proposal dita (uji daya antibakteri ekstrak daun tapak liman)
TRANSCRIPT
1
USULAN PENELITIAN
Uji Daya Antibakteri Ekstrak Daun Tapak Liman (Elephantopus scaber L.) terhadap Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi
Oleh:
Dita Monalisa
3425072033
PROGRAM STUDI BIOLOGI
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia telah mengenal dan
menggunakan tanaman sebagai obat. Kemampuan meracik tumbuhan
berkhasiat obat biasanya didapat berdasarkan pengalaman yang
diwariskan secara turun-temurun. Umumnya obat tradisional digunakan
dengan cara direbus, dimakan langsung, ataupun diperas untuk diambil
sarinya.
Pemanfaatan bahan alam sebagai obat cenderung mengalami
peningkatan dengan adanya kesadaran untuk kembali ke alam (back to
nature) untuk mencapai kesehatan yang optimal. Menurut Sugianti
(2005), keuntungan penggunaan tanaman sebagai obat tradisional antara
lain relatif lebih aman, mudah diperoleh, tidak menimbulkan resistensi,
dan relatif tidak berbahaya terhadap lingkungan sekitarnya. Obat
tradisional memiliki efek samping yang jauh lebih rendah tingkat
bahayanya dibandingkan obat-obatan modern, sehingga tubuh manusia
relatif lebih mudah menerimanya.
Tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional bisa berupa
buah, sayur mayur, bumbu dapur, tanaman hias dan bahkan tanaman liar
yang tumbuh di sembarang tempat. Salah satu tanaman yang dapat
3
dipakai sebagai obat tradisional adalah tapak liman (Elephantopus scaber
L.). Tapak liman merupakan salah satu tanaman liar yang mudah tumbuh
di daerah tropis. Semua bagian tanaman ini dapat digunakan sebagai
pengobatan (Ho et al., 2009). Daun tapak liman memiliki beberapa
kandungan kimia yang berperan sebagai senyawa antibakteri seperti
terpenoid dan flavonoid. Masyarakat pada umumnya menggunakan daun
tapak liman untuk menyembuhkan penyakit infeksi bakteri seperti
demam, sariawan, radang rahim, pneunomia, disentri dan diare (Singh et
al., 2009; Ahmad et al., 2009: Ambasta, 1986 lihat: Prusti et al. 2008; Ho
et al., 2009).
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan global
baik di negara maju dan terlebih di negara berkembang seperti Indonesia.
Data statistik menunjukkan bahwa penyakit infeksi sebagai penyebab
kematian kedua di negara berkembang setelah penyakit jantung
(Perdana, 2010). Salah satu penyakit infeksi yang masih sering
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak
dalam waktu yang singkat adalah diare. Menurut Zein et al. (2004),
tingginya kejadian diare ini baik di negara maju maupun berkembang
disebabkan antara lain oleh Salmonella typhi (S. typhi) dan
Staphylococcus aureus (S. aureus). Selain itu, S. aureus dapat
menyebabkan penyakit pneumonia, meningitis, endokarditis dan infeksi
kulit (Willey et al., 2008; Ambarwati, 2007). Sedangkan S. typhi
4
merupakan penyebab demam enterik (demam thypoid) (Brooks et al.,
2005; Ambarwati, 2007).
Sehubungan dengan adanya indikasi bahwa tapak liman
mempunyai daya antibakteri serta belum diketahui lebih lanjut mengenai
efek antibakteri ekstrak daun tapak liman, maka perlu dilakukan penelitian
tentang daya antibakteri ekstrak daun tapak liman. Pada penelitian ini
akan dilakukan pengujian daya antibakterinya terhadap S. aureus dan S.
typhi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya antibakteri ekstrak
daun tapak liman (Elephantopus scaber L.) terhadap S. aureus yang
mewakili bakteri gram positif dan S. typhi yang mewakili bakteri gram
negatif. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi
informasi dasar penggunaan tapak liman sebagai alternatif obat
antibakteri secara tradisional maupun modern.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian yaitu:
1. Apakah ekstrak daun tapak liman (Elephantopus scaber L.)
mempunyai daya antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan
Salmonella typhi?
2. Berapakah konsentrasi ekstrak daun tapak liman (Elephantopus
5
scaber L.) yang efektif sebagai antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Mengetahui ada atau tidaknya daya antibakteri dari ekstrak daun
tapak liman (Elephantopus scaber L.) terhadap Staphylococcus
aureus dan Salmonella typhi.
2. Menentukan konsentrasi ekstrak daun tapak liman (Elephantopus
scaber L.) yang efektif sebagai antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dasar
tentang penggunaan daun tapak liman sebagai salah satu alternatif
pengobatan penyakit infeksi, khususnya yang disebabkan oleh bakteri
Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi. Sehingga dapat menjadi
salah satu upaya pengembangan dan pelestarian obat tradisonal.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR,
DAN PERUMUSAN MASALAH
A. Tinjauan Pustaka
1. Bahan Antibakteri
Mikroorganisme dapat dibunuh atau dihambat pertumbuhannya
secara fisika atau kimia. Bahan kimia yang mengganggu pertumbuhan
dan metabolisme mikroba disebut bahan antimikroba. Mikroba yang
dimaksudkan bisa berupa bakteri, fungi, virus, dan protozoa. Dalam
penggunaan umum, istilah antimikroba menyatakan penghambatan
pertumbuhan, dan bila dimaksudkan untuk kelompok-kelompok
organisme yang khusus, maka seringkali digunakan istilah-istilah seperti
antibakteri atau antifungi (Pelczar & Chan, 1988).
Bahan antibakteri adalah obat atau senyawa yang digunakan
untuk membunuh bakteri patogen yang merugikan manusia ataupun
senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri tersebut dalam
konsentrasi yang cukup rendah untuk menghindari kerusakan yang tidak
diinginkan terhadap inangnya (Willey et al., 2008). Bahan antibakteri
tersebut dapat bersifat bakteriostatik yang dapat menghambat
7
pertumbuhan bakteri atau bersifat bakterisida yang dapat mematikan
bentuk-bentuk vegetatif bakteri (Pelczar & Chan, 1988).
Antimikroba yang ideal harus menunjukkan sifat toksisitas selektif,
yaitu harus membunuh atau menghambat bakteri patogen dan tidak
membahayakan inangnya serta harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut (Willey et al., 2008; Brooks et al., 2005):
a. Mempunyai kemampuan untuk mematikan atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme yang luas (broad spectrum antibiotic).
b. Tidak menimbulkan terjadinya resistensi dari mikroorganisme
patogen.
c. Tidak menimbulkan efek samping (side effect) yang buruk pada
tubuh, seperti reaksi alergi, kerusakan syaraf, iritasi lambung, dan
sebagainya.
d. Tidak mengganggu keseimbangan flora normal tubuh seperti flora
usus atau flora kulit.
Aktivitas bahan antibakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti konsentrasi bahan, pH, komposisi media, suhu, jenis bakteri
target, ukuran populasi mikroba dan lamanya kontak untuk
memperkirakan keefektifan antibakteri (Pelczar & Chan, 1988).
