lelaki di payudara ibunya

Upload: ms-arifin

Post on 13-Jan-2016

83 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Prosa ini hadir atas dasar kebutuhan, bukan keinginan. Bukan pula atas dasar keinginan untuk butuh, tidak juga karena butuh untuk berkeinginan. Saya gambarkan keadaan itu setelanjang-telanjangnya, terbebas dari semua atribut. Kebutuhan saya: mencintai wanita itu di atas semua keinginan. Maka tak heran, selalu, bagi saya, hadiah ulang tahun untuk seseorang yang saya cintai mendadak menjadi perkara yang tak mudah. Ada kalanya, saya berpikir bahwa puisi atau sajak mampu mewakili segala kejutan. Tetapi, di waktu yang lain, saya tersadar: kata-kata nyaris tak sanggup mewakili semua makna.Sementara itu, bersikap untuk tak berkata apa-apa juga problematis. Bagi seseorang yang hampir tak mau akrab dengan sembarang wanita, ibu saya adalah orang yang mengajari saya dua hal: berkata atau diam. Barangkali sebelum saya mencintai seorang wanita, ibu saya adalah satu-satunya orang yang mengerti keadaan saya bahkan ketika saya diam. Keadaan pun berubah ketika seorang wanita itu datang; ia bukan bermaksud mengganti ibu saya, akan tetapi ia melengkapi rasa syukur saya kepada takdir. Dengan begitu, kebutuhan saya untuk mencintai ibu saya hampir setara dengan kebutuhan saya mencintai wanita itu.Lelaki yang di payudara ibunya itu adalah saya. Kenapa payudara? Barangkali karena waktu kecil kebutuhan kita akan payudara lebih dari kebutuhan kita akan bedak. Sampai menginjak dewasa, sialnya saya tak bisa lepas dari payudara ibu saya itu. Saya dibuat betah di sana, dibuat tak mau pindah rumah. Keadaan itu bergeser lima senti semenjak wanita itu hadir. Wallahi, wanita itu bukan bermaksud mengganti payudara ibu saya. Ia hanya bermaksud menawarkan kenyaman lain yang asing tapi membuat saya betah. Ia sama dengan ibu saya di satu hal: saya sama-sama butuh akan keduanya.Dengan demikian, pertanyaan kenapa prosa ini hadir di hari jadinya boleh jadi sudah menemui jawaban yang sublim. Sebab jika boleh mengutip Nietzche, kebutuhan untuk berkehendak adalah puncak dari semua yang fenomena di dunia ini. Kebutuhan tak bisa dipisahkan dari yang butuh. Itulah hukum alam yang tak bisa digugat. Hanya saja, semua prosa yang mampir dalam buku ini mendadak tak mampu menjalankan fungsinya dengan semestinya: menyampaikan makna yang ingin saya sampaikan kepada wanita itu. Pungkasnya, meminjam frasa Emha Ainun Najib (dengan mengubah kata ‘puisi’ dengan kata ‘cinta’): “[…] cinta yang kusembunyikan dari kata-kata.” [*]

TRANSCRIPT

  • M.S. Arifin

    Lelaki di Payudara Ibunya

    Sekumpulan Prosa

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    2

    Daftar Isi Membelah Diri dalam Cermin / 3 Perempuanku / 4 Peta dalam Mata / 5 Secangkir Teh Susu dan Beberapa Manfaat dari Meminumnya / 6 Sebuah Kalam untuk Mengakhiri Malam / 8 Bukan Sajak Hapalan / 9 Tiga Rahasia / 10 Abrasi Mimpi / 11 Suatu Nanti / 12 Surat Terbuka Buat Kekasih / 13 Kekasih / 16 Surat Panjang dari Seseorang yang Hampir Gagal Memahami Hidupnya Buat Kekasihnya

    yang Telah Tahu Musti Bagaimana Memahami Hidup / 18 Sembahyang / 22 Sepanjang Tuhan yang Tak Bertahun / 24 Tentang Lelaki di Payudara Ibunya dan Kenapa Harus Menulis ProsaSebuah Epilog / 33

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    3

    Membelah Diri dalam Cermin Sedang dengan cermin aku enggan berbagi, katamu. Kau kubayangkan tengah menentang kau sendiri di dalam cermin itu. Kala kau kemasi dukamu, kau bungkus kesumatmu, kau kebiri apa-apa yang nengok hanya untuk buat kau jadi kelana. Kau memang tak semena bisa menduga bahwa sesiapa di sanadi cermin buram itu, adalah bukan dirimu. Atau jangan-jangan, dia adalah dirimu yang lain, yang diam-diam menjadi seperti kau. Aku kira, kau kedahuluan penyair lain dalam mengambil sikap tentang dirimu yang kau temui dalam cermin. Kau terlalu pesimis. Bukankah pada cermin kau dapat belajar bertanya kepada diri sendiri? Lantas bisa jadi kau akan tahu kenapa hanya cermin yang tak sanggup bohong. Kau tahu, cermin tak bakal mau membodohi kau kecuali jika kau pun memasang muka bodoh di depannya. Kemari, ingin aku kasi kau telapak tanganku, biar dapat kau tatap-lekat apa yang ada di situ. Bercermin sepuasmu. Rabai wajahmu, mulutmu, rambutmu, hidungmu, matamu, kupingmu, rabai. . Tapi, adakalanya kau benar juga. Ada yang tak bisa kau bagi dengan cermin; duka. Cermin memang selalu bodoh. Itulah sebabnya ia tak bisa membodohimu. Kau lebih dulu tahu, cermin tak pernah teriak/ ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terisak/ meski apa pun jadi terbalik di dalamnya. Kau mampu membaca ini 70 tahun yang lalu. Melampaui pemikiran ajaib tentang bias-bias bianglala. Aku sedikit terkesima denganmu, sedikit. Sebab, yang sebenarnya aku sayangkan, kau selalu tampak terlalu ekspresif bahkan saat di depan cermin. 2014

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    4

    Perempuanku Perempuanku kicau murai, derit pintu rumah tua, kepak ushfur, kerling lintang kemukus, dekapan horizon, pelukan orion. Kau kunamai mimpi bunga-bunga, semakin tak terkata andai pun kau disulam oleh suara malam. Perempuan, kau tak kumaknai semati tugu, sejulang menara, kekar mercusuar. Kau, padamu seluruh bentang alam. Jagat manggut jagat renggut. Kau kuyakini sebagai perempuan. Sebab, bisa jadi, aku tak mengenal perempuan lain selain dirimu. 2014

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    5

    Peta dalam Mata hello kairo Malam. Jika kau tak segera menemu taksi, lantas bergerak menjauhi jalan youssef abbas, melaju menuju thariq nashr, dapat dipastikan kau akan tidur dan mendekap angin sendirian. Itupun masih bisa dikatakan kau mujur. Kau tak pernah bisa menduga jangan-jangan akan datang menghampirimu lima pemuda yang haus tubuh, haus daging. Mereka tak segan-segan melahapmu seperti saat mereka menelan thajin. Membayangkan itu, kau jadi menggigil. Kau lirik alrojimu dengan seksama. Sudahlah, waktu tak akan bisa menyelamatkanmu. Kau membayangkan sedang duduk di dalam kotak besi yang merangkak di atas lajur bawah tanah. Negeri yang lalu-lalang ini, kadang tak begitu ibu. Kau mendesis. Lalu kecewa. Jangan berpraduga, sayang. Itu tak membuat bahumu lebih ringan. Malam ini, kusarankan, lihatlah peta dalam matamu. Lihatlah si merah, jalan menuju rumah. Lihatlah si hitam, jalan menuju malam. Lihatlah si putih, jalan menuju kasih. Lihatlah si kelopak, jalan menuju barak. Lihatlah si pupil, jalan menuju hasil. Lihatlah si lensa, jalan menuju cinta. Lihatlah si matamu, di situ, ada peta menuju rumahku. 2014

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    6

    Secangkir Teh Susu dan Beberapa Manfaat dari Meminumnya hello maroco Pada secangkir teh susu, kau benamkan ampas-ampas ngilu yang serasa ingin kau buang ke dalam bak sampah di sudut dapur tempat kau menggoreng kenangan. Adonan teh, susu, gula, dan sedikit rasa pahit hidup kauseduh di atas bara api serapah. Sambil ikut kau didihkan pula airmatamu, kalau-kalau kan kau temui beberapa letupan-letupan kecil dalam panci besi. Harap-harap cemas, berkali-kali di matamu tergenang bait-bait nestapa yang diapit dua kelopak bunga. Lalu, seperti menyusun sederet menu minuman, kaususun beberapa pertanyaan ringan tentang beberapa hal yang juga ringan: Berapa kilo kautaburkan butir-butir kenangan? Kau tak sanggup menghitung butir-butir kenangan yang kautaburkan secara perlahan ke dalam secangkir teh susu itu. Barangkali kau lebih suka menghitung berapa kali kau aduk dukamu; kau mulai adukanmu dari kiri ke kanan atau sebaliknya; kau selingi dengan rapal doa atau kau jejali zikir-zikir kesumat. Kau tak begitu tahu, kenapa ada kenangan yang menceburkan diri ke dalam temperatur yang tinggi. Sebab, siapa pun tak mungkin bodoh, percik-pernik api bisa saja tanpa segan meleburnya jadi abu. Tapi semua dirasa tiada penting ketimbang betapa tersiksanya ia tersesat di dalam plastik pembungkus yang hanya berakhir di tempat sampah sampai ke pabrik daur-ulang. Ia tahu, tak ada kenangan yang dapat didaur-ulang! Mungkin itu sebabnya, ia lebih memilih kau taburkan ke dalam secangkir teh susu. Berapa liter kau tuangkan airmata-airmata? Jika ada airmata yang tersesat, maka airmatamu itulah yang jadi entah bodoh entah lugu. Airmatamu leleh sendiri-sendiri satu-satu seperti ribuan kelereng yang jatuh dari genggaman anak kecil; gemerincing membentur ubin; gemeretak melabrak-labrak angin. Kau sendiri menjadi seperti piatu tentang bagaimana cara membendungnya. Bersama dendam yang kau katup-katupkan di kedua belah matamu, bersama itu pula kau tahu akan kenisbian lelehan airmata-airmata kala seseorang dipaksa membuat teh susu di sela-sela dadanya yang remuk! Berapa batang daun kau luruhkan serpih-serpih duka? Dirasa tak lebih memberi aroma kalau hanya daun-daun teh, kau tambahkan pula serpih-serpih duka yang dahulu pernah mengampas-getas di dalam mesin hatimu. Kau sungguh berjiwa rasa yang tinggi. Selain kerna kau mampu membedakan mana daun cinta mana daun murka, kau begitu lihai membedakan daun mana yang harus diseduh dengan airmata dan daun mana yang musti disingkirkan agar secangkir teh susu menjadi semacam utopia kesedihan. Barangkali kau pernah memahami satu hal: airmata kadang lebih berwibawa daripada tawa. Tapi kau tak mau menghayati bahwa: hal yang paling bisa membuatmu tertawa adalah muara airmata yang tak menemui lautan. Dan malam ini, usai kaubuatkan aku teh susu, lalu kuminum seseruput demi seseruput, aku ini jadi tahu diri; begitu tak manusianya aku yang dengan asik menari di atas dadamu sementara ia telah lebih dulu lebam sebelum aku menginjaknya. Teh susumu telah mengajariku beberapa hal: (i) Tak semua yang kau benamkan di dalam cangkir itu adalah ketulusan. (ii) Tak bisa kupungkiri

