larangan perkawinan sesuku pada masyarakat hukum …digilib.unila.ac.id/37329/6/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
LARANGAN PERKAWINAN SESUKU PADA MASYARAKAT HUKUM
ADAT SUKU JAMBAK PADANG-PARIAMAN
DI BANDAR LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
Annisa Habibah Sahju
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRAK
LARANGAN PERKAWINAN SESUKU PADA MASYARAKAT HUKUM
ADAT SUKU JAMBAK PADANG-PARIAMAN
DI BANDAR LAMPUNG
Oleh
Annisa Habibah Sahju
Perkawinan sesuku merupakan suatu hubungan pergaulan dan perkawinan atau
pernikahan yang dilakukan antara laki-laki dengan perempuan Minangkabau yang
masih satu hubungan suku (sesuku). Masyarakat Minangkabau menganut sistem
kekeluargaan matrilinial. Perkawinan sesuku sangat dilarang keras oleh
masyarakat Minangkabau salah satunya yaitu suku Jambak rumusan masalah
pada penelitian ini adalah ketentuan hukum perkawinan adat Minangkabau, alasan
dilarangnya perkawinan sesuku dan akibat hukum terhadap pelanggar perkawinan
sesuku pada masyarakat suku Jambak Padang-Pariaman di Bandar Lampung.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif empiris dengan tipe penelitian
deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis
sosiologis. Data yang digunakan data primer dan sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, sekunder, dan tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan studi
kepustakaan dan wawancara. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan
data, klarifikasi data, dan penyusunan data.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa Ketentuan hukum
perkawinan adat Minangkabau suku Jambak tentang aturan larangan perkawinan
sesuku dalam masyarakat Minangkabau Menurut pada tambo Minangkabau, suku-
suku di Minangkabau bermula dari ketetapan Datuak Parpatih Nan Sabatang dan
Datuak Katumangguangan. Alasan dilarangnya perkawinan sesuku di masyarakat
suku Jambak mereka tidak tahu dengan prinsip Minangsawah nan bapamatang
(sawah Minang dan pematang sawah). Akibat hukum terhadap pelanggar yang
melakukan perkawinan sesuku pada masyarakat suku Jambak apabila perkawinan
itu dilakukan antara 2 (dua) orang yang memiliki hubungan darah maka sanksi
yang diberikan adalah buang saro. Apabila perkawinani itu dilakukan oleh orang
yang sesuku tetapi tidak memiliki hubungan darah maka setelah sanksi dijatuhkan
terhadap pelaku perkawinan sesuku akan dikucilkan dalam pergaulan hidup
bermasyarakat ia tidak dibawa sailia samudiak oleh orang kampungnya sampai ia
membayar denda yaitu mandabiah saikua kace dan mengundang ninik mamak
dalam sebuah perjamuan.
Kata Kunci : Perkawinan Sesuku, Adat Minangkabau, Larangan Perkawinan
Adat.
LARANGAN PERKAWINAN SESUKU PADA MASYARAKAT HUKUM
ADAT SUKU JAMBAK PADANG-PARIAMAN
DI BANDAR LAMPUNG
Oleh
Annisa Habibah Sahju
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis Annisa Habibah Sahju, penulis
dilahirkan pada tanggal 08 Oktober 1994 di Bandar Lampung.
Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari
pasangan Hi. Sutadi (alm) dan Hj. Kartini.
Penulis menyelesaikan Pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Padjajaran Bandar
Lampung tahun 2000-2001, Sekolah Dasar di SD Negeri 2 Rawa Laut (Teladan)
tahun 2001-2007, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 24 Bandar
Lampung tahun 2007-2010, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Perintis 1
Bandar Lampung tahun 2010-2013.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada
tahun 2013. Selama menjadi mahasiswi penulis terdaftar sebagai anggota
Organisasi Unit Kegiatan Mahasiswa Pusat Studi Bantuan Hukum (UKM-PSBH)
dan Hima Perdata 2016/2017.
MOTO
“Adat Basandi Syarak, Syarak Besandi Kitabullah”
(Adat yang didasarkan atau ditopang oleh syariat agama Islam yang syariat
tersebut berdasarkan pula Al-Quran dan hadist)
(Pepatah Minagkabau)
“Melak cabe jadi cabe, melak bonteng jadi bonteng, melak hade jadi hade,
melak goring jadi goring”
(Apa yang ditanam itulah yang dituai, kalau kita menanam kebaikan walaupun
sekecil elektron tetap akan dibalas kebaikan, kalau kita menanam keburukan maka
keburukan yang di dapat)
(Pepatah Sunda)
“Balas dendam terbaik untuk orang-orang yang telah menghinamu adalah
kesuksesan yang mampu anda menunjukkan kepada mereka di masa depan
nanti”
(Penulis)
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa puji dan syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dan dengan
segala kerendahan hati ku persembahan kepada :
Mama Hj. Kartini dan Apak Hi. Sutadi (alm) yang selama ini telah
membimbingku dengan penuh cinta kasih dan kesabaran, selalu setia
mendengarkan segala keluh kesahku, selalu memberikan kekuatan dari setiap do’a
yang selalu beliau panjatkan kepada Tuhan agar buah hatinya selalu dalam
lindungan-NYA serta selalu diberi kelancaran dalam setiap langkah untuk
menggapai semua mimpi-mimpiku. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
melimpahkan rahmat, nikmat dan karunianya kepada kita semua (Amin).
SANWACANA
Dengan mengucap syukur atas Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan berkat dan karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini yang berjudul “Larangan Perkawinan Sesuku Pada
Masyarakat Hukum Adat Suku Jambak Padang-Pariaman Di Bandar
Lampung” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Dalam penulis skripsi ini, penulis banyak mendapatkan ilmu pengetahuan,
bimbingan, dan masukan yang bersifat membangun dari berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Bapak Armen Yasir, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
2. Bapak Prof. Dr. I Gede AB Wiranata, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan
Bidang Akademik dan Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Lampung;
3. Bapak Dr. Sunaryo, S.H., M. Hum., selaku Ketua Bagian Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung;
4. Ibu Melly Aida, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik atas
bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menjalankan studi di
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
5. Ibu Aprilianti, S.H ., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan, motivasi dan
mengarahkan penulis sehinga skripsi ini dapat diselesaikan;
6. Ibu kasmawati, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan, motivasi dan
mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;
7. Ibu Siti Nurhasanah, S,H., M.H.,selaku Dosen Pembahasa I yang telah
memberiakan masukan-masukan yang bermanfaat dalam penulisan skripsi
ini;
8. Bapak Depri Liber Sonata, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang telah
memberikan masukan-masukan yang bermanfaat dalam penulisan skripsi ini;
9. Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
banyak berdedikasi khususnya Bapak/Ibu Dosen Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung yang selama ini telah memberikan
ilmu yang bermanfaat dan motivasi bagi penulis;
10. Mama Tercinta, pengorbanan dan perjuanganmu sangat luar biasa karena
telah membesarkanku dan mengasihiku dengan penuh kesabaran;
11. Abangku Aji Karyadi Sahju Amd,Tg., S.Km., M.M., terimakasih atas nasihat,
semangat,karena telah banyak memberikanku motivasi yang tak henti-
hentinya
12. Keluarga besarku, terimakasih atas segala bentuk dukungan, doa’a dan cinta
kasih untuk kesuksesanku;
13. Sahabatku Engrid Septa Reni S. Pd, Ema Sulistya Ningsih, Siti Agustina
Amd, Anisa Dea Nastiti S.H, Ria Maheresty A.S. S.H., terimakasih atas
motivasi, bimbingan,dukungan berkat semua nasihat dan semangatnya.
14. Teman-temanku Fifi Safita Denanti, S.Pd., Ines Lidya Nandatama, S.Pd.,
Cinde Lee Karimata S. An., Fitrah Warna Nabila Amd, Indah Nurul Fathia,
Widya Juliani, Tyas Arum Pratiwi mereka adalah teman-teman yang selalu
memberikan hal-hal yang membuat tertawa dan rangkulan kuat disaat
terpuruk.
15. Teman-teman KKN Desa Sumber Rejo, Misbahul Hayati, Lia Lionita H,
Shela Mei Inoritsa, Mita Indah Sari, Iban Kurniawan, Gesa Gilanda bersama
kalian semua akhirnya kita bisa menjadi keluarga yang utuh selama 40 hari,
terimakasih atas motivasi dan semangatnya;
16. Teman-teman HIMA PERDATA periode 2016/2017, terimakasih atas
kerjasamanya, kita semua adalah calon pemimpin-pemimpin yang hebat;
17. Teman –teman PSBH yang selama ini telah memberikan ilmu-ilmu, arahan
dan dukungan. Terimakasih juga atas motivasi yang selama ini diberikan
kepada saya sehingga pikiran saya menjadi terbuka untuk melihat dunia
nyata dan luas dengan persaingan.
18. Seluruh pihak yang terkait dalam penyelesaian skripsi ini: Tokoh Adat, Ketua
Himpunan Surau Paiaman, dan anggota perkumpulan Surau Paiman,
terimakasih atas kerjasama dan bantuannya;
19. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penulis menyelesaikan skripsi ini, terimakasih atas do’a, dukungan dan
motivasi kalian semua;
20. Alamater tercinta.
Semoga Allah SWT selalu memberikan balasan yang lebih besar untuk Bapak,
Ibu dan teman-teman semua yang telah membantu penulis. Hanya ucapan terima
kasih dan doa yang bisa penulis berikan. Dan semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat buat para pembaca semuanya.
