pengaruh salep ekstrak daun binahong anredera...
TRANSCRIPT
PENGARUH SALEP EKSTRAK DAUN BINAHONG
(Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) TERHADAP
PEMBENTUKAN JARINGAN GRANULASI PADA
LUKA BAKAR TIKUS Sprague dawley
(Studi Pendahuluan Lama Paparan Luka Bakar 30 Detik dengan
Plat Besi)
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
SYIFA QURROTU AINI
NIM : 1111103000071
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Penelitian berjudul Penganrh Salep Ekstrak I)aun Binahong (Anredera cordifulia(Tenore) Steenis) terhadap Pembentukan Jaringan Granulasi pada Luka Bakar TikusSprngue dawley (Studi Pendahuluan Lama Paparan Luka Bakar 30 Detik dengan PlatBesi) yang diajukan oleh Syifa Qurrotu Aini (1111103000071),telah diujikan dalam sidang diFakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 8 September 2014. Laporan penelitian ini telahditerima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada programStudi Pendidikan Dokter.
J akarta, 8 Septembe r 201 4
DEWANPENGUJI
Pembi{bing I Pembimbing II
Rr. Ayu Fitri llaftari, M.Biomed.
Penguji, /
Ul/ fD-dr. Dyah Ayu Woro, M.Bior
Penguji II
dr. Achmad Luthfi Sp.B-KBD
INAN FAKT]LTAS
Dekan FKIK UIN
,,,r%in,spAnd dr. Wi
tll
!]'
Kaprodi PSPD
Ardini, M.Gi,z| Sp.GK
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGARUH SALEP EKSTRAKDAUN BINAHON G (Anredera cordifotia(Tenore) Steenisf TERIIADAP PEMBENTUKAN JARINGAN GRANULASI
PADA LUKA BAKAR TIKUS Sprague dawley(Studi Pendahuluan Lama Paparan Luka Bakar 30 Detik dengan Plat Besi)
Laporan PenelitianDiajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokfer, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar SarjanaKedokteran (S.Ked)
OlehSvifa Ourrotu Aini
NIM: 1111103000071
Pembirfibing I
Rr. Ayu Fitri Hfosari, M. Biomed.
Pembimbing II
$Crhdr. Dyah Ayu Woro, M. Biomed.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAI\ I}OKTERFAKT]LTAS Kf,DOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HII}AYATI]LLAH
JAKARTA1435 rr / 2014M
l,
t,I
I
b,
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum wr.wb.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabatnya.
Untuk menyelesaikan penelitian ini saya mendapat bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih
kepada :
1. Prof. Dr. (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp.And. selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. dr. Witri Ardini, M.Gizi., Sp.GK. selaku Kepala Program Studi
Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh
dosen di program studi ini yang selalu membimbing serta memberikan
ilmu kepada saya selama menjalani masa pendidikan di Program Studi
Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Rr. Ayu Fitri Hapsari M.Biomed. dan dr. Dyah Ayu Woro M. Biomed.
selaku dosen pembimbing yang telah membantu, menyediakan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk membimbing saya dari awal hingga akhir
penelitian ini.
4. Kedua orang tua tercinta, H. Dahlan SH dan Hj. Saidah S. Ag, yang selalu
memberikan semangat, motivasi, dan cinta kasihnya sepanjang hidup saya.
Juga adik – adik saya, Laily Amalia Nikmah, Sabila Nur Azkiyah dan
Khalida Syilla Fasiha serta seluruh keluarga besar H. Nian yang senantiasa
membuat saya bersemangat dalam menjalani pendidikan di Program Studi
Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. dr. Nurul Hiedayati Ph. D selaku penanggungjawab (PJ) laboratorium
farmakologi, Ibu Zeti Haryyati, M. Biomed. selaku penanggungjawab (PJ)
laboratorium biologi dan Ibu Nurlaeley Mida Rachmawati, S. Si, M.
v
Biomed., Ph. D selaku penanggungjawab (PJ) Animal House, serta Ibu Rr.
Ayu Fitri Hapsari M. Biomed selaku penanggungjawab laboratorium
histologi yang telah memberikan izin atas penggunaan laboratorium dalam
penelitian ini.
6. Teman-teman seperjuangan saya, yaitu Kelompok Belimbing, Asmi
Utami Asfar, Audi Fikri Aulia, Farah Nabilla Rahma, dan Seflan Syahrir
Ahliadi, serta seluruh laboran yang terlibat, antara lain : Mas Rachmadi,
Mba Suryani, dan Mba Din, serta Mas Harris dan Mas Panji yang telah
membantu dalam proses penelitian ini.
7. Pihak LIPI dan BALITRO yang telah membatu peneliti dalam pembuatan
ekstrak.
8. Ka Bayu dan Ka Zata, Program Studi Kesehatan Masyarakat 2010, yang
telah membantu saya dalam mengolah data.
9. Teman-teman PSPD 2010, 2011, 2012, dan 2013 yang selalu memberi
dukungan kepada saya.
10. Bapak-bapak Satpam dan OB FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
senantiasa membuka pagar dan menunggu peneliti saat penelitian di hari
libur.
Saya menyadari bahwa laporan penelitian ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak agar laporan penelitian ini dapat menjadi lebih baik.
Demikian laporan penelitian ini saya tulis. Semoga dapat bermanfaat bagi
para pembaca umumnya dan bagi penulis pada khususnya.
Wassalamu‟alaikum wr.wb.
Ciputat, 11 Agustus 2014
Peneliti
vi
PENGARUH SALEP EKSTRAK DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia
(Tenore) Steenis) TERHADAP PEMBENTUKAN JARINGAN
GRANULASI PADA LUKA BAKAR TIKUS Sprague dawley
(Studi Pendahuluan Lama Paparan Luka Bakar 30 Detik dengan Plat Besi)
(ABSTRAK)
Syifa Qurrotu Aini
Pendahuluan: Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) sering
digunakan untuk membantu penyembuhan luka. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh salep ekstrak daun Binahong terhadap pembentukan
jaringan granulasi pada luka bakar derajat III dan untuk mengetahui perbedaan
efektivitas salep ekstrak daun Binahong terhadap pembentukan jaringan granulasi
dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 40%. Parameter pembentukan jaringan
granulasi yang digunakan pada penelitian ini, yaitu : kepadatan deposit kolagen,
jumlah sel fibroblas, dan neovaskularisasi. Metode: Penelitian ini menggunakan
metode penelitian eksperimental. Subjek penelitian berupa tikus strain Sprague
dawley berjumlah 25 ekor yang dibagi dalam 5 kelompok perlakuan yaitu
kontrol positif, kontrol negatif, salep ekstrak daun Binahong 10%, salep ekstrak
daun Binahong 20%, dan salep ekstrak daun Binahong 40% dengan membuat luka
bakar dengan lama paparan luka bakar 30 detik pada kulit bagian dorsal tikus
menggunakan besi panas yang berukuran 4 x 2 cm. Hasil: Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kepadatan deposit kolagen pada kelompok kontrol positif
paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lain dan jumlah sel fibroblas paling
banyak terdapat pada kelompok perlakuan P2 (konsentrasi ekstrak 20%) dengan
perbedaan yang signifikan. Kepadatan deposit kolagen pada kelompok perlakuan
yang diberikan salep ekstrak daun Binahong lebih rendah dibandingkan kelompok
kontrol. Jumlah neovaskularisasi pada kelompok perlakuan P3 (konsentrasi
ekstrak 40%) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain namun
perbedaannya tidak signifikan. Kesimpulan: Salep ekstrak daun Binahong
memiliki efektivitas pada kepadatan deposit kolagen dan jumlah sel fibroblas
namun tidak memiliki efektifitas pada neovaskularisasi dalam pembentukan
jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley.
Kata Kunci : Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis), Luka Bakar ,
Jaringan Granulasi, Tikus
vii
EFFECT OF BINAHONG (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) LEAF
EXTRACT OINTMENT ON THE FORMING OF GRANULATION
TISSUE IN BURN WOUND Sprague dawley RAT
(The Study Advance for Exposure Time During 30 seconds with A Metal
Plate)
(ABSTRACT)
Syifa Qurrotu Aini
Introduction : Binahong leaf (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) can be used
to improve wound healing activity. The aims of this research were to study the
effectivity of Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis), and to study the
differences effectivity of Binahong leaf extract ointment (Anredera cordifolia
(Tenore) Steenis) on the forming of granulation tissue with concentration 10%,
20%, and 40%. The parameter that used in this research were density of collagen
deposition, number of fibroblast cells, and number of neovascularization.
Methode: This research using laboratory experimental method. The subject in this
research were 25 rats which divided into 5 groups, namely positive control,
negative control, and treatment group with concentration 10%, 20%, and 40% of
Binahong leaf extract ointment. Rat‟s back skin were wounded by hot plate (4 x 2
cm) to make burn wound. Result: Research result shows that the density of
collagen deposition in positive control and the number of fibroblast cell in group
P2 (extract concentration 20%) is the most among others with significantly
differences. The number of neovascularization in group P3 (extract concentration
40%) is more than the other group that is applied by Binahong leaf extract
ointment,but not significantly differences. Conclusion: Binahong leaf extract
ointment possess effectivity to the density of collagen deposition and the number
of fibroblast cell but not to the number of neovascularization on the forming of
granulation tissue in burn wound Sprague dawley rat.
Keyword: Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis), Burn Wound,
Granulation Tissue, Rats
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN ...........................................................................
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
KATA PENGANTAR .....................................................................................
ABSTRAK ........................................................................................................
DAFTAR ISI ....................................................................................................
DAFTAR TABEL ............................................................................................
DAFTAR GRAFIK ........................................................................................
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ..................................................................................
1.2 Rumusan masalah .............................................................................
1.3 Hipotesis ...........................................................................................
1.4 Tujuan penelitian ..............................................................................
1.4.1 Tujuan umum ..........................................................................
1.4.2 Tujuan khusus .........................................................................
1.5 Manfaat penelitian ............................................................................
1.5.1 Bagi peneliti ............................................................................
1.5.2 Bagi institusi ............................................................................
1.5.3 Bagi keilmuan...........................................................................
1.5.4 Bagi masyarakat ......................................................................
1.6 Kerangka teori ..................................................................................
1.7 Kerangka konsep ..............................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan teori ...................................................................................
2.1.1 Tanaman Binahong …..............................................................
2.1.2 Kulit ………………………………………………………….
2.1.3 Jaringan granulasi ……………………………………………
2.1.4 Luka bakar …………………………………………………...
2.1.5 Penanganan luka bakar ………………………………………
2.1.6 Pemberian topikal ekstrak daun Binahong …………………..
2.1.7 Tikus Sprague dawley ............................................................
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain penelitian ..............................................................................
3.2 Waktu dan tempat penelitian ............................................................
3.3 Bahan yang diuji ……………..........................................................
3.4 Populasi dan sampel penelitian …………………………………….
3.4.1 Kriteria inklusi……………………………………………….
i
ii
iii
iv
vi
viii
x
xi
xii
xiii
1
1
3
3
4
4
4
4
4
5
5
5
5
6
7
7
7
10
18
24
28
32
33
35
35
35
35
35
36
ix
3.4.2 Kriteria eksklusi……………………………………………...
3.4.3 Besar sampel …………………………………………………
3.5 Identifikasi variabel ………………………………………..............
3.5.1 Varibel bebas ………………………………………………...
3.5.2 Variabel terikat ………………………………………………
3.6 Definisi operasional .........................................................................
3.7 Alat dan bahan ……………………………………………………..
3.7.1 Alat penelitian ……...………………………………………..
3.7.2 Bahan penelitian ……………………………………………..
3.8 Alur penelitian ……………………….…………………………….
3.9 Cara kerja penelitian ……….………………………………………
3.9.1 Pembuatan luka bakar pada tikus ..………………...............
3.9.2 Pembuatan ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia
(Tenore) Steenis) …………..………………………………...
3.9.3 Pembuatan salep ekstrak daun Binahong …………………....
3.9.4 Perlakuan hewan coba ……………………………………….
3.9.5 Persiapan eksisi luka …………………………….…………..
3.9.6 Pembuatan preparat histopatologi kulit ………..…………….
3.9.7 Pengamatan histopatologi ...………………………………….
3.10 Analisis data …………………………………………………….....
3.11 Etika penelitian ................................................................................
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kepadatan deposit kolagen ...............................................................
4.2 Jumlah sel fibroblas .........................................................................
4.3 Neovaskularisasi ...............................................................................
4.4 Keterbatasan penelitian .....................................................................
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ...........................................................................................
5.2 Saran ..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
LAMPIRAN .....................................................................................................
36
36
37
37
37
37
38
38
38
39
40
40
40
41
43
43
44
44
49
50
51
52
55
58
61
62
62
62
64
69
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Respon sistemik terhadap luka bakar ……………………………...
Tabel 4.1 Rerata kepadatan deposit kolagen…………...................................
Tabel 4.2 Hasil analisis data pengaruh ekstrak daun Binahong terhadap
kepadatan deposit kolagen ...............................................................
Tabel 4.3 Rerata jumlah sel fibroblas ...............................................................
Tabel 4.4 Hasil analisis data pengaruh ekstrak daun Binahong terhadap
jumlah sel fibroblas .........................................................................
Tabel 4.5 Rerata jumlah pembuluh darah .......................................................
Tabel 4.6 Hasil analisis data pengaruh ekstrak daun Binahong terhadap
neovaskularisasi .............................................................................
27
53
54
56
57
59
60
xi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Rerata Kepadatan Deposit Kolagen ................................................
Grafik 4.2 Rerata Jumlah Sel Fibroblas ...........................................................
Grafik 4.3 Rerata Jumlah Pembuluh Darah .....................................................
53
56
59
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Daun binahong ............................................................................
Gambar 2.2 Komponen Sistem Integumen …………………………………..
Gambar 2.3 Struktur epidermis ………………………………………………
Gambar 2.4 Gambaran histologis jaringan granulasi …………………….…..
Gambar 2.5 Tahap penyembuhan luka primer dan sekunder ………………...
Gambar 2.6 Langkah – langkah proses angiogenesis ………………………..
Gambar 2.7 Frekuensi Mortalitas Akibat Luka Bakar karena Api per
100.000 anak -anak di daerah WHO berdasarkan Tingkat
Pendapatan Negara ……………………………….……………..
Gambar 2.8 Ilustrasi Kedalaman Luka Bakar dan Hubungannya dengan
Lapisan Kulit …………………………………………………….
Gambar 2.9 Rules of nine Wallace …………………………………………...
Gambar 2.10 Bentuk sediaan obat topikal …………………………………...
Gambar 3.1 Hasil tes homogenitas salep ekstrak daun binahong …………....
Gambar 3.2 Contoh Hasil Pengolahan Foto dengan Menggunakan Program
Adobe Photoshop 6.0 ……………………………………………
Gambar 3.3 Hasil penilaian kepadatan deposit kolagen dengan menggunakan
histogram format RGB Blue …………………………………….
Gambar 3.4 Pengaturan Grid Line pada Program Adobe Photshop CS3 …….
Gambar 3.5 Pengaturan Guides, Grid & Slices pada Program Adobe
Photoshop CS3 ..........................................................................
Gambar 3.6 Grid line yang muncul pada Program Adobe Photoshop CS3 ….
Gambar 4.1 Gambaran makroskopik luka bakar pada tikus Sprague dawley
pada hari pertama setelah pembuatan luka ..................................
Gambar 4.2 Gambaran makroskopik luka bakar pada tikus Sprague dawley
pada hari ke – 5 setelah pembuatan luka ......................................
Gambar 4.3 Deposit kolagen pada jaringan granulasi luka bakar ....................
Gambar 4.4 Sel fibroblas pada jaringan granulasi luka bakar .........................
Gambar 4.5 Neovaskularisasi pada jaringan granulasi luka bakar ..................
Gambar 6.1 Aklimatisasi sampel penelitian ....................................................
Gamabr 6.2 Proses pencukuran sampel penelitian ..........................................
Gambar 6.3 Proses pembuatan besi panas untuk membuat luka bakar ...........
Gambar 6.4 Proses pembuatan luka bakar pada sampel penelitian ..................
Gambar 6.5 Kondisi luka bakar pada sampel penelitian ..................................
Gambar 6.6 Proses pemberian salep ekstrak daun Binahong ..........................
Gambar 6.7 Proses sacrifice sampel penelitian ...............................................
Gambar 6.8 Proses pengambilan organ kulit ...................................................
Gambar 6.9 Fiksasi organ kulit dalam larutan formalin ..................................
Gambar 6.10 Proses pembuatan preparat .........................................................
Gambar 6.11 Proses pewarnaan preparat .........................................................