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    7

    ada banyak lawakan-lawakan ringan di atas letupan-letupan kecil saat kau menyeduh airmatamu. (iii) Kau adalah peracik teh susu terbaik yang pernah aku temui. (iv) Demi ikut menikmati setiap tetes teh susumu, aku harus melepaskan diri dari yang mereka namai cinta. 2014

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    8

    Sebuah Kalam untuk Mengakhiri Malam fajar shadik Saban malam, kau peluk nafas-nafasmu dalam sekam tiga-tiga; hampa dari dunia yang melukut di kedua-belah bibirmu. Dunia merekah, alam malakut minta barakah, manfisamak entah-entah. Tapi kau tak punyai itu entah; syak-wasangka atau praduga. Dalam genggamanmu, tiga-tiga hampa berporos pada jemari-jemarimu, berputar laiknya bumi. Pasti. Hamparan sajadah panjang, syair manis main-main dendang, cericit tikus di lumbung padi, membungkus sepimu, sunyimu, sepi-sunyimu. Kau rasai bulir embun dengan lidah manis berjumbuh dengan dedaun lunglai diterpa sisa dingin. Kau sebut malam punyai ranjang tak kalah panjang dari sajadah. Tapi kau serasa enggan selaras menidurinya, menabur benih-benih mimpi di atasnya. Kau lebih terpukau dengan cahaya yang bikin silau. Kau tak hanya ingin mencintai malam. Kau telah mencintainya, dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu; dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Tapi kau telah dan memang tak akan mengatakannya. Hanya dengan tiga-tiga hampa dalam genggamanmu, kau bisa saja memilih tak sebatas titik pada bakbasmalah, kau bisai apa yang dalam angan seorang arif dikatakan: walau huruf habislah sudah/ alifbataku belum sebatas allah. Habis sudah ludas, tiga-tiga hampa dalam genggamanmu tuntas. Sisa dingin yang nempel rekat di dinding kamarmu, sisa mimpi di atas ranjangmu, sisa tinta di wadah tintamu, sisa huruf di lembar kertasmu, sisa alif di lafdzul jalalainmu, semua-muanya malu untuk tak mengakui: kau telah mengkhatamkan malam dengan paling dahsyatnya sebuah kalam: cinta adalah nuktah dalam bakbasmalah! 2014

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    9

    Bukan Sajak Hapalan Jangan kau hapalkan kata-kataku. Hapalkanlah rima detak jantungku yang membentur-bentur jarak, merengsek ke dalam dan lebih dalam lagi, ke puncak ruh, ke paling tepi dari mimpi. Hapalkanlah majas-majas dari mataku, pipihkan alam-alam, entah alam, alam entah, dan alam entah entah; majas dari mataku adalah ketika kau kuserupakan dengan warna hitam yang jatuh dari mata kita yang saling-tuju! Jangan kau hapalkan suaraku. Hapalkanlah irama denyut nadiku yang tambuh-tambuh, gaduh-gaduh, rengkuh-rengkuh; pompa-pompa kelenjar dalam diriku agar yang berdenyar dari debar selalu merasa mempunyai ruang semadi untuk menghalangi selainmu. Hapalkanlah nada-nada imajiku ketika ia menabung kata-kata yang tak sanggup terkata; supaya yang pernah kausebut sebagai ikrar adalah ia yang sebagai syahadatku akan adanya dirimu di setiap janjiku! Jangan kau hapalkan kekehku. Hapalkanlah apa yang kau kira sanggup membuatku memiliki bahgia meski sedemikan angkuhnya aku mencari musabab di mana kepedihan selalu aku ketengahkan. Hapalkanlah mataku yang menyimpan seluruhku, seluruhmu, seluruh kita; kau tahu, seluruh yang menjadi sepenuh adalah aku dan kau yang menjadi kita! 2014

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    10

    Tiga Rahasia Kau telah menelan kekataku sebelum sempat kubaca: bismillah, namamu purna terbelah! Kau mengapit kedua lenganku (tapi lebih tepat memapahku seperti orang buntung!) lalu kau katakan kepadaku beberapa rahasia tentang miniatur kesediahan; sambil susur-menyusuri pematang hatiku, kau sebutkan tiga rahasia itu: Pertama, kesedihan adalah rumput teki yang kita injak ini (kau mangatakan itu sambil mengarahkan matamu ke sebuah bukit dengan pohon randu yang mencengkram tepi jurang kecil, sementara telunjukmu terarah ke bawah kaki kita; rumput teki yang menjerit saat kita injak). Kedua, kesedihan adalah kisah-kisah seorang lanun yang terdampar di sebuah pulau tak bernama. Ketiga, kesedihan adalah layangan yang putus setelah berhasil mengangkasa lima hari lamanya. Rahasiamu menelan basmalahku. Dan kini, dengan hati-hati dan waspada, kau telan pula sebagian dari rasa sedihku. Tapi, ada yang terbelah dari namaku: kau tahu, namaku jadi kautakkauakutakaku! 2014

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    11

    Abrasi Mimpi Maukah kau mengikis batu-batu di rumahku, atau maukah kau memberet selaput mimpiku? Aku tak bisa tidur kalau tidak di rumah. Kau tahu itu. Aku pun tak bisa bermimpi jika rumahku kokoh dan kuat. Maka bantulah aku untuk pulang jika aku tak di rumah. Bantulah kikiskan batu-batu di rumahku jika aku di rumah. Dengan begitu, kau akan membantuku untuk tidur dan bermimpi. Setidaknya bermimpi untuk tidur. Atau tidur untuk bermimpi. Aih! Itu pokoknya! Hei. Aku harus tidur, aku harus bermimpi. Kau kutakutkan tak mau sedia membanting kelindan rasa dan kesepian yang berkerut-kerut di dahiku. Aku kau takutkan hanya sebidang resah menikmati uluran tanganmu untuk membantuku tidur dan bermimpi. Kutanyakan kepadamu beberapa hal: kenapa kau padaku begitu sungguh mau begitu? Bagaimana kau bisa memahami rumus kesepianku dalam mimpi? Lantas, kepada aku yang mana kau sediakan kedua tanganmu untuk kau tarik-ulurkan? Lama-lama kau membingungkan. Kau tambah kau sama dengan satu. Sementara aku tambah aku sama dengan dua. Kau atau aku yang satu-satu menjadi tidur dalam rumah. Aku atau kau yang dua-dua lindap ke selaput mimpi yang jadi semacam lapangan kemah? Mimpi mengalami abrasi. Atau abrasi mengalami mimpi. Aih! Itu pokoknya! 2014

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    12

    Suatu Nanti Suatu nanti, aku akan lupa bahwa aku pernah menulis puisi. Akan tak bisa kukembalikan ingatanku kepada yang bukan haknya; hak dari ingatanku adalah menyimpan yang bukan kata-kata. Hanya yang pernah menjadi kenangan yang mendapatkan tempatnya di sana. Jika kau puisi, jadilah kata-kata yang pecah di dada. Serpihan-serpihannya terhujani airmata, melumer, menjadi lumpur, menjadi genangan, menjadi kenangan. Tapi menjadi kenangan adalah bukan puisi. Suatu nanti, aku tak butuh puisi untuk mengingatmu. Suatu nanti, aku tak butuh kata untuk mengekalkanmu. Suatu nanti, aku tak butuh huruf untuk menitipkan rindu. Dan suatu nanti, aku tak butuh suara untuk melafalkan namamu di hari bahagia kita, kelak ketika yang pernah kita namai keluarga adalah aku, engkau, dan anak-cucu kita, juga puisi yang adalah yang bukan kata-kata. Kau lebih nyata ketimbang nyala puisiku. Lebih bara ketimbang unggun puisiku. Lebih panas ketimbang api puisiku. Kau, sekali lagi, berada di puisiku yang kau sendiri adalah puisi. Maka, aku tak perlu mengingat puisiku karena ia telah niscaya teringat tanpa diingat! 2014

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    13

    Surat Terbuka Buat Kekasih Tabik! Secangkir kopiku ludas, tinggal ampas. Tapi tetanyaku tak kunjung mampus dikoyak-koyak jawab. Pertanyaan tentang betapa tak tahu dirinya aku yang tak tahu keadaanmu dan memahamimu seperti aku memahami udara yang aku hidup semenjak aku hidup. Aku luluh, lantak, pecah, berdenyar dan padam; ambyar seperti butiran tasbih yang putus dari tangan seorang alim; atau ampyar seperti botol Wishky yang pecah di tangan seorang lalim.

