laporan kasus vertigo et causa post traumatic …b. anamnesis anamnesa diperoleh dari autoanamnesis...
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
VERTIGO ET CAUSA POST TRAUMATIC MENIERE’S DISEASE
Disusun Oleh:
Siti Rafidah Yunus 1920221108
Pembimbing:
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc, M.H
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
AMBARAWA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
Telah dipresentasikan dan disetujui laporan kasus yang berjudul
VERTIGO ET CAUSA POST TRAUMATIC MENIERE’S DISEASE
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu
Penyakit Saraf di RSUD Ambarawa
Disusun Oleh :
Siti Rafidah Yunus 1920221108
Telah disetujui
Ambarawa, Februari 2021
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp.S, M.Sc, M.H
3
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Usia : 52 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Menikah
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Penjahit
Alamat : Ngempon, Bergas
No CM : 198xxx-20xx
Tangggal masuk RS : 31 Januari 2021 pukul 11.20 WIB
B. ANAMNESIS
Anamnesa diperoleh dari autoanamnesis yang dilakukan pada tanggal 4 Februari 2021,
pukul 14.00 di bangsal Dahlia RSUD Ambarawa.
1. Keluhan Utama
Pusing berputar sejak sebelum masuk RS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Dua tahun SMRS pasien merasakan pusing berputar yang membuat pasien jatuh
terduduk. Pusing menetap selama kurang lebih 1 menit. Diperparah saat pasien
menggerakkan kepala dan melihat cahaya terang. Karena tidak dapat menahan pusing,
pasien berobat ke puskesmas terdekat. Pasien merasa membaik setelah diberikan obat.
Empat hari SMRS pasien mengeluh nyeri kepala dan mual. Pasien pergi berobat
ke poli penyakit dalam RSUD Ambarawa. Saat di RSUD Ambarawa GDS pasien 300,
pasien diberikan obat untuk dirumah lalu pasien pulang.
Dipagi hari HMRS pasien merasakan pusing berputar seperti mau jatuh. Pusing
terasa lebih berat pada kepala bagian kanan. Pusing yang dirasakan pasien hilang timbul
dengan durasi kurang lebih 1 menit. Pusing mereda saat pasien memejamkan mata dan
berbaring dan memberat saat membuka mata dan merubah posisi kepala. Selain itu
pasien juga mual dan muntah. Tidak terdapat kelemahan pada anggota gerak. Saat
4
diperjalanan menuju rumah sakit, pasien sempat muntah hingga 3 kali dalam kurun
waktu 1 jam. Pasien mengeluhkan terkadang telinga berdenging dan hilang timbul.
Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa pada Minggu 31/01/2021 pada pukul
11.20 WIB dengan keluhan pusing berputar. Pada pemeriksaan awal didapatkan
kesadaran pasien compos mentis, pada pemeriksaan tanda – tanda vital didaptkan
tekanan darah 109/68 mmHg, nadi 101 kali/menit, frekuensi nafas 20 kali/menit. BAB
dan BAK lancar. Kemudian pasien diberi penatalaksanaan awal di IGD berupa obat
Betahistine per oral 6 mg, injeksi Ranitidin, injeksi Mecobalamin, dan injeksi
Ondansentron. Keluhan pasien sempat mereda namun masih sering kambuh saat di
lakukan perawatan di Dahlia.
Pada hari kedua perawatan, pasien masih mengeluhkan pusing berputar yang
diperpara dengan perubahan posisi kepala dan melihat cahaya. Pasien masih merasa
mual namun sudah tidak muntah – muntah. Keluhan telinga berdenging terkadang.
3. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat keluhan serupa sebelumnya: pada Pasien mengatakan pernah mengalami
keluhan berupa rasa pusing berputar saat perubahan posisi dan saat melihat cahaya,
namun hanya sebentar dan tidak seberat ini pada 2 tahun yang lalu. Keluhan pusing
berputar disertai mual. Pasien berobat ke puskesmas untuk mengatasi keluhan
tersebut. Keluhan membaik setelah diberikan obat.
5
b. Riwayat trauma : Pada tahun 2013 pasien pernah
kecelakaan jatuh dari motor. Pada saat kecelakaan tersebut pasien mengalami luka
pada wajah bagian kanan.
c. Riwayat stroke : disangkal
d. Riwayat sakit jantung : disangkal
e. Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
f. Riwayat DM : pasien DM sejak 2010.
g. Riwayat sakit telinga : diakui, terkadang pasien merakan
telinganya berdenging.
h. Riwayat sakit gigi : diakui, pasien pernah ekstraksi molar
i. Riwayat sinusitis : disangkal
j. Riwayat kolesterol tinggi : disangkal
k. Riwayat gangguan psikiatri : disangkal
l. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
a) Riwaat keluhan serupa : disangkal
b) Riwayat stroke : disangkal
c) Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
d) Riwayat DM : Ibu dan 2 kakak pasien menderita DM
e) Riwayat sakit jantung : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai penjahit dan bekerja dari rumah sedangkan suami pasien
bekerja sebagai buruh pabrik. Pasien memilik 3 orang anak. Dua orang anak pasien
sudah berkeluarga, anak terakhir pasien duduk di kelas 6 SD. Pasien tinggal di
lingkungan perkampungan dengan sosial ekonomi menengah.
6
C. ANAMNESIS SISTEM
1. Sistem cerebrospinal : pusing berputar
2. Sistem kardiovascular : tidak ada keluhan
3. Sistem repiratorius : tidak ada keluhan
4. Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (+)
5. Sistem muskuloskeletal : kesemutan pada jari tangan (+)
6. Sistem urogenital : tidak ada keluhan
7. Sistem indera : telinga berdenging (+)
8. Sistem integume : tidak ada keluhan
D. RESUME PASIEN
Pasien perempuan berusia 52 tahun datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan
pusing berputar, muncul saat beraktivitas. Keluhan dirasakan sejak pagi HMRS. Rasa
pusing berputar berlangsung selama kurang lebih 1 menit, dan semakin berat saat pasien
membuka mata dan berdiri. Pasien mengeluh mual dan muntah. Pasien juga mengeluhkan
telinga berdenging dan nyeri pada daun telinga. Keluhan membaik saat pasien mendapat
terapi awal di IGD. Riwayat keluhan serupa pada 2 tahun yang lalu (+), riwayat DM (+),
riwayat trauma (+).
E. DISKUSI PERTAMA
Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan pusing berputar,
hilang timbul, dengan durasi selama kurang lebih 1 menit, dipengaruhi perubahan posisi
dan cahaya. Pusing berputar merupakan gejala khas dari Vertigo, pengertian vertigo
adalah sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi (memutar) tanpa sensasi
perputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar atau badan yang
berputar. Kondisi ini merupakan gejala yang menandakan adanya gangguan pada sistem
vestibuler atau non vestibuler. Pada vertigo vestibuler, keluhan yang muncul adalah rasa
berputar, serangan episodik, adanya mual, muntah, dicetuskan oleh gerakan kepala.
Sedangkan pada vertigo non-vestibuler keluhan yang timbul yaitu rasa melayang, hilang
keseimbangan, serangan bersifat kontinyu, keluhan mual muntah tidak ada, dicetuskan
oleh gerakan objek visual dan dapat dicetuskan oleh situasi ramai. Pada pasien didapatkan
gambaran klinis vertigo vestibular tipe perifer dan sentral (mixed type)
7
VERTIGO
a) Definisi
Vertigo adalah sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi (memutar)
tanpa sensasi perputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar atau badan
yang berputar. Vertigo berasal dari Bahasa latin “vertere” yang artinya memutar. Vertigo
termasuk kedalam gangguan keseimbangan yang dinyatakan sebagai pusing, pening,
sempoyongan, rasa seperti melayang.
b) Etiologi
Vertigo merupakan suatu gejala, penyebabnya antara lain adalah akibat kecelakaan,
stres, gangguan pada telinga bagian dalam, obat-obatan, terlalu sedikit atau banyak aliran
darah ke otak dan lain-lain. Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan
melalui organ keseimbangan (vestibular) yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini
memiliki saraf yang berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh
kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan di
dalam otaknya sendiri.
Keseimbangan dikendalikan oleh otak kecil yang mendapat informasi tentang posisi
tubuh dari organ keseimbangan di telinga tengah dan mata. Penyebab umum dari vertigo:
1) Keadaan lingkungan: mabuk darat, mabuk laut.
2) Obat-obatan: alkohol, gentamisin.
3) Kelainan telinga: endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di
dalam telinga bagian dalam yang menyebabkan benign paroxysmal positional
4) Vertigo, infeksi telinga bagian dalam karena bakteri, labirintis, penyakit
maniere,
5) Peradangan saraf vestibuler, herpes zoster.
6) Kelainan Neurologis: Tumor otak, tumor yang menekan saraf vestibularis,
sklerosis multipel, dan patah tulang otak yang disertai cedera pada labirin,
persyarafannya atau keduanya.
7) Kelainan sirkularis: Gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya
aliran darah ke salah satu bagian otak (transient ischemic attack) pada arteri
vertebral dan arteri basiler.
c) Klasifikasi
Vertigo dapat diklasifikasikan menjadi fisiologik dan patologik, sebagai berikut:
1) Fisiologik
Vertigo fisiologik adalah keadaan vertigo yang ditimbulkan oleh stimulasi dari
8
sekitar penderita, dimana sistem vestibulum, mata, dan somatosensorik
berfungsi baik. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain:
• Mabuk gerakan (motion sickness)
Mabuk gerakan ini dapat terjadi bila pandangan sekitar (visual surround)
berlawanan dengan gerakan tubuh yang sebenarnya. Keadaan yang
memperovokasi antara lain duduk di jok belakang mobil, atau membaca
sewaktu mobil bergerak.
• Vertigo ketinggian (height vertigo)
Vertigo ketinggian adalah suatu instabilitas subjektif dari keseimbangan
postural dan lokomotor (kemampuan untuk melakukan gerakan anggota
tubuh) oleh karena induksi visual, disertai gejala-gejala vegetatif.
2) Patologik
Vertigo patologik diklasifikasikan lagi menjadi dua jenis, yaitu vertigo sentral
dan vertigo perifer, dengan perbedaan umum sebagai berikut:
Tabel 1. Perbedaan Vertigo Sentral dan Vertigo Perifer
Ciri-ciri Vertigo Perifer Vertigo Sentral
Lesi Sistem vestibular (telinga dalam,
saraf perifer)
Sistem vertebrobasiler
dan
gangguan vaskular
(otak, batang otak,
serebelum)
Penyebab Vertigo posisional
paroksismal jinak (BPPV),
penyakit maniere, neuronitis
vestibuler, labirintis,
neuroma akustik, trauma
iskemik batang
otak,
vertebrobasiler
insufisiensi,
neoplasma,
migren basiler
Masa laten 3-40 detik Tidak ada
Habituasi Ya Tidak
Intensitas
vertigo
Berat Ringan
9
Tabel 2. Perbedaan Klinis Vertigo Perifer dan Vertigo Sentral
Gejala Vertigo Perifer Vertigo Sentral
Bangkitan Lebih mendadak Lebih lama
Beratnya vertigo Berat Ringan
Pengaruh gerakan
kepala
++ +/-
Mual/muntah/kering
at
+ +
Gangguan
pendengaran
+/- -
Gejala gangguan SSP - Diantaranya: diplopia,
parestesi, gg.
sensibilitas dan fungsi motorik,
disartria, gg.sereberal
Telinga berdenging
dan
atau tuli
Kadang-kadang Tidak ada
Nistagmus spontan + -
• Sentral
Vertigo sentral paling sering disebabkan oleh berbagai penyakit berikut:
❖ Migraine
Vertigo ditemukan pada 27-33% kasus pasien migraine. Pada basilar
migraine sendiri telah dikenal aura yaitu gejala yang meliputi
pandangan kabur, penglihatan ganda dan dysarthria serta keluhan
sakit kepala sebelah. Vertigo yang muncul pada migraine biasanya
lebih lama dibandingkan aura lainnya, dan seringkali membaik
dengan terapi yang digunakan untuk migraine.
❖ Vertebrobasilar insufficiency
Vertebrobasilar insufficiency biasanya terjadi dengan episode
rekuren dari suatu vertigo dengan onset akut dan spontan pada
kebanyakan pasien (detik-beberapa menit). Banyak terjadi pada usia
tua dan pada pasien dengan faktor resiko cerebrovascular disease.
Sering juga berhungan dengan gejala visual meliputi inkoordinasi,
jatuh dan lemah.
❖ Tumor Intrakranial
Tumor intracranial jarang memberi manifestasi klinik vertigo
dikarenakan tumor biasanya tumbuh secara progresif dan lambat
sehingga sudah terjadi kompensasi sentral. Gejala yang lebih sering
muncul adalah penurunan pendengaran atau gejala neurologis.
10
• Perifer
Vertigo sentral dapat disebabkan oleh kelainan pada telinga bagian dalam
ataupun nervus cranialis vestibulocochlear (N. VIII), dimana vertigo perifer
yang paling sering dialami yaitu:
❖ Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
BPPV merupakan penyebab utama vertigo. Onsetnya lebih seriang
terjadi pada usia rata-rata 51 tahun, yang mana disebabkan oleh
pergerakan otolit dalan kanalis semisirkularis pada telinga dalam. Hal
ini terutama akan mempengaruhi kanalis posterior dan menyebabkan
gejala klasik tapi juga dapat mengenai kanalis anterior dan horizontal.
Otolit mengandung kristal-kristal kecil kalsium karbonat yang
berasal dari utrikulus telinga dalam. Pergerakan dari otolit distimulasi
oleh perubahan posisi dan menimbulkan manifestasi klinik vertigo
dan nistagmus. BPPV umumnya idiopatik, namun dapat terjadi akibat
trauma kepala, infeksi kronik telinga, operasi dan neuritis vestibular
sebelumnya.
❖ Meniere’s Disease
Ménière’s disease ditandai dengan vertigo yang intermiten yang
diikuti dengan keluhan pendengaran, berupa tinnitus (nada rendah),
dan tuli sensoris pada fluktuasi frekuensi yang rendah, dan sensasi
penuh pada telinga. Ménière’s disease terjadi pada sekitar 15% pada
kasus vertigo otologik. Ménière’s disease merupakan akibat dari
hipertensi endolimfatik akibat dilatasi dari membrane labirin
bersamaan dengan kanalis semisirularis telinga dalam dengan
peningkatan volume endolimfe. Selain itu juga dapat terjadi idiopatik
atau sekunder akibat infeksi virus atau bakteri telinga atau gangguan
metabolic.
❖ Vestibular Neuritis
Vestibular neuritis ditandai dengan vertigo, mual, ataxia dan
nystagmus. Hal ini berhubungan dengan infeksi virus lada nervus
vestibularis. Labirinitis terjadi dengan kompleks gejala yang sama
disertai dengan tinnitus atau penurunan fungsi pendengaran,
keduanya terjadi pada sekitar 15% kasus vertigo otologik.
11
3) Berdasarkan onset
Disertai Keluhan
Telinga
Tidak Disertai
Keluhan Telinga
Timbul Karena
Perubahan Posisi
Vertigo
paroksismal
(mendadak atau
eksaserbasi akut)
Penyakit Meniere,
tumor fossa cranii
posterior,
transient ischemic
attack (TIA) arteri
Vertebralis
TIA arteri
vertebro-basilaris,
epilepsi, vertigo
akibat lesi
lambung
Benign
paroxysmal
positional vertigo
(BPPV)
Vertigo kronis Otitis media
kronis, meningitis tuberkulosa, tumor
serebelo- pontine, lesi labirin akibat
zat ototoksik
Kontusio serebri,
sindroma paska komosio, multiple
sklerosis, intoksikasi obat-
obatan
Hipotensi
ortostatik, vertigo servikalis
Vertigo akut Trauma labirin,
herpes zoster otikus, labirinitis
akuta, perdarahan Labirin
Neuronitis
vestibularis, ensefalitis
vestibularis, multipel sclerosis
–
12
d) Diagnosis Vertigo
1) Anamnesis
• Karakteristik Pusing
Perlu ditanyakan mengenai sensasi yang dirasakan pasien apakah sensasi
berputar, atau sensasi non spesifik seperti dizziness atau light headness, atau
hanya suatu perasaan yang berbeda (kebingungan).
• Keparahan
Keparahan dari suatu vertigo juga dapat membantu, misalnya: pada acute
vestibular neuritis, gejala awal biasanya parah namun berkurang dalam beberapa
hari kedepan. Pada Ménière’s disease, pada awalnya keparahan biasanya
meningkat dan kemudian berkurang setelahnya. Sedangkan pasien mengeluh
vertigo yang menetap dan konstan mungkin memiliki penyebab psikologis
• Onset dan durasi
Durasi tiap episode memiliki nilai diagnostic yang signifikan, semakin lama
durasi vertigo maka kemungkinan kearah vertigo sentral menjadi lebih besar.
Vertigo perifer umumnya memilki onset akut dibandingkan vertigo sentral
kecuali pada cerebrovascular attack.
• Faktor pencetus
Faktor pencetus dapat mempersempit diagnosis banding pada vertigo vestibular
perifer. Jika gejala terjadi hanya ketika perubahan posisi, penyebab yang paling
mungkin adalah BPPV. Infeksi virus yang baru pada saluran pernapasan atas
kemungkinan berhubungan dengan acute vestibular neutritis atau acute
labyrhinti.
13
Vertigo dapat disebabkan oleh fistula perilimfatik Fistula perimfatik dapat
disebabkn oleh trauma baik langsung ataupun barotrauma. Bersin atau gerakan
yang mengakibatkan telinga ke bawah akan memprovokasi vertigo pada pasien
dengan fistula perilimfatik. Adanya fenomena Tullio’s (nistagmus dan vertigo
yang disebabkan suara bising pada frekuensi tertentu) mengarah kepada penyebab
perifer.
• Gejala penyerta
Gejala penyerta berupa penurunan pendengaran, nyeri, mual, muntah dan gejala
neurologis dapat membantu membedakan diagnosis penyebab vertigo. Sebagian
besar penyebab vertigo dengan gangguan pendengaran berasal dari perifer,
kecuali pada penyakit serebrovaskular yang mengenai arteri auditorius interna
atau arteri anterior inferior cebellar. Nyeri yang menyertai vertigo dapat terjadi
bersamaan dengan infeksi akut telinga tengah, penyakit invasive pada tulang
temporal, atau iritasi meningeal. Vertigo sering bersamaan dengan muntah dan
mual pada acute vestibular neuronitis dan pada meniere disease yang parah dan
BPPV. Pada vertigo sentral mual dan muntah tidak terlalu parah. Gejala
neurologis berupa kelemahan, disarthria, gangguan penglihatan dan pendengaran,
parestesia, penurunan kesadaran, ataksia atau perubahan lain pada fungsi sensori
dan motoris lebih mengarahkan diagnosis ke vertigo sentral misalnya penyakit
cerebrovascular, neoplasma, atau multiple sklerosis. Pasien denga migraine
biasanya merasakan gejala lain yang berhubungan dengan migraine misalnya
sakit kepala yang tipikal (throbbing, unilateral, kadnag disertai aura), mual,
muntah, fotofobia, dan fonofobia. 21-35% pasien dengan migraine mengeluhkan
vertigo.
2) Pemeriksaan Vertigo
• Fungsi Vestibular atau Serebral
❖ Test Romberg
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua
mata terbuka kemudian tertutup. Pada kelainan vestibular hanya pada mata
tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah dan kemudian
kembali. Pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Pada kelainan
serebelar badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun
pada mata tertutup.
14
❖ Tandem Gait
Penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri atau kanan diletakkan pada
ujung jari kaki kanan atau kiri bergantian. Pada kelainan vestibular
perjalanannya akan menyimpang dan pada kelainan serebelar penderita akan
cenderung jatuh.
❖ Uji Unterberger
Berdiri dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalan di tempat
dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan
vestibuler posisi penderita akan menyimpang atau berputar ke arah lesi dengan
gerakan seperti orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah
lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan
yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah
lesi.
❖ Past Pointing Test
Jari telunjuk penderita ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita disuruh
mengangkat lengannnya ke atas kemudian ditrunkan sampai menyentuh
telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata
terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibular akan terlihat penyimpangan
lengan penderita ke arah lesi.
• Pemeriksaan Neurotologi
Pemeriksaan terutama untuk tentukan letak lesi di perifer atau sentral.
❖ Uji Dix Hallpike
Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang
dengan cepat, sehingga kepalanya menggantung 45º di bawah garis
horisontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45º ke kanan lalu ke kiri.
Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini
dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral. Perifer (benign
positional vertigo): vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10
detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau
menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue). Sentral: tidak ada
periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari 1 menit, bila
diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).
15
❖ Tes Kalori
Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30o, sehingga kanalis
semisirkularis lateralis dalam posisi vertical. Kedua telinga diirigasi
bergantian dengan air dingin (30oC) dan air hangat (44oC) masing-masing
selama 40 detik dan jarak setiap irigasi selama 5 menit. Nystagmus yang
timbul dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai hilangnya
nystagmus tersebut (normal 90-150 detik). Dengan tes ini dapat ditentukan
adanya canal paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke kanan.
Canal paresis ialah jika abnormalitas diteukan di satu telinga, baik setelah
rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan directional
preponderance ialah jika abnormaliras ditemukan pada arah nystagmus
yang sama di masing-masing telinga. Canal paresis menunjukkan lesi
perifer di labirin atau N.VIII, sedangkan directional preponderance
menunjukan lesi sentral.
❖ Audiometry
Pemeriksaan audiometric berguna untuk memeriksa jenis dan tingkat
keparahan pendengaran dan juga menentukan kira- kira organ yang
berpengaruh terhadap gangguan. Kehilangan Pendengaran dalam kasus ini
adalah jenis sensorineural. Namun, pasien dengan kelaianan malformasi
telinga dalam (yaitu, perbesaran vestibular aqueduct) mungkin akan
mempunyai gejala klinis yang sama.
F. DIAGNOSIS SEMENTARA
1. Diagnosis klinis
Pusing berputar, mual, telinga berdenging, onset kronik eksaserbasi
akut
2. Diagnosis topis
Organ vestibular: perifer dd/ sentral, organ non-vestibular
3. Diagnosis etiologi
Central : - SOP Intrakranial
- Insufisiensi vertebrobasiler
Perifer : - Otogenik
- Cervikogenik
16
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaaan fisik dilakukan pada hari Kamis 4 Februari 2021 jam 14.30 di bangsal Dahlia.
4. Status generalis
a. Keadaan umum : tampak sakit sedang
b. Kesadaaran : compos mentis
c. Vital sign
Tekanan darah : 120/80
mmHg Nadi : 84x menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 360C
SpO2 : 99%
d. Situs Internus
Kepala : mesocephal, rambut distribusi
merata Wajah : simetris, nyeri tekan maxilla (-)
Mata : OD = pupil bulat ø 3mm, reflek cahaya langsung (+), ptosis (-),
eksoftalmus (-), katarak (-),nystagmus (+)
OS = pupil bulat ø 3mm, reflek cahaya langsung (+), ptosis (-),
eksoftalmus (-), katarak (-), nystagmus (+)
Hidung : rhinorea (-)
Mulut : mukosa hiperemis (-)
Gigi : karies (-)
Telinga : otorhea (-/-) tinnitus (+) tragus pain (+/-)
Leher : nyeri tekan trakea (-), pembesaran limfonodi
(-/-) Thoraks :
Pulmo : Inspeksi : simetris, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : vocal fremitus lobus superior kanan sama
dengan kiri, vocal fremitus lobus inferior kanan sama dengan
kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-), RBK (-/-)
17
Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V linea axilaris
anterior Perkusi : batas jantung kanan atas SIC II
LPSD, batas
jantung kanan bawah SIC V LPSD, batas jantung kiri atas SIC II LPSS, batas
pinggang jantung SIC III LPSS
Auskultasi: S1>S2, Murmur (-) Gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : datar, supel
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
: BU (+) normal
: Hepar & lien tidak membesar, nyeri tekan (-)
: timpani
Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral hangat -/- -/-
Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Gerak Normal Normal
Motorik 5/5 5/5
Nyeri -/- -/-
5. Status Neurologis
a. Umum
Sikap tubuh : normoaktif
Gerakan abnormal : tidak ada
Cara berjalan : pasien belum dapat berdiri dengan seimbang
Kepala : pusing berputar
b. Status Psikiatri
Tingkah laku : Normoaktif
Perasaan hati : Normoritmik
Orientasi : Orientasi orang, waktu, dan tempat baik
Kecerdasan : Dalam batas normal
Daya ingat : Dalam batas normal
18
c. Fungsi motorik : Tonus Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
Refleks Fisiologis + +
Refleks Patologis - -
Anggota gerak bawah Kanan Kiri
Gerakan Bebas Bebas
Kekuatan 5 5
Tonus Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
Refleks Fisiologis + +
Refleks Patologis - -
d. Nervus Kranialis
Nervus Pemeriksaan Kanan Kiri
N. I. Olfaktorius Daya penghidu Dbn Dbn
N. II. Optikus Daya penglihatan Dbn Dbn
Pengenalan warna Dbn Dbn
Lapang pandang Dbn Dbn
N. III.
Okulomotor
Ptosis - -
Gerakan mata ke medial Dbn Dbn
Gerakan mata ke atas Dbn Dbn
Gerakan mata ke bawah Dbn Dbn
Ukuran pupil 3mm 3mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya konsensual + +
N. IV. Troklearis Strabismus divergen - -
Gerakan mata ke lat-bwh Dbn Dbn
Strabismus konvergen - Dbn
N. V. Trigeminus
Menggigit
Dbn Dbn
Membuka mulut Dbn Dbn
Sensibilitas muka Dbn Dbn
Refleks kornea + +
Trismus - -
N. VI. Abdusen Gerakan mata ke lateral Dbn Dbn
Strabismus konvergen Dbn Dbn
N. VII. Fasialis Kedipan mata Dbn Dbn
Lipatan nasolabial Simetris Simetris
Sudut mulut Simetris Simetris
Mengerutkan dahi Simetris Simetris
19
Menutup mata Dbn Dbn
Meringis Dbn Dbn
Menggembungkan pipi Dbn Dbn
Daya kecap lidah 2/3 ant Dbn Dbn
N. VIII.
Vestibulokoklearis
Mendengar suara bisik + +
Mendengar bunyi arloji + +
Tes Rinne + +
Tes Schwabach Memendek
Tes Weber Lateralisasi kiri
N. IX.
Glosofaringeus
Arkus faring Simetris Simetris
Daya kecap lidah 1/3 post Dbn
Refleks muntah Dbn
Sengau -
Tersedak -
N. X. Vagus Denyut nadi 84x/menit
Arkus faring Simetris
Bersuara Dbn
Menelan Dbn
N. XI. Aksesorius Memalingkan kepala Dbn Dbn
Sikap bahu Dbn Dbn
Mengangkat bahu Dbn Dbn
Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi
N. XII.
Hipoglossus
Sikap lidah Dbn
Artikulasi Dbn
Tremor lidah -
Menjulurkan lidah Simetris
Trofi otot lidah -
Fasikulasi lidah -
e. Pemeriksaan Sistem Otonom
Miksi : BAK lancar
Defekasi : BAB lancar
f. Pemeriksaan Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : (-)
Kernig sign : (-)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Brudzinsky III : (-)
Brudzinsky IV : (-)
20
g. Pemeriksaan Fungsi Koordinasi
Tes Romberg : (+)
Tes Fukuda : (+)
Tes Past Pointing : (+)
Lhermitte’s test : (-)
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
DARAH LENGKAP
Hemoglobin 13.0 11,7 – 15,5 g/dl
Leukosit 6.38 3600 – 11.000
• Limfosit 1.16 1,0 – 4,5 x 103/mikro
• Monosit 0.838 0,2 – 1,0 x 103/mikro
• Eosinofil 0.005 L 0,04 – 0,8 x 103/mikro
Basofil
Neutrofil 0.066 4.30
0 – 0,2 x 103/mikro 1,8 – 7,5 x 103/mikro
Eritrosit 4.54 3,8 – 5,2 juta
Hematokrit 38.5 35 – 47 %
Trombosit 181 150 – 400 ribu
MCV 84.7 82 – 98 fL
MCH 28.6 27 – 32 pg
MCHC 33.7 32 – 37g/dl
SGPT 25 0 – 35 U/L
SGOT 22 0 – 35 U/L
Ureum 6 L 10 – 50 mg/dl
Kreatinin 0.7 0,45 – 0,75 mg/dl
HDL Direct 37 37 – 92 mg/dl
LDL Cholesterol 84.0 <150 mg/dl
Asam urat 4.18 2 – 7 mg/dl
Cholesterol 173 <200 mg/dl
Trigliserida 260 H 70 – 140 mg/dl
Glukosa Sewaktu 225 H 70 – 110 mg/dl
21
2. X-Foto Cervikal AP/Lateral/Oblique
Kesan :
• Alignment lurus
• Osteofit VC 5,6
• Tak tampak kompresi maupun listesis
• Tak tampak penyempitan diskus maupun foramen intervertebralis
22
H. DISKUSI KEDUA
Dari hasil pemeriksaan diatas, pada pemeriksaan fungsi koordinasi
ditemukan nystagmus (+), Rhomberg test (+), Fukuda test (+), Past pointing
test (+). Pada pemeriksaan telinga didapatkan tinnitus (+), nyeri tragus (+).
Pemeriksaan nervus cranialis pada telinga tes Rinne +/+, Webber lateralisasi
kiri, dan Schwabach memendek. Temuan – temuan tersebut kemungkinan
dapat menjadi penyebab vertigo pada pasien yaitu otogenik. Diperkuat juga
dari hasil pencitraan cervical dimana tidak terlihat adanyanya kompresi
maupun listesis dan penyempitan diskus maupun foramen intervertebralis.
Dari hasil seluruh pemeriksaan, pada pasien ini lebih mengarah ke vertigo
otogenik; Meniere’s disease karena terdapat keluhan pusing berputar disertai
nyeri telinga, telinga berdenging, dan tuli sensori.
Berikut ini tabel untuk membedakan vertigo perifer dari vertigo sentral.
Vertigo Perifer Pasien Vertigo Sentral
Serangan Intermiten Intermiten Konstan
Pusing
berputar
Hebat hebat Tidak terlalu
hebat
Mual muntah Hebat Sedang Ringan
Nistagmus Selalu ada Ada Ada/tidak ada
Ciri
Nistagmus
tidak pernah
vertikal
Horizontal sering vertikal
Kurang
pendengaran /
tinitus
Sering ada Ada Tidak ada
Tanda Lesi
batang otak
Tidak ada Tidak ada Ada
Disartria Tidak ada Tidak ada Ada
Defek Visual Tidak ada Tidak ada Ada
Diplopia Tidak ada Tidak ada Ada
Drop attack Tidak ada Tidak ada Ada
Ataksia Tidak ada Tidak ada Ada
Gaya berjalan
Lambat, tegak
dan berhati-hati
Lambat, tegak
dan berhati-
hati
Bergerak
menyimpang ke
satu arah, ataksik
23
Tabel Perbandingan Karakteristik BPPV, Neuritis Vestibular, Penyakit
Meniere
I. DIAGNOSIS AKHIR
1. Diagnosis klinis
Pusing berputar, mual, telinga berdenging, gangguan pendengaran, onset
kronik eksaserbasi akut
2. Diagnosis topis
Organ vestibular
3. Diagnosis etiologi
Otogenic; Post Traumatic Meniere’s disease
Karakteristik BPPV Neuritis
Vestibular
Labirinitis Meniere
Disease
Pasien
Durasi
serangan
Detik (10-60 detik),
berulang
Hari-minggu.
Serangan hebat,
1 kali
Berat,
meningkat
dalam beberapa
jam. Berakhir
dalam beberapa
hari terakhir. Di
dahului infeksi THT
menit-jam,
berulang
Pusing
berputar,
beberapa
rmenit,
berulang
Mual-muntah Ya, saat serangan Ya Ya, hebat Ya Ya, muntah (-)
Gangguan
telinga
Tidak ada Tidak ada Tuli
ringan/sedang
Tinitus,
gangguan
pendengaran
Ya, tinnitus,
gangguan
pendengaran
Nistagmus Torsional Torsional
horizontal,
spontan ke arah lesi
Horizontal Nistagmus
spontan
Horizontal
Dipengaruhi
posisi
Ya, posisi kepala
tertentu
(mendongak/menoleh)
Ya, semakin
memberat
Tidak Ya Ya, gerakan
kepala
Gangguan neurologi
Tidak ada Jatuh ke sisi lesi Tidak ada Tidak ada Tidak ada
24
J. TERAPI
Pada pasien ini diberikan terapi berupa:
o Infus RL 20 Tpm
o Injeksi Ranitidin 2x1 amp
o Injeksi Ceftriakson 2x1
o PO Betahistin 3x2 tab
o PO Clobazam 2x5 mg
o PO Paracematol 2x650 mg
o PO Sucralfat syr 3x10 ml
Terapi Diagnostik
• Konsul THT untuk pemeriksaan BERA
• Konsul Rehab Medik untuk menuver terapi vertigo
• CT Scan os Mastoid
K. DISKUSI KETIGA
VERTIGO POST TRAUMATIC
Vertigo merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien pasca mengalami trauma
pada kepala, leher atau craniovertebral junction. Trauma bisa terjadi karena cedera akibat
jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, cedera kontak saat olah raga dan trauma akibat
ledakan. Telinga bagian dalam dan otak rentan terhadap benturan sehingga gejala bisa
timbul walaupun tanpa cedera yang substansial. Vertigo pasca trauma diklasifikasikan
menjadi perifer dan sentral tergantung pada struktur yang terkena (Taneja, 2014).
Frekuensi dizziness dan disekuilibrium pasca trauma kepala sekitar 14% pada
pasien rawat jalan namun beberapa studi menyatakan insiden sekitar 40-60% (Kolev et
al, 2016). Insiden vertigo pasca trauma yang tercatat di Amerika Serikat adalah sebesar
15-78% dari keseluruhan trauma kepala, termasuk trauma kepala ringan (Benson, 2016).
Vertigo pasca trauma tidak berakibat fatal namun berhubungan dengan morbiditas yang
tinggi. Sebagian besar pasien tidak dapat bekerja kembali ke pekerjaan sebelum
kecelakaan atau pekerjaan yang setara dengan itu. Vertigo dilaporkan terjadi dalam
rentang 1 minggu pasca trauma kepala ringan pada 53% pasien dan keluhan bertahan
hingga 2 tahun pada 18% pasien (Ernst et al, 2005)
Patomekanisme Trauma Penyebab Vertigo
Trauma tumpul kepala dan leher disebabkan oleh berbagai macam mekanisme dan
dapat mencederai bagian manapun dari sistem vestibular. Sistem vestibular perifer
25
maupun sentral sangat rentan dan dapat mengalami gangguan meskipun hasil
pemeriksaan pencitraan (CT scan atau MRI) tidak menunjukkan perubahan anatomi yang
patologis. Daerah yang harus dievaluasi pada pencitraan vertigo pasca trauma adalah
intrakranial, basis kranium dan sambungan kranioservikal (Taneja, 2014; Perdossi, 2012)
Disfungsi kanalis semisirkularis horisontal terjadi pada 32%-71% pasien vertigo
pasca trauma. Benturan kepala akan menyebabkan keluarnya otokonia dari membran
otolitik utrikulus. Partikel otokonia tersebut bersifat free floating didalam cairan
endolimfatik kanalis semisirkularis (kanalitiasis). Benturan berulang pada kepala yang
diam menyebabkan kerusakan dinding utrikulus dan sakulus serta perubahan degeneratif
pada makula sakular. Akselerasi dan deselerasi linear kepala akibat trauma merusak organ
otolith yang berfungsi sebagai indera akselerasi linear. Hasil pemeriksaan kanalis
semisirkularis (tes kalori) dan fungsi auditorik yang normal pada pasien vertigo pasca
trauma perlu diduga adanya keterlibatan sentral. Stabilitas postural yang abnormal pada
pasien cedera kepala mengarahkan pada penyebab gangguan keseimbangan multisensorik
atau sentral (Brandt et al, 2005; Fife et al, 2013).
Manifestasi Klinis Vertigo Pasca Trauma
Manifestasi klinis berdasarkan letak gangguannya dikelompokkan menjadi vertigo
vestibular perifer dan sentral pasca trauma. Kelompok perifer lebih sering dijumpai dan
berdasarkan onsetnya dikelompokkan lagi menjadi early (segera) dan delayed (lambat)
(Taneja, 2014). Beberapa kasus vertigo pasca trauma tidak berkaitan dengan gangguan
labirin, seperti cedera struktural pada sistem saraf pusat atau kondisi psikologis, akan
dikelompokkan tersendiri (Gordon et al, 2004)
Early Post Traumatic Peripheral Vertigo
Manifestasi klinis vertigo yang terjadi dalam waktu 24 jam pasca trauma meliputi BPPV,
konkusio labirin, disfungsi labirin traumatik dan fistula perilimfatik (Taneja, 2014).
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
Bentuk vertigo tipe vestibuler perifer pasca trauma yang paling sering dijumpai adalah
benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) mencapai 28% (Brandt et al, 2005).
Keluhan BPPV ini muncul dalam beberapa hari atau minggu setelah cedera kepala dan
terjadi bilateral. Cedera kepala menyebabkan lepasnya otokonia dari makula utrikulus.
Patofisiologi dan gejala klinis yang muncul selanjutnya sama seperti BPPV idiopatik yaitu
durasi vertigo selama 10-30 detik dan dipicu oleh perubahan posisi kepala. Nistagmus
crescendo-decrescendo khas yang membaik dalam hitungan detik dan dicetuskan dengan
26
memposisikan kepala menghadap telinga yang sakit atau mendorong kepala ke belakang.
BPPV pasca trauma lebih sering terjadi secara bilateral (25%) dibandingkan BPPV
idiopatik (2%). Memerlukan fase terapi yang lebih panjang, manuver rehabilitasi harus
diulang dan dimulai pada telinga dengan gejala lebih berat sampai keluhan menghilang
(Fife et al, 2013; Gordon et al, 2004)
Konkusio Labirin
Disfungsi labirin terjadi akibat fraktur pada tulang temporal. Ada 2 jenis fraktur yaitu
fraktur longitudinal (temporoparietal impact) dan transversal (occipital impact). Fraktur
longitudinal terjadi pada 80% kasus melibatkan struktur telinga tengah dengan dislokasi
osikular namun umumnya labirin dan nervus vestibulokoklearis tidak terganggu. Sekitar
20% kasus berupa fraktur transversal (tegak lurus dengan sumbu tulang petrosa) yang
sering melibatkan labirin tulang atau nervus fascialis dan nervus vestibulokoklear pada
meatus akustikus interna, tergantung lokasi fraktur lebih ke lateral atau medial. Nervus
fascialis dan vestibulokoklearis mengalami gangguan pada 50% kasus fraktur transversal.
Sistem vestibular tampaknya kurang rentan dibandingkan sistem pendengaran sehingga
fungsi vestibular tetap baik dengan gangguan pendengaran total lebih sering terjadi
daripada kombinasi sebaliknya. Disfungsi vestibulokoklear bilateral akut dilaporkan
terjadi setelah fraktur oksipital (Ernst et al, 2005).
Konkusi labirin pasca trauma dapat terjadi tanpa adanya fraktur. Konkusi labirin
dengan gangguan vestibular menyebabkan tuli sensorineural bilateral dengan nada tinggi
disertai gambaran perdarahan mikroskopis pada koklea dan labirin. Disfungsi labirin
ditandai oleh adanya vertigo rotasional yang kontinyu, mual dan muntah. Gejala ini
berkurang setelah 2-3 minggu. Tirah baring dan obat antivertigo (dimenhidrinat,
benzodiazepine) diberikan dalam beberapa hari pertama atau ada mual muntah yang berat.
Rehabilitasi vestibular harus dimulai sesegera mungkin untuk mempercepat dan
meningkatkan kompensasi sentral. Pengobatan kortikosteroid (metilprednisolon)
diindikasikan selama beberapa hari karena adanya edema pasca trauma pada kebanyakan
kasus (Fife et al, 2013; Gordon et al, 2004)
Disfungsi Organ Otolit
Ketidakseimbangan postur dan osilopsia yang terjadi segera setelah trauma kepala dan
diperberat oleh gerakan kepala serta ketidakseimbangan seperti berjalan diatas bantal air
merupakan gejala khas vertigo karena disfungsi otolit tanpa kanalolitiasis. Akselerasi
traumatik menyebabkan longgar dan lepasnya otokonia dari makula yang menyebabkan
27
ketidakseimbangan beban otolit pada sisi kanan dan kiri serta ketidakseimbangan tonus
diantara keduanya. Perbedaan berat otolit di kedua sisi mengakibatkan gangguan orientasi
spasial sementara. Gejala ataksia, ketidakseimbangan dan instabilitas postural saat
gerakan kepala dapat dikoreksi dengan kompensasi sentral dalam beberapa hari sampai
minggu (Fife et al, 2013; Gordon et al, 2004)
Fistula Perilimfatik
Tekanan udara pada telinga tengah sama dengan udara luar karena adanya penyesuaian
tekanan melalui tuba eustachius. Cedera kepala menyebabkan ruptur atau terbukanya
labirin membranosa yang berisi cairan sehingga terjadi peningkatan tekanan udara tiba-
tiba pada telinga tengah yang menyebabkan kebocoran perilimfe pada fenestra ovalis dan
rotundum serta pergeseran pijakan stapes. Keluhan yang terjadi adalah pusing dengan
gangguan pendengaran, rasa penuh ditelinga dan tinitus yang hilang timbul. Keluhan
muncul tergantung pada posisi kepala, pergerakan atau tekanan udara yang diperberat oleh
penekanan (manuver Valsalva, mengangkat benda berat atau bersin) sama seperti fistula
perilimfatik oleh penyebab lain (Ernst et al, 2005).
Secara klinis dibedakan sebagai tipe kanal dengan gejala vertigo rotasional dan
nistagmus, atau tipe otolitik dengan gejala instabilitas, ataksia gait dan osilopsia, terutama
selama akselerasi linear kepala (saat berdiri atau berjalan). Tipe otolitik juga dapat
disebabkan oleh pergeseran pijakan stapes tanpa disertai kebocoran perilimfe yang
kontinyu sehingga merangsang otolit selama refleks stapedius. Pada saat bersamaan, suara
juga dapat mencetuskan gejala otolitik paroksismal (pergerakan mata dan head tilt,
osilopsia dan kecenderungan jatuh) yang disebut dengan Tullio’s phenomenom (Fife et al,
2013).
Terapi konservatif dengan tirah baring dan elevasi kepala selama beberapa hari
serta pemberian sedatif ringan memberikan kesembuhan spontan. Jika terapi konservatif
gagal dan gangguan pendengaran serta gejala vestibular memberat, dapat dilakukan
timpanotomi eksploratif (Fife et al, 2013; Gordon et al, 2004).
28
Vertigo akibat barotrauma
Vertigo alternobarik (alternobaric vertigo) terjadi karena perubahan tekanan secara
cepat di telinga tengah terkait dengan paparan terhadap perubahan tekanan sekitar, baik
peningkatan tekanan (menyelam, pressure chamber, ledakan) atau penurunan tekanan
(penerbangan dan ketinggian). Kemungkinan terjadinya kerusakan pada tuba Eustachius
dan telinga tengah dan telinga dalam seiring meningkatnya laju perubahan tekanan
eksternal. Terjadi pada sekitar 10-25% awak pesawat dan penyelam. Onset vertigo dan
nistagmus didahului rasa penuh di telinga. Kondisi ini bisa berlangsung beberapa detik
sampai berjam- jam dan sembuh secara spontan akibat tidak mampu menyamakan tekanan
satu atau kedua telinga saat perubahan tekanan (lemahnya fungsi tuba eustachius) dan
adanya pergeseran posisi yang cepat dari fenestra ovalis dan rotundum (pergeseran
pijakan stapedius). Sering terjadi pada orang dengan gangguan saluran pernapasan bagian
atas yang dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius (Ernst et al, 2005).
Penyakit dekompresi (decompression sickness) paling sering terjadi selama scuba
diving atau paparan ketinggian. Faktor predisposisi meliputi kelelahan, cedera, dingin,
dehidrasi, konsumsi alkohol, menyelam berulang, penerbangan setelah menyelam, usia
dan obesitas. Selama dekompresi, nitrogen yang terlarut dalam darah dan jaringan
dilepaskan kemudian membentuk gelembung di pembuluh darah atau jaringan. Gejala
penyakit dekompresi jarang terjadi pada ketinggian di bawah 5400 m dan memerlukan
waktu setelah tiba di ketinggian (umumnya setelah 4 jam). Bubble (gelembung) yang ada
di jaringan saraf atau pembuluh darah menyebabkan perubahan mikrosirkulasi pada end
arteri labirin sehingga terjadi stasis kapiler lokal, perubahan osmotik dan edema dinding
pembuluh darah. Gejala kokleovestibular yang muncul bersifat sementara atau permanen
berupa vertigo, tinnitus dan gangguan pendengaran sensorineural (Ernst et al, 2005).
Penyakit dekompresi akibat scuba diving atau paparan ketinggian paling efektif
ditangani dengan rekompresi segera (oksigen hiperbarik) di chamber compression.
Deteksi dini dan rekompresi segera sangat penting untuk pemulihan tanpa ada gejala sisa,
namun tetap bermanfaat juga bila dilakukan beberapa hari atau minggu setelah
barotrauma (Ernst et al, 2005).
29
Penggunaan heparin dapat direkomendasikan untuk trombosis sekunder. Gejala
vestibular akibat pembentukan gelembung dekompresi harus dibedakan secara klinis
dengan fistula barotrauma yang memerlukan timpanotomi diagnostik (Ernst et al, 2005).
Delayed Post Traumatic Peripheral Vertigo
Vertigo yang terjadi 3 minggu hingga 3 bulan pasca trauma, angka kejadiannya cukup
jarang. Yang termasuk dalam vertigo pasca trauma tipe lambat meliputi penyakit
Meniere dan vertigo servikogenik (Taneja, 2014).
Penyakit Meniere
Penyakit Meniere disebabkan oleh disfungsi regulasi homeostasis cairan endolimpatik
yang menyebabkan hidrop endolimfatik periodik. Penyakit Meniere dicurigai apabila
terjadi episode dizziness yang disertai dengan tinnitus, rasa penuh di telinga atau
perubahan pendengaran. Serangan biasanya berlangsung antara 20 menit hingga 4 jam.
Mekanisme yang terjadi diduga akibat adanya perdarahan di telinga bagian dalam.
Gejala awal penyakit Meniere pasca trauma dapat muncul segera hingga 1 tahun pasca
trauma (Brandt et al, 2005; Gordon et al, 2004).
Vertigo Cervicogenik
Vertigo cervicogenik terjadi akibat teregangnya reseptor para vertebra di daerah leher.
Secara fisiologis ada berbagai penyebab vertigo cervicogenik, yang paling penting
adalah akibat kompresi dari arteri vertebralis. Keluhan nyeri, trauma whiplash,
kecemasan dapat menyebabkan hiperlordosis pada cervical bawah dan kifosis pada
cervical atas sehingga terjadi aktivitas berlebih pada otot ekstensor dan berkurangnya
aktivitas otot fleksor leher. Trauma leher ringan, manipulasi leher, atau spondilosis
cervical spontan menyebabkan iskemia yang bersifat sementara akibat berkurangnya
flow dari arteri vertebralis (Taneja, 2014; Fife et al, 2013).
Vertigo cervicogenik dikaitkan dengan kekakuan leher dan terbatasnya gerakan akibat
adanya mediator inflamasi dari muscle spindle dan myofascial trigger point, sehingga
terjadi ketidaksesuaian antara input vestibular dan proprioseptif. Vertigo cervicogenik
ditandai oleh adanya ataksia, rasa goyang dan mengambang saat berjalan, dan bukan
sensasi vertigo rotasional atau linear. Perlu disingkirkan kelainan vestibular,
psikosomatis dan neurologis lainnya sebelum menegakkan diagnosis vertigo
cervicogenik (Taneja, 2014; Fife et al, 2013).
30
Vertigo Sentral Pasca Trauma
Vertigo vestibular tipe sentral pasca trauma disebabkan oleh cedera langsung atau
terjadi sekunder akibat iskemi karena diseksi traumatik dari arteri vertebralis. Diagnosis
dibuat berdasarkan adanya gejala klinis gangguan vestibular sentral, gejala okulomotor
dan disfungsi serebelum. Konkusio atau perdarahan di sepanjang jaras vestibular mulai
dari nukleus vestibular di medulla oblongata menuju ke nukleus okulomotor dan pusat
integrasi di mesensefalon ke vestibuloserebelum, talamus dan area korteks sensorik
pada korteks temporo-parietal dapat menimbulkan gejala vertigo sentral. Disfungsi
batang otak sering disertai gejala vertigo persisten yang berat dan biasanya disertai
dengan gejala-gejala batang otak. Diseksi arteri vertebralis akibat manipulasi leher, torsi
atau trauma minor menunjukkan gejala nyeri kepala, vertigo dan gejala disfungsi batang
otak (Taneja, 2014; Fife et al, 2013).
Vertigo Psikogenik Pasca Trauma
Dizziness dan disekuilibrium kronik pasca trauma yang muncul selama beberapa bulan
hingga tahun tanpa ada kelainan neurootologi dan neurooftalmologi kemungkinan besar
adalah vertigo psikogenik, terutama bila disertai dengan nyeri kepala kronis (tipe
tension atau cervicogenic) dan depresi. Bentuk vertigo psikosomatis yang paling sering
adalah vertigo fobia postural akibat gangguan somatis. Vertigo ini sering terjadi setelah
vertigo organik (Taneja, 2014; Fife et al, 2013).
Diagnosis
Perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat untuk
menegakkan diagnosis dan mengelompokkan vertigo pasca trauma, dilanjutkan dengan
pemeriksaan penunjang apabila diperlukan. Menegakkan jenis vertigo sangat
diperlukan agar dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat bagi pasien (Taneja,
2014).
Anamnesis mengenai mekanisme terjadinya cedera kepala atau leher seperti
adanya trauma (trauma tumpul atau penetrasi), luka ledakan atau patah tulang temporal.
Onset vertigo setelah terjadinya trauma sangat penting diketahui. Onset vertigo yang
cepat dan berhubungan dengan perubahan posisi kepala mengarah pada BPPV,
sementara penyakit Meniere pasca trauma bisa muncul hingga 1 tahun pasca trauma
dengan gejala vestibular yang menonjol.
31
Kadang ditemukan gejala yang mirip pada masing-masing kelompok
vertigo pasca trauma. Konkusio batang otak dan konkusio labirin sama-sama memiliki
gejala ketidakseimbangan konstan yang diperburuk dengan gelap, kelelahan dan
pergerakan, sehingga diperlukan tes lanjutan untuk membedakan kedua jenis konkusio
ini. Fistula perilimfatik menunjukkan gejala serupa dengan penyakit Meniere namun
berbeda dalam onset gejala vertigo. Fistula perilimfatik bermanifestasi dalam 24-72 jam
pasca trauma, sementara penyakit Meniere pasca trauma memiliki onset bulan-tahun.
Pasien dengan vertigo cervikogenik juga memiliki gejala tinitus, kehilangan
pendengaran dan nyeri leher (Benson, 2016).
Pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan status generalis, pemeriksaan
neurologik lengkap serta pemeriksaan neurootologi. Pemeriksaan neurootologi meliputi
pemeriksaan vestibular ocular reflex (VOR) bedside, tes Romberg, manuever Dix-
Hallpike, tes serebelar dan tes koordinasi. Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pada
beberapa kasus berupa pemeriksaan imaging seperti CT scan kepala atau MRI kepala
untuk mengevaluasi adanya fraktur tulang temporal. Pemeriksaan penunjang lainnya
meliputi electro-oculography (EOG), video-oculography (VOG), audiogram, tes kalori,
posturography, vestibular-evoked myogenic potentials (VEMP) dan brainstem auditory
evoked potential (BAEP) (Benson, 2016; Brandt et al, 2005).
Penatalaksanaan
Tujuan umum penatalaksanaan vertigo adalah untuk mengeliminasi gejala vertigo,
meningkatkan kompensasi sistem vestibular dan mengontrol gejala neurovegetatif atau
psikoafektif yang menyertai vertigo. Secara umum prinsip penatalaksanaan vertigo
terdiri dari terapi medikamentosa dan terapi rehabilitatif. Obat vestibular supresan dan
antiemetik berperan penting dalam terapi medikamentosa vertigo seperti antikolinergik,
antihistamin, benzodiaepin, antiemetik, calcium channel blocker dan agonis histamin.
Terapi rehabilitasi vestibular bertujuan untuk meningkatkan kompensasi organ
vestibular terhadap gangguan keseimbangan. Mekanisme kerja terapi ini adalah
adaptasi, kompensasi dan habituasi. Beberapa bentuk terapi rehabilitasi vestibular yang
dapat dilakukan antara lain latihan visual vestibular, manuver Epley dan metode Brandt-
Daroff (Perdossi, 2012; Brandt et al, 2005)
Prognosis
Vertigo pasca trauma dapat menurunkan produktivitas kerja, mengganggu aktivitas
32
sosial pasien dan menurunkan kemampuan untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Penatalaksanaannya berbeda-beda pada tiap pasien tergantung penyebab dan
manifestasi klinis yang muncul. Faktor psikologis dan budaya dapat mempengaruhi
gejala-gejala vestibular dan menghambat pemulihan fungsional pasien seperti adanya
faktor depresi, kecemasan dan ambang nyeri rendah dapat memperpanjang gejala-gejala
vertigo pasca trauma (Gordon et al, 2004).
MENIERE’S DISEASE
Meniere’s disease atau penyakit Meniere atau dikenali juga dengan hydrops
endolimfatik. Penyakit Meniere ditandai dengan episode berulang dari vertigo yang
berlangsung dari menit sampai hari, disertai dengan tinnitus dan tuli sensorineural yang
progresif.
Penyakit Meniere pertama kali dijelaskan oleh seorang ahli dari Perancis bernama
Prospere Meniere dalam sebuah artikel yang diterbitkannya pada tahun 1861. Definisi
penyakit Meniere adalah suatu penyakit pada telinga dalam yang bisa mempengaruhi
pendengaran dan keseimbangan. Penyakit ini ditandai dengan keluhan berulang berupa
vertigo, tinnitus, dan pendengaran yang berkurang ssecara progresif, biasanya pada satu
telinga. Penyakit ini disebabkan oleh peningkatan volume dan tekanan dari endolimfe
pada telinga dalam.
Endolimph atau cairan Scarpa adalah cairan yang berada di dalam labirin telinga
dalam. Kation utama yang berada di cairan ekstraselular ini adalah kalium. Ion yang
terdapat di dalam endolimfe lebih banyak dari perilimfe. Sedangkan perilimfe adalah
cairan ekstraseluler yang terletak di koklea, tepatnya pada bagian skala timpani dan
skala vestibuli. Komposisi ionik perimlife seperti pada plasma dan cairan serebrospinal.
Kation terbanyak adalah natrium. Perilimfe dan endolimfe memiliki komposisi ionik
yang unik yang sesuai untuk menjalankan fungsinya yaitu mengatur rangsangan
elektrokimiawi dari sel- sel rambut di indera pendengaran. Potensoal listrik dari
endolimfe ~80-90 mV lebih positif dari perilimfe.
Canalis semisirkularis (saluran setengah lingkaran), merupakan suatu struktur yang
terdiri dari 3 buah saluran setengah lingkaran yang tersusun menjadi satu kesatuan
dengan posisi yang berlainan, yaitu: canalis semisirkularis horizontal, canalis
semisirkularis vertikal superior, canalis semisirkularis vertikal posterior. Masing-
masing canalis semisirkularis berisi cairan endolympha dan pada salah satu ujungnya
yang membesar disebut ampula, berisi reseptor keseimbangan yang disebut cristac
ampularis. Masing-masing cristac terdiri dari sel-sel bercillia dan sel-sel penyangga
yang keseluruhannya ditutupi oleh suatu selaput yang disebut cupula. Karena
33
kelembamannya, maka endolymph yang terdapat di dalam canalis semisirkularis akan
bergerak ke arah yang berlawanan dengan arah putaran. Aliran endolymph akan
mendorong cupula melengkungkan cillia-cillia dari sel-sel rambut, dengan demikian
maka sel bercillia tersebut terangsang dan merubahnya menjadi impuls sensori yang
untuk selanjutnya ditransmisikan ke pusat keseimbangan di otak. Canalis semisirkularis
merupakan organ keseimbangan dinamis yaitu memberikan respons terhadap pemutaran
tubuh.
Etiologi
Penyebab pasti dari penyakit Meniere sampai sekarang belum diketahui secara pasti,
banyak ahli mempunyai pendapat yang berbeda. Sampai saat ini dianggap penyebab
dari penyakit ini disebabkan karena adanya gangguan dalam fisiologi sistem endolimfe
yang dikenal dengan hidrops endolimfe, yaitu suatu keadaan dimana jumlah cairan
endolimfe mendadak meningkat sehingga mengakibakan dilatasi dari skala media.
Tetapi, penyebab hidrops endolimfe sampai saat ini belum dapat dipastikan. Ada
beberapa anggapan mengenai penyebab terjadinya hidrops, antara lain :
1. Meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri
2. Berkurangnya tekanan osmotik di dalam kapiler
3. Meningkatnya tekanan osmotik ruang ekstrakapiler
4. Jalan keluar sakus endolimfatikus tersumbat, sehingga terjadi penimbunan
endolimfa
5. Infeksi telinga tengah
6. Infeksi traktus respiratorius bagian atas
7. Trauma kepala
8. Konsumsi kafein dan makanan yang mengandung garam tinggi
9. Konsumsi aspirin, alkohol, dan rokok yang berkepanjangan
10. Infeksi virus golongan herpesviridae
11. Herediter
Berikut akan dijelaskan mengenai penyebab yang dianggap dapat mencetuskan
penyakit Meniere:
1. Virus Herpes (HSV)
Herpes virus banyak ditemukan pada pasien Meniere. Pernah ada laporan bahwa 12 dari
16 pasien Meniere terdapat DNA virus herpes simpleks pada sakus endolimfatikusnya.
Selain itu pernah dilaporkan juga pada pasien Meniere yang diberi terapi antivirus
34
terdapat perbaikan. Tetapi anggapan ini belum dapat dibuktikan seluruhnya karena
masih perlu penelitian yang lebih lanjut.
2. Herediter
Pada penelitian didapatkan 1 dari 3 orang pasien mempunyai orang tua yang menderita
penyakit Meniere juga. Predisposisi herediter dianggap mempunyai hubungan dengan
kelainan anatomis saluran endolimfatikus atau kelainan dalam sistem imunnya.
3. Alergi
Pada pasien Meniere didapatkan bahwa 30% diantaranya mempunyai alergi terhadap
makanan. Hubungan antara alergi dengan panyakit Meniere adalah sebagai berikut :
• Sakus endolimfatikus mungkin menjadi organ target dari mediator yang
dilepaskan pada saat tubuh mengadakan reaksi terhadap makanan tertentu.
• Kompleks antigen-antibodi mungkin menggangu dari kemampuan filtrasi
dari sakus endolimfatikus
• Ada hubungan antara alergi dan infeksi virus yang menyebabkan hidrops
dari sakus endolimfatikus
4. Trauma kepala
Jaringan parut akibat trauma pada telinga dalam dianggap dapat menggangu aliran
hidrodinamik dari endolimfatikus. Anggapan ini diperkuat dengan adanya pasien
Meniere yang mempunyai riwayat fraktur tulang temporal.
5. Autoimun
Ada pula anggapan dari ahli yang menyatakan bahwa hidrops endolimfe bukan
merupakan penyebab dari penyakit Meniere. Ini dikatakan oleh Honrubia pada tahun
1999 dan Rauch pada tahun 2001 bahwa pada penelitian otopsi ditemukan hidrops
endolimfe pada 6% dari orang yang tidak menderita penyakit Meniere. Penelitian yang
banyak dilakukan sekarang difokuskan pada fungsi imunologik pada sakus
endolimfatikus. Beberapa ahli berpendapat penyakit Meniere diakibatkan oleh
gangguan autoimun. Brenner yang melakukan penelitian pada tahun 2004 mengatakan
bahwa pada sekitar
25 % penderita penyakit Meniere didapatkan juga penyakit autoimun terhadap tiroid.
Selain itu Ruckenstein pada tahun 2002 juga mendapatkan pada sekitar 40 % pasien
penderita penyakit Meniere didapatkan hasil yang positif pada pemeriksaan autoimun
darah seperti Rheumatoid factor, Antibodi antiphospholipid dan Anti Sjoegren.
Manifestasi Klinis
Sifat yang khas pada penyakit Meniere adalah terdapatnya periode aktif/serangan yang
35
bervariasi lamanya yang diselingi dengan periode remisi yang lebih panjang dan juga
bervariasi lamanya. Pola serangan dan remisi pada individu tidak dapat diramalkan,
walaupun gejala berkurang setelah beberapa tahun. Pada saat serangan biasanya terdapat
trias Meniere yaitu vertigo, tinitus, dan gangguan pendengaran. Biasanya terdapat adanya
suatu periode rasa penuh atau tertekan pada telinga yang dirasakan penderita selama
berjam-jam, berhari- hari, atau berminggu-minggu. Namun sensasi ini terlupakan karena
adanya serangan vertigo yang hebat yang timbul tiba-tiba disertai mual dan muntah.
Terdapat adanya kurang pendengaran yang hampir tidak dirasakan pada telinga yang
bersangkutan karena genuruh tinitus yang timbul bersamaan dengan vertigo. Episode
awal biasanya berlangsung selama 2-4 jam, setelah itu vertigo mereda, meskipun pusing
(dizziness) pada gerakan kepala menetap selama beberapa jam. Pendengaran membaik
dan titnitus berkurang, tetapi tidak menghilang dengan redanya vertigo.
Kemudian ada periode bebas vertigo. Selama periode ini penderita mungkin hanya
merasakan tinitus yang bergemuruh. Gejala-gejala ini kemudian diselingi oleh episode
vertigo spontan lain yang mirip dengan yang pertama dengan derajat yang lebih ringan.
Frekuensi serangan ini bervariasi, tetapi biasanya timbul sebanyak satu atau dua kali
dalam seminggu, atau sekurang- kurangnya satu kali dalam satu bulan. Pada kasus-kasus
berat dapat timbul serangan setiap hari. Biasanya setelah periode tersebut, yang dapat
berlangsung beberapa minggu, terjadi remisi spontan atau akibat pengobatan, yang pada
waktu itu gejala hilang sama sekali, kecuali gangguan pada pendengaran pada telinga
yang bersangkutan. Namun fase remisi tersebut ternyata tidak permanen, dapat terjadi
pengulangan fase akut seperti sebelumnya yang timbul dalam beberapa bulan. Sementara
pola aktif dan remisi berjalan, gejala pada periode akut melemah oleh karena hilangnya
secra bertahap kemampuan organ akhir dalam memberikan respon akibat degenerasi
elemen-elemen sensorik.
Variasi dalam simtomatologi telah di uraikan dan kadang-kadang dapat ditemukan.
Sindrom Lermoyes merupakan satu contoh dimana gangguan pendengaran terjadi
berbulan-bulan atau bertahun-tahun sebelum timbulnya serangan vertigo pertama.
Ada 3 tingkat derajat keparahan penyakit Meniere :
1. Derajat I, gejala awal berupa vertigo yang disertai mual dan muntah. Gangguan vagal
seperti pucat dan berkeringat dapat terjadi. Sebelum gejala vertigo menyerang, pasien
dapat merasakan sensasi di telinga yang berlangsung selama 20 menit hingga beberapa
jam. Diantara serangan, pasien sama sekali normal.
2. Derajat II, gangguan pendengaran semakin menjadi-jadi dan berfluktuasi. Muncul
gejala tuli sensorineural terhadap frekuensi rendah.
36
3. Derajat III, gangguan pendengaran tidak lagi berfluktuasi namun progresif
memburuk. Kali ini mengenai kedua telinga sehingga pasien seolah mengalami tuli total.
Vertigo mulai berkurang atau menghilang.
Patofisiologi
Pada pemeriksaan histopatologi tulang temporal didapatkan pelebaran dan perubahan
pada morfologi pada membran Reissner. Terdapat penonjolan ke dalam skala vestibuli,
terutama di daerah apeks koklea (helikotrema). Sakulus juga mengalami pelebaran yang
dapat menekan utrikulus. Pada awalnya pelebaran skala media dimulai dari apeks koklea,
kemudian dapat meluas mengenai bagian tengah dan basal koklea.
Secara patologis, penyakit Meniere disebabkan oleh pembengkakan pada kompartemen
endolimfatik, bila proses ini berlanjut dapat terjadi ruptur membran Reissner sehingga
endolimfe bercampur dengan perilimfe. Hal ini meyebabkan gangguan pendengaran
sementara yang kembali pulih setelah membrana kembali menutup dan cairan endolimfe
dan perilimfe kembali normal. Hal ini yang menyebabkan terjadinya ketulian yang dapat
sembuh bila tidak terjadinya serangan.
Terjadinya Low tone Hearing Loss pada gejala awal yang reversibel disebabkan oleh
distorsi yang besar pada daerah yang luas dari membrana basiler pada saat duktus koklear
membesar ke arah skala vestibuli dan skala timpani.
Mekanisme terjadinya serangan yang tiba-tiba dari vertigo kemungkinan disebabkan
terjadinya penonjolan-penonjolan keluar dari labirin membranasea pada kanal ampula.
Penonjolan kanal ampula secara mekanis akan memberikan gangguan terhadap krista.
Tinitus dan perasaan penuh di dalam telinga pada saat serangan mungkin disebabkan
tingginya tekanan endolimfatikus.
Penatalaksanaan Terapi
a. Terapi Medis Profilaksis
Terapi medis diarahkan untuk mengatasi proses penyakit yang mendasarinya atau
mengontrol serangan vertigo selama eksaserbasi penyakit.
- Vasodilator
Vasidilator yang sering digunakan adalah Betahistin HCl 8 mg 3 kali sehari, jika
tidak terdapat ulkus peptikum. Alternatif lain adalah asam nikotinat, histamine dan
siklandelat. Vasodilator digunakan akibat gangguan pada endolimfe oleh kelainan
vaskuler.
- Antikolinergik
Probantin telah digunakan sebagai terapi meniere karena teori bahwa hidrops
37
endolimfatik disebabkan oleh disfungsi susunan saraf autonom di telinga dalam.
- Penggunaan Hormon Tiroid
Penggunan hormone tiroid didasrkan atas teori bahwa hipotiroidisme ringan
adalah termasuk penyebab hidrops endolimfatik.
- Pemberian Vitamin
Pemberian vitamin berdasarkan atas teori bahwa penyakit meniere akibat
defisiensi vitamin. Vitamin yang biasa diberikan adalah vitamin B kompleks, asam
askorbat dan senyawa sitrus bio-flavonoid (Lipoflavonoid).
TATALAKSANA KASUS
1. Ranitidin
Ranitidin merupakan antagonis reseptor H2 (AH2) yang bekerja menghambat
sekresi asam lambung. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam
lambung, dengan pemberian ranitidin maka reseptor tersebut akan dihambat secara
selektif dan reversible sehingga sekresi asam lambung dihambat. Ranitidin diberikan
sebagai gastroprotektor dan mencegah efek samping dan interaksi obat lain.
2. Mecobalamin
Mecobalamin adalah salah satu bentuk kimia dari vitamin B12 (cobalamin), yaitu
vitamin larut air yang memegang peranan penting dalam pembentukan darah serta
menjaga fungsi sistem saraf dan otak.
3. Betahistin
Bekerja dengan dua mekanisme. Pertama, obat ini merangsang reseptor histamin
H1 yang terletak pada pembuluh darah di telinga bagian dalam. Rangsangan ini
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas sehingga
bisa mengurangi tekanan endolimfatik. Kedua, sebagai antagonis reseptor histamin
H3 yang sangat kuat, obat ini meningkatkan kadar neurotransmiter histamin,
asetilkolin, norepinefrin, serotonin, dan GABA yang dilepaskan dari ujung saraf.
Peningkatan kadar histmain dapat menyebabkan efek vasodilatasi di telinga bagian
dalam.
4. Clobazam
Merupakan golongan benzodiazepine yang bekerja berdasarkan potensial
inhibisi neuron dengan asam gama-aminobutirat (GABA) sebagai mediator.
Clobazam memiliki efek antikonvulsi, ansiolitik, sedative, dan relaksasi otot.
Pemberian obat ini diindikasikan untuk mengatasi asietas da psikoneuroti yang
disertai ansietas.
38
PROGNOSIS
Death : Dubia ad bonam
Disease : Dubia ad bonam
Dissability : Dubia ad bonam
Discomfort : Dubia
Dissatisfaction : Dubia
Distutition : Dubia ad bonam
39
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
1/2/2021 Pusing berputar
(+)
Saat menggerakan
kepala dan melihat
cahaya,
durasi ± 1 menit,
hilang
timbul.
Mual (+)
Muntah (-)
Ku/Kes : sedang /
CM
TD : 113/72
N : 88x
RR: 20x
SpO2 : 99%
Suhu : 36.7 C
Nystagmus +/+
Tinnitus (+)
Vertigo
mixed
type dd/
otogenik dd/
servikogenik
Infus RL 20 Tpm
Injeksi Ranitidin 2x1 amp
Injeksi Mecobalamin 1x1
amp PO Betahistin 3x1 tab
P/ Rontgen cervical AP-lat-obl
2/2/2021 Pusing berputar
(+)
Saat menggerakan
kepala dan melihat
cahaya,
Mual (+)
Muntah (-)
Ku/Kes : sedang /
CM
TD : 119/89
N : 82x
RR: 20x
SpO2 : 99%
Suhu : 36 C
Nystagmus +/+
Tinnitus (+)
Webber
memendek
Schwabach
lateralisasi ke kiri
Vertigo
Otogenik;
Post
Traumatic
Meniere’s
disease
Infus RL 20 Tpm
Injeksi Ranitidin 2x1 amp
Injeksi Ceftriakson 2x1
Injeksi Ketorolac extra
PO Betahistin 3x2 tab
PO Clobazam 2x5 mg
PO Paracematol 2x650
mg
PO Sucralfat syr 3x10 ml
Rontgen cervical (-)
3/2/ 2021 Pusing berputar
mulai berkurang
saat pasien
menggerakan
kepala dan melihat
cahaya,
Mual (+)
Muntah (-)
Ku/Kes : sedang /
CM
TD : 120/80
N : 88x
RR: 20x
Suhu : 36.5 C
Nystagmus +/+
Tinnitus (+)
Vertigo
Otogenik;
Post
Traumatic
Meniere’s
disease
Infus RL 20 Tpm
Injeksi Ranitidin 2x1 amp
Injeksi Ceftriakson 2x1
PO Betahistin 3x2 tab
PO Clobazam 2x5 mg
PO Paracematol 2x650 mg
PO Sucralfat syr 3x10 ml
4/2/2020 Pusing berputar
(+) berkurang saat
menggerakan
kepala dan
melihat cahaya.
Mual (+)
Muntah (-)
Ku/Kes : sedang /
CM
TD : 120/80
N : 88x
RR: 20x
Suhu : 36.8 C
Nystagmus +/+
Tinnitus (+)
Vertigo
Otogenik;
Post
Traumatic
Meniere’s
disease
Infus RL 20 Tpm
Injeksi Ranitidin 2x1 amp
Injeksi Ceftriakson 2x1
PO Betahistin 3x2 tab
PO Clobazam 2x5 mg
PO Paracematol 2x650 mg
PO Sucralfat syr 3x10 ml
40
5/2/2020 Pusing berputar
sudah
membaik,
Mual (-)
Muntah (-)
Ku/Kes : sedang
/CM
TD : 120/8
N : 88x
RR: 20x
Suhu : 36.6
Nystagmus +/+
Tinnitus (+)
Vertigo
Otogenik;
Post
Traumatic
Meniere’s
disease
Infus RL 20 Tpm
Injeksi Ranitidin 2x1 amp
Injeksi Ceftriakson 2x1
PO Betahistin 3x2 tab
PO Clobazam 2x5 mg
PO Paracematol
2x650 mg
PO Sucralfat syr 3x10 ml
Rencana BLPL
41
DAFTAR PUSTAKA
Benson EB. Posttraumatic Vertigo Treatment and Management. Otolaryngology and Facial
Plastic Surgery. Medscape. 2016.
Brandt T, Dieterich M, Strupp M. Traumatic form of vertigo. In: Vertigo and Dizziness:
common complaints. 2005. London. Springer.
Brandt T. Traumatic Vertigo. In: Vertigo Its Multisensory Syndromes. 2nd Edition. 2003.
London, Springer
Ernst A, Basta D, Seidl RO, Todt I, Scherer H, Clarke A. Management of posttraumatic
vertigo. Otolaryngol Head Neck Surg 2005;132:554‐8.
Fife TD, Giza C. Post traumatic vertigo and dizziness. Semin Neurol. 2013; 33: 238- 243.
Gordon CR, Levite R, Joffe V, Gadoth N. Is Posttraumatic Benign Paroxysmal Positional
Vertigo Different From the Idiopathic Form?. Archives of Neurology.
2004;61:1590-1593.
Harsono, 2000, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada university Press
Joesoef AA., 2003, Tinjauan Neurobiologi Molekuler dari Vertigo, Makalah Konas V
Perdossi, Bali
Keith, Marill, 2001, Central Vertigo, @NEUROLOGY\Neurotoksikologi dan Vertigo\
eMedicine – Central Vertigo.htm
Kelompok Studi Vertigo Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2012. Pedoman
Tata Laksana Vertigo.
Kolev OI, Sergeeva M. Vestibular disorders following different types of head and neck
trauma. Functional Neurology 2016; 31(2): 75-80.
Mardjono, 2008, Neurologi Klinis Dasar, Jakarta: Dian Rakyat
Perdossi, 2000, Vertigo Patofisiologi, Diagnosis dan Terapi, Jansen Pharmaceiuticals
Sherwood, Lauralee, 2012, Fisiologi Manusia, Jakarta: EGC
Soepardi EA, Inskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher, Edisi 6, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.
Sura, DJ, Newell, S, 2010, Vertigo - Diagnosis and management in primary care, BJMP
Taneja MK. Post-traumatic Vertigo. Indian J Otol. 2014; 20: 95-98.
Wilkinson, Lennox G, 2005, Essential Neurology, 4th edition, Massachusetts: Blackwell
Publishing
Wreaksoatmodjo, 2004, Vertigo: Aspek Neurologi, Bogor: Cermin Dunia Kedokteran No. 1
42
43
44
45
46
47
48
49
50