serial muslihat hitam lampu hasratphoto.goodreads.com/documents/1351475749books/16114925.pdfserial...

456

Upload: others

Post on 06-Feb-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • serial muslihat hitam

    lampu hasratmuslihat ii

    bagaimana bila setiap orang yang merasakehilangan menuntut semua kembali?

    fauzi atma

  • FAUZI ATMA

    LAMPU HASRAT

  • 4

    Lampu Hasrat

    Oleh: Fauzi Atma

    fauziatma.blogspot.com

    @fauziatma

    Copyright © 2012 by Fauzi Atma

    Penerbit

    Imajinusa

    [email protected]

    Desain Sampul:

    Nurul Ashari @kbbostrike

    Diterbitkan melalui:

    www.nulisbuku.com

  • 5

    Daftar Isi

    1. Mata..................................................................72. Mimpi Siang Bolong.....................................263. Keluarga Baru ...............................................554. Butir-Butir Pasir............................................775. Satu yang Tersisa ....................................... 1026. Amukan Delapan Kaki ............................. 1387. Pelita Lentera Gurun................................. 1678. Makhluk dalam Botol................................ 1969. Roda-roda yang Berputar.......................... 21410. Perajin Pedang Termahsyur ..................... 25011. Pelajaran Masa Lalu................................... 27212. Rahasia yang Terungkap ........................... 29913. Tinju-Tinju Kaktus.................................... 31914. Di Belakang Jejak-Jejak............................. 34615. Sang Pengasuh ........................................... 36016. Kobaran Api............................................... 39217. Lampu Hasrat ............................................ 41218. Pembawa Pesan ......................................... 434

  • 6

    “Umur sebegini sudah tak cocok untukbermimpi atau segala macamnya. Umur

    sebegini pantasnya untuk berusaha menggapaimimpi. Mari berusaha.”

    - Angga Yudhistira Ps. –

  • 7

    1Mata

    Begitu biru beningnya mata Alnord ketika iamasih bayi, tak ada bayangan naga yangmelingkari pupilnya seperti ketika ia lebih tuadaripada saat itu. Pipinya memerah tertimpacahaya matahari. Rambut tipisnya melambaikarena tertiup angin. Ia tersenyum dan tampaksemakin menggemaskan ketika lidah mungilnyaterjulur lantas tergelak memandangi Aracruz dibawah yang saat itu mengangkatnya ke udara.Meskipun ia bergerak meliuk-liuk seperti camar-camar di belakang, pandangannya tak bergerakdari mata Aracruz, yang di sekeliling pupilnyamelingkar bayangan naga.

    Sehebat-hebatnya Aracruz di depan rakyat, dihadapan Alnord ia hanyalah seorang ayah biasa.Tak ada mahkota di kepala. Saat itu ia memakaijubah tidur yang hanya dilihat pun memberikanrasa hangat. Rambutnya belum tersisir rapi,ditambah lagi angin laut mengacak-acaknya,membuat rambut gondrongnya semakinsemrawut. Ia juga tak lepas menatap mataAlnord, begitu dalam, sampai menyelami

  • 8

    selaput pelangi, seakan mengedip sedikit lamaakan membuatnya kehilangan Alnord.

    Alnord merengut, cuping hidungnyamengembang, bibirnya bergetar, dan wajahnyamengedik ke belakang seperti sebuah pelatuk.Kemudian peluru terlontar, ia bersin di wajahsang ayah, membuat Aracruz menurunkannya.Aracruz memejamkan mata, mengangkat alis,dan menekuk bibirnya sambil menahan tawa.Alnord terkekeh melihatnya. Liurnya menetes.

    Aracruz mendudukkan bayinya di paha danmengambil saputangan di kantung jubahnyauntuk mengelap wajahnya lalu menyeka liurAlnord. “Apa itu caramu menyuruh ayahmandi?” katanya sambil mengayun-ayunkantelunjuknya di hidung Alnord. Iamenggelengkan kepala dan menggetarkanbibirnya, membuat bayi itu terpingkal.

    Aracruz menghadapkan Alnord ke hamparanlaut di depan mereka. Memandangi laut dibalkon menjadi kebiasaan mereka setiap pagi.Camar-camar naik turun di udara, mandicahaya. Ada juga yang menghampiri mereka,bertengger di palang balkon.

    Alnord mengangkat tangan dan membukatutup kepalan tangan. Bibirnya mengeluarkanerangan seperti meminta diambilkan camar itu.

  • 9

    Ia memaju-majukan badan, berusaha menggapaisang camar, tetapi Aracruz menahannya. Ketikacamar itu terbang lagi, Alnord merengut danmemekik kesal.

    Aracruz menggeser Alnord agar lebih dekatdengan dekapannya. Satu tangan menyilang diperut Alnord, tangan yang lain meraih cangkirteh di meja. Ketika melihat kursi satunya lagi, iatermangu sejenak, teringat sosok yang biasanyaduduk di sana. Seorang wanita yang seharusnyamelengkapi saat-saat bercengkerama. Ialetakkan lagi cangkir itu. Ia menoleh ke Alnord.“Maukah kau menemani ayah selamamungkin?” katanya. Alnord menggaruk-garuklembut pipi Aracruz. “Semua terasa berbedasejak ibumu tiada.”

    Erangan Alnord mengiyakan. Kemudiankeduanya terdiam. Yang ada hanya suara alam.

    Desiran ombak lembut berlarian, terjebak disamudra. Pantulan sinar matahari seperti lautankristal. Biru langit dan laut menyatu. Awanberiring dalam kelembutan putihnya. Burungcamar bernyanyi dalam desingan angin. Merekamenari-nari di udara, diiringi tempo alunanombak yang mengempas karang.

    Alnord bersin lagi. Dua kali.

  • 10

    “Sepertinya kita lebih baik masuk,” kataAracruz, “Sebelum badan ayah basah kuyupkarena bersinmu.” Ia tertawa kecil.

    Terdengar suara derap langkah dari belakangmereka. Semakin lama, semakin jelas. Seseorangmendekat. “Anda berdua masih di sinirupanya,” kata orang itu. Aracruz menoleh kearah wanita yang suaranya sangat lembuttersebut. “Hari ini angin lebih kencang daribiasanya, aku membawa baju yang lebih tebaluntuk Alnord.”

    Ia masih muda, umurnya sekitar dua puluhanawal. Rambutnya tergerai dengan sedikit rambutpelipisnya terkuncir di belakang. Kulitnya putihhalus merona. Cantik. Wajahnya lebih cerahsaat sinar matahari menyorot wajahnya sepertibulan yang memantulkan sinar.

    “Terima kasih,” kata Aracruz serayamenyodorkan tangan untuk mengambil baju itu.“Biar aku saja yang memakaikannya.” Ia bangkitdan menggendong Alnord di pinggangnya.Dekapannya terlihat lebih hangat daripada bajutebal bayinya.

    Alnord memeluk leher dan merebahkankepala di pundak Aracruz. Tangan mungilnyamencubiti bibir ayahnya. Ia baru berhenti ketikaAracruz merengut, minta dilepaskan.

  • 11

    “Tolong bereskan semuanya,” kata Aracruz.Ia tersenyum ke arah wanita itu sebelumberanjak.

    Alnord menoleh ke belakang dengan kepalayang masih direbahkan. Tangannya menggapai-gapai ke arah wanita tersebut. Ketika wanita itumelambaikan tangan dan tersenyum, Alnordberteriak, “Bu, bu. Iii-bu.”

    Ombak besar menghantam karang,menimbulkan suara keras. Seakan ombak itumengempas hati mereka, Aracruz tercekat.Matanya terbelalak sejenak. Langkahnyaterhenti. Ia atur napasnya sampai tenang lalu iamenoleh ke belakang. “Maafkan dia,” kataAracruz. “Aku tak tahu dia sudah bisabercanda.”

    “Aku tahu,” kata wanita itu. “Tak ada yangbisa disamakan dengan istri anda. Beliau begituistimewa.”

    Aracruz terdiam sejenak. “Bagiku itu berartikau sangat menyayanginya seperti Etna,”katanya. “Aku malah harus berterima kasihpadamu. Aku permisi dulu.”

    Wanita itu tersenyum.Aracruz beranjak masuk dan meniti tangga

    batu yang setengah melingkar. Di telinganya

  • 12

    masih terngiang suara Alnord yang memanggilwanita itu ibu.

    Aracruz berjalan pelan, memasuki rumahmegah mereka. Derap langkahnya ketika iameniti turun satu per satu anak tangga batuyang setengah melingkar bergaung. Kesunyianberpadu dengan keteduhan di lantai bawah.Kaca hias bergambar naga yang semuanyaberjejer tinggi di dinding dekat langit-langitmeredupkan cahaya yang masuk.

    Ruangan itu besar, dengan pilar-pilar terukirdetail berbanjar sepanjang koridor. Beberapapintu berdaun dua dengan metal yang meliuk-liuk sebagai hiasannya berjejer di dua sisi. Lantaidengan keramik batu besar persegi dan abu-abusemakin meredupkan suasana. Udara di dalamterasa sejuk. Langit-langit yang tergantungtinggi membuatnya seperti itu.

    Kakinya terus melangkah, menyusuri karpetmerah yang melintang sepanjang koridor.Dinding koridor dihiasi lukisan-lukisan. Semuamenggambarkan leluhur mereka. Pencahayaanyang tak langsung menyorot membuat semualukisan tetap terlihat baik.

    Di ujung koridor itu, ada tiang batu kecil.Sebuah patung naga bertengger di atasnyadengan sebuah lubang di dahinya. Naga itu

  • 13

    memegang sebuah pedang dan hanya Aracruzyang dapat menariknya. Di dinding di belakangpatung itu tergantung sebuah lukisan. Aracruzberdampingan dengan Etna dan Alnord.Aracruz berdiri tegap, bijaksana. Etna dudukanggun. Alnord tersenyum lugu di pangkuanEtna.

    Memorinya tentang Etna membuatnyamenoleh ke sebuah lukisan tersebut. Ketikasampai di lantai bawah, Aracruz inginmengingatkan Alnord akan Etna. Merekasedang berdiri di depan lukisan tersebut.

    Lukisan itu sangat besar sehingga tinggi badanAracruz di dalam lukisan itu sama denganaslinya. Torehan warna-warnanya begitu detaildan nyata, membuat lukisan itu menyerupaicermin. Di dalam dalamnya Etna mengenakangaun yang sangat indah sebiru batu safir,melipatgandakan kecantikan wajahnya yang ovalputih dengan rambut keriting jatuh, dan tiara dikepalanya memancarkan aura keanggunanseorang ratu. Ia duduk di sebuah kursi kayusederhana dan memangku Alnord yangwajahnya dihiasi senyum merekah dari bibiryang merah segar. Aracruz berdiri di belakangmereka. Tangannya merangkul pundak Etna,menunjukkan rasa ingin melindungi yang kuat.

  • 14

    Mereka terlihat seperti keluarga biasa. Merekaterlihat bahagia.

    “Itulah ibumu, Alnord,” kata Aracruz. Alnordmenoleh ke arah mata ayahnya tertuju danberteriak memanggil-manggil. Kedua tangannyaterulur, minta dipeluk.

    Ketika terlirik olehnya sebuah kumpulanstalagmit yang mengkristal seperti es, mimikAracruz berubah. Matanya sedikit memerah.Tangannya mengepal. Ia mendekat. Stalagmititu melintang dari yang paling rendah hinggayang setinggi bahu Aracruz dan mengumpul diujung, bagian yang paling tinggi. Aracruzberusaha menggapai, tetapi tangannyabergemetar ragu. Ia mengurungkannya.

    Wanita tadi menuruni tangga, menghampirimereka dan ia berhenti sejenak. “Aku masih takmenyangka sahabat anda melakukannya,” katawanita itu. Ketika sampai di bawah, iameletakkan nampan di meja dan mendekatiAracruz. “Alnord terlihat mengantuk, biar sayabawa ke kamarnya.”

    Alnord menguap berkali-kali danmenggeliatkan kepalanya di pundak Aracruz,mencari posisi ternyaman untuk tidur.

    “Biar kali ini aku yang menidurkannya,” kataAracruz. Ia menghela napas. “Ya, dia

  • 15

    membuktikan ucapan Etna bahwa kekuatanbisa membuat seseorang jadi sangat tamak. Disisi lain, bisa dikatakan aku yang salah.”

    Wanita itu menyentuh stalagmit dan wajahnyamengeras ngeri. “Kalau setiap melihatnya Andamarah,” wanita itu ragu-ragu melanjutkannya,tetapi begitu ingin tahu hingga tetapmengatakannya, “Kenapa semua ini tak Andahilangkan? Seakan tak ingin melupakannya.Maaf saya lancang.”

    Aracruz menoleh dan menatap mata wanitaitu. “Kenangan menyakitkan mengajari kitabanyak hal,” katanya. “Salah satunya kerelaan.Semakin kita rela, kita semakin tak peduli bilasemua orang atau segala sesuatu di sekelilingkita mengingatkan akan hal itu.”

    “Bagaimana keadaan Anda sendiri?” katawanita itu.

    “Masih sama sakitnya saat kejadian ituberlangsung,” kata Aracruz. “Aku gagalmengendalikan amarah ini. Bahkan ada rasadendam.”

