kepentingan ekonomi rwanda dalam perang kongo
TRANSCRIPT
KEPENTINGAN EKONOMI RWANDA DALAM PERANG KONGO
SKRIPSI
Diajukan guna memenuhi salah satu syarat
Untuk memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas
Oleh:
ARINALDO HABIB PRATAMA
1010852001
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ANDALAS
2015
ii
iii
iv
v
Abstract
This research is conducted to understand how Rwanda is able to achieve
their economic interest in Congo War,using national interest and resource wars
as main concept . The result of research shows that Rwanda is able to achieve
their economy interest because either Democratic Republic of Congo was unable
to grasp political, security and also economy control. The emergences of mineral
world market during Congo War also contribute to Rwanda‘s economy interest
during Congo War. Although Rwanda‘s economic interest in DRC could be
categorized as form of illegal economy, Rwanda able to convince international
community and Rwanda‘s people because security threat that come from inside
Zaire or DRC.
Keyword : Rwanda, Congo War, economy interest, resource wars, mineral
exploitation
vi
Abstrak
Penelitian ini ditujukan untuk memahami bagaimana Rwanda mampu untuk
mencapai kepentingan ekonomi mereka selama Perang Kongo, menggunakan
kepentingan nasional dan perang sumber daya sebagai konsep. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa alasan Rwanda mampu untuk mencapai kepentingan
ekonominya karena Republik Demokratik Kongo tidak mampu mengendalikan
situasi politik, keamanan dan juga politik di dalam negaranya. Tingginya
permintaan berbagai mineral di pasar dunia juga berkontribusi atas kepentingan
ekonomi Rwanda selama Perang Kongo. Meskipun kepentingan ekonomi Rwanda
di RDK bisa dikategorikan sebagai aktivitas ekonomi yang ilegal, Rwanda
berhasil meyakinkan komunitas internasional dan masyarakat Rwanda
dikarenakan klaim ancaman keamanan yang muncul dari Zaire atau RDK.
Kata Kunci: Rwanda, Perang Kongo, kepentingan ekonomi, eksploitasi mineral,
perang sumber daya
vii
KATA PENGANTAR
Benua Afrika sebagai salah satu subjek kajian Hubungan Internasional
kurang mendapatkan perhatian oleh pengkaji dan akademisi HI di Indonesia.
Namun, banyak hal menarik yang bisa ditemukan dalam sistem negara-bangsa di
Afrika, terutama menyangkut konflik dan peperangan di benua tersebut.
Fenomena yang peneliti bahas di dalam karya tulis ini, Perang Kongo, termasuk
konflik terbesar yang berlangsung paska Perang Dingin berakhir
Perang Kongo sebelumnya berlangsung untuk menggulingkan dua
kediktatoran yang sebelumnya berkuasa di negara tersebut. Namun, perang
tersebut melibatkan intervensi yang berasal dari luar RDK, dimana Rwanda
sebagai pokok pembahasan karya tulis ini turut terlibat dalam invasi tersebut. hal
ini cukup menarik mengingat 2 tahun sebelum keterlibatan Rwanda di dalam
Perang Kongo, Rwanda mengalami apa yang dinamakan genosida, yang
kemudian menyebabkan negara tersebut mengalami krisis sosial, politik dan
ekonomi.
Perang ini selain berlangsung untuk mempertahankan keamanan Rwanda
dari ancaman pemberontakan yang berasal dari RDK, juga berlangsung atas
pertimbangan dan kepentingan yang bersifat ekonomis. Keterlibatan politikus dan
perwira Rwanda di dalam Perang Kongo dalam eksploitasi mineral secara ilegal
di RDK dapat ditemukan dalam karya tulis ini. Bahkan, eksploitasi tersebut
berlangsung atas sepengetahuan Paul Kagame, Presiden Rwanda ketika Perang
Kongo berlangsung.
viii
Atas fenomena ini, peneliti kemudian tertarik untuk membahas segala aspek
yang berkaitan dengan eksploitasi dan upaya untuk memperoleh kepentingan
ekonomi di RDK oleh Rwanda sebagai negara, mulai dari alasan, kapabilitas
secara ekonomi dan politik untuk melancarkan perang, maupun kebijakan yang
diambil Rwanda selama Perang Kongo berlangsung.
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Berkah dan petunjuk yang diberikan Allah swt, peneliti panjatkan setinggi-
tingginya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selain itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Apriwan S.Sos, MA selaku Dosen Pembimbing I, untuk kritik dan saran
yang diberikan kepada penulis, sekaligus “ketabahan” yang diberikan selama
proses bimbingan. Semoga di kehidupan depannya, penulis dapat memenuhi
ekspektasi yang penulis peroleh, seandainya penulis bisa menekuni dunia
akademis.
2. Bapak Virtuous Setyaka, S.IP, M.Si selaku Dosen Pembimbing II, yang telah
mengarahkan peneliti untuk mengerjakan skripsi ini melalui berbagai diskusi yang
membangun.
Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada segenap staf pengajar
HI UNAND, yang mengajarkan berbagai ilmu dan wawasan, yang mana membuat
peneliti semakin tertarik dan tekun mendalami Hubungan Internasional sebagai
bidang studi (semoga bisa dilanjutkan kedepannya).
Terpenting dan yang paling utama, terima kasih pada orangtuaku yang memandu
jalan penulis hingga sampai pada tahap ini, Mama dan Papa (yang mana penulis
dapat membahagiakan mereka), dan ketiga adik penulis, Adib, Abyan dan Afif,
semoga bersama-sama bisa menempuh masa depan yang lebih baik.
Terutama, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya dan
setulusnya kepada HI Angkatan 2010, yang bersama-sama telah menjalani 5 tahun
bersama. Terimakasih karena telah “menyerap” semua kegilaan dan semua
keambiguan yang sudah kita lalui bersama-sama, sehingga hubungan erat berhasil
kita jalani.
Terakhir, penulis mengucpakan terimakasih kepada Angkatan 2011, 2012 dan
2013 yang mendorong dan menyemangati penulis sehingga penulisan dan
penyelesaian skripsi ini menjadi menarik dan berwarna.
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
SURAT PERNYATAAN
ABSTRACT
ASBTRAK
KATA PENGANTAR
UCAPAN TERIMA KASIH
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
Daftar Singkatan
BAB I
PENDAHULUAN
ii
iii
iv
v
vi
vii
ix
x
xii
xii
xiii
1
1.1 Latar Belakang
Rumusan Masalah
Pertanyaan Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Studi Pustaka
Kerangka Konseptual
1
1.2 5
1.3 5
1.4 6
1.5 6
1.6 6
1.7 12
1.7.1
1.7.2
National Interest
Resource Wars
12
14
1.8 Batasan Masalah 19
1.9
1.10
Tingkat Analisa dan Unit Analisa
Teknik Pengumpulan Data
19
20
1.11
1.12
1.13
Teknik Pengolahan Data
Teknik Analisis Data
Sistematika Penulisan
20
21
21
BAB II
SEJARAH PERANG KONGO 23
2.1 Sejarah Perang Kongo Pertama (1996-1997) 23
2.2 Sejarah Perang Kongo Kedua (1998-2003) 27
2.3 Rwanda dalam Perang Kongo 33
2.3.1 Deskripsi Rwanda secara Umum
2.3.2 Rwanda dan Perang Kongo Pertama
2.3.3 Rwanda dan Perang Kongo Kedua
33
36
42
BAB III
POTENSI EKONOMI SELAMA PERANG KONGO 51
3.1 Industri Pertambangan di Zaire sebelum Perang Kongo Pertama 51
3.2 Penyelundupan Komoditas dan Mineral sebagai Ekonomi Informal di
Republik Demokratik Kongo
54
3.3 Konsesi Pertambangan dari Perusahaan Internasional setelah Perang 57
xi
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 119
5.1 Kesimpulan 119
5.2 Saran 122
DAFTAR PUSTAKA 123
Lampiran I 125
3.4
Kongo Pertama
Konsesi Pertambangan di RDK setelah Perang Kongo Kedua
58
BAB IV ANALISA KEPENTINGAN EKONOMI RWANDA DALAM
PERANG KONGO
61
4.1 Kepentingan Nasional Rwanda dilihat dari Perspektif Ekonomi 62
4.1.1 Sektor Pertambangan Rwanda dan Kesulitan yang
Mereka Alami
62
4.1.2 Kepentingan Nasional Rwanda dalam Perang
Kongo: Paul Kagame dan Self Financing War
63
4.1.3 Rwanda dan Monopoli Perdagangan Mineral
selama Perang Kongo Berlangsung
70
4.1.4 Capaian Rwanda secara Ekonomi dalam Perang
Kongo
73
4.1.5 Rwanda dan Pasar Mineral Dunia sebagai Tujuan
dari Eksploitasi Mineral RDK
78
4.3 Private Resource Diplomacy dan Warlordisme dalam Perang Kongo
Pertama
83
4.3.1 Private Resource Diplomacy dalam Perang Kongo Pertama 83
4.3.2 Warlordism dalam Perang Kongo Pertama 93
4.4 Private Resource Diplomacy dan Warlordisme dalam Perang Kongo
Kedua
102
4.4.1 Private Resource Diplomacy dalam Perang Kongo Kedua 102
4.4.2 Akazu 107
4.4.3 Congo Desk 110
4.4.4 Warlordism dan RCD sebagai proxy bagi kepentingan
ekonomi Rwanda
113
xii
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Tipologi Perang Sumber Daya Alam menurut
Philippe L. Billon
16
Tabel 2.1 Jumlah personil dari masing-masing negara yang
terlibat dalam Perang Kongo Kedua
45
Tabel 2.2 Kekuatan Militer Rwanda di Republik Demokratik
Kongo pada Perang Kongo Kedua
46
Tabel 2.3 Pemasukan dan Pengeluaran Militer Rwanda pada
Perang Kongo Kedua
49
Tabel 4.1 Produksi dan Ekspor Koltan Rwanda selama tahun
1996-2000
76
Tabel 4.2 Tabel Produksi Emas Rwanda dalam tahun 1994-
2000
77
Tabel 4.3 Tabel Impor Emas Belgia dari Rwanda 78
Tabel 4.4 Keuntungan Rwanda dan Uganda selama Perang
Kongo Kedua
96
Gambar 2.1 Peta Perang Kongo Pertama (1996-1997) 24
Gambar 2.2 Peta Perang Kongo Kedua pada tahun 2003 28
Gambar 2.3 Peta Rwanda 34
Gambar 4.1 Paul Kagame bersama Prajurit Rwanda di Stadium
Nasional Kigali
65
Gambar 4.2 Peta Kandungan Mineral di Zaire / Republik
Demokratik Kongo
74
Gambar 4.3 Grafik Perdagangan Koltan Republik Rakyat
Tiongkok dengan beberapa negara di Afrika
79
Gambar 4.4 Pasukan RCD di Kivu selama Perang Kongo Kedua 106
xiii
DAFTAR AKRONIM
ADFL Alliance des Forces Démocratiques pour la libération du Congo-Zaire
ADP Alliance Démocratique des Peuples
AMF American Mineral Field
CNRD Conseil National de Résistance pour la Démocratie
DMI Department of Military Intelligence (Intelijen Militer Rwanda di RDK
sejak Perang Kongo Kedua
FAC Forces Armées Congolaises (Angkatan Bersenjata Kongo) (sejak 1997)
FAR Forces Armées Rwandaises (Angkatan Bersenjata Rwanda sebelum RPF
berkuasa)
FAZ Forces Armées Zaïroises (Angkatan Bersenjata Kongo Selama Perang
Kongo Pertama)
GECAMINES Générale des Carrières et des Mines
IMF International Monetary Fund
LDF Local Defense Force
MLC Mouvement pour la Libération du Congo (Movement for the Liberation of
Congo)
MRLZ Mouvement Révolutionnaire pour la Libération du Zaïre
RDK Republik Demokratik Kongo
RPF Rwanda Patriotic Front
RPA Rwanda Patriotic Army
SADC Southern Africa Development Commitee
SOMIGL Société Minière des Grands Lac
UMHK Union Miniere du Haut-Katanga
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kepentingan ekonomi Rwanda
sebagai negara yang melakukan invasi dalam Perang Kongo Pertama yang
berlangsung selama tahun 1996-1997 dan Perang Kongo Kedua, selama tahun
1998-20031. Sebagai salah satu negara yang turut berpartisipasi dalam Perang
Kongo, Rwanda sebetulnya tidak memiliki kapabilitas yang cukup dalam
melakukan invasi. Ketidakmampuan dari angkatan bersenjata Rwanda sebelum
Perang Kongo karena embargo persenjataan yang diberlakukan ke negara tersebut
selama genosida berlangsung2.
Sebelum dimulainya Perang Kongo pada tahun 1996, Rwanda mengalami
apa yang dinamakan genosida. Genosida di Rwanda berlangsung ketika milisi
Hutu dari yang berpihak pada Presiden Rwanda yang juga seorang Hutu, Juvenil
1 Sasha Lezhnev dan John Prendergast, Rwanda‘s Stake in Congo: Understanding Interests to
Achieve Peace, Enough ! Project, hal. 5 2 Sebenarnya, sebelum genosida berlangsung, Angkatan Bersenjata Rwanda di era Habyarimana
sendiri sempat membeli persenjataan dari Perancis, Afrika Selatan dan berbagai negara lainnya.
namun, berbagai Resolusi PBB yang ditandatangani sebelum genosida berlangsung terkait
embargo senjata ke Rwanda membuat Angkatan Bersenjata Rwanda harus menyelundupkan
persenjataan mereka dari Zaire, yang sayangnya seringkali dapat disabotase oleh Rwanda Patriotic
Front. Sumber: Damien Fruchart, United Nations Arms Embargoes:Their Impacts on Arms Flows
and Target Behavior in Rwanda 1994-Present, Stockholm: Stockholm International Peace
Research Institute
2
Habyarimana, melakukan pembantaian terhadap etnis Tutsi karena dianggap telah
memberikan dukungan kepada Rwanda Patriotic Front (RPF)3.
RPF berhasil menggulingkan pemerintahan Rwanda yang didominasi oleh
etnis Hutu, namun Rwanda menghadapi berbagai masalah, terutama masalah
sosial, politik dan ekonomi. Situasi yang dihadapi oleh Rwanda pada waktu itu
seharusnya tidak memungkinkan negara tersebut untuk melakukan invasi ke
Republik Demokratik Kongo4. Namun hal yang sebaliknya terjadi, Rwanda secara
mengejutkan bisa terlibat dalam Perang Kongo dalam dua periode sekaligus,
yakni tahun 1996-1997 dan 1997-2003.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Perang Kongo dibagi dalam dua
periode, 1996-1997 dan 1998-2003. Pada periode pertama, perang ini berlangsung
untuk menggulingkan diktator negara tersebut, Mobutu Sese Seko. Pada periode
kedua, orang yang sebelumnya memimpin pemberontakan pada Perang Kongo
Pertama, Laurent Kabila, memimpin negara itu dengan represif dan otoriter
sehingga selama kepemimpinannya sehingga terdapat berbagai milisi bersenjata
yang muncul untuk menggulingkan Kabila dari kekuasaannya.
Aktor-aktor yang terlibat dalam Perang Kongo Pertama dan Kedua terbagi
dalam dua kelompok, milisi bersenjata dan negara. Keterlibatan milisi bersenjata
muncul sebagai bentuk ketidakpuasan atau grievance terhadap kepemimpinan
kepala negara tersebut, apakah itu Mobutu Sese Seko maupun Laurent Kabila.
Sedangkan keterlibatan berbagai negara dalam perang ini dikarenakan negara-
3 Rwanda Patriotic Front (RPF) adalah kelompok bersenjata yang didirikan oleh pengungsi Tutsi
yang berdiam di berbagai negara yang berdekatan dengan Rwanda 4 Untuk selanjutnya, baik dalam penjelasan mengenai Perang Kongo Pertama dan Kedua, peneliti
akan menggunakan nama Republik Demokratik Kongo, atau dengan akronim negara tersebut,
RDK
3
negara tersebut terlibat dalam berbagai pertempuran maupun mempersenjatai
milisi-milisi bersenjata yang memulai pemberontakan atau bekerjasama dengan
angkatan bersenjata Republik Demokratik Kongo. Pada Perang Kongo Pertama,
para aktor yang terlibat adalah ADFL( Alliance des Forces Démocratiques pour
la libération du Congo-Zaire), Zaire, Rwanda, Uganda dan Angola5. Sedangkan
pada Perang Kongo Kedua, para aktor yang terlibat adalah RDK, Rwanda,
Uganda, Zimbabwe, Angola, Namibia dan milisi bersenjata yang terdiri dari RCD
(Rassemblement Congolaise pour la Démocratie), MLC (Mouvement pour la
Libération du Congo) dan Mai-Mai6.
Rwanda sebagai salah satu negara yang melakukan invasi pada RDK,
adalah sebuah negara kecil yang tidak berbatasan dengan laut atau landlocked,
dan berbatasan dengan Uganda, Tanzania, Burundi dan RDK (Zaire pada Perang
Kongo Pertama). Secara ekonomi, 90% penduduknya bergantung pada hasil
pertanian. Rwanda memiliki lahan yang terlalu sempit sehingga seringkali
penduduk membuka lahan pertanian sampai taman nasional7. Secara politik,
Rwanda pernah mengalami genosida pada tahun 1994 atau 2 tahun sebelum
Perang Kongo Pertama dimulai. Negara tersebut mengalami genosida karena
kebencian etnis Hutu yang mayoritas terhadap etnis Tutsi sebagai minoritas
membuat masing-masing etnis mempersenjatai diri. Secara ekonomi, genosida
mempengaruhi harga teh dan kopi sebagai komoditas utama negara tersebut dan
pemerintahan Rwanda tidak mampu membiayai subsidi dengan membeli harga
5 John F. Clark, The African Stakes of Congo War,( Palgrave Macmillan : New York, 2002), hal.
109-125 6 Ibid 7 Jean Bigagaza, Carolyn Abong dan Cecile Mukarubuga, Land Scarcity, Distribution and Conflict
in Rwanda, (Pretoria: Institute for Security Studies), 2002, hal. 51.
4
kopi dan teh yang dipetik petani dengan harga yang lebih mahal8. Ketika RPF
berkuasa, mereka menyadari tidak akan mampu mengembalikan ekonomi negara
dan memperkaya diri mereka sendiri jika hanya bergantung pada ekspor kopi dan
teh.
RPF dibawah pimpinan Paul Kagame langsung melakukan berbagai upaya
untuk memperkuat pengaruh angkatan bersenjata baru paska genosida, Rwanda
Patriotic Army atau RPA, di dalam pemerintahan. Berbagai posisi pemerintahan
berada di bawah pengawasan angkatan bersenjata dan intelijen, atau beberapa
peneliti menyebutnya dengan sinis sebagai „tutsifikasi‟9. Kebanyakan dari
petinggi militer dan intelijen paska genosida adalah orang-orang yang datang dari
berbagai pengungsian etnis Tutsi seperti di Uganda dan Tanzania. Kesamaan latar
belakang tersebut membuat Paul Kagame yakin akan loyalitas mereka untuk
memenuhi kepentingan Kagame dan golongan-golongan terdekatnya. Sebelum
RPF berkuasa, terdapat sistem Akazu10
dimana jaringan ini digunakan untuk
menjamin loyalitas pejabat dari etnis Hutu dengan pembayaran subsidi terhadap
ladang kopi di Rwanda. Sistem serupa juga dijalankan oleh Kagame yakni berupa
pembagian keuntungan terhadap pejabat terdekat atau patrimonialisme tidak
terbatas pada subsidi bagi ladang kopi, namun juga dengan bantuan keungan yang
didapatkan dari IMF dan Bank Dunia, dan juga eksploitasi sumber daya alam.
Invasi ke RDK adalah salah satu upaya Kagame untuk melanggengkan sistem ini,
8 Karol C. Boudreaux dan Puja Ahluwalia, Cautiously Optimistic: Economic Liberalization and
Reconciliation in Rwanda Coffee‘s Sector, hal.147 9 Bjorn Willum, Foreign Aid to Rwanda: Totally Beneficial or Contributing to War,
(Diss.,University of Copenhagen, 2001), Hal.74 10
Akazu adalah orang-orang yang dekat dengan Presiden Paul Kagame dan kedekatan tersebut
digunakan untuk memperoleh kepentingan politik atau kepentingan ekonomi tertentu
5
dan para perwira militer maupun pejabat Rwanda akan diuntungkan dari kekayaan
alam RDK dan Kagame pun bisa melanggengkan kekuasaan11
.
1.2 Rumusan Masalah
Sebagai negara yang terbelakang secara ekonomi dan memiliki masalah
politik paska genosida, Rwanda tidak memiliki kapabilitas yang cukup untuk
menghadapi Zaire atau Republik Demokratik Kongo yang merupakan salah satu
negara terbesar di benua Afrika dari segi luas. Rwanda dapat dikatakan sebagai
salah satu aktor penting dalam berjalannya Perang Kongo Pertama dan Kedua
karena mampu menandingi angkatan bersenjata Zaire atau Republik Demokratik
Kongo. Kemudian, alasan berikutnya untuk menyatakan bahwa Rwanda adalah
aktor penting selama Perang Kongo berlangsung adalah kemampuan negara
tersebut untuk mengambil keuntungan secara ekonomi selama perang
berlangsung, melalui pengelolaan dan pengendalian mineral yang strategis di
Republik Demokratik Kongo
1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang dapat dari rumusan masalah di atas adalah : “
bagaimana upaya Rwanda memperoleh kepentingan ekonomi dalam invasinya
terhadap Republik Demokratik Kongo?”
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan kepentingan ekonomi Rwanda di
Perang Kongo Pertama dan Kedua.
11
Pernyataan ini mengutip 2 literatur utama mengenai pemerintahan otoriter di Rwanda dibawah
Rwanda Patriotic Front, yakni David Booth dari UK Department of International Development
yang berjudul Developmental Patrimonialism? The Case of Rwanda dan Will Jones dari Refugee
Studies Center, University of Oxford yang berjudul Africa‘s Illiberal State Builders
6
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang ingin peneliti berikan antara lain:
1. Memperkaya pemahaman terkait politik yang dapat ditemui di Benua
Afrika, terutama peristiwa Perang Kongo.
2. Menambahkan koleksi kepustakaan jurusan Hubungan Internasional
Universitas Andalas terkait ekonomi politik yang dapat ditemukan dalam
perang dan konflik.
1.6 Studi Pustaka
Studi Pustaka digunakan untuk membandingkan penelitian terdahulu yang
sebelumnya sudah dilakukan dan kontribusinya terhadap penelitian yang peneliti
lakukan. Umumnya, peneliti menggunakan buku-buku yang menggambarkan
kronologi berlangsungnya Perang Kongo. Penulis buku-buku tersebut
memperolehnya dari wawancara dengan pelaku terkait, kumpulan tulisan yang
dikumpulkan dalam satu buku dimana setiap kontributornya menggunakan
pendekatan kesejarahan untuk memahami motif dan kepentingan masing-masing
pelaku dalam Perang Kongo, dan jurnal-jurnal maupun laporan NGO yang
menjelaskan berbagai eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh Rwanda.
Buku pertama yang peneliti gunakan dalam studi pustaka adalah buku
yang berjudul The African Stakes of Congo War, merupakan kompilasi tulisan
yang disusun oleh John F. Clark12
. Buku ini memberikan pemahaman bagi
pembacanya mengenai keberlangsungan hidup Republik Demokratik Kongo
12
John F. Clark, The African Stakes of Congo War, (Palgrave Macmillan, New York: 2002)
7
dalam Perang Kongo sangat bergantung pada motif, kepentingan dan minat yang
sudah dijalankan maupun yang akan dilakukan oleh negara-negara yang turut
serta dalam perang ini, baik ketika terjadinya penggulingan Mobutu Sese Seko
sampai ketika berdirinya pemerintahan transisi melalui Perjanjian Lusaka tahun
2003. Mengenai RDK, buku ini menyediakan 2 sub-bab untuk pemerintahan
Kabila dan pemberontak anti-Kabila.
Secara umum, buku ini menegaskan bahwa penggulingan Kabila tidak
datang dari kehendak rakyat, namun merupakan keinginan Rwanda dan Uganda.
Ketika Kabila menduduki kekuasaan, legitimasi sulit didapat karena
ketergantungan terhadap dua negara ini, seperti angkatan bersenjata yang diisi
oleh orang-orang Rwanda dan Uganda, dan kedudukan menteri yang diisi oleh
perwira dan pejabat kedua negara tersebut. Ketika Kabila mulai membelot karena
berbagai faktor dan alasan, maka Rwanda dan Uganda tinggal meluncurkan
pasukannya ke RDK atas nama kepentingan nasional. Bagi negara-negara lain
yang ikut serta, secara garis besar terdapat 3 motif utama yakni keamanan
,ekonomi dan ideologis.
Buku kedua yang akan peneliti gunakan adalah buku tulisan Francois
Ngolet yang berjudul Crisis in Congo: The Rise and Fall of Laurent Kabila13
.
Buku ini memberikan penekanan kepada kronologis berlangsungnya Perang
Kongo dan kontribusi yang diberikan masing-masing pihak, baik di dalam RDK
maupun di luar RDK, sehingga konflik dapat membesar sampai pada
pembentukan pemerintahan transisi di bawah Joseph Kabila. Dari buku ini kita
13
Francois Ngolet, Crisis in the Congo: The Rise and Fall of Laurent Kabila,(Palgrave Macmillan:
New York), 2011
8
dapat mengetahui bahwa Laurent Kabila mengusir militer Rwanda dan Uganda
secara sepihak menjauhnya bantuan ekonomi dari PBB dan berbagai organisasi
internasional, disingkirkannya petinggi ADFL yang kemudian menggalang
perlawanan balik terhadap Kabila.
Berikutnya, keberadaan milisi di Perang Kongo semakin memperkuat apa
yang dinamakan Balkanisasi14
, berlangsung pada tahun 1999-2003 dimana operasi
pemerintah RDK untuk mengusir milisi anti RDK dianggap sebagai pelanggaran
proses gencatan senjata, padahal milisi-milisi ini bisa melakukan berbagai upaya
pengrusakan dan kekacauan berkat suplai dan pelatihan dari negara-negara seperti
Rwanda dan Uganda.
Ditemukannya berbagai unsur etnik yang berselisih dalam Perang Kongo,
seringkali dianggap merupakan faktor masuknya Rwanda dengan justifikasi untuk
membantu pemberontakan dan sebagainya, penulis temukan dari jurnal tulisan
Severine Autessere yang berjudul Hobbes and the Congo: Local Violence and
International Intervention15
. Auteserre menggunakan contoh konflik di Kivu yang
berada di sebelah timur RDK dan Ituri yang berada di utara RDK. Jenis-jenis
perselisihan etnik yang dapat ditemukan antara lain antara Tutsi (dan dalam
perang Kongo, juga terlibat warga Tutsi yang datang dari Rwanda ) dan etnis-
etnis pribumi di RDK seperti Bantu, Landu dan Hunde. Perselisihan ini sudah
berlangsung sejak RDK merdeka, dimana para etnik pribumi yang mengandalkan
14 Balkanisasi adalah sebuah istilah geopolitik, awalnya dipakai untuk menyebut proses
fragmentasi atau pembagian suatu wilayah atau negara menjadi beberapa wilayah atau negara kecil
yang sering bertentangan atau tidak kooperatif satu sama lain. Istilah balkanisasi merujuk pada
pembagian semenanjung Balkan, yang sebelumnya hampir seluruhnya dikuasai oleh Kekaisaran
Utsmaniyah, menjadi beberapa negara kecil antara 1817 dan 1912 15 Séverine Autesserre, Hobbes and the Congo: Local Violence and International
Intervention,(Columbia: International Organization Foundation), 2009
9
hasil pertanian bersaing dengan etnik Tutsi yang beternak. Etnik Tutsi
dipermudah dalam kepemilikan tanah dalam memperluas lahan bagi ternaknya
sehingga menimbulkan rasa keterancaman etnik pribumi yang kesulitan mencari
lahan pertanian. Persaingan ini kemudian meningkat ke pembentukan berbagai
milisi-milisi, yang banyak dari mereka dipersenjatai oleh aktor di luar RDK.
Penggunaan milisi ini selain dilakukan untuk menghilangkan kepercayaan rakyat
dan legitimasi terhadap RDK, juga untuk memburu para pemberontak yang
bersembunyi di penjuru RDK, dan membentuk berbagai pemerintahan bayangan
di propinsi-propinsi RDK yang akan mengawasi pajak dan eksploitasi SDA
sehingga tidak jatuh ke tangan pemerintahan RDK.
Literatur yang menunjukkan bagaimana Rwanda memanfaatkan
gelombang pengungsi yang masuk ke RDK untuk membuat instabilitas di
dalamnya serta memperoleh keuntungan secara ekonomi darinya dalam Perang
Kongo, dapat melihat tesis dari Hanne Katherine Fieldstad yang berjudul Rwanda
in the DRC: Keeping the Pot Boiling ?16
. Tulisan ini menjelaskan bahwa
kedatangan pengungsi Hutu ke RDK, yang kemudian bersama-sama dengan
Interhamwe turut serta dalam pembantaian etnik Tutsi Banyarwanda mendorong
Rwanda untuk merekrut orang-orang dari etnik Tutsi Banyarwanda dan
membentuk milisi untuk menghadapi etnik Hutu. Seiring dengan semakin
masuknya pasukan Rwanda ke dalam wilayah RDK, milisi-milisi ini kemudian
difungsikan untuk mengawasi penambangan SDA yang dilakukan warga RDK
dan tahanan Rwanda yang dibuang ke RDK. Milisi-milisi ini dipimpin dan dilatih
oleh perwira militer Rwanda dan melalui program Congo Desk,sebuah program
16
Hanne Katherine Fieldstad , “ Rwanda in the DRC: Keeping the Pot Boiling”, Mastes diss., Oslo
University, 2010
10
yang dipimpin oleh intelijen militer Rwanda untuk mengawasi pasokan mineral
dari RDK ke Rwanda. Keuntungan ekonomi yang didapat dari penambangan SDA
akan menjadi milik perwira-perwira militer Rwanda yang bebas menyelundupkan
ke luar RDK, tanpa transparansi dari pemerintah Rwanda itu sendiri.
