prevalensi excessive daytime sleepiness (eds) pada

87
PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA MAHASISWA FKIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN KUESIONER EPWORTH SLEEPINESS SCALE (ESS) SERTA FAKTOR RISIKO YANG MEMPENGARUHINYA PADA TAHUN 2013 Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN OLEH : Nadia Entus Nasrudin Tubagus NIM : 1110103000097 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/2013 M

Upload: others

Post on 27-Jan-2022

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS)

PADA MAHASISWA FKIK UIN SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN

KUESIONER EPWORTH SLEEPINESS SCALE (ESS)

SERTA FAKTOR RISIKO YANG MEMPENGARUHINYA

PADA TAHUN 2013

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :

Nadia Entus Nasrudin Tubagus

NIM : 1110103000097

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1434 H/2013 M

Page 2: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA
Page 3: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA
Page 4: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA
Page 5: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

v

KATA PENGANTAR

Asslamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan

karunia-Nya penelitian ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam tidak lupa penulis

junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW. Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan

Laporan Penelitian yang berjudul “Prevalensi Excessive Daytime Sleepiness (EDS) pada

Mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Menggunakan

Epworth Sleepiness Scale (ESS) serta faktor risiko yang mempengaruhinya pada Tahun

2013”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan banyak menemui hambatan

baik yang datang dari faktor luar diri penulis maupun dari dalam penulis. Mengatasi

hambatan yang ditemui, penulis banyak mendapat dukungan, motivasi, dan saran dari

berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. (hc). dr. M. K. Tadjudin Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Kepala Program Studi dan Pendidikan

Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. dr. Ibnu Harris Fadillah, SpTHT-KL sebagai dosen pembimbing I penelitian dan

Ratna Pelawati, S.Kp, M.Biomed sebagai dosen pembimbing II penelitian, yang

telah banyak menyediakan waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan

kepada penulis dalam penyusunan laporan penelitian ini.

4. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penanggung jawab riset Program

Studi Pendidikan Dokter 2010 dan atas motivasinya kepada penulis terhadap

penyelesaian penelitian.

Page 6: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

vi

5. Keluarga besar penulis, terutama ayah bunda penulis Entus Nasrudin dan

Lathifah yang selalu ikhlas mendoakan, dan mendukung penulis selama

penelitian ini, serta kaka-kaka dan adik tercinta yang selalu memberikan

dukungan kepada penulis.

6. Sahabat penulis Dhea Rachmawati, Mutia Oktavia, Ratu Qurroh ’Ain, Siti

Yayah U., Fitria Luluk M., Uswatun Hasanah PSB, Adinda Shofiatunnisa,

Meliansari, Fifin Fitriyani, Fitri F. dan teman kelompok riset Dhea Rachmawati,

Yahya Kholid, Idzkar Ramadhan dan Latansa Dina yang selalu memberikan

motivasi dan bantuan disaat penulis membutuhkannya serta teman sejawat PSPD

2010.

7. Firman Khairul Hakim, S.S atas bantuannya dalam revisi abstrak bahasa inggris,

Muhammad Yasin, Irwan Hanafi atas bantuannya dalam peminjaman alat THT,

Pak. Richard (alm) atas bantuannya dalam peminjaman referensi di perpustakaan

THT UI, Tri Bayu P. Atas bantuan statistik yang ia berikan, Muflikhah Mayazi,

Sari Dewi A., Cut Firza Humaira serta Muhammad Hafif yang selalu memberi

bantuan kepada peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.

8. Responden penelitian ini yang bersedia untuk mengikuti semua prosedur

penelitian.

9. Terakhir, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang

telah membantu penulis dan menyelesaikan laporan penelitian ini baik secara

langsung maupun tidak langsung.

Semoga dengan selesainya Laporan Penelitian ini dapat menambah

pengetahuan kita semua terutama mengenai Excessive Daytime Sleepiness.

Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, 09 September 2013

Penulis

Page 7: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

vii

ABSTRAK

Nadia Entus Nasrudin Tubagus. Program Studi Pendidikan Dokter. Prevalensi Excessive

Daytime Sleepiness (EDS) pada Mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta dengan Menggunakan Epworth Sleepiness Scale (ESS) serta Faktor Risiko yang

Mempengaruhinya pada Tahun 2013.

Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan masalah yang serius pada proses bernapas

saat tidur sehingga menyebabkan timbulnya beberapa gejala terutama Excessive

Daytime Sleepiness (EDS). EDS adalah kondisi seseorang mengalami rasa mengantuk

pada siang hari sehingga meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pada individu.

Di Indonesia belum tercatat data mengenai prevalensi EDS pada suatu populasi dan

kaitannya dengan faktor risiko OSA. Penetapan keadaan EDS dilakukan dengan

pengisian dan penghitungan skor kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS) dan

pengisian kuesioner demografi serta dilakukan pemeriksaan fisik THT untuk

identifikasi pengaruh faktor risiko. Dengan kriteria tersebut, maka ditemukan bahwa

dari 140 responden yang diberikan kuesioner ESS terdapat sekitar 55% yang secara

skoring mengalami kondisi EDS dan pada laki-laki presentasenya lebih tinggi

dibandingkan pada perempuan. Pada analisa bivariat faktor risiko tidak menunjukkan

adanya hubungan yang signifikan dengan EDS (P> 0,05).

Kata Kunci : OSA, EDS, ESS, mallampati score

ABSTRACT

Nadia Entus Nasrudin Tubagus. Medicine Study Program. Prevalence of Excessive

Daytime Sleepiness (EDS) in the Student of PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, by Using Epworth Sleepiness Scale Questionnaire (ESS) and the Affecting Risk

Factors, Jakarta 2013

Obstructive Sleep Apnea (OSA) is a serious problem of breathing process while

someone is sleeping which can causes a various symptoms, especially Excessive

Daytime Sleepiness (EDS). EDS is one of the sleep disorders where the patient on

drowsiness during daytime and it causes a several morbidities and mortalities. In

Indonesia there has not recorded data about prevalence of EDS in population and the

risk factors that can be related to. Diagnostic of EDS condition is by using the scoring

system of Epworth Sleepiness Scale Questionnaire and demographic questionnaire with

physical examinations of ENT for identification of the risk factors. By using these

criteria, it was found the results from 140 respondents showed that 55% is diagnosed by

EDS that men is higher than women. However, in this research the risk factors did not

show the statistically significant correlation.

Keywords: OSA, EDS, ESS, mallampati score

Page 8: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL......................................................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................. iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN.............................................................................. iv

KATA PENGANTAR................................................................................................... v

ABSTRAK......................................................................................................................

ABSTRACT...................................................................................................................

vii

vii

DAFTAR ISI.................................................................................................................. viii

DAFTAR TABEL.......................................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................

DAFTAR BAGAN.........................................................................................................

xi

xii

DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................. xiii

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang Masalah.......................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah................................................................................................... 2

1.3. Pertanyaan Penelitian............................................................................................. 2

1.4. Tujuan Penelitian.................................................................................................... 2

1.4.1. Tujuan Umum.............................................................................................. 2

1.4.2. Tujuan Khusus............................................................................................. 2

1.5. Manfaat Penelitian................................................................................................... 3

1.5.1. Bagi Peneliti.................................................................................................

1.5.2. Bagi Universitas...........................................................................................

1.5.3. Bagi Keilmuwan...........................................................................................

3

4

4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 5

2.1 Struktur Jalan Napas Atas…............................................................................... 5

2.2 Organisasi Sistem Respirasi............................................................................... 5

2.3 Gangguan Napas saat Tidur............................................................................ 8

2.3.1. Siklus Tidur dan Sadar............................................................................ 9

2.4 Definisi Sleep Apnea..........................................................................................

2.5 Epidemiologi.........................................................................................................

2.6 Obstructive Sleep Apnea..................................................................................

2.7 Excessive Daytime Sleepiness...............................................................................

2.8 Kerangka Teori......................................................................................................

2.9 Kerangka Konsep..................................................................................................

2.10 Definisi Operasional..............................................................................................

11

13

13

26

28

29

30

BAB 3 METODE PENELITIAN............................................................................... 31

3.1 Desain Penelitian................................................................................................... 31

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian................................................................................ 31

3.3 Populasi Penelitian................................................................................................. 31

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi................................................................................. 31

3.5 Besar Sampel..................................................................................................... 32

Page 9: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

ix

3.6 Cara Pengambilan Sampel................................................................................... 32

3.7 Cara Kerja Penelitian............................................................................................

3.8 Alur Penelitian.......................................................................................................

3.9 Pengumpulan dan Penyajian Data.........................................................................

3.10 Rencana Analisis Data...........................................................................................

3.11 Etika Penelitian......................................................................................................

3.12 Organisasi Penelitian.............................................................................................

32

33

34

34

34

34

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................... 35

4.1 Distribusi Demografi.............................................................................................

4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian....................................................................

4.1.2. Analasis Univariat........................................................................................

4.2 Analisis Bivariat....................................................................................................

4.3 Pembahasan...........................................................................................................

4.3.1. Hubungan Jenis Kelamin dengan EDS........................................................

4.3.2. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan EDS..............................................

4.3.3. Hubungan Hipertrofi Tonsil dan Tonsilektomi dengan EDS.......................

4.3.4. Hubungan Kebiasaan Merokok dan Olahraga dengan EDS........................

4.3.5. Hubungan Ukuran Lidah dan Mallampati Score dengan EDS....................

4.3.6. Hubungan Deviasi Septum dan Hipertrofi Konka dengan EDS...................

35

35

35

38

43

43

44

46

47

48

49

4.4 Keterbatasan Penelitian......................................................................................... 49

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN…............................................................... 50

5.1 Simpulan.......................................................................................................... 50

5.2 Saran.................................................................................................................... 50

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 51

Page 10: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kategori International Sleep Disorder........................................... 12

Tabel 2.2 Gejala Klinis OSA.......................................................................... 15

Tabel 2.3 Faktor predisposisi OSA................................................................. 18

Tabel 2.4 Sistem Staging Friedman................................................................ 20

Tabel 2.5 Pemeriksaan Fisik pada OSA......................................................... 21

Tabel 2.6 Epworth Sleepiness Scale............................................................... 23

Tabel 4.1 Sebaran Demografi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin.......... 35

Tabel 4.2 Sebaran Demografi Responden.............................................. ……. 36

Tabel 4.3 Sebaran Demografi Pemeriksaan Fisik Responden........................ 37

Tabel 4.4 Prevalensi EDS............................................................................... 38

Tabel 4.5 Hubungan Jenis Kelamin dengan EDS........................................... 39

Tabel 4.6 Hubungan IMT dengan EDS.......................................................... 39

Tabel 4.7 Hubungan Keadaan Tonsil dengan EDS......................................... 40

Tabel 4.8 Hubungan Kebiasaan Merokok dan Olahraga dengan EDS........... 41

Tabel 4.9 Hubungan Ukuran Lidah dan mallampati score dengan EDS........ 42

Tabel 4.10 Hubungan Deviasi Septum dan Hipertrofi Konka dengan EDS..... 43

Page 11: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur Sistem Respirasi………………………………………... 6

Gambar 2.2 Komponen Sistem Respirasi……………………………………... 7

Gambar 2.3 Struktur Rongga Hidung dan Mulut……………………………... 8

Gambar 2.4 Respirasi dan Tidur pada Obstructive dan Central Apnea………. 12

Gambar 2.5 Obstructive Apnea berulang dan Saturasi O2................................ 15

Page 12: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

xii

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1. Patofisiologi OSA………………………………………………... 16

Bagan 2.8. Kerangka Konsep………………………………………………... 28

Bagan 2.9. Kerangka Teori…………………………………………………... 29

Bagan 3.8. Alur Penelitian………………………………………………...…. 33

Page 13: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 ……………………………………………………………………. 55

Lampiran 2 ……………………………………………………………………. 56

Lampiran 3 ……………………………………………………………………. 57

Lampiran 4 ……………………………………………………………………. 59

Lampiran 5

Lampiran 6

…………………………………………………………………….

…………………………………………………………………….

62

74

Page 14: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tidur merupakan proses fisiologis yang dibutuhkan oleh tubuh manusia

untuk menjalani aktifitas hidup sehari-hari, namun tidur dengan gejala

mendengkur menurunkan kualitas tidur sehingga timbul hipersomnolensi pada

siang hari yang disebut Excessive daytime sleepiness (EDS). EDS adalah masalah

yang paling sering timbul dan dikeluhkan oleh banyak individu termasuk

mahasiswa dalam aktifitas sehari-hari. Selain itu, Gejala EDS sendiri merupakan

gejala utama dari keadaan obstruksi pada saluran napas saat tidur yang disebut

Obstructive sleep apnea.1

Obstructive sleep apnea (OSA) pertama kali ditemukan oleh Sidney

Burwell pada tahun 1956 yang merupakan suatu kondisi gangguan pernapasan

saat tidur akibat terhambatnya aliran udara. Hal tersebut akan menimbulkan EDS

pada individu sehingga dapat menurunkan kualitas aktifitas sehari-hari dan

meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada individu. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Jamie dkk, disebutkan bahwa prevalensi OSA yang berkaitan

dengan penurunan kualitas tidur sekitar 3-7% pada laki-laki dan 2-5% pada

perempuan di populasi umum. Sihombing telah melaporkan pada penelitiannya

bahwa OSA terjadi sebanyak 30-40% pada populasi supir taxi di Indonesia.

Keadaan OSA dapat menyebabkan gangguan tidur yang akan menimbulkan

beberapa kondisi berupa gangguan konsentrasi pada anak sekolah dan mahasiswa

sehingga mempengaruhi aktifitasnya saat belajar. Diagnosis OSA dapat dilakukan

melalui pemeriksaan polisomnografi dan pemberian kuesioner khusus untuk

penentuan gejala dari OSA pada pasien seperti Epworth sleepiness scale.2-6

Epworth sleepiness Scale merupakan salah satu kuesioner yang digunakan

untuk menilai tingkat hipersomnolensi seseorang pada siang hari. Nilai 10 atau

lebih menunjukkan bahwa seorang mengalami hipersomnolensi sehingga dapat

dikatakan bahwa individu tersebut memiliki gejala EDS dan memerlukan

konsultasi dokter mengenai keluhannya.7

1

Page 15: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

2

Berdasarkan yang telah diuraikan di atas, dirasakan bahwa perlu dilakukan

penelitian ini yang dapat menggambarkan prevalensi Excessive daytime sleepiness

(EDS) pada mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta faktor

risiko yang mempengaruhinya dengan menggunakan kuesioner Epworth

Sleepiness Scale (ESS). Dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk

identifikasi penyebab dari EDS dan cara menghindarinya sehingga dapat

menurunkan gejala hipersomnolensi pada mahasiswa serta aktifitas perkuliahan

sehari-hari menjadi lebih efektif.

1.2. Rumusan Masalah

Dampak dari EDS cukup besar dalam mempengaruhi aktifitas perkuliahan

sehingga dirasakan bahwa perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi

EDS pada mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan

menggunakan kuesioner ESS sebagai alat ukur serta faktor risiko yang dapat

mempengaruhinya.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana prevalensi Excessive daytime sleepiness (EDS) pada mahasiswa

PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan menggunakan kuesioner

Epworth Sleepiness Scale (ESS) pada tahun 2013?

