syekh siti jenar

Upload: mas-iwan

Post on 20-Jul-2015

344 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

SYEKH SITI JENAR Padepokan Giri Amparan Jati Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musuh alit [musuh halus]Purwaka Caruban Nagari, 75-76, cat. 39; Sejarah Nasional Indonesia, vol. II;221> Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun. Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari sangkan-paran dirinya. Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama. Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani tinggi, bersatu dan melebur (fana) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, aku menyatu dgn Aku. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika (fana fi al-fana), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi Aku. Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran. Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep nurun ala nur (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.

Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk Abdul Jalil. Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya (bangga rohani); rimba sumah (pamer rohani); samudera ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun (penghalang akal dan nurani). Pencerahan Rohani di Baghdad Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah. Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu ke-Esaan afal Allah, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah afal Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana afal Allah itu optimal bekerja dalam dirinya. Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud. Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak

kitab-kitab marifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek alTawalud, Syekh Abdul Mubdi al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syiah Jafariyyah, yg di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt. Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Taaruf alKalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush alHikam-nya Ibnu Arabi (1165-1240), Ihya Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia. Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syari madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang. Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqaiq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Marifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh Abdul Karim al-Jili. Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara praktis/amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu Arabi. Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.

Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama khana. Sama khana adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama khana mulai bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya Abdul Warid al-Wajd. Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawaid (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); dan lawami (mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawaid), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu Arabi dan al-Jili. Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fabudni (mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar, fabuduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man arafa bafsahu faqad arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah al-Insan sirri wa ana sirruhu (Manusia adalah RahasiaKu dan Aku adalah rahasianya). Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu Arabi (560/1165-638-1240), Maruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa. Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali. Siti Jenar dianggap telah merusakketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar

ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri). Akan tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam. Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali. Dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syiah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon. Informasi tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I. Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mulamula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana

yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar. Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira: * Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya; * Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya; * Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah; * Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia; * Wujud lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera; * Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya; * Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru; Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa :

* Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah; * Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan; * Sedangkan mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi; * Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia; * Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya. Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa : * Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata; * Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan; * Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi. Menurut buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.

Siti Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian. Siti Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono dalam bukunya Al-Jamiah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti). Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi. Namun dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam). Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama HinduBudha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggap "subversif" yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar). Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran. Kaitan ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa

(1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat "tak terbatas" (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri. Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini. Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan tindakan-rindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci. Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya. Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan kalimat berikut yang berbunyi : "Janganlah Anda mencela keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar sendiri".* Sidang Para Wali Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba,mereka diberitahu hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya.Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini

Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi masalah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi penyampaian kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syeh Siti Jenar belum boleh disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam, karena seperti disampaika di muka bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke 15 M. Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie. TENTANG ALLAH, TAUHID DAN MANUNGGALING KAWULAGUSTI

SATU Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang? Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung? (Babad Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII). Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar tersebut diucapkan pada saat para wali menghendaki diskusi yang membahas masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para wali diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ilmu marifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang diberikan oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid. Sementara menurut Syekh Siti Jenar justru inti paling mendasar tentang tauhid adalah manunggal, di mana seluruh ciptaan pasti akan kembali menyatu dengan yang menciptakan. Pada saat itu, Sunan Gunung Jati mengemukakan, Adapun Allah itu adalah yang berwujud haq; Sunan Giri berpendapat, Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan.; Sunan Bonang berkata, Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak adanya.; Sunan Kalijaga menyatakan, Allah itu adalah seumpama memainkan wayang.; Syekh Maghribi berkata, Allah itu meliputi segala sesuatu.; Syekh Majagung menyatakan, Allah itu bukan disana atau disitu, tetapi ini.; Syekh Bentong menyuarakan, Allah itu itu bukan disana sini, ya inilah.; Setelah ungkapan Syekh Bentong inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan

mengungkapkan konsep dasar teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut ditanggapi dengan keras oleh Sunan Kudus, yang salah menangkap makna ungkapan mistik tersebut, Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama. Mulai persidangan itulah hubungan Syekh Siti Jenar dengan para wali memanas, sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh pada pendirian tauhid sejatinya. Sementara para Dewan Wali mengikuti madzhab resmi yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafii. Sampai masa persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan dengan lantang teologi manunggalnya bahwa, Utawi Allah iku nyataning sun kang sampurna kang tetep ing dalem dhohir batin, (bahwa Allah itu nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam dzahir dan batin) . Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad Cerbon, terbitan Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8. DUA Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan. (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103). Menurut beberapa sumber, di antaranya Soebardi (1975), beberapa saat setelah Syekh Siti Jenar wafat, para wali mendengar suara yang berasal dari roh Syekh Siti Jenar yang berupa ungkapan mistik tersebut. Ungkapan mistik itu merupakan ungkapan terakhir dari sang sufi sebagai bukti bahwa sampai sesudah wafatnya, dia memperoleh apa yang diinginkannya, dan menjadi bukti kebenaran ajarannya, yakni kehidupan sejati dalam kesatuan; manunggaling kawula-Gusti. TIGA tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124) Maksud bebas ungkapan tersebut adalah tidak usah kebanyakan bicara tentang teori ketuhanan, sesungguhnya ingsun (aku sejati) inilah Allah. Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang Sejati, juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan Yang Maha Melihat, mengetahui segala-galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang penyebutannya mengarah kepada Allah sebagai Tuhan. EMPAT

Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1). Menurut Syekh Siti Jenar, keberadaan dzat hanya ada beserta kemantapan hati dalam merengkuh Tuhan. Dalam diri tidak ada apa-apa kecuali menjadikan menunggal sebagai niat dan yang mewarnai segala hal yang berhubungan dengan asma, sifat dan afal Pribadi. Inilah di antara maksud utama ungkapan di atas. Jadi pemahaman atas ungkapan itu harus tetap berada dalam lingkup kemanunggalan. Kemanunggalan tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan perangkat syariat dan tarekat. Apalagi sekedar syariat lahiriyah (nominal). Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan tekad hati dan keseluruhan Pribadi dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh Allah pada awalnya ditiupkan atas setiap pribadi manusia. LIMA marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allahsaya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.] (Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22). ENAM Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. . Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut. (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20). TUJUH Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci. (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46). Ungkapan no. 5, 6, dan 7. Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi

pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan. Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran ingsun yang dikemukakan secara radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan Giri. Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya. DELAPAN Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah taala. (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13). Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut menunjukkan, bahwa dalam teologi manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya terjadi proses kefanaan antara hamba dan pencipta sebagaimana apa yang dialami oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur al-Hallaj. Dalam kasus pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara syahadat Rasul dan syahadat Tauhid ikut larut dalam kefanaan. Sehingga dalam pengalaman mistik manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi sejak abad ke-9, yakni sejak fananya Bayazid al-Busthami, Junaid al-Baghdadi, ana al-Haqq-nya Manshur al-Hallaj, juga Aynul Quddat al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi alMaqtul, dan akhirnya menemukan titik kulminasinya pada teologi Manunggaling Kawula-Gusti Syekh Siti Jenar. SEMBILAN Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: Muhammad Rasulullah. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah. Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan. Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearifbijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).

Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran Syekh Siti Jenar, dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik (pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya adalah kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai dengan implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri, yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah sebenar-benarnya munafik dalam tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata lahir. Sebab manusia sebagai khalifahNya adalah cermin Ilahiyah yang harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah kemanunggalan wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan antara Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang saling asing mengasingkan. Kesejatian Hidup dan Kehidupan SEPULUH Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah. (Wejangan Walisanga: hlm. 5). Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau ukuran orang awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan wejangan Syekh Siti Jenar tentang Shalat Tarek Limang Waktu. SEBELAS Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32). Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari belenggu kultural maupun belenggu struktural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar manusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja. Subtansi pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah. Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia

atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci. Tuhan dan Kemanusiaan DUA BELAS Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wajibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44). Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam al-Quran disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split personality, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan budi manusia. Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia, bukan di luarnya. TIGA BELAS Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30). Tuhan adalah yang maha meliputi. Keberadaannya, tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu, keghaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala sesuatu di hadapan-Nya sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai sesuatu yang baru dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga hanyalah sebagai tempat wadag bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya menghiasi wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah. EMPAT BELAS Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.

Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sanasana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah. Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli. Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat jalal dan jamal, artinya Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi dan selalu mengajak mencuri. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33-36). Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari manusia. Walaupun Ia penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing manusia untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistik dan matematis. Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat. Sekali lagi apa yang terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan kesadaran yang sudah tidak ada tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat tingkatan maka sebaiknya disempurnakan lagi. Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi satu dengan nama keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan. Semuanya berpulang kepada Allah, Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam ini ialah juga kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam kehidupan manusia beserta makhluk lainnyaallahu akbar. LIMA BELAS Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).