    Lalu semuanya terdiam. Wanita itu tak tahulagi apa yang harus ia ucapkan. Ia bergeming ditempat ia berdiri. Begitu juga Aracruz. Suasanabegitu hening seakan mereka berdua tuli.

  • 16

    Kesunyian itu lenyap ketika terdengar suaraberdebam dari arah pintu depan, mengejutkan.Mereka menoleh ke arah suara datang. Ruanganitu menggelap. Cahaya matahari terhalang awanhitam yang bergumul di luar. Pintu terguncanghebat lagi hingga dinding yang merekat padanyaberdebum dan serpihan beterbangan dari celah-celah.

    “Apa dia datang lagi?” pekik sang wanita.Alisnya bertaut.

    “Kau tunggu di sini,” kata Aracruz. Iamenghampiri arah suara itu.

    Suara ledakan menyambut. Alnord terbangunkaget. Aracruz segera memindahtangankannyakepada wanita itu. “Bawa dia ke kamarnya,” ujarAracruz. “Cepat.”

    Wanita itu segera meniti tangga, tetapibukannya masuk ke kamar, ia bersembunyi dibalik pilar sehingga dapat melihat orang yangdatang.

    Satu ledakan terjadi lagi. Aracruz mencabutpedang dari patung naga. Setelah ledakanterbesar, pintu di ujung lain koridor hancur.Muncul sesosok berjubah hitam. Jubah yangmenjuntai ke lantai menguap seperti kepulanasap panas berjelaga yang diembus darimahkotanya yang bertanduk dua dan menutupi

  • 17

    seluruh kepala, bersarung tangan danbermahkota yang berwarna dan berbahan sama,yakni perak. Suara logam dari sepatunya yangterbentur lantai batu seperti suara rantai yangdiseret-seret seorang tahanan sekarat yangkabur dan berusaha mencari pertolongan.Ruangan tersebut seketika dipenuhi aura teror.

    Sang wanita duduk lemas, membelakangimereka. Degupan jantungnya menderu cepat. Iaberusaha mendekap Alnord yang mengintipdari bahunya dan beraut wajah datar.

    “Kupikir kita tak saling kenal,” kata Aracruz.“Dan aku tak menerima tamu yang takkukenal.”

    Asroil berjalan mendekatinya. “Kau tak perlupedang.” Tangan kirinya dibanting ke serongatas.

    Seketika itu juga, tangan kanan Aracruz secaratak sadar melempar pedangnya ke serong atasjuga. Pedangnya menancap di dinding. Sangwanita memekik ketakutan dan membungkammulutnya agar tak bersuara. Kakinya melemas.Ia tak bisa bergerak. Apalagi sekarang sudahterlambat. Mereka akan terlihat bila ia berdiridan belum tentu selamat bila bertahan di sana.

    “Gunakan kemampuanmu,” kata Asroil.Suaranya berdesis.

  • 18

    “Kau tak berhak berada di sini,” kata Aracruz.“Setelah aku mendapatkan sesuatu yang

    menjadi tujuanku kemari,” kata Asroil. “Akuakan pergi, tapi itu berarti kau mati.”

    Ia merentangkan dan mengarahkan tangankanannya ke Aracruz. Dari telapak tangannyatimbul desisan petir kecil yang dilingkupi bolaasap hitam lalu bola itu membesar danmeluncur menuju Aracruz. Bola petir ituterlihat seperti bintang berekor yangmenghancurkan semua hal yang berada didekatnya. Pilar-pilar retak, hampir tertebang.Karpet merah yang dilewatinya terbelah danterbakar. Lantai retak. Lampu gantung berayunhebat. Terdengar desingan suara yangmenulikan pendengaran. Suara gemuruhmenyahut dan menggelegar.

    Aracruz mengarahkan tangannya ke makhlukitu. Di depan telapak tangannya berputarsebuah bola api. Saat bola petir itu hampirmenabraknya, bola api miliknya melesat.Keduanya meledak hebat. Gelombang kejutmengalir sampai mereka bergeser mundurbeberapa langkah dan kaca-kaca hias pecahberurutan.

    “Rupanya aku mendapatkan lawan yangsetara.” Asroil mengangkat tangannya lagi.

  • 19

    Aracruz terlempar ke belakang, menabraklukisan. Ia melayang dan mengerang, mencobamelepaskan diri dari jeratan.

    “Setidaknya kau punya sedikit rasa dendamitu,” kata Asroil. Ia berhasil menemukan bibitdendam dalam diri Aracruz.

    Dari telapak tangan Asroil muncul lagi bolapetir. Seperti magnet, semua pecahan kacatertarik. Bola petir itu melesat cepat menujuAracruz dengan pecahan kaca tajammelingkarinya.

    Aracruz mencoba melepaskan diri. Ia terjatuh.Saat bola petir itu hampir mengenainya, iamerentangkan tangan. Dengan sedikittenaganya, ia membuat selubung api cembung.Semua pecahan kaca meleleh ketika melewatiselubung itu dan menjadi cairan panas yangberceceran di lantai. Ia selamat.

    Namun, selubung itu tertekan di tengahnyadan mencekung. Bola petir itu menerjangAracruz, tetapi meledak sebelum mengenainya.Ia tak sanggup menahannya dan terlempar kedinding. Lukisan tersebut di sana jatuhbersamanya. Ia terengah, tetapi tetap berusahabangkit. Sulit, ia tertatih berdiri.

    Asroil berjalan menuju Aracruz. “Kau taksehebat yang kupikir,” katanya. “Sayangnya, aku

  • 20

    tetap butuh kekuatanmu.” Kini ia berada didepan Aracruz.

    Alnord melihat jelas Asroil menginjak wajahAracruz. Ia tetap tak terlihat takut sedikit pun,sedangkan wanita yang menjaganyamemejamkan mata erat-erat. Dadanyamenggelegar.

    Aracruz berusaha bernapas. Dadanya sakit.Tubuhnya kejang. Asroil merendah. Iamenjambak Aracruz yang kini terlihat sangatringkih.

    “Milikmu milikku sekarang,” kata Asroildengan suara berdesisnya.

    Aracruz mengarahkan tangannya ke dadaAsroil. Muncul bola api dari telapaknya. Bolaapi itu melesat cepat dan meledak hebat. Iaterseret, sedangkan Asroil terlontar jauh, tetapiia bangkit kembali tak lama kemudian.

    Aracruz berusaha berdiri. Asroil sekali lagimenyerangnya. Aracruz segera melesatkan bolaapinya. Bola api dan petir bertemu. Cahayamerah bercampur cahaya hitam. Ruangantersebut seperti terpisah antara siang danmalam.

    Garis sinar itu melengkung, meliuk-liuk.Mereka berusaha saling menghindar. Namun disaat yang sama, mereka juga saling mencegah.

  • 21

    Asroil menyerongkan tangannya. Aracruzberusaha keras mengikuti alirannya dengantenaganya yang semakin menipis. Semburan apidan petir tersisih ke samping dan menabrakbeberapa pilar. Pilar-pilar itu meledak,seutuhnya menjadi serpihan debu yangmenghalangi pandangan mereka. Semua lukisanyang tersulut terbakar. Semburan kekuatan takkeluar lagi dari tangan mereka. Aracruzterbatuk-batuk seraya melintangkan tangan didepan mata, menghindari kepulan debu.

    Suasana hening kemudian. Keduanyamenunggu semua debu terendap di lantai.Aracruz tetap siaga. Ia menurunkan tangannya.Bola api kecil berputar cepat, melayang di atastelapak tangannya. Matanya terpicing tajam.Namun, saat kabut debu mulai memudar, suaramenggelegar pun menyusup dari atas kabutdebu. Aracruz mendongak. Ia melontarkan bolaapinya. Sekali lagi kedua bola api dan petir itumeledak hebat, menghancurkan lampu gantung.Sebagian besar langit-langit hancur sehinggalangit gelap terlihat jelas. Ledakan itu terlaludekat dengannya. Aracruz terlontar danberusaha menghindari reruntuhan batu.

    Ia jatuh terduduk. Tangan kirinya menopangtubuhnya. Ia mengarahkan tangan kanannya ke

  • 22

    depan dan melepaskan tenaga besar yangmungkin jadi seluruh sisa tenaganya. Entah iniakan menghentikan semuanya atau tidak. Iabahkan tak mampu memperkirakannya. Segera,bola api besar meledak. Selubungnya mengalir,menyusuri koridor.

    Asroil bertahan. Selubung hitam yang iaciptakan melindunginya. Namun, ia terlemparjauh ke belakang dan akhirnya terbanting kedinding.

    Aracruz masih mampu berdiri, berusahamemperkuat tubuhnya. Sebuah bola api melesatlagi dari telapak tangannya yang kemudianmengalir begitu dekat dengan lantai. Lesatannyamembakar sisa karpet yang hancur. Bola api itumenerjang Asroil sesaat sebelum ia merosot,tetapi selubung itu masih melindunginya.

    Perlahan, tangan Asroil berubah menjadidebu-debu hitam. Ia menghilang kemudian.Bola api tersebut pun malah meledakkandinding di belakangnya. Aracruz menurunkantangannya dan menarik napas.

    “Overor,” kata Aracruz parau. Ia mengerang.Rasa sakit menderu seluruh tubuhnya. Iamenggenggam lengan kanannya yang perihkemudian terlentang lemah.

  • 23

    Wanita itu menoleh. Tak ada lagi keributan.Yang ia lihat hanya Aracruz terbaring di lantai.Ia berlari turun menghampirinya. Iamendudukkan Alnord di sisi Aracruz danmengguncang-guncang tubuh raja itu,sedangkan Alnord tetap bersila tak bersuara.

    “Bisakah Anda mendengar saya?” Wanita itumemekik.

    “Ya-yah,” kata Alnord, ikut mengguncang-guncang tubuh Aracruz dengan tanganmungilnya.

    Jari Aracruz bergerak. Wanita itu sedikittenang. Alnord hanya bisa memanggil-manggil.Sama sekali tak ada rasa takut di wajahnya.

    “K-kalian t-tak apa?” kata Aracruz.Aracruz menoleh ke arah Alnord.

    “Alnord,” ujarnya tetapi terpotong. Ia batuk.Darah keluar dari mulutnya. Rambut Alnorddiusapnya karena ia merasa itulah usapanterakhirnya.

    Wanita itu memandangi Alnord yang tak tahuapa-apa. Bayi itu tak tahu ia akan kehilanganayahnya dan menjadi seorang yatim piatu.Alnord hanya bisa menepuk-nepuk perutayahnya dan merebahkan kepala di sana seakanayahnya hanya mengantuk saat ia inginmengajaknya bermain. Siapapun takkan tega

  • 24

    melihatnya. Wanita itu pun menyilangkantangan di dadanya. Aracruz terkejut melihatnya.

    “A-apa y-yang kau lakukan?” kata Aracruz.Suaranya hampir tidak terdengar. Ia sekarat.Napasnya tersisa sedikit lagi.

    Wanita itu menarik tangannya. Perlahanmuncul sebuah titik yang sangat terang. Lalu,titik itu membesar, kian besar dan menjadisebuah kristal putih yang bersinar. Kristal ituberputar cepat. Sinarnya menyilaukan mata.Alnord memejamkan matanya.

    “J-jangan!” pinta Aracruz lemah. Tangannyamenggenggam pergelangan wanita itu.Napasnya terengah, melemah, dan terhenti.

    Wanita itu meletakkan tangan Aracruz lantasmenaruh kristal itu di atas dada lelaki itu. Kristalitu berputar cepat dan masuk ke tubuh Aracruz.Alnord terpaku tak paham. Lalu wanita ituterkulai. Ia terbaring tak bergerak dan jariAracruz bergerak pelan. Matanya terbuka dankemudian ia berdiri. Alnord menyambutnya,tetapi Aracruz tak menghiraukannya.

    Aracruz berjalan tertatih ke tiang batu,menarik kalungnya, memasukkan liontinnya kelubang di dahi patung naga di atasnya. Lelaki itumenoleh ke Alnord. Pandangannya tajam,mengisyaratkan pesan terakhir kepadanya.

  • 25

    “Jadilah pahlawan bagi Heldon.” Lalu, sepertiada ledakan dari patung naga itu dan semuanyamemutih. Tak ada yang bisa terlihat. Segalanyasilau. Tak ada suara sedikit pun, sunyi senyap.Napas Alnord pun hanya terdengar olehnyasendiri. Ia tersesat dalam suasana putih takternoda.

    Aracruz terjatuh lalu tak bergerak. Liontinnyaterlepas dari kalungnya. Liontin itumenggelinding ke arah Alnord. Alnordmengikuti suara dan merangkak mendekatiliontin itu. Ia duduk bersila serayamenggenggamnya. Cukup lama hingga cahayaitu lindap menjadi satu titik di patung naga, arahcahaya itu berasal. Akhirnya, cahaya itumenghilang, lenyap tak bersisa. Alnordmembuka matanya.

    “Yayah,” kata Alnord, tetapi tak ada yangmenyahut. Ia menoleh ke wanita itu danAracruz.

    Ia tak menangis. Matanya pun tak memerah.Namun, di mata kanannya, ada sesuatu. Nagamelingkari pupilnya.