Selanjutnya, pendekatan Rwanda dalam Perang Kongo dilihat dari sudut
pandang kewilayahan (wilayah yang dimaksud adalah Great Lake Region),
penulis menggunakan tulisan Christopher Williams yang berjudul Explaining
Great War in Africa: How Conflict in the Congo Become a Continental Crisis17
.
Kontribusi tulisan ini adalah bagaimana peristiwa di negara-negara yang
berdekatan dengan Rwanda turut membentuk persepsi keamanan Rwanda dan
bagaimana Rwanda melihat RDK sebagai musuh. RDK yang menampung para
pemberontak yang anti pemerintahan Rwanda di daerah perbatasan Rwanda-
RDK, dan negara-negara seperti Uganda dan Angola yang terganggu dengan
permasalahan yang sama yakni pemberontak di wilayah RDK, membentuk aspek
kewilayahan di dalam Perang Kongo karena ketiga negara tersebut memutuskan
untuk menyerang RDK.
Peran mineral koltan sebagai komoditas yang diperebutkan dalam Perang
Kongo, peneliti menggunakan tulisan Celine Moyroud dan John Katungan yang
berjudul Coltan Exploration in Democratic Republic of Congo18
. Koltan yang
biasanya digunakan untuk pembuatan kapasitor elektronik di berbagai peralatan
elektronik, dapat dengan mudah ditemukan di daerah timur RDK, terutama daerag
17
Christopher Williams, “Explaining Great War in Africa:How Conflict in Congo become
Continental Crisis”, The Fletcher Forum of World Affairs Vol. 37 Issue 2 (Summer 2013), hal. 81,
http://www.fletcherforum.org/wp-content/uploads/2013/05/Williams-37-2.pdf 18
Celine Moyroud and John Katunga,”Coltan Exploration in Republic Democratic of Congo” in
Surface and Surfeit, ed. Jeremy Lind and Kathryn Sturman ,Pretoria: Institute for Security
Studies, 2002
11
perbatasan Rwanda dan RDK. Koltan yang ditambang di RDK sendiri kemudian
transit atau singgah di negara-negara yang berdekatan seperti Rwanda, Burundi,
Uganda, Kenya dan Tanzania untuk kemudian diterbangkan atau dikapalkan ke
Eropa dan Amerika Serikat. Lemahnya kendali RDK atas wilayah ini kemudian
menguntungkan pemberontak yang didukung dan didanai oleh Rwanda dan
Uganda.
Peran mineral berikutnya, berlian, dalam perang Kongo, peneliti
menggunakan tulisan Ingrid Samset yang berjudul Conflict of Interest or Interest
of Conflict: Diamonds and War in the DRC19
. Rwanda adalah pihak yang paling
diuntungkan dengan keberadaan berlian di RDK karena Rwanda tidak memiliki
deposit sama sekali. Selama tahun 1998 sampai tahun 2002, terjadi peningkatan
ekspor berlian sampai 90 kali. Selanjutnya, ketiadaan transparansi dapat
menjelaskan mengapa jumlah ekspor Rwanda masih lebih kecil dibandingkan
berlian yang disetor oleh pemberontak yang berafiliasi dengan Rwanda. Berlian
yang belum diuangkan digunakan oleh para pemberontak untuk membeli senjata
dari makelar senjata yang merasa berlian sulit dilacak dibanding uang. Berlian
sendiri menjadi sumber pemasukan baru bagi Rwanda ketika harga koltan
mengalami penurunan pada tahun 2002, sehingga tidak terjadi deficit dan perang
di RDK dapat terus dilakukan.
19
Ingrid Samset, Conflict of Interest or Interest in Conflict: Diamonds and War in the DRC,
Review of African Political Economy, ROAPE Publishing, 2001
12
1.7 Kerangka Konseptual
1.7 Kerangka Konseptual
1.7.1 National Interest
Konsep yang akan digunakan untuk menjelaskan bagaimana kepentingan
ekonomi Rwanda di Republik Demokratik Kongo selama Perang Kongo Pertama
dan Kedua, peneliti menggunakan kepentingan nasional atau national interest.
Karena itulah, peneliti menggunakan buku yang ditulis Paul R. Viotti dan Mark
V. Kauppi yang berjudul International Relations and World Politics20
.
Menurut Viotti dan Kauppi, negara yang berada di sistem internasional yang
tidak memiliki otoritas pusat untuk membawahi negara-negara tersebut, perlu
memobilisasi sumber daya yang mereka miliki untuk meraih apa yang dinamakan
kepentingan nasional. Kepentingan nasional sendiri dipenuhi oleh 4 hal yakni
kepentingan (interests), tujuan (objectives), ancaman (threats), dan kemampuan
(capabilities).
Dari perspektif realis, negara adalah aktor dengan kepentingan nasional
yang berbeda, tanpa otoritas terpusat untuk mengelola dan mengatut aktivtas dan
kepentingan berbeda tersebut. negara diasumsikan sebagai aktor yang rasional.
Asumsi tersebut dapat ditarik dari bagaimana negara memahami dan
memanfaatkan kesempatan yang muncul dari politik global dan menggunakan
kesempatan tersebut untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan negaranya,
bagaimana negara menangani ancaman yang datang dari luar negaranya dan
20
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations and World Politics: 3rd Edition,
Prentice Hall, hal. 88-92
13
berpotensi untuk menganggu keberadaan negara tersebut, dan bagaimana negara
menambah kapabilitasnya untuk menangani ancaman dan mengambil kesempatan
tersebut.
Gambar 1.2: Memahami Perilaku Negara Bangsa menurut Viotti dan Kauppi
Sumber: Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations and World
Politics: 3rd Edition, Prentice Hall, hal. 88
Menurut bagan diatas, kepentingan nasional dapat dihasilkan dari 4 faktor
berbeda, yakni kepentingan atau interests, ancaman atau threats, kesempatan atau
opportunities, dan kapabilitas atau capabilities. 4 faktor ini kemudian
digabungkan dan dijadikan kebijakan atau tindakan dari negara tersebut, atau
didalam bagan ini yaitu berupa tujuan atau objectives.
Kepentingan atau interest adalah bagaimana negara menentukan hal-hal
yang harus mereka capai untuk menjamin negara tersebut tetap berfungsi dengan
baik atau survival. Kepentingan bagi sebuah negara bisa berupa bagaimana negara
tersebut menginginkan kendali penuh atas wilayah yang dikuasainya, yakni
dengan status berdaulat yang mereka miliki, dan bagaimana negara tersebut
INTERESTS
OBJECTIVES
CAPABILITIES
OPPORTUNITIES THREATS
14
menginginkan kemakmuran dan kekayaan bagi negara mereka, seperti eksploitasi
sumber daya alam, membangun pertanian atau membangun industri.
Ancaman atau threat yakni bagaimana negara semata-mata tidak
mengumpulkan kekuatan militer atau menambah kapabilitas lainnya, tanpa adanya
tindakan negara lain yang melakukan hal yang sama dan berupaya untuk
mengancam keberadaan negara yang lainnya.
Kesempatan atau opprtunities yakni bagaimana tindakan negara-negara lain
dapat membantu sebuah negara untuk mencapai tujuan nasionalnya. Tindakan
negara-negara lain ini bisa berupa investasi sebagai contoh kebijakan ekonomi
atau lumpuhnya perekonomian suatu negara paska invasi sebagai contoh dari
kebijakan militer.
Ketiga faktor yang disebutkan diatas yakni kepentingan, kesempatan dan
ancaman kemudian disusun menjadi sekelompok tujuan yang lebih spesifik atau
objective. Jika sebuah negara ingin untuk melindungi kedaulatan, maka tujuan
spesifik atau objectives bisa berupa menambah prajurit di daerah perbatasan atau
menambah patroli kapal laut di garis pantai negara bersangkutan.
1.7.2 Perang Sumber Daya ( Resource Wars)
Peneliti menggunakan konsep Perang Sumber Daya di dalam tulisan
Philippe L Billion yang berjudul The Geopolitical Economy of Resource Wars 21
.
Alasan penggunaan konsep Perang Sumber Daya oleh peneliti sumber daya alam
yang dikandung oleh Republik Demokratik Kongo semisal emas, berlian dan
21
Philippe L Billon, The Geopolitics of Resource Wars: Resource Dependence, Governance and
Violence, London: Frank Cass Publisher, 2007
15
koltan mengalami eksploitasi oleh pihak-pihak yang bertikai untuk membiayai
berlangsungnya konflik dengan militer dari negara lain atau milisi-milisi.
Menempatkan pasukan militer pada lokasi-lokasi sumber daya alam, penumpukan
sumber daya alam yang strategis, menumpuk sumber daya alam yang dianggap
strategis, gunboat policy, perang proksi, atau mendukung upaya kudeta demi
penguasaan sumber daya alam oleh perusahaan asing adalah contoh
berlangsungnya Perang Sumber Daya..
Dalam Perang Sumber Daya, sumber daya alam dibedakan menjadi dua
jenis. Pertama adalah point resource yakni sumber daya alam yang terkonsentrasi
pada wilayah yang kecil dan membutuhkan kepemilikan serta penguasaan
teknologi tertentu seperti pengeboran minyak. Kedua, diffuse resource, adalah
sumber daya alam yang tersebar dalam wilayah yang luas dan dapat diperoleh
dengan penguasaan teknologi yang minim, seperti berlian22
.
Secara jarak sumber daya alam dengan pusat kekuasaan suatu negara,
sumber daya alam dibedakan menjadi dua yakni proximate resource dan distant
resource. Proximate resource adalah sumber daya alam yang dekat dengan
representasi negara seperti pemerintah daerah maupun militer. Sedangkan distant
resource adalah sumber daya alam yang terletak jauh dari pusat kekuasaan dan
umumnya dikelilingi oleh kelompok sosial tertentu yang dibiarkan atau diabaikan
oleh pemerintah23
.
22
Ibid, hal.8 23
Ibid, hal. 15
16
Tabel 1.1 : Tipologi Perang Sumber Daya Alam menurut Philippe L. Billion
Sumber: Phillipe L. Billion, The Geopolitics of Resource Wars: Resource
Dependence, Governance and Violence,hal. 16
Mengikuti tabel 1.1 terdapat 4 jenis konflik atau perang yang terjadi
berdasarkan lokasi dan ketersebaran sumber daya alam yakni kudeta atau
intervensi asing, gerakan pemisahan diri atau secession, pemberontakan massa
atau petani dan warlordisme. Kudeta atau intervensi asing adalah semacam
gerakan popular atau persekongkolan perwira militer, yang dapat bergerak dengan
sendirinya maupun datang dari inisiatif negara lain, untuk menggulingkan atau
menggantikan pemerintahan yang dianggap korup dan tidak berpihak kepada
rakyat. Kudeta atau penggulingan kekuasaan terjadi pada negara dengan sumber
daya alam yang bersifat proximate ( dekat dengan instalasi militer) dan point
(terletak di satu daerah tertentu dan memerlukan mesin atau kapital yang canggih
untuk memperolehnya).
Pemisahan diri atau secession adalah membentuk negara berdaulat dari
suatu wilayah yang dahulunya dibawah kekuasaan negara terdahulu. Pemisahan
diri terjadi di negara dengan sumber daya alam yang bersifat distant (jauh dari
instalasi militer ataupun representasi pemerintah lainnya) dan point.
Pemberontakan petani atau massa adalah upaya untuk menghentikan
upaya produksi atau ekstraksi pada sumber daya alam atau tanaman tertentu
seperti mogok kerja, untuk mencapai tujuan politik tertentu selain merebut
17
kekuasaan atau membentuk negara baru. Ini terjadi dalam negara atau wilayah
yang memiliki sumber daya alam yang dekat representasi militer atau proximate
namun letaknya tersebar dan jauh dari kota-kota atau pusat kekuasaan lainnya.
Dengan kata lain, diffuse.
Terakhir, warlordism, adalah konflik dimana milisi-milisi yang berkuasa
di wilayah yang berbeda di suatu negara dapat menetapkan regulasinya sendiri
dan merekrut prajuritnya sendiri dikarenakan angkatan bersenjata negara tersebut
tidak memiliki moril tempur yang baik untuk mengelola keamanan negara
tersebut. ini terjadi di negara dengan sumber daya alam yang bersifat distant atau
jauh dari instalasi militer maupun representasi pemerintah lainnya, dan bersifat
diffuse yakni tersebar di berbagai tempat dan sumber daya alam tersebut dapat
diperoleh dengan peralatan sederhana.
Keberadaan sumber daya alam sendiri bisa digunakan untuk
memperpanjang maupun memperpendek konflik. Sumber daya alam dapat
memperpanjang konflik dengan cara mendukung pihak yang dianggap lebih
lemah sehingga dapat terus bertempur, menciptakan suatu situasi yang dinamakan
comfortable conflict stalemate yakni situasi yang menggambarkan perang sebagai
satu-satunya sarana yang dapat menguntungkan semua pihak yang bertempur dari
pemasukan sumber daya alam dan dari ketiadaan keinginan dari masing-masing
pihak untuk mengakhiri perang.
Comfortable Conflict Stalemate kemudian membentuk apa yang
dinamakan Private Resource Diplomacy yakni fenomena yang dapat ditemukan
dalam Perang Sumber Daya. Secara umum, walaupun yang bertempur adalah
18
aktor non negara, mereka dapat membeli persenjataan maupun memperoleh
dukungan dari negara lain,baik dukungan militer seperti persenjataan maupun
dukungan politik seperti menguasai wilayah tertentu dari sebuah negara. Private
Resource Diplomacy berbeda dengan diplomasi yang dilakukan antar negara
maupun antara pihak negara dan swasta. Proses „diplomasi‟ tidak berlangsung
dalam pertemuan resmi , melainkan pertemuan-pertemuan informal yang
diadakan oleh pejabat negara, pebisnis swasta maupun pihak pemberontak. Dalam
Perang Kongo, „diplomasi‟ yang berlangsung antara Rwanda dan pemberontak
yang mereka bantu terdiri dari pelatihan milisi, persenjataan, maupun melindungi
pejabat maupun pemberontak RDK yang pro-Rwanda.
Peneliti menganggap bahwa keterlibatan Rwanda di dalam Perang Kongo
Pertama dan Kedua lebih dipengaruhi oleh banyaknya milisi atau faksi bersenjata
yang terdapat di Republik Demokratik Kongo atau warlordisme, baik yang
merupakan inisiatif Rwanda, inisiatif dari Zaire atau Republik Demokratik
Kongo, maupun milisi yang datang dari inisiatif selain 2 negara tersebut. Pada
Perang Kongo Pertama atau saat ketika Republik Demokratik Kongo masih
bernama Zaire. Mobutu Sese Seko memberi perlindungan kepada para pengungsi
Hutu maupun eks-FAR atau angkatan bersenjata Rwanda. Para “pengungsi” ini
kemudian membentuk milisi bersenjata yang bernama FDLR (Forces
démocratiques delibération du Rwanda ). Rwanda kemudian menandingi milisi
ini dengan melatih dan mempersenjatai ADFL. Jika FDLR menjaga kamp
pengungsian para pengungsi Hutu, maka Rwanda dan ADFL saling bekerjasama
untuk menghancurkan kamp pengungsian tersebut sekaligus melindungi orang
Tutsi di Zaire. Sementara pada Perang Kongo Kedua, Rwanda melatih RCD
19
sebagai milisi yang akan melindungi orang-orang Tutsi di RDK dari serangan
milisi pro pemerintah seperti Mai-Mai dan serangan pasukan negara lain,
sekaligus melindungi berbagai kepentingan strategis Rwanda di RDK.
1.8 Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah motivasi Rwanda dalam
bagaimana negara tersebut memperoleh keuntungan ekonomi dari invasi yang
mereka lakukan ke Republik Demokratik Kongo tersebut. Penentuan batas ini
dilakukan agar penelitian tidak melebar dari rumusan masalah yang telah
ditetapkan sebelumnya. Untuk batasan waktu, penulis menetapkan waktu
penelitian yakni 1996-2003 atau lebih tepatnya selama keberlangsungan Perang
Kongo Pertama dan Kedua..
1.9 Tingkat Analisa dan Unit Analisa
Sebelum menentukan tingkat analisa dalam suatu penelitian terlebih dahulu
perlu dilakukan penetapan terhadap unit analisa dan unit ekplanasi.Unit analisa
adalah objek yang perilakunya hendak kita teliti. Unit ekplanasi adalah objek yang
mempengaruhi perilaku unit analisa yang akan digunakan24
. Unit analisa yang
akan peneliti teliti adalah Rwanda. Sedangkan, unit eksplanasi pada penelitian ini
adalah Republik Demokratik Kongo. Jadi tingkat analisa dalam penelitian ini
adalah sub-system regional, mengingat Rwanda adalah salah satu negara dari
banyak negara dan milisi yang terlibat dalam Perang Kongo .
24
Mochtar Mas‟oed.Ïlmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi”,( Jakarta:
LP3ES),1990, hal 35-39
20
1.10 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik yang sudah
umum dilakukan dalam penelitian kualitatif, yakni melalui tinjauan dokumen
berupa catatan dan arsip yang terdapat pada masyarakat, komunitas dan
organisasi25
. Data dan informasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder berupa dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis gambar maupun
elektronik, dan berbagai laporan yang berkaitan dengan peristiwa, artikel, review
penelitian, media report, press released dan sebagainya. Berbagai penelitian-
penelitian sebelumnya yang membahas mengenai invasi Rwanda ke RDK, buku-
buku, jurnal-jurnal ilmiah yang terkait dengan penelitian ini serta artikel-artikel
tentang perilaku Rwanda di RDK sepanjang tahun 1996-2003 dan khususnya
bagaimana Rwanda memberi justifikasi dan legitimasi terhadap invasinya dan
kemudian memperoleh keuntungan ekonomi atasnya, dan juga beberapa situs
resmi terkait dan dianggap relevan dengan penelitian ini.
1.11 Teknik Pengolahan Data
Mengingat banyaknya sumber informasi yang diperoleh, maka dalam
penulisan ini dilakukan seleksi dan pemilihan atas sumber, dokumen dan
informasi yang dianggap paling relevan dengan tujuan penulisan dan kemudian
dokumen dan informasi di deskripsikan secara tekstual. Melalui prosedur
kualitatif, data-data dianalisis, menetapkan, menguraikan, dan
mendokumentasikan alur sebab/konteks dalam pengetahuan yang sedang
25 Catherine Marshall and Gretchen B. Rossman, “Designing Qualitative Research 3e”. California:
Sage Publication Inc, 1999, hal.117
21
dipelajari beserta rincian-rinciannya untuk menilai ide-ide atau makna-makna
yang terkandung di dalamnya26
.
1.12 Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif, Analisis data kualitatif
adalah identifikasi dan pencarian pola-pola umum hubungan dalam kelompok
data, yang menjadi dasar dalam penarikan kesimpulan. Interpretasi atas data-data
yang termasuk kedalam data-data objektif yang relevan untuk menambah
informasi atau bisa menjadi petunjuk untuk menjelaskan bagian-bagian dan
hubungan-hubungan antar bagian yang terdapat dalam model analisa. Penulis
melakukan analisis terhadap permasalahan yang digambarkan berupa fakta-fakta,
kemudian menghubungkan fakta tersebut dengan fakta lainnya sehingga
menghasilkan sebuah argumen yang tepat27
.
1.13 Sistematika Penulisan
BAB I
Pengantar yang berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian,teori dan konsep yang akan
dipakai dalam penelitian, metodologi penelitian, pembatasan masalah dan
sistematika penulisan. Menggambarkan secara keseluruhan tentang permasalahan
penelitian yang akan dilteliti.
Bab II
26 Catherine Marshall and Gretchen B. Rossman, “Designing Qualitative Research 3e”. California:
Sage Publication Inc, 1999, hal.117 27
Yanuar Ikbar. Metode Penelitian Sosial Kualitatif. (Bandung : PT Refika Aditama, 2012), hal.
103
22
Bab ini berisikan kronologis Perang Kongo dan peran serta kepentingan ekonomi
Rwanda dalam Perang Kongo.
Bab III
Bab ini membahas peluang dan potensi Republik Demokratik Kongo, terutama
dari segi kepemilikan deposit mineral, yang kemudian menjadi kepentingan
ekonomi Rwanda selama Perang Kongo berlangsung
Bab IV
Bab ini membahas kepentingan ekonomi Rwanda di RDK selama Perang Kongo
berlangsung
Bab V
Bab ini membahas kesimpulan dari skripsi ini dan saran untuk menyelesaikan
permasalahan dan fenomena yang terdapat dalam skripsi ini
23
Bab II
SEJARAH PERANG KONGO
Pada bab 2, akan dijelaskan bagaimana sejarah dan deskripsi Perang Kongo
secara umum, mulai dari negara atau kelompok pemberontak yang terlibat serta
kejadian-kejadian penting yang menentukan berlangsungnya Perang Kongo
Pertama dan Perang Kongo Kedua. Bab ini juga akan menjelaskan Rwanda
sebagai negara yang terlibat, dengan deskripsi secara umum dan deskripsi
mengenai peran yang mereka jalankan selama Perang Kongo berlangsung
2.1 Sejarah Perang Kongo Pertama (1996-1997)
Perang Kongo Pertama, yang berlangsung selama tahun 1996-1997, adalah
perang yang terjadi antara milisi pemberontak anti pemerintah Zaire yang
bernama ADFL dan pasukan pemerintah RDK. Perang ini juga melibatkan
negara-negara seperti Rwanda dan Uganda yang mendukung ADFL, dan Angola
yang mendukung rezim Mobutu Sese Seko yang waktu itu berkuasa di Zaire.
Perang Kongo Pertama berlangsung selama tahun 1996-1997. Secara
umum, ada 2 penyebab utama yang menjadi awal mula Perang Kongo Pertama ini
yaitu munculnya koalisi anti-Mobutu yang bernama ADFL yang dipimpin oleh
Laurent-Désiré Kabila, dan penyebab yang kedua adalah masuknya Rwanda ke
dalam wilayah RDK atas klaim bahwa Interhamwe dan beberapa perwira FAR
(Forces Armées Rwandaise28
) pro-Hutu, berdiam di wilayah RDK di sebelah
timur, tepatnya kota-kota yang berada di perbatasan RDK- Rwanda seperti Goma
28 FAR adalah angkatan bersenjata Rwanda ketika kepemimpinan Habyarimana, namun setelah
Rwanda Patriotic Front menguasai negara tersebut, angkatan bersenjata Rwanda berubah menjadi
RPA
24
dan Bukavu. Rwanda mewaspadai Interhamwe yang berdiam di wilayah Zaire ini
akan melakukan serangan balik terhadap RPF .dan k mengambil alih
pemerintahan Rwanda.
Situasi RDK ketika munculnya ADFL sendiri dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pada awal 1990an, RDK dibawah Mobutu sendiri sudah dianggap
semakin memburuk baik secara ekonomi maupun politik29
. Hal ini
menguntungkan ADFL yang ingin menjatuhkan Mobutu Sese Seko dengan
dukungan Rwanda dan Uganda.
Gambar 2.1 : Peta Perang Kongo Pertama (1996-1997)
Sumber: http://www.wilsoneday.com/uncategorized/the-congo-wars/
29 Secara ekonomi, pemerintahan RDK tidak mampu membayar gaji para pegawai negeri dan
semakin diperparah dengan tidak adanya bantuan keuangan dari IMF sejak tahun 1980.
Sedangkan secara politik, terjadi instabilitas keamanan, terutama di sebelah utara RDK, dimana
mereka yang menyebut diri mereka dengan pribumi seperti etnis Hunde, Nande, dan Nyanga,
menolak keberadaan etnis Banyarwanda, yaitu orang-orang Hutu dan Tutsi yang datang ke Zaire
ketika Rwanda masih berwujud kerajaan, dan posisi etnis Banyarwanda sendiri semakin terdesak
ketika orang-orang Hutu yang kabur dari Rwanda paska genosida dan masuk ke Zaire,
mempersenjatai diri mereka dan bersama-sama dengan etnis pribumi kemudian menghabisi etnis
Banyarwanda tersebut
25
ADFL terbentuk pada tanggal 18 Oktober 1996 ketika 4 gerakan politik
terkemuka di RDK yakni Parti de la Révolution Populaire atau PRP yang
dipimpin oleh Laurent Desire Kabila, Conseil National de Résistance pour la
Démocratie atau CNRD yang dipimpin oleh Kisase Ngandu, Mouvement
Révolutionnaire pour la Libération du Zaïre atau MRLZ yang dipimpin oleh
Masasi Nindaga, dan Alliance Démocratique des Peuples atau ADP yang
dipimpin oleh Deo Bugera30
. Tujuan ADFL sendiri adalah menggulingkan
Mobutu Sese Seko yang dianggap bertanggung jawab atas eksploitasi sumber
daya alam besar-besaran dengan mengorbankan hak asasi dari rakyat RDK
sendiri. Orang-orang yang bertempur untuk ADFL sendiri terdiri dari tentara
yang membelot dari FAZ (Forces Armées Zaïroises), etnis Tutsi di RDK yang
disebut dengan Banyamulenge yang tidak senang dengan perlakuan semena-mena
dari pemerintah Zaire dan tentara bayaran dari Ethiopia, Serbia dan Belgia.
ADFL melakukan pemberontakan kepada Mobutu Sese Seko karena
diketahui bahwa FAZ dibawah kekuasaan Mobutu adalah kesatuan yang lemah
disiplinnya. Para perwiranya diketahui menjual senjata kepada pemberontak
sebelum menarik mundur pasukannya dan para prajuritnya tidak memiliki displin
yang dibutuhkan untuk bertempur karena banyak dari mereka yang desersi31
.
Serangan ADFL terhadap pasukan pemerintah sendiri dimulai pada November
199632
, dimana pada bulan tersebut ADFL berhasil menguasai kota Goma, yang
berada di provinsi Kivu. Setelah bertempur dengan 40.000 tentara pemerintah
30
Ibid, Hal. 102 31 Ibid., Hal. 108 32
Ibid Hal. 48
26
beserta milisi dan diakhiri pada tanggal 17 Mei 1997 dimana pada akhirnya
ADFL menguasai Kinshasa dan menggulingkan Mobutu dari kekuasaannya33
.
Dalam Perang Kongo Pertama ini, pertempuran tidak hanya berlangsung
antara ADFL dan tentara RDK, namun juga melibatkan beberapa negara yang
berdekatan seperti Rwanda, Uganda dan Angola. Berbagai motif yang berbeda
ditunjukkan aktor regional ini dalam keterlibatan mereka dalam Perang Kongo
Pertama. Bagi Rwanda, keterlibatan mereka dalam perang ini karena keamanan
mereka yang terancam oleh pemberontak yang berdiam di RDK sejak tahun 1995.
Kemunculan kamp pengungsi yang menurut Pemerintah Rwanda adalah ancaman
dan semenjak Interhamwe dicurigai mempersenjatai para pengungsi di dalamnya,
membuat Rwanda harus memaksa para pengungsi tersebut untuk kembali ke
Rwanda atau membumihanguskan kamp-kamp pengungsi tersebut jika dirasa
perlu. Berikutnya, motif Uganda hampir mirip dengan motif yang dimiliki
Rwanda, dan dibawah pimpinan Presiden Museveni yang menjanjikan rakyatnya
untuk mewujudkan stabilitas keamanan yang terancam oleh berbagai ancaman
dari kelompok pemberontak seperti Lord Resistance Army, West Nile Bank Front
dan Allied Democratic Force, yang semuanya bersembunyi di RDK34
.
Angkatan Bersenjata RDK yang tidak memiliki motivasi, moril dan
seringkali kabur dari lokasi pertempuran memudahkan ADFL untuk menguasai
berbagai kota yang berdekatan dengan perbatasan Rwanda dan Burundi. Kota-
kota ini terdiri dari: Uvira pada tanggal 26 Oktober 1996, Bukavu pada tanggal 30
Oktober 1996, Goma pada tanggal 3 November 1996, Butembo pada tanggal 27
33
Ibid, Hal. 8 34
John F. Clark, The African Stakes of Congo War, (New York, Palgrave Macmillan:2002), Hal.
133-134
27
November 1996, Beni pada tanggal 1 Desember 1996, Bunia pada tanggal 25
Desemeber 1996,Lulimaba pada tanggal 29 Januari 1997, dan Kalemie pada
tanggal 4 Februari 199735
.
Walaupun PBB telah memerintahkan untuk melakukan gencatan senjata
antara ADFL dan Pemerintah RDK melalui Resolusi 1097, namun Kabila tetap
bersikukuh untuk terus menyerang posisi Angkatan Bersenjata RDK. Bersamaan
dengan penolakan tersebut, ADFL terus mendekati Kinshasa, mulai dari
menguasai Kisangan pada tanggal 15 Maret 1997 dan menguasai kota berlian,
Mbuji Mayi, sekaligus menguasai industri berlian tersebut untuk dijual ke
berbagai pengusaha di luar RDK sebagai bagian dari pembiayaan perang. Pada
akhirnya. pada tanggal 20 Mei 1998, kemenangan ADFL ditandai dengan
keberhasilan mereka dalam menduduki ibukota RDK, Kinshasa, setelah Mobutu
yang sedang sakit kabur meninggalkan Kinshasa menuju Brussel untuk menerima
perawatan.36
.
2.2 Sejarah Perang Kongo Kedua (1998-2003)
Perang Kongo Kedua didorong oleh ketidakpuasan terhadap rezim Laurent
Kabila yang dianggap lebih buruh dibanding Mobutu Sese Seko. Pemberontakan
ini berjalan atas inisiatif angkatan bersenjata Republik Demokratik Kongo atau
FAC, dan beberapa aliansi politik yaitu RCD (Rassemblement Congolaise pour la
Démocratie) dan MLC (Mouvement pour la Libération du Congo).
