paper analisa atas kompilasi hukum ekonomi syari'_14102009sdn(ver2003)

Upload: saebani-hardjono

Post on 18-Jul-2015

644 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) : Perspektif Institusi Finansial Islam, Customer, dan StakeholderBy: Saebani Hardjono 222081206 Islamic Economics & Finance - Post Graduate Program - Trisakti - Jakarta Okt 2009

Pendahuluan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI dengan Keputusan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008, merupakan respon terhadap perkembangan praktek hukum muamalat (ekonomi Islam) di Indonesia. Praktek hukum muamalat secara institusional di Indonesia itu sudah dimulai sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1990, kemudian disusul oleh lembaga keuangan syariah (LKS) lainnya. Kita melihat cerahnya prospek dan ketangguhan LKS seperti BMI ketika melewati krisis ekonomi nasional sekitar tahun 1998. Perkembangan LKS tersebut semakin pesat yang tentu akan meningkatkan intensitas praktek hukum muamalat di kalangan umat Islam. Maraknya praktek hukum muamalah memunculkan berbagai permasalahan sebagai akibat adanya berbagai kepentingan para pihak pelaku ekonomi. Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus terhadap permasalahan itu. Selama ini, jika terjadi sengketa menyangkut permasalahan ekonomi syariah maka diselesaikan lewat Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang bertindak sebagai mediator dan tidak mengikat secara hukum. Peraturan yang diterapkan juga mengacu pada peraturan Bank Indonesia (BI) dengan merujuk kepada fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Sedangkan fatwa itu, sebagaimana dimaklumi dalam hukum Islam, adalah pendapat hukum yang tidak mengikat seluruh umat Islam. Upaya menjadikan hukum perdata Islam sebagai hukum positif pernah dilakukan oleh Pemerintahan Turki Usmani dalam memberlakukan Kitab Hukum Perdata Islam: Majalah alAhkam a-Adliyyah, yang terdiri dari 1851 pasal. Menjadikan hukum perdata Islam sebagai hukum positif merupakan impian umat Islam sejak zaman dulu, yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda masih diterapkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang notebene adalah terjemahan dari Borgelijk Wetbook (BW) ciptaan Kolonial Belanda.

Dengan perkembangan ekonomi Islam yang semakin meningkat, positifisasi hukum muamalat merupakan keharusan bagi umat Islam, mengingat praktek ekonomi syariah sudah semakin semarak melalui LKS-LKS. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dapat dijadikan acuan sementara sebelum terbitnya undang-undang, dalam penyelesaian perkara-perkara ekonomi syariah yang semakin hari semakin bertambah intensitasnya. Kita ketahui bahwa lembaga peradilan yang berwenang menangani perselisihan dalam penyelenggaraan ekonomi syariah adalah Peradilan Agama (PA). Oleh karena itu, Peradialan Agama akan berpegang pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) tersebut di dalam penyelesaian persengketaan dalam penyelenggaraan ekonomi syariah, sebagaimana wewenang PA dalam pelaksanaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebelumnya melalui Inpres Nomor 1 tahun 1991.

Sekilas tentang Penyusunan KHES Lahirnya KHES tersebut berawal dari terbitnya UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA). UU No.3 Tahun 2006 ini memperluas kewenangan PA sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan umat Islam Indonesia saat ini. Dengan perluasan kewenangan tersebut, kini PA tidak hanya berwenang menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan sadaqah saja, melainkan juga menyelesaikan sengketa dalam zakat, infaq, serta sengketa hak milik dan keperdataan lainnya antara sesama muslim, dan menyangkut masalah ekonomi syariah. Kaitannya dengan wewenang baru PA ini, dalam Pasal 49 UUPA diubah menjadi:

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq;

h. shadaqah; dan i. ekonomi syariah. Penjelasan untuk huruf (i), ekonomi syariah, sebagaimana berikut:

Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:

a. bank syariah; b. lembaga keuangan mikro syariah; c. asuransi syariah; d. reasuransi syariah; e. reksadana syariah; f. obligasi dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. sekuritas syariah; h. pembiayaan syariah; i. pegadaian syariah; j. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan k. bisnis syariah. Setelah UU No. 3/2006 tersebut diundangkan maka Ketua MA membentuk Tim Penyusunan KHES berdasarkan surat keputusan Nomor: KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20 Oktober 2006 yang diketuai oleh Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.I.P., M. Hum. Tugas dari Tim tersebut secara umum adalah: menghimpun dan mengolah materi yang diperlukan, menyusun draft naskah, menyelenggarakan diskusi dan seminar yang mengkaji draft naskah tersebut dengan lembaga, ulama, dan para pakar, menyempurnakan naskah, dan melaporkan hasil penyusunan tersebut kepada Ketua MA RI. Langkah-langkah atau tahapan yang telah ditempuh oleh Tim tersebut adalah: 1. Menyesuaikan pola pikir melalui penyelenggaraan seminar ekonomi syariah. Seminar diselenggarakan di Solo, bertempat di hotel Sahid Kusuma, pada tanggal 21-23 April 2006 dan di Jogya, bertempat di hotel Sahid Yogyakarta pada tanggal 4-6 Juni 2006. Pembicara dalam dua seminar tersebut adalah para pakar ekonomi syariah, baik dari

perguruan tinggi, DSN/MUI, Basyarnas, dan para praktisi perbankan syariah serta para hakim dari lingkungan peradilan umum dan PA.

2. Mencari format yang ideal (united legal frame work) melalui penyelenggaraan pertemuan dengan BI dalam rangka mencari masukan tentang segala hal yang berlaku pada BI terhadap ekonomi syariah dan sejauh mana pembinaan yang telah dilakukan oleh BI terhadap perbankan syariah. Acara tersebut dilaksanakan di Jakarta, bertempat di hotel Bidakara pada tanggal 7 Juni 2006. Selain itu juga telah dilaksanakan Semiloka tentang ekonomi syariah di hotel Grand Alia Cikini Jakarta tanggal 20 November 2006. Pembicara dalam acara tersebut adalah para pakar ekonomi syariah dari BI, Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), MUI, Ikatan Para Ahli Ekonomi Syariah, dan para praktisi hukum. 3. Melaksanakan kajian pustaka dan studi banding ke Pusat Kajian Ekonomi Islam Universitas Islam Internasional Kuala Lumpur, Pusat Takaful Malaysia Kuala Lumpur, Lembaga Keuangan Islam dan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan di Kuala Lumpur pada tanggal 16-20 November 2006. Studi banding juga dilaksanakan ke Pusat Pengkajian Hukum Ekonomi Islam Universitas Islam Internasional Islamabad, Shariah Court Pakistan, Mizan Bank Islamabad Pakistan, Bank Islam Pakistan dan beberapa lembaga keuangan shariah di Pakistan.

