penerimaan diri pada individu yang mengalami

14
PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI PREKOGNISI MUHAMMAD ARI WIBOWO Program Sarjana, Universitas Gunadarma ABSTRAK Tidak jarang setiap orang merasa akan mengalami suatu kejadian, dan uniknya seringkali firasat itu, atau prekognisi dalam ranah psikologi, mengenai sesuatu yang buruk. Pengalaman prekognisi akhirnya tidak jarang menjadi dilema bagi yang mengalaminya, untuk mengatakan atau tidak kepada yang bersangkutan. Keadaan ini akan berpengaruh terhadap penerimaan diri individu karena bagaimanapun juga prekognisi adalah bagian dari dirinya. Penelitian ini merupakan studi kasus. Subjek adalah seorang wanita berusia 23 tahun yang memenuhi persyaratan telah mengalami prekognisi tiga kali yang benar terjadi dan dibenarkan oleh pihak ketiga atau yang diberitahukan sebelumnya dan hingga kini masih mengalami prekognisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran penghayatan prekognisi yang dialami individu, bagaimana penerimaan diri individu, mengapa individu memiliki penerimaan diri yang demikian, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi penerimaan diri individu yang mengalami prekognisi. Melalui penelitian terhadap individu yang mengalami prekognisi, peneliti menemukan gambaran penghayatan prekognisi yang dialami, bagaimana penerimaan diri individu terhadap prekognisi yang dialaminya dan mengapa penerimaan dirinya demikian, dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri individu. Semua hasil temuan tersebut berperan dalam proses penerimaan diri subjek. Penelitian ini menemukan bahwa subjek memiliki penerimaan diri yang baik.

Upload: tranthu

Post on 12-Jan-2017

240 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI PREKOGNISI

MUHAMMAD ARI WIBOWO

Program Sarjana, Universitas Gunadarma

ABSTRAK

Tidak jarang setiap orang merasa akan mengalami suatu kejadian, dan uniknya

seringkali firasat itu, atau prekognisi dalam ranah psikologi, mengenai sesuatu yang

buruk. Pengalaman prekognisi akhirnya tidak jarang menjadi dilema bagi yang

mengalaminya, untuk mengatakan atau tidak kepada yang bersangkutan. Keadaan ini

akan berpengaruh terhadap penerimaan diri individu karena bagaimanapun juga

prekognisi adalah bagian dari dirinya. Penelitian ini merupakan studi kasus. Subjek

adalah seorang wanita berusia 23 tahun yang memenuhi persyaratan telah mengalami

prekognisi tiga kali yang benar terjadi dan dibenarkan oleh pihak ketiga atau yang

diberitahukan sebelumnya dan hingga kini masih mengalami prekognisi. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran penghayatan prekognisi yang dialami

individu, bagaimana penerimaan diri individu, mengapa individu memiliki penerimaan

diri yang demikian, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi penerimaan diri individu

yang mengalami prekognisi. Melalui penelitian terhadap individu yang mengalami

prekognisi, peneliti menemukan gambaran penghayatan prekognisi yang dialami,

bagaimana penerimaan diri individu terhadap prekognisi yang dialaminya dan mengapa

penerimaan dirinya demikian, dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri

individu. Semua hasil temuan tersebut berperan dalam proses penerimaan diri subjek.

Penelitian ini menemukan bahwa subjek memiliki penerimaan diri yang baik.

Page 2: PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Normalnya, manusia memiliki lima indera yang berfungsi untuk mendapatkan informasi

tentang dunia sekitar. Diluar lima indera itu, banyak orang meyakini adanya indera ke-

enam. Orang akan dianggap memiliki indera ke-enam jika mampu melihat hal-hal yang

tidak bisa dilihat, didengar atau dirasakan orang lain (Mendatu, 2007). Jadi, indera ke-

enam berperan sebagai indera untuk menangkap informasi tentang dunia sekitar yang

tidak bisa diperoleh dengan indera biasa. Secara ilmiah indera ke-enam dikenal dengan

istilah extra sensory perception (ESP). ESP adalah kemampuan persepsi seseorang diatas

panca inderanya (Heaney, 2008).

