rhinitis

40
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rhinitis didefinisikan sebagai peradangan dari membran hidung yang ditandai dengan gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi beberapa gejala berikut : bersin, hidung tersumbat, hidung gatal dan rinore. Mata, telinga, sinus dan tenggorokan juga dapat terlibat. Rinitis alergi merupakan penyebab tersering dari rinitis. Rinitis alergi adalah peradangan pada membran mukosa hidung, reaksi peradangan yang diperantarai IgE, ditandai dengan obstruksi hidung, sekret hidung cair, bersin-bersin, dan gatal pada hidung dan mata. Rhinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10 – 25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir. Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi 40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada kualitas hidup, bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban sosial-ekonomi, rinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama. Tingkat keparahan rinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup seseorang. Diagnosis rinitis alergi melibatkan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang cermat, lokal dan sistemik khususnya saluran nafas bawah. 1

Upload: chairani-surya-utami

Post on 28-Nov-2015

98 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rhinitis didefinisikan sebagai peradangan dari membran hidung yang ditandai dengan

gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi beberapa gejala berikut : bersin, hidung

tersumbat, hidung gatal dan rinore. Mata, telinga, sinus dan tenggorokan juga dapat

terlibat. Rinitis alergi merupakan penyebab tersering dari rinitis. Rinitis alergi adalah

peradangan pada membran mukosa hidung, reaksi peradangan yang diperantarai IgE,

ditandai dengan obstruksi hidung, sekret hidung cair, bersin-bersin, dan gatal pada hidung

dan mata.

Rhinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10 – 25%

populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir. Rinitis alergi

merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi 40%

anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada kualitas hidup,

bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban sosial-ekonomi,

rinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama. Tingkat keparahan rinitis

alergi diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup seseorang.

Diagnosis rinitis alergi melibatkan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang cermat, lokal

dan sistemik khususnya saluran nafas bawah.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan umum :

Mahasiswa mampu : Menerapkan asuhan keperawatn pada pasien dengan rhinitis.

Tujuan khusus :

Mahasiswa mampu :

1. Melakukan pengkajian

2. Merumuskan diagnosa keperawatan

3. Menerapkan indikator keberhasilan (NOC)

4. Merumuskan intervensi keperawatan

1

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Landasan Teoritis Penyakit

2.1.1 Definisi

Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di

hidung. (Dipiro, 2005 ) Rhinitis alergi Adalah istilah umum yang digunakan untuk

menunjukkan setiap reaksi alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun atau

musiman. (Dorland,2002 ) Rhinitis Alergi adalah inflamasi pada membran mukosa

hidung yang disebabkan oleh adanya alergen yang terhirup yang dapat memicu respon

hipersensitivitas.

Klasifikasi Rhinitis Alergi :

Berdasarkan waktu :

- Seasonal allergic rhinitis (SAR)

Terjadi pada waktu yang sama setiap tahunnya musim bunga, banyak

serbuk sari beterbangan

- Perrenial allergic rhinitis (PAR)

Terjadi setiap saat dalam setahun penyebab utama: debu, animal

dander, jamur, kecoa

- Occupational allergic rhinitis

Terkait dengan pekerjaan

Berdasarkan sifat berlangsung :

- Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, pollinosis)

Hanya ada pada negara dengan 4 musim. Alergen penyebabnya

spesifik, yaitu tepung sari dan spora jamur.

- Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya sifat berlangsungnya yang

berbeda. Gejala rinitis alergi sepanjang tahun timbul terus-menerus

atau intermitten. Meskipun lebih ringan dibandingkan rinitis musiman,

tapi karena lebih persisten, komplikasinya lebih sering ditemukan.

Dapat timbul pada semua golongan umur, terutama anak dan dewasa

muda, namun berkurang dengan bertambahnya umur. Faktor herediter

2

berperan, sedangkan jenis kelamin, golongan etnis, dan ras tidak

berpengaruh (Mansjoer Arif, dkk, 2001).

Berdasarkan fase :

- Immediate Phase Allergic Reaction, Berlangsung sejak kontak dengan

allergen hingga 1 jam setelahnya.

- Late Phase Allergic Reaction, Reaksi yang berlangsung pada dua

hingga empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat

berlangsung hingga 24 jam.

