i
POLA KETERBUKAAN DIRI
ANTARA PERAWAT DAN LANJUT USIA
DI PANTI SOSIAL SASANA TRESNA WERDHA
CIPOCOK JAYA SERANG
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada
Konsentrasi Humas Program Studi Ilmu Komunikasi
Disusun Oleh:
Richa Rahayu Mtd
NIM. 6662130325
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG – BANTEN
2018
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Majulah Tanpa Menyingkirkan Orang Lain
NaiklahTinggi Tanpa Menjatuhkan Orang Lain
dan Berbahagialah Tanpa Menyakiti Orang Lain
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua yang telah
membesarkan dan membimbing hingga saat ini serta kasih sayang
dan do’a yang tiada henti-hentinya untuk kebaikan saya.
Terima kasih banyak atas dukungan dan semangat dari kalian
sehingga Allah SWT memberikan kelancaran dan kemudahan
dalam menyelesaikan skripsi ini...
vi
ABSTRAK
RICHA RAHAYU MTD. NIM. 6662130325. SKRIPSI. Pola Keterbukaan
Diri Antara Perawat dan Lanjut Usia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang. Pembimbing I : Naniek Afrilla Framanik, S.Sos., M.Si
dan Pembimbing II : Dr. Ing Rangga Galura Gumelar, M.Si.
Zaman moderenisasi, hubungan anak dengan orang tua semakin renggang.
Kesibukan yang melanda kaum mudah ampir menyita seluruh waktunya sehingga
mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk memikirkan orang tua. Kondisi
seperti ini menyebabkan kurangnya komunikasi antara orang tua dengan anak,
kurangnya perhatian dan pemberian perawatan terhadap orang tua sehingga orang
tua merasa terasingkan dan lebih memilih tinggal di panti sosial. Oleh karena itu
peneliti ingin menggambarkan proses komunikasi yang dilakukan oleh perawat
dan lansia dan bagaimana pola keterbukaan diri antara perawat dan lansia di Panti
Sosial Sasana Tresna Cipocok Jaya Serang. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif , data diperoleh melalui observasi, wawancara dan
dokumentasi. Teori yang digunakan adalah teori penetrasi sosia, dimana proses
ikatan yang menggerakkan suatu hubungan dari yang superficial menjadi lebih
intim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin sering berinteraksi semakin
kita mengetahui dan memahami karakter seseorang (perawat atau klien lansia),
kedua belah pihak akan memberikan perhatian secara keseluruhan sehingga mulai
terbiasa bersikap terbuka, santai, lebih akrab dan dapat memberikan solusi
terhadap permasalahan yang dihadapi dan juga mampu menilai dan menduga
perilaku lawan bicaranya. Pola komunikasi dalam proses keterbukaan diri antara
perawat dan lansia di panti sosial sasana tresna werdha cipocok jaya serang adalah
pola komunikasi sirkuler karena terjadinya umpan balik antara perawat dan lansia
dalam melakukan interaksi.
Kata Kunci : Pola Keterbukaan Diri. Perawat. Lanjut Usia.
vii
ABSTRACT
RICHA RAHAYU MTD. NIM. 6662130325. RESEARCH PAPER. The Pattern
of Self-Disclosure Between Nurses and The Elderly in Social Home Sasana
Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang. Advisor I : Naniek Afrilla Framanik,
S.Sos., M.Si and Advisor II : Dr. Ing Rangga Galura Gumelar, M.Si.
A modernization is relationship of children with parents increasingly tenuous. The
business that hit young people is almost time consuming because they have little
time to think about their parents. Conditions like this cause the relationship
between parents with children, attention and attention to parents so that parents
feel alienated and prefer to live in a social home. Therefore the researchers want
to explain the communication process undertaken by nurses and the elderly and
how the pattern of self-disclosure between nurses and the elderly in Social Home
Sasana Tresna Cipocok Jaya Serang. This research uses descriptive qualitative
research method, data result through observation, interview and documentation.
The theory used is the theory of social penetration, where the bonding process
that moves a relationship from the superficial become more intimate. The results
show that when we interact more, we know sooner and understand the character
of a person (nurses or elderly), both sides will give attention as a whole so that
getting used to be open, enjoy, more intimate, and can provide solutions to
existing problems and also be able to assess and reduce the behavior of the
opponent. The pattern of self-disclosure between nurses and the elderly in social
home sasana tresna werdha cipocok jaya serang is circular communication
patterns because of the feedback between the nurses and the elderly in interaction.
Keywords : The Pattern of Self-Disclosure, Nurses, The Elderly
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT yang maha Agung
pemilik alam semesta yang menggenggam jiwa raga makhluk-Nya, karena atas
ridho dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan tugas mata kuliah skripsi ini
guna untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar kesarjanaan strata (S1) pada
program studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Hubungan Masyarakat di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Peneliti
menyadari bahwa tugas mata kuliah skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu saran dan kritik yang dapat membantu perbaikan tugas skripsi yang berjudul
“Membangun Keterbukaan Diri Antara Perawat dan Lanjut Usia di Panti Sosial
Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang” sangat peneliti harapkan. Pada
kesempatan ini peneliti juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas segala
dukungan, bantuan dan bimbingannya dalam proses penelitian serta penyusunan
tugas skripsi ini kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd selaku Rektor Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa.
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, M.Si selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
ix
4. Bapak Darwis Sagita, M.Ikom selaku Sekretaris Prodi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Ibu Naniek Afrilla Framanik, S.Sos., M.Si selaku Dosen Pembimbing I mata
kuliah skripsi sekaligus Dosen Pembimbing Akademik Prodi Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
6. Bapak Dr. Rangga Galura Gumelar, M.Si selaku Dosen Pembimbing II mata
kuliah skripsi Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
7. Kedua orang tua peneliti, bapak Yas’Ari dan ibu Faridah. M yang telah
memberi dukungan, motivasi serta do’a yang tiada putus kepada peneliti
dalam menyusun tugas mata kuliah skripsi ini.
8. Saudara kandung peneliti, Rhezky Pratama Mtd, Rahmat Ricofitra Mtd dan
Rhifania Ramandha Mtd, yang selalu memberikan dukungan, semangat
serta do’a kepada peneliti dalam menyusun tugas mata kuliah skripsi ini.
9. Pihak Balai Perlindungan Sosial, yang telah membantu dalam mencari data-
data mata kuliah skripsi.
10. Seluruh Dosen Prodi Ilmu Komunikasi yang telah membimbing dan
memberikan ilmunya selama bangku perkuliahan.
11. Seluruh pihak Balai Perlindungan Sosial Cipocok Jaya Serang, yang telah
memberikan pelayanan yang baik, membantu dalam menyusun tugas mata
kuliah skripsi ini.
12. Keluarga Besar UKM KSR PMI UPT UNTIRTA, yang selalu memberikan
semangat dan dukungan dalam menyusun tugas mata kuliah skripsi ini.
x
13. Sahabat-sahabat Beautiful Squad, Lestari E. Girsang, Agnes Tiurma, Tri
Yulia Nengsih, Pernita Hestin Untari, Eliana Pratiwi, Resti Nurfadhilah,
Nurhikmah Y, dan juga Nopita Sari Ningsih, Esti Mira M yang saling
dukung, memberikan semangat satu sama lain dan berjuang bersama dalam
menyelesaikan penelitian untuk meraih gelar sarjana.
14. Keluarga Besar IMMB (Ikatan Mahasiswa Minang Banten) yang
memberikan semangat dan dukungan dalam menyelesaikan penelitian ini.
15. Teman-teman Angkatan 2013 Prodi Ilmu Komunikasi, yang saling
memberikan semangat dan berjuang dalam meraih gelar sarjana.
16. Seluruh rekan mahasiswa dan pihak-pihak lain yang telah membantu dalam
penyusunan tugas mata kuliah skripsi ini.
Akhir kata, atas segala amal baik, pengorbanan waktu, tempat dan pikiran
yang telah diberikan kepada peneliti semoga mendapatkan pahala yang berlipat
dari Allah SWT, serta peneliti berharap semoga tugas mata kuliah skripsi ini
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Serang, 29November2017
Peneliti,
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. v
ABSTRAK ...................................................................................................... vi
ABSTRACT ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL........................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 7
1.3 Identifikasi Masalah ............................................................................. 7
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................. 8
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................ 8
1.5.1 Manfaat Teoritis .......................................................................... 8
1.5.2 Manfaat Praktis ........................................................................... 9
xii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………... 10
2.1 Komunikasi Interpersonal .................................................................... 10
2.1.1 Komponen Komunikasi Interpersonal ........................................ 12
2.1.2 Ciri-ciri Komunikasi Interpersonal ............................................. 14
2.1.3 Tipe-tipe Komunikasi Interpersonal ........................................... 16
2.1.4 Tujuan Komunikasi Interpersonal .............................................. 18
2.1.5 Komunikasi Interpersonal yang Efektif ...................................... 20
2.1.5.1 Faktor-faktor Efektivitas Komunikasi Interpersonal .... 20
2.1.6 Fungsi Komunikasi Non Verbal ................................................. 21
2.1.7 Tipe-tipe Komunikasi Non Verbal ............................................. 22
2.2 Keterbukaan Diri .................................................................................. 23
2.3 Perawat ................................................................................................. 29
2.4 Lanjut Usia ........................................................................................... 30
2.4.1 Tinjauan Faktor Kesehatan Lansia ............................................. 31
2.4.2 Tipe Lansia ................................................................................. 33
2.4.3 Proses Penuaan Lansia ............................................................... 34
2.5 Teori Penetrasi Sosial ........................................................................... 35
2.5.1 Asumsi Dasar Teori Penetrasi Sosial .......................................... 36
2.5.2 Struktur Lapisan Personal Model Bawang ................................. 38
2.5.3 Tahapan Proses Penetrasi Sosial ................................................. 40
2.5.5 Mengatur Kedekatan Berdasarkan Cost dan Reward .................. 43
2.6 Kerangka Berfikir ................................................................................. 45
2.7 Tinjauan Penelitian ............................................................................... 48
BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………………. 52
3.1 Paradigma Penelitian ........................................................................... 52
3.2 Sifat Penelitian ..................................................................................... 53
3.3 Metode Penelitian ................................................................................. 53
3.4 Subjek Penelitian .................................................................................. 54
xiii
3.5 Objek Penelitian ................................................................................... 55
3.6 Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 55
3.7 Teknik Analisis Data ............................................................................ 57
3.8 Metode Keabsahan Data ....................................................................... 58
3.9 Lokasi dan Jadwal Penelitian ............................................................... 59
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 60
4.1 Deskripsi Objek Penelitian ................................................................... 60
4.1.1 Sejarah Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten ................... 60
4.1.2 Visi dan Misi Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten ......... 62
4.1.3 Struktur Organisasi ..................................................................... 64
4.1.4 Program Kegiatan Penghuni Panti .............................................. 66
4.1.5 Sasaran dan Kriteria .................................................................... 66
4.2 Deskripsi Data ...................................................................................... 69
4.3 Deskripsi Informan ............................................................................... 71
4.4 Analisis Situasi ..................................................................................... 78
4.5 Hasil Penelitian .................................................................................... 83
4.6 Pembahasan .......................................................................................... 101
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 112
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 112
5.2 Saran ..................................................................................................... 113
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 114
LAMPIRAN .................................................................................................... 117
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel1.1 Tabel Data Lanjut Usia………………………………………….. 5
Tabel 2.1 Tabel Tinjauan Penelitian……………………………………….. 51
Tabel 3.1 Tabel Jadwal Penelitian…………………………………………. 59
Tabel 4.1 Tabel Data Klien Lansia………………………………………… 67
Tabel 4.2 Tabel Informan Penelitian………………………………………. 77
Tabel 4.3 Tabel Axial Coding Penetrasi Sosial Perawat…………………... 95
Tabel 4.4 Tabel Axial Coding Penetrasi Sosial Lansia…………………….. 92
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir...................................................................... 47
Gambar 4.1 Bagan Struktur Organisasi........................................................ 65
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Pedoman Observasi.............................................................................. 120
2. Pedoman Wawancara........................................................................... 121
3. Catatan Hasil Observasi........................................................................ 124
4. Data Klien Lansia.................................................................................128
5. Jadwal Kegiatan Lansia........................................................................ 130
6. Jadwal Hasil Wawancara...................................................................... 131
7. Transkip Hasil Wawancara................................................................... 132
8. Dokumentasi......................................................................................... 151
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ketika seseorang sudah mencapai usia tua tentunya fungsi organ tubuhnya
juga tidak dapat berfungsi lagi dengan baik. Penuaan adalah konsekuensi yang
tidak dapat dihindari. Pada dasarnya lansia masih membutuhkan perhatian dan
dukungan dari keluarganya sebagai tempat bergantung yang terdekat. Mereka
ingin hidup bahagia dan tenang dihari tua serta masih ingin diakui keberadaannya.
Namun seiring dengan bertambah tuanya individu, anak-anak dan teman-
temannya juga semakin sibuk dengan masalahnya sendiri.
Disamping itu pola keluarga yang semakin mengarah pada pola keluarga
inti (nuclear family) mengakibatkan anak-anak secara tidak langsung kurang
memperdulikan keberadaannya dan jalinan komunikasi antara orang tua dengan
anak semakin berkurang. Hal ini akan menyebabkan lansia merasa tersisih dan
tidak lagi dibutuhkan peranannya sebagai anggota keluarga walaupun masih
berada di lingkungan keluarga.
Zaman moderenisasi, hubungan anak dengan orang tua semakin renggang.
Kesibukan yang melanda kaum muda hampir menyita seluruh waktunya sehingga
mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk memikirkan orang tua. Kondisi
seperti ini menyebabkan kurangnya komunikasi antara orang tua dengan anak,
kurangnya perhatian dan pemberian perawatan terhadap orang tua. Kondisi
perkotaan yang berpacu untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan banyak
2
menimbulkan rasa kecemasan, ketegangan, ketakutan bagi penduduk yang dapat
menyebabkan penyakit mental. Kondisi perkotaan yang bersifat individualisme
menyebabkan kontak sosial menjadi longgar.
Pada dasarnya setiap keluarga ingin bersama keluarganya, karena keluarga
merupakan salah satu cerminan kebahagiaan pada setiap anggotanya. Pada
momen-momen tertentu, berkumpul bersama keluarga adalah hal yang selalu
didambakan, bagaimana tidak, seseorang akan merasa kesepian dan kerinduan
pada keluarga disaat pada suatu momen yang harusnya dinikmati bersama
keluarga tidak bisa dirasakan.
Sebenarnya lansia tidak akan menimbulkan masalah yang berarti bagi
keluarganya, apabila mereka masih mampu merawatnya. Namun jika keluarganya
menjadi semakin sibuk dan tidak memiliki waktu yang cukup dan tenaga untuk
merawatnya, maka salah satu jalan yang dipilih adalah menempatkan lansia di
Panti jompo.
Panti jompo adalah tempat dimana berkumpulnya orang-orang lanjut usia
yang secara sukarela ataupun diserahkan oleh pihak keluarga untuk diurus segala
keperluannya, dimana tempat ini dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta.
Sebagaimana tercantum dalam UU No.12 Tahun 1996 (Direktorat Jenderal,
Departemen Hukum dan HAM), yaitu kewajiban Negara untuk menjaga dan
memelihara setiap warganya.
Akan tetapi, keputusan keluarga untuk menempatkan lansia di Panti jompo
belum tentu diterima oleh lansia tersebut. Mereka mungkin saja merasa terbuang,
tidak dibutuhkan lagi, terisolasi dan kehilangan orang-orang yang dicintai. Selain
itu Panti jompo juga merupakan tempat yang relatif asing bagi lansia jika
3
dibandingkan tinggal di rumah mereka sendiri bersama keluarga. Karena bagi
mereka rumah sendiri atau rumah keluarga merupakan simbol kejayaan keluarga
besarnya, dihormati, dihargai, dijunjung tinggi dan diberikan peranan.
Namun, tidak semua lansia berada di Panti jompo dikarenakan perubahan
sistem nilai akan tetapi meningkatnya usia harapan hidup, keinginan pribadi lanjut
usia yang lebih memilih tinggal di panti jompo berpisah dari keluarga mereka.
Lansia yang tinggal di Panti jompo akan mengalami suatu perubahan sosial dalam
kehidupannya sehari-hari. Apabila lansia tidak segera mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru yang ada di Panti jompo dan berusaha menjalin
hubungan dengan orang lain yang seusianya, ketegangan jiwa atau stres akan
muncul. Stres yang berkepanjangan dapat memperbesar penyakit fisik maupun
mental dan tidak menutup kemungkinan lanjut usia akan mengalami
keputusasaan.
Panti Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang merupakan unit
pelaksana teknis dinas sosial provinsi Banten yang menangani kesejahteraan
sosial khususnya bagi lansia. Menyiapkan perawat untuk menangani keseharian
lansia yang baru maupun yang sudah lama menetap agar para lansia dapat
beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Peran seorang perawat adalah
menstabilkan suasana hati lansia dan mengurus serta merawat lansia karena
merupakan salah satu tugas seorang perawat sebagai pengganti keluarga.
Seorang perawat ingin merawat lansia karena lansia mengalami kelemahan
fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemampuan dan atau
kemauan dalam melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri,
membantu memenuhi kebutuhan fisik lansia. Perawat yang ada di panti sosial
4
sasana tresna werdha Cipocok Jaya Serang berlatar belakang dari lulusan
pendidikan akademik perawat sehingga paham dan mengerti akan kebutuhan para
lansia. Perawat yang bekerja di panti sosial tersebut berdasarkan atas kemauan
mereka sendiri tanpa ada paksaan. Menurut seorang perawat yang bernama Ira
Novita Sari, ia memilih bekerja di panti sosial karena ia ingin membuat orang-
orang senang meskipun dengan melakukan hal-hal kecil apalagi membuat para
lansia bahagia yang terlihat diraut wajahnya. Sehingga ia tidak merasa terbebani
dalam melakukan pekerjaan di panti ini. Ini merupakan sebuah tantangan dalam
menghadapi para lansia yang memiliki karakter yang condong ke kanak-kanakan.
Ira mengatakan bahwa, “kelak nanti kita juga akan merasa posisi seperti mereka”
(Wawancara dengan Ira Novita Sari, 18 Oktober 2017).
Melihat fenomena-fenomena saat ini, banyak sekali anak yang kurang
memperhatikan dan memperdulikan orang tuanya sendiri. Fenomena-fenomena
anak menitipkan lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang,
dikarenakan ada beberapa alasan, yaitu:
“Pertama, lansia yang dititipkan ke panti sosial dikarenakan ekonomi
keluarga (kurang mampu). Kedua, orang tua bertingkah laku seperti anak
kecil membuat seorang anak khawatir terjadi cek-cok antara orang tua dan
anak/anggota keluarga lainnya, maka untuk menghindarinya anak
menitipkan orang tua di panti sosial.. Ketiga, lansia ingin menikmati hari
tua dengan mandiri. Keempat, orang tua tidak ingin merepotkan
keluarganya. Kelima, kurangnya efektivitas merawat lansia membuat
hubungan anak dan orang tua kurang dekat, karena walaupun satu rumah
tapi interaksi diantara mereka kurang terjalin dan kebanyakan lansia yang
masuk ke panti dikarenakan masalah ekonomi keluarga (tidak mampu)”
(Wawancara dengan Yani Heryani, 8 Juni 2017).
Data lanjut usia yang tercatat di dinas sosial provinsi Banten mulai dari
tahun 2012 sampai dengan 2017.
5
Tabel 1.1
Tabel Data Lanjut Usia
No Tahun Jenis Kelamin
Jumlah P L
1 2012 36 21 57 orang
2 2013 31 15 46 orang
3 2014 40 17 57 orang
4 2015 35 20 55 orang
5 2016 39 20 59 orang
6 2017 42 15 57 orang
Sumber: Data Klien Lansia Dinas Sosial Provinsi Banten
Berdasarkan data tersebut, lansia dari tahun tahun 2012 sampai dengan
tahun 2017 berkisar sekitar 57 sampai dengan 59 orang. Jadi, ini menjadi tugas
bagi unit pelaksana teknis dinas sosial provinsi Banten dalam menangani
kesejahteraan sosial dengan memberikan pelayanan bagi lansia yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup, kesejahteraan lanjut usia dan terpenuhinya
kebutuhan dasar lanjut usia sehingga disinilah adanya peran seorang perawat
kepada lanjut usia.
Interaksi perawat dengan lanjut usia dilakukan dengan cara berkomunikasi.
Disamping lanjut usia juga dapat berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang
biasanya disebut dengan komunikasi intrapersonal, dan tentunya juga melakukan
komunikasi dengan orang-orang sekitarnya untuk membuat dia bertahan hidup.
Kehidupan manusia tidak akan terlepas dari komunikasi (Syam, 2011: 35 & 38).
Komunikasi interpersonal menjadi sangat penting dalam menghubungkan
perawat dan para lanjut usia. Interaksi perawat dan lanjut usia akan menghasilkan
informasi untuk perawat tentang bagaimana keadaan lanjut usia dan pada waktu
yang bersamaan perawat dapat memberikan informasi tentang keadaan lansia.
Berdasarkan sifatnya yang dua arah dimana terjadi kontak langsung dalam bentuk
6
percakapan dan dampaknya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat. Maka
diharapkan akan terjadi perubahan sikap, pendapat, tingkah laku yang
mengakibatkan umpan balik seketika.
Komunikasi sangat esensial untuk pertumbuhan kepribadian manusia.
Kurangnya komunikasi akan menghambat perkembangan kepribadian.
Komunikasi sangat erat kaitannya dengan perilaku dan pengalaman kesadaran
manusia. Komunikasi boleh ditujukan untuk memberikan informasi, menghibur,
atau mempengaruhi. Persuasif sendiri dapat didefinisikan sebagai proses
memengaruhi dan mengendalikan perilaku orang lain melalui pendekatan
psikologis.
Komunikasi merupakan elemen dasar dari interaksi manusia yang
memungkinkan sesorang untuk menetapkan, mempertahankan dan meningkatkan
kontrak dengan orang lain karena komunikasi dilakukan oleh seseorang setiap
hari, kebanyakan orang selalu berfikir bahwa komunikasi adalah sesuatu yang
mudah. Namun sebenarnya adalah proses yang kompleks yang melibatkan tingkah
laku dan hubungan serta kemungkinan individu berasosiasi dengan orang lain dan
dengan lingkungannya sekitar. Hal itu merupakan peristiwa yang terus
berlangsung secara dinamis yang maknanya dipacu dan ditransmisikan.
Pada hubungan komunikasi interpersonal, para komunikator membuat
prediksi terhadap satu sama lain atas dasar data psikologis. Komunikasi
interpersonal berperan dalam mentransfer peran/informasi dari sesorang kepada orang
lain berupa ide, fakta, pemikiran serta perasaan. Oleh karena itu, komunikasi
interpersonal adalah jembatan bagi setiap individu pada masyarakat dilingkungannya.
Komunikasi antarpribadi selalu menimbulkan saling pengertian atau saling
mempengaruhi antara seseorang dengan orang lain (AW Suranto, 2011: 17-19).
7
Komunikasi yang baik dalam keterbatasan kapasitas fungsional, sosial,
ekonomi, perilaku emosi yang labil pada lanjut usia. Komunikasi yang efektif
dapat mengikutsertakan partisipasi para lanjut usia dalam pengambilan keputusan
dalam hal seperti; (a) membantu proses mengingat, (b) berpengaruh terhadap
ketaatan dan kepuasan, (c) berpengaruh terhadap emosional bahkan fisik para
lanjut usia.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk menggali lebih
dalam lagi meneliti bagaimana pola keterbukaan diri antara perawat dan lanjut
usia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang jelas diatas, peneliti dapat merumuskan
masalah untuk lebih fokus dalam menjawab tujuan penelitian. Rumusan
masalahnya adalah bagaimana pola keterbukaan diri antara perawat dan lanjut
usia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang.
1.3 Identifikasi Masalah
Masalah dalam penelitian ini diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses komunikasi interpersonal pada tahap penetrasi sosial
antara perawat dan lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok
Jaya Serang?
2. Bagaimana pola komunikasi dalam proses keterbukaan diri antara
perawat dan lanjut usia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok
Jaya Serang?
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
8
1. Bagaimana pola keterbukaan diri pada tahap penetrasi sosial antara
perawat dan lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya
Serang?
2. Bagaimana pola komunikasi dalam proses keterbukaan diri antara
perawat dan lanjut usia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok
Jaya Serang?
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pengetahuan dan
memberi sumbangan yang berarti, baik secara teoritis dan praktis terhadap publik
sebagai sarana informasi untuk menambahkan pengetahuan bagi mereka.
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pengetahuan terhadap keilmuan komunikasi, terutama dalam kajian sosial
mengenai bagaimana pola keterbukaan diri antara perawat dan lanjut usia di Panti
Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang, dan sebagai bahan masukan
dan penunjang bagi penelitian-penelitian yang akan datang dan dapat dijadikan
sebagai rujukan bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi yang ingin mengadakan
penelitian lebih lanjut mengenai perilaku para lansia dalam berinteraksi sosial.
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
dapat menjadikan masukan bagi Balai Perlindungan Sosial dalam meningkatkan
pelayanan dan penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan literature atau
referensi yang bermanfaat untuk pembuatan karya ilmiah dan penelitian-penelitian
selanjutnya.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Interpersonal
Pergaulan manusia merupakan salah satu bentuk peristiwa komunikasi
dalam masyarakat. Menurut Schramm (1974), diantara manusia yang saling
bergaul, ada yang saling membagi informasi, namun ada pula yang membagi
gagasan dan sikap. Begitu pula menurut Merril dan Lownstein (1971), bahwa
dalam lingkungan pergaulan antarmanusia selalu terjadi penyesuaian pikiran,
penciptaan simbol yang mengandung pengertian bersama. Theodorson (1969),
mengemukakan pula bahwa, komunikasi adalah proses pengalihan informasi dari
satu orang atau sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol tertentu
kepada satu orang atau sekelompok lain. Komunikasi yang efektif ditandai dengan
hubungan interpersonal yang baik (Syaiful Rohim, 2009: 69-70).
Dean Barnlund (1975) menjabarkan bahwa komunikasi interpersonal
sebagai: “perilaku orang-orang pada pertemuan tatap muka dalam situasi sosial
informal dan melakukan interaksi terfokus lewat pertukaran isyarat verbal maupun
non verbal yang saling berbalasan”. Jadi bila ada proses komunikasi yang tidak
menimbulkan pertukaran isyarat verbal maupun non verbal, maka kegiatan
tersebut tidak disebut proses komunikasi.
Komunikasi interpersonal secara umum terjadi diantara dua orang. Seluruh
proses komunikasi terjadi diantara beberapa orang , namun banyak interaksi tidak
melibatkan seluruh orang didalamnya secara akrab. Dengan melacak makna
10
interpersonal, kata ini merupakan turunan dari awalan inter, yang berarti “antara”,
dan kata person, yang berarti orang (Julia T. Wood, 2010:22).
Menurut Alo Liliweri yang dikutip dari Onong Uchjana Effendy (2005:12)
mengenai pengertian komunikasi antarpribadi sebagai berikut: “Pada hakikatnya
komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara seorang komunikator dengan
seorang komunikan. Jenis komunikasi tersebut dianggap paling efektif untuk
mengubah sikap, pendapat, atau perilaku manusia berhubung prosesnya yang
dialogis”.
Sifat dialogis tersebut ditunjukkan melalui komunikasi lisan melalui
percakapan yang menampilkan arus balik yang langsung. Jika komunikator yang
mengetahui tanggapan komunikan pada saat itu, komunikator juga mengetahui
dengan pasti apakah pesan-pesan yang dia kirimkan itu diterima atau ditolak,
berdampak positif atau negatif, jika tidak diterima komunikator akan memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada komunikan untuk bertanya.
Jadi dapat dijelaskan bahwa komunikasi antarpribadi adalah komunikasi
yang diadakan dan berlangsung dalam situasi yang dialogis, komunikasi diadik
adalah komunikasi yang melibatkan dua orang atau yang berinterakasi secara
sadar, langsung dan tatap muka. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi yang
dialogis adalah situasi yang berbagi dalam banyak hal, dapat berupa berbagai
informasi, kegembiraan, kesedihan dan dalam komunikasi antarpribadi tidak
melihat adanya perbedaan status sosial dan ekonomi dari masing-masing perilaku
komunikasi. Dalam situasi seperti ini terasa adanya kemurnian dialog yang dapat
11
mengungkapkan berbagai pendapat, perasaan dan kepercayaan dari individu-
individu yang terlibat.
2.1.1 Komponen-komponen Komunikasi Interpersonal
Beberapa komponen komunikasi interpersonal dalam AW Suranto (2011:7-
9) sebagai berikut:
Pertama, sumber/ komunikator merupakan orang yang mempunyai
kebutuhan untuk berkomunikasi, yakni keinginan untuk membagi keadaan
internal sendiri, baik yang bersifat emosional maupun informasional dengan orang
lain. Kebutuhan ini dapat berupa keinginan untuk memperoleh pengakuan sosial
sampai pada keinginan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain.
Dalam konteks komunikasi interpersonal komunikator adalah individu yang
menciptakan, memformulasikan dan menyampaikan pesan.
Kedua, encoding adalah suatu aktivitas internal pada komunikator dalam
menciptakan pesan melalui pemilihan simbol-simbol verbal dan non verbal, yang
disusun berdasarkan aturan-aturan tata bahasa, serta disesuaikan dengan
karakteristik komunikan. Encoding merupakan tindakan memformulasikan isi
pikiran kedalam simbol-simbol, kata-kata dan sebagainya sehingga komunikator
merasa yakin dengan pesan yang disusun dan cara penyampaian.
Ketiga, pesan merupakan hasil encoding. Pesan adalah seperangkat simbol-
simbol baik verbal maupun non verbal, atau gabungan keduanya, yang mewakili
keadaan khusus komunikator untuk disampaikan kepada pihak lain. Dalam
aktivitas komunikasi, pesan merupakan unsur yang sangat penting. Pesan itulah
yang disampaikan oleh komunikator untuk diterima dan diinterpretasi oleh
12
komunikan. Komunikasi akan efektif apabila komunikan menginterpretasi makna
pesan sesuai yang diinginkan oleh komunikator.
Keempat, saluran merupakan sarana fisik penyampaian pesan dari sumber
ke penerima atau yang menghubungkan orang ke orang lain secara umum. Dalam
konteks komunikasi interpersonal, penggunaan saluran atau media semata-mata
karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan dilakukan komunikasi secara
tatap muka.
Kelima, penerima/ komunikan adalah seseorang yang menerima, memahami
dan menginterpretasi pesan. Dalam proses komunikasi interpersonal, penerima
bersifat aktif, selain menerima pesan melakukan pula proses interpretasi dan
memberikan umpan balik. Berdasarkan umpan balik dari komunikan inilah
seorang komunikator akan dapat mengetahui keaktifan komunikasi yang telah
dilakukan, apakah makna pesan dapat dipahami secara sama oleh kedua belah
pihak yakni komunikator atau komunikan.
Keenam, decoding merupakan kegiatan internal dalam diri penerima.
Melalui indera, penerima mendapatkan macam-macam data dalam bentuk
“mentah”, berupa kata-kata dan simbol-simbol yang harus diubah kedalam
pengalaman-pengalaman yang mngandung makna. Secara bertahap dimulai dari
proses sensasi, yaitu proses dimana indera menangkap stimuli. Misalnya telinga
mendengar suara atau bunyi, mata melihat objek, dan sebagainya. Proses sensasi
dilanjutkan dengan persepsi, yaitu proses yang memberikan makna atau decoding.
Ketujuh, respon yakni apa yang telah diputuskan oleh penerima untuk
dijadikan sebagai sebuah tanggapan terhadap pesan. Respon dapat bersifat positif,
netral maupun negatif. Respon positif apabila sesuai dengan yang dikehendaki
13
komunikator. Netral berarti respon ini tidak menerima atau menolak keinginan
komunikator. Dikatakan respon negatif apabila tanggapan yang diberikan
bertentangan dengan apa yang diinginkan komunikator. Pada hakikatnya respon
merupakan informasi bagi sumber sehingga ia dapat menilai efektivitas
komunikasi untuk selanjutnya menyesuaikan diri dengan situasi yang ada.
Kedelapan, gangguan (noise) gangguan atau noise atau barier beraneka
ragam, untuk harus didefinisikan dan dianalisis. Noise dapat terjadi didalam
komponen-komponen manapun dari sistem komunikasi. Noise merupakan apa
saja yang mengganggu atau membuat kacau penyampaian dan penerimaan pesan,
termasuk yang bersifat fisik dan phsikis.
