mutiara terpendam dari zamrud sumatrataxus sumatrana: mutiara terpendam dari zamrud sumatra | v kata...

150

Upload: others

Post on 19-Jan-2020

40 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Asep Hidayat

Henti Hendalastuti Rachmat

Atok Subiakto

Penerbit

FORDA PRESS

2014

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra Penulis: Asep Hidayat, Henti Hendalastuti Rachmat, dan Atok Subiakto Reviewer: Supriyanto, Agung Endro Nugroho, dan Iskandar Zulkarnaen Siregar Editor:

Pujo Setio dan Harisetijono Desain Sampul dan Tata Letak: FORDA PRESS Copyright © 2014 Penulis Cetakan Pertama, Desember 2014 xviii + 130 halaman; 148 x 210 mm ISBN: 978-602-71770-5-5

Diterbitkan oleh:

FORDA PRESS (Anggota IKAPI No. 257/JB/2014)

Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610 Telp./Fax. +62251 7520093, Email: [email protected] Penerbitan/Pencetakan dibiayai oleh:

PUSAT LITBANG KONSERVASI DAN REHABILITASI

Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat 16610 Telp. +62251 8633234, 7520067 Fax. +62251 8638111

Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan TAXUS Sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra /

oleh Asep Hidayat … [et al.] ; Reviewer: Supriyanto, A.E. Nugroho, I.Z. Siregar. ; Editor: P. Setio, Harisetijono. -- Cet. 1. -- Bogor : FORDA Press, 2014 xviii, 130 hlm. : ill. ; 21 cm. ISBN: 978-602-71770-5-5

1. Taxus – Sumatra – Tanaman obat – Antikanker I. Rachmat, H.H. II. Subiakto, A. III. Judul

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta

Pasal 2

(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana

Pasal 72

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | v

Kata Pengantar

Buku ini disusun dengan latar belakang dari catatan

sejarah panjang di bidang kehutanan Indonesia atas

ketertarikan terhadap sumber daya hutan yang telah sekian

lama terfokus hanya pada produk kayu (Wood is a crown of

forestry). Nilai-nilai sumber daya hutan lainnya

ditempatkan pada strata kedua dan dianggap sebagai

produk tambahan atau produk minor hutan (secondary

product). Dengan kata lain, ketertarikan dan perhatian

terhadap produk hutan bukan kayu (non timber forest

product) menjadi terabaikan. Untungnya, ketertarikan dan

perhatian atas hasil hutan bukan kayu pada akhir-akhir ini

terus meningkat dan mendapat dukungan. Faktor

pemicunya adalah meningkatnya kekhawatiran tentang

nilai-nilai biodiversitas yang terkandung di dalam hutan

akan musnah, berkembangnya mekanisme perdagangan

karbon dunia, dan jasa lingkungan dari hutan semakin

terasa.

Di antara sekian banyak pengelompokan jenis hasil

hutan bukan kayu, tumbuhan atau pohon yang memiliki

potensi sebagai sumber senyawa aktif obat-obatan (natural

product) merupakan salah satu kelompok yang sangat

menjanjikan. Sejak ribuan tahun yang lalu sampai dengan

sekarang di abad 21, tumbuhan telah dikenal sebagai

sumber penting dari berbagai senyawa yang bersifat obat.

Lebih dari 100.000 struktur metabolit sekunder yang

berbeda satu sama lain teridentifikasi, 80% di antaranya

vi | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

disintesis oleh tumbuhan, dan selanjutnya diekstraksi

untuk memenuhi berbagai keperluan umat manusia.

Hutan tropis Indonesia merupakan sumber tanaman

obat. Namun sayang, potensi tersebut hanya sedikit yang

diteliti, digali, dan dimanfaatkan secara optimal. Di negara

lain seperti Cina, lebih dari 7.000 spesies tanaman obat

sudah terdaftar; Korea telah melakukan standardisasi 530

jenis tanaman obat sejak tahun 1983; dan di Jerman,

penelitian dan pemanfaatan obat-obatan dari bahan alam

yang biasa disebut phytomedicines sudah jauh lebih maju.

Taxus sumatrana atau cemara Sumatra tumbuh di hutan

subtropis lembab dan hutan hujan pegunungan pada

ketinggian 1.400–2.800 m dpl. Secara alamiah, penyebaran-

nya meliputi Philiphina, Vietnam, Taiwan, Cina, dan

termasuk Indonesia. Di Indonesia, T. sumatrana tumbuh

secara alami sebagai subkanopi di hutan pegunungan

ataupun punggung pegunungan di Sumatra: Gunung

Kerinci, Jambi, Kawasan Hutan Lindung Dolok Sibuaton,

Sumatra Utara, dan Gunung Dempo, Sumatra Selatan.

Genus Taxus merupakan satu-satunya pohon cemara yang

penting secara ekonomi. Selama berabad-abad, masyarakat

di dunia menggunakan Taxus sebagai bahan baku obat-

obatan. Genus Taxus menjadi jenis yang sangat fenomenal

mulai tahun 1990-an dengan berhasil diidentifikasinya

Taxane, senyawa unik yang termasuk golongan diterpenoid.

Senyawa ini ditemukan pada seluruh bagian pohonnya;

baik pada bagian daun, kulit, akar, maupun biji. Senyawa

aktif ini berpotensi sebagai obat antikanker dan memiliki

risiko atau efek samping yang kecil. Taxane terbukti efektif

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | vii

dan efisien membunuh sel kanker sehingga dijadikan

sebagai obat yang paling populer dan paling dicari di

dunia. Kondisi seperti ini secara jelas telah memicu

eksploitasi berlebihan, diiringi dengan kerusakan habitat

yang menyebabkan penurunan tajam pada populasi Taxus

sehingga memicu terbentuknya fragmentasi populasi.

Untuk mengontrol status kelestarian terutama dalam

mekanisme perdagangannya, genus ini telah masuk ke

dalam Appendix II CITES Ann. # 10.

Sejarah perkembangan penelitian dan penggunaan

genus Taxus di wilayah bumi bagian Utara telah tercatat

dengan baik. Sejarah ini dimulai dari penemuan genus

Taxus sebagai sumber Taxol, distribusi dan status

kelangkaan, proses isolasi dan ekstraksi, pengembangan

teknik budi daya dan kultur sel, sampai dengan

pemanfaatan kalus dan jamur endofitik sebagai sumber

alternatif Taxol. Kondisi yang demikian bertolak belakang

sekali dengan T. sumatrana yang hidup dan tumbuh di

Indonesia. Jenis ini masih belum populer, baik bagi

instansi pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum.

Oleh karenanya, hal yang wajar apabila sampai dengan

saat ini tidak banyak informasi yang dapat kita peroleh;

baik dari segi ekologi, silvikultur, maupun aplikasi

bioteknologi penggunaan yang dapat menjamin aspek

kelestarian jenis ini.

Buku ini mencoba memberikan gambaran secara

umum tentang genus Taxus; mulai dari pola penyebaran

populasi, teknik silvikultur, senyawa aktif Taxol, aplikasi

bioteknologi, dan strategi pengelolaan sumber daya

viii | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

genetik; dengan penekanan yang lebih detil pada jenis T.

sumatrana yang hidup di Indonesia. Selanjutnya, status riset

pada setiap aspek kegiatan diuraikan untuk mempertegas

minimnya informasi yang kita miliki sampai saat ini dan

memberikan gambaran tentang pentingnya T. sumatrana

sebagai sumber hasil hutan bukan kayu, baik dari aspek

kelestarian maupun potensinya secara ekonomis. Kami

juga berharap bahwa keberadaan populasi T. sumatrana

yang terbatas dapat dipertahankan, meskipun ancaman

yang besar terjadi pada habitatnya. Bioteknologi

merupakan aplikasi teknologi yang memungkinkan

kelestarian dan keseimbangan T. sumatrana tetap terjaga di

dalam hutan.

Bogor, Desember 2014

Penulis

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | ix

SAMBUTAN KEPALA PUSAT LITBANG KONSERVASI

DAN REHABILITASI

Hutan memiliki manfaat yang sangat penting bagi

kehidupan manusia. Hampir dapat dipastikan bahwa lebih

dari 95% manfaat tersebut berupa hasil hutan bukan kayu,

termasuk jasa lingkungan. Manfaat yang besar tersebut

masih terabaikan karena kita masih terfokus pada

pemanfaatan kayu, yang sebenarnya nilai manfaatnya jauh

lebih kecil, yaitu sekitar 5%. Kerusakan hutan sebenarnya

telah dimulai sejak pemberian konsesi dalam pengelolaan

hutan yang fokusnya hanya pada eksploitasi kayu. Kondisi

ini secara perlahan telah mengurangi potensi

keanekaragaman hayati, baik pada tingkat ekosistem, jenis

(flora dan fauna) maupun genetik, yang pada akhirnya nilai

hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan menjadi tiada.

Buku “Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari

Zamrud Sumatra” disusun berdasarkan suatu kenyataan

bahwa genus Taxus yang hidup di bagian Utara dunia telah

mengalami penurunan populasi yang tajam pada sebaran

alaminya dan telah terjadi fragmentasi populasi. Kondisi

ini pada akhirnya menyebabkan penurunan tingkat

keragaman genetik dan meningkatnya keterancaman jenis

tersebut. Hal ini terjadi karena genus Taxus adalah pohon

hutan yang paling diburu di dunia, sebagai konsekuensi

dari sebuah kenyataan bahwa genus Taxus berkhasiat

sebagai obat antikanker yang paling ampuh, efisien, dan

x | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

efektif. Sementara di Indonesia, genus Taxus ditemukan di

daerah Sumatra: Gunung Kerinci, Jambi, Kawasan Hutan

Lindung Dolok Sibuaton, Sumatra Utara, dan Gunung

Dempo, Sumatra Selatan, dengan sebutan Taxus sumatrana.

Keberadaan Taxus yang hidup di Indonesia ini perlu

mendapat perhatian khusus melalui upaya pelestarian agar

nasibnya tidak serupa dengan genus Taxus yang hidup di

dunia bagian Utara.

Saya berkeyakinan bahwa buku ini akan bermanfaat

bagi banyak pihak; baik pemerintah, swasta, maupun

masyarakan umum. Fakta yang dimuat dalam buku ini

dapat dijadikan sumber acuan, inspirasi, dan memperkaya

khasanah keilmuan. Informasi hasil penelitian dan

penggunaan genus Taxus yang diungkap di buku ini dapat

dijadikan pertimbangan kehati-hatian dalam pemanfaatan-

nya dengan mengedepankan pengetahuan bioteknologi

agar kelestarian jenis T. sumatrana terjamin.

Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan

kepada semua pihak yang bersedia menyusun buku ini.

Curahan tenaga, pikiran, dan kerja keras kita semua adalah

bagian dalam upaya untuk melestarikan dan melindungi T.

sumatrana di hutan dari kondisi keterancaman, sekaligus

memanfaatkannya dengan bijaksana.

Bogor, Desember 2014

Kepala Pusat,

Ir. Adi Susmianto, M.Sc.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | xi

SAMBUTAN KEPALA BALAI PENELITIAN

TEKNOLOGI SERAT TANAMAN HUTAN

Kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan YME,

karena berkat hidayah dan karuniaNya, buku berjudul

“Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud

Sumatra” dapat disusun dan diterbitkan. Saya menyambut

baik hadirnya buku ini, dan dengan penuh keyakinan,

buku ini dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam

pengelolaan jenis Taxus sumatrana di Indonesia oleh

berbagai pihak.

T. sumatrana adalah jenis pohon hutan yang hidup di

Pulau Sumatra, Indonesia, dan memiliki nilai ekonomis

yang tinggi. Nilai yang tinggi ini dikarenakan senyawa

aktif yang terkandung di dalamnya berkhasiat sebagai obat

antikanker yang paling diburu. Akibatnya, keterancaman

terhadap keberadaan jenis ini sangat tinggi sehingga perlu

dicari beberapa alternatif penanganan, baik sebagai upaya

untuk memproduksi senyawa aktif maupun pelestarian

jenis. Buku ini menyajikan informasi mulai dari pola

penyebaran populasi, teknik silvikultur, senyawa aktif,

aplikasi bioteknologi, dan strategi pengelolaan sumber

daya genetik dari genus Taxus, termasuk informasi dari

jenis T. sumatrana yang hidup di Indonesia.

Ucapan terima kasih dan penghargaan, saya

sampaikan kepada kontributor, reviewer, editor, dan pihak

lain yang terlibat dalam proses penerbitan buku ini. Jerih

xii | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

payah yang telah kita lakukan mudah-mudahan mendapat

balasan dari Tuhan YME, dan tercapai keberhasilan upaya

menuju pengelolaan hutan yang lestari.

Kuok, Desember 2014

Kepala Balai,

Ir. R. Gunawan Hadi Rahmanto, M.Si.

Kuok, Desember 2014

Kepala Balai,

Ir. R. Gunawan Hadi Rah

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | xiii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................... v

Sambutan Kepala Pusat Litbang Konservasi dan

Rehabilitasi .......................................................................... ix

Sambutan Kepala Balai Penelitian Teknologi Serat

Tanaman Hutan .................................................................. xi

Daftar Isi ............................................................................... xiii

Daftar Tabel ......................................................................... xvi

Daftar Gambar .................................................................... xvii

Bab 1. Pendahuluan .......................................................... 1

Bab 2. Mengenal Taxus Lebih Dekat ............................... 7

2.1 Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels ......... 12

2.1.1 Penyebaran ................................................. 12

2.1.2 Habitus ......................................................... 14

2.1.3 Sistem Perbanyakan .................................... 15

2.1.4 Penggunaan ................................................. 15

2.2 Taxus brevifolia Nutt ....................................... 18

2.2.1 Penyebaran .................................................. 18

2.2.2 Habitus ......................................................... 18

2.2.3 Sistem Perbanyakan .................................... 19

2.2.4 Penggunaan ................................................. 22

2.3 Taxus baccata Linn ......................................... 23

2.3.1 Penyebaran .................................................. 23

2.3.2 Habitus ......................................................... 24

2.3.3 Sistem Perbanyakan .................................... 26

2.3.4 Penggunaan ................................................. 27

xiv | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

2.4 Taxus cuspidata Siebold & Zucc .................... 28

2.4.1 Penyebaran .................................................. 28

2.4.2 Habitus ......................................................... 28

2.4.3 Sistem Perbanyakan ................................... 29

2.4.4 Penggunaan ................................................. 29

2.5 Taxus canadensis Marsh ................................. 30

2.5.1 Penyebaran .................................................. 30

2.5.2 Habitus ......................................................... 30

2.5.3 Sistem Perbanyakan ................................... 31

2.5.4 Penggunaan ................................................. 31

Bab 3. Biologi dan Domestikasi Taxus ............................ 33

3.1 Biologi Taxus .................................................. 33

3.1.1 Pembungaan dan Pembuahan .................. 33

3.1.2 Pengumpulan Buah .................................... 35

3.1.3 Ekstraksi dan Pembersihan ....................... 36

3.1.4 Penyimpanan .............................................. 37

3.1.5 Perlakuan Praperkecambahan ................... 38

3.1.6 Perkecambahan dan Uji Viabilitas Benih .. 39

3.2 Pembibitan dan Pemuliaan .......................... 41

3.2.1 Seleksi Kultivar ........................................... 43

3.2.2 Teknik Perbanyakan Melalui Stek di

Persemaian .................................................. 44

3.2.3 Budi Daya dengan Persemaian Intensif .... 46

3.2.4 Kultur Jaringan ............................................ 48

3.2.5 Metode Kultur untuk Peningkatan

Produksi Taxane ........................................... 49

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | xv

Bab 4. Kandungan Senyawa Aktif .................................... 53

4.1 Sejarah Penemuan ......................................... 56

4.2 Produksi Taxane ............................................. 63

4.2.1 Ekstraksi Bagian Tanaman ........................ 63

4.2.2 Sintesis .......................................................... 67

4.2.3 Semisintesis .................................................. 68

4.2.4 Kultur Sel/Kalus ........................................ 68

4.2.5 Fermentasi Jamur Endofitik ...................... 81

4.3 Mekanisme Aksi Penghambatan Sel Kanker 86

Bab 5. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Genetik

Taxus sumatrana ..................................................... 89

5.1 Keragaman Genetik dan Kelestarian Jenis ... 89

5.2 Keragaman Genus Taxus: Sejarah dan Rute

Penyebaran ..................................................... 90

5.3 Strategi Pelestarian Jenis .............................. 91

5.3.1 Konservasi Ex Situ ........................................ 91

5.3.2 Penelitian Dasar Sebagai Landasan

Penyusunan Strategi Konservasi yang

Komprehensif .............................................. 93

5.3.3 Konservasi In Situ: Pelestarian T.

sumatrana yang Wajib Dilakukan Secara

Konsisten ...................................................... 97

Bab 6. Penutup .................................................................. 101

Daftar Pustaka .................................................................... 103

xvi | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Daftar Tabel

Tabel 1. Data produksi benih ........................................ 34

Tabel 2. Periode skarifikasi dan kondisi uji

perkecambahan ................................................. 39

Tabel 3. Perjalanan penting dalam penemuan dan

perkembangan Taxol® di bidang biokimia,

bioteknologi, dan klinis ................................... 60

Tabel 4. Kandungan senyawa aktif dari bagian

tanaman Taxus .................................................. 64

Tabel 5. Perkembangan penelitian kultur sel dalam

produksi paclitaxel ............................................ 71

Tabel 6. Beberapa jamur endofitik penghasil paclitaxel

(>24 μg/L) …………………………………… 85

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | xvii

Daftar Gambar

Gambar 1. Biosintesis metabolit sekunder dan fungsi

interkasi antara tanaman dan lingkungan 3

Gambar 2. Evolusi angiosperms dan gymnosperms dari

Psiphytatae ..................................................... 8

Gambar 3. Sebaran alami Taxus di dunia ................... 9

Gambar 4. Genus Taxus: morfologi pohon, kulit

batang, daun, dan buah/aril ..................... 10

Gambar 5. Sebaran alami T. sumatrana di Indonesia

yang saat ini ditemukan ............................. 14

Gambar 6. T. sumatrana; A) tumbuh pada tempat

alaminya (TN. G. Kerinci Seblat), B)

tumbuh di Kebun Raya Cibodas (planted),

C) Batang/ ranting/percabangan, D)

Morfologi daun ........................................... 17

Gambar 7. Bonsai genus Taxus sebagai penggunaan

lainnya .......................................................... 23

Gambar 8. Perbanyakan T. sumatrana melalui stek: A)

Akar yang tumbuh dari jaringan kalus, B)

Akar adventif yang tumbuh secara spontan,

dan C) Penampang melintang akar (ep =

epidermis; kr = korteks; ph = phloem; ka =

kambium; aa = akar adventif) ..................... 51

xviii | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Gambar 9. Perbanyakan T. baccata dengan kultur

jaringan: A) Plantlet dari bagian tanaman

yang sudah dewasa, B) Sumber bagian

tanaman yang dihasilkan dari kalus biji T

baccata, C) Induksi pada media yang

mengandung IBA (8 mg/L), dan D)

Aklimatisasi plantlet di rumah kaca umur 6

bulan ............................................................. 52

Gambar 10. Struktur molekul dari 10-deacetylbaccatin III

(A), baccatin III (B), dan paclitaxel (C) ......... 54

Gambar 11. Biosintesis paclitaxel .................................... 83

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 1

Siapa yang tidak mengenal penyakit kanker; suatu

pertanyaan yang bagi setiap orang awam dapat menjadi

sebuah momok. Secara umum, kanker diartikan sebagai

penyakit kelainan siklus sel yang dicirikan dengan

meningkatnya kemampuan sel untuk tumbuh tidak

terkendali dan menyerang jaringan sel yang ada di

dekatnya, selanjutnya bermigrasi melalui proses metastasis.

Angka kematian penderita kanker menempati ranking ke-2

untuk skala dunia dan ranking ke-3 untuk skala Indonesia

(Dhama et al., 2013).

Sebagai upaya pengobatan penyakit kanker; Amerika

Serikat, melalui Institut Kanker Nasional (National Cancer

Institute [NCI]), membentuk sebuah lembaga khusus yang

dinamakan Cancer Chemotherapy National Service Center

(CCNSC) pada tahun 1956. Misi lembaga ini adalah sebagai

lembaga pendukung penelitian dalam penemuan obat

antikanker. Kegiatan lembaga tersebut diawali dengan

melakukan eksplorasi terhadap tumbuhan-tumbuhan asal

Amerika Serikat yang berpotensi sebagai sumber bahan

aktif antikanker.

Senyawa organik atau bahan aktif yang terdapat pada

tumbuhan akan secara alamiah dibentuk/dihasilkan

BAB 1

Pendahuluan

2 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

melalui proses fisiologis dan metabolisme dalam sistem

jaringan kehidupannya. Dalam sebuah ekosistem, mahluk

hidup akan membangun jaringan sebagai respons dalam

menghadapi perubahan kondisi fisik dan lingkungannya.

Hal ini diperlukan sebagai mekanisme untuk berkembang

dan bertahan hidup (proteksi diri). Salah satu respons

tersebut, yaitu dengan cara memproduksi senyawa organik

yang bersifat aktif. Hanson (2003) mengklasifikasikan

senyawa organik yang diproduksi tumbuhan menjadi tiga

kategori: 1) senyawa organik yang berperan dalam

metabolisme dan reproduksi, 2) senyawa organik yang

berperan dalam struktur seluler (lignin, selulosa dan

protein), dan 3) senyawa organik yang tidak berperan

langsung dalam metabolisme dan reproduksi, tetapi

diperlukan untuk memproteksi/mengontrol dirinya

terhadap perubahan kondisi lingkungan, atau lebih dikenal

dengan istilah secondary metabolism. Kelompok dan fungsi

secondary metabolism dijelaskan oleh Hartman (1996), yang

secara ringkas diuraikan dalam bentuk diagram sederhana,

sebagaimana terlihat pada Gambar 1.

Upaya mengeksplorasi dan mengoleksi contoh uji

untuk penyaringan (screening) bahan aktif antikanker telah

dilakukan oleh NCI yang bekerjasama dengan Departemen

Pertanian Amerika (US Department of Agriculture[USDA])

[dalam hal ini pengerjaan teknisnya dilakukan oleh USDA

Eastern Regional Research Laboratorium di bawah

pengawasan Monroe wall]. Melalui perjalanan panjang,

pada tahun 1972 telah teridentifikasi bahwa kelompok

tumbuhan pada genus Taxus mengandung bahan aktif

antikanker yang dikenal dengan senyawa paclitaxel (merek

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 3

dagang Taxol®), yang saat itu diekstraksi dari jenis cemara

Pasifik/Pasific yew (Taxus brevifolia Nutt). Tumbuhan

tersebut ditemukan di areal pegunungan North Western,

Amerika Serikat, dan Kanada bagian Barat (Farrar, 1995).

Bahkan dari hasil analisis terbaru, hampir semua bagian

tumbuhan (batang, kulit batang, bagian berkayu, dan akar)

diketahui mengandung bahan aktif antikanker.

Gambar 1. Biosintesis metabolit sekunder dan fungsi interaksi antara tanaman dan lingkungan (Sumber: Hartman, 1996)

Genus Taxus tersebar luas, terutama di zona

pertengahan di belahan bumi bagian Utara, Eropa, Asia,

dan Amerika Timur. Genus ini umumnya tumbuh pada

Photo-syntesis

METABOLISM

Carbohydrate

Nitrogen

Fatty acid

Tannins Coumarins

Quinones Flavonoids

Terpenes

Alkaloid

Glucosinolates

Polyketides

Proteksi serangan fisik 1. Suhu 2. Penguapan 3. Radiasi/sinar UV

Ancaman/stimulasi 1. Polinisasi 2. Penyebaran benih 3. Oviposition 4. Food-plant 5. Sequestration 6. Pharmacophagy 7. Simbiosis (N-

Fixation)

Pertahanan 1. Hewan 2. Jamur 3. Bakteri 4. Virus 5. Tanaman

4 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

kondisi habitat yang lembab dan dingin dengan kisaran

ketinggian 1.000–3.000 meter di atas permukaan laut (m

dpl), serta banyak dijumpai di bawah tegakan di tempat

yang memiliki iklim sedang dan subtropis (Price, 1990).

Di Asia, hanya sedikit negara yang memiliki sebaran

alami genus Taxus, antara lain Taxus cuspidata (ditemukan

di Jepang), Taxus chinensis (ditemukan di Cina), dan Taxus

sumatrana (ditemukan di Indonesia, Taiwan, Vietnam,

Nepal, dan Tibet), yang kondisi populasinya terancam

punah (Huang et al., 2007). Berdasarkan hasil survei

langsung di lapangan diketahui bahwa habitat alami T.

sumatrana di Indonesia saat ini berada di wilayah Gunung

(G.) Kerinci, Jambi, yaitu pada bagian punggung bukit,

lereng-lereng yang terjal, dan tepian jurang dengan

ketinggian lokasi 1.700–2.200 m dpl (Rachmat, 2008).

Kemudian, Pasaribu & Setyawati (2010) menemukan

sebaran populasi T. sumatrana di kawasan Hutan Lindung

(HL) Dolok Sibuaton pada ketinggian 1.300 m dpl. Begitu

pula di G. Dempo (Pagar Alam, Palembang), T. sumatrana

ditemukan pada ketinggian 1.800–2.200 m dpl.

