peranan kapita lau di kerajaan konawe (1725 1904) · c. implikasi skripsi terhadap pembelajaran...

110
i PERANAN KAPITA LAU DI KERAJAAN KONAWE (1725 1904) SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Serjana Kependidikan Pada Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial OLEH: RANTI AMIR A1A2 08 014 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2012

Upload: vumien

Post on 02-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

PERANAN KAPITA LAU DI KERAJAAN KONAWE

(1725 – 1904)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Serjana

Kependidikan Pada Program Studi Pendidikan Sejarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

OLEH:

RANTI AMIR

A1A2 08 014

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2012

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing I dan Pembimbing II serta

dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Program Studi Pendidikan

Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Haluoleo.

Kendari, 2012

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Aswati M., M.Hum Basrin Melamba, S.Pd.,M.A

NIP. 19621022 199003 2 002 NIP. 19771015 2005011 001

Mengetahui:

Ketua Jurusan Pendidikan IPS

Edy Karno, S.Pd., M.Pd

NIP. 19720817 200012 1 001

iii

SKRIPSI

PERANAN KAPITA LAU DI KERAJAAN KONAWE (1752-1904)

OLEH

Nama : RANTI AMIR

NIM : A1A2 08 014

Program Studi : Pendidikan Sejarah

Telah dipertahankan dihadapan Panitia Ujian Skripsi pada Program Studi

Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo pada hari Rabu tanggal 10

Oktober 2012, berdasarkan Surat Keputusan Dekan FKIP Unhalu Nomor:

1252/SK/UN29.1/PP/2012, tertanggal 05 Oktober 2012 dan dinyatakan Lulus.

PANITIA UJIAN

Tanda Tangan

Ketua : Dr. H. Mursidin T., M.Pdd (…………….…….....)

Sekretaris :Pendais Hak, S.Ag, M.Pd (…………….…...…..)

Anggota : 1. Drs. H. Abd Rauf Suleiman, M.Hum (……………...….…..)

2. Dra. Aswati M., M.Hum (……………....……..)

3. Basrin Melamba, S.Pd., M.A.H (……………....……..)

Kendari, Oktober 2012

Mengetahui,

Dekan FKIP Unhalu

Prof. Dr. La Iru, S.H., M.Si

NIP. 19601231 198610 1 001

iv

KATA PENGANTAR

Pujisyukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga skripsi

ini yang berjudul ―Peranan Kapita Lau di KerajaanKonawe (1725-1904)‖ di

bawah bimbingan Dra. Aswati M., M.Hum, dan Basrin Melamba, S.Pd, M.A.

masing-masing sebagai pembimbing I dan pembimbing II.

Banyak pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan kepada

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis

mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada orang tua tercinta,

Almarhum Amir Donggo dan Ibunda tercinta Minahasa, dan orang tua wali

Supriadi yang telah memberikan pengorbanan, perjuangan untuk menyekolahkan

penulis sejak kecil dan selalu memberi dorongan, semangat serta iringan do’a

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Begitu juga kepada kakak-

kakak penulis yang tercinta, Muli, Atin, Aco, Ramlan Amir, Masrudin serta adik-

adik yang tercinta Mira Asmara, Tasrin, dan Rut. Serta kepada keluaraga bapak H.

Mansur Ladanu A.Md, Hj. Sarimuna S.Pd, dan semua keluarga yang tidak dapat

penulis sebutkan yang selama ini telah memberikan kasih sayang, perhatian,

keikhlasan dan do’a yang diberikan.

Penulis mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada bapak Marudin

TahaS., S.Sos, selaku camat Sampara, Arsamid Al Ashur, Sapiudin Pasaeno, dan

H. Abdullah Djusin atas kesediaannya meluangkan waktunya untuk melakukan

wawancara dan memberikan keterangan kepada penulis sehubungan dengan data

yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

v

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini

tidak dapat terselesaikan. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis

mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya atas bimbingan dan arahan baik

yang berupa material ataupun moril sehingga penulisan skripsi ini dapat

diselesaikan dengan baik.

Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah memberikan bantuan dalam proses perkuliahan sampai selesainya skripsi ini

secara berturut-turut:

1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S, selaku Rektor Universitas Haluoleo

2. Prof. Dr. La Iru, S.H., M.Si, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Haluoleo

3. Edy Karno, S.Pd, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan

Sosial

4. Dra. Aswati M., M.Hum, selaku ketua program studi Pendidikan Sejarah

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo.

5. Buhari La Bia, S.Pd, selaku staf Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo.

6. Seluruh staf pengajar di Program Studi Pendidikan Sejarah dan di lingkungan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo terkhusus

kepada Drs La Ode Baenawi, M.Pd selaku penasehat akademik penulis, terima

kasih atas didikan dan bimbingannya selama penulis menjadi mahasiswa.

7. Seluruh staf administrasi yang bertugas di lingkungan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo

vi

8. Rekan-rekan mahasiswa program studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo angkatan 2008, khususnya ―Pratiwi

Adnan, Anna Putri, Wilda, Asrianti, Ambo Sakka, NurLupiana S.Pd, Arman

07‖ dan semua teman-teman yang tidak dapat ditulis satu-persatu namanya,

yang telah memberikan dukungan moril.

9. Teman-teman yang tercinta Endri, Peri, Niken, Elis, Rahmi S.Sos, Tahlan

Indrajaya, Srirahayu, Nati, Putu, Risma, dan yang terkhusus Wawan Adrianto

yang telah memberikan dorongan dan motivasi.

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, karenaitu saran dan kritik yang konstruktif dari berbagai pihak

sangat diharapkan demi kesempurnaannya, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi yang memerlukannya.

Demikian ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada semua

pihak yang telah diberikan kepada penulis semoga mendapat imbalan pahala yang

berlipat ganda dari Allah SWT, Amien YaRabbal Alamin.

Kendari, 2012

Penulis

vii

ABSTRAK

Ranti Amir (A1A2 08 014), dengan judul ―Peranan Kapita Lau di Kerajaan

Konawe, 1725-1904‖, dibawah bimbingan Dra. Aswati M., M.Hum dan Basrin

Melamba, S.Pd, M.A, masing-masing selaku Pembimbing I danPembimbing II.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah(1) Bagaimana latar belakang

terbentuknya Kapita Lau di kerajaan Konawe? (2) Bagaimana struktur

pelaksanaan tugas Kapita Lau di Kerajaan Konawe? (3) bagaimana Peranan dan

fungsi Kapita Lau di KerajaanKonawe?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan

tahapan Heuristik (pengumpulan sumber sejarah), kritik sumber baik kritik

eksternal maupun internal, interpretasi dan Historiografi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa, latar belakang terbentuknya Kapita Lau

sejak masa pemerintahan Mokole Tebawo. Dibentuk dalam rangka mengamankan

wilayah kerajaan Konawe di kawasan laut termasuk sungai. Dan mengontrol

keamanan di beberapa kawasan pelabuhan tradisional kerajaan Konawe. Untuk

keperluan itu maka dibentuklah jabatan yang membidangi dan memimpin masalah

urusan kemaritiman kerajaan Konawe dengan Panglima Angkatan Laut (Kapita

Lau) atau juga lebih dikenal nama kapita Bondoala.

Struktur pelaksanaan tugas Kapita Lau di Kerajaan Konawe yaitu

merupakan pejabat dibawah Mokole yang diberikan jabatan menjadi wakil raja

yang menjabat jabatan Panglima Perang. Adapun wilayah-wilayah pemerintahan

Kapita Lau (Bontoala) berkedudukan di Sampara dan mempertahankan daerah-

daerah pesisir/pantai yaitu: Sampara, Poasia, Moramo, Kolono, Laeya, dan

Andoolo. Wilayah tersebut berada dalam kekuasaan dan tanggung jawab Sapati

Ranomeeto dan Kapita Lau untuk menjalankan pemerintahan dengan baik.

Adapun peranan kapita Lau di Kerajaan Konawe yaitu meliputi di bidang

pemerintahan, ekonomi, politik, Hankam dan sosial budaya. Peran dan fungsi

Kapita Lau di kerajaan Konawe yaitu: (a). Di bidang birokrasi dan politik

tradisional Konawe, ikut mengamankan stabilitas pemerintahan baik di wilayah

Kerajaan Konawe bahagian Timur (Ranomeeto) maupun daerah-daerah lainnya di

sekitar pantai Utara dan Selatan Kerajaan Konawe. (b) Di bidang ekonomi, ikut

menggerakkan roda perekonomian dalam lalu lintas perdagangan antara Kerajaan

Konawe dengan dunia luar seperti Bungku, Makassar, Ternate, Bone, dan Buton.

(c) Dibidang politik, ikut menstabilkan kekacauan yang timbul dalam Kerajaan

Konawe(d) Di bidang Hankam bersama-sama Buton dan Bone, menghadapi

serangan-serangan dari laut yang ingin menyerang kerajaan Konawe, Butonatau

Bone, terutama dengan Kerajaan Ternate, Banggai, Luwu, dan Selayar yang selalu

memihak kepada Kerajaan Gowa. (e) Di bidang sosial budaya, Kapita Lau

berperan untuk meningkatkan hubungan kekerabatan antara orang-orang Bugis-

Tolaki-Tiworo, melalui perkawinan. Selain peran tersebut, Kapita Lau juga

berfungsi sebagai panglima angkatan laut kerajaan Konawe digelar sebagai Kapita

Lau yang memiliki pasukan angkatan Laut ± 1000 orang, berkedudukan di

Pu’usambalu, Sambara (yang sekarang ini disebut Pohara).

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………. i

HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………… ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ iii

KATA PENGANTAR …………………………………………………… iv

ABSTRAK ………………………………………………………………... vii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………...........……………… 1

B. Rumusan Masalah ......……………………………………... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ….......……………………... 6

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kemaritiman …………………………………........ 8

B. Konsep Peranan …………………………………........……. 10

C. Konsep Pertahanan dan Keamanan ………….......………… 12

D. Teori Kepemimpinan………………….........………………. 13

E. Konsep Kepemimpinan Tolaki …........……………………... 14

F. Penelitian Terdahulu ……….......…………………………... 16

BAB IIIMETODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian .....………………………… 21

B. Pendekatan Penelitian .....………………………………… 21

C. Langkah – langkahPenelitian ....………………………… 21

BAB IVGAMBARAN UMUM KERAJAAN KONAWE

A. Keadaan Geografis ......................................…………………. 25

B. Keadaan Demografis ....................................……………...... 27

C. Keadaan Sosial Budaya ........……………………………….. 32

D. Struktur Organisasi Pemerintahan Kerajaan Konawe ........…. 41

BAB VHASIL DAN PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Kapita Lau di Kerajaan Konawe......…….... 57

B. Struktur Pelaksanaan Tugas Kapita Lau di Kerajaan

Konawe ..……………………………………………….... 65

C. Peranan dan Fungsi Kapita Lau di Kerajaan Konawe .......… 72

a. Aspek Politik dan Birokrasi .....…………………………. 74

b. Peranan di bidang Ekonomi ............................................. 76

c. Dibidang Pertahanan dan Keamanan .....……………..... 78

BAB VIPENUTUP

A. Kesimpulan ..........…………………………………………. 85

B. Saran……………........…………………………………….. 87

C. Implikasi Skripsi Terhadap Pembelajaran Sejarah

Dan Muatan Lokal di Sekolah .................................................. 87

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia pada dasarnya tidak dapat melepaskan diri dari sejarah, sebab

sejarah merupakan petunjuk dalam perjalanan menyongsong kehidupan sekarang

dan kehidupan akan datang. Sejarah membantu dalam memahami dan

merekontruksi peristiwa.Peristiwa yang terjadi pada masa lampau baik sejara

individual maupun kelompok, yang kemudian dijadikan pedoman dalam

melaksanakan kegiatan dimasa kini.

Dalam perspektif kesejarahan, pembangunan disegala bidang kehidupan

yang sedang giat-giatnya dilaksanakan, merupakan mata rantai perjalanan sejarah

bangsa indonesia pada masa lampau. Dengan demikian, pembangunan yang

tengah dilaksanakan itu merupakan rangkaian perjalanan masa lampau dari

bangsa kita yang bukan hampa akan nilai-nilai sejarah. Realitas kehidupan masa

lampau yang dapat dipersaksikan hingga masa kini perlu kiranya diungkapkan

secara jelas melalui penelitian ilmiah. Oleh karena itu, kehadiran ilmu sejarah

sangat penting untuk mengungkapkan dan menuntun pemahaman kita tentang

berbagai aktivitas manusia baik dari segi ekonomi, sosial-budaya dan segi politik

maupun pertahanan keamanan.

Khusus bidang pertahanan dan keamanan sebagai unsur penting dalam

perkembangan kehidupan suatu masyarakat manusia, baik secara individual

maupun secara kolektif. Hal ini merupakan salah satu segi kehidupan manusia

yang perlu dikaji ulang agar diperoleh pengetahuan tentang berbagai usaha

2

menangkal berbagai serangan, tantangan dan hambatan yang dapat mengacaukan

kehidupan masyarakat.

Sudah merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap

orang selalu berusaha untuk melindungi diri demikian pula suatu bangsa, negara

maupun kerajaan pada masa lampau, selalu berusaha mempertahankan diri dengan

sistem pertahanan dan keamanan yang sebaik-baiknya.

Dalam upaya mempertahakan diri tersebut maka setiap bangsa, negara

atau kerajaan di dunia ini tentu saja akan mempunyai pola sistem pertahanan dan

keamanan yang berbeda-beda tergantung pada situasi dan kondisi geografis dan

karakter pimpinan yang sedang memegang tampuk pemerintahan.

Demikian pula Bangsa Indonesia dengan sistem pertahanan dan keamanan

yang dikembangkannya mempunyai perbedaan yang mencolok dengan bangsa-

bangsa lain di dunia. Dalam uapaya memperkuat sistem pertahanan dan keamanan

khususnya dalam menangkal musuh atau serangan bangsa lain, maka bangsa

Indonesia sangat memperhatikan kondisi geografis disamping kekuatan-kekuatan

lain yang kesemuanya terwujud dalam sistem pertahanan keamanan rakyat

semesta.

Kepulauan Indonesia yang terletak antara benua Asia dan Australia sering

diumpamakan sebagai sebuah jembatan diantara kedua benua tersebut. Kepulauan

Indonesia terletak antara garis lintang utara dan garis Lintang Selatan serta

dan garis Bujur Timur, merupakan gugus kepulauan terbesar di dunia.

Daratan Indonesia kurang lebih 1.904.000 kilo meter persegi, dibagi menjadi

empat satuan geografis. Satuan pertama, meliputi kepulauan Sumatra Barat, yaitu

3

Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi, termasud pulau-pulau kecil di

sekitarnya. Satuan kedua meliputi, kepilauan Sunda Kecil, yaitu pulau-pulau

disebelah tenggara, dari Lombok sampai timur (Suroyo, 2007: 23-24)

Sehingga sejarah maritim memegang peranan penting dalam upaya

menelusuri hubungan lintas budaya antara satu komunitas dengan komunitas lain,

baik antar daearah maupun antar pulau, yang menjadi dasar bagi proses integrasi;

dan dalam perjalanan waktu menjadi satu bangsa Indonesia (dahulu disebut

Nusantara) merupakan gugusan kepulauan yang menempatkan laut sebagai

penghubung, dan bukan sebagai pemisah (Suroyo, 2007)

Pada masa lampau di Indonesia terdapat banyak kerajaan-kerajaan yang

tersebar diberbagai daerah. Tercatat dalam sejarah bahwa di Indonesia terdapat

banyak kerajaan-kerajaan besar maupun kerajaan kecil. Diketahui dalam sejarah

bahwa dua kerajaan besar yaitu Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kedua

kerajaan itu memiliki kontribusi yang besar dalam perjalanan sejarah bangsa

Indonesia karena dua cikal-bakal Negara Indonesia adalah berasal dari kedua

kerajaan tersebut. Kerajaan Sriwijaya tercatat dalam perkembangannya banyak

menguasai beberapa daerah kekuasaan. Hal itu dikarenakan selain kerajaan

Sriwijaya memiliki pasukan yang hebat juga peran seorang raja yang dibantu oleh

beberapa penjabat kerajaan salah satunya adalah peran mentri (Senopati). Hal

tersebut juga terjadi pada sistem pemerintahan kerajaan Majapahit yang berkuasa

hampir seluruh wilayah di Nusantara pada masa lalu karena peran raja dan peran

para pejabat atau perdana mentri (Senopati).

4

Dengan latar belakang kebesaran dan kejayaan yang pernah diraih oleh

Kerajaan tersebut, dan sebagai suatu episode dalam mata rantai sejarah masa lalu

Nusantara, maka sudah tentu kronologis peristiwa maupun Kerajaan tersebut

sangat penting diungkapkan keberadaannya dan keterkaitannya dengan Sejarah

Nasional, peristimewa dalam kaitannya dengan soal peranan dan nilai-nilai

kepemimpinan dari para pemimpinnya.

Dengan kajayan sejarah maritim diawali dari masa kerajaan maritim

Sriwijaya hingga kerajaan-kerajaan Aceh, Goa (Makassar), dan Ternate terlihat

sebuah benang merah hubungan pelayaran dan perdagangan antar pulau; diikuti

dengan hubungan ekonomi, sosial, budaya, serta pasang surut kekuasaan politik.

Sehingga proses tersebut menghasilkan integrasi yang bersifat regional, sebuah

embrio menuju integrasi nasional pada masa Indonesia merdeka.

Nilai-nilai kepemimpinan dan kesejarahan lainnya dari para pemeran

sejarah Kerajaan tersebut terasa penting untuk diangkat kepermukaan khususnya

kerajaan Konawe. Sejarah Kerajaan Konawe beserta para tokoh-tokoh

pemerannya telah banyak diungkapkan oleh penulis Sejarah Lokal di daerah ini,

namun upaya-upaya tersebut masih perlu untuk ditingkatkan baik dari segi

kuantitas maupun kualitas penelitiannya. Salah satu aspek kesejarahan Kerajaan

Konawe yang nampaknya masih perlu untuk ditingkatkan intensitas penelitiannya

adalah peranan dari segi-segi kepemimpinan dari beberapa tokoh legendaris

Kerajaan Konawe lainnya selain seperti Raja Tebawo dan Raja Lakidende sudah

diketahui tokoh-tokoh tersebut sangat besar fungsi dan peranan mereka dalam

mendukung keberhasilan Raja dalam memimpin Kerajaan.

5

Istilah Sulawesi tenggara sebagai kawasan secara historis dibentuk oleh

posisi geografis dan peran kekuasaan lembaga kerajaan (Rabani, 2010: 15). Pada

masa lampau pernah ada beberapa kerajaan diantaranaya seperti Kerajaan Buton,

Kerajaan Muna, kerajaan Konawe, dan Kerajaan Mekongga. Pada masing-masing

kerajaan tersebut, dapat kita amati ketika raja dalam menjalankan

pemerintahannya di bantu oleh beberapa penjabat kerajaan. Kerajaan atau

kesultanan Buton, raja dibantu oleh beberapa orang mentri (bonto/bontona),

sedangkan pada kerajaan Konawe raja biasa dibantu oleh tangan besi raja

(Kapita), begitu pula di kerajaan Konawe, yang dibantu oleh “Siwole Mbatohu

dan Opitu Dula batuno Konawe” atau yang disebut Empat Sisi Wilayah Besar dan

Tujuh Dewan Kerajaan Konawe (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 49).

Dibeberapa daerah di kenal jabatan yang mempunyai masalah pertahanan

dan keamanan di laut seperti di Buton di kenal Kapita Lao, sedangkan di Kerajaan

Konawe Sejak zaman Mokole Tebawo kerajaan Konawe telah membentuk

panglima angkatan laut yang disebut Kapita Lau atau juga lebih dikenal Kapita

Bondoala. Berkedudukan di Pu’usambalu Sambara/Sampara. Pada zaman itu

dijabat oleh Haribau dengan gelar Kapita Bondoala (Melamba, Aswati, dkk, 2011:

54)

Aspek permasalahan dan kajian Peran Kapita Lau mengingat luasanya

ruang lingkup permasalahan serta untuk menghindari terjadinya tumpang tindih

dalam pembahasan masalah penelitian ini, oleh karena itu untuk membatasi dan

menghindari permasalahan itu, tulisan ini membatasi pembahasan dari tahun

1725-1904. Penetapan temporal tahun 1725-1904 karena pada kurun waktu

6

tersebut dibentuknya suatu jabatan dimana Kapita Lau (Panglima Angkatan Laut)

yang memiliki peran yang cukup besar di Kerajaan Konawe. Batasan Spasial

(tempat) dalam penelitian ini mencakup lokalitas kawasan Konawe dengan spasial

penelitian pada kelurahan Sampara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe yang

merupakan tempat kedudukan Kapita Lau (Panglima Angkatan Laut). Sedangkan

batasan tematis dalam penelitian ini adalah sesuai dengan permasalahan dalam

penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah dalam penelitian ini

dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana latar belakang terbentuknya Kapita Lau di Kerajaan Konawe?

b. Bagaimana struktur pelaksanaan tugas Kapita Lau di kerajaan Konawe?

c. Bagaiman peranan dan fungsi Kapita Lau di Kerajaan Konawe?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Untuk mengetahui latar belakang terbentuknya Kapita Lau di Kerajaan

Konawe

b. Untuk mengetahui sturktur pelaksanaan tugas Kapita Lau Kerajaan

Konawe

7

c. Untuk mengetahui peran dan fungsi Kapita Lau terhadap Kerajaan

Konawe

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang disusun dalam bentuk karya tulis ilmiah ini

diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Bermanfaat sebagai bahan masukan untuk memperkaya khazanah ilmu

pengetahuan tentang sejarah lokal daerah Sulawesi Tenggara khususnya

peran Kapita Lau di Kerajaan Konawe

b. Manfaat Praktis

1. Bagi kalangan pemerintah, yaitu sebagai bahan masukan dan

sumbangan pemikiran melalui istansi terkait untuk dijadikan bahan

dokumen dalam upaya melestarukan nilai-nilai sejarah yang

terkandung dalam Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara umumnya dan

Sejarah Konawe Khususnya sebagai bagian dari Kebudayaan

Nasional.

2. Bagi kalangan akademis, yaitu sebagai bahan masukan dan

sumbangan pemikiran serta bahan perbandingan dalam penelitian

tentang sejarah lokal/daerah yang telah ada sebelumnya, khususnya

yang berkaitan tentang sejarah masa lalu Kerajaan Konawe.