    ** Mencintaimu atas dasar takdir lebih tak membuatku tenang ketimbang mencintaimu atas dasar keyakinanku betapa tak tahunya manusia tentang takdirnya. Betapa tak menahunya manusia atas takdir jodohnya, maka ia hanya butuh melaksanakan tuganya sebagai manusia: mencintai. Mencintaimu mempertebal ketegangan antara dunia roh (yang entah) dengan dunia nyata (yang begitu). Dunia roh adalah aku yang pasti juga mencintaimu sebagai enstitas yang tak terindra namun ada. Begitulah cinta menelikung di setiap sendi-sendi kehidupan manusia. Maka ketika aku ditanya kapan manusia mulai bisa mencintai? Maka aku jawab: Sejak Azali, sejak manusia ada di pikiran Tuhan. Dan jika aku ditanya sejak kapan cinta ada? Maka aku balik bertanya: Sejak kapan pastinya kau ingat pertama kali memakai celana dalam?. Malam, katamu, memberi jalan lebih dekat dengan surga. Benar. Malam ini, aku serasa lebih dekat dengan surga, seperti hanya sejengkal di depan mata. Tapi barangkali, surga yang aku maksud bukanlah surga yang ada dalam kepalamu; yang dulu ayah kita Adam dan ibu kita Hawa dipertemukan oleh Tuhan. Surga yang aku maksud adalah engkau, kekasih. Surga yang paling nyata adalah cinta kita, selebihnya hanyalah persepsi manusia yang rindu akan air yang mengalir deras yang di atasnya kita bebas melakukan apapun semau kita. Cinta enggan merangkak di antara jalur persepsi sebab ia bukan sebuah karya seni rupa. Malam yang tenggelam di legamnya secangkir kopi tak lebih tenggelam ketimbang aku yang bahkan larut dalam dirimu. Malam hari adalah waktu di mana seluruh ilham datang membeberkan rahasianya. Tapi malam bahkan tak lebih mengilhami daripada engkau, kekasih. Derit kasurmu adalah bait pertama puisiku. Lampu tidurmu adalah bait tengah puisiku. Tidur pulasmu adalah pamungkas puisiku. Bahkan dengkur lirihmu adalah judul puisiku. Saat kau mendengkur, suara seluruh jagad berkumpul dan berdebur. Dengan kata yang lebih ringkas, engkau adalah miniatur jagad raya. Engkau demikian luas dan cintamu terpenjara di kerdilnya aku.

    ** Kekasih, melalui jalan puisi aku mencari sebuah definisi; tapi bukan definisi cinta. Sungguh cinta telah selesai tanpa definisi. Aku mencari definisi dari ego, yang kerapkali menunggangi hati kita. Egokah ia ketika beberapa kali kata-kata mampat di bibir dan membentur-bentur lidah? Seluruhku lindap menyusun jawaban atas pertanyaan itu. Hendak kau bawa kemana definisi ego, kekasih? Apa kita harus mengutip Sigmund Frued dengan ego dan superegonya yang (katanya)

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    14

    melandasi ilmu psikologi? Sungguh, kita tak perlu tokoh siapapun untuk memahami ego. Kau dan aku lebih arif daripada siapapun. Maka ego adalah seperti genangan air yang menolak jadi suci. Kita telah menggenang sekian lama, kekasih. Segala yang tak beranjak akan kian membusuk. Jika kita tak semestinya diam menggenang, lantas kita harus mengalir kemana? Barangkali ini pertanyaanmu. Mari, kasi tangan. Kuajak kau mengalir ke derasnya arus cinta. Kau akan menemui beberapa air terjun, patahan-patahan dahan pohon, batu-batu besar, dan bahkan jamban bikinan orang tak bertoilet. Bersabarlah, kekasih ketika kau membentur batu, terseret arus, jatuh berderu di bawah air terjun dan terkena tinja buangan orang-orang tak bertoilet itu. Sesungguhnya yang demikian itu adalah tanda-tanda orang yang bersabar dan beruntung. Dan puisi mengajarikuuntuk malam ini, mengerucutkan ego. Ego atas kemungkinan terburuk dari takut kehilanganmu. Barangkali takut kehilanganmu adalah juga ego, tapi ego hasanah. Begitukah, kekasih?

    ** Malam semakin tenggelam ketika sayup-sayup kudengar derit kasurmu, menjerit minta aku. Aku masih di sini, berupaya mengusir kesepian dengan menulis puisi. Tapi bukankah kesepian tak bisa diusir sebab ia tak pernah datang atau pergi? Kesepian adalah aksiden, kekasih. Ia menempel. Bukan hakikat yang eksistensinya berdiri dengan sendirinya. Seperti puisi, kesepian butuh manusia untuk mengada. Aku tak hendak melengkapi kesepian ini dengan membiarkannya berkembang biak dalam rahim waktu. Aku akan membunuhnya, dengan suara keyboard baruku yang lebih berisik dari dengkurmu. Karena malam adalah cerita, maka aku bahagia. Teriamakasihku kepada Tuhan karena telah menciptakan malam dari mulut seorang perempuan. Dan terimakasihku kepadamu karena kau adalah perempuan dan aku bahagia karena telah mencintai perempuan. Malam adalah potongan-potongan kisah yang mandek di mulut seorang ibu ketika anaknya sudah terlelap. Begitu juga denganku, malam adalah mozaik-mozaik yang pecah di dalam sebuah kisah ketika aku memilih tidur membaur dengan fana daripada menyelam ke dasar ampas kopi yang pahit. Kekasih, jika tidur dan terlelap adalah jalan lain untuk menujumu, aku tak hendak dan menolak bangun dan sadar. Tapi benarkah ada jalan lain untuk menujumu selain puisi?

    ** Sudah sampai di pangkal subuh ketika kata-kataku perlahan rubuh. Tak ada yang berhasil dipertahankan oleh malam kecuali sisa-sisa harum embun yang kian menebal di kaca jendela kamar; juga sebuah puisi yang membentuk rumus dan teka-teki mengenai begitu arifnya malam membaca huruf-hurufku. Selesaikah puisiku di pangkal subuh, atau justeru baru saja hendak seluruh? Kekasih, demi suara lirih dengkurmu, ijinkan aku mengabadikanmu dalam puisiku: hayal lepas dari harapan malam terembus

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    15

    oleh sisa-sisa sia-sia yang kita tanam di depan rumah kita pagi menjulang di mercusuar harap lepas dari hayalan kita pun menunggang matari dan membikin rumah lain di cahaya lain; cahaya petromaks misalnya kerna nyatanya kita tak butuh cahaya untuk membangun rumah kita barangkali semua hanya hayal dan hayalan, seringkali lepas dari harapan tapi bukankah kita pernah hidup dalam hayal dan justeru mati dalam harap?

    ** Kekasih, secangkir kopi memang telah ludas dan beralih menggenang di mataku. Dan kau berhasil mengasah penaku hingga landep. Tak perlu kau berburuk sangka kepada penaku. Ia akan tetap menjadi bagian dari caraku untuk menulismu, meski tak pernah sesempurna adamu. Hilangkan gelisahmu, kekasih. Kukirimkan sepucuk surat untukmu demi menuntaskan dahagamu akan kata-kataku. Tak muluk-muluk; semata agar aku masih kau akui sebagai surya yang sebentar lagi akan terbangun dari lelapnya. Tapi tunggu dulu, kau masih harus tertidur di atas kasurmu yang berderit ditemani seberkas cahaya lampu tidurmu sambil tetap mendengkur lirih. 2014

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    16

    Kekasih Musim dingin. Dalam kamar; leptop masih menyala dan youtube memutar lagu-lagu mendayu; printer yang bobrok di sisi meja belajar; lampu yang semakin lelah memberi cahaya; seorang pelamun yang tangannya tiada bisa lepas dari keyboard yang bergemeretak seperti gigi anak kecil saat dimandikan ibunya pagi-pagi. Puisi-puisi tercampakkan di rak buku, tercibir dan asing. Pemiliknya memilih minggat dari kata-kata dan bercerai dengan huruf-huruf. Ia rindu desis lirih dari kekasihnya yang tengah merawat abjad, merangkainya dalam ingatan. Ia ingin, sesekali saja, tidak melakukan apapun demi apapun. Ia ingin lepas dari paham apapun tentang alfabeta: kegaduhan surga-neraka. Tapi kata memang tercipta dan nyata. Huruf-huruf membentuk sesuatu-sesuatu. Membentuk pula suatu keadaan dan nilai, juga definisi dan situasi. Kekasihnya biarlah merawat kata-kata. Ia tetap ingin tercampakkan dari dunianya. Ia ingin, meski sedetik, menjadi entah siapa yang tak peduli rumus serta aturan. Namun bisakah yang demikian terjadi? Ia ingin, dan seperti jutaan keinginan lainnya, maka sah untuk tidak terjadi dan terkabulkan. Kata-kata telah membentuk dirinya yang entah.

    ** Masih dingin. Selimut tipis berusaha memberi api, memberi hangat. Angin mengelus jendela kamar. Seperti menggedor-gedor. Suaranya yang hampir tak terkatakan itu melulu hanyut ke dalam hati pemilik jendela yang tengah terjebak di tidak adanya pilihan. Ia tak mau apapun selain kekasihnya bersedia merawat taman bebunga yang ia tanam di hatinya. Ia ingin kekasihnya tak berkata apapun ketika matanya dan mata kekasihnya ingin berkata lebih banyak daripada huruf. Ia mau mengabdikan dirinya hanya untuk kebahagiaan kekasihnya. Selebihnya, jika ada bahagia yang berhasil ia dapatkan, tak lain pasti bersifat semu belaka. Kekasihnya merawat kata-kata di dalam buku-bukunya yang tertata rapi di samping tempat tidur. Bangun tidur adalah soal mimpi yang ia bawa dari kata-kata. Selain tak ada alasan kenapa kata-kata jadi mimpi, tak ada alasan pula kenapa ia tak kunjung bertemu kekasihnya. Ia merasakan rindu yang asing, rindu yang ambigu.

    ** Tetap dingin. Sirine ambulan meraung dari jauh dan memberi sedikit nada pada keyboard-nya yang tak beraturan menimbulkan nada. Ia memang tengah dan selalu terjebak di antara tombol-tombol yang perlahan-lahan ia hapal letak-letaknya. Ia ingin sesekali lepas dari bagian hidupnya itu. Tapi ia justeru tak ingin sekalipun lepas dari bagian hidupnya yang lain: kekasihnya, yang tengah merawat kata-kata dan melantunkan abjad-abjad. Tiba-tiba keyboard-nya berhenti. Kata-kata mampat di dalam otaknya, dan enggan untuk dituliskan. Ia memang tengah labil dan penuh hasrat dan emosi. Ia ingin menawarkan kepastian di tiap tulisannya, tapi ia gagal. Ia selalu membawa tulisannya ke dalam labirin dan goa yang jauh. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa tulisannya membuat pembaca yakin. Ia tak berhasil. Ia telah lama mencampakkan ilmu logika dan filsafat.