Dalam ilmu psikologi, ESP sebagai salah satu fenomena spiritual dikaji dalam

parapsikologi dan psikologi transpersonal. Psikologi transpersonal telah memberikan cara

pandang yang baru mengenai manusia dan kesadarannya. Vaughan Vaughan, Wittine,

dan Walsh (dalam Herviana, 2004) menyebutkan empat asumsi psikologi transpersonal

yang salah satunya adalah psikologi transpersonal merupakan proses kebangkitan atau

pencerahan (awakening) dari identitas mikro menuju identitas makro. Psikologi

transpersonal menganggap pengalaman spiritual akan membimbing orang menuju

pertumbuhan kepribadian yang lebih besar dan fungsi yang lebih tinggi. Jadi, dapat

dikatakan bahwa sebagai pengalaman spiritual, ESP dapat membuat manusia menjadi

pribadi yang matang.

ESP sendiri terdiri dari tiga hal, yakni telepati, daya terawang jauh, dan prekognisi

(Kartoatmodjo, 1995). Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada prekognisi

mengingat penelitian mengenai prekognisi jarang dilakukan dan jarang pula yang

mengungkap sisi psikologis dari individu yang mengalami prekognisi. Guiley (1991)

menjelaskan bahwa prekognisi adalah pengetahuan langsung atau persepsi akan masa

depan, yang didapat melalui cara ekstrasensori. Prekognisi dapat pula terjadi secara

spontan dalam suatu vision, tergambar dalam pikiran, halusinasi auditori, siluet atau

bayangan dalam pikiran, dan perasaan “tahu”.

Pengetahuan umum dalam masyarakat menganggap bahwa kemampuan seperti itu (ESP)

hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki bakat istimewa. Namun, psikologi

transpersonal menjelaskan bahwa setiap manusia dapat mengalami fenomena spiritual;

Page 3: PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

secara potensial ESP ada pada setiap manusia, hanya saja dengan tingkat sensitifitas yang

berbeda-beda (Radin, 2000).

Tidak banyak orang yang tahu bahwa prekognisi yang didapat kebanyakan mengenai

musibah, kecelakaan, dan hal-hal buruk, sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan.

Radin (2000) mengungkapkan bahwa banyak orang memberikan respon secara tidak

sadar terhadap sesuatu yang buruk bahkan sebelum hal itu terjadi. Terjadinya prekognisi

ini juga terkadang disertai reaksi fisiologis dari yang ringan hingga ekstrem seperti

pusing, mual, muntah, tubuh terasa sakit, pingsan, dan lain-lain. Dalam eksperimennya,

Radin menemukan bahwa sebelum sesuatu yang buruk terjadi, seseorang akan

mendapatkan suatu perasaan dimana tubuhnya memberikan respon terhadap emosi yang

akan datang, walaupun pikiran sadar tidak selalu mendapat pesan itu.

Pengalaman prekognisi akhirnya tidak jarang menjadi dilema bagi yang mengalaminya.

Seorang individu, misalkan ia mendapat kabar buruk tentang seseorang, memberi tahu

kabar yang ia dapatkan pada orang yang bersangkutan. Namun, ia justru diejek, dituduh

penyebar teror, pembawa sial, dan sebagainya. Banyak yang memandang rendah dan

mengucilkan individu yang suka mengatakan “hal yang tidak jelas” yang tidak diketahui

darimana datangnya. Padahal mereka sendiri bingung terhadap kabar yang tanpa sengaja

diketahuinya, pun mereka bingung apakah sebaiknya memberi tahu kabar tersebut atau

tidak.

Ada pula yang memilih untuk tidak memberitahukan prekognisinya. Namun, saat

ternyata prekognisinya menjadi kenyataan, ia hanya dapat menangisi dirinya, menyesali

dirinya mengapa tidak memberitahukan prekognisinya, menyesali dirinya yang tidak bisa

berbuat apa-apa, dan menutup diri. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi penerimaan diri

individu, bagaimana individu memandang dirinya dan menyikapi kondisi tersebut.