Taxol® hanya dihasilkan dari genus Taxus (Kikuchi &

Yatagai, 2003). Merek dagang Taxol® dan hak

pemasarannya dipegang oleh Bristol-Myers Squibb sejak

tahun 1991. Semenjak itu, permintaan fenomenal terhadap

Taxol® terus meningkat dan diprediksi akan tetap tinggi

karena sampai sekarang diyakini bahwa Taxol® adalah obat

antikanker yang paling dicari di dunia, selain obat

antikanker lainnya, seperti Camptothecin, Topotecan,

Irinotecan, Decetaxel, Vinblastine, Podophyllotoxin, Etoposide,

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 5

Teniposide, Elliptinium, Homoharringtonine (Cragg &

Newman, 2005). Permintaan yang tinggi dalam dunia

perdagangannya menyebabkan penurunan populasi genus

Taxus di habitat alamnya. Sebagai gambaran, untuk

mendapatkan 1 kg Taxol®, bahan ekstrak yang dibutuhkan

adalah sebanyak 7.270–10.000 kg kulit batang pohon Taxus.

Jika kita mengasumsikan rendemen pada angka 0,01%

(Suffness, 1995) maka untuk mendapatkan 1 kg Taxol®

dibutuhkan sekitar 2.000 pohon Taxus (Nicolaou et al.,

1994). Padahal, seorang pasien penderita kanker

memerlukan 2–2.5 g Taxol® atau setara dengan sekitar 6–8

pohon Taxus (Malik et al., 2011). Kondisi seperti ini secara

otomatis memicu eksploitasi yang berlebihan terhadap

genus Taxus. Untuk mengontrol status kelestarian jenis dari

genus Taxus, jenis ini telah dimasukkan ke dalam Appendiks

II CITES Ann. #10 (CITES, 2005).

Sebaran Taxus di wilayah ekuator dengan kondisi

iklim hutan hujan tropis merupakan suatu fenomena

tersendiri. Sebarannya di Indonesia yang hanya terbatas

pada wilayah tertentu menyebabkan genus Taxus kurang

populer pada skala masyarakat umum. Oleh sebab itu,

buku ini disusun untuk memberikan gambaran singkat

tentang genus Taxus secara umum dengan penekanan yang

lebih detil pada jenis T. sumatrana sebagai satu-satunya

jenis Taxus yang wilayah penyebarannya sampai ke

Indonesia.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 7

Taxus adalah tanaman yang diperkirakan hidup sejak

200 juta tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan

ditemukannya fosil Paleotaxus rediviva yang strukturnya

mirip dengan Taxus seperti jenis yang sekarang ada

(Waibel, 2010). Genus Taxus merupakan kelompok

Gymnospermae yang tidak memiliki saluran resin. Taxus

masuk ke dalam familiTaxaceae dan dalam subkelas Taxidae.

Gambar 2 menjelaskan bahwa pemisahan subkelas Taxidae

dan Pinidae dari Corditidae diperkirakan terjadi sekitar 300

juta tahun yang lalu (Sitte et al., 1991).

Cope (1998) & Price (1990) menyebutkan bahwa

genus Taxus tersebar luas, terutama di zona pertengahan di

belahan bumi bagian Utara. Daerah sebaran tersebut

membentang dari Amerika Utara menuju subtropika

Amerika Tengah dan dari Eurasia menuju subtropika Asia

Tenggara (Gambar 3), yang beriklim sedang dengan

kondisi habitat yang lembab dan dingin.

Arsitektur morfologi Taxus dapat berbentuk pohon

ataupun semak. Pada kondisi batang utama terluka, patah,

atau tumbang maka akan muncul percabangan-

percabangan baru sehingga bentuk pohon dapat berubah

BAB 2

Mengenal Taxus Lebih Dekat

8 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

menjadi semak karena tipe percabangannya yang terkulai.

Diameter tajuk dengan bentuk seperti semak ini dapat

mencapai 24 m. Ukuran batang utama dapat sangat besar

dengan sistem perakaran yang dalam sehingga bentuk

pohon terlihat kokoh jika dibandingkan dengan proporsi

tinggi pohon (Gambar 4). Ukuran diameter yang besar

dapat diperoleh dengan bersatunya/berimpitnya beberapa

cabang dalam waktu yang cukup lama.

Gambar 2. Evolusi angiosperms dan gymnosperms dari Psiphytatae (Sumber: Sitte et al., 1991)

GYM

NO

SPER

MA

E

Carboniferous 360 MYA

Triassic 248 MYA

Cretaceous 144 MYA

Taxus sp

Pine sp

A. Thaliana

Oryza sp

Pinopsida

Taxidae

Cordaitidae

Lyginopteriopsida

Eudicots

Monocots

Psilophytatae

Devonian 410 MYA

Permian 290 MYA

Cenozoic 65 MYA

Jurassic 213 MYA

Pinidae

AN

GIO

SPER

MA

E

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 9

Lux

em

bo

urg

Sw

itzerl

an

dF

ran

ce

Ko

rea

, R

epu

blic

of

Cyp

rus

Ja

pa

n

Bh

uta

n

We

ste

rn S

aha

raQ

ata

r

Un

ite

d A

rab

Em

ira

tes

Ta

iwa

n

Ma

li

Om

an

Nig

er

Ch

ad

Vie

tna

m

Cu

ba

Lao

sCh

ina

Ha

itiD

om

inic

an R

ep

ub

lic

Ph

ilip

pin

es

Pu

ert

o R

ico

Jam

aic

a

Bu

rkin

a F

as

oN

ica

rag

ua

Ca

mb

od

ia

Co

sta

Ric

a

Ce

ntr

al

Afr

ica

n R

ep

ub

lic

Sie

rra

Le

one

Sri

La

nka

Pa

na

ma

Gu

ya

na

Lib

eri

a

Za

ire

Ta

nza

nia

, U

nit

ed

Re

pu

blic

of

Rw

an

da

Bu

run

di

An

go

la

Za

mb

iaM

ala

wi

Bo

livia

Mo

zam

biq

ue

Ma

da

gas

car

Zim

ba

bw

e

Na

mib

ia

Ch

ile

Bo

tsw

ana

Pa

rag

ua

y

So

uth

Afr

ica

Sw

azi

lan

d

Les

oth

o

Ne

w Z

ea

lan

d

Arg

en

tin

a

Icela

nd

Es

ton

ia

La

tvia

Lith

ua

nia

Un

ited

Kin

gd

om

Ire

lan

d

Mo

ng

olia

Be

lgiu

m

Hu

ng

ary

Ro

ma

nia

Italy

Bu

lga

ria

Sp

ain

Ko

rea

, D

emo

cra

tic

Peo

ple

's R

ep

ub

lic o

fA

lba

nia

Yu

go

sla

via

Po

rtu

ga

lT

urk

ey

Gre

ec

e

Ira

n

Afg

ha

nis

tan

Ira

q

Sy

ria

Tu

nis

ia

Alg

eri

a

Mo

rocc

o

Leb

an

on

Me

xic

o

Ku

wa

it

Bu

rma

Ba

ng

lad

esh

Th

aila

nd

Be

lize

Gu

ate

ma

la Ho

nd

ura

sE

l S

alv

ad

or

Co

lom

bia

Be

nin

Gh

an

aTo

go

Ivory

Co

as

t

Ma

laysi

aS

uri

na

me

Fre

nch

Guia

na

Co

ng

oG

ab

on

Eq

ua

tori

al G

uin

ea

Ec

ua

do

r

Pe

ru

Bra

zil

Pa

pu

a N

ew

Guin

ea

Au

str

alia

Uru

gu

ay

De

nm

ark

Ge

rma

ny

Po

lan

dN

eth

erl

an

ds

Cze

ch

oslo

vak

ia

Au

str

ia

Nig

eri

a

Ca

me

roo

n

Pa

kis

tan

Ind

ia

Jord

an

Lib

ya

Isra

el

Sa

ud

i A

rab

ia

Eg

yp

t

Ne

pa

l

Ma

uri

tan

ia

Su

da

n

Ye

me

n

Se

ne

ga

l

Eth

iop

ia

Ga

mb

ia,

Th

e

Djib

ou

tiG

uin

ea

-Bis

sa

u Gu

ine

a

Ve

ne

zue

la

So

ma

lia

Tri

nid

ad

Bru

ne

i

Ke

ny

a

Ug

an

da

Ind

on

esi

a

Gre

en

lan

d

Un

ion

of

So

vie

t S

oc

ialis

t R

ep

ub

lic

s

No

rwa

yF

inla

nd

Sw

ed

en

An

tarc

tica

Un

ited

Sta

tes

Un

ite

d S

tate

s

Ca

na

da

PE

TA

SE

BA

RA

N T

AX

US 2

500

02

500

Kilo

mete

rs

T.

baccata

L

T.

bre

vifo

lia N

utt

T.

cana

densis

Ma

r- s

ha

ll

T.

cusp

idata

Sie

bold

& Z

ucc

T.

glo

bo

sa S

ch

ltdl

T.

sum

atr

ana (

Miq

.) d

e L

aub

T.

wa

llichia

na Z

ucc

SE

BA

RA

N T

AX

US

KE

TE

RA

NG

AN

:

Ga

mb

ar

3.

S

eba

ran

ala

mi

Tax

us

di

du

nia

10 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Gambar 4. Genus Taxus: morfologi pohon, kulit batang, daun, dan buah/aril

Ukuran tinggi dari kebanyakan genus Taxus rata-rata

6–12 m, namun pada kondisi lingkungan yang terbuka dan

kondisi kesuburan yang mendukung dapat mencapai 12–25

m. Namun demikian, ukuran tersebut akan bervariasi

untuk setiap jenis. Sebagai contoh pada Taxus floridana atau

yang dikenal dengan nama cemara Florida; jenis ini

berukuran kecil, bentuk tajuknya melebar, dan pada waktu

mencapai usia dewasa hanya memiliki tinggi 1–5 m.

Sebaliknya, Taxus brevifolia atau dikenal dengan nama

cemara Pasifik dapat tumbuh alami mencapai diameter 6

m dan tinggi lebih dari 18 m. Taxus tumbuh dengan

Foto: Tina Negus, 2011 (www.Flickr.com)

Foto: Ashey_wood, 2009 (www.Flickr.com)

Foto: Boubo_Bittern, 2012 (www.Flickr.com)

Foto: Esther Westerveld, 2007 (www.Flickr.com)

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 11

kerapatan 1,5–2,1 pohon/ha dengan kecepatan tumbuh

yang sangat lambat dan dapat hidup diperkirakan

mencapai umur 2.000–4.000 tahun, meskipun masih

menjadi bahan perdebatan (Hindson, 2000).

Berdasarkan karakteristik morfologi yang dipelajari

oleh Spjut (2007), Taxus dibagi menjadi 24 spesies dan 55

varietas. Jenis-jenis Taxus yang ditemukan terlebih dahulu

terdiri atas 15 spesies dan 6 varietas, yaitu T. baccata L. (var.

dovastoniana Leighton, var. elegantissima Hort. ex C. Lawson,

var. glauca Jacques ex Carrière, var. pyramidalis Hort. ex C.

Lawson, dan var. variegata Watson), T. brevifolia Nutt., T.

caespitosa Nakai, T. canadensis Marshall, T. celebica (Warb.)

H.L. Li, T. chinensis (Pilg.) Rehder, T. contorta Griff., T.

cuspidata Siebold & Zucc., T. fastigiata Lindl., T. globosa

Schltdl., T. mairei (Lemée & H. Lév.) S.Y. Hu ex T.S. Liu, T.

recurvata Hort. ex C. Lawson, T. sumatrana (Miq.) de Laub.,

T. umbraculifera (Siebold ex Endl.) C. Lawson, T. wallichiana

Zucc. dan var. yunnanensis (W.C. Cheng & L.K. Fu) C.T.

Kuan. Selanjutnya, diidentifikasi 6 spesies baru: T. biternata

Spjut, T. florinii Spjut, T. kingstonii Spjut, T. obscura Spjut, T.

phytonii Spjut, dan T. suffnessii Spjut; dan 4 variteas baru: T.

brevifolia Nutt. var. polychaeta Spjut, T. brevifolia Nutt. var.

reptaneta Spjut, T. caespitosa Nakai var. angustifolia Spjut,

dan T. contorta Griff. var. mucronata. Spjut (2007) juga

mendeskripsikan 8 jenis lainnya yang merupakan

kombinasi spesies dan varietas baru: T. caespitosa var.

latifolia (Pilg.) Spjut, T. canadensis var. adpressa (Carrière)

Spjut, T. canadensis var. minor (Michx.) Spjut, T. globosa var.

floridana (Nutt. ex Chapm.) Spjut, T. mairei (Lemée & H.

Lév.) S.Y. Hu ex T.S. Liu var. speciosa (Florin) Spjut, T.

12 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

umbraculifera var. hicksii (Hort. ex Rehder) Spjut, T.

umbraculifera var. microcarpa (Trautv.) Spjut, dan T.

umbraculifera (Siebold ex Endl.) C. Lawson var. nana

(Rehder) Spjut.

Sampai dengan saat ini, posisi taksonomi Taxus masih

sangat kontroversial karena klasifikasi jenis-jenis tersebut

lebih disebabkan isolasi geografis dan tidak diikuti dengan

adanya isolasi reproduksi antar spesies (Farjon, 1998; Silba,

1984). Namun di satu sisi, Collins et al. (2003) melaporkan

bahwa hybrids dari Taxus memiliki polen yang kurang

berfungsi secara fungsional dan gangguan pada tahapan

meiosis.

2.1 Taxus sumatrana (Miq) de Laubenfels

2.1.1 Penyebaran

Taxus sumatrana atau cemara Sumatra tumbuh di

hutan subtropis lembab dan hutan hujan pegunungan pada

ketinggian 1.400–2.800 m dpl (Spjut, 2003; Earle, 2013a;

Huang et al., 2007). Penyebaran alami jenis ini dilaporkan

terdapat di Philiphina, Vietnam, Taiwan, Cina, dan

Indonesia (de Laubenfels, 1988). Di Indonesia, T. sumatrana

tumbuh secara alami sebagai subkanopi di hutan

pegunungan ataupun punggung pegunungan di Pulau

Sumatra dan Sulawesi (Spjut, 2007).

Hasil survei langsung di lapangan yang dilakukan

Rachmat (2008) menunjukkan bahwa habitat alami cemara

Sumatra di Indonesia saat ini terdapat di wilayah G.

Kerinci, Jambi (Gambar 5). Jenis ini tumbuh alami sebagai

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 13

subkanopi di hutan pegunungan pada bagian punggung

bukit, lereng-lereng yang terjal, dan tepian jurang pada

ketinggian 1.700–2.200 m dpl. Pola penyebaran cemara

Sumatra yang tumbuh di G. Kerinci juga memiliki

kesamaan dengan pola penyebaran cemara Sumatra yang

tumbuh di Taiwan, yaitu terpencar mengelompok

(clustering). Berdasarkan kondisi tempat tumbuh alaminya

yang hanya dijumpai di wilayah punggung bukit, lereng,

dan tepian jurang; cemara Sumatra diketahui menyukai

tempat yang berdrainase baik (well drainage) dan tidak

pernah tergenang. Selain itu, hasil analisis tanah juga

menunjukkan bahwa jenis ini menyukai tanah dengan pH

rendah (masam), tekstur tanah geluh (lumpur) berpasir,

kandungan C organik sangat tinggi, dan rasio C/N yang

tinggi (Rachmat, 2008).

Berdasarkan data koleksi herbarium Bagian Botani

pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan

Rehabilitasi (PUSKONSER) di Bogor, herbarium T.

sumatrana berasal dari Karo leinden yang tidak lain adalah

Tana Karo di Sumatra Utara. Pasaribu & Setyawati (2010)

melakukan penelusuran ulang dan menemukan sebaran

populasi T. sumatrana di kawasan HL Dolok Sibuaton

dengan jumlah yang cukup banyak dan hidup soliter pada

ketinggian 1.300 m dpl (Gambar 5). Pada tahun 2014, tim

survei lapangan PUSKONSER Badan Penelitian dan

Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan,

menemukan keberadaan T. sumatrana di G. Dempo (Pagar

Alam, Palembang) pada ketinggian 1.800–2.200 m dpl,

dengan diameter terbesar 120 cm dan pohon tertinggi 21 m

(Gambar 5). Hingga saat ini, kajian T. sumatrana mengenai

14 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

#

#

BALI

BANGKA-BELITUNG

BANTEN

BENGKULU

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DKI JAKARTA

GORONTALO

IRIANJAYA BARATJAMBI

JAWA BARATJAWA TENGAH

JAWA TIMUR

KALIMANTAN BARAT

KALIMANTAN SELATAN

KALIMANTAN TENGAH

KALIMANTAN TIMUR

KEPULAUAN RIAU

LAMPUNG

MALUKU

MALUKU UTARA

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

NUSATENGGARA BARATNUSATENGGARA TIMUR

PAPUA

RIAU

SULAWESI BARAT

SULAWESI SELATAN

SULAWESI TENGAH

SULAWESI TENGGARA

SULAWESI UTARA

SUMATERA BARAT

SUMATERA SELATAN

SUMATERA UTARA

N

EW

S

250 0 250 500 Kilometers

MALAYSIA

TIMOR LESTE

PETA

SEBARAN TAXUS SUMATRANA

DI INDONESIA

Sebaran Taxus sumatrana

KETERANGAN :

MALAYSIA

aspek ekologis, kerapatan populasi, keragaman genetik,

budi daya, dan aspek pengelolaan lainnya di Indonesia

masih belum cukup tersedia.

Gambar 5. Sebaran alami Taxus sumatrana di Indonesia yang

saat ini ditemukan

2.1.2 Habitus

Habitus dari T. sumatrana berbentuk semak sampai

pohon dengan tinggi dapat mencapai 30 m (Gambar 6).

Daun berbentuk elips-lanset, berwarna hijau zaitun dengan

ukuran panjang 1,8–3,0 cm, lebar 2,0–2,5 mm, dan tebal

200–275 µm. Warna kulit batang merah keabu-abuan

dengan tebal kulit 0,5–0,8 cm. Bunga kerucut jantan

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 15

biasanya tidak terlihat, sedangkan bunga kerucut betina

berbentuk subsilindris dengan panjang 2 mm dan lebar 1

mm. Buah berbentuk kerucut kaku dengan panjang 4 mm

dan lebar 3 mm, mengerucut dari tengah ke puncak (Spjut,

2003; Earle, 2013a). Sampai dengan saat ini, tidak banyak

informasi yang dapat diperoleh mengenai T. sumatrana

yang tumbuh di Indonesia, baik dari segi ekologi maupun

silvikultur.

2.1.3 Sistem Perbanyakan

T. sumatrana dapat diperbanyak secara generatif

(dengan biji) dan vegetatif (umumnya stek). Hasil survei

langsung di lapangan ditemukan anakan yang menyebar

secara sporadis pada lahan hutan yang lebih terbuka. Hasil

penelitian Rachmat et al., (2010) menyatakan bahwa T.

sumatrana dapat diperbanyak secara vegetatif, dengan

kemampuan berakar 66,7% (28 minggu setelah tanam) pada

media sabut kelapa dan sekam padi (2 : 1 [v/v]).

2.1.4 Penggunaan

Kulit, daun, cabang, ranting, dan akar dari jenis

Taxus, termasuk T. sumatrana, merupakan sumber Taxane,

yaitu paclitaxel diekstraksi sebagai obat yang sangat sukses

digunakan dalam kemoterapi berbagai jenis kanker.

Hidayat & Tachibana (2013) melaporkan bahwa kulit

batang T. sumatrana yang berasal dari G. Kerinci

mengandung 10-deacetylbaccatin III dan baccatin III. Kedua

senyawa tersebut merupakan produk antara (precursor) dari

16 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

biosintesis Taxol®. 10-deacetylbaccatin III dan baccatin III

juga ditemukan pada daun dan batang muda T. sumatrana

(Kitagawa et al., 1995; Shen et al., 2005).

Populasi Taxus di dunia telah menurun secara drastis

seiring dengan tingginya tingkat eksploitasi yang

dilakukan untuk memperoleh bahan aktif kelompok Taxane

di dunia farmasi. Ancaman tersebut akibat penebangan

pohon dan pengulitan total batang, serta strategi

manajemen yang minim. Namun demikian, T. sumatrana

yang tumbuh di Indonesia sampai saat ini masih belum

tereksploitasi sebagai alternatif sumber Taxol®. Status

keterancaman jenis ini dalam IUCN Red List termasuk

dalam kategori memiliki risiko keterancaman yang masih

rendah (Least Concern/LC) (IUCN, 2014). Sementara itu,

masyarakat lokal umumnya menggunakan kayu T.

sumatrana untuk keperluan bahan baku pertukangan ringan

atau pembuatan alat-alat kebutuhan rumah tangga.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 17

Gambar 6. T. sumatrana; A) Tumbuh pada tempat alaminya (TN G. Kerinci Seblat), B) Tumbuh di Kebun Raya Cibodas (planted), C) Batang/ranting/percabangan, D) Morfologi daun

A

B

C

D

18 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

2.2 Taxus brevifolia Nutt

2.2.1 Penyebaran

Taxus brevifolia disebut juga dengan nama Pacific yew.

Jenis ini merupakan pohon berdaun jarum yang tumbuh

alami di barat laut Pasifik, Amerika Utara (Ferguson, 1978;

Hils, 1993). Jenis ini tersebar mulai dari bagian Selatan

Alaska sampai ke California bagian Tengah dan Montana.

Populasi terbanyak dijumpai di wilayah pantai Barat

Pasifik, tetapi ada satu populasi yang terisolasi khusus,

yaitu di Tenggara British Columbia dan Idaho bagian

Selatan sampai tengah.

2.2.2 Habitus

Pohon hijau sepanjang tahun dengan ukuran kecil

sampai sedang, tinggi mencapai 20 m dengan diameter 50

cm, dan jarang sekali diameter batang mencapai lebih dari

50 cm (Farrar, 1995). Tajuk melebar membentuk kerucut

dengan kulit batang berwarna cokelat sampai cokelat

kemerahan dan tekstur yang agak bersisik. Daun berbentuk

lanset, datar, berwarna hijau tua dengan panjang 1–3 cm

dan lebar 2–3 mm (Mitchell, 1998), serta tersusun secara

spiral pada cabang dengan bagian dasar daun melintir.

Percabangan yang menjulur ke atas akan terkulai pada

ujungnya (Spjut, 2007). Buah kerucut sangat termodifikasi;

tiap kerucut mengandung satu individu biji dengan

panjang 4–7 mm dan dikelilingi oleh sisik yang

termodifikasi; buah berkembang menjadi struktur yang

menyerupai buah beri dan disebut dengan aril. Aril yang

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 19

sudah masak berwarna merah cerah, bertekstur lembut

dengan ukuran panjang dan lebar 8–15 mm, dan ujung aril

merekah (Gambar 4). Aril akan masak sekitar 3–6 bulan

sejak penyerbukan (Maret dan April) dan jika aril sudah

masak (Juli–Oktober) maka aril rentan dimakan oleh

burung dan predator lainnya (Rudolf, 1974; Difazio et al.,

1996; Stephen et al., 1998).

Pemangsaan oleh burung dan predator merupakan

mekanisme penyebaran benih secara alamiah. Selama

penyebaran ini, benih tidak rusak karena memiliki kulit

yang cukup keras. Perkembangan embrio benih di dalam

aril akan mulai terjadi 2–3 bulan setelah penyebaran oleh

burung dan hal ini akan meningkatkan keberhasilan

penyebaran benih secara alami. Kerucut jantan berbentuk

membulat dengan diameter 3–6 mm dan tepung sarinya

akan menyebar pada awal musim semi.

T. brevifolia tumbuh baik di bawah naungan (Taylor &

Taylor, 1981). Karakter bunga berumah dua (dioecious),

tetapi pada suatu kondisi tertentu dapat ditemukan satu

individu yang memiliki sifat berumah satu (monocious),

atau bahkan, bertukar jenis kelamin seiring dengan waktu

(Keller & Tregunna, 1976; El-Kassaby & Yanchuck, 1994;

Stephen et al., 1998).

2.2.3 Sistem Perbanyakan

T. brevifolia dapat diperbanyak secara generatif

(dengan biji) dan vegetatif (umumnya stek). Salah satu hasil

penelitian yang cukup menyeluruh tentang teknik

20 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

perbanyakan T. brevifolia secara generatif diungkapkan oleh

Pilz (1996) dan secara vegetatif dilaporkan oleh Mitchell

(1998).

Pematangan buah T. brevifolia berlangsung selama 3–6

bulan, yaitu mulai Juli–Oktober. Buah yang masak

dicirikan dengan bentuk aril yang membengkak penuh,

berwarna merah dengan tekstur yang lembut. Kandungan

minyak pada aril menyebabkan buah agak sulit

dibersihkan (Earle, 2013b). Dengan demikian, stratifikasi

benih Taxus merupakan sebuah proses biologis aktif yang

membutuhkan waktu paling sedikit 12–18 bulan, atau

bahkan, seringkali lebih lama lagi (Pilz, 1996).

T. brevifolia yang baru saja dipetik atau jatuh dari

pohonnya (masih segar) memiliki embrio yang sangat kecil

yang sulit dikenali. Embrio berkembang atau membesar

jika telah dilakukan stratifikasi. Hal ini diduga benih Taxus

memiliki dormansi kulit atau dormansi embrio. Oleh sebab

itu, uji kualitas benih dilakukan terlebih dahulu sebelum

dikecambahkan untuk melihat hidup atau tidaknya embrio.