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    17

    Lagu-lagu mendayu dari youtube ia pause. Ia tak bisa menulis dengan ditemani sekecil apapun suara. Ia ingin menulis ketenangan yang purna, ia ingin kedamaiaan yang ajaib. Ia telah lama tak jadi penyair yang gandrung sepi. Ia bukan lagi sahabat sunyi. Kekasihnya tengah berdamai dengan kata-kata. Sementara ia mencoba untuk bercerai dari kegaduhan kata-kata.

    ** Selalu dingin. Ia ingin menjebak mimpinya ke dalam dunia nyata. Ini parodik sekali. Ia tengah menghayal dan tak tahu caranya menyadari kenyataan. Hidup begitu menawarkan kepahitan. Kata-kata motivasi dari jejaring sosial seperti kode butut lotre. Ia harap-harap cemas dengan keberuntungan di dalamnya. Kata-kata membentuk ingatan. Hanya kata-kata. Sebab ia tak pernah mencoba berdialog dengan mata, dengan sentuhan, dengan belaian. Ia sama sekali piatu dari semua itu. Hayalan, pada akhirnya menjangkitinya dan membuatnya sakit parah. Ia telah diambil-alih oleh hayalan. Ia tak terkesima lagi dengan kenyataan. Barangkali ia tak menganggap nyata apa yang ia temui kecuali kekasihnya yang tengah merawat kata-kata. Ia tertunduk penuh lesu. Hayalan jadi sintal dan molek di matanya. Ia butuh kenyataan yang mampu dirubah dengan hayal, atau kata-kata. Tapi ia sedang bertengkar dengan kata-kata. Maka ia butuh kekasih, yang masih sudi merawat kata-kata meski hari semakin larut. Lagu dari youtube ia putar lagi, meraungkan nada yang mendayu-dayu. Ini memang sudah saatnya lelap. 2014

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    18

    Surat Panjang dari Seseorang yang Hampir Gagal Memahami Hidupnya Buat Kekasihnya yang Telah Tahu Musti Bagaimana Memahami Hidup

    /1/ Malam dan mimpi seperti tak ada guna; tak mampu memadamkan gulita yang melilit otakku seperti gurita. Hampir. Sangat perlahan, aku hampir tersesat di labirin kehidupan yang kata mereka sangat absurd dan tak bermakna. Hidupku, kau tahu, tak lebih dari angka nol yang lupa akan satu. Semalam, ada yang mencoba menyalakan pekat di dalam otakku, merengkuh segala macam bentuk kepribadian diri yang aku asuh sejak dulu. Semestinya, aku berlabuh ke dermagamu, kekasih. Tapi aku mencoba tegar dan ingin percaya bahwa aku bisa sendiri menghadapi gulita yang bagai gurita itu. Dengan begitu, sebetulnya aku malu, yang dengan sok tabah seolah-olah bisa sendiri padahal aku sama sekali terliku di labirinku yang itu-itu; aku tak pernah beranjak dari otakku sendiri selama ini. Berlabuhlah aku di dermagamu. Haribaanmu masih sama, tak beda. Hanya saja barangkali ada yang berbeda dariku; selain bahwa tak ada keraguan sedikitpun akan cintaku dan setiaku padamu; aku lupa caranya menghibur diri dari hidup yang parodi ini. Semalam, otakku mencoba berkelekar, tapi basi. Basi. Lelucon hidup tak lebih dari permainan dadu di pasar malam gelap-gelap. Kekasihku, yang aku butuhkan kadang semakin membuatku asing dan eksil di matamu. Kau mengenalku tak cukup lama. Tapi seolah telah mengasuh hidupku selama separuh usiaku. Tak muluk-muluk, aku mencintaimu semenjak aku lahir. Sebab kekasih, cinta masa lalu tak lebih dari rencana masa depan sementara aku berencana mencintaimu melebihi usiaku saat ini. Kau mengenalku, kau tahu aku. Benarkah kekasihmu ini gagal memahami hidup dan lantas harus putus asa terhadap masa lalu dan takut menatap masa depan? Kau lebih tahu ketimbang aku, kekasih. Kekataku menunjammu; ia tahu harus kemana mendarat. Masalahku tak lebih banyak dibanding urusan hidup yang hampir saja tak aku pahami. Sama tak pahamnya aku terhadap kata-kataku sendiri yang kian bijak. Berlagaklah aku membaca tulisan-tulisanku yang dulu, dan kutemukan begitu optimisnya otakku. Bandingkan dengan otakku sekarang ini; ia tak lebih dari pakan asu yang ditinggalkan di pinggir jalan sampai membusuk. Maukah kau ambilkan otakku itu, kekasih?

    /2/ Ada seribu alasan untuk gagal. Ada satu alasan untuk berhasil. Ini anti mainstreamku, kekasih. Satu alasan kenapa harus berhasil? Ibu. Kau lagi-lagi menggunakan senjata ampuhmu; mengingatkanku akan perjuangan ibu yang dulu pernah aku tulis dalam catatan-catatan yang akhirnya membawamu kepadaku. Kau ingat kekasih? Kau begitu terharu membaca catatanku itu. Di luar itu, aku tak menyangka kau itu yang akhirnya akan tetap memelukku. Bilapun hidupku masih tak tentu, dengan prestasi akademik yang entah, dengan kondisi ekonomi yang mentah, dengan otakku yang kau hampir saja tak tahu kemana ia mengarah; tapi aku masih punya harapan di antara bangunan kata-kataku. Aku masih bisa menulis kata-kata bijak dan berlagak mewakili orang-orang yang senasib. Sementara itu, aku bisa tak henti-hentinya

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    19

    mengutuk diriku sendiri karena aku gagal dalam membuat kata-kata yang mampu mewakili nasibku. Kekasih, benarkah ada yang perlu aku yakini di dunia ini? Jika hanya kau keyakinanku, bawa aku ke jalan keyakinan akan apa yang telah kauyakini. Kau tahu musti bagaimana memperjuangkan hidup. Bawa aku kesana. Kau tahu musti bagaimana memandang kegagalan. Bawa aku kesana. Kau tahu musti bagaimana memaknai usaha. Bawa aku kesana. Kau tahu musti bagaimana memperjuangkan keyakinan. Bawa aku kesana. Kau tahu musti bagaimana menjadi diri sendiri. Bawa aku kesana. Bawa aku kemanapun kau suka. Kepasrahan adalah kata-kata yang gagal menyampaikan makna. Aku sepasrah huruf yang kaulantunkan; sepasrah kata yang aku riwayatkan, sepasrah bibir yang enggan kau lepaskan. Bila pasrah adalah jalan tebaik untuk menujumu, aku akan lakukan semampuku. Tentu, kau tahu, tingkat kemampuanku seberapa besar. Kekasih, ubahlah cara berpikirku dalam memandang dunia. Aku ingin menjadi keyakinan yang senantiasa kau perjuangkan. Jika kau keyakinanku, aku harap akulah keyakinanmu. Dengan demikian, kita akan sama-sama saling memperjuangkan. Tapi, kekasih, keyakinan justru lantas hampir redam setelah aku gagal memahami diriku sendiri dan dengan demikian hampir gagal memahami hidup. Kau tentu akan menyekalku dan mengatakan: cara berpikir orang berpendidikan dan berpendirian bukan seperti itu. Tapi mungkin saja kau tak sekeras itu, kekasih. Boleh jadi kau hanya akan memegang tanganku seraya berkata: aku akan senantiasa bersamamu sampai jika pun kau gagal percaya akan diriku. Tuhan memberi apa yang aku butuhkan. Kau memberi apa yang aku inginkan. Jika tuhan mengijinkan aku mencintaimu melebihi dirinya, aku akan lakukan. Tapi tentu tuhan akan tak mengijinkan hal itu. Barangkali aku cukup mencintaimu sedalam apa yang sanggup dijangkau oleh otakmu. Cukup.

    /3/ Ingatkan aku, kekasih: darahku darah Zuhdi, seorang yang tak pernah menyerah dengan keadaan. Ia pernah terasingkan, terkucilkan, dan terusir dari tanah kelahiran menuju tanah rantau di Sumatra. Zaman PKI ia berada di garda paling depan. Tak hanya itu, masa ninja, ia paling getol melindungi para kiai. Kau tahu, aku sekali pernah melihat abahku menangis. Dalam keadaan apa? Dalam keadaan mengenang Mbah Zuhdi. Abahku bilang, ia belum menemukan orang yang seperti Mbah Zuhdi. Mbah Zuhdi, ceritanya, hampir selalu tahu apa yang dipikirkan anaknya. Sekali lagi, ingatkan darah Zuhdi mengalir di darahku. Jika belum ada yang mewarisi wibawanya, aku akan mewarisinya. Jika belum ada yang mewarisi intelektualnya, aku akan mewarisinya. Jika belum ada yang mampu mengasuh ribuan santri seperti dirinya, aku akan mengasuh puluhan ribu santri. Jika belum ada yang mati dalam keadaan dikenang sepanjang usia, aku akan mati dan dikenang sepanjang waktu. M.S. Arifin, jika hanya mengaji kitab kuning, bukankah daramu darah Zuhdi? Jika hanya soal itikad NU, bukankah daramu darah Zuhdi? Jika hanya soal puasa muteh dan mbisu, bukankah

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    20

    darahmu darah Zuhdi? Zuhdimu, telah terbaring lebih dulu, di sana, di tanah yang hampir tenggelam oleh amuk alam. Kau bisa, kau mampu, kau sanggup. Alasan apalagi yang kau buat killah?

