karya: k.h bisri mustofa skripsie-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2620/1/skripsi.pdfb. bila...

147
i Kemiskinan Dalam Perspektif Kitab Tafsir Al- Ibriz Li Ma’rifat Tafsir Al- Qur’an Al- ‘Aziz Karya: K.H Bisri Mustofa SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: RANGGA PRADIKTA NIM 215-13-006 JURUSAN ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017

Upload: nguyenminh

Post on 04-Aug-2019

288 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

i

Kemiskinan Dalam Perspektif Kitab Tafsir Al- Ibriz Li

Ma’rifat Tafsir Al- Qur’an Al- ‘Aziz

Karya: K.H Bisri Mustofa

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

RANGGA PRADIKTA

NIM 215-13-006

JURUSAN ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2017

ii

iii

iv

v

HALAMAN MOTTO

إ ن مع إلعس يس إ

Sesungguhnya bersama

kesulitan terdapat

kemudahan.

(QS. Al-Insyirāh [94]: 6)

BERMIMPILAH !

KARENA TUHAN AKAN MEMELUK

MIMPI-MIMPIMU

(Edensor : Andrea Hirata)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan untuk ;

***

Ayahanda Suprapto dan Ibunda Puji Astuti

Ananda Fathan Fathurrochim

Mbah Sururi dan Mbah Tunsiyah

Om Agus Widodo dan Bulek Nur Kholidah

***

Teman-teman Jurusan Ilmu Al- Qur‘an dan Tafsir IAIN Salatiga

Angkatan 2013

***

Teman-teman Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN

Salatiga

Dan

Rima Nur Sa‘diyah

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini

berpedoman padaSurat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan

0543b/U/1987.

A. Konsonan Tunggal

Huruf

Arab Nama Huruf Latin Nama

Alif اtidak

dilambangkan tidak dilambangkan

ba‘ B be ب

ta‘ T te ت

ṡa ṡ es (dengan titik di atas) ث

Jim J je ج

ḥa‘ ḥ حha (dengan titik di

bawah(

kha‘ Kh ka dan ha خ

Dal D de د

Żal Ż zet (dengan titik di atas) ذ

ra‘ R er ر

viii

Zal Z zet ز

Sin S es س

Syin Sy es dan ye ش

ṣad ṣ صes (dengan titik di

bawah)

ḍad ḍ ضde (dengan titik di

bawah)

ṭa‘ ṭ te (dengan titik di bawah) ط

ẓa‘ ẓ ظzet (dengan titik di

bawah)

ain ‗ koma terbalik (di atas)‗ ع

Gain G ge غ

fa‘ F ef ف

Qaf Q qi ق

Kaf K ka ك

Lam L el ل

Mim M em م

ix

Nun N en ن

Wawu W we و

ha‘ H ha ه

Hamzah ` apostrof ء

ya‘ Y ye ي

B. Konsonan Rangkap Tunggal karena Syaddah Ditulis Rangkap

Ditulis Muta‟addidah متعددة

Ditulis „iddah عدة

C. Ta’ Marbuṭah di akhir kata ditulis h

a. Bila dimatikan ditulis h

Ditulis Ḥikmah حكمة

Ditulis Jizyah جزية

(ketentuan ini tidak diperlukan kata-kata Arab yang sudah terserap ke dalam

bahasa Indonesia, seperti zakat, shalat dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki

lafal aslinya)

b. Bila diikuti kata sandang ―al‖ serta bacaan kedua itu terpisah, maka ditulis h.

`Ditulis Karâmah al-auliyā كرمة االولياء

x

c. Bila Ta‟ Marbuṭah hidup dengan harakat, fatḥah, kasrah, atau ḍammah

ditulis t.

Ditulis Zakat al-fiṭrah زكاة الفطرة

D. Vokal Pendek

___ Fatḥah Ditulis A

___ Kasrah Ditulis I

___ Ḍammah Ditulis U

xi

E. Vokal Panjang

Fatḥah bertemu Alif

جاهليةDitulis

Ā

Jahiliyyah

Fatḥah bertemu Alif Layyinah

Ditulis تنسىĀ

Tansa

Kasrah bertemu ya‟ mati

كرميDitulis

Ī

Karīm

Ḍammah bertemu wawu mati

Ditulis فروضŪ

Furūḍ

F. Vokal Rangkap

Fatḥah bertemu Ya‟ Mati

Ditulis بينكمAi

Bainakum

Fatḥah bertemu Wawu Mati

Ditulis قولAu

Qaul

G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof

Ditulis A`antum أأنتم

xii

Ditulis U‟iddat أعدت

Ditulis La‟in syakartum لئن شكرمت

H. Kata sandang alif lam yang diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsyiyyah

ditulis dengan menggunkan “al”

Ditulis Al-Qur`ān القران

Ditulis Al-Qiyās القياس

`Ditulis Al-Samā السماء

Ditulis Al-Syams الشمس

I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat ditulis menurut bunyi atau

pengucapannya

Ditulis Żawi al-furūḍ ذوى الفروض

Ditulis Ahl al-sunnah اهل السنة

xiii

KATA PENGANTAR

بسم اهلل الرمحن الرحيمSyukur Alhamdulillah penulis haturkan kehadirat Allah swt. yang telah

mencurahkan nikmat-Nya yang tak terhingga, yang tak dapat penulis sebutkan

satu persatu, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

―Kemiskinan Dalam Perspektif Kitab Tafsir Al- Ibriz Li Ma‟rifat Tafsir Al-

Qur‟an Al- „Aziz (Karya: K.H Bisri Mustofa)‖ ini. Sholawat serta salam

senantiasa tercurahkan kepada baginda Rasulullah saw. beserta keluarga, sahabat

serta pengikut-pengikutnya sampai di yaumul qiyāmah. Penulis menyadari

sepenuhnya bahwa tanpa bantuan, bimbingan, dan dorongan dari berbagai pihak,

penulisan skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Untuk itu, pada kesempatan ini

penulis ingin menyampaikan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Kedua orangtua (Ayahanda Suprapto dan Ibunda Puji Astuti) yang

dengan ikhlas menerima dan memperjuangkan kami sebagai anak, untuk

terus bersekolah dan menjadi hamba yang di ridhoi oleh Allah Swt, di

dunia dan di akhirat kelak. Berkat kesabaran ibunda, yang ibunda

tanamkan dalam hati ananda, menjadikan ananda selalu tabah atas

berbagai ujian yang menjadi jalan untuk mencapai keridhaan yang lebih

tinggi dihadapan Allah dan manusia. Juga tidak lupa, bagaimana

ayahanda menanamkan bahwa memandang kehidupan tidaklah melulu

melalui satu sudut saja, sebab terdapat berbagai macam sudut pandang,

dan hal tersebut hanya akan diperoleh dengan memperluas wawasan dan

xiv

keilmuan. Lalu kemudian, tidak lupa ananda ucapkan terimakasih yang

teramat sangat kepada Mbah Sururi dan Mbah Tunsiyah, yang telah

dengan rela mencukupkan kebutuhan ananda sebagai cucu, untuk dapat

tetap melanjutkan jenjang pendidikan sampai saat ini. Selanjutnya

terimakasih pula kepada Om Agus dan Bulek Nur, yang juga telah

banyak sekali membantu penghidupan ananda di rantauan.

2. Bapak Mahfudz Fawzi (yang saat skripsi ini sudah selesai dicetak, bisa

ditambahkan S.Ag setelah nama beliau), selaku guru sekaligus orangtua

dirantauan. Terimakasih karena telah menjadi jalan bagi Tuhan untuk

memberikan pengetahuan dan pendidikan kepada ananda. Lalu

kemudian terimakasih kepada Husain Imaduddin dan M. Choirurrohman

karena telah bersedia menjadi teman tidur (bukan dengan tanda kutip),

dan juga memberi hutang yang semoga dengan namanya saya

cantumkan disini, hutang sudah diangggap lunas. Lalu kemudian kepada

Afifah, Shopi Syarifah, Nurul Hakim Al- Azmi, Farikhatul Ulya sebagai

teman yang menjadi rekan mencari dragon ball, untuk memanggil dewa

Shenlong. Serta kepada adinda Rima Nur Sa‘diyah sebagai seseorang

yang saya amin-kan dalam doa-doa paling dalam, karena telah dengan

penuh pengertian mendampingi dan mendorong saya untuk

menyelesaikan skripsi ini.

3. Teman-teman seperjuangan, Muhammad Sarifuddin, M Abdul Fatah,

Wahyu Kurniawan, Husain Imaduddin, Laila Alfiyanti, M

xv

Choirurrohman, Mahfudz Fawzie dan Triyanah, terimakasih atas empat

tahun perjuangan yang telah kita lewati bersama ini.

4. Dr. Benny Ridwan, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab,

dan Humaniora IAIN Salatiga.

5. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur`an

dan Tafsir beserta staff-staffnya yang tak pernah menyerah memotivasi

kami sebagai angkatan pertama untuk menyelesaikan skripsi kami.

Terimakasih juga atsa fasilitas Lab FUADAH yang telah dibuka

beberapa saat sebelum penulis memulai skripsi ini, sehingga fasilitas

tersebut sangat membantu proses penulisan skripsi ini.

6. Dr. Muh. Irfan Helmy, M.Ag. selaku dosen pembimbing akademik yang

dengan kesabarannya berkenan memberikan petunjuk dan bimbingan

kepada ananda dalam proses akademik

7. Keluarga Simpul Maiyah Kidung Syafaat Salatiga, dan juga Bapak

Ilyas, yang oleh karna beliau dan seluruh bagian dari keluarga Kidung

Syafaat telah memberikan pengetahuan-pengetahua yang baru.

8. Keluarga Besar Pondok Pesantren Pancasila, Salatiga.

9. Keluarga Besar Pondok Pesantren An- Nida, Salatiga.

10. Dan tak lupa pada pihak-pihak terkait yang lain yang tak sempat untuk

disebutkan di sini.

Teriring do‘a, semoga segala kebaikan semua pihak yang membantu penulis

dalam penulisan skripsi ini diterima di sisi Allah swt. dan mendapat pahala yang

dilipat gandakan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.

xvi

Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun selalu diharapkan demi

kebaikan dan kesempurnaan skipsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Amin.

Salatiga, 15 Maret

2017

Penulis,

Rangga Pradikta

NIM. 215-13-006

xvii

ABSTRAK

Kata Kunci: Kemiskinan dan Tafsir Al- Ibriz

Kemiskinan merupakan masalah sosial yang patut menjadi fokus perhatian

banyak kalangan mulai dari ekonom, sosiolog, dan budayawan, tidak terkecuali

penafsir al- Quran yang berupaya untuk memberikan tawaran atas solusi terhadap

problem kemiskinan yang terjadi dengan menggali makna yang terkandung dalam

al- Qur‘an dengan menggunakan jalan penafsiran. Banyaknya mufassir yang telah

merumuskan penafsirannya untuk dapat membantu umat dalam menyelami makna

yang terkandung di dalam al- Qur‘an, terdapat beberapa mufassir yang berasal

dari Indonesia, salah satunya adalah K.H Bisri Mustofa (1915-1977 M) dengan

kitab tafsirnya yang diberi nama ―al- Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al- Qur‟an al- „Aziz‖.

Tafsir ini memiliki karakter tersendiri menyangkut penafsirannya yang

menggunakan bahasa Jawa, yang memiliki hierarki bahasa/unggah ungguh (tata

krama, seperti bahasa Krama (halus), Krama Inggil, dan Ngoko (kasar), Madya

(biasa).

Penelitian ini berusaha menemukan bagaimana konsep kemiskinan dalam

perspektif kitab tafsir al- Ibriz dan solusi-solusi yang ditawarkan melalui

penafsiran ayat-ayat yang berbicara tentang kemiskinan untuk mengatasi

permasalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia. pertanyaan yang ingin dijawab

oleh penelitian ini adalah (1) bagaimana penafsiran ayat-ayat tentang kemiskinan

dalam tafsir al- Ibriz, (2) bagaimana signifikansi dan relevansi penafsiran ayat-

ayat kemiskinan dalam kitab tafsir al- Ibriz terhadap konteks ke-Indonesia-an.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif yang bersumber dari data-data kepustakaan (library

research) dengan metode penafsiran tematik-kontekstual.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa, dalam tafsir al- Ibriz

dijelaskan bahwasanya terdapat 2 macam tipe dari orang miskin yaitu, orang

miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mau meminta-minta,

keterangan ini terdapat pada penafsiran surat Al- Haj ayat 36, Adz- Dzariyat ayat

19. Cara mengatasi kemiskinan menurut kitab tafsir al- Ibriz ialah sebagai berikut:

(1) menumbuhkan etos kerja pada setiap individu, (2) bantuan tidak langsung,

misalnya berupa pekerjaan, (3) bantuan berupa pemberian makanan, (3)

menjalankan hukum kafarat, baik berupa kafarat sumpah, kafarat pembunuhan,

kafarat berjima‘ dalam bulan ramadhan, kafarat zihar, kafarat pengganti puasa,

dan denda dalam ibadah haji (4) zakat, (5) infaq, (6) sedekah, (7) qurban, (8)

fidyah, (9) pemberian saat pembagian waris, (10) fa‘i, dan (11) ghanimah.

xviii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii

HALAMAN KEASLIAN TULISAN ........................................................... iv

HALAMAN MOTTO .................................................................................... v

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... vi

HALAMAN PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................. vii

KATA PENGANTAR .................................................................................. xiii

ABSTRAK ..................................................................................................... xvii

DAFTAR ISI .................................................................................................. xviii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 5

D. Kajian Pustaka .............................................................................. 5

E. Kerangka Teori............................................................................. 8

F. Metode Penelitian......................................................................... 14

G. Sistematika Penelitian ................................................................. 15

BAB II MENGENAL TAFSIR AL- IBRIZ................................................... 17

A. Biografi K.H Bisri Mustofa ........................................................ 17

xix

B. Karakteristik dan Sistematika Kitab Tafsir Al- Ibriz ................... 31

BAB III KAJIAN TENTANG KEMISKINAN ............................................. 38

A. Kemiskinan Dalam Perspektif Konvensional ............................. 38

B. Kemiskinan Dalam Perspektif Kitab Tafsir Al- Ibriz ................. 46

1. Al- Isra Ayat 26 ... .................................................................. 49

2. Ar- Rum Ayat 38 ... ................................................................ 51

3. Al- Muddatsir Ayat 44 .. ........................................................ 52

4. Al- Haqqah Ayat 34 ... ........................................................... 53

5. Al- Fajr Ayat 18 ... ................................................................. 54

6. Al- Ma‘un Ayat 3 ... ............................................................... 55

7. Al- Qalam Ayat 24 ... ............................................................. 57

8. Al- Baqarah Ayat 184 ... ........................................................ 58

9. Al- Mujadilah Ayat 4 ... ......................................................... 60

10. Al- Insan Ayat 8 ... ................................................................. 61

11. Al- Balad Ayat 16 ... .............................................................. 62

12. Al- Baqarah Ayat 177 ... ........................................................ 63

13. Al- Maidah Ayat 89 ... ........................................................... 65

14. Al- Maidah Ayat 95 ... ........................................................... 66

15. Al- Kahfi Ayat 79 .................................................................. 68

16. An- Nur Ayat 22 .................................................................... 69

17. Al- Baqarah Ayat 83 ... .......................................................... 70

18. Al- Baqarah Ayat 215 ... ........................................................ 71

19. An- Nisa Ayat 36 ... ............................................................... 72

xx

20. Al- Anfal Ayat 41 .................................................................. 73

21. At- Taubah Ayat 60 ... ............................................................ 75

22. Al- Hasr Ayat 7 ... .................................................................. 77

23. An- Nisa Ayat 8 ... ................................................................. 79

24. Al- Haj Ayat 28 ... .................................................................. 80

25. Al- Haj Ayat 36 ... .................................................................. 81

26. Al- Ma‘arij Ayat 24-25 ... ...................................................... 82

27. Al- Isra Ayat 31 ... .................................................................. 83

BAB IV SIGNIFIKANSI DAN RELEVANSI PENAFSIRAN AYAT TENTANG

KEMISKINAN DALAM TAFSIR AL- IBRIZ TERHADAP KONTEKS KE-

INDONESIA-AN ........................................................................................... 87

A. Relevansi Konsep Tentang Kemiskinan Dalam Tafsir Al- Ibriz Dengan

Konteks Ke-Indonesia-an ............................................................ 87

B. Tawaran Solusi Tafsir Al- Ibriz Dalam Menyelesaikan Masalah

Kemiskinan Di Indonesia ............................................................ 93

1. Kewajiban Setiap Individu ... ................................................. 94

2. Kewajiban Orang Lain/Masyarakat ... ................................... 98

3. Kewajiban Pemerintah ... ....................................................... 112

BAB V PENUTUP ......................................................................................... 118

A. Kesimpulan ................................................................................. 118

B. Saran ............................................................................................ 119

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 120

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... ......................................................................... 124

xxi

LEMBAR KONSULTASI ... ......................................................................... 125

CURRICULUM VITAE ............................................................................... 126

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al- Qur‘an merupakan kitab suci bagi agama Islam, dan juga dijadikan

sebagai pedoman hidup bagi pemeluknya. Pemberdayaan atau keadilan menjadi

salah satu visi misi al- Qur‘an sebagai kitab suci dan juga pedoman hidup. Hal itu

terlihat dari penyebutan kata keadilan atau pemberdayaan di dalam al- Qur‘an

mencapai lebih dari seribu kali, yang berarti; kata urutan ketiga yang banyak

disebut al-Qur‘an setelah kata Allah dan al- „ilm.

Masalah kemiskinan dianggap sebagai bagian dari masalah penting yang

memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan individu dan sosial. Kemiskinan

menjadi problematika hidup yang sejak dahulu dihadapi manusia. Berbagai aturan

dan sistem sosial, tidak mampu memberikan jalan keluar dari permasalahan

tersebut dan inilah penyebab maraknya berbagai kejahatan dan pertikaian antara

sesama manusia ditengah-tengah kehidupan kita.

Pada lingkungan masyarakat miskin, semua ideologi yang ekstrim banyak

diminati dan semua perbuatan keji pun dihalalkan untuk memenuhi keinginan-

keinginan.1 Perkara ini pernah terjadi pada masa Jahiliyah. Saat itu, orang orang

tega membunuh anakanak mereka (darah daging mereka) karena perasaan takut

terhina oleh kemiskinan sebagaimana mereka melihat sebagian pengaruh

kemiskinan yang membahayakan kehidupan seseorang.

1 Alif Thabarah, Ruh ad-Din as-Islami, Cet. Ke-27 (Beirut: Dar al- Ilmi li al-Malayin, 1988), hlm.

343.

2

Di Indonesia, kemiskinan seolah menjadi suatu keniscayaan bagi

masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. Ironi memang, kemiskinan tetap

ada di negeri yang konon kaya akan berbagai sumber daya alam. Sebagian orang

memahami kemiskinan secara komparatif, sementara yang lain melihatnya dari

perspektif moral dan evaluatif, dan yang lain lagi memahaminya dari sudut ilmiah

yang telah mapan. Namun, ekonomi Islam bisa dijadikan tools dalam

menyelamatkan umat Islam dari kemiskinan. Ekonomi islam bukan hanya sebatas

alternatif, melainkan solusi dari sistem kapitalisme atau sistem ekonomi manapun

yang selama ini diagung-agungkan oleh Barat.

و ي مٱلذ ػي ذ حق ل ن انو٢٤فأ حروموىيصذ ٢٥ٱل

dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang

(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak

mau meminta.(QS al- Ma‟arij :24-25).

Berdasarkan prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi dalam Islam

berbeda dengan konsep pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu

menggunakan indikator PDB(Produk Dosmetik Bruto) dan perkapita. Pada Maret

2016, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per

bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,01 juta orang (10,86

persen).2 Dalam Islam, pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan

kegiatan ekonomi, bukanlah meningkatkan pertumbuhan sebagaimana dalam

konsep ekonomi kapitalisme, melainkan menekankan keseimbangan antara

petumbuhan dan pemerataan seperti pada konsep ekonomi dalam Islam.

2 Berita Resmi Statistik, Badan Pusat Statistik Indonesia, No. 66/07/Th. XIX, 18 Juli 2016

3

Fakta tentang hasil survei diatas menunjukkan kenyataan sosial masyarakat

bahwa kemiskinan merupakan masalah sosial yang patut menjadi fokus perhatian

banyak kalangan mulai dari ekonom, sosiolog, dan budayawan, tidak terkecuali

penafsir al-Quran yang berupaya untuk memberikan solusi terhadap problem

sosial ini.

Banyaknya mufassir yang telah membukukan tafsirnya untuk dapat

membantu umat dalam menyelami makna yang terkandung di dalam al- Qur‘an,

terdapat beberapa mufassir yang berasal dari Indonesia, salah satunya adalah K.H

Bisri Mustofa (1915-1977 M) dengan kitab tafsirnya yang diberi nama ―al- Ibriz li

Ma‟rifat Tafsir al- Qur‟an al- „Aziz”.

Ada yang menarik dari cara beliau menafsirkan ayat al- Qur‘an, jika pada

umumnya tafsir ditulis menggunakan bahasa arab, maka K.H Bisri Mustofa

menulis tafsirnya dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko dengan menggunakan

penulisan huruf Arab Pegon.

Secara teknis, pilihan menggunakan bahasa ngoko mungkin demi

fleksibilitas dan mudah dipahami, karena dengan cara ngoko, pembicara dan

audiennya menghilangkan jarak psikologis dalam berkomunikasi. Keduanya

berdiri satu level, sehingga tidak perlu mengusung sekian basa-basi seperti ketika

menggunakan kromo madyo atau kromo inggil.

Dengan alasan tersebut sehingga menghadirkan kegelisahan akademik bagi

penulis untuk meneliti kitab tafsir al- Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al- Qur‟an al- „Aziz

yang ditulis dengan pertimbangan yang sangat mendalam sehingga menjadikan

kitab tafsir tersebut menjadi ―merakyat‖ khususnya bagai masyarakat Jawa,

4

umumnya bagi masyarakat Indonesia. Namun, dengan karakteristik tersebut,

apakah kitab tafsir al- Ibriz masih relevan jika digunakan sebagai rujukan dalam

mencari solusi atas permasalah kemiskinan yang terjadi pada masa ini. Untuk

itulah penulis mencoba meneliti tentang bagaimana signifikansi dan relevansi

tafsir al- Ibriz terhadap problematik tentang kemiskinan yang terjadi di Indonesia

dengan menggunakan pendekatan tematik kontekstual.3 Maka dari itu skripsi ini

diberi judul ―Kemiskinan Dalam Perspektif Kitab Tafsir Al- Ibriz Li Ma‟rifat

Tafsir Al- Qur‟an Al- „Aziz (Karya: K.H Bisri Mustofa)”.

B. Rumusan Masalah

Dengan adanya latar belakang di atas, penulis membatasi diri pada kajian

tentang konsep miskin dalam perspektif kitab tafsir al- Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al-

Qur‟an al- „Aziz karya K.H Bisri Mustofa. Oleh karena itu, penulis mengajukan

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana penafsiran ayat-ayat tentang kemiskinan dalam kitab tafsir al-

Ibriz ?

2. Bagaimana signifikansi dan relevansi penafsiran ayat-ayat tentang

kemiskinan dalam kitab tafsir al- Ibriz terhadap konteks ke-Indonesiaan ?

3 Tafsir Tematik (Tafsir maudhu‟i) maksudnya adalah membahas ayat-ayat al-Quran sesuai dengan

tema dan judul yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, penafsir yang memakai metode ini akan

meneliti ayat-ayat al-Quran dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan

oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul

menguasainya, sehingga kemungkinan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat

menolak segala kritik. Lihat Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i: suatu

pengantar, Suryan A. Jamrah (penerj.), (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), hal. 36-37

5

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana kitab tafsir tafsir al- Ibriz li Ma‟rifat Tafsir

al- Qur‟an al- „Aziz karya K.H Bisri Mustofa mengurai ayat tentang

kemiskinan.

2. Untuk mengetahui bagaimana kitab tafsir tafsir al- Ibriz li Ma‟rifat Tafsir

al- Qur‟an al- „Aziz menjawab dan memberikan solusi terhadap

problematika kemiskinan.

Disamping itu, hasil penelitian ini diharapkan mampu memiliki kegunaan

yang bersifat akademis. Yang mana penelitian ini merupakan satu sumbangan

sederhana bagi pengembangan studi al-Qur‘an dan untuk kepentingan studi

lanjutan diharapkan sebagai bahan acuan, referensi dan lainnya bagi penulis lain

yang ingin memperdalam penelitian yang telah penulis lakukan.

D. Kajian Pustaka

Sebelum dilakukan penelitian ini, penulis telah membaca beberapa sumber-

sumber rujukan baik yang primer maupun sekunder, seperti (1) Kitab Tafsir al-

Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al- Qur‟an al- „Aziz (Kudus: Maktabah wa Matb‘ah

Menara Kudus, 1995), (2) buku M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur‟an: Tafsir

Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, Cetakan ke 13.

1996), yang berisi tentang penafsiran tematik atas berbagai permasalahan umat

terkini. (3) Achmad Zainal Huda. 2005. Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah

KH Bisri Mustofa. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara. Serta buku lainnya.

6

Adapun skripsi terdahulu yang ditulis oleh Hidayatul Fitriah, dengan judul

Studi Kritik Karakteristik Kedaerahan Tafsir Al- Ibriz Karya Bisri Mustofa

Rembang. Yang membahas tentang karakteristik dari kitab tafsir al- Ibriz.

Penulis juga telah membaca beberapa jurnal yang berhubungan dengan

tema yang penulis angkat, beberapa diantaranya yaitu:

(1). Mochamad Syawie. 2011. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial. Jurnal

Informasi, Vol. 16 No. 03,4 yang berisi tentang bagaimana kemiskinan telah

menjadi masalah sosial yang sangat serius sehingga kemiskinan bukan saja

diartikan sebagai suatu kondisi diamana seseorang kekurangan makanan sebagai

kebutuhan hidup sehari-hari, melainkan kemiskinan sudah mencapai pada level

ketiadaan makanan atau kehabisan makanan bagi seseorang. Mochamad Syawie

menyimpulkan bahwa usaha penanggulangan kemiskinan tidak selalu berarti

pengurangan ketimpangan sosial, ia berharap bahwa penanggulangan kemiskinan

juga harus dibarenngi dengan pengurangan ketimpangan sosial dengan cara

menumbuhkan kebersamaan antar manusia. (2). Maslukhin. 2015. Kosmologi

Budaya Jawa dalam Tafsir al- Ibriz Karya K.H Bisri Mustofa. Mutawâtir: Jurnal

Keilmuan Tafsir Hadis Volume 5, Nomor 1. Institut Keislaman Abdullah Faqih

Gresik, Indonesia., yang menyimpulkan bahwa kitab tafsir al- Ibriz ditulis pada

saat sastra dan budaya jawa meredup dari kejayaanya, hal ini dilakukan oleh K.H

Bisri Mustofa dikarenakan sebagai totalitas pemikirannya sebagai orang yang

besar dalam budaya pesantren Jawa dengan realitas sosial pembaca kitab tafsirnya

sehingga al- Ibriz ditulis dengan bahasa yang dekat dengan masyarakat yang

4 Mochamad Syawie. Alumnus Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakrta,

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Trisakri, Jakarta. Pernah menjadi sebagai Peneliti Madya di

Puslitbang kessos pada tahun 2011.

7

menjadi audiens bagi kitab tafsir al- Ibriz. (3). Tri Wahyu Hidayati, Sistem Jaring

Pengaman Sosial(The Social Safety Net) Dalam Al- Qur‟an (Kajian Sosio

Historis), (Laporan Penelitian Unggulan; Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

Salatiga, Salatiga, 2014), yang menyimpulkan bahwa, mengatasi problem

kemiskinan adalah tanggung jawab kesadaran pribadi, masyarakat, dan pemimpin

(Negara), Negara harus lebih bijak dalam menjalankan aturan-aturan yang yang

memihak kepada masyarakat miskin, setiap individu dalam masyarakat harus

memiliki kesadaran untuk memperbaiki taraf hidupnya dan kesadaran untuk

saling memberi kepada yang sangat membutuhkan, bantuan yang diberikan

kepada masyarakat miskin tidak cukup pada hal-hal yang bersifat konsumtif,

namun juga harus memberikan bantuan yang bersifat produktif. (4). Budiharjo.

Kemiskinan Dalam Perspektif Al- Qur‘an. Hermenia Jurnal Kajian Islam

Interdesipliner, vol. 6, no. 2 Juli – Desember 2007, Cara menanggulangi

kemiskinan adalah dengan memberikan makanan, berbuat baik, fidyah, bantuan

negara, warisan, kifarat, infak, zakat dan bantuan rutin. Bantuan yang tidak rutin

perlu membina agar orang-orang miskin agar mampu hidup sendiri, bahkan

menjadi kaya dan membantu yang miskin berikutnya. Bantuan rutin diberikan

kepada orang yang tidsak mampu lagi bekerja. (5) Hidayatul Fitriah. 1999. Studi

Kritik Karakteristik Kedaerahan Tafsir Al-Ibriz karya Bisyri Mustafa Rembang.

Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga. Yang

menjelaskan tentang bagaimana karakteristik tafsir al- Ibriz dengan penulisannya

yang menggunakan bahasa daerah, yaitu Bahasa Jawa. Dan lain sebagainya.

8

E. Kerangka Teori

Berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945, negara mempunyai tanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum

dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan mulia tersebut diuraikan dalam

pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

diantaranya: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), dan ayat (2),

Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4), dan pasal 34 ayat (1). Negara bertanggung jawab

untuk memelihara fakir miskin guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi

kemanusiaan; bahwa untuk melaksanakan tanggung jawab negara diperlukan

kebijakan pembangunan nasional yang berpihak kepada masyarakat secara,

terencana, terarah, dan berkelanjutan.

Menurut BPS, ada 14 kriteria yang dipergunakan untuk menentukan keluarga/

rumah tangga yang termasuk dalam kategori miskin. Apabila ada 9 dari 14 tersebut,

sebuah keluarga dikategorikan miskin. Adapun 14 kriteria tersebut adalah:

1. Luas lantai bangunan rumah kurang dari 8 m2

per orang

2. Jenis lantai rumah dari tanah, kayu/bambu

3. Dinsing rumah dari bambu/rumbia/kayu kualitas rendah/ tembok tanpa plester

4. Tidak memiliki fasilitas MCK yang memadai (masih numpang tetangga)

5. Penerangan rumah tidak menggunakan listrik

6. Sumber air minum dari mata air tak terlindungi seperti sungai

7. Memasak dengan kayu bakar/arang/minyak tanah

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam seminggu sekali

9. Hanya mampu membeli baju setahun sekali

9

10. Hanya mampu menyediakan makan sehari satu atau dua kali sehari

11. Tidak mampu membayar pengobatan di puskesmas atau poliklinik

12. Sember penghasilan kepala keluarga: petani (luas lahan 500m2), buruh

tani,nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lain dengan

pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan.