Berdasarkan tingkat keparahan :

- Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran

mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus

dan bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu

waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi

pada awal musim hujan dan musim semi.

- Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa

yang disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena

rinitis vasomotor.

2.1.2 Etiologi

Penyebab tersering adalah alergen inhalan (dewasa) dan ingestan (anak-anak).

Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan

pencernaan. Diperberat oleh faktor non spesifik, seperti asap rokok, bau yang

merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban yang tinggi.

Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi atas:

1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya

debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya

susu, telur, coklat, ikan dan udang.

3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya

penisilin atau sengatan lebah.

4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan

mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

3

Dengan masuknya allergen ke dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi tiga tahap

besar:

1. Respon Primer, terjadi eliminasi dan pemakanan antigen, reaksi non spesifik

2. Respon Sekunder, reaksi yang terjadi spesifik, yang membangkitkan system

humoral, system selular saja atau bisa membangkitkan kedua system terebut,

jika antigen berhasil dihilangkan maka berhenti pada tahap ini, jika antigen

masih ada, karena defek dari ketiga mekanisme system tersebut maka

berlanjut ke respon tersier

3. Respon Tersier , Reaksi imunologik yang tidak meguntungkan

2.1.3 Manifestasi Klinis

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.

Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila

terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme

fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap

patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat

dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar,

2004).

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung

tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air

mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga,

faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam

melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas

menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang

dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau

cair.

Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar

hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran

timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda

faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.

Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge,

Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat

berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan

4

nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah

marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).

2.1.4 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik

a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.

Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test)

sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien

lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita

asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio

Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay

Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan

diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya

eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika

basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika

ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).

b. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,

uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point

Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan

alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.

Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis

inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi

makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis

biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”).

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.

Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada

pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.

2.1.5 Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan

eliminasi.

5

2. Simptomatis

a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang

bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan

merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai

inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam

kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin

generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-

1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak

(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek

kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa

dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan

antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya

boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis

medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma

sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan

obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal

(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan

triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium

bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi

reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

b. Operatif- Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu

dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil

dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau troklor

asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi.

Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody.

Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama

dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

6

2.1.6 Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,

akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan

limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia

skuamosa.

b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para

nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang

menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan

tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan

bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi

barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa

yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah

(Durham, 2006)

2.1.7 WOC

Terlampir.

2.2 Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan

2.2.1 Pengkajian

a. Anamnesa

Identitas

Nama :

Jenis kelamin :

Umur :

Alamat :

Bangsa :

Nomor RM :

Keluhan utama :

Biasanya klien bersin malam hari atau pagi hari terutama pada suhu

udara dingin, saat menyapu lantai/membersihkan tempat tidur.

Hidung tersumbat, keluar ingus encer, menganggu tidur dan aktivitas

lainnya.

7

Riwayat peyakit dahulu :

Pernahkah pasien menderita penyakit THT sebelumnya.

Riwayat keluarga :

Apakah keluarga adanya yang menderita penyakit yang di alami pasien

b. Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic

shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena

sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan

juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian

sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok

oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi

ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka

edema dan sekret yang encer dan banyak..Perlu juga dilihat adanya kelainan

septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.

Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang

berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.

c. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan nasoendoskopi

Pemeriksaan sitologi hidung

Hitung eosinofil pada darah tepi

Uji kulit allergen penyebab

d. Pengkajian 11 Pola Gordon

1. Pola Persepsi & Penanganan Kesehatan

Tanyakan pandangan klien & keluarga tentang penyakit dan

pentingnya kesehatan bagi klien dan keluarga? Apakah klien

merokok / minum alcohol / pernah mengkonsumsi obat obat tertentu ?

apakah ada alergi?

2. Pola Nutrisi & Metabolisme

Kaji Pola nutrisi dan riwayat diet klien. Pola nutrisi dan metabolisme

juga akan mempenagruhi penyakit Rhinitis

3. Pola Eliminasi

Kaji pola miksi dan defekasi klien? Apakah terdapat gelaja inteinensia

kandung kemih, gangguan fungsi usus ? apakah memakai alat bantu?