Kesembilan, konteks komunikasi komunikasi selalu terjadi dalam suatu
konteks tertentu, paling tidak ada tiga dimensi yaitu ruang, waktu dan nilai.
Konteks ruang menunjukkan pada lingkup konkrit dan nyata tempat terjadinya
komunikasi seperti ruangan, halaman, dan jalanan. Konteks waktu menunjukkan
pada waktu kapan komunikasi tersebut dilaksanakan, misalnya pagi, siang, sore
atau malam. Konteks nilai meliputi nilai sosial dan budaya yang mempengaruhi
suasana komunikasi, seperti adat istiadat, suasana rumah, norma sosial, norma
pergaulan, etika, tata krama dan sebagainya. Agar komunikasi interpersonal
berjalan efektif , masalah konteks komunikasi ini kiranya perlu menjadi perhatian.
Artinya, pihak komunikator dan komunikan perlu menimbangkan konteks
komunikasi ini.
2.1.2 Ciri-ciri Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal merupakan jenis komunikasi yang frekuensi
terjadinya cukup tinggi dalam kehidupan sehari-hari. Apabila diamati dan
14
dikomparasikan dengan jenis komunikasi lainnya, maka dapat dikemukakan ciri-
ciri komunikasi interpersonal dalam AW Suranto (2011:14-15), antara lain:
Pertama, arus pesan dua arah. Komunikasi interpersonal menempatkan
sumber pesan dan penerima dalam posisi ruang sejajar, sehingga memicu
terjadinya pola penyebaran pesan mengikuti arus dua arah. Artinya komunikator
dan komunikan dapat berganti pesan secara cepat. Seorang sumber pesan dapat
berubah pesan sebagai penerima pesan, begitu pula sebaliknya. Arus pesan secara
dua arah ini berlangsung secara berkelanjutan.
Kedua, suasana nonformal. Komunikasi interpersonal biasanya berlangsung
dalam suasana nonformal. Dengan demikian, apabila komunikasi itu berlangsung
antara para pejabat disebuah instansi, maka para pelaku komunikasi itu tidak
secara kaku berpegangan pada hierarki jabatan dan prosedur birokrasi, namun
lebih memilih pendekatan secara individu yang bersifat pertemanan. Relevan
dengan suasana nonformal tersebut, pesan yang dikomunikasikan biasanya
bersifat lisan, bukan tertulis. Disamping itu, forum komunikasi yang dipilih
biasanya juga cenderung bersifat nonformal, seperti percakapan intim dan lobi,
bukan forum formal seperti rapat.
Ketiga, ucapan balik segera. Oleh karena itu komunikasi interpersonal
biasanya mempertemukan para pelaku komunikasi secara tatap muka, maka
umpan balik dapat diketahui dengan segera. Seorang komunikator dapat segera
memperoleh balikan atas pesan yang disampaikan dari komunikan, baik secara
verbal maupun non verbal.
15
Keempat, peserta komunikasi berada dalam jarak yang dekat. Komunikasi
interpersonal merupakan metode komunikasi antarindividu yang menuntut agar
peserta komunikasi berada dalam jarak dekat, naik jarak dalam arti fisik maupun
psikologis. Jarak yang dekat dalam arti fisik, artinya pelaku saling bertatap muka,
berada pada satu lokasi tertentu. Sedangkan jarak yang dekat secara psikologis
menunjukkan keintiman hubungan antarindividu.
Kelima, peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan
dan spontan baik secara verbal maupun non verbal. Untuk meningkatkan
keefektivitasan komunikasi interpersonal, peserta komunikasi dapat
memberdayakan pemanfaatan kekuatan pesan verbal maupun non verbal secara
simultan. Peserta komunikasi berupaya saling meyakinkan, dengan
mengoptimalkan penggunaan pesan verbal maupun non verbal secara bersamaan,
saling mengisi, saling memperkuatkan sesuai tujuan komunikasi.
2.1.3 Tipe Komunikasi Interpersonal
Berikut merupakan tipe-tipe komunikasi interpersonal dalam AW Suranto
(2011:16-17) antara lain:
a. Komunikasi dua orang
Komunikasi dua orang atau komunikasi diadik mencakup segala jenis
hubungan antarpribadi, antara satu orang dengan orang lain, mulai dari
hubungan paling singkat (kontak) biasa, sampai hubungan yang bertahan
lama dan mendalam. Dalam proses komunikasi diadik, sifat hubungan
antara dua orang yang saling berinteraksi dapat dikelompokkan dalam
dua kategori, yakni : komunikasi yang bersifat terbuka dan tertutup. Pola
komunikasi dua orang yang bersifat terbuka, ditandai oleh sikap
16
keterbukaan diantara keduanya. Pola komunikasi seperti ini sering
dinamakan pola komunikasi “dokter-pasien” ditunjukan oleh adanya
sikap keterbukaan pasien pada dokter, dan sebaliknya. Sikap keterbukaan
pasien ditujukan dengan kesediaan menjawab secara jujur mengenai
penyakit yang dideritanya. Untuk pola komunikasi yang berlaku dalam
masyarakat.
Komunikasi diadik dapat bersifat sebagai interaksi intim dan longgar,
interaksi intim ditandai oleh adanya kedekatan hubungan kedua belah
pihak yaitu dengan adanya ikatan emosional yang kuat di antara
keduanya. Komunikasi interpersonal dua orang dapat terjadi secara
primer maupun sekunder.
b. Wawancara
Wawancara adalah salah satu tipe komunikasi interpersonal dimana dua
orang terlihat dalam percakapan yang berupa tanya jawab. Keefektifan
wawancara ditentukan oleh sejauh mana informasi yang ingin
dikumpulkan telah tercapai. Oleh karena itu agar informasi-informasi
penting yang diinginkan dapat diperoleh dari pihak terwawancara maka
seseorang pewawancara perlu membuat semacam pedoman wawancara
yang berisi butir-butir pertanyaan penting yang akan diajukan.
c. Komunikasi Kelompok Kecil
Komunikasi kelompok kecil merupakan salah satu tipe komunikasi
interpersonal, dimana beberapa orang terlibat dalam suatu pembicaraan,
percakapan, diskusi, musyawarah dan sebagiannya. Istilah “kelompok
kecil” memiliki tiga makna: (a) jumlah anggota kelompok itu memang
17
hanya sedikit orang; (b) diantara para anggota kelompok itu saling
mengenal dengan baik; (c) pesan yang dikomunikasikan bersifat unik,
khusus, dan terbatas bagi anggota sehingga tidak sembarang orang dapat
bergabung; (d) dalam kelompok itu.
2.1.4 Tujuan Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal merupakan action oriented ialah sutau tindakan
yang beriorientasi pada tujuan tertentu. Tujuan komunikasi interpersonal dalam
AW Suranto (2011:19-22) itu bermacam-macam, beberapa di antaranya adalah:
Pertama, mengungkapkan perhatian kepada orang lain, salah satu tujuan
komunikasi interpersonal adalah untuk mengungkapkan perhatian kepada orang
lain. Dalam hal ini seseorang berkomunikasi dengan cara menyapa, tersenyum,
melambaikan tangan, membungkukkan badan, menanyakan kabar kesehatan
partner komunikasinya, dan sebagainya.
Kedua, menemukan diri sendiri, seseorang melakukan komunikasi
interpersonal karena ingin mengetahui dan mengenali karakteristik diri pribadi
berdasarkan informasi dari orang lain. Bila seseorang terlihat komunikasi
interpersonal dengan orang lain, maka terjadi proses belajar banyak sekali tentang
diri maupun orang lain. Dengan saling membicarakan keadaan diri, minat, dan
harapan maka seseorang memperoleh informasi berharga untuk mengenai jati diri
atau dengan kata lain menemukan diri sendiri.
Ketiga, menemukan dunia luar, dengan komunikasi interpersonal diperoleh
kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi dari orang lain, termasuk
informasi penting dan aktual. Dengan komunikasi interpersonal diperoleh
18
informasi, dan dengan informasi tersebut dapat dikenali dan ditemukan keadaan
dunia luar yang sebelumnya tidak diketahui.
Keempat, membangun dan memelihara hubungan yang harmonis, sebagai
makhluk sosial, salah satu kebutuhan setiap orang yang paling besar adalah
membentuk dan memelihara kebutuhan baik dengan orang lain. Oleh karena itu
setiap orang telah menggunakan banyak waktu untuk berkomunikasi secara
interpersonal yang diabdikan untuk membangun dan memelihara hubungan sosial
dengan orang lain.
Kelima, mempengaruhi sikap dan tingkah laku, komunikasi interpersonal
adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk
memberitahu atau mengubah sikap, pendapat, atau perilaku baik secara langsung
maupun tidak langsung (dengan menggunakan media).
Keenam, mencari kesenangan atau sekedar menghabiskan waktu, seseorang
melakukan komunikasi interpersonal sekedar mencari kesenangan atau hiburan.
Bertukar cerita lucu adalah merupakan pembicaraan untuk mengisi dan
menghabiskan waktu.
Ketujuh, menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi, komunikasi
interpersonal dapat menghilangkan kerugian akibat salah satu komunikasi dan
salah interpretasi yang terjadi antara sumber dan penerima pesan. Karena dengan
berkomunikasi interpersonal dapat dilakukan pendekatan secara langsung,
menjelaskan berbagai pesan yang rawan menimbulkan kesalahan interpretasi.
Kedelapan, memberikan bantuan (konseling), dikalangan masyarakat juga
dapat dengan mudah diperoleh contoh yang menunjukan fakta bahwa komunikasi
interpersonal dapat dipakai sebagai pemberian bantuan (konseling) bagi orang lain
19
yang memerlukan. Tanpa disadari setiap orang ternyata sering bertindak sebagai
konselor maupun konseli dalam interaksi interpersonal sehari-hari.
2.1.5 Komunikasi Interpersonal yang Efektif
Komunikasi interpersonal dapat dikatakan efektif apabila pesan diterima dan
dimengerti sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti
dengan sebuah perbuatan secara suka rela oleh penerima pesan, dapat
meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi, dan tidak ada hambatan untuk hal
itu. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa komunikasi
interpersonal yang efektif, apabila memenuhi tiga syarat, dalam AW Suranto
(2011:78-79), yaitu:
Pertama, pesan yang diterima dan dipahami oleh komunikan sebagaimana
dimaksud oleh komunikator. Salah satu indikator yang dapat digunakan sebagai
ukuran komunikasi yang efektif, adalah apabila makna pesan komunikator sama
dengan makna pesan yang diterima komunikan.
Kedua, ditindak lanjuti secara suka rela. Indikator komunikasi interpersonal
yang efektif berikutnya adalah bahwa komunikan menindaklanjuti pesan tersebut
dengan perbuatan dan dilakukan secara suka rela, tidak dipaksa.
Ketiga, meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi. Efekivitas dalam
komunikasi interpersonal akan mendorong terjadinya hubungan yang positif. Hal
ini disebabkan pihak-pihak yang saling berkomunikasi merasakan manfaat dari
komunikasi itu sehingga merasa perlu memelihara hubungan antarpribadi.
20
2.1.5.1 Faktor Efektivitas Komunikasi Interpersonal
Adapun faktor keefektivitasan komunikasi interpersonal dalam AW
Suranto (2011:84-85) adalah sebagai berikut:
1. Faktor keberhasilan dilihat dari sudut komunikator
a. Kreadibilitas: ialah kewibawaan seorang komunikator dihadapan
komunikan. Pesan yang disampaikan oleh seorang komunikator yang
berkreadibilitas tinggi akan lebih banyak memberi pengaruh terhadap
penerima pesan.
b. Daya tarik: ialah daya tarik fisik maupun non fisik. Adanya daya tarik
ini akan mengundang simpati penerima pesan.
c. Kemampuan intelektual: ialah tingkat kecakapan, kecerdasan, dan
keahlian seorang komunikator.
d. Kepercayaan: jika komunikator dipercaya oleh komunikan maka akan
lebih mudah menyampaikan pesan dan mempengaruhi sikap orang.
e. Kematangan tingkat emosional: ialah kemampuan komunikator untuk
mengendalikan emosi, sehingga tetap bisa melaksanakan komunikasi
dalam suasana yang menyenangkan.
2. Faktor keberhasilan dilihat dari sudut komunikan
a. Komunikan yang cakap akan mudah menerima dan mencerna pesan.
b. Komunikan yang memiliki pengetahuan yang luas akan cepat
menerima pesan.
c. Komunikan harus bersikap ramah, supel dan pandai bergaul agar
tercipta proses komunikasi.
d. Komunikan harus memahami dengan siapa ia berbicara.
e. Komunikan bersikap bersahabat dengan komunikator.
3. Faktor keberhasilan dilihat dari sudut pesan
a. Pesan komunikasi interpersonal perlu dirancang dan disampaikan
sedemikian rupa.
b. Lambang-lambang yang digunakan harus benar-benar dapat dipahami
oleh kedua belah pihak.
c. Pesan-pesan tersebut disampaikan secara jelas.
d. Tidak menimbulkan multi interpretasi.
e. Sediakan informasi yang praktis dan berguna.
f. Berikan fakta, bukan kesan dalam penyampaian kalimat konkret,
detail, dan spesifik disertai bukti untuk mendukung opini.
4. Faktor penghambat komunikator
a. Kreadibilitas komunikator rendah.
b. Kurang memahami karakteristik latar belakang sosial dan budaya.
c. Kurang memahami karakteristik komunikan.
d. Prasangka buruk.
e. Verbalistis.
f. Komunikasi satu arah.
g. Tidak menggunakan media yang tepat.
h. Perbedaan bahasa.
i. Perbedaan persepsi.
21
2.1.6 Fungsi Komunikasi Non-Verbal dalam Komunikasi Interpersonal
Periset utama mengidentifikasikan enam fungsi utama (dalam Ekman, 1965;
Knapp, 1978 dan Nia Kurniawati (2014:38), yaitu:
Pertama, untuk menekankan. Menggunakan komunikasi non-verbal
untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal.
Kedua,untuk melengkapi (complement). Menggunakan komunikasi nonverbal
untuk memperkuat warna atau sikap umum yang dikomunikasikan oleh pesan
verbal. Ketiga, untuk menunjukan kontradiksi. Secara sengaja mempertentangkan
pesan verbal kita dengan nonverbal. Keempat, untuk mengatur. Gerak gerik
nonverbal dapat mengendalikan atau mengisyaratkan keinginan untuk mengarur
arus pesan verbal. Kelima, untuk mengulangi. Mengulangi atau merumuskan
ulang makna dari pesan verbal. Keenam, untuk menggantikan. Komunikasi
nonverbal juga dapat menggantikan pesan verbal, anda dapat mengatakan “oke”
dengan tangan tanpa berkata apa-apa.
2.1.7 Tipe-tipe Komunikasi Non-Verbal dalam Komunikasi Interpersonal
Berikut merupakan tipe-tipe komunikasi nonverbal antara lain:
Pertama, kinesik: refer to body position and body motions including those
of the face. Kedua, haptik: sentuhan. Lima makna sentuhan menurut Stanley Jones
dan Elaine Yarbough (dalam DeVito,1997) yaitu untuk mengilustrasikan 1) afeksi
positif yang berupa dukungan, apresiasi, inklusi, minat seksual, dan afeksi; 2)
bercanda; 3) mengarahkan atau mengendalikan; 4) sentuhan ritual yang terpusat
pada salam dan perpisahan; 5) keterkaitan dengan tugas, dilakukan sehubungan
dengan pelaksanaan fungsi tertentu.
22
Ketiga, penampilan fisik. Kebanyakan kita lebih menyukai orang secara
fisik menarik ketimbang orang yang secara fisik tidak menarik, dan lebih
menyukai orang yang memiliki kepribadian menyenangkan ketimbang yang tidak.
Keempat, artifak. Komunikasi artifaktual mencakup segala sesuatu yang dipakai
orang atau melakukan sesuatu terhadap tubuh untuk memodifikasi
penampilannya.
Kelima, faktor lingkungan. Atlman dan Chemers (1980) (dalam
Gudykunst, 2003:253) membagi wilayah ini dalam 3 kategori yaitu primer,
sekunder dan publik. Keenam, proksemik dan tempat pribadi. Komunikasi ruang
ini pertama memusatkan perhatian pada empat jarak ruang (spatial, spasial) utama
yang dijaga oleh orang ketika mereka berkomunikasi: (a) jarak intim; (b) jarak
pribadi; (c) jarak sosial; (d) fase jauh (lebih dari 750 cm).
Ketujuh, kronemik. Komunikasi temporal ini menyangkut penggunaan
waktu – bagaimana kita mengaturnya, bagaimana kita bereaksi terhadapnya dan
pesan yang dikomunikasikannya. Kedelapan, parabahasa. Parabahasa mengacu
pada dimensi vokal tetapi nonverbal dari pembicaraan. Kesembilan, diam. Diam
melindungi individualisme dan privasi anda; juga menunjukan penghargaan
terhadap individualisme orang lain.
2.2 Keterbukaan Diri
1. Pengertian Keterbukaan Diri
Interaksi yang dilakukan antara satu individu dengan individu lainnya
terkadang memunculkan pemikiran apakah orang lain dapat menerima individu
tersebut, ataukah justru menolak. Selain itu, individu juga ingin mengetahui
tentang orang lain, begitu pula sebaliknya. Hal seperti itu ditentukan oleh
23
bagaimana individu dapat bersikap terbuka atau lebih dapat mengungkapkan
dirinya.
Devito mengemukakan bahwa keterbukaan diri adalah jenis komunikasi
dimana kita mengungkapkan informasi tentang diri kita sendiri yang biasanya kita
sembunyikan (Devito, 1997:64). Sedangkan Johnson (1981) dalam Supratiknya
(1995:14) mengatakan bahwa pembukaan diri atau keterbukaan diri adalah
mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita
hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang
berguna untuk memahami tanggapan kita di masa kini tersebut.
Dari beberapa pengertian tentang keterbukaan diri yang telah disampaikan
oleh para ahli, maka dapat kita simpulkan bahwa keterbukaan diri adalah sebuah
kerelaan dalam diri untuk mengungkapkan atau menyampaikan informasi,
keyakinan, perasaan, pengalaman dan masalah yang dirahasiakan kemudian
diungkapkan kepada orang lain secara apa adanya, sehingga pihak lain
memahami.
2. Aspek-aspek Keterbukaan Diri
Keterbukaan diri menurut Jourard (dalam Ditya Ardi Nugroho, 2013: 557)
memiliki tiga dimensi yaitu (a) keleluasaan atau breadth, (b) kedalaman atau
depth, (c) target atau sasaran pengungkapan diri.
Dimensi keleluasaan mengacu pada cakupan materi yang diungkap dan
semua materi tersebut dijabarkan dalam enam kategori informasi tentang diri
sendiri, yaitu sikap dan pendapat, rasa dan minat, pekerjaan atau kuliah, uang,
kepribadian dan tubuh. Dimensi kedalaman keterbukaan diri mengacu pada empat
tingkatan yaitu: tidak pernah bercerita kepada orang lain mengenai diri sendiri,
24
bercerita secara mendetail, berbicara secara umum, dan berbohong atau salah
mengartikan aspek diri sendiri sehingga yang diceritakan kepada orang lain
berupa gambaran diri yang salah. Dimensi orang yang dituju dalam keterbukaan
diri terdiri dari lima yaitu ibu, ayah, teman pria, teman wanita, dan pasangan.
Menurut Pearson ( dalam Ruth Permatasari Novianna, 2012:4) komponen
self disclosure yaitu (a) jumlah informasi yang diungkapkan, (b) sifat dasar yang
positif dan negatif, (c) dalamnya suatu pengungkapan diri, (d) waktu
pengungkapan diri, (e) lawan bicara.
3. Faktor yang Mempengaruhi Keterbukaan Diri
Keterbukaan diri adalah sebuah proses dimana seseorang membagikan
informasi kepada orang lain yang tujuannya adalah agar orang lain dapat
mengetahui, merasakan, dan memahami diri seseorang. Keterbukaan diri
dipengaruhi oleh beberapa faktor (dalam Devito 2011: 65-67). Faktor-faktor
tersebut adalah:
a. Kelompok Besar
Keterbukaan diri lebih banyak terjadi pada kelompok kecil daripada
kelompok besar. Kelompok kecil biasanya terdiri dari dua orang dan ini
merupakan kelompok yang cocok untuk seseorang dapat lebih terbuka
terhadap orang lain karena dengan satu pendengar maka seseorang yang
menjadi pendengar akan lebih cermat dan fokus menanggapi atau bahkan
menghentikan apabila dirasa situasinya kurang mendukung .
b. Persaaan Menyukai
Individu membuka diri kepada orang yang disukai dan tidak akan membuka
diri kepada orang yang tidak disukai. Hal ini dikarenakan orang yang
25
individu sukai dan mungkin juga memiliki perasaan yang sama akan
bersikap mendukung dan positif atau terbuka dengan individu tersebut.
c. Efek Diadik
Individu melakukan keterbukaan diri apabila orang yang bersamanya juga
melakukan keterbukaan diri. Efek diadik ini membuat individu merasa
aman, nyaman, dan ada kenyataannya akan memperkuat keterbukaan diri
seseorang individu.
d. Kompetensi
Individu yang berkompeten akan lebih terbuka mengenai dirinya daripada
orang yang kurang berkompeten. Individu yang berkompeten akan mampu
melakukan komunikasi interpersonal dengan baik karena individu tersebut
dapat menempatkan dirinya, mengatakan apa yang seharusnya dikatakan
dan juga dapat lebih bersikap terbuka.
e. Kepribadian
Individu yang pandai bergaul akan lebih bersikap terbuka kepada orang lain
daripada individu yang kurang pandai bergaul. Individu yang kurang
memiliki keberanian berbicara pada umumnya juga akan memiliki
keterbukaan diri yang kurang daripada individu yang merasa nyaman saat
melakukan komunikasi.
f. Topik
Individu lebih cenderung membuka diri terhadap topik tertentu. Individu
mungkin lebih terbuka terhadap informasi mengenai pekerjaan dan hobi
daripada tentang hubungan seks ataupun keuangan. Pada umumnya semakin
26
negatif dan pribadi suatu topik, maka keterbukaan diri individu juga
semakin kecil.
g. Jenis Kelamin
Faktor yang mempengaruhi keterbukaan diri seseorang adalah jenis
kelamin. Pria dan wanita mengemukakan alasan yang berbeda mengapa
mereka lebih cenderung untuk tidak membuka diri.
4. Tingkat Keterbukaan Diri
Dalam suatu proses hubungan interpersonal terdapat tingkatan-tingkatan
yang berbeda dalam pengungkapan diri. Menurut John Powel (dalam Supratiknya,
1995: 32-34), tingkatan pengungkapan diri dalam komunikasi adalah:
a. Tahap kelima, yakni basa-basi.
Tahap ini merupakan tahap komunikasi paling dangkal. Komunikasi
biasanya terjadi antara dua orang bertemu secara kebetulan. Kata-kata yang
diucapkan dalam tahap ini hanya kata-kata ringan seperti sapaan atau basa-
basi.
b. Tahap keempat, yakni membicarakan orang lain.
Dalam tahap ini individu sudah saling menanggapi, akan tetapi masih dalam
taraf dangkal karena pada tahap ini individu belum mau mengungkapkan
diri masing-masing.
c. Tahap ketiga, yakni menyatakan gagasan dan pendapat.
Pada tahap ini antar individu sudah mau saling membuka diri namun masih
terbatas pada taraf pikiran. Saat berbicara, individu masih berusaha keras
menghindarkan diri dan menunjukkan kesan memiliki pendapat yang
berbeda dengan individu lain.
27
d. Tahap kedua, yakni hati dan perasaan.
Setiap individu memiliki emosi atau perasaan yang berbeda seperti individu
yang menginginkan hubungan yang jujur, terbuka, dan menyatakan perasaan
secara mendalam. Individu yang memiliki keberanian untuk saling bersikap
jujur dan terbuka berarti memiliki kesepakatan untuk saling mempercayai.
e. Tahap pertama, yakni hubungan puncak.
Tahap ini ditandai dengan keterbukaan, kejujuran dan saling percaya antara
kedua belah pihak. Dalam tahap ini, individu tidak merasakan adanya
ganjalan berupa rasa takut atau khawatir untuk menceritakan hal yang
bersifat pribadi kepada individu lainnya dan dengan demikian komunikasi
tersebut telah terjadi secara mendalam sehingga kedua belah pihak
merasakan hubungan timbal balik yang sempurna.
Berdasarkan tingkatan yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa tingkatan pengungkapan diri terdiri dari tahap awal, yaitu menyapa dan
membicarakan orang lain, tahap pertengahan, yaitu memberikan ide dan pendapat,
dan tahap terakhir, yaitu mampu mengungkapkan isi hati, perasaan dan emosi.
5. Manfaat Keterbukaan Diri
Menurut DeVito (2011: 67-69), memiliki berbagai macam manfaat bagi
seseorang, yaitu:
a. Pengetahuan diri, yaitu individu mendapatkan pemahaman baru dan lebih
mendalam mengenai dirinya sendiri. Dalam sebuah proses konseling
misalnya, pandangan baru sering kali muncul pada diri konseli saat konseli
melakukan pengungkapan diri.
28
b. Kemampuan mengatasi kesulitan, yaitu ketakutan ketika tidak terima dalam
suatu lingkungan karena suatu kesalahan tertentu seperti kesalahan kepada
orang lain. Keterbukaan diri akan membantu individu dalam menyelesaikan
suatu permasalahan dengan orang lain kerena individu memiliki kesiapan
untuk membicarakan permasalahan tersebut secara lebih terbuka.
c. Efisiensi komunikasi, yaitu keterbukaan diri yang dilakukan individu dapat
mempengaruhi proses komunikasi yang dilakukannya. Individu dapat lebih
memahami apa yang dikatakan oleh orang lain apabila individu tersebut
sudah mengenal baik orang lain tersebut, sehingga individu tersebut
mendapatkan pemahaman secara utuh terhadap orang lain dan mungkin
sebaliknya.
d. Kedalaman hubungan, yaitu keterbukaan diri sangat diperlukan dalam
membina suatu hubungan yang bermakna seperti sikap saling percaya,
menghargai, dan jujur. Adanya keterbukaan akan membuat suatu hubungan
lebih bermakna dan mendalam.
2.3 Perawat
Perawat (nurse) berasal dari bahasa Latin yaitu nutrix yang berarti merawat
atau memelihara. Menurut Kusnanto (2003:5), perawat adalah seseorang (seorang
profesional) yang mempunyai kemampuan, tanggung jawab dan pelayanan
keperawatan. Perawat merupakan penolong utama klien dalam melaksanakan
aktivitas penting guna memelihara dan memulihkan kesehatan klien (Atilah Nur
Karumi, 2016:106).
Undang-undang Republik Indonesia No.23 tahun 1992 menyangkut
kesehatan, perawat merupakan mereka yang mempunyai kemampuan dan
29
kewenangan melaksanakan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki
diperoleh melalui pendidikan keperawatan yang telah dilalui.
Perawat berperan membantu individu dan keluarga dalam menghadapi
penyakit dan disabilitas kronik dengan meluangkan sebagaian waktu bekerja di
rumah pasien bersama keluarganya. Adapun peran perawat adalah sebagai
berikut:
1. Sebagai pemberi asuhan keperawatan, merupakan peran yang paling utama
bagi seorang perawat.
2. Sebagai pemberi kenyamanan, merupakan sesuatu perasaan subjektif dalam
diri manusia. Pemberian rasa nyaman yang diberikan perawat kepada klien
dapat berupa sikap atau perilaku yang ditunjukan dengan sikap peduli, sikap
ramah, sikap sopan, da sikap empati yang ditunjukkan perawat kepada klien
pada saat memberikan asuhan keperawatan.
3. Sebagai komunikator. Klien juga membutuhkan interaksi pada saat ia
menjalani asuhan keperawatan. Interaksi verbal yang dilakukan dengan
perawat sedikit banyak akan berpengaruh terhadap peningkatan kesehatan
klien.
2.4 Lanjut Usia (Lansia)
Menurut Elizabeth B. Harlock yang dikutip oleh Argyo Demartoto
menjelaskan bahwa orang yang kira-kira mulai terjadi pada usia 60 tahun ditandai
dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang cenderung
mengarah ke penyesuaian diri yang buruk dan hidupnya tidak bahagia (Argyo
Demartoto, 2016:13). Dalam UU No. 13 Tahun 1998 yang dimaksud lansia atau
lanjut usia adalah laki-laki ataupun perempuan yang berusia 60 tahun atau lebih
30
atau seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas yang mana kemampuan
fisik dan kognitifnya semakin menurun.
Secara biologis penduduk lanjut usia (lansia) adalah penduduk yang
mengalami proses penuaan secara terus-menerus yang ditandai dengan
menurunnya daya tahan tubuh fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan
penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya
perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta sistem organ.
Menurut Bernice Neurgarten dan James C. Chalhoun (dalam Suhartini,
2004:11), masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasakan suatu
kepuasan dengan keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah
permulaan kemunduran. Usia tua dipandang sebagai masa kemunduran, masa
kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar luas.
Jadi dapat disimpulkan bahwa secara umum lanjut usia merupakan kondisi
dimana seseorang mengalami pertambahan umur dengan disertai penurunan
fungsi fisik yang ditandai dengan penurunan masa otot serta kekuatannya, laju
denyut maksimal, peningkatan lemak tubuh, dan penurunan fungsi otak. Saat
lanjut usia tubuh tidak akan mengalami perkembangan lagi sehingga tidak ada
peningkatan kualitas otak.
2.4.1 Tinjauan Faktor Kesehatan Lansia
Faktor kesehatan meliputi keadaan fisik dan keadaan psikis lanjut usia.
Faktor kesehatan fisik meliputi kondisi fisik lanjut usia dan daya tahan fisik
terhadap serangan penyakit. Faktor kesehatan psikis meliputi penyesuaian
terhadap kondisi lanjut usia.
31
1. Kesehatan Fisik
Faktor kesehatan meliputi keadaan fisik dan keadaan psikis lanjut usia.
Kesehatan fisik merupakan faktor utama dari kegelisahan manusia.
Kekuatan fisik,pancaindera, potensi dan kapasitas intelektual mulai
menurun pada tahap-tahap tertentu Prasetyo (dalam Suhartini, 2004:28).
Dengan demikian orang lanjut usiaharus menyesuaikan diri kembali dengan
ketidakberdayaannya.
Kemunduran fisik ditandai dengan beberapa serangan penyakit seperti
gangguan pada sirkulasi darah, persendian, system pernafasan dan mental.
Sehingga keluhan yang sering terjadi adalah mudah lelah/letih, mudah lupa,
gangguan saluran pencernaan saluran buang air kecil, fungsi indra, dan
menurunnya konsentrasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Joseph J. Gallo
(dalam Suhartini, 2004 :16) mengatakan untuk mengkaji fisik pada orang
lanjut usia harus dipertimbangkan keberadaannya,seperti menurunnya
pendengaran, penglihatan, gerakan yang terbatas, dan waktu respon yang
lamban.
2. Kesehatan Psikis
Dengan menurunnya berbagai kondisi dalam diri orang lanjut usia secara
otomatisakan timbul kemunduran kemampuan psikis. Salah satu penyebab
menurunnya kesehatan psikis adalah menurunnya pendengaran, dengan
menurunnya fungsidan kemampuan pendengaran bagi orang lanjut usia
maka banyak dari merekayang gagal dalam menangkap isi pembicaraan
orang lain, sehingga mudah menimbulkan perasaan tersinggung, tidak
dihargai, dan kurangnya rasa percayadiri. Dikarenakan ada penurunan pada
32
fungsi kognitif dan psikomotorik pada diri orang lanjut usia maka akan
muncul beberapa kepribadian lanjut usia sebagai berikut :
a. Tipe kepribadian konstruktif, pada tipe ini tidak banyak mengalami
gejolak,tenang dan mantap sampai sangat tua.
b. Tipe kepribadian mandiri, pada tipe ini ada kecenderungan mengalami
post power syndrome, apabila pada masa lanjut usia tidak diisi dengan
kegiatan yang baik pada dirinya.
c. Tipe kepribadian tergantung, pada tipe ini sangat dipengaruhi kehidupan
keluarga. Apabila kehidupan keluarga harmonis, maka pada masa lanjut
usia (lansia) tidak akan timbul gejolak. Akan tetapi jika pasangan hidup
meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi
merana apalagi jika terbawa arus kedukaan.
d. Tipe kepribadian bermusuhan, pada tipe ini setelah memasuki masa
lanjut usia akan tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya. Banyak
keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama
sehingga menyebabkan kondisi ekonomi rusak, (5) tipe kepribadian kritik
diri, padatipe ini umunya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri
sulit dibantu oleh orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.