Bandar Lampung, Oktober 2018
Penulis,
Annisa Habibah Sahju
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ..................................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv
SURAT PERNYATAAN ............................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vi
MOTTO .......................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ........................................................................................... viii
SANWACANA ............................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup .................................................... 10
1. Permasalahan .............................................................................. 10
2. Ruang Lingkup ........................................................................... 10
C. Tujuan dan Kegunaan ........................................................................ 11
1. Tujuan Penelitian ........................................................................ 11
2. Kegunanaan Penelitian ................................................................ 11
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hukum Adat ......................................................................... 13
B. Tinjauan Perkawinan Adat .................................................................. 14
1. Pengertian Perkawinan Adat ......................................................... 14
2. Pengertian Perkawinan Adat Minangkabau .................................. 16
C. Masyarakat Hukum Adat .................................................................... 18
1. Persekutuan Hukum Geneologis ................................................... 18
2. Persekutuan Hukum Territorial .................................................... 20
3. Persekutuan Hukum Fungsional ................................................... 20
4. Masyarakat Adat Keagamaan ....................................................... 21
D. Asas-Asas dan Bentuk Perkawinan Adat ........................................... 22
1. Asas-Asas Perkawinan Adat ......................................................... 22
2. Bentuk Perkawinan Adat ............................................................... 34
3. Akibat Hukum ............................................................................... 40
E. Kerangka Pikir ................................................................................... 41
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .................................................................................... 43
B. Tipe Penelitian .................................................................................... 44
C. Pendekatan Masalah ............................................................................ 44
D. Data dan Sumber Data ........................................................................ 45
1. Data Primer ................................................................................... 45
2. Data Sekunder ............................................................................... 45
E. Metode Pengumpulan Data dan Metode Pengolahan Data ................. 46
F. Analisis Data ....................................................................................... 48
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Ketentuan Hukum Perkawinan Adat Minangkabau Tentang
Larangan Perkawinan Sesuku ............................................................. 49
1. Suku-Suku Pada Masyarakat Adat Minangkabau ......................... 49
2. Ketentuan Hukum Adat Minangkabau ......................................... 58
B. Alasan Dilarangnya Perkawinan Sesuku di Masyarakat
Suku Jambak ....................................................................................... 65
C. Akibat Hukum Terhadap Pelanggar yang Melakukan
Perkawinan Sesuku pada Masyarakat Suku Jambak .......................... 70
V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan ......................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan masyarakat hukum adat pada dasarnya diakui dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 Pasal 18B ayat (2)
yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Pasal a quo menunjukkan bahwa
dimasukkannya masyarkat hukum adat dalam UUD 1945 merupakan wujud
pengakuan negara terhadap eksitensi masyarakat hukum adat.
Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 pada dasarnya tercantum dalam
pertimbangan hukum putusan Nomor 31/PUU-V/2007 yang telah diputus pada
tanggal 18 Juni 2008 menyatakan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat di
Indonesia dapat dibedakan atas kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat
territorial, genealogis, dan fungsional. Ikatan kesatuan masyarakat hukum adat
bersifat territorial bertumpu pada wilayah tertentu dimana anggota kesatuan
masyarakat hukum adat yang bersangkutan hidup secara turun-temurun dan
melahirkan hak ulayat yang meliputi ha katas pemanfaatan tanah, air, hutan, dan
sebagainya.
2
Ikatan kesatuan masyarakat hukum adat bersifat genealogis ditentukan
berdasarkan kriteria hubungan keturunan darah, sedangkan ikatan masyarakat
hukum adat yang ersifat fungsional didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu yang
menyangkut kepentingan bersama yang mempersatukan masyarakat hukum adat
yang bersangkutan dan tidak tergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah,
seperti Subak di Bali. 1
Masyarakat Genealogis adalah masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya
merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka
berasal dari suatu keturunan yang sama. dan strukturnya masyarakat hukum
geneologis (keturunan) susunan masyarakat hukum adat dibagi menjadi 3 (tiga)
bagian yaitu:2
1. Masyarakat patrilineal, yaitu susunan masyarakat dimana orang menarik garis
hukum dalam hubungan diri dengan orang lain melalui garis laki-laki.
2. Masyarakat matrilineal, yaitu struktur masyarakat dimana orang menarik garis
hukum dengan menggabungkan diri dengan orang lain melalui garis
perempuan.
3. Masyarkat parental atau bilateral, yaitu struktur masyarakat dimana orang
menarik garis hukum dan hubungan diri dengan orang lain melalui garis laki-
laki maupun perempuan. Pada masyarakat tersetruktur secara bilateral tidak
ada bentuk perkawinan khusus, begitu juga tentang tempat tinggal bersama
dalam perkawinan, tidak ada ketentuan yang jelas.
1 Disampaikan oleh Hakim Konstitusi Republik Indonesia Dr. Manahan M.P. Sitompul
pada Seminar Nasional Unit Kegiatan Mahasiswa Mahkamah Fakultas Hukum Univeritas
Lampung dengan tema “Dinamika Eksistensi Masyarakat Hukum Adat”, Bandar Lampung, Sabtu,
05 Mei 2018, pukul 10.00 WIB. 2 http://honeywhite93.blogspot.co.id/2012/12/susunan-masyarakat-hukum-adat.html,
diakses pada tanggal 01 April 2018, pukul 23.57 WIB.
3
Dalam membentuk masyarakat melalui perkawinan salah satu peristiwa penting
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Perkawinan merupakan tali
ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang diatur oleh aturan-aturan hukum, baik yang
tertulis (hukum negara) maupun yang tidak tertulis (hukum adat). Setiap manusia
memiliki hak untuk melangsungkan perkawinan sesuai dengan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 28B ayat (1) bahwa setiap orang berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.3
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang
selanjutnya disingkat UUP mendefinisikan perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.4 Menurut hukum adat, perkawinan bukan hanya
urusan dari seorang pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan.
Perkawinan merupakan urusan dari orang tua, urusan keluarga, dan urusan
masyarakat hukumnya. Pada umumnya, menurut hukum adat di Indonesia
perkawinan bukan saja sebagai perikatan perdata melainkan juga perikatan adat
sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan, atau dongan sahuta
(Batak). Perkawinan dalam arti perikatan adat adalah perkawinan yang
3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 28B ayat (1).
4 Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
4
mempunyai akibat hukum terhadap adat yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.5
Perkawinan dalam hukum adat adalah sesuatu ikatan antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang dilaksanakan
secara adat dan agamanya dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak saudara
maupun kerabat.6 Hukum perkawinan adat sendiri adalah hukum yang menjadi
kebiasaan masyarakat yang menjadi tingkah laku sehari-hari antara yang satu
dengan yang lain dan terdapat sanksi di dalamnya.
Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri untuk maksud
mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah tangga,
tetapi juga suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari
pihak perempuan dan para anggota kerabat dari pihak laki-laki.7 Terjadinya
perkawinan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu
dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, dengan terjadinya
perkawinan, maka diharapkan agar dari perkawinan itu didapat keturunan yang
akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat.8
Sistem perkawinan hukum adat terbagi menjadi tiga (3) bagian yaitu: endogami,
exogami, eleutherogami sistem perkawinan secara endogami dimana seorang laki-
laki diharuskan mencari calon isteri dalam lingkungan kerabat (suku, klen,
keluarga) sendiri dan dilarang mencari ke luar dari lingkungan kerabat, yang
5 Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia Eksitensi dalam Dinamika Perkembangan
Hukum di Indonesia (Bandung: Nuansa Aulia,2013), hlm. 279. 6 Soerjono Wignjodipoere, Asas-asas Hukum Adat (Jakarta: Gunung Agung,1998), hlm.55.
7 Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Perkawinan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm.70.
8
5
dimasa lampau nampaknya berlaku di daerah Toraja Sulawesi Tengah atau
dikalangan masyarakat kasta di Bali. Dan dalam sistem perkawinan secara
exogami dimana seorang laki-laki harus mencari calon isteri diluar marga
(klen,patrilinial) dan dilarang kawin dengan perempuan yang semarga, sistem
perkawinan ini berlaku di daerah Tapanuli Selatan, Minangkabau, Sumatera
Selatan, Maluku, dan beberapa daerah lainnya. Sedangkan sistem perkawinan
eleutherogami dimana seorang laki-laki tidak lagi diharuskan atau dilarang untuk
mencari calon isteri di luar atau di dalam lingkungan kerabat atau suku melainkan
dalam batas-batas hubungan keturunan dekat (nasab) atau pariparan (musyaharah)
sebagaimana ditentukan oleh hukum islam atau hukum perundang-undangan yang
berlaku.9
Masyarakat Padang salah satu struktur masyrakatnya adalah matrilineal bentuk
perkawinan pada masyarakat Minangkabau yang bertujuan mempertahankan garis
keturunan pihak ibu memandang masalah perkawinan sebagai suatu peristiwa
yang sangat penting. 10
Derasnya era globalisasi telah merontokkan nilai-nilai adat
budaya remaja Minangkabau. Khususnya fenomena kehidupan remaja (laki-laki
dan perempuan) yang sekarang telah terjebak dalam kehidupan bebas tanpa batas,
antara pergaulan bujang jo gadih ( bujang dengan gadis ) secara adat
Minangkabau. Pada akhirnya mereka melanggar pantang jo larangan adaik
(larangan dengan adik) hukum adat.
9 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti,1997),
hlm. 68-69. 10
Zuhrani, Serba-Serbi Hukum Adat (Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Bandar
Lampung, 2017), hlm. 30.
6
Mereka tidak tahu dengan prinsip Minangsawah nan bapamatang (sawah Minang
dan pematang sawah), mereka tidak tahu sehingga banyaknya catatan
penyimpangan yang terjadi akibat pergaulan bebas tersebut, berakibat maraknya
terjadi pergaulan dan kawin satu suku (sasuku). Perkawinan sesuku merupakan
suatu hubungan pergaulan dan perkawinan atau pernikahan yang dilakukan antara
laki-laki dengan perempuan Minangkabau yang masih satu hubungan suku (satu
marga).
Menurut Prof. Damsar, jika orang dilarang kawin sasuku disebut larangan
eksogami marga, sedangkan di Minangkabau garis keturunan berdasarkan garis
keturunan ibu, maka disebut larangan eksogami matrilokal. Sehingga nikah
sesuku bukan kontek perkawinan halal dan haram., tapi perkawinan yang
dibangun atas dasar raso jo pareso (perasaan dengan tenggang rasa) dan sumpah
atau kesepakatan dalam aturan baku para nenek moyang. Dalan hukum warih nan
bajawek (waris yang harus dijawab) yang dijalankan dan dituahi oleh penghulu
atau ninik mamak sekarang. Larangan perkawinan sesuku tersebut bagi
masyarakat Minangkabau akhirnya wajib. Karena, masyarakat Minangkabau
memandang bahwa hubungan sasuku merupakan hubungan satu keluarga,
hubungan dekat. Sehingga, hubungan perkawinan yang masih dalam kategori
sasuku dianggap terdapat pelanggaran adat.