Dalam prespektif kemanunggalan, dunia adalah alam kematian yang sesungguhnya, dikarenakan roh Ilahinya terpenjara dalam badan wadagnya. Dengan badan wadag yang berhias nafsu itulah, terjadi dosa manusia. Sehingga keberadaan manusia di dunia penuh dengan api neraka. Ini sangat berbeda kondisinya dengan alam setelah manusia memasuki pintu kematian. Manusia akan manunggal di alam kehidupan sejati setelah mengalami mati. Disanalah ditemukan kesejatian Diri yang tidak parsial. Dirinya yang utuh, sempurna, dengan segala kehidupan yang juga sempurna. ENAM BELAS Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam kehidupan sejati. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 14-16). Karena kematian hanya sebagai pintu bagi kesempurnaan hidup yang sesungguhnya, maka sebenarnya kematian juga menjadi bagian tidak terpisahkan dari keberadaan manusia sebagai pribadi. Oleh karena itu, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain. Kematian adalah hal yang muncul dengan kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi yang sudah berada dalam kondisi manunggal. Oleh karena itu, dalam sistem teologi Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada istilah dimatikan atau dipulangkan, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam hal mati ini, sebenarnya tidak ada unsur tekanmenekan atau paksaan. Pintu kematian adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas, dan harus diselami pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia menghendaki kematiannya itu. Barulah jika seseorang memang tidak pernah mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau mempelajari ilmu kematian, tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa yang sedang dialami. TUJUH BELAS Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh (Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74). Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir, ungkapan mistik itu keluar dari ucapan darah Syekh Siti Jenar, setelah dipenggal kepalanya oleh Dewan Walisanga. Darah yang menyembur, jatuh ke tanah melukis kaligrafi la ilaaha illallah, dan mengeluarkan ucapan-ucapan mistik tersebut. Para wali dan masyarakat yang menyaksikannya terkejut campur bingung. Setelah beberapa saat, dari lisan kepala yang sudah dipenggal, keluar ucapan yang memerintahkan agar darah kembali ke jasadnya, demikian pula kepala menyatu dengan tubuh. Jelas bahwa kematian fisik tak mampu

menyentuh Syekh Siti Jenar. Mati ada dalam hidup, hidup ada dalam mati.hidup selamanya tidak mati, kembali ke tujuan, langgeng selamanya. Setelah berpamitan dan mengucapkan salam kepada semua yang menyaksikan, Syekh Siti Jenar dengan diliputi oleh semerbak bau harum terbungkus cahaya gemerlapan yang menyorot ke atas, kemudian lenyap terserap ke dalam alGhaib, Dia Yang Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya bersinar cemerlang, berkilau gemilang, berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari, menyilaukan pandang semua orang yang menyaksikan. Adapun pelaksanaan hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen kebenaran ajarannya. Tanpa bukti yang dinampakkan secara dzahir, maka kebenaran ajaran Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud. Sebab pembuktian itu sebagaimana sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj, al-Syuhrawardi dan Aynul Quddat al-Hamadani sebagai pendahulunya memang menuntut jasad sang Guru sebagai martir atau syahid bagi kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya sebagai syuhada bagi sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh Jatimurni, Guru Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan. AJARAN TENTANG PENERAPAN RUKUN IMAN, ISLAM DAN IHSAN Materi Pokok Pengajaran Syekh Siti Jenar DELAPAN BELAS Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7). Kepada pada muridnya, Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu marifat secata bertahap, yang harus dikuasai oleh seseorang, jika ingin menjadi manusia sempurna (al-insan al-kamil), serta bagi yang ingin menempuh laku manunggal dengan Tuhan. (1) Pertama-tama Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang asal-usul manusia [ngelmu sangkan-paran]; (2) Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai pintu kehidupan; (3) Langkah ketiga Syekh Siti Jenar menunjukkan tempat manusia besok ketika sudah hidup kekal abadi; (4) Taham keempat, ia menunjukkan tempat alam kematian, yaitu yang sedang dialami dan dijalani manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai kiat cara menghadapinya; (5) Langkah terakhir Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang adanya Tuhan Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa, sebagai pelabuhan akhir bagi kemanunggalan dan keabadian. Sasahidan: Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar SEMBILAN BELAS Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun,

Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun. (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.1516). Terjemahan, Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati, Akulah Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku. Ajaran tersebut disebut sebagai ajaran atau wejangan Sasahidan Serat Wirid Hidayat Jati merupakan naskah paling terkenal hasil karya R. Ng. Ranggawarsita. Menurut R. Ng. Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan wejangan wali ke-8. wali VIII yang dimaksud adalah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar. Ini sesuai dengan pernyataan Ranggawarsita sendiri dalam naskah tersebut pada halaman 5 dan 6, dimana wejangannya adalah Sasahidan atau Penyaksian. Oleh Ranggawarsita, Sunan Kajenar disebut sebagai wali dalam dua angkatan, yakni angkatan pertama di awal Kerajaan Demak dan angkatan dua, yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat pernyataan ini, logis jika tahun wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan pada tahun 1517, sebab setelah kekuasaan Raden Fatah usia Kerajaan Demak tidak berlangsung lama, disambung dengan Kerajaan Pajang. Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah pengalaman spiritual dan keadaan kemanunggalan pada diri Syekh Siti Jenar terjadi dalam waktu yang lama, dan mendominasi keseluruhan wahana batin Syekh Siti Jenar. Nampak juga bahwa dalam intisari ajaran tersebut, konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh Siti Jenar. Jika ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka demikian pula pengalaman batin dari keagamaan juga tidak bisa disembunyikan. Dan pengalaman keagamaan yang terlahir tidak harus ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan selubung syariat. Dan akhirnya dalam ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran Syekh Siti Jenar tersimpul. Kemanunggalan Ke-Iman-an DUA PULUH Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:

a. Imannya imam, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah keberadaan Allah. b. Imannya tokide (tauhid), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah panunggale (tempat manunggalnya) Allah. c. Imannya syahadat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah sifatullah (sifatnya Allah). d. Imannya marifat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kewaspadaan Allah. e. Imannya shalat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah menghadap Allah. f. Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. g. Imannya takbir, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kepunyaan keangungan Allah. h. Imannya saderah, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah pertemuan Allah. i. Imannya kematian, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kesucian Allah. j. Imannya junud, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wadahnya Allah. k. Imannya jinabat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kawimbuhaning (bertambahnya nimat dan anugerah) Allah. l. Imannya wudlu, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah asma (Nama) Allah. m.Imannya kalam (perkataan), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah ucapan Allah. n. Imannya akal, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah juru bicara Allah. o. Imannya nur, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wujudullah, yaitu tempat berkumpulnya seluruh jagat (makrokosmos), dunia akhirat, surga neraka, arsy kursi, loh kalam (lauh al-kalam), bumi langit, manusia, jin, belis (iblis) laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya jantung yang

disebut alam kiyal (alam al-khayal), maksudnya adalah angan-angannya Tuhan, itulah yang agung yang disebut alam barzakh, yang dimaksudnya adalah pamoring gusti kawula, yang disebut alam mitsal, yang dimaksudnya adalah awal pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma afal, yang disebut alam arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang adalah dipenuhi sifat kamal jamal. (Wedha Mantra, hlm. 54-55). Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan panunggaling iman. Dari aplikasi iman dalam bentuk keimanan Manunggaling Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa fungsi manusia sebagai khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi betul-betul nyata. Manusia adalah cermin dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat yang berimbang. Semua bentuk syariat agama ternyata memiliki wujud implementasi bagi tekad hatinya, sekaligus ditampakkan melalui tingkah lahiriyahnya. Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah, ajaran langit Allah berhasil dibumikan oleh Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Melalui doktrin utama Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan keberadaan Allah secara langsung, bukan hanya memahami keberadaan dari sisi nalar-pikir (ilmu) dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang dipaksa dengan doktrin surga dan neraka). Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Mengajarkan dan mengajak manusia bersama-sama merasakan Allah dalam diri pribadi masing-masing. DUA PULUH SATU Adapun yang menjadi maksud: a. Iman, adalah pangandeling (pusaka andalan), roh. b. Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, tempat manunggal) roh. c. Marifat, penglihatan roh. d. Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh. e. Akal, pembicaraannya roh. f. Niat, pakaremaning roh. g. Shalat, menghadapnya roh. h. Syahadat, keadaan roh. (Wedha Mantra, hlm. 54). Pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut mempertegas maksud Manunggalnya Iman di atas. Di dalam hal ini, Syekh Siti Jenar menjelaskan maksud dari masing-masing doktrin pokok tauhid dan fiqih ketika dikaitkan dengan spiritual. Iman, tauhid, marifat, qalbu, dan akal adalah