Cara yang paling mudah, murah, dan cepat adalah metode

pemotongan benih menjadi dua bagian dengan arah

longitudinal. Meskipun metode ini merupakan metode

destruktif, cara ini mampu memberikan hasil yang baik

secara visual terhadap kondisi embrio benih. Teknik lain

yang lebih modern untuk mengetahui kondisi embrio benih

adalah dengan x-ray atau ultrasound yang akan mampu

mengecek kondisi embrio, apakah hidup atau viable.

Benih yang tersimpan pada lahan hutan dapat

bertahan lebih dari tiga tahun. Hal ini dikarenakan

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 21

perkecambahannya baru akan terjadi setelah atau jika

anakan tanaman lainnya mati sehingga lantai hutan

menjadi terbuka (Minore et al., 1996). Oleh karenanya,

penyimpanan dingin (cold storage) benih jenis ini sangat

tidak menguntungkan. Untuk dapat bertahan lama (5–6

tahun), benih harus dikeringkan sampai kadar air mencapai

6–10% dan kemudian disimpan pada suhu 1–2oC (Rudolf,

1974).

Hanya sedikit benih yang mampu berkecambah pada

musim semi, sesaat setelah buah masak. Pada kondisi

alaminya, perkecambahan puncak terjadi pada musin semi

tahun berikutnya dan sebagian lagi pada musim semi dua

atau tiga tahun berikutnya setelah benih masak atau jatuh

(Rudolf, 1974). Lambatnya perkecambahan diduga ada

hubungannya dengan mekanisme dormansi benih.

Dormansi benih yang terdapat dalam T. brevifolia

diperkirakan menyangkut tiga mekanisme: kulit benih

mungkin mengandung senyawa penghambat (inhibitor);

ukuran embrio yang masih sangat kecil, meskipun benih

telah masak penuh; dugaan adanya dormansi genetik atau

dormansi fisiologis yang belum teridentifikasi letaknya.

Stratifikasi yang efektif untuk benih T. brevifolia

adalah penyimpanan benih di ruang dingin dan basah pada

musin dingin tahun pertama, penyimpanan pada suhu

hangat di tahun yang sama, kemudian penyimpanan

dingin dan basah kembali pada tahun berikutnya. Dengan

cara ini, perkecambahan dapat disingkat selama waktu 12–

18 bulan (Pilz, 1996). Lamanya stratifikasi yang dibutuhkan

untuk perkecambahan diduga berhubungan dengan

22 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

tingkat kemasakan biji pada waktu pengumpulan. Anakan

T. brefivolia sangat rentan terhadap penyakit dumping-off.

Pemberian naungan yang diperlukan pada saat benih

disemai dan dibiarkan akan menghasilkan daya berkecam-

bah sebesar 10–20%.

2.2.4 Penggunaan

Kayu T. brevifolia masih digunakan [dibatasi karena

kelangkaan] untuk busur panah, tombak, dayung kano,

peralatan rumah tangga, alat musik, ukiran patung,

furnitur, dan kayu bakar (Bolsinger & Jaramillo, 1990).

Bagian tanaman, daun, ranting, dan kulit batang digunakan

oleh penduduk asli Amerika untuk mengobati penyakit

paru-paru, perut, luka, dan nyeri (Moerman, 1986). T.

brevifolia digunakan juga untuk pohon hias, tanaman

fondasi, pagar, dan bonsai (Bolsinger & Jaramillo, 1990)

(Gambar 7). Meskipun sekarang sudah mulai ditemukan

teknologi yang mampu memproduksi paclitaxel secara

semisintetis dari pohon hasil budi daya, tingkat eksploitasi

yang sangat tinggi menyebabkan kekhawatiran yang

mendalam jika T. brevifolia akan menjadi langka. Tingkat

eksploitasi yang tinggi juga mulai dilakukan terhadap jenis

Taxus lainnya dengan tujuan yang sama, yaitu

mendapatkan paclitaxel. Kondisi seperti ini telah memicu

kelangkaan berbagai jenis Taxus di berbagai belahan bumi.

Status keterancaman T. brevifolia dalam IUCN Red List,

yaitu sebagai jenis dengan risiko mendekati keterancaman

(Near Threatened/NT) (IUCN, 2014).

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 23

Sumber: http://swindon-bonsai.co.uk/ (diakses 9 Maret 2014)

Gambar 7. Bonsai genus Taxus sebagai penggunaan lainnya

2.3 Taxus baccata Linn

2.3.1 Penyebaran

Taxus baccata disebut juga dengan nama English yew.

Jenis ini merupakan pohon berdaun jarum yang tumbuh

alami di Eropa (bagian Barat, Tengah, dan Selatan), Barat

Laut Afrika, Irak Utara, dan Barat Daya Asia (Zamani et al.,

2008; Spjut, 2007). Meskipun distribusi sebaran alaminya

sangat luas, jumlah individu setiap populasinya sangat

kecil sehingga mempertinggi risiko keterancamannya

(Lewandowski et al., 1995). Berbagai penemuan terhadap

jenis yang memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan

24 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

T. baccata menyebabkan terjadinya subpengelompokan

baru (Zamani et al., 2008).

Taxus baccata merupakan nama ilmiah yang merujuk

pada variasi atau kultivar untuk European yew, common yew,

dan English yew (Rushforth, 1999). Sudah sejak lama pohon

ini disebut sebagai “Pohon Kematian”; padahal, secara

alami memiliki sifat yang berumur panjang, kuat dan awet,

beracun, dan secara tradisional digunakan oleh penduduk

lokal sebagai obat nyeri/keluhan pada dada, serta simbol

kehidupan yang kekal (Hartzell, 1991).

2.3.2 Habitus

Pohon hijau sepanjang tahun dengan ukuran kecil

sampai sedang, tinggi mencapai 10–20 m, pada beberapa

individu dapat mencapai 30 m, dan tumbuh pada

ketinggian 2.000–4.000 m dpl (Lewandowski et al., 1995;

Orwa et al., 2009; Bondare, 2013; Sharma & Uniyal, 2010).

Jenis ini tumbuh sangat lambat, tetapi dapat hidup sangat

lama (Hartzell, 1991). Pohon terbesar yang tercatat dalam

sejarah untuk T. baccata, yaitu diperkirakan berumur

mencapai 2.000–4.000 tahun [meskipun secara historis

penentuan umur jenis Taxus dari spesimen kayu tidak

dapat diperkirakan secara tepat dan masih menjadi

perdebatan] (Hindson, 2000). Namun demikian, terdapat

satu kesepakatan umum di antara para botanis bahwa T.

baccata merupakan jenis pohon paling tua yang tumbuh di

Eropa.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 25

Morfologi lainnya terkait T. baccata adalah sebagai

berikut. Kulit batang berwarna cokelat kemerah-merahan

dan bersisik; daun berbentuk lanset, datar, berwarna hijau

tua dengan panjang 1–3 cm dan lebar 2–3 mm (Thomas &

Polwart, 2003; Hoffman, 2004); daun tersusun secara spiral

pada cabang dengan bagian dasar daun melintir (Edward

& Dennis, 1994). Buah kerucut sangat termodifikasi; tiap

kerucut mengandung satu individu biji yang sangat

beracun (Edward & Dennis, 1994) dengan panjang kurang

dari 1 cm dikelilingi oleh sisik yang termodifikasi dan

berkembang menjadi struktur yang juga menyerupai buah

beri (aril). Pembungaan terjadi pada bulan September dan

berbuah pada bulan Oktober. Buah akan dikelilingi oleh

aril dan apabila sudah masak akan berwarna merah cerah

dan bertekstur lembut dengan ukuran panjang dan lebar 8–

15 mm sehingga aril rentan dimakan oleh burung dan

mamalia (Sharma & Uniyal, 2010). Selama penyebaran ini,

benih tidak rusak karena memiliki kulit yang cukup keras

(Orwa et al., 2009). Seperti halnya T. brevifolia,

perkembangan embrio benih T. baccata di dalam aril akan

mulai terjadi 2–3 bulan setelah penyebaran oleh burung

atau mamalia sehingga membantu meningkatkan

keberhasilan penyebaran dan perkecambahan benih secara

alami. Kerucut jantan juga berbentuk membulat dengan

diameter 3–6 mm dan akan menyebarkan tepung sarinya

pada awal musim semi.

Pada umumnya, T. baccata juga berumah dua

(dioecious), tetapi pada suatu kondisi tertentu dapat

ditemukan pula satu individu yang bersifat berumah satu

(monocious), atau bahkan, bertukar jenis kelamin seiring

26 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

dengan waktu (Bondare, 2013). Semua bagian pohon sangat

beracun (toxic), kecuali aril yang berwarna merah cerah

yang menutupi biji yang memungkinkan terjadinya proses

pencernaan dan penyebaran biji oleh burung (Edward &

Dennis, 1994).

2.3.3 Sistem Perbanyakan

Seperti halnya Taxus yang lain, T. baccata dapat

diperbanyak secara generatif (dengan biji) dan vegetatif

(umumnya stek). Perbanyakan secara generatif banyak

mengalami kendala, seperti jumlah biji/buah yang tidak

melimpah akibat banyaknya satwa pemakan buah ini

(Daniel et al., 2000). Selain itu, pemecahan masa dormansi

sangat sulit dan daya viabilitas rendah (Khali, 2001).

Perbanyakan secara vegetatif memberikan peluang yang

sangat menjanjikan sebagai penyedia bibit tanaman untuk

proses regenerasi secara alami (Singh & Bhalla, 2006).

Penelitian tentang teknik propagasi secara vegetatif telah

dilakukan secara intensif oleh Nandi et al. (1996), Maden

(2003), dan Singh & Bhalla (2006). Hasil perbanyakan

vegetatif terhadap Taxus baccata dilaporkan bahwa jenis ini

memiliki kemampuan berakar 65–80% dengan panjang

akar sekitar 10–38 cm (14 minggu setelah tanam dengan

menggunakan hormon NAA 0,25 mM), dan 85–95%

dengan panjang akar 8–13 (IBA 0,25 mM) (Nandi et al.,

1996).

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 27

2.3.4 Penggunaan

T. baccata biasa ditanam di halaman-halaman gereja

di Inggris dan Irlandia sampai ke wilayah Austria. Di

kalangan petani pada komunitas tertentu, pohon ini

ditanam sebagai penyemangat keberhasilan ladang atau

lahan pertanian mereka. Jika dikaitkan secara rasional, hal

ini berhubungan dengan hampir semua bagian tanaman

yang beracun, kecuali aril, sehingga tidak akan ada

binatang pengganggu di ladang/wilayah pertanian

mereka. Aril buahnya secara turun-temurun digunakan

masyarakat lokal sebagai obat alami untuk mengobati

gigitan ular, kalajengking, anjing gila (rabies), penyakit

jantung, paru-paru, dan diabetes (Orwa et al., 2009; Sharma

& Uniyal, 2010). Daun Taxus sangat beracun, senyawa

alkaloid dan glukosida yang terkandung sangat beracun

bagi binatang, seperti kelinci dan kuda, serta bagi manusia

dapat mengganggu sistem pencernaan, gangguan saraf,

pernapasan dan jantung, yang berujung pada kematian.

Taxus baccata juga umum digunakan sebagai jenis

ornamental dalam landscaping tanaman hias di kebun.

Rantingnya yang hijau juga digunakan oleh penduduk

lokal di Nepal sebagai hiasan rumah selama festival

keagamaan (Orwa et al., 2009). Penggunaan penting lainnya

adalah di dunia farmasi. Ekstraksi terhadap Taxus jenis ini

menghasilkan docetaxel yang merupakan obat kemoterapi

untuk berbagai penyakit kanker. Status keterancaman jenis

ini dalam IUCN Red List, yaitu jenis dengan risiko

keterancaman yang masih rendah (IUCN, 2014). Namun

demikian, penelitian Lewandowski et al. (1995) menemukan

28 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

bahwa jenis ini memiliki keragaman genetik yang sangat

rendah yang berimplikasi pada peningkatan risiko

kepunahan jenis.

2.4 Taxus cuspidata Siebold & Zucc

2.4.1 Penyebaran

Taxus cuspidata disebut juga dengan nama Japanese

yew. Tumbuhan ini pertama kali ditemukan sekitar 80

tahun yang lalu di Jepang (Li, 1999). Kemudian, pohon

berdaun jarum ini mulai meyebar ke wilayah lain, seperti

Korea, Cina bagian Selatan, dan Rusia bagian Tenggara

(Spjut, 2007).

2.4.2 Habitus

Pohon hijau sepanjang tahun dengan ukuran daun

kecil (berbentuk jarum), tinggi mencapai 16–20, dan disebut

pohon dewasa jika umurnya mendekati 200 tahun

(Suffness, 1995). Pertumbuhan riap tahunan jenis ini relatif

kecil (Zu et al., 2006) dengan proses germinasi yang hampir

2 tahun (Hartzell, 1991). Daun berwarna hijau tua dengan

panjang 1,5–3,5 cm dan lebar 2–3 mm yang tersusun secara

spiral pada cabang dengan bagian dasar daun melintir

(Ohwi, 1965; Hoffman, 2004). Tumbuhan ini ditemukan

hidup pada ketinggian 1.000–3.000 m dpl (Waibel, 2010;

Allison et al., 2008). T. cuspidata juga ditemukan hidup di

luar habitat (areal terbuka, ketinggian 80 m dpl) dan

mampu hidup dengan tinggi hanya mencapai 2 m, mirip

seperti pohon kerdil atau semak (Allison et al., 2008).

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 29

T. cuspidata memiliki karakteristik daun dan

morfologi reproduksi yang hampir mirip dengan Taxus

yang lainnya. Benih hasil pembuahan dikelilingi oleh aril

dan berdaging buah berwarna merah jika sudah masak

(Allison et al., 2008).

2.4.3 Sistem Perbanyakan

Perbanyakan generatif merupakan mekanisme

perbanyakan Taxus secara alami. Namun dari aspek budi

daya, teknik perbanyakan melalui vegetatif dianggap

sebagai teknik perbanyakan yang paling efisien (Li et al.,

2006), termasuk juga untuk Taxus jenis ini.

2.4.4 Penggunaan

T. cuspidata merupakan jenis yang sangat umum

ditanam di Asia bagian Timur dan Amerika Selatan bagian

Timur sebagai tanaman hias/ornamental. Penggunaan

lainnya adalah sebagai sumber bahan aktif dalam dunia

farmasi. Sekitar 193 senyawa aktif telah ditemukan; baik

pada kulit batang, biji, kayu maupun akar Taxus cuspidata

(Wang et al., 2010). Senyawa yang paling penting saat ini

adalah Taxol® sebagai obat kanker payudara, ovarium, dan

jenis kanker lainnya. Sayangnya, permintaan taxol yang

tinggi tidak selaras dengan kemampuan regenerasinya

yang cenderung menurun (Zu et al., 2006), pertumbuhan

yang lambat (Hartzell, 1991), dan jumlah benih yang

terbatas (Daniel et al., 2000). Hal ini menjadikan populasi

Taxus di beberapa wilayah distribusi alaminya mengalami

30 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

penurunan drastis. Berdasarkan data yang dikeluarkan

oleh IUCN, T. cuspidata dikelompokkan sebagai tanaman

hutan yang populasinya terancam punah dengan tingkat

risiko yang rendah (IUCN, 2014).

2.5 Taxus canadensis Marsh

2.5.1 Penyebaran

Taxus canadensis disebut juga dengan nama Canadian

yew, American yew, dwarf yew,dan ground hemlock. Jenis ini

merupakan pohon berdaun jarum yang tumbuh alami di

Amerika Utara bagian Tengah dan Timur (Darbyshire,

2003). Tempat tumbuh terbaik adalah di daerah yang

basah, jurang-jurang, tepian sungai, dan juga tepian danau.

2.5.2 Habitus

Berbeda dengan Taxus lainnya, T. canadensis tumbuh

sebagai semak yang melebar yang tingginya tidak lebih

dari 4 m dengan diameter 9 cm (Pinto & Herr, 2005). Kulit

batang berwarna cokelat bersisik. Daun berbentuk lanset,

datar, dan berwarna hijau tua dengan panjang 1–2 cm dan

lebar 0,5–2 mm (Hoffman, 2004). Buah kerucut sangat

termodifikasi; tiap kerucut mengandung satu individu biji

yang dikelilingi oleh sisik yang termodifikasi dan

berkembang menjadi struktur yang menyerupai buah beri

(aril) (Wilson et al., 2006). Jenis ini ditemukan tumbuh pada

ketinggian kurang dari 1.500 m dpl dengan kondisi pH

tanah sekitar 5–7,5 (Comer et al., 2003; Pinto & Herr, 2005).

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 31

T. canadensis adalah tumbuhan yang hidup di bawah

naungan atau menempati strata kedua pada lantai hutan.

Untuk tumbuh dan bertahan hidup, tumbuhan ini hampir

tidak memerlukan cahaya matahari. Namun demikian,

cahaya pada ketinggian 1 m dapat dimanfaatkan sampai

95% untuk pertumbuhannya (Aubin et al., 2000). Jika

tumbuh pada lahan terbuka, kemampuan hidupnya akan

berkurang menjadi <50%. Untuk mencegah dehidrasi, jenis

ini akan mengendalikan kelembaban dan suhu melalui

sistem perakaran yang dimilikinya (Martell, 1974; Pothier &

Margolis, 1991).

2.5.3 Sistem Perbanyakan

T. canadensis dapat diperbanyak secara generatif

(dengan biji) dan vegetatif (umumnya stek). Namun,

perbanyakan secara generatif banyak mengalami kendala

sehubungan dengan karakteristik benih Taxus secara

umum sehingga perbanyakan vegetatif cukup menjanjikan

untuk memenuhi ketersedian bibit. Prosedur lengkap

teknik perbanyakan secara vegetatif diuraikan oleh Yeates

et al. (2005).

2.5.4 Penggunaan

T. canadensis memiliki tingkat toksikogenik yang lebih

rendah dibandingkan T. baccata. Namun demikian, seluruh

bagian tanaman tetap memiliki kandungan racun yang

cukup tinggi, kecuali bagian aril (Edward & Dennis, 1994;

Orwa et al., 2009; Sharma & Uniyal, 2010). Masyarakat lokal

32 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

setempat secara tradisional memanfaatkan daun T.

canadensis sebagai teh. Dalam dosis yang kecil, tumbuhan

ini digunakan untuk pengobatan berbagai macam keluhan

penyakit rematik. Cabang-cabang atau ranting-ranting juga

digunakan bersama dalam mandi uap untuk pengobatan

luar penyakit rematik. Namun demikian, [tetap harus

menjadi catatan] tumbuhan ini masih sangat toksik dan para

herbalis modern lebih menyukai penggunaan herbal lainnya

yang lebih aman digunakan untuk menggantikan T.

canadensis dalam mengobati suatu penyakit.

T. canadensis dipanen sebagai sumber penghasil

Taxane di bagian Utara Ontario, Quebec, dan Atlantik sejak

kelompok senyawa ini menjadi fokus utama dunia dalam

pengobatan berbagai penyakit kanker (Farr, 2008).

Kandungan bahan aktif pada T. canadensis jauh lebih besar

dibandingkan T. brevifolia. Selain itu, bagian daun T.

canadensis yang banyak mengandung kelompok senyawa

Taxane dapat dipanen secara berkala dan berkelanjutan

untuk diekstraksi setiap 5 tahun sekali tanpa menebang

pohon atau menguliti batangnya yang akan menimbulkan

kematian tanaman. Berdasarkan data yang tercatat,

pemanenan daun T. canadensis meningkat tajam dari sekitar

5.000 kg pada tahun 2003 menjadi 400.000 kg pada tahun

2005, dengan rasio Taxol® yang diperoleh adalah 30.000 : 1

(kg/kg) (Farr, 2008). Menurut data IUCN (2014), status

keterancaman jenis ini dalam IUCN Red List, yaitu sebagai

jenis dengan risiko keterancaman yang masih rendah.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 33

3.1 Biologi Taxus

3.1.1 Pembungaan dan Pembuahan

Hampir semua jenis Taxus berumah dua, namun T.

canadensis merupakan tumbuhan berumah satu (Wilson et

al., 1996). Bunga berukuran kecil dan soliter yang tumbuh

dari tunas aksila. Kuncup bunga betina terdiri atas ovul

tunggal yang dikelilingi oleh lima kelopak bunga (Difazio

et al., 1996). Anthesis diindikasikan dengan terdapatnya

mikropolar pada ovul yang terbuka, yang selanjutnya akan

berkembang menjadi satu benih (Allison et al., 2008; Difozio

et al., 1996). Kuncup bunga jantan biasanya mengelompok

di sepanjang bagian bawah percabangan (Difazio et al.,

1996). Bunga jantan memiliki 14 stamen (penghasil gamet

jantan), masing-masing dengan 5–9 mikrosporangia atau

kantong polen. Polen tersebar pada bulan Februari–Mei

dengan butir-butir polen berwarna kuning dan berdiameter

sekitar 19–26 m (Maguchi & Fukuda, 2001). Buah masak

pada akhir musim panas sampai musim gugur; susunan

luar buah berdaging dengan aril berbentuk seperti cangkir,

tumbuh tunggal, keras, berbentuk oval dengan panjang

mencapai lebih dari 6 mm (Wilson et al., 2006). Biji yang

matang memiliki lapisan luar berwarna cokelat keabuan

BAB 3

Biologi dan Domestikasi Taxus

34 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

sampai cokelat dan terisi dengan jaringan megagametofit

putih (kaya lemak).

Informasi mengenai frekuensi pemanenan benih

berkualitas baik hanya sedikit. Pembungaan dan produksi

buah akan dihasilkan pada pohon yang telah berumur 30–

35 (Thompson & Teoranto, 2014). Namun, terdapat indikasi

bahwa hampir seluruh jenis Taxus memproduksi benih

hampir setiap tahun, dengan jumlah benih/pohon yang

sangat bervariasi. Benih yang ditemukan pada lapisan atas

tanah tetap utuh dan memiliki viabilitas baik, meskipun

sudah jatuh bertahun-tahun (Minore et al., 1996).

Jumlah benih Taxus per kilogram sangat bervariasi

menurut jenis. Tabel 1 menunjukkan data jumlah benih

beberapa jenis Taxus.

Tabel 1. Data produksi benih

Jenis Lokasi pengumpulan

Produksi benih (buah) Jumlah contoh Jumlah/kg

Rata-rata/kg

T. baccata Eropa Barat 13.900-18.000 17.000 14 Amerika Serikat 13.200-15.000 14.100 3

T. brevifolia Carson & Skamania 32.400-36.200 33.100 2

South Cascade 23.800-25.900 24.950 10

Central Cascade 26.330-39.950 31.077 4

T. canadensis Upper Midwest 33.000-62.400 46.300 4

Minesota & Wincosin 35.700-38.460 37.000 4

T. cuspidata Jepang 24.700-43.000 31.300 7

Amerika Serikat 14.840-19300 16.300 3

Sumber: Vance & Rudolp (2000)

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 35

Berdasarkan data pada Tabel 1 terlihat bahwa data T.

sumatrana tidak ada. Hal ini berarti, T. sumatrana belum

dipelajari dengan baik tentang keberadaan dan

pemanfaatannya secara luas di Indonesia. Jumlah benih per

kilogramnya termasuk banyak sehingga benih-benih Taxus

termasuk kelompok benih berukuran sedang.

3.1.2 Pengumpulan Buah

Pematangan buah dan pemasakan aril (bentuk biji

penuh dengan warna aril merah–oranye) berlangsung

selama berbulan-bulan. Selama periode tersebut, peluang

hilangnya buah karena dimakan satwa mamalia cukup

tinggi, yaitu mencapai 75% hanya dalam beberapa hari

(Wilson et al., 1996; Sharma & Uniyal, 2010). Untuk

menghindari kehilangan akibat hama, pemetikan buah

harus dilakukan teratur dan dimulai saat satu per satu

buah tersebut mulai matang. Untuk menjamin terkumpul-

nya benih pada satu areal khusus, pemasangan kantong

plastik pada percabangan-percabangan yang berbuah

cukup efektif sehingga buah tidak jatuh akibat pergerakan

tupai atau hama lainnya. Jika pengunduhan buah secara

individual tersebut untuk setiap pohon dianggap tidak

praktis, pemanenan dapat dilakukan dengan membentang-

kan kantong plastik di bawah percabangan (Difazio et al.,

1996). Biasanya, pemasangan dimulai pada bulan Juli dan

pengecekan dilakukan pada akhir musim gugur.

Fenologi T. sumatrana hingga saat sekarang belum

terdokumentasikan dengan baik, apalagi Taxus pada

umumnya berumah dua. Dengan demikian, peluang untuk

36 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

mendapatkan pohon terisolasi dan tidak berbuah akan

sangat besar. Fenologi T. sumatrana harus diketahui dengan

baik agar dapat mengembangkan strategi perbanyakannya.

Teknik perbanyakan secara vegetatif untuk klon-klon

unggul merupakan salah satu teknik dalam pengadaan

benih.

3.1.3 Ekstraksi dan Pembersihan

Benih harus segera diekstraksi dari daging buah

setelah dipanen (Thompson & Teoranto, 2014). Penyimpan-

an dengan daging buah akan mengundang infeksi jamur.

Ekstraksi benih dilakukan dengan maserasi aril segar di

dalam air (Jaziri et al., 1996). Benih yang dimasukkan dalam

mesin pembersih berkecepatan rendah merupakan metode

pemisahan aril yang cukup praktis tanpa merusak benih.

Setelah ekstraksi selesai, benih harus dikeringkan. Langkah

selanjutnya setelah benih kering, antara lain penimbangan

berat benih, penyemaian langsung, stratifikasi, ataupun

penyimpanan dingin (cold storage). Kemurnian lot benih

biasanya berkisar 96–100% dan tingkat kesehatan 78–99%

(Vance & Rudolp, 2000).

