perilaku penemuan informasi pada penderita parkinson...
TRANSCRIPT
Perilaku Penemuan Informasi pada Penderita Parkinson
Achmad Eko Ratno
Abstrak
Penyakit parkinson merupakan penyakit yang mengganggu kerja otak
karena penderita kekurangan dopamine, kekurangan dopamine di otak manusia
tidak mudah untuk dikenali. Penyakit parkinson tidak didiagnosis dengan tes
darah melainkan dengan gejala-gejala yang menyebabkan hilangnya dopamine.
Yang mungkin termasuk gejalanya yaitu gemetar pada tangan, kekakuan-
kekakuan otot, serta kelainan pada gerakan. Selain gejala motorik, parkinson juga
bisa menyebabkan penderitanya mengalami penurunan fungsi kognitif, seperti
demensia, cemas, depresi, perubahan cara bicara, dan juga insomnia.
Dalam menemukan informasi terkait pengobatan penyakit parkinson,
penderita khususnya di Indonesia mengalami berbagai kendala. Yang pertama
yaitu hanya sedikit rumah sakit di Indonesia yang secara khusus menangani
pengobatan penyakit Parkinson, mulai dari terapi pengobatan hingga tindakan
medis yang lain. Bahkan ketersediaan obat Parkinson di Indonesia masih sangat
sedikit, jika dibandingakan dengan negara-negara di Eropa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan informasi penderita
parkinson terdiri dari lima faktor, yaitu kebutuhan informasi mengenai penyakit
yang dideritanya, kebutuhan informasi mengenai fasilitas kesehatan yang tersedia,
kebutuhan informasi mengenai perawatan tubuhnya, kebutuhan informasi
mengenai pengelolaan mental pada dirinya, dan kebutuhan informasi mengenai
gizi dan makanan yang baik untuk dikonsumsi dirinya. Proses yang dilalui
penderita parkinson pada saat mencari informasi yaitu starting, chaining,
browsing, differentiating, monitoring, extracting, verifying, dan ending. Hambatan
yang dilalui penderita parkinson pada saat mencari informasi yaitu hambatan
personal, peran terkait, dan lingkungan.
Kata kunci: perilaku penemuan informasi, kebutuhan informasi, penyakit
parkinson, penderita parkinson.
ABSTRACT
Parkinson's disease is a disease that interferes with the brain works
because sufferers lack dopamine, dopamine deficiency in the human brain are not
easy to identify. Parkinson's disease is not diagnosed with blood tests but rather
with symptoms that cause a loss of dopamine. Which may include symptoms that
is shaking the hands, stiffness-muscle stiffness, as well as abnormalities in
movement. In addition to the motor symptoms of parkinson's, also can cause the
sufferer experiencing a decline in cognitive functions, such as dementia, anxiety,
depression, a change in the way the talk, as well as insomnia.
In finding related information treatment of parkinson's disease sufferers,
particularly in Indonesia experienced various constraints. The first one that is only
a few hospitals in Indonesia that specifically deal with the treatment of
Parkinson's disease, ranging from therapy treatment to other medical actions.
Even Parkinson's drug availability in Indonesia is still very little, compared to
other countries in Europe.
The results showed that the information needs of parkinson's sufferers
consists of five factors, namely the needs information about the disease he
suffered, the need for information about the available health facilities, the need for
information on the care of his body, the need for information on the management
of the mental on her, and the need for information about nutrition and good food
to be consumed him. The process undertaken at a time when searching for
information that is starting, chaining, browsing, differentiating, monitoring,
extracting, verifying, and ending. Parkinson’s sufferers barriers at the searching
information that is personal barriers, role related, and environmental.
Keywords: information seeking behavior, information needs, parkinson’s disease,
parkinson's sufferers.
Pendahuluan
Pada saat ini, informasi merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan
manusia dalam menunjang kegiatan mereka setiap harinya. Informasi ini berguna
sebagai petunjuk maupun kebutuhan yang tidak bisa dipisahkan dalam hidupnya.
Misalnya seseorang yang bekerja sebagai wartawan, tentunya setiap hari orang itu
akan memerlukan informasi mengenai berita yang akan diliputnya. Begitu pula
dengan orang yang sedang menderita sebuah penyakit parkinson, tentunya mereka
akan melakukan berbagai cara untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
Salah satu caranya yaitu dengan mencari informasi dengan bertanya ke dokter,
orang-orang yang sudah menderita penyakit parkinson, ataupun mencari informasi
sendiri melalui sumber informasi yang lain, seperti buku dan juga internet.
Meskipun penyakit parkinson pada saat ini belum ditemukan obatnya, deteksi dini
sangat berguna untuk mencegah penyakit berkembang dan mengakibatkan
dampak yang lebih parah.
Dalam bukunya Lieberman (2003)1 mengatakan penyakit parkinson bukan
penyakit menular melainkan penyakit kronis yang mengakibatkan ketidakstabilan
seperti penyakit Diabetes. Penyakit Diabetes adalah penyakit yang terjadi pada
kelenjar di dalam tubuh yang disebabkan oleh tubuh penderita kekurangan insulin,
kekurangan insulin ini berasal dari tingginya gula darah sehingga penyakit
Diabetes mudah untuk dikenali dan mudah untuk mendiagnosanya. Sedangkan
penyakit Parkinson merupakan penyakit yang mengganggu kerja otak karena
penderita kekurangan dopamine, kekurangan dopamine di otak manusia tidak
mudah untuk dikenali. Penyakit Parkinson tidak didiagnosis dengan tes darah
melainkan dengan gejala-gejala yang menyebabkan hilangnya dopamine. Yang
mungkin termasuk gejalanya yaitu gemetar pada tangan, kekakuan-kekakuan otot,
serta kelainan pada gerakan. Selain gejala motorik, parkinson juga bisa
menyebabkan penderitanya mengalami penurunan fungsi kognitif, seperti
demensia, cemas, depresi, perubahan cara bicara, dan juga insomnia.
Dari data yang dirilis oleh World Health Organization (WHO, 2006),2
penyakit Parkinson memiliki tingkat kejadian kira-kira sekitar 4,5-19 per 100.000
penduduk per tahun. Variasi yang luas dalam perkiraan kejadian mungkin
mencerminkan perbedaan dalam metodologi dan penetapan kasus serta distribusi
usia populasi sampel. Apabila tingkat usia sudah disesuaikan diperoleh angka
yang lebih realistis dan berkisar dari 9.7-13,8 per 100.000 penduduk per tahun.
Selain itu, telah lama diakui bahwa sebagian kecil pasien telah mengalami
penyakit ini dari usia dini. Pasien yang menderita penyakit Parkinson sebelum
umur 40 tahun umumnya dinamakan sebagai “early-onset”, yaitu mereka yang
menderita mulai dari umur 21-40 disebut “young-onset”. Sedangkan mereka yang
menderita sebelum usia 20 tahun disebut “ juvenile Parkinsonis”.
1 Abraham Lieberman with Marcia McCall, 100 Question & Answer about Parkinson Disease,
Jones and Bartlett Publishers, Massachusets, 2003, hlm. 2. 2 WHO, “Neurological Disorders: Public Health Challenges”, WHO diakses dari
http://www.who.int/mental_health/publications/neurological_disorders_ph_challenges/en/, pada
tanggal 8 September 2015 pukul 20.31
Dalam harian kompas (2013)3 jumlah penderita parkinson di Indonesia
diperkirakan meningkat 75 ribu setiap tahun, tetapi belum ada data resmi yang
memuat jumlah penderita Parkinson secara keseluruhan. Di RSCM Jakarta,
penyakit ini masuk dalam 10 peringkat penyakit paling sering diderita. Dan setiap
bulannya ada 40 sampai 50 kunjungan pasien Parkinson, dan ada 3 kasus baru.
Dalam mencari informasi terkait pengobatan penyakit parkinson, penderita
khususnya di Indonesia mengalami berbagai kendala. Yang pertama yaitu hanya
sedikit rumah sakit di Indonesia yang secara khusus menangani pengobatan
penyakit Parkinson, mulai dari terapi pengobatan hingga tindakan medis yang
lain. Bahkan ketersediaan obat Parkinson di Indonesia masih sangat sedikit, jika
dibandingakan dengan negara-negara di Eropa. Hal ini senada dengan data dari
WHO (2006)4, bahwa di dunia secara keseluruhan hanya terdapat 60,6% obat
Parkinson. Dengan rincian yang paling sedikit sekitar 12,75% ada di Afrika, dan
79,1% di Eropa.
Hal yang sama terjadi pada tempat untuk rehabilitasi, yang merupakan
aspek penting dari pengobatan Parkinson. Ketersediaan tempat rehabilitasi di
dunia ini hanya 18,8% di Afrika, 88,1% terdapat di Eropa. Bahkan penyebaran
ahli saraf yang menangani secara khusus penyakit ini juga tidak merata, hanya ada
ahli saraf dengan perbandingan 0,03 per 100.000 penduduk di Afrika, dan untuk
Asia Tenggara hanya terdapat 0,07 per 100.000 penduduk. Hal ini sangatlah
timpang apabila dibandingkan dengan keberadaan ahli saraf di Eropa, yaitu sekitar
4,84 per 100.000 penduduk.
