pelunya bersikap analitis dalam berbahasa

Upload: babang-juwanto

Post on 29-May-2018

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/9/2019 Pelunya Bersikap Analitis Dalam Berbahasa

    1/6

    PanduanPraktisBerbahasa 1

    http://babangjuwanto.blogspot.com/2010/07/pelunyabersikap

    analitisdalam.html1

    Pelunya bersikap Analitis dalam Berbahasa

  • 8/9/2019 Pelunya Bersikap Analitis Dalam Berbahasa

    2/6

    PanduanPraktisBerbahasa 2

    http://babangjuwanto.blogspot.com/2010/07/pelunyabersikap

    analitisdalam.html2

    Ada yang menarik ketika saya membaca artikel pada rubrik

    bahasa di Majalah Tempo daring, datum 27 Oktober 2005, yang

    memaksa saya untuk lebih memahami bahasa Indonesia dengan

    baik dan benar. Coba perhatikan artikelnya di bawah ini:

    Judul: Di Manakah 'Di'?

    Ditulis oleh Goenawan Mohamad

    Coba kita memasuki Jalan Diponegoro. Di depan Taman Surapati

    akan tampak sepetak tanah yang rapat dikelilingi pagar, dengan

    sekalimat pemberitahuan:

    DI SINI AKAN DI BANGUN...

    Si penulis pemberitahuan itu pasti tak tahu ada dua macam "di"

    dalam kalimatnya yang seharusnya berbeda. "Di" yang pertama

    menunjukkan tempat yang harus dituliskan terpisah dari kata

    yang menunjukkan tempat itu.... "Di" yang kedua merupakan

    sebuah awalan untuk sebuah kata kerja pasif yang harus merapat

    pada kata yang diawalinya....

    Bedanya? Kita tahu, "di langgar" (artinya: di surau) tidak sama

    dengan "dilanggar" (artinya: ditabrak).

  • 8/9/2019 Pelunya Bersikap Analitis Dalam Berbahasa

    3/6

    PanduanPraktisBerbahasa 3

    http://babangjuwanto.blogspot.com/2010/07/pelunyabersikap

    analitisdalam.html3

    Tapi benarkah kita tahu? Ketika ejaan diperbaharui di awal tahun

    1970-an, umumnya orang ingat ada perubahan menulis secara

    tertentu; misalnya huruf "tj" ("tjowok") diganti dengan "c" (jadi

    "cowok"). Tapi umumnya orang lupa, sejak saat itu sebenarnya

    ada ketentuan agar kita menuliskan secara berbeda kedua macam

    "di" itu.

    Tapi apa lacur: sampai pada awal abad ke-21, kekacauan masih

    banyak terjadi. Kalimat di depan Taman Surapati itu adalah

    contohnya. Dengan kata lain, ada yang gagal dari niat

    pembaharuan ejaan 30 tahun yang lalu.

    Mungkin karena Pusat Bahasa yang jadi pendorong ikhtiar

    nasional itu hanya sibuk dengan perkara cara menulis yang

    berubah. Atau mungkin para pegawainya hanya repot dengan ide

    perubahan bersama antara Melayu-Indonesia dan Melayu-

    Malaysia dalam hal ejaan. Mungkin karena para pakar Pusat

    Bahasa sendiri tak sadar bahwa mementingkan ejaan

    sesungguhnya menegaskan perubahan sebuah kebudayaan.

    Ejaan adalah perkara huruf. Kini, mau tak mau, kita hidup dalam

    kebudayaan beraksara. Agaknya Walter Ong, dengan bukunya

    yang termasyhur itu, Orality and Literacy, yang pertama kali

    dengan bagus menunjukkan apa implikasi "beraksara" itu.

    Terutama jika dibandingkan dengan kebudayaan yang hampir

    sepenuhnya mengandalkan komunikasi dan ekspresi lisan.

  • 8/9/2019 Pelunya Bersikap Analitis Dalam Berbahasa

    4/6

    PanduanPraktisBerbahasa 4

    http://babangjuwanto.blogspot.com/2010/07/pelunyabersikap

    analitisdalam.html4

    "Teknologi tulisan," kata Ong, mengubah kesadaran manusia.