  • 26

    2Mimpi Siang

    Bolong

    Sekali lagi, Alnord terlonjak duduk daritidurnya karena mimpi. Ketika ia membukamata, bola matanya putih menyeluruh dengannaga yang melingkari pupilnya terlihat jelas.Merah. Tak lama kemudian semuanya beringsutmenormal, bayangan naga itu memudar, dan iatersadar badannya penuh keringat. Napasnyaberderu seakan baru saja mengalami melihatsendiri Asroil bertarung dengan Aracruz didunia nyata. Ketika ia berpaling melihattangannya, liontin Aracruz tergenggam erat disana, dan ia seketika tahu itu sama persisdengan bagian akhir mimpinya ketika iamenggenggam liontin tersebut. Sepertikenangan yang terpanggil karena hal yang sama.

    Ia melihat sekelilingnya. Dinding kamar yangia tempati berkayu seperti kamarnya, tetapisama sekali berbeda. Hinggap di inderapenciumannya aroma garam dan amis darijendela dan telinganya menangkap suara ombakyang menderu, menyadarkannya bahwa ia

  • 27

    berada di kapal laut. Mengingat kejadian hinggaia bisa sampai ada di sana memeningkankepalanya sampai ia merasa harus tidur lagi.Namun, salakan Wolly di sampingmencegahnya. Alnord menyapa wulfix itu.

    Ia bergeser mendekati meja, mengambil kotak,dan menaruh liontin itu di dalamnya. Rasapeningnya menghilang. Ia menopang siku dilutut, menutup wajah, lalu mengusap kepalasampai belakang. Mimpi tadi terasa sangat nyataseperti kejadian di istana bawah tanah. Sebuahmemori terungkap kembali.

    Setelah ia beranjak ke kamar mandi danmeresapi setiap butir air yang membasuhiwajah, perlahan pikirannya menenang.Wajahnya terlihat segar seperti tumbuhan layuyang tersiram hujan. Ia menarik napas beberapakali. Setelah merasa cukup tenang, ia beranjakkeluar dari kamar.

    Ketika pintu terbuka, cahaya langsungmenyorot dan tanpa terbendung menyeruak kedalam retinanya. Ia sontak menutup matadengan telapak tangan. Langit terasa sangatsilau meskipun cahaya masih menyorot dariufuk timur, tak jauh dari cakrawala langit.

    Antonum terlihat melewati segerombolan danmenghampiri Alnord. Ketika Alnord

  • 28

    melihatnya, ia sedang celingak-celinguk karenasemua orang yang dilihatnya sama sekali tak iakenal, Antonum tersenyum hangat.

    “Kau sudah bangun rupanya,” kata Antonumseraya mengajak Alnord ke haluan kapal. “Ayahbaru saja hendak membangunkanmu.Bagaimana keadaanmu? Perutmu pasti laparsekali.”

    “Aku bahkan enggak bisa jelasin keadaanku,”kata Alnord. “Makasih, Yah.” Ia mengambil rotiitu dan memakan sesobek demi sesobek sambilmenatap cakrawala.

    “Bagaimana tidurmu?” kata Antonum.“Sebagian besar orang tak bisa tidur di kapal.Goyangan ombak selalu membangunkanmereka setiap saat.”

    “Kukira akan tidur lama,” kata Alnord.“Ternyata masih pagi.” Kemudian merekaterdiam selama Alnord menghabiskan rotinya.

    “Kau mau bagian lucunya?” kata Antonum. Iamenahan tawa. “Ini hari ketiga perjalanan kita.Tadi dari jauh ayah melihat pintu ini terbuka.Langsung saja ayah mengambil roti.”

    Alnord terkejut, matanya sedikit terbelalak,lalu ia tertawa kecil. “Aku memang capekbanget.” Ia berpaling dan matanya menyorot

  • 29

    jauh dan ia mendesah seakan menyatakan yanglelah bukan badannya, melainkan perasaannya.

    Antonum memandanginya agak lama, cukuplama sampai membuat Alnord tersadar sedangdiperhatikan dan ia melirik ke arahnya. Alnordmenunduk karena merasa canggung, setelah iatahu Antonum bukan siapa-siapanya, lalumembuang pandangannya kembali ke laut. Kinianak itu merasa Antonum begitu asing dimatanya.

    “Kau terlihat—,” kata Antonum dengansenyuman yang menenangkan. Ucapannyaterpotong karena ia menunggu Alnordmenoleh. Alnord sadar akan hal itu, dan ketikaia menatap ayahnyanya, baru Antonum berkata,“Kau terlihat lebih tegar.” Kemudian tanganpria itu merangkul dan mengusap pundakAlnord.

    Alnord diam.“Sebentar lagi kita sampai,” kata Antonum

    seraya menunjuk bayangan samar bukit-bukit.“Kau pernah membayangkan kerajaanMorgana?”

    “Pernah,” kata Alnord. “Bukannya enggak adabedanya sama kerajaan kita?”

    “Tunggu sampai kau menemukan hal-halmengejutkan di sini,” kata Antonum. “Selain

  • 30

    itu, kerajaan Morgana adalah kerajaan terluasdan termakmur di heldon, tapi yang buat ayahkagum, mereka hidup tak seperti kerajaan yangmakmur. Kau akan tahu semuanya nanti.”

    Dari arah kiri mereka terdengar suara yangsamar-samar Alnord kenali. Ketika ia menolehmencari pemilik suara tersebut, Savenor sedangberbicara dengan orang-orang yang wajahnyaterlihat mengerut tanpa harapan. Perdanamenteri itu sedang berusaha menenangkan pararakyatnya. Savenor tak sengaja melirik Alnorddan ia langsung pamit kepada orang-oranguntuk menghampiri anak itu.

    “Bisakah saya berbicara sebentar denganAlnord?” kata Savenor kepada Antonum. “Itunamamu kan, Nak?” Ia memandang Alnorddengan lembut dan ramah seperti paman jauhyang tak rindu akan keponakannya.

    “Dia bisa memutuskan sendiri,” kataAntonum yang berpaling memandang Alnord.“Bagaimana?”

    Alnord mengiyakan.“Baiklah,” kata Antonum lalu menunjuk arah

    keramaian di haluan belakang. “Nanti kau bisatemui ayah di sana.”

    Alnord mengangguk dan Antonummelenggang pergi setelah mengusap bahu

  • 31

    Alnord. Savenor mengajak anak itu duduk dikursi dekat pintu geladak. Pertanyaan bergelayutdi pikiran Alnord, tetapi yang bisa dilakukannyahanya menurut dan mempersiapkan diri kalau-kalau nanti ia dihujani pertanyaan dan buru-buru mencari jawabannya masing-masing.

    Percakapan dimulai dengan menanyai kabar.Savenor berpikir basa-basi seperti itu akanmencairkan suasana, tetapi nyatanya kurangberhasil. Ia memandang Alnord yangmenunduk lalu anak itu menatap lurus kedepan, menghindari kontak mata denganSavenor.

    “Jauh lebih baik.” Tak ada jawaban yangsebagus itu menurut Alnord.

    Savenor berdeham dan langsung kemaksudnya memanggil Alnord. “Sebenarnyasaya hanya ingin tahu apa yang sebenarnyaterjadi, terutama dengan Raja Ihtizar.” Iamencondongkan badannya hingga lebih dekatdengan Alnord.

    Alnord diam dengan kepala tertunduk dankaki yang diayun-ayunkan pelan. “Aku hanyatak ingin—” Ia menoleh ke pria itu. “—mengingatnya, boleh?” Sebenarnya ia hanyasedang merahasiakan istana bawah tanah dansegala sesuatu yang berada dan terjadi di sana.

  • 32

    Savenor menghela napas maklum, badannyamengedik, menjauh dari Alnord. Alisnyaterangkat. “Ya, tentu,” katanya. “Itu hakmu.”

    Ada jeda cukup lama hingga Alnordmenopang dagu dengan kedua ibu jari dan jaritelunjuk menutup bibirnya, sedangkan jari laintertekuk. “Tapi ada yang harus kusampaikan,”kata Alnord. “Raja Ihtizar adalah pemimpinhebat, itu yang baru kuketahui. Di luarkesalahan yang pernah beliau lakukan, tapimalang,” Alnord berat mengatakannya. “Beliaujatuh ke aliran lahar.”

    Savenor menarik badannya ke belakang,menjauhi Alnord. “Aku hanya berpikir—.” Diwajahnya tergurat keterkejutan. “—seharusnyaaku memercayaimu lebih awal.”

    “Apa yang terjadi di luar setelah kami pergi?”kata Alnord.

    Savenor mendelik, menerawang sesaat. “Saatitu tiba-tiba para pohon menyuruh kamisecepatnya meninggalkan area yang dekatdengan pegunungan Merope. Aku tak tahukenapa Raja Ihtizar tak memercayai laporan darikerajaan Morgana. Lalu semuanya terjadi. Kamisegera menyeru kepada seluruh distrik sesegeramungkin menuju pelabuhan terdekat.”

  • 33

    Alnord sudah mengetahui itu sebenarnya dariBagnan sehingga memilih mengalihkan topik.“Kenapa Paman sendiri?” Ia celingak-celingukmencari apa yang ia tanyakan di sekelilingmereka. “Di mana para Algorn?”

    “Mereka makhluk yang setia pada kerajaan,”kata Savenor. “Sehancur apapun kerajaan,mereka akan tetap tinggal di sana. Tak akanpernah pergi meninggalkan wilayah mereka.Sepertinya sudah nalurinya mereka inginberakhir di kerajaan sendiri.”

    “Mereka menuruti semua yang raja katakan,”kata Alnord mengingat ketika mereka di penjaradan Algorn mengaku tak dapat membantumereka keluar.

    “Kau sadar raja memakai sebuah cincin?” kataSavenor. “Itulah yang membuat mereka setia.Ruiz Ablahar, kau tahu, pendiri kerajaan kitamengadakan perjanjian dengan para Algorn.Yang kutahu semua pendiri melakukannyajuga.”

    “Aku pernah dengar itu,” kata Alnord.“Waktu aku bertanya ke nenek kenapa kitamemakai lentera berisi kunang-kunang, bukanapi. Benar, kan?”

    “Ya, ada hubungannya dengan itu,” kataSavenor. “Pada zaman para pendiri, Algorn

  • 34

    hidup berkeliaran dan sangat liar. Siapapun takboleh dalam keadaan marah sedikit pun ketikamenyalakan perapian atau Algorn akan munculdan membakar rumah mereka. Sayangnyakadang kita dapat marah karena hal-hal remehsekali pun. Banyak kebakaran saat itu. Sejak saatitu, tak ada seorang pun berani menyalakanperapian. Lentera pun bercahayakan kunang-kunang.”

    “Apa cincin itu semacam bukti perjanjian?”kata Alnord.

    “Pertanyaan pintar,” kata Savenor. “Cincin itukuat sekali, hanya beberapa hal yang dapatmembuatnya hancur. Terlebih lagi, para Algornmenjaganya. Sebenarnya yang mereka jagaadalah cincin tersebut, bukan raja. Bila cincinitu hancur, mereka kembali ke wujud semula.”

    “Memang apa keuntungan bagi para Algorn?”kata Alnord.

    “Ruiz memberi mereka beberapakemampuan,” kata Savenor. “Aku tak tahu apadetailnya, apa-apa saja kemampuan yangdiberikan, isi perjanjian itu dirahasiakan.”

    “Jadi ketika raja jatuh, para Algorn kembali kebentuk semula?” kata Alnord. “Bentuk semulamereka seperti apa?”

  • 35

    “Tak ada yang berharap seperti itu, tetapitampaknya itulah yang terjadi,” kata Savenor.“Dan bentuk asli mereka, oh, mereka takberbeda dengan lidah api.”

    “Apa kerajaan kita benar-benar hancur?”“Tak seluruhnya,” kata Savenor. Ia mengusap-

    usapkan tangan dan merapatkan jaket. “Tetapikeadaan sekarang sudah berbeda, Nak. Kitamungkin takkan kembali lagi ke sana untukwaktu yang sangat lama hingga keadaan benar-benar baik untuk ditinggali.”

    “Jadi, benar-benar kecil kemungkinan masihada kehidupan di sana?” kata Alnord. Iamengenang seluruh masa-masa kecil yangdihabiskan di sana. Saat ia kali pertamamenyentuh camelion, ketika berteman denganDardyl, ketika menemukan Wolly terluka disemak-semak. Ia termangu menyadari ia takkanmerasakan suasana kerajaan Ablahar. Segalanyaakan berbeda. “Kita benar-benar kehilanganrumah?”

    “Aku harap tak begitu,” kata Savenor. Iamenghela napas. “Pertanyaanku sudah kaujawab, tetapi tampaknya kau suka sekalibertanya. Apa kau masih punya pertanyaan?”

    Alnord menggeleng.

  • 36

    “Baiklah.” Savenor menepuk paha danbangkit. “Heldon tak peduli kita terpuruk atautidak, dia terus berputar. Jaga dirimu baik-baik,Nak, dan tersenyumlah.” Ia menepuk pelanpundak Alnord.

