penatalaksanaan hiperbilirubinemia dengan

36
PENATALAKSANAAN HIPERBILIRUBINEMIA DENGAN FOTOTERAPI PENATALAKSANAAN HIPERBILIRUBINEMIA DENGAN FOTOTERAPI METABOLISME BILIRUBIN Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis KONSEP DASAR Ikterus Fisiologis Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987): 1.Timbul pada hari kedua-ketiga 2.Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan. 3. Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari 4.Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg % 5.Ikterus hilang pada 10 hari pertama 6.Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu Ikterus Patologis / Hiperbilirubinemi Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%. Kern Ikterus Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV. CARA KERJA 1. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. 2. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia

Upload: benks-priyatna

Post on 23-Nov-2015

54 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

tatalaksana hiperbilirubin

TRANSCRIPT

PENATALAKSANAAN HIPERBILIRUBINEMIA DENGANFOTOTERAPI

PENATALAKSANAAN HIPERBILIRUBINEMIA DENGAN FOTOTERAPI METABOLISME BILIRUBINSegera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati.Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis

KONSEP DASAR

Ikterus FisiologisIkterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):1.Timbul pada hari kedua-ketiga2.Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.3. Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari4.Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %5.Ikterus hilang pada 10 hari pertama6.Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu

Ikterus Patologis / HiperbilirubinemiAdalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

Kern IkterusAdalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otakterutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus,Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.

CARA KERJA1. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin.2. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi.3. Terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu.4. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia.5. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu6. Dari empedu kemudian diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984).7. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin.8. Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.

KRITERIA ALAT1. Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm.2. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm.3. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi.4. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes .

PROSEDUR PEMBERIAN FOTOTERAPIPersiapan Unit Terapi sinar1. Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan, bila perlu, sehingga suhu di bawah lampu antara 38 0C sampai 30 0C.2. Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi dengan baik.3. Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah rusak atau berkelip-kelip (flickering):a. Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung tersebut.b. Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun tabung masih bisa berfungsi.4. Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya sebanyak mungkin kepada bayi

Pemberian Terapi sinar1. Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar.a. Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang pada basinet. Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam inkubator.b. Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik.2. Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak ikut tertutup. Jangan tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip.3. Balikkan bayi setiap 3 jam4. Pastikan bayi diberi makan:5. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling kurang setiap 3 jam:6. Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan penutup mata7. Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan lain (contoh: pengganti ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.8. Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah), tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari selama bayi masih diterapi sinar .9. Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan pindahkan bayi dari sinar terapi sinar .10. Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa menjadi lebih lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi khusus.11. Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan:12. Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur yang tidak bisa dilakukan di dalam unit terapi sinar .13. Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar untuk mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru)14. Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3 jam. Bila suhu bayi lebih dari 37,5 0C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara pindahkan bayi dari unit terapi sinar sampai suhu bayi antara 36,5 0C 37,5 0C.15. Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus:16. Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL17. Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar, persiapkan kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter untuk transfusi tukar. Sertakan contoh darah ibu dan bayi.18. Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3 hari.19. Setelah terapi sinar dihentikan:20. Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila memungkinkan, atau perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode klinis.21. Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada di atas nilai untuk memulai terapi sinar , ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi langkah ini pada setiap penghentian terapi sinar sampai bilirubin serum dari hasil pemeriksaan atau perkiraan melalui metode klinis berada di bawah nilai untuk memulai terapi sinar.22. Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik dan tidak ada masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi.23. Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa kembali bayi bila bayi bertambah kuning

ASKEP ANAKDENGAN HIPERBILIRUBIN

I. PENDAHULUANIkterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.

II. KONSEP DASAR

A. PengertianIkterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi kernicterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.

B. Metabolisme BilirubinUntuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu diketahui sedikit tentang metabolisme bilirubin pada neonatus.Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persnyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik.Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh t3, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian.

C. EtiologiPenyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor:

1. Produksi yang berlebihanHal ini melebihi kemampuannya bayi untuk mengeluarkannya, misal pada hemolisis yang meningkat pada inkompabilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PADA, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

2. Gangguan proses uptake dan konjugasi heparGangguan ini dapat disebabkan oleh immturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar) penyebab lain atau defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.

3. Gangguan transportasiBilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, dan sulfaforazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapat bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

4. Gangguan dalam ekskresiGangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi/kerusakan hepar oleh penyebab lain.

D. PatofisiologiKejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika.Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.

E. Tanda dan Gejala Kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga (pada bayi dengan bilirubin indirek). Anemia Petekie Perbesaran lien dan hepar Perdarahan tertutup Gangguan nafas Gangguan sirkulasi Gangguan saraf

F. PenatalaksanaanTujuan utama adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus. Konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukuronil transferase dengan pemberian obat seperti luminal atau agar. Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi hikan, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi sinar, antara lain: enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit (ruam gigitan kutu), gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.

G. PrognosisHiperbilirubin baru akan berpengaruh bentuk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar otak, penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris, gejala ensefalopati pada neonatus mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, letargi dan hipotonia, selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan adanya atitosis didan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan adanya atitosis ditai gangguan pendengaran atau retardasi mental di hari kemudian.

III. ASUHAN KEPERAWATANA. Pengkajian

a. Riwayat penyakitKekacauan/ gangguan hemolitik (Rh atau ABO incompabilitas), policitemia, infeksi, hematom, memar, liver atau gangguan metabolik, obstruksi menetap, ibu dengan diabetes.

b. Pemeriksaan fisik- Kuning- Pucat- Urine pekat- Letargi- Penurunan kekuatan otot (hipotonia)- Penurunan refleks menghisap- Gatal- Tremor- Convulsio (kejang perut)- Menangis dengan nada tinggic. Pemeriksaan psikologisEfek dari sakit bayi; gelisah, tidak kooperatif/ sulit kooperatif, merasa asing.d. Pengkajian pengetahuan keluarga dan pasien

Penyebab dan perawatan, tindak lanjut pengobatan, membina kekeluargaan dengan bayi yang lain yang menderita ikterus, tingkat pendidikan, kurang membaca dan kurangnya kemauan untuk belajar.

