maestro pra terbit

70
MAESTRO, April 2009 1 THE NEWSMAKER MAGAZINE 79 TAHUN April 2009 EDISI KOLEKSI Kanjeng Raden Ayu SITI HARTATI MARDEO

Upload: maestro-magazine

Post on 07-Mar-2016

273 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

edisi perrtama yang diterbitkan jelang ulang tahun Mamie

TRANSCRIPT

Page 1: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 1

THE NEWSMAKER MAGAZINE

79TAHUN

April 2009EDISI KOLEKSI

Kanjeng Raden AyuSITI HARTATIMARDEO

Page 2: maestro pra terbit

2 MAESTRO, April 2009

IBU

Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir - bibir manusia. Dan “Ibuku” merupakan sebutan terindah.

Kata yang semerbak cinta dan impian,manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.

Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita di kala lara,

impian kita dalam rengsa, rujukan kita di kala nista.Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan, dan toleransi.

Siapa pun yang kehilangan ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa merestui dan memberkatinya.

Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu.

Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya. Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya

dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian.

Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan. Bumi menumbuhkan,menjaga dan membesarkannya. Pepohonan dan bebungaan adalah ibu yang tulus

memelihara bebuahan dan bebijian.Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.

Penuh cinta dan kedamaian.

(Kahlil Gibran)

Page 3: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 3

DALAM upacara pemberian Oscar

akhir tahun lalu, AR Rahman -

komponis asal India - secara

mengejutkan memborong dua piala.

Penghargaan paling prestisius

dalam dunia film internasional.

Rahman menerima kedua piala

tersebut berkat film Slumdog Millionaire yang ia garap.

Pada tayangan langsung yang disaksikan tidak kurang

dari 36 juta penonton televisi di seluruh dunia itu, sambil

mengangkat kedua pialanya, Rahman dengan spontan

berteriak, “My mother’is here, her blessings are there with

me. Ibuku ada di sini, hanya berkat restunya aku berhasil

meraih ini semua.”Langkah sama dilakukan Varun Gandhi, cicit Jawaharlal

Nehru. Varun adalah politisi muda paling potensial

di negaranya. Sosok yang oleh para

pengamat diramalkan segera merebut

kursi Perdana Menteri India, yang dulu

pernah diduduki kakek buyutnya.

Apa kunci suksesmu?

Dengan kalimat tegas Varun

menjawab, “Karena di belakangku

selalu hadir Ibu.” Ibu kandung

Varun bernama Maneka Gandhi.

Tanpa pernah diketahui orang,

Maneka selama ini tampil sebagai

penasihat pribadi paling utama Varun

selama meniti karier politik.

Laporan utama koran International Herald

Tribune edisi 4 April 2009 melukiskan fenomena itu

dengan sebuah tajuk India’s elite turn to moms for advice.”

Semua politisi dan pengusaha sukses di India sekarang ini

sedang kembali kepada ibu mereka untuk mendapatkan

nasihat, petunjuk, bahkan arahan sekitar bagaimana

dan ke mana mereka harus melangkah. Ketika negara

tersebut sedang melesat meraih kemajuan untuk menjadi

raksasa baru dunia, para tokohnya justru kembali ke akar

budayanya sendiri. Mereka sibuk mencari identitasnya

sekaligus mengakui bahwa kunci suksesnya selama ini

tidak lain berkat bimbingan sang ibu.

Sebuah langkah bijaksana.

Konsepsi itu sejak zaman dulu dipegang masyarakat

di sana. Sebagaimana juga berlaku di Indonesia sebagai

bangsa yang menyebut tanah airnya dengan istilah sama:

pertiwi.

Edisi Koleksi Majalah MAESTRO kali ini kami

persembahkan untuk mewarnai peringatan ulang tahun

ke-79 Kanjeng Raden Ayu Siti Hartati, seorang ibu yang

oleh putra-putri, menantu, cucu, dan banyak orang akrab

disapa Mamie.

Sosok Mamie telah menjadi pelabuhan, pelindung,

dan obor pemicu semangat mereka yang berada di

sekelilingnya. Kedua tangannya selalu siap memeluk.

Hatinya selalu sigap menerima keluhan. Senyumnya selalu

merekah. Kehadirannya senantiasa menyebarkan

semangat yang meneguhkan hati orang lain.

Mamie adalah sebuah suh sekaligus

pelabuhan harapan bagi banyak orang.

Tentu, Edisi Koleksi Majalah

MAESTRO ini tidak akan terwujud

tanpa bantuan dan kerja sama banyak

rekan. Sekadar menyebut sejumlah

nama, mereka antara lain N Bramono

S, Yulius P Silalahi, Krus Haryanto,

Gesigoran, Kristiadi, Ali Usman, Pak

Wes, Pak M Agus, serta banyak

lagi rekan yang ikut membantu proses

terbitnya Edisi Koleksi MAESTRO ini.

Last but not least, ucapan terima kasih yang

tulus saya sampaikan kepada putra bungsu Mamie, Sigid

Haryo Wibisono. Ia-lah sesungguhnya yang menggagas

edisi khusus ini. Tanpa kesempatan dan berbagai

dukungannya kepada saya dan tim MAESTRO, edisi

koleksi ini tak akan pernah bisa diwujudkan.

Salam.

Julius Pour

April 2009

Page 4: maestro pra terbit

4 MAESTRO, April 20094 MAESTRO, April 2009

FO

TO

: KR

US

HA

RY

AN

TO

Page 5: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 5MAESTRO, April 2009 5

Puisi Ibu 2

Pengantar 3

Indeks 4-5

Kanjeng Raden Ayu Siti Hartati 6

Pulang Sebelum Lampu Menyala 11

Dari Pengantin Revolusi

sampai Penumpasan Mbah Suro 14

Istri Sejati Seorang Tentara 21

Pistol di Bawah Bantal 24

Sumber Inspirasi & Kekuatan 26

Berbagi Tanpa Pamrih 30

Bahagia Bikin Senang Orang 34

Mengatur Waktu 24 Jam 38

Dewi Kunthi Mencintai Suami,

Membimbing Putra-putrinya 44

RM Said: Tiji Tibeh, Mukti Siji Mukti Kabeh 48

Tatiek Mardeo di Mata Sahabat 54

Mamie di Hati Putra-putrinya 58

Merdeka Grup’s Grand Mother 64

INDEKS

Tim Edisi Koleksi - Penyelia: N Bramono S, Arif Bargot Siregar, Raja P Pane; Penulis: Julius Pour, Yulius P Silalahi;Foto-foto: Krus Haryanto, Peter Johan, dan dokumentasi pribadi; Desain Grafis: Gesigoran, Kristiadi, Ali Usman

Page 6: maestro pra terbit

6 MAESTRO, April 2009

Siti HartatiMarDEO

Kanjeng raden ayu

6 MAESTRO, April 2009

Page 7: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 7MAESTRO, April 2009 7

FO

TO

: KR

US

HA

RY

AN

TO

Page 8: maestro pra terbit

8 MAESTRO, April 2009

Kanjeng Raden Ayu Siti Hartati

dilahirkan pada 24 April 1930 di

Matesih, Kabupaten Karangnyar,

yang pada masa itu termasuk

dalam wilayah kekuasaan Pradja

Mangkoenegaran. Siti Hartati sosok

seorang perempuan sekaligus ibu,

yang oleh semua putra-putri berikut cucu, sampai seluruh

sahabat-sahabatnya terdekat, lebih akrab dipanggil dengan

sebutan akrab, Mamie.

Hal tersebut sesungguhnya tidak mengejutkan, oleh

karena beliau memang selalu bersikap terbuka, dipadukan

dengan sikap rendah hati ketika menghadapi orang lain.

Dengan latar belakang sikap semacam itu, maka Mamie

memang lantas tumbuh untuk disayang oleh banyak orang.

Beliau tidak hanya menjadi suh (tempat kediaman serta

melabuhkan diri) bagi putra-putri kandungnya, tetapi juga

selalu tampil sebagai suh untuk beragam orang, yang

secara kebetulan mengenalnya.

Menurut penanggalan Jawa tradisi para leluhurnya,

kelahiran Mamie bersamaan dengan datangnya tahun Ehe

1860, sehingga berada dalam naungan Wuku Tolu yang

sepanjang kehidupannya akan dijaga oleh Batara Bayu.

Dengan demikian, para leluhurnya sejak awal telah bisa

menunjukkan, bahwa Mamie dalam menempuh perjalanan

hidup serta bermasyarakat, sifatnya selalu ramah tamah,

berpandangan luas namun keras hati. Cekatan dalam

menerima tugas serta akan bisa tumbuh menjadi seorang

ahli dalam bidang pekerjaaannya.”

Selain itu, sosoknya sudah bisa terlihat sejak awal,

akan kuat dalam begadang sampai fajar menyingsing

di langit timur, sekaligus memiliki sifat pemberani.

Sebagaimana yang selalu diajarkan oleh Batara Bayu

seorang dewa pelindungnya, maka sejak semula sudah

nampak bahwa mereka yang dilahirkan dalam Wuku

Tolu di masa kecilnya harus banyak menderita, prihatin

serta digariskan untuk ngenger kepada orang lain. Namun

sesudah tumbuh dewasa hingga memasuki usia sepuh,

dipastikan bakal makmur rezekinya, bersifat dermawan

dan justru akan banyak sekali membantu kehidupan orang

lain.

Membantu tidak dalam arti menyediakan dana secara

Mamie yang selalu rendah hati.

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

Page 9: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 9

Mamie selalu berinteraksi dengan cucunya dan banyak orang.

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

berlimpah-ruah, melainkan yang justru jauh lebih bermakna,

dan oleh karena itu banyak sekali diharapkan, mampu

menebarkan pencerahan berikut membantu memberi

nasihat, arahan serta petunjuk. Sekadar sembur-sembur

adas, tetapi dalam kenyataannya banyak sekali terbukti,

sanggup menutup luka hati yang diderita oleh orang lain.

Tanggal kelahiran Mamie dalam perhitungan

penanggalan Cina, bersamaan dengan datangnya tahun

Imlek 2481, berada di bawah naungan Shio Be alias

Shio Kuda. Mereka yang mempunyai Shio Be, menurut

perhitungan Empeh Wong Kam Fu, akan menjadi seorang

manusia yang bersifat ksatria. Sepanjang perjalanan

hidupnya, terutama setelah menginjak dewasa, akan

senantiasa merasakan kebahagiaan, ketentraman,

kemuliaan, serta dilimpahi oleh kekayaan, karena rezekinya

datang secara melimpah. Semua itu dilengkapi dengan

memiliki kepribadian luhur, kesabaran serta berpengaruh

kepada masyarakat di sekitarnya. Sehingga akan selalu

disenangi oleh semua orang, baik pria dan juga wanita.”

Kenyataan tersebut di atas, masih akan dilengkapi

dengan kesenangannya kepada hidup mengembara,

sehingga akan banyak mempunyai kenalan serta selalu

dinaungi kegembiraan. Para perempuan yang dilahirkan di

bawah naungan Shio Be, tidak akan dapat mengandalkan

bantuan serta pertolongan dari saudara-saudaranya. Akan

tetapi, seluruh perjalanan hidupnya justru akan tumbuh

menjadi sebuah pelabuhan yang selalu bisa menjadi

pelindung berikut tumpuan hati orang lain.

Dalam penanggalan Masehi, catatan kelahiran Mamie

tanggal 24 April akan berada pada naungan rasi bintang

Taurus. Mereka yang dilahirkan dalam rasi Taurus memiliki

pembawaan cerdas, feeling-nya kuat serta bersikap

konsekuen atas semua langkah-langkah yang telah dia

lakukan. Itu semua karena langkahnya selalu dilandasi

dengan satu tujuan jelas. Dilengkapi dengan latar belakang,

kegemarannya dalam beramal dan mencadangkan seluruh

harta miliknya untuk membantu kehidupan orang lain.”

“Kesetiaannya terhadap segala sesuatu akan

menjadi kekaguman orang, dan setiap kali melakukan

segala macam pekerjaan yang mulia, tidak akan pernah

mengharapkan datangnya keuntungan untuk dirinya

pribadi, oleh karena semuanya dia lakukan dengan tulus.

Sinar matanya yang tajam bisa menyejukkan hati orang

lain, dilengkapi dengan hati serta kedua tangan yang selalu

sigap memberikan bantuan serta pertolongan.”

“Mereka yang dilahirkan dalam rasi bintang Taurus

memiliki pengharapan baik kepada semua orang,

sehingga senantiasa dapat memperlihatkan senyum dalam

menghadapi segala macam kesulitan, karena dilandasi

oleh kepercayaan serta optimisme yang kokoh, bahwa

nasibnya pasti akan berubah di kemudian hari…” n

Page 10: maestro pra terbit

10 MAESTRO, April 200910 MAESTRO, April 2009

FO

TO

: KR

US

HA

RY

AN

TO

Page 11: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 11

Pulang Sebelum Lampu MenyalaSejak kecil hingga remaja,

Mamie dididik ekstra ketat.

Penuh disiplin. Mamie memetik

buahnya setelah menikah.

SEWAKTU kecil, Siti Hartati akrab dipanggil

Tatiek. Setelah menikah, namanya

menjadi Raden Ayu Siti Hartati. Seiring

berjalannya waktu dalam perjalanan

hidup dan aktivitasnya dalam masyarakat

luas, beliau mendapat gelar dari

Mangkunegaran menjadi Kanjeng Raden

Ayu Siti Hartati. Di kalangan teman-teman dekatnya, biasa

dipanggil Ibu Tatiek Mardeo. Mereka yang lebih muda

memanggilnya Mamie Mardeo.

Sewaktu kecil hingga remaja, Mamie dititi pkan kepada

ayah angkatnya, orang Belanda yang pro Indonesia.

Namanya Carel Nicolas Sittrop. Ia bekerja di perusahaan

listrik, rumahnya di pinggir Jalan Purwosari, jalan besar

yang membelah Kota Solo menjadi dua bagian. Kini

bernama Jalan Slamet Rijadi, nama seorang Pahlawan

Nasional. Istrinya orang Sunda, yang wafat waktu Ibu

Tatiek masih kecil.

“Setelah saya besar, Papie menikah lagi dengan

seorang keturunan Tionghoa. Merekalah, terutama Papie

Sittrop, yang mengasuh serta membesarkan saya, “ kata

Mamie, putri tunggal pasangan kerabat Mangkunegaran.

Ayahnya, Raden Mas Hendrarso Soerjokoesoemo,

keturunan Mangkunegoro V. Ibunya, Kanjeng Raden Ayu

Harjatmi, keturunan Mangkunegoro III.

“Saya bisa jadi begini karena peran banyak pihak. Jika

tidak ada orangtua kandung, saya pasti tidak akan pernah

ada. Jika tidak diasuh Papie Sittrop, saya pun pasti tidak

akan begini, “ kata Mamie.

Mengenang masa kecilnya hingga sekarang menapak

usia 79 tahun, selalu lekat dalam ingatannya bahwa ia

Page 12: maestro pra terbit

12 MAESTRO, April 2009

tidak pernah main ke mana-mana. “Alasannya jelas:

tidak boleh,“ tukas Mamie kelahiran 24 April 1930 di

Pesanggrahan, Mojoretno, Metesih, yang waktu itu menjadi

wilayah Praja Mangkoenegaran Solo.

“Walau diopeni oleh seorang ayah angkat, saya dididik

dengan ketat. Kalau pergi, misalnya ke tempat teman

ulang tahun, harus lebih dulu pamit. Papie selalu berpesan

memakai bahasa Belanda “Voordat‘t licht aan is moet je al

thuis zijn” (sebelum lampu sore menyala, kau sudah harus

kembali di rumah). Waktu itu lampu di rumah menyala pukul

lima sore. Saya pun selalu manut. Saya taat. Begitu juga

bila ada teman berkunjung ke rumah. Sore hari, ia sudah

harus buru-buru pulang. Pokoknya sebelum lampu listrik

menyala,“ ungkap Mamie.”