    Alnord tersenyum simpul sambil memandangipunggung Savenor ketika pria itumeninggalkannya, kembali mendekati orang-orang yang bergerombol. Alnord beranjakmenuju keramaian tempat Antonum arahkanpadanya tadi. Ia menerobos orang-orang.Antonum sedang berbicara dengan Bessel danAlnord bisa mendengar percakapan mereka.Bocah itu bergeming di tempat sejenak karenaia dengar mereka sedang membicarakannya danmereka pasti akan berhenti berbicara bilamereka mengetahuinya sedang menguping.

    Saat itu Bessel mengelus Camcam lalumemberi unggas besar itu makan. Pelaut itutampak ikut berduka.

    “Sudah menyuruh awak di dua kapal lainmencari mereka,” kata Bessel. “Mereka takditemukan.”

    “Bagaimana menurutmu?” Antonummemberikan ember berisi pakan kepada Bessel.“Apa kira-kira mereka naik dari pelabuhanlain?”

  • 37

    Bessel menggeleng dengan bibir bawah sedikitterangkat. “Semoga seperti itu,” katanya. Iamengambil ember tersebut lalu beralih kecamelion miliknya sendiri yang dipinjamAntonum. “Tapi aku tak begitu yakin.”

    Mereka masih tak menyadari kehadiranAlnord di dekat mereka dan saat itu Alnord takdapat menahan diri lagi. Ia menyadari topikperbincangan tersebut meskipunmendengarkannya sepotong-potong.

    “Paman dan nenekku enggak ditemukan?”kata Alnord menyela.

    Antonum berbalik dan tersentak. Besselmenoleh, merasa bersalah. Pelaut itu terpancangkaku, tak tahu apa yang harus diperbuatnya.

    “Ah ya, terima kasih, Bessel,” kata Antonum.“Sebaiknya kami bersiap-siap.” Ia merangkulAlnord, tetapi bocah itu menyingkirkan tanganAntonum. Ia menolak diajak pergi.

    Alnord bertahan di tempat ia berdiri,memasang tubuhnya sekuat karang dan bersiapmeskipun sadar dirinya tak sekukuh itu. “Akumau jawaban,” katanya. Antonummerangkulnya lagi, tetapi Alnord tetap tak maupergi. “Aku akan mendengarkan.”

    “Kita bersiap-siap saja, Alnord,” kataAntonum sedikit memaksa, memegang kedua

  • 38

    bahu anak itu. Ia berusaha merahasiakansemuanya. “Sebentar lagi kita sampai.”

    Bessel mengusap-usap ibu jarinya lalumenggaruk alis. Ia sungguh tak tahu apa yangharus dikatakannya. Beberapa kali ia melirikAntonum yang terus menggeleng, memintanyatak membocorkannya sedikit pun dan itumembuat Bessel semakin frustrasi.

    “Yah,” kata Alnord mengetahui ayahnyamelarang Bessel. “Aku mau tahu!” Napasnyamenderu. Cuping hidungnya kembang kempis.Ia menatap ayahnya tajam.

    Orang-orang di sekitar memerhatikan. Merekaberdiri mengelilingi seakan sedang menyaksikanpertunjukan seni. Bessel menjadi lebih kikuksampai tergagap-gagap. Kepelautannya hilangsejenak. Pengalaman berlayarnya selamabertahun-tahun yang telah mengeraskansikapnya tak berguna dalam situasi seperti ini.

    “Aku terima semua yang akan Paman bilang,”kata Alnord dengan napas terengah-engah. Iagagal menenangkan diri. “Paman enggak perlupeduli perasaanku setelah aku tahu.”

    Antonum melepaskan rangkulannya. Besselkembali meliriknya, membuat Antonummenggangguk secara terpaksa untukmengizinkan. Tangannya menggenggam bahu

  • 39

    Alnord sejenak. Ia berusaha memberi anak itukekuatan hati.

    “Kau yakin kau mau tahu?” Bessel menunda-nunda.

    “Enggak pernah seyakin ini,” kata Alnord.Tatapannya datar.

    Tubuh Alnord sedikit terisak. BahkanAntonum dapat merasakan degupan kerasjantung anak itu. Alnord berusaha tetap berdiri.Orang-orang yang mengelilingi ikut senyap,menanti apa jawaban yang akan dilontarkanBessel.

    Pelaut itu menarik napas panjang. Ia berusahamencari kata-kata yang tepat. Kebiasaannyamengeluarkan kata-kata yang agak keras takmungkin dibiarkan untuk menjelaskan peristiwamenyesakkan kepada seorang bocah. Ia melihatsekitarnya, sebagai pengalihan agar ia takmenatap wajah Alnord terlalu lama.

    “Kami—,” kata Bessel. Seakan ada umbiGorgan menyangkut di kerongkongannya.

    Detakan jantung Alnord semakin cepat. Iamenanti.

    “Belum menemukan nenek dan pamanmu,”kata Bessel. Ia menghela sisa napasnya yangtertahan, merasa berhasil melepaskan bebanyang menyangkut di kerongkongannya.

  • 40

    “Memang sebaiknya aku enggak pernahberharap lebih,” kata Alnord. Ia berbalik lemas.Antonum meremas lembut bahunya, terusberusaha menenangkannya. “Ayo kita bersiap,Yah.”

    Bessel berpikir cepat. “Tadi aku bilang belum,Nord.” Ia merasa mungkin itu dapat sedikitmenumbuhkan harapan Alnord. “Mungkin kitabisa menemukannya di tempat lain. Ada banyaksekali pelabuhan antarkerajaan di Ablahar.Mungkin mereka berada dalam perjalananmenuju kerajaan lain.”

    Alnord berhenti, berbalik, dan menghadapBessel. “Ada dua kata mungkin di kalimatPaman. Itu lebih dari cukup untuk menjelaskansemua ketidakpastian,” katanya. Ia tersenyum.“Makasih atas kamar Paman, benar-benarnyaman. Aku titip Camcam ya.”

    Ia berbalik dan beranjak. Orang-orang disekelilingnya memerhatikan selama ia berjalan.Ia berusaha mengabaikan pandangan mereka.Antonum di sampingnya menoleh ke Bessel dibelakang.

    Aku harus apa? Bessel berkata tanpa suara.Biar aku yang mengurus. Antonum juga

    menjawab hanya dengan gerakan bibir.

  • 41

    Bessel memandangi orang-orang di sekeliling.“Dilarang berkumpul di satu sisi atau kapal kitaakan miring,” katanya. Dengan mata melototdan tangan dikibas-kibaskan, ia menyuruhmereka bubar, dan semua langsung menyebarkarena pertunjukkan pun sudah selesai. Setelahitu ia berkacak pinggang dan mengelus-elusjanggutnya dengan bibir mengerucut. Seorangpelaut berhati keras sepertinya tak pernahmembayangkan harus memikirkan perasaanseorang bocah.

    Di sisi lain kapal, Antonum terusmencengkeram bahu Alnord yang hanya bisaterdiam dengan pandangan kosong. Merekamasuk kamar dan Wolly langsung menyalakmenyambut mereka ketika pintu terbuka.

    “Rambutmu semakin bagus saja,” kataAntonum seraya merendah dan mengelusrambut Wolly.

    Alnord mengambil kotak dan mendekapnya diperut. Hanya itu barang yang ia bawa. Tak adayang harus dikemas. Baju berlumuran abumiliknya sudah tak layak pakai. Pakaian yangada hanya yang melekat di tubuhnya sekarang.

    “Kau sudah siap?” kata Antonum.Alnord mengangguk lemah.

  • 42

    Orang-orang berkumpul di tepi haluan.Mereka tercengang melihat bukit-bukit batuyang tadinya hanya siluet kini terlihat jelasmengepung teluk. Ombaknya mengalir lembut.Tak ada empasan yang mengeroposkan bukit-bukit batu itu. Air laut yang biru-kehijauanberpadu harmonis dengan coklatnya bukit,ditambah lagi langit sangat biru cerah saat itu.Keindahan pemandangan tersebut cukupmembuat mereka yang melihat lupa akanmusibah yang menimpa.

    Tiga kapal yang beriringan tersebut berkelokmengikuti liukan teluk. Sampai akhirnya paraawak kapal menurunkan layar. Sebuah teriakanBessel yang menyuruh awak menurunkanjangkar terdengar nyaring saat kapal semakindekat dengan dermaga. Kapal tepat berhenti disamping tempat kapal berlabuh itu.

    Orang-orang bergumul menuju pintu yangterhubung dengan jembatan. Antonummenggandeng Alnord yang erat mendekapkotaknya. Bocah itu sama sekali tak inginkehilangan benda yang menyimpan banyakkenangan tersebut. Wolly terus menggonggong,memberi tahu ayah anak itu tentangkeberadaannya setiap saat.

  • 43

    Jembatan terhubung dan semuanya turunteratur. Terdengar suara kayu berdecit danberderak ketika mereka mulai menjejakkan kakidi dermaga. Di pelabuhan, para Morganmenyambut seperti orang-orang yang sedangmenanti kedatangan keluarganya. Adasekelompok Morgan yang memegang tabuh,seruling, alat musik senar, dan alat musikbundar dengan selimut kayu dan lapisan kulit diatas dan bawah, tetapi tak bisa disebut gendangjuga karena berbeda.

    Mereka menabuhkan ritme musik yangmengiringi tarian tujuh laki-laki di depanmereka. Baju yang mereka kenakan menjuntailebar hingga ke mata kaki, bagian lengannyapun seperti dapat dimasuki tiga buah lobakbesar, dengan warna dominan coklat tuabergaris hitam, merah, dan emas. Topi di kepalamenambah tinggi badan mereka sepuluh inci.Mereka mempertunjukkan semuanya denganlekukan yang indah. Dengan tangan terentangke samping mereka berputar-putar teratur,membentuk bintang bersudut tujuh sempurna.

    “Kau mau tetap di sini menikmati Tari Baqnuritu atau kita pulang?” kata Antonum. “Tarianitu sangat menarik kalau kau ingin tahu. Dulu

  • 44

    mereka menarikannya untuk menyambutprajurit yang pulang selamat setelah perang.”

    Alnord menoleh ke arah para penari tersebut.Keingintahuannya padam. Ia sama sekali taktertarik dan dengan cepat menjawab pertanyaanayahnya dengan pilihan kedua. Ini di luarbayangan Antonum bahwa Alnord akanmemaksanya melihat tarian itu lama-lama danbertanya macam-macam. Mereka meneroboskerumunan. Alnord tak peduli sekeliling,sedangkan Antonum sering kali menoleh kepara penari tersebut.

    Di tengah tarian itu, sekumpulan orangberlarian dengan membawa nampan besar dikedua tangan mereka dan menghampiri seluruhAblan. Saat menawarkan makanan danminuman, mereka menyunggingkan senyumramah dengan mengucapkan silakan setelahnya.Tak ada perkecualian, semuanya disambutdengan cara yang sama. Seseorang menghampirimereka membawakan beberapa potong roti dansegelas teh, tetapi Alnord menolak. Orang itupun tak memaksa dan kemudian pergi.

    Tarian selesai serentak dengan musik berhenti.Suara lelaki bergema mengganti.

    “Selamat datang, wahai saudara kami, bangsaAblan,” kata suara tersebut dengan tekanan

  • 45

    pada setiap huruf vokal, logat khas Morgan. Iasedang berdiri di batu karang sehingga suaranyaterpantul ke batu-batu di sekelilingnya,menyebabkan gema, dan suaranya terdengarsampai belakang. “Silakan menikmati jamuankami.”

    Kewibawaan yang terpancar dari bahasatubuh lelaki tersebut membuat orang-orangmemerhatikannya secara saksama, seakan sudahmenganggap kerajaan Morgana adalah kerajaansendiri dan orang tersebut merupakanpemimpin mereka.

    “Saya Sankhanum,” katanya. “Laki-laki yangdiberi kepercayaan oleh Lidah Api Vion untukmenjadi Awwumu, pemimpin di kerajaanMurghon ini. Anggaplah ini rumah kaliansendiri. Kalian tak perlu khawatir akan tempatbernaung karena setiap dari kami akanmenyediakannya.”

    Para pemain musik mulai mendendangkanirama lagi, tanpa ada tarian. Dalam waktusingkat, mereka seperti keluarga besar yangsedang berbahagia bersama. Kenangan burukakibat bencana Merope seakan terhapus. Semuaitu terlihat dari senyum dan tawa yang merekahdi wajah mereka. Namun tidak dengan Alnord.Anak itu tetap memaku kelu walaupun

  • 46

    Antonum berusaha melembutkan wajahkakunya dengan segala cara. Alnord hanya terusmengelus Wolly yang mengerang sedih dikepitan tangannya, sedangkan kotak dibawaayahnya.

    Di tengah kerumunan yang sedang tertawa,Alnord mendengar sayup-sayup nama ayahnyadipanggil. Ia menoleh, mencari arah suaratersebut berasal. Wolly bangun, telinganyabergerak-gerak. Wulfix itu mendengarnya danjauh lebih peka sampai bisa mengarahkanmereka ke asal suara tersebut. Antonum yangmelihat gelagat mereka bertanya.

