rhinitis
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rhinitis didefinisikan sebagai peradangan dari membran hidung yang ditandai dengan
gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi beberapa gejala berikut : bersin, hidung
tersumbat, hidung gatal dan rinore. Mata, telinga, sinus dan tenggorokan juga dapat
terlibat. Rinitis alergi merupakan penyebab tersering dari rinitis. Rinitis alergi adalah
peradangan pada membran mukosa hidung, reaksi peradangan yang diperantarai IgE,
ditandai dengan obstruksi hidung, sekret hidung cair, bersin-bersin, dan gatal pada hidung
dan mata.
Rhinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10 – 25%
populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir. Rinitis alergi
merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi 40%
anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada kualitas hidup,
bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban sosial-ekonomi,
rinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama. Tingkat keparahan rinitis
alergi diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup seseorang.
Diagnosis rinitis alergi melibatkan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang cermat, lokal
dan sistemik khususnya saluran nafas bawah.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan umum :
Mahasiswa mampu : Menerapkan asuhan keperawatn pada pasien dengan rhinitis.
Tujuan khusus :
Mahasiswa mampu :
1. Melakukan pengkajian
2. Merumuskan diagnosa keperawatan
3. Menerapkan indikator keberhasilan (NOC)
4. Merumuskan intervensi keperawatan
1
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Landasan Teoritis Penyakit
2.1.1 Definisi
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di
hidung. (Dipiro, 2005 ) Rhinitis alergi Adalah istilah umum yang digunakan untuk
menunjukkan setiap reaksi alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun atau
musiman. (Dorland,2002 ) Rhinitis Alergi adalah inflamasi pada membran mukosa
hidung yang disebabkan oleh adanya alergen yang terhirup yang dapat memicu respon
hipersensitivitas.
Klasifikasi Rhinitis Alergi :
Berdasarkan waktu :
- Seasonal allergic rhinitis (SAR)
Terjadi pada waktu yang sama setiap tahunnya musim bunga, banyak
serbuk sari beterbangan
- Perrenial allergic rhinitis (PAR)
Terjadi setiap saat dalam setahun penyebab utama: debu, animal
dander, jamur, kecoa
- Occupational allergic rhinitis
Terkait dengan pekerjaan
Berdasarkan sifat berlangsung :
- Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, pollinosis)
Hanya ada pada negara dengan 4 musim. Alergen penyebabnya
spesifik, yaitu tepung sari dan spora jamur.
- Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya sifat berlangsungnya yang
berbeda. Gejala rinitis alergi sepanjang tahun timbul terus-menerus
atau intermitten. Meskipun lebih ringan dibandingkan rinitis musiman,
tapi karena lebih persisten, komplikasinya lebih sering ditemukan.
Dapat timbul pada semua golongan umur, terutama anak dan dewasa
muda, namun berkurang dengan bertambahnya umur. Faktor herediter
2
berperan, sedangkan jenis kelamin, golongan etnis, dan ras tidak
berpengaruh (Mansjoer Arif, dkk, 2001).
Berdasarkan fase :
- Immediate Phase Allergic Reaction, Berlangsung sejak kontak dengan
allergen hingga 1 jam setelahnya.
- Late Phase Allergic Reaction, Reaksi yang berlangsung pada dua
hingga empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat
berlangsung hingga 24 jam.
Berdasarkan tingkat keparahan :
- Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran
mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus
dan bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu
waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi
pada awal musim hujan dan musim semi.
- Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa
yang disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena
rinitis vasomotor.
2.1.2 Etiologi
Penyebab tersering adalah alergen inhalan (dewasa) dan ingestan (anak-anak).
Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan. Diperberat oleh faktor non spesifik, seperti asap rokok, bau yang
merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban yang tinggi.
Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
3
Dengan masuknya allergen ke dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi tiga tahap
besar:
1. Respon Primer, terjadi eliminasi dan pemakanan antigen, reaksi non spesifik
2. Respon Sekunder, reaksi yang terjadi spesifik, yang membangkitkan system
humoral, system selular saja atau bisa membangkitkan kedua system terebut,
jika antigen berhasil dihilangkan maka berhenti pada tahap ini, jika antigen
masih ada, karena defek dari ketiga mekanisme system tersebut maka
berlanjut ke respon tersier
3. Respon Tersier , Reaksi imunologik yang tidak meguntungkan
2.1.3 Manifestasi Klinis
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap
patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar,
2004).
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga,
faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam
melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas
menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang
dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau
cair.
Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran
timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda
faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.
Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge,
Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat
berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan
4
nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah
marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).
2.1.4 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test)
sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien
lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi
makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis
biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada
pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.
2.1.5 Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
5
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang
bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai
inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-
1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak
(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa
dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma
sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan
obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal
(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan
triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium
bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).
b. Operatif- Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau troklor
asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi.
Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody.
Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama
dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).
6
2.1.6 Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan
limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia
skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para
nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan
tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan
bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi
barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa
yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah
(Durham, 2006)
2.1.7 WOC
Terlampir.
2.2 Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
a. Anamnesa
Identitas
Nama :
Jenis kelamin :
Umur :
Alamat :
Bangsa :
Nomor RM :
Keluhan utama :
Biasanya klien bersin malam hari atau pagi hari terutama pada suhu
udara dingin, saat menyapu lantai/membersihkan tempat tidur.
Hidung tersumbat, keluar ingus encer, menganggu tidur dan aktivitas
lainnya.
7
Riwayat peyakit dahulu :
Pernahkah pasien menderita penyakit THT sebelumnya.
Riwayat keluarga :
Apakah keluarga adanya yang menderita penyakit yang di alami pasien
b. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan
juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian
sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok
oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi
ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka
edema dan sekret yang encer dan banyak..Perlu juga dilihat adanya kelainan
septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.
Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan nasoendoskopi
Pemeriksaan sitologi hidung
Hitung eosinofil pada darah tepi
Uji kulit allergen penyebab
d. Pengkajian 11 Pola Gordon
1. Pola Persepsi & Penanganan Kesehatan
Tanyakan pandangan klien & keluarga tentang penyakit dan
pentingnya kesehatan bagi klien dan keluarga? Apakah klien
merokok / minum alcohol / pernah mengkonsumsi obat obat tertentu ?
apakah ada alergi?
2. Pola Nutrisi & Metabolisme
Kaji Pola nutrisi dan riwayat diet klien. Pola nutrisi dan metabolisme
juga akan mempenagruhi penyakit Rhinitis
3. Pola Eliminasi
Kaji pola miksi dan defekasi klien? Apakah terdapat gelaja inteinensia
kandung kemih, gangguan fungsi usus ? apakah memakai alat bantu?
8
4. Pola Aktivitas Dan Latihan
Perubahan aktifitas biasanya/hobi sehubungan dengan Rhinitis.
5. Pola Istirahat Dan Tidur
Kaji perubahan pola tidur, adanya factor factor yang mempengaruhi
tidur seperti nyeri, cemas.
6. Pola Persepsi – Kognitif
Kaji adanya gangguan aspirasi , perubahan tingkah laku, , Gangguan
adanya gatal dan nyeri, pada musim tertentu menyebabkan bersin,
kesulitan memfokuskan kerja dengan karena gatal-gatal pada bagian
hidung.
7. Pola Persepsi Dan Konsep Diri
Bagaimana pandangan pasien dengan dirinya terkait dengan
penyakitnya? Bagaimana harapan klien terkait dengan penyakitnya?
8. Pola Peran Hubungan
Tanyakan bagaimana fungsi peran klin dalm keluarganya sebelum &
sesudah terkena penyakit Rhinitis, siapa saja system pendukung klien
dan apakah ada masalah dilingkunagn keluarga ataupun social, apakah
Ny.Rina mendapatkan perlakuan khusus didalam keluarga terkait
dengan penyakit yang dideritanya saat ini.
