kajian kebijakan persaingan usaha di sektor...
TRANSCRIPT
Kajian kebi jakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan
PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA
2016
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan berkat, kasih dan rahmat-Nya sehingga Tim Peneliti Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri dapat menyelesaikan Laporan “Kajian Kebijakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan” tepat pada waktunya.
Sektor perunggasan merupakan ujung tombak dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi hewani. Produk unggas memberi kontribusi terhadap konsumsi protein sebesar 11,00% (Susenas, 2011), dan berkontribusi terhadap konsumsi protein hewani sebesar 60,73% (Bahri, 2008). Hasil studi awal Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan tingkat margin di antara pelaku usaha di setiap rantai pasok ayam broiler. Distribusi margin yang tidak wajar ini dinilai sebagai suatu anomali karena dalam kondisi penurunan tingkat permintaan atau terjadinya over-supply, posisi peternak selalu dirugikan yang diindikasikan tingkat margin yang negatif. Pada saat yang bersamaan, harga jual ayam broiler di peternak turun, ternyata harga jual pedagang eceran (tingkat konsumen) tidak otomatis ikut turun, justru harga di tingkat konsumen tetap pada tingkat harga yang tinggi. Hal inilah yang menjadi dugaan awal bahwa terjadi persaingan usaha yang tidak sehat antar pelaku usaha dalam rantai distribusi atau pemasaran ayam broiler.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, kajian ini dilakukan untuk menganalisis besaran harga yang wajar di tingkat peternak melalui estimasi biaya pokok produksi peternak serta menguji indikasi terjadinya persaingan usaha tidak sehat antar pelaku usaha dalam rantai distribusi ayam broiler dengan melihat struktur, perilaku pasar dan kinerja system distribusinya. Melalui kajian ini diharapkan dapat dirumuskan kebijakan yang kondusif bagi berkembangnya industri perunggasan broiler dari hulu hingga hilir secara berkeadilan.
Disadari bahwa laporan ini masih belum sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan analisis berikutnya. Dalam kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai penutup, semoga hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan pimpinan serta bahan masukan untuk perumusan kebijakan komoditi perunggasan secara umum dan ayam broiler khususnya.
Jakarta, Oktober 2016 Pusat Pengkajian Perdagangan Dalam Negeri
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan ii
ABSTRAK Kajian Kebijakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan
Sektor perunggasan merupakan ujung tombak dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi hewani. Hasil studi awal Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan tingkat margin antara pelaku usaha di rantai pasok ayam broiler yang menjadi dugaan awal terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Kajian ini bertujuan (a) menghitung biaya pokok produksi peternak, (b) menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri ayam broiler serta (c) merumuskan usulan kebijakan yang mendorong efisiensi industri ayam broiler demi keberlangsungan usaha peternakan rakyat mandiri. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah struktur biaya produksi dan Structure Conduct Performance (SCP). Hasil analisis menunjukkan secara umum struktur pasar ayam broiler pada masing-masing level pelaku usaha lebih mengarah ke pasar oligopoli kecuali pedagang pengecer yang lebih mengarah pada pasar monopolistik. Harga broiler di tingkat peternak dan di tingkat pedagang pengecer besar (grosir) tidak terintegrasi secara baik. Pembentukan harga broiler hidup di tingkat produsen sangat ditentukan oleh kekuatan oligopoli yang cenderung ke bentuk kartel perusahaan peternakan skala besar melalui penentuan harga posko oleh asosiasi sebagai harga patokan. Pada pasar broiler hidup, pengaruh faktor penawaran dan permintaan relatif kecil. Sementara, pembentukan harga daging ayam di tingkat pasar eceran (ritel) selain dipengaruhi oleh kekuatan oligopoli perusahaan peternakan skala besar, faktor kekuatan penawaran (suppy) dan permintaan (demand) masih cukup berpengaruh (signifikan). Rekomendasi dari kajian ini adalah perlu (a) melakukan perbaikan struktur pasar agar lebih kompetitif; (b) menyeimbangkan sebaran margin pemasaran di antara pelaku usaha berdasarkan kontribusi sesuai biaya pemasaran dan resiko yang dihadapi; (c) meningkatkan transmisi harga dari pedagang pengecer ke pedagang besar dan selanjutnya ke perternak melalui peningkatan akses informasi pasar secara transparan; dan (d) memperpendek rantai distribusi. Kata kunci: persaingan usaha, integrasi harga, sektor perunggasan, ayam broiler
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan iii
ABSTRACT Study on the Policy of Business Competition in the Poultry Sector
Poultry sector is the spearhead of consumption of food from animal sources. Initial studies by Business Competition Supervisory Commission (KPPU) indicates that there is imbalance in the level of margin among businesses actors in the supply chain of broiler meat that lead to the alleged of unfair business competition practice. This study aims are (a) calculating the production cost of farmers, (b) analyzing the structure, conduct and performance of broiler meat industry and (c) to formulate policy proposals that promote the efficiency of broiler meat industry for the sake of business continuity of independent farmer. The approach used in this study were the production cost structure and Structure Conduct Performance (SCP). The analysis shows that the general structure of the broiler meat market at each level of businesses leads to an oligopoly market except at retail level that is monopolistic market. Broiler price at the farmer level and at the wholesale level is not well integrated. Price of live broiler at the producer level is determined by the power of an oligopoly that performed by large-scale farms cartel company through reference price determined by association. The influences of supply and demand factors are relatively small on live broiler market. Meanwhile, the price formations of chicken meat at the retail market are affected by the power of the oligopoly of farms from large-scale companies, power of supply and demand. The recommendation of this study are (a) market structure improvements to make it more competitive; (b) balancing the distribution of marketing margins between business actors based on contributions of marketing costs and risk; (C) improving price transmission from retailers to wholesalers and then to farmers through improving access to market information in a transparent manner; and (d) shortening the distribution chain. Keywords: business competition, the integration of price, the poultry sector, broilers
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... iABSTRAK .................................................................................................. iiABSTRACT ............................................................................................... iiiDAFTAR ISI ............................................................................................... ivDAFTAR TABEL ....................................................................................... viBAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang....................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3. Tujuan...................................................................................................................4
1.4. Keluaran...............................................................................................................4
1.5. Manfaat................................................................................................................5
1.6. Ruang Lingkup....................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ........................ 62.1. Perkembangan Kebijakan Terkait Perunggasan (Struktur Biaya,
pemasaran dan persaingan usaha...................................................................6
2.2. Tinjauan Konseptual Persaingan Usaha.......................................................11
2.3. Biaya Pokok Produksi dan Harga Produk Unggas Indonesia....................16
2.4. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Sektor Unggas Indonesia................19
