peranan kapita lau di kerajaan konawe (1725 1904) · c. implikasi skripsi terhadap pembelajaran...
TRANSCRIPT
i
PERANAN KAPITA LAU DI KERAJAAN KONAWE
(1725 – 1904)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Serjana
Kependidikan Pada Program Studi Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
OLEH:
RANTI AMIR
A1A2 08 014
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing I dan Pembimbing II serta
dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Program Studi Pendidikan
Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Haluoleo.
Kendari, 2012
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Aswati M., M.Hum Basrin Melamba, S.Pd.,M.A
NIP. 19621022 199003 2 002 NIP. 19771015 2005011 001
Mengetahui:
Ketua Jurusan Pendidikan IPS
Edy Karno, S.Pd., M.Pd
NIP. 19720817 200012 1 001
iii
SKRIPSI
PERANAN KAPITA LAU DI KERAJAAN KONAWE (1752-1904)
OLEH
Nama : RANTI AMIR
NIM : A1A2 08 014
Program Studi : Pendidikan Sejarah
Telah dipertahankan dihadapan Panitia Ujian Skripsi pada Program Studi
Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo pada hari Rabu tanggal 10
Oktober 2012, berdasarkan Surat Keputusan Dekan FKIP Unhalu Nomor:
1252/SK/UN29.1/PP/2012, tertanggal 05 Oktober 2012 dan dinyatakan Lulus.
PANITIA UJIAN
Tanda Tangan
Ketua : Dr. H. Mursidin T., M.Pdd (…………….…….....)
Sekretaris :Pendais Hak, S.Ag, M.Pd (…………….…...…..)
Anggota : 1. Drs. H. Abd Rauf Suleiman, M.Hum (……………...….…..)
2. Dra. Aswati M., M.Hum (……………....……..)
3. Basrin Melamba, S.Pd., M.A.H (……………....……..)
Kendari, Oktober 2012
Mengetahui,
Dekan FKIP Unhalu
Prof. Dr. La Iru, S.H., M.Si
NIP. 19601231 198610 1 001
iv
KATA PENGANTAR
Pujisyukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga skripsi
ini yang berjudul ―Peranan Kapita Lau di KerajaanKonawe (1725-1904)‖ di
bawah bimbingan Dra. Aswati M., M.Hum, dan Basrin Melamba, S.Pd, M.A.
masing-masing sebagai pembimbing I dan pembimbing II.
Banyak pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada orang tua tercinta,
Almarhum Amir Donggo dan Ibunda tercinta Minahasa, dan orang tua wali
Supriadi yang telah memberikan pengorbanan, perjuangan untuk menyekolahkan
penulis sejak kecil dan selalu memberi dorongan, semangat serta iringan do’a
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Begitu juga kepada kakak-
kakak penulis yang tercinta, Muli, Atin, Aco, Ramlan Amir, Masrudin serta adik-
adik yang tercinta Mira Asmara, Tasrin, dan Rut. Serta kepada keluaraga bapak H.
Mansur Ladanu A.Md, Hj. Sarimuna S.Pd, dan semua keluarga yang tidak dapat
penulis sebutkan yang selama ini telah memberikan kasih sayang, perhatian,
keikhlasan dan do’a yang diberikan.
Penulis mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada bapak Marudin
TahaS., S.Sos, selaku camat Sampara, Arsamid Al Ashur, Sapiudin Pasaeno, dan
H. Abdullah Djusin atas kesediaannya meluangkan waktunya untuk melakukan
wawancara dan memberikan keterangan kepada penulis sehubungan dengan data
yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
v
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini
tidak dapat terselesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya atas bimbingan dan arahan baik
yang berupa material ataupun moril sehingga penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan dalam proses perkuliahan sampai selesainya skripsi ini
secara berturut-turut:
1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S, selaku Rektor Universitas Haluoleo
2. Prof. Dr. La Iru, S.H., M.Si, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Haluoleo
3. Edy Karno, S.Pd, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial
4. Dra. Aswati M., M.Hum, selaku ketua program studi Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo.
5. Buhari La Bia, S.Pd, selaku staf Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo.
6. Seluruh staf pengajar di Program Studi Pendidikan Sejarah dan di lingkungan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo terkhusus
kepada Drs La Ode Baenawi, M.Pd selaku penasehat akademik penulis, terima
kasih atas didikan dan bimbingannya selama penulis menjadi mahasiswa.
7. Seluruh staf administrasi yang bertugas di lingkungan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo
vi
8. Rekan-rekan mahasiswa program studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo angkatan 2008, khususnya ―Pratiwi
Adnan, Anna Putri, Wilda, Asrianti, Ambo Sakka, NurLupiana S.Pd, Arman
07‖ dan semua teman-teman yang tidak dapat ditulis satu-persatu namanya,
yang telah memberikan dukungan moril.
9. Teman-teman yang tercinta Endri, Peri, Niken, Elis, Rahmi S.Sos, Tahlan
Indrajaya, Srirahayu, Nati, Putu, Risma, dan yang terkhusus Wawan Adrianto
yang telah memberikan dorongan dan motivasi.
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, karenaitu saran dan kritik yang konstruktif dari berbagai pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaannya, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi yang memerlukannya.
Demikian ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada semua
pihak yang telah diberikan kepada penulis semoga mendapat imbalan pahala yang
berlipat ganda dari Allah SWT, Amien YaRabbal Alamin.
Kendari, 2012
Penulis
vii
ABSTRAK
Ranti Amir (A1A2 08 014), dengan judul ―Peranan Kapita Lau di Kerajaan
Konawe, 1725-1904‖, dibawah bimbingan Dra. Aswati M., M.Hum dan Basrin
Melamba, S.Pd, M.A, masing-masing selaku Pembimbing I danPembimbing II.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah(1) Bagaimana latar belakang
terbentuknya Kapita Lau di kerajaan Konawe? (2) Bagaimana struktur
pelaksanaan tugas Kapita Lau di Kerajaan Konawe? (3) bagaimana Peranan dan
fungsi Kapita Lau di KerajaanKonawe?
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan
tahapan Heuristik (pengumpulan sumber sejarah), kritik sumber baik kritik
eksternal maupun internal, interpretasi dan Historiografi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa, latar belakang terbentuknya Kapita Lau
sejak masa pemerintahan Mokole Tebawo. Dibentuk dalam rangka mengamankan
wilayah kerajaan Konawe di kawasan laut termasuk sungai. Dan mengontrol
keamanan di beberapa kawasan pelabuhan tradisional kerajaan Konawe. Untuk
keperluan itu maka dibentuklah jabatan yang membidangi dan memimpin masalah
urusan kemaritiman kerajaan Konawe dengan Panglima Angkatan Laut (Kapita
Lau) atau juga lebih dikenal nama kapita Bondoala.
Struktur pelaksanaan tugas Kapita Lau di Kerajaan Konawe yaitu
merupakan pejabat dibawah Mokole yang diberikan jabatan menjadi wakil raja
yang menjabat jabatan Panglima Perang. Adapun wilayah-wilayah pemerintahan
Kapita Lau (Bontoala) berkedudukan di Sampara dan mempertahankan daerah-
daerah pesisir/pantai yaitu: Sampara, Poasia, Moramo, Kolono, Laeya, dan
Andoolo. Wilayah tersebut berada dalam kekuasaan dan tanggung jawab Sapati
Ranomeeto dan Kapita Lau untuk menjalankan pemerintahan dengan baik.
Adapun peranan kapita Lau di Kerajaan Konawe yaitu meliputi di bidang
pemerintahan, ekonomi, politik, Hankam dan sosial budaya. Peran dan fungsi
Kapita Lau di kerajaan Konawe yaitu: (a). Di bidang birokrasi dan politik
tradisional Konawe, ikut mengamankan stabilitas pemerintahan baik di wilayah
Kerajaan Konawe bahagian Timur (Ranomeeto) maupun daerah-daerah lainnya di
sekitar pantai Utara dan Selatan Kerajaan Konawe. (b) Di bidang ekonomi, ikut
menggerakkan roda perekonomian dalam lalu lintas perdagangan antara Kerajaan
Konawe dengan dunia luar seperti Bungku, Makassar, Ternate, Bone, dan Buton.
(c) Dibidang politik, ikut menstabilkan kekacauan yang timbul dalam Kerajaan
Konawe(d) Di bidang Hankam bersama-sama Buton dan Bone, menghadapi
serangan-serangan dari laut yang ingin menyerang kerajaan Konawe, Butonatau
Bone, terutama dengan Kerajaan Ternate, Banggai, Luwu, dan Selayar yang selalu
memihak kepada Kerajaan Gowa. (e) Di bidang sosial budaya, Kapita Lau
berperan untuk meningkatkan hubungan kekerabatan antara orang-orang Bugis-
Tolaki-Tiworo, melalui perkawinan. Selain peran tersebut, Kapita Lau juga
berfungsi sebagai panglima angkatan laut kerajaan Konawe digelar sebagai Kapita
Lau yang memiliki pasukan angkatan Laut ± 1000 orang, berkedudukan di
Pu’usambalu, Sambara (yang sekarang ini disebut Pohara).
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………. i
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ iii
KATA PENGANTAR …………………………………………………… iv
ABSTRAK ………………………………………………………………... vii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………...........……………… 1
B. Rumusan Masalah ......……………………………………... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ….......……………………... 6
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Kemaritiman …………………………………........ 8
B. Konsep Peranan …………………………………........……. 10
C. Konsep Pertahanan dan Keamanan ………….......………… 12
D. Teori Kepemimpinan………………….........………………. 13
E. Konsep Kepemimpinan Tolaki …........……………………... 14
F. Penelitian Terdahulu ……….......…………………………... 16
BAB IIIMETODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .....………………………… 21
B. Pendekatan Penelitian .....………………………………… 21
C. Langkah – langkahPenelitian ....………………………… 21
BAB IVGAMBARAN UMUM KERAJAAN KONAWE
A. Keadaan Geografis ......................................…………………. 25
B. Keadaan Demografis ....................................……………...... 27
C. Keadaan Sosial Budaya ........……………………………….. 32
D. Struktur Organisasi Pemerintahan Kerajaan Konawe ........…. 41
BAB VHASIL DAN PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Kapita Lau di Kerajaan Konawe......…….... 57
B. Struktur Pelaksanaan Tugas Kapita Lau di Kerajaan
Konawe ..……………………………………………….... 65
C. Peranan dan Fungsi Kapita Lau di Kerajaan Konawe .......… 72
a. Aspek Politik dan Birokrasi .....…………………………. 74
b. Peranan di bidang Ekonomi ............................................. 76
c. Dibidang Pertahanan dan Keamanan .....……………..... 78
BAB VIPENUTUP
A. Kesimpulan ..........…………………………………………. 85
B. Saran……………........…………………………………….. 87
C. Implikasi Skripsi Terhadap Pembelajaran Sejarah
Dan Muatan Lokal di Sekolah .................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia pada dasarnya tidak dapat melepaskan diri dari sejarah, sebab
sejarah merupakan petunjuk dalam perjalanan menyongsong kehidupan sekarang
dan kehidupan akan datang. Sejarah membantu dalam memahami dan
merekontruksi peristiwa.Peristiwa yang terjadi pada masa lampau baik sejara
individual maupun kelompok, yang kemudian dijadikan pedoman dalam
melaksanakan kegiatan dimasa kini.
Dalam perspektif kesejarahan, pembangunan disegala bidang kehidupan
yang sedang giat-giatnya dilaksanakan, merupakan mata rantai perjalanan sejarah
bangsa indonesia pada masa lampau. Dengan demikian, pembangunan yang
tengah dilaksanakan itu merupakan rangkaian perjalanan masa lampau dari
bangsa kita yang bukan hampa akan nilai-nilai sejarah. Realitas kehidupan masa
lampau yang dapat dipersaksikan hingga masa kini perlu kiranya diungkapkan
secara jelas melalui penelitian ilmiah. Oleh karena itu, kehadiran ilmu sejarah
sangat penting untuk mengungkapkan dan menuntun pemahaman kita tentang
berbagai aktivitas manusia baik dari segi ekonomi, sosial-budaya dan segi politik
maupun pertahanan keamanan.
Khusus bidang pertahanan dan keamanan sebagai unsur penting dalam
perkembangan kehidupan suatu masyarakat manusia, baik secara individual
maupun secara kolektif. Hal ini merupakan salah satu segi kehidupan manusia
yang perlu dikaji ulang agar diperoleh pengetahuan tentang berbagai usaha
2
menangkal berbagai serangan, tantangan dan hambatan yang dapat mengacaukan
kehidupan masyarakat.
Sudah merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap
orang selalu berusaha untuk melindungi diri demikian pula suatu bangsa, negara
maupun kerajaan pada masa lampau, selalu berusaha mempertahankan diri dengan
sistem pertahanan dan keamanan yang sebaik-baiknya.
Dalam upaya mempertahakan diri tersebut maka setiap bangsa, negara
atau kerajaan di dunia ini tentu saja akan mempunyai pola sistem pertahanan dan
keamanan yang berbeda-beda tergantung pada situasi dan kondisi geografis dan
karakter pimpinan yang sedang memegang tampuk pemerintahan.
Demikian pula Bangsa Indonesia dengan sistem pertahanan dan keamanan
yang dikembangkannya mempunyai perbedaan yang mencolok dengan bangsa-
bangsa lain di dunia. Dalam uapaya memperkuat sistem pertahanan dan keamanan
khususnya dalam menangkal musuh atau serangan bangsa lain, maka bangsa
Indonesia sangat memperhatikan kondisi geografis disamping kekuatan-kekuatan
lain yang kesemuanya terwujud dalam sistem pertahanan keamanan rakyat
semesta.
Kepulauan Indonesia yang terletak antara benua Asia dan Australia sering
diumpamakan sebagai sebuah jembatan diantara kedua benua tersebut. Kepulauan
Indonesia terletak antara garis lintang utara dan garis Lintang Selatan serta
dan garis Bujur Timur, merupakan gugus kepulauan terbesar di dunia.
Daratan Indonesia kurang lebih 1.904.000 kilo meter persegi, dibagi menjadi
empat satuan geografis. Satuan pertama, meliputi kepulauan Sumatra Barat, yaitu
3
Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi, termasud pulau-pulau kecil di
sekitarnya. Satuan kedua meliputi, kepilauan Sunda Kecil, yaitu pulau-pulau
disebelah tenggara, dari Lombok sampai timur (Suroyo, 2007: 23-24)
Sehingga sejarah maritim memegang peranan penting dalam upaya
menelusuri hubungan lintas budaya antara satu komunitas dengan komunitas lain,
baik antar daearah maupun antar pulau, yang menjadi dasar bagi proses integrasi;
dan dalam perjalanan waktu menjadi satu bangsa Indonesia (dahulu disebut
Nusantara) merupakan gugusan kepulauan yang menempatkan laut sebagai
penghubung, dan bukan sebagai pemisah (Suroyo, 2007)
Pada masa lampau di Indonesia terdapat banyak kerajaan-kerajaan yang
tersebar diberbagai daerah. Tercatat dalam sejarah bahwa di Indonesia terdapat
banyak kerajaan-kerajaan besar maupun kerajaan kecil. Diketahui dalam sejarah
bahwa dua kerajaan besar yaitu Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kedua
kerajaan itu memiliki kontribusi yang besar dalam perjalanan sejarah bangsa
Indonesia karena dua cikal-bakal Negara Indonesia adalah berasal dari kedua
kerajaan tersebut. Kerajaan Sriwijaya tercatat dalam perkembangannya banyak
menguasai beberapa daerah kekuasaan. Hal itu dikarenakan selain kerajaan
Sriwijaya memiliki pasukan yang hebat juga peran seorang raja yang dibantu oleh
beberapa penjabat kerajaan salah satunya adalah peran mentri (Senopati). Hal
tersebut juga terjadi pada sistem pemerintahan kerajaan Majapahit yang berkuasa
hampir seluruh wilayah di Nusantara pada masa lalu karena peran raja dan peran
para pejabat atau perdana mentri (Senopati).
4
Dengan latar belakang kebesaran dan kejayaan yang pernah diraih oleh
Kerajaan tersebut, dan sebagai suatu episode dalam mata rantai sejarah masa lalu
Nusantara, maka sudah tentu kronologis peristiwa maupun Kerajaan tersebut
sangat penting diungkapkan keberadaannya dan keterkaitannya dengan Sejarah
Nasional, peristimewa dalam kaitannya dengan soal peranan dan nilai-nilai
kepemimpinan dari para pemimpinnya.
Dengan kajayan sejarah maritim diawali dari masa kerajaan maritim
Sriwijaya hingga kerajaan-kerajaan Aceh, Goa (Makassar), dan Ternate terlihat
sebuah benang merah hubungan pelayaran dan perdagangan antar pulau; diikuti
dengan hubungan ekonomi, sosial, budaya, serta pasang surut kekuasaan politik.
Sehingga proses tersebut menghasilkan integrasi yang bersifat regional, sebuah
embrio menuju integrasi nasional pada masa Indonesia merdeka.
Nilai-nilai kepemimpinan dan kesejarahan lainnya dari para pemeran
sejarah Kerajaan tersebut terasa penting untuk diangkat kepermukaan khususnya
kerajaan Konawe. Sejarah Kerajaan Konawe beserta para tokoh-tokoh
pemerannya telah banyak diungkapkan oleh penulis Sejarah Lokal di daerah ini,
namun upaya-upaya tersebut masih perlu untuk ditingkatkan baik dari segi
kuantitas maupun kualitas penelitiannya. Salah satu aspek kesejarahan Kerajaan
Konawe yang nampaknya masih perlu untuk ditingkatkan intensitas penelitiannya
adalah peranan dari segi-segi kepemimpinan dari beberapa tokoh legendaris
Kerajaan Konawe lainnya selain seperti Raja Tebawo dan Raja Lakidende sudah
diketahui tokoh-tokoh tersebut sangat besar fungsi dan peranan mereka dalam
mendukung keberhasilan Raja dalam memimpin Kerajaan.
5
Istilah Sulawesi tenggara sebagai kawasan secara historis dibentuk oleh
posisi geografis dan peran kekuasaan lembaga kerajaan (Rabani, 2010: 15). Pada
masa lampau pernah ada beberapa kerajaan diantaranaya seperti Kerajaan Buton,
Kerajaan Muna, kerajaan Konawe, dan Kerajaan Mekongga. Pada masing-masing
kerajaan tersebut, dapat kita amati ketika raja dalam menjalankan
pemerintahannya di bantu oleh beberapa penjabat kerajaan. Kerajaan atau
kesultanan Buton, raja dibantu oleh beberapa orang mentri (bonto/bontona),
sedangkan pada kerajaan Konawe raja biasa dibantu oleh tangan besi raja
(Kapita), begitu pula di kerajaan Konawe, yang dibantu oleh “Siwole Mbatohu
dan Opitu Dula batuno Konawe” atau yang disebut Empat Sisi Wilayah Besar dan
Tujuh Dewan Kerajaan Konawe (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 49).
Dibeberapa daerah di kenal jabatan yang mempunyai masalah pertahanan
dan keamanan di laut seperti di Buton di kenal Kapita Lao, sedangkan di Kerajaan
Konawe Sejak zaman Mokole Tebawo kerajaan Konawe telah membentuk
panglima angkatan laut yang disebut Kapita Lau atau juga lebih dikenal Kapita
Bondoala. Berkedudukan di Pu’usambalu Sambara/Sampara. Pada zaman itu
dijabat oleh Haribau dengan gelar Kapita Bondoala (Melamba, Aswati, dkk, 2011:
54)
Aspek permasalahan dan kajian Peran Kapita Lau mengingat luasanya
ruang lingkup permasalahan serta untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
dalam pembahasan masalah penelitian ini, oleh karena itu untuk membatasi dan
menghindari permasalahan itu, tulisan ini membatasi pembahasan dari tahun
1725-1904. Penetapan temporal tahun 1725-1904 karena pada kurun waktu
6
tersebut dibentuknya suatu jabatan dimana Kapita Lau (Panglima Angkatan Laut)
yang memiliki peran yang cukup besar di Kerajaan Konawe. Batasan Spasial
(tempat) dalam penelitian ini mencakup lokalitas kawasan Konawe dengan spasial
penelitian pada kelurahan Sampara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe yang
merupakan tempat kedudukan Kapita Lau (Panglima Angkatan Laut). Sedangkan
batasan tematis dalam penelitian ini adalah sesuai dengan permasalahan dalam
penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana latar belakang terbentuknya Kapita Lau di Kerajaan Konawe?
b. Bagaimana struktur pelaksanaan tugas Kapita Lau di kerajaan Konawe?
c. Bagaiman peranan dan fungsi Kapita Lau di Kerajaan Konawe?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui latar belakang terbentuknya Kapita Lau di Kerajaan
Konawe
b. Untuk mengetahui sturktur pelaksanaan tugas Kapita Lau Kerajaan
Konawe
7
c. Untuk mengetahui peran dan fungsi Kapita Lau terhadap Kerajaan
Konawe
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang disusun dalam bentuk karya tulis ilmiah ini
diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Bermanfaat sebagai bahan masukan untuk memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan tentang sejarah lokal daerah Sulawesi Tenggara khususnya
peran Kapita Lau di Kerajaan Konawe
b. Manfaat Praktis
1. Bagi kalangan pemerintah, yaitu sebagai bahan masukan dan
sumbangan pemikiran melalui istansi terkait untuk dijadikan bahan
dokumen dalam upaya melestarukan nilai-nilai sejarah yang
terkandung dalam Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara umumnya dan
Sejarah Konawe Khususnya sebagai bagian dari Kebudayaan
Nasional.
2. Bagi kalangan akademis, yaitu sebagai bahan masukan dan
sumbangan pemikiran serta bahan perbandingan dalam penelitian
tentang sejarah lokal/daerah yang telah ada sebelumnya, khususnya
yang berkaitan tentang sejarah masa lalu Kerajaan Konawe.
3. Bagi kalangan masyarakat, sebagai bahan informasi kepada
masyarakat luas, khususnya masyarakat Konawe tentang Peran
Kapita Lau di Kerajaan Konawe.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Kemaritiman
Laut tidak hanya sebagai alat pemersatu bangsa, tetapi ia juga telah
memainkan peranan yang besar dalam sejarah pertumbuhan masyarakat dan
bangsa Indonesia. Lewat laut pula berbagai peradaban dan kebudayaan dari
berbagai belahan dunia, seperti India, Cina, Arab, dan kemudian dari Eropa
masuk kenegara ini. Di samping itu, Laut juga menjadi lahan tempat sebagian
besar orang Indonesia, langsung atau tidak langsung mencari nafkah.
