neurona vol 27 no 3 april 2010

80
EDITORIAL Edisi ini akan memuat 10 artikel terdiri dari tujuh artikel penelitian, satu artikel tinjauan pustaka dan dua artikel laporan kasus. Artikel-artikel yang dimuat ini, membahas berbagai macam aspek persoalan neurologi. Enam artikel penelitian yang dikirimkan oleh sejawat sejawat dari Jakarta, berjudul “Gambaran Biaya Perawatan Stroke di Ruang Perawatan, Bagian Ilmu Penyakit Saraf, RSUPN Cipto Mangunkusumo”, oleh Ferdila Mariam, Lyna Soertidewi, Freddy Sitorus, Joedo Prihartono ; “Lama Hari Rawat Pasien Stroke di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhi”, oleh Ranette Roza, Lyna Soertidewi, Freddy Sitorus, Joedo Prihartono; “Hubungan Hendaya Kognitif Non Demensia dengan Kendali Glikemik pada Penyandang Diabetes melitus Tipe 2”, oleh M. Kurniawan, Adre Mayza, Salim Harris, Budiman; “Gangguan Otonom pada Pekerja Terpajan Timbal Kronik Berdasarkan Pemeriksaan SYMPATHETIC SKIN RESPONSE dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhi”, oleh Ekawati Dani Yulianti, Fitri Octaviana, Manfaluthy Hakim, Joedo Prihartono; “Peranan Depriviasi Tidur Terhadap Perekaman EEG pada Pasien Tersangka Epilepsi” oleh Radya Nurhamida Thayeb, Nizar Yamanie, Fitri Octaviana, Joedo Prihartono; “Pola Gangguan Fungsi Organ dan Fungsi Kognitif pada Usia Lanjut”, oleh Taufik Mesiano, Samino. Sedangkan satu artikel penelitian, dikirimkan oleh sejawat dari Medan berjudul Identifikasi Nyeri Neuropatik dengan Memakai Skala Nyeri Leeds Assesment Of Neuropathic Symptoms And Signs (LANSS) pada Penderita Nyeri Punggung Bawah Kronik, oleh Moya Dewi Marlenny, Yuneldi Anwar, Hasan Sjahrir. Dua artikel laporan kasus dikirimkan oleh sejawat dari Jakarta, dengan judul : Low Level Neurological States pada SDH dan EDH pasca kraniotomi,Tinjauan Terminologi, Diagnosis, Terapi, Prognosis”, oleh Dini Fajri Hastuti, Al Rasyid, Mursyid Bustami, Lyna Soertidewi; dan “ Gelastic Seizures pada Hemiatropi Serebri Kiri”, oleh Donny H. Hamid, Ridwan, Gotot Sumantri, Melita. Satu artikel tinjauan pustaka oleh Jan Purba, berjudul “Nyeri Fibromyalgia : Nyeri Patologi Atau Nyeri Idiopatik? Berbagai artikel tersebut diatas, baik artikel penelitian, artikel laporan kasus maupun artikel tinjauan pustaka sangat menarik untuk dibaca dan semoga dapat menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi sejawat semua. Selamat membaca. Redaksi Neurona

Upload: ika-elyana

Post on 29-Dec-2015

202 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

neurona

TRANSCRIPT

Page 1: neurona Vol 27 No 3 April 2010

EDITORIAL

Edisi ini akan memuat 10 artikel terdiri dari tujuh artikel penelitian, satu artikel tinjauan pustaka dan dua artikel laporan kasus. Artikel-artikel yang dimuat ini, membahas berbagai macam aspek persoalan neurologi. Enam artikel penelitian yang dikirimkan oleh sejawat sejawat dari Jakarta, berjudul “Gambaran Biaya Perawatan Stroke di Ruang Perawatan, Bagian Ilmu Penyakit Saraf, RSUPN Cipto Mangunkusumo”, oleh Ferdila Mariam, Lyna Soertidewi, Freddy Sitorus, Joedo Prihartono ; “Lama Hari Rawat Pasien Stroke di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhi”, oleh Ranette Roza, Lyna Soertidewi, Freddy Sitorus, Joedo Prihartono; “Hubungan Hendaya Kognitif Non Demensia dengan Kendali Glikemik pada Penyandang Diabetes melitus Tipe 2”, oleh M. Kurniawan, Adre Mayza, Salim Harris, Budiman; “Gangguan Otonom pada Pekerja Terpajan Timbal Kronik Berdasarkan Pemeriksaan SYMPATHETIC SKIN RESPONSE dan Faktor Faktor Yang Mempengaruhi”, oleh Ekawati Dani Yulianti, Fitri Octaviana, Manfaluthy Hakim, Joedo Prihartono; “Peranan Depriviasi Tidur Terhadap Perekaman EEG pada Pasien Tersangka Epilepsi” oleh Radya Nurhamida Thayeb, Nizar Yamanie, Fitri Octaviana, Joedo Prihartono; “Pola Gangguan Fungsi Organ dan Fungsi Kognitif pada Usia Lanjut”, oleh Taufik Mesiano, Samino. Sedangkan satu artikel penelitian, dikirimkan oleh sejawat dari Medan berjudul Identifikasi Nyeri Neuropatik dengan Memakai Skala Nyeri Leeds Assesment Of Neuropathic Symptoms And Signs (LANSS) pada Penderita Nyeri Punggung Bawah Kronik, oleh Moya Dewi Marlenny, Yuneldi Anwar, Hasan Sjahrir. Dua artikel laporan kasus dikirimkan oleh sejawat dari Jakarta, dengan judul : “Low Level Neurological States pada SDH dan EDH pasca kraniotomi,Tinjauan Terminologi, Diagnosis, Terapi, Prognosis”, oleh Dini Fajri Hastuti, Al Rasyid, Mursyid Bustami, Lyna Soertidewi; dan “ Gelastic Seizures pada Hemiatropi Serebri Kiri”, oleh Donny H. Hamid, Ridwan, Gotot Sumantri, Melita. Satu artikel tinjauan pustaka oleh Jan Purba, berjudul “Nyeri Fibromyalgia : Nyeri Patologi Atau Nyeri Idiopatik? Berbagai artikel tersebut diatas, baik artikel penelitian, artikel laporan kasus maupun artikel tinjauan pustaka sangat menarik untuk dibaca dan semoga dapat menjadi bahan bacaan yang bermanfaat bagi sejawat semua. Selamat membaca.

Redaksi Neurona

Page 2: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 1

GAMBARAN BIAYA PERAWATAN STROKE DI RUANG PERAWATAN BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSUP CIPTO MANGUNKUSUMO

Ferdila Mariam*, Lyna Soertidewi**,Freddy Sitorus**, Joedo Prihartono***

ABSTRACT Background Stroke is one of the most health problem that causes economic burden. Healthcare services is establishing to get a better stroke management and expectedly can reduce burden of direct stroke costs in hospital. Purpose To determine description of direct costs of stroke and factors that influence it (subtype of stroke, NIHSS, onset, type of payment, type of ward, length of stay, concomitant illness, complication) Methods This study is a cross sectional study using primary and secondary data of ischemic and hemorrhagic stroke. Results From 97 subjects of stroke patients we found mean total direct stroke cost in male was Rp. 8,591.000 and female was Rp. 7.944.000, cortical hemorrhagic stroke with any difficulties was Rp. 14.000.000 and patients with venous thrombosis ischemic stroke without any diffilculties was Rp. 5,698.000, severe NIHSS score was Rp 10.449.000 and ipatients with mild NIHSS score was Rp. 7,076.000) , onset > 24 hours was Rp. 8,487.000 and patients with onset <24 hours was Rp. 8,339.000 , patient with 4 or more concomitant illness was Rp. 13,470.000 and patients with 1 concomitant illness was Rp. 6,134.000), patient with 3 complication was Rp.18,462.000 and patients without any complications was Rp.7,136.000), multiple technical difficulties was Rp. 8,709.000 and patients without any tecnical difficulties was Rp. 8,315.000, first class stroke unit was Rp. 14,503.000 and patients who were hospitalized in third class of ward was Rp5,308.000), jamkesmas payment was Rp. 10,088.000 and patients with SKTM payment was Rp.9,232.000. Mean of length of stay in stroke patients was 14.6 ± 7.5 days. Mean of ward cost was Rp. 2.469.000 ± Rp. 2.2092.000, mean of medical fee was Rp. 1.411.000 ± Rp. 1.721.000, mean of imaging and laboratory cost was 2.135.000 ± 1.097.000, mean of farmacy was Rp. 2.376.000 ± Rp. 2.426.000. Mean of total stroke cost was Rp.8.391.000 ± Rp.6.337.000. Conclusion Mean total direct stroke costs was higher in male, elderly, cortical hemorrhagic stroke, severe NIHSS, patient with 4 or more concomitant illness, multiple complication, first class stroke unit, and Jamkesmas payment. The highest mean of stroke cost was ward component and it had a strong correlation with length of stay. The mean of imaging, laboratory cost and medical fee relatively had no any changes. Keyword Stroke, costs, influencing factors ABSTRAK Latar belakang Stroke sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan beban sosial ekonomi. Sistem kesehatan telah banyak dilakukan baik di negara maju maupun berkembang bertujuan untuk memperoleh manajemen tata laksana yang tepat dan efisien yang akhirnya diharapkan akan dapat mereduksi biaya langsung perawatan stroke di rumah sakit.. Tujuan

Page 3: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 2

Mengetahui gambaran total biaya medis langsung perawatan stroke serta faktor-faktor yang mempengaruhinya (subtipe stroke, nilai NIHSS awal, onset, jenis cara pembayaran, jenis ruang rawat , lama perawatan, concomitant illness atau penyakit penyerta, komplikasi) Metode Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan menggunakan data primer dan sekunder yang didapat dari semua penderita stroke baik iskemik maupun hemoragik yang memenuhi kriteria inklusi Hasil Dari 97 sampel penelitian diperoleh rata-rata biaya total stroke pada laki-laki Rp. 8,591.000 dan wanita Rp. 7,944.000, stroke hemoragik kortikal dengan penyulit Rp. 14.000.000 dan pada stroke iskemik trombosis vena tanpa penyulit Rp. 5,698.000, NIHSS berat Rp 10.449.000 dan pada NIHSS rendah Rp. 7,076.000, onset diatas 24 jam sebesar Rp. 8,487.000 dan pada onset <24jam sebesar Rp. 8,339.000, pasien yang mempunyai penyakit penyerta lebih dari 4 Rp. 13,470.000 dan pada 1 jenis penyakit penyerta sebesar Rp. 6,134.000, pasien dengan 3 jenis komplikasi Rp.18,462.000 dan pada tanpa komplikasi sebesar Rp.7,136.000, hambatan teknis multipel Rp. 8,709.000 dan pada tanpa hambatan sebesar Rp. 8,315.000, ruang unit stroke kelas I sebesar Rp. 14,503.000 dan pada kelas III sebesar Rp5,308.000., jamkesmas Rp. 10,088.000 dan pada SKTM sebesar Rp.9,232.000. Rata-rata lama hari rawat pasien stroke adalah 14.6 ± 7.5 hari. Rata-rata biaya ruangan perawatan stroke adalah Rp. 2.469.000 ± Rp. 2.2092.000, rata-rata biaya jasa medik Rp. 1.411.000 ± Rp. 1.721.000, rata-rata biaya penunjang 2.135.000 ± 1.097.000, rata-rata biaya farmasi Rp. 2.376.000 ± Rp. 2.426.000. Sedangkan untuk rata-rata total biaya adalah sebesar Rp.8.391.000 ± Rp.6.337.000. Kesimpulan Rata-rata biaya total perawatan stroke lebih tinggi pada pria, usia lanjut, stroke hemoragik kortikal dengan penyulit , nilai NIHSS berat, pasien dengan concomittant illness lebih dari 4 jenis, komplikasi mulitpel, ruang rawat unit stroke kelas I, cara pembayaran jamkesmas. Rata-rata biaya tertinggi adalah komponen biaya ruangan yang berkorelasi kuat dengan bertambahnya hari rawat, sedangkan komponen penunjang serta jasa medik relatif sama. Kata kunci: Stroke, biaya perawatan, faktor-faktor yang mempengaruhi * Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf, FKUI/RSCM, Jakarta ** Staf Departemen Ilmu Penyakit Saraf FKUI/RSCM, Jakarta *** Staf Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Universitas Indonesia, Jakarta

Page 4: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 3

PENDAHULUAN Stroke sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat

karena morbiditas dan mortalitasnya cukup tinggi. Di negara maju, stroke merupakan penyebab kematian ketiga setelah kanker dan penyakit jantung koroner. Selain mortalitas, kecacatan tertinggi terjadi pada kelompok usia produktif dan beban sosial ekonomi yang ditimbulkannya merupakan masalah yang saling berkaitan. Banyak strategi kesehatan yang dikembangkan untuk memperoleh efektifitas penggunaan alat diagnostik dan terapi. Semua usaha itu bertujuan untuk memperoleh manajemen tata laksana yang tepat dan efisien yang akhirnya diharapkan akan dapat mereduksi biaya langsung perawatan stroke di rumah sakit. Manajemen yang berbeda ini akan menimbulkan suatu variasi biaya di tiap rumah sakit yang berbeda dan kurun waktu yang berbeda. 1,2,3,4,5

Atas dasar adanya variasi kisaran total biaya tersebut, maka ingin diketahui gambaran total biaya langsung perawatan stroke dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (subtipe stroke, nilai NIHSS awal, onset, jenis cara pembayaran, jenis ruang rawat , lama perawatan, concomitant illness atau penyakit penyerta, komplikasi) di RSCM saat ini. METODE Penelitian ini menggunakan disain potong lintang dengan menggunakan data primer dan sekunder yang didapat dari seluruh penderita stroke baik iskemik maupun hemoragik yang dirawat di kamar perawatan neurologi gedung RITA A lantai 5 RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dimulai setelah memperoleh izin dari komite etik sampai jumlah sampel terpenuhi. Pengambilan sampel penelitian dilakukan menurut metode non-random sampling jenis konsekutif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Chi Square.

Kriteria inklusi: (1)Penderita stroke akut baik iskemik maupun hemoragik yang dirawat di ruang rawat neurologi sampai pulang, (2)Bersedia diikutsertakan dalam penelitian. Kriteria eksklusi: (1) Penderita yang pulang paksa, pindah rumah sakit lain, pindah dirawat di bagian lain (IPD), RITA A lantai 1 dan 3, (2)Penderita yang meninggal, (3) Pasien yang dalam masa perawatan terjadi stroke berulang , (4)Pasien dengan Transient Ischemic Attack (TIA). Analisa data dengan menggunakan software pengolahan data Statistical Package for Social Sciences 14 (SPSS 14). HASIL Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pasien stroke iskemik dan hemoragik, lesi akut maupun berulang yang datang berobat ke RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkan 97 sampel yang memenuhi kriteria inklusi untuk studi deskriptif. Pada penelitian ini didapatkan sampel sebanyak 97 pasien stroke iskemik dan hemoragik dengan persentase terbanyak pada kelompok usia dibawah 46 - 64 tahun yaitu 49 orang (50,5%). Enam puluh tujuh (69,1%) diantaranya adalah laki – laki dan sebagian besar berpendidikan tinggi sebanyak 48 orang (49.5%). Status pembayaran pasien yang terbanyak adalah pembayaran umum sebanyak 43. orang (44.3%) dan berdasarkan ruang perawatan 63 orang (64.9%) dirawat di ruang perawatan kelas 3.

Page 5: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 4

Tabel 1. Sebaran subyek menurut karakteristik klinik (n=97)

Karakteristik klinik Jumlah Persen Tipe stroke - Stroke iskemik (SI) non emboli

tanpa penyulit - SI non emboli dengan penyulit - SI emboli - SI trombosis vena tanpa penyulit - SI trombosis vena dengan penyulit - SH kortikal tanpa penyulit - SH kortikal dengan penyulit - SH subkortikal tanpa penyulit - SH subkortikal dengan penyulit

36 12 10 8

13 9 4 2 3

37.1 12.4 10.3 8.2

13.4 9.3 4.2 2.1 3.1

Skor NIHSS Ringan (≤4) Sedang (5-14) Berat (≥ 15)

23 60 14

23,7 61,9 14,4

Onset stroke < 24 jam 24 + ...jam

63 34

64.9 35.1

Concomitant illness Tak ada 1 jenis 2 jenis 3 jenis >3 jenis

2

17 35 34 9

2.1

17.5 36.1 35.1 9.3

Komplikasi stroke Tak ada 1 jenis 2 jenis 3 jenis

45 32 16 4

46.4 33.0 16.5 4.1

Serangan Stroke: Pertama Berulang

69 28

71,1 28,9

Tipe stroke terbanyak yang dijumpai pada pasien menurut pembagian tipe sesuai dengan stroke clinical pathway RSCM adalah stroke iskemik non emboli sebanyak 36 orang (37.1%). Enam puluh (61,9%) pasien datang dengan nilai NIHSS awal kategori sedang (skor NIHSS 5 – 14), 63 orang (64.9%) pasien datang dengan onset sebelum 24 jam, dan 69 (71,1%) datang dengan serangan pertama kali stroke. Dilihat dari concomitant illness sebelumnya atau komorbid, terdapat 35 orang (36.1%) yang memiliki 2 concomitant illness sebelum terjadinya stroke. Dan diantara seluruh subjek yang dirawat, 45 orang tidak terdapat komplikasi selama perawatan. Komplikasi yang sering ditemukan adalah komplikasi tunggal atau 1 jenis penyakit saja yaitu 45 orang (46,4%). (Tabel 1)

Penelitian ini menunjukkan rata – rata umur pasien yang menderita stroke baik iskemik maupun hemoragik di RSUPN. Cipto Mangunkusumo yaitu 60.7 ± 13.2. Sementara rata-rata lama hari rawat pasien stroke adalah 14.6 ± 7.5 hari. Rata-rata biaya

Page 6: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 5

ruangan yang dikeluarkan oleh pasien untuk perawatan stroke adalah Rp. 2.469.000 ± Rp. 2.2092.000, untuk rata-rata biaya jasa medik yang dikeluarkan Rp. 1.411.000 ± Rp. 1.721.000 nilai SD yang tinggi disebabkan rentang jasa medik yang terlampau jauh (jasa medik minimum Rp.75.000 maksimum Rp. 6.380.000). Rata-rata biaya penunjang sebesar 2.135.000 ± 1.097.000, rata-rata biaya farmasi Rp. 2.376.000 ± Rp. 2.426.000. Sedangkan untuk rata-rata total biaya adalah sebesar Rp.8.391.000 ± Rp.6.337.000. (Tabel 2)

Tabel 2 : Nilai rata-rata dan SD variabel subyek awal (n=97)

Variabel Mean SD 95% CI Median Low High

Umur pasien 60.7 13.2 58.0 63.3 62.0 Lama rawat 14.6 7.5 13.1 16.1 13.0 Biaya ruangan* 2,469 2,092 1,848 2,681 1,564 Biaya jasa medik* 1,411 1,721 1,069 1,754 4,900 Biaya tes penunjang* 2,135 1,097 1,917 2,353 1,702 Biaya farmasi* 2,376 2,426 2,096 3,062 1,811 Total biaya* 8,391 6,337 7,129 9,652 6,274 Keterangan Tabel : * Dalam satuan ribu

Concomitant illness yang sudah terdapat sebelumnya terbanyak ditemukan adalah hipertensi sebanyak 59 orang (60.8%), diurutan kedua adalah riwayat stroke/TIA sebelumnya sejumlah 28 orang (28.9%) dan setelah itu riwayat merokok ditemukan pada 27 orang (27.8%). Faktor komplikasi yang banyak ditemukan saat perawatan pasien stroke di RSUPN. Cipto Mangunkusumo yaitu stress ulcer sejumlah 22 orang (22.7%). Pneumonia merupakan urutan kedua komplikasi yang sering terjadi yaitu sejumlah 20 orang (20.7%). Tabel 3. Total biaya rawat dengan faktor penentu (N= 97)

Jenis kelamin

n Mean SD Median

Laki-laki 67 8,591 6,531 6,396 Wanita 30 7,944 5,965 6,043

Usia

n Mean SD Median

≤ 45 12 5,521 3,296 4,060 46-64 49 8,346 7,051 6,048 ≥65 36 9,407 5,887 7,193

Jenis stroke

n Mean SD Median

Stroke iskemik (SI) non emboli tanpa penyulit

36 5,896 3,955 4,367

SI non emboli dengan penyulit 12 9,834 7,481 6,677 SI emboli 10 13,465 7,379 9,469

Page 7: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 6

SI trombosis vena tanpa penyulit 8 5,698 4,041 4,664 SI trombosis vena dengan penyulit 13 11,242 7,380 7,290 SH kortikal tanpa penyulit 9 5,707 3,836 3,927 SH kortikal dengan penyulit 4 14,056 5,773 15,240 SH subkortikal tanpa penyulit 2 5,815 2,692 5,815 SH subkortikal dengan penyulit 3 12,681 11,778 6,243

Skor NIHSS

n

Mean

SD

Median

Rendah (0-4) 23 7,076 5,470 6,249 Sedang (5-14) 60 8,414 6,783 5,617 Berat (≥ 15) 14 10,449 5,430 8,345

Onset stroke n Mean SD Median

< 24 jam 63 8,339 6,423 6,396 24 + …jam 34 8,487 6,269 5,617

Concomittant illness

n Mean SD Median

Tanpa risiko 2 8,325 413 8,325 1 jenis risiko 17 6,134 6,358 3,591 2 jenis risiko 35 7,180 4,952 6,243 3 jenis risiko 34 9,424 6,893 6,615 4 + jenis risiko 9 13,470 7,077 13,014

Komplikasi

n Mean SD Median

Tanpa komplikasi 45 7,136 5,357 5,693 1 jenis komplikasi 32 8,343 6,598 6,160 2 jenis komplikasi 16 9,496 6,109 7,292 3 jenis komplikasi 4 18,462 7,907 18,126

Hambatan teknis

n Mean SD Median

Tanpa hambatan 54 8,315 6,301 6,461 1 jenis hambatan 29 8,378 7,121 5,525 2 jenis hambatan 14 8,709 5,037 7,258

Kelas perawatan

n Mean SD Median

Kelas 3 63 5,308 3,326 4,100 Kelas 1 27 14,503 6,530 14,557 VIP 7 12,560 7,441 8,218

Cara pembayaran

n Mean SD Median

Umum 43 9,232 7,433 6,926 Askes 29 9,525 6,224 7,630 Jamkesmas 2 10,088 4,048 10,088 SKTM 17 5,120 2,593 5,228 Gakin 6 5,575 2,167 5,055 Keterangan tabel: mean, SD, median dalam satuan ribu

Page 8: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 7

Dari 97 sampel penelitian, dapat dilihat sebagian besar subyek terdiri dari laki-laki dengan besar biaya rawat total sebesar Rp. 8,591.000. Menurut usia didapatkan kelompok usia diatas 65 tahun mempunyai rata-rata total biaya yang paling tinggi sebesar Rp. 9,407,000. Biaya rawat menurut jenis stroke paling besar dikeluarkan oleh jenis stroke hemoragik kortikal dengan penyulit, sedangkan biaya terendah dikeluarkan pada biaya perawatan SI trombosis vena tanpa penyulit sebesar Rp. 5,698.000. Pada sampel dengan nilai NIHSS berat (≥15) mengeluarkan biaya rawat yang paling besar dibandingkan dengan NIHSS sedang dan ringan yaitu rata-rata total biaya rawat Rp 10,449,000. Pasien yang datang dengan onset dibawah 24 jam memiliki rata-rata biaya rawat sebesar Rp. 8,339.000 dan onset diatas 24 jam sebesar Rp. 8,487.000. Pasien yang mempunyai concomitant illness lebih dari 4 menunjukkan rata-rata biaya rawat paling tinggi yakni sebesar Rp. 13,470.000, sedangkan rata-rata biaya terendah dikeluarkan pada kelompok pasien dengan concomitant illness tunggal. Kelompok pasien tanpa komplikasi menunjukkan rata-rata biaya rawat yang paling rendah yaitu sebesar Rp. 7,136.000 sedangkan rata-rata biaya tertinggi ditemukan pada kelompok pasien dengan 3 jenis komplikasi. Besar biaya rawat pada kelompok tanpa hambatan teknis menunjukkan rata-rata terendah yakni sebesar Rp. 8,315.000, rata-rata biaya tertinggi ada pada kelompok dengan hambatan teknis multipel. Dilihat dari jenis kelas perawatan maka rata-rata biaya terendah dikeluarkan oleh kelas perawatan kelas III sebesar Rp. 5,308.000, disusul kemudian dengan unit stroke VIP sebesar Rp. 12,560.000, dan rata-rata biaya tertinggi dikeluarkan oleh unit stroke kelas I sebesar Rp. 14,503.000. Pasien dengan cara pembayaran jamkesmas menunjukkan rata-rata biaya rawat yang paling tinggi sebesar Rp. 10,088.000, disusul kemudian dengan Askes sebesar Rp. 9,525.000, umum (pribadi) sebesar Rp. 9,232.000, gakin sebesar Rp. 5,575.000, dan terendah SKTM sebesar Rp. 5,120.000. (Tabel 3) Tabel. 4. Total biaya menurut jenis risiko (risiko tunggal) Jenis risiko

n Mean SD Median

Hipertensi 7 8,857. 8,753 4,710 Diabetes Mellitus 2 4,430 2,817. 4,430 Penyakit jantung : AF - - - - Penyakit jantung: CAD - - - - Penyakit jantung: CHF - - - - Riwayat Stroke/TIA 2 8,521 8,409 8,521 Dislipidemia 2 2,856 1,037. 2,856 Merokok 2 2,490. 301 2490 Obesitas 2 3,594 74 3,594 Stress - - - - Keterangan tabel: mean, SD, median dalam satuan ribu Pasien yang memiliki concomitant illness tunggal paling banyak adalah pasien hipertensi sebanyak 7 orang dengan rata-rata total biaya yang paling tinggi sebesar Rp. 8.857.000. (Tabel 4)

Page 9: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 8

Tabel 5. Total biaya menurut jenis komplikasi (komplikasi tunggal)

Keterangan tabel: mean, SD, median dalam satuan ribu Pasien dengan komplikasi tunggal selama perawatan paling banyak adalah pasien dengan stress ulcer sebanyak 11 orang dengan rata-rata biaya total Rp. 8.647.000. Rata-rata total biaya paling tinggi ada pada 1 orang pasien dengan komplikasi tunggal trombosis vena dalam sebesar Rp. 21.716.000. (Tabel 5)

Dari diagram tabur dapat dilihat bahwa korelasi paling kuat ditunjukkan oleh hubungan antara lama hari rawat dengan biaya ruang rawat (gambar 1). Sedangkan korelasi dan regresi biaya ruang dan lama rawat menurut jenis atau kelas perawatan menunjukkan unit stroke VIP mempunyai korelasi paling kuat dengan biaya ruangan (R = 0.996) disusul kemudian dengan unit stroke kelas I (R = 0,93) dan sudut stroke kelas III (R= 0.86) (Tabel 6). Sedangkan pada diagram tabur hubungan antara lama hari rawat dengan biaya total dan komponen biaya lain menunjukkan inkonsistensi. Gambar 1 : Diagram tabur antara lama hari rawat dengan biaya ruangan rawat

LHR

403020100

RUANGAN

10000000

8000000

6000000

4000000

2000000

0

Jenis komplikasi

N Mean SD Median

Pneumonia 6 4,275 1,370 4,026 ISK 6 10,581 9,055 6,683 Stress ulcer 11 8,647 7,038 6,498 Trombosis vena dalam 1 21,716 - 21,716 Pain 5 8,6122 5,015 7,583 Dekubitus 0 - - - Depresi 4 4,396 830 4,367

Page 10: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 9

R = 0,34 p = 0,001 Biaya ruangan = 897 + 94 x lama rawat Tabel 6. Korelasi dan regresi biaya ruang dan lama rawat menurut kelas

Kelas perawatan R p Inter Slope Sudut stroke kelas 3 0.86 0.000 993 66 Unit stroke kelas 1 0.93 0.000 326 290 Unit stroke VIP 0.996 0.000 39 512 PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan menggunakan data primer dan sekunder. Populasi penelitian adalah semua pasien stroke yang dirawat di kamar perawatan gedung A lantai 5 neurologi RSUPNCM Jakarta dengan rentang waktu sekitar 4 bulan sejumlah 97 orang. Dari pasien-pasien ini didapatkan pasien stroke laki-laki lebih banyak dari perempuan. Berdasarkan studi yang dilakukan Hallström dkk di Sweden pada tahun 2001-2002 didapatkan hasil dari 456 pasien stroke sebagian besar penderita adalah laki-laki.7 Dengan rentang umur 18 – 93 tahun, jumlah sampel terbanyak adalah dalam kelompok umur 46-64 tahun sejumlah 49 orang (50,5%) diikuti umur diatas 65 tahun sebanyak 36 orang (37,1%), dan kurang dari 45 tahun (12%) Anderson dkk dalam penelitiannya pada tahun 2001 menyebutkan semakin bertambah usia maka insiden stroke semakin meningkat, insiden terbanyak ditemukan pada kelompok usia > 75 tahun.8 Penelitian ini membagi golongan usia menjadi 3 kelompok yaitu dibawah 45 tahun, 46-64 tahun dan diatas 65 tahun sesuai dengan survey yang dilakukan oleh ASNA di 28 RS di Indonesia. Hasil survey tersebut adalah 11.8% kejadian stroke terdapat pada usia dibawah 45 tahun, 54.2% pada rentang usia 46-64 tahun dan 33% pada kelompok usia diatas 65 tahun. Sementara hasil penelitian ini menunjukkan kejadian stroke 12.4% terdapat pada kelompok usia dibawah 45 tahun, 50.5% pada kelompok usia 46-64 tahun dan 37.1% kelompok usia diatas 65 tahun. 9