Implikasi KHES Terhadap Institusi Finansial Syariah, Investor, dan Customer Azhari Achmad Tarigan, Dekan Fak Syariah UIN Sumatra Utara Medan, mengatakan bahwa jika diruntut ke belakang, adanya perluasan kewenangan Peradilan Agama paling tidak disebabkan oleh dua hal:

Pertama, adanya perubahan di tingkat Konstitusi (amandemen UUD 1945) yang berimplikasi pada perubahan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU No 4 Tahun 2004), yang menempatkan Peradilan Agama menjadi salah satu lingkungan kekuasaan kehakiman MA. Selanjutnya, perubahan tersebut berimplikasi pada perubahan Undang-Undang Peradilan Agama. Di dalam undang-undang yang baru dijelaskan bahwa sengketa ekonomi syari'ah menjadi salah satu dari kompetensi Pengadilan Agama, selain kewenangan yang selama ini telah dijalankan. Untuk itu para pelaku dan praktisi perekonomian Islam termasuk institusi

finansial Islam, investor, dan customer perlu menyesuaikan diri dengan ketentuan yang baru tersebut.

Kedua, penambahan kewenangan tersebut lebih dilatarbelakangi oleh pesatnya perkembangan ekonomi syari'ah yang terlihat dari peningkatan intensitas kegiatan institusi finansial syariah. Ekonomi syari'ah tidak hanya menyangkut lembaga perbankan saja, tetapi juga menyangkut institusi lain, seperti lembaga keuangana mikro syari'ah, asuransi syariah, reasuransi syari'ah, reksadana syari'ah, obligasi syari'ah (sukuk), pegadaian syari'ah, dan sebagainya. Perkembangan praktek ekonomi syari'ah dan perubahan-perubahannya ternyata tidak diikuti dengan perkembangan perangkat hukumnya. Perangkat hukum ekonomi syari'ah kalah cepat dibandingkan dengan perkembangan dinamika ekonomi syari'ah itu sendiri. Perlu untuk diperhatikan, kendatipun ekonomi syari'ah secara normatif bersandarkan pada nilai-nilai dan norma-norma syari'ah, namun dalam aplikasinya tidak semulus yang dibayangkan. Sebagaimana yang terdapat di dalam praktek ekonomi konvensional, potensi konflik dan ketegangan cukup terbuka lebar di dalam pelaksanaan ekonomi syari'ah. Adakalanya konflik terjadi pada masalah pelaksanaan akad, penafsiran isi suatu akad, atau juga dapat disebabkan oleh pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan para pihak terkait. Selama ini penyelesaian perkara sengketa ekonomi syari'ah berlangsung di pengadilan niaga atau terkadang ditangani pengadilan negeri. Sedangkan sengketa Perbankan Syari'ah diselesaikan melalui Basyarnas (Badan Arbitrase Nasional). Sebabnya adalah fatwa-fatwa DSN selalu menyebutkan penyelesaian sengketa perbankan syari'ah, asuransi syari'ah dan beberapa bidang lain dilakukan Basyarnas. Dua hal di atas menyemangati diperluasnya kewenangan Peradilan Agama, yang dengan disyahkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Peradilan Agama telah diberi amanah untuk "memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam, di bidang ekonomi syari'ah (pasal 49). Tentu saja amanah undang-undang tersebut menuntut kesiapan Peradilan Agama dari berbagai sisi. Paling tidak ada tiga aspek yang perlu diperhatikan; (1) aspek sumber daya manusia, (2) aspek sarana dan prasarana, dan (3) aspek hukum materiil. Di antara tiga aspek tersebut, aspek hukum materiil dipandang sangat mendesak. Sampai hari ini, agaknya baru perbankan syari'ah yang telah memiliki landasan hukum berupa undang-undang dengan adanya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, yang diperbaruhi

dengan undang-undng No. 21 Tahun 2008, Tentang Perbankan Syariah. Sedangkan masalah asuransi syari'ah, reasuransi syariah, pegadaian syari'ah, reksadana syari'ah, obligasi syari'ah, pasar modal syari'ah, dan berbagai institusi lainnya belum memiliki payung hukum yang kuat. Kalaupun ada, aturan-aturan hukum tersebut tersebar ke dalam berbagai tempat. Ada yang dalam bentuk Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, regulasi BI, kitab-kitab fikih, dan fatwa-fatwa ulama klasik dan kotemporer. Jadi belum terkumpul menjadi satu. Kenyataan inilah yang dijawab Mahkamah Agung dengan menghadirkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES). Problem regulasi ini sangat disadari oleh Mahkamah Agung. Melalui SK Mahkamah Agung Nomor 097/SK/X/2006 telah ditunjuk sebuah tim (Kelompok Kerja) yang bertugas menyusun "Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES). Tentu saja upaya MA melahirkan KHES ini layak diapresiasi, direspons dan disambut dengan gembira. Salah satu bentuk apresiasi dan respons konstruktif yang dapat diberikan adalah melakukan telaah dan kritisi terhadap materi yang ada di dalam KHES tersebut. Di antara halhal yang perlu ditelaah adalah:

Pertama, bagaimanakah posisi KHES dalam konteks bangunan hukum nasional. Ke dua, apa paradigma dan prinsip yang menjadi pijakan dalam perumusan KHES. Ke tiga, bagaimana pendekatan dan metode istinbath yang dilakukan dalam melahirkan hukum ekonomi syari'ah. Ke empat, bagaimanakah hubungan KHES dengan undang-undang terkait. Ke lima, bagaimana kedudukan dan kewenangan Dewan Syari'ah Nasional (DSN) pasca lahirnya KHES. Ke enam, apakah aturan-aturan hukum yang terdapat di dalam KHES, memberikan ruang yang cukup luas bagi perkembangan ekonomi syari'ah atau malah sebaliknya akan membatasi ruang gerak ekonomi syari'ah.

Selain masalah-masalah fundamental di atas, kehadiran KHES juga berimplikasi pada lembagalembaga terkait lainnya, seperti Fakultas Syari'ah dan Peradilan Agama sendiri.

Implikasi tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, bagaimanakah kesiapan Fakultas Syari'ah menyongsong perubahan Undang-Undang Peradilan Agama dan lahirnya KHES. Persoalan ini menjadi penting, karena Fak. Syari'ah adalah dapur yang melahirkan sumber daya manusia (SDM) peradilan agama yang berkualitas.