13. Pendidikan tertinggi kepala keluarga adalah: tidak sekolah atau hanya SD

14. Tidak memiliki tabungan/barang berharga yang mudah dijual minimal Rp.

500.000,-.5

Problematik kemiskinan ini menjadi masalah yang sangat krusial baik bagi

bangsa dan negara, maupun bagi individu yang menderita akibat kemiskinan itu

sendiri. Berbagai kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan khususnya di

Indonesia sudah dibuat disetiap masa pemerintahan, namun kebijakan-kebijakan

pemerintah tersebut dirasa belum dapat menghasilkan perbedaan yang signifikan

terhadap masalah ini. Menurut Asghar Ali Engineer hal ini terjadi karena umat

Islam sudah tidak lagi mempedulikan masalah keadilan sosial ekonomi, umat

Islam menurutnya hanya menyisakan sedikit rasa peduli terhadap golongan lemah

sehingga lenyaplah keadilan Islam yang distributif.6

Kata miskiin dalam al- Qur‘an ditemukan dengan berbagai macam bentuk.

Kata al- miskiin disebut 8 kali, yaitu pada; Al- Isra‘: 26, Ar- Rum: 38, Al-

Mutdatstsir: 44, Al- Baqarah: 184, Al- Haqqah: 34, Al- Fajr: 18, Al- Ma‘un: 3,

Al- Qalam: 24.

5Tri Wahyu Hidayati, Sistem Jaring Pengaman Sosial(The Social Safety Net) Dalam Al- Qur’an

(Kajian Sosio Historis), (Laporan Penelitian Unggulan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. 2014)., hlm. 44-45. 6 Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 10

10

Sedangkan kata miskiinan ditemukan dalam tiga tempat yaitu pada; Al-

Mujadilah: 4, Al- Insan: 8, Al- Balad: 16. 7 bentuk jamak miskiin adalah

masaakiin, terdapat dalam 12 tempat, yaitu; Al- Baqarah: 177, Al- Maidah: 89 &

95, Al- Kahfi: 79, An- Nur: 22, Al- Baqarah: 83 & 215, An- Nisa: 36, Al- Anfal:

41, At- Taubah: 60, Al- Hasr: 7, An- Nisa: 8.8 Kata miskiin dalam bahasa Arab

hampir bersamaan artinya dengan al- baais al- faqiir dalam surat Al- Hajj: 28, al-

fuqaraa‟ dalam surat At- Taubah: 60, al- qaani dalam Al- Hajj: 36, dan al- imlaaq

dalam surat Al- Isra‘: 31.

Problem tentang kemiskinan juga telah di sebutkan dalam beberapa ayat al-

Qur‘an yang menandakan bahwa, kemiskinan memang merupakan sebuah

masalah yang perlu mendapat perhatian lebih dari berbagai dimensi, tak lepas dari

dimensi keagamaan, kultural dan pemerintahan. Maka, sebagai penduduk Negara

Republik Indonesia yang beragama Islam dengan kitab sucinya berupa al- Qur‘an

yang didalamnya juga terdapat pembahasan tentang kemiskinan, kita harus

kembali kepada ayat-ayat al- Qur‘an untuk menggali makna yang terdapat

didalamnya sehingga mampu memunculkan berbagai penawaran atas solusi-solusi

terhadap masalah kemiskinan.

Dalam rangka memahami pesan-pesan al- Qur‘an maka diperlukan ilmu

yang disebut ilmu tafsir. Dalam pengertiannya ilmu tafsir adalah suatu ilmu yang

digunakan untuk menjelaskan atau menampakkan makna yang terkandung

didalam ayat-ayat al- Qur‘an.

7 Ali Audah. Konkordansi Qur‟an, (Bogor: Litera Antar Nusa. 1996), hlm. 410.

8 Ibid.

11

Pasca Nabi Muhammad meninggal dunia, al-Qur‘an sudah tidak akan turun

lagi dan telah selesai dibukukan, namun kandungan maknanya dipercaya tidak

akan penah habis (salih li kull zaman wa al-makan), konsekuensinya disusunlah

kitab-kitab tafsir sebagai ―kepanjangan tangan‖ dari firman Allah yang sudah

resmi dibukukan itu. Bagi orang beragama Islam, utusan Allah boleh saja mati,

firman Allah boleh saja terhenti, namun kandungan maknanya tidak boleh ikut

ikutan selesai. Bagaikan pelita, ia harus selalu memancarkan cahaya. Kandungan

makna firman Allah itulah yang dieksplorasi seluas-luasnya oleh kitab-kitab tafsir.

Keragaman dalam penafsiran al- Qur‘an merupakan suatu keniscayaan yang

tidak bisa dihindari. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan ilmu yang

dipandang sebagai ilmu bantu bagi Ulumul Qur‟an, seperti linguistik,

hermeneutika, sosiologi, antropologi, ilmu komunikasi, dan lainnya.9

Karena itu, upaya di kalangan umat Islam untuk memahami dan

mengungkap makna al- Qur‘an selalu muncul ke permukaan selaras dengan

kebutuhan dan tantangan yang mereka hadapi pada zaman masing-masing.

Muncullah denga demikian berbagai bentuk tafsir yang baragam dengan metode

penafsiran yang berbeda pula sesuai orientasi dan urgensinya sehingga hal ini juga

tidak pernah lepas dari konteks kebudayaan setempat yang melingkupi lahirnya

sebuah karya tafsir.10

Karena itulah tafsir dapat dikatakan sebagai renspon sosial

masyarakat yang berkembang saat itu.

9 Sahiron Syamsuddin, Ranah-Ranah Penelitian Dalam Studi Al-Qur‟an dan Hadis, Kata

Pengantar dalam Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis, (Yogyakarta: TH-Press, 2007).

hlm. xi. 10

Hidayatul Fitriah, Studi Kritik Karakteristik Kedaerahan Tafsir Al-Ibriz karya Bisyri Mustafa

Rembang, (Skripsi Fakultas Ushuluddin IAIN Suna Kalijaga, Yogyakarta, 1999), hlm. 1

12

Semua tafsir dipandang sebagai produk akal manusia yang relatif,

kontekstual, temporal, dan personal.11

Kebutuhan akan pemahaman kandungan al-

Qur‘an sesuai lokalitas masing-masing menyebabkan lahirnya karya-karya tafsir

berbahasa daerah. Hal tersebut merupakan sebuah langkah para penyusun tafsir al-

Qur‘an agar ajaran-ajaran al- Qur‘an dapat dipahami dengan lebih mudah oleh

umat Islam Indonesia. Muncullah kemudian beberapa tafsir berbahasa Jawa,

Melayu, Sunda, Jawa, Minang, dan lainya.

Mayoritas penduduk Indonesia berbahasa Jawa. Mulanya, masyarakat Jawa

yang banyak mengkaji tafsir berasal dari kalangan pesantren. Ini tidak

mengherankan sebab pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang

mengkaji ilmu-ilmu agama seperti tafsir, akidah, fikih, akhlak-tasawuf, dan

sebagainya. Dalam kajian tafsir, pada awalnya pesantren-pesantren di Jawa lebih

banyak menggunakan tafsir berbahasa Arab seperti Tafsir al-Jalalain, Marah

Labid, dan Tafsir al-Munir. Pada perkembangannya, kajian tafsir di pesantren-

pesantren Jawa sedikit demi sedikit mengalami pergeseran. Hal tersebut terbukti

adanya kitab-kitab tafsir lokal yang dikaji seperti Tafsir Al-Ibriz.

Tafsir ini pada awalnya hanya dikaji oleh masyarakat pesisir utara Jawa,

tempat Bisri Musthofa lahir dan dibesarkan. Pada perjalanannya, Tafsir Al-Ibriz

dikaji dan diajarkan secara luas di majelis-majelis pengajian umum, tidak sebatas

masyarakat pesisir utara Jawa.

Salah satu teori tafsir menyatakan bahwa taghayyur al- tafsir bi taghayyur

azman wal amkan, bahwa perubahan penafsiran dipengaruhi oleh perubahan

11

Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir AlQuran, (Jakarta:

Gema Insani, 2007), hlm. 17.

13

zaman dan tempat.12

Berangkat dari pernyataan ini, maka tafsir sebagai sebuah

produk dialektika antara taks al- Qur‘an dengan konteks (realitas) sesungguhnya

selalu harus mengalami perkembangan, sesuai dengan gerak perkembangan waktu

dan tempat bahkan juga perubahan lingkungan. Jika dahulu tafsir hanya berkutat

pada pola deduktif- normatif dalam memaknai ayat, maka saat ini produk tafsir

harus sudah mampu produktif dan kreatif dalam menjawab problem sosial

keagamaan.13

Ada beberapa alasan yang membuat tafsir ini menarik untuk dikaji.

Pertama, tafsir ini memiliki karakter tersendiri menyangkut penafsirannya yang

menggunakan bahasa Jawa, yang memiliki hierarki bahasa/unggah ungguh (tata

krama, seperti bahasa Krama (halus), Krama Inggil, dan Ngoko (kasar), Madya

(biasa). Kedua, Bisri Musthofa merupakan tokoh Jawa yang memiliki kredibilitas

dalam pendidikan, juga ahli dalam penggunaan bahasa Jawa sehingga sastra Jawa

pada karya tafsirnya memperindah bahasa Jawa yang digunakan. Ketiga,

kedudukan beliau sebagai seorang kiai pesantren, birokrat, dan ulama, membuat

karyanya sangat layak dikaji dan diulas lebih dalam. Keempat, beliau juga

merupakan salah satu mufassir Indonesia, yang telah mengalami sendiri

bagaimana kultur sosial budaya yang berlangsung di Indonesia.

12

Muhamad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah Li al- Fiqhi al- Islami: Fiqh al- Mar‟ah, al-

Washiyyah, al- Irts, al- Qiwamah, al- Ta‟addudiyah, al- Libas. (al- Ahali li ath- Thiba‘ah wa al-

Nasyr wa al- Tauzi. Damaskus. 2000). Lihat lebih lanjut pada Abdul Mustaqim, Metode Penelitian

Al- Qur‘an Dan Tafsir, (Idea Press. Yogyakarta. 2015). Hlm. 76. 13

Lihat lebih lanjut pada, Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer.(Yogyakarta: Lkis,

2010)

14

F. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat

deskriptif-analisis, yang akan mencoba menjawab pertanyaan di dalam rumusan

masalah berdasarkan model penelitian tematik (al- dirasah al- mawdhu‘iyyah),

yang merupakan salah satu metode penelitian al- Qur‘an. Adapun jenis riset yang

dipakai dalam penelitian ini adalah riset tematik kontekstual, yakni cara

memahami al- Qur‘an dengan mengumpulkan ayat-ayat yang setema untuk

mendapat gambaran yang utuh, holistik, dan komperehensif mengenai tema yang

dikaji, kemudian mencari makna yang relevan dan aktual untuk konteks kekinian.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi terhadap data primer

dan data sekunder. Data primer merupakan data kepustakaan berupa kitab tafsir

al- Ibriz li Ma‘rifat Tafsir al- Qur‘an al- ‗Aziz karya K.H Bisri Mustofa.

Sedangkan data sekunder merupakan bahan-bahan kepustakaan yang memiliki

kaitan langsung maupun tidak langsung dengan data primer.

Data-data yang telah terkumpul akan dianalisis yaitu dengan metode tafsir

tematik kontekstual, adapun langkah-langkah metode tematik kontekstual dengan

modifikasi seperlunya adalah sebagai berikut: Pertama, menetapkan tema yang

akan dibahas, yakni tema tentang konsep kemiskinan. Kedua, menghimpun ayat-

ayat yang berkaitan dengan tema tentang konsep kemiskinan. Ketiga, menafsirkan

ayat-ayat tersebut dengan menggunakan tafsir al- Ibriz, lalu penulis akan mencari

korelasi dari ayat-ayat yang hendak di bahas untuk menemukan akurasi makna

yang hendak dicari. Keempat, menyusun pembahasan dalam kerangka yang

sempurna sesuai dengan problem akademis dalam penelitian ini. Kelima,

15

melengkapi dengan hadits-hadits yang relevan dan penjelasan dari para ahli.

Keenam, mencermati kembali penafsiran ayat-ayat tentang kemiskinan tersebut

secara keseluruhan dan mencari pemaknaan yang relevan dan aktual untuk

konteks ke Indonesiaan terkait masalah kemiskinan, kemudian membuat

kesimpulan-kesimpulan.

G. Sistematika Penelitian

Mengacu pada metode penelitian di atas, selanjutnya untuk memudahkan

dan demi runtutnya penalaran dalam penelitian, kajian dalam penelitian ini akan

di bagi dalam tiga bagian utama, yakni pendahuluan, isi dan penutup dengan

sistematika sebagai berikut:

Bab I berisi pendahuluan yang menguraikan argumentasi seputar

signifikansi penelitian ini. Sebagai landasan awal dalam melakukan penelitian,

bab I ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

metode penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, sistematika pembahasan.

Bab II akan membicarakan biografi tokoh yang dikaji, meliputi latar

belakang kehidupan maupun biografi intelektual termasuk karya-karya

intelektualnya. Sub bab berikutnya berbicara lebih dalam tentang karakteristik

yang terdapat dalam kitab tafsir al- Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al- Qur‟an al- „Aziz

karya K.H Bisri Mustofa, dan juga metodologi yang digunakan oleh K.H Bisri

Mustofa dalam menyusun kitab tafsir al- Ibriz.

Bab III Pada sub bab pertama berisi tentang konsep kemiskinan dalam

perspektif konvensional, dengan mengurai beberapa pengertian dan data tentang

16

kemiskinan, sedangkan pada sub bab kedua berisi tentang konsep kemiskinan

dalam al- Qur‘an menggunakan perspektif kitab tafsir al- Ibriz.

Bab IV, pada bab ini pembahasan berisi tentang hasil analisi yang

difokuskan untuk mengurai bagaimana signifikansi dan relevansi penafsiran ayat

kemiskinan dan solusi yang ditawarkan dalam tafsir al- Ibriz terhadap

problematik kemiskinan dalam konteks ke-Indonesiaan.

Bab V merupakan bab penutup yang akan memberikan kesimpulan

terhadap hasil penelitian dan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.

17

BAB II

MENGENAL TAFSIR AL- IBRIZ

A. Biografi K.H Bisri Mustofa

KH. Bisri Musthofa dilahirkan di desa Pesawahan, Rembang, Jawa Tengah,

pada tahun 1915 dengan nama asli Masyhadi. Nama Bisri ia pilih sendiri setelah

kembali menunaikan ibadah haji di kota suci Mekah. Ia adalah putra pertama dari

empat bersaudara pasangan H. Zaenal Musthofa dengan isteri keduanya yang

bernama Hj. Khatijah. Tidak diketahui jelas silsilah kedua orangtua KH. Bisri

Musthofa ini, kecuali dari catatannya yang menyatakan bahwa kedua orangtuanya

tersebut sama-sama cucu dari Mbah Syuro, seorang tokoh yang disebut-sebut

sebagai tokoh kharismatik di Kecamatan Sarang. Namun, sayang sekali, mengenai

Mbah Syuro inipun tidak ada informasi yang pasti dari mana asal usulnya.14

Pada 17 Rajab 1354 H/Juni 1935 beliau menikahi Ma‘rufah binti K. H.

Cholil dari pernikahan ini beliau dikaruniai delapan anak, yaitu; Cholil (lahir

1941), Mustofa (lahir 1943), Adieb (lahir 1950), Faridah (lahir 1952), Najichah

(lahir 1955), Labib (lahir 1956), Nihayah dan Atikah (lahir 1964). Pada sekitar

tahun 1967, K.H. Bisri kemudian menikah lagi dengan seorang wanita asal Tegal

bernama Umi Atiyah. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai seorang putra

bernama Maimun. Bisri Musthofa meninggal di Semarang pada 16 Februari 1977

akibat serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan paru-paru.15

14

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di

Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 85. 15

Risalah NU, In Memorian: KH. Bisri Musthofa, (Semarang: PWNU Jateng, Edisi No. 2, Tahun

II 1399/1979 M), hlm. 7.

18

KH. Bisri Musthofa lahir dalam lingkungan pesantren, karena memang

ayahnya seorang kiai. Sejak umur tujuh tahun, ia belajar di sekolah Jawa ―Ongko

Loro‖ di Rembang. Di sekolah ini, Bisri tidak sampai selesai, karena ketika

hampir naik kelas dua ia terpaksa meninggalkan sekolah, tepatnya diajak oleh

orangtuanya menunaikan ibadah haji di Mekah. Rupanya, inilah masa di mana

beliau harus merasakan kesedihan mendalam karena dalam perjalanan pulang di

pelabuhan Jedah, ayahnya yang tercinta wafat setelah sebelumnya menderita sakit

di sepanjang pelaksanaan ibadah haji.16

Sejak ayahandanya wafat pada tahun 1923 merupakan babak kehidupan

baru bagi Bisri Mustofa. Sebelumnya ketika bapaknya masih hidup seluruh

tanggung jawab dan urusan-urusan serta keperluan keluarga termasuk keperluan

Bisri menjadi tanggung jawabnya. Oleh karena itu sepeninggal H. Zainal Mustofa

(bapaknya), keluarga Bisri merasakan ada perubahan yang besar dari kehidupan

sebelumnya. Sepeninggal itu, tanggung jawab keluarga termasuk Bisri berada di

tangan H. Zuhdi.17

H. Zuhdi kemudian mendaftarkan Bisri ke sekolah HIS (Hollans Inlands

School) di Rembang. Pada waktu itu di Rembang terdapat tiga macam sekolah,

yaitu:

1. Eropese School; di mana muridnya terdiri dari anak-anak priyayi tinggi,

seperti anak-anak Bupati, asisten residen dan lain-lain.

16

Saifuddin Zuhri, PPP, NU, dan MI: Gejolak Wadah Politik Islam (t.tp: Integrita Press, 1983),

hlm, 24. 17

H Zuhdi merupakan kakak tiri Bisri, anak dari pasangan H Zainal Mustofa dengan H Dakilah.

Dengan kata lain H Zuhdi dengan Bisri seayah tapi beda ibu. Lihat Achmad Zainal Huda, Mutiara

Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa, cet. I (Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara,

2005), hlm. 9.

19

2. HIS (Hollans Inlands School); di mana muridnya terdiri dari anka-anak

pegawai negeri yang penghasilannya tetap. Uang sekolahnya sekitar Rp. 3,-

sampai Rp. 7,- .

3. Sekolah Jawa (Sekolah Ongko loro); di mana muridnya terdiri anak-anak

kampung; anak pedagang, anak tukang. Biaya sekolahnya sekitar Rp. 0,1,-

samapi Rp. 1,25,-.18

Bisri Mustofa di terima di sekolah HIS, sebab beliau diakui sebagai

keluarga Raden Sudjono, Mantri guru HIS yang bertempat tinggal di Sawahan

Rembang Jawa Tengah dan merupakan tetangga keluarga Bisri Mustofa. Akan

tetapi setelah Kyai Cholil Kasingan mengetahui bahwa Bisri Mustofa sekolah di

HIS, maka beliau langsung datang ke rumah H. Zuhdi di Sawahan dan memberi

nasehat untuk membatalkan dan mencabut dari pendaftaran masuk sekolah di

HIS. Hal ini dilakukan karena Kyai Cholil mempunyai alasan bahwa HIS adalah

sekolah milik penjajah Belanda yang dikhususkan bagi para anak pegawai negeri

yang berpenghasilan tetap. Sedangkan Bisri Mustofa sendiri hanya anak seorang

pedagang dan tidak boleh mengaku atau diakui sebagai keluarga orang lain hanya

bisa untuk belajar di sana.

Kebencian kyai Cholil dengan penjajah Belanda mempengaruhi dalam

keputusan ini. Beliau sangat khawatir kelak Bisri Mustofa nantinya memiliki

watak seperti penjajah Belanda jika beliau masuk sekolah di HIS. Selain itu kyai

Cholil juga menganggap bahwa masuk sekolah di sekolahan penjajah Belanda

adalah haram hukumnya. Kemudian Bisri Mustofa kembali melanjutkan

18

Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa, cet.I

(Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara, 2005), hlm. 10-11.

20

sekolahnya di sekolah ―Ongko Loro‖ sampai mendapatkan sertifikat dengan masa

pendidikan selama empat tahun. Pada usia 10 tahun (tepatnya pada tahun 1925),

Bisri melanjutkan pendidikannya ke pesantren Kajen, Rembang. Pada tahun 1930,

Bisri belajar di pesantren Kasingan (tetangga desa Pesawahan) pimpinan Kiai

Cholil.19

Pada awalnya Bisri Mustofa tidak minat belajar di Pesantren. Sehingga hasil

yang dicapai dalam awal-awal mondok di Pesantren Kasingan sangat tidak

memuaskan.20

Hal itu disebabkan oleh :

1. Kemauan belajar di Pesantren tidak ada, karena beliau merasa pelajaran

yang di ajarkan di Pesantren sangat sulit, seperti; nahwu, sorof dan lain-lain.

2. Bisri Mustofa menganggap kyai Cholil adalah sosok yang galak dan keras.

Sehingga beliau merasa takut apabila tidak dapat menghafal atau memahami

apa yang diajarkan pasti akan mendapat hukuman.

3. Kurang mendapat tanggapan yang baik dari teman-teman pondok.

4. Bekal uang Rp. 1,- setiap minggunya dirasa kurang cukup.21

Setelah tidak kerasan maka Bisri Mustofa berhenti mondok dan selalu main-

main dengan teman-teman sekampungnya. Kemudian beliau tidak mondok

beberapa bulan, maka pada permulaan tahun 1930 Bisri Mustofa diperintahkan

untuk kembali lagi ke Kasingan untuk belajar mengaji dan mondok pada kyai

Cholil. Bisri Mustofa kemudian dipasrahkan oleh ipar kyai Cholil yang bernama

Suja‘i. Di Pesantren itu, Bisri Mustofa tidak langsung mengaji kepada kyai Cholil.

19

Maslukhin, Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al- Ibriz Karya K.H Bisri Mustofa.

Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis Volume 5, Nomor 1. (Institut Keislaman Abdullah Faqih

Gresik, Indonesia. 2015), hlm. 42. 20

Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa,... hlm. 11. 21

Ibid, hlm. 11-13.

21

Akan tetapi beliau terlebih dahulu belajar mengaji kepada Suja‘i. hal ini dilakukan

selain Bisri Mustofa belum siap mengaji langsung kepada kyai Cholil juga untuk

membuktikan kepada teman-temannya bahwa beliau akan mampu dan untuk

mempersiapkan diri nantinya mengaji secara langsung kepada kyai Cholil. Bisri

Mustofa tidak diajarkan kitab-kitab yang macam-macam, tetapi beliau hanya

diajarkan kitab Alfiyah Ibnu Malik. Sehingga setiap hari yang dipelajari hanya

satu kitab itu saja. Pada akhirnya Bisri Mustofa menjadi santri yang sangat

menguasai kitab tersebut.

Setelah selama dua tahun beliau mempelajari kitab Alfiyah maka ketika ada

pengajian kitab Alfiyah oleh kyai Cholil sendiri, maka Suja‘i mengizinkan Bisri

Mustofa untuk ikut serta dalam pengajian tersebut dan diharuskan untuk duduk

paling depan agar lebih paham serta dapat dengan cepat menjawab seluruh

pertanyaan yang diajukan oleh kyai Cholil. Setiap ada pertanyaan dari kyai Cholil,

maka Bisri Mustofa lah santri pertama yang ditanya dan dengan mudah beliau

menjawab pertanyaan. Sehingga mulai saat itu teman-teman santri mulai

memperhitungkan seorang Bisri Mustofa dan selalu menjadi tempat rujukan

teman-temannya apabila mendapat kesulitan pelajaran.22

Satu tahun kemudian Bisri Mustofa mulai ikut mengaji kitab Fathul

Mu‟in23

, beliau mempelajarinya secara sungguh-sungguh sebagai mana beliau

mempelajari Alfiyah. Setelah selesai belajar kedua kitab tersebut (Alfiyah dan

22

Ibid, hlm. 14. 23

Kitab Fathul Mu‟in adalah kitab yang membahas tentang hukum-hukum fiqih, kitab ini sangat

populer di kalangan Pesantren. Pengarang kitab ini adalah Syekh al-‗Alim al-‗allamah Zainuddin

bin ‗Abdul Aziz al-Malibari.

22

Fathul Mu‟in), maka barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang lain, Seperti;

Fathul Wahhab, Iqna‘, Jami‘ul Jawami‘, Uqudul Juman dan lain-lain.24

Sejak tahun 1933 Bisri Mustofa sudah dipandang sebagai santri yang

memiliki kelebihan. Sehingga teman-temannya yang lain selalu menjadikan

sebagai rujukan. Pada tahun itu pula adiknya (Misbah) dimasukkan juga di

pondok Kasingan. Sehingga biaya hidup pun menjadi bertambah. Oleh H. Zuhdi

beliau diberi uang Rp. 1,75,- untuk biaya hidup dua orang. Karena merasa kurang

cukup maka Bisri Mustofa nyambi jualan kitab yang beliau ambil dari toko

kakaknya H. Zuhdi, keuntungan dari penjualan tersebut dijadikan tambahan untuk

biaya di pondok.25

Pada tahun 1932 Bisri Mustofa minta restu kepada kyai Cholil untuk pindah

ke Pesantren Termas yang diasuh oleh kyai Dimyati. Pada tahun itu kebanyakan

temen-temen Bisri Mustofa melanjutkan mengaji ke Termas, seperti Thoyib,

Fatchur Rachman dan Anwar. Permintaan tersebut tidak dikabulkan oleh sang

kyai. Bahkan kyai Cholil dengan nada lantang dan keras melarang Bisri Mustofa

untuk ke Termas. Beliau mengatakan bahwa di Kasingan pun Bisri Mustofa tidak

akan bisa menghabiskan ilmu yang diajarkan. Bisri Mustofa tidak boleh ikut-

ikutan dan meniru teman-temannya yang mau mengaji ke Termas. Kyai Cholil

tidak meridhoi Bisri Mustofa untuk pergi ke Termas. Akhirnya Bisri Mustofa

menuruti titah sang kyai dengan tidak jadi pergi ke Termas. Beliau tidak berani

melanggar titah kyai Cholil. Kemudian Bisri Mustofa tetap tinggal di Kasingan.26

24

Maslukhin, Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al- Ibriz Karya K.H Bisri Mustofa... hlm. 44. 25

Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri Mustofa,... hlm. 14. 26

Ibid., hlm. 14.

23

Akhirnya pada bulan Sya‘ban tahun 1934 Bisri Mustofa diajak oleh kyai

Cholil ke Tuban Jawa Timur. Kepergian tersebut tidak jelas dan kenapa Bisri

Mustofa diajak. Setelah sampai di Jenu, di rumah kyai Husain, kyai Cholil berkata

kepada Bisri Mustofa: ”Engkau mau tidak saya akui sebagai anak saya dunia

akhirat?”, tentu saja Bisri Mustofa langsung menjawab; “Ya mau Syaikhuna”.

Kyai Cholil terus berkata: ―Kalau begitu engkau harus patuh kepadaku”. Bisri

Mustofa pun diam sebagai tanda tidak menolak. Kemudian kyai Cholil berkata

lagi: “Engkau akan saya nikahkan dengan putri kyai Murtadho Makam Agung

Tuban. Putrinya itu ayu, manis dan bapaknya kyai Murtadho adalah seorang kyai

yang alim, beruntung engkau menjadi menantunya”. Akan tetapi Bisri Mustofa

memberanikan diri untuk menolak perintah untuk menikah itu. Beliau merasa

belum pantas untuk menikah, karena ilmu yang beliau dipelajari masih sangat

kurang. Kyai Cholil kemudian menjawab bahwa justru itu sebabnya Bisri Mustofa

akan dikawinkan dengan putri seorang kyai besar dan alim agar nantinya beliau

menjadi seorang alim juga.27

Tanpa diberikan kesempatan menjawab, Bisri Mustofa langsung diajak ke

rumah kayai Murtadho Tuban. Di tempat situ sepertinya sudah dipersiapkan

segala hal untuk menerima tamu kyai Cholil dan Bisri Mustofa yang akan

melakukan khitbah kepada kyai Murtadho. sesampai di rumah tujuan, Bisri

Mustofa merasa beruntung karena sang putri yang akan dikhitbah ternyata lari dan

bersembunyi ketika melihatnya. Hal ini yang dijadikan alasan Bisri Mustofa untuk

menolak perintah menikah. Tetapi kyai Cholil sudah melakukan perundingan

27

Ibid., hlm. 18.

24

dengan kyai Murtadho bahwa keputusan menikahkan Bisri Mustofa dengan putri

kyai Murtadho sudah bulat. Telah diputuskan juga pada tanggal 7 bulan Syawwal

tahun 1934, kyai Murtadho akan bertandang ke Rembang bersama putrinya untuk

Khitbah dan dilangsungkan dengan pernikahan.

Pada tanggal 3 Syawwal 1934 Bisri Mustofa dengan ditemani Mabrur

meninggalkan Rembang tanpa pamit kepada siapa pun. Hal ini dilakukan sebagai

bentuk penolakan dari perintah nikah. Keduanya merantau ke Demak, Sayung,

Semarang, Kaliwungu, Kendal dengan berbekal uang pas-pasan. Setiap mereka

mampir ke tempat teman atau orang tua teman, mereka diberi tambahan bekal.

Hal ini dilakukan selama satu bulan lebih. Rantauan yang paling lama mereka

tempati adalah daerah kampung Donosari Pegandon Kendal. Setelah satu bulan

lebih lamanya mereka pulang ke Rembang. Bisri Mustofa langsung menghadap

kyai Cholil dan meminta maaf atas perlakuannya tersebut. Dijabatnya tangan kyai

Cholil, tetapi tanpa sepatah kata pun yang terucap dari mulut kyai Cholil. Waktu

Bisri Mustofa mau pamit kembali, beliau pun menjabat tangan kyai Cholil. Tetapi

sang kyai masih saja berdiam diri. Seperti biasanya Bisri Mustofa mengikuti

kembali pelajaran-pelajaran di Pesantren dan dalam setiap pertemuan itu Bisri

Mustofa sama sekali tidak ditanya oleh kyai Cholil sebagai mana biasanya.28

Hal ini membuat Bisri Mustofa merasa dikucilkan oleh kyai Cholil.