8

4. Pola Aktivitas Dan Latihan

Perubahan aktifitas biasanya/hobi sehubungan dengan Rhinitis.

5. Pola Istirahat Dan Tidur

Kaji perubahan pola tidur, adanya factor factor yang mempengaruhi

tidur seperti nyeri, cemas.

6. Pola Persepsi – Kognitif

Kaji adanya gangguan aspirasi , perubahan tingkah laku, , Gangguan

adanya gatal dan nyeri, pada musim tertentu menyebabkan bersin,

kesulitan memfokuskan kerja dengan karena gatal-gatal pada bagian

hidung.

7. Pola Persepsi Dan Konsep Diri

Bagaimana pandangan pasien dengan dirinya terkait dengan

penyakitnya? Bagaimana harapan klien terkait dengan penyakitnya?

8. Pola Peran Hubungan

Tanyakan bagaimana fungsi peran klin dalm keluarganya sebelum &

sesudah terkena penyakit Rhinitis, siapa saja system pendukung klien

dan apakah ada masalah dilingkunagn keluarga ataupun social, apakah

Ny.Rina mendapatkan perlakuan khusus didalam keluarga terkait

dengan penyakit yang dideritanya saat ini.

9. Pola Seksualitas

Kaji adanya masalah hubungan dg pasangan, perubahan tk. Kepuasan,

Jika wanita : Kaji pola menstruasi, pemeriksaan payudara.

10. Pola Koping – Toleransi Stres

Kaji perasaan khawatir dan takut, perasaan ketergantungan akibat

adanya kenyamann beraktivitas mempengaruhi harga diri klien , perlu

pengkajian efektifitas teknik koping ketersediaan suport sistem

keluarga atau orang yang berarti

11. Pola Keyakinan – Nilai

Kaji bagaimana pengaruh agama terhadap klien menghadapai

penyakitnya?

9

2.2.2 Aplikasi NANDA, NOC dan NIC pada Klien

NANDA NOC NIC

1. Bersihan jalan napas

tidak efektif

Status Pernafasan :

patensi jalan nafas

Jumlah nafas

Irama pernafasan

Kedalaman nafas

Kemampuan untuk

bersihan sekresi

Ketakutan

Kecemasan

Dypsnuea

Batuk

Akumulasi sputum

PENGATURAN JALAN

NAFAS

Aktivitas:

Posisikan pasien pada posisi

maksimal

tunjukkan posisi dada

bantu klien batuk atau

dengan suksion

Instruksi bagai mana cara

batuk yang efektif

atur cairan yang masuk

untuk keseimbangan cairan

yang optimal

pantau status pernafasan dan

oksigen seperlunya

atur kelembaban udara atau

oksigen seperlunya

MEMANTAU

PERNAFASAN

Aktivasi :

Pantau rata-rata, irama,

kedalaman, dan upaya nafas

Catat pergerakan paru, lihat

kesimetrisannya,

menggunakan otot assesoris,

dan supraclavicular dan

retraksi otot intercostal

Pantau bunyi nafas, seperti

mengik atau ngorok

Pantau pola nafas,

bradpnea,takinea,

10

hiperventilassi, pernafasan

kusmaul, cheyne-stok, dll

Palpasi kesamaan ekspansi

paru Askultasi suara paru

setelah pengobatan

Pantau sekresi pernafasan

pasien Pantau kemampuan

pasien untuk batuk dengan

efektif

Posisikan pasien sesuai

indikasi, untuk mencegah

aspirasi

2. Gangguan pola

tidur berhubungan

dengan penyumbatan

pada hidung

- - Tidur

Klien diharapkan mampu

mengatur sendiri:

Jam tidur

Pola tidur

Kualitas tidur

Efisieensi tidur

Tidur malam

teratur

Merasakan

kesegaran setelah

tidur

Bangun tidur

sesuai waktu

Kenyamanan

tempat tidur

Kenyamanan suhu

ruangan

Tidak ada

kesulitan ketika

- Peningkatan tidur

Intervensi yang dilakukan :

tetapkan pola tidur klien

jelaskan pentingnya tidur

yang cukup selama , sakit,

stres psikologis, dll

tentukan efek dari obat

patien pada pola tidur

monitor pola tidur pasien

dan jumlah jam tidur

monitor pola tidur pasien

dan catat fisik (misalnya,

jalan napas tersumbat,

nyeri / ketidaknyamanan dan

frekuensi kencing)

bantu patient mengatur pola

tidur

bantu eliminasi situasi stres

sebelum tidur

monitor asupan makanan

11

akan tidur

Tidur siang

Ketergantungan

alat bantu ketika

tidur

dan minuman untuk item

yang memfasilitasi atau

mengganggu tidur

3. Cemas

berhubungan

dengan

Kurangnya

Pengetahuan

tentang penyakit.

- Pengontrolan

cemas

Klien diharapkan

mampu :

Monitor intensitas

cemasnya

Berusaha mencar

informasi untuk

menurunkan cemas

Koping saat situasi

stres

Mnggunakan teknik

reelaksasi untuk

menurunkan cemas

Monitor durasi cemas

Monitor persepsi

sensori

Memelihara pola

tidur adekuat

Monitor manifestasi

fisik terhadap cemas

Monitor manifestasi

yang sering terjadi

ketika cemas

Kontrol respon cemas

- Pengurangan cemas

Intervensi yang dilakukan :

Menggunakan pendekatan

yang tenang

Menjelaskan semua

prosedur, termasuk sensasi

mungkin dialami selama prosedur

Berusahalah untuk

memahami perspektif pasien dari

situasi streesful

Memberikan informasi

faktual tentang diagnosis,

pengobatan dan prognosis

Menetapkan dengan pasien

untuk mempromosikan

keselamatan dan mengurangi rasa

takut

Menyediakan

objek yang bias membuat pasien

nyaman

Mendorong aktivitas yang

tidak kompetitif, yang sesuai

Mendengarkan dengan

perhatian

Memperkuat perilaku

Menciptakan suasana untuk

memfasilitasi percaya

12

Mendorong verbalisasi

perasaan, persepsi, dan ketakutan

Mengidentifikasi ketika

tingkat perubahan kecemasan

Menyediakan aktivitas

pengalihan diarahkan pengurangan

ketegangan

Membantu pasien

mengidentifikasi situasi

Kontrol rangsangan, yang sesuai

untuk kebutuhan patien

Mendukung penggunaan

mekanisme pertahanan yang sesuai

Instruksikan pasien pada

penggunaan teknik relaksasi

Memberi obat untuk

mengurangi kecemasan, yang

sesuai

BAB III

ASKEP SESUAI KASUS

13

1.1 Pengkajian

A. Anamnesa

a) Identitas

Nama : Ny. TB

Umur : 36 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : petani

Tanggal masuk RS : 27 Juli 2013 

b) Keluhan Utama :

Pilek kambuh-kambuhan

c) Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poliklinik THT BRSD Wonosobo pada tanggal 27 Juni 2013

dengan keluhan pilek kambuh-kambuhan kurang lebih 10 tahun, memberat 1

bulan ini. Pasien sering bersin-bersin apabila menghirup serbuk bunga salak (mata

pencaharian pasien sebagai petani salak), tetapi dirasakan 1 tahun ini lebih sering

dari sebelum-sebelumnya dan membuat pasien berhenti bekerja. Hidung dirasakan

tersumbat, dan keluar ingus cair. Pasien juga mengeluh di tenggorokan terasa

gatal. Bila pagi hari dan udara dingin pilek dirasakan bertambah, bersin-bersin

juga dikeluhkan bertambah. Pasien tidak demam saat datang ke poliklinik, tetapi

dalam 1 bulan ini kadang-kadang muncul demam. Pasien bolak-balik berobat ke

puskesmas, tetapi tidak mereda.

d) Riwayat Penyakit Dahulu :

Keluhan ini muncul kambuh-kambuhan sejak pasien bekerja di kebun salak

kurang lebih 10 tahun, pasien hanya berobat di puskesmas bila berat. Pasien

belum pernah melakukan tes alergi. Riwayat penyakit asma disangkal pasien.

e) Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada yang menderita penyakit serupa dengan pasien.