Ke dua, bagaimana pula kesiapan para hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa sengketa ekonomi syari'ah. Pertanyaan ini penting mengingat amanah pasal 16 Undang-Undang No. 4 tahun 2004 yang menegaskan bahwa "hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Menjadi pertanyaan kita, apakah para hakim kita telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai ekonomi syariah guna menjalankan amanah hukum ekonomi syariah ini.

Hukum Materiil Yang Berlaku Pada Pengadilan Agama

Di samping berpedoman kepada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, para hakim pengadilan agama di dalam menangani kasus-kasus menyangkut ekonomi syariah perlu pula memperhatikan hukum materiil yang ada dan berkaitan dengan persoalan ekonomi syariah. Para hakim pengadilan agama wajib menggali, mengikuti, dan memahami aturan yang ada pada hukum materiil tersebut sepanjang berkaitan dengan upaya memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat yang mencari keadilan. Hukum materiil dimaksud adalah sebagai berikut:

( a ). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. ( b ). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ( c ). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. ( d ). Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia ( e ). Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang pengelolaan zakat. ( f ). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang wakaf. ( g ). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Nasional. ( h ). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. ( i ). Kompilasi Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

( j ). Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi syariah ( k ). Yurisprudensi Mahkamah Agung ( l ). Qanun Aceh ( m ). Fatwa Dewan Syariah Nasional ( n ). Akad-akad ekonomi syariah

Koleksi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) sendiri sebagai produk hukum yang masih baru, masih sarat dengan kekurangsempurnaan. Drs. Iri Hermansyah, SH., mengatakan bahwa para pelaku penyusunan KHES itu sendiri, menyampaikan kritikkan-kritikkan pribadinya terhadap KHES. Bapak H. Andi Syamsu Alam, Bapak Abdul Rahman, Bapak Habiburrahman, Ibu Mariana Sutadi, dan lain-lain, mengkritisi tentang usia dewasa yang tercantum pada pasal 2 ayat (1) KHES dan beberapa pasal yang menurut beliau terkesan kontradiktif. Beliau-beliau tersebut mengemukakan antara lain : Kegiatan ekonomi/bisnis syariah ini adalah perbuatan perdata, sedangkan usia dewasa/kecakapan hukum menurut hukum perdata maupun menurut Yurisprudensi adalah 21 tahun. Tetapi, kenapa KHES menetapkan 18 tahun sebagai batas umur terrendah memiliki kecakapan hukum. Prof DR. Jaih Mubarok mengkritisi bahwa nama Kompilasi itu sendiri, sesungguhnya kurang cocok kalau hanya diberi nama Ekonomi saja, karena di dalamnya mengatur bukan hanya Ekonomi tetapi juga Bisnis syariah. Beliau mengemukakan bahwa Ekonomi berbeda dengan Bisnis. Berikut ini skema perbedaan di antara keduanya: EKONOMI BISNIS Ilmu tentang produksi dan distribusi untuk Ilmu tentang suatu usaha bagaimana dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Prinsip dasarnya : Bagaimana dapat memenuhi Prinsip dasarnya : Bagaimana dapat meraih kebutuhan hidup masyarakat. keuntungan. Perhitungannya: Pendapatan dikurangi Perhitungannya: Pendapatan dikurangi biaya pengeluaran = hasil (bisa untung bisa rugi). operasional (pengeluaran+biaya peluang) = hasil (harus selalu untung). Seorang Ekonom selalu berfikir bagaimana Seorang Businismen selalu berfikir linier. dapat memproduksi sesuatu yang menjadi kebutuhan masyarakat saat itu. Ia yakin bahwa suatu produk akan bernilai ekonomi tinggi jika permintaan/kebutuhan lebih besar dari ketersediaan.

Terlepas dari kekurang sempurnaannya, KHES itu setidaknya untuk sementara ini resmi menjadi pedoman bagi Hakim Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi / bisnis syariah yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan kepada Pengadilan Agama sebagai proses penyelesaian secara litigasi. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam PERMA nomor : 02 tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Sebagaimana yang telah disampaikan dalam materi mediasi bahwa sebelum sengketa diajukan di Pengadilan Agama, ada beberapa langkah sebagai alternatif penyelesaian secara non litigasi atau yang lebih di kenal dengan ADR (Alternatif Dispute Resolution) yang dalam bahasa Indonesia disebut APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa), yang dalam syariah disebut sulh. Penyelesaian non litigasi itu sendiri bisa melalui beberapa cara seperti: Negosiasi, Konsultasi, Konsiliasi dan Mediasi. Atau diselesaikan melalui lembaga Arbitrase. Jika penyelesaisn sengketa tidak dapat dicapai dengan cara-cara tersebut di atas, maka jalan terakhir melalui jalan penyelesaian secara litigasi yaitu melalui Pengadilan yang dalam hal ini Pengadilan Agama. Di sinilah yang menjadi tugas para Hakim Pengadilan Agama yang diberi kewenangan berdasarkan pasal 49 UU No. 7 Thn. 1989 yang telah dirubah dan disempurnakan dengan UU No. 3 Thn 2006 Tentang Peradilan Agama. Tetapi dalam menyikapi kewenangan tersebut di atas, diperlukan kecermatan Hakim dalam mendudukan kewenangan tersebut di dalam pertimbangan hukumnya, terutama dalam hal menyangkut obyek sengketa yang mengandung peluang untuk eksepsi. Ibu Mariana Sutadi, SH dan Bapak Drs. H. Muchtar Zamzani, SH. MH. Mengingatkan sebagai berikut : Ibu Mariana Sutadi, SH. mengingatkan agar kewenangan Pengadilan Agama itu dirumuskan dengan jelas dan cermat didalam pertimbangan hukum, hal ini mengingat adanya ketentuan dalam penjelasan pasal 55 ayat (2) huruf d UU No. 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang memungkinkan penyelesaian sengketa syariah di Peradilan Umum. Bapak Drs. H. Muchtar Zamzani, SH. MH juga mengingatkan hal yang sama terutama dalam hal objek sengketa menyangkut kegiatan BMT, sebab BMT tidak secara tegas disebut dalam penjelasan pasal 49 UU No. 3 Thn 2006 sebagai kewenangan Pengadilan Agama. Untung saja ada poin terakhir dalam penjelasan pasal tersebut yang berbunyi Bisnis Syariah sebagai keranjang sampahnya, sehingga segala kegiatan ekonomi/bisnis yang dijalankan dengan prinsip syariah bisa masuk dalam kategori ini.