3. Bagi kalangan masyarakat, sebagai bahan informasi kepada

masyarakat luas, khususnya masyarakat Konawe tentang Peran

Kapita Lau di Kerajaan Konawe.

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Kemaritiman

Laut tidak hanya sebagai alat pemersatu bangsa, tetapi ia juga telah

memainkan peranan yang besar dalam sejarah pertumbuhan masyarakat dan

bangsa Indonesia. Lewat laut pula berbagai peradaban dan kebudayaan dari

berbagai belahan dunia, seperti India, Cina, Arab, dan kemudian dari Eropa

masuk kenegara ini. Di samping itu, Laut juga menjadi lahan tempat sebagian

besar orang Indonesia, langsung atau tidak langsung mencari nafkah.

Menurut Gusti Asnan (2007: 6) dunia maritim adalah sebuah dunia yang

luas, dalam, sukar ditebak sebab ia bisa tenang memberikan kedamaian dan rezeki

bagi anak manusia. Hal ini seperti yang dikemukakan A.B. Lapian (dalam Gusti

Asnan, 2001: 7) bahwa ada tujuh aspek maritim yang berlaku didalam masyarakat

di berbagai pelosok dunia, yaitu perdagangan, pelayaran, perkapalan, tradisi

bahari, mitologi laut, perompakan dan perikanan. Sedangkan Baharuddin Lapo

Menambahkan satu aspek lagi, yakni hukum laut.

Seperti yang dikemukakan oleh Suwardi (2008: 123) dalam bukunya yang

bejudul Mengabdi pada Ilmu dan Profesi Sejarah mengenai Bugis dalam sejarah

di kepulauan ini, jika dikaitkan dengan kemaritiman dam migrasi,orang Bugis

sepertinya tidak bisa dilepaskan dengan laut.

Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga

Merauke. Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3

mil laut dari garis pantai (Coastal Baseline) setiap pulau, yaitu perairan yang

9

mengelilingi Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda. Namun

ketetapan batas tersebut, yang merupakan warisan kolonial Belanda, tidak sesuai

lagi untuk memenuhi kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik

Indonesia. Atas pertimbangan tersebut, maka lahirlah konsep Nusantara

(Archipelago) yang dituangkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13

Desember 1957 (Sumber : Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan

Berkelanjutan Indonesia, Rokhmin Dahuri, 2003)

Seperti dalam pepata Melayu mengatakan: ―Kalau tak ada laut, hampalah

perut” “kalau tak ada hutan, binasalah badan” “kalau binasa hutan yang lenbat,

rusak lembaga hilanglah adat” (Suardi MS, dkk, 2008: 81)

B. Konsep Peranan

Istilah peranan dapat diartikan sebagai serangkaian aksi-aksi yang

dilakukanoleh seseorang atau kelompok orang yang diberi tugas dan kekuatan

untuk menjadi ―bapak masyarakat‖ dalam menjalankan fungsi-fungsi kepercayaan

dan wewenang yang diberikan kepadanya. Peranan juga lebih cenderung dimaknai

sebagai suatu perilaku seseorang dalam suatu kegiatan atau aktifitas tertentu.

Peranan ialah perilaku yang diharapkan oleh orang lain dari seseorang

yang menduduki status tertentu. Peranan-peranan yang tepat dipelajari sebagai

bagian dari proses sosialisasi dan kemudian diambil alih oleh individu (Cohen,

1983: 82).

Dengan demikian, peran adalah suatu pola tindakan sebagai suatu respon

yang ditampilkan oleh seseorang atau sekelompok orang, dimana tindakan ini

membawa suatu efek atau dampak. Senada dengan itu, Koentjaraningrat dalam

10

Saragih (1990: 172) bahwa peran adalah ciri khas yang ditampilkan atau

dipentaskan oleh individual dalam kedudukannya dimana ia berhadapan dengan

individu-individu lain dalam kedudukannya. Selanjutnya peranan dirumuskan

sebagai suatu rangkaian perilaku yang teratur, yang ditimbulkan karena suatu

jabatan tertentu atau karena adanya suatu organisasi.

Sejalan dengan itu maka peranan pada hakekatnya dapat diartikan sebagai

wujud pelaksanaan dari fungsi dan status seseorang atau sekelompok orang yang

menonjol dalam suatu kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. Pendapat Gros

Etol yang dikutip oleh Paulus Wirutomo (1982: 99) mengemukakan pengertian

peranan sebagai perangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang

meliputi kedudukan sosial tertentu. Harapan-harapan tersebut merupakan

hubungan dari norma-norma dalam masyarakat. Maksudnya kita diwajibkan

melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat dalam pekerjaan kita,

didalam keluarga kita dan di dalam peranan-peranan lainnya.

Selanjutnya Merton dalam Saragih (1990: 32) berpendapat bahwa peran

(role zet) yang dimainkan seseorang akan mencakup beberapa hal, yaitu (1) posisi

dan status seseorang dalam struktur sosial tertentu, (2) presepsi bagaimana

seseorang dalam memandang peranannya, dan (3) tata cara memainkannya dan

berbagai harapan yang muncul dalam masyarakat terhadap peran yang dimainkan.

Status ialah kedudukan sosial individu dalam suatu kelompok atau biasa

juga diartikan sebagai suatu tingkat sosial dari suatu kelompok dibandingkan

dengan kelompok-kelompok lainnya. Kedudukan status individu akan

11

menentukan hak-hak dan hak-hak istimewa seseorang dalam masyarakat (Cohen,

1983: 82).

Bertolak dari berbagai konsep peranan diatas, maka dalam kaitannya

dengan peranan Kapita Lau di Kerajaan Konawe sebagai panglima angkatan laut

dengan menampilkan kinerja yang diharapkan dalam melaksanakan tugas-

tugasnya dengan baik

C. Konsep Pertahanan dan Keamanan

Sistem pertahanan dan keamanan baik ditinjau secara individu kelompok

bahkan pada seluruh Negara memiliki arti penting bagi kelangsungan kehidupan

manusia. Mereka berusaha untuk berbuat baik, dari segi lahiriah dan batiniah

untuk mempertahankan diri atas berbagai ancaman yang datang dari luar maupun

dari dalam. Dari pernyataan tersebut maka pertahanan merupakan salah satu

upaya pencapaian ketahanan nasional suatu bangsa.

Ketahanan nasional adalah kondisi dimana suatu bangsa selalu dinamis

yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu menyeimbangkan ketahanan

nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan,

dan gangguan baik dari dalam maupun dari luar yang langsung maupun tidak

langsung yang membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup

bangsa dan Negara (Surbakti Akhadiat, 1984: 42).

Berdasarkan pendapat diatas dapat memberikan pemahaman bahwa

pertahanan dan keamanan suatu bangsa atau kerajaan mutlak diperlukan adanya,

karena pertahanan dan keamanan dapat memegang peranan yang sangat penting

dan cukup strategis dalam pemerintahan suatu Negara atau kerajaan. Demikian

12

pula dengan keberadaan Kapita Lau di Kerajaan Konawe mempunya peranan

yang sangat penting dan cukup strategis dalam meningkatkan sistem pertahanan

dan keamanan Kerajaan Konawe, baik dalam bidang kelautan, maupun dalam

bidang sosial budaya, sebagaimana Tugas Kapita Lau (panglima angkatan laut)

yang menjunjung tinggi stabilitas keutuhan Kerajaan Konawe.

D. Teori Kepemimpinan

Kepemimpinan mengandung suatu pengertian kemampuan seseorang

untuk menuntun atau membimbing orang lain baik secara individu maupun secara

kelompok. Oleh karena itu kepemimpinan muncul bersamaan dengan lahirnya

kelompok atau organisasi. Sehubungan dengan itu Pamudji (1986: 152)

mengemukakan bahwa seorang pemimpin menggerakkan pengikut dengan

harapan bahwa ia berhasil mencapai tujuan organisasi akan dapat menguntungkan

sehingga setiap anggota masyarakat akan terjadi suatu interaksi. Sejalan dengan

itu Yayat Hayati (2008: 2) mengemukakan bahwa dalam setiap organisasi terdapat

tiga unsur dasar yaitu:

a) orang-orang (sekumpulan orang)

b) kerja sama

c) serta tujuan yang akan dicapai

Seorang pemimpin harus ditopang oleh unsur-unsur yang bersumber dari

dalam dirinya (bakat atau sifat) dan kondisi sosial sekitarnya. Kedua unsur akan

bersatu dan berproses sampai tampilnya seseorang menjadi pemimpin. Sejalan

dengan itu munculnya seorang pemimpin dalam suatu masyarakat yang

membangun karena ia memiliki sifat-sifat karismatik, yaitu timbul karena

13

kesaktian atau kekuatan yang dianggap luar biasa, yang menurun sebagai warisan

dari leluhurnya. Sejalan dengan itu Uchajana (1986: 32) mengemukakan bahwa,

sebuah kepemimpinan tradisional adalah pemimpin yang tumbuh berdasarkan

sejarah.

Selanjutnya Kartono (2003: 49) mengemukakan bahwa ―kepemimpinan‖

adalah kegiatan mempengaruhi orang orang agar mereka mau melakukan kerja

sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan, kepemimpinan adalah kegiatan

yang mempengaruhi orang-orang agar mereka berusaha mencapai tujuan-tujuan

kelompok, kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia,

dan kemampuan kemampuan untuk membimbing orang. Sejalan dengan itu

Suradinata (1995: 11) mengemukakan, kepemimpinan adalah kemampuan

seorang pemimpin untuk mengendalikan, mempengaruhi pikiran, atau tingkah

laku orang lain dan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Selanjutnya Pasolong (2010: 5) mengemukakan bahwa, kepemimpinan

adalah cara atau teknik yang di gunakan pemimpin dalam mempengaruhi pengikut

atau bawahannya dalam melakukan kerja sama mencapai tujuan yang telah

ditentukan.

Dari uraian di atas dapat member pemahaman bahwa kepemimpinan lahir

sebagai ekspresi kharismatik dari sifat yang dimiliki oleh seseorang, sehingga

mampu memberikan gemah kepada orang lain untuk tunduk dan patut terhadap

segala tindakannya. Kharismatik yang dimilikinya dapat dijadikan sebagai suatu

kekuatan yang mempengaruhi orang yang dipimpinnya, sehingga menjadikan

14

pemimpin itu semakin memperkokoh kekuasaannya, dan semakin kuat kekuasaan

seseorang semakin tinggi pula kualitas kepemimpinan yang dimilikinya.

E. Konsep Kepemimpinan Tolaki

Sondang P. Siagian (2003: 43) mengemukakan bahwa seorang pemimpin

yang demokratik, dihormati dan disegani dan bukan ditakuti karena perilakunya

dalam kehidupan organisasional mendorong para bawahannya menumbuhkan dan

mengembangkan daya inovasi dan kreativitasnya. Efektivitas kepemimpinan dari

para pemimpin yang bersangkuntan merupakan suatu hal yang sangat didambakan

oleh oleh semua pihak organisasi atau didalam kepemimpinan suatu Kerajaan.

Selanjutnya Uchjana (1981: 1) menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan

proses kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau

mengontrol perasaan atau tingkah laku orang lain. Kepemimpinan tradisional

hanya dijumpai pada masyarakat besar maupun pada masyarakat kecil, contohnya

kepemimpinan tradisional Kapita Lau (panglima angkatan laut) di Kerajaan

Konawe.

Sejalan dengan itu, Abdurrauf Tarimana (1993: 189-191) mengemukakan

bahwa dasar dan tujuan kepemimpinan Tradisional Orang Tolaki, adalah: (1)

petono’a (kemanusiaan), yakni kemanusiaan menurut pe’oliwi ari ine mbue

(ajaran dari pesan-pesan leluhur), (2) ponano ana niowai, tono nggapa, rome-

romeno wonua (kehendak orang banyak), dan (3) medulu, mepoko’aso (kesatuan

dan persatuan). Secara konstitusional dasar kepemimpinan itu adalah ajaran adat,

yang tercakup dalam Kalo sebagai pu’uno o sara (adat pokok orang tolaki). Kalo

15

sebagai adat pokok adalah sumber dari segala adat-istiadat orang tolaki yang

berlaku dalam semua aspek kehidupan mereka (1993: 191)

Adapun tujuan kepemimpinan dalam masyarakat Tolaki tersebur di atas

adalah mewujudkan masyarakat yang bersatu, makmur, dan sejahtera. Orang

Tolaki menggambarkan wujud masyarakat yang bersatu sebagai suatu masyarakat

di mana hubungan antara orang seorang, keluarga dengan keluarga, dan golongan

dengan golongan senantiasa terjalin suasana yang disebut medudulu (saling

bersatu), mete’alo-alo (saling menanam budi), samaturu (saling ikut serta dalam

usaha kepentingan bersama), mombeka pona-pona ako (saling harga menghargai),

dan mombekamei-meiri’ako (saling kasi mengkasihi). Mereka juga

menggambarkan wujud masyarakat yang makmur melalui apa yang disebut

suasana mondaweako (padi melimpah), kiniku nebanggona (banyak kerbau,

ternak melimpah), olo waworaha (banyak kebun tanaman jangka panjang),

tapohiu o epe (banyak areal tanaman sagu), kadu mbinokono (cukup barang-

barang pakaian dan perhiasan), melaika’aha (mempunyai rumah yang besar),

ndundu karandu tumotapa rari (bunyi gong di tengah malam, tawa dan teriakan

yang ramai dalam pesta).

Dalam usaha mewujudkan ketiga tujuan kepemimpinan dalam masyarakat

Tolaki, seorang pemimpin tradisional orang tolaki harus mampuh menjalankan

tiga prinsipkepemimpinan yang disebut: mo’ulungako (mengajak orang banyak

yang dipimpinnya), mohiasako (menggerakkan tenaga orang banyak yang

dipimpinnya), dan momboteanako (mengmbala orang banyak yang dipimpinnya).

Sebagai seorang pemimpin yang mengajak orang banyak, maka ia adalah seorang

16

yang disebut positaka (tauladan yang baik bagi orang banyak); demikuan sebagai

seorang pemimpin yang menggerakkan orang banyak, maka ia adalah seorang

yang disebut pohaki-haki (pemberi semangat bagi orang banyak), dan begitu pula

sebagai seorang pemimpin mengembala orang banyak, maka ia adalah seorang

yang disebut tani’ulu (pemegang tali kendali) (Tarimana, 1993: 189-191)

F. Penelitian Terdahulu (Historiografi)

Pada penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Abdul Kadir

Laossong dengan judul skripsi Peranan Barata Lohia Terhadap Kerajaan Muna.

Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kerajaan Muna pada zaman dahulu

merupakan salah satu kerajaan yang ada di Nusantara yang memiliki sistem

pertahanan keamanan yang strategis disebut Barata. Barata tersebut merupakan

basis pertahanan yang ada di lingkungan kerajaan Muna. Barata-barata tersebut

terdiri dari Barata Lohia, Barata Lahontohe, dan Barata Wasolangka. Ketiga

Barata tersebut merupakan tempat yang sangat strategis dan memiliki daya

pendukung di bidang pertahanan keamanan dalam menjaga integrasi kerajaan

Muna.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Alimudin dengan judul skripsi

Peran Bontona Pada Masa Kesultanan Buton (1538-1960). Dalam penelitiannya

mengatakan bahwa Bantona Siompu awalnya adalah sebuah kerajaan kecil

disekitar wilayah Kerajaan Buton. Namun kemudian Bantona Siompu bergabung

menjadi anggota Siolimbona dan menyatakan bernaung dibawa kekuasaan

kerajaan Buton disebabkan adanya ancaman besar dari bajak laut Tobelo.

17

Bergabungnya Kerajaan Siompu di bawah pemerintahan kerajaan Buton

membuat status siompu berubah dari kerajaan menjadi Kadie atau wilayah bagian

kekuasaan Buton yang dikepalai oleh seorang Bonto. Setelah Siompu bergabung

di Kerajaan Buton kemudian menambah eksistensi Buton menjadi semakin kuat

untuk membendung serangan bajak laut Tobelo.

Hal ini membuat Siompu memegang peranan penting dalam

mempertahankan keutuhan wilayah kerajaan Buton. Peranan Bontona Siompu

diantaranya dalam pemerintahan sebagai kepala kadie, dalam bidang pertahanan

yaitu membantu Matana Surumba Wabula di daerah pertahanan bagian selatan,

dibidang pelayaran dan perdagangan mengurus kegiatan izin pelayaran dan

perdagangan, sedangkan dibidang sosial dan budaya sebagai tokoh masyarakat

Siompu yang mengurus tentang pendidikan, agama dan ekonomi masyarakat.

Penelitian lain, yaitu penenlitian yang telah dilakukan oleh Gatrima di

kerajaan Konawe. Dengan judul Perana Taridala sebagai Kapita Ana Molepo atau

Panglima Angkatan Darat pada masa Pemerintahan raja Tebawo di Kerajaan

Konawe.

Dalam penelitiannya ia mengemukakan bahwa Kapita Ana Molepo adalah

jabatan yang diberikan oleh kerajaan Konawe kepada Taridala sebagai panglima

angkatan darat yang bertugas dan bertanggung jawap kepada raja Tebawo di

bidang pertahanan dan keamanan kerajaan. Taridala bukan hanya sebagai

panglima angkatan darat (Kapita Ana Molepo) tetapi juga sebagai dewan

penasehat raja/kerajaan (O’Pitu Dula Batu) yang berkedudukan di Uepay.

18

Peranan Kapita Anamolepo dalam soal taktik dan strategi pertahanan dan

keamanan kerajaan lebih banyak diarahkan pada tugas-tugas memulihkan

kedaulatan wilayah kerajaan sehingga hampir seluruh masa jabatannya dihabiskan

dimedan pertempuran guna merebut kembali daerah-daerah yang diduduki atau

ingin memisahkan diri itu, dengan memimpin langsung peasukan kerajaan selama

kurang lebih 2 tahun lamanya. Namun setetelah berhasil merebut kembali

wilayah-wilayah tersebut kemudian Taridala menghilang beberapa tahun karena

berselisi dengan raja Tebawo.

Kemudian Gatriama mengemukakan bahwa selain memainkan peranan

yang sangat besar dalam pemulihan kedaulatan kerajaan Konawe melalui berbagai

taktik dan strategi pertahanan dan keamanan yang diterapkannya, juga Taridala

membantu stabilitas politik dalam negeri, bidang penyelenggaraan pemerintahan,

bidang sosial budaya dan juga bidang ekonomi bersama-sama dengan aparat

kerajaa lainnya. Keberhasilan Taridala dalam menjalankan tugas Fungsionalnya

sebagai panglima angkatan darat kerajaan Konawe selai didorang oleh factor

kekeluargaan yang dekat (putra raja Tebawo dari istri ketiga) juga lebih

disebabkan oleh factor kepemimpinan yang memiliki sifat-sifat pemberani. Tegar,

jujur, karismatik, adil, demokratis tapi tegas, arif dan bijaksana.

Kemidian penelitian yang dilakukan oleh Nurlupiana dengan judul

Peranan Tutuwi Motaha (Pengawal Raja) di Kerajaan Konawe pada Abad XVII-

XX. Dalam penelitiannya mengemukakan bahwa jabatan Tutuwi Motaha atau

komandan pengawal kerajaan di Istana muncul sejak abad ke-17 pada masa

pemerintahan Mokole Tebawo (Sangia Inato). Tutuwi Motaha masuk dalam

19

struktur Opitu Dula Batuno Konawe.Berkedudukan di Anggaberi yang pertama

kali dijabat oleh Pakandeate atau Inowehi. Pada masa Lakidende II pejabat Polapi

Wungguaro dan Petumbu Lara Dati digabung kedalam jabatan Tutuwi Motaha

bertindak sebagai pimpinan pengawal kerajaan di istana.

Nurlupiana juga mengemukakan bahwa peran dan fungsi Tutuwi Motaha

ini yaitu: 1) berfungsi sebagai panglima pertahanan kerajaan Konawe

dilingkungan istana, 2) sebagai protokoler kerajaan seperti mengatur rapat,

perjalana Mokole atau raja, 3) mengamankan lingkungan istana, raja dan

keluarganya. Perannya yaitu: 1) bersama Taridala (Kapita Anamolepo)

memadamkan pemberontakan Surumaindo di Lawata, 2) membantu kerajaan

Bone pada saat perang dengan Goa sehingga mendapat gelar Pakanre Ate

(Pakandeate) artinya pemakan hati, 3) fungsi lainnya sebagai penutup, menjaga,

dan melestarikan kelangsungan kerajaan. Sifat-sifat jabatan Tutuwi Motaha yaitu

memangku jabatan secara teruji, tabah, ulet, berani, cekatan dalam hal sebagai

pendamping Mokole, dan bertanggung jawab terhadap keamanan raja.

Kondisi jabatan Tutuwi Motaha sesudah kemunduran kerajaan Konawe

yaitu pada masa Lakindende II tetap berlangsung meski pejabat Tutuwi Motaha

ini menjadi pelaksana raja dengan beberapa faktor sehingga beliau menjadi

pelaksana raja dan melaksanakan beberapa kebijakan yaitu mengetus beberapa

bangsawan Konawe membuka dan memimpin wilayah. Selanjutnya jabatan

Tutuwi Motaha ini dilanjutkan oleh Saria (putra Pakandete), dilanjutkan oleh

Pagala, kemudian dijabat oleh Saranggai dan terakhir dijabat oleh La Andara

20

mulai dari Hindia Belanda hingga berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di

Konawe/Laiwoi.

Dengan bertolak pada penelitian yang telah dilakukan oleh Abdul Kadir

Lassong, Alimudin, Gatrima dan Nurlupiana telah banyak memberikan motivasi

bagi peneliti untuk mengungkapkan sejarah Kapita Lau di Kerajaan Konawe dan

historiografi tentang Panglima Angkatan Laut belum banyak diungkapkan. Hal ini

yang mendorong penulis untuk menelitinya.

21

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe, Kabupaten Konsel,

Kabupaten Konawe Utara karena daerah ini merupakan bekas wilayah Konawe

dan waktu penelitian pada bulan Maret sampai bulan Mei 2012

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

struktural yang mempelajari dua domain yaitu domain peristiwa (iven) dan

domain struktural.