Satu-satunya rumah sakit di Indonesia yang menangani penyakit Parkinson
secara serius mulai dari rehabilitasi hingga operasi hanya terdapat di Surabaya,
yaitu di National Hospital. Tetapi lagi-lagi ada kendala yang dihadapi oleh para
penderita Parkinson yaitu biaya yang besar apabila melakukan tindakan operasi
untuk menyembuhkan penyakitnya. Selain itu, Penyakit Parkinson secara tidak
langsung akan menyebabkan kualitas hidup penderitanya akan menurun, karena
dilihat dari gejalanya yang tidak hanya mengganggu sistem motorik tetapi juga
bisa mengganggu mereka dalam bersosialisasi. Hendrik (2013)5, dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa proporsi depresi sekitar 37% yang dialami
oleh penderita penyakit Parkinson berkorelasi dengan rendahnya kualitas hidup
mereka. Ismawati et.al (2013)6 terdapat hubungan yang bermakna antara derajat
3 Lusia Kus Anna, “Ayo Lebih Peduli Parkinson”, Kompas diakses dari
http://health.kompas.com/read/2013/04/12/1332361/Ayo..Lebih.Peduli.Parkinson, pada tanggal 9
September 2015 pukul 22.05 4 WHO, “Neurological Disorders: Public Health Challenges”, WHO diakses dari
http://www.who.int/mental_health/publications/neurological_disorders_ph_challenges/en/, pada
tanggal 8 September 2015 pukul 20.31
5 Lussy Natalia Hendrik, “Depresi Berkorelasi Dengan Rendahnya Kualitas Hidup Penderita
Parkinson”, UNUD diakses dari http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-813-
1924760038-tesis%20dr.%20lussy.pdf, pada tanggal 8 September 2015 pukul 21.15 6 Ismawati, et al. “Hubungan Derajat Klinis dan Gangguan Kognitif Pada Penderita Parkinson
Dengan Menggunakan Montreal Cognitive Assesment versi Indonesia (MOCA-INA)”, UNHAS
diakses dari
klinis penyakit Parkinson dan gangguan kognitif. Aspek fungsi kognitif yang
paling sering mengalami gangguan pada penderita penyakit Parkinson adalah
fungsi eksekutif/visuospasial dan fungsi atensi.
Pihak rumah sakit selaku penanggung jawab dalam memberikan informasi
yang dibutuhkan pasien ataupun masyarakat belum sepenuhnya menjalankan
tanggung jawabnya dengan baik. Dalam memberikan penyuluhan mengenai
penyakit-penyakit yang dialami masyarakat, pihak rumah sakit masih terbatas
memberikan penyuluhan pada penyakit-penyakit yang umumnya sudah diketahui.
Untuk penyuluhan penyakit yang masih awam didengar masyarakat, seperti
penyakit parkinson masih belum dilakukan secara berkelanjutan. Padahal,
pemahaman sedari awal sangat dibutuhkan bagi penderita parkinson agar bisa
menghambat perkembangan penyakit parkinson supaya tidak menjadi lebih parah
lagi.
Tidak hanya itu, lembaga-lembaga informasi seperti perpustakaan kurang
menyediakan mengenai literatur-literatur yang membahas penyakit parkinson,
baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Menurut Susatia (2016)7, kurangnya
informasi tentang penyakit parkinson membuat pasien sering terlambat mendapat
penanganan. Padahal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik yang menjamin bahwa
informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi
dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan
nasional. Jika dilihat dari kejadian di atas, penderita parkinson seakan dihadapkan
oleh realita yang seharusnya tidak terjadi. Di mana mereka yang seharusnya
berhak mendapatkan informasi mengenai penyakit parkinson secara jelas dan
akurat dan sudah diatur dalam Undang-Undang terkendala dengan minimnya
informasi yang ada di lembaga-lembaga informasi. Penderita parkinson harus
mengeluarkan tenaga ekstra demi mendapatkan informasi mengenai penyakitnya
guna menjaga kelangsungan hidupnya.
Hal ini yang semakin mendorong peneliti melakukan penelitian guna
mengetahui sejauh mana penderita Parkinson khususnya di Surabaya mencari
informasi, hingga tindakan nyata yang dilakukan untuk mengobati penyakitnya
dengan tantangan-tantangan yang ada saat ini.
Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti merumuskan masalah yang nantinya akan
menjadi pokok pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran perilaku penemuan informasi pada penderita
Parkinson di Surabaya?
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9625/Hubungan%20Derajat%20Klinis.p
df?sequence=1, pada tanggal 9 September 2015 pukul 21.45 7 Frandy Susatia, “4 Fakta Penting Tentang Penyakit Parkinson”, Detik diakses dari
http://health.detik.com/read/2016/04/27/100047/3197537/763/4-fakta-penting-tentang-penyakit-
parkinson pada tanggal 10 Januari 2017.
Kebutuhan Informasi
Kebutuhan informasi merupakan suatu keadaan di mana seseorang merasa
kekurangan sebuah informasi mengenai masalah yang sedang dihadapi dan
mendorong seseorang itu untuk mengumpulkan informasi agar dapat
mempermudah dalam memecahkan masalahnya. Hal ini senada dengan Nicholas
(2000)8 yang menyatakan bahwa kebutuhan informasi timbul ketika seseorang
menyadari adanya jurang atau jarak antara pengetahuan yang sudah dimiliki
dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Wilson(1999)9 menjelaskan bahwa
konteks kebutuhan informasi individu terdiri dari 3 tahapan, yaitu:
1. Kebutuhan Informasi Personal
Menurut Eysenck et.al. (dalam Wilson:1999)10
, secara psikologis
konteks kebutuhan individu dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
a. Kebutuhan fisiologis
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang paling
utama yang akan dipenuhi oleh seseorang, jadi seseorang akan
mengabaikan kebutuhan-kebutuhan yang lain sebelum
kebutuhan fisiologinya terpenuhi.
b. Kebutuhan akan rasa nyaman/afektif
Kebutuhan afektif akan muncul setelah terpenuhinya
kebutuhan fisiologis seseorang. Pada dasarnya setiap orang
akan membutuhkan rasa aman dan nyaman dalam hidupnya,
dan dalam tahap ini seseorang akan berusaha memenuhi
kebutuhan mengenai informasi terkait lingkungan di
sekitarnya.
c. Kebutuhan kognitif
Kebutuhan ini muncul paling akhir, yaitu ketika semua
kebutuhan di atas sudah terpenuhi. Kebutuhan kognitif bisa
diartikan sebagai kebutuhan untuk mengetahui, memahami dan
mengeksplorasi lingkungannya.
2. Kebutuhan Informasi terkait Peran Sosial
Kebutuhan informasi terkait peran sosial merupakan kebutuhan
yang lebih luas ruang lingkupnya jika dibandingkan dengan kebutuhan
personal. Kebutuhan ini akan muncul apabila seseorang berada di dalam
sebuah lingkungan dan memiliki peran dalam lingkungan tersebut. Praba
8 Nicholas, David. (2000). Assessing information needs: tools, techniques and concepts for the
internet age. 2nd ed. London: Aslib 9 Wilson, T. D. 1999. Models In Information Behaviour Research. Disajikan dalam The Jurnal of
Documentation, Vol. 55. No. 3. Hlm. 252. Terdapat dalam
http://informationR.net/tdw/publ/papers/1999jdoc.html. Diakses pada 28 Oktober 2015. 10 Wilson, T. D. 1999. Models In Information Behaviour Research. Disajikan dalam The Jurnal of
Documentation, Vol. 55. No. 3. Hlm. 252. Terdapat dalam
http://informationR.net/tdw/publ/papers/1999jdoc.html. Diakses pada 28 Oktober 2015.
(2007)11
menyatakan bahwa setiap individu memiliki kecenderungan
untuk menyesuaikan pencarian informasi mereka menurut konteks sosial
dalam sebuah sistem sosial.
3. Kebutuhan Informasi terkait Lingkungan
Kebutuhan ini timbul karena peran yang diwujudkan oleh individu
dalam lingkungannya. Kebutuhan informasi terkait lingkungan yang
dibutuhkan individu dalam menunjang perannya, yaitu kebutuhan
informasi terkait lingkungan kerja, kebutuhan informasi terkait lingkungan
sosial-budaya, kebutuhan informasi terkait lingkungan ekonomi-politik,
serta kebutuhan informasi terkait lingkungan fisik.
Perilaku Penemuan Informasi
Perilaku penemuan Informasi (Information Seeking Behaviour)
merupakan sebuah proses pemenuhan kebutuhan informasi sebagai upaya untuk
menjembatani kesenjangan informasi yang dimilikinya. Dalam upaya ini,
seseorang dapat saja berinteraksi dengan sistem informasi hastawi (misalnya,
surat kabar, majalah, perpustakaan), atau yang berbasis komputer.12
11 Praba, C. et al. 2007. What is Enough/ Satisficing Information Needs, Journal of Documentation. 63,I:74-8. Tersedia pada http://www.oclc.org/publication/archive/2008praba-satisficing.pdf. Diakses pada 18 April 2016. 12 Wilson, T. D. 1999. Models In Information Behaviour Research. Disajikan dalam The Jurnal of
Documentation, Vol. 55. No. 3. Hlm. 252. Terdapat dalam
http://informationR.net/tdw/publ/papers/1999jdoc.html. Diakses pada 28 Oktober 2015.
