mengenal konsep mudharabah

21
Mengenal Konsep Mudharabah Allah menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki skill kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya Al Mudharabah. Pengertian Al Mudharabah Syarikat Mudhaarabah memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah karena diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman: َ مِ لَ عْ نَ ُ ونُ كَ يَ سْ مُ كْ يِ م ىَ ضْ رَ مَ ونُ ر َ خ َ وَ ونُ بِ رْ ضَ ي ىِ فِ ضْ رَ ْ ل َ ون ُ غَ + تْ . بَ 1 يْ نِ مِ لْ ضَ فِ َ 7 َ ونُ ر َ خ َ وَ ونُ لِ + ت اَ + قُ ي ىِ فِ ل يِ . بَ سِ َ 7 وُ ءَ رْ + ق اَ ف اَ مَ رَ 7 سَ يَ H يُ هْ نِ م“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)

Upload: asmahusnaabdsamat

Post on 14-Jul-2016

234 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Muamalat

TRANSCRIPT

M e n g e n a l Ko n s e p M u d h a ra b a h

Allah menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan

satu sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan

keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki skill

kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini

diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan

kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha

diantaranya Al Mudharabah.

Pengertian Al Mudharabah

Syarikat Mudhaarabah memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai

dengan penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan

istilah Al Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai

mudharabah karena diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan

perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:

وآخرون الله فضل من يبتغون األرض في يضربون وآخرون مرضى منكم سيكون أن علم

ر ما فاقرءوا الله سبيل في يقاتلون منه تيس“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-

orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang

yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu)

dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)

Ada juga yang mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil) keuntungan dengan

saham yang dimiliki.

Dalam istilah bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena diambil dari

katamuqaaradhah yang arinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan

الشاعران تقارض“Dua orang penyair melakukan muqaaradhah,” yakni saling membandingkan syair-syair

mereka. Disini perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki

pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang. Ada juga yang menyatakan bahwa kata

itu diambil dari qardh yakni memotong. Tikus itu melakukan qardh terhadap kain, yakni

menggigitnya hingga putus. Dalam kasus ini, pemilik modal memotong sebagian

hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong

keuntungan usahanya. [1]

Sedangkan dalam istilah para ulama Syarikat Mudhaarabah memiliki pengertian:

Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk

diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.[2] Dengan

kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu

pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian

keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.3 Sehingga Al Mudharabah

adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (Shahib Al

Mal/Investor) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (Mudharib) dengan

suatu perjanjian pembagian keuntungan.[4] Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan

kontribusi 100% modal dari Shahib Al Mal dan keahlian dari Mudharib.

Hukum Al Mudharabah Dalam Islam

Para ulama sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari

sistem jual beli ini adalah ijma’ ulama yang membolehkannya. Seperti dinukilkan Ibnul

Mundzir[5], Ibnu Hazm[6] Ibnu Taimiyah[7] dan lainnya.

Ibnu Hazm menyatakan: “Semua bab dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam Al Qur’an

dan Sunnah yang kita ketahui -Alhamdulillah- kecuali Al Qiraadh (Al Mudharabah (pen).

Kami tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al Qur’an dan Sunnah. Namun

dasarnya adalah ijma’ yang benar. Yang dapat kami pastikan bahwa hal ini ada

dizamanshallallahu’alaihi wa sallam, beliau ketahui dan setujui dan seandainya tidak

demikian maka tidak boleh.”[8]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari pernyataan Ibnu Hazm di atas dengan

menyatakan: “Ada kritikan atas pernyataan beliau ini:

1. Bukan termasuk madzhab beliau membenarkan ijma’ tanpa diketahui sandarannya

dari Al Qur’an dan Sunnah dan ia sendiri mengakui bahwa ia tidak mendapatkan

dasar dalil Mudharabah dalam Al Qur’an dan Sunah.

2. Beliau tidak memandang bahwa tidak adanya yang menyelisihi adalah ijma’, padahal

ia tidak memiliki disini kecuali ketidak tahuan adanya yang menyelisihinya.

3. Beliau mengakui persetujuan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam setelah mengetahui

sistem muamalah ini. Taqrier (persetujuan) Nabi shallallahu’alaihi wa

sallam termasuk satu jenis sunnah, sehingga (pengakuan beliau) tidak adanya dasar

dari sunnah menentang pernyataan beliau tentang taqrir ini.

