kajian kitab ta'lim muta'allim.doc

34
A. Latar Belakang Masalah Ta’līm al-Muta’allim li Tharīq al-Ta’allum (untuk kemudian disingkat Ta’līm al-Muta’allim) karangan Burhān al-Islām al- Zarnūjī, adalah karya terkenal yang merupakan salah satu tiang penyangga utama pendidikan pesantren. Keberadaan kitab ini menurut penelitian Van Bruinessen menempati urutan teratas kitab – kitab akhlak yang diajarkan di mayoritas pesantren di Indonesia, mengungguli kitab – kitab lain semisal washāyā, akhlāq li al- banīn, akhlāq li al-banāt, serta irsyād al-‘ibād 1 . Padahal Jika merujuk pada data Direktorat Pondok Pesantren Departemen Agama RI tahun 2002 saja, jumlah Pondok Pesantren di Indonesia mencapai 14.067, dengan rincian : 8.905 buah Pondok pesantren salafī, 878 Pondok modern dan 4.284 pondok pesantren campuran (kombinasi pen.), dengan jumlah santri seluruhnya mencapai 3.200.000 orang 2 . Fakta ini menunjukkan urgensi pengetahuan yang mumpuni tentang seluk – beluk kitab Ta’līm al-Muta’allim dari para tenaga pendidik pesantren, terutama bagi yang mengampunya. Penjelasan – penjelasan yang dangkal dan tidak mendalam, akan menanamkan sebuah pemahaman yang distortif bagi santri, konsumen utama kitab ini. Terlebih melihat beberapa nilai (konsep) dalam kitab tersebut yang (menurut berapa kalangan) nyleneh dan problematis. Salah satu tema sentral yang dibahas dalam kitab fenomenal tersebut adalah sebuah permasalahan tentang 1 Martin Van Bruienessen, Kitab Kuning (Pesantren dan Tarekat, Tradisi – Tradisi Islam di Indonesia), (Bandung: Penerbit Mizan, 1995) hal. 163 - 165 2 Munawiroh, Pergeseran Literatur Pesantren Salafiyyah, (Jakarta : Puslitbang Lektur Keagamaan badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2007)hal. 4 1 | Page

Upload: ibnu-maulana

Post on 26-Dec-2015

445 views

Category:

Documents


34 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

A. Latar Belakang MasalahTa’līm al-Muta’allim li Tharīq al-Ta’allum (untuk kemudian

disingkat Ta’līm al-Muta’allim) karangan Burhān al-Islām al-Zarnūjī, adalah karya terkenal yang merupakan salah satu tiang penyangga utama pendidikan pesantren. Keberadaan kitab ini menurut penelitian Van Bruinessen menempati urutan teratas kitab – kitab akhlak yang diajarkan di mayoritas pesantren di Indonesia, mengungguli kitab – kitab lain semisal washāyā, akhlāq li al-banīn, akhlāq li al-banāt, serta irsyād al-‘ibād1.

Padahal Jika merujuk pada data Direktorat Pondok Pesantren Departemen Agama RI tahun 2002 saja, jumlah Pondok Pesantren di Indonesia mencapai 14.067, dengan rincian : 8.905 buah Pondok pesantren salafī, 878 Pondok modern dan 4.284 pondok pesantren campuran (kombinasi pen.), dengan jumlah santri seluruhnya mencapai 3.200.000 orang2.

Fakta ini menunjukkan urgensi pengetahuan yang mumpuni tentang seluk – beluk kitab Ta’līm al-Muta’allim dari para tenaga pendidik pesantren, terutama bagi yang mengampunya. Penjelasan – penjelasan yang dangkal dan tidak mendalam, akan menanamkan sebuah pemahaman yang distortif bagi santri, konsumen utama kitab ini. Terlebih melihat beberapa nilai (konsep) dalam kitab tersebut yang (menurut berapa kalangan) nyleneh dan problematis.

Salah satu tema sentral yang dibahas dalam kitab fenomenal tersebut adalah sebuah permasalahan tentang etika penghormatan terhadap guru, kiyai atau syaikh*. Dalam salah satu kisah dalam kitabnya, Al-Zarnūjī menyebutkan:

“Guruku, Syaikh al-Islām Burhān al-dīn pengarang kitab al-Hidāyah, pernah bercerita tentang seseorang dari kalangan ulama besar Bukhārā. Suatu ketika ia sedang duduk mengajar di depan murid – muridnya,

1 Martin Van Bruienessen, Kitab Kuning (Pesantren dan Tarekat, Tradisi – Tradisi Islam di Indonesia), (Bandung: Penerbit Mizan, 1995) hal. 163 - 165

2 Munawiroh, Pergeseran Literatur Pesantren Salafiyyah, (Jakarta : Puslitbang Lektur Keagamaan badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2007)hal. 4

* Secara definitif, etika penghormatan terhadap guru inilah yang penulis maksud dengan konsep ta’dhīm al-Syuyūkh. Kata ta’dhīm adalah ism mashdar dari ‘adhdhama yang berarti mengagungkan atau memuliakan. Sedang kata syaikh secara etimologi berarti orang tua. Namun dalam makalah ini, dikonotasikan dengan makna guru atau kiyai yang sering dianggap tetua dari sebuah pesantren. Baca : A. Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progressif, 2002) hal.755

1 | P a g e

Page 2: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

kemudian ia tiba – tiba berdiri. Ketika para muridnya menanyakan hal tersebut, ia menjawab :”Putra guruku sedang bermain bersama anak – anak lain di jalanan. Maka jika tampak olehku, aku berdiri sebagai penghormatan terhadap guruku”.3

Jika berkaca kepada kondisi masyarakat pesantren kita sekarang, khususnya pesantren modern, apa yang didapati dari pesan “tersirat” al-Zarnūjī di atas tampak hiperbolis dan sulit dilakukan. Hiperbolis karena memberikan penghormatan yang berlebihan terhadap seseorang, sehingga penghormatan tersebut “menyusahkan” pelakunya. Dan sulit dilakukan karena dalam kasus tersebut, menghajatkan seseorang untuk memperhatikan perilaku anak gurunya, padahal ia juga tengah mengerjakan pekerjaan yang (juga) penting.

Sehingga pertanyaannya adalah, apakah untuk menjadi seorang murid (baca : santri) yang baik, seseorang harus mampu melakukan hal tersebut ? bagaimana jika perilaku tersebut justru membawa dampak negatif baginya, seperti hilangnya konsentrasi atas pekerjaan yang tengah dikerjakan ?

Karenanya, melihat kriteria pondok pesantren yang diberikan oleh Zamakhsyari Dhafier dalam bukunya “Tradisi Pesantren”, yaitu bahwa sebuah pesantren harus memiliki bangunan pondok, masjid, santri, pengajaran kitab – kitab klasik dan seorang figur kiyai4, maka unsur nilai – nilai yang terkandung dalam kitab – kitab klasik tersebut tak kalah pentingnya dibanding lima unsur di atas.

Dalam masalah ta’dhīm al-Syuyūkh, konsep al-Zarnūjī tidak selayaknya dibaca dari segi normatifnya an sich. Seorang pengajar harus mampu menguraikan apa esensi dari konsep ta’dhīm al-Syuyūkh al-Zarnūjī yang tersirat dalam kitabnya, Ta’līm al-Muta’allim. Esensi ini, tentu saja, hanya bisa didapat jika mereka mengetahui historisitas pengarang dan karya monumental yang dihasilkannya tersebut. Karena jika tidak demikian, pengajian kitab ta’līm al-muta’allim ini akan menjadi satu dari dua hal : doktrin terhadap sebuah perilaku yang “kolot”

3 al-Zarnūjī, Ta’līm al-muta’allim, (Semarang : Pustaka al-‘alāwiyyah, tt) hal. 17

4 Lihat : Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren (Studi tentang pandangan hidup kiyai),(Jakarta : LP3ES, 1982), hal. 44

2 | P a g e

Page 3: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

dan menyusahkan, atau dongeng tentang sifat – sifat baik yang mustahil dilakukan.

Padahal, sebuah pra-pemahaman yang harusnya disadari oleh para pengkaji kitab kuning, sebagaimana yang diutarakan Masdar F. Mas’udi yang diilustrasikan ulang oleh Van Bruinessen :

“Kitab (kuning), selain sebagai objek pengajian, harus dijadikan objek pengkajian, studi kritis. Karya ulama’ zaman dulu mestilah dipahami secara konstektual, dengan memperhatikan latar belakang sejarah, sosial dan politik. Kitab kuning dengan segala muatannya bukanlah kebenaran mutlak, melainkan juga mencerminkan budaya, kebutuhan dan pendapa umum pada tempat dan zaman dikarangnya.”5

Adalah sebuah kesalahan fatal, jika sebuah nilai temporal – lokal, dianggap dan dipercayai sebagai sebuah doktrin yang universal.