C. Langkah – langkah Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah

menurut Ernest Bernheim yang dikutip oleh Helius Sjamsuddin dan Ismaun

(2007: 19) yaitu (1) Heuristiek, yaitu mencari, menemukan dan mengumpulkan

sumber-sumber sejarah, (2) Kritiek, yaitu menganalisis secara kritis sumber-

sumber sejarah, (3) Auffassung, yaitu penanggapan terhadap fakta-fakta sejarah

yang dipungut dari dalam sumber sejarah, dan (4) Darstellung, yaitu penyajian

cerita yang memberikan gambaran sejarah yang terjadi pada masa lampau.

Adapun tahapan kerjanya adalah sebagai berikut:

a. Pengumpulan sumber (Heuristik)

Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk mendapatkan dan

mengumpulkan sumber yang berkaitan dengan peran Kapita Lau di Kerajaan

22

Konawe. Dalam kegiatan ini, pengumpulan data dilakukan dengan langkah

sebagai berikut:

1. Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu mengkaji beberapa buku,

makalah, disertasi serta laporan hasil penelitian yang ada lerevansinya

dengan judul dan masalah dalam penelitan ini.

2. Penelitian lapangan (Field Research), yaitu mengadakan penelitian secara

langsung dilokasi penelitian guna menghimpun data atau informasi yang

berkaitan erat dengan topik. Kajian dalam penelitian ini menggunakan

beberapa Tradisi Lisan (Oral Tradition) yang dilakukan dengan cara, yaitu

dengan melakukan wawancara kepada lima orang (informan) yang benyak

megetahui tentang obyek yang diteliti dalam hal ini mengenai latar

belakang Kapita Lau dan peranannya di Kerajaan Konawe pada tahun

1725 – 1904.

b. Kritik

Setelah sumber terkumpul, maka tahap berikutnya adalah verifikasi atau

kritik atau keabsahan sumber tersebut. Verifikasi sumber lilakukan dengan dua

cara yaitu sebagai berikut:

1) Kritik ekstern (autentisitas), yaitu dimaksudkan sebagai kritik terhadap

keaslian sumber data yang diperoleh. Dalam hal ini dilakukan analisis

terhadap suatu sumber data dengan meneliti penampilan luarnya seperti

kertasnya, gaya tulisannya, tintannya, bahasa, kalimat, kata-kata, dan segi

penampilan luar lainnya

23

2) Kritik intern, (Kredibilitas sumber), yaitu dimaksudkan sebagai kritikan

terhadap kebenaran isi sumber itu, apakah informasi (data) yang diberikan

oleh sumber itu dapat diterima kebenarannya ataukah tidak. Dalam hal ini

dilakukan analisis mengenai hubungan antara fakta sejarah yang termuat

dalam sumber itu sendiri

c. Auffassung (Intepretasi)

Setelah data lolos dari proses kritik atau penilaian, maka ditemukan

sejumlah keterangan atau informasi tentang masalah yang diteliti. Langkah

berikutnya setelah kritik sumber tersebut adalah interpretasi, yang dilakukan

dengan dua cara yaitu:

1. Analisis, yaitu menguraikan, dimana keterangan atau informasi yang

diperoleh tersebut diuraikan terlebih dahulu kemudian dari uraian tersebut

dapat disusun beberapa fakta sejarah

2. Sintesis, yaitu menyatukan, dimana setelah fakta sejarah ditemukan

tindakan selanjutnya adalah fakta sejarah tersebut dihubungkan dan

dikombinasikan antara satu dengan yang lain hingga menjadi satu kesatuan

yang utuh. Penafsiaran data ini sangat penting untuk memperoleh suatu

kesimpulan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

d. Darstellung (Tahapan penulisan)

Tahapan terakhir dari rangkaian metode penelitian sejarah adalah tahap

penulisan (Darsellung) yaitu kegiatan menyusun atau penulisan terhadap data dan

fakta yang telah lolos seleksi dan sudah melewati tahap penafsiran sehingga dapat

menjadi suatu karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

24

2. Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian yang digunakan penulis mengacu pada tiga

kategori sumber yaitu sebagai berikut:

a. Sumber tertulis, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk buku, arsip,

skripsi serta laporan hasil penelitian yang relevan dan mendukung

perolehan data hasil penelitian ini. Sumber-sumber tertulis tersebut

diperoleh di perpustakaan daerah maupun di tempat penelitian ini.

b. Sumber lisan, yaitu data yang diperoleh melalui studi keterangan lisan

(tradisi lisan) berupa cerita rakyat (folklore), nyanyian rakyat (folksong)

dan kepercayaan rakyat (folkbelieve) dengan para informan yang dianggap

memiliki kemampuan untuk memberikan keteranagan terhadap masalah

yang diteliti.

c. Sumber visual, yaitu data yang diperoleh melalui hasil pengamatan

langsung terhadap berbagai sarana pendukung yang berkaitan dengan

peranan Kapita Lau di Kerajaan Konawe.

25

BAB IV

GAMBARAN UMUM KERAJAAN KONAWE

A. Keadaan Geografis Kerajaan Konawe

Daerah Konawe adalah merupakan suatu wilahyah kerajaan yang terletak di

jasirah Tenggara daratan Sulawesi Tenggara yang sekaran ini sebagian besar

menjadi daerah Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, dan Kota

Kendari. Adapun batas-batas administrasi wilayah kerajaan Konawe akan

dijelaskan lebih lanjut. Pada zaman Mokole More Wekoila bersama suaminya

Ramandalangi atau Langgai Moriana, menyatukan negeri-negeri disekitarnya,

sehingga terbentang luas wilayah kerajaan Konawe yang meliputi batas-batasnya :

a. Pada bagian Utara berbatasan dengan wilayah kekuasaan kerajaan Mori

(Tomori), kerajaan Matano, kerajaan Baebunta di pesisir danau Towuti dan

danau Matano.

b. Di sebelah timur berbatasan dengan kerajaan Bungku dan Kerajaan Banggai

(di Sulawesi Tengah), serta laut Maluku dan laut Banda.

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Tiworo, dan Kekuasaan kerajaan

Moronene.

d. Sebelah Barat dengan kerajaan Luwu (Palopo), teluk Bone dan wilayah

kekuasaan Kerajaan Mekongga di sekitar Kolumba. (Melamba, Aswati, dkk,

2011: 23)

Jika ditinjau dari segi pertahanan, maka letaknya sangat strategis karena

letaknya berada di tengah-tengah kekuatan politik kerajaan lain, sedangkan Ibu

Kota Kerajaan Konawe di Unaaha terletak di tengah-tengah wilayah pada daratan

26

yang luas yang diapit oleh dinding alam berupa hutan dan pegunungan. Pada masa

pemerintahan Mokole Tebawo abad XVII, di tetapkan suatu perangkat

penguasaan batas-batas wilayah kerajaan yang disebut ―Siwole Mbatohu‖ yang

meliputi:

a. Tambo I’Losoanao Oleo atau Gerbang Timur adalah wilayah Ranomeeto.

b. Tampo I’Tepuliano Oleo atau gerbang Barat adalah wilayah Wawo

Latoma.

c. Bharata I Hana atau barata kanan adalah wilayah Tonga Una.

d. Barata I Moeri atau barata kiri adalah wilayah Asaki/Lambuya.

Bagian wilayah tersebut nampaknya merupakan suatu strategi pertahanan

keamanan yang sangat cermat dan tepat, hal ini tentunya merupakan suatu

pemikiran yang dinilai tidak ketinggalan dalam alam kemajuan sekarang ini.

Kemudian pada zaman Mokole Tebawo dengan gelar Sangia Inato wilayah

kekuasaan kerajaan Konawe meliputi:

1. Bagian utara mulai dari tapal batas dari barat ke Timur berbatasan dengan:

Mathana, Lambatu, Epeeha, Bahodopi, Matarape, Waeya (Salabangka).

2. Bagian Timur berbatasan mulai dari daerah Utara ke Selatan: Pulau

Labengki, Pulau Tiga, Menui, Labuhan Tobelo, Wia-Wia, Pulau Towea.

3. Bagian Selatan dimulai dari Timur kea rah Barat berbatasan dengan:

Gunung Rompu-Rompu (Taubonto), Gunung Tari-Tari, Tanggetada,

Dawi-Dawi sampai Teluk Bone.

4. Bagian Barat dimulai dari arah Selatan kearah Utara: Tolala, Patikala,

Porehu, Nuha, Baebunta, Matana. (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 24)

27

Berikut batas-batas daerah Konawe menurut perjanjian antara Kerajaan

Laiwoi dengan Hindia Belanda yang termuat dalam perjanjian panjang Long

Contract isi bahwa bangsa Belanda mengakui daerah kekuasaan Raja Laiwui:

dibagian Utara sampai Tobungku, dibagian Barat sampai Luwu, termasuk daratan

Sulawesi yang berbatasan dengan Buton, bagian selatan sampai Tiworo, dan

bagian Timur sampai dengan Wawonii dan Laut Banda. Demikian pula pulau-

pulau termasuk pandaan, Nambo, Bokori, Saponda, Madilau, Saponda Madora,

Dangedangeang, pulau Hari, Cempeda, dan Tomowu. Diakui pula suku-suku

bangsa yang mendiami pulau-pulau tersebut kedaulatannya. (Melamba, Aswati,

dkk, 2012: 25).

B. Keadaan Demografis Kerajaan Konawe

SSeeccaarraa ggeeooggrraaffiiss ssuukkuu TToollaakkii mmeennddiiaammii wwiillaayyaahh ddaarraattaann SSuullaawweessii bbaaggiiaann

TTeennggggaarraa,, yyaanngg mmeennddiiaammii bbeebbeerraappaa ddaaeerraahh kkaabbuuppaatteenn yyaaiittuu KKaabbuuppaatteenn KKoonnaawwee,,

KKoottaa KKeennddaarrii,, KKoonnaawwee SSeellaattaann,, KKoonnaawwee UUttaarraa,, KKoollaakkaa,, KKoollaakkaa UUttaarraa,, ddaann

KKoollaakkaa TTiimmuurr.. BBeebbeerraappaa ddaaeerraahh KKaabbuuppaatteenn tteerrsseebbuutt bbeerraaddaa ddii ddaaeerraahh ddaarraattaann

SSuullaawweessii bbaaggiiaann TTeennggggaarraa..

AAddaa dduuaa ppeennddaappaatt mmeennggeennaaii aassaall--uussuull ppeenndduudduukk ddii NNuussaannttaarraa.. PPeerrttaammaa,,

bbaahhwwaa aassaall uussuull ppeenndduudduukk NNuussaannttaarraa aaddaallaahh ddaarrii rraass ppaalleeoo MMoonnggoollooiidd,, yyaanngg

bbeerrbbaahhaassaa AAuussttrroonneessiiaa,, ddaann bbeerraassaall ddaarrii sseekkiittaarr ddaaeerraahh YYuunnaann ddii CCiinnaa SSeellaattaann..

PPeennddaappaatt kkeedduuaa mmeennyyeebbuuttkkaann bbaahhwwaa ppeenndduudduukk aassllii IInnddoonneessiiaa aaddaallaahh rraass NNeeggrriittoo

ddaann rraass WWiiddddiiddee.. DDaarrii kkeedduuaa rraass tteerrsseebbuutt tteerrjjaaddii ppeerrccaammppuurraann,, yyaanngg sseellaannjjuuttnnyyaa

tteerrjjaaddii llaaggii ppeerrccaammppuurraann,, ddeennggaann rraass--rraass ppeennddaattaanngg llaaiinnnnyyaa sseehhiinnggggaa ddaappaatt

ddiikkaattaakkaann bbaahhwwaa ttiiddaakk aaddaa llaaggii ssuukkuu aassllii IInnddoonneessiiaa..

28

PPeennddaappaatt ppeerrttaammaa bbaahhwwaa ppeenndduudduukk yyaanngg bbeerrddiiaamm aannttaarraa ppuullaauu--ppuullaauu

TTaaiiwwaann UUttaarraa,, IInnddoonneessiiaa ddii SSeellaattaann,, MMaaddaaggaasskkaarr,, RRaass PPaalleeoo MMoonnggoollooiidd,,

bbeerrbbaahhaassaa AAuussttrroonneessiiaa ddaann bbeerraassaall sseekkiittaarr YYuunnaann ddii CCiinnaa SSeellaattaann,, DDrr.. JJ BBrraannddeess,,

mmeennggeemmuukkaakkaann bbaahhwwaa ppuullaauu TTaaiiwwaann ddii UUttaarraa,, IInnddoonneessiiaa ddii SSeellaattaann MMaaddaaggaasskkaarr

ddii bbaaggiiaann BBaarraatt,, ddaann ppuullaauu ddii AAssiiaa FFaassiiffiikk ssaammppaaii DDii AAmmeerriikkaa LLaattiinn ddii TTiimmuurr..

MMeennuurruutt HH.. KKeerrnn ddaann Penduduk asli Indonesia adalah Ras Negrito dan ras

Widdide ciri kulit hitam berambut keriting seperti orang Kubu di Sumatera. Ras

Weddide ciri rambut berombak, berbadan kecilkulit sedikit sawo matang. Ras

inilah yang melakukan migrasi kearah selatan masuk wilayah Nusantara termasuk

daerah Sulawesi.

Wilayah Sulawesi telah dihuni oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu

diperkirakan bahwa penduduk pada zaman purba ini merupakan campuran

berbagai ras yang datang dari berbagai penjuru. Ras Austro Melanesoid yang

datang dari arah selatan (migrasi dari pulau Jawa) dengan ciri khas kapak

genggam yang terbuat dari batu yang berbentuk lonjong dan senang memakan

binatang kerang, maupun ras Paleo Mongoloid yang datang melalui arah utara

(migrasi dari kepulauan sangir dengan ciri khas alat-alat flakes dan ujung panah

dan isinya bergerigi. Termasuk dalam gelombang penyebaran penduduk Indonesia

yang pertama kali dan merupakan pendukung dari kebudayaan Mesolitikum.

Di daerah Sulawesi Tenggara telah memiliki penghuni tetap sejak zaman

prasejarah. Dalam buku Profil propinsi RI dijelaskan bahwa ciri-ciri fisik

penduduk asli Sultra memiliki kemiripan dengan suku-suku bangsa asli Indonesia

lainnya yang berasal dari campuran antara bangsa dan bangsa Negriod. Penduduk

29

asli keturunan kedua ras tersebut kemudian berkembang menjadi suku. Suku baru

menyusul datangnya gelombang perpindahan ras bangsa Proto-Melayu pada tahun

3.000 SM dan Deutro Melayu pada sekitar 300 SM (Rudini, 1992: 10). Suku

bangsa Tolaki termasuk ras Mongoloid jika dilihat dari ciri-ciri antropologis dan

tinggalan arkeologisnya.

Dari berbagai sumber tulisan hasil penelitian mengenai asal-usul dan

persebaran suku Tolaki yang dilaksanakan baik olah para peneliti/penulis barat

(misionaris zending Kristen Belanda) maupun para peneliti Indonesia termasuk

para ilmuwan lokal, menjelaskan tentang asal-usul suku Tolaki adalah berasal dari

Hon Bin, Tiongkok Selatan pada tahun 6.000 tahun SM. Menurut beberapa

pendapat, penduduk suku Tolaki berasal dari daerah/wilayah sekitar Tongkin

perbatasan antara Birma-Kamboja Tiongkok bagian selatan, setelah melalui

perjalanan dalam rentang waktu yang cukup panjang melewati ke pulauan Hiruku

Jepang ke kepulauan di Filipina Selatan, pulau-pulau yang tersebar rapat di bagian

Timur Sulawesi dengan menggunakan perahu-perahu cadik yang sederhana

melalui sungai Lasolo dan kemudian secara bergelombang tiba dan membangun

pemukiman sekitar danau Mahalona dan danau Matana (Rudini 1992: 24).

Dijelaskan bahwa dari rombongan awal yang tiba di danau Mahalona dan

danau Matana atau sekitar pegunungan Verbeek inilah yang kemudian disusul

oleh kedatangan rombongan kedua pada 4.000 tahun SM, dan terakhir rombongan

ketiga pada 2.000 tahun SM, yang kemudian mendesak rombongan awal tadi

pada 6.000 SM, yaitu yang menjadi leluhur puak-puak orang Tolaki sehingga

mendesak dan mnyebar dalam berbagai pecahan rombongan sebagaimana yang

10

30

kemudian dikenal dengan lahirnya berbagai pecahan suku-suku yang bertebaran

di seluruh pelosok bagian Utara, Timur, Selatan dan Barat Sulawesi seperti Sulu-

suku Toraja, To Ba’da, To mori, To Bungku, To Nsea, To Mohon, To Kia, To

Moronene, Tolaki dan Sebagainya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Albert

C. Kruyt bahwa semua suku-suku bangsa yang ada di pulau Sulawesi yang

menggunakan ponem bahasa ―To‖ artinya ―orang‖ seperti To Luwuk, To Banggai,

To Mori, To Nsea, To Mohon, To Bungku, To Moronene, To laki dan sebagainya

memiliki hubungan darah atau asal-usul yang sama yaitu berasal usul dari Moro

Filipina Selatan yang sejak 6.000 tahun SM, telah tiba di utara (sekitar sungai

Mekongga) kemudian melanjutkan perjalanan secara bergelombang masuk ke

daratan pulau Sulawesi dari arah Timur dan kemudian karena desakan

peperangan, serangan penyakit dan sebab-sebab persaingan lalu terpecah-pecah

menyebar ke seluruh arah dan pemukiman-pemukiman yang baru itulah kemudian

mereka membangun kehidupan kelompok yang melahirkan berbagai perpecahan

suku-suku dengan adat-istiadat dan bahasa yang berbeda-beda. Tradisi lisan

orang Tolaki menjelaskan bahwa kedatangan rombongan pertama suku Tolaki

berasal dari utara (pedalaman sekitar danau Matana dan Mahalona) melalui dua

jalur yaitu yang melalui daerah Mori, Bungku selanjutnya memasuki bahagian

Timur laut daratan Sulawesi Tenggara dan yang melalui danau Towuti kearah

selatan dan bermukim beberapa lama di darah Rahambuu. Dari sana terbagi dua

serombongan mengikuti lereng gunung Watukila lalu membelok ke arah Barat

Daya sampailah di tempat-tempat yang mereka namakan Lambo, Lalolae, Silea

yang kelak menjadi masyarakat Mekongga (Kolaka), rombongan lainnya turun

31

mengikuti kali besar (dalam bahasa Tolaki disebut Konawe Eha) dan

berkonsolidasi di suatu tempat yang kemudian disebut Andolaki. Rombongan ini

kemudian bermigrasi dan mendesak orang Tokia, Tomoronene, dan Toare yang

akhirnya mereka tiba di Unaaha. Menurut tradisi lisan pemimpin mereka bernama

Larumbesi atau lebih dikenal dengan nama Tanggolowuta (Rudini, 1992)

Sedangkan wilayah persebaran orang Tolaki telah diuraikan oleh Prof. Dr.

H. Abdurrauf Tarimana bahwa dari Andolaki inilah orang Tolaki kemudian

terpencar ke Utara sungai Routa ke barat sampai Konde’eha sampai olo-oloho

atau Konawe lewat Ambekairi dan Asinua, dan ke Timur sampai di Latoma

sampai Asera. Orang Tolaki yang kemudian menyebar ke wilayah Timur meliputi

wilayah Kendari Selatan di Pu’unggaluku, Tinanggea, Kolono dan Moramo serta

yang menyeberang ke pulau Wawonii. (Tarimana, 1985: 37-38).

Pada perkembangan penduduk terjadi migrasi berupa para pendatang

beberapa suku bangsa seperti bangsa Bugis, Makassar, Toraja dan beberapa

kelompok etnis lainnya yang datang dari daerah Sulawesi Selatan. Ada juga yang

datang dari daerah Sulawesi Tengah, Jawa, Maluku dan dari Kabupaten dalam

wilayah Sulawesi Tenggara sendiri seperti Muna dan Buton.

Dalam kesimpulannya Basrin Melamba, M.A menjelaskan tentang asal

usul Tolaki bahwa Masyarakat Tolaki sejak zaman prasejarah telah memiliki

jejak peradaban, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi

di beberapa gua atau kumapo di Konawe bagian utara maupun beberapa gua yang

ada di daerah ini. Lokasi situs gua di daerah ini umumnya terletak di Konawe

bagian Utara seperti Asera, Lasolo, Wiwirano, Langgikima, Lamonae,

32

diantaranya gua Tanggalasi, gua Tengkorak I, gua Tengkorak II, gua Anawai

Ngguluri, gua Wawosabano, gua Tenggere dan gua Kelelawar serta masih banyak

situs gua prasejarah yang belum teridentifikasi. Dari hasil penelitian tim Balai

Arkeologi Makassar dari tinggalan materi uji artefak di Wiwirano berupa sampel

dengan menggunakan metode uji karbon 14 di laboratorium Arkeologi Miami

University Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa dari pada artefak di Wiwirano

Konawe Utara berumur sekitar 7000 tahun yang lalu atau dengan evidensi ini

maka peradaban Tolaki di Konawe telah berlangsung sejak 5000 tahun Sebelum

Masehi. Di dalam gua-gua tersebut menyimpan banyak artefak baik tengkorak

manusia, alat kerja seperti alat-alat berburu, benda pemujaan, guci, tempayan,

gerabah, porselin baik itu buatan Cina, Thailand, VOC, Hindia Belanda, batu

pemujaan, terdapat beberapa gambar atau dengan misalnya binatang, tapak

tangan, gambar berburu, gambar sampan atau perahu, gambar manusia, gambar

perahu atau sampan, patung, terakota, dan sebagainya. Secara linguistik bahasa

Tolaki merupakan atau masuk kedalam rumpun bahasa Austronesia, secara

Antropologi manusia Tolaki merupakan Ras Mongoloid, yang datang ditempat ini

melalui jalur migrasi dari Asia Timur, masuk daerah Sulawesi, hingga masuk

daratan Sulawesi Tenggara. (Melamba, Aswati, dkk, 2012: 495)

C. Keadaan Sosial Budaya

a) Stratifikasi Sosial atau Pelapisan Sosial Suku Tolaki

Stratifikasi terjadi oleh karena adanya kebiasaan hubungan secara teratur

dan tersusun, sehingga setiap orang dalam setiap saat mempunyai siatuasi yang

menentukan hubungannya dengan oran lain secara vertikal maupun horizontal

33

dalam masyarakatnya. Masyarakat Tolaki adalah merupakan kelompok etnis

terbesar jumlahnya di Daerah Sulawesi Tenggara. Wilayah pemukimannya

meliputi keseluruhan daratan semenanjung Sulawesi Tenggara, yaitu daerah

Kabupaten Konawe.