Kejadian tersebut berlangsung selama setahun lebih dan berakhir dengan berita

yang menurut Bisri Mustofa sungguh di luar dugaan. Berita itu adalah keinginan

kyai Cholil untuk mengambil Bisri Mustofa sebagai menantunya. Bisri Mustofa

28

Ibid, hlm. 20.

25

akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Ma‘rufah. Berita tersebut beliau

dapat dari ibunya ketika beliau pulang ke rumah Sawahan. Ibunya menceritakan

bahwa kyai Cholil telah datang kepadanya dan meminta Bisri Mustofa untuk

dijadikan sebagai menantunya.

Bisri Mustofa kemudian mengalami sebuah kebingungan serta kebimbangan

mendengar berita tersebut. Akan tetapi setelah melihat Ibu dan keluarganya,

termasuk kakaknya H. Zuhdi menyetujuinya maka hati Bisri Mustofa menjadi

mantap dan setuju untuk menikah. Sehingga setelah segala sesuatunya

dipersiapkan maka pada tanggal 7 Rajab 1354 H. atau bertepatan dengan bulan

Juni 1935 dilaksanakan sebuah akad nikah antara Bisri Mustofa dengan Ma‘rufah

binti kyai Cholil. Pada waktu itu Bisri Mustofa berusia 20 tahun dan Ma‘rufah

berusia 10 tahun.

Setahun setelah menikah, Bisri berangkat lagi ke Mekah untuk menunaikan

ibadah haji bersama-sama dengan beberapa anggota keluarga dari Rembang.

Namun, seusai haji, Bisri tidak pulang ke tanah air, melainkan memilih bermukim

di Mekah dengan tujuan menuntut ilmu di sana.

Di Mekah, pendidikan yang dijalani Bisri bersifat non-formal. Ia belajar dari

satu guru ke guru lain secara langsung dan privat. Di antara guru-gurunya terdapat

ulama-ulama asal Indonesia yang telah lama mukim di Mekah. Secara

keseluruhan, guru-gurunya di Mekah adalah: (1) Shaykh Baqir, asal Yogyakarta.

Kepadanya, Bisri belajar kitab Lubb al- Usûl Umdât al-Abrâr, Tafsîr al-Kashshâf;

(2) Syeikh Umar Hamdan al- Maghribî. Kepadanya, Bisri belajar kitab hadis

Sahîh Bukhârî dan Sahîh Muslim; (3) Syeikh Alî Malîkî. Kepadanya, Bisri belajar

26

kitab al-Ashbah wa al-Nadâir dan al-Aqwâl al-Sunan al-Sittah; (4) Sayyid Amin.

Kepadanya, Bisri belajar kitab Ibn Aqîl; (5) Shaykh Hassan Massat. Kepadanya,

Bisri belajar kitab Minhaj Dzaw al-Nadar; (6) Sayid Alwi, Kepada beliau Bisri

belajar tafsir al- Qur‘an al-Jalalain; (7) KH. Abdullah Muhaimin. Kepada beliau,

Bisri belajar kitab Jam al-Jawâmi.29

Dua tahun lebih Bisri menuntut ilmu di Mekah. Bisri pulang ke Kasingan

tepatnya pada tahun 1938 atas permintaan mertuanya. Setahun kemudian,

mertuanya (Kiai Cholil) meninggal dunia. Sejak itulah Bisri menggantikan posisi

guru dan mertuanya itu sebagai pemimpin pesantren.30

Oleh karena pendudukan Jepang pondok pesantren tersebut dihanguskan,

kemudian KH. Bisri Mustofa melanjutkan estafet perjuangan gurunya dengan

mendirikan pesantren di Leteh Rembang tahun 1950 dengan nama Pesantren

Raudhatut Thalibin atau dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut Taman

Pelajar Islam (TPI) dan berkembang pesat hingga sekarang.31

Sebagai anggota

MPRS ia ikut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai Presiden,

menggantikan Soekarno dan memimpin do‘a waktu pelantikan.32

Di tengah kesibukannya dalam mengajar di pesantren dengan menjadi

penceramah bahkan politisi. KH. Bisri Mustofa tetap menyempatkan diri untuk

menulis sehingga luangnya tidak dilewatkan begitu saja, bahkan di kereta, di bus,

dimana saja ia sempatkan untuk menulis. Banyak kitab, baik bertema berat,

maupun ringan sebagai karya tulisnya. Hal ini, bisa dilatarbelakangi salah satunya

29

Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren..., hlm. 17. 30

Ibid., hlm. 10-22. 31

Ibid., hlm. 21. 32

A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia: Biografi, Perjuangan, Ajaran, dan Doa-doa

Utama yang Diajarkan, (Yogyakarta: Kutub, 2008), cet.II, hlm. 89.

27

oleh kondisi semakin membludaknya jumlah santri, sementara pada saat itu sulit

sekali ditemukan kitab-kitab atau buku-buku pelajaran untuk para santri. Berkat

kemampuan, inisiatif dan kreatiftas yang dimilikinya, KH. Bisri Mustofa berhasil

menyusun dan mengarang buku. Selain ditujukan untuk kalangan santri sebagai

bahan pelajaran di pesantren yang dipimpinnya, karyakarya tersebut juga

ditujukan untuk kalangan masyarakat luas di pedesaan yang aktif mengaji di

surau-surau masjid di mana ia sering memberikan ceramah. Sehingga KH. Bisri

Mustofa dalam karya-karyanya menyesuaikan dengan bahasa yang digunakan

para santri dan masyarakat pedesaan, tepatnya menggunakan bahasa daerah (Jawa

pegon), dengan tulisan Arab pegon (Arab Jawa),33

di samping ada beberapa karya

yang menggunakan bahasa Indonesia.34

Adapun karya mengenai keagamaan kurang lebihnya berjumlah 176 judul.35

Di antaranya karya-karyanya yang paling terkenal adalah, Pertama, dalam bidang

Tafsir, yaitu tafsir alIbriz, yang disusun kembali dari penjelasan pengajian beliau

oleh tiga orang santri, yaitu : Munsarif, Magfur dan Safwan, disusun selama

empat tahun mulai tahun 1956-1960. Kemudian al-Iklil fi Tarjamati „Ilmi al-

Tafsir karya Syaikh Abdul Malik al-Zamzami al-Makki, ditulis pada tahun 1950,

dan Tafsir Yasin, kitab tafsir ini merupakan tafsir saku yang ditulis pada tahun

1970, Kitab al-Iksir yang berarti “pengantar ilmu tafsir”.

33

Jawa pegon adalah bahasa yang ditulis bahasa Jawa huruf Arab atau bahasa Indonesia/Latin

yang ditulis Arab. Kaedah penulisannya agak berbeda sedikit dengan bahasa Arab. Terdapat

karekteristik penulisan seperti, ditambah titik tiga huruf jim, untuk melambangkan huruf c, huruf

ya‟ dengan titik tiga melambangkan bunyi ‗ny‘. dan sebagainya. 34

A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia…., hlm. 181. 35

Achmad Zainal Huda, Mutiara Pesantren..., hlm. 72.

28

Kedua, bidang Teologi yaitu Nazam Sullam al-Munawwaraq fi al-Mantiq,

kitab ini merupakan terjemah dari kitab al-Sullam al-Munawwaraq karya Syaikh

Abdurrahman al-Munawwaraq al-Akhdari yang ditulis pada tahun 1962,

kemudian kitab Sullam al-Afham terjemah Aqidah al-Awam karya Syaikh Ahmad

al-Marzuki, ditulis pada tahun 1966, selanjutnya kitab Durar al-Bayan fi

Tarjamati Sya‟bi al-Imam, terjemah karya Syaikh Zainuddin dan kitab Risalah

Ahl al Sunnah wa al-Jama‟ah ditulis pada tahun 1966 untuk seminar Ahl al-

Sunnah wa al-Jama‟ah.36

Ketiga, bidang Fiqh yaitu Terjemah Fath al-Mu‟in karya al-Malibary,

Tuntunan Ringkas Manasik Haji, terjemah al-Faraid al-Bahiyah karya Sayid Abi

Bakar al-Ahdaki. Keempat, bidang Bahasa Arab yaitu Kitab Al-Usyuty,

terjemahan kitab al-Imrity, dan kitab Ausatul Masalik terjemah kitab Alfiyah Ibnu

Malik, al-Nibrasyiyah tejemah al-Jurumiyyah. Kelima, bidang yang lain-lain yaitu

Primbon Imaduddin, merupakan tuntunan bagi para modin dalam menjalankan

tugas, kemudian Tahlil dan Talqin tentang tata cara tahlil. Tema-tema yang

ringanpun juga beliau tulis, seperti buku kumpulan Anekdot Kaskul, Abu Nawas,

Novel berbahasa Jawa Qahar lan Sholihah, naskah drama Nabi Yusuf lan Siti

Zulaikha, Syi‘iran Ngudi Susilo, dan lain sebagainya.37

Diluar kitab-kitab dan buku-buku tersebut, masih banyak karya-karya lain

yang berhasil ditulisnya. Dalam menulis, KH. Bisri Mustofa mempunyai

―falsafah‖ yang menarik, yakni ketika membuat sebuah karya tulis KH. Bisri

Mustofa niati dengan nyambut gawe (bekerja) untuk menafkahi keluarganya.

36

A. Aziz Masyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesia …, hlm. 184. 37

Ibid., hlm. 185-186.

29

Ketika karya tersebut sudah selesai dan diserahkan ke penerbit, maka baru diniati

dengan yang mulia-mulia, seperti niatan Lillahi Ta‟ala, menyebarkan ilmu dan

sebagainya.38

Keterpengaruhan KH. Bisri Mustofa dengan keagamaan tradisional

yang ada pada dirinya memang tidak dapat dilepaskan dari corak pemikirannya.

Meskipun ia seorang yang berlatar belakang salafyyah, namun ia terkenal sebagai

seorang yang moderat. Sifat moderat tersebut yang diambil dengan menggunakan

pendekatan usul fiqih yang mengedepankan kemaslahatan dan kebaikan umat

Islam yang disesuaikan dengan situasi kondisi zaman serta masyarakatnya.39

Pemikiran KH. Bisri Mustofa bisa disebut kontekstual, pada bidang fqih,

dibuktikan mengenai masalah KB (Keluarga Berencara) tahun 1968. Pada waktu

itu sebagian ulama NU belum menerima KB, namun beliau sudah menerima KB

dengan melontarkan beberapa ide-idenya. Bahkan, ia menyusun buku yang

38

Sebagaimana dikisahkan oleh Gus Mus, salah seorang putranya, bahwa pernah suatu ketika,

beliau berbincang-bincang dengan salah seorang sahabatnya, yakni Kiai Ali Maksum Krapyak,

tentang tulis-menulis ini.‖Kalau soal kealiman, barangkali saya tidak kalah dari sampeyan, bahkan

mungkin saya lebih alim,‖kata Kiai Ali Maksum ketika itu, dengan nada kelakar, seperti

biasanya,‖Tapi mengapa sampeyan bisa begitu produktif menulis, sementara saya selalu gagal di

tengah jalan. Baru separo atau sepertiga, sudah macet tak bisa melanjutkan.‖Dengan gaya khasnya,

masih cerita Gus Mus, mbah Bisri menjawab : ―Lha soalnya sampeyan menulis lillahi Ta‘ala sih !‖

Tentu saja jawaban ini mengejutkan Kiai Ali.‖Lho Kiai menulis kok tidak lillahi Ta‘ala, lalu

dengan niat apa ?‖ Mbah Bisri menjawab : ―Kalau saya, menulis dengan niat nyambut gawe

(bekerja). Etos saya (KH. Bisri Mustofa) dalam menulis sama dengan menjahit. Lihatlah penjahit

itu, walaupun ada tamu, penjahit tidak akan berhenti menjahit. Dia menemui tamunya sambil terus

bekerja, soalnya bila dia berhenti menjahit, periuknya bisa ngguling, saya juga begitu, kalau

belum-belum, sampeyan sudah niat yang mulia-mulia, setan akan mengganggu sampeyan dan

pekerjaan sampeyan tidak akan selesai.. ―kata Mbah Bisri‖…Lha nanti kalau tulisan sudah jadi,

dan akan diserahkan kepada penerbit, baru kita niati yang mulia-mulia, linasyril ilmi atau apa.

Setan perlu kita Tipu.‖Lanjut Mbah Bisri sambil tertawa.‖Gus Mus dalam Taqdim buku Achmad

Zainal Huda, Mutiara Pesantren…, hlm. xxi-xxii. 39

Lilik Faiqoh. Tafsir Kultural Jawa: Studi Penafsiran Surat Luqman Menurut K.H. Bisri Mustofa.

Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. Volume 10, Nomor 1, Juni 2016. (Program

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), hlm. 77-78.

30

berjudul Islam dan Keluarga Berencana, yang diterbitkan oleh BKKBN Jawa

Tengah tahun 1970.40

Bukti selain itu pandangan KH. Bisri Mustofa terhadap drumband. Pada

tahun 1965 situasi politik nasional sedang kacau balau karena terjadinya

pemberontakan G.30S PKI maka di daerah-daerah terjadi gerakan melawan PKI.

Dalam perjuangan melawan PKI banyak santri yang menabuh drumband karena

untuk semangat dan solidaritas. Kebanyakan waktu itu ulama yang menyatakan

bahwa drumband itu bid‟ah, namun KH. Bisri Mustofa membolehkan karena

untuk mengingat darah juang dan semangat seseorang untuk berjuang pada waktu

itu, selain itu juga untuk menakutnakuti lawan (PKI).41

Selain pemikirannya yang moderat, KH. Bisri Mustofa adalah seorang

ulama yang sunni yang gigih memperjuangkan konsep Ahlu al-Sunnah wa al

Jama‟ah dalam setiap aspek kehidupan manusia. Sikap yang diambil dengan

menggunakan pendekatan usul fiqih yang mengedepankan kemaslahatan dan

kebaikan umat Islam yang disuaikan dengan kebutuhan zaman dan

masyarakatnya.

Terobosan-terobosan pemikiran KH. Bisri Mustofa antara lain adalah

obsesinya ingin menjadikan konsep amar ma‟ruf nahi munkar (memerintahkan

yang baik dan melarang perbuatan keji) sejajar dengan rukun rukun Islam lainnya.

40

Buku kecil (Islam dan keluarga Berencana) tersebut ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa

Indonesia dan bahasa unsur ikhtiyar (usaha) manusia itu merupakan sesuatu yang dominan

dibandingkan dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. KH. Bisri Mustofa berpendapat

bahwa kalau jatah makan sebagai setiap kepala keluarga hanya mampu untuk empat piring nasi,

maka hendaknya setiap kepala keluarga tidak menambah lagi anggota keluarganya. Penambahan

keluarga tanpa terencana berarti mengurangi jatah anggota keluarga lainnya. Lihat Achmad Zainal

Huda, Mutiara Pesantren Perjalanan..., hlm. 61. 41

Ibid., hlm. 62.

31

Ia pernah mengatakan seandainya boleh menambahkan rukun Islam yang ada lima

itu, maka ia akan menambahkan rukun Islam yang keenam yaitu amar ma‟ruf

nahi munkar, konsep tersebut dimaksud menambah semangat solidaritas dan

kepedulian sosial. Jika umat Islam memiliki semangat ini maka sendirinya akan

menjalankan amar ma‟ruf nahi munkar secara benar, bagi sendiri maupun orang

lain. Pemikiran tersebut yang menjadikan obsesi terbesar sebagai pegangan setiap

lingkup tindakannya.42

Berdasarkan hal-hal di atas, bisa dikatakan bahwa corak pemikiran KH.

Bisri Mustofa dalam hal perbuatan manusia lebih condong pada Qodariyah.

Beliau tidak hanya menyerahkan sepenuhnya pada kehendak dan kekuasaan

mutlak Tuhan, melainkan ada unsur usaha manusia.43

B. Karakteristik dan Sistematika Kitab Tafsir Al- Ibriz

Tidak ada data akurat yang menyebutkan kapan sebenarnya tafsir al-Ibriz

mulai ditulis. Tetapi tafsir ini diselesaikan pada tanggal 29 Rajab 1379, bertepatan

dengan tanggal 28 Januari 1960. Menurut keterangan Ny. Ma‘rufah, tafsir al-Ibriz

selesai ditulis setelah kelahiran putrinya yang terakhir (Atikah) sekitar tahun

1964. Pada tahun ini pula, tafsir al-Ibriz untuk pertama kalinya dicetak oleh

penerbit Menara Kudus. Penerbitan tafsir ini tidak disertai perjanjian yang jelas,

apakah dengan sistem royalti atau borongan.44

Tafsir al-Ibriz dicetak tiga puluh jilid, sama dengan jumlah juz dalam al-

Qur‘an. Kalau mengandalkan bentuk cetakannya, mungkin kita bisa tertipu

42

Ibid., hlm. 63. 43

Ibid., hlm. 62. 44

Abu Rokhmad. Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon al- Ibriz. (Jurnal Analisa Volume

XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011)., hlm, 32

32

dengan tampilannya. Bentuknya agak berbeda dengan kebanyakan kitab tafsir

atau kitab kuning.45

Orang yang biasa membaca kitab tafsir boleh jadi tidak akan percaya kalau

al-Ibriz adalah kitab tafsir. Belum lagi dengan memperhatikan format halamannya

yang agak nyeleneh. Ayat al-Qur‘an yang diberi makna gandul46

Bagi pembaca

tafsir yang berlatar santri maupun non-santri, penyajian makna khas pesantren dan

unik seperti ini sangat membantu seorang pembaca saat mengenali dan memahami

makna dan fungsi kata per-kata. Hal ini sangat berbeda dengan model penyajian

yang utuh, di mana satu ayat diterjemahkan seluruhnya dan pembaca yang kurang

akrab dengan gramatika bahasa Arab sangat kesulitan jika diminta menguraikan

kedudukan dan fungsi kata perkata.

Bagian pinggirnya (biasanya disebut hâmish) disajikan kandungan al-

Qur‘an (tafsir) dengan menggunakan tulisan Arab pegon dengan bahasa Jawa

ngoko. Kadang-kadang, penafsir mengulas ayat per-ayat atau gabungan dari

beberapa ayat, tergantung dari apakah ayat itu bersambung atau berhubungan

dengan ayat ayat sebelum dan sesudahnya atau tidak.

Kadang-kadang, penafsir tidak memberikan keterangan tambahan apapun

saat menafsirkan ayat tertentu, nyaris seperti terjemahan biasa. Hal ini disebabkan

karena ayat-ayat tersebut cukup mudah dipahami, sehingga penafsir merasa tidak

perlu berpanjang-panjang kata. Berbeda jika ayat tersebut memerlukan penjelasan

cukup panjang karena kandungan maknanya tidak mudah dipahami. Tafsir dalam

45

Dalam tradisi pondok pesantren, istilah kitab kuning itu merujuk pada kitab-kitab yang ditulis

dalam bahasa Arab dan biasanya tanpa ada tanda shakl. 46

Makna yang ditulis dibawah kata perkata ayat al-Qur‘an, lengkap dengan kedudukan dan fungsi

kalimatnya, sebagai subyek, predikat atau obyek dan lain sebagainya.

33

bentuk terjemahan itu sebenarnya diakui sendiri oleh penafsirnya. Dengan

merendah, penafsir merasa hanya njawaake (menjawakan atau menerjemahkan)

dan mengumpulkan keterangan-keterangan dari beragam tempat.47

Pada ayat-ayat tertentu, penafsir merasa perlu memberikan catatan

tambahan, selain tafsirnya, dalam bentuk asbab al-nuzul sebuah ayat, penafsir

memberikan keterangan secukupnya. Kemudian adapula yang berupa faedah atau

tanbih (warning). Bentuk pertama mengindikasikan suatu dorongan atau hal

positif yang perlu dilakukan. Sedang yang kedua berupa peringatan atau hal-hal

yang seharusnya tidak disalahpahami atau dilakukan oleh manusia. Tanbih juga

kadang berisi keterangan bahwa ayat tertentu telah dihapus (mansukh) dengan

ayat yang lain. Keterangan ini tentu sangat berharga bagi pembaca awam sehingga

tidak terjebak pada pemahaman kaku ayat tertentu padahal ayat tersebut sudah

dihapus oleh ayat sesudahnya

Sistematika tafsir al-Ibriz mengikuti urutan ayat-ayatnya, dimulai dari surat

al-Fatihah sampai surat al-Nash. Setelah satu ayat ditafsirkan selesai, diikuti ayat-

ayat berikutnya sampai selesai. Namun, Apakah al-Ibriz ditulis secara kronologis

dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas ataukah tidak, tidak diperoleh data yang

memadai. Begitu pula dengan waktunya, apakah ditulis tanpa putus selama

bertahun-tahun ataukah putus-sambung. Kebiasaan selalu membawa alat tulis dan

kertas, ditambah banyaknya tulisan dalam bentuk terjemahan atau yang lainnya,

sangat menyulitkan keluarga dekat untuk mengetahui apakah ia sedang menyusun

tafsir atau menulis buku yang lain.

47

Abu Rokhmad. Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon al- Ibriz..., hlm. 33.

34

Kemudian meskipun kitab ini dibuat dalam tiga puluh jilid, tapi penomeran

halamannya selalu bersambung pada setiap jilidnya. Halaman pertama jilid ketiga

dimulai dengan nomor 100 sebab jilid kedua selesai dengan 99 halaman, begitu

pula seterusnya sampai jilid ke tigapuluh, yang diahiri dengan nomer 2347.48

Tafsir ini memang menggunakan bahasa Jawa ngoko, walau kadang-kadang

dicampur sedikit dengan istilah Indonesia, seperti kata ―nenek moyang‖,

―pembesar‖49

, ―terpukul‖50

, atau kata ―berangkat‖ dan ―mempelajari‖51

. Padahal

kalimat tersebut tidaklah sulit ditemukan padanannya dalam bahasa Jawa.52

Secara teknis, pilihan menggunakan bahasa ngoko mungkin demi fleksibilitas dan

mudah dipahami, karena dengan cara ngoko, pembicara dan audiennya

menghilangkan jarak psikologis dalam berkomunikasi. Keduanya berdiri satu

level, sehingga tidak perlu mengusung sekian basa-basi seperti ketika

menggunakan kromo madyo atau kromo inggil.

Namun pada tingkat teoritis, pilihan bahasa Jawa ngoko adalah pilihan yang

tidak main-main, sebab lewat cara itu penulis harus mempertaruhkan wibawa

dalam mengekspresikan totalitas karyanya. Secara tidak langsung, cara itu adalah

refleksi dari tanggung jawab terhadap dunia sosial masyarakatnya, sehingga KH.

Bisri Musthofa tidak ingin terlalu unggah-ungguh (bersopan-santun) dan elitis

48

Maslukhin. Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al- Ibriz Karya K.H Bisri Mustofa...,hlm. 81. 49

Bisri Musthofa, al-Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al-Qur‟an al- Aziz, Juz. 3 (Kudus: Maktabah wa

Matba‘ah Menara Kudus, t.th). hlm. 128. 50

Ibid., Juz. 4, hlm. 168. 51

Ibid. Juz. 11, hlm. 576. 52

Kalimat seperti itu masih mudah dicari persamaannya. Nenek-moyang bisa digantikan tedhak

turun, pembesar bisa diganti punggawa atau pengarep, terpukul bisa dengan kawon, berangkat

dengan tindhak atau jengkar dan mempelajari dengan bibinahu.

35

untuk menyampaikan maksudnya. Sederhana dan polos saja, seperti cara

berkomunikasi orang-orang biasa.

Kemudian berbicara tentang metodologi penafsiran, yang merujuk kepada

metode penafsiran al- Qur‘an yang di kemukakan oleh al- Farmawi dalam

karyanya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdu‟i: Dirasah Manhajiyah Muwdu‟iyah,

yang di dalamnya al- Farmawi membagi metode penafsiran al- Qur‘an menjadi

empat bagian yaitu; Ijmali,53

Tahlili,54

Muqarin,55

Mawdhu‟i.56

Jika melihat

klasifikasi metode penafsiran oleh al-Farmawi, al-Ibriz dapat digolongkan pada

jenis yang pertama, yaitu ijmali. Melihat al-Ibriz ditulis untuk menjelaskan

makna-makna al-Qur‘an dengan uraian singkat dan bahasa yang mudah sehingga

dapat dipahami oleh semua orang, baik yang berpengetahuan luas sampai yang

berpengetahuan sekedarnya.

53

Suatu metode analisis al- Qur‘an dengan cara mengemukakan makna global, tanpa penjelasan

panjang lebar dan terperinci tehadap ayat-ayatnya. Abd al-Hayy al-Farmawî, Metode Tafsir

Maudhu‟i dan Cara Penerapannya, terj. Rosihon Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 38.

Bandingkan dengan Salâh Abd al-Fattâh al-Khalidî, al-Tafsîr al-Mawdû‟î bayn al-Nazarîyah wa

al-Tatbîq (t.tp: Dâr al-Nafâ‘is, 1997), hlm. 27 54

Metode analitis merupakan metode yang bermaksud menjelaskan kandungan al- Qur‘an dari

seluruh aspeknya secara terperinci dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al- Qur‘an

sebagaimana tercantum dalam mushaf. al-Farmâwî, Metode Tafsir, hlm. 23-24. Al-Khalidi, al-

Tafsir al Mawdu‟i, hlm. 27. 55

Metode ini didefinisikan sebagai metode pemahaman yang bersifat: [1] membandingkan antar

teks-teks al-Qur‘an, [2] membandingkan teks al-Qur‟an dengan teks hadis, dan [3]

membandingkan penafsiran seorang penafsir dengan penafsir yang lain. al-Farmawî, Metode

Tafsir , hlm. 39. 56

Secara umum, metode tematik memiliki tiga bentuk kajian, yaitu: Pertama, penafsiran

menyangkut salah satu term dalam al-Qur‘an al-mustlah al-Qur‟ani. Kedua, mengkorelasikan

sejumlah ayat dari berbagai surat yang membahas satu persoalan tertentu yang sama, lalu ayat ayat

itu ditata sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu topik bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan

secara tematik. Ketiga, menganalisa surah al-Qur‘an secara utuh dan menyeluruh dengan

menjelaskan maksudnya yang umum dan spesifik, menerangkan kaitan antara berbagai persoalan

yang dimuat sehingga surah itu tampak dalam bentuknya yang utuh. Artinya, dalam proses

interpretasinya semua ayat atau kelompok ayat yang termaktub dalam satu surah diusahakan untuk

dikaitkan dengan tema pokok yang dikandung suatu surah. Mustafâ Muslim, Mabahith fî al-Tafsir

al-Mawdhu‟i, (Bairut: Dar al-Qalam, 1989),hlm. 23.

36

Namun kitab tafsir al-Ibriz juga dapat digolongkan kedalam jenis yang

kedua yaitu Tahlili, dengan alasan bahwa Makna kata per-kata disusun dengan

sistem makna gandul, sedang penjelasannya (tafsirnya) diletakkan di bagian

luarnya. Dengan cara ini, kedudukan dan fungsi kalimat dijelaskan detail,

sehingga siapapun yang membacanya akan mengetahui bahwa lafadz ini

kedudukan sebagai fi‟il, fa‟il, maf‟ul dan lain sebagainya.

Dari perspektif Yunan Yusuf, metode yang digunakan dalam tafsir al- Ibriz

adalah tafsir yang bersumber dari al- Qur‘an itu sendiri. Artinya, ayat al- Qur‘an

ditafsirkan menurut bunyi ayat tersebut—bukan ayat dengan ayat. Seperti telah

dijelaskan sebelumnya, al-Ibriz adalah tafsir yang sangat sederhana. Ayat-ayat

yang sudah jelas maksudnya, ditafsirkan mirip dengan terjemahannya. Sedang

ayat-ayat yang memerlukan penjelasan lebih dalam, diberikan keterangan

secukupnya. Kadang-kadang dijumpai tafsir berdasarkan ayat al- Qur‘an yang

lain, hadits atau bahkan ra‟yu, tetapi tidaklah dominan dan terjadi dengan makna

sangat sederhana. Sedang dari pemetaan Baidan, tafsir al- Ibriz menggunakan

metode analitis dalam kategori komponen eksternal. Artinya, penafsiran dilakukan

melalui makna kata per-kata, selanjutnya dijelaskan makna satu ayat seutuhnya.57

Dalam al-Ibriz, sulit ditemukan sumber rujukan penafsiran yang

tergolong bi al ma‟thur, bahkan cenderung tidak ada. Sehingga al-Ibriz bisa

digolongkan dalam kategori bi ra‟yi. Penafsiran al-Ibriz juga ―keluar‖ dari

kebiasaan tafsir yang berbahasa Arab, di mana ketergantungannya terhadap teks

jadi melonggar. Meski demikian, Martin van Bruinessen merasa kurang legowo,

57

Abu Rokhmad. Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon al- Ibriz...,hlm. 36.

37

bahkan pesimis untuk menggolongkan kitab ini dalam jajaran kitab tafsir. Secara

sarkastis ia menilai kitab ini sebagai ―yang lebih merupakan terjemahan dari

penafsiran atas al-Qur‘an‖.58

Kemudian mengenai pendekatan dan corak yang terdapat didalam kitab

tafsir al- Ibriz sejauh penelitian penulis, pendekatan atau corak tafsir al- Ibriz

tidak memiliki kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Al- Ibriz

cenderung bercorak kombinasi antara fiqih, sosial-kemasyarakatan dan shufi.

Dalam arti, penafsir akan memberikan tekanan khusus pada ayat-ayat tertentu

yang bernuansa hukum, tasawuf atau sosial kemasyarakatan. Corak kombinasi

antara fiqih, sosial kemasyarakatan dan shufi ini harus diletakkan dalam artian

yang sangat sederhana.

58

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning... hlm. 144.

38

BAB III

KAJIAN TENTANG KEMISKINAN

A. Kemiskinan Dalam Perspektif Konvensional

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata miskin memiliki arti tidak

berharta; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah), kata kemiskinan berarti;

situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan,

pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat

kehidupan yang minimum.59

Kemiskinan juga berarti; keadaan dimana terjadi ketidak mampuan untuk

memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,

pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat

pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan

pekerjaan.60

Pengertian kemiskinan telah berkembang sedemikian rupa seiring dengan

semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator, maupun permasalahan lain yang

melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi

melainkan telah meluas hingga ke dimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan

bahkan politik.61

Terdapat dua perkara yang hampir sama ditekankan oleh Bank Dunia (2010)

dan UNDP62

(2004). Dua perkara tersebut ialah kepenggunaan dan pendapatan.