Beberapa komponen biaya perawatan stroke pada penelitian ini adalah biaya ruang perawatan dengan rentang kisaran total antara Rp.340.000 sampai dengan Rp.8.700.000, biaya jasa medik antara Rp.75.000 sampai Rp. 6.380.000, biaya penunjang antara Rp.773.900 sampai Rp. 5.500.000, biaya farmasi antara Rp. 231.700 sampai 11.472.000. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa besar biaya perawatan stroke berbeda-beda dilihat dari jenis strokenya. Kelompok stroke hemoragik kortikal dengan penyulit memperlihatkan besar biaya paling mahal dengan rata-rata total biaya Rp. 14.000.000. Kelompok stroke iskemik emboli menunjukkan rata-rata biaya total sekitar Rp.13.000.000, disusul kemudian dengan stroke hemoragik subkortikal dengan penyulit Rp.12.000.000, stroke iskemik trombosis vena dengan penyulit Rp. 11.000.000, stroke non emboli dengan penyulit Rp.9.000.000, stroke iskemik non emboli tanpa penyulit Rp.5.800.000, stroke hemoragik subkortikal tanpa penyulit Rp. 5.800.000, stroke hemoragik kortikal tanpa penyulit Rp.5.700.000, dan stroke trombosis vena tanpa penyulit sebesar Rp. 5.600.000. Penelitian yang dilakukan Wendra (1997)6 menunjukkan kelompok stroke dengan keluaran hidup yang paling mahal adalah PSA, dengan biaya

Page 11: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 10

rerata sekitar Rp.1.500.000 per kali perawatan kemudian kelompok PIS sekitar Rp.1.000.000 dan infark serebri dengan biaya rerata sekitar Rp.900.000. Studi yang dilakukan Caro dkk pada 1341 pasien stroke iskemik menunjukkan subtipe stroke merupakan determinan kuat terhadap besar biaya, dimana stroke kardioemboli dan oklusi vena besar menunjukkan mean total biaya yang paling tinggi ( $.13 520 dan $.14 972) sedangkan oklusi vena kecil mempunyai mean total biaya paling rendah ($.10 789). Kelompok pasien dengan kardioemboli dan oklusi vena besar mempunyai lama hari rawat paling panjang dibandingkan dengan kelompok pasien oklusi vena kecil sehingga beban biaya pun bertambah.10 Dilihat dari jenis kelamin, pria mempunyai besar biaya rawat yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Besaran biaya pada kelompok pria lebih tinggi dimungkinkan karena adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi seperti komplikasi dan concomitant illness yang lebih banyak. Pada penelitian Widoyono (2004)11 tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan biaya rawat yang populasinya di ambil di RS Abdoel Moeloek dengan jumlah sampel yang sedikit sebanyak 23 orang. Sedangkan pada penelitian ini jumlah sampel lebih banyak dan demografi yang berbeda. Biaya paling tinggi didapatkan pada kelompok pria yaitu Rp. 8.500.000, dan pada kelompok wanita sebesar Rp. 7.900.000. Menurut usia didapatkan kelompok usia diatas 65 tahun mempunyai rata-rata total biaya yang paling tinggi sebesar Rp. 9,407,000, disusul kemudian kelompok usia 46-64 tahun sebesar Rp. 8,346.000, dan kelompok usia di bawah 45 tahun sebesar Rp. 5,521.000. Dari literatur disebutkan bahwa bertambahnya usia berhubungan dengan derajat penyakit yang lebih berat, concomitant illness dan komplikasi yang lebih banyak. Hal ini yang dapat meningkatkan biaya perawatan. 12,13,14

Berdasarkan onset pasien yang datang dengan onset dibawah 24 jam memiliki rata-rata biaya rawat sebesar Rp. 8,339.000 dan onset diatas 24 jam sebesar Rp. 8,487.000. Dari penelitian Wendra Ali (1997)6 menunjukkan onset tidak mempunyai hubungan dengan rata-rata total biaya stroke. Berdasarkan nilai NIHSS dapat dilihat rata-rata total biaya stroke pada pasien dengan NIHSS berat memerlukan biaya yang lebih mahal yaitu sebesar Rp.10.400.000, dibandingkan dengan NIHSS sedang dan rendah yaitu Rp.8.400.000 dan Rp.7.000.000. Penelitian Diringer menyatakan penderita stroke dengan nilai NIHSS >20 memerlukan biaya dua kali lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penderita dengan skor NIHSS <20.15 Pada penelitian Caro didapatkan pasien dengan defisit neurologis mayor mempunyai besar total biaya rawat yang lebih tinggi (mean biaya total $.19 618) dibandingkan dengan pasien dengan defisit neurologis minor (mean biaya total $. 11 511). Hal ini dipengaruhi oleh tingginya biaya jasa rehabilitasi dan biaya ruangan karena lama rawat pasien dengan defisit mayor lebih panjang. 10

Kelompok pasien yang mempunyai concomitant illness lebih dari 4 jenis memperlihatkan rata-rata biaya rawat yang paling tinggi. Hal ini dimungkinkan pada pasien-pasien dengan banyak concomitant illness memerlukan jasa konsultasi yang lebih banyak, beban biaya farmasi serta penunjang yang lebih banyak sehingga beban biaya pun bertambah. Namun pada penelitian ini juga terlihat pasien tanpa disertai concomitant illness menunjukkan kisaran rata-rata biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pasien dengan 1-3 jenis komplikasi. Hal ini tidak dapat dihitung secara statistik

Page 12: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 11

karena sampelnya hanya terdiri dari 2 orang pasien dan masih dapat dimungkin dipengaruhi oleh faktor penentu lain seperti komplikasi dan hambatan teknis. Komplikasi merupakan salah satu faktor penentu tingginya biaya perawatan stroke. Secara potensial komplikasi yang terjadi dapat mengancam nyawa dan juga menyebabkan bertambah panjangnya LHR yang tentunya diikuti dengan bertambah tingginya biaya perawatan di RS. Pada penelitian ini pasien tanpa komplikasi menunjukkan besar rata-rata biaya yang paling rendah yakni sebesar Rp. 7.000.000. Disusul kemudian dengan kelompok pasien dengan 1 komplikasi sebesar 8.000.000, 2 komplikasi 9.000.000, dan 3 komplikasi sebesar Rp. 14.000.000. Pada komplikasi yang serius biaya jasa medis, penunjang, serta kebutuhan farmasi juga bertambah, hal ini memperbesar beban biaya perawatan secara keseluruhan. Christensen (2009)14 menyatakan manajemen dan kontrol terhadap adanya penyulit selama perawatan meningkatkan biaya rawat. Pasien dengan perdarahan intraserebral disertai komplikasi selama perawatan mempunyai beban biaya perawatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien stroke iskemik yang disertai komplikasi. Adanya hambatan teknis adalah salah satu faktor yang dapat memperpanjang lama hari rawat, sehingga beban biaya perawatan juga bertambah. Pada penelitian ini adanya hambatan teknis tidak terlalu membedakan besarnya rata-rata biaya perawatan stroke. Terdapat keterbatasan literatur mengenai hubungan hambatan teknis dengan lama hari rawat dan biaya rawat dikarenakan kebijakan di setiap negara dan masing-masing rumah sakit berbeda-beda. Jenis tempat atau kelas perawatan merupakan faktor penentu yang kuat dalam menentukan besar rata-rata total biaya rawat. Penelitian oleh Launois di Perancis tahun 2004 mengemukakan biaya perawatan pasien di unit stroke lebih tinggi dibandingkan dengan ruang rawat konvensional.15 Pada penelitian ini diambil sampel sebanyak 63 pasien sudut stroke kelas III, 27 pasien unit stroke kelas I, dan 7 pasien unit stroke kelas VIP. Didapatkan rata-rata besar biaya rawat paling tinggi adalah unit stroke kelas I sebesar Rp. 14.000.000, disusul kemudian dengan VIP sebesar Rp. 12.000.000, dan kelas III Rp. 5.000.000. Biaya ruangan per hari di sudut stroke kelas III paling rendah, disusul kemudian dengan unit stroke kelas I dan VIP. Lebih rendahnya biaya kelas VIP dibandingkan dengan kelas I dikarenakan lama rawat kelas VIP pada penelitian ini lebih pendek (mean 8.1) dibandingkan kelas I (mean 14.2). Berdasarkan cara pembayaran didapatkan kelompok jamkesmas mempunyai rata-rata biaya rawat yang paling tinggi sebesar Rp. 10.000.000. Hal ini dikarenakan jumlah sampel jamkesmas hanya 2 orang dengan rata-rata lama hari rawat yang panjang yaitu 22 hari. Cara pembayaran umum atau pribadi memperlihatkan besar rata-rata total biaya stroke Rp. 9.200.000, lebih rendah bila dibandingkan dengan pasien askes yang rata-rata nya Rp. 9.500.000. Besar rata-rata biaya total kelompok gakin adalah sebesar Rp.5.500.000 dan SKTM sebesar Rp. 5.120.000. Keterbatasan literatur mengenai gambaran biaya perawatan dengan cara pembayaran menjadi kekurangan dalam penelitian ini. Selain itu adanya perubahan kebijakan sistem manajerial kesehatan oleh pemerintah dari waktu ke waktu juga berpengaruh dalam melakukan penelitian ini. Pada penelitian ini didapatkan korelasi kuat antara lama hari rawat dengan komponen biaya ruangan. Semakin panjang lama hari rawat maka biaya ruangan yang harus dikeluarkan semakin besar. Rata-rata total biaya perawatan stroke pada penelitian ini berkisar Rp. 8.391.000 dengan komponen biaya ruangan merupakan komponen biaya

Page 13: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 12

paling tinggi yaitu Rp. 2.469.000 (29%). Diikuti dengan komponen biaya lain yaitu biaya farmasi sekitar Rp. 2.376.000 (28%), biaya penunjang Rp. 2.135.000 (25%), dan biaya jasa medik sekitar Rp. 1.411.000 (16%). Meskipun dari diagram tabur tidak menunjukkan korelasi kuat antara biaya farmasi dengan lama hari rawat seperti yang ditunjukkan oleh komponen biaya ruangan, ternyata komponen biaya farmasi merupakan komponen biaya terbesar setelah biaya ruangan. Bertambahnya lama hari rawat memperlihatkan kecenderungan komponen biaya penunjang dan jasa medik relatif sama tidak mengalami penambahan biaya yang berarti. Studi yang dilakukan oleh McGowan dkk (2003) menunjukkan rata-rata biaya perawatan stroke paling besar adalah komponen biaya ruangan sebesar €168,326 atau 83% dari keseluruhan total biaya. Sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk penunjang hanya sebesar 8%, dan biaya farmasi sebesar 1%. 16,17,18

Tidak ditelitinya biaya medis tidak langsung adalah salah satu keterbatasan dalam penelitian ini. Perhitungan biaya medis tidak langsung memerlukan komponen-komponen biaya yang lebih banyak dan lebih bervariasi setiap individunya. Adanya standar deviasi yang tinggi pada komponen jasa medik dikarenakan rentang biaya yang terlalu jauh yang secara statistik ditunjukkan oleh grafik histogram, disebabkan perbedaan ruang perawatan. Tingginya rata-rata biaya total pada kelompok dengan cara pembayaran jamkesmas terlihat paling tinggi, hal ini dikarenakan jumlah pasien yang sedikit yaitu 2 orang dengan lama hari rawat yang panjang. Penelitian ini hanya menunjukkan suatu kecenderungan atau trends sebagai gambaran biaya stroke secara total. Penelitian ini tidak melihat variable secara individu dikarenakan variasi per individu yang terlalu luas sehingga apabila diteliti diperlukan sampel yang lebih banyak. Karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran biaya perawatan stroke dengan mengambil populasi yang lebih homogen. KESIMPULAN DAN SARAN

Terdapat kecenderungan rata-rata biaya total perawatan stroke paling besar adalah biaya perawatan stroke hemoragik kortikal dengan penyulit, disusul dengan stroke iskemik emboli, stroke hemoragik subkortikal dengan penyulit, stroke iskemik trombosis vena dengan penyulit, stroke non emboli dengan penyulit, stroke iskemik non emboli tanpa penyulit, stroke hemoragik subkortikal tanpa penyulit, stroke hemoragik kortikal tanpa penyulit, dan stroke trombosis vena tanpa penyulit.

Terdapat kecenderungan rata-rata biaya total perawatan stroke lebih tinggi pada pria, usia lanjut, nilai NIHSS berat, pasien dengan concomittant illness (penyakit penyerta) lebih dari 4 jenis, komplikasi mulitpel, ruang rawat unit stroke kelas I.

Terdapat kecenderungan rata-rata biaya total perawatan stroke berdasarkan cara pembayaran, paling besar adalah jamkesmas, disusul dengan askes, umum, gakin dan SKTM.

Terdapat kecenderungan lamanya hari rawat menentukan beban komponen biaya ruangan. Lama hari rawat yang panjang akan semakin menambah beban biaya ruangan.

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai biaya perawatan stroke dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan populasi subyek yang lebih homogen.

Penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan komponen biaya bagi manajerial dalam menentukan besaran biaya perawatan stroke.

Page 14: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 No.3 April 2010 13

DAFTAR PUSTAKA 1. National Institute for Health and Clinical Excellence; Stroke: diagnosis and initial management of

acute stroke and transient ischaemic attack (TIA): Costing report; July 2008 2. Forrest. S, Goetghebeur.M; Forces Influencing Inpatient Hospital Costs in the United States; Blue

Cross Blue Shield Association; October 2002 3. Mamoli et al; An Analysis of the Costs of Ischemic Stroke in an Italian Stroke Unit; Neurology 1999;

53:112 4. Truelsen.T, Ekman.M, Boysen G . Cost of stroke in Europe. European Journal of Neurology 2005. 12

(Suppl. 1): 78–84 5. Yoneda et al; Hospital-Based Study of the Care and Cost of Acute Ischemic Stroke in Japan; Stroke

2003;34;718-724 6. Ali.W; Analisis Identifikasi Biaya Medis Langsung Perawatan Stroke di Bangsal Neurologi kelas III

RSUPN CM Jakarta; 1997 7. Hallström B et al; Stroke Incidence and Survival in the Beginning of the 21st Century in Southern

Sweden. Comparisons With the Late 20th Century and Projections Into the Future ; Stroke 2007 8. Anderson et al ; Very Long-Term Outcome After Stroke in Auckland, New Zealand Stroke ; 2004;

35:1920 9. Misbach J. Rasyid A, Soertidewi L. 2007. Pandangan Umum Mengenai Stroke : Unit Stroke

Managemen Stroke Secara Komprehensif. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 10. Caro JJ et al ; Management Patterns and Costs of Acute Ischemic Stroke : An International Study ;

Stroke 2000;31;582-590 11. Widoyono.B; Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Tagihan Rawat Inap Pasien Stroke di RSUD

Dr. Abdoel Moeloek Lampung, 2004. 12. Christensena MC et al; Acute Treatment Costs of Stroke in Brazil; Neuroepidemiology 2009;32:142–

149 13. Reed S, Dave K, Meyer K, Jeffrey GJ; Inpatient Costs, length of stay, and mortality for

cerebrovascular events in community hospitals; Neurology 2001; 57;305-314 14. Christensena MC, Munrob V ; Ischemic Stroke and Intracerebral Hemorrhage: The Latest Evidence on

Mortality, Readmissions and Hospital Costs from Scotland; Neuroepidemiology 2008;30:239-246 15. Diringer.N, Edwards D, Mattson BS et al; Predictors of Acute Hospital Costs for Treatment of

Ischemic Stroke in an Academic Center; Stroke 1999;30;724-728 16. McGowan et al; Cost of treating stroke in an Irish teaching hospital; IMJ Sept 2003;96(8):234-236 17. Exel V, Koopmanschap M.A, Scholte W et al. Cost-effectiveness of integrated stroke services. Q J

Med 2005; 98:415–425 18. Phillips.J et al; Description and evaluation of an acute stroke unit; CMAJ 2002;167(6):655-60

Page 15: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 15  

DAFTAR PUSTAKA 1. Patrick L ND. Lead Toxicity, A Review of the Literature. Alternative Medicine Review 2006; 11(1): 2-22. 2. Skerfving S, Bergdahl IA. Lead in Handbook on the Toxicology of Metals 3E. Academic Press. Inc 2007; 31; 599-621. 3. Murata K, Araki S, Yokoyama K,Uchida E, Fujimura Y. Assessment of central, peripheral and autonomic nervous system functions in lead workers,: neuroelectrophysiological studies. Environ Res 1993;61:323-36. 4. Rubens, Logina I, Kravale I, et al. Peripheral neuropathy in chronic occupational inorganic lead exposure: a clinical and electrophysiological study. J Neurol Neurosurg Psyciatry 2001; 71:200-4. 5. Bilinska M, Brzezowska D, Koszewicz M, et al. Subclinical lead neuropathy. Pol Merkur Lekarski 2004; 17(99): 244-7. 6. Nora DB, Gomes I, Said G, Melo A. Modifications of the sympathetic skin response in worker chronically exposed to lead. Braz J Med Biol Res 2007; 40: 81-7. 7. Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis dasar. Dian Rakyat. 2000:219-42. 8. Gal K, Uni L. Autonomic. Indian journal of Pharmacology, 2000; 32: S15-S24. 9. Kimura J. Electrodiagnosis in disease of nerve and muscle. 3rd ed. New York:oxford University Press. 2001.p.113-17. 10. Philip AT, Gerson B. Lead poisoning-Part 1.Incidence,etiology, and toxicokinetics. Clin Lab Med 1994;14:423-444. 11. Markowitz M. Lead Poisoning. Pediatr Rev 2000;21:327-335. 12. Bogden JD, Gertner SB, Christakos S, et al. Dietary calcium modifies concentrations of lead and other metals and renal calbindin in rats. J Nutr 1992;122:1351-1360. 13. Zieger EE, Edwards BB, Jensen RL, et al. Absorption and retention of lead by infants. Pediatr Res 1978;12:29-34. 14. Garza A, Vega R, Soto E. Cellular Mechanism of Lead Neurotoxicity Med. Sci Monit, 2006. 15. Andriani, Wibowo, Hakim M. Pemeriksaan Elektroneurografi pada pekerja laki-laki yang Terpajan Timbal untuk Menilai Risiko Neuropati Perifer. 16. Yeh CH, Chang YC, Wang JD. Combined electroneurographic and electromyographic studies in lead workers. Occup Environ Med 1995; 52(6): 415. 17. Chuang Hy, Tsai SY, Chao KY, et al. Vibration perception thresholds in workers with long term exposure to lead. Occup Environ Med 2000; 57(9): 588-94. 18. Thomson RM, Parry GJ. Neuropathies associated with excessive exposure to lead. Muscle Nerve 2006 Jun; 33(6):732-41. 19. Bleecker M. Ford D, Vaughan C, Walsh K. Effect of Leda Exposure and Ergonomic Stressors on Peripheral Nerve Function. Environ Health Perspect 2005; 113(12):1730-1734. 20. Chironi A, Argyriou AA, Polychronopoulos P, SIrrou V. The effect of stimulation technique on symphatetic skin responses in healthy subjects. Clinical Autonomic Res, 2006; 16:396-400. 21. Longmire DR. An electrical approach to the evaluation of regional sympathetic dycfunction: a proposed classification. Pain Physician, 2006; 9: 69-82. 22. Cheshire WP. Anhidrosis, hyperhidrosis, and sudomotor testing, AAN, 2008.

Page 16: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010     1

 

Artikel Laporan Kasus GELASTIC SEIZURES

PADA HEMIATROPI SEREBRI KIRI

Donny H. Hamid*, Ridwan*, Gotot Sumantri*, Melita** ABSTRACT Gelastic seizures are epileptic seizures characterized by pathologic laughter as a main clinical manifestation and are uncommon among epilepsy. Gelastic seizures are also described in patients without hypothalamic hamartoma, in whom a proven or suspected seizures focus lies in the frontal or temporal lobes or where the origin of the seizures remains undetermined. Although inappropriate, it can be so similar to the natural laughter and if laughter is the only symptom can be supposed as a psychiatric disease. This is a case report of gelastic seizures that occurred without the presence of hypothalamic hamartoma but related to a left cerebral hemiatrophy. Key words : gelastic seizures- without hypothalamic hamartoma-epilepsy ABSTRAK Gelastic Seizures adalah bangkitan epilepsi yang ditandai dengan tertawa patologis sebagai gejala utama dan dapat merupakan manifestasi klinis utama yang jarang ditemukan pada penderita epilepsi. Gelastic Seizures tidak hanya ditemukan pada hypothalamic hamartoma saja melainkan juga pada bangkitan yang berasal dari lesi di frontal, temporal atau lesi lain yang tidak dapat ditentukan fokusnya. Walaupun patologis, dapat menyerupai tertawa yang natural dan bila tidak disertai jenis bangkitan lain dapat disangka sebagai kelainan psikiatrik. Berikut ini dilaporkan suatu kasus gelastic seizures yang tidak disebabkan oleh suatu hypothalamic hamartoma melainkan berkaitan dengan hemiatropi serebri kiri. Kata kunci : gelastic seizures- tanpa hypothalamic hamartoma- epilepsi __________________________________________________________________________ PENDAHULUAN Tahun 1877 Trousseau dan Fere untuk pertama kalinya melaporkan kasus epileptic laughter. Selanjutnya Daly dan Mulder pada tahun 1957 memperkenalkan istilah gelastic epilepsy atau gelastic seizures dengan maksud untuk menonjolkan tertawa sebagai gejala utama yang muncul.1 Gelastic berasal dari kata Yunani gelos atau gelastikos yang artinya tertawa atau gembira1,2 Gelastic seizures ditandai dengan tertawa tiba-tiba yang tak wajar, stereotipik, tanpa diprovokasi oleh rangsang spesifik (humor) atau stimulus non spesifik lain.3 Pada umumnya gelastic seizures dihubungkan dengan suatu hypothalamic hamartoma, 1,2,3,4,5 namun ternyata gelastic seizures dapat juga ditemukan pada bangkitan yang berasal dari lesi di frontal, temporal atau pada lesi lain yang tidak dapat ditentukan fokusnya.1,2,4, Berikut ini akan dilaporkan gelastic seizures pada anak laki-laki 13 tahun dengan hemiatropi serebri kiri, tidak berkaitan dengan hypothalamic hamartoma.

* Staf Medik Fungsional Ilmu Penyakit Saraf RSUD Pasar Rebo Jakarta

** Staf Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Page 17: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010     2

 

ILUSTRASI KASUS Seorang anak laki-laki 13 tahun 6 bulan, kinan, datang ke poliklinik saraf dengan keluhan sering tertawa sejak 1 bulan terakhir ini. Tiba-tiba tertawa dengan suara cukup keras tanpa ada faktor stimulus yang adekuat, berulang-ulang dengan frekuensi sampai 6 kali sehari. Lama tertawa bervariasi 30 detik sampai 1 menit, pada awalnya hanya tertawa saja tanpa diikuti gejala lain. Akhir- akhir ini setelah penderita tertawa berlanjut menjadi tak sadarkan diri, terjatuh, kemudian diikuti kejang tonik klonik. Bila tertawa berlanjut dengan kejang, hampir selalu diikuti dengan buang air kecil (ngompol). Penderita dilahirkan spontan, cukup bulan, langsung menangis. Tidak ada riwayat kejang dalam keluarga. Riwayat tumbuh kembang normal. Pada usia 3 tahun 6 bulan untuk pertama kalinya penderita mengalami kejang, kejang cukup lama mulai kejang dirumah sampai di rumah sakit anak masih kejang, disertai panas tinggi dan tak sadarkan diri selama 2 hari. Dirawat di ruang ICU salah satu rumah sakit swasta. Pulang dalam keadaan membaik setelah dirawat selama 7 hari di rumah sakit tersebut. Berangsur – angsur sembuh, selanjutnya dapat melakukan aktifitas biasa sesuai dengan usia saat itu. Penderita tidak pernah mengalami kejang lagi sampai pada usia 9 tahun. Dan pada usia 9 tahun ini, penderita kembali mengalami kejang, yang disertai demam tinggi dan dirawat di rumah sakit yang sama selama beberapa hari. Setelah itu selalu berobat teratur ke dokter, minum obat anti kejang secara rutin sampai usia 13 tahun. Obat anti kejang dihentikan setelah 2 tahun bebas kejang. Lima bulan berselang penderita mulai menunjukkan gejala tiba-tiba tertawa tanpa alasan yang jelas. Prestasi disekolah cukup baik, selalu 10 besar dan beberapa kali ranking 1 – 3 dikelas dan dapat melakukan aktifitas fisik yang memerlukan keterampilan motorik yang memadai untuk dapat bermain bersama teman- teman seusia. Pemeriksaan fisik dalam batas normal, tidak ditemukan defisit neurologik fokal. Pemeriksaan laboratorium rutin dalam batas normal. Hasil pemeriksaan EEG (gambar 1), background normal sesuai usia, namun terlihat asimetri berupa atenuasi (amplitudo lebih rendah) pada seluruh sisi hemisfer kiri yang konsisten sejak awal sampai akhir perekaman. Tak terlihat aktifitas epileptiform patologis lain selama perekaman, demikian pula saat dilakukan prosedur aktivasi hiperventilasi maupun fotik stimulasi intermiten. MRI kepala memperlihatkan gambaran hemiatropi serebri kiri dan tak terlihat masa didaerah hipotalamus (gambar2).

Page 18: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010     3

 

Gambar 1: Gambaran EEG ; double banana bipolar montage memperlihatkan asimetri berupa atenuasi (amplitudo lebih rendah) pada sisi hemisfer kiri.

Gambar 2 : MRI kepala dengan sekuens T2 dan FLAIR terlihat atrofi hemisfer kiri disertai dengan ventrikulomegali.

Page 19: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010     4

 

D I S K U S I Pembahasan gelastic seizures sulit dilepaskan dari pembahasan tentang hypothalamic hamartoma karena pada awalnya gelastic seizure hanya dilaporkan berkaitan dengan hypthalamic hamartoma seperti yang terlihat pada klasifikasi ILAE 1989. Berbagai kepustakaan terdahulu banyak melaporkan kasus gelastic seizures yang berkaitan dengan suatu hypothalamic hamartoma.6,7 Hypothalamic hamartoma merupakan kelainan kongenital, berupa nodul non neoplastik yang secara morfologik melekat pada hipotalamus posterior diantara tangkai hipotalamus dengan korpus mamilaris (gambar 3). Secara histologis lesi ini terdiri dari jaringan saraf yang sama dengan struktur hipotalamus terdiri dari neuron berbagai ukuran yang ditunjang oleh komplemen neuroglia normal.6 Gelastic seizures sangat jarang muncul sebagai manifestasi klinik pada penderita epilepsi.2 Pengamatan selama 12 tahun pada 5000 penderita epilepsi disalah satu pusat epilepsi, hanya ditemukan 0,16% kasus dengan gelastic seizures.2 Manifestasi klinik tertawa dapat sangat singkat sekitar 30 detik sampai beberapa menit dan dapat merupakan satu-satunya gejala yang ada. Walau patologis dapat mirip sekali dengan tertawa yang natural, dapat hanya berupa senyum saja tanpa suara,4 sehingga dapat tidak terdiagnosis sampai waktu yang lama.1,4 Seperti yang juga terjadi pada pasien ini, penderita baru datang kembali kedokter setelah tertawa disertai dengan kejang. Pada awalnya aktifitas tertawa patologis pada gelastic seizures diduga berasal dari stimulasi mekanik oleh masa hamartoma pada dasar ventrikel III yang menimbulkan cetusan listrik epileptiform.6 Tapi usaha mengangkat lesi di hipotalamus tidak selalu berhasil menghentikan bangkitan.8 Seperti disebutkan sebelumnya gelastic seizures tidak hanya ditemukan pada hypothalamic hamartoma melainkan juga pada lesi dibagian otak lain seperti lesi dengan fokus difrontal, temporal, parietal. Bahkan Garg melaporkan satu kasus unik yang diawali dengan tertawa patologis selama 15 menit sebelum timbul afasia dan hemiparesis kanan pada penderita stroke akut usia 50 tahun dengan infark teritorial didaerah arteri serebri media kiri.8 Oleh karena itu diduga proses tertawa melibatkan proses yang lebih kompleks dan melibatkan sistim limbik. Hipotesis menyatakan bahwa medullary effector center (pusat ketawa yang berada di medula oblongata) diinhibisi oleh pusat inhibisi di korteks dan sistim limbik yang keduanya terintegrasi oleh integrator yang berada didaerah hipotalamus. Keinginan (korteks) dan emosi (sistim limbik) melalui jaras tertentu berinteraksi dengan pusat ketawa dibagian bawah batang otak. Oleh karena itu kelainan dibatang otak bagian atas yang mengakibatkan distorsi batang otak akan menimbulkan gangguan koneksi jaras tersebut, mengakibatkan peran inhibisi oleh koteks dan sistim limbik terganggu sehingga menimbulkan tertawa patologis, seperti yang sering terjadi pada chordoma di clivus atau glioma di pons.8 Daerah dikorteks yang berperan dalam proses tertawa belum dapat ditentukan secara pasti. Penelitian stimulasi listrik oleh Arroyo pada girus cinguli lobus frontal dan bagian basal temporal manusia menimbulkan rasa gembira atau tertawa. Diperkirakan bahwa girus cinguli bagian anterior berperan dalam aksi motorik tertawa sementara bagian basal lobus temporal mempengaruhi proses emosional tertawa.8 Kemungkinan, hambatan terhadap perasaan emosi juga dipengaruhi oleh peran korteks frontalis sebagai ilustrasi dari fakta bahwa lesi difrontal sering menimbulkan gangguan emosi. Selanjutnya House meneliti bahwa gangguan emosi sering terjadi pada stroke dengan lesi didaerah frontal atau temporal kiri. Swash juga melaporkan kasus tertawa patologis pada infark di bagian lateral dan inferior lobus temporal kiri.8 Hipothesis yang menyebutkan kecenderungan timbulnya gelastic seizures akibat lesi unilateral dihemisfer cerebri kiri didukung oleh kasus ini dimana terlihat

Page 20: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010     5

 

jelas adanya hemiatropi serebri kiri pada pemeriksaan MRI kepala. Sayang kebanyakan laporan kasus gelastic seizures dengan kelainan patologis di hemisfer kiri tidak menjelaskan perbedaan letak hemisfer dominan dan non dominan.