Diberikannya kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi / bisnis syariah adalah suatu pilihan tepat dan bijaksana, karena akan mencapai keselarasan antara hukum materiil yang berdasarkan prinsip-prinsip islam dengan lembaga Peradilan Agama yang merupakan representasi lembaga Peradilan Islam, juga selaras dengan para aparat hukumnya yang beragama Islam serta telah menguasai hukum Islam. Namun demikian masih terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa bisnis / ekonomi yang dijalankan dengan prinsip-prinsip syariah ini antara lain belum tersedianya hukum materiil yang secara resmi ditetapkan berdasarkan undang-undang, masih banyaknya aparat hukum yang belum memahami Ekonomi Syariah / Bisnis Islam dan belum adanya penyidik khusus yang berkompeten dan menguasai hukum syariah. Oleh karena itu Prof. Dr. H.Abdul Manan, SH. SIP. M.Hum selalu berpesan kepada para Hakim agar dengan seksama mempelajari dan memahami berbagai sumber hukum yang berkaitan dengan kewenangan tersebut untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi syariah, baik mengenai sumber hukum formil maupun hukum materiil. Mengenai sumber hukum formil tentu saja kita berpegang kepada ketentuan pasal 54 UU No. 7 Thn 1989 jo. UU No. 3 Thn 2006. disamping itu diberlakukan juga BW, Wv.K dan aturan kepailitan (stb. 1906 No. 348). Sedangkan sumber hukum materiilnya, oleh karena belum ada sumber hukum yang secara resmi ditetapkan berdasarkan perundang-undangan sebagai hukum materiil ekonomi / bisnis yang dilaksanakan atas prinsip-prinsip syariah, maka sebagai sumber utama kita adalah nash Al-Quran, nash Al-Hadits serta segala aturan hukum dan perundang-undangan yang mempunyai titik singgung / keterkaitan dengan kewenangan Pengadilan Agama berdasarkan UU No. 3 Thn 2006. seperti antara lain :

-

UU No. 7 Thn 1992 tentang Perbankan. UU No. 10 Thn 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Thn 1992 tentang Perbankan. UU No. 21 Thn 2008 tentang Perbankan Syariah. UU No. 6 Thn 1969 tentang BUMN. UU No. 2 Thn 1992 tentang Usaha Perasuransian. UU No. 25 Thn 1992 tentang Perkoperasian. UU No. 1 Thn 1995 tentang Perusahaan Terbatas. UU No. 1 Thn 1998 tentang Kepailitan.

-

UU No. 8 thn 1995 tentang Pasar Modal. UU No. 5 Thn 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan tidak sehat. UU No. 8 Thn 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UU No. 30 Thn 1999 tentang Arbiterase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Dan masih banyak lagi UU lainnya.

Selain itu perlu juga dipelajari berbagai Peraturan BI, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Direksi BI, fatwa-fatwa DSN yang sampai saat ini telah mengeluarkan lebih kurang 61 fatwa dalam kaitannya dengan ekonomi syariah, Fiqh dan ushul Fiqh, dan adat kebiasaan. Yang penting lagi serta harus dicermati dalam proses penyelesaian suatu sengketa ekonomi / bisnis syariah adalah akad perjanjian (kontrak) itu sendiri. Segala sesuatunya selalu akan dikaitkan atau disandarkan pada isi akad yang bersangkutan. Bahkan terdapat pandangan bahwa dalam mengadili perkara sengketa menyangkut ekonomi syariah, sumber hukum utama adalah perjanjian itu sendiri, sedangkan yang lain hanya merupakan pelengkap saja. Oleh karena itu Hakim harus memahami apakah suatu akad perjanjian itu sudah memenuhi syarat dan rukun sahnya perjanjian, serta memenuhi azas sebagaimana berikut:. - Azas kebebasan berkontrak. - Azas persamaan dan kesetaraan. - Azas Keadilan - Azas Kejujuran dan Kebenaran, serta - Azas Tertulis. Hakim juga harus meneliti apakah akad perjanjian itu mengandung hal-hal yang dilarang oleh Syariah Islam, seperti : mengandung unsur Maghrib, Dlarar, Dhulm. Jika unsur-unsur tersebut terdapat dalam akad perjanjian itu, maka Hakim dapat menyimpang dari akad itu.

Agustianto, dosen pasca sarjana Universitas Indonesia mengutarakan pendapatnya atas urgensi kodifikasi hukum ekonomi syariah berkaitan UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama yang telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap perundangundangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas.

Pada pasal 49 point (i) disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah. Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi : (a). Bank syariah, (b). lembaga keuangan mikro syariah, (c). asuransi syariah, (d). reasurasi syariah, (e). reksadana syariah, (f). obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, (g). sekuritas syariah, (h). pembiayaan syariah, (i). pegadaian syariah, (j). dana pensiun lembaga keuangan syariah dan (k). bisnis syariah. Amandemen ini membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia. Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai hukum syariah. Dalam prakteknya, sebelum amandemen UU No 7/1989 ini, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan KUH Perdata yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW). BW atau kitab Undangundang hukum sipil Belanda diberlakuan di tanah jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854. Sehingga, konsep perikatan dalam hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah BW. Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda. Akibatnya, lembaga perbankan maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga BW (Burgerlijk Wetboek) yang sudah diterjemahkan. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syariah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.

KHES adalah jalan menuju Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah Dengan pemberian wewenang penuh untuk mengadili sengketa hukum ekonomi syariah kepada hakim pengadilan agama, maka dibutuhkan adanya kodifikasi hukum ekonomi syariah yang lengkap, tidak sekedar Kompilasi, agar hukum ekonomi syariah memiliki kepastian hukum dan para hakim memiliki rujukan standart dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa di dalam bisnis syariah. Dalam bidang perkawinan, warisan dan waqaf, kita telah

memiliki KHI (Kompilasi Hukum Islam), sedangkan dalam bidang ekonomi syariah kita sebelumnya tidak memilikinya, sampai kemudian diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung RI No.2 mengenai KHES pada tahun 2008. Kedudukan KHI secara konstitusional, masih sangat lemah, karena keberadaannya hanyalah sebagai inpres, begitu pula KHES yang merupakan Peraturan MA. Karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum yang lebih kuat berupa undang-undang yang dapat menjadi rujukan para hakim dalam memutuskan berbagai persoalan hukum, yang kemudian disusun ke dalam Kodifikasi Hukum . Untuk itulah kita nantinya perlu merumuskan Kodifikasi Hukum Ekonomi Islam (Syariah), yang merupakan peningkatan dari KHES, sebagaimana yang dibuat pemerintahan Turki Usmani bernama Al-Majallah Al-Ahkam al-Adliyah yang terdiri dari 1851 pasal. Kodifikasi adalah himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang atau hal penyusunan kitab perundang-undangan. Dalam sejarahnya, formulasi suatu hukum atau peraturan dibuat secara tertulis yang disebut jus scriptum. Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah berbagai peraturan-peraturan dalam bentuk tertulis tersebut yang disebut corpus juris. Setelah jumlah peraturan itu menjadi demikian banyak, maka dibutuhkan sebuah kodifikasi hukum yang menghimpun berbagai macam peraturan perundang-undangan. Para ahli hukum dan hakim pun berupaya menguasai peraturan-peraturan itu dengan baik agar mereka bisa menyelesaikan berbagai macam persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat dengan penuh keadilan dan kemaslahatan.. Berdasarkan pemikiran itu, maka hukum ekonomi syariah yang berasal dari fiqh muamalah, yang telah dipraktekkan dalam aktifitas di lembaga keuangan syariah, memerlukan wadah perundang-undangan agar memudahkan penerapannya dalam kegiatan usaha di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut. Dalam pengambilan keputusan di Pengadilan dalam bidang ekonomi syariah