    /4/ Ingatkan aku, kekasih, kepada ibuku yang tiap hari mengayuh sepedanya menuju, kata orang, ladang rezeki. Ibuku, kau tahu, lebih tak mampu melihat anaknya menangis daripada harus kehujanan di saat musim hujan dan kepanasan di saat musim kemarau. Ia lebih tak mau anaknya menanggung keinginan untuk sekolah di luar negeri daripada memaksakan diri naik haji. Ibuku, kau tahu kekasih, adalah wanita yang pernah aku kecewakan. Untuk itu, apakah airmata sanggup membayar penyesalan? Tak sanggup, kekasih, airmata hanya menunda khilaf. Ia lebih butuh melihat anaknya mapan dan tercapai semua keinginannya daripada melihat anaknya menangis menyesali perbuatannya yang dulu-dulu. Ibuku, kau tahu, adalah wanita yang meminjam lengan tuhan untuk membelaiku dengan kenyamanan. Ingatkan aku kepada ibuku yang tak tahu soal lain selain jumlah uang yang berhasil ia kumpulkan di ember hijau di pojok warungnya. Ia sungguh tak mau tahu betapa gemuruhnya dunia luar. Ia lebih nyaman memandang anaknya lewat layar datar dan melihat anaknya gemuk. Ia lebih mau melihat anaknya tidur dengan nyenyak di musim dingin. Pipiku basah dan airamataku menjadi sah saat menangisi perempuan tua itu. Aku masih ingat dengan apa, yang begitu lugunya ibuku khawatirkan, setelah aku tak di rumah: siapa yang nanti membantu ibu saat pergi ke pasar? Ibuku, ia telah aku ajari membawa sepeda motor. Dengan begitu, ia tak perlu khawatir lagi kakinya kena pedal sepeda yang lancip. Ibuku, kau tahu, masih dan akan selalu begitu: menjadi ibu yang dirindukan anaknya. Maukah kau menjadi ibu seperti ibuku, kekasih? Ibuku, kau tahu, adalah alasan kenapa aku harus bangkit dari tidurku. Ingatkan aku akan dirinya, kekasih, selalu, sepanjang kau ingat aku.

    /5/ Ingatkan aku kepada abahku, kekasih. Lelaki pendiam yang selalu diam-diam menyimpan wajahku dalam matanya itu sekarang sudah tua. Ia hampir saja kena PHK karena perusahaan tempat ia bekerja gulung tikar. Ia sekarang di rumah, menggembala beberapa ekor kambing yang pada lebaran lalu sudah ada beberapa yang ia korbankan. Ia diam. Tapi ia selalu tahu yang terbaik buat anaknya. Ia tahu harus menjemput anaknya sepulang kuliah. Ia tahu apa yang anaknya butuhkan di perantauan. Kekasih, bagaimana mungkin aku tak rindu kepadanya? Bagaimana mungkin aku sanggup menodai perjuangannya? Ingatkan aku akan dirinya. Ingatkan. Kekasihmu ini adalah kekasih yang sering salah sendiri.

    /6/ Kekasih, bertahanlah aku sebagai orang yang ingin menjadikanmu sebagai yang halal bagiku. Jika kau bisa yakin denganku, tolong yakinkan aku bahwa aku yang terbaik buatmu. Maka demikian,

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    21

    aku tak musti sibuk menggigil dalam ketidak-pastianku. Kau bisa selalu memelukku dan memberiku kenyamanan setelah aku gagal memahami apapaun dari diriku. Cinta selalu berlaku sebagaimana mestinya. Mestinya aku harus memantaskan diriku untukmu dan kau bisa memulainya dengan meyakinkanku. Seperti sifat sempurna yang gagal merengkuhmu, setidaknya, dengan retak ini, kekasih, kau akan selalu menganggap aku manusia; selain sesekali aku akan menjadi malaikat buatmu. Kau tak perlu mengingatkaku akan dirimu, kekasih. Kata-kata yang kau hujankan kepadaku lebih dari sekedar cukup untuk membuatku tenggelam. Aku telah tenggelam dalam ingatanku. Semoga aku tak mati kehabisan nafas. Adalah barangkali aku tak lebih gagal dari luh yang mengganggu matamu. Aku tak lebih gagal dari suara tangis yang bergetar di bibirmu. Aku tak lebih gagal dari dadamu yang sesak. Aku tak lebih gagal memahami apa yang kau inginkan dari hidupku. Meski aku hampir gagal memahami hidupku, kekasih, tapi aku bisa belajar mulai dari saat ini dengan memahami matamu yang rembulan dan kepercayaanmu yang cahaya. Aku suka muluk-muluk dalam mencitaimu. Jika kau inginkan aku sesedarhana apa dalam memandang hidup, aku bisa belajar lagi dari mencintaimu; belajar mencitaimu seperti gerabah yang tak mau dibuat dengan gegabah; belajar mencintaimu seperti perahu yang ditingkap angin hingga goyang; belajar mencintaimu dengan mempercayai apa yang kau percayai. Kekasih, bantu aku. 2014

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    22

    Sembahyang Tak ada yang lebih dusta Selain bahwa mencintaimu adalah sia-sia. Ampuni masa laluku; kenangan yang aku tulis dengan pensil yang kapan saja bisa aku lenyapkan dengan penghapus. Aku telah tobat dari kenangan: selainmu adalah kekosongan. Sebelum aku datang kepadamu, aku memang memiliki cela, memiliki dosa. Maka aku tahu harus bagaimana agar aku-kamu [ketika menjadi kita] bisa selekasnya sembahyang; berwudu mensucikan diri dari kenangan dan dosa akibat tak saling-cinta semenjak kita untuk kali pertama mengenal cinta. Kamu menyebut cinta kita adalah sembahyang. Aku tahu, kamu tahu filosofinya lebih daripada kemampuanku menalarnya. Cinta kita adalah niat melupakan kenangan, sebelum kamu menyebut Maha besar cinta kita! [hubbuna akbar!]. Lantas kita mengawalinya [fatihah] dan percaya bahwa Hanya padamu aku jatuh cinta dan hanya padamu aku pantas merindu [iyyaka nuhibbu wa iiyyaka nasyuqqu]. Lalu kita saling mengirim surat: kamu memberiku sebuah kalimat yang indah: Bacalah! dengan menyebut nama cintamu yang suci [iqra bismi hubbika alladzi thahara]. Kamu mengajariku untuk merunduk [ruku] dan menyerahkan segala yang ada di tangan kita kepada Sang Maha. Kamu mendesis: Maha Suci cinta kita yang agung [subhana hubbuna al-adzim]. Semua yang pantas kita miliki adalah hanya karunia dan kita tak bisa menjaganya. Setelah itu, kita akan berhenti sejenak [thumaninah] kemudian bangkit kembali [itidal] sembari berdoa: Duhai Dzat yang memiliki segala cinta yang cintaku berada di tangan-Mu [rabbana wa laka al-hubbu al-ladzi hubbi biyadika]. Di situ kita sesungguhnya telah bersiap menjadi fitrah kita sebagai pecinta: sujud. Dalam sujud itu kita akan lebih dekat dengan cinta karena kita senantiasa menyerahkan segalanya tanpa ragu, tanpa malu. Kita telah mengakui bahwa kita tak punya daya apa-apa selain hanya sanggup berdoa: Maha Suci cinta kita yang tinggi [subhana hubbuna al-ala]. Kamu telah mampu memahamkanku bahwa aku akan lebih dekat dengan cinta ketika mengakui ketidak-berdayaanku di hadapannya; ketidak-kuasaanku menolak yang terkucur dari cawannya. Sebelum kita salam, sebelum percintaan kita usai [ingat, percintaan bukan cinta], kita punya penghormatan [tahiyyat] yang kita ucapkan dan menjadi tanda tak terpisahkan dari cinta kita. Aku berucap: Penghormatan yang suci dan kata-kata yang indah untuk cinta. Salam sejahtera untukmu wahai pecinta dan kasih sayang cinta dan keberkahannya. Salam sejahtera untuk kita dan untuk seluruh pecinta tanpa kecuali. Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada perempuan selain kamu dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada cinta selain cintamu. Cinta telah bersaksi untuk cinta kita dan cinta kita telah bersaksi untuk cinta mereka yang setelah kita. Semoga cinta memberkati kita dan memberkati para pecinta [al-tahiyyat al-muthahratu al-kalimatu al-thayyibatu li al-hubb. assalamu alaika ayyuha al-muhibbu wa rahmatu al-ahubb wa barakatuh, assalamu alaina wa ala al-muhibbin ajmain. asyhadu an la imraatan illa anti [Nizar Qibbani] wa asyhadu alla hubban illa hubbuki. syahida al-hubbu ala hubbina wa syahida hubbuna ala hubbi man badana. baraka al-hubbu alaina wa ala zumrati al-muhibbin].

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    23

    Dan kita mengucapkan salam untuk mengakhiri percintaan, bukan cinta. Sebab kamu pernah berkata kepadaku: Usia cinta lebih panjang daripada usia percintaan [Rendra]. Ya, aku iman atas itu. Tapi sebelumnya, maukah kamu mengampuni masa laluku? 2015

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    24

    Sepanjang Tuhan yang Tak Bertahun Tahun diciptakan Tuhan untuk membatasi usia, bukan cinta. M.S. Arifin

    [i] Seorang pasangan yang telah uzur ngobrol di balkon rumah, sambil memandangi cucu-cucu mereka yang bermain petak umpet. Di tengah-tengah percakapan, tiba-tiba sang istri bertanya: Kenapa tuhan menciptakan usia? Sang suami menjawab: Agar manusia tahu bahwa ia fana. Sang istri bertanya lagi: Tapi kenapa aku ingin mencintaimu meski aku bakal tak mempunyai usia lagi? Suaminya diam sebentar, kemudian berkata dengan lirih: Usia berada dalam cinta, bukan sebaliknya.