9. Pola Seksualitas
Kaji adanya masalah hubungan dg pasangan, perubahan tk. Kepuasan,
Jika wanita : Kaji pola menstruasi, pemeriksaan payudara.
10. Pola Koping – Toleransi Stres
Kaji perasaan khawatir dan takut, perasaan ketergantungan akibat
adanya kenyamann beraktivitas mempengaruhi harga diri klien , perlu
pengkajian efektifitas teknik koping ketersediaan suport sistem
keluarga atau orang yang berarti
11. Pola Keyakinan – Nilai
Kaji bagaimana pengaruh agama terhadap klien menghadapai
penyakitnya?
9
2.2.2 Aplikasi NANDA, NOC dan NIC pada Klien
NANDA NOC NIC
1. Bersihan jalan napas
tidak efektif
Status Pernafasan :
patensi jalan nafas
Jumlah nafas
Irama pernafasan
Kedalaman nafas
Kemampuan untuk
bersihan sekresi
Ketakutan
Kecemasan
Dypsnuea
Batuk
Akumulasi sputum
PENGATURAN JALAN
NAFAS
Aktivitas:
Posisikan pasien pada posisi
maksimal
tunjukkan posisi dada
bantu klien batuk atau
dengan suksion
Instruksi bagai mana cara
batuk yang efektif
atur cairan yang masuk
untuk keseimbangan cairan
yang optimal
pantau status pernafasan dan
oksigen seperlunya
atur kelembaban udara atau
oksigen seperlunya
MEMANTAU
PERNAFASAN
Aktivasi :
Pantau rata-rata, irama,
kedalaman, dan upaya nafas
Catat pergerakan paru, lihat
kesimetrisannya,
menggunakan otot assesoris,
dan supraclavicular dan
retraksi otot intercostal
Pantau bunyi nafas, seperti
mengik atau ngorok
Pantau pola nafas,
bradpnea,takinea,
10
hiperventilassi, pernafasan
kusmaul, cheyne-stok, dll
Palpasi kesamaan ekspansi
paru Askultasi suara paru
setelah pengobatan
Pantau sekresi pernafasan
pasien Pantau kemampuan
pasien untuk batuk dengan
efektif
Posisikan pasien sesuai
indikasi, untuk mencegah
aspirasi
2. Gangguan pola
tidur berhubungan
dengan penyumbatan
pada hidung
- - Tidur
Klien diharapkan mampu
mengatur sendiri:
Jam tidur
Pola tidur
Kualitas tidur
Efisieensi tidur
Tidur malam
teratur
Merasakan
kesegaran setelah
tidur
Bangun tidur
sesuai waktu
Kenyamanan
tempat tidur
Kenyamanan suhu
ruangan
Tidak ada
kesulitan ketika
- Peningkatan tidur
Intervensi yang dilakukan :
tetapkan pola tidur klien
jelaskan pentingnya tidur
yang cukup selama , sakit,
stres psikologis, dll
tentukan efek dari obat
patien pada pola tidur
monitor pola tidur pasien
dan jumlah jam tidur
monitor pola tidur pasien
dan catat fisik (misalnya,
jalan napas tersumbat,
nyeri / ketidaknyamanan dan
frekuensi kencing)
bantu patient mengatur pola
tidur
bantu eliminasi situasi stres
sebelum tidur
monitor asupan makanan
11
akan tidur
Tidur siang
Ketergantungan
alat bantu ketika
tidur
dan minuman untuk item
yang memfasilitasi atau
mengganggu tidur
3. Cemas
berhubungan
dengan
Kurangnya
Pengetahuan
tentang penyakit.