Menurut Anderson (dalam Hurlock, 1974), penerimaan diri ini sangat berpengaruh

terhadap bagaimana seseorang menjalani hidup. Seseorang yang mampu menerima

dirinya secara jujur, baik di dalam (hati, pikiran, perasaan) maupun di luar (perilaku,

penampilan), tidak takut memandang dirinya secara jujur karena ia tidak bisa lari dari diri

sendiri, walau apapun yang ia lakukan.

Menurut Hurlock (1974), penerimaan diri adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan

individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya.

Page 4: PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

Wagner (2004) berpendapat jika prekognisi yang didapat merupakan hal yang penting,

hal tersebut harus diberitahukan kepada yang bersangkutan. Hal ini akan menghilangkan

keraguan pada diri dan meningkatkan keyakinan pada diri dan kemampuan sendiri karena

hal tersebut menandakan bahwa individu menerima keadaan dirinya.

Mendatu (2007) lebih lanjut menerangkan bahwa banyak orang khawatir fenomena ESP

betul-betul nyata ada. Mereka takut mengetahui fakta bahwa hal itu ada di sekelilingnya.

Oleh karena itu, mereka menolak untuk percaya. Ketakutan akan kebenaran adanya

fenomena psi, mungkin disebabkan beberapa alasan, seperti misalnya fenomena psi

terkait dengan kekuatan jahat, magis atau sihir jahat. Bagi orang yang mengalami psi,

mereka cenderung tidak membicarakan pengalamannya dengan orang lain dengan alasan

bahwa mereka merasa pengalaman itu bersifat sangat personal, intim, dan tidak ingin

mereka bagi; bahwa mereka tidak mempunyai kata-kata yang memadai untuk

menceritakannya; atau mereka ketakutan jika orang lain akan melecehkan pengalaman itu

atau menganggap mereka tidak waras atau sejenisnya.

Tart (1984) mengatakan bahwa tidak menerima dan menghadapi ketakutan akan psi, bagi

individu yang mengalami psi, akan menciptakan motivasi tak sadar bagi munculnya

perilaku yang menghambat baik dalam aspek perkembangan maupun psikopatologis.

Gambaran di atas membuat peneliti tertarik untuk melihat bagaimana individu yang

mengalami prekognisi mampu melakukan penerimaan diri meskipun tekanan yang

dihadapi cukup besar, serta bagaimana kondisi penerimaan dirinya terlebih dengan

keadaan dimana prekognisi masih dianggap tabu sehingga dokumentasi mengenai

prekognisi yang terjadi sangat jarang sehingga individu kehilangan kesempatan untuk

menghayati prekognisinya. Peneliti akan mencari tahu apakah prekognisi dapat

mempengaruhi gambaran penerimaan diri individu.

B. PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang ingin dijawab dalam penelitian

ini:

1. Bagaimana gambaran penghayatan prekognisi yang dialami individu?

2. Bagaimana penerimaan diri individu dan mengapa penerimaan dirinya demikian?

3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri individu?

Page 5: PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

C. TUJUAN PENELITIAN

Sesuai dengan masalah tersebut di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini

adalah mengetahui gambaran penghayatan prekognisi yang dialami individu, mengetahui

bagaimana penerimaan diri individu dan mengapa penerimaan dirinya demikian, serta

untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri individu.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Merupakan sumbangan bagi pengembangan psikologi transpersonal di Indonesia,

dimana saat ini masih sedikit penelitian mengenai fenomena spiritual dan berguna

bagi penelitian mengenai area kognisi maupun sisi psikologis dari fenomena spiritual;

untuk mengingatkan bahwa sisi psikologis dan nilai kemanusiaan tetap harus

dipertimbangkan pada penelitian selanjutnya dalam area transpersonal, dalam area

kajian yang sama (kognitif) maupun yang lainnya.