B. Diagnosa keperawatan

1. Resiko peningkatan kadar bilirubin dalam darah berhubungan dengan kondisi fisiologis/patologis

Tujuan/KriteriaTidak ada peningkatan hiperbilirubinemia

Rencana Tindakana.Monitor tanda-tanda vitalb.Monitor bilirubin serumc.Monitor bila ada muntah, kaku otot atau tremord.Kolaborasi terapi dengan tim medise.Berikan minum ekstraf.Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian fototerapi

2. Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan malas menghisap

Tujuan/KriteriaKebutuhan nutrisi terpenuhi

Rencana Tindakana.Berikan minum melalui sonde(ASI yang diperah atau PASI)b.Lakukan oral hygiene dan olesi mulut dengan kapas basahc.Monitor intake dan outputd.Monitor berat badan tiap harie.Observasi turgor dan membran mukosa

3. Resiko perubahan suhu Tubuh berhubungan dengan efek samping fototerapi

Tujuan/Kriteria:Suhu tubuh tetap normal

Rencana Tindakan:a.Monitor tanda-tanda vital tiap 4jamb.Perhatikan suhu lingkungan dan gunakan isolasic.Berikan minum tambahan

4. Resiko terjadi trauma persepsi sensori penglihatan berhubungan dengan efek samping fototerapi

Tujuan/Kriteria:Tidak terjadi gangguan pada retina pada masa perkembangan

Rencana Tindakan:1.Kaji efek samping fototerapi2.Letakkan bayi 45 cm dari sumber cahaya/lampu3.Selama dilakukan fototerapi tutup mata dan genital dengan bahan yang tidak tembus cahaya4.Monitor reflek mata dengan senter pada saat bayi diistirahatkan dan kontrol keadaan mata setiap 8 jam5.Buka tutup mata bila diberi minum atau saat tidak dibawah sinar6.Observasi dan catat penggunaan lampu

5. Resiko terjadi gangguan integritas kulit berhubungan dengan efek sampingfototerapi

Tujuan/Kriteria:Selama dalam perawatan kulit bayi tidak mengalami gangguan integritas kulit

Rencana Tindakan:a.Observasi keadaan keutuhan kulit dan warnanyab.Bersihkan segera bila bayi buang air besar atau buang air kecilc.Gunakan lotion pada daerah bokongd.Jaga alat tenun dalam keadaan bersih dan keringe.Lakukan alih baring dan pemijatan

6. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang tujuan, prosedur pemasangan dan efek samping fototerapi

Tujuan/Kriteria:Orang tua mengerti tujuan tujuan, prosedur dan efek samping fototerapi

Rencana Tindakan:1.Beri penyuluhan pada orang tua tentang tujuan, prosedur dan efek samping fototerapi2.Berikan support mental3.Libatkan orang tua dalam prosedur fototerapi

Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi Indonesia Sehat 2010, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.

Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi 13 mg/dL.

Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah fisiologis, kecuali:

Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.

Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.

Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.

Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.

Ikterus menetap pada usia >2 minggu.

Terdapat faktor risiko.

Efek toksik bilirubin ialah neurotoksik dan kerusakan sel secara umum. Bilirubin dapat masuk ke jaringan otak. Ensefalopati bilirubin adalah terdapatnya tanda-tanda klinis akibat deposit bilirubin dalam sel otak. Kelainan ini dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronik.

Bentuk akut terdiri atas 3 tahap;

tahap 1 (1-2 hari pertama): refleks isap lemah, hipotonia, kejang;

tahap 2 (pertengahan minggu pertama): tangis melengking, hipertonia, epistotonus;

tahap 3 (setelah minggu pertama): hipertoni.

Bentuk kronik

: pada tahun pertama: hipotoni, motorik terlambat. Sedang setelah tahun pertama didapati gangguan gerakan, kehilangan pendengaran sensorial.

B. EpidemiologiDi Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.

Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.

Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.

Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.

C. Etiologi dan Faktor Risiko1. Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:

Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.

Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.

Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:

Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.

Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.

Polisitemia.

Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.

Ibu diabetes.

Asidosis.

Hipoksia/asfiksia.

Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

2. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

a. Faktor Maternal

Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)

Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)

Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.

ASI

b. Faktor Perinatal

Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)

Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

c. Faktor Neonatus

Prematuritas

Faktor genetik

Polisitemia

Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)

Rendahnya asupan ASI

Hipoglikemia

Hipoalbuminemia

D. PatofisiologiBilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.

1. Ikterus fisiologisSecara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.

Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin.

2. Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice)Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.

Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.

E. Penegakan Diagnosis1. Visual

Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.

WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:

Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.

Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.

Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning. (tabel 1)

2. Bilirubin Serum

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil)

Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.

3. Bilirubinometer Transkutan

Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.

Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.

Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.

Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)

Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat.

Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis

Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs:

Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar.

Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar, lakukan terapi sinar

Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.

Tentukan diagnosis banding

2. Tata laksana Hiperbilirubinemia HemolitikPaling sering disebabkan oleh inkompatibilitas faktor Rhesus atau golongan darah ABO antara bayi dan ibu atau adanya defisiensi G6PD pada bayi. Tata laksana untuk keadaan ini berlaku untuk semua ikterus hemolitik, apapun penyebabnya.

Bila nilai bilirubin serum memenuhi kriteria untuk dilakukannya terapi sinar, lakukan terapi sinar.

Bila rujukan untuk dilakukan transfusi tukar memungkinkan:

Bila bilirubin serum mendekati nilai dibutuhkannya transfusi tukar, kadar hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%) dan tes Coombs positif, segera rujuk bayi.

Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa dan tidak memungkinkan untuk dilakukan tes Coombs, segera rujuk bayi bila ikterus telah terlihat sejak hari 1 dan hemoglobin < 13 g/dL (hematokrit < 40%).

Bila bayi dirujuk untuk transfusi tukar:

Persiapkan transfer.

Segera kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter dengan fasilitas transfusi tukar.

Kirim contoh darah ibu dan bayi.