2.4.2 Tipe Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup,
lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho, 1999). Tipe
tersebut dijabarkan sebagai berikut:
33
a) Tipe arif bijaksana. Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri
dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah
hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.
b) Tipe mandiri. Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif
dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
c) Tipe tidak puas. Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga
menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik
dan banyak menuntut.
d) Tipe pasrah. Menerima dan menanggung nasib baik, mengikuti kegiatan
agama, dan melakukan pekerjaan apa saja.
e) Tipe bingung. Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,
menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe independen
(ketergantungan), tipe defensife (bertahan), tipe militan dan serius, tipe
pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe
putus asa (benci pada diri sendiri).
2.4.3 Proses Penuaan Lansia
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat
diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks
multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang
sampai pada keseluruhan sistem (Stanley et al. 2006).
Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang
maksimal. Setelah itu tubuh mulai menyusut dikarenakan berkurangnya jumlah
34
sel-sel yang ada di dalam tubuh. Sebagai akibatnya, tubuh juga akan mengalami
penurunan fungsi secara perlahan-lahan. Itulah yang dikatakan proses penuaan
(Maryam RS, Ekasari MF, dkk, 2008).
Pengaruh proses manua dapat menimbulkan berbagai masalah, baik secara
biologis, mental, maupun ekonomi. Semakin lanjut usia seseorang, maka
kemampuan fisiknya akan semakin menurun, sehingga dapat mengakibatkan
kemunduran pada peran-peran sosialnya (Tamher dan Noorkasiani, 2009). Oleh
karena itu, perlu membantu individu untuk menjaga harkat dan otonomi maksimal
meskipun dalam keadaan kehilangan fisik, sosial dan psikologis (Smeltzer, S &
Bere, 2002).
2.5 Teori Penetrasi Sosial
Hubungan antarpribadi merupakan hal yang hidup dan dinamis. Hubungan
ini selalu berkembang (DeVito, 2011: 250). Untuk mengetahui bagaimana suatu
hubungan antarpribadi berkembang atau sebaliknya, rusak, dapat dilakukan
dengan mempelajari sebuah teori komunikasi yang disebut Teori Penetrasi Sosial
(Social Penetration Theory – SPT) dari Irwin Altman & Dalmas Taylor (1973).
SPT merupakan sebuah teori yang menggambarkan suatu pola pengembangan
hubungan, yaitu sebuah proses yang Altman & Taylor identifikasi sebagai
penetrasi sosial.
“Interpersonal closeness proceeds in a gradual and orderly fashion
from superficial to intimate level of exchange, motivated by current and
projected future outcomes. Lasting intimacy requires continual and mutual
vulnerability through breadth and depth of self-disclosure” (Griffin, 2006 :
125)”.
35
Melalui pernyataan Griffin tersebut dapat diketahui bahwa kedekatan
interpersonal merujuk pada sebuah proses ikatan hubungan dimana individu-
individu yang terlibat bergerak dari komunikasi superfisial menuju ke komunikasi
yang lebih intim. Lebih lanjut Griffin menyebutkan bahwa keintiman yang
bertahan lama membutuhkan ketidakberdayaan yang terjadi secara
berkesinambungan tetapi juga bermutu dengan cara melakukan pengungkapan diri
yang luas dan dalam.
Keintiman di sini, menurut Altman & Taylor, lebih dari sekedar keintiman
secara fisik; dimensi lain dari keintiman termasuk intelektual dan emosional,
hingga pada batasan dimana kita melakukan aktivitas bersama (West & Turner,
2011). Artinya, perilaku verbal (berupa kata-kata yang digunakan), perilaku
nonverbal (dalam bentuk postur tubuh, ekspresi wajah, dan sebagainya), serta
perilaku yang berorientasi pada lingkungan (seperti ruang antara komunikator,
objek fisik yang ada di dalam lingkungan, dan sebagainya) termasuk ke dalam
proses penetrasi sosial.
2.5.1 Asumsi Dasar Teori Penetrasi Sosial
Berikut adalah beberapa asumsi Teori Penetrasi Sosial menurut West &
Turner dalam buku pengantar teori komunikasi (West & Turner, 2008: 197):
a. Hubungan-hubungan mengalami kemajuan dari tidak intim menjadi intim.
Hubungan komunikasi antara orang dimulai pada tahapan superfisial dan
bergerak pada sebuah kontinum menuju tahapan yang lebih intim.
Walaupun tidak semua hubungan terletak pada titik ekstrem, tidak intim
maupun intim. Sering kali, kita mungkin menginginkan kedekatan
hubungan yang ekstrem. Contohnya, kita mungkin ingin agar hubungan
36
dengan rekan kerja kita cukup jauh sehingga kita tidak perlu mengetahui apa
yang terjadi di rumahnya setiap malam atau berapa banyak uang yang ia
miliki di bank.Akan tetapi, kita perlu untuk mengetahui cukup informasi
personal untuk menilai apakah ia mampu menyelesaikan tanggung jawab-
nya dalam sebuah proyek tim.
b. Secara umum perkembangan hubungan sistematis dan dapat diprediksi.
Secara khusus para teoretikus penetrasi sosial berpendapat bahwa
hubungan-hubungan berkembang secara sistematis dan dapat diprediksi.
Beberapa orang mungkin memiliki kesulitan untuk menerima klaim ini.
Hubungan – seperti proses komunikasi – bersifat dinamis dan terus berubah,
tetapi bahkan sebuah hubungan yang dinamis mengikuti standar dan pola
perkembangan yang dapat diterima. Meskipun kita mungkin tidak
mengetahui secara pasti mengenai arah dari sebuah hubungan atau dapat
menduga secara pasti masa depannya, proses penetrasi sosial cukup teratur
dan dapat diduga. Tentu saja, sejumlah peristiwa dan variabel lain (waktu,
kepribadian dan sebagainya) memengaruhi cara perkembangan hubungan
dan apa yang kita prediksikan dalam proses tersebut. Sebagaimana
disimpulkan oleh Altman & Taylor (1973), “orang tampaknya memiliki
mekanisme penyesuaian yang sensitif yang membuat mereka mampu untuk
memprogram secara hati-hati hubungan interpersonal mereka”.
c. Perkembangan Hubungan mencakup depenetrasi (penarikan diri) dan
disolusi. Mulanya, kedua hal ini mungkin terdengar aneh. Sejauh ini kita
telah memba-has titik temu dari sebuah hubungani hubungan dapat menjadi
berantakan, atau menarik diri (depenetrate) dan kemunduran ini dapat
37
menyebabkan terjadinya disolusi hubungan. Akan tetapi hubungan dapat
menjadi berantakan atau menarik diri (depenetrasi) dan kemunduran ini
dapat menyebabkan terjadinya disolusi hubungan.
Berbicara mengenai penarikan diri dan disolusi, Altman & Taylor
menyatakan kemiripan proses ini dengan sebuah film yang diputar mundur.
Sebagaimana komunikasi memungkinkan sebuah hubungan untuk bergerak maju
menuju tahap keintiman, komunikasi dapat menggerakkan hubungan untuk
mundur menuju tahap ketidakintiman. Jika komunikasi penuh dengan konflik,
contohnya, dan konflik ini terus berlanjut menjadi rusak dan tidak bisa
diselesaikan, hubungan itu mungkin akan mengambil langkah mundur dan
menjadi lebih jauh.
2.5.2 Struktur Lapisan Personal Model Bawang
Dalam teori ini, Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang
merah. Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau
lapisan kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan
menemukan lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian manusia.
Lapisan kulit terluar dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka
bagi publik, apa yang biasa kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak
ditutup-tutupi. Jika kita mampu melihat lapisan yang sedikit lebih dalam lagi,
maka di sana ada lapisan yang tidak terbuka bagi semua orang, lapisan
kepribadian yang lebih bersifat semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya terbuka
bagi orang-orang tertentu saja, orang terdekat misalnya. Lapisan yang paling
dalam adalah wilayah private, dimana di dalamnya terdapat nilai-nilai, konsep
diri, konflik-konflik yang belum terselesaikan, emosi yang terpendam, dan
38
semacamnya. Lapisan ini tidak terlihat oleh dunia luar, oleh siapapun, bahkan dari
kekasih, orang tua, atau orang terdekat manapun. Akan tetapi lapisan ini adalah
yang paling berdampak atau paling berperan dalam kehidupan seseorang.
Kedekatan kita terhadap orang lain, menurut Altman dan Taylor, dapat
dilihat dari sejauh mana penetrasi kita terhadap lapisan-lapisan kepribadian tadi.
Dengan membiarkan orang lain melakukan penetrasi terhadap lapisan kepribadian
yang kita miliki artinya kita membiarkan orang tersebut untuk semakin dekat
dengan kita. Taraf kedekatan hubungan seseorang dapat dilihat dari sini. Dalam
perspektif teori penetrasi sosial, Altman dan Taylor menjelaskan beberapa
penjabaran sebagai berikut (Em Griffin, 2006: 115-116):
Pertama, kita lebih sering dan lebih cepat akrab dalam hal pertukaran pada
lapisan terluar dari diri kita. Kita lebih mudah membicarakan atau ngobrol tentang
hal-hal yang kurang penting dalam diri kita kepada orang lain, daripada
membicarakan tentang hal-hal yang lebih bersifat pribadi dan personal. Semakin
ke dalam kita berupaya melakukan penetrasi, maka lapisan kepribadian yang kita
hadapi juga akan semakin tebal dan semakin sulit untuk ditembus. Semakin
mencoba akrab ke dalam wilayah yang lebih pribadi, maka akan semakin sulit
pula.
Kedua, keterbukaan-diri (self disclosure) bersifat resiprokal (timbal-balik),
terutama pada tahap awal dalam suatu hubungan. Menurut teori ini, pada awal
suatu hubungan kedua belah pihak biasanya akan saling antusias untuk membuka
diri, dan keterbukaan ini bersifat timbal balik. Akan tetapi semakin dalam atau
semakin masuk ke dalam wilayah yang pribadi, biasanya keterbukaan tersebut
39
semakin berjalan lambat, tidak secepat pada tahap awal hubungan mereka, dan
juga semakin tidak bersifat timbal balik.
Ketiga, penetrasi akan cepat di awal akan tetapi akan semakin berkurang
ketika semakin masuk ke dalam lapisan yang makin dalam. Tidak ada istilah
“langsung akrab”. Keakraban itu semuanya membutuhkan suatu proses yang
panjang. Dan biasanya banyak dalam hubungan interpersonal yang mudah runtuh
sebelum mencapai tahapan yang stabil. Pada dasarnya akan ada banyak faktor
yang menyebabkan kestabilan suatu hubungan tersebut mudah runtuh, mudah
goyah. Akan tetapi jika ternyata mampu untuk melewati tahapan ini, biasanya
hubungan tersebut akan lebih stabil, lebih bermakna, dan lebih bertahan lama.
Keempat, depenetrasi adalah proses yang bertahap dengan semakin
memudar. Maksudnya adalah ketika suatu hubungan tidak berjalan lancar, maka
keduanya akan berusaha semakin menjauh. Akan tetapi proses ini tidak bersifat
eksplosif atau meledak secara sekaligus, tapi lebih bersifat bertahap. Semuanya
bertahap, dan semakin memudar.
2.5.3 Tahapan Proses Penetrasi Sosial
Teori pertama dari Altman dan Taylor ini disusun berdasarkan suatu
gagasan yang sangat populer dalam tradisi sosiopsikologi yaitu ide bahwa
manusia membuat keputusan didasarkan atas prinsip “biaya” (cost) dan “imbalan”
(reward). Menurut Altman dan Taylor orang tidak hanya menilai biaya dan
imbalan suatu hubungan pada saat tertentu saja, tetapi mereka juga menggunakan
segala informasi yang ada untuk memperkirakan biaya dan imbalan pada waktu
yang akan datang.
40
Ketika imbalan yang diterima lambat laun semakin besar sedangkan biaya
semakin berkurang, maka hubungan diantara pasangan individu akan semakin
dekat dan intim dan mereka masing-masing akan lebih banyak memberikan
informasi mengenai diri mereka masing-masing. Altman dan Taylor mengajukan
empat tahap perkembangan hubungan antar-individu yaitu:
a. Tahap Orientasi (Membuka sedikit demi sedikit)
Tahap dimana komunikasi yang terjadi bersifat tidak pribadi (impersonal).
Para individu yang terlibat hanya menyampaikan informasi yang bersifat
sangat umum saja. Selama tahap ini, pernyataan-pernyataan yang dibuat
biasanya hanya hal-hal yang klise dan merefleksikan aspek superfersial dari
seorang individu. Orang biasanya bertindak sesuai dengan cara yang
dianggap baik secara sosial dan berhati-hati untuk tidak melanggar harapan
sosial. Selain itu, individu-individu tersenyum manis dan bertindak sopan
pada tahap orientasi. Altman dan Taylor (1987) menyatakan bahwa orang
cenderung tidak mengevaluasi atau mengkritik selama tahap orientasi.
Perilaku ini akan dipersepsikan sebagai ketidakwajaran oleh orang lain dan
mungkin akan merusak interaksi selanjutnya. Jika evaluasi terjadi,
teoretikus percaya bahwa kondisi itu akan diekspresikan dengan sangat
halus. Selain itu, kedua individu secara aktif menghindari setiap konflik
sehingga mereka mempunyai kesempatan berikutnya untuk menilai diri
mereka masing-masing. Jika pada tahap ini mereka yang terlibat merasa
cukup mendapatkan imbalan dari interaksi awal, maka mereka akan
melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap pertukaran efek eksploratif.
41
b. Tahap Pertukaran Efek Eksploratif (Munculnya diri)
Tahap dimana muncul gerakan menuju ke arah keterbukaan yang lebih
dalam. Tahap ini menyajikan suatu perluasan mengenai banyaknya
komunikasi dalam wilayah di luar publik; aspek-aspek kepribadian yang
dijaga atau ditutupi sekarang mulai dibuka atau secara lebih perinci, rasa
berhati-hati sudah mulai berkurang. Hubungan pada tahap ini umumnya
lebih ramah dan santai, dan jalan menuju ke wilayah lanjutan yang bersifat
akrab dimulai (Budiyatna & Mona G, 2012:228). Tahap ini merupakan
perluasan area publik dari diri dan terjadi ketika aspek-aspek dari
kepribadian seorang individu mulai muncul. Para teoretikus mengamati
bahwa tahap ini setara dengan hubungan yang kita miliki dengan kenalan
dan tetangga yang baik. Seperti tahap-tahap lainnya, tahap ini juga
melibatkan perilaku verbal dan nonverbal.
c. Tahap Pertukaran Afektif (Komitmen dan nyaman)
Tahap munculnya perasaan kritis dan evaluative pada level yang lebih
dalam. Tahap ketiga ini tidak akan dimasuki kecuali para pihak pada tahap
sebelumnya telah menerima imbalan yang cukup berarti dibandingkan
dengan biaya yang dikeluarkan. Tahap ini ditandai oleh persahabatan yang
dekat dan pasangan yang intim. Di sini, perjanjian bersifat interaktif lebih
lancar dan kausal. Interaksi pada lapis luar kepribadian menjadi terbuka, dan
adanya yang meningkat pada lapis menengah kepribadian. Meskipun adanya
rasa kehati-hatian, umumnya terdapat sedikit hambatan untuk penjajakan
secara terbuka mengenai keakraban. Tahap pertukaran afektif
menggambarkan komitmen lanjut kepada individu lainnya, para interaktan
42
merasa nyaman satu dengan lainnya. Tahap ini mencakup nuansa-nuansa
hubungan yang membuatnya menjadi unik; senyum mungkin menggantikan
untuk kata “saya mengerti”, atau pandangan yang menusuk diartikan
sebagai “kita bicarakan ini nanti”. Tahap ini merupakan tahap peralihan ke
tingkat yang paling tinggi mengenai pertukaran keakraban yang mungkin.
d. Tahap Pertukaran Stabil (Kejujuran total dan komitmen)
Adanya keintiman dan pada tahap ini, masing-masing individu
dimungkinkan untuk memperkirakan masing-masing tindakan mereka dan
memberikan tanggapan dengan sangat baik (Morissan, 2014:299). Dalam
tahap ini, pasangan berada dalam tingkat keintiman tinggi dan sinkron,
maksudnya, perilaku-perilaku di antara keduanya kadang kala terjadi
kembali, dan pasangan mampu untuk menilai dan menduga perilaku
pasangannya dengan cukup akurat.
2.5.4 Mengatur Kedekatan Berdasarkan Cost dan Reward
Dalam teori penetrasi sosial, kedalaman suatu hubungan adalah penting.
Tapi, keluasan ternyata juga sama pentingnya. Maksudnya adalah mungkin dalam
beberapa hal tertentu yang bersifat pribadi kita bisa sangat terbuka kepada
seseorang yang dekat dengan kita. Akan tetapi bukan berarti juga kita dapat
membuka diri dalam hal pribadi yang lainnya. Mungkin kita bisa terbuka dalam
urusan asmara, namun kita tidak dapat terbuka dalam urusan pengalaman di masa
lalu. Atau yang lainnya.
Karena hanya ada satu area saja yang terbuka bagi orang lain (misalkan
urusan asmara tadi), maka hal ini menggambarkan situasi di mana hubungan
mungkin bersifat mendalam akan tetapi tidak meluas (depth without breadth).
43
Dan kebalikannya, luas tapi tidak mendalam (breadth without depth) mungkin
ibarat hubungan “halo, apa kabar?”, suatu hubungan yang biasa-biasa saja.
Hubungan yang intim adalah di mana meliputi keduanya, dalam dan juga luas.
Keputusan tentang seberapa dekat dalam suatu hubungan menurut teori
penetrasi sosial ditentukan oleh prinsip untung-rugi (reward-costs analysis).
Setelah perkenalan dengan seseorang pada prinsipnya kita menghitung faktor
untung-rugi dalam hubungan kita dengan orang tersebut, atau disebut dengan
indeks kepuasan dalam hubungan (index of relational satisfaction). Begitu juga
yang orang lain tersebut terapkan ketika berhubungan dengan kita. Jika hubungan
tersebut sama-sama menguntungkan maka kemungkinan untuk berlanjut akan
lebih besar, dan proses penetrasi sosial akan terus berkelanjutan.
Altman dan Taylor merujuk kepada pemikiran John Thibaut dan Harold
Kelley (1952) tentang konsep pertukaran sosial (social exchange). Menurut
mereka dalam konsep pertukaran sosial, sejumlah hal yang penting antara lain
adalah soal relational outcomes, relational satisfaction, dan relational stability.
Thibaut dan Kelley menyatakan bahwa kita cenderung memperkirakan
keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam suatu hubungan atau relasi dengan
orang lain sebelum kita melakukan interaksi. Kita cenderung menghitung untung-
rugi. Jika kita memperkirakan bahwa kita akan banyak mendapatkan keuntungan
jika kita berhubungan dengan seseorang tersebut maka kita lebih mungkin untuk
membina relasi lebih lanjut.
Dalam masa-masa awal hubungan kita dengan seseorang biasanya kita
melihat penampilan fisik atau tampilan luar dari orang tersebut, kesamaan latar
44
belakang, dan banyaknya kesamaan atau kesamaan terhadap hal-hal yang disukai
atau disenangi. Dan hal ini biasanya juga dianggap sebagai suatu “keuntungan”.
Akan tetapi dalam suatu hubungan yang sudah sangat akrab seringkali kita bahkan
sudah tidak mempermasalahkan mengenai beberapa perbedaan di antara kedua
belah pihak, dan kita cenderung menghargai masing-masing perbedaan tersebut.
Karena kalau kita sudah melihat bahwa ada banyak keuntungan yang kita
dapatkan daripada kerugian dalam suatu hubungan, maka kita biasanya ingin
mengetahui lebih banyak tentang diri orang tersebut.
Menurut teori pertukaran sosial, kita sebenarnya kesulitan dalam
menentukan atau memprediksi keuntungan apa yang akan kita dapatkan dalam
suatu hubungan atau relasi dengan orang lain. Karena secara psikologis apa yang
dianggap sebagai “keuntungan” tadi berbeda-beda tiap-tiap orang. Teori
pertukaran sosial mengajukan dua standar umum tentang apa-apa yang dijadikan
perbandingan atau tolok ukur dalam mengevaluasi suatu hubungan interpersonal.
2.6 Kerangka Berfikir
Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti bagaimana membangun
keterbukaan diri antara perawat dan lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
dan lanjut usia (lansia). Bagaimana perawat berkomunikasi secara interpersonal
dan lanjut usia (lansia) tersebut dalam proses interaksi ataupun beradaptasi,
dinama perawat akan menjadi objek utama dalam penelitian ini, yang akan diteliti
mulai dari proses awal berinteraksi ataupun beradaptasi, saat melakukan aktivitas
di dalam Panti Sosial atau kegiatan lain di luar Panti Sosial. Proses interaksi yang
yang terjadinya antara perawat dan lansia untuk menggambarkan suatu pola
pengembangan hubungan dari komunikasi yang superfisial menuju ke komunikasi
45
yang lebih intim, hingga ada atau tidaknya hambatan dalam proses komunikasi
dan bagaimana perawat menyelesaikan hambatan tersebut.
Proses komunikasi yang berlangsung di dalam Panti Sosial antara perawat
dan lanjut usia (lansia), memiliki faktor-faktor yang akan menjadi hambatan dan
akan menggangu proses komunikasi. Penyampaian pesan yang dilakukan juga
melalui komunikasi verbal dan non verbal. Salah satu faktornya yang dapat
menghambat proses komunikasi adalah faktor psikologis dari lanjut usia (lansia)
yang menjadi komunikan. Lanjut usia (lansia) memiliki motivasi, minat atau
emosi yang berbeda-beda, maka penyampaian pesannya pun berbeda-beda. Selain
itu faktor biologis juga dapat mempengaruhi proses komunikasi, karena tingkat
gangguan yang dialami lanjut usia (lansia) pun berbeda-beda.
Dari beberapa faktor di atas dapat menjadikan pertimbangan bagi seorang
perawat dalam menjalin komunikasi, agar tetap terjalin interaksi dengan lanjut
usia (lansia). Proses komunikasi yang dilakukan bertujuan untuk menghasilkan
komunikasi yang efisien dalam melakukan interaksi melalui beberapa tahap pada
teori penetrasi sosial menurut Altman & Taiylor, seperti tahap orientasi, tahap
penjajakan pertukaran afektif, tahap pertukaran afektif dan tahap pertukaran stabil
sehingga dapat membangun dan mengembangkan hubungan interpersonal melalui
teori penetrasi sosial.
46
Gambar 2.1
Kerangka Berfikir
Tahap Pertukaran
Afektif
Pertukaran Stabil Tahap Pertukaran
Efek Eksploratif
Pola Keterbukaan diri Antara
Perawat dan Lansia
Tahap Orientasi
Komunikasi Interpersonal antara Perawat dengan
Lansia
Teori Penetrasi Sosial
(Altman & Taylor)
47
2.7 Tinjauan Penelitian
Sebagai rujukan dari penelitian terkait tentang tema yang diteliti, peneliti
berusaha mencari referensi hasil penelitian yang dikaji oleh peneliti-peneliti
terdahulu sehingga dapat membantu peneliti dalam mengkaji tema yang diteliti.
Adapun berikut ini tinjauan penelitian yang diperoleh:
2.7.1 Triesty Aprilia (2016). Pola Komunikasi Terapeutik Dokter terhadap
Pasien Rawat Inap dalam Proses Penyembuhan (Studi Deskriptif Kualitatif
Aktivitas Komunikasi Interpersonal Dokter dan Pasien di Rumah Sakit
Krakatau Medika).
Komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara dokter
dengan pasien yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya
dipusatkan kepada pasien. Rumah Sakit Krakatau Medika memiliki fasilitas
penunjang yang cukup lengkap. Karena itu, Rumah Sakit Krakatau Medika
menjadi rumah sakit pilihan warga Cilegon. Adapun tujuan penelitiannya adalah
untuk menguraikan bagaimana komunikasi terapeutik dokter dan pasien, interaksi
verbal dan non verbal dalam proses penyembuhan, dan bagaimana upaya dokter
untuk mengatasi hambatan di ruang inap. Penelitian ini menggunakan teori
atribusi serta menggunakan metode penulisan kualitatif deskriptif untuk
menjabarkan hasil penelitian. Hasil penelitiannya adalah komunikasi terapeutik
dapat dilakukan oleh dokter secara profesional dan sabar dengan faktor
kepercayaan dan keterbukaan mengenai riwayat penyakit pasien menjadi hal yang
sangat penting. Penggunaan bahasa lebih selektif terhadap permasalahan yang
sensitif serta mempertahankan kontak mata dengan pasien. Adapun faktor
penghambat penelitiannya adalah perbedaan latar belakang pendidikan antara
48
dokter dan pasien. Kondisi pasien yang tidak fit pun mengurangi tingkat fokus
pada ucapan dokter. 1
2.7.2 Dita Putriana(2016). Pola Komunikasi Pengasuh dengan Lanjut Usia di
Pelayanan Sosial Lanjut Usia Tresna Werdha Natar, Lampung Selatan.
Berkomunikasi merupakan hal yang penting yang terjadi di kehidupan dan
dilakukan oleh semua orang tidak terkecuali komunikasi yang dilakukan oleh
pengasuh dengan lansia di dalam suatu Unit Pelayanan Lanjut Usia Tresna
Werdha Natar. Komunikasi yang dilakukan oleh pengasuh terhadap lansianya
merupakan hal yang diteliti untuk mendapatkan pola komunikasi apa yang
dihasilkan. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui data
observasi dan wawancara kemudian penulis tuangkan kedalam tulisan. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori Self-Disclosure (teori keterbukaan
diri). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengasuh membuat para lanjut usia
terbuka atas apa yang dirasakan dalam kesehariannya mengenai kegiatan yang
mereka lakukan. Hasil penelitian menunjukkan jika Pola Komunikasi Sirkular
merupakan pola komunikasi yang paling efektif digunakan diantara mereka untuk
melakukan komunikasi.2
2.7.3 Ayip Iqbal Waladi (2014). Pola Komunikasi Antarpribadi Guru
Sekolah Khusus Negeri (SKhN) 01 Kota Serang dengan Murid Penderita
Tunagrahita dalam Proses Belajar Mengajar di Kelas.
Komunikasi merupakan salah satu proses sosial yang sangat mendasar
dalam kehidupan manusia. Namun dalam kegiatan komunikasi terkadang
1Triesty, Aprilia.2016. Pola Komunikasi Terapeutik Dokter terhadap Pasien Rawat Inap dalam
Proses Penyembuhan. Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2Dita, Putriana .2016. Pola Komunikasi Pengasuh dengan Lanjut Usia di Pelayanan Sosial Lanjut
Usia Tresna Werdha Natar, Lampung Selatan. Bandar Lampung: Universitas Lampung
49
menemukan hambatan dalam proses penyampaian pesan, pengiriman pesan
sampai pemahaman pesan. Khususnya berkomunikasi dengan anak penyandang
tunagrahita sangat dibutuhkan kemampuan khusus seorang guru tentang
bagaimana mengajar dan memberikan instruksi dalam upaya memberikan
pengetahuan sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Salah satunya dengan
menerapkan komunikasi antarpribadi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui tahap interaksi awal antara guru kepada murid tunagrahita,
mengetahui keterlibatan dan keakraban dan mengetahui pemutusan dalam
hubungan antarpribadi guru dengan murid tunagrahita dalam proses belajar
mengajar di kelas yang diterapkan oleh guru-guru di Sekolah Khusus Negeri
(SKhN) 01 Kota Serang. Teori yang digunakan adalah model hubungan lima
tahap deVito. Metode penelitiannya yaitu metode deskriptif kualitatif dengan
menggunakan key informan sebagai narasumber peneliti. Hasil penelitiannya
adalah hubungan lima tahap deVito yakni dari mulai kontak awal sampai
pemutusan hubungan berlaku dan sesuai dengan pola komunikasi antarpribadi
guru dengan murid tunagrahita dalam proses belajar mengajar di kelas.3
3Ayip, Iqbal W. 2014. Pola Komunikasi Antarpribadi Guru Sekolah Khusus Negeri (SKhN) 01
Kota Serang dengan Murid Penderita Tunagrahita dalam Proses Belajar Mengajar di
Kelas.Serang: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
50
Tabel 2.1
Tabel Tinjauan Penelitian
Nama Tujuan Penelitian Teori Metode
Penelitian Hasil Penelitian
Triesty Aprilia
(2016)
Pola Komunikasi
Terapeutik Dokter
terhadap Pasien
Rawat Inap dalam
Proses
Penyembuhan
(Studi Deskriptif
Kualitatif Aktivitas
Komunikasi
Interpersonal
Dokter dan Pasien
di Rumah Sakit
Krakatau Medika)
Untuk menguraikan
bagaimana
komunikasi terapeutik
dokter dan pasien,
interaksi verbal dan
non verbal dalam
proses penyembuhan,
dan bagaimana upaya
dokter untuk
mengatasi hambatan
di ruang inap.
Teori
Atribusi
Kualitatif,
deskriptif
Hasil dari penelitian ini
adalah komunikasi
terapeutik dapat dilakukan
oleh dokter secara
profesional dan sabar
dengan faktor kepercayaan
dan keterbukaan mengenai
riwayat penyakit pasien
menjadi hal yang sangat
penting. Penggunaan bahasa
lebih selektif terhadap
permasalahan yang sensitif
serta mempertahankan
kontak mata dengan pasien.
Dita Putriana
(2016)
Pola Komunikasi
Pengasuh dengan
Lanjut Usia di
Pelayanan Sosial
Lanjut Usia Tresna
Werdha Natar,
Lampung Selatan
Untuk mendapatkan
pola komunikasi apa
yang dihasilkan
Teori
Pengungkapa
n Diri (Self-
Discluosure
Theory)
Kualitatif,
deskriptif
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
pengasuh membuat para
lanjut usia terbuka atas apa
yang dirasakan dalam
kesehariannya mengenai
kegiatan yang mereka
lakukan dan pola
komunikasi sirkular
merupakan pola komunikasi
yang paling efektif
51
digunakan diantara mereka
untuk melakukan
komunikasi.
Ayip Iqbal Waladi
(2014)
Pola Komunikasi
Antarpribadi Guru
Sekolah Khusus
Negeri (SKhN) 01
Kota Serang
dengan Murid
Penderita
Tunagrahita dalam
Proses Belajar
Mengajar di Kelas.
Untuk mengetahui
tahap interaksi awal
antara guru kepada
murid tunagrahita,
mengetahui
keterlibatan dan
keakraban dan
mengetahui
pemutusan dalam
hubungan antarpribadi
guru dengan murid
tunagrahita dalam
proses belajar
mengajar di kelas
yang diterapkan oleh
guru-guru di Sekolah
Khusus Negeri
(SKhN) 01 Kota
Serang.
Model
Hubungan
Lima Tahap
(DeVito)
Kualitatif,
deskriptif
Hasil penelitian bahwa
hubungan lima tahap deVito
yakni dari mulai kontak
awal sampai pemutusan
hubungan berlaku dan
sesuai dengan pola
komunikasi antarpribadi
guru dengan murid
tunagrahita dalam proses
belajar mengajar di kelas.
52
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian
Seperti penelitian pada umumnya, penelitian dilakukan untuk mengetahui
kebenaran dan menemukan fakta. Ketika seseorang melakukan penelitian, secara
sadar atau tidak memiliki perspektif atau cara pandang dalam memandang hal atau
peristiwa tertentu. Cara pandang peneliti merupakan satu perangkat kepercayaan
yang sudah terbentuk dalam diri peneliti yang didasarkan atas asumsi-asumsi
tertentu yang dinamakan paradigma. Paradigma penelitian menurut Guba dan
Lincoln merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang
peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti memahami suatu
masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah
penelitian (Moleong, 2004: 48).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma interpretif.
Paradigma interpretif berpandangan bahwa realitas sosial secara sadar dan secara
aktif dibangun sendiri oleh individu, setiap individu mempunyai potensi memberi
makna tentang apa yang dilakukan. Realitas itu ada dalam bentuk bermacam-
macam konstruksimental, berdasarkan pengalaman sosial bersifat lokal dan
spesifik serta tergantung pada orang yang melakukannya. Menurut Burel dan
Morgan (1979: 28), inti dari paradigma interpretif adalah memahami fundamental
dari dunia sosial pada tingkat pengamatan sosial dan tingkat subjektif seseorang
yang bersifat nominalis, antipositivis, voluntarisme denideografis.
53
Maka dalam penelitian ini, peneliti harus mampu menguraikan data yang
diperoleh melalui kegiatan observasi dengan memahami setiap bentuk kegiatan
perawat dan lanjut usia (lansia) pada proses interaksi dan beradaptasi di dalam
panti sosial.