- Pengontrolan
cemas
Klien diharapkan
mampu :
Monitor intensitas
cemasnya
Berusaha mencar
informasi untuk
menurunkan cemas
Koping saat situasi
stres
Mnggunakan teknik
reelaksasi untuk
menurunkan cemas
Monitor durasi cemas
Monitor persepsi
sensori
Memelihara pola
tidur adekuat
Monitor manifestasi
fisik terhadap cemas
Monitor manifestasi
yang sering terjadi
ketika cemas
Kontrol respon cemas
- Pengurangan cemas
Intervensi yang dilakukan :
Menggunakan pendekatan
yang tenang
Menjelaskan semua
prosedur, termasuk sensasi
mungkin dialami selama prosedur
Berusahalah untuk
memahami perspektif pasien dari
situasi streesful
Memberikan informasi
faktual tentang diagnosis,
pengobatan dan prognosis
Menetapkan dengan pasien
untuk mempromosikan
keselamatan dan mengurangi rasa
takut
Menyediakan
objek yang bias membuat pasien
nyaman
Mendorong aktivitas yang
tidak kompetitif, yang sesuai
Mendengarkan dengan
perhatian
Memperkuat perilaku
Menciptakan suasana untuk
memfasilitasi percaya
12
Mendorong verbalisasi
perasaan, persepsi, dan ketakutan
Mengidentifikasi ketika
tingkat perubahan kecemasan
Menyediakan aktivitas
pengalihan diarahkan pengurangan
ketegangan
Membantu pasien
mengidentifikasi situasi
Kontrol rangsangan, yang sesuai
untuk kebutuhan patien
Mendukung penggunaan
mekanisme pertahanan yang sesuai
Instruksikan pasien pada
penggunaan teknik relaksasi
Memberi obat untuk
mengurangi kecemasan, yang
sesuai
BAB III
ASKEP SESUAI KASUS
13
1.1 Pengkajian
A. Anamnesa
a) Identitas
Nama : Ny. TB
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : petani
Tanggal masuk RS : 27 Juli 2013
b) Keluhan Utama :
Pilek kambuh-kambuhan
c) Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poliklinik THT BRSD Wonosobo pada tanggal 27 Juni 2013
dengan keluhan pilek kambuh-kambuhan kurang lebih 10 tahun, memberat 1
bulan ini. Pasien sering bersin-bersin apabila menghirup serbuk bunga salak (mata
pencaharian pasien sebagai petani salak), tetapi dirasakan 1 tahun ini lebih sering
dari sebelum-sebelumnya dan membuat pasien berhenti bekerja. Hidung dirasakan
tersumbat, dan keluar ingus cair. Pasien juga mengeluh di tenggorokan terasa
gatal. Bila pagi hari dan udara dingin pilek dirasakan bertambah, bersin-bersin
juga dikeluhkan bertambah. Pasien tidak demam saat datang ke poliklinik, tetapi
dalam 1 bulan ini kadang-kadang muncul demam. Pasien bolak-balik berobat ke
puskesmas, tetapi tidak mereda.
d) Riwayat Penyakit Dahulu :
Keluhan ini muncul kambuh-kambuhan sejak pasien bekerja di kebun salak
kurang lebih 10 tahun, pasien hanya berobat di puskesmas bila berat. Pasien
belum pernah melakukan tes alergi. Riwayat penyakit asma disangkal pasien.
e) Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada yang menderita penyakit serupa dengan pasien.
B. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum :
Pasien tampak pilek keluar ingus dari hidung
b) Kesadaran :
Composmentis
c) Vital Sign :
Tekanan Darah : 130/90 Mmhg
14
Nadi : 80x/mnt
RR : 20x/mnt
T : suhu raba afebris
d) Pemeriksaan lokalis
1) Telinga
Inspeksi :
Bentuk dan ukuran : normal
Benjolan : tidak ada benjolan
Serumen : tidak ada serumen
Edema : tidak ada edema
Hiperemi : tidak
Palpasi :
Nyeri tarik auricular : (-/-)
Pembesaran kelenjar limfe : (-/-)
Membrane tymphani intake + +
Serumen - -
2) Hidung
Inspeksi :
Tidak terdapat kelainan congenital pada hidung
Tidak terdapat jaringan parut dalam hidung
Tidak terdapat deviasi septum
Tampak pembengkakan & hiperemis pada konka hidung
Tidak tampak oedem mukosa
Mukosa hidung hiperemis
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan
Tidak ada krepitasi
3) Tenggorokan
Inspeksi :
Mukosa lidah : dalam batas normal, tidak terdapat
gambaran peta
Mukosa faring : hiperemis (+), granuler (+), oedem (+)
Uvula : di tengah, tidak ada kelainan
Tonsil : tidak membesar, tidak hiperemis
15
Palpasi :
Pembesaran lnn submandibula (-)
Nyeri tekan (-)
4) Pemeriksaan tanda-tanda khas rhinitis alergi:
Allergic shiner : (+)
Allergic salute : (-)
Allergic crease : (-)
Facies adenoid : (-)
Cobblestone appearance : (+)
Geographic tongue : (-)
C. Pemeriksaan penunjang :
a) Pemeriksaan nasoendoskopi
b) Pemeriksaan sitologi hidung
c) Hitung eosinofil pada darah tepi
d) Uji kulit allergen penyebabaa
D. Pengkajian 11 fungsional gordon
1. Pola persepsi dan penganganan kesehatan
Pada saat pengkajian klien hanya tahu bahwa penyakitnya adalah pilek biasa,
tetapi klien juga bingung kenapa pilek yang diderita tak kunjung sembuh
melainkan bertambah parah 1 tahun ini. Klien sering berobat balok balik ke
puskesmas untuk mengobati pilek yang dideritanya.
2. Pola nutrisi dan metabolik
Klien tidak mengalami gangguan pada pola makannya, mual dan muntah tidak
ada di keluhkan.
3. Pola eliminasi
Pola eliminasi kien normal tidak ada ganguan.
4. Pola aktivitas dan latihan
Pola aktivitas klien terganggu karna penyakit yang dideritanya klien kerap
batuk-batuk dan pilek akibat kantak dengan debu, terutama debu serbuk salak.
5. Pola istirahat dan tidur
Pola istirahat dan tidur terganggu karena batuk dan pilek yang dideritanya
akibat alergi, sehingga waktu istirhat dan tidur klien berkurang.
6. Pola persepsi dan kognitif
16
Karena penyakit yang dideritanya, klien sulit memfokuskan diri dalam
menjalankan pekerjaannya. Klien sering mengeluhkan flue/pilek dan bersin-
bersin bertambah pada pagi hari dan cuaca dingin.
7. Pola persepsi dan konsep diri
Klien merasa sedih akan penyakit yang dideritanya karena pekerjaannya saat
ini dapat memperberat penyakitnya. Klien mengaharapkan penyakitnya cepat
sembuh dan tidak kambuh lagi.
8. Pola peran dan hubungan
Klien yang bekerja sebagai petani akan terganggu hubungannya dengan rekan
kerja dan sumber pencahariannya jadi terhambat karena penyakit yang
dideritanya.
9. Pola seksualitas
Siklus mentruasi klien tidak terganggu.
10. Pola koping dan stres
Pasien yang terbuka akan segala hal memudahkannya untuk mentolelir stresor
yang datang sehingga pasien lebih tenang dalam menghadapi penyakitnya,
hanya saja masih timbul rasa khawatir akan kehilangan pekerjaan.