Gambar I.3 Model Perilaku Penemuan Informasi Wilson-Ellis13
Terdapat beberapa model yang menjelaskan perilaku penemuan informasi,
salah satunya adalah model perilaku informasi Ellis yang menjelaskan bahwa
perilaku lebih mudah ditelusuri daripada kognisi, dan pendekatan perilaku lebih
feasible daripada model kognitif dalam information retrieval. Ellis melakukan
studi terhadap pola perilaku penemuan informasi pada kalangan ilmuan sosial.
Penelitian tersebut menghasilkan pola perilaku informasi di kalangan ilmuan
sosial yang terdiri dari beberapa butir, yaitu:14
1. Starting: cara awal yang dilakukan untuk menemukan informasi, misalnya
mengenali referensi yang dapat digunakan sebagai titik awal (starting
point) dalam penelitian.
2. Chaining: merangkai kutipan atau bentuk lain dari hubungan referensial
antara materi atau sumber yang telah diketahui.
3. Browsing: mencari informasi dalam bidang-bidang yang menarik. Ini tidak
hanya mencakup kegiatan membaca jurnal atau daftar isi saja, namun juga
referensi serta abstrak dari sebuah literatur.
4. Differentiating: memanfaatkan perbedaan yang telah diketahui dalam
sumber informasi sebagai cara untuk memilah informasi yang diperoleh.
5. Monitoring: mengikuti perkembangan informasi terbaru mengenai subyek
yang dicari secara teratur pada beberapa sumber terpilih, seperti jurnal,
majalah, surat kabar, buku, katalog.
6. Extracting: aktifitas mengidentifikasi secara selektif yang berkaitan
dengan sumber khusus dan mengenali materi yang relevan dari sumber
informasi.
7. Verifying: memeriksa kembali tingkat akurasi informasi.
8. Ending: mengakhiri pencarian informasi dan melakukan kegiatan lain
setelah mendapatkan informasi yang dicari
Ellis menyatakan bahwa delapan butir di atas saling berkaitan untuk
membentuk aneka pola pencarian-informasi, dan seringkali bukan merupakan
tahapan-tahapan yang teratur.
Hambatan dalam Mencari Informasi
Wilson menambahkan unsur hambatan dalam model perilaku informasi
atas hambatan personal (terkait dengan faktor kognitif, psikologis, fisiologis,
demografi, interpersonal atau terkait dengan peran) dan hambatan dari
lingkungan yaitu hambatan dalam masalah waktu, budaya yang berlaku, dan yang
berkaitan dengan karakteristik sumber informasi. Hambatan-hambatan yang
dikemukakan Wilson (2000)15
adalah sebagai berikut :
13 Case, Donald O. 2007. Looking for Information A Survey of Research on Information Seeking,
Needs, and Behavior Second Edition. Hlm. 123 14 Ellis, David. 1993. Modeling the Information Seeking Patterns of Academic Researchers: A
Grounded Theory Approach dalam Library Quarterly Vol. 63. No. 4, hlm. 468-486 15 Wilson, T. D. 2000. Human Information Behaviour Information Science. Vol. 3. No. 2.Terdapat
pada http://inform.nu/Articles/Vol3/v3n2p49-56.pdf. Diakses pada 15 April 2016.
1. Hambatan Personal
Disonansi kognitif
Disonansi kognitif adalah gangguan yang terkait motivasi
individu dalam berperilaku. Konsep ini mengemukakan bahwa adanya
kognisi yang sedang berkonflik membuat individu merasa tidak
nyaman, akibatnya mereka akan berupaya memecahkan konflik tersebut
dengan satu atau beberapa jalan penyelesaian.16
Tekanan selektif
Individu cenderung terbuka dengan gagasan yang sejalan
dengan minat, kebutuhan, dan sikap mereka. Secara sadar atau
tidak sadar manusia sering menghindari pesan yang berlawanan
dengan pandangan dan prinsip mereka.
Karakteristik emosional
Hambatan ini berkaitan dengan kondisi emosional dan
mental seseorang ketika menemukan informasi.
Jenis kelamin
Jenis kelamin biasanya mempengaruhi hambatan dalam
perilaku pencarian informasi. Antara lelaki dan perempuan
memiliki cara pencarian yang berbeda.
Hambatan fisiologis
Hambatan ini dapat berupa cacat fisik dan mental, baik
karena bawaan lahir atau karena faktor lain.
2. Hambatan terkait Peran Sosial
Tingkat pendidikan dan basis pengetahuan
Hambatan dalam hal bahasa ditemui dalam beberapa
penelitian perilaku penemuan informasi. Semakin rendahnya
pendidikan maka semakin rendah juga tingkat penguasaan pencarian
informasi mereka.
Variabel demografi
Perilaku penemuan informasi dipengaruhi oleh atribut social
kelompok (karakteristik dan status social ekonominya). Atribut ini
berpengaruh pada metode-metode yang digunakan dalam
menemukan informasi.
16 Feber, T. et.al. 2006. Virtual Reference in Academic environment in an Academic: Quantitatif
and Kualitatif Analisis of Users: Information Need and Information Seeking Behaviour.
Interdisciplinary University of Nort Texas. Annual Conference 200, Atlanta, GA.
Hambatan interpersonal
Penelitian yang menyebutkan bahwa mahasiswa beralasan
bahwa pustakawan tidak mampu memuaskan kebutuhan mereka,
karena mereka kurang memahami keinginan pengguna. Adanya
kesenjangan pengetahuan antara komunikan dan komunikator dapat
menjadi salah satu alasan terjadinya gangguan dalam komunikasi
interpersonal.
3. Hambatan terkait Lingkungan
Keterbatasan waktu
Terbatasnya waktu dapat menjadi hambatan dalam
penemuan informasi, aktivitas yang padat memungkinkan
berkurangnya waktu untuk menemukan informasi yang dibutuhkan.
Hambatan geografis
Jauhnya sumber informasi dari lokasi juga menjadi
penghambat dalam kegiatan pencarian informasi seseorang.
Hambatan yang berkaitan dengan karakteristik sumber informasi
Teknologi baru, seperti internet, bagi sebagian orang juga
dianggap masih menyimpan kekurangan, antara lain: menyajikan
informasi yang terlalu banyak, namun dinilai kurang relevan. Tidak
menutup kemungkinan mereka yang sering menggunakan internet
pun mengalami kendala serupa.
Konsep
1. Kebutuhan Informasi
Dalam konteks kebutuhan informasi para penderita penyakit parkinson
dipengaruhi oleh faktor personal, peran sosial, dan juga lingkungan. Adapun
informasi-informasi yang dibutuhkan para penderita penyakit parkinson,
diantaranya:
a. Kebutuhan informasi personal
a) Kebutuhan Fisiologis
b) Kebutuhan Afektif
c) Kebutuhan Kognitif
b. Kebutuhan informasi terkait dengan peran sosial
c. Kebutuhan informasi terkait dengan lingkungan
a) Kebutuhan informasi terkait lingkungan kerja,
b) Kebutuhan informasi terkait lingkungan sosial-budaya,
c) Kebutuhan informasi terkait lingkungan ekonomi-politik,
d) Kebutuhan informasi terkait lingkungan fisik.
2. Perilaku Penemuan Informasi
Dalam indikator ini, merupakan kegiatan yang dilakukan oleh penderita
penyakit parkinson untuk memenuhi kebutuhan informasi yang diperlukan.
Adapun indikator yang digunakan untuk menggambarkan perilaku penemuan
informasi penderita penyakit parkinson adalah sebagai berikut:
- Starting: penderita parkinson merasa dirinya memulai proses penemuan
informasi dengan bertanya pada teman atau keluarga.
- Chaining: kegiatan yang dilakukan penderita penyakit parkinson dalam
mengikuti rangkaian sitasi, pengutipan atau bentuk-bentuk perujukan
antar dokumen lainnya.
- Browsing: kegiatan yang dilakukan penderita penyakit parkinson dalam
mencari informasi pada sumber-sumber informasi yang relevan.
- Differentiating: kegiatan yang dilakukan penderita penyakit parkinson
untuk mengetahui perbedaan informasi yang diperoleh dari sumber-
sumber informasi sebagai cara untuk memilah informasi yang diperoleh.
- Monitoring: kegiatan yang dilakukan penderita penyakit parkinson dalam
mengikuti perkembangan informasi terbaru mengenai subyek yang
mereka cari pada beberapa sumber informasi terpilih.
- Extracting: kegiatan yang dilakukan penderita penyakit parkinson dalam
menggali di suatu sumber untuk mengambil materi/informasi yang
dianggap penting.