35
Filip, op.cit, Hal. 58 36 Filip, op.cit, hal.177
28
RCD dibentuk pada bulan Agustus 1998 dan terdiri dari orang-orang Tutsi
yang disingkirkan dari pemerintahan Laurent Kabila. RCD sendiri dipimpin oleh
Wamba dia Wamba, seorang akademisi yang merupakan kritikus utama terhadap
pemerintahan Kabila37
. MLC adalah kelompok paramiliter yang dipimpin oleh
Jean Pierre Bemba, yang merupakan pengusaha terkemuka yang memiliki akses
ke berlian dan emas di RDK38
. Fase setelah tahun 2000, ditandai dengan
munculnya pecahan dari gerakan RCD yakni RCD-N (N berarti Nacional) dan
RCD-ML (ML berarti Mouvement de libération)39
.
Gambar 2.2 : Peta Perang Kongo Kedua pada tahun 2003
Sumber: http://galleryhip.com/rwandan-civil-war
37 Tom Lansford (ed.), Political Handbook of the World 2014,(New York, SAGE
Publishing:2014) , Hal. 320 38 Tom Lansford (ed.), Ibid, Hal. 321 39
Filip, Ibid, hal. 238-244
29
Perang Kongo Kedua dimulai pada tanggal 2 Agustus 1998, ketika Batalion
ke 10 yang bermarkas di Goma dan didominasi oleh etnis Banyamulenge,
mengumumkan di radio bahwa angkatan bersenjata Republik Demokratik Kongo
atau FAC menarik dukungan kepada Presiden Laurent Desire Kabila. Pasukan
yang loyal terhadap pemerintah memburu pasukan yang diketahui memiliki etnis
Tutsi, bahkan radio nasional RDK sendiri yakni Radio Télévision Nationale
Congolaise (RTNC) mengumumkan kepada setiap warga Kongo yang bukan
Tutsi dan Banyamulenge untuk mempersenjatai diri dan menyerang setiap orang
Tutsi dan Banyamulenge yang ditemukan di jalan-jalan40
. FAC mengalami
kekalahan dimana-mana, dimulai dari jatuhnya kota Goma, Bukavu dan Uvira
pada tanggal 4 Agustus 1998, kota Bunia pada tanggal 12 Agustus. FAC yang
hanya mampu mengendalikan situasi di Kinshasa menjelaskan bagaimana posisi
Laurent Kabila yang semakin terdesak41
.
Tidak hanya berbagai unsur dari FAC, terutama tentara pemerintah dari
etnis Tutsi yang ikut melakukan terhadap perlawanan terhadap Kabila, namun
juga berbagai faksi politik seperti RCD dan MLC. RCD sendiri muncul setelah
kegagalan RPA menyerang Kinshasa, dan pada Agustus 1998, berbagai akademisi
dan bekas aktivis politik dari ADFL dikumpulkan di Kigali, Rwanda. RCD
beroperasi di daerah perbatasan Rwanda-RDK, tepatnya di Kivu. Kekecewaan
yang datang baik dari anggota RCD maupun masyarakat kebanyakan membuat
RCD pecah menjadi 2 faksi, RCD-Goma yang pro Rwanda dan RCD-Kisangani
yang dipimpin oleh Wamba dia Wamba yang menyingkir karena petinggi militer
40 Francois Ngolet, Crisis in the Congo: The Rise and Fall of Laurent Kabila, ( New York,
Palgrave Macmillan, 2011), Hal. 23 41
Tom Cooper, Great Lake Conflagration: Second Congo War 1998-2003, (West Midland, Helion
and Company Limited,2013 ),Hal. 25
30
Rwanda yang tidak menyukainya. RCD sendiri berkekuatan 17.000-20.000
prajurit42
. MLC adalah pasukan paramiliter yang dibuat oleh Jean Pierre Bemba,
dengan bantuan tentara Uganda. Berlokasi di Provinsi Orientale, RDK43
.
RCD dapat ditemukan dalam pertempuran menghadapi milisi Mai-Mai,
milisi anti-Tutsi dan Banyamulenge yang berpihak pada Laurent Kabila.
Pertempuran yang dilakukan RCD sendiri dilakukan di Provinsi Kivu, sebuah
provinsi yang berbatasan dengan Rwanda, dimana di provinsi tersebut, banyak
milisi etnis yang dipersenjatai FAC untuk menghadapi RCD disana. Sedangkan
MLC mengelola sebelah utara RDK, dimana mereka menggantikan pasukan
Uganda yang mulai kesulitan menghadapi pasukan RDK dan Rwanda44
.
Situasi yang bertambah sulit bagi tentara pemerintah mendorong Laurent
Kabila untuk mencari bantuan materi dan persenjataan. Melalui Southern Africa
Development Committee (SADC), Republik Demokratik Kongo memperoleh
bantuan keuangan dan persenjataan dari negara-negara seperti Zimbabwe dan
Angola. Tidak hanya itu, pasukan Zimbabwe dan Angola juga diturunkan di
beberapa wilayah di RDK untuk memukul mundur pasukan pemberontak45
.
Serangan balik oleh pasukan pemerintah dimulai pada bulan September
1998. Pasukan Pro-Kabila mulai mendapat bantuan pasukan yang bergabung
dengan SADC, seperti Sudan, Zimbabwe, Angola,dan Republik Afrika Tengah.
Bantuan pasukan yang datang ke pihak Pro-Kabila memulai operasi dari sektor
42
Democratic Republic of Congo Profile,(Vienna: UNHCR) 2003,
www.refworld.org/pdfid/402d00964.pdf, Hal. 81 43
Ibid, hal. 240 44 _____________, Scramble for the Congo: Anatomy of Dirty War, International Crisis Groups:
Brussels, 2000, hal.32 45
Elizabeth Schmidt, Foreign Intervention in Africa: From the Cold War to War on Terror, Hal.
211
31
timur negara, seperti kota Kindu, Kalemie, Lubutu. Namun, pada bulan Oktober
1998, kota-kota yang sebelumnya dikuasai pasukan loyalis di sebelah timur RDK
kembali dikuasai oleh pemberontak RCD, dan akumulasi kekuatan ini
mengancam Mbuji Mayi, kota kedua terbesar RDK sekaligus kota dimana
perdagangan berlian terjadi. Kepanikan terjadi di Kinshasa sehingga Kabila mulai
merekrut milisi pemuda untuk mengawasi dan mengatasi mata-mata dari
pemberontak maupun negara yang bekerjasama dengan pemberontak. Namun,
serangan pasukan RCD ke kota-kota yang berdekatan dengan Kinshasa terhalang
oleh pasukan pemerintah dan koalisinya seperti Zimbabwe dan Angola. Selain
berhasil menahan pergerakan pasukan gabungan Rwanda dan Uganda beserta
milisi boneka milik mereka, pasukan pemerintah RDK diuntungkan dengan
berbagai perpecahan yang dialami oleh aliansi Rwanda dan Uganda. Pada
Agustus 1999, pasukan Rwanda dan Uganda bertempur memperebutkan kota
Kisangani46
.
Diplomasi dalam Perang Kongo Kedua mulai diusahakan untuk diselesaikan
dengan dua cara, perundingan yang dilaksanakan oleh masing-masing pihak yang
berperang dan kedatangan pasukan perdamaian PBB untuk RDK, yakni MONUC.
Upaya perundingan telah berlangsung sejak tahun 1998, melalui pertemuan-
pertemuan Uni Afrika dan SADC. Terdapat kemajuan dalam upaya perdamaian
tersebut, menghasilkan Perjanjian Lusaka dan Kerangka Sirtre. Perjanjian Lusaka
berlangsung pada bulan Desember 1998, dimana untuk pertama kalinya negara-
negara yang terlibat dalam perundingan memperoleh informasi bahwa kelompok
pemberontak yang bertempur memutuskan untuk ikut dalam perundingan. Namun
46
Filip, op.cit., hal. 241
32
karena RCD mengalami perpecahan (RCD-Kisangani) dan Wamba dia Wamba
dengan cabangnya yang baru menolak untuk hadir, Kabila yang memutuskan
untuk tidak berunding dengan pemberontak, membuat pertemuan yang seharusnya
berlangsung pada Januari 1999, gagal dilaksanakan. Perjanjian dilanjutkan pada
April 1999, namun karena pihak pemberontak menganggap draft perjanjian
perdamaian sudah disusun oleh Kabila dan sekutunya, pihak pemberontak
memutuskan untuk walk out ditengah proses perjanjian. Untuk Kerangka Sirtre,
kemajuan yang bisa dicapai adalah disetujuinya penempatan pasukan perdamaian
PBB yang dinamai dengan MONUC (Mission de l'Organisation des Nations
Unies en République démocratique du Congo) pada Mei 1999. Gencatan senjata
baru dapat dicapai pada bulan Juli 1999, di kota yang sama yakni di Lusaka,
Zambia. Walau begitu, perjanjian ini masih dianggap lemah karena banyaknya
pelanggaran terhadap isi perjanjian47
.
Pada tanggal 16 Januari 2001, Kabila ditembak oleh seorang perwira FAC.
Dia kemudian digantikan oleh anaknya, Joseph Kabila, pada tanggal 25 Januari
2001. Joseph Kabila berhasil mengakhiri perang secara tertulis, dimana pada
Maret 2003, dia berhasil mendirikan pemerintah bersama dengan pemberontak.
Perjanjian ini sendiri berlangsung di Sun City, Afrika Selatan.
47
Ngolet, op.cit., hal. 60-79
33
2.3 Rwanda dalam Perang Kongo
2.3.1 Deskripsi Rwanda secara Umum
Rwanda adalah negara yang berlokasi di sebelah timur Afrika, tepatnya di
regional Danau Besar atau Great Lake Region48
dimana Rwanda berbatasan
dengan negara-negara seperti Uganda, Burundi dan Republik Demokratik Kongo.
Negara ini sebelumnya mengalami apa yang dinamakan dengan genosida tahun
1994. Pada tahun 1994, etnis mayoritas Hutu yang dipimpin oleh beberapa
kelompok fanatik Hutu melakukan pembantaian terhadap etnis Tutsi. Kemudian,
kelompok pengungsi etnis minoritas Tutsi yang berdiam di beberapa negara yang
berdekatan dengan Rwanda, yakni milisi bersenjata Rwanda Patriotic Front
dibawah pimpinan Paul Kagame melakukan serangan terhadap pemerintahan
mayoritas Hutu dibawah pimpinan Juvenil Habyarimana.
Rwanda adalah negara yang tergolong miskin, dengan 90 % persen
populasinya bergantung pada kegiatan pertanian. Hanya ½ dari keseluruhan tanah
yang dimiliki oleh Rwanda yang subur sehingga banyaknya penduduk yang
terlibat dalam kegiatan pertanian membuat mereka tidak mampu memenuhi
kebutuhan sehari-hari karena harus bersaing dengan petani lain49
:
―After independence, increasing population pressure resulted in
changing economic circumstances, such as rapid decline in farm
sizes and available land per person. One response was a high rate
48 Penamaan Great Lake sendiri dikarenakan di wilayah ini terdapat 2 danau terbesar di dunia yang
menghubungkan negara-negara seperti Rwanda, Republik Demokratik Kongo, dan Burundi
dengan aliran sungai yang berasal dari danau tersebut. Danau-danau tersebut adalah Danau
Victoria dan Danau Tanganyika
49
Philip Verwimp, The political economy of coffee, dictatorship, and genocide,European Journal
of Political Economy, hal.174
34
of out-migration from the areas experiencing the most pressure.
The destination of these migrants was influenced by political
factors; the government was interested in settling land previously
used for pastoral activities so it promoted organized settlement
schemes in the East.50
‖
Gambar 2.3 :Peta Rwanda
Sumber: http://www.ezilon.com/maps/africa/rwanda-maps.html
Berikut ini dijelaskan bagaimana kelangkaan makanan yang terjadi di
Rwanda setelah genosida akibat tanah yang tidak subur dan dieksploitasi ssecara
berlebihan demi lahan pertanian sehingga kehilangan kesuburannya, sebagai bukti
ketidakmampuan sektor pertanian Rwanda untuk menopang perekonomian negara
tersebut. Sebanyak 52 % dari seluruh keluarga Rwanda tidak mampu untuk
memenuhi keamanan pangan dan 1 dari 3 orang Rwanda tidak bisa memenuhi
kebutuhan kalori minimal sebanyak 2500 kilokalori per hari51
. Kegiatan pertanian
50
Philip Verwimp, The 1990-1992 Massacres in Rwanda: A Case of Spatial and Social
Engineering?, University of Sussex,2011, hal. 10
51 Government of Rwanda. (2007, August). Vision 2020 Umurenge: An Integrated Local
Development Program to Accelerate Poverty Eradication, Rural Growth, and Social Protection.
Retrieved from Government of the Republic of Rwanda:
35
yang paling utama di Rwanda adalah menanam kopi. Tanah yang ada di Rwanda
sendiri sangat cocok untuk pengembangan kopi arabica, yakni tanah vulkanik
yang terdapat di ketinggian. Namun sayangnya, kopi Rwanda sendiri kurang
mendapat perhatian dari dunia dikarenakan kualitasnya yang rendah. Pada tahun
1995, Bursa Efek New York menempatkan kopi yang berasal dari Rwanda
sebagai kopi dengan kualitas C, menggambarkan kualitas terendah dibandingkan
kopi yang berasal negara-negara lainnya52
. Perawatan yang kurang baik menjadi
penyebabnya dan Rwanda tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk
melakukan perawatan tersebut. Perawatan seperti pencucian dan pembersihan
kopi tidak dimiliki oleh negara ini sehingga kopi yang sampai di pasar dunia
adalah kopi yang dibersihkan secara manual atau semi washed coffee yang
memiliki harga jauh lebih rendah53
.
Stabilitas Rwanda dipengaruhi oleh harga kopi. Genosida Rwanda sendiri
terjadi 5 tahun setelah tahun 1989. Pada tahun 1989, harga kopi Rwanda
mengalami penurunan yang sangat tajam sehingga Rwanda mengalami krisis
ekonomi dan mulai mendapatkan bantuan keuangan dari IMF. Namun, bukannya
digunakan untuk mengembangkan sektor kopi, bantuan keuangan tersebut
digunakan untuk memperkuat rezim pro-Hutu dibawah pimpinan Juvenil
Habyarimana dengan persenjataan baru54
.
www.minaloc.gov.rw/IMG/pdf_VUP_final.pdf 52
Assessing USAID‟S Investments in Rwanda‟s Coffee Sector-Best Practices and Lessons
Learned to Consolidate Results and Expand Impact, USAID,2006, hal.11 53 Ibid. 54 Damien Fruchart, United Nations Arms Embargoes:Their Impacts on Arms Flows and Target
Behavior in Rwanda 1994-Present, Stockholm: Stockholm International Peace Research Institute,
hal.10
36
Selanjutnya, PDB Rwanda juga banyak dihasilkan dari pertambangan. Yang
menarik dalam Perang Kongo adalah ketika Rwanda tidak memiliki deposit
mineral yang memadai sehingga dalam Perang Kongo, Rwanda mengambil
kesempatan di dalam konflik tersebut dengan melakukan eksploitasi di wilayah
yang mereka kuasai. Kementerian Energi dan Pertambangan Rwanda mengklaim
bahwa Rwanda memiliki deposit mineral dalam jumlah besar, seperti koltan dan
tembaga. Pemerintahan Rwanda mengaku terus melakukan pengembangan peta
tambang yang pertama kali dibuat pada tahun 1920. Namun dengan wilayah
Rwanda yang kecil, akan sulit untuk mencegah kerusakan lingkungan seperti erosi
akibat penggalian wilayah tambang, sedangkan Rwanda harus menjalankan
pertanian dan pertambangan sekaligus untuk terus memajukan ekonominya.
2.3.2 Rwanda dan Perang Kongo Pertama
Sub-bab ini menjelaskan alasan dan peran yang dapat ditemukan dari
keterlibatan Rwanda selama Perang Kongo Pertama. Secara umum, alasan yang
digunakan Rwanda dalam melakukan invasi ke RDK adalah alasan keamanan.
Peran Rwanda tidak hanya melakukan serangan secara langsung, namun juga
melatih milisi anti-pemerintah di Zaire.
Keterlibatan Rwanda dalam Perang Kongo Pertama terdiri dari banyak
faktor. Dari segi humanitarian, rezim Rwanda paska genosida 1994 yang dipimpin
oleh RPF memiliki perhatian besar terhadap orang-orang Tutsi yang berada di luar
Rwanda, mengingat banyak petinggi RPF yang besar di luar Rwanda selama
pemerintahan Juvenil Habyarimana yang pro-Hutu. Salah satu bukti yang
menguatkan alasan tersebut adalah banyak dari milisi Rwanda Patriotic Front
37
datang dari suku Tutsi di RDK. Namun, seiring dengan berjalannya perang,
orang-orang Kongo Tutsi justru menjadi sasaran kemarahan oleh orang-orang
non-Tutsi yang menganggap mereka adalah mata-mata Rwanda, padahal
sebelumnya mereka hanya bermaksud memperjuangkan hak-hak mereka yang
diabaikan akibat kewarganegaraan mereka yang dibedakan oleh pemerintahan
Zaire.
Selanjutnya, alasan keamanan menjadi alasan Rwanda terlibat dalam Perang
Kongo Pertama. Wilayah Barat dan Selatan Kivu, dimana tempat bermukimnya
para pengungsi Hutu menjadi lokasi penyerbuan pasukan Rwanda dalam
invasinya ke RDK. Menurut laporan komisi investigasi Uni Eropa, estimasi
perkiraan dari pengungsi yang terindikasi anggota Interhamwe atau ex-FAR yang
berpihak ke Hutu kurang dari 10-15 %. PBB mencatat berbagai kejahatan
genosida di berbagai kamp pengungsian di Barat dan Selatan Kivu. Namun
seiring dengan berjalannya waktu, invasi Rwanda di Perang Kongo Pertama tidak
hanya menyerang kamp pengungsi, namun juga daerah-daerah yang tidak terdapat
kamp pengungsian korban genosida Rwanda. Rwanda pun mulai mengubah
alasan keamanan yang mereka gunakan untuk invasi, yakni menggulingkan
Mobutu Sese Seko sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap dukungannya
pada rezim Juvenil Habyarimana (presiden Rwanda sebelum serangan RPF)55
maupun dukungan terhadap keberadaan Interhamwe di dalam kamp pengungsian
korban genosida di RDK.
55 Habyarimana dan Mobutu Sese Seko adalah aliansi dekat. Tercatat bahwa terdapat kontingen
pasukan elit Zaire di Kigali ketika genosida pada tahun 1994 berlangsung. Mobutu Sese Seko juga
menerbangkan jenazah Habyarimana ke Kinshasa untuk penghormatan terakhir pada tanggal 12
Juli 1997.
38
Invasi Rwanda tidak hanya dilakukan untuk menghilangkan ancaman bagi
keamanan Rwanda yang datang dari luar Rwanda, namun juga untuk
melenyapkan ancaman dari dalam negeri. Paska genosida tahun 1994 di Rwanda,
banyak orang-orang etnis Hutu yang ditangkap oleh RPF. Jumlah orang yang
ditangkap melebihi kapasitas sistem hukum Rwanda untuk diadili, sehingga
beberapa dari tahanan tersebut diberi kesempatan untuk menjadi pasukan
angkatan bersenjata Rwanda dan dikirim ke Zaire, lalu dibersihkan semua catatan
kejahatannya56
.
Secara ekonomi, pemerintahan Rwanda didominasi oleh orang-orang RPF
yang disaat yang bersamaan juga merupakan perwira militer Rwanda. Mereka
memiliki jaringan ekonomi bawah tanah mereka sendiri yang disebut dengan
Akazu57
. Akazu mendominasi kepemilikan BUMN di Rwanda, dan kemudian
mereka mendirikan berbagai perusahaan yang berkontribusi dalam eksploitasi
sumber daya alam di RDK.
Rwanda adalah salah satu negara dari banyak negara yang terlibat dalam
perang di Republik Demokratik Kongo yang memiliki motif yang paling
mencolok untuk melakukan invasi. Beberapa surat kabar dari Rwanda mencatat
berbagai deklarasi perang terhadap Zaire. Surat kabar Ukuri, pada edisi 4 Mei
1996, menuliskan:
56 Celine Moyroud and John Katunga, op.cit. 57
Lebih lanjut, Akazu sebelumnya sudah ada di Rwanda semenjak kepemimpinan Habyarimana,
dan sangat menonjol atas penguasaan lahan kopi di Rwanda. Namun, setelah RPF menggulingkan
Habyarimana, Akazu juga dijalankan oleh Presiden Kagame. Akazu pada masa presiden Kagame
terdiri dari petinggi militer RPF, yang biasanya adalah pengungsi Tutsi dari Burundi dan Uganda
sebelum genosida tahun 1994 terjadi. Pada masa ini, tidak hanya perkebunan kopi, namun juga
termasuk BUMN dan berbagai pertambangan di RDK.
39
― Kigali berharap perang terhadap Zaire bisa dilaksanakan sehingga
ancaman dari pengungsi Hutu dapat diatasi‖.
Lalu, surat kabar Rwanda Liberation edisi 7 Juli 1996 menuliskan :
―Regional Danau Besar ( Great Lake Region) akan menyaksikan
kehancuran Mobutu‖.
Surat kabar yang ketiga, Le Potentiel edisi Agustus 1996, menusliskan
Parlemen Rwanda segera mengizinkan invasi terhadap Zaire58
.
Dari segi regional pun, Rwanda menolak untuk menandatangani perjanjian
anti agresi antara sesama negara Afrika Tengah pada Juli 1996. Embargo senjata
yang sebelumnya dikenakan pada Rwanda paska genosida 1994, dihapuskan pada
September 1996 oleh Amerika Serikat. Ini berarti Amerika Serikat mengizinkan
Rwanda untuk melakukan invasi, sebagian besar dikarenakan klaim Rwanda yang
mengatakan ingin mengejar pelaku genosida 1994 ke RDK59
.
Perang Kongo Pertama tidak didahului oleh invasi Rwanda mengingat pada
awal Perang Kongo Pertama, Rwanda hanya memiliki 5000 tentara yang terdiri
dari 10 batalion. Namun mereka mampu melatih ribuan orang yang berasal dari
etnis Banyamulenge. Pemberontakan dimulai dari pemberontakan etnis Tutsi yang
bernama di RDK. Untuk itu, Rwanda merekrut 2000 pemuda Banyamulenge
untuk dipersenjatai dan dilatih60
. Lalu, tujuan invasi Rwanda ke RDK, seperti
yang disebutkan PBB adalah pengejaran tanpa henti terhadap setiap bekas
Interhamwe dan Pasukan Rwanda era-Habyarimana ke wilayah RDK atau
Republik Demokratik Kongo selama tahun 1996-1998. Rwanda sendiri mulai
58
Filip, op.cit., hal. 45 59
Ibid, hal.47 60
Ibid, hal.48
40
menempatkan pasukannya sebanyak 1.700 orang di Zaire pada Oktober 1996,
menyebabkan tentara RDK mulai membantai warga Tutsi yang berada di
perbatasan RDK-Rwanda, dengan harapan Rwanda akan menarik pasukannya61
.
Berbagai serangan yang diluncurkan oleh Rwanda ke Zaire membuat semakin
banyak etnis Tutsi di Zaire atau Banyamulenge yang melibatkan diri dalam
pemberontakan.
Aliansi ADFL didirikan atas inisiatif Rwanda. Rwanda-lah yang merekrut
Laurent Kabila, seorang pemberontak yang telah melawan Mobutu dari periode
1960-1970. Laurent Kabila diperkenalkan kepada Kagame, Presiden Rwanda saat
itu, oleh Presiden Uganda, Yoweri Museveni. Kagame membutuhkan ADFL
karena dia membutuhkan aliansi yang bisa menyamarkan invasi Rwanda ini
menjadi perjuangan membebaskan RDK dari cengkeraman Mobutu. 4 gerakan
politik yang bergabung dan membentuk ADFL memang berasal dari dalam RDK,
namun semua prajurit ADFL dipimpin atau dilatih oleh perwira Uganda dan
Rwanda. McNulty, salah seorang pengamat Perang Kongo Pertama, menuliskan:
“ Rwanda Patriotic Army adalah ujung tombak dari setiap
pergerakan ADFL. Perwira Rwanda lah yang menyusun
setiap pergerakan dan strategi ADFL. Perwira RPA
setidaknya terlibat dalam penguasaan 4 kota ( Lumumbashi,
Kisangani, Kenge dan Kinshasa). Rwanda sudah
menyediakan senjata bahkan jauh sebelum pemberontakan
dimulai62
.”
Selanjutnya, ADFL berkontribusi dalam membangun hubungan baik antara
Rwanda dan Amerika Serikat. ADFL dan Rwanda berhasil menghancurkan kamp
61
Ibid 62 McNulty dalam Steven E. Lobbell (ed.), Politik Etnis dan Politik Internasional: Memahami
Difusi dan Eskalasi, (Elex Media Komputindo, 2004) hal. 124
41
pengungsi etnis Hutu dari RDK, dan Amerika Serikat sebagai salah satu anggota
tetap dari anggota Dewan Keamanan PBB menekan anggota PBB yang lain untuk
tidak menyetujui pengiriman pasukan perdamaian PBB ke RDK. Dengan ini,
Perancis sebagai aliansi utama Mobutu tidak bisa mengirimkan kontingen
pasukan Perancis untuk melindungi Mobutu dan kekuasaannya. Walaupun pada
akhirnya pasukan perdamaian memang dikirim pada November 1997, legitimasi
bagi mereka untuk berada di Zaire bisa dikatakan tidak ada karena semua kamp
pengungsian etnis Hutu di Zaire telah dikosongkan, apakah karena pengungsi
tersebut telah kembali ke Zaire maupun karena telah dibunuh oleh RPA dan
ADFL63
.
Rwanda memiliki berbagai kepentingan ekonomi selama Perang Kongo
Pertama. Rwanda bertanggung jawab untuk membiayai pemberontakan Laurent
Kabila dengan harapan bahwa Rwanda akan diberikan ruang gerak oleh Kabila
untuk mengeksploitasi berbagai mineral di Republik Demokratik Kongo paska
penggulingan Mobutu. Tahun 1998 ditandai dengan investasi besar-besaran oleh
satu perusahaan tambang Amerika Serikat yang bernama American Mineral Field,
yang dimiliki oleh Presiden Amerika Serikat pada saat itu, Bill Clinton. Berkaitan
dengan keberadaan perusahaan tersebut, Rwanda dengan dukungan presiden Bill
Clinton berhasil mendapatkan bantuan citra satelit dari Bechtel Corporation.
Setelah kemenangan Kabila, Washington Post mencatat keberadaan wakil dari
perusahaan tersebut dengan militer Rwanda ketika menandatangani kontrak
senilai US$ 1 miliar dengan Laurent Kabila.
63
FIlip, op.cit. hal 71-95
42
2.3.3 Rwanda dan Perang Kongo Kedua
Seperti sub-bab sebelumnya, sub-bab ini menjelaskan bagaimana alasan dan
peran Rwanda dalam Perang Kongo Kedua. Dalam Perang Kongo Kedua,
keinginan Laurent Kabila mengusir prajurit Rwanda dari RDK berakibat pada
ancaman keamanan bagi Rwanda karena tidak bisa mengawasi pergerakan
pemberontak anti Rwanda di dalam RDK serta terancamnya pengaruh Rwanda di
RDK.
Setelah berhasil mendudukkan Laurent Kabila dengan ADFL, Rwanda
menempatkan pasukannya di Republik Demokratik Kongo untuk menjamin
gerak-gerik Laurent Kabila agar dapat memenuhi ekspektasi Rwanda. Namun
secara sepihak, Laurent Kabila memutuskan untuk memulangkan seluruh pasukan
Rwanda yang berdiam di RDK pada tanggal 27 Juli 1998. Beberapa elemen dari
FAC memutuskan untuk memberontak sampai pada titik dimana hanya pasukan
FAC yang berdiam di Kinshasa yang terhitung loyal terhadap Kinshasa.
Mengetahui hal tersebut, tercatat pasukan Rwanda melatih pasukan FAC di
berbagai kota di RDK selama Perang Kongo Kedua berlangsung64
, mengingat
beberapa unsur dari FAC juga tidak menyenangi kepemimpinan Laurent Kabila.
Isu etnisitas kembali menjadi salah satu alasan keterlibatan Rwanda dalam
perang ini. Ketika Laurent Kabila mulai berkuasa, terjadi berbagai masalah
dengan keberadaan etnis Tutsi di RDK dikarenakan keberadaan pasukan Rwanda
di RDK. Kelompok-kelompok etnis yang dianggap pribumi dan non-Tutsi
kemudian membentuk pasukan milisi yang bernama Mai-Mai. Mereka mampu
64
Ngolet, op.cit. , hal 17-19
43
untuk melakukan teror terhadap orang-orang Tutsi di RDK dikarenakan Mai-Mai
juga dipersenjatai oleh RDK.
Alasan ekonomi juga timbul kembali dalam motivasi Rwanda terlibat dalam
Perang Kongo Kedua. Bagi negara-negara yang berkonflik di RDK dalam perang
ini,meningkatnya penjualan alat-alat elektronik seperti komputer dan telepon
genggam membuat industri-industri besar dunia mencari mineral yang diperlukan
untuk produksi, semisal koltan. Sepanjang 2002-2003, PBB mengenakan sanksi
perdagangan terhadap Republik Demokratik Kongo karena penjualan mineral
yang dianggap turut mendanai milisi-milisi yang bertempur di RDK. Banyak
perusahaan-perusahaan yang bergerak di pertambangan ketika perang berlangsung
berafiliasi dengan negara-negara yang menempatkan angkatan bersenjata
Setelah Laurent Kabila berhasil menduduki kekuasaan dan mengubah nama
Zaire menjadi Republik Demokratik Kongo, pasukan Rwanda yang masih
terdapat di Republik Demokratik Kongo berkontribusi dalam melatih angkatan
bersenjata RDK yang baru. Bahkan, kepala staf angkatan bersenjata dari angkatan
bersenjata RDK yang baru adalah seorang Rwanda, Paul Kabarebe. Pengawal
pribadi dari Laurent Kabila sebagian besar berasal dari etnis Tutsi Rwanda. Dari
segi politik, semakin lemahnya ADFL karena beberapa petingginya dihilangkan
atau dibunuh atas perintah Kabila, membuat pengaruh Rwanda dalam
pemerintahan RDK sangat terasa. Gerak-gerik pasukan Rwanda sendiri selalu
dicurigai oleh warga RDK yang bukan berasal dari Banyamulenge, dan salah satu
titik terendah ketidakpercayaan warga RDK terhadap pasukan Rwanda terjadi
pada Agustus 1998, ketika pada saat kampanye ADFL, seorang perwira Rwanda
44
ditangkap pasukan keamanan karena membawa senjata ketika duduk di belakang
Kabila65
. Hal tersebut dilihat sebagai percobaan kudeta.
