kalamsiasi - jurnalq partisipasi

Upload: totok-wahyu-abadi

Post on 14-Jul-2015

373 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PARTISIPASI ANGGOTA KELOMPOK TANI PADA KEGIATAN PENYULUHAN PERTANIAN DALAM PERSPEKTIF KEBENARAN KOHERENSI

Totok Wahyu Abadi* Syafril Hadi** (*Mahasiswa Program Penyuluhan & Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana UGM, e-mail: [email protected]; ** mahasiswa S3 Fakultas Peternakan UGM, e-mail: [email protected])

Abstrak Dalam perspektif koherensi, kebenaran sangat bergantung pada interpretasi seseorang terhadap pengetahuan yang diperolehnya. Dan kriteria dalam merumuskan interpretasi haruslah mendasarkan pada proposisi terdahulu yang memiliki nilai kebenaran. Tulisan ini berupaya menjelaskan bagaimana kebenaran konsep partisipasi dalam perspektif koherensi. Dalam perspektif tersebut, bahwa proposisi yang dipaparkan tentang 1) karakteristik petani merupakan faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi; dan 2) tingkat partisipasi petani pada kegiatan penyuluhan dapat terjadi mulai dari perencanaan hingga evaluasi dan pemanfaatan hasil; dari analisis; memiliki koherensi dengan proposisi lainnya yang dianggap benar.

Kata kunci: partisipasi, interpretasi, dan koherensi

A. PENDAHULUAN

Pembangunan masyarakat pada hakikatnya merupakan proses dinamis yang berkelanjutan untuk mewujudkan keinginan dan harapan hidup yang lebih sejahtera dengan strategi menghindari kemungkinan tersudutnya masyarakat sebagai penanggung akses pembangunan. Beberapa unsur dalam pengertian pembangunan masyarakat yaitu menitik-beratkan pada komunitas sebagai suatu kesatuan, mengutamakan prakarsa dan sumber daya setempat serta sinergi antara sumber daya internal dan eksternal.1

Esensi yang terkandung dalam pembangunan masyarakat tidak sekedar membantu masyarakat dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, namun lebih dari itu pembangunan masyarakat merupakan usaha untuk membentuk kemandirian mereka sehingga dapat mengatasi permasalahannya. Implisit di dalamnya, manusia merupakan unsur pokok di dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu, partisipasi dan inisiatif dari masyarakat dalam kegiatan pembangunan adalah menjadi suatu persyaratan.

Subjek pelaksanaan pembangunan pertanian hakekatnya adalah petani beserta keluarganya. Berhasil tidaknya pembangunan pertanian seharusnya lebih banyak ditentukan oleh petani itu sendiri. Namun disadari bahwa posisi petani secara individual relatif lemah, terutama menyangkut dalam pemilikan modal, pengetahuan, dan keterampilan berusaha tani, sehingga usaha pembangunan pertanian belum bisa lepas dari bimbingan dan bantuan pemerintah seperti dalam bentuk kegiatan penyuluhan.

Pembangunan sektor pertanian bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian dalam upaya meningkatkan ekspor, mencukupi permintaan dalam negeri (swasembada pertanian), dan meningkatkan pendapatan serta terciptanya kesempatan kerja, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Guna mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya pembinaan melalui upaya penerapan teknologi sosial yaitu dengan pengorganisasian petani ke dalam suatu organisasi yang bernama kelompok tani.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kemajuan kelompok adalah partisipasi aktif dari para anggotanya dalam berbagai kegiatan kelompok, termasuk dalam kegiatan penyuluhan. Partisipasi anggota kelompok menggambarkan peran sertanya dalam kelompok itu sendiri, baik sebagai anggota kelompok maupun sebagai pengurus. Keberhasilan dan kemajuan kelompok tani juga bergantung pada seberapa besar tingkat partisipasi para anggotanya. Dan tingkat partisipasi masyarakat petani dalam program penyuluhan banyak ditentukan oleh inovasi yang memiliki nilai manfaat. Inovasi adalah ide-ide, sesuatu/teknik, nilai-nilai yang dianggap baru oleh

2

masyarakat dan anggotanya. Nilai itu dapat berupa nilai teknik, ekonomi, dan sosial (untuk kemudian disebut TES).

Secara teknis, inovasi tersebut memungkinkan untuk dilaksanakan, serta menguntungkan dari segi ekonomis. Secara sosial-budaya, inovasi yang disampaikan kepada para petani tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma sosio-kultur yang berkembang di masyarakat.

B. PERUMUSAN MASALAH

Bermula dari permasalahan di atas, perumusan masalah yang disampaikan dalam kajian ini adalah:

1. Bagaimanakah partisipasi anggota kelompok petani dalam kegiatan penyuluhan pertanian? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi tingkat partisipasi anggota kelompok petani dalam kegiatan penyuluhan pertanian. 3. Bagaimanakah koherensi atau konsistensi kebenaran konsep partisipasi anggota kelompok petani dalam kegiatan penyuluhan pertanian serta faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi?

C. TUJUAN PENULISAN

Penelitian ini bertujuan:

1. memaparkan partisipasi anggota kelompok petani dalam kegiatan penyuluhan pertanian; 2. menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi anggota kelompok petani dalam kegiatan penyuluhan pertanian. 3. menjelaskan koherensi atau konsistensi konsep partisipasi anggota kelompok petani dalam kegiatan penyuluhan serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi dengan konsep yang lain.3

D. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYULUHAN PERTANIAN

Salah satu esensi dari proses penyuluhan adalah penyajian informasi. Dalam menyajkan informasi haruslah komunikatif. Penyajian informasi yang tepat dalam penyuluhan adalah informasi yang dibutuhkan tersebut memiliki makna bagi anggota petani ataupun masyarakat pada umumnya. Informasi bermakna yang dimaksudkan adalah inovasi yang secara teknis dapat dilaksanakan, memberikan manfaat ekonomis bagi yang melaksanakan, serta tidak bertentangan dengan nilainilai serta norma-norma yang berlaku dalam kultur masyarakat setempat.