2.5. Kerangka Pemikiran.........................................................................................22
BAB III METODE PENGKAJIAN ............................................................ 233.1. Metode Analisis.................................................................................................23
3.1.1. Analisis Struktur Biaya Pokok Produksi Peternak Kemitraan dan Peternak Mandiri.......................................................................................23
3.1.2. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Distribusi Ayam Broiler dengan Pendekatan Structure, Conduct and Performance (SCP)..................25
3.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data..........................................313.2.1. Data dan Sumber Data.............................................................................31
3.2.2. Metode Pengumpulan Data.....................................................................31
3.2.3. PerencanaanSampling............................................................................32
BAB IV ANALISIS BIAYA PRODUKSI DAN PERSAINGAN USAHA PADA DISTRIBUSI AYAM BROILER ......................................... 34
4.1. Karakteristik dan Struktur Pasar Perdagangan Ayam Broiler di Beberapa Wilayah di Indonesia........................................................................................34
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan v
4.1.1. Karakteristik Perdagangan Ayam Broiler...............................................35
4.1.2. Parameter Teknis dan Ekonomi Usaha Ternak Broiler.......................50
4.1.3. Struktur Pasar Dalam Distribusi Ayam Broiler......................................55
4.2. Kinerja Usaha Ternak Broiler dan Sistem Distribusi....................................594.2.1. Analisis Usaha Ternak Broiler.................................................................59
4.2.2. Saluran Distribusi dan Pemasaran Broiler............................................65
4.2.3. Analisis Margin Tataniaga Ayam Broiler................................................74
4.3.1. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Jawa Timur.........................................92
4.3.2. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Sumatera Barat..................................97
4.3.3. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Bali.....................................................102
4.3.4. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Kalimantan Timur.............................107
4.3.5. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Jawa Barat........................................113
4.3.6. Variasi Pergerakan Harga Ayam Broiler dan Margin di Peternak dan Pengecer di Beberapa Wilayah.............................................................118
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................................... 1225.1. Kesimpulan......................................................................................................122
5.2. Rekomendasi...................................................................................................125
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 126LAMPIRAN
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan vi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Lima Jenis Pasar pada Sistem Produk Pangan dan Serat .................. 13 Tabel 2.2 Perbandingan Biaya Produksi, Harga Pakan dan Harga DOC di
Negara ASEAN .................................................................................... 19 Tabel 3.1 Sebaran, Cakupan dan Jumlah Responden di Lima Provinsi,
Indonesia, 2016 ................................................................................... 33 Tabel 4.1 Kinerja Usahaternak Broiler berdasarkan Pola Usaha, Tahun 2016 .. 53 Tabel 4.2 Struktur Pasar Broiler ........................................................................... 56 Tabel 4.3 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mandiri, (Per Siklus),
Tahun 2016 .......................................................................................... 61 Tabel 4.4 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mitra Internal, (Per Siklus),
Tahun 2016 .......................................................................................... 63 Tabel 4.5 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mitra Eksternal, (Per Siklus),
Tahun 2016 .......................................................................................... 64 Tabel 4.6 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui
Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Mandiri di Provinsi Bali, 2016 ........................................................................... 75
Tabel 4.7 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Jawa Timur, 2016 ............................................................... 77
Tabel 4.8 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Sumatera Barat, 2016 ............................................................ 79
Tabel 4.9 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Kalimantan Timur, 2016 ......................................................... 81
Tabel 4.10 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Eksternal di Provinsi Kalimantan Timur, 2016 ................................... 83
Tabel 4.11 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Mandiri di Jawa Barat, 2016 ....................... 86
Tabel 4.12 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Kemitraan Usaha Internal di Jawa Barat, 2016 ................ 87
Tabel 4.13 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Kemitraan Usaha Eksternal di Jawa Barat, 2016 ............. 89
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kurva Permintaan dan Kurva Biaya Perusahaan Oligopoli ............. 15 Gambar 2.2 Struktur Biaya Perusahaan Monopoli .............................................. 16 Gambar 2.3 Perkembangan Harga Eceran Daging Ayam Broiler ....................... 18 Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Kajian .............................................................. 22 Gambar 3.1 Hubungan Sebab Akibat Antara Struktur, Perilaku dan Kinerja ....... 25 Gambar 4.1 Saluran distribusi Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada
Pola Usaha Ternak Mandiri. .............................................................. 68 Gambar 4.2 Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada
Pola Kemitraan Usaha Internal ......................................................... 71 Gambar 4.3 Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada
Pola Kemitraan Usaha Eksternal ...................................................... 72 Gambar 4.4 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Surabaya ........... 119 Gambar 4.5 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Padang .............. 119 Gambar 4.6 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Denpasar .......... 120 Gambar 4.7 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Samarinda ......... 121
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 1
1. BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sub sektor peternakan merupakan basis ekonomi yang berpotensi
tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Salah satu sub
sektor peternakan yang mengalami pertumbuhan pesat adalah sektor
perunggasan. Sektor perunggasan merupakan ujung tombak dalam
pemenuhan kebutuhan konsumsi hewani. Produk unggas memberi
kontribusi terhadap konsumsi protein sebesar 11,00% (Susenas, 2011),
dan berkontribusi terhadap konsumsi protein hewani sebesar 60,73%
(Bahri, 2008). Selain itu, sektor perunggasan telah menyerap tenaga
kerja lebih dari 1000 orang per tahun.
Pertumbuhan produksi unggas cukup prospektif dan progresif. Hal
ini dapat dilihat dari pertumbuhan produksi yang cenderung naik dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2014, produksi ayam broiler dari
perusahaan besar (terintegrasi) yang menguasai pasar lebih dari 85%
telah mencapai lebih dari 2,5 juta ton (GPPU, 2014). Sementara
kebutuhan hanya sebesar 2,3 juta ton. Hal ini berarti kebutuhan daging
ayam broiler dapat dipenuhi dari dalam negeri (self sufficient). Dari
aspek permintaan, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap produk
unggas terutama daging ayam cenderung naik rata-rata sekitar 9,3%
per tahun (Susenas Tahun 2013, diolah Puska Dagri, 2013).