- Verifying: kegiatan yang dilakukan penderita penyakit parkinson dalam
memeriksa kembali tingkat akurasi informasi.
- Ending: mengakhiri pencarian informasi dan melakukan kegiatan lain
3. Hambatan dalam Menemukan Informasi
a. Hambatan personal
- Disonansi kognitif
- Tekanan selektif
- Karakteristik emosional
- Jenis kelamin
- Hambatan fisiologis
b. Peran Sosial
- Tingkat pendidikan dan basis pengetahuan
- Variabel demografi
- Hambatan interpersonal
c. Lingkungan
- Keterbatasan waktu
- Hambatan geografis
- Hambatan yang berkaitan dengan karakteristik sumber informasi
Metode dan Prosedur Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif
deskriptif dan menggunakan pendekatan survey dan pengamatan. Metode
penelitian ini dipilih agar peneliti bisa mendapatkan yang spesifik untuk
menjawab rumusan masalah yang diteliti mengenai gambaran perilaku informasi
penderita parkinson di Surabaya, lokasi penelitian ini berada di RSUD Dr.
Soetomo dan Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. Alasan peneliti memilih kedua
rumah sakit ini karena memiliki variasi penyakit yang beragam dibanding rumah
sakit lain yang ada di Surabaya. Selain itu, kedua rumah sakit ini merupakan
rujukan terakhir apabila rumah sakit lain atau rumah sakit yang lebih kecil tidak
sanggup untuk melakukan tindakan medis terhadap pasien. Dan juga baik RSUD
Dr. Soetomo dan RUMKITAL Dr. Ramelan adalah rumah sakit yang bertipe
rumah sakit pendidikan sehingga bisa membantu dalam proses penelitian ini.
Populasi dalam penelitian ini adalah penderita penyakit parkinson yang
ada di Surabaya, khususnya yang berobat di RSUD Dr. Seotomo dan
RUMKITAL Dr. Ramelan. Penelitian ini menggunakan metode pengambilan
sampel purposive sampling dengan pertimbangan agar sampel yang dipilih oleh
peneliti relevan dengan desain penelitian. Adapun kriteria sampel yang diinginkan
oleh peneliti, adalah:
a. Penderita Penyakit Parkinson
b. Bisa berkomunikasi secara lisan/tulisan
Pembahasan
Dalam pembahasan, peneliti akan menganalisa antara temuan data yang
diperoleh di lapangan dengan menggunakan teori utama, yaitu teori dari TD
Wilson & David Ellis dan ditambah dengan pendapat para ahli lain sebagai
pendukung dalam analisis ini. Dengan melakukan analisis tersebut akan disajikan
data-data pendukung yang didapat dari observasi di lapangan maupun observasi
dalam bentuk studi pustaka, sehingga hasil analisa yang ditampilkan mampu
menjelaskan keadaan yang terjadi secara teoritik dan sistematis.
Kebutuhan Informasi
Kebutuhan informasi merupakan suatu keadaan di mana seseorang merasa
kekurangan sebuah informasi mengenai masalah yang sedang dihadapi dan
mendorong seseorang itu untuk mengumpulkan informasi agar dapat
mempermudah dalam memecahkan masalahnya. Hal ini senada dengan (Nicholas,
2000:20)17
yang menyatakan bahwa kebutuhan informasi timbul ketika seseorang
menyadari adanya jurang atau jarak antara pengetahuan yang sudah dimiliki
dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Kesenjangan informasi juga terjadi
pada para responden, hal ini terlihat pada tabel III.2 diperoleh hasil 43.3%
responden menyatakan setuju bahwa responden memerlukan informasi mengenai
sejarah penyakit parkinson. Ini dikarenakan kebanyakan para responden tidak
mengetahui apapun mengenai penyakit parkinson, jadi para responden
memerlukan informasi itu untuk mengenal penyakit parkinson secara umum.
Pada tabel III.4 diperoleh hasil 66.7% responden menyatakan setuju
bahwa responden membutuhkan informasi mengenai gejala penyakit parkinson.
Menurut Mechanic (dalam Muzaham, 1995)18
pemahaman mengenai gejala
penyakit dapat dikenali karena adanya tanda-tanda penyimpangan dan gejala
17 David Nicholas, assesing information needs: tools, techniques and concepts for the internet age, second edition, (London: Aslib, 2000) hlm 20. 18 Fauzi Muzaham, Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press, 1995), Cet. 1, hlm. 55.
penyakit yang dirasakan. Selain itu, informasi ini juga bisa digunakan oleh
reponden untuk memahami akibat-akibat yang mungkin timbul dari gejala
penyakit parkinson.
Tabel III.5 merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang
kebutuhan informasi mengenai tahapan-tahapan penyakit parkinson, di mana
diperoleh hasil 66.7% responden menyatakan setuju dengan pernyataan itu.
Informasi mengenai tahapan-tahapan penyakit parkinson ini sangat berguna bagi
responden dalam memahami akibat-akibat yang mungkin timbul dari gejala
penyakit parkinson karena dalam tahapan-tahapan ini responden bisa
memperkirakan kemungkinan akibat dari gejala penyakit, baik jangka pendek
maupun jangka panjang pada dirinya.
Setelah mengenali penyebab, gejala dan tahapan-tahapan penyakit
parkinson. Responden akan melakukan tindakan pertama dalam menangani
penyakit parkinson, tindakan pertama yang dilakukan adalah penanganan yang
bisa dilakukan sendiri oleh responden seperti mengurangi beban pikiran yang bisa
membuat penderita merasa stres atau tertekan. Hal ini bisa dilihat pada tabel III.6
yang berisi pernyataan tentang kebutuhan informasi mengenai penanganan
penyakit parkinson. Di mana diperoleh hasil 60% responden menyatakan sangat
setuju dengan pernyataan itu. Selain digunakan sebagai tindakan pertama dalam
menangani penyakit parkinson, informasi ini juga bisa digunakan para responden
dalam merencanakan tindakan selanjutnya.
Informasi pertama yang dikumpulkan oleh para responden adalah mencari
informasi tentang tempat berobat atau mengenai rumah sakit yang bisa menangani
penderita parkinson. Ketersediaan rumah sakit sebagai tempat berobat sangatlah
penting bagi responden karena tidak semua rumah sakit di Surabaya bisa
menangani penderita parkinson. Hal ini sesuai dengan tabel III.7 diperoleh hasil
53.3% responden menyatakan sangat setuju bahwa responden sangat
membutuhkan informasi mengenai rumah sakit yang dijadikan rujukan berobat
penyakit parkinson.
Selain informasi mengenai rumah sakit, informasi mengenai dokter
spesialis yang menangani penyakit parkinson juga diperlukan oleh responden.
Sesuai pada tabel III.8 yang berisi pernyataan tentang kebutuhan informasi
mengenai dokter yang menangani penyakit parkinson, di mana diperoleh hasil
43.3% responden menyatakan setuju dengan pernyataan itu. Hal ini dikarenakan
responden merasa bisa bebas datang ke tempat praktek dokter untuk konsultasi
mengenai penyakitnya apabila jam buka pelayanan rumah sakit sudah berakhir.
Dan juga kepercayaan seseorang tehadap dokter sangatlah tinggi, apalagi jika
mengenai kesehatan. Silver (1963)19
pada penelitian tentang pendekatan tim
terhadap kesehatan keluarga di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sebagian
besar pasien tidak mau mengemukakan masalah emosional pada orang yang tidak
19 G. Silver, Family Medical Care (Cambridge: Harvard University Press, 1963)
bersangkut-paut dengan kedokteran. Mereka lebih ingin menyampaikan langsung
pada dokter dibandingkan dengan pekerja sosial.
Tabel III.13 merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang
kebutuhan informasi mengenai gizi yang diperlukan oleh penderita parkinson, di
mana diperoleh hasil 70% responden menyatakan setuju dengan pernyataan itu.
Informasi ini digunakan oleh responden sebagai pedoman dalam menentukan gizi
apa saja yang diperlukan bagi dirinya karena pada umumnya penyakit parkinson
menghasilkan perubahan negatif dalam status gizi penderita. Bagi para penderita
parkinson, penting untuk menjaga status gizi yang baik dan mengambil diet
seimbang kaya serat dan harus menjaga asupan air minum. Dan juga, responden
mungkin juga bisa terserang osteoporosis, di mana pencegahannya bisa banyak
mengonsumsi asupan vitamin D dan kalsium. Satu hal lain yang perlu untuk
diperhatikan adalah asupan protein, baik hewani dan nabati. Menurut Husni
(2015)20
akan terjadi kompetisi di usus antara protein dengan levodopa (yaitu obat
yang paling umum diberikan pada penderita parkinson) dan bisa memisahkan
asupan protein pada saat minum obat itu.