Konsep bermakna ini penting bagi keberhasilan penyebarluasan informasi yang dapat dicerap dan dilaksanakan oleh sasaran/peserta didik. Informasi yang dibutuhkan dan bermakna adalah informasi yang mampu membantu/mempercepat pengambilan untuk terjadinya perubahan dan yang bermanfaat untuk mendorong terjadinya perubahan tersebut. Untuk itu pemilihan informasi yang selektif juga perlu mempertimbangkan jenis teknologi yang tepat, cermat, dan sesuai kebutuhan sebagai media yang akan digunakan.

Penyadaran diri (conscientization), menurut Paulo Freire (1970 dalam Melcote, 2006: 339), merupakan inti dari pembelajaran bagi orang dewasa yang bersifat dialogis. Model pembelajaran dialogis dalam penyuluhan dapat menggunakan cara dialektik untuk mencari solusi permasalahan. Melalui komunikasi dialogis ini akan menciptakan model penyuluh-petani dengan petanipenyuluh (Hariadi,2009:8). Artinya, penyuluh tidak lagi sekedar orang yang menyuluh kepada petani, tetapi orang yang dalam dialog dengan para petani juga belajar kepada petani. Sedangkan para petani sambil belajar dari penyuluh juga mengajar kepada penyuluh berdasarkan pengalamannya selama ini. Penyuluh dan petani bersama-sama bertanggung jawab atas semua proses pertumbuhan bagi semua yang terlibat.

Penyuluhan dialogis dengan cara dialektika dapat mengungkapkan fenomena-fenomena berdasarkan realitas yang ada secara terus menerus. Meningkatnya permasalahan yang dihadapi para petani tersebut menyebabkannya4

untuk ikut bertanggung jawab (berpartisipasi) dan tertantang memberikan pemikiran-pemikiran baru berdasarkan pengetahuan dan pengalaman dalam menyelesaikan permasalahan. Paradigma baru penyuluhan dialogis tersebut yang berbasis masyarakat (community) dapat memberikan tempat utama bagi prakarsa, keanekragaman lokal, dan kearifan lokal.

Keunggulan pembangunan berbasis masyarakat mengarahkan perkembangan pada: (1) Kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi dalam proses pembangunan; (2) Konsep teknologi tepat guna, indigenous technology, indigenous knowledge dan indigenous institutions sebagai akibat kegagalan konsep transfer teknologi; (3) Tuntunan masyarakat dunia tentang hak asasi, keadilan, dan kepastian hukum dalam proses pembangunan; (4) Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang merupakan suatu alternatif paradigma pembangunan baru; (5) Lembaga swadaya masyarakat; (6) Meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendekatan pengembangan masyarakat dalam praksis pembangunan (Jim Ife, 2008).

Istilah partisipasi selalu dikaitkan dan melekat dalam proses pembangunan. Antara partisipasi dan pembangunan ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling berkaitan. Apa sebenarnya partisipasi itu? Secara umum, partisipasi dapatlah diartikan sebagai keikutsertaan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan. Menurut Bornby (1974 dalam Totok Mardikanto, 1993:31), partisipasi diartikan sebagai tindakan untuk mengambil bagian yaitu kegiatan atau pernyataan untuk mengambil bagian dari suatu kegiatan dengan maksud memperoleh manfaat.

Dalam konteks pembangunan, partisipasi merupakan bentuk kesadaran, kepedulian, dan tanggung jawab masyarakat tentang pentingnya pembangunan dan hasil-hasilnya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan serta menciptakan keharmonisan manusia dengan lingkungan alam, sosial, dan budaya. Melalui partisipasi, berarti masyarakat menyadari bahwa pembangunan bukanlah sekedar kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah tetapi juga menuntut keterlibatan masyarakat melakukan kegiatan berdasarkan kemampuannya sendiri untuk meningkatkan kualitas kehidupannya sendiri.

Adisasmita (2006) mengemukakan bahwa partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan dan pelibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan yang dikerjakan di masyarakat5

lokal. Menurut Khairudin (2000 dalam Adisasmita, 2006) partisipasi paling tidak dapat dijumpai tiga hal pokok, yaitu : keterlibatan mental dan emosi; kontribusi terhadap kepentingan/tujuan kelompok; dan tanggung jawab terhadap kelompok. Hal senada dinyatakan oleh Soetrisno (1995) yang mengatakan bahwa partisipasi adalah kerja sama antara masyarakat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan atau partisipasi anggota kelompok tani dalam suatu kegiatan penyuluhan akan menyebabkan perencanaan pembangunan lebih terarah. Artinya, program yang disusun akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau anggota suatu kelompok tani tersebut. Ada beberapa alasan pentingnya partisipasi; dimana masyarakat mengetahui permasalahan dan kebutuhannya, memahami keadaan lingkungan sosial ekonominya, mampu menganalisis sebab akibat kejadian di masyarakat, mampu merumuskan solusi untuk mengatasi permasalahan dan kendala yang dihadapi, serta mampu memanfaatkan sumber daya yang tersedia (Adisasmita, 2006).

Ndraha (1990) menyatakan bahwa masyarakat akan tergerak untuk berpartisipasi apabila partisipasi tersebut dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada ditengah-tengah masyarakat yang bersangkutan serta partisipasi tersebut dapat memberikan manfaat langsung yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.

