pengaruh implementasi rencana aksi eu flegt-vpa terhadap...

17
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 96 Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap Tata Kelola Hutan Indonesia (2014-2016) Mohammad Rizal Ilham Surur Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga Email: [email protected] Abstrak Tulisan ini menjelaskan tentang kaitan antara kebijakan Rencana Aksi EU FLEGT-VPA berdampak terhadap tata kelola hutan Indonesia. Dengan jangka waktu 2014 hingga 2016, berlatar belakang pada upaya penyelesaian permasalahan dalam sektor perdagangan kayu global, melalui pembentukan dari kebijakan Rencana Aksi EU FLEGT-VPA. Penelitian ini meninjau Rencana Aksi EU FLEGT-VPA sebagai rezim internasional yang berusaha untuk menyelesaikan permasalahan kehutanan dan mempromosikan perdagangan kayu legal. Selanjutnya, guna melihat peran yang dilakukan oleh EU FLEGT-VPA, peneliti menggunakan tiga instrument analisis dalam kerangka pemikiran, yaitu rezim internasional, kebijakan lingkungan berkelanjutan, dan ekonomi hijau yang dianalisis menggunakan metode kualitatif. Dari analisis data-data didapat bahwa, terdapat pengaruh dalam implementasi kebijakan Rencana Aksi EU FLEGT-VPA dalam tata kelola hutan Indonesia. Rencana Aksi EU FLEGT-VPA memberikan dampak pengelolaan hutan bagi Indonesia, meliputi peningkatan dalam beberapa aspek, diantaranya SVLK, lisensi FLEGT, perdagangan kayu, dan perubahan institusi serta tata kelola kehutanan dengan pelibatan aktif masyarakat sipil. Melalui temuan tersebut, terdapat sebuah pemahaman terkait arti penting EU FLEGT-VPA sebagai rezim internasional dalam mempromosikan tata kelola hutan baik Indonesia. Kata-Kata Kunci: EU FLEGT-VPA, Indonesia, pembangunan berkelanjutan, rezim internasional, ekonomi hijau, tata kelola hutan Indonesia Abstract This paper explains the linkage between the EU FLEGT-VPA Action Plan policy impact toward Indonesia's forest governance. Within a period of 2014 to 2016, the background is to solve problems in the global timber trade sector, through the establishment of the EU FLEGT-VPA Action Plan policy. This research reviews the EU FLEGT-VPA Action Plan as an international regime which aimed to solve forestry problems and to promote legal timber trade. Furthermore, in order to see the role of the EU FLEGT-VPA, the author uses three analytical instruments in the theoretical framework, which are international regime's, sustainable environmental policy, and green economy analyzed using qualitative methods. From the data analysis it can be found that there is an influence of the implementation of the EU FLEGT-VPA Action Plan policy in Indonesian forest governance. The EU FLEGT-VPA Action Plan provides impacts on forest management for Indonesia, including improvements in several aspects, including SVLK, FLEGT licenses, timber trade, and forest institution change and governance with active involvement of civil society. Then, it also promotes Indonesia in a strong sustainable development position. In addition, Indonesia is encouraged in meeting the indicators of green growth. Through these findings, there is an understanding of the significance of the EU FLEGT-VPA as an international regime in promoting good forest governance in Indonesia.

Upload: doanquynh

Post on 04-Jul-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 96

Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU

FLEGT-VPA Terhadap Tata Kelola Hutan

Indonesia (2014-2016)

Mohammad Rizal Ilham Surur

Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Email: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini menjelaskan tentang kaitan antara kebijakan Rencana Aksi EU FLEGT-VPA berdampak terhadap tata kelola hutan Indonesia. Dengan jangka waktu 2014 hingga 2016, berlatar belakang pada upaya penyelesaian permasalahan dalam sektor perdagangan kayu global, melalui pembentukan dari kebijakan Rencana Aksi EU FLEGT-VPA. Penelitian ini meninjau Rencana Aksi EU FLEGT-VPA sebagai rezim internasional yang berusaha untuk menyelesaikan permasalahan kehutanan dan mempromosikan perdagangan kayu legal. Selanjutnya, guna melihat peran yang dilakukan oleh EU FLEGT-VPA, peneliti menggunakan tiga instrument analisis dalam kerangka pemikiran, yaitu rezim internasional, kebijakan lingkungan berkelanjutan, dan ekonomi hijau yang dianalisis menggunakan metode kualitatif. Dari analisis data-data didapat bahwa, terdapat pengaruh dalam implementasi kebijakan Rencana Aksi EU FLEGT-VPA dalam tata kelola hutan Indonesia. Rencana Aksi EU FLEGT-VPA memberikan dampak pengelolaan hutan bagi Indonesia, meliputi peningkatan dalam beberapa aspek, diantaranya SVLK, lisensi FLEGT, perdagangan kayu, dan perubahan institusi serta tata kelola kehutanan dengan pelibatan aktif masyarakat sipil. Melalui temuan tersebut, terdapat sebuah pemahaman terkait arti penting EU FLEGT-VPA sebagai rezim internasional dalam mempromosikan tata kelola hutan baik Indonesia.

Kata-Kata Kunci: EU FLEGT-VPA, Indonesia, pembangunan berkelanjutan, rezim internasional, ekonomi hijau, tata kelola hutan Indonesia

Abstract

This paper explains the linkage between the EU FLEGT-VPA Action Plan policy impact toward Indonesia's forest governance. Within a period of 2014 to 2016, the background is to solve problems in the global timber trade sector, through the establishment of the EU FLEGT-VPA Action Plan policy. This research reviews the EU FLEGT-VPA Action Plan as an international regime which aimed to solve forestry problems and to promote legal timber trade. Furthermore, in order to see the role of the EU FLEGT-VPA, the author uses three analytical instruments in the theoretical framework, which are international regime's, sustainable environmental policy, and green economy analyzed using qualitative methods. From the data analysis it can be found that there is an influence of the implementation of the EU FLEGT-VPA Action Plan policy in Indonesian forest governance. The EU FLEGT-VPA Action Plan provides impacts on forest management for Indonesia, including improvements in several aspects, including SVLK, FLEGT licenses, timber trade, and forest institution change and governance with active involvement of civil society. Then, it also promotes Indonesia in a strong sustainable development position. In addition, Indonesia is encouraged in meeting the indicators of green growth. Through these findings, there is an understanding of the significance of the EU FLEGT-VPA as an international regime in promoting good forest governance in Indonesia.

Page 2: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

97 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

Latar Belakang Masalah

Terdapat beberapa permasalahan yang dapat mengganggu perdagangan internasional dalam sektor kehutanan dan turunannya, permasalahan yang mengemuka adalah pembalakan liar dan perdagangan ilegal masih berlanjut. Hal tersebut memunculkan efek yang merugikan bagi sektor kehutanan (Jonsson 2015a, 3). Perdagangan ilegal tidak hanya melanggar peraturan tentang jual beli yang telah ditetapkan oleh hukum, akan tetapi juga memberikan beberapa ancaman serius terhadap aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, European Commission melahirkan suatu peraturan, yaitu EU Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Action Plan pada tahun 2013 yang bertujuan untuk menghentikan aliran kayu ilegal dalam perdagangan internasional, dan untuk menyatakan bahwa tanggung jawab bersama, antara eksportir serta importir untuk menghentikan tindakan ilegal tersebut (Jonsson 2015a, 3).

FLEGT bertujuan untuk dapat menambah pengelolaan, transparansi dan penegakan hukum pada sektor kehutanan. Sehingga terdapat produksi kayu yang sejalan dengan peraturan dan hukum negara. Terdapat beberapa aspek penting dalam FLEGT yang perlu diperhatikan. Beranjak pada kasus yang lebih spesifik, penulis ingin melihat adanya peran dari Rencana Aksi FLEGT-VPA terhadap tata kelola hutan yang ada. Penulis mengambil studi tentang tata kelola hutan Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya tingkat kerusakan hutan yang cukup tinggi. Tingkat kerusakan hutan primer Indonesia diperkirakan 840.000 Ha setiap tahun (Hansen 2013; Margono et al 2014; Toumbourou tt). Kerusakan tersebut dapat menimbulkan berbagai kerugian dalam aspek yang terkait kehutanan. Adapun salah satu penyebabnya adalah dikarenakan tata kelola hutan dan lahan yang buruk

(Forest Watch Indonesia 2014 dalam Toumbourou tt). Selain itu, dampak lanjutan yang terjadi antara lain adalah, meningkatnya konversi dan deforestasi hutan yang ilegal; kerusakan lahan gambut dan daerah aliran sungai; menimbulkan konflik lahan, meningkatnya risiko bencana alam dan keanekaragaman hayati; dan dampak buruk sosial ekonomi lainnya (Environmental Investigation Agency 2012; World Bank 2009; Toumbourou tt). Dengan kondisi demikian, kemudian Indonesia memilih untuk bergabung dengan Rencana Aksi EU FLEGT-VPA. Hal tersebut dikarenakan untuk mengurangi dampak buruk dan mempertahankan potensi kehutanan yang dimiliki Indonesia. Adapun potensi yang dimiliki adalah, kawasan hutan asli terbesar di Asia, sekitar 80 milyar hektar, dan ketiga terbesar pada kategori tropis di dunia. Dewasa ini, Indonesia merupakan produsen pemimpin dalam berbagai produk kehutanan, seperti halnya kayu lapis, mebel, pulp dan kertas, mouldings, jendela dan lain sebagainya (SGS 2013). Indonesia merupakan negara Asia pertama yang mendapatkan VPAs dengan Uni Eropa, meskipun dalam waktu tersebut terdapat negosiasi yang sedang berjalan dengan Malaysia dan Vietnam.