1.4. Tujuan Penelitian

a) Tujuan Umum

Diketahuinya prevalensi EDS pada mahasiswa PSPD FKIK UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013.

b) Tujuan Khusus

Diketahui hubungan obesitas dengan EDS sebagai faktor risiko

pada mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Diketahui hubungan jenis kelamin dengan EDS pada mahasiswa

PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 16: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

3

Diketahui hubungan hipertrofi tonsil dan riwayat tonsilektomi pada

individu dengan EDS sebagai faktor risiko pada mahasiswa PSPD

FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Diketahui hubungan kebiasaan merokok dan olahraga pada

individu dengan EDS sebagai faktor risiko pada mahasiswa PSPD

FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Diketahui hubungan ukuran lingkar leher dengan EDS sebagai

faktor risiko pada mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Diketahui hubungan makroglosi dan skor mallampati dengan EDS

sebagai faktor risiko pada mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Diketahui hubungan hipertrofi konka dan deviasi septum dengan

EDS sebagai faktor risiko pada mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

1.5. Manfaat Penelitian

Diharapkan dari penelitian ini mendapatkan berbagai manfaat bagi berbagai

pihak:

a) Bagi Peneliti

- Mengetahui prevalensi kejadian EDS pada mahasiswa.

- Mengidentifikasi obesitas sebagai faktor risiko terjadinya EDS.

- Mengetahui perbedaan prevalensi EDS pada jenis kelamin yang

berbeda.

- Mengetahui pengaruh kebiasaan hidup individu seperti olahraga

dan merokok terhadap EDS.

- Mengetahui pengaruh hipertrofi tonsil dan riwayat tonsilektomi

pada individu terhadap EDS.

- Mengetahui pengaruh ukuran lidah dan skor mallampati terhadap

EDS.

Page 17: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

4

- Menjadikan penelitian ini sebagai syarat kelulusan sarjana

kedokteran.

b) Bagi Universitas

- Dapat menambah kepustakaan penelitian di UIN.

- Memberi informasi tentang tingkat kejadian EDS pada mahasiswa

UIN.

- Mengetahui faktor-faktor risiko yang mempengaruhi EDS.

- Meningkatkan ilmu pengetahuan mahasiswa UIN.

c) Bagi Keilmuan

- Memberikan pengetahuan mengenai EDS dan faktor risiko dari

EDS.

- Dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi peneliti yang tertarik

dalam bidang ini.

Page 18: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fungsi sistem respirasi

Sistem respirasi memiliki lima fungsi dasar, yaitu; memberi permukaan

yang luas untuk pertukaran gas antara udara luar dan sirkulasi darah, memasukkan

dan mengeluarkan udara dari paru, melindungi permukaan sistem respirasi dari

keadaan dehidrasi, invasi patogen dan perubahan suhu, produksi suara untuk

komunikasi, dan memfasilitasi deteksi berbagai macam bau oleh reseptor-reseptor

olfaktori yang berada pada bagian superior dari nasal cavity. Selain itu, kapiler

paru secara tidak langsung dapat meregulasi volume dan tekanan darah melalui

konversi angiotensin I menjadi angiotensin II.8,9

2.2. Organisasi sistem respirasi

Sistem respirasi dapat dibagi dari segi anatomi dan fungsi. Secara anatomi,

sistem respirasi dibagi menjadi sistem respirasi atas dan sistem respirasi bawah.

Sistem respirasi atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus paranasal, dan faring.

Jalur ini berfungsi sebagai penyaring, penghangat dan pelembab udara yang

masuk, serta melindungi permukaan saluran napas bawah. Sistem respirasi bawah

meliputi laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveolus paru.8,9

Secara fungsi, sistem respirasi dibagi menjadi zona konduksi dan zona

respiratori. Zona konduksi meliputi berbagai ruang dan saluran yang

menghubungkan antara lingkungan luar dan paru seperti hidung, faring, laring,

trakea, bronkus, bronkiolus, dan terminal bronkiolus. Zona respiratori meliputi

jaringan-jaringan dalam paru yang berfungsi untuk pertukaran gas seperti

bronkiolus, duktus alveolus, sakus alveolus, dan alveolus yang merupakan bagian

utama untuk pertukaran gas antara udara dan darah.8

5

Page 19: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

6

Gambar 2.1. Struktur sistem respirasi.(9)

Hidung

Hidung dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu; bagian dalam dan bagian

luar. Bagian luar adalah bagian yang terlihat pada wajah dan diliputi oleh jaringan

penunjang berupa tulang keras dan kartilago yang ditutupi oleh otot, kulit dan

membran mukosa. Tulang-tulang yang menyusun bagian luar dari hidung adalah

tulang frontalis, nasalis dan maksilaris sedangkan kartilago yang menyusun

bagian tersebut adalah kartilago septum nasalis pada bagian anterior, kartilago

nasalis lateralis pada bagian inferior dan kartilago alaris yang membentuk nostril.9

Struktur inferior dari bagian luar hidung memiliki tiga fungsi: 1)

Menghangatkan, melembabkan dan memfiltrasi udara yang masuk; 2) Deteksi

stimulus olfaktori; dan 3) Modifikasi vibrasi suara.9

Bagian dalam hidung merupakan rongga yang luas dan terletak inferior

dari tulang nasal dan superior dari mulut. Batas anteriornya adalah hidung bagian

luar serta bagian posterior berbatasan dengan faring melalui dua pembukaan

disebut choanae. Septum nasal membagi rongga hidung menjadi dua bagian

kanan dan kiri. Ketika udara masuk melalui nostril, udara akan difiltrasi oleh

rambut yang menutupi mukosa hidung dari debu dan partikel lain.9

Hidung

Rongga nasal

Rongga mulut

Laring

Trakea

Faring

Bronkus primer kanan

Paru

Page 20: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

7

Gambar 2.2. Komponen sistem respirasi.(8)

Tiga bagian yang terletak pada dinding lateral dari kedua sisi hidung

disebut konka. Konka terbagi menjadi tiga yaitu; konka nasalis superior, medial

dan inferior. Setiap konka akan bermuara ke dalam sinus dan membentuk meatus

bergantung dari konka; meatus nasi superior, inferior dan medial. Struktur dari

konka dan meatus akan memperluas permukaan area hidung dalam dan mencegah

terjadinya dehidrasi dengan menangkap droplet air saat ekshalasi.9

Faring

Faring merupakan saluran dengan panjang sekitar 13 cm yang dimulai dari

nares interna hingga kartilago cricoid. Faring terletak posterior dari rongga hidung

dan mulut, superior dari laring dan anterior dari vertebra servikalis. Dinding

saluran ini ditutupi oleh otot-otot skelet dan membran mukosa. Kontraksi otot-otot

ini berfungsi untuk proses menelan. Fungsi dari faring sebagai saluran untuk

udara dan makan.9

Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu; nasofaring, orofaring dan

laringofaring. Nasofaring merupakan bagian superior dari faring. Rongga nasal

dipisahkan dari rongga mulut oleh palatum molle. Tonsil faringeal berada pada

Sinus frontal

Konka nasalis: superior, medial

dan inferior

Lidah

Tulang hioid

Laring

Trakea , bronkus

Bronkiolus

Rongga hidung

Sinus sfenoid

Nares internal

Faring

Esofagus,

klavikula

Tulang kostae Diafragma

Paru

kanan

Paru

kiri

Saluran napas atas

Saluran napas bawah

Page 21: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

8

dinding posterior dari nasofaring. Orofaring adalah bagian yang meluas dari

palatum molle hingga dasar lidah pada tingkat tulang hioid. Laringofaring

merupakan bagian inferior faring yang meluas dari tulang hioid hingga perbatasan

laring dan esofagus.8,9

Gambar 2.3.Struktur rongga hidung dan mulut.(8)

Udara yang dihirup melalui hidung menuju ke faring akan melalui muara

yang sempit yang disebut glottis sehingga dapat masuk ke laring. Glottis yang

merupakan batas antara saluran napas atas dan bawah dimana glottis ini terbentuk

dari sepasang lipatan membran mukosa yaitu adalah plica vocalis yang terdapat di

laring.8

2.3. Gangguan Napas saat Tidur

Tidur dan bernapas merupakan suatu proses fisiologik yang terjadi untuk

kelangsungan kehidupan manusia. Jika proses pernapasan ini terganggu atau

berhenti saat tidur dalam beberapa detik hingga beberapa menit, maka dapat

berakibat fatal pada kehidupan manusia.10

Sinus frontalis

Konka nasi superior

Konka nasi media

Konka nasi inferior

Vestibuli nasi

Nares eksterna

Palatum durum

Rongga mulut

Lidah

Palatum molle

Tonsil palatina

Mandibula

Tonsil lingua

Os.hyoid

Kartilago tiroid

Kartilago krikoid

Trakea

Kelenjar tiroid Esofagus

Plica vocalis

Glotis

Epiglotis

Nasofaring

Orofaring

Laringofaring

Tonsil faringeal

Tuba eustachius

Nares interna

Rongga nasal

Page 22: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

9

2.3.1. Siklus Tidur dan sadar

Manusia dalam 24 jam akan melalui proses tidur sebagai irama

sirkadian. Mekanisme ini diatur oleh nukleus suprakiasmatik dari

hipotalamus. Tidur merupakan suatu kondisi fisiologik dan perilaku yang

reversibel ditandai dengan penurunan kesadaran dan respon terhadap

stimulus eksternal, tetapi individu yang tidur tetap sadar terhadap keadaan

internal. Walaupun kesadaran menurun, orang yang tidur dapat dibangunkan

dengan stimulus seperti alarm. 9,11,12

Orang dewasa biasanya membutuhkan 7-8 jam untuk tidur setiap

malam, tetapi waktu, durasi dan pola tidur akan berbeda pada setiap orang

tergantung usianya. Pada usia lanjut dan bayi biasanya memiliki siklus tidur

yang berbeda dengan orang dewasa. Pengaturan siklus tidur setiap hari

memiliki dua prinsip sistem saraf. Prinsip pertama adalah proporsi tidur

tergantung dari durasi keadaan sadar (homeostatis tidur), sedangkan prinsip

kedua adalah pengaturan rhythmic siklus tidur dan sadar melalui beberapa

fase selama 24 jam per hari (jam biologis).13

Siklus tidur yang normal memiliki dua fase : fase NREM (non-rapid

eye movement) yang terjadi sebanyak 70-80% dari seluruh siklus tidur dan

meliputi 4 stadium, serta fase REM (rapid-eye movement) dengan

presentase 20-25% dari seluruh siklus tidur yang terjadi dalam 2 stadium.

Pada dewasa normal, dua stadium dari siklus tidur ini terjadi secara siklus

semireguler yang berlangsung selama 90-120 menit dan berulang sebanyak

3-4 kali per malam.11

Tidur NREM (non-rapid eye movement)

Pada dewasa normal, tidur NREM dapat dibagi menjadi 4 stadium

yaitu; stadium I (NI) yang merupakan masa transisi dari kondisi sadar ke

kondisi tidur. Stadium ini berlangsung selama 1-7 menit dan terjadi

sebanyak 2-5% dari seluruh proses tidur yang ditandai dengan relaksasi

seluruh tubuh dan penurunan kesdaran namun saat individu dibangunkan

Page 23: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

10

pada stadium ini, ia akan menyangkal bahwa ia tertidur. Pada

elektroensefalogram akan terlihat bahwa gelombang theta meningkat

sedangkan gelombag alpha menurun. 9,11

Stadium II (N2) terjadi sebanyak 45-55% dari seluruh proses tidur

dan ditandai dengan penurunan tonus otot serta mata yang bergerak ke

kanan dan ke kiri. Selain itu, Individu yang sudah masuk ke stadium ini

akan mengalami proses bermimpi dan sulit untuk dibangunkan sehingga

disebut dengan light sleep/true sleep. Pada gambaran EEG akan terlihat

gambaran K-kompleks.9,11

Stadium III (N3) terjadi sebanyak 3-8% dari seluruh proses tidur dan

timbul 20 menit setelah individu tertidur. Stadium ini disebut moderate deep

sleep yang ditandai dengan penurunan suhu tubuh dan tekanan darah.9,11

Stadium IV (N4) terjadi sebanyak 10-15% dari seluruh proses tidur

yang disebut deepest level of sleep. Pada stadium ini metabolisme otak akan

menurun secara signifikan dan juga suhu tubuh, tetapi sebagian besar refleks

tubuh akan tetap intak dan tonus otot hanya sedikit berkurang. Stadium 3

dan 4 ini merupakan bagian dari proses tidur yang paling efektif dan dengan

bertambahnya usia individu presentase stadium ini semakin berkurang dari

seluruh proses tidur.9,11

Tidur REM (rapid eye movement)

Tidur rapid eye movement merupakan bagian terbesar dari seluruh

proses tidur yang berlangsung sekitar 7-8 jam dan berulang 3-5 episode

selama tidur. Tahap ini akan terbagi menjadi dua stadium; stadium tonik dan

stadium fasik. Stadium tonik ditandai dengan gambaran asinkronisasi dan

kehilangan tonus pada EEG sedangkan stadium fasik ditandai dengan

pergerakan mata yang cepat dengan frekuensi jantung dan respirasi yang

tidak teratur. Episode pertama dari REM berlangsung 10-20 menit dan

kemudian diikuti oleh episode NREM. Periode REM biasanya berulang

setiap 90 menit hingga periode terakhir yang berlangsung hanya 50 menit.

Page 24: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

11

Pada orang dewasa, total tidur REM 90-120 menit selama proses tidur

berlangsung.9,11

Dengan bertambahnya usia individu total proses tidur akan

berkurang dan presentase tidur REM juga berkurang. Walaupun fungsi

spesifik tidur REM belum diketahui secara pasti, namun presentase yang

tinggi dari fase REM sangat penting untuk maturasi otak. Aktifitas saraf,

aliran darah dan O2 saat tidur REM lebih tinggi daripada saat sadar.9

Pada penderita OSA dengan gejala utama EDS diketahui bahwa

stadium N3 dan N4 dari tidur NREM mengalami gangguan sedangkan

stadium tersebut adalah stadium yang paling baik untuk tubuh agar

mendapatkan istirahat yang cukup.13

2.4. Definisi Sleep Apnea

Sleep Apnea merupakan suatu kondisi terjadinya abnormalitas pada

frekuensi napas secara episodik saat tidur akibat penyempitan saluran napas atas

yang ditandai dengan berkurangnya ventilasi (hypopnea) atau henti napas

(apnea).10

Terdapat tiga tipe apnea / hipopnea; yaitu: tipe obstructive, tipe sentral dan

tipe campuran. Tipe obstructive yakni OSA menurut American Academy of Sleep

Medicine merupakan tipe yang paling sering terjadi akibat obstruksi saluran

napas atas berulang baik secara parsial maupun komplit saat tidur karena relaksasi

otot-otot saluran napas. Hal ini mengakibatkan aliran udara yang masuk ke dalam

tubuh berkurang secara parsial (hypopnea) atau komplit (apnea) saat inspirasi

yang berlangsung sekurangnya 10 detik setiap episode. 4,10,14

Tipe sentral yang ditandai dengan penurunan frekuensi ventilasi atau henti

napas paling sedikit 10 detik atau lebih yang disebut abnormal jika terjadi

sebanyak 5 kali per jam. Hal tersebut terjadi akibat adanya kegagalan sistem saraf

pusat dalam mengendalikan sistem kardiorespirasi selama tidur. Pada keadaan ini

sistem saraf pusat tidak dapat mengirim sinyal ke otot diafragma dan pernapasan

untuk melakukan proses bernapas.10

Page 25: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

12

Tipe campuran (Mixed Sleep Apnea/MSA) adalah tipe yang dimulai

dengan central sleep apnea dan diikuti dengan OSA. 10

Tabel 2.1. Kategori International Sleep Disorder (11)

Kategori Subtipe Contoh

Dissomnia Intrinsik

Ekstrinsik

Gangguan ritme jantung

Insomnia, narkolepsi, OSA

Poor sleep hygiene

Gangguan fase tidur cepat atau

terlambat

Parasomnia Disorder of arousal

Gangguan transisi tidur-sadar

Gangguan REM

Lain

Sleep walking, sleep terrors

Sleep talking, nocturnal leg

cramps

Mimpi buruk

Bruksisme, infant sleep apnea

Gangguan akibat

obat-psikiatri

Gangguan mental

Gangguan neurologi

Lain

Psikosis, gangguan cemas

Demensia, insomnia fatal familial

insomnia

COPD, sleep-related GERD

Proposed Tidur hiperhidrosis, sleep-related

laryngospasm

American Sleep Disorder Association mengderajatifikasikan gangguan

tidur dalam International Sleep Disorder menjadi 4 kategori; yaitu: dyssomnias,

Gambar 2.4. Respirasi dan tidur pada obstructive dan central

apnea (14)

Aliran

udara

Gerakan

abdominal

SaO2

Bangun

&tidur

Central apnea(cyene-stokes

respiration)

Obstructive apnea

Page 26: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

13

parasomnias, sleep disorder associated with medical-psychiatric disorders dan

proposed sleep disorders yang dapat dilihat pada tabel 2.1.11

2.5. Epidemiologi

American Academy of Sleep Medicine menyebutkan bahwa individu yang

mengalami gejala gangguan pernapasan dari OSA pada populasi dewasa sekitar

24%, dan 80-90% merupakan individu yang belum terdiagnosis dengan OSA.