Gambar 6.12 Proses pengambilan foto preparat ..............................................
8
11
12
19
20
22
24
25
27
32
42
46
46
48
48
49
51
51
52
56
59
73
73
73
73
73
73
74
74
74
74
74
74
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil identifikasi tanaman ..............................................................
Lampiran 2 Hasil ekstraksi tanaman ..................................................................
Lampiran 3 Surat keterangan tikus sehat ……………………………………....
Lampiran 4 Surat persetujuan etik …………………………………………......
Lampiran 5 Gambar proses penelitian ................................................................
Lampiran 6 Riwayat hidup penulis .....................................................................
69
70
71
72
73
75
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Luka bakar merupakan luka yang ditimbulkan akibat trauma termal.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013, prevalensi luka bakar di
Indonesia sebesar 0,7%. Prevalensi tertinggi terjadi pada usia 1 – 4 tahun sebesar
1,5%.1 Frekuensi kematian akibat luka bakar di negara dengan pendapatan rendah
dan menengah sebelas kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara dengan
pendapatan tinggi. Kebanyakan kematian luka bakar juga terjadi di daerah Afrika,
Asia Tenggara dan Timur Tengah.2
Luka bakar dapat menimbulkan komplikasi beberapa infeksi, antara lain:
infeksi respirasi (24%), infeksi ginjal (15%), infeksi kardiovaskular (16%), infeksi
hematologi (1%), dan infeksi neurologi(1%). Luka bakar memiliki klasifikasi
berdasarkan kedalaman luka dan luas luka, antara lain : luka bakar derajat I,
derajat II, dan derajat III. Luka bakar derajat III merupakan luka yang paling luas
dan merusak seluruh lapisan kulit. Salah satu faktor yang mempengaruhi
mortalitas pada luka bakar adalah luas luka bakar yaitu ≥ 50% Total Body Surface
Area (TBSA).3
Salah satu komponen dari penyembuhan luka bakar adalah pembentukan
jaringan granulasi. Pembentukan jaringan granulasi didahului oleh adanya respon
inflamasi pada luka tersebut. Komponen jaringan granulasi terdiri atas sel leukosit
(makrofag dan neutrofil), fibroblas, dan angiogenesis. Jaringan granulasi akan
terbentuk dari awal terjadinya luka hingga minggu ke - 4 setelah timbulnya luka.4
Pembentukan jaringan granulasi juga dapat mempengaruhi waktu penyembuhan
luka.
Masyarakat Indonesia masih sering menggunakan obat – obatan herbal
sebagai media penyembuhan luka. Salah satu bahan herbal yang sering digunakan
adalah daun binahong. Binahong (Anredera cordifolia(Tenore)Steenis) adalah
tanaman yang berasal dari negara Amerika Selatan. Penyebaran tanaman ini
cukup luas, yaitu meliputi Afrika, daerah Australia-Asia, Eropa, dan Amerika
2
Utara.5
Binahong memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia. Di
Indonesia, tanaman ini sering dikenal sebagai penghias gapura yang melingkar di
atas jalan taman.6 Selain itu, masyarakat juga sering menggunakan tumbukan
daun Binahong sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan luka. Tanaman ini
sering dijadikan sebagai makanan di beberapa negara, seperti Vietnam dan
Taiwan. Masyarakat Cina, Korea, dan Taiwan juga sering mengkonsumsi tanaman
ini karena dipercaya dapat membantu penyembuhan dari suatu penyakit.7
Hampir seluruh bagian tanaman Binahong dapat digunakan untuk terapi
herbal.8
Namun, masyarakat lebih sering menggunakan daun Binahong untuk
langsung dimanfaatkan. Daun Binahong memiliki banyak manfaat, antara lain
sebagai antiinflamasi, antioksidan, antibakteri, dan analgesik.5 Binahong juga
dipercaya dapat menyembuhkan penyakit diabetes, wasir, penyakit jantung, tifus,
stroke, reumatik, pemulihan pasca operasi, menyembuhkan luka dalam dan luka
khitanan, sesak napas, keputihan, hepatomegali dan asam urat.6
Binahong memiliki zat aktif, antara lain: flavonoid yang berkhasiat
sebagai antibakteri, asam oleanolat yang berkhasiat sebagai antiinflamasi dan
mengurangi nyeri pada luka bakar, dan ancordin yang berkhasiat untuk
menstimulasi pembentukan antibodi dan menstimulasi pembentukan nitric oxide.
Nitric oxide dapat meningkatkan sirkulasi darah yang membawa nutrien ke sel,
merangsang produksi hormon pertumbuhan, dan mengganti sel yang rusak dengan
sel yang baru.7 Penelitian yang dilakukan oleh Chotimah (2013) menunjukkan
pemberian ekstrak daun Binahong dapat meningkatkan sel fibroblas pada
penyembuhan luka akibat ekstraksi gigi.9 Beberapa studi menyebutkan bahwa
ekstrak daun Binahong memiliki kemampuan antibakteri, baik bakteri gram
positif maupun bakteri gram negatif. Selain itu, binahong juga dapat digunakan
sebagai obat untuk penyakit menular seksual.10
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Persada et al (2014) tingkat
kesembuhan luka bakar derajat II dengan pemberian Binahong lebih tinggi
dibandingkan dengan hidrogel secara mikroskopik, namun secara mikroskopik
tidak terdapat perbedaan yang signifikan.11
Penelitian – penelitian mengenai pengaruh ekstrak daun Binahong
terhadap waktu penyembuhan luka sudah banyak dilakukan, umumnya pada luka
3
insisi. Namun, penelitian mengenai pengaruh ekstrak daun Binahong terhadap
pembentukan jaringan granulasi pada luka bakar masih jarang dilakukan.
Berdasarkan hal diatas, penelitian ini bertujuan ini untuk mengetahui
pengaruh pemberian salep ekstrak daun Binahong terhadap pembentukan jaringan
granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan studi pendahuluan lama
paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi. Penelitian ini meliputi uji
histopatologi jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley yang
diberikan ekstrak daun Binahong dengan konsentrasi yang berbeda dengan lama
paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi.
1.2 Rumusan Masalah
- Apakah terdapat pengaruh pemberian salep ekstrak daun Binahong
(Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) terhadap pembentukan jaringan
granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka
bakar 30 detik dengan plat besi?
- Bagaimana pengaruh pemberian salep ekstrak daun Binahong (Anredera
cordifolia(Tenore)Steenis) dengan konsentrasi ekstrak daun Binahong
sebesar 10%, 20%, dan 40% terhadap pembentukan jaringan granulasi
(sel fibroblas, deposit kolagen, dan neovaskularisasi) pada luka bakar tikus
Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat
besi?
1.3 Hipotesis
- Terdapat pengaruh pemberian salep ekstrak daun Binahong (Anredera
cordifolia (Tenore) Steenis) dengan konsentrasi ekstrak daun Binahong
sebesar 10%, 20%, dan 40% terhadap pembentukan jaringan granulasi
pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30
detik dengan plat besi.
- Terdapat peningkatan kepadatan deposit kolagen, peningkatan jumlah sel
fibroblas, dan peningkatan jumlah neovaskularisasi pada pembentukan
jaringan granulasi luka bakar tikus Sprague dawley. Semakin tinggi
konsentrasi ekstrak daun binahong maka kepadatan deposit kolagen,
jumlah sel fibroblas, dan jumlah neovaskularisasi semakin meningkat.
4
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh pemberian salep ekstrak daun
Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) dengan
konsentrasi ekstrak daun Binahong sebesar 10%, 20%, dan 40%
terhadap pembentukan jaringan granulasi pada luka bakar tikus
Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan
plat besi.
1.4.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui perbedaan kepadatan deposit kolagen dalam
jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley
dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi yang
diberikan salep ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia
(Tenore)Steenis) dengan konsentrasi ekstrak daun Binahong
sebesar 10%, 20%, dan 40%.
Untuk mengetahui perbedaan jumlah sel fibroblas dalam
jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley
dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi yang
diberikan salep ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia
(Tenore)Steenis) dengan konsentrasi ekstrak daun Binahong
sebesar 10%, 20%, dan 40%.
Untuk mengetahui perbedaan jumlah neovaskularisasi dalam
jaringan granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley
dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi yang
diberikan salep ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia
(Tenore)Steenis) dengan konsentrasi ekstrak daun Binahong
sebesar 10%, 20%, dan 40%.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Bagi Peneliti
- Menerapkan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan selama
menempuh pendidikan di program studi pendidikan dokter UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5
- Menambah pengetahuan peneliti terhadap penerapan beberapa ilmu
kedokteran terhadap perkembangan dunia kesehatan.
b. Bagi Institusi
- Menambah informasi dan literatur mengenai bidang keilmuan
histopatologi.
- Memajukan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
mempublikasikan penelitian ini.
c. Bagi Keilmuan
- Dapat memberikan informasi mengenai pengaruh salep ekstrak daun
Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) terhadap
pembentukan jaringan granulasi luka bakar tikus Sprague dawley
dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi.
- Sebagai sumber referensi bagi praktisi yang tertarik dalam penelitian
histopatologi.
d. Bagi Masyarakat
- Menambah pengetahuan masyarakat mengenai bahan alam yang
efektif untuk penyembuhan luka bakar.
- Sebagai rujukan untuk pemanfaatan ekstrak daun binahong dalam
upaya peningkatan kesehatan masyarakat.
1.6 Kerangka Teori
Bagan 1.1 Kerangka Teori
6
1.7 Kerangka Konsep
Bagan 1.2 Kerangka Konsep
Salep ekstrak etanol
daun binahong
dengan konsentrasi
ekstrak sebesar
10%, 20%, dan 40%
Luka bakar pada tikus
Sprague dowley dengan
lama paparan luka
bakar 30 detik dengan
plat besi
Peningkatan Kepadatan
Deposit Kolagen
Peningkatan Jumlah
Sel Fibroblas Peningkatan Jumlah
Neovaskularisasi
Pembentukan Jaringan
Granulasi
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Tanaman Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis)
2.1.1.1 Morfologi dan Klasifikasi Tanaman
Binahong adalah tumbuhan merambat dan berumur panjang (perennial)
dan panjangnya dapat mencapai 5 meter. Tanaman ini memiliki batang yang
lunak, berbentuk silindris, saling membelit, berwarna merah, bagian dalam solid,
permukaan halus, kadang membentuk semacam umbi yang melekat di ketiak daun
dengan bentuk tidak beraturan dan bertekstur kasar. Bunga majemuk berbentuk
tandan , bertangkai panjang, muncul di ketiak daun. Mahkota bunga berwarna
krem keputihan berjumlah lima helai dan tidak berlekatan, panjang helaian
mahkota 0,5 – 1 cm, dan berbau harum. Akar binahong berbentuk rimpang dan
lunak.6 Berikut adalah deskripsi daun binahong :
Warna : Hijau
Bentuk : Tunggal, berbentuk jantung, bertangkai pendek, tersusun
berselang – seling, panjang daun 5 – 10 cm, lebar 3 - 7 cm, helaian daun
tipis lemas, ujung runcing, pangkal berlekuk, tepi rata, dan permukaan
licin.6,12
Berdasarkan ilmu taksonomi, berikut adalah klasifikasi dari tanaman
binahong :13
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisio : Spermatophyta
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Caryophyllidae
Ordo : Caryophyllales
Familia : Basellaceae
Genus : Anredera
Spesies : Anredera cordifolia (Tenore) Steenis
8
Gambar 2.1 Daun Binahong
Tanaman Binahong tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini
juga dapat tumbuh pada ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut dengan
suhu 200C -30
0C pada bulan Januari dan 10
0C – 30
0C pada bulan Juli serta dengan
curah hujan 500 – 2000 mm per tahun. Tanaman ini tumbuh pada beberapa
vegetasi, seperti hutan, lahan pertanian dan lahan yang berumput. Pada tanah
lembab yang subur, tanaman ini dapat tumbuh secara agresif setinggi 40 meter
dan membentuk pohon kanopi. Kecepatan pertumbuhan binahong 1 meter per
bulan, dan lebih dari 1 meter pada musim panas. Binahong lebih cepat tumbuh di
daerah yang memiliki banyak cahaya.13
Oleh karena itu, tanaman binahong dapat
tumbuh dengan mudah di Indonesia karena Indonesia merupakan negera tropis
yang mendapat intensitas sinar matahari yang tinggi.
Perbanyakan tanaman binahong dapat dilakukan secara vegetatif dengan
menggunakan akar rimpang dan secara generatif dengan menggunakan biji.
Sampai saat ini, umumnya perbanyakan tanaman secara vegetatif karena lebih
cepat pertumbuhannya dan sifatnya sama seperti induknya. Perbanyakan dari akar
dengan mencabut atau memisahkan rimpang dari pohon induk.13,6
Rimpang yang
dipilih adalah rimpang yang paling tua. Selanjutnya, rimpang ditanam pada media
tanah yang telah dicampur dengan pupuk kandang 1 : 1. Rimpang yang telah
ditanam diberikan pelindung sampai 50%. Perbanyakan secara generatif dapat
menggunakan biji yang telah matang. Biji yang disemai saat pembibitan harus
memiliki 4 – 6 daun, dan setelah berumur 1 bulan dapat dipindahkan ke
lapangan.6
9
Tanaman Binahong merupakan tanaman asli dari kawasan Amerika
Selatan dan penyebaran cukup luas hingga ke beberapa negara. Hampir diseluruh
benua terdapat tanaman ini, kecuali di benua Antartika, antara lain : Amerika
Selatan (Bolivia, Ekuador, Paraguay, Peru), Mesoamerika (Costa rica, Honduras,
Elsavador), Amerika Utara (bagian selatan Amerika Serikat), Asia (China), Eropa
(Perancis), Afrika (Malawi, Senegal) dan Australia.6
2.1.1.2 Kandungan Kimiawi dan Manfaat Daun Binahong
Daun binahong mengandung senyawa fenol yang tinggi, asam askorbat
dan antioksidan. Senyawa tersebut juga dapat digunakan sebagai antibakteri.
Asam oleanolat yang terdapat di dalam daun binahong dapat berfungsi sebagai
antiinflamasi. Rimpang binahong mengandung protein ancordin yang dapat
menstimulasi nitrit oksida sehingga sirkulasi aliran darah menuju menjadi lebih
baik serta dapat juga menstimulasi tubuh menghasilkan hormon pertumbuhan dan
merangsang pergantian sel yang rusak dengan sel yang baru.7
Saponin dapat ditemukan pada bagian daun, batang, akar tanaman
binahong. Kadar saponin dalam daun sebesar 28.14±0.22 mg/g, batang sebesar
3.65±0.11 mg/g, dan dalam rimpang sebesar 43.15±0.10 mg/g. Saponin dapat
diklasifikasikan menjadi triterpenoid, steroid, dan alkaloid. Saponin dapat
berfungsi sebagai antibakteri, antiviral, antitumor, penurun kolesterol dan dapat
menstimulasi pembentukan kolagen yang memiliki peran penting dalam proses
penyembuhan luka. Saponin juga berperan sebagai hormon steroid yang berperan
sebagai zat analgesik dan antiinflamasi. Saponin dapat berpotensi sebagai “salep
hidrokarbon” untuk pembentukan kolagen tipe 1.7
Daun Binahong juga mengandung zat aktif lain, yaitu flavonoid. Jenis
flavonoid yang terkandung di dalam ekstrak Binahong adalah flavonol.15
Flavonoid berperan sebagai antioksidan dan antimikroba. Flavonoid memiliki
gugus hidroksil yang dapat menetralisir radikal bebas. Flavonoid juga dapat
menghambat enzim yang membantu pembentukan radikal bebas dan
meningkatkan proteksi antioksidan lain. Proses peroksidasi lipid dapat
menimbulkan radikal bebas. Flavonoid melindungi lipid agar tidak mengalami
kerusakan akibat stress oksidatif dan akan mencegah terjadinya radikal bebas.18
10
Flavonoid dapat menghambat enzim DNA gyrase sehingga pertumbuhan
bakteri akan terhambat. Flavonoid juga dapat berperan sebagai antiinflamasi.