4. Jual beli (perdagangan) dengan keridhaan kedua belah fihak yang ada dalam Al

Qur’an meliputi juga Al Qiradh dan Mudharabah

5. Madzhab beliau menyatakan harus ada nash dalam Al Qur’an dan Sunnah atas setiap

permasalahan, lalu bagaimana disini meniadakan dasar dalil Al Qiradh dalam Al

Qur’an dan Sunnah

6. Tidak ditemukannya dalil tidak menunjukkan ketidak adaannya

7. Atsar yang ada dalam hal ini dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak sampai

pada derajat pasti (Qath’i) dengan semua kandungannya, padahal penulis (Ibnu

Hazm) memastikan persetujuan Nabi dalam permasalahan ini.[9]

Demikian juga Syaikh Al Albani mengkritik pernyataan Ibnu Hazm diatas dengan

menyatakan: “Ada beberapa bantahan (atas pernyataan beliau), yang terpenting bahwa

asal dalam Muamalah adalah boleh kecuali ada nas (yang melarang) beda dengan

ibadah, pada asalnya dalam ibadah dilarang kecuali ada nas, sebagaimana dijelaskan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Al Qiradh dan Mudharabah jelas termasuk yang pertama.

Juga ada nash dalam Al Qur’an yang membolehkan perdagangan dengan keridhoan dan

ini jelas mencakup Al Qiraadh. Ini semua cukup sebagai dalil kebolehannya dan

dikuatkan dengan ijma’ yang beliau akui sendiri.”[10]

Dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyah menyatakan: “Sebagian orang menjelaskan

beberapa permasalahan yang ada ijma’ padanya namun tidak memiliki dasar nas,

seperti Al Mudharabah, hal itu tidak demikian. Mudharabah sudah masyhur dikalangan

bangsa Arab dijahiliyah apalagi pada bangsa Quraisy, karena umumnya perniagaan jadi

pekerjaan mereka. Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pengelola (‘umaal).

Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam sendiri pernah berangkat membawa harta orang

lain sebelum kenabian sebagaimana telah berangkat dalam perniagaan harta Khadijah.

Juga kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan kebanyakannya dengan

sistemmudharabah dengan Abu Sufyan dan selainnya. Ketika datang islam

Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam menyetujuinya dan para sahabatpun berangkat

dalam perniagaan harta orang lain secara Mudharabah dan beliau shallallahu’alaihi wa

sallamtidak melarangnya. Sunnah disini adalah perkataan, pebuatan dan persetujuan

beliau, ketiak beliau setujui maka mudharabah dibenarkan dengan sunnah.[11]

Juga hukum ini dikuatkan dengan adanya amalan sebagian sahabat

Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam diantaranya yang diriwayatkan dalam Al-

Muwattha’ [12] dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya bahwa ia menceritakan: Abdullah dan

Ubaidillah bin Umar bin Al-Khattab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraaq.

Ketika mereka kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa Al-Asy’ari, yakni gubernur

Bashrah. Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu

dengan suka cita. Beliau berkata: “Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna buat

kalian, pasti akan kulakukan.” Kemudian beliau berkata: “Sepertinya aku bisa

melakukannya. Ini ada uang dari Allah yang akan kukirimkan kepada Amirul Mukminin.

Beliau meminjamkannya kepada kalian untuk kalian belikan sesuau di Iraaq ini,

kemudian kalian jugal di kota Al-Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul

Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil.” Mereka berkata: “Kami suka itu.” Maka

beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk disampaikan

kepada Umar bin Al-Khattab agar Amirul Mukminin itu mengambil dari mereka uang

yang dia titipkan. Sesampainya di kota Al-Madinah, mereka menjual barang itu dan

mendapatkan keuntungan. Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar. Umar

lantas bertanya: “Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa

seperti yang diberikan kepada kalian berdua?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau

berkata: “Apakah karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin sehingga ia

memberi kalian pinjaman?” Kembalikan uang itu beserta keuntungannya.” Adapun

Abdullah, hanya membungkam saja. Sementara Ubaidillah langsung angkat bicara:

“Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian wahai Amirul Mukminin! Kalau uang ini

berkurang atau habis, pasti kami akan bertanggungjawab.” Umar tetap berkata:

“Berikan uang itu semaunya.” Abdullah tetap diam, sementara Ubaidillah tetap

membantah. Tiba-tiba salah seorang di antara penggawa Umar berkata: “Bagaimana

bila engkau menjadikannya sebagai investasi modal wahai Umar?” Umar menjawab:

“Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi modal.” Umar segera mengambil modal beserta

setengah keuntungannya, sementara Abdullah dan Ubaidillah mengambil setengah

keuntungan sisanya.[13]

Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu hingga jaman

kiwari ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini

merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa

Quraisy secara turun temurun dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi shallallahu’alaihi

wa sallam, kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.

Tentulah sangat bijak, bila pengembangan modal dan peningkatan nilainya merupakan

salah satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa dikembangkan

dengan dikelola dan diperniagakan. Sementara tidak setiap orang yang mempunyai

harta mampu berniaga, juga tidak setiap yang berkeahlian dagang mempunyai modal.

Maka masing-masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu

Mudharabah ini disyariatkan oleh Allah demi kepentingan kedua belah pihak.

Hikmah Disyariatkannya Al Mudharabah

Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena

sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada

juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola

dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa

saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan

keahlianMudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan

dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak

mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak

kerusakan.[14]

Jenis Al Mudharabah

Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:

1. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya adalah sistem

mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal

kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan

siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan

kepada Mudhorib(pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat

mewujudkan kemaslahatan.

2. Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas). Pengertiannya pemilik

modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis

usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib.

[15] Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang

rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil

syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan

kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.[16]

Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai

permintaan investor.

Rukun Al Mudharabah

Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:

1. Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola

(mudharib).

2. Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.

3. Pelafalan perjanjian.

Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelasakan bahwa

rukunMudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi

dan dua pelaku transaksi.17 Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap

kembali kepada tiga rukun di atas.

Rukun pertama: adanya dua atau lebih pelaku.

Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan

pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf)

dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas

pada hartanya[18]. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau

pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan

riba atau perkara haram.[19] Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut,

sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan

syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari

pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.[20]

Rukun kedua: objek Transaksi.

Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.

a. Modal

Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:

1. Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah

ijma’[21] atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang

rojih. [22]

2. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.[23]

3. Modal yang diserahkan harus tertentu.

4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya

langsung dan dapat beraktivitas dengannya.[24]

Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan

penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar

seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa

barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad

transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya

seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan

kepada Mudharib(pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati

wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka

modal Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.

Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan.

Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa

jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga

memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.

b. Jenis Usaha

Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:

1. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan

2. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya,

seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang

permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. [25]

Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait

dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi

perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.

[26]

Pembatasan Waktu Penanaman Modal

Diperbolehkan membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat

madzhab Hambaliyyah.[27] Dengan dasar dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem

sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi

yang lainnya.[28]

c. Keuntungan

Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah.

Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:

1. Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal

(investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan

untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian

1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain,

maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut,

sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang.[29] Seandainya dikatakan: ’separuh

keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku

untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.[30]

2. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja.

Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan

keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.[31]

3. Keuntungan harus diketahui secara jelas.

4. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal

(investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase

bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat.[32] Apa bila ditentuan

nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian

keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah.

Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan

sebagian lainnya untukku.

Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:

1. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya

ditanggung pemilik modal.[33] Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan:

“Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan dengan

pernyataan: “Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada

perselisihannya dalam Al Mudharabah murni.” Ibnul Mundzir menyatakan: “Para

ulama bersepakat bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal

1/3 keuntungan atau ½ atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui

dengan jelas dalam bentuk persentase.” [34]

2. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila

keduanya tidak menentukan hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang

umum dan seluruh keuntungan milik pemilik modal (investor).[35] Ibnu Qudamah

menyatakan: “Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian)

pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat

sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini

secara mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola sedikitpun

dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian

ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji umumnya.

Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Ra’i

(Hanafiyah).” [36] Beliaupun merajihkan pendapat ini.

3. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan

kembali modal secara sempurna. Berarti tidak seorangpun berhak mengambil

bagian keuntungan sampai modal doserahkan kepada pemilik modal, apabila ada

kerugian dan keuntungan maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik

baik kerugian dan keuntungannya dalam satu kali atau kerugian dalam satu

perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya atau yang satu dalam satu

perjalanan niaga dan yang lainnya dalam perjalanan lain. Karena mkna keuntungan

adalah kelebihan dari modal dan yang tidak ada kelebihannya maka bukan

keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.[37]

4. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali apabila kedua

pihak saling ridha dan sepakat.[38] Ibnu Qudamah menyatakan: “Keuntungan jika

tampak dalam mudharabah, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun

darinya tanpa izin pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada

perbedaan diantara para ulama.

Tidak dapat melakukannya karena tiga hal:

1. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak ada

kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut.sehingga berakhir hal itu

tidak menjadi keuntungan

2. Pemilik modal adalah mitrra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak

membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.

3. Kepemilikannya tas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali keluar dari tangannya

untuk menutupi kerugian.

Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka

diperbolehkan; karena hak tersebut milik mereka berdua.”[39]

Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan

perhitungan akhir terhadap usaha tersebut. Sesungguhnya hak kepemilikan masing-

masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan

bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan disaring seluruh bentuk

usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih

bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi

kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir.

Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya

bisa dua macam:

Pertama: perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa

menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah

pihak.

Kedua: Finish cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan

aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila

pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali,

berarti harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.[40]

Rukun ketiga: Pelafalan Perjanjian (Shighoh Transaksi).

Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang

menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul.

TransaksiMudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan

yang menunjukkan maksudnya.[41]

Syarat Dalam Mudharabah [42]

Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah

satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat dalam Al

Mudharabah ini ada dua:

1. Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad

dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya

Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut

keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus

dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini

dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada

kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian

mudharabah.

2. Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:

Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak

membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan

harga modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya,

karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari

keuntungan.

Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti mensyaratkan

kepada pengelola untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang

lainnya.

Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada

pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu

dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang

satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai

keuntungan. Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan

yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama

sekali. Sehingga akadnya batal.

Berakhirnya Usaha Mudharabah

Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. Usaha ini berakhir dengan

pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus

menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan

transaksi kapan saja dia menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir

dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.

Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: “Al Mudharabah termasuk jenis

akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua

belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena idiot; hal itu karena

ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakieldan tidak

ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya.[43] Sedangkan Imam Al

Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh boleh, karena ia diawalnya adalah

perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila terdapat keuntungan maka setiap

dari kedua belah pihak boleh memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh

kehadiran dan keridoan mitranya. Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka

berakhir usaha terbut.” [44]

Imam Syafi’i menyatakan: “Kapan pemilik modal ingin mengambil modalnya sebelum

diusahakan dan sesudahnya dan kapan pengelola ingin keluar dari qiraadh maka ia

keluar darinya.” [45]

Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki keuntungan

maka harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan maka

keduanya membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti

dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka

diperbolehkan, karena hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta

menjualnya sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada

keuntungan, maka penilik modal dipaksa menjualnya; karena hak pengelola ada pada

keuntungan dan tidak tampak decuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak

keuntungannya maka pemilik modal tidak dipaksa.[46]

Tampak sekali dari sini keadilan syariat islam yang sangat memperhatikan keadaan dua

belah pihak yang bertransaksi mudharabah. Sehingga seharusnya kembali memotivasi

diri kita untuk belajar dan mengetahu tata aturan syariat dalam muamalah sehari-hari.

Demikianlah sebagian pembahasn tentang Mudharabah semoga yang sedikit ini

bermanfaat bagi kita semua…

Footnotes:

1. Lihat Al Mughni karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin Al Turki,

cetakan kedua tahun 1412H, penerbit Hajr. (7/133), Al Syarh Al Mumti”Ala Zaad Al

Mustaqni’ karya Ibnu Utsaimin tahqiq Abu Bilal Jamaal Abdul ‘Aal, cetakan pertama

tahun 1423 H, penerbit Dar Ibnu Al Haitsam, Kairo, Mesir (4/266), Al Fiqhu Al

Muyassar -bag. Fiqih Muamalah- karya Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al