Menurut Gusti Asnan (2007: 6) dunia maritim adalah sebuah dunia yang
luas, dalam, sukar ditebak sebab ia bisa tenang memberikan kedamaian dan rezeki
bagi anak manusia. Hal ini seperti yang dikemukakan A.B. Lapian (dalam Gusti
Asnan, 2001: 7) bahwa ada tujuh aspek maritim yang berlaku didalam masyarakat
di berbagai pelosok dunia, yaitu perdagangan, pelayaran, perkapalan, tradisi
bahari, mitologi laut, perompakan dan perikanan. Sedangkan Baharuddin Lapo
Menambahkan satu aspek lagi, yakni hukum laut.
Seperti yang dikemukakan oleh Suwardi (2008: 123) dalam bukunya yang
bejudul Mengabdi pada Ilmu dan Profesi Sejarah mengenai Bugis dalam sejarah
di kepulauan ini, jika dikaitkan dengan kemaritiman dam migrasi,orang Bugis
sepertinya tidak bisa dilepaskan dengan laut.
Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga
Merauke. Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3
mil laut dari garis pantai (Coastal Baseline) setiap pulau, yaitu perairan yang
9
mengelilingi Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda. Namun
ketetapan batas tersebut, yang merupakan warisan kolonial Belanda, tidak sesuai
lagi untuk memenuhi kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik
Indonesia. Atas pertimbangan tersebut, maka lahirlah konsep Nusantara
(Archipelago) yang dituangkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13
Desember 1957 (Sumber : Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan
Berkelanjutan Indonesia, Rokhmin Dahuri, 2003)
Seperti dalam pepata Melayu mengatakan: ―Kalau tak ada laut, hampalah
perut” “kalau tak ada hutan, binasalah badan” “kalau binasa hutan yang lenbat,
rusak lembaga hilanglah adat” (Suardi MS, dkk, 2008: 81)
B. Konsep Peranan
Istilah peranan dapat diartikan sebagai serangkaian aksi-aksi yang
dilakukanoleh seseorang atau kelompok orang yang diberi tugas dan kekuatan
untuk menjadi ―bapak masyarakat‖ dalam menjalankan fungsi-fungsi kepercayaan
dan wewenang yang diberikan kepadanya. Peranan juga lebih cenderung dimaknai
sebagai suatu perilaku seseorang dalam suatu kegiatan atau aktifitas tertentu.
Peranan ialah perilaku yang diharapkan oleh orang lain dari seseorang
yang menduduki status tertentu. Peranan-peranan yang tepat dipelajari sebagai
bagian dari proses sosialisasi dan kemudian diambil alih oleh individu (Cohen,
1983: 82).
Dengan demikian, peran adalah suatu pola tindakan sebagai suatu respon
yang ditampilkan oleh seseorang atau sekelompok orang, dimana tindakan ini
membawa suatu efek atau dampak. Senada dengan itu, Koentjaraningrat dalam
10
Saragih (1990: 172) bahwa peran adalah ciri khas yang ditampilkan atau
dipentaskan oleh individual dalam kedudukannya dimana ia berhadapan dengan
individu-individu lain dalam kedudukannya. Selanjutnya peranan dirumuskan
sebagai suatu rangkaian perilaku yang teratur, yang ditimbulkan karena suatu
jabatan tertentu atau karena adanya suatu organisasi.
Sejalan dengan itu maka peranan pada hakekatnya dapat diartikan sebagai
wujud pelaksanaan dari fungsi dan status seseorang atau sekelompok orang yang
menonjol dalam suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Pendapat Gros
Etol yang dikutip oleh Paulus Wirutomo (1982: 99) mengemukakan pengertian
peranan sebagai perangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang
meliputi kedudukan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan
hubungan dari norma-norma dalam masyarakat. Maksudnya kita diwajibkan
melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat dalam pekerjaan kita,
didalam keluarga kita dan di dalam peranan-peranan lainnya.
Selanjutnya Merton dalam Saragih (1990: 32) berpendapat bahwa peran
(role zet) yang dimainkan seseorang akan mencakup beberapa hal, yaitu (1) posisi
dan status seseorang dalam struktur sosial tertentu, (2) presepsi bagaimana
seseorang dalam memandang peranannya, dan (3) tata cara memainkannya dan
berbagai harapan yang muncul dalam masyarakat terhadap peran yang dimainkan.
Status ialah kedudukan sosial individu dalam suatu kelompok atau biasa
juga diartikan sebagai suatu tingkat sosial dari suatu kelompok dibandingkan
dengan kelompok-kelompok lainnya. Kedudukan status individu akan
11
menentukan hak-hak dan hak-hak istimewa seseorang dalam masyarakat (Cohen,
1983: 82).
Bertolak dari berbagai konsep peranan diatas, maka dalam kaitannya
dengan peranan Kapita Lau di Kerajaan Konawe sebagai panglima angkatan laut
dengan menampilkan kinerja yang diharapkan dalam melaksanakan tugas-
tugasnya dengan baik
C. Konsep Pertahanan dan Keamanan
Sistem pertahanan dan keamanan baik ditinjau secara individu kelompok
bahkan pada seluruh Negara memiliki arti penting bagi kelangsungan kehidupan
manusia. Mereka berusaha untuk berbuat baik, dari segi lahiriah dan batiniah
untuk mempertahankan diri atas berbagai ancaman yang datang dari luar maupun
dari dalam. Dari pernyataan tersebut maka pertahanan merupakan salah satu
upaya pencapaian ketahanan nasional suatu bangsa.
Ketahanan nasional adalah kondisi dimana suatu bangsa selalu dinamis
yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu menyeimbangkan ketahanan
nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan,
dan gangguan baik dari dalam maupun dari luar yang langsung maupun tidak
langsung yang membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup
bangsa dan Negara (Surbakti Akhadiat, 1984: 42).
Berdasarkan pendapat diatas dapat memberikan pemahaman bahwa
pertahanan dan keamanan suatu bangsa atau kerajaan mutlak diperlukan adanya,
karena pertahanan dan keamanan dapat memegang peranan yang sangat penting
dan cukup strategis dalam pemerintahan suatu Negara atau kerajaan. Demikian
12
pula dengan keberadaan Kapita Lau di Kerajaan Konawe mempunya peranan
yang sangat penting dan cukup strategis dalam meningkatkan sistem pertahanan
dan keamanan Kerajaan Konawe, baik dalam bidang kelautan, maupun dalam
bidang sosial budaya, sebagaimana Tugas Kapita Lau (panglima angkatan laut)
yang menjunjung tinggi stabilitas keutuhan Kerajaan Konawe.
D. Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan mengandung suatu pengertian kemampuan seseorang
untuk menuntun atau membimbing orang lain baik secara individu maupun secara
kelompok. Oleh karena itu kepemimpinan muncul bersamaan dengan lahirnya
kelompok atau organisasi. Sehubungan dengan itu Pamudji (1986: 152)
mengemukakan bahwa seorang pemimpin menggerakkan pengikut dengan
harapan bahwa ia berhasil mencapai tujuan organisasi akan dapat menguntungkan
sehingga setiap anggota masyarakat akan terjadi suatu interaksi. Sejalan dengan
itu Yayat Hayati (2008: 2) mengemukakan bahwa dalam setiap organisasi terdapat
tiga unsur dasar yaitu:
a) orang-orang (sekumpulan orang)
b) kerja sama
c) serta tujuan yang akan dicapai
Seorang pemimpin harus ditopang oleh unsur-unsur yang bersumber dari
dalam dirinya (bakat atau sifat) dan kondisi sosial sekitarnya. Kedua unsur akan
bersatu dan berproses sampai tampilnya seseorang menjadi pemimpin. Sejalan
dengan itu munculnya seorang pemimpin dalam suatu masyarakat yang
membangun karena ia memiliki sifat-sifat karismatik, yaitu timbul karena
13
kesaktian atau kekuatan yang dianggap luar biasa, yang menurun sebagai warisan
dari leluhurnya. Sejalan dengan itu Uchajana (1986: 32) mengemukakan bahwa,
sebuah kepemimpinan tradisional adalah pemimpin yang tumbuh berdasarkan
sejarah.
Selanjutnya Kartono (2003: 49) mengemukakan bahwa ―kepemimpinan‖
adalah kegiatan mempengaruhi orang orang agar mereka mau melakukan kerja
sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan, kepemimpinan adalah kegiatan
yang mempengaruhi orang-orang agar mereka berusaha mencapai tujuan-tujuan
kelompok, kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia,
dan kemampuan kemampuan untuk membimbing orang. Sejalan dengan itu
Suradinata (1995: 11) mengemukakan, kepemimpinan adalah kemampuan
seorang pemimpin untuk mengendalikan, mempengaruhi pikiran, atau tingkah
laku orang lain dan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Selanjutnya Pasolong (2010: 5) mengemukakan bahwa, kepemimpinan
adalah cara atau teknik yang di gunakan pemimpin dalam mempengaruhi pengikut
atau bawahannya dalam melakukan kerja sama mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
Dari uraian di atas dapat member pemahaman bahwa kepemimpinan lahir
sebagai ekspresi kharismatik dari sifat yang dimiliki oleh seseorang, sehingga
mampu memberikan gemah kepada orang lain untuk tunduk dan patut terhadap
segala tindakannya. Kharismatik yang dimilikinya dapat dijadikan sebagai suatu
kekuatan yang mempengaruhi orang yang dipimpinnya, sehingga menjadikan
14
pemimpin itu semakin memperkokoh kekuasaannya, dan semakin kuat kekuasaan
seseorang semakin tinggi pula kualitas kepemimpinan yang dimilikinya.
E. Konsep Kepemimpinan Tolaki
Sondang P. Siagian (2003: 43) mengemukakan bahwa seorang pemimpin
yang demokratik, dihormati dan disegani dan bukan ditakuti karena perilakunya
dalam kehidupan organisasional mendorong para bawahannya menumbuhkan dan
mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Efektivitas kepemimpinan dari
para pemimpin yang bersangkuntan merupakan suatu hal yang sangat didambakan
oleh oleh semua pihak organisasi atau didalam kepemimpinan suatu Kerajaan.
Selanjutnya Uchjana (1981: 1) menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan
proses kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau
mengontrol perasaan atau tingkah laku orang lain. Kepemimpinan tradisional
hanya dijumpai pada masyarakat besar maupun pada masyarakat kecil, contohnya
kepemimpinan tradisional Kapita Lau (panglima angkatan laut) di Kerajaan
Konawe.
Sejalan dengan itu, Abdurrauf Tarimana (1993: 189-191) mengemukakan
bahwa dasar dan tujuan kepemimpinan Tradisional Orang Tolaki, adalah: (1)
petono’a (kemanusiaan), yakni kemanusiaan menurut pe’oliwi ari ine mbue
(ajaran dari pesan-pesan leluhur), (2) ponano ana niowai, tono nggapa, rome-
romeno wonua (kehendak orang banyak), dan (3) medulu, mepoko’aso (kesatuan
dan persatuan). Secara konstitusional dasar kepemimpinan itu adalah ajaran adat,
yang tercakup dalam Kalo sebagai pu’uno o sara (adat pokok orang tolaki). Kalo
15
sebagai adat pokok adalah sumber dari segala adat-istiadat orang tolaki yang
berlaku dalam semua aspek kehidupan mereka (1993: 191)
Adapun tujuan kepemimpinan dalam masyarakat Tolaki tersebur di atas
adalah mewujudkan masyarakat yang bersatu, makmur, dan sejahtera. Orang
Tolaki menggambarkan wujud masyarakat yang bersatu sebagai suatu masyarakat
di mana hubungan antara orang seorang, keluarga dengan keluarga, dan golongan
dengan golongan senantiasa terjalin suasana yang disebut medudulu (saling
bersatu), mete’alo-alo (saling menanam budi), samaturu (saling ikut serta dalam
usaha kepentingan bersama), mombeka pona-pona ako (saling harga menghargai),
dan mombekamei-meiri’ako (saling kasi mengkasihi). Mereka juga
menggambarkan wujud masyarakat yang makmur melalui apa yang disebut
suasana mondaweako (padi melimpah), kiniku nebanggona (banyak kerbau,
ternak melimpah), olo waworaha (banyak kebun tanaman jangka panjang),
tapohiu o epe (banyak areal tanaman sagu), kadu mbinokono (cukup barang-
barang pakaian dan perhiasan), melaika’aha (mempunyai rumah yang besar),
ndundu karandu tumotapa rari (bunyi gong di tengah malam, tawa dan teriakan
yang ramai dalam pesta).
Dalam usaha mewujudkan ketiga tujuan kepemimpinan dalam masyarakat
Tolaki, seorang pemimpin tradisional orang tolaki harus mampuh menjalankan
tiga prinsipkepemimpinan yang disebut: mo’ulungako (mengajak orang banyak
yang dipimpinnya), mohiasako (menggerakkan tenaga orang banyak yang
dipimpinnya), dan momboteanako (mengmbala orang banyak yang dipimpinnya).
Sebagai seorang pemimpin yang mengajak orang banyak, maka ia adalah seorang
16
yang disebut positaka (tauladan yang baik bagi orang banyak); demikuan sebagai
seorang pemimpin yang menggerakkan orang banyak, maka ia adalah seorang
yang disebut pohaki-haki (pemberi semangat bagi orang banyak), dan begitu pula
sebagai seorang pemimpin mengembala orang banyak, maka ia adalah seorang
yang disebut tani’ulu (pemegang tali kendali) (Tarimana, 1993: 189-191)
F. Penelitian Terdahulu (Historiografi)
Pada penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Abdul Kadir
Laossong dengan judul skripsi Peranan Barata Lohia Terhadap Kerajaan Muna.
Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kerajaan Muna pada zaman dahulu
merupakan salah satu kerajaan yang ada di Nusantara yang memiliki sistem
pertahanan keamanan yang strategis disebut Barata. Barata tersebut merupakan
basis pertahanan yang ada di lingkungan kerajaan Muna. Barata-barata tersebut
terdiri dari Barata Lohia, Barata Lahontohe, dan Barata Wasolangka. Ketiga
Barata tersebut merupakan tempat yang sangat strategis dan memiliki daya
pendukung di bidang pertahanan keamanan dalam menjaga integrasi kerajaan
Muna.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Alimudin dengan judul skripsi
Peran Bontona Pada Masa Kesultanan Buton (1538-1960). Dalam penelitiannya
mengatakan bahwa Bantona Siompu awalnya adalah sebuah kerajaan kecil
disekitar wilayah Kerajaan Buton. Namun kemudian Bantona Siompu bergabung
menjadi anggota Siolimbona dan menyatakan bernaung dibawa kekuasaan
kerajaan Buton disebabkan adanya ancaman besar dari bajak laut Tobelo.
17
Bergabungnya Kerajaan Siompu di bawah pemerintahan kerajaan Buton
membuat status siompu berubah dari kerajaan menjadi Kadie atau wilayah bagian
kekuasaan Buton yang dikepalai oleh seorang Bonto. Setelah Siompu bergabung
di Kerajaan Buton kemudian menambah eksistensi Buton menjadi semakin kuat
untuk membendung serangan bajak laut Tobelo.
Hal ini membuat Siompu memegang peranan penting dalam
mempertahankan keutuhan wilayah kerajaan Buton. Peranan Bontona Siompu
diantaranya dalam pemerintahan sebagai kepala kadie, dalam bidang pertahanan
yaitu membantu Matana Surumba Wabula di daerah pertahanan bagian selatan,
dibidang pelayaran dan perdagangan mengurus kegiatan izin pelayaran dan
perdagangan, sedangkan dibidang sosial dan budaya sebagai tokoh masyarakat
Siompu yang mengurus tentang pendidikan, agama dan ekonomi masyarakat.
Penelitian lain, yaitu penenlitian yang telah dilakukan oleh Gatrima di
kerajaan Konawe. Dengan judul Perana Taridala sebagai Kapita Ana Molepo atau
Panglima Angkatan Darat pada masa Pemerintahan raja Tebawo di Kerajaan
Konawe.
Dalam penelitiannya ia mengemukakan bahwa Kapita Ana Molepo adalah
jabatan yang diberikan oleh kerajaan Konawe kepada Taridala sebagai panglima
angkatan darat yang bertugas dan bertanggung jawap kepada raja Tebawo di
bidang pertahanan dan keamanan kerajaan. Taridala bukan hanya sebagai
panglima angkatan darat (Kapita Ana Molepo) tetapi juga sebagai dewan
penasehat raja/kerajaan (O’Pitu Dula Batu) yang berkedudukan di Uepay.
18
Peranan Kapita Anamolepo dalam soal taktik dan strategi pertahanan dan
keamanan kerajaan lebih banyak diarahkan pada tugas-tugas memulihkan
kedaulatan wilayah kerajaan sehingga hampir seluruh masa jabatannya dihabiskan
dimedan pertempuran guna merebut kembali daerah-daerah yang diduduki atau
ingin memisahkan diri itu, dengan memimpin langsung peasukan kerajaan selama
kurang lebih 2 tahun lamanya. Namun setetelah berhasil merebut kembali
wilayah-wilayah tersebut kemudian Taridala menghilang beberapa tahun karena
berselisi dengan raja Tebawo.
Kemudian Gatriama mengemukakan bahwa selain memainkan peranan
yang sangat besar dalam pemulihan kedaulatan kerajaan Konawe melalui berbagai
taktik dan strategi pertahanan dan keamanan yang diterapkannya, juga Taridala
membantu stabilitas politik dalam negeri, bidang penyelenggaraan pemerintahan,
bidang sosial budaya dan juga bidang ekonomi bersama-sama dengan aparat
kerajaa lainnya. Keberhasilan Taridala dalam menjalankan tugas Fungsionalnya
sebagai panglima angkatan darat kerajaan Konawe selai didorang oleh factor
kekeluargaan yang dekat (putra raja Tebawo dari istri ketiga) juga lebih
disebabkan oleh factor kepemimpinan yang memiliki sifat-sifat pemberani. Tegar,
jujur, karismatik, adil, demokratis tapi tegas, arif dan bijaksana.
Kemidian penelitian yang dilakukan oleh Nurlupiana dengan judul
Peranan Tutuwi Motaha (Pengawal Raja) di Kerajaan Konawe pada Abad XVII-
XX. Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa jabatan Tutuwi Motaha atau
komandan pengawal kerajaan di Istana muncul sejak abad ke-17 pada masa
pemerintahan Mokole Tebawo (Sangia Inato). Tutuwi Motaha masuk dalam
19
struktur Opitu Dula Batuno Konawe.Berkedudukan di Anggaberi yang pertama
kali dijabat oleh Pakandeate atau Inowehi. Pada masa Lakidende II pejabat Polapi
Wungguaro dan Petumbu Lara Dati digabung kedalam jabatan Tutuwi Motaha
bertindak sebagai pimpinan pengawal kerajaan di istana.
Nurlupiana juga mengemukakan bahwa peran dan fungsi Tutuwi Motaha
ini yaitu: 1) berfungsi sebagai panglima pertahanan kerajaan Konawe
dilingkungan istana, 2) sebagai protokoler kerajaan seperti mengatur rapat,
perjalana Mokole atau raja, 3) mengamankan lingkungan istana, raja dan
keluarganya. Perannya yaitu: 1) bersama Taridala (Kapita Anamolepo)
memadamkan pemberontakan Surumaindo di Lawata, 2) membantu kerajaan
Bone pada saat perang dengan Goa sehingga mendapat gelar Pakanre Ate
(Pakandeate) artinya pemakan hati, 3) fungsi lainnya sebagai penutup, menjaga,
dan melestarikan kelangsungan kerajaan. Sifat-sifat jabatan Tutuwi Motaha yaitu
memangku jabatan secara teruji, tabah, ulet, berani, cekatan dalam hal sebagai
pendamping Mokole, dan bertanggung jawab terhadap keamanan raja.
Kondisi jabatan Tutuwi Motaha sesudah kemunduran kerajaan Konawe
yaitu pada masa Lakindende II tetap berlangsung meski pejabat Tutuwi Motaha
ini menjadi pelaksana raja dengan beberapa faktor sehingga beliau menjadi
pelaksana raja dan melaksanakan beberapa kebijakan yaitu mengetus beberapa
bangsawan Konawe membuka dan memimpin wilayah. Selanjutnya jabatan
Tutuwi Motaha ini dilanjutkan oleh Saria (putra Pakandete), dilanjutkan oleh
Pagala, kemudian dijabat oleh Saranggai dan terakhir dijabat oleh La Andara
20
mulai dari Hindia Belanda hingga berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di
Konawe/Laiwoi.
Dengan bertolak pada penelitian yang telah dilakukan oleh Abdul Kadir
Lassong, Alimudin, Gatrima dan Nurlupiana telah banyak memberikan motivasi
bagi peneliti untuk mengungkapkan sejarah Kapita Lau di Kerajaan Konawe dan
historiografi tentang Panglima Angkatan Laut belum banyak diungkapkan. Hal ini
yang mendorong penulis untuk menelitinya.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe, Kabupaten Konsel,
Kabupaten Konawe Utara karena daerah ini merupakan bekas wilayah Konawe
dan waktu penelitian pada bulan Maret sampai bulan Mei 2012
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
struktural yang mempelajari dua domain yaitu domain peristiwa (iven) dan
domain struktural.
C. Langkah – langkah Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah
menurut Ernest Bernheim yang dikutip oleh Helius Sjamsuddin dan Ismaun
(2007: 19) yaitu (1) Heuristiek, yaitu mencari, menemukan dan mengumpulkan
sumber-sumber sejarah, (2) Kritiek, yaitu menganalisis secara kritis sumber-
sumber sejarah, (3) Auffassung, yaitu penanggapan terhadap fakta-fakta sejarah
yang dipungut dari dalam sumber sejarah, dan (4) Darstellung, yaitu penyajian
cerita yang memberikan gambaran sejarah yang terjadi pada masa lampau.
