pola keterbukaan diri antara perawat dan lanjut …repository.fisip-untirta.ac.id/1089/1/pola...

171
POLA KETERBUKAAN DIRI ANTARA PERAWAT DAN LANJUT USIA DI PANTI SOSIAL SASANA TRESNA WERDHA CIPOCOK JAYA SERANG SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Konsentrasi Humas Program Studi Ilmu Komunikasi Disusun Oleh: Richa Rahayu Mtd NIM. 6662130325 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG BANTEN 2018

Upload: vuhuong

Post on 15-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

i

POLA KETERBUKAAN DIRI

ANTARA PERAWAT DAN LANJUT USIA

DI PANTI SOSIAL SASANA TRESNA WERDHA

CIPOCOK JAYA SERANG

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada

Konsentrasi Humas Program Studi Ilmu Komunikasi

Disusun Oleh:

Richa Rahayu Mtd

NIM. 6662130325

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

SERANG – BANTEN

2018

ii

iii

iv

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Majulah Tanpa Menyingkirkan Orang Lain

NaiklahTinggi Tanpa Menjatuhkan Orang Lain

dan Berbahagialah Tanpa Menyakiti Orang Lain

Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua yang telah

membesarkan dan membimbing hingga saat ini serta kasih sayang

dan do’a yang tiada henti-hentinya untuk kebaikan saya.

Terima kasih banyak atas dukungan dan semangat dari kalian

sehingga Allah SWT memberikan kelancaran dan kemudahan

dalam menyelesaikan skripsi ini...

vi

ABSTRAK

RICHA RAHAYU MTD. NIM. 6662130325. SKRIPSI. Pola Keterbukaan

Diri Antara Perawat dan Lanjut Usia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang. Pembimbing I : Naniek Afrilla Framanik, S.Sos., M.Si

dan Pembimbing II : Dr. Ing Rangga Galura Gumelar, M.Si.

Zaman moderenisasi, hubungan anak dengan orang tua semakin renggang.

Kesibukan yang melanda kaum mudah ampir menyita seluruh waktunya sehingga

mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk memikirkan orang tua. Kondisi

seperti ini menyebabkan kurangnya komunikasi antara orang tua dengan anak,

kurangnya perhatian dan pemberian perawatan terhadap orang tua sehingga orang

tua merasa terasingkan dan lebih memilih tinggal di panti sosial. Oleh karena itu

peneliti ingin menggambarkan proses komunikasi yang dilakukan oleh perawat

dan lansia dan bagaimana pola keterbukaan diri antara perawat dan lansia di Panti

Sosial Sasana Tresna Cipocok Jaya Serang. Penelitian ini menggunakan metode

penelitian deskriptif kualitatif , data diperoleh melalui observasi, wawancara dan

dokumentasi. Teori yang digunakan adalah teori penetrasi sosia, dimana proses

ikatan yang menggerakkan suatu hubungan dari yang superficial menjadi lebih

intim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin sering berinteraksi semakin

kita mengetahui dan memahami karakter seseorang (perawat atau klien lansia),

kedua belah pihak akan memberikan perhatian secara keseluruhan sehingga mulai

terbiasa bersikap terbuka, santai, lebih akrab dan dapat memberikan solusi

terhadap permasalahan yang dihadapi dan juga mampu menilai dan menduga

perilaku lawan bicaranya. Pola komunikasi dalam proses keterbukaan diri antara

perawat dan lansia di panti sosial sasana tresna werdha cipocok jaya serang adalah

pola komunikasi sirkuler karena terjadinya umpan balik antara perawat dan lansia

dalam melakukan interaksi.

Kata Kunci : Pola Keterbukaan Diri. Perawat. Lanjut Usia.

vii

ABSTRACT

RICHA RAHAYU MTD. NIM. 6662130325. RESEARCH PAPER. The Pattern

of Self-Disclosure Between Nurses and The Elderly in Social Home Sasana

Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang. Advisor I : Naniek Afrilla Framanik,

S.Sos., M.Si and Advisor II : Dr. Ing Rangga Galura Gumelar, M.Si.

A modernization is relationship of children with parents increasingly tenuous. The

business that hit young people is almost time consuming because they have little

time to think about their parents. Conditions like this cause the relationship

between parents with children, attention and attention to parents so that parents

feel alienated and prefer to live in a social home. Therefore the researchers want

to explain the communication process undertaken by nurses and the elderly and

how the pattern of self-disclosure between nurses and the elderly in Social Home

Sasana Tresna Cipocok Jaya Serang. This research uses descriptive qualitative

research method, data result through observation, interview and documentation.

The theory used is the theory of social penetration, where the bonding process

that moves a relationship from the superficial become more intimate. The results

show that when we interact more, we know sooner and understand the character

of a person (nurses or elderly), both sides will give attention as a whole so that

getting used to be open, enjoy, more intimate, and can provide solutions to

existing problems and also be able to assess and reduce the behavior of the

opponent. The pattern of self-disclosure between nurses and the elderly in social

home sasana tresna werdha cipocok jaya serang is circular communication

patterns because of the feedback between the nurses and the elderly in interaction.

Keywords : The Pattern of Self-Disclosure, Nurses, The Elderly

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT yang maha Agung

pemilik alam semesta yang menggenggam jiwa raga makhluk-Nya, karena atas

ridho dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan tugas mata kuliah skripsi ini

guna untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar kesarjanaan strata (S1) pada

program studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Hubungan Masyarakat di Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Peneliti

menyadari bahwa tugas mata kuliah skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk

itu saran dan kritik yang dapat membantu perbaikan tugas skripsi yang berjudul

“Membangun Keterbukaan Diri Antara Perawat dan Lanjut Usia di Panti Sosial

Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang” sangat peneliti harapkan. Pada

kesempatan ini peneliti juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas segala

dukungan, bantuan dan bimbingannya dalam proses penelitian serta penyusunan

tugas skripsi ini kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd selaku Rektor Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa.

2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, M.Si selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

ix

4. Bapak Darwis Sagita, M.Ikom selaku Sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

5. Ibu Naniek Afrilla Framanik, S.Sos., M.Si selaku Dosen Pembimbing I mata

kuliah skripsi sekaligus Dosen Pembimbing Akademik Prodi Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa.

6. Bapak Dr. Rangga Galura Gumelar, M.Si selaku Dosen Pembimbing II mata

kuliah skripsi Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

7. Kedua orang tua peneliti, bapak Yas’Ari dan ibu Faridah. M yang telah

memberi dukungan, motivasi serta do’a yang tiada putus kepada peneliti

dalam menyusun tugas mata kuliah skripsi ini.

8. Saudara kandung peneliti, Rhezky Pratama Mtd, Rahmat Ricofitra Mtd dan

Rhifania Ramandha Mtd, yang selalu memberikan dukungan, semangat

serta do’a kepada peneliti dalam menyusun tugas mata kuliah skripsi ini.

9. Pihak Balai Perlindungan Sosial, yang telah membantu dalam mencari data-

data mata kuliah skripsi.

10. Seluruh Dosen Prodi Ilmu Komunikasi yang telah membimbing dan

memberikan ilmunya selama bangku perkuliahan.

11. Seluruh pihak Balai Perlindungan Sosial Cipocok Jaya Serang, yang telah

memberikan pelayanan yang baik, membantu dalam menyusun tugas mata

kuliah skripsi ini.

12. Keluarga Besar UKM KSR PMI UPT UNTIRTA, yang selalu memberikan

semangat dan dukungan dalam menyusun tugas mata kuliah skripsi ini.

x

13. Sahabat-sahabat Beautiful Squad, Lestari E. Girsang, Agnes Tiurma, Tri

Yulia Nengsih, Pernita Hestin Untari, Eliana Pratiwi, Resti Nurfadhilah,

Nurhikmah Y, dan juga Nopita Sari Ningsih, Esti Mira M yang saling

dukung, memberikan semangat satu sama lain dan berjuang bersama dalam

menyelesaikan penelitian untuk meraih gelar sarjana.

14. Keluarga Besar IMMB (Ikatan Mahasiswa Minang Banten) yang

memberikan semangat dan dukungan dalam menyelesaikan penelitian ini.

15. Teman-teman Angkatan 2013 Prodi Ilmu Komunikasi, yang saling

memberikan semangat dan berjuang dalam meraih gelar sarjana.

16. Seluruh rekan mahasiswa dan pihak-pihak lain yang telah membantu dalam

penyusunan tugas mata kuliah skripsi ini.

Akhir kata, atas segala amal baik, pengorbanan waktu, tempat dan pikiran

yang telah diberikan kepada peneliti semoga mendapatkan pahala yang berlipat

dari Allah SWT, serta peneliti berharap semoga tugas mata kuliah skripsi ini

bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Serang, 29November2017

Peneliti,

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. ii

LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. v

ABSTRAK ...................................................................................................... vi

ABSTRACT ..................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR .................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL........................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 7

1.3 Identifikasi Masalah ............................................................................. 7

1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................. 8

1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................ 8

1.5.1 Manfaat Teoritis .......................................................................... 8

1.5.2 Manfaat Praktis ........................................................................... 9

xii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………... 10

2.1 Komunikasi Interpersonal .................................................................... 10

2.1.1 Komponen Komunikasi Interpersonal ........................................ 12

2.1.2 Ciri-ciri Komunikasi Interpersonal ............................................. 14

2.1.3 Tipe-tipe Komunikasi Interpersonal ........................................... 16

2.1.4 Tujuan Komunikasi Interpersonal .............................................. 18

2.1.5 Komunikasi Interpersonal yang Efektif ...................................... 20

2.1.5.1 Faktor-faktor Efektivitas Komunikasi Interpersonal .... 20

2.1.6 Fungsi Komunikasi Non Verbal ................................................. 21

2.1.7 Tipe-tipe Komunikasi Non Verbal ............................................. 22

2.2 Keterbukaan Diri .................................................................................. 23

2.3 Perawat ................................................................................................. 29

2.4 Lanjut Usia ........................................................................................... 30

2.4.1 Tinjauan Faktor Kesehatan Lansia ............................................. 31

2.4.2 Tipe Lansia ................................................................................. 33

2.4.3 Proses Penuaan Lansia ............................................................... 34

2.5 Teori Penetrasi Sosial ........................................................................... 35

2.5.1 Asumsi Dasar Teori Penetrasi Sosial .......................................... 36

2.5.2 Struktur Lapisan Personal Model Bawang ................................. 38

2.5.3 Tahapan Proses Penetrasi Sosial ................................................. 40

2.5.5 Mengatur Kedekatan Berdasarkan Cost dan Reward .................. 43

2.6 Kerangka Berfikir ................................................................................. 45

2.7 Tinjauan Penelitian ............................................................................... 48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………………. 52

3.1 Paradigma Penelitian ........................................................................... 52

3.2 Sifat Penelitian ..................................................................................... 53

3.3 Metode Penelitian ................................................................................. 53

3.4 Subjek Penelitian .................................................................................. 54

xiii

3.5 Objek Penelitian ................................................................................... 55

3.6 Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 55

3.7 Teknik Analisis Data ............................................................................ 57

3.8 Metode Keabsahan Data ....................................................................... 58

3.9 Lokasi dan Jadwal Penelitian ............................................................... 59

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 60

4.1 Deskripsi Objek Penelitian ................................................................... 60

4.1.1 Sejarah Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten ................... 60

4.1.2 Visi dan Misi Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten ......... 62

4.1.3 Struktur Organisasi ..................................................................... 64

4.1.4 Program Kegiatan Penghuni Panti .............................................. 66

4.1.5 Sasaran dan Kriteria .................................................................... 66

4.2 Deskripsi Data ...................................................................................... 69

4.3 Deskripsi Informan ............................................................................... 71

4.4 Analisis Situasi ..................................................................................... 78

4.5 Hasil Penelitian .................................................................................... 83

4.6 Pembahasan .......................................................................................... 101

BAB V PENUTUP .......................................................................................... 112

5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 112

5.2 Saran ..................................................................................................... 113

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 114

LAMPIRAN .................................................................................................... 117

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel1.1 Tabel Data Lanjut Usia………………………………………….. 5

Tabel 2.1 Tabel Tinjauan Penelitian……………………………………….. 51

Tabel 3.1 Tabel Jadwal Penelitian…………………………………………. 59

Tabel 4.1 Tabel Data Klien Lansia………………………………………… 67

Tabel 4.2 Tabel Informan Penelitian………………………………………. 77

Tabel 4.3 Tabel Axial Coding Penetrasi Sosial Perawat…………………... 95

Tabel 4.4 Tabel Axial Coding Penetrasi Sosial Lansia…………………….. 92

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir...................................................................... 47

Gambar 4.1 Bagan Struktur Organisasi........................................................ 65

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Pedoman Observasi.............................................................................. 120

2. Pedoman Wawancara........................................................................... 121

3. Catatan Hasil Observasi........................................................................ 124

4. Data Klien Lansia.................................................................................128

5. Jadwal Kegiatan Lansia........................................................................ 130

6. Jadwal Hasil Wawancara...................................................................... 131

7. Transkip Hasil Wawancara................................................................... 132

8. Dokumentasi......................................................................................... 151

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Ketika seseorang sudah mencapai usia tua tentunya fungsi organ tubuhnya

juga tidak dapat berfungsi lagi dengan baik. Penuaan adalah konsekuensi yang

tidak dapat dihindari. Pada dasarnya lansia masih membutuhkan perhatian dan

dukungan dari keluarganya sebagai tempat bergantung yang terdekat. Mereka

ingin hidup bahagia dan tenang dihari tua serta masih ingin diakui keberadaannya.

Namun seiring dengan bertambah tuanya individu, anak-anak dan teman-

temannya juga semakin sibuk dengan masalahnya sendiri.

Disamping itu pola keluarga yang semakin mengarah pada pola keluarga

inti (nuclear family) mengakibatkan anak-anak secara tidak langsung kurang

memperdulikan keberadaannya dan jalinan komunikasi antara orang tua dengan

anak semakin berkurang. Hal ini akan menyebabkan lansia merasa tersisih dan

tidak lagi dibutuhkan peranannya sebagai anggota keluarga walaupun masih

berada di lingkungan keluarga.

Zaman moderenisasi, hubungan anak dengan orang tua semakin renggang.

Kesibukan yang melanda kaum muda hampir menyita seluruh waktunya sehingga

mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk memikirkan orang tua. Kondisi

seperti ini menyebabkan kurangnya komunikasi antara orang tua dengan anak,

kurangnya perhatian dan pemberian perawatan terhadap orang tua. Kondisi

perkotaan yang berpacu untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan banyak

2

menimbulkan rasa kecemasan, ketegangan, ketakutan bagi penduduk yang dapat

menyebabkan penyakit mental. Kondisi perkotaan yang bersifat individualisme

menyebabkan kontak sosial menjadi longgar.

Pada dasarnya setiap keluarga ingin bersama keluarganya, karena keluarga

merupakan salah satu cerminan kebahagiaan pada setiap anggotanya. Pada

momen-momen tertentu, berkumpul bersama keluarga adalah hal yang selalu

didambakan, bagaimana tidak, seseorang akan merasa kesepian dan kerinduan

pada keluarga disaat pada suatu momen yang harusnya dinikmati bersama

keluarga tidak bisa dirasakan.

Sebenarnya lansia tidak akan menimbulkan masalah yang berarti bagi

keluarganya, apabila mereka masih mampu merawatnya. Namun jika keluarganya

menjadi semakin sibuk dan tidak memiliki waktu yang cukup dan tenaga untuk

merawatnya, maka salah satu jalan yang dipilih adalah menempatkan lansia di

Panti jompo.

Panti jompo adalah tempat dimana berkumpulnya orang-orang lanjut usia

yang secara sukarela ataupun diserahkan oleh pihak keluarga untuk diurus segala

keperluannya, dimana tempat ini dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta.

Sebagaimana tercantum dalam UU No.12 Tahun 1996 (Direktorat Jenderal,

Departemen Hukum dan HAM), yaitu kewajiban Negara untuk menjaga dan

memelihara setiap warganya.

Akan tetapi, keputusan keluarga untuk menempatkan lansia di Panti jompo

belum tentu diterima oleh lansia tersebut. Mereka mungkin saja merasa terbuang,

tidak dibutuhkan lagi, terisolasi dan kehilangan orang-orang yang dicintai. Selain

itu Panti jompo juga merupakan tempat yang relatif asing bagi lansia jika

3

dibandingkan tinggal di rumah mereka sendiri bersama keluarga. Karena bagi

mereka rumah sendiri atau rumah keluarga merupakan simbol kejayaan keluarga

besarnya, dihormati, dihargai, dijunjung tinggi dan diberikan peranan.

Namun, tidak semua lansia berada di Panti jompo dikarenakan perubahan

sistem nilai akan tetapi meningkatnya usia harapan hidup, keinginan pribadi lanjut

usia yang lebih memilih tinggal di panti jompo berpisah dari keluarga mereka.

Lansia yang tinggal di Panti jompo akan mengalami suatu perubahan sosial dalam

kehidupannya sehari-hari. Apabila lansia tidak segera mampu menyesuaikan diri

dengan lingkungan baru yang ada di Panti jompo dan berusaha menjalin

hubungan dengan orang lain yang seusianya, ketegangan jiwa atau stres akan

muncul. Stres yang berkepanjangan dapat memperbesar penyakit fisik maupun

mental dan tidak menutup kemungkinan lanjut usia akan mengalami

keputusasaan.

Panti Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang merupakan unit

pelaksana teknis dinas sosial provinsi Banten yang menangani kesejahteraan

sosial khususnya bagi lansia. Menyiapkan perawat untuk menangani keseharian

lansia yang baru maupun yang sudah lama menetap agar para lansia dapat

beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Peran seorang perawat adalah

menstabilkan suasana hati lansia dan mengurus serta merawat lansia karena

merupakan salah satu tugas seorang perawat sebagai pengganti keluarga.

Seorang perawat ingin merawat lansia karena lansia mengalami kelemahan

fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemampuan dan atau

kemauan dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri,

membantu memenuhi kebutuhan fisik lansia. Perawat yang ada di panti sosial

4

sasana tresna werdha Cipocok Jaya Serang berlatar belakang dari lulusan

pendidikan akademik perawat sehingga paham dan mengerti akan kebutuhan para

lansia. Perawat yang bekerja di panti sosial tersebut berdasarkan atas kemauan

mereka sendiri tanpa ada paksaan. Menurut seorang perawat yang bernama Ira

Novita Sari, ia memilih bekerja di panti sosial karena ia ingin membuat orang-

orang senang meskipun dengan melakukan hal-hal kecil apalagi membuat para

lansia bahagia yang terlihat diraut wajahnya. Sehingga ia tidak merasa terbebani

dalam melakukan pekerjaan di panti ini. Ini merupakan sebuah tantangan dalam

menghadapi para lansia yang memiliki karakter yang condong ke kanak-kanakan.

Ira mengatakan bahwa, “kelak nanti kita juga akan merasa posisi seperti mereka”

(Wawancara dengan Ira Novita Sari, 18 Oktober 2017).

Melihat fenomena-fenomena saat ini, banyak sekali anak yang kurang

memperhatikan dan memperdulikan orang tuanya sendiri. Fenomena-fenomena

anak menitipkan lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang,

dikarenakan ada beberapa alasan, yaitu:

“Pertama, lansia yang dititipkan ke panti sosial dikarenakan ekonomi

keluarga (kurang mampu). Kedua, orang tua bertingkah laku seperti anak

kecil membuat seorang anak khawatir terjadi cek-cok antara orang tua dan

anak/anggota keluarga lainnya, maka untuk menghindarinya anak

menitipkan orang tua di panti sosial.. Ketiga, lansia ingin menikmati hari

tua dengan mandiri. Keempat, orang tua tidak ingin merepotkan

keluarganya. Kelima, kurangnya efektivitas merawat lansia membuat

hubungan anak dan orang tua kurang dekat, karena walaupun satu rumah

tapi interaksi diantara mereka kurang terjalin dan kebanyakan lansia yang

masuk ke panti dikarenakan masalah ekonomi keluarga (tidak mampu)”

(Wawancara dengan Yani Heryani, 8 Juni 2017).

Data lanjut usia yang tercatat di dinas sosial provinsi Banten mulai dari

tahun 2012 sampai dengan 2017.

5

Tabel 1.1

Tabel Data Lanjut Usia

No Tahun Jenis Kelamin

Jumlah P L

1 2012 36 21 57 orang

2 2013 31 15 46 orang

3 2014 40 17 57 orang

4 2015 35 20 55 orang

5 2016 39 20 59 orang

6 2017 42 15 57 orang

Sumber: Data Klien Lansia Dinas Sosial Provinsi Banten

Berdasarkan data tersebut, lansia dari tahun tahun 2012 sampai dengan

tahun 2017 berkisar sekitar 57 sampai dengan 59 orang. Jadi, ini menjadi tugas

bagi unit pelaksana teknis dinas sosial provinsi Banten dalam menangani

kesejahteraan sosial dengan memberikan pelayanan bagi lansia yang bertujuan

untuk meningkatkan kualitas hidup, kesejahteraan lanjut usia dan terpenuhinya

kebutuhan dasar lanjut usia sehingga disinilah adanya peran seorang perawat

kepada lanjut usia.

Interaksi perawat dengan lanjut usia dilakukan dengan cara berkomunikasi.

Disamping lanjut usia juga dapat berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang

biasanya disebut dengan komunikasi intrapersonal, dan tentunya juga melakukan

komunikasi dengan orang-orang sekitarnya untuk membuat dia bertahan hidup.

Kehidupan manusia tidak akan terlepas dari komunikasi (Syam, 2011: 35 & 38).

Komunikasi interpersonal menjadi sangat penting dalam menghubungkan

perawat dan para lanjut usia. Interaksi perawat dan lanjut usia akan menghasilkan

informasi untuk perawat tentang bagaimana keadaan lanjut usia dan pada waktu

yang bersamaan perawat dapat memberikan informasi tentang keadaan lansia.

Berdasarkan sifatnya yang dua arah dimana terjadi kontak langsung dalam bentuk

6

percakapan dan dampaknya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat. Maka

diharapkan akan terjadi perubahan sikap, pendapat, tingkah laku yang

mengakibatkan umpan balik seketika.

Komunikasi sangat esensial untuk pertumbuhan kepribadian manusia.

Kurangnya komunikasi akan menghambat perkembangan kepribadian.

Komunikasi sangat erat kaitannya dengan perilaku dan pengalaman kesadaran

manusia. Komunikasi boleh ditujukan untuk memberikan informasi, menghibur,

atau mempengaruhi. Persuasif sendiri dapat didefinisikan sebagai proses

memengaruhi dan mengendalikan perilaku orang lain melalui pendekatan

psikologis.

Komunikasi merupakan elemen dasar dari interaksi manusia yang

memungkinkan sesorang untuk menetapkan, mempertahankan dan meningkatkan

kontrak dengan orang lain karena komunikasi dilakukan oleh seseorang setiap

hari, kebanyakan orang selalu berfikir bahwa komunikasi adalah sesuatu yang

mudah. Namun sebenarnya adalah proses yang kompleks yang melibatkan tingkah

laku dan hubungan serta kemungkinan individu berasosiasi dengan orang lain dan

dengan lingkungannya sekitar. Hal itu merupakan peristiwa yang terus

berlangsung secara dinamis yang maknanya dipacu dan ditransmisikan.

Pada hubungan komunikasi interpersonal, para komunikator membuat

prediksi terhadap satu sama lain atas dasar data psikologis. Komunikasi

interpersonal berperan dalam mentransfer peran/informasi dari sesorang kepada orang

lain berupa ide, fakta, pemikiran serta perasaan. Oleh karena itu, komunikasi

interpersonal adalah jembatan bagi setiap individu pada masyarakat dilingkungannya.

Komunikasi antarpribadi selalu menimbulkan saling pengertian atau saling

mempengaruhi antara seseorang dengan orang lain (AW Suranto, 2011: 17-19).

7

Komunikasi yang baik dalam keterbatasan kapasitas fungsional, sosial,

ekonomi, perilaku emosi yang labil pada lanjut usia. Komunikasi yang efektif

dapat mengikutsertakan partisipasi para lanjut usia dalam pengambilan keputusan

dalam hal seperti; (a) membantu proses mengingat, (b) berpengaruh terhadap

ketaatan dan kepuasan, (c) berpengaruh terhadap emosional bahkan fisik para

lanjut usia.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk menggali lebih

dalam lagi meneliti bagaimana pola keterbukaan diri antara perawat dan lanjut

usia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang jelas diatas, peneliti dapat merumuskan

masalah untuk lebih fokus dalam menjawab tujuan penelitian. Rumusan

masalahnya adalah bagaimana pola keterbukaan diri antara perawat dan lanjut

usia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang.

1.3 Identifikasi Masalah

Masalah dalam penelitian ini diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Bagaimana proses komunikasi interpersonal pada tahap penetrasi sosial

antara perawat dan lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok

Jaya Serang?

2. Bagaimana pola komunikasi dalam proses keterbukaan diri antara

perawat dan lanjut usia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok

Jaya Serang?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut :

8

1. Bagaimana pola keterbukaan diri pada tahap penetrasi sosial antara

perawat dan lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya

Serang?

2. Bagaimana pola komunikasi dalam proses keterbukaan diri antara

perawat dan lanjut usia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok

Jaya Serang?

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pengetahuan dan

memberi sumbangan yang berarti, baik secara teoritis dan praktis terhadap publik

sebagai sarana informasi untuk menambahkan pengetahuan bagi mereka.

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pengetahuan terhadap keilmuan komunikasi, terutama dalam kajian sosial

mengenai bagaimana pola keterbukaan diri antara perawat dan lanjut usia di Panti

Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang, dan sebagai bahan masukan

dan penunjang bagi penelitian-penelitian yang akan datang dan dapat dijadikan

sebagai rujukan bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi yang ingin mengadakan

penelitian lebih lanjut mengenai perilaku para lansia dalam berinteraksi sosial.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

dapat menjadikan masukan bagi Balai Perlindungan Sosial dalam meningkatkan

pelayanan dan penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan literature atau

referensi yang bermanfaat untuk pembuatan karya ilmiah dan penelitian-penelitian

selanjutnya.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi Interpersonal

Pergaulan manusia merupakan salah satu bentuk peristiwa komunikasi

dalam masyarakat. Menurut Schramm (1974), diantara manusia yang saling

bergaul, ada yang saling membagi informasi, namun ada pula yang membagi

gagasan dan sikap. Begitu pula menurut Merril dan Lownstein (1971), bahwa

dalam lingkungan pergaulan antarmanusia selalu terjadi penyesuaian pikiran,

penciptaan simbol yang mengandung pengertian bersama. Theodorson (1969),

mengemukakan pula bahwa, komunikasi adalah proses pengalihan informasi dari

satu orang atau sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol tertentu

kepada satu orang atau sekelompok lain. Komunikasi yang efektif ditandai dengan

hubungan interpersonal yang baik (Syaiful Rohim, 2009: 69-70).

Dean Barnlund (1975) menjabarkan bahwa komunikasi interpersonal

sebagai: “perilaku orang-orang pada pertemuan tatap muka dalam situasi sosial

informal dan melakukan interaksi terfokus lewat pertukaran isyarat verbal maupun

non verbal yang saling berbalasan”. Jadi bila ada proses komunikasi yang tidak

menimbulkan pertukaran isyarat verbal maupun non verbal, maka kegiatan

tersebut tidak disebut proses komunikasi.

Komunikasi interpersonal secara umum terjadi diantara dua orang. Seluruh

proses komunikasi terjadi diantara beberapa orang , namun banyak interaksi tidak

melibatkan seluruh orang didalamnya secara akrab. Dengan melacak makna

10

interpersonal, kata ini merupakan turunan dari awalan inter, yang berarti “antara”,

dan kata person, yang berarti orang (Julia T. Wood, 2010:22).

Menurut Alo Liliweri yang dikutip dari Onong Uchjana Effendy (2005:12)

mengenai pengertian komunikasi antarpribadi sebagai berikut: “Pada hakikatnya

komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara seorang komunikator dengan

seorang komunikan. Jenis komunikasi tersebut dianggap paling efektif untuk

mengubah sikap, pendapat, atau perilaku manusia berhubung prosesnya yang

dialogis”.

Sifat dialogis tersebut ditunjukkan melalui komunikasi lisan melalui

percakapan yang menampilkan arus balik yang langsung. Jika komunikator yang

mengetahui tanggapan komunikan pada saat itu, komunikator juga mengetahui

dengan pasti apakah pesan-pesan yang dia kirimkan itu diterima atau ditolak,

berdampak positif atau negatif, jika tidak diterima komunikator akan memberikan

kesempatan seluas-luasnya kepada komunikan untuk bertanya.

Jadi dapat dijelaskan bahwa komunikasi antarpribadi adalah komunikasi

yang diadakan dan berlangsung dalam situasi yang dialogis, komunikasi diadik

adalah komunikasi yang melibatkan dua orang atau yang berinterakasi secara

sadar, langsung dan tatap muka. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi yang

dialogis adalah situasi yang berbagi dalam banyak hal, dapat berupa berbagai

informasi, kegembiraan, kesedihan dan dalam komunikasi antarpribadi tidak

melihat adanya perbedaan status sosial dan ekonomi dari masing-masing perilaku

komunikasi. Dalam situasi seperti ini terasa adanya kemurnian dialog yang dapat

11

mengungkapkan berbagai pendapat, perasaan dan kepercayaan dari individu-

individu yang terlibat.

2.1.1 Komponen-komponen Komunikasi Interpersonal

Beberapa komponen komunikasi interpersonal dalam AW Suranto (2011:7-

9) sebagai berikut:

Pertama, sumber/ komunikator merupakan orang yang mempunyai

kebutuhan untuk berkomunikasi, yakni keinginan untuk membagi keadaan

internal sendiri, baik yang bersifat emosional maupun informasional dengan orang

lain. Kebutuhan ini dapat berupa keinginan untuk memperoleh pengakuan sosial

sampai pada keinginan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain.

Dalam konteks komunikasi interpersonal komunikator adalah individu yang

menciptakan, memformulasikan dan menyampaikan pesan.

Kedua, encoding adalah suatu aktivitas internal pada komunikator dalam

menciptakan pesan melalui pemilihan simbol-simbol verbal dan non verbal, yang

disusun berdasarkan aturan-aturan tata bahasa, serta disesuaikan dengan

karakteristik komunikan. Encoding merupakan tindakan memformulasikan isi

pikiran kedalam simbol-simbol, kata-kata dan sebagainya sehingga komunikator

merasa yakin dengan pesan yang disusun dan cara penyampaian.

Ketiga, pesan merupakan hasil encoding. Pesan adalah seperangkat simbol-

simbol baik verbal maupun non verbal, atau gabungan keduanya, yang mewakili

keadaan khusus komunikator untuk disampaikan kepada pihak lain. Dalam

aktivitas komunikasi, pesan merupakan unsur yang sangat penting. Pesan itulah

yang disampaikan oleh komunikator untuk diterima dan diinterpretasi oleh

12

komunikan. Komunikasi akan efektif apabila komunikan menginterpretasi makna

pesan sesuai yang diinginkan oleh komunikator.

Keempat, saluran merupakan sarana fisik penyampaian pesan dari sumber

ke penerima atau yang menghubungkan orang ke orang lain secara umum. Dalam

konteks komunikasi interpersonal, penggunaan saluran atau media semata-mata

karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan dilakukan komunikasi secara

tatap muka.

Kelima, penerima/ komunikan adalah seseorang yang menerima, memahami

dan menginterpretasi pesan. Dalam proses komunikasi interpersonal, penerima

bersifat aktif, selain menerima pesan melakukan pula proses interpretasi dan

memberikan umpan balik. Berdasarkan umpan balik dari komunikan inilah

seorang komunikator akan dapat mengetahui keaktifan komunikasi yang telah

dilakukan, apakah makna pesan dapat dipahami secara sama oleh kedua belah

pihak yakni komunikator atau komunikan.

Keenam, decoding merupakan kegiatan internal dalam diri penerima.

Melalui indera, penerima mendapatkan macam-macam data dalam bentuk

“mentah”, berupa kata-kata dan simbol-simbol yang harus diubah kedalam

pengalaman-pengalaman yang mngandung makna. Secara bertahap dimulai dari

proses sensasi, yaitu proses dimana indera menangkap stimuli. Misalnya telinga

mendengar suara atau bunyi, mata melihat objek, dan sebagainya. Proses sensasi

dilanjutkan dengan persepsi, yaitu proses yang memberikan makna atau decoding.