Astuti dkk, pada penelitiannya menyebutkan bahwa prevalensi OSA di RS

Persahabatan sekitar 19,8% berdasarkan kuesioner Berlin dan sekitar 8,9%

berdasarkan polisomnografi. Pada penelitian tersebut, walaupun subjek

perempuan lebih banyak daripada laki-laki tetapi prevalensi OSA pada laki-laki

lebih tinggi dibandingkan perempuan.

OSA dapat terjadi pada semua kelompok usia tetapi risikonya lebih

meningkat pada usia pertengahan dan usia tua karena pada anak-anak prasekolah

dan sekolah hanya sekitar 7-9% mengalami OSA. 4,11,14,15

2.6. Obstructive Sleep Apnea (OSA)

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah hilangnya napas yang spontan saat

tidur. Normalnya, apnea dapat terjadi pada semua individu saat tidur, namun pada

orang dengan sleep apnea terjadi lebih sering dengan frekuensi 300-500 kali per

malam dan durasinya berlangsung sekitar 10 detik atau lebih. Penyebab

terjadinya obstructive sleep apnea adalah adanya obstruksi pada saluran napas

atas terutama faring.16,17

Otot-otot faring secara normal tetap terbuka untuk menjaga aliran udara

tetap masuk ke dalam paru saat inspirasi. Walaupun saat tidur otot-otot faring

akan mengalami relaksasi, tetapi saluran napas tetap dalam keadaan terbuka untuk

memungkinkan pengaliran udara ke dalam paru. Pada beberapa individu yang

mengalami penyempitan saluran napas akan terjadi penutupan saluran ini secara

lengkap akibat relaksasi otot-otot tersebut sehingga udara tidak dapat mengalir ke

dalam paru dan terjadi apnea. Jika terjadi apnea, tubuh akan memberi sinyal

Page 27: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

14

singkat ke otak untuk mengembalikan tonus otot-otot faring sehingga

memungkinkan udara masuk.16,17

Penderita OSA sering mengalami gejala berupa mendengkur dan kesulitan

dalam bernapas segera setelah tidur. Dengkuran yang terjadi biasanya diikuti

dengan periode tidak bernapas yang cukup lama (apnea). Penderita sleep apnea

biasanya akan mengalami kekurangan fase slow wave sleep dibandingkan dengan

fase pertama dari tidur NREM.16,17

Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) adalah bentuk gangguan

napas saat tidur yang berat dan sering menimbulkan gejala tidak nyaman. OSAS

ini ditandai dengan hipoventilasi alveolar kronik, obesitas, hiperapnea (PaCO2 >

45 mmHg) dan sering berkaitan dengan hipertensi pulmonal dan gagal jantung

kanan.11

Dilaporkan oleh Young dkk, bahwa prevalensi OSAS terjadi sebesar 4%

pada laki-laki dewasa dan 2% pada perempuan. Prevalensi meningkat sebanyak

30-40% pada pasien yang memiliki keluhan mendengkur, obesitas, akromegali,

asma, diabetes dan kelainan kraniofasial.1

Gejala dan Tanda OSA

Gejala yang timbul pada siang hari seperti rasa mengantuk terus menerus

(hipersomnolensi) yang berat menunjukkan adanya gangguan tidur seperti tidur

tersedak (sleep choking), mendengkur keras (snoring), gerakan abnormal saat

tidur, nokturia, dan henti napas saat tidur yang mengakibatkan terjadinya

hipoksemia berulang. Aliran udara yang berkurang akan menyebabkan saturasi O2

dalam darah mengalami penurunan hingga 68% jika obstruksi berulang dalam 3

menit. 4,10,14

Page 28: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

15

Selain timbulnya hipersomnolensi pada penderita OSA, akan timbul juga

gangguan konsentrasi, sakit kepala pagi hari, enuresis, gangguan intelektual,

gangguan personalitas, depresi serta penurunan libido. Keadaan OSA yang kronik

akan menyebabkan hipertensi, kecelakaan saat menyetir, penyakit jantung

iskemik, aritmia dan stroke. Insidensi gejala yang terjadi pada OSA dapat dilihat

pada tabel 2.2.6,10,11

Tabel 2.2. Gejala Klinis OSA (6)

Gejala Klinis Insidensi (%) Nokturnal (N)/ Daytime (D)

Restless sleep 99 D

Mental abnormal 58

Perubahan kepribadian 48 D

Impotensi 40

Sakit kepala 35 D

Nokturia 30 N

Enuresis Tidak diketahui N/D

Nocturnal Choking Tidak diketahui N

Mendengkur 95 D

Mengantuk 75 D

Gambar 2.5. obstructive apnea berulang dalam 3 menit

dengan saturasi oksigen menurun hingga 68%(14)

Aliran udara

dari oro-nasal

Saturasi O2 (%)

Page 29: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

16

Patogenesis dan patofisiologi OSA

Patogenesis dari OSA bersifat multifaktorial yang berawal dari

mendengkur saat tidur dan berakhir dengan sindrom obesitas hiperventilasi seperti

halnya pada sleep-disordered breathing yang lain. OSA merupakan suatu keadaan

yang timbul akibat penyempitan saluran napas bagian atas selama tidur.10,11

Bagan 2.1. Patofisiologi OSA (11)

Bagian saluran napas atas yang sering menjadi penyebab dari OSA adalah

antara lain hipertrofi konka, rinitis, polip nasalis, deviasi septum, kelainan panjang

uvula dan palatum molle serta orofaring. Patensi saluran napas atas dapat diatur

oleh otot-otot faring yang dibagi menjadi dua: 1. Otot fase inspirasi, misalnya

m.genioglossus yang mengatur dan menyesuaikan gerakan pernapasan. Tonus otot

inspirasi ini akan diatur selama tidur; 2. Otot yang memiliki tonus ritmik yang

konstan, misalnya m.palatinus tensi yang tonusnya bersifat konstan dan dapat

menurun pada keadaan tidur.10

Resistensi pada saluran napas atas akan meningkat secara bermakna

selama periode tidur dan akan lebih meningkat bila terdapat faktor-faktor

predisposisi yang mendukung terjadinya penutupan saluran napas atas. Bila

tekanan negatif dari otot-otot pernapasan lebih besar dari kemampuan otot-otot

Mendengkur Resistensi saluran

napas atas

Hipopnea Obstructive

sleep apnea

Sindrom

obesitasitas

hiperventilasi

Page 30: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

17

yang berfungsi untuk memperluas saluran napas atas, maka akan terjadi kolaps

pada saluran ini.10

Periode apnea yang terjadi biasanya berakhir dengan bentuk terbangun

secara mendadak dari tidur (arousal) sehingga otot-otot ini dapat berfungsi lagi

dengan cara berdilatasi dan aliran udara kembali normal. Proses arousal ini yang

akan menyebabkan periode tidur mengalami fragmentasi sehingga pasien kadang

terbangun secara mendadak. Akibat obstruksi yang terjadi, maka saturasi O2

dalam tubuh akan mengalami penurunan hingga 4-3% atau lebih. Kebanyakan

pasien akan mengalami keadaan apnea ini 20-30 kali per jam dan dapat terjadi

lebih dari 200 kali per malam. Kondisi ini yang mengakibatkan hipersomnolensi

pada pasien-pasien OSA.10

Faktor predisposisi OSA

Faktor predisposisi OSA adalah: obesitas, jenis kelamin laki-laki, usia

lanjut, pemakaian obat depresan sistem saraf pusat seperti alkohol dan sedatif,

diameter saluran napas yang kecil seperti mikrognathia dan retrognathia,

hipotiroidisme atau akromegali, serta genetik dan familial.6,10

Selain faktor predisposisi yang telah disebut diatas, OSA dapat terjadi

karena adanya beberapa kelainan pada struktur saluran napas atas dan leher;

antara lain: polip nasi, hipertrofi konka, hipertrofi tonsil, hipertrofi adenoid,

deviasi septum nasalis, lingkar leher yang besar, kelainan sendi

temporomandibular, makrognatia, makroglosi, dan kelainan palatum. Faktor-

faktor predisposisi ini dapat dilihat pada tabel 2.3.6

Akibat beberapa faktor predisposisi yang mungkin dapat memperberat

atau mempercepat kondisi OSA, maka diperlukan perhatian pasien dan dokter

untuk menegakkan diagnosis OSA yang tepat dan cepat. Jika diagnosis telah

ditetapkan, maka kualitas hidup pasien dan aktifitas sehari-hari juga meningkat.

Page 31: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

18

Tabel 2.3. Faktor predisposisi OSA(6)

Faktor-faktor predisposisi yang berperan pada OSA

Umum - Obesitas (IMT >30 kg/m2)

- Jenis kelamin (pria > wanita)

- Riwayat OSA pada keluarga

- Pasca menopause

Genetik atau kongenital - Sindrom Down

- Sindrom Pierre Robin

- Sindrom Marfan

Abnormalitas hidung/faring - Rinitis

- Polip nasi

- Hipertrofi tonsil atau adenoid

- Deviasi septum nasi

Penyakit lain - Akromegali

- Hipertiroidisme

Kelainan struktur saluran napas atas - Lingkar leher > 40 cm

- Abnormalitas sendi temporomandibular

- Abnormalitas Palatum

- Mikrognatia

- Retrognatia

- Makroglosia

- Kraniosinostosis

Diagnosis OSA

OSA dapat didiagnosis dengan adanya gejala OSA pada individu. Gejala

yang sering timbul adalah mendengkur keras (loud snoring), tidur yang kurang

efektif (restless sleep) dan hipersomnolen pada siang hari. Selain ketiga gejala

yang telah disebut, terdapat beberapa gejala lain seperti rasa tersedak (choking),

Excessive daytime sleepness (EDS), kelelahan pagi hari, gangguan memori,

penurunan fungsi kognitif, depresi, perubahan mood dan kepribadian, impotensi,

pusing pagi hari (nocturnal headache), nocturnal sweating dan nocturnal

enuresis.18

Page 32: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

19

Pemeriksaan fisik

Selain keluhan dan gejala pasien, pemeriksaan fisik merupakan hal yang

penting dalam penegakan diagnosis OSA yaitu:

1. Evaluasi sistemik : Obesitas dan hipertensi merupakan hal yang paling

sering ditemukan pada penderita OSA dan keduanya berkaitan dengan

tingkat keparahan dari OSA. Studi telah membuktikan bahwa terdapatnya

hubungan antara OSA dan individu dengan IMT > 27,8 kg/m2 pada laki-

laki dan IMT > 27,3 kg/m2 pada perempuan. Begitupun individu dengan

lingkar leher > 17 inci (43.18 cm) pada laki-laki dan > 15 inci (38.1 cm)

pada perempuan, maka oleh karena itu, diperlukan pengukuran lingkar

leher dan IMT pada individu untuk mengetahui faktor predisposisi.11,18

Prevalensi OSA meningkat pada penderita hipertensi, penyakit

jantung koroner, gagal jantung kongestif, penyakit serebrovaskular dan

diabetes melitus. Demikian, sangat diperlukan pengukuran tekanan darah

dan kadar gula untuk menentukan adanya salah satu dari penyakit yang

merupakan faktor risiko OSA.18

Selain itu, dapat dilihat tanda-tanda tiromegali atau tanda kulit

kering, coarse rambut, atau miksedema yang menunjukkan diagnosis

hipotiroid atau adanya gejala depresi. Kedua diagnosis tersebut akan

menyebabkan individu mengalami hipersomnolensi terus menerus dan

kelelahan, maka diperlukan penyingkiran diagnosis tersebut terlebih

dahulu. 11

2. Pemeriksaan kepala dan leher : dapat dilakukan pemeriksaan posisi dan

ukuran mandibula serta maksila. Pada leher dievaluasi ukuran leher, posisi

hioid, dan posisi rahang. 11,18

3. Pemeriksaan hidung : perlu dievaluasi deformitas hidung, tipptosis, nostril

asimetris dan obstruksi katup internal. Pemeriksa dapat melakukan Cottle

maneuver untuk dilatasi katup nasal dan mengetahui tingkat pernapasan.