Guna mempertahankan pasarnya, Indonesia mulai mengadaptasi sistem verifikasi. Adapun tercetusnya The Indonesian Timber Legality Assurance System (INDO-TLAS) atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan skema yang dibuat oleh Indonesia untuk dapat menjamin legalitas produk kayu mereka dalam pasar internasional (SGS 2013). Hal tersebut diharapkan dapat memenuhi permintaan terkait kayu legal. Selain itu, juga dapat meningkatkan sisi keunggulan kompetitif bagi Indonesia, sebagai produsen kayu dalam pasar internasional yang luas dan menciptakan kontribusinya terhadap lingkungan global berkelanjutan. Diharapkan dengan sistem verifikasi tersebut dapat

Page 3: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Mohammad Rizal Ilham Surur

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 98

menciptakan administrasi dan manajemen yang efektif, sehingga pembalakan liar serta perdagangan ilegal dapat teratasi.

INDO-TLAS dibentuk atas respon dari munculnya berbagai kebijakan internasional terkait pengelolaan hutan dan perdagangan produk kayu yang legal. Terhitung sejak satu januari, 2013, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia telah memberlakukan kebijakan INDO-TLAS tersebut. Terdapat beberapa pertimbangan bagi Indonesia dalam mengembangkan TLAS (SVLK). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, melalui Dr. Agus Sarsito mengungkapkan beberapa alasan tersebut dalam FLEGT VPA Week pada 16-19 Maret di Brussels, pada presentasinya yang berjudul “Implementation of Indonesia TLAS-SLVK: Challenges and Way Forward”. Pada dasarnya pengembangan tersebut, dikarenakan untuk menunjukkan bahwa para pemangku kepentingan dalam sektor kehutanan Indonesia berkomitmen untuk melawan pembalakan liar dan perdagangan ilegal. Oleh karena itu, dikarenakan potensi tersebut, diperlukan kajian yang mendalam terkait pengelolaan yang baik dari Indonesia. Selain itu, dengan Rencana Aksi EU FLEGT-VPAs diperlukan pemahaman terhadap dampak yang diberikan pada Indonesia sebagai negara mitra VPA pertama yang mendapatkan hak penerbitan lisensi FLEGT. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data-data dan analisis terkait Rencana Aksi EU FLEGT-VPAs terhadap Indonesia. Adapun analisis yang diberikan tentang dampaknya terhadap aspek tata kelola hutan Indonesia.

Kerangka Teoritik

Analisis mengenai Rencana Aksi EU FLEGT-VPA dalam memengaruhi dinamika tata kelola hutan Indonesia, pada dasarnya dapat dilihat melalui empat kerangka besar pemikiran. Hal

tersebut dapat dilihat melalui relasi kerja sama internasional dalam aspek lingkungan, yang didasarkan atas pendekatan neoliberal institusionalisme. Pada perspektif tersebut, dekat dengan teori rezim internasional. Dikarenakan tidak terlepas dari pendekatan hukum yang mendasari perspektif neoliberal institusionalisme dalam melihat permasalahan degradasi lingkungan. Selanjutnya, rezim internasional dibutuhkan untuk melihat kerangka pengaturan global dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan internasional. Dalam kasus Rencana Aksi EU FLEGT-VPAs terlihat bahwa terjadi negosiasi di dalamnya, oleh karena itu dapat dikategorikan sebagai model negotiated order. Hal tersebut dikarenakan kesadaran usaha untuk menyetujui ketentuan utama, izin eksplisit pada bagian dari masing – masing aktor, yang kemudian menghasilkan ekspresi formal. Selanjutnya, dalam ekspresi formal yang dihasilkan, Rencana Aksi EU FLEGT-VPAs berupa constitutional contract, yang melibatkan aktor secara langsung di dalamnya, dan sebagai subjek pelaku. Dalam beberapa kesepakatannya, Rencana Aksi EU FLEGT-VPAs mengarahkan para negara mitra untuk melakukan kebijakan-kebijakan lingkungan berkelanjutan. Oleh karena itu, perlu untuk mengetahui model kebijakan yang diadopsi Indonesia dalam rangka penyesuaian dengan Rencana Aksi EU FLEGT-VPAs. Selanjutnya, dalam melihat implementasi dari kebijakan yang telah diadopsi, ekonomi hijau dapat memberikan jawaban tersebut. Hal tersebut dikarenakan diperlukan perhitungan tertentu yang menjadi pertimbangan tertentu dalam ekonomi hijau, khususnya tentang tata kelola hutan yang selaras dengan Rencana Aksi EU FLEGT-VPAs.

Selanjutnya, akan dibahas tentang tata kelola hutan. Konsepsi luas dari tata kelola hutan memberikan adanya tambahan nilai pada dua level analisis yang berbeda. Pertama, adanya promosi terhadap riset ilmu sosial yang melibatkan adanya pengaturan yang lebih luas, yaitu adanya interaksi antara

Page 4: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU

99 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

aktor swasta, publi dan institusi. Selain itu, juga melibatkan adanya aspek formal dan informal dari kebijakan yang berhubungan dengan aspek kehutanan, beserta dengan implementasi yang disertai dampaknya. Kedua, konsep tata kelola hutan memberikan adanya penelitian lintas disiplin antara beberapa aspek yang terlibat dengan kehutanan, diantaranya adalah ilmu politik, sosiologi, hukum dan ekonomi, serta antara ilmu sosial dan alam. Oleh karena itu, tata kelola hutan terdiri dari beberapa aspek penting, yaitu (1) seluruh struktur peraturan formal dan informal, baik bersifat publik ataupun swasta, seperti halnya peraturan, norma, prinsip, prosedur kebijakan, perhatian terhadap hutan, upaya pemanfaatan dan pelestariannya; (2) pola interaksi aktor publik dan swasta; dan (3) dampak yang ditimbulkan terhadap hutan (Giessen & Buttoud 2014).

Tata kelola hutan yang baik dibutuhkan sebagai prasyarat bagi keberhasilan untuk mencapai keberlanjutan lingkungan hidup, khusunya pada aspek kehutanan (Kanawski, McDermott & Cashore 2011; Pilot Environmental Index 2006; Toumbourou tt). Berdasarkan World Bank, tata kelola hutan yang baik, dibutuhkan adanya kebijakan yang bersifat transparan dan memiliki proses yang dapat diprediksi; pejabat yang kompeten dan administrator publik yang menjalankan tugasnya secara akuntabel; supremasi hukum; dan partisipasi masyarakat sipil (Toumbourou tt). Adapun pelibatan aktif antara berbagai pihak menjadi hal yang cukup penting. Meskipun demikian, tata kelola hutan yang baik, perlu didukung dengan adanya pendekatan tentang perbaikan kapasitas teknis; kecukupan dan kualitas sumber daya; pembiayaan investasi; dan akses terbuka terhadap pasar (Toumbourou tt). Selanjutnya, diperlukan adanya pengembangan dan adaptasi dari definisi serta konsep tata kelola hutan global, tata kelola hutan internasional, tata kelola hutan nasional, tata kelola hutan regional, dan tata kelola hutan local (Giessen & Buttoud 2014).

Terdapat beberapa perbaikan dari kekurangan terhadap tata kelola hutan negara, seharusnya peran pemerintah dengan masyarakat harus dapat sejalan (Giessen & Buttoud 2014). Selain itu, terdapat pengaruh yang diberikan oleh tata kelola global, melalui kebijakan, peran dari aktor kunci, dan praktik diskursif yang dihasilkan, dapat memengaruhi tata kelola hutan tingkat nasional, seperti contoh pada REDD+ (Giessen & Buttoud tt).

Pembahasan

Rencana Aksi EU FLEGT-VPA

Rencana Aksi FLEGT merupakan inisiatif strategi pertama dari Eropa yang berfokus dalam menghentikan ruang ilegal dalam pasar kayu Uni Eropa. Dalam Rencana Aksi FLEGT, melibatkan tanggung jawab bersama antara negara eksportir dengan importir. Sehingga dapat melakukan kontrol, baik dari sisi permintaan maupun penawaran terhadap perdagangan kayu ilegal. Jonsson et al (2015a) mengemukakan bahwa terdapat tujuh area dalam Rencana Aksi FLEGT, yaitu (1) dukungan terhadap negara eksportir produk kayu, dengan menyediakan adnaya solusi terhadap permasalahan illegal logging; (2) mempromosikan perdagangan legal, termasuk pengembangan dan implementasi dari VPAs antara Uni Eropa dan negara eksportir kayu; (3) mempromosikan kebijakan publik, termasuk membimbing para stakeholder yang berhubungan terhadap legalitas kayu; (4) mendukung inisiatif sektor privat, termasuk dalam mendorong mereka untuk melakukan hal yang baik dalam bidang kehutanan, seperti halnya penggunaan voluntary codes of conduct bagi perusahaan swasta dalam penggunaan sumber kayu legal; (5) menjaga alur pendanaan dan investasi, termasuk aksi untuk mendorong bank maupun institusi finansial dalam berinvestasi pada sektor kehutanan, dengan tujuan pengembangan alur pemberian pinjaman; (6) pengguanaan instrumen legislatif atau melakukan adopsi terhadap undang-undang baru

Page 5: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Mohammad Rizal Ilham Surur

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 100

untuk mendukung Rencana Aksi FLEGT; dan (7) menangani permasalahan dalam konflik kayu.