“Selain itu, sebulan sekali, pembantu di rumah

mendapat libur dan tidak boleh kerja. Saya yang

menggantikan posisinya. Pembantu yang bertugas ngepel

tidak boleh bekerja. Pembantu bagian masak juga tidak

boleh masak. Jadi, saya harus belajar sendiri. Waktunya

saya masak, harus bisa. Waktunya bisa menjahit, juga

harus belajar menjahit. Hasilnya, saya sekarang bisa

mencela para pembantu yang salah dalam mengerjakan

sesuatu,“ lanjut Mamie.…”

Di zaman itu, banyak larangan harus ia patuhi. Anak

remaja tidak boleh bikin ribut dan bergaul sembarangan.

“Sewaktu mau dapat Mas Mardeo juga begitu. Untuk

diajak membeli selop saja saya harus dikawal, “ cetusnya.

Mamie bertemu Kapten Mardeo, keturunan warga

Mangkunegoro II, sewaktu diajak tantenya bertamu ke

rumah saudara sepupunya. Kebetulan, sang tante juga

punya menantu seorang tentara. Kapten Mardeo adalah

teman menantu sang tante.

Mamie menegaskan, karena tidak boleh ke mana-mana,

masa kecilnya banyak dihabiskan di rumah. Sekolah pun

di sekolah Belanda, Kristelyke Europese Lagere School di

Pasar Legi Solo. ”Ketika saya duduk di bangku kelas enam,

tentara Jepang masuk Solo. Oleh Opa Sittrop, saya tidak

boleh sekolah,“ tutur Mamie.”

Hanya ada satu murid yang orang Jawa, yaitu Mamie

sendiri dan satu anak Tionghoa. Selebihnya orang Belanda,

Mamie di tengah anak, menantu, dan cucunya.

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

Page 13: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 13

sinyo dan noni-noni.

“Saya bisa masuk sekolah Belanda karena eyang saya,

Soerjokoesoemo. Istri pertamanya orang Belanda. Jadi,

saya memang ada darah Belanda-nya. Setelah nyonya

Belanda tersebut meninggal, eyang menikah lagi dengan

perempuan ningrat dari Yogya, “ kilah Mamie.”

Mamie merasakan saat-saat menyenangkan di masa

remaja. Ia mendapat kesempatan bermain di organisasi-

organisasi. Paling menyenangkan sewaktu ikut organisasi

Pemuda-Pemudi Indonesia (PPI). Sekali pun hanya

organisasi sosial, ia dapat bergaul dengan teman-teman

sebaya. “Saya ikut terlibat dalam organisasi hingga saya

menikah pada usia 18 tahun. Pada 24 April 1948, saya

ulang tahun yang ke-18. Bulan berikutnya saya langsung

menikah, tepatnya pada 23 Mei 1948.“ Pendidikan etika dan disiplin ketat seperti dirasakan

Mamie juga dialami Mardeo, seorang perwira militer yang

dikenal idealis. “Sekali pun begitu, ketika kami sudah

berkeluarga dan punya anak, kami sama sekali tidak

mendidik anak-anak dengan model militer. Mas tahunya

semua harus tepat dan bersih. Segala macam tetek-

bengek harus pada tempatnya,“ kata Mamie.”

Menurut Mamie, setelah hidup berkeluarga dan

punya anak, nilai-nilai yang diperolehnya semasa kecil

hingga remaja ia wariskan kepada seluruh anaknya.

“Tetapi, saya tidak dapat memaksa karena anak-anak

sekarang berbeda. Tidak mungkin menerapkan larangan

jadul (zaman dulu) begitu saja. Misalnya sebelum lampu

menyala sudah harus pulang,“ lanjutnya.

“Meski demikian, bagi anak-anak perempuan selalu

saya tekankan, kalau bangun tidur tidak boleh keduluan

suami. Itu mutlak harus bisa dilakukan. Selain itu, meski

dalam keadaan jengkel, seorang istri harus tetap

tersenyum dalam melepas suami pergi bekerja. Untuk

anak laki-laki, saya selalu bilang bahwa seorang istri, tidak

hanya membutuhkan materi tetapi juga kasih sayang, “ tegas Mamie.

Nasihat sederhana, tapi paten dan abadi. Nasihat yang

tidak larut ditelan perubahan zaman. nMamie dalam rangkaian masa.

Foto Kembali ke yang sebelumnya

Page 14: maestro pra terbit

14 MAESTRO, April 2009

DariPengantin Revolusisampai PenumpasanMbah Suro

PERNIKAHAN Raden Ajeng Siti Hartati

dan Kapten (Inf) Mardeo berlangsung

pada 24 Mei 1948 di Solo, Jawa

Tengah. Upacaranya sangat meriah

meski hanya diselenggarakan di

rumah kediaman ayah angkatnya,

Carel Nicholas Sittrop, di Ngemplak,

Solo bagian utara. Disemarakkan dengan panembromo,

paduan suara khusus melagukan tembang-tembang Jawa,

persembahan rekan-rekan sekolah Mamie. Sayangnya,

karena di tengah revolusi, semua berlangsung tanpa

diabadikan dengan sorot kamera.“

“Kami tidak pernah punya satu pun gambar tentang

aca ra penting tersebut, “ tutur Mamie tentang upacara per -

nikahannya 61 tahun silam. Namun, dengan cepat ber lanjut,

“Maklum, waktu itu zaman per juangan. Kota Solo sedang

dikepung musuh, apa-apa su sah.“

Solo adalah kota di pedalaman Pulau Jawa. Salah satu

dari dua kota besar di wilayah Republik Indonesia. Sebuah

kota kuno sekaligus salah satu kota pusat kebudayaan

Jawa, ibukota dari Keraton Kasunanan dengan nama resmi

Surakarta Hadiningrat.

Pada 1948, ketika upacara pernikahan Mamie

berlangsung, wilayah kekuasaan kaum Republik di Pulau

Jawa sudah menciut. Selain daerah Banten pada ujung

barat Jawa, wilayah Republik Indonesia tinggal tersisa di

sekitar segitiga Solo-Yogya-Madiun.

Di wilayah yang sedang dikepung pasukan Belanda itu,

para Republiken berjubel. Selain penduduk setempat, Solo

juga menjadi penampung ribuan pengungsi yang mengarus

dari wilayah pendudukan Belanda. Campur aduk antara

pegawai pemerintah, rakyat biasa, dan para anggota

militer dari beragam kesatuan bersenjata yang terpaksa

hijrah dari Jawa Barat untuk memenuhi persetujuan Renville,

Page 15: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 15

mengatur secara de facto wilayah kekuasaan Republik

Indonesia.

Bertumpuknya mereka semua di tiga kota pedalaman

Pulau Jawa menyeret aneka macam akibat. Yogyakarta

pada masa itu dipilih sebagai ibukota dan pusat

pemerintahan di mana presiden, wakil presiden, dan

para menteri tinggal sehingga kontrol berikut kendali

pemerintahan berjalan efektif.

Solo, yang hanya terpisahkan dalam jarak 60 km dari

Ibukota Republik, benar-benar tumbuh menjadi sebuah

daerah Wild West. Miri p suasana di bagian barat Amerika

Serikat di zaman cowboy. Hampir semua orang lalu-lalang

membawa senjata. Insiden antarkesatuan bersenjata sering

meletus. Hukum sama sekali mandul. Yang muncul di Solo

adalah kalimat bersayap: siapa kuat, dialah yang akan

menang.…”

Setelah didahului huru-hara berdarah di Solo, hanya

lima bulan setelah pernikahan Mamie dan Mardeo,

meletus Peristiwa Madiun. Kemudian, tiga bulan setelah

pemberontakan komunis di Madiun bisa digulung oleh

pasukan Republik, Belanda melancarkan agresi kedua.

Pada 19 Desember 1943, seiring terbitnya fajar di langit

timur, pasukan komando Belanda menyerbu Landasan

Udara Maguwo di luar Yogyakarta. Selepas tengah hari,

Ibukota Republik ditaklukkan. Bung Karno, Bung Hatta, dan

sejumlah menteri ditangkap. Pemerintah Republik praktis

bubar.

Untunglah, dalam kondisi kalang-kabut dan suasana

kelam itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman meski

sakit parah masih mampu meloloskan diri ke luar kota.

Dengan tradisi yang sampai sekarang menjadi legenda,

ia menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia tidak

pernah menyerah. Soedirman langsung memimpin perang

MAESTRO, April 2009 15

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

Kenangan indah KRAy Siti Hartati (Mamie) dan RM Mardeo, sang suami (alm).

Page 16: maestro pra terbit

16 MAESTRO, April 200916 MAESTRO, April 2009

FO

TO

: KR

US

HA

RY

AN

TO

Page 17: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 17

bisa menangis sedih. Sang suami tetap tabah. Tangisnya

ia simpan jauh dalam lubuk hatinya. Ia peluk Mamie sambil

berbisik pelan, “Ayo, dikubur nyang Solo..“”Jenazah Sri Mardijati sore itu juga dibawa ke Solo.

Paginya, diiringi duka teramat dalam dari seluruh keluarga,

jenazah putri pertama mereka dimakamkan di Astana Bibis

Luhur, Solo bagian utara.

Mardeo, perwira TNI bernomor pokok 1115, merintis

karier militernya dengan masuk ke pusat pendidikan pa-

su kan Pembela Tanah Air (PETA) di zaman pendudukan

Je pang. Ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di-

kumandangkan pada 17 Agustus 1945, Mardeo memenuhi

panggilan revolusi dan bergabung ke Badan Keamanan

Rakyat (BKR). Kesatuan bersenjata yang kemudian

tumbuh menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara

Republik Indonesia (TRI), lestari sampai sekarang dengan

sebutan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Sebagai perwira militer, karier dan jabatan yang

gerilya melawan pasukan Belanda.

Dua hari setelah Yogyakarta ditaklukkan, pasukan

Belanda melanjutkan agresinya ke Solo. Berbeda dengan

pengalaman di Yogyakarta, di mana Belanda hanya

menghadapi sedikit perlawanan dan menemukan kota

tetap utuh, di Solo mereka menghadapi perlawanan sengit

dan akhirnya menemukan Surakarta Hadiningrat telah

dibumihanguskan oleh pasukan Republik.

Kapten Mardeo tidak memboyong istrinya ke Purwodadi,

tempat tugasnya memimpin perang gerilya. Saat itu, ia

menjabat salah satu Komandan Kompi pada Batalyon

Infantri 443 Divisi Diponegoro. Sedangkan Mamie tetap di

Solo, ikut Opa Sittrop. Pada kondisi negara diamuk perang

kemerdekaan, lahir anak pertama mereka, Sri Mardijati.

Baru setelah suasana mulai tenang, Mamie diboyong ke

Purwodadi bersama bayinya yang masih kecil. Ketika anak

pertama berusia 10 bulan mendadak sakit, hanya ada

seorang dokter di seluruh Kabupaten Purwodadi. Dokter

itu sudah angkat tangan dan hanya dapat memberi saran,

“Satu-satunya jalan, bawa segera putri Ibu ke Semarang.“Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah,

terpisah dalam jarak 100 km dari Purwodadi. Tetapi, untuk

mencapai Semarang banyak kendala. Lalu lintas umum

belum ada. Hanya ada sebuah ji p, satu-satunya kendaraan

dinas dari Batalyon. “Terpaksa Papie meminjam ji p tersebut

untuk membawa saya dan bayi kami ke Semarang,“ kata

Mamie. …”

Jip perang Batalyon 443 itu meninggalkan Purwodadi,

melaju kencang menuju Semarang. “Papie duduk di sebelah

supir. Saya di belakang didampingi seorang Bintara,

petugas kesehatan Batalyon, sambil mendekap si bayi.

Jip beratapkan kain terpal. Kanan kirinya terbuka. Maklum,

kendaraan perang,“ lanjut Mamie.

Tanpa diduga, dalam perjalanan menuju Semarang

yang belum semuanya beraspal, hujan lebat menyergap.

“Yah, bagaimana lagi? Kami semua basah-kuyup karena

air hujan menyapu dari samping kanan kiri. Dalam kondisi

serba berantakan semacam itu, ji p masuk ke halaman

CBZ (kini RS Dr Karjadi). Langsung bayi kami dilarikan ke

ruang gawat darurat,“ ungkap Mamie.”

Tuhan ternyata menentukan lain. Baru sebentar di ruang

gawat darurat, Sri Mardijati dipanggil Tuhan. Mamie hanya

1. Komandan Kompi Batalyon Tjondobirowo Jatingaleh

2. Wadanyon 408 Ambarawa

3. Kepala Seksi 2 Korem Salatiga

4. Komandan Batalion 443 Pati

5. Komandan Kodim Pekalongan

6. Kepala Staf Brigif 6 Solo

7. Asisten 7 Kodam Diponegoro

8. Komandan Brigif 5 Semarang

9. Asisten 2 Operasi Kodam Diponegoro

10. Wakil Kepala Staf Kodam Diponegoro

11. Kepala Staf Kodam 17 Agustus

12. Kepala Staf Kodam Diponegoro

KARIER MILITERRM MARDEO

Page 18: maestro pra terbit

18 MAESTRO, April 2009

ia pegang terus menapak ke atas. Komandan Kompi,

Komandan Batalyon, Komandan Brigade, Kepala Staf

Kodam III/17 Agustus, dan akhirnya Kepala Staf Kodam

VII/Diponegoro. Perjalanan kariernya bergulir dari satu

pertempuran ke pertempuran lain. Dimulai dari penumpasan

pemberontakan komunis semasa Peristiwa Madiun,

kemudian ikut menghancurkan gerombolan Darul Islam

(DI) dalam operasi Gerakan Banteng Nasional (GBN) dan

operasi Penumpasan Pemerintah Revolusioner Republik

Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat, juga dalam Operasi

menumpas Kahar Muzzakar di Sulawesi Selatan, Operasi

Dwikora di Kalimantan Barat.

Di antara sekian banyak pengalaman tempur yang

pernah ia jalani, Operasi Keamanan dan Ketertiban

(Kamtib) penumpasan Mbah Suro memiliki makna

tersendiri.

Mbah Suro adalah bekas sersan dalam pasukan Amat

Jadau, yang selanjutnya terlibat dalam Peristiwa Madiun,

sehingga dibubarkan. Bekas Bintara tersebut pada 1951

sampai 1955 terpilih sebagai lurah di tanah kelahirannya,

Desa Nginggil, Kecamatan Menden, Kabupaten Blora,

Jawa Tengah. Pada Pemilu 1955, ia menjadi caleg PKI,

tetapi tidak terpilih. Namanya kembali muncul awal 1966,

ketika mengangkat dirinya sebagai guru spiritual lalu

mengubah namanya menjadi Mbah Suro dan mendirikan

Padepokan Mbah Suro di daerah perbatasan Provinsi Jawa

Tengah dan Jawa Timur.

Zaman panca roba menyusul gagalnya Gerakan 30

September ternyata justru melambungkan nama Mbah

Suro. Para simpatisan G30S dan massa PKI yang sedang

kebingungan karena dikejar ABRI, ditampung di Padepokan

Mbah Suro. Mbah Suro juga mulai mempersiapkan diri

untuk melakukan aksi pembangkangan dengan mendirikan

pasukan pengawal Banteng Ulung (laki-laki) dan Banteng

Sarinah (perempuan). Pasukan pengawal tersebut tidak

hanya dilatih dalam perkelahian tangan kosong, tetapi juga

mengembangkan latihan militer plus mempersenjatai diri

dengan senjata api curian.