Dan sayangnya, sejauh pengamatan penulis tentang proses pengajian kitab ini di pesantren – pesantren selama ini, (sangat) jarang ditemukan penjelasan – penjelasan oleh para guru mengenai aspek – aspek tersebut (historisitas dan konstektualitas pen.). Terlebih, bahwa bentuk kitab yang beredar di Indonesia (edisi syarh dari Ibrāhīm bin ismā’īl pen.), tidak diketemukan di dalamnya informasi – informasi penting tentang siapa al-Zarnūjī, bagaimana ia hidup, kiprah serta perannya dalam pergolakan keilmuan Islam. Padahal hal – hal tersebutlah yang bisa memberikan gambaran yang obyektif dan menyeluruh tentang kitab Ta’līm al-muta’allim beserta muatan – muatannya. Dalam syarh yang ditulisnya, Ibrāhīm bin Ismā’il hanya memberikan penjelasan – penjelasan lughawy saja. Inilah yang menjadi kegelisahan akademis penulis.

Lebih jauh lagi, adalah sebuah fakta yang ironis, ketika – disadari atau tidak – sikap penghormatan yang berlebihan (baca : pengkultusan) terhadap seorang guru atau ustādz menyebabkan hilangnya sikap kritis kaum pesantren, baik dalam kegiatan akademik, maupun dalam interaksi mereka sehari – hari. Sehingga, stagnasi perkembangan keilmuan di kalangan pesantren tak dapat dihindari.

5 Marti Van Bruienessen, Kitab Kuning...hal. 173

3 | P a g e

Page 4: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

Dalam pengajian – pengajian dengan cara bandongan6, maupun sorogan7 selama ini misalnya, sering kali dijumpai proses pembelajaran yang pasif, di mana transfer ilmu hanya berjalan satu arah : dari guru ke santri. Lebih lanjut, guru tersebut jarang menanyakan apakah santri benar – benar memahami kitab yang dibacakan, kecuali pada tingkat pemahaman lughawi saja.8 Tentu tidak berlebihan, jika proses pembelajaran ini, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh persepsi berlebihan yang berkembang tentang etika – etika ta’dhīm al-syuyūkh. Begitulah keadaan pesantren kita dewasa ini. Adapun kitab Ta’līm al-muta’allim sendiri, ia dianggap melegitimasi tradisi pasif tersebut. Kitab ini seringkali dinilai sebagai pendukung ke”jumud”an pesantren yang tak sepantasnya diajarkan dan dipelajari.

Permasalahan ini mendorong penulis menyusun sebuah analisa perbandingan tentang konsep Ta’dhīm al-Syuyūkh al-Zarnūjī dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim dengan konsep Ta’dhīm al-Syuyūkh yang selama ini dipahami dan dipraktikkan oleh komunitas pesantren.B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yaang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini dapat dituangkan dalam pertanyaan – pertanyaan berikut :

1. Siapakah al-Zarnūjī, dan bagaimana kondisi sosial – kultural di sekitarnya ketika ia menulis kitab Ta’līm al-Muta’allim li Tharīq al-Ta’allum ? serta apa implikasi kondisi tersebut terhadap produk kitab yang dihasilkan ?

2. Bagaimana konsep ta’dhīm al-Syuyūkh menurut al-Zarnūjī ?

6 Oleh para sarjana muslim, Bandongan (sering juga disebut Weton) didefinisikan sebagai metode pengajian yang di dalam prosesnya, beberapa santri mendengarkan seorang guru membaca, menerjemahkan, dan menerangkan dan seringkali mengulas buku – buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap santri memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan – catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata – kata ataupun buah pikiran yang sulit. Lihat : Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren...hal. 28

7 Sedangkan sorogan adalah aktifitas pengajaran secara individual, di mana setiap santri menghadap secara bergiliran kepada ustadz aatau kiyai, untuk membaca, menjelaskan atau menghafal pelajaran yang diberikan sebelumnya; dan bila santri tersebut telah dianggap menguasai, maka biasanya akan ditambah dengan materi baru. Baca : Imam Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, (Surabaya : Penerbit al-Ikhlas, 1993) hal.97

8 Lihat : Martin Van Bruienessen, Kitab Kuning...hal. 18

4 | P a g e

Page 5: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

3. Bagaimana relevansi konsep al-Zarnūjī ini untuk diterapkan di Pondok Pesantren? dan bagaimana semestinya pengajaran kitab ta’līm al-muta’allim tersebut dalam masa sekarang dilakukan?

C. Tujuan dan Kegunaan PenulisanPertanyaan – pertanyaan dalam rumusan masalah tersebut

merefleksikan tujuan – tujuan serta kegunaan karya ini; yaitu :1. Tujuan

a) Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang sosok al-Jurjānī, kiprahnya dalam tradisi keilmuan Islam, dan apa motif penulisan kitab Ta’līm al-Muta’allim yang dikarangnya. Serta sejauh mana kondisi sosial- kultural pengarang mewarnai kitab Ta’līm al-Muta’allim.

b) Untuk menemukan gambaran yang memadai tentang konsep ta’dhīm al-Syuyūkh menurut al-Zarnūjī, bagaimana relevansi konsep ini untuk diterapkan di Pondok Pesantren, dan bagaimana semestinya pengajaran kitab ta’līm al-muta’allim tersebut dalam masa sekarang dilakukan.

2. KegunaanSelain diharapkan mampu menjadi salah satu sumbangan

pemikiran serta memperkaya kepustakaan dalam kajian kitab kuning – kitab kuning pesantren, tulisan ini diharapkan dapat dijadikan informasi tentang sejarah dan seluk – beluk kitab Ta’līm al-Muta’allim, sebuah literatur klasik yang diajarkan di mayoritas pesantren di Indonesia.

Lebih lanjut, Pengetahuan ini dapat mengarahkan para guru – guru (baca : asātīdz) agar mampu menyelami konsep al-Zarnūjī dengan pemahaman yang tidak bias, mengaktualisasikan nilai – nilai tersebut dalam kehidupan pribadi, maupun dalam kapasitas mereka sebagai tenaga pendidik di pesantren, sekaligus mampu mengajarkan konsep ta’dhīm al-Syuyūkh-nya al-Zarnūjī dengan metode yang tepat dan proporsional tanpa adanya fanatisme yang berlebihan. Di samping itu juga sebagai pengetahuan untuk para pengkaji keilmuan Islam agar tidak melihat kitab Ta’līm al-Muta’allim ini dari sisi normatifnya an sich.D. Metode penelitian (Tahapan – tahapan yang digunakan)

Karya ini diselesaikan melalui studi kepustakaan (lirary research) dengan menggunakan metode historis-filosofis. Pendekatan historis digunakan karena ia memfokuskan diri pada

5 | P a g e

Page 6: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

kejadian – kejadian unik pada masa lampau yang tak dapat terulang kembali. Juga karena obyek yang dibahas ada dan muncul dalam sebuah kondisi sosial – kultural tertentu. Sedangkan pendekatan filosofis digunakan untuk menerangkan dan menjelaskan secara detail konsep al-Zarnūjī tentang ta’dhīm al-Syuyūkh.

Secara lebih terperinci, metode ini meliputi dirumuskan menjadi:

1. Metode Pengumpulan DataKarena yang menjadi obyek penelitian utama adalah konsep

al-Zarnūjī mengenai ta’dhīm al-Syuyūkh, tentu saja untuk mendapatkan deskripsi pemikirannya secara jelas dan terperinci perlu dilakukan berbagai upaya untuk melihat historisitas dari sisi internal maupun eksternalnya. Sisi internal adalah sisi pribadi al-Zarnūjī, seperti seluk - beluk kehidupan serta latar – belakang pendidikannya, sedang sisi eksternal meliputi keadaan sosial, ekonomi, politik dan budaya di saat ia mencetuskan pemikiran tersebut, serta pengaruh – pengaruh pemikiran tokoh lain yang (mungkin) mempengaruhinya.

Oleh karena itu, pembahasan tulisan ini akan difokuskan selain pada kitab ta’līm al-muta’allim sebagai sumber rujukan utama, juga kepada buku – buku serta tulisan – tulisan mengenai kehidupan tokoh yang dibahas.

Dalam metode pengumpulan ini, penulis menggunakan penelitian pustaka dengan metode dokumentasi. Yaitu mencari data mengenai hal – hal atau variable yang berupa catatan, prasasti, notulen rapat, dan sebagainya.9

2. Metode pengolahan dataPengolahan data dilakukan dengan :a. Deskripsi

Deskripsi dilakukan untuk mendapatkan keterangan – keterangan, proposisi – proposisi, konsepsi – konsepsi dan hakekat yang sifatnya mendasar atau menguraikan secara teratur mengenai seluruh konsep pemikiran10. Maksud metode ini adalah untuk mendeskripsikan konsep ta’dhīm al-Syuyūkh al-Zarnūjī yang dituangkan dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim.