Teknik ekstraksi benih T. sumatrana juga belum

banyak ditulis. Teknik ekstraksi basah akan lebih menjamin

persentase kesehatan benih yang lebih baik karena Taxus

mempunyai struktur daging buah yang mudah terkelupas

jika difermentasi terlebih dahulu.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 37

3.1.4 Penyimpanan

Benih Taxus termasuk dalam kelompok benih

ortodoks sehingga memiliki daya simpan yang cukup lama.

Penyimpanan pada suhu rendah dapat dilakukan dengan

tetap mempertahankan viabilitas pada angka rata-rata 50–

70% (Thompson & Teoranto, 2014). Untuk menjaga agar

viabilitas benih tetap tinggi pada periode penyimpanan

jangka panjang sampai 5–6 tahun, benih tersebut harus

segera dikeringanginkan selama 2 minggu sesaat setelah

diekstraksi dan dibersihkan, selanjutnya disimpan dalam

wadah tertutup dengan suhu 1–2oC (Rudolf, 1974). Pada

kondisi benih dikeringkan sampai kadar air 2–3% dengan

kelembaban realtif 12–25%, viabilitas benih sebesar 90%

dapat dipertahankan selama berminggu-minggu pada

penyimpanan suhu ruangan 25oC. Cara lain untuk

mempertahankan viabilitas benih yang cukup praktis dan

sederhana adalah dengan menyimpan benih tersebut pada

media pasir yang lembab dan gembur pada suhu rendah.

Dengan teknik sederhana seperti ini, benih dapat disimpan

selama 4 tahun (Thompson & Teoranto, 2014).

Teknik penyimpanan benih pada dasarnya bertujuan

untuk memperpanjang masa hidup atau viabilitas benih

agar ketika dikecambahkan akan memiliki persentase

tumbuh yang tinggi. Berbagai teknik penyimpanan benih T.

sumatrana masih perlu diteliti lebih lanjut.

38 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

3.1.5 Perlakuan Praperkecambahan

Secara umum, benih Taxus sangat lambat berkecam-

bah (Foster, 1993; Hartzell, 1991; Windels & Flaspohler,

2011). Perkecambahan alami biasanya tidak terjadi pada

satu tahun setelah benih jatuh, namun benih akan

berkecambah pada 2–4 tahun berikutnya (Minore et al.,

1996; Thompson & Teoranto, 2014). Benih yang masih viable

dapat ditemukan pada lapisan permukaan atas tanah/

serasah, meskipun benih tersebut sudah jatuh bertahun-

tahun sebelumnya. Data yang dilaporkan Minore et al.

(1996) menyebutkan bahwa 59% perkecambahan Taxus

secara alami terjadi dengan dipicu oleh kondisi kebakaran

yang menyebar dan 41% sisanya akan terjadi setelah

tersimpan lebih dari 3 tahun dalam lantai hutan. Mamalia

atau burung pemakan benih Taxus tidak akan membuat

benih tersebut cepat berkecambah, tetapi peran mereka

hanya sebatas dalam penyebaran benih (Linares, 2012). Hal

ini pun porsinya menjadi sedikit karena sebagian besar

buah yang dikonsumsi akan dimakan dan dicerna oleh

satwa tersebut. Sebagai contoh pada Taxus cuspidata,

mamalia dan burung mampu mengonsumsi 90% benih

jenis ini dan hanya menyisakan 10% benih yang jatuh ke

tanah dan tersebar (Minore et al., 1996).

Benih Taxus sangat kuat dengan masa dormansi yang

bervariasi dan umumnya pematahan dormansi dilakukan

dengan skarifikasi panas-dingin. Prosedur pematahan

dormansi untuk jenis Taxus yang direkomendasikan oleh

International Seed Testing Association (ISTA) berupa

perlakuan prechilling selama 270 hari pada suhu 3–5oC.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 39

Tabel 2 menggambarkan perlakuan skarifikasi untuk

beberapa jenis Taxus yang pernah dilakukan.

Tabel 2. Periode skarifikasi dan kondisi uji perkecambahan

Jenis

Kondisi perkecambahan Kemampuan berkecambah

rata-rata Stratifikasi (hari) Suhu (oC)

Panas Dingin Siang Malam

T. baccata - - 16 10 67

T. baccata 120 365 10–16 10–16 47

T. brevifolia - - 30 20 55

T. cuspidata 120 365 10–16 10–16 68

Sumber: Vance & Rudolp (2000)

Cara lain yang dilakukan oleh Zhiri et al., (1994)

untuk memecah masa dormansi adalah melakukan

pencucian dan perendaman selama 7 hari dan perlakuan

perkecambahan secara in vitro pada media MS (Murashige

dan Skoog) atau H (Heller) yang dimodikasi. Dengan

metode ini, benih akan berkecambah 100% dalam waktu 7

hari setelah penaburan. Perlakuan tersebut memberikan

kemungkinan bahwa dormansi kulit merupakan problem

utama sehingga penyerapan air secara imbibisi berjalan

sangat lambat dan membutuhkan nitrogen dari larutan MS.

3.1.6 Perkecambahan dan Uji Viabilitas Benih

Tipe perkecambahan benih Taxus adalah epigeal.

Perkecambahan jenis ini berlangsung secara sporadis (tidak

seragam) dalam beberapa tahap selama bertahun-tahun

40 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

(Thompson & Teoranto, 2014; Minore et al., 1996). Salah

satu penyebab hal ini adalah adanya dormansi yang sangat

tinggi. Persentase perkecambahan pada tahun pertama

tidak secara otomatis dapat mengindikasikan potensi

perkecambahan benih karena perkecambahan masih akan

berlangsung pada tahun-tahun berikutnya (Minore et al.,

1996). Teknik perkecambahan Taxus yang lebih cepat

memerlukan perlakuan awal (skarifikasi dan stratifikasi)

untuk melakukan pematahan dormansi, baik dormansi

fisik, fisiologis maupun embrio.

Uji perkecambahan benih untuk jenis-jenis Taxus

yang direkomendasikan sebagai pilihan pertama adalah

pewarnaan dengan tetrazolium. Berikutnya, uji dilanjutkan

dengan perkecambahan dalam media pasir pada suhu

lingkungan 30oC selama 28 hari setelah dilakukan

stratifikasi selama 270 hari (ISTA, 1993). Uji pemotongan

benih juga direkomendasikan sebagai teknik yang cepat

untuk mengecek viabilitas benih. Setelah benih dipotong

dengan pisau tajam menjadi dua bagian, pengujian dapat

dilakukan terhadap embrio dan megagametofit. Jika

embrio berkembang dan tidak berwarna (bening/

transparan) dengan kuncup kotiledon terlihat dan

megagametofit berwarna putih, benih dapat dikelompok-

kan sebagai benih dewasa dan viable. Uji viabilitas dengan

metode pewarnaan selama 24–28 jam, yang selanjutnya

diteruskan dengan pemotongan embrio, akan memberikan

hasil benih viable jika semua bagian embrio dan

endosperma berwarna cerah.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 41

3.2 Pembibitan dan Pemuliaan

Dalam pengelolaan sumber daya, secara garis besar

terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk menjamin

kelestarian suatu jenis atau produk: 1) penerapan dan

pengembangan tata cara yang dapat memberikan jaminan

tingkat pemanenan lestari terhadap populasi alam, dan 2)

optimalisasi produk atau hasil melalui program

domestikasi. Dalam hal ini, domestikasi mengacu pada

kegiatan mengonversi (merubah) suatu jenis liar menjadi

jenis budi daya/pemeliharaan, yang selanjutnya dapat

diperjualbelikan sesuai dengan peraturan yang berlaku

agar jenis yang tumbuh secara alami tidak punah.

Terminologi domestikasi pada sektor kehutanan lebih

dikenal dengan istilah pemuliaan pohon. Salah satu titik

berat dari tujuan domestikasi pada sektor kehutanan

adalah untuk menjamin kelestarian pemanenan kayu dan

mengakomodasi kebutuhan industri pengolahan hasil

hutan dan turunannya.

Domestikasi yang dilakukan pada beberapa jenis

Taxus dilakukan untuk menekan tingkat eksploitasi jenis ini

di alam dan menyuplai kebutuhan industri paclitaxel

dengan meningkatkan produksi perbanyakan secara

massal, cepat tumbuh, dan memiliki kandungan Taxane

yang tinggi (Smith et al., 2006). Program domestikasi Taxus

merupakan kegiatan pemuliaan pohon yang merubah

Taxus alam menjadi pohon yang dibudidayakan secara

intensif untuk memenuhi berbagai tujuan, namun akan

lebih diutamakan untuk klon-klon yang menghasilkan

Taxane tertinggi; baik pada kulit, daun maupun bagian

42 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

lainnya. Yeates et al. (2005) menyatakan bahwa untuk

mendukung keberhasilan domestikasi maka diperlukan

pendekatan multidisiplin yang terintegrasi dan diimple-

mentasikan dengan tiga kerangka model kegiatan

domestikasi. Untuk Taxus sumatrana, kerangka kegiatan

model domestikasi yang dapat dikembangkan, sebagai

berikut.

1) Seleksi individu dari keseluruhan sebaran populasi jenis

yang ada di Indonesia.

2) Pengujian dan skrining untuk menyeleksi klon-klon

dengan kandungan Taxane yang tinggi.

3) Implementasi program produksi skala besar dari pohon-

pohon elite atau klon terpilih.

Program produksi secara massal dapat dikerjakan

melalui stek, cangkok, sambungan, kultur jaringan, dan

kultur sel. Jika program tersebut dapat dikerjakan secara

sistematis, produksi Taxane tidak lagi mengandalkan

tegakan alami sehingga kelestarian produksi dan

kelestarian Taxus dapat dijaga dengan baik.

Taxane merupakan senyawa kimia yang terkandung

dalam semua jenis Taxus, namun konsentrasinya bervariasi

interindividu maupun antarindividu, dan varietas.

Pemanenan Taxane yang memiliki nilai ekonomi sangat

tinggi telah menjadi faktor penyebab langkanya berbagai

populasi Taxus di dunia. Sebagai konsekuensi dari

pertumbuhan yang lambat, tingkat pemanenan yang tinggi,

pemangsaan biji oleh binatang, dan konversi lahan hutan

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 43

untuk berbagai kepentingan mengakibatkan laju

kelangkaan Taxus menjadi semakin nyata dan semakin

cepat (Windels & Flaspohler, 2011; Linares, 2012). Oleh

karenanya, program domestikasi menjadi sebuah kegiatan

yang dinilai signifikan untuk dilaksanakan. Selama ini,

kegiatan domestikasi Taxus telah dimulai sejak tahun 1997

(Webster et al., 2005).

Untuk melaksanakan tiga model domestikasi Taxus

seperti yang telah dituliskan sebelumnya, program

pemuliaan Taxus yang dapat dilaksanakan (Smith et al.,

2003; Yeates et al., 2005) meliputi seleksi kultivar,

perbanyakan melalui stek di persemaian, manajemen budi

daya intensif, kultur jaringan, dan peningkatan kandungan

Taxane. Penjelasan setiap program pemuliaan tersebut

diuraikan sebagai berikut.

3.2.1 Seleksi Kultivar

Pada skema kegiatan ini semua genotipe dari suatu

jenis Taxus dikumpulkan dari sebaran alaminya dan

selanjutnya dilakukan perbanyakan. Salah satu teknik

perbanyakan yang dapat dilakukan dan telah terbukti

berhasil untuk berbagai jenis Taxus adalah dengan

penyetekan (Rachmat et al., 2010; Nandi et al., 1996; Maden,

2003; Singh & Bhalla, 2006; Li et al., 2006; Mitchell, 1998).

Setelah bibit dewasa, penanaman dilakukan di berbagai

lokasi untuk uji provenansi dengan jumlah klon yang

ditanam diusahakan sebanyak mungkin, atau minimal 100

klon per lokasi. Pengamatan dilakukan terhadap

pertumbuhan klon dan juga terhadap kemampuan

44 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

memproduksi Taxane untuk setiap klon yang berbeda. Uji

multilokasi akan memperkuat pengetahuan tentang

pengaruh interaksi potensi genetika dan lingkungan untuk

menghasilkan kandungan Taxane yang tertinggi.

Seleksi kultivar untuk T. canadensis telah berhasil

dilakukan dengan mengumpulkan 1.325 genotipe dari

berbagai sebaran habitat alaminya (Webster et al., 2005;

Smith et al., 2003). Meskipun masih sangat awal, hasil uji

provenansi sementara terlihat adanya variasi sifat

pertumbuhan, baik interpopulasi maupun antarpopulasi.

Variasi genetik intervariasi dan antarvariasi teramati secara

signifikan memiliki sebaran nilai 10–95% dan 25–85%. Total

produksi biomassa antarbagian tanaman juga bervariasi

secara signifikan antargenotipe yang dikumpulkan.

Individu atau klon yang memperlihatkan performa terbaik

dari keseluruhan populasi pengamatan dikembangkan

untuk menjadi sumber perbanyakan. Peranan dari tekanan

lingkungan (environmental stressing factors) juga perlu

dipelajari dalam rangka meningkatkan produksi Taxane

dalam lingkungan tertentu.

3.2.2 Teknik Perbanyakan Melalui Stek di Persemaian

Program domestikasi dinyatakan berhasil dilakukan

apabila periode waktu yang dibutuhkan mulai teridenti-

fikasinya klon atau individu elite (penghasil Taxane

tertinggi) sampai pada produksi skala besar terhadap

individu-individu elite tersebut dapat dicapai sesingkat

mungkin. Sampai dengan saat ini, kultur jaringan masih

belum cukup berkembang dan perbanyakan stek masih

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 45

harus dilakukan dengan berbagai perbaikan pada banyak

aspek untuk mendukung upaya produksi massal bahan

tanaman. Jika perbanyakan stek sukses dilakukan dengan

keberhasilan untuk mempersingkat waktu perbanyakan

dan menekan biaya produksi, jumlah potensi individu elite

hasil perbanyakan stek dapat ditingkatkan (Holloway,

2007).

Berbagai percobaan penyetekan telah dilakukan,

terutama dengan mempertimbangkan pengaruh berbagai

faktor, seperti musim saat dilakukannya penyetekan,

ukuran bahan stek, hormon tumbuh, media, intensitas

cahaya, suhu terhadap pertumbuhan dan kecepatan

perakaran (Rachmat et al., 2010; Nandi et al., 1996, Maden

2003; Singh & Bhalla, 2006; Webster et al., 2005; Yeates et al.,

2005). Hasil pengamatan terhadap beberapa jenis Taxus

diperoleh fakta bahwa untuk negara dengan empat musim,

perbanyakan dengan teknik stek dapat dilakukan di setiap

musim, hanya saja ada beberapa perbedaan perlakuan yang

harus diterapkan untuk setiap musim tertentu. Dengan

demikian, lokasi sebaran alami jenis Taxus yang

dikembangkan akan memengaruhi perlakuan yang harus

dikerjakan. Perlakuan terhadap T. sumatrana mungkin akan

lebih mudah karena tumbuh di hutan tropis yang lembab

tetapi dingin karena jenis tersebut tumbuh di dataran

tinggi, seperti di G. Kerinci, G. Dempo, dan kawasan HL

Dolok Sibuaton.

Meskipun ukuran bahan stek hanya memperlihatkan

pengaruh yang kecil terhadap kemampuan berakar,

terdapat indikasi bahwa keberhasilan stek semakin

46 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran bahan

stek (Rachmat et al., 2010). Hal tersebut terkait dengan C/N

di dalam bahan stek. Penambahan perendaman dalam

larutan yang mengandung nitrogen diharapkan dapat

meningkatkan persentase berakar bahan stek. Aplikasi

hormon untuk merangsang perakaran juga bervariasi

antarvarietas. Meskipun sampai dengan saat ini belum ada

laporan mengenai perbedaan bahan stek yang diberi

hormon dan yang tidak diberi hormon terhadap

kemampuan berakar, penelitian pada beberapa jenis Taxus

memperlihatkan hasil bahwa pemberian hormon akan

memperpendek inisiasi pembentukan kalus (Mitchell, 1998;

Kaul, 2008; Holloway, 2007). Gambar 8 adalah sistem

perakaran T. sumatrana yang diperbanyak melalui stek.

3.2.3 Budi Daya dengan Persemaian Intensif

Budi daya T. sumatrana dengan teknik persemaian

intensif merupakan suatu kebutuhan karena jenis ini

termasuk langka dan tumbuh lambat. Dalam hal ini, faktor

yang diperhatikan antara lain media tumbuh, pupuk,

mikoriza, lingkungan tumbuh, pemeliharaan, dan teknik

perbanyakannya.

Pada tahap awal, pencangkokan berulang (succesive

grafting) harus dilakukan dari pohon-pohon besar di

tegakan alami, kemudian dipindahkan ke persemaian.

Pencangkokan berulang dilakukan kembali di persemaian

sehingga akan didapat kebun pangkas yang memiliki sifat

juvenil. Hal ini dimaksudkan agar mudah untuk

melakukan perbanyakan dengan stek atau kultur jaringan.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 47

Sifat juvenil merupakan masalah utama dalam

pengembangan pohon hutan. Secara genetik, pohon tua

telah mengekspresikan potensi genetikanya, tetapi sangat

sulit untuk perbanyakannya. Sebaliknya, semai mudah

perbanyakannya, tetapi belum diketahui dengan baik

potensi genetikanya sebagai penghasil Taxane. Setelah

didapatkan materi juvenil yang secara genetik dianggap

tua, manajemen persemaian intensif dapat dilanjutkan.

Pada tahap yang lebih lanjut, kebun pangkas T. sumatrana

dapat dibangun pula.

Penelitian mengenai manajemen persemaian intensif

perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa responsif

jenis-jenis Taxus terhadap budi daya intensif di persemaian.

Berbagai jenis pupuk pada beberapa taraf pemberian juga

harus diujicobakan. Percobaan pemupukan dengan jenis

dan dosis yang bervariasi seyogyanya dikombinasikan pula

dengan berbagai kondisi lingkungan yang beragam untuk

mendapatkan kondisi yang paling optimal dalam

mendukung pertumbuhannya. Upaya ini diperlukan untuk

mendukung keberhasilan produksi skala besar tanaman

Taxus. Percobaan-percobaan lainnya yang dapat dilakukan

dalam manajemen budi daya intensif, antara lain

manipulasi lingkungan untuk memperlebar masa tanam di

semua musim, pemberian pupuk intensif, periode dan

intensitas penyiraman, serta prunning bagian atas tajuk.

Informasi terkait interaksi bibit T. sumatrana dengan

mikoriza atau mikroba lain masih sangat kurang. Studi

hubungan simbiosis mikoriza dengan beberapa jenis Taxus

sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Wubet et al. (2003)

48 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

mengidentifikasi bahwa T. baccata berasosiasi dengan

Vesicular-Arbuscular Mikorhiza (V-AM) jenis Glomus sp dari

tipe Paris. Sementara itu, Korouri et al. (2002) dapat

mengisolasi empat jenis mikoriza dari akar T. baccata, yaitu

kelompok Glomus, Acaulospora, Gigaspora, dan Sclerocysis.

Iglesias et al. (2000) melaporkan bahwa stek T. baccata

yang diinokulasi dengan Acaulospora scrobiculata atau

Glomus deserticola meningkatkan serapan hara P, K, Ca, Mg,

Cu, dan Zn pada umur 9 bulan. Sementara itu, inokulasi

jenis V-AM yang ditambah dengan pupuk dosis standar

menghasilkan kolonisasi pada akar T. occidentalis sebesar

91–99% (Falkowski & Matysiak, 2010). Inokulasi Glomus

intraradices juga dapat meningkatkan biomassa semai T.

baccata (Scagel et al., 2003). Walaupun penelitian pengaruh

inokulasi mikoriza telah nyata dapat meningkatkan

pertumbuhan semai Taxus, studi pengaruh mikoriza

terhadap kadar Taxane masih belum dilakukan.

3.2.4 Kultur Jaringan

Tujuan terpenting dari kegiatan kultur jaringan

adalah memproduksi bibit klonal elite dengan waktu yang

lebih cepat dan kuantitas yang lebih banyak jika

dibandingkan dengan teknik perbanyakan konvensional,

seperti penyetekan. Riset dengan metode ini juga dilakukan

untuk pengembangan metode embriogenesis somatik dan

bioreaktor mini untuk menghasilkan jaringan embrio-

genesis somatik bahan tanaman yang seragam.

Pengembangan embriogenesis somatik pada jenis T.

brevifolia sudah diketahui pada tahun 1996 pada media

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 49

Lloyd & McCown, yaitu sebanyak 5% dapat diregenerasi

menjadi tanaman (Chee, 1996). Abbasin et al. (2010)

berhasil membuat sebuah prosedur sederhana untuk

memperbanyak T. baccata melalui kultur jaringan dengan

pengembangan embriogenesis somatik (Gambar 9) yang

memungkinkan secara ekonomi dapat menyediakan

sumber produksi Taxol® dan menghindari bibit tanaman

Taxus dari keterancaman kelangkaan jenis. Hussain et al.

(2013) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kultur

kalus dari batang dan daun tidak cocok untuk

organogenesis dari Taxus wallichiana, namun kultur pucuk

sangat bagus untuk perpanjangan dan multiplikasi tunas

dalam kultur jaringan.

3.2.5 Metode Kultur untuk Peningkatan Produksi Taxane

Tujuan paling penting dalam sebuah proyek

domestikasi Taxus adalah terbentuknya individu-individu

dengan kandungan Taxane yang tinggi. Dengan demikian,

tanaman yang mampu tumbuh dua kali lebih cepat, tetapi

kandungan Taxane yang rendah akan memiliki nilai yang

lebih rendah jika dibandingkan dengan tanaman yang

tumbuh relatif lebih lambat namun memiliki kandungan

Taxane yang lebih tinggi. Selain itu, tanaman dengan

pertumbuhan yang cepat dan kandungan Taxane yang

rendah akan memerlukan biaya pengolahan dan

pemrosesan yang lebih tinggi karena untuk menghasilkan

Taxane yang banyak akan membutuhkan biomassa yang

lebih banyak untuk diolah dan diproses.

50 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Berdasarkan hal tersebut, semua klon yang ditanam

harus diamati dan diuji kandungan Taxane yang

dimilikinya. Kandungan Taxane akan bervariasi seiring

dengan variasi klon atau varietas. Variasi kandungan

Taxane juga dapat diamati berdasarkan variasi musim,

umur daun, dan pengaruh pengelolaan intensif. Untuk

mendapatkan individu dengan kandungan Taxane yang

tinggi dapat pula dilakukan dengan berbagai teknik

manipulasi selama di persemaian, elisitasi pada

prepemanenan dan pascapemanenan, screening berbagai

material, teknik kultur di laboratorium, dan optimasi

penanganan pascapanen dan pemrosesan biomassa.

Domestikasi merupakan sebuah proses panjang dan

berkelanjutan, terutama domestikasi untuk komoditas

kehutanan yang rata-rata berbentuk pohon dengan daur

hidup yang puluhan, bahkan ratusan tahun. Domestikasi

Taxus memerlukan waktu sedikitnya 5 tahun untuk

mendapatkan hasil atau informasi awal (Smith & Cameron,

2002). Oleh karenanya, sebelum domestikasi berhasil

dibangun dan dikembangkan, populasi Taxus di alam

sampai dengan saat ini masih menjadi sumber utama yang

dipanen untuk memproduksi berbagai senyawa Taxane.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 51

Gambar 8. Perbanyakan T. sumatrana melalui stek: A) Akar yang tumbuh dari jaringan kalus, B) Akar adventif yang tumbuh secara spontan, dan C) Penampang melintang akar (ep = epidermis, kr = korteks, ph = phloem, ka = kambium, aa = akar adventif) (Sumber: Rachmat, 2008)

A B

C

52 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Gambar 9. Perbanyakan T. baccata dengan kultur jaringan: A) Plantlet dari bagian tanaman yang sudah dewasa, B) Sumber bagian tanaman yang dihasilkan dari kalus biji T. baccata, C) Induksi pada media yang mengandung IBA (8 mg/L), dan D) Aklimatisasi plantlet di rumah kaca umur 6 bulan (Sumber: Abbasin et al., 2010)

A B

C D

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 53

Tumbuhan tingkat tinggi merupakan pabrik

biokimia yang dapat diperbaharui yang memanfaatkan

bahan bakar sinar matahari dan mampu memproduksi

metabolit primer ataupun sekunder dari bahan baku air,

udara, dan mineral-mineral. Kondisi seperti ini telah

mengantarkan manusia untuk memanipulasi dan

memodifikasi tumbuhan untuk menghasilkan produk yang

sesuai dengan kebutuhan di bidang industri, baik

kesehatan dan pangan (sebagai perasa, pewarna, dan obat-

obatan) maupun kosmetika.

Tumbuhan menyintesis berbagai senyawa kimia

dengan beragam manfaatnya masing-masing. Berbagai

senyawa kimia yang dihasilkan tumbuhan, secara garis

besar dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu

metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit

sekunder juga dikenal dengan “produk alami” (Gambar

10). Saat ini dipercaya bahwa terdapat lebih dari 100.000

struktur metabolit sekunder yang berbeda satu sama lain

dengan 80%-nya disintesis oleh tumbuhan dan digunakan

manusia untuk berbagai kepentingan. Padahal, metabolit

sekunder sebelumnya dipandang sebagai produk sisa

sampai tahun 1960-an.