    “Seseorang memanggil ayah,” kata Alnord.Antonum terdiam dan ikut mencari arah suara

    tersebut dengan petunjuk dari Wolly. Tak lamakemudian, seseorang muncul dari kerumunandan menghampiri mereka.

    “Di sini rupanya ada kalian,” kata orangtersebut. Ia mengenakan topi merah, hanyarompi ungu di tubuhnya, dan celana putihberlipat-lipat yang panjangnya hanya sampaiseinci di bawah lutut. “Kencana sudahtersiapkan kalau Anda berdua hendak kembalimenemui kedamaian rumah.”

    Orang itu mendelik ke Alnord. “Pastiengkaulah yang bernama Alnurd, wahai

  • 47

    anakku?” Dengan senyum tersungging diwajahnya, ramah sekali. Tangannya disodorkan.“Syabad An-Nawwudzu nama yang orang tuaberikan padaku.”

    Alnord melepaskan Wolly dan mengangguk,lalu menjulurkan tangan dan menyambutjabatan laki-laki itu, tanpa membalassenyumannya. Kemudian Alnord memintakembali kotaknya, isi kotak itu terlalu berhargabaginya untuk ditinggalkan sejenak.

    “Cukup Syabad kau bisa memanggilku,” kataSyabad.

    Wolly menyalak. Syabad tersentak danmendekap dadanya. Ia mundur beberapalangkah. Wolly menggonggong lagi, membuatlaki-laki itu semakin panik dan bersembunyi dibelakang kencana.

    “Makhluk itu kau bisa membawanya pergitidak?” kata Syabad. “Aku takut.”

    “Diam, Wolly,” kata Antonum, membuatwulfix itu duduk dan menunduk. “Dia hanyaingin menyapa.”

    “Maaf,” kata Syabad. “Bukannya sayamemerintah Tuan.”

    “Bukan masalah.” Antonum tertawa. “Kamiberterima kasih kau sudah menjemput.”

  • 48

    Syabad tersenyum, merasa dihargai. Sesaatmatanya melirik ke kotak di dekapan Alnord.Kotak itu terlihat padat dan berat. Sebagaipelayan yang terbiasa membantu tuannya, iamenawarkan diri untuk membawakannya, tetapiAlnord menggeleng. Bocah itu tak bersuara,bahkan tak mengucapkan terima kasih atastawaran tersebut.

    “Mungkin tidak sekarang, terima kasihtawarannya,” kata Antonum, memecahkankecanggungan yang timbul barusan. “Kita bisaberangkat sekarang. Kami sudah siap.”

    Syabad membukakan pintu. Antonummeminta Alnord masuk ke kencana lebih dulu,tetapi tepat ketika menapakkan kaki di pijakankencana, Alnord berhenti. Ia berbalik danmenunggu. Di belakangnya hanya adakerumunan orang-orang yang terlihat berusahamenikmati persembahan para Morgan.

    “Ada yang kau tunggu?” kata Antonum.“Dardyl,” kata Alnord.“Kalian pasti akan bertemu lagi,” kata

    Antonum. “Segeralah masuk.”Baru saja akan masuk, Alnord mendengar

    seseorang memanggilnya. Ia sangat mengenalsuara itu. Berteman bertahun-tahun denganorang yang memanggilnya membuatnya peka

  • 49

    sekecil apapun suara temannya. Di tengahkerumunan itu terlihat sebuah tangan yangmuncul dan hilang beberapa kali, berusahamenunjukkan kehadirannya dengan melompat-lompat. Lalu terlihat wajah orang yangmemanggilnya mengintip dari balik badanorang-orang. Yang memanggil Alnord memangDardyl.

    “Jangan pergi dulu,” kata Dardyl. Di depanyang lain, ia terbungkuk menarik napas. “Dimana kalian nanti tinggal?”

    “Al-Khorul no. 13, distrik Rurokh,” kataAntonum. Dardyl berkomat-kamit dengan matamendelik, berusaha menghafal alamat tersebut.“Bagaimana dengan kalian?”

    “Ayah bilang kami nanti menumpang dikoleganya dulu,” kata Dardyl. “Distriknya jauhdari sini. Mungkin butuh perjalanan dua haridengan kencana.”

    Alnord merasa ada yang kurang daritemannya. Saat melihat bahu Dardyl, ia baruteringat. “Mana Mumbley?”

    “Lagi sama ayah,” kata Dardyl. “Dia lebihasyik sama ayah daripada sama aku. Sebal.”

    “Ayah jauh lebih berpengalaman daripadakau, Nak,” kata Ogwald dari belakang Dardyl.“Ayah sudah bekerja bertahun-tahun dengan

  • 50

    hewan berbulu lebat.” Yang lain menoleh,menyambut kedatangannya.

    “Karena itu aroma ayah membuat tupai itubetah,” sambung Maureen.

    Ogwald mendelik ke istrinya. “Ah, kaumerebut leluconku.”

    Semua tertawa, kecuali Alnord yang hanyatersenyum tipis. Ketika gelak yang lain berhenti,orang tua Dardyl berbasa-basi denganAntonum, menanyakan rencana selanjutnya.Antonum menawarkan mereka untuk mampirdi kediamannya, tetapi ditolak karena sudahmemesan kencana menuju rumah kolegamereka. Mumbley turun dari pundak lalu tanganOgwald dan ia melompat ke bahu Alnord.Bocah itu kegelian ketika Mumbley mengendus-endus lehernya. Wolly menggonggong keMumbley, menyentak hingga tupai itubersembunyi di balik tengkuk Alnord.

    “Kau boleh pelihara dia kalau mau,” kataDardyl.

    “Dia bakal kena serangan jantung karenagonggongan Wolly,” kata Alnord. Ia menarikMumbley dan menyerahkannya pada Dardyl.“Kau aja yang pelihara.”

    Setelah itu mereka terdiam dan salingpandang. Tak ada yang memulai untuk

  • 51

    mengucapkan kata-kata perpisahan sehinggaAntonum berpamitan lebih dahulu. Tangannyamerangkul Alnord, meminta bocah itu masukpertama. Setelah mengutarakan kalimatperpisahan, yang baginya cukup berat untukdiucapkan, Alnord masuk ke kencana.Antonum menyusulnya. Syabad naik ke tempatkemudi dan kencana mulai berjalan. Alnordmuncul dari jendela dan menoleh ke keluargaDuvius. Dardyl dengan senyuman yang bergantimenjadi rengutan akibat perpisahan itumelambaikan tangan ke arah temannya.

    Sepanjang perjalanan, Alnord hanyamelemparkan pandangannya ke luar jendela.Yang dilihatnya hamparan pasir dan itu takberubah sejak mereka berangkat hingga saat itusetelah lebih dari setengah hari mereka di jalan.Semuanya terasa sama di padang pasir. Merekaseperti tak berpindah tempat.

    “Kau mulai bisa menyesuaikan diri?” tanyaAntonum, seraya memukul lembut pahaAlnord. Bocah itu menoleh dan Antonumtersenyum.

    Alnord tak membalasnya. “Aku masihmerasa,” katanya. Ia menunduk. Antonummenunggu kalimatnya selesai. “gerah,”sambungnya.

  • 52

    “Kau akan terbiasa,” kata Antonum. “Cuacadi sini memang lebih panas daripada di Elberg.”

    “Kita akan pergi ke mana?” tanya Alnord.“Tentu saja rumah, kau akan merasa nyaman

    di sana,” kata Antonum. “Rumah dengankeluarga barumu.”

    Alnord mengangguk pelan dan membuangpandangannya kembali ke luar jendela.

    Alnord menelaah kembali pikirannya, padahalia tak mau itu. Pikirannya yang membawanya kesemua kejadian yang ia alami. Ia ingat saat iabermimpi buruk tentang hutan menyeramkan.Saat ia bertemu dengan Deimos. Ketika Aornmenyerang mereka. Waktu Deimos danseseorang merencanakan sesuatu yang jahat. Iaingat saat berusaha memperingatkan Ihtizaruntuk berhati-hati. Ia ingat saat bertarungdengan naga itu. Ia ingat ketika jasad Etnadalam pelukan Aracruz.

    Matanya terpejam erat. Wajahnya merengut.Alisnya berkedut. Semua ketakutan ituberkumpul di pikirannya.

    “Sekarang semuanya sudah berubah, Nak,”kata Antonum. “Satu-satunya cara agar kita takmerasakan perubahan itu adalah ikut berubahjuga. Mengalir bersama arusnya. Terdiamseperti ini hanya akan menjadikanmu batu

  • 53

    sungai yang tergerus arus, menyakiti dirimusendiri.”

    Alnord menarik napas dengan mata terpejam.Ia tak bisa melupakan semuanya. Ia ingat saatmereka kabur dari istana bawah tanah, saatIhtizar bertarung dengan Aorn. Ia ingatsemuanya. Ia ingat kematian Ihtizar danBagnan. Ia tak bisa lupa saat Wolly datangtanpa nenek dan pamannya. Ia pun tak bisamengenyahkan ingatan saat tahu bahwa ia takmemiliki hubungan darah dengan Antonum.

    Sangat jelas seperti melihat langsung, ia ingatmimpi tentang kematian Aracruz. Mimpi ituterasa sangat jelas seperti ia mengalaminyalangsung. Keningnya semakin berkerut takut.Lalu, ketika terbuka, matanya tak menangkapcahaya sedikit pun. Kulitnya sedikit membekukarena udara sangat dingin. Tak ada cahaya dankehangatan matahari di kerajaan Morgana yangpanas. Ia tersadar sedang berada tanah Orion.Sekelilingnya ladang alang-alang, bukan hutanrimba seperti dulu. Itu merupakan kali pertamaia masuk ke alam itu dalam keadaan sadarseperti sebuah mimpi siang bolong.

    Ketika sebuah petir melesat di sela-sela awan,ia melihat sosok kerdil dan kurus berambutputih dan berkulit biru yang terkesiap

  • 54

    memandanginya. Jantungnya berdegup keras.Kejadian itu begitu cepat seperti sebuahkedipan. Ia mendengar namanya dipanggil danketika membuka mata lagi, ia dapat mendengarsuara roda kencana.

    Antonum yang memanggilnya. Alnordmenoleh.

    “Ada apa?” kata Antonum. “Kau tiba-tibaterlihat begitu pucat.”

    Alnord terdiam, tak memiliki kata-kata untukmenceritakannya. Dadanya naik turun, satubulir keringatnya menetes dari pelipis. Ia melirikke kanan dan kirinya, memastikan takberpindah tempat sedikit pun. Ia masih beradadi dalam kencana.

    “Tenang, Nak,” kata Antonum. “Kau aman disini.”

    “Aku takut.” Hanya itu yang dapat Alnordkatakan.

  • 55

    3Keluarga Baru

    Seekor burung bermanuver di angkasa.Paruhnya membelah langit. Ia menikung,berputar, dan menukik seakan dapatmengendalikan angin. Ia melesat ke atas danmenembus awan. Benda angkasa putih ituterasa seperti asap baginya. Kemudian sayapnyamengatup dan kakinya lurus ke atas. Ia menukikturun dengan kecepatan tinggi seperti sebuahbintang jatuh. Yang terlihat olehnya hanyalahpasir berbukit-bukit. Sebuah jalan membelahnyaseperti sungai di sebuah lembah. Kencana yangdinaiki Alnord melaju di jalan itu. Burungtersebut seperti mengincar kencana tersebut. Iamengangkat sayap dan menurunkan kakinya.Ternyata tidak, sasarannya ular yang merayapdekat kencana. Tepat ketika kaki burung itumencengkeram tubuh ular, dengan cepat hewanmelata itu memelantingkan tubuhnya ke atasdan membelit sang burung, mencekiknyasampai mati. Kepala ular itu menganga danmulai menelan burung tersebut dari kepala.Alnord menyaksikan kejadian itu dari jendela

  • 56

    kencana. Ia membatin mengira-ngira namaburung malang tersebut.

    “Al-Aqushk, nama burung itu,” kataAntonum yang ikut memerhatikan dari balikbahu Alnord. “Gurun adalah tempat hewan-hewan menakjubkan tinggal kalau kau mautahu.”

    “Aku lebih suka hewan hutan,” kata Alnordtanpa berpaling.

    “Memang setiap tempat memiliki keunikannyasendiri,” kata Antonum. “Kita tak perlumembanding-bandingkannya, tapi kau bisabelajar banyak hal unik di sini. Mungkin kaubisa berguru. Morgana terkenal dengankesenian pedangnya.”

    “Untuk sekarang ini aku enggak tertarik,” kataAlnord. “Aku tahu ayah berusaha ngehiburku,tapi untuk saat ini, biarin aku begini dulu.”

    Wolly menengadah dari lantai kencana. Iamelompat ke pangkuan Alnord dan meringkukdi sana. Alnord mengelus wulfix itu, mengusap-usap dagunya sampai Wolly menengadahnyaman.

    “Sebentar lagi Wolly cukup umur untukmenyemburkan api,” kata Antonum. “Diasudah besar sekali sekarang sejak kali terakhiraku melihatnya.”