9 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek,, (Jakarta : Reneka Cipta, 1993), hal. 202

10 Anton Bakker dan A. Charles Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1990) hal. 65

6 | P a g e

Page 7: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

b. AnalisaIni adalah proses terpenting di mana penulis harus mampu

memberikan interpretasi – interpretasi, yaitu dengan menyelami karya seorang tokoh untuk menangkap arti dan nuansa yang dimaksudkan olehnya,11 untuk mendapatkan pemahaman baru.A. Setting Historis penulisan kitab Ta’līm al-Muta’allim li

Tharīq al-Ta’allum: sisi rasionalitas dan sufisme al-Zarnūjī Harus diakui, data sejarah yang dapat dilacak tentang al-

Zarnūjī tidaklah banyak. Ketenarannya di kalangan akademisi muslim tidak menonjol sebagaimana filosof lain semisal al-Faraby, al-Ghazaly, maupun Ibn Sinā. Meskipun kitab Ta’līm al-Muta’allim yang ditulisnya, mendapat apresiasi besar dari kalangan umat Islam di seluruh dunia*.

Disebutkan dalam kitab al-Qāmūs al-Islāmī karangan Ahmad ‘Athiyullāh, sebuah ensiklopedi tentang peradaban Islam, bahwa nama asli al-Zarnūjī adalah mu’man bin Ibrāhīm. Ia memiliki dua sebutan, Burhān al-dīn al-Zarnūjī dan Tāj al-dīn al-Zarnūjī. Sebutan al-Zarnūjī diambil dari daerah tempat dia berasal, yaitu Zarnūj, sebuah kota di daerah Warā’a al-nahr (Turkisan Timur).12

al-Zarnūjī adalah seorang ulama’ islam abad ke-6 Hijriyyah. Meskipun terdapat kontroversi seputar waktu hidupnya, namun pendapat yang kuat menyatakan bahwa ia hidup sekitar tahun 620 H (1223 M). Pendapat ini dilontarkan oleh M. Plessner dalam Dāirah al-Ma’ārif al-Islāmiyyah. Ia berargumen dengan beberapa data yang ditemukannya. Pertama, Plessner merujuk pada kitab “A’lām al-Akhyār min fuqahā’ madzhab nu’mān al-mukhtār”(nama-nama ahli fiqih dari madzhab Imam Nu’man al-Mukhtār (al-Hanafī), karya Mahmūd bin Sulaimān al-Kaffāwī yang meninggal pada 990 H/ 1562M yang menempatkan al-Zarnūjī dalam generasi ke-12 ulama’ madzhab hanafiyyah. Kedua, data-data tentang nama guru-guru al-Zarnūjī yang diyakini pernah melakukan kontak dengannya. Diantara guru-guru tersebut adalah : Burhān al-dīn Alī bin abī bakr al-Margīnānī, seorang

11 Anton Bakker dan A. Charles Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat…hal 65

* Adapun Kitab Ta’līm al-Muta’allim itu sendiri pernah dicetak di kota Mursyid Abad (India) pada 1265 H/1851 M, Libjaz pada 1838 M dan di Mesir pada 1301 H.

12 Ahmad Athyullah, al-Qāmūs al-Islāmī, (Kairo : Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1970) vol. 3 hal.58

7 | P a g e

Page 8: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

ulama’ hanafiyyah, pengarang kitab al-Hidāyah fī furū’ al-Fiqh (W. 593 H/1197M); Fakhr al-Islām al-Hasan bin Manshūr al-Farghānī (W.592 H/ 1196 M); Zahīr al-dīn al-Hasan bin ‘Aly al-Marginānī (W. 600 H); Syaikh ِAbū Bakr Mas’ūd bin Ahmad, Fakhr al-dīn al-Kasyānī (W.587 H/1191 M); dan Rukn al-dīn Muhammad bin Abī Bakr yang hidup sekitar 491 – 572 H13.

Data yang kedua ini, selain menunjukkan kurun waktu pertemuan antara al-Zarnūjī dan guru – gurunya, juga menunjukkan bahwa al-Zarnūjī merupakan seorang tokoh madzhab hanafi. Golongan madzhab yang berpola pikir dengan mengandalkan akal (Ra’y) sebagai perangkat utama memahami pesan – pesan Tuhan. Jika demikian seharusnya dalam berargumentasi dan menuangkan gagasannya, al-Zarnūjī banyak menggunakan dalil – dalil rasioselain al-Qur’an dan Hadis.

Namun, jika mengkaji kitab ta’līm al-muta’allim dengan teliti, akan didapati banyak kisah sufistik yang berbau mistis. Sesuatu yang janggal didapat dalam karya – karya ulama’ hanafiyyah. Kisah ini misalnya, terdapat dalam pesan – pesan al-Zarnūjī dalam bab ta’dhīm al-‘ilm wa ahlih. Ia menyebutkan :”

“al-Qādhī al-Imām Fakhr al-dīn al-Arsābandī adalah seorang tetua para imam di daerah Mizzi. Ia memiliki kekuasaan yang diakui oleh khalayak. Ia suatu ketika pernah bercerita :” sesungguhnya aku mendapatkan kedudukan ini, karena aku dulu sangat memuliakan guruku, aku senantiasa membantu guruku tersebut, al-Qādhī Abū Yazīd al-Dābūsī. Aku memasak makanannya dan aku tidak makan dari masakanku tersebut”14

Konsep sufistik tentang barākah dan Tabāruk juga dapat ditemukan dalam kisahnya tentang percakapan antara Hārūn al-Rasyīd dengan al-Ashma’ī, seorang syaikh di sebuah negeri di Arab. Dalam percakapan tersebut, Hārūn, ketika melihat anaknya yang dikirim kepada sang syaikh untuk belajar, diberi tugas untuk menuangkan air kepada al-Ashma’ī ketika ia berwudhu, justru menganjurkan agar anaknya juga membilas kaki gurunya tersebut, karena berharap percikan barokah darinya15.

13 M. Plessner, al-Zarnūjī, dalam Ahmad al-Syantanāwī, dkk (ed.), Dāirah Ma’ārif al-Islāmiyyah, juz X (Beirut : Dāirah al-Ma’ārif,tt) hal. 354.

14 al-Zarnūjī, Ta’līm al-muta’allim... 1715 Lihat : al-Zarnūjī, Ta’līm al-muta’allim... 17

8 | P a g e

Page 9: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

Dalam mendefinisikan ilmu pengetahuan, al-Zarnūjī menggambarkannya tidak hanya sebagai hasil kerja akal dan indera manusia saja, tetapi ia mengilustrasikan ilmu sebagai cahaya Tuhan (nūr Allah), yang hanya bisa didapatkan dengan bersikap taat kepadaNya secara mutlak.16

Bahkan jika diperhatikan lebih jauh, dalam kitab ini tidak akan diketemukan alasan – alasan rasional yang mendasari konsep – konsepnya. Seakan kecenderungannya kepada madzhab hanafi, hanya terbatas dalam permasalahan fiqhiyyah saja. Kecenderungan itu tidak menjadikannya seorang yang apatis terhadap hal – hal yang “tak ternalar”.

Hal yang sekilas bertentangan ini, terjawab dengan hasil penelitian yang dilakukan Edward Van Dyek. Ia menyebut al-Zarnūjī selain sebagai filosof, juga sebagai seorang sufi. Edward bahkan memasukkannya dalam 14 orang ulama’ arab yang menguasai kedua bidang tersebut, sejajar dengan al-kindī, al-Farābī, ibn sinā, serta ibn hazm al-Andalūsī.17 Edward juga menyebut Kitab ta’līm al-Muta’allim bukan sebagai kita akhlak, tetapi kitab ini adalah kitab yang berisikan petuah – petuah dan ajaran – ajaran sufisme.18

Agaknya, inilah hal pertama yang harus disadari oleh seorang pengkaji kitab ta’līm al-muta’allim. Yaitu bahwa kitab karangan al-Zarnūjī ini lebih tepat dikategorikan sebagai kitab tashowwuf bukan kitab akhlak sebagaimana yang selama ini dipahami. Kesimpulan ini berdasarkan isi kitab yang sarat dengan nilai – nilai sufistik, dan dari latar belakang al-Zarnūjī sendiri yang ternyata juga mendalami jenis ilmu kebatinan tersebut.