Gambar 3 : Hypothalamic Hamartoma, nodul isointens di daerah tuber cinerium6

D I A G N O S I S Diagnosis gelastic seizures terutama ditegakkan berdasarkan anamnesis. Tertawa yang patologis, berulang dan stereotipik, timbul tanpa provokasi rangsang spesifik, perlu dipikirkan sebagai gelastic seizures. Gelastic seizures dapat diikuti dengan berbagai bentuk bangkitan lain yakni myoklonik, atonik, parsial kompleks atau kejang umum,1,8 seperti pada pasien ini tertawa yang pada perkembangan selanjutnya juga disertai dengan kejang umum tonik klonik. Diagnosis akan menjadi mudah bila tertawa patologis diikuti dengan bentuk bangkitan lain. Namun, karena tertawa dapat sangat singkat dan dapat mirip dengan tertawa natural dan bila tertawa hanya sebagai satu-satunya gejala yang timbul, dapat disalah artikan sebagai kelainan psikiatrik. Pilo melaporkan suatu kasus epilepsi lobus temporal dengan tertawa patologis yang sempat dirawat di rumah sakit jiwa karena semula disangka merupakan kelainan psikiatrik.2 Diagnosis Hypothalamic hamartoma dengan gelastic seizures menurut ILAE 1989, demikian pula menurut ILAE Task Forced report diklasifikasikan dalam kelompok disease frequently associated with epileptic seizures or syndromes. Tetapi, sebaliknya skema diagnostik yang terbaru memasukkan gelastic seizures dalam kelompok seizure type of various aetiologies.4,5 Gambaran EEG pada gelastic seizures baik ictal maupun interictal tidaklah khas, tergantung letak lesi yang mendasari timbulnya bangkitan.1,7,8 Gambaran EEG awal pada hypothalamic hamartoma dapat normal, namun pada perkembangan selanjutnya sering menunjukkan abnormalitas yang progresif.7 Video monitoring EEG pada kasus yang meragukan dapat membantu menegakkan diagnosis.1 Pada pasien ini gambaran EEG memperlihatkan gambaran abnormal berupa atenuasi di hemisfer kiri. Tampaknya atenuasi yang terlihat pada gambaran EEG berkorelasi dengan hemiatropi di hemisfer kiri yang diperlihatkan oleh gambaran MRI.

Page 21: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010     6

 

MRI resolusi tinggi lebih superior dari CT scan dan merupakan modalitas utama yang dapat mengungkapkan berbagai kelainan anatomik yang menjadi penyebab timbulnya gelastic seizures.1,2,7 Sulit memastikan penyebab timbulnya hemiatropi serebri kiri pada pemeriksaan MRI penderita ini. Dari anamnesis yang didapat dan informasi yang diberikan oleh dokter yang merawat sebelumnya kepada orang tua penderita, kemungkinan timbul akibat encephalitis yang diderita sebelumnya. PENATALAKSANAAN Tatalaksana gelastic seizures tergantung pada etiologinya. Gelastic seizures dengan hypothalamic hamartoma bila dtemukan pada stadium lanjut dapat disertai dengan gangguan mental dan kognitif dan sering refrakter terhadap berbagai antikonvulsan. Hypothalamic hamartoma dini tidak disertai gangguan kognitif dan mental dan bila dilakukan operasi dengan tehnik khusus, transcallosal anterior interfomiceal approach dapat menghilangkan bangkitan pada 52% kasus.9 Pada kasus lain yang bukan hypothalamic hamartoma pemberian antikonvulsan merupakan pilihan. Carbamazepine merupakan pilihan utama pada epilepsi dengan lesi fokal selain phenytoin, phenobarbital, gabapentin, pregabalin, oxcarbamazepine dan tiagabin. Panagariya dkk melaporkan berbagai kasus gelastic seizures di India yang memberikan respons yang baik terhadap pemberian carbamazepine, phenytoin, phenobarbital atau vigabatrin dengan atau tanpa hypothalamic hamartoma, berbeda dengan berbagai laporan kasus yang menyatakan gelastic seizures kebanyakan resisten terhadap farmakoterapi.7,10 Pada pasien ini pemberian awal asam valproat hanya mengurangi ferkuensi kejang saja dan hanya sedikit mengurangi frekuensi tertawa. Penggantian secara bertahap dengan phenytoin menghilangkan kejang dan sedikit mengurangi frekuensi tertawa. Penambahan phenobarbital pada 10 hari terakhir memperlihatkan respons yang cukup baik baik terhadap kejang maupun tertawa patologis yang timbul. Kami sangat berhati-hati dalam pemberian carbamazepine karena tingginya insidens efek samping berupa sindroma Steven Johnson di rumah sakit kami. KESIMPULAN Gelastic seizures merupakan manifestasi klinik yang sangat jarang muncul pada penderita epilepsi. Gelastic seizure tidak hanya timbul pada hypothalamic hamartoma saja tapi dapat timbul sebagai akibat dari lesi diberbagai daerah otak yang ikut berperan dalam proses inhibisi timbulnya tertawa patologis. Perlu penelitian lebih lanjut untuk memperkuat hipotesis terhadap kecenderungan lesi unilateral disisi hemisfer kiri yang dapat menimbulkan gelastic seizures seperti yang juga terlihat pada penderita ini. Perlu berhati-hati untuk tidak selalu menganggap bahwa tertawa patologis adalah suatu kelainan psikiatrik saja. DAFTAR PUSTAKA

1. Branberg G, Olofsson OE. Gelastic Seizures, Meadline, [cited 2001 February 1; 4 screens]. Available from URL : http://www.ilae-epilepsy.org/ctf/gelastic.htm/.

2. Pilo L. Gelastic Epilepsy- A Case Report, Singapore Med J 1990: 31: 78-79. 3. Conachie NS, King MD. Gelastic Seizures in a Child with Focal Cortical Dysplasia of the

Cingulate Gyrus. Springer- Verlag; Neuroradiology 1997: 39: 44-45 4. Panaylotopoulos. A Clinical Guide to Epileptic Syndromes and their Treatment. 2nd ed.

London: Springr-Verlag; 2007. p. 262-265. 5. Panaylotopoulos CP. The Epilepsies Seizures, Syndrome and Management. Oxfordshire:

Bladon Medical Publishing; 2005. p. 193-197.

Page 22: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010     7

 

6. Robbani I, Ahmed TB. Gelastic Seizures in a Young Boy: Evaluation by MRI, Medical Principle and Practice 2005: 14: 199-201.

7. Panagariya A, Sharma B, Tripathi G. Gelastic Epilepsy Associated with Lesions other than Hypothalamic Hamartoma, Annals of Indian Academy Neurology 2007: 10 (2): 1-4.

8. Garg RK, Misra S, Verma R. Pathological Laughter as Heralding Manifestation of Left Middle Cerebral Artery Territory Infarct: Case Report and Review of Literature, Neurology India 2000: 48: 388-390.

9. Deopujari CE, Suhas U. Surgical Considerations in the Management of Gelastic Seizures, Journal of Pediatric Neurosciences 2008: 3 (1): 88-93.

10. Freeman JL, Olofsson OE. Gelastic Seizures in: Engel J, Pedley TA. Editors. Epilepsy an Comprehensive Textbook 2nd ed. Lippincott Williams and Wilkins; 2008. p. 619-622.

Page 23: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 1  

Artikel Penelitian

HUBUNGAN HENDAYA KOGNITIF NON DEMENSIA DENGAN KENDALI GLIKEMIK PADA PENYANDANG DIABETES MELITUS TIPE 2

M. Kurniawan*, Adre Mayza*, Salim Harris*, Budiman**

ABSTRACT Background : Patients with type 2 diabetes mellitus have been found to have cognitive dysfunction that can be attributed to their disease. Longitudinal studies have shown the association of type 2 diabetes mellitus with both dementia and mild cognitive impairment. One proposed factor which contribute to the pathophysiology of cognitive dysfunction in patients with type 2 diabetes mellitus is chronic hyperglycemia through endothelial dysfunction and neurotransmitter disturbance mechanisms. The objective of this study is to find out the association of mild cognitive impairment and chronic hyperglycemia using glycemic control as the indicator in patients with type 2 DM. Methods : A nested case-control study was parformed among subjects with type 2 diabetes mellitus in Endocrine Outpatient Clinic of Cipto Mangunkusumo National Hospital. We obtained 106 subjects who met the inclusion criteria which then divided and matched into 2 groups, normal and mild cognitive impairment group, according to the result of neuropsychological test using Luria Nebraska Neuropsychological Battery Screening Test and Trial Making Test B. Glycemic control of all subjects was evaluated from medical record of serial fasting glucose and post prandial glucose test in the last 2 years. Results : From 106 subjects we obtained, 50 (47,2%) was men and 56 (52,8%) women with mean age 56,26 ± 7,0 years old and mean duration of suffered from type 2 diabetes mellitus 6,41 ± 4,70 years. Mild cognitive impairment was found in 58 subjects (54,72%). Glycemic control was highly associated with cognitive impairment with p = 0.00 and odds ratio 38.11 (95% CI 12.53-115.89). We found no association of cognitive impairment with duration of type 2 diabetes, types of medication and other chronic complications of type 2 diabetes mellitus, including coronary artery disease, retinopathy, nephropathy and neuropathy. Conclusions : Glycemic control is highly associated with mild cognitive impairment in subjects with type 2 DM Keywords : mild cognitive impairment, type 2 diabetes mellitus, glycemic control ABSTRAK Latar Belakang: Telah diketahui bahwa pada penyandang diabetes mellitus tipe 2 dapat mengalami hendaya kognitif yang berhubungan dengan DM tipe 2 yang disandangnya. Penlitian longitudinal menunjukkan adanya hubungan antara DM tipe 2 dengan demensia maupun hendaya kognitif ringan (mild cognitive impairment). Salah satu faktor yang dianggap berkontribusi terhadap patofisiologi hendaya kognitif pada penyandang DM tipe 2 adalah hiperglikemia kronik yang mengakibatkan disfungsi endotel dan ganggaun neurotransmiter. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan hubungan antara hendaya kognitif ringan dan hiperglikemia kronik dengan menggunakan kendali glikemik sebagai indikator pada penyandang DM tipe 2. Metode : Penelitian menggunakan disain kasus kontrol yang bersarang pada studi potong lintang pada penyandang DM tipe 2 di Poliklinik Endokrine RS Cipto Mangunkusumo. Didapatkan 106 subyek yang memenuhi criteria inklusi yang kemudian dibagi menjadi 2 kelompok dengan matching menjadi kelompok normal dan kelompok hendaya kognitif ringan, berdasarkan hasil pemeriksaan neuropsikologi dengan menggunakan Skrining Tes Luria Nebraska dan Tes Trial Making B. Kendali glikemik seluruh subjek dievaluasi dengan menggunakan data rekam medis dari kadar gula darah puasa dan kadar gula darah 2 jam post prandial selama 2 tahun terakhir. Hasil : Dari 106 subyek, 50 (47,2%) laki-laki dan 56 (52,8%) perempuan dengan rerata usia 56,26 ± 7,0 tahun dan rerata lama menyandang DM tipe 2 6,41 ± 4,70 years. Hendaya kognitif ringan didapatkan pada 58 subyek (54,72%). Kendali glikemik berhubungan erat dengan hendaya kognitif dengan nilai p = 0.00 dan odds ratio 38.11 (95% CI 12.53-115.89). Tidak ditemukan hubungan antara hendaya kognitif dengan lama menyandang DM tipe 2, jenis pengobatan dan komplikasi kronik DM tpe 2 lain yang mencakup penyakit jantung koroner, retinopati, nefropati dan neuropati. Kesimpulan : Kendali glikemik berhubungan erat dengan hendaya kognitif ringan pada subyek dengan DM tipe 2. Kata kunci : hendaya kognitif ringan, DM tipe 2, kendali glikemik * Staf Departemen Neurologi FKUI-RSCM ** Staf Divisi Metabolik Endokrin, Departemen Penyakit Dalam FKUI-RSCM

Page 24: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 2  

LATAR BELAKANG Saat ini di seluruh dunia diperkirakan terdapat 120 juta penyandang diabetes dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Menurut data WHO pada tahun 2050 diperkirakan terdapat 35% penduduk seluruh dunia menyandang diabetes.1,2 Berdasarkan penelitian epidemiologi yang telah dilakukan di Indonesia, kekerapan diabetes juga tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun. Di Jakarta, prevalensi DM 1,7% (1982) meningkat menjadi 5,7% (1993), pada tahun 2001 kekerapannya adalah 12,8% (Depok).1,3

Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia akibat defek sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya (American Diabetes Association, 2008).4 Hiperglikemia kronik pada diabetes dapat mengakibatkan kerusakan, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ, khususnya mata, ginjal, jantung, pembuluh darah, dan saraf. Beberapa literatur mengemukakan tingginya angka komplikasi diabetes melitus akibat penyumbatan pembuluh darah, baik pada pembuluh darah besar (makrovaskular) seperti penyakit kardiovaskuler, strok dan penyakit pembuluh darah perifer, maupun pada pembuluh darah kecil (mikrovaskular) seperti retinopati, nefropati dan neuropati. Selain komplikasi-komplikasi yang telah umum diketahui seperti diatas, terdapat komplikasi lain yang dianggap merupakan kombinasi dari mikro dan makrovaskular yang masih amat sedikit dibahas yakni gangguan fungsi kognitif.4,5,6

Gangguan fungsi kognitif pada pasien diabetes melitus pertama kali dikemukakan oleh Miles dan Root tahun 1922. Mereka mengemukakan bahwa penyandang diabetes mellitus memiliki gangguan memori dan atensi pada pemeriksaan kognitif dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Sejak saat itu, beberapa penelitian dilakukan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai cakupan dan derajat disfungsi kognitif pada diabetes.4

Penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan bahwa defisit kognitif yang sering diidentifikasi pada penyandang DM tipe 2 berhubungan dengan gangguan dalam ranah kecepatan psikomotor, fungsi lobus frontalis/fungsi eksekutif, memori verbal, memori kerja (working memory), immediate dan delayed recall, fungsi motorik kompleks, kefasihan verbal (verbal fluency), retensi visual dan atensi.7,8,9 Gangguan fungsi kognitif diatas mulanya bersifat ringan namun sudah dapat mengganggu aktivitas sehari-hari mengingat gangguan tersebut dapat mengakibatkan depresi yang kemudian makin memperburuk fungsi kognitif. Pada derajat yang lebih berat, gangguan kognitif pada penyandang DM tipe 2 dapat berupa demensia vaskular dan penyakit Alzheimer.2,10

Penelitian kohort prospektif menunjukkan hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dan demensia, baik demensia vaskular maupun Alzheimer. Risiko demensia akan meningkat sebesar 50-200% pada penyandang diabetes.2 Selain itu, terdapat beberapa penelitian kecil yang menilai hubungan antara DM dengan hendaya kognitif non demensia dengan hasil bervariasi, dimana angka kejadian hendaya kognitif non demensia pada populasi DM berkisar dalam rentang yang amat luas antara antara 8-87%.1,11-15

Pada berbagai studi diatas, upaya membuktikan ada tidaknya gangguan kognitif pada penyandang diabetes dilakukan dengan pemeriksaan neuropsikologi. Diantara pemeriksaan neuropsikologi yang umum digunakan dalam penelitian-penelitian tersebut adalah pemeriksaan neuropsikologi penyaring seperti Mini Mental State Examination (MMSE) dan Skrining Tes Luria Nebraska (STLNB). Disamping itu, dapat digunakan pemeriksaan neuropsikologi spesifik untuk domain kognitif tertentu sperti Trial Making Test-B yang menilai atensi, visuomotor dan fugsi eksekutif, dimana pemeriksaan ini memiliki nilai prediksi yang tinggi dalam mendiagnoasis adanya gangguan kognitif pada penyandang DM tipe 2. 1,11-15

Page 25: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 3  

Salah satu faktor yang diduga berperan penting dalam patofisiologi gangguan fungsi kognitif pada penyandang diabetes melitus adalah hiperglikemia kronik. Hiperglikemia kronik dihipotesiskan berkontribusi dalam gangguan fungsi kognitif melalui mekanisme kerusakan endotel dan gangguan pada neurotransmitter. Namun demikian, tidak seluruh studi dapat membuktikan peran hiperglikemia kronik yang dinilai melalui kendali glikemik berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif. Bahkan di Indonesia, dalam studi prevalensi yang dilakukan pada 2006 dan 2007 menunjukkan kendali glikemik tidak memiliki rasio prevalens yang bermakna.1,15

Selain kendali glikemik, faktor-faktor lain yang diduga berhubungan dengan gangguan kognitif pada penyandang DM tipe 2 meskipun penelitian-penelitian yang ada belum jelas membuktikannya adalah faktor lama menyandang DM, jenis terapi yang digunakan apakah insulin atau obat hipoglikemik oral, serta komplikasi kronik DM tipe 2 yang lain yakni coronary artery disease/CAD, peripheral arterial disease/PAD, retinopati, nefropati, dan neuropati DM.5

Upaya untuk membuktikan bahwa kendali glikemik dan faktor-faktor lain seperti lama menyandang DM, terapi insulin atau obat hipoglikemik oral, serta komplikasi coronary artery disease (CAD), peripheral arterial disease (PAD), retinopati, nefropati, dan neuropati DM berkontribusi dalam dalam gangguan fungsi kognitif amat penting demi upaya edukasi untuk pencegahan dini maupun dalam hal tatalaksana mencegah perburukan gangguan kognitif menjadi demensia. METODE Penelitian ini dilakukan menggunakan desain nested case control yang bersarang pada penelitian potong lintang tanpa pembanding. Pasien dengan gangguan kognitif akan dimasukkan sebagai kelompok kasus, sedangkan kelompok kontrol akan diambil dari pasien-pasien yang tidak mengalami gangguan kognitif dengan matching. Penelitian dilakukan di Poliklinik Endokrin – Penyakit Dalam, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, dari bulan Agustus sampai November 2008. Penelitian dimulai setelah mendapat persetjuan dari komite etik. Populasi penelitian adalah semua individu yang telah didiagnosis DM tipe 2 yang datang berobat ke Poliklinik Endokrin – Penyakit Dalam, RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dan masuk dalam kriteria inklusi selama periode penelitian.

Kriteria inklusi adalah penyandang DM yang telah didiagnosis dan digolongkan dalam DM tipe 2, dengan usia maksimal 65 tahun, dapat membaca, menulis dan lulus Sekolah Menengah Pertama serta bersedia diikutsertakan dalam penelitian. Sementara criteria eksklusi adalah penyandang DM dengan riwayat strok, cedera kepala, infeksi/tumor otak, penyandang epilepsi, riwayat minum alkohol, pengguna opiat/obat antidepresan, penyandang epilepsi yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, penyandang DM dengan defisit fokal neurologis seperti hemiparesis, dan paresis saraf kranialis, penyandang dengan gangguan pendengaran atau gangguan visus berat dan penyandang DM dengan gangguan depresi berat (skor Hamilton >17)

Semua pasien yang telah didiagnosis DM tipe 2 yang datang berobat ke Poliklinik Endokrin - Penyakit Dalam, RS Cipto Mangunkusumo dilakukan anamnesis dan identifikasi catatan medis berupa karakteristik penyandang seperti identitas, lamanya menyandang DM, serta identifikasi riwayat penyakit dahulu seperti riwayat strok, trauma kepala, infeksi/tumor otak, minum alkohol dan obat-obat yang dikonsumsi dalam 3 bulan terakhir. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik umum (tekanan darah sistolik dan diastolik, pengukuran berat badan dan tinggi badan) dan pemeriksaan neurologi rutin. Kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi penglihatan dengan tes membaca, dan pemeriksaan fungsi pendengaran. Setelah itu

Page 26: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 4  

dilakukan pemeriksaan skala Hamilton untuk menentukan apakah subyek sedang mengalami depresi atau tidak. Bila skor Hamilton ≥ 10, pasien tidak diikutkan dalam penelitian.

Subyek yang terbukti termasuk dalam kriteria eksklusi tidak diikutkan dalam penelitian. Sedangkan subyek yang memenuhi kriteria inklusi dilanjutkan dengan pemeriksaan Skrining Tes Luria Nebraska (STLNB) dan Trail Making Test B (TMT-B). Setelah 106 pasien diperiksa, 35 orang dengan gangguan kognitif diambil secara acak sebagai kasus dan 35 orang dengan hasil pemeriksaan normal sebagai kontrol dengan matching usia, pendidikan, indeks massa tubuh, hipertensi dan dislipidemia terhadap kelompok kasus.

Dilakukan penelusuran dan pencatatan hasil pemeriksaan kendali glikemik (gula darah puasa/GDP dan gula darah 2 jam post prandial/GDPP) selama 2 tahun terakhir, lama menyandang diabetes, jenis terapi yang digunakan (insulin atau obat hipoglikemik oral/OHO) serta ada tidaknya komplikasi kronik DM yang lain (CAD, PAD, retinopati, nefropati dan neuropati) pada kelompok kasus dan kontrol.

Data penelitian dicatat pada formulir penelitian yang telah diuji coba. Setelah melalui proses editing dan koding, data penelitian direkam dalam cakram magnetik untuk dilakukan proses pembersihan data secara elektronik. Data yang telah teruji keabsahannya ini diolah dan disusun dalam bentuk tabel distribusi maupun tabel silang sesuai tujuan penelitian menggunakan perangkat SPSS versi 12.0. HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini didapatkan sampel 106 pasien DM tipe 2 yang berobat di Poliklinik Endokrin – Penyakit Dalam RSCM antara Agustus-November 2008 dengan sebaran karakteristik demografik dan medis seperti pada Tabel 1.

Proporsi laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, terdiri dari 50 (47,2%) laki-laki dan 56 (52,8%) perempuan. Rentang usia subyek antara 34-65 tahun, dimana subyek berpendidikan dasar sebanyak 27 orang (25,5%) dan berpendidikan lanjutan dan tinggi sebanyak 79 orang (74,5%). Pada penelitian ini didapatkan 49% pasien memiliki durasi DM selama < 5 tahun. Sebagian besar subjek (60,4%) memiliki indeks massa tubuh (IMT) dengan berat badan lebih (IMT ≥ 23 kg/m²). Sebanyak 52,8% subjek memiliki hipertensi atau sedang meminum obat antihipertensi, 62,3% memiliki dislipidemia atau sedang meminum obat hipolipidemik, dan 63,2% menderita salah satu atau lebih komplikasi DM tipe 2 (retinopati, neuropati, nefropati atau CAD). Kendali glikemik pada sebagian besar subjek (51,9%) termasuk dalam kategori buruk. Terapi yang dikonsumsi sebagian besar subjek (48,1%) adalah terapi dengan obat hipoglikemik oral (OHO). Tabel 1. Sebaran Karakteristik Demografik & Medis Subyek penelitian

Karakteristik Jumlah Persentase (%) Jenis Kelamin

• Laki-laki • Perempuan

50 56

47,2 52,8

Usia • < 60 tahun • ≥ 60 tahun

64 42

60,3 39,7

Pendidikan • Dasar

27

25,5

Page 27: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 5  

• Lanjutan 79 74,5 Lama DM

• ≤ 2 tahun • 2-5 tahun • > 5 tahun

27 27 52

25,5 25,5 49

Indeks Massa Tubuh • Berat badan kurang • Berat badan normal • Berat badan lebih

2

40 64

1,9

37,7 60,4

Riwayat Hipertensi • Ya • Tidak

56 50

52,8 47,2

Riwayat Dislipidemia • Ya • Tidak

66 40

62,3 37,7

Komplikasi DM lain • Ya • Tidak

67 39

63,2 36,8

Kendali glikemik • Baik • Sedang • Buruk

28 23 55

26,4 21,7 51,9

Terapi • OHO • Insulin • Campuran

51 36 19

48,1 34

17,9

Pada penelitian ini didapatkan rerata usia subyek adalah 56,26 ± 7,0 tahun. Rerata lama menyandang DM tipe 2 adalah 6,41 ± 4,70 tahun. Sebaran rerata dan simpang baku variabel awal subyek dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai rerata dan simpang deviasi (SD) subyek penelitian Mean ± SD 95% CI Median Low High Usia 56,26 ± 7,0 54,92 57,61 57,00 Lama sakit DM 6,41 ± 4,70 5,50 7,31 5,00 Sistolik 124,72 ± 15,25 121,78 127,66 120,0 Diastolik 77,36 ± 7,34 75,94 78,77 80,00 IMT 24,30 ± 3,79 23,58 25,04 24,20

Pemeriksaan fungsi kognitif pada penelitian ini menggunakan Skrining Tes Luria Nebraska dan Trail Making Test-B. Niai rerata dan simpang baku hasil pemeriksaan dapat dilihat dalam Tabel 3.

Page 28: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 6  

Tabel 3. Nilai rerata dan simpang deviasi (SD) pemeriksaan neuropsikologi Mean ± SD 95% CI Median Low High STLNB 7,17 ± 3,858 6,43 7,91 8,00 TMT-B 175,16 ± 69,82 161,71 188,61 180 Sebaran gangguan fungsi kognitif berdasarkan tiap jenis pemeriksaan dapat dilihat dalam kognitif secara keseluruhan terdapat pada 58 subyek (54,72%).

Tabel 4. Sebaran gangguan kognitif berdasarkan tes skrining neuropsikologi

Jumlah Persentase (%)

STLNB Ada gangguan Tidak ada

54 52

50,94 49,06

TMT-B Ada gangguan Tidak ada

50 56

47,17 52,83

STLNB dan / atau TMT-B

Ada gangguan Tidak ada

58 48

54,72 45,38

Pola sebaran gangguan kognitif berdasarkan pemeriksaan STLNB dapat dlihat pada

Tabel 5. Sebagian besar berupa gangguan memori (45,28%) dan gangguan fungsi eksekutif (43,39%). Tabel 5. Sebaran gangguan kognitif menurut tes STLNB berdasarkan domain

Jumlah Persentase (%) Atensi 16 15,1 Kalkulasi 14 13,2 Memori 48 45,28 Visuospasial 24 22,64 Bahasa 27 25,47 Fungsi eksekutif 46 43,39 Kecepatan psikomotor 21 19,81

Pada penelitian ini kami juga mencoba untuk menlai hubungan berbagai faktor terhadap gangguan kognitif, seperti dapat dilhat pada Tabel 6.

Page 29: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 7  

Tabel 6. Hubungan gangguan kognitif dengan faktor risiko Gangguan Kognitif p OR 95% CI

Ya Tidak Low High Jenis kelamin

• Laki-laki • Perempuan

27 31

23 25

0,02

0,974

0,44

2,03

Usia • < 60 tahun • ≥ 60 tahun

33 25

31 17

0,42

1,38

0,63

3,04

Pendidikan

• Dasar • Lanjutan

19 39

8

40

0,058

2,43

0,95

6,21

Indeks Massa Tubuh • BB kurang • BB normal • BB lebih

2

20 36

0

20 28

0,35

Riwayat Hipertensi • Ya • Tidak

29 29

27 21

0,52

0,78

0,36

1,68

Riwayat Dislipidemia

• Ya • Tidak

37 21

29 19

0,72

1,15

0,52

2,54

Kendali glikemik • Baik • Sedang • Buruk

3 6

49

25 17 6

0,00

Lama menyandang DM • ≤ 2 tahun • 2-5 tahun • > 5 tahun

11 16 31

16 11 21

0,24

Terapi • OHO • Insulin • Campuran

25 25 8

26 11 11

0,08

Komplikasi DM lain • Ya • Tidak

38 20

29 19

0,59

1,24

0,56

2,75

Sebaran berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, indeks massa tubuh, hipertensi dan dislipidemia pada kelompok dengan gangguan kognitif maupun kelompok tanpa gangguan kognitif cukup berimbang sehingga tidak terdapat hubungan yang bermakna saat dilakukan analisis statistik. Demikian pula dengan faktor lama menyandang diabetes, jenis terapi dan komplikasi diabetes, tidak didapatkan hubungan yang bermakna dengan gangguan kognitif. Satu-satunya faktor determinan yang berhubungan dengan gangguan kognitf pada penelitian ini adalah kendali glikemik dengan p = 0,00. sehingga tidak dilanjutkan dengan analisis multivariat terhadap faktor-faktor lain.

Selanjutnya dilakukan analisis spesifik menganai hubungan antara gangguan kognitif dengan jenis dari komplikasi diabetes yang diderita oleh subjek seperti yang ditampilkan pada Tabel 7.

Page 30: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 8  

Tabel 7. Hubungan antara gangguan kognitif dengan jenis komplikasi diabetes

Gangguan Kognitif p OR 95% CI

Ya Tidak Low High Komplikasi DM lain

• Retinopati • Neuropati • Nefropati • CAD

10 20 4 9

4

13 9 9

0,18 0,41 0,07 0,66

2,29 1,41 0,32 0,79

0,67 0,62 0,92 0,29

7,84 3,27 1,12 2,19

Dari tabel diatas tidak didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara komplikasi diabetes retinopati, neuropati, nefropati maupun CAD dengan gangguan kognitif. PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, rerata usia subyek adalah 56,26 ± 7,0 tahun. Rerata usia tersebut tidak jauh berbeda dengan populasi pasien DM tipe 2 di Poli Endokrin RSCM pada penelitian yang dilakukan oleh Octaviani yakni 52,7 ± 5,8 tahun maupun pada penelitian oleh Nasrun yakni 58,5 ± 2,0 tahun. Berbeda dengan penelitian Ryan dan Geckle yang menemukan adanya gangguan kognitif terutama pada domain kecepatan psikomotor seiring dengan bertambahnya usia, pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara usia dengan gangguan kognitif. Hal tersebut dapat disebabkan karena perbedaan rerata usia antara kelompok dengan gangguan kognitif (57,17 ± 6,44 tahun) tidak jauh bebrbeda dibandingkan dengan rerata pada kelompok tanpa gangguan kognitif (55,17 ± 7,54). Selain itu, usia subjek yang dibatasi maksimal 65 tahun juga menjadi slaah satu sebab tidak ditemukannya hubungan antara usia dengan gangguan kognitif, sesuai dengan hasil penelitian Kumari dan Marmot pada Studi Whitehall II dimana pada penyandang diabetes berusia <65 tahun tidak ditemukan adanya gangguan kognitif. Pada penelitian ini, persentase jenis kelamin perempuan dan laki-laki hampir sebanding dengan ratio 1,12. Perbandingan ini hampir serupa dengan rasio perbandingan perempuan dan laki-laki pada penelitian Puspitasari (2006) yakni 1,3. Pada analisis tidak didapatkan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan gangguan kognitif. Hal ini sesuai dengan penelitian Barnes yang menyatakan pola penyakit dan insidens demensia Alzheimer sama antara laki-laki dan perempuan.

Tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi fungsi kognitif. Beberapa studi kohort dengan populasi besar telah menunjukkan bahwa tingkat pendidikan rendah memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya demensia. Pada penelitian ini, tingkat pendidikan subjek ditentukan minimal SMP (pada 27 orang atau 25,5% subjek). Hal tersebut menjadikan tingkat pendidikan tidak mempengaruhi kejadian gangguan kognitif pada penelitian ini.