59

(http://kbbi.web.id/miskin.html) di akses pada tanggal 2 April 2017. 60

(https://id.m.wikipedia.org/wiki/kemiskinan) di akses pada tanggal 2 April 2017. 61

Tri Wahyu Hidayati, Sistem Jaring Pengaman Sosial(The Social Safety Net) Dalam Al- Qur‟an

(Kajian Sosio Historis), (Laporan Penelitian Unggulan; Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

Salatiga, Salatiga, 2014), hllm.40. 62

UNDP(United Nation Development Programme), atau Badan Program Pembangunan PBB.

39

Konsep kemiskinan yang dikemukakan dari sudut kepenggunaan merujuk kepada

keperluan hak asasi manusia untuk hidup seperti ketiadaan pakaian serta tempat

tinggal yang baik, buta huruf, kekurangan makanan, kesukaran memperoleh barang

atau perkhidmatan, infrastruktur yang tidak memuaskan, ketiadaan air bersih,

kekurangan pendidikan dan komunikasi.

Kemudian, yang dimaksud fakir miskin berdasarkan UU No. 13 tahun 2011

adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau

mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan

memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau

keluarganya (pasal 1 ayat 1).

Untuk memahami kemiskinan secara konseptual terdapat dua pengertian

tentang kemiskinan, yaitu;

1. Secara kualitatif, kemiskinan adalah suatu kondisi yang didalamnya hidup

manusia tidak layak sebagai manusia,

2. Secara kuantitatif, adalah suatu keadaan dimana hidup manusia serba

kekurangan atau dengan bahasa yang tidak lazim ―tidak berharta benda‖.63

Kemudian dalam membahas kemiskinan terdapat beberapa jenis kemiskinan,

yaitu;

1. Kemiskinan absolut. Seseorang dapat dikatakan miskin jika tidak mampu

memenuhi kebutuhan minimum hidupnya untuk memelihara fisiknya agar

dapat bekerja penuh dan efisien,

63

Yohanes Mardimin, Kritis Proses Pembangunan di Indonesia.( Yogyakarta: Kanisius, 1996),

hlm. 20.

40

2. Kemiskinan relatif, Kemiskinan relatif muncul jika kondisi seseorang atau

sekelompok orang dibandingkan dengan kondisi orang lain dalam suatu

daerah,

3. Kemiskinan Struktural, Kemiskinan struktural lebih menuju kepada orang

atau sekelompok orang yang tetap miskin atau menjadi miskin karena struktur

masyarakatnya yang timpang, yang tidak menguntungkan bagi golongan yang

lemah,

4. Kemiskinan Situsional atau kemiskinan natural. Kemiskinan situsional terjadi

di daerah-daerah yang kurang menguntungkan dan oleh karenanya menjadi

miskin,

5. Kemiskinan kultural. Kemiskinan penduduk terjadi karena kultur atau budaya

masyarakatnya yang sudah turun temurun yang membuat mereka menjadi

miskin.64

Dilihat dari beberapa jenis kemiskinan yang telah dikemukakan oleh Yohanes

Mardimin sebelumnya, Sharp, et al (1996) dalam Mudrajat Kuncoro (1997)

mencoba mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi.

Pertama, secara mikro kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pada

kepemilikan sumberdaya yang menyebabkan distribusi pendapatan yang timpang.

Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah terbatas dan

kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas

sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia rendah berarti

produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas

64

Ibid., hlm. 24.

41

sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib kurang beruntung,

adanya diskriminasi atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat

perbedaan akses dalam modal.

Penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan

(Vicious circle of poverty). Teori ini ditemukan oleh Ragnar Nurkse (1953), yang

mengatakan: ‖a poor country is poor because it is poor‖ (Negara miskin itu miskin

karena dia miskin). Adanya keterbelakangan, ketidak-sempurnaan pasar, dan

kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas

mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan

akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi

berakibat pada keterbelakangan. Oleh karena itu, setiap usaha untuk mengurangi

kemiskinan seharusnya diarahkan untuk memotong lingkaran dan perangkap

kemiskinan ini.65

Berikut gambar lingkaran setan kemiskinan (Vicious circle of poverty),

65

Ari Widiastuti, Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di Jawa Tengah Tahun,

2004-2008, (Skripsi Fakultas Ekonomi Uniersitas Diponegoro, Semarang, 2010), hllm. 33.

42

Gambar A.1 lingkaran setan kemiskinan (Vicious circle of poverty).66

Adapun untuk mengukur kemiskinan, Indonesia melaluli BPS menggunakan

pendekatan kebutuhan dasar (basic needs) yang dapat diukur dengan angka atau

hitungan indeks perkepala (head count index), yakni jumlah dan presentase

penduduk miskin yang berada dibawah garis kemiskinan.67

Menurut BPS, ada 14 kriteria yang dipergunakan untuk menentukan keluarga/

rumah tangga yang termasuk dalam kategori miskin. Apabila ada 9 dari 14 tersebut,

sebuah keluarga dikategorikan miskin. Adapun 14 kriteria tersebut adalah:

15. Luas lantai bangunan rumah kurang dari 8 m2

per orang

16. Jenis lantai rumah dari tanah, kayu/bambu

17. Dinsing rumah dari bambu/rumbia/kayu kualitas rendah/ tembok tanpa plester

18. Tidak memiliki fasilitas MCK yang memadai (masih numpang tetangga)

19. Penerangan rumah tidak menggunakan listrik

66

Ibid,hlm. 33. 67

Tri Wahyu Hidayati, Sistem Jaring Pengaman Sosial(The Social Safety Net) Dalam Al- Qur‟an

(Kajian Sosio Historis)... hlm. 42.

43

20. Sumber air minum dari mata air tak terlindungi seperti sungai

21. Memasak dengan kayu bakar/arang/minyak tanah

22. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam seminggu sekali

23. Hanya mampu membeli baju setahun sekali

24. Hanya mampu menyediakan makan sehari satu atau dua kali sehari

25. Tidak mampu membayar pengobatan di puskesmas atau poliklinik

26. Sember penghasilan kepala keluarga: petani (luas lahan 500m2), buruh

tani,nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lain dengan

pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan.

27. Pendidikan tertinggi kepala keluarga adalah: tidak sekolah atau hanya SD

28. Tidak memiliki tabungan/barang berharga yang mudah dijual minimal Rp.

500.000,-.68

Fenomena kemiskinan memang sangatlah kasat mata sebagai realitas

berlapis-lapis yang terus menjerit-jerit, crying poverty. Kadar kemiskinan tidak lagi

sekedar masalah kekurangan makanan, tetapi bagi warga masyarakat tertentu

bahkan sudah mencapai tahap ekstrem sampai level kehabisan dan ketiadaan

makanan. Tidak sedikit orang terkapar karena tidak tahan menderita kelaparan dan

kekurangan gizi yang membuka jalan lebih cepat kearah kematian dini. Inilah

proses kematian secara pelan-pelan tetapi kejam.

Hal yang memperparah adanya kemiskinan pada suatu penduduk masyarakat

ialah langgeng budaya kemiskinan (kemiskinan kultural), budaya kemiskinan ini

mempunyai dampak yang sangat besar bagi penduduk masyarakat. budaya

68

Tri Wahyu Hidayati, “Sistem Jaring Pengaman Sosial(The Social Safety Net) Dalam Al- Qur’an (Kajian Sosio Historis)... hlm. 44-45.

44

kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian dan reaksi kaum miskin

terhadap kedudukan marginal mereka dalam masyarakat yang berstrata kelas,

sangat individualistis berciri kapitalisme. Sehingga yang mempunyai kemungkinan

besar untuk memiliki kebudayaan kemiskinan adalah kelompok masyarakat yang

berstrata rendah, mengalami perubahan sosial yang drastis. Adapun dampak yang

terjadi akibat kemiskinan ialah:

1. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin kedalam lembaga-

lembaga utama masarakat, yang berakibat munculnya rasa ketakutan,

kecurigan tinggi, apatis dan perpecahan.

2. Pada tingkat komunitas local secara fisik ditemui rumah-rumah dan

pemukiman kumuh, penuh sesak, bergerombol, dan rendahnya tingkat

organisasi diluar keluarga inti dan keluarga luas.

3. Pada tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan

kurang pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini,

tingginya angka perpisahan keluarga, dan kecenderungan terbentuknya

keluarga matrilineal dan dominannya peran sanak keluarga ibu pada anak-

anaknya.

4. Pada tingkat individu dengan ciri yang menonjol adalah kuatnya perasaan

tidak berharga, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi dan rasa rendah

diri.

5. Tingginya tingkat kesengsaraan, karena beratnya penderitaan ibu, lemahnya

struktur pribadi, kurangnya kendali diri dan dorongan nafsu, kuatnya orientasi

masa kini, dan kekurang sabaran dalam hal menunda keinginan dan rencana

45

masa depan, perasaan pasrah/tidak berguna, tingginya anggapan terhadap

keunggulan lelaki, dan berbagai jenis penyakit kejiwaan lainnya.

6. Kemiskinan juga membentuk orientasi yang sempit dari kelompoknya,

mereka hanya mengetahui kesulitan-kesulitan, kondisi setempat, lingkungan

tetangga dan cara hidup mereka sendiri saja, tidak adanya kesadaran kelas

walau mereka sangat sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status.69

Karena berbagai kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan para warga

kelompok tersebut dirasakan sebagai suatu hal yang biasa (sebagai fenomena biasa

dalam kehidupan keseharian mereka). Pada kondisi seperti itu tidak ada yang diacu

untuk bersaing, sehingga diantara mereka tidak ada perasaan saling berbeda, yang

dapat menimbulkan perasaan malu. Dalam keadaan demikian, maka kemiskinan

terwujud kedalam berbagai cara mereka memenuhi kebutuhan mereka untuk dapat

hidup. Di kalangan masyarakat/kelompok yang berada dalam kondisi miskin seperti

itu, berkembang suatu pedoman bagi kehidupan mereka yang diyakini kebenaran

dan kegunaannya yang dilandasi oleh kemiskinan yang mereka derita bersama.

Pedoman atau kiat-kiat untuk menghadapi fenomena miskin seperti itu kemudian

melahirkan model-model adaptasi mereka menghadapi kemiskinan.

Problematika kemiskinan ini menjadi masalah yang sangat krusial baik bagi

bangsa dan negara, maupun bagi individu yang menderita akibat kemiskinan itu

sendiri. Berbagai kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan khususnya di

Indonesia sudah dibuat disetiap masa pemerintahan, namun kebijakan-kebijakan

69

Astika, KS. Budaya Kemiskinan di Masyarakat: Tinjauan Kondisi Kemiskinan dan Kesadaran

Budaya Miskin di Masyarakat: Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. (Universitas

Pendidikan Indonesia. Bandung). Hlm. 20.

46

pemerintah tersebut dirasa belum dapat menghasilkan perbedaan yang signifikan

terhadap masalah ini.

B. Kemiskinan Dalam Perspektif Kitab Tafsir Al- Ibriz

Kata miskin berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah ―sakana‖

yang berarti diam atau tenang,70

atau berarti juga lawan dari goncangan dan gerak,

atau diamnya sesuatu setelah bergerak: bertempat tinggal.71

Kata sakana yaskunu

jika dihubungkan dengan al- dar berarti mendiami atau menempati. isim fa‟il dari

sakana adalah sakinun yang jamaknya adalah sukkanun dapat berarti yang tenang,

yang diam, atau penduduk.

Adapun kata-kata yang sepadan dengan kata miskin dalam bahasa Arab ialah:

al- ba‟sa‟, al- sa‟il, al- „ailah, al- faqr, al- qani‟ dan al- imlaq.

Kata al-ba'sa' adalah merupakan isim jamak yang mufradnya adalah al-bu's.72

kata al-bu's adalah bentuk isim mashdar berasal dari huruf ba', hamzah dan sin

berarti kesulitan, sedang al-bu's berarti kesulitan dalam kehidupan.73

Al-Raghib al-

Ashfahani menjelaskan bahwa kata al-bu's, al- ba'is dan al-ba'sa' semua berarti

kesulitan dan sesuatu yang dibenci; namun kata al-bu's lebih banyak digunakan

dalam kefakiran dan peperangan dan al-ba'sa' lebih banyak digunakan dalam

kekalahan.74

70

Ahmad Warson Munawwir, Al- Munawwir, (Yogyakarta. Tp. Tt.), Hlm. 689 71

Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria. Mu‟jam Maqayis al- Lughah. Juz 3 (Beirut; Dar al-

Kutub al- Ilmiah. 1999). Hlm. 88. 72

Ahmad Warson Munawwir, Al- Munawwir... hlm. 58. 73

Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria. Mu‟jam Maqayis al- Lughah. Juz 1... hlm. 328. 74

Al-Raghib al-Ashfahani. Mufradat Alfazh al-Qur'an, (Beirut: al-Dar al-Syamiyah. 1992). hlm.

153.

47

Kata al-sa'il adalah bentuk isim fa'il berasa dari huruf sin, hamzah dan lam

berarti mencari, meminta, menghendaki dan mengemis.75

Menurut Al-Raghib al-

Ashfahani sa'ala berarti menginginkan pengetahuan tentang harta atau sesuatu yang

menghasilkan harta. 76

Kata al- dha‟if merupakan isim shifah musyabbahah yang berasal dari huruf

dhad, 'ain, dan fa' berarti lawan dari kuat,77

atau dengan kata lain berarti lemah.

Kelemahan ini bisa pada jiwa, badan dan keadaan.78

Kata al- „ailah adalah bentuk isim mashdar berasal dari huruf „ain, ya', dan

lam berarti mengalami kemiskinan dan membutuhkan,79

karena orang yang miskin

membutuhkan bantuan di luar dirinya.

al-faqr adaIah bentuk i'sim mashdar berasal dari huruf fa‟, qaf, dan ra' berarti

hilangnya sesuatu dari anggota badan dan anggota lainnya. Kata itu digunakan

untuk orang fakir, karena seakan-akan orang fakir itu tulang belakangnya retak

disebabkan kerendahan dan kemiskinan.80

Jadi orang fakir di sini adalah orang yang

kekurangan harta diumpamakan anggota badannya ada yang hilang atau lepas

karena kesengsaraannya.81

Kata al-qani' adalah isim fa'il berasal dari huruf qaf, nun, dan 'ain mempunyai

dua arti dasar, pertama menuju pada sesuatu, dan kedua perputaran dalam sesuatu,

sedang kata qana'a dapat berarti sa‟ala atau meminta.82

Menurut Al-Raghib al-

75

Luwis Ma'luf, al-Munjid, (Beirut: Dar al-Masyriq. 1986). Hlm. 316. 76

Al-Raghib al-Ashfahani. Mufradat Alfazh al-Qur'an... hlm. 437. 77

Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria. Mu‟jam Maqayis al- Lughah. Juz 3... hlm. 362. 78

Al-Raghib al-Ashfahani. Mufradat Alfazh al-Qur'an... hlm. 507. 79

Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria. Mu‟jam Maqayis al- Lughah. Juz 4... hlm. 198. 80

Ibid. hlm. 443. 81

Budiharjo. Kemiskinan Dalam Perspektif Al- Qur‟an. (Hermenia Jurnal Kajian Islam

Interdesipliner, vol. 6, no. 2 Juli – Desember 2007)., hlm. 283. 82

Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria. Mu‟jam Maqayis al- Lughah. Juz 5... hlm. 32.

48

Ashfahani al-qani' adalah peminta yang tidak mendesak dan merasa ridha dengan

apa yang diperolehnya. Sedangkan menurut Budiharjo al-qdni 'adalah orang yang

tidak mampu, namun ia mencukupkan apa yang diperolehnya tanpa suka meminta-

minta.

Kata al-imlaq adalah isim mashdar dari amlaqa. Kata itu berasal

dari malaqa berarti ketiadaan sesuatu dan lemas.83

Ma'luf mengartikan amlaqa

dengan menafkahkan hartanya sehingga menjadi miskin.84

Jadi imlaq maksudnya

adalah kemiskinan harta dikarenakan yang dibelanjakan melebihi kemampuan yang

didapat.85

Kata miskiin dalam al- Qur‘an ditemukan dengan berbagai macam bentuk.

Kata al- miskiin disebut 8 kali, yaitu pada; Al- Isra‘: 26, Ar- Rum: 38, Al-

Mutdatstsir: 44, Al- Baqarah: 184, Al- Haqqah: 34, Al- Fajr: 18, Al- Ma‘un: 3, Al-

Qalam: 24.

Sedangkan kata miskiinan ditemukan dalam tiga tempat yaitu pada; Al-

Mujadilah: 4, Al- Insan: 8, Al- Balad: 16. 86

bentuk jamak miskiin adalah

masaakiin, terdapat dalam 12 tempat, yaitu; Al- Baqarah: 177, Al- Maidah: 89 &

95, Al- Kahfi: 79, An- Nur: 22, Al- Baqarah: 83 & 215, An- Nisa: 36, Al- Anfal:

41, At- Taubah: 60, Al- Hasr: 7, An- Nisa: 8.87

Kata miskiin dalam bahasa Arab

hampir bersamaan artinya dengan al- baais al- faqiir dalam surat Al- Hajj: 28, al-

fuqaraa‟ dalam surat At- Taubah: 60, al- qaani dalam Al- Hajj: 36, dan al- imlaaq

dalam surat Al- Isra‘: 31. Penggunaan kata miskiin dan sinonimnya dapat dilihat

83

Ibid, hlm. 351. 84

Luwis Ma'luf, al-Munjid... hlm. 774. 85

Budiharjo. Kemiskinan Dalam Perspektif Al- Qur‟an... hlm. 284. 86

Ali Audah. Konkordansi Qur‟an, (Bogor: Litera Antar Nusa. 1996), hlm. 410. 87

Ibid.

49

dalam ayat-ayat berikut yang disertai juga dengan tafsir bahasa Jawa dalam kitab

tafsir al- Ibriz;

1. Al- Isra’ ayat 26

ٱىلربذاوءات صهيوۥحلذ وٱل بيوٱب رتتذيراٱلصذ ٢٦ولتتذDan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada

orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu

menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.(QS Al- Isra‟: 26)

Surat Al- Isra‘ merupakan surat ke 17 dalam al- Qur‘an, terdiri dari

111 ayat. Surat ini digolongkan kedalam surat Makkiyah, sebab seluruh

ayatnya turun di Makkah, kecuali ayat 26, 32, 33, 57, 73, 74, 78, 77, 78, 79,

dan ayat 80, sebab ayat-ayat tersebut digolongkan dalam ayat Madaniyah.

Dalam tafsir al- Ibriz, ayat ini ditafsirkan sebagai berikut;

―Wong-wong kang anduweni hubungan famili, wenehono hak-hakke,

koyo nafkah, shodaqoh, utowo liyane. Lan ugo wong-wong miskin, lan

onok dalan. Lan siro ojo tabdziyr ceh-ceh duit kanggo infaq kang

tanpa guna.‖88

Maksudnya adalah bahwa, kita di anjurkan untuk menunaikan hak-hak

atas kerabat, kepada orang-orang miskin, dan kepada orang sedang dalam

perjalanan untuk mencari ridha Allah, dan melarang untuk berbuat boros

atas harta yang diberikan oleh Allah untuk dibelanjakan dengan tanpa

manfaat dan tanpa memperhatikan kesusahan orang disekitar.

Dalam keterangan awal, ayat ini merupakan salah satu ayat

Madaniyah yang terdapat didalam surat Al- Isra‘, dalam pembahsan

Makiyah dan Madaniyah terdapat 3 pendapat dalam menggolongkan ayat

kedalam golongan ayat Makiyah atau Madaniyah.

88

Bisri Musthofa, al-Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al-Qur‟an al- Aziz, Juz 15...hlm. 840.

50

Pertama, penggolongan menurut waktu turunnya ayat atau surat. Ayat

atau surat yang tergolong Makiyah ialah yang diturunkan di Makkah

sebelum Rasulullah berhijrah. Sedangkan ayat dan surat yang tergolong

Madaniyah ialah ayat dan surat yang turun setelah Rasulullah berhijrah dari

Makkah ke Madinah, walaupun ayat atau surat tersebut turun di Makkah

ataupun ditempat lainnya.89

Kedua, penggolongan menurut objek yang diajak bicara. Ayat atau

surat yang menyeru kepada penduduk Makkah ialah Makiyah. Sedangkan

ayat atau surat yang menyeru kepada penduduk Madinah ialah

Madaniyah.90

Ketiga, penggolongan menurut tempat turunnya ayat atau surat. Ayat

atau surat yang tergolong Makiyah ialah ayat atau surat yang turun di

Makkah, baik sebelum hijrah maupun sesudah hijrah. Sedangkan ayat atau

surat yang tergolong kedalam Madaniyah ialah ayat atau surat yang turun di

Madinah.91

Dari ketiga pendapat diatas, yang paling mahsyur digunakan ialah

pendapat yang ketiga. Adapun ciri dari dari ayat atau surat makiyah ialah:

(1) Dimulai dengan nida‟ (panggilan): ya ayyuhaa an- nas dan selain ya

ayyuha al- ladzina amanu. (2) Didalamnya terdapat lafadz ―kalla”, lafadz

tersebut terdapat dalam al- Qur‘an sebanyak 33 kali dalam 25 surat dibagian

akhir Mushaf Utsmani. (3) Didalamnya terdapat ayat-ayat “sajadah”,

89

Musa Ibrahim al Ibrahim, Bakhus Minhajiyah fi Ulumil Qur’an al- Karim, (t.tp. Dar ‘Amar. 1996)., hlm. 39 90

Ibid. 91

Ibid.

51

didalam al- Qur‘an terdapat 15 ayat sajdah. (4) Di permulaannya terdapat

huruf-huruf muqhotho‟ah (huruf yang terpotong-potong) kecuali al-

Baqarah dan Ali- Imran. (5) Didalamnya terdapat cerita-cerita para Nabi dan

umat-umat terdahulu,selain surat al- Baqarah dan al- Maidah. (6)

Didalamnya dijelaskan tentang tauhid kepada Allah SWT. (7) Didalamnya

berisi ajaran prinsip-prinsip ahlak yang mulia. (8) Berisi nasihat, petunjuk,

dan pengibaratan. (9) Didalamnya terdapat aqsam (sumpah). (10)

Kebanyakan ayatnya pendek karena menggunakan bentuk ijaz (singkat

padat).92

Sedangkan ciri-ciri dari ayat atau surat madaniyah ialah: (1) Berisi

tentang ijin jihad fi sabilillah dan hukum-hukumnya. (2) Berisi keterangan

tentang orang-orang munafik beserta sifat-sifatnya. (3) Berisi hukum-hukum

kemasyarakatan dan kenegaraan. (4) Berisi seruan kepada ahlul kitab dan

penjelasan terhadap akidah-akidah mereka yang menyimpang. (5)

Kebanyakan ayat atau suratnya panjang karena ditujukan kepada penduduk

madinah. (6) Berisi hukum muamalah. (7) Berisi hukum faraid (waris-

mewaris). (8) Berisi hukum hudud (pidana).93

2. Ar- Rum: 38

اتف ٱىلربذا صهيوۥحلذ وٱل بيو ٱب ٱلصذ ي ىلذ خي لم ذ هيريدونوج ٱللذ ولهم

فيحنوأ ٣٨ٱل

Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian

(pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah

92

Bisri Musthofa, al-Ibriz li Ma’rifat Tafsir al-Qur’an al- Aziz, Juz 15...hlm. 39-40 93

Ibid., hlm. 40-42

52

yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan

mereka itulah orang-orang beruntung.(QS Ar- Rum: 38)

Surat Ar- Rum termasuk kedalam golongan surat makiyah, yang

terdiri dari 60 ayat, kecuali ayat ke 17 yang merupakan ayat madaniyah.

Dalam tafsir al- Ibriz, ayat ini ditafsirkan sebagai berikut:

“Mulo siro menehono wong-wong kang anduweni sambungan sanak

(wenehono) hak-hakke sanak –(ya iku mbeciki lan silaturrohim)- lan

ugo wong-wong miskin lan wong-wong musafir- (weneihono

shodaqoh sak murwate): mengkono kuwi – bagus tumerep wong-wong

kang podo karep ganjarane Allah ta‟ala – lan iyo wong-wong kang

mengkono iku wong-wong kang bejo kemayangan.”94

Maksudnya adalah bahwa hak atas sanak famili, tetangga, orang-orang

miskin dan musafir ialah berlaku baik atas mereka dan menyambung

silaturrohim atas mereka serta berikanlah kepada mereka shodaqoh

semampunya, dan orang-orang yang berlaku demikian adalah orang-orang

yang akan mendapat ganjaran dan keberuntungan dari Allah swt.

3. Al- Muddatsir: 44

مجػػ صهيول ٤٤ٱل

dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin.(QS Al- Muddatsir: 44)

Surat Al- Mudatsir terdiri dari 56 ayat dan tergolong kedalam surat

makiyah. Diturunkan sesudah surat Al- Muzammil. Dinamai Al- Mudatsir

(orang yang berkemul) diambil dari perkataan Al- Muddatsir yang terdapat

pada ayat pertama surat ini. Dalam tafsir al- Ibriz surat ini ditafsirkan sebagai

berikut:

94

Ibid, Juz 21., hlm, 1393.

53

“Lan ingsun ora tau meneihi mangan wong-wong miskin.”95

Maksudnya adalah bahwa ayat ini berisi tentang keterangan salah satu

perbuatan yang mengakibatkan seseorang masuk kedalam neraka, yaitu: tidak

memberi makan kepada orang-orang miskin. Adapun perbuatan apa saja yang

mengakibatkan seseorang akan masuk neraka yang dijelaskan didalam surat

Al- Muddatsir ialah karena semasa hidupnya ia tidak mengerjakan sholat,

tidak memberi makan kepada orang-orang miskin, dan orang-orang yang suka

membicarakan hal-hal yang bathil, tidak mempercayai adanya hari akhir

sampai kematian datang. Keterangan tersebut terdapat dalam surat Al-

Muddatsir pada ayat 42 sampai dengan ayat 47.

4. Al- Haqqah: 34

غػامول لع صهييض ٣٤ٱلDan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang

miskin (QS Al- Haqqah: 34)

Surat ini terdiri atas 52 ayat, termasuk golongan surat-surat Makiyah,

diturunkan sesudah surat Al- Mulk. Nama Al- Haaqqah diambil dari kata

Al- Haaqqah yang terdapat pada ayat pertama surat ini yang artinya hari

kiamat. Dalam tafsir al- Ibriz ayat ini ditafsirkan sebagai berikut:

“Lan ora nganjurake awake dewe lan ugo ora nganjurake wong liyo,

tumerep aweh mangan marang wong miskin.”96

Jika di artikan kedalam bahasa Indonesia maka akan berbunyi ―dan

tidak menganjurkan kepada diri sendiri dan juga tidak menganjurkan kepada

orang lain untuk memberikan makan kepada orang miskin‖. Ayat ini tidak

95

Ibid, Juz 29, hlm, 2174. 96

Ibid., hlm, 2131.

54

dapat berdiri sendiri, maka untuk mencari makna apa yang terkandung

haruslah melihat kepada ayat sebelum dan sesudahnya.

Dilihat dari ayat sebelum dan sesudahnya, ayat ini menjelaskan salah

satu ciri orang yang mendapatkan hisab melalui tangan kirinya, dan hal itu

merupakan sesuatu yang sangatlah buruk. Menurut surat ini orang yang

mendapat hisab melalui tangan kirinya ialah orang yang pada semasa

hidupnya ia tidak beriman kepada Allah SWT, dan tidak menganjurkan

kepada diri sendiri maupun orang lain untuk memberi makan kepada orang

miskin.

Adapun keadaan yang digambarkan orang-orang yang melakukan hal

tersebut didalam neraka ialah, akan dibelenggu tangannya ke lehernya,97

kemudian ia akan dimasukkan kedalam api neraka yang menyala-nyala,98

kemudian ia akan dibelit dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta,99

dan didalam neraka ia tidak akan mempunyai seorang temanpun pada hari

itu,100

dan tiada pula makanan baginya selain dari darah dan nanah.101

5. Al- Fajr: 18

غػام نلع صهيولححظ ١٨ٱلDan kamu tidak pernah mengajak memberi makan oran miskin.(QS Al-

Fajr:18)

Surat ini terdiri atas 30 ayat, termasuk golongan surat-surat Makiyyah,

diturunkan sesudah surat Al- Lail. Nama Al- Fajr diambil dari kata Al- Fajr

97

QS Al- Haqqah: 30 98

QS Al- Haqqah: 31 99

QS Al- Haqqah: 32 100

QS Al- Haqqah: 35 101

QS Al- Haqqah: 36

55

yang terdapat pada ayat pertama surat ini yang artinya fajar. Dalam tafsir al-

Ibriz ayat ini ditafsirkan sebagai berikut:

“Mbok iyo ojo ngono ! (jeneng dimulyaake iku sejatine wong kang

keparingan biso taat. Lan kang jeneng di ino iku wong-wong ahli

ma‟siyat). Nanging wong-wong kafir makkah ora podo nggubris balik

malah ora podo mbeciki marang anak-anak yatim, ora podo

nganjurake awake dewe lan wong liyo supoyo aweh mangan wong-

wong miskin, kelakuane podo doyan mangan warisan kanti serakah (yo

iku mangan bondo warisan kang mestine tibo wong-wong wadon lan

bocah-bocah) lan podo demen bondo kelawan demen kang kebangeten

(nganthi ora gelem infaq babar pisan).”102

Jika di artikan kedalam bahasa Indonesia berarti: ―janganlah seperti itu !

yang dimuliakan itu sesungguhnya ialah orang yang mampu taat, dan yang

dihina itu adalah orang-orang yang membuat kerusakan/bermaksiat. Namun,

orang-orang kafir Makah tidak menggubris, dan tidak berbuat baik kepada

anak-anak yatim, tidak saling menganjurkan diri sendiri dan orang lain

supaya memberi makan kepada orang-orang miskin, mereka senang memakan

harta warisan dengan serakah, yaitu memakan harta warisan yang seharusnya

diberikan kepada para perempuan dan anak-anak kecil, dan mereka senang

kepada harta dengan berlebihan, sehingga tidak mau berinfaq sama sekali.