Pertama, terdapat Voluntary Partnership Agreements (VPAs), yaitu perjanjian keanggotaan sukarela dengan negara-negara produsen dan eksportir kayu yang berlisensi FLEGT. VPA bertujuan untuk meningkatkan sektor pengelolaan kehutanan (European Forest Institute tt). Selain itu, FLEGT-VPA juga bertujuan untuk memastikan bahwa produk kehutanan yang diimpor oleh Uni Eropa adalah berlandaskan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan dari negara mitra. Di bawah naungan perjanjian tersebut, negara mitra diharuskan untuk mengembangkan suatu system control sebagai suatu wujud verifikasi legalitas dari produknya kepada Uni Eropa. Sementara itu, Uni Eropa akan memberikan bantuan untuk dapat terlaksananya system control tersebut. Selanjutnya, ketika telah diadakannya ratifikasi dan implementasi, maka FLEGT-VPA akan bersifat binding atau mengikat bagi kedua belah pihak. Kedua, European Union Timber Regulation (EUTR) berperan dalam mewajibkan importir produk kayu (operator) untuk mengambil tindakan yang memadai dan uji kelayakan, untuk meminimalisir risiko impor produk kayu iilegal pada Uni Eropa. Terhitung pada tahun 2015, FLEGT telah berlaku selama dua belas tahun, sementara EUTR untuk dua tahun. VPAs dan EUTR berperan untuk saling menguatkan satu sama lain, dalam hal permintaan dan penawaran pada produk kayu.

Dengan demikian, FLEGT-VPAs adalah perjanjian bilateral antara Uni Eropa dengan negara-negara pengekspor kayu yang bertujuan untuk meningkatkan sektor pengelolaan kehutanan. Selain itu, FLEGT-VPAs juga bertujuan untuk memastikan bahwa produk kehutanan yang diimpor oleh Uni Eropa adalah berlandaskan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan dari negara mitra (European Forest Institute tt). Di bawah naungan perjanjian

tersebut, negara mitra diharuskan untuk mengembangkan suatu system control sebagai suatu wujud verifikasi legalitas dari produknya kepada Uni Eropa. Sementara itu, Uni Eropa memberikan bantuan untuk dapat terlaksananya system control tersebut. Selanjutnya, ketika telah diadakannya ratifikasi dan implementasi, maka FLEGT-VPAs akan bersifat binding atau mengikat bagi kedua belah pihak.

Adapun dalam keanggotaannya, terdapat empat tahap yang perlu diperhatikan. Adapun diantaranya adalah persiapan, perundingan, pengembangan dan pelaksanaan penuh (Fasilitas FLEGT UE 2009). Tahap persiapan, pada dasarnya ketika negara melakukan eksplorasi terhadap lingkup model kemitraan, kemudian memperhitungkan terkait kebutuhan sektor kehutanan yang akan dipenuhi. Selanjutnya, tahap perundingan, ketika para mitra menyepakati standar dan sistem jaminan, yang akan menjadi landasan atas perdagangan kayu mereka. Kemudian tahap pengembangan, merupakan lanjutan dari kedua belah pihak yang mengembangkan sistem yang telah disepakati bersama, dan melakukan evaluasi terhadapnya. Adapun yang terakhir adalah tahap pelaksanaan penuh, ketika sistem tersebut telah berjalan, dalam artian kayu legal yang berizin yang hanya dapat diekspor dari negara mitra menuju pasar Uni Eropa. Ketika seluruh tahapan tersebut berjalan, kemudian dapatlah dikeluarkan lisensi FLEGT (Fasilitas FLEGT UE 2009). Hal tersebut yang kemudian menjadikan para negara mitra untuk melakukan adopsi dalam tingkat domestiknya, untuk mendapatkan lisensi tersebut.

Jalur Pengaruh dari Rencana Aksi EU FLEGT-VPA terhadap Negara Mitra

Berdasarkan jurnal dari Bernstein dan Cashore yang berjudul ‘Complex Global Governance and Domestic Policies: Four Pathways of Influence’ terdapat empat jalur dari

Page 6: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU

101 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

rezim internasional dalam memengaruhi tata kelola global (Bersntein & Cashore 2012). Adapun jalur pertama adalah peraturan internasional. Pada jalur peraturan internasional, memiliki peraturan yang mengikat dengan pengaruh yang dibawanya. Selanjuntya, terdapat koalisi transnasional ataupun domestik (khususnya aktor agensi), untuk melakukan perubahan ketika negara berada dalam status ketidak patuhan terhadap rezim, sehingga ia dapat melakukan mobilisasi dan memberikan tekanan terhadap komitmen pemerintah. Kemudian, terdapat alasan kepatuhan kepada peraturan internasional oleh negara yang disebabkan aspek ketakutan. Adapun ketakutan yang dihadapi adalah karena potensi kehilangan pasar dan investor, yang disebabkan oleh aspek peningkatan globalisasi serta ketergantungannya atas kapital internasional. Terakhir, terdapat kesepakatan terhadap peraturan internasional dengan mekanisme kepatuhan yang kuat, digambarkan ketika adopsi peraturan atau proses yang ada dalam level domestik berkat interaksi dengan jalur yang lain.

Selanjutnya, jalur kedua yaitu norma dan diskursus internasional. Pada jalur kedua, norma dan diskursus internasional disepakati pada forum internasional dan dipromosikan melalui pengaruh kuat dari organisasi terhadap arah perubahan kebijakan, ketika negara ataupun perusahaan menghadapi tekanan eksternal dalam merubah kebijakannya. Kemudian, strategi untuk merubah berdasarkan norma dan diskursus internasional, bergantung pada tingkat kerentanan moral dari negara atau perusahaan (Bernstein & Cashore 2012). Kerentanan yang dimaksud adalah adanya tingkat sensitivitas, jenis moral yang dipergunakan ataupun pola interaksi yang dilakukan ketiika berhadapan dengan sistem internasional. Selanjutnya, kesuksesan, bergantung pada resonansi dengan ideologi domestik, budaya dan tujuan kebijakan luas.

Kemudian, jalur ketiga adalah pasar. Terdapat aspek kunci dalam jalur pasar, yaitu melalui dependensi terhadap pasar luar negeri dan kesuksesan dari aktor transnasional dalam memengaruhi konsumen untuk memiliki preferensi tertentu, dapat memberikan pengaruh pada kebijakan. Kemudian, langkah langsung ataupun tidak langsung yang ditempuh melalui jalur pasar, keduanya bersifat komplementer (Bernstein & Cashore 2012). Adapun jalur terakhir, yang didapatkan melalui ketentuan dari sumber daya finansial untuk membantu organisasi masyarakat sipil yang telah ada atau untuk menciptakan yang baru. Kegiatan tersebut dapat membantu pergeseran power dalam kebijakan domestik dan menyediakan akses untuk kaum yang termarjinalkan sebelumnya (Bernstein & Cashore 2012). Kemudian, pengaruh langsung yang didapatkan dalam proses kebijakan publik adalah melalui hasil dari forum internasional yang membangun pola pelatihan dan kesepakatan pada peningkatan performa lingkungan, sosial dan ekonomi (Bernstein & Cashore 2012). Proses pembelajaran kemudian didapatkan melalui partisipasi multi-stakeholder dalam proses pembuatan kebijakan. Pembelajaran tersebut dikatakan sukses, ketika membahas tentang isu spesifik, seperti pengelolaan hutan. Selanjutnya, terdapat intervensi yang bertujuan untuk membantu pemerintah dalam mengimplementasikan produk hukumnya.

Respon Global Terhadap Rencana Aksi EU FLEGT

Pada dasarnya terdapat dua alasan yang dapat menjadikan Rencana Aksi EU FLEGT dapat memengaruhi perdagangan kayu internasional. Pertama, terdapat faktor lain selain VPA dan EUTR, seperti siklus bisnis, pergerakan nilai tukar, dan perbedaan dalam pertumbuhan ekonomi, serta permintaan berikutnya terhadap produk kayu. Kedua, waktu implementasi yang masih terhitung singkat, sehingga susah untuk mendapatkan perhitungan tepat terkait dampak dan efektifitas dari

Page 7: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Mohammad Rizal Ilham Surur

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 102

Rencana Aksi FLEGT. Namun, terdapat spekulasi bahwa, Rencana Aksi FLEGT dapat mengurangi perdagangan kayu ilegal, dan di sisi lain, hanya melihatnya sebagai efektif dalam penurunan illegal logging. Meskipun demikian, terdapat dampak yang ditimbulkan dalam perdagangan kayu internasional dalam hal aliran produk perdagangan. Terdapat perubahan komoditas yang diperjual-belikan, seperti halnya kayu temperate hardwood yang menggantikan tropical hardwood. Selain itu, terdapat pergeseran pasar yang dipilih oleh para eksportir, dibandingkan berurusan dengan peraturan yang terlalu ketat.

Sementara itu, Rencana Aksi EU FLEGT memiliki dampak bagi pengelolaan hutan dan implementasinya terhadap negara mitra. FLEGT-VPA memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan pengelolaan hutan bagi negara mitra. Hal tersebut dikarenakan negosiasi VPA yang melibatkan masyarakat sipil dalam proses perumusan kebijakan, dan langkah-langkah penting pada peningkatan reforma hukum. Selain itu, terdapat pengembangan cukup signifikan terhadap mekanisme institusi untuk audit, pengawasan dan pemeriksaan terkait asuransi legalitas kayu. Meskipun, terdapat partisipasi oleh masyarakat sipil, pada dasarnya kesadaran yang mereka miliki terkait aspek verifikasi legalitas masih belum begitu memadai. Hal tersebut dikarenakan, kapabilitas setiap negara dalam menginterpretasikan implementasi VPA. Rencana Aksi EU FLEGT berusaha untuk dapat memengaruhi sisi permintaan dan penawaran dari kayu tebangan ilegal. Meskipun terdapat, harga impor legal dari sumber yang sama cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diberlakukan perhitungan kebijakan tersebut.