Adapun tahapan kerjanya adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan sumber (Heuristik)
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk mendapatkan dan
mengumpulkan sumber yang berkaitan dengan peran Kapita Lau di Kerajaan
22
Konawe. Dalam kegiatan ini, pengumpulan data dilakukan dengan langkah
sebagai berikut:
1. Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu mengkaji beberapa buku,
makalah, disertasi serta laporan hasil penelitian yang ada lerevansinya
dengan judul dan masalah dalam penelitan ini.
2. Penelitian lapangan (Field Research), yaitu mengadakan penelitian secara
langsung dilokasi penelitian guna menghimpun data atau informasi yang
berkaitan erat dengan topik. Kajian dalam penelitian ini menggunakan
beberapa Tradisi Lisan (Oral Tradition) yang dilakukan dengan cara, yaitu
dengan melakukan wawancara kepada lima orang (informan) yang benyak
megetahui tentang obyek yang diteliti dalam hal ini mengenai latar
belakang Kapita Lau dan peranannya di Kerajaan Konawe pada tahun
1725 – 1904.
b. Kritik
Setelah sumber terkumpul, maka tahap berikutnya adalah verifikasi atau
kritik atau keabsahan sumber tersebut. Verifikasi sumber lilakukan dengan dua
cara yaitu sebagai berikut:
1) Kritik ekstern (autentisitas), yaitu dimaksudkan sebagai kritik terhadap
keaslian sumber data yang diperoleh. Dalam hal ini dilakukan analisis
terhadap suatu sumber data dengan meneliti penampilan luarnya seperti
kertasnya, gaya tulisannya, tintannya, bahasa, kalimat, kata-kata, dan segi
penampilan luar lainnya
23
2) Kritik intern, (Kredibilitas sumber), yaitu dimaksudkan sebagai kritikan
terhadap kebenaran isi sumber itu, apakah informasi (data) yang diberikan
oleh sumber itu dapat diterima kebenarannya ataukah tidak. Dalam hal ini
dilakukan analisis mengenai hubungan antara fakta sejarah yang termuat
dalam sumber itu sendiri
c. Auffassung (Intepretasi)
Setelah data lolos dari proses kritik atau penilaian, maka ditemukan
sejumlah keterangan atau informasi tentang masalah yang diteliti. Langkah
berikutnya setelah kritik sumber tersebut adalah interpretasi, yang dilakukan
dengan dua cara yaitu:
1. Analisis, yaitu menguraikan, dimana keterangan atau informasi yang
diperoleh tersebut diuraikan terlebih dahulu kemudian dari uraian tersebut
dapat disusun beberapa fakta sejarah
2. Sintesis, yaitu menyatukan, dimana setelah fakta sejarah ditemukan
tindakan selanjutnya adalah fakta sejarah tersebut dihubungkan dan
dikombinasikan antara satu dengan yang lain hingga menjadi satu kesatuan
yang utuh. Penafsiaran data ini sangat penting untuk memperoleh suatu
kesimpulan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
d. Darstellung (Tahapan penulisan)
Tahapan terakhir dari rangkaian metode penelitian sejarah adalah tahap
penulisan (Darsellung) yaitu kegiatan menyusun atau penulisan terhadap data dan
fakta yang telah lolos seleksi dan sudah melewati tahap penafsiran sehingga dapat
menjadi suatu karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
24
2. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian yang digunakan penulis mengacu pada tiga
kategori sumber yaitu sebagai berikut:
a. Sumber tertulis, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk buku, arsip,
skripsi serta laporan hasil penelitian yang relevan dan mendukung
perolehan data hasil penelitian ini. Sumber-sumber tertulis tersebut
diperoleh di perpustakaan daerah maupun di tempat penelitian ini.
b. Sumber lisan, yaitu data yang diperoleh melalui studi keterangan lisan
(tradisi lisan) berupa cerita rakyat (folklore), nyanyian rakyat (folksong)
dan kepercayaan rakyat (folkbelieve) dengan para informan yang dianggap
memiliki kemampuan untuk memberikan keteranagan terhadap masalah
yang diteliti.
c. Sumber visual, yaitu data yang diperoleh melalui hasil pengamatan
langsung terhadap berbagai sarana pendukung yang berkaitan dengan
peranan Kapita Lau di Kerajaan Konawe.
25
BAB IV
GAMBARAN UMUM KERAJAAN KONAWE
A. Keadaan Geografis Kerajaan Konawe
Daerah Konawe adalah merupakan suatu wilahyah kerajaan yang terletak di
jasirah Tenggara daratan Sulawesi Tenggara yang sekaran ini sebagian besar
menjadi daerah Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, dan Kota
Kendari. Adapun batas-batas administrasi wilayah kerajaan Konawe akan
dijelaskan lebih lanjut. Pada zaman Mokole More Wekoila bersama suaminya
Ramandalangi atau Langgai Moriana, menyatukan negeri-negeri disekitarnya,
sehingga terbentang luas wilayah kerajaan Konawe yang meliputi batas-batasnya :
a. Pada bagian Utara berbatasan dengan wilayah kekuasaan kerajaan Mori
(Tomori), kerajaan Matano, kerajaan Baebunta di pesisir danau Towuti dan
danau Matano.
b. Di sebelah timur berbatasan dengan kerajaan Bungku dan Kerajaan Banggai
(di Sulawesi Tengah), serta laut Maluku dan laut Banda.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Tiworo, dan Kekuasaan kerajaan
Moronene.
d. Sebelah Barat dengan kerajaan Luwu (Palopo), teluk Bone dan wilayah
kekuasaan Kerajaan Mekongga di sekitar Kolumba. (Melamba, Aswati, dkk,
2011: 23)
Jika ditinjau dari segi pertahanan, maka letaknya sangat strategis karena
letaknya berada di tengah-tengah kekuatan politik kerajaan lain, sedangkan Ibu
Kota Kerajaan Konawe di Unaaha terletak di tengah-tengah wilayah pada daratan
26
yang luas yang diapit oleh dinding alam berupa hutan dan pegunungan. Pada masa
pemerintahan Mokole Tebawo abad XVII, di tetapkan suatu perangkat
penguasaan batas-batas wilayah kerajaan yang disebut ―Siwole Mbatohu‖ yang
meliputi:
a. Tambo I’Losoanao Oleo atau Gerbang Timur adalah wilayah Ranomeeto.
b. Tampo I’Tepuliano Oleo atau gerbang Barat adalah wilayah Wawo
Latoma.
c. Bharata I Hana atau barata kanan adalah wilayah Tonga Una.
d. Barata I Moeri atau barata kiri adalah wilayah Asaki/Lambuya.
Bagian wilayah tersebut nampaknya merupakan suatu strategi pertahanan
keamanan yang sangat cermat dan tepat, hal ini tentunya merupakan suatu
pemikiran yang dinilai tidak ketinggalan dalam alam kemajuan sekarang ini.
Kemudian pada zaman Mokole Tebawo dengan gelar Sangia Inato wilayah
kekuasaan kerajaan Konawe meliputi:
1. Bagian utara mulai dari tapal batas dari barat ke Timur berbatasan dengan:
Mathana, Lambatu, Epeeha, Bahodopi, Matarape, Waeya (Salabangka).
2. Bagian Timur berbatasan mulai dari daerah Utara ke Selatan: Pulau
Labengki, Pulau Tiga, Menui, Labuhan Tobelo, Wia-Wia, Pulau Towea.
3. Bagian Selatan dimulai dari Timur kea rah Barat berbatasan dengan:
Gunung Rompu-Rompu (Taubonto), Gunung Tari-Tari, Tanggetada,
Dawi-Dawi sampai Teluk Bone.
4. Bagian Barat dimulai dari arah Selatan kearah Utara: Tolala, Patikala,
Porehu, Nuha, Baebunta, Matana. (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 24)
27
Berikut batas-batas daerah Konawe menurut perjanjian antara Kerajaan
Laiwoi dengan Hindia Belanda yang termuat dalam perjanjian panjang Long
Contract isi bahwa bangsa Belanda mengakui daerah kekuasaan Raja Laiwui:
dibagian Utara sampai Tobungku, dibagian Barat sampai Luwu, termasuk daratan
Sulawesi yang berbatasan dengan Buton, bagian selatan sampai Tiworo, dan
bagian Timur sampai dengan Wawonii dan Laut Banda. Demikian pula pulau-
pulau termasuk pandaan, Nambo, Bokori, Saponda, Madilau, Saponda Madora,
Dangedangeang, pulau Hari, Cempeda, dan Tomowu. Diakui pula suku-suku
bangsa yang mendiami pulau-pulau tersebut kedaulatannya. (Melamba, Aswati,
dkk, 2012: 25).
B. Keadaan Demografis Kerajaan Konawe
SSeeccaarraa ggeeooggrraaffiiss ssuukkuu TToollaakkii mmeennddiiaammii wwiillaayyaahh ddaarraattaann SSuullaawweessii bbaaggiiaann
TTeennggggaarraa,, yyaanngg mmeennddiiaammii bbeebbeerraappaa ddaaeerraahh kkaabbuuppaatteenn yyaaiittuu KKaabbuuppaatteenn KKoonnaawwee,,
KKoottaa KKeennddaarrii,, KKoonnaawwee SSeellaattaann,, KKoonnaawwee UUttaarraa,, KKoollaakkaa,, KKoollaakkaa UUttaarraa,, ddaann
KKoollaakkaa TTiimmuurr.. BBeebbeerraappaa ddaaeerraahh KKaabbuuppaatteenn tteerrsseebbuutt bbeerraaddaa ddii ddaaeerraahh ddaarraattaann
SSuullaawweessii bbaaggiiaann TTeennggggaarraa..
AAddaa dduuaa ppeennddaappaatt mmeennggeennaaii aassaall--uussuull ppeenndduudduukk ddii NNuussaannttaarraa.. PPeerrttaammaa,,
bbaahhwwaa aassaall uussuull ppeenndduudduukk NNuussaannttaarraa aaddaallaahh ddaarrii rraass ppaalleeoo MMoonnggoollooiidd,, yyaanngg
bbeerrbbaahhaassaa AAuussttrroonneessiiaa,, ddaann bbeerraassaall ddaarrii sseekkiittaarr ddaaeerraahh YYuunnaann ddii CCiinnaa SSeellaattaann..
PPeennddaappaatt kkeedduuaa mmeennyyeebbuuttkkaann bbaahhwwaa ppeenndduudduukk aassllii IInnddoonneessiiaa aaddaallaahh rraass NNeeggrriittoo
ddaann rraass WWiiddddiiddee.. DDaarrii kkeedduuaa rraass tteerrsseebbuutt tteerrjjaaddii ppeerrccaammppuurraann,, yyaanngg sseellaannjjuuttnnyyaa
tteerrjjaaddii llaaggii ppeerrccaammppuurraann,, ddeennggaann rraass--rraass ppeennddaattaanngg llaaiinnnnyyaa sseehhiinnggggaa ddaappaatt
ddiikkaattaakkaann bbaahhwwaa ttiiddaakk aaddaa llaaggii ssuukkuu aassllii IInnddoonneessiiaa..
28
PPeennddaappaatt ppeerrttaammaa bbaahhwwaa ppeenndduudduukk yyaanngg bbeerrddiiaamm aannttaarraa ppuullaauu--ppuullaauu
TTaaiiwwaann UUttaarraa,, IInnddoonneessiiaa ddii SSeellaattaann,, MMaaddaaggaasskkaarr,, RRaass PPaalleeoo MMoonnggoollooiidd,,
bbeerrbbaahhaassaa AAuussttrroonneessiiaa ddaann bbeerraassaall sseekkiittaarr YYuunnaann ddii CCiinnaa SSeellaattaann,, DDrr.. JJ BBrraannddeess,,
mmeennggeemmuukkaakkaann bbaahhwwaa ppuullaauu TTaaiiwwaann ddii UUttaarraa,, IInnddoonneessiiaa ddii SSeellaattaann MMaaddaaggaasskkaarr
ddii bbaaggiiaann BBaarraatt,, ddaann ppuullaauu ddii AAssiiaa FFaassiiffiikk ssaammppaaii DDii AAmmeerriikkaa LLaattiinn ddii TTiimmuurr..
MMeennuurruutt HH.. KKeerrnn ddaann Penduduk asli Indonesia adalah Ras Negrito dan ras
Widdide ciri kulit hitam berambut keriting seperti orang Kubu di Sumatera. Ras
Weddide ciri rambut berombak, berbadan kecilkulit sedikit sawo matang. Ras
inilah yang melakukan migrasi kearah selatan masuk wilayah Nusantara termasuk
daerah Sulawesi.
Wilayah Sulawesi telah dihuni oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu
diperkirakan bahwa penduduk pada zaman purba ini merupakan campuran
berbagai ras yang datang dari berbagai penjuru. Ras Austro Melanesoid yang
datang dari arah selatan (migrasi dari pulau Jawa) dengan ciri khas kapak
genggam yang terbuat dari batu yang berbentuk lonjong dan senang memakan
binatang kerang, maupun ras Paleo Mongoloid yang datang melalui arah utara
(migrasi dari kepulauan sangir dengan ciri khas alat-alat flakes dan ujung panah
dan isinya bergerigi. Termasuk dalam gelombang penyebaran penduduk Indonesia
yang pertama kali dan merupakan pendukung dari kebudayaan Mesolitikum.
Di daerah Sulawesi Tenggara telah memiliki penghuni tetap sejak zaman
prasejarah. Dalam buku Profil propinsi RI dijelaskan bahwa ciri-ciri fisik
penduduk asli Sultra memiliki kemiripan dengan suku-suku bangsa asli Indonesia
lainnya yang berasal dari campuran antara bangsa dan bangsa Negriod. Penduduk
29
asli keturunan kedua ras tersebut kemudian berkembang menjadi suku. Suku baru
menyusul datangnya gelombang perpindahan ras bangsa Proto-Melayu pada tahun
3.000 SM dan Deutro Melayu pada sekitar 300 SM (Rudini, 1992: 10). Suku
bangsa Tolaki termasuk ras Mongoloid jika dilihat dari ciri-ciri antropologis dan
tinggalan arkeologisnya.
Dari berbagai sumber tulisan hasil penelitian mengenai asal-usul dan
persebaran suku Tolaki yang dilaksanakan baik olah para peneliti/penulis barat
(misionaris zending Kristen Belanda) maupun para peneliti Indonesia termasuk
para ilmuwan lokal, menjelaskan tentang asal-usul suku Tolaki adalah berasal dari
Hon Bin, Tiongkok Selatan pada tahun 6.000 tahun SM. Menurut beberapa
pendapat, penduduk suku Tolaki berasal dari daerah/wilayah sekitar Tongkin
perbatasan antara Birma-Kamboja Tiongkok bagian selatan, setelah melalui
perjalanan dalam rentang waktu yang cukup panjang melewati ke pulauan Hiruku
Jepang ke kepulauan di Filipina Selatan, pulau-pulau yang tersebar rapat di bagian
Timur Sulawesi dengan menggunakan perahu-perahu cadik yang sederhana
melalui sungai Lasolo dan kemudian secara bergelombang tiba dan membangun
pemukiman sekitar danau Mahalona dan danau Matana (Rudini 1992: 24).
Dijelaskan bahwa dari rombongan awal yang tiba di danau Mahalona dan
danau Matana atau sekitar pegunungan Verbeek inilah yang kemudian disusul
oleh kedatangan rombongan kedua pada 4.000 tahun SM, dan terakhir rombongan
ketiga pada 2.000 tahun SM, yang kemudian mendesak rombongan awal tadi
pada 6.000 SM, yaitu yang menjadi leluhur puak-puak orang Tolaki sehingga
mendesak dan mnyebar dalam berbagai pecahan rombongan sebagaimana yang
10
30
kemudian dikenal dengan lahirnya berbagai pecahan suku-suku yang bertebaran
di seluruh pelosok bagian Utara, Timur, Selatan dan Barat Sulawesi seperti Sulu-
suku Toraja, To Ba’da, To mori, To Bungku, To Nsea, To Mohon, To Kia, To
Moronene, Tolaki dan Sebagainya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Albert
C. Kruyt bahwa semua suku-suku bangsa yang ada di pulau Sulawesi yang
menggunakan ponem bahasa ―To‖ artinya ―orang‖ seperti To Luwuk, To Banggai,
To Mori, To Nsea, To Mohon, To Bungku, To Moronene, To laki dan sebagainya
memiliki hubungan darah atau asal-usul yang sama yaitu berasal usul dari Moro
Filipina Selatan yang sejak 6.000 tahun SM, telah tiba di utara (sekitar sungai
Mekongga) kemudian melanjutkan perjalanan secara bergelombang masuk ke
daratan pulau Sulawesi dari arah Timur dan kemudian karena desakan
peperangan, serangan penyakit dan sebab-sebab persaingan lalu terpecah-pecah
menyebar ke seluruh arah dan pemukiman-pemukiman yang baru itulah kemudian
mereka membangun kehidupan kelompok yang melahirkan berbagai perpecahan
suku-suku dengan adat-istiadat dan bahasa yang berbeda-beda. Tradisi lisan
orang Tolaki menjelaskan bahwa kedatangan rombongan pertama suku Tolaki
berasal dari utara (pedalaman sekitar danau Matana dan Mahalona) melalui dua
jalur yaitu yang melalui daerah Mori, Bungku selanjutnya memasuki bahagian
Timur laut daratan Sulawesi Tenggara dan yang melalui danau Towuti kearah
selatan dan bermukim beberapa lama di darah Rahambuu. Dari sana terbagi dua
serombongan mengikuti lereng gunung Watukila lalu membelok ke arah Barat
Daya sampailah di tempat-tempat yang mereka namakan Lambo, Lalolae, Silea
yang kelak menjadi masyarakat Mekongga (Kolaka), rombongan lainnya turun
31
mengikuti kali besar (dalam bahasa Tolaki disebut Konawe Eha) dan
berkonsolidasi di suatu tempat yang kemudian disebut Andolaki. Rombongan ini
kemudian bermigrasi dan mendesak orang Tokia, Tomoronene, dan Toare yang
akhirnya mereka tiba di Unaaha. Menurut tradisi lisan pemimpin mereka bernama
Larumbesi atau lebih dikenal dengan nama Tanggolowuta (Rudini, 1992)
Sedangkan wilayah persebaran orang Tolaki telah diuraikan oleh Prof. Dr.
H. Abdurrauf Tarimana bahwa dari Andolaki inilah orang Tolaki kemudian
terpencar ke Utara sungai Routa ke barat sampai Konde’eha sampai olo-oloho
atau Konawe lewat Ambekairi dan Asinua, dan ke Timur sampai di Latoma
sampai Asera. Orang Tolaki yang kemudian menyebar ke wilayah Timur meliputi
wilayah Kendari Selatan di Pu’unggaluku, Tinanggea, Kolono dan Moramo serta
yang menyeberang ke pulau Wawonii. (Tarimana, 1985: 37-38).
Pada perkembangan penduduk terjadi migrasi berupa para pendatang
beberapa suku bangsa seperti bangsa Bugis, Makassar, Toraja dan beberapa
kelompok etnis lainnya yang datang dari daerah Sulawesi Selatan. Ada juga yang
datang dari daerah Sulawesi Tengah, Jawa, Maluku dan dari Kabupaten dalam
wilayah Sulawesi Tenggara sendiri seperti Muna dan Buton.
Dalam kesimpulannya Basrin Melamba, M.A menjelaskan tentang asal
usul Tolaki bahwa Masyarakat Tolaki sejak zaman prasejarah telah memiliki
jejak peradaban, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi
di beberapa gua atau kumapo di Konawe bagian utara maupun beberapa gua yang
ada di daerah ini. Lokasi situs gua di daerah ini umumnya terletak di Konawe
bagian Utara seperti Asera, Lasolo, Wiwirano, Langgikima, Lamonae,
32
diantaranya gua Tanggalasi, gua Tengkorak I, gua Tengkorak II, gua Anawai
Ngguluri, gua Wawosabano, gua Tenggere dan gua Kelelawar serta masih banyak
situs gua prasejarah yang belum teridentifikasi. Dari hasil penelitian tim Balai
Arkeologi Makassar dari tinggalan materi uji artefak di Wiwirano berupa sampel
dengan menggunakan metode uji karbon 14 di laboratorium Arkeologi Miami
University Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa dari pada artefak di Wiwirano
Konawe Utara berumur sekitar 7000 tahun yang lalu atau dengan evidensi ini
maka peradaban Tolaki di Konawe telah berlangsung sejak 5000 tahun Sebelum
Masehi. Di dalam gua-gua tersebut menyimpan banyak artefak baik tengkorak
manusia, alat kerja seperti alat-alat berburu, benda pemujaan, guci, tempayan,
gerabah, porselin baik itu buatan Cina, Thailand, VOC, Hindia Belanda, batu
pemujaan, terdapat beberapa gambar atau dengan misalnya binatang, tapak
tangan, gambar berburu, gambar sampan atau perahu, gambar manusia, gambar
perahu atau sampan, patung, terakota, dan sebagainya. Secara linguistik bahasa
Tolaki merupakan atau masuk kedalam rumpun bahasa Austronesia, secara
Antropologi manusia Tolaki merupakan Ras Mongoloid, yang datang ditempat ini
melalui jalur migrasi dari Asia Timur, masuk daerah Sulawesi, hingga masuk
daratan Sulawesi Tenggara. (Melamba, Aswati, dkk, 2012: 495)
C. Keadaan Sosial Budaya
a) Stratifikasi Sosial atau Pelapisan Sosial Suku Tolaki
Stratifikasi terjadi oleh karena adanya kebiasaan hubungan secara teratur
dan tersusun, sehingga setiap orang dalam setiap saat mempunyai siatuasi yang
menentukan hubungannya dengan oran lain secara vertikal maupun horizontal
33
dalam masyarakatnya. Masyarakat Tolaki adalah merupakan kelompok etnis
terbesar jumlahnya di Daerah Sulawesi Tenggara. Wilayah pemukimannya
meliputi keseluruhan daratan semenanjung Sulawesi Tenggara, yaitu daerah
Kabupaten Konawe.
Orang-orang Tolaki diangkat sebagai penduduk asli di Daerah Kendari
karena merekalah yang termasuk penduduk tertua di daerah tersebut. Mereka
itulah memenuhi pelosok-pelosok desa serta mendominisir kebudayaan Daerah
Kabupaten Kendari sejak dahulu hingga sekarang ini.