Ayat ini mengandung hikmah tentang bagaimana kekayaan dan

kemiskinan merupakan ujian dari Allah SWT, dan pada ayat ini K.H Bisri

Mustofa menjelaskan tentang kemuliaan seorang hamba kepada Allah SWT,

dan juga kehinaan dari Allah, sebab ia tidak taat kepada Allah.

6. Al- Ma’un: 3

غػام لع صهيوليض ٣ٱل 102

Bisri Musthofa, al-Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al-Qur‟an al- Aziz, Juz 30., hlm, 2235.

56

Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.(QS Al- Ma‟un: 3)

Surat ini terdiri dari 7 ayat, diturunkan sesudah surat At- Takatsur.

Nama Al- Ma'un diambil dari kata Al- Ma'un yang terdapat pada ayat 7,

artinya barang-barang yang berguna. Surat ini dalam beberapa keterangan

digolongkan kedalam surat makiyah namun, pada kitab tafsir al- Ibriz

diawal surat disebutkan bahwa,

―surat Al- Ma‟un iku sebagian surat makiyah, sebagian madaniyah‖,

Artinya bahwa surat Al- Ma‘un itu sebagian surat makiyah, sebagian

madaniyah. Namun, disana tidak terdapat keterangan bahwa ayat mana

saja yang merupakan ayat makiyah ataupun ayat madaniyah.

Dalam tafsir al- Ibriz ayat ini ditafsirkan sebagai berikut:

“Opo siro weruh wong kang anggorohake agomo? Anggorohake onone

hisab lan wewales? Yen ora weruh iyo iku lho, wong kang nolak

kanthi kasar marang anak yatim kang anjaluk bondone dewe, lan ora

gelem nganjurake aweh mangan wong miskin.”103

Maksudnya adalah bahwa dalam penafsirannya terdapat keterangan

yang menyebutkan tentang orang-orang yang mendustakan agama, dan

mendustai adanya hari hisab dan hari pembalasan ialah orang-orang yang

menolak dengan kasar kepada anak yatim yang meminta hartanya, dan tidak

menganjurkan memberi makan kepada orang miskin.

Adapun asbab an- nuzul dari ayat ini disebutakan dalam penafsiran

dengan label faidah. Ayat ini turun karena Abu Jahal, pada saat itu menjadi

berkuasa, ia menguasai harta dari anak yatim. Ketika anak yatim tersebut

sudah dewasa dan meminta haknya berupa harta dari Abu Jahal, tetapi Abu

103

Ibid., hlm. 2262-2263.

57

Jahal tidak mau memberikan hak anak yatim tersebut, dan Abu jahal

menghardiknya dengan kasar.104

Maksud dari surat Al- Muddatsir ayat 44, Al- Haqqah ayat 34, Al-

Fajr ayat 18 dan Al- Maa‘uun ayat 3 sangatlah senada. Dalam ayat-ayat ini

kita dianjurkan untuk mempunyai kesadaran diri untuk berlaku baik

terhadap orang-orang miskin dan anak yatim dan juga dianjurkan untuk

saling nasihat-menasihati untuk memberi makan kepada orang-orang miskin

dan para anak yatim.

7. Al- Qalam: 24

ناأ ذ يدخي ملذ ٱل صهي ٢٤غييس

Pada hari ini janganlah ada seorang miskinpun masuk ke dalam

kebunmu.(QS Al- Qalam: 24)

Surat ini terdiri atas 52 ayat, diturunkan sesudah surat Al Alaq. Nama

Al- Qalam diambil dari kata Al- Qalam yang terdapat pada ayat pertama surat

ini yang artinya pena. Surat ini dinamai pula dengan surat Nun (huruf nun)

karena pada ayat pertama dimulai dengan huruf Nun. Surat ini digolongkan

kedalam surat makiyah, namu ada sebagian ayatnya yang digolongkan dalam

ayat-ayat madaniyah, diantaranya adalah ayat 17 sampai dengan ayat 23 dan

ayat 48 sampai dengan ayat 50.105

Ayat ini tidak dapat berdiri sendiri sebab, ayat ini merupakan bagian

dari sebuah cerita tentang bagaimana Allah SWT menimpakan musibah adzab

kepada orang-orang kafir Makkah, yang merupakan para pemilik kebun yang

104

Ibid. 105

Ibid., Juz 29., hlm. 2114.

58

enggan menyisihkan hasil kebunnya untuk diberikan kepada orang-orang

miskin. Awal dari kisah ini diawali dengan ayat ke 17 sampai dengan ayat 33.

Didalam kisah tersebut, diceritakan bagaimana para pemilik kebun yang

enggan menyisihkan hartanya untuk diberikan kepada orang-orang miskin,

telah Allah timpakan kepada mereka suatu adzab yang dari adzab tersebut

mereka menjadi sadar bahwa mereka telah melakukan kesesatan. Adzab itu

berupa hangusnya perkebunan mereka hingga menjadi menghitam dan tidak

dapat dipetik hasilnya, dan Allah juga menjelaskan bahwa, adzab tersebut

adalah adzab yang tiada bandingannya dengan adzab di akhirat kelak.

8. Al- Baqarah: 184

ا يذاسأ كن ذ ػدودت يذامذ

أ ة ـػدذ شفر

لع وأ ريظا ذ

ولع خرأ ي ٱلذ ۥيػيل ذ ا عخي ذ تػ ذ غػاممصهي ـديث

لذ خي ۥ إننخ ىذس اخي نحصمن وأ ١٨٤تػي

Dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada

yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah

baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang

lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka

tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.

Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka

itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika

mengetahui.(QS Al- Baqarah: 184)

Surat Al- Baqarah yang terdiri dari 286 ayat itu turun di Madinah,

yang sebahagian besar diturunkan pada permulaan tahun Hijrah, kecuali

ayat 281 diturunkan di Mina pada Hajji wadaa' (hajji Nabi Muhammad

s.a.w. yang terakhir). Seluruh ayat dari surat Al- Baqarah termasuk

golongan madaniyah, merupakan surat yang terpanjang di antara surat-surat

dalam al- Quran, dan di dalamnya terdapat pula ayat yang terpanjang (ayat

59

282). Surat ini dinamai Al- Baqarah karena di dalamnya disebutkan kisah

penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil

(ayat 67 sampai dengan 74), dimana dijelaskan watak orang Yahudi pada

umumnya. Dinamai Fusthaatul-Quran (puncak al- Quran) karena memuat

beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam surat yang lain. Dinamai juga

surat alif-laam-miim karena surat ini dimulai dengan Alif-laam-miim.

Dalam ayat ini dijelaskan tentang pada kondisi apa saja diperbolehkan

berbuka atau tidak berpuasa pada bulan ramadhan dan juga pengganti dari

puasa tersebut yang harus dilaksanakan. Dalam tafsir al- Ibriz, ayat ini

ditafsirkan sebagai berikut;

Seseorang diperbolehkan tidak berpuasa apabila dalam keadaan sakit,

dalam perjalanan, dan berusia tua. Pengganti tersebut ialah harus mengganti

(qodho) pada hari yang lain. Jika orang tersebut sangatlah tua, dan tidak

mampu untuk melakukan puasa, maka penggantinya harus dengan

membayar fidyah, yaitu memberi makan kepada fakir miskin dengan

takaran satu mud per-harinya. Namun, jika pada saat membayar fidyah

tersebut takarannya dilebihkan karena suatu kesunahan itu lebih baik.

Namun, apabila orang yang sangat tua tersebut ingin berpuasa saja, maka itu

lebih baik. 106

Namun, sebab-sebab diperkenankannya untuk tidak berpuasa tersebut

terdapat batasan-batasan sehingga sebab tersebut mampu memenuhi syarat

diperkenankannya tidak berpuasa, dan keterangan tentang batasan-batasan

106

Ibid, Juz 2., hlm, 63-64.

60

tersebut tidak di jelaskan di dalam al- Qur‘an secara merinci, maka dari itu

dalam tanbih-nya (kitab al- Ibriz) dijelaskan bahwa keterangan-keterangan

tersebut hanya akan diperoleh dari kitab-kitab fiqih yang sudah di saring

oleh para ulama mujtahidin.107

Keterangan ini terdapat pada kategori tanbih

dalam penafsiran surat Al- Baqarah ayat 184.

9. Al- Mujadilah ayat 4

ذ هذ ا اشذ حخ نأ رتو خخاةػي ري ش ـصيام يد

ىذ ىذ ة ا لؤ لم ذ ا مصهي شتي ـإغػام يصخػع ورشلٱللذ وحيمۦ

هحدود ٱللذ لغذابأ فري ٤وليك

Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya)

berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka

siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh

orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-

Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan

yang sangat pedih.(QS Al- Mujadilah: 4)

Surat Al- Mujadilah terdiri atas 22 ayat, termasuk golongan surat

madaniyah, diturunkan sesudah surat Al- Munafiqun. Surat ini dinamai

dengan Al Mujadilah (wanita yang mengajukan gugatan) karena pada awal

surat ini disebutkan bantahan seorang perempuan, menurut riwayat bernama

Khaulah binti Tsa'labah terhadap sikap suaminya yang telah menzhiharnya.

Hal ini diadukan kepada Rasulullah s.a.w. dan ia menuntut supaya beliau

memberikan putusan yang adil dalam persoalan itu. Dinamai juga Al-

Mujadalah yang berarti perbantahan.

107

Ibid.

61

Dalam ayat ini, yang perlu diperhatikan adalah bahwa merupakan

lanjutan atau keterangan atas ayat sebelumnya, atau ayat ini merupakan ayat

nasikh atas hukum yang terdapat pada surat Al- Mujadilah ayat 3 (yang

menjadi ayat yang di mansukh-kan. Hukum yang terdapat pada kedua ayat

tersebut ialah hukum bagi permasalahan zihar. Pada ayat sebelumnya

dijelaskan bahwa untuk menarik kembali kata-kata zihar dari seorang suami

kepada istri sebelum mereka dapat bercampur kembali ialah dengan jalan

memerdekakan seorang budak, lalu kemudian pada ayat keempat

ditawarkan hukuman lain apabila memerdekakan seorang budak terlalu

mberat untuk sang pelaku, maka hukum yang bisa ia pilih adalah (1) dengan

berpuasa selama 2 bulan berturut-turut tanpa putus, jikalau putus barang

sehari maka ia harus mengulang hitungannya kembali, jika hukuman ini

masih juga dirasa berat, maka ditawarkan lagi pilihan, (2) memberi makan

untuk 60 orang miskin, dengan setiap satu orang miskin diberikan makan

dengan jumlah 1 mud (satu per empat dari harta yang harus dikeluarkan

untuk menunaikan zakat fitrah). 108

10. Al- Insan ayat 8

ن ػامويػػ حتٱىػذ شياۦلعاوأ اويتي ٨مصهي

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin,

anak yatim dan orang yang ditawan.(QS Al- Insan: 8)

Surat Al- Insan terdiri atas 31 ayat, termasuk golongan surat-surat

madaniyah, diturunkan sesudah surat Ar- Rahman. Dinamai Al- Insan

108

Ibid, Juz 28., hlm, 2013-2014.

62

(manusia) diambil dari perkataan Al- Insaan yang terdapat pada ayat

pertama surat ini.

Pada ayat ini dijelaskan bahwa memberi makan kepada orang-orang

miskin, anak yatim dan orang yang ditawan ialah suatu perbuatan yang

sangat baik sehingga akan mendapat ganjaran berupa minuman dari air

kafur109

di surga nanti. Perihal makna dari ―makanan yang disukai‖ dalam

tafsir al- Ibriz terdapat keterangan dalam kategori tanbih dalam penafsiran

ayat ini bahwa, ketika kita mempunyai makanan dan kita membutuhkannya

untuk dimakan, namun kita memberikannya kepada orang lain walaupun

kita akan menjadi lapar karenanya. 110

11. Al- Balad ayat 16

بث ت اذا ومصهي ١٦أ

Atau kepada orang miskin yang sangat fakir.(QS Al- Balad: 16)

Surat Al- Balad terdiri atas 20 ayat, termasuk golongan surat-surat

makiyah, diturunkan sesudah surat Qaaf. Dinamai Al Balad, diambil dari

perkataan Al- Balad yang berarti negeri/kota, yangterdapat pada ayat

pertama surat ini. Yang dimaksud dengan kota di sini ialah kota Makkah.

Ayat ini menjelaskan salah satu jalan yang sukar lagi mendaki

menurut surat Al- Balad ayat 10, ialah jalan yang didalamnya terdapat

rahmat Allah untuk hamba-Nya. Surat Al Balad mengutarakan bahwa

manusia haruslah bersusah payah mencari kebahagiaan dan Allah sendiri

telah menunjukkan jalan yang membawa kepada kebaikan, dan jalan yang

109

Kafur ialah nama suatu mata air di surga yang airnya putih dan baunya sedap serta enak sekali

rasanya. 110

Bisri Musthofa, al-Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al-Qur‟an al- Aziz, Juz 29., hlm, 2183.

63

membawa kepada kesengsaraan. Tuhan menggambarkan bahwa jalan yang

membawa kepada kebahagiaan itu lebih sulit menempuhnya daripada yang

membawa kepada kesengsaraan.

Salah satu jalan yang sukar tersebut menurut tafsi al- Ibriz ialah

memerdekakan budak, atau memberi makan pada anak-anak yatim yang

masih mempunyai hubungan kerabat dan juga kepada orang miskin yang

sangat membutuhkan disaat harga barang pangan sedang mahal. 111

12. Al- Baqarah ayat 177

ٱىبذ۞ىذيس كتو س وج ا ى نحشقأ ؾربوٱل ٱل ذ ٱىبذولس ة ءا موٱللذ لههثوٱألخرٱل وٱىهتبوٱل الوءاتٱنلذتي ٱلحت ۦلع سهيوٱلتموٱىلربذوي وٱل بيوٱب انييوٱلصذ ٱلصذ

ٱلركابوف كامةوأ ي ٱلصذ ةوءات ن ـنوٱلزذ ٱل ه دوا ع إذا د ةػ

و بي ٱىصذ شفاءواءٱلأ ذ ٱلضذ س وحي

ٱلأ ولهم

أ ي هصدٱلذ ا ك

ولهمخذلنوأ ١٧٧ٱل

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu

kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada

Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan

memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,

orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-

orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,

mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati

janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam

kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-

orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang

bertakwa.(QS Al- Baqarah: 177)

Penafsiran al- Ibriz pada ayat ini mengurai berbagai ciri-ciri orang

yang bertaqwa(muttaqin). Adapun ciri-cirinya yaitu: (1) orang yang beriman

111

Ibid, Juz 30., hlm, 2239.

64

kepada Allah SWT dan hari kiamat, (2) beriman kepada malaikat dan kitab-

kitab Allah, (3) beriman kepada nabi-nabi Allah, (4) mau memberi

pertolongan dengan memberikan harta yang masih disenangi kepada

keluarga, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, orang-orang

yang meminta-minta, dan memerdekakan budak, (5) melaksanakan sholat,

(6) menunaikan zakat, (7) menepati janji-janji yang telah di janjikan, (8) dan

orang-orang yang sabar ketika menjadi fakir miskin, menderita sakit, dan

berperang di jalan Allah. Berikut merupakan penafsiran dari ayat ini yang

dikutip langsung dari kitab tafsir al- Ibriz,

“Wong-wong yahudi lan wong-wong nasoro iku podo pasulayan.

Wong-wong nasoro duwe anggeban. Yayni peparek marang pangeran

iku kudu madep ngetan. Wong-wong yahudi duwe anggeban, yayni

peparek marang pangeran iku kudu madep ngulon. Gusti Allah ta‟ala

nurunaken ayat kang surasane: kabecikan iku ora namung cukup

madep ngetan utawi madep ngulon. nanging sejatine wongkang bagus

(becik) iya iku wongkang iman marang Allah ta‟ala lan dino kiamat,

iman malaikate Allah lan kitab-kitabe Allah, lan poro nabi-nabine

Allah, gelem tulung maringaken artane sartane deweke, dewe iseh

seneng arta mau di paringaken marang sanak familine, anak-anak

yatim, wong-wong miskin, ibnu sabil, wong-wong kang anjaluk, lan

kanggo merdekaaken budak, lan gelem ngelakoni sholat, mangaken

zakat, lan wong-wong kang podo nubuni janji yen janji-janji, lan

wong-wong kang podo sabar(tabah) nalikane bangete fakir lan nuju

loro lan nalikane bertempur perang sabil. Wong-wong kang koyo

ngunu sifate mau wong-wong kang arane muttaqin.

(Tanbih) Yen kita namung ningali dhohire ayat iki, rukun iman banjur

namung limo:

a. Iman billahi

b. Iman bilyaumil akhir

c. Iman bilmalaikat

d. Iman bilkitab

e. Iman binnabiyin

Ing mongko mestine nenem, kang nomer 6 ya iku iman bil qadr.

Mulone kanggo ngaweruhi rukun iman nenem iki, kudu gandeng karo

65

haditse rasulullah saw, kang antarane nerangaken : ي وبالقذرخيري وشر

‖.wallahu a‟lam. مه هللا تعالى112

13. Al- Maidah ayat 89

ل يؤاخذز ٱللذ ؾةاٱليذ ة يؤاخذز ولس س يم

أ ف

دت خلذ ه يمٱل رح اۥـهػذ وشع

أ سهي ة غش إغػام ىذ ررتث ذ ترير و

أ ت نص و

أ ييس

أ ن ـصياميد تػػ

و إذاحيفخ س يمأ رة لمنػذ يذام ذ

أ ثث ٱحفثل ا نذلمظ س يم

أ

يبي ءايخٱللذ تشهرونۦىس ٨٩ىػيذسAllah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak

dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan

sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah

itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang

biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada

mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup

melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang

demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan

kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan

kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).(QS Al-

Baqarah: 89)

“Allah ta‟ala ora nuntut siro kabeh jalaran kadelanjur sumpah(ora sejo)

tetapi Allah ta‟ala nuntut siro kabeh sebab sumpah kang siro kukuhake

(kanthi sejo sumpah) yen siro kabeh podo nerajang sumpah, kudu bayar

kifarat yaiku, menehi mangan wong miskin sepuluh, masing-masing sak

mud saking bahan makan kang biasa siro makan lan keluargo iro kang

cukupan utowo menehi sandangan sepuluh wong miskin utowo merdekaake

budak mukmin. Nuli sing sopo wonge ora bisa ngelakoni salah sijine kang

kasebut, kifarate poso telung dino, mengkono iku kifarate(pangelebure

dosone) sumpah iro kabeh. Ati-ati ojo podo nerajang sumpah koyo

mengkono iku Allah ta‟ala nerangake ayat-ayate marang siro kabeh supoyo

siro kabeh podo syukur.

(Tanbih) sumpah ninggal ngelakoni kabecikan, utawi sumpah ngelakoni

haram. Iku kudu di terjang, nuli bayar kifarat.”113

112

Ibid, Juz 2., hlm. 60-61. 113

Ibid, Juz 7., hlm. 312.

66

Ayat ini berbicara perkara sumpah. Berikut merupakan arti dari

penafsiran dalam tafsir al- Ibriz diatas, Allah SWT tidak akan memberikan

hukuman kepada orang yang tidak sengaja atau tidak dimaksudkan untuk

bersumpah, namun jika sumpah sengaja dilakukan dengan niat untuk

bersumpah kemudian mengingkari sumpah tersebut maka, akan dikenakan

kifarat berupa; (1) memberi makan 10 orang miskin, dengan ketentuan

setiap orang miskin tersebut mendapatkan jumlah sak mud(se-perempat dari

jumlah yang dikeluarkan untuk zakat fitrah) dengan ketentuan bahan

makanan yang diberi adalah bahan makanan yang kualitas dan harganya

sama dengan bahan makanan yang dikonsumsi si pelanggar sumpah. Atau

(2) memberikan sandang/pakaian untuk sepulu orang miskin, (3)

memerdekakan budak yang beriman, atau jikalau dari 3 pilihan kifarat yang

harus ditebus tersebut terasa berat untuk dibayarkan, maka Allah

memberikan pilihan hukuman terakhir yaitu berupa, puasa selama 3 hari

secara berturut-turut.

Pada tanbih dalam kitab tafsir al- Ibriz dijelaskan bahwa sumpah

untuk meninggalkan kebaikan dan sumpah untuk melakukan sesuatu hal

yang diharamkan maka, sumpah tersebut harus di langgar.

Maksud dari sumpah untuk meninggalkan kebaikan ialah seperti

halnya sumpah Siti Aisah anak dari Abu Bakar Siddiq kepada Mistoh,

dalam surat An- Nur ayat 22. Maka, sumpah yang seperti itu haruslah

dilanggar untuk kebaikan dan kemaslahatan diri dan umat.

67

14. Al- Maidah ayat 95

ا حأ ي ٱلذ ي ا تلخي ل ا يدءا ٱلصذ رخي و حرم خ

سۥوأ

رخو ا ثو ـجزاء دا خػ ةٱنلذػ ۦيس س غدل ذوا

بيؼ ا دي سٱىهػتث غػام رة نػذ وغدلهيأ و

اأ صيا لم ذ

مرهأ وبال ذوق ل ۦه خفا ٱللذ ذينخل عد و شيؿ ا ذ خ ٱللذ

و ٩٥ٱخلامغزيزذوٱللذ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang

buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu

membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan

binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut

putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa

sampai ke Ka´bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi

makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang

dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya.

Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali

mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi

mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.(QS Al- Maidah: 95)

Surat Al- Maidah terdiri dari 120 ayat; termasuk golongan surat

madaniyyah. Sekalipun ada ayatnya yang turun di Mekah, namun ayat ini

diturunkan sesudah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, yaitu di

waktu haji wada'. Surat ini dinamakan Al- Maidah (hidangan) karena

memuat kisah pengikut-pengikut setia Nabi Isa as meminta kepada Nabi Isa

agar Allah menurunkan untuk mereka Al- Maidah (hidangan makanan) dari

langit (ayat 112). Dan dinamakan Al- Uqud (perjanjian), karena kata itu

terdapat pada ayat pertama surat ini, dimana Allah menyuruh agar hamba-

68

hamba-Nya memenuhi janji prasetia terhadap Allah dan perjanjian-

perjanjian yang mereka buat sesamanya. Dinamakan juga Al- Munqidz

(yang menyelamatkan), karena akhir surat ini mengandung kisah tentang

Nabi Isa as penyelamat pengikut-pengikut setianya dari azab Allah.

Isi kandungan dari ayat ini menurut kitab tafsir al- Ibriz ialah tentang

hukuman bagi seseorang yang membunuh binatang buruan pada saat ihrom.

Adapun hukuman yang diberikan kepada yang melanggar larangan tersebut

ialah menyembelih binatang buruan yang setara dengan binatang buruan

yang dibunuhnya menurut putusan 2 orang laki-laki yang adil. Menurut Ibnu

Abbas dan Abu Ubaidah mereka menghukumi jika sapi liar dan keledai liar

maka setara dengan sapi yang di pelihara ataupun diternak dan yang setara

dengan kijang ialah kambing/domba. Menurut K.H Bisri Mustofa kifarat

menyembelih qurban tersebut itu harus disembelih tanah haram dan

dagingnya dibagikan kepada orang-orang miskin yang ada di tanah

haram.114

15. Al- Kahfi ayat 79

ا ذثأ في ٱلصذ ف ين حػ سهي ل اٱلحرـكج خيت

أ ن

أ ردت

ـأ

خذيأ يم ذ ثؽصتاوكنوراء شفي ٧٩كذ

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di

laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka

ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.(QS Al- Kahfi: 79)

Surat ini terdiri atas 110 ayat, termasuk golongan surat-surat makiyah,

sebab seluruh ayatnya merupakan ayat makiyah kecuali pada ayat 28 yang

114

Ibid., hlm. 315.

69

merupakan ayat madaniyah. Dinamai Al- Kahfi artinya Gua dan Ashabul

Kahfi yang artinya Penghuni-Penghuni Gua. Kedua nama ini diambil dari

cerita yang terdapat dalam surat ini pada ayat 9 sampai dengan 26, tentang

beberapa orang pemuda yang tidur dalam gua bertahun-tahun lamanya.

Selain cerita tersebut, terdapat pula beberapa buah cerita dalam surat ini,

yang kesemuanya mengandung i'tibar dan pelajaran-pelajaran yang amat

berguna bagi kehidupan manusia. Dalam penafsiran ayat ini pada tafsir al-

Ibriz hanya menceritakan tentang bagaimana alasan Nabi Khidir

menghancurkan perahu-perahu milik orang-orang miskin supaya tidak

dirampas oleh raja yang kafir. 115

Dalam penafsiran ayat ini K.H Bisri

Mustofa menggunakan bahasa jawa yang sangat halus karena, ayat ini

merupakan perkataan Nabi Khidir as.

16. An- Nur ayat 22

ول ا ولأ حو

وٱىفظويأ ػثس ٱلصذ ول

أ ا يؤح ن

ٱىلربأ

سهيو وٱل هجري ٱل شبيو هف تتنٱللذ لأ ه ا ولصفح ا ولػف

نحؾفرأ وٱللذ ىس ٱللذ ٢٢دفررذحي

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di

antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan)

kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang

berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan

berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?

Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS An- Nur:

22)

Surat An- Nur terdiri atas 64 ayat, dan termasuk golongan surat-surat

madaniyah. Dinamai An- Nur yang berarti Cahaya, diambil dari kata An-

115

Ibid, Juz 16., hlm. 919.

70

Nuur yang terdapat pada ayat ke 35. Dalam ayat ini, Allah SWT

menjelaskan tentang Nur Ilahi, yakni al- Quran yang mengandung petunjuk-

petunjuk. Petunjuk-petunjuk Allah itu, merupakan cahaya yang terang

benderang menerangi alam semesta. Surat ini sebagian besar isinya memuat

petunjuk- petunjuk Allah yang berhubungan dengan soal kemasyarakatan

dan rumah tangga.

“(nalika ayat kang nerangake kabersihan Siti Aisah tumurun sak kolo

sayyidina Abu Bakar Siddiq romone Siti Aisah banjur sumpah: ora

bakal nginguni pinuko wene kang aran Mistoh= mergo Mistoh di

anggep melu-melu ngerameake kabar bohong mau jalaran sumpahe

Abu Bakar Siddiq iku – nuli ayat nomer22 iki tumurun).

Wong-wong kang podo anduweni kacukupan, ojo banjur sumpah. Ora

maringi ingun sanak-sanake lan wong-wong miskin lan wong-wong

kang podo hijrah kerono bela agamane Allah ta‟ala- wong-wong mau

kudu aweh mangan lan ngapuro = opo siro kabeh ora podo demen

yen Allah ta‟ala ngapuro marang siro kabeh = Allah ta‟ala iku agung

ngapurone tur kang welase.”116

Asbab an nuzul dari ayat ini ditengarai oleh sumpah yang dikeluarkan

oleh Siti Aisah yang bersumpah untuk tidak akan lagi memelihara Mistoh,

karena Mistoh dianggap ikut menyebarkan kabar bohong atas Siti Aisah.

Ayat ini menasihati orang-orang yang memiliki kecukupan harta

untuk tidak bersumpah tidak akan memberi kepada sanak keluarganya,

orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang berhijrah dijalan Allah.

Orang-orang tersebut harus diberi makan dan diberi maaf atas kesalahan

mereka.

116

Ibid, Juz 18., hlm. 1137.

71

17. Al- Baqarah ayat 83

إوذ ءيولتػتدونإلذ إشر يثقةن خذاأ ٱللذ وب ي ل إحصاجاٱىنسهيوٱلتموٱىلربوذي ٱل ا ري

اوأ ذاسحص لي ا ةوكل ي ٱلصذ

ا وءاح ن إةٱلزذ خ لذ ح ذ ث ػرطنلذ خوأ س ٨٣كييل

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):

Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada

ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta

ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan

tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali

sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.(QS Al-

Baqarah: 83)

“Gusti nabi Muhammad saw, den dawuhi ngandar-ngandarake

nalikane Allah ta‟ala mundut janji marang bani israil kang surasane

janji mau siro kabeh bani isroil ora pareng nyembah sak liyane Allah

ta‟ala, lan siro kudu beciki marang wong tuo loro. Mbeciki wong

kang anduweni hubungan sanak(kerabat) anak yatim, wong miskin,

lan siro kabeh supoyo guneman karo menungso sing bagus, lan siro

kabeh supoyo podo ngelakoni sembahyang lan ngawehake zakat,

wusono siro kabeh podo mengo saking janji-janji mau kejobo

golongan sitik saking siro kabeh – siro kabeh tetep podo mengo

saking janji-janji kang wus tinutur.”117

Adapun arti dari penafsiran di atas ialah, Nabi Muhammad SAW

diperingatkan ketika Allah mengambil janji dari Bani Israil yang berjanji

tidak akan menyembah selain Allah SWT, dan akan berlaku baik kepada

kedua orang tua, orang yang mempunyai hubungan kerabat, anak yatim,

orang miskin, dan berkata-kata yang baik kepada manusia lain, dan

melaksanakan ibadah serta membayar zakat. Kemudian mereka tidak

menepati janji-janji tersebut melainkan hanya sedikit saja yang

menepatinya.

117

Ibid, Juz 1., hlm. 26.

72

18. Al- Baqarah ayat 215

ويميس ي ل يينـ خي فلخ

أ ا كو يفلنه اذا كربي

ٱل

سهيوٱلتمو وٱل بيو ٱة ٱلصذ ـإنذ خي ا تفػي ا و ۦةٱللذ

٢١٥غييMereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja

harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum

kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang

sedang dalam perjalanan". Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka

sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.(QS Al- Baqarah: 225)

Sebab ayat ini turun ialah ketika ada seorang kaya bernama Ibnu

Jamukh yang bertanya kepada nabi Muhammad tentang berapa jumlah

pemberian yang harus diberikan dan siapakan orang yang seharusnya diberi.

Sebelum tanya jawab itu berlangsung nabi Muhammad telah diberi tahu

oleh Allah SWT: pemberian itu boleh diberikan dengan jumlah yang sedikit

maupun banyak, dan orang yang berhak menerima pemberian adalah kedua

orang tua, kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu

sabil. Seluruh kebaikan itu akan dibalas oleh Allah SWT. 118

19. An- Nisa ayat 36

و ٱختدوا ةٱللذ ا تشك شيۦول وب ه ا ي ل وبذيٱىن ا ٱىلربإحسسهيوٱلتمو ٱلاروٱل بٱلاروٱىلربذي احبوٱل ٱلصذ وٱلنبة بيوٱة سٱلصذ يم

اميهجأ هو إنذ كنٱللذ ليب

٣٦مخالـخراSembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan

sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-

kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan

118

Ibid, Juz 2., hlm. 78.