Dapat dilihat pada rongga nasal: ukuran konka, tanda-tanda polip, massa,

Page 33: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

20

rinitis, purulensi dan posisi septum nasal. Nasofaringoskopi dapat

digunakan untuk evaluasi konka posterior, orifisium tuba eustachius, katup

velofaringeal dan adenoid. Selain itu, velofaring dapat di observasi

langsung melalui Muller maneuver. 11,18

4. Pemeriksaan rongga mulut : pada rongga mulut dilakukan observasi

ukuran dan posisi lidah, panjang palatum dan uvula, ukuran tonsil,

modified Mallmapati score, dan orofaring.18

5. Pemeriksaan hipofaring : hipofaring dapat di evaluasi dengan

nasofaringoskopi untuk melihat dasar lidah, tonsil lingua, masa obstruksi

di supraglottis, glotis, subglottis laring. Kelainan vallecula, epiglottis,

dinding lateral faring dan obstruksi umum akibat lidah dapat juga

mengakibatkan kolaps hipofaringeal saat tidur. 11,18

6. Obstructive Sleep Apnea/Hypopnea Syndrome Score (OSAHS score) :

sistem skoring ini telah diciptakan untuk mempermudah staging dari OSA

pada individu. Skoring mengandung 3 komponen penilaian; yaitu: a)

ukuran tonsil, b) rongga mulut, dan c) BMI. 11

Tabel 2.4. Sistem staging Friedman(11)

Stage Friedman Palate

Position

Ukuran Tonsil BMI

I 1

2

3,4 <40

<40

II 1,2

3,4

1,2

3,4

<40

<40

III 3

4

0,1,2

0,1,2

<40

<40

IV 1,2,3,4 0,1,2,3,4 >40

Page 34: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

21

Tabel 2.5. Pemeriksaan fisik pada OSA.(18)

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik

Obstruksi nasal

- Deviasi septum

- Hipertrofi konka

- Kolaps katup nasal

- Hipertrofi adenoid

- Polip atau tumor nasal

Obstruksi Orofaringeal

- Palatum molle yang besar

- Hipertrofi tonsil palatina

- Posterior pharyngeal wall banding

- Makroglosia

- Large mandibular tori

- Narrow skeletal arch

Obstruksi hipofaringeal

- Kolaps dinding lateral faring

- Omega-shaped epiglottis

- Tumor hipofaringeal

- Hipertrofi tonsil lingual

- Retrognathia dan mikrognathia

Obstruksi laring

- Paralisis true vocal cord

- Tumor laring

Obstruksi leher umum

- Lingkar leher yang besar

- Redundant cervical

adipose tissue

Habitus tubuh umum

- Obesitas

- Achondroplasia

- Chest wall deformity

- Marfan’s syndrome

Tanda kardiovaskular

- Hipertensi arterial

terutama hipertensi pagi

hari

- Edema perifer

Pemeriksaan radiologi

Fiberoptic nasopharyngoscopy merupakan salah satu teknik yang dapat

digunakan untuk evaluasi jalan napas dan menentukan tingkat obstruksi: nasal,

retropalatal atau retrolingual. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan berbagai

posisi saat bangun dan tidur.18

Pemeriksaan radiologi dapat juga dilakukan untuk identifikasi letak dan

keparahan dari obstruksi saluran napas bagian atas atau kolaps pada OSA. Teknik-

teknik radiologi ini hanya dapat dilakukan pada individu yang sadar, maka

obstruksi jalan napas selama tidur tidak dapat di identifikasi. Cephalometric

radiograph adalah pemeriksaan radiologi yang sering digunakan untuk evaluasi

penderita OSA. Pencitraan ini dapat memberikan informasi mengenai tulang dan

Page 35: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

22

jaringan lunak. Pada beberapa penelitian telah membuktikan dengan cephalometry

bahwa penderita OSA mengalami inferior displacement pada tulang hioid, ruang

posterior jalan napas yang sempit dan palatum molle yang panjang namun

cephalometry tidak dapat membedakan anatara OSA dan non-OSA secara

signifikan.18

Computed tomograph (CT) memberi detail anatomi tulang dan jaringan

lunak yang sangat baik namun sensitifitasnya untuk diagnosis OSA rendah.

Magnetic resonance imaging (MRI) dapat membedakan antara berbagai jaringan

lunak namun MRI ini mahal dan penggunaannya terbatas. Kedua pencitraan ini

walaupun sangat baik untuk mendeteksi kelainan anatomi, tetapi tidak dapat

membedakan anatara OSA dan non-OSA.17

Fluoroscopy merupakan alat pemeriksaan jalan napas yang dinamik untuk

mengevaluasi letak obstruksi. Somnofluoroscopy adalah pemeriksaan yang

dilakukan saat tidur yang mendukung keadaan uvulopalatopharyngoplasty

sehingga dapat mengidentifikasi letak dari obstruksi awal namun pemeriksaan ini

memerlukan waktu yang lama dan radiasi yang tinggi.18

Pemeriksaan khusus

Selain pemeriksaan penunjang dengan pencitraan, terdapat beberapa

pemeriksaan khusus untuk diagnosis OSA, diantaranya:

1. Multiple sleep latency testing : tes ini merupakan tes yang objektif dalam

evaluasi tidur saat beraktifitas dan berapa kali tertidur yang diulang setiap

2 jam. Normal sleep latency adalah 10-20 menit, sedangkan pasien dengan

EDS biasanya memiliki sleep latency 5 menit atau kurang. 11,18

2. Polisomnografi (PSG) : alat ini merupakan alat ukur yang definitif untuk

evaluasi OSA sepanjang malam karena melakukan perekaman langsung

aktifitas otak pasien selama tidur. PSG merekam durasi tidur dan gejala

yang terjadi saat tidur (mendengkur, hipopnea, apnea, thoracoabdominal

excursion, pergerakan ekstremitas dll). Selain dapat mendiagnosis OSA,

PSG juga dapat menentukan tingkat keparahan OSA dan membedakan

Page 36: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

23

antara OSA, central sleep apnea dan gangguan lain yang menyebabkan

hipersomnolensi.11,18

3. Drug-induced sleep endoscopy : pemeriksaan ini dilakukan dengan

pemberian sedatif untuk mengetahui obstruksi dinamik selama tidur. 11,18

4. Tes subjektif : tes-tes subjektif dapat dilakukan oleh pasien sendiri untuk

menilai keadaan hipersomnolensi yang terjadi pada individu saat

beraktifitas. Uji yang digunakan adalah : Functional Outcomes of Sleep

Questionnaire (FOSQ) dan Stanford Sleepness Scale (SSS). FOSQ menilai

kecukupan tidur untuk melakukan aktifitas sehari-hari dan SSS

menanyakan seberapa pasien saat ini merasa mengantuk. Selain itu,

kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS) yang merupakan skala

internasional dalam penentuan daytime sleepiness. OSA kemungkinan

terjadi pada individu dengan nilai ESS lebih dari 10.11,18

Tabel 2.6. Epworth sleepness scale (6)

Komplikasi

Sekitar 20% penderita OSA sering tertidur saat mengendarai mobil dan hal

ini meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan. Telah dilaporkan dari beberapa

studi korelasi antara OSA dan penyakit kardiovaskular seperti hipertensi. Studi

mengatakan bahwa penderita OSA yang berat memiliki faktor risiko penyakit

hipertensi sebanyak 1,5 pada laki-laki dan 1,17 pada perempuan.11

Page 37: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

24

Talaksana OSA (Obstructive sleep apnea)

Tatalaksana pada OSA dapat dibagi menjadi dua yaitu: tatalaksana non

bedah dan tatalaksana bedah.

Talaksana non-bedah

- Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) merupakan terapi yang

sering digunakan pada OSA. CPAP dapat menurunkan terjadinya

dengkuran yang keras dan apnea serta dapat mengatasi EDS. Terapi

dengan CPAP sangat efektif dalam menurunkan gejala OSA hingga 90-

95% dengan penggunaan 4-5 jam/malam. Penelitian belum mempelajari

durasi reguler penggunaan CPAP untuk menurunkan dan mengeliminasi

gejala sisa (sequelae) jangka panjang. Penderita OSA yang menggunakan

CPAP biasanya mengalami claustrophobia, pusing, rinitis, iritasi wajah

dan hidung, aerophagia. 11

- Oral appliances dapat digunakan pada pasien dengan dengkuran yang

primer, OSA ringan sampai sedang dan pasien yang tidak ingin

menggunakan CPAP. Titratable mandibular repositioning devices adalah

alat yang paling sering digunakan. Alat ini dapat menurunkan gejala OSA

dan efektifitasnya sama seperti CPAP. Kerugian dari penggunaan alat ini

adalah nyeri pada sendi temporomandibular, sakit kepala dan salivasi

berlebihan. 11

- Penurunan berat badan : pasien overweight harus didukung untuk

melakukan penurunan berat badan sehingga dapat menjadikan diameter

saluran napas lebih luas dan meningkatkan fungsinya. 11

- Modifikasi gaya hidup : pasien di edukasi agar tidak menggunakan obat-

obat sedatif, alkohol, nikotin dan kafein pada sore hari karena zat tersebut

akan mempengaruhi tonus otot-otot saluran napas dan mekanisme sentral

pernapasan. 11

- Terapi posisi : beberapa pasien mengalami OSA pada posisi tertentu

seperti pada pasien dengan primery supine-dependent obstructive,

biasanya di beritahukan agar tidur dalam posisi lateral dekubitus untuk

mencegah terjadinya obstruksi. Terapi lain adalah eksternal nasal dilator

Page 38: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

25

dan obat efedra-efedrin merupakan pengobatan yang populer untuk

mengatasi dengkuran dan OSA. Walaupun beberapa obat ini dapat

mengurangi gejala mendengkur pada pasien dengan rinitis kronik atau

obstruksi nasal, namun produk ini belum terbukti memberikan keuntungan

yang signifikan dalam mengatasi primary snoring atau OSA.11

Talaksana bedah

- Persiapan pre-operasi : penatalaksanaan operatif dilakukan tergantung dari

letak kelainan individu yang menyebabkan terjadinya OSA dengan tujuan

mengoptimalkan efektifitas dari operasi dan meminimalkan morbiditas.

Evaluasi ulang dilakukan 4-6 bulan setelah operasi untuk mengetahui efek

dari terapi bedah tersebut pada pasien OSA. Prosedur-prosedur

pembedahan akan dilakukan setelah pemeriksaan fisik, endoskopi dengan

maneuver Muller, sefalometri dan PSG. Pembedahan ini memiliki dua fase

yaitu fase 1 dan fase 2 operasi. 11,18

- Operasi fase 1: operasi ini dilakukan pada pasien OSA tipe 1 anatomi

saluran napas atas seperti obstruksi orofaringeal dengan

uvulopalatopharyngoplasty (UPPP), tipe 2 anatomi saluran napas atas

seperti obstruksi orofaringeal dan hipofaringeal dengan UPPP dan

genioglossus advancement dengan atau tanpa hyoid myotomy, dan tipe 3

anatomi saluran napas atas seperti obstruksi hipofaringeal dengan

genioglossus advancement tanpa operasi palatum. Semua pasien yang

akan menjalani fase 1 pembedahan akan dilakukan anastesi umum dan

harus diberitahukan kemungkinan risiko dari anastesi, nyeri postoperasi,

infeksi, perdarahan, dan insufisiensi velopharyngeal jangka panjang dan

pendek pada pasien UPPP. 11,18

- Pembedahan fase 2 (maxillary-mandibulae osteotomy) : dilakukan pada

pasien yang tidak membaik dengan operasi fase 1 setelah di evaluasi 6

bulan kemudian. 11,18

- Selain yang telah disebut, terdapat beberapa tindakan bedah dalam

penatalaksanaan OSA tergantung pada letak kelainannya seperti: laser-

Page 39: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

26

assisted uvuloplasty (LAUP), ablasi radiofrekuensi, operasi basis lidah,

trakeostomi, implant palatal. 11,18

2.7. Excessive Daytime Sleepiness (EDS)

Excessive Daytime Sleepiness (EDS) salah satu komponen dari kelainan

hipersomnia yang didefinisikan berdasarkan International Classification of Sleep

Disorders (ICSD) sebagai kondisi individu yang jatuh tidur termasuk kesulitan

dalam mengendalikan keadaan sadar penuh dan secara tidak sadar jatuh tidur.19

Pada praktik klinik, keluhan EDS ini biasanya di interpretasikan sebagai

perasaan mengantuk, penurunan tenaga, dan kelelahan serta rasa kantuk yang

tidak dapat di kontrol. Secara klinis, terjadi kesulitan dalam membedakan antara

EDS yang sebenarnya dari kondisi kelelahan yang biasa. Kevin R. telah

melaporkan prevalensi EDS berkisaran antara 3% hingga 20% yang dipilih secara

random pada orang usia lanjut dan sebanyak 22.6% pada orang yang mengalami

EDS dengan kecelakaan kerja. 19

Penyebab dari EDS bervariasi seperti insufisiensi tidur, tidur yang tidak

adekuat akibat konsumsi obat-obat tertentu dan kondisi kesehatan yang serius.

Sekitar 65 penyakit tidur primer dapat menyebabkan EDS. OSA salah satu kondisi

yang paling sering dikaitkan dengan keadaan EDS pada individu dengan skor

apnea-hypopnea 5 atau lebih. Kevin R. menduga bahwa EDS diderita oleh 2%

dari populasi perempuan dan 4% dari populasi laki-laki. 19

Untuk menilai keadaan EDS dimulai dari riwayat individu secara klinis

untuk identifikasi EDS dari keadaan kelelahan umum. Riwayat ini meliputi jadwal

tidur, perilaku tertentu saat tidur, faktor risiko dari penyakit napas saat tidur atau

narkolepsi, dan riwayat keluarga. Kemudian dilakukan penilaian secara subjektif

oleh individu tersebut dengan menggunakan kuesioner khusus untuk menilai

keadaan EDS seperti kuesioner Stanford Sleepiness Scale dan Epworth Sleepiness

Scale. Walaupun ESS ini tidak tervalidasi pada pasien yang banyak namun

kuesioner ini paling sering digunakan karena singkat, mudah digunakan dan di

interpretasikan, serta dapat digabungkan dengan kuesioner lain untuk diagnosis

penyakit-penyakit tidur. 19

Page 40: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

27

Selain itu, salah satu penyebab primer dari EDS adalah kekurangan durasi

tidur pada malam hari. Di beberapa negara masalah kekurangan tidur timbul

akibat adanya tekanan ekonomi dan sosial. Gangguan sirkadian pada individu

dapat menjadi salah satu penyebab dasar dari gejala EDS. siklus sirkadian normal

dapat diatur oleh nukleus supra-kiasmatikus dari hipotalamus sehingga lokasi

tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor berupa aktifitas fisik terutama

sinar lingkungan. EDS juga sering dialami oleh shift-workers yang memiliki

durasi tidur lebih sedikit dalam 24 jam.20

Page 41: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

28

2.8. Kerangka Teori

Gangguan pernapasan saat tidur

Saturasi O2 dalam darah berkurang

Pasien terbangun mendadak

(arousal) pada malam hari

Proses tidur tidak efektif (tidur

NREM stadium 3&4 terganggu)

Abnormalitas frekuensi napas

episodik saat tidur

Obstructive Central Campuran

Otot-otot faring

relaksasi

Resistensi sal. Napas

atas meningkat

Kegagalan Sistem

saraf pusat

SSP tidak mengirim

sinyal ke otot penapasan

Aliran udara yang

masuk menurun

Tidak bernapas

Aliran udara

berkurang

Kegagalan SSP

Sistem kardiorespirasi

tidak terkendali

Ganggauan

pernapasan

Gangguan pada otot-

otot pernapasan

Resistensi sal. Napas

atas meningkat

Aliran udara

berkurang

Mendengkur keras saat tidur dan

Hipersomnolensi siang hari

Excessive daytime

sleepiness (EDS)

Obstructive sleep

apnea (OSA)

Gangguan

napas berat

Hipoventilasi

alveolar kronik,

hiperkapnea

Faktor risiko:

obesitasitas, usia

lanjut, hipertensi,

ganggguan jantung

Kelainan palatum,

makroglosia,

retrognatia,

mikrognatia, lingkar

leher > 40 cm,

hipertrofi tonsil,

rinitis, polip nasal,

deviasi septum nasi

Page 42: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

29

2.9. Kerangka Konsep

Keterangan :

: area penelitian

Kelainan otot faring

Ukuran leher yang

besar

Jenis kelamin

Indeks massa tubuh

Riwayat tonsilektomi

Riwayat merokok

Makroglosi

Kebiasaan olahraga

Gangguan pernapasan saat tidur

Gejala utama : mendengkur keras

dan hipersomnolensi

Pemeriksaan subjektif : Epworth

sleepness scale (ESS)

Excessive daytime sleepness

(EDS)

Obstructive sleep apnea (OSA)