BAB 4

Kandungan Senyawa Aktif

54 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Sumber: Sankawa & Itokawa (2003)

Gambar 10. Struktur molekul dari 10-deacetylbaccatin III (A), baccatin III (B), dan paclitaxel (C)

Sebagai salah satu produk dari metabolit sekunder

yang berpotensi memiliki aktivitas antikanker, paclitaxel

A

B

C

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 55

(golongan senyawa diterpen yang sangat kompleks)

diperoleh dari ekstraksi bagian tanaman genus Taxus. Tata

nama secara kimiawi adalah 5β, 20-epoxy-1,2 α,4,7 β,13 α -

hexahydroxytax-11-en-9one-4, 10-diacetate-2-benzoate 13 ester

dengan (2R,3S)-N-benzoyl-3-phenylisoserine. Formulasi dan

berat molekulnya adalah C47H5NO14 dan 853.9 Da

(Panchagnula, 1998). Pada struktur utama Taxol® terdapat

cincin A, B, dan C yang memiliki beberapa gugus fungsi,

seperti dua hidroksil, satu benzoil, dua asetil, dan satu cincin

oksetane. Ikatan pada C13 pada stuktur utama adalah C13

(2′R,3′S)-N-benzoyl-3′-phenylisoserine dengan satu gugus

hidroksil and benzoil (Gambar 10).

Malik et al. (2011) melaporkan proses biosintesis

Taxol® sebagai berikut. Pembentukan dimulai dari

geranylgeranyl diphosphate (GGPP) yang disintesis dari tiga

molekul isopentenyl pyrophosphate (IPP) dan isomer dimethyl

diphsophate (DMAPP) dengan bantuan enzim geranylgeranyl

diphosphate (Gambar 11). Langkah awal dalam biosintesis

Taxol® adalah kristralisasi geranylgeranyl diphosphate

(GGPP) menjadi taxa-(4,5),(11,12)-diene melalui kristalisasi

reaksi taxadiene synthase (TS). Setelah itu, gugus oksigen

dan acyl ditambahkan ke dalam struktur utama Taxane

melalui oksigenasi yang dikatalisasi oleh cytochrome P450

mono-oxygenases. Langkah kedua adalah hidroksilasi pada

C5 cincin Taxane dengan enzim cytochrome P450 taxadiene-5

α-hydroxylase (T5 α H) yang menghasilkan taxa-4(20),11(12)-

dien-5 α–ol. Langkah selanjutnya adalah katalisasi pada

acylates taxa-4(20),11(12)-dien-5 α-ol oleh taxadiene-5 α-ol-O-

acetyl transferase (TDAT) spesifik di posisi C5 sehingga

56 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

terbentuk taxa- 4(20),11(12)-dien-5 α-yl-acetate. Produk yang

terbentuk kemudian dihidroksilasi oleh taxoid 10 β-

hydroxylase (T10 β H) pada posisi C10. Setelah tahap ini,

jalur yang terjadi menjadi tidak linier, artinya masih

memungkinkan terbentuknya senyawa precursor yang lain,

seperti taxa-4(20),11(12)-dien-5 α-acetoxy-10 β-14 β-diol

(Hafner, 1996) sampai terbentuknya 2-debenzoylTaxane,

melalui aktivitas enzyme 2 α-O-benzoyl transferase (DBT), 10-

deacetylbaccatin III (10-DAB). Hidroksilasi pada C10 yang

dikalatalisasi oleh enzim 10-deacetyl-baccatin III-10-O-acetyl

transferase (DBAT) akan membentuk baccatin III.

Langkah terpenting dalam biosintesis paclitaxel

adalah esterifikasi C13 grup hidroksil dari baccatin III

dengan β-phenylalanine-CoA yang dikonjugasi melalui

katalisasi baccatin III 13-O-phenylpropanoyl-CoA transferase

(BAPT) dan menghasilkan 3′-N-debenzoyl-2′-deoxytaxol.

Produknya kemudian melalui aksi dari Cyt P450-dependent

hydroxylase menghidroksilasi C2′ dan enzim 3′ -N-debenzoyl-

2′-deoxytaxol N-benzoyl transferase (DBTNBT) mengkonjuga-

si benzoyl-CoA menjadi 3′-N-debenzoyl-2′-deoxytaxol, dan

pada akhirnya Taxol® akan terbentuk sebagai hasil akhir.

4.1 Sejarah Penemuan

Sejarah telah mencatat bahwa tanaman yang berasal

dari hutan telah digunakan secara tradisional sebagai obat

herbal untuk menjaga kesehatan dan vitalitas individu,

menyembuhkan penyakit, dan juga mencegah, menekan,

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 57

atau mengendalikan perkembangan penyakit. Sebenarnya,

pencarian senyawa aktif yang berpotensi sebagai obat

antikanker sudah dimulai sejak tahun 1950, kemudian

secara intensif dilakukan pada tahun 1956 di negara

Amerika Serikat melalui National Cancer Institute (NCI)

dengan membentuk sebuah lembaga khusus yang

dinamakan Cancer Chemotherapy National Service Center

(CCNSC).

Sejarah penemuan paclitaxel dimulai pada tahun 1956

saat NCI meminta ahli botani untuk mengumpulkan

berbagai contoh lebih dari 30.000 jenis tumbuhan dan

teridentifikasi lebih dari 110.000 senyawa hasil ekstraksi

untuk diuji kandungan dan aktivitas antikankernya (Jaziri

et al., 1996). Arthur S. Barclay, salah satu dari para botanis,

mengumpulkan 15 kg cabang, daun, dan kulit batang T.

brevifolia dari sebuah hutan di dekat Gunung Saint Helen.

Beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1963, Monroe

E. Wall menemukan bahwa senyawa yang diekstraksi dari

kulit batang T. brevifolia menunjukkan aktivitas antikanker.

Selanjutnya, Wall dan partnernya, Mansukh C. Wani, giat

mengisolasi dan memurnikan senyawa tanaman tersebut,

serta mengadakan uji antikanker di Research Triangle Park,

Carolina Utara. Pada tahun 1967, tim tersebut berhasil

mengisolasi bahan aktif dan mengungkapkan hasilnya

pada pertemuan American Chemical Society di Miami Beach.

Tulisan mengenai bahan aktif berikut struktur kimianya

dipublikasikan pertama kali pada tahun 1971 dalam Journal

of American Chemical Society.

58 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Isi dari tulisan tersebut segera ditanggapi oleh Robert

A. Holton, seorang peneliti post doctoral di Universitas

Stanford pada bidang produk sintesis alami. Dia

menemukan bahwa T. brevifolia dengan tinggi 40 kaki yang

berumur lebih dari 200 tahun hanya menghasilkan 0,5 kg

paclitaxel saja. Penelitian yang dilakukan oleh Holton dan

kelompoknya berhasil mengungkap prosedur empat

langkah pengubahan 10-deacetylbaccatin III (senyawa

serupa yang terdapat pada berbagai jenis Taxus lain yang

tidak lengkap) menjadi paclitaxel.

Pada akhir 1970-an, Susan B. Horwits, seorang ahli

farmakologi molekuler dari Albert Einstein College of

Medicine di New York mengungkapkan kunci dari teka-teki

bagaimana kerja paclitaxel dalam melawan kanker. Sejak

saat itulah paclitaxel mulai menjadi obat yang populer bagi

para dokter dalam menangani pasien-pasien kanker

payudara, kanker ovarium, kanker paru-paru, dan bahkan

sarcoma kaposi.

Paclitaxel juga digunakan sebagai obat pencegah

restenosis atau pendangkalan stent coroner. Paclitaxel

diinduksikan secara lokal ke arteri koroner sehingga

pembungkusan atau pelapisan lokal oleh paclitaxel pada

jaringan ini akan membatasi tingkat pertumbuhan nointima

(jaringan luka) antar-stent.

Seiring dengan berkembangnya berbagai penelitian

di berbagai institusi, paclitaxel menjadi obat antikanker

paling poluler dan paling dicari di dunia karena efek

samping yang kecil, efektif, dan efisien dalam membunuh

sel kanker (Zhou et al., 2010). Paclitaxel dipasarkan dengan

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 59

nama dagang Taxol® dan hak pemasaran dipegang oleh

Bristol-Myers Squibb (BMS) mulai tahun 1991. Penjualan

Taxol® di tahun 1999 mencapai US$1.5 milyar (Malik et

al., 2011), tetapi ada indikasi penurunan penjualan 24%,

yaitu dari US$422 juta menjadi US$385 juta dari tahun 2006

hingga tahun 2007. Penurunan tersebut disebabkan masa

berlakunya hak pemasaran oleh BMS berakhir dan terjadi

peningkatan persaingan. Namun demikian, total market

penjualan Taxol® masih dapat mencapai US$1 milyar per

tahun.

Ketertarikan peneliti terhadap genus Taxus telah

meningkat tajam sejak tahun 1990-an, saat diketahui bahwa

jenis pohon dalam genus ini mengandung berbagai

senyawa fitokimia yang memperlihatkan aktivitas biologi

dalam melawan sel kanker. Paclitaxel (Taxol®), 10-DAB dan

Baccatin III, semuanya memperlihatkan aktivitas antitumor

dan antikanker, baik secara in vitro maupun in vivo. Minat

terhadap penelitian genus Taxus terus berkembang semakin

tinggi. Hal ini dibuktikan dengan telah dikeluarkannya

dana milyaran dolar untuk pengembangan produksi

Taxol®, baik melalui ekstraksi langsung dari kulit batang

Taxus maupun dengan metode kultur sel atau metode

sintesis lainnya. Aspek studi mengenai Taxus juga

terdiversifikasi lebih luas mencakup biokimia, bioteknologi,

dan kesehatan. Beberapa hasil penelitian penting

sehubungan dengan sejarah penemuan dan perkembangan

Taxol®, seperti tersaji pada Tabel 3 (Kulkarni, 2000).

60 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Tabel 3. Perjalanan penting dalam penemuan dan perkembang-an Taxol® di bidang biokimia, bioteknologi, dan klinis

Tahun Perkembangan/penemuan

1856 Isolasi substansi alkaloid yang diberi nama Taxane dari Taxus baccata oleh Lucas H.

1921, 1923 Penetapan struktur Asam Winterstein yang merupakan penyusun utama Taxane.

1925 Isolasi Taxane bebas nitrogen.

1953 Kultur gametofit Taxus spp yang diinisiasi oleh LaRue C.D.

1957, 1958 Pemurnian Taxane menjadi Taxane-A dan Taxane-B.

1959 Kultur polen Taxus spp yang diinisiasi oleh Tuleke W.

1963 Isolasi Baccatin-I.

1964 Deteksi 9 KB aktivitas sitotoksik dalam ekstrak kulit batang Taxus brevifolia.

1966 Isolasi Baccatin-III ditemukan, tetapi struktur kimia belum terdeterminasi.

1969–1975 Isolasi Taxane oleh beberapa peneliti.

1970–1975 Struktur dari Baccatin-I, III, IV, V, VI dan VII diketahui melalui x-ray kristalografi oleh Della Casa de Macano dan Halsall.

1971 Isolasi dan struktur Taxol® (prinsip aktivitas sitotoksisitas yang terjadi pada kuantitas yang sangat kecil dari 0,004% berat kering bahan tanaman) dari Taxus brevifolia dipublikasikan oleh Wani et al. (1971).

1970–1973 Serangkaian makalah mengenai perkecambahan embrio Taxus baccata dengan leaching ABA dari benih diterbitkan oleh Le Page-Degivry M.T.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 61

Tahun Perkembangan/penemuan

1974 Kultur kalus pertama dari Taxus baccata.

1975 Pengujian aktivitas Taxol® dalam melawan B16 melanoma oleh Institut Kanker Nasional, AS.

1977 Pengembangan preklinis Taxol® dimulai oleh Institut Kanker Nasional, AS.

1979 Ditemukan bahwa Taxol® mengikat mikrotubul dan menstabilisasinya melawan depolimerisasi.

1983 Tahap I uji klinis menunjukkan efektivitas Taxol® dalam melawan sejumlah tumor.

1985–sekarang

Tahap II uji klinis menunjukkan efektivitas Taxol® melawan sel-sel kanker payudara, ovarium, dan paru-paru.

1989 Produksi Taxol® secara in vitro melalui kalus dan kultur suspensi sel.

Perkembangan Taxol® baru analog: Taxtore, dengan proses semisintesis dari 10 DAB.

Laporan pertama tentang aktivitas klinis Taxol® terhadap pasien kanker ovarium.

1990–1994 Berbagai kelompok peneliti mengembangkan semisintesis Taxol® dari 10-deacetylbaccatin III (10-DAB).

1991 Paten pertama di AS yang dianugerahkan ke USDA untuk keberhasilannya memproduksi Taxol® melalui teknik in vitro dan kultur suspensi sel.

Ditemukan aktivitas Taxol® dalam melawan kanker payudara.

1992

Ditemukan aktivitas Taxol® dalam melawan sel kanker paru-paru.

Taxol® disetujui untuk pengobatan kanker ovarium oleh FDA USA.

Ditemukan kandungan radiosensitizing Taxol®.

62 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Tahun Perkembangan/penemuan

1993 Produksi Taxane dan Taxol® ditunjukkan dalam Taxomyces andreanae dan fungi endofit yang diisolasi oleh kulit batang bagian dalam Taxus brevifolia.

Taxol® memperlihatkan aktivitas yang cukup baik dalam melawan kanker di kepala dan leher.

1994 Sintesis total Taxol® oleh Nicolaou et al. (1994) dan Holton (1984).

Taxol® diproduksi dengan teknik semisintesis dari 10-DAB dan tersedia untuk penggunaan klinis.

Taxol® disetujui sebagai obat untuk pengobatan kanker payudara oleh FDA, USA.

1995–1996 Ditemukan bahwa Taxol® menghalangi resorpsi tulang osteoklastik.

Taxol® yang dihasilkan secara semisintesis disetujui diperdagangkan oleh FDA.

Ditemukan aktivitas sitotoksik Baccatin III melawan beberapa macam kanker.

1997 Ditemukannya efek antiproliferatif dan apoptotik dari Taxol® terhadap tumor prostat.

Taxol® yang diproduksi secara semisintetik disetujui sebagai pengobatan alternatif untuk AIDS dan Sarcoma Kaposi’s oleh FDA.

1997–2000 Banyak informasi baru dalam bentuk paten dan tidak diterbitkan.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 63

Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak ada Taxane yang

berasal dari T. sumatrana. Hal ini berarti penelitian T.

sumatrana untuk penghasil Taxane dengan berbagai

aspeknya masih sangat terbuka, terutama dari uji klinis.

4.2 Produksi Taxane

Genus Taxus merupakan salah satu jenis pohon

dengan laju pertumbuhan yang sangat lambat. Padahal,

terapi pengobatan seorang pasien penderita kanker dengan

menggunakan paclitaxel yang diekstraksi dari pohon jenis

ini sekurang-kurangnya membutuhkan penebangan dan

pemrosesan dari 6 pohon T. brevifolia berumur lebih dari

100 tahun. Meskipun senyawa yang serupa dengan

paclitaxel dapat diekstraksi dari berbagai jenis Taxus

lainnya, potensi dan efektivitasnya tidak setinggi paclitaxel

itu sendiri dengan rendemen 0,017% dari berat kering

(Jaziri et al., 1996).

4.2.1 Ekstraksi Bagian Tanaman

Hampir semua bagian tanaman: kayu, cabang muda,

kulit, daun, dan akar mengandung paclitaxel. Beberapa

penelitian yang berhubungan ekstraksi senyawa aktif dari

bagian tanaman genus Taxus tersaji pada Tabel 4.

64 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Tabel 4. Kandungan senyawa aktif dari bagian tanaman Taxus

No. Jenis Taxus Bahan Senyawa Aktif Referensi

1. T. sumatrana

Daun 1. Paclitaxel (0,006%) 2. Baccatin III (0,02%) 3. Taxane diterpenes

ester grup

Kitagawa et al., 1995; Shen et al., 2005

Kulit Baccatin II dan 10-deacetylbaccatin III (10-DAB III)

Hidayat & Tachibana, 2013

2. T. brevifolia Buah 1. Paclitaxel (0,0039%) 2. 10-BAD III (0,017%) 3. Baccatin III (0,003%)

Kwak et al., 1995

Kulit Taxol® (0,017%) Jarizi et al., 1996

3. T. baccata Buah 1. Paclitaxel (0,0039%) 2. 10-DAB III (0,017%) 3. Baccatin III (0,003%)

Kwak et al., 1995

Daun Paclitaxel (0,01%) Hokowa, 2003

4. T. cuspidata Kayu, cabang, kulit, akar, & daun

Paclitaxel, 10-DAB III, Baccatin III (Kandungan senyawa aktif akan bervariasi tergantung sumber bahan ekstrak, umur, dan musim)

Kikuchi & Yatagai, 2003

Buah 1. Paclitaxel (0,018%) 2. 10-DAB III (0,035%)

Kwak et al., 1995

5. T. canadensis

Daun 1. 9-dihydro-13-acetylbaccatin III (5-10 lebih tinggi dari precursor Taxol®) dan hanya ditemukan dengan jumlah yang sedikit di bagian kulit dan genus Taxus lainnya

2. Paclitaxel

Zhang et al., 1992; Guna-wardana et

al., 1992; Shi et al., 2002; Zamir et al., 1996

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 65

Metode yang digunakan untuk memurnikan paclitaxel

sangat sulit bila hanya menggunakan kromatografi silika.

Proses tersebut dimulai dengan ekstraksi menggunakan

metanol sebagai bahan pelarut, selanjutnya fraksinasi

dilakukan dengan metilen klorida dan air untuk

membuang senyawa lain selain Taxane. Fraksi yang terlarut

kemudian dimurnikan melalui beberapa tahap kromato-

grafi, dan pemurnian akhir dilakukan dengan kristalisasi

(Itokawa, 2003). Namun, bagaimana mendapatkan teknik

ekstraksi dan purifikasi yang lebih sederhana dengan

memaksimalkan hasil yang ingin dicapai dalam skala

produksi menjadi tantangan tersendiri. Hal ini karena

jumlah senyawa aktif yang dikandung sangat rendah dan

kemungkinan akan hilang selama proses pemurnian.

Kikuchi & Yatagai (2003) menjelaskan tiga metode

yang dapat digunakan secara efisien untuk memisahkan

paclitaxel, baccatin III, dan 10-deacetylbaccatin III dari daun T.

cuspidata, yaitu ordinary solvent extraction (OSE), supercritical

fluid extraction (SFE), dan accelerated solvent extraction (ASE)

methods. Mereka menemukan bahwa SFE sangat mahal

(sekitar US$935 ribu) dan akan menjadi lebih mahal bila

digunakan untuk produksi dalam skala industri. Selain itu,

pengoperasiannya juga sangat sulit dan rumit karena harus

berlangsung pada tekanan yang sangat tinggi. Sebaliknya,

ASE dioperasikan secara otomatis dan relatif mudah

digunakan, namun teknologi untuk skala produksi belum

tersedia. Selain itu, biayanya juga masih sangat mahal dan

memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam

perawatan. Untuk saat ini, metode yang paling

66 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

memungkinkan adalah OSE, meskipun dalam praktiknya

masih memerlukan perbaikan lebih lanjut.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, paclitaxel

diproduksi secara alami oleh tanaman genus Taxus, seperti

T. sumatrana yang tumbuh di Pulau Sumatra, Indonesia.

Meskipum permintaan paclitaxel akan terus meningkat,

keberadaannya yang bersumber dari alam sangat terbatas

(rendemen dan sumber bahan baku). Oleh sebab itu, teknik

budi daya dengan menyediakan anakan Taxus yang

memiliki kandungan paclitaxel tinggi melalui uji

domestikasi yang dilakukan secara intensif akan

memberikan peluang penyediaan sumber bahan esktraksi.

Namun demikian, penelitian tidak boleh berhenti sampai di

sini, tetapi harus terus diarahkan pada pencapaian hasil

yang berkelanjutan dan lestari. Pembanguan industri

kehutanan yang baru (misalnya Forest Factory) akan

memberikan peluang bagi para peneliti untuk melakukan

penelitian dan pengembangan baru melalui kolaborasi

penelitian dengan beberapa bidang keilmuan yang lain,

seperti botani, bio-engineering, kimia organik, dan farmasi.

Tabel 4 menunjukkan bahwa T. sumatrana dapat

menghasilkan Taxol® (0,006%), Baccatin III (0,02%), Taxane

diterpenes ester group yang diisolasi dari daun, serta Baccatin

II dan 10-deacetylbaccatin III (10-DAB III) dari bagian

kulitnya. Fakta ini sangat menjanjikan untuk pengembang-

an sumber bahan aktif yang bermanfaat untuk menang-

gulangi penyakit kanker. Jika bahan aktif tersebut

diproduksi dari daun, pengembangan kebun pangkas T.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 67

sumatrana menjadi pilihan utama dari pada memproduksi

bahan aktif dari kulit pohon.

4.2.2 Sintesis

Metode sintesis total senyawa paclitaxel telah berhasil

dilakukan, namun keberhasilan ini lebih menekankan pada

pencapaian untuk sebuah bidang keilmuan/akademik,

bukan untuk aplikasi praktis skala industri. Hal ini

dikarenakan proses sintesis total paclitaxel memerlukan

biaya yang mahal, rumit, dan hasil yang sedikit atau tidak

sesuai (Yuan et al., 2006; Malik et al., 2011).

Kompleksitas molekul Taxoid ternyata memberikan

tantangan tersendiri bagi para ahli kimia organik untuk

mengaplikasikan keilmuan yang mereka miliki dalam

menyintesis paclitaxel. Selain itu, terdapatnya tantangan

yang lain, seperti dimungkinkannya penemuan senyawa

Taxoids yang baru yang lebih menjanjikan bagi dunia

farmasi, menjadikan para ahli tetap melakukan berbagai

terobosan dalam penelitian-penelitian serupa.

Lebih dari lima puluh kelompok peneliti melakukan

serangkaian penelitian untuk menyintesis paclitaxel. Sebuah

Taxoid sederhana berhasil diperoleh setelah puluhan tahun

kegiatan sintesis dilakukan (Holton et al., 1988).

Keberhasilan ini kemudian dilanjutkan oleh Holton dan

kelompok penelitian yang dipimpin oleh Nicolaou yang

secara bersamaan menemukan total sintesis molekul

paclitaxel, yang kemudian dikenal sebagai jalur sintesis

paclitaxel Holton dan Nicolaou (Holton, 1984; Holton &

68 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Kennedy, 1984; Nicolaou et al., 1994, 1995a, 1995b, 1995c,

1995d). Setelah itu, beberapa kelompok lain berhasil

mengembangkan metoda yang berbeda dalam sintesis

paclitaxel (Masters et al., 1995; Danishefsky et al., 1996;

Wender et al., 1997; Mukaiyama et al., 1999; Kusama et al.,

2000; Kuwajima & Kusama, 2000a, 2000b). Dari segi jumlah

dan biaya produksi, prestasi penemuan ini tidak seimbang

dengan penemuan teknik peningkatan produksi paclitaxel

secara alami: kultur sel dan fermentasi jamur.

4.2.3 Semisintesis

Proses produksi yang selanjutnya dikembangkan

adalah proses ekstraksi semisintetis. Pada proses ini, 10-

deacetylbaccatin dan/atau baccatin III dapat diekstraksi dari

berbagai jenis Taxus dari bagian daun dan kulit dengan

jumlah yang relatif lebih banyak. Selanjutnya, 10-

deacetylbaccatin diubah menjadi paclitaxel melalui proses

sintesis organik. Produksi paclitaxel melalui semisintesis

telah dilakukan oleh Indena pada tahun 2007 dengan

melakukan penanaman besar-besaran T. baccata

(www.indena.com/news/, diakses 5 Maret 2014).

4.2.4 Kultur Sel/Kalus

Cara lain yang dikembangkan untuk mendapatkan

paclitaxel dan turunannya adalah dengan kultur sel. Cara

ini merupakan sebuah metode alternatif yang dinilai

banyak pihak lebih ramah lingkungan dan tidak

tergantung musim. Teknik kultur sel telah terbukti menjadi

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 69

alternatif penting untuk mendapatkan paclitaxel dari

berbagai genus Taxus secara in vitro. Kultur sejenis ini

dapat diperbesar sampai pada tingkat produksi paclitaxel

secara komersial. Kultur sel semakin menjadi alternatif

yang banyak dipilih dalam memproduksi paclitaxel

sehubungan dengan kenyataan bahwa populasi alamiah

Taxus spp. yang tumbuh secara alami memiliki banyak

variasi dalam kandungan paclitaxel-nya. Hal ini

dipengaruhi beberapa faktor, seperti iklim, musim, dan

variasi epigenetik. Dengan menggunakan kultur sel yang

kondisinya benar-benar tetap dan terkontrol, produksi

paclitaxel lebih mudah dikendalikan dengan kontinuitas

suplai dan kualitas produk yang lebih terjamin.

Beberapa keuntungan yang didapatkan dengan

dilakukannya kultur sel terhadap jenis pohon Taxus spp.

(Vongpaseuth & Roberts, 2007) adalah sebagai berikut.

1) Kultur sel mampu meniadakan kebutuhan berbagai jenis

pohon Taxus spp. sebagai bahan baku paclitaxel yang

keberadaannya di alam mulai langka.

2) Kultur sel dapat menghasilkan keragaman genetik tinggi

selama proses pencarian varian yang memiliki

kandungan paclitaxel tinggi.