Mendinamiskan suatu sistem sosial masyarakat akan ditentukan oleh pembinaan sistem sosial itu sendiri yang hasilnya dapat ditandai dengan adanya partisipasi anggota sistem sosial tersebut, adanya kegiatan, adanya kontrol sosial, dan lain-lain. Partisipasi mutlak diperlukan demi keberhasilan suatu program. Untuk tumbuhnya partisipasi tersebut maka harus ada kesempatan, kemampuan, dan kemauan untuk berpartisipasi (Slamet, 1985).

Sajogyo (1996) menyatakan bahwa partisipasi itu meliputi 3 hal, yaitu ikut menentukan kebijaksanaan pembangunan (perencanaan), ikut melaksanakan dan ikut menilai hasilnya. Hampir sama dengan6

itu, Cohen (1977) menyebutkan ada 4 hal dalam berpartisipasi, yaitu : partisipasi dalam mengambil keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam memperoleh manfaat, serta partisipasi dalam melakukan penilaian. Sedangkan Mubyarto (1984) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan adalah untuk membantu keberhasilan setiap program sesuai kemampuan tanpa mengorbankan kepentingan sendiri.

Sastro Poetra (1986) memberikan ciri-ciri serta sifat dari partisipasi, yaitu sebagai berikut: (1) partisipasi haruslah bersifat suka rela; (2) berbagai masalah haruslah disajikan dan dibicarakan secara jelas dan objektif; (3) kesepakatan untuk berpartisipasi haruslah mendapat keterangan atau informasi yang jelas dan memadai tentang setiap segi dan aspek dari program yang akan didiskusikan; (4) partisipasi dalam menentukan kepercayaan terhadap diri sendiri haruslah menyangkut berbagai sector dan bersifat dewasa.

Ernita (2006) dari hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi, menyimpulkan bahwa terdapat korelasi antara karakteristik peternak dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan penyuluhan dan penerapan teknologi pemeliharaan ternak sapi, dimana beberapa karakteristik yang di ukur antara lain adalah umur, tingkat pendidikan, pengalaman, tingkat kekosmopolitan dan jumlah pemilikan sapi.

Madrie (1986) menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan pengalaman mempengaruhi tingkat partisipasi anggota kelompok tani dalam kegiatan penyuluhan pertanian, dimana semakin tinggi tingkat pengetahuan dan semakin lama dalam berusaha tani, akan meningkatkan partisipasi dalam kegiatan penyuluhan tersebut.

Sehubungan dengan itu, bentuk-bentuk kegiatan partisipasi (Dusseldorp,1981:34 dalam Totok Mardikanto,1993:33) yang dilakukan masyarakat dapat berupa 1) menjadi anggota kelompok-kelompok masyarakat, 2) melibatkan diri pada kegiatan diskusi kelompok, 3) melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan organisasi untuk menggerakkan partisipasi masyarakat yang lain, 4) menggerakkan sumber daya masyarakat, 5) mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan, dan 6) memanfaatkan hasil-hasil yang dicapai dari kegiatan masyarakatnya.7

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa berdasarkan derajat kesukarelaan, partisipasi dapat dibedakan menjadi partisipasi bebas dan partisipasi paksaan atau partisipasi tertekan. Partisipasi bebas adalah partisipasi yang dilandasi oleh rasa kesukarelaan yang bersangkutan untuk mengambil bagian dalam suatu kegiatan. Partisipasi bebas ini kemudian masih dapat dibedakan menjadi partisipasi spontan dan partisipasi terinduksi. Partisipasi spontan adalah partisipasi yang tumbuh secara spontan dari keyakinan atau pemahamannya sendiri, tanpa adanya pengaruh /bujukan yang diterimanya dari orang lain atau lembaga masyarakat. Partisipasi terinduksi merupakan bentuk partisipasi yang tingkat kesadarannya sudah mendapatkan pengaruh dari orang lain yang setempat, lembaga-lembaga sosial di luar masyarakat itu sendiri, atau oleh pemerintah.

Partisipasi paksaan adalah keikutsertaan dalam suatu kegiatan yang dilandasi atas dasar ketidakikhlasan (terpaksa) yang bersangkutan. Keterpaksaan bisa jadi karena adanya peraaturan / hukum yang berlaku yang bertentangan dengan keyakinan atau pendiriannya sendiri, tanpa harus memerlukan persetujuannya terlebih dahulu. Keterpaksaan bisa jadi dikarenakan faktor sosial ekonomi. Partisipasi karena keadaan sosial ekonomi seperti ini seolah-olah hampir sama dengan partisipasi bebas. Bedanya bila yang bersangkutan tidak berpartisipasi dalam kegiatan tertentu, ia akan menghadapi ancaman atau bahkan bahaya yang akan menekan kehidupannya sendiri dan keluarganya.

Margono Slamet (1981 dalam Totok Mardikanto) menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya partisipasi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kemauan, kemampuan, dan kesempatan. Diantara tiga faktor tersebut, kemauan merupakan faktor kunci dalam partisipasi. Adanya kemauan yang besar akan mendorong seseorang untuk meningkatkan kemampuannya dan sekaligus aktif mencari kesempatan-kesempatan.

