perang bubat

Upload: msholeh03

Post on 17-Jul-2015

191 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Perang BubatPerang Bubat

Tanggal Lokasi

Hasil Casus belli

abad ke-14 M Bubat, Majapahit, (sekarang berada di Provinsi Jawa Timur, Indonesia) kemenangan Majapahit Perselisihan antara Gajah Mada dan Linggabuana

Pihak yang terlibat Kerajaan Majapahit Kerajaan Sunda Komandan Gajah Mada Maharaja Hayam Wuruk Linggabuana Kekuatan besar kecil Jumlah korban besar, termasuk tak diketahui Linggabuana dan Dyah Pitaloka

Perang Bubat adalah perang yang terjadi pada tahun 1279 Saka atau 1357 M pada abad ke-14, yaitu di masa pemerintahan raja Majapahit Hayam Wuruk. Perang terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat, yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Sunda. Sumber-sumber rujukan tertua mengenai adanya perang ini terutama adalah Serat Pararaton serta Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.

Rencana pernikahanPeristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.[rujukan?] Menurut catatan sejarah Pajajaran oleh Saleh Danasasmita serta Naskah Perang Bubat oleh Yoseph Iskandar, niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II

sarga 3.[rujukan?] Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran. Meskipun demikian, catatan sejarah Pajajaran tersebut dianggap lemah kebenarannya, terutama karena nama Dyah Lembu Tal adalah nama laki-laki.[rujukan?] Alasan umum yang dapat diterima adalah Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda.[1] Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu,[rujukan?] tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan[rujukan?] bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara. Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Kesalah-pahamanRaja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. Menurut Kidung Sundayana,[rujukan?] timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai. Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak[rujukan?] Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang[rujukan?] atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Gugurnya rombongan SundaKemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula. Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk

mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda. Raja Sunda beserta segenap pejabat kerajaan Sunda dapat didatangkan di Majapahit dan binasa di lapangan Bubat.[2] Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya.[3] Tindakan ini mungkin diikuti oleh segenap perempuan-perempuan Sunda yang masih tersisa, baik bangsawan ataupun abdi. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatriya, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

Akibat Perang BubatTradisi menyebutkan bahwa Hayam Wuruk meratapi kematian Dyah Pitaloka. Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (darmadyaksa) dari Bali - yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda) agar diambil hikmahnya. Raja Hayam Wuruk kemudian menikahi sepupunya sendiri, Paduka Sori. Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Ia dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri. Peristiwa yang penuh kemalangan ini pun menandai mulai turunnya karier Gajah Mada, karena kemudian Hayam Wuruk menganugerahinya tanah perdikan di Madakaripura (kini Probolinggo). Meskipun tindakan ini nampak sebagai penganugerahan, tindakan ini dapat ditafsirkan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada mulai mempertimbangkan untuk pensiun, karena tanah ini letaknya jauh dari ibu kota Majapahit sehingga Gajah Mada mulai mengundurkan diri dari politik kenegaraan istana Majapahit. Meskipun demikian, menurut Negarakertagama Gajah Mada masih disebutkan nama dan jabatannya, sehingga ditafsirkan Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai akhir hayatnya (1364). Tragedi ini merusak hubungan kenegaraan antar kedua negara dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian, hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.[1] Pangeran Niskalawastu Kancana adik Putri Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu

Niskalawastu Kancana. Kebijakannya antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa. Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki "Prabu Wangi" (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi. Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama "Gajah Mada" atau "Majapahit". Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini. Hal yang menarik antara lain, meskipun Bali sering kali dianggap sebagai pewaris kebudayaan Majapahit, masyarakat Bali sepertinya cenderung berpihak kepada kerajaan Sunda dalam hal ini, seperti terbukti dalam naskah Bali Kidung Sunda. Penghormatan dan kekaguman pihak Bali atas tindakan keluarga kerajaan Sunda yang dengan gagah berani menghadapi kematian, sangat mungkin karena kesesuaiannya dengan ajaran Hindu mengenai tata perilaku dan nilai-nilai kehormatan kasta ksatriya, bahwa kematian yang utama dan sempurna bagi seorang ksatriya adalah di ujung pedang di tengah medan laga. Nilai-nilai kepahlawanan dan keberanian ini mendapatkan sandingannya dalam kebudayaan Bali, yakni tradisi puputan, pertempuran hingga mati yang dilakukan kaum prianya, disusul ritual bunuh diri yang dilakukan kaum wanitanya. Mereka memilih mati mulia daripada menyerah, tetap hidup, tetapi menanggung malu, kehinaan dan kekalahan.