Informasi mengenai gizi akan berkaitan dengan makanan-makanan yang
dianjurkan bagi penderita parkinson karena dalam setiap makanan terdapat gizi-
gizi yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, tidak semua makanan bisa
dikonsumsi oleh orang yang menderita parkinson. Maka dari itu, diperlukan juga
pemahaman informasi mengenai makanan-makanan yang di dalamnya terkandung
gizi-gizi yang diperlukan bagi penderita parkinson. Sesuai pada tabel III.14 yang
berisi pernyataan tentang kebutuhan informasi mengenai makanan yang baik
dikonsumsi oleh penderita parkinson, di mana diperoleh hasil 73.3% responden
menyatakan setuju dengan pernyataan itu. Dalam penelitiannya Hope (2012)21
mengatakan mengonsumsi buah berry seperti stroberi, blueberry, blackcurrant dan
blackberry dapat membantu melindungi terhadap penyakit Parkinson. Hope juga
menambahkan bahwa bagi pria yang mengonsumsi buah berry secara berkala
dapat mencegah perkembangan penyakit parkinson sekitar 40%.
Perilaku Penemuan Informasi
Starting:
Seorang manusia akan memiliki suatu alasan ketika mengerjakan atau
melakukan sesuatu. Seperti seseorang akan makan apabila dirinya merasa lapar
dan akan tidur jika dirinya mengantuk. Dalam indikator ini, berisi tentang analisis
20 Amin Husni “Diet Seperti Ini Disarankan untuk Pasien Parkinson”, Detik diakses dari
https://health.detik.com/read/2015/03/18/152809/2862522/763/diet-seperti-ini-disarankan-untuk-pasien-parkinson , pada tanggal 11 September 2016
21 Jenny Hope, Eating berries can cut men's risk of Parkinson's by 40% (London: Solo Syndication, a division of Associated Newspapers Ltd, 2012) diakses dari http://search.proquest.com/docview/964150500?accountid=170128 pada tanggal 15 Desember 2016
mengenai alasan atau awalan ketika responden mencari informasi tentang
penyakit parkinson. Tabel III.15 merupakan tabel kuesioner yang berisi
pernyataan tentang alasan mencari informasi karena mengganggu dalam
mengurus anak, di mana diperoleh hasil 53.3% responden menyatakan setuju
dengan pernyataan itu. Sunarti (2004)22
menjelaskan pengasuhan anak adalah
proses merawat, memelihara, mengajarkan dan membimbing anak, yang
merupakan aplikasi bagaimana orang tua membimbing anak agar dapat menjalani
kehidupan dengan baik. Dengan kewajiban seperti itu membuat orang tua
melakukan segalanya demi melihat perkembangan tumbuh anaknya. Oleh karena
itu, dengan keterbatasan dalam mengasuh anak karena adanya penyakit parkinson
yang dideritanya mendorong responden untuk memulai pencarian informasi
terhadap penyakit parkinson. Dengan tujuan, agar responden bisa menimalisir
perkembangan penyakit parkinson, serta bisa membimbing anaknya untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Tabel III.17 merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang
alasan mencari informasi karena mengganggu pekerjaan, di mana diperoleh hasil
40% responden menyatakan setuju dengan pernyataan itu. Pada dasarnya, setiap
orang akan bekerja untuk memenuhi kebutuhannya maupun kebutuhan
keluarganya. Hal ini yang mendorong responden dalam mencari informasi karena
penyakit parkinson dianggap sudah mengganggu responden dalam bekerja.
Menurut McReynolds (2001)23
, bekerja adalah alat pengukur bahwa diri
seseorang itu sehat. Jika seseorang tidak bisa bekerja karena sebuah penyakit,
orang itu akan selalu memikirkan penyakitnya dan bisa stress karena penyakit itu
terutama bagi penderita penyakit-penyakit yang belum bisa disembuhkan seperti
penykait parkinson. Ketika sebuah penyakit sudah menggangu responden pada
saat bekerja, maka akan berdampak pula pada produktivitas yang menurun saat
melakukan pekerjaan. Hal ini sesuai dengan tabel III.18 yang berisi pernyataan
tentang alasan mencari informasi karena produktivitas saat bekerja menurun, di
mana diperoleh hasil 40% menyatakan setuju dengan pendapat itu.
Menurut Susatia, (2016)24
mengatakan bahwa penyakit parkinson bisa
menyebabkan keseimbangan terganggu sehingga penderita mudah goyah dan
terjatuh pada saat berjalan. Kecemasan yang berlebih, depresi dan pola tidur. Hal
ini sesuai dengan tabel III.22 dan tabel III.24. Tabel III.22 berisi penyataan
tentang alasan mencari informasi karena membuat malu, di mana diperoleh hasil
40% menyatakan setuju dengan pernyataan itu. Tabel III.24 merupakan tabel
kuesioner yang berisi pernyataan tentang alasan mencari informasi karena
membuat tidak percaya diri, di mana diperoleh hasil 43.3% responden
menyatakan setuju dengan pernyataan itu.
Chaining:
22 Euis Sunarti, Mengasuh Dengan Hati (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004) 23 Connie J. McReynolds, The Meaning of Work in the Lives of People Living with HIV Disease and AIDS (Rehabilitation Counseling Bulletin, 2001) hlm. 104 24 Jawa Pos, 12 April 2016, hlm. 19.
Menurut Ellis (1993)25
chaining merupakan kegiatan mengikuti rangkaian
sitasi, pengutipan atau bentuk-bentuk perujukan antar dokumen lainnya. Dalam
artian responden membuat catatan-catatan kecil untuk membantu dalam proses
penemuan informasi. Seperti pada tabel III.25 yang berisi pernyataan tentang
proses chaining, yaitu responden membuat catatan kecil agar tidak kebingungan
dalam mencari informasi. Di mana diperoleh hasil 50% responden menyatakan
setuju dengan pernyataan itu. Orang mencari informasi karena didasari oleh
kebingungan yang ada di dalam dirinya, agar tidak menambah kebingungan ketika
mencari informasi responden perlu mencatat apa saja informasi yang
diperlukannya sehingga bisa meminimalisir kebingungan yang ada dalam dirinya.
Serta tabel III.26 yang berisi pernyataan tentang proses chaining, yaitu responden
membuat catatan kecil sebagai dasar dalam menentukan informasi yang dicari. Di
mana diperoleh hasil 43.3% responden menyatakan setuju dengan pernyataan itu.
Responden membuat catatan kecil sebagai dasar apa saja informasi yang akan
dicarinya, mereka akan lebih mudah mengakses dan menentukan sumber
informasi yang akan dipakai karena mereka dari awal sudah menentukan
informasi yang akan dicari.
Browsing – Monitoring – Extracting – Verivying:
Tabel III.31 merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang
proses browsing, yaitu responden bertanya ke para ahli sebagai media dalam
mencari informasi penyakit parkinson dengan alasan bahwa responden merasa
para ahli bisa menjawab semua pertanyaan mengenai penyakit parkinson. Di
mana diperoleh hasil 53.3% responden menyatakan setuju dengan penyataan itu.
Hal ini mendorong responden dalam memperbaharui perkembangan informasi
penyakit parkinson melalui konsultasi dengan para ahli, di mana pada tabel III.39
diperoleh hasil 46.7% responden menyatakan sangat setuju bahwa mereka
memperbaharui perkembangan informasi penyakit parkinson melalui konsultasi
dengan para ahli. Dalam memantau perkembangan informasi ini, responden akan
mendapatkan informasi yang akan dicarinya. Hal ini sesuai dengan tabel III.44
yang berisi pernyataan tentang proses extracting, yaitu responden sudah
mendapatkan informasi penyakit parkinson melalui konsultasi dengan para ahli.
Di mana diperoleh hasil 46.7% responden menyatakan setuju dengan pernyataan
itu. Tabel III.49 merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang proses
verifying, yaitu responden mengecek kembali kebenaran informasi penyakit
parkinson yang telah didapatkan melalui konsultasi dengan para ahli. Di mana
diperoleh hasil 40% responden menyatakan tidak setuju dengan pernyataan itu.
Karena kepercayaan responden kepada dokter sangatlah tinggi, jadi mereka tidak
melakukan pengecekan kembali terhadap informasi yang telah didapatkannya.
Tabel III.34 merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang
proses browsing, yaitu responden memanfaatkan media cetak (koran, buku, jurnal,
25 Ellis, David. 1993. Modeling the Information Seeking Patterns of Academic Researchers: A
Grounded Theory Approach dalam Library Quarterly Vol. 63. No. 4, hlm. 468-486
majalah, dll) dalam mencari informasi penyakit parkinson dengan alasan bahwa
responden merasa media cetak bisa dijadikan sumber informasi yang bisa
dipercaya. Di mana diperoleh hasil 60% responden menyatakan setuju dengan
pernyataan itu. Hal ini mendorong responden dalam memperbaharui
perkembangan informasi penyakit parkinson melalui media cetak, terlihat pada
tabel III.42 yang berisi pernyataan tentang proses monitoring, yaitu responden
memperbaharui perkembangan informasi penyakit parkinson melalui media cetak
(koran, buku, majalah, jurnal, dll). Di mana diperoleh hasil 50% responden
menyatakan setuju dengan pernyataan itu. Dalam memantau perkembangan
informasi ini, responden akan mendapatkan informasi yang akan dicarinya. Hal
ini sesuai pada tabel III.47 yang berisi pernyataan tentang proses extracting, yaitu
responden sudah mendapatkan informasi penyakit parkinson melalui media cetak
(koran, buku, majalah, jurnal, dll). Di mana diperoleh hasil 40% responden
menyatakan setuju dengan pernyataan itu. Pada Tabel III.52 yang berisi
pernyataan tentang proses verifying, yaitu responden mengecek kembali
kebenaran informasi penyakit parkinson yang telah didapatkan melalui media
cetak (koran, buku, majalah, jurnal, dll). Di mana diperoleh hasil 50% responden
menyatakan setuju dengan pernyataan itu. Responden merasa perlu untuk
mengecek kembali kebenaran informasi yang telah didapatkan melalui media
cetak karena informasi yang tersedia di media cetak berasal dari berbagai sumber
dan tingkat keakuratan informasinya masih belum teruji.