  • 57

    Bau garam dan amis yang tadi menguasaiudara diganti bau tanah kering. Kini merekamulai memasuki permukiman penduduk.Rumah-rumahnya terlihat seragam danmembosankan karena menyerupai tanah, hanyacoklat. Bentuknya juga sangat sederhana, sepertikubus. Semua rumah tersebut seperti rumahyang dibuat dari pasir pantai oleh anak-anak.Orang-orang terlihat ramai. Banyak hal baruyang bisa Alnord lihat, seperti para wanita yangmenutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dantangan. Bahkan ada yang hanya terlihatmatanya. Alnord merasa itu cukup aneh,bahkan menakutkan. Ia bertanya-tanya apakahmereka mengenakan pakaian seperti itusepanjang waktu atau tidak.

    “Hanya kepada keluarga merekamemperlihatkan bagian tubuh yang bagi kita takperlu ditutupi,” kata Antonum bahkan tanpamencari tahu yang sedang Alnord perhatikan.“Jadi mereka seperti itu di luar saja.”

    Karena merasa pertanyaan dalam hatinyadijawab tiba-tiba, Alnord menoleh. Namun, takada komentar. Ia kembali memandangi suasanaluar. Untuk sekian lama, hanya suara tapak kakikuda dan derakan roda yang terdengar. Alnordlama tak bersuara, begitu juga dengan

  • 58

    Antonum. Mereka terlihat seperti orang yangtak saling mengenal.

    “Rumah ayah masih jauh?” kata Alnord. Iaberhenti mengelus Wolly.

    Antonum menggaruk-garuk hidungnya yangtiba-tiba gatal. “Sebenarnya—,” Ia menggeram,membersihkan tenggorokannya. “—kita taksedang menuju rumah ayah.”

    “Aku enggak ngerti.” Alnord mengangkat alis.“Ayah bilang kita akan ke rumah?”

    “Ayah akan memperkenalkanmu ke Namib,”kata Antonum. “Kau bisa memanggilnya Sayyi.Dia teman baikku di sini. Kau akan tinggalbersamanya.”

    Alnord mengernyit. “Ayah enggak mau tinggalbersamaku?”

    “Bukan begitu,” Antonum membantah cepat.“Sama sekali bukan begitu. Ayah hanya takingin kau sendirian. Kau bisa punya banyakteman di sini. Asal kau tahu, Alnord, ayahbahkan tak mengenal tetangga sendiri. Akuyakin mereka tak punya anak seumurmu.”

    “Itu cuma pembelaan ayah, kan?” kataAlnord. “Aku baru sadar kalau aku benar-benarnyusahin.”

  • 59

    “Di sana bisa sangat menyenangkan,” kataAntonum. “Percaya pada ayah. Kau bisa belajarbanyak darinya.”

    “Mungkin, enggak tinggal, sama ayah, bagusjuga untukku,” kata Alnord. “Karena setiapngelihat ayah, aku selalu ingat ayah kandungkusudah meninggal. Lagi pula aku kan enggakboleh memaksa. Ayah bukan ayah kandungku.”

    “Ayah akan menjemputmu segera setelahsemua urusan selesai,” kata Antonum laluterdiam. “Ayah ikut bertanggung jawabmengurusi semua orang yang pindah ke sini.Mencarikan tempat tinggal, pekerjaan, dansemuanya.”

    Jalanan berubah tak rata sehingga kencanasering kali terantuk-antuk. Keheningan suasanadi dalam kencana hanya dihilangkan suara rodayang berputar dan tapak kaki kuda. Waktuterasa berjalan sangat lama. Seakan keadaaningin mengungkung Alnord dalam perasaankalutnya. Bocah itu bergulat keras denganpikirannya sendiri.

    Putaran roda memelan. Banyak anak lalulalang. Tawa dan teriakan mereka terdengarwalau mentari sangat terik. Juga terdengarcengkerama para orang tua yang memerhatikananak mereka bermain. Seperti yang diharapkan

  • 60

    Alnord, desa ini hidup. Tak ada yangmemikirkan diri sendiri. Hidup selingkunganbagai keluarga besar. Sesuatu yang kini tak iamiliki.

    Tak lepas tatapannya dari pemandangan itu.Bibirnya terangkat dan dagunya berkerut saat iamelihat seorang anak berlari dan memelukibunya. Ia kesal melihatnya. Tak pernah iamerasakan pelukan dari seorang ibu yangbahkan tak pernah ia lihat secara langsung. Iateringat kembali kenangan di pemakaman diistana bawah tanah sekian waktu lalu. Ia cobatanamkan rupa ibunya dalam ingatan. Matanyaterpejam dan ia tersadar saat Antonummemanggilnya.

    “Kita sudah sampai,” kata Antonum.Syabad melompat turun dan membukakan

    mereka pintu. Ia menunggu di luar. Namun,Alnord bergeming di tempat duduknya. Begitupula dengan Antonum. Wolly bangun,memerhatikan wajah Alnord yang tertunduk.Anak itu masih belum yakin dengan alasanayahnya yang ingin ia tinggal bersama oranglain.

    “Ayah akan jarang di rumah kalau kau belumyakin,” kata Antonum. “Sedangkan di sanaselalu ada yang menemanimu.”

  • 61

    Alnord beranjak. Gerakannya membuat Wollyterbangun dan melompat turun lebih dulu.Alnord menyusul. Baru selangkah ia berjalan,sebuah bola menyambarnya. Ia tersentak dansontak ia menangkap bola itu, tepat di dada.Kesadarannya menguat.

    “Syidhukhu, dziqish qarbukhal ghiqu.” Anak kecilitu mengerti Alnord tak mengerti bahasanya. Iamengatakan itu seraya mengipas-ngipasidadanya, berbicara dengan bahasa tubuh.

    Alnord sama sekali tak dapat mengulang satukata pun yang anak kecil itu ucapkan walaupunia paham maksudnya. Ia merendah danmenendang bola itu.

    “Runusyal,” teriak anak itu. Ia lanjut bermainlagi bersama teman-temannya yang tak berbaju.Cahaya matahari terik, meskipun sudah sore,membakar kulit. Alnord menengadah. Di langittak ada awan bergumul awan, tak ada yangmenutupi matahari. Sekilas ia merasa di langitbanyak kerlap-kerlip, tetapi ia tak ingin mencaritahu apa itu.

    “Kau diam di sini, Wolly,” kata Antonum,mengacungkan telunjuk ke wulfix itu. Wollyyang tadinya bersemangat langsung menunduklesu.

  • 62

    “Yakinkah benar-benar kalian akanmeninggalkanku dengannya?” kata Syabad.

    “Dia takkan mengganggumu,” kata Antonumseraya melengos bersama Alnord.

    Syabad terpasak di tempat ia berdiri. Kakinyabergemetar karena Wolly menatapnya terusmenerus dengan buntut digoyangkan, siapmenggodanya. Api di tubuh wulfix itu meletup-letup.

    “Tetap di situ,” kata Syabad dengan telunjukteracung ragu-ragu, mengikuti apa yangAntonum lakukan tadi. Wolly menyalak-nyalaknyaring. Syabad melompat.

    “Namanya Namib hash Mundaf, cukuppanggil dia Sayyi yang berarti Paman,” kataAntonum. “Istrinya Dahna hashfa Saud. Cukuppanggil dia bibi atau Sayyah di sini.”

    “Kenapa nama belakang mereka beda?” kataAlnord.

    “Banyak hal berbeda yang akan kau temui disini,” kata Antonum. “Nama belakang merekaadalah nama ayah mereka sendiri, bukan namakepala keluarga.”

    Antonum meminta Syabad untuk menunggumereka di sana. Pemuda itu mengangguk patuhtanpa ada guratan keberatan di wajahnya.Antonum mengajak Alnord masuk ke sebuah

  • 63

    pintu kayu dengan pagar tembok tanah yangsangat tinggi. Di dalamnya berdiri beberaparumah yang berderet membentuk lingkaran. Ditengah-tengah terdapat kolam bulat yang berisisetengah penuh. Mereka berjalan ke rumahyang berada dua petak dari gerbang utama.

    Alnord mendongak. Rumah itu begitu polosdan beratap rata. Tak ada warna selain warnatanah. Pikirannya mengatakan rumah itu benar-benar kotak. Ia melirik ke samping. Tak adacelah di antara rumah tersebut dan yang lainnya.Berbeda sekali dengan rumahnya di desa Elbergyang berjarak cukup jauh dengan rumah lain. Iamengira tetangga akan bisa mendengarpercakapan di dalam rumah. Antonum menititangga dan mengetuk pintu coklat polos yangbila hanya dilirik membuat rumah itu terlihattak berpintu. Alnord menunggu di bawah.Hampir saja Antonum mengetuk untuk kalikeempat, pintu terbuka. Keluarlah seoranglelaki.

    “Anthonum Mandalaf?” kata lelaki tersebut.Lalu ia tertawa dengan suara yang menggelegar.“Namamu aku masih saja sulitmengucapkannya.”

    Alnord memahaminya karena bahasa heldonlelaki tersebut sangat bagus, hanya logat

  • 64

    Morgananya masih kental terdengar. Namib takterlihat jauh lebih tua daripada bayanganAlnord. Ia lebih tinggi dua inci daripadaAntonum. Rahangnya kotak besar. Bulu matalebat, dengan lubang mata yang dalam.Rambutnya keriting. Kulitnya putih. Janggutdan jambangnya lebat menyatu. Tangannya punberambut keriting.

    Mereka berjabat tangan lalu berpelukan eratdengan tepukan di punggung, tetapi Namibmenepuknya terlalu keras hingga Antonummengernyit. Setelah tergelak lebar, Namibmelepaskan dekapannya. Ia mengajak keduatamunya masuk. Lalu keluarlah seorang wanitaberkain coklat lebar menutupi seluruh tubuhterkecuali wajahnya. Ia tersenyum ketikamenyadari tamunya.

    “Sudah lama kita tak bertemu,” kataAntonum. “Aku rindu masakanmu. Syuqur. Apakabar?” Ia menelungkupkan tangan di depandada. Begitu juga dengan Dahna.

    “Ah, terima kasih. Keadaanku begitu baiksampai bisa membuat banyak masakan,” kataDahna. “Bocah itu siapakah, anakmukah?”

    Alnord tersenyum dan mengangguk kecil.“Dialah yang bernama Alnord,” kata

    Antonum. “Kalian tahu banyak cerita

  • 65

    tentangnya, sekarang kalian bisa melihatorangnya langsung.”

    Namib dan Dahna sedikit terbelalak lantaskemudian tersenyum. Namib turun danmenghampiri Alnord, merangkul bahu bocahitu dan mengajaknya masuk. Syabadmemanggilnya dari belakang dan menghampiriAlnord. Di tangannya ada kotak milik Alnord.

    “Kotakmu kau meninggalkannya,” kataSyabad kepada Alnord lalu ia menyerahkankotak itu.

    Alnord mengucapkan terima kasih begitupelan. Syabad tersenyum dan menantisenyuman balasan dari bocah itu, tetapisenyumannya meredup karena Alnord takkunjung membalas.

    “Bawalah dia ke istana kita,” kata Namib.“Ada hal genting yang perlu aku dan Anthonumbicarakan.”

    Dahna merangkul Alnord dan mengajaknyake dalam rumah. Alnord melirik melalui bahu.Ia yakin akan apa yang Antonum bisikkankepada Namib dan apa yang akan merekabicarakan. Pasti segala sesuatu tentang diri dankeadaannya serta keinginan Antonum hingga iaberada di sini.

  • 66

    “Namamu indah,” kata Dahna yang berjalanduluan di depan. “Apa makna di baliknya?”

    “Pahlawan,” kata Alnord. “Dalam bahasaAblan kuno.”

    Mereka memasuki sebuah ruangan tanpahiasan. Hanya ada dua kursi dan satu meja disana. Dahna mempersilakan Alnord duduk danmenanyakannya apa yang sedang ingindiminum. Perjalanan jauh membuatkerongkongannya kering dan menurut Alnordyang dapat menghilangkannya hanya air putihyang segar. Dahna beranjak ke dapur,sementara Alnord menaruh kotak di meja danduduk di kursi pojok seraya memerhatikansetiap detail dari ruang tersebut. Sayangnya takada detail, semuanya serupa. Tak lama Alnordmenunggu hingga Dahna datang membawanampan. Segelas air putih yang sangat beningsampai gelas itu seperti kosong dan serantangkue kering ditaruhnya di meja untuk Alnord.

    “Terima kasih,” kata Alnord. “Sayyah.”“Kau pandai mengucapkannya,” kata Dahna

    lalu tersenyum, merasa dihargai dipanggildengan sapaan itu. “Minumlah, segarkanlahtubuhmu.”

    Lalu Dahna permisi untuk membawakan yanglain dua gelas teh, semangkuk kecil gula batu,

  • 67

    dan serantang kue kering lainnya. Cukup lamaAlnord menunggu di dalam ruangan itu.Sesekali ia menengok tak sabar ke luar danmengira-ngira sampai kapan yang lain selesaiberbicara. Perkiraannya sampai habis kue dirantang yang tak menarik minatnya tersebut. Iacoba mengambil satu keping dan ternyatarasanya jauh lebih enak daripada penampilannyayang hanya seperti kepingan tanah kering. Taksampai kue tersebut habis, yang lain masukdengan tawa menggelegar milik Namib. Dahnalangsung berjalan ke dapur lagi dengan sedikitterburu-buru.