Flavonoid dapat mengganggu transduksi sinyal dan aktivasi sel imun dengan cara
menghambat enzim kinase dan fosfodiesterase.18
Binahong juga mengandung vitamin C yang berfungsi sebagai kofaktor
hidroksilasi prolin dalam pembentukan kolagen. Vitamin C dapat menstimulasi
angiogenesis. Terdapat perbedaan kadar vitamin C pada daun binahong segar dan
ekstrak daun binahong. Kadar vitamin C pada daun binahong segar sebesar
13.05±0.64mg/100gr dan pada ekstrak daun binahong sebesar 6.76±0.77
mg/100gr.16,17
2.1.2 Kulit
Kulit merupakan organ terbesar tubuh.19
Proporsi kulit sebesar 16% dari
berat tubuh total. Luas area kulit tubuh sebesar 1,5 – 2 m2. Kulit merupakan
pertahanan tubuh pertama yang melawan organisme patogen dari luar.20
Kulit
memiliki dua komponen utama yaitu :
1. Membran kutaneus, yang terdiri atas 2 komponen yaitu : epidermis (epitel
superfisial) dan dermis (jaringan ikat yang terletak dibawah epidermis)
2. Struktur tambahan, antara lain : rambut, kuku, dan kelenjar eksokrin
multiseluler. Struktur – struktur tersebut terletak di dermis dan menonjol
ke permukaan kulit melalui epidermis.
Terdapat lapisan hipodermis atau lapisan subkutan yang terletak di bawah
lapisan dermis. Lapisan hipodermis memisahkan antara fasia dalam organ yaitu
otot dan tulang dengan sistem integumen.20
Fungsi kulit dan hipodermis, antara lain :
1. Proteksi jaringan yang terdapat dibawahnya dan organ terhadap aberasi,
kehilangan cairan dan zat kimia
2. Ekskresi garam, air, dan zat sisa organik oleh kelenjer integumen
3. Mempertahankan suhu tubuh normal melalui insulasi maupun pendinginan
evaporasi
11
4. Produksi melanin yang melindungi jaringan dari radiasi ultraviolet
5. Sintesis vitamin D
6. Tempat penyimpanan lipid di dalam adiposit pada lapisan dermis dan
dalam jaringan adiposa di lapisan subkutan.
7. Mendeteksi rangsangan sentuhan, tekanan, nyeri dan suhu dan
menyampaikan informasi rangsangan tersebut ke sistem saraf pusat.
Gambar 2.2 Komponen Sistem Integumen
Sumber : Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF, 2012
2.1.2.1 Epidermis
Lapisan epidermis tersusun atas sel epitel skuamosa berlapis dan
berkeratin. Epitel ini berperan sebagai proteksi mekanik dan menjaga agar
mikroorganisme tetap di luar tubuh. Epidermis bersifat avaskular. Sel – sel yang
terletak di lapisan epidermis mendapat nutrisi dan oksigen dari kapiler dermis
melalui difusi. Epidermis di dominasi oleh keratinosit yang menghasilkan
keratin.20
12
Gambar 2.3 Struktur Epidermis
Sumber : Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF, 2012
Keratinosit yang terdapat di dalam epidermis tersusun berlapis –
lapis. Lapisan epidermis disebut stratum. Lapisan – lapisan tersebut dari membran
basal ke permukaan antara lain : stratum basalis, stratum spinosum, stratum
granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum. Pada kulit yang tipis,
terdapat 4 lapisan keratinosit dengan ketebalan 0.08 mm dan tidak terdapat
stratum lusidum sedangkan pada kulit yang tebal terdapat 5 lapisan keratinosit
dengan ketebalan 0.5 mm dan terdapat stratum lusidum. Kulit tebal terletak pada
telapak tangan dan telapak kaki.20
Stratum basalis merupakan lapisan paling dalam epidermis. Sel
yang terletak pada lapisan ini memiliki hemidesmosom yang menempel pada
membran basalis yang memisahkan epidermis dengan jaringan ikat longgar yang
berdekatan dengan dermis. Stratum basalis membentuk lekukan epidermis
(epidermal ridge) yang meluas hingga ke bagian dermis dan dekat dengan papila
dermis yang meluas hingga ke bagian epidermis. Pola lekukan epidermis setiap
orang berbeda – beda dan tidak pernah berubah. Pola – pola lekukan epidermis
pada ujung jari membentuk sidik jari dan sering digunakan unutk proses
identifikasi.20
Sel yang terdapat di stratum basalis merupakan stem cell dan
memiliki daya regenerasi yang tinggi. Selain itu, pada bagian permukaan kulit
yang memiliki sedikit rambut, terdapat sel Merkel di stratum basalis. Terdapat sel
taktil yang berfungsi untuk menghantarkan rangsangan sentuhan dan sel melanosit
yang menghasilkan melanin.20
13
Stratum spinosum tersusun atas 8 – 10 lapis keratinosit. Lapisan ini
terletak di bagian atas stratum basalis. Keratinosit pada lapisan ini mengalami
proses kimiawi. Sitoplasma sel mengkerut namun menyisakan komponen
sitoskeleton dan desmosom yang masih intak. Selain itu juga terdapat sel
Langerhans (sel dendritik) yang berperan untuk respon imun.20
Stratum granulosum terdiri atas 3 -5 lapis keratinosit yang
merupakan derivat dari stratum spinosum yang terletak dibawahnya. Keratinosit
pada lapisan ini mulai berhenti membelah dan menghasilkan keratin dan
keratohialin yang banyak. Ketika keratin yang dihasilkan semakin banyak maka
keratinosit akan semakin tipis dan datar. Membran sel akan menebal dan
permeabilitasnya berkurang. Keratohialin membentuk granula sitoplasmik yang
menyebabkan sel dehidrasi. Akibat dehidrasi tersebut, nukleus dan organel sel
mengalami disintegrasi sehingga sel menjadi mati.20
Stratum lusidum terletak pada telapak tangan dan telapak kaki. Sel
pada lapisan ini berbentuk datar, tanpa organel dan terisi oleh keratin.20
Stratum korneum terletak pada bagian epidermis yang paling luar.
Lapisan ini tersusun atas 15 – 30 lapis keratinosit. Pada keadaan normal, stratum
korneum bersifat kering dan water resistent. Air yang berasal cairan interstitial
dapat berpenetrasi ke permukaan kulit dan mengalami evaporasi. Proses tersebut
dinamakan perspirasi. Perspirasi ada yang dapat dilihat dan dirasakan secara sadar
(Sensible Perspiration) dan ada juga yang tidak dapat dilihat dan dirasakan
(Insensible Perspiration). Jika terjadi kerusakan pada stratum korneum yang
mengganggu efektifitasnya sebagai penahan air, maka frekuensi insensible
perspiration akan meningkat dan tubuh akan kehilangan lebih banyak cairan. Pada
luka bakar yang parah dapat menyebabkan terjadinya kulit kering yang berlebihan
(xerosis).20
2.1.2.2 Dermis
Dermis terletak di antara epidermis dan hipodermis. Lapisan ini
banyak mengandung jaringan ikat, kelenjar, dan pembuluh darah.27
Dermis
memiliki dua komponen utama yaitu :
1. Lapisan papilar (pada bagian superfisial)
14
2. Lapisan retikular (pada bagian dalam)
Lapisan papilar merupakan papila dermis yang berproyeksi
diantara lekukan epidermal. Lapisan ini tersusun atas jaringan ikat longgar yang
mengandung kapiler, pembuluh limfatik, dan neuron sensori yang menyuplai
permukaan kulit.20
Jaringan ikat longgar yang menyusun lapisan ini terdiri atas
serat kolagen tipe III dan serat kolagen. Sel – sel yang terdapat pada lapisan ini,
antara lain : sel fibroblas, makrofag, sel plasma, dan sel mast. Pada beberapa
bagian papilla dermis terdapat korpuskel Meissner. Korpuskel Meissner
merupakan mekanoreseptor yang berespon terhadap deformasi ringan epidermis.
Reseptor ini banyak terdapat di daerah yang peka terhadap rangsangan taktil,
seperti bibir, genitalia eksterna, dan puting susu. Mekanoreseptor lain yang
terletak pada papilla dermis adalah bulbus akhir Krause (Krause end bulb). Fungsi
dari mekanoreseptor ini adalah untuk merespon rangsangan dingin.45
Lapisan retikular tersusun atas anyaman jaringan ikat yang tidak
beraturan yang mengandung serat kolagen dan serat elastin. Serat kolagen terletak
pada bagian superfisial lapisan retikular dan masuk kedalam lapisan papilar,
sehingga batas antara lapisan papilar dan lapisan retikular tidak dapat dibedakan.20
Pada bagian intersitisial lapisan retikular terdapat proteoglikan yang banyak
mengandung dermatan sulfat. Sel yang terdapat pada lapisan ini, antara lain: sel
fibroblas, sel mast, limfosit, makrofag dan sel lemak pada bagian dalam lapisan
retikular. Pada lapisan ini terdapat 2 mekanoreseptor, yaitu korpuskel pacini dan
korpuskel ruffini. Korpuskel pacini berfungsi untuk merespon rangsangan tekanan
dan getaran sedangkan korpuskel ruffini berfungsi untuk merespon regangan. 45
Sel Fibroblas
Fibroblas merupakan sel terbanyak yang terdapat di jaringan ikat.
Sel ini berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi. Fibroblas dapat
berada dalam keadaan aktif maupun inaktif. Fibroblas yang aktif memiliki bentuk
memanjang dengan sitoplasma lebih pucat dan biasanya sulit dibedakan dengan
serat kolagen pada pewarnaan hematoxylin eosin. Bagian sel yang dapat terlihat
dengan jelas adalah nukleus yang berbentuk oval, lebih gelap, besar dan
mengandung nukleolus. Pada mikroskop elektron, apparatus golgi terlihat lebih
15
menonjol dan retikulum endoplasma kasar lebih banyak terutama saat sel sedang
aktif memproduksi matriks seperti pada penyembuhan luka.45
Sel fibroblas yang tidak aktif memiliki bentuk lebih kecil dan lebih
oval. Nukleusnya lebih kecil dan memanjang. Pada mikroskop elektron akan
terlihat retikulum endoplasma yang jarang namun banyak terdapat ribosom bebas.
Sel fibroblas yang tidak aktif disebut juga sel fibrosit. Pembelahan sel fibroblas
jarang terlihat pada jaringan normal. Namun, saat terjadi luka, sel tersebut akan
berproliferasi dan menjadi lebih aktif untuk memproduksi matriks ekstraseluler.
Saat penyembuhan luka, sel menjadi lebih besar dan bersifat basofilik. 45
Kolagen
Serat kolagen terletak pada seluruh jaringan ikat. Pada potongan
histologi, serat kolagen yang bersifat asidofilik akan berwarna merah muda pada
pewarnaan eosin, berwarna biru pada pewarnaan Mallory trichrome, dan berwarna
hijau pada pewarnaan Masson’s trichrome. Serat kolagen tersusun atas subunit
tropokolagen yang memiliki sekuens asam amino rantai alfa. Serat kolagen
menyusun 20% protein tubuh dan merupakan serat yang fleksibel dan memiliki
kekuatan regangan yang besar.45
Serat kolagen dibentuk dari agregat serat tipis yang berdiameter 10
sampai 300 nm. Serat tipis tersebut merupakan molekul tropokolagen dengan
panjang 280 nm dan berdiameter 1,5 nm. Molekul tropokolagen tersusun atas 3
rantai polipeptida yang disebut rantai alfa yang saling berpilin dan membentuk
konfigurasi triple helical. Setiap rantai alfa memiliki 1000 asam amino. Setiap 3
asam amino terdapat asam amino glisin. Asam amino lain yang menyusun rantai
alfa adalah prolin, hidroksiprolin, dan hidroksilisin. Ikatan hidrogen yang terdapat
pada hidroksiprolin menjaga agar ketiga rantai alfa tetap bersama sedangkan
hidroksilisin memberikan bentuk serat karena dapat saling mengikat molekul
kolagen.45
Setiap rantai alfa dikode oleh mRNA (messanger Ribonucleic
Acid) yang berbeda. Sekuens asam amino pada rantai alfa tersebut membagi
kolagen menjadi 15 tipe kolagen yang berbeda, yaitu: 45
a. Kolagen Tipe 1
- Tipe kolagen yang paling banyak ditemukan
16
- Membentuk serat yang tebal
- Terdapat di dermis, tendon, ligamen, kapsula organ, tulang, dentin, dan
sementum
- Dapat disintesis oleh sel fibroblas, osteoblas, odontoblas, dan
cementoblas
- Fungsi : menahan tekanan
b. Kolagen Tipe II
- Membentuk serat yang ramping
- Hanya ditemukan pada matriks kartilago hialin dan elastin
- Fungsi : menahan tekanan
- Dapat diproduksi oleh sel kondroblas
c. Kolagen Tipe III (serat retikular)
- Merupakan kolagen yang terglikosilasi tinggi
- Membentuk serat tipis dengan diameter 0,5 – 2,0
- Serat kolagen ini banyak terdapat di sistem limfatik, limpa, hati, sistem
kardiovaskular, paru, dan kulit.
- Membentuk struktur rangka limpa, otot polos, jaringan adiposa, hati, dan
nodus limfatik
- Dapat diproduksi oleh sel fibroblas, sel retikular, sel otot polos, dan
hepatosit
d. Kolagen Tipe IV
- Tidak membentuk serat, namun membentuk anyaman molekul
prokolagen yang melapisi lamina basalis
- Diproduksi oleh sel epitel, sel otot, dan sel Schwann
e. Kolagen Tipe V
- Membentuk serat yang sangat tpis
- Terdapat di dermis, ligamen, tendon, kapsul organ, tulang, plasenta, dan
sementum
- Berasosiasi dengan kolagen tipe 1 dan matriks dasar plasenta
- Diproduksi oleh sel fibroblas dan mesenkim
f. Kolagen Tipe VII
- Membentuk agregat kecil yang disebut anchoring fibril
17
- Terletak pada pertemuan antara epidermis dan dermis
- Diproduksi oleh sel epidermis
Sintesis Kolagen
Sintesis kolagen terjadi di retikulum endoplasma kasar dalam
bentuk rantai preprokolagen. Molekul preprokolagen yang telah disintesis masuk
ke dalam sisterna retikulum endoplasma kasar. Di dalam sisterna RE kasar,
molekul tersebut dimodifikasi. Asam amino prolin dan lisin akan terhidroksilasi
oleh enzim peptidil prolin hidroksilase dan peptidil lisin hidroksilase untuk
membentuk hidroksiprolin dan hidroksilisin. Proses ini disebut modifikasi post
translasi. Beberapa hidroksilisin mengalami glikosilasi dengan penambahan gugus
glukosa dan galaktosa.45
Tiga molekul preprokolagen membentuk konfigurasi heliks yang
disebut molekul prokolagen. Terdapat propeptida yang menjaga ikatan kolagen
tersebut dan mencegah agregasi spontan serat kolagen di dalam sel. Molekul
prokolagen meninggalkan RE kasar melalui vesikel transfer yang memindahkan
molekul tersebut ke apparatus golgi. Di apparatus golgi, molekul tersebut
dimodifikasi dengan penambahan oligosakarida. Molekul prokolagen yang telah
dimodifikasi kemudian dikemas di dalam jaringan trans golgi dan langsung
dikeluarkan dari sel.45
Saat prokolagen masuk ke dalam lingkungan ekstraseluler, enzim
prokolagen peptidase akan memecah ikatan antara propeptida dengan kolagen.
Molekul kolagen akan terbentuk lebih kecil dan disebut molekul tropokolagen.
Ikatan kovalen yang dibentuk oleh lisin dan hidroksilisin molekul tropokolagen
akan membentuk struktur serat. Pada kolagen tipe IV, propeptida yang terdapat
pada prokolagen tidak dihilangkan sehingga struktur kolagennya tidak
membentuk serat. 45
2.1.2.3 Hipodermis
Hipodermis terletak dibawah lapisan retikular dermis. Namun,
secara umum antara lapisan retikular dengan hipodermis tidak dapat dibedakan
dengan jelas karena jaringan ikat pada kedua lapisan saling bertautan. Fungsi
hipodermis adalah untuk stabilisasi kulit terhadap jaringan yang terdapat
18
dibawahnya yaitu otot dan tulang.28
Hipodermis tersusun atas jaringan ikat
longgar dan jaringan adiposa. Pada bagian superfisial terdapat pembuluh darah
arteri dan vena yang besar.20,27
2.1.3 Jaringan Granulasi
2.1.3.1 Definisi Jaringan Granulasi
Jaringan vaskular yang baru terbentuk secara normal pada proses
penyembuhan luka jaringan lunak dan membentuk sikatrik, terdiri atas masa yang
kecil, translusen, merah dan bernodul.19
Jaringan granulasi merupakan salah satu
komponen dari proses penyembuhan luka. Jika suatu luka mengenai area yang
luas atau luka tersebut mengenai daerah yang dilapisi dengan kulit yang tipis,
perbaikan jaringan terjadi pada bagian dermis dan epitel.