Tabel III.35 merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang
proses browsing, yaitu responden memanfaatkan perpustakaan sebagai media
mencari informasi penyakit parkinson dengan alasan bahwa responden merasa
perpustakaan adalah tempat dari seluruh informasi yang tersedia dan tingkat
keakuratannya bisa dipercaya. Di mana diperoleh hasil 43.3% responden
menyatakan sangat setuju dengan pernyataan itu. Hal ini mendorong responden
dalam memperbaharui perkembangan informasi penyakit parkinson melalui
perpustakaan , seperti yang terjadi pada tabel III.43 yang berisi pernyataan tentang
proses monitoring, yaitu responden mengunjungi perpustakaan untuk
memperbaharui perkembangan informasi penyakit parkinson. Di mana diperoleh
hasil 36.7% responden menyatakan sangat setuju dengan pernyataan itu. Dalam
memantau perkembangan informasi ini, responden akan mendapatkan informasi
yang akan dicarinya. Hal ini terlihat pada tabel III.48 yang berisi pernyataan
tentang proses extracting, yaitu responden sudah mendapatkan informasi penyakit
parkinson ketika mengunjungi perpustakaan. Di mana diperoleh hasil 43.3%
responden menyatakan sangat setuju dengan pernyataan itu. Tabel III.53
merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang proses verifying, yaitu
responden mengecek kembali kebenaran informasi penyakit parkinson yang telah
didapatkan ketika mengunjungi perpustakaan. Di mana diperoleh hasil 36.7%
responden menyatakan tidak setuju dengan pernyataan itu. Responden merasa
bahwa perpustakaan adalah pusat informasi yang terpercaya, oleh karena itu
mereka tidak melakukan pengecekan kembali informasi yang sudah
didapatkannya.
Differentiating:
Ellis mengatakan bahwa differentiating adalah pemilahan, menggunakan
ciri-ciri di dalam sumber informasi sebagai patokan untuk memeriksa kualitas
isi/informasi. Tabel III.36 \yang berisi pernyataan tentang proses differentiating,
yaitu responden membandingkan isi informasi yang sudah didapatkan. Di mana
diperoleh hasil 53.3% responden menyatakan setuju dengan pernyataan itu.
Karena banyaknya informasi yang sudah didapatkan dari berbagai sumber, maka
responden perlu membandingkan informasi-informasi mana yang sama dan tidak
berlainan sehingga tersaring informasi yang bisa digunakan dalam pemenuhan
kebutuhan informasinya. Dari perbandingan informasi tersebut, responden bisa
melihat mana saja sumber-sumber informasi yang valid dan dapat dipertanggung
jawabkan. Seperti yang dijelaskan pada tabel III.37 yang berisi pernyataan tentang
proses differentiating, yaitu responden menilai sumber-sumber informasi yang
menyediakan informasi tentang penyakit parkinson. Di mana diperoleh hasil 60%
responden menyatakan setuju dengan pernyataan itu. Pada tabel III.38 yang berisi
pernyataan tentang proses differentiating, yaitu responden membandingkan
informasi yang sudah diperoleh dengan keadaan saat ini. Di mana diperoleh hasil
53.3% responden menyatakan sangat setuju dengan pernyataan itu. Selain
membandingkan informasi beserta sumbenya, responden juga membandingkan
informasi yang sudah didapatkan dengan keadaannya saat ini. Hal ini berguna
sebagai tolak ukur sejauh mana penyakit parkinson ini menyerang dirinya.
Ending:
Menurut Ellis, ending adalah proses mengakhiri pencarian informasi dan
melakukan kegiatan lain setelah mendapatkan informasi yang dicari. Tabel III.54
yang berisi pernyataan tentang proses ending, yaitu responden merasa sudah
cukup mengumpulkan informasi yang dicari. Di mana diperoleh hasil 53.3%
responden menyatakan setuju dengan pernyataan itu. Karena sudah
mengumpulkan informasi yang sesuai dengan apa yang dicarinya, responden akan
melanjutkan pengobatan dengan perasaan yang lebih tenang dibandingkan
sebelumnya. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan pada tabel III.55 yaitu
responden masih kebingungan dan ingin mengulangi pencarian informasi. Di
mana diperoleh hasil 46.7% responden menyatakan tidak setuju dengan
pernyataan itu.
Hambatan dalam Mencari Informasi
Dalam melakukan sesuatu dalam hidup, seseorang pasti akan menemukan
hambatan dalam melakukan hal itu. Tidak terkecuali bagi responden, dalam
mencari informasi mengenai penyakit parkinson. Responden dihadapkan dengan
realita-realita yang terjadi di Indonesia, seperti minimnya informasi mengenai
penyakit parkinson, fasilitas kesehatan yang menangani penyakit parkinson, serta
informasi-informasi lain yang berkaitan dengan penyakit parkinson. Wilson
(2000)26
menambahkan unsur hambatan dalam model perilaku informasi atas
hambatan personal (terkait dengan faktor kognitif, psikologis, fisiologis,
demografi, interpersonal atau terkait dengan peran) dan hambatan dari lingkungan
yaitu hambatan dalam masalah waktu, budaya yang berlaku, dan yang berkaitan
dengan karakteristik sumber informasi.
Menurut Wilson, disonansi kognitif adalah gangguan yang terkait motivasi
individu dalam berperilaku. Konsep ini mengemukakan bahwa adanya kognisi
yang sedang berkonflik membuat individu merasa tidak nyaman, akibatnya
mereka akan berupaya memecahkan konflik tersebut dengan satu atau beberapa
jalan penyelesaian. Dalam tabel III.56 yang berisi pernyataan tentang hambatan
dalam mencari informasi karena responden tidak ada yang mendampingi dalam
proses pencarian informasi, di mana diperoleh hasil 40% responden menyatakan
setuju dengan pernyataan itu. Salah satu dukungan moral yang sangat dirasakan
oleh responden adalah pendampingan saat berobat. Dari hal itu, responden bisa
merasakan bahwa mereka tidak sendirian ketika menderita sebuah penyakit.
Selain itu, responden juga merasa bahwa orang di sekitarnya menyediakan waktu
untuk melayani dan mendengarkan mereka dalam menyampaikan perasaannya.
Tabel III.57 merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang hambatan
dalam mencari informasi karena responden tidak mendapat persetujuan dari
keluarga, di mana diperoleh hasil 56.7% responden tidak setuju dengan
pernyataan itu. Muzaham (1995)27
, dukungan sosial sangat diperlukan bagi
seorang pasien karena pasien memperoleh persetujuan dari keluarga dan juga dari
teman-temannya untuk melakukan suatu tindakan kesehatan. Dukungan ini yang
dirasakan responden sebagai pemicu semangat untuk tetap percaya bahwa mereka
akan sembuh, meskipun obat dari penyakit parkinson masih belum ditemukan.
Selain itu, responden juga memerlukan saran tindakan dari anggota keluarga serta
teman-temannya. Tabel III.58 merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan
tentang hambatan dalam mencari informasi karena responden tidak mendapat
persetujuan dari teman, di mana diperoleh hasil 53.3% responden tidak setuju
dengan pernyataan itu. Tabel III.59 merupakan tabel kuesioner yang berisi
pernyataan tentang hambatan dalam mencari informasi karena responden merasa
tidak ada penderita parkinson lainnya yang melakukan proses pencarian
informasi, di mana diperoleh hasil 50% responden menyatakan setuju dengan
pernyataan itu. Menurut Aini (2015)28
, penderita lain yang senasib diperlukan
karena penderita yang senasib dengan dirinya saling memberikan dukungan satu
sama lain. Dukungan tersebut bisa berupa dukungan moril saat satu diantara
mereka ada yang sedang drop selain itu, dukungan yang biasanya diberikan oleh
penderita lain yang senasib adalah dukungan informasi.
26 Wilson, T. D. 2000. Human Information Behaviour Information Science. Vol. 3. No. 2.Terdapat
pada http://inform.nu/Articles/Vol3/v3n2p49-56.pdf. Diakses pada 9 November 2016. 27 Fauzi Muzaham, Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press, 1995), Cet. 1, hlm. 83. 28
Ratih Noer Aini dan Satiningsih, Ketahanan Psikologis Pada Perempuan Penderita Kanker Payudara, (Surabaya: Jurnal Penelitian Psikologi, 2015)
Menurut Wilson, karakteristik emosional adalah hambatan yang berkaitan
dengan kondisi emosional dan mental seseorang ketika menemukan informasi.