Dua pra-pemahaman (menganggap sebuah kitab sebagai kitab akhlak atau kitab tashowwuf pen.) yang berbeda ini, jika dipakai untuk memahami sebuah obyek yang sama (dalam hal ini, kitab Ta’līm al-muta’allim pen.) tentu akan menghasilkan dua jenis pemahaman yang berseberangan. Menganggap kitab Ta’līm

16 Ia mengutip sebuah sya’ir dari Imām al-Syāfi’i : “Aku (al-Syāfī’ī) mengadu kepada wakī’ tentang sulitnya aku menghafal, lalu ia menuntunku agar aku meninggalkan perkara – perkara ma’shiyyāt, ia juga berpesan (kepadaku) bahwa ilmu adalah cahaya Allah, dan ia tidak akan diberikan kepada para pelaku ma’shiyyāt itu. Baca : Lihat : al-Zarnūjī, Ta’līm al-muta’allim... 41

17 Edward F., iktifā’ al-qanū’ bimā huwa mathbū’, CD ROM. al-Maktabah al-Syamilah, Kutub el-Barnamij fi fahāris al-Kutub, Global Islamic Software : 1997 Vol. 1 hal. 63 - 66

18Edward F., iktifā’ al-qanū’ bimā …66

9 | P a g e

Page 10: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

al-Muta’allim ini sebagai kitab akhlak, akan membuat pengkajinya cenderung menerapkan apa yang tertulis di dalamnya secara literal, karena ia menganggap bahwa rumusan – rumusan dalam kitab tersebut adalah rumusan yang final dan dapat langsung diaplikasikan dalam etika sehari – hari.

Namun jika kitab ini diposisikan sebagai sebuah kitab tashowwuf, para pengkaji akan lebih cermat dan tidak tergesa – gesa menangkap makna tersurat di dalamnya. Nilai – nilai sufistik yang tersirat akan terus – menerus digali guna menemukan makna yang tepat. Sehingga, makna ideal-moral kitab tersebut akan lebih diperhatikan dari pada rumusan – rumusan legal-formal di dalamnya.

Corak sufisme ini, tergambarkan juga dari bagaimana al-Zarnūjī menyusun bab – bab dalam kitabnya. Dari tiga belas tema pokok yang disampaikannya, penulis dapat mengklasifikasikannya ke dalam tiga tema besar. (1) Pemahaman – pemahaman dasar yang harus dimiliki oleh seorang pencari ilmu yang tercermin dari pembahasan di bab I hingga bab V; (2) Tata cara belajar yang benar dalam bab VI hingga bab VIII; (3) hal – hal lain yang harus dipenuhi agar proses belajar dapat mencapai tujuannya, yaitu ilmu yang barākah dan dapat dimanfaatkan. Pembahasan ini dapat dilihat pada IX hingga bab XIII.19Pembahasan yang memiliki porsi paling banyak justru bukan dari etika dan tata cara formal dalam proses mencari ilmu, tetapi perkara – perkara bathiny yang menjadi landasan ideologi bagi pencari ilmu tersebut. Aroma mistis ini semakin kental ketika al-Zarnūjī membedakan antara ilmu – ilmu umum dengan ilmu – ilmu agama. Apa yang disebutnya dengan ilmu hāl (ilmu – ilmu tentang bagaimana seseorang dapat menjalankan agama dengan baik) bahkan dibahas pada awal kitab ta’līm al-muta’allim ini20.

Nampaklah bahwa sesungguhnya yang menjadi titik tekan al-Zarnūjī dalam Tharīq al-Ta’allum (tata cara belajar) adalah metode – metode yang bersifat bathīnī (baca: sikap hati), bukan tata cara yang empirik – praksis. Sehingga hal – hal seperti mudzākarah, musāharah, dan muthāharah bukanlah hal yang paling utama ingin disampaikan.

19al-Zarnūjī, Ta’līm al-muta’allim,... hal. 520 al-Zarnūjī, Ta’līm al-muta’allim,... hal. 1

10 | P a g e

Page 11: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

Untuk memperkuat kesimpulan ini, berikut penulis ketengahkan analisa tambahan tentang kondisi sosial – kultural pada masa al-Zarnūjī hidup.

Sejarah mencatat bahwa daerah tempat tinggal al-Zarnūjī menetap merupakan bagian dari pemerintahan Islam dinasti Abbasiyyah. Masa ia hidup adalah di antara penghujung abad ke- 5 H dan permulaan abad ke-6 yang merupakan masa – masa kemunduran bagi dinasti tersebut.21 Di masa inilah terjadi kisruh perebutan kekuasaan antara Bani Saljuk, Dinasti Abbasiyyah, serta orang – orang mongol. Pemerintahan dinasti Islam pada akhirnya runtuh di tangan bangsa Tar - tar pada tahun 656 H

Meskipun dalam keadaan yang sedemikian carut – marut, kemunduran dan ketidak – beraturan ini tidak terjadi di semua aspek kehidupan orang Islam. Karena jika dilihat dari segi keilmuan dan perkembangan peradaban, pada periode ini, telah banyak buku – buku tentang bahasa, sejarah, sastra, serta filsafat yang ditulis dan dibukukan. Bahkan disinyalir bahwa masa ini adalah masa di saat islam mencapai puncak keemasan dan kejayaannya dalam bidang keilmuan tersebut.22 Tak heran, jika al-Zarnūjī dalam muqaddimah-nya turut mensinyalir banyaknya aktifitas transfer ilmu yang terjadi di kalangan umat Islam di zamannya.

Hanya saja, kemajuan ini juga mewariskan sesuatu yang buruk bagi peradaban umat islam. Modernisasi dan liberasi ilmu pengetahuan yang terjadi menjadikan kecenderungan umat Islam untuk berpandangan dan bersikap materialistis, empiris, rasional murni dan kuantitatif.23 Pendidikan (proses belajar – mengajar) menurut kebanyakan rasionalis adalah sebuah proses sosialisasi. Dalam arti bahwa aktivitas pendidikan senantiasa

21 Secara lebih jelas, periodesasi kekuasaan dinasti Abbasiyyah dapat digambarkan sebagai berikut : Periode pertama adalam masa keemasan di mana pemerintahan langsung berada di bawah kendali khālifah (132 – 232 H); Periode kedua di saat kekuasaan Islam mulai pindah ke golongan – golongan Turki ( 232 – 334 H), Bani Buwaih (334 – 447 H), lalu Turki Saljuk (447 – 590 H); dan periode ke-3 adalah ketika tampuk kekuasaan kembali kepada khalifah hingga dinasti ini runtuh (590 – 656 H). lihat : Ahmad Syalab ī, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid III, (Jakarta : Pustaka al-Husnā, 1988 ) hal. 2-3

22 Lihat : A. Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979) hal. 212

23 Baca : Imam bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam, (Surabaya : Penerbit al-Ikhlas, 1993) hal. 78

11 | P a g e

Page 12: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

berlangsung dalam konteks sosial, berkait – kelindan dengan norma sosial, juga berorientasi pada tuntutan sosial. 24

Tampak, bahwa al-Zarnūjī kecewa dengan perilaku para penuntut ilmu di zamannya yang tak lagi meng-orientasikan perbuatannya untuk mencari ridha Allah SWT. Perilaku yang kedunyan (hanya untuk kebahagiaan dunia saja pen.) menurut al-Zarnūjī akan menjauhi esensi dari pendidikan islam yang sebenarnya, yaitu pendidikan yang harus mencakup unsur iman, ilmu dan amal dalam totalitas teori limdan praktek. Harmonisasi ketiga unsur ini sangatlah penting, mengingat islam tidaklah berat sebelah dalam memandang dunia dan akhirat.25 Begitulah, semua hal tersebut menjadi background kehidupan al-Zarnūjī yang memberikan warna bagi kitab yang dihasilkannya dan menjadi salah satu motivasi utamanya mengarang kitab ta’līm al-muta’allim. Ia berkata :

“Banyak sekali aku melihat, para penuntut ilmu di zaman sekarang, yang giat mencari ilmu, namun tidak mampu menggapai manfa’at serta hasil dari ilmu tersebut, yaitu mampu mengamalkan dan menyebarkannya. Hal ini disebabklan karena mereka salah dalam metode yang dipakai dan meninggalkan syarat – syarat yang seharusnya dikerjakan. Padahal, barangsiapa yang salah dalam metode yang digunakan, maka ia akan tersesat dan tidak akan mencapai apa yang ia inginkan. Karena itulah, akan aku terangkan bagaimana metode (yang baik) dalam mencari ilmu. Metode ini, adalah sebagaimana yang aku pelajari dari kitab – kitab (terdahulu) dan adari apa yang aku dengar dari guru – guruku, para ahli ilmu dan kebijaksanaan, dengan senantiasa berharap, agar orang – orang ikhlas mendo’akanku, dan Allah juga 26

Secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa penulisan kitab Ta’līm al-muta’allim ini dimotivasi oleh : (1) keinginannya untuk mencari Ridha Allah SWT, (2) keprihatinan al-Zarnūjī atas perilaku akademisi Muslim di masanya yang cenderung bersifat meterialistis, kuantitatif dan rasional murni; serta (3) keinginan

24 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta : LKis, 2008) Hal 121

25 Baca : Imam bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan…hal.8026 al-Zarnūjī, Ta’līm al-muta’allim... hal. 5

12 | P a g e

Page 13: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

untuk mengaktualisasikan dirinya dengan menulis kitab sesuai dengan spesifikasi keilmuannya.B.Membaca paparan al-Zarnūjī tentang konsep Ta’dhīm al-

SyuyūkhPersepsi yang selama ini berkembang di benak para pengkaji

kitab kuning adalah bahwa kitab Ta’līm al-Muta’allim termasuk salah satu kitab yang melegitimasi ajaran – ajaran tentang pengkultusan terhadap kiyai maupun ustādz. Sebuah tradisi yang disinyalir berasal dari budaya Hindu-Jawa pra-Islam.27 Ini dikarenakan kedangkalan pemahaman mereka terhadap buah cemerlang al-Zarnūjī serta akibat kesalahan metode yang dipakai untuk menangkap isi yang sebenarnya diinginkan oleh pengarang kitab.