Kesempatan

PartisipasiKemauan

Kemampuan

Gambar 1: tiga faktor penentuan tumbuhnya partisipasi

8

Sementara itu, Arnstein (dalam Jim Ife, 2008: 299) mengenalkan delapan tangga pendekatan partisipasi masyarakat, dimana setiap tingkatan berkaitan dengan perluasan kekuasaan masyarakat untuk menentukan produk akhir. Dalam tipologinya tersebut, secara garis besar dibagi tiga tingkatan partisipasi masyarakat. Pertama, tingkat non-partisipasi yang berbentuk manipulasi dan therapi. Dalam tingkatan ini masyarakat tidak terlibat dalam perencanaan atau mengarahkan program, sedangkan pemerintah aktif dalam mendidik dan mengobati peran serta masyarakat. Kedua, tingkatan tokenism (petanda atau simbol). Tingkatan ini meliputi information, consultation, dan placation. Dalam konteks ini, antara masyarakat dan pemerintah terlibat dialog secara aktif namun dalam hal pengambilan kebijakan tetap yang memiliki peran penting adalah pemerintah. Bentuk komunikasi yang dipakai bisa saja komunikasi satu arah yang didominasi oleh pemerintah, komunikasi dua arah , dan yang terakhir adalah komunikasi bersama-sama. Tingkatan ketiga, adalah citizen power. Tingkatan ini meliputi partnership, delegated control, dan citizen control. Partnership merupakan kesejajaran antara masyarakat dan pemerintah dalam merencanakan dan merumuskan kebijakan yang berkaitan masalah kebutuhan pembangunan masyarakat. Delegated control yang dimaksudkan adalah pemerintah mendistribusikan kewenangannya kepada masyarakat untuk mengurus sendiri beberapa kebutuhannya. citizen control adalah masyarakat memiliki kekuasaan atas kebijakan publik, baik dalam perumusan, implementasi, hingga evaluasi kontrol.

Berdasarkan hal tersebut, semestinya pemerintah mengembangkan partisipasi masyarakat yang harus diiukti dengan perubahan struktural dan fungsional dari pemerintah daerah secara keseluruhan. Tentu hal ini harus didahului dengan pemetaan terhadap ruang atau wilayah kekuasaan masyarakat (the sphere of citizen power).

E. TEORI KEBENARAN DALAM PERSPEKTIF KOHERENSI

Tujuan sebuah penelitian adalah mencari sebuah kebenaran. Kebenaran yang dikehendaki tersebut dapat diperoleh melalui rasio ataupun melalui pengalaman/empiris. Pengalaman-pengalaman tersebut kemudian terakumulasi dalam beberapa prinsip lewat penalaran yang rasional serta kejadian-kejadian yang berlaku secara alam atau lewat social enginering yang dapat dipahami.9

Apakah kebenaran itu sebenarnya? Kebenaran yang bagaimanakah yang dimaksudkan dalam penelitian itu? Tentang kebenaran, ternyata Plato di Abad 428 S.M. 348 S.M.) yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles (384 S.M 322 S.M), juga pernah memperamasalahkan hal yang sama tentang hakikat kebenaran. Melalui metode dialog (interogative methode), ia menanyakan Apakah kebenaran itu? Bradley (dalam Syafii, 1995) menyatakan kebenaran sebagai suatu kenyataan (das solen) meski kenyataan itu bukanlah yang seharusnya terjadi (das sein). Kenyataan itu bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan) atau bisa jadi lawannya, yaitu kebenaran yang sejatinya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) menyatakan bahwa kebenaran merupakan keadaan (hal dan sebagainya) yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya atau sesuatu yang sungguhsungguh. Dari penjelasan itu dapat dikatakan bahwa kebenaran adalah soal kesesuaian sebagai kenyataan yang sesungguhnya. Benar atau salahnya sesuatu adalah masalah sesuai atau tidaknya tantang apa yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Pandangan lain tentang kebenaran dinyatakan oleh Mudyahardjo (2002:49) bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara sujek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realita sebagaimana adanya. Misalnya, setiap orang mengatakan bahwa "matahari merupakan sumber energi" adalah suatu pernyataan yang benar, karena pernyataan itu dapat didukung oleh kesesuaian terhadap kenyataan.

Russel dalam Schmitt (2004: 77) menyatakan bahwa ada dua hal yang berkenaan dengan kebenaran. Pertama, secara umum, kebenaran berhubungan dengan pikiran. Kedua, diantara banyak kebenaran yang berbeda-beda, hanya ada satu kebenaran. Kedua pernyataan tersebut saling berhubungan. Dan di antara pernyataan tersebut yang sangat menarik untuk diperhatikan adalah pernyataan yang kedua. Yaitu, hanya ada satu kebenaran. Hal ini tentu mengingatkan kita tentang ontologi monisme. Yakni sebuah doktrin yang menyatakan bahwa realitas adalah suatu hal yang tunggal.

10

Joachim (Shmitt, 2004: 77) mengatakan tentang kebenaran itu sendiri sebagai suatu hal yang tunggal, menyeluruh, lengkap, dan semua pemikiran termasuk pengakuan yang dapat dikenali dan patuh pada otoritas yang nyata. Hakikat manusia, misalnya, baru dikatakan utuh jika dilihat hubungan antara kepribadian, sifat, karakter, pemahaman dan pengaruh lingkungan. Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi sifat-sifat manusia dan hubungan-hubungan yang tersembunyi dalam kepribadiannya.

Kebenaran itu sendiri dapat dikelompokkan dalam tiga makna, yakni kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika. Kebenaran moral menurut etika menunjukkan hubungan antara yang dinyatakan dengan yang dirasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi. Ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisika berkaitan yang ada dan akalbudi. Artinya sesuatu itu ada karena dinyatakan dengan akal budi. Atau dengan kata lain bahwa ada itu merupakan dasar dari kebenaran dan akal budilah yang menyatakannya (Bagus,1991 dalam Wahyudi, 2004, jurnal. filsafat.ugm.ac.id/index.php/ jf/article/ viewPDFinterstitial/58/56, diunduh tanggal 13 Maret 2010).

