat yang aku baca atau dibacakan

kepadaku?”

Al-Junaydi: “(Yakni) dengan menghadirkan akal pikiranmu. Dengan

begitu kamu akan dapat memahami dan mengingatnya. Bukankah

kamu pernah mendengar Tuhan Yang Maha Kuasa berfirman dalam

surat Qaf: (QS. 50:37). Artinya ‘sesungguhnya dalam al-Qur’a>n itu

sungguh menjadi pengingat bagi orang yang mempunyai hati atau

diperdengarkan kepadanya sementara hatinya terjaga’. Muja>hid

65Al-Qushayri, Lata>’if al-Ishara>t (Cairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-<A<mah lil-

Kita>b, 2008), cet. ke-4, Vol.III, 465. 66

-Lihat: Al-Qushayri, Lata>’if al إن هلل أوانى أال وهى القلوب و أقربها من هللا ما رق وصفاIshara>t, 456

67Al-Qushayri, Lata>’if al-Ishara>t vol. III, 456- 457. 68Al-Qushayri, Lata>’if al-Ishara>t vol. III, 456.

Page 150: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

121

berkata: ‘alqa> al-sam‘a’ artinya tidak ada bisikan dalam hatinya

kecuali apa yang di dengar. ‘Wahuwa shahi>d”, artinya kesaksian hati”.

Al-Muh}a>sibi: “Bagaimana aku bisa menghadirkan akalku sehingga

menjadi saksi yang tidak akan kehilangan pemahaman kalam Tuhanku

Yang Maha Luhur dan Maha Agung itu?”

Al-Junaydi: “Dengan mengumpulkan segenap pemahamanmu sehingga

tidak terjadi pemahaman yang tercerai-berai karena mencari sesuatu

yang bukan pemahaman sejati dari ucapan Tuhanmu”.

Al-Muh}a>sibi: “Bagaimana aku mengumpulkan segenap visi misiku

(jam‘ al-Hammi) sehingga tidak mungkin terpecah-belah kecuali hanya

konsentrasi pada hal itu?”

Al-Junaydi: “Halangilah akalmu dari memikirkan sesuatu selain hanya

mencari pemahaman Kitab Tuhanmu yang Agung nan Mulya itu!”

Al-Muh}a>sibi: “Dan bagaimana cara mengumpulkan akalku?”

Al-Junaydi: “Dengan tidak menyibukan anggota-angota tubuhmu

dengan sesuatu yang akal tidak disibukkan olehnya, dengan

menggunakan setiap panca indera untuk membantu mendapatkan

pemahaman sebagaimana matamu melihat mushaf serta telinga

mendengarkan bacaanmu atau bacaan orang lain, juga dengan

mencegah akalmu dari setiap pikiran dan ingatan, niscaya akan kuatlah

perolehan pemahaman langsung dari Tuhanmu. Sesungguhnya (kunci

pemahaman itu) adalah jika anggota tubuhmu tidak disibukkan oleh

sesuatu apapun selain itu, serta usaha mencegah akalmu dari

penglihatan dan pemikiran selain itu, niscaya akan terkumpullah

sentralitas visi idealisme makna dan hadir di dalamnya. Ketika akalmu

hadir maka bersihlah hatimu, dan ketika bersih hati maka kuatlah

perolehan pemahaman dan pendapatan kejelasan yang meyakinkan dan

akan menjadikan bersih ingatan, kuat pikiran”.69

Sebagaimana al-Ji>la>ni> dan al-Muh}a>sibi>, al-Qushayri memandang

bahwa syarat untuk bisa mendengarkan atau membaca al-Qur’a>n

sehingga mendapatkan pemahaman ‘irfa>ni, adalah keharusan mufasir

untuk mendengarkan dengan “telinga iman dan kebenaran” (sam‘i al-

ima>n wa tas}di>q), menuntut peningkapan makna-makna, serta menyimak

dengan sungguh-sungguh sehingga terjaga dari pertentangan luar. Ayat

69Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 318-319.

Page 151: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

122

ini menjadi jelas ketika jin atau manusia berada di hadapan Rasul untuk

mendengarkannya, yang menimbulkan wibawa ketakutan (haybah) bagi

pendengar, maka secara logika jika hati sudah dihadirkan di hadapan

Tuhan Sang Penguasa, justru lebih utama dan lebih berhak menimbulkan

wibawa ketakutan luar biasa sehingga adab menjaga al-Qur’a>n benar-

benar diperhatikan akibat mendengarkan lantunan suara Tuhan yang

dibisiki begitu pelan dan perlahan itu.70

Inilah seluruh pengertian yang diberikan oleh kaum sufistik

Sunni ‘Amali dalam memberikan syarat agar penafsiran itu benar-benar

obyektif, yakni melalui kriteria-kriteria yang telah digariskan di atas.

Dengan memenuhi semua pra-syarat itu, dalam pandangan kaum

sufistik, khususnya al-Ji>la>ni>, akan dapat mengenai sasaran validitas

penafsiran yang dikehendaki oleh sang pengarang dan pembuat al-

Qur’a>n itu. Sebab pemahaman yang objektif dan terbaik adalah

pamahaman yang tidak datang dengan pencarian dari diri manusia

semata atau ritual zikir yang menguatkan hati, melainkan sesuatu yang

tiba-tiba Tuhan berikan dengan mendapatkan bimbingan kepada mereka

yang punya niat tulus dan keimanan serta kode etik yang dipaparkan

panjang lebar di atas.71

70Al-Qushayri, Lata>’if al-Isha>ra>t, vol. III, 600. Dalam hal ini Al-Qushayri

mengilustrasikan suara yang diperdengarkan adalah suara bisik-bisik kepada Tuhan,

sebagaimana ia membantu penafsiran ini melalui surat T{aha QS. 20:108:

71Lihat untuk lebih jelas, pesan ringkas al-Muh}a>sibi> dalam diskursus ini: Al-

Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n, 318.

Page 152: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

123

BAB V

KONSTRUKSI METODOLOGI TAFSIR ISHA<RI AL-JI<LA<NI<

Bab V ini mengulas bagian-bagian dari konstruksi metodologi

Tafsir Isha>ri yang diproyeksikan al-Ji>la>ni> dalam tafsirnya. Adanya

perincian perangkat hermeneutika sufisme Isha>ri tidak berarti bahwa

masing-masing bagian terpisah dan berdiri sendiri, melainkan ini

merupakan sistem kesatuan. Artinya, satu dan lainnya saling

menunjukkan bagiannya sekalipun tidak secara keseluruhan. Adanya

unsur hakikat umpamanya, tidak terlepas dari unsur syariah sebagai

kendali hakikat, begitu juga harus tetap memperhatikan unsur bahasa

agar terhindar dari pena’wilan yang terlalu jauh, yang menjadi distingsi

antara sufi-‘amali dan sufi-falsafi. Namun demikian, semuanya bisa

dipisahkan secara epistemologis sebagai perangkat eksoterik yang

mewakili z}a>hir/literal dan perangkat esoterik yang mewakili ba>t}in

/spiritual. Karena itu, karakteristik tafsir Isha>ri adalah kongruensi z}a>hir

dan ba>t}in sebagai kesatuan asosiasi dan harmonisasi–sekaligus sebagai

representasi ahli sufi sunni-‘amali yang mengkomparasikan dimensi

lahir dan batin.

Selanjutnya, epistemologi sufistik Isha>ri dibagi menjadi dua

kategori besar yakni metodologi eksoterik dan metodologi esoterik.

Mendahulukan perangkat eksoterik menjadi fokus bahasan pertama

merupakan pertimbangan prioritas. Mengapa demikian? Karena para sufi

ini berangkat dari tahap pertama atas pemahaman eksoterik dengan

segenap perangkatnya yang kita sebut perangkat tekstualis-eksoterik

(al-asa>lib al-baya>niyah) sebagai perangkat khas nalar baya>n (shart} al-

baya>n). Tahap kedua menuju kepada pemahaman esoteris dengan

segenap perangkatnya yang kita sebut perangkat gnostik-esoterik (al-

asa>lib al-‘irfa>niyyah) sebagai perangkat khas nalar ‘irfa>n (shart} al-

‘irfa>n }).1 Singkatnya, dialektika z}a>hir dan ba>t}in disini begitu mesra dan

1 A<bid Al-Ja>biri,Binyah al-‘Aql al-‘Arabi (Beirut: Markaz Dira>sah al-Wahdah

al-‘Arabiyyah, 2004), cet.ke-7, 291.

Page 153: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

124

saling silang dan inter-konektif, karena sistem pengetahuan ‘irfa>ni yang

hendak dibangun dalam tafsir sufistik menggunakan paradigma dari

z}a>hir menuju ba>t}in atau dari teks menuju makna (min al-lafz}i ila> al-

ma‘na).2 Dalam bahasa Bowering, dua isu pokok yang tidak boleh

ditinggalkan dalam penafsiran sufstik sebagai proses pewahyuan

al-Quran dan konten penafsiran adalah: (1) Melakukan sharing dengan

non-sufi, yakni penafsiran literal sebagaimana yang diyakini penafsir

zahiriyyah. (2) Manifestasi metode penafsiran yang spesifik dalam

sufistik.3 Adanya korelasi kerjasama ini merupakan kecocokan makna

yang senyawa antara z}a>hir sebagai aplikasi literal (tat}bi>q) dan ba>t}in

sebagai isyarat samar (isyara>t kha>fiyah/paralelisme simbolis (symbolic

parallelism).4

Karena itu, secara epistemologis, sebagaimana golongan penafsir

zahiriah mempunyai perangkat istinba>t} dalam penafsiran bentukan

struktur baya>ni (al-asa>lib al-baya>ni), begitu juga kaum sufistik memiliki

perangkat istinba>t} melalui caranya sendiri yang khas, unik dan orisinil,

sehingga menghasilkan penafsiran simbolik sebagai pengetahuan intuitif

(al-ma‘a>rif al-qalbiyyah).5 Di samping itu, aksiologi istinba>t} dari ahli

z}a>hir mengafirmasikan hukum-hukum fikih sementara ahli ba>t}in tidak

demikian, melainkan lebih kepada pendapatan nilai-nilai keutamaan,

kebaikan, etika akhlak dan perbuatan, pase maqa>mat dan derajat-derajat

di hadapan Tuhan.6 Mereka tidak bisa diklaim sebagai ahli progresif

2‘A<bid Al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 291. 3Gerhard Bowering, “The Scriptural “Senses” in Medieval S{ufi Qur’a>n

Exegesis” dalam Jane Dammen McAulife (ed.), With Reverence for the Word: Medieval Scriptural Exegesis in Judaism, Chiristianity, and Islam (New York: Oxford

University Press, 2003), 349. 4 John Wansbrough,Qur’anic Studies, Sources and Methods of Scriptural

Interpretation (New York: Prometheus Books, 2004), cet.ke-8, 243. 5 Al-Ja>biri sendiri menyatakan kesutujuan akan perangkat sufistik ini, seperti

al-tila>wah, al-dhikr, al-ta’ammul, sehingga ia menyatakan bahwa secara umum

penafsiran simbolik baik bentuknya normal atau ekstase adalah murni produk

“istinba>t}” sebagaimana kaum fuqaha biasa melakukan istinba>t}. Lihat: ‘A<bid Al-

Ja>biri,Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 293.

6Untuk melihat lebih jauh diskursus penetapan istinbat ahli sufi dan ahli fikih

serta perbedaan dan korelasi keduanya sampai-sampai al-T{u>si membuat bab khusus

Page 154: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

125

(mubtadi‘i>n) dalam pandangan kaum zahiriah sebab sudah masuk

kawasan bagian “ilmu liyan” (the other self) yang mandiri dan sudah

dipastikan setiap ilmu mempunyai istilah dan terma khas dalam masing-

masing bidang displin ilmu pengetahuan.7

Dalam hal ini, al-Ji>la>ni> dalam memahami istinba>t} bisa ditempuh

melalui proses pemahaman sebagaimana yang ditangkap dalam frase’u>lil

amri (al-Nisa>’ QS 4:15). Pengertian’u>lil amri tersebut dibagi menjadi

dua golongan: (1) As}h}a>b al-Ra’y yang identik dengan ahli baya>ni

sebagai penemuan istinba>t} struktural-eksegesis. (2) As}h}a>b al-Tadbi>r

yang identik dengan ahli ‘irfa>ni sebagai penemuan istinba>t} spiritual-

eisegesis.8 Mereka sama-sama melakukan proses istinba>t}: Ahli baya>n

cenderung kepada konsekuensi terang-terangan secara hukum (ifsha>’),

sementara ahli ‘irfa>n cenderung kepada konsekuensi samar-samar secara

makna (asra>r). Al-Ji>la>ni> secara terang-terangan memberikan peringatan

kepada ahli baya>n agar tidak terjebak oleh akal atau berlaku sewenang-

wenang menggunakan akal yang mengarah kepada sikap otorianisme

penafsiran.9

Yang terpenting, proses istinba>t} spiritual ini tetap bersumbu

kepada kekuatan pondasi intuitif, bukan kepada akal.10

Sebagaimana

telah disinggung pada bab II, al-Sha>t}ibi mempunyai standar dan syarat

penafsiran ketika unsur batin berdialektika dengan unsur z}a>hir sebagai

syarat pembakuan diskursus penafsiran sufistik Isha>ri: Pertama, sesuai

dengan muqthad{a z}a>hir atau ketetapan logika z}a>hir teks, mengikuti

logika bahasa Arab serta berjalan sesuai arus tujuan-tujuan dari

Arabisme (maqa>s}id ‘Arabiyah). Kedua, harus diperkuat oleh kesaksian

bertajuk “kita>b al-mustanbit}a>t”, lihat lebih lengkap: Al-Sarra>j Al-T}u>si,Al-Luma’ fi> Ta>rikh al-Tas}awuf al-Isla>mi>, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2001), cet.ke-1, 102.

7 Pendapat ini lebih cenderung merujuk kepada pendapat al-Qushari, namun

dalam pandangan al-T}usi, secara prinsip keduanya bisa didamaikankan menjadi satu

entitas kesatuan metodologi baya>n-‘irfa>n. Inilah pertimbangan al-T{u>si, kenapa ngotot

menjadikan nalar ’irfa>n sebagai manhaj melalui legitimasi istinba>t} tasawuf itu. Lihat:

‘A<bid Al-Ja>biri, Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 296. 8‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni> (Istanbul: Markaz al-Ji>la>ni> li al-

Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2009) cet. ke-1, vol. 1, 419. 9Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>,Tafsi>r al-Ji>la>ni>, 419. 10 ‘Abd al-Qa>dir Faydu>h, Naz}riyyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-‘Arabiyah al-

Isla>miyah,Syria: Da>r al-Awa>iel, 2005), cet. ke 1, 184.

Page 155: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

126

nas} atau petanda z}a>hir di tempat lain yang mengakui keabsahannya

tanpa ada penentangan.11

Dalam wilayah pemahaman al-Qur’a>n, kalangan sufistik

melandaskan dirinya kepada dua syarat prinsipil dan mendasar: Pertama,

Iman dan kedua Ilmu.12

Iman merupakan piranti atau spirit bagi

perangkat-perangkat batin dan ilmu sebagai piranti atau spirit bagi

perangkat-perangkat z}a>hir. Ilmu yang dimaksud adalah pemaknaan yang

z}a>hir -sunniyah dan bukan ilmu laduni atau ma’rifat yang diakui oleh

kalangan sufistik, karena itu sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis

bahwa kalangan Sufistik Sunni mensyaratkan adanya pembacaan

penafsiran terhadap al-Qur’a>n untuk menguasai apa yang dikenal

sebagai syarat penafsiran resmi ‘ulu>m al-Qur’a>n al-‘Aqliyah.13

Di bawah ini, dijelaskan syarat-syarat representatif yang

merupakan perangkat mainstream yang digunakan oleh kalangan sufistik

khususnya al-Ji>la>ni>. Penjelasan ini diteliti secara deskriptif-elaboratif

melalui pemetaan distingsi z}a>hir sebagai perangkat eksoterik (meaning)

dan ba>t}in sebagai perangkat esoterik (significance). Tujuan teorisasi ini

tidak lain untuk mendapatkan objektif interpretation, sehingga akan

11 Abu> Ish}a>q al-Sha>t}ibi, al-Muwa>faqa>t (Cairo: Maktabah al-Waqfiyyah, tt),

vol. III, 334/445. 12Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, Dira>sahal-Maja>l al-

Ma‘rifi al-Us}u>li al-Awwal li> tafsi>r al-S}ufi, (Yordania: ‘A<lam al-Kutub al-Hadi>th,

2008), cet.ke-1, 343. 13 Perlu dijelaskan bahwa tidak komprehensifnya penyebutan syarat-syarat

yang biasa dalam ‘ulu>m al-Qur’an bukan berarti menafikan atau mengecualikan,

melainkan karena pertimbangan intensitas dan frekuensinya yang minim digunakan

oleh praktisi mufasir sufistik –kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang mengharuskan

sharing pengetahuan dari mufasir zahiriyyah. Kepentingan mempelajari ‘ulu>m al-Qur’a>n al-‘Aqliyah bagi kaum sufistik tidak lain agar tidak tersesat dalam

pengembaraan makna. Dalam hal ini, ketika imam Junaid yang dianggap salah satu

ikon sufi sunni bersama al-Ghaza>li, pernah ditanya tentang syarat untuk mendapatkan

pemahaman al-Qur’a>n agar tidak tersesat dan kemudian meyakini apa yang tidak

diridhai Tuhan. Lantas ia menjawab bahwa sudah menjadi keharusan bagi kaum

Sufistik untuk mempelajari apa yang dibuat oleh ulama-ulama ‘Ulu>m al-Qur’a>n seperti

Na>sikh Mansu>kh, Muh}kam, Mutasha>bih dan lain-lain yang termaktub dalam Ulu>mul Qur’an al-‘Aqliyah. Lihat: Al-Muh}a>sibi>, al-‘Aql Fahm al-Qur’a>n (Beirut: Dar> al-Fikr,

1971), cet.ke-1, 326-325/Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 342.

Page 156: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

127

tercapailah validitas makna objektif –jika meminjam teori Hircsh–

sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh kaum sufistik ortodoks.

A. Ilmu-Ilmu Z{a>hir (Perangkat Eksoterik Tafsir Sufistik Isha>ri)

1. Bahasa

Segala yang mewujud di dunia ini, dari manusia, alam raya,

binatang dan tumbuhan merupakan suatu hal yang disebut entitas.

Entitas ini terangkum dalam logos bahasa agar semua hal yang berkaitan

dengan mawju>d bisa diaspirasikan dan dibahasakan sehingga bisa

diterima oleh manusia. Namun secara esensial, di dalam ribuan bahasa

yang menyerukan entitas itu, pada dasarnya terdapat tiga dimensi

bahasa yang dikenal sebagai “keluhuran budi bahasa/shafrah lughawi al-

‘uluwi” yang mewakili semua unsur kebahasaan.14Pertama, Bahasa

Ontologis Eksperimental. Bahasa ini bersumber dari pengalaman

manusia. Karena itu, berorientasi kepada pemahaman inderawi dan

ilmiah terhadap segala entitas yang ada di alam raya ini dalam ruang dan

waktu. Yang membedakan adalah bahwa pemahaman ini berdasarkan

hasil perasaan dha>tiyah dan pemahaman laku batin. Akibatnya,

menghasilkan tempo pemahaman relatif berbeda satu dengan lainnya

tergantung tarik-menarik serta sejauh mana dorongan pengalaman yang

dihasilkan. Tak pelak, karena arus batin, kerap menghasilkan

pengalaman metafisika dan pengalaman transendental ketika

menghadirkan hati ke haribaan Tuhan sehingga mampu terbuka tirai-

tirai yang tertutup dan melampaui bahasa apapun dan di manapun di

dunia. Ia sekaligus mempunyai karakter sejarah yang khas dan tunggal.15

Kedua, Bahasa Manusia. Bahasa ini paling tidak mencakup tiga kategori

kebahasaan: (1) Mitologi. (2) Wahyu. (3) Seni. Tiga fenomenologi ini

dianggap representasi logosentris manusia yang paling abadi. Ketiga,

Bahasa Nalar. Bahasa ini merupkan esensi bahasa dari semua bahasa.

14 ‘Ati>f Jawdah Nasr, al-Rumu>z al-Shi’r ‘Inda al-S{u>fiyah, , (Cairo: al-Makta

al-Misri, 1997), 65. 15 Ati>f Jawdah Nasr, al-Rumu>z al-Shi’r ‘Inda al-S{u>fiyah, , 65.

Page 157: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

128

Sebab memungkinkan untuk meresap kepada setiap manusia dengan

berbagai tipologi dan karakteristik satu dengan lainnya.16

Bahasa dalam prespektif al-Qur’a>n merupakan mediator tunggal

untuk mendialogkan narasi bahasa Tuhan kepada bahasa manusia. Yang

utama dan pertama, bahasa ini merupakan diskurus al-Qur’a>n, sekaligus

penjelas dan penyingkap makna-makna al-Qur’a>n di dalamnya. Inilah

elan vital bahasa di hadapan al-Qur’a>n. Karena itu adalah kewajaran jika

tafsir pertama yang muncul dalam sejarah adalah tafsir linguistik yang

berbasis pada kebahasaan.17

Ibn ‘Abba>s menyatakan bahwa bahasa merupakan hal yang

paling vital dalam penafsiran. Karena itu ia membagi menjadi empat

golongan. Pertama, dimensi tafsir yang bisa diketahui orang Arab

melalui bahasa komunikasi sehari-hari. Kedua, dimensi tafsir yang tidak

ada ampunan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya. Ketiga,

penafsiran yang hanya diketahui oleh para ulama tafsir. Keempat,

penafsiran yang hanya diketahui oleh Tuhan.18

Golongan pertama adalah

golongan yang mendasarkan pemahaman al-Qur’a>n dengan merujuk

pada lisan orang Arab yakni bahasa dan gramatika. Karena itu, bagi

setiap penafsir adalah sebuah keniscayaan untuk mengetahui seluk beluk

makna bahasa dan istilah-istilah yang terkandung di dalamnya.