Di dalam mereka berpola serta berinteraksi antara sesama telah melahirkan
kelompok-kelompok masyarakat dan tumbuh serta berkembang di desa mana
mereka berada. Karena manusia dalam usahanya tidak pernah terlepas dari
kodratnya, ternyata antara individu maupun kelompok terdapat penonjolan-
penonjolan sosial yang tidak merata. Akibat dari perbedaan-perbedaan itu, batas-
batas antara kelompokpun semakin jelas. Terkadang sesuatu kelompok sosial
mempunyai disiplin yang ketat, sehingga anggota dari kelompok yang satu sulit
untuk menerobos kelompok sosial yang lain.
Di sinilah berawalnya kelas-kelas dalam masyarakat yang hampir tidak
dapat dibedakan dengan kasta-kasta yang dianut oleh daerah-daerah lain. Di
antara kelas-kelas masyarakat itu ada yang dipandang lebih tinggi (super class),
kelas menengah (middle class), dan kelas yang paling rendah.
Di dalam masyarakat Tolaki, kelas-kelas ini terdiri dari :
- Golongan Anakia (bangsawan)
- Golongan Pu’utobu (bangsawan menengah)
34
- Golongan Tonodadio (rakyat biasa)
- Golongan bawah atau o’ata
Di samping tiga golongan tersebut di atas, ada lagi satu golongan yang
merupakan tingkatan sosial yang paling di bawah, yaitu golongan ata (budak).
Apabila kita meneliti pelapisan masyarakat tersebut di atas, maka yang menjadi
dasar pelapisan masyarakat pada masa lalu adalah faktor keturunan. Seorang
Pempunyai kedudukan dalam pelapisan tertentu karena keturunanya. Sekian
faktor kerukunan, faktor keaslian (status Kependudukan), juga menjadi salah satu
dasar yang kuat di dalam menentukan kedudukan seseorang di dalam masyarakat
Tolaki.
Pada zaman kerajaan, pelapisan masyarakat Tolaki sangat ketat. Sangat
jarang terjadi salah seorang anggota dari kelompok bawah (Tonodadio) yang
dapat memasuki kelompok yang paling atas (Anakia). Apalagi kelompok yang
paling bawah sangat tertutup kemungkinannya untuk dapat bergerak naik menyatu
dengan tingkat masyarakat di atasnya (vertimobility).
Sistem kelas mencerminkan suatu masyarakat di mana kesempatan untuk
naik tangga sosial lebih sukar dan hampir tertutup (Dr. Phil. Asrid S. Susanto;
1983 : 66).
Sampai pada zaman Pemerintahan Belanda, sistem kelas/golongan dalam
masyarakat Tolaki tetap dipertahankan. Bahkan sistem pelapisan masyarakat ini
dijadikan tameng Belanda di dalam melaksanakan pratktek politik
pemerintahannya (politik adu-domba).
35
Pada masa pemerintahan Belanda, golongan Bangsawan Pri-Bumi
merupakan lapisan masyarakat ke-dua sesudah tingkatan/kedudukan bangsa
Belanda sendiri. Golongan bangsawan diberikan kedudukan yang lebih istimewa
dari pada golongan masyarakat lainnya dalam komunitas suku Tolaki. Hanya
keluarga dari golongan bangsawan itulah yang boleh mendapatkan pendidikan.
Akibatnya, jurang-jurang pemisah antara golongan masyarakat yang satu dengan
golongan lainnya semakin dalam.Seolah-olah masyarakat Pri-Bumi terutama
lapisan masyarakat bawah, sudah ditakdirkan sebagai bangsa atau golongan yang
diperhamba. Sebaliknya golongan bangsawan utamanya orang-orang Belanda di
satu pihak memiliki status yang teramat tinggi.
Karena keanggotaan seseorang dalam suatu kelas atau kasta, maka orang-
orang itu dapat bergerak dalam berbagai kelompok dengan berbagai hak dan
kewajiban (Soekandar,1983 : 67).
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dimana setiap warga
Indonesia memperoleh kembali hak-hak azasinya, maka sistem kelas di dalam
masyarakat Tolaki yang sangat merugikan itu berangsur-angsur terkikis oleh
semangat demokrasi dan jiwa Pancasila itu sendiri.
Dalam setiap masyarakat akan ditemukan atau berkembang dengan
sendirinya stratifikasi sosial; hanya masyarakat-masyarakat yang sangat kecil dan
homogen yang tidak mempunyai stratifikasi. Stratifikasi terjadi dengan makin
meluasnya masyarakat dengan makin terjadinya pembagian pekerjaan.
Di dalam masyarakat Tolaki sejak dahulu telah terbentuk stratifikasi
yang berdasar kepada pembagian pekerjaan, yaitu :
36
- Kelompok petani sederhana;
- Kelompok peternak (mbuwalaka);
- Kelompok penguasa (keluarga ningrat);
- Keluarga kaya;
- Keluarga pendekar; dan
- Beberapa bentuk kelompok/keluarga lain.
Dalam interaksi sosial, antara kelompok/keluarga tersebut di atas terjadi
gerak sosial (social mobility) yang tidak terbatas baik secara vertikal maupun
horizontal. Kelompok-kelompok seperti ini tidak secara resmi atau secara
organisasi. Karena itu satu sama lainnya menganggap sama-sama sederajat, saling
bergaul dengan akrab. Hal ini disebabkan karena antara mereka saling
membutuhkan serta saling bergantungan satu sama lain.
Setelah masyarakat Indonesia memasuki alam hidup yang baru, dimana
unsur pengetahuan menempati kedudukan teratas dalam sistem stratifikasi, maka
terbentuklah pula kelompok cendikia, kelompok pegawai, disamping kelompok-
kelompok lainnya yang berdasar pada jenis pekerjaan/mata pencaharian. Sebagai
akibat gerak sosial (sosial movement), maka terjadilah perubahan-perubahan
status seperti: anggota petani beralih menjadi pegawai sedang petani penggarap
beralih menjadi pedagang atau peternak.
Dalam sistem kepemimpinan Tolaki, seorang (Raja) Mokole, sebelum
memangku jabatannya, ia tinotonao (disumpah) oleh seorang tonomotu’o (seorang
sesepuh pamangku adat) dalam fungsinya sebagia mewakili rakyat
keseluruhannya dihadapan sidang pelantikan, yang dihadiri oleh segenap aparatur
37
kerajaan yang telah disebutkan di atas, yaitu: Siwole Mbatohuu, Pitu dula batu,
tolu mbulo anakia mbuutobu, dan tolu etu la’usa.
Berikut ini inti dari sumpah bahwa, ―…ia akan menaati adat dan hukum yang
berlaku, dan sebaliknya rakyat bersumpah akan menaati segela kebijaksanaan dan
perintah raja. Apabila raja melanggar adat dan hukum yang berlaku maka Jahelah
yang akan memanskan nyawanya, besilah yang akan memotong lehernya,
aranglah yang akan menodai mukanya dan tanahlah tempatnya dikuburkan;
sebaliknya jikalau rakyat yang melanggar kebijaksanaan dan perintah raja maka
kemiskinan, kepapaan dan kepunahan yang akan menimpah mereka‖ (Tarimana,
1989: 188-189).
Disini tampak gejala adanya hubungan struktural dan fungsional antara raja
dan rakyat, suatu politic contract (perjanjian politik dan pemerintah). Raja akan
berhasil mewujudkan tujuan kepemimpinannya apabila taat terhadap pula rakyat
akan menjadi makmur dan sejahtera apabila menaati kebijaksanaan dan perintah
raja. Raja diperlakukan oleh rakyatnya laksana matahari, yang mampu
memancarkan sinar keberkahannya ke seluruh penjuru negeri dan segenap
penduduknya. Melalui keberkahan yang ada pada seorang raja, rakyat
mendapatkan berhak dari Allah SWT, karena raja dipandang sebagai wakilNya di
bumi. Permaisuri (isteri raja) dipandang oleh orang Tolaki, sebagai bukan, yang
memancarkan sinar rayuan cinta dan kasih sayangnya ke seluruh penjuru negeri
dan rakyatnya sebagai anak negeri. Sedangkan putera-puteri raja adalah laksana
bintang-bintang yang bertaburan di langit di waktu malam. Mereka dipandang
sebagai putera-puteri mahkota kerajaan, yang akan meneruskan pucuk
38
kepemimpinan negeri kerajaan. Kita seringkan ungkapan-ungkapan seorang
pemangku adat, ketika ia menghadap raja, permaisuri, yang dikelilingi oleh
putera-puterinya, katanya:―..iee inggomiu mberi’ou sangia, mata oleo, mata wula,
ana wula…(maksudnya: wahai engkau yang dipertuan agung, dewa, matahari,
bulan dan bintang-bintang. Abdurrauf Tarimana, (1993: 89).
Mereka juga memandang seorang raja sebagai pu’uno okasu (kayu pokok,
pohon besar tempat berlindungnya rakyat), sebagai petumbono olipu (tiang
agungnya negeri), ponggorahino wonua (kayu pokok, pohon besar tempat
berlindungnya rakyat), sebagai petumbuno olipu (tiang agungnya negeri),
ponggorahino wonua (tokohnya kerajaan), pu’u watu (pokoknya batu yang agung,
maksudnya: sumber kekuatan rakyat).
Sebaliknya raja memandang rakyat sebagai rome-romeno wonua (sumber
kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan negeri), maksudnya bahwa rakyatlah yang
berfungsi dalam memproduksi dalam bidang ekonomi. Tanpa rakyat adalah
musahil bagi negeri itu menjadi sejahtera, termasuk didalamnya raja dan
keluarganya, serta seluruh aparat kerajaan, abdi negeri, dan abdi masyarakat.
Mereka juga dipandang oleh raja dan aparat negeri sebagai wuta mokorano wonua
(potensi kekuatan dan pertahanan negeri) dalam menghadapi segala ancaman
musuh, baik dari luar maupun dari dalam negeri. Demi kesejahteraan dan
keselamatan negeri dan rakyatnya, dalam kehidupannya, maka Mokole (Raja)
harus lebih banyak berdoa, bersamadi, berzikir kepada Allah SWT, agar
rakyatnya senantiasa hidup tenteram dan damai. Bila ternyata rakyat di suatu
39
negeri, kata orang Tolaki, sering fitnah, timbul wabah penyakit, panen tidak jadi,
maka hal itu berarti raja tidak betul, artinya sudah lupa tugas dan kewajibannya.
b) Agama dan Kepercayaan
Sebelum masuknya agama Islam, dan Kristen, suku Tolaki telah menganut
kepercayaan yang percaya kepada dewa-dewa (sangia) yang dianggap menguasai
alam dan kehidupan manusia. Mereka juga percaya kepada mahluk-mahluk halus,
arwah nenek moyang dan kepercayaan kepada kekuatan sakti, dikalangan
masyarakat Tolaki disebut sangia. Ada tiga sangai pencipta alam, sangia wonua
(dewa negeri), sangia mokora (dewa pemelihara alam). Disamping ketiga sangia
tersebut masyarakat Tolaki percaya pula akan adanya sangi-sangia yang lainnya
yaitu:
1. Sangia ilosoano oleo yang berkuasa diufuk timur
2. Sangia itepuliano oleo yang berkuasa diufuk barat
3. Sangia I puri wuta yang berkuasa diperut bumi
4. Sangia ipuri tahi yang berkuasa didasar laut
5. Sangia ilahuene yang berkuasa diatas langit
6. Sangia mbongae yang membawa penyakit terhadap manusia
7. Sangia mbae atau sangia sanggoleo mba yang menghidupkan dan
memelihara padi-padian.
Selain dewa-dewa tersebut di atas, orang Tolaki percaya pula adanya
Dewi Kesejahteraan yang disebut Sanggoleo Mbae (Dewi Padi). Di daerah
Konawe, tidak berkembang lagi kepercayaan-kepercayaan seperti yang disebutkan
di atas. Kecuali oleh beberapa orang dukun yang masih terkadang memuja pada
40
dewa di saat melaksanakan upacara pengobatan secara magis. Sekarang
penduduknya memeluk agama Islam, sedang di daerah ini juga terdapat penduduk
yang menganut agama Kristen.
Upacara-upacara magis-tradisional yang sering-sering dilaksanakan di
lingkungan masyarakat pedesaan, bukanlah merupakan manivestasi kepercayaan
masyarakat setempat. Upacara mosehe dan mooli yang sering dilakukan oleh para
pawang (dukun kampung), adalah salah satu cara pemberian sesajian serta
permohonan kedamaian dan kesejahteraan masyarakat secara tradisional. Oleh
masyarakat Tolaki, menghargai tradisi nenek moyang adalah wajar sekalipun
tidak berarti untuk kembali menghidupkan kepercayaan-kepercayaan nenek
moyang yang sifatnya mempersekutukan Tuhan. (Melamba, Aswati, dkk, 2011)
Pada masa kini komunitas suku Tolaki masyoritas menganut agama Islam,
dan agama Kristen. Sebelum menganut agama samawi, suku Tolaki memiliki
kepercayaan kepada dewa-dewa atau sangia yang menguasai makro kosmos dan
kehidupan manusia. Pada masa lalu pada umumnya masyarakat suku Tolaki
menganut kepercayaan berupa : Ada tiga sangia utama yakni: sangia mbuu (dewa
pokok) sebagai pencipta alam, sangia wonua (dewa negeri) sebagai pemelihara
alam, dan Sangia mokora (dewa pemusnah alam). Kepercayaan animisme lainnya
seperti, meyakini roh-roh yang mendiami semua benda, yang disebut Sanggoleo,
mengenai dewa sangia, sangia maupun sanggoleo baik yang jahat maupun yang
baik, seperti sanggoleo mbae, dan sangia mbongae. Tradisi pengayauan seperti
halnya beberapa suku bangsa di Nusantara antara lain Batak, Toraja, Dayak dan
41
beberapa suku bangsa di Irian Jaya, ada unsur ―Koppensnellen‖ (mengayau atau
penggal kepala) mongae.
Meskipun pada saat ini mereka sudah menganut agama Islam dan Kristen,
tetapi sisa-sisa kepercayaan itu masih hidup. Bahkan kepercayaan itu dapat
bersifat sinkretisme yaitu konsep kepercayaan agama samawi bercampur dengan
konsep kepercayaan lama. Kepercayaan diatas itu termaksud kepercayaan
animisme dan dinamisme yang sampai sekarang masih sering dijumpai dalam
masyarakat suku Tolaki. Dewasa ini penduduk Tolaki pada umumnya sudah
menganut agama islam sejak Mokole Lakidende II, agama Kristen sejak abad ke-
19 Hindu dan Budha.
D. Struktur Organisasi Pemerintahan Kerajaan Konawe
a) Sistem Politik dan Birokrasi.
Praktek kepemimpinan Tolaki tampak dalam kebijaksanaan politik dan
pemerintahan. Sistem politik dan kepemimpinan negeri Tolaki adalah apa yang
disebut: 1. mohopulei wonua. 2. mombulesako lono nggapa. 3. mosiwi-siwi tono
meohai. Ini disebut politik dalam negeri, mereka juga mengenal dan
mengembangkan sistem politik luar negeri. Sistim politik luar negeri tampak
dalam praktek apa yang disebut: 1. mombekatia-tiari’ako (saling memberi upeti
antara kerajaan dengan kerajaan), misalnya antara kerajaan Konawe dengan
kerajaan Bone, dengan kerajaan Luwu. 2. mombekatawa-tawani’ako (saling
memberi bantuan perang). 3. membekapagu paguru’ako (saling menukar ahli
dalam ilmu dan pengetahuan)
42
Dengan mohopulei wonua dimaksud membina, mengayomi negeri dan
penduduknya, agar senantiasa dalam keadaan yang kompak dan bersatu. Fungsi
ini diperanani oleh Mokole (Raja) dan perlengkapannya, ialah Sulemandara
(Perdana Menteri), dan empat timur, di barat, di utara dan di selatan kerjaan.
Dengan mombulesako tono nggapa dimaksud menghimpun, mengelompokkan
rakyat, orang banyak, penduduk agar mereka senantiasa bersatu dan saling
berhubungan diantara satu sama lainnya. Fungsi ini diperanani oleh Puutobu
(Kepala Wilayah, Distrik) dengan aparat perlengkapannya, ialah posudo (wakil),
dan pabitara (aparat hukum, hakim). Ada 30 wilayah, sebagaimana telah saya
kemukakan pada bagian sebelumnya. Sedangkan dengan mosiwi-siwi
to’onomeohai dimaksud membujuk, merukunkan kelangan keluarga luas agar
mereka senantiasa hidup dalam suatu suasana persaudaraan, cinta-mencintai,
saling akrab diantara keluarga inti yang satu dengan lainnya, sampai pada jaringan
keluarga satu keturunan nenek-moyang. Fungsi ini diperanani oleh Tonomotuo
(orang yang dituakan, kepala kampung, kepala desa), Pabitara (juru bicara),
Tusawuta (aparat pertanian), Tamalaki (aparat pertahanan dan keamanan), o’tadu
(pengintai musuh), mbu’akoi (dukun umum), mbuawai (dukun penyakit),
mbusehe (dukun upacara), dan tolea (juru bicara dalam perkawinan). Ada 300
buah kampung didalam 30 wilayah pu’utobu setingkat kecamatan.
Dalam pandangan kepeminpinan tradisional kepemimpinan disimbolkan:
sebagai induk pohon besar (pu’uno okasu) madsudnya pelindung rakyat; rakyat
adalah rome-romeno wonua (pembuat makmur bagi negeri), maksudnya pemberi
jaminan hidup bagi pemerintah melalui produksinya; dan pemamngku adat
20
43
sebagai tanggi wotolu (teman seiring), maksudnya penasehat pemerintah dan
pembela rakyat. Gagasan adanya perjanjian segi tiga ini bersumber dari ajaran
Allah SWT (ombu sameena) melalui pesan leluhur (Tarimana, 1985: 225).
Untuk merealisasikan prinsip-prinsip kesatuan dan persatuan ini setiap raja
(mokole) yang memegang tampuk pemerintahan kerajaan mengarahkan tujuan
politik dan pemerintahannya terhadap usaha pencapaian apa yang disebut
mohopulei wonua, mombulesako tonononggapa, dan mosiwi-siwi tono tono
meohai. Maksud konsep mohopulei wonua yaitu membina, memelihara,
membangun negeri secara keseluruhannya, tidak hanya manusianya tetapi
terhadap semua mahluk. Hal ini maksudnya untuk mewujudkan dan
mempertahankan kesatuan dan persatuan serta menciptakan suasana
kesinambungan hubungan antara manusia dengan manusia dengan lingkungan
alamnya baik alam nyata maupun alam gaib.
Hubungan luar negeri, dengan kerajaan tetangga, melalui pertukaran upeti,
bantuan perang, dan pertukaran latihan diperankan oleh masing-masing Kapita
Ana Molepo (Panglima Angkatan Darat), Kapita Lau (Panglima Angkatan Laut),
dan tutuwi Motaha, Polapi Wungga’arono Wuta Konawe (Panglima Pertahanan
dan Keamanan Istana Mokole). Untuk mewujudkan ketiga sistem politik dan
pemerintahan dalam negeri, demikian luar negeri, terurai di atas, maka seorang
Mokole atau Sulemandara, Sapati, Sabandara, Ponggawa, dan Inowa, demikian
halnya para aparat pitu dula batu (Menteri), seterusnya Kapita Ana Molepo,
Kapita Lau, para Puutobu, dan para Tonomotuo, ia disyaratkan oleh norma
44
kepemimpinan, bahwa ia adalah:1. pasitaka (contoh, teladan). 2. pohiasoka,
pohaki pehaki (penggerak, pemberi semangat), dan 3. tani’ulu (pengendali).
Dengan pasitaka dimaksud bahwa seorang pemimpin Tolaki adalah pola
yang patut diatur oleh yang dipimpin (rakyat), karena ia adalah orang yang
moseka (berani), pindara (pandai), mandara (ahli, trampil, cekatan), mota’u
(berilmu), pandita (kaya akan pengetahuan baik mengenai dunia maupun
mengenai akhirat), yang nyata dan yang gaib), kobaraka (mubarak, sakti),
pinonaa’ko (disegani). Dengan pohiasako dimaksud seorang pemimpin Tolaki
yang mampu menggerakkan orang yang dipimpinnya (rakyat) untuk secara
bersama-sama melakukan pekerjaan dengan giat dan bersemangat dalam berbagai
bidang kegiatan sehari-hari dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup
bermasyarakat dan berbangsa. Dan dengan pohaki-haki dimaksud seorang
pemimpin Tolaki yang mampu memberikan dorongan, pengaruh bagi yang
dipimpinnya rakyat, agar mereka bangkit berjuang untuk mengatasi dan
memecahkan segala tantangan, hambatan, kesulitan dan bahkan masalah yang
timbul dan dialami akibatnya oleh masyarakat, bangsa di masakininya, dalam
rangka menghadapi masa depannya. Untuk itu maka seorang pemimpin Tolaki
disyaratkan juga agar ia memiliki kemampuan dalam hal apa yang diungkapkan
oleh orang Tolaki.....anomosekaki mengokoro ira’ino tono dadio, keno pebitara
ano me’naki, tanda, mendoda, ano mo’api-api, iamo wanggehanu, anio
pombenasaki noteeto pali tumo’orikee ohawo laa tinulara. Keno paraluu, anoto-
orikeeki bunggamanisi, polulu une, ano ehe’iki toono, meiringgee...(Tarimana,
1993)
22
45
Maksudnya lebih kurang bahwa ia harus berani berdiri di depan umum,
orang banyak, bila ia berbicara maka harus nyaring suaranya, terang, jelas dan
berapi-api, jangan ia pemalu, agar ia merasa bahwa dialah yang paling tahu apa
yang sedagn dibicarakan (biarpun ternyata ada kekurangannya). Kalau perlu, agar
ia mengetahui (ilmu) daya penarik, penggoda, agar ia disukai orang, disayangi.
Sedangkan dengan tani’ulu (pengendali) dimaksud bahwa seorang
pemimpin Tolaki disyaratkan agar aia mampu mengendalikan, mengarahkan ke
depan, ke kanan, ke kiri, kalau perlu menghentikan dan menarik mundur ke
belakang orang yang dipimpinnya, kemudian dilepaskannya lagi, begitulah
seterusnya. Hal itu tergantung pada dirinya, yang melihat bahwa dengan cara
demikian, rakyat yang dipimpinnya melangkah maju menurut situasi dan kondisi
lingkungan dan tuntutan kebutuhan yang berlaku namun ia tetap berpegang teguh
pada prinsip norma, sistem hukum, dan aturan-aturan khusus yang berlaku, yang
segalanya bersumber dari ajaran Allah SWT. melalui agama, adat istiadat.