    [ii] Jika surat ini hanya untukmu, aku tak akan bicara banyak hal. Sebab semua terasa akan mampat sebelum menyentuh kata pertama. Tapi surat ini juga untuk anak-cucu kita, untuk orang yang mau belajar dari cinta kita. Maka sebelum aku tak mampu mewakilkan perasaanku lewat banyak kata, alangkah baiknya kita beri mereka sebuah mukadimah; cinta yang sejatinya dimulai tak dari ex nihilo, ruang hampa tapi dari proses. Banyak orang yang menjalani hubungan setelah ia bertemu, saling kenal dan kemudian jadian. Hanya sedikit di antara mereka yang mau bertaruh mencintai orang yang belum pernah dijumpai. Bertaruh? Ya, bertaruh menerima semua yang entah dari pasangan yang belum dijumpai itu. Kau berani bertaruh untukku: untuk seorang yang dulunya lebih akrab dengan payudara ibunya. Aku berani bertaruh untukmu, tanpa sebab, tanpa alasan. Barangkali karena cinta, tapi cinta bukan alasan, cinta bukan seperti bayanganmu yang ada karena dirimu berjemur di bawah cahaya matahari. Kekagumanku atas dirimu dimulai dari satu hal: kerelaan. Aku masih bersama orang lain, waktu itu, yang kau tahu sendiri, hubunganku dengannya sanggup bertahan lama karena tak pernah saling bersama: dan jangan-jangan tak pernah merasa saling memiliki. Kau sabar menanti. Tentu dengan linangan airmata yang kau sembunyikan di bantal tidurmu dan tak kau tunjukkan di depan mataku. Saat itu, kau mengajariku banyak hal dalam satu tindakanmu: ketabahan, kerelaaan, dan ketulusan Kau masih ingat, aku berani berjanji akan meninggalkan orang yang bersamaku dan beralih ke pelukanmu tanpa ragu. Kau tidak jahat, tidak ada yang jahat dalam cinta. Sebab Tuhan telah menentukan kepada siapa seseorang akan jatuh cinta, dan Dia memilihkanku cintamu. Dan di situ, kau tahu, ada dua hal: transenden dan imanen. Yang transenden adalah dipilihnya hatiku oleh Tuhan untuk mencintaimu. Yang imanen adalah aku harus memilihmu dan meninggalkan yang sebelumnya bersamaku. Aku memilihmu karena hatiku dipilih Tuhan. Bagaimana aku mampu mengelak pilihan Sang Maha Pecinta? Saat itu aku telah berbohong padamu: yang jika kau tahu, baru kali ini aku berani jujur. Aku berbohong padamu tatkala mengatakan bahwa aku cinta padamu. Aku telah berbohong. Karena sejujurnya, saat itu, aku ingin mengatakan: Aku amat sangat mencintaimu, sejak kata pertama

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    25

    yang meluncur dari perhatianmu yang hijau. Maafkan aku. Sebab jika tak kau maafkan, aku bakal tak tenang saat minum kopi. Maafkan aku, ampuni aku. [Betapa, kekasih, menulis adalah kegiatan mengingat. Orang akan mengingat-ingat ketika menulis. Tapi sampai halaman pertama, kau tahu, aku gagal mengingat-ingat tentangmu. Lantaran ingatanku akanmu adalah hal yang niscaya, tanpa sebuah usaha, tanpa kata kerja.]

    [iii] Pagi itu, kita disergap rasa ego. Kau tentu masih ingat, ketika aku dengan lugunya berkata: Setelah kau langitkan aku, kini kau berniat membantingku ke rebah tanah!? Kekasih, ada banyak cara untuk meyakinkanmu, tapi aku memilih untuk bertanya dengan kasar, dengan tidak sopan. Padahal kau telah berani menjanjikan sesuatu: kau akan bilang pada orang tuamu bahwa kau mencintai seorang pemuda. Aku sering khilaf, tapi kau memaafkan. Jika kau tahu, aku berjuang untuk percaya bahwa keluargamu seketat itu dalam memilih pasangan buat anaknya. Aku tak pernah berpikir sejauh itu ketika mengenalmu. Yang aku tahu hanyalah aku jatuh cinta untuk kali pertama kepada kata cinta yang kau tunda. Yang aku pahami, cinta memang acapkali durhaka. Bukan! Cinta tak pernah durhaka, tapi perbuatan kita yang bisa dinilai durhaka. Pungkasnya: aku belajar lagi, mencintaimu tanpa memaksa. Lagi, aku tak punya pengalaman kepada orang tua manapun. Aku belajar dari film dan sinetron dan buku, dan benar: orang tua pasti ingin yang terbaik buat anaknya. Begitu pula dengan orang tuamu, satu langkah kakiku untuk serius padamu haruslah dipertanggungjawabkan keseriusannya. Maka tak hanya kata serius yang aku siapkan untuk sowan kepada orang tuamu, namun juga kata atas nama dan doa dan harapan dan cita-cita. Toh, kita juga akan tahu ketika kita menjadi orang tua nanti: yang aku berharap orang tua yang sama-sama akan tahu itu adalah aku dan kau yang menjadi kita, kelak. Yang jelas-jelas riil, kekasih, mencintaimu bukan seperti pasar malam: riuh dan ramai tapi semu. Mencintaimu justru adalah semadi, munajat dan doa yang lirih. Dan urusan aku, kau, dan orang tuamu harus aku selesaikan dengan doa [dan tentu usaha yang mungkin baru kau lihat belakangan ini]. Aku tak mau lelah bermunajat untuk mempertahankan keseriusan kita.

    [iv] Bulan berkah itu, aku hampir kehilangan dirimu. Kepedihan hampir sepakat dengan kutuk-teluh yang aku sematkan kepada diriku sendiri. Kita tahu, waktu itu, kita sama-sama belajar bersikap. Aku masih menyapanya, sekedar untuk meringankan beban yang ia rasakan setelah ia menganggap aku bajingan, bukan berniat kembali kepadanya. Entah bagaimana, kau mengartikan sapaanku itu dengan arti yang lain. Memang, kekasih, lambat laun, dan terutama setelah kita belajar banyak hal, sikapmu dulu adalah ciri sikap orang berjiwa besar. Aku masih ingat, betapa bodohnya aku waktu itu. Sapaanku kepadanya terlalu berlebihan. Dan dia menganggapinya dengan tafsir yang barangkali menurutnya aku ingin kembali kepadanya. Ia keliru, kekasih: dan jika kau beranggapan sama dengannya, aku berani berkata: kau juga keliru. Tapi keliru adalah kata sifat yang tak pernah aku inginkan ia menyifati aku ataupun kau. Aku rasa cinta adalah sebuah proses tanpa jeda.

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    26

    Kau memaafkanu dan menerimaku tanpa pernah kau ungkit lagi masalah itu. Aku menangis, dan kelihatannya tak ada yang pantas aku kerjaan selain menangisi ketulusanmu: tangisan yang airmatanya putih. Sejak itu, kau tahu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tak akan pernah lagi mengulangi hal serupa. Aku menutup kamarku untuk perempuan lain dan aku tak peduli betapa angkuh sifatku ini. Aku tak mau kehilangan kasih hijaumu lagi.

    [v] Kenapa kita saling mecintai justru ketika orang berlomba saling membenci? Atau jika mereka saling mencintai, mereka sering berebut tempat untuk mencari alasan kenapa mereka mecintai. Kita memilih diam. Mencari alasan kenapa aku jatuh cinta padamu sama mustahilnya dengan memburu alasan kenapa aku tak mencintai selainmu. Barangkali benar kata penyair Siria itu, Gayath Al-Madhoun: aku tak menemukan sebab untuk mencintaimu; aku hanya mencintaimu, hanya! seperti halnya aku tak menemukan alasan untuk tidak mencintaimu Banyak orang bertahan karena keadaan selalu memberinya alasan kenapa ia harus jatuh cinta kepada seseorang. Itikad semacam itu membutuhkan dalil lagi, juga kesangsian: Bagaimana jika keadaan memaksa kita untuk tidak jatuh cinta? Dan ternyata aku mencintaimu justru ketika aku tak berhasil menemukan keadaan yang membuatku jatuh cinta padamu. Dan sekali lagi, hatiku telah terlanjur dipilih untuk memilihmu; tanpa alasan, tanpa sebab. Jika dipaksa, barangkali satu-satunya alasan kenapa kita jatuh cinta adalah cinta itu sendiri. Dengan mencintai kita merasa bahwa alasan hanyalah kemungkinan dari sebuah laku. Tanpa melebih-lebihkan, bahkan alasan hanya simbol dari keterpasrahan diri yang paling hina. Maka aku mencitaimu hanya karena aku jatuh cinta padamu. Dan jika kau mempertanyakan karena itu, aku akan menjawab: Karena aku jatuh cinta padamu. Dan kau pasti tahu hukum Daur dan Tasalsul dalam ilmu tauhid.

    [vi] Bicara padaku soal luh; soal air entah yang runtuh dari mata dan membikin kita tahu bahwa manusia dinilai dari yang demikian. Supaya aku tahu bahwa aku masih manusia, meski lelaki, yang masih punya tangis, berhak memiliki airmata. Bicara semampumu mengenai airmata. Dan coba kau bayangkan, kau terka, berapa ratus kali pipiku basah untukmu, demimu. Jika kau tak sanggup menghitungnya, cukuplah kau percaya, cintaku padamu tiada ragu tiada syakwasangka di dalamnya. Aku punya tangis ketika merindukanmu; aku punya tangis ketika kecewa dengan keadaan kita; aku punya tangis untuk menafsiri kesedihanku akibat kesedihanmu yang juga mengundang airmata; aku punya tangis ketika kau berkata 'tidak' untuk hal yang urgensinya tak bisa dibantah untuk kelangsungan hubungan kita; aku punya tangis untuk mempertahankanmu tetap dan bakal selalu di pelukanku; aku punya tangis nyaris di setiap yang aku kehendaki dari cintaku, maupun

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    27

    yang tidak. Hanya saja, kau tak perlu tahu kapan aku menangis. Apa aku menangis di depan Tuhanku? Kalau kau perlu jawaban, datangilah tiap salatku, tiap doaku, tiap zikirku. Menyebut namamu dengan pede di depan Tuhanku adalah keahlianku. Meskipun kau pernah (bahkan sering!) berkata bahwa aku harus mengurangi rasa pede itu dan berlaku sewajarnya saja kepada wanita yang belum tentu menjadi istriku. Kekasih, kau pernah mendengar ungkapan Sujiwo Tejo ini: Kau bisa saja berencana menikah dengan siapapun, tetapi kau tidak bisa berencana kepada siapa kau akan jatuh cinta? Yang aku tahu, justru karena aku tak merencanakan untuk jatuh cinta kepadamu yang menjadikanku iman kepada doa dan pengharapan atas Tuhanku; yang namamu selalu kukenalkan kepada-Nya dengan bangga. Kau pada akhirnya akan membiasakan diri dengan suara tangisku; dengan ratap, harap, permohonanku, dan rengkekku. Dan suatu saat, kau pun akan tahu: tak ada yang sia-sia dari airmata. Sebab begitu ia habis, Tuhan akan melimpah-ruahkannya kembali. Selama aku masih menangis untukmu, selama itu pula aku masih mencintaimu.