Sementara gramatika dipergunakan untuk mengetahui kejelasan makna

yang terkandung pada proposisi-proposisi bahasa yang ada dalam al-

Qur’a>n agar tidak keliru mengartikulasikan penafsiran serta agar

tercapai pengetahuan secara utuh menyeluruh mengenai al-Qur’a>n baik

dari segi hukum dan lainnya.19

Karena itu tidaklah cukup hanya mengetahui artifisial lafal atau

kecenderungan makna sebab akan dianggap kategori penafsiran nalar

(tafsi>r bi al-ra’y) yang membahayakan. Tuntutan seorang mufasir tidak

hanya sebagai seorang pembaca melainkan harus mengetahui lisan Arab,

kompleksitas dan komprehensivitas pengetahuan yang berkaitan dengan

16 Ati>f Jawdah Nasr, al-Rumu>z al-Shi’r ‘Inda al-S{u>fiyah, , 65. 17

Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r (Beirut: Da>r al-Ha>di>, 2007), cet.

ke-1, 118. 18Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 118. 19Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 119.

Page 158: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

129

kebahasaan dan kearaban (al-lughah wa al-‘Arabiyah). Al-Sha>t}ibi

menegaskan bahwa barang siapa hendak memahami al-Qur’a>n, maka

dari segi bahasa Arab harus memahami betul serta tidak ada jalan untuk

mencari pemahaman kecuali melalui jalan satu ini sebagai syarat

mutlak. Sebab al-Qur’a>n diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab

dan karena itu menjadi Arab sentries (‘Arabiyah). Ini sudah sangat

terang benderang ketika al-Qur’a>n diturunkan sesuai popularitas orang

Arab dalam hal komunikasi yang khas dan uslu>b-uslu>b makna yang luar

biasa, ketika membicarakan yang global (al-‘a>m), misalnya, maka yang

dikehendaki adalah khusus (al-kha>s}s}) dan seterusnya.20

Tuntutan bahasa merupakan keniscayaan bagi para mufasir. Hal

yang menjadikannya berbeda dengan zaman pertama masa sahabat dan

tabi’in adalah ketika mereka begitu memahami hakikat-hakikat makna

bahasa al-Qur’a>n karena mendapatkan emanasi langsung pemahaman

dari Nabi dan para sahabat. Generasi pasca tabi’in dituntut untuk lebih

menguasai ilmu-ilmu bahasa dan pendalaman ata perkembangan filsafat

bahasa yang jauh lebih canggih dibanding masa lalu. Di sinilah

kemudian bahasa akan mengadaptisakan diri dengan zaman yang

berkembang. Satu hal yang menjadi titik sama adalah tujuan yang

dicapai oleh para mufasir baik klasik maupun modern adalah meretas

pengetahuan mengenai objek pemahaman al-Qur’a>n beserta

penafsirannya.21

Bahasa diakui merupakan syarat pertama bagi para mufasir

sebelum penguasaan syarat-syarat lainnya yang berjumlah lima belas

keilmuan. Sekedar menyebut, bahwa keilmuan bahasa yang khas

kearaban berjumlah delapan: (1) Bahasa. (2) Nah}wu. (3) Tas}ri>f . (4)

Ishtiqa>q. (5) Ilmu Ma‘a>ni. (6). Baya>n. (7) Badi>’. (8) Qira>’a>t.22 Ilmu-ilmu

ini memainkan peranan yang sangat vital dan memberikan pengaruh

signifikan dalam penafsiran: Pertama, Bahasa. Untuk bisa mengetahui

penjelasan lafal-lafal, kalimat serta tanda fenomen (madlu>l dan dila>lah)

secara logika dan prosedural kebahasaan, terutama untuk mengetahui

20Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 119. 21Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 120. 22Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 121.

Page 159: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

130

makna-makna yang kadang memerlukan penguasaan bahasa seperti sub

al-kha>s, al-‘a>m, al-mushtarak yang rawan keterjebakan makna sehingga

memerlukan penguasan bahasa.23Kedua, nahwu/gramatika. Untuk bisa

mengetahui perubahan makna yang digantungkan kepada perubahan

i‘ra>b sebagai motor nahwu.24

Ketiga, tasri>f. Untuk bisa mengetahui

bangunan dan status kalimat (al-abniyah wa s}iyag). Keempat, ishtiqa>q.

Untuk mengetahui derivasi dan asal-muasal sebuah kalimat agar jelas

dalam menuai makna. Kelima, Ilmu balaghah. Ilmu ini mencakup: (1)

Ma‘a>ni sebagai aspek ilmu yang mengupas kekhasan posisi kalimat dari

dimensi makna. (2) Baya>n sebagai aspek ilmu yang mengupas perbedaan

makna dipandang dari sudut kejelasan dan kesamaran fenomen (dilala>h)

bahasa. (3) Badi>’ sebagai aspek ilmu yang mengupas sisi-sisi keindahan

bahasa. Ketiga ilmu ini merupakan rukun atau organ terbesar dalam

penafsiran karena bertujuan mengetahui kekuatan (al-‘iza>j) al-Qur’a>n

serta keajaibannya yang hanya bisa diketahui oleh ilmu balaghah sebagai

kaidah fasih berbahasa, sebagaimana pernyataan al-Zamakhsari>, sang

peletak penafsiran balaghah, dalam tafsirnya yang terkenal,

al-Kasha>f.25 Keenam, ilmu qira’a>t. Ilmu ini difungsikan untuk bisa

mengetahui teori pengucapan dialek al-Qur’a>n di mana satu dengan

lainnya bisa diunggulkan tergantung dari varian bacaan yang dijadikan

acuan para mufasir.26

Dalam hal ini, jika menilik kepada tafsir al-Ji>la>ni>, sebagaimana

penuturan Muh}ammad Fa>dil dalam pengantar tafsir itu, maka karakter

al-Ji>la>ni> dalam varian bacaan tidak fanatik kepada satu varian bacaan

tertentu seperti bacaan Imam Hafs misalnya, bahkan al-Ji>la>ni> kerap

menafsirkan lebih dari satu varian bacaan untuk kepentingan penafsiran

tanpa merujuk pada pemilik varian bacaan tersebut.27

Begitu juga

kecenderungan ini bisa dibuktikan dalam tafsir sufistik kebanyakan

seperti Lat}a'>’if al-Isha>ra>t di mana al-Qushayri tidak bersibuk diri

23Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 121. 24Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 122. 25

Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 122 26Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 122. 27 Muhammad Fa>d}il al-Jaylan>i>, dalam kata pengantar: ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>,

Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 31.

Page 160: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

131

bermain varian bacaan tertentu sebab baginya yang menjadi parameter

dalam tafsir sufi adalah cita rasa sufisme (al-dhawq al-s}ufiyah)

sebagaimana nanti dibahas pada sub-bab selanjutnya.

Perlu ditegaskan di sini, bahasa adalah identitas suatu kaum.

Setiap bahasa mempunyai karakteristik yang unik serta norma dan

gramatika yang melingkupinya, sehingga menjadi acuan tata bahasa,

sebagaimana aturan baku tata bahasa Indonesia. Namun secara prinsip,

ada beberapa titik konvergensial dari sudut ungkapan atau metode

tujuan berbahasa yang nanti masuk dalam lingkaran filsafat bahasa

sebagai tahap pertama. Tahap kedua adalah titik diferensial dalam sisi

teori undang-undang dan gramatika yang khas antara satu dan lainnya.

Karena itu, al-Qur’a>n sebagai kitab suci bahasa Arab harus tunduk

terhadap aturan berbahasa Arab demi menunjukkan bukti keabsahan dan

keotentikan ucapan bahasa Arab dengan memperhatikan bahasa, i’ra>b,

tasri>f, dan ish}tiqa>q.28

Dalam hal ini, para imam mufasir membuat

undang-undang penafsiran linguistik (qaidah tafsiriyah lughawiyah),

sebagaimana yang diungkapkan oleh al-T{abari>, “sesungguhnya asas

yang melegalkan orientasi pemaknaan tafsir dalam kitabullah yang

diturunkan kepada Muhammad, yang berupa kalam itu adalah sesuai

fakta transformasi kalam bahasa Arab dan bukan bahasa yang

lainnya”.29

Di sinilah pentingnya teori Wittgenstein bahwa kata-kata

mempunyai fungsi, relasi dan makna tersendiri sesuai dengan

pemakainnya sebagai konstruksi language game.30

Singkatnya, bagaimanapun canggihnya perkembangan filasafat

bahasa, yang harus diistimewakan dan diunggulkan adalah konsekuensi

media bahasa yang digunakan al-Qur’a>n, yakni bahasa Arab, sebab

tanpanya, tidak akan bisa fokus, rawan kesalah-pahaman, kesesatan

serta berdampak pada ketidak-arifan budi bahasa Arab sebagai bahasa

ibu al-Qur’a>n.31

Jelas al-Qur’a>n tidak memproduksi bahasa baru atau

menekankan manusia untuk membuat acuan logika bahasa baru.

28Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 126. 29

Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 129. 30Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa,

Makna, dan Tanda (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet.ke-1, 77. 31Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 129.

Page 161: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

132

Al-Qur’a>n sebatas meminjam media bahasa melalui lisan suatu kaum

dan jalan budaya yang digunakan sebagaimana Injil meminjam bahasa

Suryani dan Taurat (Torah) meminjam bahasa Ibrani (Hebrew).

Dalam hal ini, ada beberapa pemandangan umum terkait prinsip-

prinsip teori penafsiran kebahasaan dalam al-Qur’a>n yang menjadi

pegangan para mufasir: Pertama, akomadasi al-Qur’a>n untuk menerima

pemahaman dan penjelasan. Sebab prinsip al-Qur’a>n tidak lain untuk

memudahkan pemahaman dengan cara dan tujuan tadabbur, tafahum,

dan tadhakkur seperti halnya (qa>biliyah al-Qur’a>n lil-fahmi wal baya>n)

sebagaimana yang ditunjukkan dalam al-Qamar (QS 58:17). Al-Ji>la>ni>

menjelaskan bahwa kemudahan berzikir ini diaktualisasikan dengan

ragam pepeling akhirat (tadhkira>t), wejangan (mawa>’iz }), suri tauladan

(‘ibar) dan perumpamaan (amtha>l).32 Tujuan ini adalah inti utama

al-Qur’a>n bagi umat Islam sehingga secara global setiap membaca

al-Qur’a>n, makna itu akan meresap dalam hati sebagai bentuk kebesaran

dan keagungan Tuhan yang bisa memalingkan diri dari kejelekan serta

menarik diri menuju kebaikan.33Kedua, terdapat kesesuaian makna

al-Qur’a>n dengan logika makna-makna dan struktur formalitas bahasa

Arab (muwa>faqatu ma‘a>ni> al-Qur’a>n lima‘a>ni al-‘arabiyah), sebab tidak

disangsikan lagi bahwa al-Qur’a>n diturunkan dengan bahasa Arab.

Ketiga, konektivitas dengan zaman turunnya wahyu serta istilah-istilah

yang digunakan pada masanya (mula>haz}ah zama>n al-nuzu>l wa

mus}t}alaha>t al-lughat fi> hi>niha>). Pengamatan ini penting dilakukan agar

bisa mengetahui secara rinci alam pikiran masa lalu di mana al-Qur’a>n

diturunkan agar bisa menangkap kandungan makna dan pesan al-Qur’a>n

secara objektif dengan penguasaan asba>b al-Nuzu>l dan terminologi

istilah bahasa yang lazim digunakan saat itu. Karena itu wajar jika

antropologi terbaik al-Qur’a>n adalah ilmu asba>b al-Nuzu>l.

Bagaimanapun, teks, apa pun bentuk teks itu, pasti diturunkan

untuk zamannya sehingga harus mengadaptasikan diri agar bisa relevan

32

‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, cet. ke-1, vol. 5, 463. 33 Muh}ammad Abd al-‘Az}i>m Al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n

(Cairo: Da>r al-Hadith, 2001), vol. 2, 46.

Page 162: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

133

dan diterima oleh zamannya. Karena itu harus dibantu dengan perangkat

bahasa atau teks-teks yang ada pada masa zamannya seperti bantuan

karya sastra Jahiliyah sebagai diwa>n Arab atau kamus lisan Arab serta

bahasa asli badui pedalaman.34

Senada dengan al-Zarqa>ni>, bahwa salah

satu metode penafsiran paling otorotatif adalah mampu memahami

hakikat setiap kosa kata yang tersimpan dalam al-Qur’a>n. Dengan cara

menggunakan pendekatan linguistik dan tidak cukup dengan cara

metode konvensional yang mengandalkan kitab-kitab tafsir yang ada.

Pendekatan linguistik ini memungkinkan penggunaan bahasa al-Qur’a>n

tepat pada saat asba>b al-nuzul sehingga bisa mengetahui persis apa yang

terjadi pada saat turunnnya wahyu serta maksud dari ucapan wahyu

itu.35

Dan yang terbaik, menurutnya, adalah memahami al-Qur’a>n

menurut ontologi dan presfektif al-Qur’a>n itu sendiri–sebagaimana

konsep language game Wittgenstein. Sebab al-Qur’a>n menggunakan

satu diskursus dalam redaksi yang berbeda dan di tempat yang berbeda

namun secara esensial kandungan makna adalah sama. Di sinilah

pentingnya pendekatan intertekstual dan komparasi makna dilakukan

agar bisa mencapai keutuhan dan kesempurnaan makna secara

universal.36Keempat, penguasaan terminologi dan istilah khusus alam

al-Qur’a>n (mula>haz}ah al-mus}t}alahat} al-kha>ssah bi al-Qur’a>n). Al-Qur’a>n

yang sejatinya menggunakan bahasa Arab tidak menafikan unsur

pembendaharaan istilah baru. Al-Qur’a>n adalah pengemban agama baru

bagi bangsa Arab yakni Islam. Karena itu meniscayakan istilah baru

dalam al-Qur’a>n sebagai tujuan islamisasi bahasa dan budaya Arab saat

itu. Karena itu lazim kita temui dalam suatu istilah ada beberapa

penggunaan seperti istilah secara bahasa dan istilah secara agama,

sebagaimana makna shalat yang diartikan dalam dwi-bahasa; etimologi

bahasa dan terminologi syariah.37Kelima, orientasi bahasa kepada makna

asal sepanjang tidak ada dalil yang mengarah pada makna lain (al-haml

34 Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 132-133. 35 Muh}ammad Abd al-’Az}i>m Al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-Irfa>n fi>‘Ulu>m al-Qur’a>n,

48. 36 Muh}ammad Abd al-’Az}i>m Al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-Irfa>n fi>‘Ulu>m al-Qur’a>n.

48. 37Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 134.

Page 163: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

134

‘ala> al-as}l ma> lam yarid ‘ala> ghayrih al-dali>l). Bahasa Arab adalah

bahasa yang luar biasa kaya dengan pembendaharaan kosa kata dan

makna yang terkandung di dalamnya seperti diskursus al-‘a>m yang

ternyata dikehendaki adalah al-kha>s}s}, atau kesebalikannya. Al-Zarkashi

mencatat sampai empat puluh versi makna dalam bahasa Arab al-

Qur’a>n.38

Hak asasi al-Qur’a>n adalah mengarahkan makna kepada makna

yang otentik dan asal yakni makna z}a>hir yang spontan selagi tidak ada

halangan atau indikasi yang mengarah pada tuntutan makna yang lain

atau makna kedua yang dimaksud.39

Karena itu, bagaimanapun yang

menjadi pegangan al-Qur’a>n adalah kendali makna dan bukan kendali

bahasa. Hakikat suatu bahasa tidak hanya mengatur struktur fisis dan

logis sebagaimana yang dipahami filsafat bahasa biasa (ordinary

language phylosophy), melainkan kepada suatu penekanan keteraturan

bahasa makna yang dimaksud. Makna merupakan metafisika dalam

bahasa.40

Dan di sinilah wilayah mufasir untuk bisa memainkan

peranannya. Catatan di sini adalah peranan transformasi bahasa dari

bahasa pertama sebagai bahasa asal menuju bahasa kedua sebagai bahasa

metafor, majaz, khas}s}, atau bahkan batin harus tetap memperhatikan sisi

kebutuhan makna itu sendiri. Dengan kata lain, jika dengan

mengandalkan makna z}a>hir sudah mampu menampung makna yang

sempurna dan terpenuhi maka tidak perlu beranjak kepada makna lain –

kecuali jika tidak mumpuni dalam makna pertama ini. Sehingga ada

prinsip aporisma “setiap kalam yang diucapkan bisa memberikan

pemahaman terhadap makna yang dikehendaki maka cukup sudah tidak

perlu pindah kepada makna lainnya”, demikian kata al-T{abari>.41

Hal ini bisa dilihat ketika al-Ji>la>ni> mencoba menjelaskan dalam

Surat al-Baqarah (QS 2:106) disebutkan :

38Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 139. 39

Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 139. 40Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta:

Paradigma, 1998), cet.ke-1, 120. 41Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 140.

Page 164: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

135

“(Tidak kami salin) kami rubah dan kami ganti (dari suatu ayat) yang

turun yang menghukumi dalam waktu dan zaman yang turunnya sesuai

pada nama tertentu (atau melupakannya) dari hati seolah-olah tidak

turun sebelumnya (maka aku datangkan yang lebih baik darinya)

artinya sewaktu-waktu kami menyalinnya atau melupakannya maka

kami ganti dengan yang lebih baik darinya sesuai kondisi zaman kedua

dan nama tertentu baginya sebab perjalanan wujudiyah selamanya

dilandaskan kepada puncak kesempurnaan (atau sesamanya) sebab

pembaruan secara fisik hanya terjadi oleh sesuatu yang sepadan dan

tempat berakhir sama dengan tempat memulai”.42

Dalam hal ini, di sinilah elan vital kepentingan tafsir Sufistik

bisa memainkan peran. Terkadang makna z}a>hir yang tampak sejatinya

hanya sebagai kalam tamsil, metafora atau sindiran yang termaktub

dalam ilmu Balaghah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Sha>t}ibi

dalam al-Muwafaqa>t :

“Adakalnya kalam (al-Qur’a>n) memiliki makna z}a>hir dan makna batin

sesuai kecenderungan arah pemahaman (…), bahkan makna batin ini

terkadang menjadi makna yang dikehendaki dan makna yang dituju

oleh kalam, karena itu praktis harus memindahkan dari makna z}a>hir

menuju makna batin agar bisa mencapai visi dan misi yang dibangun

oleh al-Qur’a>n”.43

Dengan demikian, tujuan akbar dari al-Qur’a>n ada dua: Pertama,

menangkap makna tersurat sebagai manifesto makna z}a>hir tekstual.

Kedua, menangkap makna tersirat sebagai manifesto makna batin

kontekstual. Pesan ini sangat jelas terbaca dalam surat Ali Imran (QS.

3:7). Muh}kama>t diartikulasikan sebagai perkara yang berhubungan

tentang umumnya keadaan para hamba menurut perbedaan tingkat

kehidupan dan akhiratnya dari dimensi eksoterik seperti hukum-hukum

(ah}ka>m), interaksi sosial (mu’ama>lat), keyakinan yang dianut

(mu’taqida>t). Sementara mutashabiha>t diartikulasikan sebagai perkara

42‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 111.

43Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 139.

Page 165: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

136

yang berhubungan dengan pengetahuan (al-ma‘a>rif), hakikat esoterik

(h}aqa>’iq) yang memunculkan hikmah-hikmah dan kemaslahatan-

kemaslahatan yang teremban dalam kewajiban taklif, ketaatan dan

ibadah bagi pemilik azimat yang sah yang hendak mencapai samudera

tauhid.44

Lebih lanjut, al-Jila>ni> mengkritik kaum sufi heteredoks yang

dianggap tidak mengindahkan dua dimensi zahir dan batin sebagai logos

bahasa tafsir Isha>ri. Ia meneruskan penafsirannya :

“(Adapun orang-orang yang dalam hatinya tersesat), yang condong dan

beralih dari jalan kebenaran yang menggabungkan zahir dan batin

maka mereka mengikuti ayat-ayat mutashabiha>t dan meninggalkan

perintah terhadap ayat-ayat muh}kama>t secara bodoh dan menantang.

Mereka tidak mengetahui bahwa capaian menuju ma’rifat dan hakikat

hanya mampu diperoleh dengan tetap menjaga dimensi zahir yakni

dengan menjalankan ayat-ayat muh}kama>t”.45

Dari sini akan terlihat bagaimana al-Ji>lani> sebagai representasi kaum

sufi ortodoks berpandangan bahwa pengamalan ayat-ayat muh}kama>t

harus berangkat dari penerapan bahasa sesuai kaidah bahasa umum.

Sementara kaum sufi heterodoks cenderung mengindahkan kaidah-

kaidah bahasa konvensional dengan hanya mengandalkan terhadap ayat-

ayat mutashabiha>t sebagai ejawantah dari dimensi batin-esoterik.

2. Syariah

Ciri khas tasawuf sunni jika dibandingkan dengan tasawuf falsafi

adalah penerimaan kaum sufistik sunni kepada syariah secara patuh dan

totalitas. Syariah merupakan kode hukum yan mengatur kehidupan

lahiriah. Dengan kata lain, merupakan bentuk hitam putih dari agama,

sehingga tidak melihat sisi spiritual dan moral etik dari suatu kode

hukum atau ketetapan hukum diberlakukannya. Karena itu, syariah erat

berkaitan dengan struktur lahiriah kehidupan agamis sementara pada

saat yang lain hakikat melihat sebaliknya: realitas agamis batiniah.

Kenyataan iman dan kehidupan spiritual agamis berada di luar

44 Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 250. 45 Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 250.

Page 166: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

137

jangkauan syariah dan ini hanya diketahui melalui jalan Sufi. Al-T{u>si

menilai bahwa ilmu pun terbagi menjadi dua, yakni ilmu z}a>hir dan ilmu

batin. Dan itulah ilmu syariat yang menunjukan sekaligus mengajak

kepada perbuatan-perbuatan z}a>hir dan batin. Amal z}a>hir adalah amal

anggota tubuh yang tampak, seperti ibadah atau menjalankan hukum-

hukum perintah dan larangan Tuhan, sementara amal batin adalah amal

hati, yang terkait dengan dunia tingkatan-tingkatan sufistik (maqa>ma>t)

dan keadaan ekstase atau panteisme (ahwa>l), karena itu z}a>hir tidak bisa

melepas batin, begitu juga batin tidak bisa melepas dari batin.46

Keduanya selalu berkait kelindan dan kesatuan yang dinamis, harmonis

dan dualitas yang sinergis.