Jumlah personil angkatan bersenjata Rwanda atau Rwanda Patriotic Army
ketika Perang Kongo Kedua berlangsung , baik yang berada di dalam Rwanda
maupun yang berada di Republik Demokratik Kongo, adalah sekitar 30.000-
40.000 personil pada pertengahan 1999, menurut laporan sebuah lembaga
penelitian yang berbasis di London. Pada Oktober 2000, lembaga yang sama
menunjukkan laporan bahwa terdapat peningkatan dalam jumlah personil militer
Rwanda menjadi 49.000- 64.000 personil. Untuk jumlah personil yang
ditempatkan Rwanda di dalam Republik Demokratik Kongo sendiri, organisasi
non pemerintah, International Crisis Group, mencatat bahwa ada sekitar 17.000-
25.000, sedangkan laporan PBB menyebutkan setidaknya ada 25.000 personil
militer Rwanda yang ditugaskan di Republik Demokratik Kongo.
65
Ibid, hal.15
45
Tabel 2.1 : jumlah personil dari masing-masing negara atau faksi yang
bertempur dalam Perang Kongo Kedua.
Sumber: Scramble for the Congo: Anatomy of Ugly War,( Brussels, 2000,
International Crisis Group), Hal.4
Jumlah personil angkatan bersenjata Rwanda atau Rwanda Patriotic Army
ketika Perang Kongo Kedua berlangsung , baik yang berada di dalam Rwanda
maupun yang berada di Republik Demokratik Kongo, adalah sekitar 30.000-
40.000 personil pada pertengahan 1999, menurut laporan sebuah lembaga
penelitian yang berbasis di London. Pada Oktober 2000, lembaga yang sama
menunjukkan laporan bahwa terdapat peningkatan dalam jumlah personil militer
Rwanda menjadi 49.000- 64.000 personil. Untuk jumlah personil yang
ditempatkan Rwanda di dalam Republik Demokratik Kongo sendiri, organisasi
non pemerintah, International Crisis Group, mencatat bahwa ada sekitar 17.000-
25.000, sedangkan laporan PBB menyebutkan setidaknya ada 25.000 personil
militer Rwanda yang ditugaskan di Republik Demokratik Kongo66
.
66
Scramble for the Congo: Anatomy of Ugly War,( Brussels, 2000, International Crisis Group),
Hal.4
Nama faksi atau negara yang terlibat
dalam Perang Kongo Kedua
Estimasi jumlah personil (sebelum
perjanjian perdamaian Lusaka)
Angola 2.000-2.500
Burundi 2.000
Republik Demokratik Kongo 45.000-55.000
MLC(Movement for the Liberation of
Congo)
6.500- 9.000
Namibia 1.600-2.000
RCD (Rassemblement Congolaise pour
la Démocratie)
17.000-20.000
Rwanda 15.000-25.000
Uganda 10.000
Zimbabwe 10.000
46
Tabel 2.2 : Kekuatan Militer Rwanda di Republik Demokratik Kongo selama
Perang Kongo Kedua67
Sumber: Scramble for the Congo: Anatomy of Ugly War,( Brussels, 2000,
International Crisis Group)
Selanjutnya, untuk persenjataan, Rwanda membeli berbagai persenjataan
dari Eropa Timur dengan menggunakan uang hasil eksploitasi sumber daya alam
di Republik Demokratik Kongo. Untuk persenjataan yang akan disuplai ke
berbagai pihak pemberontak yang menjadi perpanjangan tangan atau proxy
67
Ibid, hal. 115 68
AML-60 adalah kendaraan lapis baja yang dibuat oleh pabrikan Panhard, Perancis. Pertama kali
digunakan tahun 1959,kendaraan lapis baja ini memiliki panjang kanon 60 mm dan senjata
sekunder senjata mesin kaliber 7.62 mm 69
AML-245 dibuat oleh pabrikan Panhard, Perancis. Dibuat pada tahun 1960, memiliki panjang
kanon 60 mm dan mampu membawa amunisi berpeledak tinggi anti-tank ( high explosive anti tank
) 70
Mampu membawa kanon 90 mm
71 RG-31 atau biasa dipanggil “Nyala”, adalah kendaraan lapis baja yang anti ranjau, bertugas
untuk mengangkut personil infanteri ( Infantry Mobility Vehicle ). Dibuat oleh pabrikan Land
System OMC, Afrika Selatan 72
SA-7 dan SA-16 adalah senjata panggul anti udara ( man portable surface to air missile
launcher ) buatan pabrikan Kolomna, Uni Soviet
Jumlah personil 49.000-64.000 25.000 personil
diantaranya ada di RDK
Main Battle Tank 12 unit T-54/55
Armoured Fighting
Vehicle
15 unit AML-6068
AML-24569
AML-9070
16 unit VBL
BTR
16 unit RG-3171
Artillery 35 unit 105 mm dan 16
unit 122 mm
250 mortar
Anti Air Weapon 150 unit termasuk 14,5
mm, 23 mm, 37 mm, SA-
7 dan SA-1672
Aircraft 1 BN-2A Islander
47
Rwanda, mereka menggunakan jasa Viktor Bout, seorang broker senjata bawah
tanah internasional, yang akan menerbangkan berbagai senjata tersebut bersama
maskapai penerbangan milik militer Rwanda di Republik Demokratik Kongo.
Negara-negara Eropa Timur tersebut bisa melakukannya karena senjata-senjata
yang akan mereka musnahkan karena modernisasi persenjataan yang umum
terjadi paska bubarnya Uni Soviet bisa dijual tanpa diketahui PBB.
Pemberontakan terhadap Kabila memang dimulai dari memberontaknya
sejumlah perwira angkatan bersenjata RDK, namun pemberontakan tersebut
terjadi karena doktrinasi dan pelatihan perwira angkatan bersenjata RDK
dilakukan oleh RDK. 4 Agustus 1998 sendiri menandakan membelotnya kepala
staf angkatan bersenjata RDK, Kabarebe, ke kota Kitona, yang mana terdapat
20.000 prajurit angkatan bersenjata RDK yang memutuskan membelot ke
Kabarebe, dengan membajak pesawat sipil Congo Airlines, tidak lupa membawa
beberapa perwira Rwanda.
Rwanda juga terlibat dalam pembentukan RCD. Wamba dia Wamba,
pendiri RCD, sebelumnya dihubungi oleh Rwanda dan dipertemukan dengan
berbagai pemimpin faksi politik RDK di Goma. Wamba dia Wamba bersama
dengan petinggi faksi RCD yang lain tidak bertemu di dalam RDK, namun lebih
tepatnya di Kigali, Rwanda dan pertemuan tersebut difasilitasi oleh militer
Rwanda. Berbagai saksi menyatakan bahwa banyak prajurit Tutsi yang berasal
dari Uganda dan Tutsi bertempur di pihak RCD baik dengan seragam RCD
maupun dengan pakaian sipil. Penempatan Wamba dia Wamba sebagai presiden
RDC pun dilakukan Rwanda hanya untuk mendapatkan simpati orang-orang yang
tidak termasuk golongan etnis Tutsi atau Banyamulenge, sedangkan RCD
48
sebagian besar terdiri pejabat-pejabat Tutsi dan Banyamulenge yang disingkirkan
oleh Laurent Kabila
Sama seperti Perang Kongo Pertama, Rwanda melatih orang-orang
Banyamulenge atau Tutsi Kongo untuk melakukan pemberontakan bersama
perwira-perwira angkatan bersenjata RDK pro-Rwanda. Rwanda menggunakan
Banyamulenge yang mereka anggap sebagai saudara sebangsa. Serangan yang
muncul pada tahun 1996 dan tahun 1998 baik oleh pemerintahan Zaire maupun
pemerintahan RDK menjadi pembenaran oleh Rwanda bahwa etnis
Banyamulenge perlu pertolongan untuk mempertahankan eksistensi mereka73
.
Rwanda membentuk milisi-milisi dari orang-orang Banyamulenge ini untuk
menjaga lokasi tambang yang strategis bagi Rwanda serta untuk menghadapi
milisi lain yang dipekerjakan pemerintahan RDK74
.
Selama perang berlangsung, Rwanda mampu mengendalikan berbagai
perdagangan mineral strategis di RDK seperti koltan dan berlian. Dan demi tujuan
tersebut, Rwanda dapat melawan aliansinya sendiri. Ini terjadi di Kisangani,
dimana dalam Perang Kongo Kedua, Rwanda dan Uganda memperebutkan kota
kaya berlian tersebut pada Agustus 1999. Kota kaya berlian tersebut dikuasai oleh
adik Presiden Uganda Museveni, Jenderal Salim Saleh dan perantara-perantara
yang memperdagangkan berlian tersebut hanya ingin bertransaksi dengan pihak
Uganda. Padahal sebelum pertempuran berlangsung, kedua belah pihak telah
menandatangani Perjanjian Lusaka. Pertempuran ini sendiri membuktikan bahwa
73
John, op.cit.., Hal. 130 74
Frank A. Columbus (ed.), Politics and Economies in Africa: Volume 1, ( Nova Publisher, New
York: 2001), hal. 79
49
negara yang beraksi di perang ini menekankan kepentingan ekonomi sebagai salah
satu yang utama.
Menurut laporan PBB, perang ini memungkinkan Rwanda mengekspor
mineral ataupun sumber daya alam yang tidak mereka miliki. Ketika RDK masih
bernama Zaire, Gecamines yang bergerak dalam penambangan tembaga berperan
dalam pembiayaan ekspedisi militer yang dilakukan oleh Mobutu, Rwanda
menggunakan Congo Desk yang dibuat oleh Presiden Kagame sendiri untuk
membiayai perang mereka di RDK dan memperkaya perwira dan politikus
Rwanda. Congo Desk kemudian akan memfasilitasi mineral tersebut agar seolah-
olah dihasilkan di negaranya, sehingga dapat melewati regulasi mineral konflik
yang terdapat di berbagai negara, seperti Amerika Serikat.
Tabel 2.3: Pemasukan dan Pengeluaran Militer Rwanda pada tahun 2000
Sumber: Timothy B. Reid, Killing Them Softly: Has Foreign Aid to Rwanda and
Uganda Contributed to The Humanitarian Tragedy in DRC?, hal. 5
Total Pemasukan Perdagangan dalam
juta dolar AS (2000)
Berlian 40.0
Pembayaran Izin Pertambangan 4.0
Emas 15.0
Koltan 191.0
Total 250.0
Total Pengeluaran Militer Rwanda di
RDK dalam juta dolar AS (2000)
Amunisi dan Pemeliharaan 8.4
Gaji Pasukan 30.0
Sewa Penerbangan 21.6
Total 60.0
50
Tabel diatas menjelaskan bagaimana militer Rwanda diuntungkan dari
penguasaan tambang-tambang strategis di RDK. menurut Reid, mineral-mineral
tersebut diangkut dengan pesawat atau helikopter yang lepas landas dari tambang-
tambang tersebut. sejak tahun 1997, Rwanda menetapkan anggaran militernya
kurang dari US$ 100 juta setiap tahunnya dengan biaya kampanye militer di
Rwanda yang terdiri dari persenjataan, amunisi, logistik dan biaya penerbangan.
Pemasukan yang terlihat di dalam tabel menurut Panel PBB tidak hanya diperoleh
dari penjualan mineral melalui Congo Desk, namun juga melalui sumber lain
seperti pembayaran lisensi untuk memperjualbelikan mineral yang dimiliki
Rwanda, pajak dan pembayaran izin lainnya.
51
BAB III
POTENSI EKONOMI SELAMA PERANG KONGO
Pada bab ini akan dijelaskan bagaimana Rwanda bisa melakukan eksploitasi
ekonomi selama Perang Kongo Pertama dan Kedua dimulai pada saat RDK
sebagai sebuah negara berdaulat tidak bisa menggunakan kekayaan alamnya, dan
hal ini terjadi sebelum Perang Kongo Pertama. Privatisasi yang kemudian
berlanjut pada dijualnya berbagai hak konsesi pertambangan pada perusahaan
asing dan penyelundupan, adalah indikasi bahwa RDK sebagai negara berdaulat
tidak bisa mengelola ekonominya, dan hal ini berakibat pada terbukanya peluang
bagi pihak-pihak yang terlibat dalam Perang Kongo untuk memanfaatkan
kekayaan alam yang terdapat di RDK agar konflik tetap berlangsung, termasuk
Rwanda
3.1 Industri Pertambangan di RDK sebelum Berlangsungnya Perang Kongo
Pertama
Dalam memahami bagaimana eksploitasi sumber daya alam oleh Rwanda di
RDK bisa berlangsung, pertama perlu dipahami bagaimana sektor pertambangan
di RDK mengalami kelumpuhan akibat krisis ekonomi sebelum Perang Kongo
Pertama terjadi. Sektor pertambangan adalah sumber pemasukan ekonomi yang
terpenting bagi RDK. Pada awal kemerdekaannya, ekspor mineral dari RDK
berkontribusi bagi 85 persen dari seluruh valuta asing di negara in dan
52
berkontribusi bagi 65 persen bagi seluruh penerimaan pemerintah.RDK sendiri
diketahui menghasilkan 6 persen dari seluruh tembaga yang ada di dunia dan
RDK termasuk produsen tembaga nomor 6 terbesar di dunia setelah Amerika
Serikat, Uni Soviet, Zambia, Cili dan Kanada. Selain itu, RDK juga menghasilkan
berbagai mineral seperti koltan, berlian, minyak bumi, perak, cassiterite dan
emas.Zaire termasuk produsen koltan terbesar di dunia, dan sebelum Perang
Kongo Pertama berlangsung, Amerika Serikat adalah importir terbesar dari koltan
yang dihasilkan oleh RDK..
Produksi dari sektor pertambangan di Zaire mayoritas berasal dari BUMN
milik RDK yang bernama GECAMINES (Générale des Carrières et des
Mines),didirikan tahun 1967 untuk menggantikan perusahaan kolonial Belgia
yang bergerak di bidang pertambangan , Union Miniere du Haut-Katanga
(UMHK). GECAMINES menghasilkan 90 persen dari seluruh tembaga, koltan,
zinc dan batu bara yang terdapat di negara tersebut. GECAMINES merupakan
perusahaan yang mempekerjakan orang-orang Zaire terbanyak, setelah
pemerintahan Zaire. Penerimaan pajak dari GECAMINES mencapai 25 % dari
seluruh anggaran belanja Zaire selama tahun 1984 sampai dengan tahun 198975
.
Terdapat beberapa alasan mengapa sektor pertambangan di RDK, yang
didominasi pemerintahan RDK, mengalami kelumpuhan sebelum Perang Kongo
Pertama berlangsung. Beberapa penyebab tersebut antara lain jatuhnya harga
tembaga dunia yang menyebabkan GECAMINES tidak mampu mendanai
operasionalnya, ketiadaan subsidi pemerintah yang disebabkan kesulitan
75
Bilenga Tshishlmbi dan Peter Glick, Economic Crisis and Adjustment in Zaire, 1993, (Cornell:
Cornell University), hal. 10
53
pemerintah Zaire dalam memperoleh pinjaman dari negara lain setelah IMF
mengharuskan RDK melakukan restrukturisasi ekonomi.
Berbeda dengan mineral lain, tembaga pada umumnya sangat rentan
terhadap fluktuasi harga di pasar dunia dan krisis sendiri terjadi karena kurangnya
diversifikasi ekonomi RDK yang terlalu bertumpu pada pertambangan dan
pertanian. Pada tahun 1996-1997, harga tembaga mengalami penurunan dan
GECAMINES berupaya mengalihkan upaya produksi ke koltan yang pada saat itu
mengalami peningkatan permintaan. Namun, hak suara RDK yang dicabut IMF
sejak tahun 199476
dan penolakan institusi tersebut untuk memberikan pinjaman
baru pada negara tersebut memaksa GECAMINES untuk mengizinkan
berlangsungnya privatisasi sebagai bagian dari restrukturisasi ekonomi. Sebagai
hasilnya, sebelum dimulainya Perang Kongo Pertama GECAMINES hanya
memiliki saham sebanyak 51 % dan sisanya dimiliki oleh berbagai perusahaan
yang berasal dari Kanada dan Afrika Selatan.
Alasan berikutnya, infrastruktur yang tidak memadai sehingga mendorong
terjadinya penyelundupan mineral ke luar negara tersebut, selain dikarenakan
lemahnya kendali pemerintah di kota-kota yang terletak pada perbatasan RDK.
Sejak tahun 1975, Angola menutup rel kereta api Benguela yang menghubungkan
RDK dengan Pelabuhan Lobito, Angola. Akibatnya, Pemerintah Zaire terpaksa
membangun rel kereta baru yang terhubung dengan Pelabuhan Matadi, RDK dan
pelabuhan di Afrika Selatan. Namun, ketidakmampuan GECAMINES untuk
76
Hak suara di IMF sendiri memungkinkan negara anggotanya untuk mengambil suara terkait
kebijakan dan pemilihan direktur IMF. Hak suara di IMF berbeda masing-masing anggotanya, dan
untuk menambah kuota suara tersebut, negara anggota tersebut harus memperoleh apa yang
dinamakan Special Drawing Right yang didapatkan melalui donasi
54
mengelola infrastruktur rel dan kereta yang sudah dibangun yang dimiliki
membuat GECAMINES tidak lagi mampu memasok mineral yang mereka
miliki77
.
3.2 Penyelundupan Komoditas dan Mineral sebagai Salah Satu Wujud
Ekonomi Informal dari RDK
Penyelundupan komoditas dan mineral di RDK merupakan salah satu
fenomena yang umum di RDK, dan mengingat bahwa nilai komoditas yang
diselundupkan dari RDK jauh lebih besar dari statistik resmi yang diberikan oleh
pemerintah RDK, salah satu laporan dari Universitas Cornell yang berjudul
Economic Crisis and Adjustment in Zaire menyebut aktivitas ini sebagai second
economy, yang menurut laporan ini disebabkan jumlah komoditas dan mineral
yang diselundupkan dari RDK sendiri bernilai 5 kali lipat dari statistik resmi yang
dikeluarkan Zaire78
.
Second economy di RDK, yakni penyelundupan memiliki sejarah yang
panjang di RDK, terutama selama dan setelah resesi ekonomi tahun 1989-1990
terjadi79
. Beberapa indikator ekonomi menunjukkan bahwa selama tahun 1974-
1975, aktivitas penyelundupan ini mencapai angka 19 persen. Kemudian,pada
tahun 1980 sebagia besar dari wilayah RDK berhasil melepaskan diri dari kendali
77
Ibid, hal. 81 78
Ibid, hal. 15 79 Penamaan dari second economy sebagai aktivitas ekonomi informal peneliti kutip dari tulisan
Economic Crisis and Adjustment in Zaire yang diterbitkan oleh Cornell University. Second
economy sendiri terinspirasi dari pasal 15 dari Konstitusi RDK yaitu Individual liberty shall be
guaranted. Menariknya, banyak warga RDK menafsirkan isi pasal ini secara longgar dan
menggunakan referensi ini sebagai „legalitas‟ atas aktivitas ekonomi informal mereka. Mobutu
Sese Seko yang berkuasa dahulunya mengingatkan rakyatnya untuk tidak bergantung pada
pemerintah jika ingin memenuhi kebutuhan mereka. “Feed Yourselves !‖ dan “Why should I
feed my prisoners when I don't have enough to feed my peasants?‖ adalah salah satu dari
pidatonya yang terkenal
55
pemerintah dan berhasil mengorganisasikan penyelundupan kopi dan mineral,
yang mana aparatus pemerintahan juga terlibat dikarenakan ketidakmampuan
pemerintah RDKuntuk membayar gaji gaji pegawai negeri dan tentara selama
resesi ekonomi terjadi. Di beberapa kota perbatasan RDK, komunitas pedagang
atau merchant yang berasal dari RDK, Chad, Uganda, Rwanda and Mali
mendirikan apa yang dinamakan base, umumnya berada di pasar-pasar dan gereja,
dan di base mereka menjual alat-alat elektronik dan kendaraan yang dapat
diperoleh dengan menjual emas, koltan, kopi dan teh80
.
Menurut Hugues Leclerq81
, aktivitas ekonomi informal ini dapat ditemukan
di beberapa tempat di RDK. Tempat atau lokasi-lokasi tersebut adalah:
1. Pedagang kelas menengah atau urban dari ibukota RDK, yang memiliki
jaringan perdagangan yang menghubungan Republik Kongo atau Congo-
Brazzaville dengan 2 provinsi di Zaire, Bas-Zaire dan Bandundu. Perdagangan
dari Kinshasa sendiri ditandai dengan transportasi yang baik dikarenakan kualitas
jalanan di wilayah luar ibukota yang bisa dikatakan cukup baik dan komunikasi
yang lancar antara Kinshasa dan wilayah yang berdekatan.
2. Wilayah pertambangan Kasai, salah satu provinsi di RDK, terutama berpusat di
Tshikapa dan Mbujimayi, secara ekonomi bergantung pada eksploitasi berlian
yang kemudian diselundupkan ke Angola melalu jalur darat dan air (melalui
Sungai Kasai). Penyelundupan berlian dari wilayah ini mencapai setengah dari
pemasukan pajak yang diterima RDK dari perdagangan berlian.
80
J. C. Willame (ed.), Zaire: Predicament and Prospects, Washington: United States Institute of
Peace, hal. 11
81
Ibid
56
3. Aktivitas ekonomi informal yang terdapat di Sud Kivu melibatkan ekploitasi
mineral seperti emas dan koltan, penyelundupan kopi, yang kemudian digunakan
untuk memperoleh kebutuhan sehari-hari, kendaraan, dan alat elektronik.
Kendaraan dan barang-barang manufaktur yang diselundupkan di wilayah ini
berasal dari Timur Tengah. Kota-kota yang terletak di Sud Kivu seperti Goma
merupakan kota yang terbilang strategis dikarenakan menghubungkan Rwanda
dan Republik Demokratik Kongo. Aktivitas ekonomi yang terdapat di kota ini
adalah perdagangan koltan, dan kemudian cakupan ekonomi dari Goma semakin
meluas selama Perang Kongo dikarenakan para pedagang yang memperoleh
keuntungan dari penjualan koltan ataupun barang-barang sekunder lainnya
membangun hotel dan berbagai hunian lainnya untuk organisasi kemanusiaan
yang datang di kota tersebut. selama Perang Kongo Kedua berlangsung, kota ini
dipengaruhi oleh 2 kelompok besar yang berdagang di sana, yakni kelompok
pedagang yang berdarah Tutsi atau Banyarwanda yang mendukung RCD dan
kelompok pedagang etnis Nande yang mendukung MLC.
4. tesis dari Raeymaeker yang berjudul The Power of Protection Governance and
Transborder Trade on Uganda- Congo Border akan peneliti gunakan untuk
membahas penyelundupan yang terjadi di Uganda dan RDK secara garis besar.
Penelitian dalam tesis ini dilakukan di kota Butembo, Provinsi Nord Kivu yang
langsung berbatasan dengan Uganda. Dalam tesis ini, aktivitas ekonomi yang
berlangsung dalam perang Kongo Kedua dijelaskan dalam tesis ini, dengan
penjelasan bagaimana pemberontak MLC dan pedagan dari etnis Nande saling
diuntungkan dengan penyelundupan berbagai komoditas, dengan melakukan
berbagai pemungutan pajak bagi kepentingan pemberontak yang perlahan
57
menggantikan mekanisme pajak yang berlaku dalam rezim Laurent Kabila dan
kebijakan proteksi yang dilakukan pemberontak MLC untuk melindungi kargo
dan muatan para pedagang Nande dari milisi atau pemberontak yang merupakan
saingan dari MLC82
.
3.3 Konsesi Pertambangan dari Perusahaan-Perusahaan Internasional
Setelah Perang Kongo Pertama
Ketertarikan Rwanda terhadap kekayaan alam RDK muncul ketika Laurent
Kabila berhasil menerbitkan konsesi yang memberikan pengelolaan beberapa
tambang strategis di RDK kepada beberapa perusahaan pertambangan, sebagian
besar dari perusahaan-perusahaan tersebut berasal dari Amerika Serikat dan
Kanada.
Kontrak yang ditandatangani sendiri biasanya mencakup aktivitas ekplorasi
dan eksploitasi. Yang menarik dalam konsesi pertambangan dengan Laurent
Kabila sendiri selama Perang Kongo Pertama berlangsung, adalah para
perusahaan tersebut justru membutuhkan pemberitaan negatif dari media massa
untuk menarik investor untuk menanamkan uang mereka di perusahaan tersebut83
.
Privatisasi setelah Perang Kongo Pertama merupakan sesuatu yang umum setelah
bangkrutnya Gecamines, BUMN pertambangan RDK dibawah kekuasaan Mobutu
Sese Seko. Berikutnya, dengan dekrit presiden yang dinamakan ‗zone exclusive de
recherches‟
82
Timothy Raeymaekers, The Powerof Protection Governance and Transborder Trade
On the Congo-Ugandan Frontier, (Ghent:Ghent University), hal.10-15 83 Selama tahun 1996-1997, investasi besar-besaran di pertambangan lumrah ditemui dan
seringkali investasi tersebut tidak membuahkan hasil karena deposit mineral yang tidak sesuai
dengan harapan. Salah satu kasus adalah skandal Bre-X, sebuah perusahaan Kanada yang berhasil
melakukan penipuan investasi dengan klaim telah menemukan deposit emas terbesar di dunia,
tepatnya di Kalimantan. Perang sipil dimana pihak-pihak bersenjata berupaya merebut konsesi
pertambangan untuk mendanai pemberontakannya tentu akan memperkuat klaim bahwa deposit
yang diperebutkan tersebut sangat menjanjikan
58
RDK di bawah Laurent Kabila berusaha membatalkan setiap perjanjian
untuk konsesi pertambangan yang berhubungan dengan Mobutu Sese Seko,
setelah runtuhnya Gecamines84
. Perusahaan-perusahaan besar yang sudah
mengikat perjanjian dengan rezim Zaire seperti De Beers dari Afrika Selatan,
menjadi tidak berlaku, dan kepemilikan mereka dialihkan kepada perusahaan-
perusahaan yang bisa dikatakan kecil dan kurang diketahui seperti American
Mineral Field dan Barrick. Konsesi pertambangan sendiri tidak hanya berkaitan
dengan ekplorasi dan eksploitasi sumber daya alam RDK, namun juga bantuan
militer serta politik, semenjak pejabat dari negara lain baik sipil atau militer
memiliki investasi diperusahaan ini85
.
3.4 Konsesi Pertambangan di RDK sebelum Perang Kongo Kedua
Konsesi pertambangan pada tahun 1998 atau tepatnya pada awal mula
Perang Kongo Kedua sendiri mengalami penurunan akibat berbagai penyebab.
Beberapa penyebab itu antara lain :
1. lamanya pemberian izin konsesi walaupun sudah diturunkan melalui
dekrit presiden,
2. keengganan bank-bank terkemuka dunia untuk mendanai investasi di
RDK selama Perang Kongo Kedua berlangsung
3. instabilitas keamanan terutama di wilayah pertambangan, dan bergantinya
mitra bisnis Laurent Kabila karena menganggap perusahaan-perusahaan yang
84 Stefaan Marysse and Filip Reyntjens, The Political Economy of the Great Lakes Region
in Africa : The Pitfalls of Enforced Democracy and Globalization, (New York: Routledge), hal.
163 85
Salah satu contoh bantuan militer yang dimaksud semisal kontribusi American Mineral Field
untuk merekrut tentara bayaran dari Serbia dan bahkan American Mineral Field merekrut seorang
jenderal Belgia untuk menjadi penasehat militer bagi Kabila
59
sebelumnya bekerjasama dengannya dekat dengan Rwanda, sedangkan di sisi lain
Kabila harus memulihkan reputasinya dari yang sebelumnya dianggap sebagai
boneka asing oleh banyak rakyat RDK86
.
Alasan pertama, yakni lamanya pemberian izin konsesi, menjelaskan betapa
tidak efisiennya birokrasi RDK di bawah Laurent Kabila. Dari literatur yang
peneliti kutip menunjukkan bahwa perlu 1 tahun untuk menandatangani dekrit
presiden, dan administrasi yang tidak berjalan dengan semestinya berkontribusi
untuk memperpanjang waktu sebuah perusahaan untuk mendirikan perusahaan
lokal yang akan menjalankan operasi mereka. Belum lagi ketika wilayah tersebut
dikuasai pemberontak, pengelola pertambangan cenderung melakukan
pembayaran keamanan kepada pasukan maupun pemberontak apapun yang
menduduki wilayah tersebut. namun, jika milisi tersebut berseberangan dengan
pemerintah RDK, tindakan hukum akan diambil yang kemudian berujung pada
penghentian konsesi87
.
Alasan kedua, keengganan bank-bank terkemuka dunia untuk mendanai
investasi di RDK selama Perang Kongo Kedua berlangsung, dipicu oleh tingginya
resiko dalam melakukan investasi pertambangan di RDK selama perang
berlangsung. Selama perang berlangsung, opsi pembiayaan eksplorasi di RDK
menjadi terbatas. Bank besar seperti Chase Manhattan Bank88
, salah satu sumber
pembiayaan terbesar untuk sektor pertambangan pada tahun 1997, mengumumkan
86
Ibid, hal.150 87 Stefaan Marysse and Filip Reyntjens, op.cit., hal. 169 88 Chase Manhattan Bank sendiri adalah sebuah bank yang berbasis di Chicago dan sudah berdiri
semenjak tahun 1799 dan merupakan 4 bank terbesar di Amerika Serikat atau biasa disebut dengan
Big Four. Bank ini sendiri sudah banyak mendanai berbagai proyek dari pemerintah Zaire
semenjak tahun 1974 dan dana ini kemudian menjadi investasi awal untuk mendirikan
GECAMINES
60
bahwa mereka tidak akan mendanai proyek apapun di RDK selama dua sampai
tiga tahun ke depan89
.