Mekanisme kerja bahan antimikroba dapat dikelompokkan menjadi empat
kelompok utama, yaitu:
8
a. Penghambatan terhadap sintesis dinding sel
Dinding sel bakteri berisi polimer mukopeptida kompleks
(peptidoglikan) yang secara kimia berisi polisakarida dan campuran rantai
polipeptida yang tinggi, polisakarida ini berisi gula amino N-
acetylglucosamine dan asam acetylmuramic (hanya ditemui pada
bakteri). Dinding sel berfungsi mempertahankan bentuk mikroorganisme
dan pelindung sel bakteri, yang mempunyai tekanan osmotik internal
yang tinggi 3-5 kali lebih besar pada bakteri gram-positif daripada bakteri
gram-negatif (Brooks et al., 2005). Struktur dinding sel dapat dirusak
dengan cara menghambat pembentukannya atau mengubahnya setelah
selesai terbentuk (Pelczar & Chan, 1988). Trauma pada dinding sel atau
penghambatan dalam pembentukan dinding sel tersebut dapat
menimbulkan lisis pada sel (Brooks et al., 2005).
b. Penghambatan terhadap fungsi membran sel
Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh membran sitoplasma,
yang berperan sebagai pembatas permeabilitas selektif, memiliki fungsi
transport aktif, dan kemudian mengontrol komposisi internal sel. Jika
fungsi integritas dari membran sitoplasma dirusak akan menyebabkan
keluarnya makromolekul dan ion dari sel, kemudian sel rusak atau terjadi
kematian. Jadi, kerusakan struktur ini akan menghambat atau merusak
kemampuan membran sel yang bertindak sebagai penghalang osmosis
dan juga mencegah berlangsungnya sejumlah biosintesis yang perlu di
dalam membran (Volk & Wheeler, 1988). Membran sitoplasma bakteri
9
dan fungi mempunyai struktur yang berbeda dibanding sel binatang dan
dapat dengan mudah dikacaukan oleh agen tertentu. Oleh sebab itu,
kemoterapi selektif adalah hal yang memungkinkan (Brooks et al., 2005).
c. Penghambatan terhadap sintesis protein
DNA, RNA dan protein memegang peranan sangat penting di
dalam proses kehidupan normal sel. Hal ini berarti bahwa gangguan
apapun yang terjadi pada pembentukan atau pada fungsi zat-zat tersebut
dapat mengakibatkan penghentian sintesis protein dan kematian sel pada
akhirnya (Volk & Wheeler, 1988). Bakteri mempunyai 70S ribosom,
sedangkan sel mamalia mempunyai 80S ribosom yang mempunyai
komposisi kimia dan spesifikasi fungsi yang berbeda. Inilah sebabnya
antibakteri dapat menghambat sintesis protein dalam ribosom bakteri
tanpa berpengaruh pada ribosom mamalia (Brooks et al., 2005).
Kebanyakan antibiotik menghambat sintesis protein dengan mengikat
ribosom prokariot. Beberapa tahap berbeda yang dapat terpengaruh
adalah ikatan tRNA-aminoasil, ikatan formasi peptida, mRNA reading dan
translokasi.
d. Penghambatan terhadap sintesis asam nukleat
Mekanisme obat antibakteri yang berfungsi menghambat sintesis
asam nukleat yaitu dengan cara menghambat DNA polymerase, DNA
helicase atau RNA polymerase, sehingga menghalangi proses replikasi
ataupun transkripsi dan dengan jelas menghambat pertumbuhan dan
pembelahan sel (Willey et al., 2008; Volk & Wheeler, 1988). Obat ini
10
tidak menunjukkan toksistas selektif seperti antibiotik lainnya karena tidak
membedakan respon sintesis asam nukleat antara prokariot dan eukariot
(Willey et al., 2008).
Bahan antibakteri dapat menghambat atau mematikan
mikroorganisme dengan cara kerja yang berbeda-beda. Berbagai proses
serta substansi yang terdapat dalam bahan antibakteri bekerja menurut
salah satu dari cara diatas. Contohnya adalah senyawa fenol yang dapat
mendenaturasikan protein dan merusak membran sel (Pelczar & Chan,
1988). Senyawa ini banyak terdapat dalam tumbuhan dan salah satunya
adalah daun tapak liman yang mampu menghambat pertumbuhan
beberapa bakteri seperti Bacillus cereus dan Bacilus pumilus (Ho et al.,
2009; Avani & Neeta, 2005).
2. Tanaman Tapak Liman (Elephatopus scaber L.)
Tapak liman (Elephantopus scaber L.) atau yang biasa dikenal
dengan Prickly-leaved elephant’s foot merupakan tanaman liar yang
berasal dari Amerika tropis (Ho et al., 2009). Elephantopus scaber (E.
scaber) tumbuh liar, kadang ditemukan dalam jumlah banyak di lapangan
rumput, tepi jalan atau pematang dan dapat ditemukan dari dataran
rendah sampai dengan ketinggian sekitar 1-1200 m di atas permukaan
laut (Pujowati, 2006).
A
C
B
11
Tapak liman merupakan terna menahun, tegak, menyolok karena
warnanya yang hijau tua, akar berbentuk tombak yang kuat, dengan
tinggi 0,1-0,2 m (Gambar 1A). Bentuk batang bulat, kaku, keras dan
sangat liat. Daun tapak liman berkumpul pada permukaan tanah
membentuk roset akar. Daun berbentuk memanjang hingga bulat telur
terbalik, berlekuk tidak teratur atau tidak berlekuk, dengan tepi keriting,
yang bergerigi-bergerigi lemah (Gambar 1C). Panjang daun 3-38 cm dan
lebar 1-8 cm. Bunga majemuk berbentuk bonggol, letaknya di ujung
(Gambar 1B) (Van Steenis, 1997; Ho et al., 2009; Departemen Kesehatan
RI, 1978).
Gambar 1. E. scaber. 1A. Tanaman E. scaber; 1B. Bunga E. scaber; 1C. Tangkai, daun dan akar E.scaber (Ho et al., 2009)
12
a. Kandungan Kimia Tapak Liman
Tapak liman (E. scaber L.) dikenal mengandung sejumlah
senyawa bioaktif seperti lipid, fitokimia, farmakeutik dan pigmen. Sebagai
contoh etil heksadekanoat, etil l-19, 12-oktadekadienoat, etil-(Z)-9-
oktadekanoat, etil dekanoat, deoxyelephantopin (iso-17,19-
dihidrodeoxyelephantopin dan 17,19-dihidrodeoxyelephantopin),
isodeoxyelephantopin, elephantopin, triterpen, stigmasterol, stigmasterol
glukosida, epifriedelinol dan lupeol (Avani & Neeta, 2005; Than et al.,
2004; Ahmad et al., 2009).
Tapak liman termasuk dalam suku Asteraceae (Compositae) yang
merupakan salah satu suku yang kaya akan minyak atsiri yang bagian
utamanya adalah terpenoid. Secara kimia, terpena minyak atsiri dapat
dipilih menjadi dua golongan, yaitu monoterpena dan seskuiterpena,
masing-masing dengan titik didih 140-180oC dan > 200oC (Harborne,
1987). Golongan senyawa seskuiterpena yang penting dan juga berupa
senyawa lakton tersebar luas dalam suku Asteraceae (Seamen, 1980,
lihat: Harborne, 1987). Sifat lain senyawa seskuiterpena lakton ini adalah
rasanya yang kadang-kadang pahit atau pedas dan kemampuannya
untuk berlaku sebagai alergen (Rodriguez et al., 1976, lihat: Harborne,
1987). Senyawa seskuiterpena lakton yang terdapat dalam daun tapak
liman adalah deoxyelephantopin yang terdiri dari 17,19-
dihydrodeoxyelephantopin dan iso- 17,19-dihydrodeoxyelephantopin
13
(Than et al., 2004). Senyawa ini mempunyai aktivitas antimikroba,
antikanker dan antitumor (Avani & Neeta, 2005; Anonim, 2010b).
Menurut Suwandi (2010) senyawa deoxyelephantopin merupakan
senyawa antitumor, penghilang radang akibat bakteri dan antibiotik
terhadap bakteri Staphylococcus penyebab keputihan.
Selain itu, daun tapak liman juga mengandung senyawa alkaloid,
glikosida, saponin, flavonoid, komponen fenolik, senyawa terpenoid
lainnya serta steroid (Prusti et al., 2008; Jasmine et al., 2007, lihat: Ho et
al., 2009; Jasmine et al., 2007). Alkaloid merupakan golongan zat
tumbuhan sekunder yang terbesar dari kelas senyawa nitrogen. Alkaloid
mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom
nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik.