2. Manfaat Praktis

Untuk memahami dimensi penerimaan diri individu. Penelitian ini diharapkan dapat

membantu individu yang mengalami prekognisi untuk mencapai peneriman diri.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi orang-orang di sekitar

individu mengenai gambaran penerimaan dirinya sehingga mereka dapat mengetahui

bagaimana cara yang tepat untuk bersikap terhadapnya. Dengan mendapatkan sikap

yang tepat dari orang-orang sekitar, diharapkan mampu membantu individu dalam

mencapai penerimaan dirinya.

E. LANDASAN TEORI

Menurut Ryff (1996), penerimaan diri adalah keadaan dimana seorang individu memiliki

penilaian positif terhadap dirinya, menerima serta mengakui segala kelebihan maupun

segala keterbatasan yang ada dalam dirinya tanpa merasa malu atau merasa bersalah

terhadap kodrat dirinya.

Jersild (dalam Hurlock, 1974) mengemukakan beberapa ciri penerimaan diri untuk dapat

membedakan antara orang yang menerima keadaan dirinya atau yang telah

Page 6: PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

mengembangkan sikap penerimaan terhadap dirinya dengan orang yang menolak keadaan

dirinya (denial), antara lain:

1. Memiliki harapan yang realistis terhadap keadaannya dan menghargai dirinya sendiri;

2. Yakin akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada

pendapat orang lain;

3. Memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya dan tidak melihat dirinya secara

irasional;

4. Menyadari aset diri yang dimiliki dan merasa bebas untuk melakukan keinginannya;

Menyadari kekurangan tanpa menyalahkan diri sendiri.

Hurlock (1974) mengemukakan sepuluh faktor yang mempengaruhi penerimaan diri

individu, yaitu:

1. Pemahaman tentang Diri Sendiri

Timbul dari kesempatan seseorang untuk mengenali kemampuan dan

ketidakmampuannya serta mencoba menunjukan kemampuannya. Semakin individu

memahami dirinya, maka semakin besar penerimaan individu terhadap dirinya.

2. Harapan Realistik

Timbul jika individu menentukan sendiri harapannya dengan disesuaikan dengan

pemahaman kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain. Dengan harapan

realistik, akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan tersebut sehingga

menimbulkan kepuasan diri.

3. Tidak Adanya Hambatan di Lingkungan

Harapan individu akan sulit tercapai bila lingkungan di sekitarnya tidak memberikan

kesempatan atau bahkan menghalangi (walaupun harapan individu sudah realistik).

4. Sikap-sikap Anggota Masyarakat yang Menyenangkan

Tidak adanya prasangka, adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain

dan kesediaan individu mengikuti kebiasaan lingkungan.

5. Tidak Adanya Gangguan Emosional yang Berat

Tidak adanya gangguan emosional yang berat akan membuat individu dapat bekerja

sebaik mungkin dan merasa bahagia.

Page 7: PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

6. Pengaruh Keberhasilan yang Dialami

Keberhasilan yang dialami dapat menimbulkan penerimaan diri (yang positif).

Sebaliknya, kegagalan yang dialami mengakibatkan adanya penolakan diri.

7. Identifikasi dengan Orang yang Memiliki Penyesuaian Diri yang Baik

Individu yang mengidentifikasi diri dengan orang yang well adjusted, dapat

membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku

dengan baik, yang dapat menimbulkan penerimaan diri dan penilaian diri yang baik.

8. Adanya Perspektif Diri yang Luas

Yakni memperhatikan pandangan orang lain tentang diri. Perspektif diri yang luas

ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar.

9. Pola Asuh di Masa Kecil yang Baik

Anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai orang

yang dapat menghargai dirinya sendiri.

10. Konsep Diri yang Stabil

Individu yang tidak memiliki konsep diri yang stabil (misalnya, kadang menyukai

diri dan kadang tidak menyukai diri), akan sulit menunjukan pada orang lain siapa ia

sebenarnya, sebab ia sendiri ambivalen terhadap dirinya.