Orang-orang Tolaki diangkat sebagai penduduk asli di Daerah Kendari

karena merekalah yang termasuk penduduk tertua di daerah tersebut. Mereka

itulah memenuhi pelosok-pelosok desa serta mendominisir kebudayaan Daerah

Kabupaten Kendari sejak dahulu hingga sekarang ini.

Di dalam mereka berpola serta berinteraksi antara sesama telah melahirkan

kelompok-kelompok masyarakat dan tumbuh serta berkembang di desa mana

mereka berada. Karena manusia dalam usahanya tidak pernah terlepas dari

kodratnya, ternyata antara individu maupun kelompok terdapat penonjolan-

penonjolan sosial yang tidak merata. Akibat dari perbedaan-perbedaan itu, batas-

batas antara kelompokpun semakin jelas. Terkadang sesuatu kelompok sosial

mempunyai disiplin yang ketat, sehingga anggota dari kelompok yang satu sulit

untuk menerobos kelompok sosial yang lain.

Di sinilah berawalnya kelas-kelas dalam masyarakat yang hampir tidak

dapat dibedakan dengan kasta-kasta yang dianut oleh daerah-daerah lain. Di

antara kelas-kelas masyarakat itu ada yang dipandang lebih tinggi (super class),

kelas menengah (middle class), dan kelas yang paling rendah.

Di dalam masyarakat Tolaki, kelas-kelas ini terdiri dari :

- Golongan Anakia (bangsawan)

- Golongan Pu’utobu (bangsawan menengah)

34

- Golongan Tonodadio (rakyat biasa)

- Golongan bawah atau o’ata

Di samping tiga golongan tersebut di atas, ada lagi satu golongan yang

merupakan tingkatan sosial yang paling di bawah, yaitu golongan ata (budak).

Apabila kita meneliti pelapisan masyarakat tersebut di atas, maka yang menjadi

dasar pelapisan masyarakat pada masa lalu adalah faktor keturunan. Seorang

Pempunyai kedudukan dalam pelapisan tertentu karena keturunanya. Sekian

faktor kerukunan, faktor keaslian (status Kependudukan), juga menjadi salah satu

dasar yang kuat di dalam menentukan kedudukan seseorang di dalam masyarakat

Tolaki.

Pada zaman kerajaan, pelapisan masyarakat Tolaki sangat ketat. Sangat

jarang terjadi salah seorang anggota dari kelompok bawah (Tonodadio) yang

dapat memasuki kelompok yang paling atas (Anakia). Apalagi kelompok yang

paling bawah sangat tertutup kemungkinannya untuk dapat bergerak naik menyatu

dengan tingkat masyarakat di atasnya (vertimobility).

Sistem kelas mencerminkan suatu masyarakat di mana kesempatan untuk

naik tangga sosial lebih sukar dan hampir tertutup (Dr. Phil. Asrid S. Susanto;

1983 : 66).

Sampai pada zaman Pemerintahan Belanda, sistem kelas/golongan dalam

masyarakat Tolaki tetap dipertahankan. Bahkan sistem pelapisan masyarakat ini

dijadikan tameng Belanda di dalam melaksanakan pratktek politik

pemerintahannya (politik adu-domba).

35

Pada masa pemerintahan Belanda, golongan Bangsawan Pri-Bumi

merupakan lapisan masyarakat ke-dua sesudah tingkatan/kedudukan bangsa

Belanda sendiri. Golongan bangsawan diberikan kedudukan yang lebih istimewa

dari pada golongan masyarakat lainnya dalam komunitas suku Tolaki. Hanya

keluarga dari golongan bangsawan itulah yang boleh mendapatkan pendidikan.

Akibatnya, jurang-jurang pemisah antara golongan masyarakat yang satu dengan

golongan lainnya semakin dalam.Seolah-olah masyarakat Pri-Bumi terutama

lapisan masyarakat bawah, sudah ditakdirkan sebagai bangsa atau golongan yang

diperhamba. Sebaliknya golongan bangsawan utamanya orang-orang Belanda di

satu pihak memiliki status yang teramat tinggi.

Karena keanggotaan seseorang dalam suatu kelas atau kasta, maka orang-

orang itu dapat bergerak dalam berbagai kelompok dengan berbagai hak dan

kewajiban (Soekandar,1983 : 67).

Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dimana setiap warga

Indonesia memperoleh kembali hak-hak azasinya, maka sistem kelas di dalam

masyarakat Tolaki yang sangat merugikan itu berangsur-angsur terkikis oleh

semangat demokrasi dan jiwa Pancasila itu sendiri.

Dalam setiap masyarakat akan ditemukan atau berkembang dengan

sendirinya stratifikasi sosial; hanya masyarakat-masyarakat yang sangat kecil dan

homogen yang tidak mempunyai stratifikasi. Stratifikasi terjadi dengan makin

meluasnya masyarakat dengan makin terjadinya pembagian pekerjaan.

Di dalam masyarakat Tolaki sejak dahulu telah terbentuk stratifikasi

yang berdasar kepada pembagian pekerjaan, yaitu :

36

- Kelompok petani sederhana;

- Kelompok peternak (mbuwalaka);

- Kelompok penguasa (keluarga ningrat);

- Keluarga kaya;

- Keluarga pendekar; dan

- Beberapa bentuk kelompok/keluarga lain.

Dalam interaksi sosial, antara kelompok/keluarga tersebut di atas terjadi

gerak sosial (social mobility) yang tidak terbatas baik secara vertikal maupun

horizontal. Kelompok-kelompok seperti ini tidak secara resmi atau secara

organisasi. Karena itu satu sama lainnya menganggap sama-sama sederajat, saling

bergaul dengan akrab. Hal ini disebabkan karena antara mereka saling

membutuhkan serta saling bergantungan satu sama lain.

Setelah masyarakat Indonesia memasuki alam hidup yang baru, dimana

unsur pengetahuan menempati kedudukan teratas dalam sistem stratifikasi, maka

terbentuklah pula kelompok cendikia, kelompok pegawai, disamping kelompok-

kelompok lainnya yang berdasar pada jenis pekerjaan/mata pencaharian. Sebagai

akibat gerak sosial (sosial movement), maka terjadilah perubahan-perubahan

status seperti: anggota petani beralih menjadi pegawai sedang petani penggarap

beralih menjadi pedagang atau peternak.

Dalam sistem kepemimpinan Tolaki, seorang (Raja) Mokole, sebelum

memangku jabatannya, ia tinotonao (disumpah) oleh seorang tonomotu’o (seorang

sesepuh pamangku adat) dalam fungsinya sebagia mewakili rakyat

keseluruhannya dihadapan sidang pelantikan, yang dihadiri oleh segenap aparatur

37

kerajaan yang telah disebutkan di atas, yaitu: Siwole Mbatohuu, Pitu dula batu,

tolu mbulo anakia mbuutobu, dan tolu etu la’usa.

Berikut ini inti dari sumpah bahwa, ―…ia akan menaati adat dan hukum yang

berlaku, dan sebaliknya rakyat bersumpah akan menaati segela kebijaksanaan dan

perintah raja. Apabila raja melanggar adat dan hukum yang berlaku maka Jahelah

yang akan memanskan nyawanya, besilah yang akan memotong lehernya,

aranglah yang akan menodai mukanya dan tanahlah tempatnya dikuburkan;

sebaliknya jikalau rakyat yang melanggar kebijaksanaan dan perintah raja maka

kemiskinan, kepapaan dan kepunahan yang akan menimpah mereka‖ (Tarimana,

1989: 188-189).

Disini tampak gejala adanya hubungan struktural dan fungsional antara raja

dan rakyat, suatu politic contract (perjanjian politik dan pemerintah). Raja akan

berhasil mewujudkan tujuan kepemimpinannya apabila taat terhadap pula rakyat

akan menjadi makmur dan sejahtera apabila menaati kebijaksanaan dan perintah

raja. Raja diperlakukan oleh rakyatnya laksana matahari, yang mampu

memancarkan sinar keberkahannya ke seluruh penjuru negeri dan segenap

penduduknya. Melalui keberkahan yang ada pada seorang raja, rakyat

mendapatkan berhak dari Allah SWT, karena raja dipandang sebagai wakilNya di

bumi. Permaisuri (isteri raja) dipandang oleh orang Tolaki, sebagai bukan, yang

memancarkan sinar rayuan cinta dan kasih sayangnya ke seluruh penjuru negeri

dan rakyatnya sebagai anak negeri. Sedangkan putera-puteri raja adalah laksana

bintang-bintang yang bertaburan di langit di waktu malam. Mereka dipandang

sebagai putera-puteri mahkota kerajaan, yang akan meneruskan pucuk

38

kepemimpinan negeri kerajaan. Kita seringkan ungkapan-ungkapan seorang

pemangku adat, ketika ia menghadap raja, permaisuri, yang dikelilingi oleh

putera-puterinya, katanya:―..iee inggomiu mberi’ou sangia, mata oleo, mata wula,

ana wula…(maksudnya: wahai engkau yang dipertuan agung, dewa, matahari,

bulan dan bintang-bintang. Abdurrauf Tarimana, (1993: 89).

Mereka juga memandang seorang raja sebagai pu’uno okasu (kayu pokok,

pohon besar tempat berlindungnya rakyat), sebagai petumbono olipu (tiang

agungnya negeri), ponggorahino wonua (kayu pokok, pohon besar tempat

berlindungnya rakyat), sebagai petumbuno olipu (tiang agungnya negeri),

ponggorahino wonua (tokohnya kerajaan), pu’u watu (pokoknya batu yang agung,

maksudnya: sumber kekuatan rakyat).

Sebaliknya raja memandang rakyat sebagai rome-romeno wonua (sumber

kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan negeri), maksudnya bahwa rakyatlah yang

berfungsi dalam memproduksi dalam bidang ekonomi. Tanpa rakyat adalah

musahil bagi negeri itu menjadi sejahtera, termasuk didalamnya raja dan

keluarganya, serta seluruh aparat kerajaan, abdi negeri, dan abdi masyarakat.

Mereka juga dipandang oleh raja dan aparat negeri sebagai wuta mokorano wonua

(potensi kekuatan dan pertahanan negeri) dalam menghadapi segala ancaman

musuh, baik dari luar maupun dari dalam negeri. Demi kesejahteraan dan

keselamatan negeri dan rakyatnya, dalam kehidupannya, maka Mokole (Raja)

harus lebih banyak berdoa, bersamadi, berzikir kepada Allah SWT, agar

rakyatnya senantiasa hidup tenteram dan damai. Bila ternyata rakyat di suatu

39

negeri, kata orang Tolaki, sering fitnah, timbul wabah penyakit, panen tidak jadi,

maka hal itu berarti raja tidak betul, artinya sudah lupa tugas dan kewajibannya.

b) Agama dan Kepercayaan

Sebelum masuknya agama Islam, dan Kristen, suku Tolaki telah menganut

kepercayaan yang percaya kepada dewa-dewa (sangia) yang dianggap menguasai

alam dan kehidupan manusia. Mereka juga percaya kepada mahluk-mahluk halus,

arwah nenek moyang dan kepercayaan kepada kekuatan sakti, dikalangan

masyarakat Tolaki disebut sangia. Ada tiga sangai pencipta alam, sangia wonua

(dewa negeri), sangia mokora (dewa pemelihara alam). Disamping ketiga sangia

tersebut masyarakat Tolaki percaya pula akan adanya sangi-sangia yang lainnya

yaitu:

1. Sangia ilosoano oleo yang berkuasa diufuk timur

2. Sangia itepuliano oleo yang berkuasa diufuk barat

3. Sangia I puri wuta yang berkuasa diperut bumi

4. Sangia ipuri tahi yang berkuasa didasar laut

5. Sangia ilahuene yang berkuasa diatas langit

6. Sangia mbongae yang membawa penyakit terhadap manusia

7. Sangia mbae atau sangia sanggoleo mba yang menghidupkan dan

memelihara padi-padian.

Selain dewa-dewa tersebut di atas, orang Tolaki percaya pula adanya

Dewi Kesejahteraan yang disebut Sanggoleo Mbae (Dewi Padi). Di daerah

Konawe, tidak berkembang lagi kepercayaan-kepercayaan seperti yang disebutkan

di atas. Kecuali oleh beberapa orang dukun yang masih terkadang memuja pada

40

dewa di saat melaksanakan upacara pengobatan secara magis. Sekarang

penduduknya memeluk agama Islam, sedang di daerah ini juga terdapat penduduk

yang menganut agama Kristen.

Upacara-upacara magis-tradisional yang sering-sering dilaksanakan di

lingkungan masyarakat pedesaan, bukanlah merupakan manivestasi kepercayaan

masyarakat setempat. Upacara mosehe dan mooli yang sering dilakukan oleh para

pawang (dukun kampung), adalah salah satu cara pemberian sesajian serta

permohonan kedamaian dan kesejahteraan masyarakat secara tradisional. Oleh

masyarakat Tolaki, menghargai tradisi nenek moyang adalah wajar sekalipun

tidak berarti untuk kembali menghidupkan kepercayaan-kepercayaan nenek

moyang yang sifatnya mempersekutukan Tuhan. (Melamba, Aswati, dkk, 2011)

Pada masa kini komunitas suku Tolaki masyoritas menganut agama Islam,

dan agama Kristen. Sebelum menganut agama samawi, suku Tolaki memiliki

kepercayaan kepada dewa-dewa atau sangia yang menguasai makro kosmos dan

kehidupan manusia. Pada masa lalu pada umumnya masyarakat suku Tolaki

menganut kepercayaan berupa : Ada tiga sangia utama yakni: sangia mbuu (dewa

pokok) sebagai pencipta alam, sangia wonua (dewa negeri) sebagai pemelihara

alam, dan Sangia mokora (dewa pemusnah alam). Kepercayaan animisme lainnya

seperti, meyakini roh-roh yang mendiami semua benda, yang disebut Sanggoleo,

mengenai dewa sangia, sangia maupun sanggoleo baik yang jahat maupun yang

baik, seperti sanggoleo mbae, dan sangia mbongae. Tradisi pengayauan seperti

halnya beberapa suku bangsa di Nusantara antara lain Batak, Toraja, Dayak dan

41

beberapa suku bangsa di Irian Jaya, ada unsur ―Koppensnellen‖ (mengayau atau

penggal kepala) mongae.

Meskipun pada saat ini mereka sudah menganut agama Islam dan Kristen,

tetapi sisa-sisa kepercayaan itu masih hidup. Bahkan kepercayaan itu dapat

bersifat sinkretisme yaitu konsep kepercayaan agama samawi bercampur dengan

konsep kepercayaan lama. Kepercayaan diatas itu termaksud kepercayaan

animisme dan dinamisme yang sampai sekarang masih sering dijumpai dalam

masyarakat suku Tolaki. Dewasa ini penduduk Tolaki pada umumnya sudah

menganut agama islam sejak Mokole Lakidende II, agama Kristen sejak abad ke-

19 Hindu dan Budha.

D. Struktur Organisasi Pemerintahan Kerajaan Konawe

a) Sistem Politik dan Birokrasi.

Praktek kepemimpinan Tolaki tampak dalam kebijaksanaan politik dan

pemerintahan. Sistem politik dan kepemimpinan negeri Tolaki adalah apa yang

disebut: 1. mohopulei wonua. 2. mombulesako lono nggapa. 3. mosiwi-siwi tono

meohai. Ini disebut politik dalam negeri, mereka juga mengenal dan

mengembangkan sistem politik luar negeri. Sistim politik luar negeri tampak

dalam praktek apa yang disebut: 1. mombekatia-tiari’ako (saling memberi upeti

antara kerajaan dengan kerajaan), misalnya antara kerajaan Konawe dengan

kerajaan Bone, dengan kerajaan Luwu. 2. mombekatawa-tawani’ako (saling

memberi bantuan perang). 3. membekapagu paguru’ako (saling menukar ahli

dalam ilmu dan pengetahuan)

42

Dengan mohopulei wonua dimaksud membina, mengayomi negeri dan

penduduknya, agar senantiasa dalam keadaan yang kompak dan bersatu. Fungsi

ini diperanani oleh Mokole (Raja) dan perlengkapannya, ialah Sulemandara

(Perdana Menteri), dan empat timur, di barat, di utara dan di selatan kerjaan.

Dengan mombulesako tono nggapa dimaksud menghimpun, mengelompokkan

rakyat, orang banyak, penduduk agar mereka senantiasa bersatu dan saling

berhubungan diantara satu sama lainnya. Fungsi ini diperanani oleh Puutobu

(Kepala Wilayah, Distrik) dengan aparat perlengkapannya, ialah posudo (wakil),

dan pabitara (aparat hukum, hakim). Ada 30 wilayah, sebagaimana telah saya

kemukakan pada bagian sebelumnya. Sedangkan dengan mosiwi-siwi

to’onomeohai dimaksud membujuk, merukunkan kelangan keluarga luas agar

mereka senantiasa hidup dalam suatu suasana persaudaraan, cinta-mencintai,

saling akrab diantara keluarga inti yang satu dengan lainnya, sampai pada jaringan

keluarga satu keturunan nenek-moyang. Fungsi ini diperanani oleh Tonomotuo

(orang yang dituakan, kepala kampung, kepala desa), Pabitara (juru bicara),

Tusawuta (aparat pertanian), Tamalaki (aparat pertahanan dan keamanan), o’tadu

(pengintai musuh), mbu’akoi (dukun umum), mbuawai (dukun penyakit),

mbusehe (dukun upacara), dan tolea (juru bicara dalam perkawinan). Ada 300

buah kampung didalam 30 wilayah pu’utobu setingkat kecamatan.

Dalam pandangan kepeminpinan tradisional kepemimpinan disimbolkan:

sebagai induk pohon besar (pu’uno okasu) madsudnya pelindung rakyat; rakyat

adalah rome-romeno wonua (pembuat makmur bagi negeri), maksudnya pemberi

jaminan hidup bagi pemerintah melalui produksinya; dan pemamngku adat

20

43

sebagai tanggi wotolu (teman seiring), maksudnya penasehat pemerintah dan

pembela rakyat. Gagasan adanya perjanjian segi tiga ini bersumber dari ajaran

Allah SWT (ombu sameena) melalui pesan leluhur (Tarimana, 1985: 225).

Untuk merealisasikan prinsip-prinsip kesatuan dan persatuan ini setiap raja

(mokole) yang memegang tampuk pemerintahan kerajaan mengarahkan tujuan

politik dan pemerintahannya terhadap usaha pencapaian apa yang disebut

mohopulei wonua, mombulesako tonononggapa, dan mosiwi-siwi tono tono

meohai. Maksud konsep mohopulei wonua yaitu membina, memelihara,

membangun negeri secara keseluruhannya, tidak hanya manusianya tetapi

terhadap semua mahluk. Hal ini maksudnya untuk mewujudkan dan

mempertahankan kesatuan dan persatuan serta menciptakan suasana

kesinambungan hubungan antara manusia dengan manusia dengan lingkungan

alamnya baik alam nyata maupun alam gaib.

Hubungan luar negeri, dengan kerajaan tetangga, melalui pertukaran upeti,

bantuan perang, dan pertukaran latihan diperankan oleh masing-masing Kapita

Ana Molepo (Panglima Angkatan Darat), Kapita Lau (Panglima Angkatan Laut),

dan tutuwi Motaha, Polapi Wungga’arono Wuta Konawe (Panglima Pertahanan

dan Keamanan Istana Mokole). Untuk mewujudkan ketiga sistem politik dan

pemerintahan dalam negeri, demikian luar negeri, terurai di atas, maka seorang

Mokole atau Sulemandara, Sapati, Sabandara, Ponggawa, dan Inowa, demikian

halnya para aparat pitu dula batu (Menteri), seterusnya Kapita Ana Molepo,

Kapita Lau, para Puutobu, dan para Tonomotuo, ia disyaratkan oleh norma

44

kepemimpinan, bahwa ia adalah:1. pasitaka (contoh, teladan). 2. pohiasoka,

pohaki pehaki (penggerak, pemberi semangat), dan 3. tani’ulu (pengendali).

Dengan pasitaka dimaksud bahwa seorang pemimpin Tolaki adalah pola

yang patut diatur oleh yang dipimpin (rakyat), karena ia adalah orang yang

moseka (berani), pindara (pandai), mandara (ahli, trampil, cekatan), mota’u

(berilmu), pandita (kaya akan pengetahuan baik mengenai dunia maupun

mengenai akhirat), yang nyata dan yang gaib), kobaraka (mubarak, sakti),

pinonaa’ko (disegani). Dengan pohiasako dimaksud seorang pemimpin Tolaki

yang mampu menggerakkan orang yang dipimpinnya (rakyat) untuk secara

bersama-sama melakukan pekerjaan dengan giat dan bersemangat dalam berbagai

bidang kegiatan sehari-hari dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup

bermasyarakat dan berbangsa. Dan dengan pohaki-haki dimaksud seorang

pemimpin Tolaki yang mampu memberikan dorongan, pengaruh bagi yang

dipimpinnya rakyat, agar mereka bangkit berjuang untuk mengatasi dan

memecahkan segala tantangan, hambatan, kesulitan dan bahkan masalah yang

timbul dan dialami akibatnya oleh masyarakat, bangsa di masakininya, dalam

rangka menghadapi masa depannya. Untuk itu maka seorang pemimpin Tolaki

disyaratkan juga agar ia memiliki kemampuan dalam hal apa yang diungkapkan

oleh orang Tolaki.....anomosekaki mengokoro ira’ino tono dadio, keno pebitara

ano me’naki, tanda, mendoda, ano mo’api-api, iamo wanggehanu, anio

pombenasaki noteeto pali tumo’orikee ohawo laa tinulara. Keno paraluu, anoto-

orikeeki bunggamanisi, polulu une, ano ehe’iki toono, meiringgee...(Tarimana,

1993)

22

45

Maksudnya lebih kurang bahwa ia harus berani berdiri di depan umum,

orang banyak, bila ia berbicara maka harus nyaring suaranya, terang, jelas dan

berapi-api, jangan ia pemalu, agar ia merasa bahwa dialah yang paling tahu apa

yang sedagn dibicarakan (biarpun ternyata ada kekurangannya). Kalau perlu, agar

ia mengetahui (ilmu) daya penarik, penggoda, agar ia disukai orang, disayangi.