11. Pola keyakin dan nilai
Klien yang beragama islam dan taat beribadah, dengan keadaanya saat ini
klien lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
1.2 NANDA, NOC, NIC
No. Nanda NOC NIC
1 Bersihan Jalan nafas
tidak efektif
Do:
Tekanan Darah :
130/90 Mmhg
Nadi : 80x/mnt
RR : 20x/mnt
suhu raba afebris
ds:
Keadaan pernafasan:
jalan nafas yang jelas
Indikator:
Nilai pernafasan
pada skala yang
ditentukan
Pengeluaran
dahak keluar dari
jalan nafas
Tidak ada demam
Keadaan pernafasan:
Pengaturan jalan nafas
Aktivitas:
Posisikan pasien pada
posisi maksimal
tunjukkan posisi dada
bantu klien batuk atau
dengan suksion
Instruksi bagai mana cara
batuk yang efektif
atur cairan yang masuk
untuk keseimbangan cairan
17
Klien mengeluh
sering bersin ketika
menghirup serbuk
salak
Dirasakan sejak 10
tahun yang lalu
pertukaran gas
Indikator:
Kemudahan
bernafas
Tekanan O2
dalam batas
normal
Tekanan CO2
dalam batas
normal
Keadaan pernafasan:
ventilasi
Nilai pernafasan
pada skala yang
ditentukan
Tingkat
kedalaman
inspirasi
Kemudahan
bernafas
Pengeluaran
dahak dari jalan
nafas
Pengeluaran
udara
Tidak adanya
pengumpulan
nafas melalui
bibir
Tidak adanya
pernafasan
dangkal
Tidak adanya
dyspnea pada saat
yang optimal
pantau status pernafasan
dan oksigen seperlunya
atur kelembaban udara atau
oksigen seperlunya
Pembersihan jalan nafas
tentukan kebutuhan
penyedotan pada mulut
dan/atau trakea.
dengarkan bunyi nafas
sebelum dan sesudah
penyedotan.
informasikan pada pasirn
dan keluarga mengenai
penyedotan tersebut.
Pemberian obat penenang.
lakukan pencegahan
umum: memakai sarung
tangan, kacamata debu, dan
masker.
Memantau Pernafasan
Aktivasi :
Pantau rata-rata, irama,
kedalaman, dan upaya
nafas
Catat pergerakan paru,
lihat kesimetrisannya,
menggunakan otot
assesoris, dan
supraclavicular dan retraksi
otot intercostal
Pantau bunyi nafas, seperti
mengik atau ngorok
Pantau pola nafas,
18
istirahat bradpnea,takinea,
hiperventilassi, pernafasan
kusmaul, cheyne-stok, dll
Palpasi kesamaan ekspansi
paru Askultasi suara paru
setelah pengobatan
Pantau sekresi pernafasan
pasien Pantau kemampuan
pasien untuk batuk dengan
efektif
Posisikan pasien sesuai
indikasi, untuk mencegah
aspirasi
2. Cemas berhubungan
dengan Kurangnya
Pengetahuan tentang
penyakit.
- Pengontrolan
cemas
Klien diharapkan mampu
:
Monitor intensitas
cemasnya
Berusaha mencar
informasi untuk
menurunkan cemas
Koping saat situasi
stres
Mnggunakan teknik
reelaksasi untuk
menurunkan cemas
Monitor durasi
cemas
Monitor persepsi
sensori
Memelihara pola
Pengurangan cemas
Intervensi yang dilakukan :
Menggunakan pendekatan
yang tenang
Menjelaskan semua
prosedur, termasuk sensasi
mungkin dialami selama
prosedur
Berusahalah untuk
memahami perspektif
pasien dari situasi streesful
berikan informasi faktual
tentang diagnosis,
pengobatan dan prognosis
tetapkan dengan pasien
untuk mempromosikan
keselamatan dan
mengurangi rasa takut
sediakan objek yang bisa
19
tidur adekuat
Monitor manifestasi
fisik terhadap cemas
Monitor manifestasi
yang sering terjadi
ketika cemas
Kontrol respon
cemas
membuat pasien nyaman
dengarkan dengan
perhatian
ciptakan suasana untuk
memfasilitasi percaya
identifikasi ketika tingkat
perubahan kecemasan