Sehingga, perkawinan sasuku menjadi penting disikapi oleh para penghulu atau
ninik mamak, ketika ada pelanggaran yang dilakukan oleh sanak kamanakan,
maka sanksi adat akat dijalankan secara tegas. Namun meski sudah terdapat
larangan mengenai larang perkawinan sesusuku, ada saja masyarakat yang
melakukan perkawinan sesuku ini diluar daerah Padang Sumatera Barat apabila
7
perkawinan sesuku tersebut dilanggar, maka pasangan yang melakukan
perkawinan akan diberi sanksi adat, yaitu sanksi nan dibuang jauh, disangai indak
baapi, di gantuang tinggi dak batali. Artinya dimana orang yang melakukan
perkawinan sasuku tersebut akan diusir atau dibuang dari suku oleh penghulu atau
ninik mamak. Atau salah satu dari pasangan itu mengganti suku. Itulah ketegasan
sanksi adat dari perkawinan sasuku yang ditegakkan di Minangkabau.11
Mengenal tentang suku Jambak, bahwa suku Jambak adalah salah satu suku di
Minangkabau yang bernaung di bawah Lareh Bodi Caniago. Di nagari Malolo,
Batipuh Selatan (tanah datar), suku Jambak mengalami pertumbuhan populasi
yang pesat yang mengakibatkan mereka harus memekarkan diri menjadi beberapa
pecahan suku yaitu: suku Muaro Basa, suku Nyiur, suku Makaciak, suku Pauh,
suku Simawang (diambil dari nama nagari tetangga), suku Talapuang, suku
Melayu (nama ini diambil dari nama suku melayu yang sudah ada).
Sehinggaa bias disebut sebagai suku melayu Jambak, suku Jambak, suku Pisang
(nama suku ini juga sudah ada di daerah lain sehingga disebut saja sebagai suku
pisang Jambak), suku Sapuluh, suku Baringin. Sekutu yang paling popular dari
suku Jambak adalah suku Kutianyie, selain itu juga berkerabat dengan suku Bodi
dan suku Caniago.
Penelitian mengenai hukum perkawinan suku Jambak Padang Pariaman menjadi
penting setidaknya disebabkan oleh dua hal:
1. Bahwa hukum perkawinan adat suku Jambak pada hakikatnya mengenal
adanya larangan perkawinan sesuku merupakan aturan hukum yang harus
11
https://www.kompasiana.com/wempi/kawin-sasuku-pantang-adat-
minangkabau_552ac084f17e61703ad623bd, diakses pada tanggal 11 April 2018, pukul 00.54 wib.
8
dipatuhi oleh masyarakat adatnya. Apabila terjadi perkawinan sesuku,
bagaimana hukum adat melihat tersebut.
2. Bahwa ketua pemuka sebagai tetua adat masyarakat hukum adat suku Jambak
memiliki peran penting untuk mengatur masyarakat.Dalam hal terjadinya
perkawinan sesuku, bagaimanakah peran ketua pemuka melihat dan
menyatukan sanksi bagi pelaku. Untuk memahami akal budi Minangkabau
perlu dipahami sejarah kelahiran ibunya, yaitu adat Minangkabau, sebab proses
kelahiran adat tersebut, adalah usaha untuk memperbaiki kondisi yang ada saat
itu. 12
Menurut adat Minangkabau Perkawinan yang paling ideal adalah pulang ke anak
mamak. Apabila Perkawinan sesuku ini terjadi maka pelaku Perkawinan ini akan
diadili dan dijatuhi sanksi adat. Perkawinan mempunyai ketentuan ketentuan dan
peraturan dalam pelaksanaannya. Menurut hukum adat Minangkabau bahwa laki-
laki dan perempuan dilarang kawin dari suku yang sama. Garis keturunan
Minangkabau ditentukan menurut garis keturunan ibu, garis keturunan ibu
menentukan suku seseorang. Sistem perkawinannya disebut eksogami matrilineal
yaitu suatu sistem dimana perkawinan dilakukan dengan orang yang mempunyai
suku yang berbeda. Larangan melakukan perkawinan sesuku tersebut bagi
masyarakat Minangkabau, adalah karena masyarakat Minangkabau memandang
bahwa hubungan sesuku itu merupakan hubungan keluarga. Masih terdapatnya
pelanggaran terhadap ketentuan tidak dibolehkannya melakukan perkawinan
sesuku tersebut, tentunya tidak sesuai dengan apa yang telah diatur oleh hukum
12
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1 dan 2.
9
adat dan itu mencerminkan bahwa keberadaan hukum adat dewasa ini semakin
melemah.13
Dalam adat Minangkabau, pelaku Perkawinan sesuku akan diadili oleh Wali
Nagari. Peran wali Nagari disini adalah sebagai pemberi suatu keputusan
berdasarkan rembukan dari para Ninik Mamak tentang perkara Perkawinan sesuku
yang terjadi. Peran wali Nagari itu sendiri tidak hanya sebatas Perkawinan sesuku
tetapi juga mengatasi permasalahan tanah adat. Dalam hukum adat tersebut ada
aturan dan larangan serta sanksi untuk melangsungkan suatu Perkawinan sesuku.
Sepasang kekasih yang melangsungkan Perkawinan sesuku akan mendapatkan
sanksi, sanksi itu berupa antara lain:
1. Dibuang sepanjang adat,
2. Membubarkan Perkawinan,
3. Di usir dari kampung,
4. Hukum denda ini disesuaikan dengan tempat dimana hukum itu diputuskan,
dalam hal ini denda dapat berupa seekor kambing dan bisa juga sejumlah uang
seharga kambing.14
Baik ketentuan adat maupun ketentuan agama yang mengatur hidup dan
kehidupan masyarakat Minangkabau tidak dapat diabaikan, khususnya dalam
pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan
dengn cara serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran terhadap salah satu ketentuan
adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan akan membawa
13
http//:www.perkawinan sesuku adat Padang co.id. Diakses pada tanggal 16 Maret 2017,
pukul 12.03 wib. 14
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmfh/article/view/14888, diakses pada tangal 02
April 2018, Pukul 20.02 WIB.
10
konsekuensi dalam kehidupan bahkan berkelanjutan pada keturunan. Larangan
melakukan perkawinan sesuku sekarang ini bagi masyarakat Minangkabau ada
kalanya tidak diperhatikan lagi, ada diantara masyarakat Minangkabau yang
melanggar ketentuan tersebut, seolah-olah peraturan itu hanyalah sebagai lambang
dari peraturan adat. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka penulis ingin
meneliti tentang “Larangan Perkawinan Sesuku Pada Masyarakat Hukum
Adat Suku Jambak Padang-Pariaman di Bandar Lampung”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan
yang akan diteliti dalam skripsi ini adalah :
a. Bagaimanakah ketentuan hukum perkawinan adat Minangkabau suku Jambak
tentang aturan larangan perkawinan sesuku?
b. Apakah alasan dilarangnya perkawinan sesuku di masyarakat suku Jambak ?
c. Apakah akibat hukum terhadap pelanggar yang melakukan perkawinan sesuku
pada masyarakat suku jambak?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah hukum perkawinan khusunya hukum
perkawinan adat Minangkabau yang di dalamnya membahas tentang larangan
perkawinan sesuku pada masyarakat Minangkabau. Lingkup ilmu dalam
penelitian ini adalah hukum keperdataan dengan kekhususan hukum perkawinan
adat.
11
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui dan memahami ketentuan hukum perkawinan adat mengenai
aturan larangan perkawinan sesuku dalam suku Jambak.
b. Mengetahui dan memahami alasan atau dilarangnya perkawinan sesuku pada
masyrakat suku Jambak.
c. Mengetahui dan memahami akibat hukum terhadap pelanggar yang melakukan
perkawinan sesuku pada masyarakat suku Jambak.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis yaitu :
a. Kegunaan Teoritis
Kegunaan teoritis karya tulis atau skripsi ini dapat digunakan sebagai bahan
kajian dan acuan untuk mengembangkan wawasan terutama hukum adat lebih
khususnya hukum adat Minangkabau mengenai larangan perkawinan sesuku
Minangkabau.
b. Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis karya tulis atau skripsi ini adalah untuk :
1) Memperluas wawasan penulis dalam lingkup hukum adat khususnya hukum
adat Minangkabau dalam bidang hukum perkawinan, terkhusus mengenai
larangan perkawinan sesuku.
2) Sebagai bahan informasi bagi masyarakat, akademisi, dan kalangan birokrat
pemerintahan yang ada kaitannya dengan hukum adat.
12
3) Referensi bahan bacaan dan sebagai sumber data atau acuan bagi penelitian
yang berhubungan dengan hukum adat, khususnya hukum adat Minangkabau
mengenai larangan perkawinan sesuku masyarakat Minangkabau.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hukum Adat
Hukum adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi
dan orang-orang timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi (maka
dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat).15
Hukum adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum
kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam. Hukum adat itupun melingkupi
hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas
hukum dalam lingkungan, di mana ia memutuskan perkara hukum adat berurat
berakar pada kebudayaan tradisionil. Hukum adat adalah suatu hukum yang
hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai
dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan
berkembang seperti hidup sendiri.16
Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak
manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya
berkeluarga, kemudia bermasyarakat, dan kemudian bernegara. Maka dilihat dari
perkembangan hidup manusia, terjadi hukum itu mulai dari pribadi manusia yang
15
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Penerbit
Maju Mandar Maju, 2003), hlm 13. 16
Soepomo , Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradyna Paramita, 1984), hlm7.
14
diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Perilaku yang terus menerus dilakukan
perorangan menimbulkan “kebiasaan pribadi”. Kemudia apabila seluruh anggota
masyarakat melakukan perilaku kebiasaan tadi, maka lambat laun kebiasaan itu
menjadi “adat” dari masyarakat itu. Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat, dan
kelompok-kelompok masyarakat lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat
yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat, sehingga menjadi
“hukum adat”. Jadi hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan
dalam masyarakat yang bersangkutan.17
Dari pemahaman berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka hukum adat
merupakan hukum yang hidup dan tumbuh berkembang di masyarakat sebagai
identitas budaya bangsa Indonesia untuk pedoman hidup bermasyarakat yang
selalu berkembang dan dipertahankan oleh masyarakat itu sendiri sera berfungsi
untuk menciptakan keadilan dan ketentraman.
B. Tinjauan Perkawinan Adat
1. Pengertian Perkawinan Adat
Kelangsungan hidup manusia atau masyarakat dijamin dan hanya oleh
perkawinan. Menurut hukum adat, perkawinan bukanlah hanya urusan dari
seorang laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan.
Perkawinan merupakan urusan dari orang tua, urusan keluarga, dan urusan
masyarakat hukumnya. Bahkan dalam hukum adat bahwa perkawinan tidak saja
merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup, tetapi perkawinan itu
pun menjadi istimewa yang sangat berarti dan sepenuhnya mendapat perhatian
17
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Opcit, hlm 1.