Selain persyaratan rohaniah, mental psikologis terurai diatas, juga seorang
peimpin Tolaki disyaratkan bahwa ia secara biologik-genetik, adalah keturunan
bangsawan, atau paling kurang keturunan golongan menengah, pemangku adat,
keturunan tonomotuo. Ia sama sekali tidak memenuhi syarat, jika ia keturunan
budak (o’ata), kecuali ia dalam gari silsilah keturunan telah melepas diri sampai
tujuh turunan karena kawin-mawin dengan keturunan golongan menengah, dan
atau dengan keturunan golongan bangsawan, namun sangat jarang terjadi. Badan
yang sehat, tidak mengidam penyakit menular, kuat tisik, biarpun tidak tinggi dan
kekar tubuh, asal ia tampaknya tampan dan gagah, merupakan syarat bagi orang
46
Tolaki untuk menjadi seorang pemimpin. Bahkan orang Tolaki berkata:
―mohewutokaa mano upirahi-rahi,‖ artinya ―kecil-kecil orangnya namun ia
adalah andalan.‖ Ia laksana ―saha mohewu mano morere‖ (cabe rawit tetapi
sangat pedis rasanya). Adalah tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin,
kata orang Tolaki, biarpun persyaratan lainnya tersebut di atas, apabila seseorang
itu cacat fisik, misalnya ada tanda atau bekas luas di mukanya, jari terpotong atau
berangkai, dan atau ia tangan kiri, makan dengan tangan kiri, memegang dengan
kiri (left handed), apalagi kalau ia mandul, atau banci.
b. Wilayah Persekutuan Masyarakat Tolaki.
Suatu hukum adat Tolaki pada masa lalu memilki wilayah hukum adat
dengan istilah-istilah A’nggalo, O’napo, O’tobu, dan wonua. Istilah-istilah
tersebut yang berarti bagian-bagian wilayah yang diduduki dan dikuasai oleh
sekelompok masyarakat hukum adat suku bangsa Tolaki untuk didiami dalam
jangka waktu terbatas, adapaun wilayah yang dimaksud adalah:
a) Wilayah persekutuan A’nggalo, yaitu lembah nggarai yang penghuninya
terdiri 4 – 7 kepala keluarga yang merupakan satu keluarga asal dari satu
nenek moyangnya sendiri. Wilayah yang dikuasai ini secara ideal dapat
bertahan berkat adanya tokoh tiga pemimpin yang bertindak dan
bertanggungjawab sebagai pengaman dan penyelamat atas segala
ancaman yang membahayakan kelompok kecil yang bersangkutan. Tiga
tokoh itu dinamakan Tamalaki, Mbuakoi, dan Mbusehe.
b) Wilayah persekutuan O’napo, yaitu suatu wilayah lembah yang secara
hukum adat (osara) dikuasai dan diduduki oleh gabungan kelompok yang
47
mendiami anggalo. Sebagaimana halnya anggalo, o’napo ini merupakan
suatu wilayah yang dapat dikuasai dan bertahan lama berkat adanya tiga
tokoh pemimpin yaitu Tonomotuo, pabitara, dan Tamalaki yang berasal
dari anggalo yang lebih terampil dari anggalo lainnya tadi.
c) Wilayah persekutuan Pu’utobu, yaitu wilayah gabungan o’napo yang
biasanya pula terdiri dari 4-7 o’napo yang letaknya berdekatan satu sama
lainnya. Pemimpin wilayah persekutuan pu’utobu di sebut Pu’utobu
(kepala wilayah). Seorang pemimpin Pu’utobu yang berfungsi sebagai
koordinator seluruh wilayah yang dibantu oleh tiap tonomotuo dan
pabitara (juru bicara adat) dari setiap O’napo.
d) Wilayah persekutuan Wonua (negeri), yaitu negeri kerajaan Konawe yang
didalamnya terdapat wilayah-wilayah otobu (distrik), o’napo (desa), dan
sejumlah wilayah a’nggalo (kampung lembah) sebagai wilayah
persekutuan tempat tinggal. Istilah-istilah lain yang memiliki hubungan
dengan istilah wonua adalah to wonua, artinya orang negeri, penduduk
negeri. Pu’u wonua yang berarti ibu negeri, pusat negeri, ibu kota, dan
istilah tapu’u wonua yang berarti orang pertama mendiami negeri
Konawe. Sedangkan yang dimaksud wonua sorume adalah negeri yang
wilayah daerahnya banyak ditumbuhi anggrek sebagai bahan untuk
membuat tikar, topi, dan sebagainya dan warnanya kuning seperti emas
murni.
Sejalan dengan itu Basrin Melamba didalam bukunya yang berjudul Tolaki
di Konawe (2011: 48) mengemukakan bahwa dengan menerapkan suatu struktur
48
dan sistem pemerintahan baru yaitu Siwole Mbatohuu dan Opitu Dula Batuno
Wuta Konawe (Empat sisi Wilayah besar dan 7 dewan kerajaan Konawe). Siwole
Mbatohu yang memiliki arti, yaitu talam atau wadah tempat menyimpan Kalo
berbentuk persegi empat dengan empat sudut yang melambangkan daerah
kekuasaan daerah kekuasaan Kerajaan Konawe yang membagi wilayah Konawe
terdiri dari empat wilayah kekuasaan. Dalam pelaksanaannya Sabandara
Buburanda ditugaskan di wilayah Barat untuk memerintah dan menjaga daerah
Konawe dari daerah barat dari ekspansi Luwu. Kekuasaan Kerajaan Konawe
merupakan lingkaran konsentrik, mulai dari tingkatan Wonua atau negeri yang
berpusat di istana Kerajaandi Unaaha dipegang langsung oleh Mokole. Dibantu
oleh pejabat Siwole Mbatohu di empat penjuru daerah kekuasaan kerajaan.
Sesudah Wonua yaitu wilayah O’tobu dipimpin oleh seorang Pu’utobu (Melamba,
Aswati, dkk, 2011)
Pada zaman raja Tebawo, O’tobu di daerah ini berjumlah 30 (tiga puluh)
wilayah Tobu dan wilayah pada tingkat O’napo yang dipimpin oleh Kapala Napo
dengan gelar Tonomotuo, semacam wilayah pemerintahan tingkat desa pada
zaman Belanda menjadi Kambo yang dipimpin oleh kapala Kambo atau kepala
kampung. Setelah mokole Tebawo naik tahta dibentuknya tanah kerajaan Konawe
yang sangat luas sebagai suatu bentuk persegi empat, yang perlu mendapat
pelayanan dari pemerintah pusat kerajaan untuk menjamin ide tersebut maka pada
tahun 1609 dibentuklah perangkat penguasa wilayah di empat penjuruh di
kerajaan Konawe dikenal dengan sebutan Siwole Mbatohuu.
49
Dapat dijelaskan bahwa ketiga Puluh (30) wilayah daerah bawahan
Pu’utobu adalah sebagai berikut:
1. Ranomeeto membawahi Pu’utobu-pu’utobu:
a. Poasia d. Laeya
b. Moramo e. Wawonii
c. Kolono f. Konda
2. Latoma membawahi Pu’utobu-pu’utobu:
a. Arombu c. Asera
b. Pu’ulemo Ue’esi d. Lalowata
3. Tongauna membawahi pu’utobu-pu’utobu:
a. Toriki
b. Anggaberi
c. Lasolo
4. Asaki membawahi pu’utobu-pu’otobu:
a. Puriala d. Lalohao
b. Rate-rate e. Angata
c. Andoolo
5. Uepay, membawahi pu’utobu-pu’utobu:
a. Anggopiu
b. Mooreha
c. Tudaone
6. Sambara (Sampara), membawahi pu’utobu-pu’utobu:
a. Limbo
50
b. Rawua
c. Besu
7. Kasipute, membawahi pu’tobu-pu’utobu:
a. Palarahi c. Kasipute
b. Anggotoa d. Teteona
Disamping itu ada satu daerah khusus (Abuki) membawahi
pu’utobu-pu’utobu:
a. Asolu
b. Unaasi (Lasada)
c. Walay. (Chalik,dkk. 19978:20-21)
Pembagian wilayah pu’utobu tersebut diatas, menurut Muslimin Su’ud
(1989: 93) hanya dilihat dari segi lokasi/letak geografis yaitu tempat dimana
pejabat dewan adat kerajaan bermukim namun dilihat dari segi hirarki jabatan dan
tanggung jawab pelaksanaan tugasnya, sesuai yang ditentukan/ditetapkan Sidang
Dewan Adat Kerajaan yang dimaksud ke 30 wilayah pu’utobu yang secara
organisatoris bertanggung jawab melalui ke empat pejabat penguasa wilayah
masing-masing, (Ranomeeto, Latoma, Tongauna danAsaki) dan bukan melalui
dewan adat kerajaan, maka susunan dan pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Wilayah Gerbang Timur kerajaan (Ranomeeto) membawahi pu’utobu-
pu’utobu:
a. Poasia f. Moramo
b. Kolono g. Laeya
c. Wawonii h. Konda
51
d. Andaroa (Sambara) i. Besu (Sambara)
e. Lemo (Sambara)
2. Wilayah Gerbang Barat kerajaan (Latoma) membawahi pu’utobu-
pu’utobu:
a. Arombu d. Waworaha
b. Pu’ulemo (Kolaka Utara) e. Ue’esi
c. Lawata (Lalowata) f. Laloeha (Kolaka)
3. Wilayah sayap kanan kerajaan (Tongauna) membawahi Pu’utobu-
pu’utobu:
a. Toriki e. Anggaberi
b. Kasipute f. Anggotoa
c. Wawotobi g. Teteona
d. Lasolo/Andumowu
4. Wilayah sayap kiri (asaki) membawahi Pu’utobu-pu’utobu:
a. Puriala e. Angata
b. Lalohao f. Rate-rate
c. Tinondo g. Morehe
d. Kowioha. (Su’ud, 1989: 72-73)
Menurut Muslimin Su’ud selanjutnya, bahwa ke—30 pejabat Pu’utobu
diatas, sepanjang menyangkut tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan,
mereka hanya bertanggungjawab kepada raja/mokole melalui ke-4 penguasa
dimasing-masing wilayahnnya (Sapati, Sabandara, Ponggawa, dan Inowa),
52
Pada dasarnya konsep Siwole Mbatohuu sesungguhnya telah dipersiapkan
sebelum Sangia Inato dilantik menjadi Mokole atau Raja oleh pendahulunya yaitu
Mokole Melamba dengan gelar Letengapa, Lolamoa, Sangia Nggondombara,
Tawe eha yang memerintah pada tahun 1539-1602. Konsep awal Siwole Mbatohu
pada masa raja Melamba dalam membentuk struktur yag belum lengkap sebagai
berikut:
1. Pembagian pusat-pusat pemerintahan dibawah pimpinan beberapa Mokole
atau raja yaitu:
a. Pemerintahan pusat dipegang oleh Mokole I’Larisomba atau anakia
Meita.
b. Pemerintahan daerah/wilayah dipegang oleh Ndotongano Wonua.
c. Pemerintahan daerah kerajaan Konawe, dipegang oleh Anangguro
Metipu Wuta I’Konawe, Wonua ngguluku Lipu I’Loronii I’Unaaha
2. Wilayah-wilayah kekuasaan atau kerajaan Lokal meliputi:
a. Wulele Ngasu Dawa, Wuanggasu Wula ( turunan kayu jawa, tunas
ayau buah negeri emas) yang berpusat di Mowewe.
b. Pano dewa wulaa (sisa pengaruh kerajaan jawa terdampar) yang
berpusat di andoolo).
c. Tolalo nggasu wulaa (Turunan Raja Pulau emas yang mengasingkan
diri) yang berpusat di abuki (Alosika) yang dibantu turunan
to’onomotuo (tetua adat setempat) di Walay.
d. Meosadaki isi Peopati Mohewu (putri raja yang mungil tetapi cantik)
berkedudukan di Puriala.
53
e. Tamburu nggasu dawa, pala-malamba mengga (beduk yang terbuat
dari kayu jawa yang menyala-nyala) berpusat atau berkedudukan di
Asolu.
f. Polia-lia langi ana somba wulaa (turunan cucu bangsawan dari pulau
emas yang bertingkat atau berstatus) berkedudukan di Arombu.
g. Tundu mbassi nununggu (pelabuhan laut) di daerah Lasolo dan Lembo
daerah Mboo. (Melamba, Aswati, dkk, 2011)
Struktur pemerintahan di atas merupakan cikal bakal Siwole Mbatohuu dan
O Pitu Dula Batuno Konawe tergambar bahwa kondisi pemerintahan wilayah
Kerajaan Konawe pada periode sebelum Sangia Inato, yaitu:
a. Bahwa kerajaan Konawe pada saat itu berstatus sebagai kerajaan vasal
atau vasal staat dari suatu kerajaanluar Konawe berpusat dijawa
menurut prediksi kerajaan Majapahit, ataukah di Sulawesi Selatan yang
diduga berpusat di Bone dan kedaulatan Luwu.
b. Bahwa para bangsawan atau anakia kerajaan Konawe pada periode itu
memiliki relasi geneologi dengan raja-raja di Jawa.
c. Bahwa keturunan bangsawan tersebut memiliki daerah kekuasaan yang
terpisah dengan pusat pemerintahan di Unaaha di bawah Mokole Sangia
Mbinauti.
Pada perkembangan selanjutnya, keenam tahun menjelang pelantikan
Mokole Tebawo dengan gelar Sangi Inato, Sangia Mbinauti (raja yang dipayungi)
bernama Mokole Maago, menyempurnakan lagi konsep tersebut menjadi konsep
54
persiapan ―Siwole Mbatohu Opitu Dula Batuno Konawe‖ yang lebih sempurna
dan lengkap dengan struktur sebagai berikut:
1. Mokole atau Sangia berpusat di Inolobu Nggadue Unaaha.
2. Inae Sinumo Wuta Mbinotiso Towu Tinorai (pengganti Mokole atau
Sangia) berkedudukan di Abuki.
3. Sulemandara (perdana mentri) berkedudukan di Puu’osu.
4. Opitu Dula Batuno Konawe (tujuh dewan kerajaan) yang tersiri dari:
a. Pelapi Wungguaro (komandan pengawal kerajaan) berkedudukan di
Tuoy.
b. Tusa Wuta (penjabat yang membidangi pertanian) di Wawotobi ke
Kasipute.
c. Bite Kinalumbi (pengadilan) di Anggotoa.
d. Kotu Bitara (hakim pemutus perkara) berkedudukan di Wonggeduku.
e. Putumbu Laradati (kejaksaan) di Lalosabila atau Tuoy.
f. Bite Metado (penjabat penghubung seperti Mokole, dewan Kerajaan
para Mentri) berkedudukan di Tudaone.
g. Tusa Laradati (penjabat bagian intelejen atau kepolisian)
berkedudukan di Unaasi/Palarahi.
h. Kapia Anamolepo (panglima angkatan darat) berkedudukan di Uepai.
i. Kapita Lau (panglima angkatan laut) berkedudukan di Puu Sambalu,
Sambara atau Pohara .
j. Tu’oy (sekretariat kerajaan meliputi pengawal dan urusan rumah
tangga kerajaan) berkedudukan di Toriki Anggaberi dan Tuoy.
55
Pemberlakuan konsep tersebut hanya berlangsung selama kurang lebih dua
belas tahun, selanjutnya diadakan perubahan, melalui musyawarah atas usul
Lelesuwa sebagai Kotubitara. Maka ditetapkan konsep struktur baru kerajaan
Konawe Siwole Mbatohuu O’pitu Dula Batuno Wuta Konawe konsep ini dianggap
lebih baik dan sempurna khususnya tentang pembagian kekuasaan dan wewenang.
Seperti yang ditulis oleh Basrin, dkk di dalam bukunya yang berjudul
Sejarah Tolaki di Konawe menjelaskan bahwa Dalam konsep struktur
pemerintahan Siwole Mbatohu dan O’pitu Dula Batuno Konawedapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Struktur tingkat kerajaan (wonua) atau negeri yang terdiri dari:
a) Mokole sebagai raja atau sebagai kepala negeri atau pemerintah
tertinggi.
b) Dewan kerajaan yang disebut ―Opitu dula Batuno Konawe‖ yang
disebut Anakia Momboindi Parenda Mokole yang aparatnya terdiri dari
1) Sulewata Mandara atau Sulemandara, selaku perdana mentri yang
dijabat pertama kali oleh Sulemandara Kalenggo. Jabatan ini
dikenal juga dengan sebutan Lopa-lopa Wula, Palako Lumeledo,
Metemba Nggolo Sara, Pebite Ngginalumbi, Sumusule Wonua,
Mandara Hii Wuta Konawe yang berkedudukan di Pu’Osu.
2) Pembantu Mokole di wilayah bagian timur dengan gelar sapati,
merangkap sebagai pemimpin wilayah kerajaan Konawe bagian
Timur yang disebut ―Motombi-tombi Nggilo, Mebandera Wulaa,
56
Tambo I’Losoanao Oleo‖ yang pertama dijabat oleh Sapati
Sorumba.
3) Pembantu Mokole di wilayah Barat penjabatnya bergelar Sabandara
atau Sabannara (Syabandar), sekaligus sebagai pimpinan wilayah
bagian Barat yang disebut Taune Napo Wulaa, Ore-ore Mebubu,
Tampo Itepiliano Oleo yang dijabat pertama kali oleh Sabandara
Buburanda.
4) Pembantu mokole di wilayah Utara (Sisi Kanan) yang disebut
ponggawa, merangkap sebagai pemimpin wilayah di bagian Utara
(sisi kanan) kerajaan Konawe yang disebut Melingge-lingge Bara
Metuka Ndambosisi, Tambosisi Ruromoro Opua Mepambai Barata
I’Hana yang dijabat pertama kali oleh Ponggawa Paluwu.
5) Pembantu raja diwilayah bagian Selatan (Sisi Kiri) kerajaan
Konawe yang disebut atau bergelar I’Nowa merangkap sebagai
kepala wilayah bagian Selatan (kiri) yang disebut Tetoremba-remba
Nggilo, Toko Wula Wulaa, Merembirembi Eno Mekalambi Wulaa,
Simburu Nggati Nggilo Patirangga Wulaa Rahambaha
Monggasono Wuta Konawe Barata I’Moeri yang disebut atau
bergelar Kapita Anamolepo Wuta I Asaki dengan pimpinan pertama
Taridala.
6) Panglima angkatan darat Kerajaan Konawe yang digelar Kapita
Anamolepo, berkedudukan di Uepai yang pertama kali dijabat oleh
Kapita Anamolepo Taridala.
57
7) Panglima angkatan Laut Kapita Sambara Wuta Konawe, kerajaan
Konawe yang bergelar Tanoopa Moloro, Tadohopa Nduosa,
Lomalaea Ndahi Membandera Waea Kapita Lau, berkedudukan di
Puusambalu Sambara atau Sampara (wilayah bagian Timur kerajaan
Konawe) yang dijabat pertama kali oleh Kapita Lau Haribau.
Para pejabat tersebut dibantu oleh beberapa pejabat yang berstatus menteri
muda, sedangkan pejabat tersebut berstatus sebagai pejabat tingkat Wonua mereka
memiliki otoritas atau wewenang yaitu:
a. Menteri sekertaris kerajaan bergelar Tu’oy yang pertama kali di jabat
oleh Tuoi Podada berkedudukan di Tu’oy
b. Iwoy Solombule, Waa Solo Mbendua, uha Bite Metado, Pesurino Wuta
Konawe. Mentri urusan peertanian kerajaan yang bergelar Tusawuta,
berkedudukan di Kasipute yang dijabat pertamakali oleh Anakia
Ndusawuta Latuo gelar Tawe Terumba Raha Mboluloaa.
c. Mentri urusan kehakiman atau begian peradilan pada tingkat kerajaan
yang bergelar Kotubitara berkedudukan di Wonggeduku, yang pertama
kali dijabat oleh Kotubitara Lelesuoa.
d. Owati Anggotoa oleh Tainoa berkedudukan sebagai hakim.
Keempat pejabat tersebut bertanggung jawab atau berada dalam koordinasi
dengan Sulemandara atau sebagai ketua dewan kerajaan Opitu Dula Batuno
Konawe (Melamba, dkk, 2011: 48-55)
Berdasarkan bentuk-bentuk tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa
dengan diterapkannya sistem dan struktur organisasi Siwole Mbatohu dan Opitu
58
Dula Batu, maka penyelenggaraan administrasi pemerintahan kerajaan yang
dipimpin oleh raja Tebawo dapat berjalan lancar dan mampu menciptakan
stabilitas keamanan selama masa pemerintahannya bahkan dapat menjadikan
kerajaannya yang makmur, kuat dan tersohor yang sekaligus menjadikan namanya
sebagai salah satu seorang raja Konawe yang terkenal dimana-mana yang atas
dasar itu sepeninggal beliau, Ia diberikan gelar dengan sebutan ―Tebawo‖ (yang
tersohor diman-mana)
59
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Terbentuknya Kapita Lau Di Kerajaan Konawe
Hampir setiap kerajaan tradisional di Nusantara pada masa lalu kita temukan
suatu jabatan yang kusus mengurus laut atau bidang kemaritiman, seperti di Buton
(Kapita Lao), seperti dikerajaan Mataram, Demak, Buton, Ternate,termasuk di
Kerajaan Konawe terdapat pengawal raja yang disebut Kapita Lau yang pertama
kali di jabat oleh Haribau berkedudukan di Sambara/Sampara.
Secara etimologi Kapita Lau terdiri atas dua suku kata yaitu Kapita yang
berarti Kapten, dan Lau yang berarti Laut dari bahasa portugis yaitu Kapitein
berarti pimpinan suatu pasukan militer. Kata Kapitein kemudian diserap dalam
bahasa melayu menjadi Kapten. Djafar (2009: 25) mengemukakan dalam bahasa
Tolaki Kapita berarti pimpinan suatu pasukan tertentu atau dapat pula berarti
pimpinan. Misalnya Kapita Anamolepo, Kapita Bondoala, Kapita Laiwoi
(Lasandara), Kapita Lanowulu, Kapita Mayoro, dan Laeya. Di kesultanan Buton
dikenal Kapita Lao, dan di kerajaan Muna dikenal dengan Kapita Lahia.