Pembelahan fibroblas dan sel mesenkim menghasilkan sel yang mobile
yang masuk ke dalam area luka. Sel endotel pembuluh darah yang rusak mulai
membelah, membentuk kapiler baru yang memperlancar sirkulasi. Kombinasi
bekuan darah, fibroblas, dan jaringan kapiler yang luas disebut sebagai jaringan
granulasi.21
Secara makroskopis, jaringan granulasi berwarna merah, lembut, dan
bergranul, seperti yang terlihat di bawah keropeng pada kulit luka. Secara
histologi ditandai dengan proliferasi sel fibroblas dan kapiler baru yang halus dan
berdinding tipis di dalam matriks ekstraseluler yang longgar.21
19
Gambar 2.4 Gambaran Histologis Jaringan Granulasi
A. Jaringan granulasi yang menunjukkan banyak pembuluh darah, edema,
dan suatu ekstraseluler matriks yang longgar yang kadang mengandung sel
radang. Hasil pewarnaan trikrom yang mewarnai biru kolagen.
B. Pewarnaan trikrom jaringan parut matur, kolagen padat, hanya disertai
saluran vaskular yang tersebar.
Sumber : Kumar et al, 2007
2.1.3.2 Proses Penyembuhan Luka
Proses perbaikan jaringan akibat luka sangat penting untuk
mempertahankan kehidupan. Setiap jaringan yang rusak dapat mengalami
perbaikan, namun kemampuannya sangat bervariasi. Proses penyembuhan luka
merupakan proses yang kompleks, namun terjadi secara teratur. Proses tersebut
terdiri atas serangkaian proses berikut :21
1. Induksi respon peradangan akut
2. Regenerasi sel parenkim
3. Migrasi dan proliferasi sel parenkim dan sel jaringan ikat
4. Sintesis protein ekstraseluler
5. Remodeling unsur parenkim untuk mengembalikan fungsi jaringan
6. Remodeling jaringan ikat untuk memperkuat luka.
Secara umum, proses penyembuhan luka juga dapat
diklasifikasikan menjadi 3 fase, yaitu: fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase
remodeling.22
Selain itu, berdasarkan keparahan lukanya, proses penyembuhan
luka ada yang bersifat primer maupun sekunder.21
20
Gambar 2.5 Tahap Penyembuhan Luka Primer (kiri) dan Sekunder (kanan).
Sumber : Kumar et al, 2007
Penyembuhan primer terjadi pada luka fokal pada kontinuitas
membran basalis epitel dan menyebabkan kematian sel dalam jumlah yang sedikit
sedangkan penyembuhan sekunder terjadi pada luka yang menyebabkan
kehilangan sel atau jaringan luas sehingga merangsang pertumbuhan jaringan
granulasi dan menyebabkan pertumbuhan jaringan parut.21
Perbedaan antara penyembuhan primer dan penyembuhan
sekunder, antara lain: secara intrinsik, jika terjadi kerusakan jaringan yang luas
maka jumlah debris jaringan nekrosis dan fibrin lebih banyak sehingga reaksi
radang menjadi lebih hebat dan berpotensi besar mengalami cedera sekunder
akibat radang, jaringan granulasi yang terbentuk lebih besar sehingga jaringan
parut yang terbentuk juga lebih besar, dan penyembuhan sekunder menunjukkan
adanya kontraksi luka.21
a. Fase Inflamasi
Fase inflamasi merupakan fase awal proses penyembuhan luka. Fase ini
terdiri atas 2 komponen, yaitu respon vaskular dan hemostasis, serta respon
seluler. Perdarahan terjadi segera setelah jaringan luka akibat disrupsi pembuluh
21
darah. Hemostasis terdiri atas 2 proses, yaitu pembentukan bekuan fibrin dan
koagulasi. Trombosit memiliki peran yang sangat penting dalam proses
hemostasis tersebut. Trombosit diaktivasi oleh matriks ekstraseluler di dinding
pembuluh darah sehingga membentuk agregat dan pada saat yang bersamaan
mengeluarkan mediator (serotonin, adenosine difosfat, dan tromboksan A2) dan
protein pengikat (fibrinogen, fibronektin, trombospodin, dan Von Willebrand
Factor VIII ). Dalam proses ini, terjadi perubahan fibrinogen menjadi fibrin oleh
trombin sehingga akan terbentuk bekuan fibrin.22
Respon seluler dari fase inflamasi ditandai dengan datangnya
leukosit, neutrofil dan monosit ke tempat luka. Sel – sel tersebut mengeluarkan zat
sitokin yang merupakan faktor kemotaksis untuk memanggil sel – sel leukosit lain
dan mengeluarkan faktor pertumbuhan sedangkan monosit akan berubah menjadi
makrofag dan memfagositosis sisa – sisa kotoran di tempat luka tersebut. Proses
ini berlangsung dalam waktu 24 jam setelah terjadinya luka.21, 22
b. Fase Proliferasi
Dalam fase proliferasi akan terjadi proses reepitelisasi, migrasi
keratinosit, proliferasi keratinosit, pembentukan Basement Membrane Zone
(BMZ), rekonstitusi dermis, fibroplasia, dan angiogenesis. Reepitelisasi
merupakan proses pengembalian epidermis intak setelah terjadi luka. Proses ini
dapat terjadi karena adanya migrasi sel keratinosit ke daerah luka, diferensiasi
neoepitel menjadi stratum epidermis, restorasi BMZ yang intak yang
menghubungkan dermis dan epidermis di bawahnya. Keratinosit bermigrasi dalam
waktu 24 jam setelah terjadi luka. Faktor yang mempengaruhi migrasi keratinosit
antara lain: matriks ekstraseluler, reseptor integrin, metalloprotease (MMP), dan
faktor pertumbuhan.22
Rekonstitusi dermis terjadi pada hari ke 3 – 4 setelah terjadinya
luka. Proses ini dicirikan dengan terbentuknya jaringan granulasi, yang terdiri atas
pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi) dan akumulasi fibroblas
dan bahan dasar matriks. Pada hari ke-4, fibroblas mulai berploriferasi dan
bermigrasi ke dalam bekuan fibrin serta menghasilkan kolagen baru dan protein
matriks lainnya. Molekul struktural matriks ekstraseluler, fibronektin dan kolagen
berperan untuk pembentukan jaringan granulasi. Fibronektin membantu fibroblas
22
berikatan dengan matriks ekstraseluler dan menyediakan tempat adhesi saat
migrasi sel. Fibronektin juga berperan sebagai penyangga serat kolagen dan
memediasi kontraksi luka. Migrasi fibroblas dapat distimulasi oleh PDGF dan
TGF-beta yang dihasilkan oleh makrofag.22
Jumlah fibroblas mencapai puncaknya
pada minggu ke 1-2 setelah terbentuknya luka. 28
Proses pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi)
melalui dua proses, yaitu: vaskulogenesis, yang jaringannya berasal dari angioblas
(prekursor sel endotel) selama perkembangan embrionik dan angiogenesis atau
neovaskularisasi yaitu pembuluh darah yang telah ada mengeluarkan tunas kapiler
untuk menghasilkan pembuluh darah baru. Berikut tahapan – tahapan umum
perkembangan pembuluh kapiler yang baru :21
1. Terjadi degradasi proteolitik pada membran basal pembuluh darah induk
dan degradasi matriks ekstraseluler di sekitar pembuluh darah induk
Gambar 2.6 Langkah – langkah Proses Angiogenesis
Sumber : Kumar et al, 2007
2. Migrasi sel endotel dari kapiler induk ke arah rangsangan angiogenik
3. Proliferasi sel endotel
4. Maturasi sel endotel untuk menyokong pembuluh endotel berupa
rekrutmen dan proliferasi sel perisit (untuk kapiler) dan sel otot polos
(untuk pembuluh darah yang lebih besar).
Pembuluh darah baru tidak membentuk interendothelial junction
dan meningkatnya transitosis sehingga mudah mengalami kebocoran dan
menyebabkan jaringan granulasi mengalami edema. Faktor yang menginduksi
angiogenesis, antara lain : FGF (Fibroblast Growth Factor) dan VEGF (Vascular
Endothelial Growth Factor). Kedua zat tersebut disekresikan oleh sel stroma.
Selain itu juga terdapat aktivitas kinase intrinsik sel endotel yang menginduksi sel
23
endotel untuk menyekresi proteinase untuk mendegradasi membran basalis,
meningkatkan migrasi sel endotel, dan mengarahkan pembentukan pembuluh
darah baru.21
Kontraksi luka terjadi pada puncak minggu kedua. Selama pembentukan
jaringan granulasi fibroblas secara bertahap bermodulasi menjadi miofibroblas
yang memiliki berkas mikrofilamen aktin. Pseudopodia miofibroblas memanjang
dan aktin sitoplasma berikatan dengan fibronektin ekstraseluler, menempel pada
serat kolagen dan retraksi, menghubungkan serat kolagen dengan sel sehingga
membentuk kontraksi luka. Kontraksi miofibroblas dipengaruhi oleh PGF1, 5-
hidroksitriptamin, angiotensin, vasopressin, bradikinin, epinefrin, dan
norepinefrin.22
c. Fase Remodeling
Perubahan jaringan granulasi menjadi jaringan parut melibatkan
perubahan dalam komposisi matriks ekstraseluler. Pada dermis orang dewasa
normal, komposisi kolagen tipe I sebesar 80% sedangkan komposisi kolagen tipe
III sebesar 10%. Sedangkan pada fase penyembuhan luka, kolagen tipe III lebih
dominan. Muncul pada hari ke 2 – 3 setelah luka, dan bertahan hingga hari ke 7 –
8. Perubahan tersebut terjadi untuk mencapai keseimbangan antara sintesis dan
degradasi matriks ekstraseluler.21,22
Degradasi matriks ekstraseluler dan kolagen dilakukan oleh
kelompok metalloproteinase (bergantung pada ion Zn). Metaloproteinase terdiri
atas kolagenase interstitial yang memecah kolagen fibril tipe I, II, dan III,
gelatinase (kolagenase tipe IV), yang memecah kolagen amorf dan fibronektin,
dan stromelisin yang mengatabolisasi proteoglikan, laminin, fibronektin, dan
kolagen amorf. Enzim dalam bentuk tidak aktif dan dapat diaktifkan oleh zat – zat
yang muncul pada daerah luka. Metaloproteinase yang aktif dapat dihambat
dengan TIMP (Tissue Inhibitor Metalloproteinase) yang dihasilkan oleh sel
mesenkim untuk mencegah terjadinya kerusakan. Aktivasi kolagenase dan
inhibitornya diatur secara spasial dan temporal dan sangat penting untuk
remodeling ekstraseluler matriks untuk pemulihan jaringan.21,22
24
2.1.4 Luka Bakar
2.1.4.1 Epidemiologi Luka Bakar
Berdasarkan WHO Global Burden Disease, pada tahun 2004
diperkirakan 310.000 orang meninggal akibat luka bakar, dan 30% pasien berusia
kurang dari 20 tahun. Luka bakar karena api merupakan penyebab kematian ke-11
pada anak berusia 1 – 9 tahun. Anak – anak berisiko tinggi terhadap kematian
akibat luka bakar, dengan prevalensi 3,9 kematian per 100.000 populasi. Luka
bakar dapat menyebabkan kecacatan seumur hidup.2 Di Amerika Serikat, luka
bakar menyebabkan 5000 kematian per tahun dan mengakibatkan lebih dari
50.000 pasien di rawat inap.21
Di Indonesia, menurut RISKESDAS (2013)
prevalensi luka bakar di Indonesia sebesar 0,7%.1
Secara global, 96.000 anak – anak yang berusia di bawah usia 20 tahun
mengalami kematian akibat luka bakar pada tahun 2004. Frekuensi kematian lebih
tinggi sebelas kali di negara dengan pendapatan rendah dan menengah
dibandingkan dengan negara dengan pendapatan tinggi sebesar 4,3 per 100.000
orang dan 0,4 per 100.000 orang.2
Kebanyakan kematian terjadi pada daerah yang miskin, seperti Afrika,
Asia Tenggara, dan daerah Timur Tengah. Frekuensi kematian terendah terjadi
pada daerah dengan pendapatan tinggi , seperti Eropa dan Pasifik Barat.2
Gambar 2.7 Frekuensi Mortalitas Akibat Luka Bakar karena Api per 100.000 anak
-anak di daerah WHO berdasarkan Tingkat Pendapatan Negara, 2004
Sumber : WHO (2008), Global Burden of Disease: 2004 Update
25
2.1.4.2 Klasifikasi Luka Bakar
Luka bakar dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, antara lain:
penyebab, luasnya luka, dan keparahan luka bakar.
a. Klasifikasi Berdasarkan Mekanisme dan Penyebab
Luka bakar termal
Luka bakar yang biasanya mengenai kulit. Luka bakar ini bisa
disebabkan oleh cairan panas,berkontak dengan benda padat
panas, terkena lilin atau rokok, terkena zat kimia, dan terkena
aliran listrik.
Luka bakar inhalasi
Luka bakar yang disebabkan oleh terhirupnya gas yang panas,
cairan panas atau produk berbahaya dari proses pembakaran
yang tidak sempurna. Luka bakar ini penyebab kematian
terbesar pada pasien luka bakar.2
b. Klasifikasi Berdasarkan Derajat dan Kedalaman Luka Bakar
Derajat I atau Luka bakar superfisial
Luka bakar hanya mengenai epidermis dan menimbulkan respon
inflamasi sederhana. Biasanya disebabkan oleh paparan terhadap
radiasi sinar matahari atau kontak terhadap benda padat. Luka
bakar tipe ini dapat sembuh dalam seminggu dan tidak
menimbulkan perubahan permanen pada warna, tekstur, dan
ketebalan kulit.
Gambar. 2.8 Ilustrasi Kedalaman Luka Bakar dan Hubungannya dengan Lapisan
Kulit
Sumber : Senarath-Yapa K & Enoch S, 2009
26
Derajat II atau Luka bakar parsial/dalam
Pada luka bakar derajat II, kerusakan jaringan meliputi
epidermis dan dermis. Luka bakar derajat II dibagi menjadi 2,
yaitu luka bakar derajat II superfisial dan luka bakar derajat II
dalam. Pada luka bakar derajat II superfisial, kerusakan terjadi
pada bagian epidermis dan permukaan dermis namun struktur
tambahan kulit masih utuh sedangkan pada luka bakar derajat II
dalam terjadi kerusakan pada seluruh epidermis dan dermis serta
struktur tambahan kulit. Luka bakar derajat II superfisial dapat
sembuh dalam waktu kurang dari 3 minggu, sedangkan luka
bakar derajat II dalam sembuh dalam waktu lebih dari 3 minggu.