Ketujuh, respon yakni apa yang telah diputuskan oleh penerima untuk

dijadikan sebagai sebuah tanggapan terhadap pesan. Respon dapat bersifat positif,

netral maupun negatif. Respon positif apabila sesuai dengan yang dikehendaki

13

komunikator. Netral berarti respon ini tidak menerima atau menolak keinginan

komunikator. Dikatakan respon negatif apabila tanggapan yang diberikan

bertentangan dengan apa yang diinginkan komunikator. Pada hakikatnya respon

merupakan informasi bagi sumber sehingga ia dapat menilai efektivitas

komunikasi untuk selanjutnya menyesuaikan diri dengan situasi yang ada.

Kedelapan, gangguan (noise) gangguan atau noise atau barier beraneka

ragam, untuk harus didefinisikan dan dianalisis. Noise dapat terjadi didalam

komponen-komponen manapun dari sistem komunikasi. Noise merupakan apa

saja yang mengganggu atau membuat kacau penyampaian dan penerimaan pesan,

termasuk yang bersifat fisik dan phsikis.

Kesembilan, konteks komunikasi komunikasi selalu terjadi dalam suatu

konteks tertentu, paling tidak ada tiga dimensi yaitu ruang, waktu dan nilai.

Konteks ruang menunjukkan pada lingkup konkrit dan nyata tempat terjadinya

komunikasi seperti ruangan, halaman, dan jalanan. Konteks waktu menunjukkan

pada waktu kapan komunikasi tersebut dilaksanakan, misalnya pagi, siang, sore

atau malam. Konteks nilai meliputi nilai sosial dan budaya yang mempengaruhi

suasana komunikasi, seperti adat istiadat, suasana rumah, norma sosial, norma

pergaulan, etika, tata krama dan sebagainya. Agar komunikasi interpersonal

berjalan efektif , masalah konteks komunikasi ini kiranya perlu menjadi perhatian.

Artinya, pihak komunikator dan komunikan perlu menimbangkan konteks

komunikasi ini.

2.1.2 Ciri-ciri Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal merupakan jenis komunikasi yang frekuensi

terjadinya cukup tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Apabila diamati dan

14

dikomparasikan dengan jenis komunikasi lainnya, maka dapat dikemukakan ciri-

ciri komunikasi interpersonal dalam AW Suranto (2011:14-15), antara lain:

Pertama, arus pesan dua arah. Komunikasi interpersonal menempatkan

sumber pesan dan penerima dalam posisi ruang sejajar, sehingga memicu

terjadinya pola penyebaran pesan mengikuti arus dua arah. Artinya komunikator

dan komunikan dapat berganti pesan secara cepat. Seorang sumber pesan dapat

berubah pesan sebagai penerima pesan, begitu pula sebaliknya. Arus pesan secara

dua arah ini berlangsung secara berkelanjutan.

Kedua, suasana nonformal. Komunikasi interpersonal biasanya berlangsung

dalam suasana nonformal. Dengan demikian, apabila komunikasi itu berlangsung

antara para pejabat disebuah instansi, maka para pelaku komunikasi itu tidak

secara kaku berpegangan pada hierarki jabatan dan prosedur birokrasi, namun

lebih memilih pendekatan secara individu yang bersifat pertemanan. Relevan

dengan suasana nonformal tersebut, pesan yang dikomunikasikan biasanya

bersifat lisan, bukan tertulis. Disamping itu, forum komunikasi yang dipilih

biasanya juga cenderung bersifat nonformal, seperti percakapan intim dan lobi,

bukan forum formal seperti rapat.

Ketiga, ucapan balik segera. Oleh karena itu komunikasi interpersonal

biasanya mempertemukan para pelaku komunikasi secara tatap muka, maka

umpan balik dapat diketahui dengan segera. Seorang komunikator dapat segera

memperoleh balikan atas pesan yang disampaikan dari komunikan, baik secara

verbal maupun non verbal.

15

Keempat, peserta komunikasi berada dalam jarak yang dekat. Komunikasi

interpersonal merupakan metode komunikasi antarindividu yang menuntut agar

peserta komunikasi berada dalam jarak dekat, naik jarak dalam arti fisik maupun

psikologis. Jarak yang dekat dalam arti fisik, artinya pelaku saling bertatap muka,

berada pada satu lokasi tertentu. Sedangkan jarak yang dekat secara psikologis

menunjukkan keintiman hubungan antarindividu.

Kelima, peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan

dan spontan baik secara verbal maupun non verbal. Untuk meningkatkan

keefektivitasan komunikasi interpersonal, peserta komunikasi dapat

memberdayakan pemanfaatan kekuatan pesan verbal maupun non verbal secara

simultan. Peserta komunikasi berupaya saling meyakinkan, dengan

mengoptimalkan penggunaan pesan verbal maupun non verbal secara bersamaan,

saling mengisi, saling memperkuatkan sesuai tujuan komunikasi.

2.1.3 Tipe Komunikasi Interpersonal

Berikut merupakan tipe-tipe komunikasi interpersonal dalam AW Suranto

(2011:16-17) antara lain:

a. Komunikasi dua orang

Komunikasi dua orang atau komunikasi diadik mencakup segala jenis

hubungan antarpribadi, antara satu orang dengan orang lain, mulai dari

hubungan paling singkat (kontak) biasa, sampai hubungan yang bertahan

lama dan mendalam. Dalam proses komunikasi diadik, sifat hubungan

antara dua orang yang saling berinteraksi dapat dikelompokkan dalam

dua kategori, yakni : komunikasi yang bersifat terbuka dan tertutup. Pola

komunikasi dua orang yang bersifat terbuka, ditandai oleh sikap

16

keterbukaan diantara keduanya. Pola komunikasi seperti ini sering

dinamakan pola komunikasi “dokter-pasien” ditunjukan oleh adanya

sikap keterbukaan pasien pada dokter, dan sebaliknya. Sikap keterbukaan

pasien ditujukan dengan kesediaan menjawab secara jujur mengenai

penyakit yang dideritanya. Untuk pola komunikasi yang berlaku dalam

masyarakat.

Komunikasi diadik dapat bersifat sebagai interaksi intim dan longgar,

interaksi intim ditandai oleh adanya kedekatan hubungan kedua belah

pihak yaitu dengan adanya ikatan emosional yang kuat di antara

keduanya. Komunikasi interpersonal dua orang dapat terjadi secara

primer maupun sekunder.

b. Wawancara

Wawancara adalah salah satu tipe komunikasi interpersonal dimana dua

orang terlihat dalam percakapan yang berupa tanya jawab. Keefektifan

wawancara ditentukan oleh sejauh mana informasi yang ingin

dikumpulkan telah tercapai. Oleh karena itu agar informasi-informasi

penting yang diinginkan dapat diperoleh dari pihak terwawancara maka

seseorang pewawancara perlu membuat semacam pedoman wawancara

yang berisi butir-butir pertanyaan penting yang akan diajukan.

c. Komunikasi Kelompok Kecil

Komunikasi kelompok kecil merupakan salah satu tipe komunikasi

interpersonal, dimana beberapa orang terlibat dalam suatu pembicaraan,

percakapan, diskusi, musyawarah dan sebagiannya. Istilah “kelompok

kecil” memiliki tiga makna: (a) jumlah anggota kelompok itu memang

17

hanya sedikit orang; (b) diantara para anggota kelompok itu saling

mengenal dengan baik; (c) pesan yang dikomunikasikan bersifat unik,

khusus, dan terbatas bagi anggota sehingga tidak sembarang orang dapat

bergabung; (d) dalam kelompok itu.

2.1.4 Tujuan Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal merupakan action oriented ialah sutau tindakan

yang beriorientasi pada tujuan tertentu. Tujuan komunikasi interpersonal dalam

AW Suranto (2011:19-22) itu bermacam-macam, beberapa di antaranya adalah:

Pertama, mengungkapkan perhatian kepada orang lain, salah satu tujuan

komunikasi interpersonal adalah untuk mengungkapkan perhatian kepada orang

lain. Dalam hal ini seseorang berkomunikasi dengan cara menyapa, tersenyum,

melambaikan tangan, membungkukkan badan, menanyakan kabar kesehatan

partner komunikasinya, dan sebagainya.

Kedua, menemukan diri sendiri, seseorang melakukan komunikasi

interpersonal karena ingin mengetahui dan mengenali karakteristik diri pribadi

berdasarkan informasi dari orang lain. Bila seseorang terlihat komunikasi

interpersonal dengan orang lain, maka terjadi proses belajar banyak sekali tentang

diri maupun orang lain. Dengan saling membicarakan keadaan diri, minat, dan

harapan maka seseorang memperoleh informasi berharga untuk mengenai jati diri

atau dengan kata lain menemukan diri sendiri.

Ketiga, menemukan dunia luar, dengan komunikasi interpersonal diperoleh

kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi dari orang lain, termasuk

informasi penting dan aktual. Dengan komunikasi interpersonal diperoleh

18

informasi, dan dengan informasi tersebut dapat dikenali dan ditemukan keadaan

dunia luar yang sebelumnya tidak diketahui.

Keempat, membangun dan memelihara hubungan yang harmonis, sebagai

makhluk sosial, salah satu kebutuhan setiap orang yang paling besar adalah

membentuk dan memelihara kebutuhan baik dengan orang lain. Oleh karena itu

setiap orang telah menggunakan banyak waktu untuk berkomunikasi secara

interpersonal yang diabdikan untuk membangun dan memelihara hubungan sosial

dengan orang lain.

Kelima, mempengaruhi sikap dan tingkah laku, komunikasi interpersonal

adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk

memberitahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku baik secara langsung

maupun tidak langsung (dengan menggunakan media).

Keenam, mencari kesenangan atau sekedar menghabiskan waktu, seseorang

melakukan komunikasi interpersonal sekedar mencari kesenangan atau hiburan.

Bertukar cerita lucu adalah merupakan pembicaraan untuk mengisi dan

menghabiskan waktu.

Ketujuh, menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi, komunikasi

interpersonal dapat menghilangkan kerugian akibat salah satu komunikasi dan

salah interpretasi yang terjadi antara sumber dan penerima pesan. Karena dengan

berkomunikasi interpersonal dapat dilakukan pendekatan secara langsung,

menjelaskan berbagai pesan yang rawan menimbulkan kesalahan interpretasi.

Kedelapan, memberikan bantuan (konseling), dikalangan masyarakat juga

dapat dengan mudah diperoleh contoh yang menunjukan fakta bahwa komunikasi

interpersonal dapat dipakai sebagai pemberian bantuan (konseling) bagi orang lain

19

yang memerlukan. Tanpa disadari setiap orang ternyata sering bertindak sebagai

konselor maupun konseli dalam interaksi interpersonal sehari-hari.

2.1.5 Komunikasi Interpersonal yang Efektif

Komunikasi interpersonal dapat dikatakan efektif apabila pesan diterima dan

dimengerti sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti

dengan sebuah perbuatan secara suka rela oleh penerima pesan, dapat

meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi, dan tidak ada hambatan untuk hal

itu. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa komunikasi

interpersonal yang efektif, apabila memenuhi tiga syarat, dalam AW Suranto

(2011:78-79), yaitu:

Pertama, pesan yang diterima dan dipahami oleh komunikan sebagaimana

dimaksud oleh komunikator. Salah satu indikator yang dapat digunakan sebagai

ukuran komunikasi yang efektif, adalah apabila makna pesan komunikator sama

dengan makna pesan yang diterima komunikan.

Kedua, ditindak lanjuti secara suka rela. Indikator komunikasi interpersonal

yang efektif berikutnya adalah bahwa komunikan menindaklanjuti pesan tersebut

dengan perbuatan dan dilakukan secara suka rela, tidak dipaksa.

Ketiga, meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi. Efekivitas dalam

komunikasi interpersonal akan mendorong terjadinya hubungan yang positif. Hal

ini disebabkan pihak-pihak yang saling berkomunikasi merasakan manfaat dari

komunikasi itu sehingga merasa perlu memelihara hubungan antarpribadi.

20

2.1.5.1 Faktor Efektivitas Komunikasi Interpersonal

Adapun faktor keefektivitasan komunikasi interpersonal dalam AW

Suranto (2011:84-85) adalah sebagai berikut:

1. Faktor keberhasilan dilihat dari sudut komunikator

a. Kreadibilitas: ialah kewibawaan seorang komunikator dihadapan

komunikan. Pesan yang disampaikan oleh seorang komunikator yang

berkreadibilitas tinggi akan lebih banyak memberi pengaruh terhadap

penerima pesan.

b. Daya tarik: ialah daya tarik fisik maupun non fisik. Adanya daya tarik

ini akan mengundang simpati penerima pesan.

c. Kemampuan intelektual: ialah tingkat kecakapan, kecerdasan, dan

keahlian seorang komunikator.

d. Kepercayaan: jika komunikator dipercaya oleh komunikan maka akan

lebih mudah menyampaikan pesan dan mempengaruhi sikap orang.

e. Kematangan tingkat emosional: ialah kemampuan komunikator untuk

mengendalikan emosi, sehingga tetap bisa melaksanakan komunikasi

dalam suasana yang menyenangkan.

2. Faktor keberhasilan dilihat dari sudut komunikan

a. Komunikan yang cakap akan mudah menerima dan mencerna pesan.

b. Komunikan yang memiliki pengetahuan yang luas akan cepat

menerima pesan.

c. Komunikan harus bersikap ramah, supel dan pandai bergaul agar

tercipta proses komunikasi.

d. Komunikan harus memahami dengan siapa ia berbicara.

e. Komunikan bersikap bersahabat dengan komunikator.

3. Faktor keberhasilan dilihat dari sudut pesan

a. Pesan komunikasi interpersonal perlu dirancang dan disampaikan

sedemikian rupa.

b. Lambang-lambang yang digunakan harus benar-benar dapat dipahami

oleh kedua belah pihak.

c. Pesan-pesan tersebut disampaikan secara jelas.

d. Tidak menimbulkan multi interpretasi.

e. Sediakan informasi yang praktis dan berguna.

f. Berikan fakta, bukan kesan dalam penyampaian kalimat konkret,

detail, dan spesifik disertai bukti untuk mendukung opini.

4. Faktor penghambat komunikator

a. Kreadibilitas komunikator rendah.

b. Kurang memahami karakteristik latar belakang sosial dan budaya.

c. Kurang memahami karakteristik komunikan.

d. Prasangka buruk.

e. Verbalistis.

f. Komunikasi satu arah.

g. Tidak menggunakan media yang tepat.

h. Perbedaan bahasa.

i. Perbedaan persepsi.

21

2.1.6 Fungsi Komunikasi Non-Verbal dalam Komunikasi Interpersonal

Periset utama mengidentifikasikan enam fungsi utama (dalam Ekman, 1965;

Knapp, 1978 dan Nia Kurniawati (2014:38), yaitu:

Pertama, untuk menekankan. Menggunakan komunikasi non-verbal

untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal.

Kedua,untuk melengkapi (complement). Menggunakan komunikasi nonverbal

untuk memperkuat warna atau sikap umum yang dikomunikasikan oleh pesan

verbal. Ketiga, untuk menunjukan kontradiksi. Secara sengaja mempertentangkan

pesan verbal kita dengan nonverbal. Keempat, untuk mengatur. Gerak gerik

nonverbal dapat mengendalikan atau mengisyaratkan keinginan untuk mengarur

arus pesan verbal. Kelima, untuk mengulangi. Mengulangi atau merumuskan

ulang makna dari pesan verbal. Keenam, untuk menggantikan. Komunikasi

nonverbal juga dapat menggantikan pesan verbal, anda dapat mengatakan “oke”

dengan tangan tanpa berkata apa-apa.

2.1.7 Tipe-tipe Komunikasi Non-Verbal dalam Komunikasi Interpersonal

Berikut merupakan tipe-tipe komunikasi nonverbal antara lain:

Pertama, kinesik: refer to body position and body motions including those

of the face. Kedua, haptik: sentuhan. Lima makna sentuhan menurut Stanley Jones

dan Elaine Yarbough (dalam DeVito,1997) yaitu untuk mengilustrasikan 1) afeksi

positif yang berupa dukungan, apresiasi, inklusi, minat seksual, dan afeksi; 2)

bercanda; 3) mengarahkan atau mengendalikan; 4) sentuhan ritual yang terpusat

pada salam dan perpisahan; 5) keterkaitan dengan tugas, dilakukan sehubungan

dengan pelaksanaan fungsi tertentu.

22

Ketiga, penampilan fisik. Kebanyakan kita lebih menyukai orang secara

fisik menarik ketimbang orang yang secara fisik tidak menarik, dan lebih

menyukai orang yang memiliki kepribadian menyenangkan ketimbang yang tidak.

Keempat, artifak. Komunikasi artifaktual mencakup segala sesuatu yang dipakai

orang atau melakukan sesuatu terhadap tubuh untuk memodifikasi

penampilannya.

Kelima, faktor lingkungan. Atlman dan Chemers (1980) (dalam

Gudykunst, 2003:253) membagi wilayah ini dalam 3 kategori yaitu primer,

sekunder dan publik. Keenam, proksemik dan tempat pribadi. Komunikasi ruang

ini pertama memusatkan perhatian pada empat jarak ruang (spatial, spasial) utama

yang dijaga oleh orang ketika mereka berkomunikasi: (a) jarak intim; (b) jarak

pribadi; (c) jarak sosial; (d) fase jauh (lebih dari 750 cm).

Ketujuh, kronemik. Komunikasi temporal ini menyangkut penggunaan

waktu – bagaimana kita mengaturnya, bagaimana kita bereaksi terhadapnya dan

pesan yang dikomunikasikannya. Kedelapan, parabahasa. Parabahasa mengacu

pada dimensi vokal tetapi nonverbal dari pembicaraan. Kesembilan, diam. Diam

melindungi individualisme dan privasi anda; juga menunjukan penghargaan

terhadap individualisme orang lain.

2.2 Keterbukaan Diri

1. Pengertian Keterbukaan Diri

Interaksi yang dilakukan antara satu individu dengan individu lainnya

terkadang memunculkan pemikiran apakah orang lain dapat menerima individu

tersebut, ataukah justru menolak. Selain itu, individu juga ingin mengetahui

tentang orang lain, begitu pula sebaliknya. Hal seperti itu ditentukan oleh

23

bagaimana individu dapat bersikap terbuka atau lebih dapat mengungkapkan

dirinya.

Devito mengemukakan bahwa keterbukaan diri adalah jenis komunikasi

dimana kita mengungkapkan informasi tentang diri kita sendiri yang biasanya kita

sembunyikan (Devito, 1997:64). Sedangkan Johnson (1981) dalam Supratiknya

(1995:14) mengatakan bahwa pembukaan diri atau keterbukaan diri adalah

mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita

hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang

berguna untuk memahami tanggapan kita di masa kini tersebut.

Dari beberapa pengertian tentang keterbukaan diri yang telah disampaikan

oleh para ahli, maka dapat kita simpulkan bahwa keterbukaan diri adalah sebuah

kerelaan dalam diri untuk mengungkapkan atau menyampaikan informasi,

keyakinan, perasaan, pengalaman dan masalah yang dirahasiakan kemudian

diungkapkan kepada orang lain secara apa adanya, sehingga pihak lain

memahami.

2. Aspek-aspek Keterbukaan Diri

Keterbukaan diri menurut Jourard (dalam Ditya Ardi Nugroho, 2013: 557)

memiliki tiga dimensi yaitu (a) keleluasaan atau breadth, (b) kedalaman atau

depth, (c) target atau sasaran pengungkapan diri.

Dimensi keleluasaan mengacu pada cakupan materi yang diungkap dan

semua materi tersebut dijabarkan dalam enam kategori informasi tentang diri

sendiri, yaitu sikap dan pendapat, rasa dan minat, pekerjaan atau kuliah, uang,

kepribadian dan tubuh. Dimensi kedalaman keterbukaan diri mengacu pada empat

tingkatan yaitu: tidak pernah bercerita kepada orang lain mengenai diri sendiri,

24

bercerita secara mendetail, berbicara secara umum, dan berbohong atau salah

mengartikan aspek diri sendiri sehingga yang diceritakan kepada orang lain

berupa gambaran diri yang salah. Dimensi orang yang dituju dalam keterbukaan

diri terdiri dari lima yaitu ibu, ayah, teman pria, teman wanita, dan pasangan.

Menurut Pearson ( dalam Ruth Permatasari Novianna, 2012:4) komponen

self disclosure yaitu (a) jumlah informasi yang diungkapkan, (b) sifat dasar yang

positif dan negatif, (c) dalamnya suatu pengungkapan diri, (d) waktu

pengungkapan diri, (e) lawan bicara.

3. Faktor yang Mempengaruhi Keterbukaan Diri

Keterbukaan diri adalah sebuah proses dimana seseorang membagikan

informasi kepada orang lain yang tujuannya adalah agar orang lain dapat

mengetahui, merasakan, dan memahami diri seseorang. Keterbukaan diri

dipengaruhi oleh beberapa faktor (dalam Devito 2011: 65-67). Faktor-faktor

tersebut adalah:

a. Kelompok Besar

Keterbukaan diri lebih banyak terjadi pada kelompok kecil daripada

kelompok besar. Kelompok kecil biasanya terdiri dari dua orang dan ini

merupakan kelompok yang cocok untuk seseorang dapat lebih terbuka

terhadap orang lain karena dengan satu pendengar maka seseorang yang

menjadi pendengar akan lebih cermat dan fokus menanggapi atau bahkan

menghentikan apabila dirasa situasinya kurang mendukung .

b. Persaaan Menyukai

Individu membuka diri kepada orang yang disukai dan tidak akan membuka

diri kepada orang yang tidak disukai. Hal ini dikarenakan orang yang

25

individu sukai dan mungkin juga memiliki perasaan yang sama akan

bersikap mendukung dan positif atau terbuka dengan individu tersebut.

c. Efek Diadik

Individu melakukan keterbukaan diri apabila orang yang bersamanya juga

melakukan keterbukaan diri. Efek diadik ini membuat individu merasa

aman, nyaman, dan ada kenyataannya akan memperkuat keterbukaan diri

seseorang individu.

d. Kompetensi

Individu yang berkompeten akan lebih terbuka mengenai dirinya daripada

orang yang kurang berkompeten. Individu yang berkompeten akan mampu

melakukan komunikasi interpersonal dengan baik karena individu tersebut

dapat menempatkan dirinya, mengatakan apa yang seharusnya dikatakan

dan juga dapat lebih bersikap terbuka.

e. Kepribadian

Individu yang pandai bergaul akan lebih bersikap terbuka kepada orang lain

daripada individu yang kurang pandai bergaul. Individu yang kurang

memiliki keberanian berbicara pada umumnya juga akan memiliki

keterbukaan diri yang kurang daripada individu yang merasa nyaman saat

melakukan komunikasi.

f. Topik

Individu lebih cenderung membuka diri terhadap topik tertentu. Individu

mungkin lebih terbuka terhadap informasi mengenai pekerjaan dan hobi

daripada tentang hubungan seks ataupun keuangan. Pada umumnya semakin

26

negatif dan pribadi suatu topik, maka keterbukaan diri individu juga

semakin kecil.

g. Jenis Kelamin

Faktor yang mempengaruhi keterbukaan diri seseorang adalah jenis

kelamin. Pria dan wanita mengemukakan alasan yang berbeda mengapa

mereka lebih cenderung untuk tidak membuka diri.

4. Tingkat Keterbukaan Diri

Dalam suatu proses hubungan interpersonal terdapat tingkatan-tingkatan

yang berbeda dalam pengungkapan diri. Menurut John Powel (dalam Supratiknya,

1995: 32-34), tingkatan pengungkapan diri dalam komunikasi adalah:

a. Tahap kelima, yakni basa-basi.

Tahap ini merupakan tahap komunikasi paling dangkal. Komunikasi

biasanya terjadi antara dua orang bertemu secara kebetulan. Kata-kata yang

diucapkan dalam tahap ini hanya kata-kata ringan seperti sapaan atau basa-

basi.

b. Tahap keempat, yakni membicarakan orang lain.

Dalam tahap ini individu sudah saling menanggapi, akan tetapi masih dalam

taraf dangkal karena pada tahap ini individu belum mau mengungkapkan

diri masing-masing.

c. Tahap ketiga, yakni menyatakan gagasan dan pendapat.

Pada tahap ini antar individu sudah mau saling membuka diri namun masih

terbatas pada taraf pikiran. Saat berbicara, individu masih berusaha keras

menghindarkan diri dan menunjukkan kesan memiliki pendapat yang

berbeda dengan individu lain.

27

d. Tahap kedua, yakni hati dan perasaan.

Setiap individu memiliki emosi atau perasaan yang berbeda seperti individu

yang menginginkan hubungan yang jujur, terbuka, dan menyatakan perasaan

secara mendalam. Individu yang memiliki keberanian untuk saling bersikap

jujur dan terbuka berarti memiliki kesepakatan untuk saling mempercayai.

e. Tahap pertama, yakni hubungan puncak.

Tahap ini ditandai dengan keterbukaan, kejujuran dan saling percaya antara

kedua belah pihak. Dalam tahap ini, individu tidak merasakan adanya

ganjalan berupa rasa takut atau khawatir untuk menceritakan hal yang

bersifat pribadi kepada individu lainnya dan dengan demikian komunikasi

tersebut telah terjadi secara mendalam sehingga kedua belah pihak

merasakan hubungan timbal balik yang sempurna.

Berdasarkan tingkatan yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa tingkatan pengungkapan diri terdiri dari tahap awal, yaitu menyapa dan

membicarakan orang lain, tahap pertengahan, yaitu memberikan ide dan pendapat,

dan tahap terakhir, yaitu mampu mengungkapkan isi hati, perasaan dan emosi.

5. Manfaat Keterbukaan Diri

Menurut DeVito (2011: 67-69), memiliki berbagai macam manfaat bagi

seseorang, yaitu:

a. Pengetahuan diri, yaitu individu mendapatkan pemahaman baru dan lebih

mendalam mengenai dirinya sendiri. Dalam sebuah proses konseling

misalnya, pandangan baru sering kali muncul pada diri konseli saat konseli

melakukan pengungkapan diri.

28

b. Kemampuan mengatasi kesulitan, yaitu ketakutan ketika tidak terima dalam

suatu lingkungan karena suatu kesalahan tertentu seperti kesalahan kepada

orang lain. Keterbukaan diri akan membantu individu dalam menyelesaikan

suatu permasalahan dengan orang lain kerena individu memiliki kesiapan

untuk membicarakan permasalahan tersebut secara lebih terbuka.

c. Efisiensi komunikasi, yaitu keterbukaan diri yang dilakukan individu dapat

mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukannya. Individu dapat lebih

memahami apa yang dikatakan oleh orang lain apabila individu tersebut

sudah mengenal baik orang lain tersebut, sehingga individu tersebut

mendapatkan pemahaman secara utuh terhadap orang lain dan mungkin

sebaliknya.

d. Kedalaman hubungan, yaitu keterbukaan diri sangat diperlukan dalam

membina suatu hubungan yang bermakna seperti sikap saling percaya,

menghargai, dan jujur. Adanya keterbukaan akan membuat suatu hubungan

lebih bermakna dan mendalam.

2.3 Perawat

Perawat (nurse) berasal dari bahasa Latin yaitu nutrix yang berarti merawat

atau memelihara. Menurut Kusnanto (2003:5), perawat adalah seseorang (seorang

profesional) yang mempunyai kemampuan, tanggung jawab dan pelayanan

keperawatan. Perawat merupakan penolong utama klien dalam melaksanakan

aktivitas penting guna memelihara dan memulihkan kesehatan klien (Atilah Nur

Karumi, 2016:106).

Undang-undang Republik Indonesia No.23 tahun 1992 menyangkut

kesehatan, perawat merupakan mereka yang mempunyai kemampuan dan

29

kewenangan melaksanakan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki

diperoleh melalui pendidikan keperawatan yang telah dilalui.

Perawat berperan membantu individu dan keluarga dalam menghadapi

penyakit dan disabilitas kronik dengan meluangkan sebagaian waktu bekerja di

rumah pasien bersama keluarganya. Adapun peran perawat adalah sebagai

berikut:

1. Sebagai pemberi asuhan keperawatan, merupakan peran yang paling utama

bagi seorang perawat.

2. Sebagai pemberi kenyamanan, merupakan sesuatu perasaan subjektif dalam

diri manusia. Pemberian rasa nyaman yang diberikan perawat kepada klien

dapat berupa sikap atau perilaku yang ditunjukan dengan sikap peduli, sikap

ramah, sikap sopan, da sikap empati yang ditunjukkan perawat kepada klien

pada saat memberikan asuhan keperawatan.

3. Sebagai komunikator. Klien juga membutuhkan interaksi pada saat ia

menjalani asuhan keperawatan. Interaksi verbal yang dilakukan dengan

perawat sedikit banyak akan berpengaruh terhadap peningkatan kesehatan

klien.

2.4 Lanjut Usia (Lansia)

Menurut Elizabeth B. Harlock yang dikutip oleh Argyo Demartoto

menjelaskan bahwa orang yang kira-kira mulai terjadi pada usia 60 tahun ditandai

dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang cenderung

mengarah ke penyesuaian diri yang buruk dan hidupnya tidak bahagia (Argyo

Demartoto, 2016:13). Dalam UU No. 13 Tahun 1998 yang dimaksud lansia atau

lanjut usia adalah laki-laki ataupun perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih

30

atau seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas yang mana kemampuan

fisik dan kognitifnya semakin menurun.

Secara biologis penduduk lanjut usia (lansia) adalah penduduk yang

mengalami proses penuaan secara terus-menerus yang ditandai dengan

menurunnya daya tahan tubuh fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan

penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya

perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta sistem organ.

Menurut Bernice Neurgarten dan James C. Chalhoun (dalam Suhartini,

2004:11), masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasakan suatu

kepuasan dengan keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah

permulaan kemunduran. Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa

kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar luas.

Jadi dapat disimpulkan bahwa secara umum lanjut usia merupakan kondisi

dimana seseorang mengalami pertambahan umur dengan disertai penurunan

fungsi fisik yang ditandai dengan penurunan masa otot serta kekuatannya, laju

denyut maksimal, peningkatan lemak tubuh, dan penurunan fungsi otak. Saat

lanjut usia tubuh tidak akan mengalami perkembangan lagi sehingga tidak ada

peningkatan kualitas otak.

2.4.1 Tinjauan Faktor Kesehatan Lansia

Faktor kesehatan meliputi keadaan fisik dan keadaan psikis lanjut usia.

Faktor kesehatan fisik meliputi kondisi fisik lanjut usia dan daya tahan fisik

terhadap serangan penyakit. Faktor kesehatan psikis meliputi penyesuaian

terhadap kondisi lanjut usia.

31

1. Kesehatan Fisik

Faktor kesehatan meliputi keadaan fisik dan keadaan psikis lanjut usia.

Kesehatan fisik merupakan faktor utama dari kegelisahan manusia.

Kekuatan fisik,pancaindera, potensi dan kapasitas intelektual mulai

menurun pada tahap-tahap tertentu Prasetyo (dalam Suhartini, 2004:28).

Dengan demikian orang lanjut usiaharus menyesuaikan diri kembali dengan

ketidakberdayaannya.

Kemunduran fisik ditandai dengan beberapa serangan penyakit seperti

gangguan pada sirkulasi darah, persendian, system pernafasan dan mental.

Sehingga keluhan yang sering terjadi adalah mudah lelah/letih, mudah lupa,

gangguan saluran pencernaan saluran buang air kecil, fungsi indra, dan

menurunnya konsentrasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Joseph J. Gallo

(dalam Suhartini, 2004 :16) mengatakan untuk mengkaji fisik pada orang

lanjut usia harus dipertimbangkan keberadaannya,seperti menurunnya

pendengaran, penglihatan, gerakan yang terbatas, dan waktu respon yang

lamban.

2. Kesehatan Psikis

Dengan menurunnya berbagai kondisi dalam diri orang lanjut usia secara

otomatisakan timbul kemunduran kemampuan psikis. Salah satu penyebab

menurunnya kesehatan psikis adalah menurunnya pendengaran, dengan

menurunnya fungsidan kemampuan pendengaran bagi orang lanjut usia

maka banyak dari merekayang gagal dalam menangkap isi pembicaraan

orang lain, sehingga mudah menimbulkan perasaan tersinggung, tidak

dihargai, dan kurangnya rasa percayadiri. Dikarenakan ada penurunan pada

32

fungsi kognitif dan psikomotorik pada diri orang lanjut usia maka akan

muncul beberapa kepribadian lanjut usia sebagai berikut :

a. Tipe kepribadian konstruktif, pada tipe ini tidak banyak mengalami

gejolak,tenang dan mantap sampai sangat tua.

b. Tipe kepribadian mandiri, pada tipe ini ada kecenderungan mengalami

post power syndrome, apabila pada masa lanjut usia tidak diisi dengan

kegiatan yang baik pada dirinya.

c. Tipe kepribadian tergantung, pada tipe ini sangat dipengaruhi kehidupan

keluarga. Apabila kehidupan keluarga harmonis, maka pada masa lanjut

usia (lansia) tidak akan timbul gejolak. Akan tetapi jika pasangan hidup

meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi

merana apalagi jika terbawa arus kedukaan.

d. Tipe kepribadian bermusuhan, pada tipe ini setelah memasuki masa

lanjut usia akan tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya. Banyak

keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama

sehingga menyebabkan kondisi ekonomi rusak, (5) tipe kepribadian kritik

diri, padatipe ini umunya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri

sulit dibantu oleh orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.