Meski mengalami pertumbuhan cukup baik, namun kondisi industri
peternakan unggas di Indonesia dapat dikatakan belum mencapai
tahapan keunggulan kompetitif dibandingkan negara Asia lainnya
seperti Thailand, Malaysia dan Korea Selatan. Selain itu, Indonesia juga
termasuk negara net importer untuk produk input unggas seperti bibit
DOC, bahan baku pakan dan obat-obatan.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 2
Meski demikian, produktivitas dalam sektor perunggasan masih
dapat ditingkatkan. Sumber-sumber pertumbuhan produktivitas usaha
perunggasan berasal dari perubahan teknologi, peningkatan efisiensi
dan melalui pengembangan skala usaha (Coelli et al., 1998). Ketiga hal
tersebut dapat dilakukan melalui sistem industri perunggasan
terintegrasi baik integrasi vertikal oleh perusahaan peternakan maupun
melalui kemitraan usaha. Di Indonesia industri perunggasan terintegrasi
melalui dua pola tersebut telah menguasai lebih dari 85% pangsa pasar
di dalam negeri. Selebihnya, yakni usaha peternakan rakyat mandiri
hanya mengisi 15%.
Mengingat struktur industri usaha peternakan unggas broiler di
Indonesia sudah dominan dijalankan oleh perusahaan terintegrasi yang
dapat dikatakan relatif lebih efisien, maka seharusnya harga ayam
broiler di tingkat konsumen dapat lebih kompetitif. Namun demikian,
perkembangan harga daging ayam mengalami peningkatan dari waktu
ke waktu walaupun dari sisi pasokan terjadi peningkatan produksi ayam
broiler (Fitriani et al, 2014).
1.2. Rumusan Masalah
Dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh industri
perunggasan, beberapa diantaranya adalah: (a) Masalah penyediaan
bahan baku pakan industri perunggasan, dimana sebagian besar bahan
baku pakan ternak harus diimpor. Untuk impor jagung mencapai 12,5%
dari total produksi jagung nasional, bungkil kedelai sebesar 95%, tepung
ikan 90-92%, serta tepung tulang dan vitamin/feed additive hampir
100%; (b) Adanya indikasi terjadinya ketimpangan struktur pasar baik
pada pasar input maupun pasar output yang menempatkan peternak
kecil dalam posisi lemah; (c) Pola Kemitraan usaha (contract farming)
perunggasan belum berjalan secara optimal dimana peternak plasma
belum sepenuhnya diuntungkan; (d) Rentannya Industri perunggasan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 3
komersial terhadap gejolak eksternal, seperti krisis ekonomi, wabah
penyakit ternak seperti flu burung (Avian Influenza/AI), dan krisis
finansial global; dan (e) Pelaku usaha industri perunggasan dihadapkan
pada kenaikan harga sarana produksi peternakan (sapronak) dan
konsumen dihadapkan pada fluktuasi harga broiler yang tinggi.
Dari permasalahan tersebut di atas, permasalahan yang cukup
menonjol dan menjadi fokus penelitian adalah adanya indikasi ketimpangan struktur pasar pada pasar output yang pada akhirnya
menempatkan peternak mandiri dan peternak plasma dalam posisi
lemah. Peternak mandiri dan peternak plasma juga dihadapkan pada
kenaikan sapronak dan harga fluktuasi jual broiler yang tinggi.
Sejalan dengan adanya indikasi ketimpangan struktur pasar
unggas, hasil studi awal Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU)
menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan tingkat margin di antara
pelaku usaha di setiap rantai pasok ayam broiler. Distribusi margin yang
tidak wajar ini dinilai sebagai suatu anomali karena dalam kondisi
penurunan tingkat permintaan atau terjadinya over-supply, posisi
peternak selalu dirugikan yang diindikasikan tingkat margin yang
negatif. Pada saat yang bersamaan, yakni pada saat harga jual ayam
broiler di peternak turun, ternyata harga jual pedagang eceran (tingkat
konsumen) tidak otomatis ikut turun, justru harga di tingkat konsumen
tetap pada tingkat harga yang tinggi. Hal inilah yang menjadi dugaan awal bahwa terjadi persaingan usaha yang tidak sehat antar pelaku usaha dalam rantai distribusi atau pemasaran ayam broiler.
Dari konteks perdagangan, permasalahan persaingan usaha ini
dapat menimbulkan inefisiensi perdagangan yang tercermin dalam
tingkat harga yang kurang menguntungkan bagi peternak mandiri dan
peternak plasma serta tingkat harga eceran yang cenderung naik dan
berfluktuatif di tingkat konsumen. Hal ini telah berlangsung cukup lama
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 4
dan diperlukan solusinya agar menghilangkan kekhawatiran terciptanya
ketidakpastian dalam iklim berusaha dan berdampak pada semakin
tergerusnya eksistensi peternak mandiri dan peternak plasma.
Sehubungan dengan permasalahan yang menjadi fokus di atas,
kajian ini dilakukan untuk menganalisis besaran harga yang wajar di
tingkat peternak melalui estimasi biaya pokok produksi peternak serta
menguji indikasi terjadinya persaingan usaha tidak sehat antar pelaku
usaha dalam rantai distribusi ayam broiler dengan melihat struktur,
perilaku pasar dan kinerja system distribusinya. Melalui kajian ini
diharapkan dapat dirumuskan kebijakan yang kondusif bagi
berkembangnya industri perunggasan broiler dari hulu hingga hilir
secara berkeadilan.
1.3. Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah:
a. Menghitung biaya pokok produksi peternak.
b. Menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri ayam broiler.
c. Merumuskan usulan kebijakan yang mendorong efisiensi industri
ayam broiler demi keberlangsungan usaha peternakan rakyat
mandiri.
1.4. Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah:
a. Besaran biaya pokok produksi broiler yang layak bagi peternak
mandiri dan peternak plasma.
b. Hasil analisis struktur, perilaku dan kinerja industri ayam broiler.
c. Rumusan kebijakan yang dapat mendorong efisiensi industri ayam
broilerdemi keberlangsungan usaha peternakan rakyat mandiri.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 5
1.5. Manfaat
a. Kajian ini menjadi rujukan bagi unit teknis di Kementerian
Perdagangan dan kementerian terkait lainnya.
b. Dapat dijadikan bahan referensi bagi akademisi.