Proses Tergabungnya Indonesia dalam Rencana Aksi EU FLEGT-VPA

Adapun tahapan tergabungnya Indonesia dalam Rencana Aksi EU FLEGT-VPA dengan (1) pra-perundingan, (2) perundingan, (3) proses ratifikasi, dan (4) implementasi. Tahap pra-perundingan, negara pengekspor kayu melakukan konsultasi terhadap para stakeholder dalam tingkat nasional. Adapun negosiasi tersebut berlangsung tentang pembahasan kemungkinan masuknya pada VPA. Stakeholder nasional diharapkan dapat memberikan masukan dan pertimbangan peraturan untuk perundingan lebih lanjut. Pada tahun 2003, para stakeholder terkait telah mengupayakan suatu definisi legalitas yang akan digunakan untuk mengaudit unit usaha kehutanan (Indonesia dan Uni Eropa 2011). Diawali dengan inisiasi dari LSM lingkungan hidup, seperti halnya Telapak, Environmental Investigation Agency (EIA), dan The Nature Conservancy (TNC) dengan kerja sama dari The Forest Trust serta Tropical Forest Foundation. Selanjutnya, pada tahun 2006, partisipasi dalam mengembangkan definisi legalitas semakin meluas, hingga melibatkan industri tingkat nasional sampai provinsi. Hingga pada Desember tahun 2008, didirikan tim kerja multi-pihak, dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sebagai fasilitator proses, mendapat dukungan dari Dewan Kehutanan Nasional, secara formal memberikan definisi dan standar legalitas serta usulan sistem jaminan legalitas. Kemudian, pada Juni tahun 2009 usulan tersebut disahkan menjadi peraturan legalitas, yaitu TLAS sebagai jaminan legalitas kayu Indonesia.

Selanjutnya, tahap perundingan di dalam dan antara kelompok stakeholder negara pengekspor kayu, pemerintah nasional dan Uni Eropa. Adapun isi dari perundingan tersebut adalah menentukan isi dari VPA dan menetapkannya pada perjanjian yang mengikat secara hukum. Pada tahun 2007 pemerintah Indonesia telah memulai perundingan-perundingan VPA dengan Uni Eropa. Namun, setelah bulan Juli tahun 2009, perundingan semakin

Page 8: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU

103 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

intensif, setelah dibentuknya TLAS. Kementerian Kehutanan mengeluarkan peraturan No. P38 / 2009 tentang Pedoman untuk Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu untuk Pemegang Izin dan Hutan Rakyat (Indonesia dan Uni Eropa 2011).1

Kemudian proses ratifikasi yang berfungsi untuk meresmikan VPA. Proses tersebut merupakan proses dalam perjanjian internasional antara di Uni Eropa dan negara-negara mitra. Tahapan proses ratifikasi VPA dimulai ketika para pihak telah mengakhiri proses perundingan dengan memaraf VPA. Oleh karena itu, durasi dalam proses ratifikasi cukup lama, berkisar antara hitungan bulan hingga tahun. Meskipun demikian, keberhasilan proses ratifikasi belum menjamin negara untuk mendapatkan lisensi FLEGT. Guna mendapatkan lisensi FLEGT, negara mitra harus dapat memastikan bahwa seluruh kinerja dari stakeholder yang terlibat berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan sistem jaminan legalitas kayu yang disepakati pada VPA. Dengan demikian, pengembangan atau penyempurnaan diperlukan dalam proses VPA. Proses ratifikasi Indonesia pada Rencana Aksi EU FLEGT-VPA dilakukan pada tanggal 30 September 2013, di Brussel, Belgia. Proses ratifikasi tersebut melibatkan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Zulkifli Hasan, Komisioner Eropa Bidang Lingkungan Janez Potonik, dan Menteri Lingkungan Hidup Lithuania Valentinas Mazuronis yang menjadi Presidensi Uni Eropa (PPID Kementerian Lingkungan HIdup dan Kehutanan tt). Persetujuan tersebut mencakup sistem lisesnsi atas produk kayu yang diekspor Indonesia

1 Dengan intensivitas negosiasi VPA tersebut,

dapat memunculkan peluang untuk

menyempurnakan TLAS. Terhitung sejak Maret

tahun 2007 sampai dengan April tahun 2011,

terdapat tiga Pertemuan Pejabat Tinggi (Senior

Officials Meeting), tujuh Pertemuan Kelompok

Kerja Teknis (Technical Working Group), tujuh

Pertemuan Pakar Gabungan (Joint Expert

Meeting) dan delapan Konferensi Video untuk

menyelesaikan serta menyepakati teks VPA

beserta lampirannya. Selain itu, terdapat

pada negara anggota Uni Eropa. Dengan diterbitkannya lisensi FLEGT, maka produk kayu Indonesia telah memenuhi EUTR Nomor 995 / 2010 yang melarang tentang penempatan maupun peredaran produk kayu ilegal di pasar Uni Eropa.

Terakhir, terdapat tahapan proses implementasi, yang dapat dijalankan setelah ratifikasi antara kedua belah pihak. Meskipun demikian, dalam realita, kegiatan impelementasi sering dilaksanakan tanpa proses ratifikasi yang selesai. Pada fase ratifikasi, para stakeholder yang terlibat dapat menjamin terlaksananya reformasi tata kelola dan sistem jaminan legalitas kayu. Oleh karena itu, lisensi FLEGT hanya mampu didapatkan ketika evaluasi sistem jaminan legalitas kayu VPA dan benar berfungsi. Selanjutnya, ketika lisensi FLEGT dilaksanakan, reformasi hukum dan pemerintahan dapat dilanjutkan. Stakeholder terkait diharapkan dapat memantau dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dari para VPA. Selain itu, dibutuhkan pembelajaran terhadap auditor independen yang terkait. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa VPA tidak memiliki titik akhir tertentu, melainkan proses yang terus berlanjut, hingga salah satu pihak memutuskan untuk mengakhiri perjanjian tersesbut. VPA Indonesia mulai diberlakukan pada tanggal 1 Mei 2104. JIC melakukan pemantauan implementasinya, termasuk tata kelola dan hukum serta penyempurnaan dari SVLK sebelum diberlakukan lisensi FLEGT (Indonesia dan Uni Eropa 2015).

VPA merupakan salah satu komponen kunci dalam Rencana Aksi

deklarasi dukungan terhadap perdagangan kayu

legal yang berasal dari berbagai asosiasi furnitur,

eskportir, dan industri kehutanan, yang dibarengi

dengan peluncuran logo V-legal terhadap kayu

serta produknya oleh Kementerian Kehutanan.

Selanjutnya, pada tahun 2012 Kementerian

Perdagangan mengeluarkan Peraturan

Pemerintah (PP) No. 64 / 2012 untuk mengatur

ekspor kayu legal. Peraturan tersebut kemudian

direvisi dengan PP No. 81 / 2013. Kemudian

direvisi kembali dengan PP No. 97 / 2014.

Page 9: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Mohammad Rizal Ilham Surur

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 104

FLEGT Uni Eropa tahun 2003 untuk mengatasi pembalakan liar. Selain itu, VPA Indonesia melengkapi upaya Indonesia dalam menghentikan pembalakan liar dengan pendekatan lunak melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Adapun kontribusi dari VPA adalah memunculkan revisi pada SVLK. Pada dasarnya, tujuan utama dari VPA adalah untuk menyediakan suatu kerangka sistem, guna menjamin seluruh produk kayu yang diimpor oleh Uni Eropa dari Indonesia, bahwa telah diproduksi secara legal dan sesuai dengan kesepakatan yang ada (Indonesia dan Uni Eropa 2015). Selanjutnya, VPA menghasilkan lisensi FLEGT, yang bertugas untuk memastikan bahwa produk kayu yang diekspor telah menaati serangkaian peraturan dan dijamin legalitasnya. Dengan demikian, terdapat konsekuensi penolakan produk, ketika tidak ada lisensi FLEGT. Selain itu, dampak VPA tidak hanya terkait pada hubungan dagang antara Indonesia dengan Uni Eropa, melainkan juga dengan perdagangannya dengan pasar manapun (Indonesia dan Uni Eropa 2015).

Dampak Rencana Aksi EU FLEGT-VPA terhadap Tata Kelola Hutan Indonesia

Perubahan Institusi dan Tata Kelola Kehutanan

Pada dasarnya, Indonesia masih memiliki kontrol dan partisipasi publik yang rendah dalam tata kelola hutan, melalui masyarakat sipil ataupun dari coverage media. Hal tersebut dikarenakan adanya keterbatasan sumber daya, lemahnya akuntabilitas dan transparansi pada pengelolaannya (Toumbourou tt). Padahal, sejatinya peran dari masyarakat sipil memegang

2 Pada pertemuan tersebut dihasilkan struktu

pendukung JIC, diantaranya adalah (1)

sekretariat JIC yang terdiri dari perwakilan

pemerintah Indonesia, masyarakat sipil, dan

swasta serta perwakilan Uni Eropa, bertugas

dalam memberikan dukungan administratif pada

JIC dan badan pendukungnya; (2) kelompok

kerja teknis, memberikan dukungan teknis pada

peranan penting dalam keberlanjutan tata kelola hutan. Peran lemah dari masyarakat tidak terlepas dari adanya keterbatasan dana dan tingkat kompleksitas dari permasalahan kehutanan yang cukup tinggi (Toumbourou tt). Adapun solusi yang terkemuka adalah dengan memberikan peran penting bagi masyarakat lokal dan pemantauan berkala terhadap sumber daya alam hutan.

Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, penerapan VPA dibutuhkan adanya pembentukan institusi baru dan peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan. Pada awalnya dibentuk Joint Implementation Committee atau Komite Implementasi Gabungan (JIC) yang berguna untuk memantau implementasi VPA. JIC beranggotakan perwakilan dari kedua belah pihak, baik Indonesia maupun Uni Eropa. Delegasi dari Indonesia terdiri dari wakil pemerintah, swasta dan masyarakat sipil. JIC telah mengadakan pertemuan sebanyak dua kali, yaitu pada tanggal 24 September tahun 2014 dan 12 Februari tahun 2015 (Indonesia dan Uni Eropa 2016).2 Kemudian terdapat optimalisasi peran masyarakat sipil melalui beberapa lokakarya yang diselenggarakan oleh pemerintah. Melalui kerangka Civil Society Organization (CSO), JIC mendukung partisipasi masyarakat sipil secara lebih luas dalam pemantauan independen. Selanjutnya, terdapat kolaborasi antara MFP3 dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memberkan dukungan kepada Pemerintah Pusat serta Pemerintah Daerah dalam implementasi SVLK. Hal tersebut dapat terlihat dari kegiatan peningkatan kapasitas yang dilakukan sejak tahun

JIC; (3) Joint Expert Meeting, forum yang berisi

para pemangku kepentingan dari kedua belah

pihak untuk menggali isu teknis; dan (4)

kelompok kerja gabungan, memantau dan

mengkaji kemajuan dari implementasi Rencana

Aksi Indonesia-Uni Eropa kedua terkait

Percepatan Implementasi VPA.

Page 10: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU

105 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

2009 sampai dengan 2015 (Indonesia dan Uni Eropa 2016).3

Pada periode pelaporan 2014 sampai dengan 2015, lebih berfokus pada program percepatan SVLK dengan prioritas pelatihan bagi para petugas teknis. Sementara itu, pada pihak swasta, terdapat peran aktif yang diperlukan. Dalam beberapa asosiasi sektor swasta di Indonesia, seperti Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) yang telah mendukung implementasi dan meningkatkan kesadaran SVLK (Indonesia dan Uni Eropa 2016).4 Selain itu, pelatihan juga dilakukan kepada auditor SVLK. Pada kurun waktu tahun 2009 sampai dengan tahun 2014 terhitung sebesar 980 auditor SVLK yang bertugas untuk melakukan kajian kinerja terhadap standar legalitas dan pengelolaan hutan produksi yang lestari (Indonesia dan Uni Eropa 2016).5 Selanjutnya, dibentuk Sistem Informasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestasi (SI-PHPL). Pembentukan tersebut didasarkan atas kebijakan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menginginkan dokumentasi informasi tentang keseluruhan pelacakan terkait kayu

3 Terdapat sebesar 4.634 pengawas tenaga teknis

yang mendapatkan pelatihan. Para petugas

tersebut memainkan peranan penting dalam

pengkaijan unit pengelolaan, enyediaan

dukungan teknis dan audit internal sebelum

proses sertifikasi. 4 Pada periode pelaporan 2014-2015 terdapat

beberapa kegiatan kunci yang dicatat, yaitu (1)

perjalanan dan brefing media bagi tiga puluh

wartawan dari Kalimantan Barat, Kalimantan

Tengah dan Kalimantan Timur terkait praktik-

praktik terbaik dalam implementasi SVLK (April

2014); (2) melakukan pertemuan dengan para

pembeli kayu internasional dengan para

perusahaan yang memilii sertifikat SVLK

Indonesia, sebagai wujud peningkatan kesadaran

terhadap kemajuan produk legal (November

2014); dan (3) meningkatkan kapasitas dari para

pemilik konsesi dan pemerintah daerah untuk

menerapkan SVLK (November-Desember 2014). 5 Adapun beberapa pihak yang memberikan

dukungan pada kegiatan tersebut antara lain

adalah MFP3, Lembaga Ekolabel Indonesia,

Kmeitraan, Organisasi Perdagangan Kayu

Internasional, Asosiasi Pengusaha Hutan

(Indonesia dan Uni Eropa 2017).6 Kemudian, terdapat beberapa jenis pemantauan yang dikembangkan oleh kedua belah pihak. Diantaranya adalah pemantauan independen, pemantauan dampak, pemantauan pasar independen, dan evaluasi berkala.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)

VPA Indonesia dengan Uni Eropa tidak terlepas dari suatu sistem jaminan legalitas kayu yang mampu melakukan verifikasi terhadap kayu dan produk turunannya bahwa melewati jalur produksi dan diolah secara legal (Indonesia dan Uni Eropa 2017, 5). Selain itu, menandakan pemenuhan peraturan undang-undang dan perundangan yang berlaku, yang kemudian akan diverifikasi oleh badan audit independen serta masyarakat sipil. Sistem tersebut pada VPA didasarkan atas Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia yang didasarkan atas Peraturan Menteri Kehutanan tahun 2009 (Indonesia dan Uni Eropa 2017).7 SVLK bertugas dalam memastikan bahwa kayu dan produk turunannya di proses di Indonesia dengan sumber dan cara yang legal sesuai peraturan yang

Indonesia, Asosiasi Panel Kayu Indonesia dan

lembaga penilai dan verifikasi independen

(Sucofindo, BRIK dan Ayamaru). 6 Sistem tersebut mengintegrasikan adanya data-

data dari tahap produksi sampai dengan

perdagangan dari kayu dan produk turunannya

serta siklus impor. Adapun tujuan dari sistem

tersebut adalah untuk, (1) memperketat adanya

pengawasan terhadap rantai pasokan kayu; (2)

pencatatan data untuk menyesuaikannya dengan

hasil hutan kayu, impor, pemasaran, dan

pengolahan pada unit-unit pengelolaan di tingkat

kabupaten, provinsi hingga nasional; (3)

menyediakan data dari industri kehutanan

nasional secara komprehensif; dan (4)

memungkinkan adanya perhitungan penerimaan

bukan pajak yang lebih akurat yang berasal dari

industri perkayuan.

7 SVLK Indonesia dikembangkan melalui

konsultasi multipihak yang dimulai pada tahun

2001, dengan melibatkan masyarakat sipil, sektor

swasta dan pemeritah. Dengan tujuan awal untuk

memberantas pembalakan liar. Sistem tersebut

mengalami perbaikan secara berkelanjutan.

Page 11: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Mohammad Rizal Ilham Surur

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 106

berlaku (Indonesia dan Uni Eropa 2017, 6-13).8 Pada SVLK terdapat penjabaran ulang definisi legalitas yang berlaku di Indonesia. Adapun tujuan dari pendefinisian legalitas adalah untuk memberikan penekanan terhadap persyaratan legal yang diputuskan oleh para pemangku kepentingan dalam taraf nasional (Indonesia dan Uni Eropa 2017).9 Selain itu, dalam SVLK terdapat skema legalitas dan keberlanjutan untuk berbagai jenis pengelolaan, pemanfaatan dan industri pengolahan kayu. Adapun diantaranya adalah penekanan terhadap pentingnya sertifikasi legalitas. Hal tersebut dikarenakan kewajiban bagi semua unit usaha pengelolaan, pemanfaatan dan pengolahan kayu dari hutan negara (Indonesia dan Uni Eropa 2017).10

Selanjutnya, terdapat Deklarasi Kesesuaian Pemasok yang harus dipenuhi untuk memasukkan rantai pasokan dalam skema SVLK. Namun, Deklarasi Kesesuaian Pemasok hanya diperuntukkan untuk unit usaha yang memanfaatkan kayu rendah risiko dari lahan atau hutan hak (hutan rakyat). Kemudian, terdapat syarat untuk industri hilir dalam memiliki izin usaha atau koperasi, yang harus sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, termasuk di dalamnya peraturan lingkungan dan perpajakan. Terakhir, terdapat kebijakan yang mengharuskan seluruh unit usaha pengelolaan, 8 SVLK memberikan insentif untuk legalitas dan

keberlanjutan dengan meningkatkan aksess pasar

terhadap produk legal. Berdasarkan VPA, kayu

Indonesia dianggap legal jika memenuhi adanya

verifikasi dari asal, produksi, pengolahan,

pengangkutan dan perdagangan yang sesuai

dengan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia, termasuk definisi legalitas dari VPA. 9 Dengan demikian, memunculkan kerangka

hukum Indonesia yang menetapkan standar

Pengelolaan Hutan Produksi Lestasri (PHPL)

yang harus ditaati oleh para pemegang hutan

produksi (hutan negara). Para pemilik izin harus

memenuhi kepatuhan terhadap dua peraturan

yang ada, yaitu standar legalitas dan PHPL. 10 Kemudian, terdapat sertifikat pengelolaan

hutan lestari sebelum sertifikat legalitas berakhir,

pemanfaatan, pengolahan dan perdagangan yang diwajibkan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan—termasuk upah minimum, kesehatan, pengembangan kapasitas serta keselamatan kerja (Indonesia dan Uni Eropa 2017).

Selanjutnya, terdapat ketentuan lain yang harus dipenuhi, yaitu kendali rantai pasok. Kendali rantai pasok mewajibkan bagi pemegang izin (dalam hal konsesi), pemilik lahan (milik pribadi) atau perusahaan (pedagang, pengolah dan eksportir) untuk menunjukkan bahwa seluruh rantai pasok mereka dikendalikan dan didokumentasikan berdasarkan Lampiran V VPA serta Peraturan Menteri Kehutanan (Indonesia dan Uni Eropa 2017, 14).11 Pelaksanaanya dipantau oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SI-PUHH) dan basis data lainnya. Selanjutnya, terdapat aspek verifikasi yang penting dalam SVLK. Pelaksanaan tugas tersebut dibebankan kepada Komite Akreditasi Nasional yang melakukan akreditasi perusahaan swasta independen. Didalamnya terdapat badan yang terdiri dari Lembaga Penilai Kerja dan Verifikasi Independen (Conformitty Assessment Bodies/CAB) yang bertugas untuk mengaudit usaha kehutanan dan industri berbasis kayu12 , serta beberapa

bagi para pemegang ijin hak pengelolaan dan

pemanfaatan kayu di hutan negara.