3.2 Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan dalam
kasus ini adalah sifat penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian
kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif
mengenai kata-kata lisan maupun tertulis dan tingkah laku yang diamati.
Penelitian deskriptif ditujukan untuk: (1) mengumpulkan informasi aktual
secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2) mengidentifikasi masalah atau
pemeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) membuat perbandingan
dan evaluasi, (4) menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi
masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan
rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.
Dalam uraian di atas, maka penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif ini bertujuan untuk memaparkan dan mendeskriptifkan masalah-masalah
yang ada secara terperinci dalam mengumpulkan informasi mengenai bagaimana
pola keterbukaan diri antara perawat dan lanjut usia di Panti Sosial.
3.3 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode pendekatan kualitatif
dimana peneliti hanya melakukan pemaparan situasi atau kondisi dan tidak
54
mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat
prediksi.
Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen)
dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Obyek dalam
penelitian kualitatif adalah obyek yang alamiah, atau natural setting, sehingga
metode penelitian ini sering disebut sebagai metode naturalistik. Dalam penelitian
kualitatif, peneliti menjadi instrumen. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif
instrumennya adalah orang atau human instrument. Untuk dapat menjadi
instrumen, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas, sehingga
mampu bertanya, menganalisis, memotret, dan mengkonstruksi obyek yang
diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna (Sugiyono, 2008: 1-2).
3.4 Subjek Penelitian
Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan teknik purposive sampling,
teknik yang mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar riset kriteria-kriteria
tertentu yang dibuat periset berdasarkan tujuan riset (Krisyantono, 2006: 156)..
Subjek penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sumber data yang
berkaitan dengan sumber informasi yang menjadi fokus penelitian. Subjek
penelitian yang diteliti dalam penelitian ini adalah Perawat dan Lansia di Panti
Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang. Peneliti memilih perawat dan
lansia yang dijadikan subjek inti dalam penelitian ini dengan kriteria sebagai
berikut: (a) perawat yang telah bekerja di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
55
lebih dari satu tahun; (b) perawat perempuan satu orang dan laki-laki satu orang;
(c) umur perawat antara 25 hingga 45 tahun; (d) umur lansia berkisar 65 hingga
78 tahun; (e) lansia yang tinggal di wisma tempat perawat bekerja.
3.5 Objek Penelitian
Objek penelitian merupakan masalah yang diteliti. Objek dari penelitian ini
adalah pola keterbukaan diri antara perawat pada lanjut usia. Menurut Husein
Umar (2005: 303), bahwa objek penelitian adalah sebagai berikut: “Objek
penelitian menjelaskan tentang apa dan atau siapa yang menjadi objek penelitian,
dan juga dimana dan kapan penelitian dilakukan, biasa juga ditambahkan dengan
hal-hal lain jika dianggap perlu”.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data akan mempengaruhi kualitas dari data hasil
penelitian. Kualitas pengumpulan data berkenaan dengan ketepatan cara-cara yang
digunakan peneliti untuk mengumpulkan data. Pengumpulan data dapat dilakukan
dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara (Sugiyono, 2012:137).
Untuk mendapatkan informasi atau data yang peneliti inginkan, maka dalam
teknik pengumpulan data ini penelitian menggunakan teknik yang dilakukan,
yakni observasi, wawancara dan dokumentasi.
a. Observasi
Observasi adalah salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan
peneliti untuk mendapatkan data. Pada Penelitian kali ini peneliti
mengumpulkan data dengan melakukan pengamatan secara langsung
terhadap objek yang diteliti. Peneliti menggunakan teknik observasi
berpartisipasi. Metode ini memungkinkan peneliti terjun langsung dan
56
menjadi bagian yang diteliti bahkan hidup bersama-sama di tengah individu
atau kelompok yang diobservasi dalam jangka waktu tertentu (Rachmat
Kriyantono, 2009: 110). Observasi dilakukan di Panti Sosial Sasana Tresna
Cipocok Jaya Serang.
b. Wawancara
Wawancara menurut Lexy Moleong (2013:135), mengatakan bahwa
percakapan dengan maksud tertentu. Pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan metode wawancara, sedangkan alat bantu yang akan
digunakan adalah alat perekam berupa voice recorder, perekam gambar
(handycam). Wawancara adalah percakapan dengan maksud dan tujuan
tertentu dimana percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak
pewawancara (interviewer) yang mengajukan perrtanyaan dan pihak yang di
wawancarai (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang
diberikan.
Pada proses wawancara ini pertanyaan yang diberikan tidak berstruktur, dan
dalam suasana bebas yang santai maksudnya adalah menghilangkan kesan
formal dengan menyesuaikan keadaan yang lebih kekeluargaan. Maksud
mengadakan wawancara adalah untuk mengkonstruksi mengenaiseseorang,
kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan
sebagainya. Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara kepada
penanggung jawab Panti Sosial, perawat dan lanjut usia (lansia) di Balai
Perlindungan Sosial, Dinas Sosial Provinsi Banten tepatnya di Panti Sosial
Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang.
57
c. Dokumentasi
Dokumentasi sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber data
yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.
Dokumentasi menjadi salah satu teknik pengumpulan data yang penting.
Disini peneliti melakukan dokumentasi saat studi lapangan di Panti Sosial
Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang.
3.7 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
interaktif. Model ini ada 4 komponen analisis, yaitu: pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Menurut Moleong (2004:280-
281), “Analisis data adalah proses menyusun dan mengurutkan data kedalam pola,
kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan tempat yang
sesuai dengan hasil sementara dari data”.
Menurut Miles dan Huberman (1992:15-19) menuturkan langkah analisis
data adalah sebagai berikut (dalam Anis Fuad dan Kandung S Nugroho, 2013:92):
Pertama, pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data di lokasi penelitian
dengan melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi dengan menentukan
strategi pengumpulan data yang dipandang tepat dan untuk menentukan fokus
serta pendalaman data pada proses pengumpulan data berikutnya. Kedua, reduksi
data, yaitu sebagai proses seleksi, pemfokusan, pengabstrakan, transformasi data
kasar yang ada dilapangan langsung dan diteruskan pada waktu pengumpulan
data, dengan demikian reduksi data dimulai sejak peneliti memfokuskan wilayah
penelitian.
58
Ketiga, penyajian data, yaitu rangkaian penyusunan informasi yang
memungkinkan penelitian dilakukan. Penyajian data diperoleh berbagai jenis,
jaringan kerja, keterkaitan kegiatan atau tabel. Keempat, penarikan kesimpulan,
yaitu dalam pengumpulan data, peneliti harus mengerti dan tanggap terhadap
sesuatu yang diteliti langsung di lapangan dengan menyusun pola-pola
pengarahan dan sebab-akibat.
3.8 Metode Keabsahan Data
Metode keabsahan data diperlukan untuk menilai kesahihan (validitas) data
dalam penelitian kualitatif. Triangulasi data merupakan teknik pemeriksaan
keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk
keperluan pengecekan data atau sebagai perbandingan terhadap data itu.
Menurut Sugiyono (2006:267), Validitas merupakan “derajat ketetapan
antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan
oleh peneliti”. Ada tiga macam triangulasi, yang pertama, triangulasi sumber data
yang berupa informasi dari tempat, peristiwa dan dokumen yang memuat catatan
berkaitan dengan data yang dimaksud. Kedua, triangulasi teknik atau metode
pengumpulan data yang berasal dari wawancara, observasi dan dokumen. Ketiga,
triangulasi waktu pengumpulan data merupakan kapan dilaksanakannya
triangulasi teknik atau metode pengumpulan data.
Berdasarkan pemaparan di atas penelitian ini menggunakan dua macam
triangulasi, pertama tiangulasi sumber data yang berupa observasi dan wawancara
dengan narasumber secara langsung dan dokumen yang berisi catatan terkait
dengan data yang diperlukan oleh peneliti.
59
3.9 Lokasi dan Jadwal Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Balai Perlindungan Sosial Dinas Sosial
Provinsi Banten tepatnya di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya
Serang.Adapun jadwal penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1
Tabel Jadwal Penelitian
Kegiatan
Bulan
April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov
De
s
Acc judul
Pra Observasi
Penyusunan Bab I
Penyusunan Bab II
Penyusunan Bab III
Sidang Outline
Observasi
Penyusunan Bab IV
Penyusunan Bab V
Sidang Skripsi
60
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
Deskripsi objek penelitian adalah penjelasan mengenai objek penelitian
yang meliputi lokasi penelitian secara jelas, struktur organisasi, sejarah berdirinya,
visi dan misi serta hal-hal lain yang berkaitan dengan objek penelitian.
4.1.1 Sejarah Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No. 06/Huk/1979 tentang
kesejahteraan lanjut usia, maka didirikanlah Panti Wreda di Banten, tepatnya pada
28 Februari 1979. Panti tersebut dinamakan Sasana Tresna Wreda (STW). Karena
lokasinya di Kelurahan Cipocok Jaya Kabupaten Serang, masyarakat lebih
mengenalnya sebagai panti wreda Cipocok Jaya. Pada tahun 1994, berganti nama
kembali menjadi Panti Sosial Tresna Wreda (PSTW) Cipocok Jaya Serang.
Pergantian nama tersebut dikuatkan dalam Surat Keputusan Menteri Sosial RI No.
14 tahun 1994 tanggal 23 April 1994.
Delapan tahun kemudian, seiring dengan diberlakukannya Otonomi Daerah
dan dimekarkannya Banten menjadi provinsi tersendiri, maka status Panti Sosial
Tresna Wreda (PSTW) Cipocok Jaya Serang juga berganti nomenklatur menjadi
'Balai Perlindungan Sosial'. Dari segi struktur, Balai Perlindungan Sosial Provinsi
Banten merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Dinas Sosial Provinsi
Banten yang memiliki tugas dan tanggung jawab memberikan pelayanan dan
perlindungan sosial kepada lanjut usia (lansia) terlantar, balita terlantar, Wanita
Korban Tindak Kekerasan (WKTK), dan tuna grahita. Penetapan ini diatur dalam
61
Surat Keputusan Gubernur Banten No. 40 Tahun 2002 tanggal 13 Desember
2002.
Tahun 2008, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja mengalami perubahan susunan
organisasi dan tata kerja sehingga menjadi Dinas Sosial sesuai dengan Peraturan
Daerah Nomor 3 tahun 2008. Namun begitu posisi Balai Perlindungan Sosial
(BPS) tetap tidak berubah.
Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten adalah salah satu alternatif dari
sekian banyak lembaga pemerintah atau swasta yang memberikan pelayanan
sosial kepada para penyandang masalah kesejahteraan sosial khususnya Lanjut
Usia terlantar, Wanita Korban Tindak Kekerasan (WKTK), Tuna Grahita dan
balita terlantar.
Tugas dan fungsi Balai Perlindungan Sosial merujuk pada tugas dan fungsi
panti sosial pada Departemen Sosial RI tahun 1998, yaitu :
1. Sebagai Pusat Pelayanan dan Kesejahteraan Sosial
Menggugah, meningkatkan dan mengembangkan kesadaran sosial, tanggung jawab sosial, prakarsa, dan peran serta perorangan, kelompok
dan masyarakat.
Memberikan pelayanan dan perlindungan kepada Lanjut Usia terlantar, Wanita Korban Tindak Kekerasan, Balita Terlantar dan Tuna Grahita.
Penyantunan dan penyediaan bantuan sosial.
Mengadakan bimbingan lanjut.
2. Sebagai Pusat Informasi Masalah Kesejahteraan Sosial
Menyiapkan dan menyebarluaskan informasi tentang data penyadang masalah kesejahteraan sosial dan teknis penanganannya.
Menyelenggarakan konsultasi pelayanan sosial bagi masyarakat.
3. Sebagai Pusat Pengembangan Kesejahteraan Sosial.
Mengembangkan kebijaksanaan dan perencanaan sosial.
Mengembangkan metode pelayanan sosial.
62
4. Fungsi Pendidikan dan Pelatihan kepada klien secara langsung dalam
meningkatkan kemampuan pelayanan kesejahteraan sosial (Menurut Tim
Peneliti Depsos RI tahun 2003).
Tugas Pokok dan Fungsi Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
Berdasarkan Keputusan Gubernur Banten No. 40 tahun 2002 tentang
pembentukan, susunan organisasi, dan tata kerja Balai Perlindungan Sosial
Provinsi Banten.
A. Tugas Pokok
Melaksanakan sebagian kewenangan Dinas di bidang desentralisasi,
dekosentrasi, dan tugas pembantuan yang berkaitan dengan urusan
pelayanan dan perlindungan sosial.
B. Fungsi
Dalam pelaksanaan tugas tersebut, Balai Perlindungan Sosial Provinsi
Banten mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Pengelolaan di bidang pelayanan sosial.
2. Pengelolaan di bidang perawatan.
3. Pengelolaan di bidang pelatihan dan keterampilan.
4.1.2 Visi dan Misi Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
VISI : Kesejahteraan Sosial bagi Penyangdang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS).
MISI :
1. Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya aparatur.
2. Meningkatkan akses penyandang masalah kesejahteraan sosial dalam
memperoleh pelayanan sosial melalui rehabilitasi sosial, pemberdayaan
sosial, perlindungan sosial dan jaminan sosial.
63
3. Mengembangkan prakarsa, peran aktif masyarakat dan dunia usaha dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Visi dan misi tersebut diturunkan dalam program dan kegiatan yang
mengacu pada maksud dan tujuan Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah yang menangani permasalahan sosial
Lanjut Usia terlantar, Wanita Korban Tindak Kekerasan, Tuna Grahita, dan Balita
terlantar yaitu :
"Memberikan perlindungan dan pelayanan dalam suatu
penampungan guna terselenggaranya proses rehabilitasi fisik, mental, dan
sosial serta bimbingan keterampilan".
Adapun tujuan secara spesifik diantaranya :
1. Terlindungi dan terawatnya para Lanjut Usia terlantar, Wanita Korban
Tindak Kekerasan (WKTK), Tuna Grahita dan Balita terlantar.
2. Meminimalisasi permasalahan kesejahteraan sosial yang ada di
masyarakat.
3. Pemenuhan kebutuhan dasar dalam rangka perubahan sikap dan perilaku
para penyandang masalah kesejahteraan sosial.
4. Pemulihan kemauan, kemampuan dan harga diri penyandang masalah
kesejahteraan sosial sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya dalam
kehidupan bermasyarakat.
5. Menumbuhkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang keadaan,
permasalahan, dan kebutuhan Lanjut Usia terlantar, Wanita Korban
Tindak Kekerasan (WKTK), Tuna Grahita, dan Balita terlantar sehingga
64
masyarakat dapat mendukung dan berpartisipasi dalam kegiatan usaha
kesejahteraan sosial.
4.1.3 Struktur Organisasi
Struktur organisasi di Balai Perlindungan Provinsi Banten terbagi dalam
beberapa divisi pelayanan yaitu:
1. Kepala Balai
2. Kepala Sub Bagian Tata Usaha
3. Kepala Seksi Penerimaan dan Penyaluran
4. Kepala Seksi Pelayanan dan Perawatan
5. Pelaksana (kantor/lapangan).
Dan dari segi struktur, Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten
merupakan UPTD dari Dinas Sosial Provinsi Banten yang memiliki hak otonom
mengelola Balai secara optimal melalui sejumlah program peningkatan kapasitas
diantaranya program Peningkatan Sarana, Prasarana Perkantoran dan Kapasitas
Aparatur dan Program Rehabilitasi Sosial.
65
Gambar 4.1
Bagan Struktur Organisasi Balai Perlindungan Sosial
Dinas Sosial Provinsi Banten
Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang
66
4.1.4 Program Kegiatan Penghuni Panti
Adapun program kegiatan di Panti Jompo Hargodedali adalah sebagai
berikut:
a. Pendekatan awal, meliputi orientasi dan konsultasi, seleksi,
identifikasi/registrasi, motivasi, diagnosa masalah, penempatan klien pada
program pelayanan.
b. Bimbingan fisik meliputi pelayanan kesehatan/olahraga, pemberian
makanan bergizi, pengasramaan, gotong royong.
c. Bimbingan sosial, meliputi bimbingan peran, bimbingan relasi/etika sosial,
pembinaan disiplin.
d. Bimbingan mental, meliputi bimbingan mental spiritual, bimbingan mental
psikologi, bimbingan tentang kebersihan.
e. Bimbingan keterampilan. Bagi pasien potensial diberikan binaan, seperti
membuat kerajinan keset kaki, tas, sendal, bunga dan lain-lain.
f. Resosialisasi dan perawatan kematian, meliputi penyiapan keluarga dan
masyarakat untuk dapat menerima kembali klien yang potensial dan
memberikan kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat, memberikan perawatan yang layak bagi klien yang meninggal
dunia.
4.1.5 Sasaran dan Kriteria
Setiap warga negara pria dan wanita yang berusia mencapai 60 tahun ke
atas, baik potensial maupun tidak potensial yang oleh karena sesuatu sebab
mengalami hambatan fisik, psikologis dan sosialnya. Kriterianya adalah sebagai
berikut:
a. Usia 60 tahun ke atas;
b. Tidak mempunyai penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan pokok,
meliputi sandang, pangan, dan kesehatan yang layak;
c. Tidak ada keluarga, sanak saudara, dan atau orang lain yang mau dan
mampu mengurus;
d. Tidak mempunyai penyakit menular;
e. Mampu mengurus diri sendiri.
Adapun data klien lansia Panti Sosial Sasana Tresna Cipocok Jaya Serang
sebagai berikut:
67
Tabel 4.1
Tabel Data Klien Lansia
No Nama L/
P Usia Alamat
1. JUNARIAH P 74 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
2. MASITI P 77 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
3. KAWILAH P 87 Th Ds. Sukalaba Kec. Gunungsari Kab. Serang.
4. KAMBRAH P 79 Th Kel. Lontar Kec. Serang Kota Serang.
5. TUMINEM P 74 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
6. DEWI P 81 Th Ds. Ranjeng Kec. Ciruas Kab. Serang.
7. MISJAYA L 79 Th Ds. Batukuwung Kec. Padarincang Kab. Serang.
8. FATMAWATI P 74 Th Kel. Sumur Pecung Kec. Serang Kota Serang.
9. HAMZAH L 85 Th Desa/Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang.
10. SANAH P 77 Th Desa Pringwulung Kec. Pamarayan Kab. Serang.
11. KASMERI P 78 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
12. SARIKAH P 79 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
13. SUTINAH P 77 Th Kel. Sukawana Kec./Kota Serang.
14. A. HOW P 68 Th Kel. Kota Baru Kec./Kota Serang.
15. SOFI P 71 Th Kp. Kalang Anyer Kec. Cibeber Kota Cilegon.
16. IAH HASANAH P 74 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
17. MURNI P 76 Th Kp. Sayabulu Kota Serang.
18. RAHARJO L 72 Th Taman Adiyasa Blok C No. 32 Kab. Tangerang.
19. IYAN L 73 Th Ling. Ciwaru Rt. 01/08 Kel Banjaragung
Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
20. SOFIAN L 76 Th Kepandaian Kota Serang.
21. ANIYAH P 74 Th Kp. Cipocok Jaya Rt. 01/01, Kec. Cipocok Kota
Serang.
22. SARONI BIN
RAMAN
L 73 Th Kp. Petanduk Rt. 007/Rw 002 Desa Teras,
Kec. Carenang Kab. Serang.
23. SARTUM P 69 Th Ling. Cipocok Mesjid Rt. 01 Rw. 01 Kel. Cipocokjaya,
Kec. Cipocokjaya, Kota Serang.
24.
MANSUR L 72 Th Kp. Ciayun Rt. 03 Rw. 01 Kec. Tunjung Teja Kab.
Serang.
25. RATIAH P 72 Th Kp. Sidamukti RT 05 Rw 03 Ds. Sidamukti Kab.
Pandeglang.
26. SUKINEM P 79 Th Jl. Dahlia II Ds. Margasari Kec. Tigaraksa Kab.
Tangerang.
27. KASMAH P 83 Th Lingk. Kepandean Rt. 04 Rw. 06 Kel. Kagungan
Kec./Kota Serang.
28. KARTI P 65 Th Kp. Bendung Rt. 04 Rw. 02 Ds. Bendung Kec.
Kasemen Kota Serang.
29. HARTINI P 65 Th Jl. Meteorologi Rt. 02 Rw. 09 Kel. Tanah Tinggi
Kec./Kota Tangerang.
30. ROHIMAH P 69 Th Gg. Teman Rt. 03 Rw. 004 Kel./Kec. Larangan Kota
68
Tangerang.
31. KAMIL L 77 Th Kp. Bingkuang Ds. Teras Kec. Carenang Kab. Serang
32. FATIMAH P 62 Th Kel./Kec. Cipocokjaya Kota Serang.
33. DARIYAH P 72 Th Kec. Pontang - Kab. Serang.
34. KARTINI P 62 Th Lingk. Cinanggung Rt. 03 Rw. 03 Kel. Kaligandu
Kec./Kota Serang.
35. SURADI L 77Th Kp. Karang Anyar Kec. Selagi Lingga, Lampung
Tengah
36. SUGENG
RIYADI
L 72 Th Taman Adiyasa Blok C.05 No. 37 Rt. 07 Rw. 06 Ds.
Cikasunga Kec. Solear Kabupaten Tangerang.
37. SUTINAH P 67 Th Kp. Sempu Seroja Rt. 005 Rw. 015 Kel. Cipare Kec.
Serang - Kota Serang.
38. JANTRA L 72 Th Kp. Cijunjang Rt. 01 Rw. 04 Ds. Cikeusal Kec.
Cikeusal Kab. Serang.
39. JOHRA P 72 Th Kp. Jakung Ds. Cilowong Kec. Taktakan Kota Serang.
40. KASMINAH P 78 Th Jl. Legoso Rt. 02/01 Kel. Pisangan Kec. Ciputat Timur
- Kota Tangerang Selatan.
41. HARJA S. L 82 Th Kp. Cibunar Rt. 01/02 Ds./Kec. Cilograng Kab. Lebak.
42. SARUM L 67 Th Kel./Kec. Cipocokjaya - Kota Serang.
43. HASAN L 78 Th Kp. Kedaung Rt. 002 Rw. 04 Kel. Serua Indah
Kec. Ciputat - Kota Tangerang Selatan.
44. SANI P 76 Th Kp. Kedaung Rt. 002 Rw. 04 Kel. Serua Indah
Kec. Ciputat - Kota Tangerang Selatan.
45. FATMAH P 77 Th Kp. Cidadap Rt. 06 Rw. 02 Ds. Kec. Curug Kota
Serang.
46. RINI P 69 Th Kp. Gowok Rt. 02 Rw. 01 Ds. Tinggar Kec. Curug
47. SURYA L 79 Th Kp. Sindanglaya Rt. 04 Rw. 01 Ds. Sindangsari Kec.
Petir Kab. Serang
48. ROHIDA P 67 Th Kp. Kalapa Lima Rt. 01 Rw. 02 Ds. Sukamanah Kec.
Baros Kab. Serang.
49. ARMI P 66 Th Lingkungan Baru Rt. 01 Rw. 03 Kel. Kebon Dalem
Kec. Purwakarta Kota Cilegon.
50. SUPRAPTO L 75 Th Jl. Salak I No. 105 Rt. 01 Rw. 10 Kel. Cibodasari Kec.
Cibodas Kota Tangerang.
51. SA’AMAH P 89 Th Regensi Ds. Sukatani Kec. Cisoka Kab. Tangerang.
52. NARSIAH P 66 Th Kp. Sidamukti RT 05 Rw 03 Ds. Sidamukti Kab.
Pandeglang.
53. RIFAI L 76 Th Kp. Maja pasar Rt. 03 Rw. 01 Ds. Maja Kec. Maja
Kab. Lebak.
54. NANI ROHANI P 67 Th Kp. Nganceng Rt. 01 Rw. 01 Ds. Tambak Kec.
Cimarga Kab. Lebak.
55. MARIAH P 73 Th Komplek Banjarsari Permai, Kel. Banjarsari Kec.
Cipocokjaya Kota Serang
56. KEMANGI P 60 Th Balaraja Kab. Tangerang
57. LAMSIAH P 70 Th Link. Sumur Menjangan Rt. 02 Rw. 01 Kel. Kotasari
Kec. Grogol Kota Cilegon
Sumber: Data Klien Lansia Dinas Provinsi Banten
69
4.2 Deskripsi Data
Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana pola
keterbukaan diri antara perawat dan lanjut usia di panti sosial sasana tresna
Cipocok Jaya Serang. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data
yang dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi. Data-data
yang dicari dalam penelitian ini adalah data yang merujuk pada identifikasi
masalah yang telah dipaparkan pada Bab I, yaitu bagaimana proses komunikasi
pada tahap penetrasi sosial antara perawat dan lansia, dan bagaimana pola
komunikasi dalam proses keterbukaan diri antara perawat dan lanjut usia di panti
sosial sasana tresna werdha Cipocok Jaya Serang. Observasi ini dilakukan di Balai
Perlindungan Sosial Dinas Sosial Provinsi Banten tepatnya di panti sosial sasana
tresna werdha Cipocok Jaya Serang dikarenakan akan menjadi fokus penelitian.
Teknik wawancara yang digunakan oleh peneliti adalah teknik wawancara
tidak berstruktur dan dalam suasana yang santai. Pedoman wawancara yang
digunakan berupa garis besar permasalahan yang akan ditanyakan dengan
menggunakan alat bantu perekam berupa voice recorder dan perekam gambar, lalu
peneliti akan mencatat dan mengetik ulang jawaban-jawaban yang diberikan oleh
informan.
Berdasarkan hasil wawancara yang tidak berstruktur tersebut, maka peneliti
dapat menggambarkan bagaimana pola keterbukaan diri pada tahap awal antara
perawat dan lansia, bagaimana membangun proses keterbukaan diri antara
perawat dan lanjut usia, dan bagaimana mempertahankan komunikasi
interpersonal antara perawat dan lanjut usia di panti sosial sasana tresna werdha
Cipocok Jaya Serang. Dalam melakukan wawancara ini, peneliti membutuhkan
70
waktu lebih dari 4 bulan yaitu pada tanggal 8 Juni 2017 sampai dengan 18
Oktober 2017. Penelitian ini juga menggunakan teknik dokumentasi sebagai
sumber data yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan untuk
meramalkan.
Peneliti juga memberikan kode pada aspek tertetu, yaitu kode P1-P6 yang
merupakan kode untuk informan penelitian. Setelah memberikan kode-kode pada
aspek tertentu yang berkaitan dengan masalah peneliti sehingga tema dam polanya
ditemukan dari penelitian di lapangan. Hal ini dilakukan dengan membaca dan
menelaah jawaban-jawaban tersebut dan mencari data-data penunjang yang akan
memperkuat hasil penemuan di lokasi penelitian. Mengingat penelitian ini adalah
penelitian kualitatif dengan tidak menggeneralisasikan jawaban penlitian, maka
semua jawaban yang dikemukakan oleh informan dipaparkan dalam pembahasan
yang disesuaikan dengan teori penelitian. Berikut adalah kategori yang disusun
oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian di lapangan yang dikaitakan dengan
teori Penetrasi Sosial (Social Penetration Theory – SPT) dari Irwin Altman &
Dalmas Taylor (1973), yaitu:
1. Proses komunikasi interpersonal pada tahap penetrasi sosial
2. Pola komunikasi dalam proses keterbukaan diri antara perawat dan lansia di
Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang
71
4.3 Deskripsi Informan
Informan dalam penelitian ini adalah perawat dan lansia di Panti Sosial
Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang. Penelitian ini menggunakan metode
pengumpulan data dengan teknik purposive sampling. Teknik pemilihan dengan
purposive sampling dipilih sebab teknik ini mencakup orang-orang yang diseleksi
atas dasar riset kriteria-kriteria tertentu yang dibuat periset berdasarkan tujuan
riset (Krisyantono, 2006:156).
Peneliti memilih perawat dan lansia yang dijadikan subjek inti dalam
penelitian ini dengan kriteria sebagai berikut: (a) perawat yang telah bekerja di
Panti Sosial Sasana Tresna Werdha lebih dari satu tahun; (b) perawat perempuan
satu orang dan laki-laki satu orang; (c) umur perawat antara 25 hingga 45 tahun;
(d) umur lansia berkisar 65 hingga 78 tahun; (e) lansia yang tinggal di wisma
tempat perawat bekerja.
Adapun deskripsi informan-informan dalam penelitian ini sebagai berikut:
4.3.1 Informan Pertama (Okhe Afandi Maulana)
Informan pertama dalam penelitian ini adalah seorang laki-laki yang
bernama Okhe Afandi Maulana yang biasa dipanggil Okhe, berusia 29 tahun.
Okhe adalah seorang perawat yang ada di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang. Ia sudah bekerja selama lebih dari 2 tahun di panti
mengurus dan merawat para lansia. Alasannya memilih bekerja di panti sosial
ialah berawal ketika ia memasukkan lamaran kerja ke berbagai instansi, hanya
panti sosial inilah yang memberikan respon. Kemudian ia dipanggil untuk
interview atas kesediaanya menjadi perawat untuk mengurus para lansia. Panti
72
sosial ini berada di bawah naungan Balai Perlindungan Sosial Dinas Sosial
Provinsi Banten.
Selain itu, alasan Okhe memilih bekerja di panti ini karena ia berfikir bahwa
siapa lagi kalau bukan kita anak generasi muda yang perduli akan sesama
khususnya para lansia. Okhe juga sempat mengatakan, “ini juga salah satu
pengabdian sosial, ikhlas berbuat dan mendapatkan balasan dari Allah”. Sehingga
ia tidak merasa terbebani dalam melakukan pekerjaan di panti ini. Menurutnya, ini
merupakan sebuah tantangan dalam menghadapi para lansia yang memiliki
karakter yang condong ke kanak-kanakan.
Dalam penelitian ini, Okhe merupakan key informan dalam penelitian ini.
Okhe yang setiap harinya melakukan interaksi dengan para lansia di panti sosial,
selain mengurus, merawat dan mengetahui perkembangan para lansia di panti
sosial ini.
4.3.2 Informan Kedua (Ira Novita Sari)
Informan kedua dalam penelitian ini adalah Ira Novita Sari. Ira Novita Sari
yang akrab disapa Ira yang berusia 27 tahun, ia merupakan salah satu perawat
yang mengurus dan merawat para lansia terutama lansia perempuan di Panti
Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang. Ia juga merupakan
mahasiswa lulusan dari akademi perawat dulunya dan memutuskan untuk
mengabdikan diri di tanah kelahirannya yaitu provinsi Banten. Sehingga ia
mencoba memasukkan lamaran kerja ke Balai Perlindungan Sosial menjadi
perawat di panti sosial ini.
73
Kenapa ia memilih bekerja di panti ini? Menurutnya, sekarang ini peluang
kerja sangat susah karena banyak sekali saingan diluar sana. Akan tetapi, alasan
yang sangat membuat ia tertarik bekarja di panti adalah ia ingin membuat orang-
orang senang meskipun dengan melakukan hal-hal kecil apalagi membuat para
lansia bahagia yang terlihat diraut wajahnya. Ira mengatakan, “kelak nanti kita
juga akan merasa posisi seperti mereka”.
Dalam penelitian ini, Ira merupakan key informan kedua dalam penelitian
ini. Ira yang setiap harinya melakukan interaksi dengan para lansia di panti sosial,
selain mengurus, merawat dan mengetahui perkembangan para lansia di panti
sosial ini.
4.3.3 Informan Ketiga (Suradi)
Informan ketiga dalam penelitian ini adalah laki-laki yang bernama Suriadi.
Suriadi biasa akrab dipanggil Yadi yang lahir di Lampung, 12 Februari 1940, dan
sekarang sudah berusia 77 tahun. Yadi merupakan klien lansia di Panti Sosial
Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang. Sejak masih muda, ia sudah hidup
sebatang kara kedua orang tuanya sudah meninggal. Yadi mulai hidup mandiri
dan sudah merantau kemana-mana. Dahulu ia pernah merantau ke Jawa Barat,
Jawa Tengah bahkan ke Sulawesi. Dari dahulu sampai sekarang ia belum menikah
yang biasanya kerap disebut perjaka tua.
Alasan Yadi tinggal di panti sosial, awalnya ia mau bekerja di Serang
menjadi seorang tukang jahit. Ketika ia tiba di Serang dan mencari tahu alamat
seorang tukang jahit yang diberikan oleh tetangganya. Sudah seharian keliling
mencari alamat tersebut, ia tidak menemukan alamat seorang tukang jahit di
daerah Rau. Setelah menanyakan ke beberapa warga Rau, ternyata tukang jahit itu
74
sudah lama pindah dan warga juga tidak tahu dimana alamatnya. Saat itu juga, ia
tidak memiliki uang sedikit pun hanya membawa uang pas-pasan. Kemudian ia
bertanya kepada warga dimana tempat penampungan orang-orang terlantar.