Obstruksi jalan napas atas

Rongga nasal

Naso-orofaring

Hipofaring

Deviasi septum

Hipertrofi konka

Tonsil

Palatum

Dasar lidah

Rhinitis alergi

Page 43: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

30

2.10. Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Skala

Excessive Daytime

Sleepness (EDS)1

Timbulnya rasa mengantuk

pada siang hari

Epworth Sleepiness Scale (ESS) Mahasiswa mengisi kuesioner

ESS kemudian dari hasil

pengisian skornya akan

ditotalkan dan di interpretasikan

1. Nilai < 10 tidak mengalami

EDS

2. Nilai ≥ 10 mengalami EDS

Nominal

Indeks Massa Tubuh

(IMT)1

Skala pengukuran berat

badan sesuai tinggi badan

IMT didapat dengan mengetahui

berat badan (BB) dan tinggi

badan (TB) responden

IMT = BB/ (TB)2 1. < 18.5 kg/cm2

(underwieght)

2. 18.5-22.9 kg/cm2 (Normal)

3. ≥ 23 kg/cm2 (Overwieght)

4. ≥ 25 kg/cm2 (Obesitas)

Ordinal

Lingkar Leher1 Besaran lingkar leher Kaliber merk seca Pengukuran dilakukan setinggi

tulang krikoid dan kemudian

mengelilingi seluruh leher

1. < 43 cm

2. > 43 cm

Nominal

Olahraga Frekuensi olahraga setiap

minggu

Kuesioner demografi Mengisi kuesioner demografi

untuk frekuensi olahraga

1. Frekuensi 1x/minggu

2. Frekuensi 2x/minggu

3. Frekuensi ≥ 3x/minggu

Ordinal

Merokok Individu yang sedang

memiliki kebiasan merokok

Kuesioner demografi Pemberian kuesioner demografi 1. Merokok

2. Tidak merokok

Nominal

Makroglosi Besaran lidah terhadap

rongga mulut

Tongue edge crenation

Mallampati score

Pemeriksaan fisik THT 1. Terdapat Tongue edge

crenation dan tidak

terdapat tongue edge

crenation

2. Mallampati Class I, II,III,

IV

Ordinal

Tonsilektomi Individu dengan riwayat

pembedahan tonsil

Kuesioner demografi

Spaltel togue

Pemberian kuesioner demografi

dan pemeriksaan THT

1. T0

2. Tidak T0

Nominal

Deviasi septum Pergeseran septum dari garis

tengah pada rongga hidung

Rinoskopi anterior Pemeriksaan THT 1. Deviasi septum

2. Tidak deviasi

septum

Nominal

Hipertrofi konka Pembengkakan dari konka

inferior pada dinding lateral

nasal

Rinoskopi anterior Pemeriksaan THT 1. Hipertrofi konka

2. Eutrofi konka

Nominal

Hipertofi tonsil1 Pembesaran tonsil faringeal Spaltel tongue Pemeriksaan THT 1. T1

2. > T1

Nominal

Page 44: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

31

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain

potong lintang (cross sectional)

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada Bulan Februari 2013-

september 2013 di kampus FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.3. Populasi Peneltian

3.3.1. Populasi Target

Populasi target untuk penelitian ini adalah seluruh mahasiswa

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

3.3.2. Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau untuk penelitian ini adalah seluruh

mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD) FKIK UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1. Kriteria Inklusi

Mahaiswa FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.2. Kriteria Eksklusi

- Mahasiswa FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

angkatan klinik (2007, 2008, 2009)

31

Page 45: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

32

- Mahasiswa FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan

farmasi, keperawatan dan kesehatan masyarakat

- Mahasiswa yang menolak mengikuti pemeriksaan fisik

THT.

3.5. Besar Sampel

3.5.1. Perhitungan Besar Sampel

Jumlah Sampel :

n = jumlah sampel

Zα = deviat baku alfa (2,576)

Untuk alfa = 1%, uji dua arah

P = proporsi total (30-40%, Sihombing CR, 2008)

Q = 1-P

d = persisi (10%)

3.6. Cara Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa

preklinik dengan metode pemilihan sampel simple random sampling.

3.7. Cara Kerja Penelitian

1. Dilakukan penyebaran kuesioner pada mahasiswa angkatan

preklinik PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta setelah

Page 46: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

33

memberi keterangan kepada mahasiswa mengenai cara pengisian

kuesioner.

2. Kuesioner dinilai total skor yang didapatkan pada masing-masing

responden.

3. Dilakukan penghitungan prevalensi EDS yang terdapat pada

mahasiswa.

4. Data yang diperoleh akan dilakukan analisis bivariat dengan SPSS-

16

3.8. Alur Penelitia

Persiapan penelitian

Pembagian kuesioner

Epworth sleepiness scale

Jenis kelamin Pengukuran IMT

Anamnesis

Analisis hubungan obesitasitas, jenis kelamin,

tonsilektomi, olahraga, makroglosi, deviasi septum,

hipertrofi tonsil, hipertrofi konka, riwayat merokok, dan

lingkar leher dengan EDS

Penghitungan score ESS

ESS<10 ESS≥10

Pemeriksaan

fisik

Analisis data

Lingkar leher

Makroglosi

Riwayat rokok

Riwayat

tonsilektomi

Tonsilektomi Olahraga

Hipertrofi konka

Hipertrofi tonsil

Deviasi septum

Page 47: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

34

3.9. Pengumpulan dan Penyajian Data

Semua penelitian akan dicatat dalam formulir yang telah

ditentukan dan kemudian dilakukan pengelolaan dengan

menggunakan program SPSS-16. Hasil penelitian akan dilaporkan

dalam bentuk teks, tabel atau grafik. Laporan hasil penelitian akan

dituangkan dalam bentuk tulisan dan disajikan dalam sidang ilmiah di

hadapan penguji.

3.10. Rencana Analisis Data

Untuk latar belakang responden akan dianalisis secara

deskriptif dan kemudian dari data yang telah diisi oleh responden

dapat diketahui faktor risiko yang mempengaruhi keadaan EDS

seperti; obesitasita, jenis kelamin, riwayat tonsilektomi, merokok,

olahraga, makroglosi, hipertrofi konka, tonsil, deviasi septum dan

lingkar leher.

3.11. Etika Penelitian

Sebelum pelaksanaan penelitian, terlebih dahulu diajukan

persetujuan penelitian. Semua informasi yang diambil akan tetap

dirahasiakan.

3.12. Organisasi Penelitian

Peneliti : Nadia Entus Nasrudin Tubagus

Pembimbing I : dr. Ibnu Harris Fadillah, SpTHT-KL

Pembimbing II : Ratna Pelawati, S.Kp, M.Biomed

Page 48: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

35

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Distribusi Demografi

4.1.1. Karakteristik demografi responden

Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai agustus 2013 dan

hasil penelitian diperoleh dari 140 responden yang telah didapat dengan

menggunakan metode simple random sampling. Peneliti mendata mahasiswa

preklinik berdasarkan nomor induk mahasiswa di PSPD FKIK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, dan kemudian di lakukan simple random pada nomor

induk mahasiswa ketiga angkatan. Penelitian ini dilakukan dengan pembagian

kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS), kuesioner demografi dan

pemeriksaan lengkap telinga, hidung, dan tenggorokan (THT), lingkar leher,

dan pemeriksaan kuesioner pada setiap responden.

Tabel 4.1. Sebaran Demografi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.1 diatas menunjukkan bahwa dalam penelitian ini jumlah

mahasiswa perempuan lebih banyak (68.6%) dibandingkan mahasiswa laki-

laki (31.4%) sehingga dapat disimpulkan bahwa sebaran jenis kelamin

didominasi oleh jenis kelamin perempuan.

4.1.2. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi masing-

masing variabel independen dan variabel dependen yang diteliti.

Karakteristik Jumlah Persentase (%)

Jenis Kelamin:

Laki-laki

Perempuan

44

96

31.4

68.6

35

Page 49: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

36

Selanjutnya distribusi responden penelitian dan hasil analisisnya dapat

dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini.

Tabel 4.2. Sebaran Demografi responden

Karakteristik Demografi Jumlah Persentase (%)

Indeks massa tubuh:

Underweight

Normal

Overweight

Obesitas

12

81

24

23

8.6

57.9

17.1

16.4

Riwayat tonsilektomi

Positif

Negatif

10

130

7.1

92.9

Riwayat merokok:

Merokok

Tidak merokok

7

133

5

95

Olahraga

1x/minggu

2x/minggu

≥ 3x/minggu

Tidak olahraga

52

23

23

42

37.1

16.4

16.4

30

Berdasarkan hasil penelitian yang terlihat pada tabel 4.2 dari 140

responden yang diteliti, jumlah mahasiswa dengan IMT underweight adalah

sebanyak 12 orang (8.6%), normal sekitar 81 orang (57.9%), overweight

sebanyak 24 orang (17.1%), dan yang obesitas sebanyak 23 orang (16.4%).

Dapat diketahui juga bahwa jumlah mahasiswa dengan riwayat tonsilektomi

adalah sebanyak 10 orang (7.1%) dan yang tidak pernah dilakukan operasi

tonsilektomi sekitar 130 orang (92.9%). Riwayat merokok terdapat pada 7

orang (5%) dan 133 orang (95%) mengakui tidak merokok sedangkan riwayat

olahraga diakui oleh 52 orang (37.1%) dengan frekuensi 1x/minggu, 23 orang

Page 50: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

37

(16.4%) dengan frekuensi 2x/minggu, 23 orang (16.4%) dengan frekuensi

≥3x/minggu, serta 42 orang (30%) tidak melakukan aktifitas olahraga yang

rutin.

Tabel 4.3. Sebaran Demografi Pemeriksaan Fisik Responden

Karakteristik Demografi Jumlah Persentase (%)

Ukuran Lidah

Normoglosi

Makroglosi

117

23

83.6

16.4

Lingkar leher:

<43 cm

>43 cm

140

-

100

-

Deviasi Septum

Deviasi

Tidak Deviasi

75

65

53.6

46.4

Hipertrofi Konka

Eutrofi

Hipertrofi

72

68

51.4

48.6

Hipertrofi Tonsil

T1

T2

T3

T4

94

23

13

1

67.1

16.4

9.3

0.7

Mallampati Score

Derajat 1

Derajat 2

Derajat 3

Derajat 4

46

68

16

10

32.9

48.6

11.4

7.1

Tabel 4.3. di atas menunjukkan bahwa pada pemeriksaan fisik

ditemukan bahwa lingkar leher responden tidak ada yang melebihi 43 cm

Page 51: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

38

sehingga 140 orang (100%) dengan lingkar leher <43 cm. Pemeriksaan lidah

untuk identifikasi ukuran lidah menunjukkan bahwa sekitar 117 orang

(83.6%) dengan keadaan normoglosi dan 23 orang (16.4%) yang mengalami

makroglosi. Pada pemeriksaan rongga mulut ditemukan bahwa sekitar 46

orang (32.9%) derajat 1, 68 orang (48.6%) derajat 2, 16 orang (11.4%) derajat

3, dan 10 orang (7.1%) derajat 4 sedangkan keadaan tonsil pada 94 orang

(67.1%) ditemukan T1, 23 orang (16.4%) dengan T2, 13 orang (9.3%) dengan

T3, dan 1 orang (0.7%) dengan T4.

Tabel 4.4. Prevalensi EDS

Dari 140 responden pada penelitian ini ditemukan sebanyak 77

mahasiswa (55%) yang mengalami EDS dengan penilaian ESS ≥10,

sedangkan jumlah yang tidak mengalami EDS sebanyak 63 mahasiswa (45%)

dengan skor ESS <10.

4.2. Analisis Bivariat

1. Jenis analisa yang digunakan pada penelitian ini adalah analisa bivariat

komparatif kategorik yang akan dilakukan pada setiap variabel.

2. Mengingat bahwa lingkar leher merupakan data yang konstan sehingga

tidak dapat dilakukan analisis statistik.

Pada tabel 4.5. dibawah tentang hubungan jenis kelamin dengan

EDS didominasi oleh jenis kelamin laki-laki yang positif EDS yaitu

sebanyak 27 orang (61.3%) dan pada perempuan sekitar 50 orang (52%).

Karakteristik Jumlah Persentase (%)

Hasil kuesioner ESS:

EDS

Non EDS

77

63

55

45

Page 52: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

39

Tabel 4.5. Hubungan jenis kelamin dengan EDS

Keterangan : *uji chi-square

Pada tabel 4.6. dibawah tentang hubungan indeks massa tubuh

dengan EDS dapat dilihat bahwa mahasiswa yang mengalami EDS dengan

kategori IMT underweight terdapat sebanyak 5 orang (41.6%) dan

mahasiswa dengan IMT normal terdapat sebanyak 48 orang (59.2%),

sedangkan pada mahasiswa dengan kategori IMT overweight ditemukan

sebanyak 11 orang (45.8%) serta mahasiswa yang obesitas terdapat sekitar

13 orang (56.5%) yang positif EDS.

Tabel 4.6. Hubungan IMT dengan EDS

Keterangan : *chi-square

Tabel 4.7. di bawah tentang hubungan riwayat tonsilektomi dan

hipertrofi tonsil dengan EDS menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa yang

mengalami EDS dengan riwayat tonsilektomi adalah 5 orang (50%)

sedangkan jumlah mahasiswa tanpa riwayat tonsilektomi adalah 72 orang

(55.3%) namun yang tidak mengalami EDS pada mahasiswa dengan

Jenis

Kelamin

ESS p-value

EDS

n (%)

Non EDS

n (%)

Laki-laki

Perempuan

27 (61.3%)

50 (52%)

17 (38.6%)

46 (47.9%)

0,306*

Indeks Massa Tubuh

ESS p-value

EDS

n (%)

Non EDS

n (%)

Underweight

Normal

Overweight

Obesitas

5 (41.6%)

48 (59.2%)

11 (45.8%)

13 (56.5%)

7 (58.3%)

33 (40.7%)

13 (54.1%)

10 (43.4%)

0,514*

Page 53: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

40

riwayat tonsilektomi terdapat 58 orang (44.6%) serta yang tidak pernah

melakukan operasi tonsilektomi sekitar 5 orang (50%).

Pada keadaan hipertrofi tonsil mahasiswa dengan ukuran tonsil T1

terdapat sebanyak 49 orang (52.1%), ukuran tonsil T2 sebanyak 14 orang

(60.8%) dan 10 orang (76.9%) dengan ukuran T3 yang mengalami EDS.

Selain itu, mahasiswa yang tidak mengalami EDS pada ukuran tonsil T1

terdapat 45 orang (47.8%), T2 terdapat 9 orang (39.1%), T3 terdapat 3

orang (23%) dan ukuran T4 hanya terdapat 1 orang.