Alkaloida mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol sehingga
digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne, 1987).
Glikosida adalah senyawa yang terdiri atas gabungan dua bagian
senyawa, yaitu gula dan bukan gula. Keduanya dihubungkan oleh suatu
bentuk ikatan berupa jembatan oksigen (O – glikosida, dioscin), jembatan
nitrogen (N-glikosida, adenosine), jembatan sulfur (S-glikosida, sinigrin),
maupun jembatan karbon (C-glikosida, barbaloin). Bagian gula biasa
disebut glikon sedangkan bagian bukan gula disebut sebagai aglikon atau
genin. Apabila glikon dan aglikon saling terikat maka senyawa ini disebut
sebagai glikosida (Najib, 2009). Alkaloid dan glikosida diketahui
14
berkhasiat sebagai antimikroba, bakterisida serta bakteriostatik (Solikin,
2007).
Sedangkan saponin merupakan senyawa yang termasuk golongan
glikosida yang mempunyai struktur steroid dan mempunyai sifat-sifat khas
dapat membentuk larutan koloidal dalam air. Saponin adalah glikosida
yang aglikonnya berupa sapogenin. Glikosida saponin bisa berupa
saponin steroid maupun saponin triterpenoid. Saponin merupakan
senyawa berasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin dan sering
mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir. Saponin juga bersifat bisa
menghancurkan butir darah merah lewat reaksi hemolisis, bersifat racun
bagi hewan berdarah dingin, dan banyak diantaranya digunakan sebagai
racun ikan (Najib, 2009). Beberapa saponin bekerja sebagai antibakteri
(Robinson, 1995). Steroid merupakan senyawa glikosida yang
aglikonnya berupa steroid. Glikosida steroid disebut juga glikosida
jantung karena memiliki daya kerja kuat dan spesifik terhadap otot
jantung (Najib, 2009). Senyawa saponin maupun steroid sudah terbukti
berkhasiat sebagai antikanker, antibakteri dan dapat meningkatkan
sistem imun dalam tubuh (Harborne, 1987; Karyadi, 1997, lihat: Bidura et
al., 2007; Anonim, 2009).
Senyawa fenolik yang terkandung dalam tapak liman termasuk
dalam golongan senyawa fenol yang mempunyai daya antibakteri
(Juliantina et al., 2009). Flavonoid merupakan senyawa fenol yang larut
dalam air dan terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh (Harborne,
15
1987). Flavonoid sering terdapat sebagai glikosida. Pada tumbuhan
tinggi, flavonoid terdapat baik dalam bagian vegetatif maupun bunga.
Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid untuk tumbuhan yang
mengandungnya ialah pengatur tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja
antibakteri dan antivirus serta kerja terhadap serangga (Robinson, 1995).
b. Manfaat Tapak Liman
Seluruh bagian tapak liman dapat berguna sebagai obat berbagai
macam penyakit, antara lain dalam pengobatan nefritis, edema, nyeri
dada, demam dan batuk pneumonia, bronkhitis, kudis, hepatitis, rematik
dan radang di bawah kulit (Peer, 1980 & Tsai, 1999, lihat: Ahmad et al.,
2009). Secara tradisional, masyarakat biasa mengonsumsi air rebusan
tapak liman untuk mengobati berbagai jenis radang, amandel, disentri,
diare, beri-beri, perut kembung, digigit ular, hepatitis, demam, anemia,
peluruh air seni, menghilangkan pembengkakkan dan menetralkan racun
serta dapat digunakan sebagai antibiotik (Avani & Neeta, 2005; Suwandi,
2010).
Daun yang biasa digunakan adalah daun-daun yang tidak terlalu
tua dan tidak terlalu muda (Mardisiswojo & Rajakmangunsudarsono,
1987). Cara pemakaian sebagai obat dalam yaitu dengan meminum air
rebusan dari 15-30 gram herba tapak liman kering. Sedangkan untuk
pemakaian luar menggunakan air rebusannya untuk merendam wasir,
16
kaki yang kasar dan pecah-pecah serta mengompres bisul. Cara lainnya
yaitu dengan menggunakan tumbukan daun tapak liman sebagai tapal
pada perut penderita demam (Dalimartha, 2005).
3. Metode Ekstraksi Soklet
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat
larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut
cair (Departemen Kesehatan RI, 2000). Hasil dari proses ekstraksi
adalah ekstrak, yaitu sediaan kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Departemen
Kesehatan RI, 2000). Simplisia sendiri didefinisikan sebagai bahan
alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang
telah dikeringkan (Departemen Kesehatan RI, 2000).
Harborne (1987) menjelaskan bahwa ekstraksi dilakukan dengan
tujuan untuk memisahkan, memurnikan dan mengidentifikasi kandungan
kimia yang terdapat dalam tumbuhan. Dalam menganalisis fitokimia
tumbuhan harus digunakan jaringan tumbuhan segar. Bahan tumbuhan
yang telah dikumpulkan harus segera dimasukkan ke dalam alkohol
17
mendidih ataupun dapat dikeringkan sebelum diekstraksi. Hal ini
diperlukan untuk mencegah terjadinya oksidasi enzim atau hidrolisis pada
jaringan tumbuhan. Pengeringan dilakukan dalam waktu yang singkat
tanpa menggunakan suhu tinggi dan dengan aliran udara yang baik. Hal
ini harus dilakukan dalam keadaan terawasi untuk mencegah terjadinya
perubahan kimia yang terlalu banyak. Setelah betul-betul kering,
tumbuhan dapat disimpan untuk jangka waktu yang lama sebelum
digunakan untuk analisis.
Ragam ekstraksi yang tepat bergantung pada tekstur dan
kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi serta pada jenis
senyawa yang diisolasi. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara dingin (maserasi dan
perkolasi) serta cara panas (refluks, digesti, infus, dekok dan soklet).
Soklet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi
kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin
balik (Departemen Kesehatan RI, 2000). Prosedur klasik untuk
memperoleh kandungan senyawa organik dari jaringan tumbuhan kering
(biji kering, akar, daun) ialah dengan mengekstraksi-sinambung serbuk
bahan dengan alat soklet dengan menggunakan sederetan pelarut
secara berganti-ganti, mulai dengan eter, lalu etek minyak bumi dan
kloroform (Harborne, 1987).
18
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut
yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang
aktif, yaitu yang dapat melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang
terkandung, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari
bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya
mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan.
Pemilihan pelarut organik yang digunakan dalam mengekstrak komponen
bioaktif merupakan faktor penentu untuk pencapaian tujuan dan sasaran
ekstraksi komponen (Fadhilla, 2010). Persyaratan yang harus dipenuhi
oleh pelarut untuk mengekstrak antara lain: aman, ramah lingkungan,
ekonomis, dapat digunakan dengan mudah serta dapat digunakan secara
selektif dengan berbagai kondisi suhu dan tekanan ekstraksi untuk
mendapatkan ekstrak dengan mutu yang terbaik (Departemen Kesehatan
RI, 2000).
Berdasarkan penelitian sebelumnya, ekstrak etanol dari E. scaber
L. menghasilkan sejumlah senyawa metabolit sekunder yang meliputi
triterpenoid seperti lupeol, seskuiterpena lakton (deoxyelephantopin,
isodeoxyelephantopin, 17,19-dihidroxyelephantopin, scabertopin,
isoscabertopin dan elescabertopin), ester asam lemak, stigmasterol,
glikosida stigmaterol, alkaloid, aurona, chalcona dan senyawa fenolik
lainnya. Ekstrak etanol daun dan akar E. scaber L. menunjukkan efek
antibakteri terhadap Bacillus subtilis, Escherichia coli dan Pseudomonas
aeruginosa (Valsaraj et al., 1997, lihat: Ho et al., 2009). Alkohol (etanol)
19
merupakan pelarut serba guna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan
atau untuk mengekstraksi bahan yang belum diketahui kandungan
kimianya secara jelas (Departemen Kesehatan RI, 2000). Etanol mudah
untuk melarutkan senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak dan
senyawa organik lainnya serta merupakan pelarut yang aman dalam arti
tidak toksik (Somaatmadja, 1981, lihat: Fadhilla, 2010). Senyawa yang
dapat larut dalam etanol antara lain tanin, polipenol, poliasetilen, flavonol,
terpenoid, sterol, alkaloid dan propolis (Murphy, 1999, lihat: Fadhilla,
2010).