2.4.2 Tipe Lansia

Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,

lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho, 1999). Tipe

tersebut dijabarkan sebagai berikut:

33

a) Tipe arif bijaksana. Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri

dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah

hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.

b) Tipe mandiri. Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif

dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.

c) Tipe tidak puas. Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga

menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik

dan banyak menuntut.

d) Tipe pasrah. Menerima dan menanggung nasib baik, mengikuti kegiatan

agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.

e) Tipe bingung. Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,

menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.

Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe independen

(ketergantungan), tipe defensife (bertahan), tipe militan dan serius, tipe

pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe

putus asa (benci pada diri sendiri).

2.4.3 Proses Penuaan Lansia

Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat

diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap

perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks

multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang

sampai pada keseluruhan sistem (Stanley et al. 2006).

Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang

maksimal. Setelah itu tubuh mulai menyusut dikarenakan berkurangnya jumlah

34

sel-sel yang ada di dalam tubuh. Sebagai akibatnya, tubuh juga akan mengalami

penurunan fungsi secara perlahan-lahan. Itulah yang dikatakan proses penuaan

(Maryam RS, Ekasari MF, dkk, 2008).

Pengaruh proses manua dapat menimbulkan berbagai masalah, baik secara

biologis, mental, maupun ekonomi. Semakin lanjut usia seseorang, maka

kemampuan fisiknya akan semakin menurun, sehingga dapat mengakibatkan

kemunduran pada peran-peran sosialnya (Tamher dan Noorkasiani, 2009). Oleh

karena itu, perlu membantu individu untuk menjaga harkat dan otonomi maksimal

meskipun dalam keadaan kehilangan fisik, sosial dan psikologis (Smeltzer, S &

Bere, 2002).

2.5 Teori Penetrasi Sosial

Hubungan antarpribadi merupakan hal yang hidup dan dinamis. Hubungan

ini selalu berkembang (DeVito, 2011: 250). Untuk mengetahui bagaimana suatu

hubungan antarpribadi berkembang atau sebaliknya, rusak, dapat dilakukan

dengan mempelajari sebuah teori komunikasi yang disebut Teori Penetrasi Sosial

(Social Penetration Theory – SPT) dari Irwin Altman & Dalmas Taylor (1973).

SPT merupakan sebuah teori yang menggambarkan suatu pola pengembangan

hubungan, yaitu sebuah proses yang Altman & Taylor identifikasi sebagai

penetrasi sosial.

“Interpersonal closeness proceeds in a gradual and orderly fashion

from superficial to intimate level of exchange, motivated by current and

projected future outcomes. Lasting intimacy requires continual and mutual

vulnerability through breadth and depth of self-disclosure” (Griffin, 2006 :

125)”.

35

Melalui pernyataan Griffin tersebut dapat diketahui bahwa kedekatan

interpersonal merujuk pada sebuah proses ikatan hubungan dimana individu-

individu yang terlibat bergerak dari komunikasi superfisial menuju ke komunikasi

yang lebih intim. Lebih lanjut Griffin menyebutkan bahwa keintiman yang

bertahan lama membutuhkan ketidakberdayaan yang terjadi secara

berkesinambungan tetapi juga bermutu dengan cara melakukan pengungkapan diri

yang luas dan dalam.

Keintiman di sini, menurut Altman & Taylor, lebih dari sekedar keintiman

secara fisik; dimensi lain dari keintiman termasuk intelektual dan emosional,

hingga pada batasan dimana kita melakukan aktivitas bersama (West & Turner,

2011). Artinya, perilaku verbal (berupa kata-kata yang digunakan), perilaku

nonverbal (dalam bentuk postur tubuh, ekspresi wajah, dan sebagainya), serta

perilaku yang berorientasi pada lingkungan (seperti ruang antara komunikator,

objek fisik yang ada di dalam lingkungan, dan sebagainya) termasuk ke dalam

proses penetrasi sosial.

2.5.1 Asumsi Dasar Teori Penetrasi Sosial

Berikut adalah beberapa asumsi Teori Penetrasi Sosial menurut West &

Turner dalam buku pengantar teori komunikasi (West & Turner, 2008: 197):

a. Hubungan-hubungan mengalami kemajuan dari tidak intim menjadi intim.

Hubungan komunikasi antara orang dimulai pada tahapan superfisial dan

bergerak pada sebuah kontinum menuju tahapan yang lebih intim.

Walaupun tidak semua hubungan terletak pada titik ekstrem, tidak intim

maupun intim. Sering kali, kita mungkin menginginkan kedekatan

hubungan yang ekstrem. Contohnya, kita mungkin ingin agar hubungan

36

dengan rekan kerja kita cukup jauh sehingga kita tidak perlu mengetahui apa

yang terjadi di rumahnya setiap malam atau berapa banyak uang yang ia

miliki di bank.Akan tetapi, kita perlu untuk mengetahui cukup informasi

personal untuk menilai apakah ia mampu menyelesaikan tanggung jawab-

nya dalam sebuah proyek tim.

b. Secara umum perkembangan hubungan sistematis dan dapat diprediksi.

Secara khusus para teoretikus penetrasi sosial berpendapat bahwa

hubungan-hubungan berkembang secara sistematis dan dapat diprediksi.

Beberapa orang mungkin memiliki kesulitan untuk menerima klaim ini.

Hubungan – seperti proses komunikasi – bersifat dinamis dan terus berubah,

tetapi bahkan sebuah hubungan yang dinamis mengikuti standar dan pola

perkembangan yang dapat diterima. Meskipun kita mungkin tidak

mengetahui secara pasti mengenai arah dari sebuah hubungan atau dapat

menduga secara pasti masa depannya, proses penetrasi sosial cukup teratur

dan dapat diduga. Tentu saja, sejumlah peristiwa dan variabel lain (waktu,

kepribadian dan sebagainya) memengaruhi cara perkembangan hubungan

dan apa yang kita prediksikan dalam proses tersebut. Sebagaimana

disimpulkan oleh Altman & Taylor (1973), “orang tampaknya memiliki

mekanisme penyesuaian yang sensitif yang membuat mereka mampu untuk

memprogram secara hati-hati hubungan interpersonal mereka”.

c. Perkembangan Hubungan mencakup depenetrasi (penarikan diri) dan

disolusi. Mulanya, kedua hal ini mungkin terdengar aneh. Sejauh ini kita

telah memba-has titik temu dari sebuah hubungani hubungan dapat menjadi

berantakan, atau menarik diri (depenetrate) dan kemunduran ini dapat

37

menyebabkan terjadinya disolusi hubungan. Akan tetapi hubungan dapat

menjadi berantakan atau menarik diri (depenetrasi) dan kemunduran ini

dapat menyebabkan terjadinya disolusi hubungan.

Berbicara mengenai penarikan diri dan disolusi, Altman & Taylor

menyatakan kemiripan proses ini dengan sebuah film yang diputar mundur.

Sebagaimana komunikasi memungkinkan sebuah hubungan untuk bergerak maju

menuju tahap keintiman, komunikasi dapat menggerakkan hubungan untuk

mundur menuju tahap ketidakintiman. Jika komunikasi penuh dengan konflik,

contohnya, dan konflik ini terus berlanjut menjadi rusak dan tidak bisa

diselesaikan, hubungan itu mungkin akan mengambil langkah mundur dan

menjadi lebih jauh.

2.5.2 Struktur Lapisan Personal Model Bawang

Dalam teori ini, Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang

merah. Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau

lapisan kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan

menemukan lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian manusia.

Lapisan kulit terluar dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka

bagi publik, apa yang biasa kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak

ditutup-tutupi. Jika kita mampu melihat lapisan yang sedikit lebih dalam lagi,

maka di sana ada lapisan yang tidak terbuka bagi semua orang, lapisan

kepribadian yang lebih bersifat semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya terbuka

bagi orang-orang tertentu saja, orang terdekat misalnya. Lapisan yang paling

dalam adalah wilayah private, dimana di dalamnya terdapat nilai-nilai, konsep

diri, konflik-konflik yang belum terselesaikan, emosi yang terpendam, dan

38

semacamnya. Lapisan ini tidak terlihat oleh dunia luar, oleh siapapun, bahkan dari

kekasih, orang tua, atau orang terdekat manapun. Akan tetapi lapisan ini adalah

yang paling berdampak atau paling berperan dalam kehidupan seseorang.

Kedekatan kita terhadap orang lain, menurut Altman dan Taylor, dapat

dilihat dari sejauh mana penetrasi kita terhadap lapisan-lapisan kepribadian tadi.

Dengan membiarkan orang lain melakukan penetrasi terhadap lapisan kepribadian

yang kita miliki artinya kita membiarkan orang tersebut untuk semakin dekat

dengan kita. Taraf kedekatan hubungan seseorang dapat dilihat dari sini. Dalam

perspektif teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor menjelaskan beberapa

penjabaran sebagai berikut (Em Griffin, 2006: 115-116):

Pertama, kita lebih sering dan lebih cepat akrab dalam hal pertukaran pada

lapisan terluar dari diri kita. Kita lebih mudah membicarakan atau ngobrol tentang

hal-hal yang kurang penting dalam diri kita kepada orang lain, daripada

membicarakan tentang hal-hal yang lebih bersifat pribadi dan personal. Semakin

ke dalam kita berupaya melakukan penetrasi, maka lapisan kepribadian yang kita

hadapi juga akan semakin tebal dan semakin sulit untuk ditembus. Semakin

mencoba akrab ke dalam wilayah yang lebih pribadi, maka akan semakin sulit

pula.

Kedua, keterbukaan-diri (self disclosure) bersifat resiprokal (timbal-balik),

terutama pada tahap awal dalam suatu hubungan. Menurut teori ini, pada awal

suatu hubungan kedua belah pihak biasanya akan saling antusias untuk membuka

diri, dan keterbukaan ini bersifat timbal balik. Akan tetapi semakin dalam atau

semakin masuk ke dalam wilayah yang pribadi, biasanya keterbukaan tersebut

39

semakin berjalan lambat, tidak secepat pada tahap awal hubungan mereka, dan

juga semakin tidak bersifat timbal balik.

Ketiga, penetrasi akan cepat di awal akan tetapi akan semakin berkurang

ketika semakin masuk ke dalam lapisan yang makin dalam. Tidak ada istilah

“langsung akrab”. Keakraban itu semuanya membutuhkan suatu proses yang

panjang. Dan biasanya banyak dalam hubungan interpersonal yang mudah runtuh

sebelum mencapai tahapan yang stabil. Pada dasarnya akan ada banyak faktor

yang menyebabkan kestabilan suatu hubungan tersebut mudah runtuh, mudah

goyah. Akan tetapi jika ternyata mampu untuk melewati tahapan ini, biasanya

hubungan tersebut akan lebih stabil, lebih bermakna, dan lebih bertahan lama.

Keempat, depenetrasi adalah proses yang bertahap dengan semakin

memudar. Maksudnya adalah ketika suatu hubungan tidak berjalan lancar, maka

keduanya akan berusaha semakin menjauh. Akan tetapi proses ini tidak bersifat

eksplosif atau meledak secara sekaligus, tapi lebih bersifat bertahap. Semuanya

bertahap, dan semakin memudar.

2.5.3 Tahapan Proses Penetrasi Sosial

Teori pertama dari Altman dan Taylor ini disusun berdasarkan suatu

gagasan yang sangat populer dalam tradisi sosiopsikologi yaitu ide bahwa

manusia membuat keputusan didasarkan atas prinsip “biaya” (cost) dan “imbalan”

(reward). Menurut Altman dan Taylor orang tidak hanya menilai biaya dan

imbalan suatu hubungan pada saat tertentu saja, tetapi mereka juga menggunakan

segala informasi yang ada untuk memperkirakan biaya dan imbalan pada waktu

yang akan datang.

40

Ketika imbalan yang diterima lambat laun semakin besar sedangkan biaya

semakin berkurang, maka hubungan diantara pasangan individu akan semakin

dekat dan intim dan mereka masing-masing akan lebih banyak memberikan

informasi mengenai diri mereka masing-masing. Altman dan Taylor mengajukan

empat tahap perkembangan hubungan antar-individu yaitu:

a. Tahap Orientasi (Membuka sedikit demi sedikit)

Tahap dimana komunikasi yang terjadi bersifat tidak pribadi (impersonal).

Para individu yang terlibat hanya menyampaikan informasi yang bersifat

sangat umum saja. Selama tahap ini, pernyataan-pernyataan yang dibuat

biasanya hanya hal-hal yang klise dan merefleksikan aspek superfersial dari

seorang individu. Orang biasanya bertindak sesuai dengan cara yang

dianggap baik secara sosial dan berhati-hati untuk tidak melanggar harapan

sosial. Selain itu, individu-individu tersenyum manis dan bertindak sopan

pada tahap orientasi. Altman dan Taylor (1987) menyatakan bahwa orang

cenderung tidak mengevaluasi atau mengkritik selama tahap orientasi.

Perilaku ini akan dipersepsikan sebagai ketidakwajaran oleh orang lain dan

mungkin akan merusak interaksi selanjutnya. Jika evaluasi terjadi,

teoretikus percaya bahwa kondisi itu akan diekspresikan dengan sangat

halus. Selain itu, kedua individu secara aktif menghindari setiap konflik

sehingga mereka mempunyai kesempatan berikutnya untuk menilai diri

mereka masing-masing. Jika pada tahap ini mereka yang terlibat merasa

cukup mendapatkan imbalan dari interaksi awal, maka mereka akan

melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap pertukaran efek eksploratif.

41

b. Tahap Pertukaran Efek Eksploratif (Munculnya diri)

Tahap dimana muncul gerakan menuju ke arah keterbukaan yang lebih

dalam. Tahap ini menyajikan suatu perluasan mengenai banyaknya

komunikasi dalam wilayah di luar publik; aspek-aspek kepribadian yang

dijaga atau ditutupi sekarang mulai dibuka atau secara lebih perinci, rasa

berhati-hati sudah mulai berkurang. Hubungan pada tahap ini umumnya

lebih ramah dan santai, dan jalan menuju ke wilayah lanjutan yang bersifat

akrab dimulai (Budiyatna & Mona G, 2012:228). Tahap ini merupakan

perluasan area publik dari diri dan terjadi ketika aspek-aspek dari

kepribadian seorang individu mulai muncul. Para teoretikus mengamati

bahwa tahap ini setara dengan hubungan yang kita miliki dengan kenalan

dan tetangga yang baik. Seperti tahap-tahap lainnya, tahap ini juga

melibatkan perilaku verbal dan nonverbal.

c. Tahap Pertukaran Afektif (Komitmen dan nyaman)

Tahap munculnya perasaan kritis dan evaluative pada level yang lebih

dalam. Tahap ketiga ini tidak akan dimasuki kecuali para pihak pada tahap

sebelumnya telah menerima imbalan yang cukup berarti dibandingkan

dengan biaya yang dikeluarkan. Tahap ini ditandai oleh persahabatan yang

dekat dan pasangan yang intim. Di sini, perjanjian bersifat interaktif lebih

lancar dan kausal. Interaksi pada lapis luar kepribadian menjadi terbuka, dan

adanya yang meningkat pada lapis menengah kepribadian. Meskipun adanya

rasa kehati-hatian, umumnya terdapat sedikit hambatan untuk penjajakan

secara terbuka mengenai keakraban. Tahap pertukaran afektif

menggambarkan komitmen lanjut kepada individu lainnya, para interaktan

42

merasa nyaman satu dengan lainnya. Tahap ini mencakup nuansa-nuansa

hubungan yang membuatnya menjadi unik; senyum mungkin menggantikan

untuk kata “saya mengerti”, atau pandangan yang menusuk diartikan

sebagai “kita bicarakan ini nanti”. Tahap ini merupakan tahap peralihan ke

tingkat yang paling tinggi mengenai pertukaran keakraban yang mungkin.

d. Tahap Pertukaran Stabil (Kejujuran total dan komitmen)

Adanya keintiman dan pada tahap ini, masing-masing individu

dimungkinkan untuk memperkirakan masing-masing tindakan mereka dan

memberikan tanggapan dengan sangat baik (Morissan, 2014:299). Dalam

tahap ini, pasangan berada dalam tingkat keintiman tinggi dan sinkron,

maksudnya, perilaku-perilaku di antara keduanya kadang kala terjadi

kembali, dan pasangan mampu untuk menilai dan menduga perilaku

pasangannya dengan cukup akurat.

2.5.4 Mengatur Kedekatan Berdasarkan Cost dan Reward

Dalam teori penetrasi sosial, kedalaman suatu hubungan adalah penting.

Tapi, keluasan ternyata juga sama pentingnya. Maksudnya adalah mungkin dalam

beberapa hal tertentu yang bersifat pribadi kita bisa sangat terbuka kepada

seseorang yang dekat dengan kita. Akan tetapi bukan berarti juga kita dapat

membuka diri dalam hal pribadi yang lainnya. Mungkin kita bisa terbuka dalam

urusan asmara, namun kita tidak dapat terbuka dalam urusan pengalaman di masa

lalu. Atau yang lainnya.

Karena hanya ada satu area saja yang terbuka bagi orang lain (misalkan

urusan asmara tadi), maka hal ini menggambarkan situasi di mana hubungan

mungkin bersifat mendalam akan tetapi tidak meluas (depth without breadth).

43

Dan kebalikannya, luas tapi tidak mendalam (breadth without depth) mungkin

ibarat hubungan “halo, apa kabar?”, suatu hubungan yang biasa-biasa saja.

Hubungan yang intim adalah di mana meliputi keduanya, dalam dan juga luas.

Keputusan tentang seberapa dekat dalam suatu hubungan menurut teori

penetrasi sosial ditentukan oleh prinsip untung-rugi (reward-costs analysis).

Setelah perkenalan dengan seseorang pada prinsipnya kita menghitung faktor

untung-rugi dalam hubungan kita dengan orang tersebut, atau disebut dengan

indeks kepuasan dalam hubungan (index of relational satisfaction). Begitu juga

yang orang lain tersebut terapkan ketika berhubungan dengan kita. Jika hubungan

tersebut sama-sama menguntungkan maka kemungkinan untuk berlanjut akan

lebih besar, dan proses penetrasi sosial akan terus berkelanjutan.

Altman dan Taylor merujuk kepada pemikiran John Thibaut dan Harold

Kelley (1952) tentang konsep pertukaran sosial (social exchange). Menurut

mereka dalam konsep pertukaran sosial, sejumlah hal yang penting antara lain

adalah soal relational outcomes, relational satisfaction, dan relational stability.

Thibaut dan Kelley menyatakan bahwa kita cenderung memperkirakan

keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan

orang lain sebelum kita melakukan interaksi. Kita cenderung menghitung untung-

rugi. Jika kita memperkirakan bahwa kita akan banyak mendapatkan keuntungan

jika kita berhubungan dengan seseorang tersebut maka kita lebih mungkin untuk

membina relasi lebih lanjut.

Dalam masa-masa awal hubungan kita dengan seseorang biasanya kita

melihat penampilan fisik atau tampilan luar dari orang tersebut, kesamaan latar

44

belakang, dan banyaknya kesamaan atau kesamaan terhadap hal-hal yang disukai

atau disenangi. Dan hal ini biasanya juga dianggap sebagai suatu “keuntungan”.

Akan tetapi dalam suatu hubungan yang sudah sangat akrab seringkali kita bahkan

sudah tidak mempermasalahkan mengenai beberapa perbedaan di antara kedua

belah pihak, dan kita cenderung menghargai masing-masing perbedaan tersebut.

Karena kalau kita sudah melihat bahwa ada banyak keuntungan yang kita

dapatkan daripada kerugian dalam suatu hubungan, maka kita biasanya ingin

mengetahui lebih banyak tentang diri orang tersebut.

Menurut teori pertukaran sosial, kita sebenarnya kesulitan dalam

menentukan atau memprediksi keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam

suatu hubungan atau relasi dengan orang lain. Karena secara psikologis apa yang

dianggap sebagai “keuntungan” tadi berbeda-beda tiap-tiap orang. Teori

pertukaran sosial mengajukan dua standar umum tentang apa-apa yang dijadikan

perbandingan atau tolok ukur dalam mengevaluasi suatu hubungan interpersonal.

2.6 Kerangka Berfikir

Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti bagaimana membangun

keterbukaan diri antara perawat dan lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

dan lanjut usia (lansia). Bagaimana perawat berkomunikasi secara interpersonal

dan lanjut usia (lansia) tersebut dalam proses interaksi ataupun beradaptasi,

dinama perawat akan menjadi objek utama dalam penelitian ini, yang akan diteliti

mulai dari proses awal berinteraksi ataupun beradaptasi, saat melakukan aktivitas

di dalam Panti Sosial atau kegiatan lain di luar Panti Sosial. Proses interaksi yang

yang terjadinya antara perawat dan lansia untuk menggambarkan suatu pola

pengembangan hubungan dari komunikasi yang superfisial menuju ke komunikasi

45

yang lebih intim, hingga ada atau tidaknya hambatan dalam proses komunikasi

dan bagaimana perawat menyelesaikan hambatan tersebut.

Proses komunikasi yang berlangsung di dalam Panti Sosial antara perawat

dan lanjut usia (lansia), memiliki faktor-faktor yang akan menjadi hambatan dan

akan menggangu proses komunikasi. Penyampaian pesan yang dilakukan juga

melalui komunikasi verbal dan non verbal. Salah satu faktornya yang dapat

menghambat proses komunikasi adalah faktor psikologis dari lanjut usia (lansia)

yang menjadi komunikan. Lanjut usia (lansia) memiliki motivasi, minat atau

emosi yang berbeda-beda, maka penyampaian pesannya pun berbeda-beda. Selain

itu faktor biologis juga dapat mempengaruhi proses komunikasi, karena tingkat

gangguan yang dialami lanjut usia (lansia) pun berbeda-beda.

Dari beberapa faktor di atas dapat menjadikan pertimbangan bagi seorang

perawat dalam menjalin komunikasi, agar tetap terjalin interaksi dengan lanjut

usia (lansia). Proses komunikasi yang dilakukan bertujuan untuk menghasilkan

komunikasi yang efisien dalam melakukan interaksi melalui beberapa tahap pada

teori penetrasi sosial menurut Altman & Taiylor, seperti tahap orientasi, tahap

penjajakan pertukaran afektif, tahap pertukaran afektif dan tahap pertukaran stabil

sehingga dapat membangun dan mengembangkan hubungan interpersonal melalui

teori penetrasi sosial.

46

Gambar 2.1

Kerangka Berfikir

Tahap Pertukaran

Afektif

Pertukaran Stabil Tahap Pertukaran

Efek Eksploratif

Pola Keterbukaan diri Antara

Perawat dan Lansia

Tahap Orientasi

Komunikasi Interpersonal antara Perawat dengan

Lansia

Teori Penetrasi Sosial

(Altman & Taylor)

47

2.7 Tinjauan Penelitian

Sebagai rujukan dari penelitian terkait tentang tema yang diteliti, peneliti

berusaha mencari referensi hasil penelitian yang dikaji oleh peneliti-peneliti

terdahulu sehingga dapat membantu peneliti dalam mengkaji tema yang diteliti.

Adapun berikut ini tinjauan penelitian yang diperoleh:

2.7.1 Triesty Aprilia (2016). Pola Komunikasi Terapeutik Dokter terhadap

Pasien Rawat Inap dalam Proses Penyembuhan (Studi Deskriptif Kualitatif

Aktivitas Komunikasi Interpersonal Dokter dan Pasien di Rumah Sakit

Krakatau Medika).

Komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara dokter

dengan pasien yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya

dipusatkan kepada pasien. Rumah Sakit Krakatau Medika memiliki fasilitas

penunjang yang cukup lengkap. Karena itu, Rumah Sakit Krakatau Medika

menjadi rumah sakit pilihan warga Cilegon. Adapun tujuan penelitiannya adalah

untuk menguraikan bagaimana komunikasi terapeutik dokter dan pasien, interaksi

verbal dan non verbal dalam proses penyembuhan, dan bagaimana upaya dokter

untuk mengatasi hambatan di ruang inap. Penelitian ini menggunakan teori

atribusi serta menggunakan metode penulisan kualitatif deskriptif untuk

menjabarkan hasil penelitian. Hasil penelitiannya adalah komunikasi terapeutik

dapat dilakukan oleh dokter secara profesional dan sabar dengan faktor

kepercayaan dan keterbukaan mengenai riwayat penyakit pasien menjadi hal yang

sangat penting. Penggunaan bahasa lebih selektif terhadap permasalahan yang

sensitif serta mempertahankan kontak mata dengan pasien. Adapun faktor

penghambat penelitiannya adalah perbedaan latar belakang pendidikan antara

48

dokter dan pasien. Kondisi pasien yang tidak fit pun mengurangi tingkat fokus

pada ucapan dokter. 1

2.7.2 Dita Putriana(2016). Pola Komunikasi Pengasuh dengan Lanjut Usia di

Pelayanan Sosial Lanjut Usia Tresna Werdha Natar, Lampung Selatan.

Berkomunikasi merupakan hal yang penting yang terjadi di kehidupan dan

dilakukan oleh semua orang tidak terkecuali komunikasi yang dilakukan oleh

pengasuh dengan lansia di dalam suatu Unit Pelayanan Lanjut Usia Tresna

Werdha Natar. Komunikasi yang dilakukan oleh pengasuh terhadap lansianya

merupakan hal yang diteliti untuk mendapatkan pola komunikasi apa yang

dihasilkan. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui data

observasi dan wawancara kemudian penulis tuangkan kedalam tulisan. Teori yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teori Self-Disclosure (teori keterbukaan

diri). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengasuh membuat para lanjut usia

terbuka atas apa yang dirasakan dalam kesehariannya mengenai kegiatan yang

mereka lakukan. Hasil penelitian menunjukkan jika Pola Komunikasi Sirkular

merupakan pola komunikasi yang paling efektif digunakan diantara mereka untuk

melakukan komunikasi.2

2.7.3 Ayip Iqbal Waladi (2014). Pola Komunikasi Antarpribadi Guru

Sekolah Khusus Negeri (SKhN) 01 Kota Serang dengan Murid Penderita

Tunagrahita dalam Proses Belajar Mengajar di Kelas.

Komunikasi merupakan salah satu proses sosial yang sangat mendasar

dalam kehidupan manusia. Namun dalam kegiatan komunikasi terkadang

1Triesty, Aprilia.2016. Pola Komunikasi Terapeutik Dokter terhadap Pasien Rawat Inap dalam

Proses Penyembuhan. Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2Dita, Putriana .2016. Pola Komunikasi Pengasuh dengan Lanjut Usia di Pelayanan Sosial Lanjut

Usia Tresna Werdha Natar, Lampung Selatan. Bandar Lampung: Universitas Lampung

49

menemukan hambatan dalam proses penyampaian pesan, pengiriman pesan

sampai pemahaman pesan. Khususnya berkomunikasi dengan anak penyandang

tunagrahita sangat dibutuhkan kemampuan khusus seorang guru tentang

bagaimana mengajar dan memberikan instruksi dalam upaya memberikan

pengetahuan sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Salah satunya dengan

menerapkan komunikasi antarpribadi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui tahap interaksi awal antara guru kepada murid tunagrahita,

mengetahui keterlibatan dan keakraban dan mengetahui pemutusan dalam

hubungan antarpribadi guru dengan murid tunagrahita dalam proses belajar

mengajar di kelas yang diterapkan oleh guru-guru di Sekolah Khusus Negeri

(SKhN) 01 Kota Serang. Teori yang digunakan adalah model hubungan lima

tahap deVito. Metode penelitiannya yaitu metode deskriptif kualitatif dengan

menggunakan key informan sebagai narasumber peneliti. Hasil penelitiannya

adalah hubungan lima tahap deVito yakni dari mulai kontak awal sampai

pemutusan hubungan berlaku dan sesuai dengan pola komunikasi antarpribadi

guru dengan murid tunagrahita dalam proses belajar mengajar di kelas.3

3Ayip, Iqbal W. 2014. Pola Komunikasi Antarpribadi Guru Sekolah Khusus Negeri (SKhN) 01

Kota Serang dengan Murid Penderita Tunagrahita dalam Proses Belajar Mengajar di

Kelas.Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

50

Tabel 2.1

Tabel Tinjauan Penelitian

Nama Tujuan Penelitian Teori Metode

Penelitian Hasil Penelitian

Triesty Aprilia

(2016)

Pola Komunikasi

Terapeutik Dokter

terhadap Pasien

Rawat Inap dalam

Proses

Penyembuhan

(Studi Deskriptif

Kualitatif Aktivitas

Komunikasi

Interpersonal

Dokter dan Pasien

di Rumah Sakit

Krakatau Medika)

Untuk menguraikan

bagaimana

komunikasi terapeutik

dokter dan pasien,

interaksi verbal dan

non verbal dalam

proses penyembuhan,

dan bagaimana upaya

dokter untuk

mengatasi hambatan

di ruang inap.

Teori

Atribusi

Kualitatif,

deskriptif

Hasil dari penelitian ini

adalah komunikasi

terapeutik dapat dilakukan

oleh dokter secara

profesional dan sabar

dengan faktor kepercayaan

dan keterbukaan mengenai

riwayat penyakit pasien

menjadi hal yang sangat

penting. Penggunaan bahasa

lebih selektif terhadap

permasalahan yang sensitif

serta mempertahankan

kontak mata dengan pasien.

Dita Putriana

(2016)

Pola Komunikasi

Pengasuh dengan

Lanjut Usia di

Pelayanan Sosial

Lanjut Usia Tresna

Werdha Natar,

Lampung Selatan

Untuk mendapatkan

pola komunikasi apa

yang dihasilkan

Teori

Pengungkapa

n Diri (Self-

Discluosure

Theory)

Kualitatif,

deskriptif

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa

pengasuh membuat para

lanjut usia terbuka atas apa

yang dirasakan dalam

kesehariannya mengenai

kegiatan yang mereka

lakukan dan pola

komunikasi sirkular

merupakan pola komunikasi

yang paling efektif

51

digunakan diantara mereka

untuk melakukan

komunikasi.

Ayip Iqbal Waladi

(2014)

Pola Komunikasi

Antarpribadi Guru

Sekolah Khusus

Negeri (SKhN) 01

Kota Serang

dengan Murid

Penderita

Tunagrahita dalam

Proses Belajar

Mengajar di Kelas.

Untuk mengetahui

tahap interaksi awal

antara guru kepada

murid tunagrahita,

mengetahui

keterlibatan dan

keakraban dan

mengetahui

pemutusan dalam

hubungan antarpribadi

guru dengan murid

tunagrahita dalam

proses belajar

mengajar di kelas

yang diterapkan oleh

guru-guru di Sekolah

Khusus Negeri

(SKhN) 01 Kota

Serang.

Model

Hubungan

Lima Tahap

(DeVito)

Kualitatif,

deskriptif

Hasil penelitian bahwa

hubungan lima tahap deVito

yakni dari mulai kontak

awal sampai pemutusan

hubungan berlaku dan

sesuai dengan pola

komunikasi antarpribadi

guru dengan murid

tunagrahita dalam proses

belajar mengajar di kelas.

52

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Paradigma Penelitian

Seperti penelitian pada umumnya, penelitian dilakukan untuk mengetahui

kebenaran dan menemukan fakta. Ketika seseorang melakukan penelitian, secara

sadar atau tidak memiliki perspektif atau cara pandang dalam memandang hal atau

peristiwa tertentu. Cara pandang peneliti merupakan satu perangkat kepercayaan

yang sudah terbentuk dalam diri peneliti yang didasarkan atas asumsi-asumsi

tertentu yang dinamakan paradigma. Paradigma penelitian menurut Guba dan

Lincoln merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang

peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti memahami suatu

masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah

penelitian (Moleong, 2004: 48).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma interpretif.

Paradigma interpretif berpandangan bahwa realitas sosial secara sadar dan secara

aktif dibangun sendiri oleh individu, setiap individu mempunyai potensi memberi

makna tentang apa yang dilakukan. Realitas itu ada dalam bentuk bermacam-

macam konstruksimental, berdasarkan pengalaman sosial bersifat lokal dan

spesifik serta tergantung pada orang yang melakukannya. Menurut Burel dan

Morgan (1979: 28), inti dari paradigma interpretif adalah memahami fundamental

dari dunia sosial pada tingkat pengamatan sosial dan tingkat subjektif seseorang

yang bersifat nominalis, antipositivis, voluntarisme denideografis.