3) Kultur sel dapat menghasilkan satu atau beberapa

varian yang memiliki karakter super atau elite untuk

studi manipulasi genetik atau studi lainnya.

4) Kultur sel dapat digunakan sebagai bahan penelitian

dalam mempelajari jalur biosintesis paclitaxel sehingga

70 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

didapat teknik manipulasi khusus yang tepat dalam

meningkatkan kandungan paclitaxel.

Sampai saat ini, penggunaan media padat B5

(Gamborg et al.,1968), MS (Murashige & Skoog, 1962), SH

(Schenk & Hildebrandt, 1972), atau Woody Plant

Media/WPM (McCown & Lloyd, 1981) dengan penambahan

2,4 D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid) atau NAA (1-

naphthaleneacetic acid), PVP (polyvinylpyrrolidone), TDZ

(Thidizuron), IAA (3-indoleacetic acid), BAP (6-

benzylaminopurine), IBA (indole-3-butyric acid), KIN (kinetin),

karbon aktif, sukrosa, LH (luitenizing hormone), dan

berbagai vitamin lainnya dengan konsentrasi yang berbeda

pada Taxus mairei, T. baccata, T. chinensis, dan T. cuspidata

telah terbukti mampu menginduksi pembentukan kalus

dan menghasilkan paclitaxel (Kulkarni, 2000; Zhang et al.,

2000; Jianfeng & Zhigang, 2006; Gong & Yuan, 2006; Wang

et al., 2003; Khoroushahi et al., 2006). Selanjutnya, tabel

berikut ini menunjukkan perkembangan dari beberapa

penelitian kultur sel yang dilakukan untuk menghasilkan

Taxol® secara in vitro (Kulkarni, 2000).

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 71

72 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 73

74 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 75

76 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 77

78 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 79

Orientasi penelitian pada berbagai Taxus dengan

menggunakan teknik kultur sel tidak hanya berhenti

sampai pada tahap pembentukan kalus. Kalus selanjutnya

harus diekstraksi dengan tujuan menghasilkan paclitaxel.

Kini, kultur sel lebih mengarah pada teknik untuk

peningkatan kandungan paclitaxel. Berbagai teknik telah

dilakukan untuk mendapatkan kandungan paclitaxel yang

lebih tinggi, antara lain 1) Penggunaan inhibitor dan elicitor

dalam jalur biosintesis paclitaxel dan baccatin III pada T.

baccata (Cusido et al., 2007); 2) Aktivasi extracelullar signal-

regulated kinase-like (ERK-like, 46 kDa) yang memegang

peranan penting dari proliferasi dan imobilisasi sel pada T.

cuspidata (Cheng et al., 2006); 3) Pemberian bahan yang

meningkatkan adaptabilitas terhadap stress chitosan pada T.

chinensis (Zhang et al., 2007); 4) Induksi methyl jasmonat

terhadap biosintesis Baccatin III pada T. cuspidata (Jianfeng

& Zhigang, 2006); 5) Pengayaan medium B5 dengan

berbagai macam induktor pertumbuhan biomassa (vanadil

sulfat, perak sitrat, kobal klorida, sukrosa, dan amonia

nitrat) dan penambahan campuran elicitor berupa methyl

jasmonat dan asam salisilat (Khoroushahi et al., 2006).

Perkembangan terkini produksi paclitaxel dilakukan

dengan teknik fermentasi sel tanaman atau plant cell

fermentation (PCF). Tahapan fermentasi sel seperti ini

memperbanyak kalus-kalus dari galur-galur Taxus tertentu

dengan menggunakan media cair di dalam wadah

fermentasi dengan kondisi lingkungan yang sangat

terkontrol, baik suhu maupun tekanannya. Cadangan

makanan untuk pertumbuhan sel dalam media yang terdiri

atas nutrisi: gula, asam amino, vitamin dan hara-hara

80 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

mikro. Selanjutnya, paclitaxel yang didapat akan diekstraksi

dari sel tanaman yang terbentuk dan dimurnikan dengan

teknik kromatografi, serta diisolasi dengan teknik

kristalisasi. Kultur sel yang menggantikan daun dan batang

tanaman Taxus sebagai sumber paclitaxel memiliki beberapa

keuntungan, seperti menjamin keberlanjutan dan

kontinuitas produksi paclitaxel, pemanenan paclitaxel yang

dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa henti, dan lebih

ramah lingkungan, baik terhadap kelestarian jenis maupun

dalam hal buangan/sampah padat berbahaya hasil kerja

selama di laboratorium. Dibandingkan dengan proses

semisintesis, PCF tidak melalui proses transformasi kimia

sehingga penggunaan bahan kimia berbahaya dan bahan

lainnya dapat dihindari, serta penggunaan energi yang

lebih hemat.

Untuk tujuan skala aplikasi industri, beberapa

bioreaktor seperti stirred, airlift, dan wave bioreaktor dapat

digunakan untuk memproduksi paclitaxel melalui teknik

kultur sel/PCF (Bentebibel et al., 2005). Kandungan

paclitaxel (43,43 mg/L) dan baccatin III (5,06 mg/L) dalam

immobilized cell yang diproduksi dalam stirred bioreaktor

lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa immobilized cell

pada hari ke 16 dan 8. Pada airlift bioreaktor, kandungan

paclitaxel (12,03 mg/L) lebih tinggi dibandingkan tanpa

immobilized cell (6,94 mg/L) pada hari ke 24. Begitu pula

halnya dengan kandungan paclitaxel (20,79 mg/L) dan

baccatin III (7,78 mg/L) yang diperoleh dari immobile cell

yang diproduksi pada wave bioreaktor. Produksi paclitaxel

menggunakan stirred bioreaktor menunjukkan hasil yang

menggembirakan jika dibandingkan dengan beberapa

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 81

laporan tentang produksi paclitaxel menggunakan

bioreaktor pada skala laboratorium (Bentebibel et al., 2005).

Produksi paclitaxel dengan bioreaktor dengan

kapasitas 880.000 liter per tahun (600 kg esktrak kotor atau

setara dengan 300 kg paclitaxel) dilakukan oleh Phyton

Biotech (Jerman) (http://www.phytonbiotech.com/images

/6169-Phyton_FINAL.jpg, diakses 6 Maret 2014), untuk

menyuplai kebutuhan Taxol® pada Bristol-Myers Squibb.

Produksi paclitaxel juga dilakukan oleh ESCAgenetic (CA,

USA), Samyang Genex (Taejon, Korea), Phyton (NY, USA)

(Frense, 2007). Namun demikian, kultur sel pada skala

besar masih memiliki keterbatasan karena rendemen yang

dihasilkan masih rendah, biaya produksi yang masih

mahal, dan stabilitas sel yang rendah (Yuan et al., 2006;

Malik et al., 2011). Sementara itu, Tabel 5 menunjukkan

bahwa kultur sel untuk T. sumatrana belum dikerjakan dan

sebagian besar menggunakan hormon NAA dan 2,4 D

untuk memproduksi kalus sebagai bahan dasar kultur sel.

4.2.5 Fermentasi Jamur Endofitik

Ketertarikan terhadap biosintesis Taxol® memberikan

isyarat bahwa paling tidak terdapat 19 enzim yang

berperan dalam setiap step biosintesis paclitaxel tersebut

(Jennewein et al., 2004). Hal ini menunjukkan bahwa

biosintesis paclitaxel terjadi dengan keterlibatan

mikrooganisme (jamur/bakteri) di dalamnya, satu dengan

yang lainnya saling membutuhkan, baik yang terlibat

dalam satu maupun semua biosintesis senyawa dimaksud.

Seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, senyawa aktif

82 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

paclitaxel kelompok terpenes adalah hasil metabolit sekunder

yang prosesnya secara garis besar dapat terlihat pada

Gambar 11. Sebuah kenyataan lain menunjukkan bahwa

jamur endofitik, kelompok jamur yang hidup pada bagian

dalam jaringan tanaman dan tidak memiliki efek negatif

terhadap tanaman yang ditumpanginya/inang (host plants),

secara bersama-sama hidup dengan inang untuk periode

waktu yang lama sehingga memungkinkan untuknya

memproduksi senyawa aktif yang sama sebagaimana yang

diproduksi oleh inangnya (Zhou et al., 2010).

Stierle et al. (1993) mencoba mengisolasi jamur endofit

penghasil paclitaxel dari kulit bagian luar T. bevifolia dan

menemukan Taxomyces andeanae yang mampu menghasil-

kan Taxol® (24–25 ng/L) melalui mekanisme fermentasi.

Penemuan ini membuktikan sebuah sumber alternatif lain

penghasil paclitaxel. Lebih dari 20 genera jamur endofit

dilaporkan mampu memproduksi Taxol® (Zhou et al.,

2010). Jamur endofit dari T. sumatrana telah dicoba untuk

diisolasi oleh Kardono (peneliti dari Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia [LIPI]) beserta timnya yang

melakukan penelitian tentang kandungan paclitaxel dan

kegiatan ini masih terus berjalan. Hampir semua jamur

yang berhasil diisolasi dari Taxus sp. adalah endofitik,

meskipun ditemukan juga pada Justica gendarusa

(Gangadevi & Muthumary, 2008a), Aegle marmelos

(Gangadevi & Muthumary, 2008b), dan jenis lainnya. Hal

ini membuktikan bahwa pohon inang bagi jamur penghasil

paclitaxel memiliki keragaman (biodiversity) dan jamur

tersebut dikelompokkan ke dalam jamur ascomycetes (Yuan

et al., 2006).

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 83

Ga

mb

ar

11

. B

iosi

nte

sis

Pac

lita

xel

(S

um

ber

: M

ali

k e

t al

., 2

01

1)

84 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Beberapa faktor yang memengaruhi kandungan

paclitaxel yang dihasilkan adalah kondisi fermentasi, seperti

suhu, pH, jumlah inokulum, media, dan lamanya waktu

fermentasi (Zhou et al., 2010). Peningkatan produksi

paclitaxel dapat juga dicapai dengan beberapa metode,

seperti 1) proses mutasi, baik secara fisik (misalnya,

ultraviolet, sinar-X, laser, microwave) maupun kimiawi; 2)

fusi protoplasma atau genetic breeding; 3) perbaikan strain

melalui bioteknologi (Zhou et al., 2010). Pada Tabel 6

diuraikan beberapa jamur endofitik penghasil paclitaxel

dengan konsentrasi lebih dari 24 μg/L yang dirangkum

dari beberapa literatur.

Produksi paclitaxel untuk skala industri dengan jamur

endofit masih menemukan beberapa kendala, seperti 1)

biomassa yang dihasilkan selama ini masih rendah, 2)

paclitaxel yang dihasilkan dalam kultur media masih kecil,

dan 3) masih belum jelasnya beberapa tahapan biosintesis

paclitaxel sehingga kondisi yang optimal untuk fermentasi

belum ditemukan (Yuan et al., 2006). Namun demikian,

teknik produksi paclitaxel dengan jamur endofitik dinilai

cukup prospektif untuk pengembangan skala besar karena

biaya yang diperlukan relatif lebih sedikit dengan

kandungan paclitaxel yang lebih tinggi dan jumlah produksi

yang dihasilkan relatif stabil (Yuan et al., 2006; Zhou et al.,

2010).

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 85

Tabel 6. Beberapa jamur endofitik penghasil paclitaxel (>24 μg/L)

No. Jamur Asal Taxol® Referensi

1. Taxomyces andeanae

Kulit, T brevifolia

24–25 μg/L Strobel et al., 1993

2. Pestalotiopsi microspora

Kulit, T. wallichiana

60–70 μg/L Strobel et al., 1996a, 1996b

3. Tubercularia sp. Strain TF5

Kulit, T mairei

Identifikasi Taxol®: HPLC, UV, & MS

Wang et al., 2000

4. Nodulisporium sylviforme

T. cuspidata 51–126 μg/L Zhou et al., 2010

5. Strain IFBC-Z38 - 1000 μg/L Chen et al., 2002*

6. Phoma Strain Tax-X

- 33 μg/L Chen et al., 2003*

7. Altenaria alter-nate Strain TFP6

- 85 μg/L Tian et al., 2006*

8. Colletotrichum gloeosporioides

Daun, Justicia gendarusa

163 μg/L Gangadevi & Muthumary, 2008a

9. Bartalina robillardoides

Daun, Aegle marmelos

188 μg/L Gangadevi & Muthumary, 2008a

10. Fusarium solani Batang muda, T. celebia

1.6 μg/L Chakravarthi et al., 2008

11. Aspergillus niger T. cuspidata 273 μg/L Zhao et al., 2009 12. Cladosporium sp.

Strain MD2 - 800 μg/L Zhang et al.,

2009* 13. Pestalotiopsis

versicolor Kulit, T cuspidata

478 μg/L Kumaran et al., 2010

14. Pestalotiopsis neglecta

Daun, T cuspidata

375 μg/L Kumaran et al., 2010

15. Fusarium redolens

Kulit, T. baccata

66 μg/L Garyali et al., 2013

16. Diaporthe phaseolorum

T. wallichiana Baccatin III, 219 μg/L

Zaiyou et al., 2013

17. Jamur endophytes dari T. sumatrana masih dalam penelitian

Keterangan: Data pada baris yang diberi tanda asterisk (*) bersumber dari Zhou et al. (2010)

86 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Tabel 6 menunjukkan bahwa belum ada isolat

mikroba endofitik yang diisolasi dari T. sumatrana. Hal ini

memberi peluang besar kepada para peneliti untuk

mengeksplorasi keberadaan mikroba endofitik pada T.

sumatrana untuk menghasilkan bahan aktif melalui proses

fermentasi. Isolasi, pemurnian, dan perbanyakan mikroba

endofitik dengan fermentor yang diaplikasikan di

laboratorium akan lebih mempercepat proses pengembang-

an paclitaxel. Pertanyaannya adalah mungkinkah mikroba

tersebut bekerja sendiri (single species) atau bersifat

konsorsium. Kenyataannya, tidak ada mikroba endofitik

yang bekerja sendirian di alam, tetapi selalu terkait dengan

perubahan fungsi dan struktur dari sel dan jaringan

tanaman.

4.3 Mekanisme Aksi Penghambatan Sel Kanker

Sebagai penghambat mitosis, paclitaxel bekerja

dengan cara menghambat pembelahan sel dan perkem-

bangan sel kanker/tumor dengan menggangu mikrotubulin

dan stimulasi proses apoptosis yang sering terhambat dalam

sel kanker. Obat lain, seperti colchiline menyebabkan

depolimerisasi mikrotubulin, sedangkan paclitaxel menjalan-

kan mekanismenya dengan memberikan pengaruh yang

berlawanan, yaitu dengan mekanisme hiperstabilisasi

struktur mikrotubulin (memperpanjang atau memperpen-

dek mikrotubulin sesuai keperluan). Mekanisme seperti ini

menghancurkan kemampuan sel untuk menggunakan

rangka cys-nya secara fleksibel. Secara spesifik, paclitaxel

mengikat subunit -tubulin. Tubulin merupakan binding

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 87

block dari mikrotubul dan pengikatan oleh paclitaxel akan

mengunci building blok tersebut tetap pada tempatnya.

Kompleks mikrotubulin-paclitaxel yang terbentuk tidak

memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan

pembongkaran. Hal tersebut berimplikasi lebih luas

terhadap fungsi sel karena pemanjangan dan pemendekan

mikrotubulin merupakan fungsi penting sebagai mekanisme

pengangkutan dalam komponen selular lain. Hasil riset

lain menunjukkan bahwa paclitaxel menginduksi program

pembunuhan sel kanker secara nyata. Paclitaxel juga

merupakan obat untuk perawatan yang efektif terhadap

sel-sel kanker yang agresif karena dapat memengaruhi

proses pembelahan sel dengan mencegah restrukturisasi

sel. Oleh karenanya, paclitaxel adalah obat antikanker yang

paling ampuh (Onrubia et al., 2013).

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 89

5.1 Keragaman Genetik dan Kelestarian Jenis

Kelestarian keragaman genetik merupakan hal yang

sangat penting dalam mendukung daya hidup jangka

panjang suatu jenis, terlebih pada kondisi lingkungan yang

mengalami berbagai perubahan dinamis. Berkurangnya

tingkat keragaman genetik suatu jenis akan berimplikasi

negatif terhadap potensi adaptasi jenis yang bersangkutan.

Selain itu, keragaman genetik yang rendah juga diketahui

akan meningkatkan risiko inbreeding. Sebagai konsekuensi-

nya, pengelolaan keragaman genetik merupakan kompo-

nen yang sangat vital dalam menentukan strategi

konservasi dan pemulihan jenis-jenis terancam.

Taxus sumatrana (Miq.) de Laub. (Taxaceae)

merupakan jenis konifer selalu hijau (evergreen conifer) yang

terancam punah. Jenis ini tersebar di Philiphina, Vietnam,

Taiwan, Cina, dan Indonesia (de Laubenfels, 1988). Habitat

alami T. sumatrana adalah hutan subtropis lembab dan

hutan hujan pegunungan pada ketinggian 1.400–2.800 m

dpl dengan pola distribusi terpencar mengelompok di

bagian punggung bukit, lereng-lereng yang terjal, dan

tepian jurang (Spjut, 2003; Huang et al., 2007). Senyawa

diterpenoid golongan Taxane yang diekstraksi dari T.

BAB 5

Strategi Pengelolaan Sumber Daya Genetik Taxus sumatrana

90 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

sumatrana berpotensi sebagai senyawa antikanker yang

digunakan dalam proses kemoterapi bagi para pasien

pengidap kanker (Shen et al., 2005). Selama beberapa

dekade sebelumnya, kegiatan overeskploitasi jenis-jenis

Taxus yang diikuti dengan perusakan habitat telah

menyebabkan penurunan tajam dari berbagai populasi

Taxus di dunia dan juga memicu terbentuknya fragmentasi

populasi. Fragmentasi populasi merupakan salah satu

ancaman yang efektif dalam penurunan tingkat keragaman

genetik suatu jenis. Dengan kondisi keterancaman yang

tinggi, program pelestarian sumber daya genetik T.

sumatrana harus sudah dimulai dan dikembangkan.

5.2 Keragaman Genus Taxus: Sejarah dan Rute

Penyebaran

Penelitian yang paling komprehensif terhadap

berbagai jenis Taxus di seluruh sebaran alaminya dilakukan

oleh Spjut (2007) dengan menganalisis 845 spesimen Taxus

berdasarkan pada karakter anatomi daun, yang meliputi

jumlah baris stomata pada pita stomata dan sel epidermis.

Selanjutnya, spesimen-spesimen tersebut diurutkan

berdasarkan benua, negara, provinsi, dan spesies. Hasilnya

memperlihatkan bahwa Taxus di Amerika Utara memiliki

karakter keragaman anatomi yang tinggi, meskipun

keragaman jenis rendah; sedangkan Taxus di Barat Daya

China (Asia) memiliki keragaman jenis yang tinggi dengan

karakter keragaman anatomi yang rendah. Hal ini

menunjukkan bahwa Taxus bermigrasi dari Asia ke

Amerika Utara melalui daratan penghubung Pasifik pada

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 91

era Cretaceous, sedangkan migrasi dari Eropa ke Amerika

Utara melalui daratan Atlantik Utara pada jaman Tersier. Di

Eropa–Mediterania, evolusi Taxus dimungkinkan sebagai

akibat dari kepunahan yang dipicu oleh perubahan iklim

pada masa zaman Tersier dan adanya hibridisasi pada

zaman Pleistosen. Keragaman yang tinggi di Asia (wilayah

Barat Daya Cina) mengindikasikan rendahnya laju

kepunahan di daerah tersebut, terjadinya proses hibridisasi

yang lebih intensif selama zaman Pleistosen, dan juga

didukung dengan kejadian geologis terangkatnya daratan

Himalaya.

T. baccata merupakan jenis yang dahulu penyebaran-

nya luas. Hal ini dicirikan dengan tingkat keragaman

intrapopulasi yang tinggi. Kondisi ini juga didukung oleh

data paleontologi (Ledig, 1986; Srodon, 1978). Namun

sejalan dengan sejarah perkembangannya; penggunaan

Taxus yang berlebihan, musnahnya habitat akibat

pembalakan hutan, dan perubahan struktur hutan telah

menyebabkan jenis ini menjadi langka di seluruh daratan

Eropa.

5.3 Strategi Pelestarian jenis

5.3.1 Konservasi Ex Situ

Merancang strategi konservasi genetik yang efisien

memerlukan informasi dasar dari aspek genetika populasi,

yaitu penelitian mengenai distribusi keragaman genetik

dari suatu jenis, baik keragaman genetik intrapopulasi

maupun antarpopulasi. Sayangnya, saat informasi dasar

92 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

sudah sedemikian berkembang dan tersedia untuk banyak

jenis Taxus, kondisi tersebut tidak berlaku untuk T.

sumatrana yang tumbuh di Indonesia. Studi keragaman

genetik T. sumatrana di P. Sumatra baru tercatat dilakukan

oleh Rachmat (2008) dengan menggunakan penanda

RAPD. Hal itu pun terbatas pada T. sumatrana yang

tumbuh di G. Kerinci dan tidak mencakup populasi yang

tumbuh alami di Tanah Karo, Sumatra Utara (HL Sibuaton,

Taman Simalem), G. Tujuh, dan G. Dempo. Meskipun studi

dimaksud baru dapat menggambarkan nilai keragaman

genetik pada populasi di G. Kerinci, hasil tersebut dapat

digunakan sebagai informasi dasar dalam penyusunan

strategi pelestarian sumber daya genetik T. sumatrana.

Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa regenerasi

alami untuk jenis-jenis Taxus mengalami hambatan. Sebagai

contoh adalah T. bacata yang diketahui sebagai jenis yang

mengalami penurunan populasi (Krol, 1978), salah satunya

akibat serangan jamur patogen pada tingkat semai alami.

Habitat alami T. sumatrana di Indonesia yang diketahui

tumbuh pada hutan dengan status taman nasional (TN),

HL dan kawasan konservasi lainnya tidak serta-merta

menghilangkan ancaman terhadap jenis ini dari bentuk

gangguan dan hilangnya habitat alami. Kondisi tersebut

ditambah lagi dengan miskinnya informasi dasar mengenai

struktur tegakan dan berbagai ancaman terhadap

keberlangsungan regenerasi alami sehingga konservasi ex

situ masih merupakan strategi yang patut dilakukan. Hal

ini dapat dimulai dengan pembangunan hutan tanaman

atau plot konservasi ex situ T. sumatrana di luar habitat

aslinya, dan dibangun dari sumber-sumber genetik pada

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 93

semua sebaran alaminya di Indonesia. Pembangunan

kebun klonal dan gene-bank juga merupakan salah satu

bentuk konservasi ex situ yang memungkinkan untuk

dikembangkan. Konservasi ex situ T. sumatrana sebenarnya

sudah lama diinisiasi oleh LIPI yang diimplementasikan

dengan terbentuknya blok koleksi T. sumatrana di Kebun

Raya Cibodas (KRC), Cianjur, Jawa Barat. Blok konservasi

jenis T. sumatrana di KRC saat ini memiliki koleksi jumlah

individu lebih dari 20 pohon dengan tinggi tanaman ada

yang mencapai lebih dari 3 meter. Pembangunan blok

khusus T. sumatrana di KRC sudah mendukung upaya

pelestarian jenis ini di luar habitatnya. Hal ini didukung

dengan hasil penelitian genetik T. sumatrana yang ditanam

di KRC memiliki nilai heterozigositas yang sama tingginya

dengan nilai heterozigositas T. sumatrana pada sebaran

alami di G. Kerinci (Rachmat, 2008). Namun demikian,

masih banyak penelitian-penelitian dasar yang belum

dilakukan sehingga penyusunan strategi konservasi jenis

ini masih belum dapat dikatakan komprehensif.

5.3.2 Penelitian Dasar Sebagai Landasan Penyusunan

Strategi Konservasi yang Komprehensif

Untuk penyusunan strategi konservasi yang tepat

dan komprehensif diperlukan penelitian yang integratif

yang berguna dalam menyediakan informasi dasar

pengambilan kebijakan. Beberapa aspek penelitian yang

perlu dilakukan serta signifikansinya terhadap penyusunan

strategi konservasi jenis T. sumatrana, antara lain sebagai

berikut.

94 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

1) Regenerasi dan Sebaran Ukuran Pohon

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

struktur populasi pada tiap sebaran alami T. sumatrana.

Struktur populasi merupakan refleksi dari keberadaan

populasi T. sumatrana yang dipengaruhi oleh banyaknya

penyebaran pada suatu daerah dalam jangka waktu

tertentu. Data yang dikumpulkan mencakup jumlah dan

sebaran jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan

(semai, pancang, tiang, dan pohon) dan persentase

penutupan areal yang dihitung per hektar.

2) Struktur dan Tingkat Pembukaan Kanopi

Struktur kanopi mengacu pada jumlah dan struktur

material di atas tanah, termasuk di dalamnya ukuran

pohon, bentuk, dan orientasi organ tanaman (daun,

batang, bunga, dan buah) (Norman & Campbell, 1989).