dimungkinkan adanya perbedaan pendapat. Untuk itulah diperlukan adanya kepastian hukum sebagai dasar pengambilan keputusan di Pengadilan. Terlebih lagi dengan karakteristik bidang muamalah yang bersifat elastis dan terbuka sangat memungkinkan bervariasinya putusanputusan tersebut nantinya yang sangat potensial dapat menghalangi pemenuhan rasa keadilan. Dengan demikian cita-cita untuk melahirkan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah dalam sebuah Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata Islam menjadi sebuah keniscayaan. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) adalah jalan menuju lahirnya kodifikasi dimaksud.

Sebagaimana dimaklumi bahwa formulasi Syariah

materi Kodifikasi

Hukum Ekonomi

tidak terdapat dalam Yurisprudensi di lembaga-lembaga peradilan Indonesia.

Meskipun demikian, yurisprudensi dalam kasus yang sama bisa dirujuk sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip hukum ekonomi syariah. Artinya, keputusan hukum masa lampau itu difiqhkan, karena dinilai sesuai dengan syariah. Jadi, pekerjaan para mujtahid ekonomi syariah Indonesia, bukan saja merumuskan hukum ekonomi baru yang berasal dari norma-norma fiqh/syariah, tetapi bagaimana bisa memfiqhkan hukum nasional yang telah ada. Hukum nasional yang bersumber dari KUH Perdata (BW), kemungkinan besar banyak yang sesuai syariah, maka materi dan keputusan hukumnya dalam bentuk yurisprudensi bisa ditaqrir atau diadopsi. KUH Perdata (BW) yang mengambil masukan dari Code Civil Perancis ini dalam pembuatannya mengambil pemikiran para pakar hukum Islam dari Mesir yang bermazhab Maliki, sehingga tidak aneh apabila terdapat banyak kesamaan prinsip-prinsip dalam KUH Perdata dengan ketentuan fiqh muamalah tersebut, seperti hibah, wadiah dan lain-lain. Selain itu, yurisprudensi putusan ekonomi syariah, mungkin juga bisa dicari dari penerapan hukum adat di dalam putusan pengadilan yang ada di negara kita yang sedikit banyak telah diinspirasikan oleh ketentuan hukum Islam. Yang paling bagus adalah merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam yang pernah dibuat di zaman Kekhalifahan Turki Usmani yang disebut Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah. KUH Perdata Islam ini dapat dikembangkan dan diperluas bahasannya disesuaikan dengan perkembangan aktivitas perekonomian di zaman modern ini. Selain itu, penyusunan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah atau Hukum Perdata Islam, harus menggunakan ilmu ushul fiqh dan qawaid fiqh. Disiplin ini adalah metodologi yurispridensi Islam yang mutlak diperlukan para mujtahid. Dengan demikian maqashid syariah perlu menjadi landasan perumusan hukum. Metode istihsan, urf, sadd zariah, dan pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan menjadi penting. Dengan demikian, diharapkan, selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi hukum serta keadilan masyarakat, Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah juga akan mampu berperan sebagai perekayasa (social enginering) masyarakat muslim Indonesia. Secara teoritis penerapan Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia ini dapat terwujud melalui peran penting pemerintah Political Will Penguasa, sebagaimana telah diterapkan pada Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang ini. Untuk menyusun Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah, peran Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) sangat penting, mengingat

IAEI adalah kumpulan para pakar ekonomi syariah Indonesia dari berbagai perguruan tinggi terkemuka. Achmad Fauzi (2009), mengemukakan: stigma bahwa para hakim Peradilan Agama hanya bisa memutus kasus-kasus perceraian saja dan kurang kompeten dalam menangani sengketa ekonomi syariah, ditepis oleh Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama (Tuada Uldilag) Mahkamah Agung RI, Drs. H. Andi Syamsu Alam, S.H., M.H. Dalam sebuah lokakarya tentang Ekonomi Syariah di Tarakan, Kamis (21/5), beliau mengatakan bahwa Peradilan Agama sekarang sudah berubah. Dalam merespon yurisdiksi baru tentang ekonomi syariah, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Dirjen Badilag) Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mempersiapkan banyak hal, seperti membuka kesempatan bagi hakim-hakim peradilan agama untuk melanjutkan studi untuk konsentrasi hukum bisnis syariah, penyempurnaan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), dan penataran kepada hakim-hakim peradilan agama menyangkut hal tekhnis penyelesaian perkara ekonomi dan perbankan syariah. Lokakarya berkat kerjasama Pemerintah Kota Tarakan dengan Peradilan Agama tersebut bertemakan Dengan Sistem Syariah, Kita Tingkatkan Ketahanan Perekonomian Masyarakat Indonesia. Hadir dalam acara tersebut para pelaku ekonomi syariah, Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Samarinda, para Hakim Tinggi dan Pansek PTA Samarinda, Ketua dan Wakil Ketua serta Pansek seluruh Pengadilan Agama se-Kalimantan Timur. Bertindak sebagai pembicara dari MA-RI, Drs. H. Andi Syamsu Alam, S.H.,M.H. (Tuada Uldilag) dan Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H.S.IP. (Ketua Pokja Perdata Agama), Hj. Siti Nurbani, Pemimpin Unit Usaha Syariah Bankaltim Samarinda serta M.Nur Utomo, SE, pakar Ekonomi Syariah Tarakan. Walikota Tarakan, H.Udin Hianggio yang hadir dalam acara tersebut memberikan sambutan yang intinya sangat menaruh perhatian pada pelaksanaan ekonomi umat di daerahnya. Walikota mengharapkan agar lokakarya-lokakarya sejenis dapat ditingkatkan lagi di masa mendatang, sehingga masyarakat luas dapat faham dan mengambil manfaat besar dari sistem ekonomi syariah yang dikenal keberhasilannya di dunia ini.