Sedangkan dengan tani’ulu (pengendali) dimaksud bahwa seorang

pemimpin Tolaki disyaratkan agar aia mampu mengendalikan, mengarahkan ke

depan, ke kanan, ke kiri, kalau perlu menghentikan dan menarik mundur ke

belakang orang yang dipimpinnya, kemudian dilepaskannya lagi, begitulah

seterusnya. Hal itu tergantung pada dirinya, yang melihat bahwa dengan cara

demikian, rakyat yang dipimpinnya melangkah maju menurut situasi dan kondisi

lingkungan dan tuntutan kebutuhan yang berlaku namun ia tetap berpegang teguh

pada prinsip norma, sistem hukum, dan aturan-aturan khusus yang berlaku, yang

segalanya bersumber dari ajaran Allah SWT. melalui agama, adat istiadat.

Selain persyaratan rohaniah, mental psikologis terurai diatas, juga seorang

peimpin Tolaki disyaratkan bahwa ia secara biologik-genetik, adalah keturunan

bangsawan, atau paling kurang keturunan golongan menengah, pemangku adat,

keturunan tonomotuo. Ia sama sekali tidak memenuhi syarat, jika ia keturunan

budak (o’ata), kecuali ia dalam gari silsilah keturunan telah melepas diri sampai

tujuh turunan karena kawin-mawin dengan keturunan golongan menengah, dan

atau dengan keturunan golongan bangsawan, namun sangat jarang terjadi. Badan

yang sehat, tidak mengidam penyakit menular, kuat tisik, biarpun tidak tinggi dan

kekar tubuh, asal ia tampaknya tampan dan gagah, merupakan syarat bagi orang

46

Tolaki untuk menjadi seorang pemimpin. Bahkan orang Tolaki berkata:

―mohewutokaa mano upirahi-rahi,‖ artinya ―kecil-kecil orangnya namun ia

adalah andalan.‖ Ia laksana ―saha mohewu mano morere‖ (cabe rawit tetapi

sangat pedis rasanya). Adalah tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin,

kata orang Tolaki, biarpun persyaratan lainnya tersebut di atas, apabila seseorang

itu cacat fisik, misalnya ada tanda atau bekas luas di mukanya, jari terpotong atau

berangkai, dan atau ia tangan kiri, makan dengan tangan kiri, memegang dengan

kiri (left handed), apalagi kalau ia mandul, atau banci.

b. Wilayah Persekutuan Masyarakat Tolaki.

Suatu hukum adat Tolaki pada masa lalu memilki wilayah hukum adat

dengan istilah-istilah A’nggalo, O’napo, O’tobu, dan wonua. Istilah-istilah

tersebut yang berarti bagian-bagian wilayah yang diduduki dan dikuasai oleh

sekelompok masyarakat hukum adat suku bangsa Tolaki untuk didiami dalam

jangka waktu terbatas, adapaun wilayah yang dimaksud adalah:

a) Wilayah persekutuan A’nggalo, yaitu lembah nggarai yang penghuninya

terdiri 4 – 7 kepala keluarga yang merupakan satu keluarga asal dari satu

nenek moyangnya sendiri. Wilayah yang dikuasai ini secara ideal dapat

bertahan berkat adanya tokoh tiga pemimpin yang bertindak dan

bertanggungjawab sebagai pengaman dan penyelamat atas segala

ancaman yang membahayakan kelompok kecil yang bersangkutan. Tiga

tokoh itu dinamakan Tamalaki, Mbuakoi, dan Mbusehe.

b) Wilayah persekutuan O’napo, yaitu suatu wilayah lembah yang secara

hukum adat (osara) dikuasai dan diduduki oleh gabungan kelompok yang

47

mendiami anggalo. Sebagaimana halnya anggalo, o’napo ini merupakan

suatu wilayah yang dapat dikuasai dan bertahan lama berkat adanya tiga

tokoh pemimpin yaitu Tonomotuo, pabitara, dan Tamalaki yang berasal

dari anggalo yang lebih terampil dari anggalo lainnya tadi.

c) Wilayah persekutuan Pu’utobu, yaitu wilayah gabungan o’napo yang

biasanya pula terdiri dari 4-7 o’napo yang letaknya berdekatan satu sama

lainnya. Pemimpin wilayah persekutuan pu’utobu di sebut Pu’utobu

(kepala wilayah). Seorang pemimpin Pu’utobu yang berfungsi sebagai

koordinator seluruh wilayah yang dibantu oleh tiap tonomotuo dan

pabitara (juru bicara adat) dari setiap O’napo.

d) Wilayah persekutuan Wonua (negeri), yaitu negeri kerajaan Konawe yang

didalamnya terdapat wilayah-wilayah otobu (distrik), o’napo (desa), dan

sejumlah wilayah a’nggalo (kampung lembah) sebagai wilayah

persekutuan tempat tinggal. Istilah-istilah lain yang memiliki hubungan

dengan istilah wonua adalah to wonua, artinya orang negeri, penduduk

negeri. Pu’u wonua yang berarti ibu negeri, pusat negeri, ibu kota, dan

istilah tapu’u wonua yang berarti orang pertama mendiami negeri

Konawe. Sedangkan yang dimaksud wonua sorume adalah negeri yang

wilayah daerahnya banyak ditumbuhi anggrek sebagai bahan untuk

membuat tikar, topi, dan sebagainya dan warnanya kuning seperti emas

murni.

Sejalan dengan itu Basrin Melamba didalam bukunya yang berjudul Tolaki

di Konawe (2011: 48) mengemukakan bahwa dengan menerapkan suatu struktur

48

dan sistem pemerintahan baru yaitu Siwole Mbatohuu dan Opitu Dula Batuno

Wuta Konawe (Empat sisi Wilayah besar dan 7 dewan kerajaan Konawe). Siwole

Mbatohu yang memiliki arti, yaitu talam atau wadah tempat menyimpan Kalo

berbentuk persegi empat dengan empat sudut yang melambangkan daerah

kekuasaan daerah kekuasaan Kerajaan Konawe yang membagi wilayah Konawe

terdiri dari empat wilayah kekuasaan. Dalam pelaksanaannya Sabandara

Buburanda ditugaskan di wilayah Barat untuk memerintah dan menjaga daerah

Konawe dari daerah barat dari ekspansi Luwu. Kekuasaan Kerajaan Konawe

merupakan lingkaran konsentrik, mulai dari tingkatan Wonua atau negeri yang

berpusat di istana Kerajaandi Unaaha dipegang langsung oleh Mokole. Dibantu

oleh pejabat Siwole Mbatohu di empat penjuru daerah kekuasaan kerajaan.

Sesudah Wonua yaitu wilayah O’tobu dipimpin oleh seorang Pu’utobu (Melamba,

Aswati, dkk, 2011)

Pada zaman raja Tebawo, O’tobu di daerah ini berjumlah 30 (tiga puluh)

wilayah Tobu dan wilayah pada tingkat O’napo yang dipimpin oleh Kapala Napo

dengan gelar Tonomotuo, semacam wilayah pemerintahan tingkat desa pada

zaman Belanda menjadi Kambo yang dipimpin oleh kapala Kambo atau kepala

kampung. Setelah mokole Tebawo naik tahta dibentuknya tanah kerajaan Konawe

yang sangat luas sebagai suatu bentuk persegi empat, yang perlu mendapat

pelayanan dari pemerintah pusat kerajaan untuk menjamin ide tersebut maka pada

tahun 1609 dibentuklah perangkat penguasa wilayah di empat penjuruh di

kerajaan Konawe dikenal dengan sebutan Siwole Mbatohuu.

49

Dapat dijelaskan bahwa ketiga Puluh (30) wilayah daerah bawahan

Pu’utobu adalah sebagai berikut:

1. Ranomeeto membawahi Pu’utobu-pu’utobu:

a. Poasia d. Laeya

b. Moramo e. Wawonii

c. Kolono f. Konda

2. Latoma membawahi Pu’utobu-pu’utobu:

a. Arombu c. Asera

b. Pu’ulemo Ue’esi d. Lalowata

3. Tongauna membawahi pu’utobu-pu’utobu:

a. Toriki

b. Anggaberi

c. Lasolo

4. Asaki membawahi pu’utobu-pu’otobu:

a. Puriala d. Lalohao

b. Rate-rate e. Angata

c. Andoolo

5. Uepay, membawahi pu’utobu-pu’utobu:

a. Anggopiu

b. Mooreha

c. Tudaone

6. Sambara (Sampara), membawahi pu’utobu-pu’utobu:

a. Limbo

50

b. Rawua

c. Besu

7. Kasipute, membawahi pu’tobu-pu’utobu:

a. Palarahi c. Kasipute

b. Anggotoa d. Teteona

Disamping itu ada satu daerah khusus (Abuki) membawahi

pu’utobu-pu’utobu:

a. Asolu

b. Unaasi (Lasada)

c. Walay. (Chalik,dkk. 19978:20-21)

Pembagian wilayah pu’utobu tersebut diatas, menurut Muslimin Su’ud

(1989: 93) hanya dilihat dari segi lokasi/letak geografis yaitu tempat dimana

pejabat dewan adat kerajaan bermukim namun dilihat dari segi hirarki jabatan dan

tanggung jawab pelaksanaan tugasnya, sesuai yang ditentukan/ditetapkan Sidang

Dewan Adat Kerajaan yang dimaksud ke 30 wilayah pu’utobu yang secara

organisatoris bertanggung jawab melalui ke empat pejabat penguasa wilayah

masing-masing, (Ranomeeto, Latoma, Tongauna danAsaki) dan bukan melalui

dewan adat kerajaan, maka susunan dan pembagiannya adalah sebagai berikut:

1. Wilayah Gerbang Timur kerajaan (Ranomeeto) membawahi pu’utobu-

pu’utobu:

a. Poasia f. Moramo

b. Kolono g. Laeya

c. Wawonii h. Konda

51

d. Andaroa (Sambara) i. Besu (Sambara)

e. Lemo (Sambara)

2. Wilayah Gerbang Barat kerajaan (Latoma) membawahi pu’utobu-

pu’utobu:

a. Arombu d. Waworaha

b. Pu’ulemo (Kolaka Utara) e. Ue’esi

c. Lawata (Lalowata) f. Laloeha (Kolaka)

3. Wilayah sayap kanan kerajaan (Tongauna) membawahi Pu’utobu-

pu’utobu:

a. Toriki e. Anggaberi

b. Kasipute f. Anggotoa

c. Wawotobi g. Teteona

d. Lasolo/Andumowu

4. Wilayah sayap kiri (asaki) membawahi Pu’utobu-pu’utobu:

a. Puriala e. Angata

b. Lalohao f. Rate-rate

c. Tinondo g. Morehe

d. Kowioha. (Su’ud, 1989: 72-73)

Menurut Muslimin Su’ud selanjutnya, bahwa ke—30 pejabat Pu’utobu

diatas, sepanjang menyangkut tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan,

mereka hanya bertanggungjawab kepada raja/mokole melalui ke-4 penguasa

dimasing-masing wilayahnnya (Sapati, Sabandara, Ponggawa, dan Inowa),

52

Pada dasarnya konsep Siwole Mbatohuu sesungguhnya telah dipersiapkan

sebelum Sangia Inato dilantik menjadi Mokole atau Raja oleh pendahulunya yaitu

Mokole Melamba dengan gelar Letengapa, Lolamoa, Sangia Nggondombara,

Tawe eha yang memerintah pada tahun 1539-1602. Konsep awal Siwole Mbatohu

pada masa raja Melamba dalam membentuk struktur yag belum lengkap sebagai

berikut:

1. Pembagian pusat-pusat pemerintahan dibawah pimpinan beberapa Mokole

atau raja yaitu:

a. Pemerintahan pusat dipegang oleh Mokole I’Larisomba atau anakia

Meita.

b. Pemerintahan daerah/wilayah dipegang oleh Ndotongano Wonua.

c. Pemerintahan daerah kerajaan Konawe, dipegang oleh Anangguro

Metipu Wuta I’Konawe, Wonua ngguluku Lipu I’Loronii I’Unaaha

2. Wilayah-wilayah kekuasaan atau kerajaan Lokal meliputi:

a. Wulele Ngasu Dawa, Wuanggasu Wula ( turunan kayu jawa, tunas

ayau buah negeri emas) yang berpusat di Mowewe.

b. Pano dewa wulaa (sisa pengaruh kerajaan jawa terdampar) yang

berpusat di andoolo).

c. Tolalo nggasu wulaa (Turunan Raja Pulau emas yang mengasingkan

diri) yang berpusat di abuki (Alosika) yang dibantu turunan

to’onomotuo (tetua adat setempat) di Walay.

d. Meosadaki isi Peopati Mohewu (putri raja yang mungil tetapi cantik)

berkedudukan di Puriala.

53

e. Tamburu nggasu dawa, pala-malamba mengga (beduk yang terbuat

dari kayu jawa yang menyala-nyala) berpusat atau berkedudukan di

Asolu.

f. Polia-lia langi ana somba wulaa (turunan cucu bangsawan dari pulau

emas yang bertingkat atau berstatus) berkedudukan di Arombu.

g. Tundu mbassi nununggu (pelabuhan laut) di daerah Lasolo dan Lembo

daerah Mboo. (Melamba, Aswati, dkk, 2011)

Struktur pemerintahan di atas merupakan cikal bakal Siwole Mbatohuu dan

O Pitu Dula Batuno Konawe tergambar bahwa kondisi pemerintahan wilayah

Kerajaan Konawe pada periode sebelum Sangia Inato, yaitu:

a. Bahwa kerajaan Konawe pada saat itu berstatus sebagai kerajaan vasal

atau vasal staat dari suatu kerajaanluar Konawe berpusat dijawa

menurut prediksi kerajaan Majapahit, ataukah di Sulawesi Selatan yang

diduga berpusat di Bone dan kedaulatan Luwu.

b. Bahwa para bangsawan atau anakia kerajaan Konawe pada periode itu

memiliki relasi geneologi dengan raja-raja di Jawa.

c. Bahwa keturunan bangsawan tersebut memiliki daerah kekuasaan yang

terpisah dengan pusat pemerintahan di Unaaha di bawah Mokole Sangia

Mbinauti.

Pada perkembangan selanjutnya, keenam tahun menjelang pelantikan

Mokole Tebawo dengan gelar Sangi Inato, Sangia Mbinauti (raja yang dipayungi)

bernama Mokole Maago, menyempurnakan lagi konsep tersebut menjadi konsep

54

persiapan ―Siwole Mbatohu Opitu Dula Batuno Konawe‖ yang lebih sempurna

dan lengkap dengan struktur sebagai berikut:

1. Mokole atau Sangia berpusat di Inolobu Nggadue Unaaha.

2. Inae Sinumo Wuta Mbinotiso Towu Tinorai (pengganti Mokole atau

Sangia) berkedudukan di Abuki.

3. Sulemandara (perdana mentri) berkedudukan di Puu’osu.

4. Opitu Dula Batuno Konawe (tujuh dewan kerajaan) yang tersiri dari:

a. Pelapi Wungguaro (komandan pengawal kerajaan) berkedudukan di

Tuoy.

b. Tusa Wuta (penjabat yang membidangi pertanian) di Wawotobi ke

Kasipute.

c. Bite Kinalumbi (pengadilan) di Anggotoa.

d. Kotu Bitara (hakim pemutus perkara) berkedudukan di Wonggeduku.

e. Putumbu Laradati (kejaksaan) di Lalosabila atau Tuoy.

f. Bite Metado (penjabat penghubung seperti Mokole, dewan Kerajaan

para Mentri) berkedudukan di Tudaone.

g. Tusa Laradati (penjabat bagian intelejen atau kepolisian)

berkedudukan di Unaasi/Palarahi.

h. Kapia Anamolepo (panglima angkatan darat) berkedudukan di Uepai.

i. Kapita Lau (panglima angkatan laut) berkedudukan di Puu Sambalu,

Sambara atau Pohara .

j. Tu’oy (sekretariat kerajaan meliputi pengawal dan urusan rumah

tangga kerajaan) berkedudukan di Toriki Anggaberi dan Tuoy.

55

Pemberlakuan konsep tersebut hanya berlangsung selama kurang lebih dua

belas tahun, selanjutnya diadakan perubahan, melalui musyawarah atas usul

Lelesuwa sebagai Kotubitara. Maka ditetapkan konsep struktur baru kerajaan

Konawe Siwole Mbatohuu O’pitu Dula Batuno Wuta Konawe konsep ini dianggap

lebih baik dan sempurna khususnya tentang pembagian kekuasaan dan wewenang.

Seperti yang ditulis oleh Basrin, dkk di dalam bukunya yang berjudul

Sejarah Tolaki di Konawe menjelaskan bahwa Dalam konsep struktur

pemerintahan Siwole Mbatohu dan O’pitu Dula Batuno Konawedapat diuraikan

sebagai berikut:

1. Struktur tingkat kerajaan (wonua) atau negeri yang terdiri dari:

a) Mokole sebagai raja atau sebagai kepala negeri atau pemerintah

tertinggi.

b) Dewan kerajaan yang disebut ―Opitu dula Batuno Konawe‖ yang

disebut Anakia Momboindi Parenda Mokole yang aparatnya terdiri dari

1) Sulewata Mandara atau Sulemandara, selaku perdana mentri yang

dijabat pertama kali oleh Sulemandara Kalenggo. Jabatan ini

dikenal juga dengan sebutan Lopa-lopa Wula, Palako Lumeledo,

Metemba Nggolo Sara, Pebite Ngginalumbi, Sumusule Wonua,

Mandara Hii Wuta Konawe yang berkedudukan di Pu’Osu.

2) Pembantu Mokole di wilayah bagian timur dengan gelar sapati,

merangkap sebagai pemimpin wilayah kerajaan Konawe bagian

Timur yang disebut ―Motombi-tombi Nggilo, Mebandera Wulaa,

56

Tambo I’Losoanao Oleo‖ yang pertama dijabat oleh Sapati

Sorumba.

3) Pembantu Mokole di wilayah Barat penjabatnya bergelar Sabandara

atau Sabannara (Syabandar), sekaligus sebagai pimpinan wilayah

bagian Barat yang disebut Taune Napo Wulaa, Ore-ore Mebubu,

Tampo Itepiliano Oleo yang dijabat pertama kali oleh Sabandara

Buburanda.

4) Pembantu mokole di wilayah Utara (Sisi Kanan) yang disebut

ponggawa, merangkap sebagai pemimpin wilayah di bagian Utara

(sisi kanan) kerajaan Konawe yang disebut Melingge-lingge Bara

Metuka Ndambosisi, Tambosisi Ruromoro Opua Mepambai Barata

I’Hana yang dijabat pertama kali oleh Ponggawa Paluwu.

5) Pembantu raja diwilayah bagian Selatan (Sisi Kiri) kerajaan

Konawe yang disebut atau bergelar I’Nowa merangkap sebagai

kepala wilayah bagian Selatan (kiri) yang disebut Tetoremba-remba

Nggilo, Toko Wula Wulaa, Merembirembi Eno Mekalambi Wulaa,

Simburu Nggati Nggilo Patirangga Wulaa Rahambaha

Monggasono Wuta Konawe Barata I’Moeri yang disebut atau

bergelar Kapita Anamolepo Wuta I Asaki dengan pimpinan pertama

Taridala.

6) Panglima angkatan darat Kerajaan Konawe yang digelar Kapita

Anamolepo, berkedudukan di Uepai yang pertama kali dijabat oleh

Kapita Anamolepo Taridala.

57

7) Panglima angkatan Laut Kapita Sambara Wuta Konawe, kerajaan

Konawe yang bergelar Tanoopa Moloro, Tadohopa Nduosa,

Lomalaea Ndahi Membandera Waea Kapita Lau, berkedudukan di

Puusambalu Sambara atau Sampara (wilayah bagian Timur kerajaan

Konawe) yang dijabat pertama kali oleh Kapita Lau Haribau.

Para pejabat tersebut dibantu oleh beberapa pejabat yang berstatus menteri

muda, sedangkan pejabat tersebut berstatus sebagai pejabat tingkat Wonua mereka

memiliki otoritas atau wewenang yaitu:

a. Menteri sekertaris kerajaan bergelar Tu’oy yang pertama kali di jabat

oleh Tuoi Podada berkedudukan di Tu’oy

b. Iwoy Solombule, Waa Solo Mbendua, uha Bite Metado, Pesurino Wuta

Konawe. Mentri urusan peertanian kerajaan yang bergelar Tusawuta,

berkedudukan di Kasipute yang dijabat pertamakali oleh Anakia

Ndusawuta Latuo gelar Tawe Terumba Raha Mboluloaa.

c. Mentri urusan kehakiman atau begian peradilan pada tingkat kerajaan

yang bergelar Kotubitara berkedudukan di Wonggeduku, yang pertama

kali dijabat oleh Kotubitara Lelesuoa.

d. Owati Anggotoa oleh Tainoa berkedudukan sebagai hakim.

Keempat pejabat tersebut bertanggung jawab atau berada dalam koordinasi

dengan Sulemandara atau sebagai ketua dewan kerajaan Opitu Dula Batuno

Konawe (Melamba, dkk, 2011: 48-55)

Berdasarkan bentuk-bentuk tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa

dengan diterapkannya sistem dan struktur organisasi Siwole Mbatohu dan Opitu

58

Dula Batu, maka penyelenggaraan administrasi pemerintahan kerajaan yang

dipimpin oleh raja Tebawo dapat berjalan lancar dan mampu menciptakan

stabilitas keamanan selama masa pemerintahannya bahkan dapat menjadikan

kerajaannya yang makmur, kuat dan tersohor yang sekaligus menjadikan namanya

sebagai salah satu seorang raja Konawe yang terkenal dimana-mana yang atas

dasar itu sepeninggal beliau, Ia diberikan gelar dengan sebutan ―Tebawo‖ (yang

tersohor diman-mana)

59

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Terbentuknya Kapita Lau Di Kerajaan Konawe

Hampir setiap kerajaan tradisional di Nusantara pada masa lalu kita temukan

suatu jabatan yang kusus mengurus laut atau bidang kemaritiman, seperti di Buton

(Kapita Lao), seperti dikerajaan Mataram, Demak, Buton, Ternate,termasuk di

Kerajaan Konawe terdapat pengawal raja yang disebut Kapita Lau yang pertama

kali di jabat oleh Haribau berkedudukan di Sambara/Sampara.

