laporan penelitian · kemasyarakatan di mahkamah konstitusi . kelompok peneliti : bisariyadi nip....

127
KEPANITERAAN DAN SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA LAPORAN PENELITIAN KONSTITUSIONALITAS PEMBATASAN KEBEBASAN BERSERIKAT: Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan di Mahkamah Konstitusi Kelompok Peneliti : Bisariyadi NIP. 19790103 200604 1 003 Abdul Ghoffar NIP. 19800701 200712 1 001 Intan Permata Putri Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi 2014 i

Upload: others

Post on 07-Jan-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KEPANITERAAN DAN SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN PENELITIAN

KONSTITUSIONALITAS PEMBATASAN KEBEBASAN BERSERIKAT:

Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan di Mahkamah Konstitusi

Kelompok Peneliti : Bisariyadi NIP. 19790103 200604 1 003 Abdul Ghoffar NIP. 19800701 200712 1 001 Intan Permata Putri

Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi

2014

i

D A F T A R I S I

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 12

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebebasan Berserikat 14

B. Pembatasan terhadap Kebebasan Berserikat 20

C. Masyarakat Sipil (civil society) 26

D. Organisasi Kemasyarakatan 34

E. Hubungan Negara dan Organisasi Kemasyarakatan 41

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian 46

B. Metode Pendekatan 47

C. Sumber penelitian Hukum 47

D. Metode Pengumpulan Data 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perkembangan Organisasi Kemasyarakatan 51

B. Konstitusionalitas Definisi Organisasi Kemasyarakatan menurut

Undang-Undang Ormas 60

C. Konstitusionalitas Pembatasan Kebebasan Berserikat secara Prosedural

dalam Undang-Undang Ormas 88

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 112

B. Saran 116

Daftar Pustaka

LAMPIRAN

Lampiran I. Daftar Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat

yang Terdaftar di Kementerian Dalam Negeri Tahun 2010

ii

Abstraksi

Kajian mengenai organisasi kemasyarakatan lebih banyak dilakukan oleh

ilmu-ilmu sosial politik. Ketika Mahkamah Konstitusi menerima perkara

judicial review Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan, persoalan organisasi kemasyarakatan tidak hanya

menjadi milik kajian ilmu sosial politik semata. Kadar konstitusionalitas

keberlakuan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan sejatinya tidak

semata diukur dengan bejana hukum konstitusi. Polemik rumusan

pengertian “organisasi masyarakat” menjadi persoalan utama yang perlu

mendapat perhatian karena rumusan pengertian ini menjadi roh yang

menjiwai pengaturan dalam seluruh Undang-Undang Ormas. Selain itu,

pengaturan hal-hal yang bersifat prosedural perlu diukur dari parameter

sejauhmana negara dapat campur tangan membatasi kebebasan

berserikat warga negara. Penelitian ini mencoba mengkaji dua

permasalahan besar ini. Manfaat penelitian ini adalah untuk memberi

masukan atas pemeriksaan perkara judicial review Undang-Undang Ormas

di Mahkamah Konstitusi. Kajian ini tidak dimaksudkan untuk

mempengaruhi pendapat para hakim konstitusi yang belum menjatuhkan

putusan atas perkara tersebut. Penelitian ini sekedar masukan serta

dimaksudkan untuk mengisi kekurangan penelitian atas kajian-kajian

mengenai ormas terutama dari sudut pandang hukum, terutama hukum

tata negara.

iii

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan hak alami (natural

rights) 1 yang dimiliki oleh setiap individu. Karakteristik dasar manusia

sebagai makhluk sosial menjadikannya hidup berkelompok dalam

masyarakat. Kecenderungan untuk berkelompok ini juga merupakan

keniscayaan sebagai pemenuhan kebutuhan alamiahnya atau yang disebut

dengan organizational imperatives.2

1 Menurut Natural Rights Theory, hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki oleh seluruh manusia tanpa kecuali. Tidak diperlukan adanya pengakuan untuk pelaksanaan hak asasi manusia ini. Sumber pengakuan adanya hak asasi manusia dalam diri setiap individu berasal dari keberadaan individu itu sendiri di lingkungan masyarakat. Pengakuan sebagai salah satu syarat berlakunya suatu hak asasi manusia akan membatasi pelaksanaan hak asasi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu hak asasi manusia dalam hal pengakuan hukum juga akan menjadi terbatas. Bentuk pengakuan ini secara tidak langsung akan mengubah definisi hak asasi manusia menjadi hak warga Negara, sebab kealamiahan manusia sebagai pemilik suatu hak asasi akan menjadi sangat terbatas dan terkesan sebagai hak yang diberikan bukan hak yang ada sejak lahir. Konsep Natural Rights Theory ini berkembang dalam abad ke 18 dan ke 19, tokoh-tokoh yang berpikiran sama mengenai konsep Natural Rights Theory antara lain adalah John Locke, Montesquieu, J.J Rousseau dan Immanuel Kant. Hasil pemikiran ini dicantumkan dalam beberapa bentuk perjanjian, seperti Bill of Rights(1689), Colonial America’s Declaration of Independence (1776), Declaration des droits de l’homme et du citoyen (1789), Universal Declaration of Human Rights(1948). Lihat Muladi, Hak Asasi Manusia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), hal. 37.. Lihat juga Slamet Marta Wardaya. Hakekat Konsep dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam buku kumpulan artikel Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: PT Refika Aditama. 2009. Cet. Ketiga. Hal. 3

2 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) cet. ketiga, hal. 44

1

Instrumen internasional mengakui dan memberi jaminan setiap individu

akan hak berserikat dan berkumpul. Pasal 20 (1) Universal Declaration of

Human Rights menyebutkan bahwa “everyone has the right to freedom of

peaceful assembly and association”. Penekanan pada instrumen

internasional ini adalah pada kata setiap orang (everyone), yang artinya

lingkup jaminan atas hak kebebasan berserikat dan berkumpul adalah

untuk semua orang tanpa terkecuali. Namun, bukan berarti bahwa

kebebasan berserikat dan berkumpul diimplementasikan tanpa batasan.

Setiap negara yang menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul

dalam aturan konstitusionalnya juga mencantumkan klausula pembatasan

kebebasan berserikat dan berkumpul, salah satunya Indonesia. UUD 1945

memberikan jaminan yang sama kepada setiap warga negaranya untuk

berserikat dan berkumpul. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin bahwa

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan

mengeluarkan pendapat”. Pelaksanaan kebebasan berserikat dan

berkumpul ini dalam UUD 1945 bagi setiap orang wajib tunduk pada

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.3

Kebebasan berserikat dan berkumpul bagi warga negara

diimplementasikan dengan beragam bentuk dan jenis organisasi.

Keragaman bentuk dan jenis organisasi yang ada di masyarakat adalah

seiring dengan kompleksitas dinamika masyarakat itu sendiri. Dalam

kerangka hubungan domain pemangku kepentingan kekuasaan antara

3 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28J ayat (2).

2

negara (state), pasar (market) dan masyarakat (civil society) terdapat

penggolongan bentuk dan jenis organisasi. Organisasi yang erat kaitannya

dengan negara (state) dan tujuan pembentukannya adalah untuk

memperoleh kekuasaan (power) adalah partai politik. Pembahasan

akademik dan penelitian dari beragam perspektif mengenai organisasi

partai politik banyak dilakukan. Partai politik memperoleh tempat

tersendiri dalam pembahsan mengenai sendi-sendi ketatanegaraan dan

mendapat peran yang penting bagi kehidupan berdemokrasi. Dilain sisi,

terdapat pula individu sebagai warga negara (citizen) yang berkelompok

tanpa bertujuan untuk memperoleh kekuasaan namun dalam aktivitasnya

berhadapan dengan negara (state). Tidak hanya berhubungan dengan

negara (state), individu yang berkelompok (civil society) juga sering kali

berhadapan dengan pasar (market), dalam pola hubungan konsumen dan

produsen.4 Kelompok masyarakat ini yang digolongkan sebagai ormas

dengan beragam penyebutannya, baik itu civil society organisation (CSO),

non-governmental organisation (NGO), organisasi non pemerintah

(ornop), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sebagainya. Dalam

hubungan antara ormas dengan negara memiliki pola yang tidak seragam,

baik pada sifat maupun modelnya. Pola relasi ini dipengaruhi oleh

berbagai faktor, baik dari eskalasi situasi negara, dinamika internal

organisasi masyarakat sipil, maupun konteks ruang dan waktu relasi

keduanya. Secara garis besar, paling tidak ada dua pola hubungan yaitu

4 Op. Cit., Jimly Asshiddiqie, hal 45

3

(i) yang menempatkan masyarakat sipil sebagai “the other” bagi negara

dan, (ii) yang menempatkan masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan.5

Dalam lingkup hukum positif, pengaturan mengenai partai politik dan

ormas dibedakan secara diametral. Dapat disimpulkan bahwa pola

penggolongan kelompok masyarakatpun dalam rangka memberi jaminan

kebebasan berserikat dan berkumpul dibedakan antara pengaturan

mengenai partai politik dan pengaturan mengenai ormas. Dalam hukum

positif Indonesia, pembatasan kebebasan berserikat dan berkumpul warga

negara dibatasi dengan berlakunya UU mengenai partai politik6 dan UU

mengenai ormas.7

Pelaksanaan kebebasan berserikat dan berkumpul warga negara yang

tergabung dalam ormas diatur dengan UU nomor 17 tahun 2013. Dalam

kenyataan di masyarakat, pemberlakuan UU ormas ini ditolak terutama

dari kalangan ormas sendiri. Kontroversi penolakan pemberlakuan UU

mengenai ormas bukanlah hal yang baru. Ketika UU nomor 8 tahun 1985

diberlakukan pun, masyarakat banyak yang menolak keberadaannya.

5 Halili, “Tantangan Kontemporer Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Gerakan Hak Asasi Manusia”, CIVICS (Jurnal Kajian Kewarganegaraan) Volume 6, Nomor 1, Juni 2009

6 Indonesia, UU nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas UU nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Sebelumnya, pernah berlaku Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-Partai; Undang-Undang Nomor 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya; Undang-Undang Nomor 3 tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik

7 Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan; Sebelumnya, pernah berlaku Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

4

Alasan yang diajukan pun tetap sama bahwa pemberlakuan UU ormas

melanggar kebebasan berserikat dan berkumpul8.

Pada era Orde Baru, pelembagaan organisasi masyarakat (ormas)

diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985

tentang Organisasi Kemasyarakatan. Permasalahannya, pengaturan

pelembagaan organisasi masyarakat tidak didukung oleh sistem politik

saat itu yang tidak menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul.

Keberadaan UU Nomor 8 Tahun 1985 justru dimaksudkan untuk

memperkuat kontrol negara terhadap kehidupan berserikat dan berkumpul

bagi warga negara. Pemberlakuan asas tunggal Pancasila sebagai satu-

satunya asas pembentukan organisasi kemasyarakatan menjadi salah satu

alat negara untuk mengontrol ormas. Selain itu, peran negara sangat

dominan dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya ormas dengan

memberikan fasilitas negara sebesar-besarnya. Hal ini dilakukan terutama

untuk ormas berbasis profesi seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Komite Nasional Pemuda

Indonesia (KNPI), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang pada

umumnya mengarah pada organisasi tunggal.9

Ormas diarahkan menjadi wadah partisipasi masyarakat dalam

pembangunan sesuai dengan politik hukum pada zaman Orde Baru yang

mengusung jargon pembangunan. Oleh karena itu, UU Ormas menjadi

9 DPR RI, Naskah Akademis RUU Organisasi Masyarakat

5

satu paket dalam UU politik yang termasuk didalamnya adalah UU tentang

Partai Politik dan UU tentang Pemilihan Umum. Selain itu ormas juga

menjadi alat kekuatan orde baru dengan mengafiliasikan diri dengan satu-

satunya golongan kekaryaan yang ikut serta dalam politik, yaitu Golongan

Karya (Golkar).10

Perkembangan ormas, pada saat itu, juga ditandai dengan munculnya

lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki karakteristik yang

berbeda dengan ormas yang telah terbentuk sebelumnya. LSM lebih

banyak digagas oleh beberapa orang yang memiliki basis isu dan kajian

dan seringkali merupakan organisasi yang bersifat kritis terhadap

kebijakan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.

LSM yang dalam bahasa Indonesia juga sering digunakan istilah organisasi

non-pemerintah (Ornop), memiliki padanan dengan istilah non-

governmental organization (NGO). Dalam perkembangan wacana

internasional, NGO/LSM merupakan salah satu agen demokrasi yang

10 Pengaturan Organisasi Masyarakat di orde baru dilaksanakan melalui UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat. Watak regulasi produk rezim otoriter saat itu adalah membungkam kebebasan berekspresi dan berserikat masyarakat sipil dalam disain korporatik. Regulasi itu sebagai instrument pemerintah untuk mengontrol warganya agar tidak tumbuh partisipasi kritis pengimbang jalannya kekuasaan. Terbukti UU Organisasi Masyarakat versi Orde Baru telah melumpuhkan masyarakat dan mereproduksi watak kekuasaan yang otoriter. Masyarakat tidak berdaya, sementara negara melakukan represi dengan sejumlah pelanggaran atas konstitusi. Begitu besarnya pengaruh tekanan pemerintah yang menganut system otoritarian terhadap Baik kebebasan berserikat dan berkumpul, sulit bagi untuk menghindari campur tangan kekuasaan pemerintah, guna mempertahankan kekuasaannya, agar kesalahan-kesalahan yang terjadi dan yang dilakukan oleh pemerintahannya tidak ekpose diruang publik. Lihat dalam Jamhur Poti. Demokratisasi Media Massa dalam Prinsip Kebebasan Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Vol. 1, No. 1, 2011, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji.

6

dianggap penting.11 Konsepsi LSM ini juga diadopsi dan diimplementasikan

di Indonesia. Peranan LSM yang banyak menyuarakan aspirasi masyarakat

dan melakukan advokasi kebijakan yang berpihak pada masyarakat

meneguhkan eksitensinya. LSM yang bermunculan ini disandingkan

dengan konsep ormas yang telah diatur dalam UU ormas. Dalam

prakteknya selama orde baru, terjadi relasi yang kritis antara LSM dan

negara, apalagi ketika negara semakin terjebak pada rezim pemerintahan

otoriter. Di masa itu, LSM diposisikan menjadi opisisi pemerintah. Jaminan

atas kebebasan berserikat dan berkumpul dan menyatakan pendapat

melalui ormas/LSM dibatasi oleh pemerintah untuk melalui pengaturan UU

ormas.

Memasuki era Reformasi, pertumbuhan ormas sangat pesat. Ormas,

terutama dengan bentuk LSM/NGO, banyak bermunculan dengan latar

belakang yang sangat beragam misalnya atas dasar profesi, etnis

(kedaerahan), kepemudaan, kemahasiswaan, keagamaan dan lain-lain.

Ormas/LSM juga bermunculan di tingkat nasional dan dan didaerah. Selain

itu, ada ormas/LSM yang berafiliasi dengan jaringan organisasi

internasional. Pesatnya perkembangan ormas tidak diiringi dengan

penyesuaian peraturan. UU ormas yang telah berlaku selama 28 tahun

dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Oleh karena itu, pembentuk UU menerbitkan UU Nomor 17 tahun 2013

11 Peter Willets, “What Is a Non-Governmental Organization?”, UNESCO Encyclopaedia of Life Support Systems, Section 1 Institutional And Infrastructure Resource Issues, Article 1.44.3.7, http://www.staff.city.ac.uk/p.willetts/CS-NTWKS/NGO-ART.HTM diunduh pada 5 Maret 2014.

7

tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menggantikan UU Nomor 8

tahun 1985.

Namun demikian, revisi UU ormas ini mengalami penolakan dari sejumlah

kelompok masyarakat, terutama kalangan ormas sendiri. Bahkan,

penolakan terhadap UU ormas telah dimulai ketika masih dalam

pembahasan RUU. Pembahasan isi RUU Ormas, kala itu, dinilai sebagai

sebuah langkah mundur dalam kehidupan berdemokrasi karena

keberadaan UU Ormas justru mengekang kebebasan berserikat,

berkumpul, dan berorganisasi di Indonesia.12 Banyak kalangan ormas

menyatakan penolakan terhadap RUU ormas. Setidaknya ada beberapa

alasan yang melandasi penolakan dari kalangan ormas terhadap

12 Lihat berita-berita mengenai penolakan pembahasan RUU Ormas seperti yang termuat dalam http://www.jurnalparlemen.com/view/2362/makin-membesar-penolakan-terhadap-ruu-ormas.html “Jakarta - Sejumlah organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lebih suka DPR membahas RUU Perkumpulan ketimbang RUU Ormas. Sikap penolakan terhadap pembahasan RUU Ormas makin membesar. Para penolak tak hanya berasal dari kelompok LSM yang berafiliasi dengan lembaga donor dari Barat, tapi juga dari kalangan ormas keagamaan. Bahkan, menurut Direktur Eksekutif PSHK Ronald Rofiandri, sikap itu menjalar hingga ke ormas keagamaan, asosiasi buruh, organisasi wartawan, pelajar, dan akademisi. Bahkan pula lembaga negara seperti Komnas Hak Asasi Manusia dan Komisi Hukum Nasional memberikan catatan khusus. Begitu pula dengan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa. "Intinya, kami meminta UU No. 8/1985 tentang Ormas tidak dilanjutkan. Kembalikan saja kepada UU Yayasan dan RUU Perkumpulan," kata Ronald Rofiandri di Jakarta, Minggu (31/3). Imam Aziz dari PBNU mengatakan bahwa RUU Ormas coba membungkam sikap kritis masyarakat. Materinya tumpang tindih dengan UU Yayasan. Bagi NU, lebih baik yang diatur oleh pemerintah adalah badan hukumnya (bentuk badan perkumpulan) saja. Ia berharap badan amal usaha di bawah NU tidak terjebak pada birokratisasi. Zuly Qodir dari PP Muhammadiyah berpendapat bahwa RUU Ormas merupakan tindak lanjut negara dan aparatur dalam menindas ormas, khususnya ormas keagamaan. Muhammadiyah tak jarang menerima sumbangan tanpa mencantumkan identitas. Terkadang pula, kata dia, melakukan serangkaian aktifitas pemantauan lapangan. "Apakah kemudian dikategorikan sebagai larangan seperti yang dimaksud Pasal 61 ayat (3) huruf c atau sebagai kegiatan intelijen yang dalam Pasal 61 ayat 5 (RUU Ormas versi 15 Maret 2013) dilarang?" ujarnya. Kamis (28/3), ratusan anggota ormas keagamaan Hizbut Tahrir menggelar unjuk rasa menolak RUU Ormas di depan Kompleks Parlemen Senayan. Aksi ini merupakan salah satu rentetan dari aksi-aksi sebelumnya yang dilakukan kelompok penolak aturan baru bagi ormas.”

8

pembahasan RUU ormas kala itu. Pertama, paradigma yang mendasari

RUU Ormas meletakkan masyarakat sipil sebagai ancaman terhadap

pemerintah, sehingga ditempatkan sebagai objek yang harus diatur,

diawasi, dan ditertibkan. Oleh karenanya, Negara perlu melakukan kontrol

dan pengawasan terhadap organisasi masyarakat sipil. Kedua, pandangan

mengenai kontrol dan penertiban ormas oleh negara terhadap ormas-

ormas yang kerap melakukan kekerasan dan pengerusakan merupakan

pandangan yang keliru. Persoalan kekerasan yang dilakukan oleh ormas-

ormas tertentu tersebut bukan merupakan persoalan normatif akibat

kekosongan hukum, melainkan persoalan empirik atau problem

penegakan hukum yang bertumpu pada kinerja aparat penegak hukum.

Aparat penegak hukum dapat menjangkau perbuatan anarkhis dengan

menggunakan aturan pidana yang berlaku, seperti KUHP, UU terorisme,

UU pendanaan terorisme, atau UU tentang pencucian uang. Ketiga, dalam

perspektif kelembagaan terjadi ketidakjelasan dan tumpang tindih aturan

yang mengatur ormas sebagai badan hukum seperti dalam UU Yayasan

dan aturan hukum tentang perkumpulan. Jika pembuat UU merasa aturan

tentang perkumpulan ataupun yayasan sudah tidak dapat menjawab

persoalan hukum kekinian mengenai keberadaan ormas maka selayaknya

aturan mengenai yayasan dan perkumpulan yang diperbaharui atau

disempurnakan.

Tindak lanjut penolakan ormas terhadap pembahasan RUU berujung di

meja pengadilan. Tidak lama sejak UU nomor 17 tahun 2013 disahkan

oleh pemerintah dan DPR, salah satu ormas Islam besar di Indonesia,

9

Muhammadiyyah, mengajukan permohonan pengujian UU ormas ke

Mahkamah Konstitusi.13 Setelah itu, beberapa ormas dan perseorangan

warga negara juga menggabungkan diri dan mendaftarkan gugatan

pengujian UU ormas.14

Sejumlah persoalan norma dalam UU ormas diajukan para pemohon

dalam uji materiil UU ormas sebagai obyek pengujian konstitusional.

Namun, secara garis besar persoalan pengaturan UU ormas ini adalah

mengenai pengaturan berlebihan oleh negara terhadap ormas dan

berdampak pada pembatasan ruang geraknya. Aturan pembatasan ruang

gerak ini melanggar kebebasan warga negara untuk berserikat dan

berkumpul yang merupakan seharusnya mendapatkan jaminan

konstitusional.

Disisi lain, pembuat UU menyatakan telah memperhatikan masalah

pembatasan hak konstitusional warga negara untuk berserikat dan

berkumpul. Dalam Naskah Akademis RUU Ormas, pembuat UU menyadari

bahwa pembatasan kebebasan warga negara oleh UU haruslah

berdasarkan alasan yang dapat diukur secara rasional (reasonable

ground).15 Oleh sebab itu, Pembuat UU mempertimbangkan Prinsip

13 Perkara nomor 82/PUU-XII/2013 diregistrasi oleh Kepaniteraan MK pada tanggal 23 September 2013 yang diajukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyyah.

14 Perkara nomor 3/PUU-XIII/2014 diregistrasi oleh Kepaniteraan MK pada tanggal 9 Januari 2014 yang diajukan oleh Yayasan Fitra Sumatera Utara; Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Perkumpulan Indonesian Corruption Watch (ICW); Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika); Ir. H. Said Iqbal; M. Choirul Anam, S.H.; Poengky Indrarti, S.H.

15 DPR RI, Naskah Akademis RUU Ormas hal. 14

10

Siracusa (Siracusa Principles)16 sebagai acuan untuk mengukur

pembatasan hak kebebasan berserikat dan berkumpul dalam UU ormas.

Aturan dalam UU ormas disusun dengan mengacu pada standar

berdasarkan konvensi internasional sehingga tidak mungkin aturan UU

ormas ini melanggar hak konstitusional warga negara untuk berserikat dan

berkumpul.

Perbedaan perspektif antara pembuat UU dan pemohon uji materi UU

Ormas ini yang menjadi obyek penelitian. Disatu sisi, pembuat UU

menyatakan telah mempertimbangkan alasan pembatasan kebebasan

berserikat dan berkumpul disesuaikan dengan ukuran yang berlaku secara

internasional. Disisi lain, para pemohon yang diwakili oleh ormas

menyatakan bahwa UU ormas yang berlaku tetap mengekang ruang gerak

kebebasan berserikat dan berkumpul yang dimilikinya.

Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menjawab setiap isu

konstitusionalitas norma yang diperiksa oleh Majelis Hakim Konstitusi

dalam perkara nomor 82/PUU-XII/2013 dan 3/PUU-XIII/2014. Secara

umum, tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan tingkat

konstitusionalitas keberlakuan UU ormas dengan diukur dari implementasi

jaminan konstitusionalitas kebebasan berserikat dan berkumpul yang

diatur dalam UUD 1945. Dari tujuan umum ini dirumuskan dua

permasalahan utama yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu (i)

16 United Nations, Economic and Social Council, Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights, U.N. Doc. E/CN.4/1985/4, Annex (1985).

11

mengenai batasan dan lingkup konsepsi ormas dan (ii) pola relasi ideal

antara negara dan ormas.