Jelaskan kepada ibu tentang penyebab bayi menjadi kuning, mengapa perlu dirujuk dan terapi apa yang akan diterima bayi.

Bila penyebab ikterus adalah inkompatibilitas Rhesus, pastikan ibu mendapatkan informasi yang cukup mengenai hal ini karena berhubungan dengan kehamilan berikutnya.

Bila bayi memiliki defisiensi G6PD, informasikan kepada ibu untuk menghindari zat-zat tertentu untuk mencegah terjadinya hemolisis pada bayi (contoh: obat antimalaria, obat-obatan golongan sulfa, aspirin, kamfer/mothballs, favabeans).

Bila hemoglobin < 10 g/dL (hematokrit < 30%), berikan transfusi darah.

Bila ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih pada bayi cukup bulan atau 3 minggu lebih lama pada bayi kecil (berat lahir < 2,5 kg atau lahir sebelum kehamilan 37 minggu), terapi sebagai ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice).

Follow up setelah kepulangan, periksa kadar hemoglobin setiap minggu selama 4 minggu. Bila hemoglobin < 8 g/dL (hematokrit < 24%), berikan transfusi darah.

Nasihati ibu:

Ikterus Berkepanjangan (Prolonged Jaundice) Diagnosis ditegakkan apabila ikterus menetap hingga 2 minggu pada neonatus cukup bulan, dan 3 minggu pada neonatus kurang bulan.

Terapi sinar dihentikan, dan lakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab.

Bila buang air besar bayi pucat atau urin berwarna gelap, persiapkan kepindahan bayi dan rujuk ke rumah sakit tersier atau senter khusus untuk evaluasi lebih lanjut, bila memungkinkan.

Bila tes sifilis pada ibu positif, terapi sebagai sifilis kongenital.

Mengenai penatalaksanaan dengan terapi sinar dan transfusi tukar selengkapnya dimuat terpisah.G. Efek HiperbilirubinemiaPerhatian utama pada hiperbilirubinemia adalah potensinya dalam menimbulkan kerusakan sel-sel saraf, meskipun kerusakan sel-sel tubuh lainnya juga dapat terjadi. Bilirubin dapat menghambat enzim-enzim mitokondria serta mengganggu sintesis DNA. Bilirubin juga dapat menghambat sinyal neuroeksitatori dan konduksi saraf (terutama pada nervus auditorius) sehingga menimbulkan gejala sisa berupa tuli saraf.

Kerusakan jaringan otak yang terjadi seringkali tidak sebanding dengan konsentrasi bilirubin serum. Hal ini disebabkan kerusakan jaringan otak yang terjadi ditentukan oleh konsentrasi dan lama paparan bilirubin terhadap jaringan.

Ensefalopati bilirubinIkterus neonatorum yang berat dan tidak ditata laksana dengan benar dapat menimbulkan komplikasi ensefalopati bilirubin. Hal ini terjadi akibat terikatnya asam bilirubin bebas dengan lipid dinding sel neuron di ganglia basal, batang otak dan serebelum yang menyebabkan kematian sel. Pada bayi dengan sepsis, hipoksia dan asfiksia bisa menyebabkan kerusakan pada sawar darah otak. Dengan adanya ikterus, bilirubin yang terikat ke albumin plasma bisa masuk ke dalam cairan ekstraselular. Sejauh ini hubungan antara peningkatan kadar bilirubin serum dengan ensefalopati bilirubin telah diketahui. Tetapi belum ada studi yang mendapatkan nilai spesifik bilirubin total serum pada bayi cukup bulan dengan hiperbilirubinemia non hemolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada kecerdasan atau kerusakan neurologik yang disebabkannya.

Faktor yang mempengaruhi toksisitas bilirubin pada sel otak bayi baru lahir sangat kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Faktor tersebut antara lain: konsentrasi albumin serum, ikatan albumin dengan bilirubin, penetrasi albumin ke dalam otak, dan kerawanan sel otak menghadapi efek toksik bilirubin. Bagaimanapun juga, keadaan ini adalah peristiwa yang tidak biasa ditemukan sekalipun pada bayi prematur dan kadar albumin serum yang sebelumnya diperkirakan dapat menempatkan bayi prematur berisiko untuk terkena ensefalopati bilirubin.

Bayi yang selamat setelah mengalami ensefalopati bilirubin akan mengalami kerusakan otak permanen dengan manifestasi berupa serebral palsy, epilepsi dan keterbelakangan mental atau hanya cacat minor seperti gangguan belajar dan perceptual motor disorder.

H. PencegahanPerlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut:

1. PrimerAAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama.

Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik.

AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.

2. SekunderDokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.

Pemeriksaan Golongan DarahSemua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.

Penilaian KlinisDokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain.

Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas.

Referensi:1. Health Technology Assessment Unit Medical Development Division Ministry of Health Malaysia, 2002. Management of neonatal hyperbilirubinemia.2. Masukan berdasarkan hasil rapat tim ahli HTA Indonesia.3. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK. Neonatal hyperbilirubinemia. N Engl J Med 2001;344:581-90.4. Suradi R, Situmeang EH, Tambunan T. The association of neonatal jaundice and breast-feeding. Paedatr Indones 2001;41:69-75.5. Laporan RS Dr. Sardjito Yogyakarta.6. Laporan RS Dr. Kariadi Semarang.7. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives. Departement of Reproductive Health and Research, World Health Organization, Geneva 2003.8. Briscoe L, Clark S. Yoxall CW. Can transcutaneous bilirubinometry reduce the need for blood tests in jaundiced full term babies? Arch Dis Child Fetal Neonatal 2002;86:F190-2.9. Suresh GK, Clark RE. Cost-effectiveness of strategies that are intended to prevent kernicterus in newborn infants. Pediatrics 2004;114:917-24.10. Surjono A. Hiperbilirubinemia pada neonatus:pendekatan kadar bilirubin bebas. Berkala Ilmu Kedokteran 1995;27:43-6.11. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins;2004,185-222.12. Masukan Dr. Ali Usman, SpInfo ikterusneonatorumIkterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam

Ikterus neonatorum

I. DefinisiIkterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari hepar, sistem biliary, atau sistem hematologi. Ikterus dapat terjadi baik karena peningkatan bilirubin indirek ( unconjugated ) dan direk ( conjugated ) .

II. EtiologiHiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab yang tersering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompabilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini juga dapat timbul akibat perdarahan tertutup (hematom cefal, perdarahan subaponeurotik) atau inkompabilitas darah Rh, infeksi juga memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain adalah hipoksia/anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia, dan polisitemia.

III. EpidemiologiPada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 % bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.

IV. PatolofisiologiBilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh oleh tubuh. Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi berasal dari hem bebas atau dari proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membrane biologic seperti placenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat dengan oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin ( protein-Y), protein-Z, dan glutation hati lain yang membawanya ke reticulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskesi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dari tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diarbsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses arbsorpsi enterohepatik.Sebagian besar neonatus mengalami peningkatan kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebuh pendek (80 90 hri ), dan belum matangnya fungsi hepar.Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian tersering adalah apabila terdapat pertambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit bayi/janin, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein-Y berkurang atau pada keadaan protein-Y dan protein-Z terikat oleh anion lain, misalkan pada bayi dengan asidosis atau keadaan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang dapat memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan konjugasi hepar ( defisiensi enzim glukoronil transferase ) atau bayi menderita gangguan eksresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu ekstra/intrahepatik.

V. DiagnosisAnamnesis ikterus pada riwayat onstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakan diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi. Termasuk anamnesis mengenai riwayat inkompabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko itu antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes mellitus, gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal, dan lain-lain.Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari kemudian. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit tampak kehijauan. Penilaian ini sangat sulit dikarenakan ketergantungan dari warna kulit bayi sendiri.Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostic lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubn langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung lekosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan apusan darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan apusan memperlihatkan petunjuk adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirunemia direk, adanya hepatitis hepatitis, fibrosis kistis dan sepsis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin indirek normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologis atau patologis.Ikterus fisiologis. Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah 1 3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl /24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2 -3, biasanya mencapai puncak antara hari ke 2 4, dengan kadar 5 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadar 5 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara hari ke 5 7 kehidupan.Hiperbilirubin patologis. Makna hiperbilirubinemia terletak pada insiden kernikterus yang tinggi , berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18 20 mg/dl pada bayi aterm. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah akan memperlihatkan kernikterus pada kadar yang lebih rendah ( 10 15 mg/dl)VI. Diagnosis bandingIkterus yang timbul 24 jam pertatama kehidupan mungkin akibat eritroblstosis foetalis, sepsis, rubella atau toksoplasmosis congenital. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3 dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septicemia sebagai penyebabnya. Ikterus yang permulaannya timbul setelah minggu pertama kehidupan memberi petunjuk adanya septicemia, atresia kongental saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubella, hepatitis herpetika, anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan dan sebagainya.Ikterus yang persisten selama bulan pertama kehidupan memberi petunjuk adanya apa yang dinamakan inspissated bile syndrome. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi parenteral total. Kadang bilirubin fisiologis dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pylorus.

VII. KomplikasiKernikterus adalah suatu sindrom neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan tak terkonjugasi dalam sel-sel otak

VIII. TerapiTujuan utama penatalaksanaan ikterus neonatal adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/encefalopati biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus tersebut. Pengendalian bilirubin juga dapat dilakukan dengan mengusahakan agar kunjugasi bilirubin dapat dilakukan dengan megusahakan mempercepat proses konjugasi. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat seperti luminal atau fenobarbital.Pemberian substrat yang dapat menghambat matabolisme bilirubin ( plasma atau albumin ), mengurangi sirkulasi enterohepatik ( pemberian kolesteramin ), terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.Fototerapi. Ikterus klinis dan hiperbilirubin indirek akan berkurang kalau bayi dipaparkn pada sinar dalam spectrum cahaya yang mempunyai intensitas tinggi. Bilirubin akan menyerap cahaya secara maksimal dalam batas wilayah warna biru ( mulai dari 420 470 nm ). Bilirubin dalam kulit akan menyerap energi cahaya, yang melalui fotoisomerasi mengubah bilirubin tak terkonjugasi yang bersifat toksik menjadi isomer-isomer terkonjugasi yang dikeluarkan ke empedu dan melalui otosensitisasi yang melibatkan oksigen dan mengakibatkan reaksi oksidasi yang menghasilkan produk-produk pemecahan yang akan diekskresikan oleh hati dan ginjal tanpa memerlukan konjugat. Indikasi fototerapi hanya setelah dipastikan adanya hiperbilirubin patologik. Komplikasi fototerapi meliputi tinja yang cair, ruam kulit, bayi mendapat panas yang berlebihan dan dehidrasi akibat cahaya, menggigil karena pemaparan pada bayi, dan sindrom bayi perunggu, yaitu warna kulit menjadi gelap, cokelat dan keabuan.

Fenobarbital. Meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin. Pemberian obat ini akan mengurangi timbulnya ikterus fisiologik pada bayi neonatus, kalau diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam beberap hari sebelum kelahiran atau bayi pada saat lahir dengan dosis 5 mg/kgBb/24 jam. Pada suatu penelitian menunjukan pemberian fenobarbital pada ibu untuk beberapa hari sebelum kelahiran baik pada kehamilan cukup bulan atau kurang bulan dapat mengkontrol terjadinya hiperbilirubinemia. Namun karena efeknya pada metabolisme bilirubin biasanya belum terwujud sampai beberapa hari setelah pemberian obat dan oleh karena keefektifannya lebih kecil dibandingkan fototerapi, dan mempunyai efek sedatif yang tidak diinginkan dan tidak menambah respon terhadap fototerapi, maka fenobarbital tidak dianjurkan untuk pengobatan ikterus pada bayi neonatus.Transfusi tukar. Dilakukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum bayi aterem kurang dari 20 mg/dl atau 15 mg/dl pada bayi kurang bulan . Dapat diulangi sebanyak yang diperlukan, atau keadaan bayi yang dipandang kritis dapat menjadi petunjuk melakukan transfusi tukar selama hari pertama atau kedua kehidupan, kalau peningkatan yang lebih diduga akan terjadi, tetapi tidak dilakukan pada hari ke empat pada bayi aterm atau hari ke tujuh pada bayi premature, kalau diharapkan akan segera terjadi penurunan kadar bilirubin serum atau akibat mekanisme konjugasi yang bekerja lebih efektif. Transfusi tukar mungkin merupakan metode yang paling efektif untuk mengkontrol terjadinya hiperbilirubinemia.

IX. PrognosisHiperbilirubemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar otak.

ASUHAN KEPERAWATAN BAYI DENGAN HYPERBILIRUBINEMIA DENGAN PHOTOTERAPI

November 8, 2012 by semaraputraadjoezt Tinggalkan komentar

Juniartha Semara Putra

ASUHAN KEPERAWATAN

BAYI DENGAN HYPERBILIRUBINEMIA DENGAN PHOTO TERAPI1. Pengertian

Menurut buku Ilmu Kesahatan Anak II FK Unair Surabaya, 1989 : 257 mengatakan bahwa Hyperbilirubinemia adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang biasanya diserta dengan ikterus. Kadar bilirubin normal adalah 0 1 mg/%.

Sedangkan menurut Wong Dounal and Whaley Lucille, 1990 : 1236 mengatakan hyperbilirubiemia ( joundace) pada bayi baru lahir adalah timbunan dari serum bilirubin melebihi batas normal ( 5 7 mg/100 dl)

Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena adanya bilirubin pada jaringan tersebut akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah.

Ikterus dibedakan pada bayi menjadi 3, yaitu :

a. Ikterus Fisiologik

Disebut Ikterus fisiologik bila :

1) Timbul pada hari kedua dan ketiga

2) kedua bilirubin indirek tidak melampaui 10 mg % pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg % pada neonatus kurang bulan

3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % per hari

4) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg %

5) Ikterus menghilang pada 10 hari pertama

6) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologi

b. Ikterus Patologik

Disebut ikterus patologik bila :

1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama

2) kedua bilirubin indirek melampaui 10 mg % pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg % pada neonatus kurang bulan

3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin melebihi 5 mg % per hari

4) Ikterus menetap sesudah 2 pertamamg %

5) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg %

6) Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi berat atau keadaan patologik lain yang telah diketahuikeadaan patologi

c. kern-ikteus

adalah suatu sindroma neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunanbilirubin tak terkonjugasi dalam sel-sel otak. Kerusakan ini terjadi pada korpus striatus, thalamus, nucleus subtalamus, hypokampus, nucleus merah dan nucleus pada dasar ventrikulus ke IV.. Gejala Kern Ikterus pada permulaan kurang jelas, dapat berupa mata yang berputar, letargi, kejang, tak mau makan, tonus otot meningkat, leher kaku dan akhirnya epistotonus (purnawan Junaidi, dkk, 1982 : 548)

2. Etiologi

Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi sebagai berikut :

a. Produksi yang berlbihan yang melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya. Terdapat pada hemolisis yang meningkat akibat inkompetibleitas golongan darah. (Rh, ABO antagonis, atau defisiensi ensim G6PD)

b. Gangguan pada proses pengambilan dan kenjugasi hepar dapat disebabkan oleh imaturasi hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, hypoksia, dan gangguan fungsi hepar dan infeksi

c. Gangguan dalam transportasi. Untuk dapat diangkut ke hepar bilirubin diikat oleh albumin terlebih dahulu. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banayak bilirubin indirek bebas dalam darah yang mudah melekat pada otak

d. Gangguan dalam sekresi dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar, akibat penyakit hepar bawaan, infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (ngastiyah, 1997 : 199)

3. Patofisologi

Produksi berlebihan

Gangguan konjugasi hepar

Gangguan transportasi

Gangguan ekskeresi

Hyperbilirubinmia

Bil Indirek bebas dalam darah

Mudah melekat pada sel otak

Kerusakan otak (kernikterus)

Letargi

Kejang

Tak mau m,engisap

Tonus otot Epistotonus Ikterus pada kulit

Gatal

Resiko gangguan integritas kulit

Resiko gangguan jalan nafas

Resiko kurang nutrisi

Resiko aspirasiBilirubin dalam darah terikat albumin

Defisiensi albumin

Defisiensi immunology

Resiko infeksi

4. Penatalaksanaan

a. mempercepat proses konjugasi misalnya dengan pemberian fenobarbital. Fenobarbitaal dapat bekerja sebagai enzim induser sehingga konjugasi dapat dipercepat

b. menambah substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi sseperti pemberian albumin untuk mengikat bilirubin bebas

c. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan terapi sinar yang dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat. Terapi sinar mengubah senyawa 4 Z, 15 Z bilirubin menjadi senyawa bentuk 4 Z, 15 E Bilirubin yang merupakan bentukisomer yang mudah larut dalam plasma sehingga mudah disekresi oleh hati kedalam empedu. Dari empedu dilepas ke usus untuk kemudian diskresi bersama faeses.