Secara etimologi Kapita Lau terdiri atas dua suku kata yaitu Kapita yang

berarti Kapten, dan Lau yang berarti Laut dari bahasa portugis yaitu Kapitein

berarti pimpinan suatu pasukan militer. Kata Kapitein kemudian diserap dalam

bahasa melayu menjadi Kapten. Djafar (2009: 25) mengemukakan dalam bahasa

Tolaki Kapita berarti pimpinan suatu pasukan tertentu atau dapat pula berarti

pimpinan. Misalnya Kapita Anamolepo, Kapita Bondoala, Kapita Laiwoi

(Lasandara), Kapita Lanowulu, Kapita Mayoro, dan Laeya. Di kesultanan Buton

dikenal Kapita Lao, dan di kerajaan Muna dikenal dengan Kapita Lahia.

Jabatan Kapita Lau ini muncul pada zaman pemerintahan Mokole Tebawo,

kerajaan Konawe telah membentuk Panglima Angkatan Laut (Kapita Lau) atau

juga lebih dikenal Kapita Bondoala. Berkedudukan dipu’usambalu

Sambara/Sampara. Pada saat itu dijabat oleh Haribau dengan gelar Kapita

Bondoala. Kapita Bondoala merupakan gelar Kapita Lau (Panglima angkatan

laut) Kerajaan Konawe yang diberikan oleh masyarakat Konawe setelah ia

kembali dari peperangan bersama Kesultanan Buton, Kerajaan Bone (Arung

60

Palaka), melawan Gowa dan berhasil menduduki salah satu wilayah kerajaan

Gowa yang bernama ―Bontoala‖ pada tahun 1667 (Melamba, Aswati, dkk, 2011:

58).

Pada waktu Mokole Lakidende II dengan gelar Sangia Nginoburu, mengirim

utusan ke Bone untuk membantu raja Bone melawan Belanda pada perang Bone

pertama oleh raja Lakidende kemudian menunjuk Tosugi dari Anggaberi untuk

memimpin rombongan tersebut yang dibantu oleh Haribau putra Ndawuto dari

Sambara, menunjuk La Besi dan La Taripa selaku juru bahasa. Ekspedisi Bone

waktu itu dipimpin oleh seorang Ratu perempuan yang bernama Imanung Arung

Data Matinrowe Wikesi.

Sekembalinya mereka dari Bone maka Tosugi berganti nama menjadi

Pakandeate (Pakandreate) dan Haribau bergelar Kapita Bondoala. Dan La Besi

oleh raja Lakidende memperkenankan menyebarkan agama Islam di bagian Timur

kerajaan Konawe di lembah aliran sungai Andabia dan Anggasuru yang dibantu

oleh putranya yang bernama Bakealu (Melamba, Aswati, dkk, 2011)

Sejalan dengan itu seperti dalam bukunya Arsamid yang berjudul Sejarah

Pemerintahan Kabupaten Konawe (2003: 7) mengemukakan bahwa, jabatan

Kapita Lau ini berada dibawah pejabat Sulemandara, kemudian lebih

disempurnakannya melalui sidang dewan kerajaan. Seluruh wilayah kerajaan

Konawe dibagi dalam empat (4) bagian wilayah besar yang disebut Siwole

Mbatohu’u (penguasa wilayah besar dan menjadi dewan pertimbangan Mokole),

masing-masing:

61

1. Tambo Ilosoano Oleo, yaitu gerbang Timur berpusat di Ranome’eto,

pimpinannya bergelar Sapati.

2. Tambo Itepuli’ano Oleo, yaitu gerbang Barat berpusat di Wowa Latoma,

pimpinannya bergelar Sabandara.

3. Barata Ihana, yaitu Batara Kanan berpusat di tonga’una, pimpinannya

bergelar Ponggawa.

4. Barata Imoeri, yaitu Barata Kiri berpusat di Asaki (Lambuya),

pimpinannya bergelar Inowa.

Selain itu ditetapkan pula 7 (tujuh) pejabat kerajaan yang disebut Opitu Dula

Batu, masing-masing:

1. Sulemandara, perdana menteri dan urusan Luar Negeri, berkedudukan

di puu’osu.

2. Tutuwi Motaha, Menteri Pertahanan berkedudukan di Anggaberi.

3. Tusawuta, Menteri Pertahanan berkedudukan di Kasipute.

4. Petumbu Lara Dati, Menteri Kehakiman berkedudukan di

Tuda’one/konawe.

5. Bite Kinalumbi, Menteri Penerangan berkedudukan di Kasipute.

6. Kapita Anamolepo, Menteri Panglima Angkatan Darat berkedudukan

di Uepay.

7. Kapita Lau/Kapita Bondoala, Menteri Panglima Angkatan Laut, yang

berkedudukan di Sambara (Melamba, Aswati, dkk, 2011))

Berikut penjelasan keadaan Kapita Lau pada masa pemerintahan Mokole

Lakidende dengan gelar Sangia Ngginoburu. Setelah naik tahta Raja/Mokole

62

Lakidende terdapat penambahan beberapa jabatan di bidang pertahanan Darat dan

Laut yaitu pengangkatan beberapa Kapita (kapita) Ngapa (Pelabuhan) yang rawan

bagi serangan dari, laut yaitu : (1) Kapita Lanowulu di Lanowula Lakara

Kecamatan Tinanggea sekarang, Kapita Lembo, Kecamatan Lasolo, Kapita Asera

di Otole Bandaeha Kecamatan Lasolo di Andumowu dan seorang Kapita Darat di

wilayah darat di wilayah Barat Latoma yang disebut Kapita Sanggona yang

ditugaskan untuk menjaga. serangan Kerajaan Luwu dari Utara. Jabatan-jabatan

tersebut bersama personilnya diangkat/dilantik oleh Panglima Angkat an Darat

Kerajaan Konawe termasuk adiknya sendiri Panglima Angkatan Laut (Melamba,

Aswati, dkk, 2011).

Kapita Lau Haribau menempatkan pasukan-pasukan Laut yang dipimpin

oleh seorang Kapita Ngapa (penguasa pelabuhan).

1). Kapita Ngapa I Langga Ala di Andumowu di Lasolo

2). Kapita Ngapa I Lapoto di Poasia/Lepo-Lepo

3). Kapita Ngapa I Mbatono di Ngapa, Pamandati/Lainea

4). Kapita Ngapa I Tamadoro di Lanowulu, di Andoolo/Tinanggea.

Kapita-kapita (komandan) pelabuhan Kerajaan Konawe, tersebut berbeda

dengan sistem pertahanan darat yang diatur oleh Kapita Anamolepo (I’Taridala)

yang juga menempatkan beberapa Kapita Darat di Asera yang dijabat oleh Kapita

Lapotiki berkedudukan di Wiwirano, dan Kapita Darat Sanggona I’Lapombili I

(bukan Pombili II) yang berkedudukan di Sanggona.

Salah satu tugas dari para Kapita Ngapa tersebut, adalah menjaga serangan

(Pasukan-pasukan kerajaan Ternate) dengan misi Islam yaitu yang dikenal dengan

63

bajak-bajak laut ―Tobelo‖ yang sejak tahun 1496, di zaman sebelum Islam tiba

Ternate (1521), atau di zaman Mokole La Marundu, selalu mengadakan serangan

melalui bagian timur kerajaan Konawe, terutama setelah terjadi peristiwa Kapita

Galileo (Kerajaan Ternate) melarikan seorang putri bangsawan dari Konawe

(Wasitau I) adik kandung Puluase, kemudian dalam pelayarannya menuju Ternate

bersama dengan orang-orang Tobelo, ketika singgah untuk mengambil air minum

di Ngapaaha di Pamandati/Lainea, berkat jasa seorang mata-mata Raja Tiworo,

putri raja Mekongga, yang kemenakannya juga dari raja Tebawo, sempat direbut

dan dilarikan juga oleh pasukan Raja Tiworo Sugimanuru yang secara kebetulan

ada berlabuh di Ngapaaha, dan peristiwa itulah yang menyebabkan Raja Tebawo

menginstruksikan kepada kapita Haribau untuk mempercepat penempatan

penugasan-penugasan kapita-kapita di ke-5 pelabuhan tersebut di atas, dengan

membangun benteng-benteng batu di Andumowu, Lembo, Poasia,

Pamandati/Ngapaaha, dan Lanowulu yang sisa-sisanya masih dapat ditemukan

ditempat-tempat tersebut (Tarimana, 1993).

Selain menempatkan pasukan dan membangun benteng, juga menggalakkan

lalulintas perdagangan atau perekonomian penduduk di wilayah setempat guna

memperkuat posisi kekuatan perekonomian Kerajaan Konawe, melalui sistem

barter dengan para pedagang dari Buton, dan Bone, yang datang dengan maksud

untuk berdagang.

Menurut Muslimin Su’ud (1988) bahwa khusus menyangkut latar

belakang perbedaan versi mengenai siapa Haribau (Kapita Lau/Kapita Bondoala),

siapa yang melahirkannya, dan siapa saudara-saudara kandungnya dan bagaimana

64

status persaudaraan mereka dengan Taridala, Surunggiha dan Haribau,

berdasarkan penelitiannya, diperoleh keterangan sebagai berikut :

Bahwa meskipun masih perlu diteliti lebih lanjut mengenai kebenaran

tentang berapa jumlah sesungguhnya isteri Raja Tebawo, namun dugaan bahwa

seluruh raja-raja bawahan atau pejabat teras Kerajaan Konawe utamanya

penguasa Wilayah “Siwole Mbatohuu‖ dan pada pejabat ―O’Pitu Dulu Batu‖ (7

anggota dengan Adat Kerajaan), Inea Sinumo (Putera Mahkota) Kota Bitara

(Mahkamah Agung) dan para penguasa-penguasa Wilayah Pu’utobu yang 34

orang, sesuai dengan sistem teokrasi (raja menjalankan sistem teokrasi karena

Mokole Tebawo merupakan raja yang pertama memeluk agama islam) yang

berlaku di zaman raja-raja dahulu, adalah benar bahwa mereka itu haruslah dari

keluarga dekat Raja Tebawo, termasuk di sini Kapita Lau/Kapita Bondoala yaitu

Haribau (Melamba, dkk, 2011)

Berdasarkan sumber di atas, maka sesuai dengan keterangan-keterangan

yang telah diteliti kebenarannya, menunjukkan bahwa Raja Tebawo dalam

membangun kerajaannya, telah menempatkan/mengangkat para pejabat

kerajaannya yang hanya terdiri dari saudara-saudara sekandungnya, dan dari anak-

anaknya dari beberapa isterinya sebagai berikut :

1) Sebagai penasihat utama, diangkat saudara Kandungnya lain Ibu adalah

Lele Suwa yaitu sebagai Kotu Bitara (Mahkama Agung) berkedudukan di

Wonggeduku;

2) Sebagai teknokrat/ahli pemikirannya, diangkat/ditunjuk La Isapa, yang juga

saudara kandungnya, berlainan ibu dengan Raja Tebawo dan Lele Suwa;

65

3) Dari Bone diberitakan bahwa Raja Tebawo/Sangia Inato yang beribu

Wesangguni bersaudara kandung dengan Raja Bone (Arung Pone) ke V, La

Tenri Sukki Mapayunge (1510-1535), tapi lain ibu, yaitu karena Raja

Tebawo/Sangia Inato atau La Tenri Sangeang Dabali, beribu Pandangguni

(Puteri Raja Tolaki dari turunan Wetenri Lakke juga dari Abuki) sedang

Arung Pone V beribu Bone Luwu dari Tenri Wali (Arung Kaju), maka Raja

Tebawo naik takhta di Kerajaan Konawe (tanah leluhur ibunya) pada usia

yang sudah lanjut yaitu berusia 67 tahun, karena itu sebelum menjadi Raja

Konawe, ia telah mempunyai beberapa isteri dari turunan-turunan Raja

Tolaki, Luwu, bahkan dari Tiworo di Kerajaan Muna.

B. Struktur Pelaksanaan Tugas Kapita Lau Di Kerajaan Konawe

Dalam struktur dan sistem pemerintahan tersebut terlihat bahwa Kapita Lau

termasuk salah satu dari anggota Pitu Dula Batu, yang letaknya cukup strategis

dalam tinjauan keamanan khususnya terhadap ancaman dari luar melalui laut di

sebelah Timur Kerajaan dimana kawasan ini pada periode abad XVI-XVII

menjadi rebutan oleh berbagai kerajaan/bangsa, seperti dari Ternate/Tobelo,

Bungku, dan Gowa yang saling merebut hegemoni di Kawasan Timur Nusantara

ini. Dengan demikian penetapan wilayah ini sebagai salah satu basis pertahanan

Kerajaan Konawe sangat tepat, baik untuk menjaga keselamatan rakyat maupun

dalam memelihara hubungan dengan Kerajaan lain, karena pada saat itu Sampara

sebagai salah satu pusat perdagangan maritime Kerajaan Konawe yang ramai

dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai kerajaan (Melamba, Aswati, dkk,

2011).

66

Suatu strategi yang dilakukan oleh Mokole Tebawo pada awal

pemerintahannya adalah dengan mendahulukan pelantikan aparat pemerintahan

yang menangani pertahanan keamanan ini seperti: Tutuwi Motaha, Kapita

Anamolepo, dan Kapita Lau. Kemudian oleh Panglima/menteri ini kemudian

membentuk pos-pos pertahanan keamanan di daerah sepanjang pantai khususnya

di wilayah Tambo i Losoano Oleo (gerbang timur) dan sekaligus

menunjuk/melantik komandannya yang dikenal Kapita Mayora di Lembo, Poasia,

Ngapaaha, dan Lanowulu.

Penempatan pos-pos tersebut berada di bawah Komando Pertahanan Kapita

Lau, bahkan dalam perkembangannya kemudian ditambah lagi beberapa pos yang

dianggap rawan dan strategis bagi pertahanan dan keamanan kerajaan. Haribau

selaku Kapita Lau pada periode ini, selain ia juga berasal dari keluarga istana,

juga beliau merupakan seorang pemimpin yang cerdas, arif, bijaksana, dan

memiliki pengalaman dalam bidang kemaritiman karena ia sering melakukan

pelayaran ke kerajaan-kerajaan tetangga.

Tugas dan tanggung jawab Kapita Lau ini cukup strategis bagi kerajaan,

karena selain menjaga keamanan juga sekaligus harus mampu menjadi duta-duta

bangsa dalam menjalin hubungan dengan dunia luar, khususnya dalam

memperlancar perdagangan antara daerah-daerah Konawe dengan kerajaan lain

dan menjalin hubungan dengan Kerajaan Konawe, seperti Buton, Muna, Tiworo,

dan Bone.

Sejalan dengan fungsi dan kedudukan kapita Bondoala dalam sistem

pemerintahan kerajaan Konawe dimasa pemerintahan raja Tebawo, untuk

67

menjaga masuknya musuh, baik yang datang melalui darat maupun melalui laut,

yang menjaga keamanan di Timur jauh dari kerajaan dan di Barat jauh dari

kerajaan di tetapkan dua panglima perang, yakni Panglima Perang di Darat yang

disebut Kapita Ana Molepo (Kapten Anak Muda) yang berkedudukan di Ue’pai.

Panglima Perang dilaut yang disebut Kapita Lau (Kapten Laut) yang

berkedudukan di Pulusabila, Sampara,(Wawancara dengan Sapiudin Pasaeno, 21

April 2012)

Kapita yaitu merupakan perwakilan raja Mokole atau merupakan tangan

kanan yang menjadi kepercayaan raja sebagai wakil yang menjabat jabatan

panglima perang dibidang tertentu, yang di jabat oleh golongan bangsawan Tulen

(Anakia Songo). Kapita bertugas memerangi dan menghancurkan musuh-musuh

baik dari dalam negeri maupun dari luar Kerajaan dalam menjalankan tugasnya

Kapita dibantu oleh Tamalaki sebagai prajurit-prajurit yang gagah berani dan

O’tadu yang mengatur strategi perang.

Tamalaki merupakan prajurit-prajurit yang gagah berani, sebagai penjaga

keamanan dan pertahanan kerajaan dalam keadaaan bahaya maupun dalam

keadaan aman. Menjaga keselamatan Raja, terutama dalam melakukan perjalanan

Dinas kedaerah-daerah dan melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang

oleh pejabat-pejabat yang ada dalam kerajaan Kerajaan Konawe. Tamalaki ini ada

dari golongan bangsawan maupun dari golongan To’ononggapa, bahkan dari

golongan budak pun, apabila dapat memiliki keberanian dan telah bebas status

ata-nya itu (Tarimana, 1993).

68

Selanjutnya, O’tadu merupakan seorang yang mempunyai keahlian

strategi perang, ahli nujum dan ahli siasat perang agar dengan mudah

mengalahkan dan menghancurkan musuh-musuh kerajaan Konawe. Tugas lainnya

menentukan waktu-waktu mana yang baik dan buruk untuk berangkat berlayar,

musim berburu, musim berladang, dan sebagainya. Dalam sumber sebagaimana

yang telah dikemukakan dua orang Kapita, yaitu Kapita Lau dan Kapita Ana

Molepo masing-masing dijabat oleh Haribau sebagai Panglima Perang Laut

(Melamba, Aswati, dkk, 2011).

Konsep Tambo I losoano Oleo adalah pintu terbitnya matahari, yaitu

wilayah kekuasaan sebelah Timur Kerajaan Konawe, yang dikuasai oleh seorang

raja yang bergelar Sapati. Sapati ini dikenal dengan nama samarannya kowuna

nggona I’a Ranomeeto, sebagai wilayah kecamatan Ranomeeto sekarang ini.

Pemerintahan Sapati kowuna nggona I’a, berkedudukan di Pu’u Mbopondi,

Ranomeeto, denganpejabat-pejabat sebagai berikut: Sorumba, Melamba,

Malandeo, Tebau, Wemaho, dan Mangu. Pemerintahan daerah Sapati

Ranomeeoto, dengan kerja sama Kapita Lau (Bontoala) di Sampara, membawahi

beberapa pemerintahan wilayah (Pu’utobu) yaitu: Sampara, Poasia, Moramo,

Kolono, Laeya danWowonii.

Wilayah-wilayah tersebut berada dalam kekuasaan dan tanggungjawab Sapati

Ranomeeto untuk menjalankan pemerintahan dengan baik sesuai instruksi-

instruksi yang diberikan oleh Mokole sebagai pimpinan yang tertinggi dalam

kerajaan Konawe.

69

Sistem pemerintahan yang didasarkan atas musyawarah, kegotongroyongan

sangat diutamakan dimana hubungan persahabatan dengan Bone dilaksanakan

oleh Pakandeate dan Haribau. Pada tahun 1905 Saranani mangkat dengan

meninggalkan satu orang istri yakni Balea dan 4 orang anak masing-masing tiga

orang putra dan satu orang putri. Setelah mangkatnya Saranani maka

kepemimpinan Anggaberi menjadi Tutuwi Motaha dari Pakandeate beralih ke

keturunan Rakawula. Akan tetapi pada tahun tersebut jabatan Tutuwi Motaha

sudah tidak berfungsi lagi menjadi panglima kerajaan Konawe seperti pada masa-

masa pemerintahan raja-raja Konawe dulu. Hal ini disebabkan oleh para

bangsawan pada masing-masing daerah tidak lagi mengakui akan eksistensi

Mokole atau raja apalagi setelah Saranani mangkat pada tahun 1904.

Keadaan ini berlangsung hingga berkuasanya pemerintahan Hindia Belanda

pada tahun 1905. Diamana posisi pejabat mengalami perubahan adalah sebagai

berikut:

1. Sapati Ranomeeto dijabat oleh Maho putri Tebawo di Wilayah Gerbang

Timur

2. Sabandara Latoma di jabat Tanggapili di Wilayah Gerbang Barat

3. Ponggawa I’una dijabat oleh Lagarai di sisi Kanan

4. Inowa Asaki dijabat oleh Ipapa Tawe Simbau disisi Kiri

Adapun pergeseran posisi pejabat Pitu Dula Batuno Konawe antara lain

sebagai berikut:

1. Tutuwi Motaha di jabat oleh Sariah di Abuki

2. Kotu Bitara atau Wati dijabat oleh Rambi di Wonggeduku

70

3. Kapita Ana Molepo di Tongauna

4. Kapita Bondoala di jabat oleh Rambidi Pohara

5. Pabitara

6. Rakahi Mbetumbu di jabat oleh Eha (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 208-

213)

Sehingga keadaan tersebut diatas bertambah rumit karena wilayah Konawe

bagianTimur yaitu wilayah Ranomeeto telah memisahkan diri dan mendirikan

kerajaan baru yang bernama Laiwoi yang dipimpin pertama kali oleh Lamangu

yang mengadakan perjanjian pertama dengan Belanda yang disebut Long

Contract. Demikian sejarah Kapita Lau di Kerajaan Konawe sejak tahun 1725-

1904.

Kepemimpinan Kapita Bondoala, dalam masyarakat Tolaki Sampara, tidak

banyak ditemukan riwayat historisnya, namun dengan mempelajari riwayat

kehebatan peperangan antara Kerajaan Gowa dengan Raja Bone (Arung Palakka)

yang dibantu oleh pasukan Kerajaan Buton dan Konawe yang disajikan dalam

suatu Seminar Sejarah di Ujung Pandang oleh : Prof. Dr. Andi Zainal Abidin

Farid, SH dengan judul : ―Inovasi Orang-orang Bugis pada Abad ke XVI-XVII di

Wilayah Timur dan Barat Sulawesi‖ dimana di dalamnya ikut dijelaskan

mengenai perang antara Sultan Hasanuddin dari Gowa dengan Arung Palakka

yang dibantu dengan 13.000 pasukan gabungan dari Buton, pasukan ―Tompo

Tikka‖ (Konawe), Sula, Tidore, Pada akhirnya, keberanian pasukan-pasukan

Gowa yang dipertahankan oleh Karaeng Bontomaranu secara mati-matian di

daerah Sombaopu dan Bontoala, dalam 3 dan 4 hari saja telah diduduki oleh

71

pasukan Arung Palakka yang dipimpin oleh La Tomparina Arung Atakka, Daeng

Pabila, Arung Maruang Marowanging, La Sambara Arung Ri Tompo Tikka

(Kapita Bondoala) bersama Kapita Lau Buton, Matanajo, dan Kapita Lau La

Jiapaloe serta Kapten De Brill dan Spellman, dengan memakan korban kedua

belah pihak yang sangat besar (A. Zainal Abidin Farid, 1987 : 16).