Akhirnya, ia diberitahu alamat panti sosial ini. Setelah selesai mengurus semua
administrasinya, ia pun tinggal di panti dan sekarang sudah hampir 3 tahun. Ia
bersyukur dan senang bisa tinggal di panti sosial ini tanpa dipungut biaya sepersen
pun.
Dalam penelitian ini, Yadi merupakan key informan ketiga dalam penelitian
ini. Yadi merupakan klien lansia (penghuni) di panti sosial ini yang sering
berkomunikasidengan perawat dalam melakukan aktivitas yang sudah ditentukan
oleh pihak Balai Perlindungan Sosial, selain itu klien yang dirawat, diurus dan
dipantau oleh perawat.
4.3.4 Informan Keempat (Narsiah)
Informan keempat dalam penelitian ini adalah Narsiah, lahir di Panimbang
17 Mei 1951. Narsiah saat ini berusia 66 tahun. Ia merupakan klien lansia di Panti
Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang.Menurut perawat, Narsiah
memiliki karakter yang mudah beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang
sekitarnya. Selain itu, Narsiah adalah klien lansia yang periang dan cerewet. Ia
memiliki satu anak perempuan yang sudah memiliki keluarga.
Narsiah lebih memilih masuk dan tinggal dipanti dikarenakan ia merasa
kesepian di rumah sendirian, suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang
lalu. Ia ingin hidup bahagia dihari tuanya. Narsiah pernah mengatakan, “saya
sudah capek kerja ke sawah terus, pengennya nikmati hari tua”. Sebenarnya,
Narsiah juga masih memiliki sanak keluarga di Panimbang, Pandeglang. Saat
75
bulan ramadhan dan lebaran, ia pulang ke rumahnya untuk berkumpul bersama
keluarga. Hanya saat lebaran saja rumah Narsiah ramai, hari-hari biasa kembali
sepi. Makanya Narsiah lebih memilih tinggal di panti dan berkumpul bersama
orang-orang yang hampir sama seperti dirinya yang sudah 2 tahun di panti.
Dalam penelitian ini, Narsiah merupakan key informan keempat dalam
penelitian ini.Narsiahi merupakan klien lansia (penghuni) di panti sosial ini yang
sering berkomunikasi dengan perawat dalam melakukan aktivitas yang sudah
ditentukan oleh pihak Balai Perlindungan Sosial, selain itu klien yang dirawat,
diurus dan dipantau oleh perawat.
4.3.5 Informan Kelima (Ratiah)
Informan kelima dalam penelitian ini adalah perempuan bernama Ratiah
yang lahir di Panimbang, 20 April 1945 dan sekarang ini berusia 72 tahun. Ratiah
biasanya akrab disapa ompong karena gigi tengahnya tidak ada. Ompong
merupakan klien lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya
Serang. Ompong memiliki keterbatasan fisik pada indera penglihatan, akan tetapi
ia tidak merasa terhalangi dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Ia memiliki
semangat untuk menjalani hidup meskipun tak ada satu pun keluarganya lagi.
Suaminya yang sudah lama meninggal dan ia tidak mempunyai anak.
Awalnya kenapa ia memilih tinggal di panti sosial ini dikarenakan ia tidak
memiliki harta benda sedikit pun apalagi tempat tinggal. Sejak suaminya
meninggal ia hidup sendiri dan hanya bergantung kepada tetangga. Ia tidak mau
menyusahkan tetangganya, sehingga ia meminta tolong kepada Bapak RT dan
Bapak lurah untuk mengurus syarat-syarat agar tinggal di panti sosial. Akhirnya
setelah semua urusannya selesai, ia langsung diantar ke panti sosial.
76
Dalam penelitian ini, Ratiah merupakan key informan ketiga dalam
penelitian ini. Ratiah merupakan klien lansia (penghuni) di panti sosial ini yang
sering berkomunikasi dengan perawat dalam melakukan aktivitas yang sudah
ditentukan oleh pihak Balai Perlindungan Sosial, selain itu klien yang dirawat,
diurus dan dipantau oleh perawat.
4.3.6 Informan Keenam (Yani Heryani, S.Pd.,M.Si)
Informan keenam dalam penelitian ini adalah Yani Heryani, S.Pd.,M.Si
dan menjadi secondary informan (informan pendukung).Yani Heryani merupakan
kepala seksi pelayanan dan perawatan di Balai Perlindungan Sosial. Yani Heryani
biasanya akrab disapa Ibu kepala oleh para lansia di panti sosial. Ibu kepala ini
sangat akrab dengan para lansia, beliau juga sering mengajak beberapa orang
lansia main dan tidur di rumahnya. Selain itu, beliau juga mengajak lansia ke
kampung halamannya di Jawa Barat. Ibu Yani menjadi informan pendukung
dalam penelitian ini dikarenakan beliau melihat dan cukup mengetahui bagaimana
kegiatan dan interaksi yang dilakukan oleh perawat dan lansia seharinya.
Adapun data informan-informan dalam penelitian pola keterbukaan diri
antara perawat dan lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya
Serang.
77
Tabel 4.2
Informan Penelitian
No Nama/ Kode Informan Alamat Jabatan
Status
1 Okhe Afandi Maulana
(P1)
Perumahan Puri Cisait
Kragilan
Perawat Key Informan
2 Ira Novita Sari
(P2)
Bumi Agung Permai I
Blok i.1 No. 14
Perawat Key Informan
3 Suriadi
(P3)
Lampung Pasien Lansia Key Informan
4 Narsiah
(P4)
Panimbang, Pandeglang Pasien Lansia Key Informan
5 Ratiah
(P5)
Panimbang, Pandeglang Pasien Lansia Key Informan
6 Yani Heryani,
S.Pd.,M.Si
(P6)
Komplek Perumahan
Ciracas, Serang
Kepala Seksi
Pelayanan dan
Perawatan
Secondary
Informan
78
4.4 Analisis Situasi Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya
Serang
Pada hasil penelitian analisis situasi ini, peneliti akan membahas mengenai
pola keterbukaan diri antara perawat dan lansia di panti sosial sasana tresna
werdha Cipocok Jaya Serang. Pada saat peneliti melakukan observasi pertama ke
lapangan tepatnya di balai perlindungan sosial dinas sosial provinsi Banten,
peneliti menanyakan beberapa hal kepada kepala balai perlindungan sosial
mengenai hal yang berkaitan dengan panti sosialdan ternyata panti sosial berada di
belakang gedung kantor pengelola balai perlindungan sosial. Kemudian, peneliti
mengamati lingkungan panti yang jaraknya hanya sebatas jalur jalan setapak,
lingkungan panti yangbersih dan nyaman karena setiap harinya selalu dibersihkan
oleh petugas kebersihan panti. Selain itu, para lansia juga diajarkan untuk
menjaga kebersihan lingkungan panti mulai dari kebersihan lingkungan wisma
(asrama klien lansia) sampai pada lingkungan kantor balai perlindungan sosial.
Panti sosial menyediakan satu ruangan poliklinik yang berfungsi sebagai tempat
konsultasi penyakit, keluhan kesehatan lansia, tempat pengecekan kesehatan
lansia dan tempat peristirahatan sementara para perawat.
Kemudian terdapat 8 unit wisma atau asrama klien lansia yang terdiri 38
unit kamar tidur dan setiap wisma disediakan fasilitas untuk lansia seperti kamar
mandi umum, tv, kipas angin, meja makan dan lemari untuk masing-masing
lansia.Selain itu terdapat aula tempat berkumpul jika ada suatu kegiatan ataupun
acara, dan juga disediakan dapur umum dan juru masak untuk menyiapkan dan
menyajikan makanan dengan menu yang berbedasetiap harinya untuk para lansia.
Disediakan saung terbuka yang terletak ditengah-tengah wisma sebagai tempat
79
berkumpul para lansia ketika ada kegiatan membuat kerajinan, latihan qasidahan
dan sebagainya. Ada juga musholla, ruang keterampilan, taman refleksi, 2 unit
mobil ambulance dan tanah pemakaman.
Pada observasi kedua, peneliti melakukan interaksi dengan perawat dan
lansia. Pada saat peneliti masuk ke kantor balai perlindungan sosial, situasi kantor
balai terasa sepi dikarenakan pegawainya pergi menghadiri suatu acara di tempat
lain dan akhirnya peneliti pun langsung menuju panti untuk bertemu dengan
perawat dan lansia. Saat menuju panti, terdengarlah suara lantang seorang ibu-ibu.
Karena rasa penasaran apa saja yang terjadi di sana, peneliti pun menghampiri
suara tersebut. Ternyata suara seorang ibu yang sedang menjelaskan cara
membuat kerajianan kepada para lansia. Komunikasi yang dilakukan oleh ibu
tersebut dengan gerakan tangan dan mimik muka yang senang membuat para
lansia antusias untuk membuat kerajinan. Canda tawa terlihat dari raut wajah para
lansia yang tengah asyik merangkai kain menjadi sebuah kerajinan keset kaki dari
kain perca. Banyak sekali kerajinan dari hasil karya tangan para lansia,
diantaranya seperti bunga dan potnya yang terbuat dari pernak-pernik, kotak
pensil, kotak tissue dan sebagainya. Itu semua disimpan di ruangan keterampilan.
Ketika dinas pemerintah menyelenggarakan kegiatan bazar, hasil kerajinan karya
para lansia ikut dipertunjukkan dalam pameran bazar tersebut. Semua hasil karya
berbagai kerajinan oleh para lansia itu adalah bimbingandari Ibu Tina.
Setelah para lansia selesai membuat kerajinan, peneliti pun mulai
melakukan pendekatan dan berinteraksi dengan mereka. Awalnya peneliti
memperkenalkan diri kepada para lansia, asal peneliti dan tujuan peneliti ke panti
sosial ini. Sudah beberapa jam melakukan komunikasi dengan lansia, peneliti pun
80
mencoba mengajak lansia ke wisma mereka dengan alasan ingin tahu seperti apa
wismanya. Lansia pun dengan senang hati menerima ajakan dari peneliti. Peneliti
pun mulai mengamati kondisi wisma para lansia. Peneliti berkunjung ke beberapa
wisma yang ada di panti tersebut seperti wisma kenanga, wisma anggrek, wisma
mawar dan wisma bougenville.
Ada wisma khusus untuk lansia yang mengalami keterbatasan fisik dan
psikologis yang membutuh bantuan perawat, yang dinamakan wisma bougenville
atau disebut bedrest. Di sana tempat para lansia yang membutuhkan perhatian
lebih dikarenakan keterbatasan fisik dan juga gangguan psikologi seperti lansia
yang tidak bisa berdiri dan berjalan dengan menggunakan pantat dan tangan,
berjalan dengan menggunakan alat bantuan, lansia yang moody-an, lansia yang
sudah sangat parah pikunnya dan kesulitan berbicara. Dengan melihat kondisi dan
keadaan para lansia yang di wisma bougenville membuat peneliti sadar bahwa
keluarga itu sangat penting terutama dalam memberikan perhatian dan kasih
sayang, bersyukurlah bagi yang masih memiliki keluarga yang utuh dan harmonis.
Pada observasi berikutnya, peneliti kembali mengunjungi panti dengan
bermaksud untuk melakukan wawancara dengan perawat dan lansia. Saat peneliti
ingin melakukan wawancara dengan perawat di poliklinik dan pada saat itu juga
peneliti melihat para lansia sedang mengikuti latihan rutin mingguan yaitu latihan
qasidahan. Qasidahan merupakan salah satu program kegiatan bimbingan mental
spiritual atau pendidikan kerohanian.Tak sengaja seorang lansia yang sudah kenal
dengan peneliti mengajak untuk ikut bergabung latihan qasidahan bersama
mereka. Karena perawat melihat lansia mengajak peneliti, akhirnya perawat pun
menyuruh dan mempersilahkan peneliti untuk ikut bergabung. Perawat
81
mengatakan bahwa itu merupakan salah satu pendekatan dengan lansia agar
menjadi lebih akrab dengan mereka. Peneliti pun menghampiri mereka dan semua
mata para lansia tertuju kepada peneliti dan menyambut peneliti dengan senang
hati sambil asyik memainkan alat musik qasidahan.
Dalam melakukan interaksi yang terus-menerus dengan lansia, setidaknya
ada kemudahan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan peneliti dari lansia
tersebut. Rasa nyaman yang mereka rasakan mulai dari pendekatan awal sampai
menjadi lebih akrab, membuat mereka semakin lama semakin terbuka.
Maksudnya, yang tadinya lansia itu memiliki karakter tertutup, malu-malu dan
sekarang sudah mulai lebih sedikit terbuka. Para lansia mulai menceritakan
aktivitas sehari-harinya sampai pada hal-hal yang dianggap seharusnya orang lain
tidak boleh mengetahui, seperti tentang keluarganya, alasan mereka dilantarkan
oleh keluarganya dan masalalu keluarganya. Itu semua butuh waktu dan proses
yang bertahap dan perlahan-lahan.
Akan tetapi melakukan komunikasi dengan lansia tentunya ada hambatan
baik dari pihak peneliti dan bahkan dari pihak lansianya. Misalnya, tidak semua
lansia mengerti akan pesan yang disampaikan peneliti dengan menggunakan
bahasa Indonesia. Mereka lebih cenderung menggunakan bahasa daerah seperti
bahasa sunda dan bahasa jawa. Sebaliknya, penelitian juga kurang memahami
bahasa daerah yaitu bahasa jawa dan bahasa sunda. Kemudian ada hambatan
ketika berkomunikasi dengan lansia yang lain seperti mencari perhatian,
mengganggu lansia yang sedang bercerita dengan peneliti, dan sebagainya.
Disamping itu, ada juga hambatan lainnya seperti pendengaran yang sudah kurang
82
jelas, dan penglihatan yang sudah mulai rabun yang membuat lansia kesulitan
untuk melakukan interaksi.
Dari 57 orang jumlah lansia hanya 10 orang lansia yang aktif dalam
melakukan beberapa kegiatan rutin dan sisanya hanya beraktivitas dikamar saja.
Ketika peneliti menanyakan hal tersebut kepada perawat, perawat mengatakan
bahwa:
“Kita tidak mau memaksa para lansia untuk ikut dalam beberapa
kegiatan rutin yang sudah dijadwalkan, karena kebanyakan dari mereka itu
tidak mau diatur. Mereka ingin bebas mau melakukan apa saja di panti,
akan tetapi masih dalam pengawasan dan pemantauan kita. Ada lansia
yang tidak mau diganggu hanya ingin sendiri terus di kamarnya, ada juga
lansia yang setiap harinya suka membantu perawat memandikan lansia
bedrest dan membantu mencuci peralatan makan lansia bedrest tetapi tidak
mau mengikuti kegiatan rutin”.4
Dalam melakukan komunikasi dengan lansia tentu ada sulit dan ada
mudahnya. Setiap lansia memiliki karakter yang berbeda-beda, fisik dan
psikologis yang berbeda-beda pula. Ada lansia yang memiliki karakter cepat akrab
tetapi sedikit tertutup, ada lansia yang memiliki karakter tertutup dan ada juga
lansia yang memiliki karakter cuek dan tidak peduli. Setiap peneliti mengunjungi
panti tersebut, banyak cerita yang disampaikan oleh lansia. Peneliti mengamati
bahwa mereka membutuhkan sosok keluarga, teman dekat ataupun teman cerita
untuk mendengarkan cerita mereka dan ingin mendapatkan perhatian dan kasih
sayang.
4
Wawancara pribadi dengan informan 2 (P2), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017
83
4.5 Hasil Penelitian
Berdasarkan deskripsi data dan analisis situasi yang diuraikan di atas,
peneliti akan mengkaji bagaimana pola komunikasi perawat dan lansia dalam
komunikasi interpersonal yang mengkaitkan dengan teori komunikasi antarpribadi
yaitu teori penetrasi sosial. Teori Penetrasi Sosial (Social Penetration Theory –
SPT) dari Irwin Altman & Dalmas Taylor (1973). SPT merupakan sebuah teori
yang menggambarkan suatu pola pengembangan hubungan, yaitu sebuah proses
yang Altman & Taylor identifikasi sebagai penetrasi sosial. Dalam pola
keterbukaan diri antara perawat dan lansia ini akan dibahas dari beberapa tahapan
komunikasi yang ada didalamnya berdasarkan teori penetrasi sosial. Adapun
identifikasi masalah yang akan dibahas pada hasil penelitian adalah sebagai
berikut.
4.5.1 Proses komunikasi interpersonal pada tahap penetrasi sosial antara
Perawat dan Lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok
Jaya Serang.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan pola keterbukaan diri antara
perawat dan lansia di panti sosial sasana tresna werdha Cipocok Jaya Serang
adalah jenis komunikasi dimana kita mengungkapkan informasi tentang diri kita
sendiri yang biasanya kita sembunyikan dan menyampaikan informasi, keyakinan,
perasaan, pengalaman dan masalah yang dirahasiakan kemudian diungkapkan
kepada orang lain secara apa adanya, sehingga pihak lain memahami.
Dalam suatu hubungan interpersonal terdapat tingkatan-tingakatan yang
berbeda dalam pengungkapan diri. Tingkatan pengungkapan diri dimulai dari
tahap dangkal dimana komunikasi biasanya terjadi antara dua orang yang bertemu
84
dan diawali dengan sapaan atau basa-basi dan pertanyaan secara umum saja. Hal
ini sesuai dengan pernyataan P1, Okhe Afandi Maulana selaku perawat di panti
sosial mengatakan bahwa:
“Dalam mengenali karakter klien lansia, perawat melakukan proses
pendekatan. Sebelum melakukan pendekatan, kita sebagai perawat
menganggap bahwa klien lansia itu orang tua bagi kita. Kemudian
pendekatan dilakukan membutuhkan proses secara perlahan-lahan, karena
tidak semua klien lansia memliki fisik dan psikologis yang sama. Waktu
yang dibutuhkan dalam proses pendekatan dengan klien lansia paling cepat
satu hari dan paling lama sekitar empat atau lima hari. Masing-masing
klien lansia memiliki pendekatan yang berbeda dan metode pendekatannya
juga berbeda. Awal berkomunikasi juga kita dari perawat hanya
menanyakan hal-hal yang umum saja dan tidak membahas tentang
keluarganya terlebih dahulu, seperti nama, asal daerah, kenapa bisa
nyampe ke panti, keadaan lansia dan lainnya. Kita bisa melihat dari fisik
dan psikologis klien lansia, seperti fisik yang mulai rentan, pendengaran
tidak berfungsi, penglihatan mulai rabun (katarak) dan juga tekananan
yang dirasakan oleh klien lansia. Jika berkomunikasi dengan lansia yang
memiliki keterbatasan dalam penglihatan (katarak), pendengaran mulai
kurang jelas (tuli) atau bisa dikatakan pikun perlu diberikan sentuhan,
sedangkan lansia yang lincah (masih bisa mengurus diri sendiri), bisa
dikatakan sehat dan perlu menjadi partner atau teman dekatnya.”5
Berdasarkan ungkapan di atas dapat menunjukkan bahwa waktu yang
dibutuhkan dalam pola keterbukaan diri antara perawat dan lansia berbeda-beda,
ada yang cuma satu hari bahkan ada yang sampai empat atau lima hari. Dalam
berkomunikasi dengan klien lansia yang memiliki keterbatasan dalam penglihatan
dan pendengaran atau pikun, dibutuhkan sentuhan berupa memberikan perhatian,
memenuhi kebutuhannya, mengurus dan merawatnya, sedangkan lansia yang
masih bisa mengurus dirinya sendiri lebih condong dijadikan partner atau teman
dekat karena sifat klien lansia kembali lagi ke sifat anak-anak.
5Wawancara pribadi dengan informan 1 (P1), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok
Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017.
85
Dalam mengenali dan memahami karakter seorang klien lansia, bisa
dikatakan sebagai tahap awal. Tahap orientasi yang bersifat klise, seperti
perkenalan. Selain itu, yang dibicarakan juga hanya hal-hal yang umum saja,
seperti menanyakan tentang nama, alamat, umur, bagaimana mendapatkan
informasi tentang panti dan sebagainya. Sedangkan menurut P6, Yani Heryani
selaku kepala seksi pelayanan dan perawatan, mengatakan bahwa:
“Pengalaman saya selama bekerja di sini, mengenali karakter klien
lansia membutuhkan waktu yang tidak dapat ditentukan. Setiap masing-
masing klien lansia memiliki karakter yang berbeda-beda, karena setiap
klien lansia tidak memiliki fisik dan psikologis yang sama. Ada waktu yang
cepat dalam mengenali karakter lansia dan ada yang memang
membutuhkan waktu yang lama. Paling cepat itu satu hari dan paling lama
satu minggu atau lebih. Yang lebih intens berinteraksi dengan lansia itu
adalah perawat. Akan tetapi, kita dari pihak balai perlindungan sosial di
panti ini juga melakukan interaksi dan berkomunikasi seperti tegur sapa,
memberikan senyuman, menanyakan hal-hal yang umum tentunya. Ada
beberapa klien lansia yang baru masuk ke panti juga sulit untuk
beradaptasi dengan yang lain, tetapi ada juga yang cepat dalam
beradaptasi. Untuk itu butuh pendekatan secara emosional, sehingga klien
lansia nyaman untuk tinggal di panti ini.”6
Berdasarkan ungkapan di atas dapat disimpulkan bahwa waktu yang
dibutuhkan oleh Yani dalam pola keterbukaan diri dengan lansia sekitar satu
minggu atau lebih. Dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan klien lansia
butuh pendekatan secara emosional sehingga klien lansia merasakan kenyamanan
tinggal di panti sosial.
Dalam proses komunikasi individu sudah saling menanggapi agar terjadi
pertukaran informasi dan adanya perluasan area publik. Individu yang mulai
saling membuka diri namun masih terbatas pada taraf pikiran, saat berbicara
6Wawancara pribadi dengan informan 6 (P6), Kepala Seksi Bangian Pelayanan dan Perawatan
Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang, Serang 8 Juni 2017.
86
individu tersebut masih berusaha keras menghindarkan diri dan menunjukkan
kesan ramah dan mulai akrab. Hal ini dapat terlihat dari pengakuan P1, Okhe
Afandi Maulana selaku perawat yang mengatakan:
”Sejak klien lansia merasa nyaman, dengan sendirinya mereka cerita
tanpa ditanya terlebih dahulu. Klien lansia bercerita tentang apa saja yang
mereka rasakan. Biasanya cerita tentang teman sekamarnya, tetapi jarang
sekali tentang keluarga mereka karena tidak semua klien lansia memiliki
keluarga.”.7
Berdasarkan ungkapan di atas menunjukkan bahwa mulai adanya
keterbukaan yang lebih mendalam dan adanya aspek-aspek dari kepribadian
seorang individu mulai muncul dan sikap mulai akrab. Kemudian ada juga
pernyataan P4, Narsiah seorang klien lansia juga mengatakan ia sering bercerita
kepada perawat yang bernama Ira Novita Sari. Ia mengatakan bahwa:
“.....nenek mah dekat sama siapa aja di panti. Tapi ada yang sering
ngajakin nenek main ke rumahnya dan nginep di sana, namanya ibu Yani.
Bu Yani sudah dianggap seperti anak sendiri. Kadang dibeliin baju buat
lebaran sama bu Yani. Nenek juga dekat sama perawat di panti ini. Nenek
sering cerita sama perawat Ira, Ia juga orang Padang sama kayak Icha.
Banyak pokoknya yang diceritain, kadang cerita kalau nenek kangen
keluarga dan pengen pulang. Tapi kalau nenek pulangnya sendirian,
enggak dibolehin. Jadinya dianterin ke terminal Pandegalang, terus
ditelepon keluarga nenek biar nenek dijemput ke terminal Pandeglang.”8
Narsiah mengungkapkan isi hatinya tentang ia rindu keluarganya kepada
perawat yang bernama Ira Novita Sari, yakni ia rindu akan keluarganya, tetapi
tidak diperbolehkan pulang sendiri ke rumahnya. Narsiah sudah menunjukkan
sikap terbuka kepada Ira. Sikap itu muncul saat Narsiah rindu sekali sama
keluarganya sehingga Narsiah menceritakan isi hatinya kepada perawat Ira, sikap
yang mulai akrab, sikap mulai terbuka dan santai. 7Wawancara pribadi dengan informan 1 (P1), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok
Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017. 8Wawancara pribadi dengan informan 4 (P4), Klien Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 21 September 2017.
87
Selain itu juga, peneliti juga melakukan wawancara dengan klien lansia di
panti sosial sasana tresna werdha Cipocok Jaya Serang, Ratiah yang dekat dengan
Narsiah dan Mahartini. Mereka adalah klien lansia di panti sosial, P5 mengatakan
bahwa:
“Nenek sering cerita sama Narsiah dan Mahartini. Ketika lagi
melamun tiba-tiba Mahartini datang dan bertanya kepada Nenek kenapa
melamun. Akhirnya cerita sama Mahartini. Nenek melamun karena ingat
keluarga dan suami tapi sekarang sudah meninggal dan nenek merasa
sendiri. Selain itu, nenek juga sering cerita sama Narsiah teman satu
kamar. Kalau lagi sakit Narsiah yang mengurus nenek. Kadang suka bagi
oleh-olehnya kalau balik liburan, terus sering cerita liburannya dia.”9
Ratiah mengungkapkan isi hatinya kepada Mahartini dan Narsiah tentang
apa yang Ratiah rasakan. Sikap keterbukaan diri yang ditunjukkan Ratiah kepada
Mahartini dan Narsiah lebih akrab dan adanya perluasan area publik (privasi).
Ratiah menceritakan apa yang dirasakan olehnya mengenai masalah pribadinya
kepada Mahartini dan Narsiah. Sikap terbuka Ratiah kepada Mahartini dan
Narsiah muncul karena teman satu kamarnya yang setiap hari ketemu dan sama-
sama berasal dari daerah yang sama yaitu Panimbang, Pandeglang. Ratiah
merupakan tipe pribadi yang cepat sedih dan suka melamun ketika Ratiah lagi
sendiri dan Ratiah butuh orang lain untuk menghibur dan memberikan semangat.
Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara kepada salah seorang klien
lansia, dan menanyakan kenapa klien lansia lebih memilih tinggal di panti sosial.
Hasil wawancara dari P3, Suradi mengatakan bahwa:
“Awalnya ketika di Lampung, saya disuruh sama tetangga cari kerja
di Serang sebagai tukang jahit karena saya bisa menjahit neng. Ketika saya
sudah sampai di Serang dan mencari alamat yang dikasih sama tetangga
saya ternyata orangnya sudah pindah dan tidak tau kemana neng. Saya
bingung, saya tidak punya uang lagi,bisa dibilang saya terlantar. Terus
9Wawancara pribadi dengan informan 5 (P5), Pasien Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 21 September 2017
88
saya bertanya sama warga dan saya kasih lihat KTP saya neng, kemudian
saya disuruh ke alamat panti ini. Yasudah saya langsung ke sini neng. Saya
melapor dan saya ceritakan semuanya neng. Saya juga tidak punya siapa-
siapa lagi neng, istri juga tidak punya dan orang tua juga sudah lama
meninggal.”10
Suradi mengungkapkan kalau ia terlantar di Serang sehingga tinggal di panti
sosial kepada peneliti, yakni ia ingin kerja di Serang sebagai tukang jahit, tetapi
ia tidak menemukan alamat tukang jahit yang diberitahu oleh tetangganya itu.
Dikarenakan tukang jahit itu sudah pindah dan tidak tahu kemana dan Suradi
ketika itu juga tidak memiliki uang.
Dari pernyataan di atas, Suradi menunjukkan keterbukaan dirinya kepada
peneliti dengan berani, cepat akrab dan lebih santai menceritakan kenapa ia
memilih tinggal di panti sosial. Hal yang mendorong Suradi untuk berani terbuka
kepada peneliti karena merasa bahwa ia akan tinggal lama di panti sosial tersebut
jadi harus bisa membiasakan untuk bersikap terbuka kepada peneliti bahkan orang
yang ada di panti sosial yang kelak akan menjadi pengganti keluarganya.
Kedekatan interpersonal merujuk pada sebuah ikatan hubungan dimana
individu-individu yang terlibat bergerak dari komunikasi superfisial menuju ke
komunikasi yang lebih intim. Keintiman yang bertahan lama membutuhkan
ketidakberdayaan yang terjadi secara berkesinambungan tetapi juga bermutu
dengan cara melakukan pengungkapan diri yang luas dan dalam.
Setiap individu memiliki emosi atau perasaan yang berbeda seperti individu
yang menginginkan hubungan yang jujur, terbuka dan menyatakan perasaan
secara mendalam. Individu yang memiliki keberanian untuk saling bersikap jujur
10
Wawancara pribadi dengan informan 3 (P3), Pasien Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 30 September 2017.
89
dan terbuka berarti memiliki kesepakatan untuk saling mempercayai. Dengan
begitu, komunikasi interpersonal dapat dipertahankan.
Sebagaimana ungkapan dari P2, Ira Novita Sari selaku perawat di panti:
“....Iya, mereka langsung mendekat dan bercerita tentang apa saja.
Biasanya mereka bercerita tentang teman sekamarnya. Kalau tentang
keluarga, meraka sangat tertutup tetapi ada satu atau dua orang yang suka
cerita tentang keluarganya. Klien lansia mulai mengungkapkan isi hatinya
sejak mereka merasa nyaman tinggal disini atau nyaman dengan orang
yang dekat dengan mereka..”11
Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa upaya pendekatan dalam
keterbukaan diri pada komunikasi interpersonal secara verbal pada kegiatan
sehari-hari. Berbagai kegiatan sehari-hari yang dilakukan seperti bermain,
membuat berbagai kerajinan, mengikuti pengajian, latihan qasidahan dan lain-lain.
Dengan melakukan berbagai kegiatan di panti sosial seseorang akan terbawa
suasan santai seperti berada di lingkungan keluarga sendiri dan rumah sendiri.
Begitu pula yang dirasakan oleh klien lansia yang tinggal di panti sosial, sehingga
perasaan kaku dan tegang akan hilang.
Klien lansia yang bernama Ratiah menjelaskan kedektannya dengan perawat
di panti, ia paling sering bercerita tentang apa yang ia rasakan di panti sosial. P5
mengatakan:
“...biasa ya neng kalo berantem sama teman. Berantem masalah
sendal baru neng, nenek beli 15 ribu neng, terus si Masriah datang, bilang
sendal siapa itu dan dibilang nenek ngambil sendal orang neng.Tiba-tiba
perawat datang. Terus perawat bilang enggak boleh ngomong gitu. Nenek
mah diam dan mengalah nengKata perawat jangan diambil hati ya mbah,
enggak usah didengerin.”12
11
Wawancara pribadi dengan informan 2 (P2), Pasien Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017. 12
Wawancara pribadi dengan informan 4 (P4), Pasien Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 30 September 2017.
90
Ratiah yang sering bercerita dengan perawat yang ada di panti, ini
menjelaskan bahwa Ratiah dekat dengan perawat-perawat di panti sosial. Setiap
ada permasalahan di panti sosial karena hal-hal kecil, Ratiah menceritakan kepada
perawat, perawat menjadi pihak penengah untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut dengan memberikan solusi untuk tidak membalasnya dengan kemarahan
juga. Kemudian kedua belah pihak sudah bisa memberikan perhatian untuk
hubungan secara keseluruhan. Baik dari dalam diri Ratiah maupun dalam diri
perawat. Dengan demikian ini bisa dilihat ketika Ratiah sudah mulai terbiasa
bersikap terbuka terhadap perawat dengan menceritakan apa saja yang dialami
atau dirasakan Ratiah begitu pula dengan perawat yang memberikan solusi atau
cara dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Perawat Okhe Afandi Maulana menceritakan tentang kedekatannya dengan
klien lansia ketika peneliti bertanya tentang klien lansia yang suka bercerita soal
masalah pribadi dengannya, P1 mengatakan:
“...selain itu saya juga bisa lebih memahami karekter mereka, seperti
ekspresi raut wajah mereka, bagaimana ekspresi suka atau tidak suka,
bagaimana ekpresi merasa terganggu. Biasanya saya langsung dekatin
mereka dan langsung nanya dan sebisa mungkin saya harus tau mereka
kenapa seperti itu. Biasanya mereka punya masalah dengan teman sekamar
ataupun teman yang lainnya, tapi ada juga yang ingat sama keluarganya
sehingga mbah-mbah merasa sedih. Kita juga dari perawat berupaya
memberikan solusi dan memberi pemahaman kepada mbah-mbah agar
mereka merasakan adanya kekeluargaan di panti ini. ”13
Perawat Okhe Afandi Maulana mengatakan bahwa ia harus bisa mengetahui
dan memahami karakter apa saja yang sedang klien lansia rasakan, seperti dari
raut wajah dan tingkah laku klien lansia. Jika klien lansia tidak menceritakan
masalahnya, maka perawat Okhe Afandi Maulana berusaha untuk menggali
13
Wawancara pribadi dengan informan 1 (P1), Pasien Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017.