Hurlock (1974), memberikan pandangan bahwa semakin baik seorang individu dapat

menerima dirinya, semakin baik penyesuaian diri dan penyesuaian sosialnya.

Penyesuaian diri yang positif adalah adanya keyakinan pada diri dan adanya harga

diri sehingga timbul kemampuan menerima dan membangun kritik demi

perkembangan dirinya. Penerimaan diri yang disertai dengan rasa aman untuk

mengembangkan diri ini memungkinkan seseorang untuk menilai dirinya secara

lebih realistis sehingga dapat menggunakan potensinya secara efektif. Selain itu ia

juga merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri tanpa adanya keinginan untuk

menjadi orang lain. Penyesuaian sosial yang positif bermakna timbulnya sikap

menerima terhadap orang lain, menaruh minat terhadap orang lain, dapat

memberikan simpati dan toleran, dapat mengatasi keadaan emosionalnya tanpa

mengganggu orang lain, dan memiliki dorongan untuk membantu orang lain.

Page 8: PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

Hurlock (1974) membagi dampak penerimaan diri menjadi dua kategori:

1. Dalam penyesuaian diri

Orang yang memiliki penerimaan diri, mampu mengenali kelebihan dan

kekurangannya. Ia biasanya memiliki keyakinan diri (self confidence) dan harga diri

(self esteem). Selain itu mereka juga lebih dapat menerima kritik demi

perkembangan dirinya.

Penerimaan diri yang disertai dengan adanya rasa aman untuk mengembangkan diri

ini memungkinkan seseorang untuk menilai dirinya secara lebih realistis sehingga

dapat menggunakan potensinya secara efektif. Dengan penilaian yang realistis

terhadap diri, seseorang akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura. Selain itu ia juga

merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri tanpa ada keinginan untuk menjadi

orang lain.

2. Dalam penyesuaian sosial

Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan pada orang lain. Orang

yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk menerima orang lain,

memberikan perhatiannya pada orang lain, serta menaruh minat terhadap orang lain,

seperti menunjukan rasa empati dan simpati. Dengan demikian orang yang memiliki

penerimaan diri dapat melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan

dengan orang yang merasa rendah diri sehingga mereka cenderung berorientasi pada

dirinya sendiri (self oriented). Ia dapat mengatasi keadaan emosionalnya tanpa

mengganggu orang lain, serta toleran dan memiliki dorongan untuk membantu orang

lain.

Dietz (dalam Kartoatmodjo, 1995) menyebutkan bahwa ESP adalah pengamatan di luar

panca indera. Dikatakan pula sebagai gejala-gejala yang subjektif, mental atau

intelektual. Secara garis besar Kartoatmodjo (1995) membagi ESP atas:

1. Telepati

Telepati adalah suatu hubungan antara kesadaran dua orang atau lebih tanpa adanya

bantuan indera penglihatan.

Page 9: PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

2. Daya terawang jauh (clairvoyance)

Daya terawang jauh adalah kemampuan mengetahui atau melihat peristiwa atau objek

yang sedang terjadi di tempat lain.

3. Prekognisi

Prekognisi adalah pengetahuan dan pengamatan (pengalaman) secara langsung tanpa

bantuan indera yang biasa tentang suatu peristiwa yang akan terjadi atau tentang

orang atau tentang benda yang waktu dan tempat kejadiannya berjauhan.

Radin (2000) mengemukakan beberapa penjelasan terjadinya firasat (prekognisi) atau

prasangka intuitif.