Serupa dengan al-T{usi,> al-Ji>la>ni> membagi amal yang benar

sebagai pengamalan yang dilandaskan pada dua kesaksian; saksi z}a>hir

dan batin. Saksi z}a>hir adalah menjalankan formalitas hukum (istih}ka>m)

sesuai dengan syariat dalam perintah dan larangan Tuhan yang sudah

terang benderang. Sementara saksi ba>t}in adalah suluk syariah yang harus

disertai dengan pengawalan dan kesaksian mata hati (bas{irah) sehingga

akan tampak di jalannya junjungan yang harus dianut umat yakni

Muhammad sebagai hamzah was}al atau mediator ruhani antara Allah,

Nabi dan hamba-Nya. Mediator spiritual Nabi inilah elan vital bagi

bersemayamnya Tasawuf Amaliyah sebab ruhani dan jasmani Nabi

yang tidak bisa ditiru oleh setan dan karena itu pantas dijadikan

pegangan bagi kaum Sufi agar tidak terjebak “suluk buta” .47

Di sinilah

kesatuan antara z}a>hir dan ba>t}in menurut al-Ji>la>ni> yang tidak bisa

dipisahkan dalam tasawuf Sunni ‘Amali.

Al-Ji>la>ni> membagi z}a>hir dan ba>t}in menjadi kategori ilmu yang

masing-masing keduanya mempunyai 12 cabang disiplin ilmu sesuai

karakter kekhususan dan keumuman ilmu tersebut. Namun ilmu-ilmu itu

diringkasi menjadi empat bab: Pertama, z}a>hir syariat, berupa perintah

dan larangan syariat serta hukum-hukum lainnya. Kedua, ba>t}in syariat

yang dikenal dengan “ilmu ba>t}in”. Ketiga, ba>t}in sebagai ilmu makrifat.

46 al-Sarra>j Al-T}u>si, Al-Luma’ fi> Ta>rikh al-Tas}awuf al-Isla>mi, 25/26 47 ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r (Cairo: Mat}ba‘ah al-Bahiyyah al-Misr,

tt), 95-96.

Page 167: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

138

Keempat, ba>t}in di atas ba>t}in, yakni ilmu hakikat.48

Para kaum Sufi harus

bisa memperoleh dan mencapai tingkatan ilmu ini sebagaimana sabda

Nabi:

(الحديث)قة ثمرها يالشريعة شجرة و الطريقة أغصانها و المعرفة اوراقها والحق

“Syariat adalah pohon, tarikat adalah ranting-rantingnya dan

makrifat adalah daun-daunnya sementara hakikat adalah buah syariat”.49

Al-Qur’a>n telah mengakomodasi dan menampung seluruh hal

ihwal dimensi spritualitas dengan menggunakan petunjuk (dila>lah),

simbol (isha>rah) baik berbentuk tafsir maupun ta’wil: tafsir bagi

kalangan umum sementara ta’wil bagi kalangan khusus yang lebih

dikenal sebagai al-ra>sikhu>n. Yakni para ulama yang sudah ajeg, tetap

dan kokoh dalam keilmuan.50

Dalam melihat syariah, kita akan mendapati informasi bahwa

al-Ji>la>ni> membagi dua golongan ortodoks dan heterodoks ini sebagai

kubu yang berseberangan: Pertama, kaum sunni, di mana ucapan dan

perbuatannya sesuai dengan syariat dan hakikat secara total. Kedua,

kaum bid’ah, di mana ucapan dan tindakannya terkadang sudah jauh

melampaui batas syariah bahkan dianggap gugur dari takli>f syariah.51

Sinergitas syariat dengan hakikat merupakan persekutuan lain dari

kongruensi antara zahir dan batin. Elemen pertama disebut ayat

muh}kama>t dan elemen kedua disebut ayat mutashabha>t. Kesimpulan

dualitas z}a>hir dan ba>t}in atau dialektika z}a>hir dan ba>t}in (thana>’iyyah wa

jadaliyyah al-z}a>hir wa al-ba>t}in), merupakan kaidah yang terlaku

sekaligus sebagai standarisasi pengetahuan makrifat dan rukun-

48 ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r, 24. 49 ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r, 24. 50 ‘Abd al-Qadir al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asra>r, 24. 51 Al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asa>r, 93. Al-Ji>la>ni> merinci kategori golongan yang masuk

pada golongan bid’ah. Di antaranya, kaum Awliya>’iyyah yaitu kaum yang mendaku

sudah mencapai derajat kewalian. Golongan ini merasa lebih utama dibanding Nabi.

Mereka beralasan bahwa Nabi mencapai derajat kenabian melalui perantara malaikat

Jibril, sementara wali langsung dari Tuhan tanpa perantara. Kaum Hubbiyah, yaitu

kaum yang sudah mencapai tingkat mahabah Tuhan. Kedua golongan ini menganggap

telah gugur menjalani syariat dengan capaian derajat yang diperolehnya. Lihat lebih

lengkap: Al-Ji>la>ni>, Sirr al-Asa>r, 93-95.

Page 168: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

139

rukunnya, metodologinya atau keadaanya (ah}wa>l) bagi para ahli

ma’rifat.

Dualitas inilah yang sesungguhnya melahirkan reproduksi

dualitas cabang seperti komposisi hakikat dan syariat, komposisi akal

dan hati serta beberapa komposisi kombinasi lainnya dalam hal z}a>hir

sebagai sesuatu yang inderawi dan ba>t}in sebagai sesuatu yang ruhani.52

Dalam pandangan Abdurahman al-Sulami, misalnya, ia pun

memberikaan ilustrasi dalam kitabnya, Risa>lah al-Farq bayn ‘Ilm

Shariah wa ‘Ilm al-Haqiqah, bahwa dualitas (thana>’iyya>h) juga terjadi

dalam ilmu riwa>yat dan ilmu dira>yat seperti dalam ilmu H{adi>th, atau

ilmu khidmah dan ilmu musha>hadah, begitu juga ilmu syariah dan ilmu

hakikat. Sebab, lanjutnya bahwa ilmu syariat adalah ilmu riwayat, maka

barang siapa berijtihad dalam penerapan ilmu sesuai jalan Nabi maka

Tuhan akan mewarisi ilmu dira>yah, yaitu ilmu hakikat sebab Nabi

bersabda “bahwa barangsiapa mengamalkan pada apa yang diketahuinya

maka Tuhan akan mewariskan kepadanya ilmu yang tidak

diketahuinya”. Ilmu syariah adalah ilmu khidmah dan ilmu hakikat

adalah ilmu musha>hadah.53

Karena itu proses kedua dimensi ini

diartikan sebagai suatu relasi yang dinamis, dialektis, dualitas

bertingkat-tingkat dan bukan penamaan proses bersaing dan berhadapan

(‘ala>qah taqa>bul) atau bahkan dualisme, sebab dimensi z}a>hir adalah titik

tolak perjalanan dan dimensi ba>t}in adalah puncak dari perjalanan

tersebut. Dengan penyusuran dari satu fase atau keadaan menuju

keadaan selanjutnya.54

Karena itu, dalam pandangan al-Ji>la>ni,> syariah merupakan

harmonisasi antara syariah dan hakikat. Sehingga tidak mengabaikan

dan menafikan syariat untuk menuju hakikat, sebab syariah adalah

“muqadimah” hukum-hukum ubu>diyah dalam lingkaran dunia Fikih,

untuk menuju jenjang yang lebih tinggi, yakni lingkaran dunia

52Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 445. 53Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 446. 54Mukhta>r Al-Fajjari, H}afariyya>t fi> al-Ta’wi>l al-Isla>mi, 448-449.

Page 169: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

140

Tasawuf.55

Al-Ji>la>ni> secara khusus bahkan mengarang suatu kitab

berjudul, al-Mukhtas}ar fi> ‘Ulu>m al-Di>n, di mana isinya fokus membahas

dua bidang keilmuan yaitu ilmu Syariah dan ilmu T}ari>qah. Buku ini

ditujukan kepada para hamba yang sedang suluk kepada jalan Tuhan

agar mendapatkan hidayah dan jalan yang lurus dengan mengutamakan

amal ibadah yang mengutamakan dua ilmu ini secara seimbang dan

proporsional.56

Ilmu syariat baginya, merupakan sejumlah norma-norma

ibadah yang wajib dilakukan seorang kaum sufistik. Dalam hal ini,

al-Ji>la>ni> mengutip kaum sufistik yang dianggap representatif dan

mewakili ikon kaum Sufistik ‘Amali, Abu> Said al-Kharaz, guru Sufinya,

yang menyatakan bahwa “segala tindakan dan perbuatan ba>t}in yang

mengingkari z}a>hir syariah adalah batil”.57

Karena itu tidak diragukan

bahwa al-Ji>la>ni> begitu kokoh dalam memegang syariah.

Yang menarik, pembagian dua bidang ilmu ini, tampaknya

dipengaruhi oleh pemikiran sufistik al-Junaydi. Al-Junaydi secara

ringkas membagi ilmu menjadi dua bagian: Pertama, ilmu ‘Ubu>diyah.

Kedua, ilmu Tarbawiyah. Al-Ji>la>ni> menjelaskan bahwa maksud ilmu

yang pertama adalah ilmu Syariah dan maksud yang kedua adalah ilmu

Tarikat. Masing-masing mempunyai tujuh sub-bab sebagaimana

perincian di bawah ini.58

Ilmu syariah yang paling vital dalam

55Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-

Qushayri (Alexandria: Mansya‘ah al-Ma‘a>rif, 2001), 116. 56‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar Fi> ‘Ulu>m al-Di>n, (Istanbul:

Markaz al-Jaylani li al-Buhu>th al-Ilmiyyah, 2010), cet.ke-1, 83 57‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar Fi> ‘Ulu>m al-Di>n, 246.

58‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>, Kita>b al-Mukhtas}ar Fi> ‘Ulu>m al-Di>n, 247. Secara

khusus, al-Ji>la>ni> membuat kitab yang lebih lengkap tentang fikih sufistik berjudul

al-Gunyah li T{a>libi-‘l- Haq atas permintaan para sahabat dan pengikutnya. Buku ini

sengaja dibuat dengan bahasa yang ringkas dan tidak bertele-tele serta ditujukan bagi

mereka yang mau mengenal Islam, mengajarkan adab-adab Islam dan adab kaum

Sufistik, pengetahuan sekte-sekte yang sesat, hingga mengenal Sang Pencipta dalam

pandangan sufistik. Lihat kata pengantar: ‘Is}a>m Faris al-Kharastani dalam ‘Abd

al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah li al-T{a>lib T{a>riq al-Haqq fi Ma‘rifat al-‘Adab al-Shari>ah,

(Beirut, Da>r al-Ji>l, 1999), cet.ke-1, vol. 1, 2.

Page 170: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

141

pandangan al-Ji>la>ni> adalah: 1. Iman dan Islam. 2. Wara’ dan Takwa. 3.

Shalat. 4. Zakat. 5. Puasa. 6. Haji. 7. Kurban.59

Dalam penutupan surat al-Fatihah (kha>timah al-Surah), al-Ji>la>ni>

menyatakan bahwa surat al-Fatihah merupakan inti dari keseluruhan

al-Qur’a>n dengan penjelasan yang bernas dan tingkat balaghah yang

tinggi: Barang siapa melakukan kontemplasi secara benar dalam surat

itu niscaya akan mendapatkan sari-pati al-Qur’a>n. Karena itu membaca

al-Fatihah difardukan ketika hati kita condong dan menghadap Zat Yang

Ahad melalui lisan syara’, yakni melakukan ritualitas shalat. Shalat

merupakan mi’ra>j klimaks bagi ahli ibadah sebagaimana ia mengutip

H{adi>th “shalat adalah mi’r>aj seoarang mu’min” dan “tidak-lah shalat

seseorang tanp memulainya dengan fa>tihah al-kita>b”.60

Al-Ji>la>ni>

menekankan hukum syariah ketika seseorang hendak melaksanakan

shalat dengan pertama-tama berwudhu serta mensucikan diri hal yang

bersifat zahir seperti kotoran atau najis. Kemudian tahap kedua

penyucian bersifat batin yakni mengenyahkan kelezatan syahwat. Semua

itu dilakukan karena hendak menghadap kiblat asli dalam pengertian

syariah dan “ka’bah hakikat” dalam pengertian pemilik ka’bah yaitu

Tuhan.61

Dalam surat al-Baqarah (QS 2:3), ia menyatakan shalat adalah

kecondongan tindakan yang dilakukan oleh seluruh anggota badan dan

anggota panca indera secara rendah diri dan hina diri kepada Tuhan.62

Karena itu, penekanan al-Ji>la>ni> terhadap syariah merupakan bentuk

konsekuensi pemutihan dan penyucian laku lahiriah seseorang dalam

mengikuti syariah yang tergali dari al-Qur’a>n dan syariah yang tergali

dari akhlak Nabi. Terpenting bahwa al-Qur’a>n dan H{adi>th merupakan

artikulasi dari akhlak Nabi secara zahir dan batin. Kenapa demikian,

sebab al-Qur’a>n adalah akhlak Tuhan yang diturunkan kepada Nabi.

Praktis jika Nabi berakhlak dengan akhlak Tuhan maka ia berakhlak

al-Qur’a>n sebagaimana ujaran H{adi>th “berakhlak-lah dengan akhlak

59 Lebih jauh tentang pembahasan ini lihat: ‘Abd al-Qa>dir Al-Ji>la>ni>, Kita>b

al-Mukhtas}ar Fi> ‘Ulu>m al-Di>n, 83. 60‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 40. 61‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 40. 62‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 45.

Page 171: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

142

Tuhan”. Maksudnya berakhlak sebagaimana yang termaktub dalam al-

Qur’a>n.63

3. Adab Sastra Sufistik

Adab sastra merupakan tahapan di mana seorang sufi melewati

fase adab sufistik. Keduanya berkelindan. Adab sufi mempunyai

karakteristik yang berbeda dengan adab-adab lainnya. Dalam kacamata

sufistik, adab sufi merupakan adab paling eksotis dan paling halus di

antara adab-adab lainnya. Kenapa demikian? Karena adab ini membawa

seorang sufi menuju jalan Tuhan serta mempunyai pembawaan yang

khas dalam menggubah shi‘ir atau nashr tentang kerinduan, kecintaan,

atau kegelisahan. Signifikansi adab sufi dengan adab lainnya adalah

keberadaan adab sufi yang anti kemapanan, anti hegemoni, berani

melawan arus, cenderung sibuk dengan dunianya sendiri. Terkadang, hal

yang dianggap remeh oleh kebanyakan orang akan menjadi begitu

bernilai agung dalam pandangan sufistik, dan begitu juga sebaliknya.

Hal ini karena dorongan dan motivasi yang melatar-belaknginya. Adab

sufistik didorong oleh produktivitas hati nurani dan emanasi ilahi,

sementara adab lain cenderung didorong oleh faktor popularitas dan

materialitas duniawi .64

Di samping itu, adab ini mengharuskan etika secara z}a>hir dan

ba>t}in. Adab ba>t}in mengharuskan seorang sufi untuk menjaga laku

syariah dalam ibadah dan muamalah, sementara adab ba>t}in adalah etika

hati (ada>b al-qalb) menurut pandangan ahli suluk. Ketika sudah

mencapai dua tahapan ini, maka praktis sufi menjadi seorang ’Adi>b

karena telah menyempurnakan norma-norma dan etika sufistik (maka>rim

al-akhlaq), yang membedakannya dengan kaum sastrawan lainnya.

Manusia menjadi makhluk sempurna dengan anugerah fisik yang

dikarunia Tuhan karena itu harus dibarengi dengan keindahan etika agar

menjadi gambaran utuh yang sempurna antara sisi lahir dan sisi ba>t}in.65

63

‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 38-39. 64Farah} Na>j Rif’at Ju>, Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi (Beirut: Dar

al-Ha>di, 2008), cet.ke-1, 283. 65Farah} Na>j Rif’at Ju>, Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi , 274.

Page 172: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

143

Jatidiri tasawuf adalah totalitas adab bahkan secara umum merupakan

citra dari adab Islam sendiri, namun bukan dalam pengertian teologi,

mazhab atau aliran melainkan dalam pengertian eksistensi kebenaran

hakiki (‘ayn al-haqi>qah).66

Bahkan Abu> ‘Abd al-Rah}man al-Sulami (w.

1021) menyatakan bahwa tasawuf adalah adab itu sendiri.67

Tradisi

kenabian, membaca al-Qur’a>n, laku kesalehan, tinggi budi pekerti,

semua itu bisa diserap dan diafrimasikan secara tidak langsung melalui

frase “adab”.68

Karena itu, tanda-tanda dari seorang sufi yang beradab

adalah tidak lepas dari nilai-nilai akhlak Islam secara umum seperti

sabar, khusnul khuluq, kasih sayang kepada sesama atau merasakan

sensasi kelezatan ruhani ketika melakukan berzikir dan beribadah.

Untuk menjadi seorang sufi-’adi>b sejati, seseorang bahkan dituntut

untuk membunuh super ego-diri (al-ana>niyah) demi menyucikan hati

untuk kemudian berinteraksi dengan manusia dengan etika sopan-santun

dan menyembah Tuhan secara ikhlas sempurna. Adanya tuntutan-

tuntutan seperti ini kelak menjadikan seorang sufi dengan adabnya

sebagai sufi yang mencapai tingkan adi>b dan ari>f.69

Dalam literatur labirin sejarah, sumber sastra sufistik didasarkan

pada empat kategori. Pertama, syair keagamaan, sebagaimana yang

ditunjukkan oleh H{asan bin Tha>bit pada generasi awal Islam. Kedua,

syair perempuan, sebagaimana yang ditunjukan oleh banyak kaum

sufistik seperti Jalaluddin al-Ru>mi. Ketiga, syair mabuk-mabukan,

sebagiamana yang ditunjukkan oleh Abu Nawas yang melegenda itu.

Keempat, simbolik.70

Sumber yang terakhir inilah kategori yang masuk

dalam inti pembahasan. Simbolik, rumus dan hiperbola (al-isha>rah, al-

rumz wa al-kina>yah) mempunyai peranan besar dalam adab sastra

sufistik karena menjadi asas dan konstruksi di mana sastra sufi berdiri di

atasnya. Di samping itu, isha>rat atau rumz merupakan artikulasi dari

66Farah} Na>j Rif’at Ju>, Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi , 274. 67 Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical Islam

(London and New York: Routledge, 2006), cet. ke-1,30. 68

Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical Islam,

29. 69Farah} Na>j Rif’at Ju>, Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi , 278. 70Farah} Na>j Rif’at Ju>, Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi , 280.

Page 173: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

144

penyelaman makna ba>t}in dalam wajah balaghah. Dan arti kode-kode

simbolik ini tidak akan diketahui kecuali oleh ahli suluk dan mereka

yang peduli dunia sufistik akan ikut menimba di dalamnya.71

Dalam pembacaan sastra modern, kekhasan bahasa sastra

merupakan suatu eksploitasi, rekayasa atau bahasa biasa yang

menghasilkan makna sastra di mana ia membangun maknanya dengan

bertumpu pada sistem tanda bahasa biasa. Oleh karena itu, bahasa sastra

kerap disebut sistem bahasa tingkat kedua (sekunder), sedangkan bahasa

biasa disebut sebagai tanda bahasa pertama.72

Kekhasan bahasa sastra

dalam adalah kadang muncul dalam mempermainkan bahasa bahkan

berusaha menentang dan menghancurkan cara bahasa biasa jika

memungkinkan ke arah sana. Cara tidak lazim ini terjadi karena untuk

melakukan kemungkinan proses inferensi atas pasangan-pasangan

oposisi-oposisi biner, praksis, dengan sekaligus melakukan inferensi

terhadap bahasa sendiri. Lompatan inferensi ini merupakan proses tidak

sadar dari bahasa biasa menuju bahasa sastra. Inilah syarat seorang

penafsir untuk bisa mencapai penafsiran pada level adab sastra

(sufistik).73

Karena itu, pengalaman kaum sufistik merupakan pengalaman

yang tidak hanya dibaca oleh panca indera, melainkan pengalaman

seluruh jiwa ketika bergumul dengan Tuhannya. Ekspresi pengalaman

itu dimanifestasikan tidak dalam alam pikiran semata, tapi juga

dituangkan dalam bentuk bahasa tulis. Karena inilah, pengalaman atau

eksperimen bisa menjadi legitimasi, yakni sebagai salah satu metode di

samping metode apriori, tentunya. Dalam sejarahnya, Bahasa dan

71 Farah Na>j Rif’at Ju, al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘inda Jalaluddin al-Ru>mi, 280. 72 Rh. Widodo, Saussure Untuk Sastra: Sebuah Metode Kritik Sastra

Struktural (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), cet.ke-1, 61. 73 Cara mendapatkan penafsiran sastra adalah mengajukan metode penafsiran

yang terimplikasi dalam sebuah teori yang mengilustrasikan hubungan antara sistem

tanda bahasa biasa dengan dengan sistem tanda sastra. Karena itu tidak cukup dengan

mengajukan metode struktural yang mengambil inspirasi dari Saussure semata. Agar

tidak terjebak pada repetisi inferensi makna diperlukan langkah integralisasi dan

efektifitas yakni perpaduan kerjasama dengan bahasa sastra Roland Bartes yang berupa

pandangan teori mitos, di mana ia juga berbicara tentang dua tingkatan sistem tanda.

Lihat, Rh. Widada, Saussure Untuk Sastra, 62.

Page 174: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

145

sufisme merupakan dua elemen yang saling berkait-kelindan satu sama

lainnya. Bahkan bahasa sufisme mempunyai bahasa dengan corak dan

karakter sendiri yang amat khas dan menjadikannya berbeda dengan

model bahasa lainnya.74

Penulisan gaya sufisme bukan sekedar penulisan dengan

mempertontonkan metode atau bentuk aturan penulisan konvensional

atau sejenisnya, melainkan penulisan yang syarat dengan pengalaman

ba>t}in dan jiwa yang mengalir dengan sendirinya tanpa disengaja atau

dipaksa dalam sebentuk karya prosa atau sastra. Bahasa sufi adalah

bahasa isyarat yang lebih mengindahkan esensi dibanding materi.