Pemerintah tidak tinggal diam melihat perkembangan

ini. Padepokan Mbah Suro dinyatakan ditutup. Mbah Suro

menolak.

Mbah Suro juga menolak ketika dipanggil ke Blora.

Bahkan, ia mengusir utusan Pemerintah Daerah Jawa

Tengah yang ingin meninjau situasi. Akhirnya, Jenderal

Soerono, Panglima Kodam VII/Diponegoro, memutuskan

melancarkan Operasi Kamtib untuk menumpas Mbah Suro.

FO

TO

: KR

US

HA

RY

AN

TO

Mamie dan Sigid Agus Heryanto, di pusara Sri Mardijati.

Page 19: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 19

Letnan Kolonel (Inf) Mardeo dipercaya menjadi pimpinan

operasi.

Laporan wartawan Kompas melukiskan, kabut tebal

masih memeluk Bengawan Solo, Minggu pagi 5 Maret

1967. Pagi yang basah di musim penghujan menjadikan

suasana setempat terasa tintrim, mengecutkan hati.

Matahari sama sekali belum menampakkan diri. Ini

semua menambah kesenyapan Desa Nginggil, di daerah

perbukitan hutan jati, tepat pada perbatasan Jawa Tengah

dan Jawa Timur.

Pertempuran segera pecah. Sengit. Selepas tengah hari,

Padepokan Mbah Suro ditaklukkan. Sore harinya, Mayor

(Inf) Soehirno, Kepala Penerangan Kodam VII/Diponegoro,

mengumumkan, Mbah Suro tertembak mati berikut 89

cantrik (kader) sewaktu mereka berusaha menyerang

petugas ABRI yang akan masuk Padepokan. ABRI juga

berhasil merampas puluhan senjata api, terdiri atas senjata

jenis bren, AK 47, sten gun, pistol, dan lainnya. Sebanyak

1.500 orang pengikut Mbah Suro ditawan.…”

Beberapa hari kemudian, Brigjen Sarwo Edhie Wibowo,

Komandan RPKAD, menambahkan, gugurnya tiga prajurit

RPKAD dalam operasi tersebut tidak sia-sia. Sebab,

hancurnya Padepokan Mbah Suro berarti hancur pula

petualangan yang bertujuan menghidupkan kembali PKI

dan mempertahankan Orde Lama.”

Kolonel Mardeo sebagai komandan Brigade dengan

tiga batalyon (Batalyon 409 yang bermarkas di Purwodadi

di bawah pimpinan Mayor Untung Sridadi) ditunjuk sebagai

pemimpin Operasi Penumpasan Mbah Suro karena dalam

posisi terdekat dengan Desa Nginggil, lokasi gerombolan

Mbah Suro.

Keberhasilan TNI menumpas pembangkangan Mbah

Suro, Kolonel Mardeo mendapat kesempatan untuk

mengikuti Seskoad. Waktu itu pendidikan Seskoad sangat

didambakan para perwira tinggi (Pati).

Apakah Mardeo menceritakan semua pengalaman

tempurnya? Mamie menjawab serius, “Kula sampun nate

nyuwun pirsa, arep tindak perang nyang ngendi, Mas

(Saya dulu sudah pernah mencoba bertanya, akan

berangkat operasi ke mana, Mas)?“”

MAESTRO, April 2009 19

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

““Lho, kowe apa Panglima, kok wani takon? (Lho, apa

kamu Panglima, kok berani bertanya?)“ jawab Mardeo.”

Mamie menambahkan, kali ini dengan nada ceria,

“Sejak itu, saya tidak lagi pernah berani bertanya. Tugas

saya, kalau Papie berangkat operasi, saya harus menata

garis belakang supaya ekonomi rumah tangga tidak ikut

kocar-kacir.“ n

Mardeo, perwira TNI dengan nomor pokok 1115, merintis karier

militernya dengan masuk ke pusat pendidikan pasukan Pembela

Tanah Air (PETA) di zaman pendudukan Jepang.

Mamie berperan sebagai pilar penyangga kehidupan keluarga.

Page 20: maestro pra terbit

20 MAESTRO, April 200920 MAESTRO, April 2009

FO

TO

: KR

US

HA

RY

AN

TO

Page 21: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 21

Istri Sejati Seorang TentaraRaden Mas Mardeo bukan

hanya prajurit tulen. Ia juga

dikenal idealis, pantang menolak

tugas, dan selalu berada di

medan perang. Bersama pria

yang bikin hatinya dag-dig-

dug inilah KRAy Siti Hartati

mengabdikan hidupnya.

SANG suami dan ayahanda memang telah

tiada. Tapi, kenangan manis bersama

Mardeo tidak pernah lenyap dari ingatan

Mamie. Demikian pula di benak putra-

putrinya.

Diakui Mamie, banyak cerita

mencekam dan suka-duka yang ia lalui

sebagai istri seorang tentara. Ia dapat melewatinya dengan

mulus karena sudah mendapat bekal hidup sejak kecil

hingga remaja atas didikan orangtua kandung dan ayah

angkatnya.

“Dulu, saya sering ditinggal tugas suami. Ini bikin hati

selalu was-was karena setiap saat ada saja berita anak

buah yang gugur sehingga takut kalau-kalau ada sesuatu.

Seperti kejadian di batalyon Jatingaleh, yang gugur 11

orang. Kalau sudah begitu, saya harus memberitahukan

kepada keluarganya, mendampingi mereka, menguatkan

hati mereka, dan menasihati mereka, “ kisah Mamie menarik

lonceng waktu ke belakang.

Page 22: maestro pra terbit

22 MAESTRO, April 2009

Mardijati. Kami kembali main surat-suratan. Ia selalu titi p

surat lewat pedagang sayur keliling. Di sampul suratnya

tidak ada namanya, tetapi selalu ada tanda titik tiga,” ungkap Mamie.”

Segar dalam ingatan Mamie, selagi sang suami

menjalankan tugas sebagai komandan kompi, Sri Mardijati

pada usia 10 bulan jatuh sakit. Mamie coba membawa putri

pertamanya ini ke rumah sakit. Dalam satu kabupaten di

Purwodadi, dokternya hanya ada satu orang dan bertugas

di RS Umum.

Setelah beberapa hari diberi obat, saat-saat terakhir,

sang dokter menyarankan agar Mamie membawa

Sri Mardijati ke Semarang. Lantaran fasilitas tentara di

Purwodadi juga hanya ada satu mobil berupa ji p kanvas, ia

segera berangkat ke Semarang naik ji p itu ditemani supir

dan seorang pengawal. Di Semarang, nyawa sang bayi

tidak tertolong.

Di lain waktu, Mardeo yang memiliki NRP 1115,

menghadapi Pemberontakan DI/TII yang dimotori Letkol

Abdul Kahar Muzakkar. Pemberontakan dimulai dengan

Proklamasi Daud Beureuh di bawah pimpinan Kartosuwirjo

pada 20 September 1953 di Aceh. Pada kesempatan lain,

Perasaan serupa bukan sekali dua kali dialami Mamie.

Pria yang menikahinya pada 23 Mei 1948, serasa mimpi,

harus pergi memimpin pasukan dalam Peristiwa Madiun.

“Lantaran semua orang sudah ke luar, pergi gerilya

karena ada PKI Madiun, pada Desember saya pulang ke

Ngemplak. Saya pulang dalam keadaan hamil tua, naik

andong. Selebihnya kami saling surat-suratan sampai saya

pindah ke Purwodadi, “ cerita Mamie.

Masih dalam suasana dicekam Peristiwa Madiun,

Mardeo menyempatkan diri pulang ke rumah. Ia menyamar,

mengenakan pakaian compang-camping. “Begitu ketemu,

kami saling tangis-tangisan, takut ada apa-apa. Itu

sebabnya, pintu belakang kami siapkan untuk jalan ke luar

seandainya pintu depan tiba-tiba dijebol. Waktu itu, bayi

kami baru berusia 40 hari lebih. Tak lama ia pergi lagi. Oleh

pengawalnya, saya diminta ke rumah ibunya. Maksudnya,

setelah ketemu ibu, saya mau diajak gerilya. Tapi, ibu

justru melarang karena bayi kami masih merah. Sewaktu

ketemuan menjelang perpisahan lagi, kami bertemu di

kandang sapi milik keluarga. Kami ketemuan sampai

malam. Setelah itu kami berpisah. Ia kembali ke daerah

gerilya, saya juga pulang bawa bayi yang diberi nama Sri

Foto kenangan Mamie dan Raden Mas Mardeo, suaminya (alm)

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

Page 23: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 23

sang suami ikut membersihkan Pemberontakan Permesta,

gerakan yang dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer

Indonesia Timur pada 2 Maret 1957. Pusat pemberontakan

berada di Makassar yang waktu itu menjadi ibukota

Sulawesi. Dalam sejumlah konflik dan pertempuran, banyak

yang gugur. Para jandanya sampai tidak mau diajak pulang.

Mereka menangis di atas pusara suaminya. “Pada masa

DI/TII, Nunuk lahir, “ ucap Mamie.

Berikutnya, Mardeo, pria kelahiran 3 Mei 1925 di Solo,

bertugas saat pemberontakan PRRI sepanjang 1958-1961.

“Waktu PRRI, anak kelima lahir, tapi ia nggak kirim kabar.

Sampai ibu saya bilang, coba cari di sela-sela apa saja,

barangkali ia meninggalkan nama untuk anaknya diseli pkan

di mana. Itu kata ibu saya karena ia yang memberi nama

semua anak, orang lain tidak boleh. Saat bersamaan, dua

anak kami, Sigid Agus dan Sigid Edi, jatuh sakit. Dalam

situasi seperti ini, justru saya tidak menghendaki ia pulang.

Jangan sampai tugasnya terganggu karena dua anaknya

sakit bersamaan dan anak kami yang kelima lahir. Waktu

itu saya hanya kirim telegram, minta ia segera kirim nama.

Kurang sehari, ia balas mengirim telegram berisi nama. Ia

kasih nama Sri Setianingsih, “ imbuh Mamie.

Lantaran Mardeo sering pergi tugas dalam waktu cukup

lama, ia tidak begitu dekat dengan anak-anak. Ia jarang

sekali di rumah. Pernah suatu hari Sigid Agus mengeluh

karena Papie tidak pernah ke sekolahnya. Mardeo

menjawab, kalau Mamie bisa, kenapa Papie harus turun

tangan juga? Mardeo memang tidak pernah mengenal cuti.

Tanya saja tanya teman-temannya sewaktu ia jadi Kasdam

Bukit Barisan 17 Agustus di Sumatera. Sama anak buahnya

malah ia bilang, istri pertamanya adalah senjata. Karena

jarang jumpa dengan anak-anak, Nuning sampai memanggil

Om! Waktu itu, kepada setiap tentara, Nuning selalu panggil

Om. Jadi, sewaktu Papienya pulang ke rumah mengenakan

seragam militer, ya dipanggil Om.”

Selepas menjabat Kasdam Diponegoro dan kemudian

pensiun, si bungsu Sigid Haryo Wibisono menjadi anak yang

paling dekat dengan Papienya. “Wibi sering diajak ke mana-

mana dan menemani Papienya,” jelas Mamie.

Yang lebih luar biasa adalah waktu Mardeo tugas,

Mamie juga ikut sibuk, terutama saat situasi gawat, dan

ada yang gugur. Mamie sebagai istri komandan harus

memberi tahu kepada istri atau keluarga anak buah

suaminya. Mamie pergi ke asrama mereka naik sepeda.

Melihat Mamie datang, mereka sudah nangis duluan.”

“Mamie itu istri prajurit tulen, “ tegas Nuniek. Sewaktu

Mardeo masuk RS Elisabeth sampai akhirnya meninggal,

Mamie pula yang menunggunya. Mamie sama sekali tidak

mau pulang ke rumah sekadar untuk istirahat.”

“Ia memang luar biasa, “ timpal Wibi. Dengan empat

anak laki yang bandel, ada yang suka pulang pagi sampai

ketangkap polisi segala, ia tidak pernah menunjukkan

amarahnya. Sebagai perempuan Jawa, Mamie luar biasa. ”

RM Mardeo bin Hardjo Mardeya mengembuskan napas

terakhir pada 18 Desember 1990 di Semarang dengan

pangkat Brigjen TNI. Mamie menunjukkan kesetiaannya

hingga akhir hayat sang suami. Sebelum menghadap Sang

Khalik, kepada istri dan anak-anaknya, Mardeo berpesan

agar tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. “Kalau

di TMP, Papie tidak bisa sama-sama dengan Mamie, “ kata

Nuniek mengutip pesan sang ayah.

Pesan itu diamini Mamie dan putra-putrinya. Ia

dimakamkan di Astana Bibis Luhur di Solo Utara. n

Mamie itu istri

prajurit tulen. Sewaktu

Papie masuk RS

Elisabeth sampai

meninggal, Papie

ditunggui Mamie. Mamie

sama sekali tidak mau

pulang ke rumah sekadar

untuk istirahat.

Page 24: maestro pra terbit

24 MAESTRO, April 2009

Pistoldi Bawah Bantal

Siapa tidak gentar mendengar kuburan Bapak telah disiapkan

orang lain? Pasti ngeri. Pembunuhan psikologis inilah yang dialami

Sri Marjati, putri kedua pasangan

RM Mardeo-KRAy Siti Hartati.

Sarana transportasi tradisional, salah satu kondisi yang mewarnai perjalanan hidup Mamie.

FO

TO

: IS

TIM

EW

A

Page 25: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 25

KETIKA Peristiwa Madiun meletus

pada September 1948, selain

dikejar-kejar pasukan Belanda, nama

Mardeo termasuk salah seorang

yang dicari untuk dilenyapkan. Begitu

juga sewaktu Peristiwa Gestapu.

Papie termasuk orang yang sudah

masuk daftar PKI untuk diculik. Bahkan, PKI sudah

menyiapkan kuburannya.”

Seingat Nuniek, waktu itu mereka sekeluarga tinggal di

Solo. Semasa meletus Peristiwa Gestapu 1965, mereka

sekeluarga tanpa kehadiran Papie karena harus mengikuti

operasi militer untuk menumpas PKI dan para pengikutnya.

Mamie membimbing anak-anaknya mengungsi ke Pura

Mangkunegaran. Waktu itu Papie menjabat Asisten VII

Kodam VII Diponegoro. Dan, masih dalam masa gejolak

Gestapu/PKI, Papie menjabat sebagai Dan Brigif V Dam VII

Diponegoro.…”

Sekali pun peristiwa penculikan dan nama Mardeo

tidak sampai masuk ke liang lahat seperti yang sudah

dipersiapkan PKI, kenangan mencekam itu tetap sulit

dilupakan. Apalagi, pengalaman sebelumnya sewaktu

Peristiwa Madiun, Nuniek mendapat cerita bahwa Papie

sampai harus menyamar untuk dapat menemui istri dan

bayinya yang baru lahir, Sri Mardijati.

Begitulah Mamie. Selaku istri prajurit, ia selalu gigih

membangun pertahanannya sendiri. Karena Mamie sering

ditinggal tugas, di bawah bantal tidurnya pasti ada pistol

jenis FN 45. Kalau ada orang tak diundang datang, Mamie

siap menghadapinya.

Nuniek juga menjelaskan, ia bersama kakak dan adik-

adiknya senang jika diizinkan mengantar Mamie belajar

menembak. “Kami sudah biasa ditinggal Papie dengan

beban kehidupan yang keras. Jadi, kami senang melihat

Mamie latihan menembak. Mamie mempelajarinya dengan

tekun sampai Papie pun menjulukinya jago tembak,” ungkap Nuniek.