Polemik Kompetensi Memang, dahulu kompetensi penanganan sengketa ekonomi syariah sempat menjadi perdebatan politis di DPR. Dalam pembahasan RUU Perbankan Syariah yang sekarang disahkan menjadi Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, ada

rencana tambahan satu pasal pada bab IX, yakni pasal 52 yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dan bidang ekonomi syariah lainnya seperti sekuritas syariah, asuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah, bisnis syariah, pembiayaan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, dan lain-lain ditangani oleh peradilan umum. Upaya pengambil-alihan wewenang mengadili tersebut secara konstitusional ambivalen dengan UU No.3 tahun 2006. Apalagi, pasal-pasal yang berkaitan dengan sengketa telah diatur secara organik dalam undang-undang peradilan terkait. Pasal 49 UU No.3 tahun 2006 secara tegas menyebut bahwa Peradilan Agama memiliki kewenangan absolut mengadili perkara antara orang-orang Islam di bidang ekonomi syariah.

Hakim PA lebih Familiar Banyak kalangan yang cenderung meremehkan kualitas hakim-hakim di Peradilan Agama. Betapapun derasnya opini publik yang memvonis peradilan agama sebagai lembaga yang kurang familiar dalam menangani sengketa perbankan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa secara filosofis hukum-hukum keuangan dan perbankan syariah sarat dengan muatan substantif serta terminologi yang justru familiar bagi hakim peradilan agama, seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, wadhiah, hawalah, kafalah, qard, ijarah, dan lainnya. Hakim peradilan agama juga pernah menekuni disiplin ilmu fiqh muamalah ketika di bangku kuliah. Jadi secara keilmuan, hakim-hakim peradilan agama sangat siap menangani sengketa ekonomi syariah. Apalagi, perkara tersebut di mata hakim-hakim PA bukanlah makhluk langka.

KHES menekanan pada aspek Muamalah

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah terdiri atas 4 (empat) buku sebagaimana berikut:

Buku I : Subyek Hukum dan Amwal (benda), terdiri atas pasal 1 s.d 19 (3 bab, 19 pasal); Buku II : Tentang Akad, tediri atas pasal 20 s.d 674 (29 bab, 655 pasal); Buku III : Zakat dan Hibah, terdiri atas pasal 675 s.d 734 (4 bab, 60 pasal); Buku IV : Akuntansi Syariah, terdiri atas pasal 735 s.d 796 (7 bab, 62 pasal).

Materi yang paling banyak diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) adalah tentang akad, yang terdapat dalam buku II, yang mana terdiri atas 655 pasal dari total keseluruhan 796 pasal, yaitu pasal 20 hingga passal 674. Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan dikeluarkannya KHES dimaksud. Seperti dapat kita baca dalam Surat Keputusan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2008, KHES dimaksudkan sebagai pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi syariah, dalam pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Mengingat pentingnya buku II Tentang Akad, berikut kami sajikan bab-bab yang merupakan isi Buku II, yang terdiri atas 29 bab, dari pasal 20 hingga pasal 674.

Isi Buku II Tentang Akad adalah sebagai berikut: BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 20

BAB II ASAS AKAD Pasal 21

BAB III RUKUN, SYARAT, KATEGORI HUKUM, AIB, AKIBAT, DAN PENAFSIRAN AKAD Bagian Pertama Rukun dan Syarat Akad Pasal 22 - 55

BAB IV BAI Bagian Pertama Unsur Bai Pasal 56 - 90

BAB V AKIBAT BAI Bagian Pertama Akibat Bai Pasal 91 - 133

BAB VI SYIRKAH Bagian Pertama Ketentuan Umum Syirkah Pasal 134 - 186

BAB VII MUDHARABAH Bagian Pertama Syarat Mudharabah Pasal 187 - 210

BAB VIII MUZARAAH DAN MUSAQAH Bagian Pertama Rukun dan Syarat Muzaraah Pasal 211 - 226

BAB IX KHIYAR Bagian Pertama Khiyar Syarth Pasal 227 - 250

BAB X IJARAH Bagian Pertama Rukun Ijarah Pasal 251 - 290

BAB XI KAFALAH Bagian Pertama Rukun dan Syarat Kafalah Pasal 291 - 317

BAB XII HAWALAH Bagian Pertama Rukun dan Syarat Hawalah Pasal 318 - 328

BAB XIII RAHN Bagian Pertama Rukun dan Syarat Rahn Pasal 329 - 369

BAB XIV WADIAH Bagian Pertama Rukun dan Syarat Wadiah Pasal 370 - 390

BAB XV GASHB DAN ITLAF Bagian Pertama Rukun dan Syarat Gashb Pasal 391 - 412

BAB XVI SYIRKAH Bagian Pertama Syirkah Milk Pasal 413 - 456

BAB XVII WAKALAH Bagian Pertama Rukun dan Macam Wakalah Pasal 457 - 525

BAB XVIII SHULH Bagian Pertama Ketentuan Umum Shulh Pasal 526 - 544

BAB XIX PELEPASAN HAK Pasal 545 - 553

BAB XX TAMIN

Bagian Pertama Tamin dan Iadah Tamin Pasal 554 - 574

BAB XXI OBLIGASI SYARIAH MUDHARABAH Pasal 575 - 580

BAB XXII PASAR MODAL Bagian Pertama Prinsip Pasar Modal Syariah Pasal 581 - 584

BAB XXIII REKSADANA SYARIAH Bagian Pertama Mekanisme Kegiatan Reksadana Syariah Pasal 585 - 599

BAB XXIV SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH (SBI SYARIAH) Pasal 600 - 604

BAB XXV OBLIGASI SYARIAH Pasal 605 - 608

BAB XXVI PEMBIAYAAN MULTI JASA Pasal 609 - 611

BAB XXVII QARDH Bagian Pertama Ketentuan Umum Qardh Pasal 612 - 617

BAB XXVIII PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARIAH Pasal 618 - 626

BAB XXIX DANA PENSIUN SYARIAH Bagian Pertama Jenis dan Status Hukum Dana Pensiun Syari'ah Pasal 627 - 674

Dalam Kompilasi ini, yang dimaksud dengan Akad adalah: kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

Akad dilakukan berdasarkan azas sebagai berikut:

a.

ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain.

b.

amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-janji.

c.

ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.

d.

luzum/tidak berobah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.

e.

saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.

f.

taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.

g.

transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka.

h.

kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersangkutan.

i.

taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan.

j.

itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

k.

sebab yang halal; tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.