Karena itu menulis merupakan unsur ontologi yang melekat secara

alamiah dalam kehidupan kaum sufistik secara totalitas dan tidak hanya

melulu sebagai dimensi suluk yang dijalani.75

Dalam hal ini, kaum sufistik mempunyai ekspresi yang berbeda-

beda satu dengan lainnya dalam mengungkapkan bahasa hati, tergantung

pada subyek pengalaman. Ruang hati ini kemudian dituangkan dengan

ragam obyek tulisan. Kecenderungan gaya penulisan sendiri ada

beberapa macam dan secara acak dapat dikelompokkan menjadi tiga

macam: Pertama, penulisan sastra dengan menggunakan aturan rumus

wazan, qa>fiyah sebagaimana lazimnya syair-syair kebanyakan. Kedua,

penulisan prosa (nashar). Ketiga, penulisan bahasa sastra bebas dengan

menyandarkan kepada kekuatan bahasa analitik, nalar dan penjelasan.76

Ketiganya ini, secara prinsip bisa dikategorikan sebagai tulisan sastra

sufisme (shi’riyyah al-mutas}awwifah) karena kental dengan keindahan

sastra. Dan karena itulah, bahasa sufi lebih tepat dan dekat dengan suatu

seni: seni sastra sufistik.77

Secara analitik, memang ada titik persamaan

antara sastra konvensional dengan sastra sufistik. Dalam hal ini,

keduanya mempunyai visi terhadap obyek diskursus, seperti visi tentang

cinta, ketakutan, kerinduan, serta bermain-main dalam alam khayalan.

Alam khayal merupakan elemen terpenting dalam sastra sufistik sebab

74 Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi fi> al-Futu>ha>t al-Makiyyah li Muhyiddn

Ibn ‘Arabi (Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘A<mah li-‘l- Kita>b, 2005), 56. 75Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi , 57. 76Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi , 54. 77Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi , 56.

Page 175: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

146

logika dari sufisme adalah menerjemahkan sesuatu yang transendental

dan metafisik akan keberadaan sang pencipta dan perjumpaan dengan

Sang Kekasih.78

Karena itu, wajar jika sastra sufisme merupakan bagian dari

pengetahuan dan tidak hanya sekedar karya sastra. Syair dan sufisme

merupakan sebuah pararel yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya

mempunyai korelasi yang kuat dan mengikat. Kecenderungan syair

adalah tidak patuh dalam aturan baku norma-norma permanen dan

aturan konvensional bahasa melainkan bersifat ritme perubahan dinamis

yang abadi, tidak ajeg, memberontak, bebas, jujur dan menusuk terhadap

jantung makna. Karekter ini dengan sendirinya sudah ditemukan dalam

konsepsi tasawuf. Yang membedakan keduanya adalah visi. Visi tasawuf

adalah, dengan gaya sastranya, mencoba mencari makna terdalam suatu

hakikat kebenaran serta menyingkapnya melewati batas dan sekat-sekat

keadaan dari alam imanen menuju alam transenden. Karena itu, bahasan

kaum sufistik lebih kepada identitas bahasa isyarat dan rumus-rumus

simbol (lughah al-isha>rah) sebagai pengantar utama, sebab bahasa biasa

(lughah al-‘iba>rah), identik dengan perangkat materi fisis-logis dan alam

material, serta tidak mencakup eksistensi keberadaan ruang hati yang

menampung dua dimensi makna: z}a>hir dan ba>t}in.79

Bahasa praktis atau bahasa biasa digunakan sebagai bahasa

komunikasi, sedangkan bahasa sastra tidak mempunyai fungsi praktis

yang sama. Karena itu, kesusastraan harus diperlakukan sebagai suatu

pemakaian bahasa yang khas dan mencapai perwujudannya lewat

derivasi dan distorsi dari bahasa praktis. Dalam kacamata formalisme

modern, yakni para tokoh lingiusitik strukturalisme Saussurian yang

mengembangkan analisis sastra, kesusteraan adalah tugas mempelajari

struktur bahasa atau kata-kata dan bukan mempelajari amanat, sumber,

sejarah sastra, subjek puitis ataupun novel. Bahasalah yang

menyebabkan seni sastra itu. Seni dalam pandangan tokoh formalisme

adalah alat. Karena bahasa sastra sangat ditentukan oleh seni maka

pembangunan seni dibentuk dengan menyusun dan mengubah bahannya

78Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi , 58-59. 79Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi , 57/62/78.

Page 176: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

147

yang bersifat netral.80

Kualitas inilah yang kemudian yang membedakan

kesusteraan dari bahasa praktis. Pengolahan atau penyulapan kata

merupakan bahan netral secara estetik untuk digubah menjadi karya

sastra. Cara pengolahan ini dalam sastra puitik adalah ritme, macam-

macam bentuk perarelisme atau pertentangan, gaya bahasa atau kiasan

metafor.81

Lepas dari perbedaan dan persamaan habitus, cara pandang,

konsep, cara dan variabel-variabel antara kaum sufi dan kaum

formalisme, ternyata teori ini sudah jauh-jauh hari dipraktekan oleh

kalangan sufistik. Bahkan kalangan sufistik mampu menembus batas

untuk menjadikan sastra sebagai suatu pengetahuan, sumber inspirasi

dan transendensi yang tidak dilakukan oleh kaum formalis yang hanya

menyandarkan pada batas permainan struktur kebahasaan. Kajian ini,

jika menggunakan pendekatan sastra modern ternyata menemukan

relevansinya sebagaimana pandangan formalisme di atas. Hal ini diakui

juga oleh beberapa pemikir Arab yang concern terhadap kajian sastra

sufistik seperti yang diperlihatkan oleh Sahar Sami. Baginya sastra

susfistik adalah cita rasa kelezatan sebagaimana yang dipahami oleh

Roland Bartes dalam pandangan sastra.82

Di samping itu, sastra harus

diposisikan sebagai sesuatu yang megah, di mana teks sastra mampu

melewati batas makna z}a>hir menuju makna lain yang kemudian disebut

metafor, metafisik, majaz atau ba>t}in. Bahkan, dalam mengkaji teks

susfistik, pembaca masuk ke dalam suatu mental agar mampu menjadi

pembaca sungguhan yang berpetualangan dengan sensasi keindahan,

kehadiran, kejutan-kejutan, ide-ide bernas, menggelitik, dan merasakan

ritme dinamis-progresif yang ada dalam balutan setiap tulisan sastra

sufisme.83

Di sinilah pentingnya mempelajari dila>lah sebagai bentuk

penanda (da>l) dan petanda (madlu>l). Penanda adalah kehadiran yang

tampak dalam teks, sementara petanda adalah sesuatu yang tidak

80

Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, 124. 81Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, 124. 82Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi , 60. 83Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi, 60.

Page 177: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

148

tampak dan tersembunyi dari teks. Dualisme makna ini begitu menyatu

dalam hampir setiap tulisan-tulisan sufistik Isha>ri, seperti yang

ditunjukkan dalam lembaran-lembaran Tafsi>r al-Ji>la>ni> yang begitu

eksotik dan melampaui bahasa sastra kaum sufistik sekalipun dengan

tetap tidak meninggalkan dualisme makna ini. Sebab teks, bagi kaum

sufistik, mempunyai pesan ganda secara esensial yang tidak bisa

dilepaskan dari makna yang dikenal sebagai dualisme z}a>hir dan ba>t}in di

mana tidak ada pertentangan atau dipertentangkan sebagai bentuk

dualisme, kontradiksi, kontraproduksi dan kontraposisi.84

Dalam kacamata lingusitik modern, teori ini bisa ditemukan

dalam pemikiran Ferdinand de Saussure. Teori strukturalisme yang

dibangunnya berhasil mengantarkan kepada diskursus tentang isi dan

ekspresi. Baginya, peleburan konsep linguistik suatu petanda (signified)

dan penanda (signifier) tersusun dari sifat-sifat khusus yang dipisahkan

oleh bahasa dari peristiwa keadaan yang sesungguhnya. Kenyataan

bahwa suatu isyarat atau tanda tidak akan dikacaukan oleh tanda lain

merupakan satu hal yang relevan dari keduanya. Keistimewaan sistem

tanda inilah dibanding sistem tanda lainnya yang tidak memiliki atribut

makna. Perbedaan-perbedaan inilah yang merupakan objek materi

pembahasan, sebab bahasa hampir seluruhnya terbentuk dari perbedaan-

perbedaan itu –sebagai konstruksi language games jika meminjam

Wittgenstein. Nilai apapun yang dimiliki oleh suatu tanda terletak pada

perbedaan terhadap tanda-tanda yang lain. Inilah nilai yang tidak bisa

disanggah dalam sistem bahasa.85

Jika berkaca terhadap al-Qushayri melalui Lat}a>’if al-Isha>ra>t, ia

melihat adab Sastra Sufistik sebagai artikulasi ayat-ayat al-Qur’a>n

berorientasi pada isyarat-isyarat dengan menggunakan pendekatan

kesusastraan. Baik penafsiran dengan gubahan syair, ungkapan kalimat

84Sahar Sami>>, Shi’riyah Nas} al-S{u>fi, 60. Sebagaimana dualisme ini sebetulnya

sudah menjadi hukum alam dan sunah Tuhan. Adanya dalil alam menunjukan

keberadaan madlu>l sang pencipta. Inilah yang kemudian disebut isyarat di balik

fenomena. 85 Kaelan, Filsafat Bahasa, 271.

Page 178: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

149

bersastra tinggi maupun kalam nashr.86 Adab, dalam konteks sufisme,

tidak bisa dipisahkan dari kaum Sufi, sebab adab erat kaitannya dengan

keindahan dan kenikmatan yang diperoleh ketika mencapai ekstase

puncak dan pengalaman ruhani bercumbu dengan Sang Kha>lik. Karena

itu, kitab Lat}a>’if al-Isha>ra>t sangat kental dengan pendekatan sastra

berbentuk syair.

Perbedaan dengan al-Qushayri, corak al-Ji>la>ni> dalam tafsirnya

cenderung mendominasi sastra melalui pendekatan kalam nashr. Dalam

pendekatan syair ia lebih dominan dalam karya-karya di>wa>n syair yang

menjadikannya kokoh seorang sufi yang ’adi>b dan ‘a>rif.87 Namun

demikian, sebagai bukti ciri khas sufistik, ternyata pada pembukaan

tafsir ia sengaja menyelipkan syair-syair sebagai puja-puji kepada

Tuhannya88

:

و عن وصف التفرق و الوصال# تعالى الحق عن علم الرجال

يجل عن اإلحاطة و المثال # إذا ما جل شيء عن خيال

Di lain tempat, ditemukan juga al-Ji>la>ni >menerapkan pendekatan

sastra syair ketika menutup tafsirnya sebagai epilog dari karya

tafsirnya89

:

بالفرجوعجل بالنصر# بألهم يا رب بهم و

Wahai Tuhanku, kepada Nabi dan para sahabat serta keluarganya..

Segerakanlah pertolongan dan kelapangan hati..

86Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-

Qushayri, 65. 87 Untuk melihat lebih lengkap bentuk syairnya, bersyukur sang muhaqiq,

Muhammad Fad}i>l, membuat kompilasi karya-karya syairnya menjadi satu paket dalam

Tafsi>r al-Ji>la>ni> yang dituliskannya pada volume akhir. Lihat: Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>,

Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 6, 463-475.

88Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 33. 89Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 6, 461.

Page 179: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

150

4. Ilmu Balaghah

Ilmu balaghah bagi kaum sufistik merupakan landasan menuju

interpretasi dalam menangkap ide-ide ilham atau inspirasi sufistik yang

terbingkai dalam lafal-lafal balaghah.90

Sebagaimana telah maklum,

balaghah merupakan ilmu yang membahas secara khusus seni keindahan

berbahasa karena menggunakan bahasa-bahasa yang mengandung nilai

sastra yang tinggi. Dalam pandangan ilmu linguistik, ilmu balagah

disetarakan sebagai ilmu semantik. Karena itu, ilmu ini dikatakan

sebagai ilmu yang mengungkapkan metode melalui keindahan rangkain

bahasa yang indah dan nilai estetika yang tinggi, sehingga memberikan

makna terhadap “muqtad}a h}a>l”, yakni kesesuaian dengan situasi dan

kondisi hingga memberikan kesan mendalam bagi pendengar dan

pembacanya. Balaghah merupakan makna-makna yang terpancar dari

suatu kalimat melalui berbagai macam cara: Sebagian dengan isyarat

simbol, retorika, diskusi, tulisan atau hal-hal lain yang berkenaan dengan

tidak menghilangkan unsur penekanan kepada keindahan kalimat yang

ringkas, tepat dan lugas. Signifikansi ilmu balaghah secara hukum tidak

dimaksudkan untuk menampilkan i’ja>z dan keagungan al-Qur’a>n

melainkan lebih kepada titik penjelasan makna-makna serta

mengakrabkan bentuk-bentuk dan norma penjelasan itu kepada

pembacanya, sehingga pembaca merasakan getaran makna serta

meresapi makna-makna terkandung di dalamnya. Karena itu,

al-Zamakhshari dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’a>n tetap berpegang

teguh pada perangkat-perangkat kebahasaan dan elemen-elemen

balaghah.91

Balaghah dalam kacamata sufistik tetap tidak menghilangkan

dasar-dasar ilmu balaghah seperti sifat kalam yang bali>g dengan

melibatkan tana>suq al-as}wat (kesesuaian bunyi), tarki>b lughawi yang

sesuai, dan kandungan unsur-unsur imajinatif yang berkesan. Hal yang

tak dilupakan adalah fas}ahah, yang berarti implementasi makna melalui

90Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-

Qushayri, 144. 91Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 214.

Page 180: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

151

lafaz-lafaz yang jelas meliputi: 1) Kemudahan pelafalan. 2) Kejelasan

makna. 3) Ketepatan sharaf. 4) Ketepatan nahwu. Karena itu, setiap

kalimat yang bali>gh pastilah fasih, namun tidak sebaliknya. Sementara

jenis-jenis ilmu balaghah mencakup: (1) Ilmu ma’a>ni, yaitu ilmu yang

mempelajari susunan bahasa dari sisi penunjukan maknanya, atau ilmu

yang mengajarkan cara menyusun kalimat agar sesuai dengan muqtad}a

al-h}a>l. (2) Ilmu baya>n, yakni ilmu yang mempelajari cara-cara

penggambaran imajinatif. Secara umum bentuk penggambaran

imajinatif itu ada dua. Pertama, penggambaran imajinatif dengan

menghubungkan dua hal. Kedua, penggambaran imajinatif dengan cara

membuat metafora yang bisa diindera. (3) Ilmu badi>’, yakni ilmu yang

mempelajari karakter lafaz dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian

makna. Kesesuaian tersebut bisa berbentuk keselarasan ataupun

kontradiksi. Di samping itu, yang tidak boleh dilupakan adalah unsur

shakl yakni lafaz dan mad}mu>n, yakni makna di mana keduanya ibarat

jasad dan ruh. Dan inilah yang diutamakan dalam keilmuan sufistik.92

Sufisme balaghah adalah tahapan makna secara gradualistik.

Dimulai dari makna biasa, menuju makna balaghah kemudian meningkat

lagi menuju makna simbolik. Karena itu, bisa dikatakan bahwa tafsir

Isha>ri bertolak dari ilmu balaghah. Pokok-pokok ilmu balaghah yang

telah dipaparkan di atas sejatinya yang dikehendaki bukan makna literal

atau makna balaghah, melainkan untuk sebuah alat kepentingan, yakni

agar kaum sufistik tenggelam dalam makna simbolik-esoterik.93

Bahkan

diam-diam, salah satu jenis ilmu balaghah, yakni ilmu ma’a>ni

merupakan ilmu yang diandalkan sebagai variabel penyingkapan sufistik

(lawn min alwa>n al-khashf al-s>ufi>).94 Bagi al-Qushayri, terma “naz}am”

dalam al-Qur’a>n tidak hanya berfungsi sebagai seni untaian keindahan

al-Qur’a>n –sebagaimana yang dipahami dalam ilmu balaghah–, namun

berfungsi sebagai lafal-lafal yang mengandung eksistensi penggerak

92Ih}sa>n al-Ami>n, Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r, 160. 93

Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 146.

94Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-Qushayri, 145.

Page 181: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

152

menuju kebahagian hakiki dari emanasi ketuhanan yang menembus hati

kaum sufistik atas penglihatan (bas}irah) ba>t}innya.95

Penemuan sufisme balaghah dalam tafsir al-Ji>la>ni> hampir

didapati pada setiap ayat yang memang syarat keindahan bahasa dan

ketinggian seni fasih bahasa. Bahkan menurut versi sang penyunting,

Muh}ammad Fa>d}il, tafsir ini tidak ada duanya di dunia ini.96

Contoh yang

menarik untuk ditampilkan adalah basmalah. Uniknya, hampir

dipastikan dalam setiap surat, al-Ji>la>ni> memberikan pernyataan

penafsiran Basmalah yang berbeda-beda satu dengan lainnya tergantung

pada isi tema surat tersebut. Dalam surat Ali Imran misalnya, ia

menafsirkan basmalah dengan menyinggung dan menghubungkan

dengan tema yang ada dalam isi surat itu mengenai muh}kama>t dan

mutasha>biha>t, sebagaimana penafsirannya:

“Bismillah, dengan menyebut nama Tuhan yang telah menurunkan kitab

dan mengutus para utusan sebagai petunjuk bagi hamba awam menuju

pemberhentian alam akhir. Al-Rah}ma>n, Zat Yang Pemurah kepada

mereka dengan menurunkan ayat-ayat muh}kama>t, yakni ayat-ayat yang

pasti dan jelas, yang diperuntukkan demi mendapatkan emanasi

keyakinan dan ke-‘irfa>n-an. Al-Rahi>m, Zat Yang Pengasih kepada

mereka dengan menurunkan ayat-ayat mutasha>biha>t, yakni ayat-ayat

yang tampak samar dan ambigu namun mengandung sebab musabab

untuk mencapai ketauhidan bagi ahli hakikat dan ahli keyakinaan”.97

95Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-

Qushayri, 158. 96Muh}ammad Fa<>d}il al-Ji>la>ni> al-H{asani al-Tayla>ni al-Jamazraqi, Muqaddimah

Tafsi>r al-Ji>la>ni>, 26. 97Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 248.

Page 182: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

153

B. Ilmu-Ilmu Ba>t}in (Perangkat Esoterik Tafsir Sufistik Isha>ri)

1. Simbol

Setiap agama mempunyai simbol tertentu untuk mendefinisikan

suatu norma atau risalah tertentu di dalam ajaran dan tradisi suatu

kaum, baik sebagai simbol mitos legenda maupun simbol agama. Simbol

merupakan ciri kekuatan makna yang tersembul pada entitas simbol

tersebut. Dalam alam Yunani, Aristoteles sudah membuat rumusan

simbol dalam peradaban manusia menjadi tiga kategori besar. Pertama,

simbol nalar (al-rumz al-naz}ari/theoritical symbol). Yakni simbol yang

merupakan korelasi simbol dengan ilmu pengetahuan Kedua, simbol

praksis (al-rumzal-‘amali/practical symbol). Yakni simbol yang

berorientasi kepada ranah praktikal dan tindakan. Ketiga, simbol

sastrawi atau simbol keindahan (al-rumz al-shi’ri wa al-jama>li/poetical

or aesthetic symbol). Yakni simbol yang berorientasi pada entitas ba>t}in

atau esoterik yang terjadi dari proses mentalitas pribadi pengalaman

jiwa, perasaan simpati, atau wujud eksistensi diri.98

Ketiga kategori

simbol ini secara praktis bisa digolongkan ke dalam tiga unsur, yaitu

logika sebagai jalan pengetahuan, etika sebagai jalan suluk, dan seni

sebagai jalan watak esensialis dan keberadaan.99

Singkatnya, rumus atau

simbol sendiri merupakan bagian yang terpisah satu sama lainnya secara

kategorial, namun secara prinsipil memungkinkan adanya gabungan atau

dialektika seperti halnya tindakan etika dengan nalar pikiran atau

psikologi dan psikis –dengan catatan keduanya tidak terjadi kontradiksi.

Dalam tradisi sufi, akan tampak teorisasi ini ketika ajaran cinta

kepada Tuhan sebagai dialektika cinta antara fisik dan jiwa dicitrakan

98At}if Jawdah Nas}r, Al-Rumu>z al-Shi’ri ‘inda S}ufiyah (Cairo: al-Maktab al-

Mis}ri, 1998),cet. ke-1, 19.

99 C.G. Jung, seorang psikoanalisis spritiual yang mengkritik teori-teori Frued,

membedakan antara alamat/gejala dengan rumus/simbol. Yang pertama lebih kepada

isyarat panca indera pada suatu peristiwa atau objektivitas bersifat material, sementara

rumus merupakan representasi isharat atau kode-kode yang mengarah terhadap makna

universal yang hanya bisa diketahui oleh firasat atau insting. Lihat: At}if Jawdah Nas}r, Al-Rumu>z al-Shi’ri ‘inda S}ufiyah,20.

Page 183: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

154

dengan simbol perempuan seperti Ibn Arabi dan banyak sufi lainnya;

gambaran keindahan perempuan seperti seekor kijang yang lincah

menggemaskan; minuman arak sebagai bentuk representasi seorang

hamba yang sedang mabuk panteisme dengan Tuhannya.100

Simbol

merupakan hasil kreasi dari bahasa, metafora, puisi, permainan kata-

kata, kisah dan mitos yang menjadikannya unik dan eksentrik dalam

interpretasi penafsiran sufistik. Hal ini menjadi kontras ketika

disandingkan dengan terma alegoris, yang menjadi tradisi penafsiran

tasawuf falsafi, sebagai penafsiran berorientasi sensorik dan emosional

yang mengandalkan cahaya iluminatif101

Penting ditandaskan, bahwa simbol merupakan identitas penting

dalam suatu ritus keagamaan atau ritual ajaran yang memainkan peranan

sejauh mana penyucian, penghambaan atau bahkan pengorbanan kafa>ra>t

yang bermacam-macam, sebagaimana simbol itu sendiri sebagai bentuk

ekspresi dari ketersingkapan norma-norma khas dan nilai-nilai yang

tersembunyi dari suatu ibadah murni beserta segenap sakralitas yang

menyertainya. Karena itu, simbol di sini penting ditanamkan sebab

merupakan tanda keagamaan yang agung dan mendalam yang

memungkinkan manusia mampu mencapai tingkatan hakikat yang

transenden, serta akal budi manusia sempurna melalui usaha yang

dicapai berupa pengalaman ba>t}in dan pembentukan simbol-simbol

keagamaan. Inilah tugas utama dari simbol-simbol keagamaan tersebut

sebagaimana ungkapan Paul Tilich dalam bukunya, Theology and

Symbolism.102

Simbol merupakan sesuatu yang berbeda dengan bahasa, di mana

bahasa adalah perangkat ujaran yang berasal dari pikiran-pikiran,

makna-makna dan entitas-entitas yang, dengannya, bisa sempurna

menemukan kesepahaman di antara sesama manusia melalui akumulasi

bentukan huruf, kata-kata dan rangkain kalimat. Sementara rumus lebih

luas dari itu. Ia bisa digambarkan melalui isyarat atau gerakan. Ada

100At}if Jawdah Nas}r, Al-Rumu>z al-Shi’ri ‘inda S}ufiyah, 136/138. 101 Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic Classical Islam,

138. 102At}if Jawdah Nas}r, Al-Rumu>z al-Shi’ri ‘inda S}ufiyah, 33.