Dari keterangan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa Kapita Bondoala

dalam kedudukannya sebagai seorang Panglima Angkatan Laut memiliki salah

satu sifat kepemimpinan militer yaitu sifat pemberani sebagaimana dibuktikannya

pada peristiwa Perang Gowa di atas. Berikut diuraikan keberhasilan kapita Lau

dalam memimpin jabatan sebagai penguasa atau yang mengatur wilayah sungai

laut dan pesisir kerajaan Konawe. Konsep-konsep keberhasilan pemimpin

pasukan, namun dari ungkapan-ungkapan nyanyian berupa epos orang Tolaki

yang tergambar melalui nyanyian kukuaha dan taenango wuwutu mata dupa dari

Anggaberi/Toriki, dapat dipetik beberapa kunci keberhasilan para Tamalaki orang

Tolaki, yaitu para pemimpin orang Tolaki antara lain :

1. Hanggari no wutu ahu meratu dawa kasu artinya namun apa yang terjadi,

peluru atau senjata ditujukan kepadanya bagaikan asap dan daun kayu yang

berguguran, maksudnya kebal atau mempan tidak dimakan besi.

2. Anoamba tutoko meranggamii wodoh, maa au mbaokee kaa iee, no langgai

mosoro wungguaro mokapa, artinya, maka tatkala ia menyerang musuh,

tidaklah musuh diberi ampun kecuali langsung ditebas batang lehernya habis-

habisan.

72

3. Anoamba susuka, tepalimondoloako, mau mbaakokaa, iee no langgai

membiri, tamalaki melosika, artinya, dan manakala terpaksa harus mundur

maka musuh tak dapat berkesempatan untuk memukul balik karena gesitnya.

4. Mano sa lolosono oleo, tumotareano o’manu, ano tepotudoto okuro, tuduito

perondua, maa hapokaa iee, no tetopa rarai, nokukutii kasai, mondaurakoito

doworo, langgai masuana, pomberahi-rahia, wungguaro momea, pitu nduda

babuno. (Wawancara Arsamid, 14 April 2012), yang artinya, maka manakala

musuh telah dikalahkan dan semua lawan telah dikalahkan, perang dianggap

telah berakhir maka duduklah panglima bersama pasukan dengan senjata

diistirahatkan lalu bersorak-soraklah mereka bersama pasukan sebagai tanda

kegembiraan dan seterusnya.

Dari ungkapan tersebut diatas dapat diketahui keberhasilan seorang Tamalaki

(pemimpin perang) orang-orang Tolaki dimasa lalu terletak pada:

a. Keberanian (moseka)

b. Memiliki ilmu siasat motau lese.

c. Memiliki perlengkapan senjata yang kuat

d. Kekompakan bersama pasukan yang dipimpinnya

Sifat-sifat tersebut diatas dimiliki oleh pejabat Kapita Lau dalam memimpin

dan mengamankan wilayahnya.

C. Peranan dan Fungsi Kapita Lau di Kerajaan Konawe

Setelah menguraikan secara panjang lebar mengenai asal usul dari Kapita

Bondoala (I’Haribau) di atas, dapat kita pahami bahwa kedudukan Kapita Lau di

Sambara/Sampara merupakan tempat pertahanan yang merupakan pintu masuk

73

yang datang melalui laut, karena pada saat itu Sampara sebagai salah satu pusat

perdagangan maritim Kerajaan Konawe yang ramai dikunjungi oleh para

pedagang dari berbagai kerajaan dan sebagai penghubung dunia luar, juga untuk

menjaga masuknya musuh, baik yang dating melalui darat maupun melalui laut,

yang menjaga keamanan di Timur Jauh kerajaan dan di Barat di tetapkan dua

panglima Perang, yakni Panglima Perang di Darat yag disebut Kapita Anamolepo

(Kapten Anak Muda) yang berkedudukan di Ue’pai, dan Panglima Perang di Laut

yang di sebut Kapita Lau (Kapten Laut) yang berkedudukan di Pulusabila,

Sambara (Melamba, Aswati, dkk, 2011: 83). Maka dari uraian tersebut sekaligus

dapat menjelaskan bahwa fungsi dan kedudukan Kapita Bondoala, dalam sistem

pemerintahan Kerajaan Konawe di masa pemerintahan Raja Tebawo, adalah :

a. Sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan Konawe digelar sebagai Kapita

Lau yang mempunyai Pasukan Angkatan Laut kurang lebih 1.000 orang,

berkedudukan di Pu’usambalu (Pohara) Sampara.

b. Selain sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan Konawe, juga sebagai

Anggota Dewan Adat Kerajaan (O’Pitu Dula Batu), bersama Buburanda

(Sabandara Latoma), Sorumba (Sapati Ranomeeto), Taridala (Kapita

Anamolepo Uepai), Paluwu (Ponggawa Tongauna), Kalenggo

(Sulemandara/Sekretaris Kerajaan) dan Latuo (Tusa Wuta/Menteri Besar

Pertanian Kerajaan Konawe).

c. Maka sebagai Anggota Dewan Adat Kerajaan Konawe, Kapita Lau/Kapita

Bondoala, adalah sebagai salah seorang pengambil keputusan penting dalam

seluruh sistem kebijaksanaan politik dalam dan luar negeri Kerajaan Konawe,

74

disamping tugasnya sendiri sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan, yang

sewaktu-waktu memimpin pasukannya, seperti yang telah ditunjukkannya

dalam membantu Kerajaan Buton/Wolio, ketika bersama dengan pasukan

Arung Palakka (La Tenri Tata) bersama Spelman melakukan serangan

terhadap Kerajaan Gowa, pada tahun 1967.

Peranan Kapita Bondoala dalam Kerajaan Konawe pada Masa Raja

Tebawo kita dapat melihat dalam berbagai aspek yaitu:

a) Aspek Politik dan Birokrasi Tradisional

Berdasarkan sumber yang penulis peroleh dari penelitian diketahui

bahwa, peranan Haribau (Kapita Bondoala) yang dapat ditelusuri pada masa

pemerintahan Sangia Inato (Raja Tebawo) antara lain :

1) Di bidang politik luar negeri kerajaan, ia pernah membawa misi Kerajaan

Konawe mewakili Raja Tebawo, untuk mengingat perjanjian kerja sama

ekonomi dan pertahanan dengan Kerjaaan Bone, sebagaimana yang telah

diuraikan di atas.

2) Di bidang politik dalam negeri, adalah Kapita Bondoala yang bersama

dengan kakaknya Kapita Anamolepo (Taridala) yang bertindak pergi

mengambil Raja Lakidende yang sedang belajar Islam di Buton setelah ia

kembali dari Bone, untuk didudukkan sebagai pengganti Raja Tebawo,

sepeninggal dunia Raja Tebawo, karena timbul kericuhan/perebutan

kekuasaan antara Raja Latoma dan Raja Sorumba dari Ranomeeto, untuk

naik takhta mengantikan Raja Tebawo, namun karena kedua raja tersebut

tidak mendapat dukungan luas dari raja-raja bawahan lainnya, maka

75

Haribau bersama kakaknya Taridala sebagai orang kuat (militer) Kerajaan

Konawe, lalu secara diam-diam berlayar mencari/menjemput Lakidende

yang sementara belajar di Buton dan mengantarnya datang ke Konawe, lalu

mendudukkannya sebagai Raja Konawe menggantikan Raja Tebawo;

Dengan prakarsa kedua bersaudara tersebut, maka amanlah Kerajaan

Konawe yang telah 12 tahun mengalami kevakuman kepemimpinan (raja)

sehingga pemerintahan Kerajaan Konawe dapat berlanjut selama kurang

lebih 67 tahun di masa Raja Lakidende (Melamba, dkk, 2011).

Seperti telah disinggung dalam uraian di atas, bahwa kedudukan Kapita

Bondoala dalam sistem pemerintahan Kerajaan Konawe di masa pemerintahan

Raja Tebawo, adalah selain sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan, jua ia

sebagai Anggota Dewan Adat Kerajaan Konawe bersama 6 orang anggota

lainnya. Berdasarkan kedudukan tersebut, maka dari berbagai penuturan sejarah

masa lalu Sampara, dapat diketahui mengenai beberapa kegiatan/peran yang

dimainkan oleh Kapita Bondoala di bidang pemerintahan, antara lain :

- Bertindak sebagai utusan Raja Tebawo untuk menandatangani kerja sama

ekonomi dan pertahanan dengan Kerajaan Bone di Watampone

- Membantu Sapati Ranomeeto (Sormba) dalam mengamankan/menata

pemerintahannya di seluruh wilayah Tambo I’Losoano Oleo, dari batas

Lemo Bajo/Lasolo-Wolasi.

- Memberikan laporan secara teratur kepada Raja Tebawo melalui Sidang

Dewan Adat Kerajaan, tentang keamanan laut wilayah timur Kerajaan

Konawe dari serangan-serangan musuh (Ternate, Tidore, Luwu, Bangai)

76

- Mengusulkan terbentuknya aparat penguasa pelabuhan dengan Gelar

Kapita Ngapa yang berada di bawah koordinasi Kapita Lau, untuk

pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Konawe di bagian timur Kerajaan Konawe,

yaitu : Kapita Ngapa di Bandaeha/Lembo; Kapita Ngapa di

Andumowu/Lasolo; Kapita Ngapa di Poasia/Lepo-Lepo; Kapita Ngapa di

Ngapaaha/Pamandati (Lainea) dan Kapita Ngapa di Lanowulu/ Tinanggea;

usul mana dapat disetujui dan dilantik oleh Haribau, atas nama Raja

Tebawo, bukan sebagai atas nama Panglima Angkatan Laut Kerajaan

(Muslimin Su’ud, 1988).

Tugas-tugas sipil pemerintahan di atas, dijelaskan oleh Kapita Bondoala,

pada saat-saat ia tidak melaukan tugas sebagai Panglima Angkatan Laut, dengan

16 buah perahu ―Lambo‖ yang disebut oleh orang Tolaki dengan perahu

―Manulambu‖ yang diberikan/dihadiahkan oleh Raja Bone, ketika ia berkunjung

ke Bone pada masa itu.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa peranan Kapita Bondoala dalam

bidang politik pada masa Raja Tebawo cukup besar andilnya, terutama dalam

rangka menjamin kesinambungan Kerajaan Konawe setelah meninggalnya Raja

Tebawo menyongsong naiknya Raja Lakidende

b) Di Bidang Ekonomi

Dari berbagai sumber penuturan sejarah masa lalu Kerajaan Konawe,

khususnya dari pulau Menuy, dari Buton dan dari Salabangka, diperoleh informasi

yang menceriterakan bahwa perahu-perahu yang memuat sagu, daun agel, dan

buah-buahan pisang, serikaya, dan kelapa, sejak masa Kapita Laudi daerah

77

tersebut telah selalu didatangi oleh para pedagang naik perahu asal Wowa

Sambara dan Pasambala (Pu’usambalu) yang diawali oleh sebagian orang Bugis

dan sebagian orang Taloki (bukan Tolaki) untuk berbarter/mengganti dengan ikan,

garam, dengan segala barang keramik dari Buton, Menui, dan Salabangka. Dari

Ternate seorang Tetua Adat Ternate, Kapita Haribau, asal Konawe Wasambara.

Sejak lama telah dikenal oleh ceritera-ceritera penduduk di hampir semua daerah

pesisir pantai pulau-pulau Maluku Utara, sebagai seorang Bajak Laut yang

ditakuti oleh bajak-bajak laut Tobelo (Halmahera, Bacan) dan Tidore, karena di

samping selalu muncul dengan tujuan berdagang ia sekaligus juga selalu

menimbulkan huru hara bila ia akan diganggu oleh pedagang-pedagang

saingannya.

Seorang informan menjelaskan bahwa nenek mereka yang tiba di

Lemobajo dari Bajoe/Bone, pada tahun 1636, karena perang Bone-Gowa, telah

menceriterakan, kalau nenek mereka itu tiba di Lemobajo Lasolo, telah

berkenalan dan tukar menukar tanda mata serta keperluan ekonomi dengan

Haribau, dengan bukti adanya sebilah parang Taawu (parang panjang) ukuran

1,60 meter panjang sebagai kenang-kenangan dari Kapita Haribau, melalui nenek

mereka yang tetap mereka simpan dan pelihara sebagai tanda mata Kapita

Bondoala (H. Abdullah Djusin, wawancara 17 Mei 2012).

Dari uraian di atas menggambarkan bahwa Kapita Bondoala, selain

sebagai Panglima Angkatan Laut, juga sebagai pameran dalam kegiatan ekonomi

perdagangan dengan dunia luar Kerajaan Konawe, sekurang-kurangnya bertindak

78

sebagai pengawal/pengawas dalam lalu lintas ekonomi perdagangan dari daerah-

daerah luar kerajaan.

c) Di Bidang Pertahanan dan Keamanan

Sebagaimana telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa Kapita

Bondoala, dalam kedudukannya sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan

Konawe (Kapita Lau), sangat besar peranannya dalam mengamankan kerajaan

dari berbagai serangan dari luar terutama dari Kerajaan Ternate, Banggai dari

timur yang terkenal dengan bajak laut mereka yang disebut ―To Belo‖ di mana

mendorong Haribau, melakukan upaya-upaya sebagai berikut :

1. Membangun beberapa pelabuhan penjaga serangan seperti mendirikan

pelabuhan; Andumowu/Lasolo, Lembo/Bandaeha/Lasolo, Lepo-Lepo

Kendari/Poasia, Ngapaaha/Tinanggea dan Lanowulu/Tinanggea dengan

menempatkan komandan-komandan pelabuhan yang diberi gelar dengan

―Kapita Ngapa‖.

2. Pulang balik ke Bone, untuk mencari perahu-perahu layar ―Lambo‖ untuk

dijadikan sebagai alat/kapal penyerang musuh.

3. Membangun Pangkalan Angkatan Laut yang tangguh di Pu’usambalu

Pohara.

4. Memberikan bantuan pasukan Angkatan Laut dengan memimpin sendiri

terhadap Kerajaan Bone dan Buton seperti yang telah dijelaskan di atas.

5. Melakukan patroli terus menerus sambil berdagang di pulau-pulau sekitar

wilayah timur Kerajaan Konawe seperti di Salabangka, Ternate, Menui dan

daerah-daerah lain bersama dengan pasukannya.

79

6. Bersama dengan Angkatan Darat Kerajaan Konawe, bahu membahu

mengatasi kericuhan yang terjadi, antara raja-raja bawahan sewaktu Raja

Tebawo meninggal dunia, untuk tetap menegakkan kesinambungan

pemerintahan Kerajaan Konawe (Melamba, dkk, 2011).

Kegiatan-kegiatan tersebut di atas, menunjukkan bahwa Kapita Bondoala

sangat besar peranannya dalam menciptakan kestabilan politik-politik Kerajaan

Konawe pada masa pemerintahan Raja Tebawo baik pada awal-awal pelaksanaan

tugasnya maupun pada masa-masa sesudah pemerintahan Raja Tebawo.

d) Di Bidang Sosial Budaya

Di bidang sosial budaya, salah satu dari berbagai peranan Kapita Bondoala

yang hingga saat ini masih terasa adalah sumbangannya dalam menjadikan

wilayah Sampara sebagai salah satu pintu asimilasi dan sirkulasi antara orang-

orang Tolaki dengan orang-orang Bugis, dengan catatan-catatan sejarah sebagai

berikut :

1) Menjadikan wilayah Sampara (Sambara) (melalui muara Sungai Sampara)

sebagai pelabuhan komunikasi/transportasi lalu lintas perdagangan antara

pedagang-pedagang orang Bugis dengan para pedagang Ternate sebelum

terjadi perang antara Kerajaan Buton dengan Kerajaan Ternate.

2) Menjadikan Pelabuhan Sampara sebagai pintu masuknya rombongan-

rombongan orang Bugis di Kerajaan Konawe sejak tahun 1459 rombongan I

yang dipimpin oleh Madukala yang kemudian kawin dengan Wesangguni

dari Abuki, lalu melahirkan Raja Tebawo/Sangia Inato, menyusul datangnya

rombongan orang Bugis ke II yang dipimpin oleh Daeng Manabung pada

80

tahun 1612 menyusul datangnya rombongan Arung Baku pada tahun 1781

dan seterusnya, yang kesemuanya melalui Sampara baru kemudian

menyebar ke Lepo-Lepo, Tiworo, Torobulu-Tinanggea, kemudian masuk ke

pedalaman daratan Sulawesi bagian Tenggara (Tanah Konawe) kemudian

ke Buton-Muna bahkan ke Mekongga karena mereka tidak dapat melewati

jalur Kolaka, disebabkan kuatnya pengaruh kekuasaan Luwu di daerah-

daerah Pitumpanua (Mekongga);

3) Menerima penempatan sejumlah tiga puluh tujuh Kepala Keluarga orang

Tiworo yang datang dari pulau-pulau Tiworo, di wilayahnya yaitu di Desa

Lalonggaluku, setelah berkembang biak di Parauna selama 12 tahun, akibat

timbul perselisihan dengan penduduk asal Kulahi Anggotoa, sehingga sejak

saat itu terjadi perkawinan dengan penduduk asli di sepanjang sungai

Pohara-Muara Sampara dengan keturunan-keturunan orang Tiworo;

4) Membuka lebar-lebar pantai timur Ranomeeto untuk menerima pelarian-

pelarian orang Bugis dari Sulawesi Selatan akibat perang hebat antara

Kerajaan Bone (Arung Palakka) dengan Kerajaan Gowa, seperti yang

sekarang ini berkembang di beberapa tempat seperti di Bungkutoko,

Kendari, Lepo-Lepo, Mata, dan Toronipa.

Panglima angkatan laut Kapita Sambara Wuta Konawe, kerajaan Konawe

yang bergelar ‖Tanoopa moloro, Tadohopa Nduosa, Lomalaea Ndahi

Membandera Waea Kapita Lau”, berkedudukan di Puu Sambalu Sambara atau

Sampara (Wilayah bahagian Timur kerajaan Konawe) yang di jabat pertama oleh

81

Kapita Lau Haribau dan dilanjutkan oleh pejabat Kapita lau hingga kapita Tehaho

sebagai kapita terakhir.

Para pejabat tersebut diatas dibantu oleh beberapa pejabat yang berstatus

menteri muda, sedangkan pejabat tersebut berstatus sebagai pejabat tingkat wonua

mereka memiliki otoritas atau wewenang. Menguasai dan berwewenang terhadap

beberapa pelabuhan laut di kerajaan Konawe.

Koordinasi untuk urusan persenjataan para o’tadu dan tamalaki dibawah

pengawasan Kapita lau, yaitu dengan cara memesan kepada kepala urusan

persenjataan kerajaan Konawe yang disebut ‖Parewano wuta Konawe‖ yang

berkedudukan di Sanggona yang dijabat oleh seorang to’ono motuo dari

Sanggona.

Jika ada tamu yang datang berkunjung di Ranomeeto sebagai pejabat Sapati

yaitu Sorumba maka jika tamu tersebut ingin ke Unaaha menemui raja atau

mokole Konawe terlebih dahulu harus melalui pengetahuan Kapita Lau karena

jalan satu-satunya untuk ke Unaaha melalui Sampara dan Puu Mbopondi.

Relasi dengan pejabat Sabandara (sabannara) pejabat Syah bandar

berkedudukan di Wowalatoma yaitu melalui jalur koordinasi karena Sabandara

menguasai hilir sungai Konaweeha yang merupakan urat nadi ekonomi Kerajaan

Konawe, sedangkan Sampara atau sambara sebagai Hulu kali Konaweeha. Jika

terjadi ancama di daerah Wawolatoma dan beberapa Tobu wilayah kekuasaannya

maka akan dikirim pasukan dari sampara melalui laut. Termasuk jika akan ke

daerah Asera dan Wiwirano terlebih dahulu harus memberitahu anakia sabandara

karena daerah ini merupakan wilayah bawahan atau o’tobu. Contohnya pada

82

waktu akan di tempatkan pelabuhan dan pimpinannya di wilayah ini terlebih

dahulu dilaksanakan komunikasi dan meminta persetujuan dari Kapita lau kepada

pejabat Sabandara. Koordinasinya melalui mokole pemerintahan pusat di Unaaha.

Untuk membentuk pertahanan di wilayah Lasolo maka pejabat Kapita Lau

harus melaukukan koordinasi dengan pejabat barata ihana, karena tobu Lasolo di

bawah kekuasaan Barata I’hana yang berkedudukan di Tongauna Lalonggowuna.

Hal ini pula berlaku pada saat membentuk dan menunjuk kapita Ngapa Aha

dan Kapita Lanowulu maka pejabat kapita ini mengkoordinasikan tugasnya

kepada pimpinan penguasa Barata Imoeri yaitu pejabat panglima angkatan darat

yang bergelar Kapita Anamolepo. Tugas menjaga dan mengamankan wilayah laut

merupakan tugas dari masing-masing kapita Lanowulu dan Kapita Ngapa di

Tinanggea Konawe bagian selatan tetapi masalah pemungutan bea atau

penghasilan pajak pelabuhan hasilnya diserahkan ke pejabat Kapita Anamolepo

untuk selanjutnya diserahkan ke Unaaha. Demikian sistem koordinasi dan hiraki

relasi kekuasaan pejabat Kapita Lau dengan beberapa pejabat Siwole mbatohu di

kerajaan Konawe dengan tetapi menganut asa koordinasi dan saling mengetahui

tugas, fungsi dan kewenangan dari pejabat tersebut, dan saling membantu apabila

terjadi gangguan keamanan dan pertahanan.

Menyangkut kesinambungan dan keberlangsungan pejabat kapita lau pada

zaman kerajaan Laiwoi berstatus sebagai pejabat wilayah Tobu di Sampara,

sebenarnya secara internal dalam kerajaan Konawe mereka masih menganggap

diri sebagai Kapita lau di tingkat kerajaan atau wonua. Tetapi pada zaman

pemerintahan kerajaan Laiwoi oleh pemerintah Hindia Belanda kedudukan Kapita

83

Lau di pindahkan dari Sampara ke Poasia dengan pejabatnya bernama Bunggasi

atau Boenggasi. Hal ini dilakukan agar pemerintah Hindia Belanda mudah dalam

pengontrol kegiatan pejabat ini karena di khawatirkan akan menyusun kekuatan

karena berada agak sedikit jauh dari Kota Kendari tempat kedudukan controleur

atau tuan petor dalam bahasa Tolaki disebut tua mbetoro. (Basrin Melamba,

wawancara 29 September 2012).

Keseluruhan peristiwa-peristiwa sejarah yang penulis uraikan di atas,

merupakan jasa-jasa dari Kapita Bondoala bersama turunan-turunannya di

belakang hari, sehingga Kecamatan Sampara sampai saat ini adalah merupakan

salah satu wilayah orang Tolaki yang paling banyak warganya sebagai turunan-

turunan Bugis-Tolaki yang tak dapat lagi dibedakan apakah ia sebagai orang

Bugis, ataukah sebagai orang Tolaki, akibat telah berasimilasi secara turun

temurun selama beberapa abad yang lalu.