Photo terapi dilakukan pada keadaan :

1) Kenaikan bilirubin indirek yang sangat cepat ( 0,4 mg/kg/jam), atau kadar bilirubin indirek > 10 mg/dl dan bayi dalam keadaan hemolisis ditandai dengan ikterus pada hari I

2) Terapi sinar dilakukan sebelum dan sesudah tranfusi tukar

Photo terapi tidak dilakukan pada bayi dengan ganguan motilitas / peristaltic usus. (obstruksi, enteristis)

d. Tranfusi tukar dengan indikasi :

1) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek kurang dari 20 mg %

2) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat ( 0,3 1 mg 5 / jam)

3) Anemia yang berat pada neonatus dengan tanda tanda dekompensasi jantung

4) Bayi dengan kadar Hb talipusat kurang dari 14 mg %, bilirubin lebih dari 5 mg % dan test coombs direk yang positif

5. Pemgkajian Keperawatan

a. Anamnese orang tua/keluarga

Ibu dengan rhesus ( ) atau golongan darah O dan anak yang mengalami neonatal ikterus yang dini, kemungkinan adanya erytrolastosisfetalis ( Rh, ABO, incompatibilitas lain golongan darah). Ada sudara yang menderita penyakit hemolitik bawaan atau ikterus, kemungkinan suspec spherochytosis herediter kelainan enzim darah merah. Minum air susu ibu , ikterus kemungkinan kaena pengaruh pregnanediol.

b. Riwayat kelahiran

Ketuban pecah dini, kesukaran kelahiran dengan manipulasi berlebihan merupakn predisposisi terjadinya infeksi

Pemberian obat anestesi, analgesik yang berlebihan akan mengakibatkan gangguan nafas (hypoksia) , acidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubn.

Bayi dengan apgar score renddah memungkinkan terjadinya (hypoksia) , acidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubn.

Kelahiran Prematur berhubungan juga dengan prematuritas organ tubuh (hepar).

c. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum tampak lemah, pucat dan ikterus dan aktivitas menurun

2) Kepala leher

Bisa dijumpai ikterus pada mata (sclera) dan selaput / mukosa pada mulut. Dapat juga diidentifikasi ikterus dengan melakukan Tekanan langsung pada daerah menonjol untuk bayi dengan kulit bersih ( kuning)

Dapat juga dijumpai cianosis pada bayi yang hypoksia

3) Dada

Selain akan ditemukan tanda ikterus juga dapat ditemukan tanda peningkatan frekuensi nafas.

Status kardiologi menunjukkan adanya tachicardia, kususnya ikterus yang disebabkan oleh adanya infeksi

4) Perut

Peningkatan dan penurunan bising usus /peristaltic perlu dicermati. Hal ni berhubungan dengan indikasi penatalaksanaan photo terapi. Gangguan Peristaltik tidak diindikasikan photo terapi.

Perut membuncit, muntah , mencret merupakan akibat gangguan metabolisme bilirubun enterohepatik

Splenomegali dan hepatomegali dapat dihubungkan dengan Sepsis bacterial, tixoplasmosis, rubella

5) Urogenital

Urine kuning dan pekat.

Adanya faeces yang pucat / acholis / seperti dempul atau kapur merupakan akibat dari gangguan / atresia saluran empedu

6) Ekstremitas

Menunjukkan tonus otot yang lemah

7) Kulit

Tanda dehidrasi titunjukkan dengan turgor tang jelek. Elastisitas menurun.

Perdarahan baah kulit ditunjukkan dengan ptechia, echimosis.

8) Pemriksaan Neurologis

Adanya kejang, epistotonus, lethargy dan lain lainmenunjukkan adanya tanda tanda kern ikterus

d. Pemerksaan Penunjang

1) Darah : DL, Bilirubin > 10 mg %

2) Biakan darah, CRP menunjukkan adanya infeksi

3) Sekrening enzim G6PD menunjukkan adanya penurunan

4) Screnning Ikterus melalui metode Kramer dll

5) Skreening ikterus melalui matode kremer.

6. Diagnosa Keperawatan

a. Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototerapi , imaturyti hati

b. Gangguan integrritas kulit berhubungan dengan jaondase

c. Perubahan temperatur tubuh berhubunga dengan phototerapi

d. Perubahan volume cairan berhubungan dengan intake rendah dan efek fototerapi

e. Resiko kekurangan nutrisi berhubungan dengan kemampuan menghisap menurun

7. Rencana intervensi

a. Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototerapi, imaturyti hati

Tujuan ; Tidak mengalami komplikasi dari phototerapi

Criteria hasil

1. tidak memperlihatkan iritasi mata, dehidrasi, ketidakstabilan temperatur, dan kerusakan kulit

2. Bayi terlindung dari sumber cahaya

Intervensi

1) Lindungi mata bayi dengan penutup mata khusus

R/ menhindari kontak langsung mata dengan sinar

2) Chek mata bayi setiap shift (drainase dan iritasi)

R/ mencegah keterlambatan penanganan

3) Letakkan bayi telanjang dibawah lampu dengan perlindungan mata dan kemaluan

R/ Pencahayaan maksimum dan merata serta organ vital terlindungi dari kerusakan

4) monitor temperatur aksila

R/ pemaparan panas dengan sinar memungkinkan terjadinya ketidakstabilan suhu badan

5) pastikan intake cairan adequate

R/ Pemaparan panas meningkatkan penguapan yang harus segera diganti dengan intake cairan

6) jaga bersihan perianal

R/ Menekan resiko ieritasi kulit

b. Resiko kekurangan nutrisi berhubungan intake tidak adequate sekunder kemapuan menghisap turun

Tujuan : tidak terjadi gangguan pemenuhan nutrisi

Kriteria hasil

1) Porsi minum habis

2) BB naik

3) Menghisap kuat

Intervensi

1) berikan nutrisis secara adequate

2) Berikan minum tepat waktu dan sesuai ukuran dan kebutuhan

R/ menganti cairan dan nutrisi yang hilang akibat terapi sinar

3) observasi kemampuan menghisap

R/ pemasukan nutrisi adequate bila kemampuan mengisap baik

4) Kpasang Sonde bila kemampuan mengisap turun

R/ mningkatkan intake melalui sonde karena gagal melalui mulut

5) Timbang BB setiap hari

R/ memantau perkembangan kebutuhan nutrisi

6) Kolaborasi ahli gizi

Referensi

1. Abdul Bari et all. 2001. Buku acuan Nasional Kesehatan Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiro hardjo. Jakarta

2. Carpenito. 2000. Diagnosa Keperawatan. EGC. Jakarta

3. Ngastiyah. 1997. Ilmu Keperawatan pada anak sakit. EGC. Jakarta.

4. Purnawan Junaidi et al. 1982. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke 2 . Media Aesculapius. Jakarta

5. Wongand Walley. 1990. Clinical Manual of pediatric Nursing. Third ediion. Mosby Compani. Philapidelpia

Laporan KasusNama : Muncul Wiyana

N I M : 010030174 B

Ruangan : Neonatologi No. Reg. :