Pada penelitian ini indeks massa tubuh (IMT) subjek sebagian besar (60,4%) termasuk dalam kategori berat badan lebih (IMT ≥ 23 kg/m²). Hubungan antara IMT dengan gangguan kognitif hingga saat ini masih kontroversial. Penelitian oleh Cournot, dkk (2006) menunjukkan adanya hubungan antara berat badan lebih dengan risiko demensia, sementara penelitian oleh Buchman, dkk (2006) menunjukkan IMT yang kurang justru meningkatkan risiko demensia. Pada penelitian ini hubungan antara IMT dengan gangguan tidak bermakna. Hasil ini serupa dengan hasil studi Sturman, dkk (2008).

Hipertensi ditemukan pada sebagian besar (52,8%) subjek pada penelitian ini. Prevalensi hipertensi pada DM tipe 2 yang cukup tinggi ini hampir serupa dengan yang ditemukan pada

Page 31: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 9  

studi Nilsson, dkk (2003) sebesar 47-56% maupun penelitian oleh Chan (2005) di Malaysia sebesar 67,7%. Hipertensi pada DM tipe 2 dapat merupakan suatu koinsidens atau akibat sekunder dari diabetes dimana kondisi hiperglikemia mengakibatkan aktivasi protein kinase C (PKC) yang memiliki efek pada berbagai ekspresi gen. Ekspresi endothelial Nitric Oxyde Synthase (eNOS) yang berperan dalam vasodilatasi akan berkurang sementara ekspresi endothelin-1 yang bersifat vasokonstriktor akan meningkat sehingga terjadilah peningkatan tekanan darah. Hipertensi secara independen meningkatkan risiko terjadinya gangguan kognitif, seperti yang telah dibuktikan oleh berbagai studi.5,16 Pada penelitian ini, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara hipertensi dengan gangguan kognitif. Hal ini disebabkan karena sebaran hipertensi baik pada kelompok dengan gangguan kognitif (29 orang atau 27,36% ) maupun pada kelompok tanpa gangguan kognitif (27 orang atau 25,47%) cukup seimbang.

Pada penelitian ini, dislipidemia ditemukan pada sebagian besar (62,3%) subjek. Hal ini hampir serupa dengan laporan Canadian Diabetes Association (2006) dimana prevalensi dislipidemia pada penyandang DM tipe 2 mencapai 55-66%. Salah satu teori yang menerangkan tingginya angka dislipidemia pada penyandang diabetes adalah karena diabetes dan hiperglikemia akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dalam sirkulasi akibat pelepasan yang berlebihan dari jaringan adiposa dan berkurangnya uptake oleh sel otot. Akibatnya organ hati akan berespon dengan meningkatkan produksi very low density lipoprotein (VLDL) dan sintesis kolesterol ester. Keadaan tersebut disertai dengan berkurangnya aktivitas lipoprotein lipase akan meningkatkan konsentrasi trigliserida dalam darah yang kemudian akan menurunkan konsentrasi HDL. Pada beberapa penelitian, dislipidemia berhubungan dengan risiko terjadinya gangguan kognitif, seperti yang dibuktikan oleh studi Farr, dkk (2008). Pada penelitian ini, kami tidak menemukan hubungan yang bermakna antara dislipidemia dengan gangguan kognitif. Hal ini disebabkan karena sebaran dislipidemia tidak jauh berbeda antara kelompok dengan gangguan kognitif (37 orang atau 34,90% ) dan kelompok tanpa gangguan kognitif (29 orang atau 27,36%).

Prevalensi dan pola gangguan kognitif

Prevalensi gangguan kognitif berdasarkan tes STLNB adalah 50,94% sementara berdasarkan pemeriksaan Trial Making Test B adalah 47,17%. Secara keseluruhan, berdasarkan batasan operasional yang telah ditetapkan, yakni dikatakan gangguan kognitif bila terdapat nilai abnormal pada salah satu atau kedua pemeriksaan (STLNB dan TMT-B), maka prevalensi gangguan kognitif sebesar 54,72%. Hasil ini hampir serupa dengan yang didapatkan pada penelitian oleh Nasrun (2007) juga di RSCM, yakni sebesar 54,5%. Pada subjek dengan hasil pemeriksaan STLNB yang terganggu, apabila di analisis lebih lanjut, maka gangguan terbesar terdapat pada domain memori 45,28% dan fungsi eksekutif yakni sebesar 43,39%. Selain itu, terdapat pula gangguan dalam ranah kognitif yang lain. Hasil ini sesuai dengan studi-studi sebelumnya bahwa DM tipe 2 dapat mengakibatkan gangguan dalam seluruh ranah kognitif, terutama ranah memori, fungsi eksekutif dan kecepatan psikomotor pada pasien dengan kendali glikemik buruk seperti pada penelitian Munshi dkk pada tahun 2006. Hasil yang didapatkan juga menunjukkan kesesuaian antara pemeriksaan STLNB dengan pemeriksaan TMT-B dimana prevalensi gangguan kognitif secara keseluruhan didapatkan tidak jauh berbeda dan secara lebih khusus, gangguan pada ranah fungsi eksekutif baik pada pemeriksaan STLNB (43,39%) memiliki prevalensi yang hampir sama dengan pemeriksaan TMT-B (47,17%).

Page 32: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 10  

Hubungan gangguan kognitif dengan kendali glikemik Pada penelitian ini, analisis hubungan gangguan kognitif dengan kendali glikemik dapat lebih kuat mengingat hampir seluruh faktor risiko lain seperti pendidikan, hipertensi, dislipidemia dan indeks massa tubuh (IMT) tersebar merata baik pada kelompok yang mengalami gangguan kognitf maupun yang tidak. Hal ini menjadikan analisis statistik lebih akurat dengan hasil didapatkan hubungan bermakna antara kendali glikemik dengan gangguan kognitif (p= 0,00). Semakin buruk kendali glikemik, maka semakin besar kemungkinan mengalami gangguan kognitf. Pada analisis multivariat, kendali glikemik buruk akan meningkatkan risiko (OR) kejadian gangguan kognitif sebesar 38,11 (95% CI 12,53-115,89). Hasil ini sesuai dengan teori dimana kadar gula darah yang tinggi dalam jangka panjang akan mengakibatkan disfungsi endotel sehingga terjadi gangguan vaskuler di otak maupun gangguan pada neurotransmitter yang berujung pada kejadian disfungsi kognitif.

Berbeda dengan penelitian oleh Lowe, dkk (1994), serta studi prevalensi oleh Puspitasari (2006) dan Nasrun (2007) dimana tidak ditemukan hubungan kendali glikemik dengan gangguan kognitif pada penyandang DM, hasil penelitian kami menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kendali glikemik dengan gangguan kognitif. Hasil yang kami dapatkan sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh Yaffe, dkk (2006), Maraldi, dkk (2007) serta Gao, dkk (2008). Penelitian oleh Loewe, Puspitasari maupun Nasrun yang tidak menemukan hubungan bermakna antara kendali glikemik merupakan pemelitian prevalensi dimana faktor-faktor risiko lain tidak disetarakan (matching). Hubungan gangguan kognitif dengan lama menyandang DM tipe 2, jenis terapi dan komplikasi kronik diabetes

Hubungan antara lama menyandang diabetes dengan gangguan kognitif masih kontroversial. Penelitian Northam, dkk (1998) menunjukkan gangguan kognitif pada penyandang diabetes dapat muncul dalam 2 tahun setelah pasien terdiagnosis. Pada penelitian Gregg, dkk didapatkan penyandang diabetes dengan durasi >5 tahun memiliki risiko 1,5 kali lipat untuk terjadinya gangguan kognitif. Pada penelitian kami tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara lama menyandang diabetes dengan gangguan kognitif. Hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh Mogi (2004).5,17 Tidak adanya hubungan yang bermakna antara lama menyandang diabetes dengan gangguan kognitif dapat disebabkan karena onset diabetes melitus bisa jadi tidak terdeteksi sejak awal, dimana pasien saat awal didiagnosis DM tipe 2 mungkin sudah sejak lama menyandang diabetes

Jenis terapi pada penelitian kami juga tidak berhungan dengan gangguan kognitif. Hubungan antara jenis terapi DM dengan gangguan kognitif juga masih belum jelas. Sebagian studi menunjukkan bahwa pemakaian insulin memperburuk fungsi kognitif sementara sebagian lain justru menghasilkan kesimpulan sebaliknya.

Pada penelitian kami juga tidak terdapat hubungan yang bermakna antara komplikasi kronik diabetes melitus (baik retinopati, neuropati, nefropati maupun CAD) dengan gangguan kognitif. Berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Ferguson (2003) dan Brands (2005), hasil yang kami dapatkan justru sesuai dengan penelitian Wessels (2006) dimana tidak ditemukan hubungan antara komplikasi kronik diabetes dengan gangguan kognitif. Salah satu faktor yang mungkin berperan terhadap hasil ini adalah jumlah sampel yang terlalu sedikit untuk komplikasi kronik DM tipe 2 sehingga didapatkan hasil yang tidak bermakna.

Page 33: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 11  

KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Prevalensi hendaya kognitif non demensia berdasarkan pemeriksaan Skrining Tes Luria

Nebraska (STLNB) dan Trial Making Test B (TMT-B) adalah 54,72%. 2. Ranah kognitif yang terganggu menurut pemeriksaan STLNB adalah memori dan fungsi

eksekutif. 3. Terdapat hubungan antara kendali glikemik dengan kejadian hendaya kognitif non demensia

dengan pada penyandang DM tipe 2 dengan rasio odds 38,11 (IK 95% antara 12,53-115,89). 4. Tidak terdapat hubungan antara faktor lama menyandang DM tipe 2 dengan hendaya

kognitif non demensia. 5. Tidak terdapat hubungan antara penggunaan terapi insulin atau obat hipoglikemik oral

dengan hendaya kognitif non demensia. 6. Tidak terdapat hubungan antara komplikasi kronik DM tipe 2 (CAD, retinopati, nefropati

dan neuropati) dengan hendaya kognitif non demensia. Dari penelitian ini disarankan hal-hal sebagai berikut :

1. Pada penelitian ini digunakan pemeriksaan Luria Nebraska versi skrining (STLNB). Kami menyarankan untuk digunakan pemeriksaan Luria Nebraska versi lengkap (LNNB) untuk menghasilkan analisis yang lebih akurat mengenai sebaran ranah kognitif yang terganggu pada pasien DM tipe 2.

2. Dilakukan penelitian kasus kontrol dengan jumlah sampel yang lebih besar untuk menilai hubungan antara penggunaan terapi insulin atau obat hipoglikemik oral dengan hendaya kognitif non demensia.

3. komplikasi kronik DM tipe 2 (CAD, retinopati, nefropati dan neuropati) dengan hendaya kognitif non demensia.

KEPUSTAKAAN 1. Nasrun MW. Deteksi dini hendaya kognitif non demensia pada penyandang diabetes melitus tipe 2: pendekatan

epidemiologi klinis, psikometrik dan spektroskopi resonansi magnetik. Disertasi. Program studi Doktor Ilmu Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.

2. Ott A, Stolk RP, Harskamp F, Pols HAP, Hofman A, Breteler. Diabetes mellitus and the risk of dementia: The Rotterdam Study. Neurology. 1999;53:1937-43.

3. Suyono S. Kecenderungan peningkatan jumlah pasien diabetes. Dalam: Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Pusat Diabetes dan Lipid RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, FKUI. Jakarta: Aksara Buana 1999. hal 1-4.

4. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes. Diabetes Care. 2008. 31;Suppl 1: S55-60.

5. Kodl CT, Seaquist ER. Cognitive dysfunction and diabetes mellitus. Endocr. Rev. 2008;10:1210. 6. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. Dalam :

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, 2007. 7. Gregg EW, Yaffe K, Cauley JA, Rolka DB, Blackwell TL, Narayan KM, Cummings SR. Is diabetes associated

with cognitive impairment and cognitive decline among older women? Study of Osteoporotic Fractures Research Group. Arch Intern Med 2000;160:174-180.

8. Munshi M, Grande L, Hayes M, Ayres D, Suhl E, Capelson R, Lin S, Milberg W, Weinger K. Cognitive dysfunction is associated with poor diabetes control in older adults. Diabetes Care. 2006;29:1794-1799.

9. Grodstein F, Chen J, Wilson RS, Manson JE. Type 2 diabetes and cognitive function in community-dwelling elderly women. Diabetes Care. 2001;24:1060-1065.

Page 34: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 12  

10. Curb JD, Rodriguez BL, Abbott RD, Petrovitch H, Ross GW, Masaki KH, Foley D, Blanchette PL, Harris T, Chen R, White LR. Longitudinal association of vascular and Alzheimer's dementias, diabetes, and glucose tolerance. Neurology. 1999;52:971-975.

11. Gregg EW, Brown A. Cognitive and physical disabilities and aging-related complications of diabetes. Clinical Diabetes. 2003; 21(3):113-118.

12. Luchsinger JA, Reitz C, Patel B, Tang MX, Manly JJ, Mayeux R. Relation of Diabetes to Mild Cognitive Impairment. Arch Neurol. 2007;64:570-575.

13. Logroscino G, Kang JH, Grodstein F. Prospective study of type 2 diabetes and cognitive decline in women aged 70-81 years. BMJ. 2004;328;548-54.

14. Yaffe K, Blackwell T, Kanaya AM, Davidowitz N, Barrett-Connor E, Krueger K. Diabetes, impaired fasting glucose, and development of cognitive impairment in older woman. Neurology. 2004;63:658-663.

15. Puspitasari V. Gambaran fungsi kognitif ringan pada penyandang diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Tebet dan Pasar Minggu. Tesis. Program pemdidikan dokter spesialis saraf. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006.

16. Hassing LB, Hofer SM, Nilson SE, dkk. Comorbid type 2 diabetes mellitus and hypertension exacerbates cognitive decline: evidence from longitudinal study. Age and Ageing 2004;33:355-361.

17. Mogi N, Umegaki H, Hattori A. Cognitive function in Japanese elderly with type 2 diabetes mellitus. Journal of Diabetes and its complication. 2004;18:42-46

Page 35: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 1

Artikel Penelitian IDENTIFIKASI NYERI NEUROPATIK DENGAN MEMAKAI SKALA NYERI Leeds Assesment Of Neuropathic Symptoms And Signs (LANSS) PADA PENDERITA NYERI PUNGGUNG BAWAH KRONIK

Moya Dewi Marlenny*, Yuneldi Anwar**, Hasan Sjahrir**

ABSTRACT Background : Low back pain (LBP) is one of the most common pain conditions, where nociceptive and neuropathic components both contribute to pain. Little information is available about the contribution of the neuropathic component to LBP. The aim of this study was to assess the prevalence of neuropathic pain among chronic LBP patients by use of the Leeds Assessment of Neuropathic Pain Symptoms and Signs (LANSS) Pain scale. Methods : A cross sectional study with subjects consisted of 72 chronic LBP patients aged > 18 years were studied. The LANSS pain scale was applied to each patient in an interview format. Patients with a score ≥ 12 were considered to have neuropathic pain that contributed to their low back pain, while patients with a score < 12 were considered as having nociceptive pain. Results : According to the LANSS pain scale, 45 patients of chronic LBP had neuropathic pain and 27 patients had nociceptive pain. Factors that were associated with neuropathic pain in this study were advanced age, increased weight and hypertension. Conclusions : Neuropathic pain is a major contributor to chronic low back pain, and the LANSS pain scale is a useful tool to distinguish patients with neuropathic pain from those with nociceptive pain. Key words : Low back pain - neuropathic pain - LANSS ABSTRAK Latar Belakang : Nyeri punggung bawah merupakan salah satu keadaan nyeri yang paling sering dimana komponen nosiseptif dan neuropatik berkontribusi terhadap nyeri tersebut. Sedikit informasi yang diperoleh tentang kontribusi elemen neuropatik terhadap nyeri punggung bawah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai prevalensi nyeri neuropatik pada penderita nyeri punggung bawah kronik dengan memakai skala nyeri Leeds Assessment Of Neuropathic Symptoms And Signs (LANSS). Metode : Dilakukan suatu studi cross sectional yang terdiri dari 72 penderita nyeri punggung bawah kronik berumur lebih dari 18 tahun. Skala nyeri LANSS digunakan untuk tiap penderita dalam suatu format wawancara. Penderita dengan skor > 12 dianggap mengalami nyeri neuropatik yang berkontribusi terhadap nyeri punggung bawahnya sedangkan penderita dengan skor < 12 dianggap mengalami nyeri nosiseptif . Hasil : Berdasarkan skala nyeri LANSS, 45 penderita nyeri punggung bawah kronik mengalami nyeri neuropatik dan 27 penderita mengalami nyeri nosiseptif. Faktor-faktor yang berhubungan dengan nyeri neuropatik dalam penelitian ini adalah usia lanjut, peningkatan berat badan dan hipertensi. Kesimpulan : Nyeri neuropatik merupakan suatu kontributor utama pada nyeri punggung bawah kronik, dan skala nyeri LANSS adalah suatu alat yang sangat berguna dalam membedakan penderita nyeri neuropatik dari penderita nyeri nosiseptif. Kata Kunci : nyeri punggung bawah - nyeri neuropatik - LANSS * Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf, FKUSU, Medan ** Staf Departemen Ilmu Penyakit Saraf FKUSU, Medan

Page 36: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 2

LATAR BELAKANG Nyeri punggung bawah (NPB) adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah, dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikular atau keduanya. Nyeri ini terasa diantara sudut iga terbawah dan lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbo-sakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki.1

Lebih dari satu abad, nyeri punggung bawah dikenal sebagai salah satu penyebab ketidakmampuan bekerja yang paling sering dan saat ini mencapai biaya sekitar seperempat dari biaya kompensasi pekerja.2 Hampir 80 % penduduk di negara-negara industri pernah mengalami nyeri punggung bawah. Di Amerika Serikat prevalensinya dalam satu tahun berkisar antara 15 %-20 % sedangkan insidensi berdasarkan kunjungan pasien baru ke dokter adalah 14,3 %. Data epidemiologik mengenai NPB di Indonesia belum ada. Diperkirakan 40 % penduduk Jawa Tengah berusia diatas 65 tahun pernah menderita nyeri punggung dan prevalensinya pada laki-laki 18,2 % dan pada wanita 13,6 %. Prevalensi ini meningkat sesuai dengan meningkatnya usia insidensi berdasarkan kunjungan pasien ke beberapa rumah sakit di Indonesia berkisar antara 3 %-17 %.1

Dari data epidemiologik faktor resiko yang positif untuk NPB adalah usia/bertambahnya usia, kebugaran yang buruk, kondisi kesehatan yang jelek, masalah psikologi dan psikososial, merokok, kecanduan obat, nyeri kepala, skoliosis mayor (kurva lebih dari 80 0) serta faktor fisik yang berhubungan dengan pekerjaan seperti duduk dan mengemudi, mengemudi truk, duduk dan berdiri berjam-jam (posisi tubuh kerja yang stabil), getaran, mengangkat, membawa beban, menarik beban, membungkuk dan memutar.1,3

Nyeri punggung bawah umumnya dikategorikan ke dalam akut, subakut dan kronik. 4 Nyeri punggung bawah akut biasanya didefinisikan suatu periode nyeri ≤ 6 minggu, NPB subakut adalah suatu periode nyeri antara 6-12 minggu dan nyeri punggung bawah kronik merupakan periode nyeri ≥ 12 minggu.5 Nyeri punggung bawah kronik merupakan kondisi yang sangat mahal pada negara-negara industri dan penyebab utama dalam pembatasan aktivitas pada usia diatas 45 tahun.3 Woolf dkk mengemukakan bahwa gejala, tanda, mekanisme dan sindrom nyeri diklasifikasikan terhadap dua mekanisme nyeri berdasarkan kategori nyeri trauma jaringan (nosiseptif) dan nyeri trauma sistem saraf (neuropatik).6 Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf.7,8 Sedangkan nyeri nosiseptif adalah nyeri yang timbul akibat serangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor.9

Keberhasilan pengobatan nyeri neuropatik bergantung pada diagnosa dini, identifikasi dari mekanisme yang terlibat dan penggunaan pendekatan terapi alternatif. Kontribusi nyeri neuropatik terhadap nyeri punggung bawah tidak sepenuhnya dimengerti. Baik yang paling penting dari kontribusi maupun profil klinis dan demografi dari penderita belum tepat dievaluasi.10

Hassan dkk tahun 2004 di Saudi Arabia meneliti prevalensi nyeri neuropatik pada penderita – penderita nyeri punggung bawah kronik dengan menggunakan Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS) pain scale. Dari 100 penderita dengan nyeri punggung bawah kronik didapati 41 % mengalami nyeri neuropatik dan 59 % nyeri nosiseptif. 11 Kaki dkk tahun 2005 di Saudi Arabia melakukan suatu identifikasi nyeri neuropatik pada penderita nyeri punggung bawah kronik dengan memakai LANSS, diperoleh dari 1.169 penderita nyeri punggung bawah kronik, 54 % memiliki skor >12

Page 37: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 3

yang mengarah suatu nyeri neuropatik dan 45,3 % memiliki skor < 12 yang mengarah nyeri nosiseptif. Dikatakan bahwa nyeri neuropatik merupakan kontribusi utama terhadap nyeri punggung bawah kronik dan skala nyeri LANSS merupakan alat yang berguna untuk membedakan penderita dengan nyeri neuropatik dan nosiseptif.10

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk membedakan penderita dengan nyeri neuropatik dan nyeri nosiseptif , mengetahui berapa besarnya jumlah penderita nyeri neuropatik pada penderita nyeri punggung bawah kronik serta faktor-faktor apa saja yang merupakan kontributor terhadap nyeri neuropatik dengan memakai skala nyeri LANSS. METODOLOGI Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan desain deskriptif analitik yang menggunakan data primer pada penderita nyeri punggung bawah yang berobat di Poliklinik Umum Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan, mulai tanggal 1 Januari 2007 sampai 31 Maret 2007. Besar sampel yang dipakai dalam penelitian ini 72 orang. Pengambilan sampel penelitian pada penderita nyeri punggung bawah kronik yang berobat jalan di Poliklinik Umum di Departemen Neurologi FK USU dilakukan dengan cara non-probability sampling dengan metode konsekutif yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut : semua penderita nyeri punggung bawah yang berobat ke Poliklinik Neurologi FK-USU Medan , penderita berumur lebih dari 18 tahun dan menderita nyeri punggung bawah > 3 bulan. Sedangkan kriteria eksklusinya adalah penderita nyeri neuropatik yang etiologinya selain nyeri punggung bawah dan penderita tersebut tidak mengalami gangguan mental, penurunan kesadaran, gangguan pendengaran dan gangguan penglihatan. Saat melakukan wawancara, data demografi , data atropometrik dan riwayat kesehatan dari penderita yang memenuhi kriteria inklusi dikumpulkan, dan kuesioner skala nyeri LANSS turut dilengkapi. Skala nyeri LANSS terdiri dari 2 lembar kertas ukuran A4 yang dirancang untuk format wawancara dalam satu pertemuan. Wawancara dilakukan oleh dokter pemeriksa, dimana dokter pemeriksa menanyakan setiap item pertanyaan apakah deskripsi karakteristik nyeri penderita sesuai dengan minggu terdahulu dan mengisikannya ke kuesioner. Pemeriksaan ini diikuti dengan pemeriksaan bedside untuk menilai disfungsi sensorik dan secara spesifik untuk allodynia dan perubahan pin prick threshold (PPT). Allodynia dinilai ada saat nyeri timbul oleh goresan lembut dengan kapas diatas daerah nyeri dan membandingkan dengan daerah tidak nyeri. PPT ditentukan dengan membandingkan respon jarum suntik no. 23 pada kulit di daerah tidak nyeri dan kemudian daerah nyeri selama beberapa kali. PPT didefinisikan sebagai sensasi tajam dengan jarum tumpul pada daerah nyeri. Menurut skala nyeri LANSS, frekuensi masing-masing pertanyaan dari 5 gejala nyeri, sebagaimana 2 pemeriksaan sensorik, dihitung untuk setiap penderita. Jika terdapat disestesia dan disfungsi autonomik diberi skor masing-masing 5. Nyeri bangkitan diberi skor 3. Nyeri paroksismal diberi skor 2. Nyeri suhu diberi skor 1. Jika ditemukan untuk tes disfungsi sensorik dan allodinia diberi skor 5 dan perubahan Pin Prick Test (PPT) diberi skor 3. Berdasarkan penjumlahan keseluruhan maksimum skor 24 poin. Penderita dengan skor kurang dari 12 tidak mungkin menderita nyeri punggung bawah neuropatik, sebaliknya penderita dengan skor 12 atau lebih dipertimbangkan untuk mempunyai elemen neuropatik yang mengkontribusi terhadap nyeri punggung bawahnya.

Page 38: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 4

Data demografi dan data antropometrik penderita nyeri punggung bawah yang terkumpul secara deskriptif disajikan dalam bentuk tabel dengan menyertakan nilai rerata dan simpangan deviasinya. Dalam hal membedakan nyeri neuropatik dan nyeri nosiseptif serta berapa besar perbedaan jumlah penderita diantara keduanya digunakan uji chi Square, dan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor kontribusi yang berhubungan dengan kejadian nyeri neuropatik digunakan uji anova, dengan batas kemaknaan (p) sebesar 5 % dalam mengambil kesimpulan kemaknaan statistic. Pengolahan data penelitian dilakukan secara elektronik menggunakan perangkat SPSS versi 10,0. HASIL PENELITIAN Karakteristik Demografi dan Antropometrik Penderita NPB Kronik Dari hasil penelitian ini didapatkan sample 72 orang yang memenuhi kriteria inklusi, 45 penderita NPB kronik mengalami nyeri neuropatik dan 27 penderita NPB kronik mengalami nyeri nosiseptif. Pada tabel -1 menunjukkan distribusi data antropometrik penderita nyeri punggung bawah kronik. Dari 72 penderita NPB kronik, kelompok umur terbanyak adalah 41-60 tahun (48,6%) dengan rata-rata umur 52,92. Peningkatan berat badan dan tinggi badan terlihat untuk berat badan range 50-70 kg (58,58) dan tinggi badan range 150-165 cm (160,93). Lamanya nyeri punggung bawah kronik yang dialami penderita paling banyak pada 1-5 tahun dengan rerata 3,53. Tabel 1. Karakteristik Demografi dan Atropometrik Penderita Karakteristik Penderita Mean ±SD Range Usia (thn) 52,92 ± 13,51 21 - 75 Berat badan (n = 66) 58,58 ± 5,41(kg) 50 - 75 Tinggi badan (n = 63) 160,93 ± 3,70 (cm) 155 - 170 Lama NPB (thn) 3,53 ± 1,86 3 bln - 7 thn Tabel -2 menunjukkan bahwa penderita nyeri punggung bawah kronik pada penelitian ini lebih banyak perempuan (62,5%) daripada laki-laki (37,5%). Selain itu terlihat etiologi yang paling sering pada nyeri punggung bawah adalah spondilosis lumbalis (51,4%). Sebagian besar penderita nyeri punggung bawah kronik dalam penelitian ini tidak merokok (69,4%). Akan tetapi , hipertensi (34,7%) menjadi salah satu penyakit penyerta paling banyak pada penderita ini, dan ditinjau dari segi pengobatan sebelumnya, Cox-2 inhibitor menempati urutan pertama sebesar 63,9%. Tabel 2. Karakteristik Demografi Penderita NPB Karakteristik Penderita Jumlah % Jenis kelamin • Laki-laki 27 37,5 • Perempuan 45 62,5 Usia (thn) • 20-40 16 22,2 • 41-60 35 48,6 • 61-80 21 29,2 Berat badan (kg) • 50-70 66 91,7 • >70 6 8,3 Tinggi badan (cm)

Page 39: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 5

• 150-165 63 87,5 • >165 9 12,5 Lama NPB (thn) • < 1 13 18,1 • 1-5 46 63,9 • >5 13 18,1 Diagnosa NPB • Prolaps diskus 6 8,3 • Spondilosis lumbal 37 51,4 • Spinal canal stenosis 6 8,3 • Trauma 5 6,9 • Arthritis 14 19,4 • Spondilolisthesis 4 5,6 Faktor Merokok • Perokok 15 20,8 • Bekas Perokok 7 9,7 • Tidak merokok 50 69,4 Penyakit Penyerta • Hipertensi 25 34,7 • Diabetes mellitus (DM) 6 8,3 • Hipertensi & DM 6 8,3 • Tidak ada 35 48,6 Pengobatan Sebelumnya • Cox-2 inhibitor 46 63,9 • NSAID 26 36,1 Pengaruh Variabel Bebas Pada Kejadian Nyeri Neuropatik dan Nyeri Nosiseptif Berdasarkan latar belakang disebutkan bahwa faktor resiko yang positif untuk NPB adalah bertambahnya usia, kebugaran yang buruk, kondisi kesehatan yang jelek, masalah psikologi dan psikososial, merokok, kecanduan obat, nyeri kepala, skoliosis mayor (kurva lebih dari 80 0) serta faktor fisik yang berhubungan dengan pekerjaan seperti duduk dan mengemudi.1

Kaki dkk tahun 2004 tentang identifikasi nyeri neuropatik pada penderita NPB kronik juga menyatakan bahwa dari hasil penelitian diperoleh adanya hubungan bertambahnya usia, jenis kelamin, tinggi badan, riwayat merokok, hipertensi dan diabetes melitus serta pengobatan sebelumnya dengan kejadian nyeri neuropatik.10

Tabel -3 menunjukkan bahwa nyeri neuropatik lebih sering ditemukan pada penderita usia tua daripada nyeri nosiseptif. Nyeri neuropatik juga lebih sering pada perempuan daripada nyeri nosiseptif. Peningkatan berat badan terlihat lebih mengalami nyeri neuropatik daripada nyeri nosiseptif. Tinggi badan tampak tidak begitu penting terhadap prevalensi dari nyeri neuropatik pada penderita NPB. Akan tetapi, nyeri neuropatik lebih sering pada penderita NPB dengan hipertensi. Secara statitik, dari tabel 3 dapat disimpulkan bahwa pertambahan usia, peningkatan berat badan dan hipertensi adalah signifikan terhadap kejadian (prevalensi) nyeri neuropatik.