Untuk memahami konsep yang diusung al-Zarnūjī tentang ta’dhīm al-syuyūkh, terlebih harus dipahami konsep umum yang ingin diutarakannya dari kitab ta’līm al-muta’allim tersebut. Paling tidak, dari pembahasan sebelumnya, ada dua hal penting yang harus diperhatikan. Yang pertama, bahwa corak pemikiran al-Zarnūjī yang dituangkan dalam kitab ini adalah sufisme. Dan yang kedua adalah keinginan utama al-Zarnūjī untuk menyeimbangkan antara aspek ukhrāwī dan duniawi dalam pendidikan. Aktifitas pendidikan dituntut mampu menjadi aktifitas keagamaan yang juga dapat menjalin hubungan organik – sinergis dengan perubahan dan perkembangan sosial – budaya sehingga memperoleh akuntabilitas dan relevansi fungsional di tengah masyarakat.28 Dua hal tersebut di atas menekankan bahwa ajaran – ajaran bāthīnī lebih mendominasi isi kitab Ta’līm al-Muta’allim tersebut. Sehingga pendekatan bathiny jugalah yang harus digunakan untuk memahaminya.

27 Sebelum Islam datang, masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa adalah para pengikut agama Hindu yang meyakini adanya stratifikasi (kasta) tertinggi dalam kelompok Brahmana. Golongan ini dianggap sebagai jembatan antara dunia manusia dan Tuhan. Adat ini disinyalir masih berlangsung hingga masa setelah kedatangan Islam, di mana para kiyai seringkali diposisikan sejajar dengan seorang brahmana tersebut. Para kiyai, baik yang masih hidup maupun \yang telah wafat sering diminta sebagai perantara untuk menyampaikan doa kepada Tuhan. Baca : Munawiroh, Pergeseran Literatur Pesantren Salafiyyah, (Jakarta : Puslitbang Lektur Keagamaan badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2007) hal. 11. Lihat juga : Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren...hal. 56. Bandingkan dengan : Nurcholis Madjid, Bilik – bilik Pesantren (Sebuah potret perjalanan), (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1997) hal. 23

28 Baca : Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif,…hal 121

13 | P a g e

Page 14: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

Termasuk dalam konsep Ta’dhīm al-Syuyūkh-nya, Konsep ini secara umum menggambarkan tentang nilai – nilai etis yang seharusnya dimiliki oleh seorang murid dalam berinteraksi dengan gurunya. Ia menyebutkan :

“Ketahuilah bahwa seorang penuntut ilmu, tidak akan mendapatkan ilmu (yang dicarinya), dan tidak akan mendapatkan manfaat darinya, kecuali jika ia (mau) memuliakan ilmu tersebut, orang yang memilikinya, serta gurunya. sebuah sya’ir menyatakan : seseorang yang telah sampai tidak akan sampai kecuali dengan hurmah (memuliakan hal – hal tersebut di atas)…bahkan hurmah ini lebih baik dari sikap taat (Thā’ah).29

Menurutnya, hal utama yang turut menentukan keberhasilan seseorang dalam proses mencari ilmu adalah sikap yang baik terhadap gurunya. Seorang guru menurut al-Zarnūjī adalah manifestasi pembimbing, pemberi petunjuk sekaligus Bapak bagi seseorang yang mencari ilmu – ilmu agama. Sehingga ia harus dihormati sedemikian rupa. Keyakinan ini juga didukung dengan keyakinan lain dari al-Zarnūjī tentang adanya barākah dalam diri guru – guru tersebut. Ia bahkan menyitir pendapat Syaikh al-Imām sadīd al-dīn al-Syairāzī yang mengatakan :”barangsiapa yang ingin agar anak (keturunannya) menjadi orang yang ‘alim, hendaklah ia menjaga hubungan dengan para fuqahā’, memuliakan serta menghormatinya, (mau) memberikan kepadanya sesuatu (yang ia punya). Maka jika bukan anaknya yang menjadi ‘ālim, cucunyalah”.30

Dengan memahami bahwa nilai sufisme kental dalam kitab ini, apa yang diutarakan al-Zarnūjī ini dapat dijelaskan dengan pemahaman yang tidak bias. Ta’dhīm al-Syuyūkh yang ingin dikenalkan oleh al-Zarnūjī adalah sebuah penghormatan yang bergerak dari jiwa maupun raga. Yaitu setelah tertanam sikap simpati dan hormat kepada seorang figur guru, sikap tersebut kemudian diterjemahkan dalam bentuk perbuatan riil.

Karenanya, untuk menumbuhkan sikap ta’dhīm yang mendalam tersebut, tidak berlebihan jika para guru harus dianggap memiliki hal khusus yang tak dimiliki oleh orang ‘awwām. Dalam berinteraksi dengan merekapun, dibutuhkan tata – cara tersendiri yang berbeda dengan tata cara bergaul

29 al-Zarnūjī, Ta’līm al-muta’allim... 1630 al-Zarnūjī, Ta’līm al-muta’allim... 16 - 17

14 | P a g e

Page 15: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

menghadapi orang kebanyakan. Tata Krama khusus ini diantaranya adalah sebagaimana yang diilustrasikan :

“Di antara cara – cara memuliakan guru, adalah dengan tidak berjalan di depannya, tidak menduduki tempat duduknya, tidak memulai perkataan ( ketika bercakap cakap dengannya) kecuali dengan izinnya, tidak banyak berkata – kata di hadapannya, tidak bertanya sesuatu ketika ia sedang lelah, dan hendaknya ia selalu memperhatikan waktu (yang tepat), (ketika hendak menemuinya) tidak mengetuk pintunya, tetapi bersabar (menunggu) hingga ia keluar. Ringkasnya, ia harus melakukan hal – hal yang dengannya, ia akan mendapat ridhā gurunya, dan akan jauh dari kemarahannya. Ia harus menjalankan perintah gurunya sepanjang tidak dalam koridor ma’shiyyah kepada Allah. Karena tidak diperkenankan taat kepada seseorang yang menyimpang dariNya”.31

Maka, sebagaimana proses memahami teks – teks lain (baik teks al-Qur’ān, Hadis, maupun teks sejarah lainnya) secara kritis dan obyektif, bersikap elastis dan tidak terlalu rigid terhadap pemaknaan literal akan lebih baik dibandingkan dengan aplikasi nilai – nilai tertulis tersebut secara membabi buta32.

Sehingga dalam memahami aturan – aturan al-Zarnūjī ini, esensinyalah yang mustinya diperhatikan dan didalami maksudnya. Karena bagaimanapun juga, bentuk norma legal-formal yang dipaparkan oleh al-Zarnūjī, terikat dengan situasi di saat norma itu dicetuskan oleh penulisnya. Dengan melihat bahwa tujuan sebenarnya dari anjuran tersebut adalah untuk mendapat ridhā dan barākah dari seorang guru33 dan agar

31 al-Zarnūjī, Ta’līm al-muta’allim... 1732 Proses pemahaman seperti ini (kontekstualisasi pen.), banyak dipakai

oleh para intelektual muslim dalam memahami teks – teks keagamaan. Teks hadis misalnya. Kaum tekstualis dengan pemahaman literalnya, mengabaikan kenyataan bahwa teks hadis tersebut terikat dengan keadaan di mana ia muncul. Sebaliknya, pakar hadis semisal Yusuf al-Qaradhawy dengan merujuk pada perilaku para sahabat yang moderat, menekankan upaya penggabungan antara makna asal dengan konteks yang meliputinya. Lihat : Yusuf al-Qaradhawy, Bagaimana memahami hadis Nabi SAW, terj. Muhammad al-Baqir (Bandung : Kharisma) 1997. Hal. 26- 27. Bandingkan dengan : Hamim Ilyas, Kontekstualisai hadis dalam Studi Agama, dalam ed. Hamim Ilyas, Suryadi, Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta : PT Tiara Wacana) 2002 hal 173

33 al-Zarnūjī, Ta’līm al-muta’allim... 17

15 | P a g e

Page 16: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

terdapat ketenangan di dalam diri seorang pencari ilmu, serta agar proses pendidikan yang dilakukan lebih kental nilai relegiusnya, aturan – aturan tersebut dapat diwujudkan kembali dalam bentuk yang lebih “toleran”.