Jabatan Kapita Lau ini muncul pada zaman pemerintahan Mokole Tebawo,
kerajaan Konawe telah membentuk Panglima Angkatan Laut (Kapita Lau) atau
juga lebih dikenal Kapita Bondoala. Berkedudukan dipu’usambalu
Sambara/Sampara. Pada saat itu dijabat oleh Haribau dengan gelar Kapita
Bondoala. Kapita Bondoala merupakan gelar Kapita Lau (Panglima angkatan
laut) Kerajaan Konawe yang diberikan oleh masyarakat Konawe setelah ia
kembali dari peperangan bersama Kesultanan Buton, Kerajaan Bone (Arung
60
Palaka), melawan Gowa dan berhasil menduduki salah satu wilayah kerajaan
Gowa yang bernama ―Bontoala‖ pada tahun 1667 (Melamba, Aswati, dkk, 2011:
58).
Pada waktu Mokole Lakidende II dengan gelar Sangia Nginoburu, mengirim
utusan ke Bone untuk membantu raja Bone melawan Belanda pada perang Bone
pertama oleh raja Lakidende kemudian menunjuk Tosugi dari Anggaberi untuk
memimpin rombongan tersebut yang dibantu oleh Haribau putra Ndawuto dari
Sambara, menunjuk La Besi dan La Taripa selaku juru bahasa. Ekspedisi Bone
waktu itu dipimpin oleh seorang Ratu perempuan yang bernama Imanung Arung
Data Matinrowe Wikesi.
Sekembalinya mereka dari Bone maka Tosugi berganti nama menjadi
Pakandeate (Pakandreate) dan Haribau bergelar Kapita Bondoala. Dan La Besi
oleh raja Lakidende memperkenankan menyebarkan agama Islam di bagian Timur
kerajaan Konawe di lembah aliran sungai Andabia dan Anggasuru yang dibantu
oleh putranya yang bernama Bakealu (Melamba, Aswati, dkk, 2011)
Sejalan dengan itu seperti dalam bukunya Arsamid yang berjudul Sejarah
Pemerintahan Kabupaten Konawe (2003: 7) mengemukakan bahwa, jabatan
Kapita Lau ini berada dibawah pejabat Sulemandara, kemudian lebih
disempurnakannya melalui sidang dewan kerajaan. Seluruh wilayah kerajaan
Konawe dibagi dalam empat (4) bagian wilayah besar yang disebut Siwole
Mbatohu’u (penguasa wilayah besar dan menjadi dewan pertimbangan Mokole),
masing-masing:
61
1. Tambo Ilosoano Oleo, yaitu gerbang Timur berpusat di Ranome’eto,
pimpinannya bergelar Sapati.
2. Tambo Itepuli’ano Oleo, yaitu gerbang Barat berpusat di Wowa Latoma,
pimpinannya bergelar Sabandara.
3. Barata Ihana, yaitu Batara Kanan berpusat di tonga’una, pimpinannya
bergelar Ponggawa.
4. Barata Imoeri, yaitu Barata Kiri berpusat di Asaki (Lambuya),
pimpinannya bergelar Inowa.
Selain itu ditetapkan pula 7 (tujuh) pejabat kerajaan yang disebut Opitu Dula
Batu, masing-masing:
1. Sulemandara, perdana menteri dan urusan Luar Negeri, berkedudukan
di puu’osu.
2. Tutuwi Motaha, Menteri Pertahanan berkedudukan di Anggaberi.
3. Tusawuta, Menteri Pertahanan berkedudukan di Kasipute.
4. Petumbu Lara Dati, Menteri Kehakiman berkedudukan di
Tuda’one/konawe.
5. Bite Kinalumbi, Menteri Penerangan berkedudukan di Kasipute.
6. Kapita Anamolepo, Menteri Panglima Angkatan Darat berkedudukan
di Uepay.
7. Kapita Lau/Kapita Bondoala, Menteri Panglima Angkatan Laut, yang
berkedudukan di Sambara (Melamba, Aswati, dkk, 2011))
Berikut penjelasan keadaan Kapita Lau pada masa pemerintahan Mokole
Lakidende dengan gelar Sangia Ngginoburu. Setelah naik tahta Raja/Mokole
62
Lakidende terdapat penambahan beberapa jabatan di bidang pertahanan Darat dan
Laut yaitu pengangkatan beberapa Kapita (kapita) Ngapa (Pelabuhan) yang rawan
bagi serangan dari, laut yaitu : (1) Kapita Lanowulu di Lanowula Lakara
Kecamatan Tinanggea sekarang, Kapita Lembo, Kecamatan Lasolo, Kapita Asera
di Otole Bandaeha Kecamatan Lasolo di Andumowu dan seorang Kapita Darat di
wilayah darat di wilayah Barat Latoma yang disebut Kapita Sanggona yang
ditugaskan untuk menjaga. serangan Kerajaan Luwu dari Utara. Jabatan-jabatan
tersebut bersama personilnya diangkat/dilantik oleh Panglima Angkat an Darat
Kerajaan Konawe termasuk adiknya sendiri Panglima Angkatan Laut (Melamba,
Aswati, dkk, 2011).
Kapita Lau Haribau menempatkan pasukan-pasukan Laut yang dipimpin
oleh seorang Kapita Ngapa (penguasa pelabuhan).
1). Kapita Ngapa I Langga Ala di Andumowu di Lasolo
2). Kapita Ngapa I Lapoto di Poasia/Lepo-Lepo
3). Kapita Ngapa I Mbatono di Ngapa, Pamandati/Lainea
4). Kapita Ngapa I Tamadoro di Lanowulu, di Andoolo/Tinanggea.
Kapita-kapita (komandan) pelabuhan Kerajaan Konawe, tersebut berbeda
dengan sistem pertahanan darat yang diatur oleh Kapita Anamolepo (I’Taridala)
yang juga menempatkan beberapa Kapita Darat di Asera yang dijabat oleh Kapita
Lapotiki berkedudukan di Wiwirano, dan Kapita Darat Sanggona I’Lapombili I
(bukan Pombili II) yang berkedudukan di Sanggona.
Salah satu tugas dari para Kapita Ngapa tersebut, adalah menjaga serangan
(Pasukan-pasukan kerajaan Ternate) dengan misi Islam yaitu yang dikenal dengan
63
bajak-bajak laut ―Tobelo‖ yang sejak tahun 1496, di zaman sebelum Islam tiba
Ternate (1521), atau di zaman Mokole La Marundu, selalu mengadakan serangan
melalui bagian timur kerajaan Konawe, terutama setelah terjadi peristiwa Kapita
Galileo (Kerajaan Ternate) melarikan seorang putri bangsawan dari Konawe
(Wasitau I) adik kandung Puluase, kemudian dalam pelayarannya menuju Ternate
bersama dengan orang-orang Tobelo, ketika singgah untuk mengambil air minum
di Ngapaaha di Pamandati/Lainea, berkat jasa seorang mata-mata Raja Tiworo,
putri raja Mekongga, yang kemenakannya juga dari raja Tebawo, sempat direbut
dan dilarikan juga oleh pasukan Raja Tiworo Sugimanuru yang secara kebetulan
ada berlabuh di Ngapaaha, dan peristiwa itulah yang menyebabkan Raja Tebawo
menginstruksikan kepada kapita Haribau untuk mempercepat penempatan
penugasan-penugasan kapita-kapita di ke-5 pelabuhan tersebut di atas, dengan
membangun benteng-benteng batu di Andumowu, Lembo, Poasia,
Pamandati/Ngapaaha, dan Lanowulu yang sisa-sisanya masih dapat ditemukan
ditempat-tempat tersebut (Tarimana, 1993).
Selain menempatkan pasukan dan membangun benteng, juga menggalakkan
lalulintas perdagangan atau perekonomian penduduk di wilayah setempat guna
memperkuat posisi kekuatan perekonomian Kerajaan Konawe, melalui sistem
barter dengan para pedagang dari Buton, dan Bone, yang datang dengan maksud
untuk berdagang.
Menurut Muslimin Su’ud (1988) bahwa khusus menyangkut latar
belakang perbedaan versi mengenai siapa Haribau (Kapita Lau/Kapita Bondoala),
siapa yang melahirkannya, dan siapa saudara-saudara kandungnya dan bagaimana
64
status persaudaraan mereka dengan Taridala, Surunggiha dan Haribau,
berdasarkan penelitiannya, diperoleh keterangan sebagai berikut :
Bahwa meskipun masih perlu diteliti lebih lanjut mengenai kebenaran
tentang berapa jumlah sesungguhnya isteri Raja Tebawo, namun dugaan bahwa
seluruh raja-raja bawahan atau pejabat teras Kerajaan Konawe utamanya
penguasa Wilayah “Siwole Mbatohuu‖ dan pada pejabat ―O’Pitu Dulu Batu‖ (7
anggota dengan Adat Kerajaan), Inea Sinumo (Putera Mahkota) Kota Bitara
(Mahkamah Agung) dan para penguasa-penguasa Wilayah Pu’utobu yang 34
orang, sesuai dengan sistem teokrasi (raja menjalankan sistem teokrasi karena
Mokole Tebawo merupakan raja yang pertama memeluk agama islam) yang
berlaku di zaman raja-raja dahulu, adalah benar bahwa mereka itu haruslah dari
keluarga dekat Raja Tebawo, termasuk di sini Kapita Lau/Kapita Bondoala yaitu
Haribau (Melamba, dkk, 2011)
Berdasarkan sumber di atas, maka sesuai dengan keterangan-keterangan
yang telah diteliti kebenarannya, menunjukkan bahwa Raja Tebawo dalam
membangun kerajaannya, telah menempatkan/mengangkat para pejabat
kerajaannya yang hanya terdiri dari saudara-saudara sekandungnya, dan dari anak-
anaknya dari beberapa isterinya sebagai berikut :
1) Sebagai penasihat utama, diangkat saudara Kandungnya lain Ibu adalah
Lele Suwa yaitu sebagai Kotu Bitara (Mahkama Agung) berkedudukan di
Wonggeduku;
2) Sebagai teknokrat/ahli pemikirannya, diangkat/ditunjuk La Isapa, yang juga
saudara kandungnya, berlainan ibu dengan Raja Tebawo dan Lele Suwa;
65
3) Dari Bone diberitakan bahwa Raja Tebawo/Sangia Inato yang beribu
Wesangguni bersaudara kandung dengan Raja Bone (Arung Pone) ke V, La
Tenri Sukki Mapayunge (1510-1535), tapi lain ibu, yaitu karena Raja
Tebawo/Sangia Inato atau La Tenri Sangeang Dabali, beribu Pandangguni
(Puteri Raja Tolaki dari turunan Wetenri Lakke juga dari Abuki) sedang
Arung Pone V beribu Bone Luwu dari Tenri Wali (Arung Kaju), maka Raja
Tebawo naik takhta di Kerajaan Konawe (tanah leluhur ibunya) pada usia
yang sudah lanjut yaitu berusia 67 tahun, karena itu sebelum menjadi Raja
Konawe, ia telah mempunyai beberapa isteri dari turunan-turunan Raja
Tolaki, Luwu, bahkan dari Tiworo di Kerajaan Muna.
B. Struktur Pelaksanaan Tugas Kapita Lau Di Kerajaan Konawe
Dalam struktur dan sistem pemerintahan tersebut terlihat bahwa Kapita Lau
termasuk salah satu dari anggota Pitu Dula Batu, yang letaknya cukup strategis
dalam tinjauan keamanan khususnya terhadap ancaman dari luar melalui laut di
sebelah Timur Kerajaan dimana kawasan ini pada periode abad XVI-XVII
menjadi rebutan oleh berbagai kerajaan/bangsa, seperti dari Ternate/Tobelo,
Bungku, dan Gowa yang saling merebut hegemoni di Kawasan Timur Nusantara
ini. Dengan demikian penetapan wilayah ini sebagai salah satu basis pertahanan
Kerajaan Konawe sangat tepat, baik untuk menjaga keselamatan rakyat maupun
dalam memelihara hubungan dengan Kerajaan lain, karena pada saat itu Sampara
sebagai salah satu pusat perdagangan maritime Kerajaan Konawe yang ramai
dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai kerajaan (Melamba, Aswati, dkk,
2011).
66
Suatu strategi yang dilakukan oleh Mokole Tebawo pada awal
pemerintahannya adalah dengan mendahulukan pelantikan aparat pemerintahan
yang menangani pertahanan keamanan ini seperti: Tutuwi Motaha, Kapita
Anamolepo, dan Kapita Lau. Kemudian oleh Panglima/menteri ini kemudian
membentuk pos-pos pertahanan keamanan di daerah sepanjang pantai khususnya
di wilayah Tambo i Losoano Oleo (gerbang timur) dan sekaligus
menunjuk/melantik komandannya yang dikenal Kapita Mayora di Lembo, Poasia,
Ngapaaha, dan Lanowulu.
Penempatan pos-pos tersebut berada di bawah Komando Pertahanan Kapita
Lau, bahkan dalam perkembangannya kemudian ditambah lagi beberapa pos yang
dianggap rawan dan strategis bagi pertahanan dan keamanan kerajaan. Haribau
selaku Kapita Lau pada periode ini, selain ia juga berasal dari keluarga istana,
juga beliau merupakan seorang pemimpin yang cerdas, arif, bijaksana, dan
memiliki pengalaman dalam bidang kemaritiman karena ia sering melakukan
pelayaran ke kerajaan-kerajaan tetangga.
Tugas dan tanggung jawab Kapita Lau ini cukup strategis bagi kerajaan,
karena selain menjaga keamanan juga sekaligus harus mampu menjadi duta-duta
bangsa dalam menjalin hubungan dengan dunia luar, khususnya dalam
memperlancar perdagangan antara daerah-daerah Konawe dengan kerajaan lain
dan menjalin hubungan dengan Kerajaan Konawe, seperti Buton, Muna, Tiworo,
dan Bone.
Sejalan dengan fungsi dan kedudukan kapita Bondoala dalam sistem
pemerintahan kerajaan Konawe dimasa pemerintahan raja Tebawo, untuk
67
menjaga masuknya musuh, baik yang datang melalui darat maupun melalui laut,
yang menjaga keamanan di Timur jauh dari kerajaan dan di Barat jauh dari
kerajaan di tetapkan dua panglima perang, yakni Panglima Perang di Darat yang
disebut Kapita Ana Molepo (Kapten Anak Muda) yang berkedudukan di Ue’pai.
Panglima Perang dilaut yang disebut Kapita Lau (Kapten Laut) yang
berkedudukan di Pulusabila, Sampara,(Wawancara dengan Sapiudin Pasaeno, 21
April 2012)
Kapita yaitu merupakan perwakilan raja Mokole atau merupakan tangan
kanan yang menjadi kepercayaan raja sebagai wakil yang menjabat jabatan
panglima perang dibidang tertentu, yang di jabat oleh golongan bangsawan Tulen
(Anakia Songo). Kapita bertugas memerangi dan menghancurkan musuh-musuh
baik dari dalam negeri maupun dari luar Kerajaan dalam menjalankan tugasnya
Kapita dibantu oleh Tamalaki sebagai prajurit-prajurit yang gagah berani dan
O’tadu yang mengatur strategi perang.
Tamalaki merupakan prajurit-prajurit yang gagah berani, sebagai penjaga
keamanan dan pertahanan kerajaan dalam keadaaan bahaya maupun dalam
keadaan aman. Menjaga keselamatan Raja, terutama dalam melakukan perjalanan
Dinas kedaerah-daerah dan melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang
oleh pejabat-pejabat yang ada dalam kerajaan Kerajaan Konawe. Tamalaki ini ada
dari golongan bangsawan maupun dari golongan To’ononggapa, bahkan dari
golongan budak pun, apabila dapat memiliki keberanian dan telah bebas status
ata-nya itu (Tarimana, 1993).
68
Selanjutnya, O’tadu merupakan seorang yang mempunyai keahlian
strategi perang, ahli nujum dan ahli siasat perang agar dengan mudah
mengalahkan dan menghancurkan musuh-musuh kerajaan Konawe. Tugas lainnya
menentukan waktu-waktu mana yang baik dan buruk untuk berangkat berlayar,
musim berburu, musim berladang, dan sebagainya. Dalam sumber sebagaimana
yang telah dikemukakan dua orang Kapita, yaitu Kapita Lau dan Kapita Ana
Molepo masing-masing dijabat oleh Haribau sebagai Panglima Perang Laut
(Melamba, Aswati, dkk, 2011).
Konsep Tambo I losoano Oleo adalah pintu terbitnya matahari, yaitu
wilayah kekuasaan sebelah Timur Kerajaan Konawe, yang dikuasai oleh seorang
raja yang bergelar Sapati. Sapati ini dikenal dengan nama samarannya kowuna
nggona I’a Ranomeeto, sebagai wilayah kecamatan Ranomeeto sekarang ini.
Pemerintahan Sapati kowuna nggona I’a, berkedudukan di Pu’u Mbopondi,
Ranomeeto, denganpejabat-pejabat sebagai berikut: Sorumba, Melamba,
Malandeo, Tebau, Wemaho, dan Mangu. Pemerintahan daerah Sapati
Ranomeeoto, dengan kerja sama Kapita Lau (Bontoala) di Sampara, membawahi
beberapa pemerintahan wilayah (Pu’utobu) yaitu: Sampara, Poasia, Moramo,
Kolono, Laeya danWowonii.
Wilayah-wilayah tersebut berada dalam kekuasaan dan tanggungjawab Sapati
Ranomeeto untuk menjalankan pemerintahan dengan baik sesuai instruksi-
instruksi yang diberikan oleh Mokole sebagai pimpinan yang tertinggi dalam
kerajaan Konawe.
69
Sistem pemerintahan yang didasarkan atas musyawarah, kegotongroyongan
sangat diutamakan dimana hubungan persahabatan dengan Bone dilaksanakan
oleh Pakandeate dan Haribau. Pada tahun 1905 Saranani mangkat dengan
meninggalkan satu orang istri yakni Balea dan 4 orang anak masing-masing tiga
orang putra dan satu orang putri. Setelah mangkatnya Saranani maka
kepemimpinan Anggaberi menjadi Tutuwi Motaha dari Pakandeate beralih ke
keturunan Rakawula. Akan tetapi pada tahun tersebut jabatan Tutuwi Motaha
sudah tidak berfungsi lagi menjadi panglima kerajaan Konawe seperti pada masa-
masa pemerintahan raja-raja Konawe dulu. Hal ini disebabkan oleh para
bangsawan pada masing-masing daerah tidak lagi mengakui akan eksistensi
Mokole atau raja apalagi setelah Saranani mangkat pada tahun 1904.
Keadaan ini berlangsung hingga berkuasanya pemerintahan Hindia Belanda
pada tahun 1905. Diamana posisi pejabat mengalami perubahan adalah sebagai
berikut:
1. Sapati Ranomeeto dijabat oleh Maho putri Tebawo di Wilayah Gerbang
Timur
2. Sabandara Latoma di jabat Tanggapili di Wilayah Gerbang Barat
3. Ponggawa I’una dijabat oleh Lagarai di sisi Kanan
4. Inowa Asaki dijabat oleh Ipapa Tawe Simbau disisi Kiri
Adapun pergeseran posisi pejabat Pitu Dula Batuno Konawe antara lain
sebagai berikut:
1. Tutuwi Motaha di jabat oleh Sariah di Abuki
2. Kotu Bitara atau Wati dijabat oleh Rambi di Wonggeduku
70
3. Kapita Ana Molepo di Tongauna
4. Kapita Bondoala di jabat oleh Rambidi Pohara
5. Pabitara
6. Rakahi Mbetumbu di jabat oleh Eha (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 208-
213)
Sehingga keadaan tersebut diatas bertambah rumit karena wilayah Konawe
bagianTimur yaitu wilayah Ranomeeto telah memisahkan diri dan mendirikan
kerajaan baru yang bernama Laiwoi yang dipimpin pertama kali oleh Lamangu
yang mengadakan perjanjian pertama dengan Belanda yang disebut Long
Contract. Demikian sejarah Kapita Lau di Kerajaan Konawe sejak tahun 1725-
1904.
Kepemimpinan Kapita Bondoala, dalam masyarakat Tolaki Sampara, tidak
banyak ditemukan riwayat historisnya, namun dengan mempelajari riwayat
kehebatan peperangan antara Kerajaan Gowa dengan Raja Bone (Arung Palakka)
yang dibantu oleh pasukan Kerajaan Buton dan Konawe yang disajikan dalam
suatu Seminar Sejarah di Ujung Pandang oleh : Prof. Dr. Andi Zainal Abidin
Farid, SH dengan judul : ―Inovasi Orang-orang Bugis pada Abad ke XVI-XVII di
Wilayah Timur dan Barat Sulawesi‖ dimana di dalamnya ikut dijelaskan
mengenai perang antara Sultan Hasanuddin dari Gowa dengan Arung Palakka
yang dibantu dengan 13.000 pasukan gabungan dari Buton, pasukan ―Tompo
Tikka‖ (Konawe), Sula, Tidore, Pada akhirnya, keberanian pasukan-pasukan
Gowa yang dipertahankan oleh Karaeng Bontomaranu secara mati-matian di
daerah Sombaopu dan Bontoala, dalam 3 dan 4 hari saja telah diduduki oleh
71
pasukan Arung Palakka yang dipimpin oleh La Tomparina Arung Atakka, Daeng
Pabila, Arung Maruang Marowanging, La Sambara Arung Ri Tompo Tikka
(Kapita Bondoala) bersama Kapita Lau Buton, Matanajo, dan Kapita Lau La
Jiapaloe serta Kapten De Brill dan Spellman, dengan memakan korban kedua
belah pihak yang sangat besar (A. Zainal Abidin Farid, 1987 : 16).