11 Peraturan Menteri Kehutanan tersebut antara lain adalah P.30/Menhut-II/2012, P.41/Menhut-II/2014 dan P.42/Menhut-II/2014. Peraturan tersebut mensyaratkan bahwa diperlukan verifikasi dan validasi lapangan oleh pejabat kehutanan di kabupaten dan provinsi, terhadap data serta dokumen yang secara berkala di serahkan oleh pihak bersangkutan tersebut kepada pejabat kehutanan terkait. Adapun peraturan terbaru yang wajib dipatuhi adalah Annex V VPA dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Noo. 30/2016. Oleh karena itu, semua pengangkutan harus disertai dengan dokumen angkutan yang sesuai. Apabila terdapat penyelewengan dari kendali rantai pasok, maka kemudian produk menjadi sitaan. 12 CAB bertugas untuk melakukan verifikasi

ketaatan dari pengusaha terhadap definisi

Page 12: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU

107 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

hal lainnya13 (Indonesia dan Uni Eropa 2017). Hingga pada Desember tahun 2016, tercatat bahwa Indonesia telah menggunakan SVLK untuk mengaudit sekitar 23,3 juta hektar hutan produksi dan 3.197 industri kayu.

Selanjutnya terdapat ‘periodic evaluation’ (evaluasi berkala), yang dilakukan terhadap sistem jaminan legalitas kayu. Kegiatan tersebut dikerjakan oleh pihak ketiga independen (Indonesia dan Uni Eropa 2017).14 Kemudian, terdapat pemantuan independen yang didasarkan atas Lampiran V VPA, yang menguraikan tentang hak-hak kelompok masyarakat sipil, individu serta masyarakat Indonesia untuk melakukan pemantauan impelementasi sistem jaminan legalitas kayu (Indonesia dan Uni Eropa 2017).15 Oleh karena itu, dengan adannya VPA, SVLK telah beberapa kali melakukan penyempurnaan guna meningkatkan efisiensi, inklusivitas dan aksesibilitas sistem terhadap usaha kecil serta menengah. Selain itu, terdapat revisi yang dilakukan dan mengindikasikan proses perbaikan yang secara berkesinambungan dilakukan. Hal tersebut dilakukan dengan merespon masukan yang diterima dari para pemangku kepentingan, termasuk dalam proses VPA. Komisi Implementasi Gabungan (JIC) antara Indonesia

legalitas atau mengkaji kinerja mereka dengan

standar yang ada. Selain itu, CAB bertugas

memeriksa konsistensi dari data yang dideklarasi

oleh para pihak yang diaduit, pengawasan atau

inspeksi di lapangan. Adapun tugas dari para

badan tersebut adalah untuk memverifikasi

kepatuhan dan pemenuhan persyaratan legalitas

atau melakukan penilaian kinerja sesuai dengan

standar SVLK terhadap pemegang ijin yang

beroperasi dalam hutan produksi. 13 Selain itu, LPK bertugas dalam memeriksa

adanya konsistensi data yang disampaikan awal

oleh auditee selama audit awal dan audit

penilikan. LPK juga dapat melakukan

pemeriksaan lapangan, jika dibutuhkan.

14 Adapun tujuannya adalah untuk mendapatkan

jaminan bahwa sistem jaminan legalitas kayu

tersebut berfungsi sebagaimana yang

digambarkan dalam VPA, sehingga kredibilitas

dengan Uni Eropa mendukung perubahan tersebut melalui lampiran VPA untuk memperlihatkan pembaruan pada SVLK.

Selanjutnya SVLK telah mengeluarkan lisensi V-legal untuk menyertai ekspor kayu legal yang terverifikasi. Terhitung sampai dengan awal tahun 2015, terdapat sekitar dua belas juta hektar hutan produksi alam dan lebih dari 1.400 industri kayu yang telah diaudit. Selain itu, terdapat penerbitan sekitar 234.000 sertifikat V-legal, dengan nilai ekspor 16.4 miliar USD pada waktu yang sama. Selanjutnya pada tahun 2016, berdasarkan hasil evaluasi yang dilaporkan kepada JIC Indonesia dan Uni Eropa, didapatkan data bahwa diperlukan tindakan korektif yang perlu diambil (Indonesia dan Uni Eropa 2017).16 Hal tersebut kemudian disepakati memutuskan rancangan evaluasi berkala. Selanjutnya diambil langkah yang berdasarkan atas Pasal 5 VPA, yaitu konsultasi Indonesia dengan Uni Eropa, perlu melibatkan pihak ketiga untuk melaksanakan evaluasi berkala. Hal tersebut merujuk pada Annex VI VPA tentang pemantauan. Oleh karena itu, pada akhirnya Indonesia menunjuk PT Sucofindo Layanan Umum Sumberdaya Alam dan Investasi untuk

dari lisensi FLEGT dapat tetap terjaga. Evaluator

berkala melaporkan hasilnya kepada Komite

Implementasi Gabungan, yang kemudian

memutuskan untuk memberikan dukungan atau

tindakan koreksi yang perlu diambil. Hal tersebut

diatur dalam pasal 5 VPA dan tercantum dalam

Lampiran VI VPA. 15 Adapun hak-hak tersebut diantaranya adalah (1)

memantau ketaatan operasi dengan persyaratan

definisi legalitas; (2) memantau kesesuaian

dengan akreditasi, verifikasi, evaluasi berkala

serta proses lisensi dengan persyaratan sistem

verifikasi legalitas kayu; dan (3) mengajukan

keluhan pada Lembaga Penilaian Kesesuaian,

otoritas lisensi, Komite Akreditasi Nasional dan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sumber: Ibid, 16. 16 JIC mendukung adanya rancangan evaluasi

berkala pada tahun 2016.

Page 13: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Mohammad Rizal Ilham Surur

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 108

melakukan evaluasi berkala (Indonesia dan Uni Eropa 2017).17

Lisensi FLEGT

Sebelumnya terdapat dokumen V-Legal yang diberlakukan untuk melengkapi ekspor kayu dan produk turunannya yang telah diverifikasi. Sebelum memberlakukan lisensi FLEGT, diperlukan kajian gabungan yang mengkonfirmasi bahwa sistem jaminan legalitas kayu yang berlaku di Indonesia, berfungsi seperti halnya yang tertulis dalam VPA (Indonesia dan Uni Eropa 2017).18 Selanjutnya, terdapat temuan tim kajian bersama bahwa ada perbaikan dalam SVLK, namun, dengan perubahan yang tidak mendasar. Selanjutnya, Indonesia menempuh berbagai pertemuan dan kesepakatan guna tercapainya implementasi lisensi FLEGT (Indonesia dan Uni Eropa 2017).19 Sehingga pada bulan Maret tahun 2015, Indonesia dan Uni Eropa mencapai kesepakatan dalam upaya untuk memantau pencapaian seluruh aspek dalam rencana aksi. Selain itu, terbentuk tim lapangan untuk mengunjungi beberapa provinsi guna mengkaji implementasi VPA.

Pada pihak Uni Eropa, mereka melakukan persiapan dengan beberapa

17 Adapun periode dari evaluasi berkala yang

dilakukan oleh PT Sucofindo berawal dari bulan

Maret tahun 2017 sampai dengan September

tahun 2017. 18 Tahap pertama kajian bersama telah dilakukan

pada tahun 2013. Tahap kedua dilakukan pada

tanggal 23 September sampai dengan 31 Oktober

2014. 19 Pada bulan November tahun 2014, Indonesia

dengan Uni Eropa telah menyepakati Rencana

Aksi Indonesia-EU Kedua, mengenai kemajuan

implementasi VPA. Adapun butir-butir aksi yang

ada adalah (1) implementasi sistem verifikasi

kayu se-Indonesia; (2) oeraturan baru tentang

kontrol terhadap kayu impor dan lisensi FLEGT;

(3) pelaksanaan pemantauan independen,

evaluasi berkala serta pemantauan dampak VPA;

dan (4) revisi akhir lampiran VPA untuk

merefleksikan adanya perubahan baru dari

Indonesia terhadap SVLK sebafai tanggapan dari

pertemuan kajian gabungan. Selain itu, terdapat

pertemuan Komite Implementasi Gabungan

penyesuaian di dalamnya. Dimulai dari penyesuaian sistem komunikasi terkait perdagangan kayu, hingga pada pembelajaran serta uji pengapalan. Kemudian, Komisi Eropa memulai melakukan implementasi dari peraturan EUTR. Tercatat hingga pada awal tahun 2015, sebesar dua puluh delapan negara anggota Uni Eropa telah menerapkan EUTR (Indonesia dan Uni Eropa 2017).20 Selain itu, juga untuk memantau perkembangan pasar pada produk lisensi FLEGT di Uni Eropa serta pasar internasional. ITTO berfungsi sebagai pihak yang melakukan pemantauan pasar independent (Indonesia dan Uni Eropa 2017).21 Selanjutnya, terdapat upaya penyadaran pasar yang dilakukan oleh Uni Eropa. Tepatnya pada Maret tahun 2015, Komisi Eropa mengadakan Konferensi Pekan Tahunan FLEGT, di Belgia. Pada kesempatan tersebut, Indonesia melaporkan kemajuannya kepada masyarakat internasional (Indonesia dan Uni Eropa 2017). Hal tersebut menunjukkan komitmen dari Komisi Eropa dan Indonesia untuk kayu berlisensi FLEGT pada pasar Uni Eropa. Selanjutnya, pada 15 November tahun 2016, muncul lisensi FLEGT sebagai ganti dari dokumen V-Legal, khusus dalam jangkauan ekspor ke Uni Eropa. Semenjak diberlakukannya sampai tanggal 31 Desember tahun 2016, lisensi

kedua yang dselenggarakan pada bulan Februari

tahun 2015, diantaranya adalah (1) terdapat

adopsi pada Lampiran I VPA mengenai cakupan

produk, Lampiran II tentang definisi legaitas dan

Lampiran V mengenai sistem verifikasi legalitas

kayu; (2) melakukan kajian terhadap kemanjuan

empat mekanisme monitoring yang ada dalam

VPA; dan (3) pembentukan kelompok tim kerja

gabungan untuk mengkaji kemajuan rencana

aksi. 20 Selain itu, pada tahun 2014, International

Tropical Timber Organization (ITTO) mulai

menjalani kontrak dengan Komisi Eropa. ITTO

bertugas untuk memahami tentang insentif pasar

yang diperoleh dengan memasuki dan

mengimplementasikan VPA. 21 Adapun fungsi dari pemantauan pasar

independen bagi Uni Eropa adalah untuk

mengkaji permintaan kayu berlisensi FLEGT dan

menyesuaikan komunikasinya serta upaya

pendukung lainnya guna mempersiapkan pasar

sebelum datangnya lisensi FLEGT.