Page 40: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 6

Tabel 3. Pengaruh Variabel Bebas Pada Nyeri Neuropatik dan Nyeri Nosiseptif

Variabel Neuropatik (n= 45)

Nosiseptif (n= 27)

P (0,05)

Usia(thn) Jenis kelamin Laki-laki/perempuan Tinggi badan (cm) Berat badan (kg) Lama NPB (thn) Diagnosa LBP - Prolapsus diskus - Spondilosis lumbal - Spinal canal stenosis - Trauma - Arthritis - Spondilolisthesis Faktor merokok - Perokok - Bekas perokok - Tidak merokok Penyakit penyerta - Hipertensi - Diabetes melitus (DM) - Hipertensi & DM - Tidak ada Pengobatan sebelumnya - Cox-2 inhibitor - NSAID

59,42 ± 8,95

17/28 161,60 ± 3,77 59,58 ± 6,01 3,81 ±1,79

0

26 6 0 9 4

10 5

30

25 6 4

10

30 15

42,07 ± 12,96

10/17 159,81 ± 3,36 56,93 ± 3,75 3,06 ±1,90

9

11 0 4 3 0

5 2

20

0 0 2

25

16 11

0,000 *

0.951 0,057

0,043* 0,095

0,128

0,582

0,000*

0,533

*P<0,05, diuji dengan ANOVA

Estimasi Item Skala Nyeri LANSS dan Hubungannya dengan Tipe nyeri Tabel 4 menunjukkan bahwa pada semua penderita NPB, disestesia (87,5%) merupakan gejala nyeri abnormal yang paling sering, diikuti dengan nyeri paroksismal (84,7%) . Perubahan PPT (65,3%) lebih sering ditemukan daripada allodynia (58,3%). Disfungsi otonom yang ditemukan paling sedikit (27,8%). Rerata dan SD dari skor nyeri keseluruhan pada semua penderita adalah 15,19 ± 5,94 dan range berkisar dari 2 sampai 24. 72 sampel dalam penelitian ini dibagi ke dalam 2 kelompok, kelompok nyeri neuropatik meliputi penderita dengan skor total 12 atau lebih (45 penderita[ 62,5%]) dan kelompok nyeri nosiseptif terdiri dari penderita dengan skor total kurang dari 12( 27 penderita)[37,5%]). Rerata dan SD dari skor total pada kelompok nyeri neuropatik adalah 18,69 ± 3,84, nilai median 19 dan range berkisar antara 13-24. Rerata dan SD dari skor total nyeri nosiseptif adalah 9,37 ± 4,40, nilai mediannya 10. Rasio Odds dari masing-masing item skala nyeri LANSS juga dinilai untuk masing-masing kelompok. Adanya hubungan yang signifikan dari masing-masing item dapat diketahui pada kelompok nyeri neuropatik tapi tidak dengan kelompok nyeri nosiseptif. Range Resiko relatif (RR) tertinggi dari gejala dan tanda nyeri neuropatik berkisar dari 4 (disestesia) sampai 1 (nyeri paroksismal).

Page 41: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 7

Tabel 4. Estimasi dari Item Skala Nyeri LANSS Penderita dan Hubungannya dengan Tipe Nyeri

Item Skala Nyeri LANSS

Neuropatik Nosiseptif Rasio Odds 95 % CI Lower - Upper

Disestesia - Ada (63) - Tidak ada (9)

42 3

21 6

4

2,8 – 5,1

Disfungsi otonom - Ada (20) - Tidak ada (52)

19 26

1

26

1,9

0,86 – 2,1

Nyeri bangkitan - Ada (51) - Tidak ada (21)

36 9

15 12

1,6

0,1 – 2,2

Nyeri Paroksismal - Ada (61) - Tidak ada (11)

38 7

23 4

1

0, 3 – 1,3

Nyeri Suhu - Ada (54) - Tidak ada (18)

39 6

15 12

2,1

0,5 – 2,7

Allodynia - Ada (42) - Tidak ada (30)

37 8

5

22

2,9

0,9 – 4.0

Perubahan PPT - Ada (47) - Tidak ada (25)

43 2

4

23

1,2

0,3 – 2,3

*Uji Chi-Square DISKUSI Penderita pada nyeri kronik mengandalkan pada dokter mereka untuk mengidentifikasi mekanisme khusus yang menyebabkan nyeri mereka dan memilih pengobatan yang sesuai untuk nyeri tersebut. Baik nyeri nosiseptif maupun neuropatik dapat berkontribusi terhadap NPB kronik. Walaupun dari literatur banyak terdapat informasi tentang prevalensi dan insiden NPB, sedikit informasi yang diperoleh tentang neuropatik sebagai suatu faktor kontributor.10 Mekanisme patofisiologi yang berbeda terlibat dalam pembangkitan NPB neuropatik. Lesi dari nosiseptif yang bertunas sampai diskus degeneratif, kompresi mekanik dari saraf atau pelepasan mediator inflamasi merupakan mekanisme yang terlibat dengan NPB neuropatik.12 Diagnosis dini dari nyeri neuropatik merupakan langkah pertama dalam terapi efektif. Untuk membedakan diantara dua tipe nyeri, berbagai tes klinis sebaiknya digunakan. Skala nyeri LANSS adalah berdasarkan analisa data yang diperoleh selama pemeriksaan bedside.13 Sistem skoring sederhana berdasarkan rasio odds dari tiap item digunakan untuk memberikan informasi segera pada para klinisi. Dari hasil penelitian ini diperoleh 45 penderita NPB kronik mengalami nyeri neuropatik, dimana 27 penderita lainnya mengalami nyeri nosiseptif. Insiden yang tinggi dari nyeri neuropatik pada kasus-kasus NPB dapat menjadi temuan baru bagi para klinisi dimana NPB radikulopati merupakan satu-satunya gejala dari nyeri neuropatik. Kesalahan diagnosa dari NPB neuropatik kemungkinan akibat dari pengamatan yang berlebihan terhadap serabut saraf sebagai satu-satunya penyebab

Page 42: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 8

nyeri neuropatik pada NPB atau kesalahan diagnosa dari struktur saraf lain dan proses inflamasi (sensitisasi sentral dan perifer). Penemuan ini dapat menjelaskan respon yang jelek pada beberapa penderita NPB terhadap NSAID atau analgesik lain, meskipun responnya baik terhadap pendekatan terapetik seperti antidepresan dan obat antikonvulsan.10

Bennett dkk telah membuktikan bahwa skala nyeri LANSS merupakan suatu alat ukur yang mudah untuk membedakan nyeri neuropatik dari nyeri nosiseptif. Pada penelitiannya , disestesia merupakan gejala diskriminasi yang paling sering dan disfungsi otonom serta nyeri suhu adalah yang paling sedikit.14 Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa disestesia merupakan gejala abnoral nyeri yang paling sering (87,5%), yang diikuti dengan nyeri paroksismal (84,7%) dan perubahan PPT (65,3%) lebih tinggi daripada allodynia(58,3%). Disfungsi otonom adalah yang paling sedikit dijumpai (27,8%). Alasan lebih banyak disestesia karena gejala ini telah sering ditemukan pada nyeri neuropatik daripada nyeri nosiseptif. Adanya beberapa gejala dan juga disfungsi sensorik pada penderita nosiseptif, kemungkinan berhubungan dengan kesalahpahaman antara penderita dengan klinisi atau diagnosa klinis yang tidak tepat, atau kemungkinan akibat dari kesulitan memisahkan kedua tipe nyeri secara jelas tanpa adanya overlapping. Pada penelitian ini, nyeri neuropatik lebih sering dijumpai pada penderita usia tua daripada nyeri nosiseptif. Akan tetapi, rerata usia pada kedua kelompok adalah 52,92 ±13,51, dimana berhubungan dengan usia yang lazim pada NPB. Nyeri neuropatik lebih sering pada perempuan daripada nyeri nosiseptif, sedangkan laki-laki mengeluhkan kedua tipe nyeri dalam cara yang sama. Tinggi badan tampak tidak penting terhadap prevalensi nyeri neuropatik pada penderita NPB. Akan tetapi berat badan yang meningkat pada penderita NPB kelihatan berpengaruh terhadap nyeri neuropatik daripada nyeri nosiseptif. Prevalensi yang rendah dari nyeri neuropatik pada penderita diabetes melitus kemungkinan berhubungan dengan jumlah kasus yang diambil atau kadar gula darah yang terkontrol dengan baik. Akan tetapi dalam penelitian ini, hipertensi tampak berpengaruh terhadap nyeri neuropatik. Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini adalah jumlah sampel yang sedikit dan waktu penelitian yang singkat. Selain itu, terdapat kesulitan dalam menentukan persentase kontribusi pada nyeri neuropatik untuk semua NPB. Keterbatasan lainnya adalah kesulitan dalam menentukan validitas tes pin prick dalam menimbulkan nyeri neuropatik dan kekurangan randomisasi selama pengumpulan penderita. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nyeri neuropatik merupakan kontibutor utama terhadap NPB kronik sehingga dengan diketahuinya gejala nyeri neuropatik lebih dini dapat memudahkan para klinisi untuk memberikan terapi yang sesuai dan efektif pada penderita NPB kronik. Dengan adanya skala nyeri LANSS , para klinisi dapat dengan mudah mengidentifikasi gejala dan tanda nyeri neuropatik lebih dini. DAFTAR PUSTAKA 1. Sadeli HA, Tjahjono B. Nyeri Punggung Bawah. Dalam : Meliala L,Suryamiharja A, Purba JS,

Sadeli HA editor. Nyeri Neuropatik. Patofisiologi dan Penatalaksanaan. Kelompok Studi Nyeri Perdossi 2001. Jakarta. hal 145

2. Waddell G. Low Back Pain. In : Merskey H, Loeser JD, Dubner R eds. The Paiths of Pain 1975-2005. USA : IASP Press 2005; p. 379

3. Wheeler A. Pathophysiology of Chronic Back pain. Available from : http://www.emedicine.com/html

4. Bogduk N, Van Tulder M, Linton SJ. Low back Pain. In : IASP Scientific Programm Committee. Pain 2005 – An Updated Review. USA : IASP Press 2005; p. 71

Page 43: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 9

5. Cochran Back Group. Acute and chronic low back pain.Effective Health Care bulletins 2000; (5) : 2-8

6. Woolf CJ, Bennett GJ, Doherty M et al. Towards a mechanism – based classification of pain ? Pain 1998;77:227-29

7. Ward SP. Neuropathic Pain. In : Dolin SJ, Padfield NL eds. Pain Medicine Manual 2nd edition. Butterworth-Heinemann 2004; p. 37

8. Kelompok Studi Nyeri Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Nyeri Neuropatik. Jakarta. 2000

9. Meliala L. Terapi Rasional Nyeri. Tinjauan khusus nyeri neuropatik. Edisi ke-1. Yogyakarta. Aditya Media 2004; hal 3

10. Kaki A, El-Yaski AZ, Youseif E. Identifying neuropathic pain among patients with chronic low back pain : use of the Leeds assessment of neuropathic symptoms and signs pain scale. Regional Anaesthesia and Pain Medicine 2005; 30(5): 422-28

11. Hassan AE, Saleh HA, Baroudy YM et al. Prevalence of neuropathic pain among patients suffering from chronic low back pain in Saudi Arabia. Saudi Med J 2004; 25(12) : 1986-90

12. Baron R, Binder A. How neuropathic is sciatica ? The mixed pain concept (in German). Orthopade 2004;33:568-575

13. Yucel A, Senocak M, Kocasoy Orhan E, et al. Results of the Leeds Assessment of neuropathic symptoms and signs pain scale in Turkey : A validation study. J Pain 2004; 5: 427-432

14. Bennett M. The LANSS pain scale : The Leeds Assessment of neuropathic symptoms and signs. Pain 2001; 92: 147-157

S-LANSS PAIN SCORE Nama Nama : Jenis Kelamin Jenis kelamin : Umur Umur : Tanggal Tanggal : No. MR No. Rekam Medis : Diagnosa Diagnosa : Arsirlah pada Arsirlah diagram di bawah ini, dimana anda merasakan nyeri. Bila anda merasa nyeri

pada lebih dari satu tempat, hanya arsir pada daerah yang anda rasakan sakitnya paling parah.

Page 44: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 10

Pada skala Pada skala di bawah ini, tentukanlah seberapa parah sakit yang anda rasakan (sesuai

dengan daerah yang anda tunjukkan pada gambar diatas), dimana “0” berarti tidak sakit dan “10” berarti sakit yang paling parah.

TIDAK SAK TDAK SAKIT 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 SAKIT PALING PARAH

S – LANSS 1. Pada daerah yana anda rasa sakit, apakah anda juga merasakan sensasi

seperti tertusuk “ jarum atau jarum pentul “, kesemutan, atau menusuk-nusuk ?

a. TIDAK –Saya tidak merasakan sensasi-sensasi tersebut (0) b. YA – Saya sering merasakan sensasi-sensasi tersebut (5)

2. Apakah daerah yang terasa sakit mengalami perubahan warna ( seperti lebih kemerahan) saat sakitnya terasa sangat hebat?

a. TIDAK – Rasa sakitnya tidak mempengaruhi warna kulit (0) b. YA – Saya telah melihat bahwa rasa sakitnya membuat kulit saya (5)

terlihat berbeda 3. Apakah sakitnya mengakibatkan kulit yang terlibat sangat sensitif

terhadap sentuhan ? Merasakan sensasi yang tidak menyenangkan atau nyeri saat dengan lembut mengusap kulit dapat menjelaskan keadaan ini.

a. TIDAK – Rasa sakitnya tidak menyebabkan kulit pada daerah (0) tersebut menjadi sangat sensitif terhadap sentuhan

b. YA – Kulit pada daerah tersebut menjadi sangat sensitif terhadap (3) sentuhan

4. Apakah sakit yang anda rasakan datang secara tiba-tiba dan hebat tanpa ada alasan yang jelas saat anda sedang berdiam diri ? Kata-kata “ kejut listrik “, melompat, dan renjatan dapat menjelaskan keadaan ini.

a. TIDAK – Sakit yang saya rasakan tidak seperti itu (0) b. YA – Saya sering merasakan sensasi-sensasi itu (2)

5. Pada area dimana terasa sakit, apakah kulitnya terasa panas seperti nyeri terbakar?

a. TIDAK – Saya tidak merasakan nyeri terbakar (0) b. YA – Saya sering merasakan nyeri terbakar (1)

6. Dengan lembut usaplah daerah yang terasa sakit dengan jari telunjuk anda kemudian usaplah daerah yang tidak sakit (contohnya daerah kulit yang jauh atau berlawanan sisi dengan daerah yang nyeri). Bagaimana rasa usapan pada daerah yang sakit tersebut?

a. Daerah yang sakit tidak terasa berbeda dengan yang tidak sakit (0) b. Saya merasakan tidak nyaman, seperti tertusuk jarum dan (5)

jarum pentul, kesemutan atau terbakar pada daerah yang sakit yang berbeda dengan daerah yang tidak sakit

7. Dengan lembut tekanlah daerah yang terasa sakit dengan ujung jari anda, kemudian tekanlah dengan lembut juga pada daerah yang tidak sakit. Bagaimana rasa usapan pada daerah yang sakit?

a. Daerah yang sakit tidak terasa berbeda dengan yang tidak sakit (0) b. Saya merasakan kebas-kebas atau nyeri tekan pada daerah yang (3)

Page 45: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 11

sakit yang berbeda dengan daerah yang tidak sakit

Page 46: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010

1

Artikel Laporan Kasus

Low Level Neurological States pada SDH dan EDH Post Kraniotomi Tinjauan Terminologi, Diagnosis, Terapi, Prognosis

Dini Fajri Hastuti*, Al Rasyid**, Mursyid Bustami**, Lyna Soertidewi**

ABSTRACT Traumatic brain injury is the most often case. Intracranial bleeding such as epidural hematoma

(EDH) and subdural hematoma (SDH) is two things of brain hemorrhages that would be happen in traumatic brain injury; and Low Level Neurological States (LLNSs) could be as an outcome in traumatic brain injury, there remains much uncertainty in diagnosing LLNSs. In this article, we review the terminology, diagnosis, therapy, and prognosis LLNSs in patien with history of traumatic brain injury. ABSTRAK

Cedera kepala merupakan kasus yang sangat sering. Perdarahan intrakaranial seperti epidural hematom (EDH) dan subdural hematom (SDH) dapat terjadi pada cedera kepala; dan Low Level Neurological States (LLNSs) dapat terjadi sebagai hasil akhir pada cedera kepala. Cukup sering terjadi perdebatan dalam menegakkan diagnosis pasien dengan LLNSs. Tulisan ini berupa suatu laporan kasus yang akan mencermati tentang terminologi, diagnosis, terapi, dan prognosis LLNSs pada pasien dengan riwayat cedera kepala. * Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf, FKUI/RSCM, Jakarta ** Staf Departemen Ilmu Penyakit Saraf FKUI/RSCM, Jakarta

PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan kasus yang sangat sering terjadi setiap harinya. Bahkan bisa dikatakan merupakan kasus yang hampir selalu dijumpai di unit gawat darurat setiap rumah sakit. Istilah lain yang sering digunakan adalah Traumatic Brain Injury (cedera kapala traumatik) yang umumnya didefinisikan sebagai kelainan non-degeneratif dan non-kongenital yang terjadi pada otak, sebagai akibat adanya kekuatan mekanik dari luar, yang berisiko menyebabkan gangguan temporer atau permanen dalam hal fungsi kognitif, fisik, dan fungsi psikososial, dapat disertai dengan penurunan atau hilangnya kesadaran.1

Epidural hematom atau dalam beberapa literatur disebut juga sebagai ekstradural hematom, adalah keadaan dimana terjadi penumpukan darah diantara duramater dan tabula interna tulang tengkorak. Diperkirakan 2% dari seluruh kejadian cedera kepala. Sumber perdarahan yang paling lazim adalah dari cabang arteri meningea media, akibat fraktur yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Namun kadangkala dapat pula dari arteri atau vena.Sedangkan subdural hematom (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara lapisan duramater dan arakhnoid. Perdarahan jenis ini relatif lebih banyak terjadi daripada epidural hematom, dan memiliki angka mortalitas yang tinggi antara 60-70% untuk yang sifatnya akut. Perdarahan yang terjadi dapat berasal dari pecahnya bridging vein (vena jembatan). Subdural hematom akut merupakan SDH dengan gejala klinis yang timbul segera atau beberapa jam, bahkan sampai 3 hari setelah terjadinya trauma. Sedangkan pada subdural hematom kronik gejala klinis muncul baru setelah lebih dari 10 hari, bahkan sampai beberapa bulan setelah terjadinya cedera kepala.2

Low Level Neurological States (LLNSs) tidak jarang terjadi sebagai hasil akhir pada pasien dengan cedera kepala. Namun, belum ada angka pasti mengenai insidens dan prevalensi LLNSs. Di Amerika Serikat, jumlah individu yang mengalami Low Level Neurological States (LLNSs) setelah cedera kepala setiap tahunnya sekitar 56 dan 170 per sejuta.3

Page 47: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010

2

Tidak jarang terjadi perdebatan dalam menegakkan diagnosis pasien dengan LLNSs, oleh karena kerancuan dengan diagnosis lainnya, seperti : koma, status vegetatif, minimally conscious states (MCS), akinetik mutisme, atau Locked-in Syndrome (LIS). Oleh karena itu, pada makalah ini akan digarisbawahi pemaparan tentang terminologi, diagnosis, terapi, dan prognosis LLNSs pada pasien dengan riwayat cedera kepala.4

ILUSTRASI KASUS Tn. A, 27 tahun, seorang petugas keamanan datang dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 2 bulan SMRS (melalui alloanamnesis).

Dua bulan SMRS pasien terjatuh dari ketinggian ± 5 meter (lantai 55 ke lantai 53 bangunan perusahaan). Mekanisme kejadian tidak diketahui. Muntah (+) 1 kali, volume tidak jelas. Perdarahan THT (-), kejang (-). Pasien langsung tak sadarkan diri dan segera dibawa ke RS setempat. Hasil CT-Scan kepala onset 24 jam pertama: tampak gambaran subdural hematom di temporoparietal dextra. Volume perdarahan ± 23cc, terlihat herniasi subfalcine ± 2 mm ke kanan. Pasien dilakukan operasi kraniotomi karena SDH pada hari yang sama. Setelah operasi kesadaran pasien sama dengan keadaan sebelum operasi. CT-Scan kepala hari ke-4 perawatan: tampak gambaran EDH di daerah temporoparietal dekstra dengan volume ± 40cc, dan terdapat subgaleal hematom di daerah temporoparietal dekstra. Tampak defek pada os temporoparietal dekstra (post op).

11 Mei 2009 14 Mei 2009

Pada hari ke-4 perawatan dilakukan operasi kraniotomi kedua karena EDH. Sejak saat itu pasien dirawat di ICU RS tersebut selama ± 2 minggu, dilakukan trakeostomi dan didapatkan kesan penurunan kesadaran pasca kraniotomi ec. subdural hematom dan epidural hematom. Pasien tidak memiliki riwayat mengkonsumsi alkohol dan obat-obatan yang dapat mengganggu pembekuan darah. Pasien dirujuk ke RCSM karena fasilitas yang lebih lengkap.

Dari pemeriksaan fisik di IGD RSCM, tekanan darah 100/60mmHg, frekuensi nadi 92 x/menit, teratur, frekuensi napas 20x/menit dan suhu 36oC. Pada pemeriksaan status generalis tidak didapatkan jejas di bagian-bagian tubuh pasien, didapatkan jahitan bekas operasi kraniotomi di regio temporal kanan dan kiri. Terdapat ronkhi di kedua lapangan paru. Terlihat ulkus dekubitus di area lumbosakral L4-5 dengan dasar otot, ukuran 5 x 8 cm, terdapat darah dan juga sedikit pus. Dari pemeriksaan neurologis, E3 M4 Vtrakeostomi, pupil bulat, anisokor, diameter 4mm/6mm, RCL + / +, RCTL + / +. Pada pemeriksaan nervus kranialis didapatkan kesan paresis N.VII dekstra dan kesan hemiparesis dupleks. Refleks fisiologis dalam batas normal dan tidak didapatkan refleks patologis. Pemeriksaan sensorik belum dapat dinilai. Pasien terpasang kateter urine dan pampers.

Pemeriksaan penunjang di IGD RSCM saat pasien masuk: pemeriksaan darah: Hb: 10.5, Ht: 33, Leukosit: 10.700, Trombosit: 428.000, Gula Darah Sewaktu: 93, Ureum: 13, Kreatinin: 0,5, Elektrolit Na/K/Cl:130/3,54/101.0. Analisis Gas Darah: pH: 7,38, pO2: 167,4, pCO2: 38,4, HCO3: 23,4, Bec ef: -1,8, Sat. O2: 98,3%. Rontgen toraks: infiltrat pada perihiler dan perikardial kanan dan kiri. CT-Scan kepala dengan bone window:

Page 48: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010

3

Dibandingkan CT-Scan sebelumnya: masih tampak subdural hematom di parietal kiri, perdarahan di lobus frontal kanan dan temporoparietal kanan kronik dengan hidrosefalus obstruktif, infark di thalamus kanan dan frontal kanan, pneumoensefal temporal kanan, defek pada os temporoparietal bilateral (post op), mastoiditis bilateral. Hari perawatan ke-7, kesadaran pasien ditetapkan sebagai status vegetatif. Tekanan darah 100/70 mmHg, frekuensi nadi 80 x/menit, teratur, frekuensi nafas 35 x/menit, suhu tubuh 38,7°C. SKG E4 M4 Vtrakeostomi. Pupil bulat, isokor, Ø 4mm/6mm, RCL +/+ (menurun), RCTL +/+ (menurun). Hari perawatan ke-13, tekanan darah 90/60 mmHg, frekuensi nadi 138 x/menit, frekuensi nafas 32 x/menit, suhu tubuh 38,6°C. kesadaran berdasarkan nilai Skala Koma Glasgow, E4 M4 V(trakeostomi). Pupil bulat anisokor, diameter 6 mm/ 4 mm, RCL -/-, RCTL -/-.

Ditegakkan diagnosis, status vegetatif, hemiparesis dupleks, paresis N. VII dekstra. Prognosis ad vitam dubia ad malam, ad functionam dubia ad malam, ad sanactionam malam.

DISKUSI

Pada ilustrasi kasus di atas telah digambarkan kasus penurunan kesadaran pada pasien pasca kraniotomi ec. SDH dan EDH.

Masalah pertama pada pasien ini adalah penyebab terjadinya EDH pada hari keempat pasca evakuasi SDH. Sejauh ini tidak diketahui secara pasti penyebab terjadinya EDH pada sisi kontralateral lesi awal (SDH) pada pasien ini. Muncul beberapa kemungkinan penyebab. Kemungkinan pertama, bahwa mungkin sudah terdapat EDH sejak onset hari pertama yang baru semakin lama semakin bertambah volumenya. Namun, pada CT-Scan kepala pada 24 jam pertama tidak tampak gambaran EDH meskipun tipis pada sisi tersebut. Selain itu, sejauh ini jarang didapatkan kasus terjadinya late EDH yang terjadi pada onset hari ke- empat. Berdasarkan literatur, kemungkinan perdarahan intrakranial yang baru muncul pada hari keempat pada pasien dengan riwayat cedera kepala adalah ICH atau SDH subakut. SDH kronis muncul setelah lebih dari 10 hari sampai beberapa bulan setelah terjadinya cedera kepala. Namun pada CT-Scan kepala pasien ini jelas yang terlihat adalah EDH dengan gambaran bikonvek. Alasan-alasan ini menyingkirkan kemungkinan pertama. Kemungkinan kedua adalah adanya gangguan hemostasis yang dapat diketahui pasti dari hasil pemeriksaan hemostasis. Dari anamnesa tidak didapatkan riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi hemostasis dan tidak didapatkan riwayat perdarahan yang menandakan adanya gangguan hemostasis pada pasien ini. Pada pemeriksaan hemostasis, terjadi peningkatan kadar fibrinogen dan D-Dimer, namun hal ini relatif normal pada kasus perdarahan. Sehingga kemungkinan penyebab dikarenakan gangguan hemostasis dapat disingkirkan. Selain itu, kecil kemungkinan pasien dengan gangguan hemostasis dapat terjadi EDH yang disertai dengan subgaleal hematom pada sisi ipsilateral tanpa adanya riwayat cedera kepala pada sisi yang sama. Sehingga kemungkinan kedua juga disingkirkan.

Pada pemeriksaan neurologis, didapatkan kesan paresis N.VII dekstra dan kesan hemiparesis dupleks dengan spastisitas pada keempat ekstremitas. Refleks fisiologis dalam batas normal dan tidak didapatkan refleks patologis. Hemiparesis dupleks yang terjadi pada pasien ini disebabkan oleh SDH dan EDH. Sedangkan paresis N. VII dekstra disebabkan oleh karena SDH, sesuai dengan topis perdarahan.

Status Vegetatif Keadaan status vegetatif yang merupakan salah satu keadaan Low Level Neurological States (LLNSs). Pasien dalam kasus ini, mengalami penurunan kesadaran yang kemudian dalam perawatan di RSCM dinilai sebagai status vegetatif. Di Eropa, terminologi “coma vigile” yang berarti sama dengan keadaan status

Page 49: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010

4

vegetatif telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai diagnosa untuk pasien yang membuka mata tapi tidak memiliki respon terhadap stimulasi apapun. Pada pasien dengan status vegetatif terjadi degenerasi korteks serebri yang difus dan bilateral, namun batang otak dan fungsinya relatif intak.5

Dikatakan persistent jika berlangsung 1 bulan setelah kerusakan otak traumatik atau non traumatik. Dikatakan permanen jika berlangsung hingga 3 bulan setelah kerusakan otak non-traumatik atau 12 bulan setelah cedera kepala. Menurut Jennet dan Plum, status vegetatif digambarkan sebagai keadaan pasien dapat membuka mata secara spontan terhadap rangsang suara, dapat bernafas spontan, sistem kardiovaskular dan otonom normal. Mayoritas pasien-pasien ini memiliki fungsi batang otak yang normal, meskipun dengan gambaran EEG yang isoelektrik.5

Kriteria status vegetatif menurut American Neurological Association Committee on Ethical Affairs: • Membuka mata spontan. Tidak ada kepedulian terhadap diri sendiri ataupun lingkungan sekitarnya. • Tidak ada komunikasi sama sekali antara pasien dengan pemeriksa. Mata pasien mengikuti stimulus

visual, meskipun pergerakan bola mata (visual tracking) terkadang dapat saja terjadi. Tidak ada respon emosional.

• Tidak dapat berbicara ataupun mouthing of words. • Tersenyum, tangisan, mungkin saja muncul secara inkonsisten. • Didapatkan siklus tidur-bangun. • Refleks spinal dan refleks batang otak bervariasi. Refleks primitif mungkin saja muncul. Pupil

bereaksi terhadap cahaya, refleks oculocephalic, refleks genggam dan refleks tendon juga mungkin muncul.

• Munculnya gerakan yang disadari dan perilaku, tidak peduli seberapa kasar bentuknya, merupakan tanda kognitif dan tidak sesuai dengan diagnosis status vegetatif persisten.