sediakan aktivitas
pengalihan diarahkan
pengurangan ketegangan
dukung penggunaan
mekanisme pertahanan
yang sesuai
Instruksikan pasien pada
penggunaan teknik
relaksasi
beri obat untuk mengurangi
kecemasan yang sesuai
Pemberian obat penenang
Intervensi yang dilakukan:
Kaji riwayat kesehatan
pasien dan riwayat
pemakaian obat penenang
Tanyakan kepada pasien
atau keluarga tentang
pengalaman pemberian
obat penenang sebelumnya
tinjau ulang tentang
contraindikasi pemberian
obat penenang
Beritahu keluarga dan/atau
pasien tentang efek
pemberian obat penenang
evaluasi tingkatan
20
kesadaran pasien dan
refleks normal sebelum
pemberian obat penenang
3 Gangguan pola tidur
berhubungan dengan
penyumbatan pada
hidung
Data Objektif :
Frekuensi tidur
klien
22.00 – 06.00
Data Subjektif :
Klien
mengatakan
mengaami
kesulitan tidur
karena sulit
bernafas dan
hidung
tersumbat
Pola tidur
sebelummnya
lebih dari 9 jam
- - Tidur
Klien diharapkan mampu
mengatur sendiri:
Jam tidur
Pola tidur
Kualitas tidur
Efisieensi tidur
Tidur malam
teratur
Merasakan
kesegaran setelah
tidur
Bangun tidur
sesuai waktu
Kenyamanan
tempat tidur
Kenyamanan
suhu ruangan
Tidak ada
kesulitan ketika
akan tidur
Peningkatan tidur
Intervensi yang dilakukan :
tetapkan pola tidur klien
jelaskan pentingnya tidur
yang cukup selama , sakit,
stres psikologis, dll
tentukan efek dari obat
patien pada pola tidur
monitor pola tidur pasien
dan jumlah jam tidur
monitor pola tidur pasien
dan catat fisik (misalnya,
jalan napas tersumbat,
nyeri / ketidaknyamanan
dan frekuensi kencing)
bantu patient mengatur
pola tidur
bantu eliminasi situasi stres
sebelum tidur
monitor asupan makanan
dan minuman untuk item
yang memfasilitasi atau
mengganggu tidur
Pemantauan tanda-tanda vital
Intervensi yang dilakukan:
ukur tekanan darah, denyut
nadi, temperature, dan
status pernafasan, jika
diperlukan
21
catat gejala dan turun
naiknya tekanan darah
pantau naik turunnya
tekanan nadi
pantau tingkatan irama
cardiac
pantau suara jantung
teliti kemungkinan
penyebab perubahan tanda-
tanda vital
periksa keakuratan alat
yang digunakan untuk
mendapatkan data pasien
secara periodic
3.1 Sub topik tambahan sesuai kasus (mis: peran perawat pada kasus)
BAB IV
Pembahasan (data senjang)
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen
spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA tahun 2001 rhinitis alergi adalah kelainan pada
hidung degan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE.
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam
22
setelahnya dan Laten Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)
yang berlangsung 2 – 4 jam dengan puncak 6 – 8 jam (fase hipereaktivitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24 – 48 jam. Pada reaksi ini dilepaskan
berbagai mediator seperti histamine (H), leukotrien (LT), prostaglandin D-2 (PGD-2),
bradikinin (BK), platelet activating factor (PAF) dan lain-lain yang akan menimbulkan
gejala klinis. Pada rhinitis alergi, H, BK, LT dan PAF mengaktifkan sel-sel endotel
pembuluh darah mukosa hidung sehingga terjadi vasodilatasi dan pengumpulan darah,
serta peningkatan permeabilitas vaskuler dan sekresi kelenjar akibat stimulai reflex saraf
kolinergik.