53

Maka dalam penelitian ini, peneliti harus mampu menguraikan data yang

diperoleh melalui kegiatan observasi dengan memahami setiap bentuk kegiatan

perawat dan lanjut usia (lansia) pada proses interaksi dan beradaptasi di dalam

panti sosial.

3.2 Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan dalam

kasus ini adalah sifat penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian

kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif

mengenai kata-kata lisan maupun tertulis dan tingkah laku yang diamati.

Penelitian deskriptif ditujukan untuk: (1) mengumpulkan informasi aktual

secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2) mengidentifikasi masalah atau

pemeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) membuat perbandingan

dan evaluasi, (4) menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi

masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan

rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.

Dalam uraian di atas, maka penelitian deskriptif dengan pendekatan

kualitatif ini bertujuan untuk memaparkan dan mendeskriptifkan masalah-masalah

yang ada secara terperinci dalam mengumpulkan informasi mengenai bagaimana

pola keterbukaan diri antara perawat dan lanjut usia di Panti Sosial.

3.3 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode pendekatan kualitatif

dimana peneliti hanya melakukan pemaparan situasi atau kondisi dan tidak

54

mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat

prediksi.

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk

meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen)

dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data

dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil

penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Obyek dalam

penelitian kualitatif adalah obyek yang alamiah, atau natural setting, sehingga

metode penelitian ini sering disebut sebagai metode naturalistik. Dalam penelitian

kualitatif, peneliti menjadi instrumen. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif

instrumennya adalah orang atau human instrument. Untuk dapat menjadi

instrumen, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga

mampu bertanya, menganalisis, memotret, dan mengkonstruksi obyek yang

diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna (Sugiyono, 2008: 1-2).

3.4 Subjek Penelitian

Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan teknik purposive sampling,

teknik yang mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar riset kriteria-kriteria

tertentu yang dibuat periset berdasarkan tujuan riset (Krisyantono, 2006: 156)..

Subjek penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sumber data yang

berkaitan dengan sumber informasi yang menjadi fokus penelitian. Subjek

penelitian yang diteliti dalam penelitian ini adalah Perawat dan Lansia di Panti

Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang. Peneliti memilih perawat dan

lansia yang dijadikan subjek inti dalam penelitian ini dengan kriteria sebagai

berikut: (a) perawat yang telah bekerja di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

55

lebih dari satu tahun; (b) perawat perempuan satu orang dan laki-laki satu orang;

(c) umur perawat antara 25 hingga 45 tahun; (d) umur lansia berkisar 65 hingga

78 tahun; (e) lansia yang tinggal di wisma tempat perawat bekerja.

3.5 Objek Penelitian

Objek penelitian merupakan masalah yang diteliti. Objek dari penelitian ini

adalah pola keterbukaan diri antara perawat pada lanjut usia. Menurut Husein

Umar (2005: 303), bahwa objek penelitian adalah sebagai berikut: “Objek

penelitian menjelaskan tentang apa dan atau siapa yang menjadi objek penelitian,

dan juga dimana dan kapan penelitian dilakukan, biasa juga ditambahkan dengan

hal-hal lain jika dianggap perlu”.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data akan mempengaruhi kualitas dari data hasil

penelitian. Kualitas pengumpulan data berkenaan dengan ketepatan cara-cara yang

digunakan peneliti untuk mengumpulkan data. Pengumpulan data dapat dilakukan

dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara (Sugiyono, 2012:137).

Untuk mendapatkan informasi atau data yang peneliti inginkan, maka dalam

teknik pengumpulan data ini penelitian menggunakan teknik yang dilakukan,

yakni observasi, wawancara dan dokumentasi.

a. Observasi

Observasi adalah salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan

peneliti untuk mendapatkan data. Pada Penelitian kali ini peneliti

mengumpulkan data dengan melakukan pengamatan secara langsung

terhadap objek yang diteliti. Peneliti menggunakan teknik observasi

berpartisipasi. Metode ini memungkinkan peneliti terjun langsung dan

56

menjadi bagian yang diteliti bahkan hidup bersama-sama di tengah individu

atau kelompok yang diobservasi dalam jangka waktu tertentu (Rachmat

Kriyantono, 2009: 110). Observasi dilakukan di Panti Sosial Sasana Tresna

Cipocok Jaya Serang.

b. Wawancara

Wawancara menurut Lexy Moleong (2013:135), mengatakan bahwa

percakapan dengan maksud tertentu. Pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan metode wawancara, sedangkan alat bantu yang akan

digunakan adalah alat perekam berupa voice recorder, perekam gambar

(handycam). Wawancara adalah percakapan dengan maksud dan tujuan

tertentu dimana percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak

pewawancara (interviewer) yang mengajukan perrtanyaan dan pihak yang di

wawancarai (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang

diberikan.

Pada proses wawancara ini pertanyaan yang diberikan tidak berstruktur, dan

dalam suasana bebas yang santai maksudnya adalah menghilangkan kesan

formal dengan menyesuaikan keadaan yang lebih kekeluargaan. Maksud

mengadakan wawancara adalah untuk mengkonstruksi mengenaiseseorang,

kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan

sebagainya. Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara kepada

penanggung jawab Panti Sosial, perawat dan lanjut usia (lansia) di Balai

Perlindungan Sosial, Dinas Sosial Provinsi Banten tepatnya di Panti Sosial

Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang.

57

c. Dokumentasi

Dokumentasi sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data

yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.

Dokumentasi menjadi salah satu teknik pengumpulan data yang penting.

Disini peneliti melakukan dokumentasi saat studi lapangan di Panti Sosial

Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang.

3.7 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

interaktif. Model ini ada 4 komponen analisis, yaitu: pengumpulan data, reduksi

data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Menurut Moleong (2004:280-

281), “Analisis data adalah proses menyusun dan mengurutkan data kedalam pola,

kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan tempat yang

sesuai dengan hasil sementara dari data”.

Menurut Miles dan Huberman (1992:15-19) menuturkan langkah analisis

data adalah sebagai berikut (dalam Anis Fuad dan Kandung S Nugroho, 2013:92):

Pertama, pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data di lokasi penelitian

dengan melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi dengan menentukan

strategi pengumpulan data yang dipandang tepat dan untuk menentukan fokus

serta pendalaman data pada proses pengumpulan data berikutnya. Kedua, reduksi

data, yaitu sebagai proses seleksi, pemfokusan, pengabstrakan, transformasi data

kasar yang ada dilapangan langsung dan diteruskan pada waktu pengumpulan

data, dengan demikian reduksi data dimulai sejak peneliti memfokuskan wilayah

penelitian.

58

Ketiga, penyajian data, yaitu rangkaian penyusunan informasi yang

memungkinkan penelitian dilakukan. Penyajian data diperoleh berbagai jenis,

jaringan kerja, keterkaitan kegiatan atau tabel. Keempat, penarikan kesimpulan,

yaitu dalam pengumpulan data, peneliti harus mengerti dan tanggap terhadap

sesuatu yang diteliti langsung di lapangan dengan menyusun pola-pola

pengarahan dan sebab-akibat.

3.8 Metode Keabsahan Data

Metode keabsahan data diperlukan untuk menilai kesahihan (validitas) data

dalam penelitian kualitatif. Triangulasi data merupakan teknik pemeriksaan

keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk

keperluan pengecekan data atau sebagai perbandingan terhadap data itu.

Menurut Sugiyono (2006:267), Validitas merupakan “derajat ketetapan

antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan

oleh peneliti”. Ada tiga macam triangulasi, yang pertama, triangulasi sumber data

yang berupa informasi dari tempat, peristiwa dan dokumen yang memuat catatan

berkaitan dengan data yang dimaksud. Kedua, triangulasi teknik atau metode

pengumpulan data yang berasal dari wawancara, observasi dan dokumen. Ketiga,

triangulasi waktu pengumpulan data merupakan kapan dilaksanakannya

triangulasi teknik atau metode pengumpulan data.

Berdasarkan pemaparan di atas penelitian ini menggunakan dua macam

triangulasi, pertama tiangulasi sumber data yang berupa observasi dan wawancara

dengan narasumber secara langsung dan dokumen yang berisi catatan terkait

dengan data yang diperlukan oleh peneliti.

59

3.9 Lokasi dan Jadwal Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Balai Perlindungan Sosial Dinas Sosial

Provinsi Banten tepatnya di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya

Serang.Adapun jadwal penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1

Tabel Jadwal Penelitian

Kegiatan

Bulan

April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov

De

s

Acc judul

Pra Observasi

Penyusunan Bab I

Penyusunan Bab II

Penyusunan Bab III

Sidang Outline

Observasi

Penyusunan Bab IV

Penyusunan Bab V

Sidang Skripsi

60

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Objek Penelitian

Deskripsi objek penelitian adalah penjelasan mengenai objek penelitian

yang meliputi lokasi penelitian secara jelas, struktur organisasi, sejarah berdirinya,

visi dan misi serta hal-hal lain yang berkaitan dengan objek penelitian.

4.1.1 Sejarah Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten

Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No. 06/Huk/1979 tentang

kesejahteraan lanjut usia, maka didirikanlah Panti Wreda di Banten, tepatnya pada

28 Februari 1979. Panti tersebut dinamakan Sasana Tresna Wreda (STW). Karena

lokasinya di Kelurahan Cipocok Jaya Kabupaten Serang, masyarakat lebih

mengenalnya sebagai panti wreda Cipocok Jaya. Pada tahun 1994, berganti nama

kembali menjadi Panti Sosial Tresna Wreda (PSTW) Cipocok Jaya Serang.

Pergantian nama tersebut dikuatkan dalam Surat Keputusan Menteri Sosial RI No.

14 tahun 1994 tanggal 23 April 1994.

Delapan tahun kemudian, seiring dengan diberlakukannya Otonomi Daerah

dan dimekarkannya Banten menjadi provinsi tersendiri, maka status Panti Sosial

Tresna Wreda (PSTW) Cipocok Jaya Serang juga berganti nomenklatur menjadi

'Balai Perlindungan Sosial'. Dari segi struktur, Balai Perlindungan Sosial Provinsi

Banten merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Dinas Sosial Provinsi

Banten yang memiliki tugas dan tanggung jawab memberikan pelayanan dan

perlindungan sosial kepada lanjut usia (lansia) terlantar, balita terlantar, Wanita

Korban Tindak Kekerasan (WKTK), dan tuna grahita. Penetapan ini diatur dalam

61

Surat Keputusan Gubernur Banten No. 40 Tahun 2002 tanggal 13 Desember

2002.

Tahun 2008, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja mengalami perubahan susunan

organisasi dan tata kerja sehingga menjadi Dinas Sosial sesuai dengan Peraturan

Daerah Nomor 3 tahun 2008. Namun begitu posisi Balai Perlindungan Sosial

(BPS) tetap tidak berubah.

Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten adalah salah satu alternatif dari

sekian banyak lembaga pemerintah atau swasta yang memberikan pelayanan

sosial kepada para penyandang masalah kesejahteraan sosial khususnya Lanjut

Usia terlantar, Wanita Korban Tindak Kekerasan (WKTK), Tuna Grahita dan

balita terlantar.

Tugas dan fungsi Balai Perlindungan Sosial merujuk pada tugas dan fungsi

panti sosial pada Departemen Sosial RI tahun 1998, yaitu :

1. Sebagai Pusat Pelayanan dan Kesejahteraan Sosial

Menggugah, meningkatkan dan mengembangkan kesadaran sosial, tanggung jawab sosial, prakarsa, dan peran serta perorangan, kelompok

dan masyarakat.

Memberikan pelayanan dan perlindungan kepada Lanjut Usia terlantar, Wanita Korban Tindak Kekerasan, Balita Terlantar dan Tuna Grahita.

Penyantunan dan penyediaan bantuan sosial.

Mengadakan bimbingan lanjut.

2. Sebagai Pusat Informasi Masalah Kesejahteraan Sosial

Menyiapkan dan menyebarluaskan informasi tentang data penyadang masalah kesejahteraan sosial dan teknis penanganannya.

Menyelenggarakan konsultasi pelayanan sosial bagi masyarakat.

3. Sebagai Pusat Pengembangan Kesejahteraan Sosial.

Mengembangkan kebijaksanaan dan perencanaan sosial.

Mengembangkan metode pelayanan sosial.

62

4. Fungsi Pendidikan dan Pelatihan kepada klien secara langsung dalam

meningkatkan kemampuan pelayanan kesejahteraan sosial (Menurut Tim

Peneliti Depsos RI tahun 2003).

Tugas Pokok dan Fungsi Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten

Berdasarkan Keputusan Gubernur Banten No. 40 tahun 2002 tentang

pembentukan, susunan organisasi, dan tata kerja Balai Perlindungan Sosial

Provinsi Banten.

A. Tugas Pokok

Melaksanakan sebagian kewenangan Dinas di bidang desentralisasi,

dekosentrasi, dan tugas pembantuan yang berkaitan dengan urusan

pelayanan dan perlindungan sosial.

B. Fungsi

Dalam pelaksanaan tugas tersebut, Balai Perlindungan Sosial Provinsi

Banten mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Pengelolaan di bidang pelayanan sosial.

2. Pengelolaan di bidang perawatan.

3. Pengelolaan di bidang pelatihan dan keterampilan.

4.1.2 Visi dan Misi Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten

VISI : Kesejahteraan Sosial bagi Penyangdang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS).

MISI :

1. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya aparatur.

2. Meningkatkan akses penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam

memperoleh pelayanan sosial melalui rehabilitasi sosial, pemberdayaan

sosial, perlindungan sosial dan jaminan sosial.

63

3. Mengembangkan prakarsa, peran aktif masyarakat dan dunia usaha dalam

penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Visi dan misi tersebut diturunkan dalam program dan kegiatan yang

mengacu pada maksud dan tujuan Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten

sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah yang menangani permasalahan sosial

Lanjut Usia terlantar, Wanita Korban Tindak Kekerasan, Tuna Grahita, dan Balita

terlantar yaitu :

"Memberikan perlindungan dan pelayanan dalam suatu

penampungan guna terselenggaranya proses rehabilitasi fisik, mental, dan

sosial serta bimbingan keterampilan".

Adapun tujuan secara spesifik diantaranya :

1. Terlindungi dan terawatnya para Lanjut Usia terlantar, Wanita Korban

Tindak Kekerasan (WKTK), Tuna Grahita dan Balita terlantar.

2. Meminimalisasi permasalahan kesejahteraan sosial yang ada di

masyarakat.

3. Pemenuhan kebutuhan dasar dalam rangka perubahan sikap dan perilaku

para penyandang masalah kesejahteraan sosial.

4. Pemulihan kemauan, kemampuan dan harga diri penyandang masalah

kesejahteraan sosial sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam

kehidupan bermasyarakat.

5. Menumbuhkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang keadaan,

permasalahan, dan kebutuhan Lanjut Usia terlantar, Wanita Korban

Tindak Kekerasan (WKTK), Tuna Grahita, dan Balita terlantar sehingga

64

masyarakat dapat mendukung dan berpartisipasi dalam kegiatan usaha

kesejahteraan sosial.

4.1.3 Struktur Organisasi

Struktur organisasi di Balai Perlindungan Provinsi Banten terbagi dalam

beberapa divisi pelayanan yaitu:

1. Kepala Balai

2. Kepala Sub Bagian Tata Usaha

3. Kepala Seksi Penerimaan dan Penyaluran

4. Kepala Seksi Pelayanan dan Perawatan

5. Pelaksana (kantor/lapangan).

Dan dari segi struktur, Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten

merupakan UPTD dari Dinas Sosial Provinsi Banten yang memiliki hak otonom

mengelola Balai secara optimal melalui sejumlah program peningkatan kapasitas

diantaranya program Peningkatan Sarana, Prasarana Perkantoran dan Kapasitas

Aparatur dan Program Rehabilitasi Sosial.

65

Gambar 4.1

Bagan Struktur Organisasi Balai Perlindungan Sosial

Dinas Sosial Provinsi Banten

Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang

66

4.1.4 Program Kegiatan Penghuni Panti

Adapun program kegiatan di Panti Jompo Hargodedali adalah sebagai

berikut:

a. Pendekatan awal, meliputi orientasi dan konsultasi, seleksi,

identifikasi/registrasi, motivasi, diagnosa masalah, penempatan klien pada

program pelayanan.

b. Bimbingan fisik meliputi pelayanan kesehatan/olahraga, pemberian

makanan bergizi, pengasramaan, gotong royong.

c. Bimbingan sosial, meliputi bimbingan peran, bimbingan relasi/etika sosial,

pembinaan disiplin.

d. Bimbingan mental, meliputi bimbingan mental spiritual, bimbingan mental

psikologi, bimbingan tentang kebersihan.

e. Bimbingan keterampilan. Bagi pasien potensial diberikan binaan, seperti

membuat kerajinan keset kaki, tas, sendal, bunga dan lain-lain.

f. Resosialisasi dan perawatan kematian, meliputi penyiapan keluarga dan

masyarakat untuk dapat menerima kembali klien yang potensial dan

memberikan kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan

masyarakat, memberikan perawatan yang layak bagi klien yang meninggal

dunia.

4.1.5 Sasaran dan Kriteria

Setiap warga negara pria dan wanita yang berusia mencapai 60 tahun ke

atas, baik potensial maupun tidak potensial yang oleh karena sesuatu sebab

mengalami hambatan fisik, psikologis dan sosialnya. Kriterianya adalah sebagai

berikut:

a. Usia 60 tahun ke atas;

b. Tidak mempunyai penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan pokok,

meliputi sandang, pangan, dan kesehatan yang layak;

c. Tidak ada keluarga, sanak saudara, dan atau orang lain yang mau dan

mampu mengurus;

d. Tidak mempunyai penyakit menular;

e. Mampu mengurus diri sendiri.

Adapun data klien lansia Panti Sosial Sasana Tresna Cipocok Jaya Serang

sebagai berikut:

67

Tabel 4.1

Tabel Data Klien Lansia

No Nama L/

P Usia Alamat

1. JUNARIAH P 74 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.

2. MASITI P 77 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.

3. KAWILAH P 87 Th Ds. Sukalaba Kec. Gunungsari Kab. Serang.

4. KAMBRAH P 79 Th Kel. Lontar Kec. Serang Kota Serang.

5. TUMINEM P 74 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.

6. DEWI P 81 Th Ds. Ranjeng Kec. Ciruas Kab. Serang.

7. MISJAYA L 79 Th Ds. Batukuwung Kec. Padarincang Kab. Serang.

8. FATMAWATI P 74 Th Kel. Sumur Pecung Kec. Serang Kota Serang.

9. HAMZAH L 85 Th Desa/Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang.

10. SANAH P 77 Th Desa Pringwulung Kec. Pamarayan Kab. Serang.

11. KASMERI P 78 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.

12. SARIKAH P 79 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.

13. SUTINAH P 77 Th Kel. Sukawana Kec./Kota Serang.

14. A. HOW P 68 Th Kel. Kota Baru Kec./Kota Serang.

15. SOFI P 71 Th Kp. Kalang Anyer Kec. Cibeber Kota Cilegon.

16. IAH HASANAH P 74 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.

17. MURNI P 76 Th Kp. Sayabulu Kota Serang.

18. RAHARJO L 72 Th Taman Adiyasa Blok C No. 32 Kab. Tangerang.

19. IYAN L 73 Th Ling. Ciwaru Rt. 01/08 Kel Banjaragung

Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.

20. SOFIAN L 76 Th Kepandaian Kota Serang.

21. ANIYAH P 74 Th Kp. Cipocok Jaya Rt. 01/01, Kec. Cipocok Kota

Serang.

22. SARONI BIN

RAMAN

L 73 Th Kp. Petanduk Rt. 007/Rw 002 Desa Teras,

Kec. Carenang Kab. Serang.

23. SARTUM P 69 Th Ling. Cipocok Mesjid Rt. 01 Rw. 01 Kel. Cipocokjaya,

Kec. Cipocokjaya, Kota Serang.

24.

MANSUR L 72 Th Kp. Ciayun Rt. 03 Rw. 01 Kec. Tunjung Teja Kab.

Serang.

25. RATIAH P 72 Th Kp. Sidamukti RT 05 Rw 03 Ds. Sidamukti Kab.

Pandeglang.

26. SUKINEM P 79 Th Jl. Dahlia II Ds. Margasari Kec. Tigaraksa Kab.

Tangerang.

27. KASMAH P 83 Th Lingk. Kepandean Rt. 04 Rw. 06 Kel. Kagungan

Kec./Kota Serang.

28. KARTI P 65 Th Kp. Bendung Rt. 04 Rw. 02 Ds. Bendung Kec.

Kasemen Kota Serang.

29. HARTINI P 65 Th Jl. Meteorologi Rt. 02 Rw. 09 Kel. Tanah Tinggi

Kec./Kota Tangerang.

30. ROHIMAH P 69 Th Gg. Teman Rt. 03 Rw. 004 Kel./Kec. Larangan Kota

68

Tangerang.

31. KAMIL L 77 Th Kp. Bingkuang Ds. Teras Kec. Carenang Kab. Serang

32. FATIMAH P 62 Th Kel./Kec. Cipocokjaya Kota Serang.

33. DARIYAH P 72 Th Kec. Pontang - Kab. Serang.

34. KARTINI P 62 Th Lingk. Cinanggung Rt. 03 Rw. 03 Kel. Kaligandu

Kec./Kota Serang.

35. SURADI L 77Th Kp. Karang Anyar Kec. Selagi Lingga, Lampung

Tengah

36. SUGENG

RIYADI

L 72 Th Taman Adiyasa Blok C.05 No. 37 Rt. 07 Rw. 06 Ds.

Cikasunga Kec. Solear Kabupaten Tangerang.

37. SUTINAH P 67 Th Kp. Sempu Seroja Rt. 005 Rw. 015 Kel. Cipare Kec.

Serang - Kota Serang.

38. JANTRA L 72 Th Kp. Cijunjang Rt. 01 Rw. 04 Ds. Cikeusal Kec.

Cikeusal Kab. Serang.

39. JOHRA P 72 Th Kp. Jakung Ds. Cilowong Kec. Taktakan Kota Serang.

40. KASMINAH P 78 Th Jl. Legoso Rt. 02/01 Kel. Pisangan Kec. Ciputat Timur

- Kota Tangerang Selatan.

41. HARJA S. L 82 Th Kp. Cibunar Rt. 01/02 Ds./Kec. Cilograng Kab. Lebak.

42. SARUM L 67 Th Kel./Kec. Cipocokjaya - Kota Serang.

43. HASAN L 78 Th Kp. Kedaung Rt. 002 Rw. 04 Kel. Serua Indah

Kec. Ciputat - Kota Tangerang Selatan.

44. SANI P 76 Th Kp. Kedaung Rt. 002 Rw. 04 Kel. Serua Indah

Kec. Ciputat - Kota Tangerang Selatan.

45. FATMAH P 77 Th Kp. Cidadap Rt. 06 Rw. 02 Ds. Kec. Curug Kota

Serang.

46. RINI P 69 Th Kp. Gowok Rt. 02 Rw. 01 Ds. Tinggar Kec. Curug

47. SURYA L 79 Th Kp. Sindanglaya Rt. 04 Rw. 01 Ds. Sindangsari Kec.

Petir Kab. Serang

48. ROHIDA P 67 Th Kp. Kalapa Lima Rt. 01 Rw. 02 Ds. Sukamanah Kec.

Baros Kab. Serang.

49. ARMI P 66 Th Lingkungan Baru Rt. 01 Rw. 03 Kel. Kebon Dalem

Kec. Purwakarta Kota Cilegon.

50. SUPRAPTO L 75 Th Jl. Salak I No. 105 Rt. 01 Rw. 10 Kel. Cibodasari Kec.

Cibodas Kota Tangerang.

51. SA’AMAH P 89 Th Regensi Ds. Sukatani Kec. Cisoka Kab. Tangerang.

52. NARSIAH P 66 Th Kp. Sidamukti RT 05 Rw 03 Ds. Sidamukti Kab.

Pandeglang.

53. RIFAI L 76 Th Kp. Maja pasar Rt. 03 Rw. 01 Ds. Maja Kec. Maja

Kab. Lebak.

54. NANI ROHANI P 67 Th Kp. Nganceng Rt. 01 Rw. 01 Ds. Tambak Kec.

Cimarga Kab. Lebak.

55. MARIAH P 73 Th Komplek Banjarsari Permai, Kel. Banjarsari Kec.

Cipocokjaya Kota Serang

56. KEMANGI P 60 Th Balaraja Kab. Tangerang

57. LAMSIAH P 70 Th Link. Sumur Menjangan Rt. 02 Rw. 01 Kel. Kotasari

Kec. Grogol Kota Cilegon

Sumber: Data Klien Lansia Dinas Provinsi Banten

69

4.2 Deskripsi Data

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana pola

keterbukaan diri antara perawat dan lanjut usia di panti sosial sasana tresna

Cipocok Jaya Serang. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data

yang dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Data-data

yang dicari dalam penelitian ini adalah data yang merujuk pada identifikasi

masalah yang telah dipaparkan pada Bab I, yaitu bagaimana proses komunikasi

pada tahap penetrasi sosial antara perawat dan lansia, dan bagaimana pola

komunikasi dalam proses keterbukaan diri antara perawat dan lanjut usia di panti

sosial sasana tresna werdha Cipocok Jaya Serang. Observasi ini dilakukan di Balai

Perlindungan Sosial Dinas Sosial Provinsi Banten tepatnya di panti sosial sasana

tresna werdha Cipocok Jaya Serang dikarenakan akan menjadi fokus penelitian.

Teknik wawancara yang digunakan oleh peneliti adalah teknik wawancara

tidak berstruktur dan dalam suasana yang santai. Pedoman wawancara yang

digunakan berupa garis besar permasalahan yang akan ditanyakan dengan

menggunakan alat bantu perekam berupa voice recorder dan perekam gambar, lalu

peneliti akan mencatat dan mengetik ulang jawaban-jawaban yang diberikan oleh

informan.

Berdasarkan hasil wawancara yang tidak berstruktur tersebut, maka peneliti

dapat menggambarkan bagaimana pola keterbukaan diri pada tahap awal antara

perawat dan lansia, bagaimana membangun proses keterbukaan diri antara

perawat dan lanjut usia, dan bagaimana mempertahankan komunikasi

interpersonal antara perawat dan lanjut usia di panti sosial sasana tresna werdha

Cipocok Jaya Serang. Dalam melakukan wawancara ini, peneliti membutuhkan

70

waktu lebih dari 4 bulan yaitu pada tanggal 8 Juni 2017 sampai dengan 18

Oktober 2017. Penelitian ini juga menggunakan teknik dokumentasi sebagai

sumber data yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan untuk

meramalkan.

Peneliti juga memberikan kode pada aspek tertetu, yaitu kode P1-P6 yang

merupakan kode untuk informan penelitian. Setelah memberikan kode-kode pada

aspek tertentu yang berkaitan dengan masalah peneliti sehingga tema dam polanya

ditemukan dari penelitian di lapangan. Hal ini dilakukan dengan membaca dan

menelaah jawaban-jawaban tersebut dan mencari data-data penunjang yang akan

memperkuat hasil penemuan di lokasi penelitian. Mengingat penelitian ini adalah

penelitian kualitatif dengan tidak menggeneralisasikan jawaban penlitian, maka

semua jawaban yang dikemukakan oleh informan dipaparkan dalam pembahasan

yang disesuaikan dengan teori penelitian. Berikut adalah kategori yang disusun

oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian di lapangan yang dikaitakan dengan

teori Penetrasi Sosial (Social Penetration Theory – SPT) dari Irwin Altman &

Dalmas Taylor (1973), yaitu:

1. Proses komunikasi interpersonal pada tahap penetrasi sosial

2. Pola komunikasi dalam proses keterbukaan diri antara perawat dan lansia di

Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang

71

4.3 Deskripsi Informan

Informan dalam penelitian ini adalah perawat dan lansia di Panti Sosial

Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang. Penelitian ini menggunakan metode

pengumpulan data dengan teknik purposive sampling. Teknik pemilihan dengan

purposive sampling dipilih sebab teknik ini mencakup orang-orang yang diseleksi

atas dasar riset kriteria-kriteria tertentu yang dibuat periset berdasarkan tujuan

riset (Krisyantono, 2006:156).

Peneliti memilih perawat dan lansia yang dijadikan subjek inti dalam

penelitian ini dengan kriteria sebagai berikut: (a) perawat yang telah bekerja di

Panti Sosial Sasana Tresna Werdha lebih dari satu tahun; (b) perawat perempuan

satu orang dan laki-laki satu orang; (c) umur perawat antara 25 hingga 45 tahun;

(d) umur lansia berkisar 65 hingga 78 tahun; (e) lansia yang tinggal di wisma

tempat perawat bekerja.

Adapun deskripsi informan-informan dalam penelitian ini sebagai berikut:

4.3.1 Informan Pertama (Okhe Afandi Maulana)

Informan pertama dalam penelitian ini adalah seorang laki-laki yang

bernama Okhe Afandi Maulana yang biasa dipanggil Okhe, berusia 29 tahun.

Okhe adalah seorang perawat yang ada di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang. Ia sudah bekerja selama lebih dari 2 tahun di panti

mengurus dan merawat para lansia. Alasannya memilih bekerja di panti sosial

ialah berawal ketika ia memasukkan lamaran kerja ke berbagai instansi, hanya

panti sosial inilah yang memberikan respon. Kemudian ia dipanggil untuk

interview atas kesediaanya menjadi perawat untuk mengurus para lansia. Panti

72

sosial ini berada di bawah naungan Balai Perlindungan Sosial Dinas Sosial

Provinsi Banten.

Selain itu, alasan Okhe memilih bekerja di panti ini karena ia berfikir bahwa

siapa lagi kalau bukan kita anak generasi muda yang perduli akan sesama

khususnya para lansia. Okhe juga sempat mengatakan, “ini juga salah satu

pengabdian sosial, ikhlas berbuat dan mendapatkan balasan dari Allah”. Sehingga

ia tidak merasa terbebani dalam melakukan pekerjaan di panti ini. Menurutnya, ini

merupakan sebuah tantangan dalam menghadapi para lansia yang memiliki

karakter yang condong ke kanak-kanakan.

Dalam penelitian ini, Okhe merupakan key informan dalam penelitian ini.

Okhe yang setiap harinya melakukan interaksi dengan para lansia di panti sosial,

selain mengurus, merawat dan mengetahui perkembangan para lansia di panti

sosial ini.

4.3.2 Informan Kedua (Ira Novita Sari)

Informan kedua dalam penelitian ini adalah Ira Novita Sari. Ira Novita Sari

yang akrab disapa Ira yang berusia 27 tahun, ia merupakan salah satu perawat

yang mengurus dan merawat para lansia terutama lansia perempuan di Panti

Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang. Ia juga merupakan

mahasiswa lulusan dari akademi perawat dulunya dan memutuskan untuk

mengabdikan diri di tanah kelahirannya yaitu provinsi Banten. Sehingga ia

mencoba memasukkan lamaran kerja ke Balai Perlindungan Sosial menjadi

perawat di panti sosial ini.

73

Kenapa ia memilih bekerja di panti ini? Menurutnya, sekarang ini peluang

kerja sangat susah karena banyak sekali saingan diluar sana. Akan tetapi, alasan

yang sangat membuat ia tertarik bekarja di panti adalah ia ingin membuat orang-

orang senang meskipun dengan melakukan hal-hal kecil apalagi membuat para

lansia bahagia yang terlihat diraut wajahnya. Ira mengatakan, “kelak nanti kita

juga akan merasa posisi seperti mereka”.

Dalam penelitian ini, Ira merupakan key informan kedua dalam penelitian

ini. Ira yang setiap harinya melakukan interaksi dengan para lansia di panti sosial,

selain mengurus, merawat dan mengetahui perkembangan para lansia di panti

sosial ini.

4.3.3 Informan Ketiga (Suradi)

Informan ketiga dalam penelitian ini adalah laki-laki yang bernama Suriadi.

Suriadi biasa akrab dipanggil Yadi yang lahir di Lampung, 12 Februari 1940, dan

sekarang sudah berusia 77 tahun. Yadi merupakan klien lansia di Panti Sosial

Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang. Sejak masih muda, ia sudah hidup

sebatang kara kedua orang tuanya sudah meninggal. Yadi mulai hidup mandiri

dan sudah merantau kemana-mana. Dahulu ia pernah merantau ke Jawa Barat,

Jawa Tengah bahkan ke Sulawesi. Dari dahulu sampai sekarang ia belum menikah

yang biasanya kerap disebut perjaka tua.