    [vii] Hari ulang tahunmu, di tahun jagungmu bersamaku, apa yang kau rasakan ketika pada hari itu, kau sudah memiliki rumah yang katamu nyaman? Hari jadimu adalah semacam jadi jembatan besar yang menghubungkan antar dua selat: selat tahun dan selat tuhan. Pertama, selat tahun akan senantiasa memberimu jalan untuk hidup dalam usia yang kian bertambah. Dengan artian, kau akan tahu musti berapa lama lagi kita akan bersama. Dan dengan demikian, permasalahan adalah pada kuantitas kebersamaan kita. Kedua, selat tuhan. Aku menyebutnya demikian karena selat inilah yang akhirnya nihil dari semua artikulasi; absen dari semua kecendrungan duniawi. Kau ingin cinta yang suci. Tahukah kau kekasih, bahwa cinta adalah suci secara a priori? Ada gema yang runtut menggetarkan kita pada hari jadimu, pun ketika aku, dengan dorongan kuat, hanya mampu menghadiahimu puisi yang tak terlalu puitis. Kekasih, minta apa saja kepadaku pada hari jadimu yang akan-akan datang, sebab aku begitu malu: aku tak mampu memberimu apa-apa pada hari jadimu yang lalu, selain cinta dan ketulusan. Dengarkan gema itu, kekasih, gema yang datang dari rasa maluku kepadamu.

    [viii] Syahdan, apa yang sanggup ditanggung oleh rindu, selain arus air pada sungai itu; ranting yang gegabah ditepuk angin; tikus kecil yang malu-malu pada orang-orangan sawah. Selebihnya: selalu tersisa ruang untuk semadi: dari berisiknya musik rock pada walkmanmu; jerit poci di atas tungku apimu; kematian yang menjelma sirine di mulut hitler. Kerinduan, katamu, adalah puisi yang buru-buru memuat definisi. Tapi ada tersisa cerita di sudut bibirmu yang rekah, sebelum jika kau jawab maka, sebelum kenangan kau carikan alasan. Kerinduan, katamu, adalah puisi yang tak membutuhkan kamus (kita cemas kalau-kalau, puisi akan diambil alih oleh kamus!).

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    28

    Kenangan, kekasih, memisahkan kita dari ambisi dan ego diri. Jangan kau kutip siapa pun! Tidak Sapardi tidak juga Seno: kenangan kita bukan milik bibir mereka. Biarkan aku yang mengatakannya padamu, meski selalu ada yang selalu gagal dikatakan sebelum kata terakhir: [] sajak yang memisahkanku dari rasa/ kangen/ dan keyakinan yang kau titipkan/ pada jaring laba-laba/ di sudut kamarmu.

    [ix] Cinta dengan sendirinya adalah memaafkan. Cintamu memaafkan separuh perjalanan kenanganku dengan yang selainmu. Kau tahu, aku terlampau banyak punya kenangan sehingga aku tak tahu dari sekian banyak kenangan itu apakah ada yang masih ingin kuingat. Cintamu memaafkan kehilafanku sebelum mengenalmu: bahwa aku pernah mencintai selainmu. Andai aku bisa meminta kepada tuhan, akan aku minta untuk tidak mencintai seorang wanita mana pun selainmu. Hanya saja, berandai demikian akan mempersibuk otakku yang sebenarnya telah riuh oleh namamu. Hanya namamu. Juga, cinta adalah permintaan tiada usai. Aku memintamu untuk tak meminta apapun. Kau memintaku untuk tak meminta apa-apa. Dengan demikian, permintaan selain dari tak meminta adalah permintaan yang bukan cinta. Amsal: aku tak memintamu untuk tak memintaku setia sebab tanpa kau minta pun kesetiaan adalah segalanya bagiku. Kekasih, itu yang kau lakukan kepadaku. Aku tak memintamu untuk menolak orang yang datang padamu itu. Kau sendiri yang mempertahankan hubungan kita dan membiarkan mereka yang datang padamu ingin serius untuk mundur teratur. Itulah cinta, kekasih, ketika tanpa aku minta pun kau akan melakukan yang sebenarnya aku harapkan. Terimakasih.

    [x] Kita punya doa untuk meminjam keyakinan nabi: bahwa aku dan takdirku adalah harapan kepada yang masa depan. Kau, yang aku ingin, adalah masa depan itu, masa depan yang bakal memisahkan kenangan buruk dengan amarah dengan kesumat dengan rasa jengkel menghadapi dua pertiga mimpi yang kian dan nyaris usai. Hanya milikku: sebuah doa yang rebah ke tanah sebelum daun jatuh membentur kerikil atau memukul air kolam yang di sana ikan-ikan sibuk menghabiskan hidupnya untuk menanti. Kekasih, apa yang aku punya selain pasrah dengan takdir jodohku? Barangkali ada yang lebih bisa aku lakukan selain pasrah: berusaha untuk pasrah itu sendiri. Kau tahu, pasrah adalah kata yang mudah tapi berusaha untuk pasrah adalah kosa kata yang banyak dijauhi orang. Pasrah tidak dengan sendirinya berusaha untuk pasrah. Aku mencintaimu dengan kepasrahan yang rebah meskipun dengan demikian aku juga berusaha untuk tidak pasrah karena rasa ingin acapkali menggandeng tanganku. Aku ingin memilikimu dengan kepasrahan yang berusaha untuk menjadi tabah. Mencintaimu mengajariku untuk mencintai orang yang mencintaimu. Ibuk-abah seolah telah menjadi bagian dari doaku yang tak terpisahkan dari mulut dan hatiku, juga Mbah Mun: yang aku yakin mendengar dan menjawab tiap fatihahku. Mencintaimu mengajariku untuk membenci apa

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    29

    yang kau benci: kau membenci banyak hal yang akhirnya aku kutuk untuk aku lakukan. Kekasih, punya daya apa lagi aku untuk tidak mencintaimu? Doaku sanggup melampaui rasa kangen yang tiada bosan melafalkanmu lewat bibirku. Doaku mampu bertahan tiap musim; meskipun hujan dan terik matahari memisahkan tiap musim dengan kerinduan yang tiada sama: sebab senantiasa melampaui kemampuanku untuk merindukanmu: sebab terlalu banyak airmata yang menggenang di pipiku: sebab terlalu lemah aku untuk menanggung semuanya sendiri: sebab aku tak punya rindu lain kecuali buatmu: sebab aku tak tahu kenapa rindu bisa membuat orang jadi sakit jiwa: sebab yang aku rindukan adalah kau! Selamatkan aku dari rasa kangen ini; rasa kangen yang memintaku untuk mendoakanmu tiap waktu. Selamatkan aku dari rasa gegabah menghadapi takdir; menghadapi kemungkinan paling buruk dari keputusan tuhan menurut otak kita. Siapa yang sanggup menyelamatkanku selain atasmu pula kau punya daya itu semua?

    [xi] Seorang Marco Polo pernah ditanya: Apa yang kau yakini sebagai dosa? Ia menjawab: Iman yang tergesa-gesa. Keimananku, keyakinanku akan cintaku terhadapmu tak pernah kenal justa. Cintaku tak bisa dinilai dosa; sebab ia adalah iman yang tanpa wasangka. Barangkali yang bisa kau katakan dosa terhadap cintaku ada: kenapa aku tak mecintaimu sejak dulu? Ah, tapi bukankah kata dulu adalah sepenuhnya penderitaan yang telah mati. Usia kita setelah sedetik sebelum detik ini telah mati. Namun kita yakin usia hanya membatasi percintaan, bukan cinta. Dosaku: kenapa aku tak mengenalmu sebelum aku kenal kata cinta? Sebelum aku mengerti betapa perihnya rindu betapa biadabnya kangen betapa kekanak-kanakannya sikap seorang pecinta betapa deritanya mencintaimu dalam diam. Dosa agungku: kenapa aku musti membawa masa laluku kepadamu sementara tak pernah benar-benar ada yang membuatku kepayang selain kau yang kini tak cuma membayang. Dosaku: kenapa aku tak bersyukur bahwa aku telah mencintaimu tanpa memprotes kenapa bukan dulu tapi sekarang? Pernahkan kau merasa dosa pernah mencintaiku? Dosa, kekasih, bukan terletak pada bahwa aku mcintaimu. Seperti halnya, dosa Adam adalah bukan terletak pada bahwa ia mencintai Hawa. Tapi dosa adalah ketika tak kita jadikan cinta ini sebagai zirah untuk menghindari Khuldi. Dosa, kekasih, adalah ketika tangan terlepas dari hati. Di hati kita ada kesucian cinta tapi di tangan kita ada sebilah pisau yang dapat mengoyak perut dan membludakkan darah dan membuat yang putih menjadi kotor yang suci menjadi najis. Kekasih, kita tak hendak membiakkan dan membiarkan dosa itu. Hati kita yang akan menjaga seluruh tubuh kita dari tak mematuhi tuhan.

    [xii] Rasanya hanya sepersekian persen dari entah berapa juta persen cinta yang masih bisa aku berikan untukmu. Karena lebih dari yang kau minta: ada kesaksian airmata yang belum mendarah-darah. Kita masih punya separuh cinta yang akan kita curahkan ketika aku datang untuk memintamu seatap denganku. Tapi di depanku: duri masih terlindungi cahaya dan rindu

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    30

    masih masygul dan rasa kangen masih bidah. Kapan adalah kata yang paling membuatku perih. Kapan kau kuhalalkan? Selebihnya: tersisa pengandaian-pengandaian yang kaktus dan harapan-harapan yang pasir. Dan akulah kaktus yang tersiksa di antara lautan pasir di gurun itu: menunggu tuhan menjadikanku buah cinta, seperti buah khuldi. Cintaku, kekasih, seperti tak pernah mau sepanjang usia adam, tak pernah mau sepanjang usia hawa. Ia mau sepanjang usia tuhan. Sepertinya aku harus melepaskan diri dari kekhawatiran yang berlebihan sebab tuhan telah menciptakan cinta dari rasa tabah. Bilapun kau bukan yang akan mendampingiku, tapi aku masih sanggup mencintaimu. Sebab, kekasih, dengan mencintaimu aku lebih berhak dikatakan memiliki daripada orang yang bakal memilikimu. Meskipun di sana ada derita; ada kepasrahan yang klise; ada remuk yang disembunyikan dari matamu. Aku hanya meminta ijinmu: aku minta kau ijinkan aku mencintaimu sampai aku tutup usia.