Page 184: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

155

bahasa tangan, bahasa kepala, bahasa tubuh, bahasa mata, bahasa

matematika, bahasa huruf dan kalimat sebagaimana rumus-rumus

simbolitas al-Qur’a>n. Dalam hal ini, seorang manusia yang ingin

mengetahui simbol pada suatu ayat tertentu (disebut sebagai al-marmu>z

ilayh) harus mengerti dari sang pemilik simbol itu, yakni Tuhan (disebut

sebagai ra>miz atau s}a>h}ib al-rumz).103

Dengan demikian, rumus atau simbol tidak berlaku pada kalimat

yang sudah umum melainkan hanya bermain kepada diskursus makna

yang telah diisyaratkan (al-musha>r ilayh) dan telah disepakati

kemaknaannya (al-muttafaq ‘alayh). Kesepakatan ini terlepas dari dua

personal atau lebih, atau bahkan antara satu komunitas dengan

komunitas lain. Letak distingstif yang mencolok dari bahasa; bahasa

merupakan untaian makna yang sudah dibatasi dan dikelilingi oleh

sejumlah proposisi fisis dan logis dari struktur bahasa atau kamus.

Sementara rumus tidak terikat dengan aturan struktur bahasa atau

kamus bahasa dengan kerumitan atau keasingannya, bahkan tidak

membutuhkan penafsiran, komentar dan penjelasan. Rumus adalah

makna yang dibangun secara independen, mana-suka, bebas dan bahkan

mematikan dan membutakakan sekaligus menghancurkan makna asal

(al-ta‘miyyah wa al-tamwiyyah).104

Ia menyimpan suatu rahasia di balik

rahasia dan rahasia ini hanya dibangun secara eksklusif untuk mereka

yang mengalaminya dan mengetahuinya. Sebaliknya, mitos akan sangat

acuh dan tidak peduli kepada mereka yang tidak mengetahuinya.

Mengapa demikian? Sebab dalam konteks makna seperti ini, telah

terjadi transformasi level makna primer atau makna biasa menuju makna

sekunder atau makna simbolik. Proses ini berlangsung ketika terjadi

peralihan makna yang terbatas menuju tidak terbatas dengan

penggabungan asosiasi-asosiasi tertentu oleh penafsirnya sehingga

menjadi “sesuatu yang lain”, sesuai yang diinginkannya dalam sistem

tanda bahasa tersebut (al-marmu>z lah).105

103

Mahmud Muh}ammad Rabi>’, Asra>r al-Ta’wil (Mesir: al-Hay’ah al-Misriyah

al-‘Amah, 1993), cet.ke-1, 238. 104Mahmud Muh}ammad Rabi>’, Asra>r al-Ta’wil, 241. 105Mahmud Muh}ammad Rabi>’, Asra>r al-Ta’wil, 241.

Page 185: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

156

Untuk membaca paparan di atas secara komprehensif, ada

pendekatan teori mitologi Barthes guna membantu menguraikannya

sistem semiologi dalam mitos. Mitos dalam teori mitologi Roland

Barthes adalah bentuk tuturan yang menggunakan sistem tanda tingkat

kedua. Karena itu, karya sastra maupun simbol masuk ke dalam kategori

pengertian ini. Dengan kata lain, mitos sudah sedemikian rupa

membangun maknanya dengan cara mengeksploitasi, merekayasa dan

mempermainkan sistem tanda bahasa primer sebagai tanda tingkat

pertama menuju sistem tanda sekunder sebagai tanda tingkat kedua.

Mitos tidak lagi sekedar memiliki makna di tingkat pertama, yakni

makna primer kebahasaan secara harfiah atau denotatif, tetapi mampu

menyembunyikan makna lain yakni makna mistis, simbolik atau

kiasannya.106

Untuk mencapai pemahaman ini diperlukan model yang

menggambarkan “penindasan” sistem tanda mitos (sebagai penanda)

pada sistem tanda bahasa (sebagai petanda). Adanya petanda (signifier)

mengekspresikan penanda (signified).107

Menafsirkan mitos atau simbol

tidak lain merupakan upaya untuk menemukan makna yang tersembunyi

melalui sebuah analisis terhadap sistem tanda primer atau makna

denotatif z}a>hir yang dipergunakannya. Tafsir mitos merupakan

pekerjaan cukup rumit karena menyangkut perihal bagaimana ragam

asosiasi semantik dapat terbentuk dari tuturan mitis. Tidak hanya

mengandalkan logika, tetapi juga kekuatan dan kelincahan imajinasi

atau intuisi dalam menilisik dan menemukan hubungan asosiatif serta

implikasi logis yang secara potensial terkandung dalam tuturan mitis

simbolik. Di samping itu, pembendaharaan pengetahuan simbolik

mufasir sufistik akan sangat berperan terhadap kedalaman makna dan

menentukan keberhasilan makna sebuah tafsir mitos.108

106 Rh. Widodo, Saussure Untuk Sastra: Sebuah Metode Kritik Sastra

Struktural (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), cet.ke-1, 63. 107 Roland Barthes, Mythologies (NewYork: The Nonnday Press, 1991), 111. 108 Tiga Dimensi Bahasa Mitos

Penanda (bahasa sekunder/konotatif/signifier) Petanda (bahasa

primer/denotatif/signified)

Page 186: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

157

Dalam penafsiran mitos-simbolik terdapat proses analisis mitos

yang tidak bisa diabaikan. Pertama, meninjau paparan sintagmatik mitos

dan menemukan prosedural pemitosan. Maksud sintagmatik mitos

adalah apa dan bagaimana ragam mitos itu ditampilkan berupa narasi

atau semacamnya dengan cara rekayasa bahasa atau kiasan, melalui

eksploitasi terhadap sistem tanda dan makna primer-denotatif.

Sementara dalam prosedural pemitosan terhadap kategori-kategori

sebagai berikut: (a) Penumpang-tindihan tanda-tanda dalam sistem

tanda primer. Yakni dengan memanfaatkan tanda yang mempunyai

homologi kemiripan, kesejajaran atau pesan moralitas makna dan

bentuk. Dalam narasi penafsiran, prosedural ini akan menampakkan diri

melalui paparan sintagmatik yang seolah mempunyai makna denotatif

atau z}a>hir tetapi sesungguhnya narasi ini memiliki makna-makna kiasan

atau simbolik yang kaya dan mendalam bagi orang-orang yang sudah

mampu menangkap makna ba>t}in atau konotatifnya. (b) Pembelokan dan

pembalikan sistem tanda primer. Aturan-aturan paparan sintagmasis dan

juga makna dalam sistem tanda primer akan dikesampingkan dan

dibolak-balik. Tujuannya bukan semata-mata bermain-main atas

pembelokan pakem demi tingkah pembelokan itu sendiri, melainkan ada

makna atau efek tertentu yang dicapai dengan pilihan genre yang

muncul ketika mitos melakukan pembalikan seperti parodi, sinisme,

Tanda dan Penanda Mitos (sign and signifier) Petanda mitos (signified)

Tanda Mitos (sign) Tanda Mitos (sign)

Pada bagan di atas, tampak bahwa tanda bahasa tingkat pertama berupa

kesatuan penanda dan petanda yang berubah menjadi penanda mitos tingkat kedua, dan

petanda sebagai aspek konseptual dalam tanda bahasa setelah melewati proses ini kini

“tidak berlaku” lagi dalam mitos. Mitos sebagai sebuah tanda atau simbol dengan cara

rekayasa tertentu, seperti pengalaman spiritual atau mendapatkan ilham, kemudian

mengisi aspek konseptual yang kosong dalam bahasa itu dengan aspek konseptual

petanda mitos. Roland Barthes, Mythologies, 113.

Sebagai perumpamaan, puisi Chairil Anwar mewakili makna yang dimaksud.

“Aku Binatang Jalang”, memberikan pemaknaan denotatif tidak berlaku lagi karena

mustahil “ada seekor binatang yang mengaku jalang”. Kalimat tersebut merupakan

tuturan mitos yang sudah berubah dari makna aslinya, agar bisa menemukan aspek

konseptual atau petanda yang relevan. Petanda-petanda mistis inilah yang harus

ditemukan dalam tafsir mitos. Lihat: Rh. Widodo, Saussure Untuk Sastra, 63-64.

Page 187: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

158

ironi, kritisme atau sindiran dari kaum sufisme kepada ahli dunia,

ba>t}iniah atau ahli fikih-zahir.109

Kedua, meninjau implikasi kemaknaan. Dalam hal ini harus

mempermasalahkan asosiasi-asosiasi makna yang muncul dari paparan

stigmatik tertentu, asosiasi-asosiasi makna yang muncul dari dibalik

pengandaian-pengandaian, alegori-alegori tertentu, efek yang mucul

darinya, makna yang tersisa serta gambaran yang menyarankan kepada

asosiasi hal-hal tertentu. Tujuan dari peninjauan ini adalah untuk

mengeksplorasi segenap kemungkinan efek kemaknaan sehingga secara

perlahan-lahan akan dapat melakukan inferensi suatu makna sebagai

petanda mitis-simbolik yang objektif. Ketiga, menarik inferensi. Tahap

penemuan petanda mitos ini adalah tahap di mana seorang mufasir diuji

sejauh mana pendalaman dan kekayaan pengetahuan sufistiknya.

Penjelajahan ruang logika, imajinasi dan spritual sekaligus merupakan

modal dalam menampilkan makna simbolik. Dalam hal ini,

pembendaharaan sistem pengetahuan dan sistem kemaknaan merupakan

elan vital dalam menentukan pemaknaan. Darinya akan menghasilkan

turunan asosiasi-asosiasi tanda atau simbol mistis bebas yang pada

akhirnya akan menghasilkan suatu makna yang terstruktur. Langkah

inferensi ini lebih banyak berhubungan dengan struktur paradigmatik

berupa paparan sintagmatik-tekstualis dengan hubungan asosiatif-

paradigmatis di antara serpihan makna dengan berbagai sistem

kemaknaan yang tidak muncul secara eksplisit namun secara potensial

merupakan sumber rujukan makna.110

Dalam istilah kaidah penafsiran

adalah penyebutan makna z}a>hir namun yang dimaksud makna ba>t}in.

Korelasi antara penanda (al-rumz) dan petanda (al-marmu>z ilayh)

ini dalam bahasa sufistik, jika meminjam istilah Nasr Hamid Abu Zaid,

dikatakan sebagai bentuk hubungan hati dan transformatif (al-qalb wa

al-tah}wi>l). Artinya, bukan merupakan hubungan dasar yang saling

mematikan atau berseberangan serupa parasit, melainkan lebih

merupakan hubungan simbiosis esensial yang terbangun atas dasar

harmonisasi inklusivitas makna serta tanda-tanda yang senyawa (al-

109 Rh. Widodo, Saussure Untuk Sastra, 66. 110 Rh. Widodo, Saussure Untuk Sastra, 63.

Page 188: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

159

dila>lah al-mushtarakah) antara penanda dan petanda seperti

perumpamaan kibri>t al-ah}mar, di mana adanya perubahan transformasi

makna itu sejatinya tetap dimainkan oleh dan untuk hati.111

Untuk menguji simbol, harus mengajukan pertanyaan menarik,

apakah teks simbolis dapat ditafsirkan secara harfiah? Mengutip

pendapat C.L. Stevenson dalam bukunya, Ethics and Language, ia

membedakan antara bahasa metaforis sebagai bahasa simbol yang

bersifat emotif dan bahasa interpretatif sebagai bahasa harfiah yang

bersifat deskriptif. Sekalipun pembedaan ini tidak mutlak, namun ia

menandaskan bahwa selalu ada interaksi dan saling mempengaruhi.

Untuk menjelaskan diskusrsus ini, ia memulai dengan pengertian dasar

penafsiran. Baginya, penafsiran adalah suatu kegiatan penafsiran dengan

pemahaman secara harfiah dan deskriptif dalam mengartikan apa yang

disugestikan oleh kalimat metaforis. Fungsi tafsir sendiri adalah

reduplikasi daya sugestif metafora dalam istilah-istilah lain. Istilah-

istilah yang baru ini mempunyai efek yang sama bukan sebagai bagian

dari daya sugestinya melainkan sebagai bagian dari arti deskriptifnya,

yang diwujudkan secara simbolik. Namun yang menjadi titik point,

menurutnya, bahwa kegiatan penafsiran ini tidak ada kalimat yang

pernah secara deskriptif mengartikan secara “tepat” apa yang

disugestikan atau dikehendaki oleh kalimat yang lain.112

Dalam hal ini, kegiatan penafsiran bersifat suatu kebenaran yang

relatif dan tidak ada istilah kebenaran absolut. Karena penafsiran

hanyalah penafsiran, bukan pembenaran dogmatis. Penafsiran selalu

bersifat prediksi dan kira-kira. Karena itu efek dari penafsiran tidak ada

penafsiran yang bersifat tunggal. Penafsiran suatu ayat selalu

meniscayakan ragam penafsiran yang berbeda, yang banyak

bertentangan namun masing-masing memberikan, dengan presisi yang

111 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhu>m al-Nas}s}, Dira>sah fi>> U<lu>m al-Qur’a>n

(Bairut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 2005), cet.ke-vi, 278. Lentera Merah (Kibrit

Ahmar) merupakan simbol dari kemakrifatan zat, sifat dan tindakan Tuhan. 112F.W. Dillistone, The Power of Symbols, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), cet.

ke-5, 36.

Page 189: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

160

terlalu besar, suatu bagian kecil dari apa yang disugestikan oleh

metafora itu dengan sosoknya yang samar namun kaya makna.113

Makna simbolik ini, sebagai langkah aplikasi teori-teori di atas,

bisa ditangkap salah satunya dalam penafsiran al-Qur’a>n surat al-

Ma>idah (QS 5:96), yang artinya “Dihalalkan bagimu binatang buruan

laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat

bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan

atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ih}ram.

Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nyalah kamu akan

dikumpulkan”. Setelah selesai menjelaskan makna zahir ini, al-Ji>la>ni>

mengalihkan makna ih}ram kepada makna Isha>ri

“Dan wajib bagi kamu sekalian berhati-hati dan takut menjurumuskan

diri dari makhluk ciptaan-ciptaanya dengan cara paksa-aniaya dan

menguasainya dalam semua tindak-tandukmu, lebih-lebih ketika

menggunakan kain ih}ram yang sejatinya merupakan pakaian kafan

fana >’ secara maknawi dan mati secara hakiki dalam pandangan ’u>li>l al-

ba>b, yang melihat sesuatu langsung kepada jantung hukum dan intisari

hukum-hukum tersebut”.114

Masih dalam tema yang sama, dijelaskan dalam surat al-Baqarah

(QS 2:197) bahwa haji tidak hanya tersurat secara hukum dalam ayat

tersebut. Al-Ji>la>ni> menangkap bahwa haji adalah metafora dari mati suri

yang bersumber dari kehidupan hakiki. Maka barang siapa yang hendak

melaksanakan haji hakiki dan hidup hakiki, sebaiknya membunuh

dirinya terlebih dahulu dari karakter-karakter tabiat kehidupan yang

melenakan agar mendapatkan kehidupan hakiki yang abadi dan langgeng

selamanya. Hal ini tentu tidak mudah bagi manusia kecuali bagi al-sa>lik

al-na>sik, yaitu ahli suluk yang berhaji dan memotivasi untuk keluar dari

konsekuensi akal pikiran yang sempit yang banyak dihinggapi oleh syak

wasangka dan khayalan tinggi sehingga cara pandang nalarnya berubah

lebih baik dan bijak setelah mendapatkan kehidupan hakiki melalui

113F.W. Dillistone, The Power of Symbols, 36. 114Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 537.

Page 190: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

161

ritual haji ini.115

Di antara kehidupan hakiki ini, diejawantahkan agar

seorang yang telah “berhaji sufi” ini selalu mengerjakan kebaikan-

kebaikan, mengorbankan hartanya untuk jalan kebaikan serta memberi

santunan-santunan agar hatinya tetap terjaga dari budi pekerti mulia.

Sebab harta inilah sebagai pangkal segala fitnah, yang menjadikan

penghalang dari kecondongan hati kepada Sang Kekasih Hakiki.116

Huru>f muqat}t}’ah atau penggalan huruf adalah penafsiran yang

paling menarik bagi kalangan sufistik. Sebab di sinilah mereka bisa

bermain bebas sesuka hati dengan dunianya sesuai pengalaman yang

mereka dapatkan dalam pencarian ruang hati ketika bermunajat dengan

Tuhannya. Mereka tidak lagi terikat oleh kebahasaan atau aturan-aturan

formal yang digariskan oleh standar ilmu zahir yang terikat kuat dengan

bahasa. Karena itu, hampir setiap sufi pasti mempunyai penafsiran

penggalan huruf ini sebagai makna simbolik terdalam. Satu dan lainnya

mempunyai varian penafsiran sendiri.117

Ulama rusu>m dalam merespon

huru>f muqat}t}’ah tidak berani sampai menafsirkan kecuali hanya jawaban

Allah Maha Tahu. Bahkan sebagian dari mereka sampai punya

pandangan lemah bahwa huruf itu tidak lebih hanya sebatas tanda dari

usainya suatu pembahasan dan memulai masuk pada pembahasan lain.118

Dalam teori al-Ji>la>ni, >huru>f muqat}t}’ah mempunyai tempat yang

amat istimewa. Setiap huruf hija>iyyah memberikan rahasia pemahaman

asma-asmaTuhan.119

Penelitian huru>f muqat}t}’ah dalam tafsir al-Ji>la>ni>

mempunyai kecenderungan yang unik. Baginya huruf itu adalah kata

kunci (keyword) untuk memecahkan kode isi dari simbol huruf itu.

Dalam surat Qaf (QS 50:1), ia menilai bahwa awalan huruf qaf adalah

singkatan kata yang tersembunyi pada huruf tersebut.

115Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 171. 116Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 172. 117Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-

Qushayri, 31. 118Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-

Qushayri, 30. 119 Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, al-Ghunyah, Vol. 1, 162.

Page 191: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

162

Ia menafsirkan:

القيم ,أيها اإلنسان الكامل القابل لخلعة الخالفة و النيابة اإللهية( ق)

القائد ,القائم لتبليغ الوحى و اإللهام المنزل عليك من عنده سبحانه على عموم األنام

لهم الى توحيد الملك العالم القدوس السالم ذى القدرة و القوة الكاملة الشاملة على أنواع اإلنعام

120.و اإلنتقام

2. Intuisi

Perangkat intuitif atau dikenal dhawq bagi kaum sufi bertugas

mem-ba>t}in-kan yang z}a>hir, man-ta’wil-kan yang tanzi>l. Sebagaimana

telah dijelaskan pada bab-bab pertama, bahwa nalar epsitemologi

menjadi tiga kategori elektral: baya>ni, burhani dan ‘irfa>ni. Berangkat

dari taksonomisasi sini, Al-Ghaza>li dalam kitabnya, al-Munqid min al-

D{ala>l, membagi epistem pengetahuan secara biografis sesuai subjek

pelaku dan golongan: (1) Mutakalimin, yang mendaku ahli nalar akal

dan pikiran. (2) Ba>t}iniah, yang mendaku pemilik ajaran yang spesifik

diturunkan dari Imam maksum. (3) Fala>sifah, yang mendaku ahli

Mantiq dan akal demonstratif. (4) S}u>fiyah, yang mendaku ahli gnostik

dalam spesifikasi maujud keberhadiran, eksistensialis dan

ketersingkapan (ahli had}rah, al-musha>hadah, al-muka>shafah).121

Senada dengan al-Ghaza>li, al-Ji>la>ni> juga mengingkari tiga yang

pertama itu. Kaum sufistik termasuk golongan yang cenderung paling

akhir dalam mengusung nalar epsitemologi dibanding yang lainnya.

Mereka mencoba memformulasi dan mengusung nalar epsitemologi

baru, yakni nalar ‘irfa>n. Secara geneologi, seperti yang disebutkan ‘Ali >

Sha>mi Nashshr, bahwa geneologi nalar ‘irfa>ni berasal dari rutinitas

membaca al-Qur’a>n sebagaimana media mendekatkan diri dan

berkomiunikasi dengan Sang Pencipta. Intensitas dan frekuensi mereka

yang begitu tinggi mencurahkan tila>wah, tafakur, tafahum dan tadabur,

yang kemudian menjadikan mereka tenggelam ke dasar samudera al-

Qur’a>n sehingga mereka menemukan mutiara-mutiara tersembunyi

120‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 5, 394. 121‘Ali Sa>mi> Al-Nasha>r, Mana>hij al-Bahth ‘IndaMufakkiri>al-Islam (Cairo:Da>r

al-Sala>m, 2008), cet.ke-1, 241.