Tabel 4.7. Hubungan keadaan tonsil dengan EDS

Keterangan : *Fisher’s Exact test 1 sided

**Fisher’s Exact test 2 sided

***Kolmogorov-Smirnov Z

Dari tabel 4.8. dibawah tentang hubungan riwayat merokok dan

olahraga dengan EDS dapat terlihat bahwa jumlah yang mengalami EDS

dengan riwayat merokok adalah 5 orang (71.4%) dan yang tidak merokok

72 orang (54.1%) sedangkan pada mahasiswa yang tidak mengalami EDS

dengan adanya kebiasaan merokok terdapat 2 orang (28.5%) serta yang

tidak merokok terdapat 61 orang (45.8%)

Keadaan Tonsil

ESS p-value

EDS

n (%)

Non EDS

n (%)

Riwayat tonsilektomi:

Positif

Negatif

5 (50%)

72 (55.3%)

5 (50%)

58 (44.6%)

0,754*

0,496**

Hipertorfi tonsil:

T1

T2

T3

T4

49 (52.1%)

14 (60.8%)

10 (76.9%)

0

45 (47.8%)

9 (39.1%)

3 (23%)

1 (100%)

0,620***

Page 54: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

41

Mahasiswa EDS dengan frekuensi olahraga 1x/minggu terdapat

sebanyak 23 orang (44.2%), frekuensi 2x/minggu sebanyak 16 orang

(69.5%), dan frekuensi ≥ 3x/minggu sebanyak 15 orang (65.2%) serta

yang tidak olahraga terdapat sebanyak 23 orang (54.7%). Pada mahasiswa

yang tidak mengalami EDS dapat terlihat bahwa sekitar 29 orang (55.7%)

dengan frekuensi 1x/minggu, sebanyak 7 orang (30.4%) dengan frekuensi

2x/minggu, dan 8 orang (34.7%) dengan frekuensi ≥ 3x/minggu serta 19

orang (45.2%) yang tidak berolahraga.

Tabel 4.8. hubungan kebiasaan merokok dan olahraga dengan EDS

K

Keterangan : *Fisher’s test 1 sided

**Fisher’s test 2 sided

***Chi-Square

Dari tabel 4.9. dibawah tentang hubungan ukuran lidah dan

mallampati score dengan EDS dapat terlihat bahwa yang mengalami EDS

dengan makroglosi terdapat sebanyak 11 orang (47.8%) sedangkan yang

normoglosi sebanyak 66 orang (56.4%). Mahasiswa non EDS dengan

ukuran lidah normal terdapat sebanyak 51 orang (43.5%) sedangkan yang

memiliki lidah besar terdapat sebanyak 12 orang (52.1%).

Selain itu, ditemukan bahwa mahasiswa dengan EDS pada

klasifikasi mallampati score terdapat sebanyak 24 orang (52.1%) untuk

Variabel

ESS p-value

EDS

n (%)

Non EDS

n (%)

Merokok:

Positif

Negatif

5 (71.4%)

72 (54.1%)

2 (28.5%)

61 (45.8%)

0,458*

0,311**

Riwayat olahraga:

1x/minggu

2x/minggu

≥ 3x/minggu

Tidak olahraga

23 (44.2%)

16 (69.5%)

15 (65.2%)

23 (54.7%)

29 (55.7%)

7 (30.4%)

8 (34.7%)

19 (45.2%)

0,146***

Page 55: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

42

derajat I, 39 orang (57.3%) untuk derajat II, 9 orang (56.2%) untuk derajat

III, serta 5 orang (50%) pada derajat IV sedangkan mahasiswa non EDS

terdapat sebanyak 22 orang (47.8%) pada derajat I, 29 orang (42.6%) pada

derajat II, 7 orang (43.7%) pada derajat III, dan 5 orang (50%) pada

derajat IV.

Tabel 4.9. Hubungan ukuran lidah dan mallampati score dengan EDS

Keterangan : *Chi-square

**Kolmogorov-Smirnov Z

Dari tabel 4.10. dibawah tentang hubungan deviasi septum dan

hipertrofi konka dengan EDS dapat terlihat bahwa mahasiswa yang

mengalami EDS dengan deviasi septum terdapat sebanyak 42 orang

(56.7%) sedangkan EDS dengan hipertrofi konka terdapat sebanyak 37

orang (54.4%).

Pada keadaan non EDS ditemukan bahwa jumlah mahasiswa

dengan hipertrofi konka adalah 31 orang (45.5%) dan 32 orang (43.2%)

yang mengalami deviasi septum.

Variabel

ESS p-value

EDS

n (%)

Non EDS

n (%)

Ukuran lidah

Normoglosi

Makroglosi

66 (56.4%)

11 (47.8%)

51 (43.5%)

12 (52.1%)

0,449*

Mallampati score

Class I

Class II

Class III

Class IV

24 (52.1%)

39 (57.3%)

9 (56.2%)

5 (50%)

22 (47.8%)

29 (42.6%)

7 (43.7%)

5 (50%)

0,221**

Page 56: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

43

Tabel 4.10. hubungan deviasi septum dan hipertrofi konka dengan EDS

Keterangan : *Chi-square

4.3. Pembahasan

4.3.1. Hubungan jenis kelamin dengan EDS

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa prevalensi EDS

pada mahasiswa PSPD ketiga angkatan sekitar 55% dari 140 responden.

Angka kejadian EDS ini yang cukup tinggi tidak hanya karena adanya

kelainan pada saluran napas atas secara struktural tetapi dapat juga

dipengaruhi oleh faktor keadaan fisik dan mental mahasiswa dengan

kondisi jadwal yang padat dan tingkat stress yang cukup tinggi. National

Sleep Foundation 2000 Omnibus Sleep in America telah melaporkan

bahwa sekitar 43% dari populasi dewasa mengalami EDS beberapa hari

dalam satu bulan dan 20% mengalami hal yang sama beberapa hari dalam

satu minggu.20

Kondisi EDS pada penelitian ini didominasi oleh populasi laki-laki

dengan presentase 61.3% dibandingkan dengan perempuan yang memiliki

presentase 52%. Analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan kondisi EDS dengan

nilai p = 0,306. Tan dkk, telah melaporkan pada penelitiannya bahwa

prevalensi EDS pada berbagai macam RAS Asia adalah 10.8% yang

Variabel

ESS p-value

EDS

n (%)

Non EDS

n (%)

Deviasi septum

Deviasi

Tidak deviasi

42 (56.7%)

35 (53%)

32 (43.2%)

31 (46.9%)

0.658*

Hipertrofi konka

Eutrofi

Hipertrofi

40 (55.5%)

37 (54.4%)

32 (44.4%)

31 (45.5%)

0,892*

Page 57: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

44

sering mengalami rasa mengantuk namun hanya 9% diantaranya yang

diklasifikasikan sebagai penderita EDS sedangkan penelitian yang

dilakukan pada populasi Brazil oleh Rocha dkk, melaporkan bahwa

prevalensi EDS sekitar 16.8% dari populasi tersebut dan ditemukan pada

populasi perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.21

Bixler dkk, pada penelitiannya melaporkan bahwa prevalensi EDS

adalah 8.7% dengan presentase yang sama pada laki-laki dan perempuan.

Selain itu, Punjabi pada studi yang ia lakukan mencatat bahwa prevalensi

Obstructive Sleep Apnea yang berkaitan dengan keadaan EDS sekitar 3%-

7% pada laki-laki dan 2%-5% pada perempuan di populasi umum. Pada

penelitian ini, prevalensi EDS sangat tinggi melebihi setengah dari

populasi target dibandingkan dengan pelaporan penelitian sebelumnya.

Hal tersebut dikarenakan adanya faktor lain pada mahasiswa dengan usia

produktif (16-23 tahun) seperti kelelahan fisik akibat aktifitas pada saat

kuliah dan durasi tidur malam yang minim. Walaupun perbedaan jenis

kelamin tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara

statistik namun terlihat bahwa pada laki-laki angka kejadian EDS lebih

tinggi dibandingkan pada perempuan yang menunjang studi dari Punjabi

namun bertolak dengan studi Bixler dan Rocha. Ketidaksesuaian ini terjadi

karena adanya faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keadaan EDS

seperti keadaan insomnia yang tercatat pada studi yang dilakukan oleh

Subramanian dkk, cukup tinggi pada populasi perempuan (62%)

dibandingkan laki-laki (53%). Diperlukan studi pada populasi lebih luas

sehingga dapat dianalisa secara statistik. 22-25

4.3.2. Hubungan indeks massa tubuh dengan EDS

Berdasarkan analisis statistik ditemukan pada penelitian ini bahwa

tidak terdapat hubungan yang bermakna antara IMT dan kondisi EDS

dengan nilai p = 0,514. Gunes dkk, pada penelitiannya telah melaporkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas dengan keadaan

EDS (p = 0,01) dan rata-rata IMT yang mengalami EDS adalah >27.6

kg/m2. Gunes telah menganalisis nilai OR pada IMT terhadap EDS yang

Page 58: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

45

memiliki nilai 1.145 yakni; obesitas berpengaruh sebesar 53.3% terhadap

EDS. Hal tersebut diperkuat oleh studi Resta dkk, yang menyatakan bahwa

prevalensi OSA pada populasi obesitas melebihi 50% dengan rata-rata

IMT 40 kg/m2

dan presentase EDS secara signifikan meningkat pada

populasi obesitas dibandingkan dengan populasi non obesitas (p < 0.001).

Penelitian Haglow juga mendukung hasil studi sebelumnya dengan

menyatakan bahwa IMT akan mulai memberikan hubungan yang

signifikan dengan keadaan EDS adalah IMT 25 kg/m2 (p = 0.001)

sedangkan Bixler mengatakan bahwa prevalensi EDS terlihat meningkat

secara signifikan pada IMT 28 kg/m2. Selain itu, Slater dkk, melaporkan

dalam studinya bahwa rata-rata nilai ESS 12.9 pada populasi obesitas

dibandingkan yang non obesitas dengan nilai rata-rata ESS 10.4 sehingga

obesitas dinyatakan berkaitan dengan keadaan EDS pada 15.7% dari

populasi.23,26-29

Pada penelitian ini, ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan

antara IMT dan EDS secara statistik namun dapat dilihat bahwa dari 23

orang dengan kategori obesitas terdapat 13 orang yang mengalami EDS

dibandingkan 10 orang yang non EDS sehingga ini menunjukkan secara

klinis adanya pengaruh obesitas terhadap keadaan EDS. Hal ini terjadi

dikarenakan populasi obesitas pada mahasiswa tidak banyak sehingga

diperlukan populasi lebih luas dalam menghubungkan antara EDS dan

obesitas. Hasil statistik dari penelitian ini tidak sesuai dengan literatur

karena pada beberapa literatur yang dilakukan di luar indonesia kategori

obesitas berbeda dengan kategori Asia Pacific. Oleh karena itu, populasi

pada penelitian ini dengan kategori obesitas disamakan dengan kategori

overweight di luar Indonesia sehingga IMT overweight tidak menunjukkan

hubungan yang bermakna dengan EDS. Selain itu, perlu dipertimbangkan

kondisi lingkar leher dan faktor lain yang dapat mempengaruhi EDS

seperti keadaan mental dan penyakit metabolik. Pada individu yang

memiliki lingkar leher yang besar dapat mempengaruhi proses bernapas

sehingga saluran napas menjadi lebih sempit dan udara sulit untuk

dialirkan. Selain itu, studi yang dilakukan oleh Bixler dkk, melaporkan

Page 59: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

46

bahwa keadaan mental seperti depresi dan penyakit metabolik seperti

diabetes dapat mempengaruhi keadaan EDS dengan nilai OR (95% CI) 1.9

yang berarti sekitar 60% keadaan tersebut dapat menyebabkan EDS.23

4.3.3. Hubungan hipertrofi tonsil dan riwayat tonsilektomi terhadap

EDS

Berdasarkan hasil analisis statistik dapat dilihat bahwa tidak

terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat tonsilektomi dan

keadaan EDS dengan nilai p = 0,754 untuk 1 sided dan p = 0,496 untuk 2

sided sedangkan hasil analisis statistik hipertrofi tonsil menunjukkan tidak

ada hubungan bermakna dengan kondisi EDS pada nilai p = 0,620. Mu

pada penelitiannya telah melaporkan hipertrofi adenotonsilar sebagai

faktor risiko dari OSAS. Prevalensi OSAS sekitar 3.2% - 12.1% dengan

hipertrofi tonsil pada usia 2 sampai 8 tahun. Hasil studi Ungkanont dan

Areyasathiodmon memperkuat pernyataan Mu dengan mengatakan bahwa

terdapat korelasi yang signifikan antara ukuran tonsil dengan OSA-18

score (p = 0,034) sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Ia

mengderajatifikasikan ukuran tonsil dan mencari besar korelasinya

terhadap kualitas hidup. Pada ukuran T3 dan T4 ditemukan bahwa hal

tersebut dapat menurunkan kualitas hidup sebesar 78.2% (OR 3.6)

sedangkan pada T1 dan T2 kualitas hidup dapat menurun sekitar 41.1%

(OR 0.7). 30-31

Zonata melaporkan hasil yang berbeda dengan penelitian

sebelumnya yaitu bahwa tidak terdapatnya korelasi antara ukuran tonsil

dengan keadaan OSA (p > 0,05). Pada studi yang dilakukan oleh Nakata

menyebutkan bahwa dengan operasi tonsilektomi sederhana dapat

mengurangi indeks apnea hipopnea. Delapan dari 13 pasien tidak lagi

menggunakan CPAP setelah menjalani operasi tonsilektomi sederhana

sehingga gejala dari OSA berupa EDS dapat menghilang. Selain itu,

dilaporkan bahwa penggunaan CPAP telah menurun secara signifikan

setelah operasi tonsilektomi dilakukan ( p < 0,05). 32-33

Page 60: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

47

Hasil penelitian ini, dapat terlihat bahwa riwayat tonsilektomi tidak

menunjukkan hubungan yang signifikan dengan EDS baik secara statistik

maupun secara klinis. Hal tersebut dikarenakan jumlah responden dengan

riwayat tonsilektomi tebatas hanya 10 orang sehingga untuk analisa

statistik tidak mencukupi untuk menimbulkan signifikansi sedangkan

secara klinis tidak terlihat pengaruh yang cukup tehadap EDS akibat

adanya beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi EDS selain riwayat

tonsilektomi. Pada individu dengan tonsilektomi namun ia memiliki faktor

risiko lain seperti obesitas dan ukuran lidah yang besar akan tetap ada

gejala EDS.

Pada literatur menyatakan adanya hubungan operasi tonsilektomi

dengan menurunkan EDS tetapi bukan menghilangkan gejala tersebut.

Selain itu, ukuran tonsil yang besar dinyatakan bahwa dapat mengganggu

saluran napas sehingga proses bernapas tidak baik. Secara statistik

memang tidak terdapat hubungan yang signifikan namun dapat dilihat

secara klinis bahwa prevalensi mahasiswa yang mengalami EDS dengan

ukuran tonsil T2 dan T3 lebih tinggi daripada yang non EDS sehingga

perlu dilakukan studi ini pada populasi yang lebih luas. Terdapat satu

kasus dengan ukuran T4 yang tidak mengalami EDS dan hal tersebut

berbeda dengan pernyataan pada penelitian sebelumnya. Pada satu kasus

tersebut kemungkinan adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi proses

bernapasnya lebih baik walaupun ukuran tonsilnya besar seperti lidah yang

kecil, rongga mulut yang luas ataupun IMT yang normal. Selain itu,

pengisian kuesioner ESS juga bersifat subjektif sehingga mendiagnosis

keadaan OSA dan identifikasi faktor penyebabnya.