• Kontrol tekanan darah dan fungsi kardiorespirasi intak. Inkontinens urin et alvi ditemukan.5,6 Terapi Status Vegetatif

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa obat-obatan dapat membantu pemulihan kesadaran pada pasien dengan status vegetatif. Passler dan Riggs dalam penelitian retrospektifnya memaparkan bahwa pengaruh dari intervensi rehabilitasi secara multidisiplin dan penggunaan bromokriptin terhadap outcome pasien Traumatic Brain Injury (TBI) dengan status vegetatif dapat meningkatkan pemulihan kesadaran pasien. Kelin et al memaparkan bahwa metylphenidate pada pasien dewasa dengan TBI akut ditoleransi dengan baik, memperlihatkan peningkatan atensi, dan berkorelasi dengan pemulihan kesadaran yang lebih cepat meskipun tidak bermakna secara statistik. Penggunaan Sinemet juga telah diteliti, tetapi belum menunjukkan hasil yang jelas. Haig dan Ruess menyarankan penggunaan Sinemet oleh karena efek sampingnya yang relatif sedikit. Mereka memaparkan suatu kasus pasien TBI, laki-laki 24 tahun dengan status vegetatif selama 6 bulan, kesadaran pasien membaik beberapa hari setelah pemberian sinemet. Methaler et al., meneliti secara tersamar ganda, acak, plasebo-kontrol, studi potong lintang terhadap 35 subjek TBI dengan GCS 10 atau kurang, dengan onset dalam 24 jam pada saat masuk ke rumah sakit. Berdasarkan hasil penelitian ini, terjadi pemulihan kesadaran yang cepat secara konsisten pada pasien-pasien tersebut (tanpa memandang DAI-terkait TBI) setelah pemberian amantadin dalam 3 bulan pertama. Efek toksik amantadin (koma, psikosis, kematian, masalah kardiovaskular) terjadi pada pasien dengan ganggguan fungsi ginjal. Menurut Schneider et al. dalam penelitiannya tehadap 10 subjek TBI dewasa di unit rehabilitasi cedera kepala akut, tidak terlihat perbedaan bermakna antara amantadin dibandingkan dengan plasebo.6 Prognosis Status Vegetatif

Minderhound dan Braakman menemukan bahwa 58% bertahan lebih dari 3 tahun, 34% lebih dari 6 tahun, dan 22% lebih dari 8 tahun. Mereka yang dapat bertahan lebih lama, menunjukkan peningkatan kesadaran, namun dengan kecacatan yang berat. Kualitas hidup pasien dengan status vegetatif tergantung kepada perawatan yang diberikan, terutama karena sebagian besar mereka menjalani perawatan selanjutnya di rumah dan dirawat oleh anggota keluarganya sendiri. Masalahnya, tidak semua anggota keluarga memiliki pangetahuan dan kemampuan yang baik dalam merawat pasien dengan status vegetatif, begitu juga dengan permasalahan dari segi keuangan keluarga.6

Page 50: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010

5

Penyebab utama kematian pada pasien dengan status vegetatif adalah infeksi traktus respiratorius (±50%) dan gagal jantung (30%). Prognosis tidak bergantung secara bermakna kepada umur dan penyebab status vegetatif. Namun beberapa literatur menyatakan bahwa prognosis lebih buruk pada pasien status vegetatif oleh karena non-TBI.6,7 Koma

Terminologi koma digunakan untuk kondisi pasien dengan mata tertutup terus-menerus dan tidak dapat dibangunkan, tidak terjadi respon buka mata atau sadar secara spontan meskipun diberikan rangsangan apapun. Koma biasanya terjadi akibat lesi luas di daerah batang otak, atau kedua hemisfer serebri, atau secara bersamaan batang otak dan hemisfer serebri. Penyebab koma yang sering terjadi diffuse axonal pathology, hipoksia, dan lesi di batang otak.6

Minimally Responsive State/Minimally Consiousness State (MCS) Terminologi ini dipakai untuk menggambarkan keadaan pasien dengan penurunan kesadaran yang berat,

namun tidak memenuhi kriteria koma atau status vegetatif. Karakteristik utamanya adalah tingkat kesadaran yang terkadang berubah-ubah. Perbedaan antara koma dan MCS sangat penting dalam mempertimbangkan perencanaan terapi dan prognosis pasien. Menurut Giaciano et al., perbedaan khas MCS dengan koma dan status vegetatif persisten adalah adanya behavioral awareness, meskipun tidak konsisten. Kriteria MCS menurut Giaciano et al., yaitu:

• Pasien dapat mengikuti perintah ringan. • Terlepas dari ketepatan jawaban yang diberikan, pasien dapat memberi respon terhadap pertanyaan ya

atau tidak. • Adanya kata-kata verbal yang cukup dapat dimengerti. • Pasien menunjukkan perilaku melalui gerakan yang bertujuan, dan adanya reaksi yang afektif

terhadap stimulus yang sesuai, seperti: o Tersenyum atau menangis terhadap stimulus verbal yang sesuai o Respon berupa fokal ataupun gestur terhadap pertanyaan verbal o Mencoba meraih objek o Menyentuh atau memegang benda sesuai ukuran dan bentuknya o Mempertahankan tracking dan fiksasi visual6

Giacino dan Kalmar, pada penelitiannya menemukan bahwa prognosis pasien dengan MCS lebih baik daripada pasien status vegetatif, terutama pasien TBI. 50% pasien TBI dengan MCS memperlihatkan setelah 12 bulan, tidak menunjukkan disabilitas sama sekali, ataupun hanya disabilitas ringan.3

Akinetik Mutisme Terminologi akinetik mutisme diperkenalkan oleh Cairns et al. untuk menggambarkan pasien yang

sadar dan dan memiliki visual tracking, namun terbatas dalam gerakan dan kemampuan berbicara. Pasien dengan akinetik mutisme sama sekali tidak bergerak, tapi tidak mengalami paralisis total, dapat mempertahankan pandangan berfokus terhadap benda yang menandakan bahwa pasien tersebut awas terhadap lingkungan di dekatnya, namun tidak dapat berkomunikasi. Pasien-pasien ini memperlihatkan sedikit gerakan otot, dan pada dasarnya memberikan respon terhadap stimulasi nosiseptif. Secara topis, lesi terletak di daerah frontal-basal (sella tursica) dan daerah posterior mesencephalon. Beberapa literatur terkadang menyamakan akinetik mutisme dengan status vegetatif.6

Sindrom Locked-in (Locked-in Syndrome/LIS) LIS merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan tetraplegi dan melibatkan paresis nervus

kranialis, lateral gaze palsy dan mutisme paralitik. Pasien sadar penuh, dan sadar terhadap lingkungan sekitarnya. Satu-satunya tanda komunikasi dengan lingkungan sekitar hanya dengan kedipan dan gerakan bola mata secara vertikal. LIS terjadi akibat lesi di batang otak, biasanya terjadi di pons bagian ventral. Kebanyakan pasien dengan postur deserebrasi, keempat anggota gerak kaku. Postur ini dapat terjadi secara spontan atau sebagai respon terhadap nyeri. Pasien LIS juga mengalami gangguan pernafasan. Ketika terjaga, pasien dapat membuka mata, mengedip, dan melakukan gerakan bola mata. Pasien TBI dengan LIS berkisar 13.6%.6

Page 51: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010

6

Ada 3 kategori diagnosis LIS: 1. LIS komplit

Disebabkan oleh lesi luas di pons bagian ventral. Pasien sama sekali tidak dapat bergerak (terkecuali dalam bentuk kedipan), dan gambaran EEG memperlihatkan fungsi kortikal normal. 2. LIS tidak komplit Disebabkan oleh lesi primer di batang otak, namun dalam masa penyembuhannya pada satu minggu pertama, pasien dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu.

3. Pseudo-LIS Terjadi ketika lesi di kortikal memberikan kerusakan sekunder ke batang otak. Gejalanya sama dengan LIS, hanya ditambah dengan gejala akibat lesi primernya.

Pasien ini, ditagakkan diagnosa sebagai status vegetatif yang merupakan salah satu keadaan Low Level Neurological States (LLNSs) oleh karena memenuhi kriteria status vegetatif menurut American Neurological Association Committee on Ethical Affairs. Meskipun kriteria verbal (bicara/komunikasi) tidak dapat sepenuhnya diperiksa (pasien dengan trakeostomi), tetapi tidak menggugurkan diagnosis status vegetatifnya. KESIMPULAN Pada kasus ini kemungkinan terjadinya late EDH belum dapat disingkirkan. Pasien berada pada keadaan status vegetatif yang merupakan salah satu keadaan Low Level Neurological States (LLNSs), karena memenuhi kriteria status vegetatif menurut American Neurological Association Committee on Ethical Affairs. Pasien dengan LLNSs secara umum menjalani tata laksana jangka panjang harus intensif, holistik, dan mencakup mulitidisiplin program rehabilitasi. DAFTAR PUSTAKA

1. Andradi S. Penatalaksanaan Konservatif Cedera Kepala. Dalam Wahjoepramono EJ, Siahaan YM, editor. Kegawatdaruratan Saraf dan Bedah Saraf. Tangerang: Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan, Karawaci; 2004; 13-27.

2. Iskandar J. Cedera Kepala: Aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer-Kelompok Gramedia; 2004.

3. Giacino et al. The Minimally Conscious State: Definition and Diagnostic Criteria. http://www.neurology.org/cgi/content/full/58/3/349/TBL1 4. Zasler N. Low Level Neurological States Following Traumatic Brain Injury. Washington: International Brain Injury Association; 2006.

5. Leon-Carrion J, Rosario DM, Morales D, Roldan JMD. Low-level Responsive States. In: Leon-carrion J, von Wild KRH, Zitnay GA, editor. Brain Injury Treatment Theories and Practices. New York: Taylor and Francis;2006. 6. Plum F. Posner JB. The Diagnosis of Stupor and Coma. Philadelphia: F. A. Davis; 2006 7. Giacino at all . Brain Function After Severe Brain Damage. 2004. Lancet Neurology 3: 537-46

Page 52: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010

1

Artikel Tinjauan Pustaka

NYERI FIBROMIALGIA : NYERI PATOLOGI ATAU NYERI IDIOPATIK?

Jan S. Purba* ABSTRACT Fibromyalgia (FM) is a chronic, multidimensional, idiopathic pain syndrome defined by widespread musculoskeletal pain. The FM refers to a collection of symptoms with no clear pathologic cause, but the symptoms together constitute a clearly recognizable and distinct pathologic entity. Clinically, fibromyalgia involves muscle, ligament, and tendon (connective tissue) pain and stiffness, which does not affect the joints. Most fibromyalgia sufferers experience chronic and widespread pain that can get worse when they are exposed to certain aggravating factors. Many recent studies have emphasized the role of central nervous system pain processing abnormalities in FM, including central sensitization and inadequate pain inhibition. The diagnosis is made through the examiner’s clinical observations. The differential diagnosis must include other somatic syndromes as well as disease entities, including hypothyroidism, diabetes mellitus, electrolyte imbalance, multiple sclerosis, and cancer. Because fibromyalgia is chronic and may affect all areas of an individual’s functioning, the physician needs to also evaluate the social support systems of patients with fibromyalgia. The approach to treatment should integrate patient education as well as nonpharmacologic and pharmacologic modalities. Unfortunately, treating fibromyalgia pain isn’t always easy. Key words : fibromyalgia – pathological pain or idiopathic pain ABSTRAK Fibromialgia (FM) adalah nyeri muskuloskletal yang kronik, multidimensi dan idiopatik. Sebutan nyeri fibromialgia merupakan kumpulan simtoma yang penyebabnya tidak jelas walaupun dengan keluhan yang nyata seperti nyeri otot, nyeri ligamentum dan tendon tanpa keluhan persendian. Beberapa studi membuktikan adanya keterlibatan sistem saraf sentral dalam patologi FM dalam bentuk sensitasi sentral. Pada umumnya keluhan nyeri FM berlangsung kronik dan bisa diperberat oleh keberadaan faktor pemicu seperti stres psikologik maupun stres biologik. Untuk menentukan diagnosa dibutuhkan pemeriksaan dan observasi secara klinis. Diagnosa diferensial antara lain hipotiroid, diabetes melitus, gangguan keseimbangan elektrolit, multiple sclerosis, dan tumor. Fibromialgia adalah penyakit kronik oleh sebab itu penyakit ini akan berdampak pada permasalahan biopsikososial. Strategi terapi adalah dengan pendekatan edukasi disamping terapi farmakologik dan non-farmakologik walaupun hasilnya tidak selalu memuaskan. Kata kunci : fibromialgia – nyeri patologik atau nyeri idiopatik * Staf Departemen Ilmu Penyakit Saraf FKUI/RSCM, Jakarta

Page 53: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010

2

PENDAHULUAN Fibromialgia (FM) adalah nyeri kronik muskuloskletal idiopatik, multi dimensi dan bisa diperberat oleh beban stres yang berlebihan. FM merupakan penyebab utama yang paling banyak diantara penderita nyeri musukoskletal 1, 2. Disamping nyeri muskuloskletal sering juga ditemukan gangguan saraf otonom, gangguan sistem neuroendokrin dan neuropsikiatrik seperti stres dan depresi yang berdampak pada gangguan tidur, kelelahan yang berlebihan mengakibatkan gangguan kualitas hidup sehari-hari 3,4,5. Secara klinis ditandai dengan ditemukannya titik nyeri tekan yang sensitif dengan jumlah paling sedikit 11 dari 18 titik sesuia diagnosis menurut American College of Rheumatology, yang digambarkan berupa rasa panas terbakar dan menyebar keseluruh tubuh 6. Populasi penderita FM ditemukan antara umur 20-50 tahun dimana penderita wanita dibanding pria berkisar 9:1 7. Etiopatologi dari FM sampai sekarang ini belum diketahui dengan pasti namun beberapa studi menemukan bahwa susunan saraf pusat (SSP) berperan dalam patogenesis FM dengan munculnya sensitisasi nyeri 8,9. TANDA KLINIK Penderita FM secara umum mengalami keluhan nyeri difus yang dalam dan tersebar luas pada keseluruhan tubuh, mulai dari kepala sampai ke ujung jari kaki. Nyeri pada awalnya bisa tiba-tiba muncul dipicu oleh beban berupa fisik ataupun psikologik. Penderita FM juga sangat peka terhadap beberapa pemicu tertentu seperti panas atau dingin, cahaya, suara yang nyaring dan jenis bau-bauan7.Kondisi ini sering diiringi oleh gangguan tidur dengan kesulitan memulai tidur, sering terbangun serta kelelahan dan kekauan pada saat bangun pagi 10. Keluhan lain yang sering ditemukan seperti fenomen Raynaud terutama di bagian distal ekstremitas, kesulitan untuk berkemih, depresi, ansietas, nyeri kepala terutam tipe tegang, parestesia nondermatomal dan disfungsi persendian temporomandibular11. Sekitar 80% nyeri akan bisa menghilang dalam 2 minggu pertama akan tetapi bisa saja berlanjut menjadi kronik. PATOFISIOLOGI Penderita FM sangat sensitif terhadap tekanan pada titik nyeri begitu juga rabaan, panas, dingin, bahan kimiawi, cahaya, suara bising dan baubauan tertentu. Penyebab reaksi yang berlebihan ini tidak diketahui dengan pasti kemungkinan akibat nilai ambang sensorik yang rendah di sentral yakni SSP 12. Kelainan di sentral selain pada nilai ambang sensorik juga ditemukan sensivitas yang meningkat dari aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) terhadap stresor, peningkatan sekresi SP 13, serta peningkatan eksitatorik glutamat dan neutrofin di CSF 14,

15. Beberapa peneliti membuktikan bahwa mekanisme yang terjadi di sentral berperan dalam terjadinya nyeri berkaitan dengan penurunan neurotransmiter seperti serotonin (5-HT), atau juga insulin-like growth factor (IGF) N-methyl-d-aspartate (NMDA) beserta reseptornya dan norepinephrine 8, 16,17,18. Penurunan 5-HT ini diduga berkaitan dengan terjadinya ansietas dan depresi, migren dan gangguan gastrointestinal yang sering dialami penderita FM.

Page 54: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010

3

Selain itu ditemukan penurunan aliran darah ke talamus dan nukleus kaudatus sebagai daerah yang berperan dalam kontrol terhadap jaras nyeri 19. Gangguan sirkulasi ini kemungkinan diakibatkan oleh gangguan fungsi saraf otonom. Pada FM dengan hiperalgesia hanya dengan noksius yang sedikit diatas normal mengakibatkan perpanjangan respons dari nyeri evok. Hal ini terbukti pada pemeriksaan fMRI untuk nyeri evok ternyata hanya membutuhkan stimulus yang sangat rendah dibandingkan dengan yang sehat 16. Oleh sebab itu bisa disebutkan bahwa hipersensivitas terhadap jaringan saraf pada penderita FM jauh lebih dominan di banding dengan kondisi patologi nyeri dari otot itu sendiri 20. Keadaan hipersensif ini bisa merupakan penjelasan nyeri yang persisten dan kronik pada FM 7. Penderita FM juga sering mengalami gangguan tidur. Gangguan tidur sering dikeluhkan penderita FM dengan ditemukan kelainan patron perobahan gelombang alfa memasuki gelombang delta pada fase non–rapid eye movement (non-REM). Gangguan ini mengakibatkan penderita tidak bisa mencapai fase non-REM stadium 4 tidur nyenyak deep sleep 21. Dari lokasi nyeri dikatakan bahwa adanya keterlibatan jaringan neuromuskuler nosiseptor di perifer 22. Kelainan ini diduga terletak pada sensivitas titik nyeri dalam seperti yang terlihat pada nyeri viskeral Irritable Bowel Syndrome (IBS), nyeri di dada (yang bukan berasal dari jantung) dan begitu juga nyeri kepala dan iritasi kandung kemih 23,24. Sistem nosisepsi merupakan petanda adanya kerusakan dari tubuh yang pada keadaan normal secara intensif bisa menjadi lebih aktif 16. Penelitian dengan menggunakan teknik mikrodialisa pada titik nyeri ditemukan peningkatan beberapa neurotransmiter seperti proton, bradikinin, calcitonin gene-related peptide (CGRP), substansi P, TNF alfa, IL-1b, 5-HT dan norepinefrin di jaringan ikat dan otot serta serum pada penderita FM 25,26,27. Peningkatan dari transmiter ini akan mensensitasi nosiseptor di otot dan secara tidak langsung berperan terhadap sensitasi sentral dan nyeri kronik karena input nosiseptif di otot perperan sekali dalam menentukan sensitisasi sentral 28. Dengan demikian kelainan di otot berperan sekali terhadap mekanisme nyeri yang sangat sensitif di otot pada penderita FM. Proses nyeri nosiseptif yang intens berakibat pada perobahan atau plastisitas dari medula spinalis dan otak menyebabkan sensitisasi sentral dan nyeri. DIAGNOSIS Fibromialgia bukanlah diagnosis. Diagnosis didasari oleh anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan menggunakan kriteria yang dibuat oleh American College of Rheumatology (ACR) 29,30. Dengan menggunakan kriteria ini akan bisa mencapai keakuratan sebesar 85% untuk membedakan antara FM dengan penderita kronik muskulosketal lainnya 31. Pemeriksaan laboratorium hanya untuk memastikan penyakit lain. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mendiagnosa FM adalah faktor komorbiditas seperti gangguan tidur, ansietas dan depresi, nyeri kepala tipe tegang yang bisa mencapai 50% dari jumlah penderita 9. Penyakit lain yang bisa berasosiasi dengan FM antara lain IBS, dismenorrhea, restless legs syndrome dan fenomen Raynaud. Selain itu pertimbangan terhadap faktor pemicu seperti stres emosional, akibat pembedahan atau trauma dapat digunakan untuk membantu pendekatan ke arah penemuan diagnosis.

Page 55: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010

4

Diagnosa diferensial termasuk nyeri miofasial (myofascial syndrome), sindroma kelelahan yang berlebihan, hipotiroid, metabolik dan inflamasi miopati, polimialgia reumatika 9. PENANGGULANGAN Pada prinsipnya strategi penanggulangan FM terdiri dari a) reduksi input nosiseptid dari perifer dalam hal ini dari otot, b) pencegahan sensitisasi sentral dan c) terapi gangguan psikologis seperti depresi dan insomnia. Oleh karena etiologi dari FM sampai sekarang ini belum diketahui dengan pasti maka strategi penanggulangan yang dilakukan adalah dengan terapi opsional berdasarkan keluhan 32,33. Terapi opsional dengan terapi farmakologik harus didukung oleh terapi non-farmaka seperti fisioterapi, cognitive-behavior therapy (CBT) 9, 31,34,35,36. Terapi simptomatik untuk menanggulangi gangguan tidur dan nyeri dengan menggunakan obat psikofarmaka seperti zolpidem 37, dan analgesik tenoxicam, bromazepan 1. Terapi trisiklik dan trisiklik analog juga merupakan pilihan utama hanya dengn dosis rendah ternyata efektif untuk menurunkan rasa nyeri, kelelahan yang berlebihan serta gangguan tidur 9. Hal ini kemungkinan melalui efek secara langsung terhadap noradrenalin dan serotonin 8,31. Penggunaan selective serotonin and norepinephrine reuptake inhibitors (SSRIs, SNRIs,) dan antikonvulsan seperti pregabalin merupakan terapi pilihan utama 8,9,31. Terapi non-farmakologik berupa fisioterapi juga menurunkan beban nyeri, perbaikan gangguan kemurungan serta perbaikan kualitas hidup 8. Pemberian otot relaksan ternyata juga efektif untuk perbaikan gangguan tidur serta menurunkan rasa nyeri 9,33. Terapi dengan latihan Biofeedback dan terapi relaksasi ternyata bisa menurunkan jumlah dari titik nyeri dalam dan meningkatkan nilai ambang nyeri dari penderita itu sendiri 38. Selain itu terapi akupunktur juga berguna dalam proses penyembuhan 31,39,40. KESIMPULAN Fibromialgia (FM) adalah nyeri muskuloskletal kronik, multidimensi dan idiopatik dan bukan termasuk kelompok penyakit artritis karena tidak ditemukan proses inflamasi. FM merupakan kumpulan simtoma dengan keluhan berupa nyeri otot, nyeri ligamentum dan tendon yang penyebabnya tidak jelas. Untuk menentukan diagnosa dibutuhkan pemeriksaan dan observasi secara klinis. Beberapa penelitian menemukan adanya keterlibatan SSP. Diagnosa diferensial antara lain hipotiroid, diabetes melitus, gangguan keseimbangan elektrolit, multiple sclerosis, dan tumor. Fibromialgia adalah penyakit kronik sehingga penyakit ini akan berdampak pada permasalahan biopsikososial. Oleh karena patologi FM sampai sekarang ini belum jelas diketahui maka strategi penanggulangan didasari oleh terapi simptomatik baik melalui terapi farmaka maupun non farmaka. Disamping itu perlu dengan pendekatan edukasi.

Page 56: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010

5

DAFTAR PUSTAKA 1. Quijada-Carrera J, Valenzuala-Castano A, Povedano-Gomez J. Comparison of tenoxicam and bromazepan in the treatment of fibromylagia: A randomized, double-blind, placebo-controlled

trial. Pain 1996; 65: 221-225. 2. Wallace D. The fibromyalgia syndrome. Ann Med 1996; 29: 9-21. 3. Rossy L, Buckelew S. A Meta-Analysis of fibromyalgia treatment interventions. Ann Behav

Med 1999; 21: 180–191. 4. Diatchenko L, Nackley AG, Slade GD, Fillingim RB, Maixner W. Idiopathic pain disorders

pathways of vulnerability. Pain 2006; 123: 226–230. 5. Buskila D. Fibromyalgia, chronic fatigue syndrome, and myofascial pain syndrome. Curr Opin

Rheumatol 2001; 13: 117-127. 6. Wolfe F, Smythe H, Yunus MB, et al. The American College of Rheumatology 1990 criteria

for the classification of fibromyalgia: Report of the multi center criteria committee. Arthrit Rheumatol.1990.

7. Staud R. Biology and therapy of fibromyalgia: pain in fibromyalgia syndrome. Arthrit Res Ther. 2006; 8: 208.

8. Rooks DS. Fibromyalgia treatment update. Curr Opin Rheumatol 2007; 19: 111-117. 9. Chakrabarty S, Zoorob R. Fibromyalgia. Am Fam Physician 2007; 76: 247-254. 10. Wilke WS, Mackenzie AH. Proposed pathogenesis of fibrositis. Cleve Clin 1985; 52: 147-

154. 11. Vaeroy H, Helle R, Forre O, Kass E, Terenius L. Elevated CSF levels of substance P and high

incidence of Raynaud phenomenon in patients with fibromyalgia: new features for diagnosis. Pain.1988; 32: 21-26.

12. Harris RE, Clauw DJ. How do we know that the pain in fibromyalgia is "real"? Curr Pain Headache. Rep 2006; 10: 403–407.

13. Russell IJ, Orr MD, Littman B, et al. Elevated cerebrospinal fluid levels of substance P in patients with the fibromyalgia syndrome. Arthrit Rheumatol 1994; 37: 1593-1601.

14. Larson AA, Giovengo SL, Russell IJ, Michalek JE. Changes in the concentrations of amino acids in the cerebrospinal fluid that correlate with pain in patients with fibromyalgia: implications for nitric oxide pathways. Pain 2000; 87: 201-211.

15. Giovengo SL, Russell IJ, Larson AA. Increased concentrations of nerve growth factor in cerebrospinal fluid of patients with fibromyalgia. J Rheumatol 1999; 26: 1564-1569.

16. Williams DA, Gracely RH. Functional magnetic resonance imaging findings in fibromyalgia. Arthrit Res Ther 2006; 8: 224.

17. Bendtsen L, Norregaard J, Jensen R, Oleson J. Evidence of qualitatively altered nociception in patients with fibromyalgia. Arthrit Rheumatol 1997; 40: 98-102.

18. Bennett RM, Cook DM, Clark SR, Burckhardt CS, Campbell SM. Hypothalamic-pituitary-insulin-like growth factor-I axis dysfunction in patients with fibromyalgia. J Rheumatol 1997; 24: 1384-1389.

19. Mountz JM, Bradley LA, Alarcon GS. Abnormal functional activity of the central nervous system in fibromyalgia syndrome. Am J Med Sci 1998; 315: 385- 396.

20. Dommerholt J. Fibromyalgia: Time to Consider a New Taxonomy? J Musc Pain 2000; 8: 41-47.

21. Moldofsky H, Scarisbrick P. Induction of neurasthenic musculoskeletal pain syndrome by selective sleep stage deprivation. Psychosom Med 1976; 38: 35- 44.

22. Weigent DA, Bradley LA, Blalock JE, Alarcon GA. Current concepts in the pathophysiology of abnormal pain perception in fibromyalgia. Am J Med Sci 1998: 315: 405-412.

23. Shaver JL. Fibromyalgia syndrome in women. Nurs Clin North Am 2004; 39: 195-204. 24. Tuncer T, Butun B, Arman M, Akyokus A and Doseyen A. Primary fibromyalgia and allergy.

Clin Rheumatol 1997; 16: 9-12.

Page 57: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010

6

25. Ruster M, Franke S, Spath M, Pongratz DE, Stein G, Hein GE. Detection of elevated N-epsilon-carboxymethyllysine levels in muscular tissue and in serum of patients with fibromyalgia. Scand J Rheumatol 2005; 34: 460-463.

26. Shah JP, Phillips TM, Danoff JV, Gerber LH: An in vivo microanalytical technique for measuring the local biochemical milieu of human skeletal muscle. J Appl Physiol 2005; 99: 1977-1984.

27. Rosendal L, Kristiansen J, Gerdle B, et al. Increased levels of interstitial potassium but normal levels of muscle IL-6 and LDH in patients with trapezius myalgia. Pain 2005; 119: 201-209.

28. Wall PD, Woolf CJ. Muscle but not cutaneous C-afferent input produces prolonged increases in the excitability of the flexion reflex in the rat. J Physiol Lond 1984; 356: 443-458.

29. McCain G. A cost-effective approach to the diagnosis and treatment of fibromyalgia. Rheum Dis Clin North Am1996; 22: 323-349.

30. Wolfe F, Ross K, Anderson J, Russell I and Hebert L. The prevalence and characteristics of fibromyalgia in the general population. Arthrit Rheumatol 1995; 38: 19-28.

31. Goldenberg DL, Burckhardt C, Crofford L. Management of fibromyalgia syndrome. JAMA 2004; 292: 2388-2395.

32. Quisel A, Gill J, Walters D. Exercise and antidepressants improve fibromyalgia. J Fam Pract 2004; 53: 280-91.

33. Rao SG. The neuropharmacology of centrally-acting analgesic medications in fibromyalgia. Rheum Dis Clin North Am 2002; 28: 235-259.

34. Berman BM, Ezzo J, Hadhazy V, et al. Is acupuncture effective in the treatment of fibromyalgia. J Fam Pract 1999; 48: 213-218.

35. Mayer DJ. Acupuncture: an evidence-based review of the clinical literature. Ann Rev Med. 2000; 51: 49-63

36. Vickers A, Zollman C. ABC of Complementary Medicine. Acupuncture BMJ 1999; 319: 973-976.

37. Moldofsky H, Lue F, Mously C, Roth-Schecter B and Reynolds W. The effects of zolpidem in patients with fibromyalgia: A dose ranging, double blind, placebo controlled, modified crossover study. J Rheumatol 1996; 23: 529-533.

38. Minhoto G, Roizenblatt S and Tufik S. The effect of biofeedback in fibromyalgia. Sleep Res 1997; 26: 573.

39. Assefi NP, Sherman KJ, Jacobsen C, Goldberg J, Smith WR, Buchwald DA. Randomized Clinical Trial of Acupuncture Compared with Sham Acupuncture in Fibromyalgia. Ann Intern Med 2005; 143: 10–19.

40. Leibing E, Leonhardt U, Koster G, et al. Acupuncture treatment of chronic low-back pain—a randomized, blinded, placebo-controlled trial with 9-month follow-up. Pain 2002; 96: 189–196.