Selain itu, pelarut yang dapat melarutkan hampir semua senyawa
baik polar maupun nonpolar adalah DMSO (dimetilsulfoksida). DMSO
dapat digunakan sebagai pengencer ekstrak untuk memperoleh ekstrak
dengan kadar konsentrasi tertentu. Hal ini didasarkan pada sifatnya yang
tidak toksik, yaitu tidak memberikan daya hambat pertumbuhan bakteri
sehingga tidak menggangu hasil pengamatan pengujian aktivitas
antibakteri dengan metoda difusi agar (Yasni et al., 2009; Handayani et
al., 2009).
20
4. Bakteri
a. Ciri-ciri Bakteri
Bakteri adalah sel prokariotik yang khas dan uniseluler serta tidak
mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya.
Sel-selnya secara khas berbentuk bulat (kokus), batang (basilus) atau
spiral (spirilium). Diameter bakteri sekitar 0,5-1,0 µm dengan panjang
1,5-2,5 µm. Bakteri tidak memiliki membran internal yang memisahkan
nukleus dari sitoplasma serta tidak terdapat membran internal yang
melingkupi struktur atau tubuh lain di dalam sel. Bahan sel prokariotik
(sitoplasma dan isinya) dikelilingi oleh membran sitoplasma (membran
plasma). Di sebelah luar membran sitoplasma terdapat dinding sel yang
amat kaku karena mengandung peptidoglikan (Pelczar & Chan, 2008).
Berdasarkan struktur dan komposisi dinding sel, bakteri dibedakan
menjadi dua golongan, yaitu gram positif dan gram negatif. Dinding sel
pada bakteri gram positif mengandung lapisan peptidoglikan tunggal yang
tebal (20-80 nm) dengan polimer-polimer asam tekoat yang melekat
padanya. Lapisan periplasmik pada bakteri gram positif antara dinding
sel dengan membran sitoplasma lebih kecil dibanding pada bakteri gram
negatif. Bakteri gram negatif memiliki struktur dan komposisi yang lebih
kompleks dibanding bakteri gram positif. Bakteri gram positif memilki 3
lapisan peptidoglikan yang tipis dan berada pada lapisan periplasmik
21
yang ukurannya lebih besar daripada bakteri gram positif (1-71 nm).
Selain itu terdapat membran luar yang melapisi sebelah luar lapisan
peptidoglikan (Willey et al., 2008).
b. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus (S.aureus) adalah salah satu bakteri gram
positif berbentuk bulat (kokus) dan bersifat fakultatif anaerobik yang
biasanya tersusun dalam bentuk klaster yang tidak teratur seperti anggur
(Turnidge et al. 2008; Brooks et al., 2005). S. aureus merupakan flora
normal pada kulit, mulut, dan saluran nafas bagian atas bersifat invasif
(Brooks et al., 2005). S. aureus berdiameter antara 0,8-1,0 µm dan
bersifat non-motil, tidak membentuk spora serta berkoagulase positif
(Warsa, 1994). Ciri dari koloni ini adalah berwarna kuning keemasan,
halus dan mengkilat (Turnidge et al., 2008). Jenis-jenis Staphylococcus
di laboratorium tumbuh dengan baik dalam kaldu biasa pada suhu 37oC
dan dengan pH 7,4. Batas-batas suhu untuk pertumbuhannya ialah 15oC
dan 40oC, sedangkan suhu pertumbuhan optimum ialah 35oC (Warsa,
1994).
Klasifikasi Staphylococcus aureus menurut Bergey’s Manual of
Systematic Bacteriology (Madigan et al., 2003) adalah sebagai berikut:
22
Divisi : Firmicutes
Subdivisi : Schizomycetea
Kelas : Bacilli
Bangsa : Bacillales
Suku : Staphylococcaceae
Marga : Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus aureus
S. aureus merupakan patogen utama pada manusia. Kemampuan
patogenik bakteri ini adalah pengaruh gabungan antara faktor ek-
straseluler dan toksin bersama dengan sifat daya sebar invasif. Infeksi S.
aureus dapat menyebabkan luka superfisial (bisul, jerawat), diare,
muntah, pneumonia, meningitis, empiema, endokartitis atau sepsis den-
gan supurasi di tiap organ. Jika S. aureus menyebar dan terjadi bakter-
imia, maka bisa terjadi meningitis atau infeksi paru-paru. Dapat meng-
hasilkan enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan
yang ditandai dengan masa inkubasi yang pendek (1-8 jam), yaitu mual,
muntah dan diare (Turnidge et al., 2008; Brooks et al., 2005).
Data statistik menunjukkan bahwa banyak kasus foodborne
infections dan waterborne infections yang disebabkan S. aureus.
Kontaminasi S. aureus dapat menyebabkan keracunan makanan akibat
toksin yang dihasilkannya (enterotoksin). Walaupun bakteri ini tidak
terdapat dalam bahan pangan tersebut, inang tetap dapat terjangkit
23
penyakit akibat toksin yang dihasilkan (Zein, 2004; Dewanti & Hariyadi,
2005).
Pangan yang dapat tercemar bakteri ini adalah produk pangan
yang kaya protein (misalnya daging, ikan, susu, dan daging unggas),
produk pangan matang yang ditujukan dikonsumsi dalam keadaan dingin,
(seperti salad, puding, dan sandwich), produk pangan yang terpapar
pada suhu hangat selama beberapa jam, pangan yang disimpan pada
lemari pendingin yang terlalu penuh atau yang suhunya kurang rendah
serta pangan yang tidak habis dikonsumsi dan disimpan pada suhu
ruang. Gejala keracunan dapat terjadi dalam jangka waktu 4-6 jam
berupa mual, muntah (lebih dari 24 jam), diare, hilangnya nafsu makan,
kram perut hebat, distensi abdominal dan demam ringan. Pada beberapa
kasus yang berat dapat timbul sakit kepala, kram otot, dan perubahan
tekanan darah (Anonim, 2010a).
Infeksi S. aureus dapat diobati dengan memberikan antibiotka
penisilin G, penisilin, eritromisin, linkomisin, vankomisisn, rifampisin atau
klindamisin. Pada jenis S. aureus yang resistensi terhadap metisilin, bi-
asanya juga resisten terhadap oksasilin, kloksasilin dan sefalosporin
(Warsa, 1994). S. aureus sensitif terhadap antibiotika amoksisilin, sipro-
folsaksin dan septrin (Nkang et al., 2009).
24
c. Salmonella typhi
Klasifikasi Salmonella typhi menurut Bergey’s Manual of
Systematic Bacteriology (Madigan et al., 2003) sebagai berikut:
Divisi : Protobacteria
Kelas : Zymobacteria
Bangsa : Enteriobacteriales
Suku : Enterobacteriaceae
Marga : Salmonella
Jenis : Salmonella typhi
Bakteri yang berasal dari marga Salmonella adalah agen
penyebab bermacam-macam infeksi, mulai dari gastroenteritris yang
ringan sampai dengan demam tifoid yang berat disertai bakterimia.
Salmonella typhi (S. typhi) termasuk ke dalam suku Enterobactericeae
yang merupakan kelompok gram negatif berbentuk batang, tidak
berspora, berukuran 1-3,5 µm x 0,5-0,8 µm, besar koloni rata-rata 2-4
mm dan mempunyai flagel peritrikh. Kuman tumbuh pada suasana aerob
dan fakultatif anaerob, pada suhu 15-41oC (suhu pertumbuhan optimum
37,5oC) dan pH pertumbuhan 6-8. S. typhi hanya membentuk sedikit H2S
dan tidak membentuk gas pada fermentasi glukosa (Karsinah et al.,
1994).