Page 14: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU

109 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

FLEGT telah menerbitkan 4.804 lisensinya untuk eskpor produk kayu ke Uni Eropa (Indonesia dan Uni Eropa 2017).

Perdagangan Kayu Berlisensi FLEGT

Dimulai dengan pemberlakuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 30/2016 dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 30/2016, yang mewajibkan untuk menggunakan dokumen V-Legal untuk ekspor kayu yang tercakup dalam VPA, merupakan wujud kesiapan Indonesia untuk memulai penerbitan lisensi FLEGT (Indonesia dan Uni Eropa 2017). Selain itu, ditambah dengan komitmen dari Presiden Indonesia Joko Widodo dan Presiden Komisi Eropa, Jean-Claude Juncker (Indonesia dan Uni Eropa 2017). Keduanya menegaskan komitmen, ketika perizinan FLEGT dimulai pada akhir tahun 2016. Hal tersebut terjadi, setelah disahkannya lisensi FLEGT Indonesia oleh JIC, kemudian dimulai penerbitan dari lisensi tersebut (Indonesia dan Uni Eropa 2017). Kemudian, pada Desember tahun 2016, Indonesia tercatat telah menerbitkan sejumlah 4.804 lisensi FLEGT untuk produk yang diekspor ke Uni Eropa, dengan berat total sebesar 1,7 juta ton dan senilai 125.8 juta dolar AS (Indonesia dan Uni Eropa 2017). Hal tersebut tidak terlepas dari upaya aktif dari Uni Eropa dalam mempromosikan pengakuan lisensi FLEGT terhadap pasar konsumen utama, seperti halnya mekanisme kerja sama yang dibangun melalui hubungan bilateral Uni Eropa-Tiongkok. Selain itu, pembentukan opini publik melalui berbagai pemberitaan di berbagai media juga dilakukan.22 Kemudian, terdapat adopsi yang dilakukan oleh para negara anggota Uni Eropa terhadap kebijakan pengadaan publik terkait promosi kayu legal (Indonesia dan Uni Eropa 2017). Pada tahun 2016 terdapat laporan dari evaluasi independen bahwa tercatat dua puluh negara anggota Uni Eropa yang

22 Terdapat sekitar 587 pemberitaan media di 50

negara dalam 11 bahasa. Seperti halnya yang

dilaporkan melalui BBC, New York Times, Wall

Street Journal, The Guardian, Daily Mail,

telah mengembangkan kebijakan pengadaan publik tersebut. Pada sudut pandang Indonesia, terdapat peningkatan dalam capaian SVLK yang berimbas pada perdagangan kayu legal. Pada Desember tahun 2016 terdapat 3.498 perusajaan dan industri berbasis kehutanan yang telah disertifikasi. Selanjutnya, terdapat tren impor produk kayu oleh Uni Eropa dari Indonesia yang menampilkan perputaran cukup baik selama Januari 2010 sampai dengan Februari 2017. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh ITTO, dapat diketahui bahwa pada beberapa negara di Uni Eropa, jumlah tonase impor mereka cukup dinamis, terdapat kenaikan dan penurunan.

Kesimpulan

Kebijakan Rencana Aksi EU FLEGT pada dasarnya merupakan inisiatif strategi pertama dari Eropa yang berfokus dalam menghentikan adanya ruang ilegal dalam pasar kayu Uni Eropa. Dalam Rencana Aksi EU FLEGT, melibatkan adanya tanggung jawab bersama antara negara eksportir dengan importir. Sehingga dapat melakukan kontrol, baik dari sisi permintaan maupun penawaran terhadap perdagangan kayu ilegal. Terdapat dua elemen kunci dalam Rencana Aksi EU FLEGT, yaitu Voluntary Partnership Agreement (VPA) dan European Union Timber Regulation (EUTR).

Dengan demikian, terdapat wilayah operasi dari Rencana Aksi FLEGT, meliputi (1) dukungan terhadap negara eksportir produk kayu, dengan menyediakan adnaya solusi terhadap permasalahan illegal logging; (2) mempromosikan adanya perdagangan legal, termasuk adanya pengembangan dan implementasi dari VPAs antara Uni Eropa dan negara eksportir kayu; (3) mempromosikan adanya kebijakan publik, termasuk membimbing para stakeholder yang berhubungan terhadap

Bangkok Post, China’s Global Times, Mongabay

com, Ecosystem Marketplace, Thomson Reuters,

Germany’s IHB and EUWID-Holz, Belgium’s

Fordaq dan UK’s Timber Trades Journal.

Page 15: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Mohammad Rizal Ilham Surur

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 110

legalitas kayu; (4) mendukung adanya inisiatif sektor privat, termasuk dalam mendorong mereka untuk melakukan hal yang baik dalam bidang kehutanan, seperti halnya penggunaan voluntary codes of conduct bagi perusahaan swasta dalam penggunaan sumber kayu legal; (5) menjaga alur pendanaan dan investasi, termasuk adanya aksi untuk mendorong bank maupun institusi finansial dalam berinvestasi pada sektor kehutanan, dengan tujuan pengembangan alur pemberian pinjaman; (6) pengguanaan instrumen legislatif atau melakukan adopsi terhadap undang-undang baru untuk mendukung Rencana Aksi FLEGT; dan (7) menangani adanya permasalahan dalam konflik kayu.

Pada dasarnya, dalam penulisan ini berusaha untuk menjelaskan adanya pengaruh dari Kebijakan Rencana Aksi EU FLEGT terhadap tata kelola hutan Indonesia. Melalui proses analisis yang dibangun, terdapat beberapa dampak yang diberikan oleh Kebijakan Rencana Aksi EU FLEGT terhadap ekonomi hijau Indonesia. Sebelumnya, terdapat empat jalur pengaruh yang digunakan oleh EU FLEGT dalam memengaruhi tata kelola perdagangan kayu global. Adapun terdapat empat jalur yang di usulkan oleh Bernstein dan Cashore, yaitu melalui (1) jalur peraturan internasional; (2) jalur norma dan diskursus internasional; (3) jalur pasar; dan (4) jalur langsung dalam proses pembuatan kebijakan domestik.

Selanjutnya, dalam melihat signifikansi pengaruh yang diberikan Rencana Aksi EU FLEGT terhadap tata kelola serta perdagangan kayu global. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya perubahan dalam peraturan perdagangan kayu, yang dapat menyebabkan ambiguitas pada proses transisinya menuju tata kelola baru. Salah satu kemungkinan yang dapat terwujud adalah adanya peningkatan arus barang substitusi terhadap produk yang dibatasi alurnya (seperti temperate hardwood lumber menggatikan tropical hardwood lumber) dan munculnya pengalihan tujuan dengan kerangka

peraturan yang kurang ketat—baik di dalam maupun di luar Uni Eropa. Hal tersebut memunculkan berbagai respon dari seluruh stakeholder yang terlibat di dalamnya. Pada dasarnya, perilaku negara terhadap Rencana Aksi EU FLEGT adalah menunjukkan tren positif. Meskipun, di sisi lain, ada yang melihat justru sebagai suatu hambatan tersendiri. Pada dasarnya terdapat dua alasan yang dapat menjadikan Rencana Aksi EU FLEGT dapat memengaruhi perdagangan kayu internasional. Pertama, terdapat adanya faktor lain selain VPA dan EUTR, seperti siklus bisnis, pergerakan nilai tukar, dan perbedaan dalam pertumbuhan ekonomi, serta permintaan berikutnya terhadap produk kayu. Kedua, adanya waktu implementasi yang masih terhitung singkat, sehingga susah untuk mendapatkan perhitungan tepat terkait dampak dan efektifitas dari Rencana Aksi FLEGT. Selain kedua faktor tersebut, juga ditambah dengan adanya dampak terhadap pengelolaan hutan dan implementasinya terhadap negara mitra. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, EU FLEGT-VPA memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan pengelolaan hutan bagi negara mitra. Beranjak pada kasus Rencana Aksi EU FLEGT-VPA dengan tata kelola hutan Indonesia. Adapun yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah, terdapat pengaruh yang signifikan pada tata kelola hutan Indonesia. Diantaranya diberikan melalui Rencana Asi EU FLEGT VPA, yaitu dalam beberapa aspek, diantaranya adalah dalam perubahan institusi serta tata kelola kehutanan, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), lisensi FLEGT, dan perdagangan kayu berlisensi FLEGT.