Sekali pun jarang bertemu Papie, menurut Nuniek, cara

mendidik Papie sangat ketat. Anak-anaknya dilarang minta

bantuan kepada orang lain. ”Kalau punya masalah di

sekolah, harus bisa menyelesaikan sendiri. Saat masuk ke

jenjang pendidikan yang lebih tinggi, tidak boleh memakai

fasilitas siapa-siapa. Kami harus berjuang sendiri. Sewaktu

punya motor dan butuh SIM, disuruh tes ikut ujian. Kalau

tidak lulus, harus diulang dan mengikuti tes lagi. Sewaktu

mencari pekerjaan juga begitu, harus mencari sendiri.

“Sampai meninggal, Papie tetap kukuh pendiriannya. Nggak

pernah kami difasilitasi.””Cara mendidik anak yang diterapkan Mamie sama

kerasnya dengan Papie. Sejak bayi hingga masing-masing

anak sudah berkeluarga, di rumah diusahakan selalu ada

pembantu. Tetapi, anak-anaknya tidak boleh bergantung

kepada pembantu. “Kami harus dapat mengerjakan

sesuatu yang dapat kami kerjakan. Mamie selalu bilang,

sekali pun ada pembantu, kami yang berstatus istri harus

dapat melayani suami. Jangan sampai para pembantu

yang melayani suami.“”Ajaran Mamie dapat dilihat langsung dalam kehidupan

sehari-hari rumah tangga pasangan Mamie-Mardeo.

Sekali pun di rumah ada pembantu, Papie tidak pernah

dilayani pembantu. Selalu Mamie yang turun tangan

langsung. “Ini menjadi contoh bagi kami, anak-anak berikut

para menantu perempuan, padahal pembantu di rumah

bisa banyak, bisa lima sampai delapan orang.” Menurut Nuniek, dalam hal mendidik anak-anak, Papie

memiliki ciri khas yang terekam baik dalam benaknya.

Cirinya, kalau Mamie sudah bilang oke, Papie pasti ikut

oke. Urusan sekolah, misalnya, selalu ditangani Mamie.

Kata Papie, kalau Mamie sudah bisa menyelesaikan, ya

sudah. Kalau Mamie tidak mampu, baru Papie turun

tangan. Selama Mamie masih mampu, Papie tidak akan

membantu. n

Salah satu sudut Kota Semarang tempo dulu.

FO

TO

: IS

TIM

EW

A

Page 26: maestro pra terbit

26 MAESTRO, April 2009

Kekuatan&SumberInspirasi

Ibu…..

Kini aku makin mengerti nilaimu

Kamu adalah tugu kehidupanku

Kamu adalah api yang menyala

Kamu adalah hujan yang kulihat di desa

Kamu adalah hutan di sekitar telaga

Kamu adalah teratai kedamaian samadhi

Kamu adalah kidung rakyat jelata

Kamu adalah…..

Adalah kiblat hati nurani

di dalam kelakuanku

SES

1982

Page 27: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 27

Kekuatan

MAESTRO, April 2009 27

FO

TO

: KR

US

HA

RY

AN

TO

Page 28: maestro pra terbit

28 MAESTRO, April 2009

IBU Mardeo yang akrab dipanggil Mamie

adalah sumber inspirasi dan kekuatan bagi

semua anak, menantu hingga cucu-cucunya.

Pertama, Mamie adalah inspirasi

kemanusiaan. Ia mampu berkomunikasi

dengan siapa saja, mulai penjual makanan

di pasar sampai ke nyonya jenderal, orang

cacat, anak kecil hingga ibu-ibu lanjut usia. Ia juga cepat

mengulurkan tangan dalam membantu sesama. “Mamie

banyak memberi. Saya melihat itu sekali pun beliau tidak

pernah mengatakannya,” ucap salah seorang menantunya.

Kedua, Mamie adalah inspirasi bagi generasi muda.

Sebagai seorang ibu, apalagi istri tentara yang gajinya

tidak berlebihan, ia pandai mengelola keuangan keluarga.

Mamie dapat menyiasati segala macam beban kehidupan.

Dengan penghasilan suami yang perwira militer dan

menanggung beban tujuh orang anak, pengalaman hidup

telah mengajarinya untuk mampu mengelola keuangan

keluarga secermat mungkin.

Bagaimana Mamie menyiasatinya?

Saat mengatur menu makanan, misalnya, ternyata

Mamie menyiasatinya dengan memanfaatkan apa saja

bahan makanan yang ada. Menu makanannya sederhana.

Tahu salah satunya. Mamie bilang tahu itu tinggi proteinnya.

Sekali pun hanya tahu, bakal terasa enak kalau dimasak

dengan cara tepat, dimasak dengan hati.”

Ketiga, Mamie adalah inspirasi kesabaran. Artinya, ia

memiliki tujuh orang anak. Sang suami, sebagai seorang

perwira militer, sangat jarang pulang ke rumah karena

lebih sering bertugas di lapangan. Meski begitu, ia masih

bersedia mengambil keponakannya sendiri sebagai

anak angkat. Padahal, mengasuh tujuh anak pasti tidak

gampang. Tidak semua buah dari satu pohon bisa sama

rasanya.

Begitu juga karakter anak yang satu dan lain, pasti

berbeda-beda. Selanjutnya, ketika putra-putrinya menikah,

Mamie dengan hati terbuka bersedia menampung menantu

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

Bersama cucunya Syandana Haryo Baswara

Page 29: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 29

yang berbeda-beda sifatnya dengan perasaan damai.

Keempat, Mamie adalah sebuah inspirasi kekuatan.

Secara fisik ia memiliki kekuatan dalam arti sebenarnya. Di

balik kekuatannya, ia juga dikaruniai kekuatan tak terlihat,

tetapi patut dicontoh.

“Ia mampu menghadapi masalah yang bagi

saya sebagai generasi lebih muda, tidak sanggup

menghadapinya. Saya melihat dan merasakan bahwa

Mamie adalah orang yang tidak pernah menyerah setiap

kali dihadapkan pada suatu masalah.““Sebagai menantu, saya melihat Mamie adalah

perempuan kuat, kokoh, setegar batu karang di lautan.

Beliau sangat care terhadap semua anak, menantu,

cucu sampai cicitnya. Beliau tahu apa yang disukai

masing-masing anggota keluarganya. Bahkan juga

hafal tanggal dan bulan ulang tahun semua anggota

keluarganya. Meski usia sudah lanjut, beliau tidak

gaptek. Bila cucunya mengirim sms, pasti beliau balas

dengan sigap.“Nuniek, anak kedua yang tinggal serumah di Semarang,

menambahkan, Mamie tidak hanya menaruh perhatian

kepada cucu-cucunya. Sekali pun semua anaknya sudah

berkeluarga, Mamie tetap menaruh perhatian. “Masih

memperlakukan kami seperti semasa kanak-kanak atau

sewaktu kami masih lajang. Mamie penuh pengertian,

tetap bersahaja, dan care. Semisal kami mau bepergian,

Mamie tidak lupa menanyakan kembali, masih ada yang

ketinggalan nggak?”n

Kepekaan Mamie senantiasa terjaga apik.

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

Page 30: maestro pra terbit

30 MAESTRO, April 2009

BerbagiTanpa Pamrih30 MAESTRO, April 2009

Page 31: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 31

BerbagiTanpa Pamrih

MAESTRO, April 2009 31

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

Page 32: maestro pra terbit

32 MAESTRO, April 2009

Hidup adalah memberi.

Bahkan, bagi KRAy Siti Hartati

yang akrab dipanggil Mamie,

memberi adalah kebutuhan.

Ketika memiliki kesempatan

berbagi dengan sesama, di

dalamnya ia menemukan betapa

indahnya hidup ini.

MEMBERI tanpa pamrih bukan

suatu beban, melainkan

kebutuhan primer. Demikian

Mamie melakoni perjalanan

hidupnya. “Saya bahagia dengan

apa yang saya miliki, bahagia

dengan apa yang sudah ada.

Saya bahagia karena mampu menolong sesama. Bahkan,

saya senang dan ikhlas saat memiliki kesempatan

membantu orang lain, “ kata Mamie.”

Tak mudah menjalani hidup adalah memberi. Tapi,

justru keyakinan itulah yang membuat Mamie selalu punya

rezeki. Artinya, begitu ia mengeluarkan rezeki, itulah yang

Mamie tak pernah lupa bersyukur.

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

Page 33: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 33

ia punyai. Ia menyiasatinya dengan apa yang ia punyai

sehingga ia dapat memberi makan bagi banyak orang.

“Bila kita tidak pernah memberi, kita tidak punya apa-

apa. Dengan memberi, justru itulah yang kita punyai. Itulah

yang membuat rezeki mengalir terus. Jadi, apa yang kita

berikan adalah rezeki yang kita miliki. Kalau tidak pernah

memberi, habislah kita. Kita tidak punya apa-apa.“ Lantaran memiliki kepribadian seperti itulah Mamie

mudah bergaul dengan semua kalangan. Ia berteman

dengan siapa saja, mulai tukang becak, tukang sayur,

tukang pijat, hingga istri-istri pejabat dan jenderal. Bahkan,

dengan orang gila sekali pun ia tidak alergi.

“Suatu hari pernah ada orang gila datang memasuki

pekarangan rumahnya. Oleh Mamie, orang gila itu

didiamkan saja. Tidak diusir. “Biasanya, kalau kedatangan

orang gila, si pemilik rumah pasti mengusir karena merasa

takut dan tidak aman. Mamie tidak begitu.“ Sewaktu orang gila itu datang dan seisi rumah ribut

bercampur resah, Mamie selaku tuan rumah malah berkata,

“Tidak apa-apa, biarkan saja. Kasih makan, beri minum.

Mungkin ia lapar dan haus.“”Apa yang dikemukakan Ully senada dengan pengakuan

Mamie tatkala ia membicarakan anak-anaknya, khususnya

si bungsu Sigid Haryo Wibisono yang akrab dipanggil Wibi.

Setiap Wibi telepon, tidak pernah lupa menanyakan, Mamie

mau apa? Mamie kepingin apa?

“Tapi, saya selalu bilang tidak ingin apa-apa. Prinsip

saya, apa yang diberikan pasti saya terima dengan senang

hati. Saya tidak pernah mau minta dibelikan sesuatu. Kalau

bisa jangan sampai. Sebab, saya tahu mereka punya

kebutuhan sendiri-sendiri, punya kerepotan sendiri-sendiri.

Apalagi, seperti Wibi ini. Saya tahu kebutuhannya banyak.

Kebutuhannya buat orang banyak, “ tutur Mamie. n Mamie menyuapi putra bungsunya, Sigid Haryo Wibisono, dan cucunya.

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

Page 34: maestro pra terbit

34 MAESTRO, April 2009

“Bahagia Bikin Senang Orang”

Kray Siti Hartati:

34 MAESTRO, April 2009

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

Page 35: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 35

“Bahagia Bikin Senang Orang”

MAESTRO, April 2009 35

Page 36: maestro pra terbit

36 MAESTRO, April 2009

Nggak ada jeleknya, nggak ada

salahnya, bikin senang orang.

Sebaris kalimat dalam Bahasa

Jawa ini dilontarkan Mamie

ketika merespon pertanyaan

MAESTRO mengenai Merdeka

Grup, perusahaan milik Sigid Haryo

Wibisono, putra bungsunya. Berikut petikan wawancara

dengannya.

Apakah kesuksesan seseorang senantiasa dipengaruhi

peran seorang ibu atau kaum perempuan?

Menurut saya, yang wajar memang begitu.

Misalnya seorang istri. Ia harus dapat mendorong atau

mempengaruhi positifnya pekerjaan suami. Seharusnya

begitu. Itu yang wajar. Sekarang nggak usah jauh-jauh,

seperti saya sendirilah. Sejak nikah sampai punya anak

banyak, suami hampir tidak pernah di rumah. Paling

lama ia di rumah hanya lima hari, habis itu pergi tugas

berbulan-bulan. Sebagai seorang militer, ia selalu berada

di antara pasukan. Jadi, cuma tugas, tugas, dan tugas.

Lha, untuk itu saya harus rela, harus ikhlas. Kalau anak

sakit, misalnya, ya harus coba diatasi sendiri.

Sewaktu melahirkan anak kelima, Nuning yang lahir

pada masa PRRI, dua anak saya yang lain, Sigid Agus

Heryanto dan Sigid Edi Soetomo, jatuh sakit. Sementara

suami sedang tugas di Sumatera. Seorang perwira dari

resimen sampai bilang, Mbakyu, apakah Bapak perlu

ditelegram supaya pulang atau bagaimana?” Saya malah

bilang jangan! Soalnya, kalau ia pulang, itu artinya ia

harus meninggalkan anak buahnya dan meninggalkan

tugasnya.

Saya hanya bilang agar ia segera kirim nama untuk bayi

kami yang baru lahir karena semua anak-anak ia beri nama

sendiri. Orang lain tidak boleh. Jadi, selagi suami tugas, istri

jangan sampai mengganggu pekerjaan suami.

Itu peran istri terhadap suami. Bagaimana dengan anak?

Ya, kaum ibu juga punya peran. Soalnya, mau tidak

mau, yang ditiru itu yang diketahui dan dijumpai anak

setiap saat adalah ibunya. Seorang ibu harus menjaga

tindak-tanduknya dan omongannya, meskipun adakalanya

seorang bapak ikut memberitahukannya. Anak saya yang

nomor enam, Sigid Rudi Gunawan, termasuk nakal dan

sering tabrakan. Suatu saat saya minta supaya ia dimarahi

ayahnya.

Ketika si bungsu Sigid Haryo Wibisono hendak mendirikan

Merdeka Grup, nasihat macam apa yang Mamie

sampaikan?

Sewaktu Wibi bikin Merdeka, sekali pun setiap langkah

ada risikonya, saya bilang agar ia memikirkan matang-

matang. Kalau mau melangkah harus dipikirkan matang-

matang, jangan sampai nanti berhenti di tengah jalan.

Seperti bahasa Jawa yang saya

sebutkan, ora eneng elekke, ora eneng

salahe, gawe seneng wong. Artinya,

nggak ada jeleknya, nggak ada salahnya

bikin senang orang.

Page 37: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 37

Dan, maaf, karena saya tahu ia masih muda, saya bilang

emosinya supaya dikurangi. Hehehe... Keunikan Wibi

adalah kalau sudah punya kemauan, sulit dihalang-halangi.

Sukar sekali. Wibi itu keras. Selain itu, ia gampang marah,

tapi juga gampang luluh. Kalau ada sesuatu, ia gampang

naik, tapi sesudah itu ya sudah. Kalau ada kesalahan dan

minta maaf, selesai. Saya tahu kalau hatinya tidak jelek. Ini

bukan saya mau membela anak-anak saya, tapi karena

saya tahu watak anak-anak saya. Itu memang ciri khas

Wibi. Toh, kalau ia ngomong, saya sering bilang, ya ojo

ngono.

Dalam nasihat saya, tidak sampai bilang ini boleh

dan itu tidak boleh. Saya hanya memberi tahu segala

sesuatu harus di pikirkan. Semua harus di pikirkan menuju

kebaikan. Selain membuat orang-orang senang, juga

jangan sampai merugikan orang lain. Seperti bahasa

Jawa yang saya sebutkan, ora eneng elekke, ora eneng

salahe, gawe seneng wong. Artinya, nggak ada jeleknya,

nggak ada salahnya, bikin senang orang.

Perjalanan karier Wibi sekarang baik. Tapi, yang

pasti, setiap ia mau rapat atau entah mau apa atau mau

berangkat ke Surabaya atau entah ke mana, ia selalu

telepon saya, mohon doa restu. Itu selalu. Contohnya

waktu bikin Merdeka Grup. Waktu mau ambil Merdeka,

ia juga bilang begini-begini. Mohon doa restunya, Mamie.