    Berbeda dengan kebudayaan lisan, aksara memberi bentuk linear

    kepada pikiran kita. Dengan itu, terbuka dan terdoronglah kita

    untuk bersikap analitis. Salah satu contoh terkenal dalam sejarah

    adalah ketika orang Yunani mulai menghayati alfabet. Dunia

    pemikirannya pun berubah, tak lagi berdasar kisah lisan

    Homeros, melainkan bersama Plato, yang mampu mengurai

    persoalan hidup dan jalan pikiran secara tajam.

    Mengurai juga berarti menyadari dalam menggunakan kata,

    bukan mengigau. Karena tanpa sikap analitis yang memadai, kita

    pun mudah mencampur-adukkan "kontra" dengan "kontrak",

    sehingga kita memasang pengumuman di depan pintu: "RUMAH

    INI DIKONTRAKAN" (dengan satu "k").

    Atau kita alpa bahwa akar kata "berubah" bukanlah "rubah"

    (nama sejenis hewan yang dalam bahasa Inggris disebut "fox"),

    melainkan "ubah", sehingga "merubah" sebenarnya berarti

    "menjelma jadi rubah".

    Memang ada yang hilang dalam kebudayaan aksara, tapi bisakah

    kita mengabaikan, betapa pentingnya kini sikap analitis dalam

    berbahasa dan berpikir? Tak hanya untuk melahirkan seorang

    Plato. Tapi juga buat soal yang lebih sehari-hari: misalnya ketika

  • 8/9/2019 Pelunya Bersikap Analitis Dalam Berbahasa

    5/6

    PanduanPraktisBerbahasa 5

    http://babangjuwanto.blogspot.com/2010/07/pelunyabersikap

    analitisdalam.html5

    kita harus menggugat sebuah perlakuan yang kita anggap secara

    seenaknya menafsir-kan hukum. Kita hanya bisa menggugat

    secara efektif, jika bisa bertanding tafsir atas kata-kata dalam

    peraturan itu-dan adu tafsir pada dasarnya adu analisis.

    Syahdan, ada sebuah teori, berdasarkan pengalaman, bahwa di

    masyarakat yang terbiasa dengan aksara, orang ramai tak mudah

    dihasut. Orang akan lebih mampu menyimak kembali dan

    menguraikan informasi yang didapat.

    Kalau tak percaya, coba bayangkan di sebuah pertemuan

    seseorang berseru: "Tadi siang Quran kita dibiar-kan di langgar!"

    Orang ramai yang mendengar mungkin akan marah besar: mereka

    menyangka bahwa yang dimaksudkan adalah "Tadi siang Quran

    kita dibiarkan dilanggar!"

    *Dikutip dari Majalah Tempo Daring, Rubrik Bahasa, Datum

    27 Oktober 2005

    Kendati artikel di atas cukup lawas, wawasan tentang berbahasa

    seperti ini, saya kira sangat penting untuk dibahas kembali.

    Penjelasan tentang fenomena ini telah dijelaskan secara detail

    ketika saya membuka laman Wikipedia. Mulai dari pedoman

    ejaan dan penulisan kata, hingga aspek-aspek bahasa Indonesia

    lainnya. Coba buka laman daring di bawah ini:

  • 8/9/2019 Pelunya Bersikap Analitis Dalam Berbahasa

    6/6

    PanduanPraktisBerbahasa 6

    http://babangjuwanto.blogspot.com/2010/07/pelunyabersikap

    analitisdalam.html6

    1. Bahasa Indonesia Wikipedia bahasa Indonesia,ensiklopedia bebas

    2. Wikipedia: Pedoman ejaan dan penulisan kata3. Prefiks4. Preposisi5. Polisi EYD: Di atau di-?

    Setelah membaca penjelasan dari tautan di atas, saya pun ingat

    salah satu laman daring, yang menuliskan tentang ciri bahasa

    Indonesia baku adalah formal, dinamis, cendekia, memiliki

    kesamaan kaidah, dan pelafalan yang tidak mencerminkan

    kedaerahan atau asing.

    Pun, sesungguhnya saya menyadari bahwa bahasa Indonesia

    saya, jauh dari baik dan benar. Tapi paling tidak saya berusaha

    untuk belajar berolah pikir dan berolah rasa melalui bahasa.