Page 192: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

163

dalam al-Qur’a>n. Mereka mendapatkan noktah-noktah maknawi ilahi

yang mereka alami dan mereka ekspresikan dalam ibadah, senang ber-

khalwat, mencapai tingkatan maqa>m dan ah}wa>l sehingga mereka benar-

benar memikirkan dan terjun ke dalam transendensi ilahi. Tak pelak,

mereka mencecapi, merasakan dan meraba-menduga cita rasa bernama

intuisi jiwa. Sesuatu yang kemudian disebut sebagai pangkal dari

manhaj al-dhawqi>/metodologi intuitif.122

Dalam teori Barat, apa yang ditempuh oleh kaum sufistik

mendapatkan legitimasi melalui metodologi yang ditemukan dan

dikembangkan oleh Henry Bergson. Ia berangkat dari penelitian insting

binatang di mana bisa hidup dengan mengandalkan instingnya kemudian

melihat bahwa dalam diri manusia terhadap insting itu yang kemudian

dikenal dengan intuisi yang lebih tinggi kedudukannya dari instingtif

kebinatangan –yang sebenarnya insting ini ada juga pada diri manusia

sebagai kategori hewan yang berakal. Metode intuitif ini adalah usaha

introspeksi intuitif dengan pendekatan simbol-simbol atau ayat-ayat

Isha>ri dalam mengungkapkan hakikat kebahasaan secara kashaf.123

Bagi kaum sufistik, jalan untuk menempuh kebenaran

pengetahuan satu-satunya hanya bisa ditempuh melalui perangkat

intuitif. Dalam pada itu, perangkat intuitif sendiri digunakan oleh dua

aliran. Pertama, Iluminasi (Ishraq-Falsafi). Kedua, Tasawuf (Sunni-

‘Amali). Untuk menghasilkan pengetahuan, yang pertama lebih

cenderung pada kekuatan akal dan intuisi (naz}ar), sementara yang kedua

lebih kepada penyucian jiwa (tas}fiyah) namun titik persamaan dalam hal

proposisi-proposisi metode keduanya sepakat menggunakan: (1) Metode

deduktif (istidla>l), derajat ini disandang oleh ulama al-ra>sikhu>n, ulama

intelektual. (2) Metode penglihatan vision (musha>hadah), derajat ini

disandang ulama al-s}iddiqi>n, ulama terpercaya. Pada prakteknya, satu

dan lainnya bisa mencapai hubungan timbal balik sehingga disebut

majma’ al-bahrayn, yakni kumpulan dua lautan keilmuan deduktif dan

vision sekaligus, ilmu dan ‘irfa>n, shaha>dah dan ghaib. Karena itu,

adanya dua model ini merupakan bentuk kecenderungan Ahli Suluk yang

122‘Ali Sa>mi> Al-Nasha>r, Mana>hij al-Bahth ‘Inda Mufakkiri>al-Islam, 241. 123 Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, 17.

Page 193: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

164

merambah jalan kebenaran: (1) Ortodoks-sufistik. Mereka yang memulai

dari ilmu menuju ‘irfa>n, dari alam imanen menuju transenden. (2)

Heterodoks-falsafi, mereka yang memulai dari ekstase ilahi, dimulai dari

alam transenden menuju alam imanen, yakni dimulai dari metode

intuitif menuju teo-falsafi (himmah al-‘aqliyyah).124

Perlu dicatat, pertimbangan bagi kaum sufistik untuk

meneguhkan pengetahuan ditempuh dengan jalur ini karena mereka

meragukan kebenaran yang dihasilkan oleh logika. Sebab terlalu rawan

disalah-persepsikan atau disalah-sangkakan dan mengandung kelemahan

serta probabilitas yang sewaktu-waktu gampang dipatahkan oleh

kemunculan pengetahuan atau teori baru. Kendalanya karena tidak

mendasarkan diri kepada nalar khaya>li, yakni nalar imajinatif.

Sebaliknya, kaum yang mengandalkan akal sebagai pijakan

pengetahuan, melihatnya bahwa ahli sufistik terlalu naif. Mereka

menyangsikannya, karena mendapatkan satu tujuan penyingkapan

makna pengetahuan (inkisha>f al-ma‘a>rif) dengan nalar imajinatif dan

intuitif itu terlalu susah bahkan hampir dikatakan absurd dan mengada-

ada, sebab tidak menggunakan akses konvensional berupa akal dan

perangkat penghubung lainnya (al-‘ala>iq). Dan terpenting, tidak ada

kaidah umum dan aturan universal yang telah disepakati secara ilmiah

untuk menguji paradigma pengetahuan itu.125

Hal demikian, bukan halangan bagi kaum sufistik, sebab mereka

mempunyai kepercayaan untuk mendapatkan akses langsung tanpa

perantara sekalipun. Akses itu berupa kunci penyucian jiwa dan emanasi

(tas}fiyah ru>h}iyah wa fayd}iyyah) yang didapatkan dari ilmu hakikat

sehingga menjadi jalan tunggal mendapatkan pengetahuan tentang

ketuhanan, transendensi ulu>m ilahiyyah dan pengetahuan rabbaniyyah.

Kesusahan untuk menempuh akses langsung (s}u‘bu al-wus}u>l) yang

menjadi problem ahli akali bisa ditepis dengan keabsahan keilmuan dan

validitas keyakinan yang mereka miliki.126

124‘Ali Sa>mi> Al-Nasha>r, Mana>hij al-Bahth ‘Inda Mufakkiri>al-Islam, 242-243. 125‘Ali Sa>mi> Al-Nasha>r, Mana>hij al-Bahth ‘Inda Mufakkiri>al-Islam, 243. 126‘Ali Sa>mi> Al-Nasha>r, Mana>hij al-Bahth ‘Inda Mufakkiri>al-Islam, 244.

Page 194: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

165

Kaum sufistik tidak identik disebut sebagai ‘a>rif, sebab mencapai

tingkat ini harus melalui fase-fase sulit. Ada distingsi antara Tasawuf

dan ‘irfa>n. Tasawuf adalah jalan suluk yang berbelok-belok dan labil

yang dimulai dari asketik, meninggalkan kehidupan dunia, asyik dalam

kefanaan serta mengambil jalan, corak, bentuk dan makna yang berbeda-

beda. Sementara ‘irfa>n adalah labirin pemikiran, perenial, jauh menusuk

untuk mengetahui kebenaran, hakikat-hakikat, diskursus-diskursus,

entitas-entitas, simbol-simbol rumus dan noktah-noktah pengetahuan.

Semua ini ditempuh bukan dengan jalur filosof atau para ahli hikmah

justru melalui jalur emanasi (ishra>q), penyingkapan (al-kashf) dan

penyaksian (al-shuhu>d).127

Secara umum, sekalipun secara prinsipil

makna Tasawuf, ‘irfa>n dan ishraq merupakan satu entitas dan realitas,

namun sebagian sarjana muslim mempunyai definisi mendalam terhadap

masing-masing terma itu bahkan ada perbedaan signifikan di dalamnya.

Tasawuf identik dengan olah jiwa dan kostum sufi, ‘irfa>n identik kepada

tingkatan shuhu>d, ishraq identik dengan emanasi Tuhan di alam raya.

Singkatnya, posisi seorang ‘a>rif lebih tinggi kedudukannya dibanding

sufi. Setiap ‘ari>f adalah sufi tapi tidak sebaliknya.128

Dalam konteks bacaan, kaum sufi tidak tenggelam dalam

perdebatan dan pergumulan qira>’a>t karena mereka lebih menekankan

content makna sebab dhawq sufistiklah yang digunakan sebagai

metodologi sehingga kaitannya dengan mutaghayira>t/fleksibelitas

makna bukan thawa>bit/baku. Kecenderungan intuitif bisa dibuktikan

dalam tafsir Lat}a>if al-Isha>ra>t dimana al-Qushayri tidak bersibuk diri

bermain dengan varian bacaan tertentu sebab baginya yang menjadi

parameter dalam tafsir sufi adalah cita rasa sufisme (al-dhawq al-

S}ufi>).129 Al-Jaylani pun dalam varian bacaan tidak setia terhadap satu

bacaan tertentu seperti imam Hafas yang biasa dipakai oleh kebanyakan,

malah kerap menafsirkan lebih dari satu bacaan tanpa menyebut pemilik

127

Farah} Na>j Rif’at Ju>, Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi , 196. 128Farah} Na>j Rif’at Ju>, Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi , 196. 129Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z Naz}mi, Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m al-

Qushayri,62.

Page 195: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

166

bacaan.130

Penafsirannya tidak berpegang teguh kepada ilmu dan

pemahaman sebagaimana model tafsir kebanyakan, melainkan kepada

ilham intuitif yang menghidupkan ruh, mengokohkan ketakwaan di satu

sisi dan disisi lain mengikat para ahli suluk, al-t}a>lib, kepada sang guru,

al-muri>d, agar bisa menuntun hingga derajat paling tinggi.131

Dalam pengantarnya, al-Ji>la>ni> menjelaskan metodologi

penafsirannya secara jelas:

“Wahai saudaraku, semoga Allah melanggengkanmu, jangan kau

mencelaku atas apa yang aku lakukan dan jangan terkecoh dengan

perkara yang aku capai kepadanya. Sebab sebagian dari sunah Allah

yang Maha Suci adalah menampilkan yang tersembunyi dalam ilmu-

Nya. Dan menampakan apa yang tersembunyi dalam kegaiban (…)

Janganlah engkau sekalian melihat tafsir ini terkecuali; dengan mata

kontemplatif, bukan dengan nalar pikiran; dengan intuitif dan

perasaan, bukan dengan dalil-dalil dan nalar burhan; dengan

penyingkapan dan penghadiran, bukan dengan praduga taksiran dan

hitungan spekulatif”.132

3. Hakikat

Terma hakikat dalam pembendaharaan kaum sufitik merupakan

suatu realitas sufistik berupa pengatahuan mistik-spiritual. Sementara

syariah adalah pengetahuan fisik material. Dalam kasus Al-Ghaza>li,

antara dua dunia ini tampak tidak ada kontradiksi secara tujuan esensial.

Dimensi z}a>hir sebagai visible yang ber-orientasi kepada physical realm;

dan ba>t}in sebagai invisible yang berorientasi kepada spiritual realm.133

Karena itu, ia menemukan bahwa kunci teori al-Ghaza>li adalah

harmonisasi makna eksoteris dan esoteris. Visible word dalam

130Muh}ammad Fa<>d}il al-Ji>la>ni> al-H{asani al-Tayla>ni al-Jamazraqi, Muqaddimah

Tafsi>r al-Ji>la>ni>, 30. 131Muh}ammad Fa<>d}il al-Ji>la>ni> al-H{asani al-Tayla>ni al-Jamazraqi, Muqaddimah

Tafsi>r al-Ji>la>ni>, 28. 132Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 33-34. 133Martin Wittingham, Al-Ghaza>li and the Qur’a>n (London and New York:

Routledge, 2007), cet. ke-1, 38

Page 196: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

167

interpretasi al-Ghaza>li adalah‘ala>m al-mulk (the world of power), ala>m

al-mulk wa al-shaha>dah (the world of power and witness) dan ‘ala>m

al-hissi wa takhyi>l (the world of senses and imagination). Sementara

invisible sebagai dunia spiritual direpresentasikan sebagai ‘ala>m

al-malaku>t (the world of dominion), ‘ala>m al-ghayb (the world of what

is hidden), atau ‘ala>m al-amr (the world of command).134

Timbul pertanyaan: Bagaimana kaum sufi menangkap realitas

hakikat? Apakah hakikat merupakan dimensi lain guna memahami

realitas yang ada, ataukah sesuatu yang bergantung kepada syariah pada

satu sisi dan sisi lainnya merupakan pandangan sendiri? Apa hubungan

sesungguhnya syariah dan hakikat seperti dua sisi mata uang? Tentunya

hakika amat berbeda dengan pengalaman rasional atas kenyataan

sebagaimana dipahami para filosof, atau keimanan sebagaimana yang

dipahami oleh kaum awam. Dalam hal ini diskursus hakikat lebih sering

dilekatkan kepada konsep makrifat serta doktrin tentang realitas akan

pengalaman kaum sufistik. Dengan demikian, bisa dikatakan hakikat

merupakan makna esensi sesungguhnya dari agama itu sendiri.135

Seperti

halnya realitas keimanan, ketulusan, tauhid, esensi dari ibadah, shalat,

zakat atau bahkan realitas cinta, takut serta hal lain yang berkaitan

dengan ritus dan pakem keagamaan.136

Tujuan kaum sufi adalah

mendamba kehidupan religius yang lebih agamis dan sufistik

sebagaimana yang diatur oleh norma syariah. Dengan kata lain, hakikat

yang dianut kaum sufi ini bukan hendak merumus dan mendaur ulang

konsepsi-konsepsi dalam syariah yang sudah baku seperti tauhid, cinta

dan lain sebagainya. Tujuan hakikat adalah memperjelas apa yang

diajarkan oleh syariah dan tidak mengemukakan hal-hal baru atau suatu

teori ajaran baru yang bertentangan dengan syariah sebagaimana yang

dianut oleh kaum sufistik falsafi. Tegas bahwa tidak ada realitas di luar

syariah dan tarikat sufi atau hakikat sufi sekedar alat bantu metodologi

134

Martin Wittingham, Al-Ghaza>li and the Qur’a>n, 38. 135Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah (Jakarta:

Rajawali Press 1993), cet. ke-2, 109 136Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah , 109.

Page 197: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

168

untuk mencapai kenyataan tersebut melalui penafsiran-penafsiran

sufistik.137

Inilah letak distingstif diantara sufi sunni ‘amali dan sufi

falsafi.138

Iman dan kehidupan spiritual agamis berada di luar jangkauan

syariah dan hal ini hanya dilalui secara personal melalui jalan sufi.

Syariah diibaratkan sosok tanpa kenyataan; tulang tanpa rusuk.

Tentunya sudah jelas, bahwa realitas pengalaman mistik berikut ide dan

gagasan sufi akan mampu mengubah pandangan tentang kenyataan iman

dan hakikat keagamaan. Persoalannya adalah sejauh mana intervensi

faktor-faktor tersebut mempengaruhi alur pemikiran sufistik sehingga

muncul mazhab sufi ortodoks dan heterodoks. Gejala lain yang

mendorong para sufi secara tidak sadar meletakkan hakikat di luar

syariah adalah sikap pribadinya. Karakter kaum sufi yang sudah menjadi

bagian kehidupan mereka adalah bersenang-bersenang dalam kehidupan

asketis dengan uzlah, dhkir, tafakur atau membaca al-Qur’>an, dibanding

dengan kehidupan yang melibatkan diri mereka bergaul dengan manusia

lain sambil menggabungkan zikir dan ibadah yang menghilangkan

konsentrasi mereka berduaan atau berasyik-masyuk dengan Tuhan, Sang

Kekasih. Karena itu, kaum sufi-falsafi secara personal dan psikologis

akan cenderung egois terhadap realitas syariah dan hanya mementingkan

137Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah , 110. 138 Relasi syariah dan hakikat merupakan hubungan yang mesra dalam

pandangan kaum sufi, namun ternyata menjadi penghambat menurut kaum Sufi Falsafi.

Dalam hal ini keduanya setuju hakikat berada di luar jangkaun syariah. Perbedaan yang

paling kontras adalah manakala sufi ortodoks mencapai penemuan tahap kebersatuan

dan identitas diri tidak mengembangkan lebih jauh. Sufi heterodoks berangkat dari

pembangunan dengan keyakinan kemudian pengembangan ajaran akan kebersatuan dan

identitas atas dasar filosofis. Dari sinilah mereka memproyeksikan entitas “wujud

pengalaman”. Mereka menilai, ketika tahap kebersatuan dan pencapaian identitas

terhambat oleh ruang yang bernama syariat, maka serta merta menaikannya kepada

tahap lebih tinggi dengan mulai membangun ajaran konsepsi di luar syariah.

Kebersatuan zat (wah}dah al-wuju>d) adalah kebenaran tertinggi dalam pandangan

mereka dan kemudian melihat seluruh kenyataan agamis dari ajaran ini. Tentu dalam

persepsi syariah, hal demikian merupakan dekonstruksi terhadap ajaran tauhid.

Syariah tidak sampai mengajarkan tauhid yang sesungguhnya. Sampai-sampai, seorang

penyair sufistik, Sulayman bin Ali al-Timisani (w.690) yang menganut wah}datul wuju>d

menyatakan “seluruh syariah adalah syirik dan tauhid sejati hanyalah pada doktrin

kita”. Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah , 112.

Page 198: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

169

realitas ektase, fana>’, iluminasi dan hal lain yang berkenaan dengan

dunia sufistik.139

Inilah yang menjadikan kontras dengan sufi ‘amali yang

menekankan sisi amaliyah dan melakukan kebaikan-kebaikan kepada

sesama serta memberi santutan-santunan sebagaimana yang ditempuh

oleh al-Ji>la>ni>, yang menggabungkan hubungan vertikal dan horizintal. Ia

berpendapat bahwa segala bentuk hakikat tanpa disaksikan oleh syariat

maka termasuk perbuatan heretis/zindiq.140

Hakikat dalam pengertian sufistik bukan bentuk hakikat

universal namun hakikat yang mempunyai karakter dan ciri ontologis

yang mengandung dimensi relativisme. Karena itu, suatu ayat terkadang

mempunyai pluralitas hakikat tergantung dari inklinasi mazhab dan

teologi.141

Hakikat versi tasawuf sunni misalnya, tidak akan sama

dengan hakikat non susfistik-sunni, sebab hakikat merupakan suatu

inspirasi atau bisikan refleksi yang hadir dalam hati hasil asosiasi dari

kalimat, teks atau kondisi dari keadaan ekstase, wujudi-maknawi

(wijdaniyyah-ma’nawiyyah). Dan asosiasi ini bukan merupakan korelasi

yang sistematis dan pasti melainkan asosiasi yang tidak beraturan antara

z}a>hir dan ba>t}in, antara syariah dan hakikat, antara lafal dan makna.142

Dalam hal ini, kasahf diletakkan bukan pada posisi tentang

keabsahan tindakan atau tingkat ketaatan dan nilai-nilai dalam

bangunan syariah. Tidak juga mempengaruhi dasar-dasar pondasi

syariah.143

Namun pengalaman sufistik dengan kashaf-nya yang

menjadikan landasan kenyataan agamis dan motor bagi penafsiran sufi

adalah sepenuhnya dikembangkan oleh dasar mistikal yang begitu

berperan dalam menentukan reduksi penafsiran. Kashf bagi kaum

fuqaha’ bukan prioritas namun bagi kaum sufi adalah prioritas dan

menjadi perangkat sufistik dan inilah yang menjadikan titik diferensial

antara perangkat tafsir aliran Zahiri dan Sufistik. Penting ditekankan,

139Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah , 113. 140 ‘Abd al-Mun’im al-Hafani, Al-Mawsu>‘ah al-S{u>fiyah (Cairo: Da>r al-

Rasha>d, 1992), cet. ke-1, 114. 141 ‘A<bid Al-Ja>biri,Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 290. 142 ‘A<bid Al-Ja>biri,Binyah al-‘Aql al-‘Arabi, 290. 143Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah, 184.

Page 199: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

170

bahwa kashf tidak ada kaitannya dalam menentukan keabsahan

tindakan, penetapan kebenaran dan kesalahan yang bersifat tuntutan

kewajiban, larangan dan sebagainya dalam aspek hukum syariah bahkan

menentukan derajat kewalian dan prioritas di atas al-Qur’a>n dan H{adi>th.

Starting point dari inspirasi ilham yang didapat kaum sufistik tidaklah

membebaskannya dari keharusan mengikuti pendapat para ahli hukum

fikih sebagai bukti kesetiaan dan ketaatan mereka kepada syariah.

Ada beberapa hal yang menjadikan kaum sufistik berbeda dengan

sufistik falsafi. Bagi al-Ji>la>ni>, pengalaman mistik bukanlah otoritas

tertinggi atau lebih baik dibanding penalaran para teolog yang telah

dirumuskan. Tugas para mufasir adalah menafsirkan wahyu dan

menjelaskannya namun yang pasti tidak ada seorang pun yang punya

kompetensi untuk memberikan pengetahuan tentang realitas yang

terbebas dari wahyu. Pengalaman mistik dalam proporsi ini lebih jauh

dan lebih dalam dari pengalaman teologis. Kekuatan kaum sufistik

adalah mengambil peran dan merambah jalan yang tidak bisa dilalui oleh

kaum teolog dan ahli hukum. Hal ini tidak bisa dirambah kecuali oleh

kamu sufistik, hanya saja mereka tidak bisa dan tidak boleh meniadakan

rumusan kebenaran yag telah dikembangkan oleh para teolog sunni yang

sudah susah payah menyarikannya dari wahyu. Ilham mistik maupun

dhawq yang menghasilkan kashaf dan sumber pengetahuan ‘irfa>n harus

dipatok dan dibatasi dengan apa yang dirumuskan kaum teolog sunni.

Tegasnya, pengalaman mistik tidak memiliki wewenang untuk merubah

paradigma dan doktrin yang telah digariskan oleh kaum teolog. Dan

pada faktanya hampir semua mistikus sufi adalah para teolog yang taat.

Karena itu mereka disebut kaum sufistik sunni-‘amali atau kaum sufi

moderat atau garis tengah. Di luar batas teologi ini maka yang terjadi

adalah perdebatan dan pertangkaran dalam merumuskan pengetahuan

sufistik dan tauhid, yang kemudian lebih dikenal sebagai diskursus teo-

sufi. Inilah sumber pertengkaran abadi yang terjadi antara kaum sufistik

suni ‘amali didukung fuqaha’ dengan kaum sufistik falsafi.144

Rangkaian al-Qur’a>n, bagi al-Ji>la>ni>, tidak ada hubungan dengan

strukur logos bahasa dan gramatika. Al-Qur’a>n tidak lain adalah

144Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah , 179.

Page 200: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

171

petunjuk dan cahaya yang diliputi oleh aura-aura mistisme sufistik.

Fungsi lafal tidak lain merupakan eksistensi penggerak yang mencapai

pada derajat hakikat demi mendapatkan emanasi ilahi. Lafal merupakan

media inspirator ruh yang dilihat dengan kacamata ba>t}in dan dirasakan

keberadaannya serta menyingkap pintu-pintu inderawi menuju hati

sehingga bisa menembus mata hati. Kalimat sufi atau rumus sufi adalah

isyarat yang tidak bersumberkan dari nalar akal melainkan dari

dzauq/intuitif dan ekstase. Yakni dalam bentuk latihan ruhani/asketisme

yang dilewati pada jenjang muka>shafah untuk menuju jalan wus}u>l

melihat Tuhan. Pada akhirnya, sufistik al-Ji>la>ni >tidak bisa lepas total

dari bahasa gramatika dan syariah sebab merupakan perangkat cabang

wilayah tafsir eksoteris-syariat. Sekaligus sebagai hubungan timbal

balik antara lahir dan ba>t}in yang darinya akan tengelam dalam lautan

makna mistik.