4.3.4. Hubungan kebiasaan merokok dan olahraga terhadap EDS

Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara riwayat merokok dan olahraga dengan

EDS. Nilai p = 0,458 untuk 1 sided dan p = 0,311 untuk 2 sided pada

variabel kebiasaan merokok dan nilai p = 0,148 pada variabel kebiasaan

olahraga. Celik dkk, pada penelitiannya telah melaporkan bahwa individu

Page 61: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

48

yang merokok dapat mempengaruhi keadaan EDS dan OSAS sehingga

didapatkan bahwa jumlah orang yang merokok dengan OSAS sekitar 52

orang dari 799 responden (6.5%) dan 24 orang (3%) yang mengalami

OSAS dan EDS. Kumar dkk, melaporkan dalam penelitiannya bahwa 40%

individu merokok yang mengalami EDS. Haglow memiliki pendapat yang

berbeda pada penelitiannya yang menunjukkan bahwa kebiasaan merokok

tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap EDS tetapi lebih

berhubungan dengan keadaan fatigue. Secara statistik kebiasaan merokok

memang tidak menunjukkan adanya hubungan dengan EDS namun

terlihat dari hasil analisis bivariat bahwa dari 7 mahasiswa yang memiliki

kebiasaan merokok terdapat sebanyak 5 mahasiswa (71.4%) diantaranya

yang positif EDS. Presentase 71.4% pada mahasiswa dengan kebiasaan

merokok dan EDS cukup tinggi dan diperlukan studi analitik pada

populasi lebih besar dari orang yang merokok sehingga dapat dianalisa

korelasinya secara statistik. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan hasil

penelitian sebelumnya dengan nilai signifikansi > 0,05 karena keadaan

EDS tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kebiasaan merokok. 28,34-35

Haglow dkk, pada penelitiannya menyatakan bahwa aktifitas fisik

dan olahraga tidak berhubungan secara langsung dengan keadaan EDS.

Hal yang sama dikatakan oleh Butner dkk, pada studi yang ia lakukan

bahwa olahraga dan aktifitas fisik tidak memiliki pengaruh terhadap OSA

ataupun EDS. Pada penelitian ini ditemukan bahwa prevalensi EDS pada

mahasiswa yang tidak berolahraga adalah 68.8% yang merupakan angka

cukup tinggi sehingga kemungkinan pengaruh olahraga terhadap EDS

besar, maka diperlukan penelitian selanjutnya yang dapat mengkaitkan

antara kebiasaan olahraga secara spesifik dengan EDS dan OSA pada

populasi yang luas.28,36

4.3.5. Hubungan ukuran lidah dan mallampati score terhadap EDS

Berdasarkan analisis statistik dapat terlihat bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara ukuran lidah (p = 0,449) dan mallampati

score (p = 0,221) dengan keadaan EDS. Rodrigues dkk, melaporkan pada

Page 62: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

49

studi yang ia lakukan bahwa terdapat korelasi yang bermakna antara

mallampati score yang tinggi dengan indeks apnea hipoapnea dengan nilai

p = 0,0227 dan OR = 5.053, 95% yakni pengaruh mallampati score pada

OSA sebesar 83.4%. Pada penelitian ini, hasil kedua variabel ini dapat

terlihat bahwa presentase normoglosi dan mallampati score derajat II

dengan keadaan EDS lebih tinggi. Lowe pada penelitiannya telah

menyatakan bahwa indeks apnea hipoapnea berhubungan dengan keadaan

makroglosi dengan menggunakan Computed Tomographic sebagai alat

ukur. Hasil tersebut berbeda dengan literatur dan penelitian sebelumnya

dikarenakan adanya faktor lain yang berpengaruh pada keadaan EDS

seperti individu dengan makroglosi namun perbandingan bagian rongga

mulutnya cukup besar maka tidak timbul kesulitan dalam bernapas.37,38

4.3.6. Hubungan deviasi septum dan hipertrofi konka dengan EDS

Berdasarkan analisis statistik dapat terlihat bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara deviasi septum (p = 0.658) dan hipertrofi

konka (p = 0.892) dengan keadaan EDS. Pada beberapa literatur

disebutkan bahwa kedua variabel tersebut menjadi salah satu faktor risiko

dari kondisi OSA yang ditandai dengan gejala EDS namun belum ada

penelitian sebelumnya yang menyebutkan seberapa besar pengaruh

hipertrofi konka dan deviasi septum terhadap EDS. Rodrigues dkk, pada

penelitiannya menyatakan bahwa hubungan obstruksi nasal dengan OSA

tidak bermakna dengan nilai p = 0,667. Penelitian ini tidak menunjukkan

hubungan yang signifikan tetapi terlihat bahwa dari 73 orang dengan

hipertrofi konka terdapat sekitar 43 orang (58.9%) yang positif EDS

dibandingkan yang non EDS. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara

klinis kemungkinan timbul gejala EDS namun belum terbuktikan secara

statistik.37

4.4. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian adalah jumlah sampel, keterbatasan alat-alat untuk

pemeriksaan fisik, serta waktu pemeriksaan yang tidak sesuai dengan responden.

Page 63: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

50

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa prevalensi EDS pada

mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013 dengan

penilaian Epworth Sleepiness Scale adalah 55% dari seluruh populasi. Analisa

bivariat pada faktor risiko yang mempengaruhi EDS sebagai gejala utama dari

OSA yaitu; jenis kelamin, IMT, kebiasaan olahraga, merokok, riwayat

tonsilektomi, hipertrofi tonsil, makroglosia, mallampati score, hipertrofi konka

dan deviasi septum tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p

>0,05) karena beberapa dari faktor tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya

dan keadaan ini merupakan hal yang multifaktorial.

5.2. Saran

Sebagai saran untuk penelitian selanjutnya diperlukan :

1. Jumlah sampel yang lebih luas untuk dilakukan penelitian lanjutan

mengenai EDS.

2. Penelitian lanjutan yang menghubungkan antara variabel-variabel lain

selain yang terdapat pada penelitian ini dengan menggunakan alat ukur

yang berbeda.

3. Penelitian lanjutan mengenai faktor risiko EDS pada populasi yang

berbeda.

4. Kategorisasi ukuran lingkar leher yang dapat mempengaruhi keadaan

EDS pada remaja di Indonesia.

50

Page 64: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

51

Daftar Pustaka

1. Sihombing CR. Prevalensi Obstructive sleep apnea pada pengemudi taxi

“X” di Jakarta yang mendengkur dan faktor-faktor yang berhubungan.

Jakarta: FKUI; 2008. P. 133-135

2. Rahman UB, Handoyo, Rahadi P. Hubungan obesitas dengan risiko

Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada remaja. Jurnal Ilmiah Kesehatan

Keperawatan 2012 Febrauari; 8(1): 44-48

3. Lam CM. Jamie, Sharma SK, Lam B. Obstructive sleep apnoea:

definition, epidemiology & natural history. Indian J Med Res 131 2010

Fabruary: 165-168

4. Epstein LJ, Kristo D, Strollo PJ, Friedman N, Malhotra A, Patil SP. et al.

Clinical guideline for the evaluation, management and long-term care of

obstructive sleep apnea in adult. Journal of clinical sleep medicine 2008

March; 5(3): 263-264

5. Astuti P, Yunus F, Antariksa B. Prevalensi dan gejala obstructive sleep

apnea (OSA) pada pasien asma. J Indon Med Assoc 2011 Juli; 61(7): 273-

275

6. Cahyono A, Hermani B, Mangunkusumo E, Perdana RS. Hubungan

obstructive sleep apnea dengan penyakit sistem kardiovaskuler. Jakarta :

FKUI; 2011. P. 2-8

7. Smyth C. The Epworth Sleepiness Scale (ESS). New York: MW Johns;

2012

8. Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF. Fundamental of Anatomy &

Physiology. 9th ed. USA: Pearson; 2012. p. 814-819

9. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed.

USA: Wiley; 2009. p. 875-879

10. Sumardi, Hisjam B, Ryanto BS, Budiono E. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 2347-2348.

11. Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and

Neck Surgery. 3ed ed. USA: McGraw Hill; 2010. p. 557-565

Page 65: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

52

12. Sherwood L. Human Physiology: From Cells to System. 7th ed. USA:

Brooks/Cole, Cengage Learning; 2010. p. 167-171

13. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, et

al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. USA: McGraw-

Hill; 2012

14. Makela M, Kristensin FB, Morland B, Rehnqvist N. Obstructive Sleep

Apnoea Syndrome: A systemic literature review. Iceland: National board

of health; 2007. p. 31-37

15. Supriyanto B, Deviani R. Obstructive sleep apnea syndrome pada Anak.

Sari Pediatri 2005 September; 7(2): 77-83

16. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed.

Philadelphia: Elevier Saunders; 2006. p. 522-523

17. Barrett KE, Barman SM, Boitano S. Ganong’s Review of Medical

Physiology. 23rd Ed. USA: McGraw Hill; 2010

18. Flint PW, Haughey BH, Lund VJ, Niparko JK, Richardson MA, Robbins

KT, et al. Cummings Otolaryngology: Head & Neck Surgery. 5th Ed.

Volume 1. Pheladelphia: Elsevier; 2010. p. 250-258

19. Ruggles K, Hausman N. Evaluation of Excessive Daytime Sleepiness.

Wisconsin Medical Journal 2003; 102(1): 21-23

20. Gulleminault C, Brooks SN. Excessive daytime sleppiness a challenge for

the practising neurologist. Oxford University 2001 April; 124: 1482-1491

21. Ng TP, Tan WC. Prevalence and Determinants of Excessive Daytime

Sleepiness in an Asian Multi-Ethnic Population. Singapore: National

University of Singapore, National University Hospital, Department of

Physiological Medicine. diunduh pada tanggal 3 September 2013.

Available from: URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16271696

22. Hara C, Lopes Rocha F, Lima-Costa MF. Prevalence of Excessive

Daytime Sleepiness and Associated Factors in a Brazilian Community: the

Bambui study. Brazil: Institute of social security of the civil servants of

Minas Gerais, Medical Residency of Psychiatry-psychopharmacology

Course. diunduh pada tanggal 3 September 2013. Available from:

URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14725824

Page 66: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

53

23. Bixler EO, Vgontzas AN, Calhoun SL, Kales A, Bueno A. Excessive

Daytime Sleepines in a General Population Sample: the role of sleep

apnea, age, obesitasity, diabetes, and depression. Volume 90 no. 8.

Pennsylvania: The Journal of Endocrinology & Metabolisme. diunduh

pada tanggal 3 September 2013. Available from:

URL:http://jcem.endojournals.org/content/90/8/4510.long#T1

24. Punjabi NM. The Epidemiology of Adult Obstructive Sleep Apnea. Volume

5. Maryland: Johns Hopkins University, division of Pulmonary and critical

Care Medicine; 2008, pp 136-143

25. Subramanian S, Guntupalli B, Murugan T, Bopparaju S, Chanamolu S,

Casturi L, et al. Gender and Ethnic Differences in Prevalence of Self-

Reported Insomnia Among Patient with Obstructive Sleep Apnea. USA:

Baylor College of Medicine. diunduh pada tanggal 3 September 2013.

Available from: URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20953842

26. Gunes Z, Sahbaz M, Tugrul E, Gunes H. Prevalence and Risk Factors for

Excessive Daytime of Sleepiness in Rural Western Anotolia (Turkey): the

Role of Obesity and Metabolic Syndrome. Adnan Menderes University

2012; 43(3): 747-754

27. Resta O, Foschibno MP, Legari G, Talamo S, Bonfitto P, Palumbo A, et

al. Sleep-realted Breathing Disorders, Loud Snoring and Excessive

Daytime Sleepiness in Obese Subjects. Italy: University of Bari. diunduh

pada tanggal 3 September 2013. Available from:

URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11360149

28. Haglow JT, Lindberg E, Janson C. What are the Important Risk Factors

for Daytime Sleepiness and Fatigue in Women?. Uppsala University 2009;

29(6): 751-756

29. Slater G, Pengo MF, Kosky C, Steier J. Obesity as an Independent

Predictor of Subjective Excessive Daytime Sleepiness. London: Guy’s

Campus. diunduh pada tanggal 3 September 2013. Available from:

URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11360149

30. Shu-Chi Mu, et al. Concise Indication for Adenioctomy-Tonsillectomy in

Children with Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Taiwan: Taiwan

Society of Pediatric Pulmonology; 2013

31. Kitirat U, Suththipol A. Factors Affecting Quality of Life of Pediatric

Outpatients with Symptoms Suggestive of Sleep-Disordered Reathing.

USA: Elsevier; 2006

Page 67: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

54

32. Zonato AI, Bittencourt LR, Martinho FL, Santos JF, Gregorio LC, Tufik

S. Association of Systematic Head and Neck Physical Examination With

Severity of Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea Syndrome. Philadelphia:

The American Laryngological; 2003

33. Nakata S, Noda A, Yanagi E, Suzuki K, Yamamoto H, Nakashima T.

Tonsil Size and Body Mass Index are Important Factors for Efficacy of

Simple Tonsillectomy in Obstructive Sleep Apnoea Syndrome. Japan:

Nagoya University Graduate School of Medicine. diunduh pada tanggal 3

September 2013. Available from:

URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16441801

34. Celik AO, Isik AU, Ural A, Arslan S, Bahadir O, Imamoglu M.

Prevalence and Risk Factors of Snoring, Obstructive Sleep Apnea

Symptoms, and Excessive Daytime Somnolence in Trabzon. Turkey:

Karadeniz Teknik Universitesi Tip Fakultesi; 2010

35. Kumar J, Kumar S, Pradhan R. Studies on Excessive Daytime Sleepiness

(EDS) and Alkaline Fosfatase Activity in Smoker and Alcoholic Person.

India: World Journal of Science and Technology; 2011

36. Butner K, Hargens T, Herbert W. Association of Obstructive Sleep Apnea

Severity with Excessive Capacity and Health Related Quality of Life.

USA: North American Journal of Medicine Sciences. diunduh pada

tanggal 4 September 2013. Available from:

URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3731867/

37. Rodrigues M, Dibbern R, Goulart C. Nasal Obstruction and High

Mallampati Score as Risk Factors for Obstructive Sleep Apnea. Brazil:

Braz J Otorhinolaryngol; 2010

38. Lowe AA, Fleetham JA, Adachi S, Ryan CF. Cephalometric and

Computed Tomographic Predictors of Obstructive Sleep Apnea Severity.

Canada: University of British Columbia. diunduh pada tanggal 4

September 2013. Available from:

URL:www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7771363

Page 68: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

55

Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)

Mahasiswa yang terhormat,

Saat ini saya Nadia Entus N. TB. sebagai peneliti di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian mengenai

“prevalensi Excessive daytime sleepness (EDS) pada mahasiswa PSPD FKIK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013”.

Sesuai dengan tata cara yang telah ditetapkan di universitas kami, maka

anda akan menjalani penelitian ini dengan pengisian kuesioner dan pemeriksaan

fisik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya gejala

dan tanda mengantuk pada siang hari (EDS).

Setelah mengikuti penelitian ini, data anda akan tetap dirahasiakan dan

digunaka untuk penelitian yang dilakukan oleh Dhea Rachmawati yang berjudul

“Hubungan Excessive Daytime Sleepiness dengan Kualitas Hidup pada

Mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013”

Anda berkesempatan untuk menanyakan segala hal yang berhubungan

dengan penelitian ini dan juga berhak menolak ikut serta dalam penelitian ini atau

sewaktu-waktu ingin berhenti dalam penelitian ini. Oleh karena penelitian ini

penting sekali, diharapkan agar anda dapat menjalani penelitian ini dengan jujur

dan sebaik-baiknya.

Peneliti,

Nadia Entus Nasrudin TB.