B. Pemeriksaan Fisik

a) Keadaan umum :

Pasien tampak pilek keluar ingus dari hidung

b) Kesadaran :

Composmentis

c) Vital Sign :

Tekanan Darah : 130/90 Mmhg 

14

Nadi : 80x/mnt 

RR : 20x/mnt 

T : suhu raba afebris

d) Pemeriksaan lokalis

1) Telinga

Inspeksi :

Bentuk dan ukuran : normal

Benjolan : tidak ada benjolan

Serumen : tidak ada serumen

Edema : tidak ada edema

Hiperemi : tidak

Palpasi :

Nyeri tarik auricular : (-/-)

Pembesaran kelenjar limfe : (-/-)

Membrane tymphani intake + +

Serumen - -

2) Hidung

Inspeksi :

Tidak terdapat kelainan congenital pada hidung

Tidak terdapat jaringan parut dalam hidung

Tidak terdapat deviasi septum

Tampak pembengkakan & hiperemis pada konka hidung

Tidak tampak oedem mukosa

Mukosa hidung hiperemis

Palpasi

Tidak ada nyeri tekan

Tidak ada krepitasi

3) Tenggorokan

Inspeksi  :

Mukosa lidah : dalam batas normal, tidak terdapat

gambaran peta

Mukosa faring : hiperemis (+), granuler (+), oedem (+)

Uvula : di tengah, tidak ada kelainan

Tonsil : tidak membesar, tidak hiperemis

15

Palpasi :

Pembesaran lnn submandibula (-)

Nyeri tekan (-)

4) Pemeriksaan tanda-tanda khas rhinitis alergi:

Allergic shiner : (+)

Allergic salute : (-)

Allergic crease : (-)

Facies adenoid : (-)

Cobblestone appearance : (+)

Geographic tongue : (-)

C. Pemeriksaan penunjang :

a) Pemeriksaan nasoendoskopi

b) Pemeriksaan sitologi hidung

c) Hitung eosinofil pada darah tepi

d) Uji kulit allergen penyebabaa

D. Pengkajian 11 fungsional gordon

1. Pola persepsi dan penganganan kesehatan

Pada saat pengkajian klien hanya tahu bahwa penyakitnya adalah pilek biasa,

tetapi klien juga bingung kenapa pilek yang diderita tak kunjung sembuh

melainkan bertambah parah 1 tahun ini. Klien sering berobat balok balik ke

puskesmas untuk mengobati pilek yang dideritanya.

2. Pola nutrisi dan metabolik

Klien tidak mengalami gangguan pada pola makannya, mual dan muntah tidak

ada di keluhkan.

3. Pola eliminasi

Pola eliminasi kien normal tidak ada ganguan.

4. Pola aktivitas dan latihan

Pola aktivitas klien terganggu karna penyakit yang dideritanya klien kerap

batuk-batuk dan pilek akibat kantak dengan debu, terutama debu serbuk salak.

5. Pola istirahat dan tidur

Pola istirahat dan tidur terganggu karena batuk dan pilek yang dideritanya

akibat alergi, sehingga waktu istirhat dan tidur klien berkurang.

6. Pola persepsi dan kognitif

16

Karena penyakit yang dideritanya, klien sulit memfokuskan diri dalam

menjalankan pekerjaannya. Klien sering mengeluhkan flue/pilek dan bersin-

bersin bertambah pada pagi hari dan cuaca dingin.

7. Pola persepsi dan konsep diri

Klien merasa sedih akan penyakit yang dideritanya karena pekerjaannya saat

ini dapat memperberat penyakitnya. Klien mengaharapkan penyakitnya cepat

sembuh dan tidak kambuh lagi.

8. Pola peran dan hubungan

Klien yang bekerja sebagai petani akan terganggu hubungannya dengan rekan

kerja dan sumber pencahariannya jadi terhambat karena penyakit yang

dideritanya.

9. Pola seksualitas

Siklus mentruasi klien tidak terganggu.

10. Pola koping dan stres

Pasien yang terbuka akan segala hal memudahkannya untuk mentolelir stresor

yang datang sehingga pasien lebih tenang dalam menghadapi penyakitnya,

hanya saja masih timbul rasa khawatir akan kehilangan pekerjaan.