Dalam mencari kebenaran tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama tentang sesuatu yang dianggapanya benar. Paling tidak ada empat teori yang dapat menjelaskan fenomena kebenaran itu sendiri. Keempat teori tersebut adalah teori korespondensi, koherensi, pragmatis, dan deflasi. Asumsi dasar yang digunakan keempat teori kebenaran tersebut, adalah kebenaran itu memiliki sifat, minimal dalam perasaan; memiliki ciri-ciri yang dapat dirumuskan; serta memiliki kondisi yang mengharuskan (necessity) dan kecukupan (suffisiency) bagi sebuah proposisi, kalimat, pernyataan, atau kepercayaan yang semestinya benar.

Teori kebenaran yang paling awal dan paling tua berawal dari pemikiran Aristoteles, yaitu teori korespondensi. Ia menyatakan bahwa segala sesuatu yang diketahui manusia adalah sesuatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenalnya (tim dosen UGM: 1996: 139). Maksudnya, suatu pengetahuan memiliki nilai

11

kebenaran jika pengetahuan tersebut memiliki kesesuaian dengan kenyataan yang diketahuinya. Kebenaran adalah realitas objektif. Teori ini banyak dianut oleh kelompok realisme dan materialisme, seperti Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey, dan Tarski. Jika seseorang mengatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat Sidoarjo terhadap pemilihan kepala daerah termasuk rendah, pernyataan itu benar sebab memiliki kesesuaian serta merujuk pada fakta yang ada di lokasi itu. Yaitu, sedikitnya tingkat kehadiran masyarakat ke lokasi/tempat pemungutan suara (TPS) dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Jadi, dalam konteks tersebut dan secara faktual, partisipasi masyarakat mengacu pada tingkat kehadiran.

Teori kebenaran berikutnya yang muncul adalah teori kebenaran Koherensi (konsistensi). Teori koherensi ini muncul di awal Abad ke-19 dan dibidani oleh para pemikir rasionalis termasuk Leibniz, Spinoza, Hegel, Joachim (1906), dan Bradley (1914) (Shmitt:2004:11-16). Kelompok rasionalis ini merasa keberatan dan tidak puas dengan pemikiran korespondensi yang menyatakan bahwa kebenaran memiliki relasi dengan objek yang dituju secara faktual. Padahal kebenaran, menurut paham koherensi, bisa saja memiliki relasi atau hubungan dengan proposisi atau pernyataan terdahulu yang dianggap benar. Proposisi adalah pernyataan yang memiliki hubungan diantara rangkaian kata-kata tersebut serta memiliki makna yang utuh. Dan menurut teori koherensi, kelemahan korespondensi terletak pada penisbian dan penolakan kebenaran yang berasal dari pemikiran (ide). Itulah sebabnya, teori koherensi ini sering disebut subjektivisme (Amsal, 2004:117).

Kaum idealis / rasionalis berpegang bahwa kebenaran bergantung pada orang yang menentukan sendiri kebenaran pengetahuannya tanpa memandang keadaan real peristiwa-peristiwa. Manusia adalah ukuran segala-galanya untuk merumuskan interpretasi kebenaran. Dan perumusan interpretasi kebenaran tersebut haruslah berpatokan pada kriteria yang telah ditetapkan.

Kriteria kebenaran menurut Suriasumantri (1999:55) terletak pada pernyataan dan simpulan yang ditarik secara konsisten dengan pernyataan dan simpulan terdahulu yang dianggap benar. Konsistensi

12

pernyataan dan simpulan yang diambil untuk mencari kebenaran tersebut, oleh banyak filsuf, disebut sebagai teori koherensi. Louis Kattsof (1986 dalam Hamami, 2007: 139) memaparkan bahwa kebenaran dalam sebuah proposisi itu berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang dianggap benar dan makna yang dikandungnya juga dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman seseorang.

Jadi, proposisi-proposisi akan dianggap memiliki kebenaran jika memiliki jaringan komprehensif dari proposisi-proposisi terdahulu yang diketahui kebenarannya secara logis. Proposisi yang dinyatakan, diungkapkan, dan dikemukakan membawa kepada pernyataan lain untuk mendukungnya dan saling menerangkan satu sama lain. Karena itu lahirlah rumusan: truth is systematic coherence (kebenaran adalah saling hubungan yang sistematis) dan truth is consistency (kebenaran adalah konsistensi dan kecocokan)

Dalam tradisi koherensi penalaran logika deduktif yang sering digunakan adalah bentuk silogisme dan entimem. Silogisme merupakan bentuk penalaran yang menggunakan tiga proposisi yang saling mendukung. Ketiga proposisi tersebut adalah proposisi umum, khusus, dan konklusi. Proposisi tersebut dapat disusun dengan tanda-tanda yang terpolakan dalam sebuah rumus: semua a adalah c, b adalah c, dan (jadi) b adalah c. Bila kita menganggap bahwa, semua kendaraan bermotor menggunakan bahan bakar bensin (semua a adalah c) sebagai pernyataan yang benar; maka pernyataan bahwa Yamaha adalah kendaraan bermotor dan yamaha menggunakan bahan bakar bensin adalah pernyataan yang benar pula. Ketiga pernyataan tersebut dinyatakan benar karena proposisi yang kedua dan ketiga memiliki konsistensi terhadap pernyataan pertama.

Tentang teori konsistensi/koherensi dapat diambil dua simpulan. Pertama, kebenaran menurut teori ini ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima, dan diakui kebenarannya. Kedua, teori ini sering dinamakan teori penyaksian (justifikasi) tentang kebenaran. Dikatakan demikian, karena satu putusan dianggap benar apabila

13

mendapat penyaksian-penyaksian (justifikasi, pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima, dan diakui benarnya (Amsal, 2009: 117-120).