Mahasiswa Pendidikan Studi Program Dokter

Jl.X, Ciputat, Tangerang Selatan

Tlp. 085777564043

Lampiran 1

Page 69: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

56

Surat Persetujuan untuk Mengisi Kuesioner

Yang bertanda tangan dibawah ini

Nama :

Usia :

NIM :

Alamat :

Nomer telp/Hp :

Menyatakan bahwa saya telah mengerti sepenuhnya atas penjelasan yang

diberikan oleh Nadia Entus N. dari PSPD UIN Jakarta, dan bersedia menjalani

penelitian mengenai “prevalense Excessive daytime sleepness (EDS) pada

mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2013” dan

penelitian mengenai “Hubungan Excessive Daytime Sleepiness dengan Kualitas

Hidup pada Mahasiswa PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun

2013”.

Pernyataan ini dibuat dengan kesadaran penuh tanpa paksaan.

Jakarta,

Mengetahui,

Peneliti Peserta Penelitian

(Nadia Entus N.) ( )

Lampiran 2

Page 70: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

57

Kuesioner

A. Epworth Sleepness Scale

Contoh : Jika pada saat duduk dan membaca di siang hari, anda sangat

mengantuk dan jatuh tertidur maka berikan nilai 3 pada baris

kegiatan duduk dan membaca.

Jika pada saat menonton televisi di siang hari, anda tidak pernah

mengantuk, maka berikan nilai 0 pada baris kegiatan menonton

televisi.

Kegiatan Nilai

- Duduk dan membaca

- Menonton televisi

0 1 2 3

0 1 2 3

Lingkari angka yang sesuai dengan apa yang anda rasakan di siang hari pada

masing-masing keadaan seperti tabel dibawah ini.

Berikan niali 0 jika anda tidak pernah mengantuk

Berikan nilai 1 jika anda sedikit mengantuk

Berikan nilai 2 jika anda cukup mengantuk

Berikan nilai 3 jika anda sangat mengantuk dan jatuh tertidur

Kegiatan Nilai

- Duduk dan membaca

- Menonton televisi

- Duduk diam di tempat umum (misalnya bioskop atau sedang rapat)

- Sebagai penumpang mobil selama satu jam tanpa istirahat

0 1 2 3

0 1 2 3

0 1 2 3

0 1 2 3

Lampiran 3

Page 71: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

58

- Rebahan untuk beristirahat di siang hari ketika keadaan memungkinkan

- Duduk dan berbicara dengan sesorang

- Duduk tenang setelah makan siang, tanpa minum alkohol

- Di dalam mobil dan mobil berhenti selama beberapa menit karena macet

0 1 2 3

0 1 2 3

0 1 2 3

0 1 2 3

Nilai total

B. Kuesioner Demografi

Identitas

Nama :

NIM :

Usia :

Semester :

Angkatan :

Alamat :

Telpon/Hp :

Jenis Kelamin : 1. Pria 2. Wanita

Berat badan (kg) :

Tinggi badan :

IMT/BMI :

Riwayat tonsilektomi :

Kebiasaan olahraga :

Jika iya, Frekuensi olahraga/minggu :

Kebiasaan merokok :

Jika iya, Sejak kapan? :

Berapa batang/hari? :

Page 72: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

59

PEMERIKSAAN THT

I. IDENTITAS

NAMA :

NIM :

USIA :

JENIS KELAMI : 1. Pria 2. Wanita

II. ANAMNESIS

Keluhan alergi Hidung : 1. Tidak ada 2. Bersin-bersin

3.Hidung tersumbat 4. Ingus encer, bening

Epworth Sleepiness Scale :

III. PEMERIKSAAN FISIK

Berat Badan (Kg) : Tinggi Badan (cm) :

Indeks Massa Tubuh (IMT) :

1. Underweight (<18,5 kg/m2)

2. Normal (18,5-22,9 kg/m2)

3. Overweight ≥23 kg/m2)

4. Obesitas (≥25 kg/m2)

Lingkar Leher (cm) :

a. Pemeriksaan hidung

- Os nasal

Anterior : 1. Ada deviasi 2. Tidak ada deviasi

Oblique : 1. Ada deviasi 2. Saddle nose 3. Hump nose

Lateral : 1. Ada deviasi 2. Saddle nose 3. Hump nose

Basal : 1. Ada deviasi tip nasi 2. Tidak ada deviasi tip nasi

Lampiran 4

Page 73: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

60

b. Rhinoskopi anterior

Kanan Keterangan Kiri

Lapang / Sempit

Sekret

Kavum Nasi Lapang / Sempit

Sekret

Deviasi / tidak Septum Nasi Deviasi / tidak

Kering / sekret Meatus Inferior Kering / sekret

Hiperemis / Lifid

Eutrofi / hipertrofi

Konka Inferior Hiperemis / Lifid

Eutrofi / hipertrofi

c. Pemeriksaan Tenggorokan

- Bucal :

- Lidah :

- Mallampati Score :

- Palatum mole & uvula :

Keadaan diam : 1. Simetris 2. Tidak

Keadaan bergerak : 1. Simetris 2. Tidak

- Arkus faring : 1. Simetris 2. Tidak

- Tonsil :

Kanan Keterangan Kiri

T0 / T1 / T2 / T3 / T4 Ukuran T0 / T1 / T2 / T3 / T4

Normal / Melebar Kripta Normal / Melebar

Ada / Tidak Detritus Ada / Tidak

Ada / Tidak Membran Ada / Tidak

- Dinding faring posterior : Licin / Granul

- Post nasal drip :

Page 74: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

61

d. Pemeriksaan Telinga

Kanan Keterangan Kiri

Inspeksi : Sinus / tag /

abses

Palpasi : Nyeri / tidak

Preaurikula Inspeksi : Sinus / tag /

abses

Palpasi : Nyeri / tidak

Inspeksi : Normal /

Mikrotia / Makrotia

Hematom / pseudokista /

selulitis / massa/ vesikel /

keloid

Palpasi : Nyeri saat

digerakkan

Aurikular Inspeksi : Normal /

Mikrotia / Makrotia

Hematom / pseudokista /

selulitis / massa/ vesikel /

keloid

Palpasi : Nyeri saat

digerakkan

Lapang / sempit

Isi (serumen, sekret, jar.

Granulasi, massa)

Liang Telinga Lapang / sempit

Isi (serumen, sekret, jar.

Granulasi, massa)

Inspeksi : Edema, abses,

fistel, sikatriks, massa

Palpasi : Nyeri

Retroaurikular Inspeksi : Edema, abses,

fistel, sikatriks, massa

Palpasi : Nyeri

e. Otoskopi

Kanan Keterangan Kiri

Lapang / Sempit

Sekret

Massa, hifa, furunkel,

edema difus

Liang Telinga Lapang / Sempit

Sekret

Massa, hifa, furunkel,

edema difus

Utuh / perforasi

Reflek cahaya :

Serumen :

Suram / hiperemis

Membran Timpani Utuh / perforasi

Reflek cahaya :

Serumen :

Suram / hiperemis

Page 75: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

62

Lampiran 5

Page 76: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

63

Page 77: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

64

LINGKARLEHER

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid < 43 CM 140 100.0 100.0 100.0

TONSILEKTOMI

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid TIDAK

TONSILEKTOMI 130 92.9 92.9 92.9

TONSILEKTOMI 10 7.1 7.1 100.0

Total 140 100.0 100.0

ESS

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid NON EDS 63 45.0 45.0 45.0

EDS 77 55.0 55.0 100.0

Total 140 100.0 100.0

Page 78: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

65

OLAHRAGA

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 1x/minggu 52 37.1 37.1 37.1

2X/minggu 23 16.4 16.4 53.6

>3x/minggu 23 16.4 16.4 70.0

tidak olahraga 42 30.0 30.0 100.0

Total 140 100.0 100.0

JENISKELAMIN

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid LAKI-LAKI 44 31.4 31.4 31.4

PEREMPUAN 96 68.6 68.6 100.0

Total 140 100.0 100.0

BMI

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Underwieght 12 8.6 8.6 8.6

Normal 81 57.9 57.9 66.4

Overwieght 24 17.1 17.1 83.6

Obesitas 23 16.4 16.4 100.0

Total 140 100.0 100.0

MEROKOK

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid TIDAK MEROKOK 133 95.0 95.0 95.0

MEROKOK 7 5.0 5.0 100.0

Total 140 100.0 100.0

Page 79: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

66

ESS * JENISKELAMIN Crosstabulation

JENISKELAMIN

Total

LAKI-LAKI PEREMPUAN

ESS NON EDS Count 17 46 63

Expected Count 19.8 43.2 63.0

EDS Count 27 50 77

Expected Count 24.2 52.8 77.0

Total Count 44 96 140

Expected Count 44.0 96.0 140.0

Chi-Square Tests

Value Df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 1.050a 1 .306

Continuity Correctionb .708 1 .400

Likelihood Ratio 1.057 1 .304

Fisher's Exact Test .362 .200

Linear-by-Linear

Association 1.042 1 .307

N of Valid Casesb 140

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19,80.

b. Computed only for a 2x2 table

ESS * BMI Crosstabulation

BMI

Total underwieght normal overwieght obesitas

ESS NON EDS Count 7 33 13 10 63

Expected Count 5.4 36.4 10.8 10.4 63.0

EDS Count 5 48 11 13 77

Expected Count 6.6 44.6 13.2 12.6 77.0

Total Count 12 81 24 23 140

Expected Count 12.0 81.0 24.0 23.0 140.0

Page 80: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

67

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 2.292a 3 .514

Likelihood Ratio 2.286 3 .515

Linear-by-Linear Association .000 1 .984

N of Valid Cases 140

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,40.

ESS * TONSILEKTOMI Crosstabulation

TONSILEKTOMI

Total

TIDAK

TONSILEKTOMI TONSILEKTOMI

ESS NON EDS Count 58 5 63

Expected Count 58.5 4.5 63.0

EDS Count 72 5 77

Expected Count 71.5 5.5 77.0

Total Count 130 10 140

Expected Count 130.0 10.0 140.0

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .109a 1 .742

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .108 1 .742

Fisher's Exact Test .754 .496

Linear-by-Linear Association .108 1 .742

N of Valid Casesb 140

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,50.

Page 81: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

68

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .109a 1 .742

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .108 1 .742

Fisher's Exact Test .754 .496

Linear-by-Linear Association .108 1 .742

N of Valid Casesb 140

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,50.

b. Computed only for a 2x2 table

ESS * HIPERTROFI TONSIL Crosstabulation

HIPERTROFI TONSIL

Total T0 T1 T2 T3 T4

ESS NON EDS Count 5 45 9 3 1 63

Expected Count 4.0 42.3 10.4 5.8 .4 63.0

EDS Count 4 49 14 10 0 77

Expected Count 5.0 51.7 12.6 7.2 .6 77.0

Total Count 9 94 23 13 1 140

Expected Count 9.0 94.0 23.0 13.0 1.0 140.0

Test Statisticsa

HIPERTROFI

TONSIL

Most Extreme Differences Absolute .105

Positive .016

Negative -.105

Kolmogorov-Smirnov Z .620

Asymp. Sig. (2-tailed) .837

a. Grouping Variable: ESS

Page 82: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

69

ESS * MEROKOK Crosstabulation

MEROKOK

Total

TIDAK

MEROKOK MEROKOK

ESS NON EDS Count 61 2 63

Expected Count 59.8 3.2 63.0

EDS Count 72 5 77

Expected Count 73.2 3.8 77.0

Total Count 133 7 140

Expected Count 133.0 7.0 140.0

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .804a 1 .370

Continuity Correctionb .257 1 .612

Likelihood Ratio .837 1 .360

Fisher's Exact Test .458 .311

Linear-by-Linear Association .798 1 .372

N of Valid Casesb 140

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,15.

b. Computed only for a 2x2 table

ESS * OLAHRAGA Crosstabulation

OLAHRAGA

Total

1x/minggu 2X/minggu >3x/minggu tidak olahraga

ESS NON EDS Count 29 7 8 19 63

Expected Count 23.4 10.4 10.4 18.9 63.0

EDS Count 23 16 15 23 77

Expected Count 28.6 12.6 12.6 23.1 77.0

Total Count 52 23 23 42 140

Expected Count 52.0 23.0 23.0 42.0 140.0

Page 83: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

70

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Pearson Chi-Square 5.379a 3 .146

Likelihood Ratio 5.455 3 .141

Linear-by-Linear Association 1.088 1 .297

N of Valid Cases 140

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum

expected count is 10,35.

ESS * MAKROGLOSI Crosstabulation

MAKROGLOSI

Total

TIDAK

MAKROGLOSI MAKROGLOSI

ESS NON EDS Count 51 12 63

Expected Count 52.6 10.4 63.0

EDS Count 66 11 77

Expected Count 64.4 12.6 77.0

Total Count 117 23 140

Expected Count 117.0 23.0 140.0

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .572a 1 .449

Continuity Correctionb .278 1 .598

Likelihood Ratio .570 1 .450

Fisher's Exact Test .497 .298

Linear-by-Linear Association .568 1 .451

N of Valid Casesb 140

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,35.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 84: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

71

ESS * MALLAMPATI SCORE Crosstabulation

MALLAMPATI SCORE

Total CLASS I CLASS II CLASS III CLASS IV

ESS NON EDS Count 22 29 7 5 63

Expected Count 20.7 30.6 7.2 4.5 63.0

EDS Count 24 39 9 5 77

Expected Count 25.3 37.4 8.8 5.5 77.0

Total Count 46 68 16 10 140

Expected Count 46.0 68.0 16.0 10.0 140.0

Test Statisticsa

MALLAMPATI

SCORE

Most Extreme Differences Absolute .038

Positive .014

Negative -.038

Kolmogorov-Smirnov Z .221

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

a. Grouping Variable: ESS

ESS * DEVIASI SEPTUM Crosstabulation

DEVIASI SEPTUM

Total

DEVIASI

SEPTUM

TIDAK DEVIASI

SEPTUM

ESS NON EDS Count 32 31 63

Expected Count 33.3 29.7 63.0

EDS Count 42 35 77

Expected Count 40.7 36.3 77.0

Total Count 74 66 140

Expected Count 74.0 66.0 140.0

Page 85: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

72

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .196a 1 .658

Continuity Correctionb .074 1 .785

Likelihood Ratio .196 1 .658

Fisher's Exact Test .734 .393

Linear-by-Linear Association .194 1 .659

N of Valid Casesb 140

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 29,70.

b. Computed only for a 2x2 table

ESS * HIPERTROFI KONKA Crosstabulation

HIPERTROFI KONKA

Total

HIPERTROFI

KONKA

TIDAK

HIPERTROFI

KONKA

ESS NON EDS Count 31 32 63

Expected Count 30.6 32.4 63.0

EDS Count 37 40 77

Expected Count 37.4 39.6 77.0

Total Count 68 72 140

Expected Count 68.0 72.0 140.0

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .018a 1 .892

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .018 1 .892

Fisher's Exact Test 1.000 .513

Linear-by-Linear Association .018 1 .892

N of Valid Casesb 140

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 30,60.

Page 86: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

73

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .018a 1 .892

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .018 1 .892

Fisher's Exact Test 1.000 .513

Linear-by-Linear Association .018 1 .892

N of Valid Casesb 140

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 30,60.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 87: PREVALENSI EXCESSIVE DAYTIME SLEEPINESS (EDS) PADA

74

Riwayat Penulis

Identitas :

Nama : Nadia Entus Nasrudin Tubagus

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Buraidah, 19 Februari 1991

Agama : Islam

Alamat : Kp. Pamagersari, Pandeglang, Banten

E-mail : [email protected]

Riwayat Pendidikan :

1996 – 2002 : الابتدائية الثانية

2002 – 2005 : المتوسطة الأولى

2005 – 2008 : الثانوية السابعة عشر

2010 – Sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter,

Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 6