Dari keterangan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa Kapita Bondoala
dalam kedudukannya sebagai seorang Panglima Angkatan Laut memiliki salah
satu sifat kepemimpinan militer yaitu sifat pemberani sebagaimana dibuktikannya
pada peristiwa Perang Gowa di atas. Berikut diuraikan keberhasilan kapita Lau
dalam memimpin jabatan sebagai penguasa atau yang mengatur wilayah sungai
laut dan pesisir kerajaan Konawe. Konsep-konsep keberhasilan pemimpin
pasukan, namun dari ungkapan-ungkapan nyanyian berupa epos orang Tolaki
yang tergambar melalui nyanyian kukuaha dan taenango wuwutu mata dupa dari
Anggaberi/Toriki, dapat dipetik beberapa kunci keberhasilan para Tamalaki orang
Tolaki, yaitu para pemimpin orang Tolaki antara lain :
1. Hanggari no wutu ahu meratu dawa kasu artinya namun apa yang terjadi,
peluru atau senjata ditujukan kepadanya bagaikan asap dan daun kayu yang
berguguran, maksudnya kebal atau mempan tidak dimakan besi.
2. Anoamba tutoko meranggamii wodoh, maa au mbaokee kaa iee, no langgai
mosoro wungguaro mokapa, artinya, maka tatkala ia menyerang musuh,
tidaklah musuh diberi ampun kecuali langsung ditebas batang lehernya habis-
habisan.
72
3. Anoamba susuka, tepalimondoloako, mau mbaakokaa, iee no langgai
membiri, tamalaki melosika, artinya, dan manakala terpaksa harus mundur
maka musuh tak dapat berkesempatan untuk memukul balik karena gesitnya.
4. Mano sa lolosono oleo, tumotareano o’manu, ano tepotudoto okuro, tuduito
perondua, maa hapokaa iee, no tetopa rarai, nokukutii kasai, mondaurakoito
doworo, langgai masuana, pomberahi-rahia, wungguaro momea, pitu nduda
babuno. (Wawancara Arsamid, 14 April 2012), yang artinya, maka manakala
musuh telah dikalahkan dan semua lawan telah dikalahkan, perang dianggap
telah berakhir maka duduklah panglima bersama pasukan dengan senjata
diistirahatkan lalu bersorak-soraklah mereka bersama pasukan sebagai tanda
kegembiraan dan seterusnya.
Dari ungkapan tersebut diatas dapat diketahui keberhasilan seorang Tamalaki
(pemimpin perang) orang-orang Tolaki dimasa lalu terletak pada:
a. Keberanian (moseka)
b. Memiliki ilmu siasat motau lese.
c. Memiliki perlengkapan senjata yang kuat
d. Kekompakan bersama pasukan yang dipimpinnya
Sifat-sifat tersebut diatas dimiliki oleh pejabat Kapita Lau dalam memimpin
dan mengamankan wilayahnya.
C. Peranan dan Fungsi Kapita Lau di Kerajaan Konawe
Setelah menguraikan secara panjang lebar mengenai asal usul dari Kapita
Bondoala (I’Haribau) di atas, dapat kita pahami bahwa kedudukan Kapita Lau di
Sambara/Sampara merupakan tempat pertahanan yang merupakan pintu masuk
73
yang datang melalui laut, karena pada saat itu Sampara sebagai salah satu pusat
perdagangan maritim Kerajaan Konawe yang ramai dikunjungi oleh para
pedagang dari berbagai kerajaan dan sebagai penghubung dunia luar, juga untuk
menjaga masuknya musuh, baik yang dating melalui darat maupun melalui laut,
yang menjaga keamanan di Timur Jauh kerajaan dan di Barat di tetapkan dua
panglima Perang, yakni Panglima Perang di Darat yag disebut Kapita Anamolepo
(Kapten Anak Muda) yang berkedudukan di Ue’pai, dan Panglima Perang di Laut
yang di sebut Kapita Lau (Kapten Laut) yang berkedudukan di Pulusabila,
Sambara (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 83). Maka dari uraian tersebut sekaligus
dapat menjelaskan bahwa fungsi dan kedudukan Kapita Bondoala, dalam sistem
pemerintahan Kerajaan Konawe di masa pemerintahan Raja Tebawo, adalah :
a. Sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan Konawe digelar sebagai Kapita
Lau yang mempunyai Pasukan Angkatan Laut kurang lebih 1.000 orang,
berkedudukan di Pu’usambalu (Pohara) Sampara.
b. Selain sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan Konawe, juga sebagai
Anggota Dewan Adat Kerajaan (O’Pitu Dula Batu), bersama Buburanda
(Sabandara Latoma), Sorumba (Sapati Ranomeeto), Taridala (Kapita
Anamolepo Uepai), Paluwu (Ponggawa Tongauna), Kalenggo
(Sulemandara/Sekretaris Kerajaan) dan Latuo (Tusa Wuta/Menteri Besar
Pertanian Kerajaan Konawe).
c. Maka sebagai Anggota Dewan Adat Kerajaan Konawe, Kapita Lau/Kapita
Bondoala, adalah sebagai salah seorang pengambil keputusan penting dalam
seluruh sistem kebijaksanaan politik dalam dan luar negeri Kerajaan Konawe,
74
disamping tugasnya sendiri sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan, yang
sewaktu-waktu memimpin pasukannya, seperti yang telah ditunjukkannya
dalam membantu Kerajaan Buton/Wolio, ketika bersama dengan pasukan
Arung Palakka (La Tenri Tata) bersama Spelman melakukan serangan
terhadap Kerajaan Gowa, pada tahun 1967.
Peranan Kapita Bondoala dalam Kerajaan Konawe pada Masa Raja
Tebawo kita dapat melihat dalam berbagai aspek yaitu:
a) Aspek Politik dan Birokrasi Tradisional
Berdasarkan sumber yang penulis peroleh dari penelitian diketahui
bahwa, peranan Haribau (Kapita Bondoala) yang dapat ditelusuri pada masa
pemerintahan Sangia Inato (Raja Tebawo) antara lain :
1) Di bidang politik luar negeri kerajaan, ia pernah membawa misi Kerajaan
Konawe mewakili Raja Tebawo, untuk mengingat perjanjian kerja sama
ekonomi dan pertahanan dengan Kerjaaan Bone, sebagaimana yang telah
diuraikan di atas.
2) Di bidang politik dalam negeri, adalah Kapita Bondoala yang bersama
dengan kakaknya Kapita Anamolepo (Taridala) yang bertindak pergi
mengambil Raja Lakidende yang sedang belajar Islam di Buton setelah ia
kembali dari Bone, untuk didudukkan sebagai pengganti Raja Tebawo,
sepeninggal dunia Raja Tebawo, karena timbul kericuhan/perebutan
kekuasaan antara Raja Latoma dan Raja Sorumba dari Ranomeeto, untuk
naik takhta mengantikan Raja Tebawo, namun karena kedua raja tersebut
tidak mendapat dukungan luas dari raja-raja bawahan lainnya, maka
75
Haribau bersama kakaknya Taridala sebagai orang kuat (militer) Kerajaan
Konawe, lalu secara diam-diam berlayar mencari/menjemput Lakidende
yang sementara belajar di Buton dan mengantarnya datang ke Konawe, lalu
mendudukkannya sebagai Raja Konawe menggantikan Raja Tebawo;
Dengan prakarsa kedua bersaudara tersebut, maka amanlah Kerajaan
Konawe yang telah 12 tahun mengalami kevakuman kepemimpinan (raja)
sehingga pemerintahan Kerajaan Konawe dapat berlanjut selama kurang
lebih 67 tahun di masa Raja Lakidende (Melamba, dkk, 2011).
Seperti telah disinggung dalam uraian di atas, bahwa kedudukan Kapita
Bondoala dalam sistem pemerintahan Kerajaan Konawe di masa pemerintahan
Raja Tebawo, adalah selain sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan, jua ia
sebagai Anggota Dewan Adat Kerajaan Konawe bersama 6 orang anggota
lainnya. Berdasarkan kedudukan tersebut, maka dari berbagai penuturan sejarah
masa lalu Sampara, dapat diketahui mengenai beberapa kegiatan/peran yang
dimainkan oleh Kapita Bondoala di bidang pemerintahan, antara lain :
- Bertindak sebagai utusan Raja Tebawo untuk menandatangani kerja sama
ekonomi dan pertahanan dengan Kerajaan Bone di Watampone
- Membantu Sapati Ranomeeto (Sormba) dalam mengamankan/menata
pemerintahannya di seluruh wilayah Tambo I’Losoano Oleo, dari batas
Lemo Bajo/Lasolo-Wolasi.
- Memberikan laporan secara teratur kepada Raja Tebawo melalui Sidang
Dewan Adat Kerajaan, tentang keamanan laut wilayah timur Kerajaan
Konawe dari serangan-serangan musuh (Ternate, Tidore, Luwu, Bangai)
76
- Mengusulkan terbentuknya aparat penguasa pelabuhan dengan Gelar
Kapita Ngapa yang berada di bawah koordinasi Kapita Lau, untuk
pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Konawe di bagian timur Kerajaan Konawe,
yaitu : Kapita Ngapa di Bandaeha/Lembo; Kapita Ngapa di
Andumowu/Lasolo; Kapita Ngapa di Poasia/Lepo-Lepo; Kapita Ngapa di
Ngapaaha/Pamandati (Lainea) dan Kapita Ngapa di Lanowulu/ Tinanggea;
usul mana dapat disetujui dan dilantik oleh Haribau, atas nama Raja
Tebawo, bukan sebagai atas nama Panglima Angkatan Laut Kerajaan
(Muslimin Su’ud, 1988).
Tugas-tugas sipil pemerintahan di atas, dijelaskan oleh Kapita Bondoala,
pada saat-saat ia tidak melaukan tugas sebagai Panglima Angkatan Laut, dengan
16 buah perahu ―Lambo‖ yang disebut oleh orang Tolaki dengan perahu
―Manulambu‖ yang diberikan/dihadiahkan oleh Raja Bone, ketika ia berkunjung
ke Bone pada masa itu.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa peranan Kapita Bondoala dalam
bidang politik pada masa Raja Tebawo cukup besar andilnya, terutama dalam
rangka menjamin kesinambungan Kerajaan Konawe setelah meninggalnya Raja
Tebawo menyongsong naiknya Raja Lakidende
b) Di Bidang Ekonomi
Dari berbagai sumber penuturan sejarah masa lalu Kerajaan Konawe,
khususnya dari pulau Menuy, dari Buton dan dari Salabangka, diperoleh informasi
yang menceriterakan bahwa perahu-perahu yang memuat sagu, daun agel, dan
buah-buahan pisang, serikaya, dan kelapa, sejak masa Kapita Laudi daerah
77
tersebut telah selalu didatangi oleh para pedagang naik perahu asal Wowa
Sambara dan Pasambala (Pu’usambalu) yang diawali oleh sebagian orang Bugis
dan sebagian orang Taloki (bukan Tolaki) untuk berbarter/mengganti dengan ikan,
garam, dengan segala barang keramik dari Buton, Menui, dan Salabangka. Dari
Ternate seorang Tetua Adat Ternate, Kapita Haribau, asal Konawe Wasambara.
Sejak lama telah dikenal oleh ceritera-ceritera penduduk di hampir semua daerah
pesisir pantai pulau-pulau Maluku Utara, sebagai seorang Bajak Laut yang
ditakuti oleh bajak-bajak laut Tobelo (Halmahera, Bacan) dan Tidore, karena di
samping selalu muncul dengan tujuan berdagang ia sekaligus juga selalu
menimbulkan huru hara bila ia akan diganggu oleh pedagang-pedagang
saingannya.
Seorang informan menjelaskan bahwa nenek mereka yang tiba di
Lemobajo dari Bajoe/Bone, pada tahun 1636, karena perang Bone-Gowa, telah
menceriterakan, kalau nenek mereka itu tiba di Lemobajo Lasolo, telah
berkenalan dan tukar menukar tanda mata serta keperluan ekonomi dengan
Haribau, dengan bukti adanya sebilah parang Taawu (parang panjang) ukuran
1,60 meter panjang sebagai kenang-kenangan dari Kapita Haribau, melalui nenek
mereka yang tetap mereka simpan dan pelihara sebagai tanda mata Kapita
Bondoala (H. Abdullah Djusin, wawancara 17 Mei 2012).
Dari uraian di atas menggambarkan bahwa Kapita Bondoala, selain
sebagai Panglima Angkatan Laut, juga sebagai pameran dalam kegiatan ekonomi
perdagangan dengan dunia luar Kerajaan Konawe, sekurang-kurangnya bertindak
78
sebagai pengawal/pengawas dalam lalu lintas ekonomi perdagangan dari daerah-
daerah luar kerajaan.
c) Di Bidang Pertahanan dan Keamanan
Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa Kapita
Bondoala, dalam kedudukannya sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan
Konawe (Kapita Lau), sangat besar peranannya dalam mengamankan kerajaan
dari berbagai serangan dari luar terutama dari Kerajaan Ternate, Banggai dari
timur yang terkenal dengan bajak laut mereka yang disebut ―To Belo‖ di mana
mendorong Haribau, melakukan upaya-upaya sebagai berikut :
1. Membangun beberapa pelabuhan penjaga serangan seperti mendirikan
pelabuhan; Andumowu/Lasolo, Lembo/Bandaeha/Lasolo, Lepo-Lepo
Kendari/Poasia, Ngapaaha/Tinanggea dan Lanowulu/Tinanggea dengan
menempatkan komandan-komandan pelabuhan yang diberi gelar dengan
―Kapita Ngapa‖.
2. Pulang balik ke Bone, untuk mencari perahu-perahu layar ―Lambo‖ untuk
dijadikan sebagai alat/kapal penyerang musuh.
3. Membangun Pangkalan Angkatan Laut yang tangguh di Pu’usambalu
Pohara.
4. Memberikan bantuan pasukan Angkatan Laut dengan memimpin sendiri
terhadap Kerajaan Bone dan Buton seperti yang telah dijelaskan di atas.
5. Melakukan patroli terus menerus sambil berdagang di pulau-pulau sekitar
wilayah timur Kerajaan Konawe seperti di Salabangka, Ternate, Menui dan
daerah-daerah lain bersama dengan pasukannya.
79
6. Bersama dengan Angkatan Darat Kerajaan Konawe, bahu membahu
mengatasi kericuhan yang terjadi, antara raja-raja bawahan sewaktu Raja
Tebawo meninggal dunia, untuk tetap menegakkan kesinambungan
pemerintahan Kerajaan Konawe (Melamba, dkk, 2011).
Kegiatan-kegiatan tersebut di atas, menunjukkan bahwa Kapita Bondoala
sangat besar peranannya dalam menciptakan kestabilan politik-politik Kerajaan
Konawe pada masa pemerintahan Raja Tebawo baik pada awal-awal pelaksanaan
tugasnya maupun pada masa-masa sesudah pemerintahan Raja Tebawo.
d) Di Bidang Sosial Budaya
Di bidang sosial budaya, salah satu dari berbagai peranan Kapita Bondoala
yang hingga saat ini masih terasa adalah sumbangannya dalam menjadikan
wilayah Sampara sebagai salah satu pintu asimilasi dan sirkulasi antara orang-
orang Tolaki dengan orang-orang Bugis, dengan catatan-catatan sejarah sebagai
berikut :
1) Menjadikan wilayah Sampara (Sambara) (melalui muara Sungai Sampara)
sebagai pelabuhan komunikasi/transportasi lalu lintas perdagangan antara
pedagang-pedagang orang Bugis dengan para pedagang Ternate sebelum
terjadi perang antara Kerajaan Buton dengan Kerajaan Ternate.
2) Menjadikan Pelabuhan Sampara sebagai pintu masuknya rombongan-
rombongan orang Bugis di Kerajaan Konawe sejak tahun 1459 rombongan I
yang dipimpin oleh Madukala yang kemudian kawin dengan Wesangguni
dari Abuki, lalu melahirkan Raja Tebawo/Sangia Inato, menyusul datangnya
rombongan orang Bugis ke II yang dipimpin oleh Daeng Manabung pada
80
tahun 1612 menyusul datangnya rombongan Arung Baku pada tahun 1781
dan seterusnya, yang kesemuanya melalui Sampara baru kemudian
menyebar ke Lepo-Lepo, Tiworo, Torobulu-Tinanggea, kemudian masuk ke
pedalaman daratan Sulawesi bagian Tenggara (Tanah Konawe) kemudian
ke Buton-Muna bahkan ke Mekongga karena mereka tidak dapat melewati
jalur Kolaka, disebabkan kuatnya pengaruh kekuasaan Luwu di daerah-
daerah Pitumpanua (Mekongga);
3) Menerima penempatan sejumlah tiga puluh tujuh Kepala Keluarga orang
Tiworo yang datang dari pulau-pulau Tiworo, di wilayahnya yaitu di Desa
Lalonggaluku, setelah berkembang biak di Parauna selama 12 tahun, akibat
timbul perselisihan dengan penduduk asal Kulahi Anggotoa, sehingga sejak
saat itu terjadi perkawinan dengan penduduk asli di sepanjang sungai
Pohara-Muara Sampara dengan keturunan-keturunan orang Tiworo;
4) Membuka lebar-lebar pantai timur Ranomeeto untuk menerima pelarian-
pelarian orang Bugis dari Sulawesi Selatan akibat perang hebat antara
Kerajaan Bone (Arung Palakka) dengan Kerajaan Gowa, seperti yang
sekarang ini berkembang di beberapa tempat seperti di Bungkutoko,
Kendari, Lepo-Lepo, Mata, dan Toronipa.
Panglima angkatan laut Kapita Sambara Wuta Konawe, kerajaan Konawe
yang bergelar ‖Tanoopa moloro, Tadohopa Nduosa, Lomalaea Ndahi
Membandera Waea Kapita Lau”, berkedudukan di Puu Sambalu Sambara atau
Sampara (Wilayah bahagian Timur kerajaan Konawe) yang di jabat pertama oleh
81
Kapita Lau Haribau dan dilanjutkan oleh pejabat Kapita lau hingga kapita Tehaho
sebagai kapita terakhir.
Para pejabat tersebut diatas dibantu oleh beberapa pejabat yang berstatus
menteri muda, sedangkan pejabat tersebut berstatus sebagai pejabat tingkat wonua
mereka memiliki otoritas atau wewenang. Menguasai dan berwewenang terhadap
beberapa pelabuhan laut di kerajaan Konawe.
Koordinasi untuk urusan persenjataan para o’tadu dan tamalaki dibawah
pengawasan Kapita lau, yaitu dengan cara memesan kepada kepala urusan
persenjataan kerajaan Konawe yang disebut ‖Parewano wuta Konawe‖ yang
berkedudukan di Sanggona yang dijabat oleh seorang to’ono motuo dari
Sanggona.
Jika ada tamu yang datang berkunjung di Ranomeeto sebagai pejabat Sapati
yaitu Sorumba maka jika tamu tersebut ingin ke Unaaha menemui raja atau
mokole Konawe terlebih dahulu harus melalui pengetahuan Kapita Lau karena
jalan satu-satunya untuk ke Unaaha melalui Sampara dan Puu Mbopondi.
Relasi dengan pejabat Sabandara (sabannara) pejabat Syah bandar
berkedudukan di Wowalatoma yaitu melalui jalur koordinasi karena Sabandara
menguasai hilir sungai Konaweeha yang merupakan urat nadi ekonomi Kerajaan
Konawe, sedangkan Sampara atau sambara sebagai Hulu kali Konaweeha. Jika
terjadi ancama di daerah Wawolatoma dan beberapa Tobu wilayah kekuasaannya
maka akan dikirim pasukan dari sampara melalui laut. Termasuk jika akan ke
daerah Asera dan Wiwirano terlebih dahulu harus memberitahu anakia sabandara
karena daerah ini merupakan wilayah bawahan atau o’tobu. Contohnya pada
82
waktu akan di tempatkan pelabuhan dan pimpinannya di wilayah ini terlebih
dahulu dilaksanakan komunikasi dan meminta persetujuan dari Kapita lau kepada
pejabat Sabandara. Koordinasinya melalui mokole pemerintahan pusat di Unaaha.
Untuk membentuk pertahanan di wilayah Lasolo maka pejabat Kapita Lau
harus melaukukan koordinasi dengan pejabat barata ihana, karena tobu Lasolo di
bawah kekuasaan Barata I’hana yang berkedudukan di Tongauna Lalonggowuna.
Hal ini pula berlaku pada saat membentuk dan menunjuk kapita Ngapa Aha
dan Kapita Lanowulu maka pejabat kapita ini mengkoordinasikan tugasnya
kepada pimpinan penguasa Barata Imoeri yaitu pejabat panglima angkatan darat
yang bergelar Kapita Anamolepo. Tugas menjaga dan mengamankan wilayah laut
merupakan tugas dari masing-masing kapita Lanowulu dan Kapita Ngapa di
Tinanggea Konawe bagian selatan tetapi masalah pemungutan bea atau
penghasilan pajak pelabuhan hasilnya diserahkan ke pejabat Kapita Anamolepo
untuk selanjutnya diserahkan ke Unaaha. Demikian sistem koordinasi dan hiraki
relasi kekuasaan pejabat Kapita Lau dengan beberapa pejabat Siwole mbatohu di
kerajaan Konawe dengan tetapi menganut asa koordinasi dan saling mengetahui
tugas, fungsi dan kewenangan dari pejabat tersebut, dan saling membantu apabila
terjadi gangguan keamanan dan pertahanan.
Menyangkut kesinambungan dan keberlangsungan pejabat kapita lau pada
zaman kerajaan Laiwoi berstatus sebagai pejabat wilayah Tobu di Sampara,
sebenarnya secara internal dalam kerajaan Konawe mereka masih menganggap
diri sebagai Kapita lau di tingkat kerajaan atau wonua. Tetapi pada zaman
pemerintahan kerajaan Laiwoi oleh pemerintah Hindia Belanda kedudukan Kapita
83
Lau di pindahkan dari Sampara ke Poasia dengan pejabatnya bernama Bunggasi
atau Boenggasi. Hal ini dilakukan agar pemerintah Hindia Belanda mudah dalam
pengontrol kegiatan pejabat ini karena di khawatirkan akan menyusun kekuatan
karena berada agak sedikit jauh dari Kota Kendari tempat kedudukan controleur
atau tuan petor dalam bahasa Tolaki disebut tua mbetoro. (Basrin Melamba,
wawancara 29 September 2012).
