ketidakmampuan suami memberi nafkah - stain salatiga
DESCRIPTION
perceraianTRANSCRIPT
KETIDAKMAMPUAN SUAMI MEMBERI NAFKAH
DALAM KASUS PERCERAIAN
(Studi Analisis Terhadap Keputusan Pengadilan Agama Salatiga
Nomor : 006/PDT.G2011/PA.SAL )
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam ( S.H.I )
DISUSUN OLEH:
AANG SETIAWAN
211 05 017
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWALUS SYAKHSIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2012
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax (0298) 323433
Kode Pos 50721
Wesite: www.stainsalatiga.ac.id Email:
NOTA PEMBIMBING
Lampiran : 3 eksemplar
Hal : Naskah Skripsi Saudara Aang Setiawan
Kepada
Yth. Ketua STAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu‟alaikum Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan, maka bersama ini kami
kirimkan naskah skripsi Saudara:
Nama : Aang Setiawan
NIM : 21105017
Jurusan : Syari‟ah
Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyah
Judul : KETIDAKMAMPUAN SUAMI MEMBERI NAFKAH
DALAM KASUS PECERAIAN (STUDI ANALISIS
TERHADAP KEPUTUSAN PENGADILAN AGAMA
SALATIGA NOMOR : 006/PDT.G2011/PA.SAL )
Dengan ini mohon agar skripsi saudara tersebut di atas segera dimunaqosyahkan.
Demikian agar menjadi perhatian.
Wassalamu‟alikum Wr. Wb.
Salatiga, 14 September 2012
Pebimbing
Drs. Mubasirun, M.Ag
Nip: 195902021990031001
SKRIPSI
KETIDAKMAMPUAN SUAMI MEMBERI NAFKAH DALAM KASUS
PECERAIAN
(STUDI ANALISIS TERHADAP KEPUTUSAN PENGADILAN AGAMA
SALATIGA NOMOR : 006/PDT.G2011/PA.SAL )
DISUSUN OLEH
Aang Setiawan
NIM: 21105017
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari‟ah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal
September 2011 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar
sarjana SI Hukum Islam.
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Prof.Dr.Muh.Zhri.M.A __________________
Sekretaris Penguji : Ilya Muhsin.M.Si __________________
Penguji I : Beny Ridwan.M.Hum __________________
Penguji II : Luthfiana Zahriani.M.H __________________
Penguji III : Drs. Mubasirun.M.Ag __________________
Salatiga, 2 Oktober 2012
Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M. Ag
NIP. 19580827 198303 1002
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Aang Setiawan
NIM : 211 05 017
Jurusan : Syari’ah
Program Studi : Ahwal Al Syakhsiyyah
Judul skripsi : KETIDAKMAMPUAN SUAMI MEMBERI
NAFKAH DALAM KASUS PECERAIAN
(STUDI ANALISIS TERHADAP
KEPUTUSAN PENGADILAN AGAMA
SALATIGA NOMOR :
006/PDT.G2011/PA.SAL )
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, 2 Oktober 2012
AANG SETIAWAN
MOTTO
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya,
Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya)
Kemudian akan diberi Balasan kepadanya dengan Balasan yang paling sempurna,
Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu),
Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis,
Dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan,
( QS. AN NAJM 39-44)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk :
1. Ayahnda RS. Sagimin tercinta yang selalu memberikan dorongan spiritual
dan moril dalam setiap hal.
2. Ibunda Dewi dan Adik Lion Hariyadi tercinta yang selalu medo‟akan dan
senantisa sabar menunggu keberhasilan dalam studi ini.
3. Dosen pembimbingku Drs. Mubasirun, M.Ag
4. Teman-temanku : Mustopa Lutfi, Agung Nugroho,Abdul Latif, Presiden
dema mahfud asyari, Dll yang telah memberi motifasi dan dorongan demi
terselesainya penulisan skripsi.
5. Segenap teman-temanku hmj tarbiyah dan hmj syari‟ah yang telah
memberikan perhatian dan dorongan demi terselesainya penulisan ini.
6. Segenap teman-temanku syari‟ah angkatan 2005.
7. Segenap teman-teman seperjuanganku yang tidak bisa penulis sebutkan
satu persatu.
8. Para pembaca yang budiman.
KATA PENGANTAR
Assalamu„alaikum wr.wb
Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan taufik dan
hidayahnya kepada hamba-hambanya. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umat manusia
menuju jalan keilmuan dan keridhoan. Alhamdulilah, dengan rasa syukur skripsi
yang berjudul “ KETIDAKMAMPUAN SUAMI MEMBERI NAFKAH DALAM
KASUS PERCERAIAN ( STUDI ANALISA TERHADAP KEPUTUSAN
PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR : 006/PDT.G2011/P.SAL)“ telah
selesai. Skripsi ini dipenuhi untuk memenuhi kewajiban dan melengkapi syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) dalam Ahwalus
Syakhisiyah ( AHS) STAIN Salatiga.
Penulis menyadari bahwa hingga selesainya penyususnan skripsi ini, tidak
terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis sangat berterima
kasih kepada :
1. Yth. Ketua STAIN Salatiga, DR. Imam Sutomo,M.ag
2. Yth. Ketua jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga,
3. Yth. Ketua Program Studi AHS Salatiga, IIyya Muhsin, S.H.I., M.Si
4. Yth. Pebimbing Skripsi, Drs. Mubasirun, M.Ag selaku dosen pebimbing
yang telah berkenan memberikan waktunya untuk membimbing dan
mengarahkan penulis dalam penyusunan Skripsi ini dengan penuh
kesabaran dan keikhlasannya.
5. Segenap Dosen STAIN Salatiga yang telah memberikan ilmu dan
motivasi.
6. Bapak dan Ibu penulis tercinta, yang telah memberikan dorongan
moril,materiil, maupun spiritual.
7. Bapak/ibu karyawan Pengadilan Agama Salatiga yang telah memberikan
ijin untuk melakukan penelitian kasus perceraian di Pengadilan Agama
Salatiga.
8. Karyawan, karyawati Pengadilan Agama Salatiga yang telah membantu
peneliti dalam menyelesaikan laporan penelitian ini.
9. Kepada teman-teman yang telah memberi mendorongan dan motivasi
kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penyusunan skripsi ini telah dilakukan dengan seluruh daya dan upaya
seoptimal mungkin. Namun demikian, penulis menyadari sangat dimungkinkan
terjadinya kesalahan dan kekeliruan dalam beberapa isi, diluar sepengetahuan dan
kemampuan penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.
Wassalamu‟alaikum Wr.Wb
Peneliti
AANG SETIAWAN
Nim. 2110501
ABSTRAK
Aang Setiawan. 2012 Ketidakmampuan Suami Memberi Nafkah Dalam Kasus
Peceraian (Studi Analisis Terhadap Keputusan Pengadilan Agama Salatiga
Nomor : 006/PDT.G2011/PA.SAL ) Skripsi Jurusan Syariah. Program
Studi Al Ahwal Al Syakhsiyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Salatiga. Pembimbing: Drs. Mubasirun M.Ag.
Kata Kunci: Ketidakmampuan, Suami, Nafkah, Perceraian
Perkawinan merupakan idaman setiap manusia yang di lahirkan
dimuka bumi untuk melangsungkan keturunan mereka. Di era globalisasi seperti
sekarang ini banyak sekali permasalahan-permasalahan yang terjadi di Pengadilan
Agama salatiga pada umumnya masalah perceraian yang di akibatkan ketidak
mampuan suami menafkahi istri. Oleh karena itu, penulis mencoba mengangkat “
Ketidakmampuan Suami Memberi Nafkah dalam Kasus Perceraian ( studi analisis
terhadap putusan Pengadilan Agama Salatiga) nomor : 006/PDT.G2011/ PA.SAL
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif jenis pustka. Data
yang diperoleh berupa hasil penemuan dokumentasi melalui data pustaka yang
dilakukan dengan jenis analisis dengan pola dekduktif yakni prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari apa yang diamati.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan perceraian disebabkan
percekcokan atas dasar suami tidak menafkahi dapat dipakai untuk mengajukan
permohonan bercerai di Pengadilan Agama. Ketentuan dalam Pasal 116 huruf h
Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa suami telah melanggar shigot taklik
talak yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Dalam
pertimbangan hukumnya hakim akan menilai apakah perkawinan telah menjadi
retak berdasarkan bukti-bukti, saksi-saksi serta keyakinan hakim mengenai
keadaan perkawinan tersebut. Perceraian membawa akibat terhadap pemeliharaan
anak dan pembagian harta dalam perkawinan, yang dapat diselesaikan/diputuskan
bersama-sama dengan putusan perceraian.
Dengan demikian, studi analisis terhadap keputusan pengadilan agama salatiga
nomor: 006/PDT.G.2011/PA.SAL tentang ketidakmampuan suami memberi
nafkah dalam kasus peceraian. Peran Pengadilan Agama Salatiga dalam
memutuskan perkara dalam kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Salatiga.
Diantanya : peceraian, wakaf, pembagian harta gono gini dan perwalian nikah
bagi anak yang masih di bawah umur. Di sini Pengadilan Agama berperan sangat
penting dalam menyelesaikan perkara yang ada masuk di Pengedilan Agama.