15
dari yang diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Perkawinan
dalam arti perikatan adat adalah perkawinan yang mempunya akibat hukum
terhadap adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Akibat hukum ini telah ada sebelum perkawinan dilaksanakan, misalnya:
hubungan di antara anak-anak, muda-mudi dan hubungan antara orang tua
keluarga dari para calon suami istri. Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka
timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk anggota
keluarga/kerabat): pelaksanaan upacara adat, selanjutnya dalam peran serta
pembinaan dan pemeliharaan kerukunan, keutuhan, dan ketetanggaan dari
kehidupan anak yang terikat dalam perkawinan.18
Hukum perkawinan adat diartikan sebagai aturan-aturan hukum yang mengatur
tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan, dan
putusnya perkawinan. Aturan-aturan hukum adat tentang perkawinan di daerah
Indonesia, seusia dengan sifat/corak kemasyarakatan yang bersangkutan,adat-
istiadat, agama, dan kepercayaan masyarakat turut member warna yang
membedakan daerah dengan daerah lain berbeda-beda. Namun, saat ini sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan zaman, peraturan (adat)
perkawinan juga mengalami kemajuan dan perubahan, perkembangan, dan
pergeseran. Perkembangan ini sedikit demi sedikit banyak dipengaruhi oleh
agama, misalnya perkawinan campuran antar suku, antar agama, antar adat.
18
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi (Bandung:
Mandar Maju, 2014), hlm.176.
16
Meskipun demikian perkawinan masih tetap termasuk persoalan keluarga, yang di
berbagai daerah dan golongan masih berlaku hukum adat perkawinan. Pihak
orangtua masih menginginkan agar dalam mencari jodoh anak-anak mereka
memperhatikan, sebagaimana dikatakan orang Jawa “bibit, bobot, dan bebot” dari
laki-laki atau perempuan.19
2. Pengertian Perkawinan Adat Minangkabau
Perkawinan dalam masyarakat Minangkabau dalam tiap masyarakat dengan
susunan kekerabatan bagaimanapun, perkawinan memerlukan penyesuaian dalam
banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi
yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua
keluarga. Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul,
kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tata krama, bahasa dan lain
sebagainya.
Sehingga syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan
kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan dan
pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya
penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan
antara keluarga kelak kemudian. Perkawinan menuntut suatu tanggungjawab,
antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab
pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan. Memilih antara adat dan agama Islam
di Minangkabau membawa konsekuensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun
ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak
19
Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara
Adatnya (Bandung: Citra Aditya Bakti,2003), hlm.67.
17
dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu
harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan.
Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat maupun
ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa konsekwensi
yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan.
Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah
diundangkan sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman
yang dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara. Hukuman itu
tidak setara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat
Minang. Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi
semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau. Perkawinan Adat
Minangkabau adalah sebagai berikut :
a. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.
b. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama,
kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.
c. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan
keluarga kedua belah pihak.
d. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk
dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap
perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat
Minang. Selain dari itu masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan
agama Islam yang harus dipenuhi seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang
meminang, batuka tando, akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang dan
18
sebagainya. Tata krama dan upacara adat perkawinan ini pun tak mungkin
diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa “Perkawinan itu
sesuatu yang agung”, yang kini diyakini hanya “sekali” seumur hidup.20
C. Masyarakat Hukum Adat
Masyarkat hukum adat adalah kelompok-kelompok masyarakat yang tetap dan
teratur dengan mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik yang
berwujud maupun tidak berwujud.21
Susunan dan bentuk seluruh anggota
persekutuan masyarakat tersebut terikat atas faktor yang bersifat territorial dan
genealogis.
Secara teoritis pembentukan masyarakat hukum adat disebabkan adanya faktor
ikatan yang mengikat masing-masing anggota masyarakat hukum adat tersebut.
Faktor ikatan yang membentuk masyarakat hukum adat secara teoritis adalah
faktor genealogis (keturunan) dan faktor territorial (wilayah).
1. Persekutuan Hukum Geneologis
Persekutuan hukum genealogis atau masyarakat adat genealogis memiliki suatu
pengikat antara satu sama lain yaitu berupa kesamaan dalam garis keturunan,
artinya setiap anggota kelompok masyakatnya terikat karena berasal dari nenk
moyang yang sama. Menurut para ahli hukum adat Hindia-Belanda masyarakat
hukum genealogis ini dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu bersifat
patrilinial, matrilinial, dan parental atau bilateral.
20
http://bachremifananda.wordpress.com/2013/10/15/adat-perkawinan-minangkabau
diakses pada tanggal 16 maret 2017 pukul 12.27 wib 21
Dewi Wulansari,Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2012),
hlm.25.
19
a) Masyarakat Patrilinial
Masyarakat patrilinial adalah masyarakat yang susunan masyarakatnya ditarik
berdasarkan garis keturunan bapak, sedangkan garis keturunan ibu
disingkirkan.
b) Masyarakat Matrilinial
Masyarakat matrilinial merupakan kebalikan dari masyarakat patrilinial,
dimana susunan masyrakatnya ditarik berdasarkan garis ibu sedangkan garis
keturunan bapak disingkirkan, adapun masyarakat yang termasuk kedalam
masyarakat matrilinial adalah Minangkabau, Semendo di Sumatera Selatan,
Kerinci dan beberapa suku kecil di Timor. Masyarakat matrilinial ini tidak
mudah dikenali, karena masyarakat matrilinial jarang menggunakan nama-
nama sukunya meskipun ada.
c) Masyarakat Parental atau Bilateral
Masyarakat parental atau bilateral adalah gabungan antara masyarakat
patrilinial dan masyarakat matrilinial, sehingga masyarakat parental ini lebih
dikenal dengan masyarakat yang mengambil jalur tengah (seimbang), dimana
masyarakat parental atau bilateral dalam susunan masyarakatnya diambil dari
garis orangtuanya yaitu garis bapak dan garis ibu, adapun yang termasuk
kedalam masyarakat parental atau bilateral adalah masyarakat adat Jawa, Aceh,
Melayu, Kalimantan dan Sulawesi. Pada dasarnya asas perkawinan dalam UUP
bertujuan untuk membentuk keluarga yang memiliki persekutuan parental yaitu
tidak ada garis yang menjadi perioritas, melainkan antara suami dan istri
memiliki kedudukan yang sama.
20
2. Persekutuan Hukum Teritorial
Persekutuan masyarakat hukum territorial adalah masyarakat yang tetap dan
teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah
kediaman tertentu. Hal ini berarti dalam persekutuan masyarakat territorial
terikat satu sama lain berdasarkan persamaan tempat tinggal. Menurut R. Van
Dijk persekutuan hukum territorial dapat dibedakan ke dalam tiga macam
yaitu:22
a. Persekutuan Desa, seperti desa orang Jawa yang merupakan suatu tempat
kediaman bersama di dalam daerahnya sendiri termasuk beberapa penduduk
yang terletak di sekitarnya yang tunduk pada perangkat desa yang
berkediaman di pusat desa.
b. Persekutuan Daerah, seperti kesatuan masyarakat “nagari” di
Minangkabau, “Marga” di Sumatera Selatan dan Lampung, “negorij” di
Minahasa dan Maluku.
c. Perserikatan dari beberapa Desa, yaitu apabila diantara beberapa desa atau
marga yang terletak berdampingan yang masing-masing berdiri sendiri
mengadakan perjanjian kerja sama untuk mengatur kepentingan bersama.
3. Persekutuan Hukum Fungsional
Persekutuan hukum fungsional merupakan genealogis-teitorial anggotanya
bukan hanya terikat pada tempat kediaman daerah tertentu saja, melainkan juga
terikat pada hubungan ketrurunan dalam ikatan pertalian darah atau
22
Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm 106-107.
21
kekerabatan. Pada suatu daerah yang terdapat masyarakat hukum genealogis-
teritorial akan berlaku dualisme atau pluralism hukum yairu hukum
administrasi pemerintah berdasarkan perundang-undangan, hukum adat yang
berlaku bagi semua anggota kesatuan masyarakat desa yang bersangkutan, dan
hukum adat yang tradisional bagi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
tertentu menurut daerah asalnya masing-masing dan tentu saja berlaku pula
hukum antar adat yang berbeda dalam pergaulan masyarakat campuran, jadi
yang dimaksud dengan masyarakat parental atau bilateral adalah kesatuan
masyarakat hukum yang patrilinial genealogis dimana para anggotanya bukan
hanya terikat pada tempat kediaman melanikan juga terikat pada garis
keturunan.
4. Masyarakat Adat-keagamaan
Diantara berbagai kesatuan masyarakat adat terdapat juga kesatuan masyarakat
adat yang khusus bersifat keagamaan d beberapa daerah tertentu. Ada kesatuan
masyarakat adat-keagamaan menurut kepercayaan lama ada kesatuan
masyarakat yang khusus beragama Islam, Hindu, Kristen atau Katholik, dan
ada yang bersifat campuran.23
Pada lingkungan masyarakat yang di dominasi kepercayaan dan agama
tertentu, maka para anggotanya selain merupakan warga kesatuan desa menurut
perundangan, tetapi juga merupakan warga adat yang tradisional dan warga
keagamaan yang dianutnya masing-masing.
23
Hilman Hadikusuma, Op. Cit. hlm.111.
22
D. Asas-Asas dan Bentuk Perkawinan Adat
1. Asas-Asas Perkawinan Adat
Suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap
hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami istri, harta
bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua , tetapi juga
menyangkut hubungan adat istiadat kawarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan
ketetanggan, serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu
juga menyangkut perintah dan larangan, baik menyangkut hubungan manusia
dengan Tuhannya dan hubungan sesame manusia.
Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan
keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi, dan begitu
pula yang menyangkut urusan keaagamaan. Sebagaimana dikatakan Van
Volenhoven bahwa dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan
kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan tatanan dunia diluar dan di
atas kemampuan manusia.24
Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah
perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku
dalam masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum
adanya perkawinan, misalnya adanya hubungan pelamaran yang merupakan
“rasan sanak” (hubungan anak-anak, bujang-gadis) dan “rasan tuha” (
hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami istri). Setelah terjadi
ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua (termasuk
anggota keluarga/kerabat) menerut hukum adat setempat, yaitu dalam
pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan
24
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat ( Bandung,1983), hlm.22.