Urgensi KHES dalam Perkembangan Perekonomian Islam Perkembangan ekonomi Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di panggung internasional maupun di Indonesia. Dalam praktik operasioanal, perkembangan tersebut dapat dilihat seperti yang terjadi di lembaga-lembaga perekonomian Islam seperti: Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, Reksadana Syariah, Obligasi Syariah, Leasing Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Baitul Mal wat Tamwil, Koperasi Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiun Syariah, lembaga keuangan publik Islam seperti Lembaga Pengelola Zakat dan Lembaga Pengelola Wakaf serta berbagai bentuk bisnis syariah lainnya. Perkembangan tersebut diharapkan semakin melebar meliputi aspek dan cakupan yang sangat luas, seperti kebijakan ekonomi negara, ekonomi pemerintah daerah, ekonomi makro

(kebijakan fiskal, public finance, strategi mengatasi kemiskinan serta pengangguran, inflasi, kebijakan moneter), dan permasalahan ekonomi lainnya, seperti upah dan perburuhan dan sebagainya. Dalam perkembangan di bidang lembaga perekonomian agar mampu bersaing dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat bisnis modern, diperlukan inovasi-inovasi produk dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah dalam operasionalnya. Perkembangan tersebut juga berimplikasi kepada banyaknya masyarakat Indonesia yang beraktivitas dalam ekonomi Islam, maka sangat dimungkinkan terjadinya sengketa hukum di bidang ekonomi Islam. Oleh karena itu, dibutuhkan aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia. Dalam merespon pertumbuhan lembaga dan regulasi perekonomian Islam di Indonesia, terdapat beberapa masalah yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Permasalahan tersebut adalah pertama, bagaimana praktik ekonomi Islam di Indonesia. Kedua, bagaimana formalisasi hukum ekonomi Islam merespon kemajuan ekonomi Islam di Indonesia. Ketiga ,bagaimana aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia. Praktik ekonomi Islam di bidang lembaga perekonomian mengalami akselerasi yang signifikan, baik di dunia maupun di Indonesia. Pada era modern ini, perbankan syariah sebagai salah satu lembaga perekonomian telah menjadi fenomena global, termasuk di negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim. Penyebaran jaringan kantor perbankan syariah di Indonesia saat ini megalami pertumbuhan pesat. Jika pada tahun 2006 jumlah jaringan kantor hanya 456 kantor, sekarang ini jumlah tersebut menjadi 1440. Dengan demikian jaringan kantor tumbuh lebih dari 200 %. Jaringan kantor tersebut telah menjangkau masyarakat di 33 propinsi dan di banyak kabupaten/kota. Pada tahun 2009, diharapkan hadir 8 Bank Umum Syariah lagi, sehingga total Bank Umum Syariah menjadi 12 buah. Sedangkan praktik ekonomi Islam dalam aspek asuransi syariah di Indonesia dimulai sejak tahun 1994. Perkembangan industri ini pun sangat pesat, sampai akhir 2007 terdapat 37 perusahaan asuransi syariah, 3 reasuransi syariah, 5 broker asuransi dan reasuransi syariah. Hingga tahun 2009 ini asuransi syariah masih akan bergerak tumbuh. Pertumbuhan ini dialami juga oleh perusahaan asuransi syariah lainnya seperti, Allianz Life Indonesia Divisi Syariah, BNI Life Divisi Syariah, MEGA Life Unit Syariah dan lain-lain. Praktik ekonomi Islam di Indonesia selanjutnya dapat dijumpai pada lembaga perekonomian Islam lainnya dan lembaga bisnis syariah seperti lembaga pembiayaan syariah dan lembaga keuangan publik Islam seperti lembaga pengelola zakat dan lembaga wakaf.

Dengan kewenangan absolut hakim pengadilan agama mengadili sengketa hukum ekonomi syariah maka formalisasi hukum ekonomi Islam dalam bentuk KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah) yang komprehensip menjadi urgen. Seperti yang dibuat pemerintahan Turki Usmani dengan nama Al-Majallah Al-Ahkam al-Adliyah yang terdiri dari 1851 pasal, dimaksudkan agar kegiatan ekonomi syariah memiliki kepastian hukum dan para hakim memiliki rujukan standar dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa di dalam bisnis syariah. Hal ini juga menjadi signifikan manakala masalah asuransi syariah, reasuransi, pegadaian syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pasar modal syariah, dan berbagai institusi lainnya belum memiliki payung hukum yang kuat.

Aplikasi Hukum Islam Dalam Lembaga Perekonomian Islam Di Indonesia

Pada beberapa tahun belakangan, telah terjadi gejala baru dalam politik hukum nasional di mana hukum Islam semakin mendapatkan tempat yang sangat luas dalam sistem hukum dan perundang-undangan nasional. Keadaannya jauh berbeda pada saat dilahirkannya Undangundang No. I tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (PA) yang sarat dengan pro kontra. Hal ini tidak terjadi ketika MA mengeluarkan keputusan tentang KHES pada tahun 2008, Padahal wewenang PA di dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) jauh lebih luas wilayahnya dan lebih bersifat keduniawian. Ini memberi pertanda bahwa penerimaan masyarakat Indonesia terhadap kehadiran hukum Islam, termasuk di bidang ekonomi Islam sudah semakin baik. Realitasnya praktik hukum keluarga dengan hukum ekonomi Islam dalam kehidupan umat Islam memang ada perbedaan; hukum keluarga telah dipraktikkan oleh umat Islam sejak lama dengan kesadarannya sendiri, sehingga telah menjadi bagian dari adat-istiadat umat Islam. Hal ini dapat dipahami karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara itu sendiri. Sedangkan hukum ekonomi Islam, secara umum belum dipraktikkan dan belum banyak yang menjadikan adat-istiadat umat Islam. Hukum ekonomi Islam secara kelembagaan masih sebatas dipraktikkan lewat lembaga perekonomian yang secara hukum memang harus ada yang mengaturnya karena menyangkut hak-hak dan kepentingan banyak pihak dan dalam skala yang lebih besar. Sehingga perbedaan tersebut juga berimplikasi terhadap perbedaan proses positifisasinya.