Setiap ia minta doa restu, saya tak lupa mengingatkan

supaya hati-hati. Itu nasihat saya. n Mamie merasa bahagia setiap dapat membantu orang lain.

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

Page 38: maestro pra terbit

38 MAESTRO, April 2009

MengaturWaktu 24 Jam

38 MAESTRO, April 2009

Page 39: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 39

MengaturWaktu 24 Jam

MAESTRO, April 2009 39

Page 40: maestro pra terbit

40 MAESTRO, April 2009

SEWAKTU Brigjen TNI Mardeo masih ada

sampai kemudian menghadap Sang

Khalik, Mamie selaku pendamping hidup

Kasdam IV/Diponegoro 1974-1977 ini

termasuk seorang istri, ibu, nenek, dan

buyut yang terampil memanfaatkan waktu.

Ia, misalnya, memiliki waktu rutin untuk

bergaul dengan ibu-ibu Woman’s International Club (WIC),

teman-temannya di grup les bahasa Inggris, mengelola

beberapa kelompok arisan, bahkan masih sempat

mengurus makanan harian.

Mamie pernah menjadi Presiden WIC Semarang. Ia

mulai aktif sejak WIC berdiri di bawah kepemimpinan Ibu

Soepardjo Roestam, istri Gubernur Jawa Tengah yang

menjabat pada 1975. Tujuan utama WIC membangun

persahabatan di antara kaum perempuan dari

berbagai bangsa dan negara berdasarkan asas Mutual

Understanding.

Mamie yang sejak remaja senang berorganisasi,

khususnya di organisasi sosial, tentu sangat senang

mendapat kesempatan bergabung dengan WIC. Apalagi,

WIC merupakan organisasi yang tidak terikat, tidak berbau

Sangat sedikit orang mampu

mengatur waktu 24 jam

agar bermanfaat bagi orang

lain, bukan sekadar untuk

diri sendiri. Waktu 24 jam itu

sedikit, tetapi yang sedikit ini

dapat menjadi banyak buat

KRAy Siti Hartati.

Bermain game di komputer, salah satu kegemaran MamieFOTO: KRUS HARYANTO

Page 41: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 41

politik, tidak berpihak pada satu agama, dan bergerak

dalam lingkup sosial.

WIC aktif melakukan pertemuan rutin. Sesama anggota

dapat saling bertemu dan beramah-tamah sembari

menikmati acara seperti agenda kebudayaan, bazaar, dan

hiburan. Juga melakukan berbagai aksi sosial sebagai

bentuk kepedulian terhadap sesama.

Hingga kini, di depan rumah keluarga Tatiek ‘Mamie’ Mardeo di Jalan Letjen S Parman No 60, Semarang, Jawa

Tengah, masih terpampang papan Women’s International

Club Semarang. Bahkan, dalam situs wicsemarang.com,

alamat kontak WIC Semarang belum berubah.

Entah bagaimana caranya membagi waktu, pada

saat bersamaan, Mamie selama tiga periode dalam kurun

15 tahun duduk sebagai Ketua Persatuan Istri Veteran

Indonesia (Piveri). Di Piveri para anggota saling bertukar

pikiran dan mengadakan kegiatan bersama seperti

arisan, tahlil, bakti sosial, dan menghadiri undangan

legium veteran. “Mungkin karena menjadi ketua selama

15 tahun dan dianggap kelamaan, saya malas mengikuti

kepengurusan.“Sejak ditinggal suami pada 1990, aktivitas sosial

Mamie tidak kunjung putus. Ketika MAESTRO menemui

Mamie di kediamannya, ia mengatakan, waktu kosongnya

hanya Sabtu. Di hari lain, bersama teman-teman, ia sibuk

melakoni bermacam kegiatan yang semuanya dipusatkan

di rumah. Seperti setiap Selasa, Mamie bermain bridge

bersama teman-teman sebagai salah satu olah raga

mental. Hari Rabu ada latihan seni karawitan sebagai

bentuk kebanggaan terhadap budaya sendiri. Mamie masih

aktif mengikuti berbagai arisan. Ada salah satu arisan

yang memang setiap bulan dan pada tanggal yang sama

diadakan di rumah, yakni Arisan Mitra Abadi.

Mamie juga mempunyai grup bahasa Inggris yang

sudah berusia 40 tahun. Sampai sekarang tetap

berlangsung dan mereka selalu melakukan pertemuan di

rumah juga. Hampir setiap hari dari Senin sampai Jumat,

Mamie selalu punya kegiatan dan acara, baik di rumah

maupun di luar rumah.

“Kedudukan saya di sejumlah organisasi dan kegiatan

sosial lainnya untuk mengisi waktu luang dan supaya

saya tidak cepat pikun. Ini juga resep! Anak-anak saya Jari-jari terampil Mamie saat menyulam.

FO

TO

: KR

US

HA

RY

AN

TO

Page 42: maestro pra terbit

42 MAESTRO, April 2009

kalau pulang ke sini dan lihat kalender, di situ mereka

menemukan banyak tanggal yang saya beri tanda. Itu

acara kegiatan saya. Wah, banyak sekali, tapi saya

senang karena ketemu banyak teman. Ketika kumpul-

kumpul, kami ngobrol tentang hobi, kesenangan bersama,

dan nostalgia, “ papar Mamie.

Dari sekian banyak aktivitasnya, Mamie paling suka

melewati hari-harinya di rumah menekuni seni cross

stitch (sulaman kristik). Apalagi, sewaktu remaja, ia hobi

menjahit. Hobi ini ia kembangkan terus hingga menikah dan

punya anak. “Saya jahit sendiri pakaian untuk anak-anak

waktu mereka kecil. Belakangan, saya rajin bikin sulaman

kristik, bikin taplak-taplak. Pokoknya, di waktu senggang,

kalau sudah bosan ini dan itu, saya bikin kristik,“ ucap

Ini juga resep! Anak-anak

saya kalau pulang ke sini dan lihat

kalender, di situ mereka menemukan

banyak tanggal yang saya beri

tanda. Itu acara kegiatan saya.

Memang banyak sekali, tapi saya

senang karena ketemu banyak

teman. Ketika kumpul-kumpul, kami

ngobrol tentang hobi, kesenangan

bersama, dan nostalgia.

Mamie di tengah keceriaan sejumlah cucunya

FO

TO

: PE

TE

R J

OH

AN

Page 43: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 43

Mamie.

Pada zaman penjajahan Belanda, kristik yang berasal

dari bahasa Belanda, yaitu kruissteek, sangat populer. Seni

kristik menjadi favorit kaum ibu dan remaja putri.

Sadar atau tidak, membuat sulaman kristik sebenarnya

tak hanya untuk mengisi waktu luang dengan cara produktif

dan menyenangkan. Seni membuat gambar dengan

bahan kristik yang miri p saringan pasir itu membutuhkan

ketekunan dan kesabaran. Pantas saja Mamie terkenal

sabar dan tekun.

Bahkan, lantaran membuat kristik lebih dulu harus

punya gambar dasar dan dicetak di atas bahan kristik, si

pembuat kristik harus konsentrasi penuh saat mengikuti

pola yang ada di bahan dengan menggunakan benang

DMC atau wol, lantas dijahit dengan pola silang-silang.

Dalam kepala seniman kristik, saat menyulam, ia

menghitung kotak-kotak yang harus dijahitnya. Salah

hitung atau salah jahit, hasilnya akan meleset. Bila Mamie

yang hingga usia 79 tahun masih mampu menekuni hobi

kristiknya tanpa kacamata, itu artinya seni kristik telah

mengajarinya untuk tidak menjadi pikun. Apalagi, selagi

merajut kristik yang membutuhkan konsentrasi mata dan

pikiran, telinganya tetap harus peka untuk menangkap

suara-suara di sekelilingnya.

Satu lagi, menghasilkan karya seni kristik membutuhkan

waktu relatif lama. Terutama bila bentuk gambar yang

hendak ditransfer termasuk besar dan rumit. Namun, di

balik tingkat kerumitan ini, ia makin sering menggerakkan

tangan memilin jarum di antara ibu jari, tengah, dan telunjuk.

Jarum di antara jepitan jemari ini perlahan memperlancar

peredaran darah dan metabolisme tubuh. n Membaca Harian Merdeka, aktivitas rutin Mamie di pagi hari

FO

TO

: KR

US

HA

RY

AN

TO

Page 44: maestro pra terbit

44 MAESTRO, April 2009

DEWi KuNtHiMencintai Suami,MembimbingPutra-putrinya

Rumah pribadi di Jalan S Parman No.60 Candi Baru, Semarang

Page 45: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 45

FO

TO

: KR

US

HA

RY

AN

TO

Kalau saya nanti meninggal,

jangan dimakamkan di

Taman Makam Pahlawan, “ pesan Brigjen (Purn) Mardeo,

sekitar pertengahan

November 1990.

Mamie menjawab, ”Lho,

Mas kan berhak di sana?””“Pokoknya jangan,” jawab Papie, sambil melirik Mamie.

Dengan perlahan, Papie kemudian melanjutkan

pesannya, “Kalau di sana, kau nanti tidak akan bisa di

sebelahku. Sedangkan saya berharap, sampai kapan

pun kita harus berdampingan. Sebagaimana selama ini

kita telah bersama-sama menempuh seluruh perjalanan

kehidupan ...”Mamie melukiskan percakapan antara dirinya dan

Papie dengan bergetar. Pandangannya jauh menerawang,

seakan-akan ingin kembali ke masa lalu.

Matanya yang sejuk indah, nampak basah berkaca-

kaca, menahan lahirnya tangis. Mamie kembali mengingat

percakapan dalam kamar tidur, di rumah pribadi mereka,

di Jalan S Parman No 60 Candi Baru, Semarang. Saat itu,

Papie berbaring sambil tiduran, setelah beberapa minggu

menderita sakit. Mamie duduk di sampingnya, sambil

tangannya memijit-mijit kaki Papie, mencoba menahan

derita suaminya.

Meski kondisi Papie terus-menerus semakin bertambah

parah, beliau tetap menolak untuk dirawat di rumah sakit.

Dengan memakai kalimat bahasa Jawa, Papie mengatakan,

“Yen akuan ana kana, sing ngrawat banjur sapa? Aku

mung pengin sliramu, dudu wong liya. (Kalau nanti saya

dibawa ke sana, siapa bakal merawat? Aku hanya

menginginkan dirimu, bukan orang lain).”Suatu hari, seorang temannya perwira ABRI, datang

menjenguk. Karena baru pulang dari ikut apel Peringatan

Hari Pahlawan, dia datang ke rumah sakit memakai

pakaian dinas upacara. Sesudah tamunya pulang, Papie

berkata, “Pakaian dinas saya yang baru, kapan bisa saya

pakai?”Mamie menukas, “Pokoke, mesti diagem. Ora saiki,

Membaca Harian Merdeka, aktivitas

rutin Mamie di pagi hari

Syandana Haryo Baswara bersama ibunya, R Ngt Sri Hapsari

Page 46: maestro pra terbit

46 MAESTRO, April 2009

nanging mesti diagem, ora susah dadi penggalih.” (Pokoknya, pasti akan dipakai. Jangan sekarang, tetapi

pasti akan dipakai, tidak usah dipikirkan).”

Pukul 09.00, Selasa Kliwon, 18 Desember 1990, Tuhan

akhirnya memanggil Papie.

“Mas seda di Rumah Sakit Elizabeth, Semarang.”Mamie kemudian melanjutkan, “Almarhum melepas

nafas terakhir dalam pelukan kami berdua, saya dan Bibik.

Entah mengapa, pagi itu Bibik tiba-tiba tidak mau kuliah.

Sejak sebelum subuh dia sudah menyusul ke rumah sakit,

membantu saya menjaga Papienya.”“Ketika saya tanya dengan nama panggilan akrabnya,

Nang, sing dawuh mrene sapa? (Nang, yang meminta

kamu ke mari siapa?), saya tidak akan pernah lupa

dengan jawabannya.”Sambil mencium kening Papie-nya, Bibik menjawab,

Mboten wonten ingkang dawuh, namung dalem kepengin

celak Papie. (Tidak ada yang meminta, hanya saja saat ini

saya ingin dekat Papie).”

Keesokan harinya, upacara pemakaman secara

militer dilaksanakan. Mamie menjelaskan, “Saya memilih

memakamkan Mas Mardeo di Astana Bibis Luhur, Solo.

Sigid Agus, anak lelaki sulung, saya minta menulis surat

pernyataan pemakaman akan dilakukan di Solo. Surat

tersebut perlu sebab sejak semula Kodam Diponegoro

mengharapkan almarhum sesuai jasa-jasanya kepada

negara, seyogyanya dimakamkan di Taman Makam

Pahlawan. Kecuali itu, sesuai dengan wasiat almarhum,

jenazahnya sengaja saya pilihkan pakaian dinas upacara

kebesaran militer. Pakaian seragam baru, yang sama

sekali belum pernah dipakai almarhum ...”Ketika rangkaian upacara pemakaman akan dimulai,

salah seorang paman Mamie menyarankan agar Papie

dimakamkan di Astana Giri Bangun, Karanganyar, Solo.

Makam yang sekarang ini telah menjadi sangat terkenal,

tempat Pak Harto dan Ibu Tien Soeharto dimakamkan.

Tawaran tersebut sangat beralasan. Sebab, ayah Mamie

kakak-beradik dengan ayah Ny Tien Soeharto.

Tawaran untuk dimakamkan di Giri Bangun dengan

halus ditolak oleh Mamie. “Terima kasih Om, tetapi saya

ingin Mas Mardeo dimakamkan di Bibis Luhur saja.

Sehingga, kalau nanti anak-anak ingin nyekar, menengok

dan menaburkan bunga ke makam Papie mereka,

gampang dilakukan. Tidak usah harus pergi ke Meteseh

dan mendaki bukit. Supaya mereka tidak usah ribet ...”

* * *

Banyak pengalaman dialami Mamie selama tinggal di

rumah Jalan S Parman. Sejak awal mendampingi Papie,

selama masa dinas sampai ketika telah memasuki

pensiun dari dinas militer, serta tahun-tahun sesudahnya.

Selain itu, juga dilengkapi dengan beragam kenangan,

Ki Manteb Sudarsono dalam acara Ulang Tahun Ibu Kanjeng Raden Ayu Siti Hartati yang ke-78

Page 47: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 47

baik manis dan juga yang pahit, ketika Mamie mengasuh

berikut membesarkan seluruh anak-anaknya, sehingga

tidak berlebihan jika Mamie secara terus terang mengaku,

““Saya tresna (sayang) sekali dengan rumah di S Parman.

Bertahun-tahun saya bersama almarhum dan anak-anak

tinggal di rumah ini, menempuh segala macam suka dan

dukanya kehidupan...”Sesungguhnya, rumah tersebut hanya sebuah bangunan

lama, yang didirikan dalam rancang-bangun Art Deco yang

populer di awal abad XX. Sebuah peninggalan rumah dinas

militer di zaman kolonial, terletak di pinggir jalan raya, di

lereng bukit dengan sebuah halaman rumput luas, dihiasi

sebuah pohon karet yang tinggi besar dan berdaun rimbun.

Pada zaman kemerdekaan, rumah kuno tersebut

dipakai sebagai rumah dinas Panglima Diponegoro.

Penghuni pertama rumah ini, yang masuk sesudah

persetujuan Konperensi Meja Bundar (KMB) ditanda-

tangani, tidak lain Kolonel (Inf) Soeharto. Waktu itu, Pak

Harto baru saja ditetapkan sebagai Panglima Diponegoro,

naik dari jabatan semula, Komandan Korem Solo. Sesudah

Puri Wedari selesai dipugar dan diresmikan sebagai rumah

dinas panglima, semua Panglima Diponegoro selalu tinggal

di rumah baru. Rumah di S Parman No 60 itu berubah

menjadi tempat tinggal Kepala Staf Kodam Diponegoro.”