Meskipun demikian, tidak sepenuhnya penelitian ini dapat dikatakan sempurna. Terdapat beberapa kekurangan dalam penelitian ini. Diperlukan adanya penelitian lanjutan dalam menentukan indikator dan data pendukung yang ada. Ketiga, tingkat heterogenitas yang cukup tinggi dalam pengukuran ekonomi hijau dalam suatu negara, yang tidak terbatas dalam aspek kehutanan saja. Hal tersebut

Page 16: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU

111 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018

memunculkan adanya kelemahan dalam pengukuran dampak performa yang dihasilkan. Perbandingan dalam performa finansial sulit dilakukan karena untuk menghubungkan data dan mengumpulkannya menjadi satu dalam satu sistem rezim internasional tertentu. Hal tersebut dikarenakan adanya berbagai hambatan ekonomi dalam beberapa aspek yang sulit untuk diukur. Selanjutnya, terdapat kelemahan dalam penentuan jangka waktu yang dirasakan cukup dekat. Hal tersebut ditakutkan dapat memunculkan hasil yang dapat menimbulkan ambiguitas tertentu. Selain itu, penulis merasakan adanya

kesenjangan yang terjadi antara tataran penelitian yang dilakukan dengan kondisi riil dalam lapangan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh World Bank, penelitian yang hanya berlandaskan studi literatur dapat berbeda dengan temuan yang berada di lapangan (Toumbourou tt). Studi literatur pada umumnya hanya berfokus sampai pada tataran verifikasi legalitas pada penjualan kayu dan pengawasannya. Oleh karena itu, perbaikan dalam penelitian ini diharapkan dapat mencakup data yang lebih holistik dalam menghadapi kesenjangan tersebut.

Daftar Pustaka

[1] Anon. tt. "Annual Report FLEGT VPA - Progress Update, April 2015 - May 2016.", dalam Timber Legality Information System (TLIS). http://liu.dephut.go.id/app/Upload/informasisvlk/20160825/de1796e789fd7a7a08784c4b2745560e.pdf [Diakses pada 16 Februari 2018 pukul 13:49 WIB]

[2] Anon. tt. "Bilateral VPA Negotiations", [Online] dalam EU FLEGT Facility. http://www.vpaunpacked.org/bilateral-negotiations [Diakses pada tanggal 8 Maret 2018 pukul 19:21 WIB]

[3] Anon. tt. "Initialling, signing and ratification of a VPA", [Online] dalam EU FLEGT Facility. http://www.vpaunpacked.org/initialling [Diakses pada tanggal 8 Maret 2018 pukul 18:09 WIB]

[4] Anon. tt. "National VPA Negotiations", dalam [Online] EU FLEGT Facility. http://www.vpaunpacked.org/national-negotiations [Diakses pada tanggal 8 Maret 2018 pukul 20:22 WIB]

[5] Anon. tt. "Negotiation phase of a VPA process", [Online] dalam EU FLEGT Facility. http://www.vpaunpacked.org/negotiation [Diakses pada tanggal 8 Maret 2018 pukul 18:21 WIB]

[6] Anon. tt. "Pre-negotiation Phase of a VPA Process", [Online] dalam EU FLEGT Facility. http://www.vpaunpacked.org/pre-negotiation [Diakses pada tanggal 8 Maret 2018 pukul 18:20 WIB]

[7] Anon. tt. "The amendments to Annexes I, II, and V to the Voluntary Partnership Agreement between the European Union and the Republic of Indonesia on Forest Law Enforcement, Governance and Trade in timber products into the European Union", dalam http://liu.dephut.go.id/app/Upload/informasisvlk/20160515/9390a48784b54b384b51b6c

9c1fb3799.pdf [Diakses pada 16 Februari 2018 pukul 14:30 WIB]

[8] Anon. tt. "The Dynamics of VPA Processes", [Online] dalam http://www.vpaunpacked.org/dynamics-vpa [Diakses pada tanggal 8 Maret 2018 pukul 19:28 WIB]

[9] Anon. tt. "VPA Phases", [Online] dalam http://www.vpaunpacked.org/vpa-phases [Diakses pada tanggal 8 Maret 2018 pukul 19:31 WIB]

[10] Anon. tt. “The Indonesian Timber Legality Assurance System (Indo-TLAS/SVLK) Effective in Early 2013", dalam Timber Legality Information System (TLIS). http://www.sgs.com/en/news/2013/09/the-timber-legality-assurance-system-effective-in-early-2013 [Diakses pada 16 Februari 2018 pukul 14:22 WIB]

[11] Baker, Susan. Sustainable Development. Routledge, 2006.

[12] Baron, Elizabeth. “Beyond Green Capitalism: Providing an Alternative Discourse for The Environmental Movement and Natural Resource Management”, dalam Middle States Geographer, 38: 69-76. Rutgers University: Piscataway, 2005.

[13] Bernstein, S dan Cashore, B. "Complex global governance and domestic policies: four pathways of influence", dalam International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944), Vol. 88, No. 3, Rio+20 and the global environment: reflections on theory and practice (May 2012), pp. 585-604, 2012.

[14] Crawford, Beverly dan Lenway, Stefanie. “Decision Modes and International Regime Change: Western Collaboration on East West Trade”, dalam World Politics, Vol. 37, No. 3, pp 375-402, 1985.

[15] Duffield, L. and Ozinga, S. Making Forestry Fairer. A Practical Guide for Civil Society Organisations Taking Part in VPA Negotiations. FERN. 68pp, 2014.

[16] EFI (European Forest Institute). tt. "FLEGT Voulntary Partnership Agreement", dalam http://www.efi.int/files/attachments/euflegt/e

Page 17: Pengaruh Implementasi Rencana Aksi EU FLEGT-VPA Terhadap ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jahiec28a57ca7full.pdfJurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei

Mohammad Rizal Ilham Surur

Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7 No. 2, mei 2018 112

fi_newsroom_indonesia_faqs_ed.pdf (Diakses pada 15 Februari 2018 pukul 22:51 WIB)

[17] FAO. The Voluntary Partnership Agreement (VPA) Process in Central and West Africa: From Theory Tto Practice. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome, Italy. 58pp, 2014.

[18] Fasilitas FLEGT UE. Ringkasan Kebijakan 3 EFI: Apa yang Dimaksud dengan Kesepakatan Kemitraan Sukarela (Pendekatan Uni Eropa), 2009.

[19] Giessen, Lukas dan Buttoud, Gerard. Defining and assessing forest governance. Researchgate, 2014.

[20] Green, Penny et al. "Logging and Legality: Environmental Crime, Civil Society, and the State", dalam Social Justice, Vol. 34, No. 2 (108), Beyond Transnational Crime (2007), pp. 94-110, 2007.

[21] Indonesia dan Uni Eropa. 2011. “Kesepakatan Kemitraan Sukarela FLEGT antara Indonesia dan Uni Eropa: Informasi Ringkas”, dalam http://ec.europa.eu/europeaid/what/development-policies/intervention-areas/environment/forestry_intro_en.htm

[22] Indonesia dan Uni Eropa. 2016. Action Plan on Advancement of VPA Implementation

[23] Indonesia dan Uni Eropa. 2016. Laporan Tahunan Penerapan Kesepakatan Kemitraan Sukarela FLEGT Indonesia – Uni Eropa, Mei 2014-April 2015

[24] Indonesia dan Uni Eropa. 2017. Laporan Tahunan Mei 2015-Desember 2016: Penerapan Kemitraan Sukarela FLEGT Indonesia-Uni Eropa.

[25] Jonsson, Ragnar et al. “Assessment of the EU Timber Regulation and FLEGT Action Plan”, dalam From Science to Policy 1, European Forest Institute, 2015a.

[26] ______________. “EU Timber Regulation and FLEGT Action Plan: Lessons Learned and Policy Implications”, dalam From Science to Policy 1, European Forest Institute, 2015b.

[27] Kasztelan, Armand. Green Growth, Green Economy and Sustainable Development: Terminological and Relational Discourse.

Prague Economic Papers, 2017, 26(4), 487–499, 2017.

[28] Obidzinski, K. dan Chaudhury, M. "Transition to timber plantationbased forestry in Indonesia: towards a feasible new policy", dalam The International Forestry Review, Vol. 11, No. 1 (2009), pp. 79-87, 2009.

[29] Official Journal of the European Union. Voluntary Partnership Agreement: Between the European Union and the Republic of Indonesia on Forest Law Enforcement, Governance and Trade in Timber Products into the European Union, pp. 225-335, 2014.

[30] Othman, M. et al. FLEGT Voluntary Partnership Agreements. ETFRN News 53: 109–116, 2012.

[31] Sarsito, Agus. (Power Point). “Implementation of Indonesia TLAS – SLVK: Challenges and Way Forward”, dalam http://www.flegtweek.org/documents/179441/207267/Implementation+of+Indonesian+TLAS+%28SVLK%29+-+FLEGT+WEEK.pdf/885f93a8-3f83-4422-8fb2-10ea6858a509 (Ministry of Environment and Forestry Republic of Indonesia dipresentasikan dalam FLEGT VPA Week 16-19 March, Brussels)

[32] SGS. 2013. “The Indonesian Timber Legality Assurance System (Indo-TLAS/SVLK) Effective In Early 2013", dalam http://www.sgs.com/en/news/2013/09/the-timber-legality-assurance-system-effective-in-early-2013 (Diakses pada tanggal 18 Februari 2018 pukul 17:01)

[33] Toumbourou, Tessa. Meningkatkan Tata Kelola Hutan dan Lahan di Indonesia: Pendekatan Delphi untuk Mengidentifikasi Intervensi yang Paling Berhasil. The Asia Foundation, tt.

[34] UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development). "The Green Economy: Trade and Sustainable Development Implications", dalam Background note prepared by the UNCTAD secretariat for the Ad Hoc Expert Meeting, Geneva, Switzerland. 8-10 November 2011, 2011.