Alasan ketiga, instabilitas keamanan terutama di wilayah pertambangan,
umum terjadi semenjak baik pasukan dari negara-negara yang bertikai maupun
para pemberontak memperebutkan wilayah-wilayah yang strategis secara
ekonomi, atau seperti apa yang Paul Kagame utarakan sebagai self-financing war.
Penambangan secara sederhana atau artisanal mining membuat pihak-pihak yang
bertikai berinisiatif untuk memperoleh pengaruh atas wilayah dan penduduk yang
akan mereka kuasai atau menguasai monopoli perdagangan mineral di wilayah
tersebut dengan membelinya dengan harga sangat murah. Sementara itu, bagi
perusahaan-perusahaan ini yang butuh perlindungan dan kepastian biasanya akan
menyetujui setiap perjanjian konsesi baru yang ditawarkan oleh pihak-pihak yang
berbeda.
Alasan terakhir dari penurunan investasi perusahaan pertambangan di RDK
paska membelotnya Kabila dari aliansi Rwanda adalah pergantian mitra bisnis
Laurent Kabila. Laurent Kabila sendiri segera memutuskan untuk memberikan
sejumlah besar hak konsesi pertambangan kepada perusahaan-perusahaan
Zimbabwe, dengan jaminan yang diberikan oleh Presiden Zimbabwe, Robert
Mugabe, bahwa negaranya akan memberikan bantuan militer yang dibutuhkan
untuk menghadapi angkatan bersenjata Rwanda dan milisi atau pemberontak yang
berafiliasi dengan mereka. Berbagai perjanjian bisnis tersebut merupakan bagian
dari berpisahnya Rwanda dan RDK. perjanjian-perjanjian bisnis ini berlangsung
setelah Rwanda mengusir perwira dan pasukan Rwanda yang berdiam di RDK.
89
Ibid, hal. 165
61
BAB IV
ANALISA KEPENTINGAN EKONOMI RWANDA DALAM PERANG
KONGO
Bab ini adalah analisa dari kepentingan ekonomi Rwanda dengan
menggunakan kepentingan nasional dan Perang Sumber Daya Alam sebagai
konsep. Penggunaan kepentingan nasional dalam penelitian ini dengan
mempertimbangkan bahwa selain Rwanda dapat mencapai kepentingan
keamanannya dalam Perang Kongo, terdapat kontribusi pajak dari eksploitasi
mineral RDK, melalui perusahaan yang berafiliasi dengan partai berkuasa di
Rwanda, RPF.
Berikutnya, penggunaan Perang Sumber Daya Alam dalam penelitian ini
dikarenakan bahwa kekayaan alam RDK yang berada di perbatasan Rwanda dan
RDK kurang diawasi oleh angkatan bersenjata RDK, dan milisi yang dibentuk
oleh RDK mampu menandingi angkatan bersenjata RDK di wilayah tersebut.
keberadaan kekayaan alam RDK di perbatasan Rwanda-RDK yang sulit diawasi
sesuai dengan karakter distant dari konsep Perang Sumber Daya Alam dan
warlordisme sebagai konsekuensi dari konflik yang muncul untuk menguasai
sumber daya alam yang distant dan diffuse. Emas, koltan, dan berlian sebagai
beberapa mineral yang dimiliki oleh RDK cocok dengan karakter diffuse dan
distant. Diffuse karena mineral tersebut tersebar di seluruh RDK dan dapat
diperoleh dengan peralatan sederhana90
. Distant karena jarak Kinshasa dan
perbatasan darat Rwanda-RDK berjarak 3000 km dan angkatan bersenjata RDK
90
Blaine Harden, http://www.nytimes.com/2001/08/12/magazine/the-dirt-in-the-new-machine.html
, New York Times, diakses pada tanggal 10 April 2015, jam 1:47 WIB
62
memiliki berbagai masalah dalam menjaga wilayah tersebut, semisal
penyelundupan senjata oleh perwira RDK dan ketidaksukaan warga sipil terhadap
keberadaan angkatan bersenjata RDK.
Terkait dengan situasi yang muncul selama Perang Sumber Daya
berlangsung, yakni Private Resource Diplomacy dan Comfortable Conflict
Stalemate, peneliti hanya akan membahas salah satunya yakni Private Resource
Diplomacy karena berlangsungnya eksploitasi mineral secara ilegal oleh Rwanda
tidak terlepas dari koneksi dan relasi yang Rwanda miliki, semisal pebisnis yang
datang dari berbagai negara dan pemberontak yang dipersenjatai oleh Rwanda.
4.1 Kepentingan Nasional Rwanda Dilihat dari Perspektif Ekonomi
4.1.1 Sektor Pertambangan Rwanda dan Kesulitan yang Mereka Hadapi
Sebelum memahami kepentingan ekonomi Rwanda dalam Perang Kongo,
ada baiknya memahami sektor pertambangan yang terdapat di Rwanda dan
bagaimana situasi sektor pertambangan di Rwanda dapat mempengaruhi
keputusan Rwanda dalam Perang Kongo.
Menurut United Nations Investment Policy Review, sektor pertambangan
Rwanda dikuasai oleh BUMN pertambangan Rwanda yang bernama REDEMI
(Régie d'Exploitation et de Développement des Mines). REDEMI sendiri
menguasai lahan konsesi seluas 1000 km. walaupun begitu, keengganan
pemerintah Rwanda untuk memberikan kapital dan mesin baru bagi REDEMI
63
membuat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan REDEMI menjadi
terhambat91.
Rwanda tidak memiliki data geologis yang selalu diperbaharui dari waktu
ke waktu, dan Rwanda hanya bergantung pada data geologis yang dihasilkan
sebelum kemerdekaan. Karakteristik geofisikal dari Rwanda dan negara-negara
tetangganya menunjukkan bahwa Rwanda memiliki deposit mineral yang
menjanjikan. Namun, Pemerintah Rwanda menyadari bahwa mereka tidak
memiliki kapabilitas untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi mineral secara
modern dan kontribusi dari pihak swasta dan investor asing sangat dibutuhkan
untuk menemukan deposit baru di Rwanda92
.4.1.2 Kepentingan Nasional Rwanda dalam Perang Kongo : Paul Kagame
dan Self-Financing War
Self-Financing War, ungkapan yang digunakan Presiden Rwanda Paul
Kagame untuk menggambarkan Perang Kongo, berkontribusi dalam menjelaskan
bagaimana kepentingan ekonomi juga termasuk dalam perhitungan Rwanda ketika
melakukan berbagai serangan ke berbagai wilayah di Republik Demokratik
Kongo. Ungkapan Self-Financing War sendiri muncul dalam sebuah laporan
panel PBB yang menguraikan bagaimana militer Rwanda mampu melangsungkan
perang dengan mineral yang mereka peroleh di RDK.:
91
United Nations Investment Policy Review adalah laporan yang diterbitkan PBB mengenai
potensi ekonomi, birokrasi dan regulasi dari sebuah Negara (sumber:
http://unctad.org/en/Pages/DIAE/Investment%20Policy%20Reviews/Investment-Policy-Reviews.aspx), hal. 60
92 Ibid
64
“All military experts consulted suggested that the official defence
budget of Rwanda cannot alone cover the cost of their war and
presence in the Democratic Republic of the Congo. The Panel concurs
with President Kagame, who described the conflict in the Democratic
Republic of the Congo as ―a self-financing war93‖
Penggunaan istilah ini kemudian meluas, baik dalam berbagai buku maupun
artikel jurnal. Jason K. Stearn, penulis buku memoar Dancing in the Glory of
Monster: the Collapse of the Congo and the Great War of Africa menggunakan
kata Self- Sustaining yang memiliki makna yang hampir mirip dan menurut
peninjau dari New York Times, Adam Hoshchild, Stearn menggunakan kata
tersebut untuk menggambarkan bagaimana Rwanda mampu memperoleh
keuntungan ekonomi dari eksploitasi mineral di RDK dan bahkan untuk
melindungi kepentingan tersebut, Rwanda melakukan serangan terhadap negara
yang menjadi aliansinya, Uganda, atas penguasaan kota-kota yang kaya berlian
dan koltan di RDK94. Untuk jurnal dan artikel ilmiah, penggunaan kata Self-
Financing War dapat ditemukan dalam berbagai tulisan seperti Stolen Goods:
Coltan and Conflict in the Democratic Republic of Congo, tulisan dari Dena
Montague, World Policy Institute dan International Response to the Illegal
Exploitation of Resource in the DRC, tulisan dari Francois Gagnon, International
Crisis Group.
93 United Nations Security Council, Letter Dates 12 April 2001 from the Secretary General to
Presiden of the Security Counclis, hal.27 94
Adam Horshchild, Explaining Congo‘s Endless Civil War, New York Times,
http://www.nytimes.com/2011/04/03/books/review/book-review-dancing-in-the-glory-of-
monsters-the-collapse-of-the-congo-and-the-great-war-of-africa-by-jason-k-
stearns.html?pagewanted=all&_r=0
65
Gambar 4.1 : Paul Kagame (tengah) bersama prajurit Rwanda di Stadium
Nasional Kigali
Sumber: http://www.inyenyerinews.org/justice-and-reconciliation/letter-from-the-north-
the-rwanda-a-country-without-general-real/
Sebagai kepala negara, Paul Kagame sendiri beranggapan bahwa tuduhan
yang menurutnya bersifat sepihak dari PBB sangat merugikan Rwanda, semisal
pemotongan bantuan keuangan dari negara-negara yang menjadi mitra Rwanda.
Bantahan-bantahan Paul Kagame atas tuduhan tersebut dapat ditemukan dalam
wawancara Majalah Times dengan Kagame di Kigali, ibukota Rwanda, pada
tanggal 14 September 201295. Dalam wawancara tersebut, Kagame menganggap
tuduhan atas eksploitasi ekonomi oleh Rwanda di RDK tersebut datang dari
orang-orang yang menganggap aneh kemajuan yang diperoleh negara tersebut
setelah genosida, dan menganggap semua kekacauan yang dapat ditemukan di
perbatasan Rwanda-RDK adalah kesalahan Rwanda:
―If you look at the size of wealth of Congo, the question is why should
it be like that? Why does Congo look like that? It shouldn‘t.
[Comparing us] becomes the false basis for making a judgment
95 Alex Perry, Q&A: Rwandan President Paul Kagame, Times, http://world.time.com/2012/09/14/qa-rwandan-president-paul-kagame/, (accessed July 7, 2015)
66
against us. Some people try to explain the difference by saying
Rwanda must be exploiting the wealth of Congo. Do they think that‘s
what lights our streets and puts up all these buildings in our city and
builds our roads? That‘s a very shallow way of thinking. Maybe
people who raise these issues should be asking themselves a simple
question: why does Congo, that has this wealth, not thrive on it?96
Terkait dengan kepentingan ekonomi Rwanda di perbatasan Rwanda-RDK,
Kagame menganggap bahwa adalah suatu kesalahan untuk menuduh Rwanda
memperoleh kepentingan ekonomi selama perang berlangsung, sedangkan di satu
sisi, perusahaan-perusahaan yang berasal dari Amerika Serikat dan Tiongkok juga
memiliki investasi di RDK:
― What right do other companies from China, America and wherever
have to be in Congo that companies from Rwanda do not have? There
are companies there from all over the world. We are probably the first
country in the world to be accused of being guilty of having an
economic interest somewhere. That‘s common practice. How can we
be guilty of that?97
Terakhir,terkait tuduhan yang menyatakan Rwanda Patriotic Front memiliki
kepentingan bisnis di RDK, Kagame menjamin bahwa keuntungan yang diperoleh
perusahaan-perusahaan tersebut tidak digunakan untuk mempersenjatai tentara
Rwanda di RDK dan aktivitas tersebut sepenuhnya untuk bisnis dan pajak untuk
pembangunan negara:
―.......We only have to make sure there is no mix-up [between] what
belongs to the RPF and what belongs to the state, to avoid any conflict
of interest. And all along what we did was for them to invest in certain
areas where other people were shy to put their money so that we
achieve another objective: to really stimulate and start another
96
Ibid 97
Ibid
67
activity which should benefit the country And if Rwanda‘s interest
really is economic, as people say, why not call Rwanda‘s bluff? Deal
with the security problem. Then Rwanda would have nothing to hide
behind. Our problem in Congo for 18 years has been a security
problem. You are saying we‘re interested because of economics. Deal
with the security so that it does not exist and then we can all see what
crimes we are committing in our economic interests.98
‖
Selanjutnya, peneliti akan menjelaskan bagaimana aktivitas ekonomi
Rwanda di RDK diawasi secara penuh oleh Paul Kagame, dan bagaimana
perolehan tersebut digunakan untuk memperkaya pejabat RPF dan pembiayaan
pembangunan melalui pajak. Rwanda adalah sebuah negara otoriter dengan
Rwanda Patriotic Front sebagai partai politik yang dominan di segala aspek
kehidupan, apakah itu sosial, politik, dan ekonomi. Secara ekonomi sendiri,
pencarian rente atau rent seeking sendiri umum berlangsung di Rwanda dimana
partai berkuasa, RPF, terlibat di banyak sektor ekonomi melalui unit usaha
mereka yang mana sudah berlangsung paska genosida berakhir, dimana dana yang
dikumpulkan dari berbagai simpatisan RPF digunakan untuk rekonstruksi
ekonomi dari Rwanda. Namun selama Perang Kongo Kedua berlangsung, rent-
seeking dilakukan dengan eksploitasi sumber daya alam dari Republik
Demokratik Kongo, dimana selain untuk berkontribusi bagi negara tersebut
melalui pajak, hasil eksploitasi tersebut dapat digunakan untuk memperkaya
pejabat-pejabat dari partai berkuasa, terutama Presiden Rwanda Paul Kagame dan
kalangan terdekatnya yang dikenal dengan akazu.
98
Ibid
68
Salah satu unit usaha RPF yang memanfaatkan situasi vakum dari
perusahaan pertambangan dunia akibat Perang Kongo Kedua adalah sebuah
perusahaan yang bernama Tri Star Company99.
Perusahaan terbesar yang dimiliki RPF, yang di Rwanda sebagai partai
berkuasa , adalah Tri-Star Company. Disebut terbesar karena bergerak di berbagai
bidang yang terdiri dari telekomunikasi, konstruksi, pertanian, perdagangan,
perbankan, dan termasuk pertambangan (anak perusahaannya, Rwanda Metals,
beroperasi di RDK selama Perang Kongo). Mengutip Willum, dibawah ini daftar
kepemilikan usaha yang dimiliki Tri-Star:
1. saham (41%) di MTN Rwandacell SARL, sebuah perusahaan telepon selular,
yang pada Februari 1998 memenangkan satu-satunya lisensi untuk menjual
telepon selular berbasis GSM di Rwanda
2. kepemilikan atas Intersec, sebuah perusahaan keamanan, yang menyediakan
jasa keamanan kepada bisnis, kedutaan besar, dan NGO internasional yang
beroperasi di Rwanda
3. kepemilikan Impremerie Nouvelle, sebuah industri percetakan, yang
sebelumnya adalah biro percetakan nasional di bawah kepemimpinan
Presiden Juvenil Habyarimana
4. kepemilikan atas Highland Flowers, sebuah perusahaan yang mengekspor
bunga mawar ke Eropa
5. kepemilikan atas Mutara Enterprises, sebuah perusahaan alat kantor dan
furniture yang bekerjasama dengan kementerian di Rwanda
99
Bjorn Willum, Foreign Aid to Rwanda: Purely Beneficial or Contributing to War?, University
of Copenhagen, hal. 123
69
6. saham di Le Meridien, sebuah hotel bintang 4 di Kigali
7. saham di Banque de Commerce, du Développement et d‘Industrie (BCDI),100
yang mana menyediakan pinjaman ke RCD-Goma untuk membeli senjata
,menyediakan pinjaman untuk pengeluaran militer Rwanda yang kemudian
dilunasi dengan hasil dari perdagangan mineral
8. Rwanda Metals, sebuah perusahaan yang membeli koltan dari Republik
Demokratik Kongo101
Tri-Star dibentuk sebagai “Production Unit” untuk kepentingan ekonomi
RPF dalam melangsungkan pemberontakan terhadap pemerintah Rwanda yang
dahulunya merupakan mayoritas Hutu sampai tahun 1994, terus berkontribusi
untuk keberlangsungan Rwanda dan RPF sampai Perang Kongo Kedua
berakhir102. Menurut Booth, akumulasi ekonomi yang didapat oleh RPF paska
genosida tahun 1994 berasal dari 3 sumber:
1. Kontribusi keuangan yang diberikan oleh pendukung RPF yang kemudian
digunakan untuk rekonstruksi ekonomi Rwanda
2. Kelebihan laba yang didapat dari perdagangan mineral yang tidak dipajak dan
tidak diketahui dari RDK selama Perang Kongo Pertama dan Kedua berlangsung,
dan,
100
11.6% dari saham di BCDI dimiliki oleh Tri-Star, berdasarkan laporan dari organisasi
perdagangan yang bernama Common Market for Eastern and Southern Africa (Comesa). Common
Market for Eastern and Southern Africa, Rwandan Banking Information, memorandum, n.d., at
http://www.comesa.int/states/rwanda/qrwabact.htm 101
Willum, Ibid, hal. 102
Will Jones, Africa‘s illiberal state-builders,Oxford: Refugee Studies Centre, hal. 16
70
3. Laba dari industri-industri yang mendapat proteksi dari pemerintah103.
Keberadaan Tri-Star dan Rwanda Metals yang diisi oleh kader dan
simpatisan RPF sendiri sangat menguntungkan pejabat RPF dan angkatan
bersenjata Rwanda, karena dalam Vision 2020 sendiri salah satu komitmen
Rwanda adalah kebijakan zero tolerance terhadap korupsi, dan RPF harus terlihat
seminimal mungkin dalam terlibat aktivitas seperti itu. Tri-Star serta Rwanda
Metals juga dapat dikatakan menguntungkan Rwanda karena 10 persen dari pajak
yang didapatkan oleh negara tersebut berasal dari Tri- Star, dan diantaranya yakni
6 persen berasal dari eksploitasi mineral di RDK.
4.1.3 Rwanda dan Monopoli Perdagangan Mineral selama Perang Kongo
Kedua Berlangsung
Kepentingan ekonomi Rwanda di RDK sendiri mulai muncul ketika
beberapa wilayah RDK di timur yang mana kaya akan deposit sumber daya alam,
seperti Kivu, berada di bawah pengaruh Rwanda baik karena keberadaan RCD
sebagai perpanjangan tangan negara tersebut maupun karena keberhasilan mereka
mengalahkan angkatan bersenjata RDK yang tidak disiplin dan tidak memiliki
semangat tempur. Kepentingan ekonomi Rwanda dalam Perang Kongo Kedua
sendiri dapat dilihat pernyataan-pernyataan yang dapat ditemukan dari pejabat
Rwanda maupun dari pengamatan beberapa ahli terkait Perang Kongo Kedua.
Untuk pernyataan-pernyataan yang merujuk pada kepentingan ekonomi Rwanda,
peneliti akan mengutip beberapa pernyataan dari Presiden Rwanda, Paul Kagame.
103
David Booth, Developmental patrimonialism? :The case of Rwanda,(London: Africa Power
and Politics Programme), hal.4
71
Presiden Rwanda, Paul Kagame, menyebut perang Kongo sebagai self
financing war. Menurut Eriksen, pernyataan Kagame sendiri sesuai dengan
kondisi ekonomi Rwanda dikarenakan untuk Perang Kongo sendiri, basis
ekonomi yang terletak di dalam Rwanda sendiri tidak diperkuat, sedangkan
Rwanda sendiri terus menerus menambah anggaran militernya sehingga bersama-
sama dengan Angola dan Eritrea, Rwanda memiliki anggaran militer terbesar
ketiga di Afrika:
―Rwanda‘s military strength is also revealed by expenditure data.
According to the SIPRI yearbook, official expenditure as
percentage of GDP has stood between 4 and 5,5% over the last ten
years. In comparison with other African countries, this puts
Rwanda in third place, after Angola and Eritrea. Moreover, SIPRI
consider real expenditures to be significantly higher – perhaps as
high as twice the official figures. Notably, there has been no
significant increase in official defence expenditure after the
outbreak of the war. However, it is likely that the gap between
official and real expenditure has increased, as a result of profits
generated from exploitation of minerals in Congo. Most likely, at
least parts of the income generated in Congo have been used to
fund the campaign.104‖
Pemerintahan Rwanda sepertinya mengakui bahwa potensi sumber daya
alam RDK dapat berkontribusi ke dalam ekonomi Rwanda, walaupun di satu sisi
menolak segala tuduhan terkait eksploitasi sumber daya alam RDK oleh Rwanda.
Juru bicara pemerintahan Rwanda pada tahun 2000 mengatakan hal tersebut pada
suatu wawancara:
―Rwanda is not benefiting materially from any Congolese resources
whatsoever. Our budget this year [2000] was a shoestring budget,
104
Stein Sundstøl Eriksen, The Congo war and the Rwanda and Uganda compared prospects of
state formation, Oslo: Norwegian Institute of International Affairs, hal. 9
72
worse than last year's. If the government was getting money from
Congo minerals, our budget would not be as miserable as it is105‖
Pemerintahan Rwanda menolak klaim ini dan menyebutkan beberapa pihak
berusaha memojokkan Rwanda dengan meremehkan kepentingan keamanan
Rwanda, seperti yang disebutkan perwakilan Rwanda di PBB, Patrick
Mazimpaka, terkait laporan yang dikeluarkan PBB pada tahun 2001:
―It is as if they are saying the Interahamwe militia are not there.
There are as many as 40,000 Interahamwe... [The content of the
report] is ... equivalent to saying that the genocide never happened in
Rwanda106‖
Namun, para pengamat Perang Kongo seperti Marysse menolak segala
klaim yang diberikan pemerintahan Rwanda atas penolakan mereka atas tuduhan
eksploitasi ekonomi oleh Rwanda di RDK. Menurut Marysse, selisih angka dari
jumlah ekspor mineral yang diumumkan dan jumlah ekspor mineral yang tidak
diumumkan sangat besar. Marysse sendiri melakukan penelitian terkait hal ini
yakni dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2000. Dengan berbagai sumber yang
dia kutip, Marysse menemukan bahwa jumlah ekspor yang dicantumkan oleh
Rwanda tidak mengikuti jumlah mineral yang mereka peroleh dari Republik
Demokratik Kongo. Menurut Marysse, ekploitasi yang dilakukan Rwanda di
RDK, utamanya dilakukan oleh Rwanda Patriotic Army, mencapai 7-8 % dari
total PDB dari Rwanda107.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, alasan keamanan menjadi salah satu
alasan mengapa perusahaan-perusahaan pertambangan yang sebelumnya
105
Johan Pottier, Everybody needs good neighbours: understanding the conflict(s) in Eastern
DRC,( Lisboa: Centro de Estudos Africanos do ISCTE), hal. 8
106 Ibid 107 Stefaan Marysse and Filip Reyntjens, Ibid, hal. 172
73
melakukan investasi di RDK memutuskan untuk tidak melanjutkan investasinya.
Terlebih lagi, di wilayah yang dikendalikan oleh Rwanda pada Perang Kongo
Kedua dan sebelumnya juga diikuti pada Perang Kongo Pertama, Kivu, terdapat
satu gerakan politik yang kemudian menggantikan otoritas Republik Demokratik
Kongo,yakni RCD. RCD membuat perusahaan yang bernama SOMIGL dan
menjual banyak koltan kepada Rwanda.
4.1.4 Capaian Rwanda secara Ekonomi selama Perang Kongo
Selain Rwanda dapat menjamin keberlangsungan keamanan negaranya
dengan membuat Mobutu Sese Seko kabur dari negaranya karena bertanggung
jawab atas menampung Interhamwe yang merupakan aktor utama dari genosida di
Rwanda tahun 1994 pada Perang Kongo Pertama dan menjamin keberlangsungan
orang Tutsi di RDK atau Banyamulenge yang mengalami diskriminasi dan
pembunuhan besar-besaran oleh rezim Laurent Kabila selama Perang Kongo
Kedua, salah satu capaian yang dapat dilihat dari invasi Rwanda selama Perang
Kongo adalah capaian secara ekonomi. Secara ekonomi, partisipasi Rwanda
dalam membiayai pemberontak kontra Mobutu Sese Seko dan dan RDK serta
ikut melakukan eksploitasi sumber daya alam yang berada di RDK dapat
dikatakan sebagai kepentingan ekonomi Rwanda di RDK.
74
Gambar 4.2 :Peta Kandungan Mineral di Zaire / Republik Demokratik
Kongo
Sumber: Coltan, Congo and Conflict, Polinares Case Study: Hague, hal. 20
Dalam Perang Kongo Pertama, sejauh yang ditemukan peneliti, Rwanda
tidak terlibat langsung dalam eksploitasi sumber daya alam yang berada di Zaire.
Namun, keberadaan Rwanda di Zaire sendiri sangat penting bagi perusahaan
pertambangan yang sebagian besar dari mereka berbasis di Amerika Serikat dan
Kanada. Kepentingan ini berwujud monopoli atas sumber daya yang dimiliki oleh
Zaire. Perusahaan-perusahaan seperti Banro Resource, American Mineral Field
108dan Microsoft sendiri berhasil mempengaruhi Kongres agar dapat memperoleh
komoditas yang berasal dari Afrika (termasuk Zaire) agar tidak dikenakan
108
2 perusahaan pertama yang disebut sangat dekat dengan Pemerintahan Amerika Serikat dan
Kanada. Pertama, American Mineral Field, perusahaan berbasis di Arkansas ini salah satu
pemegang sahamnya adalah Presiden Clinton yang berkuasa pada waktu itu.
75
pajak109. Dani Nabudere sendiri dalam tulisannya Conflict Over Mineral Wealth:
Understanding the Second Invasion of the DRC, menyebut fenomena ini sebagai
Washington Consensus, dimana bagi Nabudere, Washington Consesnsus sendiri
adalah mengganti kepemimpinan lama di berbagai negara Afrika dengan
menggunakan pemimpin Afrika yang dikenal pro-Amerika Serikat. Untuk kasus
Zaire, karena pergantian dengan rezim baru akan melalui fase perang sipil ataupun
genosida, karena bagi Amerika Serikat hal-hal tersebut dibutuhkan sehingga
untuk pembiayaan perang, rezim baru terpaksa menjual aset yang mereka miliki,
termasuk mineral, dengan harga murah kepada perusahaan tambang tersebut.
Untuk tugas tersebut, Amerika Serikat menunjuk Rwanda dibawah pimpinan Paul
Kagame untuk melancarkan jalannya perang sipil tersebut. Secara ekonomi,
Rwanda memperoleh bantuan keuangan dari Amerika Serikat melalui Citibank
yang berbasis di Amerika Serikat ke Banque de commerce, du developpement et
d'industrie (BCDI) .
Pada Perang Kongo Kedua, Rwanda mulai mengambil peran langsung
dalam eksploitasi sumber daya alam di RDK melalui Rwanda Metals. Untuk
menutupi perdagangan mineral yang berasal dari RDK, Rwanda seringkali
menegaskan baik di dalam negeri maupun di luar negeri bahwa mereka berhasil
menemukan tambang baru dan menolak segala tuduhan mengenai eksploitasi
mineral secara ilegal di RDK. beberapa cara lainnya adalah melakukan manipulasi
data perdagangan .
109
Nama kebijakan ini adalah „African Growth and Opportunity Act,‟‟ sebuah regulasi yang
diperkenalkan oleh American Congress in October 1997. Bill atau regulasi ini merekomendasikan
pembebasan pajak bagi segala komoditi yang berasal dari Afrika, mendukung segala upaya
privatisasi terhadap sektor ekonomi Afrika oleh perusahaan Amerika Serikat, penghapusan segala
hambatan perdagangan , revisi segala perlindungan hak milik perusahan Amerika Serikat di Afrika
demi terciptanya zona perdagangan bebas antara Afrika dan Amerika Serikat.
76
Contoh manipulasi data perdagangan yang akan peneliti kutip berkaitan
dengan data perdagangan emas dan koltan yang berasal dari Rwanda. Cara yang
sering digunakan untuk mengetahui manipulasi ini adalah dengan
membandingkan kapasitas tambang koltan yang berada di negara tersebut dengan
kapasitas tambang koltan yang dapat ditemukan di Republik Demokratik Kongo.
Selanjutnya, menemukan keganjilan statistik yang disediakan oleh Pemerintah
Rwanda dari instansi yang berbeda. Salah satu data yang akan peneliti kutip
adalah data yang berasal dari Kementerian Keuangan Rwanda dan Bank Nasional
Rwanda. Data yang disarikan oleh 2 instansi ini diperoleh dari tahun 1996-2000,
dan dalam jangka waktu itu ada kesenjangan yang sangat besar antara data yang
diberikan oleh Kementerian Keuangan Rwanda dan Bank Nasional Rwanda.
Tabel 4.1: Produksi dan Ekspor Koltan Rwanda selama tahun 1996-2000
Sumber: Bjorn Willum, Foreign Aid to Rwanda: Purely Beneficial or
Contributing to War ? , hal. 23
Source Item 1996 1997 1998 1999 2000
Rwandan
Ministry of
Finance (a)
Total
domestic
production
volume –
in tons
97.0 224.0 224.0 122.0 83.0
National
Bank of
Rwanda (b)
Total
export
volume –
in tons
97.0 228.0 199.0 329.7 603.0
National
Bank of
Rwanda (b)
Total
export
value – in
million
US$
1.3 2.7 2.5 4.6 11.4
77
Seperti yang dapat dilihat, ada selisih yang sangat besar antara produksi
koltan di Rwanda, dimana data yang disediakan berasal dari Kementerian
Keuangan Rwanda, dan data ekspor koltan dari Rwanda, dimana data disediakan
oleh Bank Nasional Rwanda. Tercatat, nilai koltan yang diekspor dari Rwanda
mencapai 2 kali lipat dari produksi koltan yang berasal dari Rwanda.