23
memelihara kerukunan, keutuhan. Dan kelanggenagan darikehidupan anak-
anak mereka yang terikat dalam perkawinan.25
Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan ini dapat berbentuk dan
bersistem “ perkawinan jujur” di mana pelamaran dilakukan oleh pihak laki-
laki kepada pihak perempuan dan setelah perkawinan istri mengikut tempat dan
kedudukan pihak suami (batak, Lampung, Bali), perkawinan “semenda” di
mana pelamaran oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki dan setelah
perkawinan suami mengikuti tempat dan kedudukan pihak istri (Minangkabau,
Semendo, Sumatera Selatan), dan perkawinan “bebas” (Jawa) di mana
pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki dan setelah perkawinan suami istri
bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka. Mengenai asas-
asas perkawinan menurut hukum adat Hilman Hadikusuma menjelaskannnya
sebagai berikut:
a. Asas Keadatan dan Kekerabatan
Perkawinan dalam hukum adat bukan sekedar persoalan individual, akan
tetapi masyarakat adat dalam arti masyarakat komunal punya tanggung
jawab dalam urusan perkawinan, oleh karenanya perkawinan dalam hal ini
sangat ditentukan oleh kehendak kerabat dan masyarakat adat. Kehendak
yang dimaksud ialah mulai dari pemilihan pasangan, persoalan “jujur” dan
persoalan-persoalan lainy. Asas inilah sebenarnya yang mendasari dari
asas-asas perkawinan dalam hukum adat.
25
http://caksoni.blogspot.co.id/2012/04/asas-asas-perkawinan-dalam-hukum-adat.html
diakses pada tanggal 04 oktober 2017 pukul 20:00 WIB.
24
b. Asas Kesukarelaan/Persetujuan
Hukum adat menyatakan calon mempelai tidak mempunyai otoritas penuh
hukum menyatakan kerelaan/persetujuan perkawinan. Perkawinan harus
didasarkan pada persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat
adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui oleh
masyarakat adat setempat. Pelanggaran terhadap asas ini dapat dikenakan
sanksi dikeluarkan dari lingkungan kekerabatan masyarakat adat, terlebih
dalam masyarakat adat yang masih kental dengan system kesukuaannya
seperti masyarakat adat Nusa Tenggara Timur.
c. Asas Partisipasi Kerabat dan Masyarakat Adat
Partisipasi orang tua beserta kerabat dan masyarakat adat sangatlah besar
artinya partisipasi ini dimulai dari pemilihan calon mempelai, persetujuan
sampai pada kelanggengan rumah tangga mereka, secara langsung ataupun
tidak langsung orang tua beserta kerabat punya tanggung jawab
terhadapnya.
d. Asas Poligami
Asas poligami dalam masyarakat adat sudah menjadi tradisi, tidak sedikit
raja-raja adat, bangsawan adat baik yang beragama Hindu, Budha, Kristen,
dan Islam mempunyai istri lebih dari satu bahkan puluhan, dan masing-
masing istri yang dipoligami tersebut mempunyai kedudukan yang berbeda
satu sama lain berdasarkan struktur hykum adat setempat, walaupun
demikian seiring dengan perkembangan zaman dan lemahnya institusi adat
serta perkembangan iklim hukum nasional, praktek poligami dalam
25
masyrakat adat sudah mulai ditinggalkan, kalaupun ada menyesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam agama.
e. Asas Selektivitas
Asas selektivitas dalam hukum adat, pada pembahasan ini diarahkan pada
proses dan siapa yang berhak menentukan calon mempelai, seperti yang
sudah dijelaskan di atas bahwa dalam hukum adat, orang tua, kerabat, dan
masyarakat adat sangat berpengaruh dalam pemeliharaan calon mempelai,
dengan demikian proses seleksi meskipun calon mempelai mempunyai
sedikit peran ditentukan oleh orang tua beserta kerabat.
Proses pemilihan calon mempelai, diarahkan pada jenis perkawinan yang
dikehendaki dan menghindari perkawinan yang dilarang. Larangan
perkawinan dalam hukum adat sebenernya tidak begitu bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUP. Larangan
perkawinan dalam hukum dikenal dengan istilah
“sumbang,pantang,pamali,tulah” dan sebagainya. Larangan itu anatara
lain:
1) Larangan perkawinan semarga/satu keturunan (Batak dan Minangkabau).
2) Larangan perkawinan dengan putri saudara wanita sendiri.
3) Larangan perkawinan antara dua pria bersaudara dengan dua wanita
bersaudara (sumbang).
4) Larangan perkawinan antara istri saudara laki-laki yang menjanda
dengan istri saudara perempuan yang menjanda.
26
5) Larangan perkawinan dengan ibu mertua yang menjanda.26
Selain asas-asas di atas dalam hukum adat terdapat asas-asas atau prinsip-
prinsip dalam perkawinan yang merupakan hukum dasar atau landasan yang
dijadikan pedoman awal kita untuk berpikir dan menyatakan pendapat, adapun
asas-asas perkawinan adat yaitu:27
a) Tujuan Perkawinan Adat
Bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, tujuan perkawinan
adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis
kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga
atau kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, serta
untuk mempertahankan kewarisan, dengan demikian maka tujuan perkawinan
menurut hukum adat pastilah berbeda-beda antar suku bangsa satu dengan suku
lainnya.
Pada masyarakat kekerabatan patrilinial, perkawinan dilakukan dengan tujuan
mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak laki-laki harus
melaksanakan bentuk perkawinan ambil istri (dengan membayar uang jujur),
dimana setelah terjadinya perkawinan istri ikut (masuk) dalam kekerabatan
suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam suasana kekerebatan
bapaknya.
Hal ini berbeda dengan masyarakat yang menganut kekerabatan matrilinial,
dimana perkawinan bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan ibu,
26
Hilman Hadikusuma,Op.Cit.hlm.23. 27
Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Perkawinan,(Bandung:Citra Aditya Bakti,1990), hlm70-71
27
sehingga anak wanita (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil
suami (semanda) dimana setelah terjadinya perkawinan suami ikut (masuk)
dalam kekerabatan istri dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan
kekerabatan orang tuannya. Tujuan perkawinan untuk perkawinan untuk
mempertahankan keturunan itu masih bertahan sampai saat ini, kecuali
masyarakat adat dengan kekerabatan parental, dimana ikatan kekerabatannya
sudah lemah, oleh karena itu, secara keseluruhan perkawinan dilakukan
semata-mata untuk mencapai kebahagiaan yang kekal dan abadi berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dengan mempertimbangkan kelestarian hukum
adat.
Bagi masyarakat di Sumatera Barat, terutama orang Minangkabau, tujuan
perkawinan itu dapat dibagi atas beberapa tujuan. Tujuan pertama adalah untuk
memenuhi adat itu sendiri, oleh karena itu perkawinan telah dianggap sebagai
adat yang harus ditempuh oleh setiap manusia, maka perkawinan itu sendiri
merupakan suatu keharusan. Amatlah janggalnya kalau seorang tidak kawin
selama hidupnya dan kalau ini kejadian maka orang yang bersangkutan akan
merasa rendah diri dan kekurangan sesuatu. Perasaan ini tidak saja dialami oleh
yang bersangkutan saja tetapi juga oleh segenap anggota keluarga ibunya
bahkan anggota sukunya, karena perkawinan bukanlah masalah orang
perseorangan saja, maka segala sesuatu yang bersangkutan dengannya mejadi
tanggung jawab bersama, malu bersama dan kemegahan bersama. Jika terdapat
seorang gadis tidak bersuami atau seorang bujang tidak beristri maka aib
(malu) akan tertimpa pada seluruh anggota keluarga. Masyarakat akan
menganggap mamak, oran tua atau saudara-saudara dari yang bersangkutan
28
tidak memenuhi tanggung jawabnya beranak berkemenakan atau bersaudara
seperti diharuskan adat. Mereka akan menanggung malu yang tidak terkira.
Oleh karena itu segera sesudah seorang anak lahir anggota keluarga telah mulai
membayangkan tanggung jawabnya untuk mencari menantu.
Segala persiapan dilakukan untuk menyongsong hari perkawinan anaknya.
Makin besar anak, makin dekatlah masa melaksanakan tanggung jawab
tersebut. Keluarga yang memiliki anak perempuan mulai menyiapkan rumah
dan parabotnya, dan yang memiliki anak laki-laki mendidik anaknya untuk
mencari kehidupan agar kelak dapat menghidupi keluarga sendiri ataupun
anaknya. Semua ini telah menjadi adat dan karena itu dianggap sebagai adat
yang harus dipenuhi.
Bagi keluarga perempuan, perkawinan dimaksudkan untuk mendapatkan
keturunan yang akan melanjutkan keluarga dan penerima warisan. Masyarakat
Minang di Sumatera Barat atau diluarnya mendambakan seorang anak
perempuan. Keluarga yang hanya mendapatkan anak laki-laki akan merasa
kekurangan dan akan berusaha mendapatkan anak perempuan.28
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan
adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis
kebapakan atau keibuan-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga
keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian,
dan untuk mempertahankan kewarisan.
28
Ibid, hlm.27-29.
29
Tujuan perkawinan menurut hukum adat bukan hanya semata untuk
membentuk keluarga yang kekal dan bahagia yang merupakan tujuan pribadi
antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi untuk kebahagiaan dua keluarga
besar dan bahkan tetangga serta untuk mempertahankan hukum adat keluarga.
Oleh karena itu, tujuan perkawinan adat sangatlah kompleks karena tidak
hanya mengedepankan kebahagiaan saja, akan tetapi untuk mempertahankan
semua hukum adat dalam keluarga.
b) Sahnya Perkawinan
Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di
Indonesia pada umunya bagi penganut agama tergantung pada agama yang
dianut masyarakat adat bersangkutan. Hanya saja meskipun sudah sah menurut
agama yang dianut masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat dari
masyarakat adat bersangkutan, hal ini sesuai dengan ketentuan UUD yang
memberikan kebebasan untuk melanjutkan keluarga yang sesuai dengan
ketentuan agama dan keprcayaan masing-masing, dengan demikian sahnya
perkawinan menurut agama atau kepercayaan tetap menjadi tolak ukur yang
utama.
c) Asas Monogami
Perkawinan menurut asas monogami, meskipun tidak bersifat mutlak karena
masih ada kemungkinan untuk beristri lebih dari seorang, bila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dan ajaran agaanya mengijinkan untuk itu
ketentuan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-
undang.