Tabel III.61 merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang hambatan
dalam mencari informasi karena responden merasa ketakutan, di mana diperoleh
hasil 43.3% responden menyatakan setuju dengan pernyataan itu. Tabel III.62
merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang hambatan dalam
mencari informasi karena responden merasa penyakit parkinson tidak akan
berdampak pada dirinya, di mana diperoleh hasil 56.7% responden menyatakan
setuju dengan pernyataan itu. Hal ini senada dengan Muzaham (1995)29
yang
menjelaskan bahwa kepercayaan seseorang bahwa keadaan yang sedang
dialaminya tidak akan membawa akibat buruk bagi jiwanya. Tabel III.63
merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang hambatan dalam
mencari informasi karena responden merasa tidak memiliki penyakit, di mana
diperoleh hasil 43.3% responden menyatakan tidak setuju dengan pernyataan itu.
Pada dasarnya, responden secara sadar mengungkapkan bahwa dirinya sedang
menderita suatu penyakit. Maka dari itu, sebagian besar responden menyatakan
tidak setuju dengan pernyataan di atas. Tabel III.64 merupakan tabel kuesioner
yang berisi pernyataan tentang hambatan dalam mencari informasi karena
responden merasa malu, di mana diperoleh hasil 43.3% responden menyatakan
setuju dengan pernyataan itu. Hal ini terjadi karena beban psikologis yang terjadi
dari suatu kejadian yang dialami responden, rasa malu muncul akibat gejala-gejala
yang dirasakan oleh responden dan menghambat dalam proses penemuan
informasi serta tindakan pengobatan secara berkelanjutan.
Hambatan fisiologis merupakan hambatan yang dapat berupa cacat fisik
dan mental, baik karena bawaan lahir atau karena faktor lain. Tabel III.66
merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang hambatan dalam
mencari informasi karena responden merasa kesulitan berbicara, di mana
diperoleh hasil 46.7% responden menyatakan setuju dengan pernyataan itu. Tabel
III.67 merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang hambatan dalam
mencari informasi karena responden merasa kesulitan berjalan, di mana diperoleh
hasil 53.3% responden menyatakan tidak setuju dengan pernyataan itu. Tabel
III.68 merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang hambatan dalam
mencari informasi karena responden merasa keseimbangan badannya berkurang,
di mana diperoleh hasil 43.3% responden menyatakan setuju dengan pernyataan
itu. Tabel III.69 merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan tentang
hambatan dalam mencari informasi karena responden merasa kesulitan berdiri, di
mana diperoleh hasil 56.7% responden menyatakan tidak setuju dengan
pernyataan itu. Tabel III.70 merupakan tabel kuesioner yang berisi pernyataan
tentang hambatan dalam mencari informasi karena responden merasa bergantung
kepada orang lain, di mana diperoleh hasil 63.3% responden menyatakan tidak
setuju dengan pernyataan itu. Pernyataan-penyataan di atas sesuai dengan gejala-
gejala yang dirasakan oleh para penderita parkinson, yaitu tremor atau gemetar
yang menyerang dalam kondisi istirahat. Berikutnya rigidity (kekakuan) sehingga 29
Fauzi Muzaham, Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press, 1995), Cet. 1, hlm. 83.
berjalan seperti robot. Kekakuan juga sering terjadi pada wajah. Lalu akinesia¸
yaitu jalan melambat. Dan yang keempat adalah postural inability, yaitu
keseimbangan terganggu sehingga penderita mudah goyang dan terjatuh ketika
berjalan.
Penutup
Penelitian perilaku penemuan informasi pada penderita parkison menghasilkan
tiga unsur penting yaitu kebutuhan informasi yang memicu kegiatan pencarian
informasi, proses yang dilalui pada saat melakukan pencarian informasi, serta
hambatan-hambatan yang dihadapi pada saat melakukan pencarian informasi.
Ketiga unsur tersebut menghasilkan sebuah model perilaku penemuan informasi.
Melalui hasil penelitian yang telah dilakukan dengan pernyataan yang diajukan
melalui kuesioner, peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebutuhan informasi penderita parkinson
Penderita parkinson memiliki kebutuhan informasi yang terbagi menjadi
lima faktor, yaitu:
Kebutuhan informasi penderita parkinson mengenai penyakit yang
dideritanya di mana sebagian besar penderita parkinson membutuhkan
informasi itu karena keterbatasan informasi yang dimiliki. Sekitar
(63.3%) penderita parkinson membutuhkan informasi mengenai
penyebab terserang penyakit parkinson karena berguna dalam
memahami asal penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi atau
menghasilkan gejala penyakit parkinson. dan sekitar (66.7%)
penderita parkinson membutuhkan informasi mengenai gejala
penyakit parkinson yang digunakan untuk memahami akibat-akibat
yang mungkin timbul dari gejala penyakit parkinson.
Kebutuhan informasi penderita parkinson mengenai fasilitas kesehatan
yang tersedia di mana sebagian besar penderita parkinson
membutuhkan informasi itu karena keterbatasan informasi yang
dimiliki. Sekitar (53.3%) penderita parkinson sangat membutuhkan
informasi mengenai rumah sakit yang dijadikan rujukan untuk
penyakit parkinson. Hal ini dikarenakan tidak semua rumah sakit yang
ada di Surabaya bisa menangani penderita parkinson. dan sekitar
(43.3%) penderita parkinson membutuhkan informasi mengenai
dokter yang menangani penyakit. Hal ini dikarenakan responden
merasa bisa bebas datang ke tempat praktek dokter untuk konsultasi
mengenai penyakitnya apabila jam buka pelayanan rumah sakit sudah
berakhir. Dan juga kepercayaan seseorang tehadap dokter sangatlah
tinggi, apalagi jika mengenai kesehatan.
Kebutuhan informasi penderita parkinson mengenai perawatan
tubuhnya di mana sebagian besar penderita parkinson membutuhkan
informasi itu karena keterbatasan informasi yang dimiliki. Sekitar
(56.7%) penderita parkinson membutuhkan informasi mengenai ahli
fisioterapi yang dapat memulihkan keadaan fisiknya karena penyakit
parkinson bisa berdampak pada keterbatasan gerak yang dialami
penderitanya dan sekitar (40%) penderita parkinson membutuhkan
informasi mengenai kegiatan yang memperlambat perkembangan
penyakit parkinson. Kegunaan dari informasi ini yaitu untuk melatih
otot tetap kuat serta meningkatkan fleksibilitas dan pergerakan otot
responden. Serta membantu responden untuk lebih mandiri karena
bisa melakukan olahraga sendiri sesuai dengan kondisi yang sedang
dialami oleh responden.
Kebutuhan informasi penderita parkinson mengenai pengelolaan
mental pada dirinya di mana sebagian besar penderita parkinson
kurang membutuhkan informasi itu. Untuk informasi dalam
memotivasi dirinya sendiri diperoleh data yang berlawanan di mana
diperoleh hasil, sekitar (40%) penderita parkinson tidak membutuhkan
informasi untuk memotivasi dirinya sendiri, dan sekitar (40%) lainnya
membutuhkan informasi itu karena keterbatasan informasi yang
dimiliki. Hal ini terjadi karena perbedaan keadaan mental yang
dialami oleh penderita parkinson pada saat itu. Sekitar (36.7%)
penderita parkinson tidak membutuhkan informasi mengenai penderita
lain yang sembuh dalam mengobati penyakit parkinson. Responden
merasa tidak semua penderita lainnya merasakan apa yang sedang dia
rasakan dan juga tidak banyak informasi mengenai responden yang
sembuh dalam mengobati penyakit parkinson karena dari
perkembangan informasi terakhir belum ditemukan obat yang bisa
menyembuhkan penyakit parkinson secara total.
Kebutuhan informasi penderita parkinson mengenai gizi dan makanan
yang baik untuk dikonsumsi dirinya di mana sebagian besar penderita
parkinson membutuhkan informasi itu. Sekitar (70%) penderita
parkinson membutuhkan informasi mengenai gizi yang diperlukan
oleh dirinya karena keterbatasan informasi yang dimiliki. Informasi
ini digunakan oleh responden sebagai pedoman dalam menentukan
gizi apa saja yang diperlukan bagi dirinya karena pada umumnya
penyakit parkinson menghasilkan perubahan negatif dalam status gizi
penderita. Dan sekitar (73.3%) penderita parkinson membutuhkan
informasi mengenai makanan yang baik dikonsumsi karena
keterbatasan informasi yang dimiliki. Informasi mengenai gizi akan
berkaitan dengan makanan-makanan yang dianjurkan bagi penderita
parkinson karena dalam setiap makanan terdapat gizi-gizi yang
terkandung di dalamnya. Akan tetapi, tidak semua makanan bisa
dikonsumsi oleh orang yang menderita parkinson. Maka dari itu,
diperlukan juga pemahaman informasi mengenai makanan-makanan
yang di dalamnya terkandung gizi-gizi yang diperlukan bagi penderita
parkinson.