Institut penelitian dari Belgia, Belgia African Museum, menyebutkan bahwa
tambang koltan yang berada di Rwanda tidak mampu menghasilkan volume
koltan lebih dari 100 ton , seperti yang diklaim 2 institusi di atas, namun rata-rata
hanya 24 ton sejak tahun 1994110.
Tabel 4.2 :Table Produksi Emas Rwanda dalam tahun 1994-2000
Cttn: Emas dihitung dengan kilogram
Sumber: Bjorn Willum, Foreign Aid to Rwanda: Purely Beneficial or
Contributing to War ?, hal.33
Selanjutnya adalah data perdagangan emas dari Rwanda. Seperti
ketidakcocokan data yang ditemukan pada perdagangan koltan, ketidakcocokan
datan juga dapat ditemukan pada perdagangan emas. Data yang akan digunakan
adalah data produksi emas dalam negeri Rwanda dan data impor emas oleh Belgia
dari Rwanda. Rwanda sendiri menghasilkan emas senilai US$ 150.000 pada
tahun 1997, US$ 170.000 pada tahun 1998, dan US$ 100.000 pada tahun 1999
dan 2000, untuk US$ 10.000 per kilogram.
110
Ibid, hal. 33
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Emas ... ... ... 15.0 17.0 10.0 10.0
78
Tabel 4.3:Tabel Impor Emas Belgia dari Rwanda
Sumber : Bjorn Willum, Foreign Aid to Rwanda: Purely Beneficial or
Contributing to War ?
Menariknya pada tahun 1997, Rwanda mampu melakukan ekspor emas ke
Belgia senilai US$ 35.000.000. For 1998, ekspor emas Rwanda mencapai US$
29.800.000. In 1999 and 2000,ekpor emas dari Rwanda ke Belgium mengalami
penurunan tajam menjadi US$ 2.600.000 and US$ 0.7 juta.
4.1.4 Rwanda dan Pasar Mineral Dunia sebagai Tujuan dari Eksploitasi
Mineral RDK
Walaupun Rwanda tidak pernah mengakui bahwa koltan ataupun mineral
lain yang mereka ekspor berasal dari wilayah yang mereka kuasai di Republik
Demokratik Kongo, namun Rwanda merasa perlu untuk melaksanakan berbagai
regulasi yang melarang mineral yang berasal dari daerah konflik, seperti Dodd-
Frank111. Regulasi yang melarang mineral conflict seperti Dodd Frank sendiri juga
berlaku untuk Rwanda karena semenjak tahun 2000, Rwanda mulai diakui sebagai
111
Dodd Frank Act adalah regulasi Amerika Serikat yang ditandatangani pada tanggal 21 Juli
2010 mengatur arus masuk mineral yang berasal dari daerah konflik, dan nama Dodd-Frank
sendiri diambil dari nama 2 anggota Kongres yang bertindak sebagai inisiator, Barney Frank dan
Chris Dodd. Dalam regulasi ini, diatur pelarangan mineral yang berasal dari daerah konflik,
termasuk Republik Demokratik Kongo dan bekerjasama dengan NGO di RDK untuk melacak
berbagai pelanggaran HAM dalam eksploitasi sumber daya alam di RDK
Sumber Mata Uang 1997 1998 1999 2000
National
Bank of
Belgium
Dolar
Amerika
Serikat
35,501,655 29,848,320 2,585,261 659,908
79
salah satu negara eksportir terbesar di dunia, walaupun Republik Demokratik
Kongo sendiri diklaim memiliki salah satu sumber koltan terbesar di dunia112.
Menariknya, negara-negara besar seperti Republik Rakyat Tiongkok lebih
memilih Rwanda sebagai mitra dalam perdagangan koltan dibanding Republik
Demokratik Kongo.
Gambar 4.3 :Grafik Perdagangan Koltan Republik Rakyat Tiongkok dengan
beberapa Negara di Afrika
Sumber: Raimund Bleischwitz, Monika Dittrich, Chiara Pierdicca, Coltan from
Central Africa, international trade and implications for any certification, 2011,
hal. 12
112
Tim Worstall, Congo Does Not Have The World's Largest Deposits Of Tin And Coltan,
website Forbes, 5/17/2013
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
DR Congo Rwanda Congo Kenya Ethiopia
Mozambique Tanzania DR Congo Rwanda Kenya
Ethiopia Mozambique Tanzania
[metric tonnes,
vertical bares]
[US$ per kg
lines]
80
Walaupun beberapa perusahaan besar yang merupakan pengguna akhir atau
end user113 seperti Samsung, Motorola, dan Intel dan perusahaan-perusahaan besar
yang merupakan pengguna tengah atau middle user114seperti Kernet
Manufacturer115, Ningxia dan H.C Starck116 dalam berbagai pernyataan
mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak menggunakan koltan yang berasal
dari daerah konflik, untuk kasus Perang Kongo Kedua mereka hanya mengatakan
bahwa koltan yang mereka gunakan tidak berasal dari Republik Demokratik
Kongo, tanpa mengutip Rwanda sebagai salah satu pihak yang diuntungkan atas
tingginya kebutuhan koltan.
Untuk memperkuat bukti yang peneliti ajukan, peneliti akan mengutip
berbagai pernyataan perwakilan perusahaan-perusahaan yang disebutkan
sebelumnya mengenai koltan yang berasal dari Republik Demokratik Kongo.
Samsung dalam acara Make IT Fair 2008, menyatakan bahwa tidak ada satupun
dari mineral koltan yang terdapat dalam perangkat elektronik milik mereka
berasal dari Republik Demokratik Kongo:
―We do not purchase coltan directly from the Congo nor from any
other source in the form of raw material. A limited number of our
component vendors do supply us with tantalum-based components; In
the cases when SAMSUNG does use tantalum-based components, the
company requires suppliers to take appropriate measures in order to
avoid using tantalum sourced from the Congo region; We request that
113
End user adalah perusahaan-perusahaan yang menggunakan kapasitor yang terdapat koltan di
dalamnya ke dalam produk mereka 114
Middle user adalah perusahaan yang mengolah koltan menjadi kapasitor yang akan digunakan
di berbagai perangkat elektronik 115
Kernet Manufacturer adalah salah satu perusahaan pengolah koltan terbesar di dunia dan
berbasis di Amerika Serikat 116 Menurut tulisan Miho Taka yang berjudul Conflict Coltan: Local and International Dynamics
in the Democratic Republic of Congo, Ningxia, Kernet dan H.C Starck dapat disebut sebagai “Big
Three” dari perusahaan-perusahaan yang tergolong sebagai middle user karena merupakan
pengguna koltan terbesar.
81
all vendors refrain from purchasing tantalum powder mined in the
Congo and we regularly audit vendors to ensure compliance. Our
component vendors inform us that they obtain tantalum powder from
the U.S.A, Russia and Thailand, not from the Congo; [w]e are making
efforts to use substitutes for tantalum-based components where
possible117.
Sementara itu, Hewlett and Packard atau HP sebagai produsen terkemuka
menyampaikan hal yang sama dengan yang Samsung sampaikan terkait mineral
yang berasal dari RDK, ketika meresmikan Supply Chain Social and
Environmental Responsibility, sebuah program perusahaan ini untuk menjamin
segala mineral yang digunakan tidak berasal dari daerah konflik, pada tahun 2000:
“HP is working to ensure that our products do not contain metals
sourced from mineral trade financing the armed conflict in the DRC.
We will take further steps to educate our own supply chain and
develop an approach to validate the assurances from our suppliers.
We will continue to work with our sector and other industries using
minerals from the region to develop an effective, cross-industry
solution. In addition, HP will engage with groups with firsthand
experience of the situation in the Eastern DRC to gain further insight
into the specifics of the challenges ahead118
.”
Namun, walaupun terdapat regulasi yang disepakati secara internasional
mengenai mineral yang berasal dari daerah konflik, dengan memanfaatkan
berbagai kelemahan yang terdapat pada Republik Demokratik Kongo, Rwanda
masih bisa menjual koltan yang mereka peroleh dari eksploitasi di RDK.
kelemahan pertama adalah bagaimana Republik Demokratik Kongo sendiri bisa
dibilang sebagai negara yang rentan secara stabilitas dan banyaknya birokrasi
yang korup, seperti penjaga perbatasan atau border guard dan bea cukai
dikarenakan upah mereka yang jarang mereka terima. Dari opini yang saya kutip
117
Miho Taka, Conflict Coltan: Local and International Dynamics in the Democratic Republic of
Congo, (Conventry:Conventry University), 2008, hal. 203 118
Ibid, hal. 205
82
mengenai penyeludupan koltan di RDK, bahkan pasukan perdamaian PBB disana
yakni MONUC (Mission de l'Organisation des Nations Unies en République
démocratique du Congo) juga turut terlibat dalam penyelundupan koltan:
―The situation in the eastern D.R. Congo could not be further from the
norm. It is not an exaggeration to say that it is possible to bribe
almost every border guard, customs official, and immigration
authority in the region. These officials are not paid regular salaries
and are dependent on money they can raise through bribery and the
imposition of made-up fees to provide for their livelihoods. This makes
smuggling very easy; indeed, it is obvious that a great deal of
smuggling is happening even as the de facto boycott continues. Border
officials intercepted a load of cassiterite in a MONUC vehicle in
August119, but it is likely that the ton they caught there is but a small
fraction of what is being smuggled out.120‖
Selanjutnya, kesulitan untuk mengetahui apakah mineral yang berasal dari
RDK menguntungkan milisi bersenjata dan negara-negara yang bertempur di
dalamnya dapat terjadi karena baik eksportir, trader maupun peleburan (smelter)
memperoleh koltan dari berbagai tempat, dan tidak hanya dari RDK. Untuk
koltan, koltan yang berasal dari tempat yang berbeda memiliki bobot dan
karakteristik kimiawi yang berbeda121. Namun tempat peleburan biasanya
menerima koltan dari trader secara anonim atau diambil begitu saja tanpa
disebutkan asal muasalnya dan setelah dileburkan, koltan tersebut tidak bisa
dilacak lagi asal usulnya. Untuk emas, wujudnya yang kecil membuatnya dapat
diselipkan melalui tas ataupun barang lainnya.
119
Yang dimaksud dengan Agustus adalah peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 Agustus 2001,
menurut artikel BBC, ―DR Congo tin ‗smuggled by UN man.‟ 120 Laura E. Say, What‘s Wrong with Dodd-Frank 1502? Conflict Minerals, Civilian Livelihoods,
and the Unintended Consequences of Western Advocacy, Washington DC, Center for Global
Development, 2012, hal.20 121
Untuk melacak perbedaan antara koltan dari tambang yang berbeda, perusahaaan-perusahaan
tambang dapat menggunakan laboratorium khusus yang memiliki sampel koltan dari tambang
yang berbeda di RDK, seperti laboratorium
83
Dengan begitu, Rwanda masih bisa menjalankan ekspor mineral yang
mereka diperoleh dari Republik Demokratik Kongo karena Rwanda memiliki
kemampuan untuk membawa mineral yang mereka peroleh dari Republik
Demokratik Kongo dan membuat dokumen yang menegaskan bahwa mineral
yang mereka ekspor datang dari tambang yang berasal dari Rwanda.
4.2 Private Resource Diplomacy dan Warlordism dalam Perang Kongo
Pertama
4.2.1 Private Resource Diplomacy dalam Perang Kongo Pertama
Sub-bab ini ditulis untuk menjelaskan bagaimana Rwanda mampu
menjalankan tugasnya sebagai jembatan antara kepentingan perusahaan
pertambangan terkemuka di dunia dengan kekayaan alam Zaire, yang mana
selama Mobutu Sese Seko berkuasa, para perusahaan pertambangan yang akan
disebutkan dalam sub-bab ini tidak dapat melakukan eksploitasi di Zaire karena
skema Zairenisasi yang diluncurkan oleh Mobutu membuat semua sektor tambang
di negara ini di nasionalisasi.
Private Resource Diplomacy dalam Perang Kongo Pertama ini dimulai
dengan hubungan Rwanda dan Amerika Serikat yang mulai menguat paska
genosida yang berlangsung tahun 1994. Saat itu, Paul Kagame yang memimpin
Rwanda Patriotic Front atau RPF berhasil menghentikan genosida terhadap
minoritas Tutsi di negara tersebut, dengan membuat Angkatan Bersenjata Rwanda
yang mayoritas berasal dari etnis Hutu menyingkir ke dalam Zaire untuk
bersembunyi. Keberhasilan RPF ini membuat Amerika Serikat senang karena,
84
mengutip Washington Post, mereka tidak perlu mengirim pasukannya untuk
melakukan intervensi terhadap bencana kemanusiaan disana semenjak pasukan
mereka dipukul mundur di Somalia pada tahun 1992. Amerika Serikat yang
senang terhadap keberhasilan Rwanda tersebut memutuskan memberikan
dukungan militer terhadap Rwanda:
"....became increasingly close to the Rwandan government and
the army that backed it.... Washington pumped military aid into
Kagame s army and U. S. Army Special Forces and other
military personnel trained hundreds of Rwandan forces.122”
Berbagai dukungan militer ini sejalan dengan tujuan Amerika Serikat yang
menginginkan hegemoni di wilayah Afrika Timur. Seorang pejabat intelijen
Amerika Serikat menyebutkan bahwa Amerika Serikat menginginkan Rwanda
bersama-sama dengan negara-negara seperti Uganda, Burundi, Ethiopia dan
Eritrea untuk membentuk apa yang dinamakan military princedom :
―An African writer has referred to this zone of influence as a
confederation of military princedoms [which] have appeared in
Rwanda, Uganda, Burundi, and, to a lesser extent, in Ethiopia and
Eritrea. These U.S.-supported military regimes are characterized by
the repeated use of force in putting their internal and external policy
strategies into effect. They are obsessed with security and they clone
themselves by joining forces with their own diaspora123.‖
Untuk kepentingan perusahaan pertambangan dan kaitannya dengan
hubungan Amerika Serikat dan Rwanda, beberapa pengamat melihat Perang
Kongo Pertama sebagai upaya Amerika Serikat, dengan berbagai perusahaan
pertambangan yang mereka miliki untuk meliberalisasi sektor pertambangan Zaire
122
Ellen Ray, U.S Military and Corporate Colonization of Congo,
www.thirdworldtraveler.com/Africa/US_Recolonization_Congo.html 123 Ibid.
85
setelah BUMN pertambangan Zaire, Gecamines, dinyatakan bangkrut. Dengan
Perang Kongo Pertama, diharapkan Laurent Kabila sebagai pemimpin ADFL dan
nantinya menjadi presiden RDK, lebih mengutamakan menjual konsesi hak
tambang kepada perusahaan-perusahaan ini dibandingkan melakukan
nasionalisasi untuk kedua kalinya Perusahaan-perusahaan pertambangan yang
akan dijelaskan dibawah ini memiliki kedekatan dengan Pemerintah Amerika
Serikat.
Perusahaan-perusahaan seperti Barrick, American Mineral
Fields (AMF), Banro Resources dan Bechtel merupakan penyokong dana utama
dari kampanye Presiden Bill Clinton yang berkuasa pada waktu itu. Selain itu,
bekas presiden Amerika Serikat George Bush dan bekas Perdana Menteri
Mulroney merupakan dewan penasihat dari perusahaan pertambangan Barrick124.
Ini merupakan ironi bagi Presiden AS Bill Clinton yang menyerukan terjadinya
Africa Rennaisance sebagai harapan agar negara-negara Afrika memperlakukan
hak asasi manusia dengan lebih baik lagi125.
Sebelum Perang Kongo Pertama berlangsung , Perdana Menteri RDK
Kengo Wa Dondo sudah menjual beberapa konsesi pertambangan yang
sebelumnya dimiliki GECAMINES kepada beberapa perusahaan sehingga bagi
Amerika Serikat perlu untuk mendukung invasi Rwanda di RDK sehingga mereka
mampu memperoleh mineral dengan harga yang sangat murah. Daripada itu, para
investor ini diuntungkan dengan keinginan Laurent Kabila untung membiayai
124 Wayne Madsen, US (under)mining Job, http://cryptome.org/us-africa-wm.htm 125 Africa Rennaisance adalah judul pidato yang disampaikan oleh Presiden AS Bill Clinton dalam
kunjungannya ke Ghana pada Maret 1998. Pada pidato tersebut, Clinton menekankan keberhasilan
dmokrasi dan hak asasi manusia di Afrika
86
pemberontakannya dengan alasan kendali wilayah pertambangan di tangan militer
maupun pemberontak memungkinkan para investor untuk memperoleh mineral
dengan biaya yang lebih murah, semenjak para penambang bisa dipekerjakan
secara paksa dan. mudahnya memanipulasi asal muasal mineral yang datang dari
daerah konflik karena banyaknya aktor yang terlibat126. Perusahaan-perusahaan ini
merasa bahwa tidak ada gunanya untuk bernegosiasi dengan rezim Mobutu Sese
Seko yang dapat dipastikan kekalahannya, terlebih lagi karena instabilitas
keamanan adalah hal yang tidak disukai oleh investor. Terlebih ketika Kabila
berkuasa, ZER atau ‗zone exclusive de recherches‘, area khusus untuk
pertambangan hanya bisa diberikan melalui dekrit presiden127.
Rwanda sendiri memahami keinginan Amerika Serikat untuk tidak terlibat
dalam intervensi kemanusiaan, walaupun dalam pertemuan Paul Kagame dan Bill
Clinton pada Agustus 1996, lebih tepatnya 6 minggu sebelum pasukan Rwanda
dan ADFL memasuki wilayah RDK, Kagame memperlihatkan kekecewaannya
karena Amerika Serikat tidak ingin membantu Rwanda dalam mengatasi masalah
keamanan yang bersumber dari berdiamnya pemberontak Hutu di dalam Zaire.
Dukungan Amerika Serikat sendiri berupa pengumpulan data intelijen dan
penempatan pasukan bayaran bagi ADFL dan perusahaan-perusahaan
pertambangan yang sudah mendapatkan hak konsesi dari Laurent Kabila.
Perusahaan-perusahaan ini membutuhkan Rwanda sebagai jaminan bahwa
Laurent Kabila tidak akan memutuskan kontrak dengan mereka secara sepihak. Ini
126 Perusahaan besar yang membeli mineral yang mereka butuhkan biasanya tidak membeli
langsung ke daerah penghasil yang bersangkutan, namun melalui penampung atau trading house
yang berkedudukan di negara lain 127
Dengan berkuasanya Laurent Kabila, segala kontrak tambang yang diberlakukan oleh Perdana
Menteri Zaire, Kengo Wa Dondo, otomatis tidak berlaku lagi
87
bisa dilihat dari pertemuan Presiden Paul Kagame pada Januari 1999 dengan
berbagai perusahaan pertambangan yang berminat dengan kekayaan alam di
Republik Demokratik Kongo:
―According to the Tanzania Daily Mail of 14 January 1999,
President Kagame and Major James Kabare – who was acting chief
of staff to Kabila before turning against him – have interests in a
number of mining. Since the outbreak of the first war in the Congo,
which led to the overthrow of Mobutu, several mining companies
have been named for funding military operations in exchange for
lucrative contracts in the east of the DRC: the American Barrick
Gold Corporation (whose shareholders include former President
George Bush)128, the Australian Russell Resources headed by David
Agmon a former Brigadier General in the Israeli army, the Austrian
company Krall, and the Canadian Banro American Resources129.
Some of these companies initially concluded agreements with
Comiex, an import-export company that belonged to Kabila and
enabled him to fund his rebel activities when he was still only a
resistance leader........130 ―
Menurut Braeckman dalam tulisannya Partition Poses as Protection:
Carve-up in the Congo, Rwanda mendapatkan izin dari Amerika Serikat untuk
melancarkan invasi yang kedua kalinya setelah Kabila memutuskan untuk
mengusir pasukan Rwanda dan perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan
Amerika Serikat:
128 Barrick Gold Corporation adalah salah satu produsen emas terbesar di dunia, dan seperti yang
disebutkan di atas, pemegang saham perusahaan ini termasuk mantan presiden George Bush dan
orang-orang terdekatnya (Brian MULRONEY, bekas perdana menteri Kanada, Paul
DESMARAIS, Presiden dari Canadian Power Corporation dan Karl OTTO POL, bekas Direktur
Bank Sentral Jerman)
129 Banro adalah perusahaan emas asal Kanada. Sempat berbisnis dengan Laurent Kabila dengan
memegang saham perusahaan tambang Sominki, namun karena terdapat permasalahan yang
berupa sengketa dengan Kabila, Banro mendirikan Sakima dengan menggunakan uang ganti rugi
yang mereka peroleh dari RDK. 130
David Moore dalam Naidoo (ed.), The War Economy in the Democratic Republic of Congo,
Institute for Global Dialogue, hal. 57
88
―When he set about rebuilding the state, reviewing mining contracts,
raising taxes, establishing a strong national currency and banning the
use of foreign exchange for day-to-day transactions, the new president
was regarded as a traitor by his neighbours, who expected to continue
to receive some return for their military commitment. Some of the
president‘s actions were to make him an even more dubious
proposition in the eyes of the West and his supporters: take his
decisions to review the privileges originally granted to Rwandan and
Ugandan businessmen; to conclude substantial contracts with
Zimbabwe‘s defence industry; to hand over control of Gecamines to a
Zimbabwean; to allow Malaysian forestry interests to compete with
Ugandan businessmen (including President Museveni‘s half-brother);
and, worse still, to involve the Chinese ferrous metal company in the
mining of cobalt, and invite North Korea in 1999 to supply 350
military instructors in return for permission to mine uranium in
Katanga.The prospect of seeing the wealth of the Congo exploited by
states regarded as outcasts by the West, or frittered away in ‗South-
South‘ agreements with Zimbabwe, Namibia, Malaysia and even
Cuba, confirmed the US‘s worst suspicions. It had backed the
president in his bid for power, and now he appeared to be beyond its
control131.‖
4.2.2 Warlordism dalam Perang Kongo Pertama
Pembahasan Warlordisme dalam Perang Kongo Pertama berkaitan dengan
Laurent Kabila sebagai seorang gerilyawan, yang kemudian memimpin RDK
selama tahun 1997-1998. Laurent Kabila menjadi warlord dengan pasukannya
yang dinamakan dengan Parti de la Révolution Populaire atau PRP, kelompok
bersenjata yang dahulu dipimpin Kabila sebelum memimpin ADFL yang berhasil
menggulingkan Mobutu dari kekuasaannya. Laurent Kabila sendiri sebenarnya
tidak bisa dibilang sebagai pemimpin politik yang berpengaruh mengingat
caranya menjalankan peperangan dengan membunuhi warga sipil membuat Kabila
131 Ibid.
89
tidak populer. Salah seorang relawan Red Cross yang beroperasi di RDK
menyaksikan hal ini dalam salah satu pertempuran yang dilakukan ADFL:
―ADFL soldier made them kneel on the embankment with their hands
behind their heads, and executed over a hundred of them. Many were
bludgeoned to death with rifle butts or clubs. A local priest saw AFDL
soldiers kill an infant by beating its head against a concrete
wall...workers buried some nine hundred bodies…Bodies of others
who had probably drowned were seen snagged in the floating clumps
of water hyacinth in the Congo River.132
―
Kemunculan Laurent Kabila yang menggulingkan Mobutu Sese Seko yang
sudah berkuasa selama 30 tahun cukup mengejutkan banyak orang, karena sampai
tahun 1996, pergerakan Laurent Kabila sebagai gerilyawan yang menentang
kekuasaan Mobutu Sese Seko dengan PRP tidak terlalu diperhatikan dikarenakan
kurangnya persenjataan dan Laurent Kabila hanya menggunakan PRP untuk
kepentingan pribadinya semata seperti komersialisasi berlian yang digali di
wilayah kekuasaannya.
Laurent Kabila menyelundupkan berlian dan emas ke Uganda dan Rwanda
sepanjang tahun 1970-1990, dan kegiatannya tersebut membuat Laurent Kabila
bertemu dengan Paul Kagame, yang masih berdiam di Uganda sebelum genosida
tahun 1994 terjadi. Perlawanan yang dipimpin oleh Laurent Kabila tidak
meninggalkan kesan baik, salah satunya menurut Che Guevara yang bertempur
dengannya bersama pasukan ekspedisi Kuba tahun 1965. Menurutnya, pasukan
yang dipimpinnya tidak populer di mata masyarakat dan sama sekali tida memiliki
semangat untuk berkorban bagi rakyat.
132
Shawn Russell dalam Small Wars Journal, Mao Zedong On Guerrilla Warfare and Joseph
Kabila Lost Opportunity, Small Wars Foundation, hal.5
90
Bagi Paul Kagame, Laurent Kabila adalah figur yang tepat untuk
menegaskan dominasi Rwanda di RDK. Walaupun Kabila tidak populer di mata
rakyat, namun asal Rwanda dapat mempersenjatai Kabila dan ADFL untuk
menggulingkan Mobutu Sese Seko, makan Kabila dapat mengizinkan pasukan
Rwanda untuk beroperasi di RDK. Untuk membuktikan pada Kabila bahwa
Rwanda bersungguh-sungguh ingin membantu Kabila, Rwanda memanfaatkan
hubungan baik negara tersebut dengan Amerika Serikat untuk mempersenjatai
ADFL. Kedatangan Mike Murrough, teman Bill Clinton dan juga utusan dari
AMF dan berbagai perusahaan lainnya menambah pendanaan ADFL dalam
pertempuran melawan Mobutu Sese Seko133
.
Rwanda sendiri memiliki hubungan yang dekat dengan Amerika Serikat
semisal dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang bernama Enhanced
International Military Education and Training (E-IMET) berperan dalam
menyediakan pelatihan bagi pasukan Rwanda dan citra satelit yang menandakan
pemberontak Hutu dan angkatan bersenjata Zaire selama Perang Kongo Pertama.
Namun Amerika Serikat memiliki kontribusi untuk menguntungkan posisi
Rwanda dalam Perang Kongo Pertama dan menguntungkan American Mineral
Field dalam mengetahui posisi tambang yang strategis. Salah satu kontribusi
tersebut adalah menugaskan Bechtel, sebuah perusahaan yang berafiliasi dekat
dengan CIA dan bergerak di bidang penerbangan, untuk menggunakan satelit
133
Dena Montague , The Bussiness of War in Democratic Republic of Congo,
http://www.thirdworldtraveler.com/Africa/Business_War_Congo.html, diakses 10 April 2015 jam
3:11 WIB
91
NASA dalam melacak lokasi tambang, pemberontak Hutu dan angkatan
bersenjata RDK134
.
American Mineral Field atau AMF sendiri adalah sebuah perusahaan yang
berbasis di Kanada dan memiliki saham di pasar saham Toronto. Pemiliknya
sendiri adalah seorang yang berasal dari Amerika Serikat yang bernama Jean
Pierre Boulle. Boulle sendiri sudah memutuskan untuk berpihak dengan Laurent
Kabila selama Perang Kongo Pertama berlangsung dengan menemui Kabila di
Goma, kota yang dijadikan sebagai markas ADFL selama perang berlangsung,
pada tanggal 27 Maret 1997. Seminggu sebelum jatuhnya ibukota RDK,
Kinshasa, ke tangan pemberontak ADFL, AMF bersama dengan para investor lain
bertemu dengan Laurent Kabila, dan rombongan tersebut diikuti oleh sekumpulan
pejabat Amerika Serikat135
.
Ketertarikan American Mineral Field terhadap kekayaan alam RDK, salah
satunya dapat dilihat pada tambang Kalwezi. Menurut hitungan dari AMF,
tambang Kolwezi sendiri bernilai US$ 20 miliar dengan perkiraan deposit 1.4 juta
ton tembaga and 270,000 ton koltan. Menurut pihak AMF, Kabila menunjukkan
kerjasama yang baik ketika mendengar proposal AMF yang ingin melakukan
privatisasi terhadap tambang Kolwezi, sesuai dengan keterangan Menteri
Keuangan pada rezim Laurent Kabila, Mawapanga Nanaga Mwan:
134
Menurut Robert Block untuk Wall Street Journal tahun 1997, Bechtel membayar semua operasi
satelit NASA di RDK, dan Block menyebut operasi ini sebagai berikut: ‗the most complete
mineralogical and geographical data of the former Zaire ever assembled, information worth a
fortune to any prospective mining or oil firm.‘ 135
Dalam sebuah hearing session di Gedung Putih tahun 2001, Wayne Madsen, seorang pengamat
RDK menyebut bahwa banyak pejabat Amerika Serikat dibawah Clinton seperti Albright, wakil
Amerika Serikat di PBB, yang menghambat penempatan pasukan PBB selama Perang Kongo,
terlibat dalam konspirasi untuk menempatkan korporasi pertambangan internasional di RDK.
92
―We have to show that we have the guts to be able to manage
monetary institutions and to grind inflation down to zero by having a
very tight monetary policy136.