Mamie menjelaskan, “sewaktu Mas Mardeo menjabat

Kasdam Diponegoro, kami sekeluarga mulai pindah ke sini.

Sesudah beliau tutup usia, saya mengajukan permintaan

kepada pemerintah untuk membeli rumah di S Parman.

Sesudah menunggu lama, sekarang semuanya telah

beres. Saya memutuskan untuk melestarikannya. Sebab,

terlampau banyak kenangan pribadi kami tidak bisa

dihapuskan dari rumah in.”Biasa atau istimewa, memang selalu terpulang kepada

pandangan, berikut kenangan masing-masing pribadi.

Begitu juga dengan rumah di Jalan S Parman. Bagi Mamie

dan seluruh anggota keluarganya, rumah tersebut benar-

benar telah tampil dalam memenuhi makna sebuah kalimat

bersayap populer, home sweet home.

* * *

Sebagai seorang priyayi Jawa, Mamie ternyata

memiliki kekaguman kepada tokoh wayang, Dewi Kunthi.

“Sosoknya sangat mengesankan, sendirian mengasuh

serta membesarkan kelima orang putranya, sehingga

mereka semua menjadi Ksatria, setia kepada kebenaran

sekaligus selalu bertekad untuk membela yang lemah...”Perjalanan hidup Dewi Kunthi miri p Mamie.

Kunthi dilahirkan dengan nama Pritha, seorang gadis

yang terkenal tidak hanya karena kecantikannya, terlebih-

lebih karena kebajikannya. Pritha satu-satunya anak Sura,

kakak kandung Sri Kresna. Sejak masih kecil, Pritha telah

diserahkan oleh ayahnya kepada Kunthibhoja, saudara

sepupunya yang tidak punya anak. Sejak itu, Pritha diubah

namanya menjadi Kunthi.

Sesudah usianya cukup dewasa, Raja Kunthiboja

menyelenggarakan lomba laga dengan hadiah utama, sang

pemenang berhak mempersunting Kunthi. Perlombaan

tersebut ternyata dimenangkan oleh Pandu. Maka, Pandu

dan Kunthi menjadi suami-istri. Mereka mempunyai tiga

anak: Yudhistira, Bhima, dan Djanaka. Sesudah kelahiran

ketiga putra tersebut, Pandu menikah dengan Madri.

Lahirlah sepasang anak kembar, Nakula dan Sadewa.

Si anak kembar akhirnya diasuh Kunthi, sebab Madri

mendahului tutup usia.

Setelah merenung sejenak, Mamie langsung berkata

dengan kalimat jernih, “Meski anak saya tujuh orang, dan

yang sulung meninggal ketika masih bayi, saya selalu ingin

mengasuh mereka, sebagaimana Kunthi mengasuh kelima

orang Pendawa. Saya juga punya seorang anak angkat,

dari keluarga sepupu saya sendiri.”“Semua anak saya, baik yang lelaki ataupun

perempuan, semuanya harus bisa meneladani sikap dan

langkah leluhurnya. Harus bisa tumbuh dewasa untuk

menjadi seorang Kstaria. Setia kepada kebenaran, dan

Page 48: maestro pra terbit

48 MAESTRO, April 2009

tiji tibeh,Mukti SijiMukti Kabeh

raDEN MaS SaiD:

48 MAESTRO, April 2009

FO

TO

: WW

W.P

AN

OR

AM

IO.C

OM

Page 49: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 49MAESTRO, April 2009 49

Page 50: maestro pra terbit

50 MAESTRO, April 2009

PERJANJIAN Salatiga telah

menyelesaikan perang perebutan tahta

di Kerajaan Mataram selama 16 tahun

terakhir. Sebagai buntut peralihan

kekuasaan yang tidak mulus semasa

pemerintahan Amangkurat IV, sejumlah

Pangeran meninggalkan Kartasura.

Pertempuran antarkeluarga Mataram pun meletus.

Menurut Perjanjian Salatiga, RM Said ditetapkan sebagai

Pangeran Miji, setara Raja tetapi tanpa tahta, tak punya

alun-alun, dan tidak boleh menanam pohon beringin.

Sebagai bekal untuk memulai kehidupannya yang baru,

Susuhunan menyerahkan wilayah seluas 4.000 karya yang

diambil dari sebagian wilayah Kerajaan Surakarta.

Sesudah perjanjian perdamaian ditandatangani, RM Said

langsung memerintahkan gencatan senjata, membangun

istana yang ia resmikan pada 4 Jimakir tahun Jawa 1683,

bersamaan dengan 17 Maret 1756. Sejak itu, ia resmi

memakai gelar Kanjeng Goesti Pangeran Aryo Adipati

Hamengkoenagoro.

Dengan demikian, tanggal tersebut ditetapkan sebagai

tanggal berdirinya Pura Mangkunegaran. Istana yang

Senin Legi, 17

Maret 1757,

Raden Mas

Said bersama

Raja Surakarta,

Susuhunan Paku Buwono

III, menandatangani naskah

perdamaian di Salatiga. Dua

orang ikut tanda tangan

sebagai saksi, Gubernur

Jenderal Nicholas Hartingh

dan Patih Danoeredjo, utusan

resmi Raja Yogyakarta Sultan

Hamengku Buwono I.RM Hendrarso Soerjokoesoemoe (Keturunan Mangkunegoro V) - RAy Harjatmi Hendrarso Soerjokoesoemoe (Keturunan Mangkunegoro III), orangtua kandung Kanjeng Raden Ayu Siti Hartati.

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

Page 51: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 51

selama 250 tahun terakhir berdiri megah di sisi utara

Jalan Slamet Rijadi, jalan raya yang membelah dua Kota

Solo, pusat kebudayaan Jawa bernama resmi Surakarta

Hadiningrat.

Perdamaian Salatiga menyusul Perjanjian Gianti dua

tahun sebelumnya, yang telah membagi dua Kerajaan

Mataram. Sebagian disebut Surakarta, dipimpin Sunan

Paku Buwono III. Sisanya diserahkan kepada Pangeran

Mangkubumi, yang kelak naik tahta dengan gelar Sultan

Hamengku Buwono I.

Ketiga tokoh dalam perselisihan di atas sebenarnya

masih bersaudara. HB I adalah paman PB III, sedangkan

MN I saudara lain ibu dari PB III. Sebagai ongkos untuk

menyelesaikan pertikaian tersebut, Kerajaan Mataram

terpaksa menyerahkan kepada Kompeni Belanda pantai

utara Jawa Tengah, Jawa Timur sampai ke Surabaya,

wilayah Pasuruan, dan Pulau Madura.

Wilayah Mataram yang telah semakin ciut akhirnya harus

dibagi empat. Sebab, nantinya, semasa Inggris berkuasa

di Pulau Jawa, wilayah Yogyakarta masih disusutkan

untuk mendukung kehadiran Pura Pakualaman. Dari bekas

Kerajaan Mataram yang sangat luas akhirnya muncul

empat pemerintahan: PB, HB, MN, dan PA.

Perjanjian Gianti melahirkan persekutuan antara

kekuatan Sunan, Sultan, dan Kompeni, sekaligus

mewajibkan Sultan yang baru saja diangkat untuk

membantu upaya meringkus RM Said. Sebelum Sultan

naik tahta, Said sebenarnya adalah menantunya. Maka,

perdamaian di Gianti pun ia jawab dengan mengembalikan

istrinya, Raden Ayu Inten, sekaligus menyerbu masuk dan

mengobrak-abrik Sitihinggil Kraton Yogyakarta.

Selama lima tahun terakhir, bersama para pengikutnya,

RM Said harus melawan tiga kekuatan: tentara Sunan,

Sultan, dan Kompeni Belanda. Sebagai pembangkit

semangat tempur, ia menciptakan battle cry, pekik perang,

kata bersayap tiji tibeh. Dalam makna mukti siji mukti

kabeh. Artinya, kalau nanti ia sudah meraih kemenangan,

semua pengikutnya akan ikut mukti. Ikut menikmati.

Nantinya terbukti, dalam masa kritis dikejar oleh

pasukan gabungan Kompeni, Sunan, dan Sultan, RM

Said justru meraih kemenangan. Nicholas Hartingh

melukiskannya dalam kalimat hij die dood brengt onder zijn

vijnden, selalu menyebarkan maut bagi semua musuhnya.

Komentar tersebut akhirnya melahirkan sebutan legendaris

untuk sosok RM Said, yakni Pangeran Sambernyawa atau

Pangeran Pencabut Nyawa.

Raden Mas Said

FO

TO

: D

OK

UM

EN

TAS

I KE

LUA

RG

A

KRMT Sigid Haryo Wibisono

FO

TO

: IS

TIM

EW

A

Page 52: maestro pra terbit

52 MAESTRO, April 2009

Keterampilannya dalam berperang sangat terkenal,

semangat tempurnya juga menjadi teladan. Strateginya

memicu perasaan kagum dari rekan maupun musuh-

musuhnya. Sosok RM Said sesungguhnya tidak memesona.

Pujangga Kraton Solo Kanjeng Raden Tumenggung

Josodipoero melukiskan, kapiduwung denya sanget cilik,

dene seperti lare kewala (raut tubuhnya sangat kecil, tak

ubahnya anak-anak).”

Di balik itu semua, sebagai yatim piatu (ibunya

meninggal ketika melahirkan dan ayahnya dibuang ke

Afrika sewaktu Said baru berusia dua tahun), ia memiliki

sejumlah kelebihan. Selama 16 tahun perang, Said masih

mampu melanjutkan hobinya, merancang beberapa tarian,

meniru gerak dan pengalamannya bertempur. Dan, yang

membedakan dirinya dengan panglima perang lain, MN I

menulis sendiri buku biografinya.

Otobiografi itu oleh TH Pigeaud diberi judul Babad Nitik

Mangkoenegaran. Ketika sudah disalin ke dalam bahasa

Belanda dan disimpan di Universitas Leiden, Belanda, buku

tersebut diberi judul Dagboek van KGPAA Mangkoenegoro I.

Menurut studi Zainuddin Fananie dalam buku

Restrukturisasi Budaya Jawa, istilah nitik berarti

pencermatan, scrutiny. Sedangkan sebutan babad sekadar

menunjukkan genre penulisan di masa itu. Karya RM Said

sesungguhnya miri p biografi zaman sekarang. Pengalaman

nyata dan bukan dongengan yang sarat kisah-kisah

gaib.…”

Said, Soerjokoesoemo, Sambernyawa atau MN I

(1725-1795) memang sangat fenomenal. Ia pemberang.

Ia, misalnya, mengembalikan istri kepada mertuanya, lalu

memenggal kepala musuh-musuhnya. Tetapi, di sisi lain, ia

juga tokoh yang memenuhi 10 syarat untuk bisa disebut

sebagai seorang Ksatria Mataram: senang belajar, selalu

mendalami isi Alquran, gemar membaca, pandai menulis,

tangkas naik kuda, terampil menari, paham makna

tembang, mengetahui bahasa Jawa kuno, menguasai ilmu

perang, dan santun.”

Semangat Ksatria Mataram dan semangat Tiji Tibeh

itu ternyata mengilhami Sigid Haryo Wibisono dalam

mengayunkan langkah kehidupan dan membangun bisnis.

Semangat kearifan dan teladan. Juga janji bahwa dalam

berbisnis ia akan tetap bersemangat selaku Ksatria

Mataram yang pantang meninggalkan rekan-rekannya.

Sebuah landasan dasar yang sangat baik. Teladan

yang pada masa sekarang sudah jarang dikemukakan

orang. Janji kepada diri sendiri, khususnya dalam melakoni

sebuah perjalanan hidup. n

Pertunjukan seni karawitan di Pura Mangkunegaran.

FO

TO

: WW

W.P

AN

OR

AM

IO.C

OM

Page 53: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 53MAESTRO, April 2009 53

Page 54: maestro pra terbit

54 MAESTRO, April 2009

Tatiek Mardeodi Mata Sahabat

54 MAESTRO, April 2009

Pemimpin yang LengkapIbu Yusuf Cakrayuda (80 Tahun)

IBU Mardeo itu baik, keibuan, dan supel kepada siapa

saja. Orangnya ramah. Saya kenal dia sudah 40 tahun,

sejak dia belum menjabat Ketua Piveri.

Bagi saya, selain sebagai ibu, beliau juga pemimpin yang

lengkap. Dia tidak sombong. Sekali pun usia saya lebih tua

dibanding beliau, saya menganggapnya sebagai seorang

ibu yang mengayomi. n

Dijuluki Ibu Jawa TengahIbu Soekardojo (76 Tahun)

SAYA mengenal Ibu Mardeo sejak muda karena memang

kami masih ada hubungan saudara sepupu. Saya

mengenalnya lebih dalam di organisasi Persatuan Istri

Tentara (Persit) Kodam VII. Di situ, Ibu Mardeo sebagai

pimpinan karena istri kepala staf. Dia juga menjabat

sebagai Ketua Piveri selama tiga periode atau 15 tahun.

Sedangkan saya bertugas sebagai pengurus di seksi

sosial.

Ibu Mardeo itu keibuan. Dia berusaha membimbing

seluruh pengurus. Uniknya, Ibu Mardeo selalu memberi

kebebasan para anggota untuk mengeluarkan pendapat

Page 55: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 55

dan merencanakan segala sesuatu bagi organisasi. Ia

terbiasa menekankan mufakat sebagai solusi terbaik. Ini

membuat kekompakan dalam organisasi.

Kami sering menyebut Ibu Mardeo sebagai Ibu Jawa

Tengah. Dia selalu berinteraksi dengan semua pihak

dengan rendah hati serta berusaha mengayomi. Ia

berusaha memanusiakan mereka dengan memperlakukan

secara hormat. Banyak orang kaya atau pejabat di Jawa

Tengah, tapi jarang ada karakter seperti Ibu Mardeo yang

welas asih. n

Seorang Ibu SejatiFX Sarwono (72 Tahun)

SAYA kenal dia sekitar tahun 70-an, sewaktu suaminya

Kasdam di Padang. Saya sekretarisnya di Piveri, sehingga

saya dekat sekali dengan beliau. Saya tahu betul Ibu

Mardeo itu bagaimana. Dia orangnya keibuan, menegur

orang dengan keibuan dan sabar.

Kesan pertama saya sewaktu ketemu beliau, dia

langsung memperlihatkan diri sebagai seorang ibu sejati.

Dia selalu tampil dengan senyum sebagai bahasa cinta.

Saya berdoa agar beliau selalu sehat dan panjang umur

karena dia sangat berarti bagi saya. Hubungan saya

dengan beliau melebihi hubungan sebagai saudara dan

keluarga. n

Memberi Tanpa PamrihIbu Bambang Soelistyo (66 Tahun)

SAYA mengenal beliau melalui suami saya. Dulu, karena

anak-anak saya masih kecil-kecil, saya tidak ikut

organisasi. Tapi, kalau ada acara beliau selalu mengirim

makanan dalam rantang ke rumah. Saya sangat terkesan

karena saya belum mengenal beliau tapi sering mengirimi

makanan ke rumah.

Sewaktu saya duduk sebagai bendahara di Piveri dan

beliau menjadi ketuanya, saya menganggap beliau sebagai

ibu sendiri. Saya dapat merasakan bahwa dia sangat

sayang pada saya. Dia tidak pernah berkata kasar. Kasih

sayang dan suka memberi yang beliau lakukan tanpa

pamrih. n

Selalu Memberi ContohIbu Hj Niniek Hadijanto (53 Tahun)

SAYA mulai kenal Ibu Mardeo pada 1976, sewaktu saya

di Kotamadya Semarang dan Pak Mardeo jadi Kasdam

Diponegoro. Sejak itu saya mulai dibimbing oleh beliau

sampai berkumpul di organisasi Piveri. Saat memberikan

bimbingan, Ibu Mardeo tidak menyampaikannya secara

langsung, melainkan dengan memberi contoh.