Derajat III atau Luka bakar penuh
Pada luka bakar ini, kerusakan terjadi pada seluruh lapisan
epidermal, meliputi epidermis, dermis dan jaringan subkutan
serta folikel rambut yang dalam. Luka bakar jenis ini
menimbulkan kerusakan pada lapisan kulit yang luas.2
c. Klasifikasi Berdasarkan Luas Luka
Luas luka bakar ditentukan berdasarkan area permukaan tubuh
total (Total Body Surface Area/TBSA). Metode yang digunakan
adalah Rule of Nine Wallace. Metode ini digunakan untuk orang
dewasa dan anak – anak berusia lebih dari 10 tahun, sedangkan
Grafik Lund dan Browder digunakan untuk anak berusia kurang dari
10 tahun. Pada metode rule of nine, proporsi bagian kepala dan
daerah leher sebesar 9%, setiap bagian lengan termasuk tangan
sebesar 9%, setiap bagian tungkai dan kaki sebesar 18% , bagian
batang tubuh (punggung, toraks, dan abdomen) pada satu sisi sebesar
18%.24
27
Gambar. 2.9 Rules of Nine Wallace
Sumber: Senarath-Yapa K & Enoch S, 2009
2.1.4.3 Patofisiologi Luka Termal
Respon inflamasi secara dapat terjadi secara lokal maupun sistemik
akibat luka termal. Proses tersebut terjadi secara kompleks. Respon
inflamasi terjadi segera setelah terjadinya luka, sedangkan respons
sistemik bersifat progresif dan mencapai puncaknya pada hari ke 5 – 7
setelah terjadinya luka.23
Respon Sistemik Terhadap Luka Bakar
Tabel 2.1 Respon Sistemik terhadap Luka Bakar
Sumber: Cakir B & Yegen C, 2004
2.1.5 Penanganan Luka Bakar
Luka bakar dapat menyebabkan kematian jika tidak ditangani dengan
baik. Pasien luka bakar sama prioritasnya dengan pasien trauma sehingga perlu
28
dilakukan penanganan secara primer maupun sekunder ( lanjutan ). Pada
penanganan luka bakar perlu dilakukan penilaian terhadap hal – hal berikut :29,30
1. Jalan Nafas (Airway)
Luka bakar yang luas dapat menimbulkan edema massif dan
menimbulkan obstruksi pada saluran nafas. Tanda – tanda obstruksi
saluran nafas, yaitu : perubahan suara, penggunaan otot – otot
pernafasan, dan kecemasan yang tinggi. Selain itu, terdapat beberapa
kondisi pada pasien luka bakar yang meningkatkan resiko terjadinya
obstruksi saluran pernafasan, antara lain : luka bakar yang luas, semua
pasien dengan luka bakar jenis deep burn (>35%-40% TBSA sebaiknya
dipasang endotracheal tube (ETT)).30
Pemasangan ETT dapat dilakukan
lebih awal jika pasien mengalami obstruksi saluran nafas. Selain itu,
ETT juga dapat dipasang jika memerlukan waktu yang cukup lama untuk
merujuk pasien. Trakeostomi tidak dibutuhkan pada penanganan
resusitasi.30
2. Pernapasan (Breathing)
Periksa frekuensi pernafasan. Hati – hati pada pernafasan yang cepat
atau lambat.29
3. Sirkulasi (Circulation)
Luka bakar dapat menyebabkan hilangnya cairan yang cukup banyak
bergantung pada luas luka dan kedalamannya. Oleh karena itu, perlu
cairan pengganti berupa larutan Ringer Laktat yang diberikan secara
intravena. Perlu dilakukan pemasangan foley kateter untuk memonitor
respon fisiologis tubuh terhadap cairan yang diberikan. Target urine
output pada orang dewasa sebesar 0.5 ml/kg/jam, sedangkan pada anak –
anak sebesar 1 ml/kg/jam.30
4. Kecacatan (Disability)
Nilai apakah ada compartment syndrome atau tidak.29
5. Paparan (Exposure)
Persentase area yang terkena luka bakar 29
Morbiditas dan mortalitas luka bakar bergantung pada luas permukaan luka
bakar . Selain itu, morbiditas dan mortalitas luka bakar akan meningkat
29
seiring bertambahnya usia. Luka bakar yang kecil pada lansia dapat
menimbulkan kematian.29
2.1.5.1 Pertolongan Pertama (First aid) Perawatan Luka
Pada 6 jam pertama luka bakar merupakan fase kritis. Rujuk
segera pasien yang mengalami luka bakar parah ke rumah sakit. Berikut
langkah – langkah yang dilakukan untuk pertolongan pertama pada luka
bakar, antara lain:29
a. Jika pasien belum mendapatkan pertolongan pertama, alirkan
air dingin pada luka bakar pasien untuk mencegah kerusakan
lebih jauh dan melepaskan pakaian yang terbakar.
b. Jika luka bakar terbatas, kompres dengan air dingin selama
30 menit untuk mengurangi nyeri dan edema dan
meminimalisasi kerusakan jaringan.
c. Jika luka bakar luas, setelah dialirkan air dingin, pasang
pembalut yang bersih pada daerah luka untuk mencegah
hipotermia.
2.1.5.2 Initial Treatment Wound Care
a. Luka bakar harus steril
b. Pemberian profilaksis tetanus
c. Bersihkan semua bulla, kecuali pada luka bakar yang sangat
kecil. Eksisi dan lakukan debridement pada jaringan nekrosis
yang menempel.
d. Setelah di-debridement, bersihkan luka bakar dengan larutan
chlorhexidine 0.25% (2.5g/liter), 0.1% (1g/liter) larutan
cetrimide, atau antiseptik lain yang berbahan dasar air.30
e. Jangan menggunakan larutan berbahan dasar alkohol
f. Gosok dengan hati – hati jaringan nekrotik yang longgar.
Berikan lapisan tipis krim antibiotik (silver sulfadiazine)
g. Balutkan kain kasa pada luka. Gunakan kasa kering yang tebal
untuk mencegah terjadinya kebocoran pada lapisan luar.
2.1.5.3 Daily Treatment Wound Care
30
a. Ganti balutan kasa setiap hari (dua kali sehari jika
memungkinkan) atau sesering mungkin untuk mencegah
terjadinya kebocoran cairan.
b. Inspeksi luka, ada perubahan warna atau tidak yang
mengindikasikan adanya infeksi
c. Demam dapat muncul hingga luka tertutup
d. Adanya selulitis mengindikasikan adanya infeksi
e. Berikan antibiotik sistemik jika mengalami infeksi
Streptococcus hemolyticus
f. Infeksi Pseudomonas aeruginosa sering menimbulkan
septicemia dan kematian. Berikan aminoglikosida sistemik.
g. Pemberian antibiotik topikal setiap hari. Jenis antibiotik
topikal yang dapat diberikan antara lain :
- Nitrat silver (0.5% aqueous), paling murah, diaplikasikan
pada balutan kassa oklusif namun tidak dapat penetrasi ke
dalam jaringan parut. Obat ini dapat menyebabkan deplesi
elektrolit dan menyebabkan noda.
- Silver sulfadiazine (1% ointment), diaplikasikan pada
selapis balutan kasa, memiliki kemampuan penetrasi ke
dalam jaringan parut yang terbatas, dan dapat menyebabkan
neutropenia.
- Mafenide acetate (11 % ointment), diaplikasikan tanpa
balutan kasa, memiliki kemampuan penetrasi ke dalam
jaringan parut yang lebih baik, dapat menyebabkan asidosis.29
2.1.5.4. Antibiotik Topikal Silver Sulfadiazine
Silver sulfadiazine merupakan antibiotik topikal pilihan untuk
luka bakar. Komponen aktif silver sulfadiazine terdiri atas silver nitrat
dan sodium sulfadiazine. Atom silver menggantikan atom hidrogen pada
molekul sulfadiazine. Obat ini sering digunakan pada luka bakar
permukaan (superficial burn) dan dalam (deep burn). Silver sulfadiazine
memiliki spektrum antimikroba yang luas (Gram +, Gram -, dan ragi )
dan bersifat bakterisidal.31
31
Komponen silver akan berikatan dengan DNA bakteri
sehingga akan menghambat proses sintesis protein bakteri dan
menyebabkan pertumbuhan bakteri terhambat. Silver sulfadiazine
memiliki kemampuan disosiasi sedang sehingga dapat berperan sebagai
reservoir silver yang sangat mudah berdisosiasi jika dalam berbentuk
garam.32
. Ion silver dapat berikatan dengan enzim yang terdapat di dalam
bakteri sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan metabolisme
bakteri. Selain itu, ion silver juga dapat terdeposit dinding sel dan
membran plasma bakteri sehingga menyebabkan struktur luar bakteri
tersebut menjadi abnormal.42
Sulfadiazine merupakan antibiotik golongan sulfonamide.
Sulfadiazine dapat menghambat sintesis asam folat bakteri dengan cara
menghambat enzim dihydropteroat sintase sehingga pembentukan asam
dihidrofolik dari PABA (p-aminobenzoic acid) akan menurun. Penurunan
pembentukan asam dihidrofolik akan menghambat pembentukan purin
dan DNA bakteri sehingga pertumbuhan bakteri akan berkurang.43
Pemberian silver sulfadiazine kontraindikasi untuk penderita alergi
sulfa daan ibu hamil. Pada ibu hamil, komponen sulfonamide
menyebabkan kernikterik pada bayi. Selain itu, obat ini tidak boleh
diberikan pada luka bakar di daerah wajah karena dapat menimbulkan
iritasi mata. Efek samping obat ini adalah dapat menyebabkan leukopenia
pada hari ke 3 dan ke 5 setelah terjadi luka bakar. Namun, beberapa
dokter menyakini bahwa leukopeni tersebut terjadi karena penurunan
migrasi leukosit ke daerah luka dan tidak disebabkan oleh supresi pada
sumsum tulang.31
2.1.6 Pemberian Topikal Ekstrak Daun Binahong
Cara pemberian obat untuk luka bakar dapat melalui topikal
maupun sistemik bergantung jenis obatnya dan efek terapi yang diinginkan. Cara
pemberian obat juga bergantung pada pembawa zat aktif obat tersebut. Salah satu
cara pemberian obat luka bakar pada kulit adalah dengan pemberian obat topikal.
Bentuk obat topikal kulit bermacam – macam, seperti salep, bubuk, krim, gel,
32
larutan, hidrogel, lotion dan salep. Bentuk obat tersebut bergantung pada sifat
kelarutan zat aktif dan zat pembawa yang digunakan.25
Pada bentuk obat topikal kulit salep, zat pembawa yang digunakan
adalah vaselin album dan adeps lanae. Kedua zat tersebut bersifat lipofilik. Oleh
karena itu, kedua zat tersebut dapat menahan uap air sehingga keringat tidak dapat
menembus kulit dan tertahan pada kulit sehingga menimbulkan hidrasi pada kulit
di bawah pembawa. Pembawa yang bersifat lipofilik umumnya cenderung baik
bagi absorpsi obat.26
Gambar 2.10 Bentuk Sediaan Obat Topikal
Sumber : Lullman H., et al, 2000
2.1.7 Tikus Sprague dawley
Tikus Sprague dawley adalah salah satu jenis tikus putih (Rattus
novergicus) yang sering digunakan untuk penelitian. Hampir 20% penelitian
menggunakan hewan ini untuk kepentingan ilmiah. Berat tikus Sprague dawley
saat lahir sebesar 5 gr dan sangat aktif. Hewan ini dapat tumbuh dengan cepat
hingga minggu ke – 3. Berat tikus jantan dewasa sebesar 400 – 500 gr. Tikus ini
dapat bertahan hidup hingga usia 2 tahun dan merupakan hewan yang jinak.
Penelitian mengenai struktur anatomi tikus telah banyak dilakukan.
Lambung tikus memiliki bagian aglandular yang lebih besar yaitu 1/3 bagian dari
total mukosa gaster. Kelenjar lambung tidak memiliki kelenjar kardiak dan kaya
33
sel mast yang menghasilkan histamin. Sekum yang luas membantu untuk
pencernaan selulosa.
Suhu dan kelembaban lingkungan yang sesuai untuk tikus yaitu 200C- 25
0C
dan 50 – 55%. Tikus dapat beradaptasi sesuai suhu dan kelembaban lingkungan di
sekitarnya. Kelembaban pada jangkauan 40 – 70% masih dapat ditoleransi oleh
tikus. Namun, saat penelitian, suhu dan kelembaban lingkungan tikus harus dijaga
relatif konstan untuk meminimalisasi efek fluktuasi pada data penelitian melalui
perubahan konsumsi makan dan minum, serta kerentanan terhadap penyakit.
Ventilasi merupakan bagian yang penting pada kandang tikus. Kondisi
ventilasi ini berkaitan dengan kerentanan terhadap infeksi saluran pernapasan.
Frekuensi pertukaran udara segar 100% yang direkomendasikan bervariasi yaitu
10-20 pertukaran per jam, bergantung pada kepadatan populasi dan penggunaan
filter udara. Penggunaan filter portable yang murah direkomendasikan untuk
menghilangkan zat – zat toksik dan patogen.
Pencahayaan juga merupakan bagian terpenting pada perawatan tikus.
Kerusakan retina akibat paparan cahaya yang berlebih dapat terjadi pada tikus
albino (tikus putih). Tikus juga memiliki pendengaran yang sensitif. Kadar
kebisingan 160 dB dapat menyebabkan kerusakan mekanik pada telinga tikus.
Oleh karena itu, kadar kebisingan di sekitar kandang tikus harus dijaga kurang
dari 85 dB. Paparan kebisingan sebesar 107 – 112 dB selama 1 ½ jam selama 5
hari berturut – turut dapat menyebabkan pembesaran pada kelenjar adrenal,
eosinopenia, leukositosis, dan peningkatan nafsu makan pada tikus.
Tikus Sprague dawley sering digunakan untuk penelitian mengenai uji
efikasi, keamanan, dan toksisitas obat, penelitian mengenai reproduksi,
perkembangan, penuaan, nutrisi, onkologi, dan teratologi. Tikus ini memiliki
kemampuan reproduksi yang sangat baik.
Kulit hewan pengerat sering digunakan untuk penelitian mengenai per
cutaneus permeation secara in vitro dan in vivo. Hewan pengerat yang sering
digunakan adalah tikus, mencit, dan marmut. Keuntungan dari penggunaan hewan
ini adalah ukurannya yang kecil, perawatan mudah, dan harga yang lebih murah.
Diantara hewan pengerat lain, kulit tikus memiliki struktur yang mirip dengan
34
jaringan manusia. Permeation rate pada kulit hewan pengerat lebih tinggi
dibandingkan dengan kulit manusia, kecuali pada kulit tikus.51
35
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pendekatan
secara deskriptif analitik.39
Penelitian ini menggunakan evaluasi histopatologi
untuk melihat efek salep ekstrak daun binahong terhadap pembentukan jaringan
granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar
30 detik dengan plat besi.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari – Agustus 2014 di
Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Proses determinasi tanaman dilakukan oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, sedangkan proses ekstraksi dilakukan oleh
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO). Pembuatan preparat
dilakukan oleh Laboratorium Patologi Anatomi FKUI sedangkan pengamatan
preparat histopatologi jaringan luka dilakukan di Laboratorium Histologi FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Proses pembuatan salep ekstrak daun binahong
dilakukan di Laboratorium Farmakologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.3 Bahan yang diuji
Bahan yang diuji adalah daun binahong (Anredera cordifolia(Tenore)
Steenis) yang dideterminasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Bogor. Berat daun binahong basah sebesar 4 kg dan berat daun yang telah
dikeringkan sebesar 530,6 gr. Daun binahong yang telah kering diekstraksi oleh
Badan Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO).
3.4 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah tikus putih strain Sprague dawley
yang didapatkan dari penyedia fasilitas dan model hewan coba (iRATco) yang
disertai surat keterangan sehat dari Rumah Sakit Hewan Fakultas Kedokteran
Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB). Sampel yang diambil adalah tikus
yang memenuhi kriteria berikut :
36
3.4.1 Kriteria Inklusi
Tikus Sprague dawley, berjenis kelamin jantan, kondisi sehat,
berusia 12 – 16 minggu dengan berat 350 - 450 gr.
3.4.2 Kriteria Eksklusi
Tikus Sprague dawley yang memiliki bekas luka di daerah dorsal
atau memiliki kelainan pada kulit di bagian dorsal
3.4.3 Besar Sampel
Besar sampel dihitung berdasarkan rumus Federer, yaitu :46
( T – 1 ) ( N – 1 ) ≥ 15
Keterangan : T = jumlah perlakuan , N = jumlah sampel
Dalam penelitian ini terdapat 5 perlakuan, sehingga jumlah sampel
yang dibutuhkan yaitu :
(5 – 1) (N - 1) ≥ 15
(4) (N – 1) ≥ 15
(N – 1) ≥ 15/4
N – 1 ≥ 3,75
N ≥ 4,75 , dibulatkan menjadi 5.
Berdasarkan rumus tersebut, jumlah sampel yang dibutuhkan minimal
5 ekor tikus untuk setiap kelompok perlakuan. Pada penelitian ini sampel yang
digunakan adalah 5 ekor tikus dalam setiap kelompok penelitian sehingga jumlah
keseluruhan sampel yang digunakan adalah sebanyak 25 ekor tikus. Seluruh
sampel diberikan makanan dan minuman secara ad libitum.
Secara random, sampel dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan, 1
kelompok kontrol positif, dan 1 kelompok negatif, dengan rincian sebagai berikut:
Kelompok Kontrol Positif (K+) yang diberikan salep Silver Sulfadiazin: 5
ekor tikus
Kelompok Kontrol Negatif (K-) yang hanya diberikan basis salep: 5 ekor
tikus
Kelompok Perlakuan 1 (P1) yang diberikan salep ekstrak daun Binahong
dengan konsentrasi ekstrak daun Binahong sebesar 10%: 5 ekor tikus
37
Kelompok Perlakuan 2 (P2) yang diberikan salep ekstrak daun Binahong
dengan konsentrasi ekstrak sebesar 20%: 5 ekor tikus
Kelompok Perlakuan 3 (P3) yang diberikan salep ekstrak daun Binahong
dengan konsentrasi ekstrak daun Binahong sebesar 40%: 5 ekor tikus
3.5 Identifikasi Variabel
3.5.1 Variabel Bebas
Ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia(Tenore)Steenis)
dengan konsentrasi sebesar 10%, 20%, dan 40%.