Thoyaar, Prop. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin

Ibrohim Alimusaa. Cetakan pertama tahun 1425H Hal. 185, Al Bunuk Al Islamiyah

Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, karya Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al

Thoyaar, cetakan kedua tahun 1414 H, Muassasah Al Jurais, Riyaadh, KSA hal 122

2. Al Mughni op.cit 7/133

3. Al Bunuk Al Islamiyah Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, op.cit hal 122

4. Al Fiqhu Al Muyassar op.cit. hal 185. Hal inipun diakui PKES (pusat Komunikasi

Ekonomi Syari’at) indonesia dalam buku saku perbankan Syari’at hal 37.

5. Al Mugnhi op.cit 7/133

6. Maratib Al Ijma’ karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan cetakan, penerbit Dar Al Kutub

Al Ilmiyah, Bairut. hal 91.

7. Majmu’ Fatawa 29/101

8. Maratib Al Ijma’ op.cit hal 91-92.

9. Naqdh Maratib Al Ijma’ karya Syeikh Islam yang dicetak sebagai foot note kitab

Maratib Al Ijma hal 91-92.

10. Irwa’ Al Gholil Fi Takhrij Ahaadits Manar Al Sabil karya Syeikh Muhammad

Nashiruddin Al Albani, cetakan kedua tahun 1405 H. Al maktab Islami, Baerut.

5/294

11. Majmu’ Fatawa 19/195-196

12. Dalam kitab al-Qiraadh bab 1 halaman 687 dan dibawakan juga oelh Syeikhul Islam

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ fatawa 19/196

13. Dinilai Shohih Oleh Syeikh Al Albani dalam Irwa Al Gholil 5/290-291

14. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.

15. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal 186.

16. Demikianlah yang dirojihkan penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar hal 187.

17. Lihat Takmilah AL Majmu’ Syarhu Al Muhadzab imam nawawi oleh Muhammad

Najieb Al Muthi’i yang digabung dengan kitab Majmu’ Syatrhul Muhadzab 15/148

18. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal169.

19. Lihat Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.

20. Lihat kitab Maa La Yasa’u Al Taajir Jahlulu, karya prof. DR Abdullah Al Mushlih dan

prof. DR. Shalah Al Showi yang diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh

Abu Umar Basyir dengan judul Fiqh Ekonimi Keuangan Islam, penerbit Darul Haq,

Jakarta hal. 173.

21. Lihat Maratib Al Ijma’ hal 92 dan Takmilah AL Majmu’ op.cit 15/143

22. Pendapat inilah yang dirojihkan syeikh Ibnu Utsaimin dalam Al Syarhu Al Mumti’.

Op.cit. 4/258Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal. 123 dan Takmilah AL Majmu’ op.cit

15/144

23. Takmilah AL Majmu’ op.cit 15/145

24. ibid 15/146-147

25. lihat Fiqih Ekonomi Keuangan Islam op.cit hal 176

26. Al Mughni op.cit 7/177

27. fikih Ekonomi Keuangan Islam op.cit. 177

28. lihat juga Al Mughni op.cit 7/144

29. Takmilah Al Majmu’ op.cit 15/160

30. ibid 15/159

31. lihat Maratib Al Ijma’ op.cit hal 92, Al Syarhu Al Mumti’ op.cit 4/259 dan takmilah Al

Majmu’ op.cit 15/159-160

32. untuk masalah kerugian dalam Mudharabah silahkan lihat makalah Ustadz Abu

Ihsan dalam mabhas ini.

33. Al Mughni op.cit 7/138

34. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.

35. Al Mughni op.cit 7/140.

36. Ibid 7/165.

37. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit 123.

38. Al Mughni op.cit 7/172

39. Fiqih Ekonomi Keuangan Islam op.cit hal 181-182.

40. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal 169.

41. Diambil dari catatan penulis dari pelajaran fiqih dari Syeikh prof. DR. Hamd Al

Hamaad ditahun keempat pada kuliah hadits di Universitas Islam Madinah tahun

1419H dan kitab Al Mughni op.cit 7/175-177

42. Al Mughni op.cit 7/172

43. Majmu’ Syarhu Almuhadzab op.cit 15/176.

44. Ibid 15/191.

45. Al Mughni op.cit 7/172