Stimulasi pada reseptor H1 di ujung saraf sensoris menyebabkan gejala bersin-bersin
dan gatal pada hidung. Gejala-gejala tersebut timbul beberapa saat setelah terpapar
allergen. Fase ini disebut respon fase cepat dengan histamine sebagai mediator utama
sehingga preparat anti histamine efektif untuk mengatasi gejala. Gejala dapat berlanjut
sampai 6 – 8 jam kemudian yang timbul akibat aktivitas berbagai mediator, tetapi
histamine bukan pemegang peran utama. Fase ini disebut respon fase lambat dengan
gejala yang menonjol terutama adalah obstruksi hidung. Pada fase ini selain factor
spesifik (allergen), iritasi oleh factor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap
rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembapan yang tinggi.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosis menderita rhinitis alergi. Berdasarkan anamnesa, pasien mengeluhkan
keluhan pilek berulang kurang lebih 10 tahun dan memberat sudah 1 bulan ini. Pasien
sering bersin-bersin apabila menghirup serbuk bunga salak, hidung dirasakan tersumbat,
dan keluar ingus cair. Pasien juga mengeluh di tenggorokan terasa gatal. Mata kadang
sampai nrocos. Bila pagi hari dan udara dingin pilek dirasakan semakin parah, bersin-
bersin juga lebih banyak dari biasa. Pasien tidak demam saat datang ke poliklinik, tetapi
dalam 1 bulan ini kadang-kadang muncul demam.
Pemeriksaan didapat pembengkakan & hiperemis pada konka hidung inferior, mukosa
hidung hiperemis dan terdapat secret serous (encer) berwarna jernih. Pada pasien ini
ditemukan gejala allergic shiner yaitu adanya bayangan gelap di daerah bawah mata yang
terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini biasa muncul pada
anak. Gejala lain yang sering muncul pada anak seperti Allergic salute, Allergic crease,
Facies adenoid dan Geographic tongue tidak ditemukan pada pasien ini. Cobblestone
23
appearance ditemukan pada pasien ini dimana dinding posterior pasien tampak granuler
dan oedem.
Gejala-gejala pasien muncul apabila terpapar dengan allergen serbuk bunga salak.
Untuk memastikan adanya alergi terhadap factor pencetus ini pasien disarankan untuk
melakukan pemeriksaan tes alergi/ tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang
tunggal atau berseri (Skin End point Titration/ SET) yang sering dilakukan untuk allergen
inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya.
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Terapi medikamentosa pada pasien ini diberikan
anti histamine non sedative cetirizine, preparat dekongestan oral pseudoefedrin dan
preparat kortikosteroid. Pengobatan baru untuk rhinitis alergi adalah dengan pemberian
anti leukotrien (zafirlukast/ montelukast), anti IgE dan DNA rekombinan. Tindakan
operatif konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty
perlu dipikirkan apabila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. Pengobatan
imunoterapi diberikan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama serta pengobatan lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan
dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE.
BAB V
PENUTUP
a. Kesimpulan
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung. (Dipiro,
2005 ).
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. ( Dorland, 2002 )
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :
24
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
b. Saran
Penulis sangat membutuhkan saran, demi meningkatkan kwalitas dan mutu makalah yang
kami buat dilain waktu. Sehingga penyusun dapat memberikan informasi yang lebih berguna
untuk penyusun khususnya dan pembaca umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.1 Edisi 15. 2000. Jakarta: EGC
Behrman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.2 Edisi 18. 2000. Jakarta: EGC
Dorland, WA. Newman. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. 2002. Jakarta: EGC
Hassan, rusepno dkk. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 2. 1985. Jakarta: Info Medika
Junadi, purnawan dkk. Kapita Selekta Kedokteran. 1982. Jakarta: Media Aesculapius
25
Long, barbara C. Perawatan Medikal Bedah. 1996. Bandung: Yayasan IAPK Pajajaran
Mansjoer, arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid.1 Edisi 3. 1993. Jakarta : Media
Aesculapius
Price, silvya A. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4. 1995. Jakarta :
EGC
Smeltzer, suzanne C. Keperawatan Medikal Bedah. 2001. Jakarta: EGC
Soepardi, efiaty arsyad. 1997. Telinga-Hidung-Tenggorok. Jakarta : fakultas kedokteran
universitas indonesia
26