1.6. Ruang Lingkup
Analisis dalam kajian ini mencakup 2 aspek/substansi, yaitu:
a. Cakupan Komoditi. Meskipun judul kajian mengenai kebijakan
persaingan usaha di sektor perunggasan, namun komoditi yang
akan dianalisis lebih dalam pada kajian ini adalah ayam broiler.
b. Cakupan Objek Penelitian. Objek yang akan diteliti dalam industri
broiler adalah sistem distribusi ayam broiler meliputi peternak,
pedagang pengumpul ayam hidup, pedagang besar ayam hidup,
rumah potong ayam, supermarket, pedagang eceran daging ayam
dan pelaku-pelaku lain yang terlibat dalam distribusi ayam broiler.
Peternak yang akan diteliti meliputi peternak mandiri, peternak
kemitraan internal (peternak yang bermitra dengan perusahaan
terintegrasi) dan peternak kemitraan eksternal (peternak yang
bermitra dengan perusahaan non terintegrasi atau poultry shop)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 6
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
2.1. Perkembangan Kebijakan Terkait Perunggasan (Struktur Biaya, pemasaran dan persaingan usaha
Perkembangan industri perunggasan Indonesia tidak terlepas
kebijakan pemerintah yang tertuang dalam peraturan atau regulasi
a. UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan
UU No. 6 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Regulasi yang berpengaruh terhadap bisnis perunggasan
pada masa awalnya adalah UU No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pada periode sebelum
diberlakukannya regulasi tersebut, usaha ternak ayam ras bersifat
usaha sampingan atau hobi, dan masih jauh dari jangkauan usah
ekonomi yang berorientasi produksi dan pasar. Secara umum
struktur usaha belum terpisah berdasarkan spesialisasi, karena
semua kegiatan agribisnis bersatu dalam peternakan itu sendiri
mulai dari pembuatan pakan dan pengadaan bibit.
Dalam UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA pemerintah
menerapkan kebijakan menyetujui penanaman modal asing (PMA)
untuk sektor pertanian khususnya peternakan ayam ras. Tujuan
kebijakan ini adalah untuk mempercepat pertumbuhan industri
unggas melalui penanaman modal asing dan transfer teknologi dari
negara maju. Dengan mempercepat laju pertumbuhan diharapkan
usaha-usaha rakyat akan ikut berkembang. Perusahaan asing yang
pertama didirikan adalah perusahaan kerjasama antara Jepang-
Indonesia dalam bidang pembibitan dengan rencana produksi 100
ribu ekor per bulan (Yusdja, Ilham, & Sayuti, Juli 2004). Sedangkan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 7
UU No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN menegaskan bahwa swasta
diberikan kebebasan untuk berusaha/berinvestasi di semua sektor
perekonomian kecuali di bidang-bidang yang menguasai hajat hidup
orang banyak dan strategis. Hal ini pada prinsipnya adalah untuk
merangsang dan mengarahkan daya kreatif dan dinamis
masyarakat kepada usaha-usaha produktif yang dapat
mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia.
b. Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1981 tentang Pembinaan Usaha
Peternakan Ayam
Selanjutnya seiring dengan perkembangan industri
perunggasan skala besar yang mulai menggeser peternak rakyat
pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1981
tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam. Keppres ini melarang
beroperasinya usaha-usaha ternak ayam ras petelur lebih dari 5000
ekor dan ayam pedaging lebih dari 750 ekor per siklus. Ini berarti
perusahaan-perusahaan yang sudah terlanjur memiliki usaha
berskala besar harus menutup usahanya dan mengalihkannya pada
usaha lain seperti pembibitan ayam atau mengganti dengan usaha
lain. Kebijakan ini telah menimbulkan kerisauan para pemilik dan
mereka menganggap pemerintah sangat terlambat melakukan
intervensi. Adalah sulit untuk menghentikan operasi usaha skala
besar mengingat kerugian yang diakibatkannya.
Pemerintah menyadari pula perlu dibina usaha perkoperasian
di kalangan peternak mandiri ditambah suntikan dana kredit untuk
mempercepat perkembangan usaha rakyat sebagai upaya untuk
segera menggantikan kedudukan skala besar yang harus
menciutkan usahanya sesuai dengan tuntutan Kepres tersebut.
Untuk mensukseskan kemauan politik ini presiden memerintahkan
melaksanakan Bimas ayam, memerintahkan Bulog untuk
mengawasi stabilisasi harga telur, mengadakan usaha-usaha
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 8
peningkatan pemasaran, pembinaan koperasi, melakukan operasi
pasar bagi pengawasan harga telur dan daging bagi konsumen dan
suntikan dana sekitar Rp 50 milyar sebagai kredit Program Bimas
Ternak Ayam.
Namun ternyata kemudian kebijakan ini tidak berjalan sesuai
dengan harapan, bahkan peternak kecil semakin kehilangan kesem
patan hidup. Beberapa penyebabnya adalah sebagai berikut:
Pertama, pembatasan skala usaha sesuai Kepres pada tingkat
ukuran usaha yang tidak menguntungkan sehingga tidak menjamin
pengembangan peternak mandiri (Yusdja, 1984). Peternak mandiri,
yang dalam hal ini peternak mandiri pada umumnya tidak memiliki
modal yang cukup dan memelihara jumlah ternak jauh di bawah
skala usaha, yakni < 1.000 ekor. Sekalipun tidak menguntungkan,
mereka masih mampu membayar tenaga kerja keluarga. Kedua,
kredit Bimas ayam berukuran sangat kecil, satu paket untuk
seorang peternak, dengan jumlah ayam 500 ekor. Dengan ukuran
skala usaha sebesar itu peternak tidak akan mampu
mengembalikan kredit. Ketiga, pemerintah tidak mampu melakukan
kontrol terhadap pasar secara efektif
c. Program PIR Perunggasan (1984) melalui kerjasama tertutup
Atas dasar kegagalan kebijakan di atas pemerintah mencoba
membuat kebijakan baru pembenahan struktur industri unggas
menjadi berbentuk PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Tujuan kebijakan
ini tak lain untuk melindungi usaha rakyat, namun secara tidak
langsung menerima kehadiran usaha skala besar. Pola PIR
merupakan bentuk struktur kerjasama antara inti dan peternak
plasma. Inti berfungsi sebagai lembaga pemasaran yang bertugas
mensuplai masukan terutama bibit dan pakan kepada peternak
secara kredit, dan membeli keluaran telur dan daging dari peternak
tersebut. Dengan kata lain inti tidak saja membantu permodalan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 9
tetapi juga pemasaran. Sementara itu peranan peternak harus
membayar masukan yang dibelinya dengan hasil pen jualan
keluaran yang diperolehnya. Berapa harga keluaran itu per unit
akan ditentukan bersama, tetapi kesepakatan itu harus selalu
menguntungkan peternak. Secara konseptual, peternak mandiri
mendapat jaminan dalam pemasaran dan mendapat perlindungan
inti dengan harga yang menguntungkan.