Referensi1. ^ a b Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. 279. ISBN 9814155675. 2. ^ Drs. R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed.. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 72. 3. ^ Y. Achadiati S, Soeroso M.P., (1988). Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Majapahit.. Jakarta: PT Gita Karya. hlm. 13.

Kerajaan SundaKerajaan Sunda9321579

Wilayah Kerajaan Sunda

Ibu kota Bahasa Agama Pemerintahan Sejarah - Didirikan - Dibubarkan Mata uang

Banten Girang kemudian pindah ke pedalaman (Pakuan Pajajaran) Bahasa Sunda, Bahasa Jawa, Bahasa Melayu Hindu, Buddha, Sunda Wiwitan Monarki 932 1579 Mata uang emas dan perak

Gunung Pulosari, tempat kramat kerajaan Sunda

Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat sekarang).

Daftar isi

1 Etimologi 2 Wilayah kekuasaan 3 Historiografi o 3.1 Catatan sejarah dari Cina o 3.2 Catatan sejarah dari Eropa o 3.3 Berdiriya kerajaan Sunda o 3.4 Federasi antara Sunda dan Galuh 4 Arkeologi 5 Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh 6 Hubungan dengan kerajaan lain o 6.1 Singasari o 6.2 Eropa 7 Catatan kaki 8 Rujukan

EtimologiSampai abad ke-16, toponim (nama tempat) "Sunda" menunjuk kepada daerah pesisir bagian barat pulau Jawa, lebih tepatnya di daerah Banten. Di awal abad ke-13, penulis Zhao Rugua dari Tiongkok menamakan "Sin-t'o" suatu kota dan daerah sekitarnya yang menghasilkan lada. Karena pada masa itu yang menghasilkan lada hanya daerah Banten, maka kini semua pakar sejarah sepakat bahwa "Sunda" tersebut itu Banten. Di sekitar tahun 1500, Shungfeng xiangsong, sebuah buku perjalanan dari Tiongkok, memakai kedua nama "Wan-tan" dan "Shun-t'a" untuk kota Banten. Di masa yang sama dua penulis Arab, Ibn Majid dan Sulaiman, menamakan "Sunda" pelabuhan yang letaknya paling barat di pantai utara pulau Jawa, yang hanya dapat mengacu ke Banten. Peta Portugis yang paling lama mengenai kawasan ini menyebut "Sunda" daerah muara sungai yang letaknya di bagian barat pantai utara Jawa. Naskah Portugis paling sering menamakan "Sunda", kadang-kadang "Bantam" bahkan "Sunda-Bantam", kota Banten sekarang. Diperkirakan adalah orang Portugis yang pertama menimbulkan kerancuan dengan menamakan "Sunda" keseluruhan Jawa Barat[1]. Namun di akhir abad ke-16 orang Belanda meluruskan kerancuan ini. Setelah dalam perjalanan pertamanya ke Nusantara mendapat keterangan lebih banyak tentang Banten, mereka menulis bahwa "Sunda adalah pelabuhan Banten dengan bagian pulau Jawa yang paling di barat di mana lada tumbuh". Gambar ini sama dengan apa yang ditulis Zhao Rugua hampir 400 tahun sebelumnya.

Prasasti Kebonkopi II, yang ditemukan dekat Bogor dan ditulis dalam bahasa Melayu, mencatat bahwa tahun 932, seorang "raja Sunda" menduduki kembali tahtanya. Penggunaan bahasa Melayu ini menunjukkan pengaruh kerajaan Sriwijaya. Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 952 saka (1030 M), pusat kerajaan Sunda di bawah Maharaja Jayabupati, dinyatakan terletak di sekitar Cicatih dekat Cibadak, di pedalaman Jawa Barat, bukan di pesisir lagi. Menurut naskah Wangsakerta, naskah yang diragukan keasliannya, Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Saka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke16 ini, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Namun naskah ini diragukan sebagai sumber sejarah.

Wilayah kekuasaanBerdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.

Historiografi

Padro Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta.

Rujukan awal nama Sunda sebagai sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II tahun 458 Saka (536 Masehi)[rujukan?]. Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya sebagai berikut: Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun 458 Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja Sunda. Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti tersebut harus dibaca sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin Kerajaan Sunda telah ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ). Rujukan lainnya kerajaan Sunda adalah Prasasti Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Kawi. Sekarang keempat prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta, dengan kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte): Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan Kartika pada hari 12 pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, hari pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramattunggadewa, membuat tanda pada bagian timur Sanghiyang Tapak ini. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang menangkap ikan, di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai perbatasan Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini dibuat, ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua. Tanggal prasasti Jayabupati diperkirakan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952-964) saka (1030 - 1042AD).Catatan sejarah dari Cina

Menurut F. Hirt dan WW Rockhill, ada sumber Cina tertentu mengenai Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan dengan negara-negara asing, Zhao Rugua mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar mengunjungi negaranegara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di "Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa: "Orang-oarang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang (rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat

dengan rotan. Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman." Buku perjalanan Cina Shunfeng xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan : "Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa, mereka kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon."Catatan sejarah dari Eropa

Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu penjelajah itu adalah Tom Pires dari Portugal. Dalam bukunya Suma Oriental (1513 - 1515) ia menulis bahwa: "Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya." Tulisan ini yang membawa kerancuan, dengan menyatakan bahwa kerajaan Sunda meliputi "sepertiga dari pulau Jawa", sedangkan pada masa Pires Sunda masih mengacu ke pelabuhan yang sekarang namanya Banten.Berdiriya kerajaan Sunda

Menurut Naskah Wangsakerta dari Cirebon, sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669 M), menikah dengan Dwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Dwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).

Federasi antara Sunda dan Galuh

Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan. Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora. Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Dwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda. Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Dwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795). Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891. Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan

Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964). Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Dwasanghyang (1012-1019). Dari Dwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042). Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (11561175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda. Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (13031311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadwata (1311-1333). Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawissa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawissa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).

Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Ged, Kawali, Ciamis.

Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Dwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh (1475-1482). Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja. Sapeninggal Jayadwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawissa (1521-1535), kemudian Prabu Dwatabuanawissa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.

ArkeologiDi Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca Caringin" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10. Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan di abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.

Raja-raja Kerajaan Sunda-GaluhDi bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723) Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732) Tamperan Barmawijaya (732 - 739) Rakeyan Banga (739 - 766) Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783) Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795) Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819) Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891) Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)

10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.

Windusakti Prabu Dwageng (895 - 913) Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916) Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942) Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954) Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964) Munding Ganawirya (964 - 973) Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989) Brajawissa (989 - 1012) Dwa Sanghyang (1012 - 1019) Sanghyang Ageng (1019 - 1030) Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042) Darmaraja (Sang Moktng Winduraja, 1042 - 1065) Langlangbumi (Sang Moktng Kerta, 1065 - 1155) Rakeyan Jayagiri Prabu Mnakluhur (1155 - 1157) Darmakusuma (Sang Moktng Winduraja, 1157 - 1175) Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297) Ragasuci (Sang Moktng Taman, 1297 - 1303) Citraganda (Sang Moktng Tanjung, 1303 - 1311) Prabu Linggadwata (1311-1333) Prabu Ajiguna Linggawissa (1333-1340) Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350) Prabu Maharaja Linggabuanawissa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357) Prabu Bunisora (1357-1371) Prabu Niskalawastukancana (1371-1475) Prabu Susuktunggal (1475-1482) Jayadwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521) Prabu Surawissa (1521-1535) Prabu Dwatabuanawissa (1535-1543) Prabu Sakti (1543-1551) Prabu Nilakndra (1551-1567) Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)

Hubungan dengan kerajaan lainSingasari

Dalam Nagarakretagama, disebutkan bahwa setelah Kertanagara menaklukkan Bali (1206 Saka), kerajaan-kerajaan lain turut bertekuk lutut, tidak terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di kemudian hari, kerajaan Majapahit sebagai penerus yang kekuasaannya lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga nama Sunda harus termuat dalam sumpahnya Gajah Mada.Eropa

Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda bahkan pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang

membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon [2](yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).

Catatan kaki1. ^ Claude Guillot et al., 1995, halaman 16 2. ^ The Sunda Kingdoms of West Java: From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor. Yayasan Cipta Loka Caraka. 28 Februari 2007.

Rujukan

Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Mashi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung. Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta. Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979419-329-1 Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, "La principaut de Banten Girang" ("Kerajaan Banten Girang"), Archipel, Tahun 1995, Volume 50, No. 50, halaman 13-24 Yosph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.