Alasan Yadi tinggal di panti sosial, awalnya ia mau bekerja di Serang

menjadi seorang tukang jahit. Ketika ia tiba di Serang dan mencari tahu alamat

seorang tukang jahit yang diberikan oleh tetangganya. Sudah seharian keliling

mencari alamat tersebut, ia tidak menemukan alamat seorang tukang jahit di

daerah Rau. Setelah menanyakan ke beberapa warga Rau, ternyata tukang jahit itu

74

sudah lama pindah dan warga juga tidak tahu dimana alamatnya. Saat itu juga, ia

tidak memiliki uang sedikit pun hanya membawa uang pas-pasan. Kemudian ia

bertanya kepada warga dimana tempat penampungan orang-orang terlantar.

Akhirnya, ia diberitahu alamat panti sosial ini. Setelah selesai mengurus semua

administrasinya, ia pun tinggal di panti dan sekarang sudah hampir 3 tahun. Ia

bersyukur dan senang bisa tinggal di panti sosial ini tanpa dipungut biaya sepersen

pun.

Dalam penelitian ini, Yadi merupakan key informan ketiga dalam penelitian

ini. Yadi merupakan klien lansia (penghuni) di panti sosial ini yang sering

berkomunikasidengan perawat dalam melakukan aktivitas yang sudah ditentukan

oleh pihak Balai Perlindungan Sosial, selain itu klien yang dirawat, diurus dan

dipantau oleh perawat.

4.3.4 Informan Keempat (Narsiah)

Informan keempat dalam penelitian ini adalah Narsiah, lahir di Panimbang

17 Mei 1951. Narsiah saat ini berusia 66 tahun. Ia merupakan klien lansia di Panti

Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang.Menurut perawat, Narsiah

memiliki karakter yang mudah beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang

sekitarnya. Selain itu, Narsiah adalah klien lansia yang periang dan cerewet. Ia

memiliki satu anak perempuan yang sudah memiliki keluarga.

Narsiah lebih memilih masuk dan tinggal dipanti dikarenakan ia merasa

kesepian di rumah sendirian, suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang

lalu. Ia ingin hidup bahagia dihari tuanya. Narsiah pernah mengatakan, “saya

sudah capek kerja ke sawah terus, pengennya nikmati hari tua”. Sebenarnya,

Narsiah juga masih memiliki sanak keluarga di Panimbang, Pandeglang. Saat

75

bulan ramadhan dan lebaran, ia pulang ke rumahnya untuk berkumpul bersama

keluarga. Hanya saat lebaran saja rumah Narsiah ramai, hari-hari biasa kembali

sepi. Makanya Narsiah lebih memilih tinggal di panti dan berkumpul bersama

orang-orang yang hampir sama seperti dirinya yang sudah 2 tahun di panti.

Dalam penelitian ini, Narsiah merupakan key informan keempat dalam

penelitian ini.Narsiahi merupakan klien lansia (penghuni) di panti sosial ini yang

sering berkomunikasi dengan perawat dalam melakukan aktivitas yang sudah

ditentukan oleh pihak Balai Perlindungan Sosial, selain itu klien yang dirawat,

diurus dan dipantau oleh perawat.

4.3.5 Informan Kelima (Ratiah)

Informan kelima dalam penelitian ini adalah perempuan bernama Ratiah

yang lahir di Panimbang, 20 April 1945 dan sekarang ini berusia 72 tahun. Ratiah

biasanya akrab disapa ompong karena gigi tengahnya tidak ada. Ompong

merupakan klien lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya

Serang. Ompong memiliki keterbatasan fisik pada indera penglihatan, akan tetapi

ia tidak merasa terhalangi dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Ia memiliki

semangat untuk menjalani hidup meskipun tak ada satu pun keluarganya lagi.

Suaminya yang sudah lama meninggal dan ia tidak mempunyai anak.

Awalnya kenapa ia memilih tinggal di panti sosial ini dikarenakan ia tidak

memiliki harta benda sedikit pun apalagi tempat tinggal. Sejak suaminya

meninggal ia hidup sendiri dan hanya bergantung kepada tetangga. Ia tidak mau

menyusahkan tetangganya, sehingga ia meminta tolong kepada Bapak RT dan

Bapak lurah untuk mengurus syarat-syarat agar tinggal di panti sosial. Akhirnya

setelah semua urusannya selesai, ia langsung diantar ke panti sosial.

76

Dalam penelitian ini, Ratiah merupakan key informan ketiga dalam

penelitian ini. Ratiah merupakan klien lansia (penghuni) di panti sosial ini yang

sering berkomunikasi dengan perawat dalam melakukan aktivitas yang sudah

ditentukan oleh pihak Balai Perlindungan Sosial, selain itu klien yang dirawat,

diurus dan dipantau oleh perawat.

4.3.6 Informan Keenam (Yani Heryani, S.Pd.,M.Si)

Informan keenam dalam penelitian ini adalah Yani Heryani, S.Pd.,M.Si

dan menjadi secondary informan (informan pendukung).Yani Heryani merupakan

kepala seksi pelayanan dan perawatan di Balai Perlindungan Sosial. Yani Heryani

biasanya akrab disapa Ibu kepala oleh para lansia di panti sosial. Ibu kepala ini

sangat akrab dengan para lansia, beliau juga sering mengajak beberapa orang

lansia main dan tidur di rumahnya. Selain itu, beliau juga mengajak lansia ke

kampung halamannya di Jawa Barat. Ibu Yani menjadi informan pendukung

dalam penelitian ini dikarenakan beliau melihat dan cukup mengetahui bagaimana

kegiatan dan interaksi yang dilakukan oleh perawat dan lansia seharinya.

Adapun data informan-informan dalam penelitian pola keterbukaan diri

antara perawat dan lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya

Serang.

77

Tabel 4.2

Informan Penelitian

No Nama/ Kode Informan Alamat Jabatan

Status

1 Okhe Afandi Maulana

(P1)

Perumahan Puri Cisait

Kragilan

Perawat Key Informan

2 Ira Novita Sari

(P2)

Bumi Agung Permai I

Blok i.1 No. 14

Perawat Key Informan

3 Suriadi

(P3)

Lampung Pasien Lansia Key Informan

4 Narsiah

(P4)

Panimbang, Pandeglang Pasien Lansia Key Informan

5 Ratiah

(P5)

Panimbang, Pandeglang Pasien Lansia Key Informan

6 Yani Heryani,

S.Pd.,M.Si

(P6)

Komplek Perumahan

Ciracas, Serang

Kepala Seksi

Pelayanan dan

Perawatan

Secondary

Informan

78

4.4 Analisis Situasi Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya

Serang

Pada hasil penelitian analisis situasi ini, peneliti akan membahas mengenai

pola keterbukaan diri antara perawat dan lansia di panti sosial sasana tresna

werdha Cipocok Jaya Serang. Pada saat peneliti melakukan observasi pertama ke

lapangan tepatnya di balai perlindungan sosial dinas sosial provinsi Banten,

peneliti menanyakan beberapa hal kepada kepala balai perlindungan sosial

mengenai hal yang berkaitan dengan panti sosialdan ternyata panti sosial berada di

belakang gedung kantor pengelola balai perlindungan sosial. Kemudian, peneliti

mengamati lingkungan panti yang jaraknya hanya sebatas jalur jalan setapak,

lingkungan panti yangbersih dan nyaman karena setiap harinya selalu dibersihkan

oleh petugas kebersihan panti. Selain itu, para lansia juga diajarkan untuk

menjaga kebersihan lingkungan panti mulai dari kebersihan lingkungan wisma

(asrama klien lansia) sampai pada lingkungan kantor balai perlindungan sosial.

Panti sosial menyediakan satu ruangan poliklinik yang berfungsi sebagai tempat

konsultasi penyakit, keluhan kesehatan lansia, tempat pengecekan kesehatan

lansia dan tempat peristirahatan sementara para perawat.

Kemudian terdapat 8 unit wisma atau asrama klien lansia yang terdiri 38

unit kamar tidur dan setiap wisma disediakan fasilitas untuk lansia seperti kamar

mandi umum, tv, kipas angin, meja makan dan lemari untuk masing-masing

lansia.Selain itu terdapat aula tempat berkumpul jika ada suatu kegiatan ataupun

acara, dan juga disediakan dapur umum dan juru masak untuk menyiapkan dan

menyajikan makanan dengan menu yang berbedasetiap harinya untuk para lansia.

Disediakan saung terbuka yang terletak ditengah-tengah wisma sebagai tempat

79

berkumpul para lansia ketika ada kegiatan membuat kerajinan, latihan qasidahan

dan sebagainya. Ada juga musholla, ruang keterampilan, taman refleksi, 2 unit

mobil ambulance dan tanah pemakaman.

Pada observasi kedua, peneliti melakukan interaksi dengan perawat dan

lansia. Pada saat peneliti masuk ke kantor balai perlindungan sosial, situasi kantor

balai terasa sepi dikarenakan pegawainya pergi menghadiri suatu acara di tempat

lain dan akhirnya peneliti pun langsung menuju panti untuk bertemu dengan

perawat dan lansia. Saat menuju panti, terdengarlah suara lantang seorang ibu-ibu.

Karena rasa penasaran apa saja yang terjadi di sana, peneliti pun menghampiri

suara tersebut. Ternyata suara seorang ibu yang sedang menjelaskan cara

membuat kerajianan kepada para lansia. Komunikasi yang dilakukan oleh ibu

tersebut dengan gerakan tangan dan mimik muka yang senang membuat para

lansia antusias untuk membuat kerajinan. Canda tawa terlihat dari raut wajah para

lansia yang tengah asyik merangkai kain menjadi sebuah kerajinan keset kaki dari

kain perca. Banyak sekali kerajinan dari hasil karya tangan para lansia,

diantaranya seperti bunga dan potnya yang terbuat dari pernak-pernik, kotak

pensil, kotak tissue dan sebagainya. Itu semua disimpan di ruangan keterampilan.

Ketika dinas pemerintah menyelenggarakan kegiatan bazar, hasil kerajinan karya

para lansia ikut dipertunjukkan dalam pameran bazar tersebut. Semua hasil karya

berbagai kerajinan oleh para lansia itu adalah bimbingandari Ibu Tina.

Setelah para lansia selesai membuat kerajinan, peneliti pun mulai

melakukan pendekatan dan berinteraksi dengan mereka. Awalnya peneliti

memperkenalkan diri kepada para lansia, asal peneliti dan tujuan peneliti ke panti

sosial ini. Sudah beberapa jam melakukan komunikasi dengan lansia, peneliti pun

80

mencoba mengajak lansia ke wisma mereka dengan alasan ingin tahu seperti apa

wismanya. Lansia pun dengan senang hati menerima ajakan dari peneliti. Peneliti

pun mulai mengamati kondisi wisma para lansia. Peneliti berkunjung ke beberapa

wisma yang ada di panti tersebut seperti wisma kenanga, wisma anggrek, wisma

mawar dan wisma bougenville.

Ada wisma khusus untuk lansia yang mengalami keterbatasan fisik dan

psikologis yang membutuh bantuan perawat, yang dinamakan wisma bougenville

atau disebut bedrest. Di sana tempat para lansia yang membutuhkan perhatian

lebih dikarenakan keterbatasan fisik dan juga gangguan psikologi seperti lansia

yang tidak bisa berdiri dan berjalan dengan menggunakan pantat dan tangan,

berjalan dengan menggunakan alat bantuan, lansia yang moody-an, lansia yang

sudah sangat parah pikunnya dan kesulitan berbicara. Dengan melihat kondisi dan

keadaan para lansia yang di wisma bougenville membuat peneliti sadar bahwa

keluarga itu sangat penting terutama dalam memberikan perhatian dan kasih

sayang, bersyukurlah bagi yang masih memiliki keluarga yang utuh dan harmonis.

Pada observasi berikutnya, peneliti kembali mengunjungi panti dengan

bermaksud untuk melakukan wawancara dengan perawat dan lansia. Saat peneliti

ingin melakukan wawancara dengan perawat di poliklinik dan pada saat itu juga

peneliti melihat para lansia sedang mengikuti latihan rutin mingguan yaitu latihan

qasidahan. Qasidahan merupakan salah satu program kegiatan bimbingan mental

spiritual atau pendidikan kerohanian.Tak sengaja seorang lansia yang sudah kenal

dengan peneliti mengajak untuk ikut bergabung latihan qasidahan bersama

mereka. Karena perawat melihat lansia mengajak peneliti, akhirnya perawat pun

menyuruh dan mempersilahkan peneliti untuk ikut bergabung. Perawat

81

mengatakan bahwa itu merupakan salah satu pendekatan dengan lansia agar

menjadi lebih akrab dengan mereka. Peneliti pun menghampiri mereka dan semua

mata para lansia tertuju kepada peneliti dan menyambut peneliti dengan senang

hati sambil asyik memainkan alat musik qasidahan.

Dalam melakukan interaksi yang terus-menerus dengan lansia, setidaknya

ada kemudahan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan peneliti dari lansia

tersebut. Rasa nyaman yang mereka rasakan mulai dari pendekatan awal sampai

menjadi lebih akrab, membuat mereka semakin lama semakin terbuka.

Maksudnya, yang tadinya lansia itu memiliki karakter tertutup, malu-malu dan

sekarang sudah mulai lebih sedikit terbuka. Para lansia mulai menceritakan

aktivitas sehari-harinya sampai pada hal-hal yang dianggap seharusnya orang lain

tidak boleh mengetahui, seperti tentang keluarganya, alasan mereka dilantarkan

oleh keluarganya dan masalalu keluarganya. Itu semua butuh waktu dan proses

yang bertahap dan perlahan-lahan.

Akan tetapi melakukan komunikasi dengan lansia tentunya ada hambatan

baik dari pihak peneliti dan bahkan dari pihak lansianya. Misalnya, tidak semua

lansia mengerti akan pesan yang disampaikan peneliti dengan menggunakan

bahasa Indonesia. Mereka lebih cenderung menggunakan bahasa daerah seperti

bahasa sunda dan bahasa jawa. Sebaliknya, penelitian juga kurang memahami

bahasa daerah yaitu bahasa jawa dan bahasa sunda. Kemudian ada hambatan

ketika berkomunikasi dengan lansia yang lain seperti mencari perhatian,

mengganggu lansia yang sedang bercerita dengan peneliti, dan sebagainya.

Disamping itu, ada juga hambatan lainnya seperti pendengaran yang sudah kurang

82

jelas, dan penglihatan yang sudah mulai rabun yang membuat lansia kesulitan

untuk melakukan interaksi.

Dari 57 orang jumlah lansia hanya 10 orang lansia yang aktif dalam

melakukan beberapa kegiatan rutin dan sisanya hanya beraktivitas dikamar saja.

Ketika peneliti menanyakan hal tersebut kepada perawat, perawat mengatakan

bahwa:

“Kita tidak mau memaksa para lansia untuk ikut dalam beberapa

kegiatan rutin yang sudah dijadwalkan, karena kebanyakan dari mereka itu

tidak mau diatur. Mereka ingin bebas mau melakukan apa saja di panti,

akan tetapi masih dalam pengawasan dan pemantauan kita. Ada lansia

yang tidak mau diganggu hanya ingin sendiri terus di kamarnya, ada juga

lansia yang setiap harinya suka membantu perawat memandikan lansia

bedrest dan membantu mencuci peralatan makan lansia bedrest tetapi tidak

mau mengikuti kegiatan rutin”.4

Dalam melakukan komunikasi dengan lansia tentu ada sulit dan ada

mudahnya. Setiap lansia memiliki karakter yang berbeda-beda, fisik dan

psikologis yang berbeda-beda pula. Ada lansia yang memiliki karakter cepat akrab

tetapi sedikit tertutup, ada lansia yang memiliki karakter tertutup dan ada juga

lansia yang memiliki karakter cuek dan tidak peduli. Setiap peneliti mengunjungi

panti tersebut, banyak cerita yang disampaikan oleh lansia. Peneliti mengamati

bahwa mereka membutuhkan sosok keluarga, teman dekat ataupun teman cerita

untuk mendengarkan cerita mereka dan ingin mendapatkan perhatian dan kasih

sayang.

4

Wawancara pribadi dengan informan 2 (P2), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017

83

4.5 Hasil Penelitian

Berdasarkan deskripsi data dan analisis situasi yang diuraikan di atas,

peneliti akan mengkaji bagaimana pola komunikasi perawat dan lansia dalam

komunikasi interpersonal yang mengkaitkan dengan teori komunikasi antarpribadi

yaitu teori penetrasi sosial. Teori Penetrasi Sosial (Social Penetration Theory –

SPT) dari Irwin Altman & Dalmas Taylor (1973). SPT merupakan sebuah teori

yang menggambarkan suatu pola pengembangan hubungan, yaitu sebuah proses

yang Altman & Taylor identifikasi sebagai penetrasi sosial. Dalam pola

keterbukaan diri antara perawat dan lansia ini akan dibahas dari beberapa tahapan

komunikasi yang ada didalamnya berdasarkan teori penetrasi sosial. Adapun

identifikasi masalah yang akan dibahas pada hasil penelitian adalah sebagai

berikut.

4.5.1 Proses komunikasi interpersonal pada tahap penetrasi sosial antara

Perawat dan Lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok

Jaya Serang.

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pola keterbukaan diri antara

perawat dan lansia di panti sosial sasana tresna werdha Cipocok Jaya Serang

adalah jenis komunikasi dimana kita mengungkapkan informasi tentang diri kita

sendiri yang biasanya kita sembunyikan dan menyampaikan informasi, keyakinan,

perasaan, pengalaman dan masalah yang dirahasiakan kemudian diungkapkan

kepada orang lain secara apa adanya, sehingga pihak lain memahami.

Dalam suatu hubungan interpersonal terdapat tingkatan-tingakatan yang

berbeda dalam pengungkapan diri. Tingkatan pengungkapan diri dimulai dari

tahap dangkal dimana komunikasi biasanya terjadi antara dua orang yang bertemu

84

dan diawali dengan sapaan atau basa-basi dan pertanyaan secara umum saja. Hal

ini sesuai dengan pernyataan P1, Okhe Afandi Maulana selaku perawat di panti

sosial mengatakan bahwa:

“Dalam mengenali karakter klien lansia, perawat melakukan proses

pendekatan. Sebelum melakukan pendekatan, kita sebagai perawat

menganggap bahwa klien lansia itu orang tua bagi kita. Kemudian

pendekatan dilakukan membutuhkan proses secara perlahan-lahan, karena

tidak semua klien lansia memliki fisik dan psikologis yang sama. Waktu

yang dibutuhkan dalam proses pendekatan dengan klien lansia paling cepat

satu hari dan paling lama sekitar empat atau lima hari. Masing-masing

klien lansia memiliki pendekatan yang berbeda dan metode pendekatannya

juga berbeda. Awal berkomunikasi juga kita dari perawat hanya

menanyakan hal-hal yang umum saja dan tidak membahas tentang

keluarganya terlebih dahulu, seperti nama, asal daerah, kenapa bisa

nyampe ke panti, keadaan lansia dan lainnya. Kita bisa melihat dari fisik

dan psikologis klien lansia, seperti fisik yang mulai rentan, pendengaran

tidak berfungsi, penglihatan mulai rabun (katarak) dan juga tekananan

yang dirasakan oleh klien lansia. Jika berkomunikasi dengan lansia yang

memiliki keterbatasan dalam penglihatan (katarak), pendengaran mulai

kurang jelas (tuli) atau bisa dikatakan pikun perlu diberikan sentuhan,

sedangkan lansia yang lincah (masih bisa mengurus diri sendiri), bisa

dikatakan sehat dan perlu menjadi partner atau teman dekatnya.”5

Berdasarkan ungkapan di atas dapat menunjukkan bahwa waktu yang

dibutuhkan dalam pola keterbukaan diri antara perawat dan lansia berbeda-beda,

ada yang cuma satu hari bahkan ada yang sampai empat atau lima hari. Dalam

berkomunikasi dengan klien lansia yang memiliki keterbatasan dalam penglihatan

dan pendengaran atau pikun, dibutuhkan sentuhan berupa memberikan perhatian,

memenuhi kebutuhannya, mengurus dan merawatnya, sedangkan lansia yang

masih bisa mengurus dirinya sendiri lebih condong dijadikan partner atau teman

dekat karena sifat klien lansia kembali lagi ke sifat anak-anak.

5Wawancara pribadi dengan informan 1 (P1), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok

Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017.

85

Dalam mengenali dan memahami karakter seorang klien lansia, bisa

dikatakan sebagai tahap awal. Tahap orientasi yang bersifat klise, seperti

perkenalan. Selain itu, yang dibicarakan juga hanya hal-hal yang umum saja,

seperti menanyakan tentang nama, alamat, umur, bagaimana mendapatkan

informasi tentang panti dan sebagainya. Sedangkan menurut P6, Yani Heryani

selaku kepala seksi pelayanan dan perawatan, mengatakan bahwa:

“Pengalaman saya selama bekerja di sini, mengenali karakter klien

lansia membutuhkan waktu yang tidak dapat ditentukan. Setiap masing-

masing klien lansia memiliki karakter yang berbeda-beda, karena setiap

klien lansia tidak memiliki fisik dan psikologis yang sama. Ada waktu yang

cepat dalam mengenali karakter lansia dan ada yang memang

membutuhkan waktu yang lama. Paling cepat itu satu hari dan paling lama

satu minggu atau lebih. Yang lebih intens berinteraksi dengan lansia itu

adalah perawat. Akan tetapi, kita dari pihak balai perlindungan sosial di

panti ini juga melakukan interaksi dan berkomunikasi seperti tegur sapa,

memberikan senyuman, menanyakan hal-hal yang umum tentunya. Ada

beberapa klien lansia yang baru masuk ke panti juga sulit untuk

beradaptasi dengan yang lain, tetapi ada juga yang cepat dalam

beradaptasi. Untuk itu butuh pendekatan secara emosional, sehingga klien

lansia nyaman untuk tinggal di panti ini.”6

Berdasarkan ungkapan di atas dapat disimpulkan bahwa waktu yang

dibutuhkan oleh Yani dalam pola keterbukaan diri dengan lansia sekitar satu

minggu atau lebih. Dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan klien lansia

butuh pendekatan secara emosional sehingga klien lansia merasakan kenyamanan

tinggal di panti sosial.

Dalam proses komunikasi individu sudah saling menanggapi agar terjadi

pertukaran informasi dan adanya perluasan area publik. Individu yang mulai

saling membuka diri namun masih terbatas pada taraf pikiran, saat berbicara

6Wawancara pribadi dengan informan 6 (P6), Kepala Seksi Bangian Pelayanan dan Perawatan

Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang, Serang 8 Juni 2017.

86

individu tersebut masih berusaha keras menghindarkan diri dan menunjukkan

kesan ramah dan mulai akrab. Hal ini dapat terlihat dari pengakuan P1, Okhe

Afandi Maulana selaku perawat yang mengatakan:

”Sejak klien lansia merasa nyaman, dengan sendirinya mereka cerita

tanpa ditanya terlebih dahulu. Klien lansia bercerita tentang apa saja yang

mereka rasakan. Biasanya cerita tentang teman sekamarnya, tetapi jarang

sekali tentang keluarga mereka karena tidak semua klien lansia memiliki

keluarga.”.7

Berdasarkan ungkapan di atas menunjukkan bahwa mulai adanya

keterbukaan yang lebih mendalam dan adanya aspek-aspek dari kepribadian

seorang individu mulai muncul dan sikap mulai akrab. Kemudian ada juga

pernyataan P4, Narsiah seorang klien lansia juga mengatakan ia sering bercerita

kepada perawat yang bernama Ira Novita Sari. Ia mengatakan bahwa:

“.....nenek mah dekat sama siapa aja di panti. Tapi ada yang sering

ngajakin nenek main ke rumahnya dan nginep di sana, namanya ibu Yani.

Bu Yani sudah dianggap seperti anak sendiri. Kadang dibeliin baju buat

lebaran sama bu Yani. Nenek juga dekat sama perawat di panti ini. Nenek

sering cerita sama perawat Ira, Ia juga orang Padang sama kayak Icha.

Banyak pokoknya yang diceritain, kadang cerita kalau nenek kangen

keluarga dan pengen pulang. Tapi kalau nenek pulangnya sendirian,

enggak dibolehin. Jadinya dianterin ke terminal Pandegalang, terus

ditelepon keluarga nenek biar nenek dijemput ke terminal Pandeglang.”8

Narsiah mengungkapkan isi hatinya tentang ia rindu keluarganya kepada

perawat yang bernama Ira Novita Sari, yakni ia rindu akan keluarganya, tetapi

tidak diperbolehkan pulang sendiri ke rumahnya. Narsiah sudah menunjukkan

sikap terbuka kepada Ira. Sikap itu muncul saat Narsiah rindu sekali sama

keluarganya sehingga Narsiah menceritakan isi hatinya kepada perawat Ira, sikap

yang mulai akrab, sikap mulai terbuka dan santai. 7Wawancara pribadi dengan informan 1 (P1), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok

Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017. 8Wawancara pribadi dengan informan 4 (P4), Klien Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 21 September 2017.

87

Selain itu juga, peneliti juga melakukan wawancara dengan klien lansia di

panti sosial sasana tresna werdha Cipocok Jaya Serang, Ratiah yang dekat dengan

Narsiah dan Mahartini. Mereka adalah klien lansia di panti sosial, P5 mengatakan

bahwa:

“Nenek sering cerita sama Narsiah dan Mahartini. Ketika lagi

melamun tiba-tiba Mahartini datang dan bertanya kepada Nenek kenapa

melamun. Akhirnya cerita sama Mahartini. Nenek melamun karena ingat

keluarga dan suami tapi sekarang sudah meninggal dan nenek merasa

sendiri. Selain itu, nenek juga sering cerita sama Narsiah teman satu

kamar. Kalau lagi sakit Narsiah yang mengurus nenek. Kadang suka bagi

oleh-olehnya kalau balik liburan, terus sering cerita liburannya dia.”9

Ratiah mengungkapkan isi hatinya kepada Mahartini dan Narsiah tentang

apa yang Ratiah rasakan. Sikap keterbukaan diri yang ditunjukkan Ratiah kepada

Mahartini dan Narsiah lebih akrab dan adanya perluasan area publik (privasi).

Ratiah menceritakan apa yang dirasakan olehnya mengenai masalah pribadinya

kepada Mahartini dan Narsiah. Sikap terbuka Ratiah kepada Mahartini dan

Narsiah muncul karena teman satu kamarnya yang setiap hari ketemu dan sama-

sama berasal dari daerah yang sama yaitu Panimbang, Pandeglang. Ratiah

merupakan tipe pribadi yang cepat sedih dan suka melamun ketika Ratiah lagi

sendiri dan Ratiah butuh orang lain untuk menghibur dan memberikan semangat.

Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara kepada salah seorang klien

lansia, dan menanyakan kenapa klien lansia lebih memilih tinggal di panti sosial.

Hasil wawancara dari P3, Suradi mengatakan bahwa:

“Awalnya ketika di Lampung, saya disuruh sama tetangga cari kerja

di Serang sebagai tukang jahit karena saya bisa menjahit neng. Ketika saya

sudah sampai di Serang dan mencari alamat yang dikasih sama tetangga

saya ternyata orangnya sudah pindah dan tidak tau kemana neng. Saya

bingung, saya tidak punya uang lagi,bisa dibilang saya terlantar. Terus

9Wawancara pribadi dengan informan 5 (P5), Pasien Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 21 September 2017

88

saya bertanya sama warga dan saya kasih lihat KTP saya neng, kemudian

saya disuruh ke alamat panti ini. Yasudah saya langsung ke sini neng. Saya

melapor dan saya ceritakan semuanya neng. Saya juga tidak punya siapa-

siapa lagi neng, istri juga tidak punya dan orang tua juga sudah lama

meninggal.”10

Suradi mengungkapkan kalau ia terlantar di Serang sehingga tinggal di panti

sosial kepada peneliti, yakni ia ingin kerja di Serang sebagai tukang jahit, tetapi

ia tidak menemukan alamat tukang jahit yang diberitahu oleh tetangganya itu.

Dikarenakan tukang jahit itu sudah pindah dan tidak tahu kemana dan Suradi

ketika itu juga tidak memiliki uang.

Dari pernyataan di atas, Suradi menunjukkan keterbukaan dirinya kepada

peneliti dengan berani, cepat akrab dan lebih santai menceritakan kenapa ia

memilih tinggal di panti sosial. Hal yang mendorong Suradi untuk berani terbuka

kepada peneliti karena merasa bahwa ia akan tinggal lama di panti sosial tersebut

jadi harus bisa membiasakan untuk bersikap terbuka kepada peneliti bahkan orang

yang ada di panti sosial yang kelak akan menjadi pengganti keluarganya.

Kedekatan interpersonal merujuk pada sebuah ikatan hubungan dimana

individu-individu yang terlibat bergerak dari komunikasi superfisial menuju ke

komunikasi yang lebih intim. Keintiman yang bertahan lama membutuhkan

ketidakberdayaan yang terjadi secara berkesinambungan tetapi juga bermutu

dengan cara melakukan pengungkapan diri yang luas dan dalam.

Setiap individu memiliki emosi atau perasaan yang berbeda seperti individu

yang menginginkan hubungan yang jujur, terbuka dan menyatakan perasaan

secara mendalam. Individu yang memiliki keberanian untuk saling bersikap jujur

10

Wawancara pribadi dengan informan 3 (P3), Pasien Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 30 September 2017.

89

dan terbuka berarti memiliki kesepakatan untuk saling mempercayai. Dengan

begitu, komunikasi interpersonal dapat dipertahankan.

Sebagaimana ungkapan dari P2, Ira Novita Sari selaku perawat di panti:

“....Iya, mereka langsung mendekat dan bercerita tentang apa saja.

Biasanya mereka bercerita tentang teman sekamarnya. Kalau tentang

keluarga, meraka sangat tertutup tetapi ada satu atau dua orang yang suka

cerita tentang keluarganya. Klien lansia mulai mengungkapkan isi hatinya

sejak mereka merasa nyaman tinggal disini atau nyaman dengan orang

yang dekat dengan mereka..”11

Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa upaya pendekatan dalam

keterbukaan diri pada komunikasi interpersonal secara verbal pada kegiatan

sehari-hari. Berbagai kegiatan sehari-hari yang dilakukan seperti bermain,

membuat berbagai kerajinan, mengikuti pengajian, latihan qasidahan dan lain-lain.

Dengan melakukan berbagai kegiatan di panti sosial seseorang akan terbawa

suasan santai seperti berada di lingkungan keluarga sendiri dan rumah sendiri.

Begitu pula yang dirasakan oleh klien lansia yang tinggal di panti sosial, sehingga

perasaan kaku dan tegang akan hilang.

Klien lansia yang bernama Ratiah menjelaskan kedektannya dengan perawat

di panti, ia paling sering bercerita tentang apa yang ia rasakan di panti sosial. P5

mengatakan:

“...biasa ya neng kalo berantem sama teman. Berantem masalah

sendal baru neng, nenek beli 15 ribu neng, terus si Masriah datang, bilang

sendal siapa itu dan dibilang nenek ngambil sendal orang neng.Tiba-tiba

perawat datang. Terus perawat bilang enggak boleh ngomong gitu. Nenek

mah diam dan mengalah nengKata perawat jangan diambil hati ya mbah,

enggak usah didengerin.”12

11

Wawancara pribadi dengan informan 2 (P2), Pasien Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017. 12

Wawancara pribadi dengan informan 4 (P4), Pasien Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 30 September 2017.

90

Ratiah yang sering bercerita dengan perawat yang ada di panti, ini

menjelaskan bahwa Ratiah dekat dengan perawat-perawat di panti sosial. Setiap

ada permasalahan di panti sosial karena hal-hal kecil, Ratiah menceritakan kepada

perawat, perawat menjadi pihak penengah untuk menyelesaikan permasalahan

tersebut dengan memberikan solusi untuk tidak membalasnya dengan kemarahan

juga. Kemudian kedua belah pihak sudah bisa memberikan perhatian untuk

hubungan secara keseluruhan. Baik dari dalam diri Ratiah maupun dalam diri

perawat. Dengan demikian ini bisa dilihat ketika Ratiah sudah mulai terbiasa

bersikap terbuka terhadap perawat dengan menceritakan apa saja yang dialami

atau dirasakan Ratiah begitu pula dengan perawat yang memberikan solusi atau

cara dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Perawat Okhe Afandi Maulana menceritakan tentang kedekatannya dengan

klien lansia ketika peneliti bertanya tentang klien lansia yang suka bercerita soal

masalah pribadi dengannya, P1 mengatakan:

“...selain itu saya juga bisa lebih memahami karekter mereka, seperti

ekspresi raut wajah mereka, bagaimana ekspresi suka atau tidak suka,

bagaimana ekpresi merasa terganggu. Biasanya saya langsung dekatin

mereka dan langsung nanya dan sebisa mungkin saya harus tau mereka

kenapa seperti itu. Biasanya mereka punya masalah dengan teman sekamar

ataupun teman yang lainnya, tapi ada juga yang ingat sama keluarganya

sehingga mbah-mbah merasa sedih. Kita juga dari perawat berupaya

memberikan solusi dan memberi pemahaman kepada mbah-mbah agar

mereka merasakan adanya kekeluargaan di panti ini. ”13

Perawat Okhe Afandi Maulana mengatakan bahwa ia harus bisa mengetahui

dan memahami karakter apa saja yang sedang klien lansia rasakan, seperti dari

raut wajah dan tingkah laku klien lansia. Jika klien lansia tidak menceritakan

masalahnya, maka perawat Okhe Afandi Maulana berusaha untuk menggali

13

Wawancara pribadi dengan informan 1 (P1), Pasien Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017.