Pengkajian : Tanggal 15 -07 2002 Jam : 11.00 WIB

-

IDENTITAS

Nama : By Temu Tgl. MRS : 12 7 2002

Umur : 12 hari Diagnosa : NA + Ikterus Neonatorum

Jenis kelamin : Laki

BB MRS : 2700 mg PB : 48 cm

Identitas orang tua

Nama Ayah : Supriandono

Umur : 32 tahun

Pekerjaan : Swasta

Nama Ibu : Ny temu

Umur : 27 Tahun

Pekerjaan : -

Agama : Islam

Suku/bangsa : Jawa/Indonesia

Alamat : Pasar Bunga Kayun 35 36 Surabaya

Riwayat Keperawatan

1. Keluhan Utama : Ikterus dan post sepsi

2. Riwayat Keperawatan Sebelumnya

a. Pre Natal : dan tidak pernah minum obat/jamu selain yang diberikan dokter. Selama hamil tidak pernah ada keluhan yang berarti dari kehamilannya

b. Natal : Lahir pada tanggal 12 Juli 2002 di IRD dengan SC. Letak lintang. Ketuban pecah dini 1 jam 27 menit sebelum bayi lahir dengan warna jernuh. Apgar Score 357, BBL = 2700 PB 48 cm, LK = 34 cm, LD = 31 cm. Lahir dengan aspiksia berat dn ikterus

c. Post natal : bayi dikirm ke neonatology karena ikterus dan asfiksia berat.

3. Riwaat keperawatan saat ini

Saat ini dalam perawatan diruang neonatology , sedang dalam terapi sinar. Reflek mengisap membaik, O2 terus terpasang 1 l/mnt,.Menangis kuat. Bayi masih kelihatan lemah. Kuning diseluruh tubuh masih kleihatan. Bayi dipasang infus D 10 % 250 cc/ 24 jam. Sementara dipuasakan

Pemeriksaan fisik

K/u lemah, reflek menggenggam lemah, reflek mengisap kuat, reflek menangis kuat, reflek moro ( +) Tonus otot cukup. Tanda vital : Nadi : 140 x/mnt, RR = 44 x/mnt, suhu = 36 ,7 C

Kepala Rambut hitam, tipis, chepal hematom (- ) Caput sedanium (-), muka bentuk oval, simetris . Ikterus ( + )

MataKemerahan (-) Iktrus (+) selama foto terapi mata ditutup dengan kaca mata hitam

HidungSkret ( ) , gerakan cuping hidung ( ), terpasang O2 pernasal

MulutBibir merah, lidah bersih, cianosis ( -) . Mengisap ( minum) kuat . Menangis kuat. Moniliasis ( )

Telinga : Tak dijumpai kelainan

Leher: Tak ditemukan kelainan

Dada : Bentuk simetris, Rhonci / wheezing ( / ). Retraksi (- ) , ikterus ( + ) kulit dada banyak mengelupas.

AbdomenTalip usat belum kering, triplede diberikan ( + ) Kembung ( -)peristaltic ( +) gerakan seirama nafas, hepar tak teraba, ikterus ( + )

Genetalia Tak ditemukan kelainan. Skrotum sudah turun, selam terapi sinar selalu di tutup dengan popok BAK kekuningan 5-6 x/hari

RectumTak ditemukan kelainan.

EkstremitasReflek menggenggam lemah, reflek moro ( +) Tonus otot cukup.Pergerakan lemah, iktrus ( + ). Akral hangat

Pemeriksaan neurologisKejang ( ), epistotonus ( )

IntegumenTurgor cukup, kelelmbaban cukup, lesi ( ) ikterus ( + ) kremer 3

Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium tgl 15 Juli 2002

Bilirubin total = 22 mg mg%

GDA = 70

Hb = 18.4 mg %

Leukosit = 74000

SE = 65

Gol Darah = O

CRP = 0,6 ( negatif)

Tgl 16 Juli 2002

Bilirubin total = 18

Tgl 17 juli 2002

Bilirubin total = 14

Terapi yang diperoleh

Infus D 10 % 250 cc/24 jam

Sementara dipuasakan

O2 terpasang 1 ltr/mnt

Head up kepala

Fdoto terpi 24 jam

Termoregulasi

Meronem 3 x 30 mg iv

ANALISA DATANODATAKEMUNGKINAN PENYEBABMASALAH

1.S : -

O : Ikterus ( + ) Bil total 22 mg%

mulai jam 00 WIB dilakukan foto terapi. Posisi terlentang. Suhu badan 36.5 0 C. turgor cukup. BB 2650 gr.Foto terapi

Pemajanan langsungpanas/sinar

Resiko Panas tubuh meningkat

Melebihi batas normalResiko tinggi perubahan suhu badan

2S : -

O : Ikterus ( + ) Bil total 22 mg%

mulai jam 00.00 WIB dilakukan foto terapi. Posisi terlentang. Kedua mata ditutup dengan kaca mata hitam serta kemaluan di kenakan popok. Suhu badan 36.5 0 C. turgor cukup. BB 2650 gr. Posisi tidakpernah dirubah selama foto terapiFoto terapi

Pemajanan langsungpanas/sinar

Cedera mata/genetliaResiko injury

3S ; -

O : : Ikterus ( + ) Bil total 22 mg%

Suhu badan 36.5 0 C. turgor cukup. BB 2650 gr. Kulit dada tampak banyak mengelupasIkterus Phototerapi

(bil. Kult )

Gatal kulit kering

Integritas berubah/rusakResiko kerusakan intgeritas kulit

4S : -

O : Sementara dipuasakan. Infus d10% 250 cc/24 jam. Turgor cukup. Tx Photo terapi I sedang berjalan dimulai jam 00.00 . Suhu badan 36.7 C. Nadi 120 x/mntFoto terapi