30
d) Persetujuan
Menurut hukum adat, setiap pribadi sudah dewasa tidak bebas menyatakan
kehendakanya untuk melakukan perkawinan, tanpa persetujuan orang tua atau
kerabatnya. Di lingkungan masyarakat adat perkawinan yang akan
dilangsungkan dapat terjadi berdasarkan peminangan dan pesetujuan orang
tua/wali/kerabat dan kedua pihak. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum
adat harus mendapatkan persetujuan dari orang tua serta keluarga besar, karena
pada dasarnya perkawinan bukan hanya perikatan antara laki-laki dan
perempuan melainkan perikatan dua keluarga.
e) Batas Usia
Hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas usia untuk
melangsungkan perkawinan, ini artinya hukum adat memperbolehkan
perkawinan semua umur. Perkawinan dan aturannya merupakan budaya yang
dinamikanya mengikuti perkembangan budaya masyarakat, demikian pula
halnya dengan hukum perkawinan di Indonesia itu bukan hanya di pengaruhi
oleh ajaran agama tertentu, tetapi juga dipengaruhi oleh adat budaya
masyarakat setempat,29
hal itu pada gilirannya berakibat pada “lain padang lain
belalang”, karenanya meskipun bangsa Indonesia kini telah mempunyai hukum
perkawinan nasional sebagai aturan pokok, namun kenyataannya dikalangan
masyarakat Indonesia masih tetap berlaku adat dan tata upacara perkawinan
yang beraneka ragam.
29
Yusuf Hanafi, Kontrovensi Perkawinan Anak di Bawah Umur (Bandung: Mandar
Maju,2011), hlm.13.
31
Masa lampau sebelum berlakunya undang-undang, sering terjadi perkawinan
yang disebut dengan kawin “kawin gantung” yakni perkawinan yang
pencampuran anatara suami istrinya masih ditangguhkan.30
Ada pula kawin
anatara anak-anak, anak gadis yang belum dewasa dengan laki-laki yang telah
dewasa, atau sebaliknya perempuan yang telah dewasa dengan bocah laki-laki
yang masih kanak-kanak, atau juga terjadi “kawin paksa” yaitu laki-laki dan
perempuan yang tidak saling mengenal dipaksa untuk melakukan perkawinan,
atau juga “kawin hutang” karena orang tua si perempuan tidak dapat membayar
hutang, mkaia menyerahkan anak gadisnya sebagai bentuk pembayaran hutang
dan si gadis dikawini oleh si berpiutang, atau juga “kawin selir” dimana anak
gadis diserahkan kepada bangsawan atau raja sebagai istri selir.31
Menaati ketentuan perihal perizinan orang tua terhadap perkawinan di bawah
umur, seandainya terjadi persesihan mengenai siapa yang berhak member izin
dikarenkan orang tua telah tiada atau tidak mampu menyatakan kehendaknya,
di lingkungan masyarakay adat tidak boleh begitu saja menunjuk orang yang
memelihara, atau wali, aau keluarga sedarah dalam garis lurus ketas tanpa
memperhatikan struktur kekerabatan yang bersangkutan.
Masyarakat yang strukturnya patrilineal, maka pihak perempuan (garis ibu)
sebaliknya dalam masyarakat yang struktur kekerabatannya matrilineal, maka
pihal laki-laki (garis bapak) tidak berhak atas anak kemanakannya. Lain halnya
dengan masyarakat yang struktur kekerabatannya parental, dalam hal ini kedua
rang tua menurut garis lurus ke atas kesemuanya dapat bertindak menggantikan
30
Ibid.hlm.14. 31
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Agama (Bandung: Mandar Maju,2007), hlm.50.
32
kedudukan bapak atau ibu dari si anak yag telah tiada atau yang tidak mampu
menyatakan kehendaknya. Dari sisi adat tidak adanya batas usia kedewasaan
yang tegas.
Hukum adat Minangkabau usia kawin yang ideal walaupun sering terjadi orang
tidak kawin pada umurnya yang ideal, bukanlah berarti batasan yang ideal itu
tidak ada. Pada umumnya umur yang idel untuk kawin bagi seorang perempuan
lebih awal dari seorang laki-laki. Bagi wanita, terutama di kampung-kampung
umur sepantasnya untuk kawin adalah antara umur 16 (enam belas) dengan 25
(dua puluh lima) tahun. Bagi laki-laki umur ideal berkisar antara 18 (delapan
belas) dan 30 (tiga puluh) tahun.
Pengambilan umur ideal ini didasarkan kepada kenyataan biologi dari
seseorang. Biasanya perempuan kawin pada umur 16 (enam belas) tahun
sedangkan laki-laki baru pada umur 18 (delapan belas) tahun. Di samping itu
untuk laki-laki di dasarkan kepada umur tersebut seorang laki-laki telah dapat
bertanggung jawab terutama untuk mengerjakan pekerjaan yang menunjang
kehidupan.32
f) Perjanjian Perkawinan
Perjanjian yang dilakukan sebelum atau pada waktu perkawinan berlaku dalam
hukum adat, bukan saja antara kedua calon mempelai tetapi juga termasuk
keluarga/kerabat mereka, hal ini menegaskan bahwa dalam hukum adat
terdapat kebebasan kepada siapa pun untuk melakukan perjanjian dalam
perkawinan. Pada umumnya perjanjian yang dibuat dalam hukum adat
32
Azami, Buchari Nurdin, Abizar, Alwir Darwis, Dkk, Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Sumatera Barat (Jakarta: Cv. Eka Dharma edisi II, 1997) hlm.44.
33
merupkan perjanjian lisan atau tidak tertulis, tetapi diumumkan di hadapan
para anggota kerabat tetangga yang hadir dalam upacara perkawinan, dengan
demikian perjanjian dalam hukum adat dibuat berdasarkan asas kepercayan.
g) Hak dan Kewajiban
Menurut hukum adat pada umumnya yang berlaku dalam masyarakat bangsa
Indonesia, baik dalam masyarakat kekerabatan bilateral maupun multilateral
(patrilinial dan matrilinial) ataupun yang beralih-alih, kewajiban untuk
menegakkan keluarga atau rumah tangga (suami-istri) bukam semata-mata
menjadi kewajiban dan tanggung jawab dari suami istri itu sendiri, hal tersebut
dikarenakan masih terdapat tanggung jawab dan kewajiban moral orang tua
dan kerabat, walaupun sifatnya immaterial dan tidak langsung berupa perhatian
dan pengawasan.
Hak dan kewajiban dalam membangun rumah tangga yang sesuai dengan
tujuan hukum adat maupun hukum nasional bukan semata tanggungj awab
suami dan istri melainkan tanggung jawab dua keluarga. Selain itu, sebagai
suami dan istri keduanya memiliki hal dan kewajiban yang sama untuk saling
menghormati, cinta mencintai, setia, dan member bantuan lahir dan batin, oleh
karena itu, suami dan istri sejatinya memilki hak dan kewajiban yang sama
atau kedudukan keduanya adalah sama, tidak ada diskriminasi diantara
keduanya.
34
2. Bentuk Perkawinan Adat
Menurut hukum adat di Indonesia, perkawinan itu dapat berbentuk dan
bersistem perkawinan jujur, perkawinan semanda, perkawinan bebas ataupun
bentuk perkawinan lainnya. Perkawinan adat merupakan perihal yang tidak
terlepas dari hukum perkawinan adat, dimana hukum perkawinan adat diartikan
sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk
perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya
perkawinan di Indonesia. Terdapat banyak aturan-aturan perkawinan adat di
Indonesia yang sesuai dengan latar belakang masyarakat dan daerahnya
masing-masing. Di Indonesia sudah terdapat pengaturan tentang perkawinan
secara Nasional yaitu UUP. Akan tetapi dalam perkembangannya, di berbagai
daerah masih memberlakukan hukum adat perkawinan, karena memang dalam
UUP hanya diatur masalah perkawinan secara umum saja. Melihat suasana
hukum adat di Indonesia, yaitu dalam masyarakat adat Patrilinial, Matrilinial,
dan Parental terdapat bentuk-bentuk perkawinan adat yang masih berlaku dan
dipertahankan, diantaranya adalah :33
a. Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur atau jelasnya perkawinan dengan pemberian (pembayaran)
uang (barang) jujur, pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat hukum
adat yang mempertahankan garis keturunan bapak (lelaki) seperti masyarakat
Bayo, Batak, Nias, Lampung, Bali, Timor, dan Maluku. Pemberian uang atau
barang jujur (Bayo : unjuk, Batak : boli, tuhor, paranjuk, pangoli, Nias : beuli
33
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
2003, hlm. 183-190.
35
niha, Lampung : segreh, seroh, daw adat, Timor-Sawu : belis, wellie, Maluku :
beli,wilin) dilakukan oleh pihak kerabat (marga, suku) calon suami kepada
pihak kerabat calon isteri, sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita
keluar dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk
ke dalam persekutuan hukum suaminya.
Hal ini berarti setelah dilakukannya perkawinan maka isteri tunduk dan patuh
terhadap aturan hukum adat suaminya. Ini berarti dalam konsep perkawinan
jujur yaitu adanya suatu perpindahan kewargaan adat. Pada umumnya, dalam
perkawinan jujur berlaku adat “pantang-cerai”, sehingga senang atau susah
selama hidupnya isteri dalam menjalani rumah tangga harus menahan dan tidak
boleh melakukan perceraian, hal ini sejalan dengan asas yang terdapat di dalam
UUP sehingga tujuan perkawinan dapat tercapai. Akan tetapi ada yang harus
dipahami dalam konteks perkawinan jujur, bahwa perkawinan jujur bukanlah
mas kawin menurut hukum Islam, karena uang jujur adalah kewajiban adat
ketika dilakukan pelamaran yang harus dipenuhi oleh kerabat pria kepada
kerabat wanita untuk dibagikan kepada tua-tua kerabat (marga/suku) pihak
wanita, sedangkan mas kawin adalah kewajiban agama ketika dilaksanakan
akad nikah yang harus dipenuhi oleh mempelai pria untuk mempelai wanita
(pribadi).
b. Perkawinan Semanda
Perkawinan semanda pada umunya berlaku di lingkungan masyarakat adat
matrilinial yaitu mengambil garis ibu sedangkan garis ayah dikesampingkan.
Perkawinan semanda merupakan kebalikan dari perkawinan jujur, dimana
36
calon mempelai pria dan kerabatnya tidak memberikan uang jujur kepada pihak
wanita, melainkan pihak wanita melakukan pelamaran kepada pihak pria.
Oleh karena itu, dalam perkawinan semanda setelah perkawinan berlangsung
maka suami berada di bawah kekuasaan kerabat isteri dan kedudukan
hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semanda yang berlaku, apakah
perkawinan semanda dalam bentuk “semanda raja-raja”, “semanda lepas”,
“semanda bebas”, “semandanunggu”, “semanda ngangkit”, “Semanda anak
dagang”.34
Pada umumnya, dalam perkawinan semanda kekuasaan pihak isteri
yang lebihberperan, sedangkan suami tidak ubahnya sebagai istilah “nginjam
jago”(meminjam jantan) hanya sebagai pemberi bibit saja dan kurang tanggung
jawabdalam keluarga atau rumah tangga.
c. Perkawinan Bebas (Mandiri)
Pada umumnya bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri berlaku
dilingkungan masyarakat adat yang bersifat parental (orang tua), seperti
padamasyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan dan Sulawesi.
Dimanakeluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam keluarga
atau rumahtangga.Bentuk perkawinan mandiri ini merupakan perkawinan yang
dikehendaki olehperaturan nasional yang berlaku di Indonesia yaitu UUP
bahwa kedudukan dan hak suami dan isteri berimbang atau sama, suami adalah
kepala rumah tangga danisteri adalah ibu rumah tangga. Perkawinan adat
dalam bentuk mandiri ini, setelah berlangsungnya perkawinan maka suami dan
isteri akan memisahkan diri darikeluarga atau kerabat masing-masing, serta
membangun keluarga atau rumahtangga masing-masing. Sedangkan orang tua
34
Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 82.
37
atau kerabat hanya memberikan bekal (sangu) untuk kelanjutan rumah tangga
mereka.
d. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang
terjadiantara suami dan isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya, dan/atau
berbedaagama yang dianut. Sedangkan dalam UUP yang dimaksud perkawinan
campuranhanyalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang memiliki
perbedaankewarganegaraan. Terjadinya perkawinan campuran ini akan
menyebabkanmasalah hukum antara tata hukum adat dan/atau hukum agama,
yaitu hukummana dan hukum apa yang akan diperlakukan dalam pelaksanaan
perkawinan itu.Akan tetapi dalam perkembangannya hukum adat setempat
memberikan jalankeluar untuk mengatasi masalah tersebut, sehingga
perkawinan campuran dapatdilaksanakan. Pada dasarnya perkawinan campuran
bukan hanya sebatas perbedaan kewarganegaraan sebagaimana yang
didefiniskan dalam UUP, karena perbedaan suku pun menjadi perkawinan
campuran seperti suku Lampungmenikah dengan suku Jawa, dengan catatan
memiliki kepercayaan yang sama baiksejak lahir maupun sebelum perkawinan
dilakukan (mualaf).
e. Perkawinan Lari
Perkawinan lari sering terjadi pada tatanan garis keturunan ayah pada
umumnya dan wilayah-wilayah parental seperti masyarakat adat Lampung,
Batak, Bali, Bugis/Makasar, dan Maluku. Meskipun perkawinan lari
merupakan pelanggaran adat, akan tetapi dalam lingkungan masyarakat adat
38
tersebut terdapat tata-tertib cara menyelesaikannya. Sesungguhnya perkawinan
lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran.35
Oleh karena dari kejadian perkawinan lari itu dapat berlaku bentuk perkawinan
jujur, semanda atau bebas (mandiri), tergantung pada keadaan dan perundingan
kedua pihak.Sistem perkawinan lari dapat dibedakan antara perkawinan lari
bersama danperkawinan lari paksaan. Perkawinan lari bersama yang dalam
bahasa Belandadisebut dengan istilah vlucht-huwelijk, wegloop-luwelijk, Batak
: mangalawa,Sumatera Selatan :belarian, Bengkulu : selarian, Lampung :
Sebambangan,metudau, nakat, cakak lakei, Bali : ngerorod, merangkat, Bugis
: silariang,Ambon : lari bini36
yaitu perbuatan berlarian untuk melaksanakan
perkawinanatas persetujuan si muli. Cara melakukan berlarian tersebut ialah
bujang mulisepakat melakukan kawin lari dan pada waktu yang sudah
ditentukan melakukanlari bersama, atau si muli secara diam-diam diambil
kerabat pihak bujang daritempat kediamannya, atau si muli datang sendiri ke
tempat kediaman pihak bujang yang segala sesuatunya berjalan menurut tata-
tertib adat berlarian. Akan tetapi,pada masyarakat adat Lampung sangat jarang
terjadi seorang muli yang datang sendiri ke rumah pria, jika hal tersebut terjadi
maka terdapat keadaan yang tidakbaik bagi si muli (hamil di luar perkawinan
yang sah). Pada dasarnya perkawinan lari terjadi atas kesepakatan antara
bujang dan muli,akan tetapi terdapat pengecualian bagi perkawinan lari
paksaan (Belanda: Schaak-huwelijk, Lampung : Dibembangkan, ditekep,
ditenggang, ditunggang, Bali: Melegandang) adalah perbuatan melarikan muli
35
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Op.Cit., hlm. 189 36
Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hlm. 189-190.
39
dengan akal tipu, atau dengan paksaan atau kekerasan, tidak atas persetujuan si
muli dan tidak menurut tata tertib adat berlarian.37
Setiap perbuatan yang dilakukan pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai,
begitu pula dengan perkawinan yang dilakukan memiliki tujuan tertentu yang
akan dicapai. Pasal 1 UUP menyatakan bahwa yang menjadi tujuan
perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa tujuan
perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan
warohmah. Bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, tujuan
perkawinan adalahuntuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut
garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah
tangga atau kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian,
serta untuk mempertahankan kewarisan. Dengan demikian maka tujuan
perkawinan menurut hukum adat pastilah berbeda-beda antar suku bangsa satu
dengan suku lainnya.Tujuan perkawinan untuk mempertahankan keturunan itu
masih bertahan sampai saat ini, kecuali masyarakat adat dengan kekerabatan
parental, dimana ikatan kekerabatannya sudah lemah. Oleh karena itu, secara
keseluruhan perkawinan dilakukan semata-mata untuk mencapai kebahagiaan
yang kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
mempertimbangkan kelestarian hukum adat.
37
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi, Mandar Maju,
Bandung, 2014, hlm. 183.
40
3. Akibat Hukum
Akibat hukum merupakan suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu
hubungan hukum. Suatu hubungan hukum memberikan hak dan kewajiban
yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga apabila dilanggar akan
menimbulkan suatu akibat, bahwa orang yang melanggar itu dapat dituntut
dimuka pengadilan. Suatu hubungan pergaulan persahabatan biasa seperti
ingkar janji untuk bermain bersama tidak membawa akibat hukum, namun
secara non-hukum misalnya ganjalan dan tidak enak dari yang dijanjikan bisa
terjadi.38
Hal ini menegaskan bagaimana dampak dari adanya suatu akibat
hukum dari suatu peristiwa hukum. Menurut kamus hukum, akibat hukum
adalah akibat yang timbul dari hubungan hukum, dimana akibat memiliki arti
sesuatu yang menjadi kesudahan atau hasil dari pekerjaan, keputusan,
persyaratan atau keadaan yang mendahuluinya.
38
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010) hlm. 131-132.
41
E. Kerangka Pikir
Keterangan:
Hukum perkawinan adat merupakan salah satu bagian dari hukum keluarga adat,
yang memiliki keberagaman hukum sesuai dengan suku, daerah, atau latar
belakang setiap masyarakat. Perkawinan adat merupakan salah suatu ikatan lahir
dan batin anatara seorang laki-laki dan perempuan yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum adat. Misalnya seperti larangan perkawinan dalam masyarakat
adat Minangkabau suku Jambak.
Perkawinan sesuku merupakan sebuah pelanggaran dalam adat, sehingga bagi
masyarakat adat hal tersebut merupakan suatu kebudayaan atau adat istiadat yang
harus dihilangkan. Sehingga permasalahan perlu dibahas mengenai larangan
perkawinan adat masyarakat Minangkabau mengenai latar belakang ketentuan
Akibat
HukumPerkawinan
Sesuku
Alasan Dilarangnya
Perkawinan Sesuku
Latar Belakang Ketentuan
Hukum Perkawinan Adat di
Minangkabau tentang
Larangan Perwinan Sesuku
Perkawinan Beda Suku
(dibolehkan)
Perkawinan
Sesuku (dilarang)
Laki-Laki
(Wa’ang)
Perempuan
(Padusi)
Perkawinan Hukum
Adat Minangkabau
42
hukum perkawinan adat Minangkabau suku Jambak tentang aturan larangan
perkawinan sesuku, alasan dilarangnya perkawinan sesuku di masyarakat suku
Jambak, dan akibat hukum terhadap pelanggar yang melakukan perkawinan
sesuku pada masyarakat suku Jambak.
43
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif empiris.
Pengertian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum
tertulis dari aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi,
lingkup dan materi, penjelasan umum dari pasal demi pasal, formalitas dan
kekuatan mengikat suatu undang-undang tetapi tidak mengikat aspek terapan atau
implementasinya.
Penelitian hukum normatif dengan cara mengkaji hukum tertulis yang bersifat
mengikat dari segala aspek yang kaitannya dengan pokok bahasan yang diteliti.
Sedangkan penelitian hukum empiris (empirical law research) adalah penelitian
hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku (behavior) anggota masyarakat
dalam hubungan bermasyarakat. Dengan kata lain, penelitian hukum empiris me
ngungkapkan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat melalui perbuatan
yang dilakukan oleh masyarakat.37
Penelitian empiris merupakan dari prilaku
nyata sebagai data primer diperoleh dari data lokasi penelitian lapangan (field
research). Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian normatif empiris
37
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya, Bakti,
2004), hlm. 155.
44
dimana penelitian ini akan mengkaji tentang larangan perkawinan sesuku dalam
masyarakat Minangkabau ditinjau dari hukum adat Minangkabau.
B. Tipe Penelitian
Tipe penelitian adalah tipe penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang
menggambarkan secara jelas, rinci dan sistematis mengenai objek yang akan
diteliti.38
Penelitian deskriptif dilakukan dengan tujuan untuk melihat secara jelas,
rinci, dan sistematis mengenai tentang tentang larangan perkawinan sesuku dalam
masyarakat Minangkabau ditinjau dari hukum adat Minangkabau.
C. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan yuridis
sosiologis, yang merupakan penelitian mengenai hukum yang hidup dalam
masyarakat melalui perilaku yang dialami masyarakat, perilaku ini berfungsi
ganda yaitu sebagai pola terapan dan sekaligus menjadi bentuk normatif hukum
dan perilaku dalam masyarakat.39
Subjek dan objek penelitian ini adalah
masyarakat Minangkabau yang berdomisili di Kota Bandar Lampung tentang
tentang larangan perkawinan sesuku dalam masyarakat Minangkabau ditinjau dari
hukum adat Minangkabau.
38
Ibid. hlm. 155. 39
Ibid. hlm. 102.
45
D. Data dan Sumber Data
Dalam penelitian hukum normatif empiris, data yang digunakan adalah data
primer dan sekunder.