Dari dua simpulan tersebut dapatlah dikatakan bahwa suatu teori dianggap benar apabila tahan uji (testable). Artinya, suatu teori yang sudah dicetuskan oleh seseorang kemudian teori tersebut diuji oleh orang lain, tentunya dengan mengkomparasikan dengan datadata baru, juga akan menghasilkan proposisi yang benar. Oleh karena itu, apabila teori itu bertentangan dengan data-data yang baru, secara otomatis teori pertama gugur atau batal (refutabitlity). Sebaliknya, kalau data itu cocok dengan teori lama, teori itu semakin kuat (corroboration) (ibid)

F. PARTISIPASI ANGGOTA PERSPEKTIF KOHERENSI

KELOMPOK

TANI

DALAM

Kebenaran merupakan hasil penilaian yang didasarkan atas norma, nilai, dan keyakinan orang yang menilainya serta berdasarkan ukuran-ukuran dan manfaat terhadap objeknya sendiri. Dalam menentukan suatu kebenaran, pada dasarnya kita mengukurnya berdasarkan dua kemungkinan, yaitu kebenaran hipotesis dan kebenaran empiris. Kebenaran hipotesis adalah kebenaran berdasarkan akal semata secara logika tanpa memerlukan bukti, sedangkan kebenaran empiris merupakan kebenaran yang ditemukan di lapangan melalui suatu abstraksi berupa ukuran-ukuran dari wujud apa yang ingin diketahui (Wiramihardja, 2007).

Berdasarkan teori kebenaran, khususnya teori kebenaran koheren, kami ingin menganalisis hasil penelitian tentang partisipasi anggota kelompok tani dalam kegiatan penyuluhan pertanian yang dilakukan di Kecamatan Kota Baru, Kota Jambi.

Ada dua proposisi yang akan dianalisis berdasarkan hasil penelitian tersebut, yaitu :

14

1. Partisipasi anggota kelompok tani pada kegiatan penyuluhan di Kota Baru terjadi mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, memanfaatkan hasil dan mengevaluasi program. 2. Karakteristik anggota kelompok memiliki hubungan dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan penyuluhan.

Proposisi pertama yang menyatakan bahwa partisipasi anggota kelompok tani pada kegiatan penyuluhan di Kota Baru terjadi mulai dari dari aspek perencanaan, pelaksanaan, memanfaatkan hasil dan mengevaluasi program memiliki koherensi dengan pernyataan yang disampaikan oleh Cohen (1977), Sutrisno (1995), Sayogyo (1996), Adisasmito (2006), dan Pohan (2009)

Cohen (1977) menjelaskan partisipasi sebagai keterlibatan masyarakat dalam pembangunan mulai dari merencanakan, melaksanakan, serta memperoleh manfaat. Soetrisno (1995) menyatakan bahwa partisipasi adalah kerja sama antara masyarakat (dalam hal ini anggota kelompok tani) dengan pemerintah (dalam hal ini adalah PPL) dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan (dalam hal ini adalah hasil kegiatan penyuluhan). Untuk meningkatkan peran serta atau partisipasi anggota kelompok petani memerlukan proses dan upaya yang ulet dan kreatif. Prinsip-perinsip pengembangan masyarakat seperti perencanaan dan penyusunan program harus ditentukan oleh masyarakat itu sendiri dan disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Oleh sebab itu, pendampingan dan pemberian bimbingan dalam peningkatan partisipasi seperti yang diharapkan harus dilakukan secara intensif dan sustainability.

Sajogyo (1996) menyatakan bahwa partisipasi itu menyangkut tiga hal, yaitu ikut menentukan kebijakan pembangunan (perencanaan), ikut melaksanakan dan ikut menilai hasilnya.

Adisasmita (2006) menyatakan bahwa partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam merencanakan dan melaksanakan program tersebut. Yang dikemukakan Adisasmita tersebut sejalan dengan proposisi dari hasil penelitian tentang partisipasi anggota kelompok tani dalam kegiatan pembangunan,15

dimana dalam hal ini adalah kegiatan penyuluhan, walaupun memang Adisasmita tidak menyebutkan partisipasi pada pemanfaatan hasil dan mengevaluasi.

Fahrudin, (2009:13) menyatakan partisipasi adalah peran serta dalam berbagai kegiatan serta tunbuhnya kesadaran terhadap hubungan antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat, yaitu antara kelompok sosial (komuniti) dengan penghasil kebijakan. Partisipasi juga diartikan sebagai adanya keterlibatan masyarakat dalam urusan-urusan setempat secara langsung.

Menurut Pohan, (2009:281), partisipasi masyarakat adalah berbeda-beda antara tingkatan dalam proses perencanaan, dimana perbedaan tersebut berbanding terbalik antara tingkatan proses perencanaan dengan tingkat intensitas derajat partisipasi. konsep partisipasi meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan hasil. Selanjutnya dikemukakannya pula bahwa makna yang tersirat dalam partisipasi sebagai bentuk sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan orang lain dan kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak lain terhadap suatu kegiatan. Ditambahkannya pula bahwa partisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program dapat mengembangkan kemandirian yg dibutuhan anggota masyarakat pedesaan demi akselerasi pembangunan. Konsep partisipasi tidak hanya mencakup proses perencanaan dan pelaksanaan, tetapi juga partisipasi dalam penerimaan manfaat.

Simpulan yang dapat disampaikan bahwa proposisi pertama memiliki koherensi dengan pernyataan beberapa pakar tentang partisipasi anggota kelompok tani. Ini berarti bahwa proposisi hasil penelitian tentang partisipasi anggota kelompok tani memiliki kebenaran koherensi dengan proposisi-proposisi sebelumnya.