1. Di level bawah sadar (subconscious), individu selalu berpikir dan menyimpulkan

sesuatu, tapi hal ini hanya sebagai prasangka bagi pikiran sadarnya

2. Individu menangkap sinyal / isyarat dari bahasa tubuh dan suara subliminal atau

gambaran peripheral tanpa sadar bahwa ia sedang melakukannya

3. Pada setiap peristiwa kebetulan yang diingat, individu melupakan setiap kali

mendapat firasat

4. Individu memodifikasi ingatan untuk kenyamanannya, menciptakan suatu hubungan

dimana hal itu tidak nyata ada

5. Murni karena adanya indera ke-enam

Wagner (2004) mengemukakan langkah-langkah yang perlu diambil jika mengalami

prekognisi, yaitu:

1. Menyiapkan buku harian. Menulis segala prekognisi yang pernah dialami beserta

waktu dan tanggal ketika mengalaminya.

2. Mengatakan pada orang lain. Ketika seseorang merasa akan mengganggu orang lain

bila menceritakan pengalaman prekognisinya, hal tersebut justru akan

menghilangkan bukti penting yang orang lain harus ketahui untuk dapat

mempercayai pengalaman prekognisi tersebut. Apabila prekognisi yang dialami

merupakan sesuatu yang penting, maka menceritakan hal tersebut pada seseorang

yang dapat dipercaya merupakan cara yang dapat ditempuh.

3. Menandai tanggal ketika prekognisi terjadi.

4. Jujur jika prekognisi yang dialami terjadi, walau tidak 100% akurat.

Page 10: PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

F. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang

bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah

manusia dan sosial, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas

sebagaimana dilakukan penelitian kualitatif dengan konstruktivismenya. Dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan metode wawancara dengan pedoman wawancara,

menggunakan observasi catatan lapangan, dan metode unobstrusive berupa data tertulis

subjek mengenai prekognisi yang dialaminya.

G. SUBJEK PENELITIAN

Peneliti menggunakan satu orang subjek yang telah memenuhi kriteria: pernah

mengalami prekognisi dan masih mengalaminya hingga kini, serta prekognisinya telah

terbukti atau menjadi kenyataan setidaknya tiga kali dan dibenarkan melalui catatan atau

diketahui oleh orang-orang tertentu (yang sejak awal diberitahu subjek mengenai

prekognisinya). Peneliti tidak menentukan jenis kelamin dan usia subjek karena

menganggap prekognisi dapat dialami oleh siapapun di segala usia dan semua jenis

kelamin. Peneliti juga menggunakan satu orang significant other yang merupakan sahabat

yang sering diceritakan pengalaman prekognisi subjek.

H. HASIL PENELITIAN

Dari hasil penelitian penerimaan diri pada individu yang mengalami prekognisi

ditemukan:

1. Gambaran penghayatan prekognisi yang dialami individu

Subjek dalam penelitian ini mengalami Prekognisi berupa auditori (bisikan),

perasaan tahu, dan mimpi. Subjek menganggap semua orang bisa mengalami

prekognisi hanya sensitivitasnya berbeda. Prekognisi yang dialami subjek bersifat

spontan, tidak tentu kapan datangnya. Subjek mengalami perubahan mood jika

mendapatkan prekognisi dan seringkali ada perasaan yang menekan jika dihiraukan,

bahkan bisikannya bertambah kencang.

2. Bagaimana penerimaan diri individu dan mengapa penerimaan dirinya demikian

Page 11: PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

Subjek penelitian memiliki penerimaan diri yang positif. Subjek dapat menerima

kondisinya yang mengalami prekognisi bahkan merasa senang dan terbantu karena

merasa segala tindakannya seperti diarahkan. Subjek tidak menutup diri, justru subjek

menceritakan prekognisinya kepada orang lain karena dengan itu pula subjek merasa

tenang dan hilang kegelisahannya. Walau kebanyakan prekognisinya tentang hal

buruk, subjek mengaku tidak takut dan bisa tetap menentukan tindakan (yang sesuai

dengan prekognisinya) karena seringkali prekognisi subjek mengarahkan

tindakannya. Subjek termasuk suka menceritakan prekognisinya, tapi tidak kepada

orang yang bersangkutan karena subjek tidak ingin mendahului Tuhan. Ibu

memegang peran dominan dalam mengajarkan nilai-nilai dan menyikapi prekognisi

subjek, seperti prekognisi itu bisa dialami semua orang dan bisa saja salah, karena

datangnya dari Tuhan maka harus tetap disyukuri dengan berdoa dan tanpa

memaksakan orang lain untuk percaya.