1. Data Primer
Data primer adalah adalah data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian
di lapangan yaitu dengan cara melakukan wawancara kepada Herman Nofri
Hosen selaku kepala Paguyuban Keluarga Besar Sumatera Barat dan Surau
Paiaman, Rukka Simbolinggi selaku Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara sebagai informan yang menjadi objek penelitian di wilayah penelitian
yaitu Kota Bandar Lampung. 5 (lima) Responden atas pertanyaan yang diajukan
untuk kepentingan penelitian.
2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan, dengan cara
mengumpulkan dari berbagai sumber bacaan yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti. Informasi tertulis yang diperoleh dalam data sekunder lazim disebut
bahan hukum (law material). Bahkan hukum dapat diklasifikasikan menjadi tiga
golongan, yaitu:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat secara umum seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan penelitian ini anatara lain Undang-Undang Adat Minangkabau 1992-
1993.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer berupa literature-literatur mengenai penelitian
46
ini, meliputi buku-buku ilmu hukum, hasil karya dari kalangan hukum dan
lainnya yang berupa penelusuran internet, jurnal, surat kabar, dan makalah
yang berhubungan dengan perkawinan adat Minangkabau.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kamus hukum, media massa, jurnal, internet, dan informasi lainnya
yang mendukung penelitian ini.39
E. Metode Pengumpulan data dan Metode Pengolahan Data
Berdasarkan pendekatan masalah dan sumber data yang diperlukan, maka
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi pustaka dan
studi lapangan.
1. Studi pustaka
Studi pustaka (library research) adalah metode pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara mempelajari dan menelaah buku-buku atau literature
yang berhubungan dengan objek penelitian. Studi kepustakaan ini penulis
mengumpulkan dan mempelajari berbagai teori dan konsep dasar yang
berhubungn dengan masalah yang diteliti. Teori dan konsep dasar tersebut
penulis peroleh dengan cara menelaah bahan bacaan seperti buku-buku,
literature, peraturan perundang-undangan dan bahan bacaan yang relevan
lainnya. Studi pustaka yang dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder
dengan cara mempelajari konsep perkawinan adat (larangan perkawinan
39
Ibid. Hlm 82
47
sesuku) dengan cara membaca, mengutip, mencatat, dan mengidentifikasi data
yang sesuai dengan permasalahan.
2. Studi lapangan
Studi lapangan berguna untuk mengumpulkan data primer, sedangkan data
primer diperoleh dengan cara wawancara yaitu proses tanya jawab dalam
penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih
bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau
keterangan-keterangan. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi
terkait dengan materi yang dibahas dalam penelitian ini yang dilakukan
terhadap informan yang telah ditentukan yaitu Kepala Keluarga Besar
Sumatera Barat, Bundo Kandung, dan Surau Paiaman. Setelah melakukan
pengumpulan data, selanjutnya pengolahan data yang diperoleh digunakan
untuk menganalisis permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dalam
penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan data, yaitu melakukan pemeriksaan data yang terkumpul
apakah data yang diperoleh sudah cukup lengkap, sudah cukup benar dan
sesuai dengan permasalahan.
b. Klasifikasi data, yaitu dilakukan dengan cara mengelompokkan data sesuai
dengan bidang pokok bahasan agar memudahkan dalam menganalisis.
c. Penyusunan data, yaitu dilakukan dengan cara menyusun dan
menempatkan data pada tiap-tiap pokok bahasan atau permasalahan
dengan susunan yang sistematis sehingga memudahkan dalam
pembahasannya.
48
F. Analisis data
Setelah tahap pengolahan data dilakukan, maka tahap selanjutnya menganalisis
data tersebut. Dalam penelitian ini dipergunakan metode analisis kualitatif.
Analisis kualitatif adalah analisis dengan cara menafsirkan data, dengan
melakukan penafsiran terhadap data yang diperoleh, baik yang berasal dari
peraturan perundang-undangan, wawancara, maupun literatur, Sehingga diperoleh
gambaran yang jelas dan pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan secara induktif
yaitu penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata yang sifatnya
khusus dan telah diakui kebenarannya secara ilmiah menjadi sebuah kesimpulan
yang bersifat umum sebagai jawaban singkat dari permasalahan yang diteliti.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Ketentuan hukum perkawinan adat Minangkabau melalui perkawinan suku
Jambak tentang aturan larangan perkawinan sesuku dalam masyarakat
Minangkabau Menurut pada tambo Minangkabau, suku-suku di Minangkabau
bermula dari ketetapan Datuak Parpatih Nan Sabatang dan Datuak
Katumangguangan. Salah satu aturan yang cukup keras di dalam sebuah suku
adalah larangan nikah sesuku. Perkawinan sesuku dalam adat Minangkabau
kekeluargaan satu suku dibentuk oleh struktur lain yang lebih kecil. Bermula
dari keluarga saparuik (seperut), artinya keluarga yang dilahirkan dari perut
yang sama, dibentuk oleh ayah, ibu dan anak. Kumpulan dari keluarga
saparuik ini kemudian membentuk keluarga sajurai (sejurai).
2. Alasan dilarangnya perkawinan sesuku di masyarakat suku Jambak mereka
tidak tahu dengan prinsip Minangsawah nan bapamatang (sawah Minang dan
pematang sawah), mereka tidak tahu sehingga banyaknya catatan
penyimpangan yang terjadi akibat pergaulan bebas tersebut, berakibat
maraknya terjadi pergaulan dan kawin satu suku (sasuku).
76
3. Akibat hukum terhadap pelanggar yang melakukan perkawinan sesuku pada
masyarakat suku Jambak apabila perkawinan itu dilakukan antara 2 (dua)
orang yang memiliki hubungan darah maka sanksi yang diberikan adalah
buang saro. Pelaksanaan sanksi buang saro'adalah dengan cara meminta
kepada yang bersangkutan untuk pergi dengan sukarela, tapi apabila ia tidak
mau pergi dari kampungnya secara sukarela ia akan diusir secara paksa oleh
orang kampungnya. Apabila perkawinani itu dilakukan oleh orang yang
sesuku tetapi tidak memiliki hubungan darah maka setelah sanksi dijatuhkan
terhadap pelaku perkawinan sesuku akan dikucilkan dalam pergaulan hidup
bermasyarakat ia tidak dibawa sailia samudiak oleh orang kampungnya
sampai ia membayar denda yaitu mandabiah saikua kace dan mengundang
ninik mamak dalam sebuah perjamuan. Sanksi yang akan diberikan terhadap
pelaku perkawinan sesuku ini terlebih dahulu dimusyawarahkan oleh para
ninik mamak.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Azami, Buchari Nurdin, Abizar, Alwir Darwis, dkk. 1997. Adat dan Upacara
Perkawinan Daerah Sumatera Barat. Jakarta: CV. Eka Dharma edisi II.
Ali, Lukman. 1994. Unsur Adat Minangkabau Dalam Sastra Indonesia 1922-
1956. Jakarta: Balai Pustaka.
Bandaro, 2010. Perkawinan Eksogami Dalam Masyarakat Adat Minangkabau.
Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1997. Adat dan Upacara
Perkawinan Daerah Sumatera Barat, Jakarta: CV. Eka Dharma.
Dirdjosisworo, Soedjono. 2010. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Hanafi, Yusuf. 2011. Kontrovensi Perkawinan Anak di Bawah Umur. Bandung:
Mandar Maju.
Hadikusuma, Hilman. 1990. Hukum Adat Perkawinan. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
__________. 1997. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
__________. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Penerbit
Maju Mandar Maju.
__________. 2003. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara
Adatnya Bandung: Citra Aditya Bakti.
__________. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Agama. Bandung: Mandar Maju.
__________. 2014. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi.
Bandung: Mandar Maju.
Manahan, Sitompul. Seminar Nasional Unit Kegiatan Mahasiswa Mahkamah
Fakultas Hukum Univeritas Lampung dengan tema “Dinamika Eksistensi
Masyarakat Hukum Adat”, Bandar Lampung, Sabtu, 05 Mei 2018, pukul
10.00 WIB.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Samosir, Djamanat. 2013. Hukum Adat Indonesia Eksitensi dalam Dinamika
Perkembangan Hukumdi Indonesia Bandung: Nuansa Aulia,
Soepomo. 1984. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradyna Paramita.
Wignjodipoere, Soerjono. 1998. Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung.
Wulansari, Dewi. 2012. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. Bandung: PT.
Refika Aditama.
Zuhrani. 2017. Serba-Serbi Hukum Adat (Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan
Bandar Lampung
B. Undang-undang
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 28B ayat (1).
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1 dan 2.
C. Sumber lain
Beritasumbar.com/5-alasan-mengapa-pernikahan-sesuku-dilarang-di-
minangkabau/ diakses pada tanggal 24 Mei 2018, pukul 14.00 Wib.
http://aster-juanda.blogspot.com/2012/10/makalah-larangankawin-sasuku.html,
diaskes pada tanggal 30 Mei 2018, pukul 00.30 Wib.
http://bachremifananda.wordpress.com/2013/10/15/adat-perkawinan-
minangkabau diakses pada tanggal 16 maret 2017 pukul 12.27 wib
http://caksoni.blogspot.co.id/2012/04/asas-asas-perkawinan-dalam-hukum-
adat.html diakses pada tanggal04 oktober 2017 pukul 20:00 WIB.
http://honeywhite93.blogspot.co.id/2012/12/susunan-masyarakat-hukum-
adat.html, diakses pada tanggal 01 April 2018, pukul 23.57 WIB.
https://www.kompasiana.com/wempi/kawin-sasuku-pantang-adat-
minangkabau_552ac084f17e61703ad623bd, diakses pada tanggal 11 April
2018, pukul 00.54 wib.
http//:www.perkawinan sesuku adat Padang co.id. Diakses pada tanggal 16 Maret
2017, pukul 12.03 wib.
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmfh/article/view/14888, diakses pada tangal
02 April 2018, Pukul 20.02 WIB.
https://www.wonderfulminangkabau.com/nikah-sesuku/ , diakses pada tanggal 21
Mei2018, pukul 14.00 WIB.
http://ejurnal.bunghatta.ac.id/index.php?journal=JFH&page=article&op=viewFile
&path[]=5704&path[]=4826, dikases pada tanggal 30 Mei 2018, pukul
01.53 Wib.
http://repository.unand.ac.id/17276/1/SANKSI_ADAT_TERHADAP_PERKAWI
NAN_SESUKU.pdf, diakses pada tanggal 30 Mei 2018, pukul 01.23 Wib.