73

tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan

membangga-banggakan diri.(QS An- Nisa: 36)

Surat An- Nisa yang terdiri dari 176 ayat itu, adalah surat madaniyah

yang terpanjang sesudah surat Al- Baqarah. Dinamakan An- Nisa karena

dalam surat ini banyak dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan

wanita serta merupakan surat yang paling membicarakan hal itu dibanding

dengan surat-surat yang lain. Surat yang lain banyak juga yang

membicarakan tentang hal wanita ialah surat Ath Thalaq. Dalam hubungan

ini biasa disebut surat An Nisaa' dengan sebutan: Surat An- Nisa Al- Kubra

(surat An- Nisa yang besar), sedang surat At- Thalaq disebut dengan

sebutan: Surat An- Nisa Ash Shughraa (surat An- Nisa yang kecil). Adapun

penafsiran ayat ini pada tafsir al- Ibriz adalah sebagai berikut:

“Siro kabeh podo hayawijiake ing Allah ojo podo nyekutuake opo-opo

lan ambagusono marang wong tuo loro, kerabat-kerabat, anak-anak

yatim, wong-wong miskin tonggo kang parek, tonggo adoh lan konco

ing lelungan utowo ono ing penggawean lan ibnu sabil lan budak-

budak kang siro miliki saktemene Allah ta‟ala iku ora demen

wongkang gumede lan kumalungkung.”119

Maksudnya adalah, kita harus mengesakan Allah, dan dilarang untuk

menyekutukan-Nya dengan apapun, serta berbuat baiklah kepada kedua

orang tua, kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga

yang dekat maupun yang jauh, teman bepergian/rantauan, atau teman dalam

satu pekerjaan, ibnu sabil, dan budak-budak yang dimiliki. Sesungguhnya

Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.

119

Ibid, Juz 5., hlm. 211-212.

74

20. Al- Anfal ayat 41

و ا ٱغي خص للذ نذـأ ء ش خ اؽ جذ

ٱىلربوليرذشلوليۥأ

وٱلتمو سهيٱل و بيوٱة ٱلصذ خة ءا إننخ ٱللذ زنلالعاأ و

م مٱىفركانختداي ػان قٱلي وٱل ء كديرٱللذ ش ك ٤١لع

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai

rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul,

kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika

kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada

hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua

pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Surat Al- Anfal terdiri atas 75 ayat dan termasuk golongan surat-surat

madaniyah kecuali ayat 20 sampai dengan 26 yang merupakan ayat

makiyah.120

Surat ini dinamakan Al- Anfal yang berarti harta rampasan

perang berhubung kata Al- Anfal terdapat pada permulaan surat ini dan juga

persoalan yang menonjol dalam surat ini ialah tentang harta rampasan

perang, hukum perang dan hal-hal yang berhubungan dengan peperangan

pada umumnya. Menurut riwayat Ibnu Abbas r.a. surat ini diturunkan

berkenaan dengan perang Badar Kubra yang terjadi pada tahun kedua

hijrah. Peperangan ini sangat penting artinya, karena dialah yang

menentukan jalan sejarah Perkembangan Islam. Pada waktu itu umat Islam

dengan berkekuatan kecil untuk pertama kali dapat mengalahkan kaum

musyrikin yang berjumlah besar, dan berperlengkapan yang cukup, dan

mereka dalam peperangan ini memperoleh harta rampasan perang yang

tidak sedikit. Oleh sebab itu timbullah masalah bagaimana membagi harta-

120

Ibid., Juz 9, hlm. 490.

75

harta rampasan perang itu, maka kemudian Allah menurunkan ayat pertama

dari surat ini. Adapun penafsirannya dalam tafsir al- Ibriz ialah sebagai

berikut:

“Wong-wong mukmin ! siro-siro podo ngertio ! saktemene opo-opo

kang podo siro jarah saking bondone wong-wong kafir iku sak

perlimane kagungane Allah ta‟ala den tasorrufake minurut perintahe

Allah ta‟ala lan kanggo kanjeng rasul lan kanggo kerabat-kerabate

bani hasyim lan bani mutholib lan kanggo bocah-bocah yatim, lan

kanggo wong-wong miskin lan kanggo wong-wong kang terlantar sak

jerone lelungan, dene kang patang perlima(80 persen) dadi hak e

prajurit-prajurit kang podo njarah. Menowo siro kabeh temen-temen

iman kudu ngerti aturan-aturan kang tinutur lan siro kabeh kudu podo

ta‟at, menowo siro kabeh podo iman lan percoyo marang anane ayat-

ayat lan malaikat-malaikat kang diturunake marang nabi muhammad

zamane perang badar zaman campuhe golongan loro golongan

muslimin lan golongan kufar, kemenangan-kemenangan kang ono ing

peperangan iku ora saking tenogo iro kabeh nanging saking pitulungi

Allah ta‟ala. Allah ta‟ala iku kuoso atas sekabehane perkoro.”121

Isi kandungan dari penafsiran diatas adalah, dalam pembagian

ghanimah(harta rampasan perang) seperlima dari harta yang didapat adalah

hak Allah SWT, rasul dan untuk kerabat-kerabat dari Bani Hasyim dan Bani

Mutholib, serta untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk

orang-orang yang terlantar didalam perjalanan. Dan empat perlima(80%)

dari harta yang didapat menjadi haknya para prajurit yang ikut berperang.

21. At- Taubah ayat 60

ا جإجذ دق سهيليفلراءوٱلصذ ييوٱل اوٱىع ؤىذفثغيي ٱل كيبيوٱلركابوف غر

وفشبيوٱى وٱللذ بيوٱة ٱلصذ هـريظث ٱللذو ٱللذ حهي ٦٠غيي

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-

orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang dibujuk

121

Ibid, Juz 10., hlm. 506.

76

hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk

jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai

suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi

Maha Bijaksana.(QS At- Taubah: 60)

Surat At- Taubah terdiri atas 129 ayat termasuk golongan surat-surat

Madaniyyah, kecuali pada ayat 128 dan 129 yang merupakan ayat makiyah.

Surat ini dinamakan At- Taubah yang berarti pengampunan, karena kata At-

Taubah berulang kali disebut dalam surat ini. Dinamakan juga dengan

Baraah yang berarti berlepas diri yang di sini maksudnya pernyataan

pemutusan perhubungan, disebabkan kebanyakan pokok pembicaraannya

tentang pernyataan pemutusan perjanjian damai dengan kaum musyrikin, di

samping kedua nama yang masyhur itu ada lagi beberapa nama yang lain

yang merupakan sifat dari surat ini. Berlainan dengan surat-surat yang lain,

maka pada permulaan surat ini tidak terdapat basmalah, karena surat ini

adalah pernyataan perang dengan arti bahwa segenap kaum muslimin

dikerahkan untuk memerangi seluruh kaum musyrikin, sedangkan basmalah

bernafaskan perdamaian dan cinta kasih Allah. Surat ini diturunkan sesudah

Nabi Muhammad SAW kembali dari peperangan Tabuk yang terjadi pada

tahun 9 H. Pengumuman ini disampaikan oleh Saidina 'Ali r.a. pada musim

haji tahun itu juga. Adapun penafsiran ayat ini dalam tafsir al- Ibriz ialah

sebagai berikut:

“Sejatine zakat-zakat iku kudu namung di tasorrufake marang (1)

wong-wong fakir (2) wong-wong miskin (3) wong-wong kang dadi

amil zakat (4) wong-wong kang den lulut-lulut atine (5) kanggo

merdekaake budak (6) wong-wong kang akeh utange ora iso mbayar

(7) prajurit-prajurit sukarela ono ing perang sabil (8) wong-wong

musafir kang melarat keentekkan sangu, Allah ta‟ala netepake

ketetapan mau Allah ta‟ala iku perso lan wicaksono.

77

(Faidah) dawuh wa fi sabilillah iku biasane cok di gawe geger sak

golongan duwe penemu yen wa fi sabilillah iku umum endi-endi

dalane Allah ta‟ala yaiku dalan-dalan kabecikan. Sejatine golongan

kang awal mau, manut madzhab syafii lan jumhur ulama golongan

kang kapindo manut tafsir al manar. Golongan kapindo mau podo

wani nasorufake duit zakat kanggo bangun utowo dandan masjid-

masjid, langgar, mushola-mushola, madrasah-madrasah, darul

aytham, lan liya-liyane. Golongan awal ora wani nasorufake koyo

mengkono-mengkono madzhab imam syafii kang kasebut mau

nganggo kekuatan hadits-hadits pirang-pirang kang setengahe hadits

mau yo iku haditse Abi Said.

ذ قة لغىي اال ان الىبي صلى هللا علي وسلم قل قال التحل الص

رواي احمذ وابوداود وابه )الحذيث اوغازفى سبيل هللا ، –لخمست الى ان قال

"ماج والحاكم وقال صحيح على شرط الشيخيه(. وهللا علم122

Ayat ini berisi tentang para mustahiq zakat. Kemudian dalam kitab

tafsir al- Ibriz pada ayat ini terdapat faidah yang berisi tentang keterangan

kata wa fi sabilillah dari dua sudut pandang. Secara umum, fi sabilillah

diartikan sebagai orang-orang yang melakukan sebuah tindakan dengan

maksud mencari ridha dari Allah, yaitu berupa jalan-jalan kebaikan dan

harta zakat hanya boleh diberikan kepada para mustahiq zakat. Sebenarnya

golongan yang mengartikan fi sabilillah dengan pengertian tersebut ialah

orang-orang yang mengikuti madzhab Syafi‘i dan Jumhur „ulama. Adapun

yang berbeda pendapat tentang arti dari fi sabilillah ialah orang-orang yang

merujuk kepada penafsiran menurut kitab tafsir al- Manar. Golongan orang-

orang ini beranggapan bahwa harta rampasan tersebut boleh men- tasorruf-

kan harta zakat untuk membangun atau memperbaikitempat-tempat ibadah,

sekolah-sekolah, panti asuhan anak-anak yatim, dan lain-lain. Orang-orang

122

Ibid., hlm. 547-548

78

yang mengikuti madzhab Syafi‘i tidak berani men- tasorruf –kan harta zakat

seperti golongan kedua.

22. Al- Hasr ayat 7

ا ذ ـاءأ رشلٱللذ وۦلع

أ وليٱىلرى وليرذشل ٱىلربـييذ

سهيوٱلتمو وٱل بيوٱة ٱلصذ بي دوىة يسن ل ؽياءكٱل

س ءاحى ا و ا ـخذوهرذشلٱلس ـو خ س ى ج ا وٱخ ٱتذلاه ٱللذ إنذ ٧ٱىػلابشديدٱللذ

Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya

(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah

untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang

miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan

beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang

diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya

bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.

Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.(QS Al- Hasr: 7)

Surat Al- Hasr terdiri atas 24 ayat, termasuk golongan surat-surat

madaniyah, diturunkan sesudah surat Al- Bayinah. Dinamai surat Al- Hasr

(pengusiran) diambil dari perkataan Al-Hasr yang terdapat pada ayat 2 surat

ini. Di dalam surat ini disebutkan kisah pengusiran suatu suku Yahudi yang

bernama Bani Nadhir yang berdiam di sekitar kota Madinah. Berikut

merupakan penafsiran terhadap ayat ini dalam kitab tafsir al- Ibriz:

Barang-barang kang Allah ta‟ala ambalekake marang utusane

sangking ahli-ahli deso (sekitar Madinah koyo Bani Quroidoh – Bani

Nadhir – Fadak – Khoybar „Uroynah – Yunbugh, lan sepadane). Iku

kagungane Allah ta‟ala lan utusane Allah ta‟ala – lan kang anduweni

sambungan sanak.(kerabat-kerabate, nabi Muhammad sangking Bani

Hasim lan Bani Mutholib) lan anak-anak yatim – lan wong-wong

miskin – lan ibnu sabil. (Mulane dibagi koyo mengkono mau) supaya

bondo fek ora namung mubeng silih berganti antarane wong-wong

kang podo sugeh sangking siro kabeh = opo kang utusane Allah

ta‟ala maringi marang siro kabeh. ( rupo fek utowo liyane ) siro alapo

79

(siro tanpo nono) lan opo kang utusane Allah ta‟ala nyegah marang

siro kabeh, siro narimo ho cegahane = lan siro kabeh podo wedi o

marang Allah ta‟ala, temenan Allah ta‟ala iku banget siksane.

(Muhimmah) bondo fek iku dining Allah ta‟ala di sewohake marang

kanjeng nabi – kepriye kang dadi kersane = nanging tumindake ing

zamane kanjeng nabi Muhammad – bondo fek mau di bagi limo – sing

separo liyane di bagi limo meneh – patang persen kanggo kerabat-

kerabat sangking Bani Hasim dan Mutholib – patang persen kanggo

anak yatim kang fakir – patang persen kanggo wong-wong miskin –

patang persen kanggo ibnu sabil = kekerine kagem kanjeng nabi

Muhammad saw.

(Tanbih) menungso ketitahake dining Allah ta‟ala supoyo podo

ngibadah marang pengeran = Allah ta‟ala nitahake bondo-bondo

keno kanggo sangune ngebadah marang pengeran = kanjeng nabi

Muhammad iku kepalane wong-wong kang ngibadah marang

pengeran = dadi bondo-bondo iki kabeh sakbenere hak kanjeng nabi

muhammad saw = dene bondo-bondo banjur di daku dining wong-

wong kafir – iku sakbenere ora hakke = mulo yen bondo-bondo kang

di daku wong-wong kafir iku biso hasil di rampas dining kanjeng nabi

iku ateges bali = mulane ono ing ayat di tembungake ا ـاءذأ ٱللذ لع

ۦرشل opo-opo kang Allah ta‟ala embalekake marang utusane.

Wallahu a‟alam.123

Inti dari penafsiran diatas menerangkan bahwa bagian orang-orang

miskin sama antara pembagian dalam harta rampasan yang melalui

pertempuran dan harta rampasan yang diperoleh tidak melalui peperangan.

Perbedaannya pada bagian empat perlimanya yaitu ghanimah dibagi-

bagikan atau diberikan kepada para serdadu yang berperang, sedangkan fa‟i

diberikan kepada Rasul selaku pemimpin negara dan pemimpin agama di

beri hak untuk membelanjakan empat perlima harta rampasan yang

diperoleh tanpa melalui peperangan itu menurut pertimbangannya dengan

hidayah dari Allah SWT. demi untuk kemaslahatan umat.

123

Ibid, Juz 28., hlm. 2030-2032.

80

23. An- Nisa ayat 8

إوذا ثحض ٱىلص ا ولسهيوٱلتموٱىلربأ ـٱل ٱرزك

ا ـ ػرو ذ ل ك ال ٨وكلDan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang

miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah

kepada mereka perkataan yang baik.(An- Nisa: 8)

Ayat ini berisi tentang aturan ketika pembagian harta waris sedang

dilangsungkan dan dihadiri oleh kerabat, anak yatim, dan orang yang

miskin, maka berikanlah orang yang disebutkan itu sedikit dari harta yang

akan diwariskan. Apabila para pewaris masih anak-anak, dari tiga golongan

tersebut maka jelaskanlah kepada mereka dengan bahasa yang baik bahwa,

―kalian semua mendapat bagian, karena yang mendapat hak tersebut masih

anak-anak‖. 124

24. Al- Haj ayat 28

دوا ويذنرواىيش جفعل ٱش ٱللذ ارزر ػيمجلع ذ يذام فأ

ث ي ة عاٱل غػ

اوأ ا ٢٨ٱىفليٱلانسـك

supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya

mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki

yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka

makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk

dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.(QS Al- Haj: 28)

Surat Al- Haj berjumlah 78 ayat, seluruh ayatnya merupakan ayat

makiyah kecuali, ayat 11 dan 12. Pada riwayat lain ada yang mengatakan

kecuali ayat 19 sampai dengan ayat 24.125

124

Ibi.d, Juz 4., hlm. 196 125

Ibid,. juz 17, hlm. 1055

81

“Kabeh mau supaya wong-wong podo hadir, nekani kemanfaatan-

kemanfaatan tumerep wong-wong iku, lan podo nyebut-nyebut(dzikir)

asmane Allah ono ing dino-dino kang tertentu – (iya iku dino „arafah,

dino khor, tumeko dino-dino tasyriki = (anggone podo nyebut asmane

Allah ta‟ala iku) kerono rizki kang keparingake dining Allah ta‟ala

rupo rumangkang-rumangkang rojokoyo = (unto, sapi, wedus, kang di

sembelih kanggo qurban lan hadiyah) mulo siro kabeh podo mangano

sangking rojokoyo-rojokoyo mau – lan podo menehono mangan

marang wong kang banget fakire.126

Maksudnya adalah bahwa ayat ini menjelaskan tentang qurban,

keterangannya adalah bahwa kita di anjurkan berdizikir pada hari tasyrik,

sebab harta yang manusia miliki termasuk hewan yang di qurbankan

merupakan suatu rezeki yang berasal dari Allah SWT, dan yang

menyerahkan qurban tersebut boleh memakan bagian dari hewan qurban

yang telah disembelih, namun diperintahkan pula untuk memberi makan

orang yang sangat fakir.

25. Al- Hajj ayat 36

وٱلدن شعهر اىس جػيج ـٱللذ اخيه ذي ىس ٱذنروا ٱش ٱللذ ا غػ

وأ ا ا ـك ا ب ج وجتج ـإذا ه افذ ص ا ٱىلاعغيي

و ػتذ ٱل ىػيذس اىس رن نذلمشخذ ٣٦شهرونتDan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi´ar

Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah

olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri

(dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah

sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada

padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.

Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-

mudahan kamu bersyukur.(Al- Haj: 36)

Berikut merupakan penafsiran atas ayat ini dalam kitab tafsir al- Ibriz:

126

Ibid, Juz 17., hlm. 1068.

82

“Unto-unto qurban kang di hadiahake menyang tanah haram iku,

tumerep siro kabeh – ingsun dadeake minongko dadi tondo

keagungane agamane Allah. Siro kabeh podo oleh kebagusanana ing

unto-unto hadiah iku (ono ing dunia lan akhirat) = mulo siro kabeh

podo nyebut asmane Allah naliko nyembelih hadiah-hadiah mau =

unto-unto di sembelih netepi tingkah podo ngadek sikil telu = mengko

arikala lambunge wus tibo ono ing bumi (tegese sak wus sembelih)

siro kabeh podo mangano sebagian sangking unto-unto mau, lan siro

kabeh podo aweh mangan marang wong-wong kang teriman, lan

wong ngemis, ora bedo karo anggon ingsun ngereh unto-unto mau

kanggo sembelihan, ugo ingsun ngereh unto-unto mau kanggo

kemanfaatan iro kabeh (koyo di tumpati lan liyo-liyone) kabeh mau

supaya siro kabeh podo sukur nyukuri nikmat-nikmate Allah ta‟ala.

(Faidah) (1) mangan daging qurbane dewe iku hukume ora wajib

balik sunnah, (2) nyembelih unto di dekake iku jarene mengkene:

sikile unto kang ngarep sisih kiwo di tekuk di taleni- sahinggo namung

ngadek sikil telu- nuli di tibani gaman gulune= aturan kang mengkene

iki ora wajib- namung sunnah= dadi upomo di sembelih koyo aturan

nyembelih sapi= ateges di gelimpangake miring iku iya keno. Wallahu

a‟lam. (3) القاوع lan المعتر iku karo-karone wong fakir – yen القاوع iku

wong fakir kang ora tau njaluk-njaluk – yen المعتر iku wong faqir

kang biasa jaluk-jaluk lan ngarep-arep.”127

Penjelasan tentang kata القانع المعتر menurut tafsir al- Ibriz dijelaskan

bahwa kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama yaitu fakir. Namun

terdapat sedikit perbedaan diantara keduanya, القانع berarti orang fakir yang

tidak pernah meminta-minta sedangkan المعتر ialah orang fakir yang biasa

meminta-minta dan berharap.

26. Al- Ma’arij ayat 24-25

و ي مٱلذ ػي ذ حق ل ن انو٢٤فأ حروموىيصذ ٢٥ٱل

dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang

(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang

tidak mau meminta).(QS Al- Ma‟arij: 24-25)

Surat ini terdiri atas 44 ayat, termasuk golongan surat-surat makiyah,

diturunkan sesudah surat Al- Haqah. Perkataan Al- Ma'arij yang menjadi

127

Ibid., hlm. 1072-1073.

83

nama bagi surat ini adalah kata jamak dari mi'raj, diambil dari perkataan Al-

Ma'arij yang terdapat pada ayat 3, yang artinya menurut bahasa tempat naik.

Sedang para ahli tafsir memberi arti bermacam-macam, di antaranya langit,

nikmat karunia dan derajat atau tingkatan yang diberikan Allah SWT

kepada ahli surga.

“kejobo wong-wong mu‟min kang dewekw iku atas sholat sembahyang

tansah ngajekaken, lan wong-wong kang ono ing sak njerone bondo-

bondone ono hak kang tertentu kanggo wong-wong kang anjaluk lan

wong wong melarat kang emoh anjaluk.”128

27. Al- Isra’ ayat 31

ول رخي إنذ إويذاز رزر نذ لق إ خشيث ولدزأ ا تلخي ٣١انتياكنخط

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.

Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.

Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.

Dalam penafsiran ayat ini, K.H Bisri Mustofa tidak begitu

menjelaskan secara mendalam maksud dan hikmah dari ayat ini, penafsiran

beliau pada ayat ini hanya berupa terjemah, hal tersebut dapat dilihat dalam

kutipan berikut:

“Siro kabeh ojo podo mateni anak-anak iro kerono wedi faqir. (ojo

kuwatir) ingsun(Allah ta‟ala) kang ngerezkeni anak-anak iro lan iyo

kang ngarezkeni siro kabeh, temenan mateni anak iku keluputan kang

gedi.”129

Karena pada dasarnya al- Qur‘an adalah kitab petunjuk yang bersifat

global. Sehingga jangankan persoalan kemasyarakatan, masalah-masalah

128

Ibid, Juz 29., hlm. 2137. 129

Ibid, Juz 15., hlm. 842.

84

yang berkaitan dengan ibadah mahdah (murni) sekalipun, hampir tidak

ditemukan rincian operasionalnya kecuali dalam As-Sunnah, seperti

misalnya rincian shalat dan haji. Sementara rincian petunjuk menyangkut

segi kehidupan bermasyarakat, kalaupun ditemukan dari Sunnah Nabi, maka

hal tersebut lebih banyak berkaitan dengan kondisi masyarakat yang beliau

temui, sehingga masyarakat sesudahnya perlu melakukan penyesuaian-

penyesuaian sesuai dengan kondisinya masing-masing, tanpa mengabaikan

nilai-nilai Ilahi itu,130

begitupun dengan tafsir al- Ibriz, didalamnya tidak

terdapat keterangan tentang ciri terhadap orang yang disebut miskin maupun

faqir.

Sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan al-Qur‘an

untuk kedua istilah tersebut, para pakar Islam berbeda pendapat dalam

menetapkan tolok ukur kemiskinan dan kefakiran. Sebagian mereka

berpendapat bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari

setengah kebutuhan pokoknya, sedang miskin adalah yang berpenghasilan

di atas itu, namun tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Ada

juga yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si

fakir relatif lebih baik dari si miskin.

Al-Qur‘an dan hadis tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti

sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja

berubah. Namun yang pasti, al- Qur‘an menjadikan setiap orang yang

memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin yang harus dibantu.

130

M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat.

(Bandung: Mizan, Cetakan ke 13. 1996)., hlm. 411.

85

Sama seperti keterangan diatas, didalam kitab tafsir al- Ibriz sama

sekali tidak terdapat keterangan yang menjelaskan batas dan kategori bagi

orang miskin. Namun, dalam tafsir al- Ibriz dijelaskan bahwasanya terdapat

2 macam tipe dari orang miskin yaitu, orang miskin yang meminta-minta

dan orang miskin yang tidak mau meminta-minta, keterangan ini terdapat

pada penafsiran surat Al- Haj ayat 36.

Kemudian, pada penafsiran surat Al- Hasr ayat 7, pada label tanbih

dalam tafsir al- Ibriz dijelaskan bahwa, kita diperintahkan untuk beribadah

kepada Allah, dan harta-harta yang dimiliki mampu menjadi bekal kita

untuk beribadah kepada Allah SWT. Jika harta mampu dijadikan bekal

untuk beribadah kepada Allah, maka dalam hal ini terdapat maksud bahwa,

kemiskinan bukanlah suatu ketetapan final dari Allah kepada hambanya,

dan jika seseorang jatuh dalam kemiskinan maka, ia haruslah tetap berusaha

agar tidak selamanya berada dalam kategori miskin tersebut, dan mampu

mendapatkan harta untuk menjadi salah satu jalan untuk beribadah kepada

Allah SWT.

Didalam penafsiran ayat-ayat kemiskinan terdapat sangat banyak

keterangan tentang anjuran untuk memberi makan kepada orang miskin.

sejak dahulu masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sudah mempunyai

peradaban yang mengedepankan aspek sosial, terlebih dalam hal berbuat

baik terhadap sesama manusia. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya

tradisi-tradisi yang sangat mengedepankan kesejahteraan sosial. Sebagai

contoh adalah adanya budaya gotong royong, anter-anter, syukuran, dll.

86

Budaya tersebut dapat dikategorikan sebagai pengamalan al- Qur‘an

dalam perintah untuk berbuat amar ma‟ruf nahi mungkar, yang sangat di

kedepankan oleh K.H Bisri Mustofa dalam mengatasi problem sosial, dalam

hal ini adalah tentang kemiskinan.

Meskipun al- Qur‘an tidak mendefinisikan kemiskinan, namun

didalam al- Qur‘an, Allah SWT telah memberikan peringatan, perintah dan

larangan terhadap masalah kemiskinan, dan juga di dalam al- Qur‘an

terdapat berbagai macam cara untuk mengentaskan kemiskinan, adapun

cara-cara tersebut ialah sebagai berikut: (1) menumbuhkan etos kerja pada

setiap individu, (2) bantuan tidak langsung, misalnya berupa pekerjaan, (3)

bantuan berupa pemberian makanan, (3) menjalankan hukum kafarat, baik

berupa kafarat sumpah, kafarat pembunuhan, kafarat berjima‘ dalam bulan

ramadhan, kafarat zihar, kafarat pengganti puasa, dan denda dalam ibadah

haji (4) zakat, (5) infaq, (6) sedekah, (7) qurban, (8) fidyah, (9) pemberian

saat pembagian waris, (10) fa‟i, dan (11) ghanimah.

87

BAB IV

SIGNIFIKANSI DAN RELEVANSI PENAFSIRAN AYAT TENTANG

KEMISKINAN DALAM TAFSIR AL- IBRIZ TERHADAP KONTEKS KE-

INDONESIA-AN

A. Relevansi Konsep Tentang Kemiskinan Dalam Tafsir Al- Ibriz Dengan

Konteks Ke-Indonesia-an

Pada Maret 2016, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,01

juta orang (10,86 persen). Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan

jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan,

sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan

terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2016 tercatat sebesar 73,50 persen. Jenis

komoditi makanan yang berpengaruh terbesar terhadap nilai Garis Kemiskinan di

perkotaan maupun di perdesaan, di antaranya adalah beras, rokok kretek filter,

telur ayam ras, gula pasir, mie instan, bawang merah dan roti. Sedangkan untuk

komoditi bukan makanan yang terbesar pengaruhnya adalah biaya perumahan,

listrik, bensin, pendidikan, dan perlengkapan mandi.131

Selama ini yang ditonjolkan hanyalah ―apa dan bagaimana serta dengan

hasil capaian berapa, secara makro, lalu dibagi dengan jumlah penduduk‖, tetapi

tak pernah ―oleh siapa dan untuk siapa, menurut jalur pelapisan sosial‖. Padahal

struktur masyarakat kita sangat berlapis dan bertingkat, bahkan cenderung

dualistic dan dikotomik. Celakanya, pelapisan dan dualisme ataupun dikotomi

131

Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik No. 66/07/Th. XIX, 18 Juli 2016. Profil

Kemiskinan di Indonesia Maret 2016.

88

sosial itu, seperti pada zaman kolonial dulu, cenderung etnosentrik dan etnobias

pula sifatnya. Artinya, kelompok terkecil masyarakat menurut jalur etnik itu, yang

umumnya adalah nonpribumi, mengusai bagian terbesar kekayaan nasional.

Sementara kelompok terbesar dari masyarakat pribumi yang merupakan pewaris

sah dari republik ini mendapatkan bagian dan porsi terkecil. Akibatnya, cita-cita

Pasal 34 UUD 1945, ―pembangunan itu adalah untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat‖, hanyalah isapan jempol belaka.

Dalam terapannya, hitungan garis kemiskinan absolut. Penduduk yang

memiliki rata-rata pengeluaran atau pendapatan per kapita per bulan di bawah

garis kemiskinan disebut penduduk miskin. Perhitungan penduduk miskin ini

didasarkan pada data sampel, bukan data sensus, sehingga hasilnya sebetulnya

hanyalah estimasi. Data yang dihasilakan biasa disebut data kemiskinan makro. Di

Indonesia, sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial ekonomi Nasional.

BPS menyajikan data kemiskinan makro ini sejak tahun 1984 sehingga

perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin bisa diikuti dalam waktu

ke waktu.

Dapat dilihat dari data yang dikeluarkan oleh BPS diatas, bahwasanya faktor

terbesar yang mempengaruhi Garis Kemiskinan adalah komuditi makanan.

Sementara pemerintah selama ini hanya terfokus pada persoalan pembangunan

berupa sarana sandang dan papan. Persoalan pemenuhan kebutuhan komoditi

pangan ini menjadi masalah serius yang bukan hanya menjadi tugas pemerintah

sebagai pembuat kebijakan dalam suatu negara, melainkan juga menjadi tugas

bersama para penduduk/masyarakatnya.