Namun demikian, pengalaman mistik bukanlah sumber

independen untuk mengetahui kenyataan dan kebenaran. Bagaimana pun

harus dikonfrontasikan dan dikomunikasikan dengan al-Qur’a>n.

Tujuannya untuk mengetahui sejauh mana kebenaran yang diperoleh.

Kriteria kebenaran dan ketetapan gagasan mistik hanyalah sepanjang

sesuai dengan kebenaran syariah sehingga tidak boleh menyimpang dari

rel ini. Al-Ji>la>ni> begitu kokoh memegang ini karena baginya kebenaran

yang didapat dari hakikat tanpa disaksikan syariat adalah bohong

belaka. Ukuran kebenaran sufsitik adalah apa yang ditetapkan oleh

ulama sunni. Praktis, sesuatu di luar syariah dan di luar konteks ahlu

sunnah wal jama’ah adalah bentuk kemunkaran dan tidak lain

merupakan buah dari keadaan ekstase dan mabuk. Kesesuaian

pengetahuan yang yang sempurna dengan syariah hanya mungkin

dicapai pada tingkat kehambaan dan pada fase inilah rawan disisipi oleh

ektase dan mabuk ilahi yang kelewatan.145

Karena itu, permulaan makrifat adalah pengetahuan akal melalui

capaian hukum-hukum, kemudian melintasi syariat dengan tuntutan

tarikat adab-adab tarikat dan puncak pengetahuan adalah amaliyah

dhawqiyah yang bersumber dari rahasia-rahasia hakikat. Dan itu semua

145Muhammad Abd. Haq Ansari, Antara Sufisme dan Syariah , 209.

Page 201: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

172

termaktub dalam al-Qur’a>n sebagaimana penyataannya yang amat elok

dan jelas:

“Jalan paling lurus, terbaik yaitu jalan paling jelas dan terang benderang

yang Tuhan pilih-kan kepada Nabi dan kepada ahli warisnya, para

awliya>’ –semoga Tuhan memberikan futu>h} kepada mereka– adalah

Kitab Suci yang dipisahkan oleh batas-batas surat, yang dirinci-kan

melalui ayat-ayat, yang dibagi melalui kategori muh}kama>t dan

mutsha>biha>t, di mana setiap surat memuat hukum-hukum syariat, adab

tarikat ahli suluk dan rahasia-rahasia hakikat. Karena itu, bagi mereka

yang terjun di dalam samudera lautan al-Qur’a>n, yang menyelam ke

dalamnya untuk mengeluarkan permata-permata keyakinan dan

ke-‘irfan-an agar bisa merenungi setiap surat di dalamnya melalui

metode kashaf sehingga tersingkap apa-apa di dalamnya dari rahasia-

rahasia sesuaI kapasitas dan kapabilitasnya…”146

146Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, Tafsi>r al-Ji>la>ni>, vol. 1, 43.

Page 202: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

173

BAB VIPENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penafsiran Isha>riyang legal-formal adalah bisa diterima selama tidak ada resistensi danmematuhi aturan perundang-undangan kaidah tafsir sufistik. Pada saatyang sama tidak diwajibkan pula untuk mengambilnya sebagaipedoman. Dikatakan boleh sebab di dalamnya tidak berlawanan dengansyariah yang legal. Demikian pula tidak wajib dijadikan pedoman sebabIsha>ri berorientasi kepada wijdaniya>t, yang sama sekali tidak berdiri atasnama dalil baya>ni atau nalar burha>ni, melainkan disandarkan kepadanalar irfa>ni dan suatu keadaan yang dialami, ditemui kaum sufistikberupa rahasia antara dirinya dan Tuhannya saja yang bersifat eksklusif.Karena itu, kaum muslim tidak dibebankan untuk menjadikannyasebagai pegangan atau amalan, kecuali bagi para sufi atau mereka yangmempunyai kepedulian dan ketertarikan di dalamnya untuk mengkajiserta menjadi obat bagi hati bagi masyarakat pembaca yangmembutuhkan energi spiritual dan moralitas sufistik yang mencerahkankehidupan menuju kehidupan masyarakat qur’ani.

Adanya pembakuan hermeneutika sufisme semata-mataberangkat dari kesadaran bahwa tasawuf dalam pengertian lainmerupakan paradigma adab-etik secara keseluruhan. Setiap saat adalahtindakan, setiap tindakan adalah adab dalam fase/maqa>m adab tertentu.Karena itu, barang siapa memegang teguh adab setiap saat, niscaya akanmencapai derajat manusia sejati, dan barang siapa yang menyia-nyiakanadab niscaya akan jauh dari prediksi kedekatan dan akan tertolak dariprediksi penerimaan di hadapan Tuhan.

Adab dalam hal ini diartikulasikan dalam bentuk-bentuk yanglebih real dan sistematis. Bertujuan agar mampu mendapatkanpemahaman yang relatif objektif dan suci dalam pandangan mereka.Adanya kode etik penafsiran yang dikupas merupakan software/piranti

Page 203: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

174

lunak untuk subyek mufassir. Penekanannya kepada psikologi dan moraletik sufistik. Selanjutnya adalah konstruksi metodologi hardware/pirantikasar berupa perangkat eksoterik-struktural dan esoterik-spiritual.Keduanya masuk dalam obyek perangkat penafsiran. Inilah urgensiuntuk menjadi standar baku hermeneutika sufistik.

Sejatinya, pembentukan teorisasi tafsir Isha>ri yang dalamhermenutika Hircsh diwakili oleh meaning sebagai makna zahir dansignificance sebagai isyarat batin bukanlah tujuan utama, tetapi hanyasebagai alat kepentingan dan perangkat untuk menarik ajaran moral al-Qur’an sebagai makna yang objektif, maka validitas penafsiran Isha>rirelatif terbebas dari kritik, dianggap ta’wil yang terpuji dan dianggapmainstream, terutama ketika standar ortodoksi lebih memihak kelompokSufi-Sunni ‘Amali –jika menggunakan pembacaan objectiveinterpretation-nya Hirsch. Di sini, makna yang dipahami mainstreammayoritas dianggap objektif dan makna yang dipahami kelompokheterodoks, dalam hal ini penafsiran sufi-falsafi dianggap subjektif danmenyimpang.

Al-Ji>la>ni> hendak merealisasikan penakwilan yang moderat danseimbang dalam dua dimensi zahir dan batin sekaligus, sebagaimanayang ia yakini dalam konsep muh}kama>t dan mutasha>biha>t yangmengambil perumpamaan kisah Nabi Musa dan Khidir sebagai simbolsyariat dan hakikat. Tujuan mengikuti jalan sufi adalah untukmemperkuat keyakinan terhadap tuntutan syariah dan merupakan intikeimanan. Di samping itu, untuk mendorong agar pelaksanaan lebihterasa mudah. Tidak ada tujuan lain dari sufisme kecuali jalan ini dalampandangan kaum sufi ‘amali. Karena itu, al-Ji>la>ni> merupakanrepresentasi dari sekian sufi yang tidak mengikuti dan bahkan menolakdoktrin teo-sufi atau teori-teori tasawuf falsafi. Nilai pengalamanmistik, baik penyatuan maupun pemisahan bukanlah sekedar kognitifmelainkan praktis untuk memurnikan kehendak dan bukannyamenyingkap dan mengumbar realitas sufistik yang terlalu jauhsebagaimana yang ditempuh mazhab sufi heterodoks.

Di sinilah pentingnya latihan menahan diri bahwa apa yangdirasakannya belum tentu benar dan dalam kesadarannya ketika

Page 204: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

175

berasyik-masyuk dengan Tuhan adalah ketidak-sadaran itu sendiri. Dandi sinilah, sekali lagi, pentingnya heremenutika sufistik sebagai rambu-rambu dalam penafsiran sufisme. Sebab persoalannya, sebagaimana yangdiamini Kristin Zahra Sands, Sufi Commentaries on The Qur’an inIslamic Classical Islam, bahwa tidak ada metodologi yang lengkapmenuntut ke arah sana. Apa yang ditawarkan al-T{u>si misalnya, masihterlalu dini, sehingga rawan disalah pahami atau disalah-artikan, sebabberada di luar jangkauan teks literal.

Secara holistik, interpretasi al-Qur’an yang dihasilkan kaumsufistik memang diakui sangat rawan menimbulkan salah persepsi dansalah prasangka. Hal ini karena berangkat dari satu muara bahwaproblem interpretasi ini bersumber dari pengalaman spiritual dan emosi(wajd) setiap praktisi sufistik, sementara pengalaman adalah suatukondisi di mana semua orang tidak mengalaminya dan kecilkemungkinan merasakan peristiwa sama. Namun yang menjadikeistimewaan penafsiran kaum sufi ortodoks dibanding kaum sufiheterodoks adalah sekali pun setiap content dan produktivitas penafsiranmasing-masing memiliki nilai penafsiran berbeda sehingganya darinyamenjadi suatu ciri khas penafsiran yang penuh ilustrasi dan berkembangdinamis, namun diam-diam terdapat kesepakatan (‘ijma’ suku>ti>) dalamrumusan perangkat penafsiran sebagai bentuk ideal hermenutika sufistikIsha>ri.

B. Saran-saran

Penelitian ini merupakan terobosan baru yang dilakukan olehpenulis dalam epsitemologi ‘ulu>m al-Qur’a>n genre sufistik. Karenasifatnya epsitemologis, maka penelitian ini menyisakan beberapapekerjaan sebagai tindak lanjut dari apa yang dilakukan penulis. Dalamhal ini penulis tidak begitu banyak menekankan kepada aksiologi praksispenafsiran-penafsiran yang dilakukan oleh al-Ji>la>ni> dalam tema-tematertentu secara lebih mendalam seperti Fikih Tasawuf, Tauhid, ajaran-ajaran tarikat yang terkandung dalam tarikat Qadiriyyah dansebagainya. Karena itu ke depan diperlukan lagi kajian inter-tekstual

Page 205: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

176

untuk menghubungkan beberapa diskursus di atas serta melakukan studibanding dengan karya-karya lain al-Ji>la>ni>.

Di samping itu, karena sifatnya yang baru, penelitian inimemerlukan studi lebih jauh dalam bentuk saran, kritik konstruktif, danmasukan-masukan inovatif sebagai bentuk penghargaan akademissehingga ke depan mendapatkan apresiasi dan diakui menjadikonstribusi bermanfaat dalam bidang ‘ulu>m al-Qur’a>n sufistik.

Page 206: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

177

Daftar Pustaka

Abu> Zaid, Nas}r H{a>mid. Mafhu>m al-Nas}s}, Dira>sah fi>> U<lu>m al-Qur’a>n.

B\eirut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 2005.

______, Falsafah al-Ta’wi>l . Beirut: Dar al-Tanwir, 1983.

Al-Alu>si, Ru>h} al-Ma’a>ni. Beirut: Da>r al-Ihya al-Tura>ts al-Arabi.

Ali, A. Mukti. Metodologi Penelitian Agama: Suatu Pengantar. Tiara

Wacana, 2004.

Ansari, Muhammad Abd. Haq. Antara Sufisme dan Syariah. Jakarta:

Rajawali Press, 1993.

Al-Ami>n, Ih}sa>n. Manhaj al-Naqd fi> al-Tafsi>r. Beirut: Da>r al-Ha>di>, 2007.

Ami>r, ‘Abba>s. al-Ma’na al-Qur’ani bayn al-Tafsir wa al-Ta’wil.

Libanon: al-Intis}ar al-‘Arabi, 2008.

Brill, E.J. (ed.), The Encyclopedia of Islam. Leiden: EJB, 1986.

Bowering, Gerhard. The Mystical Vision of Existence in Classical

Islam: The Qur’anic Hermeneutics of the Sufi Sahl at-Tustary. Berlin

& New York: De Gruyter, 1980.

Barthes, Roland. Mythologies. NewYork: The Nonnday Press, 1991.

Barah, Abd al-Ghani. al-Hermeneutiqa wa al-Falsafah. Al-Jaza’ir: al-Da>r

al-Arabiyah li al-‘Ulu>m Nas}irun, 2008\.

Caradivo, Baron. al-Ghaza>li, terj. Adil Zu’aytir. Da>r Ihya al-Kutub al-

Arabiyah, 1909.

Dhahabi, Husain. Al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n. Cairo: Maktabah Wahbah,

2000.

Da>rraz, ‘Abdullah . Al-Naba>’ al-‘Az}i>m. Cairo: Da>r al-‘Urubah, 1960.

Dillistone, F.W. The Power of Symbols. Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Al-Fajjari, Mukhta>r. H{afariyya>t fi al-Ta’wi>l al-Isla>mi: Dira>sah al-Maja>l

al-Ma‘rifi al-Us}uli al-Awwal li al-Tafsi>r al-S{u>fi. Yordania: ‘A<lam al-

Kutub al-Hadi>ts, 2008.

Al-Farmawi, Abd al-H{ayy. al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Mawd}u>i’ . Tanpa

Penerbit, 1977.

Faydu>h, ‘Abd al-Qa>dir Naz}riyah al-Ta’wil fi al-Falsafah al-Arabiyah al-

Isla>miyah. Syria: Da>r al-Awa>iel, 2005.

Goldziher, Ignaz. Madha>hib al-Tafsi>r al-Isla>mi>. terj. Cairo: Da>r Iqra.

Al-Ghazali, Abu> H{a>mid. Jawa>hir al-Qur’a>n (Rashid Rida ed.). Beirut:

Page 207: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

178

Da>r Ihya al-‘Ulum, 1990.

Heer, Nicholas. “Abu>> H{a>mid al-Ghaza>li’s Esoteric Exegesis of the

Koran”, dalam Leonard Lewisohn (ed.), The Heritage of Sufism.

Oxford: Oneword Publications,1999.

Hirsch, E.D. Jr. Validity in Interpretation. New Haven: Yale University

Press, 1967.

Hidayat, Asep Ahmad. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa,

Makna, dan Tanda. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.

Hamyah, Khanjar ‘Ali. Al-irfa>n al-Shi’I. Libanon: Da>r al-Hadi, 2004.

Al-Hafani, Abd al-Mun‘im. Al-Mawsu>’ah al-S{u>fiyah. Cairo: Da>r al-

Rasha>d, 1992.

Al-Ji>la>ni>, ‘Abd al-Qa>dir, Al-Fawa>tih al-Ilahiyyah wa al-Mafa>tih

al-Ghaybiyyah al-Muwad}d}ih}ah li al-Kalim al-Qur’a>niyyah wa al-

H{ikam al-Furqa>niyyah. Turki: Markaz al-Ji>la>ni> li al-Buhu>ts al-

‘Ilmiyyah, 2009.

______, Al-Ghunyah li al-T{a>lib T{a>riq al-Haqq fi

Ma‘rifat al-‘Adab al-Shari>ah. Beirut, Da>r al-Ji>l, 1999.

______, Al-Fath al-Rabbani wa al-Fayd{ al-Rah}ma>ni.

Mesir: Da>r al-Rayyan li al-Tura>th.

______, Sirr al-Asra>r. Mesir: Matb}a’ah al-Bahiyah al-

Mis}riyah.

______, Kita>b al-Mukhtasar Fi Ulu>m al-Din. Istanbul:

Markaz al-Jaylani li al-Buhu>th al-Ilmiyyah, 2010.

al-Ji>la>ni>, Muhammad Fa>d}il. Nahr al-Qa>diriyah. Istanbul: Markaz Al-

Jayla>ni> li al-Buhu>th al-‘Ilmiyyah, 2009.

Al-Ja>biri, ‘A<bid. Binyah al-‘Aql al-‘Arabi. Beirut: Markaz Dira>sah al-

Wahdah al-‘Arabiyyah, 2004.

_______, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi. Beirut: Markaz Dira>sah al-

Wahdah al-‘Arabiyyah, 2002.

Jahla>n, Muh}ammad bin Ahmad. Fa‘a>liyah al-Qira>’ah wa Ishka>liyah

Tah}di>d al-Ma‘na fi> al-Nas}s{ al-Qur’a>ni. Syria: Da>r al-S}afh}a>t,

2008.

Rif’at Ju>, Farah} Na>j. Al-‘Irfa>n al-S{ufi ‘Inda Jalaluddin al-Ru<mi. Beirut:

Da>r al-Ha>di, 2008.

Al-Junaydi, ‘Abadurrahman bin Zaid. Mas}a>dir al-Ma’rifah fi al-Fikr al-

Page 208: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

179

Di>niy wa al-Falsafi. Riyad}: Maktabah al-Muayyad, 1992.

Jurnal Studi al-Qur’a>n. Vol. II, No. 1, 2007.

Jurnal Studi Agama dan Masyarakat. vol. I, No. 2, Desember 2004.

Al-Kaylani, Abd al-Raziq. Al-Shaikh Abd Qadir al-Ji>la>ni>: al-Ima>m al-

Za>hid al-Qudwah. Damaskus: Da>r al-Qalam, 1994.

Al-Kailani, Abd al-Razzaq. Syaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni> : Guru

Pencari Tuhan. Bandung: Mizania, 2009.

Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta:

Paradigma, 1998.

Knysh, Alexander D. “Sufism and al-Qur’a>n ” J.D. McAuliffe (ed.), The

Encyclopaedia of the Qur’a>n. Leiden-Boston: E. J. Brill, 2006.

Al-Kurdi, Ra>jih Abd al-Ha>mid. Naz{riyah al-Ma’rifah bayn al-Qur’a>n wa

Falsafah. Riyad}: Maktabah al-Muayyad, 1992.

Al-Kaylani, Abd al-Raziq. al-Shaikh Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>: al-Imam al-

Zahid al-Qudwah. Damaskus: Dar al-Qalam, 1994.

Al-Mibadiy, Muhammad Fa>kir. Qawa>‘id al-Tafsi>r lada al-Shi’ah wa al-

Sunnah. Teheran: al-Majma‘ al-‘A<lami li al-Taqrib bayn

al-Madha>hib al-Isla>miyyah, 2007.

Muhammad Ha>di Ma‘rifat, al-Ta’wi>l fi Mukhtalaf al-Madha>hib wa al-

‘Ara>. Teheran: al-Majma’ al-‘A<lami li al-Taqri>b bayn al-

Madha>hib al-Islamiyah, 2006.

McAulife, Jane Dammen. etc. With Reverence for the Word: Medieval

Scriptural Exegesis in Judaism, Chiristianity, and Islam. New York:

Oxford University Press, 2003.

Al-Muha>sibi, al-H{a>rith. al-‘Aql Fahm al-Qur’an. Beirut: Da>r al-Fikr,

1971.

Muh}ammad, Yahya. Naqd al-‘Aql al-‘Arabi fi> al-Mi>za>n. Beirut: al-

Intisha>r al-Arabi, 1997.

Massignon, Louis. Essay on the Origins of the Technical Language of

Islamic Mysticism. Indiana: University of Notre Dame Press, 1997

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.

Remaja Rosda Kaya, 2004.

Masduki, Anis. Metode Tafsir Sufistik Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jaylani,

Yogyakarta: STIQ al-Nur, 2010.

Al-Nasha>r, ‘Ali Shami. Nash’ah al-Fikr al-Falsafi fi> al-Isla>m, Cairo: Da>r

Page 209: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

180

al-Salam, 2008.

_______, Mana>hij al-Bahth Iinda Mufakkri> al-Islam.

Cairo:Da>r al-Salam, 2008.

Nas}r, At}if Jawdah. Al-Rumu>z al-Shi’ri ‘inda S}ufiyah. Cairo: al-Maktab

al-Mis}ri, 1998.

Naz}mi, Ra>nia Muh}ammad ‘Azi>z. Al-Manhaj al-Isha>ri fi> Tafsi>r al-Ima>m

al-Qushayri. Alexandria: Mansya‘ah al-Ma‘a>rif, 2001.

Nicholson, Reynold A. The Mistic Of Islam. London: Rouledge and

Kegal Paul, 1966.

Patte, Daniel. What Is Structural Exegesis. Philladhephia: Fortress

Press, 1976.

Palmer, Richard E. Hermeneutics, Interpretation Theory ini

Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer. Evanston:

North Western University Press, 1972.

Al-Qushayri. Lat}āif al-Ishārāt. Mesir: al-Hay’ah al-Mis}riyah, 2007.

Qaseem, M. Abu>l. The Jewels of The Quran: al-Ghazali’s Theory.

Malaysia: University of Malaya Press, 1977.

Rabi>’, Mahmud Muh}ammad. Asra>r al-Ta’wil. Mesir: al-Hay’ah al-

Misriyah al-‘Amah, 1993.

Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an. London & New York:

Routledge, 2006.

Salam, Aprinus. Oposisi Sastra Sufi. Yogyakarta: LKIS, 2004.

Sami>>, Sahar. Shi’riyah Nas} al-S{u>fi fi> al-Futu>ha>t al-Makiyyah li

Muhyiddn Ibn ‘Arabi. Cairo: al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘A<mah

li-‘l- Kita>b, 2005.

Steinbock, Anthony J. Phenomenology and Mysticism. USA: Indiana

University Press, 2007.

Al-Sha’rani, T{abaqa>t al-Kubra. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt.

Sells, Michael A. (ed.). Early Islamic Mysticism. Paulist Prees New

Jersey, 1996.

Schimmel, Annemarie. Mystical Dimenstion in Islam. USA: University

of North Caroline Press, 1975.

Sands, Kristin Zahra. Sufi Commentaries on The Qur’an in Islamic

Classical Islam. London and New York: Routledge, 2006.

Satha-Anand, Chaiwat. “Self as a Problem in Islam: A Reading of Abdul

Page 210: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

181

Qadir Gilani’s Discourse” dalam Syeda Saiyidain Hameed (ed.),

Contemporary Relevance of Sufisme. Newdelhi: Indian Council

for Cultural Relations, 1993.

Schimel, Annimeric Reason and Mystical Expererience in Sufism.

London: IB Tauris, 2000.

Al-Suyu>t}i, Jala>luddin. Al-Itqa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr.

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. Grafindo Persada,

1996.

T{ayyi>b, Muhammad ibn. Islam al-Mutas}awifah. Syria: Da>r al-T}ali>‘ah,

2007.\

Al-T}u>si, al-Sarra>j. Al-Luma‘ fi> Ta>rikh al-Tas}awuf al-Isla>mi. Beirut: Da>r

al-Kutub al-Ilmiyah, 2001.

Al-Tustari, Sahl bin ‘Abdullah , Tafsi>r al-Qur’an al-Az{>im. Cairo: Da>r al-

Kutub al-‘Arabiyyah al-Kubra, 1911.