91
informasi tentang apa yang dirasakan oleh klien lansia. Perawat Okhe Afandi
Maulana sudah mampu untuk menilai perilaku klien lansia dengan cukup akurat.
Dapat dilihat bahwa perawat Okhe Afandi Maulana sudah bisa menilai apa saja
yang sedang dirasakan klien lansia melalui raut wajah dan tingkah lakunya.
Adapun tabel axial coding yang mengklasifikasikan empat tahapan penetrasi
sosial dari beberapa narasumber berdasarkan pertanyaan yang diajukan adalah
sebagai berikut:
92
Tabel 4.3 Axial Coding
Penetrasi Sosial Perawat Panti SosialSasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang
Konsep: Identifikasi Informan, Orientasi, Pertukaran Eksploratif,
Pertukaran Afektif, dan Pertukaran Stabil)
No Konsep Dimensi Narasumber 1 Narasumber 2 Narasumber 3
1 Identifikasi
Informan
Jenis kelamin:
Usia:
Jabatan:
Laki-laki
29 tahun
Perawat Panti Sosial
Perempuan
27 tahun
Perawat Panti Sosial
Perempuan
51 tahun
Kepala seksi
pelayanan dan
perawatan
2 Orientasi Waktu yang
dibutuhkan
untuk tahap
perkenalan
Satu sampai lima
hari
Satu hari sampai satu
minggu
Satu hari sampai satu
minggu lebih
Pandangan
terhadap
karakter lansia
dalam
berkomunikasi
Ada beberapa lansia
yang kesulitan
berkomunikasi
karena memiliki
karakter cuek,
pemalu, tertutup dan
juga memiliki
keterbatasan fisik
pada pendengaran
dan penglihatan
Ada beberapa lansia
yang kesulitan
berkomunikasi karena
memiliki karakter
pemalu dan juga
memiliki keterbatasan
fisik pada pendengaran
dan penglihatan
Kesulitan
berkomunikasi karena
keterbatasan fisik dan
gangguan psikologi.
Perbedaan cara
berkomunikasi
Berkomunikasi
dengan lansia yang
mudah beradaptasi
harus berperan
sebagai partnernya,
sedangkan dengan
Berkomunikasi dengan
lansia yang mudah
beradaptasi harus
berperan sebagai
partnernya, sedangkan
dengan lansia pemalu,
Berkomunikasi
dengan lansia yang
memiliki karakter
yang berbeda-beda
diperlukan pengertian
dan pemahaman dan
93
lansia pemalu, cuek
dan tertutup
diperlukan sentuhan
(berupa: perhatian
baik secara verbal
dan nonverbal)
cuek dan tertutup
diperlukan sentuhan
(berupa: perahatian
secara
verbal/nonverbal)
berperan layaknya
anak kepada orang tua
3 Pertukaran
Eksploratif
Tanggapan
terhadap lansia
yang ingin
cerita
Membuka diri
terhadap lansia yang
ingin bercerita
tentang apa saja
Membuka diri untuk
lansia yang ingin cerita
dan selalu berusaha
untuk memahami apa
yang dirasakan lansia
Membuka diri untuk
lansia yang ingin
bercerita tentang apa
saja yang mereka
rasakan
Pilihan saat
cerita
Bersering dan
senang bercerita
bersama-sama dan
saat lagi santai
Lebih baik bercerita
face to face terkait
cerita yang bersifat
pribadi
Masalah pribadi lebih
secara face to face
4 Pertukaran
Afektif
Tindakan saat
ingin memulai
pembicaraan
Selalu memulai
pembicaraan dengan
lansia saat
melakukan aktivitas
pagi hari.
Memulai lebih dahulu
tetapi terkadang lansia
yang memulai
Lebih sering lansia
yang memulai
pembicaraan
Cerita yang
sering dibahas
Lebih sering cerita
tentang aktivitas
sehari-hari mereka,
namun ada juga
tentang keluhan
yang mereka rasakan
Cerita aktivitas
keseharian mereka,
terkadang masalah
keluarga dan teman
sekamarnya
Lebih sering cerita
aktivitas yang mereka
lakukan
Pernah
bertindak keras
atau marah-
marah
Tidak pernah Tidak marah tetapi
suaranya sedikit keras
karena ada beberapa
lansia yang kurang jelas
pendengarannya
Tidak pernah
94
5 Pertukaran
Stabil
Bisa
memahami apa
yang sedang
dirasakan
lansia hanya
dari raut
wajahnya saja
Bisa, melalui ekpresi
wajah mereka dan
lebih seringnya
masalah dengan
teman mereka
Bisa, terlihat dari raut
wajahnya seperti
melamun, sedih dan
kemudian mereka
bercerita setelah
ditanyakan
Bisa, tetapi belum
terlalu tahu
masalahnya sebelum
mereka bercerita
6 Upaya dalam
melakukan
pendekatan
Berusaha
menciptakan rasa
kenyamanan agar
lansia betah dan
tidak jenuh
Berusaha melayani dan
mengurus layaknya
anak kepada orang tua
Berusaha menciptakan
rasa kekeluargaan
layaknya anak kepada
orang tua
7 Upaya
menghindari
lansia dari hal-
hal negative
Pembinaan ibadah
seperti pengajian,
qasidahan
Memantau dan
mengontrol ruang gerak
lansia yang diberi
kebebasan melakukan
apa saja
Memberikan
pembinaan dan
berbagai bimbingan
kepada lansia
95
Tabel 4.4 Axial Coding
Penetrasi Sosial Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang
No Konsep Dimensi Narasumber 1 Narasumber 2 Narasumber 3
1 Identifikasi
Informan
Jenis kelamin:
Usia:
Jabatan:
Laki-laki
77 tahun
Perawat Panti Sosial
Perempuan
66 tahu
Perawat Panti Sosial
Perempuan
72 tahun
Kepala seksi
pelayanan dan
perawatan
2 Orientasi Waktu yang
dibutuhkan
untuk tahap
perkenalan
Satu hari Satu hari Satu hari sampai tiga
hari
Motif awal
tinggal di panti
Cepat akrab terhadap
perawat ataupun
lansianya juga
Mudah akrab terhadap
perawat dan lansia
Masih malu-malu
Teman
terdekat
Salimun Fatimah Narsiah dan Mahartini
3 Pertukaran
Eksploratif
Tempat
bercerita
masalah teman
Diam saja dan tidak
pernah bercerita
kepada teman
Tidak pernah bercerita
masalah dengan teman
dan dipendam sendiri
Bercerita kepada
teman sekamar
tentang apa yang ia
rasakan
Suka berkeluh
kesah dengan
teman atau
perawat
Tidak pernah
berkeluh kesah
kepada teman
ataupun perawat, ia
tidak mau orang tahu
apa yang ia rasakan
Jarang berkeluh kesah
kepada teman atau
perawat dan ia tidak
mau orang lain menjadi
terbebani
Pernah, ia berkeluh
kesah dengan
temannya dan
terkadang bercerita
kepada perawat
4 Pertukaran
Afektif
Hal yang biasa
diceritakan
Cerita tentang
aktivitas sehari-hari
Cerita tentang aktivitas
sehari-hari
Cerita tentang
temannya yang satu
96
kepada
perawat
wisma
Tempat yang
lebih nyaman
untuk bercerita
Cerita dengan siapa
saja
Bercerita dengan
perawat dan siapa saja
Lebih nyaman
bercerita dengan
teman dekat dan
perawat
5 Pertukaran
Stabil
Bercerita
sampai
menangis
Tidak pernah Tidak pernah Tidak pernah, tetapi ia
mengungkapkan
sedihnya kepada
perawat
Protes
terhadap
pendapat dan
aturan panti
sosial
Tidak pernah, ia
sangat bersyukur
tinggal di panti
karena kebutuhan
terpenuhi
Tidak pernah, ia sangat
bersyukur tinggal di
panti karena kebutuhan
terpenuhi
Tidak pernah, ia
sangat bersyukur
tinggal di panti karena
kebutuhan terpenuhi
Marah kepada
perawat
Tidak pernah Tidak pernah Tidak pernah
97
4.5.2 Pola komunikasi pada proses keterbukaan diri pada tahap penetrasi
sosial antara Perawat dan Lansia di Panti Sosial Sasana Tresna
Werdha Cipocok Jaya Serang.
Pola komunikasi identik dengan proses komunikasi, karena pola merupakan
bagian dari proses komunikasi. Proses komunikasi merupakan rangkaian dari
aktivitas komunikasi menyampaikan pesan sehingga menghasilkan feedback dari
penerima pesan. Berdasarkan temuan hasil penelitian di lapangan, hubungan
interpersonal diperlukan komunikasi yang baik dan efektif yang bertujuan untuk
membentuk hubungan (pola komunikasi) dan melakukan pertukaran informasi
agar dapat membentuk saling pengertian dan terjalinnya hubungan yang harmonis
dan baik. Hal ini dapat terlihat dari pengakuan P2, perawat Ira Novita Sari
mengatakan bahwa:
“Ketika para lansia berkumpul di saung dan saat mereka lagi santai-
santainya, kita dari para perawat ikut nimrung dan ngobrol-ngobrol apa
saja. Respon lansia sangat antusias ketika bercerita tentang masa lalunya
dengan suami/istrinya. Berbagi pengalaman dengan para perawat di panti
ini teh. Saat perawat menanyakan tentang hal-hal yang menyenangkan,
mereka merespon dengan baik. Berkomunikasi dengan lansia sebenarnya
menyenangkan, karena banyak hal-hal yang mereka tau dan belum tau
sama kita anak-anak muda.”14
Dari kutipan di atas menjelaskan komunikasi yang terjalin akan menjadi
lebih mudah jika sebuah pengirim pesan dan penerima pesan memiliki hubungan
yang dekat sehingga pesan yang disampaikan menghasilkan umpan balik dari
antara satu sama lain. Adapun klien lansia yang bernama Ratiah juga
menceritakan kedekatannya dengan perawat di panti, ia paling sering bercerita
tentang apa yang ia rasakan di panti sosial. P5 mengatakan:
14
Wawancara pribadi dengan informan 2 (P2), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017.
98
“...biasa ya neng kalo berantem sama teman. Berantem masalah
sendal baru neng, nenek beli 15 ribu neng, terus si Masriah datang, bilang
sendal siapa itu dan dibilang nenek ngambil sendal orang neng.Tiba-tiba
perawat datang. Terus perawat bilang enggak boleh ngomong gitu. Nenek
mah diam dan mengalah neng. Kata perawat jangan diambil hati ya mbah,
enggak usah didengerin. Akhirnya nenek merasa tenang neng.”15
Dari pernyataan di atas, menjelaskan bahwa adanya orang penengah
(perawat) dalam menangani masalah yang terjadi di panti sosial dengan
memberikan sentuhan berupa perhatian kepada Ratiah yang dituduh mencuri
sendal orang. Maksudnya, terjadinya komunikasi antara tiga orang yang
memberikan tanggapan terhadap suatu kejadian. Dengan adanya tanggapan berarti
individu memberikan umpan balik (feedback).
Ketika melakukan komunikasi dalam proses keterbukaan diri, tentunya ada
saja hal yang menghambat dalam proses interaksi. Seperti pernyataan beberapa
informan di atas bahwa hambatan komunikasi pada lansia secara fisik, biologi dan
psikolohgis. Namun ada juga yang ditemukan beberapa hambatan komunikasi
lainnya. Adapun hambatan komunikasi dalam komunikasi interpersonal antara
perawat dan klien lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya
Serang adalah sebagai berikut:
1. Gangguan
a. Gangguan mekanik, ialah gangguan yang disebabkan saluran komunikasi
atau kegaduhan yang bersifat fisik.
“Tentu saja ada, di panti ini tidak sedikit yang kita rawat klien
lansianya, jadi setiap kita lagi bicara selalu ada hal yang mengganggu.
Beberapa klien lansia tidak mau rahasianya diketahui sama yang lain.
Ketika ada klien lansia yang serius cerita sama perawat, ada saja klien
lansia yang suka mondar mandir keluar masuk kamar.”16
15
Wawancara pribadi dengan informan 4 (P4), Pasien Lansia Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 30 September 2017. 16
Wawancara pribadi dengan informan 1 (P1), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017.
99
b. Gangguan semantik, gangguan jenis ini bersangkutan dengan pesan
komunikasi yang pengertiannya jadi rusak (salah pengertian).
“Terkadang ada klien lansia yang salah paham ketika kita menyuruh
mereka seperti harus mandi biar bersih, cantik dan wangi, tetapi mereka
menganggap mereka dimarahin dan tidak suka sama mereka.”17
2. Kepentingan
Kepentingan akan membuat seseorang selektif dalam menanggapi atau
menghayati suatu pesan. Orang akan memperhatikan perangsang yang asa
hubungannya dengan kepentigannya.
“Di panti sosial ini ada kegiatan rutin setiap minggunya, misalnya
pengajian. Sebelum pengajian, biasanya perawat menyuruh para klien
lansia untuk mandi terlebih dahulu. Tetapi ada saja klien lansia yang tidak
memperdulikan dan ingin ikut, jika kita lihat dari kondisinya lagi tidak
bersih dan bau. Yang namanya pengajian kan harus bersih dan suci, tapi
kita dari perawat memaklumi dan menyuruh klien lansia untuk mandi.”18
3. Keterbatasan fisik
Hal ini berkaitan dengan berkurangnya fungsi fisik yang digunakan untuk
berkomunikasi.
“Hambatan sih ada, yang namanya lansia kan ada keterbatasan fisik,
seperti tidak bisa mendengar dengan jelas, tidak bisa melihat dengan jelas,
pikun. Makanya perawat berbicara sedikit keras bagi klien lansia yang
tidak bisa mendengar terlalu jelas.”19
4. Gangguan psikologi
Faktor psikologis sering menjadi hambatan dalam proses komunikasi. Hal
ini umumnya disebabkan oleh komunikator sebelum melakukan proses
17
Wawancara pribadi dengan informan 2 (P2), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017. 18
Wawancara pribadi dengan informan 2 (P2), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017. 19
Wawancara pribadi dengan informan 1 (P1), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017.
100
komunikasi tidak melihat kondisi komunikannya, apabila komunikan lagi sedih,
kecewa, marah dan kondisi psikologis lainnya.
“Selain hambatan pada keterbatasan fisik, juga ada gangguan pada
psikologi klien lansia. Usia yang sudah tua itu kembali ke sifat anak kecil,
terkadang suka tiba-tiba marah, sedih, kecewa dan sebagainya. Jadi, perawat
harus sabar dan mengerti kondisi klien lansia”.20
5. Prasangka
Prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi suatu
kegiatan komunikasi.Oleh karena itu orang yang mempunyai prasangka belum
apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang hendak
melancarkan komunikasi.
“Ada juga nih klien lansia yang suka salahpaham, misalnya perawat
meminta membersihkan lingkungan wisma dan kamar mereka masing-
masing. Tiba-tiba ada salah satu klien lansia yang merasa tersinggung, bisa
dibilang meremehkan karena kamarnyanya kotor dan bau.”21
Dari uraian hambatan di atas, kita sudah mengetahui hambatan-hambatan
komunikasi interpersonal dengan klien lansia, maka keterbukaan diri dapat
mempengaruhi komunikasi yang dilakukan. Individu dapat lebih memahami apa
yang dikatakan oleh orang lain apabila individu tersebut sudah mengenal baik
orang lain tersebut, sehingga individu tersebut mendapatkan pemahaman secara
utuh terhadap orang lain dan mungkin sebaliknya. Keterbukaan diri sangat
diperlukan dalam membina suatu hubungan yang bermakna seperti sikap saling
percaya, menghargai, dan jujur. Adanya keterbukaan akan membuat suatu
hubungan lebih bermakna dan mendalam, sehingga membangun keterbukaan diri
antara perawat dan lansia.
20
Wawancara pribadi dengan informan 1 (P1), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017. 21
Wawancara pribadi dengan informan 2 (P2), Perawat Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang, Serang 18 Oktober 2017.
101
4.6 Pembahasan
Setelah data dianalisis, langkah selanjutnya adalah interpretasi data yaitu
menghubungkan temuan hasil penelitian dengan teori dan konsep para ahli
sehingga peneliti dapat mengembangkan teori dan menemukan makna baru dari
hasil penelitian. Adapun pembahasan yang dilakukan yaitu membahas lebih lanjut
hasil analisis data yang telah diinterpretasikan. Dalam hal ini peneliti membahas
mengenai pola keterbukaan diri pada tahapan teori penetrasi sosial antara perawat
dan lansia, membangun proses keterbukaan diri antara perawat dan lansia dan
mempertahankan komunikasi interpersonal antara perawat dan lansia di Panti
Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang.
Tahap penetrasi sosial dalam proses komunikasi interpersonal, dalam
penelitian ini teori yang digunakan dalam pola keterbukaan diri antara perawat
dan lansia di panti sosial ialah teori penetrasi sosial. Teori penetrasi sosial
mempunyai empat tahapan dalam perkembangan hubungan antar-individu. Tahap
awal yang dilakukan perawat ialah tahap orientasi, dimana tahap saat komunikasi
yang terjadi bersifat tidak pribadi (impersonal). Dari hasil temuan penelitian
menunjukkan bahwa dari ketiga narasumber yaitu lansia yang tinggal di panti
sosial tersebut ialah Suradi, Narsiah, dan Ratiah, masing-masing membutuhkan
waktu yang berbeda-beda untuk melalui tahapan-tahapan penetrasi sosial.
Beragam waktu yang mereka butuhkan untuk bisa terbuka kepada perawat di panti
sosial. Dari hasil temuan analisis yang dipaparkan pada tabel axial coding dapat
dilihat bahwa yang membutuhkan waktu paling cepat untuk bisa beradaptasi
dengan perawat maupun lansia lainnya di panti sosial adalah Narsiah dan Suradi.
Sedangkan yang cukup lama untuk beradaptasi dengan perawat maupun lansia
102
lainnya adalah Ratiah. Dikarenakan Ratiah memiliki sifat pemalu. Pandangan
perawat terhadap karakter lansia dalam berkomunikasi dan bagaimana cara
berkomunikasi dengan lansia juga terdapat pada tahap orientasi. Dimana
berkomunikasi dengan lansia harus berperan sebagai partner atau teman dekatnya
dengan menanyakan hal-hal yang bersifat umum, mendengar cerita tentang apa
saja sehingga tidak merusak interaksi meskipun dengan respon anggukan dan
senyuman.
Para individu yang terlibat hanya menyampaikan informasi yang bersifat
sangat umum saja. Selama tahap ini, pertanyaan-pertanyaan yang dibuat biasanya
hal-hal yang klise dan orang biasanya bertindak sesuai dengan cara yang dianggap
baik secara sosial dan berhati-hati untuk tidak melanggar harapan sosial. Selain
itu, individu-individu tersenyum manis dan bertindak sopan pada tahap orientasi.
Pada hasil analisis situasi juga terlihat bahwa pada tahap orientasi (tahap
awal) hanya beberapa lansia yang bisa diajak berkomunikasi dalam waktu yang
cukup lama yaitu dua sampai tiga jam di panti. Biasanya dengan waktu yang
cukup lama tersebut, kebanyakan lansia sudah tidak merasa nyaman dan bosan
untuk berkomunikasi dengan orang baru. Akan tetapi berbeda dengan beberapa
lansia di panti ini dan sangat terlihat bahwa mereka membutuhkan sosok teman
untuk bercerita.
Tahap orientasi yang menyampaikan dan menerima informasi dalam
pembentukan hubungan. Ketika suatu hubungan terbentuk, berkembang pada
pola-pola komunikasi yang merupakan hasil dari aturan yang diterapkan para
partisipan. Dengan menjalin hubungan antara perawat dan lansia atau lansia
dengan lansia, perawat mencoba untuk mengenali dan memahami kebutuhan satu
103
sama lain, membentuk interaksi dan berusaha mempertahankan interaksi tersebut.
Kemudian berlanjut pada hubungan yang lebih dekat.
Proses komunikasi individu sudah saling menanggapi agar terjadi
pertukaran informasi dan adanya perluasan area publik. Individu yang mulai
saling membuka diri namun masih terbatas pada taraf pikiran, saat berbicara
individu tersebut masih berusaha keras menghindarkan diri dan menunjukkan
kesan ramah dan mulai akrab.
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dipaparkan di atas, bahwa mulai
adanya keterbukaan diri yang lebih mendalam, aspek-aspek kepribadian seseorang
mulai muncul pada klien lansia Narsiah, Ratiah dan Suradi kepada perawat atau
sebaliknya dan teman dekat mereka masing-masing yang dapat dilihat pada
kutipan hasil wawancaran. Kemudian, mereka lebih memilih bercerita pada saat
santai dan keakrabannya terlihat dari kedekatan diantara mereka seperti
menceritakan hal-hal yang semiprivate kepada orang yang menurut mereka bisa
dipercayai seperti perawat dan teman dekat.
Ini dapat dikatakan proses komunikasi pada tahap kedua yaitu tahap
eksploratif, dikarenakan cenderung munculnya gerakan menuju ke arah
keterbukaan yang lebih dalam. Tahap ini menyajikan suatu perluasan mengenai
banyaknya komunikasi dalam wilayah di luar publik; aspek-aspek kepribadian
yang dijaga atau ditutupi sekarang mulai dibuka atau secara lebih perinci, rasa
berhati-hati sudah mulai berkurang. Hubungan pada tahap ini umumnya lebih
ramah dan santai, dan jalan menuju ke wilayah lanjutan yang bersifat akrab
dimulai. Tahap ini merupakan perluasan area publik dari diri dan terjadi ketika
aspek-aspek dari kepribadian seorang individu mulai muncul. Kepribadian sangat
104
menentukan bentuk hubungan yang akan terjalin. Kepribadian mengekspresikan
pengalaman subjektif seperti kebiasaan, karakter dan perilaku. Faktor kepribadian
lebih mengarah pada bagaimana tanggapan dan respon yang akan diberikan
sehingga terjadi hubungan. Tindakan dan tanggapan terhadap pesan sangat
tergantung pada pola hubungan pribadi dan karakteristik atau sifat yang
dibawanya.
Kedekatan interpersonal merujuk pada sebuah ikatan hubungan dimana
individu-individu yang terlibat bergerak dari komunikasi superfisial menuju ke
komunikasi yang lebih intim. Keintiman yang bertahan lama membutuhkan
ketidakberdayaan yang terjadi secara berkesinambungan tetapi juga bermutu
dengan cara melakukan pengungkapan diri yang luas dan dalam.
Setiap individu memiliki emosi atau perasaan yang berbeda seperti individu
yang menginginkan hubungan yang jujur, terbuka dan menyatakan perasaan
secara mendalam. Individu yang memiliki keberanian untuk saling bersikap jujur
dan terbuka berarti memiliki kesepakatan untuk saling mempercayai. Dengan
begitu, komunikasi interpersonal dapat dipertahankan.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan bahwa kedekatan hubungan
interpersonal antara perawat dengan lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha
Cipocok Jaya Serang bahwa seseorang telah merasa nyaman, mendapatkan timbal
balik dari lawan bicaranya, terjalinnya persahabatan, lebih aktif, mau
menceritakan masalah yang bersifat pribadi dan adanya hambatan. Hal ini bisa
dilihat dari pernyataan perawat. Perawat mengatakan upaya pendekatan dalam
keterbukaan diri pada komunikasi interpersonal secara verbal pada kegiatan
sehari-hari. Berbagai kegiatan yang dilakukan seperti bermain, membuat
105
kerajinan, mengikuti pengajian dan sebagainya. Dengan melakukan kegiatan di
panti sosial, sehingga perasaan kaku dan tegang akan hilang. Selain itu juga
terdapat pada kutipan hasil wawancara penelitian dari pembicaraan antara Ratiah,
perawat dan teman dekatnya, disini Ratiah menceritakan masalahnya, perawat dan
teman dekatnya juga memberikan solusi untuk Ratiah dalam menyelesaikan
masalahnya itu.
Dari uraian tersebut terdapat tahap pertukaran afektif, tahap ini ditandai oleh
persahabatan yang dekat dan pasangan yang intim. Hubungan intim terkait dengan
jangka waktu, keintiman akan tumbuh pada jangka panjang. Kerena cenderung
dipertahankan karena investasi yang ditanamkan individu di dalamnya dalam
jangka waktu yang lama telah banyak. Di sini, perjanjian bersifat interaktif lebih
lancar dan kausal. Interaksi pada lapis luar kepribadian menjadi terbuka, dan
adanya yang meningkat pada lapis menengah kepribadian. Meskipun adanya rasa
kehati-hatian, umumnya terdapat sedikit hambatan untuk penjajakan secara
terbuka mengenai keakraban. Tahap pertukaran afektif menggambarkan
komitmen lanjut kepada individu lainnya, para interaktan merasa nyaman satu
dengan lainnya.
Kemudian pada tahap terakhir yaitu tahap pertukaran stabil, adanya
keintiman dan pada tahap ini, masing-masing individu dimungkinkan untuk
memperkirakan masing-masing tindakan mereka dan memberikan tanggapan
dengan sangat baik (Morissan, 2014:299). Dalam tahap ini, pasangan berada
dalam tingkat keintiman tinggi dan sinkron, maksudnya, perilaku-perilaku di
antara keduanya kadang kala terjadi kembali, dan pasangan mampu untuk menilai
dan menduga perilaku pasangannya dengan cukup akurat. Dapat dilihat pada hasil
106
penelitian tabel axial coding, perawat bisa memahami apa yang sedang dirasakan
lansia hanya dari raut wajah, perawat melakukan berbagai upaya dalam pedekatan
dengan lansia untuk menciptakan rasa kenyamanan, kekeluargaan dan upaya
perawat menghindari lansia dari hal-hal negatif dengan melakukan berbagai
pembinaan kegiatan di panti sosial.
Dari hasil penelitian tersebut, perawat dapat dikatakan melakukan tahap
terakhir yaitu tahap pertukaran stabil. Kecenderungan perawat dalam melakukan
komunikasi dengan lansia adalah mampu memahami apa yang dirasakan lansia
dari raut wajahnya sehingga perawat melakukan berbagai pendekatan. Ekspresi
wajah menimbulkan kesan dan persepsi yang sangat menentukan penerimaan
individu atau kelompok. Senyuman yang dilontarkan akan menunjukkan
ungkapan bahagia, mata melotot sebagai marah, dan seterusnya. Wajah telah lama
menjadi sumber informasi dalam komunikasi interpersonal. Wajah merupakan alat
komunikasi yang sangat penting dalam menyampaikan makna dalam beberapa
detik raut wajah akan menentukan dan menggerakkan keputusan yang diambil.
Kepekaan menangkap emosi wajah sangat menentukan kecermatan tindakan yang
akan diambil.
Informasi yang disampaikan melalui ekspresi wajah pada hal pengembangan
hubungan dibutuhkan sebuah pendekatan, begitu pula terjadi dalam hal pola
keterbukaan diri antara perawat dan lansia di panti sosial. Pendekatan yang
dilakukan perawat terhadap lansia yang memiliki sifat lebih condong seperti anak
kecil berbeda dengan pendekatan dengan orang dewasa agar mendapatkan
informasi.
107
Hubungan interpersonal berkembang secara bertahap dan dapat diprediksi.
Teoretikus penetrasi sosial percaya bahwa pembukaan diri adalah cara utama yang
digunakan oleh sebuah hubungan ramah-tamah bergerak menuju hubungan yang
intim.
Pola komunikasi dalam proses keterbukaan diri, proses komunikasi
merupakan rangkaian dari aktivitas komunikasi menyampaikan pesan sehingga
menghasilkan feedback dari penerima pesan. Berdasarkan temuan hasil penelitian
di lapangan, hubungan interpersonal diperlukan komunikasi yang baik dan efektif
yang bertujuan untuk membentuk hubungan (pola komunikasi) dan melakukan
pertukaran informasi agar dapat membentuk saling pengertian dan terjalinnya
hubungan yang harmonis dan baik.
Hasil temuan obeservasi di lapangan berdasarkan kutipan wawancara di atas
bahwa perawat dan lansia melakukan proses komunikasi yang saling memberikan
tanggapan terhadap lawan bicaranya. Dengan adanya tanggapan dari penerima
pesan berarti adanya respon, yaitu feedback sehingga pola komunikasi yang
terjadi antara perawat dan lansia di panti sosial adalah pola komunikasi sirkuler.
Dalam proses sirkular itu terjadi umpan balik. Dalam pola komunikasi yang
seperti ini proses komunikasi berjalan terus, yaitu adanya umpan balik antara
komunikator dan komunikan. Umpan balik tersebut komunikator akan
mengetahui komunikasi berhasil atau gagal yaitu umpan baliknya positif atau
negatif. Dalam pola komunikasi sirkular ini umpan balik memang dapat terjadi
secara langsung, tetapi dengan mengetahui umpan balik secara langsung ini pula,
terutama umpan balik negatif yang mengakibatkan berlanjut atau tidak
komunikasi yang telah dijalani.
108
Komunikasi interpersonal dinyatakan efektif bila pertemuan antara
pemangku kepentingan terbangun dalam situasi komunikatif – interaktif dan
menyenangkan. Efektivitas komunikasi sangat ditentukan oleh validitas informasi
yang disampaikan dan keterlibatan dalam memformulasikan ide atau gagasan
secara bersama. Bila berkumpul dalam suatu kelompok yang memiliki kesamaan
pandangan akan membuat gembira, suka dan nyaman.
Ketika melakukan komunikasi dalam proses keterbukaan diri, tentu saja ada
hal yang menjadi faktor penghambat komunikasi. Berdasarkan hasil wawancara
dengan beberapa informan pada hasil penelitian di atas, menyebutkan bahwa
hambatan komunikasi dalam berinteraksi dengan lansia adalah hambatan secara
fisik, biologis dan psikologis. Namun peneliti mengamati dan merasakan masih
ada hambatan lainnya dan ini terdapat pada faktor penghambat komunikasi
antarpribadi. Konflik dipandang sebagai bagian penting dari pengembangan.
pertumbuhan hubungan terjadi selama periode adanya kecocokan atau
kesesuaian., dan kemunduran hubungan terjadi sebagai akibat terjadinya krisis dan
tekanan jiwa lainnya. Namun demikian, sekali terjadi proses-proses pertukaran
yang terjadi pada putusnya hubungan antarpribadi merupakan kebalikan apa yang
terjadi pada tahap-tahap pengembangan. Proses-proses pertukaran itu berlangsung
sistematis dan teratur, kali ini dari tingkat yang akrab ke tingkat yang tingkat
akrab (Budiyatna & Ganiem, 2012:230).
Begitu pula dalam membangun keterbukaan diri di sebuah panti sosial
antara perawat dan lansia pasti mengalami berbagai hambatan atau masalah.
Hambatan yang pertama ialah gangguan mekanik dan semantik. Ganguan
mekanik, adalah gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan
109
yang bersifat fisik, yang termasuk gangguan mekanik pada observasi dan hasil
wawancara penelitian adalah ketika ada lansia yang ingin bercerita soal
keluarganya kepada perawat, ada saja gangguan mekanik yang terjadi seperti
ketika cerita dikamar klien lansia, ada saja klien lansia yang lain suka mondar
mandir keluar masuk kamar. Sehingga mengganggu aktivitas komunikasi antara
perawat dan lansia. Akan tetapi, perawat memaklumi lansia tersebut.
Kemudian gangguan semantik, adalah gangguan yang bersangkutan dengan
pesan komunikasi yang pengertiannya jadi rusak(salah pengertian), dan dapat
dilihat pada observasi dan hasil wawancara penelitian seperti ketika seorang
perawat menyuruh lansia mandi dengan suara yang sedikit keras, membuat lansia
mengira bahwa perawat sedang marah. Sebenarnya perawat hanya bersikap
sedikit tegas agar lansia menuruti perintah perawat.
Hambatan kedua ialah kepentingan, dimana kepentingan akan membuat
seseorang selektif dalam menanggapi atau menghayati suatu pesan. Pada
observasi dan hasil wawancara penelitian yang termasuk hambatan kepentingan,
yaitu ketika perawat mempunyai kepentingan seperti menyuruh para lansia untuk
mandi sebelum kegiatan pengajian, dan kemudian disuruh berkumpul di mushola,
ada lansia yang ikut dalam kegiatan pengajian tersebut tetapi ia belum mandi
bahkan masih memakai baju yang sudah kena kencing dari kemarin dan belum
sempat diganti. Oleh karena itu, perawat harus bisa memahami dan memaklumi
dan memberikan kesempatan untuk mandi terlebih dahulu agar bisa ikut dalam
kegiatan pengajian di panti sosial.