Tingkat kerusakan kanopi diindikasikan memiliki

konsekuensi serius terhadap biomassa, tingkat survival,

dan regenerasi alami melalui pengaruhnya dalam

menentukan kualitas dan kuantitas benih yang

dihasilkan dari kanopi yang masih tersisa. Informasi

mengenai konsekuensi keterbukaan kanopi dan

pengetahuan tentang teknik propagasi sederhana

merupakan syarat dasar dalam menumbuhkembangkan

tanaman dari berbagai provenans yang berbeda untuk

berbagai tujuan, seperti transplantasi dan reforestasi.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 95

3) Studi Populasi Genetik T. sumatrana

Formulasi strategi konservasi T. sumatrana yang tepat

harus berdasarkan pada pengetahuan dasar tentang

struktur genetik jenis T. sumatrana. Strategi konservasi

ex situ maupun in situ tidak terlepas dari karakteristik

genetik yang dimiliki jenis ini. Dalam pembangunan dan

pengembangan strategi konservasi ex situ, informasi

mengenai karakteristik dan keragaman genetik akan

sangat diperlukan sebagai dasar dalam penentuan

bagaimana material genetik dari setiap populasi yang

ada tersebut harus ditanam, berapa jumlah individu

minimal yang harus ditanam untuk menjaga

keterwakilan keragaman genetik dari tiap populasi, dan

berapa luasan minimal plot yang harus disediakan

untuk pembangunan plot konservasi ex situ dimaksud.

Sementara itu, informasi mengenai keragaman genetik

antarpopulasi akan menjadi dasar pertimbangan

pengelola untuk mengambil kebijakan bagaimana

memperlakukan setiap subpopulasi yang ada dan sejauh

mana aliran gen antarpopulasi harus dikontrol.

4) Teknik Perbanyakan dan Ekologi Reproduksi Jenis

Terkait dengan teknik perbanyakan vegetatif jenis T.

sumatrana, hasil penelitian Rachmat et al. (2010)

menunjukkan tingkat keberhasilan berakar terbaik yang

diperoleh dari perlakuan stek pucuk dengan

menggunakan media cocopeat-sekam pada perbandingan

2 : 1 (v/v) dengan metode KOFFCO. Sampai sejauh ini,

kemampuan berakar dengan teknik tersebut masih yang

96 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

tertinggi (67,7%). Namun, bibit yang dihasilkan dengan

metode stek pucuk ini masih memiliki kelemahan untuk

aplikasi yang sifatnya segera. Hal ini dikarenakan bibit

yang dihasilkan dari stek pucuk berukuran kecil dan

memerlukan waktu pemeliharaan yang lama untuk

mencapai ukuran bibit siap tanam di lapangan. Oleh

karena itu, metode perbanyakan vegetatif lainnya

diperlukan agar mampu menghasilkan bibit dengan

persentase berakar yang lebih tinggi dan bibit yang

dihasilkan lebih besar sehingga tidak memerlukan

waktu lama bagi bibit untuk beraklimatisasi dan siap

ditanam di lapangan. Tidak seperti jenis Taxus lainnya

yang tersebar di bagian Asia lainnya, Eropa, dan

Amerika; hasil penelitian dasar tentang fenologi

berbunga dan berbuah, karakteristik benih, perkecam-

bahan, dan aspek lainnya terkait regenerasi alami untuk

jenis T. sumatrana belum tersedia sehingga penelitian di

bidang ini masih menyisakan ruang yang cukup besar

untuk dilakukan.

5) Preferensi Terhadap Kondisi Tempat Tumbuh Mikro

Studi semacam ini biasa dilakukan untuk semua jenis

tumbuhan, baik untuk jenis yang berdaun lebar maupun

berdaun jarum. Suatu jenis tertentu umumnya memiliki

preferensi tertentu pula terhadap suatu lokasi mikro

yang spesifik sehingga memungkinkan jenis dimaksud

tumbuh dan berkembang di spot tersebut. Kondisi semai

alam T. sumatrana secara jelas mengindikasikan bahwa

keberadaannya selalu tidak jauh dari pohon induknya

dengan kondisi penutupan tajuk yang rapat dan kondisi

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 97

lantai hutan yang lembab. Hal ini cukup sejalan dengan

karakteristik jenis-jenis lainnya pada genus Taxus

(Troup, 1921). Sebaran pohon T. sumatrana dewasa

umumnya ditemukan di lereng-lereng bukit di tepian

sungai dengan drainase yang baik (Rachmat et al., 2010).

Kondisi lokasi mikro yang disukai tersebut kelihatannya

merupakan tipikal kondisi mikro yang mempersyarat-

kan lokasi spesifik untuk tumbuh dan berkembangnya

berbagai jenis Taxus. Seperti juga T. bacata, jenis Taxus

asal Amerika yaitu T. brevifolia juga ditemukan tumbuh

di lokasi yang menghadap lereng dengan kondisi tanah

bertekstur halus dan berdrainase baik (Fites, 1993).

Penelitian-penelitian semacam ini sangat diperlukan

dalam manajemen pelestarian T. sumatrana, antara lain

dalam kegiatan pemilihan lokasi plot konservasi ex situ

yang sesuai, monitoring, pengelolaan anakan alam,

reintroduksi, dan pengayaan.

5.3.3 Konservasi In Situ: Pelestarian T. sumatrana yang

Wajib Dilakukan Secara Konsisten

Konservasi in situ secara sederhana didefinisikan

sebagai proses perlindungan flora dan fauna pada habitat

alaminya. Kegiatan ini umumnya dilakukan melalui

pembentukan kawasan konservasi dengan berbagai status

seperti TN, Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM),

Taman Wisata Alam (TWA), Taman Hutan Raya (Tahura),

dan Taman Buru (TB). Strategi konservasi in situ secara

umum diyakini akan memberikan aspek pelestarian yang

lebih optimal dengan konsekuensi finansial yang lebih

98 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

efisien dibandingkan penerapan strategi konservasi ex situ.

Cairns (1986) menyatakan bahwa tantangan terbesar dari

kegiatan konservasi in situ adalah memperluas cara

pandang pengelolaan, salah satunya dengan menerapkan

penggunaan multifungsi kawasan konservasi yang diikuti

dengan pengembangan potensi ekonomi yang

memungkinkan. Namun demikian, pengembangan potensi

ekonomi yang memungkinkan pada kawasan TN di

Indonesia hanya dapat dilakukan pada daerah penyangga,

tidak pada zona inti.

Konservasi in situ untuk T. sumatrana merupakan

strategi pelestarian jenis yang mutlak dilakukan. Ada

beberapa dasar yang menjadikan strategi ini paling tepat

dilakukan saat ini, antara lain sebagai berikut.

1) Habitat Alami

Berdasarkan data sebaran dan survei lapangan (Rachmat

et al., 2010; Pasaribu & Setyawati, 2010), T. sumatrana

tumbuh di TN Kerinci Seblat (G. Kerinci dan G. Tujuh),

Tanah Karo (HL Sibuaton), dan Pagar Alam (G. Dempo).

Secara alami, jenis ini sudah tumbuh dan berkembang di

suatu kawasan dengan status kawasan konservasi

sehingga tidak diperlukan adanya penetapan kawasan

konservasi baru dalam upaya pelestarian in situ jenis ini.

Namun demikian, tidak berarti bahwa pengelolaan in

situ jenis ini menjadi lebih mudah dengan kondisi di

atas. Tidak jarang, kawasan konservasi berada dalam

kondisi yang tidak optimal, terlebih pada kondisi

masyarakat sekitar dengan tingkat dependensi yang

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 99

tinggi terhadap ekstraksi sumber daya hutan.

Mempertahankan dan menjaga keamanan dan kondisi

habitat dari gangguan-gangguan yang sifatnya

eksternal–terlebih antropogenik–memerlukan strategi

dan pendekatan tersendiri.

2) Minimnya Pengetahuan Dasar Terhadap Jenis

Kurangnya pengetahuan dasar tentang berbagai aspek

terkait jenis T. sumatrana akan menyebabkan kesulitan

dalam memformulasikan strategi konservasi yang

paling tepat. Pembangunan kawasan konservasi in situ

untuk jenis ini akan menyediakan sebuah ruang yang

akan melindungi sistem dan berbagai jenis yang

terkandung di dalamnya secara menyeluruh. Hal ini

akan sangat berguna, terutama perlindungan terhadap

suatu jenis yang minim informasi ilmiahnya. Burley

(1988) mendeskripsikan bahwa konservasi in situ sangat

tepat diaplikasikan pada kondisi belum ditemukannya

metode investigasi dan manfaat penggunaan dari suatu

jenis tertentu. Sebagai gambaran, membangun kawasan

pelestarian T. sumatrana yang tepat di luar habitat

aslinya (ex situ) tidak dapat dilakukan secara serta-merta

begitu saja. Secara otomatis, pembangunan kawasan

seperti ini akan memerlukan data dasar genetik

sehingga dapat ditentukan daerah yang cocok, populasi

prioritas, tingkat keragaman yang harus dipertahankan,

luasan wilayah minimal, dan lain-lain.

100 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

3) Viabilitas

Selama tidak terjadi gangguan keseimbangan pada

habitat alami sebagai akibat adanya kekuatan eksternal

yang masuk ke dalam sistem, konservasi in situ akan

menjamin keberlangsungan berbagai proses alami yang

terjadi di dalam kawasan. Seleksi alam dan evolusi

komunitas akan terus berlangsung; komunitas baru,

sistem baru, dan materi genetik baru akan terus

dihasilkan (Soule, 1985).

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 101

Kekayaan jenis hutan tropis Indonesia salah satunya

menyimpan komoditas penting yang signifikan dalam

dunia kesehatan. Tidak sama dengan sejarah perkembang-

an Taxus yang begitu intensif dieksploitasi di berbagai

belahan dunia, T. sumatrana di Indonesia tercatat tidak

mengalami fenomena seperti ini. Sebagai implikasinya,

penelitian dan pengembangan jenis ini pun sama

minimnya dibandingkan jenis-jenis lain dalam satu genus

yang tumbuh di belahan bumi Utara. Namun demikian,

perhatian terhadap jenis ini mulai meningkat yang diikuti

dengan beberapa upaya pelestarian jenis. Upaya

pelestarian jenis melalui strategi konservasi ex situ sudah

mulai dikembangkan sejak awal tahun 2000-an yang

diinisiasi oleh LIPI dengan pembangunan blok T. sumatrana

di Kebun Raya Cibodas. Yang tidak kalah signifikan adalah

upaya pelestarian jenis secara in situ dengan keamanan dan

kemantapan wilayah pelestarian menjadi perhatian utama.

Pelestarian jenis secara in situ akan menjaga keberadaan

populasi T. sumatrana di wilayah habitat aslinya, berikut

segala sistem yang menyertai di dalamnya.

BAB 6

Penutup

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 103

DAFTAR PUSTAKA

Abbasin, Z., S. Zamani, S. Movahedi, G. Khaksar and B.E.

Sayed-Tabatabaei. 2010. In vitro micropropagation

of Yew (Taxus baccata) and Production of Plantlet.

Biotechnology, 9: 48–54.

Allison, T.D., S. Tatemi, O. Masashi and Y. Norikazu. 2008.

Variation In Sexual reproduction in Taxus cuspidata

Sieb. & Zucc. Plant Species Biology, 23: 25–32.

Aubin, I., M. Beaudet and C. Messier. 2000. Light extinction

coefficients specific to the understory vegetation of

the southern boreal forest, Quebec. Can. J. For. Res.

30(1): 168–177.

Bentebibel, S., E. Moyano, J. Palazon, R.M. Cusido, M.

Bonfill and R. Eibl. 2005. Effects of immobilization

by entrapment in alginate and scale-up on paclitaxel

and baccatin III production in cell suspension

cultures of Taxus baccata. Biotechnol. Bioeng., 89: 647–

55.

Bolsinger, C.L. and A.E. Jaramillo. 1990. Taxus brevifolia

Nutt., Pacific yew. In: Burns, R.M. and B.H. Honkala

(eds). Silvics of North America. Agriculture

Handbook 654. Forest Service, U.S. Department of

Agriculture, Washington, DC. p. 573–579.

Bondare, I. 2013. Population of yew tree Taxus baccata L. in

Latvia. BIOLOGIJA, 59: 287–293.

104 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Burley, F.W. 1988. Monitoring Biological Diversity for

Setting Priorities in Conservation. In: Wilson, E.O.

(ed.), Biodiversity. Washington, D.C. National

Academy Press, pp. 227–230.

Cairns, J.Jr. 1986. The myth of the most sensitive species.

BioSciences, 36: 670–672.

Chakravarthi, B.V., P. Das, K. Surendranath, A.A. Karande

and C. Jayabaskaran. 2008. Production of paclitaxel

by Fusarium solani isolated from Taxus celebica. J.

Biosci., 33: 259–267.

Chee P.P. 1996. Plant regeneration from somatic embryos of

Taxus brevifolia. Plant Cell Report, 16: 184–187

Cheng J-S., De-Ming Y., Shu-Ying L. and Ying-Jin Y. 2006.

Activation of ERK-like MAP kinase involved in

regulating the cellular proliferation and

differentiation of immobilized Taxus cuspidata cells.

Enzyme and Microbial Technology, 39: 1250–1257.

CITES. 2005. Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Fauna and Flora:

Thirtheen meeting of the Conference of the Parties.

[http:// www.cites.org., diakses 26 Februari 2006]

Collins, D., R.R. Mill and M. Möller. 2003. Species

separation of Taxus baccata, T. canadensis, and T.

cuspidata (Taxaceae) and origins of their reputed

hybrids inferred from RAPD and cpDNA data.

Amer. J. Bot., 90: 175–182.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 105

Comer, P., D. Faber-Langendoen, R. Evans, S. Gawler, C.

Josse, G. Kittel, S. Menard, M. Pyne, M. Reid, K.

Schulz, K. Snow and J. Teague. 2003. Ecological

systems of the United States: A working classification of

U.S. terrestrial systems. Nature Serve, Arlington, Va.

Cope, E.A. 1998. Taxaceae: The genera and cultivated

species. Bot. Rev., 64: 291–322.

Cragg, G.M. and D.J. Newman. 2005. Plants as a source of

anti-cancer agents-Perspective paper. Journal of

Ethnopharmacology, 100: 72–79.

Cusido, R.M., J. Palazón, M. Bonfill, O. Expósito, E. Moyano

and M.T. Pinol. 2007. Source of isopentenyl

diphosphate for Taxol and baccatin III biosynthesis in

cell culturesof Taxus baccata. Biochem. Eng. J., 33:

159–67.

Daniel, G., Z. Regino, A. Joseâ, D. Hoâ, M. Joseâ, M. Goâ

and C. Jorge. 2000. Yew (Taxus baccata L.)

regeneration is facilitated by fleshy-fruited shrubs in

Mediterranean environments. Biological Conser-

vation, 95: 31–38.

Danishefsky, S.J., J.J. Masters, W.B. Young, J.T. Link, L.B.

Snyder, T.V. Magee and Jung D.K. 1996. Total

synthesis of baccatin III and Taxol. J. Am. Chem. Soc.,

118: 2843–2859.

Darbyshire, S.J. 2003. Inventory of Canadian Agricultural

Weeds. Agriculture and Agrifood Canada.

Available from http://res2. [agr.ca/ecorc/weeds_

herbes/title-titre_e.htm, diakses 10 March 2014].

106 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

de Laubenfels. 1988. Coniferales. In: David, J. (eds.) Flora

Malesiana, Series I, Vol. 10. Dordrecht: Kluwer

Academic. p 337–453.

Dhama, K., S. Mani, S. Chakraborty, R. Tiwari, A. Kumar, P.

Selvaraj and R.B. Rai. 2013. Herbal Remedies To

Combat Cancers In Humans And Animals – A

Review. International Journal of Current Research, 5:

1908–1919.

Difazio, S.P., N.C. Vance and M.V. Wilson. 1996. Variation

in expression of Taxus brevifolia in western Oregon.

Canadian Journal of Botany, 74: 1943–1946.

Earle, C.J. 2013a. Taxus sumatrana (Miquel) de Laubenfels

1978. [http://www.conifers.org/ta/Taxus_

sumatrana.php, diakses, 8 Maret 2014].

Earle, C.J. 2013b. Taxus brevifolia Nutt all 1849.

[http://www.conifers.org/ta/Taxus_brevifolia.php,

diakses, 8 Maret 2014].

Edward, F.G. and G.W. Dennis. 1994. This document is

adapted from Fact Sheet ST-624, a series of the

Environmental Horticulture Department, Florida

Cooperative Extension Service, Institute of Food and

Agricultural Sciences, University of Florida.

Publication date: October 1994.

El-Kassaby, Y.A. and A.D. Yanchuk. 1994. Genetic

diversity, differentiation, and Inbreeding in Pasific

Yew from Bristish Colombia. Journal of Heredity, 85:

112–117.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 107

Falkowski, G. and B. Matysiak. 2010. The use of arbuscular

mycorrhizal fungi in container production of

selected ornamental conifers under organic-mineral

fertilization level. Journal of Fruit and Ornamental

Plant Research, 18: 335–248.

Farjon, A. 1998. World checklist and bibliography of conifers.

The Royal Botanic Gardens, Kew.

Farr, K. 2008. Genus level approach to Taxus species. In:

International Expert Workshop on CITES Non-

Detriment Findings. Working Group 1, Case Study

6, Cancun, Mexico, November 17–21, 2008.

Farrar, J.L. 1995. Trees in Canada. Canadian Forest Service

and Fitzhenry & Whiteside Ltd. Markham ON. 502

p.

Ferguson, D.K. 1978. Some current research on fossil and

recent taxads. Rev. Palaeobot. Palynol., 26: 213–226.

Fites, J. 1993. Ecological guide to mixed conifer plant

associations, northern Sierra Nevada and Southern

Cascades: Lassen, Plumas, Tahoe, and Eldorado National

Forests. U.S.D.A. Forest Service, Pacific Southwest

Region. R5-ECOL-TP-001.

Foster, D.K. 1993. The ecology and distribution of Taxus

canadensis Marshall in the State of Wisconsin. M.S.

thesis, Department of Botany, University of

Wisconsin–Madison, Madison, Wisc.

Frense, D. 2007. Taxanes: perspectives for biotechnological

production. Appl. Microbiol. Biot., 73: 1233–1240.

108 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Gamborg, O.L., R.A. Miller and K .Ojima. 1968. Nutrient

requirements of suspension culture of soybean root

cell. Exp. Cell Res., 50: 151–158.

Gangadevi, V. and J. Muthumary. 2008a. Isolation of

Colletotrichum gloeosporioides, a novel endophytic

Taxol-producing fungus from the leaves of a

medicinal plant, Justicia gendarussa. Mycologia

Balcanica, 5: 1–4.

Gangadevi, V. and J. Muthumary. 2008b. Taxol, an

anticancer drug produced by an endophytic fungus

Bartalinia robillardoides Tassi, isolated from a

medicinal plant, Aegle marmelos Correa ex Roxb. J.

Microbiol. Biotechnol., 24: 717–724.

Garyali, S., A. Kumar and M.S.R. Reddy. 2013. Taxol

Production by an Endophytic Fungus, Fusarium

redolens, Isolated from Himalayan Yew. J. Microbiol.

Biotechnol., 23: 1372–1380.

Gong, Y.W. and Yuan, Y.J. 2006. Nitric oxide mediates

inactivation of glutathione S-transferase in

suspension culture of Taxus cuspidata during shear

stress. Journal of Biotechnology, 123: 185–192.

Gunawardana, G.P., P. Usha, S. Neal, D. Burres, N.

Whittern, H. Rodger, S. Stephen and J.B. Mcalpine.

1992. Isolation Of 9-Dihydro-13-Acetylbaccatin III

From Taxus Canadensis. Journal of Natural Products,

55: 1686–1689.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 109

Hanson, J.R. 2003. Natural Product, The Secondary

Metabolites. The Royal Society of Chemistry,

Cambridge-UK.

Hartman, T. 1996. Diversity and variability of plant

secondary metabolism: a mechanistic view.

Entomologia Experimentalis et Applicata, 80: 177–188.

Hartzell, J.R. 1991. The Yew Tree: A Thousand Whispers.

Eugene, Oregon: Hulogosi.

Hidayat, A. and S. Tachibana. 2013. Taxol and Its Related

Compound from the Bark of Taxus sumatrana.

Makalah, dipresentasikan pada International

Seminar of Forest and Medicinal Plants for better

human welfare, Bogor, 10–12 September 2013.

Hils, M. 1993. Taxaceae Gray. Yew family. Fl. North

America, 2: 423–427.

Hindson, T. 2000. The Growth Rate of Taxus baccata: An

Empirically Generated Growth Curve. The Alan

Mitchell Memorial Lecture 2000 (diakses 20 Februari

2014).

Hoffman, M.H.A. 2004. Cultivar Classification of Taxus L.

(Taxaceae). In: Davidson, C.G. and P. Trehane. Proc.

XXVI IHC- IVth Int. Symp. Taxonomy of Cultivated

Plants. Acra Hort, ISHS.

Holloway, L. 2007. Developing improved nursery culture

for the production of rooted cuttings of Canada yew

(Taxus canadensis). Thesis, The University Of New

Brunswick.

110 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Holton, R.A. 1984. Synthesis of the Taxane ring system.

Journal of the American Chemical Society, 106: 5731–

5732.

Holton, R.A., R.R. Juo, H.B. Kim, A.D. Williams, S.

Harusawa, R.E. Lowenthal and S. Yogai. 1988. A

synthesis of Taxus. Journal of the American Chemical

Society, 110: 6558–6560.

Holton, R.A. and R.M. Kennedy. 1984. Stereochemical

requirements for fragmentation of homoallylic

epoxy alcohols. Tetrahedron Letters, 25: 4455–4458.

Huang C-C., Chiang T-Y. and Hsu T-W. 2007. Isolation and

characterization of microsatellite loci in Taxus

sumatrana (Taxaceae) using PCR-based isolation of

microsatellite arrays (PIMA). Conserv. Genetic. DOI

10.1007/s10592-007-9341-z.

Hussain, A., I.Q. Ahmed, H. Nazir, I. Ullah, M. Rashid and

Z.S. Khan. 2013. In vitro callogenesis and

organogenesis in Taxus wallichiana ZUCC, The

Himalayan Yew. Pak. J. Bot., 45: 1755–1759.

Iglesias, M.I., M.J. Sainz, A.Vilariño, M.E. López Mosquera,

C. Pintos and J.P. Mansilla. 2000. Mineral nutrition

of taxus baccata l as affected by inoculation with

arbuscular mycorrhizal fungi. ISHS Acta

Horticulturae 630: XXVI International Horticultural

Congress: Nursery Crops; Development,

Evaluation, Production and Use.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 111

ISTA [International Seed Testing Association]. 1993.

International rules for seed testing: rules 1993. Seed

Science and Technology, 21 (Suppl.): 1–259.

Itokawa. 2003. Introduction. In: Itokawa, H. and Lee K.H.

(eds.). Taxus. Taylor & Francis, London, UK, and

New York, NY.

IUCN. 2014. The IUCN Red List of Threatened Species.

Jaziri, M., A. Shiri, Guo Y-M., Dupant J-P., K. Shimomura,

H. Hamada, M. Vanhaelen and J. Homes. 1996.

Taxus sp. cell, tissue and organ cultures as

alternative source for toxoids production: a

literature survei. Plant Cell, Tissue and Organ Culture,

46: 59–75.

Jennewein, S., M.R. Wildung and Chau M. 2004. Random

sequencing of an induced Taxus cell cDNA library

for identification of clones involved in Taxol

biosynthesis. PNAS, 101: 9149–9154.

Jianfeng Z. and Zhigang G. 2006. Effect of Methyl Jasmonic

Acid on Baccatin III Biosynthesis. Tsinghua Science

and Technology, 11: 363–367.

Kaul, K. 2008. Variation in rooting behavior of stem

cuttings in relation to their origin in Taxus

wallichiana Zucc. New Forests, 36: 217–224.

Keller, R.A. and E.B. Tregunna. 1976. Effects of exposure on

water relations and photosynthesis of western

hemlock in habitat forms. Can. J. For. Res., 6: 40–48.

112 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Khali, R.P. 2001. Ecological studies on Taxus baccata L. in

relation to regeneration and conservation. Ph.D.

Thesis, FRI Deemed University, Dehra Dun.

Khoroushahi, A.Y., M. Valizadeh, A. Ghasempour, M.

Khosrowshahli, H. Naghdibadi, M.R. Dadpour and

Y. Omidi. 2006. Improved Taxol production by

combination of inducing factors in suspension cell

culture of Taxus baccata. Cell Biology International, 30:

262–269.

Kikuchi, Y. and M. Yatagai. 2003. The commercial

cultivation of Taxus species. In: Itokawa, H. and Lee

K.H. (eds.). Taxus. Taylor & Francis, London, UK,

and New York, NY.

Kitagawa, I., T. Mahmud, M. Kobayashi, Roemanto and H.

Shibuya. 1995. Taxol and its related taxoid from the

needles of Taxus sumatrana. Chem. Pham. Bull., 43:

365–367.

Korouri, S.A.A., M. Matinizadeh, T. Maryam and M.

Khoushnevis. 2002. Recognition of vesicular

arbuscular mycorrhizal fungi in Taxus baccata from

Vaz Forest. In: Pajouhesh-Va-Sazandegi, In 55

Agronomy And Horticulture, Summer 2002, 15, 2, p

30–35.

Krol, S. 1978. An outline of ecology. The Yew – Taxus baccata

L. In: Bartkowiak S., W. Bugala, A. Czartoryski, A.

Hejnowicz, S. Król, A. Środoń and R.K. Szaniawski.

(eds). Foreign Scientific Publications, Department of

the National Center for Scientific and Technical, and

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 113

Economic Information (for the Department of

Agriculture and the National Science Foundation,

Washington, DC), Warsaw, Poland, pp. 65–86.

Kulkarni, A.A. 2000. Micropropagation and Secondary

Metabolites Studies in Taxus spp. and Withania

somnifera (L) Dunal. Disertation, The University of

Pune, India.