Namun kenyataan tidak memperlihatkan hal demikian. Pola
PIR ternyata tidak bisa berjalan. Sebagian besar peternak kecil
dalam periode ini malah gulung tikar (Rusastra dkk.,1988). Maka
yang terjadi adalah mekanisme pasar yang sudah terlanjur bekerja
terlalu kuat untuk dikoreksi. Pemerintah sendiri kehilangan arah
menghadapi kenyataan ini. Selain itu, tahun 1987 dikenal sebagai
tahun keprihatinan, karena secara keseluruhan industry
menghadapi berbagai masalah yang tidak kunjung selesai. Antara
lain tingginya fluktuasi harga telur dan daging broiler, fluktusasi
harga bibit, dan kenaikan harga pakan yang terus menerus
sehingga menyulut kegelisahan masyarakat perunggasan.
d. Kepres No. 22/1990 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam
Ras
Selama masa 2 tahun 1989-1990 usaha industri unggas
bergerak tumbuh tanpa kendali pemerintah. Pertengahan tahun
1990, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang tertuang
dalam Kepres 22 Mei 1990 tentang Pembinaan Usaha Peternakan
Ayam Ras yang menyatakan bahwa :
- Usaha ternak ayam ras rakyat yang tidak lebih dari 15.000 ekor,
tidak memerlukan izin kecuali melapor kepada dinas peternakan
setempat;
- usaha skala besar diperkenankan dengan syarat harus bermitra
dengan usaha rakyat, di mana dalam masa tiga tahun porsi
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 10
usaha rakyat lebih besar, dan sekurang-kurangnya 65 persen
produksi untuk ekspor terutama untuk PMA. Khusus untuk skala
besar harus meminta izin kepada Menteri Pertanian.
Keppres 22 Mei 1990 masih dinilai merupakan kebijakan yang
tetap membingungkan, karena seperti telah dibahas bahwa
peternakan rakyat hanya mampu pada ukuran kurang dari 1000
ekor, maka pembatasan 15000 ekor untuk usaha rakyat tidak
memecahkan masalah, karena tidak ada usaha rakyat yang akan
berkembang mencapai skala usaha itu karena kesulitan modal.
Pada sisi lain tidak ada pemilik modal yang bersedia menanam
investasi untuk skala 15 000 ekor tersebut karena terlalu kecil
dibandingkan pasar yang sangat luas. Namun demikian, Keppres ini
telah dimanfaatkan oleh skala besar untuk mengelabui pemerintah
dengan membagi-bagi usahanya dalam berbagai nama kepemilikan
sehingga tidak menyimpang dari Keppres No. 22 Tahun 1990
tersebut. Pada kenyataannya dalam periode 1992-1996 tercapai
kemajuan industri ayam ras dengan prestasi yang tertinggi karena
dominasi perusahaan besar yang sangat tinggi.
e. SK Menteri Pertanian No.472 Tahun 1996
Keputusan Menteri ini merupakan petunjuk teknis Pembinaan
Usaha Peternakan Ayam Ras Kebijakan ini sebagai upaya
pemerintah untuk mendorong usaha peternakan rakyat. Melalui
kemitraan diharapkan dapat terjadi suatu simbiosis yang saling
menguntungkan antara perusahaan peternakan dengan peternakan
rakyat. Kemitraan tidak terbatas pada bentuk Peternakan Inti
Rakyat (PIR) tapi juga dapat dalam bentuk pengelola maupun
penghela. Perusahaan Penghela adalah perusahaan bidang
peternakan yangmengadakan kemitraan dengan pola penghela
yang berkewajiban melakukan bimbingan teknis, menampung,
mengolah dan memasarkan hasil produksi peternakan rakyat ayam
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 11
ras, tidak mengusahakan permodalan dan tidak melaksanakan
budidaya ayam ras sendiri. Perusahaan Pengelola adalah
perusahaan dibidang peternakan yang mengadakan kemitraan
dengan pola pengelola yang berkewajiban menyediakan sarana
produksi, bimbingan teknis dan manajemen, menampung,
mengolah dan memasarkan hasil produksi peternakan rakyat ayam
ras, mengusahakan permodalan tetapi tidak melaksanakan
budidaya ayam ras sendiri.
2.2. Tinjauan Konseptual Persaingan Usaha
Keadaan konsumsi dan permintaan suatu komoditas atau produk
tercakup produk daging ayam (broiler) sangat menentukan banyaknya
komoditas atau produk yang dapat digerakkan oleh sistem tataniaga dan
memberikan arah bagi produsen berapa besar harus memproduksi.
Secara teoritis jumlah output yang diminta ditentukan oleh harga output
tersebut, pendapatan, harga barang lain yang terkait, jumlah penduduk,
dan selera konsumen (Koutsoyiannis, 1979; Henderson and Quandt,
1980). Sementara itu, penawaran suatu output ditentukan oleh harga
output tersebut, teknologi yang digunakan, harga-harga dari input, harga
barang lain (Koutsoyiannis, 1979; Henderson and Quandt, 1980).
Secara teori ekonomi, permintaan di tingkat konsumen dapat
langsung berhadapan dengan penawaran disisi produsen dengan
beberapa asumsi pokok sebagai berikut (Williamson, 1985; Dixit, 1996;
dan Hutagaol, 2007; Saptana dan Daryanto, 2013): pertama, perilaku
individu bersifat rasional sempurna (perfectly rational), hal ini
mengandung dua makna, yaitu: (a) individu berperilaku
memaksimumkan kepuasan (maximaxy ulitity), dan (b) individu
berperilaku individualistik (individualistic). Kedua, informasi bersifat
sempurna dan produk bersifat identik total. Informasi sempurna
berimplikasi pada pasar bersaing secara sempurna, tidak ada biaya
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 12
transaksi tercakup biaya pemasaran (costless), dan barang atau jasa
disampaikan tanpa memerlukan waktu (timeless). Produk identik secara
total mengandung arti bahwa produk sama sekali tidak dapat dibedakan
satu sama lain (homogen).