3.5.2 Variabel Terikat
Kepadatan deposit kolagen, jumlah sel fibroblas, dan
neovaskularisasi
3.6 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1 Kepadatan
Deposit
Kolagen
Kolagen yang terbentuk
di jaringan granulasi
- Mikroskop
Olympus
BX41
- Program
Adobe
Photoshop
6.0
Intensitas
deposit kolagen
pada jaringan
granulasi
Numerik
3 Jumlah
Fibroblas
Fibroblas adalah sel
yang memiliki inti
lonjong ketika dipotong
memanjang dan
memiliki inti berwarna
lebih pucat
- Mikroskop
Olympus BX41
- Program
ImageJ 1.48v
Jumlah sel
fibroblas
Numerik
4 Neovaskula-
Risasi
Pembuluh darah yang
terdapat dalam jaringan
granulasi
- - Mikroskop
Olympus
BX41
- - Program
Adobe
Photoshop
CS3
-
Jumlah
pembuluh darah
Numerik
5 Salep ekstrak
daun binahong
Salep ekstrak daun
binahong dengan
konsentrasi ekstrak daun
binahong sebesar 10%,
20%, dan 40%
- - Kategorik
6 Basis Salep Salep yang berisi vaselin
album dan adeps lanae
tanpa ekstrak daun
binahong
- - Kategorik
7 Kontrol Positif Salep silver sulfadiazine - - Kategorik
38
3.7 Alat dan Bahan
3.7.1 Alat Penelitian
1. Plat besi berukuran 4 x 2 cm
2. Hot Plate Magnetic stirrer
3. Beker glass
4. Gunting dan Pinset
5. Pisau cukur
6. Karton
7. Staples
8. Pot obat
9. Kandang hewan coba
10. Timbangan elektronik
11. Termometer
12. Lumpang dan Alu
13. Cawan porselen
14. Spatula
15. Stopwatch
16. Mikroskop
3.7.2 Bahan Penelitian
1. Ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia(Tenore)Steenis)
2. Adeps lanae
3. Vaselin album
4. Formalin
5. Eter
6. Pelarut etanol 96 %.
39
3.8 Alur Penelitian
(Gambar terlampir pada lampiran 5)
Aklimatisasi sampel
selama 1 minggu Pemilihan sampel
Persiapan
Penelitian
Pembuatan Luka Bakar
pada Tikus
Pemberian salep ekstrak
daun binahong, kontrol
positif, dan kontrol
negatif selama 5 hari
Pembuatan salep ekstrak daun Binahong di BALITRO dan
Laboratorium Farmakologi FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pada hari ke - 6 ,
dilakukan eksisi luka
Sampel jaringan ditempatkan di
dalam pot lalu dikirim ke
Laboratorium Patologi Anatomi
FKUI untuk dibuat preparat
Proses pengamatan histopatologi kulit di
Laboratorium Histologi
FKIK UIN Syarif
Hidayatullah
Pengolahan data hasil
pengamatan preparat
histopatologi kulit
Pembuatan Laporan
Hasil Penelitian
Determinasi tanaman
oleh LIPI Bogor
40
3.9 Cara Kerja Penelitian
3.9.1 Pembuatan Luka Bakar pada tikus50
3.9.2 Pembuatan Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia
(Tenore) Steenis)
a. Persiapan Sampel
Daun binahong diperoleh dari Pusat Penjualan Binahong
yang berlokasi di Palmerah, Jakarta Barat. Daun binahong
dikeringkan selama 3 hari. Kemudian daun binahong yang
telah kering diblender hingga halus.
b. Determinasi Sampel
Determinasi tanaman dilakukan oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor dengan surat
determinasi terlampir. (Lampiran 1)
c. Ekstrak Sampel
Daun binahong basah didapatkan sebanyak 4 kg setelah
pengeringan didapatkan sebanyak 530,6 gr dan dihaluskan.
41
Sampel yang telah halus direndam dalam pelarut etanol 96%
sebanyak 2500 ml dengan perbandingan 1 kg daun : 5 liter
pelarut etanol 96%.
Sampel sebanyak 530,6 gr yang telah direndam di dalam
etanol dikocok selama 2 – 3 jam, kemudian didiamkan
selama 24 jam. Setelah didiamkan selama 24 jam, sampel
kemudian disaring dengan kertas saring. Hasil filtrat
penyaringan kemudian dirotavapor. Saat dirotavapor, pelarut
etanol divakum lalu didestilasi sehingga menjadi cair. Cairan
pelarut etanol dari hasil destilasi kemudian ditampung. Jika
pelarut sudah menguap semua akan didapatkan ekstrak kental
daun binahong. Didapatkan ekstrak kental daun binahong
sebanyak 26,2 gr.
3.9.3 Pembuatan Salep Ekstrak Daun Binahong
a. Persiapan Bahan Salep
Bahan yang akan digunakan untuk membuat basis salep dan
ekstrak daun Binahong ditimbang sesuai dengan takaran.
Basis Salep
Basis yang akan digunakan basis berlemak yaitu adeps
lanae dan vaseline album. Sebelum dibuat basis salep,
dipanaskan lumpang dan alu di dalam oven dengan suhu
500C hingga panas, kemudian lumpang dan alu yang telah
panas dikeluarkan dari oven dan masukkan adeps lanae
terlebih dahulu dan diaduk hingga lebur kemudian
dilanjutkan dengan memasukkan vaselin album dan diaduk
dengan kecepatan konstan hingga homogen dengan
membentuk basis salep.
b. Pencampuran Basis Salep dengan Ekstrak Daun Binahong
Basis salep yang telah dibuat, ditambahkan dengan ekstrak
daun Binahong dan diaduk hingga homogen dengan
menggunakan lumpang dan alu yang panas yang
disesuaikan dengan masing – masing konsentrasi.
42
Formula standar basis salep yang digunakan menurut
Niswah Paju et al (2013) ialah :
R/ Adeps lanae 15 g
Vaseline Album 85 g
m.f salep 100 g
Sediaan salep yang akan digunakan pada penelitian ini
memiliki masing – masing konsentrasi ekstrak daun
Binahong yaitu 10%, 20% dan 40% dibuat sebanyak 30g.
a. Formulasi salep ekstrak daun Binahong 10%
R/ Ekstrak daun Binahong 3 g
Basis salep 27 g
m.f salep 30 g
b. Formulasi salep ekstrak daun Binahong 20 %
R/ Ekstrak daun Binahong 6 g
Basis salep 24 g
m.f salep 30 g
c. Formulasi salep ekstrak daun Binahong 40%
R/ Ekstrak daun Binahong 12 g
Basis salep 18 g
m.f salep 30 g
c. Pengujian Sediaan Salep
Untuk mengetahui homogenitas salep dilakukan uji
homogentitas, yaitu dengan mengoleskan sediaan pada
sekeping kaca transparan dimana sediaan diambil pada
bagian atas, tengah, dan bawah.
Gambar 3.1 Hasil Tes Homogenitas Salep Ekstrak Daun
Binahong
43
Salep dikatakan homogen apabila basis salep dan
ekstrak daun binahong sudah tercampur merata dan ketika
dioleskan di atas kaca tidak menggumpal.
3.9.4 Perlakuan Pada Hewan Coba
Hewan coba dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan. Setiap
kelompok perlakuan terdiri dari 5 ekor tikus. Kategori
perlakuan hewan coba, yaitu:
1. Kontrol negatif: 5 ekor tikus diberikan salep yang
hanya berisi basis salep (vaselin album dan adeps
lanae)
2. Kontrol positif: 5 ekor tikus diberikan salep silver
sulfadiazine (SSD)
3. Kelompok Perlakuan I: 5 ekor tikus diberikan salep
ekstrak daun Binahong dengan konsentrasi 10%
4. Kelompok Perlakuan II: 5 ekor tikus diberikan salep
ekstrak daun Binahong dengan konsentrasi 20%
5. Kelompok Perlakuan III: 5 ekor tikus diberikan
salep ekstrak daun Binahong dengan konsentrasi
40%
Sebelum perlakuan, sampel diaklimatisasi selama 1 minggu.
Setelah dilakukan pembuatan luka bakar, kelima kelompok
tersebut diberikan masing – masing sediaan salep pada pagi dan
sore hari selama 5 hari. Pada hari ke -6 dilakukan eksisi pada
luka untuk menilai histopatologi kulit yang mengalami luka.
3.9.5 Persiapan Eksisi Luka
Sebelum dieksisi, hewan dianestesi dengan eter. Eksisi luka
dengan cara pembedahan. Preparat luka yang telah diambil
dimasukkan kedalam larutan formalin 10% lalu dikirim ke
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FKUI).
3.9.6 Pembuatan Preparat Histopatologi Kulit
44
Pembuatan preparat dilakukan dengan menggunakan pewarnaan
Hematoxylin Eosin (HE) dan pewarnaan trichrome . Pewarnaan
HE digunakan untuk melihat sel fibroblas dan neovaskularisasi
sedangkan pewarnaan trichrome untuk menilai deposit kolagen.
Pembuatan preparat dilakukan di Laboratorium Patologi
Anatomi FKUI.
3.9.7 Pengamatan Histopatologi
Pengamatan histopatologi dilakukan dengan menggunakan
mikroskop dengan perbesaran 100x – 400x di Laboratorium
Histologi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
menggunakan Mikroskop Olympus BX41 yang dilengkapi
dengan software aplikasi DP2-BSW.
3.9.7.1 Cara Pengukuran
Kepadatan Deposit Kolagen
Kepadatan deposit kolagen diukur dengan membuat foto
sediaan kulit dorsal yang telah diberi luka bakar dengan
menggunakan mikroskop. Hasil foto disimpan dan
dianalisis secara kuantitatif dengan mengukur serapan
warna RGB (Red,Green, Blue) atau format RGB
menggunakan program komputer adobe Photoshop 6.
Jumlah Sel Fibroblas
Jumlah sel fibroblas diukur dengan membuat foto sediaan
kulit dorsal yang telah diberi luka bakar dengan
menggunakan mikroskop. Hasil foto disimpan dan
dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung jumlah sel
fibroblas dari 5 lapang pandang yang berbeda dan dipilih
secara acak. Jumlah sel fibroblas dari kelima lapang
pandang tersebut kemudian dirata – rata.
Neovaskularisasi
Jumlah neovaskularisasi diukur dengan membuat foto
sediaan kulit dorsal yang telah diberi luka bakar dengan
menggunakan mikroskop. Hasil foto disimpan dan
45
dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung jumlah
pembuluh darah yang terbentuk dari 5 lapang pandang yang
berbeda dan dipilih secara acak. Jumlah neovaskularisasi
dari kelima lapang pandang tersebut kemudian dirata – rata.
3.9.7.2 Cara Penggunaan program Adobe Photoshop 6.0
Cara pengukuran kepadatan deposit kolagen menggunakan
program Adobe Photoshop 6.0 adalah sebagai berikut :
1. Preparat difoto dengan kamera mikroskop fotografi
dengan pembesaran 200x. Foto – foto tersebut
kemudian disimpan.
2. Langkah – langkah untuk memperoleh nilai mean RGB
Membuka program adobe photoshop 6.0
Buka file foto yang sudah disimpan
Klik magic wound tool ( terletak di sebelah kiri )
Tempatkan kursor pada foto di bagian warna yang
akan dihilangkan . Misal, di dalam foto tersebut
terdapat warna ungu dan warna biru. Warna ungu
menggambarkan lapisan sel epitel sedangkan warna
biru menggambarkan kepadatan kolagen dengan
pewarnaan trichrome. Pada penelitian ini, akan
dinilai kepadatan kolagen sehingga warna ungu
harus dihilangkan. Letakan kursor pada daerah
warna ungu.
Klik menu edit, pilih submenu cut. Maka warna
ungu tadi akan hilang semua. Demikian seterusnya
untuk warna lain yang akan dihilangkan. Sehingga
hanya tampak warna yang akan dianalisis saja.
46
Gambar 3.2 Contoh Hasil Pengolahan Foto dengan Menggunakan Program Adobe
Photoshop 6.0
A. Foto sebelum dilakukan pengolahan (masih terdapat warna lain selain
warna biru)
B. Foto setelah dilakukan pengolahan (dominasi warna biru)
(Pewarnaan trichrome, perbesaran 200x)
Selanjutnya, klik menu image, pilih submenu
histogram. Klik blue, maka nilai mean akan
tampak. Nilai mean ini merupakan jumlah titik atau
pixels yang menandakan ketebalan pulasan kolagen
(warna biru)
Gambar 3.3 Hasil Penilaian Kepadatan Deposit Kolagen dengan
Menggunakan Histogram Format RGB Blue
Sumber: Printscreen dari Program Adobe Photoshop 6.0
A B
47
3.9.7.3 Cara Menghitung Sel Menggunakan Aplikasi ImageJ
Langkah – langkah menghitung sel dengan
menggunakan aplikasi ImageJ adalah sebagai berikut :
1. Buka aplikasi ImageJ
2. Buka gambar yang akan dihitung jumlah sel nya , klik
File, lalu pilih Open, pilih gambar yang akan dihitung
jumlah selnya
3. Klik Plugin, lalu pilih Analysis, selanjutnya pilih Cell
counter
4. Klik Keep original .
5. Setelah itu, pilih Initiate untuk meng-copy gambar
yang akan dihitung jumlah sel nya
6. Klik Type 1 untuk menandai sel yang akan dihitung.
Jika ingin menghitung lebih dari satu jenis sel bisa
memilih Type 2,Type 3 dan seterusnya. Dalam
penelitian ini, Type 1 menandakan sel fibroblas.
7. Letakan kursor pada inti sel yang akan dhitung, lalu
tekan pada inti sel tersebut. Setelah ditekan akan
muncul sebuah titik yang menandakan bahwa sel
tersebut sudah dihitung sehingga mengurangi resiko
terhitung kembali.
8. Jumlah sel sama dengan jumlah inti sel yang ditandai.
Banyaknya jumlah penanda akan secara otomatis
terhitung dan hasilnya dapat dilihat pada Result.
3.9.7.4 Cara menghitung jumlah pembuluh darah pada foto
preparat
Berikut langkah – langkah yang dilakukan untuk
menghitung jumlah pembuluh darah baru
(neovaskularisasi) pada foto preparat, antara lain :
1. Buka aplikasi Adobe Photoshop CS3
48
2. Buka foto yang akan dihitung jumlah pembuluh
darahnya dengan cara, klik file, lalu pilih open, pilih
foto yang akan dihitung jumlah pembuluh darahnya
3. Untuk memudahkan dalam penghitungan dan
meminimalisasi kesalahan dalam penghitungan
gunakan garis bantu (grid line).
4. Untuk memunculkan grid line, tekan Ctrl + K secara
bersamaan sehingga nanti akan muncul tampilan
sebagai berikut :
Gambar 3.4 Pengaturan Grid Line pada Program Adobe Photshop CS3
Sumber: Printscreen dari Program Adobe Photoshop CS3
5. Selanjutnya pilih Guides, Grid & Slices, sehingga
akan muncul tampilan sebagai berikut :
Gambar 3.5 Pengaturan Guides, Grid & Slices pada Program Adobe Photoshop
CS3
Sumber: Printscreen dari Program Adobe Photoshop CS3
49
Atur warna garis yang diinginkan dan jarak dari
setiap garis, setelah itu klik OK.
6. Tekan Ctrl + „ untuk memunculkan grid line
Gambar 3.6 Grid line yang muncul pada Program Adobe Photoshop
CS3
Sumber: Printscreen dari Program Adobe Photoshop CS3
7. Hitung pembuluh darah yang terlihat pada foto. Pembuluh
darah ditandai dengan adanya lumen yang dilapisi sel endotel
atau lumen yang berisi sel darah baik yang terpotong secara
memanjang atau melintang. Penghitungan dilakukan pada
semua kotak dimulai dari kotak paling atas kiri hingga ke kotak
paling bawah kanan. Selanjutnya jumlah pembuluh darah dari
setiap kotak dijumlahkan.
3.10 Analisis Data
Data hasil penelitian pengaruh pemberian salep ekstrak daun
binahong (Anredera cordifolia(Tenore)Steenis) dianalisis dengan
menggunakan program SPSS 16.0 untuk melihat apakah ada efektifitas
yang bermakna dari masing – masing sediaan uji yang mengandung
kontrol positif, ekstrak daun Binahong dengan berbagai konsentrasi,
dan kontrol negatif terhadap pembentukan jaringan granulasi pada luka
bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik
dengan plat besi.
50
Data pada penelitian ini berupa variabel kategorik-
numerik lebih dari 2 kelompok tidak berpasangan sehingga
menggunakan uji one way ANOVA jika distribusi normal. Jika
distribusi data tidak normal maka menggunakan uji nonparametrik
yakni Uji Kruskall-Wallis.