Proposisi kedua dari hasil penelitian tentang partisipasi anggota kelompok tani dalam kegiatan penyuluhan, yaitu karakteristik anggota kelompok tani berkorelasi (berhubungan) dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan penyuluhan pertanian. Kebenaran secara koherensi proposisi tersebut dapat ditemukan dari simpulan hasil penelitian yang dinyatakan oleh Madrie (1986) yang menyatakan16

bahwa tingkat pendidikan dan pengalaman (yang merupakan aspekaspek karakteristik pribadi), mempengaruhi tingkat partisipasi anggota kelompok tani dalam kegiatan penyuluhan pertanian, dimana semakin tinggi tingkat pengetahuan dan semakin berpengalaman seseorang akan semakin meningkatkan partisipasinya dalam kegiatan penyuluhan.

Proposisi lain yang mendukung seperti yang disampaikan Ernita (2006). Ia menyatakan bahwa karakteristik peternak sapi memiliki korelasi dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan penyuluhan dan penerapan teknologi pemeliharaan sapi di Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi. Pernyataan Ernita tersebut merupakan proposisi terdahulu yang membenarkan proposisi hasil penelitian tersebut, sehingga dapat dikatakan proposisi hasil penelitian tersebut adalah benar.

Karakteristik yang turut mempengaruhi tingkat partisipasi tersebut meliputi pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pengalaman, umur, pendapatan, dan frekuensi mengikuti penyuluhan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi dan tingkat adopsi teknologi (Jullo Vicente, 2009). Salain beberapa faktor tersebut, status sosial (Fajar Haryadi, 2007), pengalaman dan persepsi (Ida Wulandari,2008).

Jadi jelas proposisi ini membenarkan proposisi dari hasil penelitian tentang partisipasi anggota kelompok tani dalam kegiatan penyuluhan, bahwa karakteristik anggota kelompok tani berhubungan dengan tingkat partisipasinya dalam kegiatan penyuluhan pertanian.

No Proposisi 1 Partisipasi anggota kelompok tani pada kegiatan penyuluhan di Kota Baru terjadi mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, memanfaatkan hasil dan mengevaluasi program. 1

Nama

Judul

Hasil

Cohen (1977) Rural Development Partisipation : Concepts, Imple17

partisipasi sebagai keterlibatan masyarakat dalam pembangunan mulai dari merencanakan, melaksanakan, serta memperoleh manfaat.

No

Nama

Judul

Hasil

mentation and Evaluation2

Sutrisno (1995)

Menuju Ma- 1. partisipasi adalah kerja sasyarakat Parma antara anggota kelompok tisipatiftani dengan PPL dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil kegiatan penyuluhan. 2. Untuk meningkatkan peran serta atau partisipasi anggota kelompok petani memerlukan proses dan upaya yang ulet dan kreatif. 3. pendampingan dan pemberian bimbingan dalam peningkatan partisipasi seperti yang diharapkan harus dilakukan secara intensif dan sustainability.

3 Sayogyo (1996) 1. partisipasi itu menyangkut tiga hal, yaitu a. ikut menentukan kebijakan pembangunan (perencanaan), b. ikut melaksanakan dan c. ikut menilai hasilnya. Sosiologi Pedesaan

4 Adisasmito (2006) Pembangunan 1. partisipasi anggota masyaPedesaan dan rakat adalah keterlibatan Perkotaan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam merencanakan dan melaksanakan program tersebut.

18

No 5 Pohan (2009) Partisipasi Ma- 1. Tingkat partisipasi masyasyarakat dalam rakat berbeda-beda dalam Proses Perencaproses perencanaan. naan dan Pe- 2. perbedaan tersebut berbanngembangan ding terbalik antara tingkatan APBD. proses perencanaan dengan tingkat intensitas derajat partisipasi. 3. partisipasi meliputi aspek perencanaan, pelaksa-naan dan pemanfaatan hasil 6 Fahrudin (2009) Partisipasi Ma- 1. partisipasi adalah peran syarakat dalam serta dalam berbagai kegiatPerencanaan an serta tunbuhnya kesadarPembangunan Desa an terhadap hubungan antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat, yaitu antara kelompok sosial (komuniti) dengan penghasil kebijakan. 2. Partisipasi juga diartikan sebagai adanya keterlibatan masyarakat dalam urusanurusan setempat secara langsung. karakteristik anggota kelompok tani berkorelasi (berhubungan) dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan penyuluhan pertanian 7 Madrie (1986) Beberapa Fak- 1. tingkat pendidikan dan tor Penentu pengalaman (yang merupaPartisipasi Makan aspek-aspek karaktesyarakat Dalam Pembangunan ristik pribadi), mempengaPedesaan ruhi tingkat partisipasi anggota kelompok tani dalam kegiatan penyuluhan pertanian, dimana semakin tinggi tingkat pengetahuan dan19

Nama

Judul

Hasil

Proposisi 2

No

Nama

Judul

Hasil semakin berpengalaman seseorang akan semakin meningkatkan partisipasinya dalam kegiatan penyuluhan. 8 Ernita (2006) Partisipasi 1. karakteristik peternak sapi Komunikasi memiliki korelasi dengan Dalam Penetingkat partisipasi dalam rapan Teknologi Pemelihakegiatan penyuluhan dan raan Sapi di penerapan teknologi pemeliKabupaten Muharaan sapi di Kecamatan aro Jambi Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi 9 Jullo 2009 Vicente, Tingkat dan 1. Karakteristik yang turut Struktur Adopsi mempengaruhi tingkat Inovasi Pada partisipasi tersebut meliputi Peternakan Sapi Potong di pendidikan, jumlah tangTimor Leste. gungan keluarga, pengalaman, umur, pendapatan, dan frekuensi mengikuti penyuluhan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi dan tingkat adopsi teknologi

10 Fajar Haryadi Tingkat Parti- Karakteristik yang juga (2007) sipasi Peternak Sapi Potong di berpengaruh adalah status sosial Kab. Bantul 11 Ida Wulandari Hubungan An- Karakteristik : pengalaman dan (2008) tara Faktorfaktor Sosial persepsi berpengaruh terhadap dengan Tingkat partisipasi Partisipasi Wanita Tani dalam Pemeliharaan Sapi di Bantul.