Bagi saya, adakalanya Ibu Mardeo sebagai seorang

sahabat, di lain waktu jadi ibu, dan pada kesempatan lain

saya menjadi putrinya. n

Page 56: maestro pra terbit

56 MAESTRO, April 2009

Ibu yang Murah HatiIbu Yap (80 Tahun)

IBU Mardeo itu baik. Kalau ada orang kesusahan, dia siap

membantu. Bahkan dia selalu menjadi orang nomor satu

yang tampil memberi pertolongan. Rumahnya terbuka bagi

kita. Sekali pun dia tidak di rumah, kita tetap boleh bertamu

dan tinggal di rumahnya.

Saya mengenal Ibu Mardeo sekitar 40 tahun lalu,

sejak ikut les bahasa Inggris bersama yang diadakan di

rumahnya di Jalan Citarum, Semarang. Sepanjang yang

saya tahu, dia tidak sombong, murah hati, dan tidak

membedakan orang dari suku manapun. n

Nyonya Jenderal yang Mementingkan Kesatuan

Lily Gunawan (79 Tahun)

SAYA mengenal beliau sejak saya menjadi guru les bahasa

Inggris di Jalan Citarum 70, Semarang, yang kita mulai

sejak 1969 hingga kini. Bagi saya, dia seperti saudara.

Dia adalah sahabat sejati saat saya mengalami duka

atau suka. Saat suami saya tiada, dia adalah orang

pertama yang datang. Itu sangat saya hargai sekali.

Apalagi dia nyonya seorang jenderal, yang dapat berteman

dengan siapa saja tanpa hambatan lantaran kedudukan

suaminya.

Saya kagum, karena dia sangat menghargai orang lain

dengan penuh kasih. Dia mementingkan kesatuan. Tidak

sekadar li ps service. n

Diamnya Memiliki KharismaIbu Rudy Juwana (73 Tahun)

IBU Mardeo orangnya sopan, dekat dengan siapa saja,

baik yang muda maupun tua. Saya biasa bertemu dia di

WIC sejak Pak Mardeo masih ada.

Satu hal, beliau orangnya diam, tidak terlalu banyak

omong ini atau itu. Karena sikap diamnya memiliki kharisma

tersendiri yang mendorong orang berlaku sopan di

hadapannya. n

Menjadi Guru KehidupanIbu Budhi (60 Tahun)

KAMI punya grup les Inggris yang usianya sudah sekitar 40

tahun. Selama mengenal beliau, dia adalah panutan saya.

Artinya, banyak pelajaran yang saya timba dari beliau yang

tidak saya dapat di sekolah dan dari keluarga. Dia adalah

guru kehidupan saya.

Saya memperlakukan beliau sebagai ibu. Bila saya

berbuat salah, dia pandai memberi nasihat yang tak dapat

saya ungkapkan dengan kata-kata. n

Page 57: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 57

SAYA kenal Ibu Mardeo sudah 25 tahun lebih. Kami makin

akrab setelah bergabung dalam Women’s International

Club (WIC). Sebagai teman, saya belum pernah berselisih

paham dengan beliau. Dia orangnya lemah lembut dan

senang tersenyum. Hal yang saya kagumi, yang saya

lihat lewat WIC, beliau telah berbuat banyak. Untuk WIC

misalnya, beliau menyediakan rumahnya sebagai kantor

WIC. Ini adalah salah satu yang kami banggakan mengingat

kegiatan sosial WIC banyak sekali. Pengorbanannya

terhadap WIC sangat besar.

Sebagai pribadi, saya mengaguminya karena selalu

saja ada yang dia kerjakan. Beliau tidak pernah tidur siang

untuk mengisi waktunya dengan banyak kegiatan. Saya

juga kagum melihat temannya yang banyak. Beliau tak

pernah membicarakan persoalan dengan emosi, tetapi

menyelesaikan semuanya dengan damai. Itu kan bagus. n

Pengorbanannya Sangat BesarSartini Djokomoeljanto (72 Tahun)

semua sudah disediakan. Kami tinggal datang dan latihan.

Sebagai seorang pemimpin, setelah mendengar

laporan kemudian saran, baru beliau mengatakan,

apakah sebaiknya tidak begitu atau begini? Dan, hal

itu dikembalikan lagi kepada kami untuk mengambil

keputusan. Dia tidak pernah mengatakan banyak, hanya

senyum. Tetapi, sekali memberikan pendapat, itu pas.

Mengena. n

Menjadi Ibu Anggota WICHolz Lopulisa (75 Tahun)

SAYA mengenal Ibu Mardeo sekitar 30 tahunan. Saya

mengenalnya saat aktif di WIC dan di kelompok bridge. Dia

adalah sosok seorang pemimpin dan seorang ibu. Jadi, dia

sebagai ibu tidak hanya untuk putra-putrinya, tetapi juga

untuk kami yang menjadi anggota WIC.

Beliau pernah menjadi Presiden WIC. Kemudian menjadi

penasihat. Bila memberikan pendapat atau saran, dengan

mudah kami dapat mengikuti jalan pikirannya. Beliau

juga orang yang dermawan, seorang ibu, dan seorang

pemimpin. Sebagai seorang ibu, pernah waktu Kongres WIC

di Jakarta, beliau sudah mendahului rombongan yang mau

berangkat ke sana. Sampai di Jakarta, ketika kami latihan,

SAYA mengenal beliau sekitar 25 tahun lalu di WIC.

Saya lihat beliau adalah seorang yang pekerja keras dan

sangat perhatian terhadap sesama. Kedermawanan beliau

pun sudah tidak diragukan lagi. Sumbangannya sungguh

tak terhitung. Kalau kita, misalnya, perlu sumbangan

yang tidak ada dalam anggaran WIC, kita lari ke beliau,

pasti aman. Sewaktu menjadi Presiden WIC, cara beliau

Tempat MengaduDwi Harso Wardoyo (63 Tahun)

memanaj sangat bagus dan

bertanggungjawab.

Kita sangat memerlukan orang

seperti beliau. Dia adalah sosok

ibu yang kita butuhkan. Kalau ada

apa-apa, dia adalah tempat kita

mengadu. Saya mengenal beliau

sebagai orangtua yang tegas. Kalau

tidak suka bilang tidak suka, tetapi

dengan bahasa yang halus.

Pertama kali bertemu dia, saya

langsung jatuh cinta. Padahal, dia

tidak banyak bicara. Itu karena

sikapnya langsung mengundang

respek. Sekali pun beda usia, saya

tidak merasa ada gap. n

Page 58: maestro pra terbit

58 MAESTRO, April 2009

MAMIE seperti sebuah kamus kehidupan.

Setiap kali menghadapi persoalan, beliau

selalu bagaikan tempat bertanya. Setiap

saya bertanya, Mamie selalu punya jawaban

berupa solusi yang sanggup meneduhkan hati.”

“Sesuatu yang paling saya kagumi dari beliau adalah

sifat sosialnya. Mamie seorang dermawan. Mamie selalu

siap memberikan pertolongan kepada siapapun. Ada

sebuah pemberian beliau yang sampai sekarang tidak bisa

saya lupakan. Saat saya menikah, Mamie memberikan

sebuah perhiasan yang sampai sekarang masih saya

simpan. Pemberian Mamie itu sangat mengesankan.

Apalagi, akhirnya saya tahu, perhiasan itu memiliki

kenangan khusus bagi Mamie. Perhiasan itu selalu

dipakainya semasa Papie masih hidup.Dalam hal mendidik putra-putrinya, Mamie terkesan

memberikan kebebasan, tetapi sebetulnya beliau selalu

memantau. Pernah suatu kali, saat saya pulang sekolah,

ada sapu menggeletak di lantai. Karena baru pulang, saya

biarkan begitu saja. Ternyata, sapu itu sengaja dibiarkan

seperti itu. Tidak lama kemudian, Mamie memberi nasihat.

“Setiap kali kita melangkah harus waspada. Lihat ke

kanan dan ke kiri. Jika ada sesuatu yang menghalangi

jalan kita, harus kita singkirkan,” kata Mamie. Menurut

Mamie, falsafah itu harus dilakoni biar langkah kita tak

terhalang dan sekaligus itu merupakan usaha atau tirakat

kita sendiri.

Sebagai orangtua, Mamie sangat perhatian. Ketika

saya memasuki jenjang pernikahan, beliau memberikan

Mamie di Hati Putra-putrinya

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI K

ELU

AR

GA

“Mamie adalah KamusKehidupan Saya”

Raden Ayu Sri Soerastri

Raden Ayu Sri Soerastridan suami

Page 59: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 59

wejangan berharga yang sampai sekarang tetap saya

ingat. Menurut Mamie, menjadi seorang perempuan harus

mau ditoto atau diatur. Harus menjadi contoh yang baik

bagi anak-anaknya. Sebagai orangtua, kita jangan hanya

pintar membuat anak. Kita juga harus sanggup mendidik

agar anak kita tumbuh menjadi orang baik berbudi luhur,

dan berguna. n

Jika sedang ada anak atau cucu datang menginap di

Semarang, begitu mereka bangun tidur, Mamie sudah bisa

ikut berbincang-bincang atau memberi komentar tentang

berbagai peristiwa yang diberitakan koran pagi. Pokoknya,

Mamie justru sosok paling well inform dari seluruh penghuni

rumah.Tidur siang sebagaimana kebiasaan orang-orang

seumurnya sama sekali tidak beliau lakukan. Begitu juga

pada malam hari. Sejak dulu Mamie berpesan, ojo seneng

turu sore, ben akeh rejekine (Jangan tidur sore hari agar

bisa lebih banyak meraih rezeki). Beliau selalu memberi

teladan dengan cara tidur tengah malam. Tapi, tidur malam

bukan berarti hanya duduk-duduk. Mamie selalu sibuk.

Kalau tidak membaca buku, menyulam kristik, pasti main

game di komputer. Maka, usianya boleh saja telah sepuh,

tetapi Mamie sama sekali tidak gaptek.

Beliau memang pernah saya larang, mbok Mamie

dawuh kemawon, mboten sisah resik-resik meja (Mamie

minta tolong saja, tidak usah ikut membersihkan meja).”

Jawaban beliau sangat mengagetkan. “Lha yen aku mung

tok kon tenguk-tenguk, apa aku iki wong lara? (Kalau saya

hanya kamu minta diam, apa aku ini kamu anggap orang

sakit?)”…n

MAMIE itu cerdas, cermat, dan pekerja keras.

Tiga hal tersebut, menurut saya, paling

cocok untuk melukiskan sosok beliau. Meski

usianya sudah semakin sepuh, kegiatannya

sehari-hari praktis tidak surut. Pukul berapapun beliau

berangkat tidur, pagi hari pukul 04.30 bangun. Beliau

langsung membuka sendiri semua pintu dan jendela rumah.

Setelah itu, Mamie mengambil koran. Itulah sarapan beliau,

agenda harian yang selama bertahun-tahun tidak berubah.

PENGALAMAN yang tidak bisa saya lupakan

adalah setiap hari Mamie memboncengkan

saya. Mamie mengantarkan saya ke sekolah

dengan naik sepeda. Bayangkan saja, kami

waktu itu tinggal di rumah dinas besar, di tepi jalan raya, di

tengah-tengah Kota Pati, karena kebetulan Papie sedang

menjadi Komandan Batalyon 443/Diponegoro. Anak Dan

FOTO: DOKUMENTASI KELUARGA

“Jangan Tidur Sore Hari” Raden Ayu Sri Marjati

“Selalu Diantarke Sekolah Naik Sepeda”

Raden Mas Sigid Agus HerjantoRaden Ayu Sri Marjati dan putri

Page 60: maestro pra terbit

60 MAESTRO, April 2009

Raden Mas Sigid Agus Herjanto dan istri

FO

TO

: DO

KU

ME

NTA

SI P

RIB

AD

I

A ATAS nama keluarga besar putra-putri Ibu

Tatiek Mardeo, kami mengucapkan terima

kasih kepada bapak-bapak dan ibu-ibu yang

turut hadir merayakan ulang tahun Ibu dan

Eyang kami. Seperti kita ketahui bersama, pada hari ini Ibu

merayakan ulang tahunnya yang ke-74.

Pada saat yang indah ini, kami ingin berbagi kebahagiaan

dengan bapak-ibu sekalian. Kami juga memohon doa

restunya agar Ibu kami selalu sehat walafiat selama

bersama putra-putri dan para cucunya. Selain kami ingin

berbagi kebahagiaan, kami juga memohon kesediaan

bapak-ibu untuk bersama-sama berbagi kebahagiaan

dengan kami. Selanjutnya, kepada bapak-ibu, kami

perkenalkan putra-putri Ibu bersama menantu dan cucu-

cucunya. Ibu mempunyai tujuh putra-putri dan seorang anak

angkat dari kakak kan dung almarhum ayah kami yang

sudah diambil sebagai anak.

Saling Berbagi KebahagiaanRaden Mas Sigid Edi Soetomo

Yon kok berangkat ke sekolah diantar ibunya bersepeda?”

Memang, di rumah ada sebuah ji p dinas. Ketika suatu

hari hujan lebat turun, saya merengek-rengek kepada

Papie, ingin ikut naik ji p. Papie langsung memberi nasihat.

“Kendaraan ini milik negara, hanya Papie yang boleh

naik. Kamu memang anak Papie, tetapi sama sekali

bukan seorang tentara. Kowe ora pareng numpak ji p iki.

Mengkono uga Mamie, yo ora kena (Kamu tidak boleh

naik ji p ini, begitu juga Mamie). Karena sekarang sedang

hujan, berangkatlah ke sekolah mbonceng Mamie. Jangan

lupa bawa payung agar kamu tidak masuk angin,“ tukas

Papie…”

Salah satu yang sangat mengagumkan dari Mamie

ada lah kemampuannya mengelola. Beliau praktis harus me-

rangkap sebagai kepala rumah tangga sekaligus pengelola

ke hidupan sehari-hari di rumah dan pengatur kami semua.

Pa pie lebih banyak tugas di lapangan, menghancurkan PRRI

di Sumatera Barat, melawan pasukan Inggris di perbatasan

Ka limantan Barat, sampai menumpas gerombolan Kahar

Muz akkar di Sulawesi Selatan.

Yang ada di rumah, ya hanya Mamie sendirian, me-

rang kap aneka macam tugas. Mulai dari mengasuh

anaknya, ma sak, mencuci, mengantar ke sekolah, sampai

membantu me ngerjakan PR (pekerjaan rumah). Kami

semua tujuh ber sau dara, kok bisa ya? Semua pekerjaan

dirangkap oleh Ma mie sendirian. n

Page 61: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 61

Raden Mas Sigid Edi Soetomo, Mamie, istri, dan kedua putrinya

MAMIE sangat perhatian kepada semua putra-

putrinya. Sejak saya masih kecil hingga telah

jadi dewasa, Mamie tahu dan kenal dengan

semua teman-teman saya. Hal tersebut

“MamieSelalu Penuh Kejutan”

Raden Ayu Sri Setyaningsih

Dalam kesempatan ini, kami tak lupa mengucapkan

terima ka sih kepada ibu-ibu yang selama ini menjadi teman

ibu, yaitu ibu-ibu dari arisan, ibu-ibu dari Piveri, ibu-ibu dari

les grup Ing gris, ibu-ibu dari WIC, dan tamu rombongan

keluarga dari So lo.