Misalnya, adalah sesuatu yang tidak sopan, jika dengan tanpa alasan, seorang santri berjalan mendahului gurunya. Akan tetapi jika kemudian suatu ketika, ia berada dalam situasi yang mendesak, sehingga diharuskan mendahului guru tersebut, terlalu naïf rasanya jika ia diharuskan tetap berjalan perlahan – lahan. Diperbolehkan bagi santri tersebut mendahuluinya. Tentu saja dengan tata cara yang sopan, sehingga tidak melukai hati dan perasaan.

Atau aturan al-Zarnūjī, bahwa seorang murid jika hendak menemui gurunya, tidak diperkenankan mengetuk pintu rumah, tetapi bersabar menunggu hingga ia keluar. Tata krama seperti ini terasa klise, mengingat pada zaman sekarang, hampir tidak diketemukan lagi di komunitas pesantren, guru ataupun kiyai yang hanya berposisi sebagai ustadz yang hanya mengajar saja pekerjaannya. Banyak di antara mereka yang turut memegang urusan – urusan kelembagaan. Sehingga, keadaan – keadaan insedentil di mana seorang santri harus memanggil (baca : bertemu dan menghadap) guru atau kiyainya sungguh tak terelakkan.

Pembacaan semacam ini juga dapat dilakukan ketika ada statement al-Zarnūjī sebagai berikut :

“Diantara cara memuliakan guru tersebut, adalah dengan memuliakan anak – anaknya serta kerabat dan orang – orang dekatnya. Guruku, Syaikh al-Islām Burhān al-dīn pengarang kitab al-Hidāyah, pernah bercerita tentang seseorang dari kalangan ulama besar Bukhārā. Suatu ketika ia sedang duduk mengajar di depan murid – muridnya, kemudian ia tiba – tiba berdiri. Ketika para muridnya menanyakan hal tersebut, ia menjawab :”Putra guruku sedang bermain bersama anak – anak lain di jalanan. Maka jika tampak olehku, aku berdiri sebagai penghormatan terhadap guruku itu.34

Maksud sebenarnya yang diinginkan oleh pengarang kitab, bukanlah menyuruh kita supaya selalu meluangkan waktu untuk

34 al-Zarnūjī, Ta’līm al-muta’allim... 17

16 | P a g e

Page 17: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

berdiri sejenak ketika kita melihat anak kiyai kita. Ataupun kita harus selalu menundukkan kepala ketika berbicara dengannya. Tetapi yang terpenting adalah adanya sikap hormat kita kepadanya, yang ujung – ujungnya adalah terwujudkannya insan – insan berilmu yang relegius tadi. Sedangkan bentuk riil aplikatif dari rasa hormat itu sendiri, tidak terpaku dengan aturan – aturan kolot. C.Tradisi Ta’dhīm al-Syuyūkh dalam mayoritas pondok

pesantren di Indonesia : analisis historisAnalisis ini akan difokuskan untuk mencari informasi tentang

praktek Ta’dhīm al-Syuyūkh di pesantren - pesantren di Indonesia. Hal ini urgen dibahas, agar didapat gambaran yang jelas tentang praktik yang berjalan dan benang merahnya dengan konsep Ta’dhīm al-Syuyūkh al-Zarnūjī yang telah diuraikan sebelumnya. Lebih jauh lagi, untuk menemukan metodologi pembelajaran kitab Ta’līm al-Muta’allim yang tepat, yang bisa mensinkronkan antara pemahaman kita tentang al-Zarnūjī dan karya monumentalnya dengan tradisi yang berkembang di pesantren kita dewasa ini.

Sebagaimana terekam dalam sejarah, Islam mulai memasuki kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pertumbuhan dan perluasan kerajaan Hindu Majapahit. Kontak yang intensif antara orang Jawa dengan para pedagang Muslim India terus – menerus terjadi selama dekade ini. Hal ini menyebabkan tumbuhnya masyarakat Islam di Jawa. Hingga kemudian ketika kerajaan Majapahit redup, Islam menjadi senjata bagi perkembangan kekuasaan Demak.35

Afiliasi budaya Jawa dengan ajaran – ajaran agama Islam inilah yang kemudian melahirkan sebuah agama baru. Jenis agama ini, pada hakikatnya adalah bentuk paling “toleran” dari Islam. Ini dikarenakan inklusifitasnya terhadap ragam kebudayaan asli dan elastisitas ajaran – ajaran yang disampaikan. Para Walisongo, sebagai penyebar utama Islam di daerah Jawa, menghadirkan agama Islam sebagai barang baru yang menarik dan bisa diterima. Mereka – dalam da’wah yang dilakukan – lebih mementingkan esensi dan makna – makna intuitif dari pada bentuk “kasar” dari sebuah tata cara peribadatan. Begitulah, penyebaran agama Islam di Jawa. Dan

35 Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren...hal. 11

17 | P a g e

Page 18: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

agaknya, hal serupa juga terjadi di seantero penjuru nusantara, di mana Islam yang diterima merupakan gabungan dari kultur asli yang telah “dimodifikasi”.

Fakta ini pada akhirnya, melahirkan dua golongan Muslim di negara kita. Golongan pertama adalah kaum abangan yang menjalankan Islam sebagaimana tersebut di atas. Sedangkan golongan ke-dua adalah orang – orang yang memiliki pengetahuan tentang Islam lebih dalam yang telah mampu membedakan antara ajaran islam yang berasal dari budaya asli mereka dan yang bukan. Namun, tidak berarti kelompok ini tidak mau melebur dengan budaya – budaya hasil “pencampuran” tersebut. Justru dengan mengetahui lebih dalam tentang agama mereka, baik sumber maupun nilai yang terkandung di dalamnya, kelompok tersebut menjadi lebih arif untuk memilah – milah mana tradisi yang layak diteruskan dan mana yang tidak.

Dikarenakan lamanya proses afiliasi serta telah kuatnya faham – faham yang telah termodifikasi tersebut berkembang dalam masyarakat, tidak ada garis yang jelas untuk mengklaim seseorang termasuk kelompok yang pertama atau yang kedua. Sehingga tidak mustahil faham – faham baru ini ada dan berkembang dalam tradisi pesantren. Di antaranya tentang hubungan murid dengan guru, ustādz maupun kiyainya.

Harus diakui, bahwa tradisi hormat terhadap guru ataupun kiyai -meskipun dianggap berlebihan oleh kalangan luar pesantren- merupakan jargon yang sering dibanggakan oleh para akademisi di Pesantren itu sendiri. Mencium tangan guru, senantiasa berkata sopan dan dengan nada yang pelan ketika berbicara dengannya, serta selalu berusaha mentaati apapun perintahnya. Tradisi ini, adalah bentuk yang wajar dari sebuah ekspresi kekaguman terhadap para guru (baca : ahl al-‘ilm).

Mengenai pola hubungan (antara guru dan murid pen.) yang sedemikian erat di dalam lembaga pesantren ini, pada awalnya ada yang mengaitkannya dengan tradisi Hinduisme di India, di mana seorang brahmana biasa memiliki padepokan yang terpencil letaknya. Di situlah ia hidup berdampingan dengan muridnya, ia mengajarkan hidup sederhana, serta jauh dari kehidupan mewah.

Ada juga yang berpendapat bahwa di Baghdad sendiri, telah terdapat pola pendidikan semacam itu. Yaitu ketika Baghdad berada dalam kekuasaan Islam. Dan ada pula yang mengaitkan

18 | P a g e

Page 19: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

bentuk Pondok Pesantren dengan suffah Rasulullah SAW, sebuah tempat di samping masjid nabawi yang digunakan oleh beberapa sahabatnya untuk tinggal dan menetap.36

Meskipun berbeda satu dengan yang lain, kesemua teori ini menghasilkan kesimpulan yang sama : adanya rasa hormat seorang murid kepada gurunya, karena kekagumannya terhadap guru tersebut, dan pengakuannya akan kredibilitas akal maupun kwalitas spiritual yang dimilikinya.

Jadi, meskipun budaya Ta’dhīm al-Syuyūkh bisa jadi berasal dari tradisi Hindu Jawa pra-Islam, bukan berarti ia – dengan bentuknya sekarang – salah dan mesti dihapuskan. Budaya ini adalah sesuatu yang sarat nilai positif selama tidak dilakukan dengan didasari keyakinan yang salah dan diaplikasikan dalam bentuk penghormatan yang berlebihan.

Adapun konsep Ta’dhīm al-Syuyūkh dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim sama sekali tidak berkaitan dengan justifikasi terhadap budaya Hindu-Jawa tadi. Kitab ini diselesaikan untuk menyadarkan para penuntut ilmu akan adanya sisi (yang benar – benar) lain dari apa yang mereka pahami selama ini. Yaitu bahwa di dalam proses belajar terdapat unsur – unsur ilahī yang sakral. Belajar bukan hanya memenuhi kebutuhan akal pikiran, tetapi juga mencari cahaya – cahaya Tuhan (baca : Nūr Allah). Yang tentu saja, hanya bisa didapatkan dengan kesalehan menyuluruh baik dalam perilaku pribadi seorang penuntut ilmu, pemahaman – pemahamannya tentang ilmu itu sendiri, serta etika berinteraksi dengan guru dan teman – temannya.