Ibu merupakan satu-satunya anggota keluarga yang mengalami prekognisi

sehingga subjek suka bercerita dengan Ibunya. Peneliti melihat ada pengaruh antara

orang tua subjek yang sudah Haji dengan pemahaman subjek tentang prekognisi yang

dikaitkan dengan Ke-Tuhanan. Ibu merupakan figur yang sangat berpengaruh bagi

kehidupan dan pengembangan nilai-nilai subjek dimana subjek mengidentifikasi

Ibunya yang memiliki penyesuaian diri baik. Penerimaan diri subjek yang baik juga

dipengaruhi oleh lingkungan, orang-orang yang menerima diri subjek tanpa

melecehkan, menghina, ataupun memandang negatif.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri Individu

Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri subjek penelitian adalah

pemahaman yang baik tentang diri sendiri, sikap anggota masyarakat yang

menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional yang berat, prekognisi subjek

sering terjadi, subjek mengidentifikasi diri dengan Ibunya yang juga mengalami

prekognisi dimana subjek banyak belajar cara-cara menyikapi prekognisi, perspektif

diri yang luas, pola asuh di masa kecil yang baik, konsep diri yang stabil, dan

penyesuaian diri dan penyesuaian sosial yang positif.

Harapan yang realistis tidak peneliti anggap sebagai faktor yang mempengaruhi karena,

harapan subjek bukan hal yang rasional. Tidak adanya hambatan dalam lingkungan juga

Page 12: PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

tidak termasuk ke dalam faktor yang mempengaruhi karena memang tidak ada yang

mendorong subjek mengembangkan bakatnya, di samping subjek memang tidak ingin

mengembangkan prekognisinya.

I. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian penerimaan diri pada individu yang mengalami prekognisi

dapat disimpulkan bahwa:

1. Gambaran penghayatan prekognisi yang dialami individu

Subjek dalam penelitian ini mengalami Prekognisi berupa auditori (bisikan),

perasaan tahu, dan mimpi. Subjek menganggap semua orang bisa mengalami

prekognisi hanya sensitivitasnya berbeda. Prekognisi yang dialami subjek bersifat

spontan, tidak tentu kapan datangnya. Subjek mengalami perubahan mood jika

mendapatkan prekognisi dan seringkali ada perasaan yang menekan jika dihiraukan,

bahkan bisikannya bertambah kencang.

2. Bagaimana penerimaan diri individu dan mengapa penerimaan dirinya demikian

Subjek penelitian memiliki penerimaan diri yang positif. Subjek dapat menerima

kondisinya yang mengalami prekognisi bahkan merasa senang dan terbantu karena

merasa segala tindakannya seperti diarahkan. Subjek tidak menutup diri, justru subjek

menceritakan prekognisinya kepada orang lain karena dengan itu pula subjek merasa

tenang dan hilang kegelisahannya. Walau kebanyakan prekognisinya tentang hal

buruk, subjek mengaku tidak takut dan bisa tetap menentukan tindakan (yang sesuai

dengan prekognisinya) karena seringkali prekognisi subjek mengarahkan

tindakannya. Subjek termasuk suka menceritakan prekognisinya, tapi tidak kepada

orang yang bersangkutan karena subjek tidak ingin mendahului Tuhan. Ibu

memegang peran dominan dalam mengajarkan nilai-nilai dan menyikapi prekognisi

subjek, seperti prekognisi itu bisa dialami semua orang dan bisa saja salah, karena

datangnya dari Tuhan maka harus tetap disyukuri dengan berdoa dan tanpa

memaksakan orang lain untuk percaya.