11. Pola keyakin dan nilai

Klien yang beragama islam dan taat beribadah, dengan keadaanya saat ini

klien lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

1.2 NANDA, NOC, NIC

No. Nanda NOC NIC

1 Bersihan Jalan nafas

tidak efektif

Do:

Tekanan Darah :

130/90 Mmhg

Nadi : 80x/mnt

RR : 20x/mnt

suhu raba afebris

ds:

Keadaan pernafasan:

jalan nafas yang jelas

Indikator:

Nilai pernafasan

pada skala yang

ditentukan

Pengeluaran

dahak keluar dari

jalan nafas

Tidak ada demam

Keadaan pernafasan:

Pengaturan jalan nafas

Aktivitas:

Posisikan pasien pada

posisi maksimal

tunjukkan posisi dada

bantu klien batuk atau

dengan suksion

Instruksi bagai mana cara

batuk yang efektif

atur cairan yang masuk

untuk keseimbangan cairan

17

Klien mengeluh

sering bersin ketika

menghirup serbuk

salak

Dirasakan sejak 10

tahun yang lalu

pertukaran gas

Indikator:

Kemudahan

bernafas

Tekanan O2

dalam batas

normal

Tekanan CO2

dalam batas

normal

Keadaan pernafasan:

ventilasi

Nilai pernafasan

pada skala yang

ditentukan

Tingkat

kedalaman

inspirasi

Kemudahan

bernafas

Pengeluaran

dahak dari jalan

nafas

Pengeluaran

udara

Tidak adanya

pengumpulan

nafas melalui

bibir

Tidak adanya

pernafasan

dangkal

Tidak adanya

dyspnea pada saat

yang optimal

pantau status pernafasan

dan oksigen seperlunya

atur kelembaban udara atau

oksigen seperlunya

Pembersihan jalan nafas

tentukan kebutuhan

penyedotan pada mulut

dan/atau trakea.

dengarkan bunyi nafas

sebelum dan sesudah

penyedotan.

informasikan pada pasirn

dan keluarga mengenai

penyedotan tersebut.

Pemberian obat penenang.

lakukan pencegahan

umum: memakai sarung

tangan, kacamata debu, dan

masker.

Memantau Pernafasan

Aktivasi :

Pantau rata-rata, irama,

kedalaman, dan upaya

nafas

Catat pergerakan paru,

lihat kesimetrisannya,

menggunakan otot

assesoris, dan

supraclavicular dan retraksi

otot intercostal

Pantau bunyi nafas, seperti

mengik atau ngorok

Pantau pola nafas,

18

istirahat bradpnea,takinea,

hiperventilassi, pernafasan

kusmaul, cheyne-stok, dll

Palpasi kesamaan ekspansi

paru Askultasi suara paru

setelah pengobatan

Pantau sekresi pernafasan

pasien Pantau kemampuan

pasien untuk batuk dengan

efektif

Posisikan pasien sesuai

indikasi, untuk mencegah

aspirasi

2. Cemas berhubungan

dengan Kurangnya

Pengetahuan tentang

penyakit.

- Pengontrolan

cemas

Klien diharapkan mampu

:

Monitor intensitas

cemasnya

Berusaha mencar

informasi untuk

menurunkan cemas

Koping saat situasi

stres

Mnggunakan teknik

reelaksasi untuk

menurunkan cemas

Monitor durasi

cemas

Monitor persepsi

sensori

Memelihara pola

Pengurangan cemas

Intervensi yang dilakukan :

Menggunakan pendekatan

yang tenang

Menjelaskan semua

prosedur, termasuk sensasi

mungkin dialami selama

prosedur

Berusahalah untuk

memahami perspektif

pasien dari situasi streesful

berikan informasi faktual

tentang diagnosis,

pengobatan dan prognosis

tetapkan dengan pasien

untuk mempromosikan

keselamatan dan

mengurangi rasa takut

sediakan objek yang bisa

19

tidur adekuat

Monitor manifestasi

fisik terhadap cemas

Monitor manifestasi

yang sering terjadi

ketika cemas

Kontrol respon

cemas

membuat pasien nyaman

dengarkan dengan

perhatian

ciptakan suasana untuk

memfasilitasi percaya

identifikasi ketika tingkat

perubahan kecemasan

sediakan aktivitas

pengalihan diarahkan

pengurangan ketegangan

dukung penggunaan

mekanisme pertahanan

yang sesuai

Instruksikan pasien pada

penggunaan teknik

relaksasi

beri obat untuk mengurangi

kecemasan yang sesuai

Pemberian obat penenang

Intervensi yang dilakukan:

Kaji riwayat kesehatan

pasien dan riwayat

pemakaian obat penenang

Tanyakan kepada pasien

atau keluarga tentang

pengalaman pemberian

obat penenang sebelumnya

tinjau ulang tentang

contraindikasi pemberian

obat penenang

Beritahu keluarga dan/atau

pasien tentang efek

pemberian obat penenang

evaluasi tingkatan

20

kesadaran pasien dan

refleks normal sebelum

pemberian obat penenang

3 Gangguan pola tidur

berhubungan dengan

penyumbatan pada

hidung

Data Objektif :

Frekuensi tidur

klien

22.00 – 06.00

Data Subjektif :

Klien

mengatakan

mengaami

kesulitan tidur

karena sulit

bernafas dan

hidung

tersumbat

Pola tidur

sebelummnya

lebih dari 9 jam

- - Tidur

Klien diharapkan mampu

mengatur sendiri:

Jam tidur

Pola tidur

Kualitas tidur

Efisieensi tidur

Tidur malam

teratur

Merasakan

kesegaran setelah

tidur

Bangun tidur

sesuai waktu

Kenyamanan

tempat tidur

Kenyamanan

suhu ruangan

Tidak ada

kesulitan ketika

akan tidur

Peningkatan tidur

Intervensi yang dilakukan :

tetapkan pola tidur klien

jelaskan pentingnya tidur

yang cukup selama , sakit,

stres psikologis, dll

tentukan efek dari obat

patien pada pola tidur

monitor pola tidur pasien

dan jumlah jam tidur

monitor pola tidur pasien

dan catat fisik (misalnya,

jalan napas tersumbat,

nyeri / ketidaknyamanan

dan frekuensi kencing)

bantu patient mengatur

pola tidur

bantu eliminasi situasi stres

sebelum tidur

monitor asupan makanan

dan minuman untuk item

yang memfasilitasi atau

mengganggu tidur

Pemantauan tanda-tanda vital

Intervensi yang dilakukan:

ukur tekanan darah, denyut

nadi, temperature, dan

status pernafasan, jika

diperlukan

21

catat gejala dan turun

naiknya tekanan darah

pantau naik turunnya

tekanan nadi

pantau tingkatan irama

cardiac

pantau suara jantung

teliti kemungkinan

penyebab perubahan tanda-

tanda vital

periksa keakuratan alat

yang digunakan untuk

mendapatkan data pasien

secara periodic

3.1 Sub topik tambahan sesuai kasus (mis: peran perawat pada kasus)

BAB IV

Pembahasan (data senjang)

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen

spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA tahun 2001 rhinitis alergi adalah kelainan pada

hidung degan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung

terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE.

Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi

Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam

22

setelahnya dan Laten Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)

yang berlangsung 2 – 4 jam dengan puncak 6 – 8 jam (fase hipereaktivitas) setelah

pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24 – 48 jam. Pada reaksi ini dilepaskan

berbagai mediator seperti histamine (H), leukotrien (LT), prostaglandin D-2 (PGD-2),

bradikinin (BK), platelet activating factor (PAF) dan lain-lain yang akan menimbulkan

gejala klinis. Pada rhinitis alergi, H, BK, LT dan PAF mengaktifkan sel-sel endotel

pembuluh darah mukosa hidung sehingga terjadi vasodilatasi dan pengumpulan darah,

serta peningkatan permeabilitas vaskuler dan sekresi kelenjar akibat stimulai reflex saraf

kolinergik.