Dalam realitasnya, informasi tidak sempurna dan perlu biaya
mahal untuk memperolehnya. Transaksi ekonomi dihadapkan pada
masalah informasi asimetris, terjadi perilaku moral hazards, dan ongkos
transaksi positif. Diantara produsen dan konsumen dihubungkan oleh
sistem tataniaga yang diperankan oleh pelaku tataniaga (Rahman,
1997; Satana dan Rachman, 2015). Dalam memainkan perannya pelaku
tataniaga tersebut memperoleh imbalan sebesar perbedaan harga yang
diterima produsen dengan harga yang dibayar konsumen. Perbedaan
harga tersebut dikenal dengan istilah marjin tataniaga (marketing
margin) yang terdiri atas biaya pemasaran (marketing cost) yang
dikeluarkan pelaku tataniaga dan keuntungan pemasaran (profit margin)
yang diterima pelaku tataniaga (Tomeck dan Robinson, 1990).
Terdapat dua pendekatan analisis pemasaran perspektif makro,
yaitu pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja (Structure-Conduct-
Performance/S-C-P) dan pendekatan Chicago Schooll (Gonarsyah,
1996/1997). Pendekatan S-C-P merupakan metode yang dikembangkan
oleh Edward S. Mason (1949) dan Joe S. Bain (1954). Mason dan Bain
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang langsung dan kuat antara
struktur pasar sebuah industri (market structure), praktek bisnis dan
perilaku pihak-pihak pembentuk pasar (market conduct) dan kinerja
industri itu sendiri (market performance). Asmarantaka (2009)
mengungkapkan pendekatan S-C-P lebih didasarkan pada kajian-kajian
empiris; sedangkan pendekatan Chicago School lebih bersifat agregasi
dan lebih bersifat kuantitatif, lebih menekankan penentuan harga (price
determination), dan lebih banyak melihat pengaruh kebijakan
pemerintah dalam penentuan harga. Pendekatan S-C-P lebih
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 13
menekankan aspek deskriptif, melihat kasus-kasus empiris disuatu
wilayah, pembahasan aspek kelembagaan pasar lebih dominan, dan
lebih menekankan penemuan harga (price discovery) serta menjelaskan
tindakan perusahaan atau pedagang yang melakukan penguasaan
pasar (market power).
Hamond and Dahl (1977) mengemukakan lima jenis struktur
pasar pada komitas atau produk pangan dan serat, secara terperinci
dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Lima Jenis Pasar pada Sistem Produk Pangan dan Serat
Karakteristik struktural Struktur pasar dari sisi pelaku Jumlah
perusahaan Sifat
produk Penjual Pembeli
1. Banyak Standarisasi Persaingan sempurna
Persaingan sempurna
2. Banyak Diferensiasi Monopolistic competition
Monopsonistic competition
3. Sedikit Diferensiasi Oligopoli Murni Oligopsoni Murni 4. Sedikit Diferensiasi Oligopoli
Diferensiasi Oligopsoni Diferensiasi
5. Satu Unik Monopoli Monopsoni Sumber: Hamand and Dahl (1977).
Dalam kerangka sistematika struktur pasar, kartel masuk dalam
struktur pasar oligopoli yang kolusif (Koutsoyiannis, 1979). Pasar
Oligopoli dapat didefinisikan sebagai suatu pasar dimana terdapat
beberapa produsen yang menghasilkan barang dan atau jasa yang
saling bersaingan (Sukirno, 1985). Selanjutnya dikemukakan bahwa ciri-
ciri pasar oligopoli adalah :(1) jumlah perusahaan sangat sedikit; (2)
barang yang dihasilkan, saling berkompetisi dipasar di pasar; (3)
memiliki kemampuan mempengaruhi harga ada; (4) terdapat hambatan
masuk pasar (barrier to entry); dan (5) pada umumnya perusahaan
oligopoli perlu melakukan promosi melalui iklan.
Sebagai akibat dari perkaitan dan hubungan yang saling
mempengaruhi, perusahaan oligopoli harus membuat perhitungan yang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 14
cermat mengenai reaksi dari perusahaan pesaing, apabila ia mengambil
kebijakan menurunkan atau menaikkan harga. Secara umum reaksi dari
perusahaan oligopoli saingan adalah sebagai berikut (Purcell, 1979) : (1)
Oligopoli A menaikkan harga, oligopoli saingan akan tetap
mempertahankan harga, sehingga dapat merebut langganan; dan (2)
Oligopoli A menurunkan harga, oligopoli saingan akan mengikuti
menurunkan harga, kondisi ini dapat menimbulkan perang harga dan
dapat mengancam usahanya. Kurva permintaan yang dihadapi oleh
perusahaan oligopolistik adalah kurva permintaan yang patah (kinked
demand curve) dan kuva penerimaan marginal (marginal revenue MR)
adalah terputus (MR1 dan MR2), secara terperinci dapat dilihat pada
Gambar 1 dan 2 berikut.
Dalam kondisi demikian, maka keuntungan maksimal dicapai
pada saat MC=MR. Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa pada
perusahaan yang mempunyai struktur biaya antara MC1 hingga MC2
(titik B1 hingga titik B2 ) maka tingkat keuntungan maksimum yang
dicapai perusahaan akan tetap sama, dengan tingkat harga Po dan
jumlah Qo. Atau dengan kata lain selama kurva biaya marginal (MC)
memotong MR antara titik B1 dan B2, harga dan jumlah produksi yang
dihasilkan perusahaan oligopolis tidak mengalami perubahan.
00
ED1
D2
P0
Q0
P
Q
MR2
MR1
B2
B1
ED1
D2
P0
Q0
P
Q
MC2
MC1
Gambar1 Gambar2
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 15
Gambar 2.1 Kurva Permintaan dan Kurva Biaya Perusahaan Oligopoli
Berdasarkan pada analisis di atas dapatlah disimpulkan bahwa
dalam pasar oligopoli di mana perusahaan-perusahaan tidak melakukan
kesepakatan diantara mereka, tingkat harga bersifat rigit (sukar berubah).
Dalam pasar oligopolistik, akan sangat menguntungkan bagi semua
perusahaan jika mereka bekerja sama melakukan kesepakatan-
kesepakatan inilah yang disebut kartel.
Secara umum ada 2 (dua) bentuk kartel, yaitu: (1) kartel yang
bertujuan memaksimumkan profit bersama (joint profit maximization); dan
(2) kartel yang bertujuan melakukan pembagian pasar (sharing of the
market). Pada kartel bentuk yang pertama, perusahaan anggota kartel
menyatukan struktur biayanya dan memaksimumkan keuntungan
bersama. Sementara bentuk yang kedua, dibedakan menjadi 2, yaitu: (1)
persetujuan persaingan non harga (non price competition agreement),
sebagai contoh perusahaan maskapai penerbangan di Indonesia; dan (2)
persetujuan quota (Quota agreement).
Biasanya struktur industri dari pasar oligopoli adalah terdapat
beberapa perusahaan besar yang mendominasi industri dan beberapa
perusahaan kecil. Beberapa perusahaan golongan pertama (yang
menguasai pasar) saling mempengaruhi satu sama lain, karena
keputusan dan tindakan oleh salah satu perusahaan dapat mempengaruhi
perusahaan-perusahaan lainnya. Kondisi tidak tercapainya keuntungan
maksimum pada masing-masing perusahaan dalam kartel dapat
diilustrasikan melalui gambar 3, 4 dan 5. Dimana gambar 3 menunjukkan
perusahaan dengan struktur biaya lebih rendah, gambar 4 adalah
perusahaan dengan struktur biaya lebih tinggi dan gambar 5 adalah
gabungan perusahaan 1dan 2 membentuk struktur pasar monopoli
(kartel).
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 16
Keuntungan maksimum kartel dicapai pada saat pemotongan MC
dan MR (di titik e gambar 5), dengan menarik titik tersebut ke kurva
demand dan kemudian dengan menarik ke sumbu vertikal diperroleh
tingkat harga P. Pada tingkat harga tersebut besarnya keuntungan
perusahaan 1 adalah sebesar persegi panjang a,b,c,P, sedangkan
perusahaan 2 sebesar persegi panjang q,f,h,P. Dimana besarnya
keuntungan perusahaan 1 lebih besar dibandingkan perusahaan 2, dan
tingkat keuntungan yang dicapai masing-masing perusahaan bukanlah
keuntungan-maksimalnya.
Gambar 2.2 Struktur Biaya Perusahaan Monopoli
2.3. Biaya Pokok Produksi dan Harga Produk Unggas Indonesia
Faktor-faktor yang mendorong permintaan untuk produk
peternakan ke depan ditentukan oleh jumlah penduduk dan
pertumbuhannya, tingkat pendapatan, fenomena urbanisasi dan
segmentasi pasar, serta preferensi konsumen. Produk perunggasan
tergolong produk bernilai ekonomi tinggi (high economics value
products) yang artinya semakin tinggi pendapatan masyarakat maka
semakin tinggi pula permintaan terhadap produk-produk perunggasan.
Semakin besar jumlah penduduk dan pertumbuhan yang masih positif
akan meningkatkan permintaan produk-produk peternakan. Fenomena
MC1 MC2
MR
AC2AC1
a b
e1
x1
cP
Pc
0 x
q
fh
e2
x2x0
P
Pc Pc
P
MC=MC1+MC2
e
x=x1+x2x
D
0
Gambar3 Gambar4 Gambar5
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 17
urbanisasi dan makin besarnya pangsa penduduk yang tinggal di
perkotaan akan mendorong permintaan produk-produk peternakan.
Selain itu, adanya fenomena segmentasi pasar dan peningkatan jumlah
penduduk kelas pendapatan menengah-atas akan meningkatkan
permintaan produk-produk peternakan. Perubahan preferensi konsumen
dari konsumsi daging merah (red meat) ke daging putih (white meat)
juga akan meningkatkan permintaan terhadap produk daging ayam.
Pada sisi penawaran faktor-faktor yang berpengaruh adalah
produksi, produktivitas dan daya saing produk perunggasan. Hal ini
sangat terkait erat dengan ketersediaan dan harga DOC, ketersediaan
dan harga pakan, perubahan tekonologi (genetika, pakan dan logistik),
ketersediaan air bersih, ketersediaan dan harga energi, dan lingkungan
kebijakan yang kondusif (kerangka insentif, regulasi pasar, kebijakan
kredit, sanitary standards, kebijakan pertanahan, ketenagakerjaaan dan
lingkungan).
Menurut Fitriani, sistem integrasi tidak mencapai efisisiensi tinggi
disebabkan oleh beberapa faktor:
a. Terjadi integrasi semu pada indusri perunggasan, dimana
perusahaan peternakan sebagai integrator membentuk semacam
anak-anak perusahaan atau cabang usaha-cabang dengan
manajemen terpisah-pisah.
b. Bahan baku pakan ternak tergantung impor yang harganya terus
menerus mengalami peningkatan, karena persaingan (food, feed,
bio-fuel dan fiber).
c. Struktur pasar yang cenderung oligopolistik pada pasar input dan
oligopsonistik pada pasar output.
d. Terjadi fenomena excess profit bagi pelaku usaha tertentu dan
marginal profit bagi peternak mandiri.
Selain itu, bisnis industri perunggasan saat ini dihadapkan pada
realita dimana harga produk unggas ditingkat peternak terus merosot
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 18
hingga di bawah biaya pokok produksi. Hal ini diakibatkan oleh
meningkatnya harga pakan input produksi terutama harga pakan yang
dipicu oleh meningkatnya harga bahan baku pakan. Hal lain yang juga
tidak hanya dihadapi oleh peternak domestik melainkan juga peternak
global adalah meningkatnya harga input peternakan berupa bibit (DOC),
pakan, obat-obatan, vitamin dan mineral, serta energi dan air bersih.
Kondisi ini diperburuk oleh stagnansi atau pelambatan daya beli
masyarakat terhadap produk hasil unggas.
Kerentanan yang dapat terjadi akibat hal tersebut ditambah lagi
dengan karakteristik permintaan yang berfluktuasi pada hari perayaan
tertentu, mengakibatkan terjadinya fluktuasi harga daging ayam di
tingkat eceran. Tingkat fluktuasi harga daging ayam broiler dapat dilihat
pada gambar berikut.