Jika pada aplikasi lahiriyyah nya, terdapat kemiripan antara ajaran kitab ini dengan tradisi Hindu –Jawa, hal tersebut hanyalah sebuah kebetulan saja. Yang terpenting adalah, nilai – nilai sebenarnya dari apa yang diutarakan al-Zarnūjī dalam kitabnya sangat berbeda dengan nilai – nilai dalam tradisi budaya Hindu – Jawa tersebut.

Begitulah, dapat disimpulkan bahwa tradisi Ta’dhīm al-Syuyūkh di kalangan komunitas pesantren adalah sesuatu tang lumrah dan sudah sewajarnya, jika dilihat dari historisitas tradisi tersebut serta nilai – nilai moral relegius di dalamnya. Tradisi ini harus dilestarikan sepanjang tidak menjadi sebuah pengkultusan.

36 Lihat : Abdul Hadi, Sikap dan Tradisi Keilmuan Pesantren, dalam ed. Abdul Munir Mulkhan, Religiusitas Iptek,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998) hal.140

19 | P a g e

Page 20: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

D. Rekonstruksi Metode Pembelajaran kitab Ta’līm al-Muta’allim di PesantrenPembahasan terakhir ini adalah sebuah analisis lanjutan

tentang temuan – temuan baru yang telah dipaparkan dalam makalah ini. Dalam pembahasan ini, akan dipaparkan pandangan serta koreksi penulis tentang proses pembelajaran kitab Ta’līm al-Muta’allim yang selama ini berlangsung di pesantren – pesantren kita.

Sebenarnya, “laris – manis”nya kitab ini di kalangan pesantren, tak lepas dari kondisi pesantren yang merupakan basis kegiatan relegius. Dalam kehidupan pesantren misalnya, kehidupan sufistiklah yang diterapkan. Corak ini kurang memperhatikan epistemologi yang bersifat empirik dan rasional.37 Corak ini dapat terlihat dari sendi – sendi pesantren yang mengajarkan keikhalasan dan kesederhanaan penghuninya.

Pesantren juga salah satu model lembaga pendidikan yang menyeimbangkan antara ilmu pengetahuan rasional dengan nilai – nilai keagamaan. Lihatlah misalnya jargon yang selalu diunggulkan oleh komunitas pesantren: al-‘ilmu bilā ‘amalin ka al-Syajari bilā tsamarin. Bahwa ilmu yang tidak disertai dengan pengamalan, adalah bagai pohon yang tak berbuah. Jargon ini yang menjadi dasar ideologi para santri ketika mereka memulai proses menimba ilmu di pesantren tersebut. Dalam pandangan para praktisi pendidikan di pesantren, mendapatkan ilmu yang sedikit tetapi dapat diamalkan dan diambli manfaatnya, lebih baik dari belajar banyak hal, tetapi tidak bisa diamalkan.

Singkat kata, Kitab ini dengan mudah dapat diterima oleh kalangan santri dan pesantren karena ia mampu membendung pengaruh rasionalisme. Menurut pandangan Barat, ilmu adalah kekuasaan (Power), sedang dalam pandangan pendidikan Islam, mencari ilmu adalah ibadah.

Pertanyaannya kemudian, apakah proses pengajaran kitab Ta’līm al-Muta’allim selama ini sudah efektif dan mampu menjabarkan esensi – esensi legal-etis-sufistik sebagaimana yang dimaksud pengarang kitab tersebut ?

Paling tidak, ada dua permasalahan pokok yang berkaitan dengan pertanyaan mendasar di atas. Pertama, meskipun

37 Abdul Hadi, Sikap dan Tradisi Keilmuan…hal.145

20 | P a g e

Page 21: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

mengakui bahwa isi – isi kitab ini berbau sufistik, namun para pengajar kitab ini umumnya menganggap kitab Ta’līm al-Muta’allim ini sebagai sebuah kitab akhlak yang memiliki rumusan – rumusan etika yang baku dan final. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan sejarah yang dimiliki oleh ustadz/ guru tersebut. Ini akan mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang “tidak sehat”, di mana pengajaran kitab akan menjadi sebuah proses doktrinasi faham – faham keras dan kolot.

Kedua, ketidak mampuan pengajar kitab tersebut melakukan kontekstualisasi pemahaman mengenai apa – apa yang tersurat dalam kitab ini. ketidak mampuan ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya pengetahuan yang dimiliki mengenai historisitas maupun konsep – konsep kontekstualisasi itu sendiri ataupun disebabkan kecanggungan para guru tersebut untuk mendobrak tradisi yang telah lama berjalan di pesantren. Implikasinya, sisi – sisi sufistik yang tak ternalar akan ditangkap para santri sebagai nilai – nilai tahayyul yang tak lebih dari sekedar dongeng kosong belaka atau pengetahuan sepi dari nilai – nilai moral.

Menjawab permasalahan ini, ada dua hal yang idealnya dilakukan oleh para praktisi pendidikan di pesantren. Pertama, dalam permulaan proses pengajaran kitab Ta’līm al-Muta’allim, seorang guru harus menerangkan lebih dahulu tentang sosok al-Zarnūjī, serta corak pemikiran yang dianutnya agar santri – santri dapat memahami bagaimana mereka seharusnya mengkaji kitab ini. Kedua, seorang guru harus mampu mengkontekstualisasikan nilai – nilai yang terdapat dalam kitab ini ke dalam kondisi riil kehidupan sekarang. Dua hal penting ini tentu saja hanya dapat dilakukan jika para pengajar kitab memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang hal – hal tersebut. Oleh karena itu, sangat penting dilakukan proses pemilihan guru yang selektif dan tepat.A. Kesimpulan

Harus diakui, bahwa tradisi Pesantren yang menempatkan posisi kiyai sedemikian tinggi dan kokoh menjadikan terciptanya struktur sosial yang dikotomik dalam pesantren. Kiyai dan bahkan keluarganya berada pada posisi yang berkuasa dan dominan. Sementara santri pada posisi dikuasai dan dormant.38.

38Baca :Posisi Kiyai dalam pengembangan Tradisi Pesantren, dalam ed. Abdul Munir Mulkhan, Religiusitas Iptek, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998) hal 177

21 | P a g e

Page 22: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

ini adalah bentuk sederhana aplikasi riil konsep Ta’dhīm al-Syuyūkh di kalangan pesantren. Hal ini tentu sah – sah saja, jika kiyai tersebut mampu memainkan perannya sebagai seorang pemimpin agama dan pemimpin lembaga39.

Ulasan panjang dari karya tulis ini memberikan beberapa konklusi penting. Penjabarannya adalah sebagaimana berikut :

Sosok al-Zarnūjī, seorang pengarang kitab Ta’līm al-Muta’allim adalah seorang ulama’ besar abad ke-6 H. ia adalah urhān al-dīn al-Zarnūjī dan Tāj al-dīn al-Zarnūjī. Sebutan al-Zarnūjī diambil dari daerah tempat dia berasal, yaitu Zarnūj, sebuah kota di daerah Warā’a al-nahr (Turkisan Timur). Selain sebagai filosof, juga dikenal sebagai seorang praktisi pendidikan sekaligus sufi. ia juga seorang tokoh madzhab hanafi

Penulisan kitab Ta’līm al-Muta’allim terikat kuat dengan kondisi sosial-kultural di sekitar al-Zarnūjī serta apa saja motivasinya dalam penyusunan kitab tersebut. Sejarah mencatat bahwa pada permulaan abad ke-6, umat Islam sedang berada di puncak keemasan dan kejayaan bidang keilmuan dan peradaban. Hanya saja, kemajuan ini juga mewariskan sesuatu yang buruk bagi peradaban umat islam. Modernisasi dan liberasi ilmu pengetahuan yang terjadi menjadikan kecenderungan umat Islam untuk berpandangan dan bersikap materialistis, empiris, rasional murni dan kuantitatif. Inilah yang menjadi motivasi utama al-Zarnūjī dalam penulisan kitabnya. Ia ingin mengungangkan keprihatinannya atas perilaku para akademisi muslim yang jauh dari nilai – nilai agama Islam. Implikasinya, akan banyak ditemukan etika – etika yang bernilai sufistik dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim tersebut.

Menurut al-Zarnūjī, pendidikan yang ideal adalah yang mampu mensinergikan antara kebutuhan mencari ilmu sebagai

39 Kebanyakan penulis tentang islam Tradisional telah keliru dalam menyimpulkan bahwa modernisasi telah menyebabkan peranan kiyai tidak diperlukan lagi. Bahwa ada yang menyimpulkan keberadaan kiyai sebagai penghambat bagi laju modernisasi tersebut. Kekeliruan ini disebabkan oleh dua hal : (1)mereka mengira bahwa nilai – nilai spiritual yang dipegang dan dianjuran oleh para kiyai tidak lagi relevan dengan kehidupan modern; dan (2) bahwa seorang kiyai tidak mampu menerjemahkan nilai – nilai spiritual tradisional tersebut bagi pemuasan kebutuhan – kebutuhan kehidupan modern.Islam tradisional yang dimaksud adalahIslam yang masih terikat kuat dengan pikiran – pikiran para ahli fikih (hukum Islam), hadis, tafsir, tauhid dan tasawwuf yang hidup antara abad ke-7 hingga 13. Lihat : Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren...hal. 173

22 | P a g e

Page 23: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

sebuah pekerjaan duniawi dan sebagai ibadah yang ukhrawi. Karenanya, pensucian proses pencarian ilmu ini mesti dimulai dari persepsi – persepsi yang benar tentang barākah, ilmu maupun guru.

Bagi al-Zarnūjī, guru adalah manifestasi pembimbing, pemberi petunjuk sekaligus Bapak bagi seseorang yang mencari ilmu – ilmu agama. Sehingga ia harus dihormati sedemikian rupa. Ini bukan berarti, bahwa dia setuju dengan penghormatan seseorang kepada gurunya yang berlebihan. Akan tetapi yang ingin disampaikan adalah sebuah konsep penghormatan (Ta’dhīm al-Syuyūkh) yang bersumber dari jiwa maupun raga.

Jika demikian, penerapan konsep Ta’dhīm al-Syuyūkh yang berupa keharusan bagi seorang murid untuk bersikap hormat kepada gurunya adalah sudah sewajarnya. Ini karena tradisi ini sarat dengan nilai – nilai moral-relegius, dengan catatan bahwa nilai ideal – moral nya sajalah yang selayaknya dipertahankan. Artinya, tidak ada keharusan bagi seorang santri untuk mengamalkan aturan – aturan yang diberlakukan oleh al-Zarnūjī tentang tata cara menghormati Syuyūkh, karena aturan – aturan itu disusun oleh al-Zarnūjī dengan berkaca pada tradisi masyarakat pada waktu itu.

Adapun tentang proses pembelajaran kitab Ta’līm al-muta’allim yang selama ini terjadi di pesantren kita, masih belum menerapkan model yang tepat.

Masalahnya terletak pada : Pertama, masih banyaknya pengajar kitab ini yang menganggap kitab Ta’līm al-Muta’allim ini sebagai sebuah kitab akhlak yang memiliki rumusan – rumusan etika yang baku dan final. Dan kedua, ketidak mampuan pengajar kitab melakukan kontekstualisasi pemahaman mengenai apa – apa yang tersurat dalam kitab ini. Dua masalah ini menuntut adanya komitmen bersama dari para praktisi pendidikan di pesantren untuk penyelesaiannya. Perbaikan yang dilakukan harus total, meliputi perbaikan SDM, kurikulum serta pola pikir masyarakatnya.B. Saran – saran

Menarik dicermati, dari sekian teori tentang asal – usul istilah “santri”, ada yang mengatakan bahwa akar kata “santri” berasal dari bahasa sansekerta, “sastri” yang berarti melek huruf.40

40 Baca : Menurut pendapat ini, pada awal permulaan tumbuhnya kekuasaan politik kerajaan Demak, kaum santri adalah kaum literary orang

23 | P a g e

Page 24: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

Dalam bahasa yang lebih modern : progresif dan intelek. Sebagai usaha mewujudkan cita – cita tersebut sekaligus sebagai penjabaran inti – inti karya ini ke dalam bentuk langkah – langkah riil, berikut dua hal yang urgen untuk ditindak lanjuti oleh para praktisi pendidikan di Pesantren.:

Pertama, peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia) di pesantren. Guru yang mengajarkan kitab ini, harus mereka yang memiliki kompetensi yang mumpuni dan mempunyai pengetahuan tentang kitab Ta’līm Muta’allim yang cukup dan benar. Informasi – informasi sebagaimana yang diutarakan panjang lebar dalam makalah ini, adalah urgen dan selayaknya dikuasai oleh guru tersebut. Peningkatan SDM ini meliputi peningkatan kapabilitas dalam memahami historisitas al-Zarnūjī, maupun dalam mengkontekstualisasikan nilai – nilai yang terdapat dalam kitab ini ke dalam kondisi riil kehidupan sekarang.

Kedua, perlu digalakkannya tipikal pendidikan pesantren yang inklusif dan terbuka terhadap banyak ragam pengetahuan baru yang muncul. Karena pendidikan yang tepat adalah yang mampu mensinergikan antara kebutuhan dunia dan akhirat. Corak – corak sufisme yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan liberasi ilmu pengetahuan dalam komunitas tersebut, akan menghasilkan figur – figur yang kolot dan rigid. Sebaliknya, jika kajian – kajian kitab berbau sufi ini dihilangkan, sebagaimana yang kini tampak pada beberapa pesantren modern, kekhawatiran al-Zarnūjī tentang terbentuknya generasi materialis rasional sangat mungkin menjadi sebuah kenyataan.

Ketiga, para pemimpin pesantren hendaknya tidak bersikap “kaku” dengan mempertahankan semua tradisi yang ada. Adanya upaya untuk membaca dan mengkaji kembali bermacam – macam tradisi ini, dengan menganalisa implikasi serta nilai – nilai yang terkandung di dalamnya, akan sangat berguna bagi pengembangan pondok pesantren tersebut. Harus ada keberanian untuk bersikap selektif dalam memilah – milah mana tradisi yang baik dan harus diteruskan dan mana yang kurang pas dan sebaiknya ditinggalkan.

Keempat, perlunya upaya pesantren untuk meningkatkan sikap kritis para santrinya, terutama dalam permasalahan

Jawa disebabkan pengetahuan mereka tentang kitab – kitab berbahasa Arab.Nurcholis Madjid, Bilik – bilik Pesantren...hal. 19

24 | P a g e

Page 25: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

akademik. Hal ini bisa dilakukan dengan memaksimalkan forum – forum diskusi yang telah ada, diadakannya lomba – lomba, atau seminar - seminar yang berbasis ilmu pengetahuan.

Terakhir, makalah ini terselesaikan dengan keyakinan penulis bahwa masih banyak imajinasi lain yang masih sangat diperlukan untuk memperkaya analisa – analisa lebih lanjut.

Daftar PustakaArif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta : LKis,

2008.Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan

Praktek,, Jakarta : Reneka Cipta, 1993.Athiyullah, Ahmad, al-Qāmūs al-Islāmī, vol. 3, Kairo : Maktabah al-

Nahdhah al-Mishriyyah, 1970.Bakker, Anton dan A. Charles Zubair, Metodologi Penelitian

Filsafat, Yogyakarta : Kanisius, 1990.Bawani, Imam, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam,

Surabaya : Penerbit al-Ikhlas, 1993.CD ROM. al-Maktabah al-Syamilah, Global Islamic Software :

1997.Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren (Studi tentang

pandangan hidup kiyai), Jakarta : LP3ES, 1982.Hadi, Abdul, Sikap dan Tradisi Keilmuan Pesantren, dalam ed.

Abdul Munir Mulkhan, Religiusitas Iptek, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998.

Hasymi, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979.

Ilyas, Hamim, Kontekstualisai hadis dalam Studi Agama, dalam ed. Hamim Ilyas, Suryadi, Wacana Studi Hadis Kontemporer, Yogyakarta : PT Tiara Wacana, tt.

Madjid, Nurcholis, Bilik – bilik Pesantren (Sebuah potret perjalanan), Jakarta : Penerbit Paramadina, 1997.

Mulkhan, Abdul munir, Religiusitas Iptek, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998)

Munawiroh, Pergeseran Literatur Pesantren Salafiyyah, Jakarta : Puslitbang Lektur Keagamaan badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2007.

Munawwir, A. Warson, Kamus al-Munawwir, Surabaya : Pustaka Progressif, 2002.

25 | P a g e

Page 26: Kajian Kitab Ta'lim Muta'allim.doc

Plessner, M., al-Zarnūjī, dalam Ahmad al-Syantanāwī, dkk (ed.), Dāirah Ma’ārif al-Islāmiyyah, juz X , Beirut : Dāirah al-Ma’ārif,tt.

Syalabī, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid III, Jakarta : Pustaka al-Husnā, 1988.

al-Qaradhawy, Yusuf, Bagaimana memahami hadis Nabi SAW, terj. Muhammad al-Baqir, Bandung : Kharisma, 1997.

Van Bruienessen, Martin, Kitab Kuning (Pesantren dan Tarekat, Tradisi – Tradisi Islam di Indonesia), Bandung: Penerbit Mizan, 1995.

al-Zarnūjī, Ta’līm al-muta’allim, Semarang : Pustaka al-‘alāwiyyah, tt.

26 | P a g e