Keseluruhan peristiwa-peristiwa sejarah yang penulis uraikan di atas,
merupakan jasa-jasa dari Kapita Bondoala bersama turunan-turunannya di
belakang hari, sehingga Kecamatan Sampara sampai saat ini adalah merupakan
salah satu wilayah orang Tolaki yang paling banyak warganya sebagai turunan-
turunan Bugis-Tolaki yang tak dapat lagi dibedakan apakah ia sebagai orang
Bugis, ataukah sebagai orang Tolaki, akibat telah berasimilasi secara turun
temurun selama beberapa abad yang lalu.
Untuk mengenang Kapita Lau di kerajaan Konawe, di tengah-tengah
masyarakat Konawe terdapat banyak nyanyian yang menceritakan tentang
peranan Kapita Lau salah satunya yaitu nyanyian Kukua Hano Tolaki, yang
menceritrakan keberadaan Kapita Lau. Masayarakat Sampara mempunyai
lapangan sepak bola yang disebut Lapangan Haribau dan daerah-daerah Lainnya
seperti di Kelurahan Bandoala terdapat Lapnagan yang dinamakan Lapangan
Pasaeno. Selain lapangan terdapat juga makam Kapita Lau perempuan Waanggo
(Kapita Lau ke V), dan makam Tolunggae (Kapita Lau ke VI) yang berada di
kelurahan Laosu tepatnya di desa Lalonggaluku, dan di desa Wawolimbue
84
kecamatan Sampara juga terdapat makam Pasaeno yang merupakan Kapita Lau
yang ke IV. Gambarnya dapat dilihat pada Lampiran hasil penelitian ini.
85
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Latar belakang terbentuknya Kapita Lau,Secara etimologi Kapita Lau terdiri
atas dua suku kata yaitu Kapita yang berarti Kapten, dan Lau yang berarti
Laut. Sedangkan menurut tradisi masyarakat Tolaki bahwa Kapita Lau
adalah Menteri atau Panglima Angkatan Laut Kerjaaan Konawe. Istilah
Kapita dikenal dalam bahasa Portugis yang berarti kapten yaitu pimpinan
suatu pasukan. Di Kerajaan Konawe beberapa jabatan yang mengenal kapita
seperti Kapita Anamolepo, Kapita Bondoala, Kapita Larambe, Kapita
Lanowulu, Kapita Ngapaaha, dan terakhir Kapita Lasandara di kerajaan
Laiwoi. Jabatan Kapita Lau ini muncul pada zaman pemerintahan Mokole
Tebawo, kerajaan Konawe telah membentuk Panglima Angkatan Laut
(Kapita Lau) atau juga lebih dikenal kapita Bondoala. Ia masuk dalam
struktur Opitu Dula Batuno Konawe, berkedudukan di Pu’usambalu
Sambara/Sampara yang pertama kali dijabat oleh Haribau dengan gelar
Kapita Bondoala. Kapita Bondoala, adalah merupakan gelar dari Kapita Lau
(Panglima Angkatan Laut) Kerajaan Konawe yang diberikan oleh
masyarakat Konawe, setelah ia kembali dari peperangan bersama Buton,
Bone (Arung Palakka), melawan Gowa dan berhasil menduduki salah satu
wilayah Kerajaan Gowa yang bernama ―Bontoala‖, pada tahun 1667.
86
2. Struktur pelaksanaan tugas Kapita Lau di Kerajaan Konawe yaitu merupakan
tangan besi Mokole atau tangan kanan yang menjadi kepercayaan raja sebagai
wakil yang menjabat jabatan Panglima Perang. Adapun wilayah-wulayah
pemerintahan Kapita Lau (Bontoala) di Sampara yaitu: Sampara, Poasia,
Moramo, Kolono, dan Laeya. Wilayah tersebut berada dalam kekuasaan dan
tanggung jawab Sapati Ranomeeto dan Kapita Lau untuk menjalankan
pemerintahan dengan baik.
3. Peranan dan fungsi Kapita Lau di kerajaan Konawe yaitu:
Berfungsi sebagai panglima angkatan laut kerajaan Konawe digelar sebagai
Kapita Lau yang memiliki pasukan angkatan Laut ± 1000 orang,
berkedudukan di Pu’usambalu, Sambara (yang sekarang ini disebut Pohara).
Selain itu peranan Kapita Lau di beberapa aspek sebagai berikut:
a. Di bidang birokrasi dan politik tradisional Konawe, bahwa Kapita Lau
Haribau sangat besar peranannya dalam membantu kakaknya Taridala
mengamankan stabilitas pemerintahan baik di wilayah Kerajaan Konawe
bahagian timur (Ranomeeto) maupun daerah-daerah lainnya di sekitar
pantai Utara dan Selatan Kerajaan Konawe.
b. Di bidang ekonomi, ikut menggerakkan roda perekonomian kerajaan-
kerajaan dalam lalu lintas perdagangan antara Kerajaan Konawe dengan
dunia luar.
c. Di bidang politik, ikut menstabilkan/menciptakan/mengamankan
kekacauan/perpecahan politik yang timbul dalam negeri Kerajaan
Konawe, setelah meninggalnya Raja Tebawo pada tahun 1599.
87
d. Di bidang Hankam ikut bersama-sama Buton dan Bone, dalam
menghadapi serangan-serangan dari laut yang ingin menyerang kerajaan
Konawe, Buton atau Bone, terutama dengan Kerajaan Ternate, Banggai,
Luwu, Muna, dan Selayar yang selalu memihak kepada Kerajaan Gowa.
e. Di bidang sosial budaya, Kapita Lau Haribau, merupakan jembatan
meningkatnya hubungan asmilasi antara orang-orang Bugis-Tolaki-
Tiworo, melalui perkawinan yang dilanjutkan dengan para turunan-
turunan penggantinya di kemudian hari.
f. Bersama Tosugi dari Anggaberi pernah memimpin rombongan ke Bone
untuk membantu raja Bone melawan Belanda.
B. Saran-Saran
Berdasarkan pada pokok-pokok pikiran diatas maka beberapa saran,
berkenaan dengan masalalu bahwa perang penting searang pengawal raja
menduduki posisi penting bagi kelangsungan kepemimpinan dan ketahanan
seorang raja. Maka jika dilihat kondisi kekinian maka peran-peran tersebut masih
berkesinambungan untuk itu negara harus memperbaiki sistem pengawal pejabat
sekarang ini jabatan pengawal raja memperlihatkan kesinambungan fungsi dan
perannya guna mengatur kondisi dalam menjaga keselamatan pemimpinnya.
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sejarah dan
Muatan Lokal di Sekolah
Pembangunan diberbagai sektor pada era reformasi sekarang ini Nampak
mengalami peningkatan yang cukup signifikan hal ini disebabkan oleh tuntutan
kebutuhan yang makin hari makin diraskan oleh masyarakat. Dengan makin
88
majunya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan manusia sebagian besar
melupakan masa lamapau. Masa lampau itu adalah sesuatu yang kuno yan tidaka
pantas lagi untuk dilakukan pada masa sekarang. Padahal apa yang terjadi pada
masa lampau itu dapat dijadikan sebagai pengalaman dalam menjalani hidup di
masa kini dan masa yang akan datang kesalahan-kesalahan yan terjadi dimasa
lampau tidak terulang lagi dimasa kini dan masa yang akan datang.
Perkembangan zaman yang begitu pesat baik dalam segi pengetahuan
maupun teknologi brdampak pula pada dunia pendidikan dewasa ini. Seiring
dengan tuntutan zaman tersebut para pendidik (guru) diharapakan dapat dituntut
untuk senantiasa memiliki budi pekerti luhur, disiplin, mandiri dan profesional,
karena apa yang dilakukan guru disekolah dapat dijadikan panutan oleh murid-
muridnya untuk itu para pendidik (guru) diharapkan mampu menjadi teladan bagi
muridnya.
Penulisan peranan seorang tokoh dalam masyrakat sekitarnya bisa
dijadikan contoh bagi peserta didik sehingga mereka bisa lebih dekat mengenal
tokoh sejarah didaerah mereka terlebih dahulu sebelum mengenal tokoh sejarah
didaerah lain (Nasional). Dalam hal ini dengan memahami nilai-nilai sejarah yang
tertanam dalam kehidupan masyarakat baik aspek politik, ekonomi maupun sosial
budaya mempunyai daya tarik yang sangat penting dalam memperluas wawasan
dan pengetahun kita serta dapat mempertebal rasa kecintaan terhadap bangsa dan
Negara.
Bila kita melihat kembali bagaimana peranan seorang tokoh dalam hal ini
Haribau (kapita Lau) dalam upaya mempertahankan dan menjaga keamanan
89
kerajaan serta memperluas kekuasaannya yang tentu saja tanpa melupakan
kesejahteraan rajanya karena segala yang dilakukan oleh Haribau (Kapita Lau)
adalah semata-mata dari kemaslahatan kerajaan. Apa yang diciptakan oleh para
leluhur kita diamas lamapau yang juga menjadi ciri khas dari sebuah daerah itu
terlepas dari keuletan, kedisiplinan, serta kepatuhan mereka pada aturan yang
telah dibuat.
Implikasi hasil penelitian terhadap pembelajaran sejarah disekolah dapat di
ajarkan pada tingkat SMP Kelas VII Semester I berdasarkan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) dengan kompetensi dasar yaitu: kemampuan
menguraikan proses perkembangan Agama, mengharagai peninggalan-
peninggalan sejarahnya. Dengan indikatornya yaitu : a) menyusun kronologi
perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, b) mengidentifiaksi
persamaan dan perbedaan bentuk dan ciri-ciri peninggalan sejarah yang bercorak
Islam di berbagai daerah. Dari enam kali pertemuan materi ini dibahas pada
pertemuan ke-4 dan ke-5.
Adapun strategi yang diterapkan guru dalam mengajarkan materi ini
adalah dengan menggunakan metode ceramah, studi lapangan, diskusi kelompok
dan Tanya jawab. Hal ini dimaksud agar siswa tidak hanya memperoleh
pengetahuan itu dari guru tapi juga dapat memperoleh pengetahuan itu dengan
cara pengalaman studi lapangan diskusi dan tanya jawab. Namun dalam proses
diskusi, guru tetap mengontrol dan juga mengarahkan siswa jika mereka
mengalami kesulitan dalam diskusi sehingga ada kerja sama antara guru dan
siswa.
90
Relevansi dengan pengajaran sejarah di SMP adalah konsep mata
pelajaran sejarah yang menanamkan pengetahuan kepada siswa yang seperti
menyangkut sikap dan tingkah laku dalam bermasyarakat. Sikap-sikap yang
seperti ini bisa dijadikan sebagai panutan seperti sikap dan kearifan Haribau
(Kapita Lau) dalam pembinaan sosial, politik, Agama dan budaya dalam kerajaan
Konawe yang tercermin saat beliau memerintah. Sehubungan dengan ini maka
nilai yang dapat dipetik dari penelitian ini dunia pendidikan akhlak yang dimiliki
dalam kehidupan nantinya akan direalisasikan kepada peserta didik yang masih
duduk dibangku-bangku sekolah.
Guru didalam menerapkan metode pembelajaran sejrah tidak harus fakum
tetapi guru tersebut harus relatif dalam membawa pemikiran siswa pada masalah
yang sedang dijelaskan dan untuk mempermudah hal itu maka guru dapat
menggunakan metode karya wisata, dimana siswa diajak mengunjungi tempat-
tempat bersejarah (situs sejarah) yang berkaitan dengan materi yang dibawakan
dan dari kunjungan tersebut siswa mendapat banyak manfaat seperti: siswa bisa
rekreasi tapi sekaligus juga belajar karena siswa tidak saja mengetahui teori dan
materi yang dijelaskan tapi juga praktenya dengan melihat langsung objek yang
dibahas.
Dengan demikian maka pengajaran sejarah merupakan dasar bagi pendidik
dalam masalah pembangunan jiwa generasi muda dengan membangkitkan
kesadaran bahwa mereka adalah generasi penerus cita-cita bangsa. Peranan
seorang tokoh Haribau (Kapita Lau) merupakan asset sejarah local yang perlu
diketahui oleh generasi muda sekarang.
91
DAFTAR PUSTAKA
Anonim , 2007. Sejarah dan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara: Kendari:
Badan Riset Provensi Sultra
Andi, Zainal Abidin Farid, 1987. Inovasi Orang-orang Bugis pada abad ke XVI-
XVII. Di wilayah Timur dan barat Sulawesi.
Alimudin, 2011. Peran Bontona Siompu Pada masa Kesultanan Buton. Skripsi
FKIP Unhalu: Kendari
Al-Ashur, Arsamid, 2003. Sejarah Pemerintahan Kabupaten Konawe. Lembaga
Adat Tolaki Kabupaten Konawe
Cohen, Bruce, 1983. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Bina Aksara
Djafar, Arnita, 2009. Pengaruh Portugis di Maluku. Yogyakarta: Ombak
Gatrima, 2000.Peranan Taridala sebagai Kapita Ana Molepo atau Panglima
Angkatan Darat pada masa Pemerintahan Raja Tebawo di Kerajaan
Konawe (1602-1668). Skripsi Unhalu. Kendari
Gusti, Asnan, 2001. Dunia Maritum Pantai Barat Sumatera. Jogjakarta: Ombak
Kartodirjo, Sartono, 1986. Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial. Jakarta
Kartono, Kartini, 2003. Kepemimpinan. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Lassong, Abdul Kadir, 1996. Peran Barata Lohia Terhadap Kerajaan Muna.
Skripsi FKIP Unhalu: Kendari
Melamba, Basrin, Aswati, dkk, 2011. Sejarah Tolaki di Konawe. Yogyakarta:
Teras
Mokodompit, Eddy, 1973. Perinsip Kepemimpinan. Universitas Hasanuddin:
Ujung Pandang
Nurlupiana, 2011.Peranan Tutuwi Motaha (Pengawaol Raja) di Kerajaan
Konawe pada Abad XVII-XX. Skripsi Unhalu. Kendari
Pasolong, Harbani, 2010. Kepemimpinan Birokrasi. Alfabeta cv: Bandung
Pamudji, 1986. Kepemimpinan Pemerintah di Indonesia. Jakarta: PT. Bina Aksara
Rabani, La Ode, 2010. Kota-kota Pantai di Sulawesi Tenggara. Ombak:
Yogyakarta
92
Rudini, 1992. Profil Provinsi Nusantara, Sulawesi Tenggara. Jakarta. Depdagri
Saragih, Partogih, 1990. Peran Kepemimpinan dan Daya Adaptasi Terhadap
Modernisasi. Jakarta: Medya Asri
Siagian, Sondang P., 2003. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: PT
Rineka Cipta
Suprihadi Sastrosupono. 1982. Menghampiri Kebudayaan. Bandung: Penerbit
Alumni.
Suradinata, Ermaya, 1997. Pemempin dan Kepemimpinan Pemerintahan.
Gramedia Pustaka: Jakarta
Suroyo, Djuliati, dkk, 2007. Sejarah Maritim Indonesia 1. Semarang: Jeda
Susanto, Arsid S., 1983. Perubahan Sosial. Jakarta: Grafiti
Su’ud, Muslimin, 1988. Aneka Ragaman Kebudayaan Tolaki. Kendari Balai
penelitian Unhalu
Suwardi, MS, dkk, 2008. Mengabdi pada Ilmu dan Profesi Sejarah Demi Daerah
dan Bangsa.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syamsudin, Helius, 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak
Tamburaka, Rustam, dkk, 2003. Sejarah Sultra dan 40 Tahun Sultra Membangun.
Jakarta: Pemda Sultra Kerja sama dengan Pt. Antam Tbk.
Tarimana, Abdurrauf, 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka
Tawulo, Asrul, 1987. Stratifikasi sosial dan struktur pemerintahan Menurut Adat Tolaki
–Konawe ; Kabupaten Kendari. (Kendari: Balai Penelitian Universitas Haluoleo).
Uchjana, Onang Efendy, 1981. Kepemimpinan dan Komunikasi. Bandung: Bina
Insan
Wirutomo, Paulus, 1982. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. Jakarta: Cv
Rajawali
Yayat, Hayati Djadmiko, 2008. Perilaku Organisasi. Bandung: Alfabeta
http://greenreefsindonesia.blogspot.com/2008/06/dasar-hukum-laut-ndonesia.html
93
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Arsamid Al Ashur
Lahir : Tawanga 1943
Alamat : Kelurahan Latoma, Kecamatan Unaaha
Keterangan : Budayawan Tolaki
2. Nama : Sapiudin Pasaeno
Lahir : 1923
Alamat : Kapoiala
Keterangan : Tokoh adat
3. Nama : Drs. H. Melamba Tombili
Lahir : 1949
Alamat : Pohara
Keterangan : Turunan Kapita Lau
4. Nama : H. Abdullah Djusin
Lahir : 1942
Alamat : Kelurahan Bondoala
Keterangan : Ketua LPM
5. Nama :Sapiudin T
Lahir : 1960
Alamat : Kelurahan Konawe
Keterangan : Puutobu
94
SUSUNAN YANG PERNAH MENJABAT SEBAGAI KAPITA LAU DI
KETAJAAN KONAWE
Haribau (KL I)
Rambi (KL II)
Maho (KL III)
Pasaeno (KL IV)
Waanggo (KL V)
Tolunggae (KL VI)
Ndawuto (KL VII)
Latombili (KL VIII)
Pasiala (KL IX)
Sumuro (KL X)
Tehaho (KL XI)
(Muslimin Su’ud, 1988)
95
GLOSARIUM
Ama : Ayah
Anakia : Gelar bagi golongan bangsawan di kerajaan Mekongga
Andolaki : Pemukiman awal Tolaki
Anggalo : Pemukiman lembah/ngarai yang penghuninya terdiri
empat sampai tujuh kepala keluarga yang merupakan satu
rumpun keluarga dari satu keturunan. Jumlah wilayah
pemukiman anggalo mencapai ribuan.
Bokeo : Suatu gelar raja dikerajaan Mekongga, kata Bokeo
diartikan buaya yang oleh masyarakatnya diidentikkan
dengan penguasa air “mbu iwoi” dalam bahasa Tolaki.
Datu : Penguasa, gelar yang digunakan untuk penguasa Luwu.
Districk : Bagian dari wilayah Onderrafdeeling yang dipimpin
seorang kepala districk dengan gelar Mokole, di Jawa
disebut Wedana atau Demang.
Ina : Ibu
Kalo : Pilin rotan kecil berjumlah tiga batang yang dililit,
digunakan sebagai simbol setiap aktivitas kebudayaan suku
Tolaki Mekongga
Kapala Kambo : Kepala Kampung
Kapita : Jabatan dalam Kerajaan Konawe yang bertanggung jawab
pada bidang pertahanan dan keamanan di laut, daratan,
maupun pejabat raja II.
Kotubitara : Menteri bidang kehakiman
Lakina : Gelar bangsawan di Wawonii
Mokole : Gelar jabatan di Kerajaan Mekongga yang berkuasa pada
tingkat wilayah distrik (gelar kepala distrik)
Mosehe : Upacara Tolak Bala
Oata : Budak
Onapo : Suatau wilayah pemukiman lembah yang secara hukum
adat di kuasai dan diduki oleh gabungan kelompok yang
96
mendiami anggalo.Adapun jumlah pemukiman wilayah
o’napo mencapai ratusan.
O’tadu : Ahli siasat Perang
O’tobu : pemukiman wilayah gabungan o’napo yang biasanya
terdiri dari empat atau tujuh pemukiman o’napo yang saling
berdekatan letaknya satu sama lain, biasanya jumlah
wilayah o’tobu ini mencapai puluhan. Di kerajaa
Mekongga terdapat 7 wilayah tobu yang dipimpin oleh
seorang pu’tobu, selanjutnya pada masa pemerintah Hindi
Belanda ketujuh wilayah ini dijadikan wilayah Distrik.
Pabitara : Juru bicara
Pu’tobu : Gelar jabatan di tingkat distrik zaman kerajaan Mekongga.
Pitudula Batuno Konawe : Tujuh Anggota Dewan Konawe
Sapati : Jabatan dalam kerajaan Mekongga, Buton, Laiwui yang
mendampingi raja semacam perdana mentri dan patih.
Sabandara : Syabandar jabatan dikerajaan Mekongga yang bertugas
memungut bea masuk perahu dan mengatur perdagangan.
Sangia : Gelar ini umumnya dipakai sebagai sebutan seorang raja
setelah mangkat.
Siwole Mbatohu : struktur pemerintahan kerajaan Konawe terdiri empat
wilayah Kerajaan.
Tamalaki : Prajurit pemberani
Tolaki : Orang pemberani/laki-laki pemberani
Tolea : Ahli urusan adat perkawinan
Tomanurung : ―yang turun (dari dunia atas)‖. Tokoh dunia atas yang
turun ke bumi dan menjadi penguasa pertama di kerajaan
Mekongga dan Konawe.
To’ono Motuo : Orang yang dituakan atau jabatan setingkat desa (napo) di
kerajaan Mekongga, kepala wilayah setingkat napo
bawahan di kerajaan Mekongga.
Tusawuta : Mentri Pertanian
Wonua : Negeri.
98
Gambar 1: Makam Raja Lakidende II yang berada di Kelurahan Arombu
Kecamatan Unaaha
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis, tanggal 17 April 2012)
Gambar 2: Makam Waanggo (Kapita Lau Perempuan Ke V) yang berada di
desa Lalonggaluku kelurahan Laosu Kecamatan Bondoala
Koleksi Pribadi penulis di ambil pada tanggal 16 September 2012
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis)
99
Gambar 3: Makam Tolunggae (Kapita Lau VI) yang berada di desa
Lalonggaluku Kecamatan Bondoala
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis, tanggal 16 September 2012)
Gambar 4: Makam Pasaeno (Kapita Lau ke VII) yang berada di desa
Wawolimbue Kecamatan Sampara
100
Gambar 5: Lapangan Pasaeno yang berada di kelurahan Laosu kecamatan
Bondoala
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis, tanggal 15 September 2012)
Gambar: Lapangan Haribau (Lama) sebelum dipindahkan yang berada di
kecamatan Sampara
Koleksi pribadi penulis di ambil pada tanggal 16 september 2012
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis)
101
Gambar: Lapangan Haribau (sekarang) yang berada di kecamatan sampara
Koleksi pribadi penulis di ambil pada tanggal 16 September
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis)
Gambar: Wawancara dengan Arsamid Al Ashur
(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis, 14 April 2012)