    “Sebentar lagi matahari tenggelam dan terbitmalam,” kata Namib. “Bukankah lebih baik kaumenginap saja?”

    “Tak perlu,” kata Antonum. “Aku masih adaurusan. Mungkin sebaiknya aku berangkatsekarang.”

    “Kamu tak apa-apa kan kalau ayah tinggal?”kata Antonum. Alnord diam saja. “Tak akanlama sampai kau mendapatkan sebuah pelajarandi sini.”

    “Berbahaya berpergian pada malam hari,” kataNamib. “Tak bagus angin malam untukmu.”

    “Syabad sangat hebat,” kata Antonum. Iamenghampiri Namib dan memeluknya erat

  • 68

    seperti seorang saudara kandung. “Kami pastiakan sampai sebelum malam.”

    Namib berteriak memanggil Dahna danmemberi tahu bahwa Antonum hendak pergi.Kemudian Dahna datang dengan sekantung kuekering di tangannya lantas ia memberikannyakepada Antonum. Sudah menjadi kebudayaanpara Morgan memberikan sesuatu kepada tamusebelum tamu mereka pulang.

    “Hanya ini yang mampu kami serahkankepadamu,” kata Dahna. “Terimalah.”

    Antonum menolaknya halus. Namibmenyambar kantung itu dan menarik tanganAntonum serta menjepitkan kantung itu ditangan tamunya.

    “Kau akan menyobek lubuk hati kami bila takmenerimanya,” kata Namib. “Bawa saja yangbanyak.”

    “Kalian sudah banyak menolong,” kataAntonum. “Runusyal.”

    “Aku mau antar ayah sampai depan,” kataAlnord seraya bangkit mengikuti yang lain.

    “Baik-baiklah kau makhluk berbulu,” kataSyabad yang berlari mengelilingi kencana karenadikejar Wolly yang menyalak-nyalakbersemangat. Begitulah yang kali pertamamereka lihat sejak keluar dari pintu gerbang.

  • 69

    Antonum memanggil Wolly. Wuflix itulangsung menoleh dan berpaling dari Syabad,berhenti mengejarnya. Syabad langsungmerebah di pijakan tempatnya berkusir.

    “Tiga puluh kali, sudah aku, berputar-putar,”kata Syabad terengah-engah penuh kelegaan.Setelah menyadari tuannya akan segeraberangkat, ia berdiri tegak lagi dan membukapintu. Wolly berlari-lari ke arahnya, membuatpemuda itu melesat ke balik kencana, padahalWolly hanya berniat masuk ke kencana lebihdulu.

    “Kalau seperti itu terus, kau akan terus diaanggap sedang mengajaknya bermain,” kataAntonum. “Dia tak pernah menggigit orangasing sekalipun setahuku.” Ia berbalikmenghadap Alnord dan menatap mata yang diantara pupilnya terdapat bayangan naga milikbocah itu.

    “Ayah sayang padamu,” kata Antonum. “Kaubisa meminta Namib bila ingin datang ke rumahayah, tapi tetap dia yang menentukan kapan saatyang tepat untuk itu. Ayah sudah menaruhperkamen bertuliskan alamat rumah ayah dikotakmu.”

    Antonum masuk dan melambai-lambaikantangan dari jendela ketika kencananya mulai

  • 70

    berangkat. Alnord membalasnya meskipunsebentar karena kencana cepat berbelok danakhirnya tak terlihat akibat terhalang rumah.Namib menggandengnya masuk, meskipunAlnord tetap menoleh ke belakang, masih takpercaya Antonum meninggalkannya bersamaorang lain.

    “Kamarmu aku akan memperlihatkannyakepadamu,” kata Namib. “Kau akan kerasan disana.”

    Mereka masuk, melintasi beberapa ruanganyang senada dengan ruang tamutak adasesuatu yang mencolokdan akhirnya berhentidi depan sebuah pintu. Namib mendorongpintu dan terlihat di dalamnya kamar yangberbeda dengan kamar Alnord sebelumnya.Hanya ada sebuah tempat tidur dan sebuahmeja dengan laci tempat menaruh baju.Ukurannya pun selebar tiga rentangantangannya dan berpanjang empat rentangantangan dengan jendela kecil yang ditutup kainsetipis kertas.

    Makan malam sudah siap saat itu. Alnord barusaja selesai mandi. Dahna mendatangi kamarbocah itu dan mengajaknya makan. Alnordmenunda sejenak karena masih termangu disamping kotaknya, tetapi merasa tak enak bila

  • 71

    terlalu lama. Ketika keluar kamar, ia melirik kesekeliling dan hanya mendapati Dahna danNamib sedang duduk di tikar rumput denganmakanan di depan mereka.

    “Mejakah yang kau cari, Nak?” kata Dahnalalu tertawa. “Di sini takkan kau temukan itu.Kami tak memakai meja untuk makan.Duduklah di sini bersama kami.”

    Alnord sedikit terkejut melihat Dahna tanpapenutup kepala dan sedikit ragu ketika duduk.Belum pernah sekali pun ia makan di lantai dania sama sekali tak mengerti cara merekamenikmati semua sajian. Ia melirik tangannya,memastikan tak ada kotoran. Di rumahnya dulupasti ia tak peduli, tetapi semuanya terasaberbeda karena tinggal di rumah orang lain.Sayangnya sejak sore tadi ia tak melihat adawastafel di rumah itu. Memikirkan cuci tangansebelum makan membuatnya teringat akanneneknya yang selalu bawel menyuruhnyamelakukan itu.

    Seperti menangkap pertanyaan batin Alnord,Dahna menunjuk mangkuk penuh air di depanmereka. “Kau bisa mencuci tanganmu di situ.”

    Ketika ia mencelupkan tangannya, dalampikirannya Ember mengomel. Di bawah kukudan di sela-sela jarimu. Takkan pernah bisa

  • 72

    dilupakannya kata-kata itu. Ia mengambil lap disamping mangkuk dan ingatannya menguat.Jangan keringkan tangan di celana. Keringkan dengankain yang digantung di sana. Begitu omelanneneknya.

    Namib duduk bersila, sedangkan Dahnaduduk menyerong. Alnord membandingkannyadan menurutnya lebih baik mengikuti caraduduk Namib yang sesama laki-laki. Dahnamemasukkan beberapa sendok kari ke dalammangkuk kecil dan ditaruh bersama sepotongroti bulat di piring. Tanpa sendok dan garpu,membuat Alnord mengira-ngira caramemakannya. Bocah itu menerimanya dengantangan kiri tanpa lupa mengucapkan terimakasih, tetapi Namib menepis tangannya. Alnordmenoleh karena terkejut dan tak tahukesalahannya.

    “Tangan kananmu yang kau gunakan,” kataNamib. Dahna memprotes untuk membiarkan.Baginya itu bukan masalah, hanya perbedaanpola pikir.

    “Di mana bumi dipijak, di situ langitdijunjung,” kata Namib kepada Dahna lalu iamenoleh kembali ke Alnord. “Tangan kananmukau menggunakannya saat kau menerima danmemberi serta melakukan hal benar. Itulah

  • 73

    alasan tangan itu dinamakan tangan yangbenar.”

    Alnord meminta maaf dan menjulurkantangan kanannya. Ketika makanan itu tersaji didepannya, ia menunggu yang lain makanterlebih dahulu. Hanya untuk mengikuti caramereka makan dan sepanjang itu ia merasacanggung.

    Setelah makan malam selesai, Alnordmembantu Dahna membersihkan semuaperkakas. Sebenarnya karena Namib menyuruhbocah itu. Dahna sudah melarang, tetapisuaminya bersikukuh. Lagi pula Alnord takkeberatan. Ia suka membantu neneknya dulu.Hanya agak aneh baginya mencuci di kolam luarrumah bersama tetangga.

    *

    Malam terasa sangat dingin meskipun jendeladan pintu kamar Alnord tertutup. Ia membukakotaknya dan mengambil baju hangat rajutanneneknya. Dulu ia tak menyukainya, tetapisekarang menganggap baju hangat itu hartaterbesarnya. Ia memandangi warna kelabunya.Ada huruf A merah di bagian dada dandilingkari kristal-kristal kecil. Ketika iamemakainya, satu kristal terjatuh. Ia

  • 74

    menaruhnya di meja. Kalau menyimpannya dikotak, ia bisa saja lupa besok harinya karenaberniat meminta Dahna membetulkan.

    Ia meniup api lentera di meja dan seketikaruangan menggelap, tetapi segaris cahaya yangmasuk dari lubang kecil di pintu membuatnyamasih dapat samar melihat. Cahaya itumenyorot sampai tepat di kristal tersebut dantiba-tiba suasana kamarnya berubah.

    Alnord berada di rumahnya lagi di desaElberg. Ia melihat Ember sedang menangis dikursi dengan Charlom yang berusahamenenangkannya di samping. Mereka berduaterlihat belasan tahun lebih muda.

    “Apa yang telah terjadi?” Ember terisak. “Akutak pernah menyangka Ruiz akan—.”

    Charlom hanya duduk terdiam baik karenalarut dalam kesedihan maupun karena tak tahuharus apa yang harus dikatakan. Lalu tiba-tibaterdengar suara ketukan di pintu yang terdengarsemakin keras dan terburu-buru.

    Charlom bangkit dan membuka pintu.Antonum, yang juga terlihat sekitar belasantahun lebih muda, masuk sambil menggendongAlnord bayi.

  • 75

    “Bisakah kutitip dia sebentar?” kata Antonumretoris seraya memindahtangankan bayi itu keCharlom.

    “Siapa dia?”“Alnord,” ujar Antonum. “Putra Aracruz.”Ember berdiri dan menghampiri Charlom

    dengan isakan yang masih tersisa di napasnya.Ia menatap Alnord dan seketika wajahnya jauhmembaik seakan kelembutan tatapan bayi itudapat melunturkan kesedihannya. Ia cepat-cepatmengambil kain baru karena kain yangmembungkus Alnord basah sekali. Ia tak inginAlnord masuk angin.

    “Aku harus cepat pergi lagi,” kata Antonumberpamitan. Ia langsung beranjak ke luarmeskipun hujan besar.

    Charlom mengikuti.“Kenapa kau buru-buru sekali?” tanya Ember.Antonum terpaku di daun pintu, diterjang air

    dari langit. Ia perlahan menatap Charlom danEmber. Sebuah petir yang menyala dengansambutan gunturnya membuat raut wajahAntonum terlihat jelas. Ia terlihat sayu. Alisnyamengerut. Matanya sedikit merah.

    “Minerda telah pergi,” kata Antonum.Alnord bayi menangis, seketika mereka

    berdua terpaku duka.

  • 76

    Lalu, seperti bayangan yang tersorot cahaya,kejadian itu menghilang. Alnord kembali kekamarnya di rumah Namib. Ia merebah danmemeluk baju hangat itu. Merasakan kasihsayang Ember di setiap rajutannya.

    Baru saja hendak terpejam, sebuah suaramengejutkannya sampai ia terduduk lagi. Iamenoleh ke sumber suara tersebut. Kotaknyabergetar kuat di meja dan seberkas cahayakeluar dari celahnya. Cahayanya sangat terang.Alnord bangkit dan membuka pintu untukmendapatkan cahaya. Rasa penasaran dan takutsekaligus menghampirinya ketika ia perlahanmendekati kotak tersebut. Ia meraih danmembuka kotak itu dan begitu tersentak.

    Dari dalam kotak itu terbang tiga ekorngengat hitam ke pintu menuju cahaya dansemuanya menghilang tak lama kemudian.

  • 77

    4Butir-Butir

    Pasir

    Alnord menggeliat, melingkarkan tubuhseperti seekor anjing yang menggigil. Iamerapatkan selimut, membaluti seluruh tubuhtermasuk kepala. Suasana begitu dinginsehingga ia tak berani menyentuh udara.Namun sayangnya, ia tak bisa tidur. Matanyaterjaga sepanjang malam. Setiap kali terpejam, iateringat kejadian-kejadian yang telah terlewati.Jantungnya terus berdegup setiap kali iamenyadari telah kehilangan segalanya.

    Kepekatan malam masih sempurna. Dikamarnya pun kegelapan tetap meraja. Segariscahaya merongrong masuk, memecah hitam.Dahna membuka pintu. Wanita itu mengendap-endap kemudian berdiri di samping tempattidur untuk membangunkan Alnord denganlembut.

    Namun, Alnord lebih dulu menyadarikehadiran Dahna. Ia menyibakkan selimut danmenoleh. Dengan cahaya samar-samar terlihatkantung mata Alnord menghitam dan sedikitmembengkak, bola matanya memerah.

  • 78

    “Sayyah,” kata Alnord. Ia kembali meringkuk.“Aku tak bisa tidur semalaman.”

    “Membangunkanmu subuh-subuh Namibmemintaku untuk itu.” Dahna mengernyit.“Tapi ragamu sepertinya masih lemah. Akuakan memberi tahu Namib kau tak bolehmembantunya.”

    “Aku bisa.” Alnord menyanggah. “Akumemang tak tidur, tapi sudah cukupberistirahat.” Ia duduk dan hendak bangkit,tetapi Dahna mencegahnya.