Berkaitan dengan 2 (dua) permasalahan besar yang menjadi materi

penelitian ini, terdapat beberapa isu-isu turunan yang akan diulas secara

mendalam. Dalam hal pembahasan mengenai batasan dan lingkup

konsepsi ormas, pertanyaan-pertanyaan yang terungkap adalah siapa saja

yang termasuk dalam lingkup pengertian ormas? Variabel-variabel apa

yang tepat untuk memberi batasan lingkup ormas? Apakah definisi ormas

sebagaimana diatur dalam UU ormas menimbulkan kerancuan dan

menimbulkan ketidakjelasan? Sedangkan, dalam permasalahan kedua,

penelitian ini mencari pola relasi ideal antara negara dan ormas dalam

pengaturannya di UU ormas. Permasalahan ini lebih lanjut dikupas dalam

hal kontrol negara dalam UU ormas mengenai syarat dan tata cara

pendirian ormas, pola pemberdayaan yang difasilitasi oleh pemerintah,

serta mengenai pembubaran ormas.

B. RUMUSAN MASALAH

Secara garis besar, 2 (dua) permasalahan utama dalam penelitian ini

adalah :

1. Apa yang termasuk dalam lingkup organisasi kemasyarakatan?

2. Bagaimana konstruksi hubungan ideal antara negara dan ormas,

dimana negara berwenang untuk mengatur ormas sekaligus

menjamin pelaksanaan kebebasan berserikat dan berkumpul?

12

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

a. Menemukan konsepsi ideal mengenai organisasi kemasyarakatan

dan mengadopsi konsepsi itu untuk mengukur batasan organisasi

kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam UU nomor 17 tahun

2013;

b. Menemukan konsepsi ideal mengenai pola relasi antara ormas dan

negara untuk dijadikan ukuran konstitusionalitas keberlakuan UU

nomor 17 tahun 2013 sebagaimana dijadikan sebagai obyek

permohonan uji materiil di Mahkamah Konstitusi.

2. Manfaat Penelitian

Secara ideal, penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengisi ruang

kosong pembahsan akademis mengenai keberadaan organisasi

masyarakat dan pola hubungan negara (state) dan civil society. Disisi

lain, secara praktis penelitian ini adalah merupakan kajian dari

perkara yang sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. Adalah

harapan dari peneliti bahwa kajian ini dapat bermanfaat bagi

Mahkamah Konstitusi, tempat bernaung para peneliti, dalam

memutus perkara uji materiil UU ormas, yaitu perkara nomor

82/PUU-XII/2013 dan 3/PUU-XIII/2014.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KEBEBASAN BERSERIKAT (FREEDOM OF ASSOCIATION)

Hak-hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang diakui secara universal

sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat

kelahiran manusia itu sebagai manusia. Pengakuan atas adanya hak-hak

manusia yang asasi memberikan jaminan, secara moral maupun demi

hukum, kepada setiap manusia untuk menikmati kebebasan dari segala

bentuk perhambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan atau

perlakuan apapun lainnya yang menyebabkan manusia itu tak dapat hidup

secara layak sebagai manusia.17

Dalam perkembangannya, hak asasi manusia tersebut diatur dalam

berbagai instrumen nasional maupun internasional yang pada prinsipnya

bertujuan melindungi manusia dari berbagai praktik yang bertentangan

dengan harkat dan martabat manusia.

Salah satu hak yang dianggap sebagai salah satu yang hak fundamental

bagi manusia adalah kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi

(freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly),

17 Soetandyo Wignjosoebroto, Hak-Hak Asasi Manusia Konsep Dasar Dan Perkembangan Pengertiannya Dari Masa Ke Masa, Bahan Bacaan Kursus HAM Pengacara, ELSAM

14

dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression). Hak ini

dikenal sebagai tiga kebebasan dasar yang merupakan bagian dari konsep

hak-hak asasi manusia, terutama dalam rumpun hak sipil dan politik.

Secara nasional perlindungan terhadap hak-hak terkait dengan kebebasan

berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat diatur dalam UUD

1945. Pasal 28 UUD 45 sebelum amandemen menyatakan bahwa

“Kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan

dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Landasan

konstitusional ini memberi jaminan atas

1) Kemerdekaan seseorang atau kelompok masyarakat untuk

berserikat;

2) Kemerdekaan seseorang atau kelompok masyarakat untuk

berkumpul;

3) Kemerdekaan seseorang atau kelompok masyarakat untuk

meyatakan pendapat secara lisan maupun tulisan;

Akan tetapi secara tersirat pasal tersebut mengandung pengertian bahwa

kebebasan berserikat adalah “pemberian negara” melalui undang-

undang.18

Menurut James A. Donald hukum yang baik berawal dari natural right ini

karena “True law derives from this right, not from the arbitrary power of

18 Jakob Tobing, Kebebasan Berserikat Sebagai Hak Asasi, Civis Vol. 3 No. 1 Jul 2011

15

the omnipotent state”.19 Dengan kata lain, hak asasi bukanlah suatu

pemberian negara. Pengaturan terhadap kemerdekaan berserikat dan

berkumpul pada Pasal 28 UUD 1945 tersebut hanya sebatas pada

pengakuan tapi tetap belum menjamin terlaksana kemerdekaan berserikat

dan berkumpul tersebut karena harus “ditetapkan undang-undang”.

Dengan demikian, sebelum ditetapkan dengan undang-undang masih

belum ada jaminan terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul

tersebut. Apabila dikaitkan dengan konsep natural right maka

kemerdekaan berserikat dan berkumpul itu merupakan suatu hak yang

alami melekat pada setiap manusia karena manusia memiliki kebutuhan

untuk berserikat dan berkumpul yang kemudian berubah menjadi hak

warga negara karena kealamiahan manusia sebagai pemilik suatu hak

asasi akan menjadi sangat terbatas dan terkesan sebagai hak yang

diberikan bukan hak yang ada sejak lahir.

Perdebatan para Founding Fathers dalam merumuskan Pasal 28 UUD 1945

juga terjadi dalam hal menentukan subyek dari kemerdekaan berserikat

dan berkumpul tersebut dengan mencantumkan subyek warga negara

atau penduduk karena hal ini berkaitan dengan hak rakyat. Pada risalah

naskah persiapan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya berkaitan

dengan perdebatan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, tanggal 15

Juli 1945. Anggota SUPOMO mengusulkan: 20

19 James A. Donald, “Natural Law and Natural Rights”, http://jim.com/rights.html, diunduh tanggal 12 September 2014

20 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, cet. I. (Djakarta: Jajasan Prapantja, 1959), hal. 357-359

16

“... kami usulkan suatu aturan jang mengandung kompromis, akan tetapi tidak akan menentang sistimatik rantjangan anggaran dasar ini, jalah dengan menambahkan didalam undang-undang suatu pasal jang berbunyi: “Hukum jang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul, untuk mengeluarkan fikiran secara lisan atau tulisan dan lain-lain diatur dengan undang-undang”. Dengan ini, pertama, kita tidak mengemukakan hak jang dinamai subjectiefrecht, seperti hak perseorangan, oleh karena itu adalah hasil aliran fikiran perseorangan, akan tetapi disini hal itu disebut hukum; bagaimanapun djuga diatur dalam undang-undang, bahwa hukum jang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul, untuk mengeluarkan fikiran dengan lisan ditetapkan dalam undang-undang. Dengan demikian hal itu adalah kewadjiban. Ketentuan itu mewadjibkan Pemerintah untuk membikin undang-undang tentang hal itu. Djadi dengan ini para anggota jang hendak mendorong kepada sidang untuk memasukkan hal itu mudah-mudahan hendakja puas. Usul tuan Hatta bunjija begini: “Hak rakjat untuk menjatakan perasaan dengan lisan dan tulisan, hak bersidang dan berkumpul, diakui oleh negara dan ditentukan dalam undang-undang”. Kalau begini bunjija, sebetulnja menjatakan ada pertentangan antara rakjat dengan negara. Akan tetapi jang dimaksud oleh tuan Hatta sebetulnja, supaja Pemerintah membuat undang-undang tentang hal itu dan sudah tentu hukum jang menetapkan hak bersidang itu tidaklah nanti ada undang-undang jang melarangnja. Tidak, sebab itu Panitia mengusulkan:”Hukum jang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul untuk mengeluarkan fikiran secara lisan atau tulisan dan lain-lain diatur dengan undang-undang”

Atas usulan tersebut, Yamin berpendapat :

“Saja hanja minta perhatian betul-betul, karena jang kita hitjarakan ini hak rakjat. Kalau hal ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kechilafan dari pada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan undang-undang hukum dasar, besar sekali dosanja buat rakjat dosanja buat rakjat jang menanti-nantikan hak dari pada republik; misalnja mengenai jang tertudju kepada warga negara, djangan dipikirkan bahwa

17

hanja warga-negara jang akan mendapat hak, djuga penduduk akan diperlindungi oleh republik ini. Djadi harus dipikirkan betul-betul redaksinja; pertama-tama harus djelas buat republik. Djadi sudah terang bahwa dibelakang perkataan “warga negara” harus ditambah “penduduk”, seperti diatur oleh konstitusi-konstitusi lain berhubungan dengan hak souvereiniteit negara-negara lain.”

Dari kutipan risalah itu maka dapat diketahui bahwa pengaturan

kemerdekaan berserikat dan berkumpul di Indonesia sudah ada lebih

dahulu daripada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB Tahun 1948. Tetapi

jaminan terhadap pelaksanaan kemerdekaan berserikat dan berkumpul

tersebut belum ada karena “ditetapkan dengan undang-undang”.

Perbaikan terhadap substansi Pasal 28 UUD 45 dilakukan melalui

Amandemen UUD 45 tahap ke-2 tahun 2000 yang mempertegas dan

sekaligus memperluas makna kebebasan berserikat dan berkumpul dalam

UUD 45. Isi Pasal 28 tersebut di atas adalah : “kebebasan berserikat dan

berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya

ditetapkan dengan undang-undang”, tetap dipertahankan tetapi esensi

kebebasan berserikat ditegaskan bukan sebagai pemberian negara, tetapi

sebagai bagian dari hak asasi manusia yang melekat pada warga dan

dihargai oleh Negara. Pasal 28E ayat (3) menegaskan bahwa “setiap

orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan

pendapat”.

Dengan demikian dapat diartikan bahwa hak atas kebebasan berserikat

dan berkumpul dan mengeluarkan pendapat bukan saja merupakan

substansi HAM semata-mata, akan tetapi juga merupakan hukum positif

18

karena mendapat pengakuan konstitusi oleh negara. Substansi HAM yang

dimaksud ketentuan tersebut dari kata “setiap orang”, jadi yang dijamin

dan diakui UUD NRI Tahun 1945 adalah hak individu setiap orang bukan

setiap serikat atau kelompok atau perkumpulan.

Kebebasan berserikat masuk dalam ranah hak-hak sipil dan politik yang

menempatkan hak asasi manusia dalam terminologi negatif (freedoms

from) daripada sesuatu yang positif (rights to). Terminologi negatif ini

dikaitkan dengan peran negara bahwa pelaksanaannya sebisa mungkin

untuk bebas dari intervensi negara. Hak-hak sipil dan politik merupakan

generasi HAM pertama yang juga digolongkan sebagai hak negatif. Hak-

hak ini menjamin suatu ruang kebebasan dimana individu sendirilah yang

berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-hak generasi pertama ini dengan

demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-pihak luar, baik negara

maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya, terhadap kedaulatan individu.

Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan dalam

generasi pertama ini sangat tergantung pada absen atau minusnya

tindakan negara terhadap hak-hak tersebut. Jadi negara tidak boleh

berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan

pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut.

Kebebasan berserikat merupakan hak yang juga diatur dalam instrumen

internasional. Pasal 20 Universal Declaration of Human Rights, yang

menyatakan:

1) Everyone has the rights to freedom of peacefull assembly and association,

19

2) No one maybe, compelled to belong to an association”

Begitu juga, Pasal 22 International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) menyebutkan:

1. Everyone shall have the right to freedom of association with others, including the right to form and join trade unions for the protection of his interests.

2. No restrictions may be placed on the exercise of this right other than those which are prescribed by law and which are necessary in a democratic society in the interests of national security or public safety, public order (ordre public), the protection of public health or morals or the protection of the rights and freedoms of others. This Article shall not prevent the imposition of lawful restrictions on members of the armed forces and of the police in their exercise of this right.

3. Nothing in this Article shall authorize States Parties to the International Labour Organisation Convention of 1948 concerning freedom of association and Protection of the Right to Organize to take legislative measures which would prejudice, or to apply the law in such a manner as to prejudice, the guarantees provided for in that Convention.”

Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil

dan Politik (ICCPR) menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005

tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights

(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).

B. PEMBATASAN TERHADAP KEBEBASAN BERSERIKAT

Pengaturan tentang kemerdekaan berserikat, secara bebas diakui. Tiada

suatu pembatasan pun dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini,

kecuali yang ditetapkan oleh hukum dan yang diperlukan dalam

masyarakat demokratis. Oleh karenanya, kemerdekaan berserikat dalam

hal ini tidak dapat diartikan sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang

20

bertanggungjawab, yaitu yang memperhatikan kepentingan masyarakat

demokratis, kepentingan keamanan nasional atau keselamatan umum,

ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan, dan moral umum

atau perlindungan terhadap hak-hak serta kebebasan orang lain.

Kemerdekaan (freedom) dalam pengertian klasik, mengarah pada konsep

individu yang biasanya merujuk pada pemikiran Adam Smith, David Hume,

dan dalam bagian tertentu John Locke. Lebih lanjut, secara intelektual

freedom dirumuskan oleh Robert Nozick, dan Friedrich von Hayek. Dalam

sejarah Indonesia, sebagian perdebatan ini dicerminkan pada perdebatan

founding fathers dalam merumuskan antara hak individu dan pemajuan

sosial dalam UUD 1945 dengan rumusan pertanyaan “untuk apa individu

dilindungi kalau hal tersebut tidak memajukan kemakmuran masyarakat”.

Hayek melihat bahwa sebenarnya layanan publik negara (bahkan jika itu

memang bertujuan melindungi warga negara) hanya akan membuat

warga negara hidup dalam perbudakan modern (serfdom). Sedang Nozick

melihat bahwa hak milik adalah mutlak, tidak soal bagaimana manusia

mendapatkan hak miliknya itu.21 Hak merupakan pengejawantahan dari

martabat manusia dan kebebasan merupakan pengakuan terhadap

eksistensi manusia.

Dengan demikian, kebebasan berserikat sebagaimana telah diatur dalam

UUD termasuk hak yang dapat ditangguhkan. Kebebasan ini dibatasi

21 Lihat Henry Simarmata, Kovenan HAM Internasional: Pandangan Umum mengenai Signifikasi dan Perkembangan, Jurnal HAM 2007 (Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2007), hal. 8-9.

21

dalam rangka masyarakat demokratis, demi kepentingan keamanan

nasional atau keselamatan umum, ketertiban umum, perlindungan

terhadap kesehatan dan moral umum atau perlindungan terhadap hak-hak

serta kebebasan orang lain.

Tidak boleh adanya pengurangan hak kecuali atas kondisi tertentu juga

diatur dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) dan

ICCPR. Pasal 29 DUHAM menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan hak dan

kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada batasan-batasan yang

ditentukan oleh (i) hukum, (ii) semata-mata untuk menjamin pengakuan

dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan (iii)

memenuhi persyaratan-persyaratan moral, (iv) ketertiban umum dan (v)

kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis.

Sedangkan, pada paragraf 22 ICCPR disebutkan bahwa

“Tidak ada satu pun pembatasan dapat dikenakan pada pelaksanaan hak ini, kecuali jika hal tersebut dilakukan (i) berdasarkan hukum (prescribed by law), dan (ii) diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (iii) untuk kepentingan keamanan nasional dan (iv) keselamatan publik, (v) ketertiban umum, (vi) perlindungan terhadap kesehatan atau (vii) moral masyarakat, atau (viii) perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain. Pasal ini tidak boleh mencegah pelaksanaan pembatasan yang sah anggota angkatan bersenjata dan polisi dalam melaksanakan hak ini.”

Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur di

dalam ICCPR diterjemahkan secara lebih detil di dalam Prinsip-Prinsip

Siracusa (Siracusa Principles). Di dalam Prinsip ini disebutkan bahwa

pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul

pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk

22

mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas

dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Prinsip ini menegaskan

bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-

wenang. Secara umum, pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia

hanya bisa dilakukan jika memenuhi kondisi-kondisi berikut:

1. Diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the

law). Tidak ada pembatasan yang bisa diberlakukan kecuali

didasarkan oleh hukum nasional. Namun hukum yang membatasi

hak tersebut tidak boleh sewenang-wenang dan tanpa alasan.

Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan HAM harus jelas dan

bisa diakses siapa pun. Hukum tersebut harus dapat diakses, tidak

bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang

memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu

tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak.

2. Diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic

society). Beban untuk menetapkan persyaratan pembatasan ini ada

pada negara yang menetapkan aturan pembatasan dengan

menunjukkan bahwa pembatasan tersebut tidak mengganggu

berfungsinya demokrasi di dalam masyarakat.

3. Untuk melindungi ketertiban umum (public order/ordre public).

Frasa “ketertiban umum” di sini diterjemahkan sebagai sejumlah

aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau seperangkat

prinsip mendasar yang hidup di masyarakat. Ketertiban umum juga

melingkupi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu,

23

ketertiban umum di sini harus dilihat dalam konteks hak yang

dibatasinya. Negara atau badan negara yang bertanggungjawab

untuk menjaga ketertiban umum harus dapat dikontrol dalam

pengggunaan kekuasaan mereka melalui parlemen, pengadilan

atau badan mandiri lain yang kompeten.

4. Untuk melindungi moral publik (public moral). Negara harus

menunjukkan bahwa pembatasan itu memang sangat penting bagi

terpeliharanya nilai-nilai mendasar komunitas. Dalam hal ini negara

memiliki diskresi untuk menggunakan alasan moral masyarakat.

Namun klausul ini tidak boleh menyimpang dari maksud dan tujuan

Kovenan Sipol.

5. Untuk melindungi keamanan nasional (national security). Klausul ini

digunakan hanya untuk melindungi eksistensi bangsa, integritas

wilayah atau kemerdekaan politik terhadap adanya kekerasan atau

ancaman kekerasan. Negara tidak boleh menggunakan klausul ini

sebagai dalih untuk melakukan pembatasan yang sewenang-

wenang dan tidak jelas. Pembatasan dengan klausul ini juga tidak

sah, jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang

dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan

yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional.

6. Untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain (rights and

freedom of others). Ketika terjadi konflik antar-hak, maka harus

diutamakan hak dan kebebasan yang paling mendasar. Klausul ini

24

tidak bisa digunakan untuk melindungi negara dan aparatnya dari

kritik dan opini publik.

Selain itu, ICCPR juga memasukkan istilah “perlu” (necessary) dalam

ketentuan-ketentuan yang mengandung pembatasan. Hal ini

memperlihatkan adanya maksud dari perancang ICCPR untuk membatasi

penerapan pembatasan hak-hak hanya pada situasi dimana ada

kebutuhan riil untuk pembatasan tersebut. Untuk menyatakan bahwa

kebutuhan itu memang ada, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi

adalah:

a) Pembatasan sejalan dengan semangat dan apa yang tertulis dalam Kovenan;

b) Syarat-syarat yang ditetapkan dalam beberapa putusan Pengadilan HAM Eropa yaitu persyaratan lawfulness, legitimate aim dan necessity.

Hal ini juga dijelaskan oleh Prinsip Siracusa yang menyatakan istilah

‘necessary’ mengimplikasikan bahwa pembatasan:

a. Didasarkan pada salah satu alasan yang membenarkan pembatasan yang diakui oleh pasal yang relevan dalam Kovenan.

b. Menjawab kebutuhan sosial. c. Untuk mencapai sebuah tujuan yang sah. d. Proporsional pada tujuan tersebut di atas.

Sebagaimana dapat dilihat di atas, terhadap hak untuk kebebasan

berserikat, pembatasan dapat dilakukan jika berdasarkan hukum, dan

diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan

keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum,

25

perlindungan terhadap kesehatan atau moral publik, atau perlindungan

terhadap hak dan kebebasan orang lain

C. MASYARAKAT SIPIL (CIVIL SOCIETY)

Masyarakat sipil merupakan sebuah konsep yang sangat luas. Istilah civil

society berasal dari bahasa Latin societes civiles yang mula-mula dipakai

oleh Cicero. Sejak saat itu sampai dengan abad ke-18, pengertian civil

society masih disamakan dengan negara (the state), yakni sekelompok

masyarakat yang mendominasi seluruh kelompok lain.

Dalam rentang waktu yang panjang, hadir Thomas Hobbes, John Locke

dan Jean-Jacques Rousseau yang kembali menghidupkan dan

mengembangkan istilah civil society (masyarakat sipil) dengan merujuk

kepada masyarakat dan politik. Hobbes, misalnya, berpendapat bahwa

perjanjian masyarakat diadakan oleh individu-individu untuk membentuk

suatu masyarakat politik atau negara. Locke mendefinisikan masyarakat

sipil sebagai masyarakat politik (political society) yang mana dihadapkan

dengan keadaan alami (state of nature) sekelompok manusia. Masyarakat

politik itu sendiri, menurut Rousseau yang senada dengan Hobbes,

merupakan hasil dari suatu kontrak sosial. Perlu digarisbawahi bahwa

pengertian-pengertian ini lahir ketika perbedaan antara masyarakat sipil

dan negara belum dikenal, sehingga negara merupakan bagian dari

masyarakat sipil yang mengontrol pola-pola interaksi warga negaranya.

Barulah pada paruh kedua abad 18 Adam Ferguson dan Thomas Paine

memberi tekanan lain terhadap makna civil society. Civil society dan

26

negara dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan

proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan struktur politik

sebagai akibat pencerahan (enlightment). Keduanya diposisikan dalam

posisi yang diametral. Masyarakat sipil bahkan dinilai sebagai anti tesis

terhadap negara yang harus lebih kuat untuk mengontrol negara demi

kepentingannya.

Pemahaman ini mengundang reaksi para pemikir lainnya seperti Hegel

yang beraliran idealis. Menurutnya, civil society tidak dapat dibiarkan

tanpa terkontrol. Ia justru memerlukan berbagai macam aturan dan

pembatasan melalui kontrol hukum, administrasi dan politik. Lebih lanjut,

Hegel membedakan masyarakat politik (the state) dan masyarakat sipil

(civil society). Masyarakat politik adalah perkumpulan-perkumpulan yang

mengandung aspek politik yang mengayomi masyarakat secara

keseluruhan. Sedangkan masyarakat sipil ialah perkumpulan merdeka

yang membentuk apa yang disebut sebagai masyarakat borjuis.

Karl Marx sependapat dengan Hegel dalam melihat civil society sebagai

masyarakat borjuis. Bedanya, Hegel menganggap hanya melalui negara,

kepentingan-kepentingan masyarakat yang universal dan mengandung

potensi konflik bisa terselesaikan. Maka dari itu, negara merupakan

sesuatu yang ideal. Marx berpandangan sebaliknya, ia menganggap

negara tak lain sebagai badan pelaksana kepentingan kaum borjuis. Oleh

sebab itu, negara harus dihapuskan, atau harus diruntuhkan oleh kelas

proletar. Ketika negara akhirnya lenyap, maka yang tinggal hanyalah

27

masyarakat tanpa kelas. Visi ini berseberangan dengan visi Hegel yang

mengatakan di masa depan masyarakat sipil-lah yang akan runtuh dari

dalam, jika negara telah mampu mengayomi seluruh kepentingan

masyarakat.

Sedangkan menurut Antonio Gramsci yang juga memandang civil society

sebagai milik kaum borjuis yang akhirnya menjadi pendukung negara,

disamping mereka memegang hegemoni, mereka juga seharusnya bisa

menjalankan fungsi etis dalam mendidik dan mengarahkan perkembangan

ekonomi masyarakat.22 Secara umum saat ini, penganut sosialis banyak

mengadopsi konsep hegemoni Gramsci dalam memahami civil society

dimana hegemoni tidak lagi dilakukan secara fisik, melainkan melalui

penjinakan budaya dan ideologi yang diselenggarakan secara terstruktur

oleh negara. Perspektif lain dikemukakan oleh Gramsci yang

mendefinisikan masyarakat sipil sebagai kumpulan organisme “privat”,

berbeda dengan negara yang disebutnya masyarakat politik (political

society).23 Secara konkret, Gramsci menegaskan masyarakat sipil sebagai

suatu wilayah institusi privat mencakup gereja, serikat-serikat

dagang/pekerja, dan lembaga pendidikan, sementara negara adalah

institusi-institusi publik seperti pemerintah, pengadilan, polisi dan tentara.

Gramsci terkadang mendefinisikan negara sebagai masyarakat politik

ditambah masyarakat sipil – “the state should be understood not only as

22 Dawam Raharjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, Jakarta: LSAF, 1999

23 Gramsci, A. (1971). Selection from the Prison Notebooks. New York: International Publishers.

28

the apparatus of the government, but also ths private apparatus of Civil

Society” (negara tidak harus dipahami hanya sebagai lembaga

pemerintahan, tetapi juga sebagai lembaga masyarakat sipil).

Adapun menurut Alexis de Tocqueville, masyarakat sipil tidak secara a

priori subordinatif terhadap negara, tetapi lebih dari itu ia bersifat otonom

dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi

kekuatan penyeimbang menghadapi intervensi negara dan tidak hanya

berorientasi pada kepentingan sendiri tetapi juga terhadap kepentingan

publik. Pendapat Tocqueville ini kemudian diperkuat oleh Hannah Arendt

dan Jurgen Habermas dengan konsep ”a free public sphere”, sebuah

wilayah di mana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh

terhadap setiap kegiatan publik. Penciptaan ruang publik, bagi Arendt

merupakan prasyarat terciptanya civil society dan demokratisasi. Hal

senada diungkapkan Ernest Gellner yang memandang perlunya ruang dan

kebebasan publik. Menurutnya civil society adalah seperangkat institusi

non pemerintah yang cukup kuat untuk mengimbangi negara dan

mencegah timbulnya tirani kekuasaan.

Penganut kapitalis lebih tertarik kepada civil society versi Tocqueville

dimana masyarakat dapat melakukan partisipasi mengenai pembuatan

kebijakan-kebijakan publik dalam sebuah negara dan dapat saling

berinterksi dengan semangat toleransi. Adapun di negara-negara

berkembang umumnya, sikap Hegelian terhadap negara merupakan

pandangan yang dominan. Di satu sisi mereka memandang negara

29

sebagai wadah segala sesuatu yang ideal dan di sisi lain mereka kurang

percaya terhadap masyarakat sipil.

Cohen dan Arato24 mendefinisikan masyarakat sipil sebagai wilayah

interaksi sosial yang di dalamnya mencakup semua kelompok sosial paling

akrab (khususnya keluarga), asosiasi (terutama yang bersifat sukarela),

gerakan kemasyarakatan, dan berbagai wadah komunikasi publik lainnya

yang diciptakan melalui bentuk-bentuk pengaturan dan mobilisasi diri

secara independen baik dalam hal kelembagaan maupun kegiatan.

Menurut AS Hikam,25 masyarakat sipil sebagaimana dikonsepsikan oleh

para pemikirnya mempunyai tiga ciri khusus yaitu pertama, adanya

kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan kelompok dalam

masyarakat, terutama saat berhadapan dengan negara. Kedua, adanya

ruang publik bebas sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif

dari warga negara demi kepentingan publik. Ketiga, adanya kemampuan

membatasi kuasa negara agar tidak intervensionis dan otoriter.

Konsep masyarakat sipil pada hakikatnya merupakan konsep masyarakat

yang mandiri atau otonom. Dalam batas-batas tertentu masyarakat sipil

dilihat sebagai entitas yang mampu memajukan diri sendiri, bisa

“membatasi” intervensi pemerintahan dan negara dalam realitas yang

diciptakannya, serta senantiasa memperlihatkan sikap kritis dalam

24 Cohen, J.L., & Arato, A. (1992). Civil Society and Political Theory. Massachusets: MIT.

25 Muhammad AS Hikam. 1999. Demokasi dan Civil Society. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.

30

kehidupan politik. Beberapa karakteristik penting dari keberadaan

masyarakat sipil adalah adanya aspek otonomi politik berhadapan dengan

negara, di samping aspek keswadayaan, dan keswasembadaaan. Namun

demikian, hal paling utama yang ditekankan adalah karakteristik otonomi

politiknya.

Menurut Einstadt, civil society memiliki empat komponen sebagai syarat;

pertama otonomi, kedua akses masyarakat terhadap lembaga negara,

ketiga arena publik yang bersifat otonom dan keempat arena publik yang

terbuka bagi semua lapisan masyarakat.26 Dalam artian civil society

sebagai suatu ruang publik antara negara dan masyarakat, kekuasaan

negara dibatasi didalam ruang publik oleh partisipasi politik masyarakat

dalam rangka pembentukan kebijaksanaan publik. Dalam konteks ini

organisasi kemasyarakatan cukup potensial ikut menciptakan civil society

karena dengan peranannya yang mampu mengisi ruang publik.

Istilah “masyarakat sipil” sebagai terjemahan dari civil society digunakan

oleh Dr. Mansour Fakih.27 Meskipun dalam arti terjemahan lebih sesuai

tapi kelihatannya dalam arti makna tidak terlalu mengena karena

mengimplikasikan sebagai lawan dari masyarakat militer. Istilah

“masyarakat madani” sebagai alternatif istilah “masyarakat sipil” pertama

kali diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim yang saat itu Timbalan P.M.

26 Affan Gafar. Politik Indonesia, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, Hal. 80

27 Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)

31

Malaysia, dalam Festival Istiqlal di Jakarta tahun 1995. M. Dawam

Rahardjo sepakat bahwa alih bahasa dan definisi yang tepat dari civil

society adalah masyarakat madani.28 Akan tetapi, M. AS. Hikam tetap

mempertahankan istilah aslinya karena pengertian masyarakat madani,

menurutnya, memiliki arti dan konteks yang sangat berbeda dengan civil

society.29 Istilah yang lebih netral, meskipun juga menimbulkan masalah

adalah “masyarakat warga” yang diajukan oleh Lembaga Etika Atmajaya

atau “masyarakat kewargaan” yang ditawarkan oleh AIPI (Asosiasi Ilmu

Politik Indonesia).30

Terlepas dari pembatasan dalam bentuk penggunaan istilah,

permasalahan mengenai masyarakat sipil senantiasa menyisakan

beberapa pertanyaan, yaitu pertama apakah organisasi politik, seperti

partai, tergolong sebagai masyarakat sipil? Dalam perspektif Tocqueville,

orgnisasi politik tidaklah termasuk dalam masyarakat sipil. Tocqueville

menawarkan spesifikasi sempit mengenai "masyarakat politik", yang

mengartikan masyarakat politik sebagai kegiatan penduduk karena terlibat

secara aktif dengan urusan pemerintahan dan kekuasaan. Dalam

pendekatan ini, masyarakat politik berbeda dengan masyarakat sipil,

hubungan pribadi antara warga dan asosiasi non-politik mereka. Antonio

Gramsci juga membuat perbedaan antara masyarakat politik dan

28 M. Dawam Raharjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES dan LSAF, 1999), hlm. 133-173

29 Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1999)

30 M. Ryaas Rasyid, Perkembangan Pemikiran tentang Masyarakat Kewargaan, Jurnal Ilmu Politik, No. 17, 1997.

32

masyarakat sipil. Oleh sebab itu, pertanyaan yang muncul kemudian

adalah apakah organisasi yang menyertakan asosiasi politik merupakan

bagian dari masyarakat sipil belum terjawab. Kedua, apakah organisasi

bisnis termasuk dalam masyarakat sipil? Dalam hal ini, Marx dan Adam

Smith dalam mengidentifikasikan masyarakat sipil mengaitkannya dengan

interaksi ekonomi melalui pasar. Tetapi dalam literatur terbaru, Cohen dan

Arato membedakan masyarakat sipil dari pasar dan dari negara. Jadi,

peran pasar dalam masyarakat sipil masih menjadi masalah yang belum

terpecahkan.31

Menurut pandangan Jimly Asshiddiqie, pasar (market), negara (state) dan

masyarakat sipil (civil society) diidealkan harus berjalan seiring dan

sejalan, sama-sama kuat, dan sama-sama saling mengendalikan satu

sama lain, tetapi tidak boleh saling mencampuri atau dicampuradukan.

Ketiga wilayah kekuasaan ini tumbuh seimbang, sama-sama kuat dan

saling pengaruh dan mempengaruhi satu sama lain dalam hubungan yang

fungsional dan simetris. Jika kekuasaan negara melampaui kekuatan

masyarakat (civil society) dan pasar (market), demokrasi dinilai tidak akan

tumbuh karena terlalu didikte dan dikendalikan oleh kekuasaan negara.

Jika kekuasaan pasar terlalu kuat, melampaui kekuatan ‘civil society’ dan

negara, berarti kekuatan uanglah atau kaum kapitalislah yang

menentukan segalanya dalam peri kehidupan bermasyarkat dan

bernegara. Tetapi jika kekuasaan yang domain adalah ‘civil society’,

31 Guo gong, Civil Society: Definitions, Causes, And Functions http://home.olemiss.edu/~gg/paperhtm/civlsoct.htm

33

sementara negara dan pasar lemah, maka yang akan terjadi adalah

‘chaos’, ‘messy’, ‘government less’, yang berkembang tanpa arah yang

jelas.32

D. ORGANISASI KEMASYARAKATAN

Selama ini pengertian ormas lebih dikenal sebagai organisasi massa,

sampai ditetapkannya UU No. 8 Tahun 1985 yang mengatur tentang

Organisasi Kemasyarakatan yang biasa disingkat juga sebagai ormas.

Padahal ada perbedaan prinsipil antara pengertian organisasi

kemasyarakatan dengan organisasi masyarakat, dan apalagi dengan

organisasi massa. Kata kemasyarakatan menunjuk kepada pengertian sifat

kemasyarakatan atau sifat kegiatan kemasyarakatan, sedangkan

masyarakat pada organisasi masyarakat menunjuk kepada pengertian

organisasi non-negara atau non-pemerintah, atau organisasi milik

masyarakat. Demikian pula yang dimaksud dengan organisasi massa,

adalah organisasi masyarakat dengan keanggotaan yang bersifat massal.

Arbi sanit mengemukakan klasifikasi organisasi masyarakat sebagaimana

tercantum pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Organisasi masyarakat berdasar aspek kehidupan

Organisasi Masyarakat

Aspek Kehidupan Contoh

Organisasi Politik Mengacu kepada kekuasaan negara baik dalam rangka memperoleh

Partai Politik

32 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008

34

manfaat darinya, maupun dalam rangka menguasainya

Organisasi Ekonomi

Mencari keuntungan materi berdasarkan tatacara berinteraksi yang didasarkan kepada perhitungan untung rugi

PT dan CV

Organisasi Sosial, Kebudayaan dan Agama

Memusatkan perhatian untuk merealisir dan melindungi kepentingan masyarakat tanpa mencari keuntungan materi untuk anggota dan organisasi tersebut dan bukan untuk memegang kendali atas kekuasaan negara

Organisasi sosial (masyarakat) seperti HMI, Yayasan Dian Desa; Organisasi kebudayaan seperti PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia), HSBI (Himpunan Seniman Budayawan Indonesia); Organisasi agama seperti PGI (Persekutuan Gereja Indonesia), KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) NU; dan lain-lain.

Keseluruhan organisasi yang berada dalam lingkungan aspek kehidupan

masih belum dapat membedakan mana yang berbasis organisasi

kemasyarakatan atau organisasi gerakan masyarakat dari antara

organisasi sosial, kebudayaan dan agama. Oleh karena itu perlu

menggunakan indikator yang dilihat dari keterlibatan masyarakat.

Organisasi masyarakat dan organisasi kemsyarakatan dapat dibedakan

antara sosial, budaya, dan agama yang melibatkan masyarakat secara dan

jauh melebihi batas formal organisasi dengan organisasi yang hanya

menyertakan masyarakat berdasarkan keterkaitan mereka kepada struktur

35

organisasi seperti keanggotan dalam organisasi. Selain itu dari sudut

keanggotaan, pada organisasi gerakan masyarakat, keanggotaan dipilih

secara cermat, karena mereka yang berada di dalam organisasi harus

bekerja secara teknis di dalam masyarakat luas, untuk menggerakkan

mereka kepada tujuan masyarakat yang sudah disusun oleh organisasi.

Jadi anggota yang terpilih itu adalah mereka yang mempunyai

kemampuan untuk menggerakkan masyarakat supaya berdikari mencapai

tujuannya (mengutamakan tingkat pengkaderan). Lain halnya pada

organisasi kemasyarakatan yang tidak membatasi jumlah anggota. Jumlah

anggota seringkali dijadikan sebagai pertimbangan utama untuk

menyatakan tingkat kekuatan atau kebesaran organisasi (menekankan

sifat massal).

Dalam perspektif tujuan, organisasi masyarakat lebih spesifik, jelas, dan

operasional dalam merumuskan tujuan organisasinya sehingga mudah

dikenali baik oleh anggota maupun oleh masyarakat yang hendak

digerakkan. Keperluannya ialah supaya tujuan tersebut menjadi kenyataan

dan dirasakan oleh masyarakat dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Sedangkan,tujuan organisasi kemasyarakatan biasanya diformulasikan

secara umum, bermakna luas dan mempesona, walaupun belum

operasional. Tujuan itu diharapkan dapat mencakup kalangan yang luas

dan selanjutnya anggota masyarakat luas yang dicakup tersebut

menyadari akan persatuan mereka.

36

Dari segi ideologi, kedua jenis organisasi memiliki persamaan untuk

menerima peranan ideologi di dalam kehidupannya. Perbedaannya adalah

pada organisasi gerakan masyarakat, ideologi dianggap sebagai gambaran

umum dari apa yang sebaiknya dicapai oleh organisasi dan sudah menjadi

tugas organisasi untuk merumuskan tujuan yang jelas dan bersifat

operasional tersebut. Namun, dalam organisasi kemasyarakatan ideologi

memegang peranan penting dalam mempertajam formulasi tujuan

organisasi, merekatkan semua anggota yang berjumlah besar,

memberikan identitas kepada semua anggota dan ideologi digunakan

untuk menuntut organisasi dalam memainkan peranannya terhadap

kehidupan politik.

Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mulai populer sekitar tahun

1970-an sebagai pengganti istilah sebelumnya yaitu Organisasi Non

Pemerintah (ORNOP) yang merupakan terjemahan langsung dari istilah

bahasa Inggris Non Government Organization (NGO).33 Diperkirakan

istilah LSM lazim digunakan, beranjak dari rujukan yang dikemukakan Dr.

Sarino Mangunpranoto dalam pertemuan antar ORNOP di Ungaran, Jawa

33 Kajian mutakhir mengenai Ornop di Indonesia, misalnya adalah: Korten, Third Generation NGO Strategies: A Key to People-Centered Development, World Development, September 1987; Indeco de Unie, Laporan Studi tentang LSM, 1993; beberapa laporan CPSM/PERAN: 'Gerakan Transformasi Sosial Untuk Menegakkan Kedaulatan Rakyat di dalam Masyarakat Sipil yang Kokoh: Fajar Baru bagi Ornop, Januari 1994; Ornop Mencari Format Bant: Laporan Peitemuan Cisanta', Juli 1993; 'Laporan Kunjuugan Dialog lentang Visi, Masalab, Posisi dan Paradigma Ornop di Indonesia serta Upaya untuk mengalasinya, 1993; Eldridge, Non-Government Organisation and Democratic Participation in Indonesia, Kuala Lumpur, Oxford University Press, 1995; Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakau Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,1996; Sedawan, Organisasi Non-Pemerintah dan Masyarakat Sipil, PRISMA, No.7 Tahun XXV, Juli 1996; Uhlin, Oposisi Berserak: Ants Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Bandung, Penerbit Mizan, 1998; Setiawan, Ornop dalam Gerakan Masyarakat Sipil: Analisis terhadap Riposisi Ornop Pasca Orde Baru, INFID, Jakarta, 1998 (tidak dipublikasikan).

37

Tengah pada tahun 1978. Dalam pertemuan tersebut diusulkan nama

pengganti ORNOP dengan sebutan Lembaga Pembinaan Swadaya

Masyarakat (LPSM) yang kemudian berubah menjadi Lembaga

Pengembangan Masyarakat (LPM) dan yang terakhir berubah menjadi

LSM.34 Perubahan istilah yang dilakukan dengan pertimbangan karena

timbulnya kesan dan anggapan negatif bahwa istilah ORNOP seakan-akan

sebagai lawan Pemerintah. Sedang dikalangan aktivisnya sendiri pada

waktu itu ada kesadaran bahwa gerakan mereka sendiri dilandasi dengan

satu misi positif yakni mengembangkan kemandirian dan membangun

keswadayaan.35

Oleh karena kegiatannya dipandang bermanfaat bagi masyarakat dan

keberadaannya tidak bisa dibaikan, dalam perkembangan LSM diformalkan

penggunaannya melalui Undang-Undang Nomor 4/1982 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, sebagaimana disebutkan

LSM berperan sebagai penunjang bagi pengelola lingkungan hidup yang

mencakup antara lain kelompok profesi, hobi dan minat. Karena dalam UU

tersebut mencakup pengertian LSM secara umum yang dapat menampung

seluruh ruang lingkup LSM yang meliputi bidang hukum, sosial

kemasyarakatan, pembangunan pedesaan, ekonomi, koperasi dan

sebagainya, kemudian pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam

34 Tirta Nugraha Mursitama, Laporan Pengkajian Hukum Tentang Peran Dan Tanggungjawab Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pemberdayaan Masyarakat, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI Tahun 2011

35 Ibid.

38

Negeri membuat pengertian baru dalam rangka kebijakannya

sebagaimana tertuang dalam instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8

tahun 1990 tentang Pembinaan LSM. Dalam peraturan ini LSM diartikan

sebagai dalah satu komponen kemasyarakatan yang bercirikan

keswadayaan, kemandirian dan kebersamaan dalam rangka meningkatkan

partisipasinya untuk mensukseskan Pembangunan Nasional.

Terminologi istilah dalam organisasi kemasyarakatan sangat beragam.

Dalam bahasa Inggris meliputi beberapa istilah yaitu voluntary

agencies/organisations, non-government organisation (NGO), private

voluntary organization (PVO), community (development) organization,

‘social action groups, non-party group, micro or people’s movement. Tidak

ada istilah tunggal yang mampu mencakup semua istilah tersebut dan

untuk membuka beberapa batasan dan pemisahan. Phillip Eldridge

mengemukakan bahwa:36

The term ‘non-government organisation’ is potentially open ended and could include groups whose composition is not necessarily targeted towards the poor and disadvantaged nor concerned specifically with their advancement or empowerment.

Dalam perspektif sejarah, NGO di dunia terbagi atas dua yaitu NGO di

Utara dan NGO di Selatan.37 Definisi Civil society organization (CSO),

Non-Governmental Organisation (NGO) atau Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM), dalam UU Ormas tidak ditemukan. Bahkan istilah

36 Phillip Eldridge, NGOs In Indonesia: Popular Movement or Arm of Government?, (Victoria: The Centre of Southeast Asian Studies Monash University, 1989), hal. 3.

37 John Clark, NGO dan Pembangunan Demokrasi, Cet. I (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1995), hal. 37-43.

39

tersebut juga tidak dikenal. Namun kalau ditelusuri dari beberapa literatur

diperoleh kesamaan definisi antara ormas dengan CSO. Misalnya pendapat

yang disampaikan oleh Jeffrey Atkinson dan Martin Scurrah, dalam

bukunya Globalizing Social Justice, The Role of Non-Government

Organizations in Bringing about Social Change, mendefinisikan civil society

organization (CSO) sebagai organisasi yang beranggotakan warga

masyarakat yang memiliki kesamaan minat dan perhatian untuk secara

bersama-sama mewujudukannya. Mereka melakukan tindakan secara

formal dan informal, namun tidak untuk mendapatkan keuntungan.

Misalnya, serikat buruh, asosiasi konsumen, dll. Secara lengkap ia

mengatakan sebagai berikut:

“...organizations in which ordinary citizens come together to advance an interest or concern that they have in common, and about which they feel so strongly that they want to take collective action. They are formal and informal not-for-profit organizations, associations, networks and community groups, each with their own issue or area of concern. They include everything from labour unions and farmers’ cooperatives, through women’s groups, consumer associations and historic preservation groups, to professional or academic associations. They do not include government or business organizations.”38

Melengkapi pendapat di atas, Jonathan Garton dalam bukunya The

Regulation of Organised Civil Society, menjabarkan beberapa fungsi CSO

yaitu (a) market support; (b) the provision of public goods; (c) the

provision of private goods analogous to public goods; (d) the facilitation of

38 Jeffrey Atkinson and Martin Scurrah, Globalizing Social Justice The Role of Non-Government Organizations in Bringing about Social Change (England: Palgrave Macmillan, 2009), p. xii.

40

political action; (e) the provision of cultural services; (f) the facilitation of

self-determination; and finally (g) the facilitation of entrepreneurship.39

Sementara Non-government organization (NGO), menurut Jeffrey Atkinson

dan Martin Scurrah adalah, “a sub-set of CSOs. They are more formally

organized and constituted, usually self-governing, private, and not-for-

profit.”40

E. HUBUNGAN NEGARA DAN ORGANISASI MASYARAKAT

Relasi antara ormas dengan negara memiliki wajah yang tak tunggal.

Relasi banyak wajah tersebut, baik pada sifat maupun modelnya,

dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari eskalasi situasi negara,

dinamika internal organisasi masyarakat sipil, maupun konteks ruang dan

waktu relasi keduanya. Secara garis besar, cara pandang pakar terhadap

masyarakat sipil relasinya dengan negara dapat dikategorikan pada dua

golongan: pertama, yang menempatkan masyarakat sipil sebagai “the

other” bagi negara dan, kedua, mereka yang menempatkan masyarakat

39 Jonathan Garton, The Regulation of Organised Civil Society, Portland: Hart Publishing, 2009) hlm. 41.

40 Dalam bukunya, Jeffrey Atkinson and Martin Scurrah, menjelaskan NGO dalam kaitan dengan keadilan sosial yang perhatian utamanya adalah perbaikan kehidupan orang miskin, hak asasi manusia, atau perlindungan lingkungan. “Examples include environmental groups such as Friends of the Earth, aid and welfare organizations such as Oxfam or the Salvation Army, human rights organizations like Amnesty International, etc. NGOs provide services and/or undertake advocacy to promote particular causes or to bring about particular changes. They are usually governed by a board of trustees rather than by the elected representatives of a constituency, and typically receive a significant proportion of their income from voluntary donations. All NGOs are CSOs, but not all CSOs are NGOs. Representative groups such as labour unions or farmers’ associations that are the elected representatives of their constituencies would not normally be classed as NGOs. It is this issue of representation that differentiates them. Organizations of local people who have come together because of a shared problem or grievance are also CSOs but not NGOs”. Ibid., p. xii-xiii.

41

sebagai bagian tak tepisahkan dan keduanya terlibat dalam passionate

attachment.41

Clark mencatat bahwa organisasi masyarakat sipil progresif pasti

menjadikan pemerintah sebagai bagian dari masalah, sebab dikuasasi elit,

bias negara maju, korup dan anti pemberdayaan.42 Persepsi itu

menempatkan masyarakat sipil sebagai “mestinya berseberangan” dengan

pemerintah. Dalam cara pandang ini, ada tiga opsi pilihan: oposisi

terhadap pemerintahan, penyempurnaan, atau melakukan perubahan. Ada

tanda-tanda awal yang dapat dijadikan petunjuk sementara adanya tiga

cara bagaimana ormas memandang negara.43

Pertama, ormas yang menganut 'organic stateism' dan/atau 'corporate

stateism' adalah, (1) Ormas yang menganggap dirinya sebagai bagian

integral dari pemerintah dan (2) Ormas yang menganggap dirinya sebagai

mediator antara pemerintah dan masyarakat. Kelompok Ormas ini tidak

memberi perhatian pada demokrasi, karena dikuasai (ideologically occupied)

oleh developmentalisme dan tetap percaya pada 'bureaucratic polity', serta

tidak memiliki wawasan perubahan struktural dan bahkan juga pergeseran

kontrol dari sistem yang ada.

41 Halili, Tantangan Kontemporer Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Gerakan Hak Asasi Manusia, CIVICS (Jurnal Kajian Kewarganegaraan) Volume 6, Nomor 1, Juni 2009

42 John Clark, 1995. NGO dan Pembangunan Demokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana

43 MM Billah, Perkembangan Ornop Di Indonesia, Pokok-pokok pikion yang disajikan pada seminar 'Wawasan lentang LSM Indonesia: Sejarah, Perkembangan dan Prospeknja' yang diselenggarakan oleh SMERU di Jakarta, 15 Agustus 2000.

42

Kedua, ormas yang menganut paham 'liberalist-pluralist' pada intinya

berpendapat bahwa masyarakat dibentuk oleh individu-individu yang

mengejar kepentingan ekonomi (pertumbuhan modal), sosial (status), dan

politik (power) mereka sendiri-sendiri. Negara diberi tugas berbeda, yaitu

(a) melindungi masyarakat dari kekerasan dan serbuan dari masyarakat

lain, (b) melindungi setiap anggota masyarakat dan ketidak-adilan dan

penindasan dari anggota lain, (c) melakukan dan memelihara pekerjaan

dan iembaga-lembaga publik yang ddak diiakukan oleh orang karena tidak

menguntungkan. Ormas ini menyebut dirinya sebagai 'pendamping rakyat"

yang berhadapan dengan negara. Kelompok Ornop ini berusaha mencari

dan menciptakan ruang bagi penyadaran sosial dan politik, analisa

struktural dan kepedulian tentang hak-hak dasar (HAM), dan demokrasi,

serta berinteraksi secara keras dengan pemerintah untuk mempengaruhi,

membujuk, dan bilamana perlu menantang dan melawan. Kelompok ini

menganggap dirinya mengemban misi untuk: (a) mcmbela rakyat yang

memperoleh perlakuan sewenang-wenang dan tidak adil dari negara, (b)

melakukan kontrol terhadap tindakan negara yang tidak demokratis,

melecehkan dan melanggar HAM, atau mendesak negara sampai ke titik di

mana 'negara hanya berperan seperlunya dan tidak berperan sejauh

mungkin'; (c) melakukan proses pemberdayaan masyarakat agar mampu

melindungi diri dari tindak kesewenang-wenangan negara, atau

mendorong (memfasilitasi, menyediakan peralatan bagi) rakyat untuk

mengambil peran (partisipasi) sejauh mungkin, dan memiliki akses

terhadap sumber-daya dan proses pengambilan keputusan sejauh

43

mungkin. Kelemahan Ornop ini, adalah bahwa demokradsasi yang

diiakukan dapat terjerumus ke dalam 'bias ideologi' karena perjuangannya

tidak diletakkan dalam perspektif perjuangan kelas tertindas, dan 'bias

kelas menengah' karena tidak menempatkan kelompok akir-rumput

sebagai basis gerakannya.

Ketiga, ormas radikal yang menyatakan bahwa negara adalah alat

kekuasaan dari kelas dominan untuk menindas, atau negara adalah alat

pemaksa (coercive instrument) dari kelas dominan. Negara pada awalnya

muncul sebagai satu alat paksaan yang diperlukan (a necessary means of

coercion) ketika terjadi pembagian kerja, dan pada gilirannya menjadi alat

penindasan (instrument of oppression) sampai dengan terbentuknya

masyarakat nir-kelas. Setelah pemilikan pribadi dihapus, dan perbedaan

kelas hilang, kebutuhan akan negara sebagai alat penindasan sudah tidak

ada lagi, sehingga pada tingkat ini negara tidak lagi diperlukan karena

pada dasarnya secara internal masyarakat bisa mengatur dirinya sendiri.

Masyarakat memiliki kapasitas otonom dan managemen yang non-

coercive untuk mengatur dirinya pandangan ini, sebagaimana telah

disebutkan, mengatakin bahwa negara dan masyarakat sipil adalah segi-

segi dari supra-struktur, sehingga saling berhadapan dalam kontradiksi.

Menurut kubu ini, Ornop haruslah 'menyatu dengan kelompok basis' dan

melakukan model pendekatan empowerment at the grass-roots. Kelompok

ini sangat menekankan 'peningkatan kesadaran' dan 'kepedulian akan

hak', melakukan kegiatan tatap muka secara informal mendorong gerakan

rakyat, dan kurang menggantungkan pada perubahan kebijaksanaan

44

pemerintah. Demokratisasi, dalam pandangan ormas ini, bukanlah

dilakukan dengan memperkuat masyarakat sipil, melainkan haruslah

secara tegas diletakkan di dalam perjuangan kelas yang tertindas untuk

membebaskannya.

45

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hukum normatif (normative law

research). Dengan mengacu pada pendapat Abdul Kadir Muhammad,

penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang menggunakan studi

kasus hukum normatif berupa produk hukum.44 Penelitian hukum normatif

fokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hokum

dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum,

perbandingan hukum dan sejarah hukum. Obyek penelitian ini adalah UU

Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat yang menjadi

materi pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 di Mahkamah

Konstitusi. Studi kasus yang menjadi perhatian penelitian ini merupakan

perkara yang telah diajukan para pemohon ke Mahkamah Konstitusi.

Kepaniteraan telah meregistrasi perkara judicial review UU nomor 17

tahun 2013 dengan nomor 82/PUU-XII/2013 dan 3/PUU-XIII/2014.

44 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.1 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), Hal. 52

46

B. METODE PENDEKATAN

Dalam penelitian yuridis normatif, ada bebrapa pendekatan yang

digunakan.45 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini

adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan

pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-

undangan (statute approach) dalam penelitian ini digunakan untuk

mengkaji UU nomor 17 tahun 2013 dan beberapa UU didalamnya

mengatur mengenai ormas, seperti UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, UU nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, UU nomor

32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 16

tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU nomor

28 tahun 2004 dan Staatsblad 1870 No. 64 (Stb.1870-64) tentang

Perkumpulan. Sedangkan, pendekatan konseptual (conceptual approach)

digunakan untuk mengkaji konsep ormas serta konsep sejauh mana

kewenangan Negara dalam mengatur kehidupan hak berserikat dan

berkumpul warga negara didalam doktrin atau pendapat para pakar yang

diperoleh dari jurnal ilmiah maupun buku-buku.

C. SUMBER PENELITIAN HUKUM

Sumber data penulisan hukum ini diperoleh berdasarkan bahan hukum

primer, bahan hukum Sekunder dan bahan Hukum tersier, yang meliputi :

45 Peter Mahmud Marzuki.2009. Penelitian Hukum. Jakarta. Kencana : Hal.93

47

1. Bahan Hukum Primer berupa peraturan perundang undangan terkait

yakni Undang Undang Dasar 1945 dan UU nomor 17 tahun 2013

tentang Organisasi Masyarakat;

2. Bahan Hukum Sekunder meliputi semua publikasi tentang hukum

yang bukan dokumen resmi meliputi jurnal hukum, buku teks, dan

komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder dalam

penulisan hukum ini meliputi jurnal hukum, buku teks, dan artikel

ilmiah yang berkaitan dengan konsep ideal kebebasan berserikat dan

berkumpul bagi organisasi masyarakat.

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Penulisan hukum ini merupakan jenis penelitian normatif sehingga teknik

pengumpulan bahan hukum menggunakan teknik studi pustaka. Setelah

mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan,

dilakukan pengumpulan bahan-bahan hukum yang dipandang mempunyai

relevansi dengan pokok bahasan46. Bahan hukum yang terkumpul

kemudian dibaca, dipelajari, dianalisis untuk mendapatkan pandangan

atas isu hukum yang diteliti.

46 Peter Mahmud, Op.Cit. hal. 171

48

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sebagaimana telah diungkapkan diawal bahwa penelitian ini dimaksudkan

untuk mencari jawaban atas 2 (dua) permasalahan utama, yaitu:

1. Apa yang termasuk dalam lingkup organisasi kemasyarakatan? Apa

variabel yang dapat menjadi ukuran untuk mengkategorikan suatu

kelompok masyarakat sebagai ormas?

2. Bagaimana konstruksi hubungan ideal antara negara dan ormas,

dimana negara berwenang untuk mengatur ormas sekaligus

menjamin pelaksanaan kebebasan berserikat dan berkumpul?

Formulasi rumusan permasalahan ini disesuaikan dengan pemeriksaan

perkara konstitusional yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

yang mengadili yaitu perkara nomor 82/PUU-XII/2013 dan 3/PUU-

XIII/2014.

Dalam perkara nomor yaitu perkara nomor 82/PUU-XII/2013 yang

diajukan oleh Pimpinan Pusat Persyarikatan Muhammadiyah, Pemohon

mengajukan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9,

Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat

(2), Pasal 33 ayat (1) dan (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal

38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal

49

57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3)

huruf a dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Organisasi

Kemasyarakatan.

Sedangkan, dalam perkara nomor 3/PUU-XIII/2014 yang diajukan oleh

beberapa badan hukum privat, seperti Yayasan FITRA Sumatera Utara,

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan

Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif

dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), dan beberapa orang

warga negara Indonesia, meminta Mahkamah untuk menguji Pasal 1

angka 1, Pasal 1 angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 23,

Pasal 29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 57 ayat (2) dan (3), serta Pasal

59 ayat (2) huruf b, c, dan e UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan.

Kedua perkara yang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi tersebut secara

spesifik tidaklah identik. Terdapat Pasal-Pasal yang berbeda yang

dimintakan untuk diuji oleh masing-masing Pemohon. Meskipun demikian,

secara umum pertanyaan konstitusional yang diajukan oleh para Pemohon

adalah serupa yaitu mengenai :

1. Definisi organisasi kemasyarakatan

2. Sejauhmana negara dapat membatasi kebebasan berserikat yang

diwujudkan dalam mekanisme prosedural yang berkaitan dengan

ormas dari mulai pendirian, pendaftaran, konstitusi ormas,

50

pemberdayaan ormas, larangan-larangan hingga pembekuan atau

pembubaran ormas.

Sebelum membahas mengenai permaslahan utama penelitian tersebut,

perlu diungkapkan mengenai sejarah ormas dan peraturan perundang-

undangan yang pernah berlaku di Indonesia sebelum Undang-Undang

nomor 17 tahun 2013. Hal ini penting untuk memberikan gambaran

lengkap mengenai latar belakang hingga diberlakukannya Undang-Undang

nomor 17 tahun 2013 tersebut.

A. PERKEMBANGAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN

Pada kenyataannya di Indonesia, organisasi politik (orpol) dan ormas itu

mengalami perkembangan dalam hal fungsi. Pada masa-masa sebelum

kemerdekaan, arti maupun fungsi orpol itu belum jelas pembedaannya.

Hal ini dikarenakan bahwa ormas menjalankan fungsi sebagai orpol, pada

ketika yang lain orpol menjalankan fungsi sebagai ormas. Akibatnya fungsi

politik menjadi tidak jelas harus dilaksanakan organisasi yang mana,

konsekuensi lebih lanjut terjadi distabilitas politik secara menyeluruh.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, sekalipun ormas seringkali menjadi

orpol, namun ormas menjadi lembaga binaan dan pendukung permanen

orpol yang dibentuknya. Pola hubungan ormas dengan orpol yang

dibentuknya. Pola hubungan ormas dengan orpol seperti itu hanya

bertahan selama lebih dari 50 tahun yaitu sejak awal tahun 1920-an

sampai akhir tahun 1960-an. Sejak 1800-1965, diketahui bahwa

51

pertumbuhan ormas mengalami pasang dan surut yang lebih banyak

ditentukan oleh pengaruh kekuasaan pemerintah.

Di awal pertumbuhannya sejak tahun 1908 sampai 1920, peningkatan

ormas yang tinggi dipengaruhi oleh perkembangan pegawai kolonial,

pertumbuhan industri dan perdagangan. Tapi dalam tahun 1920,

perkembangannya tertahan berkenaan adanya pengawasan pemerintah

kolonial yang dilatari oleh kekhawatiran mereka akan gerakan politik

rakyat secara terorganisir. Sehingga tidak dapat dibantah apabila

pengaruh kolonialisme Belanda merupakan salah satu pendorong

perkembangan ormas di Indonesia. Sehubungan dengan ormas yang

menjadi cikal bakal dari partai politik itu disebabkan Volksraad (Dewan

Rakyat) tidak berfungsi sebagai lembaga yang berinisiatif dalam

pembentukan partai politik di Indonesia. Misalnya Syarikat Islam terhadap

PSII, NU terhadap Partai NU, Studie Club Surabaya terhadap PNI.47

Di masa Jepang, ormas berkembang kembali dalam keterkaitannya

dengan keperluan Balatentara Jepang untuk menggerakkan keterlibatan

warga masyarakat ke dalam sistem pertahanan yang dibangunnya.

Sebelum Perang Dunia II dimulai, di Indonesia sudah berlangsung

kegiatan kepanduan dalam organisasi-organisasi kepanduan yang

merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pergerakan nasional

pada waktu itu. Perhimpunan kepanduan bangsa Indonesia yang pertama

dibentuk adalah Jong Java Padvinderj (JJP), disusul oleh organisasi-

47 Arbi Sanit. Ormas dan Politik. Cet.I. Jakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan, 1995. hal. 92-93 dan 129

52

organisasi lain seperti Hizbul Wathon, Sarekat Islam Afdeling Padvinderj

(SIAP), Surya Wirawan, dsb. Dalam masa pendudukan Jepang, semua

organisasi kepanduan dilarang oleh pemerintah pendudukan Jepang.

Kegiatan pemuda dan remaja disalurkan ke dalam organisasi-organisasi

bentukan Jepang seperti Seinendan dan Keibodan. Di Tahun 1950an

pertumbuhannya mencapai tingkat yang lebih tinggi sebagai impak dari

kebijaksanaan pemerintah dan keperluan partai politik yang menghendaki

keterlibatan seluas mungkin masyarakat di dalam proses politik, terutama

pemilu 1955. Namun, karena berbagai pembatasan yang dilaksanakan

oleh pemerintah di masa Demokrasi Terpimpin, maka pertumbuhan ormas

kembali menemui hambatan.

Pada era orde lama, kehidupan ormas ditandai dengan dua hal,48 yaitu

pertama, kedudukan dan peranan ormas tidak terlepas dari pengaruh

baying-bayang partai politik yang menaunginya. Dengan kata lain, ormas

adalah underbow partai politik yang ada. Karena partai politik yang ada

lebih berorientasi pada penggalangan massa, maka kedudukan ormas-

ormasnya sangat penting bagi eksistensi partai politik yang bersangkutan.

Tidak sedikit sebuah partai politik memiliki sejumlah ormas yang bergerak

di berbagai bidang kehidupan. Kedua, karena ormas berada di bawah

bayang-bayang partai politik, maka setiap ada pertarungan kepentingan

politik antar partai politik, ormas pun akan ikut terseret pula, sehingga

kompetisi yang kadangkala tidak sehat ini semakin memanaskan suhu

48 Kusnadi, “Kemandirian Ormas”, Organisasi Kemasyarakatan Kumpulan Kliping, Berita, Tajuk Rencana, Karangan/Artikel, (Jakarta: Bagian Dokumentasi dan Penerbitan Biro Dokumentasi dan Penerangan BP-7 Pusat, 1996), hal. 131

53

politik pada massa rakyat, yang dampaknya pun seringkali bersifat

negatif. Sebagai akibatnya fungsi politik menjadi tidak jelas harus

dilaksanakan dengan organisasi yang mana, akibat lebih lanjut terjadi

distabilitas politik secara menyeluruh. Secara legalistik, pengaturan ormas

pada orde lama ini hanya berdasarkan Staatblaad 1870 Nomor 64.

Pengaturan disamakan dengan bentuk badan hukum lainnya, jadi hanya

sebatas pengakuan keberadaan belum ada mengenai konsep batas-batas

pemberdayaan ormas dan pembinaan ormas secara khusus.

Pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi perkembangan lain, yakni terjadi

penataan fungsi orpol dan ormas. Terdapat usaha meletakkan kembali

kedudukan ormas pada proporsi yang sebenarnya. Walaupun pada

prakteknya ternyata masih terdapat peristiwa-peristiwa politisasi ormas

oleh orpol.

Puncak dari kegiatan politik ormas di Indonesia tampaknya berawal dalam

Pemilu 1955 di mana partai-partai berusaha mengumpulkan pemilih

sebanyak mungkin, dan berakhir dengan pemilu 1971 dengan

dilaksanakannya kebijaksanaan politik massa mengambang. Setelah itu

ormas mencoba mencari pola kehidupan baru dengan menegakkan

kemandirian. Artinya menjaga jarak dengan organisasi politik pemerintah

di satu pihak dan di pihak lain tidak lagi terikat kepada partai. Contohnya:

Muhammadiyah, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKRI (Perhimpunan

Mahasiswa Katholik Republik Indonesia) dan lain-lain. Timpang tindih

(overlaping) fungsi politik antara ormas dan orpol tersebut dijernihkan

54

oleh orde baru yang bertekad untuk mengadakan penyederhanaan

mekanisme maupun penyederhanaan mekanisme maupun struktur politik

melalui usaha-usaha konstitusional. Salah satu bentuk usaha

konstitusional itu adalah dikeluarkannnya Ketetapan MPRS No.

XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan. Usaha

dilanjutkan terus dengan tekad untuk melaksanakan penyederhanaan

kepartaian dan penataan ormas-ormas. Produk yuridis yang kemudian

dihasilkan dari usaha konstitusional ini adalah dikeluarkannya Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.

Sementara itu usaha penataan ormas-ormas yang sudah dirintis sejak

tahun 1966 terus diupayakan. Upaya penataan ormas oleh Pemerintah

pada orde baru kemudian menimbulkan gagasan Pancasila sebagai satu-

satunya asas.

Untuk memuluskan politik Orde Baru, pertengahan dasawarsa 1980-an,

pemerintah telah mengusulkan kepada DPR untuk meloloskan lima paket

perundang-undangan tentang kehidupan politik nasional yaitu:

1. Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU No. 1 Tahun 1985)

2. Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan

DPRD (UU No. 2 Tahun 1985)

3. Undang-Undang tentang Partai Politik dan Golongan Karya (UU No.

3 Tahun 1985)

4. Undang-Undang tentang Referendum (UU No. 5 Tahun 1985)

5. Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU No. 8

Tahun 1985).

55

Tujuan dari keseluruhan UU Pembangunan politik 1985 ialah

memantapkan stabilitas politik yang dianggap sebagai prakondisi bagi

perjalanan dan pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. UU

Ormas pada dasarnya beranjak dari TAP No. II/MPR/1983 yang

menetapkan kepada semua organisasi masyarakat baik yang bergerak di

bidang sosial ekonomi, untuk hanya menggunakan Pancasila sebagai asas

kehidupan berorganisasi. Kesatuan asas dianggap sebagai upaya terakhir

yang paling mendasar untuk meredam konflik dan sosial yang mewarnai

sistem politik sebelum orde baru. Kesatuan asas diperkirakan mampu

menggeser persaingan dan konflik yang bersifat fundamental yang

sifatnya pragmatis dan praktis karena orang tidak lagi berbeda atas

ideologi akan tetapi atas cara dan teknik pencapaian ideologi yang

biasanya disebut program. Karena perbedaan program lebih mudah

dikompromikan daripada perbedaan asas, sehingga konhflik dapat

dihindari atau diselesaikan lebih mudah. Proses pencegahan dan

penyelesaian perbedaan inilah yang dianggap dapat menciptakan stabilitas

politik.

Pada tanggal 9 Maret 1983, secara konstitusional Pancasila sebagai satu-

satunya asas bagi organisasi kekuatan sosial politik (Partai Politik dan

Golongan Karya), ketika itu seluruh Bangsa Indonesia melalui wakil-

wakilnya dalam Lembaga Tertinggi Negara MPR menetapkannya

sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang

Garis-Garis Besar Haluan Negara. Dalam rangka meningkatkan peranan

organisasi profesi dan fungsional terutama dalam rangka pembangunan

56

nasional, maka MPR telah mengambil suatu keputusan sebagai berikut

dalam Bab IV Ketetapan MPR disebutkan:

Dalam rangka meningkatkan peranan organisasi-organisasi kemasyarakatan dalam Pembangunan Nasional sesuai dengan bidang kegiatan profesi dan fungsionalnya masing-masing maka perlu ditingkatkan usaha memantapkan dan menata organisasi-organisasi tersebut. Untuk itu perlu disusun Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan

Hakekat penyusunan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan

tersebut merupakan wahana untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan

nasional, memantapkan ketahanan nasional, mendorong serta

meningkatkan perta serta masyarakat dalam pembangunan disamping

untuk mewujudkan kebebasan berserikat dan berkumpul. Dengan

dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi

Kemasyarakatan (UU Ormas) maka dapat terlihat jelas tentang arti dan

fungsi daripada ormas-ormas yang keduanya tetap hidup dalam wadah

yang satu yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Baik ormas maupun orpol juga

bergerak dalam lingkup yang sama dan satu, yaitu masyarakat Indonesia

yang telah memiliki pandangan hidupnya sendiri yaitu Pancasila.

Pengertian ormas dalam Pasal 1 UU Ormas yaitu:

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

57

Bentuk organisasi masyarakat sipil banyak sekali berbentuk organisasi

kemasyarakatan atau sering disebut dengan ormas yang lebih lanjut diatur

dalam UU No. 8 Tahun 1985. Ormas merupakan lembaga

nonpemerintahan yang keberadaannya sangat diperlukan dalam sebuah

negara demokrasi dan berfungsi sebagai salah satu wadah untuk

menyalurkan pendapat dan pikiran anggota masyarakat warga negara

Republik Indonesia dalam meningkatkan keikutsertannya secara aktif guna

mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Pemerintah memandang

Ormas sebagai organisasi yang dibentuk anggota masyarakat secara

sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut Kelompok Petisi 50 sebagai salah satu pengamat kritis

berpendapat terhadap lima paket perundang-undangan tersebut yang

kurang demokratis yang solusinya adalah dengan memulihkan kembali

kedaulatan rakyat, atau dengan kata lain mendemokratiasasikan

kehidupan politik nasional. Pokok Pikiran Kelompok Petisi 50 tentang

“Organisasi Kemasyarakatan” adalah:49

1. Salah satu syarat adanya kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang demokratis ialah hidup dan bertumbuhnya Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

2. Ormas merupakan manifestasi pelaksanaan hak-hak asasi manusia dan hak-hak dasar warga negara, yaitu hak-hak demokratis yang ditegaskan pada Pasal 28 UUD 1945: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

49 Herman Hidayat, “Sistem Politik Orde Baru Menuju Kepudaran”, Krisis Masa Kini dan Orde Baru, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 200-202.

58

3. Ormas berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi anggota-anggota atau kelompok masyarakat serta dapat mendorong berlangsungnya proses demokrasi termasuk kontrol sosial. Fungsi ini dilakukan dalam karakteristik sebagai kekuatan moral (moral force), tidak terlibat langsung dalam usaha mendapatkan kekuasaan politik.

4. Ormas bersifat independen dalam arti tidak memiliki hubungan kepentingan dengan kekuasaan politik baik dengan pemerintah politik, maupun dengan kekuatan sosial politik yang langsung terlibat dalam proses “power sharing”. Ormas tidak memiliki hubungan struktural dengan organisasi sosial-politik.

5. Ormas bebas dari campur tangan dan pengaruh pemerintah, sepanjang tidak mengganggu ketentraman umum.

Pada masa Orde Baru, masyarakat sipil hadir sebagai penentang terhadap

kekuatan hegemoni negara dan ekonomi yang menjadikan rakyat sebagai

obyek kekuasaan.Pada masa ini, organisasi masyarakat sipil dianggap

sebagai “lawan” dan eksistensinya dianggap mengamcam kekuasaan

negara.Oleh karenya, Orde Baru merespon keberadaan organisasi

masyarakat sipil dengan melakukan pembatasan dan pembungkaman

terhadap suara-suara kritisnya. Pada masa itu pula, negara tidak hanya

melakukan kooptasi pada struktur organisasi tetapi juga pada fungsi dan

pengendalian internal yang menjadi wilayah pengaturan internal

organisasi masyarakat sipil itu sendiri. Lahirnya UU No. 8 Tahun 1985

tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) tidak terlepas dari

kepentingan rezim Orde Baru untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan

mengontrol kehidupan sosial politik masyarakat. Bagi rezim Orde Baru,

masyarakat sipil pada satu sisi memiliki potensi untuk mengkonsolidasikan

kekuasaannya. Namun pada sisi yang lain berpotensi menghalangi dan

bahkan menentang kekuasaannya. Oleh karenanya rezim Orde Baru

59

menyusun aturan untuk memudahkan melakukan kontrol eksistensi dan

perannya. UU No 8 Tahun 1985 lahir dengan semangat mengontrol dan

merepresi dinamika organisasi masyarakat. Bentuk Ormas sendiri adalah

(bentuk) yang sebetulnya tidak memiliki tempat dalam kerangka hukum di

Indonesia, namun dipaksakan karena kebutuhan rezim Orde Baru untuk

menerapkan konsep “wadah tunggal” nya. Konsep wadah tunggal ini

bermaksud untuk melokalisir satu kelompok yang dianggap sejenis dalam

satu wadah yang “sah” sehingga mudah dikontrol karena nantinya hanya

akan ada satu wadah untuk setiap jenis kelompok. Selain itu, UU Ormas

juga memuat ancaman pembekuan dan pembubaran yang represif tanpa

mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan berimbang.

B. KONSTITUSIONALITAS DEFINISI ORGANISASI

KEMASYARAKATAN MENURUT UNDANG-UNDANG ORMAS

Pasal 1 Angka 1 UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan (Ormas), dikatakan bahwa

“Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.”

Bandingkan dengan pengertian ormas dalam Pasal 1 UU nomor 8 tahun

1985, yaitu:

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan

60

kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Pengertian dalam kedua UU ormas ini diformulasikan secara umum dan

tidak spesifik. Disatu sisi, pendefinisian dimaksudkan untuk memberikan

batasan-batasan dari suatu istilah, akan tetapi bila pendefinisian tersebut

dikonstruksikan secara umum maka yang terjadi adalah memasukkan

semua hal dalam wadah yang sama, padahal hal-hal tersebut mesti

dikelompok-kelompokkan. Segala organisasi, selain partai politik masuk

dalam organisasi kemasyarakatan bila mendasarkan pada pengertian yang

dirumuskan Pasal 1 angka 1 UU ormas. Dari organisasi berdasarkan minat

olahraga, seni/budaya, profesi (advokat, notaris, dokter, wartawan, dll),

hobi, keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, sosial, kepemudaan dan

sebagainya (Pasal 7, ayat 2 RUU Ormas). Apa pun istilah lain bagi ormas

itu (lembaga swadaya masyarakat, organisasi non-pemerintah, dan

organisasi sosial, RUU Ormas memang serba mencakup. Padahal semua

pemilihan istilah tersebut tentunya memiliki alasan dan sudut pandang

tertentu. Menjadi sebuah kompleksitas tersendiri jika kita mencoba

mendefinisikan masing-masing istilah di atas tanpa tolak ukur yang

jelas.Apa yang dimaksud dengan LSM?Apa bedanya dengan Ornop/NGO?

Kenapa pula ada yang disebut dengan Organisasi masyarakat sipil (civil

society organisation)? Kesimpangsiuran terjadi diakibatkan karena istilah-

istilah tersebut (LSM, Ornop/NGO, dll) sesungguhnya adalah istilah-istilah

yang berada pada wilayah praktis sehingga pemaknaan maupun perspektif

61

terhadap masing-masing istilah sangat bergantung pandangan para pihak

kepada organisasi yang bersangkutan.

Pengaturan oleh negara terhadap aneka bentuk dan jenis organisasi

tersebut, perlu diperhatikan pentingnya (i) prinsip pemisahan (decoupling)

antar ranah negara, masyarakat, dan dunia usaha itu, (ii) prinsip “legal

and constitutional organization”, (iii) prinsip “good governance”, dan (iv)

kebutuhan akan “organizational empowerment” dalam rangka (v)

perwujudan prinsip “freedom of association” yang (vi) tetap menjamin,

mencerminkan, dan tidak mengurangi arti dari prinsip-prinsip kebebasan

berkeyakinan, kebebasan berpikir, dan kebebasan berpendapat (freedom

of belief, freedom of thought, and freedom of expression).50

Organisasi dalam lingkungan kemasyarakatan dapat dibedakan antara

persekutuan orang dan persekutuan kekayaan itu. Bahkan, organisasi

kemasyarakatan ada pula yang merupakan pesekutuan organisasi atau

institusi, seperti badan kerjasama perguruan tinggi, dan sebagainya. Yang

termasuk organisasi kemasyarakatan dengan kategori persekutuan

kekayaan adalah:

a) Yayasan yang diatur berdasarkan UU No. 28 Tahun 2004 tentang

Yayasan;

b) Badan wakaf yang diatur berdasarkan UU tentang Wakaf.

50 Jimly Asshiddiqie, “Mengatur Kebebasan Berserikat Dalam Undang-Undang”, http://jimlyschool.com/read/analisis/274/mengatur-kebebasan-berserikat-dalam-undangundang/

62

Sedangkan organisasi kemasyarakatan atau organisasi masyarakat dengan

kategori persekutuan organisasi dapat terdiri atas organisasi-organisasi

berbadan hukum atau organisasi bukan berbadan hukum. Sementara itu,

organisasi kemasyarakatan yang termasuk kategori persekutuan orang

adalah:

a) Partai Politik yang diatur dengan UU tentang Partai Politik;

b) Perkumpulan (Vereeniging) berbadan hukum yang diatur

berdasarkan Staatsblad 1870 No. 64;

c) Lembaga Swadaya Masyarakat yang diatur berdasarkan UU

Lingkungan Hidup Tahun 1982; dan

d) Organisasi Kemasyarakatan yang diatur berdasarkan UU No. 8 Tahun

1985.

Di samping itu, di pelbagai bidang kegiatan partisipasi masyarakat yang

terkait dengan kegiatan instansi-instansi pemerintahan, terdapat pula

berbagai macam organisasi yang diatur tersendiri instansi yang

bersangkutan. Misalnya, organisasi masyarakat penyelenggara dakwah

keagamaan, pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan hidup, dan

sebagainya. Kesemua jenis organisasi dimaksud dirangkumkan

pengaturannya oleh UU No. 8 Tahun 1985 yang bersifat mencakup.

Kesemua jenis dan macam-macam organisasi tersebut, perlu dibuat

kategorisasi dan klasifikasi agar dapat dipahami dengan jenis factor-faktor

pembedanya satu dengan yang lain.

Untuk itu, kategorisasi dimaksud dapat dibedakan antara (1) status badan

hukum dan bukan badan hukumnya dan (2) kategorinya sebagai

63

persekutuan orang atau persekutuan kekayaan. Di samping itu,

kategorisasi dapat pula dilihat dari (3) susunan organisasinya yang

bersifat massal atau merupakan sistem unit. Jika keanggotaan bersifat

massal, maka organisasi itu biasanya disebut sebagai organisasi massa

dengan susunan yang terdiri atas cabang-cabang dan ranting, seperti

Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Sedangkan keanggotaan organisasi

unit tidak bersifat massal, melainkan terbatas, sehingga struktur

organisasinya hanya sebagai 1 unit organisasi, tidak memiliki cabang di

daerah-daerah, melainkan hanya kantor perwakilan saja. Selain itu,

organisasi kemasyarakatan dapat pula dibedakan dari (4) lingkup

kegiatannya yang bersifat umum atau bersifat khusus menurut bidang-

bidang tertentu saja, misalnya hanya di bidang pendidikan, atau

kesehatan saja. Dalam praktik, ada organisasi dengan keangotaan yang

bersifat massal dan dengan kegiatan yang bersifat umum, mencakup

semua bidang yang sangat luas, seperti organisasi Nahdhatul Ulama dan

Muhammadiyah tersebut di atas. Perbedaan-perbedaan tersebut

seharusnya diatur secara berbeda-beda satu dengan yang lain atau

setidaknya beberapa di antaranya diatur berbeda. Demikian pula untuk

memudahkan pemahaman, penamaan pelbagai jenis organisasi itu juga

dapat dibedakan.

Organisasi yang mencerminkan atau pelembagaan prinsip kemerdekaan

berserikat dapat terbentuk sebagai badan hukum (rechtspersoon).

Namun, tidak semua organisasi memerlukan status badan hukum. Jika

organisasi tersebut tidak menyangkut kepentingan umum atau berkenaan

64

urusan masyarakat luas, sangat mungkin organisasi itu tidak memerlukan

status yang ketat sebagai badan hukum (rechtspersoon). Namun,

organisasi yang tidak berbadan hukum ini ada juga yang kegiatannya

berkaitan dengan kepentingan umum atau berhubungan dengan program-

program pemerintah sehingga memerlukan pengaturan dengan undang-

undang.

Organisasi yang berstatus badan hukum tentu berbeda dari organisasi

yang bukan badan hukum. Dengan status badan hukum itu, organisasi

yang bersangkutan dapat bertindak sebagai subjek yang otonom atau

penuh dalam lalu lintas hukum. Badan hukum organisasi menyandang hak

dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Misalnya, organisasi badan hukum

dapat diberi hak-hak (i) untuk memiliki rekening bank atas nama

organisasi, (ii) untuk memiliki saham atau surat-surat berharga lainnya

atas nama organisasi, (iii) untuk memiliki harta bergerak dan tidak

bergerak, khususnya (iv) hak atas tanah atas nama organisasi. Organisasi

yang tidak berbadan hukum tidak dapat memiliki semua hak-hak yang

dapat diberikan kepada organisasi berbadan hukum tersebut.

Status badan hukum itu sendiri harus ditetapkan secara resmi melalui

pendaftaran di instansi pemerintah. Terkait hal itu, perlu dibedakan antara

(i) registrasi status badan hukum dan (ii) registrasi atau izin operasional

kegiatan, dan (iii) standarisasi dan akreditasi dalam rangka pembinaan

mutu. Registrasi badan hukum harus tersentralisasi dalam sistem

administrasi hukum Kementerian Hukum dan HAM. Sedangkan registrasi

65

atau izin operasional kegiatan dapat ditentukan dikaitkan dengan

kementerian yang bertanggungjawab dalam bidang kegiatan yang

bersangkutan. Misalnya, kegiatan organisasi di bidang pendidikan harus

terdaftar di atau memiliki izin operasional dari Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan, organisasi keagamaan harus terdaftar di atau

mendapatkan izin operasional dari Kementerian Agama, organisasi social

harus terdaftar di atau diberi izin operasional dari Kementerian Sosial, dan

sebagainya. Oleh karena itu, tidak perlu diadakan pengaturan yang

menentukan harus adanya pendaftaran di Kementerian Dalam Negeri,

kecuali untuk organisasi asing yang beroperasi di Indonesia dan organisasi

warga negara asing yang ada di Indonesia yang harus diawasi oleh

kementerian yang bertanggungjawab untuk urusan pengawasan orang

asing.

Di samping itu, dapat dipersoalkan, setelah organisasi tersebut

mendapatkan status badan hukum, apakah kepadanya masih harus

dikenakan ketentuan untuk mendapatkan izin operasional untuk

melakukan sesuatu kegiatan? Ketentuan mengenai perizinan didasarkan

atas premis bahwa kegiatan yang bersangkutan pada dasarnya dilarang,

kecuali apabila telah mendapatkan izin untuk dilakukan. Padahal, (i) pada

dasarnya setiap orang berhak untuk bebas berorganisasi atau berserikat,

dan (ii) organisasinya itu sendiri, apalagi misalnya, telah didaftarkan

secara resmi dan mendapatkan status badan hukum sebagaimana

mestinya, juga harus dipandang memiliki kebebasan untuk mengadakan

kegiatan yang tidak melanggar hukum. Untuk apa lagi organisasi itu

66

diharuskan mendapatkan izin operasional? Bukankah baginya cukup

ditentukan harus mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang

membina bidang kegiatan yang bersangkutan, sehingga organisasi yang

bersangkutan dapat mengikuti pelbagai ketentuan yang berlaku di

lingkungan instansi yang bersangkutan, termasuk untuk kepentingan

standarisasi dan akreditasi. Jika organisasi yang bersangkutan ternyata

melakukan pelanggaran, bukan kah atas dasar itu, statusnya sebagai

badan hukum dapat dipersoalkan sebagaimana mestinya? Karena

sebenarnya, kepada semua organisasi berbadan hukum seharusnya dapat

ditentukan cukup memastikan (i) terdaftar sebagai badan hukum, (ii)

terdaftar sebagai penyelenggara kegiatan tertentu di lingkungan

kementerian negara yang bersangkutan, dan (iii) diakreditasi oleh instansi

pemerintah yang bersangkutan untuk kepentingan pembinaan mutu.

Badan Hukum Perkumpulan

Pengaturan mengenai badan hukum perkumpulan, sampai saat ini masih

menggunkan produk kolonial Belanda, yaitu pada Bab IX Pasal 1653

sampai Pasal 1665 KUHPerdata, Staatsblad 1870-64 tentang Kedudukan

Badan Hukum dari Perkumpulan (Rechtspersoonlijkheid van

Vereenigingen) dan Staatsblad 1939-570 jo 717 tentang Perkumpulan

Indonesia (Inlandsche Vereeniging). Dengan mengacu pada aturan

tersebut, maka dikenal ketentuan perundang-undangan mengenai

Perkumpulan yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing

67

(KUHPerd dan Staatsblad 1970-64) dan Perkumpulan yang berlaku bagi

golongan Pribumi (Staatsblad 1939-570 jo 717).51

Menurut konsideran dari Staatsblad 1939-570 jo 717 Perkumpulan

Indonesia merupakan perkumpulan yang anggota-anggotanya hanya

terdiri dari orang-orang dari golongan Pribumi, mengatur secara

menyimpang dari Hukum Adat sekadar perlu untuk memenuhi kebutuhuan

sosial dan kepentingan umum dari masyarakat golongan Pribumi. Apabila

ada orang pribumi menjadi anggota perkumpulan menurut Staatsblad

1870-64, maka hak dan kewajiban dari orang Pribumi itu akan tunduk

pada Staatsblad 1870-64, demikian Bepaling vereniging op Indonesiërs

toepasselijk (Staatsblad 1904-272).52

Bab kesembilan Buku Ketiga Tentang Perkumpulan yang merupakan

terjemahan dari Van zedelijke ligchamen dianggap seolah-olah orang

selaku pembawa hak dan kewajiban dalam masyarakat, merupakan badan

hukum, demikian pula halnya dengan Staatsblad 1870-64. Di dalam

pertimbangan Staatsblad tersebut dinyatakan, bahwa agar sesuai dengan

ketentuan umum dari Pasal 75 Reglement op het Beleid der Regering van

Ned-Indië mengubah dan menambah Pasal 1653 dan berikutnya dari

KUHPerdata. Oleh Pasal 1653 KUHPerdata disebutkan adanya disamping

51http://ipkcenter.org/source/repo/ipkc%20dari%20tesalonika%20%20partners/naskah20akademis20ruu20tentang20perkumpulan202011.pdf

52 Ibid., hlm. 7. Staatsblad 1870 No. 64 (“Stb.1870-64“) yang kemudian disempurnakan dengan Staatsblad 1939 No. 570 mengenai Perkumpulan Indonesia (Inlandsche Vereniging) (“Stb. 1939-570″) yang pada awalnya hanya berlaku untuk daerah Jawa Madura saja. Kemudian berdasarkan Staatsblad 1942 No. 13 jo No. 14 (“Stb. 1942-13 jo 14″), http://www.tiaranusa.com/Perkumpulan-Information.pdf, diakses pada 8 Oktober 2014.

68

perseroan yang sejati (eigenlijke maatschap) diakui pula empat

perhimpunan-perhimpunan orang (vereenigingen van persoonen) sebagai

perkumpulan-perkumpulan (zedelijke ligchamen):53

1. Perkumpulan yang didirikan oleh kekuasaan umum (op openbaar

gezag ingesteld), didirikan oleh Pemerintah seperti Propinsi,

Kota/Kabupaten),

2. Perkumpulan yang diakui (erkend, misalnya badan keagamaan

Kristen atau Kerkgenootschappen),

3. Perkumpulan yang diizinkan sebagai diperbolehkan (geoorloofd

toegelaten),

4. Perkumpulan yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak

berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan (perkumpulan

didirikan oleh swasta).

Dari kalimat pertama Pasal 8 Staatsblad 1870-64 dapat diketahui adanya

perkumpulan yang tidak berbadan hukum. Sudah sejak dahulu kala

dibutuhkan pengertian dan pengaturan perundang-undangan tentang

badan hukum, yakni badan yang disamping orang juga dianggap dapat

melakukan tindakan hukum, mempunyai hak serta kewajiban, Timbullah

beberapa teori mengenai badan hukum, sehingga diperlukan ketegasan

perkumpulan orang atau kumpulan uang yang mana dapat dianggap

sebagai badan hukum.54

53 Ibid., hlm. 8

54 Ibid., hlm. 9

69

Perkumpulan terus mengalami perkembangan di Indonesia, sedangkan

aturan hukumnya masih merujuk pada Burgerlijk Wetboek (BW) untuk

Indonesia atau KUHPerdata dan Staatblad, yang keduanya merupakan

produk hukum Kolonial. Pencantuman ketentuan Perkumpulan dalam

KUHPerdata, Buku Ketiga tentang Hukum Perikatan ini menunjukkan

bahwa Perkumpulan adalah suatu bentuk persekutuan yang terdiri dari

dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri pada ketentuan tertentu.

Pendirian Perkumpulan seyogyanya digolongkan pada tindakan hukum

berganda yang bukan merupakan perjanjian yang menimbulkan perikatan.

Perkumpulan yang merupakan terjemahan dari zedelijke ligchamen dalam

KUHPerdata ini adalah berbeda dengan persekutuan yang disebut sebagai

Perseroan (yang merupakan terjemahan dari maatschap), di mana

Perseroan dimaksudkan sebagai persekutuan antara dua orang atau lebih

dalam melakukan suatu usaha untuk memperoleh dan membagi

keuntungan (laba), sedangkan Perkumpulan tidak berorientasi pada

keuntungan (nirlaba).55

Perkumpulan yang diatur dalam Staatblad 1870-64, memberikan

ketentuan status badan hukum bagi suatu perkumpulan. Staatblad ini

menerjemahkan perkumpulan dari kata rechtspersoonlijkheid van

vereenigingen. Aturan inilah yang hingga kini masih berlaku dan dalam

prakteknya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perkumpulan-

perkumpulan di Indonesia. Apalagi, Perkumpulan sebagaimana dimaksud

55 Ibid., hlm. 9

70

oleh KUHPerdata dan Staatblad (yang masih mengandung definisi secara

luas, baik badan hukum, maupun bukan badan hukum, yang berorientasi

pada laba maupun nirlaba) secara parsial telah diatur dalam berbagai

Undang-Undang.56 Hal inilah yang mendasari pemerintah berinisitif

mengajukan RUU Perkumpulan dan sudah masuk dalam Prolegnas 2010-

2014, meskipun belum disahkan. Dan, tergeser dengan pengesahaan RUU

Ormas.57

Dari draft RUU yang beredar saat ini, RUU Perkumpulan terdiri dari 13

(tiga belas) Bab dan 75 (tujuh puluh lima) pasal. Di dalam Bab Ketentuan

Umum dinyatakan pengertian perkumpulan yaitu badan hukum yang

merupakan kumpulan orang, didirikan untuk mewujudkan kesamaan

kesamaan maksud dan tujuan tertentu sesuai dengan yang dicita-citakan

oleh para anggotanya, dan tidak membagikan keuntungan kepada

anggotanya dan organ perkumpulan. Orang adalah orang perseorangan

56 Ibid.

57 RUU Perkumpulan Tergeser Revisi UU Ormas,

http://jaringnews.com/politik-peristiwa/umum/3896/ruu-perkumpulan-tergeser-revisi-uu-ormas, diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.

71

atau badan hukum sementara Organ perkumpulan terdiri dari: a. Rapat

Umum Anggota; Badan Pengurus dan; Badan Pengawas.58

RUU ini juga mengatur mengenai kegiatan yang dilakukan Perkumpulan,

yaitu harus sesuai maksud dan tujuan dan tidak bertentangan ketertiban

umum, kesusilaan dan/atau ketentuan peraturan peraturan

perundangundangan lain. Selain itu, penyertaan Perkumpulan dalam

badan usaha yang tidak selaras dengan kegiatan perkumpulan paling

banyak 25 % dari seluruh nilai kekayaan perkumpulan dan tidak melebihi

10%dari modal badan usaha.

RUU Perkumpulan juga mengatur mengenai Persyaratan Pendirian

Perkumpulan yaitu paling sedikit didirikan oleh 20 (dua puluh) orang

perseorangan atau paling sedikit 2 (dua) badan hukum, menyertakan akta

notaris dalam bahasa Indonesia atau berdasarkan kesepakatan semua

pendiri dalam notula rapat dibawah tangan yang kemudian dinyatakan

dengan akta notaris.

Selain memuat syarat pendirian, RUU Perkumpulan juga mengatur

mengenai Angaran Dasar yang memuat sekurang-kurangnya: a. nama dan

tempat kedudukan Perkumpulan, dengan catatan nama tidak boleh sama

dengan perkumpulan lain atau bertentangan dengan ketertiban umum

dan/atau kesusilaan. Sedangkan tempat kedudukan harus dijelaskan di di

daerah Kabupaten atau Kota; b. maksud dan tujuan; c. kegiatan untuk

58RatnawatiW. Prasodjo, Sosialisasi RUU Perkumpulan, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/doc/894_Sosialisasi%20RUU%20Perkumpulan%20%5BCompatibility%20Mode%5D.pdf. Diakses pada tanggal 1 Oktober 2014.

72

mewujudkan maksud dan tujuan (kegiatan yang tidak komersial); d.

jangka waktu berdirinya Perkumpulan; e. perolehan dan penggunaan

kekayaan; f. ketentuan mengenai keanggotaan; hak dan kewajiban

anggota; h. tata cara pengangkatan, pemberhentian, penggantian

anggota Badan Pengurus dan anggota Badan Pengawas; i. hak dan

kewajiban Badan Pengurus dan Badan Pengawas; j. penetapan tempat

dan tata cara penyelenggaraan Rapat Umum Anggota (RUA); k.

penggabungan dan peleburan Perkumpulan; dan l. pembubaran dan

penggunaan kekayaan sisa hasil likuidasi.

Anggaran Dasar Perkumpulan dapat dilakukan perubahan dengan syarat

perubahan dilakukan melalui Keputusan RUA, dan dibuat dengan akta

notaris dalam bahasa Indonesia. Khusus perubahan terkait dengan nama,

tempat kedudukan, kegiatan, jangka waktu, diperlukan persetujuan

Menteri Hukum dan HAM. Sedangkan perubahan lainnya, cukup

diberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM.

Perkumpulan juga diperbolehkan mengumpulkan kekayaan dari iuran

anggota, sumbangan yang tidak mengikat, hibah/hibah wasiat, dan

perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar

Perkumpulan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perolehan

kekayaan tersebut harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel dan

wajib dilaporkan oleh Badan Pengurus kepada anggota Perkumpulan

setiap bulan.

73

RUU Perkumpulan juga mengatur mengenai keanggotaan. Anggota

Perkumpulan adalah orang perseorangan dan/atau badan hukum.

Anggota Perkumpulan “bersifat pribadi” (artinya tidak dapat dialihkan atau

diwariskan) kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Persyaratan,

hak dan kewajiban serta klasifikasi keanggotaan ditetapkan dalam

anggaran dasa. Persyaratan penerimaan anggota ditentukan dalam

anggaran dasar. Penerimaan anggota dilakukan oleh Badan Pengurus.

Berakhirnya keanggotaan karena: a. meninggal dunia kecuali dapat

diwariskan; b. status badan hukum berakhir jika anggota adalah badan

hukum; c. mengundurkan diri atas permintaan sendiri; d. diberhentikan

oleh Badan Pengurus atau berdasarkan keputusan RUA karena tidak

memenuhi persyaratan yang ditentukan Perkumpulan.59

Dalam RUU Perkumpulan juga diatur Hak Suara Anggota. Setiap anggota

berhak atas satu suara kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar,

misalnya dalam anggaran dasar ditentukan berdasarkan perwakilan dari

setiap jumlah tertentu diwakili oleh 1 (satu) orang anggota atau

berdasarkan wilayah, daerah atau cabang. Dalam mengambil keputusan,

RUA harus memenuhi kuorum. Kuorum Rapat I (pertama) lebih dari ½

(satu per dua) jumlah anggota jika tidak tercapai ditunda; Kuorum Rapat

II (kedua) paling sedikit 1/3 (satu per tiga) jika tidak tercapai ditunda;

Kuorum Rapat selanjutnya dilaksanakan tanpa memperhatikan kuorum.

Pengambilan keputusan lebih dari ½ (satu per dua) dari jumlah suara

59 Ibid.

74

yang dikeluarkan. RUA I (pertama) untuk mengubah anggaran dasar

kourum paling sedikit 2/3 bagian jumlah anggota Perkumpulan; RUA ke II

(kedua) setelah RUA pertama ditunda kuorum lebih dari ½; RUA

selanjutnya tanpa memperhatikan kourum. Pengambilan keputusan untuk

mengubah anggaran dasar paling sedikit 2/3 baik untuk RUA I, II, dan

III.60

Selain mengatur mengenai mekanisme pengambilan keputusan, RUU

Perkumpulan juga mengatur mengenai Badan Pengurus, yaitu paling

sedikit 3 orang anggota masing-masing 1 orang untuk Ketua, Sekretaris,

dan Bendahara. Susunan, tata cara pengangkatan, penggantian, dan

pemberhentian diatur dalam anggaran dasar, termasuk juga dalam hal

tugas dan tanggung jawab Badan Pengurus.

Selain Badan Pengurus, RUU perkumpulan juga mengatur mengenai

Badan Pengawas. Badan ini Paling sedikit 1 orang anggota. Yang dapat

diangkat adalah orang perseorangan anggota Perkumpulan. Seperti

halnya Badan Pengurus, susunan, tata cara pengangkatan, penggantian

dan pemberhentian Badan Pengawas juga diatur dalam anggaran dasar,

termasuk tugas dan tanggung jawabnya.

Dalam menjalankan tuigas dan tanggungjawabnya, Badan Pengurus

menyampaikan Laporan Tahunan ke RUA paling lambat 6 bulan setelah

tahun buku berakhir untuk disetujui RUA dan disampaikan kepada

Kementrian Hukum dan HAM. Apabila 2 tahun berturut-turut tidak

60 Ibid.

75

menyusun laporan tahunan maka masing-masing anggota Badan

Pengurus bertanggung jawab secara tanggung renteng. Ikhtisar Laporan

tahunan diumumkan pada papan pengumuman di kantor Perkumpulan

dan bagi perkumpulan yang memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu

wajib diumumkan dalam2 surat kabar harian.

Perkumpulan juga bisa bubar atau dibubarkan akibat keputusan RUA,

jangka waktu berakhir, tujuan perkumpulan telah/tidak tercapai, dan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.61

Badan Hukum Yayasan

Badan Hukum Yayasan, menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2004

tentang Yayasan mendefinisikan Yayasan adalah badan hukum yang

terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai

tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak

mempunyai anggota.

Keterkaitan definisi yayasan dengan definisi perkumpulan yang dimuat

dalam Pasal 1 RUU Perkumpulan hanya terdapat pada tujuan badan

hukum ini yaitu sama-sama bergerak di bidang sosial, keagamaan dan

kemanusian. Perbedaannya bahwa yayasan adalah badan hukum terdiri

atas kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan para pendirinya sedangkan

perkumpulan pada hakekatnya adalah kumpulan orang bertujuan tidak

mencari keuntungan. Organ yayasan dalam Pasal 2 UU No.28/2004 terdiri

61 Ibid.

76

atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Organ yayasan terkait dengan

organ perkumpulan yang diatur dalam dalam Pasal 3 RUU Perkumpulan

terutama keduanya sama-sama mengenal Organ Pengurus dan

Pengawas. Perbedaannya bahwa yayasan terdapat organ Pembina

sedangkan organ tertinggi dalam RUU Perkumpulan adalah Rapat Umum

Anggota (RUA).62

Pasal 3 ayat (2) UU Yayasan menyatakan bahwa yayasan tidak boleh

membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus dan

Pengawas. Pasal 3 ayat (2) UU Yayasan tersebut terkait dengan ketentuan

Pasal 6 ayat (2) RUU Perkumpulan yang juga melarang membagikan hasil

yang diperoleh dari badan usaha kepada anggota Badan Pengurus dan

Anggota Badan Pengawas.

Pasal 4 UU Yayasan menyatakan bahwa Yayasan mempunyai tempat

kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang ditentukan

dalam Anggaran Dasar. Pasal 4 UU Yayasan terkait dengan Pasal 2 ayat

(2) RUU Perkumpulan yang menyatakan bahwa Perkumpulan mempunyai

tempat kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang

ditentukan dalam Anggaran Dasar.

Pasal 5 ayat (1) : Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang maupun

kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan Undang-Undang ini,

dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung

62 Opcit, hlm. 39. http://ipkcenter.org/source/repo/ipkc%20dari%20 tesalonika %20%20partners/naskah20akademis20ruu20tentang20perkumpulan202011.pdf

77

baik dalam bentuk gaji, upah atau honorarium atau bentuk lain yang

dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas

Larangan pembagian kekayaan yayasan kepada Pembina, Pengurus dan

Pengawas yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 5 ayat (1) UU No.28/2004

memiliki keterkaitan dengan yang diatur dalam Pasal 6 ayat(2) RUU

Perkumpulan, sama-sama melarang pembagian hasil yang diperoleh dari

badan usaha kepada anggota Perkumpulan serta anggota Badan Pengurus

dan Anggota Badan Pengawas Perkumpulan. Larangan pembagian hasil ini

senada dengan tujuan dari badan hukum tersebut yang hanya bergerak di

bidang sosial, keagamaan dan kemasyarakatan dan tidak mencari

keuntungan.

Pasal 7 UU Yayasan menyebutkan bahwa: a. Yayasan dapat mendirikan

badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan

yayasan; b. Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk

usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan

tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai

kekayaan Yayasan; c. Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas

Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan

Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).

Pasal 8 UU Yayasan menyebutkan bahwa Kegiatan usaha dari badan

usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan

maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban

78

umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pasal 7 ayat (1) UU Yayasan tersebut di atas terkait dengan Pasal 5 ayat

(1) dan (2) RUU Perkumpulan yang membolehkan Perkumpulan

mendirikan suatu badan usaha dan/atau melakukan penyertaan dalam

badan usaha yang selaras dengan maksud dan tujuan Perkumpulan.

Sedangkan Pasal 7 ayat (2) UU Yayasan terkait dengan Pasal 5 ayat (3)

RUU Perkumpulan yang sama-sama merekomendasikan paling banyak 25

% (duapuluh lima persern) dari kekayaan yayasan dalam penyertaan

modal untuk bentuk usaha yang bersifat prospektif dan untuk penyertaan

Perkumpulan dalam badan usaha jika kegiatan usahanya tidak selaras

dengan kegiatan Perkumpulan.

Dalam UU Yayasan, juga mengatur mengenai pendirian sebuah yayasan.

Pasal 9 UU Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Yayasan didirikan oleh satu

orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan

pendirinya, sebagai kekayaan awal; (2) Pendirian Yayasan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam

bahasa Indonesia Pendirian yayasan dengan pendirian perkumpulan

terdapat perbedaan dimana untuk mendirikan yayasan mensyaratkan satu

orang atau lebih. Sementara dalam pendirian perkumpulan disyaratkan

minimal 20 (duapuluh orang) atau lebih. Persamaannya bahwa yayasan

maupun perkumpulan harus dibuat dalam akta notaris yang dibuat dalam

bahasa Indonesia.

79

Status Badan Hukum Yayasan diatur dalam Pasal 11 UU Yayasan yang

menyebutkan bahwa: (1) Yayasan memperoleh status badan hukum

setelah akta pendirian Yayasan, memperoleh pengesahan dari Menteri; (2)

Untuk memperoleh pengesahan, pendiri atau kuasanya mengajukan

permohonan kepada Menteri melalui Notaris yang membuat akta pendirian

Yayasan tersebut; (3) Notaris wajib menyampaikan permohonan

pengesahan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 10 hari

terhitung sejak tanggal akta pendirian yayasan ditandatangani. Status

badan hukum yayasan yang diatur dalam Pasal 11 UU No. 28/2004 terkait

dengan pengesahan perkumpulan yang diatur dalam Pasal 9 RUU

Perkumpulan dimana perkumpulan memperoleh status badan hukum pada

saat diterbitkannya keputusan Menteri mengenai pengesahan badan

hukum. Untuk memperoleh pengesahan tersebut menurut Pasal 10 ayat

(1) RUU Perkumpulan pendiri Perkumpulan atau kuasanya mengajukan

permohonan tertulis kepada Menteri dengan melampirkan akta pendirian.

Pasal 12 UU Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Pengesahan akta pendirian

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) diajukan oleh pendiri atau

kuasanya dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri; (2)

Pengesahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam waktu

paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan

diterima secara lengkap.

Ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU Yayasan terkait dengan Pasal 10

ayat (1) dan (2) RUU Perkumpulan dimana pendiri perkumpulan

80

mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri d.h.i. Menteri Hukum

dan HAM dan pengesahan diberikan dalam waktu paling lama 30

(tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara

lengkap.

Pasal 13 ayat (1) UU Yayasan menyebutkan bahwa, dalam hal

permohonan pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)

ditolak, Menteri wajib memberitahukan secara tertulis disertai dengan

alasannya, kepada pemohon mengenai penolakan pengesahan tersebut.

Ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Yayasan tersebut terkait dengan Pasal 10

ayat (3) RUU Perkumpulan yang mengatur perihal penolakan Serupa

dengan RUU Perkumpulan, UU Yayasan juga mengatur persoalan

Anggaran Dasar dan mekanisme Perubahannya. Pasal 14 ayat (2) UU

Yayasan menyebutkan bahwa Anggaran Dasar Yayasan sekurang-

kurangnya memuat:

a. nama dan tempat kedudukan;

b. maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan

tersebut;

c. jangka waktu pendirian;

d. jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri

dalam bentuk uang atau benda;

e. cara memperoleh dan penggunaan kekayaan;

f. tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota

Pembina, Pengurus, dan Pengawas;

81

g. hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;

h. tata cara penyelenggaraan rapat organ Yayasan;

i. ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;

j. penggabungan dan pembubaran Yayasan; dan

k. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan

Yayasan setelah pembubaran.

Ketentuan Anggaran Dasar Yayasan tersebut di atas hampir sama dengan

ketentuan Anggaran Dasar Perkumpulan yang tercantum pada Pasal 11

RUU Perkumpulan. UU Yayasan juga mengatur mengenai nama dari

sebuah yayasan. Pasal 15 ayat (1) UU Yayasan Yayasan tidak boleh

memakai nama yang: a. telah dipakai secara sah oleh Yayasan lain; atau

b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Ketentuan

Pasal 15 ayat (1) UU Yayasan ini terkait dengan Pasal 12 RUU

Perkumpulan.

Sementara terkait dengan perubahan Anggaran Dasar Yayasan diatur

dalam Pasal 17 UU Yayasan menyebutkan bahwa Anggaran Dasar dapat

diubah, kecuali mengenai maksud dan tujuan Yayasan. Ketentuan ini

sama dengan bunyi Pasal 14 RUU Perkumpulan yang membolehkan

mengubah anggaran dasar kecuali mengenai maksud dan tujuan

Perkumpulan.

Pasal 18 UU Yayasan menyatakan bahwa: (1) Perubahan Anggaran Dasar

hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan rapat Pembina; (2)

Rapat Pembina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat

82

dilakukan, apabila dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari

jumlah anggota Pembina; (3) Perubahan Anggaran Dasar sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam

bahasa Indonesia; Ketentuan di atas hampir sama dengan Pasal 15 RUU

Perkumpulan dimana dalam ayat (1) disebutkan bahwa perubahan

anggaran dasar dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan RUA dan ayat

(2) disebutkan bahwa perubahan tersebut dibuat dengan akta notaris.

Pada perkumpulan persyaratan untuk melangsungkan RUA harus dihadiri

1/2 (satu perdua) jumlah anggota. Kemudian dalam Pasal 37 ayat (1)

disebutkan bahwa untuk mengubah anggaran dasar RUA dapat

dilangsungkan jika dihadiri paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian jumlah

anggota Perkumpulan.

UU Yayasan juga mengatur mengenai pengumuman pendirian sebuah

yayasan. Pasal 24 UU Yayasan menyebutkan bahwa; (1) Akta pendirian

Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan

Anggaran Dasar yang telah disetujui, wajib diumumkan dalam Tambahan

Berita Negara Republik Indonesia; (2) Pengumuman sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) diajukan permohonannya oleh Pengurus Yayasan

atau kuasanya kepada Kantor Percetakan Negara Republik Indonesia

dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal

akta pendirian Yayasan yang disahkan atau perubahan Anggaran Dasar

yang disetujui.

83

Kalau dicermati, Ketentuan ini sama dengan bunyi ketentuan Pasal 21

ayat (1) RUU Perkumpulan yang mengharuskan akta pendirian yang telah

disahkan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia

dan Pasal 23 ayat (2) yang mengatur batas waktu pengumuman yaitu

paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengesahan.

Persoalan lainnya yang diaturt dalam UU Yayasan adalah terkait kekayaan

Yayasan. Pasal 26 UU Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Kekayaan

Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk

uang atau barang; (2) Selain kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) kekayaan Yayasan dapat diperoleh dari:

a. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat;

b. Wakaf;

c. Hibah;

d. Hibah wasiat;

e. Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar

Yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan tersebut di atas hampir sama dengan pengaturan kekayaan

perkumpulan yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1) RUU Perkumpulan yang

menyebutkan bahwa Kekayaan Perkumpulan berasal dari :

a. Iuran anggota;

b. Sumbangan yang tidak mengikat;

c. Hibah; dan

d. Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar

Perkumpulan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

84

Dalam UU Yayasan, juga diatur organ yayasan, yaitu Pembina, Pengurus,

dan pengawas. Pembina sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU

Yayasan adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak

diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh Undang-undang ini atau

Anggaran Dasar. Ketentuan ini mirip dengan bunyi Pasal 30 RUU

Perkumpulan yang menyebutkan bahwa RUA (Rapat Umum Anggota)

mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Badan Pengurus dan

Badan Pengawas. Perbedaannya kalau pembina adalah orang

perseorangan sedangkan RUA adalah sekumpulan orang yang menjadi

anggota dari perkumpulan.

Pengurus Yayasan diatur dalam Pasal 31 UU Yayasan menyebutkan

bahwa: (1) Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan

kepengurusan Yayasan; (2) Yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah

orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum; (3)

Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas.

Pasal 31 ayat (2) UU Yayasan sama dengan yang diatur dalam Pasal 40

ayat (4) RUU Perkumpulan yang mensyaratkan kecakapan anggota

pengurus melakukan perbuatan hukum. Dalam hukum, seseorang

dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum apabila orang tersebut

di bawah umur atau di bawah pengampuan.

Pasal 32 UU Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Pengurus Yayasan

diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk

jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1

85

(satu) kali masa jabatan; (2) Susunan Pengurus sekurang-kurangnya

terdiri atas: a. seorang ketua; b. seorang sekretaris; dan c. seorang

bendahara. Sementara Ayat (3) mengatakan, dalam hal Pengurus

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selama menjalankan tugas

melakukan tindakan yang oleh Pembina dinilai merugikan Yayasan, maka

berdasarkan keputusan rapat Pembina, Pengurus tersebut dapat

diberhentikan sebelum masa kepengurusannya berakhir; (4) Ketentuan

mengenai susunan dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan

penggantian Pengurus diatur dalam Anggaran Dasar. Kalau dicermati,

Susunan Pengurus dalam Pasal 32 ayat (2) UU Yayasan sama dengan

yang diatur oleh Pasal 40 ayat (2) RUU Perkumpulan.

UU Yayasan juga mengatur mekanisme pergantian pengurus. Pasal 33 UU

Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Dalam hal terdapat penggantian

Pengurus Yayasan, Pengurus yang menggantikan menyampaikan

pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri; (2) Pemberitahuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan dalam jangka

waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal

penggantian Pengurus Yayasan.

Pasal 35 UU Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Pengurus Yayasan

bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan

dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun

di luar Pengadilan; (2) Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad

baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan;

86

(3) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),

Pengurus dapat mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan

Yayasan; (4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan

pemberhentian pelaksana kegiatan Yayasan diatur dalam Anggaran Dasar

Yayasan; (5) Setiap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi

apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai

dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan kerugian

Yayasan atau pihak ketiga.

Pasal 35 ayat (1) UU Yayasan mirip dengan ketentuan Pasal 40 ayat (1)

RUU Perkumpulan yang menyatakan Badan Pengurus bertanggung jawab

penuh atas pengurusan Perkumpulan sesuai dengan maksud dan tujuan.

Di samping itu Pasal 35 ayat (1) UU Yayasan sama dengan yang diatur

dalam Pasal 46 ayat (1) RUU Perkumpulan yang menetapkan Badan

Pengurus mewakili Perkumpulan baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Pasal 35 ayat (2) UU Yayasan sama dengan yang ditentukan Pasal 45 ayat

(1) RUU Perkumpulan yang mengharuskan Badan Pengurus menjalankan

tugas pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian dan penuh tanggung

jawab. Pasal 35 ayat (5) sama dengan ketentuan Pasal 45 ayat (2) yang

menyatakan Badan Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi

atas kerugian Perkumpulan bila lalai atau salah dalam menjalankan

tugasnya.

Pasal 37 UU Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Pengurus tidak

berwenang: a. mengikat Yayasan sebagai penjamin utang; b. mengalihkan

87

kekayaan Yayasan kecuali dengan persetujuan Pembina; dan c.

membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain. (2)

Anggaran Dasar dapat membatasi kewenangan Pengurus dalam

melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan. Kalau

dicermati, Pasal 37 ayat (1) UU Yayasan sama dengan yang diatur oleh

Pasal 47 ayat (1) RUU Perkumpulan.

Pasal 39 UU Yayasan menyebutkan bahwa: (1) Dalam hal kepailitan

terjadi karena kesalahan atau kelalaian Pengurus dan kekayaan Yayasan

tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka

setiap Anggota Pengurus secara tanggung renteng bertanggung jawab

atas kerugian tersebut; (2) Anggota Pengurus yang dapat membuktikan

bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak

bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1).

Sama halnya dengan ketentuan-ketentuan sebelumnya, ketentuan dalam

Pasal Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU Yayasan sama dengan yang diatur oleh

Pasal 48 ayat (2) dan (3) RUU Perkumpulan.63

C. KONSTITUSIONALITAS PEMBATASAN PROSEDURAL

KEBEBASAN BERSERIKAT DALAM UNDANG-UNDANG ORMAS

63 Ibid. http://ipkcenter.org/source/repo/ipkc%20dari%20tesalonika%20%20 partners/naskah20akademis20ruu20tentang20perkumpulan202011.pdf

88

Dalam Undang-undang organisasi kemasyarakatan yang baru (UU nomor

17 tahun 2013) terdapat beberapa hal baru yang sebelumnya tidak diatur

dalam Undang-undang ormas lama (UU nomor 8 Tahun 1985), yakni:

a) Pendirian Ormas

b) Pendaftaran

c) Keputusan Ormas

d) AD/ART

e) Bidang Usaha Ormas

f) Pemberdayaan Ormas

g) Ormas yang didirikan warna Negara asing

h) Penyelesaian sengketa ormas

i) Larangan

Aturan-aturan baru mengenai ormas yang diatur dalam UU ormas,

menyisakan permasalahan. Beberapa ormas mengajukan permohonan

pengujian judicial review ke Mahkamah Konstitusi dengan menggugat

pasal-pasal yang berkaitan dengan hal-hal diatas. Meskipun tidak seluruh

hal yang baru tersebut yang digugat, namun sebagian besar ketentuan

tersebut diajukan oleh ormas yang menjadi Pemohon dalam judicial

review ke Mahkamah Konstitusi. Berikut ini adalah hal-hal yang digugat

oleh para Pemohon. Berdasarkan kajian konseptual yang telah dibahas

dalam bab sebelumnya terutama berkaitan dengan hubungan antara

ormas dengan negara maka berikut ini disampaikan pendapat peneliti

mengenai gugatan judicial review yang diajukan oleh para Pemohon.

Sifat dan Keanggotaan Ormas

89

Pasal 4 UU Ormas yang berbunyi “Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri,

nirlaba, dan demokratis”, berkaitan dengan Pasal 33 dan 34 UU ormas

yang menjadi bagian norma yang diminta untuk diuji oleh Pemohon. Pasal

33 ayat (1) UU Ormas menyatakan “Setiap warga negara Indonesia

berhak menjadi anggota Ormas.” Dan ayat (2) disebutkan bahwa

“Keanggotaan Ormas bersifat sukarela dan terbuka”. Sedangkan Pasal 34

UU Ormas mengatur “setiap anggota Ormas memiliki hak dan kewajiban

yang sama”.

Pengaturan mengenai keanggotaan ormas yang bersifat sukarela selaras

dengan sifat dari jaminan kebebasan berserikat merupakan negative

rights. Tiap warga negara memiliki hak untuk ikut maupun tidak ikut

bergabung dengan organisasi manapun dan keikutsertaan tersebut tidak

boleh atas dasar paksaan. Sifat keanggotaan ormas yang dicirikan sebagai

sukarela, terbuka dan berdasarkan prinsip kesetaraan sebagaimana

dijabarkan pada pasal 33 dan 34 UU a quo adalah sesuai dengan sifat

ormas yang “demokratis” sebagaimana disebutkan pada Pasal 4 UU a quo.

Dengan demikian, tidak terdapat pengaturan yang bertentangan dengan

UUD 1945 dalam pasal-pasal a quo.

Tujuan ormas

UU ormas merumuskan tujuan pendirian ormas adalah untuk

a. meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;

b. memberikan pelayanan kepada masyarakat;

90

c. menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa;

d. melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya

yang hidup dalam masyarakat;

e. melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup;

f. mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi

dalam kehidupan bermasyarakat;

g. menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan

bangsa; dan

h. mewujudkan tujuan Negara

Perumusan tujuan ormas dalam Pasal a quo merupakan penjabaran dari

sifat ormas yang berrcirikan sosial dan nirlaba. Kepentingan dan

kebutuhan masyarakat menjadi prioritas pendirian ormas. Hal ini sesuai

dengan karakter civil society yang mengutamakan pemberdayaan

masyarakat. Perumusan yang menyatukan antara tujuan pembentukan

ormas dengan tujuan bernegara merupakan upaya penyelarasan oleh

pembentuk Undang-Undang atas keberadaan masyarakat (civil society)

dan negara (state). Penyelarasan tujuan ini merupakan upaya agar tidak

muncul dominasi satu pihak terhadap pihak lain, apakah itu negara yang

mendominasi masyarakat atau sebaliknya.

Bilamana kemudian muncul adanya penyelewengan terhadap tujuan

pendirian ormas, hal ini merupakan kasus konkrit yang harus diselesaikan

secara baik dan harus disediakan jalur hukum sebagai upaya penyelesaian

permasalahan ini. Misalnya, bilamana pendirian ormas tidak lagi

91

berorientasi sebagai organisasi nirlaba yang memberdayakan masyarakat

namun lebih mengutamakan mencari keuntungn layaknya sebuah

perusahaan maka terhadap hal demikian perlu dirumuskan aturan yang

mengakomodasi perubahan tujuan organisasi ini. Namun secara normatif

rumusan tujuan yang diatur dalam Pasal a quo tidaklah bertentangan

dengan UUD 1945

Lingkup ormas

Pengaturan mengenai lingkup ormas yang diatur dalam Pasal 8 UU ormas

menetukan bahwa “Ormas memiliki lingkup: a. nasional; b. provinsi; atau

c. kabupaten/kota”. Lingkup ormas ini berkaitan dengan syarat

kepengurusan ormas yang disesuaikan dengan lingkupnya sebagaimana

diatur dalam Pasal 23, 24 dan 25 UU ormas yang juga diminta untuk diuji

oleh Pemohon. Syarat kepengurusan ormas ditingkat nasional, provinsi

dan kabupaten/kota ditentukan bahwa “Ormas lingkup nasional

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a memiliki struktur organisasi

dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah

provinsi di seluruh Indonesia.” Untuk ditingkat provinsi kepengurusan

ormas harus memiliki struktur organisasi dan kepengurusan yang ditur

pada Pasal 24 UU ormas yang berbunyi “Ormas lingkup provinsi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b memiliki struktur organisasi

dan kepengurusan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah

kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.” Sedangkan ditingkat

kabupaten/kota, “Ormas lingkup kabupaten/kota sebagaimana dimaksud

92

dalam Pasal 8 huruf c memiliki struktur organisasi dan kepengurusan

paling sedikit dalam 1 (satu) kecamatan.”

Pengaturan mengenai lingkup ormas dimaksudkan untuk melihat ruang

lingkup kegiatan yang dicakup oleh ormas. Fakta menunjukkan bahwa ada

ormas yang berskala nasional dan ormas yang berskala lokal, bahkan ada

pula ormas yang memiliki jaringan internasional. Namun demikian,

pengaturan mengenai lingkup kerja ormas dengan pendekatan struktur

tingkatan pemerintahan, yaitu nasional, provinsi dan kabupaten/kota

justru menimbulkan permasalahan. Terlebih lagi, bila lingkup kegiatan

ormas tersebut dikaitkan dengan penetapan syarat kepengurusan ormas.

Disisi lain, UU ormas membuka kemungkinan beragam bentuk organisasi

yang bisa diadopsi oleh ormas sebagaimana diatur pada Pasal 10 UU a

quo. Ormas dimungkinkan untuk berbadan hukum maupun tidak berbadan

hukum serta ormas dapat berbasis anggota maupun tidak berbasis

anggota. Dalam hal ormas berbadan hukum, baik itu yayasan maupun

perkumpulan, berlaku UU mengenai yayasan (UU Nomor 16 tahun 2001

tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 28 tahun

2004) dan aturan mengenai perkumpulan (Staatsblad 1870 No. 64

(“Stb.1870-64”)). Tentunya, penetapan syarat kepengurusan ormas yang

diatur dalam UU ormas menjadi suatu yang wajib diperhatikan oleh

ormas-ormas yang berbentuk yayasan maupun perkumpulan. Padahal.

Dalam UU mengenai yayasan dan aturan mengenai perkumpulan tidak

93

disinggung mengenai syarat kepengurusan yang harus disesuaikan

dengan lingkup kegiatan ormas, apakah ormas dimaksud memiliki lingkup

kegiatan nasional, provinsi atau kabupaten/kota.

Untuk menyelesaikan persoalan ini perlu disusun peraturan yang

menjabarkan lebih rinci mengenai pengaturan lingkup kegiatan ormas

serta syarat kepengurusan ormas. Selain itu, peraturan tersebut juga

menjadi penting peranannya untuk harmonisasi peraturan perundang-

undangan antara UU ormas, UU yayasan dan Staatsblad mengenai

perkumpulan.

Bentuk Ormas

UU ormas mengakomodasi semua bentuk organisasi, baik itu berbadan

hukum atau tidak serta badan hukum yang berbasis anggota

(perkumpulan) atau badan hukum yang tidak berbasis anggota (yayasan).

Tersirat aturan bahwa UU ormas ini pada akhirnya mengatur semua

organisasi, selain partai politik. Secara a contrario disimpulkan bahwa

organisasi yang bukan partai politik adalah ormas. UU ormas menjadi

semacam UU pokok yang menaungi aturan mengenai yayasan dan

perkumpulan.

Persoalan ini sejatinya tidak mengandung permasalahan konstitusional.

Upaya untuk mengakomodasi semua jenis organisasi untuk digolongkan

sebagai ormas merupakan cara negara untuk memberikan jaminan

perlindungan kebebasan berserikat bagi seluruh warga negara.

Laporan Pertangungjawaban Ormas

94

Laporan pertanggungjawaban Ormas secara tegas diatur di dalam Pasal

38 UU Ormas. Ayat (1) menyatakan, “dalam hal Ormas menghimpun dan

mengelola dana dari iuran anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37

ayat (1) huruf a, Ormas wajib membuat laporan pertanggungjawaban

keuangan sesuai dengan standar akuntansi secara umum atau sesuai

dengan AD dan/atau ART.”

Lebih lanjut Ayat (2) menyatakan, “dalam hal Ormas menghimpun dan

mengelola bantuan/sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 37 ayat (1) huruf b, Ormas wajib mengumumkan laporan keuangan

kepada publik secara berkala.” Dan, ayat (3) berbunyi, “sumber keuangan

Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c, huruf d,

huruf e, dan huruf f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.”

Menurut Peneliti, kalau dicermati secara mendalam, ketentuan Pasal 38

Ayat (1) tidak mengurangi hak ormas untuk mempertanggungjawabkan

iuran anggota berdasarkan AD/ART-nya.. Adapun kewajiban

mempertanggungjawabkan iuran anggota sesuai dengan standar akutansi

umum tetap dalam koridor sesuai AD/ART masing-masing dan mendorong

akuntabilitas tata kelola keuangan secara internal mencegah terjadinya

manipulasi iuran anggota oleh Pengurus Ormas.

Misalnya, sebuah Ormas menerima iuran dari anggotanya setiap bulan Rp

5.000/per anggota. Ormas tersebut memiliki anggota 40 juta orang, maka

uang tersebut sudah seharusnya disusun dalam akuntansi umum yang

95

dipertanggungjawabkan secara internal sesuai dengan AD/ART masing-

masing Ormas, dan dalam hal ini pemerintah tidak dapat melakukan

intervensi.

Pentingnya pertanggungjawaban keuangan sebab bagaimana pun uang

iuran itu adalah uang anggota yang dikelolah oleh pengurus. Sehingga

harus ada perlindungan terhadap anggota Ormas tersebut bahwa uangnya

telah dipergunakan sebagaimana mestinya, bukan dikorupsi oleh para

pengurus. Jika tidak ada laporan, maka sangat dimungkinkan

penyalagunaan dari penggunaan uang tersebut.

Selanjutnya terkait dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) UU Ormas yang

menyatakan, “Dalam hal Ormas menghimpun dan mengelola

bantuan/sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37

ayat (1) huruf b, Ormas wajib mengumumkan laporan keuangan kepada

publik secara berkala.” Jika dicermati, ketentuan dalam ayat ini adalah

terkait dengan Ormas yang menggalang dana publik. Terhadap Ormas

yang menggalang dana publik maka sudah seharusnya

mempertanggungjawabkan dana tersebut kepada publik. Justru menjadi

aneh kalau ada Ormas yang menggunakan dana publik tapi tidak bersedia

mempertanggungjawabkannya kepada publik.

Banyak catatan sejarah yang menunjukkan bagaimana penyelewengan

yang dilakukan Ormas dalam mengelola dana publik. Padahal modal

utama Ormas adalah kepercayaan publik. oleh karenanya, penerapan

praktik manajemen yang baik di dalam pengelolaan sumber daya

96

(resources), khususnya keuangan, demi menjaga keberlanjutan

(sustainability) hidup Ormas, program, manfaat, dan kelompok sasaran

yang ingin dituju oleh Ormas tersebut. Jika itu tidak dilakukan, maka

secara otomatis akan kehilangan kepercayaa dan jika demikian terjadi

maka bisa dipastikan Ormas tersebut akan segera tiada.

Dalam perakteknya, Ormas memperoleh pendapatan dari berbagai macam

sumber. Menurut Pahala Nainggolan, setidaknya ada 6 sumber, yaitu:

1. Iuran anggota (membership fees);

2. Sumbangan perorangan (individual donation), baik yang bersifat

bersyarat (restricted) maupun tidak bersyarat (unrestricted);

3. Imbalan pelayanan jasa (service fee), misalnya penyediaan keahlian

tertentu, konsultansi, kontrak jasa (service contract), fasilitasi, dll.

maupun penyewaan properti/inventaris lembaga;

4. Bagian laba (profit share) dari unit usaha komersial (commercial

business unit);

5. Investasi modal (capital investment), yang bisa berupa bunga

simpanan dana abadi (interest of banked endowment fund), laba

saham atau dividen (divident), dan royalti karya intelektual (buku,

musik, mesin, dll.); serta

6. Hibah lembaga donor (donor grant) asing/internasional, baik yang

bersifat bersyarat (restricted) maupun tidak bersyarat (unrestricted)—

97

yang, karena sudah lazim, kini mestilah dijadikan sebagai alternatif

terakhir saja.64

Inilah kemudian menjadi penting pengurus Ormas untuk belajar dan

melengkapi kemampuan diri dengan pengetahuan pengelolaan keuangan

yang baik. Banyak buku yang bisa dipelajari terkait bagaimana

pengelolaan keuangan yang baik untuk sebuah Ormas (organisasi nir-

laba). Misalnya, sebuah buku yang ditulis oleh Terry Lewisyang berjudul

Practical Financial Management for NGOs: a Course Handbook—Getting

the Basics Right, Taking the Fear Out of Finance, terbitan MANGO, sebuah

lembaga nirlaba internasional yang berbasis di Oxford, Inggris. Buku

tersebut berisikan 7 (tujuh) bab yaitu Financial Management For NGOs,

Getting Organised, Financial Planning, Understanding Accounts, Financial

Reports, Safeguarding Your Assets, dan Managing Audit.65

Buku lainnya yang juga membahas secara mendalam tentang tema

serupa, misalnya, Financial Management For Nonprofit Organizations:

Policies and Practices, yang ditulis oleh John Zietlow, Jo Ann Hankin, dan

Alan Seidner.66 Buku ini juga membahas secara mendalam bagaimana

pentingnya pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dalam

sebuah Ormas.

64 Pahala Nainggolan, Manajemen Keuangan Lembaga Nirlaba (Yogyakarta: USC-SATUNAMA, 2005).

65 Lihat Terry Lewis, Practical Financial Management for NGOs: a Course Handbook—Getting the Basics Right, Taking the Fear Out of Finance (Oxford: MANGO-Management Accounting for Non-governmental Organisations, 2009), hlm. 1-49.

66 John Zietlow, Jo Ann Hankin, dan Alan Seidner, Financial Management For Nonprofit Organizations: Policies and Practices (New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2007), hlm. 1-619.

98

Dengan demikian, persoalan pertanggungjawaban Ormas, khusunya

dalam hal keuangan, adalah hal yang lazim diatur. Bahkan di banyak

negara lain aturan seperti ini juga kita temukan.

Pemberdayaan ormas

Pengaturan mengenai pemberdayaan ormas merupakan permasalahan

yang dilematis. Ormas tidak terdiri dari organisasi yang serupa dan

sejenis. Beragam jenis ormas telah berdiri dan berkembang, ada yang

tumbuh dan membesar namun tidak sedikit pula organisasi yang

mengerdil dan nyaris bubar. Aturan mengenai pemberdayaan oleh negara

merupakan harapan bagi ormas yang tidak bisa berkembang, namun bagi

ormas yang telah tumbuh berkembang fasilitasi pemberdayaan ormas oleh

negara tidaklah dibutuhkan, apalagi diharapkan.

Terlepas dari kondisi ormas, secara normatif, aturan mengenai adanya

pemberdayaan ormas oleh negara tidak selaras dengan karakteristik dasar

ormas sebagai organisasi yang bersifat sosial dan mandiri. Kemandirian

akan keberlangsungan berasal dari sifat sosial ormas. Organisasi sosial

didasarkan pada maksud filantropis dan nirlaba. Yayasan dan

perkumpulan yang didirikan adalah dengan tujuan tidak mencari

keuntungan namun melakukan kegiatan-kegiatan sosial guna

pemberdayaan masyarakat. Bila pada akhirnya ormas tidak mampu

meneruskan keberlangsungan organisasinya maka hal demikian

99

merupakan hal yang alamiah dan wajar. Negara tidak perlu intervensi dan

campur tangan untuk memberi dukungan dalam rangka pemberdayaan

ormas. Dengan adanya campur tangan negara maka sifat kemandirian

ormas menjadi hilang dan dikhawatirkan bila negara turut campur tangan

maka ormas tidak lagi menjadi organisasi nirlaba melainkan organisasi

yang didirikan sebagai profesi dan lapangan pekerjaan baru.

Selain itu, dalam konteks hubungan domain pemangku kepentingan

antara negara (state) dan masyarakat sipil (civil society) adanya aturan

pemberdayaan mendudukkan negara diatas masyarakat sipil. Dengan

demikian, tidak tercapai kesejajaran dalam hubungan yang ideal antara

negara dan masyarakat sipil.

Penyelesaian Sengketa Ormas

Pasal 57 dan Pasal 58 UU Ormas mengatur mengenai penyelesaian

sengketa Ormas. Kedua pasal tersebut termasuk norma yang baru jika

dibandingkan dengan UU Ormas sebelumnya yang tidak mengatur terkait

hal tersebut.

Dalam Pasal 57 UU Ormas, diatur bagiamana mekanisme jika sebuah

Ormas ada masalah internal. Langkah pertama yang harus dilakukan

adalah dengan menyelesaikan sendiri masalah tersebut sesuai dengan

AD/ART-nya. Namun, apabila penyelesaian sengketa tersebut gagal

dilakukan maka pemerintah dapat memfasilitasi mediasi atas permintaan

para pihak yang bersengketa.

100

Namun seandainya, mediasi yang dilakukan pemerintah tersebut tidak

berhasil juga, Pasal 58 UU Ormas memberikan pengaturan bahwa

penyelesaian sengketa Ormas dapat ditempuh melalui pengadilan negeri.

Terhadap putusan pengadilan negeri hanya dapat diajukan upaya hukum

kasasi. Pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan

puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan perkara dicatat di

pengadilan negeri. Sedangkan Mahkamah Agung wajib memutus dalam

jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal

permohonan kasasi dicatat oleh panitera Mahkamah Agung.67

Pengaturan mekanisme penyelesaian sengketa Ormas tersebut, menurut

Peneliti, harus difahami dalam ruang dan fakta bahwa selama ini cukup

banyak Ormas yang mengalami konflik internal. Proses penyelesaian

konflik internal itu seringkali buntu. Bahkan, ormas-ormas yang cukup

besar pun banyak yang dirundung konflik internal dan mengalami

kesulitan untuk menyelesaikannya karena AD-ART-nya tidak mengatur

sama sekali penyelesaian bagaimana jika terjadi konflik internal. Oleh

karenanya, dengan adanya pengaturan yang mengharuskan AD-ART

sebuah ormas mengatur mengenai penyelesaian konflik internal akan

memudahkan jika pada suatu ketika ada persoalan internal yang harus

diselesaikan.

Lebih lanjut manfaat dari pengaturan penyelesaikan konflik tersebut

adalah, jika ternyata secara internal Ormas tersebut sudah tidak bisa

67 Pasal 57 dan Pasal 58 UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

101

menyelesaikan persoalan yang dihadapinya maka para pihak bisa meminta

bantuan kepada pemerintah untuk memediasi. Upaya mediasi seperti ini

dianggap lazim dalam dunia hukum68, khususnya perdata, terutama

terkait dengan kontrak dan perjanjian. Salah satu manfaat dari mediasi

adalah tidak ada pihak yang dikalahkan. Masing-masing pihak diharapkan

sama-sama “menang”. Selain itu, prosesnya juga akan lebih cepat

daripada di pengadilan. Sementara kalau dibawa ke pengadilan, selain

prosesnya akan lebih panjang, juga dipastikan salah satu pihak akan ada

yang kalah.

Meski demikian, upaya mediasi yang dilakukan pemerintah ini sifatnya

pilihan. Jika para pihak tidak setuju dengan hasil mediasi tersebut, bisa

mengajukan ke Pengadilan Negeri, dan juga bisa mengajukan kasasi jika

merasa tidak puas dengan putusan pengadilan negeri. Pengaturan

demikian, menurut Peneliti, tidak ada yang salah. Sebab sudah

seharusnya negara memastikan ada pengaturan terhadap sebuah konflik

yang bisa saja terjadi pada banyak Ormas. Apalagi dalam konteks

Indonesia yang mana feodalisme dan patronase, ditambah dengan rasa

sungkan atau keengganan dalam bersikap terbuka membuat konflik dalam

Ormas seperti api dalam sekam. Masih sulit untuk penyelesaian konflik

secara imparsial, namun lebih pada pendekatan khas Indonesia dimana

budaya feodalisme dan patronase lebih dominan.

68 Istilahnya bukan mediasi tetapi arbitrase.

102

Bahkan lebih dari itu, kebanyakan para pendiri organisasi seringkali

melihat organisasi seperti miliknya, pembina merasa sebagai orang yang

dituakan dan masih dominan dalam menguasai gerak gerik organisasi.

Sementara itu pelaksana menempatkan diri sebagai abdi bagi tuannya

dalam hal ini sang pendiri atau pembina organisasi. Ketika terjadi konflik

maka terjadi dilema bagi manajemen puncak pelaksana organisasi, mau

membela pembina atau membela bawahan. Pola seperti ini tidak saja

terjadi pada organisasi Indonesia namun juga organisasi asing yang

berskala internasional yang bekerja di Indonesia.69

Para pimpinan Ormas tidak bisa melepaskan diri dari budaya organisasi

tersebut, karena dia sebagai individu lahir dari konteks sosial semacam

itu, dimana budaya organisasi mengalahkan prinsip prinsip imparsial.

Selain itu adalah aspek regenerasi, dimana kalangan Ormas tidak ada

masa pensiun. Organisasi bahkan melekat dan tidak bisa lepas dari pendiri

atau inisiatornya yang membesarkannya. Waktu boleh berganti,

kepemimpinan boleh beregenerasi namun kontrol dan intervensi “pemilik”

masih sangat kuat. Akhirnya aktivis dalam Ormas skala besar tidak bisa

mudah melakukan mobilitas sosial secara vertikal, terjadi kemampatan

dalam regenerasi sehingga munculah potensi konflik dalam organisasi.70

69 David Ardhian, Konflik Internal Organisasi Nirlaba, http://keuanganlsm.com/konflik-internal-organisasi-nirlaba-44/. Diakses pada tanggal 27 November 2014.

70 Ibid.

103

Celakanya pewarisan nilai tidak hanya berhenti pada nilai normatif dalam

teks statuta organisasi, juga nilai feodalisme dan patronase yang juga

menjangkiti kalangan aktivis Ormas yang lebih muda. Di sinilah, menurut

Peneliti, pentingnya diatur mekanisme penyelesaian konflik inernal Ormas

di dalam UU Ormas.

Larangan Ormas

Larangan Ormas secara khusus diatur dalam Pasal 59 UU Ormas. Pasal

tersebut berisikan 4 ayat. Ayat (1) menyatakan, “ormas dilarang: a.

menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan bendera atau

lambang negara Republik Indonesia menjadi bendera atau lambang

Ormas; b. menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang

sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga

pemerintahan; c. menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang,

bendera negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama,

lambang, atau bendera Ormas; d. menggunakan nama, lambang,

bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada

pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau

simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; e. atau

menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang

mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan

nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai

politik.

104

Sedangkan Pasal 59 Ayat (2) menyatakan, “Ormas dilarang: a. melakukan

tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; b.

melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama

yang dianut di Indonesia; c. melakukan kegiatan separatis yang

mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; e.

melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan

ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau

melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Sementara Pasal 59 Ayat (3) menyatakan, “Ormas dilarang: a. menerima

dari atau memberikan kepada pihak mana pun sumbangan dalam bentuk

apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan; atau b. mengumpulkan dana untuk partai politik. Dan, Ayat (4)

berbunyi, “Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta

menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.”

Menurut Peneliti, setidaknya ada 4 (empat) norma besar yang termuat

dalam pasal tersebut. Pertama, norma tentang larangan penggunaan

simbol tertentu, seperti larangan menggunakan bendera atau lambang

yang sama dengan bendera atau lambang negara Republik Indonesia

menjadi bendera atau lambang Ormas. Larangan menggunakan nama,

lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang,

bendera, atau atribut lembaga pemerintahan. Larangan menggunakan

dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau

105

lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera

Ormas. Dan juga larangan menggunakan nama, lambang, bendera, atau

simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau

keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi

gerakan separatis atau organisasi terlarang, serta larangan untuk

menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang

mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan

nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai

politik.

Terhadap norma larangan tersebut, menurut Peneliti adalah hal yang

sudah selazimnya. Sebab secara esensi, simbol-simbol ormas yang berupa

nama, lambang, dan bendera adalah ditujukan sebagai penanda Ormas

tertentu dengan Ormas atau oragnisasi lainnya. Jika ternyata sama

dengan simbol organisasi lain maka tujuan dari simbol tersebut akan sirna.

Selain itu, larangan tersebut juga telah diatur lebih dulu sebelum UU

Ormas ini dibentuk. Misalnya, UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera,

Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Pasal 57 b atau c

atau d jo Pasal 69 menyatakan bahwa setiap orang dilarang: (b)

menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan

bentuk, warna, dan perbandingan ukuran; (c) membuat lambang untuk

perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau

perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan (d)

menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam

106

Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun

dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00.71

Kedua, norma tentang larangan melakukan tindakan permusuhan

terhadap suku, agama, ras, atau golongan. Larangan melakukan

penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut

di Indonesia. Larangan melakukan kegiatan separatis yang mengancam

kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Larangan melakukan

tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum,

atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial, atau melakukan kegiatan

yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Peneliti, norma larangan tersebut juga sangat wajar. Bahkan

lebih dari itu, menurut peneliti norma seperti ini sangat diperlukan

mengingat berbagai kejadian dan fakta banyaknya Ormas yang sering

melakukan tindakan kekerasan. Misalnya, oknum sebuah Ormas yang

menyebut dirinya Front Pembela Islam (FPI). Dalam catatan media online

Tempo. Menurut catatan media tersebut, FPI kerap membuat onar di

sejumlah lokasi. Umumnya, kejadian itu berlangsung di kafe atau tempat

hiburan malam. Misalnya, pada 1 November 2004, sekitar 500 anggota

FPI merusak sejumlah kafe dan bentrok dengan Forum Masyarakat

Kemang. Tanggal 27 Juni 2005, FPI menyerang kontes Miss Waria di

Sarinah, Jakarta Pusat. Tanggal 12 April 2006, FPI menyerang kantor

71 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan

107

majalah Playboy. Tanggal 1 Juni 2008, FPI bentrok dengan aktivis Aliansi

Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Sebanyak 27

aktivis terluka dianiaya FPI. Tanggal 31 April 2010, FPI membubarkan

acara kaum waria di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat. Tanggal 24

Juni 2010, FPI Banyuwangi membubarkan sosialisasi kesehatan dari

Komisi Kesehatan DPR karena diduga berbau komunis. Tanggal 4 Mei

2012, FPI membubarkan diskusi buku Allah, Liberty, & Love karya Irshad

Manji di Salihara, Jakarta Selatan. Tanggal 28 Juni 2013, Juru bicara FPI,

Munarman, menyiramkan air teh ke pengamat Tamrin Amal Tomagola

dalam acara Kabar Pagi di TV One.72

Ulah oknum FPI ini sampai mengundang Presiden SBY kala itu untuk

menyampaikan official statement terutama setelah kekerasaan yang

terjadi di Kendal di bulan ramadhan tahun 2013. Seperti biasa Ormas

tersebut berdalih ingin membersihkan tempat-tempat mesum di bulan

suci, sesuai ketentuan yang diterbitkan Pemda setempat, sementara itu

pihak keamanan dianggap belum melakukan penegakan hukum secara

serius. Bentrokan-bentrokan semacam ini, tentu saja menimbulkan

kekhawatiran karena merupakan masalah yang dikaitkan dengan agama.

Dalam pernyataan resminya, Presiden SBY saat itu memerintahkan aparat

72 Aneka Kekerasan ala FPI,

http://www.tempo.co/read/news/2013/07/20/058498067/Aneka-Kekerasan-ala-FPI. diakses pada 28 November 2014.

108

terkait melakukan tindakan penegakan hukum terhadap Ormas yang

melakukan kegiatan "sweeping" dan menimbulkan bentrokan kekerasan di

lapangan. 73

Dari berbagai kejadian tersebut, banyak pihak yang meminta pemerintah

untuk segera membubarkan Ormas tersebut. Oleh karenanya, dengan

aturan yang terdapat dalam 59 Ayat (2) UU Ormas ini, menurut Peneliti,

sudah tepat dan memang sudah seharusnya diatur.

Ketiga, norma tentang larangan untuk menerima dari atau memberikan

kepada pihak mana pun sumbangan dalam bentuk apa pun yang

bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan

mengumpulkan dana untuk partai politik.

Menurut Peneliti, aturan tentang larangan menerima dari atau

memberikan kepada pihak mana pun sumbangan dalam bentuk apa pun

yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

adalah sangat penting. Sebab jika tidak ada aturan seperti ini maka akan

memudahkan bagi pihak-pihak tertentu yang ingin melakukan pencucian

uang.

Pengakuan adanya sejumlah Ormas yang diduga menjadi tempat

pencucian uang sempat disampaikan oleh Kementerian Dalam Negeri

(Kemendagri). Reydonnizar (Donny) Moenek, Staf Ahli Menteri Dalam

Negeri (Mendagri) Bidang Politik Hukum dan Hubungan Antarlembaga

73 Ibnu Purna M , Jalan Panjang Membubarkan Ormas, http://old.setkab.go.id/artikel-9790-jalan-panjang-membubarkan-ormas.html

109

Reydonnizar, sebagaimana dikutip oleh Republika Online (7/7/2013),

mengaku memiliki data terkait lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang

menerima dana dari lembaga asing dengan tujuan tertentu, dan juga

terdapat LSM atau ormas yang juga menjadi tempat tindak pidana

pencucian uang (TPPU).74

Begitu juga norma yang melarang sebuah Ormas untuk mengumpulkan

dana untuk partai politik. Sebab jika hal demikian tidak dilarang, maka

tujuan Ormas yang nirlaba dan murni bertujuan sosial, akan bergesekan

dengan tujuan dari partai politik yang pada dasarnya adalah untuk

mendapat kekuasaan.

Selain itu, Peneliti juga meyakini bahwa pengaturan semacam ini juga

berangkat dari pengalaman selama ini yang mana banyak Ormas didirikan

untuk memudahkan pengumpulan massa dan dana. Padahal sejatinya

Ormas harusnya non-partisan, non-pemerintah, dan non-profit.

Ketiga karakter dasar Ormas tersebut bisa kita lihat dalam Istanbul CSO

Development Effectiveness Principles atau yang lebih dikenal dengan

Istanbul Principles,75 yang menyatakan bahwa The essential

characteristics of CSOs as distinct development actors – that they are

74 Kemendagri: Ada LSM Berdana Asing Terlibat Pencucian Uang, http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/07/08/mplaco-kemendagri-ada-lsm-berdana-asing-terlibat-pencucian-uang. Diakses pada 29 November 2014.

75 the Istanbul Principles adalah kesepakatan yang dibuat dalam the Open Forum’s Global Assembly di Istanbul, pada tanggal 28 -30 September 2010. Kesepakatan ini menjadi dasar untuk the Open Forum’s Draft International Framework on CSO Development Effectiveness.

110

voluntary, diverse, non-partisan, autonomous, non-violent, working and

collaborating for change – are the foundation for the Istanbul principles

for CSO development effectiveness.76 Dengan demikian maka sudah tepat

pembuat UU mengatur tentang larangan keterlibatan Ormas dalam

penggalangan dana untuk partai politik.

Keempat, norma larangan Ormas menganut, mengembangkan, serta

menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Menurut Peneliti, norma ini seharusnya memang ada sebagai konsekwensi

hidup dan berkembang di Indonesia. Pancasila adalah dasar dan falsafah

hidup bangsa Indonesia. Oleh karenanya, jika ada Ormas yang secara

nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila maka sudah seharusnya

harus dibubarkan.

Dengan demikian, dari keempat norma larangan yang termuat dalam

Pasal 59 UU Ormas, tidak ada satupun norma yang menurut peneliti

bertentangan dengan UUD 1945.

76 http://cso-effectiveness.org/istanbul-principles,067

111

BAB V

PENUTUP

i. KESIMPULAN

1. Karakteristik UU ormas yang mengatur ketentuan-ketentuan secara

luas mengikat kepada setiap organisasi yang dapat disebut sebagai ormas

tidak terlepas dari pengertian ormas yang dirumuskan dalam UU ormas.

Ormas dirumuskan sebagai “organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh

masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak,

kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam

pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang berdasarkan Pancasila.” Berangkat dari rumusan

pengertian ini maka batasan-batasan yang disebut sebagai ormas-pun

memiliki wilayah cakupan yang luas. Pengertian yang dirumuskan

sebagaimana dikutip diatas tidak cukup memberi batasan yang jelas

mengenai organisasi mana saja yang disebut sebagai ormas. Tak pelak

bila jumlah ormas yang terdaftar dalam kementerian dalam negeri

maupun ormas yang berbentuk badan hukum yang didaftarkan pada

kementerian hukum dan Hak Asasi Manusia menjadi sedemikian besar.

Menurut catatan sekilas yang disampaikan oleh Kasubdit Ormas Ditjen

Kesbangpol Kemendagri, pada tahun 2012 terdapat 65 ribu ormas yang

112

tercatat di kesbangpol kabupaten/kota, dan provinsi di seluru Indonesia.

Dan yang belum terdaftar, diperkirakan 10 kali lipat jumlahnya, yang

berati ada 650 ribu ormas. Tidak terbayangkan bila kemudian negara

diberikan kewajiban untuk melakukan pemberdayaan terhadap ormas-

ormas yang tidak berkembang. Alangkah sibuk dan repotnya negara

mengurus ormas yang sedemikian banyaknya. Padahal disisi lain, ormas

dikonstruksikan untuk berjalan bersama dengan pemerintah dalam pola

kemitraan dan kerjasama untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan

warga negara.

Ditambah lagi, rumusan istilah mengenai ormas sebagai “organisasi

kemasyarakatan” pun masih terdapat perbedaan terutama dikalangan

akademisi dalam membedakan konsep “organisasi masyarakat”,

“organisasi massa” dan “organisasi kemasyarakatan”. Selain itu,

dimasyarakat berkembang beragam istilah yang dapat dipadankan sebagai

organisasi kemasyarakatan dengan menggunakan istilah asing maupun

istilah yang telah diterjemahkan, seperti organisasi non pemerintah,

Lembaga Swadaya Masyarakat, Non-Governmental Organisation maupun

Civic society organisation.

Terlepas dari kompleksitas permasalahan dalam merumuskan definisi

ormas sebagaimana diungkapkan diatas, beban perumusan tersebut kini

berada dipundak Mahkamah Konstitusi untuk mengukur kadar

konstitusionalitasnya. Dengan adanya gugatan judicial review UU ormas

oleh Para Pemohon yang termasuk sebagai ormas maka Mahkamah

113

Konstitusi perlu dengan cermat dan hati-hati dalam melakukan

pertimbangan hukumnya.

Dengan pendekatan precedent, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi

terdahulu telah banyak mempertimbangkan mengenai kaedah hukum

yang dikandung dalam rumusan bagian ketentuan umum dalam setiap

Undang-Undang. Yurisprudensi MK berdasar pada Putusan Nomor

56/PUU-VI/2008 tanggal 17 Februari 2009 paragraf [3.16] halaman 123-

124 yang berpendapat, "... Ketentuan Umum yang dimaksud dalam suatu

peraturan perundang-undangan dimaksudkan agar batas pengertian atau

definisi, singkatan atau akronim yang berfungsi untuk menjelaskan makna

suatu kata atau istilah memang harus dirumuskan sedemikian rupa

sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda”. Mahkamah Konstitusi

dalam putusan-putusan selanjutnya mempertimbangkan ketentuan yang

terdapat pada pasal 1 setiap Undang-Undang. Misalnya, ketika Mahkamah

Konstitusi memutus dalam putusan nomor 65/PUU-VIII/2010 dimana MK

memperluas definisi saksi dan keterangan saksi. Juga ketika MK memutus

dalam perkara nomor 45/PUU-IX/2011 dimana MK memberi penafsiran

atas definisi “kawasan hutan” dalam UU nomor 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan. Disamping itu, juga terdapat putusan MK nomor 28/PUU-

XI/2013 yang mempertimbangkan mengenai pengertian “koperasi”.

2. Selain rumusan pengertian “ormas”, yang dipermasalahkan dalam

UU ormas lainnya adalah mengenai hal-hal yang bersifat prosedural. Yang

dimaksud dengan hal-hal yang bersifat prosedural disini adalah mengenai

114

tata cara pendirian ormas, syarat struktur dan kepengurusan ormas,

kewajiban pendaftaran ormas, pemberdayaan ormas serta larangan-

larangan yang tidak boleh dilanggar oleh ormas. Dalam pandangan para

pemohon judicial review UU ormas ke MK, aturan-aturan prosedural ini

merupakan pembatasan atas kebebasan berserikat yang dimiliki oleh

setiap warga negara.

Dalam bagian hasil penelitan dan pembahasan sebgaimana tercantum

pada bab IV penelitian ini adalah mengukur tingkat campur tangan negara

dalam mengatur kebebasan berserikat setiap warga negara yang

diperbolehkan. Pengukuran campur tangan negara dalam pengaturan

kebebasan berserikat warga negara bukanlah hal yang mudah karena

banyak sisi yang perlu diperhatikan secara cermat. Dari sisi negara, harus

secara cermat memotret mengenai sistem yang dianut oleh negara, dalam

hal ini Indonesia. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara tegar

menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum perlu dielaborasi

lebih lanjut sejauhmana negara memberi perlindungan kepada negara dan

seberapa besar negara campur tangan dalam bidang kehidupan warga

negaranya. Saat ini, berkembang wacana “regulatory state” dimana peran

negara adalah sebagai penghasil regulasi dan tidak campur tangan secara

langsung dalam kehidupan warga negaranya. Oleh sebab itu, aturan yang

berkaitan dengan “pemberdayaan ormas” perlu dimaknai secara

mendalam. Peneliti dalam posisi bahwa aturan mengenai “pemberdayaan

ormas” tidaklah sesuai dengan semangat konstitusionalisme dan

115

bertentangan dengan prinsip pembatasan kebebasan berserikat warga

negara.

Sedangkan, mengenai aturan-aturan prosedural lainnya peneliti dalam

posisi bahwa aturan tersebut termasuk dalam kaidah hukum tanpa sanksi,

atau dalam istilah yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo sebagai

lex imperfecta. Tidak semua kaidah-kaidah hukum yang dilanggar itu

menimbulkan sanksi. Terdapat kewajiban-kewajiban yang tidak dapat

dituntut pemunuhannya secara paksa menurut hukum. Kewajiban-

kewajiban ini adalah berhubungan dengan “perikatan alamiah” (natuurlijke

verbintenis, obligatio naturalis). Perikatan alamiah adalah perikatan yang

tidak sempurna yang tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. Aturan-

aturan prosedural yang diatur dalam UU ormas dapat digoloongkan

sebagai perikatan alamiah, dimana didalamnya tidak mengatur sanksi dan

negara tidak dapat memaksakan penjatuhan sanksinya.

ii. SARAN

Tanpa dimaksudkan untuk mempengaruhi putusan yang akan dijatuhkan

oleh MK dalam pemeriksaan perkara judicial review UU ormas, penelitian

ini merumuskan saran secara umum atas pemeriksaan perkara tersebut.

1. Berkaitan dengan definisi ormas yang dirumuskan dalam UU ormas,

memang terdapat permasalahan yang dalam praktek pelaksanaan UU

ormas dapat menimbulkan polemik yang bersifat teknis. Akan tetapi

bila dipertimbangkan bahwa rumusan definisi ormas itu memiliki

permasalahan konstitusional yang menyebabkan perlu dibatalkan

116

maka justru akan menimbulkan persoalan yang lebih besar. Rumusan

ormas tersebut merupakan roh kandungan dalam UU ormas, bila

rumusan itu dibatalkan maka konsekuensinya harus membatalkan

seluruh UU ormas. Saat ini, sulit untuk merumuskan pengertian

ormas, disebabkan data-data dilapangan tidak mendukung untuk

mengkonstruksikan definisi ormas.

2. Berkaitan dengan aturan prosedural yang diatur dalam UU ormas,

peneliti dalam posisi menyatakan bahwa aturan tersebut termasuk

kaidah hukum tanpa sanksi, lex imperfecta. Terkecuali, aturan

mengenai pemberdayaan ormas dimana peneliti berpendapat bahwa

pengaturan mengenai pemberdayaan ormas adalah bentuk campur

tangan negara terhadap kehidupan berserikat warga negera yang

berada diluar batas kewajaran. Negara tidak perlu atau tidak wajib

campur tangan dalam urusan ormas dengan mengatasnamakan upaya

“pemberdayaan”.

117

D A F T A R P U S T A K A

A. Seligman, The Idea of Civil Society, New York: Free Press, 1992

Alexis de Tocqueville, Democracy in America, George Lawrence (terj.), New York: Anchor Books, 1969

Andrew Arato, “Civil Society against the State: Poland 1980-81”. Telos, no. 47 (1981) hal 23-47

Achmad Fauzi. Et.al. Pancasila Ditinjau dari Segi Sejarah-Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis. Cet.III Malang: Lembaga Penerbitan Universitas Brawijaya, tanpa tahun.

Ahmad Syahrizal. Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif. Cet. I. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006.

Alfan Alfian. Nakah Lengkap Silaturrahmi Hari Ulang Tahun ke-5 Gerakan Jalan Lurus Tema: Revitalisasi Pancasila. Ed. Cet.I. Jakarta: Gerakan Jalan Lurus, 2006.

Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang. Pengantar ke Filsafat Hukum. Cet. I. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.

Arbi Sanit. Ormas dan Politik. Cet.I. Jakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan, 1995.

Arifin P. Soeria Atmadja. Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum Teori, Praktek, dan Kritik. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Cees Flinterman. “Three Generations of Human Rights”, Human Rights in a Pluralist World Individuals and Collectivities. (The Netherlands: UNESCO-RSC-MECKLER, 1990). Hal. 76.

C.S.T. Kansil. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pradnya Pramita, 1992.

Christopher Hann dan Elizabeth Dunn (eds), Civil Society: Challenging Western Models. New York: Routledge, 1966

Derrick Purdue (eds), Civil Societies and Social Movements: Potentials and Problems. NewYork: Routledge, 2007

Daniel Bell. Matinya Ideologi. Magelang: Indonesia Tera, 2001.

iv

Darji Darmodiharjo dan Sidharta. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Donny Gahral Adian. Arus Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra, 2001.

Eka Darmaputera. Struggling in Hope Bergumul dalam Pengharapan. Cet. 3. Jakarta: Gunung Mulia, 2004.

Firmanzah. Mengelola Partai Politik. Ed. I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Francis Fukuyama. The end of history and the last men; kemenangan kapitalisme dalam ideologi liberal. Yogyakarta: Qalam, 2003.

Franz Magnis-Suseno. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Gamal Komandoko. Boedi Oetomo. Yogyakarta: Media Pressindo, 2008.

Gunawan Setiardja. Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogykarta: Kanisius, 1993.

______. Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1990.

Hans Kelsen. Nurainun Mangunsong dan Raisul Muttaqien. Ed. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Ujung Berung: Nusamedia, 2006.

Harun Alrasid. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2007.

Herman Hidayat. “Sistem Politik Orde Baru Menuju Kepudaran” dalam Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Cet.I. Jakarta: Yayasan Obor, 2003.

H.A.R. Tilaar. Kekuasaan Pendidikan; Suatu Tinjauan dari Perspektif Pendidikan, Cet.1. Magelang: Indonesia Tera, 2003.

Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Cet. ke-3

______. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

______. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Ed. 1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009.

John Clark. NGO dan Pembangunan Demokrasi. Cet. I. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1995.

v

John McCormick. Comparative Politics in Transisition Fourth Edition. California: Wadsworth, 2004.

Jurgen Habermas, The structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into Bourgeois Society, Cambridge: MIT Press, 1994

K. Bertens. Sejarah Filsafat Yunani.Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997.

Majda El-Muhtaj. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Cet. 1. Jakarta: Prenada Media, 2005.

Mahfud MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media, 1999.

Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet. 3. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, Mei 1978.

Muhammad Yamin. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Djilid Pertama. Djakarta: Jajasan Prapantja, 1959.

Muladi. Hak Asasi Manusia. Bandung: PT Refika Aditama, 2005.

Nurcholish Majid. Indonesia Kita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004)

M.W. Foley dan B. Edwards. The Paradox of Civil Society. Journal of Democracy 7, no. 3 (1996): 38-52

Mansour Fakih, Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: Putaka Pelajar, 2004

Muchammad Ali Safaat, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik. Jakarta: Rajawali Press, 2011

Padmo Wahjono. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.

Peter R. Baehr. “Human Rights and Peoples Rights”, Human Rights in a Pluralist World Individual and Collectivities. (The Netherlands: UNESCO-RSC-MECKLER, 1990), hal. 99-100.

Phillip Eldridge. NGOs In Indonesia: Popular Movement or Arm of Government? Victoria: The Centre of Southeast Asian Studies Monash University, 1989.

Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999.

vi

Ramlond Naning. Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, 1983.

Richard H. Hall. Organizations Structures, Processes, and Outcomes. 8th ed. New Jersey: Pearson Education, 2002.

Robert A. Dahl. On Democracy. USA: Yale University Press, 1998.

Rocky Gerung. Ed. Hak Asasi Manusia Teori, Hukum, Kasus. Depok: Filsafat UI Press, 2006.

Satya Arinanto. Hak Asasi Manusia dalam Transaksi Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, cetakan ketiga, 2008.

Soehino. Hukum Tata Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah

Negara Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1985.

Pradjoto, Kebebasan Berserikat Di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1983

Robert Putnam, Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton: Princeton University Press, 1993

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif dan Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010.

_____. Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum. Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979.

Sri Utari. “Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul. Suatu Kajian terhadap Pengaturan tentang Partai Politik di Indonesia).” Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 2004.

Sudargo Gautama. Pengertian Negara Hukum. Bandung: Alumni, 1983.

S. Suryountoro. Dasar-dasar Pengertian Pancasila. Jakarta: Ghalia Indonesia.

S. V. Parma. Teori Politik Modern. Rajawali: Jakarta, 1987.

Theo Huijbers. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995.

Yayasan Idayu. Kilasan Petikan Sejarah Budi Utomo. Jakarta: Yayasan

Idayu, 1975.

vii

Artikel

Kuntara. “Kelebihan Ideologi Pancasila Dibanding dengan Komunisme dan Liberalisme”. Kertas Karya Perorangan (Taskap) Peserta Kursus Reguler Angktan ke XIX. Jakarta: Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Lembaga Pertahanan Nasional, 1986.

Kusnadi. “Kemandirian Ormas”. Organisasi Kemasyarakatan Kumpulan Kliping, Berita, Tajuk Rencana, Karangan/Artikel. Jakarta: Bagian Dokumentasi dan Penerbitan Biro Dokumentasi dan Penerangan BP-7 Pusat, 1996.

Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Satya Arinanto. “Negara Orde Baru dan Hak-Hak Rakyat”. Jurnal Hukum dan Pembangunan XXVII (1) (Februari 1997).

Soetrisno. “Organisasi Kemasyarakatan dan Pancasila sebagai Satu-satunya Asas, Soeharto”. Kertas Karya Perseorangan (Taskap) Perseorangan Peserta Kursus Reguler Angkatan Ke XVIII 1985 Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Lembaga Pertahanan Nasional).

“Dua Kovenan Diratifikasi,dengan Reservasi pada Hak menentukan nasib sendiri”. Kompas. (Sabtu 1 Oktober 2005).

“Negara Lemah Terhadap Ormas”. Indo Pos. (2 November 2007),

James A. Donald. “Natural Law and Natural Rights” http://jim.com/rights.html.

Jimly Asshidiqqie. ”Ideologi, Pancasila dan Konstitusi” http://www.jimly.com/makalah/namafile/3/ideologi_pancasila_dan_konstitusi.doc-..

Komisi Hukum Nasional. “Arti Pengesahan Dua Kovenan HAM Bagi Penegakan Hukum” http://www.komisihukum.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=92%3Aarti-pengesahan-da-kovenan-ham-bagi-penegakan-hukum&catid=37%3Aopini&Itemid=61&lang=in.

Laode Ida. “Agama Sosial”, http://opinibebas.epajak.org/search Pancasila+sebagai+ideology/page/2.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). “Hak Asasi Manusia Tanpa Dukungan Politik” http://www.elsam.or.id/pdf/Catatan%20HAM%20Awal%20Tahun%202008%20-%20Elsam.pdf.

viii

Pipin Hanapiah. “Pemberdayaan Ormas dan LSM Dimensi Peraturan Perundang-undangan” http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content /uploads/2009/05/pemberdayaan ormaslsm.pdf..

Samuel Huntington. “Will More Countries Become Democratic?”http://www.cooperativeindividualism.org/huntingtonsamuel_democracy.html.

SETARA Institute. “Mengukur Komitmen Partai Politik Terhadap HAM” http://www.setara-institute.org/content/mengukurkomitmen-partai-politik-terhadap-ham.

Soeprapto. “Implementasi Pancasila dari Masa ke Masa Pemerintahan Presiden Soekarno”, http://www.pelita.or.id/baca.php?id=27970.

Solly Lubis, “Pembangunan Hukum Nasional” (Denpasar: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 14-18 Juli 2003)http://www.lfpi.org/English/pdf/baliseminar/Makalah%20-%20solly...-

Sudarsono. “Government by Amateurs” http://rezaal.blogspot.com/2009/03/government-byamateurs.html.

Tim Dirjen Kesbang Depdagri. “Pemberdayaan Ormas” http:www.sinarharapan.co.id/berita/07/12/08/nas05.html.

“Civil Society and Popular Participation” http://www.idea.int/sod/framework/civ_soc_pop_particip.cm

“Mass Organizations and Interest Groups” http://countrystudies.us/angola/103.htm.

“Pemerintah Berusaha Batasi Ormas” http://puspen.depdagri.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1576:pemerintah-berusaha-batasi-ormas&catid=61:actual-media-cetak&Itemid=76.

“Pemikiran Sosial Soekarno” http://tonytampake.files.wordpres.com/2008/04/pemikiran-sosial-soekarno.ppt.

“Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) Keputusan Raja 28 Maret 1870, S- 1870-64” http://www.legalitas.org/database/staatsblad/stb1870-64.pdf.

ix

Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD NRI Tahun 1945.

Indonesia. Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Keputusan Presiden RIS 31 Djan. 1950 Nr. 48.(c) LN 50–3.

Indonesia. Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, UU No. 8 Tahun 1985, LN No. 44 Tahun 1985, TLN No. 3298.

Indonesia. Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, UU No. 17 Tahun 2013, LN No. 116 Tahun 2013, TLN No. 5430.

Indonesia. Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, PP No. 18 Tahun 1986.

Indonesia. Undang-Undang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), UU No. 12 Tahun 2005, LN No. 119 Tahun 2005 TLN No. 4558.

Indonesia. Undang-Undang tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. UU No. 11 Tahun 2005, LN No. 118 Tahun 2005 TLN No. 4557.

Staatsblaad van Nederlandsch-Indie voor Het Jaar 1870. Batavia Ter Landsdrukkerij 1870.

x