Dalam hukum Islam dikenal teori urf atau adat, sebagai salah satu metode istinbat hukum. Dalam teori ini hukum dirumuskan dengan mempertimbangkan adat istiadat masyarakat. Apalagi dalam konteks hukum ekonomi Islam sangat berkaitan dengan masyarakat secara langsung yang sarat dimensi sosialnya. Sehingga diperlukan fleksibilitas dalam hukum ekonomi Islam yang dikenal dengan kaidah, Al-Asl fi al-Muamalah al-Ibahah Illa ay-Yadulla Dalilan ala Tahrimih (Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Maksud kaidah ini bahwa semua transaksi dalam bidang muamalah adalah dibolehkan seperti jual-beli, sewa menyewa, kerja sama (Mudharabah atau Musyarakah) dan sebagainya, bahkan untuk transaksi yang mungkin akan tercipta di kemudian hari, selama tidak ada nash yang melarang transaksi tersebut. Mengingat KHES banyak mengatur menyangkut masalah muamalah, maka semestinyalah memperhatikan hal ini. Oleh karena itu, akomodasi terhadap realitas sosial umat Islam yang berkaitan dengan praktik hukum ekonomi Islam sangat diperlukan, karena hal tersebut akan berimplikasi pada efektifitas dan respon di masyarakat serta prospek hukum ekonomi Islam itu sendiri. Di sinilah perlunya pendekatan sosiologis dalam legislasi hukum untuk masyarakat dengan pola buttomup. Secara historis, pemberlakuan hukum dengan pola normatif dan top-down hanya akan menimbulkan kesulitan dalam penegakannya, karena tidak akomodatif dan komunikatif dengan kebutuhan sosiologis masyarakat, dan cenderung menjauhi rasa keadilan masyarakat. Pengalaman bangsa Indonesia dengan pemberlakuan BW dan WvS produk Belanda secara paksa sudah cukup menjadi pelajaran. Sehubungan dengan aplikasi hukum Islam dalam praktik ekonomi Islam di Indonesia belakangan ini, terasa bahwa penyusunan KHES nampak keburu-buru, terlihat dari waktu yang begitu pendek dalam mempersiapkannya. Sebagai konsekuensinya, kurang banyak menggali aspek-aspek sosiologis umat Islam dan legal opinion di kalangan pakar, ulama, pesantren, dan akademisi. Yang dilibatkan hanya sebagain kecil saja, meskipun dalam konteks ini tidak bermaksud negatif, dan nampaknya lebih mengutamakan studi banding ke luar negeri yang kemungkinan memiliki adat kebiasaan yang berbeda. Lain halnya ketika penyusunan KHI (Kompilasi Hukum Islam) sebelumnya yang banyak melibatkan para ulama (kiai), pesantren, akademisi fakultas syariah beberapa IAIN ternama di Indonesia, dan praktisi. Untuk itu, kiranya peran Fatwa dari DSN-MUI masih tetap akan kita butuhkan bila dijumpai persoalan yang tidak bisa diperoleh jawabannya melalui KHES. Fatwa merupakan

salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Kehadiran fatwa-fatwa ini merupakan aspek organik dari bangunan ekonomi Islam yang sedang berkembang, sekaligus merupakan salah satu indikator bagi kemajuan ekonomi Islam di Indonesia. Fatwa ekonomi Islam yang telah hadir tersebut secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaharuan fiqh muamalah maliyah (fiqh ekonomi). Secara fungsional, fatwa DSN menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga perekonomian Islam, khususnya yang diminta praktisi ekonomi Islam ke DSN dan memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi Islam.

Penutup Perkembangan praktik ekonomi Islam di Indonesia saat ini, mengalami akselerasi yang luarbiasa. Selanjutnya berturut-turut telah hadir beberapa Undang-undang yang mengatur lembaga perekonomian Islam di Indonesia, sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kemajuan tersebut. Selain itu, juga berimplikasi terhadap aplikasi hukum Islam dalam operasional dan inovasi produk pada lembaga perekonomian Islam dan kemungkinan terjadinya penyelesaian sengketa ekonomi syariah oleh Pengadilan Agama. Dalam kerangka itulah hadirnya Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) memberikan terobosan baru dalam sejarah pemikiran hukum ekonomi Islam di Indonesia. Menyadari masih terdapat kekurangsempurnaan di dalam KHES, maka para praktisi ekonomi Islam, masyarakat, dan pemerintah (regulator), masih membutuhkan fatwa-fatwa DSN MUI berkaitan dengan praktik dan produk lembaga perekonomian Islam. KHES telah melingkupi kepentingan praktik operasional, khususnya yang menyangkut akad, atas lembaga-lembaga perekonomian Islam, institusi finansial Islam seperti: Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, Reksadana Syariah, Obligasi Syariah, Leasing Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Baitul Mal wat Tamwil, Koperasi Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiun Syariah, lembaga keuangan publik Islam seperti Lembaga Pengelola Zakat dan Lembaga Pengelola Wakaf serta berbagai bentuk bisnis syariah lainnya. Bagi para investor dan customer, mereka harus menyesuaikan diri dan mempersiapkan diri dengan adanya ketentuan baru di mana penyelesaian perselisihan hukum menyangkut kegiatan ekonomi syariah tidak lagi ada di tangan peradilan umum atau niaga, melainkan ada pada peradilan agama.

Dunia pendidikan yang berperan sebagai lembaga yang mempersiapkan SDM untuk hakim-hakim Peradilan Agama juga perlu mengantisipasi untuk memberikan bekal yang memadai bagi calon hakim PA dengan pengetahuan mengenai ekonomi syariah di samping pengetahuan agama.

DAFTAR PUSTAKA 1. Badilag dan Pokja Perdata Agama, (2009), Kajian buku Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, http://www.badilag.net. 6/5, 2009. 2. Hermansyah, Iri, Drs., SH., (2009), Sosialisasi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, PA sewilayah PTA Maluku Utara, 2009. 3. Mahkamah Agung RI, (2008), Peraturan MA RI No. 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta, 2008. 4. Rifyal Kabah, (2006), Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun ke XXI No. 245, IKAHI, Jakarta, April 2006, hal. 12. 5. Rusydi, M., (2007), Formalisasi Hukum Ekonomi Islam: Peluang

danTantangan, Al-Mawarid Edisi XVII Tahun 2007.6. Suharso, Yudi, (2009), Pegadaian Syariah: Kinerja Bagus Ekspansi Jalan

Terus, Majalah Ekonomi dan Bisnis Syariah Sharing, Edisi 25 Th III, Januari 2009, hal. 41. 7. Sumanto, Agus Edi, (2008), Asuransi Syariah Masih Tumbuh 5060 Persen, Majalah Ekonomi dan Bisnis Shariah Sharing, Edisi 24 Th III, Desember 2008, hal. 20. 8. Tarigan, Azhari Akmal Marhaban Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah diakses dalam http://www.waspada online/go.id/detil.9. Yulianti, Rahmani Timorita, (2009), Aplikasi Hukum Islam Dalam Praktek

Ekonomi Islam di Indonesia, Seminar Kajian Hukum Islam, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Indonesia, 27 Mei 2009, Yogyakarta. Fname: Paper Analisa Atas Kompilasi Hukum Ekonomi Syari_14102009SDN