    “Kau tetap di sini sampai kau benar-benarmerasa baik.” Dahna memaksa bocah itukembali merebah.

    “Kalau kau susah bangun,” kata Namib daripintu tiba-tiba. “Aku yang akan memaksamubangun.”

    “Kau tak bisa seperti itu,” kata Dahna.“Tidakkah kau pahami dia tamu kita dan setiaptamu harus diperlakukan seperti raja?”

    “Kita sudah sepakat kemarin, Dahna,” kataNamib.

    Alnord bangkit dan meyakinkan keduanyabahwa ia sudah bisa berkegiatan kembali.Ketika ia permisi hendak ke kamar mandi,Namib mencegah dan menyuruhnyamembereskan tempat tidur lebih dulu. Memang

  • 79

    dulu biasanya Ember yang melakukannyameskipun sudah menyuruh Alnord setiap hari.Pekerjaan itu sebenarnya mudah, tetapi terasaberat hanya karena bukan kebiasaannya.

    “Dia masih lelah,” kata Dahna. “Sepanjangmalam tak terlelap.”

    “Artinya dia tak disiplin,” kata Namib. “Diaharus belajar menghargai waktu, waktu untukbekerja dan waktu untuk beristirahat. Lebihcepat sedikit, Nak, kau takkan merasakan duadetik yang sama.”

    Dahna menyambar tangan Alnord setelahbocah itu selesai. “Kau yakin kau tak apa-apa?”kata Dahna. Ia mengusap rambut Alnord.“Beristirahatlah kalau kau lelah nanti.Memaksakan diri itu tak baik. Bersihkan diri dibelakang.”

    Alnord mengangguk dan permisi ke kamarmandi. Setelah keluar dari sana, ia dipanggiluntuk bersarapan, sepiring roti bulat. Takseperti roti semalam, roti itu lebih gemuk,padat, dan berisi. Penutupnya susu dombasegar. Baunya lebih sedikit menyengat, tetapiAlnord masih dapat meminumnya. Dari luarNamib berteriak menyuruhnya cepat-cepat,merasa sudah terlambat. Baginya sedetik sajaberharga.

  • 80

    Tepat setelah pintu depan dibuka, rasa dinginlangsung menyergap dan merasuk ke tulang.Alnord merasa lumpuh sesaat. Ia mengusap-usapkan tangan agar terasa lebih hangat.Dengan langit yang masih agak gelap meskipundi ufuk timur sudah ada cahaya jingga, iamelihat Namib sedang mengikat karung berisirempah-rempah. Angin pagi mengantarkanaroma khasnya ke penciuman Alnord. Terasahangat, tetapi membuat hidungnya gatal. Iasampai bersin tiga kali.

    “Mereka bilang panen kali ini menurun,” kataNamib lantang-lantang kepada Dahna serayamembuat simpul tali. “Suhu turun sangatcepat.”

    “Letusan gunung mungkin jadi pengaruhnya,”kata Dahna.

    Alnord berdiam di samping Dahna, tak tahuyang harus ia lakukan. Namib tampak kesulitansaat mengangkat sebuah karung sampaiterbungkuk-bungkuk mengambilnya. Alnordhanya melihat, menunggu perintah Namib. Priaitu menegak dan menatapnya.

    “Ini bukan tontonan.” Namib mengagetkanAlnord. “Bantu aku.”

    Alnord canggung menghampiri, membuat iabingung akan posisi seharusnya ia berdiri.

  • 81

    Namib, dengan telunjuk teracung mengarahkan,menyuruh Alnord berpindah ke depannya. Priaitu memberikan aba-aba dan saat hitunganketiga mereka mengangkat karung itu. Merekamenyeka keringat di dahi setelah karung kelimamasuk ke gerobak. Napas mereka terengah-engah.

    Alnord belum pernah bekerja seberat dansepagi itu. Ia selalu disuruh berhenti biladianggap neneknya sudah terlalu lelah meskipunbelum berkeringat sedikit pun. Baru saja napasAlnord menormal kembali, Namib menyuruhbocah itu mendorong, sedangkan ia menarikgerobak. Dahna melambaikan tangan danmenyerukan agar mereka hati-hati dan ingatmakan siang. Namib menghitung untukmemberi tahu saat Alnord harus mulaimendorong. Awalnya sedikit berat untukbergerak hingga ia harus mendorong sekian kali,tetapi bebannya terasa lebih ringan setelah rodaberputar. Sejak putaran pertama roda, Namibberkoceh-koceh tentang arti kerja keras.

    Tak seperti yang Alnord bayangkan, jalananramai dengan penduduk yang bergerak ke arahyang sama. Ada yang membawa gerobak, adapula yang tidak. Mereka terus bergerak melintasipermukiman yang senada, hanya berbeda

  • 82

    ukuran. Beberapa kali roda gerobak terantukbatu sehingga Alnord ikut terjungkal, tetapiNamib tak memedulikannya. Semakin dekatdengan pasar, semakin ramai orang-orangberkerumun. Suara riuh orang bercuap mulaiterdengar tak beraturan. Namib menyuruhnyalebih cepat sedikit. Sering kali ia memintapermisi dengan suara lantang kepada orang-orang yang menghalangi jalan mereka.

    “Kami menyebut pasar ini dengan Hufukh,”kata Namib.

    Mereka memasuki gerbang sebuah area yangdibatasi dinding setinggi sepuluh kaki. Diatasnya terdapat penutup berupa kain-kain yangmembentuk kubah, tetapi ada beberapa bagianyang terbuka. Jalan yang mereka tempuh sangatteratur karena kios-kios berderet membentukblok-blok kotak.

    “Ada sekitar dua ratusan naisy di sini,” kataNamib ketika mereka berhenti di depan kioskecil yang terlihat tua dan terburuk di antarakios lain. Alnord termangu melihatnya.“Memikirkan kata yang tepat untukmemaparkannya? Ini naisy ketika aku memulaiusahaku. Tak ada waktu untuk termangu. Bantuaku mengangkut karung-karung ini ke dalam.”

  • 83

    Matahari sudah memanjat cakrawala ketikamereka selesai melakukannya. Ternyata didalam setiap karung terdapat beberapa karungyang lebih kecil. Masing-masing berisi jenisrempah yang berbeda. Namib membersihkankotak-kotak dan menumpahkan setiap jenisrempah di kotaknya masing-masing. Baucengkeh, kayu manis, kapulaga, pala, danrempah lainnya tercampur begitu kuat.

    “Aku akan mengajarimu berniaga,” kataNamib setelah selesai. Ia menyuruh bocah ituberdiri di sampingnya. “Perhatikan baik-baik.”

    Alnord diajari membedakan setiap jenisrempah dan semua istilah yang dipergunakandalam perniagaan seperti angka dan ukuranberat dengan bahasa Morgana yang sulit ia ingathingga berkali-kali menghafalkannya sertamenggunakan alat penimbang. Ia diingatkanterus menerus bahwa mengukur berat barangjualan harus teliti karena menurut Namib bedasebutir saja, apalagi sampai merugikanpelanggan, sama saja menodai keadilan.

    “Jikalau kau tak menuruti ucapanku sehinggasalah menakar,” kata Namib setiap kali Alnordmencoba menimbang barang jualan. Itumembuat Alnord hafal kata-kata yang akan

  • 84

    diucapkan setelah itu. “Sangat tercela, pendamsaja tanganmu dalam pasir.”

    Bagi Namib, pelanggan adalah raja sehingga iaberusaha melayani mereka dengan usahaterbaik. Penjual harus tersenyum sebelummenanyakan yang pembeli inginkan. Terakhir,Namib mengingatkan masalah penentuan harga.Bangsa Morgan terbiasa menawar-nawarsebelum membayar dan Namibmemberitahunya etika dalam penawaran.

    “Akhirnya kau sadar kau sudah renta,Namib!” kata seorang pedagang daging diseberang yang sengaja sekali dalam bahasaHeldon agar Alnord mengerti. “Ablangelandangan kau bahkan memanfaatkannya.Bukankah seperti itu nyatanya?”

    Tak semua orang seramah yang Alnordbayangkan saat tarian Baqnur tempo itu.

    “Penuhi saja mulutmu dengan pasir, Ghobi.”Namib bahkan tak menoleh kepadanya, tetapisuaranya sama lantang. “Mulutmu takberfaedah.”

    Namib mengambil segenggam cengkeh danmenghirup aromanya, memastikan parapelanggan akan membawa pulang rempahterbaik. Sepertinya Alnord menjadi daya tarikpembeli di pasar itu. Mereka ingin tahu rasanya

  • 85

    berinteraksi dengan pendatang dari kerajaanlain.

    “Tsashkal qubushqusy Kur, Buqu syaqusy Kur,”kata seorang wanita yang sedang menggenggamcengkeh dan menghirup aromanya.

    Wanita itu berbicara cepat sekali. PikiranAlnord mengulang-ulang kalimat yang wanitaitu ucapkan. Ia menakar rempah yang hendakdibeli secara saksama. Wanita itu bercuap-cuapseperti menanyakan sesuatu kepada Alnordpanjang lebar, Alnord merengut tak mengerti,wanita itu tertawa meledek. Ia hanya mengujiternyata dan ia mengulangi ucapannya dalambahasa yang Alnord mengerti.

    “Apa aku benar menakarnya?” Alnordmenoleh ke belakang. Namib mengiyakandengan cibiran bibir.

    Setelah itu berdatangan banyak wanita. Alnordkewalahan melayani para pembelinya, terutamakarena tak semuanya mengerti bahasa Heldon.Apalagi ketika mereka sudah mulai menawar-nawar, Namib turun tangan untuk masalah itu.Di kerajaan Ablahar bila hendak membelisesuatu, Alnord langsung membayar jumlahharga yang penjual sebutkan tanpa ada tawarmenawar.

  • 86

    “Aku yakin tujuh keturunanmu tak menyesalkau telah membayar dua puluh Qofun untukmemakan rempah-rempah sebagus ini,” kataNamib pada seorang wanita yang Alnord pikirmenawar terlalu rendah.

    Pelanggan demi pelanggan berdatangan dandagangan mereka habis lebih cepat daripadabiasanya.

    “Sesungguhnya aku menjadi orang yangmerugi bila tak mengajakmu kemari,” kataNamib sambil tertawa puas di kursi sambilmencatat perniagaan di bukunya, sedangkanAlnord memijat-mijat pundaknya sendiri.

    Hari-hari berikutnya, itu menjadi rutinitasAlnord. Bahkan Namib mulaimemperlakukannya dengan semena-mena.Semakin hari, semakin berat Alnord bekerja.Lama-lama ia disuruh menarik gerobak,sedangkan Namib mendorong. Hingga padaakhirnya ia diperintah melakukannya sendiri.Dahna memprotes berkali-kali, tetapi Namibyakin Alnord takkan jatuh sakit. Sampai suatuhari, Alnord merasa tak tahan dan ingin diantarke rumah ayahnya. Tentu saja Namib takmengizinkannya. Alnord juga tak mungkinkabur begitu saja. Ia pasti akan tersesat.

  • 87

    Pernah sekali Alnord begitu lelah sehingga iabangun kesiangan. Ketika bangun, ia merasabadannya seperti tak dapat digerakkan. Namibdatang membentaknya. Baginya bangunkesiangan sama saja mengecewakan parapelanggannya. Dahna memaksa Alnord tetapmakan sebelum berangkat dan Alnordmemakannya dengan sangat terburu-buru.Perasaan sebalnya dilampiaskan denganmenghancurkan sarapannya. Ia mengunyahnyadengan brutal. Setelah selesai ia langsungberangkat dan Namib memelototinya di luar.Baru saja Alnord hendak turun untuk segeramenarik gerobak, Dahna memanggilnya.

    “Susumu kau belum meminumnya,” kataDahna seraya memberikan gelas kalengnya.“Susu jadi sumber kekuatan seorang pahlawan,bukankah kau mengetahuinya?”

    Alnord termangu sejenak dengan gelas ditangannya. Ia memandangi Dahna yang saat itumengusap-usap bahunya, menyeka kotoranyang menempel di sana. Ada perasaan anehtimbul di hatinya saat itu, tetapi ia berusahamenyembunyikan itu dari wajahnya. Setelahmeneguk habis susunya, Alnordmengembalikan gelas itu dan segera berbalikmenyusul Namib. Ia tak kuat lagi menahan

  • 88

    perasaannya. Ia tersenyum. Seperti itukahrasanya punya ibu? pikirnya. Hari itu iabersemangat sekali bekerja, sampai membuatNamib heran.

    Semakin hari, semakin banyak pelangganmereka. Ternyata Namib tak sekeras yangAlnord pikir karena pria itu berpikiran untukmempekerjakan seorang lagi. Namib sampaibersumpah demi setiap pasir di gurun akanlangsung menerima orang yang pertamamenanyakan pekerjaan padanya. Merekamenunggu berhari-hari, tetapi tak ada yangdatang untuk itu.

    Alnord sedang beristirahat ketika ia melihatseorang pria yang ia kenal sedang menghampirisatu per satu kios yang ada di pasar. Iamemicing untuk meyakinkan dirinya tak salahlihat. Benar rupanya ketika pria itumenghampiri kios mereka. Egon.

    Alnord terkejut sen