syaikh al-utsaimin, syaikh al-fawzan, syaikh ibn wahhab - pedoman-pedoman untuk mengikuti madzhab -...
TRANSCRIPT
-
8/18/2019 Syaikh Al-Utsaimin, Syaikh Al-Fawzan, Syaikh Ibn Wahhab - Pedoman-Pedoman Untuk Mengikuti Madzhab - Terje…
1/3
Pedoman-Pedoman Dalam Mengikuti MadzhabPenulis: Syaikh Al-Fauzan Rohimahullah, Syaik Ibn Utsaimin Rohimahullah, dan Syaikh Ibn
Abdul Wahab Rohimahullah
Syaikh Muhammad Ibn Sholih Al-Utsaimin Rohimahullah pernah ditanya: Ketika menemui
masalah yang sulit apakah anda menasihati para penuntut ilmu untuk tidak membatasi diri dengan
suatu madzhab, atau (anda malah menasihati) untuk memilih suatu madzhab?
Syaikh, Hafizhohullahu (Rohimahullah, sudah wafat), menjawab: Jika yang dimaksudkan dengan
membatasi diri dengan suatu madzhab adalah orang tersebut membatasi diri dengan madzhab
tersebut, dan berpaling dari segala sesuatu selainnya; baik pendapat yang benar itu ada pada
madzhabnya atau pada madzhab yang lain – maka ini tidak diperbolehkan, dan ini dari sifat
menyalahkan dan sifat fanatik golongan. Namun jika yang dimaksud adalah orang tersebut
mengaku berasal dari madzhab tertentu dalam rangka mengambil manfaat dari prinsip-prinsip dan
ajaran-ajarannya, namun ia tetap mengacu kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah; (Seperti)
jika terjadi, bahwa pendapat yang lebih benar bagi dia ada di madzhab yang lain, kemudian dia
mengambil pendapat tersebut – maka ini tidak menjadi masalah. (Catatan: Hal ini hanya berlaku
untuk para penuntut ilmu, bukan untuk orang-orang awam (umum)).
Syaikh Sholih Al-Fauzan Rohimahullah pernah ditanya: Apakah diperbolehkan bagi seseorang
yang membatasi diri dengan suatu madzhab tertentu dalam hal ibadah, untuk dia berpaling
darinya dan membatasi diri dengan madzhab yang lain? Ataukah seorang muslim terikat untuk
membatasi diri hanya pada satu madzhab saja sampai ia mati? Dan apakah ada perbedaan tentang
bagaimana sholat seharusnya dilakukan di antara keempat madzhab tersebut atau tidak? Dan apa
yang sudah disampaikan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi wa Salam mengenai bagaimana
sholat seharusnya dilakukan?
Syaikh, Hafizhohullah (Rohimahullah, sudah wafat), menjawab: Isu mengenai membatasi diri
dengan suatu madzhab didalamnya terdapat persoalan yang mendetil. Jika seseorang mempunyai
kemampuan untuk mengetahui pengambilan dalil-dalil dari madzhabnya, dan untuk
menyimpulkan pengambilan dalil-dalil madzhabnya, maka tidak diijinkan baginya untuk hanyamembatasi diri dengan suatu madzhab. Lebih dari itu, adalah wajib bagi dia untuk mengambil
aturan langsung dari dalil-dalil tersebut – kalau dia mampu melakukannya. Akan tetapi, ini
amatlah jarang di antara kebanyakan manusia, karena hal ini adalah kualitas dari seorang
mujtahid dari para ulama; orang-orang yang sudah mencapai level ijtihad. Dan bagi seseorang
yang tidak seperti itu, maka dia tidak bisa/boleh mengambil aturan langsung dari bukti-bukti. Dan
ini adalah kasus yang menonjol di antara kebanyakan manusia, khususnya di saat-saat sekarang
ini. Jadi (dalam satu hal) tidak ada bahaya dalam mengambil salah-satu dari keempat madzhab
tersebut dan bertaklid padanya. Akan tetapi, dia tidak boleh bertaklid buta seperti dia mengambil
semua yang ada dalam madzhab tersebut; baik yang benar maupun yang tidak benar. Bahkan
wajib bagi dia untuk hanya mengambil dari madzhab tersebut sesuatu yang jelas – menurut
pandangannya – tidak bertentangan dengan dalil-dalil. Sedangkan untuk pendapat-pendapat
dalam madzhab tersebut yang tidak sesuai dengan dalil-dalil, maka tidak diperbolehkan bagiseorang muslim untuk mengambilnya. Bahkan wajib bagi dia untuk mengambil yang telah
ditetapkan oleh dalil-dalil, meskipun hal tersebut ternyata ada dalam madzhab yang lain. Jadi
kepindahan orang tersebut dari satu madzhab ke madzhab lain dalam rangka mengikuti dalil-dalil
adalah sesuatu yang baik; ini adalah sesuatu yang baik – bahkan wajib; dikarenakan mengikuti
dalil-dalil adalah suatu madzhab; ini adalah sesuatu yang baik, bahkan adalah kewajiban; karena
mengikuti bukti-bukti adalah suatu kewajiban.