Untuk mengenang Kapita Lau di kerajaan Konawe, di tengah-tengah

masyarakat Konawe terdapat banyak nyanyian yang menceritakan tentang

peranan Kapita Lau salah satunya yaitu nyanyian Kukua Hano Tolaki, yang

menceritrakan keberadaan Kapita Lau. Masayarakat Sampara mempunyai

lapangan sepak bola yang disebut Lapangan Haribau dan daerah-daerah Lainnya

seperti di Kelurahan Bandoala terdapat Lapnagan yang dinamakan Lapangan

Pasaeno. Selain lapangan terdapat juga makam Kapita Lau perempuan Waanggo

(Kapita Lau ke V), dan makam Tolunggae (Kapita Lau ke VI) yang berada di

kelurahan Laosu tepatnya di desa Lalonggaluku, dan di desa Wawolimbue

84

kecamatan Sampara juga terdapat makam Pasaeno yang merupakan Kapita Lau

yang ke IV. Gambarnya dapat dilihat pada Lampiran hasil penelitian ini.

85

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Latar belakang terbentuknya Kapita Lau,Secara etimologi Kapita Lau terdiri

atas dua suku kata yaitu Kapita yang berarti Kapten, dan Lau yang berarti

Laut. Sedangkan menurut tradisi masyarakat Tolaki bahwa Kapita Lau

adalah Menteri atau Panglima Angkatan Laut Kerjaaan Konawe. Istilah

Kapita dikenal dalam bahasa Portugis yang berarti kapten yaitu pimpinan

suatu pasukan. Di Kerajaan Konawe beberapa jabatan yang mengenal kapita

seperti Kapita Anamolepo, Kapita Bondoala, Kapita Larambe, Kapita

Lanowulu, Kapita Ngapaaha, dan terakhir Kapita Lasandara di kerajaan

Laiwoi. Jabatan Kapita Lau ini muncul pada zaman pemerintahan Mokole

Tebawo, kerajaan Konawe telah membentuk Panglima Angkatan Laut

(Kapita Lau) atau juga lebih dikenal kapita Bondoala. Ia masuk dalam

struktur Opitu Dula Batuno Konawe, berkedudukan di Pu’usambalu

Sambara/Sampara yang pertama kali dijabat oleh Haribau dengan gelar

Kapita Bondoala. Kapita Bondoala, adalah merupakan gelar dari Kapita Lau

(Panglima Angkatan Laut) Kerajaan Konawe yang diberikan oleh

masyarakat Konawe, setelah ia kembali dari peperangan bersama Buton,

Bone (Arung Palakka), melawan Gowa dan berhasil menduduki salah satu

wilayah Kerajaan Gowa yang bernama ―Bontoala‖, pada tahun 1667.

86

2. Struktur pelaksanaan tugas Kapita Lau di Kerajaan Konawe yaitu merupakan

tangan besi Mokole atau tangan kanan yang menjadi kepercayaan raja sebagai

wakil yang menjabat jabatan Panglima Perang. Adapun wilayah-wulayah

pemerintahan Kapita Lau (Bontoala) di Sampara yaitu: Sampara, Poasia,

Moramo, Kolono, dan Laeya. Wilayah tersebut berada dalam kekuasaan dan

tanggung jawab Sapati Ranomeeto dan Kapita Lau untuk menjalankan

pemerintahan dengan baik.

3. Peranan dan fungsi Kapita Lau di kerajaan Konawe yaitu:

Berfungsi sebagai panglima angkatan laut kerajaan Konawe digelar sebagai

Kapita Lau yang memiliki pasukan angkatan Laut ± 1000 orang,

berkedudukan di Pu’usambalu, Sambara (yang sekarang ini disebut Pohara).

Selain itu peranan Kapita Lau di beberapa aspek sebagai berikut:

a. Di bidang birokrasi dan politik tradisional Konawe, bahwa Kapita Lau

Haribau sangat besar peranannya dalam membantu kakaknya Taridala

mengamankan stabilitas pemerintahan baik di wilayah Kerajaan Konawe

bahagian timur (Ranomeeto) maupun daerah-daerah lainnya di sekitar

pantai Utara dan Selatan Kerajaan Konawe.

b. Di bidang ekonomi, ikut menggerakkan roda perekonomian kerajaan-

kerajaan dalam lalu lintas perdagangan antara Kerajaan Konawe dengan

dunia luar.

c. Di bidang politik, ikut menstabilkan/menciptakan/mengamankan

kekacauan/perpecahan politik yang timbul dalam negeri Kerajaan

Konawe, setelah meninggalnya Raja Tebawo pada tahun 1599.

87

d. Di bidang Hankam ikut bersama-sama Buton dan Bone, dalam

menghadapi serangan-serangan dari laut yang ingin menyerang kerajaan

Konawe, Buton atau Bone, terutama dengan Kerajaan Ternate, Banggai,

Luwu, Muna, dan Selayar yang selalu memihak kepada Kerajaan Gowa.

e. Di bidang sosial budaya, Kapita Lau Haribau, merupakan jembatan

meningkatnya hubungan asmilasi antara orang-orang Bugis-Tolaki-

Tiworo, melalui perkawinan yang dilanjutkan dengan para turunan-

turunan penggantinya di kemudian hari.

f. Bersama Tosugi dari Anggaberi pernah memimpin rombongan ke Bone

untuk membantu raja Bone melawan Belanda.

B. Saran-Saran

Berdasarkan pada pokok-pokok pikiran diatas maka beberapa saran,

berkenaan dengan masalalu bahwa perang penting searang pengawal raja

menduduki posisi penting bagi kelangsungan kepemimpinan dan ketahanan

seorang raja. Maka jika dilihat kondisi kekinian maka peran-peran tersebut masih

berkesinambungan untuk itu negara harus memperbaiki sistem pengawal pejabat

sekarang ini jabatan pengawal raja memperlihatkan kesinambungan fungsi dan

perannya guna mengatur kondisi dalam menjaga keselamatan pemimpinnya.

C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sejarah dan

Muatan Lokal di Sekolah

Pembangunan diberbagai sektor pada era reformasi sekarang ini Nampak

mengalami peningkatan yang cukup signifikan hal ini disebabkan oleh tuntutan

kebutuhan yang makin hari makin diraskan oleh masyarakat. Dengan makin

88

majunya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan manusia sebagian besar

melupakan masa lamapau. Masa lampau itu adalah sesuatu yang kuno yan tidaka

pantas lagi untuk dilakukan pada masa sekarang. Padahal apa yang terjadi pada

masa lampau itu dapat dijadikan sebagai pengalaman dalam menjalani hidup di

masa kini dan masa yang akan datang kesalahan-kesalahan yan terjadi dimasa

lampau tidak terulang lagi dimasa kini dan masa yang akan datang.

Perkembangan zaman yang begitu pesat baik dalam segi pengetahuan

maupun teknologi brdampak pula pada dunia pendidikan dewasa ini. Seiring

dengan tuntutan zaman tersebut para pendidik (guru) diharapakan dapat dituntut

untuk senantiasa memiliki budi pekerti luhur, disiplin, mandiri dan profesional,

karena apa yang dilakukan guru disekolah dapat dijadikan panutan oleh murid-

muridnya untuk itu para pendidik (guru) diharapkan mampu menjadi teladan bagi

muridnya.

Penulisan peranan seorang tokoh dalam masyrakat sekitarnya bisa

dijadikan contoh bagi peserta didik sehingga mereka bisa lebih dekat mengenal

tokoh sejarah didaerah mereka terlebih dahulu sebelum mengenal tokoh sejarah

didaerah lain (Nasional). Dalam hal ini dengan memahami nilai-nilai sejarah yang

tertanam dalam kehidupan masyarakat baik aspek politik, ekonomi maupun sosial

budaya mempunyai daya tarik yang sangat penting dalam memperluas wawasan

dan pengetahun kita serta dapat mempertebal rasa kecintaan terhadap bangsa dan

Negara.

Bila kita melihat kembali bagaimana peranan seorang tokoh dalam hal ini

Haribau (kapita Lau) dalam upaya mempertahankan dan menjaga keamanan

89

kerajaan serta memperluas kekuasaannya yang tentu saja tanpa melupakan

kesejahteraan rajanya karena segala yang dilakukan oleh Haribau (Kapita Lau)

adalah semata-mata dari kemaslahatan kerajaan. Apa yang diciptakan oleh para

leluhur kita diamas lamapau yang juga menjadi ciri khas dari sebuah daerah itu

terlepas dari keuletan, kedisiplinan, serta kepatuhan mereka pada aturan yang

telah dibuat.

Implikasi hasil penelitian terhadap pembelajaran sejarah disekolah dapat di

ajarkan pada tingkat SMP Kelas VII Semester I berdasarkan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP) dengan kompetensi dasar yaitu: kemampuan

menguraikan proses perkembangan Agama, mengharagai peninggalan-

peninggalan sejarahnya. Dengan indikatornya yaitu : a) menyusun kronologi

perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, b) mengidentifiaksi

persamaan dan perbedaan bentuk dan ciri-ciri peninggalan sejarah yang bercorak

Islam di berbagai daerah. Dari enam kali pertemuan materi ini dibahas pada

pertemuan ke-4 dan ke-5.

Adapun strategi yang diterapkan guru dalam mengajarkan materi ini

adalah dengan menggunakan metode ceramah, studi lapangan, diskusi kelompok

dan Tanya jawab. Hal ini dimaksud agar siswa tidak hanya memperoleh

pengetahuan itu dari guru tapi juga dapat memperoleh pengetahuan itu dengan

cara pengalaman studi lapangan diskusi dan tanya jawab. Namun dalam proses

diskusi, guru tetap mengontrol dan juga mengarahkan siswa jika mereka

mengalami kesulitan dalam diskusi sehingga ada kerja sama antara guru dan

siswa.

90

Relevansi dengan pengajaran sejarah di SMP adalah konsep mata

pelajaran sejarah yang menanamkan pengetahuan kepada siswa yang seperti

menyangkut sikap dan tingkah laku dalam bermasyarakat. Sikap-sikap yang

seperti ini bisa dijadikan sebagai panutan seperti sikap dan kearifan Haribau

(Kapita Lau) dalam pembinaan sosial, politik, Agama dan budaya dalam kerajaan

Konawe yang tercermin saat beliau memerintah. Sehubungan dengan ini maka

nilai yang dapat dipetik dari penelitian ini dunia pendidikan akhlak yang dimiliki

dalam kehidupan nantinya akan direalisasikan kepada peserta didik yang masih

duduk dibangku-bangku sekolah.

Guru didalam menerapkan metode pembelajaran sejrah tidak harus fakum

tetapi guru tersebut harus relatif dalam membawa pemikiran siswa pada masalah

yang sedang dijelaskan dan untuk mempermudah hal itu maka guru dapat

menggunakan metode karya wisata, dimana siswa diajak mengunjungi tempat-

tempat bersejarah (situs sejarah) yang berkaitan dengan materi yang dibawakan

dan dari kunjungan tersebut siswa mendapat banyak manfaat seperti: siswa bisa

rekreasi tapi sekaligus juga belajar karena siswa tidak saja mengetahui teori dan

materi yang dijelaskan tapi juga praktenya dengan melihat langsung objek yang

dibahas.

Dengan demikian maka pengajaran sejarah merupakan dasar bagi pendidik

dalam masalah pembangunan jiwa generasi muda dengan membangkitkan

kesadaran bahwa mereka adalah generasi penerus cita-cita bangsa. Peranan

seorang tokoh Haribau (Kapita Lau) merupakan asset sejarah local yang perlu

diketahui oleh generasi muda sekarang.

91

DAFTAR PUSTAKA

Anonim , 2007. Sejarah dan Kebudayaan Daerah Sulawesi Tenggara: Kendari:

Badan Riset Provensi Sultra

Andi, Zainal Abidin Farid, 1987. Inovasi Orang-orang Bugis pada abad ke XVI-

XVII. Di wilayah Timur dan barat Sulawesi.

Alimudin, 2011. Peran Bontona Siompu Pada masa Kesultanan Buton. Skripsi

FKIP Unhalu: Kendari

Al-Ashur, Arsamid, 2003. Sejarah Pemerintahan Kabupaten Konawe. Lembaga

Adat Tolaki Kabupaten Konawe

Cohen, Bruce, 1983. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Bina Aksara

Djafar, Arnita, 2009. Pengaruh Portugis di Maluku. Yogyakarta: Ombak

Gatrima, 2000.Peranan Taridala sebagai Kapita Ana Molepo atau Panglima

Angkatan Darat pada masa Pemerintahan Raja Tebawo di Kerajaan

Konawe (1602-1668). Skripsi Unhalu. Kendari

Gusti, Asnan, 2001. Dunia Maritum Pantai Barat Sumatera. Jogjakarta: Ombak

Kartodirjo, Sartono, 1986. Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial. Jakarta

Kartono, Kartini, 2003. Kepemimpinan. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta

Lassong, Abdul Kadir, 1996. Peran Barata Lohia Terhadap Kerajaan Muna.

Skripsi FKIP Unhalu: Kendari

Melamba, Basrin, Aswati, dkk, 2011. Sejarah Tolaki di Konawe. Yogyakarta:

Teras

Mokodompit, Eddy, 1973. Perinsip Kepemimpinan. Universitas Hasanuddin:

Ujung Pandang

Nurlupiana, 2011.Peranan Tutuwi Motaha (Pengawaol Raja) di Kerajaan

Konawe pada Abad XVII-XX. Skripsi Unhalu. Kendari

Pasolong, Harbani, 2010. Kepemimpinan Birokrasi. Alfabeta cv: Bandung

Pamudji, 1986. Kepemimpinan Pemerintah di Indonesia. Jakarta: PT. Bina Aksara

Rabani, La Ode, 2010. Kota-kota Pantai di Sulawesi Tenggara. Ombak:

Yogyakarta

92

Rudini, 1992. Profil Provinsi Nusantara, Sulawesi Tenggara. Jakarta. Depdagri

Saragih, Partogih, 1990. Peran Kepemimpinan dan Daya Adaptasi Terhadap

Modernisasi. Jakarta: Medya Asri

Siagian, Sondang P., 2003. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: PT

Rineka Cipta

Suprihadi Sastrosupono. 1982. Menghampiri Kebudayaan. Bandung: Penerbit

Alumni.

Suradinata, Ermaya, 1997. Pemempin dan Kepemimpinan Pemerintahan.

Gramedia Pustaka: Jakarta

Suroyo, Djuliati, dkk, 2007. Sejarah Maritim Indonesia 1. Semarang: Jeda

Susanto, Arsid S., 1983. Perubahan Sosial. Jakarta: Grafiti

Su’ud, Muslimin, 1988. Aneka Ragaman Kebudayaan Tolaki. Kendari Balai

penelitian Unhalu

Suwardi, MS, dkk, 2008. Mengabdi pada Ilmu dan Profesi Sejarah Demi Daerah

dan Bangsa.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Syamsudin, Helius, 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak

Tamburaka, Rustam, dkk, 2003. Sejarah Sultra dan 40 Tahun Sultra Membangun.

Jakarta: Pemda Sultra Kerja sama dengan Pt. Antam Tbk.

Tarimana, Abdurrauf, 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka

Tawulo, Asrul, 1987. Stratifikasi sosial dan struktur pemerintahan Menurut Adat Tolaki

–Konawe ; Kabupaten Kendari. (Kendari: Balai Penelitian Universitas Haluoleo).

Uchjana, Onang Efendy, 1981. Kepemimpinan dan Komunikasi. Bandung: Bina

Insan

Wirutomo, Paulus, 1982. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi. Jakarta: Cv

Rajawali

Yayat, Hayati Djadmiko, 2008. Perilaku Organisasi. Bandung: Alfabeta

http://greenreefsindonesia.blogspot.com/2008/06/dasar-hukum-laut-ndonesia.html

93

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Arsamid Al Ashur

Lahir : Tawanga 1943

Alamat : Kelurahan Latoma, Kecamatan Unaaha

Keterangan : Budayawan Tolaki

2. Nama : Sapiudin Pasaeno

Lahir : 1923

Alamat : Kapoiala

Keterangan : Tokoh adat

3. Nama : Drs. H. Melamba Tombili

Lahir : 1949

Alamat : Pohara

Keterangan : Turunan Kapita Lau

4. Nama : H. Abdullah Djusin

Lahir : 1942

Alamat : Kelurahan Bondoala

Keterangan : Ketua LPM

5. Nama :Sapiudin T

Lahir : 1960

Alamat : Kelurahan Konawe

Keterangan : Puutobu

94

SUSUNAN YANG PERNAH MENJABAT SEBAGAI KAPITA LAU DI

KETAJAAN KONAWE

Haribau (KL I)

Rambi (KL II)

Maho (KL III)

Pasaeno (KL IV)

Waanggo (KL V)

Tolunggae (KL VI)

Ndawuto (KL VII)

Latombili (KL VIII)

Pasiala (KL IX)

Sumuro (KL X)

Tehaho (KL XI)

(Muslimin Su’ud, 1988)

95

GLOSARIUM

Ama : Ayah

Anakia : Gelar bagi golongan bangsawan di kerajaan Mekongga

Andolaki : Pemukiman awal Tolaki

Anggalo : Pemukiman lembah/ngarai yang penghuninya terdiri

empat sampai tujuh kepala keluarga yang merupakan satu

rumpun keluarga dari satu keturunan. Jumlah wilayah

pemukiman anggalo mencapai ribuan.

Bokeo : Suatu gelar raja dikerajaan Mekongga, kata Bokeo

diartikan buaya yang oleh masyarakatnya diidentikkan

dengan penguasa air “mbu iwoi” dalam bahasa Tolaki.

Datu : Penguasa, gelar yang digunakan untuk penguasa Luwu.

Districk : Bagian dari wilayah Onderrafdeeling yang dipimpin

seorang kepala districk dengan gelar Mokole, di Jawa

disebut Wedana atau Demang.

Ina : Ibu

Kalo : Pilin rotan kecil berjumlah tiga batang yang dililit,

digunakan sebagai simbol setiap aktivitas kebudayaan suku

Tolaki Mekongga

Kapala Kambo : Kepala Kampung

Kapita : Jabatan dalam Kerajaan Konawe yang bertanggung jawab

pada bidang pertahanan dan keamanan di laut, daratan,

maupun pejabat raja II.

Kotubitara : Menteri bidang kehakiman

Lakina : Gelar bangsawan di Wawonii

Mokole : Gelar jabatan di Kerajaan Mekongga yang berkuasa pada

tingkat wilayah distrik (gelar kepala distrik)

Mosehe : Upacara Tolak Bala

Oata : Budak

Onapo : Suatau wilayah pemukiman lembah yang secara hukum

adat di kuasai dan diduki oleh gabungan kelompok yang

96

mendiami anggalo.Adapun jumlah pemukiman wilayah

o’napo mencapai ratusan.

O’tadu : Ahli siasat Perang

O’tobu : pemukiman wilayah gabungan o’napo yang biasanya

terdiri dari empat atau tujuh pemukiman o’napo yang saling

berdekatan letaknya satu sama lain, biasanya jumlah

wilayah o’tobu ini mencapai puluhan. Di kerajaa

Mekongga terdapat 7 wilayah tobu yang dipimpin oleh

seorang pu’tobu, selanjutnya pada masa pemerintah Hindi

Belanda ketujuh wilayah ini dijadikan wilayah Distrik.

Pabitara : Juru bicara

Pu’tobu : Gelar jabatan di tingkat distrik zaman kerajaan Mekongga.

Pitudula Batuno Konawe : Tujuh Anggota Dewan Konawe

Sapati : Jabatan dalam kerajaan Mekongga, Buton, Laiwui yang

mendampingi raja semacam perdana mentri dan patih.

Sabandara : Syabandar jabatan dikerajaan Mekongga yang bertugas

memungut bea masuk perahu dan mengatur perdagangan.

Sangia : Gelar ini umumnya dipakai sebagai sebutan seorang raja

setelah mangkat.

Siwole Mbatohu : struktur pemerintahan kerajaan Konawe terdiri empat

wilayah Kerajaan.

Tamalaki : Prajurit pemberani

Tolaki : Orang pemberani/laki-laki pemberani

Tolea : Ahli urusan adat perkawinan

Tomanurung : ―yang turun (dari dunia atas)‖. Tokoh dunia atas yang

turun ke bumi dan menjadi penguasa pertama di kerajaan

Mekongga dan Konawe.

To’ono Motuo : Orang yang dituakan atau jabatan setingkat desa (napo) di

kerajaan Mekongga, kepala wilayah setingkat napo

bawahan di kerajaan Mekongga.

Tusawuta : Mentri Pertanian

Wonua : Negeri.

97

98

Gambar 1: Makam Raja Lakidende II yang berada di Kelurahan Arombu

Kecamatan Unaaha

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis, tanggal 17 April 2012)

Gambar 2: Makam Waanggo (Kapita Lau Perempuan Ke V) yang berada di

desa Lalonggaluku kelurahan Laosu Kecamatan Bondoala

Koleksi Pribadi penulis di ambil pada tanggal 16 September 2012

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis)

99

Gambar 3: Makam Tolunggae (Kapita Lau VI) yang berada di desa

Lalonggaluku Kecamatan Bondoala

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis, tanggal 16 September 2012)

Gambar 4: Makam Pasaeno (Kapita Lau ke VII) yang berada di desa

Wawolimbue Kecamatan Sampara

100

Gambar 5: Lapangan Pasaeno yang berada di kelurahan Laosu kecamatan

Bondoala

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis, tanggal 15 September 2012)

Gambar: Lapangan Haribau (Lama) sebelum dipindahkan yang berada di

kecamatan Sampara

Koleksi pribadi penulis di ambil pada tanggal 16 september 2012

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis)

101

Gambar: Lapangan Haribau (sekarang) yang berada di kecamatan sampara

Koleksi pribadi penulis di ambil pada tanggal 16 September

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis)

Gambar: Wawancara dengan Arsamid Al Ashur

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis, 14 April 2012)

102

Gambar : Wawancara dengan H. Abdullah Djusin tanggal 17 Mei 2012

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Peneliti)

Gambar : Wawancara denganSapiudin Pasaeno, 21 April 2012

(Sumber: Dokumentasi Pribadi Peneliti)