landasan pengembangan kurikulum

25
LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM Disadur dari buku “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan” yang ditulis oleh Dr. Tedjo Narsoyo Reksoatmodjo, ST., M.Pd. Disusun untuk Memenuhi Matakuliah Kurikulum Pendidikan Kejuruan Yang Dibimbing oleh Bp. Dr. Ir. H. Syaad Patmanthara, M.Pd. Disusun Oleh: Endah Parmadiyanti (120533430977) PTI Offering A

Upload: endah-parmadiyanti

Post on 11-Sep-2015

254 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

File ini merupakan lanjutan dari file yang sebelumnya saya unggah. Merupakan teks asli dari hasil ketik ulang dari Bab II “Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan” yang ditulis oleh Dr. Tedjo Narsoyo Reksoatmodjo, ST., M.Pd.Saya kerjakan pada semester 2 kuliah Pendidikan Teknik Informatika di Universitas Negeri Malang. Semoga bermanfaat.

TRANSCRIPT

LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUMDisadur dari buku Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan yang ditulis oleh Dr. Tedjo Narsoyo Reksoatmodjo, ST., M.Pd.Disusun untuk Memenuhi Matakuliah Kurikulum Pendidikan KejuruanYang Dibimbing olehBp. Dr. Ir. H. Syaad Patmanthara, M.Pd.

Disusun Oleh:Endah Parmadiyanti (120533430977)PTI Offering A

UNIVERSITAS NEGERI MALANGFAKULTAS TEKNIKJURUSAN TEKNIK ELEKTROPRODI PENDIDIKAN TEKNIK INFORMATIKA4 JANUARI 2013

BAB 2LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM2.1 PendahuluanLandasan pengembangan kurikulum sebagaimana telah dikemukakan dalam BAB 1 erat hubungannya dengan fungsi kurikulum dalam pendidikan, yakni sebagai sarana pencerahan dan kemajuan suatu bangsa. Pencerahan dan kemajuan suatu bangsa tidak semata-mata diukur dari sejauh mana suatu bangsa mampu memanfaatkan teknologi untuk kemakmuran dan kesejahteraan suatu bangsa, tetapi perlu pula dikaji sejauh mana upaya itu mampu membina akhlak serta budaya sehingga tidak terpengaruh oleh budaya modern yang cenderung materialistis. Oleh sebab itu, diperlukan pemikiran yang progresif, baik secara filsafati maupun psikologis agar sasaran pengembangan kurikulum termanifestasi dalam pribadi para peserta didik dalam bentuk perilaku yang terpuji dan kemampuan yang setara dengan tuntutan dunia kerja dan masyarakat.2.2 Falsafat PendidikanDalam paragaraf 1.7 BAB 1 telah dikemukakan bahwa, filsafat pendidikan merupakan aktivitas berfikir tingkat tinggi (higher- order activity) dalam pencarian teori dan praktik pendidikan. Permasalahan yang dihadapi oleh dunia pendidikan bukan masalah yang berkaitan dengan ketidakjelasan konseptual (conceptual confusion), melainkan pada masalah-masalah nyata dalam praktik pendidikan terutama yang berkaitan dengan kurikulum dan implementasi kurikulum.Masalah pokok yang terpenting sebagai landasan berpikir secara filsafati tentang pendidikan adalah perumusan asumsi tentang hasil akhir suatu pendidikan yakni tujuan pendidikan (aim). Hal ini adalah suatu komitmen yang berkaitan dengan nilai dan prasyarat logis untuk mengarahkan semua pemikiran pada hasil terbaik yang dapat dicapai. Kesepakatan nasional menetapkan Tujuan Pendidikan Nasional (Tupenas) adalah ...berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.(UU-RI No. 20 Tahun 2003 pasal 3). Adalah menjadi tugas filosof pendidikan (Indonesia) untuk menjabarkan lebih lanjut makana tunggal ari kata-kata berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan sebagainya, sehingga dapat digunakan sebagai pedoman perumusan Tujuan Institusional (curriculum goals) dari lembaga-lembaga pendidikan. Tujuan Institusional yang jelas akan menentukan kejelasan perumusan Tujuan Instruksional (curriculum objectives).Hal yang sama dapat pula dipertanyakan tentang rumusan fungsi Pendidikan Nasional yang dirumuskan ...mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Apakah rumusan ini cukup jelas untuk digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan ? Apakah tidakperlu adanya penjelasan lebih lanjut dengan kata-kata : membentuk watak, peradaban bangsa yang bermartabat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa?Sangatlah bijak jika pimpinan suatu lembaga pendidikan berupaya menjabarkan makana kata-kata kunci yang tercantum dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional itu (UU-RI No. 20 Tahun 2003, pasal 3) berdasarkan definisi-definisi menurut psikologi umum, psikologi pendidikan dan psikologi sosial. Jabaran berdasarkan definisi-definisi yang lazim berlaku di kalangan pendidikan itu sangat besar manfaatnya bagi jajaran pengelola pendidikan (manajemen dan tenaga kependidikan). Dalam membahas pencapaian tujuan pendidikan, secara filosofis perlu pula dipertanyakan : materi apa yang diajarkan, bagaimana mengajarkannya, dan bagaimana cara menentukan bahwa tujuan pendidikan telah tercapai ? hal ini berkaitan dengan rasional R.W Tyler tentang kurikulum. Berbicara tentang tujuan pendidikan, yang dalam hal ini adalah tujuan institusional, T.W Moore mengemukakan: ...to talk of purposes is always to refer to some external end to which the activity is directed,...(Moore, 1982: 28). Sasaran eksternal (externala end) yang dimaksudkan adalah, bidang pekerjaan apa atau profesi apa yang telah digeluti olah lulusan. Hal itu berarti pula bahwa, penyelenggara perlu pula memikirkan koherensi antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Dengan lain perkataan, relevansi antara hasil pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja ditijau dari aspek manfaat, baik bagi lulusan maupun masyarakat sejauh dapat dikaitkan dengan upaya meningkatkan martabat dan kehidupan bangsa. Dalam hubungan ini eksistensi pendidikan perlu disesuiakan dengan kondisi nyata kehidupan dan ekonomi masyarakat pada umumnya. Pemikiran filsafati (pendidikan) tidak semata-mata dikaitkan dengan aspek-aspek moral saja, tetapi perlu ditekankan pada aspek kebutuhan nyata. John Vaizey (1962: 89) mengemukakan : Education has become a major source of skill and trained talent. Indeed, from one point of view, this is educations critical economic role. Pandangan yang dikemukakan pada tahun 1962 ini dikemukakan setelah Amerika Serikat menyadari kekalahannya dalam menjelajahi ruang angkasa oleh Uni Sovyet. Dalam kurun waktu yang sama, Amerika Serikat juga tidak segan-segan mengembangkan Competency-Based Education and Traning (CBET) atau Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi (PPBK) bagi lembaga pendidikan guru dengan referensi Dual System of Education atau Pendidikan Sistem Ganda dari Republik Federasi Jerman (Harris dkk, 1995: 40; Finlay dkk., 1998; Tanner & Tanner, 1980:571).Tinjauan berdasarkan perkembangan ekonomi suatu negara, diperlukan suatu spektrum keterampilan karyawan dengan selang dari karyawan dengan keterampilan manual sampai dengan tingkat saintis terlatih dengan kesanggupan analitik dan pemecahan masalah berdasarkan pemikiran yang kritis. Berdasarkan kajian kebijakan pendidikan dari negara-negara maju diketahui bahwa, makin maju perekomonian suatu negara, makin tinggi kebutuhan atas tenaga kerja terlatih dengan keterampilan tingkat tinggi dan kompleks. Bagi negara-negara sedang berkembang dengan tingkat pendidikan yang masih dibawah rata-rata, masalah ini memerlukan rancangan sistem pendidikan dan kurikulum yang dipikirkan secara mendasar (grounded) sehingga tidak mengabaikan hasil yang telah dicapai berdasarkan kebijakan sebelumnya. Heterogenitas pendidikan perlu pula mendapat perhatian agar keterlambatan di suatu daerah tidak menghambat kemajuan yang telah dicapai daerah lain. Tinjauan berdasarkan aspek perekomonian tidak serta-merta memberikan kebebasan kepada lembaga-lembaga pendidikan (terutama yang diselenggarakan oleh pemerintah) untuk melupakan aspek sosial pendidikan seperti tertuang dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 pasal 31 dan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 4, 5 dan khususnya pasal 6 tentang wajib belajar hendaknya dilaksanakan secara tuntas tanpa adanya putus sekolah atau drop-out.2.3 Psikologi PendidikanCrow dan Crow (1956:7) mendefinisikan psikologi ...as the study of human behavior and human interrelationship. dDalam definisi ini perilaku (behavior) bukan hanya yang teramati, melainkan mencakup reaksi seseorang, karena hal itu merupakan resultan dari motivasi internal atau stimuli dari lingkungan.Definisi psikologi menurut Crow dan Crow tampak sederhana, namun kajian psikologi adalah jauh dari sederhana. Psikologi mengkaji setiap perkembangan manusia, perilaku dan interrelasinya. Tetapi diakui pula bahwa, sulit untuk mendapatkan pemahaman dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia dalam satu bentuk kajian. Oleh sebab itu, diantara para psikolog didapat kesepakatan untuk mengklasifikasi kajian psikologi ke dalam berbagai bidang kajian dengan label : fisio-psikologi, psikologi abnormal, psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi klinik dan lain-lain. Jika filsafat pendidikan mengangkat masalah-masalah pendidikan sebagai materi pemikiran, maka psikologi pendidikan mencoba memberikan kontribusinya ke dalam pendidikan dengan karakteristik subjek pendidikan dari berbagai aspek psikologi, misalnya psikologi perkembangan. Crow dan Crow (1956: 12) mendefinisikan ...educational psichology is the science of psichology concerned with the learning experience of an individual troughout his life. Psikologi pendidikan merupakan cabang ilmu psikologi yang mengkaji pengalaman belajar sepanjang hayat. Psikologi pendidikan mencoba menyelaraskan perkembangan manusia (fisik dan mental) sejak lahir dengan proses belajar dan pembelajaran, baik yang terlahir normal maupun abnormal. Definisi ini juga mengungkapkan pendidikan sebagai suatu proses dalam arti akumulasi pengalaman yang berkesinambungan yang digunakan peserta didik untuk mengemabangkan potensi bawaannya (innate potentialities). Pendidikan sebagai suatu produk menggambarkan hasil pengembangan keterampilan, pengetahuan dan sikap.Nana S. Sukmadinata (1988:50) mengemukakan, bahwa :Perkembangan atau kemajuan pada anak sebagian besar terjadi karena anak belajar, baik melalui proses peniruan (imitasi), pengingatan, latihan, pembiasaan, pemahaman penerapan maupun pemecahan masalah. Pendidik atau guru melakukan berbagai upaya dan menciptakan berbagai media agar anak belajar. Cara belajar mana yang menghasilkan hasil yang optimal dan bagaimana proses pelaksanaannya membutuhkan studi yang sistematik dan mendalam. Studi yang demikian merupakan kajian Psikologi Belajar.Dari uraian diatas diketahui bahwa, cabang psikologi yang erat hubungannya dengan psikologi pendidikan adalah psikologi perkembangan dan psikologi belajar yang dibahas secara singkat berikut ini :a. Psikologi PerkembanganPerkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Ini berarti perkembangan dapat terjadi secara kuantitatif (pertambahan berat dan tinggi badan, dll) dan kualitatif yang berkaitan dengan perkembangan kemampuan mental, S.B Hurlock (1980:5-9) mengungkapkan adanya 10 fakta-fakta perkembangan manusia yang harus dipahami agar dapat memanfaatkan kaidah-kaidah perkembangan manusia dalam pendidikan. Pertama adalah sikap kritis. Sikap, kebiasaan, dan pola perilaku yang terbentuk selama tahun-tahun pertama sangat menentukan sejauh mana individu-individu berhasil menyesuaikan diri dengan kehidupan sejalan dengan pertambahan umur. Aspek-aspek seperti penampilan diri, perilaku, nilai-nilai budaya, perubahan peranan dan pengalaman individu perlu dikaji secara kritis dan dibandingkan dengan pola perubahan yang telah dikuasai sehingga diperoleh interpretasi yang benar.Kedua, peran kematangan dan belajar. Kematangan dan belajar memainkan peran penting dalam perkembangan. Kematangan (maturity) adalah terbukanya sifat-sifat bawaan individu. Perkembangan fungsi filogenetik seperti tengkurap, berbaring, marangkak, duduk, berdiri, dan berjalan berkembang karena kematangan. Belajar adalah perkembangan fungsi ontogenetik yang berasal dari latihan dan usaha individu, misalnya memanah, menulis, membaca, menyanyi yang memerlukan latihan untuk menguasainya. Jadi belajar dan latihan merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan perkembangan manusia; dan latihan dapat meningkatkan kemampuan belajar.Ketiga, pola perkembangan. Perkembangan fisik dan motorik manusia mangikuti pola dan arah tertentu. Terdapat dua hukum yang diturunkan dari biologi yakni, hukum cephalocaudal yang menyatakan bahwa, perkembangan menyebar ke seluruh tubuh dari kepala ke kaki; dan hukum proximodistal yang menerangkan bahwa, perkembangan menyebar keluar dari suatu titik pusat tubuh ke semua anggota badan. Keempat perbedaan individu. Walaupun perkembangan fisik mempunyai perkembangan yang sama, namun secara biologis dan genetik manusia berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan individu ini makin kompleks sejalan dengan pertambahan umur, pengalaman dan pengaruh lingkungan. Sejak ahir sampai meninggal dunia, manusia berkembang melalui tahap-tahap tertentu. Setiap tahapan memiliki karateristik yang berbeda. Karena tidak ada dua individu yang memiliki sifat-sifat bawaan serta pengalaman yang sama, maka tidaklah mudah memprediksi timbulnya respon yang sama terhadap suatu masalah yang sama.Kelima, tahapan perkembangan. Manusia berkembang melalui tahap-tahap tertentu. Pada setiap tahapan itu terdapat pola perilaku yang tipikal. Perkembangan dari tahapan satu ke tahapan berikutnya ditandai oleh periode equilibrium dan disequilibrium. Individu yang cepat menyesuaikan dengan lingkungan sosial yang baru akan berada dalam posisi seimbang. (equilibrium) dan karenanya mudah melakukan penyesuaian pribadi dan sosial yang baik. Sebaliknya, individu yang mengalami kesulitan penyesuaian dengan lingkungan sosial karena adanya perbedaan prinsip atau pandangan, maka individu itu berada dalam ketidakseimbangan (disequilibrium). Individu tipe trakhir ini akan sulit melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya, terutama jika menghadapi masalah-masalah yang tidak bersesuaian dengan kepribadiannya.Keenam, setiap tahap perkembangan memiliki resiko. Dalam rentang kehidupannya, manusia akan berhadapan dengan kenyataan yang memberi dampak positif atau negatif bagi perkembangnnya. Dampak positif akan mendukung keberhasilan, sebaliknya dampak negatif akan menampilkan resiko (psikis atau fisik) yang memerlukan pertimbangan yang perlu dikaji secara khusus agar dapat memilih perlakuan (treatment) yang efektif untuk membawa peserta didik mengatasi resiko tersebut.Ketujuh, rangsangan. Kelainan-kelainan yang dialami seorang individu, baik sejak lahir maupun dalam perjalanan hidupnya dapat mengakibatkan berkurangnya fungsi fisik maupun mental. Untuk mengaktifkan funsi fisik dan/atau mental itu diperlukan rangsangan (stimulus) dari luar. Kedelapan, pengaruh budaya. Perkembangan manusia sebagai individu atau makhluk sosial akan dipengaruhi oleh perubahan budaya termasuk teknologi. Terdapat tarik menarik antara upaya melestarikan budaya yang dianut masyarakat dengan proses asimilasi dengan budaya baru karena pengaruh teknologi.Kesembilan, harapan sosial pada setiap perkembangan. Setiap individu sebagai anggota masyarakatnya mengemban harapan-harapan sosial, baik oleh keluarga maupun oleh masyarakat. Di berbagai daerah (termasuk di Indonesia), pemberian nama kepada bayi yang baru lahir mencerminkan tentang harapan dari orang tua tentang perannya dalam masyarakat kelak jika telah dewasa. Karena harapan itu selalu dikaitkan dengan peran dalam masyarakat, maka dalam perkembangannya seorang individu diharapkan bisa memenuhi tugas-tugas perkembangan seperti dirumuskan oleh Robert J. Havighurst (1961). Kesepuluh, keyakinan tradisional. Perkembangan manusia juga dipengaruhi oleh keyakinan tradisional berupa kepercayaan dan agama yang dianut turun temurun dan erat hubungannya dengan kebudayaan. Dari kesepuluh fakta yang harus diperhatikan oleh mereka yang ingin mendalami psikologi, fakta kesembilanlah yang paling banyak dipakai sebagai acuan dalam psikologi pendidikan. R.J. Havighurst (1961) membagi perkembangan manusia dalam enam tahapan, yakni : masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, awal masa tua, masa tua atau usia lanjut. Menurut Havighurst pada setiap tahapan perkembangan itu manusia mengalami sejumlah masalah yang harus diatasi. Upaya mengatasi masalah-masalah itu oleh Havighurst disebut sebagai tugas-tugas perkembangan (development tasks) seperti tertera dalam lampiran 1. Sementara J. Pikunas (1976) merangkum pokok-pokok perkembangan yang akan dibahas secara singkat dalam bab ini dibatasi pada masa kanak-kanak (masa sekolah) sampai usia lanjut.

1) Masa Kanak-kanakPeriode masa kanak-kanak berlangsung sejak anak berusia dua tahun sampai sembilan atau sepuluh tahun untuk putri, dan sampai 10 atau 12 tahun untuk putra. Pada kira-kira umur dua setengah tahun, laju perkembangan fisik anak mulai berkurang (decelerates) dan mulai mengembangkan keterampilan sensorimotor dalam berbagai bentuk permainan atau keterampilan. Penyediaan sarana bermain seperti balok-balok susun atau papan-papan rangkai, selain meningkatkan keterampilan juga melatih ingatan tentang cara menyusun atau merangkai yang cepat dan benar.Pada umur empat tahun anak mulai mengekspresikan apa yang dilihat dengan menggambarkan pada kertas dengan pensil berwarna. Latihan menarik garis, membuat bentuk-bentuk segitiga, segi empat, lingkaran, latihan mewarnai gambar dapat mengembangkan kemampuan imajinasi anak. Juga mulai dapat mengeja dan mengingat huruf dan angka, latihan menulis dan membaca. Kegiatan-kegiatan tersebut hendaknya dijadikan sebagai bagian dari aktifitas bermain. Bagi anak, bermain adalah aktifitas utama. Tentang bermain, J. Pikunas (1976: 192) menegmukakan Play to think and to plan, through the medium of playing it out. Melalui bermain, anak-anak belajar bergaul dengan teman-teman sebaya dan yang lebih dewasa. Melalui bermain, anak meningkatkan kreatifitas dan imajinasinya. Menurut Piaget, bermain adalah proses asimilasi antara kenyataan dengan diri anak. Dalam bermain, anak mempresentasikan kenyataan dengan dua modus, yakni : adaptasi tentang apa yang telah diketahui dan merespons tentang apa yang dianggap baru baginya.Perkembangan emosi dan sikap pada awal masa kanak-kanak bersifat self-centered. Rasa takut dan kemarahan diungkapkan dalam bentuk tangisan dengan harapan untuk mendapat perhatian. Perangai itu dapat pula diartikan sebagai reaksi afektif. Kebutuhan cinta-kasih (need for affection) merupakan kebutuhan fundamental bagi manusia. Ainsworth (1973) dan Spitz (1951) mengemukakan ... maternal affection in terms of sensory stimulation, attention, and gentle care during the early years of life as paramount importance. Di sini peranan orang tua terutama ibu sangat penting dalam membentuk watak anak. Perkembangan bahasa sangat penting sebagi sarana untuk ekspresi diri dan komunikasi interpersonal. Laju perkembangan bahasa meningkat sejak anak berumur tiga tahun dan pada umur lima tahun telah mampu menegmukakan pendapat dengan tata bahasa yang cukup baik. Tentang perkembangan bahasa ini Chomsky (1972: 26-27) mengemukakan ...human language is based on specific type of mental organization rather than simply on a higher degree of int elligance, since even the normal use of language in acreative activity. Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa perkembangan bahasa dapat digunakan sebagai sarana memprediksi intelegensi anak. Perbendaharaan kata-kata bertambah sejalan dengan intensitas komunikasi antar anak dan orang tua dengan anggota keluarga lainnya. Pengenalan jenis-jenis warna dan nama-nama benda akan tertanam dalam ingatan anak jika diberitahukan dengan benda-benda yang dimaksud. J.Pikunas (1976:196) menegmukakan, kemajuan kemampuan berbicara dapat dikatagorikan kedalam tujuh tugas perkembangan yang saling berhubungan : (1) menyempurkan lafal dari pengucapan kata-kata; (2) memahami perkataan pihak lain (orang tua atau teman); (3) mengkombinasikan kata-kata dalam bentuk kalimat untuk mengekpresikan pemikiran dan perasaan; (4) mengekspresikan kebutuhan dan pengalaman; (5) meningkatkan keterampilan berbicara (conversation) untuk meyakinkan perolehan perhatian; (6) menjelaskan bagian-bagian yang dibicarakan dengan pihak lain; dan (7) membentuk perbendaharaan bahasa yang berkaitan dengan masalah-masalah nyata dan abstrak. Penelitian tentang perbendaharaan kata-kata anak ditunjukkan pada Gambar 2-01. Pada grafik (a), anak pada umur lima tahun telah memiliki perbendaharaan I.k.2000 kata. Pada grafik (b), siswa kelas 6 telah memiliki I.k.25000 kata, dan grafik (c), menunjukkan jumlah kata-kata yang digunakan dalam satuan komunikasi pada kelas 9 mencapai 1600 kata.Fantasi dan inteligensia. Perkembangan imajinasi anak meningkat secara tajam sejak masa prasekolah. Demikian juga keingin tahu yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan : apakah itu ? bagaimana ? dan mengapa ? menggambarkan keingintahuan intelektual (intellectual curiosity). Jawaban yang tidak bersesuaian dengan imajinasi atau fantasi anak akan menyebabkan anak-anak terus bertanya yang kadang-kadang menjengkelkan orang tua atau siapa pun yang diajak bicara. Oleh sebab itu, akan baik untuk anak jika orang tua atau kerabat yang lebih tua menjawab pertanyaan anak secara memadai (adequate) dan berdialog sebaik-baiknya. Menghadapi pertanyaan anak pada tahap perkembangan ini, J.Pikunas (1976:200) mengemukakan :The child begins to understand and appreciate the purposes various objects serve, what makes things work, and where they come from. It is good for the child if parents and other adults answer such questions adequately and in this way form correct concepts, attitudes, and expectations, because the child needs and accumulation of workable knowladge before beginning formal education.

Penelitian yang dilakukan oleh Bayley dan Schaffer (1964), serta Hurly (1965) mengungkapkan bahwa, ibu-ibu yang kurang sabar (hostile) menghadapi pertanyaan anaknya yang mempunyai intellegence quotient (IQ) tinggi pada masa kanak-kanak, namun pada umur 4 sampai 12 tahun IQ-nya turun. Bagi anak, belajar malaui tanya-jawab dapat menstimulasi perkembangan intelektual anak. Hal ini sangat perlu diperhatikan oleh para orang tua dan guru, bagi anak pada masa prasekolah (4-6 tahun) dan masa pendidikan dasar (SD, 6-12 tahun).Tugas perkembangan menurut R.J Havinghurst (1972) pada akhir masa kanak-kanak secara garis besaradalah sebagai berikut : (a) mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan umum; (b) membangun sikap yang sehat terhadap diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh; (c) belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya (d) mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita; (e) mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung; (f) menegmbangkan pengertian-pengertian yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari; (g) menegmbanhkan hati nurani, pengertian moral dan tata nilai; (h) mengembangkan kebebasan pribadi; (i) mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga-lembaga.

2) Masa RemajaMasa remaja berlangsung sejak anak berusia 11 atau 12 tahun sampai 18 tahun. Anak memasuki masa remaja melalui suatu masa pubertas pada umur 11 sampai 13 tahun. Masa pubertas adalah tahapan dalam kehidupan manusia dimana postur tubuh dewasa dan perangai kepribadian mulai terbentuk dan akan mencapai maksimum pada masa dewasa. J. Pikunas (1976:237) mengemukakan : Major pubertas changes elicit psychosexual maturity leading to major gains in masculinity or femininity. Preoccupation with self intensifies concurrently with these changes, and quetions about ones appearance, social status, and identity are often raised. Tugas-tugas perkembangan menurut Havinghurst adalah : (a) mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya pria ataupun wanita; (b) mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita; (c) menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif; (d) mengembangkan perilaku sosial yang bertanggung jawab; (e) mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya; (f) mempersiapkan karis ekonomi; (g) mempersiapkan perkawinan dan membentuk keluarga; (h) memperoleh perangkat nilai dan sistem etika sebagai dasar berperilaku dalam mengembangkan ideologi.

3) Masa DewasaMasa dewasa berlangsung sejak seseorang berusia 18 tahun sampai 40 tahun. Tugas-tugas perkembangan selama masa dewasa adalah : (a) mulai bekerja; (b) memilih pasangan untuk berumah tangga; (c) belajar hidup bersama tunangan; (d) mulai membina keluarga; (e) mengasuh anak; (f) meneglola rumah tangga; (g) mengambil tanggung jawab sebagai warga negara; (h) mencari kelompok yang mnyenangkan.

4) Masa TuaHavinghurst membagi masa tua ke dalam dua tahapan, yakni masa usia pertengahan (40-60 tahun) dan masa tua atau lanjut usia (60 tahun ke atas). Tugas-tugas perkembangan pada usia pertengahan adalah : (a) mancapai tanggung jawab sosial sebagai warga negara dewasa; (b) membantu anak-anak remaja belajar untuk menjadi dewasa yang bertanggung jawab; (c) mengembangkan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk mengisi waktu luang; (d) menghubungkan diri dengan pasangan hidup sebagai individu; (e) menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisiologi yang berlangsung dalam tahap ini; (f) mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karir pekerjaan; (g) menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin lanjut usia. Selanjutnya tugas-tugas perkembanganpada masa lanjut usia (65 tahun atau lebih) adalah : (a) menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan; (b) menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan keluarga; (c) menyesuaikan dengan kematian pasangan hidupnya; (d) membentuk hubungan dengan orang-orang seusianya; (e) mengatur kehidupan fisik yang memuaskan; (f) menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.Keberhasilan dalam tugas-tugas perkembangan pada tahap-tahap awal akan menentukan keberhasilan dalam tugas-tugas perkembangan tahap-tahap berikutnya. Peran orang tua dan guru atau pendidik selama masa kanak-kanak dan masa remaja sangat penting. Keberhasilan pada dua thapan ini akan mewarnai karakteristik perkembangan pada masa dewasa. J. Pikunas (1976:259) merangkum sasaran tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa dalam aspek-aspek : hubungan sosial dan kematangan emosional, pertumbuhan antarjenis kelamin, kematangan kognitif dan filsafat hidup seperti tertera pada Gambar 2-02.Developmental Goals of the Adolescent Period

From

Toward

Social and emotional maturation

Intolerance and striving for superiority Social awkwardness Slavish Imitation of peers Parental control Feeling of uncertainty about oneself and others Anger, temper tantrums, and hostility

Tolerance and feeling of adequacySocial poise and gracefulness Interdependence and self-esteem Self-control Feelings of self-acceptance and sociability Constructive and creative expressions of emotions; refinement of moods and sentiments

Growth in heterosexuality

Acute awareness of sexual changes Identification with members of the same sex Relationships with many possible mates

Genuine acceptance of male or female sex identity Interest in and association with peers of opposite sex Selection of mate for life

Desire for universal principles Need for explanation of facts and and final answers theories Acceptance of truth on the Demand for substantial evidence basis of authority before acceptance Many interests and concerns Few, stable, and genuine concerns Subjectives interpretation of Objective interpretation of situations situations and reality

Cognitive maturations

Desire for universal principles Acceptance of truth on the basis of authority Many interests and concerns Subjectives interpretation of situations Need for explanation of facts and and final answers theories Demand for substantial evidence before acceptance Few, stable, and genuine concernsObjective interpretation of situations and reality

Weltansschauung-philosophy of live

Behavior motivated by pleasure Indifference toward ideologies and and ethical principles Behavior dependent on reinforcement

Behavior based upon realistic and the like aspiration and conscienceInterest and ego-involvement in humanistic ideologies and ethics Behavior guided by moral responsibility and ideals

Source: Formulation draws extensively on the goals of the adolescent period presented by L. Cole with I. N. Hall in Psychology of Adolescence (6th ed.). New York: Holt, 1964, pp. 4-9

Gambar 2-02: Tabulasi sasaran perkembangan masa dewasa (dikutip dari J. Pikunas, 1976:259)

b. Psikologi BelajarPsikologi belajar merupakan suatu kajian bagaimana seseorang belajar, baik secara individu maupun kelompok. Belajar disefinisikan sebagai ...the change in a subjects behaviour or behaviour potential to a given situation brought about by the subjects repeated experiences in that situations, (Bower and Hilgard, 1986: 11). Sementara N.S. Sukmadinata (1988: 55) meringkas definisi ini menjadi : Belajar...sebagai perubahan perilaku yang terjadi melalui pengalaman. Berdasarkan definisi tersebut, N.S Syaodih mengemukakan bahwa, segala perubahan perilaku, baik yang berbentuk kognitif, afektif maupun psikomotor yang terjadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Masih banyak definisi-definisi tentang belajar yang dirumuskan berdasarkan teori belajar yang dianut. Sebagai contoh, R.M Gagne (1985:2) mendefinisikan: Learning is a change in human disposition or capability that persists over a period of time and not simplyascribabble to proces of growth. Belajar adalah perubahan kecakapan atau kemampuan manusia yang menetap dalam kurun waktu tertentu yang tidak secara sederhana dapat dihubungkan dengan proses pertumbuhan. Dari ketiga definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa, kemampuan atau kecakapan seseorang akan termanifestasi dalam pribadinya melalui pengalaman, sementara pengalaman terbentuk dari latihan-latihan yang berkesinambungan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor. Kemampuan, kecakapan, atau keterampilan dapat menurun atau hilang sama sekali jika lama tidak dipergunakan.Tiga macam psikologi belajar yang berkembang adalah psikologi daya (faculty psychology), psikologi asosiasi (assosiation psykology) dan psikologi keseluruhan (gestalt psychology). Psikologi daya diperkenalkan oleh C. Von Wolff (1734) dan dikembangkan oleh pengikut-pengikutnya sampai mencapai puncaknya pada pertengahan kedua dari abad ke-XIX. Teori ini mengemukakan bahwa, otak manusia terdiri atas sejumlah daya atau facilties yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu, antara lain fungsi intelektual atau penalaran, fungsi perasaan atau selera, dan fungsi kemauan atau keinginan (R. Zais, 1976:46/. Daya-daya (tak berwujud) itu dapat dikembangkan dan diperkuat melalui latihan seperti halnya melatih anggota-anggota badan sehingga menjadi suatu kebiasaan. Latihan mental secara teratur merupakan sarana terbaik untuk mencapai tujuan belajar.Psikologi asosiasi (assosiation psichology) yang mencakup structualism, functionalism dan behavioralism (Bower & Hilgard, 1981:299) menjadi dasar penegmbangan teori-teori: Thorndikes connectionism, Guthries contiguous conditioning, Hulls systematic behaviour theory, Skinners opperant conditioning, dan lain-lain.Psikologi gestalt yang diperkenalkan oleh Max Wertheimer (1912) mula-mula difokuskan pada proses mempersepsi dan pemecahan masalah. Teori ini mengungkapkan bahwa, perkembangan kognitif manusia hendaknya jangan dipandang sebagai perkembangan sejumlah daya-daya, melainkan sebagai suatu keseluruhan ...organisme yang dinamis yang senantiasa dalam keadaan berinteraksi dengan lingkungannya untuk mencapai tujuan-tujuannya (S. Nasution, 1982: 72). Teori belajar yang dikembangkan berdasarkan psikologi gestalt adalah Tolmans sign lerning dan information-processing.Teori-teori belajar yang umumnya dikembangkan dalam abad ke-XIX dan awal abad ke-XX itu kini masih tetap digunakan sebagai rujukan mengajar, baik secara murni atau telah dipadu. Sebagai contoh penerapan dalam pendidikan teknologi dan kejuruan terdapat perpaduan antara teori-teori belajar yang dikembangkan berdasarkan psikologi daya , psikologi asosiasi dan psikologi gestalt, dengan tujuan pada penguasaan ilmu-ilmu terapan yang selaras dengan tuntutan dunia kerja atau perindustrian.John D. Mcneil (1977: 99) merangkum kriteria untuk menilai materi pembelajaran pendidikan teknologi dan kejuruan sebagai berikut :1. The objectives for the activity or material are stated in behavioral terms includingthe type of behaviour, conditions, and level of expected performance.2. A tasks analysis-identification of components of a complex behaviour-has made an a relationship between the tasks and the final objectives has been specified.3. Lerning activities are directly related to the behaviour and content of the specified objectives.4. Evaluation procedures are comparable to these objectives :a. There is an immediate feedback regarding the adequacy of the learners response.b. There are criterion-referenced test that measure stated objectives.c. Attention is given to evaluating both process, by which the learner learns, and the product, or what the learner learns.5. The product or activity has been carefully field-tested. A technical manual might cite sources of available evidence to document claims about effectiveness and efficiency, including reports of unintended outcomes.

Belajar terprogram atau programmed lerning yang dikembangkan berdasarkan konsep B.F. Skinner dan Crowder, yang menempatkan komputer sebagai media belajar dewasa ini telah menjadi komponen dalam sistem pembelajaran. Paket-paket belajar yang disiapkan menurut model ADDIE (analyze, design, develop, implementation, avaluation) yang dikembangkan oleh German Malaysian Institute dan Engineering Effective Learning yang dikembangkan oleh Harold D. Stolovtch dan Erica J. Keeps, merupakan contoh-contoh metode e-learning yang disiapkan berdasarkan teori-teori belajar yang dibahas di atas, sekaligus memungkinkan belajar secara mandiri (reliance lerning).Penerapan Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi (PPBK) di Indonesia memerlukan inovasi pengembangan kurikulum dengan mengambil masukan lebih banyak dari dunia kerja dan perindustrian tentang standar kompetensi yang berlaku sebagai rujukan.

2.4 Masyarakat dan Budaya

S. Nasution (1982: 111) menegmukakan : Mendidik anak dengan baik hanya mungkin jika kita memahami masyarakat tempat mereka hidup. Oleh karena itu, setiap Pembina Kurikulum harus senantiasa mempelajari keadaan, perkembangan, kegiatan, dan aspirasi masyarakat. Sementara Mischa Titiev (1954: 329) mendefinisikan: ...a society...to consits of a group of individuals of both sexes, who reside in one locality, recognize the same administrative authority, speak a mutually intelligible language, practice a similiar way of life, and interact or coorperate for the attainment of common goals. Masyarakat merupakan sekelompok individu-individu pria dan wanita yang menempati suatu kawasan, mengenal dan mematuhi (italic ditambahkan) kewenangan administratif yang sama, saling berkomunikasi dengan bahasa yang baik, menerapkan pola hidup yang sama untuk mencapai sasaran bersama.Pendapat Nasution mengisyaratkan pentingnya melakukan penyesuaian kurikulum (secara berkala) dengan perkembangan atau tepatnya perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Perubahan dalam masyarakat terjadi karena adanya dinamika dalam kehidupan bermasyarakat seperti digambarkan dalam definisi menurut M. Titiev. Mereka berinteraksi dan berkomunikasi untuk menetapkan suatu sasaran bersama bagi masyarakatnya serta bekerja sama dibawah pimpinan otorita yang mereka pilih dengan mengacu pada peraturan-peraturan yang mereka tetapkan bersama. Pola perilaku kehidupan masyarakat sedemikian itu membentuk kebudayaan yang harus dilestarikan dan dikembangkan agar dapat menghadapi tantangan-tangtangan dalam kehidupan; pelestarian itu antara lain direalisasikan melaui pendidikan yang oleh I. Scheffler (1958) sebagaimana dikutip oleh N.S Sukmadinata (1988: 85) : ...melalui pendidikan manusia memperoleh peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban masa sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang. Proses pembudayaan tidak terjadi dalam vakum, tetapi dalam keadaan selalu berinteraksi dengan lingkungan budaya yang oleh Linton (1936) dapat dibagi dalam tiga kategori, yakni : (a) budaya universal, (b) budaya khusus, dan (c) budaya alternatif. Budaya universal mencakup nilai-nilai, kepercayaan dan kebiasaan yang dianut oleh orang-orang dewasa pada umumnya dari suatu suku bangsa, bangsa atau bangsa-bangsa di dunia yang mencakup kehidupan sehari-hari yang teramati, misalnya, cara berpakaian, makanan, kesenian, cara mendidik anak, agama yang dianut, kehidupan sosial, politik dan perekomonian. Budaya khusus mencakup unsur-unsur budaya yang berkembang hanya dalam kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, misalnya kelompok vocasional (kejuruan) yang memiliki ciri-ciri perilaku khusus. Termasuk dalam kelompok ini adalah golongan militer, karena tuntutan disiplin sangat mementingkan hubungan hierarki yang oleh masyarakat umum bisa dianggap aneh atau berlebihan. Budaya alternatif adalah kelompok-kelompok individu yang berperilaku bertentangan dengan norma-norma umum yang berlaku dalam masyarakat. Cara-cara mereka memenuhi kebutuhan atau menyelesaikan permasalahan justru menimbulkan permasalahan baru, kelompok-kelompok pemuda yang bangga dapat mengacau ketentraman masyarakat.Penerapan teknologi dalam kehidupan sehari-hari merupakan bagian dari perkembangan budaya. Iskandar Alisyahbana (1980: 7) mengartikan teknologi sebagai cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan akal. Sedangkan menurut Yuyun S. Sumantri (1985: 234), teknologi diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis, baik yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak. Kedua pendapat itu saling mendukung dan bila ditinjau dari aspek perubahan, kebudayaan suatu bangsa akan berkembang sebagai fungsi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang diciptakan oleh negara-negara maju ternyata telah mendatangkan permasalahan bagi masyarakat negara yang bersangkutan. Sebagai contoh Amerika Serikat, melalui deklarasi keenam dari The National Educational Goals yang berbunyi : Every school in America will be free of drugs and violence and will be offer a diciplined environment condusives to lerning. (America 2000, 1991: 3) dapat diketahui bahwa Amerika menghadapi masalah kenakalan remaja dan penggunaan obat-obat terlarang sebagai pelarian dari tekanan-tekanan yang ditimbulkan oleh IPTEK yang harus mereka pelajari, tetapi tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk menikmati hasilnya secara batiniah. Bagi Amerika Serikat, untuk dapat selalu berada di depan harus memerangi kelemahan itu secara mendasar, yakni melalui pendidikan. Sebaliknya, bagi bangsa Indonesia untuk mengejar ketinggalan dalam bidang IPTEK, disamping memiliki keunggulan juga memiliki kelemahan-kelemahan yang harus diperangi melalui pendidikan pula.Keunggulan bangsa Indonesia terletak pada ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; dibandingkan dengan masyarakat negara-negara maju, suasana kerohanian masyarakat Indonesia jauh lebih baik walaupun tidak luput dari gejala-gejala kenakalan remaja seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya.Di samping keunggulan di atas, terdapat pula kelemahan-kelemahan yang menurut Kuntjaraningrat (1990: 45) menjadi penghambat bagi pembangunan nasional. Kelemahan-kelemahan itu mamiliki lima ciri: (a) mentalita yang meremehkan mutu, (b) mentalita yang suka menerabas, (c) tidak percaya pada kemampuan sendiri, (d) tidak berdisiplin murni, dan (e) mentalita yang suka mengabaikan tanggung jawab.Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (TAP MPR No. II Tahun 1993) telah digariskan strategi pendidikan nasional yang intinya dalah pembentukan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, professional, bertanggung jawab dan produktif serta sehat jasmani dan rohani. Rumusan itu dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 direvisi menjadi :Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu melibatkan ketiga sentra pendidikan, yaitu lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah. Bagi institusi pendidikan berarti muatan kurikulum perlu diselaraskan dengan kebijakan pemerintah tersebut diatas.

2.5. Orientasi ke Masa DepanSebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan, kurikulum perlu dikembangkan berdasarkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan termanifestasi dalam pribadi-pribadi peserta didik, baik perilaku maupun sikap. Profil manusia yang diharapkan terbentuk melalui pendidikan dan interaksi dengan masyarakat adalah seperti dikemukakan dalam paragraf 2.4. selaras dengan tujuan-tujuan diatas, pertanyaan yang diajukan adalah, apakh kurikulum dengan perangkat kelengkapannya dalam pelaksanaannya mampu menghasilkan lulusan dengan profil tersebut ? Dari sekian banyak tujuan-tujuan itu, tujuan manakah yang perlu diprioritaskan ?Kuntjaraningrat (1990: 32-26) dalam rumusan yang berbeda tetapi memiliki kandungan makna yang sama mengemukakan, pendidikan hendaknya mampu menghasilkan manusia Indonesia yang : (a) berorientasi ke masa depan, (b) hemat, (c) memiliki hasrat bereksplorasi, (d) menghargai karya, (e) berusaha dengan kemampuan sendiri, (f) berdisiplin murni, dan (g) berani bertanggung jawab. Dari sekian banyak ciri-ciri yang diidam-idamkan itu, Yurmaini Mainuddin (1994: 4) memprioritaskan pembekalan sifat-sifat kreatif, berprakarsa dan mampu memecahkan masalah yang dihadapi oleh para lulusan. Ketiga ciri tersebut dijelaskan sebagai berikut. Kretifitas. Sebagai suatu proses, kreatifitas merupakan kegiatan mental yang bertahap. Dalam proses ini terjadi interaksi antara ketiga ranah kejiwaan yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam hubungan ini banyak pakar pendidikan sependapat bahwa, intuisi memainkan peranan penting dalam setiap lapangan empiris yang berkembang dalam diri seseorang. Semacam kebiasaan, intuisi memberikan semacam keyakinan bahwa , ada kombinasi-kombinasi yang tampak efektivitas prediktif sebelum sampai pada pengambilan keputusan. Intuisi sebagai salah satu daya kognitif memainkan peran penting dalam proses penemuan. Produk kreativitas tidak selalu asli dan baru. Setiap orang bisa menemukan sesuatu yang baru bagi dirinya. Konsep kepribadian menunjukkan bahwa, perilaku seperti tekun, keingintahuan yang besar, berkemauan keras, bereaksi positif dan bergairah terhadap sesuatu yang baru, asing atau ganjil, berupaya secara gigih untuk mewujudkan cita-cita merupakan dorongan kreativitas seseorang. Einstein (Mainuddin, 1994: 43) pernah mengemukakan bahwa, penemuan-penemuan kreativitasnya adalah hasil dari 10% inteligensia dan 90% kerja keras.Ennis (1982) dan juga Supriadi (1988) menguatkan pendapat itu melalui hasil penelitian mereka bahwa, orang-orang kreatif itu memiliki dorongan kuat, persistensi dan dedikasi yang sangat tinggi untuk mengekspresikan karya mereka dalam bidang masing-masing.Prakarsa. Prakarsa atau inisiatif berkaitan erat dengan konsep motif. Tiga aspek motif yang mencirikan prakarsa adalah: (a) memberikan perhatian yang spontan pada objek atau situasi tertentu, (b) tergugah emosinya untuk segera mencari pemuasan yang berkaitan dengan objek tersebut, dan (c) terbetuknya impuls yang mendorong untuk berbuat. Apabila dikaitkan dengan upaya guru dalam mengembangkan prakarsa, yakni dengan memperbesar intensitas perhatian pada tujuan atau objek terkait, menggugah emosi dengan stimuli belajar yang beragam, dan memancing tampilnya impuls-impuls yang mendorong peserta didik untuk mengambil prakarsa dan berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan.Pemecahan Masalah. Dalam kehidupannya, manusia menghadapi berbagai masalah yang mendorongnya untuk berfikir bagaimana mengatasi masalah tersebut. Pemecahan masalah menuntut berbagai cara berpikir kritis-analitis dan berpikir kreatif yang didukung oleh daya intuisi (Werthiemer, 1959). Wilson (1973) mengemukakan bahwa, berpikir terjadi jika ada opini yang terbentuk dan ada pihak lain yang mempertanyakannya karena dorongan ingin tahu. Keingintahuan itu disadari dan merupakan dorongan untuk kegiatan berpikir. Dalam proses pembelajaran, disamping menyajikan materi pelajaran, guru harus mampu memberi stimuli untuk memperbesar keinintahuan terhadap apa yang diajarkan, serta melatih siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru terhadap hasil yang telah dicapai. Tampaknya kemampuan berpikir kritis merupakan landasan utama bagi seseorang untuk berprakarsa dan berkreasi.Hilda Taba, (1969: 215) mengemukakan :All an intelectual skills and abilities from concept formation to problem solving are likely to be identified with thinking. Critical thinking involves many different processes, each of wchich must be distinguished fairly clearly if the objective is a serve as guide either to curriculum development or evaluation.Dari penjelasan yang dikemukakan oleh Hilda Taba itu diketahui bahwa, berpikir kritis mempunyai tiga dimensi, yaitu : (a) dimensi logis, (b) dimensi kriteria, dan (c) dimensi pragmatis. Dimensi logis meliputi kemampuan menilai hubungan-hubungan misalnya hubungan makna kata-kata yang dipakai dalam suatu pernyataan dengan makna dari pernyataan itu sendiri. Dimensi kriteria meliputi kemampuan menggunakan kriteria dalam menialai suatu konsep, sementara dimensi pragmatis meliputi kemampuan menilai apakah suatu kesimpulan telah memenuhi kriteria tujuan atau kegunaan.Berpikir kritis kreatif digolongkan dalam ranah kognitif, menekankan kegiatan operasionalnya pada evaluasi. Kemampuan melakukan evaluasi itu meliputi kemampuan atas ketepatan, kebenaran, kesesuaian, dan keefektifan dari apa yang dinilai. Proses berfikir kritis adalah : (a) memahami masalah untuk menemukan kesimpulan, (b) menilai berdasarkan analisis terhadap informasi dari berbagai sumber, (c) menarik kesimpulan dengan penalaran yang logis.Melalui rangkaian proses itu, kemampuan seseorang dalam berpikir dapat terungkap dari salah satu atau kombinasi dari 12 aspek berpikir kritis berikut: (a) mampu menangkap arti suatu pertanyaan dan menjawab secara kronologis; (b) mampu menilai kerancuan allur penalaran; (c) mampu menilai apakah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bertentangan satu dengan lainnya; (d) mampu menilai apakah suatu kesimpulan sudah layak diambil; (e) mampu menilai apakah suatu pernyataan sudah cukup jelas dan tidak menimbulkan makna ganda; (f) mampu menilai apakah ada implikasi prinsip-prinsip dalam suatu pernyataan; (g) mampu menilai apakah suatu pernyataan yang didasarkan pada suatu pengamatan dapat diandalkan; (h) mampu menilai dari suatu kesimpulan induktif dari suatu fenomena dapat diakui kebenarannya; (i) mampu menilai apakah suatu masalah sudah teridentifikasi; (j) mampu menilai apakan suatu pernyataan itu suatu asumsi atau bukan; (k) mampu menilai apakah suatu perumusan merupakan definisi yang memadai; dan (l) mampu menyatakan pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh para ahli, baik kesetujuan, ketidaksetujuan, maupun argumentasi balik (Mainuddin, 1994: 47).Kemampuan berpikir kritis tersebut di atas merupakan produk latihan menalar secara analitis. Sebagai rujukanuntuk mengajarkan cara berpikir kritis, Guilford mengajukan konsep tiga dimensi yang disebut the structure of intellect seperti tertera pada Gambar 1-03. Ketiga dimensi dalam model itu adalah : dimensi isi (content) yang diajarkan, operasi berpikir (operations), dan produk (products).

Catatan Penulis : Jika titik awal perkembangan adalah titik awal perpotongan sumbu Contents, Operations dan Products, maka urutan perkembangan content adalah : figural, symbol, semantic, dan behavioral; Urutan perkembangan products adalah : units, classes, relations, systems, transformations, dan implications. Urutan perkembangan operations adalah : cognition, memory, divergent production, convergent production, dan evaluation.

Gambar 2-03: Struktur intelektual menurut Guilford(H. Taba, 1962:101) Dalam model di atas Guilford membagi cara berpikir kedalam lima tingkatan, yakni: pengenalan, mengingat, berpikir konvergen, berpikir divergen, dan berpikir evaluatif.Pengenalan berkaitan dengan kesadarn terhadap adanya suatu objek, mutu dan gagasan. Mengingat berkaitan dengan kemampuan untuk menyimpan informasi dan mengingat kembali pada saat diperlukan. Berpikir konvergen merupakan modus berpikir yang diarahkan untuk menemukan keunikan atau jawaban yang benar bagi suatu masalahberdasarkan informasi yang diperoleh dan pengetahuan yang dimiliki.Berpikir divergen berkaitan dengan kemampuan untuk mengungkapkan hubungan dari beberapa fenomena dan gagasan; menyintesiskan beberapa pendapat atau temuan untuk menghasilkan berbagai alternatif pemecahan masalah. Berpikir evaluatif diarahkan untuk menentukan apakah suatu informasi atau produk telah memenuhi kriteria tertentu, baik ditinjau dari aspek proses maupun hasil akhir. Guilford juga menjelaskan bahwa, semua informasi sampai kepada individu dalam empat bentuk isi: gambaran (persepsi nyata atau fakta-fakta), simbolik, semantik (verbal dan makna konseptual) dan perilaku atau tanggapan atas pemikiran, perasaan, atau sikap dari pihak lain. Informasi yang diterima seseorang akan diubah dalam berbagai produk berupa satuan, kelas, sistem informasi, penetapan hubungan, transformasi dan pengungkapan implikasi dan informasi tersebut.Hilda Taba (1962) mengemukakan bahwa, kemampuan berpikir itu bersifat developmental; oleh sebab itu ia berpendapat bahwa berpikir dapat diajarkan dan dilatih. Teori kognitif dewasa ini mengembangkan perspektif yang terfokus pada penalaran dan kebermaknaan menurut Teori Piaget. Manusia bukan sebagai penerima informasi semata, melainkan juga sebagai pencetus pengetahuan. Dengan demikian mengetahui bukan sekedar menerima informasi, melainkan mengandung pengertian mampu menginterpretasi makna informasi dan menhubungkan dengan pengetahuan lain yang berada dalam struktur kognitifnya. Demikian pula makna dari terampil tidak hanya mengetahui makna dari melakukan suatu tindakan, tetapi mengetahui pula manfaatnya bila keterampilan itu diterapkan dalam berbagai kesempatan.Berbagai pelitian kognitif (Joyce, Weil dan Showers, 1992) yang berkaitan dengan kemampuan berpikir mengungkapkan: Pertama, kepakaran memudahkan belajar dan menalar. Seseorang yang menguasai topik tertentu mampu menalar yang lebih baik dalam topik yang bersangkutan dan mampu mempelajari masalah-masalah yang berkaitan dengan topik tersebut secara lebih baik dibandingkan dengan topik-topik yang kurang dikuasai. Kedua, pengetahuan baru tidak dapat diajarkan secara langsung kepada siswa tanpa terlebih dahulu mengajarkan pengetahuan-pengetahuan yang mendasarinya. Dari kedua temuan itu dapat ditari kesimpulan bahwa, belajar memrlukan pengetahuan (Resnick & Klopfer, 1989: 5).

2.6. RangkumanFungsi kurikulum pendidikan adalah sebagai sarana pencerahan dan memajukan suatu bangsa sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Oleh sebab itu, landasan pengembangan kurikulum perlu mengacu pada falsafah kehidupan bangsa Indonesia, dalam arti, kurikulum dikembangkan berdasarkan cita-cita pembangunan bangsa Indonesia, yakni yang dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Hal ini berarti bahwa, pada tingkat nasional kurikulum harus dapat mengantisipasi ke masa depan perlu mendapat perhatian dengan mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Berbagai teori belajar yang ditemukan sepanjang abad ke XIX dan ke-XX tampaknya masih relevan untuk dipertimbangkan dalam proses pembelajaran, sementara perkembangan teknologi informasi perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran.

Daftar Pustaka1. Rekso, T.N. 2010. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. Bandung: PT. Refika Aditama