Stimulasi pada reseptor H1 di ujung saraf sensoris menyebabkan gejala bersin-bersin

dan gatal pada hidung. Gejala-gejala tersebut timbul beberapa saat setelah terpapar

allergen. Fase ini disebut respon fase cepat dengan histamine sebagai mediator utama

sehingga preparat anti histamine efektif untuk mengatasi gejala. Gejala dapat berlanjut

sampai 6 – 8 jam kemudian yang timbul akibat aktivitas berbagai mediator, tetapi

histamine bukan pemegang peran utama. Fase ini disebut respon fase lambat dengan

gejala yang menonjol terutama adalah obstruksi hidung. Pada fase ini selain factor

spesifik (allergen), iritasi oleh factor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap

rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembapan yang tinggi. 

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, pasien

didiagnosis menderita rhinitis alergi. Berdasarkan anamnesa, pasien mengeluhkan

keluhan pilek berulang kurang lebih 10 tahun dan memberat sudah 1 bulan ini. Pasien

sering bersin-bersin apabila menghirup serbuk bunga salak, hidung dirasakan tersumbat,

dan keluar ingus cair. Pasien juga mengeluh di tenggorokan terasa gatal. Mata kadang

sampai nrocos. Bila pagi hari dan udara dingin pilek dirasakan semakin parah, bersin-

bersin juga lebih banyak dari biasa. Pasien tidak demam saat datang ke poliklinik, tetapi

dalam 1 bulan ini kadang-kadang muncul demam. 

Pemeriksaan didapat pembengkakan & hiperemis pada konka hidung inferior, mukosa

hidung hiperemis dan terdapat secret serous (encer) berwarna jernih. Pada pasien ini

ditemukan gejala allergic shiner yaitu adanya bayangan gelap di daerah bawah mata yang

terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini biasa muncul pada

anak. Gejala lain yang sering muncul pada anak seperti Allergic salute, Allergic crease,

Facies adenoid dan Geographic tongue tidak ditemukan pada pasien ini. Cobblestone

23

appearance ditemukan pada pasien ini dimana dinding posterior pasien tampak granuler

dan oedem. 

Gejala-gejala pasien muncul apabila terpapar dengan allergen serbuk bunga salak.

Untuk memastikan adanya alergi terhadap factor pencetus ini pasien disarankan untuk

melakukan pemeriksaan tes alergi/ tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang

tunggal atau berseri (Skin End point Titration/ SET) yang sering dilakukan untuk allergen

inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekatannya. 

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Terapi medikamentosa pada pasien ini diberikan

anti histamine non sedative cetirizine, preparat dekongestan oral pseudoefedrin dan

preparat kortikosteroid. Pengobatan baru untuk rhinitis alergi adalah dengan pemberian

anti leukotrien (zafirlukast/ montelukast), anti IgE dan DNA rekombinan. Tindakan

operatif konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty

perlu dipikirkan apabila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan

dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. Pengobatan

imunoterapi diberikan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah

berlangsung lama serta pengobatan lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan

dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE.

BAB V

PENUTUP

a. Kesimpulan

Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung. (Dipiro,

2005 ).

Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. ( Dorland, 2002 )

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :

24

Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu

rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur

Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,

telur, coklat, ikan dan udang

Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau

sengatan lebah

Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,

misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

b. Saran

Penulis sangat membutuhkan saran, demi meningkatkan kwalitas dan mutu makalah yang

kami buat dilain waktu. Sehingga penyusun dapat memberikan informasi yang lebih berguna

untuk penyusun khususnya dan pembaca umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.1 Edisi 15. 2000. Jakarta: EGC

Behrman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.2 Edisi 18. 2000. Jakarta: EGC

Dorland, WA. Newman. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. 2002. Jakarta: EGC

Hassan, rusepno dkk. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 2. 1985. Jakarta: Info Medika

Junadi, purnawan dkk. Kapita Selekta Kedokteran. 1982. Jakarta: Media Aesculapius

25

Long, barbara C. Perawatan Medikal Bedah. 1996. Bandung: Yayasan IAPK Pajajaran

Mansjoer, arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid.1 Edisi 3. 1993. Jakarta : Media

Aesculapius

Price, silvya A. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4. 1995. Jakarta :

EGC

Smeltzer, suzanne C. Keperawatan Medikal Bedah. 2001. Jakarta: EGC

Soepardi, efiaty arsyad. 1997. Telinga-Hidung-Tenggorok. Jakarta : fakultas kedokteran

universitas indonesia

26