110
Hambatan yang ketiga ialah keterbatasan fisik, hal ini berkaitan dengan
berkurangnya fungsi fisik yang digunakan untuk berkomunikasi. Ini terjadi ketika
perawat meminta tolong untuk membersihkan kamar mereka sendiri dengan suara
yang lembut, ada beberapa lansia tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang
diucapkan oleh perawat dikarenakan alat indra beberapa lansia sudah mulai tidak
berfungsi. Oleh karena itu, perawat berbicara dengan suara yang sedikit keras bagi
beberapa lansia yang mempunyai keterbatasan dalam pendengaran.
Kemudian adanya hambatan psikologi yang timbul adanya perbedaan
gagasan dan penilaian subyektif diantara orang yang terlibat dalam komunikasi.
Hal ini umumnya disebabkan oleh komunikator sebelum melakukan proses
komunikasi tidak melihat kondisi komunikannya, apabila komunikan lagi sedih,
kecewa, marah dan kondisi psikologis lainnya. Gangguan psikologi ini terjadi
dalam hal ketika perawat meminta lansia untuk keluar dari kamarnya dan
beradaptasi dengan yang lain dengan suara yang lembut, tiba-tiba lansia itu marah
karena ia tidak mau diatur. Dengan begitu, perawat harus lebih sabar dan mengerti
dengan sikapnya yang terkadang suka baik dan suka tiba-tiba marah.
Hambatan yang terakhir ialah prasangka, salah satu rintangan atau hambatan
berat bagi suatu kegiatan komunikasi. Oleh karena itu, orang yang mempunyai
prasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang
hendak melancarkan komunikasi. Hal ini terdapat pada observasi dan hasil
wawancara penelitian yaitu ketika perawat sedang menasehati para lansia
mengenai kebersihan lingkungan baik di kamar maupun di wisma, akan tetapi
terkadang lansia yang salahpaham kepada perawat. Mereka mengira bahwa
111
perawat sedang mengucilkan mereka dan merasa diremehkan karena wismanya
kotor dan bau.
Dengan mengetahui hambatan-hambatan komunikasi interpersonal dengan
lansia, maka keterbukaan diri dapat mempengaruhi proses komunikasi yang
dilakukan. Individu dapat lebih memahami apa yang dikatakan oleh orang lain
apabila individu tersebut sudah mengenal baik orang lain, sehingga individu
tersebut mendapatkan pemahaman secara utuh terhadap orang lain dan mungkin
sebaliknya.
Hubungan interpersonal tidak bersifat statis tetapi selalu berubah. Untuk
memelihara dan memperkuat hubungan interpersonal diperlukan tindakan tertentu
untuk mengembalikan keseimbangan. Untuk memelihara keseimbangan
membutuhkan keakraban, kontrol, respon yang tepat dan nada emosional yang
tepat. Hubungan interpersonal akan terpelihara apabila kedua belah pihak sepakat
tentang tingkat keakraban yang diperlukan.
112
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dibahas dalam bab sebelumnya, maka
peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan, antara lain:
1. Proses komunikasi interpersonal yang terjadi antara perawat dan lansia di
Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang pada tahap
penetrasi sosial, adalah tahap orientasi, tahap pertukaran eksploratif, tahap
pertukaran afektif, dan tahap pertukaran stabil. Pola keterbukaan diri antara
perawat dan lansia pada tahap penetrasi sosial dimulai dari tahap orienatasi
atau membuka diri sedikit demi sedikit bersifat impersonal yang
membutuhkan waktu tertentu, semakin sering berinteraksi semakin kita
mengetahui kepribadian lansia ataupun perawat dari komunikasi superfisial
menjadi komunikasi yang lebih intim, kedua belah pihak akan memberikan
perhatian secara keseluruhan sehingga mulai terbiasa bersikap terbuka, lebih
akrab dan terjalinnya persahabatan dan kedua belah pihak mampu
memahami karakter dan menduga perilaku lawan bicaranya.
2. Pola komunikasi dalam proses keterbukaan diri antara perawat dan lansia di
panti sosial sasana tresna werdha cipocok jaya serang adalah pola
komunikasi sirkuler karena terjadinya umpan balik antara perawat dan
lansia dalam melakukan interaksi. Dari umpan balik tersebut komunikator
akan mengetahui komunikasi berhasil atau gagal yaitu umpan baliknya
positif atau negatif. Dalam pola komunikasi sirkular ini umpan balik
113
memang dapat terjadi secara langsung, tetapi dengan mengetahui umpan
balik secara langsung ini pula, terutama umpan balik negatif yang
mengakibatkan berlanjut atau tidak komunikasi yang telah dijalani.
5.2 Saran
Dari analisis situasi, pembahasan dan kesimpulan yang telah diurai
sebelumnya, maka peneliti mengajukan saran-saran yang mungkin dapat dijadikan
masukan dan perbaikan dimasa mendatang, antara lain:
1. Kepada perawat
a. Meningkatkan kedekatan hubungan dengan lansia agar terciptanya rasa
kekeluargaan sehingga tidak menimbulkan rasa bosan, jenuh dan kaku.
b. Bersikaplah layaknya anak kepada orang tuanya bagi mereka, agar
mereka merasakan kasih sayang yang tulus dan mendapatkan perlakuan
yang semestinya sehingga lansia mulai bersifat terbuka.
c. Lebih sabardalam menghadapi lansia yang sedikit sulit untuk dinasehati.
2. Kepada peneliti selanjutnya
a. Penelitian ini mengangkat masalah bagaimana pola keterbukaan diri
antara perawat dan lansia, peneliti mengharapkan agar penelitian ini
berlanjut dengan permasalahan bagaimana pola keterbukaan diri antara
lansia dan lansia atau sebagainya sehingga beragam persoalan yang
ditemukan.
b. Diharapkan isi dari penelitian ini mampu memberikan kontribusi kepada
pembaca serta untuk pihak Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok
Jaya Serang agar lebih meningkatkan rasa kekeluargaan didalam
keluarga demi terciptanya keluarga yang hangat dan harmonis.
112
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto, Elvinaro. 2010. Metode Penelitian Untuk Public Relations Kuantitatif
dan Kualitatif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
A Supratiknya. 2005. Komunikasi Antar Pribadi. Yogyakarta: Kanisius.
Bagong, Sutyanto. 2007. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Prenanda Media
Group.
Burrel, G. & G. Morgan. 1979. Socialogical Paradigma and Organizational
Analysis.
Cangara, H. Hafied. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Depkes RI. 2001. Pedoman Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas
Kesehatan II.
DeVito, Joseph A. 2011. Komunikasi Antar Manusia. Edisi Kelima: Alih Bahasa:
Agus Maulana. Tangerang: Karisma Publishing Group.
______________,1997. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Profesional Books
,2011. Komunikasi Antar Manusia. Tangerang Selatan: Kharisma
Publishing Group.
Effendy,Onong U. 2005. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung
:RemajaRosdakarya.
Em Griffin. 2006. A First Look at Communication Theory. USA: McGraw Hill
.
Fuad, Anis dan Kandung S Nugroho. 2013. Panduan Praktis Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kriyantono, Rahmat. 2009. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana
Kurniawati, Nia Kania. 2014. Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta: Graha Ilmu
Maryam R.S, Ekasari MF, dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya.
Jakarta: Salemba Medika
Michael Quinn Patton. 2002. Qualitative Research & Evaluation Methods.
California: Sage publication.
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Morissan. 2014. Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana
Predana Media.
113
Muhammad Budiyatna dan Laia Mona Ganiem. 2012. Teori Komunikasi
Antarpribadi. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosda Karya
Nugroho. 1999. Perawatan Usia Lanjut. EGC. Jakarta
Rakhmat, Jalaludin, 1995. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT
RemajaRosadikarya
Rakhmat, Jalaludin. 2002. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya
Riharjo, Ikhsan B. 2011. Memahami Paradigma Penelitian Non-Positivisme dan
Implikasinya.
Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi:Perspektif, Ragam dan Aplikasi. Jakarta:
Rineka Cipta
Ruslan, Rosady. 2004. Metode Penelitian PR dan Komunikasi. Jakarta: PT. Raja
GrafindoPersada
Sihabudin, Ahmad & Rahmi Winangsih, 2012. Komunikasi Antar Manusia.
Serang: Pustaka Getok Tular
Smeltzer, S & Bere. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
Volume 2. Brunner dan Suddart. EGC: Jakarta
Stanley et al. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik, ed 2. EGC. Jakarta
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung :Alfabeta
________, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Penerbit Alfabeta
________, 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Supratiknya, A.1995. Komunikasi Antar Pribadi: Tinjauan Psikologi.
Yogyakarta: Kanisius
Suranto, AW. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu
Syam, Nina W. 2011. Psikologi Sebagai Akar Ilmu Komunikasi.. Bandung:
Remaja Rosda Karya
Tamher dan Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan
Asuan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
114
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992
West, Richard, dan Lynn H Turner. (2008). Pengantar Teorikomunikasi :Analisis
dan Aplikasi Buku 1 – 3/E. Jakarta : Salemba Empat
Wood, Julia T. 2010. Komunikasi Interpersonal. jakarta: Salemba Humanika
Jurnal dan Skripsi:
Aprilia, Triesty dan Winangsih, Rahmi dan Gumelar, Rangga G. (2016). Pola
Komunikasi Terapeutik Dokter terhadap Pasien Rawat Inap dalam Proses
Penyembuhan (Studi Deskriptif Aktivitas Komunikasi). Skripsi, Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa
Demartoto, Argyo. 2006. Pelayanan Sosial Non Panti Bagi Lansia. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Ditya, Ardi Nugroho. 2013. Self Disclosure terhadap Pasangan melalui Media
Facebook Ditinjau dari Jenis Kelamin. Jurnal Psikologi, Volume 01 No. 02.
Iqbal W, Ayip. 2014. Pola Komunikasi Antarpribadi Guru Sekolah Khusus
Negeri (SKhN) 01 Kota Serang dengan Murid Penderita Tunagrahita dalam
Proses Belajar Mengajar di Kelas.Serang: Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa
Karumi, Atilah Nur. 2016. Peran Perawat dalam Komunikasi Antarpribadi
dengan Lansia Untuk Membangun Kreativitas. Samarinda: Universitas
Mulawarman
Putriana, Dita. 2016. Pola Komunikasi Pengasuh dengan Lanjut Usia di
Pelayanan Sosial Lanjut Usia Tresna Werdha Natar, Lampung Selatan.
Bandar Lampung: Universitas Lampung
Ruth, Permatasari Novianna. 2012. Pengungkapan Diri pada Remaja yang Orang
Tuanya Bercerai. Jakarta: Universitas Gunadarma.
Suhartini, Ratna. 2004.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Orang
Lanjut Usia (Studi Kasus di Kelurahan Jambangan). Surabaya: Universitas
Airlangga
Suryani, Purwanta, & Ahmadi, 2007. Jurnal Kebidanan Dan Keperawatan
Gambaran Kegiatan Lanjut Usia Di Panti Sosial Tresna Werdha
Yogyakarta Unit Budi Luhur. Volume 3. No. 1.
Laman Online:
Kunjtoro, Zainuddin (2007), Masalah Kesehatan Jiwa Lansia. http://www.e
psikologi.com/ epsi/lanjutusia_detail.asp.?id=182
115
LAMPIRAN 1
PEDOMAN OBSERVASI
Dalam pengamatan yang dilakukan peneliti yaitu mengamati tahapan
pelaksanaan di lapangan bagaimana proses komunikasi dalam pola keterbukaan
diri antara perawat dan lansia di panti sosial sasana tresna werdha Cipocok Jaya
Serang. Tujuan dari pelaksanaan observasi ini untuk memperoleh informasi dan
mengetahui gambaran proses komunikasi yang terjadi secara nyata dan jelas
sehingga peneliti dapat memahami dengan baik. Selain itu, dengan adanya
observasi peneliti dapat mencatat dan menanyakan hal-hal yang belum peneliti
mengerti serta meminta penjelasan mengenai hal-hal yang menunjang penelitian.
Aspek-aspek yang diteliti, yaitu:
1. Keadaan lingkungan di lokasi kegiatan
2. Sarana dan prasarana penunjang kegiatan
3. Mengamati proses komunikasi antara perawat dan lansia serta lansia dan
lansia
4. Mengamati proses komunikasi dalam pembuatan kreativitas kerajinan karya
lansia
5. Mengamati kegiatan rutin mingguan lansia
6. Mengamati keadaan wisma (asrama klien lansia)
7. Mengamati tingkah laku lansia dan interaksi lansia di wisma.
116
LAMPIRAN II
PEDOMAN WAWANCARA
Key Informan :
Perawat Laki-laki
Perawat Perempuan
Pedoman wawancara
1. Bagaimana Anda memandang klien lansia?
2. Bagaimana cara Anda mendekatkan diri dengan klien lansia?
3. Apakah Anda menggunakan tahap orientasi (perkenalan) dengan klien
lansia dan seperti apa komunikasi yang dilakukan?
4. Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar Anda dekat dengan klien lansia?
5. Berapa lama Anda memahami karakter klien lansia?
6. Setelah dekat dan memahami karakter klien lansia, apakah klien lansia
mulai menceritakan pengalaman pribadinya cerita tentang apa saja?
7. Sejak kapan klien lansia bisa mengungkapkan isi hatinya kepada Anda?
8. Bagaimana cara Anda dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi klien
lansia setelah mereka mengungkapkan isi hatinya?
9. Apakah salah satu cara memahami karakter klien lansia dilihat dari raut
wajahnya?
10. Apa upaya yang dilakukan Anda ketika raut muka klien lansia sedang sedih,
kecewa dan kesal?
11. Apakah komunikasi interpersonal ini sangat efektif digunakan dalam
membangun keterbukaan diri klien lansia?
12. Seberapa pentingnya komunikasi interpersonal ini digunakan dalam
interaksi sehari-hari?
13. Apakah komunikasi interpersonal sangat membantu Anda dalam melakukan
interaksi dengan klien lansia untuk membangun keterbukaan dirinya?
14. Apakah Anda menggunakan komunikasi interpersonal dalam penetrasi
sosial yang terdiri dari tahap orientasi, tahap penjajakan pertukaran afektif,
tahap pertukaran afektif dan tahap pertukaran stabil dan jelaskan seperti apa
proses komunikasinya?
117
PEDOMAN WAWANCARA
Key Informan:
Klien lansia laki-laki
Klien lansia perempuan
Pedoman Wawancara
1. Apa yang Anda rasakan ketika pertama kali berada di panti sosial ini?
2. Apa alasan Anda untuk memilih tinggal di panti sosial ini?
3. Bagaimana menurut Anda tentang pelayanan yang diberikan oleh pihak
panti sosial ini?
4. Apakah Anda merasa nyaman tinggal di panti sosial?
5. Apa yang membuat Anda merasa nyaman di panti sosial?
6. Bagaimana perasaan Anda ketika bertemu dengan keluarga baru di panti
sosial?
7. Apa hambatan Anda ketika berinteraksi dengan lansia lainnya?
8. Ketika Anda sudah lama tinggal di panti, tentunya punya teman dekat. Siapa
teman dekat Anda?
9. Apakah Anda sering berbagi cerita dengan teman dekat Anda dan ceritanya
tentang apa?
10. Selama tinggal di panti sosial, Apakah pernah terjadi pertengkaran antara
sesama lansia?
11. Siapa yang menjadi penengah ketika terjadi pertengakaran?
12. Selain punya teman curhat lansia di panti, apakah Anda punya teman dekat
juga dengan pihak panti sosial? Siapa namanya?
13. Apakah Anda juga merasa nyaman sama salah seorang pihak panti sosial
ini?
14. Biasanya sering curhat tentang apa?
15. Apakah Anda ingin untuk keluar dari panti sosial ini jika keluarga Anda
meminta untuk tinggal bersama mereka?
118
PEDOMAN WAWANCARA
Secondary Informan:
Kepala bidang seksi pelayanan dan perawatan
Pedoman Wawancara
1. Bagaimana Anda memandang klien lansia?
2. Bagaimana Anda memandang perawat yang melakukan komunikasi dengan
klien lansia?
3. Apakah komunikasi perawat dengan klien lansia yang dilakukan sudah
berjalan dengan efektif?
4. Apakah klien lansia mengalami peningkatan dalam melaksanakan umpan
balik yang diharapkan oleh perawat?
5. Apakah komunikasi interpersonal yang dilakukan perawat sudah berjalan
efektif?
6. Apakah komunikasi interpersonal perawat dengan klien lansia dilakukan
secara intens dan tatap muka?
7. Apakah ada kekurangan dari perawat dalam berkomunikasi antara perawat
dengan klien lansia?
8. Bagaimana cara komunikasi yang efektif menurut anda secara
interpersonal?
9. Hambatan komunikasi apa saja yang terjadi antara perawat dengan klien
lansia di Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang?
10. Apakah benar perawat menggunakan tahapan komunikasi interpersonal
seperti melihat pasien dari informasi demografis, sikap, pendapat,
memahami karakter, kepribadian, perilaku masa lalu, hobi, minat dan lain-
lain dalam tahap orientasi (perkenalan)?
11. Apakah perawat menggunakan komunikasi interpersonal dalam penetrasi
sosial yang terdiri dari tahap orientasi, tahap penjajakan pertukaran afektif,
tahap pertukaran afektif dan tahap pertukaran stabil?
119
LAMPIRAN III
CATATAN HASIL OBSERVASI
Hasil Observasi Ke- I dan II
Hari/tanggal : Observasi Ke-I, 8 Juni 2017
Observasi Ke-II, 21 September 2017
Lokasi Observasi : Balai Perlindungan Sosial Dinas Sosial Provinsi Banten
Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang
Objek yang diamati Temuan di lapangan
Keadaan lingkungan di
lokasi kegiatan
- Lingkungan panti sosial terlihat bersih dan nyaman.
- Setiap hari lingkungan wisma tempat pasien lansia selalu
dibersihkan oleh pegawai kebersihan panti, baik lingkungan
didalam wisma maupun diluar wisma.
- Setiap lansia juga diajarkan untuk menjaga kebersihan
lingkungan panti terutama wisma tempat tinggal mereka.
Sarana dan prasarana
penunjang kegiatan
- Gedung kantor pengelola balai
- Rumah dinas pegawai
- Ruang poliklinik, berfungsi sebagai tempat konsultasi
penyakit, keluhan kesehatan lansia, tempat pengecekan
kesehatan lansia dan tempat istirahat perawat.
- Wisma/ asrama klien lansia sebanyak 8 unit.
- Jumlah kamar tidur 38 unit.
- Setiap wisma disediakan fasilitas untuk lansia, seperti tv,
kipas angin, meja makan dan lemari untuk masing-masing
120
lansia.
- Aula
- Disediakan dapur umum yang berfungsi sebagai tempat
memasak untuk kebutuhan lansia dengan disediakan juru
masak.
- Disediakan saung tempat para lansia berkumpul, mengerjakan
kerajinan dan tempat latihan qasidahan.
- Disediakan musholla
- Ruang keterampilan
- Taman refleksi
- Tanah pemakaman
- Di fasilitasi 2 mobil ambulance
121
Hasil Observasi Ke- II dan III
Hari/tanggal : Observasi Ke-I, 21 September 2017
Observasi Ke-II, 6 Oktober 2017
Lokasi Observasi : Balai Perlindungan Sosial Dinas Sosial Provinsi Banten
Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang
Objek yang diamati Temuan di lapangan
Proses komunikasi antara
perawat dan lansia, lansia
dan lansia
- Komunikasi yang dilakukan antara perawat dan lansia
meggunakan komunikasi interpersonal secara tatap muka
(face to face).
- Menggunakan bahasa daerah seperti sunda, jawa dan bahasa
formal yaitu bahasa Indonesia, karena para lansia berasal dari
daerah yang berbeda.
- Melakukan pendekatan secara emosial agar para lansia
merasakan nyaman tinggal di panti.
Pembuatan kreativitas
kerajinan
- Kerajinan yang dibuat oleh para lansia berupa keset kaki,
anyaman kotak pensil dan tempat tissue dari daun silawan,
bunga beserta potnya, tempat tissue dari pernak-pernik,
sendal hias dan lain-lain.
- Jadwal pembuatan kerajinan ditentukan oleh pihak Balai
Perlindungan Sosial yaitu hari selasa dan kamis.
- Jumlah lansia yang ikut dalam pembuatan kreativitas
kerajinan sebanyak 10 orang dari 55 jumlah lansia yang ada
di panti.
- Pembuatan kreativitas kerajinan menghasilkan 2-5 buah per
122
hari kerajinan oleh para lansia.
- Hasil kreativitas kerajinan para lansia mengikuti beberapa
pameran kegiatan ulang tahun kota serang, ulang tahun
banten dan beberapa hasil kerajinan dijualkan dipasaran.
Latihan qasidahan - Kegiatan qasidahan merupakan salah satu kegiatan
kerohanian dan religius.
- Jadwalnya latihan qasidahan yaitu hari senin.
- Dilakuan oleh 8 orang lansia.
123
LAMPIRAN IV
Tabel Data Klien Lansia
(Sumber: Data Klien Lansia Dinas Sosial Provinsi Banten)
No Nama L/
P Usia Alamat
1. JUNARIAH P 74 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
2. MASITI P 77 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
3. KAWILAH P 87 Th Ds. Sukalaba Kec. Gunungsari Kab. Serang.
4. KAMBRAH P 79 Th Kel. Lontar Kec. Serang Kota Serang.
5. TUMINEM P 74 Th Kel/Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
6. DEWI P 81 Th Ds. Ranjeng Kec. Ciruas Kab. Serang.
7. MISJAYA L 79 Th Ds. Batukuwung Kec. Padarincang Kab. Serang.
8. FATMAWATI P 74 Th Kel. Sumur Pecung Kec. Serang Kota Serang.
9. HAMZAH L 85 Th Desa/Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang.
10. SANAH P 77 Th Desa Pringwulung Kec. Pamarayan Kab. Serang.
11. KASMERI P 78 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
12. SARIKAH P 79 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
13. SUTINAH P 77 Th Kel. Sukawana Kec./Kota Serang.
14. A. HOW P 68 Th Kel. Kota Baru Kec./Kota Serang.
15. SOFI P 71 Th Kp. Kalang Anyer Kec. Cibeber Kota Cilegon.
16. IAH HASANAH P 74 Th Kel./Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
17. MURNI P 76 Th Kp. Sayabulu Kota Serang.
18. RAHARJO L 72 Th Taman Adiyasa Blok C No. 32 Kab. Tangerang.
19. IYAN L 73 Th Ling. Ciwaru Rt. 01/08 Kel Banjaragung
Kec. Cipocok Jaya Kota Serang.
20. SOFIAN L 76 Th Kepandaian Kota Serang.
21. ANIYAH P 74 Th Kp. Cipocok Jaya Rt. 01/01, Kec. Cipocok Kota
Serang.
22. SARONI BIN
RAMAN
L 73 Th Kp. Petanduk Rt. 007/Rw 002 Desa Teras,
Kec. Carenang Kab. Serang.
23. SARTUM P 69 Th Ling. Cipocok Mesjid Rt. 01 Rw. 01 Kel. Cipocokjaya,
Kec. Cipocokjaya, Kota Serang.
24.
MANSUR L 72 Th Kp. Ciayun Rt. 03 Rw. 01 Kec. Tunjung Teja Kab.
Serang.
25. RATIAH P 72 Th Kp. Sidamukti RT 05 Rw 03 Ds. Sidamukti Kab.
Pandeglang.
26. SUKINEM P 79 Th Jl. Dahlia II Ds. Margasari Kec. Tigaraksa Kab.
Tangerang.
27. KASMAH P 83 Th Lingk. Kepandean Rt. 04 Rw. 06 Kel. Kagungan
Kec./Kota Serang.
28. KARTI P 65 Th Kp. Bendung Rt. 04 Rw. 02 Ds. Bendung Kec.
Kasemen Kota Serang.
29. HARTINI P 65 Th Jl. Meteorologi Rt. 02 Rw. 09 Kel. Tanah Tinggi
Kec./Kota Tangerang.
30. ROHIMAH P 69 Th Gg. Teman Rt. 03 Rw. 004 Kel./Kec. Larangan Kota
124
Tangerang.
31. KAMIL L 77 Th Kp. Bingkuang Ds. Teras Kec. Carenang Kab. Serang
32. FATIMAH P 62 Th Kel./Kec. Cipocokjaya Kota Serang.
33. DARIYAH P 72 Th Kec. Pontang - Kab. Serang.
34. KARTINI P 62 Th Lingk. Cinanggung Rt. 03 Rw. 03 Kel. Kaligandu
Kec./Kota Serang.
35. SURADI L 77Th Kp. Karang Anyar Kec. Selagi Lingga, Lampung
Tengah
36. SUGENG
RIYADI
L 72 Th Taman Adiyasa Blok C.05 No. 37 Rt. 07 Rw. 06 Ds.
Cikasunga Kec. Solear Kabupaten Tangerang.
37. SUTINAH P 67 Th Kp. Sempu Seroja Rt. 005 Rw. 015 Kel. Cipare Kec.
Serang - Kota Serang.
38. JANTRA L 72 Th Kp. Cijunjang Rt. 01 Rw. 04 Ds. Cikeusal Kec.
Cikeusal Kab. Serang.
39. JOHRA P 72 Th Kp. Jakung Ds. Cilowong Kec. Taktakan Kota Serang.
40. KASMINAH P 78 Th Jl. Legoso Rt. 02/01 Kel. Pisangan Kec. Ciputat Timur
- Kota Tangerang Selatan.
41. HARJA S. L 82 Th Kp. Cibunar Rt. 01/02 Ds./Kec. Cilograng Kab. Lebak.
42. SARUM L 67 Th Kel./Kec. Cipocokjaya - Kota Serang.
43. HASAN L 78 Th Kp. Kedaung Rt. 002 Rw. 04 Kel. Serua Indah
Kec. Ciputat - Kota Tangerang Selatan.
44. SANI P 76 Th Kp. Kedaung Rt. 002 Rw. 04 Kel. Serua Indah
Kec. Ciputat - Kota Tangerang Selatan.
45. FATMAH P 77 Th Kp. Cidadap Rt. 06 Rw. 02 Ds. Kec. Curug Kota
Serang.
46. RINI P 69 Th Kp. Gowok Rt. 02 Rw. 01 Ds. Tinggar Kec. Curug
47. SURYA L 79 Th Kp. Sindanglaya Rt. 04 Rw. 01 Ds. Sindangsari Kec.
Petir Kab. Serang
48. ROHIDA P 67 Th Kp. Kalapa Lima Rt. 01 Rw. 02 Ds. Sukamanah Kec.
Baros Kab. Serang.
49. ARMI P 66 Th Lingkungan Baru Rt. 01 Rw. 03 Kel. Kebon Dalem
Kec. Purwakarta Kota Cilegon.
50. SUPRAPTO L 75 Th Jl. Salak I No. 105 Rt. 01 Rw. 10 Kel. Cibodasari Kec.
Cibodas Kota Tangerang.
51. SA’AMAH P 89 Th Regensi Ds. Sukatani Kec. Cisoka Kab. Tangerang.
52. NARSIAH P 66 Th Kp. Sidamukti RT 05 Rw 03 Ds. Sidamukti Kab.
Pandeglang.
53. RIFAI L 76 Th Kp. Maja pasar Rt. 03 Rw. 01 Ds. Maja Kec. Maja
Kab. Lebak.
54. NANI ROHANI P 67 Th Kp. Nganceng Rt. 01 Rw. 01 Ds. Tambak Kec.
Cimarga Kab. Lebak.
55. MARIAH P 73 Th Komplek Banjarsari Permai, Kel. Banjarsari Kec.
Cipocokjaya Kota Serang
56. KEMANGI P 60 Th Balaraja Kab. Tangerang
57. LAMSIAH P 70 Th Link. Sumur Menjangan Rt. 02 Rw. 01 Kel. Kotasari
Kec. Grogol Kota Cilegon
125
LAMPIRAN V
JADWAL KEGIATAN LANSIA
Hari Jam Kegiatan
Senin 07.00 s/d 08.00
09.00 s/d 11.00
Olahraga (senam pagi)
Qasidahan
Selasa 09.00 s/d 11.00 Membuat kerajinan
Rabu 08.00 s/d 09.00
09.00 s/d 11.00
Pengajian
Cek kesehatan
Kamis 09.00 s/d 11.00
16.00 s/d 17.00
Membuat kerajinan
Pengajian (yasinan)
Jum’at 08.00 s/d 09.00
16.00 s/d 17.00
Pengajian
Olahraga (senam sore)
126
LAMPIRAN VI
JADWAL HASIL WAWANCARA
No Nama/ Kode Informan Alamat Jabatan
Tanggal
wawncara
1 Okhe Afandi Maulana
(P1)
Perumahan Puri Cisait
Kragilan
Perawat 18 Oktober 2017
2 Ira Novita Sari
(P2)
Bumi Agung Permai I Blok
i.1 No. 14
Perawat 18 Oktober 2017
3 Suryadi
(P3)
Lampung Pasien Lansia 7 Oktober 2017
4 Narsiah
(P4)
Panimbang, Pandeglang Pasien Lansia 21 September 2017
5 Ratiah
(P5)
Panimbang, Pandeglang Pasien Lansia 21 September 2017
6 Yani
(P6)
Perumahan Ciracas, Serang Kepala Bagian
Seksi
Pelayanan dan
Perawatan
8 Juni 2017
127
LAMPIRAN VII
TRANSKIP HASIL WAWANCARA
Nama Informan : Okhe Afandi Maulana
Jabatan : Perawat
Kode Informan : P1
Tempat wawancara : Klinik
Hari/tanggal : Rabu,18 Oktober 2017
Catatan Wawancara:
Peneliti
Perawat
Peneliti
Perawat
Peneliti
Perawat
Peneliti
Peneliti
Aa, saya boleh nanya mengenai perawat dalam berinteraksi
dengan lansia?
Atuh boleh neng, sok aja.
Aa memandang lansia itu sebagai apa a?
Saya menganggap lansia itu sebagai kakek dan nenek (mbah),
dan menganggap sebagai orang tua juga.
Bagaimana cara aa mendekatkan diri dengan mbah di panti ini?
Pendekatan dengan lansia itu butuh proses secara perlahan-
lahan, tidak semua mbah-mbah memiliki fisik dan psikologi
yang sama.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pendekatan
dengan mbah-mbah?
Tergantung sebenarnya, kita bisa melihat dari fisik dan
psikologis seseorang seperti pikun, udah rabun (katarak) dan
susah mendengar emosi yang tidak stabil, suka sedih. Tetapi
pendekatan yang paling cepat dengan mbah-mbah itu satu hari
aja bisa dan yang paling lama itu enggak nyampe seminggu
sekitar 4-5 hari.
Dalam pendekatan dengan mbah-mbah, apakah aa
menggunakan tahap perkenalan dan seperti apa komunikasi
128
Perawat
Peneliti
Perawat
Peneliti
Perawat
Peneliti
Perawat
Peneliti
Perawat
yang dijalin?
Iya, pastinya ada tahap perkenalan dalam proses pendekatan.
Untuk mbah-mbah yang baru masuk ke panti biasanya kita
ajak ngobrol dan kita dari perawat memperkenalkan kepada
mbah-mbah yang udah lama tinggal di panti. Sebaliknya,
mbah-mbah yang udah tinggal lama di panti, kita dari perawat
meminta dan memberi pengertian kepada mbah-mbah bahwa
ada lansia yang baru masuk dan minta tolong diajak ngobrol
agar lansia yang baru cepat beradaptasi dan nyaman.
Berapa lama aa memahami karakter mbah-mbah?
Memahami karakter mbah-mbah enggak terlalu lama, kita dari
perawat harus cepat mengerti karakter masing-masing mbah-
mbahnya.
Setelah dekat dan memahami karakter mbah-mbah, apakah
mbah-mbah mulai menceritakan pengalaman pribadinya? cerita
tentang apa saja?
Iya, mbah-mbah mulai bercerita sama perawat tentang apa
yang mereka rasakan. Biasanya mereka cerita tentang teman
sekamarnya, cerita tentang keluarga jarang sekali karena
sebagian mereka ada yang memiliki keluarga lagi.
Sejak kapan mbah-mbah bisa mulai mengungkapkan isi hatinya
kepada perawat-perawat yang ada di sini a?