Wensinck, A. J. The Muslim Creed. New Delhi: Oriental Print, 1979.

Wittingham, Martin. Al-Ghaza>li and the Qur’a>n. London and New

York: Routledge, 2007.

Wansbrough, John. Qur’anic Studies: Sources and Methods of Scriptural

Interpretation. New York: Prometheus Books, 2004.

Widodo, Rh. Saussure Untuk Sastra: Sebuah Metode Kritik Sastra

Struktural. Yogyakarta: Jalasutra, 2009.

Al-Zarkashi. Al-Burha>n fi Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Ma’rifah,

1998.

Al-Zarqani, Muh}ammad Abd al-Az}i>m. Mana>hil al-Irfa>n fi> ‘Ulu>m

al-Qur’a>n. Cairo: Da>r al-Hadith, 2001.

Zaidan, Yusuf Muh}ammad T{aha. ‘Abd al-Ji>la>ni>: Ba>zzullah al-Ashhab.

Beirut: Da>r al-Jayl, 1999.

Zubair, Anton Bakker & Achmad Charris. Metodologi Penelitian

Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Page 211: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

182

Page 212: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

183

GLOSARI

Ahlu kashaf wa shuhu>d : orang-orang yang memperoleh pengingkapan dan

penyaksian

A<lam al-amr : alam spiritual atau alam perintah. Alam yang di dalamnya

tidak ada waktu dan materi.

A<lam al-amsha>l : alam analogi dan imajinasi. Inilah sekat barzakh tempat

misteri kekaburan kosmis bisa diungkapan.

‘A<lam al-kha>rij : alam material.

A<lam al-mulk : alam materi, alam lahiriah, alam peristiwa alam

makrokosmos.

‘Ayn al-bas}irah : mata hati, mata batin, pandangan mata spiritual.

Terbukanya mata batin merupakan rahasia dan keajaiban yang hanya

bisa ditimbulkan melalui Rahmat Tuhan.

‘Ayn al-Haqq : entitas kebenaran: wujud dan esensi Tuhan sendiri.

‘Ayn al-yaqin : penyaksian yang meyakinkan. Dalam tiga serangkai

‘ilm al-yaqin (ilmu yang meyakinkan), ‘ayn al-yaqin: penyaksian

yang meyakinkan. Haqq al-yaqin: hakikat yang meyakinkan.

Asba>b al-nuzu>l : konsep yang berkaitan dengan sesuatu yan menjadi sebab

turunnya ayat-ayat al-Qur’a>n.

Akal mukawwan : berfungsi sebagai basis epistemik atau kaidah-kaidah

sistematis yang ditetapkan, diterima dan dinilai sebagai nilai

mutlak dalam suatu babak sejarah tertentu. Karakakter dari Akal

mukawwan ini memiliki relativitas dan dicirikan dengan sifat

berubah-ubah secara dinamis. Hal ini yang menjadikan ragam

perbedaan antara satu disiplin keilmuan dengan lainnya.

Akal mukawwi : akal besar sebagai alat sistem pengetahuan.

al-Asa>lib al-baya>niyah : perangkat tekstualis-eksoterik sebagai perangkat

khas Nalar Baya>n (shart} al-baya>n).

al-Asa>lib al-‘irfa>niyyah : perangkat gnostik-esoterik sebagai perangkat khas

Nalar ‘Irfa>n (shart} a-‘irfa>n }).

Ah}wa>l : keadaan spritual; yang menguasai hati.

Baya>ni : nalar epistemologi aplikasi yang terdapat dalam bidang filologi,

yurisprudensi Islam, ushul fiqh, teologi dan balaghah. Sistem ini

muncul sebagai kombinasi dari akumulasi prosedur untuk

Page 213: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

184

menafsirkan teks-teks primer keagamaan. Secara holistik karakter ini

menggunakan metode analogi sebab lebih menyandarkan kepada

kekuatan tekstual. Setiap ulama mempunyai istilah mandiri namun

esensinya sama. Ahli hukum dan ahli nahwu menyebutnya istilah

Qiya>s. Ahli balaghah dengan istilah al-tasybi>h. Ahli teolog

menyebutnya al-istidla>l bi al-sya>hid (far’) ‘ala al-gha>ib (ashl).

Burha>ni : nalar epistemologi demonstratif yang didasarkan pada metode

observasi empiris dan inferensi rasional (al-istinta>j al-‘aqliy).

Dila>lah nas}s} : tanda fenomen atau petunjuk teks.

Dhikr : bacaan asma Tuhan yang menjadi rutinitas kaum sufistik.

Da>l : penanda/ signfier/ al-musha>r

Fayd}I : emanasi Tuhan yang diberikan kepada kaum sufistik.

Fana>’ : penafian diri atau penidaan diri. Saat bersatu dengan Tuhan.

Saat bersama dengan Tuhan manusia mengalami fana>’. Inilah

hilangnya batas individual dalam keadaan kesatuan.

Al-Fayd} al-Muqaddas : pancaran suci. Inilah manifestasi Tuhan dalam

bentuk penciptaan.

Huru>f muqat}t}’ah : penggalan huruf dalam awal surat yang biasa terdiri dari

satu sampai empat huruf. Huruf ini merupakan penafsiran yang

paling menarik bagi kalangan sufistik sebab mengandung banyak

simbol penafsiran.

Hakikat : menunjukkan hakikat esensial segala sesuatu atau kebenaran

hakiki.

H{ija>b : tirai yakni segala sesuatu dari diri manusia yang menyembunyikan

dan menutupi Tuhan.

H{isiyyah : indera eksternal.

Idra>k : persepsi atau pemahaman.

Ittihad : penyatuan atau berpadunya dua hal. Ittihad dipandang sebagai

ajaran doktrinal karena memadukan eksistensi dua wujud yang

terpisah. Hal ini bertentangan dengan konsep wah{dah al-wujud

(kesatuan wujud) atau h}ulu>l (inkarnasi).

Ilmu laduni : pengetahuan yang diberikan langsung oleh Tuhan kepada

Hamba.

Istiqa>lah al-‘aql : membunuh akal.

I‘tiba>r al-qur’a>ni : pertimbang al-Qur’an sebagai legitimasi landasan dan

Page 214: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

185

acuan pemikiran kaum sufi suni ‘amali.

I‘tib>ar al-wuju>di : pertimbangan ontologi pemikiran sebagai legitimasi

landasan dan acuan pemikiran kaum sufi falsafi-batini. Mereka

menjadikan al-Qur’a>n sebagai pretensi argumentasi.

‘Irfa>ni : epistem gnostik yang mengakomodir sufisme sunni ‘amali dan sufi

falsafi, Syi’ah, Isma'iliyyah, interpretasi esoterik terhadap teks-teks

keagamaan, dan filsafat iluminasi. Epistem ini didasarkan pada

metode penyingkapan intuitif mistik (al-kashf) atau ilham yang

terpengaruhi oleh filsafat Hermetisme.

Isha>ri : isyarat simbolik atau pesan moral yang diseruput oleh kaum

sufistik dari suatu ayat (a silent signal).

Al-kull : segala sesuatu, kesuluruhan,sesuatu yang bersifat universal.

Kashf : proses mendapatkan ilmu tanpa hijab/penyingkapan.

Maqa>m : kedudukan spiritual yang diperoleh dan dicapai melalui usaha dan

ketulusan sang penempuh spiritual.

Maujud : sesuatu yang mempunyai eksistensi.

Maqa>s}id al-‘arabiyyah : maksud tujuan dari kontekstualisasi bahasa Arab

Mas‘a> al-ta’wi>l : landasan penakwilan sufi berupa sumber pengetahuan

‘irfa>ni sebagai jalan mencapai pengetahuan hakiki demi menemukan

tajalli ilahi dan kashf ilahi.

al-Mutahaqiqi>n : pengetahuan yang digali oleh ahli pemahaman pencari

hakikat

Madlu>l : petanda/signified/ al-musha>r ilayh

Muhkama>t : ayat-ayat yang ditafsirkan secara zahiri dan tidak menimbulkan

ambiguitas.

Mutasha>biha>t : ayat-ayat yang ditafsirkan secara batini dan mengandung

ambiguitas sehingga menjadi rawan dimulti-tafsirkan dengan

berbagai model pembacaan.

Muka>shafah : terbukanya jalan wus}u>l menuju dan melihat Tuhan.

Qanu>n al-ikhtila>f wa i’tila>f : undang-undang perbedaan dan kesepakatan

ajaran yang terjadi silang antara sufi ortodoks dan heteredoks.

al-Qa>idah al-ruba>i’ : kaidah empat serangkai terdiri z}a>hir sebagai praktikal,

ba>t}in sebagai metaforikal, al-had sebagai legal dan mat}la’ sebagai

estimonial atau hakikat.

al-Ra>sikhu>n fi> al-‘ilm : orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam

Page 215: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

186

dan bijak ilahi yang mempunyai pengetahuan yang benar tentang diri

mereka sendiri dan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang sudah

menancap ruh-ruh mereka dalam transenden di atas alam transenden

(ghaibah al-ghuyu>b) dan dalam rahasianya rahasia (sir al-asra>r).

Riyad}ah : disiplin asketis atau latihan zuhud.

Sufi ‘amali : sufi ortodoks yang memegang teguh ajaran murni Islam dan

sumber tasawufnya otoritatif berlandaskan al-Qur’a>n dan H{a>dith.

Sufi naz}ari : sufi heteredoks atau yang lebih dikenal sufi falsafi-batini yang

ajarannya sudah tidak lagi murni Islam dan mengalami akuluturasi

dan hibridasi dengan ajaran lokal.

Shat}h} : ekstase dan lupa diri ketika seorang sufi mengalami perjumpaan

dengan Tuhan.

Tila>wah : bacaan al-Qur’an yang dilantunkan.

Ta‘a>mula>t al-fikr wa futu>h}a>t al-‘aql : kontemplasi-kontemplasi pemikiran

dan terbukanya pencerahan akal.

Thana>‘iyyah wa jadaliyyah al-z}a>hir wa al-ba>t}in : dualitas z}a>hir dan ba>t}in

atau dialektika z}a>hir

Ta’wi>l sufistik : isyarat sakralitas (isha>rah qudsiyyah) serta pengetahuan

suci (subh}aniyyah) di mana ahli suluk mampu membuka ta’bir dari

tirai-tirai ungkapan dalam al-Qur’a>n yang mengalir dari alam

transenden kepada mereka.

Tafsir z}ahiriyyah : tafsir yang digunakan oleh para mufassir ahli ra’yu dan

ma’tshu>r di mana mereka konsisten memegang ilmu-ilmu al-Qur’an

mainstream yang dibakukan oleh peletak ulum al-Qur’an seperti al-

Suyu>t}i> dan al-Zarkashi>. Terma ini untuk mempermudah distingsi

antara mufasir yang memegang nalar baya>ni dan mufasir yang

memegang nalar baya>ni dan ‘irfa>ni seperti yang ditunjukkan oleh

kaum sufi ortodoks atau hanya memegang nalar ‘irfa>ni seperti yang

ditunjukkan oleh kaum sufi heteredoks.

Tafsir sufi : tafsir yang didasarkan bukan kepada makna eksoteris

melainkan makna yang tersembunyi yang dimunculkan tendensi-

tendensi pengalaman spiritual sufistik

Tafsir ijma>li : tafsir yang menjelaskan al-Qur’a>n secara global

Tafsir al-muqa>rin : tafsir yang menjelaskan al-Qur’a>n secara komparatif

Tafsir al-mawd}u’i : tafsir yang menjelaskan al-Qur’a>n secara tematik

Page 216: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

187

Tafsir al-fiqhi : tafsir yang menjelaskan al-Qur’a>n secara hukum

Tafsir al-lughawi : tafsir yang menjelaskan al-Qur’a>n secara simantik

Tafsir bi al-ra’y : tafsir yang menjelaskan ayat-ayat dengan mendasarkan

kepada nalar serta memenuhi persyaratan penafsiran legal-formal.

Tafsir bi al-ma’thu>r : tafsir yang menjelaskan ayat-ayat melalui transmisi

periwayatan

Urba>b al-qulu>b : istilah untuk kaum sufistik yang sudah mencapai derajat

tinggi

Ulama>’ rusu>m : ulama yang mencakup ulama tafsir, ulama fikih, ulama

Hadith. Sebutan kaum sufistik kepada mereka yang hanya setia

terhadap norma-norma tektualis yang resmi.

Wajd : ekstase sufistik atau emosi yang muncul dari kaum sufistik ketika

mencapai ah}wa>l dan maqa>mat.

Wijdaniyyah-ma’nawiyyah : asosiasi dan korelasi yang tidak beraturan

antara z}a>hir dan ba>t}in, antara syariah dan hakikat, antara lafaz dan

makna maujud.

Page 217: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

188

INDEKS

A

‘A<rif, 1

Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni, 8, 9, 10, 23, 27, 40, 79, 82, 83, 91, 92 125, 126, 132,

138, 139, 140, 141, 142, 149, 150, 159, 160, 161, 162,165, 158, 169

Abu> al-Baraka>t al-Nasa>fi, 4

Abu Bakar, 51,

Abdul Wahab, 85

Abd Salam, 85

Abdullah bin ‘Umar, 108

Abraham, 78

Abbasiyyah, 87

Adab, 97, 99, 100, 104, 106, 109, 112, 113, 117, 120, 173

ahli hukum, 6, 45, 47

ahli nahwu, 6

ahli teologi, 6, 47,

ahli H{adi>th 47,

Ali Ibn Abi> T{a>lib, 81

B

Al-Baghda>di, 4

Bagdad, 83, 86, 87, 88, 92

al-Ba>z al-As}hab, 82

Baya>ni, 5, 6, 7, 45, 46, 49, 124, 125, 161, 173

Ba>t}iniyyah, 1, 39, 50, 53, 54, 58, 162, 157, 162

ba>t}in, 5, 7, 29, 30, 33, 39, 40, 44, 45, 46, 49, 50, 52, 69, 72, 73, 78, 124, 137,

138, 139, 140, 142, 143,

145, 146, 147, 148, 151, 152, 158, 161, 166, 169

Burha>ni, 6, 7, 45, 46, 49,

Page 218: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

189

Betty, 69,

Buddhisme, 86

C

Clement, 74

C.L. Stevenson, 158

D

al-Dhahabi, 1, 81

E

Esau, 73

Esoterik, 96, 98, 123, 126, 151, 152, 153, 166,

Eksoterik, 96, 98, 110, 123, 126, 127,

eksoterik-struktural, 174

esoterik spiritual, 174

F

Fatimah al-Zahra, 81

Fitagoras, 46,

Filosofi, 9, 18, 164, 166,

Filosof, 5, 6, 39, 45, 46, 53, 110

Fuqaha’, 1, 4, 5, 39, 41, 43, 51,

G

al-Ghaza>li, 14, 15, 16, 17, 48, 82, 90, 161, 162, 166,

al-Geylani, 10,

Gerhard Bowering, 110

al-Ghauth, 82

H

al-Hafidz Abd al-Ghani, 86

h}ad, 69,

Hammad Ibn Muslim al-Dibas, 83

al-Hanbali, 85

Page 219: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

190

al-Hallaj, 41,

Hasan Ibn Ali RA, 81,

Hermeneutika, 9, 10, 11, 12, 16, 22, 24, 27, 69, 70, 71, 72, 97, 98, 123, 173

Helllenistik, 73,

Hermetic, 73,

Hirsch, 10, 24, 27, 52, 70, 71, 125, 174

Husain, 81

Hulagu Khan, 87, 88

hulu>l, 90

I

Ibn al-Jawzi, 1,

Ibn S}ala>h, 2, 42, 110

Ibn ‘Abba>s, 3, 51, 67, 68, 129,

Ibn ‘Arabi, 35, 41, 43,

Ibn Taymiyyah, 41, 83

Ibn Fa>rid}, 41, 42,

Ibn Kathi>r, 81

‘ijma’ suku>ti>, 174

Imam al-Hanabilah, 81

Ibn Quddamah, 85, 86

Imperium Romawi, 87

Intuitif, 5, 6, 16, 124, 125, 161, 162, 163, 164, 165, 166,

Irfa>ni, 6, 93, 102, 112, 120, 123, 125, 161, 162

istinba>t}, 16, 124, 125,

istidla>l, 4, 6, 17, 46,

ilham, 6, 75,

inter-religi, 85

inter-tekstual, 98

ittih}ad, 90

J

Jabariyyah, 73

Ji>la>n, 10, 82

Ji>li, 10,

Page 220: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

191

Ja’far al-S{a>diq, 67,

Al-Junaydi, 119, 120,

K

kalbu al-Qur’a>n, 100

Kaylan, 82

Khawa>rij, 73

al-Ka>sha>ni, 17,

Khidir, 51, 174

Kristen, 85

L

Louis Massignon, 72, 109

Logosentrisme, 128,

M

mat}la’, 69,

al-Mans}ur bin ‘Ama>r, 107

al-Muh}a>sibi, 13, 14, 100, 107, 108, 109, 112, 118, 119, 120

muhadi>th, 1,

muh}kama>t, 94, 174

mutashabiha>t, 94, 174

Murji‘a, 73,

Muhammad (Nabi), 2, 31,

Mu’min, 4,

Mutakallim, 43, 53

Mesir, 78

Musa, 78, 174

al-Muja>hid, 118

al-Mustaz}hir, 82

al-Murtashid, 82

al-Muqtafi, 82

al-Mustanjid, 82

al-Mukharrami, 84

Page 221: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

192

N

Neo-Platonik, 73

al-Nisa>bu>ri, 17

Niff, 82

al-Niz}a>miyyah, 86, 87

O

Ontologi, 128, 134, 145, 168, Origen, 74

P

Paradigma, 123, 164, 170, pasukan Salib, 86

Persia, 94

pengetahuan inderawi, 4

pengetahuan laduni, 4

pengetahuan akal, 4, 171,

Philon Alexandria, 73, 74, 78 Pseudo-Dyonisus, 74

Q

Qadariyyah, 73, 86, 92

al-Qushayri, 7, 17, 22, 118, 119, 120, 132, 148, 149, 151, 165,

al-Qut}b al-Rabbani, 82

QS 2:45.. 40

QS 2:246… 72

QS 2:197… 160

QS 2:3… 141

QS 3: basmalah … 152

QS. 3:7… 57

QS 4:15… 125

QS 5: 67… 105

QS 5:96… 159

QS 7: 203-204… 116

QS 9: 124… 102

QS 12:2… 31

QS 16: 98… 112, 113

QS 18:109… 63

Page 222: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

193

QS 20:108… 120

QS 21: 2… 72

QS 22: 6… 72

QS 24:35… 72

QS 26:27… 72

QS 26: 193-195… 105

QS:27:16… 31

QS 29:64… 65

QS 30: 7… 65

QS 31:28… 63

QS 31: 20… 65

QS 39:18… 117

QS 40:3… 72

QS 43: 36… 103

QS 50:37… 115, 116, 118, 119

QS 50:1… 161

QS 57:3… 64, 72

QS 57: 13… 31

QS 89:17… 72

QS 78: 5… 103

R

al-Rajaq, 85

Rashi>d al-Di>n al-Maybudi, 17,

al-Rashi>d, 83

Ru>zbiha>n al-Baqli, 17,

S

al-Sha>t}ibi, 125, 130, 136,

al-Sha’rani, 85

al-Shafi’i, 85

Sibaweih, 73

St. Agustinus, 75,

Syams, 92

al-Suyu>t}i, 1,

Page 223: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

194

al-Sulami, 1, 17, 139, 143,

sufi moderat, 7, 170,

sultan al-‘Awliya’, 82, 84

al-Suhrawardi al-Maqtu>l, 41

T

Thomas Aquinas, 74

al-T{u>si, 16, 17, 137, 174

al-Tustari, 17, 20, 21, 67, 68, 149, 110

U

Ummi, 111

Ur, 78

ulu>l al-ba>b, 117

W

wahyu, 4, 46, 75,

Al-Wa>hidi, 1, 42,

Wittgenstein, 132, 134, 148,

wijdaniya>t, 173

Y

Yusuf, 51,

Yakub, 78

Yahudi, 85

Z

z}a>hir, 2, 5, 7, 14, 18, 19, 27, 28, 46, 52, 69, 71, 72, 76, 78, 123, 124, 157,

161,

Z{a>hiri, 9,

z}a>hiriyyah, 75,

Page 224: TafsirIsharirepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · penulis. Selanjutnya terimakasih tak terhingga kepada Prof. Dr. Dawam Rahardjo, Guru Intelektual penulis yang

195

BIODATA PENULIS

Aik Iksan Anshori atau lebih dikenal dengan panggilan Faiq Ihsan Anshori.

Lahir di Kuningan, 7 September 1980. Mengenyam pendidikan formal SD Al-

Husain, Magelang, Jateng, (1994), MTS Negeri Sindangsari, Kuningan, Jabar,

(1997), MA Darul Huda, Blitar. Jatim, (2003), Pon-tren Hidayatul Mubtadi’en

Lirboyo Kediri (2005) Al-Azhar University, Cairo-Mesir. Fakultas Ushuluddin

(Theology) Jurusan Tafsir dan Ilmu-Ilmu al-Qur’an (2009).

Kerap menjadi narasumber di berbagai forum dan aktif menulis artikel

ilmiah dan kolom di sejumlah media massa, jurnal di Cairo-Mesir dan Indonesia.

Menulis beberapa karya ilmiah. Diantara yang sudah dipublikasikan: Liberasi Abad

Kegelapan, (Cairo, 2009), kontributor buku: Rekonstruksi Displin Keilmuan Islam,

(Cairo, 2009), kontributor buku: Geliat Islam Pinggiran, Potret Pergolakan

Pemikiran Islam Terpasung (Cairo, 2007), kontributor buku: Aufklarung Islam,

Dialektika Agama, Politik dan Kolonialisme (Cairo, 2007), kontributor buku:

Kontekstualisasi Turats, Telaah Regresif-Progresif (Kediri, 2005).

Pernah menjabat Direktur Pelaksana LEMBAGA STUDI AGAMA DAN

FILSAFAT (LSAF) dan Redaktur Pelaksana Jurnal Ulumul Qur’an (2012).

Kesibukannya saat ini adalah menjadi tenaga pengajar di beberapa perguruan

tinggi.