89

Dalam perspektif ekonomi politik, ketimpangan pembangunan antar sektor

ekonomi akibat kegagalan strategi pembangunan. Dukungan kebijakan terhadap

pembangunan sektor industri tanpa menyertakan sektor pertanian di masa lampau

telah menciptakan banyak kantong-kantong orang miskin.132

ada tiga hal yang

perlu ditanyakan tentang pembangunan suatu Negara, yaitu apa yang tengah

terjadi dengan kemiskinan; apa yang tengah terjadi dengan pengangguran; dan apa

yang tengah terjadi dengan ketimpangan. Apabila jawaban atas ketiga hal tersebut

adalah ―penurunan secara substansial‖ maka tidak diragukan lagi bahwa negara

tersebut baru mengalami periode pembangunan.133

Politik ekonomi untuk kesejahteraan rakyat mendapat ujian yang cukup

serius pada saat ini ketika pertumbuhan ekonomi dinilai berhasil, tetapi

kesejahteraan untuk rakyat bawah dipertanyakan. Ada kontradiksi didalam

wacana kinerja dan kebijakan ekonomi, yakni klaim kinerja ekonomi yang

―kinclong‖ oleh pemerintah pada satu sisi, dan masalah kemiskinan serta sektor

informal yang masih luas dan buruk pada sisi lain.134

Dari uraian diatas, didapat dua faktor utama penyebab kemiskinan yang

terjadi di Indonesia, yaitu: distribusi komoditi pangan yang tidak merata dan

kegagalan strategi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Dua hal

tersebut yang akan menjadi fokus penulis dalam menganalisis relevansi dan

132

Mochamad Syawie. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial. Jurnal Informasi Vol. 16, No.3,

September – Desember, Tahun 2011. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial:

Kementrian Sosial Republik Indoneseia)., hlm. 215. 133

Teori ini dikemukakan oleh Dudley Seers sebagai teori pendukung untuk indikator

pembangunan non-ekonomi yang berbeda dari teori ekonomi klasik. Untuk mengetahui lebih

lanjut, baca Moeljarto T, Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah, dan Strategi,

(Yogyakarta; Tiara Wacana. 1987) 134

Mochamad Syawie. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial... hlm. 218.

90

signifikansi penafsiran tafsir al- Ibriz tentang ayat kemiskinan dalam konteks ke-

Indonesia-an. Dengan pertimbangan bahwa tafsir al- Ibriz adalah kitab tafsir yang

ditulis oleh ulama Indonesia.

Banyak pakar mensinyalir, salah satu penyebab ketertinggalan umat Islam

saat ini adalah karena meninggalkan dan menjauh dari ajaran al- Qur`an dan

hadis. Meninggalkan dimaksud berupa ketidaktahuan yang berakibat pada

kurangnya penghayatan dan pengamalan terhadap nilai-nilai yang terkandung

dalam kedua sumber ajaran Islam. Sikap seperti ini pernah dilakukan oleh umat

terdahulu yang kemudian membuahkan kecaman keras. QS. Al- Baqarah/2 : 78

menyebut mereka yang bersikap demikian sebagai ummiyyun (buta huruf), yang

tidak mengerti kitab suci dan sumber ajaran agama dengan baik. Kalaupun

mengerti, pemahaman mereka tidak didukung oleh bukti-bukti kuat, tetapi hanya

sekadar dugaan, sehingga timbul keengganan. Kebutaaksaraan (ummiyyah)

seperti ini tidak lagi hanya sebatas tidak bisa membaca dan menulis aksara, tetapi

tidak memahami ajaran agama dengan baik dan benar. Rajab al-Banna, kolumnis

Mesir terkemuka, menyebutnya dengan istilah ummiyyah diniyyah (buta aksara

agama). Menurutnya, wajah kusam Islam saat ini, selain karena propaganda

musuh-musuh Islam, juga disebabkan oleh sikap, prilaku dan pemikiran sebagian

komunitas Muslim yang tidak memahami ajaran agama secara utuh.

Tak dapat disangkal, dalam kehidupan seorang Muslim, al- Qur`an dan

hadis merupakan dua sumber ajaran yang mengatur banyal hal dan harus

dipedomani dalam hidup. Allah berfirman : "Dan Kami turunkan kepadamu Al-

Kitab (al- Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat

91

dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri" (QS. Al-Nahl/16 : 44).

Al-Qur`an tidak hanya berisikan persoalan akidah dan ibadah, tetapi mencakup

berbagai persoalan etika, moral, hukum dan sistem kehidupan lainnya.

Sedemikian lengkapnya ajaran al- Qur`an, sayyiduna Abu Bakar RA berujar;

"seandainya tambat untaku hilang pasti akan aku temukan dalam al- Qur`an".

Ajarannya berlaku sepanjang masa dan bersifat universal untuk semua umat

manusia. Ilmu pengetahuan modern membuktikan sekian banyak isyarat ilmiah

dalam al- Qur`an, bahkan juga hadis, yang sejalan dengan penemuan ilmiah para

ahli.

Meski menyatakan dirinya telah "menjelaskan segala sesuatu", namun tidak

berarti al- Qur`an tidak membutuhkan penjelasan. Jumlah ayatnya yang terbatas

(6236 ayat) dan karakteristik bahasanya yang ringkas dan padat serta

kandungannya yang bersifat umum menuntut adanya penjelasan atau penafsiran.

Otoritas tertinggi untuk itu dimiliki oleh Rasulullah yang diwujudkan dalam

bentuk ucapan, perbuatan dan ketetapan. Himpunan ketiganya disebut hadis atau

sunnah. Dengan demikian, sebagai sumber ajaran Islam al- Qur`an dan hadis tidak

dapat dipisahkan, karena jika al- Qur`an dipandang sebagai sebuah konstitusi

(dustûr) yang mengandung pokok-pokok ajaran ketuhanan yang diperlukan untuk

mengarahkan kehidupan manusia, maka hadis merupakan rincian penjelasannya.

al- Qur`an sendiri menyatakan, selain bertugas menyampaikan kitab suci,

Rasulullah diberi kewenangan untuk menjelaskan kitab tersebut (QS. An- Nahl :

44). Penjelasan itu tidak pernah keliru, sebab dalam menjalankan tugas tersebut

Rasulullah senantiasa berada dalam bimbingan wahyu (QS. An- Najm: 3).

92

Terlalu berpegang pada lahir teks dan mengesampingkan maslahat atau

maksud di balik teks berakibat pada kesan syariat Islam tidak sejalan dengan

perkembangan zaman dan jumud dalam menyikapi persoalan. Secara umum

ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak dan

mu`amalah. Ciri ini disebut dalam al- Quran sebagai al-Shirath al-Mustaqim

(jalan lurus/ kebenaran), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-

maghdhûbi `alaihim) dan yang sesat (ad- dhallun) karena melakukan banyak

penyimpangan.

Al- Syathibi menyebut metode ini sebagai jalan mereka yang mendalam

ilmunya (al- rasikhun fi al-`ilm), sedangkan al- Qardhawi menyebutnya dengan

manhaj wasathiy (metode tengahan/ moderat). Itu berarti bahwa, dalam

menafsirkan atau memaknai ayat-ayat al- Qur‘an pada saat ini harus disesuaikan

dengan problema yang terjadipada ummat, sehingga al- Qur‘an benar-benar

mengena bukan hanya dalam lingkup ritual keagamaan yang sakral melainkan

juga dapat mengena pada kehidupan yang sedang dijalani. Untuk itu, untuk

memahami permasalahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia, maka menjadi

sangat penting untuk mengetahui terlebih dahulu bagaimana keadaan kemiskinan

yang terjadi di Indonesia, barulah kemudian akan di carikan solusi dengan

merujuk kepada al- Qur‘an melalui kitab tafsir al- Ibriz dengan pertimbangan

kultural yang berlaku di masyarakat Indonesia.

Masyarakat Indonesia sejak dahulu sudah mempunyai peradaban yang

mengedepankan aspek sosial, terlebih dalam hal berbuat baik terhadap sesama

manusia. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya tradisi-tradisi yang sangat

93

mengedepankan kesejahteraan sosial. Sebagai contoh adalah adanya budaya

gotong royong, anter-anter, syukuran, dll. Indonesia juga dikenal dengan

keramahan dan kebersahajaan penduduknya terhadap siapapun termasuk orang

yang tidak dikenal. Untuk menghadapi kemiskinan yang terjadi di Indonesia,

masyarakat harus kembali sadar akan sejarah dan tradisi yang sudah berlangsung

lama tersebut, sehingga masalah kemiskinan bukan lagi menjadi momok

menakutkan yang tiada habisnya dan tiada jalan keluarnya.

Kitab tafsir al- Ibriz dengan penafsirannya yang sangat Indonesia dan secara

tersirat menceritakan bagaimana keadaan masyarakat dan menyerukan masyarakat

untuk melakukan tindakan kepada orang miskin kala itu. Maka dengan begitu,

kitab tafsir ini masih relevan jika digunakan pada masa ini dan agar masyarakat

ataupun umat muslim khususnya, yang berada di Indonesia mampu kembali pada

jati diri dan tradisi yang luhur, agar masalah kemiskinan dapat diatasi.

B. Tawaran Solusi Tafsir Al- Ibriz Dalam Menyelesaikan Masalah Kemiskinan

Di Indonesia

Memperhatikan akar kata "miskin" yang disebut di atas sebagai berarti diam

atau tidak bergerak diperoleh kesan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan

adalah sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak dan berusaha.

Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedang

ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan oleh penganiyaan manusia 1ain.

Ketidakmampuan berusaha yang disebabkan oleh orang lain diistilahkan pula

dengan kemiskinan struktural.

94

Dalam rangka mengentaskan kemiskinan, al- Qur‘an menganjurkan banyak

cara yang harus ditempuh, yang secara garis besar dapat dibagi pada tiga hal

pokok. Pertama, kewajiban setiap individu. Kedua, kewajiban masyarakat/orang

lain. Ketiga, kewajiban pemerintah. 135

1. Kewajiban setiap individu

Kerja dan usaha merupakan cara pertama dan utama yang ditekankan

oleh Kitab Suci al- Qur‘an, karena hal inilah yang sejalan dengan naluri

manusia, sekaligus juga merupakan kehormatan dan harga dirinya.136

Islam tidak menganjurkan umatnya untuk hidup miskin. Bahkan ada

ungkapan yang mengecam kefakiran ―kaada al- falrqu an yakuuna kufran‖.

Oleh karena itu nabi sering berdoa ―allahumma inni a‟udzubika min al-

kufri wa al- faqri‖(HR Abu Dawud). Allahumma inni a‟udzubika min al-

faqri wa al- qillati wa al- dzillati wa a‟udzubika min an azhlima aw uzhlima

(ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekurangan dan

kehinaan, dan aku berlindung kepada-Mu dari menganiaya dan dianiaya,

(HR Ibnu Majah dan al- Hakim).dari do‘a tersebut nampak jelas bahwa fakir

bukanlah anjuran. Kalau itu dianjurkan maka Nabi tidak akan berdo‘a

untuk memohon perlindungan pada Allah dari kefakiran.137

Dari sini dapat disimpulkan bahwa jalan pertama dan utama yang

diajarkan al- Qur‘an untuk pengentasan kemiskinan adalah kerja dan usaha

yang diwajibkannya atas setiap individu yang mampu. Oleh karena itu untuk

135

M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat...

hlm. 448. 136

Ibid,. 137

Tri Wahyu Hidayati, Sistem Jaring Pengaman Sosial(The Social Safety Net) Dalam Al- Qur‟an

(Kajian Sosio Historis)... hlm. 128.

95

dapat memenuhi anjuran al- Qur‘an dan sunnah Rasul, maka manusia

ditunutut agar dapat menumbuhkan kembali etos kerja, sehinga tidak

terjebak dalam kemiskinan (berhenti bergerak).

a. Menumbuhkan Etos Kerja

Untuk menumbuhkan etos kerja pada setiap individu, maka ummat

harus kembali kepada al- Qur‘an dengan mengerti dan menghayati maksud

dari surat Ar- Ra‘du ayat 11:

خيفلۥ يديو بي ػلبج ۦ مرۥيفظأ ه ٱللذ إنذ ٱللذ

رادإوذاأ ه فص

اةأ وا حؾي محتذ اةل لحؾي ءاـلٱللذ م ش ةل

ل مردذ ۥ ال ١١والوۦد وBagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran,

di muka dan dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka

merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah

menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat

menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.(QS

Ar- Ra‟du: 11)

Bekerja adalah pekerjaan wajib seorang manusia. Kehidupan akan

semakin rumit jikalau hanya berdiam ditempat. Karena bekerja merupakan

suatu yang di wajibkan oleh Allah, maka bekerja merupakan suatu ibadah

bagi setiap individu, sebagai contoh, yakni seorang penjahit menjadikan

jarum sebagai tasbih atau tukang kayu menjadikan gergaji sebagai tasbihnya

pula. Sebab segala benda yang ada di dunia merupakan bagian dari ayat

kauniyah Allah SWT. Seperti pada penafsiran surat Alam Nasrah ayat 1-4

pada tafsir al- Ibriz disebutkan bahwa,

96

―....nuli yen wes rino, papan kang peteng dadi padang, poro

manungso nuli podo bergerak semangat nyambut gawe,...‖138

Maksudnya adalah bahwa jika pagi telah datang, maka bergeraklah

untuk bekerja mencari penghidupan dengan semangat. Maka dari itu bekerja

ialah suatu perbuatan dunia yang tidak terlepas dari suatu ibadah untuk tetap

mengingat Allah dalam setiap apa yang dilakukannya dan bukan merupakan

suatu yang dapat menjauhkan diri dari Allah SWT.

Islam sangat menganjurkan manusia untuk bekerja menghidupi

dirinya dan keluarganya, Rasulullah SAW bersabda:

―Telah menceritakan kepada kami Mu‟allaa bin Asad, telah

menceritakan kepada kami Wuhaib dari Hisyam dari bapaknya, dari

Az Zubair bin Al- „Awwam radliallahu „anhu, dari Nabi sallallahu

„alaihi wasallam bersabda; “sungguh seorang dari kalian yang

mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa

dengan punggungnya kemudian dia menjualnya lalu Allah

mencukupkannya dengan kayu itu, lebih baik baginya dari pada dia

meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberinya atau

menolaknya”.( HR Bukhori no. 2200).‖

Dalam hadits ini Rasulullah SAW menjelaskan bagaimana etos kerja

itu harus dibangun. Walaupun mencari kayu bakar merupakan hal kecil

yang berat serta keuntungan yang didapat itu kecil, tetapi itu lebih baik dan

mulia dari pada menjadi peminta-minta. Ini juga berarti apa yang di anggap

oleh Allah adalah kemuliaan juga dimata manusia.

Sebuah pekerjaan mengandung tiga aspek diantaranya: memiliki

dorongan/motivasi serta tanggung jawab, melakukan dengan sengaja,

memiliki arah dan tujuan yang luhur.139

138

Bisri Musthofa, al-Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al-Qur‟an al- Aziz, Juz 30...hlm. 2246. 139

Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim. (Jakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995)., hlm. 40.

97

“Anas bin Malik meriwayatkan bahwa suatu ketika ada seorang

pengemis dari kalangan Anshar datang meminta-minta kepada

Rasulullah SAW. Lalu beliau bertanya kepada pengemis tersebut,

“Apakah kamu mempunyai sesuatu di rumahmu ?”, pengemis itu

menjawab, “Tentu, saya mempunyai pakaian yang biasa saya pakai

sehari-hari dan sebuah cangkir”, Rasul berkata, “Ambil dan

serahkan ke saya !”, lalu pengemis itu menyerahkannya kepada

Rasulullah, kemudian Rasulullah menawarkannya kepada para

sahabat, “Adakah diantara kalian yang ingin membeli ini ?”, seorang

sahabat menyahut, “saya beli dengan satu dirham”, Rasulullah

menawarkannya kembali”, adakah diantara kalian yang ingin

membayar lebih ?” lalu ada seorang sahabat yang sanggup

membelinya dengan dua dirham. Kemudian Rasulullah menyuruh

pengemis itu untuk membelikan makanan dengan uang tersebut untuk

keluarganya, dan selebihnya, Rasulullah menyuruhnya untuk membeli

kapak. Rasulullah bersabda, “carilah kayu sebanyak mungkin dan

juallah, selama dua minggu ini aku tidak ingin melihatmu”, sambil

melepas kepergiannya, Rasulullah pun memberinya uang untuk

ongkos. Setelah dua minggu, pengemis itu datang lagi dan

menghadap Rasulullah sambil membawa uang sepuluh dirham hasil

penjualan kayu. Lalu Rasulullah menyuruh untuk membeli pakaian

dan makanan untuk keluarganya, seraya bersabda; “Hal ini lebih

baik bagi kamu, karena meminta-minta hanya akan membuat noda di

wajahmu di akhirat nanti. Tidak layak bagi seseorang meminta-minta

kecuali dalam tiga hal, fakir miskin yang benar-brenar tidak

mempunyai sesuatu, utang yang tidak bisa terbayar, dan penyakit

yang membuat seseorang tidak bisa berusaha”.( HR Abu Daud ).”

Apa yang dilakukan Rasulullah ini adalah untuk mendidik umat Islam

agar mempunyai semangat bekerja. Dalam penyelesaiannya Nabi

Muhammad tidak langsung memberikan bahan makanan. Rasulullah sadar

betul jika beliau memberi bahan makanan atau uang, maka selamanya

selamanya ia akan menjadi peminta-minta.

Dari perbuatan Rasul yang tidak langsung memberi makanan/uang

kepada sang pengemis, tetapi menanyakan apa yang ia miliki untuk

selanjutnya dijadikan modal usahanya selanjutnya. Kemudian setelah

memiliki modal dari barang yang ia miliki, Rasulullah memerintahkan sang

98

pengemis untuk mencari kayu bakar untuk dijual, agar ia mendapat

keuntunga, maka dapat disimpulkan bahwa dalam mengindari kemiskinan,

maka selain harus memiliki semangat bekerja, ia harus memahami potensi

dirinya sendiri sehingga dapat dijadikan modalnya untuk mencari

penghidupan dengan bekerja.

Demikianlah salah satu teladan Rasulullah SAW dalam mengatasi

kemiskinan. Rasulullah SAW sangat menghargai sisi-sisi positif untuk

berkembang yang dimiliki individu. Jadi, jauh sebelum Adam Smith

terkagum-kagum dengan penemuannya sendiri dalam The Wealth of Nation,

yang menjadi asumsi dasar ideologi liberal klasik (cikal bakal kapitalisme

saat ini), bahwa manusia adalah aktor/ individu yang memiliki potensi

positif untuk berkembang dan berkreasi jika diberi kesempatan dan

kebebasan (dalam hal ini modal dan kebebasan berkreasi), Rasulullah telah

dengan sadar melakukannya. Namun, berbeda dengan kaum liberal klasik

yang cenderung mengabaikan moral dan nilai, jika moral dan nilai itu

ternyata menghambat, Raslullah tetap menggunakan prinsip-prinsip nilai

dan moral yang bersumber dari al- Qur‘an sebagai pembatas antara yang

haq dan yang batil.140

2. Kewajiban orang lain/masyarakat

Orang sering kali tidak merasa bahwa mereka mempunyai tanggung

jawab sosial, walaupun ia telah memiliki kelebihan harta kekayaan. Karena

itu diperlukan adanya penetapan hak dan kewajiban agar tanggung jawab

140

Tri Wahyu Hidayati, Sistem Jaring Pengaman Sosial(The Social Safety Net) Dalam Al- Qur‟an

(Kajian Sosio Historis)... hlm. 137-138.

99

keadilan sosial dapat terlaksana dengan baik. Dalam hal ini, al- Qur‘an

walaupun menganjurkan sumbangan sukarela dan menekankan keinsafan

pribadi, namun dalam beberapa hal Kitab Suci ini menekankan hak dan

kewajiban, baik melalui kewajiban zakat, yang merupakan hak delapan

kelompok yang ditetapkan (QS Al-Taubah: 60) maupun melalui sedekah

wajib yang merupakan hak bagi yang meminta atau yang tidak, namun

membutuhkan bantuan, dan melalui denda atas pelanggaran-pelanggaran

syariat tertentu yang disebutkan dalam al- Qur‘an.

انوووف ىيصذ حق ل ن حرومأ ١٩ٱل

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta

dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (QS. Adz Dzariyat: 19)

Pada tafsir al- Ibriz ayat ini ditafsirkan bahwa,

―lan ing bondo-bondone ana ketetapan kanggo wong kang anjaluk lan

wong mahrum”

Artinya, dan didalam harta-harta itu ada ketetapan untuk orang yang

meminta dan orang yang mahrum, maksud dari kata mahrum dijelaskan

kembali pada bagian faidah pada penafsiran ini, ―dene kang dimaksud

tembung mahrum: iya iku wong melarat kang ora gelem anjaluk-njaluk”

artinya; yang dimaksud kata mahrum ialah orang miskin yang enggan untuk

meminta-minta.141

Hak dan kewajiban tersebut mempunyai kekuatan tersendiri, karena

keduanya dapat melahirkan "paksaan" kepada yang berkewajiban untuk

melaksanakannya. Bukan hanya paksaan dan lubuk hatinya, tetapi juga atas

141

Bisri Musthofa, al-Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al-Qur‟an al- Aziz, Juz 26...hlm. 1909.

100

dasar bahwa pemerintah dapat tampil memaksakan pelaksanaan kewajiban

tersebut untuk diserahkan kepada pemilik haknya. Dalam konteks inilah al-

Qur‘an menetapkan kewajiban membantu keluarga oleh rumpun

keluarganya, dan kewajiban setiap individu untuk membantu anggota

masyarakatnya.142

a. Jaminan Satu Rumpun Keluarga

Boleh jadi karena satu dan lain hal seseorang tidak mampu

memperoleh kecukupan untuk kebutuhan pokoknya, maka dalam hal ini al-

Qur‘an datang dengan konsep kewajiban memberi nafkah kepada keluarga,

atau dengan istilah lain jaminan antar satu rumpun keluarga sehingga setiap

keluarga harus saling menjamin dan mencukupi.143

ي ءوٱلذ س ولهمـأ ػس دوا وج اجروا و بػد ا ا

ا ولرحاموأ

فنتبٱل ةتػض ول

أ بػظ ٱللذ إنذ ءٱللذ ش ةسو

٧٥غييDan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta

berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga).

Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih

berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab

Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-

Anfal; 75)

Didalam tafsir al- Ibriz ayat hubungan kerabat ialah orang-orang yang

berhak mendapatkan warisan dalam bab waris,

―...wong-wong kang anduweni hubungan kerabat iku, sebagian ono

kang luwih hak katimbang wenehe ing bab warisan, tegese hubungan

142

M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat...

hlm. 449. 143

Ibid,.

101

kerabat iku ingdalem bab warisan luwih hak katimbang hubungan

iman lan hijrah...),144

Dan orang yang memiliki hubungan kerabat lebih berhak daripada

orang-orang yang mempunyai hubungan atas dasar iman dan hijrah. Pada

penafsiran ayat ini juga ditambahkan tanbih yang isinya adalah bahwa,

―pada ayat 72 dijelaskan bahwa orang yang memiliki hubungan atas

dasar hijrah itu lebih kuat daripada pada orang yang memiliki

hubungan kerabat, namun pada ayat 75 ini dijelaskan bahwa

hubungan kerabat itu lebih kuat dari pada hubungan atas dasar hijrah.

Sebab itu ayat 72 lebih dulu turun, yang kemudian di mansukh dengan

ayat 75 ini‖.145

Kemudian perintah ini jelaskan kembali dalam surat Al- Isra‘ ayat 26

yang berisi tentang anjuran memberikan hak-hak atas kerabat, orang miskin

dan orang yang dalam perjalanan. Ayat ini menggaris bawahi adanya hak

bagi keluarga yang tidak mampu terhadap yang mampu.

Dalam madzhab Abu Hanifah memberi nafkah kepada anak dan cucu,

atau ayah dan datuk merupak Kewajiban walaupun mereka bukan muslim.

Para ahli hukum menetapkan bahwa yang dimaksud dengan nafkah

mencakup sandang, pangan, papan dan perabotnya, pelayan (bagi yang

memerlukannya), mengawinkan anak bila tiba saatnya, serta belanja untuk

istri dan siapa saja yang menjadi tanggungannya.146

144

Bisri Musthofa, al-Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al-Qur‟an al- Aziz, Juz 10...hlm. 521. 145

Ibid,. 146

M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat...

hlm. 450.

102

شػخلفق شػث ذو ۦه رزك غيي كدر ۥو ءاحى ا ذ م ـييفق ليسيؿٱللذ شيجػوٱللذ ا اءاحى جفصاإلذ اٱللذ يس بػدغس ٧

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.

Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari

harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban

kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya.

Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.(QS At

Thalaq; 7).

“Orang-orang yang mempunyai kelapangan/kemampuan harus

menafkahi (perempuan-perempuan yang ditalaq dan perempuan-

perempuan yang menyusui(setelah ditalaq) – menurut kadar

kemampuan, dan orang-orang yang ditakdirkan sempit rezekinya- kita

harus menafkahi menurut kadar kemampuan), Allah SWT tidak

membebani seseorang selain menurut kadar kemampuan yang Allah

berikan,”147

b. Zakat

Dari sekumpulan ayat-ayat al- Qur‘an dapat disimpulkan bahwa

kewajiban zakat dan kewajiban-kewajiban keuangan lainnya, ditetapkan

Allah berdasarkan pemilikan-Nya yang mutlak atas segala sesuatu, dan juga

berdasarkan istikhlaf (penugasan manusia sebagai khalifah) dan

persaudaraan semasyarakat, sebangsa, dan sekemanusiaan. Apa yang berada

dalam genggaman tangan seseorang atau sekelompok orang, pada

hakikatnya adalah milik Allah. Manusia diwajibkan menyerahkan kadar

tertentu dari kekayaannya untuk kepentingan saudara-saudara mereka

seperti yang Allah terangkan dalam surat Adz Dzariyat ayat 19.

147

Bisri Musthofa, al-Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al-Qur‟an al- Aziz, Juz 28...hlm. 2091.

103

وفانووأ ىيصذ حق ل ن حروم ١٩ٱل

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta

dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.(QS Adz- Dzariyat: 19)

Allah berkata demikian karena, pada dasarnya apa yang membuat

orang lain kaya dan berlebih harta bukanlah merupakan hasil dari jerih

payah dan upayanya sendiri, melainkan juga melibatkan jerih payah dan

usaha orang lain, termasuk orang-orang yang berada dalam kekurangan,

seperti contoh; seorang pemilik modal menginginkan hartanya bertambah

dengan cara menjalankan bisnis, dalam usahanya menjalankan bisnis ia

pasti akan membutuhkan orang lain untuk menjadi rekan bisnisnya (entah

sebagai penyokong ataupun klien), sementara seorang klien juga pasti

membutuhkan konsumen dari apa yang ditawarkan oleh sang pemilik modal

tadi, agar bisnis tetap berjalan dan saling mendapat keuntungan baik bagi

produsen, distributor, maupun konsumen. Jika kita letakkan produsen

sebagai orang yang sangat kaya, sebab ia yang memiliki modal utama, maka

sang distributor merupakan orang yang kaya, dan konsumen adalah orang-

orang yang berada dibawah tingkatan kaya(atau disebut berada s/d miskin).

Kalau demikian, wajar jika Allah Swt. sebagai pemilik segala sesuatu,

mewajibkan kepada yang berkelebihan agar menyisihkan sebagian harta

mereka untuk orang yang memerlukan.

ا ةإجذ ي جياٱل ولٱل جركأ يؤحس ا وتخذل ا إونحؤ ول ىػب

يس ىس ن أ ويخريسإن ٣٦يس

ا تتخي ذيحفس ا جيه س طغ

٣٧أ

104

Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan

jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu

dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu. Jika Dia meminta harta

kepadamu lalu mendesak kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya

kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkianmu. (QS

Muhammad; 36-37)

Dalam tafsir al- Ibriz, kandungan ayat ke 36 ini ialah bahwa,

―sejatinya hidup di alam dunia hanyalah permainan dan berleha-

leha/bersantai ataupun (batal dan bujukan) dan bagaimana bisa

kehidupan dunia bisa menghalang-halangi kemuliaan kehidupan di

akhirat.‖

Kemudian dalam ayat 37,

―jikalau saja Allah SWT ingin mengambil seluruh harta setelah Ia

berikan kepada manusia, maka Ia mampu dengan mudahnya

mengambil seluruhnya. Namun, Allah tidak berlaku seperti itu. Sebab,

jika Allah meminta kepada manusia untuk memberikan seluruh

hartanya kepada Allah dan agamanya, maka manusia akan menjadi

kikir(sangat pelit), dan sifat kikir akan menimbulkan sifat dengki(akan

menimbulkan rasa dengki terhadap agama Islam)‖148

Menurut az- Zuhayli, dalam ayat-ayat Makkiyah maupun Madaniyah,

zakat selalu dikaitkan dengan shalat. Ini paling tidak terjadi dalam 82

tempat dalam al- Qur‘an. Hal ini menunjukkan bahwa antara zakat dan

shalat adalah saling berkaitan dan sama-sama wajib. Itulah makanya, Ibnu

Mas‘ud berkata: ―kalian diperintahkan mendirikan shalat dan membayar

zakat, siapa yang tidak membayar zakat berarti tidak ada shalat baginya‖.149

Di Indonesia, perihal zakat fitrah memang sudah berlangsung dengan

teratur dan terus berkelanjutan. Namun, untuk zakat perkebunan, zakat

penghasilan dan berbagai macam zakat lainnya masih perlu mendapat

148

Ibid, Juz 26. hlm. 1861-1862. 149

Tri Wahyu Hidayati, Sistem Jaring Pengaman Sosial(The Social Safety Net) Dalam Al- Qur‟an

(Kajian Sosio Historis)... hlm. 165.

105

perhatian serius. Banyak bagian dari umat Islam Indonesia hanya terfokus

untuk menunaikan shalat saja dan perihal zakat dirasa hanya sebagai

sunnah, padahal sesungguhnya zakat juga merupakan kewajiban yang harus

ditunaikan selain mendirikan shalat.

Apabila seluruh umat Islam lebih memperhatikan kembali perihal

perintah zakat ini, mungkin ada harapan besar dari pengelolaan zakat yang

baik dan benar untuk menjadi solusi utama dari proses panjang

mengentaskan kemiskinan yang terjadi di Indonesia.

Adapun pengelolaan zakat, dalam tafsir al- Ibriz dalam penafsirannya

terhadap surat At- Tawbah ayat 60 dijelaskan bahwa; ―ada dua golongan

yang berbeda tentang pengelolaan zakat, Pertama, ialah orang-orang yang

mengikuti madzhab Imam Syafi‘i, yang beranggapan bahwa harta zakat

hanya boleh di tasorrufkan kepada golongan-golongan yang disebutkan oleh

al- Qur‘an saja. Dan golongan yang kedua, ialah golongan yang mengikuti

tafsir al- Manar yang beranggapan bahwa harta zakat, dalam

pengelolaannya boleh di tasorruf-kan untuk pembangunan fasilitas-fasilitas

yang berguna bagi ummat, baik berupa tempat ibadah, maupun rumah sakit

untuk pengobatan‖.