Ibu merupakan satu-satunya anggota keluarga yang mengalami prekognisi

sehingga subjek suka bercerita dengan Ibunya. Peneliti melihat ada pengaruh antara

orang tua subjek yang sudah Haji dengan pemahaman subjek tentang prekognisi yang

Page 13: PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

dikaitkan dengan Ke-Tuhanan. Ibu merupakan figur yang sangat berpengaruh bagi

kehidupan dan pengembangan nilai-nilai subjek dimana subjek mengidentifikasi

Ibunya yang memiliki penyesuaian diri baik. Penerimaan diri subjek yang baik juga

dipengaruhi oleh lingkungan, orang-orang yang menerima diri subjek tanpa

melecehkan, menghina, ataupun memandang negatif.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri Individu

Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri subjek penelitian adalah

pemahaman yang baik tentang diri sendiri, sikap anggota masyarakat yang

menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional yang berat, prekognisi subjek

sering terjadi, subjek mengidentifikasi diri dengan Ibunya yang juga mengalami

prekognisi dimana subjek banyak belajar cara-cara menyikapi prekognisi, perspektif

diri yang luas, pola asuh di masa kecil yang baik, konsep diri yang stabil, dan

penyesuaian diri dan penyesuaian sosial yang positif.

Harapan yang realistis tidak peneliti anggap sebagai faktor yang mempengaruhi

karena, harapan subjek bukan hal yang rasional dan empiris. Tidak adanya hambatan

dalam lingkungan juga tidak termasuk ke dalam faktor yang mempengaruhi karena

memang tidak ada yang mendorong subjek mengembangkan bakatnya, di samping

subjek memang tidak ingin mengembangkan prekognisinya.

J. Saran

1. Untuk Subjek Penelitian

Meningkatkan penerimaan pada kondisi diri bisa dilakukan dengan menyadari hingga

membuat catatan tentang prekognisi yang dialami. Menyadari saat prekognisi datang,

sangat penting bagi subjek untuk mengantisipasi perubahan mood-nya yang

mendadak.

2. Untuk Individu yang Mengalami Prekognisi

Tetap menceritakan prekognisi yang dialami kepada orang terdekat untuk mengurangi

kegelisahan, kebimbangan, dan rasa menekan dengan tidak memaksakan orang untuk

mempercayainya; kemudian mencoba menyadari ketika mengalami prekognisi,

membuat catatan akan banyak membantu meningkatkan penerimaan dan kepercayaan

pada diri sendiri.

Page 14: PENERIMAAN DIRI PADA INDIVIDU YANG MENGALAMI

3. Untuk Masyarakat yang Mengenal Orang yang Mengalami Prekognisi

Peneliti berharap kepada masyarakat yang membaca karya ilmiah ini untuk

memahami kondisi orang yang mengalami prekognisi. Terjadinya suatu kejadian

buruk bukan karena seseorang mendapat pertanda tertentu. Hendaknya masyarakat

yang mengenal orang yang mengalami prekognisi dapat memberikan support dan

mentolerir perubahan seketika yang dapat terjadi seperti perubahan mood. Masyarakat

jangan pula mempercayai penuh prekognisi yang dialami seseorang (jika belum

terjadi).

4. Untuk Peneliti Selanjutnya

Untuk peneliti yang akan mengadakan penelitian dengan topik yang sama, hendaknya

menggunakan lebih dari dua subjek dengan latar yang berbeda seperti gender, agama,

dan rentang usia yang signifikan (usia remaja hingga dewasa akhir). Kemudian

menggunakan metode analisis antar kasus untuk membandingkan subjek dengan latar

yang berbeda-beda. Proses ilmiah dan keakuratan data juga merupakan hal yang

penting terutama menyangkut pembuktian kemampuan (ESP, prekognisi) yang

dimiliki subjek. Selain bukti data anekdot, jika sumber daya yang ada

memungkinkan, baik sekali jika ada pengujian empiris di lab, dimana peneliti

menggunakan alat-alat tertentu yang dapat menunjukan reaksi fisiologis subjek

(aliran darah, denyut jantung, aktivitas otak, dll.).