3.11 Etika Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik
Penelitian Kesehatan FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hewan
coba sebanyak 25 ekor tikus Sprague dawley diberikan makanan dan
minuman secara ad libitum. Hewan ditempatkan di kandang yang
sesuai dengan habitat tikus. Setiap kandang berisi 1 ekor tikus. Pada
leher hewan dipasangkan collar neck agar kepala hewan tidak
mengenai luka yang ada dipunggungnya. Setelah diberikan perlakuan
selama 5 hari, pada hari ke – 6 dilakukan terminasi dengan
menggunakan anestesi eter. Anestesi ini dilakukan agar tikus tidak
menderita. Selanjutnya, dilakukan pengambilan sampel jaringan kulit
bagian dorsal. Sampel jaringan kemudian dibawa ke Laboratorium
Patologi Anatomi FKUI. Bagian tubuh tikus yang tidak diambil untuk
sampel jaringan dikuburkan.
51
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara makroskopik, gambaran luka bakar pada tikus Sprague dawley
yang diberikan paparan luka bakar selama 30 detik dengan plat besi terlihat kulit
tikus yang diberikan paparan luka bakar berwarna merah kecoklatan dan terdapat
bula pada hari pertama setelah dibuat luka bakar. Selain itu juga terdapat beberapa
bagian kulit yang mengelupas.
Gambar 4.1 Gambaran Makroskopik Luka Bakar pada tikus Sprague dawley pada
hari pertama setelah pembuatan luka
Luka bakar kemudian diberikan salep ekstrak daun Binahong dengan
konsentrasi 10%, 20%, dan 40%, krim silver sulfadiazin (kontrol +), dan basis
salep (kontrol -) selama 5 hari. Pada hari ke-5, terlihat terdapat keropeng pada
luka yang berwarna kecoklatan dan bula sudah tidak terlihat. Luas luka cenderung
mengecil.
52
Gambar 4.2 Gambaran Makroskopik Luka Bakar pada tikus Sprague dawley pada
hari ke -5 setelah pembuatan luka
Pada penelitian ini juga dilakukan identifikasi luka bakar secara
mikroskopik, yaitu berupa pembentukan jaringan granulasi. Sel fibroblas, deposit
kolagen, dan neovaskularisasi merupakan komponen penyusun jaringan granulasi
yang digunakan sebagai parameter pembentukan jaringan granulasi dalam
penelitian ini.
4.1 Kepadatan Deposit Kolagen
Berikut ini adalah gambaran histopatologi deposit kolagen dalam jaringan
granulasi pada luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar
selama 30 detik dengan plat besi. Terlihat deposit kolagen berwarna biru dengan
pewarnaan trichrome.
Gambar 4.3 Deposit Kolagen (biru) pada Jaringan Granulasi Luka Bakar.
(a)Kelompok P1;(b) Kelompok P2;(c) Kelompok P3;(d) Kontrol positif;(e)
Kontrol negatif
(Pewarnaan Trichrome, Perbesaran 200X)
Pada penelitian ini, data kepadatan deposit kolagen yang diambil
merupakan rerata ketebalan pulasan kolagen yang dianalisis secara kuantitatif
53
dengan mengukur serapan warna RGB (Red, Green, Blue) menggunakan program
komputer adobe photsoshop 6.0 dari semua kelompok penelitian. Data yang
diperoleh adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Rerata Kepadatan Deposit Kolagen
Kelompok
Perlakuan
N Rerata Kepadatan Deposit
Kolagen
P1 5 187.644
P2 5 169.1192
P3 5 183.5344
K+ 5 226.1024
K- 5 223.414
Grafik 4.1 Rerata Kepadatan Deposit Kolagen
Keterangan : P1 = Konsentrasi ekstrak daun binahong sebesar 10%
P2 = Konsentrasi ekstrak daun binahong sebesar 20%
P3 = Konsentrasi ekstrak daun binahong sebesar 40%
K+ = Salep Silver Sulfadiazin
K- = Basis salep
Dari Tabel 4.1 dan Grafik 4.1 dapat disimpulkan bahwa ketebalan
pulasan kolagen yang menggambarkan kepadatan deposit kolagen pada
pembentukan jaringan granulasi paling tinggi terdapat pada kelompok kontrol
positif yaitu sebesar 226,1024 pixel. Kepadatan deposit kolagen pada kelompok
perlakuan yang diberikan ekstrak daun binahong lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Kepadatan deposit kolagen pada kelompok perlakuan
yang diberikan ekstrak daun binahong terendah terdapat pada kelompok perlakuan
yang diberikan ekstrak daun binahong sebesar 20% (Kelompok P2).
0
50
100
150
200
250
Rer
ata
Dep
osi
t K
ola
gen
(pix
el)
Kelompok Penelitian
Grafik Rerata Kepadatan Deposit Kolagen
p1
p2
p3
k+
k-
54
Selanjutnya dilakukan penghitungan secara statistik menggunakan
One-Way Anova karena distribusi data normal dan variasi data homogen. Setelah
dilakukan penghitungan didapatkan data sebagai berikut :
Tabel 4.2 Hasil Analisis Data Pengaruh Ekstrak Daun Binahong terhadap
Kepadatan Deposit Kolagen
Kelompok
Perlakuan N Mean
Standar
Deviation P Value
Kepadatan
Deposit
Kolagen
P1 5 187,64 12,62492 0,000
P2 5 169,12 13,21485
P3 5 183,53 9,18782
K+ 5 226,10 12,56250
K- 5 223,41 17,08568
Berdasarkan tabel 4.2 di atas, terdapat nilai p sebesar 0,000 (p<0,05) yang
berarti minimal terdapat dua kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wardana (2013) menunjukkan
bahwa pemberian topikal ekstrak daun binahong sebanyak 5% dapat
meningkatkan deposit kolagen pada penyembuhan luka bakar kulit derajat 3
dibandingkan dengan kontrol negatif.41
Kandungan zat saponin pada ekstrak daun
binahong dapat menstimulasi pembentukan kolagen tipe 1. Selain itu, flavonoid
yang terdapat dalam ekstrak daun binahong juga dapat menghambat proses
peroksidasi lipid. Adanya penghambatan pada proses peroksidasi lipid
meningkatkan sintesis DNA pada fibroblas, mencegah kerusakan sel, dan
meningkatkan serat kolagen sehingga viabilitas serat kolagen meningkat.14
Studi lain menyebutkan bahwa serabut kolagen mulai terlihat pada hari ke-
3 pasca perlukaan yang muncul dari tepi luka. Pada fase proliferasi, serabut
kolagen diproduksi oleh fibroblas dan dipengaruhi oleh TGF β dari sel makrofag.
Jenis serabut kolagen yang dihasilkan adalah kolagen tipe III. Sintesis kolagen
tipe III akan berubah menjadi kolagen tipe I yang memiliki kekuatan regang lebih
kuat pada fase remodeling, yaitu pada hari ke - 14 pasca perlukaan.34
Penelitian yang dilakukan oleh Jiang et al (2004) menunjukan bahwa
pembentukan kolagen dipengaruhi oleh kadar keasaman (pH).47
Molekul kolagen
berbentuk globular pada pH sekitar 2,5 – 4,5. Pada pH yang lebih tinggi yaitu
55
sekitar 5,5–9,5, molekul kolagen berubah menjadi serat (fibrillar). Bentuk
molekul kolagen tersebut mempengaruhi kepadatan kolagen. 47
Pada penelitian ini, kadar keasaman salep dapat mempengaruhi proses
pembentukan kolagen pada jaringan granulasi. Penelitian yang dilakukan oleh
Paju (2013) menunjukkan bahwa kadar pH pada salep yang diberikan ekstrak
daun binahong lebih rendah (lebih asam) dibandingkan dengan kontrol positif dan
kontrol negatif.26
Hal tersebut dapat menyebabkan perbedaan molekul kolagen
yang terbentuk pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kemungkinan
pada kelompok perlakuan yang diberikan salep ekstrak daun binahong, molekul
kolagen yang telah berubah menjadi serat lebih sedikit dibandingkan dengan
kelompok kontrol sehingga kepadatannya berkurang. Kepadatan kolagen juga
berpengaruh terhadap pulasan warna saat pewarnaan trichrome. Oleh karena itu,
intensitas serapan warna kolagen pada kelompok perlakuan lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok kontrol positif dan kontrol negatif.
Pada penelitian ini juga didapatkan serat kolagen yang terlihat terputus –
putus pada kelompok perlakuan, hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh jenis
kolagen yang terbentuk merupakan kolagen tipe III yang mudah rapuh dan daya
regangnya kurang kuat sehingga saat pembuatan preparat kolagen mudah rusak.
4.2 Jumlah Sel Fibroblas
Berikut ini adalah gambaran mikroskopik sel fibroblas dalam jaringan
granulasi luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30
detik dengan plat besi. Terlihat sel fibroblas yang berbentuk lonjong dan inti sel
berbentuk lonjong dan memiliki warna lebih ungu dengan pewarnaan hematoxylin
eosin (HE).
56
Gambar 4.4 Sel Fibroblas (panah) pada Jaringan Granulasi Luka Bakar.
(a)Kelompok P1;(b)Kelompok P2;(c) Kelompok P3;(d) Kontrol positif;(e)
Kontrol negatif
(Pewarnaan HE, Perbesaran 400X)
Data jumlah sel fibroblas merupakan rerata jumlah sel yang memiliki inti
lonjong ketika dipotong memanjang dan memiliki inti berwarna lebih pucat dari
masing – masing kelompok penelitian. Data yang diperoleh selama penelitian
adalah sebagai berikut :
Tabel 4.3 Rerata Jumlah Sel Fibroblas
Kelompok
Perlakuan
N Rerata Jumlah Sel Fibroblas
P1 5 28,96
P2 5 59,38
P3 5 30,1
K + 5 37,76
K - 5 54,34
Grafik 4.2 Rerata Jumlah Sel Fibroblas
0
20
40
60
80
Rer
ata
Ju
mla
h S
el
Fib
rob
las
(bu
ah
)
Kelompok Penelitian
Grafik Rerata Jumlah Sel Fibroblas
p1
p2
p3
k+
k-
57
Dari tabel 4.3 dan grafik 4.2 dapat disimpulkan bahwa rerata jumlah sel
fibroblas tertinggi terdapat pada kelompok perlakuan P2. Sedangkan kelompok
perlakuan P1 dan P3 memiliki jumlah sel fibroblas lebih rendah dari kontrol
negatif dan kontrol positif. Jumlah sel fibroblas pada kelompok kontrol negatif
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol positif.
Selanjutnya dilakukan penghitungan secara statistik dengan menggunakan
One Way Anova karena distribusi data normal dan variasi data homogen setelah
ditransformasi. Data yang di dapat adalah sebagai berikut :
Tabel 4.4 Hasil Analisis Data Pengaruh Ekstrak Daun Binahong terhadap Jumlah
Sel Fibroblas
Dari tabel 4.4 diatas diperoleh nilai p sebesar 0,004 (p<0,05) menunjukkan
bahwa minimal terdapat dua kelompok yang memiliki perbedaan yang bermakna.
Berdasarkan nilai mean, jumlah sel fibroblas pada kelompok perlakuan P2
(konsentrasi ekstrak daun binahong 20%) lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok perlakuan lain.
Hal ini sesuai dengan penelitian Sumartiningsih (2012) yang menyebutkan
bahwa pemberian ekstrak daun binahong selama 3 hari dengan akan
meningkatkan jumlah sel fibroblas sebanyak 2%.40
Ekstrak daun binahong banyak
mengandung zat aktif, salah satunya adalah flavonoid. Dari suatu penelitian
diketahui bahwa flavonoid dapat meningkatkan reseptor Insulin-like Growth
Factor (IGF) yang berperan untuk proliferasi fibroblas dan sintesis kolagen.34
Pada penelitian yang dilakukan oleh Zulfitri (2012) menunjukkan bahwa
semakin besar konsentrasi ekstrak daun binahong maka pertumbuhan sel akan
semakin meningkat.35
Namun pada penelitian ini, jumlah sel fibroblas tertinggi
terdapat pada kelompok P2 dengan konsentrasi ekstrak daun binahong 20%.
Kelompok
Perlakuan N Mean
Standar
Deviation P Value
Jumlah sel
fibroblast
P1 5 1,4455 0,04733 0,004
P2 5 1,7463 0,07472
P3 5 1,4471 0,07832
K+ 5 1,5612 0,04583
K- 5 1,7168 0,05556
58
Kelembaban daerah luka merupakan fakor penting yang mempengaruhi
pertumbuhan sel fibroblas. Kelembaban yang sesuai dapat mempercepat
pembentukan faktor pertumbuhan sehingga pertumbuhan sel akan meningkat.44
Basis salep yang berbahan dasar lemak dapat menjaga kelembaban di daerah luka.
Pada salep dengan konsentrasi ekstrak binahong 20%, komposisi basis salep dan
ekstrak sesuai dengan kelembaban yang dibutuhkan sehingga pertumbuhan sel
akan meningkat. Pada salep dengan konsentrasi ekstrak daun binahong 40%,
kadar basis salepnya lebih rendah sehingga kelembabannya akan lebih berkurang
dan pertumbuhannya sel akan lebih berkurang jika dibandingkan dengan
kelompok P2.
Proliferasi sel fibroblas terjadi ketika adanya luka. Luka tersebut
merangsang aktivasi dari trombosit sehingga trombosit mengalami degranulasi.
Trombosit yang terdegranulasi akan mensekresi fibroblast growth factor (FGF).
Selanjutnya, FGF akan merangsang proliferasi dari sel fibroblas sehingga pada
saat terjadinya luka terjadinya peningkatan dari sel fibroblas. Sel fibroblas
menghasilkan kolagen untuk menutup luka.48
Proliferasi sel fibroblas akan menurun ketika kolagen yang dihasilkan
sudah cukup untuk penyembuhan luka. Jika kolagen yang dihasilkan masih
kurang dari yang dibutuhkan, proliferasi sel fibroblas akan tetap terjadi. Hal
tersebut dipengaruhi oleh growth factor yang merangsang proliferasi sel fibroblas.
Sintesis kolagen mencapai puncaknya pada hari ke 5-7 setelah terjadinya luka.48,49
Pada penelitian ini, jumlah sel fibroblas pada kelompok P2 lebih tinggi
dibandingkan kelompok lain hal tersebut dikarenakan kolagen yang terbentuk
masih sedikit. Kepadatan deposit kolagen pada kelompok P2 paling rendah
dibandingkan dengan kelompok lain sehingga jumlah sel fibroblas pada kelompok
P2 lebih tinggi dibandingkan kelompok lain.
4.3 Neovaskularisasi
Berikut ini adalah gambaran mikroskopik dari neovaskularisasi pada
jaringan luka bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan 30 detik dengan
plat besi, terlihat lumen pembuluh darah yang dikelilingi oleh sel endotel dan juga
lumen yang berisi sel darah merah.
59
Gambar 4.5 Neovaskularisasi (panah hijau) pada Jaringan Granulasi Luka Bakar.
(a)Kelompok P1;(b) Kelompok P2;(c) Kelmpok P3;(d) Kontrol positif; (e)
Kontrol negatif
(Pewarnaan HE, Perbesaran 400X)
Data neovaskularisasi yang diambil adalah rerata jumlah pembuluh darah
yang terdapat pada preparat kelompok penelitian. Data yang diperoleh selama
penelitian adalah sebagai berikut :
Tabel 4.5 Rerata Jumlah Pembuluh Darah
Kelompok
Perlakuan
N Rerata Jumlah Pembuluh Darah
P1 5 2,8
P2 5 2,64
P3 5 4,48
K+ 5 5,88
K- 5 3,2
Grafik 4.3 Rerata Jumlah Pembuluh Darah
0
2
4
6
8
Rer
ata
Ju
mla
h
Neo
vask
ula
risa
si
(bu
ah
)
Kelompok Penelitian
Grafik Rerata Jumlah Neovaskularisasi
p1
p2
p3
k+
k-
60
Dari tabel 4.5 dan grafik 4.3 di atas disimpulkan bahwa rerata jumlah
pembuluh darah yang terbentuk pada kelompok perlakuan P3 (konsentrasi ekstrak
binahong 40%) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif,
namun masih lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Di
antara kelompok perlakuan lain yaitu P1 dan P2, kelompok perlakuan P3 memiliki
rerata jumlah pembuluh darah tertinggi.
Selanjutnya dilakukan penghitungan secara statistik dengan menggunakan
One-Way Anova, namun karena distribusi data tidak normal maka menggunakan
uji Kruskal Wallis. Data yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Tabel 4.6 Hasil Analisis Data Pengaruh Ekstrak Daun Binahong terhadap Jumlah
Pembuluh Darah
Kelompok
Penelitian
N Mean Rank P value
Neovaskularisasi P1 5 10,40 0,713
P2 5 11,00
P3 5 14,60
K+ 5 16,00
K- 5 13,00
Dari tabel 4.6 di atas, terdapat nilai (P>0,05) yang menunjukkan bahwa
perbedaan jumlah pembuluh darah antar kelompok penelitian tidak bermakna,
sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun binahong tidak berpengaruh
terhadap neovaskularisasi pada pembentukan jaringan granulasi pada luka bakar
tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi.