Sejak mereka sudah nyaman, meskipun kita dari perawat tidak
menanyakan tetapi mereka sendiri yang cerita.
Bagaimana cara aa dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi mbah-mbah setelah mereka mengungkapkan isi
hatinya?
Biasanya setelah mbah-mbah curhat, saya mulai memberikan
kepada mereka pengertian tentang apa yang mereka ceritakan.
Selain itu saya juga bisa lebih memahami karekter mereka,
seperti ekspresi raut wajah mereka, bagaimana ekspresi suka
atau tidak suka, bagaimana ekpresi merasa terganggu.
129
Peneliti
Perawat
Peneliti
Perawat
Peneliti
Perawat
Peneliti
Perawat
Peneliti
Apakah salah satu cara memahami karakter mbah-mbah
dilihat dari raut wajahnya?
Iya, terlihat dari raut wajah mbah-mbah.
Apa upaya yang dilakukan Anda ketika raut wajah mbah-mbah
sedang sedih, kecewa dan kesal?
Biasanya saya langsung dekatin mereka dan langsung nanya
dan sebisa mungkin saya harus tau mereka kenapa seperti
itu.Biasanya mereka punya masalah dengan teman sekamar
ataupun teman yang lainnya, tapi ada juga yang ingat sama
keluarganya sehingga mbah-mbah merasa sedih.
Ketika klien cerita sama aa, ada hambatan dalam
komunikasinya a?
Tentu saja ada, di panti ini tidak sedikit yang kita rawat klien
lansianya, jadi setiap kita lagi bicara selalu ada hal yang
mengganggu. Beberapa klien lansia tidak mau rahasianya
diketahui sama yang lain. Ketika ada klien lansia yang serius
cerita sama perawat, ada saja klien lansia yang suka mondar
mandir keluar masuk kamar. Kemudian, yang namanya lansia
kan ada keterbatasan fisik, seperti tidak bisa mendengar
dengan jelas, tidak bisa melihat dengan jelas, pikun. Makanya
perawat berbicara sedikit keras bagi klien lansia yang tidak
bisa mendengar terlalu jelas. Selain hambatan pada
keterbatasan fisik, juga ada gangguan pada psikologi klien
lansia. Usia yang sudah tua itu kembali ke sifat anak kecil,
terkadang suka tiba-tiba marah, sedih, kecewa dan
sebagainya. Jadi, perawat harus sabar dan mengerti kondisi
klien lansia.
Apakah komunikasi interpersonal ini sangat efektif digunakan
dalam membangun keterbukaan diri mbah-mbah?
Iya, sangat efektif sekali dalam berinteraksi apalagi dalam
kehidupan sehari-hari yang seringkali ketemu.
Seberapa pentingnya komunikasi interpersonal ini digunakan
130
Perawat
Peneliti
Perawat
Peneliti
Perawat
dalam interaksi sehari-hari?
Bagi saya apalagi menjadi seorang perawat itu sangat penting
sekali, apalagi untuk mengetahui apa yang dirasakan oleh
mbah-mbah (orang tua).
Apakah komunikasi interpersonal sangat membantu Anda
dalam melakukan interaksi dengan klien lansia untuk
membangun keterbukaan dirinya?
Iya, sangat membantu sekali karena dengan menggunakan
komunikasi secara langsung, tatap muka (face to face)
mempermudah kita untuk menyampaikan informasi kepada
para lansia dan mendapatkan respon langsung dari klien
lansia.
Apakah aa menggunakan komunikasi interpersonal dalam
penetrasi sosial yang terdiri dari tahap orientasi, tahap
penjajakan pertukaran afektif, tahap pertukaran afektif dan
tahap pertukaran stabil dan jelaskan seperti apa proses
komunikasinya?
Iya, ketika mbah-mbah yang baru masuk ke panti itu butuh
yang namanya pendekatan awal seperti nanya-nanya
darimana asalnya, udah makan apa belum, yang seperti itu
lah. Nanti kita dari perawat memperkenalkan dirinya kepada
mbah-mbah yang udah tinggal lama di panti, mengantarkan ke
kamarnya, seperti sosialisasi lah. Kita juga meminta mbahnya
untuk beradaptasi dengan mbah-mbah lainnya. Selain itu, kita
memberikan pelayanan yang baik tentunya agar mereka
nyaman, memenuhi kebutuhannya sampai tahap mereka
dengan nyaman melakukan aktivitasnya dan sering bertukar
cerita. Seiringnya waktu kita bisa memahami karakter para
mbah-mbah. Biasanya mah terlihat dari raut mukanya kalo
mereka punya masalah. Kita juga dari perawat berupaya
memberikan solusi dan memberi pemahaman kepada mbah-
mbah agar mereka merasakan adanya kekeluargaan di panti.
131
Nama Informan : Ira Novita Sari
Jabatan : Perawat
Kode Informan : P2
Tempat wawancara : Klinik
Hari/tanggal : Rabu, 18 Oktober 2017
Catatan wawancara:
Peneliti : Teteh, saya boleh nanya mengenai perawat dalam berinteraksi
dengan lansia?
Perawat : Iya boleh.
Peneliti : Teteh memandang lansia itu sebagai apa teh?
Perawat : Saya menganggap lansia itu sebagai klien/ pasien dan
menganggap sebagai kakek dan nenek juga.
Peneliti : Bagaimana cara teteh mendekatkan diri dengan mbah di panti ini?
Perawat : Dalam mendekatkankan diri dengan lansia tentunya harus butuh
pendekatan secara bertahap, tidak mungkin kita sebagai perawat
langsung dekat dengan klien lansia.
Peneliti : Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam proses pendekatan
dengan klien lansia teh?
Perawat : Biasanya waktu yang dibutuhkan untuk dekat dengan klien lansia
itu paling cepat satu hari dan paling lama satu minggu. Karena
ada beberapa lansia yang cuek dan tidak mau didekatin. Tetapi
kita dari perawat berusaha untuk mengenali karakter masing-
masing klien lansia.
Peneliti : Dalam pendekatan dengan klien lansia, apakah teteh
menggunakan tahap perkenalan dan seperti apa komunikasi yang
dijalin?
Perawat : Iya, pastinya ada tahap perkenalan dalam proses pendekatan.
Setelah perawat dengan klien lansia berkomunikasi, barulah
perawat melakukan sosialisasi kepada klien lansia agar klien
132
lansia terutama yang baru masuk dapat dengan cepat beradaptasi
dengan yang lain, tidak hanya perawat dengan klien lansia.Dalam
berinteraksi dan berkomunikasi secara bertahap dengan klien
lansia, perawat juga mulai mengenal karakter masing-masing
klien lansia.
Peneliti : Berapa lama teteh memahami karakter klien lansia?
Perawat : Setelah berinteraksi berkali-kali dengan klien lansia, tentunya
perawat sudah mengenali dan memahami karakter masing-masing
klien lansia. Waktu yang dibutuhkan dalam memahami karakter
lansia satu sampai tiga hari, kita tidak bisa secara langsung tau
karakter lansia tanpa melakukan komunikasi yang berkali-kali.
Contohnya aja, mbah Nurhayati, beliau orangnya cuek dan cepat
emosi. Ketika berkomunikasi dengan teman satu kamarnya, mbah
nurhayati melarang temannya untuk berinteraksi dengan yang lain
sehingga teman satu kamarnya merasakan tidak nyaman.
Terkadang juga, mbah nurhayati tiba-tiba marah sama lansia yang
lain tanpa ada penyebabnya. Tiba-tiba dengan sendirinya baik lagi
dan mendekati lansia yang dimarahi.
Peneliti : Setelah dekat dan memahami karakter klien lansia, apakah klien
lansia mulai menceritakan pengalaman pribadinya teh? cerita
tentang apa saja?
Perawat : Iya, mereka langsung mendekat dan bercerita tentang apa saja.
Biasanya mereka bercerita tentang teman sekamarnya. Kalau
tentang keluarga, meraka sangat tertutup tetapi ada satu atau dua
orang yang suka cerita tentang keluarganya.
Peneliti : Sejak kapan klien lansia bisa mulai mengungkapkan isi hatinya
kepada perawat-perawat yang ada di sini teh?
Perawat : Klien lansia mulai mengungkapkan isi hatinya sejak mereka
merasa nyaman tinggal disini atau nyaman dengan orang yang
dekat dengan mereka.
Peneliti : Bagaimana cara teteh dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi klien lansia setelah mereka mengungkapkan isi hatinya?
133
Perawat : Buat mereka tenang dulu, baru memberikan penjelasan tentang
apa yang mereka rasakan. Biasanya masalah yang mau mereka
ceritakan itu masalah dengan teman sekamarnya atau teman satu
wisma tentang hal-hal sepele.
Peneiliti : Ketika klien lansia curhat sama teteh, apakah ada hambatan?
Perawat : Pastinya ada yang namanya lansia. Terkadang ada klien lansia
yang salah paham ketika kita menyuruh mereka seperti harus
mandi biar bersih, cantik dan wangi, tetapi mereka menganggap
mereka dimarahin dan tidak suka sama mereka. Kemudian, di
panti sosial ini ada kegiatan rutin setiap minggunya, misalnya
pengajian. Sebelum pengajian, biasanya perawat menyuruh para
klien lansia untuk mandi terlebih dahulu. Tetapi ada saja klien
lansia yang tidak memperdulikan dan ingin ikut, jika kita lihat
dari kondisinya lagi tidak bersih dan bau. Yang namanya
pengajian kan harus bersih dan suci, tapi kita dari perawat
memaklumi dan menyuruh klien lansia untuk mandi. Ada juga nih
klien lansia yang suka salahpaham, misalnya perawat meminta
membersihkan lingkungan wisma dan kamar mereka masing-
masing. Tiba-tiba ada salah satu klien lansia yang merasa
tersinggung, bisa dibilang meremehkan karena kamarnyanya kotor
dan bau.
Peneliti : Ohiya teh kembali lagi kepada memahami karakter klien lansia,
apakah salah satu cara memahami karakter klien lansia dilihat dari
raut wajahnya?
Perawat : Iya, salah satunya itu. Selain itu juga bisa dilihat dari kebiasaan
mereka yang suka menyendiri dan diam seperti ada yang
dipikirkan.
Peneliti : Apa upaya yang dilakukan Anda ketika raut wajah mbah-mbah
sedang sedih, kecewa dan kesal?
Pearwat : Biasanya perawat mendekati klien lansia dan langsung
menanyakan kepada lklien lansia, misalnya “mbah kenapa
murung?”. Diajak ngobrol aja.
134
Peneliti : Apakah komunikasi interpersonal ini sangat efektif digunakan
dalam membangun keterbukaan diri klien lansia?
Perawat : Bagi kita dari perawat sangat efektif karena dengan adanya
komunikasi interpersonal yang dilakukan secara langsung dan
tatap muka jauh lebih cepat mengetahui keadaan klien lansia,
apalagi yang ketemu setiap hari.
Peneliti : Seberapa pentingnya komunikasi interpersonal ini digunakan
dalam interaksi sehari-hari?
Perawat : Sangat penting sekali.
Peneliti : Apakah teteh menggunakan komunikasi interpersonal dalam
penetrasi sosial yang terdiri dari tahap orientasi, tahap penjajakan
pertukaran afektif, tahap pertukaran afektif dan tahap pertukaran
stabil dan jelaskan seperti apa proses komunikasinya?
Perawat : Iya, ketika klien lansia yang baru masuk ke panti itu butuh yang
namanya pendekatan awal seperti nanya-nanya darimana asalnya,
udah makan apa belum, yang seperti itu lah. Nanti kita dari perawat
memperkenalkan kepada klien yang lain terutama teman satu
kamarnya. Perawat juga menyuruh klien lansia yang sudah lama
tinggal dipanti untuk berinteraksi dan berkomunikasi juga dengan
klien lansia yang baru agar merasa nyaman dan tinggal di panti ini.
Memberikan pelayanan seperti merawat dan memenuhi kebutuhan
klien lansia juga salah satu cara perawat dekat dengan klien lansia.
Menjadikan teman curhat bagi mereka juga salah satunya sehingga
klien lansia merasa nyaman dan terbuka kepada perawat.
135
Nama Informan : Narsiah
Jabatan : Pasien Lansia
Kode Informan : P4
Tempat wawancara : Ruangan tv Wisma Kenanga
Hari/tanggal : Kamis, 21 September 2017
Catatan Wawancara:
Peneliti : Nek, aku boleh nanya-nanya sama nenek?
Pasien lansia : Atuh boleh, nanya apa?
Peneliti : Ketika pertama kali tinggal di panti, apa yang nenek rasakan?
Pasien lansia : Senang, banyak teman baru.
Peneliti : Kenapa nenek memilih tinggal di panti ini nek?
Pasien lansia : Pihak Balai juga nanyain ini sama nenek.Kalau dirumah enggak
ada teman, capek kerja terus ke sawah. Tinggal di panti juga
bukan karna paksaan, kemauan sendiri.
Peneliti : Emangnya anak-anak nenek pada dimana nek?
Pasien lansia : Anak-anak nenek udah pada nikah, kalau di rumah sepi enggak
ada teman.
Peneliti : Terus menurut nenek gimana pelayanan dari pihak pantinya nek?
Pasien lansia : Baik-baik orang pegawainya apalagi ibu kepala, suka ajak ke
rumahnya nginep, diajak main ke bandung tempat sodara ibu
kepala.
Peneliti : berarti selama nenek tinggal di sini, nenek merasa nyaman?
Pasien lansia : iya, nyaman. Enak tinggal disini.
Peneliti : Apa yang membuat nenek merasa nyaman tinggal di sini?
Pasien lansia :Banyak teman baru, punya keluarga baru. Makan disediain,
enggak ada kerjaan.
Peneliti : Nek, selama nenek cerita-cerita sama nenek-nenek dan kakek-
kakek di sini, nenek ngerasain ada hambatan apa ketika
berinteraksi?
136
Pasien lansia : Ada hambatan, tapi biasalah sesama lansia ada yang sudah
pikun terus enggak bisa dengar.
Peneliti : Nek, selama nenek tinggal di sini, pasti nenek punya dong teman
dekat. Siapa namanya nek?
Pasien lansia : Ada, nenek dekatnya sama nenek Fatimah.
Peneliti : Biasanya nenek sering cerita-cerita apa gitu nek?
Pasien lansia : Yaa..biasa aja cerita-cerita gitu, ngobrolin apa aja yang bisa
diobrolin.
Peneliti : Apa aja yang diobrolin nek?
Pasien lansia : Kadang ngobrolin keluarga, ngobrolin sehari-hari aja yang
paling sering mah.
Peneliti : Kalau boleh tau keluarga nenek sering ke panti liat nenek?
Pasien lansia : Enggak sering, Cuma kalau libur nenek pulang ke rumah di
Panimbang dan itu setiap lebaran pulang ke rumah. Tapi kadang-
kadang ditengokin, anak nenek sibuk kerja terus ngikut suaminya.
Peneliti : Misalnya keluarga nenek ngajak pulang dan tinggal di rumah,
nenek mau enggak nek?
Pasien lansia : Lebih milih tinggal di sini, di sini mah enak. Enggak ngapa-
ngapain. Pegawainya baik-baik.
Peneliti : Baik ya nek pihak pantinya...terus kalau di sini sering ada
berantem gitu enggak nek sesama lansia?
Pasien lansia : Ada tapi enggak sering, biasalah berantemnya. Kadang yang
satunya enggak mau kalah gara-gara mau mandi duluan. Hehe
Peneliti : Terus ada yang jadi penengahnya nek?
Pasien Lansia : Enggak ada, paling salah satunya ada yang mengalah.
Peneliti : Tadi nenek kan punya teman dekat di panti, kalau dari pihak
pantinya nenek dekat sama siapa?
Pasien lansia : Ada, nenek mah dekat sama siapa aja di panti. Tapi ada yang
sering ngajakin nenek main ke rumahnya dan nginep, namanya ibu
Yani. Bu Yani sudah dianggap seperti anak sendiri. Kadang
dibeliin baju buat lebaran sama bu Yani. Nenek juga dekat sama
perawat di panti ini. Nenek sering cerita sama perawat Ira, Ia juga
137
orang Padang sama kayak Icha. Banyak pokoknya yang diceritain,
kadang cerita kalau nenek kangen keluarga dan pengen pulang.
Tapi kalau nenek pulangnya sendirian, enggak dibolehin. Jadinya
dianterin ke terminal Pandegalang, terus ditelepon keluarga nenek
biar nenek dijemput ke terminal Pandeglang.
138
Nama Informan : Ratiah
Jabatan : Pasien Lansia
Kode Informan : P5
Tempat wawancara : Di kamar Wisma Kenanga
Hari/tanggal : Kamis, 21 September 2017
Catatan Wawancara:
Peneliti : Nek, aku boleh nanya-nanya sama nenek?
Pasien lansia : Iya boleh, ke kamar aja ya ngobrolnya neng.
Peneliti : Iya nek.
Pasien lansia : Duduk sini aja neng, mau nanya-nanya apa neng icha?
Peneliti : Neng mau nanya gimana perasaan nenek pertama kali tinggal di
panti nek?
Pasien lansia : Awalnya nenek bingung pas awal ke sini.
Peneliti : Kenapa nenek lebih memilih tinggal di panti ini nek?
Pasien lansia : Nenek enggak punya rumah, ngontrak bayar, listrik bayar atuh
gimana enggak punya uang. Suami nenek udah meninggal. Anak
juga enggak ada, udah meninggal cuma ada tetangga.
Tetangganya baik tapi nenek enggak mau ngerepotin neng. Sedih
neng...makanya pak RT bantuin nenek ngurusin buat tinggal di sini
neng. Nenek mah nurut aja neng, alhamdulillah senang di sini.
Peneliti : Terus menurut nenek gimana pelayanan dari pihak pantinya nek?
Pasien lansia : Baik pelayanannya neng, pegawai-pegawainya baik-baik diajak
main ke Ancol, ke Bogor, ke Depok.
Peneliti : jadi selama nenek tinggal di sini, nenek merasa nyaman?
Pasien lansia : Iya, nyaman neng. Senang tinggal disini.
Peneliti : Kalau boleh tau nenek udah berapa lama tinggal di panti?
Pasien lansia : udah 7 lebaran neng (7 tahun).
Peneliti : Apa yang membuat nenek merasa nyaman tinggal di sini?
Pasien lansia : alhamdulillah banyak teman baru, punya keluarga baru.
Senanglah pokoknya neng.
139
Peneliti : Nek, selama nenek cerita-cerita sama nenek-nenek dan kakek-
kakek di sini, nenek ngerasain ada hambatan apa ketika
berinteraksi?
Pasien lansia : Ada hambatan, tapi biasalah neng kalau udah tua mah neng.
Peneliti : Nek, selama nenek tinggal di sini, pasti nenek punya dong teman
dekat. Siapa namanya nek?
Pasien lansia : Ada, nenek dekatnya sama nenek Narsiah sama Mahartini.
Peneliti : Biasanya nenek sering cerita-cerita apa gitu nek?
Pasien lansia : Ya..cerita gitu neng, kalau lagi sedih cuma sendiri aja, nenek
kadang ngelamun tiba-tiba Mahartini nyamperin, nanyain kenapa
ngelamun. Akhirnya cerita sama Mahartini. Tapi kadang cerita
juga sama Narsiah juga, kalau nenek lagi sakit dia yang ngurusin.
Dengarin cerita liburan nenek Narsiah, terus Narsiah suka bagi
oleh-olehnya.
Peneliti : Oiya nek..di panti ada yang sering berantem enggak nek, biasanya
kan hal-hal kecil dipermasalahin gitu nek?
Pasien lansia : Ada tapi enggak sering, yaa biasa ya berantem sama teman.
Berantem masalah sendal baru neng, nenek beli 15 ribu neng,
terus si Masriah datang, bilang sendal siapa itu dan dibilang
nenek ngambil sendal orang neng.
Peneliti : Terus ada yang jadi penengahnya nek?
Pasien Lansia : Ada neng, tiba-tiba perawat datang. Terus perawat bilang
enggak boleh gitu ngomongnya. Nenek mah diam dan mengalah
neng. Kata perawat jangan diambil hati ya mbah, enggak usah
didengerin.
Peneliti : Ya allah segitunya ya nek, tapi nenek hebat loh nenek mengalah
biar enggak berantem lagi.
Pasien lansia : Ya harus gitu neng, lebih baik diam neng.
Peneliti : Oiya nek, nenek kan punya teman dekat di panti, kalau dari pihak
pantinya nenek dekat sama siapa?
Pasien lansia : Nenek mah dekat sama siapa aja neng. Enggak milih-milih hehe
140
Nama Informan : Suradi
Jabatan : Pasien Lansia
Kode Informan : P3
Tempat wawancara : Di musholla Panti
Hari/tanggal : Kamis, 30 September 2017
Catatan Wawancara:
Peneliti : Kek, aku boleh ngobrol-ngobrol sama kakek?
Pasien lansia : Boleh-boleh, sini aja neng mau ngobrol apa?
Peneliti : Gini kek, neng di sini lagi penelitian kek, neng mau tau apa aja
sama kakek, boleh enggak kek?
Pasien lansia : Iya boleh neng. Mau nanya apa emang?
Peneliti : Ketika pertama kali tinggal di panti, apa yang kakek rasakan?
Pasien lansia : Awalnya saya ragu, saya tidak punya apa-apa neng.
Peneliti : Kenapa kakek memilih tinggal di panti ini nek?
Pasien lansia : Awalnya pas di Lampung, saya disuruh sama tetangga nyari
kerja di Serang sebagai tukang jahit karena saya bisa ngejahit
neng. Ketika saya udah nyampe Serang dan nyari alamat yang
dikasih sama tetangga saya ternyata orangnya udah pindah dan
enggak tau kemana neng. Saya bingung, saya enggak punya uang
lagi, bisa dibilang saya terlantar. Terus saya nanya sama warga
dan liatin KTP saya neng, kemudian saya disuruh ke alamat panti
ini. Yaudah saya langsung ke sini neng. Saya melapor dan saya
ceritain semuanya neng.
Peneliti : Oh begitu kek...terus keluarga kakek enggak nyariin kakek gitu?
Pasien lansia : Saya enggak punya siapa-siapa neng, istri juga enggak punya.
Orang tua udah lama meninggal.
Peneliti : Terus menurut kakek gimana pelayanan dari pihak pantinya kek?
Pasien lansia : Tinggal di panti ini enak, makan tinggal makan, nyuci baju.
Peneliti : Selama kakek tinggal di sini, kakek merasa nyaman?
141
Pasien lansia : iya, nyaman, apa-apa tinggal beres.
Peneliti : Apa yang membuat kakek merasa nyaman tinggal di sini?
Pasien lansia : makan tinggal makan, olah raga, ngumpul sama teman-teman.
Peneliti : kakek selama berinteraksi dengan yang lain apa kakek ngerasain
ada hambatan ketika berinteraksi?
Pasien lansia : Ada hambatan, tapi biasalah udah pada tua ya.
Peneliti : Terus, selama kakek tinggal di sini, apa kakek punya teman
dekat? Siapa namanya nek?
Pasien lansia : Dekat mah sama semuanya, tapi ada teman yang sering cerita
namanya Salimun, tapi dia udah meninggal pas bulan puasa.
Peneliti : Biasanya kakek sering cerita-cerita apa gitu kek?
Pasien lansia : Cerita-cerita tentang perjalanan neng.
Peneliti : Terus kalau di sini sering ada berantem gitu enggak kek sesama
lansia?
Pasien lansia : Ada tapi enggak sering, biasalah berantemnya beda pemahaman.
Menurut kita benar menurut orang salah. Ada itu namanya
Salimun, hobinya berantem dan siapa aja dilawan sampai satpam
aja yang ngejar-ngejar dia.
Peneliti : Terus siapa yang jadi penengahnya kek?
Pasien Lansia : Pegawai panti, kadang saya yang ngomong sama dia enggak
boleh gitu. Orang-orang enggak berani sama Salimun, tapi sama
saya enggak pernah berantem.
Peneliti : Tadi kakek kan punya teman dekat di panti, kalau dari pihak
pantinya kakek dekat sama siapa?
Pasien lansia : Saya dekat sama siapa aja. Saya sering main ke kantor ngobrol-
ngobrol sama pegawai panti. Enggak milih-milih, siapa aja saya
dekat
.
142
Nama Informan : Yani Heryani, S.Pd.,M.Si
Jabatan : Kepala seksi pelayanan dan
perawatan di Balai
Perlindungan Sosial
Kode Informan : P6
Tempat wawancara : Kantor Balai Perlindungan Sosial
Hari/tanggal : Kamis, 8 Juni 2017
Catatan wawancara:
Peneliti : Bagaimana ibu memandang klien lansia di panti sosial ini bu?
Bu Yani : Bagi saya klien lansia adalah orang tua bagi saya.
Peneliti :Bagaimana Ibu memandang perawat yang melakukan komunikasi
dengan klien lansia?
Bu Yani : Secara kekeluargaan perawat itu adalah anak bagi saya karena
perawatnya masih muda yang berusia sekitar 25 sampai dengan 30
tahun. Kalau secara pegawai di panti ini, perawat adalah yang
mengurus dan merawat lansia di panti ini. Jadi, perawat yang
melakukan komunikasi dengan lansia itu seperti anak yang
berinteraksi dengan kakek atau neneknya.
Peneliti : Apakah komunikasi perawat dengan klien lansia yang dilakukan
sudah berjalan dengan efektif?
Bu Yani : Tentunya ada kendala dalam berkomunikasi dengan klien lansia
karena condong mengarah ke sikap seperti anak-anak. Jadi harus
lebih sabar menghadapi klien lansia.
Peneliti : Apakah klien lansia mengalami peningkatan dalam melaksanakan
umpan balik yang diharapkan oleh perawat?
Bu Yani : Ada, secara perlahan-lahan apa yang diajarkan dan disuruh oleh
perawat dilakukan oleh klien lansia. Itu semua butuh waktu dan
proses yang lumayan cukup lama tergantung pada fisik dan
psikologisnya masing-masing klien lansia.
143
Peneliti : Apakah komunikasi interpersonal yang dilakukan perawat sudah
berjalan efektif?
Bu Yani : Bagi saya sejauh ini efektif karena yang tadi itu apa yang
diharapkan dari perawat dan kita sebagai pegawai BPS mendapat
respon dari klien lansia.
Peneliti : Apakah komunikasi interpersonal perawat dengan klien lansia
dilakukan secara intens dan tatap muka?
Bu Yani : Iya, karena setiap harinya perawat dan klien lansia bertemu dan
berkomunikasi.
Peneliti : Apakah ada kekurangan dari perawat dalam berkomunikasi antara
perawat dengan klien lansia?
Bu Yani : Tentunya ada, setiap manusia memiliki kekurangan dan juga
kelebihan. Sejauh ini komunikasi perawat dengan klien lansia
berjalan dengan lancar.
Peneliti : Bagaimana cara komunikasi yang efektif menurut anda secara
interpersonal?
Bu Yani : Komunikasi yang efektif itu komunikasi yang dilakukan secara
intens, bertemu langsung, dan berjalan dengan lancar. Apa yang
diharapkan perawat terhadap klien lansia menghasilkan respon
yang baik, tetapi kendala pasti ada hanya saja perawat bisa
mengendali itu semua.
Peneliti : Hambatan komunikasi apa saja yang terjadi antara perawat
dengan klien lansia menurut bu?
Bu Yani : seperti yang sudah saya katakan bahwa masing-masing klien
lansia memiliki karakter yang berbeda-beda, fisik dan psikologi
yang berbeda-beda pula. Sehingga komunikasi yang dilakukan
terhambat.
Peneliti : Apakah benar perawat menggunakan tahapan komunikasi
interpersonal seperti melihat pasien dari informasi demografis,
sikap, pendapat, memahami karakter, kepribadian dan lain-lain
dalam tahap orientasi (perkenalan)?
144
Bu Yani : Tentu saja iya meskipun awalnya menebak atau menduga seperti
apa karakter klien lansia, sikap dan kepribadiannya. Seiring
berjalannya waktu dan melakukan komunikasi terus menerus
tentunya akan mengetahui seperti apa sesungguhnya kepribadian
klien lansia. Pada tahap perkenalan, lansia diajak mgobrol
seputar hal-hal yang umumlah seperti nama, usia, asal daerah,
kenapa mau memilih tinggal di panti, dan darimana mendapatkan
informasi tentang panti sosial ini. Dan klien lansia pun
menceritakan itu semua, setelah itu perawat mengantarkan klien
lansia ke asrama dan diperkenalkan kepada lansia yang lain.
Peneliti : Apakah perawat menggunakan komunikasi interpersonal dalam
penetrasi sosial yang terdiri dari tahap orientasi, tahap penjajakan
pertukaran afektif, tahap pertukaran afektif dan tahap pertukaran
stabil? (sebelum wawancara, sudah dijelaskan apa itu tahapan
penetrasi sosial)
Bu Yani : Iya, komunikasi perawat dan klien lansia menggunakan
komunikasi interpersonal. tentunya tahap yang dilakukan sesuai
dengan tahapan teori yang neng bilang. Tahap awal tentunya
diawali dengan perkenalan dan pendekatan emosional, pertanyaan
yang umum. Kemudian interaksi yang dilakukan secara terus
menerus dengan efektif dilakukan perawat terhadap klien lansia
bertujuan agar lansia nyaman dan betah tinggal di panti, dan
mulai membuka diri untuk bercerita meskipun tidak yang hal
pribadi. Kalo neng pengen tahu tentang tahap yang dilakukan
perawat, neng bisa tanyakan secara detail kepada perawat tetapi
dari pandangan ibu sendiri sih sudah melakukan tahap itu. Kalau
ditanya kepada klien lansia apakah mereka betah, mereka banyak
memilih untuk mengatakan betah karena sebagian mereka sudah
memang tidak memiliki keluarga, mereka juga memiliki berbagai
alasan.
Peneliti : Bu, saya mau nanya kalau tadi kan dari sisi perawatnya, sekarang
saya mau berapa lama waktu yang dibutuhkan ibu dalam proses
145
pendekatan, mengenali karakter klien lansia dan seperti apa proses
komunikasinya bu?
Bu Yani : Pengalaman saya selama bekerja di sini, mengenali karakter
klien lansia membutuhkan waktu yang tidak dapat ditentukan.
Setiap masing-masing klien lansia memiliki karakter yang berbeda-
beda, karena setiap klien lansia tidak memiliki fisik dan psikologis
yang sama. Ada waktu yang cepat dalam mengenali karakter lansia
dan ada yang memang membutuhkan waktu yang lama. Paling
cepat itu satu hari dan paling lama satu minggu atau lebih. Yang
lebih intens berinteraksi dengan lansia itu adalah perawat. Akan
tetapi, kita dari pihak balai perlindungan sosial di panti ini juga
melakukan interaksi dan berkomunikasi seperti tegur sapa,
memberikan senyuman, menanyakan hal-hal yang umum tentunya.
Ada beberapa klien lansia yang baru masuk ke panti juga sulit
untuk beradaptasi dengan yang lain, tetapi ada juga yang cepat
dalam beradaptasi. Untuk itu butuh pendekatan secara emosional,
sehingga klien lansia nyaman untuk tinggal di panti ini.
146
LAMPIRAN VIII
DOKUMENTASI
Kegiatan membuat kerajianan keset kaki
Hasil Kerajinan Karya Lansia
Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang
147
Kegiatan Rutin Qasidahan
Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Cipocok Jaya Serang
Perawat Panti Sosial SasanaTresna Werda Cipocok Jaya Serang
Foto bersama beberapa klien lansia
Panti Sosial Sasana Tresna Cipocok Jaya Serang
151
BIODATA PENELITI
Data Pribadi
Nama : Richa Rahayu Mtd
Tempat, tanggal lahir : Rao, 29 Juni 1994
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Universitas : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan/Konsentrasi : Ilmu Komunikasi/ Humas
Golongan Darah : B
Alamat Asal : Perumahan Yaptip Jorong Pasaman Baru Kel.
Lingkuang Aua Kec. Pasaman Kab. Pasaman Barat
Provinsi Sumatera Barat
Nomor Handphone : 085215601413
Email : [email protected]
152
Riawayat Pendidikan
Sekolah/ Universitas Tahun
Jurusan/Fakultas_Universitas Ilmu Komunikasi/FISIP_UNTIRTA 2013
SMA SMA Negeri 1 Lubuk Sikaping 2010
SMP SMP Negeri 1 Rao Selatan 2007
SD SDN 20 Serasi 2001
Pengalaman Organisasi
Lembaga Divisi Jabatan Tahun
HIMAKOM KARYA Divisi Dana Usaha Anggota 2015
IMIKI SC Bendahara Umum 2015
UKM KSR PMI UNTIRTA INFOKOM Kepala Divisi 2016