Pengadilan agama salatiga selalu mengedepankan kode etit kehakiman:
Berperilaku adil, Berperilaku jujur dan mendengarkan kedua belah pihak,
Menunjukkan sikap yang arif dan bijaksana, Bersikap mandiri, Mempertahankan
dan menunjukkan integritas yang tinggi, Bertanggung jawab, Menjunjung tinggi
harga diri, Berdisiplin tinggi, Berprilaku rendah hati, Bersikap professional.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………….…………….. i
PERSETUJUAN PEBIMBING…………………………………………….…… ii
HALAM PENGERSAHAN…………………………………….……………….iii
HALAMAN PENYATAAN KEASLIAN TULISAN…………………………..iv
MOTTO……………………………………………...……………………………v
PERSEMBAHAN………………………………….……………………….……vi
KATA PENGANTAR…………………………………………………..………vii
ABSTRAK………………………………………………………………...……..ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...…x
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG…………………………………………………….1
B. RUMUSAN MASALAH…….……………………………………………9
C. TUJUAN PENELITIAN…………………………………………………10
D. KEGUNAAN PENELITIAN…….………………………………………10
E. DEFINISI OPERASIONAL……………………………………………..11
F. METODE PENELITIAN…...……………………………………………12
G. SISTEMATIKA PENULISANSAN…………….……………………….13
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. TINJAUAN UMUM TENTANG NAFKAH
1. PENGERTIAN NFKAH……………………………………………..16
2. DASAR HUKUM NAFKAH……………………………………..…18
3. SEBAB-SEBAB NAFKAH…………………………………….……20
4. SYARAT DAN RUKUN NAFKAH………………………………...27
B. TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
1. PENGERTIAN PERCERAIAN…………………………………..….30
2. MACAM-MACAM PERCERAIAN……………………………..….30
3. HAK KHIYAR SUAMI ISTRI DALAM PERNIKAHAN………….33
BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA SALATIGA
A. SKILAS TENTANG PENGADILAN AGAMA SALATIGA
1. PETA WILAYAH PENGADILAN AGAMA SALATIGA………....34
2. DASAR HUKUM PEMBENTUKAN PENGADILAN AGAMA
SALATIGA…………………………………………………………..35
3. SEJARAH PEMBENTUKAN PENGADILAN AGAMA
SALATIGA…………………………………………………………..35
4. KETERANGAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA……...……42
B. PERKARA PELANGGARAN PERKARA CERAI GUGAT
NO/PDT.G/2011/PA.SAL………………………………………………..43
C. PERTIMBANGAN DAN DASAR PUTUSAN HAKIM MENGENAI
PERKARA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA
SALATIGA……………………………………………………..………..54
BAB IV ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA YANG
BERISI TENTANG PERKARA CERAI GUGAT NOMOR :
006/PDT.G/2011/PA.SAL
A. ANALISA HAKIM TERHADAP PUTUSAN PERKARA CERAI
GIGAT DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA……….………..….57
1. DALAM PUTUSAN NOMOR 006/PDT.G/2011/PA.
SAL…………………………………………………………58
B. ANALISA PERTIMBANGAN DAN DASAR PUTUSAN HAKIM
MENGENAI PERKARA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA
SALATIGA…….…………………………………………..………….…59
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN…………………………..……………………………..68
B. SARAN……………………………………..…………………………..69
C. PENUTUP……………………………………………………………..…70
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan
perempuan dimuka bumi ini dengan dibekali kesempurnaan akal dan hawa
nafsu. Dia tidak mau menjadikan manusia seperti mahluk lainya yang hidup
bebas mengikuti nalurinya, sehingga tidak mengenal adanya batas-batas yang
telah digariskan ajaran agama. Oleh karena itu, demi kehormatan dan
martabat serta demi kelestarian hidup manusia, Allah telah memberi jalan
yang terbaik bagi mahluk-Nya supaya merasakan kebahagiaan, karena setiap
manusia yang berada di atas pemukaan bumi ini pada umumnya selalu
menginginkan bahagia.
Salah satu jalan untuk mencapai bahagia dan memperoleh kehormatan
ialah dengan jalan perkawinan (Rohman, 2002:152). Perkawinan adalah suatu
ikatan yang mengandung serangkaian perjanjian yang sangat kuat diantara
dua pihak, yakni suami dan istri. Al-Qur‟an bahkan menyebutnya dengan
perjanjian yang kokoh („misaqun ghaliza‟), seperti dalam firman Allah dalam
surat An-Nisa‟ ayat 21:
Artinya: ”Dan mereka telah mengambil perjanjian darimu yang kuat “
(Departemen Agama RI: 2002:21).
Berkaitan dengan hidup berumah tangga, setiap orang pasti
mengharapkan kehidupan yang layak membina rumah tangga bahagia, hidup
rukun dan damai, harmonis dan ideal, memikul tanggung jawab, baik untuk
mereka berdua maupun untuk keturunan mereka (Ahmad,1992:23 ).
Sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-rum ayat 21 :
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah Dia
menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri agar dapat hidup
damai bersamanya dan dijadikan rasa kasih sayang diantara kamu,
Sesungguhnya yang pada demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-
orang yang berfikir.” (Departemen Agama RI, 2002:644).
Demi keberhasilan mewujudkan tujuan di atas, sangat diperlukan
adanya kebersamaan dan sikap saling berbagi tanggung jawab antara suami
dan istri, Al-Qur‟an menganjurkan kerja sama antara mereka. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Ali-Imran ayat 195:
........
Artinya : “ Sesunguhnya Allah tiada menyia-nyiakan amalan orang
yang beramal diantara kamu baik laki- laki atau perempuan setengah dari
kamu dari yang lain (sebangsa)” (Departemen Agama RI, 2010:110).
Nabi SAW dalam sabda-Nya juga mengatakan:
النساء شقائق الرجال
Artinya : ”Perempuan adalah saudara sekandung laki-laki” ( sunan
Abu Dawud,t.th:61).
Al-Qur‟an juga menyebutkan di dalam surat Annisa‟ ayat 34 :
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pelindung dan pemelihara (pemimpin)
kaum perempuan karena Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lainnya (wanita) dan karena mereka (laki-laki)
menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (Departemen Agama RI,
2002:123).
Menegaskan tentang ayat di atas, Nabi menyatakan
وهو مسؤول عن رعيته, والرجال راع فى اهله
Artinya : “Setiap laki- laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan
akan di mintai pertanggung jawabannya” (Shaheh Bukhari,t.th:304).
Dari ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadis Nabi di atas, jelas terlihat bahwa
tanggung jawab nafakah istri dan keluarga adalah dibebankan kepada suami.
Kewajiban suami dalam hal ini memberikan yang terbaik bagi keluarganya
sejauh yang dimiliki dan diusahakannya. Sebagaimana firman Allah dalam
surat At-Tholaq ayat 7 :
Artinya ; “Hendaklah orang-orang yang mampu memberikan
nafkah sesuai dengan kemampuannya, sedangkan yang sempit rezekinya
hendaklah memberikan dari harta yang di karuniakan Allah”
(Departemen Agama RI, 2010:123).
Pada era globalisasi seperti sekarang ini banyak sekali permasalahan-
permasalahan yang timbul, umumnya pada permasalahan perkawinan. Di
Pengadilan Agama (PA) Salatiga banyak pengajuan kasus perkawinan
khususnya dalam kasus penyelesaian perceraian. Dimana norma-norma dan
kaidah-kaidah yang ada dan mengatur masalah ini sudah dikesampingkan.
Dan hukum-hukum yang mengatur hal ini, sepertinya sudah tidak diindahkan
(dipedulikan) lagi. Walaupun ini hanya terjadi di kota-kota besar khususnya
seperti yang terjadi di Bandung, Jakarta, dan daerah khusus kota Salatiga.
Pada prinsipnya perkawinan itu bertujuan untuk selama hidup dan
untuk mencapai kebahagiaan yang kekal (abadi) bagi suami istri yang
bersangkutan. Sehingga Rasulullah melarang keras terjadinya perceraian
antara suami istri, baik itu dilakukan atas inisiatif pihak laki-laki (suami)
maupun pihak perempuan (istri). Karena semua bentuk perceraian itu akan
berdampak buruk bagi masing-masing pihak.
Perceraian adalah perpisahan atau perpecahan antara suami istri yang
telah diikat dalam suatu pernikahan, dikarnakan oleh suatu sebab
(gilbert,2010:45). Kedua belah pihak yang telah mengadakan perceraian,
masing-masing masih mempunyai hak dan kewajiban antara keduanya.
Bila suami melalaikan kewajibannya maka akan timbul berbagai
permasalahan, misalnya si anak putus sekolahnya, sehingga anak tersebut
menjadi terlantar atau bahkan menjadi gelandangan. Sedangkan mantan
istrinya sendiri tidak menutup kemungkinan akan terjerumus ke lembah
hitam.
Bila suami melalaikan kewajiban ini, maka istri dapat mengajukan
gugatannya ke Pengadilan Agama. Gugatan tersebut dapat diajukan sewaktu
istri mengajukan berkas gugatan atau dapat pula gugatan tersebut diajukan di
kemudian. Akan tetapi ada pula kewajiban tersebut tidak dapat dibebankan
kepada mantan suami, misalnya pada waktu terjadi perceraian tersebut
disebabkan istri murtad atau sebab-sebab lainnya yang menjadi sebab suami
tidak wajib menunaikan hak istri dan bila telah ada kemufakatan bersama atas
putusan Pengadilan Agama tentang nafkah anak tersebut, maka dapat pula
nafkah si anak ditanggung bersama antara keduanya (suami-istri).
Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam
menyelesaikan masalah perceraian. Namun untuk menyelesaikan masalah-
masalah tersebut di atas para pencari keadilan yang selalu agresif mengajukan
permasalahannya ke Pengadilan Agama. Bila tidak mendapatkan kejelasan
dan kepastian hukum sudah barang tentu pengajuan perkara haruslah sesuai
dengan prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Seperti telah ditegaskan di atas, bahwa suami yang kewajiban
memberi nafkah itu ada yang mampu karena memang orang kaya, dan ada
Pula yang tidak mampu, maupun karena memang benar-benar orang miskin.
Dalam keadaan yang kedua ini, kemungkinan besar suami tidak memberikan
nafkah sama sekali sebagai suatu kewajiban yang harus diberikan kepada
istrinya. (Rafiq,2000:186-187).
Masalah atau persoalan putusnya perkawinan atau perceraian serta
akibat-akibatnya, diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 undang-
undang perkawinan. Namun, tata cara perceraian diatur dalam Pasal 14
sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan
teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975.
Selain rumusan hukum dalam Undang-Undang Perceraian tersebut,
Pasal 113 sampai dengan pasal 162 KHI merumuskan garis hukum yang lebih
rinci mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian,tata cara, dan akibat
hukumnya. Sebagai contah Pasal 113 KHI sama dengan Pasal 38 Undang-
Undang Perceraian. Pasal 114 mengenai putusnya perkawinan yang
disebabkan oleh perceraian dapat terjadi talak atau berdasarkan gugatan
perceraian. Pasal 115 KHI mempertegas bunyi Pasal 39 Undang-Undang
Perceraian yang sesuai dengan konsern KHI, yaitu orang Ilsam : perceraian
hanya dapat dilakukan didepan Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tesebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Lain
halnya dengan alasan-alasan terjadinya perceraian yang penjelasannya dimuat
dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 KHI :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya‟
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjelankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dalam
KHI terdapat tambahan mengenai alasan terjadinya perceraian yang
berlaku khusus kepada suami istri (pasangan perkawinan) yang memeluk
Agama Islam, yaitu:
Suami melanggar taklik talak;
g. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga. (Zainuddin Ali:1999:73).
Sepertihalnya putusan perkara yang ada di Pengadilan Agama Salatiga
tentang perceraian antara suami istri warga gandingrejo No 253 RT 03/02
kelurahan Gendongan, kecamatan Tingkir, kota Salatiga. Bahwa penggugat
dan tergugat sering terjadi percecokkan yang mana tergugat tidak pernah
menafkahi kepada penggugat karena tergugat tidak bekerja dan untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga masih di tanggung sepenuhnya oleh
orang tua penggugat. Sedangkan di dalam Al-qur‟an surat al-baqarah ayat 233
sudah dijelaskan tentang tanggung jawab sebagai suami :
Artinya : kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada
Para ibu dengan cara ma'ruf. (Departemen Agama RI, 2002:35).
Dan tergugat sering melakukan tindakkan kekerasan terhadap
penggugat bahkan tergugat pergi tanpa seijin penggugat selama 1 tahun 4
bulan lamanya, tergugat tidak pernah pulang, tidak pernah mengirim kabar
kepada penggugat.
Jika dengan sengaja menelantarkan dan menzdahalimi istri dan
anaknya dengan tidak memberikan nafkah. Maka itu adalah kesalahan dan dia
berdosa karena telah melalaikan kewajibannya sebagai seorang suami dan
ayah bagi anak-anaknya. Istri dapat menuntut hak-haknya. Jika nafkah
tersebut tidak dapat dipenuhi dan diberikan oleh suami maka istripun dapat
menuntutnya dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Gugatan ini
dapat berakibat kepada perceraian. Yang disebut dengan tafriq qadha‟I (
peceraian melalui Pengadilan Agama). Sebagaimana tertuang dalam shiqhat
ta‟liq yang di ikrarkan oleh suami saat setelah akad nikah berlangsung.
Diantara poin-poinnya adalah sebagai berikut :
a. Meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut.
b. Atau tidak memberi nafkah wajib kepadanya selama tiga bulan lamanya.
c. Atau menyakiti badan/jasmani istri.
d. Atau membiarkan ( tidak memedulikan ) istri selama enam bulan.
Jika suami melakukan salah satu dari ke-empat poin tersebut dan istri
tidak ridha, maka istri dapat mengadukannya kepada Pengadilan Agama atau
petugas yang diberikan hak mengurus pengaduan itu. Pengaduan bisa
dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut dan istri
membayar uang ganti atau „iwadh kepada suami. Jika proses ini berjalan
dengan baik maka jatuh tak satupun kepadanya. Dalam masalah Nanda ini
belum jatuh talak. Karena yang memutuskannya adalah Pengadilan Agama
setelah melakukan proses persidangan. Jadi, sebaiknya Nanda
menyelesaikannya melalui Pengadilan Agama yang memang berhak
memperkarakannya sesuai pengaduan istri (www.ummi-online.com ).
Dari latar belakang masalah tesebut, maka penulis tertarik untuk
mengangkatnya ketidakmampuan suami memberi nafkah kepada istri, sebagai
alasan perceraian dalam sebuah kajian ilmiah dengan judul
“KETIDAKMAMPUAN SUAMI MEMBERI NAFKAH DALAM KASUS
PECERAIAN (STUDI ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA SALATIGA NOMOR : 006/PDT.G2011/PA.SAL ) “
B. Rumusan Masalah
Agar lebih praktis dan operasional, maka peneltian ini dapat di
rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana alasan ketidakmampuan suami memberi nafkah kepada
istri dalam kasus perceraian ?
2. Apa dasar diputuskannya gugat cerai ketidakmampuan suami
memberi nafkah istri ?
3. Bagaimana pandangan KHI tentang gugat cerai karena
ketidakmampuan suami memberi nafkah kepada istri ?
C. Tujuan penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian
ini, sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana ketidakamampuan suami memberi
nafkah kepada istri, sebagai alasan perceraian.
2. Untuk mengetahui dasar diputuskannya gugat cerai
ketidakmampuan suami memberi nafkah istri.
3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan KHI tentang gugat carai
karena ketidakmampuan suami membari nafkah kepada istri.
D. Kegunaan penelitian
Manfaat peneliti dapat dirumuskan secara teoritis dan praktis. Secara
teoritis berhubungan dengan metodologi dan secara praktis berhubungan
dengan dampak hasil penelitian bagi user ( Endra, 2006 : 106 ).
1. Penelitian ini di harapkan dapat berguna bagi penulis untuk menabah
wawasan di bidang hukum, khususnya upaya perlindungan hukum
terhadap anak akibat perceraian di Pengadilan Agama Salatiga.
2. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana
sastra 1 (S1) di bidang Hukum Islam ( syari‟ah).
E. Definisi operasional
1. Ketidakmampuan Suami
Tidak adalah partikel untuk menyatakan pengingkaran, penolakan,
penyangkalan, dsb; tiada: tempat kerjanya jauh dari rumahnya; apa yang
dikatakannya itu benar (kamusbahasaindonesia. org). Mampu adalah kuasa
(bisa, sanggup) melakukan sesuatu; dapat: ia tidak-membayar biaya
pengobatan anaknya; kakeknya tidak-berdiri lagi karena sangat tua
(kamusbahasaindonesia. org). Ketidakmampuan adalah suatu kelemahan
dalam system manajemen yang bisanya terjadi akibat tidak ada pembatasan
antara hubungan pribadi dan hubungan professional. (design,1992 : 84).
Suami adalah pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang
wanita (istri) (kamusbahasaindonesia. org). Suami adalah pembimbing
terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan
rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami-istri secara
bersama (Abdullah,1994:101).
Maksud dari ketidakmampuan suami dalam penelitian ini adalah
ketidakmampuan suami dalam memenuhi kebutuhan istrinya baik berupa
materiel maupun non materiel.
2. Nafkah Istri
Nafkah adalah belanja untuk hidup; (uang) pendapatan: suami
wajib memberi -kepada istrinya. (kamusbahasaindonesia. org). nafkah adalah
semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat,
seperti pakaian, makanan dan sebagainya. Banyaknya nafkah yang diwajibkan
adalah sekadar mencukupi keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan
dan kemampuan yang berkewajiban menurut kebiasaan masing-masing tempat
(http://masdodod.wordpress.com).
Istri adalah wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang
bersuami ; (kamusbahasa indonesia. org). Istri adalah salah seorang pelaku
pernikahan yang berjenis kelamin wanita. Seorang wanita biasanya menikah
dengan seorang pria dalam suatu upacara pernikahan sebelum diresmikan
statusnya sebagai seorang istri dan pasangannya sebagai seorang suami
(http://id.wikipedia).
Maksud dari nafkah istri dalam penelitian ini adalah memenuhi
kebutuhan sehari-hari seorang istri oleh seorang suami.
F. Metode penelitian
1. Pendakatan dan jenis peneltian yuridis normatif
Penelitian yang penulis lakukan di Pengadilan Agama Salatiga
menggunakan metode analisis dengan pola pikir deduktif. yakni presedur
peneltian yang mengahasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari
apa yang di amati. Adapun yang dibahas dalam penelitian ini tidak
berkenaan dengan angka-angka, tetapi mendeskripsikan, dan menguraikan
putusan Pengadilan Salatiga dalam memutuskan tentang perkara cerai gugat.
2. Sumber Data
Dari data yang digali secara global, maka sumber datanya adalah;
a. Sumber primer, yang terdiri dari;.
1) Al -Qur‟an dan terjemahan tahun 2002.
2) Undang-undang Perkawinan Di Indonesia No 1 tahun 1974.
3) Kompilasi Hukum Islam tahun 1994.
4) Keputusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor: 006/PDT.G2011/
PA.SAL
b. Sumber Sekunder
Yaitu sumber data yang mendukung atau menunjang dengan
penulisan skripsi ini berupa buku-buku dan bacaan-bacaan.
3. Teknik penggalian data ( dokumen )
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal yang variable
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah,prasasti, notulen
rapat, agenda dan sebagainya (Suharsimi, 1988: 236). Dokumentasi yang
dimaksud adalah mengambil sejumlah data berupa berkas gugat cerai di
Pengadilan Agama Salatiga.
4. Metode analisis data
Analisa data yaitu analisis pada tehnik pengelolaan datanya dan
melakukan uraian dan penafsiran pada suatu dokumen ( Hasan, 2004:30).
Analisis yang di maksud disini adalah menganalisis informasi yang
menitik beratkan pada penelitian dokumen, menganalisis peraturan dan
putusan-putusan hakim. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan :
a. Pendekatan Analisis ( Analicical Appoach) yaitu mengetahui makna yang
terkadang oleh istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-
undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam
praktek dan putusan-putusan hukum ( Ibrahim, 2006:310).
b. Pendekatan Kasus yaitu mempelajari pendekatan norma-norma atau
kaidah hukum yang di lakukan dalam praktek hukum (Ibid, hlm:321).
Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus yang dapat dilihat
dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus
penelitian.
G. Sitematis penulisan
Penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi 5 bab, yaitu sebagai berikut;
BAB PERTAMA : PENDAHULUAN, yaitu gambaran umum yang memuat
pola dasar bagi kerangka pembahasan skripsi yang di dalamnya terdiri atas;
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, definisi operasional, metodologi penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB KEDUA : Landasan Teori yang berisi tentang tinjauan umum undang-
undang perkawinan dan kompilasi hukum islam tentang perkawinan, dan
kedudukkan suami sebagai kepala keluarga.
BAB KETIGA : Gambaran umum tentang Pengadilan Agama Salatiga berisi
tentang putusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor
0006/PDT.G/2011/PA.SAL.
BAB KEEMPAT : Menganalisis putusan Pengadilan Agama Salatiga yang
berisi tentang perkara cerai gugat Nomor 0006/PDT.G/2011/PA.SAL.
BAB KELIMA : KESIMPULAN; yaitu bab terakhir yang memuat
kesimpulan dan saran.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Nafkah
1. Pengertian Nafkah
Menurut bahasa nafakah berasal dari kata nafaka ( فك ن - ي
فك :artinya nafkah barang yang di belanjakan (Abdul bin Nuh,1983 ( ن
254). Sedangkan menurut istilah nafkah adalah sejumlah uang atau barang
yang di berikan oleh seseorang untuk keperluan hidup orang lain, seperti
isrti, anak, orangtua, keluarga, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud
disini adalah pemberian nafkah untuk istri, demi memenuhi keperluannya
berupa makanan, pakaian, perumahan (termasuk perabotnya), pembantu
rumah tangga dan sebagainya, sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan
yang berlaku pada masyarat sekitar pada umumnya (Quraish
shihab,2008:136).
Abdurrahman Al-Jaziri mengatakan bahwa pengertian nafkah
adalah mengeluarkannya seseorang ongkos terhadap orang yang wajib
dinafkahinya dari roti, lauk-pauk, pakaian, tempat tinggal dan apa yang
mengikutinya dari harga air, lampu, minyak dan sebagainya (Abdurrahman
Al- Jaziri,t.th: 483).
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
disebut dengan nafkah adalah semua biaya perbelanjaan atau pengeluaran
seseorang untuk mencukupi dan memenuhi kebutuhan pokok yang
dibutuhkan. Adapun kebutuhan pokok yang dimaksud di atas pada
dasarnya dapat digolongkan dalam tiga macam, yaitu:
a. Kebutuhan pangan
Kebutuhan pangan (makanan) karena dengan pangan seseorang
menjadi sehat dan kuat badannya sehingga mampu untuk mengerjakan
sesuatu. Karena pada kenyataannya orang yang kurang atau tidak
makan sama sekali, maka orang tersebut akan merasa lemas sehingga
menjadikannya malas untuk melakukan sesuatu.
b. Kebutuhan sandang
Selain pangan, sandang atau pakaian juga merupakan unsur penting
dalam hidup. Selain sebagai pelindung tubuh dari sengatan matahari
maupun pelindung tubuh dari cuaca dingin (hujan), pakaian
merupakan cermin dari peradaban manusia.
c. Kebutuhan papan
Yang tak kalah pentingnya dari kedua kebutuhan tersebut adalah
tempat tinggal sehabis bekerja seseorang membutuhkan tempat untuk
beristirahat yang nyaman dan damai, agar pikiran dan badan yang
lelah dan capek menjadi segar kembali (Abidin,t.th 278).
Memang tidak diragukan lagi bahwasannya masalah nafkah adalah
masalah yang sangat pokok dalam kehidupan ini. Tanpa adanya nafkah
(pangan), maka tidak akan ada kehidupan. Dengan adanya pangan yang
cukup, maka akan tercipta suatu kebahagiaan, tetapi sebaliknya
kekurangan pangan akan menyebabkan terjadinya bermacam-macam
kerusakan sehingga dampak dari adanya tindak kejahatan seperti
pencurian, perampokan, penodongan bahkan tidak jarang sampai terjadi
pembentukan yang sangat keji dan tak berprikemanusiaan. Bahkan bila
dihubungkan dengan ibadahpun, masalah nafkah besar sekali
pengaruhnya.
Dengan nafkah yang cukup, seseorang akan lebih tenang
menjalankan ibadahnya. Misalnya dengan makan yang cukup, badan akan
menjadi segar, sehat dan membuat lebih khusyu‟ dalam menjalankan
ibadah baik itu shalat, puasa, haji dan sebagainya. Dari sini terlihat betapa
pentingnya nafkah, karena nafkah merupakan suatu urat nadi kehidupan di
dunia untuk menuju kehidupan kekal di akhirat nanti.
2. Dasar Hukum Nafkah
Islam sebagai agama samawi, memiliki kitab suci Al-Qur'an
sebagai sumber utama. Al-Qur'an mengandung berbagai ajaran dan
sebagai suatu sistem hukum yang berdasarkan wahyu. Hukum Islam
memiliki tujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan
kebahagiaan di akhirat. Perwujudan Islam sebagai agama samawi memiliki
kitab suci Al-Qur'an, sebagai sumber utama. Tujuan itu amat ditentukan
oleh harmonisasi hubungan antara manusia baik secara individu maupun
kolektif, serta hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Dalam rangka mewujudkan keharmonisan hubungan-hubungan
diatas, Allah memberikan tuntunan berupa aturan-aturan hukum
diantaranya adalah aturan hukum tentang hak dan kewajiban atas
pemberian dan penerimaan nafkah. Bahwa yang menyebabkan diwajibkan
nafkah yaitu ada 3 hal, yaitu:
a. Karena kerabat.
b. Karena milik.
c. Karena istri.
Dari ketiga alasan tersebut kita dapat menemukan dasar hukum dari
nafkah. Dalam hal hubungan karena kekerabatan dan berbuat baik kepada
Ibu Bapak adalah dengan memberi nafkah kepadanya. Dalam hal
hubungan karena kekerabatan sesuai dengan firman Allah dalam surat al-
isra‟ ayat 22 yang berbunyi :
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya (Departemen agama RI,
2002:422).
Selain ayat tersebut Allah juga berfirman dalam Surat Al-Isra‟ ayat
26:
Artinya: Dan berikanlah kepada keluargamu yang dekat akan
haknya kepada orang-orang yang miskin dan yang dalam
perjalanan dan janganlah menghambur-hamburkan harta secara
boros (Departemen Agama RI, 2002:428).
Dari dalil tersebut diwujudkan kewajiban orang tua untuk memberi
nafkah kepada anak, begitu juga sebaliknya dan kepada kerabat-kerabat
dekat yang lain. Kemudian dalam hubungan karena sebagai istri
(perkawinan) yaitu suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya sesuai
dengan firman Allah SWT dalam surat at-thalaq ayat 36:
Atinya : Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka
(Departemen Agama RI,2002: 627).
Demikian syariat Islam dengan jelas menerangkan tentang dasar
wajib nafkah sebagai undang-undang dan pedoman bagi umat manusia
yang harus ditaati dan dijalankan dengan penuh kesadaran dan keihlasan
agar dapat dicapai ketentraman dalam kehidupan sehari-hari.
3. Sebab-sebab Nafkah
Atas terjalinnya perkawinan maka timbullah suatu hak dan
kewajiban. Itu di didasarkan atas 3 hal yang menjadikan suatu hak dan
kewajiban diantara seseorang diantaranya adalah :
a. Karena Perkawinan
Wajib bagi seorang suami memberikan nafkah kepada istri dan
anak-anaknya sehingga terwujudlah keluarga yang sejahtera dan
bahagia. Jumlah nafkah yang harus diberikan kepada istri adalah
menurut kebutuhan yang pantas dan sesuai dengan kemampuan suami.
Nafkah yang diterima oleh seorang istri dari suaminya, adalah
tergantung dari ketaatan istri terhadap suaminya tetapi jika istri
membangkang terhadap suaminya, maka istri tidak berhak untuk
mendapatkan nafkah dari suami dan istri wajib untuk diberi pelajaran
dengan cara-cara yang islami sebagai mana yang telah diajarkan oleh
agama Islam .
b. Hubungan Kekerabatan atau keturunan
Maka wajib bagi seorang bapak atau ibu untuk memelihara
nafkah kepada anak-anaknya atau cucunya, kalau mereka tidak punya
bapak atau ibu, Syarat wajib memberikan nafkah kepada anak adalah
ketika anak masih kecil, miskin, tidak bekerja,atau sakit-sakitan atau
belum mendapatkan lapangan pekerjaan. Begitu pula sebaliknya,
wajib baginya untuk memberikan nafkah kepada kerabat karibnya.
Atau kepada orang tuanya, ketika keduanya sudah udzur (tak sanggup
bekerja lagi) atau tidak mempunyai harta.
c. Karena Kepemilikan.
Hak dan kewajiban ini juga timbul dalam hal hak milik,
sebagaimana pembantu, karyawan ataupun binatang peliharaan, baik
itu binatang lembu, kerbau, kucing atau binatang lainnya. Oleh karena
itu perkawinan seorang istri terikat oleh suaminya. Ia berada di
kekuasaan suami, karena suami adalah sebagai kepala rumah tangga,
dan suami wajib memberikan nafkah kepada istri. Bahkan pada masa
iddah suami wajib memberikan nafkahnya, baik itu berupa tempat
tinggal, pakaian ataupun yang lainnya.
Hal ini didasarkan atas kaidah umum yang menyatakan bahwa
seorang yang telah menjadi milik orang lain dan diambil manfaatnya,
maka nafkahnya menjadi tanggungan orang yang menguasainya
(Muhaimin, 1993:124).
1) Hak dan kewajiban suami istri adalah
a) Suami istri harus menegakkan kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan
warahmah yang menjadi sendi dasar suatu perkawinan (Hadi
Mufaat,1992:23).
b) Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan
memberikan bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
c) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara
anak-anak mereka baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani
maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya.
d) Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
e) Suami istri harus mempunyai kediaman yang tetap.
f) Suami istri tidak boleh melalaikan kewajibannya.
2) Kedudukan suami istri
a) Suami adalah sebagai kepala rumah tangga dan istri adalah
sebagai ibu rumah tangga (Ibrahim,1982:413).
b) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat.
c) Masing-masing pihak bersama berhak untuk melakukan
perbuatan hukum.
3) Kewajiban suami terhadap istri
a) Memberi Maskawin
Maskawin atau mahar merupakan hak murni seorang istri yang
diberikan dari suaminya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat
an-nisa‟ ayat 4:
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagaimana
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Departemen
Agama RI,2002:115).
Melihat dari ayat tersebut bahwa al Qur'an menerima hukum
memberikan maskawin atau mahar kepada istri yang telah
dipinangnya dan itu adalah tanggung jawab dan menjadikan
kewajiban seorang suami (Hassan Ayyub, 1994:270-271).
b) Memberi Nafkah
Al Qur'an menjelaskan dalam surat an Nisa‟ ayat 34 yaitu:
Artinya: “Kaum laki-laki dan perempuan adalah pemimpin
bagi wanita, kerena Allah Swt telah melebihkan sebagian
mereka atas bagian yang lain dan karena mereka (laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
(Departemen Agama RI,2002:123).
Memberikan nafkah merupakan ke haruskan dalam ikatan
rumah tangga, karena akanlah tercapai kehidupan berumah tangga
jikalau terpenuhi kebutuhan lahir dan batin. Jikalau memang tidak
memberikan nafkah maka istri diberi kehendak untuk menggunakan
cerai atau hak khiyar (Ibn Rosyd,t.th:38).
c) Melindungi Istrinya dan Keluarganya
Melindungi keluarganya adalah tanggung jawab seorang
suami, sebagai kepala keluarga (Ibrahim Lubis,t.th:416). Sebagai
seorang suami, berkewajiban melindungi istri dan keluarganya,
terutama dari kejelekan atau perbuatan yang maksiat atau jalan yang
dilarang oleh Allah Swt. sebagaimana Firman Allah Swt dalam surat
al-tahrim ayat 6 yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah
dirimu dari keluargamu dari api neraka” ( Departemen
Agama RI, ,2002:950).
d) Menggauli dengan baik
Setiap suami harus memperlakukan istrinya dengan lemah
lembut mengasihi dan bersabar menerima hal-hal yang menyakitkan
yang mereka lemparkan memperlakukan mereka dengan baik itu
hukumnya wajib.
Itulah diantara tanggung jawab seorang suami terhadap istrinya tetapi
masih banyak lagi mengenai tanggung jawab terhadap istri, sebagai suami
diantaranya adalah menegakkan agama, moralnya dan materialnya.
4) Kewajiban istri terhadap suami
a) Harus setia dan patuh terhadap suami.
Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat an-nisa‟ ayat 34
yang berbunyi:
Artinya: Oleh karena itu perempuan yang sholehah adalah
yang patuh dengan ketulusan hati kepada Allah dan
memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada oleh karena
Allah telah memelihara mereka (kemenag RI,1992:119).
Allah telah menggambarkan wanita yang sholehah adalah
perempuan yang patuh kepada suaminya serta menjadi wakil bagi
suaminya, maksudnya mereka memelihara kesucian dirinya dan harta
benda suaminya (Ibn Katsir,t.th:491). Tugas utama istri dengan
demikian adalah menaati suaminya dalam segala hal yang baik namun
apabila suaminya mengajak untuk melakukan hal yang bertentangan
dengan hukum dan menyebabkan murka Allah, maka tidak harus
menaatinya (Suyuti,t.th:68).
Seorang perempuan harus menjaga kepercayaan yang
dipercayakan kepadanya, mengurus rumah tangga dan melindungi
anak keturunannya, sebagaimana tanggung jawabnya, karena
semuanya akan dimintai pertanggung jawabannya. Perempuan
dimintai untuk patuh terhadap suaminya, demikian sebaliknya suami
harus patuh dan memperlakukan istrinya secara baik dan sesuai
dengan prinsip kesetaraan (Nasir, 1999:228).
b) Harus memuaskan hasrat seksual suaminya
Kewajiban istri adalah wajib memenuhi tugas seksualnya
terhadap suaminya. Istri tidak berhak untuk menolak kecuali ada
alasan yang dapat diterima atau dilarang hukum.
Untuk menjalin adanya saling memenuhi hak ini antara suami
dan istri secara memuaskan dan menyenangkan, hukum Tuhan telah
memberikan banyak insentif untuk hal ini. Hikmah di balik semua ini
adalah masing-masing suami-istri harus saling menyenangkan, saling
memberi dan menerima kesenangan, kepuasan dan rasa syukur.
c) Harus selalu bersih, rapi, menarik dan tampak riang di hadapan
suami atau selalu tampil dan cantik di hadapan suami bukan di
hadapan orang lain.
Ini adalah salah satu tugas utama yang harus dipenuhi oleh
seorang istri ketika menggambarkan seorang istri yang ideal. Hal ini
supaya suaminya tidak jenuh terhadapnya. Salah satu jalan untuk
menyenangkan suaminya adalah dengan merawat wajah, tubuh, atau
seluruh badannya dan berhias.
d) Hendaklah menjalankan tugasnya mengatur rumah tangga Hukum
Islam yang bersifat toleran menetapkan suami dan istri harus
bekerja sama dalam manajemen keluarga sehari-hari, karena
suami sebagai penanggungjawab atas keluarga, maka istri
membantu menyiapkan makanan, membersihkan rumah,
mengurus hal-hal yang berhubungan dengan rumah tangga dan
menjaga rumah tangganya.
Disamping itu bukan hanya itu saja tetapi juga ada hal yang
sangat penting lagi, yaitu terutama jangan membocorkan rahasia
masing-masing dan harus saling nasehat-menasehati dan mendorong
untuk berbuat baik dan mengikuti jalan Allah (Fatimah,t.th:239).
Melaksanakan dan mengatur rumah tangga itu adalah sangat penting
sebab di dalamnya tercakup mengatur segala hal yaitu mengenai
keindahan, menejemennya dan kebersihannya, sebab indah tidaknya
itu akan terlihat atas apa yang dia lakukan.
4. Syarat dan Rukun Nafkah
Kewajiban memberi nafkah merupakan salah satu perintah agama
kepada suami, namun kewajiban tersebut bisa hilang apabila tidak
terpenuhi syarat dan rukunnya. Adapun syarat wajibnya memberi nafkah
dan hak untuk menerima adalah sesuai dengan faktor penyebab adanya
nafkah, yaitu:
a. Karena adanya perkawinan syaratnya adalah:
1. Adanya akad perkawinan.
2. Istri menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami.
3. Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang
dikehendaki suami.
Seorang istri selain memiliki hak untuk menerima nafkah. Juga
berkewajiban sebagaimana yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 83 dan 84.
a. Kewajiban utama bagi seorang istri adalah terbukti lahir batin
kepada suami didalam batas-batas yang dibenarkan oleh hokum
Islam.
b. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga
sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
c.
Sedangkan pasal 84:
1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 pasal (1) kecuali
dengan alasan yang sah.
2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya
tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali
hal-hal untukkepentingan anak.
3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali
sesudah istri nusyuz.
4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus
berdasarka atas bukti yang sah.
Kewajiban nafkah suami terhadap istri itu bisa gugur atau hilang
jika istri nusyuz. Adapun berntuk-bentuk tindakan istri yang dapat
dikategorikan nusyuz antara lain: istri membangkang terhadap suami,
tidak memenuhi ajukan atau perintahnya, menolak berhubungan intim
suami, istri tanpa ada alasan yang jelas dan sah atau istri meninggalkan
rumah tanpa persetujuan atau izin suami.
b. Karena adanya hubungan kerabat, syarat-syaratnya adalah:
(Mu‟amal Hamidi,1998: 177-178).
1) Adanya kekeluargaan yang menyebabkan saling mewarisi antara
yang memerlukan dan yang kaya.
2) Adanya kebutuhan (keperluan) terhadap nafkah. Jadi jika tidak
memerlukan lagi, maka tidak ada kewajiban nafkah.
3) Orang yang berkewajiban memberi nafkah adalah orang yang
mampu.
4) Adanya persamaan agama.
Adapun rukun nafkah ada 3, yaitu:
a. Adanya orang yang mengeluarkan nafkah atau pemberi nafkah
yang lazim disebut munfaq ( فك ن ( م
b. Adanya orang yang menerima nafkah atau munfaq alaih (يه ل ع
فك ن ( م
c. Adanya barang atau sesuatu yang dijadikan nafkah atau munfaq
fiih (يه فك ف ن ( م
B. Tinjauan Umum Tentang Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perceraian menurut bahasa berasal dari bahsa Arab لك yang ط
artinya cerai (Prijono,1953:172). Dengan kata lain رق yang artinya ف
pisah (Asad,1989:97). Menurut istilah dalam Kamus Bahasa Indonesia
perceraian dalam hukum Islam antara suami istri atau kehendak suami
sehingga tidak bias melanjutkan hubungan perkawinan (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan,1990:163).
2. Macam-Macam Perceraian
Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan
yang diharapkan untuk selamanya hingga meninggal dunia, agar suami
istri bersama-sama mewujudkan rumah tangga sebagai tempat
berlindung, menikmati ruangan kasih sayang dan dapat memelihara anak-
anaknya hidup dalam pertumbuhan baik. Oleh karena itu ikatan antara
suami istri tersebut adalah ikatan yang suci dan kokoh, maka ikatan
tersebut tidak sepatutnya disepelekan dan diremehkan. Setiap usaha
untuk menyepelekan dan memutuskan hubungan perkawinan adalah
dibenci Tuhan karena merusak kebaikan dan kemaslahatan antara suami
istri.
Perceraian adalah pilihan hak antara suami istri yang telah
menikah, setelah tidak bisa menyatukan perbedaan yang timbul antara
keduanya. Jadi disyari‟atkannya talak dalam Islam adalah sebagai obat
dan sebagai jalan keluar bagi kesulitan yang tidak bisa dipecahkan
(Yusuf,t.th:296).
Disamping itu perceraian dapat dilaksanakan apabila disertai
dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh syariat, di antaranya adalah,
sebagai berikut :
a. Suami istri tidak dapat menjalankan fungsinya dalam hak Allah dan
hak suami istri dalam keluarga.
b. Istri tidak diberi nafkah bahkan bila suami tidak memberi nafkah
selama tiga hari berturut-turut maka hari keempatnya hakim dapat
memfasakh perkawinan atas dasar tuntutan istri.
c. Karena cacat
Yang dimaksud di sini adalah cacat jasad dan cacat rohani
yang tidak dapat dihilangkan dalam waktu relatif lama serta telah
diusahakan untuk berobat kepada dokter.
d. Perceraian karena penipuan (gharar)
Kalau seorang suami menipu calon istrinya dalam suatu
perkawinan, misalnya dengan mengatakan bahwa dirinya masih
jejaka, tetapi ternyata ia telah menduda atau masih dalam suatu
perkawinan dengan wanita lain, atau menipu dengan tidak akan
memberikan mas kawin. maka apabila telah terjadi akad nikah maka
seorang istri tersebut diberi hak memilih, apakah dia menerima
keadaan suami tersebut atau sebaliknya. Kalau istri tidak menerima
keadaan tersebut, ia boleh mengajukan gugatan perceraian kepada
hakim.
e. Perceraian dengan penganiayaan
Penganiayaan terhadap istri sangat dilarang dalam Islam
kecuali hanya sekedar memukul untuk memberikan pengarahan dan
pengajaran kepada istri.
Sedangkan yang dimaksud peceraian dengan penganiayaaan
adalah perceraian karena adanya aniaya dari suami, baik dengan
ucapan atau perbuatan. Jika seorang menduakan istrinya dan telah
berbuat aniaya sehingga istri tidak sanggup untuk hidup bersama
dengan suami, maka istri boleh menuntut perceraian kepada hakim
agar terhindar dari kejahatan suaminya. Apabila pengaduan istri itu
dapat dibuktikan maka hakim dapat menceraikan suami istri tersebut
setelah berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
f. Perceraian karena ghaib (suami pergi jauh)
Kalau seorang istri ditinggal pergi oleh suaminya dan ia
khawatir berbuat dosa, maka istri boleh mengajukan perceraian atau
gugatan.
g. Perceraian karena murtad
Murtad itu menyebabkan perceraian bahwa kekafiran
seseorang menyebabkan terhalangnya perkawinan dengan seseorang
muslim atau muslimah. Maka dalam hal ini dapat dibedakan menjadi
dua hal, jika yang murtad itu suami, maka istri boleh menuntut cerai
kepada hakim, akan tetapi jika yang murtad itu isterinya adalah
menasehatinya. Jika tetap tidak mau maka suami boleh
menceraikannya. Jika keduanya itu asalnya kafir, maka dilihat siapa
yang masuk Islam terlebih dahulu. pertama suaminya, maka suami
mengajak isterinya agar masuk Islam. Tetapi jika isteri dahulu yang
masuk Islam, sedangkan suaminya tidak, maka isteri berhak
menuntut cerai kepada hakim (Mufa‟at,1992:206). Disebabkan
karena riddah (murtad) maka hubungan pernikahan menyebabkan
putus.
3. Hak Khiyar Suami Istri Dalam Pernikahan
Hak khiyar adalah hak untuk memilih dalam perkawinan, apakah
ingin tetap kepada suami atau istri atau ingin meminta cerai kepada
suaminya atau istrinya.
Ini diharuskan untuk menggunakan hak khiyar, apabila ada salah
satunya atau dari pihak suami atau istri tidak bisa melaksanakan
tanggung jawab atau kewajibannya. Menurut Ibn Rusyd perkara-perkara
yang dapat mengakibatkan hak khiyar itu ada 4 macam yaitu :
a. Karena ada „aib
b. Suami tidak memberi mahar dan nafkah
c. Meninggalkan tempat tidur atau bersama (mafqud)
d. Kemerdekaan bagi hamba perempuan yang kawin.
BAB IV
ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA
YANG BERISI TENTANG PERKARA CERAI GUGAT
NOMOR 0006/PDT.G/2011/PA.SAL.
A. Analisa Putusan Hakim Terhadap Perkara Cerai Gugat di Pengadilan
Agama salatiga.
Perceraian sering dianggap suatu peristiwa tersediri dan menegangkan
dalam keluarga.Tetapi peristiwa ini sudah menjadi bagian kehidupan dalam
masyrakat.Kita boleh mengatakan bahwa inin bagian masalah yang perlu
direnungkan bagaimana akibat dan pengaruhnya dalam keluarga setelah
terjadinya perceraian.
Dalam sebuah keluarga yang semula memiliki cita-cita bersama untuk
mencipatkan keluarga yang bahagia dan sejahtera akan hancur apabila suami
istri didalam mengarungi kehidupan rumah tangga tidak dapat berjalan
dengan baik sebagaimana yang di cita-citakan. Dan mereka akan menganggap
bahwa bahwa sudah tidak ada gunanya lagi mereka untuk hidup bersama.
Untuk itulah mereka memilih jalan perceraian untuk mengakhiri
pernikahannya yang semua itu di timbulkan oleh dari beberapa masalah
diantaranya karena adanya perselingkuhan, percekcokan yang tidak pernah
berakhir, serta kurang bahkan tidak adanya rasa tanggung jawab seorang
suami kepada istrinya yang pada akhirnya timbul adanya gugatan perceraian
oleh istri.
1. Dalam Putusan Nomor 0006/PDT.G/2011/PA.SAL
Pengadilan Agama Salatiga telah memeriksa dan memutuskan
perkara gugatan perceraian yang diajukan oleh SR sebagaimana
putusnya yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, maka penulis
dapat memberikan suatu analisa bahwa penggugat mengajukan gugatan
perkaranya karena :
a. Tergugat tidak bekerja sejak awal pernikahan.
b. Tergugat sering marah-marah jika Penggugat tidak memberi uang
dan Tergugat sering menganiaya badan Pengggugat.
c. Tergugat tidak pernah memberi nafkah kepada penggugat sejak
awal pernikahan.
d. Tergugat pergi tanpa ijin Penggugat.
e. Antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada komunikasi lagi.
f. Antara Penggugat dan Tergugat sudah pisah rumah selama 1 tahun
4 bulan dan selama pisah tersebut Tergugat tidak pernah pulang,
tidak pernah mengirim kabar, dan tidak pernah member nafkah
kepada Penggugat.
Atas perlakuan yang telah dilakukan tergugat tersebut diatas,
yaitu merupakan pelanggaran terhadap sighat taklik yang
mengakibatkan Penggugat mengajukan ke Pengadilan Agama Salatiga
untuk memperoleh kepastian hukum.
Gugatan Penggugat dianggap telah memenuhi pasal 39 UU No.1
Tahun 1974 huruf, pasal PP. No 9 tahun 1975 huruf f serta pasal 116
huruf dan g, yang menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi dengan
alasan-alasan sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau memjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-
turut tanpan izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak memdapat hukuman selama 5 tahun atau lebih
berat setelah perkawinannya berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajiban suami istri.
f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan untuk rukun lagi dalam rumah
tangga.
Adapun huruf g Kompilasi hukum Islam berbunyi :
g. Suami melanggar taklik talak.
B. Analisa Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Mengenai Perkara
Cerai Gugat diPengadilan Agama Salatiga.
Para ahli filsafat hukum memang berbeda pendapat mengenai apakah
hakim punya peran untuk menemukan hukum, yang kadang kala atau selalu
bearti menyimpang dari undang-undang.
Menurut aliran klasik sebagaimana dianut oleh Emamanuel kant,
undang-undang adalah salah satunya sumber dari hukum positif(
Sudikno,1996:39-41).Artinya bahwa hakim hanya penyambung lidah atau
corong dari undang-undang itu sendiri, dan oleh karena itu hakim tidak boleh
menambah atau mengurangi kekuatan undang-undang. Akan tetapi menurut
penulis didalam memutuskan suatu perkara hakim pasti berdasarkan undang-
undang.
Menurut aliran Bebriffsjurisprudentz, berpendapat bahwa undang-
undang itu tidak lengkap, tetapi undang-undang itu sendiri memiliki daya
untuk memperluas pengertiannya sendiri. Kekurangan undang-undang tersebut
dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum-hukum logika dan
memperluas pengertian undang-undang berdasarkan rasio (Ali,1996:136-137).
Aliran lain yang memperbolehkan penemuan hukum oleh hakim dalam
peruses peradilan adalah Freirechtbewegung. Aliran ini berpendapat bahwa
tidak seluruh hakim ada dalam undang-undang, karena disamping undang-
undang masih ada sumber-sumber hukum lainnya yang dapat digunakan
hakim dalam penemuan hukum.Menurut aliran ini, hakim tidak semata-mata
mengabdi kepada kepastian hukum dan merealisasikan keadilan. Penemuan
hukum seperti ini disebut penemuan hukum bebas (sudikno,t.th:96-97).
Artinya hakim tidak memang harus menghormati undang-undang melainkan
harus menggunakan undang-undang sebagai sarana untuk menemukan
pemecahan hukum dari setiap peristiwa kongrit yang disodorkan kepadanya,
yang akhirnya dapat menjadi pedoman bagi pemecahan peristiwa konrit
serupa lainnya.
Dengan demikian hakim tidak sekedar menjadi penafsir undang-
undang melainkan juga sebagai pencipta hukum atau penemu hukum akan
tetapi hakim tidak bolehsekehendak hatinya melakukan penyimpangan
terhadap undang-undang atau member penafsiran terhadap undang-undang
seenaknya sendiri.
Yang dimaksud dengan proses penemuan hukum menurut penulis
adalah proses pembentukan hukum yang di lakukan oleh hakim atau aparat
hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan-peraturan
hukum umum pada peristiwa hukum konkrit. Dapat dikatakan juga bahwa
hukum adalah prosos konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang
bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkrit tertentu.
Pada dasarnya hakim memang harus menerapkan hukum yang ada
dalam peraturan perundang-undang.Adanya hukum yang tertulis yang ada
dalam bentuk perundang-undangan sebagai wujud dari asas lgalitas, memang
lebih menjamin adanya kepastian hukum.Tetapi undang-undang sebagai
produk politik, tidak mudah untuk diubah dengan cepat mengikuti perubahan
masyarakat. Di sisi yang lain, dalam kehidupan modern dan komplek serta
dinamis seperti sekarang ini, masalah-masalah hukum yang dihadapi
masyarakat semakin banyak dan beragam yang menuntut pemecahan yang
segera.
Dalam praktek hakim menghadapi dua kendala, yang sering kali kata
atau kalimat undang-udang tidak jelas atau undang-undang tidak lengkap
dalam arti belum secara tegas mengatur suatu kasus konkrit yang diajukan
kepada Hakim.Padahal disisi lain, hakim dilarang menolak mengadili suatu
perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih hukum tidak ada atau kurang
jelas, sebagaimana ditentukan dalam pasal 16 ayat (1) UU.Nomor 4 tahun
2004.
Kendala yang dihadapi ini menurut penulis dapat diatasi dengan dua
cara. Jika peraturannya tidak jelas, hakim melakukan penafsiran terhadap
bunyi undang-undang dengan berbagai metode penafsiran, seperti penafsiran
otentik, sistematis atapun sosiologis.Jika peraturannya tidak lengkap, hakim
dapat melakukan penalaran dan juga dapat dilakukan dengan berbagai metode
penalaran atau argumentasi tertentu seperti penyempitan hukum.
Akan tetapi dalam memutuskan perkara Nomor 0006/Pdt.G/2011/Pa.Sal.di
Pengadilan Agama Salatiga, hakim mengesampingkan aturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan atau yang mengatur
kekuasaan kehakiman, yakni : UUD Tahun 1945, UU. No.4 Tahun 2004
tentang kekuasaan kehakiman dan UU No . 5 Tahun 2004 tentangMahkamah
Agung karena pada dasarnya ketiga peraturan perundang-undang tersebut
dapat ditemukan beberapa prinsip sebagai berikut :
1. Putusan peradilan adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
serta memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan social
bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
3. Prinsip kemandirian hakim, yaitu tidak saja bebas dari kekuasaan lain
diluar kekuasaan pengadilan, namun juga harus bebas dari pengaruh
kepentingannya sendiri.
4. Prinsip pengadilan tidak boleh menolak perkara.
5. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman sebagai
revisi UU No. 4 tahun 1970 Bab IV tentang hakim dan kewajibannya, pasal 28
ayat (1) dinyatakan bahwa “hakim yang hidup dalam masyarakat” . Ketentuan
pasal 28 ayat (1) ini merupakan pengulangan dengan sedikit perubahan dari
pasal 27 UU No. 4 tahun 1970 yang digantikannya.
Dari ketentuan diatas tersirat makna secara juridis maupun filosofis
bahwa hakim Indonesia mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan
penemuan hukum dan penciptaan hukum, agar putusan yang diambilnya dapat
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Dalam penjelasan pasal 30 ayat (1) UU No. 5 tahun 2004 tentang
Makamah Agung yang berbunyi : “ dalam memeriksa perkara, Mahkamah
Agung berkewajiban menggali, mengikuti dan memahami rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat “ pada hakekatnya mempunyai arti yang sama
dengan pasal 28 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 diatas. Yakni seorang Hakim
Agung karena keluhuran jabatannya harus dapat melakukan penemuan hukum
dalam upaya mewujudkan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat melalui
putusan-putusan yang diambilnya dalam penyelesaian perkara yang
disodorkan kepadanya.
Dalam memeriksa suatu perkara maka hakim bertugas untuk
mengkonstatir, mengkualifisir, dan kemudian mengkonstituir.Mengkonstatir
artinya hakim harus menilai apakah peristiwa atau fakta-fakta yang
dikemukakan oleh para pihak itu adalah benar-benar terjadi.Hal ini hanya
dapat dilakukan melalui pembuktian.
Membuktikan yang dimaksud disini adalah mempertimbangkan secara
logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah
dan hukum pembuktian yang berlaku.Dalam pembuktian itu, maka para pihak
member dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
diajukan.
Fakta adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan yang terjadi (dilakukan)
dalam dimensi ruang dan waktu.Suatu fakta dapat dikatakan terbukti apabila
telah diketahui kapan, dimana dan bagaimana terjadinya. Misalnya gugatan
perceraian, fakta yang perlu dicari kebenarannya adalah dasar atau alasan
berdasarkan dalili-dalil gugatan yang diajukan oleh Penggugat yang dalam hal
ini adalah seorang istri, berdasarkan surat gugatannya yang telah diajukan ke
Pengadilan Agama. Yang secara detail dapat dicontohkan mengenai kebenaran
seorang suami atau Tergugat yang melakukan perselingkuhan dan
menterlantarkan istri atau Tergugat sebagaimana perkara No.006/Pdt.G/2011/
PA.Sal.
Dalam memutuskan perkara tersebut seharusnya Majelis Hakim
memeriksa terlebih dahulu dipersidangan melalui alat-alat bukti yang
diajukan, sehingga Majelis Hakim tidak akan salah dalam memutuskan
suatuperkara yang diajukan kepadanya sihingga berakibat pada ketidak adilan
hukum.
Kongkretnya dalam memberi putusan, para hakim tidak boleh keluar
dari koridor hukum yang mengatur tentang persoalan yang diperkarakan.
Putusan hakim akan menjadi kepastian hukum dan mempunyai kekuatan
mengikat untuk dijalankan, karena putusan hakim adalah pernyataan hakim
yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam
sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum, sebagaimana gugatan
Penggugat, apakah benar gugatan yang diajukan sesuai dengan kenyataan,
dalam hal ini hakim memiliki sebuah pertibangan-pertimbangan. Menurut
pendapat penulis, pertimbangan hakim ini diklasifikasikan memjadi dua
yaitu:
a. Petimbangan hukum
Petimbangan hukum disini berarti ketika hakim menjatuhkan
putusannya harus sesuai dengan dalil-dalil dan bukti-bukti hukum yang
diajukan.Dalil maupun bukti-bukti yang bias disyaratkan menurut
Undang-undang adalah sebagai berikut :
1) Bukti surat
2) Bukti saksi
b. Pertimbangan sosial
Pertimbangan sosial disini berarti kitika hakim menjatuhkan
putusannya selain harus sesuai dengan dalil-dali dan bukti yang sesuai
dengan Undang-undang, hakim juga dituntut untuk mempertimbangkan
akibat yang akan diterima oleh pihak Penggugat dan Tergugat dari
putusannya tersebut. Karena pada hakekatnya seseorang yang mengajukan
perkaranya ke Pengadilan Agama adalah untuk memperoleh keadilan
hukum yang ideal.Untuk memdapatkan hasil yang ideal tersebut, dalam
penyelesaian perkara harus dipertimbangkan semua faktor yang
berpengaruh dalam proses penyelesaian suatu perkara. Dalam
penyelesaian suatu perkara, ternyata terdapat berbagai faktor yang
mempengaruhi proses penyelesaian perkara, baik pengaruh positif maupun
negatif.
Menurut pengamatan penulis, faktor yang mempengaruhi proses
penyelesaian perkara meliputi faktor pihak yang berperkara, faktor kuasa
hukum, faktor kesiapan alat bukti, faktor sarana dan pasarana, faktor budaya
hukum, faktor komunikasi dalam persidangan, faktor aparat pengadilan,
faktor hakim. Kesemuanya itu harus dipertimbangkan dan dimanfaatkan
dengan efektif, efesien, tepat dan memuaskan bagi para pencari keadilan.
Menurut penulis, selain ideal putusan hakim juga memenuhi syarat
yuridis sehingga dapat dikatakan sebagai putusan yang dapat
dipertanggungjawabkan ilmiah. Hal ini berbeda dengan bentuk penyelesaian
non litigasi. Putusan yang tidak memenuhi syarat yuridis akan hilang nilainya
sebagai putusan. Adapun komponen syarat yuridis tersebut antar lain adalah :
1. Mempunyai dasar hukum, artinya harus disesuaikan dengan hukum
materiil (dasar putusan) dan hukum formil (hukum acara).
2. Memberi kepastian hukum, yaitu bahwa putusan tersebut tidak boleh
menggalkan rasa keadilan dan kemanfaatan. Artinya tidak terlalu
mementingkan kepastian hukum yang akan berakibat mengorbankanrasa
keadilan dan begitu juga sebaliknya, akan tetapi keduanya harus seimbang.
Tetapi dibalik itu ada beberapa hukum yang bersifat memaksa kepada
masing-masing pihak.
3. Memberi perlindungan hukum dan menjamin hak asasi manusia.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitiandananalisaterhadapputusanperkaraceraigugat
No.006/PDT.G2011/PA.Sal.penulisdapatmengambilkesimpulansebagaiberiku
t :
1. TergugattidakpernahmemberinafkahkepadaPenggugat, karena
a) Tergugattidakberkejadanuntukmencukupikebutuhanrumahtanggamas
ihditanggungsepenuhnyaoleh orang tuaPenggugat.
b) TergugattelahpergimeninggalkanPenggugattanpaijindansampaisekar
angsudah 1
tahun4lamanyatidakpernahpulangdantidakpernahmengirimkankabar
dannafkahkepadaPenggugatdanseoranganak.
c) Berdasarkanfakta-
faktahukumdiatasdapatdinyatakanTergugattelahmelalaikankewajiban
nyayaitutidakmemperdulikandantidakmemberinafkahkepadaPenggu
gatselama 1 tahun 4 bulan.
2. Bahwadasarpertimbangan hakim Pengadilan Agama
SalatigadalammemutuskanperkaranyaadalahdisesuaikandenganNomor :
428 Hakim
memberikanputusanmenerimagugatanPenggugatdanmemutuskanpercerai
anberdasarkanketerangansaksidantakliktalakdenganalasantelahmemenuhi
pasal 19 PP No. 9/75.
3. Berdasarkan KHI Pasal116 huruf f dan g KHI
bahwaTergugattelahmelanggartakliktalak yangtelah di
ucapkanolehTergugatpadaawalpernikahan.
B. Saran
Denganadanyabebagaimacamputusan yang
dikeluarkanolehPengadilan Agama
Salatigamengenaiperkaraceraigugatmakapenulismenyarakan :
1. Hendaknyasetiapgugatanperkaraperceraian yang masukkepengadilan,
sebaiknyajanganlahterlalumudahuntukdikabulkan, kecualialasan yang
dikemukakanbetul-
betuldapatditerimasertaikatanperkawinanitudilanjutkanakanmenimbulka
nkesengsaraansalahataubahkankeduabelahpihak.
2. Kepada hakim Pengadilan Agama
untukdapatmenerapkanpemaknaanterhadapundang-
undangsebelummenerapkannyapadasuatuperkarasupayaPengadilan
Agama benar-benardapatmenegakkankeadilansebagaimana yang dicita-
citakandandinanti-nantikanolehmasyarakat,
tidakhanyasekedarmengikutiperintahdanprosedur yang
tercetakdalamundang-undangsajakarenaakantidakadagunanyabertahun-
tahunsusahpayahdansibukmencetakahlihukumjikakerjanyatidaklebihdar
ikomputer yang hanyamemencet-
mencetpasaltanpamemperhatikankesadaranhukumparapihak.
3. Dalammemutuskanperkaraseharusnyatidakhanyadiukurdenganpendapat
, kenyakinandanperasaan hakim
secarasepihaksehinggaparapihaktidakdapatmemahamidanmenerimaputu
san hakim yang secarasubyaktifberadadiluarpendapat,
keyakinandanperasaanmereka. Karenaakibat yang
timbulsecarakasatmatadariputusantersebuthanyaakandirasakanoleh
yang berperkara.
4. Bahwaolehkarenaadanyaperbedaandalampemaknaanterhadapundang-
undangolehMajelis Hakim makadisarankankepadamasyarakat agar
dapatmengkhiripermasalahannyadenganperdamaiansecarakekeluargaan.
DAFTAR PUSTAKA
- Abbas Kararah, BerbicaraDenganWanita, Gema Insane Press, 1998.
- Abdul Halim Abu Syuqqah.1998.KebebasanPerempuan, Gema Insane Press,
Jakarta.
- AchieSudiartiLuhulima. 2007. Bahan Ajar TentangHakPerempuan , UU
No.7 Tahun 1984
PengesahanKonvensiMengenaiPenghapusanSegalaBentukDiskriminasiTerha
dapPerempuan, YasanObor Indonesia, Jakarta.
- BadriyahHarun, S.H. 2009.Tata Cara MenghadapiGugatan, PustakaYustisa,
Yogyakarta.
- Dr. KH. Muslih Abdul Karim, MA.
2007.KeistimewaanNafkahSuami&KewajibanIstri, QultumMedia,Jakarta.
- Dr . Abdul Gani Abdullah, SH. 2002.Pengantar KompilasiHukum Islam
Dalam Tata Hukum Indonesia, Gema Insane Press, Jakarta.
- GusArifin, MenikahUntukBahagia. 2010.FiqhNikahdan Kama Sutra Islam,
PT Gramedia, Jakarta.
- Gilbert Lumoidong. 2010.MenangatasMasalahHidup, PT Gramedia, Jakarta.
- Gus arifin&suhendriabufaqih, 2010.al-qur‟an terjemah,PTElex Media
Komputindo, Jakarta.
- KompilasiHukum Islam. 2006.PustakaWidyatama, Yogyakarta.
- MewujudkanHidupBerimandalamMasyarakatdanLingkunganHidup.2006.Kan
isius, Yogyakarta.
- MeraihRizkiTakTerduga, Qultummedia, Jakarta,t.th.
- M. NashiruddinAlbani. 2008.RingkasanShahihBukhari, GemaInsani, Jakarta.
- MohamadZaka Al Farisi. 2008.When I Love You
MenujuSuksesHubunganSuamiIstri, GemaInsani Press.
- Prof. Dr. M. QuraishShihab. 2008.FIQIHPraktisJilid II Menurut Al-Qur‟an,
As-Sunnah, danPendapat Para Ulama, Karisma, Bandung.
- Prof. H. Mahmud Junus. 1989.kamusBahasa Indonesia Arab,
Pthidakaryaagung , Jakarta.
- PanduanBantuanHukum Di Indoseia, Sentralisme Production.
2006.Jakartabarat.
- RedaksiBukune‟. 2010.Undang-Undang Dasar 1945 &Perubahannya,
Cinganjur – Jagakarsa, Jakarta Selatan.
- Syyidsabiq
- Seri Perundangan. 2004.Undang-Undang Perkawinan,Undang-
UndangRepublik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
BesertaPenjelasannya,PustakaWidyatama, Yogyakarta.
- Seri Perundangan. 2008.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 TentangPerkawinandanKompilasiHukum Islam, PustakaYustisa,
Yogyakarta.
- SuwardiEndrawara. 2006.MetodeTeori, TeknikPeneltianKebudayaan,
Ideologi, Epistemilogi, danAplikasi, PustakaWidyatama, Yogyakarta.
- Ustadz Muhammad ArifinIlham, MenikahlahDengankuatasnamaCintaIlahi,
Qultummedia, Jakarta, t.th.
- http://kamusbahasaindonesia.org/alasan: kamusbahasa Indonesia online
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : AANG SETIAWAN
Nim : 21105017
Tempat/ Tanggal Lahir : Serawai , 2 Febuari 1985
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Dusun Sungai Tapang RT 011/ Rw-
Kecatan Dedai Kabupaten Sintang
( Kalimantan Barat )
Riwayat Pendidikan : - SDN 13 sungai tapang tahun 1997
- SMPN 3 dedai tahun 200
- Ma Islamiyah AsSoorkaty tahun 2003
Demikian daftar riwayat hidup ini penulis dibaut dengan sebenar-benarnya.
Salatiga, 18 februari 2012
Penulis
AANG SETIAWAN
NIM. 21105017