Kelompok perlakuan P3 yang mengandung konsentrasi ekstrak daun
binahong 40% memiliki rerata jumlah neovaskularisasi paling tinggi
dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Zulfitri (2012) menunjukkan bahwa ekstrak daun binahong
dengan konsentrasi 0 %, 20%, 40% dan 80% dapat meningkatkan pembuluh darah
kapiler pada area luka. Eksisi luka dilakukan pada hari ke-4 setelah perlakuan.
Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun binahong,maka jumlah pembuluh darah
yang terbentuk semakin banyak. Pembuluh darah baru secara klinis mulai terlihat
pada hari ke 3 – 5 setelah terjadinya luka. Ekstrak daun binahong memiliki
flavonoid jenis quercetin.35
Quercetin dapat menghambat HIF-prolyl hydroxylase,
61
yaitu enzim yang berperan untuk hidroksilasi dan degradasi enzim Hypoxia
Inducible Factor 1 Alfa ( HIF-1 Alfa ). Ketika enzim tersebut terhambat maka
akan mengaktivasi HIF-1 dan menginduksi jalur angiogenesis HIF -1 & VEGF (
Vascular Endothelial Growth Factor ).36
Proses angiogenesis tidak berlangsung secara terus menerus. Terdapat
beberapa mekanisme untuk menstabilisasi proses angiogenesis. Secara fisiologis,
proses pembentukan pembuluh darah baru terjadi pada fase regeneratif yang
dimulai sekitar hari ke 4 hingga hari ke-21 setelah luka.35,38
Pada fase
penyembuhan tertentu, faktor pertumbuhan yang berperan dalam proses
angiogenesis akan menurun sehingga pembuluh darah baru yang terbentuk akan
berkurang. Selain itu, perisit yang menstabilisasi sel endotel mensekresikan TGF-
β sebagai inhibitor proliferasi vaskular. Interferon β yang dihasilkan oleh
epidermis juga akan mengganggu proses angiogenesis. Oleh karena itu, inhibitor
angiogenesis endogen berpengaruh terhadap stabilisasi proses angiogenesis.36,37
Pada penelitian ini, peningkatan jumlah neovaskularisasi yang terbentuk
sesuai dengan peningkatan konsentrasi ekstrak daun binahong yang terkandung di
dalam salep. Namun, berdasarkan penghitungan secara statistik, peningkatan
tersebut tidak signifikan karena terdapat beberapa sampel dari setiap kelompok
yang bernilai nol sehingga distribusi datanya menjadi tidak normal dan variasi
datanya kurang homogen.
4.4 Keterbatasan Penelitian
Selama penelitian ini berlangsung, banyak hambatan yang didapat,antara
lain :
1. Kurangnya waktu yang disediakan untuk penelitian sehingga peneliti
menggunakan waktu kuliah untuk melakukan penelitian
2. Proses perawatan dan kebersihan hewan sampel yang masih kurang
sehingga dapat menyebabkan resiko infeksi pada luka bakar sampel
3. Pada penelitian ini, pemotongan jaringan yang diambil untuk
pembuatan preparat hanya pada salah satu bagian luka sehingga kurang
menggambarkan kondisi luka secara keseluruhan.
62
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Terdapat pengaruh pemberian ekstrak daun binahong (Anredera
cordifolia (Tenore) Steenis) terhadap pembentukan jaringan granulasi
(kepadatan deposit kolagen (p value = 0,000) dan jumlah sel
fibroblas (p value = 0,004)) pada luka bakar tikus Sprague dawley
dengan lama paparan luka bakar 30 detik dengan plat besi.
2. Kepadatan deposit kolagen tertinggi terdapat pada kelompok kontrol
positif dan kepadatan deposit kolagen pada kelompok perlakuan yang
diberikan salep ekstrak daun Binahong lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok kontrol positif dan negatif.
3. Jumlah sel fibroblas pada kelompok perlakuan P2 menunjukkan
jumlah sel fibroblas yang lebih tinggi dibandingkan kelompok
perlakuan lain.
4. Pemberian ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Tenore)
Steenis) dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 40% tidak berpengaruh
terhadap pembentukan neovaskularisasi pada jaringan granulasi luka
bakar tikus Sprague dawley dengan lama paparan luka bakar 30 detik
dengan plat besi.
5.2 Saran
Saran bagi peneliti selanjutnya adalah sebagai berikut :
1. Diharapakan dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh
ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) dengan
dosis yang beragam, jumlah sampel penelitian yang lebih besar, dan
waktu penelitian yang lebih panjang. Sebaiknya diteliti juga mengenai
bagian lain dari tanaman binahong, seperti umbi, akar, dan batang.
63
2. Sebaiknya digunakan pewarnaan yang spesifik untuk menandai sel yang
akan dinilai agar sel dapat dibedakan dengan jelas.
64
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Riset
kesehatan dasar (RISKESDAS 2013). Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. 2013.p101-109
2. WHO. World report on child injury prevention; 2008.p79-93
3. Pavoni V, Gianesello L, Paprella L, Buoninsegni LT, Barboni E. Outcome
predictors and quality of life of severe burn patients admitted to ICU.
Scandinavian Journal of Trauma Resuscitation and Emergency Medicine.
2010;18:24.
4. Rhyner S. Rubin's Pathology: Clinicopatholigic foundations of medicine.
sixth edition [internet]. China: Lippincott Williams & Wilkins; 2012 [cited
2014 April 3]. Available from: Google books.
5. Gupta N, Jain UK. Prominent wound healing properties of indigenous
medicines. Journal of National Pharmaceutical. 2010; 1:2-10
6. Manoi F. Binahong (Anredera cordifolia) sebagai obat. Warta Penelitian
Pengembangan Tanaman Obat. 2009; 13:1-32.
7. Astuti SM, Sakinah M, Andayani R, Risch A. Determination of saponin
compound from Anredera cordifolia (Ten.) Steenis plant (Binahong) to
potential treatment for several diseases. Journal of Agriculture Science.
December 2011. Vol.3 - No.4.
8. Miladiyah I, Prabowo BR. Ethanolic extract of Anredera Cordifolia (Ten.)
Steenis leaves improved wound healing in guinea pigs. Universa Medica.
January - April 2012. Vol 31 - No. 1.
9. Chotimah C. Anredera cordifolia extract with IL-10 as antiinflammation
and accelerating wound healing post dental extraction. Universitas
Airlangga. 2013.
10. Tshikalange TE. The traditional use of medicinal plants to treat sexually
transmitted disease. Faculty of Natural and Agricultural Sciences of the
University of Pretoria. 2005.
11. Persada AN, Windarti I, Fiana DN. Perbandingan tingkat kesembuhan
luka bakar derajat II antara pemberian topikal daun binahong (Anredera
65
cordifolia (Ten.)Steenis) tumbuk dan hidrogel pada tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague dawley. Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung. 2014.
12. Vivian-Smith G. Anredera cordifolia (vine,climber). Global Invasive
Species Database [internet]; 2006 (updated 2006 April 10th ; cited 2014
March 20th ). Available from:
http://www.issg.org/database/species/ecology.asp?si=776.htm
13. Vivian-Smith G, Lawson BE, Turnbull I, Downey PO. The biology of
Australian weeds 46. Anredera cordifolia (Ten.) Steenis. Plant Protection
Quarterly. 2007;Vol.22(1): 2-20.
14. Yuswantina R. Uji Aktivitas penangkal radikal dari ekstrak petroleum
ether, etil, asetat dan ethanol, rhizome Binahong dengan metode DPPH
(2,2-difenil 1-1 picrilhidrazil). Fakultas Farmasi UMS. 2009.
15. Selawa W, Runtuwene MRJ, Citraningtyas G. Kandungan flavonoid dan
kapasitas antioksidan total ekstrak etanol Binahong (Anredera cordifolia
(Ten.) Steenis). Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT. Februari 2013. Vol. 2
No. 01.
16. Skipper A. Dietitian's handbook of enteral and parenteral nutrition third
edition [internet]. USA: Jones & Bartlett Learning; 2012 [cited 2014 April
14]. Available from: Google books.
17. Nur DM. Perbedaan kadar vitamin C pada daun Binahong segar dan
ekstrak daun Binahong (Anredera cordifolia ( Ten ) Steenis). Universitas
Muhammadiyah Semarang; 2010.
18. Kumar S, Pandey AK. Chemistry and biological activities of flavonoids:
an overview. The Scientific World Journal. 2013;Vol.2013:1-16
19. Dorland, WAN. Dorland's illustrated medical dictionary 32nd edition.
USA: Elsevier saunders; 2011.
20. Martini FH, Nath JL, Bartholomew. Fundamentals anatomy & physiology
Ninth edition. USA: Benjamin cummings; 2012.p145-155
21. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi Robbins edisi 7
volume 1 [Alih bahasa: Awal Prasetyo]. Jakarta: EGC; 2007.p75-84
66
22. Li J,Chen J, Kirsner R. Pathophysiology of acute wound healing. Clinics
in Dermatology. 2007; 25: 9 - 18.
23. Cakir B, Yegen BC. Systemic response to burn injury. Turk J Med Sci 34
.2004: p215-226
24. Senarath-Yapa K, Enoch S. Management of burns in the community.
Clinical Review Wounds UK. 2009. Vol. 5 No. 2
25. Lullman H, Mohr K, Ziegler A, Bieger D. Color atlas of pharmacology
2nd edition. New York: Thieme; 2000.p16-18
26. Paju N, Yamlean PVY, Kojong N. 2013. Uji efektifitas ekstrak daun
Binahong (Anredera cordifolia (TEN) Steenis) pada kelinci (Oryctolagus
cuniculus) yang terinfeksi bakteri Staphylococcus aureus. Jurnal ilmiah
Farmasi – UNSRAT. Februari 2013.Vol. 2 No. 01.
27. Sheerwood L. Human Physiology: From cells to system seventh edition.
Canada : Brooks/Cole Cengage Learning. 2010.
28. Kamer E, Unalp HR, Gundogan U, Dintz G, Ortac R, Olukman M, et al.
Effect of ascorbic acid on incisional wound healing in streptozotocin -
induced diabetic rats. Original Research. Wound. 2010; 22(2): 27-31.
29. WHO. Management of burn. WHO Surgical Care at the District Hospital.
Malta : Interprint Limited; 2003.
30. Center for Emergency Preparedness and Disaster Response . Trauma/Burn
clinical guidelines. A Quick Guide for the Management of Trauma/Burn
Disasters for Emergency Departement Personnel. Yale: Yale New Haven
Health; 2013.
31. Greenhalgh DG. Topical antimicrobial agents for burn wounds. Clin
Plastic Surgery 36. 2009 May 11; 597-606.
32. Anderson RJ, Groundwater PW, Todd A, Worsley AJ. Antibacterial
agents: chemistry, mode of action, mechanism of resistence, and clinical
applications [internet]. UK : John Wiley and Son, Ltd. 2012 [cited 2014
April 24]. Available from; Google books
33. Nijveldt RJ, Nood EV, Hoorn DEV, Boelens PG, Norren KV, Leeuwen
PAV. Flavonoids : a review of probable mechanism of action and potential
67
applications. The American Journal of Clinical Nutrition. 2001
October;74:418-25.
34. Sabirin IPR, Maskoen AM, Hernowo BS. Peran ekstrak etanol topikal
daun mengkudu (Morinda citrofolia L.) pada penyembuhan luka ditinjau
dari imunoekspresi CD34 dan kolagen pada tikus galur Wistar. FKG
Unjani. MKB volume 45 No. 4 Desember 2013.
35. Zulfitri AMI, Khoswanto C, Istiati S. The Effect of extract Binahong leaf
gel (Anredera cordifolia) to improve guinea pigs (Cavia cobaya)
fibroblast cell and capillaries number over wound healing process after
tooth extraction. Journal Media Oral Biology Dental Journal. July 2012;
Vol.4 No.2.
36. Jeon H, et al. Quercetin activates an angiogenic pathway, hypoxia
inducible factor (HIF) – 1 vascular endothelial growth factor, by inhibiting
HIF-prolyl hydroxylase : a structural analysis of quercetin for inhibiting
HIF-prolyl hydroxylase. Molecular Pharmacology. 2007 Jun;71(6):1676-
84.
37. William WL, Vincent WL. Angiogenesis in wound healing. Contemporary
Surgery. A supplement to Contemporary Surgery. November 2003.
38. de Mendoca RJ. Angiogenesis in wound healing. Departement of
Biological Science. Federal University of Triangulo Minciro, Brazil.
Available from: . [cited: 24th
July 2014, 10.32 am]
39. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Edisi 5. Seri
Evidence Based Medicine 1. Jakarta: Salemba Medika; 2013.
40. Sumartiningsih S. The benefit of topically administered Binahong for
treatment of sport injury (hematoma). Paper presented at: International
Conference: Research and Application on Traditional Complementary and
Alternative Medicine in Health Care (TCAM). 2012 June 22nd-23rd;
Surakarta, Indonesia.
41. Wardana S. Pengaruh pemberian topikal ekstrak daun Binahong (Anredera
cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap luasan serabut kolagen dalam
penyembuhan luka sayat kulit derajat 3 pada tikus putih Wistar (Rattus
norvegicus). FK UNS. 2013
68
42. Jung WK, Koo HC, Kim W, Shin S, Kim SH, Park YH. Antibacterial
activity and mechanism of action of the silver ion in Staphylococcus
aureus and Eschericia coli. Appl Environ Microbiol. Apr
2008;74(7):2171-2178.
43. Katzung BG. Basic & clinical pharmacology. 10th Edition. USA:
McGraw Hill Lange; 2006.
44. Sumaryo H, Dwitiyanti, Lestari PM. Pembuatan sediaan topikal dan uji
aktivitas dari kombinasi zinc oxide dengan madu (Mel depuratum) untuk
luka terbuka pada tikus putih jantan. Fakultas Farmasi dan Sains
Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka
45. Gartner LP, Hiatt JL. Color textbook of histology. Second Edition. China:
Saunders. 2001.p75-77,325-333
46. Federer WT. Experimental design: Theory and application. New Delhi:
Oxford & IBH Publishing Co; 1967.
47. Jiang F, Horber H, Howard J, Muller DJ. Assembly of collagen into
microribbons: Effect of pH and electrolytes. Journal of Structural Biology
Elsevier. 2004;148: 268-278.
48. Tanggo VTIP. Pengaruh pemberian topikal ekstrak kulit delima pada
penyembuhan luka split thickness kulit tikus. Departemen/SMF Ilmu
Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik FK UNAIR. 2013.
49. Anindyajati TP, Harsini, Widjijono. Pengaruh konsentrasi ekstrak kulit
batang jambu mete dalam bahan kumur terhadap proliferasi sel fibroblas
pada penyembuhan luka (in vivo). Departemen Biomaterial. FKG UGM.
2013
50. Akhoondinasab MR, Akhoondinasab M, Saberi M. Comparison of healing
effect of aloe vera extract and silver sulfadiazin in burn injuries in
experimental rat model. Original Article. January 2014. Vol.3 No.1.
51. Godin B ,Touitou E. Transdermal skin delivery: Predictions for human
from in vivo, ex vivo, and animal models. Advanced Drugs Delivery
Review. 2007.p3
69
LAMPIRAN
Lampiran 1
Hasil Determinasi/Identifikasi Bahan Uji
Gambar 6.1 Hasil Determinasi Tanaman
70
Lampiran 2
Hasil Ekstraksi Bahan Uji
Gambar 6.2 Hasil Ekstraksi Tanaman
71
Lampiran 3
Surat Keterangan Tikus Sehat
Gambar 6.3 Surat Keterangan Tikus Sehat
72
Lampiran 4
Surat Persetujuan Etik
Gambar 6.4 Surat Persetujuan Etik
75
Lampiran 6
Riwayat Hidup Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Syifa Qurrotu Aini
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 13 September 1993
Agama : Islam
Alamat : Jl. Bojong Renged Benda Baru RT 01/06 No.
19 Desa Rawa Rengas Kecamatan Kosambi
Kabupaten Tangerang Provinsi Banten
e-Mail : [email protected]
Riwayat Pendidikan
1997-1999 : TK Islam Al Fajar
1999-2005 : SD Negeri 1 Rawa Rengas
2005-2008 : SMP Negeri 2 Tangerang
2008-2011 : SMA Negeri 1 Tangerang
2011-sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter , FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta