fotografi forensik

Upload: carlos-johnson

Post on 01-Mar-2016

138 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

fotografi

TRANSCRIPT

REFERATFotografi ForensikDosen Penguji :

dr. Sigid Kirana Lintang Bhima, Sp. KF

Residen Pembimbing :

dr. Stephanus Rumancaydr. Wian Pisia Anggreliana

Disusun Oleh :

Gasha Arya (FK UKI)

Lissa Maria (FK UKI)

Raymond Andika (FK UKRIDA)

Riana Angelina (FK UKRIDA)

Windi Pranata (FK ABDURRAB)

T. Nona Rahmayani (FK ABDURRAB)

Kepaniteraan Ilmu Kedokteran ForensikFakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Semarang, 15 Juni 11 Juli 2015KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami sangat bersyukur dan mengucapkan banyak terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kami telah dapat membuat referat Fotografi Forensik pada kesempatan kali ini. Tiada hal yang mustahil bagi Tuhan dan kami sangat percaya bahwa kami dapat membuat referat ini dengan baik dan berguna.

Tujuan kami membuat referat ini adalah untuk memenuhi tugas dalam kaitannya dengan kepaniteraan ilmu kedokteran forensik.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua orang dan pihak yang telah membantu membuat referat Fotografi Forensik ini, termasuk kepada anggota kelompok meliputi dokter-dokter muda dari UKRIDA, UKI, dan ABDURRAB yang telah bekerja sama dalam berdiskusi dengan sebaik baiknya. Tak lupa kepada dosen penguji kami dr. Sigid Kirana Lintang Bhima, Sp. KF serta residen pembimbing kami dr. Wian Pisia Anggreliane dan dr. Stephanus Rumancay yang telah membantu dan membimbing kami dalam pembuatan referat ini.

Manfaat dari referat Fotografi Forensik ini adalah untuk menganalisis dan menerapkan fotografi yang dapat diaplikasikan dalam ilmu kedokteran forensik. Kami berharap bahwa referat ini dapat berguna bagi para pembaca.

Tiada Gading yang Tak Retak, begitulah bunyi peribahasa yang berarti tak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini. Jadi jika ada kekurangan maupun kesalahan kami dalam membuat referat ini, maka dapat harap dimaklumi. Untuk itu kami mengundang para pembaca untuk dapat memberi kritik dan saran tentang referat ini agar untuk yang selanjutnya dapat menjadi yang lebih baik.

Jakarta, Juni 2015

PenulisDaftar Isi

Kata Pengantar .i

Daftar Isi .ii

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang ...1

I.2 Tujuan 2

I.3 Manfaat Penulisan .2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Fotografi .3

II.2 Sejarah Kamera 3

II.3 Basic Kamera 6

II.3.1 Jenis Kamera 6

II.3.2 Lensa ....6

II.3.3 Aparture ...9

II.3.4 Shutter Speed 10

II.3.5 Sensitivitas Media Sensor/ISO/ASA ...12

II.4 Definisi Fotografi Forensik ..14

II.5 Peralatan Fotografi Forensik 15

II.5.1 Kamera 15

II.5.2 Format Film 15

II.5.3 Lensa ..15

II.6 Teknik Pemotretan Fotografi Forensik 16

II.6.1 Ketajaman Gambar .16

II.6.2 Komposisi Gambar ..17

II.6.3 Eksposure 19

II.6.4 Warna 20

II.6.5 Pencahayaan 21

II.7 Klasifikasi Fotografi Forensik 24

II.7.1 Fotografi Tempat Kejadian Perkara 24

II.7.2 Fotografi Forensik Teknik 29

II.7.2.1 Pemeriksaan Noda Darah 29

II.7.3 Fotografi Autopsi 31

BAB III PENUTUP

III.1 Kesimpulan 33

III.2 Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 34BAB IPENDAHULUAN

1.1Latar BelakangSetiap disiplin ilmu -apapun itu- ataupun suatu kegiatan yang memiliki dasar ilmu pengetahuan yang diakui dan dapat dipertanggung jawabkan, dapat digunkan kepentingan keilmuannya dalam suatu upaya penegakan hukum. Dunia forensik begitu kaya dengan berbagai macam disiplin ilmu yang berlomba untuk membangun eksistensi, mengerahkan setiap kemampuan dan mengaplikasikan keilmuannya demi tegaknya supermasi hukum. Diluar ilmu patologi forensik, dikenal beberapa disiplin ilmu yang seringkali dimanfaatkan keilmuannya untuk kepentingan hukum, diantaranya; Kriminalistik, Forensik digital, Forensik komputer, Antropologi forensik, dan Arkeologi forensik, Geologi forensik, Meteorologi forensik, dan lain sebagainya. Secara umum, bentuk aplikasi semua disiplin ilmu ini disebut Forensic science yang lahir untuk menjawab setiap pertanyaan yang berkaitan dengan hukum.1Salah satu proses yang paling sering dilakukan dalam setiap upaya penyelenggaraan pemeriksaan forensik adalah proses dokumentasi. Fotografi adalah salah satu media yang memiliki andil cukup besar dalam proses ini. 1Sejak awal, fotografi telah menjadi daya tarik tersendiri bagi para ilmuwan dan seniman. Ilmuwan telah menggunakan fotografi untuk merekam dan mempelajari suatu mekanisme gerak, seperti penelitian Eadweard Muybridge terhadap mekanisme gerak hewan dan manusia pada tahun 1887. Para seniman pun memiliki ketertarikan yang sama terhadap aspek-aspek fotografi. Tidak hanya itu, mereka juga mencoba untuk mengeksplorasi lebih dalam umtuk menghasilkan karya yang tidak sekedar sebagai suatu bentuk representasi realita melalu foto hasil proses mekanik, seperti yang dilakukan para seniman foto berpaham pictorialism, yang terkenal dengan idenya untuk memadukan seni lukis dan seni etsa melalui seni fotografi. Militer, polisi, dan petugas keamanan menggunakan fotografi sebagai alat pengawas, alat pendeteksi dan sebagai tempat penyimpanan data. Fotografi juga digunakan untuk menyajikan gambaran kenangan akan suatu masa, untuk menangkap kejadian-kejadian khusus, menceritakan suatu kejadian, mengirim pesan, atau sebagai sekedar alat hiburan. 11.2Tujuan

1.2.1Tujuan Umum

Untuk mengetahui fotografi dalam kaitannya dengan ilmu kedokteran forensik1.2.2Tujuan Khusus1. Diketahuinya definisi fotografi dan sejarah kamera2. Diketahuinya basic kamera

3. Diketahuinya definisi fotografi forensik4. Diketahuinya peralatan fotografi forensik

5. Diketahuinya teknik pemotretan fotografi forensik

6. Diketahuinya klasifikasi fotografi forensik1.3Manfaat Penulisan

1. Mengetahui ilmu kedokteran forensik yang berkaitan dengan fotografi forensik

2. Mengetahui penerapan fotografi forensik khususnya pada suatu kejadian3. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam fotografi forensikBAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1Definisi Fotografi

Fotografi [f'tgrfi] adalah suatu proses seni merekam gambar, berupa proses penangkapan cahaya pada suatu media yang sensitif cahaya, seperti film atau sensor elektronik. Pola-pola cahaya yang dikeluarkan dan dipantulkan dari obyek, akan diteruskan ke suatu media elektronik atau media kimia berbahan dasar silver halide yang terdapat di dalam suatu alat yang disebut kamera selama waktu eksposur melalui lensa fotografi, termasuk di dalamnya proses penyimpanan dari hasil informasi yang ditangkap, secara elektronik maupun kimiawi. 1-2Kata photography berasal dari tulisan perancis photographie yang didasari oleh bahasa yunani, yaitu (phos) yang berarti cahaya dan (graphis) yang artinya coretan atau gambar. Maka fotografi, dapat diartikan suatu proses menggambar dengan cahaya. 1-22.2Sejarah Kamera3Kamera berasal dari istilah qamara (bahasa arab). Camera obscura pertama kali dibuat oleh ilmuan muslim bernama Abu Muhammad Ibn Al Hasan Ibn Al Haytham atau Ibnu Haitam, yang lahir di Basra, Irak (965 - 1039 M). Ibnu haitam juga merupakan orang pertama yang menggambarkan seluruh detil bagian indra penglihatan manusia dan pencetus teori lensa pembesar.

Gambar 1. Kamera pertama kali dari Ibnu HaitamPada abad ke 16 Girolamo Cardano melengkapi kamera obscura dengan lensa pada bagian depan namun bayangan yang dihasilkan ternyata tidak tahan lama.

Gambar 2. Kamera obscuraPada tahun 1727 Johann Scultze dalam penelitiannya menemukan bahwa garam perak sangat peka terhadap cahaya kemudian Pada tahun 1826, Joseph Nicepore Niepce mempublikasikan gambar dari bayangan yang dihasilkan kameranya, yang berupa gambaran kabur atap-atap rumah pada sebuah lempengan campuran timah yang dipekakan yang kemudian dikenal sebagai foto pertama.

Gambar 3. Kamera dari Johann Scltze

Kemudian, pada tahun 1839, Louis Daguerre mempublikasikan temuannya berupa gambar yang dihasilkan dari bayangan sebuah jalan di Paris pada sebuah pelat tembaga berlapis perak dan pada tahun 1829 dengan Niepce mengembangkan kamera yang dikenal sebagai kamera daguerreotype yang dianggap praktis dalam dunia fotografi. Kamera daguerreotype kemudian berkembang menjadi kamera yang dikembangkan sekarang.

Gambar 4. Kamera dati Louis Daguerre

Fotografi digital benar-benar bisa memberikan kepraktisan dan kemudahan bagi setiap orang untuk membuat sebuah foto yang baik. Dengan perkembangan teknologi yang pesat, dan beragam fitur untuk membuat foto yang bagus, muncul sebuah ungkapan bahwa setiap orang bisa menjadi fotografer profesional.

Pada tahun 1960 Eugene F. Lally, seorang teknisi dari Jet Propulsion Laboratory NASA adalah orang pertama yang mencetuskan ide untuk mendigitalisasi sebuah foto. Pada tahun 1970an, dunia jurnalistik turut mempengaruhi kemunculan kamera digital. Saat itu, terdapat sebuah tuntutan untuk menghadirkan foto dari suatu peristiwa yang terjadi, secepat mungkin. Maka digunakanlah media pemindai foto (scanner). Namun, cara ini juga masih dianggap merepotkan, karena terjadi penurunan kualitas gambar yang cukup signifikan dan proses pengiriman foto pun masih memerlukan waktu yang relatif lama.

Pada Desember tahun 1975, seorang teknisi dari perusahaan Kodak yang bernama Steven Sasson, menjadi orang pertama yang menemukan Kamera Digital.

Gambar 5. Kamera digital pertama2.3Basic Kamera

2.3.1Jenis KameraKamera memiliki beberapa jenis seperti: 41. View finder kamera

2. View kamera

3. Twin lens camera (Box)

4. S.L.R / Single Lens Reflex

5. Instamatic camera

6. Polaroid kamera

7. Kamera digital

2.3.2LensaLensa adalah alat yang terdiri dari beberapa cermin yang berfungsi mengubah benda menjadi bayangan, terbalik dan nyata. Lensa terletak di depan kamera. Ada beberpa jenis lensa. Lensa normal, lensa lebar (wide) dan lensa panjang atau biasa disebut dengan lensa tele. Lensa normal berukuran fokus sepanjang 50 mm atau 55 mm untuk film berukuran 35 mm. Sudut pandang lensa hamper sama dengan sudut pandang mata manusia.

Gambar 6. Lensa standarSelain lensa lebar, ada juga lensa tele. Lensa lebar bisanya mempunyai lebar fokusnya 16-24mm. Lensa ini cocok untuk mengambil gambar pemandangan.

Gambar 7. Lensa sudut lebarLensa tele adalah lensa yang memiliki focal length panjang. Lensa ini dapat digunakan untuk memperoleh ruang tajam yang pendek dan dapat menghasikan prespektif wajah yang mendekati aslinya. Lensa ini biasanya berukuran 85mm, 135mm dan 200mm.

Gambar 8. Lensa teleBisanya fotografer menggunakan lensa sesuai dengan kebutuhannya. Bila ingin memotret benda atau objek yang dekat, atau memotret pemandangan, biasanya mereka menggunakan lensa normal atau lensa dengan sudut lebar. Namun bila fotografer ingin mengabadikan sebuah moment tertentu dengan jarak yang jauh, biasanya mereka menggunakan lensa tele. Dengan demikian, mereka tak perlu repot untuk membidik objek, dan kerja mereka akan semakin mudah. Lensa Zoom merupakan gabungan dari ketiga lensa diatas. Beberapa ukuran lensa zoom adalah 35-70mm, 80-200mm,137-200mm serta 70-300mm.

Gambar 9. Lensa zoomSelain lensa normal dan lensa tele, ada juga jenis lensa lainnya yang biasa disebut dengan lensa variasi atau lensa special (special lense). Biasanya lensa ini digunakan untuk keperluan tertentu. Contohnya fish eye lens (lensa mata ikan 180 derajat). Memotret dengan lensa ini fotografer akan memperoleh hasil yang unik. Namun, lensa ini tidak berfungsi untuk menyaring sesuatu kecuali mengubah pandangan guna mencapai hasil yang menyimpang dari pemotretan biasa.

Bila fotografer ingin mengambil objek dengan ukuran kecil atau pemotretan berjarak dekat (mendekatkan pemotret ke objek), umumnya lensa yang dipakai adalah lensa makro. Lensa ini biasa digunakan untuk memotret benda - benda yang kecil seperti perhiasan, berlian, serangga, bunga dan sebagainya. Jenis ukuran lensa makro tidak sama pada setiap merk kamera, ada yang 55mm, 60mm. Lensa ini biasanya juga dipakai untuk keperluan reproduksi karena dapat memberikan kualitas prima dan distorsi minimal. 4

Gambar 10. Lensa macro2.3.3Aperture Aperture adalah ukuran seberapa besar lensa terbuka (bukaan lensa) saat kita mengambil foto.

Gambar 11. ApetureSaat kita memencet tombol shutter, lubang di depan sensor kamera kita akan membuka, setting aperture-lah yang menentukan seberapa besar lubang ini terbuka. Semakin besar lubang terbuka, makin banyak jumlah cahaya yang akan masuk terbaca oleh sensor.

Aperture atau bukaan dinyatakan dalam satuan f-stop. Sering kita membaca istilah bukaan/aperture 5.6, dalam bahasa fotografi yang lebih resmi bisa dinyatakan sebagai f/5.6.

Seperti diungkap diatas, fungsi utama aperture adalah sebagai pengendali seberapa besar lubang didepan sensor terbuka. Semakin kecil angka f-stop berarti semakin besar lubang ini terbuka (dan semakin banyak volume cahaya yang masuk) serta sebaliknya, semakin besar angka f-stop semakin kecil lubang terbuka. 4

Semakin tinggi f-number = aperture mengecil = cahaya yang masuk sedikit.

Semakin rendah f-number = aperture membesar = cahaya banyak yang masuk.

Gambar 11. Gambar bukaan/apeture

2.3.4Shutter Speed Secara definisi, shutter speed adalah rentang waktu saat shutter di kamera terbuka. Secara lebih mudah, shutter speed berarti waktu dimana sensor kita melihat subyek yang akan kita foto. Gampangnya shutter speed adalah waktu antara kita memencet tombol shutter di kamera sampai tombol ini kembali ke posisi semula. Konsep ini dalam beberapa penggunaan di kamera: Setting shutter speed sebesar 500 dalam kamera berarti rentang waktu sebanyak 1/500 (seperlimaratus) detik. Sementara untuk waktu eksposur sebanyak 30 detik, akan terlihat tulisan seperti ini: 30 Setting shutter speed di kamera biasanya dalam kelipatan 2, jadi akan terlihat deretan seperti ini: 1/500, 1/250, 1/125, 1/60, 1/30 dst. Kini hampir semua kamera juga mengijinkan setting 1/3 stop, jadi kurang lebih pergerakan shutter speed yang lebih rapat; 1/500, 1/400, 1/320, 1/250, 1/200, 1/160 dan seterusnya. Untuk menghasilkan foto yang tajam, gunakan shutter speed yang aman. Aturan aman dalam kebanyakan kondisi adalah setting shutter speed 1/60 atau lebih cepat, sehingga foto yang dihasilkan akan tajam dan aman dari hasil foto yang berbayang (blur/ tidak fokus). Kita bisa mengakali batas aman ini dengan tripod atau menggunakan fitur Image Stabilization. Batas shutter speed yang aman lainnya adalah: shutter speed kita harus lebih besar dari panjang lensa kita. Jadi kalau kita memakai lensa 50mm, gunakan shutter minimal 1/60 detik. Jika kita memakai lensa 17mm, gunakan shutter speed 1/30 detik. Shutter speed untuk membekukan gerakan. Gunakan shutter speed setinggi mungkin yang bisa dicapai untuk membekukan gerakan. Semakin cepat obyek bergerak yang ingin kita bekukan dalam foto, akan semakin cepat shutter 100. Speed yang dibutuhkan. Untuk membekukan gerakan burung yang terbang misalnya, gunakan mode Shutter Priority dan set shutter speed di angka 1/1000 detik (idealnya ISO diset ke opsi auto) supaya hasilnya tajam. Kalau anda perhatikan, fotografer olahraga sangat mengidolakan mode S/Tv ini. Blur yang disengaja shutter speed untuk menunjukkan efek gerakan. Ketika memotret benda bergerak, kita bisa secara sengaja melambatkan shutter speed kita untuk menunjukkan efek pergerakan. Pastikan untuk mengikutkan minimal satu obyek diam sebagai jangkar foto tersebut. 42.3.5Sensitivitas media sensor/ISO/ASA

Dalam fotografi tradisional atau film ISO atau ASA bisa diartikan sebagai seberapa sensitif-kah sebuah film terhadap cahaya. Parameter ISO diukur dengan menggunakan angka, mungkin Anda pernah melihat pada film tertera angka 100, 200, 400, 800, dan lain-lain. Semakin rendah angka atau jumlah ISO yang tertera berarti semakin rendah juga sensitifitas film dan lebih halus juga grain atau noise yang dihasilkan oleh film tersebut.

Gambar 12. Perbedaan ISODalam fotografi digital sekarang ini ISO mengukur sensitifitas dari sensor kamera. Prinsip yang digunakan sama dengan apa yang berlaku pada fotografi film, semakin rendah angka ISO maka semakin rendah juga tingkat ke-sensitifan kamera terhadap cahaya, dan semakin sedikit grain atau noise yang dihasilkan. Pengaturan ISO tinggi biasanya digunakan untuk mendapatkan kecepatan rana yang cepat pada kondisi ruangan yang kekurangan cahaya atau gelap, contoh: pada event olah raga indoor dan Anda ingin membekukan gerakan aksi para atlet, dan konsekuensinya adalah hasil jepretan yang memiliki noise. Dibawah ini merupakan ilustrasi dari hasil pemotretan dengan menggunakan ISO 50, 100, 200 dan 400.

ISO 100 pada umumnya diterima sebagai ukuran ISO yang normal dan akan memberikan hasil yang memuaskan, sedikit noise atau grain. Kebanyakan orang lebih memilih untuk mengatur ISO pada kamera mereka dengan 'Auto Mode', dimana kamera akan menentukan pengaturan ISO yang tepat berdasarkan kondisi pada saat pemotretan (setting secara otomatis serendah yang kamera bisa) tetapi kebanyakan kamera juga memfasilitasi untuk menentukan pengaturan ISO Anda sendiri.

Apabila ingin memiliki kendali penuh terhadap kamera, dan lebih memilih pengaturan ISO secara manual, Anda akan menjumpai bahwa itu akan berpengaruh terhadap aperture serta shutter speed, dan pengaturan ketiga-nya harus diselaraskan untuk mendapatkan exposure yang tepat. Sebagai contoh, jika Anda berniat meninggikan ISO dari 100 ke 400 maka Anda akan mendapatkan shutter-speed yang lebih atau aperture yang lebih kecil.

Beberapa pertimbangan dalam menentukan ISO :

Cahaya - Apakah subyek foto cukup cahaya?

Grain - Apakah Anda memang menginginkan foto dengan sedikit grain atau foto rendah noise?

Tripod - Apakah Anda sedang menggunakan tripod?

Subyek gerak - Apakah subyek foto Anda bergerak atau diam?

Jika ternyata subyek foto cukup cahaya, ingin sedikit noise, menggunakan tripod, dan subyek dalam keaadaan diam, direkomendasikan untuk menggunakan pengaturan ISO rendah. Jika lingkungan dalam kondisi kurang cahaya, dan memang menginginkan nuansa noise/grain, tidak menggunakan tripod, atau subyek foto bergerak, mungkin sebaiknya mempertimbangkan untuk meninggikan ISO yang berdampak pada kecepatan shutter yang lebih tetapi masih terexpose dengan baik. Konsekuensi dari meninggikan ISO ini tentu adalah hasil foto Anda akan lebih grain/noise.

ISO merupakan aspek penting dalam fotografi digital dan untuk lebih memahaminya, Anda harus menguasai bagaimana melakukan pengaturannya pada kamera Anda. Lakukan percobaan atau eksperimen dengan memotret menggunakan pengaturan ISO yang berbeda, lihat bagaimana dampaknya terhadap foto-foto Anda. 42.4Definisi fotografi forensik

Fotografi forensik sering juga disebut forensic imaging atau crime scene photography adalah suatu proses seni menghasilkan bentuk reproduksi dari tempat kejadian perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat untuk kepentingan penyelidikan hingga pengadilan. Fotografi forensik juga termasuk ke dalam bagian dari upaya pengumpulan barang bukti seperti tubuh manusia, tempat-tempat dan setiap benda yang terkait suatu kejahatan dalam bentuk foto yang dapat digunakan oleh penyelidik atau penyidik saat melakukan penyelidikan atau penyidikan. Termasuk di dalam kegiatan fotografi forensik adalah pemilihan pencahayaan yang benar, sudut pengambilan lensa yang tepat, dan pengambilan gambar dari berbagai titik pandang. Skala seringkali digunakan dalam gambar yang diambil sehingga dimensi sesungguhnya dari obyek foto dapat terekam. Biasanya digunakan penggaris atau perekat putih yang berskala sentimeter diletakkan berdekatan dengan lesi atau perlukaan sebagai referensi ukuran. Pada bagian yang tidak terekspos atau kurang memberikan gambaran yang signifikan, dapat digunakan probe (alat pemeriksa luka) atau jari sebagai penunjuk dengan posisi yang semestinya. 1-2Gambar yang diambil biasanya berupa gambar yang berwarna atau dapat pula dalam bentuk gambar hitam-putih tergantung kebutuhannya. Gambar berwarna lebih dipilih saat mengumpulkan bukti berupa cat atau bercak yang ditemukan di TKP (tempat kejadian perkara). Sebaliknya, jejak ban akan lebih tegas pola dan perbedaan warna dengan sekitarnya saat diambil dalam bentuk foto hitam-putih. 1-2Metode yang digunakan dalam fotografi forensik tergantung dari kebijakan setiap negara berkaitan dengan pemakaian kamera dengan film 35 mm atau secara digital. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dulu dikatakan, fotografi konvensional atau yang menggunakan film dianggap lebih memiliki resolusi gambar yang baik dan tinggi sehingga memungkinkan untuk dilakukan pembesaran guna memperoleh detail gambar yang dibutuhkan. Foto digital memiliki kelebihan berupa tanggal dan waktu yang tertanda secara automatis pada gambar untuk menunjukkan keabsahan gambar yang diambil dan hal ini tidak dimiliki oleh foto konvensional di mana, keabsahan gambar harus dibuktikan sendiri oleh sang fotografer dengan cara misalnya mengikut sertakan saksi-saksi dalam fotonya. Seiring dengan perkembangan teknologi, perbedaan antara kamera film (analog) dan kamera digital tidak lagi terlalu mencolok. Setiap alat dapat dipakai dalam kegiatan fotografi forensik, sesuai dengan kebutuhannya. 1-22.5Peralatan Fotografi Forensik2.5.1KameraKamera yang lazim digunakan dan dapat diterima sebagai kamera yang mampu berbicara banyak di lapangan pekerjaan forensik adalah kamera tipe single-lens reflex 35mm. Kamera ini menggunakan sebuah lensa dengan sistem cermin yang bergerak secara automatis, menerima cahaya yang datang untuk dipantulkan ke sebuah pentaprism yang ditempatkan di atas jalur optik cahaya yang berjalan di bagian dalam lensa, yang memungkinkan fotografer untuk melihat dimensi obyek sesungguhnya yang akan ditangkap oleh film tersebut. 1-22.5.2Format film35 mm adalah jenis format film yang digunakan pada kamera ini dan lazim digunakan untuk kepentingan pemeriksaan forensik. Format film ini menawarkan berbagai kecepatan sensitifitas dan emulsi film, kualitas gambar yang baik, nilai panjang eksposur yang variatif, dan harga yang murah. Hasil foto pada format film 35 mm akan memberikan gambaran full frame yang tajam di mana, dimensi obyek yang dilihat oleh fotografer melalui cermin pentaprism akan sama dengan dimensi obyek yang ditangkap oleh film ini. Ketajaman gambar dan prinsip what you see is what you get inilah yang dipegang untuk setiap hasil foto yang dapat digunakan kepentingannya di dunia forensik.Pemilihan film tergantung dari efek pencahayaan yang dipilih. Pemilihan kecepatan sensitifitas film 100 atau 200 ASA (American Standard Association), telah lebih dari cukup untuk mengimbangi kerja lampu kilat. Dan 400 ASA pun kini banyak digunakan. Beberapa fotografer medis bahkan membawa kamera yang terpisah yang telah terisi film berkecepatan 1000 ASA untuk beberapa sesi pemotretan khusus. 1-22.5.3LensaTipe lensa yang digunakan tergantung pilihan dari fotografer itu sendiri. Sebagian orang lebih memilih lensa tunggal yang interchangeable dengan variasi daya akomodasi lensa (focal length). Lensa standar 50 mm atau biasa disebut fixed lens 50 mm (daya akomodasi lensanya terfiksasi pada satu nilai) adalah yang paling sering digunakan, kaitannya dengan kesetaraan daya akomodasinya dengan mata kita. Namun pada TKP, atau pada jarak pengambilan gambar terjauh dari tubuh korban pada kondisi TKP yang sulit, lensa sudut lebar (wide angle) 28 mm atau 30 mm lebih diperlukan. Nilai focal length yang sedikit lebih panjang seperti 80 mm dapat berguna untuk gambar-gambar jarak dekat dari perlukaan. Tidak disarankan penggunaan lensa telefoto dengan focal length 100 mm 200 mm karena sebagian fungsinya telah digantikan oleh lensa tambahan untuk kegiatan macrophotography. Banyak ahli patologi forensik lebih memilih untuk mengkombinasikan lensa-lensa tersebut menjadi satu lensa yang memiliki variable-focus zoom lens antara 28 mm 80 mm. Langkah ini diambil untuk lebih mempersingkat waktu pengambilan gambar dan gambar yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan hasil gambar menggunakan lensa dengan daya akomodasi terfiksasi.

Pemilihan focal length lensa memegang peranan penting dalam rangka pengambilan gambar. Wide angle akan membuat luas perspektif, sebaliknya tele lens akan mempersempitnya. Saat berurusan dengan komposisi, ada plus-minus di kedua jenis lensa. 1-22.6 Teknik Pometretan Fotografi Forensik Berpeganglah selalu pada prinsip KISS (Keep It Simple and Sharp). Tidak dibutuhkan teknik yang rumit untuk melakukan kegiatan fotografi saat pemeriksaan kedokteran forensik. Yang paling diutamakan adalah bahwa jepretan kamera kita mampu memberikan hasil yang tajam, berkomposisi, seimbang dalam hal pencahayaan dan warna, dan tidak mengalami perubahan dimensi obyek. 1-22.6.1Ketajaman GambarSalah satu unsur yang menentukan ketajaman sebuah gambar adalah kedalaman gambar (depth of field). Untuk membuat sebuah gambar dua dimensi menjadi lebih hidup, dibutuhkan penciptaan rasa akan adanya kedalaman dari gambar. Kondisi ini dimungkinkan dengan memanipulasi elemen-elemen yang terdapat di latar depan, tengah, dan belakang. Garis sederhana yang membawa pandangan ke area-area dalam gambar menuju center of interest bisa lebih efektif. Di sini, pemilihan lensa dan bukaan diafragma (aperture) menjadi unsur vital untuk menciptakan kedalaman. Pada pemotretan organ dalam (viscera), dapat dilakukan penggunaan gelas yang diletakkan secara terbalik dan di cat sesuai warna latar belakang yang digunakan (biasanya hijau) yang terletak agak jauh di bawah gelas untuk menghindari fokus serta penggunaan lampu tungsten sebagai pencahayaan. 1-2

Dalam fotografi, ukuran lensa yang terbuka berkaitan langsung dengan kedalaman gambar yang dihasilkan. Saat lensa besar terbuka memungkinkan banyak cahaya, menghasilkan kedalaman gambar yang dangkal. Menyipitkan mata dapat mengilustrasikan bagaimana kedalaman gambar meningkat sama seperti penurunan diameter dari aperture.

Gambar 13. Ketajaman gambarKontrol efektif dari shutter speed (kecepatan rana) akan memungkinkan fotografer menghentikan pergerakan dari hasil foto yang diambilnya. Terkadang, ini dapat terlihat dari hasil foto yang bergoyang atau camera shake yang terjadi ketika shutter speed (kecepatan rana) terlalu lambat untuk kamera terhadap eksposur yang diberikan2.6.2Komposisi gambarPada kegiatan fotografi yang dilakukan di TKP, gambar diambil secara serial dan panoramik menggunakan lensa-lensa sudut lebar agar seluruh obyek pada TKP dapat terekam dalam bingkai pemotretan sekaligus. Diperlukan komposisi obyek yang baik dan kuat agar pesan yang tersirat dalam setiap bingkai pemotretan dapat disampaikan ke penyelidik maupun penyidik. Hal ini perlu diperhatikan untuk kepentingan rekonstruksi kejadian.

Gambar 14. Komposisi gambarDikenal rumus pertigaan pada teknik komposisi fotografi, yakni membagi bingkai gambar menjadi sembilan bagian yang sama. Pembaginya adalah dua garis horizontal dan dua garis vertikal. Rumus ini dapat diterapkan pada segala format: bujur sangkar, persegi panjang, atau panorama. Komposisi yang dibangun akan seimbang saat menempatkan obyek tepat di atau dekat titik pertemuan garis (point of power). Dalam seni fotografi murni, rumus ini juga dapat dipergunakan untuk pengambilan gambar jarak dekat (close-up). Namun aplikasinya tidak disarankan pada close-up fotografi autopsi, karena dalam hal ini, lebih ditekankan proses representasi dari realita, misalnya pada pengambilan foto organ dalam.

Sebelum menekan tombol rana (shutter), sebaiknya sudah ditentukan bagian mana yang menjadi pusat perhatian. Salah satu masalah yang sering kita temui adalah latar belakang yang mengganggu kekuatan obyek utama. Gangguan itu bisa berupa sesuatu yang cerah, warna atau bentuk, atau pemilihan diafragma lensa (aperture) yang kurang baik. Akibatnya, gambar yang dihasilkan akan membingungkan, tidak jelas bagian mana yang menjadi pusat perhatian. Dengan mengubah posisi memotret, melakukan zooming pada bagian terpenting dari sasaran bidik, dan mengunakan format portrait, masalah di atas akan dapat diatasi. Namun perlu diperhatikan mengenai adanya perubahan perspektif akibat usaha di atas yang barangkali dapat memberikan interpretasi salah saat foto digunakan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan. 1-22.6.3Eksposur

Gambar 14. komposisiEksposur perlu diperhatikan untuk mendapatkan hasil foto yang baik. Untuk menciptakan serangkaian warna pada gambar, kamera harus memastikan bahwa jumlah cahaya yang optimal sampai ke sensor atau film. Hal tersebut bisa diperoleh dengan mengatur lama eksposur (kecepatan rana/shutter speed) dan intensitas cahaya (bukaan diafragma/aperture) pada lensa. Gambar dibentuk melalui akumulasi cahaya di film atau sensor selama eksposur. Kamera senantiasa berupaya mengarahkan obyek secara keseluruhan ke arah grey tone 18% (area mid-tone/kontras netral kamera). Maka metering atau pengukuran eksposur diperlukan di sini. Kurangi eksposur antara 0.7 EV sampai 1 EV untuk menjaga kedalaman warna dan detail pencahayaan. Saat pemotretan organ dalam (viscera), organ ditempatkan pada suatu area dengan latar belakang warna biru atau hijau. Warna putih dapat digunakan meskipun barangkali hal ini dapat mempengaruhi ukuran eksposur jika latar belakang terlalu terlihat pada bagian tepi gambar. Walaupun obyek yang diambil terbilang mid-tone, latar belakang ber-tone terang atau gelap yang tak normal bisa menimbulkan kesalahan eksposur. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, tingkat kesalahan eksposur tergantung pada seberapa besar area dalam bingkai yang terpakai oleh latar belakang. Semakin banyak area yang terpakai, semakin besar pengaruhnya terhadap nilai eksposur. Organ yang akan difoto pun sebaiknya dilakukan dabb (penekanan dengan kain atau busa) terlebih dahulu agar terbebas dari darah pada bagian permukaan dan latar belakang untuk menghindari terjadinya efek penyinaran kuat (highlight). Efek highlight dapat mengganggu metering exposure yang telah dilakukan sebelumnya. Pengaturan eksposur dikembalikan kepada sang fotografer, tergantung kondisi lingkungan yang dihadapi saat pemotretan. Pada fotografi forensik, yang paling utama adalah ketajaman obyek dan menjaga agar warna obyek tetap natural. 1-22.6.4Warna

Gambar 15. Warna White balance (WB) dapat diartikan sebagai kemampuan kamera dalam membaca atau menerjemahkan warna putih berdasarkan sumber cahaya yang ada. Tujuan dari pengaturan WB yaitu agar kamera mengenali suhu sumber cahaya yang ada, sehingga warna dari objek foto terlihat sesuai aslinya, misalnya yang putih kelihatan putih, dan yang merah kelihatan merah, atau dengan kata lain agar kamera merekam warna objek secara tepat dalam keadaan pencahayaan apapun. Sumber cahaya mempengaruhi kemampuan kamera dalam membaca warna putih karena sumber cahaya mempunyai suhu yang berbeda, sehingga akan mempengaruhi kamera dalam membaca warna putih.

Gambar 16. White balancePilihan auto white balance pada kamera digital dirancang untuk secara automatis menyesuaikan dengan warna-warna, atau temperatur cahaya yang berbeda untuk mendapatkan hasil yang mendekati normal. Namun terkadang hal semacam itu malah bukan yang kita inginkan. Disarankan untuk tidak senantiasa memilih pengaturan auto white balance pada kamera, karena pilihan itu tidak selalu tepat. Kamera akan berupaya menganalisa warna-warna yang ada pada obyek foto dan menormalkannya, tapi seringkali gagal membedakan antara warna cahaya dan warna bawaan obyek itu sendiri. Kamera juga akan berusaha mengompensasi kondisi pencahayaan sekitar yang akan menjadi bagian dari bingkai pemotretan. Akibatnya, warna yang hendak dinormalisasikan malah tidak tercapai. Aturlah white balance secara manual sesuai pilihan. Dibutuhkan beberapa eksperimen memotret agar pengaturan white balance sesuai kebutuhan dan didapat warna yang lebih natural. 1-22.6.5Pencahayaan

Gambar 17. Pencahayaan Untuk pencahayaan, biasanya menggunakan lampu kilat elektronik yang sekarang menjadi bagian dari kamera, dan penggunaan thyristor (semikonduktor pengukur keluaran cahaya) pada lampu kilat yang dikontrol secara automatis, menjadi solusi dari penghitungan jarak pengambilan yang rumit. Tentu pada jarak pengambilan gambar yang dekat, penggunaan lampu kilat yang melekat pada kamera akan menghasilkan gambar yang kurang memuaskan. Alternatifnya, digunakan lampu kilat terpisah yang terjaga jaraknya dengan kamera, penggunaan diffuse untuk mengurangi kekuatan cahaya atau menggunakan teknik memantulkan cahaya (bounching) ke arah langit-langit ruang autopsi atau mungkin ring flash yang dipasang pada bagian depan lensa untuk menghindari bayangan kamera.

Gambar 18. PencahayaanPada fotografi jarak dekat (close-up), dikenal adanya kesalahan paralaks. Paralaks adalah suatu kondisi kesalahan penampakkan atau perbedaan orientasi dari obyek yang dilihat dari dua arah yang berbeda, akibat perbedaan sudut pandang dari dua arah tersebut. Maksudnya, yang kita lihat melalui jendela bidik (viewfinder) tidak selaras dengan yang direkam oleh sensor atau film. Hal semacam ini bisa terjadi pada kamera SLR maupun compact ketika kita membidik obyek melalui LCD-nya. Saat menggunakan lampu kilat pada pemotretan jarak dekat, ada perbedaan antara yang dilihat dengan kamera dan yang disinari oleh lampu kilat. Sebaiknya berpikirlah untuk mengubah sudut lampu kilat ke pengaturan sudut lebar agar dapat menyinari obyek secara penuh.

Gambar 19. Pencahayaan Cahaya bisa menerangi obyek sedikitnya dari tiga arah, yakni depan, samping, dan belakang. Masing-masing memberikan efek yang berbeda pada hasil foto. Backlighting, atau penyinaran dari arah belakang obyek, dapat memberikan semacam efek halo di sekitar obyek. Yang perlu diperhatikan di sini adalah cahaya yang langsung menerpa depan lensa, karena dapat memunculkan flare (kobaran/jilatan cahaya) yang mengurangi kontras. Untuk mengatasi hal ini, gunakan selembar kertas atau tangan anda untuk menutupi sinar yang mengarah langsung ke lensa di luar bingkai pemotretan. Sidelighting, atau pencahayaan dari samping, sangat baik untuk memunculkan tekstur pada obyek, juga memberi kesan kedalaman. Frontlighting, pencahayaan dari depan, baik untuk pemotretan wajah close-up.

Gambar 20. Pencahayaan Pada kondisi-kondisi kurang cahaya, jangan terburu-buru menggunakan flash sebagai solusinya. Bereksperimenlah dengan meningkatkan eksposur untuk memulihkan kecerahan atau mengkombinasikan shutter speed yang lambat dengan sinar flash untuk hasil yang lebih baik dan senantiasa melihat ulang hasil gambar yang diambil melalui data histogram di kamera.(9) Hati-hati dengan pemilihan shutter speed yang lambat, karena dapat menyebabkan efek kabur (blur) pada obyek yang sudah barang tentu menghilangkan ketajaman gambar sebagai salah satu syarat untuk fotografi forensik. 1-22.7Klasifikasi Fotografi Forensik

Orang yang melakukan kegiatan fotografi disebut fotografer. Dalam fotografi forensik, sang fotografer terbagi dalam tiga tipe yakni:

Fotografi TKP

Fotografi teknik

Fotografi autopsi2.7.1Fotografi Tempat Kejadian Perkara Dalam penyidikan TKP fotografi forensik merupakan elemen penting dalam penyelidikan. Tujuannya berguna untuk mendokumentasikan tempat kejadian perkara termasuk lokasi korban sebelum di periksa oleh ahli patologi forensik dan dibawa ke kamar mayat untuk diperiksa lebih lanjut, Selain itu seorang fotografi forensik harus bekerja sesuai dengan etika dan jujur dalam pengambilan gambar sehingga tidak ada yang dikurangi ataupun ditambahkan. Harus berusaha mendokumentasikan semua bukti di TKP sehingga menunjukan sebuah keterkaitan. Pengalaman dari seorang fotografi forensik sangat berpengahruh untuk hasil dan kualitas dari sebuah gambar.5Tipe informasi dari pemeriksaan pada tempat kejadian perkara :

1. Informasi pada Corpus Delicti : pada tipe ini merupakan penentuan bukti yang penting pada investigasi, berupa bukti fisik, pola kejadian, dan pemeriksaan laboratorium berdasarkan bukti.

2. Informasi tentang Modus Operandi : biasanya pelaku kejahatan bisa meninggalkan kebiasaan dan tanda-tanda kejahatannya yang merupakan sebuah pola dari kejahatannya. Seperti pelaku pengeboman biasanya menggunakan jenis bom yang sama.

3. Menghubungkan orang, tempat kejadian dan objek : benda-benda yang berada disekitar korban merupakan hal yang penting dalam menghubungkan kejadian dengan tersangka atau pelaku.

4. Untuk membuktikan saksi : keterangan saksi merupakan hal yang penting dalam membantu mengungkap terjadinya kejadian, namun setiap keterangan saksi juga harus disesuaikan dengan tempat kejadian perkara, apakah sesuai atau tidak.

5. Identifikasi tersangka : pemeriksaan tempat kejadian perkara memiliki langkah-langah seperti : recognition, identifikasi, individualization dan rekonstruksi. Identifikasi dari tersangka berdasarkan tersebut kemudian ditambah dengan individualization dengan cara melakukan test perbandingan seperti sidik jari.

Gambar 21. Langkah-langkah pemeriksaan pada tempat kejadian perkara6. Identifikasi zat-zat yang tidak diketahui : ini merupakan identifikasi bukti-bukti fisik di tempat kejadian perkara, dapat berupa : racun, obat-obatan, dan hingga mikroorganisme.

7. Rekonstruksi TKP : ini merupakan langkah terakhir dalam pemeriksaan. Yang sangat di tekankan disini merupakan bagaimana bisa terjadi, dibandingkan kita mencari siapa yang melakukan.Alat-alat yang dibutuhkan pada saat berada di tempat kejadian perkara :

1. Buku catatan

2. Tablet

3. Kertas gambar

4. Alat tulis

5. Kamera yang dilengkapi tambahan batre dan pencahayaan

6. Alat ukur ( meteran, penggaris, dll)

7. Kompas

8. Marker site

Setelah semua peralatan telah memadahi kita persiapkan kamera untuk mengambil gambar pada TKP. Pada kamera kita harus mengatur agar pada kamera selalu memberikan catatan pada setiap gambar, catatan berupa tanggal, waktu dan settingan kameranya. Dan selalu setiap setelah melakukan mengambilan gambar dicatat pada sebuah buku.

Langkah-Langkah dalam pengambilan gambar :

1. Mengamankan tempat kejadian : pada semua investigasi forensik hal yang pertama dilakukan ialah mengamankan tempat kejadian perkara.

2. Perhatikan kondisi sekitar : Seorang fotografi forensik harus memperhatikan bagaimana ketersedian cahaya dan cuaca disekitar TKP sehingga sesuai dengan pengaturan kamera. TKP itu bisa di dalam ruangan, luar ruangan , dan bahkan bisa pada keduanya atau bisa juga didalam sebuah kendaraan hingga pada berbagai ruangan. Sehingga disini ditekankan tidak ada sebuah pengaturan kamera untuk seluruh TKP.3. Pengambilan gambar di tempat kejadian : seorang fotografi forensik harus mengambil gambar sebelum semua dilakukan perubahan dengan Cara kerjanya harus sistematis dari luar hingga close-up. Sehingga pengambilan gambar yang banyak diperbolehkan asal tetap sistematis dari depan TKP, Jalan masuk, tempat kejadian korban, benda-benda yang berhubungan dengan TKP.

Gambar 22. Petunjuk Pengambilan Gambar.

Gambar 23. Fotografi TKP

4. Pengambilan gambar korban : berikutnya pada korban dan harus diperhatikan lokasi, lokasi cidera, dan kondisi sekitar.5. Pengambilan gambar barang bukti : setiap bagian dari barang bukti harus diambil gambar agar dapat dijadikan sebuah ilustrasi hingga hubungan barang bukti terhadap korban. Setiap pengambilan gambar bisa dari depan atau dari atas, asalkan tidak terjadi kesalahan persepsi pada jaraknya. Dan harus difoto dengan pengukuran atau tanpa pengukuran.

6. Memberikan tanda pada barang bukti : setelah tadi di foto barang buktinya, dan ketika barang bukti di beri tanda juga harus difoto agar tidak ada yang dapat melakukan manipulasi pada TKP.

7. Pengambilan gambar ulang pada barang bukti : disini dimaksudkan setiap benda atau barang bukti berupa sidik jari, identitas, jejek sepatu, jejak ban, plat mobil hingga bagian terkecil dari sebuah benda. Ada beberapa cara atau teknik yang dapat dilakukan seperti, menggunakan microlens atau pun ALS.

8. Diharuskan pengambilan gambar dengan cepat : terkadang lingkungan menjadi faktor seperti hujan, salju, ataupun sebuah kemacetan. Sehingga seorang fotografi forensik harus bekerja cepat terlepas dari sebuah tekanan faktor yang ada.

9. Pengambilan gambar korban kembali : bila korban harus dipindahkan atau membutuhkan pengobatan, fotografi dapat mendokumentasikan gambar cederanya kembali

Seorang fotografer TKP harus berusaha menyamakan interpretasi yang dia lihat dengan keadaan aslinya. Yang dimana warna, pencahayaannya, serta sudut pengambilan gambarnya harus pas, agar orang yang melihat dapat mempunyai interpretasi yang sama dengan para penyidik di TKP dan sang fotografer.

Pada saat pengambilan gambar di TKP juga harus dibuat juga sketsa pada ruangan tersebut yang bertujuan untuk membuat catatan pengambilan gambar serta barang barang bukti yang berada pada lokasi, serta memudahkan kita dalam melakukan investigasi. Ada beberapa jenis pembuatan sketsa pada TKP yang dimana setiap sketsa memiliki keuntungan dan kekurangan pada setiap TKP, tergantung bagaimana sebuah sketsa itu diperlukan.

Gambar 24. Pembuatan sketsa

2.7.2Fotografi forensik teknik2.7.2.1Pemeriksaan Noda DarahPemeriksaan darah menyajikan informasi yang bermanfaat bagi ilmuwan forensik dalam berbagai investigasi kriminalitas. Informasi diperoleh dari darah oleh ahli patologi forensik, ahli toksikologi, ahli serologi, dan ahli olah TKP.Dokumentasi fotografi bukti fisik di TKP, termasuk noda darah, merupakan bagian penting dari upaya investigasi secara keseluruhan dan rekonstruksi. Peneliti TKP menanggapi kasus kematian dan kejahatan kekerasan non-fatal yang sering tidak menghargai informasi yang berharga tersedia dari pemeriksaan yang cermat dan interpretasi pola bercak darah. Akibatnya, dokumentasi foto korban, adegan, bukti bukti, dan penyerang sehubungan dengan noda darah mungkin tidak lengkap dan kurang detail untuk evaluasi berikutnya dan presentasi ruang sidang.

Gambar 25. Angle of ImpactSudut dampak didefinisikan sebagai sudut internal di mana darah menghantam sasaran permukaan. Sudut dampak adalah fungsi dari hubungan antara lebar dan panjang noda darah yang dihasilkan. Pada dampak dari 90 , resultan noda darah melingkar akan memiliki lebar yang sama dan panjang, masing-masing mewakili diameter lingkaran. Sudut dampak yang lebih akut, semakin besar elongasi dari bercak darah tersebut. Pengukuran lebar dan panjang noda darah individu diambil melalui poros tengah masing-masing dimensi. Nilai yang dihitung dari lebar rasio panjang (W / L) digunakan dalam rumus: sudut dampak = arc sin W / L.Nilai arc sin memberikan nilai sudut dampak dapat ditentukan dari tabel trigonometri atau dengan menggunakan kalkulator ilmiah yang memiliki fungsi arc sin. Sudut dampak dari noda darah adalah fungsi dari panjang nya lebar-panjang rasio.

Gambar 26. Foto dengan luminolLuminol adalah senyawa chemiluminescent yang terkenal dan digunakan sebagai uji katalitik dugaaan untuk adanya darah, mengambil manfat dari peroksidase-seperti aktivitas heme untuk memproduksi cahaya sebagai produk akhir bukan reaksi warna sebenarnya. Reagen Luminol digunakan pada objek atau area yang mengandung jejak yang dicurigai terdapat noda darah. Iluminasi putih keabu-abuan atau produksi cahaya dari area yang dicurigai diamati dalam ruangan gelap merupakan tes yang positif. Luminol sangat baik digunakan untuk mendeteksi jejak darah yang tidak dapat dilihat secara langsung di TKP. Hal ini termasuk pelacakan darah di lantai yang gelap dan area karpet, celah dan retakan di lantai dan dinding, dan area dimana dicurigai telah dibersihkan dari darah sebelumnya.

Nilai dari bukti noda darah sebagai alat penting untuk rekonstruksi TKP ditingkatkan dengan dokumentasi fotografi yang baik. Fotografi menyediakan catatan permanen bukti bercak darah dalam sebuah kasus yang mudah disampaikan kepada hakim. Bukti foto harus berdiri dalam pengawasan ahli dan pengacara serta menjadi alat bantu visual terhadap hakim yang harus menimbang bukti dan mencapai keputusan yang benar di pengadilan. 1-2

Gambar 28. Gambar dengan luminol2.7.3 Fotografi Autopsi

Gambar 32. Fotografi autopsi

Banyak penyelidikan kematian medikolegal mengandalkan informasi yang diperoleh dari otopsi. Keberhasilan dari otopsi dalam menjawab pertanyaan (misalnya, identifikasi, penyebab cedera) tergantung pada sistematis pendekatan oleh ahli patologi. "otopsi lengkap" adalah serangkaian langkah yang diperlukan diambil oleh ahli patologi, yang menerima informasi latar belakang tentang almarhum, melakukan pemeriksaan luar dan diseksi internal, dan mengumpulkan sampel yang sesuai tubuh untuk pengujian tambahan. Perawatan dilakukan oleh ahli patologi dalam proses ini tercermin dalam laporan otopsi yang akurat, yang membahas pertanyaan-yang paling penting penyebab kematian. Ahli patologi harus menyadari potensi perangkap pada setiap langkah penyelidikan postmortem, apapun yang dapat menimbulkan risiko ke final resolusi penyelidikan medikolegal. Setelah olah TKP selesai, tubuh korban dikirim ke instalasi kedokteran forensik untuk dilakukan pemeriksaan kedokteran forensik oleh ahli patologi forensik. Proses pemeriksaan ini harus didokumentasikan oleh seorang fotografer autopsi. Syarat utama yang harus dimiliki seorang fotografer autopsi adalah memiliki dasar pengetahuan anatomi tubuh manusia. Pengambilan gambar dilakukan sejak tubuh korban tiba, dimulai dari jarak pengambilan terjauh dari tubuh korban dengan sudut pengambilan gambar pada bagian depan dan belakang korban, dilanjutkan dengan proses serupa saat pemeriksaan dimulai, yakni mulai dari pelepasan pakaian hingga pembersihan tubuh korban. Close-up dilakukan pada pengambilan gambar perlukaan yang ditemukan pada tubuh korban, pada luka tembak, patah tulang, atau terhadap jaringan parut, tato, dan lain sebagainya, berkaitan dengan kepentingan foto untuk proses identifikasi pada mayat tak dikenal. Pada pemeriksaan dalam, pengambilan gambar dilakukan dua kali. Pertama, in situ untuk memperlihatkan lokasi dan beratnya penyakit atau kerusakan yang terjadi. Kedua, gambar diambil setelah organ dikeluarkan dan dibersihkan. 1-2BAB IIIPENUTUP3.1Kesimpulan

Fotografi adalah suatu proses seni merekam gambar, berupa proses penangkapan cahaya pada suatu media yang sensitif cahaya, seperti film atau sensor elektronik. Fotografi forensik sering juga disebut forensic imaging atau crime scene photography adalah suatu proses seni menghasilkan bentuk reproduksi dari tempat kejadian perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat untuk kepentingan penyelidikan hingga pengadilan.Terdapat 3 klasifikasi pada fotografi forensik, yaitu fotografi TKP, fotografi autopsi dan fotografi teknik. Dalam penyidikan TKP fotografi forensik merupakan elemen penting dalam penyelidikan. Tujuannya berguna untuk mendokumentasikan tempat kejadian perkara termasuk lokasi korban sebelum di periksa oleh ahli patologi forensik dan dibawa ke kamar mayat untuk diperiksa lebih lanjut.Seorang fotografer TKP harus berusaha menyamakan interpretasi yang dia lihat dengan keadaan aslinya. Yang dimana warna, pencahayaannya, serta sudut pengambilan gambarnya harus pas, agar orang yang melihat dapat mempunyai interpretasi yang sama dengan para penyidik di TKP dan sang fotografer. 3.2SaranPengambilan fotografi forensik sangat dipengaruhi oleh peralatan dan pengalaman dari fotografer forensik. Untuk itu, sebagai seorang fotografer forensik harus mengerti atau memahami tentang fotografi forensik, memiliki pengalaman, dan pemikiran yang kritis. DAFTAR PUSTAKA1. Idries A M, Tjiptomartomo A L. Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam proses penyidikan. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto; 2013.h.275-285

2. Wecht CH, et al. A readers digest book. Crime scene investigation: crack the case with real-life experts. The inquiry Team.London: Elwin Street Limited; 2004.p.40-52

3. Sejarah kamera. Diunduh dari : http://www.academia.edu/7723356/Makalah_Perkembangan_Kamera 4. Munir M. Basic photography: belajar fotografi paham dasar-dasar fotografi dan kamera. Yogyakarta: Poetrafoto Photography Studio; Diunduh dari http://www.poetrafoto.com5. Jacqueline FT, Larry MS, Michael BC, et al. Crime scene investigation. Elsevier: Anderson Publishing; 20146. Robinson, E. Crime Scene Photography second edition, Elsevier Academic Press, Barlington, MA, 2010.PAGE 6