doktrin pokok dalam wilayah tauhid; dan niat, shalat serta syahadat adalah doktrin pokok fiqih. Oleh Syekh Siti Jenar semua itu sirangkai menjadi bentuk perbuatan roh manusia, sehingga masing-masing memiliki peran dan fungsi yang dapat menggerakkan seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin, roh dan jasadnya. Itulah makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun Islam dan ihsan pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang utuh yang membentuk kepribadian illahiyah pada kedirian manusia. DUA PULUH DUA Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31). Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat bukanlah hal yang terpisah dari manusia, dan bukan mutlak milik Allah. Kodrat dan iradat menurut Syekh Siti Jenar terkait erat dengan eksistensi sang Pribadi (manusia). Pribadi adalah eksistensi roh. Maka jika roh adalah pancaran cahayaNya, pribadi adalah tajalli-Nya, penjelmaan Diri-Nya. Pribadi adalah Allah yang menyejarah. Maka Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa dirinya adalah sang pemilik dua puluh sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat merupakan kuasa pribadi, sifat yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan itu langgeng. Demikian pula adanya iradat, kehendak atau keinginan. Antara karsa, keinginan dan kuasa, adalah hal yang selalu berkelindan bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mandiri dan yang berhak merumuskan hanyalah perundingan antara pemilik iradah dengan Yang Maha Memiliki Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga pelimpahan kodrat Allah pada manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar mendidik manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak pintu kehidupan serta kematian. Tujuannya jelas, agar manusia menjadi Pribadi Sejati, pemilik iradah dan kodrat bagi dirinya sendiri. Syahadat DUA PULUH TIGA Inilah maksud syahadat: Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan. Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar mengajarkan berbagai macam syahadat dan hal itu selaras dengan konsep utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh, bukan sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan hati. Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan bahasa Jawa. Hal ini menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dengan mudah dan gamblang murid serta pengikutnya mampu memahami dan mengamalkan ajaran tersebut, tanpa kesulitan akibat kendala bahasa.

Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti Jenar juga memiliki dan mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan Giri, Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan mas ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur. Syahadat Sunan Bonang, Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas, ulir sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya hu, sirna kurungan tanpa kerana. Dan syahadat Sunan Kalijaga, Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa ilang, kang lunga padha rupane, dap lap ilang, (Wejangan Walisanga, hlm. 50). Dibawah ini adalah aplikasi syahadat menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang ada merupakan dzikir dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan air kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan sejati di alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng Pengging kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya. Jatunya rasa (tibaning rasa) maksudnya adalah meresapnya Allah dalam kehendak dan kedalaman jiwa. Ini kemudian dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan sajatining rasa (kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan asyhadu dengan sarana ungkapan, yakni Allah. Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan energi kreativitas positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata, bermanfaat dan berdaya guna, serta bersifat langgeng, yang diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad (Yang Memiliki Segala Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang Wajib alWujud. Maka diri manusia sebagai Pangeran (Tuhan) itulah yang perupakan kesejatian hidup atau kehidupan. Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat tauhid dan syahadat rasul. Namun syahadat adalah persaksian batin, yang teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan kawulaGusti. Dengan demikian syahadat mampu melahirkan karya-karya yang bermanfaat. DUA PULUH EMPAT Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci. (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53). (Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat Sakarat [Menjelang dan proses datangnya pintu kematian], sudah nyata penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal, keselamatan dan kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal sejatinya hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat sekarat roh menghadap hati memuji nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat raga tidak terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci).

Syahadat Sakarat adalah syahadat atau persaksian menjelang kematian. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu ajaran Syekh Siti Jenar adalah kemampuan memadukan iradah dan qudrat diri dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan. Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia yang manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan al-Kamil, juga mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam kematian di dunia ini, menuju alam kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat yang terpapar di atas, adalah syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal harian atau dzikir, terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi tidur juga tetap berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam sukma. DUA PULUH LIMA Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati. (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53). Syahadat paleburan diucapkan ketika (menjalani keheningan = samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki relungrelung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya, sesudah semua nafs dalam dirinya mengalami kasyaf. DUA PULUH ENAM Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh (ashadu-keberadaanku, la ilaha bentuk wajahku, illallah Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya). Inilah yang disebut Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang sebenarnya bersifat biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan rohnya, sehingga dari ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan sekedar pengenalan akan nama-nama Allah. DUA PULUH TUJUH Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan. (mantra Wedha, hlm. 53).

Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya adalah napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badanwadag, kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu adalah shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi. Ini adalah Syahadat Sakarat Permulaan Kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir hayatnya, maka orang tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan mengamalkan syahadat sakarat wiwitane pati ini. DUA PULUH DELAPAN Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran. (mantra Wedha, hlm. 54). (Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang hidup tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain adalah Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-tunggal menempati secara abadi memelihara budi, anganangan selalu menghadap Tuhan). Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya adalah syahadat Nur Muhammad. Suatu penyaksian bahwa kedirian manusia adalah bagian dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, jelas bahwa kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif, dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam pandangan sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan itu harus memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu, orang tersebut tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang buana menuju asal muasal hidup. Oleh karenanya keadaan kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting adanya syafaat sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap Pribadi dalam menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka pengalaman kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis kematian yang pasif, atau kematian yang negatif, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang terjadi terhadap hewan. Kematian itu adalah sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju keadaan manunggal. Dalam ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum awam (orang yang belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di atas, nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak kehilangan kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap sadar dalam pengalaman kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong manunggal. Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan Sang Tunggal. Kematian manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha

Hidup), sehingga hanya dengan pintu yang dinamakan kematian itulah, manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang tan kena pati, hidup yang tidak terkena kematian. DUA PULUH SEMBILAN Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah. (mantra Wedha, hlm. 54). (Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman hati, yang menjadi sumbernya kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah). Syahadat ini adalah sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang umum. Pengucapannya tidak berhubungan dengan waktu, tempat, dan keadaan tertentu sebagaimana syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk meneguhkan hati akan tauhid al-wujud. TIGA PULUH Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara : 1. Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada pusar, maka bacaan syahadatnya adalah, la ilaha illalah, Muhammad rasulullah. 2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya adalah la ilaha illa Anta. 3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya la ilaha illa Huwa. 4. Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui jalannya keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat banyak sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya. Jika rohnya tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya roh adalah la ilaha illa Ana. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57). Ajaran tentang syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi orang yang belum mampu menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan prasyarat lahiriyah yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah mampu menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang, juga bukan masalah waktu. Kematian termasuk dalam salah satu agenda manunggalnya iradah dan qudrat kawula Gusti dan sebaliknya.

Kalau diperhatikan secara seksama, ajaran Syekh Siti Jenar yang dikhususkan bagi kalangan awam (yang tidak mampu mengalami Manunggaling Kawula Gusti secara sempurna) tersebut hampir sama dengan ajaran Syuhrawardi. Shalat (tarek dan Daim) Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syariat. Shalat tarek diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup melakukan hal itu, karena masih adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat, sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat, teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan, mungkin efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati, nalar, dan tindakan ragawi. Kata tarek berasal dari kata Arab tarki atau tarakki yang memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar melaksanakan perintah syariat adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi. Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66). Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini. (Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syariat sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syariat, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat). Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan kematian. Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa

dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati. Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya adalah hasil dari laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta, menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar). Tentang anjuran untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang terpenting adalah penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling efektif adalah jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian seperti itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya. TIGA PULUH SATU Shalat Subuh Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku rohing Allah. Allah iku lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat ana gusti, sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajro-ning urip ana eling, pardhu taala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing awakku. (Aku berniat shalat, roh Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Allah. Allah yang menempati penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu ada gusti, di dalam gusti ada sukma, di dalam sukma ada nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah taala, Allahu akbar tetap mantap mengerti akan diriku sendiri). Malaikatnya adalah Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali. Niatnya, Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu taala Allahu akbar, tetep madhep langgeng weruh ing sirku. (Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah taala, Allahu akbar, tetap menghadap dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-ku). Malaikatnya Haruman, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali. Kemudian memuji; ya Rajamu, ya Rajaku. (Arab; Ya maliku al-Mulku). Seratus kali. Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali.

Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat, (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali. Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku. (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali. Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali. TIGA PULUH DUA Shalat Luhur Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya iku rohing Pangeran. Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu taala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Pangeranku. (Aku berniat shalat, roh Idlafi yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Tuhan. Tuhan yang menempati ketiak, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah taala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Tuhanku). Malaikatnya adalah Jabarail (malaikat Jibril), memujinya dengan, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali. Niatnya, Niyatingsun shalat, kang shalat osikku, pardlu taala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing osikku. (Aku berniat shalat, yang shalat bisikan dan gerak hatiku, wajib dari Allah taala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan bisikan nuraniku). Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali. Kemudian memuji; Ya Rajamu, ya rajaku. (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali. Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali. Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat, (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali. Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku. (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali. Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.

TIGA PULUH TIGA Shalat Ashar Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku rohing Rasul. Rasul iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu taala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Rasulku. (Aku berniat shalat, roh keabadian yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Utusan. Utusan Tuhan yang menempati ujung lidah, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah taala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Utusanku). Malaikatnya adalah Mikail, memujinya dengan, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali. Niatnya, Niyatingsun shalat, angen-angenku kang shalat, pardlu taala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing angen-angenku. (Aku berniat shalat, angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah taala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan angan-anganku). Malaikatnya Mikail, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali. Kemudian memuji; Ya Rajamu, ya rajaku. (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali. Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali. Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat, (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali. Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku. (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali. Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali. TIGA PULUH EMPAT Shalat Maghrib Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya iku rohing Muhammad. Muhammad iku lungguhe ana ing talingan, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana

nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu taala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Muhammadku. (Aku berniat shalat, rohani yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Muhammad. Muhammad yang menempati ujung telinga, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah taala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Muhammadku). Malaikatnya adalah Israfil, memujinya dengan, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali. Niatnya, Niyatingsun shalat, tekadku kang shalat, pardlu taala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing tekadku. (Aku berniat shalat, tekadku yang shalat, wajib dari Allah taala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan tekadku). Malaikatnya Israfil, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali. Kemudian memuji; Ya Rajamu, ya rajaku. (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali. Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali. Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat, (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali. Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku. (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali. Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali. TIGA PULUH LIMA Shalat Isya Niat yang paling awal, Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku rohing urip. urip iku lungguhe ana ing napas, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu taala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing uripku. (Aku berniat shalat, roh Pembimbing yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya kehidupan. Utusan Tuhan yang menempati napas, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam

kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah taala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan kehidupanku). Malaikatnya adalah Izrail, memujinya dengan, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali. Niatnya, Niyatingsun shalat, karepku kang shalat, pardlu taala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing karepku. (Aku berniat shalat, keinginanku yang shalat, wajib dari Allah taala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan keinginanku). Malaikatnya Izrail, pepujiannya, Ya Hu, Ya Hu. Seratus kali. Kemudian memuji; Ya Rajamu, ya rajaku. (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali. Dilanjutkan, Sirrullah, darajatullah, sifatullah. Seratus kali. Dilanjutkan lagi, Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat, (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali. Kemudian berdzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku. (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali. Dilanjutkan dengan dzikir, Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali. TIGA PULUH ENAM Inilah shalat satu rakaat salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat : a. Inilah niatnya, Ushalli urip dzatullah Allahu akbar (Aku berniat melaksanakan shalat kehidupan dzatullah, Allahu akbar). b. Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan menyebut, aku pan Sukma (Aku sang pemilik Sukma). c. Melakukan ruku dengan menyebut, langgeng urip dzatullah (Kehidupan abadi dzatullah). d. Sujud dengan mengucapkan, ibu bumi dzatullah. e. Duduk di antara dua sujud dengan doa, langgeng urip dzatullah tan kena pati (kehidupan abadi dzatullah yang tidak terkena kematian).

f. Sujud lagi dengan bacaan, Ibu bumi dzatullah. g. Tahiyat dengan membaca, Urip dzatullah. h. Membaca syahadat dengan bacaan, Ashadu uripingsun lan sukma (Ashadu kehidupanku dan Sukma). I. Salam dengan bacaan, Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara kehidupan yang tidak terkena kema-tian. j. Membaca doa, Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan kena pati (Allahumma papan tulis segala sesuatu yang abadi hidup yang tak pernah terkena mati). k. Kemudian berdoa dalam hati, Ingsun kang agung ingsun kang wisesa suci dhiriningsun (ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci diriku sendiri [ingsun]). Dalam Islam dikenal shalat satu rakaat, namun itu hanya sebagian dari shalat witir (shalat penutup akhir malam dengan rakaat yang ganjil). Shalat satu rakaat salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat witir, namun shalat ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan dalam rangka