Kelompok Salmonella sering patogen untuk manusia atau binatang
bila tertelan. Mereka disebarkan dari binatang dan produk dari binatang
25
ke manusia yang dapat menyebabkan enteritis, infeksi sistemik dan
demam enterik (Brooks et al., 2005). Manifestasi Salmonellosis pada
manusia dapat dibagi menjadi empat sindrom, yaitu gastroenteritris
(sindroma keracunan makanan), demam tifoid, bakterimia – septikemia
dan carrier yang asimptomatik (Karsinah et al., 1994).
Infeksi oleh bakteri marga Salmonella (Salmonelosis) menyerang
saluran gastrointestin yang mencakup perut, usus halus dan usus besar
atau kolon. Sejumlah besar mikroorganisme harus tertelan dalam
keadaan hidup untuk terjadinya penyakit. Delapan sampai empat puluh
delapan jam setelah memakan makanan yang tercemar Salmonella,
timbul rasa sakit perut yang mendadak dengan diare encer bahkan
hingga berdarah. Seringkali mual dan muntah serta demam dengan suhu
38-39oC umum terjadi. Gejala-gejala ini ada hubungnnya dengan
endotoksin tahan panas yang dihasilkan oleh Salmonella (Pelczar &
Chan, 1988). Antibiotika yang digunakan untuk pengobatan penyakit
salmonellosis ini antara lain kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin,
ciprofolsaksin dan trimetoprim-sulfametoksasole (Karsinah et al., 1994;
Nkang et al., 2009).
5. Uji Antibakteri
Penentuan efektifitas antibakteri terhadap patogen yang spesifik
penting untuk mengetahui metode terapi yang tepat. Pengujian dapat
26
menunjukkan agen mana yang paling efektif melawan patogen dan dapat
memberikan perikaraan dosis terapeutik yang tepat (Willey et al., 2008).
Ada dua metode umum yang dapat digunakan, yaitu metode difusi dan
metode dilusi.
a. Metode Difusi
Metode difusi atau metode difusi agar (Kirby-Bauer method)
adalah metode yang paling sering digunakan. Hal ini dimungkinkan
karena dengan metode ini lebih dapat menghemat waktu dan media.
Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik, kimia serta faktor
antara obat dan organisme (misalnya sifat media dan kemampuan difusi,
ukuran molekular serta stabilitas obat).
Prinsip kerja dari metode ini sangat sederhana, yaitu ketika kertas
cakram yang berisi sejumlah obat tertentu ditempatkan pada permukaan
media padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada
permukaannya, obat tersebut akan berdifusi secara radial melalui agar,
setelah diinkubasi dan bakteri tersebut tumbuh, maka akan terbentuk
zona jernih sekitar cakram. Adanya zona jernih yang melingkar di sekitar
cakram menunjukkan agen obat menghambat pertumbuhan bakteri.
Makin besar zona jernih (zona hambat) di sekitar cakram, maka semakin
peka bakteri tersebut. Zona hambat tersebut diukur dalam satuan
millimeter dan dibandingkan dengan antibiotik standar untuk menentukan
27
isolat bakteri yang digunakan sensitif atau resisten terhadap obat
tersebut. (Willey et al., 2008; Brooks et al., 2005).
b. Metode Dilusi
Metode dilusi dapat digunakan untuk menentukan KHM
(Konsentrasi Hambat Minimum) dan KBM (konsentrasi Bunuh Minimum).
Pada metode ini menggunakan antibakteri dengan kadar yang menurun
secara bertahap, baik dengan media cair maupun padat. Kemudian
media diinokulasi bakteri uji dan diinkubasikan. Tahap akhir dilarutkan
antibakteri dengan kadar yang menghambat dan mematikan. Uji
kepekaan cara dilusi agar memakan waktu dan penggunaannya dibatasi
pada keadaan tertentu saja. Uji kepekaan cara dilusi cair dengan
menggunakan tabung reaksi. Metode uji ini tidak praktis sehingga jarang
digunakan. Namun, sekarang ada cara yang lebih sederhana dan
banyak digunakan, yaitu microdilution plate. Keuntungan uji mikrodilusi
cair adalah bahwa uji ini memberi hasil kuantitatif yang menunjukkan
jumlah antibakteri yang dibutuhkan untuk mematikan bakteri (Brooks et
al., 2005).
28
B. Kerangka Berpikir
Pemanfaatan bahan alam sebagai obat cenderung mengalami
peningkatan dengan adanya kesadaran untuk kembali ke alam (back to
nature) untuk mencapai kesehatan yang optimal. Pengembangan obat
baru ini dilatarbelakangi oleh mewabahnya penyakit infeksi yang masih
banyak timbul di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini ditambah
lagi dengan semakin meluasnya resistensi terhadap obat-obatan modern
yang sudah ada. Hal tersebut mendorong pentingnya sumber senyawa
antibakteri dari alam.
Tapak liman (Elephantopus scaber L.) merupakan salah satu jenis
tanaman liar yang dapat diolah secara tradisional dan digunakan untuk
pengobatan beberapa jenis penyakit infeksi, seperti sariawan, radang
rahim, pneunomia, disentri dan diare. Selain itu, ekstrak daun tapak
liman diketahui memiliki beberapa kandungan kimia yang mempunyai
sifat antibakteri, sehingga diharapkan dapat menghambat pertumbuhan
bakteri penyebab infeksi, seperti Staphylococcus aureus dan Salmonella
typhi.
Khasiat tanaman ini sebagai obat penyakit infeksi sangatlah
penting. Hal ini disebabkan karena sifatnya yang relatif aman dan tidak
menimbulkan resistensi serta tidak menimbulkan bahaya bagi
lingkungan sekitar dibandingkan dengan obat-obatan modern. Oleh
29
karena itu, penting dilakukan penelitian terhadap obat-obatan tradisional
dalam hal ini daun tapak liman.
C. Perumusan Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir di atas maka
dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ekstrak daun
tapak liman (Elephantopus scaber L.) mempunyai daya antibakteri
terhadap Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi.
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Operasional Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan daya antibakteri ekstrak
daun tapak liman yang paling efektif terhadap Staphylococcus aureus
dan Salmonella typhi dengan cara mengukur diameter zona hambat
(zona jernih).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Fitokimia FMIPA
UHAMKA dan Laboratorium Mikrobiologi FMIPA UNJ pada bulan Januari-
Maret 2011.
C. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari dua faktor (faktorial). Faktor
pertama adalah jenis isolat bakteri, yang terdiri dari dua taraf yaitu
31
Staphylococcus aureus (X1) dan Salmonella typhi (X2). Faktor kedua
adalah konsentrasi ekstrak daun tapak liman dalam pelarut DMSO yang
terdiri dari lima taraf, yaitu 0% (Y1), 2,5% (Y2), 5% (Y3), 7,5% (Y4) dan
10% (Y5). Pelarut DMSO sebagai kontrol negatif dan antibiotik amoksisilin
sebagai kontrol positif. Desain penelitian dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Desain penelitian rata-rata diameter zona jernih (mm) setelah pemberian ekstrak daun tapak liman
Konsentrasi ekstrak daun tapak liman
Y1 Y2 Y3 Y4 Y5
Jenis
Bakteri
X1 X1Y1 X1Y2 X1Y3 X1Y4 X1Y5
X2 X2Y1 X2Y2 X2Y3 X2Y4 X2Y5
Menurut Nazir (2004), untuk menentukan banyaknya ulangan
rumus yang digunakan adalah:
(t - 1) (n – 1) ≥ 15
(10 – 1) (n – 1) ≥ 15
9n – 9 ≥ 15
n ≥ 2,67 (dibulatkan menjadi 3)
Berdasarkan perhitungan di atas, banyaknya ulangan yang digunakan
adalah 3 ulangan.