Kumaran, R.S.,

Kim J.K. and

Hur B-K. 2010. Taxol

promising fungal endophyte, Pestalotiopsis species

isolated from Taxus cuspidata. Journal of Bioscience

and Bioengineering, 110: 541–546.

Kusama, H., R. Hara, S. Kawahara, T. Nishimori, H.

Kashima, N. Nakamura, K. Morihira and I.

Kuwajima. 2000. Enantioselective total synthesis of

Taxol. J. Am. Chem. Soc., 122: 3811–3820.

Kuwajima, I. and H. Kusama. 2000a. Enantioselective total

synthesis of Taxus in and Taxol. J. Syn. Org.Chem.

Jpn., 58: 172–182.

Kuwajima I. and H. Kusama. 2000b. Synthesis studies on

taxoids. Enantioselective total synthesis of (+)-Taxus

in and (-)-Taxol. Synlett., 10: 1385–1401.

Kwak S-S., Myung-Sukchoi, Park Y-G, Yoo J-S. and Liu J-R.

1995. Taxol Content in the Seeds of Taxus spp.

Phytochemistry, 40: 29–32.

Ledig, F.T. 1986. Heterozygosity, heterosis, and fitness in

outbreeding plants. In: Soule, M.E. (Eds).

Conservation Biology: The Sciences of Scarcity and

114 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Diversity. Sinauer Associates, Sunderland,

Massachusetts. p 77–104.

Lewandowski, A., J. Burczyk and L. Mejnartowicz. 1995.

Genetic Structure of English Yew (Taxus baccata L.)

in the Wierzchlas Reserve: Implications for genetic

conservation. Forest Ecology and Management, 73:

221–227.

Li X.L., Yu X.M., Guo W.L., Li Y.D., Liu X.D., Wang N.N.

and Liu B. 2006. Genomic Diversity within Taxus

cuspidata var. nana Revealed by Random Amplified

Polymorphic DNA Markers. Russian in Fiziologiya

Rastenii, 53(5): 771–776.

Li Z.W. 1999. Maps of Ornamental Plants in Northeast of

China, Shenyang: People’s Press of Liaoning.

Linares, J.C. 2012. Shifting limiting factor for population

dynamics and conservation status of endangered

English yew (Taxus baccata L., Taxaceae). Forest

Ecology and Management, [in Press].

Maden, K. 2003. Community trial on the propagation and

conservation of Taxus baccata L. Our Nature, 1: 30–32.

Maguchi, S. and S. Fukuda. 2001. Taxus cuspidata (Japanese

yew) pollen nasal allergy. Auris Nasus Larynx, 38:

43–47.

Malik, S., R.M. Cusidó, M.H. Mirjalili, E. Moyano, J.

Palazón and M. Bonfill. 2011. Production of the

anticancer drug Taxol in Taxus baccata suspension

cultures: A review. Process Biochemistry, 46: 23–34.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 115

Martell, D.L. 1974. Canada yew Taxus canadensis Marsh.

USDA For. Serv. Gen. Tech. Rep. NE-1974. pp. 158–

160.

Masters, J.J., J.T. Link, L.B. Snyder, W.B. Young and S.J.

Danishefsky. 1995. A total synthesis of Taxol. Angew.

Chem. Int. Ed. Engl., 34: 1723–1726.

McCown, B.H. and G. Lloyd. 1981. Woody plant medium

(WPM) – a mineral nutrient formulation for

microculture for wood plant species. Hortic sci., 16:

453.

Minore, D., G.W. Howard and C. Maria. 1996. Seeds,

Seedlings, and Growth of Pasific Yew (Taxus

brevifolia). Northweat Science, 70: 223–229

Mitchell, A.K. 1998. Acclimation of Pacific yew (Taxus

brevifolia) foliage to sun and shade. Tree Physiology,

18: 749–757.

Moerman, D.E. 1986. Medicinal plants of Native America.

Technical Reports 19. University of Michigan

Museum of Anthropology, Ann Arbor, MI. 534 p.

Mukaiyama, T., I. Shiina, H. Iwadare, M. Saitoh, T.

Nishimura, N. Ohkawa and H. Sakoh. 1999.

Asymmetric total synthesis of Taxol. Chem. Eur. J., 5:

121–161.

Murashige, T. and F. Skoog. 1962. A revised medium for

rapid growth and bioassays with tabacco tissue

culture. Physiol. Plantarum, 15: 473-497.

116 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Nandi, S.K., L.M.S. Palai and H.C. Rikhari. 1996. Chemical

induction of adventitious root formation in Taxus

baccata cuttings. Plant Growth Regulation, 19: 117–122.

Nicolaou, K.C., Dai W.M. and R.K. Guy. 1994. Chemistry

and biology of Taxol. Angew. Chem., Int. Ed. Engl., 33:

15–44.

Nicolaou, K.C., H. Ueno, Liu J.J., P.G. Nantermet, Yang Z.

and J. Renaud. 1995a. Total synthesis of Taxol. 4. The

final stages and completion of the synthesis. J. Am.

Chem. Soc., 117: 653–659.

Nicolaou, K.C., Liu J.J., Yang Z., H. Ueno, E.J. Sorensen,

C.F. Claiborne and R.K. Guy. 1995b. Total synthesis

of Taxol. 2. Construction of A and C ring

intermediates and initial attempts to construct the

ABC ring system. J. Am. Chem. Soc., 117: 634–644.

Nicolaou, K.C., P.G. Nanterme., H. Ueno, R.K. Guy, E.A.

Couladouros and E.J. Sorensen. 1995c. Total

synthesis of Taxol. 1. Retrosynthesis, degradation

and reconstitution. J. Am. Chem. Soc., 117: 624 –633.

Nicolaou, K.C., Yang Z., Liu J.J., P.G. Nantermet, C.F.

Claiborne, J. Renaud and R.K. Guy. 1995d. Total

synthesis of Taxol. 3. Formation of Taxol’s ABC ring

skeleton. J. Am. Chem. Soc., 117: 645–652.

Norman, J.M. and G.S. Campbell. 1989. Canopy structure.

In: Pearcy R.W., J.R. Ehleringer, H.A. Mooney and

P.W. Rundel. (Eds). Plant Physiology Ecology. Field

Methods and Instrumentation, Champman and

Hall, London, p. 301–325.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 117

Ohwi, J. 1965. Flora of Japan, Washington: Smithsonian

Institution.

Onrubia, M., R.M. Cusidó, K. Ramirez, L. Hernández-

Vázquez, E. Moyano, M. Bonfill and J. Palazon.

2013. Bioprocessing of Plant In Vitro Systems for the

Mass Production of Pharmaceutically Important

Metabolites: Paclitaxel and its Derivatives. Current

Medicinal Chemistry, 20: 880–891.

Orwa et al., 2009. Taxus baccata, Agroforestry Database 4.0

(www.worldagroforestry.org/treedb/AFTPDFS/Ta

xus_baccata.pdf, diakses 8 Maret 2014).

Panchagnula, R. 1998. Pharmaceutical aspects of paclitaxel.

Int. J. Pharm., 172: 1–15.

Pasaribu, G. and T. Setyawati. 2010. Status riset Taxus

sumatrana. Prosiding, seminar Bersama BPK Aek

Nauli, BPK Palembang dan BPHPS Kuok. Peran

Litbang Kehutanan dalam Implementasi RSPO

Pekanbaru, 4–5 November 2010.

Pilz, D. 1996. Propagation of Pacific Yews from seed. Am.

Con. Soc. Bull. [Winter Issue], 13: 13–18.

Pinto, F. and D. Herr. 2005. Autoecology of Canada Yew

(Taxus canadensis Marsh.). Southern Science and

Information Section Technical, Note #12. Ontario

Ministry of Natural Resources, North Bay, Ont.

118 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Pothier, D. and A. Margolis. 1991. Analysis of growth and

light interception of balsam fir and white birch

saplings following precommercial thinning. Ann.

Sci. For., 48(2): 123–132.

Price, R.A. 1990. The genera of Taxaceae in the southeastern

United States. J.Arnold Arbor., 71: 69–71.

Rachmat, H.H. 2008. Variasi genetik dan teknik

perbanyakan vegetatif cemara Sumatra (Taxus

sumatrana). Thesis, Pasca Sarjana, Institut Pertanian

Bogor, Indonesia.

Rachmat, H.H., A. Subiakto, I.Z. Siregar and Supriyanto.

2010. Uji Pertumbuhan stek cemara Sumatra Taxus

sumatrana (miquel) de Laub. Jurnal Penelitian dan

Konservasi Alam, (7): 289–298.

Rudolf, P.O. 1974. Taxus L., yew. In: Schopmeyer, C.S., tech.

coord. Seeds of woody plants in the United States.

Agriculture Handbook 450. U.S. Department of

Agriculture, Forest Service, Washington, DC. p 799–

802.

Rushforth, K. 1999. Genomic Diversity among Yew (Taxus

baccata) Genotypes of Iran Revealed by Random

Amplified Polymorphism DNA Markers. Trees of

Britain and Europe. Collins ISBN 0-00- 220013-9.

Sankawa, U. and H. Itokawa. 2003. Biosyenthesis of

toxoids. In: Itokawa, H. and Lee K.H. (eds.). Taxus.

Taylor & Francis, London, UK, and New York, NY.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 119

Scagel, C.F., K. Reddy and J.M. Armstrong. 2003.

Mycorrhizal fungi in rooting substrate influences

the quantity and quality of roots on stem cuttings of

Hick`s Yew. Hort. Technology, 13: 62–66.

Schenk, R.U. and A.C. Hildebrandt. 1972. Medium and

techniques for induction and growth of

monocotyledonous and dicotyledonous plant cell

cultures. Can. J. Bot., 50: 199–204.

Sharma, P. and P.L. Uniyal. 2010. Traditional knowledge

and conservation of Taxus baccata in Sikkim

Himalaya. NeBIO, 1: 55–59.

Shen Y-C., Lin Y-S., Cheng

Y-B., Cheng

K-C., T.K. Khalil,

Kuo Y-H., Chien C-T. and Lin Y-C. 2005. Novel

Taxane diterpenes from Taxus sumatrana with the

first C-21 Taxane ester. Tetrahedron, 61: 1345–1352.

Shi Q-W., S. Franc’oise, M. Orval and O.Z. Lolita. 2002. A

novel minor metabolite (Taxane?) from Taxus

canadensis needles. Tetrahedron Letters, 43: 6869–6873.

Silba, J. 1984. An international census of the coniferae, I.

Phytologia Mem., 7: 1–79.

Singh, M.B. and P.L. Bhalla. 2006. Plant stem cells carve

their own niche. Trends Plant Sci., 11: 241–246.

Sitte, P., H. Ziegler, F. Ehrendorfer and A. Bresinsky. 1991.

Strasburger Lehrbuch der Botanik. Gustav Fisher

Verlag: Stuttgart, Jena, New York.

Smith, R.F. and S.I. Cameron. 2002. Domesticating ground

hemlock (Taxus canadensis) for producing Taxanes: a

120 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

case study In: Proc. 29th Annual Mtg. Plant Growth

Reg. Soc. Amer. Halifax N.S. July 28–Aug 1, 2002.

pp 40–45.

Smith, R.F., S.I. Cameron, J. Letourneau, M. Duffy, D.

Fleming, F. McBain-Hogg, C. McLaughlin, J.

Phillips, P. Stewart-Leblanc and L.D. Yeates. 2003.

Genetics of ground hemlock (Taxus canadensis). In:

Simpson, J.D. (eds.) Proc. 28th Meet. Can. Tree Imp.

Assoc., Part 1, 22–25 July 2002, Edmonton, AB. p 30–

31.

Smith, R.F., SI. Cameron, J. Letourneau, T. Livingstone and

K. Livingstone. 2006. Assessing the effects of mulch,

compost tea, and chemical fertilizer on soil

microorganisms and early growth, biomass

partitioning, and nutrition of field-grown rooted

cuttings of Canada Yew (Taxus canadensis). PGRSA

2006 Annual Meeting, July 8–12, Quebec City,

Canada.

Soule, M.E. 1985. What is conservation biology? BioSciences,

35: 727–734.

Spjut, R.W. 2003. Nomenclatural and taxonomic review of

three species and two varieties of Taxus (Taxaceae)

in Asia. www.worldbotanical.com (accepted for J.

Bot Res. Inst. Texas in 2006).

Spjut, R.W. 2007. A phytogeographical analysis of Taxus

(Taxaceae) based on leaf anatomical characters. J.

Bot. Res. Inst. Texas, 1: 291–332.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 121

Srodon, A. 1978. History of the yew in Poland. The Yew –

Taxus baccata L. In: Bartkowiak, S., W. Bugala, A.

Czartoryski, A. Hejnowicz, S. Król, A. Środoń and

R.K. Szaniawski (eds). Foreign Scientific

Publications, Department of the National Center for

Scientific and Technical, and Economic Information

(for the Department of Agriculture and the National

Science Foundation, Washington, DC), Warsaw,

Poland, pp. 5–14.

Stephen, P.D., V.W. Mark and Nan C.V. 1998. Factors

limiting seed production of Taxus brevifolia

(Taxaceae) in Western Oregon. American Journal of

Botany, 85: 910–918.

Stierle, A., G. Strobel and D. Stierle. 1993. Taxol and Taxane

production by Taxomyces andreanae, an endophytic

fungus of Pasific yew. Science., 260: 214–216.

Strobel, G.A., A. Stierle and D. Stierle. 1993. Taxomyces

andreanae, a proposed new taxon for a bulbilliferous

hyphomycete associated with Pacific yew.

Mycotaxon, 47: 71–78.

Strobel, G.A., W.M. Hess, E.J. Ford, R.S. Sidhu and Yang X.

1996a. Taxol from fungal endophytes and issue of

biodiversity. J. Indust. Microbiol., 17: 417–423.

Strobel, G., Yang X.S. and J. Sears. 1996b. Taxol from

Pestalotiopsis microspora, an endophytic fungus of

Taxus walachiana. Microbiology, 142: 435–440.

Suffness, M.V. 1995. Taxol: science and applications. USA:

CRC Press Inc., Boca Raton, FL.

122 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Taylor, R.L. and S. Taylor. 1981. Taxus brevifolia in British

Columbia. Davidsonia, 12: 89–94.

Thomas, P.A. and A. Polwart. 2003. Taxus baccata L.

biological flora of the British Isles 229. J. Ecol., 91:

489–524.

Thompson, D. and C. Teoranto. 2014. Cultivation of Irish

Yew. Tree Improvement Section, Kilnacurra Park,

Co. Wicklow. [http://www.woodlandrestoration.ie

/Userfiles/david-thomson.pdf‎/, diakses 21 Maret

2014].

Troup, R.S. 1921. Silviculture of Indian Tree. Vol.I-III.

Calendon Press, Oxford.

Vance, N.C. and P.O. Rudolp. 2000. Taxus L.

[http://www.enensl.fs.fed.us/wpsmn/Taxus.pdf,

diakses, 25 Maret 2005].

Vongpaseuth, K. and S.C. Roberts. 2007. Advancements in

the understanding of paclitaxel metabolism in tissue

culture. Curr. Pharm. Biotechnol., 8: 219–36.

Waibel, T. 2010. Transcriptional regulation of TaxolTM

biosynthesis in Taxus cuspidata procambium cells.

Disertation, Institute of Melucular Palnt Sciences,

School of Biological Sciences, The University of

Edinburgh, Jerman.

Wang J., Guiling L., Huaying L., Zhonghui Z., Yaojian H.

and Wenjin S. 2000. Taxol from Tubercularia sp.

strain TF5, an endophytic fungus of Taxus mairei.

FEMS Microbiology Letters, 193: 249–253.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 123

Wang Y.J., Yuan M., Lu J.C., Wu and Jiang J.L. 2003.

Inhibitor studies of isopentenyl pyrophosphate

biosynthesis in suspension cultures of the yew Taxus

chinensis var. mairei. Biotechnology and Applied

Biochemistry, 37: 39–43.

Wang Y-F., Yu S-H., Dong M., Zhang M-L., Huo C-H. and

Shi Q-W. 2010. Chemical Studies on Taxus cuspidata.

Chemistry & Biodiversity, 7: 1698–1716.

Wani, M.C., H.L. Taylor, M.E. Wall, P. Coggon and A.T.

McPhail. 1971. Plant antitumor agents. VI. Isolation

and structure of Taxol, a novel antileukemic and

antitumor agent from Taxus brevifolia. J. Am. Chem.

Soc., 93: 2325–2327.

Webster, L., R.F. Smith, S.I. Cameron and M. Krasowski.

2005. Developing improved nursery culture for the

production of rooted cuttings of Canada Yew (Taxus

canadensis Marsh.). In: Potter, M.A. and B.E. Quill.

(eds). Proceedings of the 32nd Annual Meeting of the

Plant Growth Regulation Society of America,

Newport Beach, California, USA, 24–27 July, 2005,

pp. 95–100.

Wender, P.A., N.F. Badham, S.P. Conway, P.E. Floreancig,

T.E. Glass, C. Gränicher and J.B. Houze. 1997. The

pine path to Taxanes. 5. Stereocontrolled synthesis of

a versatile Taxane precursor. J. Am. Chem. Soc., 119:

2755–2756.

124 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Wilson, C.R., J-M. Sauer and S.B. Hooser. 2006. Taxines: a

review of the mechanism and toxicity of yew (Taxus

spp.) alkaloids. Toxicon, 39: 175–185.

Wilson, P., M. Buonopane and T.D. Allison. 1996.

Reproductive biology of the monoecious clonal

shrub Taxus canadensis. Bull. Torrey Bot. Club, 123: 7–

15.

Windels, S.K. and D.J. Flaspohler. 2011. The ecology of

Canada Yew (Taxus canadensis Marsh.): A review.

Botany, 89: 1–17.

Wubet, T., M. Weiß, I. Kottke and F. Oberwinkler. 2003.

Morphology and molecular diversity of arbuscular

mycorrhizal fungi in wild and cultivated yew (Taxus

baccata). Canadian Journal of Botany, 81: 255–266.

Yeates, L.D., R.F. Smith, S.I. Cameron and J. Letourneau.

2005. Recommended Procedures for Rooting Ground

Hemlock (Taxus canadensis) Cuttings. Natural

Resources Canada Canadian Forest Service -

Atlantic Forestry Centre, Fredericton, New

Brunswick, CANADA.

Yuan J.I., Jian-Nan B.I., Yan B. and Zhu X-D. 2006. Taxol-

producing Fungi: A New Approach to Industrial

Production of Taxol. Chinese Journal of Biotechnology,

22: 1–6.

Zaiyou J., Meng L., Xu G. and Zhou X. 2013. Isolation of an

endofitik fungus producing baccatin III from Taxus

wallichiana var. mairei. J. Ind. Microbiol. Biotechnol.,

40: 1297–1302.

Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra | 125

Zamani, S., Z. Abbasian, G. Khaksar, S. Movahedi, M.

Talebi and B.E.S. Tabatabaei., 2008. Genomic

diversity among yew (Taxus baccata L) genotypes of

Iran revealed by random amplified polymorphism

DNA markers. Int. J. Agri. Biol., 10: 648–652.

Zamir, L.O., Zheng Y.F., G. Caron, F. Sauriol and O.

Mamer. 1996. Rearrangement of the major Taxane

from T. Canadensis. Tetrahedron Letters, 37: 6435–

6438.

Zhang C., Mei X., Liu L. and Yu L. 2000. Enhanced

paclitaxel production induced by the combination of

elicitors in cell suspension cultures of Taxus

chinensis. Biotechnology Letters, 22: 1561–1564

Zhang C.H., S.F. Pedro, Guangyuan H. and Zhenjia C. 2007.

Enhanced paclitaxel productivity and release

capacity of Taxus chinensis cell suspension cultures

adapted to chitosan. Plant Science, 172: 158–163.

Zhang S., Chen W.M. and Chen Y.H. 1992. Isolation and

identification of two new Taxane diterpenes from

Taxus chinensis (Pilger) Rehd. Yaoxue Xuebao, 27:

268–270.

Zhao K., Ping W., Li Q., Hao S., Zhao L., Gao T. and Zhou

D.P. 2009. Aspergillus niger var. taxi, a new species

variant of Taxol-producing fungus isolated from

Taxus cuspidata in China. Journal of Applied

Microbiology, 107: 1202–1207.

126 | Taxus sumatrana: Mutiara Terpendam dari Zamrud Sumatra

Zhiri, A., M. Jaziri, J. Homes, M. Vanhaelen and K.

Shimomura. 1994. Factors affecting the in vitro rapid

germination of Taxus embryos and the evaluation of

Taxol content in the planflets. Plant Cell Tiss. Org.

Cult., 39: 261–263.

Zhou X., Zhu H., Liu L., Lin J. and Tang K. 2010. A review:

recent advances and future prospects of Taxol-

producing endofitik fungi. Appl. Microbiol.

Biotechnol., 86: 1707–1717.

Zu Y-G., Chen H-F., Wang W-J. and Nie S-Q. 2006.

Population structure and distribution pattern of

Taxus cuspidata in Muling region of Heilongjiang

Province, China. Journal of Forestry Research, 17: 80–

82.

Riwayat Penulis

Asep Hidayat, S.Hut, M.Agr,

Ph.D.; dilahirkan di Lembang,

Bandung, tanggal 26 Juni 1977.

Pendidikan Strata-1 jurusan

Teknologi Hasil Hutan, Fakultas

Kehutanan, Institut Pertanian

Bogor (IPB) diselesaikan pada

Tahun 2000. Tahun 2002 mulai

bekerja sebagai peneliti di Balai

Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan, Badan

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian

Kehutanan. Pada tahun 2007 mendapat kesempatan

menjadi research student yang dilanjutkan dengan

pendidikan Strata-2 dan Strata-3 di Ehime University,Japan

dengan beasiswa dari Monbukagakusho, MEXT (Ministry of

Education Culture, Sports, Sciences and Technology). Gelar

Master of Agriculture (M.Agr) diperolehnya tahun 2010 dan

Doctor of Philosophy (Ph.D) pada tahun 2013. Kini penulis

kembali aktif menjadi peneliti dengan ketertarikan pada

bidang biodegradasi polutan organik (tumpahan minyak,

PAHs, PCbs, dyes, plastik biopolymer, dan lain-lain),

teknologi enzimatik, mikrobiologi, bioresources science, dan

sintesa bahan alam.

Selama masa pendidikan dan menjadi peneliti,

penulis cukup aktif memublikasikan karya ilmiahnya pada

jurnal nasional maupun internasional yang terakreditasi,

antara lain lebih dari 10 karyanya telah terbit pada jurnal

nasional, lebih dari 5 karyanya terbit pada jurnal

internasional, dan lebih dari 15 hasil penelitiannya telah

dipresentasikan di berbagai seminar nasional maupun

internasional. Satu penemuannya berupa jamur pendegra-

dasi tumpahan minyak mentah telah berhasil dipatenkan

(JP2011067199) pada tahun 2011. Penulis juga aktif di

berbagai organisasi profesi, seperti Wakil Sekretaris

Jenderal Himpunan Peneliti Indonesia (Himpenindo) tahun

2013–2018, Sekretaris 1 Forum Bioremediasi Indonesia (FBI)

tahun 2013–2018, Anggota Masyarakat Peneliti Kayu

Indoensia (MAPEKI), dan Anggota Japan Wood Research

Sciences (JWRS), Japan tahun 2009–2013.

Henti Hendalastuti Rachmat,

S.Hut, M.Si, Ph.D.; dilahirkan di

Sumedang, Jawa Barat pada

tanggal 8 Agustus 1978. Pendidik-

an sarjana ditempuh di Jurusan

Manajemen Hutan, Fakultas

Kehutanan, IPB, lulus pada bulan

April 2001. Sejak tahun 2002,

penulis bekerja sebagai peneliti

pada Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan,

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,

Kementerian Kehutanan. Kesempatan untuk melanjutkan

ke program master pada Progran Studi Ilmu Pengetahuan

Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB dan gelar Magister

Sains diperoleh pada tahun ajaran 2006/2007 dengan

beasiswa yang diperoleh dari Departemen Kehutanan.

Pada tahun 2013, penulis menyelesaikan pendidikan Strata-

3 di Ehime University, Japan dan mendapakan gelar Doctor of

Philosophy (Ph.D) dengan spesifikasi bidang keahlian

konservasi genetik di bawah bimbingan Prof. Ko. Harada.

Sampai dengan saat ini, penulis telah memubli-

kasikan lebih dari 15 karya ilmiahnya pada beberapa jurnal

nasional dan internasional, serta aktif menghadiri

pertemuan ilmiah nasional maupun internasional.

Ir. Atok Subiakto, M.Sc.; dilahirkan

pada tahun 1958 di Kota Bogor, Jawa

Barat. Sejak tahun 1983 mulai bekerja

sebagai peneliti pada Pusat Litbang

Konservasi dan Rehabilitasi, Badan

Penelitian dan Pengembangan Kehu-

tanan, Kementerian Kehutanan.

Pendidikan sarjana ditempuh di

Fakultas Kehutanan, UGM dan lulus pada tahun 1983.

Pendidikan master ditempuh di Royal Melbourne Institute

Technology, Melbourne, Australia pada tahun 1997.

Selama bekerja sampai dengan saat ini, penulis telah

terlibat di 6 proyek riset internasional. Penulis juga ikut

aktif dalam pertemuan ilmiah nasional dan internasional,

serta sebanyak >30 karya ilmiahnya telah dipublikasikan

pada beberapa jurnal nasional dan internasional.