Tidak hanya American Mineral Field, umumnya para investor asing dan
berbagai negara yang melakukan investasi dengan Laurent Kabila menyukai
privatisasi yang dilakukan ADFL, dan ini tidak dapat ditemukan pada era Mobutu
Sese Seko. Pada era Mobutu Sese Seko, kepemilikan tambang terletak dalam
pengaruh Mobutu Sese Seko dan perwira militer kepercayaannya. Kepemilikan
tambang oleh perwira militer RDK dilakukan oleh Mobutu untuk mengendalikan
para perwiranya agar tidak memberontak dan berbagai infrastruktur yang rusak
membuat perwira militer kepercayaan Mobutu Sese Seko harus mengelola
tambang tersebut bersama dengan investor asing yang memiliki kemampuan
untuk membiayai penerbangan. Namun, bagi investor asing, ini merepotkan
karena harus membayar suap kepada Mobutu, pejabat dan perwira
kepercayaannya. Sementara itu, negara-negara besar seperti Amerika Serikat tidak
menyukai sikap Mobutu Sese Seko yang tidak mampu mengelola ekonominya,
terutama dari sektor pertambangan, dan seringkali melakukan upaya untuk
menekan RDK seperti memutus bantuan keuangan.:
―The companies—which included De Beers‘ Diamonds (South
Africa), American Mineral Fields (Arkansas, USA), Anglo-American
Corporation (South Africa), AMAX (formerly American Metals
Climax, USA), Phelps Dodge (USA), Barrick Gold (Canada), and
Lonrho (UK)—clamored for the removal of Mobutu because of his
interventionist approach to economic management. Mobutu had a
record of nationalizing natural resources, and was visibly reluctant to
136
Richard Freeman, Financiers Seeking Loot Prop Up Kabila‘s Nazi Rule, (Virginia: Larouche
Publisher), 1997, hal. 50
93
embrace the IMF and the World Bank‘s structural adjustment
program137s‖
Sebagai gantinya, AMF sendiri menawarkan beberapa keuntungan pada
Kabila saat menyetujui perjanjian konsesi ini. Diantaranya adalah bantuan
pemetaan lokasi tambang dan pelatihan pasukan militer. AMF sendiri memiliki
hubungan baik dengan pemerintah Amerika Serikat, mengingat Boulle sendiri
mngenal secara pribadi Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton dan Boulle sendiri
adalah salah satu penyandang dana kampanyenya.
4.3 Private Resource Diplomacy dan Warlordism dalam Perang Kongo Kedua
4.3.1 Private Resource Diplomacy dalam Perang Kongo Kedua
Untuk pembahasan dalam sub-bab ini, peneliti akan menjelaskan beberapa
organisasi yang terlibat dalam eksploitasi Rwanda dan bagaimana eksploitasi
sumber daya alam RDK oleh Rwanda berkontribusi untuk kemajuan ekonomi
negara tersebut sehingga bisa terus menerima bantuan keuangan IMF walaupun
eksploitasi sumber daya alam dilakukan di dalam negara lain yang berdaulat dan
berlangsung dalam situasi konflik.
Sebelum genosida pada tahun 1994 berlangsung, ekonomi Rwanda
didominasi oleh ekspor kopi dan subsidi yang diberikan kepada petani kopi untuk
melindungi kekuasaan. Namun walau begitu, ekspor kopi tidak lagi cukup untuk
mengangkat ekonomi Rwanda karena sebelum genosida, harga kopi dunia turun
dengan sangat tajam dan pendapatan yang dihasilkan dari penjualan kopi
137 Ogenga Otunnu, . The Internal Causes of the Mobutu Regime‘s Collapse dalam Gerald
Prunier, Africa's World War Congo, The Rwandan Genocide, And The Making Of A Continental
Catastrophe
94
digunakan untuk membeli senjata untuk melawan RPF. Setelah genosida berakhir,
RPF yang berkuasa memutuskan untuk melakukan upaya-upaya untuk
memperbaiki kualitas kopinya. usaha tersebut tetap gagal untuk memperbaiki
ekonomi negara tersebut karena produksi kopi negara tersebut mengalami
penurunan sebanyak 80 persen selama 1999-2001.
Sementara itu, Rwanda membutuhkan banyak mata uang asing agar dapat
meminjam bantuan keuangan dari IMF, yang menginginkan negara yang menjadi
mitra mereka untuk memiliki neraca perdagangan yang baik. Luas tanah mereka
yang sempit membuat penambangan kekayaan alam yang terdapat di Rwanda sulit
dilakukan, walaupun menurut klaim Pemerintah Rwanda dalam Vision 2020, visi
Rwanda dalam memperbaiki negaranya, negara mereka memiliki berbagai
mineral seperti koltan, berlian dan emas dan gas alam yang diperkirakan terdapat
di Rwanda sebanyak 60 miliar kubik meter di Danau Kivu138.. Maka dari itu,
untuk menutupi kekurangan Rwanda yang kesulitan melakukan eksploitasi
sumber daya alam, dalam invasi Rwanda ke Republik Demokratik Kongo dalam
Perang Kongo Kedua, menggunakan angkatan bersenjatanya Rwanda melakukan
apa yang dinamakan eksploitasi sumber daya alam secara ilegal.
Menurut panel PBB pada tahun 2001, eksploitasi alam secara ilegal adalah:
‗In the panel‘s view , the understanding of illegality is underpinned by
four elements all related to the rule of law, namely : (a) violation of
sovereignty…(b) respect by actors of the existing regulatory
framework …(c) The discrepancy between widely accepted practices
in trade and the way business is conducted...this includes forced
138
Republic of Rwanda, Vision 2020
95
monopoly in trading, the unilateral fixing of prices of products by the
buyer…(d) the violation of international law…139‘
Menurut tulisan Celine Moyroud dan John Katungan dalam tulisan Coltan
Exploration in Eastern Democratic Republic of Congo, Rwanda memenuhi segala
aspek yang disebutkan oleh Panel PBB terkait eksploitasi sumber daya alam
secara ilegal. Aspek pertama sendiri sudah jelas karena angkatan bersenjata
Rwanda bersama RCD melakukan serangan terhadap angkatan bersenjata RDK.
Aspek kedua dari definisi ini dituduhkan oleh pemerintah RDK kepada Rwanda
dan RCD. Tuduhan tersebut adalah Rwanda dan RDK ingin membuat Kivu
melakukan pemisahan diri dari RDK dan membuat negara baru. Tuduhan ini
disampaikan oleh Joseph Kabila, presiden pengganti Laurent Kabila yang
terbunuh oleh pengawalnya sendiri, ketika dimintai pendapatnya mengenai
perjanjian perdamaian Inter Congolese Dialogue yang ditandatangani pada tahun
2001:
“Deep within Kivu and Katanga regions, Rwandans are occupying
positions formerly abandoned by the Forces Armées Congolaises
(FAC) in line with the disengagement plan, jumbo jets and military
aircraft are making regular return flights, depositing weapons,
ammunition and war equipment. ―
Aspek ketiga dari definisi ini, monopoli dan pengaturan harga secara
sepihak dapat terlihat dari eksploitasi koltan di RDK, tepatnya di RDK sebelah
timur. Para perantara atau comptoir diharuskan untuk menjual semua koltan yang
mereka peroleh ke perusahaan Rwanda, Rwanda Metals. Rwanda sendiri
menjalankan apa yang dinamakan 2 tier price. Yang dimaksud dengan 2 tier price
adalah harga yang dibayarkan untuk koltan sendiri terdiri dari dua jenis yakni
139
Panel PBB dalam Stefan Marysse, Plunder, Criminalization of the state and Decline in the
world System: the case of D.R.Congo, University of Antwerp,2002, hal. 14
96
harga yang dibayarkan kepada penambang, yang biasanya sangat rendah dan
harga internasional dari koltan itu sendiri. Harga sangat rendah yang dibayarkan
kepada perantara asli Kongo oleh Rwanda mengundang kekesalan bagi para
perantara yang terpaksa menjual koltan yang mereka miliki ke Rwanda:
―Everything here is hidden, we believe we are selling our coltan to
Congolese but in reality we are selling it to Rwandans, the true
bosses. They are the ones who determine the price at leisure and we
have no other option than selling to them. They have the monopoly of
every- thing around the coltan business.140‖
Tabel 4.4 : Keuntungan Rwanda dan Uganda selama Perang Kongo Kedua
berlangsung dan Jumlah Ekspor Mineral yang Dimanipulasi kepada IMF
Catatan dalam (1): dalam tabel ini, Marysse telah memperkirakan nilai ekspor
emas dengan mengalikan total emas yang ditemukan dengan harga emas dunia
pada tanggal 30 April 2001 (8.300 USD/kilo)
140
Celine Mayroud dan John Katunga, Coltan Exploration in Eastern Democratic Republic of the
Congo (DRC), hal. 20
97
(2): IMF, Rwanda Staff Report for the 2000 Article IV Consultation and
Requests for the Third Annual Arrangement Under the Poverty Reduction and
Growth Facility and for Extension of Commitment Period, Washington, IMF, 12
December 2000, p. 39; IMF, Uganda. Staff Report for the 2001 Article IV
Consultation, Second Review Under the Third Annual Arrangement Under the
Poverty Reduction and Growth Facility and Request for Waiver of Performance
Criteria, Washington, IMF, 19 Januari 2000, hal. 43.
(3) IMF, Uganda Staff Report for the … , op cit., 12 March 2001, p. 8, 37.
(4) IMF, Uganda Staff Report for the … , op cit., 12 March 2001, p. 8, 40.
Sumber: Stefaan Marysse dan Filip Reyntjens, The Political Economy of the
Great Lakes Region in Africa, Routledge, hal.139
Dalam tabel tersebut, Rwanda memiliki anggaran militer yang jauh lebih
banyak dari yang diizinkan IMF dalam program Structural Adjustment Program,
yakni sebanyak 0,4 %141. Selain itu, IMF juga terus memberikan bantuan
keuangan kepada Rwanda dengan mengabaikan bahwa mineral yang Rwanda
ekspor bisa saja dieksploitasi bukan dari wilayah Rwanda, namun dari wilayah
RDK:
―We are not able to police possible illegal exploitation from the
Congo. We can not exclude that resources are being taken away on
an individual basis. It is not the IMF‘s task to travel to Congo to
find out about this […] The view we have taken on [the level of]
military activities is that it was the same before and after the start
of he war. We cannot exclude that natural resources are financing
additional activities. [But] It is not our task to find it out.142
‖
Kembali ke pembahasan bantuan keuangan, seperti negara-negara lain,
Rwanda dikenakan apa yang dinamakan donor-imposed condition oleh negara dan
141
Angka 0,4 % sendiri didasarkan pada perhitungan IMF yang merubah batas pengeluaran militer
yakni sebanyak 1,6 % dalam jangka waktu 1976-1985. 0,4 % sendiri berlaku dalam waktu 1985-
1994, dimana Perang Dingin sudah berakhir dan IMF menetapkan angka tersebut mengingat
banyaknya negara yang melakukan perubahan secara politik dan ekonomi, seperti negara bekas
blok timur. Perhitungan ini didasarkan apa yang dinamakan Doomsday Clock, yang berupa
kronologi persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet (sumber: IMF Staff Paper, Military
Spending, the Peace Dividend, and Fiscal Adjustment, 2001) 142 Bjorn Willum, Ibid., hal. 107
98
institusi keuangan donor. Kondisi-kondisi ini terdiri dari penghormatan terhadap
hak asasi manusia, memajukan demokrasi dan pembatasan anggaran militer.
Menurut Marysse, eksploitasi sumber daya alam Rwanda di Republik Demokratik
Kongo menguntungkan angkatan bersenjata Rwanda, mengingat secara resmi
Pemerintahan Rwanda hanya menganggarkan 6,1 % pada tahun 1999 dan 5,2 %
pada tahun 2000 bagi militer Rwanda.
Menurut Willum, IMF mengetahui ksenjangan yang dirasakan dari data
produksi mineral Rwanda dan eskpor mineral Rwanda ke berbagai negara. IMF
bahkan pernah menanyai seorang anggota Congo Desk mengenai ketimpangan
data ini. IMF tidak pernah merilis interogasi ini ke media massa. Ini lebih karena
bagaimana IMF, sebagaimana institusi keuangan lain seperti Bank Dunia, dan
negara-negara donor, melihat Rwanda sebagai negara yang tergolong ke dalam
special case dan lebih melihat bagaimana upaya Rwanda memperbaiki neraca
perdagangannya. Yang dimaksud dengan special case disini adalah Rwanda
adalah negara yang perlu memperbaiki situasi ekonomi dan keamanan paska
genosida yang berlangsung tahun 1994, sehingga memerlukan dukungan dari
komunitas internasional, termasuk dengan bantuan keuangan.
4.3.2 Akazu
Akazu bisa dikatakan sebagai sekumpulan orang-orang yang dekat dengan
Presiden Paul Kagame dan kedekatan tersebut digunakan untuk memperoleh
kepentingan politik atau kepentingan ekonomi tertentu143. Akazu memiliki arti
“rumah kecil” dalam bahasa asli Rwanda yakni bahasa Kinyarwanda.
143 Bjorn Willum, op.cit. hal. 71
99
Sebelumnya, Akazu digunakan untuk kalangan terdekat dari Presiden yang berasal
dari etnis Hutu, Juvenil Habyarimana yang berasal dari angkatan bersenjata
Rwanda. Semenjak para perwira angkatan bersenjata Rwanda yang dekat dari
Habyarimana kebanyakan berasal dari keluarga istri Habyarimana, Agathe
Habyarimana, Akazu memiliki nama lain ‘la Clan du Madame‟.
Pada era Presiden Paul Kagame, Akazu terdiri dari bekas pengungsi Tutsi
yang berdiam di berbagai negara yang berdekatan dengan Rwanda seperti Uganda
dan Tanzania, yang kemudian menduduki berbagai posisi penting di Rwanda,
terutama perwira militer dalam pemerintahan Paul Kagame:
―Within the army, of the 45 main positions – Ministry of Defence,
RPA and Gendarmerie Chiefs of Staff, and unit commanders – 27
‗belong‘ to the ‗Ugandans‘, as against 10 to the ‗Burundians‘, and 5
to ex-FAR members, 3 to the ‗Rwandans‘ and just one to the
‗Zairians‘. Every on of the unit commanders of the RPA is ‗Ugandan‘,
as are three of the five Gendarmerie commanders. Among the five
existing Intelligence Services in Rwanda, the same ‗Ugandan‘
preponderance is present today. The head of the DMI [Department of
Military Intelligence], following a temporary ‗Burundian‘, is a
‗Ugandan‘. The head of the ESCO and his deputy are ‗Ugandans‘.
The head of the Gendarmerie Intelligence Service was born in the
Congo but educated in Uganda. There is also a ‗Ugandan‘ at the head
of Special Intelligence, with a ‗Burundian‘ deputy.144
‖
Akazu dianggap sering melakukan berbagai pelanggaran atas persetujuan
Kagame sebagai orang yang paling berpengaruh dari Akazu. Salah satu contoh
yang memperlihatkan dominasi perwira militer Rwanda yang tergabung dalam
Akazu terhadap pemerintahan sipil terjadi pada tahun 1996, dimana seorang
144 Dorsey, p.327. See also Mugabe, „The Killings Resume…‟, at
http://www.strategicstudies.org/crisis/rwanda.htm#Uganda-Rwanda. Beberapa keterangan
tambahan dalam kutipan di atas adalah Gendermarie di Rwanda merujuk pada kesatuan polisi
nasional di Rwanda, „Ugandan‟ berarti bekas pengungsi Tutsi yang sebelumnya berdiam di
Uganda, berlaku selanjutnya untuk „Burundian‟ dan „Zairian‟
100
kolonel RPA memaksa menteri keuangan Rwanda pada waktu itu, Marc
Ruganera, untuk memberikan sejumlah uang:
[In 1996] then Minister of Finance, Marc Ruganera, was asked
point blank by an RPA colonel to give him US$ 500,000 "to take
care of urgent matters". When asked to state in greater detail what
the money was for he said it was to pay his men. The Minister then
asked him for a detailed list of personnel for whom this money was
earmarked and what their salaries were. Whereupon the Colonel
exploded and told Ruganera that he would "hear about it". Later,
President Paul Kagame phoned Ruganera and told him to pay the
US$ 500,000 to the Colonel "for the good of the country".
Ruganera did not push the matter any further and arranged for
payment of the monies .This illustrates fairly well the relationship
between the Army and the civilian government.145‖
Kagame menggunakan Akazu untuk mencegah kelompok non-Akazu
yang terdapat dalam berbagai kementerian untuk melakukan penyelidikan
atas pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan Rwanda di Republik
Demokratik Kongo dan berbagai pemasukan ekonomi yang didapat secara
ilegal dari penjualan berbagai mineral. Congo Desk, sebuah badan yang
dibentuk oleh Biro Luar Negeri (External Security Department) yang
terdapat dalam DMI atau Department of Military Intelligence, adalah salah
satu wujud dari Akazu dalam invasi Rwanda ke Republik Demokratik
Kongo146.
4.3.3 Congo Desk
Menurut laporan Panel PBB dengan nomor S/PRST/2001/39, Congo Desk
adalah jaringan komersial dan perdagangan yang dimiliki oleh RPA. Congo Desk
145 Willum, Ibid, hal. 146
Kris Berwots, Cracks in the mirror as Rwanda prepares for 2010 elections, European Network
of Central Africa, hal.5
101
sendiri diawasi oleh James Kabarebe, bekas Kepala Angkatan Bersenjata RDK
yang berasal dari RPA dan sekembalinya ke Rwanda langsung diangkat menjadi
Menteri Pertahanan oleh Paul Kagame. Menurut laporan Jordi Palau Loverdos
dalam laporannya untuk Material of Peace and Human Right, berbagai tambang
strategis di wilayah pengaruh Rwanda dilindungi oleh RPA, sedangkan untuk
masalah merebut koltan yang dikuasai oleh komunitas lokal maupun milisi yang
kontra Rwanda dan urusan transportasi mineral adalah tanggung jawab DMI.
semua eksploitasi yang dilakukan oleh prajurit Rwanda berlangsung atas
sepengetahuan intelijen militer Rwanda atau Directorate for Military Intelligence
yang bekerja untuk kepentingan Congo Desk147. PBB sendiri memiliki daftar
nama-nama perwira yang tergabung dalam Congo Desk dan merekomendasikan
kepada negara-negara anggota PBB untuk mengenakan larangan perjalanan
terhadap nama-nama tersebut148.
Beberapa perusahaan yang berafiliasi dengan Congo Desk dalam
perdagangan koltan adalah Rwanda Metals dan Grand Lac Metals. Pemegang
saham dari Rwanda Metals adalah Mayor Kazura, Kepala Keamanan RPA di
RDK, sedangkan Grand Lac Metals adalah Mayor Dan Munyuza, salah satu
petinggi Congo Desk di Kigali149. Perwakilan bisnis dari 2 perusahaan ini biasanya
dijaga oleh prajurit RPA dalam melakukan transaksi bisnis. Salah seorang saksi
memberitahukan kepada panel PBB terkait hal ini:
147 Jordi Palou Loverdos, International Justice, Plunder in War, Human Rights and
Multinationals(Material of Peace and Human Rights: Department of International Relations
Catalunya), hal. 20 148 Daftar nama terdapat pada lampiran 1 149
Supporting War Economy in DRC: European Companies and Coltan Trade, International Peace
Informatio Service Report, hal 20
102
“In mid-January 2001, some very reliable sources met with the senior
management of Rwanda Metals in Kigali. During these discussions,
the Director told them that Rwanda Metals was a private company
with no relation to the army. He further explained that he was
expecting key partners that very morning for discussions. As
discussions continued, the so-called partners arrived as planned;
unfortunately they were in Rwandan army uniforms and were top
officers. This incident confirms accounts from various sources
indicating that Rwanda Metals is controlled by RPF. 150“
Semenjak semua koltan yang diperoleh oleh perantara atau comptoir di
Kivu dikuasai oleh RPA dan milisi yang menjadi proxy, RCD, semua koltan
tersebut dijual ke Rwanda Metals atau Grand Lacs Metals. Selanjutnya, Rwanda
harus mengangkut koltan yang mereka peroleh dari Kigali untuk sampai ke mitra
usaha mereka yang berada di berbagai negara. Tentunya, perusahaan
pengangkutan atau transport companies yang menjadi mitra usaha Rwanda dalam
pengangkutan koltan, sudah mengenal para perwira militer pada kedua perusahaan
tersebut dan menjalin hubungan baik. Chris Huber dan Viktor Bout adalah
beberapa nama yang dianggap memiliki kedekatan dengan militer Rwanda, dan
memiliki kontribusi dalam mengangkut mineral-mineral dan senjata untuk
Rwanda dan RCD sebagai proxy dari Rwanda.
Chris Huber adalah seorang pengusaha Swiss dan menurut salah satu NGO
yang terlibat dalam penyelidikan perdagangan koltan di Perang Kongo,
International Peace Information Service, Chris Huber telah berbisnis di Republik
Demokratik Kongo sejak tahun 1997. Dari tahun itu, Huber telah memiliki 2
perusahaan yang berbeda yakni Finconcord dan Finmining. Chris Huber memiliki
hubungan baik dengan Ulba Processing Plant, industri pengolah koltan untuk
dijadikan bubuk koltan, yang berbasis di Kazakhstan. Dengan kapasitas 250 juta 150 Willum, Ibid, hal 44
103
ton per tahun, Chris Huber memanfaatkan hal ini untuk dapat menyuplai industri
itu dengan koltan yang berasal dari RDK. Untuk itu, Chris Huber menjalin
hubungan dengan Rwanda Metal, yang memberikannya fasilitas untuk
menggunakan gudang bandara yang berada di zona militer Bandara Kigali,
Rwanda. Untuk memberangkatkan koltan yang sudah dikumpulkan di Kigali,
Huber menggunakan pesawat Yakovlev dan Ilyushin, yang setengah dari semua
pesawat tersebut dipinjam dari seorang pedagang senjata bernama Viktor Bout151.
Viktor Bout bertanggung jawab atas pengangkutan senjata dan mineral dari
dan ke RDK. Sejak tahun 1990, tercatat bahwa Viktor Bout mengelola sekitar 50
maskapai penerbangan dengan berbagai bendera dan menurut panel PBB,
maskapai yang dimilikinya bertanggungjawab atas keberlangsungan konfil di
Afrika. Dalam perang ini, Viktor Bout tidak hanya melayani kepentingan Rwanda,
namun juga kepentingan Uganda dan RDK152. Rwanda sendiri mengenal Viktor
Bout dari mitra usaha yang merekomendasikan jasa Viktor Bout untuk
mengangkut koltan. Maskapai yang digunakan untuk kepentingan ini adalah Air
Cess. Keterlibatan pertama Air Cess dalam perdagangan senjata adalah
mempersenjatai faksi-faksi bersenjata di Liberia selama perang sipil tahun 1991
dan pilot dibayar US$10.000 untuk sekali pengantaran. Selama tahun 2000-2001,
tercatat bahwa maskapai tersebut menggunakan zona militer di dalam Bandara
Kigali untuk mendarat. Pada Desember 2003, Departemen Penerbangan Afrika
Selatan pada Desember 2003. Menurut pengakuan pilot pesawat dari maskapai
151 Supporting the War Economy in the DRC: European Companies and the coltan
trade,(International Peace Information Service: IPIS Antwerp), hal.21-23 152 Untuk kepentingan Uganda, Viktor Bout tercatat pernah melatih pilot-pilot berkebangsaan
Israel pada tahun 1998 untuk mengangkut mineral dan senjata bagi Uganda People Defense Force
(UPDF). Untuk kepentingan RDK tercatat bahwa maskapainya yang bermarkas di Liberia dan
Libya bertanggung jawab untuk memasok senjata bagi RDK.
104
tersebut, pesawat tersebut mengangkut persenjataan bagi pasukan perdamaian
Afrika Selatan dan Burundi yang berada di RDK. Keanehan muncul ketika
pesawat tersebut mendarat di Kigali, dan pilot mengelak tuduhan tersebut dengan
alasan ingin mengambil suku cadang.
Selain bekerjasama dengan berbagai perusahaan penerbangan, yang mana
beberapa diantaranya adalah Chris Huber dan Viktor Bout , Congo Desk juga
bekerjasama dengan berbagai perusahaan yang membeli koltan atau international
trader. Kerjasama ini dilakukan agar proxy Rwanda di Kivu yakni RCD dapat
menarik pajak atau lisensi atas kepemilikan tambang-tambang koltan. Salah satu
diantaranya adalah Karl Heinz Albers, pemilik Masingiro dan sering memasok
koltan ke pabrik pengolah tantalum yang terkemuka seperti HC. Starck (Jerman),
Ningxia (Tiongkok) dan Cabot (Amerika Serikat).
Pengusaha Jerman ini mengenal dengan baik salah satu anggota Congo
Desk yang bernama Mayor Dan Nyarweza, dan atas koneksi tersebut dia
mendapatkan perlindungan dari RCD. Intelijen militer Rwanda bahkan membantu
Albers untuk menyelesaikan sengketa dengan pesaing usahanya. Salah satunya
adalah sengketa Albers dengan seorang pengusaha Austria yang bernama Edith
Krall. Tambang yang disengketakan adalah tambang koltan yang bernama
Lueshe, terletak di Kivu Utara. Pada tahun 2000, pemerintahan RDK memutuskan
untuk tidak melanjutkan kerjasama dengan Masingiro milik Albers dan sebagai
gantinya tambang tersebut dijual kepada Edith Krall. Ketika para tenaga ahli dari
pihak Krall datang untuk mengecek lokasi tambang tersebut, mereka dicegat oleh
pasukan RPA dan RCD di kota Goma. Intelijen Rwanda yang datang ke kota
tersebut kemudian mengatakan kepada tenaga ahli tersebut bahwa mereka tidak
105
akan pulang hidup-hidup kecuali menarik tuntutan atas tambang tersebut. Krall
kemudian menjauhi tambang tersebut serta menarik tuntutan atas tambang
Lueshe, sampai tahun 2003153
.
4.3.4 Warlordism dan RCD sebagai Proxy bagi Kepentingan Ekonomi
Rwanda
Menurut Giustiozzi, fenomena warlord sendiri muncul dikarenakan
fragmentasi negara, dan warlord sendiri haruslah memiliki kemampuan untuk
mengelola wilayahnya dan setidaknya memberikan keamanan bagi orang-orang
yang dikuasainya, kemudian layanan lainnya seperti kesehatan dan pendidikan154
.
Bagi Reno, warlord adalah aktor atau pelaku yang bersifat pragmatis, dan lebih
cenderung untuk mempertahankan posisi politik dan ekonominya, seperti condong
untuk memberikan berbagai keuntungan politik dan ekonomi pada orang-orang
terdekatnya dibandingkan kepada rakyat kebanyakan155
.
Sub-bab ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana RCD menjalankan
fungsi pemerintahan di wilayah yang mereka kuasai, Kivu. Dalam menjalankan
fungsinya sebagai suatu pemerintahan yang terpisah dengan Kinshasa selama
Perang Kongo Kedua berlangsung, RCD lebih memusatkan upayanya kepada
mengendalikan para elit lokal atau para chief untuk dapat mengikuti kendali RCD
dibandingkan menyediakan layanan publik kepada masayarakat umum. Layanan
153
David Barouski, Blood Minerals in the Kivu Provinces of Democratic Republic of Congo,
http://www.raceandhistory.com/historicalviews/2007/2106.html , diakses pada 11 April 2015 154
Antonio Giustiozzi, The Resilient Oligopoly: A Political-Economy of Northern Afghanistan
2001 and Onwards,(Afghanistan Reseacrh and Evaluation Unit: Finland Embassy for
Afghanistan), hal. 20 155 Reno dalam Juddith Vorath, From War to Illicit Economies: Organized Crimes and State
Builidng in Liberia and Sierra Leone, (German Institute for International and Security Affairs,
Berlin), hal.7
106
umum sendiri seperti kesehatan dan pendidikan di Kivu didominasi oleh gereja,
yang sudah ada sejak Belgia menjajah negara tersebut, dan NGO-NGO yang
datang ketika Perang Kongo Kedua berlangsung. Untuk kesehatan sendiri, 75%
dari seluruh layanan kesehatan didirikan dan didanai oleh gereja, belum lagi
kesulitan yang dialami rumah sakit milik negara yang dikuasai RCD, dimana 25
% dari staf mereka pindah ke NGO-NGO internasional yang menyediakan
bayaran yang lebih baik. Untuk pendidikan, RCD sendiri gagal menjalankan
pemeliharaan terhadap institusi-institusi pendidikan yang ada disana, namun
kedatangan NGO-NGO untuk menjalankan tugas di Kivu membuat fungsi
pendidikan di sana berpusat di NGO dan gereja, dan RCD bisa diuntungkan
terkait lapangan pekerjaan karena biasanya mereka akan bekerja pada gereja dan
NGO yang mendidiknya156
.
Gambar 4.4 : Pasukan RCD di Kivu selama Perang Kongo Kedua
Sumber: http://www.smh.com.au/news/World/Rwanda-accused-of-aiding-rebel-soldiers-
in-Congo/2004/12/21/1103391774645.html?from=moreStories
156
Dennis Tull, The Reconfiguration of Political Order in Africa: A Case of DRC, (Hamburg:
Hamburg African Studies), hal. 172
107
Seperti yang disebutkan sebelumnya, RCD mempertahankan kekuasaannya
dengan mendekati para kepala suku atau chief dan menempatkan orang-orang
yang sebelumnya tertuduh sebagai pemberontak Hutu yang mengancam
keamanan Rwanda ke posisi-posisi strategis di dalam RCD. RCD sendiri
menggunakan taktik pecah belah dan mendukung salah satu anggota keluarga
suku yang berpihak kepada RCD dengan cara menuduh saingan kandidat kepala
suku yang didukung RCD dengan tuduhan membela otoritas Kinshasa.
Berikutnya, milisi Hutu yang dianggap mengancam keamanan Rwanda, dibawah
organisasi milik RCD yang bernama TPD atau Tous pour la paix et le
Developpement , para milisi ini diarahkan untuk kembali berintegrasi ke
masyarakat, menurut klaim RCD. Namun sebagian besar dari mereka direkrut
untuk menjadi anggota paramiliter yang bernama Local Defense Force atau LDF.
RCD bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran HAM selama perang
berlangsung. Pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh RCD mencakup
pemindahan secara paksa atau Internal Displaced Person, pemerkosaan, tentara
anak, dan genosida. Serangan RCD ke berbagai tempat di Kivu menyebabkan
hampir 1.000.000 orang kehilangan tempat tinggalnya. RCD bertanggung jawab
atas pemerkosaan 2000-3000 wanita bersama dengan angkatan bersenjata Rwanda
dan Burundi di berbagai tempat di Kivu157.
RCD yang turut serta dalam Perang Kongo Kedua, dibentuk
mengatasnamakan kelompok etnis yang dianggap tertindas dibawah
kepemimpinan Laurent Kabila, seperti Banyamulenge. RCD dipimpin oleh
157
_________,The War Within War:Sexual Violence Against Women and Girls in Eastern
Congo,(New York:Human Right Watch), hal. 23-61
108
Wamba dia Wamba, seorang akademisi yang diasingkan pada era Mobutu Sese
Seko dan mengajar di Universitas Dar es Salam, Sudan. Selain Wamba dia
Wamba,berbagai nama tahanan politik era Laurent Kabila dan eks perwira
angkatan bersenjata RDK.