Page 58: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 1

Artikel Penelitian PERANAN DEPRIVASI TIDUR TERHADAP PEREKAMAN EEG

PADA PASIEN TERSANGKA EPILEPSI

Radya Nurhamida Thayeb*, Nizar Yamanie**, Fitri Octaviana**, Joedo Prihartono***

ABSTRACT Background: EEG is an essential investigative tool for use in people with epilepsy, and up until now still remains central in the diagnosis and classification of epilepsies. The yield of interictal epileptiform discharges (IEDs) can be increased by many activation methods, among them is sleep deprivation. Objective: To determine the important effects of different EEG protocols on the yield of interictal epileptiform discharges in people with possible new epilepsy. Methods: A randomized controlled study was conducted. The population target was all possible new epilepsy patients in the outpatient clinic of dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta. 44 patients underwent either a non- sleep deprived (NSD) EEG or a sleep deprived (SD) one. Results: Out of 44 possible new epilepsy patients who demonstrated interictal epileptiform discharges SD EEG provoked abnormalities in 77,3% while NSD EEG produced 50% . Within the two groups, the most clinical characteristics are with partial seizure type with onset of seizure < 25 years of age, and seizure frequency more than once a month. SD EEG have the yield of interictal epileptiform discharges 3.67 (95% CI = 0.92-14.66) with p = 0.066 and onset of seizure < 25 years of age has RR = 4.42 (95% CI = 1.07-16.86) with p = 0.040. Conclusion: Sleep deprivation increases the yield of interictal epileptiform discharges. The age of onset < 25 years also increases the yield of IEDs with or without SD EEG. Key word: Possible epilepsy - EEG - Sleep deprivation _____________________________________________________________________ ABSTRAK Latar Belakang : EEG merupakan alat penunjang diagnostik yang utama pada epilepsi. Peranan EEG dalam membantu menegakkan diagnosis dan menentukan klasifikasi epilepsi sangatlah penting. Terdapat banyak metode aktivasi untuk meningkatkan kemungkinan munculnya aktivitas epileptiform interiktal pada perekaman EEG, salah satunya adalah dengan deprivasi tidur. Tujuan : Mengetahui peranan deprivasi tidur terhadap kemungkinan timbulnya aktivitas epileptiform pada pasien tersangka epilepsi. Metode : Uji klinis acak. Populasi adalah pasien tersangka epilepsi yang berobat jalan di Poliklinik Epilepsi dan Sub Bagian EEG RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dilakukan salah satu perekaman EEG tanpa deprivasi tidur atau EEG dengan deprivasi tidur pada 44 pasien tersangka epilepsi. Hasil : Persentase munculnya aktivitas epileptiform pada pasien tersangka epilepsi dengan metode perekaman EEG tanpa deprivasi tidur adalah 50% dan sebesar 77.3% positif pada perekaman EEG dengan deprivasi tidur. Pada kedua kelompok (EEG tanpa dan dengan deprivasi tidur) dengan aktivitas epileptiform positif didapatkan terbanyak adalah jenis bangkitan parsial berkembang menjadi bangkitan umum sekunder (31.8% dan 68.2%), usia awal bangkitan < 25 tahun (27.3% dan 54.5%) dan frekuensi bangkitan lebih dari satu kali dalam sebulan (40.9% dan 59.1%). EEG dengan deprivasi tidur mempunyai probabiltas mencetuskan timbulnya aktivitas epileptiform sebesar 3.67 (95% CI = 0.92-14.66) dengan nilai p = 0.066 dan pada usia awal bangkitan < 25 tahun didapatkan RR = 4.42 (95% CI = 1.07-16.86) dengan nilai p = 0.040. Kesimpulan : Didapatkan EEG dengan deprivasi tidur mempunyai kemungkinan mencetuskan timbulnya aktivitas epileptiform lebih tinggi dibandingkan dengan EEG tanpa deprivasi tidur dan usia awal bangkitan < 25 tahun mempunyai kemungkinan cukup tinggi tanpa ataupun dengan deprivasi tidur untuk mencetuskan timbulnya aktivitas epileptiform. Kata Kunci : Tersangka epilepsi - EEG - deprivasi tidur ________________________________________________________________________ * Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf, FKUI/RSCM, Jakarta ** Staf Departemen Ilmu Penyakit Saraf FKUI/RSCM, Jakarta

Page 59: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 2

*** Staf Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Universitas Indonesia, Jakarta PENDAHULUAN

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi.1 Menurut data hasil survei oleh WHO, epilepsi mengenai 50 juta orang di seluruh dunia, epilepsi merupakan 1% beban penyakit dunia. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang.

Peranan EEG dalam membantu menegakkan diagnosis dan menentukan klasifikasi epilepsi sangatlah penting. EEG merupakan alat penunjang diagnostik yang utama pada epilepsi. Pemeriksaan ini cukup nyaman, dan murah untuk menggambarkan manifestasi eksitabilitas abnormal, mendadak, dan berlebih di korteks yang mendasari terjadinya epilepsi.2,3,4,5,6,7,8.

Banyak metode aktivasi yang dapat meningkatkan kemungkinan munculnya aktivitas epileptiform interiktal pada perekaman EEG, dimana salah satunya adalah dengan deprivasi tidur.2

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan deprivasi tidur terhadap kemungkinan timbulnya aktivitas epileptiform pada pasien tersangka epilepsi. Serta mengetahui sebaran faktor-faktor yang dapat mempengaruhi (usia awal bangkitan, jenis bangkitan, frekuensi bangkitan, interval waktu bangkitan terakhir) pada pasien dengan aktivitas epileptiform pada kelompok yang dilakukan perekaman EEG tanpa deprivasi tidur dan EEG dengan deprivasi tidur. METODE Penelitian ini dilakukan secara desain uji klinis acak (randomized controlled trial). Data yang diperoleh dikumpulkan secara acak dari seluruh pasien tersangka epilepsi yang memenuhi kriteria inklusi yang berobat di Poliklinik Epilepsi dan Sub Bagian EEG Departemen Neurologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo setelah disetujui oleh komite etik sampai jumlah mencukupi kebutuhan sampel.

Kriteria inklusi: (1). Pasien tersangka epilepsi yang berumur ≥ 15 tahun. (2). Bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi: (1). Terdapat stroke. (2). Terdapat cedera kepala. (3). Terdapat infeksi intrakranial. (4). Terdapat lesi desak ruang intrakranial.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis Regresi Logistik untuk mengetahui peranan deprivasi tidur terhadap kemungkinan timbulnya aktivitas epileptiform. Untuk menguji apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak digunakan uji Chi Square dan jika tidak memenuhi syarat uji Chi Square digunakan uji Fisher. Dengan menggunakan interval kepercayaan (IK) 95% atau p = 0,05. Jika dalam pengujian p < 0,05, berarti H0 ditolak, sedangkan jika p > 0,05 maka H0 diterima. Sedangkan kekuatan hubungan dilihat dari nilai Risk Ratio (RR). Jika terdapat lebih dari satu faktor resiko yang menunjukkan hubungan bermakna, maka diteruskan dengan analisa logistik regresi. Pengujian-pengujian di atas dilakukan dengan menggunakan software pengolahan data Statistical Package for Social Sciences (SPSS). HASIL

Telah dilakukan penelitian terhadap pasien tersangka epilepsi yang berobat jalan di Poliklinik Epilepsi dan Sub Bagian EEG Departemen Neurologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan 44 sampel yang memenuhi kriteria inklusi untuk studi deskriptif dan analisis.

Page 60: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 3

Subyek penelitian terdiri dari 21 orang laki-laki (47.7%) dan 23 orang perempuan (52.3%), yang terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok yang dilakukan perekaman EEG tanpa deprivasi tidur dan dengan deprivasi tidur.

Pada kelompok yang tanpa deprivasi tidur terdiri dari 11 orang laki-laki (50%) dan 11 orang perempuan (50%) dan jumlah sampel terbanyak pada kelompok usia < 25 tahun (45.5%). Sedangkan pada kelompok dengan deprivasi tidur terdiri dari 10 orang laki-laki (45.4%) dan 12 orang perempuan (54.5%) dengan jumlah sampel terbanyak pada kelompok usia 25 – 55 tahun (63.6%).

Sebaran karakteristik medik subyek penelitian berdasarkan karakteristik medik dan kelompok menunjukkan jenis bangkitan terbanyak yang didapatkan pada kedua kelompok adalah bangkitan parsial berkembang menjadi bangkitan umum sekunder. Pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur sebanyak 14 orang sampel (63.6%) dan pada kelompok EEG dengan deprivasi tidur sebanyak 18 orang sampel (81.8%). Pada variabel usia awal bangkitan didapatkan jumlah sampel yang sama banyaknya pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur yaitu < 25 tahun (50%) dan ≥ 25 tahun (50%), sedangkan pada kelompok EEG dengan deprivasi tidur didapatkan jumlah sampel yang lebih tinggi pada usia awal bangkitan < 25 tahun (54.5%). Dengan frekuensi bangkitan pada kedua kelompok didapatkan lebih banyak pada kategori > 1 kali/bulan. Perekaman EEG pada kedua kelompok hampir semuanya dilakukan dengan interval waktu > 24 jam setelah bangkitan terakhir, hanya satu orang sampel saja yang dalam waktu ≤ 24 jam.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, perbandingan antara kelompok EEG tanpa deprivasi tidur dengan EEG dengan deprivasi tidur ditinjau dari variabel (jenis kelamin, kelompok usia, jenis bangkitan, usia awal bangkitan, frekuensi bangkitan, dan interval waktu) didapatkan nilai p > 0.05 sehingga memperlihatkan bahwa terhadap kedua kelompok tersebut dapat dilakukan perbandingan. Tabel 1. Sebaran aktivitas epileptiform menurut kelompok penelitian

Kelompok penelitian

Aktivitas epileptiform

Jumlah Positif Negatif

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase

(%) EEG dengan deprivasi tidur EEG tanpa deprivasi tidur

17 11

77.3 50

5 11

22.7 50

22 22

Total 28 16 44 Ket: p = 0.060; RR = 2.20 ( 0.92 – 5.29) Pada tabel 1. terlihat pada kelompok yang dilakukan EEG dengan deprivasi tidur, aktivitas epileptiform positif pada 17 orang sampel (77.3%) sementara pada kelompok tanpa deprivasi tidur jumlah aktivitas epileptiform positif sama besar dengan yang negatif. Tabel tersebut juga memperlihatkan EEG dengan deprivasi tidur mempunyai resiko mencetuskan timbulnya aktivitas epileptiform positif sebesar 2.20 kali lebih tinggi dibanding EEG tanpa deprivasi tidur.

Page 61: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 4

Tabel 2. Sebaran subyek penelitian menurut karakteristik medik dan kelompok pada pasien dengan aktivitas epileptiform positif

Karakteristik medik

Aktivitas Epileptiform (+)

p EEG tanpa deprivasi

tidur EEG dengan deprivasi

tidur Jumlah (N = 11)

Persentase (%)

Jumlah (N = 17)

Persentase (%)

Jenis bangkitan *) • Parsial sederhana • Parsial kompleks • Parsial berkembang

menjadi bangkitan umum sekunder

• Lena

1 1 7 2

4.5 4.5

31.8

9.1

0 2

15 0

0

9.1

68.2 0

0.980

Usia awal bangkitan **) • < 25 tahun • ≥ 25 tahun

6 5

27.3 22.7

12 5

54.5 22.7

0.444

Frekuensi bangkitan • ≤ 1 kali/bulan • > 1 kali/bulan

2 9

9.1 40.9

4 13

18.2 59.1

1.000

Interval waktu • ≤ 24 jam • > 24 jam

0 11

0 50

0 17

0

77.3

-----

Ket: *) Uji Kolmogorov Smirnov **) Uji Fisher

Tabel sebaran subyek penelitian menurut karakteristik medik dan kelompok pada pasien dengan aktivitas epileptiform positif (tabel 2) menunjukkan jenis bangkitan terbanyak yang didapatkan pada kedua kelompok adalah bangkitan parsial berkembang menjadi bangkitan umum sekunder. Pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur sebanyak 7 orang sampel (31.8 %) dan pada kelompok EEG dengan deprivasi tidur sebanyak 15 orang sampel (68.2 %). Pada variabel usia awal bangkitan didapatkan jumlah sampel yang lebih tinggi pada kategori < 25 tahun, sebanyak 6 orang sampel (27.3%) pada EEG tanpa deprivasi tidur dan 12 orang sampel (54.5%) pada EEG dengan deprivasi tidur. Dengan frekuensi bangkitan pada kedua kelompok didapatkan lebih banyak pada kategori > 1 kali/bulan dan interval waktu perekaman pada kedua kelompok semuanya dilakukan setelah 24 jam setelah bangkitan terakhir.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, perbandingan antara kelompok EEG tanpa deprivasi tidur dengan EEG dengan deprivasi tidur ditinjau dari variabel (jenis bangkitan, usia awal bangkitan, frekuensi bangkitan, dan interval waktu) didapatkan nilai p > 0.05 sehingga ke empat variabel tersebut dapat dilakukan uji analitik.

Page 62: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 5

Tabel 3. Hubungan faktor penentu dan aktivitas epileptiform (n=44)

Faktor penentu Aktivitas epileptiform p RR 95% CI Positif Negatif Low High

Jenis Bangkitan • Parsial sederhana • Parsial kompleks • Parsial berkembang

menjadi bangkitan umum sekunder

• Lena • Umum tonik-klonik

1 3 22 2 0

3 1 10 1 1

0.973

----

----

----

Usia awal bangkitan*) • < 25 tahun • ≥ 25 tahun

18 10

5 11

0.035

2.41

1.00

5.79

Frekuensi bangkitan*) • ≤ 1 kali • > 1 kali

6 22

5 11

0.492

1.22

0.68

2.21

Ket: *) uji mutlak Fisher Pada tabel 3. terlihat bahwa variabel jenis bangkitan dan frekuensi bangkitan tidak berhubungan bermakna dengan aktivitas epileptiform (p > 0.05). Sedangkan variabel usia awal bangkitan berhubungan bermakna dengan aktivitas epileptiform dimana nilai p = 0.035 dengan RR = 2.41 (95% CI = 1.00-5.79). Sementara variabel interval waktu tidak dapat disimpulkan sebagai faktor yang tidak bermakna walaupun memiliki nilai p = 0.364 karena jumlah sampel ≤ 24 jam hanya 1 orang. Berdasarkan hasil penghitungan di atas, didapatkan variabel deprivasi tidur dan usia awal bangkitan memiliki nilai p > 0.25 sehingga kemudian dilakukan analisa regresi logistik. Tabel 4. Analisa Regresi Logistik terhadap aktivitas epileptiform positif (n=44)

Variabel penentu p RR 95% CI Low High

Deprivasi tidur 0.066 3.67 0.92 14.66

Usia awal bangkitan < 25 tahun 0.040 4.42 1.07 16.86

Dari hasil analisa regresi logistik didapatkan pada deprivasi tidur nilai p = 0.066 dengan RR = 3.67 (95% CI = 0.92-14.66) dan pada usia awal bangkitan < 25 tahun nilai p = 0.040 dengan RR = 4.42 (95% CI = 1.07-16.86) PEMBAHASAN

Penelitian ini menunjukkan rentang usia pasien tersangka epilepsi meliputi antara 15 tahun sampai 70 tahun. Pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur didapatkan jumlah sampel terbanyak pada kelompok usia < 25 tahun (45.5%) dengan rerata usia 34.2 ± 18.9 tahun, sementara pada kelompok EEG dengan deprivasi tidur didapatkan jumlah sampel terbanyak pada kelompok usia 25 – 55 tahun (63.6%) dengan rerata usia 29.7 ± 11.3 tahun. Nilai rerata usia awal bangkitan pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur adalah 31.9 ± 19.3 tahun dan

Page 63: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 6

pada kelompok EEG dengan deprivasi tidur adalah 24.9 ± 13.3 tahun. Berkaitan dengan usia, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada usia dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.1,2 Agak sedikit berbeda dari yang didapatkan pada penelitian ini, hal ini sangat mungkin disebabkan oleh karena jumlah sampel yang tidak besar pada penelitian ini.

Jenis bangkitan terbanyak yang didapatkan pada kedua kelompok adalah bangkitan parsial berkembang menjadi bangkitan umum sekunder. Pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur 63.6% dan pada kelompok EEG dengan deprivasi tidur sebanyak 81.8%. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Olaffson et al, 1996 di Islandia14, oleh Hauser WA et al, 1993 di Rochester, Minnesota15, oleh Joenson P, 1986 di kepulauan Faeroe16 dan oleh Lavados J et al, 1992 di Chile17 mengenai insidensi kejang spesifik atau proporsi kasus dengan tipe kejang spesifik berdasarkan klasifikasi internasional, memperlihatkan bahwa jenis bangkitan terbanyak adalah tipe kejang parsial.

Pada penelitian ini dilakukan penggabungan kelompok variabel usia awal bangkitan menjadi < 25 tahun dan ≥ 25 tahun, karena tidak didapatkan adanya subyek yang memenuhi kategori > 55 tahun pada kelompok deprivasi tidur, sehingga penghitungan tidak dapat dilakukan bila tidak dilakukan penggabungan menjadi dua kelompok tersebut.

Didapatkan jumlah sampel yang sama banyaknya pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur yaitu < 25 tahun (50%) dan ≥ 25 tahun (50%), sedangkan pada kelompok EEG dengan deprivasi tidur didapatkan jumlah sampel yang lebih tinggi pada usia awal bangkitan < 25 tahun (54.5%), namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. Sementara pada pasien dengan aktivitas epileptiform positif tampak usia awal bangkitan < 25 tahun lebih tinggi pada kedua kelompok yaitu 27.3% pada EEG tanpa deprivasi tidur dan 54.5% pada EEG dengan deprivasi tidur.

Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ajmone-Marsan dan Zivin LS18, didapatkan aktivitas epileptiform interiktal lebih sering muncul pada usia anak-anak dibandingkan pada usia dewasa. Pada penelitian lain didapatkan aktivitas epileptiform interiktal lebih sering muncul (80%) pada usia anak-anak (<10 tahun) dibandingkan dengan usia dewasa (>40 tahun). Begitu juga penelitian lainnya yang didapatkan EEG abnormal pada usia 15-25 tahun sebanyak 23% dan 19% pada usia diatas 55 tahun.

Frekuensi bangkitan pada kedua kelompok didapatkan lebih tinggi pada kategori > 1 kali dalam sebulan, baik secara keseluruhan pada EEG tanpa deprivasi tidur sebanyak 68.2% dan 81.8% pada EEG dengan deprivasi tidur, maupun pada pasien dengan aktivitas epileptiform positif saja yaitu pada EEG tanpa deprivasi tidur 40.9% dan EEG dengan deprivasi tidur 59.1%. Faktor yang dapat mempengaruhi munculnya aktivitas epileptiform interiktal salah satunya adalah frekuensi timbulnya bangkitan. Pasien dengan frekuensi serangan 1 kali dalam sebulan akan lebih besar kemungkinan muncul pada perekaman dibandingkan pada yang hanya mengalami serangan satu kali dalam setahun. 2,9,10,11,12 Yang didapatkan pada penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ajmone-Marsan dan Zivin LS,, yang mendapatkan bahwa frekuensi timbulnya serangan berhubungan dengan lebih tingginya kemungkinan timbulnya aktivitas epileptiform interiktal pada perekaman EEG.18

Pada penelitian ini perekaman EEG pada kedua kelompok hampir semuanya dilakukan dengan interval waktu lebih dari 24 jam setelah bangkitan terakhir, hanya satu orang sampel saja yang dalam waktu kurang dari 24 jam. Sementara pada pasien dengan aktivitas epileptiform positif malah tidak ada yang melakukan perekaman EEG dalam waktu kurang dari 24 jam setelah mengalami bangkitan terakhir.

Penelitian oleh Gottman J dan Marciani MG, 1985 mendapatkan bahwa perekaman yang dilakukan segera atau tidak lama setelah terjadinya bangkitan akan lebih besar

Page 64: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 7

kemungkinannya memunculkan aktivitas epileptiform interiktal.19 Pada beberapa penelitian lain juga didapatkan waktu perekaman EEG yang dilakukan dalam waktu 24 jam pasca bangkitan akan memunculkan aktivitas epileptiform sebanyak 51% dibandingkan pada perekaman yang dilakukan setelah lebih dari 24 jam sebanyak 34%. Perbedaan yang didapatkan pada penelitian ini sangat mungkin penyebabnya adalah karena tidak sebandingnya distribusi jumlah sampel pada kedua kelompok tersebut akibat jumlah sampel yang tidak besar. Pada penelitian ini didapatkan munculnya aktivitas epileptiform positif pada perekaman EEG dengan deprivasi tidur pada 17 orang sampel (77.3%), sementara pada kelompok EEG tanpa deprivasi tidur jumlah aktivitas epileptiform positif sama besar dengan yang negatif (50%). Juga tampak EEG dengan deprivasi tidur mempunyai resiko mencetuskan timbulnya aktivitas epileptiform positif sebesar 2.20 kali lebih tinggi dibanding EEG tanpa deprivasi tidur.

Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Badawy RAB et al, 2006, didapatkan dari 15 pasien tersangka epilepsi yang dilakukan perekaman EEG awal tanpa deprivasi tidur didapatkan 20% aktivitas epileptiform positif dan dengan EEG deprivasi tidur menjadi 66.7% positif. 13 Penelitian oleh Leach JP et al, 2005 terhadap 85 pasien tersangka epilepsi, dengan metode dilakukan tiga protokol pemeriksaan yang berbeda pada masing-masing pasien yaitu, perekaman EEG tanpa deprivasi tidur, EEG dengan deprivasi tidur, dan EEG dengan drug induced sleep, didapatkan hasil perekaman EEG dengan deprivasi tidur memiliki persentase timbulnya aktivitas epileptiform umum sebesar 92%, fokal 73%, dengan EEG drug induced umum 58%, fokal 27% dan EEG tanpa deprivasi umum 44%, fokal 40%. Hal ini memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan pada EEG dengan deprivasi tidur dibandingkan dengan dua protokol lainnya.5

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, perbandingan antara kelompok EEG tanpa deprivasi tidur dengan EEG dengan deprivasi tidur ditinjau dari variabel (jenis bangkitan, usia awal bangkitan, frekuensi bangkitan) didapatkan nilai p > 0.05 sehingga ke empat variabel tersebut dapat dilakukan uji analitik. Variabel interval waktu bangkitan terakhir tidak dilakukan uji analitik karena jumlah sampel yang tidak sebanding (jumlah sampel interval waktu < 24 jam sangat kecil = 0 – 1). Penelitian ini juga tidak mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara jenis bangkitan dan frekuensi bangkitan terhadap timbulnya aktivitas epileptiform, sedangkan variabel interval waktu tidak dapat disimpulkan sebagai faktor yang tidak bermakna walaupun memiliki nilai p = 0.364 karena jumlah sampel yang dilakukan perekaman EEG dalam waktu ≤ 24 jam setelah bangkitan terakhir hanya 1 orang saja. Namun pada variabel usia bangkitan awal didapatkan berhubungan bermakna dengan aktivitas epileptiform dimana nilai p = 0.035 dengan RR = 2.41 (95% CI = 1.00-5.79), hal ini berarti usia awal bangkitan < 25 tahun mempunyai resiko 2.41 kali lebih tinggi dibanding usia ≥ 25 tahun untuk menimbulkan cetusan aktivitas epileptiform. Bangkitan akan tampak lebih sering lagi muncul bila epilepsi dialami pada usia dini.2,12 Sesuai juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Ajmone-Marsan dan Zivin LS, yang mendapatkan bahwa aktivitas epileptiform interiktal lebih mungkin timbul pada perekaman EEG bila epilepsi dimulai pada usia dini.18

Untuk menyingkirkan dari pengaruh variabel lain yang juga bermakna, dalam hal ini variabel usia awal bangkitan terhadap deprivasi tidur maka dilakukan analisa regresi logistik, dimana didapatkan hasil pada deprivasi tidur nilai p = 0.066 dengan RR = 3.67 (95% CI = 0.92-14.66) dan pada usia awal bangkitan < 25 tahun didapatkan nilai p = 0.040 dengan RR = 4.42 (95% CI = 1.07-16.86). Hal ini membuktikan bahwa pada deprivasi tidur akan meningkatkan kemungkinan untuk timbulnya cetusan aktivitas epileptiform pada perekaman EEG. Dan didapatkan juga bahwa pada usia awal bangkitan < 25 tahun dengan ataupun tanpa

Page 65: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 8

tindakan deprivasi tidur mempunyai kemungkinan timbulnya cetusan aktivitas epileptiform yang lebih tinggi pada perekaman EEG. KESIMPULAN DAN SARAN

Persentase munculnya aktivitas epileptiform pada pasien tersangka epilepsi dengan metode perekaman EEG tanpa deprivasi tidur adalah 50% dan sebesar 77.3% positif pada perekaman EEG dengan deprivasi tidur.

Didapatkan pada kelompok perekaman EEG tanpa deprivasi tidur dan kelompok perekaman EEG yang dilakukan deprivasi tidur, masing-masing dengan aktivitas epileptiform positif, terbanyak adalah jenis bangkitan parsial berkembang menjadi bangkitan umum sekunder, usia bangkitan awal kurang dari 25 tahun dan frekuensi bangkitan lebih dari satu kali dalam sebulan.

Didapatkan usia awal bangkitan kurang dari 25 tahun mempunyai kemungkinan cukup tinggi untuk mencetuskan timbulnya aktivitas epileptiform (RR=4.42) dan EEG dengan deprivasi tidur mempunyai kemungkinan mencetuskan timbulnya aktivitas epileptiform lebih tinggi dibandingkan dengan EEG tanpa deprivasi tidur (RR=3.67). Sebaiknya dilakukan perekaman EEG awal standar berupa EEG deprivasi tidur pada pasien tersangka epilepsi dengan usia awal bangkitan < 25 tahun.

Diperlukan penelitian lebih lanjut dalam jumlah sampel yang lebih besar untuk meninjau apakah terdapat hubungan bermakna antara variabel-variabel penentu lainnya (jenis bangkitan, frekuensi bangkitan, dan interval waktu). DAFTAR PUSTAKA 1. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pedoman tatalaksana epilepsi. Edisi ketiga. Kelompok studi

epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2008 2. Engel J, Pedley TA. Epilepsy A Comprehensive textbook 2nd edition, volume one. USA,Lippincott

Williams and Wilkins, 2008: 809-812, 1093-1094 3. Shih T. Epilepsy and seizures. in: Current diagnosis and treatment. New York. McGraw Hill, 2008: 47-63 4. Browne Rt, Holmes GL. Handbook of Epilepsy. 2nd edition Burlington, Elsevier, 2003.1-17, 125-126 5. Leach JP, Stephen LJ, Salveta C et al. Which EEG for epilepsy? The relative usefulness of different EEG

protocols in patients with possible epilepsy. J.neurol.neurosurg.psychiatry. 2005;084871 6. Manford M. Practical guide to epilepsy. Burlington, Elsevier, 2003:113-125 7. Gumnit RJ. The epilepsy handbook, the practical management of seizures. NY 2nd edition, Raven press,

1995: 1-11 8. A Practical guide to childhood epilepties part 2. Oxford, medicinae, 2006: 79-85 9. Duncan JS. Antiepileptic drugs and the encephalogram. Epilepsia 1987;28(3):259-66 10. Miller JW, Turner GM, Gray BC. Anticonvulsant effect of the experimental induction of hippocampal theta

activity. Epilepsy research 1994; 18: 195-204 11. Cutting S, Lauchmeier, Barr W et al. Adult-onset idiopathic generalized epilepsy: clinical and behavioral

features. Epilepsia 2001; 42 (11): 1395-1398 12. Carpay JA, Weerd WD, Schimsheimer RJ et al. The diagnostic yield of a second EEG after partial sleep

deprivation: a prospective study in children with newly diagnosed seizures. Epilepsia 1997; 38 (5): 595-599 13. Badawy RAB, Curatolo JM, Newton M et al. sleep deprivation increases cortical excitability in epilepsy:

syndrome-specific effects. Neurology 2006; 67: 1018-1022 14. Olafsson E, Ludvigsson P, Gudmundsson G, et al. incidence of unprovoked seizures and epilepsy in iceland

and assesment of the epilepsy syndrome classification: a prospective study. Lancet Neurol. 2005;4(10):627-634.

15. Hauser WA, Annegers JF, Kurland LT. Incidence of epilepsy and unprovoked seizures in Rochester, Minnesota: 1935-1984. Epilepsia.1993;34(3):453-468.

16. Jallon P, Gourmaz M, Haenggeli C et al. Incidence of first epileptic seizures in the canton of Geneva, Switzerland. Epilepsia. 1997;38(5):547-552.

17. Lavados J, Germain L, Morales A, et al. A descriptive study of epilepsy in the district of El Salvador, chile, 1984-1988. Acta Neurol Scand. 1992;85(4):249-256.

18. Ajmone-Marsan C, Zivin LS. Factors related to the occurence of typical paroxysmal abnormalities in the EEG records of epileptic patients. Epilepsia.1970;11:361-381.

Page 66: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 9

19. Gottman J, Marciani MG. Electroencephalographic spiking activity, drug levels, and seizure occurrence in epileptic patients. Ann Neurol.1985;17:597-603.

Page 67: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA  Vol.  27  No.  3  April  2010      1  

Pola Gangguan Fungsi Organ dan Fungsi Kognitif pada Usia Lanjut Taufik Mesiano*, Samino*

Asosiasi Alzheimer Indonesia ( AAzI ) Pendahuluan

Dengan meningkatnya usia harapan hidup manusia di dunia terutama negara Indonesia, akan menambah jumlah penduduk dengan usia di atas 60 tahun atau yang lebih sering kita kenal sebagai warga senior (lanjut usia). Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan mengalami kenaikan jumlah warga senior menjadi 17,2 juta orang yang akan semakin meningkat hingga pada tahun 2020 akan terdapat 29 juta orang warga senior (BPS Profil Kesehatan Indonesia, DEPKES RI). Dan tidak sedikit dari jumlah tersebut akan mengalami hendaya dalam kehidupan sehari-harinya, dari mulai aktifitas pribadi hingga aktifitas yang berhubungan dengan masyarakat luas.

Keberadaan warga senior ini di satu sisi menunjukkan adanya perbaikan sistem kesehatan di Indonesia. Namun begitu, keadaan tersebut juga dapat mempengaruhi pola penyakit di negara kita yang bergeser ke pola penyakit degeneratif atau penurunan fungsi berbagai organ seperti penglihatan, pendengaran, pencernaan, sistem perkemihan, sistim kardiovaskular, dan juga kemunduran fungsi kognitif otak. Kemunduran fungsi kognitif otak dapat menimbulkan kelainan berupa kepikunan. Hingga saat ini, masalah kepikunan menurut kebanyakan pandangan masyarakat kita masih dianggap sebagai hal yang biasa saja dialami oleh warga senior. Pandangan inilah yang harus kita luruskan, karena kepikunan (demensia) juga dapat berarti terdapat suatu proses penyakit pada otak manusia yang memiliki faktor risiko yang dapat dicegah.

Pada akhir tahun ini, dunia dikejutkan dengan adanya peningkatan jumlah penderita demensia diseluruh dunia menjadi sekitar 24 juta orang. Jumlah tersebut terus meningkat ( kasus demensia baru per tujuh detik ), jadi kita akan menghadapi sekitar 80 juta lebih orang dengan demensia pada tahun 2040 di dunia.(The Lancet) Dan pada studi tersebut menyatakan bahwa kebanyakan orang dengan demensia banyak yang hidup di Negara-negara yang sedang berkembang : sekitar 60 % pada tahun 2001 dan meningkat hingga 71 % pada tahun 2040. Dan diperkirakan akan terdapat peningkatan rata-rata menjadi tiga hingga empat kali lebih tinggi pada negara berkembang dibanding negara yang telah maju.

Oleh karenanya deteksi dini gangguan fungsi organ khususnya fungsi kognitif otak sangatlah penting karena sifatnya yang degeneratif sehingga terjadi kemunduran yang semakin berat seiring bertambahnya umur. Metode

Kami melakukan suatu penelitian deskriptif pada sampel para usia lanjut (usia diatas 60 tahun) dibeberapa wilayah DKI Jakarta. Subyek yang kami ambil adalah seluruh warga usia lanjut (usia > 60 tahun) dan pengambilan sampel secara consecutive sampling.

Penelitian ini kami harapkan sebagai suatu studi pendahuluan yang dapat dilanjutkan ke penelitian selanjutnya yang lebih luas terutama multisenter dan tersebar ke seluruh Indonesia.