2. Proses yang dilalui penderita parkinson pada saat menemukan informasi
Starting; merupakan pemicu penderita parkinson dalam melakukan
kegiatan pencarian informasi, yaitu (40%) penderita parkinson merasa
terganggu karena penyakitnya pada saat melakukan kegiatan rumah
tangga. Serta (40%) penderita parkinson juga merasa bahwa penyakit
parkinson membuat dirinya malu.
Chaining; upaya yang dilakukan penderita parkinson untuk
mempermudah dalam mencari informasi yaitu (43.3%) penderita
parkinson membuat catatan kecil sebagai dasar dalam menentukan
informasi yang dicari. Serta (43.3%) penderita parkinson juga
menggunakan catatan kecil sebagai pengingat mengenai apa yang
akan dicari.
Browsing; aktifitas yang dilakukan penderita parkinson pada tahap ini
yaitu mencari informasi melalui sumber-sumber informasi yang
mereka pilih. Misalnya, (53.3%) penderita parkinson mencari
informasi melalui konsultasi dengan para ahli. Serta (66.7%) penderita
parkinson memanfaatkan internet dalam mencari informasi.
Differentiating; merupakan upaya yang dilakukan penderita parkinson
untuk membandingkan informasi yang sudah ditemukan. Sekitar
(53.3%) penderita parkinson melakukan pembandingan isi informasi
yang sudah ditemukan dan (53.3%) penderita parkinson juga
membandingkan informasi yang diperoleh dengan keadaan mereka
saat ini.
Monitoring; usaha yang dilakukan penderita parkinson dalam
memantau perkembangan informasi penyakitnya melalui sumber-
sumber informasi yang mereka pilih. Sekitar (50%) penderita
parkinson memperbaharui perkembangan informasi mengenai
penyakitnya melalui media cetak (koran, buku, majalah, jurnal, dll).
Dan juga (36.7%) penderita parkinson memperbaharui perkembangan
informasi mengenai penyakitnya dengan berkunjung ke perpustakaan.
Extracting; aktifitas yang dilakukan penderita parkinson karena sudah
mendapatkan informasi yang dicari, sekitar (46.7%) penderita
parkinson mendapatkan informasi yang dicari melalui konsultasi
dengan para ahli. Dan sekitar (43.3%) penderita parkinson
mendapatkan informasi yang dicari pada saat berkunjung ke
perpustakaan.
Verifying; usaha yang dilakukan penderita parkinson untuk memeriksa
kembali kebenaran informasi yang telah didapatkan melalui sumber-
sumber informasi yang sudah dipilih. Dalam indikator ini terdapat
penemuan yang menarik yaitu (40%) penderita parkinson tidak
mengecek kebenaran informasi yang didapatkan melalui konsultasi
dengan para ahli. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan penderita
parkinson yang sangat tinggi kepada para ahli. Untuk sumber-sumber
informasi yang lain, penderita parkinson melakukan memeriksa
kembali kebenaran informasi yang sudah diperoleh. Misalnya, (70%)
penderita parkinson memeriksa kembali kebenaran informasi yang
didapatkan melalui internet.
Ending; yaitu proses yang terjadi pada saat mengakhiri pencarian
informasi. Sekitar (53.3%) penderita parkinson menyatakan sudah
cukup mengumpulkan informasi yang dicari dan melanjutkan
pengobatannya. Karena sudah mengumpulkan informasi yang sesuai
dengan apa yang dicarinya, responden akan melanjutkan pengobatan
dengan perasaan yang lebih tenang dibandingkan sebelumnya.
3. Hambatan penderita parkinson pada saat mencari informasi
Hambatan penderita parkinson pada saat mencari informasi terbagi
menjadi tiga, yaitu:
Hambatan personal yang dialami oleh penderita parkinson pada saat
mencari informasi yaitu (40%) penderita parkinson tidak ada yang
mendampingi dalam mencari informasi. Dan sekitar (43.3%) penderita
parkinson merasa malu sehingga menghambat dalam proses pencarian
informasi.
Hambatan terkait peran sosial yang dialami oleh penderita parkinson
pada saat mencari informasi yaitu (56.7%) penderita parkinson merasa
tidak memahami informasi yang telah ditemukan. Dan sekitar (46.7%)
penderita parkinson tidak bisa memahami informasi dari bahasa asing.
Hambatan lingkungan yang dialami oleh penderita parkinson pada
saat mencari informasi yaitu (50%) penderita parkinson merasa tidak
mempunyai waktu untuk mencari informasi pada saat bekerja. Dan
sekitar (46.7%) penderita parkinson merasa kebingungan dengan
banyaknya informasi yang berlainan.
Referensi
Aini, R. N. (2015). Ketahanan Psikologis Pada Perempuan Penderita Kanker
Payudara. Character: Jurnal Penelitian Psikologi., 3(3).
Anna, Kus Lusia. (2013) “Ayo Lebih Peduli Parkinson”. Jakarta: Kompas.
diakses dari
http://health.kompas.com/read/2013/04/12/1332361/Ayo..Lebih.Peduli.Parkinson,
pada tanggal 9 September 2015 pukul 22.05
Case, Donald O. (2007). Looking for Information A Survey of Research on
Information Seeking, Needs, and Behavior Second Edition. Hlm. 123.
Ellis, David. (1993). Modeling the Information Seeking Patterns of Academic
Researchers: A Grounded Theory Approach dalam Library Quarterly Vol. 63. No.
4, hlm. 468-486
Feber, T. et.al. (2006). Virtual Reference in Academic environment in an
Academic: Quantitatif and Kualitatif Analisis of Users: Information Need and
Information Seeking Behaviour. Interdisciplinary University of Nort Texas.
Annual Conference 200, Atlanta, GA.
Hendrik, Lussy Natalia. (2013). “Depresi Berkorelasi Dengan Rendahnya
Kualitas Hidup Penderita Parkinson”.Bali: UNUD diakses dari
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-813-1924760038-
tesis%20dr.%20lussy.pdf, pada tanggal 8 September 2015 pukul 21.15
Hope, Jenny. (2012). Eating berries can cut men's risk of Parkinson's by 40%
London: Solo Syndication, a division of Associated Newspapers Ltd diakses dari
http://search.proquest.com/docview/964150500?accountid=170128 pada tanggal
15 Desember 2016
Husni, Amin. (2015) “Diet Seperti Ini Disarankan untuk Pasien Parkinson”,
Jakarta: Detik diakses dari
https://health.detik.com/read/2015/03/18/152809/2862522/763/diet-seperti-ini-
disarankan-untuk-pasien-parkinson , pada tanggal 11 September 2016
Ismawati, et al. (2013). “Hubungan Derajat Klinis dan Gangguan Kognitif Pada
Penderita Parkinson Dengan Menggunakan Montreal Cognitive Assesment versi
Indonesia (MOCA-INA)”. Makassar: UNHAS diakses di
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9625/Hubungan%20Der
ajat%20Klinis.pdf?sequence=1, pada tanggal 9 September 2015 pukul 21.45
Liebermen, Abraham., McCall, Marcia. (2003). 100 Question & Answer about
Parkinson Disease. Massachusetts: Jones and Bartlett Publishers.
McReynolds, Connie J. (2001) The Meaning of Work in the Lives of People Living
with HIV Disease and AIDS. Rehabilitation Counseling Bulletin
Muzaham, Fauzi. (1995). Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan. Jakarta:
Universitas Indonesia (UI-Press).
Nicholas, D. (2003). Assessing information needs: tools, techniques and concepts
for the internet age. Routledge.
Praba, C. et al. (2007). What is Enough/ Satisficing Information Needs, Journal of
Documentation. 63,I:74-8. Tersedia pada
http://www.oclc.org/publication/archive/2008praba-satisficing.pdf. Diakses pada
18 November 2016.
Silver, G. (1963). Family Medical Care. Cambridge: Harvard University Press.
Sunarti, E. (2004). Mengasuh dengan hati. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Susatia, Frandy. (2016) “4 Fakta Penting Tentang Penyakit Parkinson”. Jakarta:
Detik. diakses dari
http://health.detik.com/read/2016/04/27/100047/3197537/763/4-fakta-penting-
tentang-penyakit-parkinson pada tanggal 10 Januari 2017.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan
informasi publik
WHO. (2006). “Neurological Disorders: Public Health Challenges”: WHO.
Diakses dari
http://www.who.int/mental_health/publications/neurological_disorders_ph_challe
nges/en/ pada tanggal 8 September 2015 pukul 20.31
Wilson, T.D. (1999), “Models in information behaviour research” dalam Journal
of Documentation, vol 55 no. 33, hal. 259 – 270. Diakses dari
http://www.informationr.net/tdw/publ/papers/1999JDoc.html, pada tanggal 28
Oktober 2015 pukul 09.37
Wilson, T. D. (2000). Human Information Behaviour Information Science. Vol. 3.
No. 2.Terdapat pada http://inform.nu/Articles/Vol3/v3n2p49-56.pdf. Diakses pada
15 November 2016.