Variabel bebas pada penelitian ini adalah jenis bakteri
(Staphylococcus aureus dan Salmonella typhi) serta konsentrasi ekstrak
daun tapak liman (0%, 2,5%, 5%, 7,5% dan 10%). Sedangkan variabel
terikat adalah rata-rata diameter zona jernih yang terbentuk setelah
32
pemberian ekstrak daun tapak liman terhadap Staphylococcus aureus
dan Salmonella typhi. Kombinasi perlakuan ditampilkan pada tabel 2.
Sedangkan unit-unit percobaan disusun dengan denah sebagai berikut:
Gambar 2. Denah unit percobaan
Tabel 2. Tabulasi data perlakuan dalam penelitian
Jenis
Bakteri
Konsentrasi ekstrak
daun tapak liman
Ulangan
1 2 3
X1
Y1 X1Y11 X1Y12 X1Y13
Y2 X1Y21 X1Y22 X1Y23
Y3 X1Y31 X1Y32 X1Y33
Y4 X1Y41 X1Y42 X1Y43
Y5 X1Y51 X1Y52 X1Y53
X2
Y1 X2Y11 X2Y12 X2Y13
Y2 X2Y21 X2Y22 X2Y23
Y3 X2Y31 X2Y32 X2Y33
Y4 X2Y41 X2Y42 X2Y43
Y5 X2Y51 X2Y52 X2Y53
D. Alat dan Bahan
X Y1 23
X Y1 42
X Y1 52
X Y1 31
X Y1 12 X Y1 11X Y1 51
X Y1 41
X Y1 43 X Y1 13
X Y1 33
X Y1 53X Y1 21
X Y1 32
X Y1 22
X Y2 51
X Y2 33
X Y2 52
X Y2 13
X Y2 12 X Y2 32
X Y2 22
X Y2 41
X Y2 53
X Y3 33 X Y2 42 X Y2 31
X Y2 21
X Y2 43
X Y2 11
33
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah cawan petri, jangka
sorong, labu erlenmeyer, gelas kimia, baki, spatula, jarum ose, tabung
reaksi dan raknya, autoklaf, inkubator, laminar air flow, kompor gas,
mikropipet dan tipsnya, gunting, pisau, soklet, statif, rotary evaporator,
spektrofotometer, kompor gas, blender, kompor listrik, korek api dan
bunsen. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah media NA,
media Mueller-Hinton Agar (MHA), indikator pH universal, kertas
pembungkus, tali, kapas, kertas saring, kertas cakram kosong (blank
disc) berdiameter 6 mm, isolat bakteri Staphylococcus aureus dan
Salmonella typhi, NaCl, BaCl2.2H2O 1, 175%, H2SO4 1%, akuades, etanol
96%, DMSO (dimethylsulfoxide) dan spirtus.
E. Cara Kerja
1. Pembuatan Media
Media yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Mueller-Hinton
Agar (MHA), Nutrien Agar (NA) dan larutan NaCl 0,85%. Media MHA
dibuat dengan melarutkan 38 gram MHA ke dalam 1L akuades.
Sedangkan untuk membuat media NA digunakan 28 gram serbuk NA
yang dilarutkan dalam 1L akuades. Kemudian masing-masing media
34
dipanaskan sampai homogen. Sebelum disteril, sebanyak 3 ml media NA
dimasukkan ke dalam tabung reaksi untuk membuat media miring.
Larutan NaCl 0,85% dibuat dengan melarutkan 8,5 gram NaCl ke
dalam 1L akuades dan dipanaskan sampai homogen. Kemudian disaring
dengan kertas saring dan ditambahkan akuades sampai garis tanda labu
erlenmeyer (1L).
2. Sterilisasi Alat dan Bahan
Seluruh alat-alat dicuci bersih dan dikeringkanginkan. Kemudian
alat-alat seperti erlenmeyer, gelas kimia, cawan petri, tips mikropipet dan
tabung reaksi dibungkus kertas serta diikat tali. Dan bersama bahan-
bahan seperti akuades, kertas cakram dan media yang akan digunakan
disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15
menit.
3. Pembuatan Agar Miring
Media NA dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian
disterilisasi. Kemudian tabung reaksi tersebut diletakkan pada kondisi
miring. Setelah padat, media disimpan di dalam lemari pendingin.
35
4. Pembuatan Suspensi Standar McFarland 0,5
Pembuatan suspensi ini bertujuan agar jumlah kepadatan sel
bakteri yang digunakan dalam penelitian ini sama pada seluruh
perlakuan. Suspensi standar McFarland 0,5 dibuat dengan
mencampurkan 0,5 ml larutan barium klorida dihidrat (BaCl2.2H2O)
1,175% dan 99,5 ml larutan asam sulfat (H2SO4) 1% hingga homogen.
Apabila kekeruhan suspensi bakteri uji adalah sama dengan kekeruhan
suspensi standar berarti konsentrasi suspensi bakteri 108 CFU/ml
(Hudzicki, 2010).
Secara kuantitatif, keakuratan kekeruhan suspensi standar
McFarland 0,5 dapat diperiksa kembali dengan menggunakan
spektrofotometer. Pada spektrofotometer dengan serapan panjang
gelombang 625 nm menunjukkan kerapatan optik (optical density) 0,08
sampai 0,13 (Hudzicki, 2010).
5. Pembuatan Ekstrak DaunTapak Liman
Daun tapak liman yang telah dikumpulkan dalam keadaan segar,
dicuci bersih dan dikering-anginkan hingga berwarna agak kecoklatan.
Menurut Departemen Kesehatan RI (1978), kondisi daun tapak liman
yang dapat digunakan sebagai simplisia adalah berwarna hijau tua
sampai hijau kelabu, panjang daun 5-25 cm dan lebar daun 2-7 cm.
36
Setelah daun kering, daun dihaluskan dengan menggunakan blender.
Kemudian sebanyak 150 gram serbuk daun tapak liman ditimbang.
Setelah itu dibungkus dengan kertas saring dan diikat dengan tali.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung soklet. Pelarut yang digunakan
adalah etanol 96% sebanyak 750 ml dan dimasukkan ke dalam labu bulat
soklet. Unit soklet dipasang dilengkapi pendingin balik, dan dilakukan
pemanasan pada suhu titik didih pelarut, yaitu 78oC dan dibiarkan terjadi
sirkulasi. Menurut Harborne (1987), ekstraksi dari jaringan hijau telah
sempurna jika ampas jaringan tersebut tidak berwarna hijau lagi.
Selanjutnya hasil ekstraksi tersebut diuapkan kembali pelarutnya
yaitu dengan alat rotary evaporator pada suhu 40oC hingga diperoleh
ekstrak kental (Iskandar et al., 2005). Ekstrak kental daun tapak liman
dibuat dalam berbagai konsentrasi, yaitu 2,5%, 5%, 7,5% dan 10%
dengan pelarut DMSO. Perhitungan pembuatan ekstrak daun tapak
liman dalam berbagai konsentrasi ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perhitungan pembuatan konsentrasi ekstrak daun tapak liman (b/v)
Konsentrasi ekstrak
daun tapak liman
Berat ekstrak daun
tapak liman
Volume pelarut
DMSO
0% 0 gr 5 ml
2,5% 0,125 gr 5 ml
5% 0,25 gr 5 ml
7,5% 0,375 gr 5 ml
10% 0,5 gr 5 ml
37
6. Pembuatan Suspensi Bakteri
Stok kultur bakteri S. aureus diremajakan dalam media NA miring.
Setelah itu diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37oC selama 24 jam.
Hal yang sama dilakukan pada S. typhi.