Pola gangguan fungsi organ kami nilai menggunakan kuesioner yang kami buat dan modifikasi sendiri. Berbagai pertanyaan yang kami buat bersifat subyektif. Untuk penilaian fungsi kognitif kami menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE) dengan mengambil cut-off point lebih dari 24 sebagai nilai normal.

Page 68: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA  Vol.  27  No.  3  April  2010      2  

Hasil Penelitian Telah kami kumpulkan sebanyak 56 subyek penelitian, berusia diatas 60 tahun. Jenis kelamin perempuan (59% vs 41 %) mendominasi subyek kami, dan pada umumnya pasien adalah pensiunan dan sudah tidak bekerja lagi ( 82 % ), serta tingkat pendidikan terbanyak yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat (72 %), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat (19%), Perguruan Tinggi (5%), dan Sekolah Dasar dan sederajat (4%). Status perkawinan subyek yang masih memiliki pasangan ( 75 %) dan status janda/duda (hidup sendiri) ( 25% )

Berdasarkan kuesioner yang kami edarkan kami mendapat pola gangguan fungsi organ pada usia lanjut berurutan dari yang terbanyak yaitu gangguan penglihatan (pandangan kabur) pada 28 subyek (50 %), hipertensi pada 26 subyek (46,4 % ), riwayat vertigo pada 22 subyek (39,3%), gangguan pendengaran pada 21 subyek (27,5%), dan neuropati (rasa baal) pada 17 subyek (30,4 %), untuk gangguan pada organ lainnya dapat dilihat pada grafik 3.

!"#$$"#

%"#

&!"#

'()(*+,,-#

!"#$

!%&'$#()*+)$

,-.)*()*+)$

!%/*-0/1"&)/&&0.$

!"# $"#

%&"#''"#

!"#"$%&'()*+*+,#)&

()#

(*+#

(*,#

+-./0#123//2#

Grafik  1.  Status  Pekerjaan  dan  pendidikan(n=56)  

Grafik  2.  Status  Pendidikan  (n=56)

 

Page 69: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA  Vol.  27  No.  3  April  2010      3  

Selain gangguan berbagai organ, juga kami evaluasi gangguan pada sistim saraf yaitu gangguan sensoris dan gangguan fungsi kognitif. Untuk gangguan sensoris kami mengevaluasi timbulnya gangguan nyeri yang banyak dikeluhkan oleh usia lanjut pada subyek penelitian yaitu sekitar 55 % subyek mengeluh adanya gangguan nyeri di berbagai lokasi. Gangguan nyeri terbanyak yaitu di lokasi leher (18%) dan kepala (14%). Sedangkan untuk gangguan fungsi kognitif dikeluhkan oleh sekitar 59 % subyek dengan kejadian terbanyak yaitu keluahan mudah lupa dalam berbagai hal (54%).

!"#$!"#%!"#&!"#'!"#(!"#)!"#*!"#+!"#,!"#$!!"#

-./#01/.234565/#

-./#01/71/.585/#

-./#093:39#

-./#018/5;595#

-./#01/<18/55/#

-./#=>?#

@1A8BC5D#

E18D.B#

F3C1861/93# GH

#

01/I5:36#J5/6A/.#

01/I5:36#-3/K52#

L375:#

M5#

!"#$

!%#$

!!#$!&#$

"'#$

!"#$$%"#&'()*+&

()*+,+$

-).)/$

01233+23$

Grafik  3.  Pola  Gangguan  Fungsi  Organ  

(n=56)  

!"#$

!#$

"%#$

!"#$$%"#&'($#)*+&

&'()*$+',)$-'./0$123,/4/3$5637).$

Grafik  3.  Keluhan  Gangguan  Fungsi  Kognitif  

(n=56)  Grafik  2.  Keluhan  Gangguan  Nyeri  

(n=56)  

Page 70: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA  Vol.  27  No.  3  April  2010      4  

Gangguan kognitif yang terjadi pada subyek kemudian kami evaluasi menggunakan alat periksa penapis dasar fungsi kognitif yaitu dengan mini mental state examination (MMSE). Kami dapatkan rerata nilai MMSE dari 56 subyek yaitu 28.30 (SD 1.73) dengan nilai terkecil 22 dan terbesar 30 poin. Abnormalitas hasil MMSE kami temukan pada 2 subyek dengan masing-masing nilai MMSE 22 dan 23 (tabel 1). Komponen fungsi kognitif yang terganggu dari 56 subyek yaitu gangguan pada recall memory pada 32 subyek ( 57,1%), gangguan atensi atau kalkulasi pada 15 subyek (26,8 %), gangguan orientasi pada 12 subyek (21,4 %) dan gangguan bahasa pada 5 subyek (8,9%). Tabel 1. Skor MMSE masing-masing subyek (n=56)

Skor MMSE Jumlah Persentase (%) 22 1 1.8 23 1 1.8 26 4 7.1 27 11 19.6 28 9 16.1 29 13 23.2 30 17 30.4

Total 56 100.0

Grafik  4.  Pola  Gangguan  Fungsi  Kognitif  

(n=56)  

!"#$!"#%!"#&!"#'!"#(!"#)!"#*!"#+!"#,!"#

$!!"#

-./#0123/4562#

-./#73.2641562#

-./#859:;9562#

-./#73<599#=3>?1@#

-./#A5B565#

-./#C26;?6D56259#

E2F5:#

G5#

Page 71: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA  Vol.  27  No.  3  April  2010      5  

Pembahasan

Di Negara berkembang seperti Indonesia, pelayanan kesehatan pada usia lanjut akan menjadi isu yang penting. Semakin meningkatnya jumlah warga usia lanjut di Indonesia diperkirakan akan menjadi tantangan para praktisi kesehatan dimasa yang akan datang, karena banyaknya berbagai masalah khususnya masalah kesehatan dan pendidikan.

Gangguan kesehatan tersebut akibat berbagai gangguan fungsi organ yang timbul berhubungan dengan bertambahnya usia seseorang. Gangguan fungsi organ akibat penuaan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti perubahan pada struktur berbagai makromolekul pada DNA, RNA, dan protein sebagai molekul terkecil penyusun organ.

Gangguan pada berbagai fungsi organ kami fokuskan pada gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut. Masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai gejala kepikunan dan hal ini banyak disepelekan oleh masyarakat Indonesia karena dianggap sesuatu yang wajar. Gejala pikun atau istilah medisnya demensia harus dievaluasi lebih lanjut apakah hal ini disebabkan oleh proses penuaan yang normal atau mengarah ke suatu bentuk patologi atau penyakit seperti demensia akibat penyakit Alzheimer yang hingga kini belum ada obat-obatan untuk mengatasinya dengan tuntas.

Demensia memiliki prevalensi berbeda-beda, dimana prevalensinya semakin meningkat berdasarkan pertambahan umur. Prevalensi sekitar 5 % pada usia 70 tahun, 20 % pada usia 80 tahun.

Pada penelitian ini didapatkan dari 56 subyek usia lanjut terdapat 2 (dua) orang subyek mengalami gangguan fungsi kognitif berdasarkan hasil pemeriksaan MMSE nilainya kurang dari 24. Namun setelah kami lihat lebih rinci lagi untuk subyek lainnya dengan nilai MMSE nya kurang dari 30, terlihat sudah terdapat kecenderungan gangguan fungsi kognitif pada warga usia lanjut secara berurutan yaitu gangguan recall memory (recent memory), gangguan kalkulasi/atensi, gangguan orientasi, dan gangguan bahasa. Kita tahu bahwa gejala demensia akibat Alzheimer sering diawali dengan gangguan kehilangan memori. Namun gangguan tersebut perlu diteliti lebih lanjut. Kesimpulan

Penelitian kami hanyalah suatu bentuk penelitian pendahuluan, yang kami harapkan penelitian ini dapat dilanjutkan kembali dengan jumlah subyek yang lebih besar dan menggunakan alat evaluasi yang lebih lengkap dan lebih sensitif untuk menilai gangguan fungsi kognitif dan yang dapat mencerminkan prevalensi Nasional.

Telah kami dapatkan dari penelitian ini gangguan fungsi berbagai organ termasuk didalamnya gangguan pada otak yaitu gangguan fungsi kognitif. Kecenderungan gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut tersebut perlu menjadi suatu perhatian khusus dalam mendiagnosis dini akan kemungkinan penyebab dari gangguan tersebut serta adakan makna korelatif dari penyakit multiorgan yang disandang bersamaan.

Daftar Pustaka

1.Sidiarto K, Sidiarto L, Samino, dkk. Konsensus Nasional: Pengenalan dan Penatalaksanaan Demensia Alzheimer dan Demensia Lainnya. Asosiasi Alzheimer Indonesia. 2003 2.BPS Profil Kesehatan Indonesia, DEPKES RI 3.Wortmann M dan Lefevre Michael. New estimates of number of people with dementia

Page 72: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA  Vol.  27  No.  3  April  2010      6  

worldwide in Global Perspective. A newsletter for Alzheimer’s Disease International. December. 2008. Vol18 No.3. 4.Gershman K, McCullough DM. Primary Care Essentials: Geriatric. 2nd ed. America. Blackwell’s Science. 2002. 5.Malamut BL. Dementia disorder: Behavioral and cognitive aspects in Clinical neurology of the older adult. Philadelphia.Lippincott Williams & Wilkins. 2002.p 273-291.

Page 73: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 1  

Artikel Tinjauan Pustaka

MANAGEMENT OF NEURALGIA TRIGEMINAL

Dessy R Emril*

ABSTRAK

Trigeminal neuralgia adalah salah kondisi nyeri fasial yang paling mengganggu. Berbagai penelitian membuktikan bahwa penyebab Neuralgia trigeminal terbanyak adalah konflik neurovascular atau kompresi pembuluh darah pada nervus trigeminus yang menyebabkan demielinisasi saraf dan gangguan hantaran saraf. Gejala klinis yang khas berupa nyeri paroksismal di wajah dan respon yang baik terhadap pemberian obat tertentu dapat membantu kita membedakan NT dengan tipe nyeri wajah yang lain. Penatalaksanaan farmakologi dengan karbamazepin sebagai obat lini pertama merupaka lagkah pertama yang dilakukan. Tindakan invasive minimal dan pembedahan adalah dua pilihan penatalaksanaan berikutnya bila terapi farmakologi tidak menghasilkan perbaikan. Meskipun berbagai penelitian menunjukkan bahwa prosedur tersebut memiliki keuntungan dan kerugian, namun tingkat kepuasan pasien terhadap tindakan intervensi tetap tinggi. Dengan demikian, pemilihan obat dan keputusan tentang tindakan intervensi yang dipilih harus berdasarkan kebutuhan individu setiap pasien. Kata kunci: Trigeminal neuralgia, terapi farmakologi, tindakan invasive minimal, tindakan pembedahan ABSTRACT Trigeminal neuralgia is one of the most painful condition in patient with facial pain problem. Many evidence reveal that the likely etiology is neurovascular conflict or vascular compression of the trigeminal nerve that leading to focal demyelination and aberrant neural discharge. Its excruciating intensity , paroxysmal stabbing or electrical quality, facial location, phasic temporal profile, and responsiveness to a specific drug can help us in distinguishing TN from other types of facial pain. Pharmacological treatment with carbamazepin as the drug of choice is the first step of trigeminal neuralgia treatment. Minimally invasive procedure and surgical approach are two options when drugs admission do not make any improvements. Although  study  evoke  that  these  procedures    has  advantage  and  disadvantage,  nevertheless,  patient’s  satisfaction  by  using    interventional      procedure  is  still  high.  However,  the  choice  of  drug  and  decisions  regarding  interventional  or  surgery  treatment  must  be  individualized  to  the  needs  of  the  patient. Keywords: trigeminal neuralgia, pharmacological treatment, minimally invasive, surgical treatment *Staf Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Aceh

Page 74: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 2  

INTRODUCTION Neuralgia is an idiopatic pain sensasion of peripheral nerve. It mostly occur on the head and neck. Trigeminal neuralgia, or TN, is by far the most frequently diagnosed form of neuralgia. About 4 cases founded amongs 100.000 populations.1 The bigest insidence is in age 50 years, and mainly occurs in women with ratio 1:2 to 2:3 1,3 In addition to female gender, there is an association between hypertension and multiple sclerosis with an elevated relative risk of TN.1 Trigeminal neuralgia is associated with decreased quality of life and impairment of daily function. TN impacted employment in 34 % of patients and depressive symptoms are not uncommon in patients with TN.4,5 Many evidence reveal that the pain occurs because of the pressure on trigeminal nerve root, which is next to its way into the pons.This may occure due to the abnormality of vascular circular pathway .6 Pain sensasion during TN attack spreads out from trigeminal nerve brancehs. The condition may be severely disabling, and morbidity may be high, particularly in the elderly.7 Its excruciating intensity , sharp or electrical quality, facial location, phasic temporal profile, and responsiveness to a specific drug can help us in distinguishing TN from other types of facial pain.8

CLINICAL CHARACTERISTIC OF TRIGEMINAL NEURALGIA The characteristic of TN is electrical shock- like sensation which is limited in trigeminal nerve are. It is happened unilaterally, usually on the right side of the face. Mandibular and maxillary branch are common branchs that effected, while it rare effect optalmic branch.9 Pain last up to two minutes and appears spontaneously. Pain may relaps and repeated at short interval. Sometimes , pain can overlap which is known as a lingering. 9,10

Specific activities provoke the pain in patient with TN. Patient report an attack of neuralgia even just only by a lightly touched to the area which is called a trigger zone. The simple activities that contact, mobilize, stretch and a even a slightly stimulate the trigger zone, such as speaking, chewing, saving, brushing the teeth or a cool wind striking the face can precipitate an attack.8 We should know that TN is one of many varieties of trigeminal nerve distribution facial pain which differ in their etiopathology and treatment responsiveness. Burchiel has divided TN into two subdivision : TN1, consisting of sharp, shooting, electrical shock-like, episodic pain; and TN2, consisting of aching, throbbing, burning pain that is constant more than 50% of the time. How ever, many patients will have the combination of TN1 and TN2 characteristic.. Normal Neurological examination and and subtle deficit of trigeminal sensory can be found.8

Trigeminal neuralgia is sometimes caused by another illness. Symptomatic TN can be associated with MS, postherpetic TN resulting from a facial outbreak of herpes zoster, trigeminal neuropathic pain following unintentional trigeminal nerve injury (e.g., stroke or dental procedures), and trigeminal differentiation pain following intentional denervating procedures used to treat TN.11, 12

Page 75: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 3  

TREATMENT The treatment of patients with idiopathic trigeminal Neuralgia is often a challenge in clinical practice.. Many studies are still needed to unreveal management of TN in clinical pactice. Invasive procedure and surgical approach are two options when drugs admission do not make any improvements. Pharmacological tretament Treatment starts with drug admission and Carbamazepin as the first choice. 7,9 Carbamazepin has higher efficacy level (level A) than oxcarbazepin (level B) in treating CTN pain.Baclofen, lamotrigine and pimozied are assumed to likely have result in controling pain in patient with CTN (level C). Carbamazepin is given 200-1200 mg daily while oxcarbazepin is given 600-1800 mg daily.This agent shows light side effects compare to CBZ which is higher in it efficacy level.14 There are still lack of studies that proved efficacy of combination therapy with lamotrigine and baclofen. Meanwhile, the result of using other neurapathic pain reliever drugs such as gabapentin, pregabalin, serotonin-noradrenaline reuptake inhibitor, or tricyclic antidepressants is not yet identified.14 As spontaneous recovery in typical CTN is rare and the condition is cyclical with periods of partial or complete remission and recurrence, it is recommended to encourage patients to modify the dose of the drugs depents on how frequent the attack occurs adjust the dosage to the frequency of attacks.14 If any of these sodium-channel blockers is ineffective, referral for a surgical consultation would be a reasonable next step. But we should have done an adequate trial of at least three drugs including carbamazepine before we decide the surgical treatment.8 How to adjust the dose There is an art to dose titration that does not have to according to the usual rate of titration. The choice of drug, rate of titration, and the duration of therapy must be individualized to the need of the patients. The physician must balanced the need to achieve rapid pain relief with the dose-related medication side effects. Too rapid an increasing of the dose could risk unpleasant dose dependent side effects and persuading the patient never again to try the drug even thought it have been proven remarkably helpful if it was started more slowly.8

The expected time for efficacy of the drug to be achieved is relatively short and we can usually judge the efficacy of the drug within days of reaching biological steady state. We should asses the patients response within the time a drug has reached steady state. If the response is not adequate, the dose should be increased within reasonable limits of safety and tolerability.8 If side effects occur, the physician must judge whether the side effects are potentially serious and determine whether to slow the rate of titration, reduce the dose for a few days, or discontinue the drug altogether and proceed to another treatment option.8 How to Stop the medication The patient who remains pain-free or nearly so for some time may wish to taper off of medication. But We should determine whether absence of pain is due to remission of TN or to medication unless the dose is decreased, since the natural history of TN is characterized by spontaneous remissions. Once patient has no pain for a full month, the drug can be tapered gradually week by week, until we found the lowest dose that necessary to maintain control of pain.8

Page 76: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 4  

A slow tapering off the dose is advisable, and after the pain doesn’t reappear, the drug can be stopped. Patient may be advise to keep a small supply of medicine as the pain can return suddenly. Occasionally, patient prefer to remain on medication since they have a fear that the pain might return. Doctor usually permit the patient to continue medication on the lowest dose of medication on a precautionary basis.8 Interventional/surgical treatment When the pharmacological treatment fails, a choice between a minimally invasive technique and a surgical approach should be made.13 Trigeminal ganglion block and percutaneous rhizotomy are the minimally invasive procedure that can be the choice. While microvascular decompression and gamma knife surgery are the surgical technique which is more invasive. Trigeminal ganglion block Purpose of this procedure is to alleviate pain sensasion by obstructing trigeminal ganglion. Nowaday, thermoangiolysis has changed terminal ganglion block procedure which has been widely used beforehand. Procedure should be performed under fluoroscopic guidance. It is applied to get fluroscopic view of submental in lateral and PA posiition where the needle will be inserted. The direction marked by entry point 2 to 3 lateral to the commissura labialis (angle of the mouth) ; needle should be directed 3 cm anterior to the external auditory meatus when seen from the side; and needle should be directed toward the pupil when seen from the front of the face. Cannula insertion should be performed following the bisector (450) of the sagittal plane, which passes through the pupil and the frontal-mentonian plane. When the needle enters the foramen ovale, we have to verify the depth of the needle inside the Meckel’s cave with the lateral view of fluoroscopy. A 0.5 ml iohexol solution helps determine that the needle has not penetrated the dura. Local anesthetic is given up to 1 ml after negative aspiration. If the pain is produce by terminal ganglion compression , this procedure may succesfully relief the pain.15 Complication of trigeminal ganglion block is rare. There is a risk of meningitis if the needle enters the mucosa. Placed the fingers inside the mouth can help to guide the needle and prevents penetrations of the oral mucosa. Brain stem function can be affected if the local anesthetic reached it. The patient will complains of bilateral headache, or fourth or sixth nerve palsy, or pupillary change.15 Percutaneous rhizotomy This procedure use a canulla which is inserted through foramen ovale. This means to treat lesion on terminal ganglion or root by using Radiofrequency thermocoagulation (RFT) , chemical (injection of glycerol) or mechanical approach such as using an inflating baloon to compress the lession.14

RF is the most common procedure to treat TN especially in elderly patients. It has high efficacy in eliminating pain. However, it also has disadvantages such as numbness and ansthesia dolorosa.Thus,many studies have been conducted to searching for better approach in idioathic trigeminal neuralgia treatement.13 The procedure consist of convensional RF (CRF) technique and pulsed RF technique (PRF). CRF use electrode tip that produce heat in surrounding tissue. Pulsed RF use pulsed current. It is sent at 2 bursts for 20 ms each. There is a periode when circulation and

Page 77: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 5  

thermal conductivity remove the heat produced by the currents and this what makes, the temperature is keep maintained at low level.13 There have been several experimental researches to assess the efficacy of PRF in comparison with CRF. A prospective, randomized, double blinded study which evaluate the effect of PRF in comparison with CRF reported that CRF is more effective than PRF in the treatment of idiopathic TN. 13 The result shown that The VAS scores decreased significantly (p < 0.001) and PSS improved significantly after the CRF procedure . The VAS score decreased in only 2 of 20 patients from the PRF group and the patients in this group get pain recurrence in 3 months after the procedure.13

Procedure Patient who will undergo for the procedure for the procedure should be verified for an appropriate preoperative fasting and prophylactic antibiotics that cover skin and intraoral flora should be administered 1 hour before procedure. Vasofagal episodes are rarely occur, so it is not considered to do the routine premedication with symphatetic agonist. Patent intravenous access, physiologic monitoring including electrocardiogram, blood monitoring and pulse oximetry are mandatory throughout the procedure.16 The electrode enters the skin at 2 to 3 cm lateral to the lateral angle of the mouth. A 22- gauge, 4-inch, 2- to 5-mm active tip RF electrode, with a slight curve place in the distal 1 cm is ideal. Despite the availability of some specialty electrodes (eg, Tew), comparable success can also be achieved by the use of smaller profile electrodes. It is important to ensure that the electrode is parallel and advanced in a coaxial manner to the radiograph beam. V3 distribution paresthesiae will usually occur as the electrode approaching the petrous portion of temporal bone. Intraoral examination should be done prior to advancing the electrode as to avoid false of the electrode through buccal mucosa. The patient is asked to hyperventilate then deeply sedated with 1.25 to 2 mg/Kg isopropyl phenol given intravenously by anesthesiologist. On reaching the apneic treshold, the electrode is advanced to enter foramen ovale at its mid point. Lateral image of midface is obtained by repositioning of the fluoroscope and the electrode is advanced 2 to 4 mm further to reach the junction of the petrous mass and clivus. Dural penetration and electrode position in Meckel’s cavern is confirmed by a slow drip of CSF after removal of the stylet of the electrode.16

Test stimulation is mandatory before radiofrequency lesioning. Reproduction of concordant symptoms isolated to the trigeminal distribution of the patient’s usual symptoms (V1,V2, V3) at 50-Hz, 1-millisecond pulse duration should be reproducible at 0.05 to 0.1 V.15, 16 If this sensation is obtained after 0.5-V stimulation. Then the needle should be redirected to get the same response at a lower voltage. Residual sensorial deficits from previous lesioning might present.15 After the desired stimulation parameters verified, isopropyl phenol is once again given intravenously until the apneic threshold is reached. Thermal lesioning is then initiated again with a target temperature of 58°C to 60°C to create two 60- to 120-second lesion lesions. The use of advanced high verniation lesioning techniques allow the use of pulsed RF energy so that the chances of temperature overshoot can bi minimalized and extremely stable temperature lesions are obtained. One author prefers the generator set to deliver 4 pulses per second, with each pulse of 30 milliseconds duration. Typical voltages necessary

Page 78: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 6  

for lesion temperature in the 58°C to 60°C range from 45 to 80 V. Electrode is removed after lesioning completed and the patient is allowed to awaken.16 The creation of lower temperature lesions has obviated the need to verify the presence of dense immediate postprocedure hypoesthesia or anesthesia. Protective measures to the cornea (with saline eye drop, viscous lubricant or ophthalmologic eye patch) should be undertaken if corneal sensation decreased upon patient’s emergence from anesthesia. By the advent of minimally invasive surgical technique and short-acting intravenous anesthetics, the procedure can now be done in an outpatient setting. However, in this setting, responsible adult supervision and patient monitoring in the early postoperative period is necessary. If such condition can not be obtained, 24 to 48 hours admission should be done.16 Complete recovery is achieved soon after surgery, though some of the patients still experience postoperative pain in 2 to 3 weeks. This could be managed by giving neuromodulator agents (eg carbamazepine, gabapentine and so on) continuously untill postoperative follow up day begin. Initial treatment with additional analgetic agents be may needed in the beginning of postoperative period.16

Basically this procedure has good result.After percutaneous RF gasserian rhizotomy, about 80 % patients completely recover from the attack, and about 15% to 20% experience reccurency in 12 months. This procedure could be reperformed if patients experience reccurence attack. In an unmanageable trigeminal neuralgia, patient who have failed repeat RF neurotomy or when RF can not be performed, microvascular decompression should be an alternative choice.16 Complication can be diminished by carefully selected of the patient with attention to both somatic and psychosocial factors, and the procedure must be performed by a trained clinician in the optimal environment.17 The risks include anesthesia dolorosa in 0.6-6% of patients. Transient or permanent cranial nerve palsies may occur. More serious complication such as meningitis, abscess, blindness, carotid-cavernous fistula and even brainstem injury may occur but very rare. Corneal anesthesia that lead to keratitis may occure as the complication of ophthalmic division lesion. Lesion of mandibular division may reduce lingual sensation and slur speech.17,8 Microvascular decompression Since Dandy theorized that vascular compression of the trigeminal neuralgia is responsible for TN, microvascular decompression (MVD) has been widely used with favorable outcomes.18

Craniotomy is performed in the procedure, where trigeminal nerve in posterior fossa which is compressed by the vesel is taken off and still maintaining the nerve function.14 Several report on this procedure result has reported that almost all of the patient is recovered. Meanwhile 80% of patients feel free from pain at one year, , 75% at three years and 73% at five years. Mortality rate from this procedure is low ; 02% to 0,5%. Post operative adverse events such as CFS leaks, infarct or hematomas occur in 4% patients. Other complication such as diplopia and bell’s palsy is uncommon. But 7% of patients have reported the sensory loss. Ipsilateral hearing loss may be the prolonged complication that occurs in 10% patients.14

Page 79: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 7  

A study from Jian Hai shows that patient with atypical neuralgia attains recovery by decompression on the whole trigeminal root.26 patients with vascular decompressien were detected using magnetic resonance tomographic angiography, they then were diagnosed with atypical trigeminal neuralgia. Up to 46,2 % patients have contradictory arterial or venous formation. Predilection areas respectively are supero-medial , supero lateral and inferior arround circumference of trigeminal root. Almost half of patients achieve recovery after complete decompression, while the rest who do no have complete decompression have partial relief (30.8%) and recurency (19,2%).18

Although   study   evoke   that   this   procedure   has   advantage   and   disadvantage.  Nevertheless,  patient’s  satisfaction  by  using  this  procedure  is  still  high.  Gamma  knife  surgery   For medically refractory idiopathic TN, stereotactic radiosurgery with gamma knife surgery (GKS) has accepted to be the good treatment. It is non invasive and using beam of radiation at the root of trigeminal nerve. Different results of this procedure have been reported from several studies.However, the interpretation of the studies is still unclear because the reports do not have the same standar outcome.19 In Kostas et al study, stereotactic surgery is found to be valuable in idiopatic TN treatment beside its safety. Result was collected from two groups.Group one is patients with no previous surgery.This group has respones rate 92,9%. Group 2 is patients who had undergone surgery with response rate 85,7%. Group one has better outcome either in first and second year post treatment (82,5% and 78%) while group 2 has only 69,4% in first year and 63,5% in second year.19

Some complications such as post treatment facial numbness, sensory loss or parasthesias have been reported. Facial numbness is commonly found after the procedure (9-37%) while sensory loss/or parasthesia only reported by 6-13% of patients. No anesthesia dolorosa has been reported.14

REFERENCES

1. Katusic S, Beard CM, Bergstralh E, Kurland LT. I ncidence and clinical features of trigeminal neuralgia, Rochester, Minnesota, 1945- 1984. Ann Neurol 1990;27:89-95.

2. Darlow LA, Brooks ML, Quinn PD. Magnetic resonance imaging in the diagnosis of trigeminal neuralgia. J Oral Maxillofac Surg. 1992;50:621-6.

3. Turp JC, Gobetti JP. Trigeminal neuralgia versus atypical facial pain: a review of the literature and case report. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 1996;81:424-32

4. Tölle T, Dukes E, Sadoysky A. Patien burden of trigeminal neuralgia: results from a cross-sectional survey of health state impairment and treatment patterns in six European countries, Pain Pract. 2006;6:153-60

5. Marbach JJ, Lund P. Depression, anhedonia and anxiety in temporomandibular joint and other facial pain syndromes, Pain.1981; 11(1): 73-84

6. Love S, Coakham HB, Trigeminal neuralgia: pathology and pathogenesis. Brain. 2002;124:247 7. Stannard C, Booth S. Pain. 2nd ed. 2004: 318 8. Cheshire WP. Trigeminal neuralgia: For one nerve a multitude of treatments. Expert Rev Neurother

2007;7(11):1565-75 9. Bagher SC, Farhidvash F, Perciaccante VJ. Diagnosis and treatment of patients with neuralgia

trigeminal neuralgia. JADA 2004;135: 1713-15 10. Benneto L, Patel NK, Fuller G. Trigeminal neuralgia and its management. British medical journal.

2007; 334: 201-4 11. Burchiel KJ. A new classification for facial pain. Neurosurgery.2005; 53(5): 1164-66 12. Eller JL, Raslan AM, Burchiel KJ. Trigeminal neuralgia: definition and classification. Neurosurg.

Focus 18(5), E3 (2005)

Page 80: neurona Vol 27 No 3 April 2010

NEURONA Vol 27 no.3 April 2010 8  

13. Erdine S, Ozyalcin NS, Cimen. Comparison of pulsed radiofrequency with conventional radiofrequency in the treatment of idiopathic trigeminal neuralgia. European Journal of Pain. 2007;11:309

14. Cruccu G, Gronseth G, Alksne J. AAN-EFNS guidelines on trigeminal neuralgia management. European Journal of Neurology. 2008;15:1013-4

15. Erdine S, Racz GB, Noe C. Somatic blocks of the head and neck. In: Raj PP, editor. Interventional pain management. 2nd ed. Philadelphia: Saunders- Elsivier; 2008: 82-7. 16. Yin W. Radiofrequency gasserian rhizotomy: The role of RF lesioning in the management of facial

pain.Techniques in Regional Anastesia and Pain Management 2004;8:31 17. Zundert JV, Sluijter M, Kleef MV. Thermal and pulsed radiofrequency. In: Raj PP, editor.

Interventional pain management. 2nd ed. Philadelphia: Saunders- Elsivier; 2008: 61 18. Jion Hai, Shi-Ting, Qing-Gang Pan. Treatment of atypical trigeminal neuralgia with microvascular

decompression. Neurology India. 2006;54:53-57 19. Fauntas KN, Smith JR, Lee GR. Gamma Knife stereotactic radiosurgical treatment of idiopathic

trigeminal neuralgia: long-term outcome and complications. Neurosurg Focus. 2007;23:1