-
8/18/2019 Syaikh Al-Utsaimin, Syaikh Al-Fawzan, Syaikh Ibn Wahhab - Pedoman-Pedoman Untuk Mengikuti Madzhab - Terje…
2/3
Sedangkan mengambil satu madzhab di suatu waktu dan kemudian mengambil yang lain di lain
waktu, maka perpindahan ini dianggap sebagai mengikuti hawa nafsu dan untuk mencari
keringanan, dan ini tidak diperbolehkan. Artinya, apapun itu yang sesuai dengan kemauan dan
hawa nafsu, dari perkataan para ulama, maka itu diambil – walaupun hal tersebut bertentangan
dengan dalil-dalil; dan apapun yang bertentangan dengan kemauan dan hawa nafsu, maka
ditinggalkan – walaupun hal itu sesuai dengan dalil-dalil. Ini adalah mengikuti kemauan dan
hawa nafsu, dan kami berlindung ke Allah (dari hal demikian). Maka pindah dari satu madzhabke yang lainnya, karena mengikuti hawa nafsu, atau karena mencari kemudahan dan keringanan;
maka ini tidak diperbolehkan. Sedangkan pindah dari satu madzhab ke madzhab yang lain karenamengikuti dalil-dalil, atau untuk menghindarkan diri dari perkataan yang tidak berdasarkan dalil-
dalil, atau dari pendapat yang salah – maka hal ini adalah sesuatu yang dianjurkan dan diminta
dari seorang muslim. Dan Allah yang paling mengetahui.
Sedangkan untuk isu mengenai perbedaan-perbedan antara keempat madzhab dalam hal sholat,maka keempat madzhab, segala puji bagi Allah – adalah dalam masalah sholat, kemudian
keempat madzhab, segala puji bagi Allah – mereka secara umum bersepakat dalam aturan-aturan
mengenai sholat. Perbedaannya adalah dalam hal detilnya. Dari (perbedaan-perbedaan) hal
tersebut adalah, sebagai contoh, sesuatu mungkin dianggap sebagai sunnah, sementara yang lain
tidak menganggap hal tersebut sunnah; sesuatu mungkin dianggap wajib sementara yang lainmenganggapnya sebagai lebih dianjurkan; dan lain sebagainya. Jadi perbedaan tersebut adalah
dalam detil sholat. Namun secara umum aturan untuk sholat, maka ini tidak ada perbedaan – dan
segala puji bagi Allah.
Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhab Rohimahullah telah berkata: Jika seseorang
mempelajari fiq dari salah satu madzhab, kemudian dia melihat suatu hadits yang bertentangan
dengan mazdhabnya; maka dia mengikutinya dan meninggalkan madzhabnya – maka ini adalah
yang dianjurkan, bahkan ini menjadi wajib bagi dia ketika dalil-dalil telah menjadi jelas baginya.
Hal ini tidak bisa dianggap sebagai menentang Imam yang orang tersebut ikuti, karena mereka,
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, Rodiyallahu ‘Anhum Ajma’in
– semua sepakat atas prinsip dasar ini.
…Sedangkan untuk masalah dimana seseorang tidak mempunyai dalil-dalil yang bertentangan
dengan pendapat dari ulama madzhab, maka kami berharap bahwa boleh bertindak sesuai dengan
nya (madzhab), sebab pendapat mereka adalah lebih baik dari pendapat kita; mereka mengambil
dalil-dalil dari perkataan para Sahabat dan para Tabi’an Ridwanullahu Ajma’in. Akan tetapi,
tidak perlu mengatakannya dengan keras (Al-Jazm) bahwa inilah Syari’ah Allah dan Rasul-Nya
Sholallahu ‘alaihi wa salam, sampai bukti-bukti yang tidak bertentangan dengan isu ini menjadi
jelas. Ini adalah teladan dari umat-umat terdahulu dan ulama-ulamanya – baik dulu maupun
sekarang – dan hal itu adalah yang mereka kecam: disebut dengan fanatik madzhab (At-ta’asub
al-madzahib) dan enggan mengikuti dalil-dalil…..Akan tetapi, jika telah menjadi jelas baginya
sesuatu yang mengharuskan pengambilan perkataan yang satu dari yang lain; apakah itu
dikarenakan dalil-dalil yang detil yang dia mempunyai pengetahuan dan mengerti tentangnya,
atau karena dia berpegangan pada satu di antara dua orang supaya dia mempunyai pengetahuanyang lebih baik mengenai hal tersebut dan untuk lebih medalami mengenai apa yang dia katakan,
dan untuk itu dia meninggalkan perkataan yang satu dan mengambil perkataan yang lain – maka
ini diperbolehkan, bahkan ini wajib. Dan inilah perkataan dari Iman Ahmad Rohimahullah
mengenai hal ini.
**) Diterjemahkan dari Artikel Berbahasa Inggris (Tanpa melihat teks Arab-nya) “Guideline For
Following Madhhabs“ – www.binuthaymin.co.uk
-
8/18/2019 Syaikh Al-Utsaimin, Syaikh Al-Fawzan, Syaikh Ibn Wahhab - Pedoman-Pedoman Untuk Mengikuti Madzhab - Terje…
3/3
Maroji’
1. As-Sahwatul-Islaamiyyah (pp.141-142).
2. Muntaqaa min Fataawaa (5/365-366).
3. Ad-Durur-Saniyyah (4/7).
4.Majmoo' Fataawaa (20/220-221).