91

informasi tentang apa yang dirasakan oleh klien lansia. Perawat Okhe Afandi

Maulana sudah mampu untuk menilai perilaku klien lansia dengan cukup akurat.

Dapat dilihat bahwa perawat Okhe Afandi Maulana sudah bisa menilai apa saja

yang sedang dirasakan klien lansia melalui raut wajah dan tingkah lakunya.

Adapun tabel axial coding yang mengklasifikasikan empat tahapan penetrasi

sosial dari beberapa narasumber berdasarkan pertanyaan yang diajukan adalah

sebagai berikut:

92

Tabel 4.3 Axial Coding

Penetrasi Sosial Perawat Panti SosialSasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang

Konsep: Identifikasi Informan, Orientasi, Pertukaran Eksploratif,

Pertukaran Afektif, dan Pertukaran Stabil)

No Konsep Dimensi Narasumber 1 Narasumber 2 Narasumber 3

1 Identifikasi

Informan

Jenis kelamin:

Usia:

Jabatan:

Laki-laki

29 tahun

Perawat Panti Sosial

Perempuan

27 tahun

Perawat Panti Sosial

Perempuan

51 tahun

Kepala seksi

pelayanan dan

perawatan

2 Orientasi Waktu yang

dibutuhkan

untuk tahap

perkenalan

Satu sampai lima

hari

Satu hari sampai satu

minggu

Satu hari sampai satu

minggu lebih

Pandangan

terhadap

karakter lansia

dalam

berkomunikasi

Ada beberapa lansia

yang kesulitan

berkomunikasi

karena memiliki

karakter cuek,

pemalu, tertutup dan

juga memiliki

keterbatasan fisik

pada pendengaran

dan penglihatan

Ada beberapa lansia

yang kesulitan

berkomunikasi karena

memiliki karakter

pemalu dan juga

memiliki keterbatasan

fisik pada pendengaran

dan penglihatan

Kesulitan

berkomunikasi karena

keterbatasan fisik dan

gangguan psikologi.

Perbedaan cara

berkomunikasi

Berkomunikasi

dengan lansia yang

mudah beradaptasi

harus berperan

sebagai partnernya,

sedangkan dengan

Berkomunikasi dengan

lansia yang mudah

beradaptasi harus

berperan sebagai

partnernya, sedangkan

dengan lansia pemalu,

Berkomunikasi

dengan lansia yang

memiliki karakter

yang berbeda-beda

diperlukan pengertian

dan pemahaman dan

93

lansia pemalu, cuek

dan tertutup

diperlukan sentuhan

(berupa: perhatian

baik secara verbal

dan nonverbal)

cuek dan tertutup

diperlukan sentuhan

(berupa: perahatian

secara

verbal/nonverbal)

berperan layaknya

anak kepada orang tua

3 Pertukaran

Eksploratif

Tanggapan

terhadap lansia

yang ingin

cerita

Membuka diri

terhadap lansia yang

ingin bercerita

tentang apa saja

Membuka diri untuk

lansia yang ingin cerita

dan selalu berusaha

untuk memahami apa

yang dirasakan lansia

Membuka diri untuk

lansia yang ingin

bercerita tentang apa

saja yang mereka

rasakan

Pilihan saat

cerita

Bersering dan

senang bercerita

bersama-sama dan

saat lagi santai

Lebih baik bercerita

face to face terkait

cerita yang bersifat

pribadi

Masalah pribadi lebih

secara face to face

4 Pertukaran

Afektif

Tindakan saat

ingin memulai

pembicaraan

Selalu memulai

pembicaraan dengan

lansia saat

melakukan aktivitas

pagi hari.

Memulai lebih dahulu

tetapi terkadang lansia

yang memulai

Lebih sering lansia

yang memulai

pembicaraan

Cerita yang

sering dibahas

Lebih sering cerita

tentang aktivitas

sehari-hari mereka,

namun ada juga

tentang keluhan

yang mereka rasakan

Cerita aktivitas

keseharian mereka,

terkadang masalah

keluarga dan teman

sekamarnya

Lebih sering cerita

aktivitas yang mereka

lakukan

Pernah

bertindak keras

atau marah-

marah

Tidak pernah Tidak marah tetapi

suaranya sedikit keras

karena ada beberapa

lansia yang kurang jelas

pendengarannya

Tidak pernah

94

5 Pertukaran

Stabil

Bisa

memahami apa

yang sedang

dirasakan

lansia hanya

dari raut

wajahnya saja

Bisa, melalui ekpresi

wajah mereka dan

lebih seringnya

masalah dengan

teman mereka

Bisa, terlihat dari raut

wajahnya seperti

melamun, sedih dan

kemudian mereka

bercerita setelah

ditanyakan

Bisa, tetapi belum

terlalu tahu

masalahnya sebelum

mereka bercerita

6 Upaya dalam

melakukan

pendekatan

Berusaha

menciptakan rasa

kenyamanan agar

lansia betah dan

tidak jenuh

Berusaha melayani dan

mengurus layaknya

anak kepada orang tua

Berusaha menciptakan

rasa kekeluargaan

layaknya anak kepada

orang tua

7 Upaya

menghindari

lansia dari hal-

hal negative

Pembinaan ibadah

seperti pengajian,

qasidahan

Memantau dan

mengontrol ruang gerak

lansia yang diberi

kebebasan melakukan

apa saja

Memberikan

pembinaan dan

berbagai bimbingan

kepada lansia

95

Tabel 4.4 Axial Coding

Penetrasi Sosial Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang

No Konsep Dimensi Narasumber 1 Narasumber 2 Narasumber 3

1 Identifikasi

Informan

Jenis kelamin:

Usia:

Jabatan:

Laki-laki

77 tahun

Perawat Panti Sosial

Perempuan

66 tahu

Perawat Panti Sosial

Perempuan

72 tahun

Kepala seksi

pelayanan dan

perawatan

2 Orientasi Waktu yang

dibutuhkan

untuk tahap

perkenalan

Satu hari Satu hari Satu hari sampai tiga

hari

Motif awal

tinggal di panti

Cepat akrab terhadap

perawat ataupun

lansianya juga

Mudah akrab terhadap

perawat dan lansia

Masih malu-malu

Teman

terdekat

Salimun Fatimah Narsiah dan Mahartini

3 Pertukaran

Eksploratif

Tempat

bercerita

masalah teman

Diam saja dan tidak

pernah bercerita

kepada teman

Tidak pernah bercerita

masalah dengan teman

dan dipendam sendiri

Bercerita kepada

teman sekamar

tentang apa yang ia

rasakan

Suka berkeluh

kesah dengan

teman atau

perawat

Tidak pernah

berkeluh kesah

kepada teman

ataupun perawat, ia

tidak mau orang tahu

apa yang ia rasakan

Jarang berkeluh kesah

kepada teman atau

perawat dan ia tidak

mau orang lain menjadi

terbebani

Pernah, ia berkeluh

kesah dengan

temannya dan

terkadang bercerita

kepada perawat

4 Pertukaran

Afektif

Hal yang biasa

diceritakan

Cerita tentang

aktivitas sehari-hari

Cerita tentang aktivitas

sehari-hari

Cerita tentang

temannya yang satu

96

kepada

perawat

wisma

Tempat yang

lebih nyaman

untuk bercerita

Cerita dengan siapa

saja

Bercerita dengan

perawat dan siapa saja

Lebih nyaman

bercerita dengan

teman dekat dan

perawat

5 Pertukaran

Stabil

Bercerita

sampai

menangis

Tidak pernah Tidak pernah Tidak pernah, tetapi ia

mengungkapkan

sedihnya kepada

perawat

Protes

terhadap

pendapat dan

aturan panti

sosial

Tidak pernah, ia

sangat bersyukur

tinggal di panti

karena kebutuhan

terpenuhi

Tidak pernah, ia sangat

bersyukur tinggal di

panti karena kebutuhan

terpenuhi

Tidak pernah, ia

sangat bersyukur

tinggal di panti karena

kebutuhan terpenuhi

Marah kepada

perawat

Tidak pernah Tidak pernah Tidak pernah

97

4.5.2 Pola komunikasi pada proses keterbukaan diri pada tahap penetrasi

sosial antara Perawat dan Lansia di Panti Sosial Sasana Tresna

Werdha Cipocok Jaya Serang.

Pola komunikasi identik dengan proses komunikasi, karena pola merupakan

bagian dari proses komunikasi. Proses komunikasi merupakan rangkaian dari

aktivitas komunikasi menyampaikan pesan sehingga menghasilkan feedback dari

penerima pesan. Berdasarkan temuan hasil penelitian di lapangan, hubungan

interpersonal diperlukan komunikasi yang baik dan efektif yang bertujuan untuk

membentuk hubungan (pola komunikasi) dan melakukan pertukaran informasi

agar dapat membentuk saling pengertian dan terjalinnya hubungan yang harmonis

dan baik. Hal ini dapat terlihat dari pengakuan P2, perawat Ira Novita Sari

mengatakan bahwa:

“Ketika para lansia berkumpul di saung dan saat mereka lagi santai-

santainya, kita dari para perawat ikut nimrung dan ngobrol-ngobrol apa

saja. Respon lansia sangat antusias ketika bercerita tentang masa lalunya

dengan suami/istrinya. Berbagi pengalaman dengan para perawat di panti

ini teh. Saat perawat menanyakan tentang hal-hal yang menyenangkan,

mereka merespon dengan baik. Berkomunikasi dengan lansia sebenarnya

menyenangkan, karena banyak hal-hal yang mereka tau dan belum tau

sama kita anak-anak muda.”14

Dari kutipan di atas menjelaskan komunikasi yang terjalin akan menjadi

lebih mudah jika sebuah pengirim pesan dan penerima pesan memiliki hubungan

yang dekat sehingga pesan yang disampaikan menghasilkan umpan balik dari

antara satu sama lain. Adapun klien lansia yang bernama Ratiah juga

menceritakan kedekatannya dengan perawat di panti, ia paling sering bercerita

tentang apa yang ia rasakan di panti sosial. P5 mengatakan:

14

Wawancara pribadi dengan informan 2 (P2), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017.

98

“...biasa ya neng kalo berantem sama teman. Berantem masalah

sendal baru neng, nenek beli 15 ribu neng, terus si Masriah datang, bilang

sendal siapa itu dan dibilang nenek ngambil sendal orang neng.Tiba-tiba

perawat datang. Terus perawat bilang enggak boleh ngomong gitu. Nenek

mah diam dan mengalah neng. Kata perawat jangan diambil hati ya mbah,

enggak usah didengerin. Akhirnya nenek merasa tenang neng.”15

Dari pernyataan di atas, menjelaskan bahwa adanya orang penengah

(perawat) dalam menangani masalah yang terjadi di panti sosial dengan

memberikan sentuhan berupa perhatian kepada Ratiah yang dituduh mencuri

sendal orang. Maksudnya, terjadinya komunikasi antara tiga orang yang

memberikan tanggapan terhadap suatu kejadian. Dengan adanya tanggapan berarti

individu memberikan umpan balik (feedback).

Ketika melakukan komunikasi dalam proses keterbukaan diri, tentunya ada

saja hal yang menghambat dalam proses interaksi. Seperti pernyataan beberapa

informan di atas bahwa hambatan komunikasi pada lansia secara fisik, biologi dan

psikolohgis. Namun ada juga yang ditemukan beberapa hambatan komunikasi

lainnya. Adapun hambatan komunikasi dalam komunikasi interpersonal antara

perawat dan klien lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya

Serang adalah sebagai berikut:

1. Gangguan

a. Gangguan mekanik, ialah gangguan yang disebabkan saluran komunikasi

atau kegaduhan yang bersifat fisik.

“Tentu saja ada, di panti ini tidak sedikit yang kita rawat klien

lansianya, jadi setiap kita lagi bicara selalu ada hal yang mengganggu.

Beberapa klien lansia tidak mau rahasianya diketahui sama yang lain.

Ketika ada klien lansia yang serius cerita sama perawat, ada saja klien

lansia yang suka mondar mandir keluar masuk kamar.”16

15

Wawancara pribadi dengan informan 4 (P4), Pasien Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 30 September 2017. 16

Wawancara pribadi dengan informan 1 (P1), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017.

99

b. Gangguan semantik, gangguan jenis ini bersangkutan dengan pesan

komunikasi yang pengertiannya jadi rusak (salah pengertian).

“Terkadang ada klien lansia yang salah paham ketika kita menyuruh

mereka seperti harus mandi biar bersih, cantik dan wangi, tetapi mereka

menganggap mereka dimarahin dan tidak suka sama mereka.”17

2. Kepentingan

Kepentingan akan membuat seseorang selektif dalam menanggapi atau

menghayati suatu pesan. Orang akan memperhatikan perangsang yang asa

hubungannya dengan kepentigannya.

“Di panti sosial ini ada kegiatan rutin setiap minggunya, misalnya

pengajian. Sebelum pengajian, biasanya perawat menyuruh para klien

lansia untuk mandi terlebih dahulu. Tetapi ada saja klien lansia yang tidak

memperdulikan dan ingin ikut, jika kita lihat dari kondisinya lagi tidak

bersih dan bau. Yang namanya pengajian kan harus bersih dan suci, tapi

kita dari perawat memaklumi dan menyuruh klien lansia untuk mandi.”18

3. Keterbatasan fisik

Hal ini berkaitan dengan berkurangnya fungsi fisik yang digunakan untuk

berkomunikasi.

“Hambatan sih ada, yang namanya lansia kan ada keterbatasan fisik,

seperti tidak bisa mendengar dengan jelas, tidak bisa melihat dengan jelas,

pikun. Makanya perawat berbicara sedikit keras bagi klien lansia yang

tidak bisa mendengar terlalu jelas.”19

4. Gangguan psikologi

Faktor psikologis sering menjadi hambatan dalam proses komunikasi. Hal

ini umumnya disebabkan oleh komunikator sebelum melakukan proses

17

Wawancara pribadi dengan informan 2 (P2), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017. 18

Wawancara pribadi dengan informan 2 (P2), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017. 19

Wawancara pribadi dengan informan 1 (P1), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017.

100

komunikasi tidak melihat kondisi komunikannya, apabila komunikan lagi sedih,

kecewa, marah dan kondisi psikologis lainnya.

“Selain hambatan pada keterbatasan fisik, juga ada gangguan pada

psikologi klien lansia. Usia yang sudah tua itu kembali ke sifat anak kecil,

terkadang suka tiba-tiba marah, sedih, kecewa dan sebagainya. Jadi, perawat

harus sabar dan mengerti kondisi klien lansia”.20

5. Prasangka

Prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi suatu

kegiatan komunikasi.Oleh karena itu orang yang mempunyai prasangka belum

apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang hendak

melancarkan komunikasi.

“Ada juga nih klien lansia yang suka salahpaham, misalnya perawat

meminta membersihkan lingkungan wisma dan kamar mereka masing-

masing. Tiba-tiba ada salah satu klien lansia yang merasa tersinggung, bisa

dibilang meremehkan karena kamarnyanya kotor dan bau.”21

Dari uraian hambatan di atas, kita sudah mengetahui hambatan-hambatan

komunikasi interpersonal dengan klien lansia, maka keterbukaan diri dapat

mempengaruhi komunikasi yang dilakukan. Individu dapat lebih memahami apa

yang dikatakan oleh orang lain apabila individu tersebut sudah mengenal baik

orang lain tersebut, sehingga individu tersebut mendapatkan pemahaman secara

utuh terhadap orang lain dan mungkin sebaliknya. Keterbukaan diri sangat

diperlukan dalam membina suatu hubungan yang bermakna seperti sikap saling

percaya, menghargai, dan jujur. Adanya keterbukaan akan membuat suatu

hubungan lebih bermakna dan mendalam, sehingga membangun keterbukaan diri

antara perawat dan lansia.

20

Wawancara pribadi dengan informan 1 (P1), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017. 21

Wawancara pribadi dengan informan 2 (P2), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017.

101

4.6 Pembahasan

Setelah data dianalisis, langkah selanjutnya adalah interpretasi data yaitu

menghubungkan temuan hasil penelitian dengan teori dan konsep para ahli

sehingga peneliti dapat mengembangkan teori dan menemukan makna baru dari

hasil penelitian. Adapun pembahasan yang dilakukan yaitu membahas lebih lanjut

hasil analisis data yang telah diinterpretasikan. Dalam hal ini peneliti membahas

mengenai pola keterbukaan diri pada tahapan teori penetrasi sosial antara perawat

dan lansia, membangun proses keterbukaan diri antara perawat dan lansia dan

mempertahankan komunikasi interpersonal antara perawat dan lansia di Panti

Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang.

Tahap penetrasi sosial dalam proses komunikasi interpersonal, dalam

penelitian ini teori yang digunakan dalam pola keterbukaan diri antara perawat

dan lansia di panti sosial ialah teori penetrasi sosial. Teori penetrasi sosial

mempunyai empat tahapan dalam perkembangan hubungan antar-individu. Tahap

awal yang dilakukan perawat ialah tahap orientasi, dimana tahap saat komunikasi

yang terjadi bersifat tidak pribadi (impersonal). Dari hasil temuan penelitian

menunjukkan bahwa dari ketiga narasumber yaitu lansia yang tinggal di panti

sosial tersebut ialah Suradi, Narsiah, dan Ratiah, masing-masing membutuhkan

waktu yang berbeda-beda untuk melalui tahapan-tahapan penetrasi sosial.

Beragam waktu yang mereka butuhkan untuk bisa terbuka kepada perawat di panti

sosial. Dari hasil temuan analisis yang dipaparkan pada tabel axial coding dapat

dilihat bahwa yang membutuhkan waktu paling cepat untuk bisa beradaptasi

dengan perawat maupun lansia lainnya di panti sosial adalah Narsiah dan Suradi.

Sedangkan yang cukup lama untuk beradaptasi dengan perawat maupun lansia

102

lainnya adalah Ratiah. Dikarenakan Ratiah memiliki sifat pemalu. Pandangan

perawat terhadap karakter lansia dalam berkomunikasi dan bagaimana cara

berkomunikasi dengan lansia juga terdapat pada tahap orientasi. Dimana

berkomunikasi dengan lansia harus berperan sebagai partner atau teman dekatnya

dengan menanyakan hal-hal yang bersifat umum, mendengar cerita tentang apa

saja sehingga tidak merusak interaksi meskipun dengan respon anggukan dan

senyuman.

Para individu yang terlibat hanya menyampaikan informasi yang bersifat

sangat umum saja. Selama tahap ini, pertanyaan-pertanyaan yang dibuat biasanya

hal-hal yang klise dan orang biasanya bertindak sesuai dengan cara yang dianggap

baik secara sosial dan berhati-hati untuk tidak melanggar harapan sosial. Selain

itu, individu-individu tersenyum manis dan bertindak sopan pada tahap orientasi.

Pada hasil analisis situasi juga terlihat bahwa pada tahap orientasi (tahap

awal) hanya beberapa lansia yang bisa diajak berkomunikasi dalam waktu yang

cukup lama yaitu dua sampai tiga jam di panti. Biasanya dengan waktu yang

cukup lama tersebut, kebanyakan lansia sudah tidak merasa nyaman dan bosan

untuk berkomunikasi dengan orang baru. Akan tetapi berbeda dengan beberapa

lansia di panti ini dan sangat terlihat bahwa mereka membutuhkan sosok teman

untuk bercerita.

Tahap orientasi yang menyampaikan dan menerima informasi dalam

pembentukan hubungan. Ketika suatu hubungan terbentuk, berkembang pada

pola-pola komunikasi yang merupakan hasil dari aturan yang diterapkan para

partisipan. Dengan menjalin hubungan antara perawat dan lansia atau lansia

dengan lansia, perawat mencoba untuk mengenali dan memahami kebutuhan satu

103

sama lain, membentuk interaksi dan berusaha mempertahankan interaksi tersebut.

Kemudian berlanjut pada hubungan yang lebih dekat.

Proses komunikasi individu sudah saling menanggapi agar terjadi

pertukaran informasi dan adanya perluasan area publik. Individu yang mulai

saling membuka diri namun masih terbatas pada taraf pikiran, saat berbicara

individu tersebut masih berusaha keras menghindarkan diri dan menunjukkan

kesan ramah dan mulai akrab.

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dipaparkan di atas, bahwa mulai

adanya keterbukaan diri yang lebih mendalam, aspek-aspek kepribadian seseorang

mulai muncul pada klien lansia Narsiah, Ratiah dan Suradi kepada perawat atau

sebaliknya dan teman dekat mereka masing-masing yang dapat dilihat pada

kutipan hasil wawancaran. Kemudian, mereka lebih memilih bercerita pada saat

santai dan keakrabannya terlihat dari kedekatan diantara mereka seperti

menceritakan hal-hal yang semiprivate kepada orang yang menurut mereka bisa

dipercayai seperti perawat dan teman dekat.

Ini dapat dikatakan proses komunikasi pada tahap kedua yaitu tahap

eksploratif, dikarenakan cenderung munculnya gerakan menuju ke arah

keterbukaan yang lebih dalam. Tahap ini menyajikan suatu perluasan mengenai

banyaknya komunikasi dalam wilayah di luar publik; aspek-aspek kepribadian

yang dijaga atau ditutupi sekarang mulai dibuka atau secara lebih perinci, rasa

berhati-hati sudah mulai berkurang. Hubungan pada tahap ini umumnya lebih

ramah dan santai, dan jalan menuju ke wilayah lanjutan yang bersifat akrab

dimulai. Tahap ini merupakan perluasan area publik dari diri dan terjadi ketika

aspek-aspek dari kepribadian seorang individu mulai muncul. Kepribadian sangat

104

menentukan bentuk hubungan yang akan terjalin. Kepribadian mengekspresikan

pengalaman subjektif seperti kebiasaan, karakter dan perilaku. Faktor kepribadian

lebih mengarah pada bagaimana tanggapan dan respon yang akan diberikan

sehingga terjadi hubungan. Tindakan dan tanggapan terhadap pesan sangat

tergantung pada pola hubungan pribadi dan karakteristik atau sifat yang

dibawanya.

Kedekatan interpersonal merujuk pada sebuah ikatan hubungan dimana

individu-individu yang terlibat bergerak dari komunikasi superfisial menuju ke

komunikasi yang lebih intim. Keintiman yang bertahan lama membutuhkan

ketidakberdayaan yang terjadi secara berkesinambungan tetapi juga bermutu

dengan cara melakukan pengungkapan diri yang luas dan dalam.

Setiap individu memiliki emosi atau perasaan yang berbeda seperti individu

yang menginginkan hubungan yang jujur, terbuka dan menyatakan perasaan

secara mendalam. Individu yang memiliki keberanian untuk saling bersikap jujur

dan terbuka berarti memiliki kesepakatan untuk saling mempercayai. Dengan

begitu, komunikasi interpersonal dapat dipertahankan.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan bahwa kedekatan hubungan

interpersonal antara perawat dengan lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha

Cipocok Jaya Serang bahwa seseorang telah merasa nyaman, mendapatkan timbal

balik dari lawan bicaranya, terjalinnya persahabatan, lebih aktif, mau

menceritakan masalah yang bersifat pribadi dan adanya hambatan. Hal ini bisa

dilihat dari pernyataan perawat. Perawat mengatakan upaya pendekatan dalam

keterbukaan diri pada komunikasi interpersonal secara verbal pada kegiatan

sehari-hari. Berbagai kegiatan yang dilakukan seperti bermain, membuat

105

kerajinan, mengikuti pengajian dan sebagainya. Dengan melakukan kegiatan di

panti sosial, sehingga perasaan kaku dan tegang akan hilang. Selain itu juga

terdapat pada kutipan hasil wawancara penelitian dari pembicaraan antara Ratiah,

perawat dan teman dekatnya, disini Ratiah menceritakan masalahnya, perawat dan

teman dekatnya juga memberikan solusi untuk Ratiah dalam menyelesaikan

masalahnya itu.

Dari uraian tersebut terdapat tahap pertukaran afektif, tahap ini ditandai oleh

persahabatan yang dekat dan pasangan yang intim. Hubungan intim terkait dengan

jangka waktu, keintiman akan tumbuh pada jangka panjang. Kerena cenderung

dipertahankan karena investasi yang ditanamkan individu di dalamnya dalam

jangka waktu yang lama telah banyak. Di sini, perjanjian bersifat interaktif lebih

lancar dan kausal. Interaksi pada lapis luar kepribadian menjadi terbuka, dan

adanya yang meningkat pada lapis menengah kepribadian. Meskipun adanya rasa

kehati-hatian, umumnya terdapat sedikit hambatan untuk penjajakan secara

terbuka mengenai keakraban. Tahap pertukaran afektif menggambarkan

komitmen lanjut kepada individu lainnya, para interaktan merasa nyaman satu

dengan lainnya.

Kemudian pada tahap terakhir yaitu tahap pertukaran stabil, adanya

keintiman dan pada tahap ini, masing-masing individu dimungkinkan untuk

memperkirakan masing-masing tindakan mereka dan memberikan tanggapan

dengan sangat baik (Morissan, 2014:299). Dalam tahap ini, pasangan berada

dalam tingkat keintiman tinggi dan sinkron, maksudnya, perilaku-perilaku di

antara keduanya kadang kala terjadi kembali, dan pasangan mampu untuk menilai

dan menduga perilaku pasangannya dengan cukup akurat. Dapat dilihat pada hasil

106

penelitian tabel axial coding, perawat bisa memahami apa yang sedang dirasakan

lansia hanya dari raut wajah, perawat melakukan berbagai upaya dalam pedekatan

dengan lansia untuk menciptakan rasa kenyamanan, kekeluargaan dan upaya

perawat menghindari lansia dari hal-hal negatif dengan melakukan berbagai

pembinaan kegiatan di panti sosial.

Dari hasil penelitian tersebut, perawat dapat dikatakan melakukan tahap

terakhir yaitu tahap pertukaran stabil. Kecenderungan perawat dalam melakukan

komunikasi dengan lansia adalah mampu memahami apa yang dirasakan lansia

dari raut wajahnya sehingga perawat melakukan berbagai pendekatan. Ekspresi

wajah menimbulkan kesan dan persepsi yang sangat menentukan penerimaan

individu atau kelompok. Senyuman yang dilontarkan akan menunjukkan

ungkapan bahagia, mata melotot sebagai marah, dan seterusnya. Wajah telah lama

menjadi sumber informasi dalam komunikasi interpersonal. Wajah merupakan alat

komunikasi yang sangat penting dalam menyampaikan makna dalam beberapa

detik raut wajah akan menentukan dan menggerakkan keputusan yang diambil.

Kepekaan menangkap emosi wajah sangat menentukan kecermatan tindakan yang

akan diambil.

Informasi yang disampaikan melalui ekspresi wajah pada hal pengembangan

hubungan dibutuhkan sebuah pendekatan, begitu pula terjadi dalam hal pola

keterbukaan diri antara perawat dan lansia di panti sosial. Pendekatan yang

dilakukan perawat terhadap lansia yang memiliki sifat lebih condong seperti anak

kecil berbeda dengan pendekatan dengan orang dewasa agar mendapatkan

informasi.

107

Hubungan interpersonal berkembang secara bertahap dan dapat diprediksi.

Teoretikus penetrasi sosial percaya bahwa pembukaan diri adalah cara utama yang

digunakan oleh sebuah hubungan ramah-tamah bergerak menuju hubungan yang

intim.

Pola komunikasi dalam proses keterbukaan diri, proses komunikasi

merupakan rangkaian dari aktivitas komunikasi menyampaikan pesan sehingga

menghasilkan feedback dari penerima pesan. Berdasarkan temuan hasil penelitian

di lapangan, hubungan interpersonal diperlukan komunikasi yang baik dan efektif

yang bertujuan untuk membentuk hubungan (pola komunikasi) dan melakukan

pertukaran informasi agar dapat membentuk saling pengertian dan terjalinnya

hubungan yang harmonis dan baik.

Hasil temuan obeservasi di lapangan berdasarkan kutipan wawancara di atas

bahwa perawat dan lansia melakukan proses komunikasi yang saling memberikan

tanggapan terhadap lawan bicaranya. Dengan adanya tanggapan dari penerima

pesan berarti adanya respon, yaitu feedback sehingga pola komunikasi yang

terjadi antara perawat dan lansia di panti sosial adalah pola komunikasi sirkuler.

Dalam proses sirkular itu terjadi umpan balik. Dalam pola komunikasi yang

seperti ini proses komunikasi berjalan terus, yaitu adanya umpan balik antara

komunikator dan komunikan. Umpan balik tersebut komunikator akan

mengetahui komunikasi berhasil atau gagal yaitu umpan baliknya positif atau

negatif. Dalam pola komunikasi sirkular ini umpan balik memang dapat terjadi

secara langsung, tetapi dengan mengetahui umpan balik secara langsung ini pula,

terutama umpan balik negatif yang mengakibatkan berlanjut atau tidak

komunikasi yang telah dijalani.

108

Komunikasi interpersonal dinyatakan efektif bila pertemuan antara

pemangku kepentingan terbangun dalam situasi komunikatif – interaktif dan

menyenangkan. Efektivitas komunikasi sangat ditentukan oleh validitas informasi

yang disampaikan dan keterlibatan dalam memformulasikan ide atau gagasan

secara bersama. Bila berkumpul dalam suatu kelompok yang memiliki kesamaan

pandangan akan membuat gembira, suka dan nyaman.

Ketika melakukan komunikasi dalam proses keterbukaan diri, tentu saja ada

hal yang menjadi faktor penghambat komunikasi. Berdasarkan hasil wawancara

dengan beberapa informan pada hasil penelitian di atas, menyebutkan bahwa

hambatan komunikasi dalam berinteraksi dengan lansia adalah hambatan secara

fisik, biologis dan psikologis. Namun peneliti mengamati dan merasakan masih

ada hambatan lainnya dan ini terdapat pada faktor penghambat komunikasi

antarpribadi. Konflik dipandang sebagai bagian penting dari pengembangan.

pertumbuhan hubungan terjadi selama periode adanya kecocokan atau

kesesuaian., dan kemunduran hubungan terjadi sebagai akibat terjadinya krisis dan

tekanan jiwa lainnya. Namun demikian, sekali terjadi proses-proses pertukaran

yang terjadi pada putusnya hubungan antarpribadi merupakan kebalikan apa yang

terjadi pada tahap-tahap pengembangan. Proses-proses pertukaran itu berlangsung

sistematis dan teratur, kali ini dari tingkat yang akrab ke tingkat yang tingkat

akrab (Budiyatna & Ganiem, 2012:230).

Begitu pula dalam membangun keterbukaan diri di sebuah panti sosial

antara perawat dan lansia pasti mengalami berbagai hambatan atau masalah.

Hambatan yang pertama ialah gangguan mekanik dan semantik. Ganguan

mekanik, adalah gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan

109

yang bersifat fisik, yang termasuk gangguan mekanik pada observasi dan hasil

wawancara penelitian adalah ketika ada lansia yang ingin bercerita soal

keluarganya kepada perawat, ada saja gangguan mekanik yang terjadi seperti

ketika cerita dikamar klien lansia, ada saja klien lansia yang lain suka mondar

mandir keluar masuk kamar. Sehingga mengganggu aktivitas komunikasi antara

perawat dan lansia. Akan tetapi, perawat memaklumi lansia tersebut.

Kemudian gangguan semantik, adalah gangguan yang bersangkutan dengan

pesan komunikasi yang pengertiannya jadi rusak(salah pengertian), dan dapat

dilihat pada observasi dan hasil wawancara penelitian seperti ketika seorang

perawat menyuruh lansia mandi dengan suara yang sedikit keras, membuat lansia

mengira bahwa perawat sedang marah. Sebenarnya perawat hanya bersikap

sedikit tegas agar lansia menuruti perintah perawat.

Hambatan kedua ialah kepentingan, dimana kepentingan akan membuat

seseorang selektif dalam menanggapi atau menghayati suatu pesan. Pada

observasi dan hasil wawancara penelitian yang termasuk hambatan kepentingan,

yaitu ketika perawat mempunyai kepentingan seperti menyuruh para lansia untuk

mandi sebelum kegiatan pengajian, dan kemudian disuruh berkumpul di mushola,

ada lansia yang ikut dalam kegiatan pengajian tersebut tetapi ia belum mandi

bahkan masih memakai baju yang sudah kena kencing dari kemarin dan belum

sempat diganti. Oleh karena itu, perawat harus bisa memahami dan memaklumi

dan memberikan kesempatan untuk mandi terlebih dahulu agar bisa ikut dalam

kegiatan pengajian di panti sosial.

110

Hambatan yang ketiga ialah keterbatasan fisik, hal ini berkaitan dengan

berkurangnya fungsi fisik yang digunakan untuk berkomunikasi. Ini terjadi ketika

perawat meminta tolong untuk membersihkan kamar mereka sendiri dengan suara

yang lembut, ada beberapa lansia tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang

diucapkan oleh perawat dikarenakan alat indra beberapa lansia sudah mulai tidak

berfungsi. Oleh karena itu, perawat berbicara dengan suara yang sedikit keras bagi

beberapa lansia yang mempunyai keterbatasan dalam pendengaran.

Kemudian adanya hambatan psikologi yang timbul adanya perbedaan

gagasan dan penilaian subyektif diantara orang yang terlibat dalam komunikasi.

Hal ini umumnya disebabkan oleh komunikator sebelum melakukan proses

komunikasi tidak melihat kondisi komunikannya, apabila komunikan lagi sedih,

kecewa, marah dan kondisi psikologis lainnya. Gangguan psikologi ini terjadi

dalam hal ketika perawat meminta lansia untuk keluar dari kamarnya dan

beradaptasi dengan yang lain dengan suara yang lembut, tiba-tiba lansia itu marah

karena ia tidak mau diatur. Dengan begitu, perawat harus lebih sabar dan mengerti

dengan sikapnya yang terkadang suka baik dan suka tiba-tiba marah.

Hambatan yang terakhir ialah prasangka, salah satu rintangan atau hambatan

berat bagi suatu kegiatan komunikasi. Oleh karena itu, orang yang mempunyai

prasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang

hendak melancarkan komunikasi. Hal ini terdapat pada observasi dan hasil

wawancara penelitian yaitu ketika perawat sedang menasehati para lansia

mengenai kebersihan lingkungan baik di kamar maupun di wisma, akan tetapi

terkadang lansia yang salahpaham kepada perawat. Mereka mengira bahwa

111

perawat sedang mengucilkan mereka dan merasa diremehkan karena wismanya

kotor dan bau.

Dengan mengetahui hambatan-hambatan komunikasi interpersonal dengan

lansia, maka keterbukaan diri dapat mempengaruhi proses komunikasi yang

dilakukan. Individu dapat lebih memahami apa yang dikatakan oleh orang lain

apabila individu tersebut sudah mengenal baik orang lain, sehingga individu

tersebut mendapatkan pemahaman secara utuh terhadap orang lain dan mungkin

sebaliknya.

Hubungan interpersonal tidak bersifat statis tetapi selalu berubah. Untuk

memelihara dan memperkuat hubungan interpersonal diperlukan tindakan tertentu

untuk mengembalikan keseimbangan. Untuk memelihara keseimbangan

membutuhkan keakraban, kontrol, respon yang tepat dan nada emosional yang

tepat. Hubungan interpersonal akan terpelihara apabila kedua belah pihak sepakat

tentang tingkat keakraban yang diperlukan.

112

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, maka

peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan, antara lain:

1. Proses komunikasi interpersonal yang terjadi antara perawat dan lansia di

Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang pada tahap

penetrasi sosial, adalah tahap orientasi, tahap pertukaran eksploratif, tahap

pertukaran afektif, dan tahap pertukaran stabil. Pola keterbukaan diri antara

perawat dan lansia pada tahap penetrasi sosial dimulai dari tahap orienatasi

atau membuka diri sedikit demi sedikit bersifat impersonal yang

membutuhkan waktu tertentu, semakin sering berinteraksi semakin kita

mengetahui kepribadian lansia ataupun perawat dari komunikasi superfisial

menjadi komunikasi yang lebih intim, kedua belah pihak akan memberikan

perhatian secara keseluruhan sehingga mulai terbiasa bersikap terbuka, lebih

akrab dan terjalinnya persahabatan dan kedua belah pihak mampu

memahami karakter dan menduga perilaku lawan bicaranya.

2. Pola komunikasi dalam proses keterbukaan diri antara perawat dan lansia di

panti sosial sasana tresna werdha cipocok jaya serang adalah pola

komunikasi sirkuler karena terjadinya umpan balik antara perawat dan

lansia dalam melakukan interaksi. Dari umpan balik tersebut komunikator

akan mengetahui komunikasi berhasil atau gagal yaitu umpan baliknya

positif atau negatif. Dalam pola komunikasi sirkular ini umpan balik

113

memang dapat terjadi secara langsung, tetapi dengan mengetahui umpan

balik secara langsung ini pula, terutama umpan balik negatif yang

mengakibatkan berlanjut atau tidak komunikasi yang telah dijalani.

5.2 Saran

Dari analisis situasi, pembahasan dan kesimpulan yang telah diurai

sebelumnya, maka peneliti mengajukan saran-saran yang mungkin dapat dijadikan

masukan dan perbaikan dimasa mendatang, antara lain:

1. Kepada perawat

a. Meningkatkan kedekatan hubungan dengan lansia agar terciptanya rasa

kekeluargaan sehingga tidak menimbulkan rasa bosan, jenuh dan kaku.

b. Bersikaplah layaknya anak kepada orang tuanya bagi mereka, agar

mereka merasakan kasih sayang yang tulus dan mendapatkan perlakuan

yang semestinya sehingga lansia mulai bersifat terbuka.

c. Lebih sabardalam menghadapi lansia yang sedikit sulit untuk dinasehati.

2. Kepada peneliti selanjutnya

a. Penelitian ini mengangkat masalah bagaimana pola keterbukaan diri

antara perawat dan lansia, peneliti mengharapkan agar penelitian ini

berlanjut dengan permasalahan bagaimana pola keterbukaan diri antara

lansia dan lansia atau sebagainya sehingga beragam persoalan yang

ditemukan.

b. Diharapkan isi dari penelitian ini mampu memberikan kontribusi kepada

pembaca serta untuk pihak Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok

Jaya Serang agar lebih meningkatkan rasa kekeluargaan didalam

keluarga demi terciptanya keluarga yang hangat dan harmonis.

112

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro. 2010. Metode Penelitian Untuk Public Relations Kuantitatif

dan Kualitatif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

A Supratiknya. 2005. Komunikasi Antar Pribadi. Yogyakarta: Kanisius.

Bagong, Sutyanto. 2007. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Prenanda Media

Group.

Burrel, G. & G. Morgan. 1979. Socialogical Paradigma and Organizational

Analysis.

Cangara, H. Hafied. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada

Depkes RI. 2001. Pedoman Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas

Kesehatan II.

DeVito, Joseph A. 2011. Komunikasi Antar Manusia. Edisi Kelima: Alih Bahasa:

Agus Maulana. Tangerang: Karisma Publishing Group.

______________,1997. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Profesional Books

,2011. Komunikasi Antar Manusia. Tangerang Selatan: Kharisma

Publishing Group.

Effendy,Onong U. 2005. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung

:RemajaRosdakarya.

Em Griffin. 2006. A First Look at Communication Theory. USA: McGraw Hill

.

Fuad, Anis dan Kandung S Nugroho. 2013. Panduan Praktis Penelitian Kualitatif.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Kriyantono, Rahmat. 2009. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana

Kurniawati, Nia Kania. 2014. Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta: Graha Ilmu

Maryam R.S, Ekasari MF, dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya.

Jakarta: Salemba Medika

Michael Quinn Patton. 2002. Qualitative Research & Evaluation Methods.

California: Sage publication.

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosda Karya.

Morissan. 2014. Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana

Predana Media.

113

Muhammad Budiyatna dan Laia Mona Ganiem. 2012. Teori Komunikasi

Antarpribadi. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu

Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosda Karya

Nugroho. 1999. Perawatan Usia Lanjut. EGC. Jakarta

Rakhmat, Jalaludin, 1995. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT

RemajaRosadikarya

Rakhmat, Jalaludin. 2002. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja

Rosda Karya

Riharjo, Ikhsan B. 2011. Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme dan

Implikasinya.

Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi:Perspektif, Ragam dan Aplikasi. Jakarta:

Rineka Cipta

Ruslan, Rosady. 2004. Metode Penelitian PR dan Komunikasi. Jakarta: PT. Raja

GrafindoPersada

Sihabudin, Ahmad & Rahmi Winangsih, 2012. Komunikasi Antar Manusia.

Serang: Pustaka Getok Tular

Smeltzer, S & Bere. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8

Volume 2. Brunner dan Suddart. EGC: Jakarta

Stanley et al. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik, ed 2. EGC. Jakarta

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung :Alfabeta

________, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

Penerbit Alfabeta

________, 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Supratiknya, A.1995. Komunikasi Antar Pribadi: Tinjauan Psikologi.

Yogyakarta: Kanisius

Suranto, AW. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu

Syam, Nina W. 2011. Psikologi Sebagai Akar Ilmu Komunikasi.. Bandung:

Remaja Rosda Karya

Tamher dan Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan

Asuan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006

114

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998

Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992

West, Richard, dan Lynn H Turner. (2008). Pengantar Teorikomunikasi :Analisis

dan Aplikasi Buku 1 – 3/E. Jakarta : Salemba Empat

Wood, Julia T. 2010. Komunikasi Interpersonal. jakarta: Salemba Humanika

Jurnal dan Skripsi:

Aprilia, Triesty dan Winangsih, Rahmi dan Gumelar, Rangga G. (2016). Pola

Komunikasi Terapeutik Dokter terhadap Pasien Rawat Inap dalam Proses

Penyembuhan (Studi Deskriptif Aktivitas Komunikasi). Skripsi, Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa

Demartoto, Argyo. 2006. Pelayanan Sosial Non Panti Bagi Lansia. Surakarta:

Sebelas Maret University Press.

Ditya, Ardi Nugroho. 2013. Self Disclosure terhadap Pasangan melalui Media

Facebook Ditinjau dari Jenis Kelamin. Jurnal Psikologi, Volume 01 No. 02.

Iqbal W, Ayip. 2014. Pola Komunikasi Antarpribadi Guru Sekolah Khusus

Negeri (SKhN) 01 Kota Serang dengan Murid Penderita Tunagrahita dalam

Proses Belajar Mengajar di Kelas.Serang: Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa

Karumi, Atilah Nur. 2016. Peran Perawat dalam Komunikasi Antarpribadi

dengan Lansia Untuk Membangun Kreativitas. Samarinda: Universitas

Mulawarman

Putriana, Dita. 2016. Pola Komunikasi Pengasuh dengan Lanjut Usia di

Pelayanan Sosial Lanjut Usia Tresna Werdha Natar, Lampung Selatan.

Bandar Lampung: Universitas Lampung

Ruth, Permatasari Novianna. 2012. Pengungkapan Diri pada Remaja yang Orang

Tuanya Bercerai. Jakarta: Universitas Gunadarma.

Suhartini, Ratna. 2004.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Orang

Lanjut Usia (Studi Kasus di Kelurahan Jambangan). Surabaya: Universitas

Airlangga

Suryani, Purwanta, & Ahmadi, 2007. Jurnal Kebidanan Dan Keperawatan

Gambaran Kegiatan Lanjut Usia Di Panti Sosial Tresna Werdha

Yogyakarta Unit Budi Luhur. Volume 3. No. 1.

Laman Online:

Kunjtoro, Zainuddin (2007), Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. http://www.e

psikologi.com/ epsi/lanjutusia_detail.asp.?id=182

115

LAMPIRAN

115

LAMPIRAN 1

PEDOMAN OBSERVASI

Dalam pengamatan yang dilakukan peneliti yaitu mengamati tahapan

pelaksanaan di lapangan bagaimana proses komunikasi dalam pola keterbukaan

diri antara perawat dan lansia di panti sosial sasana tresna werdha Cipocok Jaya

Serang. Tujuan dari pelaksanaan observasi ini untuk memperoleh informasi dan

mengetahui gambaran proses komunikasi yang terjadi secara nyata dan jelas

sehingga peneliti dapat memahami dengan baik. Selain itu, dengan adanya

observasi peneliti dapat mencatat dan menanyakan hal-hal yang belum peneliti

mengerti serta meminta penjelasan mengenai hal-hal yang menunjang penelitian.

Aspek-aspek yang diteliti, yaitu:

1. Keadaan lingkungan di lokasi kegiatan

2. Sarana dan prasarana penunjang kegiatan

3. Mengamati proses komunikasi antara perawat dan lansia serta lansia dan

lansia

4. Mengamati proses komunikasi dalam pembuatan kreativitas kerajinan karya

lansia

5. Mengamati kegiatan rutin mingguan lansia

6. Mengamati keadaan wisma (asrama klien lansia)

7. Mengamati tingkah laku lansia dan interaksi lansia di wisma.

116

LAMPIRAN II

PEDOMAN WAWANCARA

Key Informan :

Perawat Laki-laki

Perawat Perempuan

Pedoman wawancara

1. Bagaimana Anda memandang klien lansia?

2. Bagaimana cara Anda mendekatkan diri dengan klien lansia?

3. Apakah Anda menggunakan tahap orientasi (perkenalan) dengan klien

lansia dan seperti apa komunikasi yang dilakukan?

4. Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar Anda dekat dengan klien lansia?

5. Berapa lama Anda memahami karakter klien lansia?

6. Setelah dekat dan memahami karakter klien lansia, apakah klien lansia

mulai menceritakan pengalaman pribadinya cerita tentang apa saja?

7. Sejak kapan klien lansia bisa mengungkapkan isi hatinya kepada Anda?

8. Bagaimana cara Anda dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi klien

lansia setelah mereka mengungkapkan isi hatinya?

9. Apakah salah satu cara memahami karakter klien lansia dilihat dari raut

wajahnya?

10. Apa upaya yang dilakukan Anda ketika raut muka klien lansia sedang sedih,

kecewa dan kesal?

11. Apakah komunikasi interpersonal ini sangat efektif digunakan dalam

membangun keterbukaan diri klien lansia?

12. Seberapa pentingnya komunikasi interpersonal ini digunakan dalam

interaksi sehari-hari?

13. Apakah komunikasi interpersonal sangat membantu Anda dalam melakukan

interaksi dengan klien lansia untuk membangun keterbukaan dirinya?

14. Apakah Anda menggunakan komunikasi interpersonal dalam penetrasi

sosial yang terdiri dari tahap orientasi, tahap penjajakan pertukaran afektif,

tahap pertukaran afektif dan tahap pertukaran stabil dan jelaskan seperti apa

proses komunikasinya?

117

PEDOMAN WAWANCARA

Key Informan:

Klien lansia laki-laki

Klien lansia perempuan

Pedoman Wawancara

1. Apa yang Anda rasakan ketika pertama kali berada di panti sosial ini?

2. Apa alasan Anda untuk memilih tinggal di panti sosial ini?

3. Bagaimana menurut Anda tentang pelayanan yang diberikan oleh pihak

panti sosial ini?

4. Apakah Anda merasa nyaman tinggal di panti sosial?

5. Apa yang membuat Anda merasa nyaman di panti sosial?

6. Bagaimana perasaan Anda ketika bertemu dengan keluarga baru di panti

sosial?

7. Apa hambatan Anda ketika berinteraksi dengan lansia lainnya?

8. Ketika Anda sudah lama tinggal di panti, tentunya punya teman dekat. Siapa

teman dekat Anda?

9. Apakah Anda sering berbagi cerita dengan teman dekat Anda dan ceritanya

tentang apa?

10. Selama tinggal di panti sosial, Apakah pernah terjadi pertengkaran antara

sesama lansia?

11. Siapa yang menjadi penengah ketika terjadi pertengakaran?

12. Selain punya teman curhat lansia di panti, apakah Anda punya teman dekat

juga dengan pihak panti sosial? Siapa namanya?

13. Apakah Anda juga merasa nyaman sama salah seorang pihak panti sosial

ini?

14. Biasanya sering curhat tentang apa?

15. Apakah Anda ingin untuk keluar dari panti sosial ini jika keluarga Anda

meminta untuk tinggal bersama mereka?

118

PEDOMAN WAWANCARA

Secondary Informan:

Kepala bidang seksi pelayanan dan perawatan

Pedoman Wawancara

1. Bagaimana Anda memandang klien lansia?

2. Bagaimana Anda memandang perawat yang melakukan komunikasi dengan

klien lansia?

3. Apakah komunikasi perawat dengan klien lansia yang dilakukan sudah

berjalan dengan efektif?

4. Apakah klien lansia mengalami peningkatan dalam melaksanakan umpan

balik yang diharapkan oleh perawat?

5. Apakah komunikasi interpersonal yang dilakukan perawat sudah berjalan

efektif?

6. Apakah komunikasi interpersonal perawat dengan klien lansia dilakukan

secara intens dan tatap muka?

7. Apakah ada kekurangan dari perawat dalam berkomunikasi antara perawat

dengan klien lansia?

8. Bagaimana cara komunikasi yang efektif menurut anda secara

interpersonal?

9. Hambatan komunikasi apa saja yang terjadi antara perawat dengan klien

lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang?

10. Apakah benar perawat menggunakan tahapan komunikasi interpersonal

seperti melihat pasien dari informasi demografis, sikap, pendapat,

memahami karakter, kepribadian, perilaku masa lalu, hobi, minat dan lain-

lain dalam tahap orientasi (perkenalan)?

11. Apakah perawat menggunakan komunikasi interpersonal dalam penetrasi

sosial yang terdiri dari tahap orientasi, tahap penjajakan pertukaran afektif,

tahap pertukaran afektif dan tahap pertukaran stabil?

119

LAMPIRAN III

CATATAN HASIL OBSERVASI

Hasil Observasi Ke- I dan II

Hari/tanggal : Observasi Ke-I, 8 Juni 2017

Observasi Ke-II, 21 September 2017

Lokasi Observasi : Balai Perlindungan Sosial Dinas Sosial Provinsi Banten

Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang

Objek yang diamati Temuan di lapangan

Keadaan lingkungan di

lokasi kegiatan

- Lingkungan panti sosial terlihat bersih dan nyaman.

- Setiap hari lingkungan wisma tempat pasien lansia selalu

dibersihkan oleh pegawai kebersihan panti, baik lingkungan

didalam wisma maupun diluar wisma.

- Setiap lansia juga diajarkan untuk menjaga kebersihan

lingkungan panti terutama wisma tempat tinggal mereka.

Sarana dan prasarana

penunjang kegiatan

- Gedung kantor pengelola balai

- Rumah dinas pegawai

- Ruang poliklinik, berfungsi sebagai tempat konsultasi

penyakit, keluhan kesehatan lansia, tempat pengecekan

kesehatan lansia dan tempat istirahat perawat.

- Wisma/ asrama klien lansia sebanyak 8 unit.

- Jumlah kamar tidur 38 unit.

- Setiap wisma disediakan fasilitas untuk lansia, seperti tv,

kipas angin, meja makan dan lemari untuk masing-masing

120

lansia.

- Aula

- Disediakan dapur umum yang berfungsi sebagai tempat

memasak untuk kebutuhan lansia dengan disediakan juru

masak.

- Disediakan saung tempat para lansia berkumpul, mengerjakan

kerajinan dan tempat latihan qasidahan.

- Disediakan musholla

- Ruang keterampilan

- Taman refleksi

- Tanah pemakaman

- Di fasilitasi 2 mobil ambulance

121

Hasil Observasi Ke- II dan III

Hari/tanggal : Observasi Ke-I, 21 September 2017

Observasi Ke-II, 6 Oktober 2017

Lokasi Observasi : Balai Perlindungan Sosial Dinas Sosial Provinsi Banten

Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang

Objek yang diamati Temuan di lapangan

Proses komunikasi antara

perawat dan lansia, lansia

dan lansia

- Komunikasi yang dilakukan antara perawat dan lansia

meggunakan komunikasi interpersonal secara tatap muka

(face to face).

- Menggunakan bahasa daerah seperti sunda, jawa dan bahasa

formal yaitu bahasa Indonesia, karena para lansia berasal dari

daerah yang berbeda.

- Melakukan pendekatan secara emosial agar para lansia

merasakan nyaman tinggal di panti.

Pembuatan kreativitas

kerajinan

- Kerajinan yang dibuat oleh para lansia berupa keset kaki,

anyaman kotak pensil dan tempat tissue dari daun silawan,

bunga beserta potnya, tempat tissue dari pernak-pernik,

sendal hias dan lain-lain.

- Jadwal pembuatan kerajinan ditentukan oleh pihak Balai

Perlindungan Sosial yaitu hari selasa dan kamis.

- Jumlah lansia yang ikut dalam pembuatan kreativitas

kerajinan sebanyak 10 orang dari 55 jumlah lansia yang ada

di panti.

- Pembuatan kreativitas kerajinan menghasilkan 2-5 buah per

122

hari kerajinan oleh para lansia.

- Hasil kreativitas kerajinan para lansia mengikuti beberapa

pameran kegiatan ulang tahun kota serang, ulang tahun

banten dan beberapa hasil kerajinan dijualkan dipasaran.

Latihan qasidahan - Kegiatan qasidahan merupakan salah satu kegiatan

kerohanian dan religius.

- Jadwalnya latihan qasidahan yaitu hari senin.

- Dilakuan oleh 8 orang lansia.

123

LAMPIRAN IV

Tabel Data Klien Lansia

(Sumber: Data Klien Lansia Dinas Sosial Provinsi Banten)

No Nama L/

P Usia Alamat

1. JUNARIAH P 74 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.

2. MASITI P 77 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.

3. KAWILAH P 87 Th Ds. Sukalaba Kec. Gunungsari Kab. Serang.

4. KAMBRAH P 79 Th Kel. Lontar Kec. Serang Kota Serang.

5. TUMINEM P 74 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.

6. DEWI P 81 Th Ds. Ranjeng Kec. Ciruas Kab. Serang.

7. MISJAYA L 79 Th Ds. Batukuwung Kec. Padarincang Kab. Serang.

8. FATMAWATI P 74 Th Kel. Sumur Pecung Kec. Serang Kota Serang.

9. HAMZAH L 85 Th Desa/Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang.

10. SANAH P 77 Th Desa Pringwulung Kec. Pamarayan Kab. Serang.

11. KASMERI P 78 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.

12. SARIKAH P 79 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.

13. SUTINAH P 77 Th Kel. Sukawana Kec./Kota Serang.

14. A. HOW P 68 Th Kel. Kota Baru Kec./Kota Serang.

15. SOFI P 71 Th Kp. Kalang Anyer Kec. Cibeber Kota Cilegon.

16. IAH HASANAH P 74 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.

17. MURNI P 76 Th Kp. Sayabulu Kota Serang.

18. RAHARJO L 72 Th Taman Adiyasa Blok C No. 32 Kab. Tangerang.

19. IYAN L 73 Th Ling. Ciwaru Rt. 01/08 Kel Banjaragung

Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.

20. SOFIAN L 76 Th Kepandaian Kota Serang.

21. ANIYAH P 74 Th Kp. Cipocok Jaya Rt. 01/01, Kec. Cipocok Kota

Serang.

22. SARONI BIN

RAMAN

L 73 Th Kp. Petanduk Rt. 007/Rw 002 Desa Teras,

Kec. Carenang Kab. Serang.

23. SARTUM P 69 Th Ling. Cipocok Mesjid Rt. 01 Rw. 01 Kel. Cipocokjaya,

Kec. Cipocokjaya, Kota Serang.

24.

MANSUR L 72 Th Kp. Ciayun Rt. 03 Rw. 01 Kec. Tunjung Teja Kab.

Serang.

25. RATIAH P 72 Th Kp. Sidamukti RT 05 Rw 03 Ds. Sidamukti Kab.

Pandeglang.

26. SUKINEM P 79 Th Jl. Dahlia II Ds. Margasari Kec. Tigaraksa Kab.

Tangerang.

27. KASMAH P 83 Th Lingk. Kepandean Rt. 04 Rw. 06 Kel. Kagungan

Kec./Kota Serang.

28. KARTI P 65 Th Kp. Bendung Rt. 04 Rw. 02 Ds. Bendung Kec.

Kasemen Kota Serang.

29. HARTINI P 65 Th Jl. Meteorologi Rt. 02 Rw. 09 Kel. Tanah Tinggi

Kec./Kota Tangerang.

30. ROHIMAH P 69 Th Gg. Teman Rt. 03 Rw. 004 Kel./Kec. Larangan Kota

124

Tangerang.

31. KAMIL L 77 Th Kp. Bingkuang Ds. Teras Kec. Carenang Kab. Serang

32. FATIMAH P 62 Th Kel./Kec. Cipocokjaya Kota Serang.

33. DARIYAH P 72 Th Kec. Pontang - Kab. Serang.

34. KARTINI P 62 Th Lingk. Cinanggung Rt. 03 Rw. 03 Kel. Kaligandu

Kec./Kota Serang.

35. SURADI L 77Th Kp. Karang Anyar Kec. Selagi Lingga, Lampung

Tengah

36. SUGENG

RIYADI

L 72 Th Taman Adiyasa Blok C.05 No. 37 Rt. 07 Rw. 06 Ds.

Cikasunga Kec. Solear Kabupaten Tangerang.

37. SUTINAH P 67 Th Kp. Sempu Seroja Rt. 005 Rw. 015 Kel. Cipare Kec.

Serang - Kota Serang.

38. JANTRA L 72 Th Kp. Cijunjang Rt. 01 Rw. 04 Ds. Cikeusal Kec.

Cikeusal Kab. Serang.

39. JOHRA P 72 Th Kp. Jakung Ds. Cilowong Kec. Taktakan Kota Serang.

40. KASMINAH P 78 Th Jl. Legoso Rt. 02/01 Kel. Pisangan Kec. Ciputat Timur

- Kota Tangerang Selatan.

41. HARJA S. L 82 Th Kp. Cibunar Rt. 01/02 Ds./Kec. Cilograng Kab. Lebak.

42. SARUM L 67 Th Kel./Kec. Cipocokjaya - Kota Serang.

43. HASAN L 78 Th Kp. Kedaung Rt. 002 Rw. 04 Kel. Serua Indah

Kec. Ciputat - Kota Tangerang Selatan.

44. SANI P 76 Th Kp. Kedaung Rt. 002 Rw. 04 Kel. Serua Indah

Kec. Ciputat - Kota Tangerang Selatan.

45. FATMAH P 77 Th Kp. Cidadap Rt. 06 Rw. 02 Ds. Kec. Curug Kota

Serang.

46. RINI P 69 Th Kp. Gowok Rt. 02 Rw. 01 Ds. Tinggar Kec. Curug

47. SURYA L 79 Th Kp. Sindanglaya Rt. 04 Rw. 01 Ds. Sindangsari Kec.

Petir Kab. Serang

48. ROHIDA P 67 Th Kp. Kalapa Lima Rt. 01 Rw. 02 Ds. Sukamanah Kec.

Baros Kab. Serang.

49. ARMI P 66 Th Lingkungan Baru Rt. 01 Rw. 03 Kel. Kebon Dalem

Kec. Purwakarta Kota Cilegon.

50. SUPRAPTO L 75 Th Jl. Salak I No. 105 Rt. 01 Rw. 10 Kel. Cibodasari Kec.

Cibodas Kota Tangerang.

51. SA’AMAH P 89 Th Regensi Ds. Sukatani Kec. Cisoka Kab. Tangerang.

52. NARSIAH P 66 Th Kp. Sidamukti RT 05 Rw 03 Ds. Sidamukti Kab.

Pandeglang.

53. RIFAI L 76 Th Kp. Maja pasar Rt. 03 Rw. 01 Ds. Maja Kec. Maja

Kab. Lebak.

54. NANI ROHANI P 67 Th Kp. Nganceng Rt. 01 Rw. 01 Ds. Tambak Kec.

Cimarga Kab. Lebak.

55. MARIAH P 73 Th Komplek Banjarsari Permai, Kel. Banjarsari Kec.

Cipocokjaya Kota Serang

56. KEMANGI P 60 Th Balaraja Kab. Tangerang

57. LAMSIAH P 70 Th Link. Sumur Menjangan Rt. 02 Rw. 01 Kel. Kotasari

Kec. Grogol Kota Cilegon

125

LAMPIRAN V

JADWAL KEGIATAN LANSIA

Hari Jam Kegiatan

Senin 07.00 s/d 08.00

09.00 s/d 11.00

Olahraga (senam pagi)

Qasidahan

Selasa 09.00 s/d 11.00 Membuat kerajinan

Rabu 08.00 s/d 09.00

09.00 s/d 11.00

Pengajian

Cek kesehatan

Kamis 09.00 s/d 11.00

16.00 s/d 17.00

Membuat kerajinan

Pengajian (yasinan)

Jum’at 08.00 s/d 09.00

16.00 s/d 17.00

Pengajian

Olahraga (senam sore)

126

LAMPIRAN VI

JADWAL HASIL WAWANCARA

No Nama/ Kode Informan Alamat Jabatan

Tanggal

wawncara

1 Okhe Afandi Maulana

(P1)

Perumahan Puri Cisait

Kragilan

Perawat 18 Oktober 2017

2 Ira Novita Sari

(P2)

Bumi Agung Permai I Blok

i.1 No. 14

Perawat 18 Oktober 2017

3 Suryadi

(P3)

Lampung Pasien Lansia 7 Oktober 2017

4 Narsiah

(P4)

Panimbang, Pandeglang Pasien Lansia 21 September 2017

5 Ratiah

(P5)

Panimbang, Pandeglang Pasien Lansia 21 September 2017

6 Yani

(P6)

Perumahan Ciracas, Serang Kepala Bagian

Seksi

Pelayanan dan

Perawatan

8 Juni 2017

127

LAMPIRAN VII

TRANSKIP HASIL WAWANCARA

Nama Informan : Okhe Afandi Maulana

Jabatan : Perawat

Kode Informan : P1

Tempat wawancara : Klinik

Hari/tanggal : Rabu,18 Oktober 2017

Catatan Wawancara:

Peneliti

Perawat

Peneliti

Perawat

Peneliti

Perawat

Peneliti

Peneliti

Aa, saya boleh nanya mengenai perawat dalam berinteraksi

dengan lansia?

Atuh boleh neng, sok aja.

Aa memandang lansia itu sebagai apa a?

Saya menganggap lansia itu sebagai kakek dan nenek (mbah),

dan menganggap sebagai orang tua juga.

Bagaimana cara aa mendekatkan diri dengan mbah di panti ini?

Pendekatan dengan lansia itu butuh proses secara perlahan-

lahan, tidak semua mbah-mbah memiliki fisik dan psikologi

yang sama.

Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pendekatan

dengan mbah-mbah?

Tergantung sebenarnya, kita bisa melihat dari fisik dan

psikologis seseorang seperti pikun, udah rabun (katarak) dan

susah mendengar emosi yang tidak stabil, suka sedih. Tetapi

pendekatan yang paling cepat dengan mbah-mbah itu satu hari

aja bisa dan yang paling lama itu enggak nyampe seminggu

sekitar 4-5 hari.

Dalam pendekatan dengan mbah-mbah, apakah aa

menggunakan tahap perkenalan dan seperti apa komunikasi

128

Perawat

Peneliti

Perawat

Peneliti

Perawat

Peneliti

Perawat

Peneliti

Perawat

yang dijalin?

Iya, pastinya ada tahap perkenalan dalam proses pendekatan.

Untuk mbah-mbah yang baru masuk ke panti biasanya kita

ajak ngobrol dan kita dari perawat memperkenalkan kepada

mbah-mbah yang udah lama tinggal di panti. Sebaliknya,

mbah-mbah yang udah tinggal lama di panti, kita dari perawat

meminta dan memberi pengertian kepada mbah-mbah bahwa

ada lansia yang baru masuk dan minta tolong diajak ngobrol

agar lansia yang baru cepat beradaptasi dan nyaman.

Berapa lama aa memahami karakter mbah-mbah?

Memahami karakter mbah-mbah enggak terlalu lama, kita dari

perawat harus cepat mengerti karakter masing-masing mbah-

mbahnya.

Setelah dekat dan memahami karakter mbah-mbah, apakah

mbah-mbah mulai menceritakan pengalaman pribadinya? cerita

tentang apa saja?

Iya, mbah-mbah mulai bercerita sama perawat tentang apa

yang mereka rasakan. Biasanya mereka cerita tentang teman

sekamarnya, cerita tentang keluarga jarang sekali karena

sebagian mereka ada yang memiliki keluarga lagi.

Sejak kapan mbah-mbah bisa mulai mengungkapkan isi hatinya

kepada perawat-perawat yang ada di sini a?

Sejak mereka sudah nyaman, meskipun kita dari perawat tidak

menanyakan tetapi mereka sendiri yang cerita.

Bagaimana cara aa dalam menyelesaikan masalah yang

dihadapi mbah-mbah setelah mereka mengungkapkan isi

hatinya?

Biasanya setelah mbah-mbah curhat, saya mulai memberikan

kepada mereka pengertian tentang apa yang mereka ceritakan.

Selain itu saya juga bisa lebih memahami karekter mereka,

seperti ekspresi raut wajah mereka, bagaimana ekspresi suka

atau tidak suka, bagaimana ekpresi merasa terganggu.

129

Peneliti

Perawat

Peneliti

Perawat

Peneliti

Perawat

Peneliti

Perawat

Peneliti

Apakah salah satu cara memahami karakter mbah-mbah

dilihat dari raut wajahnya?

Iya, terlihat dari raut wajah mbah-mbah.

Apa upaya yang dilakukan Anda ketika raut wajah mbah-mbah

sedang sedih, kecewa dan kesal?

Biasanya saya langsung dekatin mereka dan langsung nanya

dan sebisa mungkin saya harus tau mereka kenapa seperti

itu.Biasanya mereka punya masalah dengan teman sekamar

ataupun teman yang lainnya, tapi ada juga yang ingat sama

keluarganya sehingga mbah-mbah merasa sedih.

Ketika klien cerita sama aa, ada hambatan dalam

komunikasinya a?

Tentu saja ada, di panti ini tidak sedikit yang kita rawat klien

lansianya, jadi setiap kita lagi bicara selalu ada hal yang

mengganggu. Beberapa klien lansia tidak mau rahasianya

diketahui sama yang lain. Ketika ada klien lansia yang serius

cerita sama perawat, ada saja klien lansia yang suka mondar

mandir keluar masuk kamar. Kemudian, yang namanya lansia

kan ada keterbatasan fisik, seperti tidak bisa mendengar

dengan jelas, tidak bisa melihat dengan jelas, pikun. Makanya

perawat berbicara sedikit keras bagi klien lansia yang tidak

bisa mendengar terlalu jelas. Selain hambatan pada

keterbatasan fisik, juga ada gangguan pada psikologi klien

lansia. Usia yang sudah tua itu kembali ke sifat anak kecil,

terkadang suka tiba-tiba marah, sedih, kecewa dan

sebagainya. Jadi, perawat harus sabar dan mengerti kondisi

klien lansia.

Apakah komunikasi interpersonal ini sangat efektif digunakan

dalam membangun keterbukaan diri mbah-mbah?

Iya, sangat efektif sekali dalam berinteraksi apalagi dalam

kehidupan sehari-hari yang seringkali ketemu.

Seberapa pentingnya komunikasi interpersonal ini digunakan

130

Perawat

Peneliti

Perawat

Peneliti

Perawat

dalam interaksi sehari-hari?

Bagi saya apalagi menjadi seorang perawat itu sangat penting

sekali, apalagi untuk mengetahui apa yang dirasakan oleh

mbah-mbah (orang tua).

Apakah komunikasi interpersonal sangat membantu Anda

dalam melakukan interaksi dengan klien lansia untuk

membangun keterbukaan dirinya?

Iya, sangat membantu sekali karena dengan menggunakan

komunikasi secara langsung, tatap muka (face to face)

mempermudah kita untuk menyampaikan informasi kepada

para lansia dan mendapatkan respon langsung dari klien

lansia.

Apakah aa menggunakan komunikasi interpersonal dalam

penetrasi sosial yang terdiri dari tahap orientasi, tahap

penjajakan pertukaran afektif, tahap pertukaran afektif dan

tahap pertukaran stabil dan jelaskan seperti apa proses

komunikasinya?

Iya, ketika mbah-mbah yang baru masuk ke panti itu butuh

yang namanya pendekatan awal seperti nanya-nanya

darimana asalnya, udah makan apa belum, yang seperti itu

lah. Nanti kita dari perawat memperkenalkan dirinya kepada

mbah-mbah yang udah tinggal lama di panti, mengantarkan ke

kamarnya, seperti sosialisasi lah. Kita juga meminta mbahnya

untuk beradaptasi dengan mbah-mbah lainnya. Selain itu, kita

memberikan pelayanan yang baik tentunya agar mereka

nyaman, memenuhi kebutuhannya sampai tahap mereka

dengan nyaman melakukan aktivitasnya dan sering bertukar

cerita. Seiringnya waktu kita bisa memahami karakter para

mbah-mbah. Biasanya mah terlihat dari raut mukanya kalo

mereka punya masalah. Kita juga dari perawat berupaya

memberikan solusi dan memberi pemahaman kepada mbah-

mbah agar mereka merasakan adanya kekeluargaan di panti.

131

Nama Informan : Ira Novita Sari

Jabatan : Perawat

Kode Informan : P2

Tempat wawancara : Klinik

Hari/tanggal : Rabu, 18 Oktober 2017

Catatan wawancara:

Peneliti : Teteh, saya boleh nanya mengenai perawat dalam berinteraksi

dengan lansia?

Perawat : Iya boleh.

Peneliti : Teteh memandang lansia itu sebagai apa teh?

Perawat : Saya menganggap lansia itu sebagai klien/ pasien dan

menganggap sebagai kakek dan nenek juga.

Peneliti : Bagaimana cara teteh mendekatkan diri dengan mbah di panti ini?

Perawat : Dalam mendekatkankan diri dengan lansia tentunya harus butuh

pendekatan secara bertahap, tidak mungkin kita sebagai perawat

langsung dekat dengan klien lansia.

Peneliti : Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pendekatan

dengan klien lansia teh?

Perawat : Biasanya waktu yang dibutuhkan untuk dekat dengan klien lansia

itu paling cepat satu hari dan paling lama satu minggu. Karena

ada beberapa lansia yang cuek dan tidak mau didekatin. Tetapi

kita dari perawat berusaha untuk mengenali karakter masing-

masing klien lansia.

Peneliti : Dalam pendekatan dengan klien lansia, apakah teteh

menggunakan tahap perkenalan dan seperti apa komunikasi yang

dijalin?

Perawat : Iya, pastinya ada tahap perkenalan dalam proses pendekatan.

Setelah perawat dengan klien lansia berkomunikasi, barulah

perawat melakukan sosialisasi kepada klien lansia agar klien

132

lansia terutama yang baru masuk dapat dengan cepat beradaptasi

dengan yang lain, tidak hanya perawat dengan klien lansia.Dalam

berinteraksi dan berkomunikasi secara bertahap dengan klien

lansia, perawat juga mulai mengenal karakter masing-masing

klien lansia.

Peneliti : Berapa lama teteh memahami karakter klien lansia?

Perawat : Setelah berinteraksi berkali-kali dengan klien lansia, tentunya

perawat sudah mengenali dan memahami karakter masing-masing

klien lansia. Waktu yang dibutuhkan dalam memahami karakter

lansia satu sampai tiga hari, kita tidak bisa secara langsung tau

karakter lansia tanpa melakukan komunikasi yang berkali-kali.

Contohnya aja, mbah Nurhayati, beliau orangnya cuek dan cepat

emosi. Ketika berkomunikasi dengan teman satu kamarnya, mbah

nurhayati melarang temannya untuk berinteraksi dengan yang lain

sehingga teman satu kamarnya merasakan tidak nyaman.

Terkadang juga, mbah nurhayati tiba-tiba marah sama lansia yang

lain tanpa ada penyebabnya. Tiba-tiba dengan sendirinya baik lagi

dan mendekati lansia yang dimarahi.

Peneliti : Setelah dekat dan memahami karakter klien lansia, apakah klien

lansia mulai menceritakan pengalaman pribadinya teh? cerita

tentang apa saja?

Perawat : Iya, mereka langsung mendekat dan bercerita tentang apa saja.

Biasanya mereka bercerita tentang teman sekamarnya. Kalau

tentang keluarga, meraka sangat tertutup tetapi ada satu atau dua

orang yang suka cerita tentang keluarganya.

Peneliti : Sejak kapan klien lansia bisa mulai mengungkapkan isi hatinya

kepada perawat-perawat yang ada di sini teh?

Perawat : Klien lansia mulai mengungkapkan isi hatinya sejak mereka

merasa nyaman tinggal disini atau nyaman dengan orang yang

dekat dengan mereka.

Peneliti : Bagaimana cara teteh dalam menyelesaikan masalah yang

dihadapi klien lansia setelah mereka mengungkapkan isi hatinya?

133

Perawat : Buat mereka tenang dulu, baru memberikan penjelasan tentang

apa yang mereka rasakan. Biasanya masalah yang mau mereka

ceritakan itu masalah dengan teman sekamarnya atau teman satu

wisma tentang hal-hal sepele.

Peneiliti : Ketika klien lansia curhat sama teteh, apakah ada hambatan?

Perawat : Pastinya ada yang namanya lansia. Terkadang ada klien lansia

yang salah paham ketika kita menyuruh mereka seperti harus

mandi biar bersih, cantik dan wangi, tetapi mereka menganggap

mereka dimarahin dan tidak suka sama mereka. Kemudian, di

panti sosial ini ada kegiatan rutin setiap minggunya, misalnya

pengajian. Sebelum pengajian, biasanya perawat menyuruh para

klien lansia untuk mandi terlebih dahulu. Tetapi ada saja klien

lansia yang tidak memperdulikan dan ingin ikut, jika kita lihat

dari kondisinya lagi tidak bersih dan bau. Yang namanya

pengajian kan harus bersih dan suci, tapi kita dari perawat

memaklumi dan menyuruh klien lansia untuk mandi. Ada juga nih

klien lansia yang suka salahpaham, misalnya perawat meminta

membersihkan lingkungan wisma dan kamar mereka masing-

masing. Tiba-tiba ada salah satu klien lansia yang merasa

tersinggung, bisa dibilang meremehkan karena kamarnyanya kotor

dan bau.

Peneliti : Ohiya teh kembali lagi kepada memahami karakter klien lansia,

apakah salah satu cara memahami karakter klien lansia dilihat dari

raut wajahnya?

Perawat : Iya, salah satunya itu. Selain itu juga bisa dilihat dari kebiasaan

mereka yang suka menyendiri dan diam seperti ada yang

dipikirkan.

Peneliti : Apa upaya yang dilakukan Anda ketika raut wajah mbah-mbah

sedang sedih, kecewa dan kesal?

Pearwat : Biasanya perawat mendekati klien lansia dan langsung

menanyakan kepada lklien lansia, misalnya “mbah kenapa

murung?”. Diajak ngobrol aja.

134

Peneliti : Apakah komunikasi interpersonal ini sangat efektif digunakan

dalam membangun keterbukaan diri klien lansia?

Perawat : Bagi kita dari perawat sangat efektif karena dengan adanya

komunikasi interpersonal yang dilakukan secara langsung dan

tatap muka jauh lebih cepat mengetahui keadaan klien lansia,

apalagi yang ketemu setiap hari.

Peneliti : Seberapa pentingnya komunikasi interpersonal ini digunakan

dalam interaksi sehari-hari?

Perawat : Sangat penting sekali.

Peneliti : Apakah teteh menggunakan komunikasi interpersonal dalam

penetrasi sosial yang terdiri dari tahap orientasi, tahap penjajakan

pertukaran afektif, tahap pertukaran afektif dan tahap pertukaran

stabil dan jelaskan seperti apa proses komunikasinya?

Perawat : Iya, ketika klien lansia yang baru masuk ke panti itu butuh yang

namanya pendekatan awal seperti nanya-nanya darimana asalnya,

udah makan apa belum, yang seperti itu lah. Nanti kita dari perawat

memperkenalkan kepada klien yang lain terutama teman satu

kamarnya. Perawat juga menyuruh klien lansia yang sudah lama

tinggal dipanti untuk berinteraksi dan berkomunikasi juga dengan

klien lansia yang baru agar merasa nyaman dan tinggal di panti ini.

Memberikan pelayanan seperti merawat dan memenuhi kebutuhan

klien lansia juga salah satu cara perawat dekat dengan klien lansia.

Menjadikan teman curhat bagi mereka juga salah satunya sehingga

klien lansia merasa nyaman dan terbuka kepada perawat.

135

Nama Informan : Narsiah

Jabatan : Pasien Lansia

Kode Informan : P4

Tempat wawancara : Ruangan tv Wisma Kenanga

Hari/tanggal : Kamis, 21 September 2017

Catatan Wawancara:

Peneliti : Nek, aku boleh nanya-nanya sama nenek?

Pasien lansia : Atuh boleh, nanya apa?

Peneliti : Ketika pertama kali tinggal di panti, apa yang nenek rasakan?

Pasien lansia : Senang, banyak teman baru.

Peneliti : Kenapa nenek memilih tinggal di panti ini nek?

Pasien lansia : Pihak Balai juga nanyain ini sama nenek.Kalau dirumah enggak

ada teman, capek kerja terus ke sawah. Tinggal di panti juga

bukan karna paksaan, kemauan sendiri.

Peneliti : Emangnya anak-anak nenek pada dimana nek?

Pasien lansia : Anak-anak nenek udah pada nikah, kalau di rumah sepi enggak

ada teman.

Peneliti : Terus menurut nenek gimana pelayanan dari pihak pantinya nek?

Pasien lansia : Baik-baik orang pegawainya apalagi ibu kepala, suka ajak ke

rumahnya nginep, diajak main ke bandung tempat sodara ibu

kepala.

Peneliti : berarti selama nenek tinggal di sini, nenek merasa nyaman?

Pasien lansia : iya, nyaman. Enak tinggal disini.

Peneliti : Apa yang membuat nenek merasa nyaman tinggal di sini?

Pasien lansia :Banyak teman baru, punya keluarga baru. Makan disediain,

enggak ada kerjaan.

Peneliti : Nek, selama nenek cerita-cerita sama nenek-nenek dan kakek-

kakek di sini, nenek ngerasain ada hambatan apa ketika

berinteraksi?

136

Pasien lansia : Ada hambatan, tapi biasalah sesama lansia ada yang sudah

pikun terus enggak bisa dengar.

Peneliti : Nek, selama nenek tinggal di sini, pasti nenek punya dong teman

dekat. Siapa namanya nek?

Pasien lansia : Ada, nenek dekatnya sama nenek Fatimah.

Peneliti : Biasanya nenek sering cerita-cerita apa gitu nek?

Pasien lansia : Yaa..biasa aja cerita-cerita gitu, ngobrolin apa aja yang bisa

diobrolin.

Peneliti : Apa aja yang diobrolin nek?

Pasien lansia : Kadang ngobrolin keluarga, ngobrolin sehari-hari aja yang

paling sering mah.

Peneliti : Kalau boleh tau keluarga nenek sering ke panti liat nenek?

Pasien lansia : Enggak sering, Cuma kalau libur nenek pulang ke rumah di

Panimbang dan itu setiap lebaran pulang ke rumah. Tapi kadang-

kadang ditengokin, anak nenek sibuk kerja terus ngikut suaminya.

Peneliti : Misalnya keluarga nenek ngajak pulang dan tinggal di rumah,

nenek mau enggak nek?

Pasien lansia : Lebih milih tinggal di sini, di sini mah enak. Enggak ngapa-

ngapain. Pegawainya baik-baik.

Peneliti : Baik ya nek pihak pantinya...terus kalau di sini sering ada

berantem gitu enggak nek sesama lansia?

Pasien lansia : Ada tapi enggak sering, biasalah berantemnya. Kadang yang

satunya enggak mau kalah gara-gara mau mandi duluan. Hehe

Peneliti : Terus ada yang jadi penengahnya nek?

Pasien Lansia : Enggak ada, paling salah satunya ada yang mengalah.

Peneliti : Tadi nenek kan punya teman dekat di panti, kalau dari pihak

pantinya nenek dekat sama siapa?

Pasien lansia : Ada, nenek mah dekat sama siapa aja di panti. Tapi ada yang

sering ngajakin nenek main ke rumahnya dan nginep, namanya ibu

Yani. Bu Yani sudah dianggap seperti anak sendiri. Kadang

dibeliin baju buat lebaran sama bu Yani. Nenek juga dekat sama

perawat di panti ini. Nenek sering cerita sama perawat Ira, Ia juga

137

orang Padang sama kayak Icha. Banyak pokoknya yang diceritain,

kadang cerita kalau nenek kangen keluarga dan pengen pulang.

Tapi kalau nenek pulangnya sendirian, enggak dibolehin. Jadinya

dianterin ke terminal Pandegalang, terus ditelepon keluarga nenek

biar nenek dijemput ke terminal Pandeglang.

138

Nama Informan : Ratiah

Jabatan : Pasien Lansia

Kode Informan : P5

Tempat wawancara : Di kamar Wisma Kenanga

Hari/tanggal : Kamis, 21 September 2017

Catatan Wawancara:

Peneliti : Nek, aku boleh nanya-nanya sama nenek?

Pasien lansia : Iya boleh, ke kamar aja ya ngobrolnya neng.

Peneliti : Iya nek.

Pasien lansia : Duduk sini aja neng, mau nanya-nanya apa neng icha?

Peneliti : Neng mau nanya gimana perasaan nenek pertama kali tinggal di

panti nek?

Pasien lansia : Awalnya nenek bingung pas awal ke sini.

Peneliti : Kenapa nenek lebih memilih tinggal di panti ini nek?

Pasien lansia : Nenek enggak punya rumah, ngontrak bayar, listrik bayar atuh

gimana enggak punya uang. Suami nenek udah meninggal. Anak

juga enggak ada, udah meninggal cuma ada tetangga.

Tetangganya baik tapi nenek enggak mau ngerepotin neng. Sedih

neng...makanya pak RT bantuin nenek ngurusin buat tinggal di sini

neng. Nenek mah nurut aja neng, alhamdulillah senang di sini.

Peneliti : Terus menurut nenek gimana pelayanan dari pihak pantinya nek?

Pasien lansia : Baik pelayanannya neng, pegawai-pegawainya baik-baik diajak

main ke Ancol, ke Bogor, ke Depok.

Peneliti : jadi selama nenek tinggal di sini, nenek merasa nyaman?

Pasien lansia : Iya, nyaman neng. Senang tinggal disini.

Peneliti : Kalau boleh tau nenek udah berapa lama tinggal di panti?

Pasien lansia : udah 7 lebaran neng (7 tahun).

Peneliti : Apa yang membuat nenek merasa nyaman tinggal di sini?

Pasien lansia : alhamdulillah banyak teman baru, punya keluarga baru.

Senanglah pokoknya neng.

139

Peneliti : Nek, selama nenek cerita-cerita sama nenek-nenek dan kakek-

kakek di sini, nenek ngerasain ada hambatan apa ketika

berinteraksi?

Pasien lansia : Ada hambatan, tapi biasalah neng kalau udah tua mah neng.

Peneliti : Nek, selama nenek tinggal di sini, pasti nenek punya dong teman

dekat. Siapa namanya nek?

Pasien lansia : Ada, nenek dekatnya sama nenek Narsiah sama Mahartini.

Peneliti : Biasanya nenek sering cerita-cerita apa gitu nek?

Pasien lansia : Ya..cerita gitu neng, kalau lagi sedih cuma sendiri aja, nenek

kadang ngelamun tiba-tiba Mahartini nyamperin, nanyain kenapa

ngelamun. Akhirnya cerita sama Mahartini. Tapi kadang cerita

juga sama Narsiah juga, kalau nenek lagi sakit dia yang ngurusin.

Dengarin cerita liburan nenek Narsiah, terus Narsiah suka bagi

oleh-olehnya.

Peneliti : Oiya nek..di panti ada yang sering berantem enggak nek, biasanya

kan hal-hal kecil dipermasalahin gitu nek?

Pasien lansia : Ada tapi enggak sering, yaa biasa ya berantem sama teman.

Berantem masalah sendal baru neng, nenek beli 15 ribu neng,

terus si Masriah datang, bilang sendal siapa itu dan dibilang

nenek ngambil sendal orang neng.

Peneliti : Terus ada yang jadi penengahnya nek?

Pasien Lansia : Ada neng, tiba-tiba perawat datang. Terus perawat bilang

enggak boleh gitu ngomongnya. Nenek mah diam dan mengalah

neng. Kata perawat jangan diambil hati ya mbah, enggak usah

didengerin.

Peneliti : Ya allah segitunya ya nek, tapi nenek hebat loh nenek mengalah

biar enggak berantem lagi.

Pasien lansia : Ya harus gitu neng, lebih baik diam neng.

Peneliti : Oiya nek, nenek kan punya teman dekat di panti, kalau dari pihak

pantinya nenek dekat sama siapa?

Pasien lansia : Nenek mah dekat sama siapa aja neng. Enggak milih-milih hehe

140

Nama Informan : Suradi

Jabatan : Pasien Lansia

Kode Informan : P3

Tempat wawancara : Di musholla Panti

Hari/tanggal : Kamis, 30 September 2017

Catatan Wawancara:

Peneliti : Kek, aku boleh ngobrol-ngobrol sama kakek?

Pasien lansia : Boleh-boleh, sini aja neng mau ngobrol apa?

Peneliti : Gini kek, neng di sini lagi penelitian kek, neng mau tau apa aja

sama kakek, boleh enggak kek?

Pasien lansia : Iya boleh neng. Mau nanya apa emang?

Peneliti : Ketika pertama kali tinggal di panti, apa yang kakek rasakan?

Pasien lansia : Awalnya saya ragu, saya tidak punya apa-apa neng.

Peneliti : Kenapa kakek memilih tinggal di panti ini nek?

Pasien lansia : Awalnya pas di Lampung, saya disuruh sama tetangga nyari

kerja di Serang sebagai tukang jahit karena saya bisa ngejahit

neng. Ketika saya udah nyampe Serang dan nyari alamat yang

dikasih sama tetangga saya ternyata orangnya udah pindah dan

enggak tau kemana neng. Saya bingung, saya enggak punya uang

lagi, bisa dibilang saya terlantar. Terus saya nanya sama warga

dan liatin KTP saya neng, kemudian saya disuruh ke alamat panti

ini. Yaudah saya langsung ke sini neng. Saya melapor dan saya

ceritain semuanya neng.

Peneliti : Oh begitu kek...terus keluarga kakek enggak nyariin kakek gitu?

Pasien lansia : Saya enggak punya siapa-siapa neng, istri juga enggak punya.

Orang tua udah lama meninggal.

Peneliti : Terus menurut kakek gimana pelayanan dari pihak pantinya kek?

Pasien lansia : Tinggal di panti ini enak, makan tinggal makan, nyuci baju.

Peneliti : Selama kakek tinggal di sini, kakek merasa nyaman?

141

Pasien lansia : iya, nyaman, apa-apa tinggal beres.

Peneliti : Apa yang membuat kakek merasa nyaman tinggal di sini?

Pasien lansia : makan tinggal makan, olah raga, ngumpul sama teman-teman.

Peneliti : kakek selama berinteraksi dengan yang lain apa kakek ngerasain

ada hambatan ketika berinteraksi?

Pasien lansia : Ada hambatan, tapi biasalah udah pada tua ya.

Peneliti : Terus, selama kakek tinggal di sini, apa kakek punya teman

dekat? Siapa namanya nek?

Pasien lansia : Dekat mah sama semuanya, tapi ada teman yang sering cerita

namanya Salimun, tapi dia udah meninggal pas bulan puasa.

Peneliti : Biasanya kakek sering cerita-cerita apa gitu kek?

Pasien lansia : Cerita-cerita tentang perjalanan neng.

Peneliti : Terus kalau di sini sering ada berantem gitu enggak kek sesama

lansia?

Pasien lansia : Ada tapi enggak sering, biasalah berantemnya beda pemahaman.

Menurut kita benar menurut orang salah. Ada itu namanya

Salimun, hobinya berantem dan siapa aja dilawan sampai satpam

aja yang ngejar-ngejar dia.

Peneliti : Terus siapa yang jadi penengahnya kek?

Pasien Lansia : Pegawai panti, kadang saya yang ngomong sama dia enggak

boleh gitu. Orang-orang enggak berani sama Salimun, tapi sama

saya enggak pernah berantem.

Peneliti : Tadi kakek kan punya teman dekat di panti, kalau dari pihak

pantinya kakek dekat sama siapa?

Pasien lansia : Saya dekat sama siapa aja. Saya sering main ke kantor ngobrol-

ngobrol sama pegawai panti. Enggak milih-milih, siapa aja saya

dekat

.

142

Nama Informan : Yani Heryani, S.Pd.,M.Si

Jabatan : Kepala seksi pelayanan dan

perawatan di Balai

Perlindungan Sosial

Kode Informan : P6

Tempat wawancara : Kantor Balai Perlindungan Sosial

Hari/tanggal : Kamis, 8 Juni 2017

Catatan wawancara:

Peneliti : Bagaimana ibu memandang klien lansia di panti sosial ini bu?

Bu Yani : Bagi saya klien lansia adalah orang tua bagi saya.

Peneliti :Bagaimana Ibu memandang perawat yang melakukan komunikasi

dengan klien lansia?

Bu Yani : Secara kekeluargaan perawat itu adalah anak bagi saya karena

perawatnya masih muda yang berusia sekitar 25 sampai dengan 30

tahun. Kalau secara pegawai di panti ini, perawat adalah yang

mengurus dan merawat lansia di panti ini. Jadi, perawat yang

melakukan komunikasi dengan lansia itu seperti anak yang

berinteraksi dengan kakek atau neneknya.

Peneliti : Apakah komunikasi perawat dengan klien lansia yang dilakukan

sudah berjalan dengan efektif?

Bu Yani : Tentunya ada kendala dalam berkomunikasi dengan klien lansia

karena condong mengarah ke sikap seperti anak-anak. Jadi harus

lebih sabar menghadapi klien lansia.

Peneliti : Apakah klien lansia mengalami peningkatan dalam melaksanakan

umpan balik yang diharapkan oleh perawat?

Bu Yani : Ada, secara perlahan-lahan apa yang diajarkan dan disuruh oleh

perawat dilakukan oleh klien lansia. Itu semua butuh waktu dan

proses yang lumayan cukup lama tergantung pada fisik dan

psikologisnya masing-masing klien lansia.

143

Peneliti : Apakah komunikasi interpersonal yang dilakukan perawat sudah

berjalan efektif?

Bu Yani : Bagi saya sejauh ini efektif karena yang tadi itu apa yang

diharapkan dari perawat dan kita sebagai pegawai BPS mendapat

respon dari klien lansia.

Peneliti : Apakah komunikasi interpersonal perawat dengan klien lansia

dilakukan secara intens dan tatap muka?

Bu Yani : Iya, karena setiap harinya perawat dan klien lansia bertemu dan

berkomunikasi.

Peneliti : Apakah ada kekurangan dari perawat dalam berkomunikasi antara

perawat dengan klien lansia?

Bu Yani : Tentunya ada, setiap manusia memiliki kekurangan dan juga

kelebihan. Sejauh ini komunikasi perawat dengan klien lansia

berjalan dengan lancar.

Peneliti : Bagaimana cara komunikasi yang efektif menurut anda secara

interpersonal?

Bu Yani : Komunikasi yang efektif itu komunikasi yang dilakukan secara

intens, bertemu langsung, dan berjalan dengan lancar. Apa yang

diharapkan perawat terhadap klien lansia menghasilkan respon

yang baik, tetapi kendala pasti ada hanya saja perawat bisa

mengendali itu semua.

Peneliti : Hambatan komunikasi apa saja yang terjadi antara perawat

dengan klien lansia menurut bu?

Bu Yani : seperti yang sudah saya katakan bahwa masing-masing klien

lansia memiliki karakter yang berbeda-beda, fisik dan psikologi

yang berbeda-beda pula. Sehingga komunikasi yang dilakukan

terhambat.

Peneliti : Apakah benar perawat menggunakan tahapan komunikasi

interpersonal seperti melihat pasien dari informasi demografis,

sikap, pendapat, memahami karakter, kepribadian dan lain-lain

dalam tahap orientasi (perkenalan)?

144

Bu Yani : Tentu saja iya meskipun awalnya menebak atau menduga seperti

apa karakter klien lansia, sikap dan kepribadiannya. Seiring

berjalannya waktu dan melakukan komunikasi terus menerus

tentunya akan mengetahui seperti apa sesungguhnya kepribadian

klien lansia. Pada tahap perkenalan, lansia diajak mgobrol

seputar hal-hal yang umumlah seperti nama, usia, asal daerah,

kenapa mau memilih tinggal di panti, dan darimana mendapatkan

informasi tentang panti sosial ini. Dan klien lansia pun

menceritakan itu semua, setelah itu perawat mengantarkan klien

lansia ke asrama dan diperkenalkan kepada lansia yang lain.

Peneliti : Apakah perawat menggunakan komunikasi interpersonal dalam

penetrasi sosial yang terdiri dari tahap orientasi, tahap penjajakan

pertukaran afektif, tahap pertukaran afektif dan tahap pertukaran

stabil? (sebelum wawancara, sudah dijelaskan apa itu tahapan

penetrasi sosial)

Bu Yani : Iya, komunikasi perawat dan klien lansia menggunakan

komunikasi interpersonal. tentunya tahap yang dilakukan sesuai

dengan tahapan teori yang neng bilang. Tahap awal tentunya

diawali dengan perkenalan dan pendekatan emosional, pertanyaan

yang umum. Kemudian interaksi yang dilakukan secara terus

menerus dengan efektif dilakukan perawat terhadap klien lansia

bertujuan agar lansia nyaman dan betah tinggal di panti, dan

mulai membuka diri untuk bercerita meskipun tidak yang hal

pribadi. Kalo neng pengen tahu tentang tahap yang dilakukan

perawat, neng bisa tanyakan secara detail kepada perawat tetapi

dari pandangan ibu sendiri sih sudah melakukan tahap itu. Kalau

ditanya kepada klien lansia apakah mereka betah, mereka banyak

memilih untuk mengatakan betah karena sebagian mereka sudah

memang tidak memiliki keluarga, mereka juga memiliki berbagai

alasan.

Peneliti : Bu, saya mau nanya kalau tadi kan dari sisi perawatnya, sekarang

saya mau berapa lama waktu yang dibutuhkan ibu dalam proses

145

pendekatan, mengenali karakter klien lansia dan seperti apa proses

komunikasinya bu?

Bu Yani : Pengalaman saya selama bekerja di sini, mengenali karakter

klien lansia membutuhkan waktu yang tidak dapat ditentukan.

Setiap masing-masing klien lansia memiliki karakter yang berbeda-

beda, karena setiap klien lansia tidak memiliki fisik dan psikologis

yang sama. Ada waktu yang cepat dalam mengenali karakter lansia

dan ada yang memang membutuhkan waktu yang lama. Paling

cepat itu satu hari dan paling lama satu minggu atau lebih. Yang

lebih intens berinteraksi dengan lansia itu adalah perawat. Akan

tetapi, kita dari pihak balai perlindungan sosial di panti ini juga

melakukan interaksi dan berkomunikasi seperti tegur sapa,

memberikan senyuman, menanyakan hal-hal yang umum tentunya.

Ada beberapa klien lansia yang baru masuk ke panti juga sulit

untuk beradaptasi dengan yang lain, tetapi ada juga yang cepat

dalam beradaptasi. Untuk itu butuh pendekatan secara emosional,

sehingga klien lansia nyaman untuk tinggal di panti ini.

146

LAMPIRAN VIII

DOKUMENTASI

Kegiatan membuat kerajianan keset kaki

Hasil Kerajinan Karya Lansia

Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang

147

Kegiatan Rutin Qasidahan

Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang

Perawat Panti Sosial SasanaTresna Werda Cipocok Jaya Serang

Foto bersama beberapa klien lansia

Panti Sosial Sasana Tresna Cipocok Jaya Serang

148

149

150

151

BIODATA PENELITI

Data Pribadi

Nama : Richa Rahayu Mtd

Tempat, tanggal lahir : Rao, 29 Juni 1994

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Universitas : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan/Konsentrasi : Ilmu Komunikasi/ Humas

Golongan Darah : B

Alamat Asal : Perumahan Yaptip Jorong Pasaman Baru Kel.

Lingkuang Aua Kec. Pasaman Kab. Pasaman Barat

Provinsi Sumatera Barat

Nomor Handphone : 085215601413

Email : [email protected]

152

Riawayat Pendidikan

Sekolah/ Universitas Tahun

Jurusan/Fakultas_Universitas Ilmu Komunikasi/FISIP_UNTIRTA 2013

SMA SMA Negeri 1 Lubuk Sikaping 2010

SMP SMP Negeri 1 Rao Selatan 2007

SD SDN 20 Serasi 2001

Pengalaman Organisasi

Lembaga Divisi Jabatan Tahun

HIMAKOM KARYA Divisi Dana Usaha Anggota 2015

IMIKI SC Bendahara Umum 2015

UKM KSR PMI UNTIRTA INFOKOM Kepala Divisi 2016