Terakhir, sekali lagi, dalam kesempatan perayaan

ulang tahun ini, Ibu menginginkan kita semua saling berbagi

kebahagiaan. n

(Dikuti p dari sambutan RM Sigid Edi Soetomo saat re sep si

ulang tahun ke-74 KRAy Siti Hartati)

terjadi karena beliau selalu perhatian. Mamie mengenali

semua teman saya, karena mereka sering main ke

rumah kami semasa saya masih ikut tinggal di Semarang.

Entah ketika kami sama-sama belajar bareng atau ketika

mempersiapkan pesta.

Secara kebetulan saya termasuk cukup dekat dengan

beliau, karena kami punya hobi sama, yakni menjahit dan

mem buat kerajinan kristik. Saya suka menjahit dan juga

me nyulam kristik, justru karena dulu ketularan Mamie sejak

ma sa remaja. Kami malahan sering tukar pikiran mengenai

se liuk-beluk tehnik menyulam kristik yang sedang kami se le-

sai kan.…”

“Perhatian Mamie juga tercurah kepada semua cucu-cu-

cunya. Mamie dapat bergaul dengan cucunya seperti de-

ngan temannya. Semisal dengan putri saya Della. Mamie dan

Della dapat bermain game dan komputer bersama-sa ma.…”

“Tetapi, Mami juga penuh dengan kejutan.

Pernah sewaktu merayakan Lebaran, saat seluruh

keluarga kumpul, Mamie mendadak mengumpulkan

seluruh cucunya dan membuat undian. Sungguh luar

biasa, entah kapan beliau mengerjakannya? Saya

sendiri tidak dapat membayangkan bagaimana

Mamie menyiapkannya, mencari bahan-bahannya,

memilih warna, motif sekaligus membuat potongan-

potongannya. Mamie ternyata menyiapkan 13 selimut

hasil buatan tangannya sendiri, terbuat dari kain perca

handmade, kain pilihan. Itu merupakan sebentuk kasih

sayangnya kepada ke-12 orang cucunya. Semua cucu

mendapat bagian. Oleh karena masing-masing selimut

modelnya berbeda beliau pun melakukan undian.

Potongan kotak-kotak selimut tadi sangat rapi dan

memang luar biasa. Di dalamnya ada perpaduan unsur

ketekunan, kesabaran yang dibuat dengan penuh kasih,

penuh makna.”

Mamie sesungguhnya sumber inspirasi. Semangatnya

selalu membuat saya termotivasi. Cara beliau mendidik

anak, selain memberikan kepercayaan, juga tidak suka

mencampuri urusan rumah tangga putra-putrinya.

Self control beliau luar biasa. Walau memiliki

Page 62: maestro pra terbit

62 MAESTRO, April 2009

Raden Ayu Sri Setyaningsih, suami, dan putrinya

SEWAKTU masih remaja di Semarang, saya

sering begadang bersama teman-teman sebaya.

Namanya saja anak tentara, anak kolong, jadi

sering baru pulang ke rumah tengah malam,

“Ditunggu MamieSampai Dini Hari”

Raden Mas Sigid Rudi Gunawan

FO

TO

: KR

US

HA

RY

AN

TO

bahkan beberapa kali pada dini hari. Semula saya

enak saja, pulang, ketuk pintu, Mamie pasti langsung

membukakan pintu. Saya biasanya bertanya sambil

lalu, “Dereng sare Mie? (Mamie kok belum tidur?)“ Nada

jawaban beliau datar saja, “Durung.“”Lama-lama saya perhatikan, ternyata Mamie terus-

menerus berjaga sementara seluruh isi rumah sudah lelap

tidur. Bukan karena beliau tidak bisa tidur, melainkan

semata-mata menunggu saya pulang setelah begadang

keliling Semarang bersama teman-teman.

Baru saya sadar, ternyata Mamie menunggu saya

pulang tanpa sekali pun beliau marah. Pokoknya diam saja.

Dengan teladan semacam itu, akhirnya saya sadar sendiri

untuk meninggalkan penyakit keluyuran. n

Raden Mas Sigid Rudi Gunawan, Mamie, dan istri

kesempatan melakukan intervensi, beliau selalu mampu

menahan diri dan perasaan dalam situasi apa pun.

Seberat apa pun persoalan menghadang di depan

mata, bagi Mamie, tiba waktunya makan, ya harus

makan. Jika waktunya tidur datang, ya harus tidur.

Kebanyakan dari kita, kalau persoalan belum selesai,

langsung tidak enak makan dan tidak enak tidur. n

Page 63: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 63

KRMT Sigid Haryo Wibisonodan Mamie

Mamie, kalau menurut istilah Jawa, mungkin

bisa kita sebutkan sebagai sosok yang gede

prihatine, jembar wawasane. Maknanya,

praktis sepanjang hari, pada segala waktu,

dalam setiap saat, beliau selalu menjalani laku. Senantiasa

berusaha untuk bisa memahami segala macam peristiwa

yang terjadi berikut aneka macam persoalan yang datang

kepadanya. Sikap semacam itu memang hanya bisa

dilakukan oleh seseorang yang diberi sebuah karunia

pengetahan luas serta sanggup menahan hati, untuk tidak

hanyut jika menghadapi persoalan.

Memang, dari luar Mamie nampak diam. Tetapi, hal

tersebut jangan ditafsirkan bahwa sama sekali beliau tidak

tahu dan tidak berbuat apa-apa untuk menyelesaikannya.

Sesungguhnya, beliau selalu tahu apa yang terjadi, apa

yang kita perbuat serta sedang menimpa diri kita, sebagai

orang-orang yang ditadirkan dekat dengan beliau. Oleh

karena secara kebetulan memang menjadi putra-putri

beliau. Mamie selalu tahu, memprihatinkan, dan secara

langsung pasti ikut nyenyuwun karo sing gawe urip,

meminta tolong kepada sang pemberi kehidupan, meminta

bantuan agar peristiwa yang menimpa kita, tingkah laku

buruk yang telah kita lakukan, sebaiknya bisa diakhiri,

minimal bisa segera kita akhiri.

Oleh karena itu, diamnya Mamie sama sekali bukan

diam karena beliau tidak tahu dan tidak mengerti.

Tetapi, diam karena sudah tahu dan justru merasa

prihatin, mengapa hal semacam itu sampai terjadi dan

ikut menimpa. Dengan demikian, sebagai putra-putrinya

seyogyanya kita harus bisa membantu Mamie, dengan

tidak ikut membebani beliau lewat berbagai persoalan

remeh-temeh yang sebenarnya sudah harus bisa kita atasi

sendiri. Misalnya saja, dengan sebentar-sebentar mengadu

kepada Mamie, atau setiap kali menghadapi beban,

“Mamie Sosok Penuh Laku” Kanjeng Raden Mas Tumenggung

Sigid Haryo Wibisono

langsung merengek-rengek kepada Mamie.

Langkah seperti di atas, jelas hanya akan menambah

beban kepada diri beliau. Kita yang sudah menjadi

bertambah usia dan sudah menjadi dewasa, sesudah

diasuh sekian lama diantar, dilindungi, dan dididik sendiri

oleh Mamie, seyogyanya sudah paham serta bisa

menyelesaikannya sendiri persoalan-persoalan kita.

Mengapa masih tega serta malah ikut-ikutan menambah

beban Mamie?

Kehidupan Mamie selama ini sudah penuh dengan

keprihatinan. Sudah sekian lama beliau menanggung

beban dan sanggup menahan itu semua tanpa mengeluh.

Tetapi justru dengan tersenyum. Mengapa kita masih

tega menambahi lagi dengan kesedihan-kesedihan baru,

dengan keprihatinan-keprihatinan baru, dengan persoalan-

persoalan yang seharusnya bisa kita selesaikan sendiri?

Kini, waktunya kita untuk memuliakan Mamie dan bukan

malah menambahinya dengan beban-beban baru, beban

yang bisa kita selesaikan sendiri. n

MAESTRO, April 2009 63

Page 64: maestro pra terbit

64 MAESTRO, April 2009

Merdeka Grup’s Grand MotherBelum tentu semua orang

tahu harga cabai hari ini. Tidak

demikian dengan ibu sepuh

yang satu ini. Di usia

79 tahun, ia tetap intens

mengikuti perkembangan

pasar. Ia tetap gaul dan rajin

membaca. Maklum Mamie

adalah Merdeka Grup’s Grand

Mother.

Page 65: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 65MAESTRO, April 2009 65

FO

TO

: KR

US

HA

RY

AN

TO

Page 66: maestro pra terbit

66 MAESTRO, April 2009

PAGI hari awal April 2009, melintasi

Jalan S Parman, Semarang, sekitar

200 meter dari Hotel Gracia, saat

berkunjung ke rumah nomor 60,

K R Ay Siti Hartati Mardeo yang akrab

dipanggil Mamie muncul dengan sikap

bersahaja. “Silakan, silakan, “ katanya

tatkala menyambut tim MAESTRO.

Duduk satu meja bersamanya serasa meneguk

air di tengah kehausan. Tutur katanya bernas dan

meluncur teratur. Dalam usia 79 tahun, pendengaran

dan penglihatannya masih bagus. Giginya tampak putih.

Ia pun belum memerlukan bantuan kacamata dalam

berkarya sehari-hari. Guratan tanda-tanda kecantikan masa

remajanya tetap terpancar saat tertawa lepas. Proses

penuaan hanya selintas tampak pada rambutnya yang

memutih kapas.

“Saya sudah punya 12 cucu dan satu cicit dari anak

kandung, ditambah satu cucu dari anak angkat,“ kata

Mamie membuka percakapan. Ke-12 orang cucu dan

seorang cicit itu buah dari pernikahan ketujuh anak

kandungnya.

Apa rahasianya dalam menjaga kesehatan? Mamie

mengemukakan, ia biasa minum ramuan jamu-jamu Jawa.

Satu lagi, “Bagi saya, yang penting adalah berserah diri.

Pasrah. Apa yang ada kita syukuri. Jangan menginginkan

sesuatu yang melebihi batas ke mampuan kita. Apa yang

ada kita terima dan syukuri. Saat memohon kepada yang

di atas, saya hanya minta cukup. Cukup itu artinya luas.

Intinya kecukupan. Per ta nya an yang sama juga sering

diajukan ibu-ibu teman saya. Resepnya apa? Saya bilang

resepnya cuma pasrah.“”

Faktor lain yang membuat Mamie lebih bugar

dibandingkan ibu-ibu seusianya, ia selalu bergerak dinamis.

Mamie tidak suka diam dan pasif. “Tetapi, kalau anak-anak

pulang ke sini, lalu melihat saya beres-beres atau bersih-

bersih, mereka melarang saya. Anak-anak yang disuruh

mengerjakan. Padahal, saya melakukannya dengan ikhlas,“ ucapnya.

Mamie mengaku paling suka tinggal di rumah.

Pengakuan ini senapas dengan pernak-pernik rumah

kediamannya yang tertata apik, penuh kesibukan. Banyak

hal yang dapat ia lakukan di lingkungannya dan ia tangani

sendiri. Memandang halaman rumah dari luar pagar atau

dari teras, yang sebagian ditanami pepohonan rindang

dan bermacam bunga. Menuju pintu utama rumah, sebuah

kolam ikan dengan air mengalir, menimbulkan bunyi musik

alam yang nyaman di telinga. Mengurus tanaman dan ikan

jadi sebuah kesibukan yang menggairahkan hidupnya.

Masuk ke dalam rumah, selain berbagai kenangan

manis bersama suami tercinta, Mamie terbiasa mengisi

waktu senggang dengan mendengarkan musik

kesukaannya. “Saya paling suka mendengarkan lagu

Rangkaian Melati, Bunga Kemuning, dan lagu kesayangan

almahrum Papie, Permata Hatiku....“…”

Bosan menikmati lagu-lagu kenangan, seperti tidak

pernah mau ketinggalan zaman, Mamie sanggup berlama-

lama di depan komputer untuk menulis surat atau main

game. Mamie mengaku paling senang bermain Zuma.

“Sejak Harian Merdeka diambil alih Sigid Haryo

Wibisono putra bungsunya, kesibukan Mamie bertambah

satu. “Setiap pagi saya membaca Merdeka, “ ungkap

Mamie. Aktivitas membaca bertambah satu karena Mamie

sejak lama berlangganan Penyebar Semangat, mingguan

berbahasa Jawa terbitan Surabaya. n

Bagi saya, yang penting adalah berserah,

pasrah. Artinya, apa yang ada kita syukuri, jangan

menginginkan sesuatu yang melebihi batas dan

kemampuan kita. Apa yang ada itu kita terima dan

syukuri.

““

Page 67: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 67MAESTRO, April 2009 67

FO

TO

: KR

US

HA

RY

AN

TO

KRMT Sigid Haryo Wibisono, putra bungsu KRAy Siti Hartati Mardeo yang juga pemilik PT Pers Indonesia Merdeka, penerbit Harian MERDEKA, Majalah MAESTRO, Portal merdekanews.com.

Page 68: maestro pra terbit

68 MAESTRO, April 2009

Lampu Teplok Untuk Bibik dan Sari

BIBIK memang keras hati. Sebagai anak

bungsu, ketika dia tumbuh menjadi

dewasa, Papienya sudah menjalani masa

pensiun. Situasi tersebut membuahkan

keuntungan, dia kemudian malah paling akrab dengan

Papienya, karena Mas Mardeo waktu itu sudah tidak

lagi harus bertugas di segala penjuru Tanah Air, untuk

melakukan berbagai macam operasi militer. Hanya saja

ruginya, meski saya tahu Bibik tidak pernah mengeluh, dia

tidak bisa ikut menikmati, atau minimal masih terlampau

kecil, ketika Papienya mengalami kejayaan.”

Ketika Papienya tutup usia, hanya saya dan Bibik

yang menunggu di rumah sakit. Sekitar setahun sesudah

Mas Mardeo tutup usia, Bibik diwisuda, lulus sebagai

sarjana ekonomi dari Universitas Diponegoro, Semarang,

berbarengan dengan Sari, istrinya.…”

Kisah percintaan mereka menarik. Setelah lulus SMA,

waktu mendaftar di Undip, Bibik tidak diterima. Maka dia

nekat pindah ke Jakarta, ikut kakaknya, masuk di Fakultas

Ekonomi, Universitas Trisakti. Sementara pendaftaran Sari

diterima. Dia menjadi mahasiswa jurusan teknik kimia…Sejak kecil saya sudah tahu, Bibik tidak pernah kenal

dengan istilah menyerah setiap menghadapi kendala.

Maka saya juga tidak heran, setahun kemudian dia mengulang mendaftar di Undip, pada fakultas yang sama,

fakutas ekonomi. Kali ini dia diterima. Saya terharu sekali

setelah diberi tahu keberhasilan tersebut. Tetapi saya juga

kaget, ketika kemudian tahu, pada saat yang sama Sari

memutuskan pindah dari teknik kimia ke fakultas ekonomi,

agar tetap bisa bersama-sama Bibik. Tadinya saya

sebagai orangtua hanya bisa mbatin, kok Bibik karo Sari

saben ndina runtang-runtung terus. Wah, ternyata mereka

memang satu fakultas.”Mamie mengunci kalimatnya dengan berfalsafah, seluruh

anak dan juga semua menantu, saya anggap teplok

(lampu minyak dengan nyala api terlindung gelas kaca).

Seorang ibu harus terus-menerus rela sekaligus bersedia

membersihkan semprongnya, dari langes dan segala

macam kotoran, agar kaca lampu tersebut selalu jernih,

bening, sehingga nyala apinya sempurna, bisa memberi

sinar penerang ke sekitarnya n…”

Nasihat dari KRAy Siti Hartati

68 MAESTRO, April 2009

KRMT Sigid Haryo Wibisono dan istri

Page 69: maestro pra terbit

MAESTRO, April 2009 69

Page 70: maestro pra terbit

70 MAESTRO, April 2009