RCD mengklaim bahwa perjuangan yang mereka lakukan adalah untuk
membebaskan RDK dari kediktatoran Laurent Kabila, namun anggaran yang RCD
miliki harus dikelola dan diketahui oleh Rwanda sebagai sponsor utama mereka
dan setiap operasi militer yang RCD lakukan diawasi oleh perwira Rwanda
membuat gerakan ini kurang mendapat simpati dari rakyat RDK pada umumnya.
Namun walaupun memiliki dukungan politik yang rendah, karena kontribusi
Rwanda secara materil membuat RCD bisa terus memperkuat diri melalui
kekuatan militer. Presiden Paul Kagame bahkan tidak malu mengakui kerjasama
Rwanda dengan RCD. Menurutnya, kerjasama Rwanda dan RCD dapat dilihat
sebagai bentuk persaudaraan, ketika ditanya oleh pejabat Bank Dunia mengenai
bagaimana Rwanda menghidupi pasukan mereka yang berada di Republik
Demokratik Kongo dengan anggaran resmi militer Rwanda:
―It is a brotherhood. … If the Rwandans come and they get col- tan
from Punia or Walikale158, it's up to them."
Suplai koltan yang berasal dari RCD dan kemudian dijual kepada Rwanda
dapat menjelaskan mengapa para perantara yang bekerjasama dengan RCD dan
Rwanda dapat memperbaiki kualitas hidup mereka, sedangkan 35.000 prajurit
158 Menurut artikel Vital ore funds Congo's war di Washington Post pada tanggal 19 Maret 2001, 2
wilayah tersebut memiliki koltan dengan kualitas tinggi.
109
Rwanda pada tahun 2001 bisa dibilang memiliki perlengkapan yang memadai,
digaji secara tetap, dan memiliki kualitas hidup yang baik.
Seperti yang sebelumnya disebutkan, berkat dukungan dari Rwanda, RCD
memiliki kapabilitas untuk menolak berbagai perjanjian perdamaian yang
bertujuan untuk melucuti senjata pihak-pihak yang bertempur dalam Perang
Kongo Kedua. Ada berbagai perjanjian perdamaian sebelum Sun City Agreement
yang menyepakati adanya pemerintahan transisi, dan proses perdamaian
berlangsung lebih lama karena RCD turut menyumbang kontribusi dalam
menolak berbagai perjanjian tersebut. Perjanjian Sirtre dan Lusaka ditolak oleh
RCD karena berbagai alasan seperti tuduhan genosida kepada Rwanda, tidak
dilibatkannya perwakilan RCD dalam perjanjian tersebut, maupun berbagai
kepentingan strategis lainnya. Bagi Rwanda, RCD diperlukan sebagai kedok
dimana melalui RCD pemberontakan dibuat seolah-olah datang dari rakyat RDK.
Dennis Tull menuliskan ini mengenai kegunaan RCD bagi Rwanda:
― to help RCD establish a strong power base on both an elite level as
well as on the ground by forging close link between Kigali, RCD, and
the Banyarwanda,recruitment between Banyamulenge repatriatee to
Rwanda influence, and promoting humanitarian concern by protect
Banyarwanda, also able to channel international aid to financing
Kigali and allies in Congo.”159
Di berbagai tempat yang dikuasai oleh RCD, selalu ditemukan konglomerat
maupun perwira militer Rwanda. Seperti di kota Goma yang berbatasan langsung
dengan Rwanda, banyaknya perantara koltan yang berlalu lalang dari Goma ke
Rwanda dan sebaliknya, membuat banyak para pebisnis dari Rwanda
menginvestasikan uang yang mereka miliki ke berbagai sektor ekonomi di Goma
159 Tull,op.cit., hal. 183
110
seperti perkebunan, asuransi, pertokoan dan telekomunikasi. Keberadaan RCD
juga membantu pebisnis Rwanda untuk memperoleh monopoli atas pebisnis yang
memang berasal dari RDK ataupun pebisnis yang dekat dengan Laurent Kabila
maupun Josep Kabila.
Kontribusi RCD bagi mobilisasi militer Rwanda bukannya tanpa imbalan.
Dibawah pengawasan perwira tinggi Rwanda dalam Congo Desk, RCD diberikan
hak untuk mengelola tambang-tambang strategis di sebelah timur RDK, termasuk
tambang koltan, semisal melalui proteksi dan mengenakan pajak pada setiap
penambang yang beroperasi di tambang milik mereka. Sampai tahun 1999, RCD
mewajibkan pada para perantara untuk membayar uang sebanyak US$ 15.000
pada otoritas RCD. Namun semua berubah pada tahun 2000, ketika RCD
mendirikan SOMIGL dan memungkinkan RCD untuk memiliki anggaran militer
mereka sendiri. SOMIGL membuat RCD bisa menjual koltannya ke berbagai
perusahaan ke berbagai negara.
SOMIGL berdiri pada tanggal 20 November 2000 sebagai reaksi atas
naiknya harga koltan dunia secara tajam. SOMIGL memungkinkan RCD untuk
memiliki pemasukan sendiri dengan menerbitkan izin kerja maupun mengenakan
pajak untuk setiap koltan yang digali160. Dengan SOMIGL, setiap kg koltan
dikenakan pajak sebesar 10 $. Selama Januari- Oktober 2000, wilayah yang di
bawah kendali SOMIGL mampu menghasilkan sebanyak 445.255 kg, atau
sebanyak 44.525 kilogram per bulan. Pada bulan Desember, naik secara drastis
160
Pada November 25 November 2000, RCD melalui Sekretaris Jenderalnya Azarias Ruberwa
menyatakan bahwa RCD memegang 80 % saham SOMIGL. Namun, turunnya harga koltan yang
diekspor oleh SOMIGL membuat RCD mengumumkan penghapusan monopoli RCD terhadap
perdagangan koltan di Kivu pada tanggal 25 Maret 2001
111
menjadi 112 ton, lalu pada Januari 2001 turun menjadi 96 ton. Berdasarkan
hitungan ini, dalam 3 bulan beroperasi, mereka mampu meraup keuntungan
sebanyak 2,35 juta dolar.
Berikutnya, berdirinya SOMIGL tidak hanya datang dari inisiatif RCD
sendiri, namun juga melalui pengawasan dan arahan Rwanda. Menurut kesaksian
Patrick Karegeya, penasihat pribadi Presiden Paul Kagame, Rwanda melakukan
berbagai kebijakan penting untuk menjamin keberlangsungan SOMIGL seperti
penyerangan terhadap berbagai pos militer RDK dan mengirimkan tahanan dari
Rwanda ke berbagai tambang di Kivu untuk mencapai target produksi yang
diinginkan SOMIGL161.
Sebagai perusahaan milik RCD, SOMIGL sempat memiliki hubungan baik
dengan Rwanda. Hubungan baik ini dapat dilihat dari bagaimana pesawat yang
digunakan untuk mengangkut koltan milik RCD adalah pesawat yang disewa oleh
Rwanda dari berbagai sumber, semisal Viktor Bout162. Untuk menggunakan
pesawat tersebut, militer Rwanda mengenakan 3 US$ per kilo dari koltan yang
akan mereka angkut. Namun, bekas gubernur dari RCD, Benjamin Serukiza
seringkali mengeluhkan monopoli dari Rwanda:
― I had to mediate between local businessmen and Rwanda
brigade commander. He only wanted to only allow one Rwanda
161 Jeroen Cuvelier,Stefaan Marysse, Rwandan economic involvement in the conflict in the
Democratic Republic of Congo, Institute of Development Policy and Management: Antwerp, hal.
15 162 Pesawat-pesawat yang digunakan oleh RCD melalui SOMIGL untuk mengangkut koltan ke
Kigali terdiri dari Antonov 28, Antonov 26 dan lain-lain. Pesawat-pesawat ini pun memiliki kode
registrasi yang berbeda-beda seperti South Africa (ZS), UAE (3C), Australia (VH) dan terkadang
dari negara-negara seperti Republik Afrika Tengah dan Guinea Ekuatorial. Pada tahun 2000,
kepala penerbangan Republik Afrika Tengah ditangkap dan dari hasil pencarian ditemukan
pesawat dan helikopter dengan tanda 3C, kemungkinan besar milik Viktor Bout
112
trader, who was close to the Rwandan Government, to have the
access to the mine.163‖
Rwanda memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap produksi koltan
RCD. Sebagian besar perantara yang bekerja sama dengan RCD adalah perantara
yang mendapatkan persetujuan untuk beroperasi oleh militer Rwanda di wilayah
kekuasaannya. RCD bermitra dengan Rwanda, dalam hal ini Rwanda
menggunakan maskapai ilegal milik Viktor Bout dan menyewa pesawat darinya
untuk mengangkut koltan yang ditambang RCD ke Rwanda. Tidak hanya dari
tambang milik RCD. Tercatat bahwa Rwanda menyerang beberapa tambang milik
milisi rival seperti Interhamwe dan Mai-Mai dan jeda waktu yang Rwanda miliki
digunakan untuk memuat koltan yang dimiliki tambang-tambang tersebut ke
pesawat milik Rwanda.
RCD harus melindungi tambang koltannya dari serangan Interhamwe dan
Mai-Mai. RCD memang memiliki angkatan bersenjatanya sendiri maupun milisi
seperti Local Defense Force (LDF). Namun, keberadaan RCD di Kivu tidak
terlalu diterima dengan baik karena mayoritas orang di Kivu tahu bahwa RCD
dipersenjatai Rwanda, dan terlebih lagi mereka sudah jenuh dengan keberadaan
Perang Kongo yang sudah berlangsung lebih dari 5 tahun berturut-turut. Salah
seorang tokoh yang berpengaruh di Kisangani, sebuah kota di Kivu,
menyampaikan ketidaksukaannya atas keberadaan RCD di kotanya:
“ If the Congolese soldier misbehaves, the population is hurt but
they can stomach it....because Congolese soldiers have been like
that from Mobutu‘s days. But we can‘t stand it if it‘s a foreigner
163 Jason Stearns, Dancing in the Glory of Monster,BS Public Affairs, hal. 216
113
who came here saying he wanted to help us have freedom and
democracy164 !‖
Salah satu wakil presiden RCD yang bernama Ngoma mengakui bahwa
keberadaan RCD di Kivu tidak terlalu disukai. Ngoma mengutip peristiwa yang
terjadi pada tanggal 7 September 1998 dimana Interhamwe dan Mai-Mai yang
berhasil mengusir pasukan gabungan Rwanda dan RCD di kota Goma, dan
sebagian besar penduduk di kota tersebut menyambut mereka sebagai penyelamat:
“We are conscious of a certain unpopularity of our movement
among the population.165”
Menyadari hal tersebut dan mengetahui bahwa orang-orang yang tidak suka
dengan keberadaan RCD di Kivu bisa saja bergabung dengan Mai-Mai dan
Interhamwe. RCD memutuskan untuk mengambil tindakan yang menjamin
loyalitas para kepala suku di Kivu sehingga diharapkan dapat menjadi sumber
informasi dan komunikasi untuk mengetahui keberadaan milisi Mai-Mai maupun
Interhamwe dan siapa saja warga yang berada di bawah kekuasaan mereka yang
terindikasi bergabung dengan Interhamwe dan Mai-Mai. Mereka juga diharapkan
dapat menjalankan fungsi rekrutmen untuk angkatan bersenjata dan pasukan
paramiliter yang dimiliki RCD. Para kepala suku ini sering di undang untuk
jamuan di Kigali dan seringkali jamuan tersebut disertai dengan pemberian
barang-barang berharga seperti mobil dan perhiasan dengan harapan mereka akan
membantu kepentingan RCD166.
164
Dikutip oleh Aliro dan Ogen Kevin, dalam Dennis Tull, Ibid, hal.131 165
“Rebel- Held Territory to be “Showpiece of Good Management, Karaha says” BBC Monitoring
14 September 1998. Lihat juga “Rebel Leader on Foreign Armies, Rebel Recception in Conquered
Towns 166
Dennis M. Tull, The Reconfiguration of Political Order in Africa: Case Study North Kivu,
Hamburg: Institute of African Affair, hal 149
114
RCD dan Mai-Mai167 tidak hanya memiliki perbedaan secara politik, namun
juga secara ekonomi. Rwanda sendiri bisa dan mampu membeli koltan dari Mai-
Mai, yang mana pergerakannya dibatasi karena keberadaan pasukan Rwanda dan
RCD dan pergerakannya pun hanya sebatas taman-taman nasional di RDK
sebelah timur, tepatnya di Kivu seperti Taman Nasional Kahuza-Biega dan
beberapa area terpencil yang berupa hutan di Kivu sebelah utara. PBB sendiri
mengutip kesaksian seorang pekerja NGO lokal di Kivu yang menyatakan bahwa
seorang komandan lapangan Mai-Mai melakukan transaksi koltan dengan seorang
komandan brigade RPA yang berdiam di Kivu. Beberapa dari pasukan Mai-Mai
yang menjadi pasukan pengawal dari beberapa kepala suku atau chief di Kivu
sehingga untuk mendapatkan loyalitas dari kepala-kepala suku tersebut, RCD
harus menghadapi Mai-Mai melalui kontak senjata atau dengan cara-cara yang
bersifat damai. Untuk melindungi tambang-tambang koltan yang mereka miliki,
Rwanda seringkali membujuk Mai-Mai dengan membeli koltan yang sebelumnya
mereka rebut dari RCD. Hal ini diharapkan akan mendorong Mai-Mai menyerang
kedudukan pasukan RDK, walaupun baik Laurent Kabila maupun Joseph Kabila
seringkali menjanjikan integrasi ke angkatan bersenjata RDK dengan gaji dan
kedudukan tinggi168
.
Selanjutnya, peneliti membahas bagaimana RCD mempertahankan
kepentingan ekonomi Rwanda dengan memperpanjang berlangsungnya konflik,
yakni melalui perjanjian gencatan senjata . RCD sendiri bisa terlibat dalam
167
Mai-Mai terdiri dari berbagai suku yang bermarkas di perbatasan Rwanda –RDK. menurut
laporan PBB pada tahun 2001,Mai-Mai berkekuatan 20.000-30.000. Mai-Mai sendiri menerima
dukungan persenjataan dari pemerintah RDK untuk menandingi keberadaan RCD yang didukung
Rwanda 168
Björn Aust dan Willem Jaspers, From Resource War to ‗Violent Peace‘ :Transition in the
Democratic Republic of the Congo (DRC), (Bonn: International Centre for Conversion), 2006, hal.
46
115
berbagai perjanjian perdamaian selama Perang Kongo Kedua berlangsung
dikarenakan sebagai salah satu aktor dalam Perang Kongo Kedua, RCD memiliki
kemampuan untuk menyabotase perjanjian perdamaian karena perjanjian tersebut
tidak menyertakan mereka atau tidak memenuhi keinginan mereka maupun
keinginan Rwanda . selanjutnya, peneliti akan menjelaskan bagaimana RCD
berkontribusi dalam memperpanjang konflik di Perang Kongo Kedua sekaligus
berhasil membuat Rwanda semakin lama beroperasi di RDK, melalui perjanjian
Lusaka.
Perjanjian Lusaka sendiri berlangsung di ibukota Zambia, Lusaka pada
tanggal 10 Desember 1998. Perjanjian ini muncul sebagai tindak lanjut atas
gagalnya Perjanjian Sirtre yang berlangsung sebelumnya di Sirtre, Libya.
Perjanjian Sirtre mengalami kegagalan karena gagal mengajak pihak-pihak
pemberontak seperti RCD dan MLC untuk ikut berunding. Perjanjian Lusaka
sendiri menyepakati pembentukan Joint Military Committee yang mana
anggotanya berupa setiap perwakilan dari peserta perundingan ini dan bertugas
untuk :
1. mengawasi poin perjanjian yang mana menyatakan pihak yang bertikai tidak
akan menyerang warga sipil, 24 jam setelah perjanjian ini ditandatangani
2. melaporkan setiap pelanggaran terhadap gencatan senjata dan mengawasi
mundurnya pasukan asing dari Republik Demokratik Kongo
3. bekerjasama dengan PBB dibawah MONUC untuk mengawasi pelanggaran
gencatan senjata dan pelucutan senjata dari milisi-milisi. Dan,
116
4. membentuk angkatan bersenjata RDK yang mencakup milisi yang berasal dari
RCD dan MLC.
Namun, sepertinya pihak-pihak yang bertikai dalam Perang Kongo Kedua
tidak terlalu tertarik untuk menjalankan perjanjian ini dan juga menjalankan Joint
Military Committee. Bagi RCD, pihak Laurent Kabila gagal menjalankan
perjanjian ini dikarenakan Kabila menggunakan FDLR dan Mai-Mai untuk
meneror warga sipil di wilayah yang dikuasai oleh RCD. Rwanda mendukung
tuduhan ini dengan menyatakan bahwa Kabila sedang mempersenjatai angkatan
bersenjatanya untuk menyerang posisi RCD di Kivu, menurut laporan intelijennya
pada tanggal 26 November 1999:
―Kabila has been purchasing military equipment and has reorganized
his forces. Kabila received two shiploads of arms and equipments
from China, India, and unknown countries, as well as purchasing six
modified MIG-21 fighters.169‖
Tidak hanya karena alasan keamanan, RCD dan Rwanda memutuskan untuk
tidak mematuhi Perjanjian Lusaka karena menganggap PBB mengeluarkan
laporan yang bersifat bias mengenai eksploitasi koltan yang dilakukan pihak RCD
dan keuntungan yang diterima pihak Rwanda terkait eksploitasi tersebut. laporan
tersebut dikeluarkan oleh Panel PBB pada tanggal 12 April 2001, dan secara
ringkas, IRIN atau Integrated Regional Information Networks meringkasnya sebagai
berikut:
―The report lists five key minerals — coltan, diamonds, copper, cobalt
and gold — as being exploited by foreign armies in the DRC in a
'systematic and systemic' way. It noted that plundering, looting,
racketeering and criminal cartels were commonplace in occupied
169
IRIN (Integrated Regional Information Networks) Update No. 792 for the Great Lakes,
November 2, 1999.
117
territories............... 'Top military commanders from various countries
needed and continue to need this conflict for its lucrative nature and
for temporarily solving some internal problems in those countries, as
well as allowing access to wealth', the panel said. It recommends,
among other things, that the UN Security Council immediately declare
an embargo on the import and export of certain minerals from or to
Burundi, Rwanda and Uganda until their involvement in the
exploitation of the resources is 'made clear, and declared so», by the
Council, and that any country breaking the embargo should face
sanctions170.‖
Setelah keluarnya laporan ini, baik RCD dan Rwanda mengancam akan
keluar dari Perjanjian Lusaka. Menurut Rwanda, tuduhan yang dikeluarkan PBB
ini sama saja dengan menyebut genosida di Rwanda tidak pernah terjadi, dan
invasi Rwanda ke RDK berlangsung untuk mencegah hal yang sama terjadi,
menurut klaim mereka:
“It is as if they are saying the Interahamwe militia are not there.
There are as many as 40,000 Interahamwe... [The content of the
report] is ... equivalent to saying that the genocide never happened in
Rwanda.171‖
Sedangkan, menurut RCD hasil eksploitasi koltan sepenuhnya miliki
mereka dan digunakan untuk kemakmuran rakyat di wilayah yang mereka kuasai,
menurut wawancara mereka dengan BBC Radio pada tanggal 17 Juli 2001:
When I tell you we have exported forty tons of coltan, you can make
the calculation, and for $4 per kilo you realise how much money has
come into the government treasury. And the RCD, it has some public
obligations to cover and it is thanks to this money that RCD is able to
cover them. For instance, the RCD has to restore roads, also we have
to pay the salary of more than 30,000 civil servants, and we have
some social departments such as schools and hospitals, and we can
170 Johan Pottier, Everybody needs good neighbours: understanding the conflict(s) in Eastern
DRC, (Lisboa: Centro de Estudos Africanos), hal. 8 171
Ibid, hal.8
118
work in those hospitals thanks to the money coming into the
treasury172.
172
Ibid
119
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Pada bagian akhir ini, dapat ditarik kesimpulan berkenaaan dengan
kepentingan ekonomi Rwanda dalam Perang Kongo yaitu eksploitasi alam yang
dilakukan oleh Rwanda dipengaruhi oleh kurangnya infrastruktur dan lebih
cenderungnya tanah digunakan sebagai lokasi pertanian dibanding pertambangan .
Sumber daya alam yang dieksploitasi digunakan untuk memperbaiki situasi
ekonomi Rwanda yang sudah lama bergantung pada ekspor teh dan kopi,
memperbaiki neraca perdagangan yang menjadi syarat untuk meminjam bantuan
keuangan seperti dari IMF, dan secara laten adalah untuk memperkaya orang-
orang yang dekat dengan Presiden Paul Kagame.
Kepentingan ekonomi dari Rwanda sendiri mulai muncul ketika Laurent
Kabila, orang yang didukung Rwanda, mengusir pasukan Rwanda dari RDK
sekaligus memutus kontrak perusahaan-perusahaan yang berasal dari negara yang
dekat dengan Rwanda . Hal ini membuat Rwanda memutuskan untuk memiliki
proxy yang bisa mereka awasi gerak geriknya sekaligus mengambil keuntungan
dari eksplotasi yang proxy mereka lakukan. Rwanda sendiri dapat mengambil
keuntungan dari wilayah-wilayah yang pemberontak kuasai dan korupnya
birokrasi RDK selama perang berlangsung.
Untuk memperoleh kepentingan ekonomi tersebut, Rwanda memanfaatkan
lemahnya kendali tentara pemerintah RDK atas tambang-tambang yang berada di
120
negara tersebut. Rwanda sendiri mampu memanfaatkan ketidaksenangan yang
terdapat di dalam RDK terkait pemerintahan otoriter, angkatan bersenjata yang
tidak kompeten, krisis ekonomi, dan masalah lainnya, sehingga berbagai milisi
yang dibentuk untuk menggulingkan pemerintahan berkuasa RDK, beberapa di
antara mereka berada di bawah pengawasan Rwanda, seperti ADFL dan RCD.
Milisi yang diawasi dan dibentuk oleh Rwanda terbukti dapat menandingi
keberadaan angkatan bersenjata RDK, terbukti dengan milisi ADFL pada Perang
Kongo Pertama yang mampu melakukan serangan langsung ke Kinshasa, ibukota
RDK, dan ADFL, yang mampu membentuk pemerintahan sendiri di wilayah
perbatasan Rwanda-RDK dan melakukan eksploitasi mineral untuk keuntungan
mereka sendiri.
Mineral yang Rwanda peroleh kemudian dijual ke luar negeri. Mineral
yang diperoleh oleh Rwanda di RDK mampu menjadikan negara tersebut sebagai
negara penghasil mineral yang terkemuka, walaupun seperti yang dijelaskan
sebelumnya, persediaan tanah di Rwanda semakin menyusut disebabkan
perkebunan kopi.
5.2 Saran
Mengingat kesulitan untuk melacak asal usul mineral yang berasal dari
RDK, dan kemunculan Rwanda sebagai negara eksportir mineral yang cukup
mengejutkan walaupun tidak memiliki deposit mineral yang melimpah terjadi
karena permintaan mineral yang tinggi tidak diikuti oleh kewaspadaan akan
kontribusi mineral terhadap konflik berdarah dan komunitas internasional yang
terus menerus memuji Rwanda sebagai kekuatan ekonomi baru walaupun sempat
121
mengalami genosida. Menurut peneliti, embargo ekonomi terhadap Rwanda harus
dilakukan sehingga walaupun tidak ada perlawanan yang berarti dari angkatan
bersenjata RDK untuk membuat Rwanda mundur, tekanan dari dunia
internasional bisa digunakan agar Rwanda tidak terlibat dalam mengacaukan
stabilitas keamanan di RDK sekaligus memperoleh bantuan keuangan karena
berhasil menahan diri untuk tidak melakukan invasi ke RDK.
122
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Clark, John F. (ed.), The African Stakes of Congo War, New York: Palgrave
Macmillan, 2004
Gebrewold, Belachew, Anatomy of Violence: Understanding the System of
Conflict and Violence in Africa, Burlington : Ashgate, 2009
Reyntjens, Filip, The Great African War, Congo and Regional Politics,
Cambridge: New York, 2009
Ngolet, François, Crisis in The Congo: The Rise and Fall of Laurent Kabila, New
York :Palgrave Macmillan, 2011
Maryssee, Stefan dan Filip Reyntjens, The Political Economy ofthe Great Lakes
Region in Africa The Pitfalls of Enforced Democracy and Globalization,
New York: Routledge, 2005
Straus, Scoot dan Lars Waldorf, Remaking Rwanda: State Building and Human
Rights after Mass Violence, London: University of Wisconsin Press, 2011
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2000
Alou, Abioudun, Natural Resources and Conflict in Africa : The Tragedy of
Endowment, New York: University of Rochester Press, 2007
Stearns, Jason K, Dancing in the Glory of Monster: The Collapse of the Congo
and Great War of Africa, Public Affairs Press, 2012
Lansford, Tom (ed.), Political Handbook of the World 2014,New York: SAGE
Publishing,2014
Cooper, Tom, Great Lake Conflagration: Second Congo War 1998-2003, West
Midland:Helion and Company Limited,2013
Schmidt, Elizabeth, Foreign Intervention in Africa: From the Cold War to the War
on Terror. New York: Cambridge University Press, 2013
Jurnal, Paper dan Laporan
Bigagaza, Jean, Carolyn Abong dan Cecile Mukarubuga, Land Scarcity,
Distribution and Conflict in Rwanda, Pretoria: Institute for Security Studies,
2002,
123
Boudreaux, Karol C. dan Puja Ahluwalia, Cautiously Optimistic: Economic
Liberalization and Reconciliation in Rwanda Coffee‘s Sector, World Bank,
2010
Willum, Bjorn, Foreign Aid to Rwanda: Totally Beneficial or Contributing to
War, University of Copenhagen, 2001
Fieldstad, Hanne Katherine , Rwanda in the DRC: Keeping the Pot Boiling,
Mastes diss., Oslo University, 2010
Williams, Christopher, Explaining Great War in Africa:How Conflict in Congo
become Continental Crisis, The Fletcher Forum of World Affairs Vol. 37
Issue 2, 2013
Celine Moyroud and John Katunga,Coltan Exploration in Republic Democratic of
Congo ,Pretoria: Institute for Security Studies, 2002
Samset, Ingrid, Conflict of Interest or Interest in Conflict: Diamonds and War in
the DRC, Review of African Political Economy, ROAPE Publishing, 2001
Billon, Phillipe L., The Geopolitics of Resource Wars: Resource Dependence,
Governance and Violence, London: Frank Cass Publisher, 2007
Veerwimp, Philip, The 1990-1992 Massacres in Rwanda: A Case of Spatial and
Social Engineering, University of Sussex,2011
________, Assessing USAID‘S Investments in Rwanda‘s Coffee Sector-Best
Practices and Lessons Learned to Consolidate Results and Expand
Impact, USAID,2006
________, Scramble for the Congo: Anatomy of Ugly War, Brussels:
International Crisis Group, 2001
Columbus, Frank A. (ed.), Politics and Economies in Africa: Volume 1,New
York:Nova Publisher, 2001
Bizimana, Ladislas, Conflict in African Great Lake Region: A Critical Analysis
of Regional and International Involvement, ( University of Deusto, Bilbao), 1995
______, Coltan, Congo and Conflict, Polinares Case Study: Hague, 2013
Tshishlmbi , Bilenga dan Peter Glick, Economic Crisis and Adjustment in Zaire,
1993, Cornell: Cornell University
Willame (ed.), Zaire: Predicament and Prospects, Washington: United States
Institute of Peace, 1999
124
Raeymaekers, Timothy, The Power of Protection Governance and Transborder
Trade on the Congo-Ugandan Frontier,Doctor thesis, Ghent University,
2007
Curtis, Marcus, Raison d‘État Unleashed: Understanding Rwanda‘s Foreign
Policy in the Democratic Republic of the Congo, Center for Contemporary
Conflict, 2005
Eriksen, Stein Sundstøl, The Congo war and the Rwanda and Uganda compared
prospects of state formation, Oslo: Norwegian Institute of International
Affairs, 2005
Pottier, Johan, Everybody needs good neighbours: understanding the conflict(s) in
Eastern DRC, Lisboa: Centro de Estudos Africanos do ISCTE, 2002
Jones, Will, Africa‘s Illiberal State-builders, Oxford: Refugee Studies Centre,
2013
Booth, David, Developmental patrimonialism? :The case of Rwanda,London:
Africa Power and Politics Programme
Naidoo (ed.), The War Economy in the Democratic Republic of Congo, Institute
for Global Dialogue, 2002
Hartung, William D.,Deadly Legacy: U.S. Arms to Africa & the Congo War, NY,
World Policy Inst. Jan. 2000
Kris Berwots, Cracks in the mirror as Rwanda prepares for 2010 elections,
European Network of Central Africa
________, The War Within The War:Sexual Violence Against Women and Girls in
Eastern Congo,New York:Human Right Watch
Tull, Dennis M. , The Reconfiguration of Political Order in Africa: Case Study
North Kivu, Hamburg: Institute of African Affair, 2005
Taka, Miho, Conflict Coltan: Local and International Dynamics in the
Democratic Republic of Congo, Conventry University, 2008
Say, Laura E., What‘s Wrong with Dodd-Frank 1502? Conflict Minerals, Civilian
Livelihoods, and the Unintended Consequences of Western Advocacy, Washington
DC, Center for Global Development, 2012
125
Lampiran I
Daftar Nama-Nama Orang yang Dianggap Diuntungkan secara Ekonomi dalam
Perang Kongo Kedua, untuk Diberikan Larangan Transaksi Keuangan ( Financial
Restriction ) dan Larangan Perjalanan ( Travel Ban ), dalam laporan Panel PBB
dengan nomor seri (S/PRST/2001/39)
126
127