Kata zakat berakar kata dari huruf za, kaf, dan huruf mu'tal yang

berarti tumbuh dan bertambah, dapat juga berarti membersihkan. Ada

sebagian memberikan alasan, dengan zakat diharapkan hartanya dapat

bertambah dan berkembang. Ada sebagian yang lain beralasan, dengan

106

zakat seseorang dapat membersihkan atau mensucikan harta yang

dimilikinya.150

Keterangan di atas menunjukkanbahwa orang yang menunaikan zakat

itu untuk membersihkan dan mensucikan harta yang telah dianugerahkan

kepadanya dan tidak akan menjadikan miskin bagi orang yang menunaikan

zakat itu,namun justru hartanya dapat bertambah dan berkembang dengan

izin Allah SWT.

Dalam hal ini, penulis beranggapan bahwa memberikan harta zakat

kepada para mustahiq ialah suatu inti dari diadakannya zakat. Namun,

dalam pengembangannya harta zakat juga sekiranya tidak diberikan secara

langsung, dapat juga diberikan untuk pembangunan fasilitas umum yang

dapat berguna untuk umat.

Sebagai contoh, harta zakat yang tidak langsung diberikan kepada

mustahiq, dapat dikembangkan untuk membangun rumah sakit yang bebas

biaya bagi para orang-orang miskin yang sakit. Sepertihalnya yang ditulis

oleh Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al- Qur‘an: yang perlu

digarisbawahi bahwa dalam pandangan hukum Islam, zakat harta yang

diberikan kepada fakir miskin hendaknya dapat memenuhi kebutuhannya

selama setahun, bahkan seumur hidup. Menutupi kebutuhan tersebut dapat

berupa modal kerja sesuai dengan keahlian dan keterampilan masing

masing, yang ditopang oleh peningkatan kualitasnya. Hal lain yang perlu

juga dicatat adalah bahwa pakar-pakar hukum Islam menetapkan kebutuhan

150

Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria. Mu‟jam Maqayis al- Lughah. Juz 3... hlm. 17.

107

pokok dimaksud mencakup kebutuhan sandang, pangan, papan, seks,

pendidikan dan kesehatan.151

c. Infaq

Infaq dapat menjadi salah satu solusi untuk mengentaskan

kemiskinan, ini sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT

dalam firman-Nya:

ن ػامويػػ حتٱىػذ شياۦلعاوأ اويتي ٨مصهي

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin,

anak yatim dan orang yang ditawan.(QS Al- Insan: 8)

Pada ayat ini dijelaskan bahwa memberi makan kepada orang-orang

miskin, anak yatim dan orang yang ditawan ialah suatu perbuatan yang

sangat baik sehingga akan mendapat ganjaran berupa minuman dari air

kafur di surga nanti. Perihal makna dari ―makanan yang disukai‖ dalam

beberapa riwayat dijelaskan bahwasanya maksud dari makanan yang disukai

ialah makanan yang benar-benar sangat disenangi oleh sang pemberi makan,

namun tidak menjadikan dirinya sendiri kelaparan. Namun pada kitab tafsir

al- Ibriz K.H Bisri Mustofa menjelaskan makna dari makanan yang disukai

ialah satu-satunya makanan yang sipemberi miliki dan diberikan dengan

ikhlas kepada orang miskin/anak yatim/orang yang ditawan, sehingga

menjadikan sang pemberi lapar.

Kata infaq berakar dari huruf nun, fa, dan qaf mempunyai dua arti

dasar, pertama adalah terputusnya dan hilangnya sesuatu, kedua

151

M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat...

hlm. 451.

108

menyembunyikan dan tidak terangnya sesuatu.152

Menurut Al-Raghib al-

Ashfahani, kata anfaqa - yunfiqu berarti berlahi habis, binasa atau mati.153

Dengan demiklan kata infaq dapat berarti menghilangkan atau

menghabiskan sesuatu, karena orang yang infak adalah seorang yang

mendarmakan atau menyumbangkan hartanya berarti harta yang

disumbangkan menjadi hilang, atau sembunyi.

Sedangkan kata hubb pada ayat ini berasal dari huruf ha dan ba

bersyaddah yang mempunyai tiga arti dasar, yaitu, pertama berarti keadaan

yang perlu dan stabil, kedua biji dari sesuatu yang disenangi, dan ketiga

mensifati kependekan.154

Menurut Al-Raghib al-Ashfahani adalah keinginan

yang disenangi karena menurut penglihatan dan perkiraan baik.155

Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut di atas, menunjukkan

bahwa berinfak, secara umum berupa harta benda. Syarat-syarat yang

diinfakkan adalah: khair, hubb dan thayyibat, maksudnya adalah bahwa

harta benda yang diinfakkan itu harus sesuatu yang disenangi menurut

penglihatan dan perasaan, disenangi karena mulia dan baik serta dalam

keadaan halal.156

d. Fidyah

Membayar fidyah merupakan kewajiban bagi orang yang wajib

berpuasa di bulan suci Ramadhan tetapi tidak berkuasa menjalankan puasa

sehingga membayar fidyah itu menjadi salah satu alternatif untuk

152

Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria. Mu‟jam Maqayis al- Lughah. Juz 5... hlm. 454. 153

Al-Raghib al-Ashfahani. Mufradat Alfazh al-Qur'an... hlm. 819. 154

Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria. Mu‟jam Maqayis al- Lughah. Juz 5... hlm. 26. 155

Al-Raghib al-Ashfahani. Mufradat Alfazh al-Qur'an... hlm. 214. 156

Budiharjo. Kemiskinan Dalam Perspektif Al- Qur‟an...hlm. 288.

109

menganggulangi kemisikinan. Hal ini diwajibkan atas dasar surat Al-

Baqarah ayat 184, pada ayat ini dijelaskan tentang pada kondisi apa saja

diperbolehkan berbuka atau tidak berpuasa pada bulan ramadhan dan juga

pengganti dari puasa tersebut yang harus dilaksanakan.

ا يذايذامأ

أ ة ـػدذ شفر

لع وأ ريظا ذ س كن ذ ػدودت ذ

ولع خرأ ي ٱلذ ۥيػيل ذ ا عخي ذ تػ ذ غػاممصهي ـديث

لذ خي ۥ إننخ ىذس اخي نحصمن وأ ١٨٤تػي

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara

kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka

(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada

hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat

menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):

memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati

mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa

lebih baik bagimu jika mengetahui.(QS Al- Baqarah: 184)

Seseorang diperbolehkan tidak berpuasa apabila dalam keadaan sakit,

dalam perjalanan, dan berusia tua. Namun, sebab-sebab diperkenankannya

untuk tidak berpuasa tersebut terdapat batasan-batasan sehingga sebab

tersebut mampu memenuhi syarat diperkenankannya tidak berpuasa, dan

keterangan tentang batasan-batasan tersebut tidak di jelaskan di dalam al-

Qur‘an secara merinci, maka dari itu dalam tanbih-nya kitab al- Ibriz

dijelaskan bahwa keterangan-keterangan tersebut hanya akan diperoleh dari

kitab-kitab fiqih yang sudah di saring oleh para ulama mujtahidin.

Yang dimaksud orang yang tidak mampu dalam ayat tersebut,

menurut Muhammad Rasyid Ridha adalah orang-orang yang mengalami

kesulitan yang tidak dapat diatasi seperti: lanjut usia, kelemahan yang

dibawa sejak lahir, tugas-tugas berat yang berlangsung terus-menerus,

110

penyakit yang berat yang sulit untuk disembuhkan, dan termasuk dalam

kategori ini adalah wanita hamil dan menyusui. Mereka itu diperkenankan

untuk tidak melaksanakan puasa daIam bulan Ramadhan dan wajib memberi

makan kepada orang miskin.157

Para fuqaha kebanyakan menetapkan bahwa pemberian makanan itu

satu mud sehari. Satu mud berarti satu per empat dari harta yang harus

dikeluarkan untuk menunaikan zakat fitrah. Hal ini dalam tafsir al- Ibriz

dijelaskan dalam penafsiran surat Al- Mujadilah ayat 4.158

e. Kifarat

Kata kifarat berasal dari bahasa Arab kaffarah yangberakar kata dari

huruf kaf, fa dan ra yang berarti menabiri dan menutupi,159

Al- Raghib al-

Ashfahani mengartikan dengan perisai atau menutupi,160

sedang Kifarat

menurut syara' adalah denda atas pelanggaran dari sebagian perbuatan dosa

atau perbuatan yang salah. Adapun beberapa macam kifarat yaitu:

1) Kifarat zhihar, yaitu apabila seseorang mengatakan bahwa isterinya

seperti punggung ibunya atau semacam itu. Maka seseorang tersebut

tidak boleh menggauli isterinya, kecuali ia memerdekakan hamba, jika

tidak menemukannya maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut,

jika tidak mampu maka harus memberi makan sebanyak enam puluh

orang miskin dan setiap orang miskin mendapat bagian sejumlah satu

157

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur'an al-Hakim, (Beirut: Dar al- Ma'rifah, t.t), Juz 11,

hlm. 157-158. 158

Bisri Musthofa, al-Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al-Qur‟an al- Aziz, Juz 2...hlm. 63-64. 159

Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria. Mu‟jam Maqayis al- Lughah. Juz 5... hlm. 191. 160

Al-Raghib al-Ashfahani. Mufradat Alfazh al-Qur'an... hlm. 714.

111

mud.161

Keterangan ini dijelaskan dalam tafsir al- Ibriz dalam

penafsiran surat Al- Mujadilah ayat 4.

2) Kifarat sumpah, yaitu kifarat karena melanggar sumpah. Dendanya

dengan memberi makan dan pakaian kepada sepuluh orang miskin

atau memerdekakan budak, jika tidak dapat maka harus berpuasa tiga

hari. Hal ini dijelaskan dalam tafsir al- Ibriz dalam penafsiran surat

Al- Maidah ayat 89, dalam penafsirannya pula terdapat tambahan

berupa tanbih yang berisi keterangan bahwa, bersumpah untuk

meninggalkan kebaikan dan atau bersumpah untuk melakukan

keburukan, maka sumpah tersebut harus di langgar dan tidak dikenai

kifarat.162

3) Kifarat karena membunuh binatang buruan pada saat ihrom.

Pembunuh tersebut wajib membayar kifarat. Kifarat-nya adalah

menyembelih binatang buruan yang setara dengan binatang buruan

yang dibunuhnya menurut putusan 2 orang laki-laki yang adil.

Menurut Ibnu Abbas dan Abu Ubaidah mereka menghukumi jika sapi

liar dan keledai liar maka setara dengan sapi yang di pelihara ataupun

diternak dan yang setara dengan kijang ialah kambing/domba, dan

dagingnya harus dibagikan kepada orang-orang miskin. Penjelasan ini

terdapat pada penafsiran surat Al- Maidah ayat 95 dalam tafsir al-

Ibriz.163

f. Pemberian Sebagian Warisan

161

Bisri Musthofa, al-Ibrîz li Ma‟rifat Tafsîr al-Qur‟ân al- Azîz, Juz 28...hlm. 2013-2014. 162

Ibid, juz 7., hlm. 312. 163

Ibid,. hlm. 315.

112

Pembagian warisan yang dimaksud di sini adalah jika terjadi

pembagian warisan diantara umat ada orang-orang miskin yang hadir,

dianjurkan untuk memberi kepada mereka sekedarnya. Dasarnya terdapat

pada surat An- Nisa ayat 8:

ا اوكل ـ ػرو ذ ل ك ٨لDan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang

miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah

kepada mereka perkataan yang baik.(QS An- Nisa: 8)

Dalam tafsir al- Ibriz ayat ini ditafsirkan dengan menjelaskan bahwa;

―apabila ada kerabat yang tidak dapat menjadi maris(pewaris), atau

anak-anak yatim, atau orang-orang miskin yang ikut hadir dalam

waktu pembagian harta waris, orang-orang tersebut dianjurkan untuk

diberi sedikit dari harta warisan tersebut dengan sekedarnya sebelum

dibagikan, dan berilah penjelasan kepada orang-orang tersebut dengan

penjelasan yang baik‖.164

3. Kewajiban pemerintah

Pemerintah juga berkewajiban mencukupi setiap kebutuhan warga

negara, melalui sumber-sumber dana yang sah. Yang terpenting di antaranya

adalah pajak, baik dalam bentuk pajak perorangan, tanah, atau perdagangan,

maupun pajak tambahan lainnya yang ditetapkan pemerintah bila sumber-

sumber tersebut di atas belum mencukupi.165

Menurut penelitian penulis, kewajiban pemerintah dalam

menanggulangi masalah kemiskinan, tersirat melalui dua jalan kewenangan,

yaitu melalui hukum ghanimah dan hukum fa‟i.

164

Ibid,. Juz 3. hlm. 196. 165

M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat...

hlm. 452.

113

a. Ghanimah Dan Fa’i

Kata ghanimah berasal dari huruf ghain, nun, dan mim yang

artinya memanfaatkan sesuatu yang belum dimiliki sebelumnya,

kemudian berarti khusus yaitu harta benda yang diambil dari orangorang

musyrik dengan menundukkan dan mengalahkan mereka.166

Jadi ghanimah

adalah harta rampasan yang diperoleh dari musuh-musuh Islam, baik dari

orang-orang kafir maupun orang-orang musyrik yang dikalahkan oleh

serdadu Islam dalam pertempuran. Hal ini didasarkan pada surat Al- Anfal

ayat 41:

و ا ٱغي خص للذ نذـأ ء ش خ اؽ جذ

ٱىلربوليرذشلوليۥأ

سهيوٱلتمو وٱل بيوٱة ٱلصذ خة ءا إننخ ٱللذ زنلالعاأ و

م مٱىفركانختداي ػان قٱلي وٱل ء كديرٱللذ ش ك ٤١لع

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai

rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul,

kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika

kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada

hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua

pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(QS Al- Anfal; 41)

Dalam pembagian ghanimah(harta rampasan perang) seperlima dari

harta yang didapat adalah hak Allah SWT, rasul dan untuk kerabat-kerabat

dari Bani Hasyim dan Bani Mutholib, serta untuk anak-anak yatim, orang-

orang miskin dan untuk orang-orang yang terlantar didalam perjalanan. Dan

empat perlima(80%) dari harta yang didapat menjadi haknya para prajurit

yang ikut berperang.167

166

Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria. Mu‟jam Maqayis al- Lughah. Juz 4... hlm. 397. 167

Bisri Musthofa, al-Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al-Qur‟an al- Aziz, Juz 10...hlm. 506.

114

Dikarenakan di Indonesia tidak ada perang fisik melawan orang-orang

kafir yang terjadi sepertimana pada masa Rasul, maka perang pada masa ini

di Indonesia dapat di qiyaskan dalam peperangan yang melibatkan seluruh

bangsa Indonesia, baik Islam maupun selainnya melawan tindakan korupsi

yang menutupi/menghalangi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat

luas, seperti arti kata kafara yang berarti menutupi/menghalangi.

Mungkin, jika memang dapat di qiyaskan sebagaimana pendapat

diatas, harta yang disita oleh pihak berwenang dari para koruptor dapat

dimasukan dalam kategori ghanimah, maka hal tersebut akan menjadi salah

satu solusi untuk membantu program dalam mengentaskan kemiskinan yang

sudah dicanangkan oleh pemerintahan saat ini.

Sedangkan fa‟i, kata fa‟i adalah isim mashdar dari kata fa‟a-yafi'u

berarti kembali, sehingga kata afa'a yang menjadi fi'il mazid berarti

mengembalikan. Menurut Al-Raghib al-Ashfahani al-fa'i berarti kembali

pada keadaan yang terpuji,168

yang dimaksud aI-fa‟i adalah harta rampasan

yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran. Dasar keterangan

tentang fa‟i terdapat didalam surat Al- Hasyr ayat 7:

ا ذ ـاءأ رشلٱللذ وۦلع

أ وليٱىلرى وليرذشل ٱىلربـييذ

سهيوٱلتمو وٱل بيوٱة ٱلصذ بي دوىة يسن ل ؽياءكٱل

س ءاحى ا و ا ـخذوهٱلرذشلس ـو خ س ى ج ا وٱخ ٱتذلاه إنذٱللذ ٧ٱىػلابشديدٱللذ

168

Al-Raghib al-Ashfahani. Mufradat Alfazh al-Qur'an... hlm. 916.

115

Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya

(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah

untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang

miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan

beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang

diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya

bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.

Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.(QS Al- Hasyr: 7)

Yang termasuk al-fa'i adalah harta yang ditinggalkan oleh musuh

untuk jaminan keselamatan mereka, upeti, pajak bumi dan sejenisnya.169

Pada penafsiran ayat ini dalam tafsir al- Ibriz, menerangkan bahwa bagian

orang-orang miskin sama antara pembagian dalam harta rampasan yang

melalui pertempuran dan harta rampasan yang diperoleh tidak melalui

peperangan. Perbedaannya pada bagian empat perlimanya yaitu ghanimah

dibagi-bagikan atau diberikan kepada para serdadu yang berperang,

sedangkan fa‟i diberikan kepada Rasul selaku pemimpin negara dan

pemimpin agama di beri hak untuk membelanjakan empat perlima harta

rampasan yang diperoleh tanpa melalui peperangan itu menurut

pertimbangannya dengan hidayah dari Allah SWT. demi untuk

kemaslahatan umat.170

Dari uraian diatas penulis beranggapan bahwa, apa yang disebut dan

dimaksud dengan harta fa‟i, pada masa ini ialah apa yang disebut dengan

pajak. Sebab dari definisi Al- Raghib Al- Ashfahani, fa‟i ialah kembali pada

keadaan terpuji, dan dalam definisi lain yang terdapat dalam Maqayis al-

Lughoh diterangkan bahwasanya fa‟i ialah harta yang di ambil tanpa adanya

169

Budiharjo. Kemiskinan Dalam Perspektif Al- Qur‟an...Hlm. 294. 170

Bisri Musthofa, al-Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al-Qur‟an al- Azîz, Juz 28...hlm. 2030-2032.

116

peperangan dan fa‟i juga merupakan harta jaminan keselamatan para

penduduk yang diserahkan kepada pemerintah.

Pembagian fa‟i hampir sama dengan pembagian ghanimah namun

yang 80% diserahkan kepada Nabi yang dalam hal ini merupakan kepala

negara dan pemimpin agama agar selanjutnya dibelanjakan untuk

kemaslahatan umat. Hal ini dapat di adopsi sebagai salah satu solusi untuk

mengentaskan kemiskinan yang terjadi.

Dari berbagai solusi yang ditawarkan dan diuraikan oleh tafsir al-

Ibriz, ini menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan suatu sunnatullah ada,

namun juga Allah memerintahkan manusia untuk berfikir agar kemiskinan

dapat dikurangi atau setidaknya dapat memelihara orang-orang yang

ditakdirkan miskin agar tidak terancam kehidupannya oleh kekurangan, dan

Allah juga berpesan kepada hambanya yang ditakdirkan miskin untuk tetap

berusaha, bersabar, dan bersyukur. Ujian yang Allah berikan tidaklah lepas

dari kadar kemampuan pada hambanya itu sendiri, yang pada dasarnya juga

merupakan pemberian dari Allah SWT.

Orang-orang yang berlapang harta, diuji untuk mampu tidak terikat

dengan hartanya melalui perintah memberikan hartanya kepada orang yang

sangat membutuhkan. Sedangkan orang yang bersempit harta, diuji untuk

mampu menerima dan bersyukur melalui jalan berusaha melepaskan diri

dari kesempitan. Seperti halnya firman Allah SWT dalam surat Al- Isra‘

ayat 31:

117

ول ولدزأ ا تلخي رخي إنذ إويذاز رزر نذ لق إ خشيث ٣١انتياكنخط

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.

Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.

Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.(QS Al-

Isra‟: 31)

Dalam ayat tersebut kita tidak boleh membunuh anak yang merupakan

anugerah dari Allah, hanya karena takut akan kemiskinan. Allah SWT telah

menjamin rezeki bagi setiap mahluk yang Dia ciptakan. Sebab setiap

mahluk yang Allah ciptakan, merupakan bagian dari ayat-ayat Qauniyah

Allah SWT, yang harus dibaca, diimani, dimaknai dan dipahami.

118

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam tafsir al- Ibriz dijelaskan bahwasanya terdapat 2 macam tipe dari

orang miskin yaitu, orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang

tidak mau meminta-minta, keterangan ini terdapat pada penafsiran surat Al- Haj

ayat 36. hal ini terdapat pada penjelasan tentang kata القاوع, المعتر menurut tafsir al-

Ibriz dijelaskan bahwa kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama yaitu fakir.

Namun terdapat sedikit perbedaan diantara keduanya, القاوع berarti orang fakir yang

tidak pernah meminta-minta sedangkan المعتر ialah orang fakir yang biasa

meminta-minta dan berharap dan pada penafsiran surat Adz- Dzariyat ayat 19,

yang didalamnya terdapat kata mahrum, ialah orang miskin yang enggan untuk

meminta-minta.

Kemudian, pada penafsiran surat Al- Hasr ayat 7, pada label tanbih dalam

tafsir al- Ibriz dijelaskan bahwa, kita diperintahkan untuk beribadah kepada Allah,

dan harta-harta yang dimiliki mampu menjadi bekal kita untuk beribadah kepada

Allah SWT.

Adapun cara mengatasi kemiskinan menurut kitab tafsir al- Ibriz ialah

sebagai berikut: (1) menumbuhkan etos kerja pada setiap individu, (2) bantuan

tidak langsung, misalnya berupa pekerjaan, (3) bantuan berupa pemberian

makanan, (3) menjalankan hukum kafarat, baik berupa kafarat sumpah, kafarat

pembunuhan, kafarat berjima‘ dalam bulan ramadhan, kafarat zihar, kafarat

pengganti puasa, dan denda dalam ibadah haji (4) zakat, (5) infaq, (6) sedekah, (7)

119

qurban, (8) fidyah, (9) pemberian saat pembagian waris, (10) fa‟i, dan (11)

ghanimah.

Adapun signifikansi dari penafsiran ayat-ayat tentang kemiskinan dalam

tafsir al- Ibriz pada konteks ke-Indonesiaan ialah bahwa penafsiran tersebut dapat

menjadi bahan pembelajaran yang mudah bagi sebagian besar umat muslim di

Indonesia yang tidak menguasai bahasa Arab untuk dapat mempelajari tafsiran

dari Al- Qur‘an. Penafsiran yang terdapat didalam tafsir ini sangatlah relevan

dengan konteks ke-Indonesiaan, sebab, penafsiran atas ayat-ayat tersebut dibuat

dengan melalui pengalaman hidup sang pengarangnya yang merupakan bagian

dari masyarakat Indonesia itu sendiri.

B. Saran-Saran

1. Pemerintah harus mengkaji ulang terhadap kebijakan moneter yang telah

berjalan, sehingga masyarakat miskin juga mendapat keberpihakan.

2. Pemerintah harus berusaha melakukan pemerataan pembangunan. Sehingga

pembangunan dan peningkatan taraf hidup masyarakat merata.

3. Umat Islam Indonesia harus mengembangkan pemikiran dan mengaktualisasi

ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

120

DAFTAR PUSTAKA

Al- Ibrahim, Musa Ibrahim. 1996. Bukhusu Manhajiyyah fi „Ulumil Qur‟an al-

Karim. Tanpa Tempat. Dar ‗Amar.

Al-Ashfahani, Al-Raghib. 1992. Mufradat Alfazh al-Qur'an. Beirut: al-Dar al-

Syamiyah.

Al-Farmawi, Abdul Hayy. Tanpa Tahun. Metode Tafsir Maudhu‟i: suatu

pengantar. Terjemahan oleh Suryan A. Jamrah. 1994. Jakarta: Raja

Grafindo.

Al- Qur‟an al- Karim

Astika, KS. Tanpa Tahun. Budaya Kemiskinan di Masyarakat: Tinjauan Kondisi

Kemiskinan dan Kesadaran Budaya Miskin di Masyarakat. Ilmiah: Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Audah, Ali. 1996. Konkordansi Qur‟an. Bogor: Litera Antar Nusa.

Bakker, Anton dan Zubair, Achmad Charris. 1990. Metode Penelitian Filsafat.

Yogyakarta: Kanisius.

Budiharjo. Kemiskinan Dalam Perspektif Al- Qur‘an. Hermenia: Jurnal Kajian

Islam Interdesipliner, Vol. 6. No. 2. Juli – Desember 2007.

Engineer, Asghar Ali. 2000. Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung

Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Faiqoh, Lilik. Tafsir Kultural Jawa: Studi Penafsiran Surat Luqman Menurut K.H.

Bisri Mustofa. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. Volume

10, Nomor 1, Juni 2016. Yogyakarta. Program Pascasarjana UIN Sunan

Kalijaga .

121

Fitriah, Hidayatul. 1999. Studi Kritik Karakteristik Kedaerahan Tafsir Al-Ibriz

karya Bisyri Mustafa Rembang. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ushuluddin

IAIN Sunan Kalijaga.

Hidayati, Tri Wahyu. 2014. Sistem Jaring Pengaman Sosial(The Social Safety

Net) Dalam Al- Qur‟an (Kajian Sosio Historis). Salatiga: Laporan

Penelitian Unggulan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.

Huda, Achmad Zainal. 2005. Mutiara Pesantren Perjalanan Khidmah KH Bisri

Mustofa. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara.

Husaini, Adian dan Al-Baghdadi, Abdurrahman. 2007. Hermeneutika dan Tafsir

Al- Quran. Jakarta: Gema Insani.

Ibn Zakariya,, Ahmad bin Faris. 1999. Mu‟jam Maqayis al- Lughah. Juz 1, 3, 4, 5.

Beirut: Dar al- Kutub al- Ilmiah.

Mardimin, Yohanes. 1996. Kritis Proses Pembangunan di Indonesia. Yogyakarta:

Kanisius.

Maslukhin. 2015. Kosmologi Budaya Jawa dalam Tafsir al- Ibriz Karya K.H Bisri

Mustofa. Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis Volume 5. Nomor. 1.

Gresik: Institut Keislaman Abdullah Faqih.

Masyhuri, A. Aziz. 2008. 99 Kiai Kharismatik Indonesia: Biografi, Perjuangan,

Ajaran, dan Doa-doa Utama yang Diajarkan. Yogyakarta: Kutub.

Ma'luf, Luwis. 1986. al-Munjid. Beirut: Dar al-Masyriq.

Moeljarto T. 1987. Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah, dan

Strategi,. Yogyakarta: Tiara Wacana.

122

Munawwir, Ahmad Warson. Tanpa Tahun . Al- Munawwir. Yogyakarta. Tanpa

Penerbit.

Muslim, Mustafa. 1989. Mabahith fî al-Tafsir al-Mawdhu‟i. Bairut: Dar al-

Qalam.

Mustaqim, Abdul. 2015. Metode Penelitian Al- Qur‟an Dan Tafsir. Yogyakarta:

Idea Press.

Musthofa, Bisri. Tanpa Tahun. al-Ibriz li Ma‟rifat Tafsir al-Qur‟an al- Aziz. Juz

1, 2, 3, 4, 5, 7, 10, 15, 16, 17, 18, 21, 26, 28, 29, 30. Kudus: Maktabah wa

Matba‘ah Menara Kudus.

Ridha, Muhammad Rasyid. Tanpa Tahun. Tafsir al-Qur'an al-Hakim. Juz 11.

Beirut: Dar al- Ma'rifah.

Risalah NU. 1979. In Memorian: KH. Bisri Musthofa, Edisi No. 2. Semarang:

PWNU Jateng.

Rokhmad, Abu. Telaah Karakteristik Tafsir Arab Pegon al- Ibriz. Analisa,

Volume XVIII, No. 01, Januari - Juni 2011.

Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al- Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai

Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

Syamsuddin,Sahiron. 2007. Ranah-Ranah Penelitian Dalam Studi Al-Qur‟an dan

Hadis.Kata Pengantar dalam Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan

Hadis. Yogyakarta: TH-Press.

Syawie, Mochamad. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial. Informasi: Vol. 16,

No.3, September – Desember, Tahun 2011. Pusat Penelitian dan

123

Pengembangan Kesejahteraan Sosial: Kementrian Sosial Republik

Indoneseia.

Tasmara, Toto. 1995. Etos Kerja Pribadi Muslim. Jakarta: PT. Dana Bhakti

Wakaf.

Thabarah, Alif. 1988. Ruh ad-Din as-Islami. Beirut: Dar al- Ilmi li al- Malayin.

Van Bruinessen, Martin. 1999. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-

Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.

Widiastuti, Ari. 2010. Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan di

Jawa Tengah Tahun, 2004-2008. Semarang: Skripsi Fakultas Ekonomi

Uniersitas Diponegoro.

Zuhri, Saifuddin. 1983. PPP, NU, dan MI: Gejolak Wadah Politik Islam. Tanpa

Tempat: Integrita Press.

http://kbbi.web.id/miskin.html di akses pada tanggal 2 April 2017.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/kemiskinan di akses pada tanggal 2 April 2017.

https://www.bps.go.id: Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik No. 66/07/Th.

XIX, 18 Juli 2016. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2016

https://www.bps.go.id: Berita Resmi Statistik, Badan Pusat Statistik Indonesia,

No. 66/07/Th. XIX, 18 Juli 2016

124

LAMPIRAN

125

126

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Curriculum Vitae

Data Pribadi / Personal Details

Nama / Name : Rangga Pradikta

Alamat / Address : Perum Munjul Permai Blok B12a

No.37. Desa Munjul, Kecamatan

Solear, Kabupaten Tangerang,

Provinsi Banten

Kode Post / Postal Code : -

Nomor Telepon / Phone : 081335617399

Email : [email protected]

Jenis Kelamin / Gender : Laki-laki

Tanggal Kelahiran / Date of Birth : 08 Agustus 1995

Status Marital / Marital Status : Lajang

Warga Negara / Nationality : Indonesia

Agama / Religion : Islam

Riwayat Pendidikan

Jenjang Pendidikan :

Periode Sekolah / Institusi / Universitas

2002 - 2007 MIS Al- Husein Tigaraksa

2008 - 2010 MTSN Tigaraksa

2011 - 2013 MAN 1 Tigaraksa