Lalu untuk penyiapan inokulum bakteri S. aureus dari stok kultur
24 jam diambil satu ose steril lalu disuspensikan dalam tabung yang
berisi 10 ml larutan NaCl 0,85% sampai didapat kekeruhan yang sama
dengan standar McFarland 0,5 dan diperoleh konsentrasi suspensi
bakteri adalah 108 CFU/ml. Pengecekan kesesuaian kekeruhan dengan
standar McFarland 0,5 dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometer pada serapan panjang gelombang 625 nm
menunjukkan kerapatan optik (optical density) 0,08 sampai 0,13
(Hudzicki, 2010).
7. Tahap Pengujian Antibakteri
Uji antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar. Suspensi
S.aureus dengan kekeruhan McFarland 0,5 (108 CFU/ml) sebanyak 1 ml
dituang ke dalam cawan petri kemudian ditambahkan media MHA.
Selanjutnya dihomogenisasikan dengan menggerakkan cawan petri yang
berisi campuran tadi searah angka delapan dan dibiarkan memadat. Hal
ini dilakukan sebanyak 5 agar cawan untuk S. aureus dan 5 agar cawan
38
untuk S. typhi. Masing-masing cawan tersebut dibagi menjadi 3 juring.
Setelah media memadat, kertas cakram berdiameter 6 mm yang telah
ditetesi 50 µl ekstrak daun tapak liman (10%) diletakkan pada tiap-tiap
juring tadi di atas permukaan lempeng agar. Dengan cara yang sama, uji
antibakteri dilakukan untuk konsentrasi ekstrak daun tapak liman
sebanyak 7,5%, 5%, 2,5% dan 0%. Sebagai kontrol negatif digunakan
kertas cakram yang ditetesi DMSO (0% ekstrak daun tapak liman)
sebanyak 50 µl, sedangkan untuk kontrol positif digunakan antibiotik
amoksisilin. Lempeng agar tersebut kemudian diinkubasi dengan suhu
37oC selama 24 jam. Semua proses dilakukan secara aseptis. Hal yang
sama juga diterapkan untuk S. typhi.
F. Teknik Pengumpulan Data
Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter zona jernih di
sekitar kertas cakram. Pembacaan hasil negatif bila di sekitar kertas
cakram tidak terdapat zona jernih, berarti ekstrak daun tapak liman yang
diuji tidak mempunyai daya antibakteri. Pembacaan hasil positif bila
disekitar kertas cakram terdapat zona jernih, yaitu zona yang tidak
ditumbuhi bakteri, berarti ekstrak daun tapak liman mempunyai daya
antibakteri. Zona jernih diukur dalam satuan milimeter dengan cara
mengukur seluruh diameter zona jernih dikurangi diameter kertas cakram
39
(Setyaningsih et al., 2006). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan
jangka sorong.
G. Hipotesis Statistik
H0 : µX1Y1 = µX1Y2 = µX1Y3 = µX1Y4 = µX1Y5 = µX2Y1 = µX2Y2 = µX2Y3 =
µX2Y4 = µX2Y5
H1 : salah satu rata-rata tidak sama
Keterangan:
H0 : tidak terdapat perbedaan antara rata-rata diameter zona jernih yang
terbentuk pada konsentrasi ekstrak daun tapak liman terhadap jenis
bakteri
H1 : terdapat perbedaan antara rata-rata diameter zona jernih yang
terbentuk pada konsentrasi ekstrak daun tapak liman terhadap jenis
bakteri
µX1Y1 : rata-rata diameter zona jernih yang terbentuk pada konsentrasi
ekstrak daun tapak liman 0% terhadap Staphylococcus aureus
µX1Y2 : rata-rata diameter zona jernih yang terbentuk pada konsentrasi
ekstrak daun tapak liman 2,5% terhadap Staphylococcus aureus
µX1Y3 : rata-rata diameter zona jernih yang terbentuk pada konsentrasi
ekstrak daun tapak liman 5% terhadap Staphylococcus aureus
40
µX1Y4 : rata-rata diameter zona jernih yang terbentuk pada konsentrasi
ekstrak daun tapak liman 7,5% terhadap Staphylococcus aureus
µX1Y5 : rata-rata diameter zona jernih yang terbentuk pada konsentrasi
ekstrak daun tapak liman 10% terhadap Staphylococcus aureus
µX2Y1 : rata-rata diameter zona jernih yang terbentuk pada konsentrasi
ekstrak daun tapak liman 0% terhadap Salmonella typhi
µX2Y2 : rata-rata diameter zona jernih yang terbentuk pada konsentrasi
ekstrak daun tapak liman 2,5% terhadap Salmonella typhi
µX2Y3 : rata-rata diameter zona jernih yang terbentuk pada konsentrasi
ekstrak daun tapak liman 5% terhadap Salmonella typhi
µX2Y4 : rata-rata diameter zona jernih yang terbentuk pada konsentrasi
ekstrak daun tapak liman 7,5% terhadap Salmonella typhi
µX2Y5 : rata-rata diameter zona jernih yang terbentuk pada konsentrasi
ekstrak daun tapak liman 10% terhadap Salmonella typhi
H. Teknik Analisa Data
Data yang diperoleh diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov-
Smirnov dan homogenitasnya dengan uji Bartlett pada α = 0,01. Bila
diperoleh data nol (0) dalam pengukuran, maka data ditransformasi
menurut persamaan √(x+0,5). Jika data homogen dan berdistribusi
normal setelah ditransformasi, selanjutnya data dianalisis dengan
menggunakan uji F ANAVA dua arah pada α = 0,01. Menurut Irianto
41
(2007), jika F hitung > F tabel analisis dilanjutkan ke uji Duncan Multiple
Range Test (DMRT) untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar
perlakuan.
42
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A., A.F.M. Alkharkhi, S. Hena & L.H. Khim. 2009. Extraction, separation and identification of chemical ingredients of Elephantopus scaber L. Using factorial design of experiment. International Journal of Chemistry 1(1):36-49.
Ambarwati. 2007. Efektivitas zat antibakteri biji mimba (Azadirachta indica) untuk menghambat pertumbuhan Salmonella thyposa dan Staphylococcus aureus. Biodiversitas 8(3):320-325.
Anonim. 2010a. Keracunan Pangan Akibat Bakteri Patogen. www.pom.go.id/public/siker/desc/produk/RacunBak Patogen .pdf , 16 Desember 2010, pk. 10.47 WIB.
Anonim. 2010b. Khasiat Tapak Liman. http://www.simplisia.com/simplisia/ tanaman-obat/tanaman-obat-tapak-liman.html, 10 Oktober 2010, pk. 16.50 WIB.
Anonim. 2009. Mengandung Banyak Zat Bermanfaat. http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=13241, 20 November 2010, pk. 01.34 WIB.
Avani, K. & S. Neeta. 2005. A study of the antimicrobial activity of Elephantopus scaber. Indian J Pharmacol 37(2):126-128.
Bidura, I G.N.G., D.P.M.A. Candrawati & N.L.G. Sumardani. 2007. Pengaruh penggunaan daun katuk (Saurupus androgynus) dan daun bawang putih (Allium sativum) dalam ransum terhadap penampilan Ayam Broiler. Universitas Udayana, Denpasar: 11 hlm. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/i.g.n.g.%20bidura%20100 102007.pdf, 18 November 2010, pk. 20.00 WIB.
43
Brooks, G. F., J.S. Butel & S.A. Morse. 2005. Mikrobiologi kedokteran. Terj. dari Medical microbiology, oleh Mudihardi, E., Kuntaman, E.B. Wasito, N.M. Mertaniasih, S. Harsono & L. Alimsardjono. Salemba Medika, Jakarta. xiii + 528 hlm.
Dalimartha, S. 2005. Tanaman obat di lingkungan sekitar. Puspa Swara, Jakarta: iv + 60 hlm.
Departemen Kesehatan RI. 1978. Materi medika jilid II. Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta: xviii + 194 hlm.
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat. Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta: viii + 68 hlm.