    [xiii] Majenun bukanlah sekedar dongeng: ia nyata. Ia kini tengah bertutur denganmu lewat tulisan ini. Ia adalah majenun yang mencintaimu tanpa koma, tanpa jeda. Ia adalah seseorang yang cukup merasa bahagia hanya dengan mencintaimu seumur hidupnya. Cukup. Sebab harapan seringkali membuatnya terlepas dari rasa syukur. Jika kau ingin tahu, sebenarnya ia berharap bisa mencintaimu sejak dan selama tuhan masih ada (dan kau tahu tuhan akan selalu ada). Ia sudah merasa puas dengan hanya mendengar suaramu meski jarak dengan tirani melarangnya untuk berjumpa sekedar menatap matamu yang surga. Ia tak pernah henti memaksa dirinya untuk puas dengan memandangi foto-fotomu tanpa memaksa kau akan ada ketika ia butuh kasih sayang yang hijau. Barangkali wanita setelah ibunya yang wajib ia sayangi adalah kau. Barangkali bahkan kau sepadan dengan ibunya: ia merawat raganya sedangkan kau merawat cintanya. Ia tak pernah puas mencintaimu; ia sekedar ingin puas dengan memandang matamu lewat gambar. Hanya seorang majenun yang mau mencintaimu tanpa bertemu. Singkatnya: kau harus menjadi majenun untuk mencintai majenun.

    [xiv] Cintaku seperti Gulumcan yang merobek-robek perasaanku ketika menulis tentang kita. Ia yang menemaniku airmataku; sehingga jika kau ijinkan aku selingkuh, aku akan selingkuh dengan Gulumcan. Dengan ini, aku ingin mempersembahkan lirik lagu (yang lagunya akan aku lantunkan ketika membacakan surat ini) untukmu. Kau tahu, tanpamu ku sungai kering Tanpamu ku ikan tanpa air Kau tahu, surga hanya tempat harap Sedang kau bagiku rumah pulang Kau tahu, setia embun hanya pagi Dan aku untukmu setiap hari

    Kau tahu, cinta angin hanya sentuh

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    31

    Dan cintaku padamu seluruh Kau tahu, tahun diciptakan untuk membatasi usia kita tapi bukan cinta Kau tahu, ombak di lautan itu bukan bandingan setimpal dengan cinta kita Hanya mampu mempersembahkan kado sederhana di hari kita ini. Selebihnya: cinta tak dinilai dari apa yang sering kau berikan kepada kekasihmu, tapi dari keniscayaan seluruhmu yang kau abdikan untuknya. Seperti sore hari yang niscaya akan mengulur bayanganmu sampai ke timur.

    [xv] Kekasih, bertahan berapa tahun lagi tubuh kita ini? Sedangkan cinta meminta usia lebih lama. Aku membayangkan kau dan aku akan tua, dan pikun stadium entah berapa. Kau bakal tak ingat apa-apa lagi tentang kenangan kita. Aku bakal tak ingat lagi kapan hari jadi kita. Yang berhasil sama-sama kita ingat hanyalah bahwa kita mencintai satu sama lain sampai tutup usia. Di hari tua nanti, aku akan berdoa pada tuhan agar kita mati bersama. Sebab aku tahu jika aku mati mendahuluimu, aku tak tahu apakah kau sanggup menerima betapa biadabnya perpisahan. Jika kau mati mendahuluiku, aku tahu: aku akan menerimanya sambil mengutuk betapa iblisnya kehilangan. Tapi kekasih, aku rasa esok kita tak akan tak sebijak itu. Aku atau kau yang mati duluan, aku yakin kita akan bertemu di tempat yang tak membatasi usia dengan tahun. Kekasih, akhirnya harus aku katakan, seperti juga kata Rendra bahwa: Usia cinta lebih panjang daripada usia percintaan.

    [xvi] Setelah banyak berkata, alhasil: cinta tak sesempit apa yang aku tuliskan di sini. Karena membahasakan cinta dengan sendirinya adalah mereduksi maknanya. Jika aku sanggup dan kau paham: aku ingin mencintaimu dengan kebisuan. Aku ingin tanpa aku mengatakan apa yang aku rasakan, kau tahu sendiri tentang itu. Tapi keinginan semacam itu hanya upaya untuk menyulap kita menjadi malaikat yang tak butuh aksara. Kita masih manusia, dengan demikian aku masih mencintaimu. Seperti apa yang lamat-lamat aku dengar dari Mbah Mun: Terus dan tetap anggap suami-istrimu itu manusia. Seperti halnya katamu, kekasih, cinta itu luas. Bukan sekedar ketika aku berkata aku mencintaimu lantas dengan demikian kita bisa menilai kualitas cinta seseorang. Cinta, kekasih, adalan membimbing, mengajari dan menuntun. Aku ingin merasakan keluasan cinta yang kau maksud. Sebab selama ini, kekasihmu ini seringkali salah paham: ia menganggap apa yang diucapkan adalah telah mencapai final, pungkas. Ia kini telah sadar: cinta itu luas.

    [xvii] Hari telah gelap. Pasangan yang telah uzur itu memasuki rumah setelah bercakap banyak hal sambil memandangi cucu mereka yang asik bermain. Mereka tidak tahu, di hari itu, tepat enam puluh tahun lalu, mereka menjalin kisah cinta. Mereka telah pikun terhadap nama, tanggal dan

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    32

    barangkali aksara. Ingatan mereka tentang huruf dan hari-hari telah lapuk tapi cinta di hati mereka tak kenal remuk. Di dalam rumah, setelah keduanya mengambil air wudu untuk shalat, mereka berdua saling tatap; tatapan yang sama dengan sekian puluh tahun lalu. Sang suami berkata: Maukah kau selamanya jadi makmumku? Sang istri menjawab dengan pertanyaan: Maukah kau senantiasa menjadi imamku? Mereka berdua tersenyum; senyum yang bakal mereka bawa sampai ke tempat di mana cinta dan usia tak kenal batas: haribaan tuhan. 2015

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    33

    Tentang Lelaki di Payudara Ibunya dan Kenapa Harus Menulis Prosa sebuah epilog Prosa ini hadir atas dasar kebutuhan, bukan keinginan. Bukan pula atas dasar keinginan untuk butuh, tidak juga karena butuh untuk berkeinginan. Saya gambarkan keadaan itu setelanjang-telanjangnya, terbebas dari semua atribut. Kebutuhan saya: mencintai wanita itu di atas semua keinginan. Maka tak heran, selalu, bagi saya, hadiah ulang tahun untuk seseorang yang saya cintai mendadak menjadi perkara yang tak mudah. Ada kalanya, saya berpikir bahwa puisi atau sajak mampu mewakili segala kejutan. Tetapi, di waktu yang lain, saya tersadar: kata-kata nyaris tak sanggup mewakili semua makna. Sementara itu, bersikap untuk tak berkata apa-apa juga problematis. Bagi seseorang yang hampir tak mau akrab dengan sembarang wanita, ibu saya adalah orang yang mengajari saya dua hal: berkata atau diam. Barangkali sebelum saya mencintai seorang wanita, ibu saya adalah satu-satunya orang yang mengerti keadaan saya bahkan ketika saya diam. Keadaan pun berubah ketika seorang wanita itu datang; ia bukan bermaksud mengganti ibu saya, akan tetapi ia melengkapi rasa syukur saya kepada takdir. Dengan begitu, kebutuhan saya untuk mencintai ibu saya hampir setara dengan kebutuhan saya mencintai wanita itu. Lelaki yang di payudara ibunya itu adalah saya. Kenapa payudara? Barangkali karena waktu kecil kebutuhan kita akan payudara lebih dari kebutuhan kita akan bedak. Sampai menginjak dewasa, sialnya saya tak bisa lepas dari payudara ibu saya itu. Saya dibuat betah di sana, dibuat tak mau pindah rumah. Keadaan itu bergeser lima senti semenjak wanita itu hadir. Wallahi, wanita itu bukan bermaksud mengganti payudara ibu saya. Ia hanya bermaksud menawarkan kenyaman lain yang asing tapi membuat saya betah. Ia sama dengan ibu saya di satu hal: saya sama-sama butuh akan keduanya. Dengan demikian, pertanyaan kenapa prosa ini hadir di hari jadinya boleh jadi sudah menemui jawaban yang sublim. Sebab jika boleh mengutip Nietzche, kebutuhan untuk berkehendak adalah puncak dari semua yang fenomena di dunia ini. Kebutuhan tak bisa dipisahkan dari yang butuh. Itulah hukum alam yang tak bisa digugat. Hanya saja, semua prosa yang mampir dalam buku ini mendadak tak mampu menjalankan fungsinya dengan semestinya: menyampaikan makna yang ingin saya sampaikan kepada wanita itu. Pungkasnya, meminjam frasa Emha Ainun Najib (dengan mengubah kata puisi dengan kata cinta): [] cinta yang kusembunyikan dari kata-kata. [*]

  • Lelaki di Payudara Ibunya

    34

    Dosaku: kenapa aku tak mengenalmu sebelum aku kenal kata cinta? Sebelum aku mengerti betapa perihnya rindu betapa biadabnya kangen betapa kekanak-kanakannya sikap seorang

    pecinta betapa deritanya mencintaimu dalam diam. Dosa agungku: kenapa aku musti membawa masa laluku kepadamu sementara tak pernah benar-benar ada yang membuatku kepayang selain

    kau yang kini tak cuma membayang. Dosaku: kenapa aku tak bersyukur bahwa aku telah mencintaimu tanpa memprotes kenapa bukan dulu tapi sekarang?