20

G. PENUTUP

Kegiatan penyuluhan pertanian tidak dapat lepas dari partisipasi anggota kelompok tani, karena merekalah yang paling dominan dan menjadi pusat perhatian dalam kegiatan penyuluhan tersebut. Partisipasi atau keterlibatan tersebut mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi program.

Karakteristik individu anggota kelompok seperti umur, tingkat pendidikan, pengalaman, tingkat pendapatan dan kekosmopolitan, berhubungan (berkorelasi) dengan tingkat partisipasi anggota kelompok tani dalam kegiatan penyuluhan pertanian.

Kedua proposisi di atas, melalui pendekatan teori kebenaran koheren dapat dikatakan benar, karena didukung oleh proposisi sebelumnya yang memiliki kesamaan makna.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, R. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Liberty, Yogyakarta. Amsal, Bakhtiar. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali pers. Bryant, Coralie. 1987. Manajemen Pembangunan Untuk Negara Berkembang. Jakarta: LP3ES. Cohen, J.M. 1977. Rural Development Partisipation : Concepts, Implementation and Evaluation. Perganon Press Ltd. Great Britain. Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Endrotomo, Ir. 2004. Ilmu dan Teknologi. Information System ITS. Ernita, 2006. Partisipasi Komunikasi Dalam Penerapan Teknologi Pemeliharaan Sapi di Kabupaten Muaro Jambi. Fahrudin, A. 2009. Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Desa. Thesis UGM, Yogyakarta). Hamersma, Harry. 1985. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogjakarta: Kanisius Hariadi, Sunnaru Samsi.2009. Penyuluhan Dialogis Untuk Menjadikan21

Petani Penyuluh dan Mandiri. Yogjakarta: UGM. Haryadi, Fajar . 2007. Tingkat Partisipasi Peternak Sapi Potong di Kab. Bantul. Skripsi pada Fak. Peternakan UGM, Yogyakarta : hal. 47 Hatta, Muhammad. 1986. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Tintamas. Jim Ife. 2008, Community Develpoment, (edisi terjemahan). Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Madrie, 1986. Beberapa Faktor Penentu Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Pedesaan. Fak. Pasca Sarjana IPB, Bogor. Mardikanto, Totok. 1993. Strategi Komunikasi Pembangunan. Jakarta: Balai Pustaka. Mawardi, Imam. 2008. Kebenaran dalam Perspektif Filsafat Ilmu: Pendekatan Teoritik) http://mawardiumm.wordpress.com/ 2008/06/02/kebenaran-dalam-perspektif-filsafat-ilmu/ diunduh tanggal 13 Maret 2010). Melkote, Srinivas R, et.all. 2001. Communiction for Development in the Third World: Theory and Practice for Empowerment. New Delhi: Sage Publication. Hal:198 Melsen, A.G.M. 1985. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Jakarta: Gramedia Mubyarto, 1991. Strategi Pembangunan Pedesaan Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM, Yogyakarta. Ndraha, T. 1990. Pembangunan Masyarakat. Rineka Cipta, Jakarta. Poedjawijatna. 2004. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta : Rineka Cipta. Pohan,M.H,2009. Partisipasi Masyrakat dalam Proses Perencanaan dan Pengembangan APBD. Disertasi UGM, Yogyakarta Prasojo, Eko. 2008. People and Society Empowerment: Perspektif Membangun Partisipasi Publik. dalam http://www.google.com.diunduh tanggal 13 Maret 2010 Sajogyo, 1996. Sosiologi Pedesaan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sastro Poetra, 1986. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin Dalam Pembangunan Nasional. Alumni, Bandung. Schmitt, Frederick F. 2004. Theories of Truth. USA: Blackwell Publishing Slamet, M. 1985. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Pedesaan. Interaksi NO.1 Thn I, Jakarta. Soetriono, Ilmu dan Metodologi & Hanafie,Rita. 2007. Filsafat Penelitian. Yogyakarta: Andi.

22

Soetrisno, L. 1995. Yogyakarta. Menuju Masyarakat Partisipatif. Surajiyo, 2008. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Bumi Aksara, Jakarta. Suriasumantri, Jujun S. 1987. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Gramedia Suriasumantri, Jujun S. 1999. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:Sinar Harapan. Tim Dosen Filsafat Ilmu-UGM. 2007. Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogjakarta: Liberty Usman, Sunyoto. 2008. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Vicente, Jullo. 2009. Tingkat dan Struktur Adopsi Inovasi Pada Peternakan Sapi Potong di Timor Leste. Thesis pada Program Pasca Sarjana Fak. Peternakan UGM, Yogyakarta, hal : 77 ). Wahyudi. 2004. Jurnal. filsafat.ugm.ac.id/index.php/ jf/article/ viewPDFinterstitial/58/56, diunduh tanggal 13 Maret 2010 Wiramihardja, S.A. Bandung. Pengantar Filsafat. Wulandari, Ida . 2008. Hubungan Antara Faktor-faktor Sosial dengan Tingkat Partisipasi Wanita Tani dalam Pemeliharaan Sapi di Bantul. Skripsi pada Fak.peternakan UGM, Yogyakarta, : hal. 78 ). 2007. Reflika Aditama,

Kanisius,

23

24