Fadhilla, R. 2010. Aktivitas antimikroba ekstrak tumbuhan lumut hati (Marchantia paleacea) terhadap bakteri patogen dan pembusuk makanan. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan: iv + 87 hlm.
Handayani, D., M. Deapati, Marlina & Meilan. 2009. Skrining Aktivitas Antibakteri Beberapa Biota Laut dari Perairan Pantai Painan, Sumatera Barat. Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Padang: 4 hlm. http://repository.unand.ac.id/969/, 20 November 2010, pk. 12.20 WIB.
Harborne, J.B. 1987. Metode fitokimia penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Terj. dari Phytochemical methods, oleh K. Padmawinata & I. Soediro. Penerbit ITB, Bandung: x + 354 hlm.
Ho, W. Y., H. Ky, S.W. Yeap, R.A. Rahim, A.R. Omar, C.L. Ho, & N.B. Alitheen. 2009. Traditional practice, bioactivities and commercialization potential of Elephantopus scaber Linn. Journal of Medicinal Plants Research 3(13):1212-1221.
44
Hudzicki, J. 2010. Kirby-Bauer Disk Diffusion Susceptibility Test Protocol. http://www.microbelibrary.org/index.php/library/laboratory-test/3189-kirby-bauer-disk-diffusion-susceptibility-test-protocol, 3 sDesember 2010, pk. 8.54 WIB.
Irianto, A. 2007. Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya. Kencana, Jakarta. xi + 312 hlm.
Iskandar, Y., D. Rusmiati & R.R. Dewi. 2005. Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol rumput laut (Eucheuma cottonii) terhadap bakteri Escherichia coli dan Bacillus cereus. Jurusan Farmasi FMIPA UNPAD, Sumedang: 9 hlm. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/akt_anbakteri_ekstrak_rumput_laut.pdf, 25 Desember 2010, pk. 13:40 WIB.
Jasmine R., Daisy P. & Selvakumar BN. 2007. Evaluating the antibacterial activity of Elephantopus scaber extracts on clinical isolates of a-lactamase producing methicillin resistant Staphylococcus aureus from UTI patients. Int. J. Pharmcol. 3: 165-169.
Juliantina, F., D.A. Citra, B. Nirwani, T. Nurmasitoh & E.T. Bowo. 2009. Manfaat sirih merah (Piper crocatum) sebagai agen anti bakterial terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia: 10 hlm.
Karsinah, L.H. Moehario, Suharto & Mardiastuti H.W. 1994. Batang Negatif Gram. Dalam: Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Binarupa Aksara, Jakarta: xiii + 429 hlm.
Madigan, M.T., J.M. Martinko & J. Parker. 2003. Brock biology of microorganisms. Prentice Hall, United States of America: xxv + 1019 hlm.
Mardisiswojo, S. & H. Rajakmangunsudarso. 1987. Cabe puyang warisan nenek moyang 2. Balai Pustaka, Jakarta: 756 hlm.
45
Najib, A. 2009. Glikosida. http://nadjeeb.files.wordpress.com/2009/03/ glikosida.pdf, 2 Desember 2010, pk. 9.15 WIB.
Nazir, M. 2004. Metode penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta: 544 hlm.
Nkang, A.O., I.O. Okonko, A. Fowotade, A.O. Udeze, T.A. Ogunnusi, E.A. Fajobi, O.G. Adewale & O.K. Mejeha. 2009. Antibiotics susceptibility profiles of bacteria from clinical samples in Calabar, Nigeria. Journal of Bacteriology Research 1(8): 89-96.
Pelczar, M.J. & E.C.S. Chan. 1988. Dasar-dasar mikrobiologi 2. Terj. dari Elements of microbiology, oleh Hadioetomo, R.S., T. Imas, S.S. Tjitrosomo & S.L. Angka. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. viii + 997 hlm.
Pelczar, M.J. & E.C.S. Chan. 2008. Dasar-dasar mikrobiologi I. Terj. dari Elements of microbiology, oleh Hadioetomo, R.S., T. Imas, S.S. Tjitrosomo & S.L. Angka. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta: viii + 443 hlm.
Perdana, R. 2010. Trend Penyakit Infeksi. http://kesehatan.kompasiana.com/group/medis/2010/02/16/trend-penyakit-infeksi/, 10 Oktober 2010, pk. 16.50 WIB.
Prusti, A., S.R. Mishra, S. Sahoo & S.K. Mishra. 2008. Antibacterial activity of some indian medicinal plants. Ethnobotanical Leaflet 12: 227-230.
Pujowati, P. 2006. Pengenalan ragam tanaman lanskap Asteraceae (Compositae). Sekolah Pasca Sarjana Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB, Bogor: 38 hlm.
Robinson, T. 1995. Kandungan organik tumbuhan tingkat tinggi. Penerbit ITB, Bandung: xi + 367 hlm.
46
Setyaningsih, I., L.M. Panggabean, B. Riyanto & N. Nugraheny. 2006. Potensi antibakteri diatom laut Skeletonema costatum terhadap bakteri Vibrio sp. Buletin Teknologi Hasil Perikanan IX(1): 61-70.
Singh, S.D.J., V. Krishna, K.L. Mankani, B.K. Manjunatha, S.M. Vidya & Y.N. Manohara. 2005. Wound healing activity of the leaf extract and deoxyelephantopin isolated from Elephantopus scaber Linn. Indian J Pharmacol 37(4): 236-242.
Solikin. 2007. Potensi Jenis-Jenis Herba Liar Di Kebun Raya Purwodadi Sebagai Obat. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-LIPI, Pasuruan: 6 hlm. www.docstoc.com/.../ POTENSI - JENIS - JENIS - HERBA - LIAR-DI-KEBUN - RAYA - PURWODADI - SEBAGAI - OBAT , 18 November, pk. 20.00 WIB.
Sugianti, B. 2005. Pemanfaatan tumbuhan obat tradisional dalam pengendalian penyakit ikan. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor: 37 hlm.
Suwandi. 2010. Penuh vitalitas dengan tapak liman. Bakti Media Komunikasi dan Edukasi 228: 20.
Than, N.N., S.Fotso, M. Sevvana, G.M. Sheldrick, H.H. Fiebig, G. Kelter & H. Laatsch. 2004. Sesquiterpene lactones from Elephantopus scaber. ChemInform 36(27):1-7.
Turnidge, J. N. Rao, F.Y. Chang, V.G. Fowler, S.M. Kellie, S. Arnold, B.Y. Lee & A. Tristan. 2008. Staphylococcus aureus. http://www.antimicrobe.org/sample_staphylococcus.asp, 12 Oktober 2010, pk. 09.26 WIB.
Van Steenis, C.G.G.J. 1997. Flora untuk sekolah di Indonesia. Terj. dari Flora, oleh Moesosurjowinoto. Pradnya Paramita, Jakarta: xii + 486 hlm.
Volk, W.A. & M.F. Wheeler. 1993. Mikrobiologi dasar. Erlangga, Jakarta: xii + 396 hlm.
47
Warsa, U.C. 1994. Kokus positif gram. Dalam: Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1994. Buku ajar mikrobiologi kedokteran edisi revisi. Binarupa Aksara, Jakarta: xiii + 429 hlm.
Willey, J.M., L.M. Sherwood & C.J. Woolvertoon. 2008. Prescott, Harley, and Klein’s microbiology seventh edition. McGraw-Hill, New York: xx + 1088 hlm.
Yasni, S., E. Syammsir & E. Direja. 2009. Antimicrobial activity of black cumin extract (Nigella sativa) againts food pathogenic and spoilage bacteria. Microbiology Indonesia 3(3): 146-150.
Zein, U., K.H. Sagala & J. Ginting. 2004. Diare Akut Disebabkan Bakteri. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan: 15 hlm. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3371/1/penydalam-umar5.pdf, 30 November 2010 pk. 11.50 WIB.