Pemajanan langsungpanas/sinar

Peningkatan Penguapan

Kehilangan volume cairan berlebihan

Intake tidak seimbang (puasa)

Devisit volume cairanResiko devisit volume cairan tubuh

Diagnosa Keperawatan

1. Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototerapi, imaturyti hati

2. Resiko devisit volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan penguapan sekunder foto terapi

3. Resiko perubahan suhu badan (Peningkatan suhu badan) berhubungan dengan pemajanan sinar yang lama seknder foto terapi

4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan denga peningkatan bilirubin dikulit dan efek foto terapi

Rencana Keperawatan

Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototerapi, imaturyti hati

Tujuan ; Tidak mengalami komplikasi dari phototerapi

Criteria hasil

tidak memperlihatkan iritasi mata, dehidrasi, ketidakstabilan temperatur, dan kerusakan kulit

Organ vital bayi terlindung dari sumber cahaya

Intervensi

1) Pertahankan proteksi mata dan genetalia dengan fiksasi yang memadai

R/ kontak langsung mata dangenetalia dengan sinar ultra violet dalam jangka panjang berakibat fatal

2) Chek mata bayi setiap shift (drainase dan iritasi)

R/ mencegah keterlambatan penanganan

3) Pastikan lampu dalam kondisi siap pakai

R/ Keruakan lampu (pecah, strum meneybar ke box) dapat menimbulkan cedera baru pda bayi

4) Observasi tadna vital klien, tanda dehidrasi, tanda hypertermi

R/ peningkatan penguapan akibat pemaparan panas terus menerus dapat berakibat dehidrasi dan hypertermi

Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pemajanan sinar (panas) yang lama sekunder foto terapi

Tujuan : selama tindakan foto terapi tidak terjadi kekurangan cairan

Kriteria hasil Tidak ada tanda dehidrasi

1 Turgor baik

1 Kelembaban kulit baik

1 Mata tidak cwong

1 Mukosa tidak kering

Rencana intervensi

1. Observasi tanda dehidrasi setiap jam selama fototerapi

2. Observasi tanda vital

3. berikan minum PASI 8 x 40 cc/ 24 jam 9 k/p ekstra

4. Observasi intake cairan dar infus. Pertahankan kelancaranannya

5. Observasi output urine

Resiko Perubahan suhu tubuh ( Peningkatan suhu badan) berhubungan dengan pemajanan panas yang lama sekunder foto terapi

Tujuan ; Perubahan suhu dalam batas normal

Criteria hasil

Suhu badan dalam batas 36.5 0C 37.5 0 C

Intervensi

1) Kontrol / obsevasi suhu badan setiap jam selama foto terapi berlangsung

R/ Perubahan suhu dapat terjadi dengan cepat akibat pemaparan sinar yang juga sebagi sumber panas.

2) Ubah posisi bayi setiap 2 jam

R/ Pemajanan yang merata dan bergantian mengurangi resiko tidak efektifnya pusat suhu badan

3) Hentikan/istirahatkan foto terapi bilashu diatas 38 C.

R/ Semakin lama pemajanan semakin tinggi kemungkinan perubahan suhu banan

4) Kompres basah bila suhu meningkat

R/ Pemberian kompres mengurangi / sebagai media konduksi pembuangan panas

5) Kolaborasi dokter bila panas tidak / sulit turun/ terlalu tinngi untuk mendapatkanantipiretik

IMPLEMENTASI

DxTglJamKegiatan

1,2

1,2,316/7/0208.00

10.00

12.00- Mengkaji gejala kardinal ( suhu 36 20 C, Nadi 124 x/mnt)

- Menyiapkan pemeriksaan bilirubin total ( H v/d B)

- Memberikan susu perspeen 40 cc habis

- Memberikan posisi terlentang

- Mengobservasi tanda dehidrasi

- Mempertahankan foto terapi

- Memperhatikan kelancaran cairan infus ( mengobservasi tetes infus)

- Mengobservasi tanda vital ( suhu 370 C, Nadi 128 x/mnt)

1.,217/7/0213.30

15.00- Mengkaji gejala kardinal ( suhu 37 20 C, Nadi 120 x/mnt)

- Memberikan susu perspeen

- Mengatur posisi klien tengkurap

- Memperhatikan dan menjaga kelancaran cairan infus

- Memandikan bayi

- Memberikan injeksi meronem

18/7/0215.00Memandikan bayi dan mengganti baju

Observasi gejala kardinal

Membrikan susu per sepeen

Melepas infus

Sementara foto terapi stop/istirahat

Catatan perkembangan ( Evaluasi )Tgl 17/7/02S : -

O : Suhu : 36. 8 0C Nadi 124 x/mnt

A : Tidak terjadi peningkatan suhu badan diatas normal

P : planing dipertahankan

Tgl 17/7/02S : -

O : suhu 36. 8 0C Nadi 124 x/mnt, tanda iritasi mata dan perubahan /tanda injury tak ada

A : Tidak terjadi injury selama foto terapi

P : planing dipertahankan

Tgl 17/7/02S : -

Tak ditemukan tanda dehidrasi

Mukosa basah

Turgor cukup baik

Kelembaban cukup

BAK lancar 5 6 x/24 jam, tidak pekat, warna masih kuning

A : Tidak terjadi dehidrasi selama foto terapi

P : planing dipertahankan

Tgl 18/7/02S : -

O : Suhu : 36. 8 0C Nadi 124 x/mnt

A : Tidak terjadi peningkatan suhu badan diatas normal

P : planing dipertahankan

Tgl 18/7/02S : -

O : suhu 36. 8 0C Nadi 124 x/mnt, tanda iritasi mata dan perubahan /tanda injury tak ada

A : Tidak terjadi injury selama foto terapi

P : planing dipertahankan

Tgl 18/7/02S : -

Tak ditemukan tanda dehidrasi

Mukosa basah

Turgor cukup baik

Kelembaban cukup

BAK lancar 5 6 x/24 jam, tidak pekat, warna masih kuning

A : Tidak terjadi dehidrasi selama foto terapi

P : planing dipertahankan

I Putu Juniartha Semara Putra