Gambar 2.3 Perkembangan Harga Eceran Daging Ayam Broiler Sumber: Ditjen PDN, Kemendag, 2015
Meskipun struktur industri perunggasan didominasi oleh system
yang terintegrasi, namun struktur biaya produksi broiler di Indonesia
dapat dikatakan belum efisien. Menurut Tangendjaya (2013), jika
dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia,
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 19
Thailand dan Philipina, maka harga biaya produksi broiler di
Indonesia relatif lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2 Perbandingan Biaya Produksi, Harga Pakan dan Harga DOC di Negara ASEAN
Biaya produksi,harga pakan dan harga DOCdinegara ASEAN(US$)*
Item Indonesia Malaysia Thailand Philippines
Costofdayoldchick 0.38 0.21 0.16 0.27
Feedprice/kg
1.Broilerstarter 0.24 0.21 0.22 0.28
2.Broilergrower 0.23 0.20 0.21 0.25
3.Broilerfinisher - - 0.20 0.20
Costtoproduce1kgliveweightbroiler
0.80 0.63 0.50 0.62
Marketpriceof1kgliveweightbroiler
0.91 0.71 0.75
*Tangendjaja(2013) Sumber: Tangendjaya, 2013
2.4. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Sektor Unggas Indonesia
Industri broiler Indonesia saat ini cenderung oligopolistik. Hal ini
setidaknya dapat diindikasikan pada hal berikut:
(i) Kurang lebih 75 persen pangsa pasar hanya dikuasai oleh 40
persen perusahaan (Prasetya, 2011; Yudja et al., 2004; Fitriani,
2006; Agustina, 2009 dalam Fitriani et al., 2014);
(ii) Perusahaan peternakan skala besar menerapkan sistem integrasi
vertikal (Prasetya, 2011 dalam Fitriani et al, 2014). Penelitian yang
dilakukan oleh Fitriani et al. (2014) yang bertujuan untuk
menganalisis struktur pasar broiler dan mengukur dampak market
power terhadap industri broiler di Indonesia, menunjukkan hasil
sebagai berikut:
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 20
a. Dalam periode 2003 – 2012, rasio konsentrasi dan entry
barrier semakin tinggi.
Indikator 2003 2012 CR4 50,26 54,81
MES 0,13 0,14
Hal ini berarti bahwa perusahaan brolier cukup terbuka tetapi
dalam jangka panjang hanya perusahaan yang efisien yang
akan mampu bertahan.
b. Ada permasalahan yang timbul dari integrasi vertikal saat ini.
Fitriani et al (2014) menyebut intergasi saat ini jauh dari
sempurna karena intergrasinya mengarah pada bentuk
monopoli atau oligopoli.
c. Distorsi pasar menghasilkan pasar yang tidak kompetitif dan
seringkali hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Oleh
karena itu review atas kebijakan pemerintah sangat perlu
dilakukan.
Kondisi saat ini peternak unggas harus berjuang sendirian untuk
meningkatkan daya tawarnya dalam pasar hasil ternak unggas yang
tidak bersaing sempurna. Bahkan, peternak tidak mengetahui bahwa
pasar broiler saat ini tidak bersaing sempurna. Meskipun sudah
dibentuk wadah peternak melalui asosiasi-asosiasi, seperti PPUI
(Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia), yang mengkoordinasikan
peternak unggas rakyat. Asosiasi ini berkedudukan Pejaten, Jakarta
Selatan dan GOPAN (Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional),
yang mengkoordinasikan peternak ayam secara nasional. Asosiasi ini
berkedudukan di Bogor.
Dalam penelitian yang lain Fitriani et al (2014) menyatakan bahwa
integrasi mempengaruhi konsentrasi pasar dan kekuatan pasar.
Menurut Wang (2012) dalam Fitriani et al. (2014) menyebutkan industri
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 21
yang terkonsentrasi akan memiliki kekuatan pasar yang tinggi,
akibatnya kesejahteraan sosial akan menurun. Hal ini sejalan dengan
kinerja industri broiler yang menunjukkan perkembangan harga daging
ayam meningkat seiring dengan peningkatan produksi dari waktu ke
waktu.
Salah satu cara untuk melihat tingkat efisiensi harga dan integrasi
pasar/harga adalah dengan menggunakan metode Ravalion. Pada
tahun 1994, Carol dan John melakukan penelitian tentang integrasi
pasar di pasar beras Indonesia dengan judul Cointegration and Market
Integration: An Application to the Indonesian Rice Market menggunakan
model Ravallion dan mendapatkan hasil bahwa secara umum terdapat
integrasi pasar antara harga beras di 7 daerah sampel (Jakarta,
Bandung, Surabaya, Medan, Banjarmasin, Ujung Pandang dan Papua);
Selain itu, Tahir (1997) melakukan kajian integrasi pasar komoditi
pertanian (gandum, kapas, dan beras) dengan judul Integration of
Agricultural Commodity Markets in The South Punjab Pakistan
menggunakan model Ravallion dan mendapatkan hasil bahwa integrasi
pasar untuk beras di Pakistan menghasilkan dua kesimpulan yang
berbeda. Untuk daerah produsen beras yang memiliki harga acuan,
ditemukan integrasi pasar beras dan sebaliknya. Sementara untuk
gandum dan kapas secara umum hasil yang didapat menunjukkan
bahwa kedua komoditi ditemukan memiliki integrasi pasar;
Penelitian yang dilakukan Malian dan Adimesra (2003), dengan
judul Struktur Integrasi Pasar Ekspor Lada Hitam dan Lada Putih di
Daerah Produksi Utama, mencoba mengetahui struktur dan integrasi
pasar lada hitam dan lada putih di Indonesia dengan model Ravallion.
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa tidak ada integrasi pasar antara
tingkat pasar petani dengan tingkat pasar pedagang besar. Hal ini
terjadi disebabkan karena tidak tersedianya informasi pasar yang cukup,
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 22
sehingga petani selalu menerima tingkat harga yang ditetapkan oleh
pedagang;
Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Sayaka (2006) dengan
pendekatan SCP pada industri benih jagung di Provinsi Jawa Timur
mendapatkan hasil struktur pasar produsen benih jagung di Provinsi
Jawa Timur berbentuk oligopolistic. Secara umum pasar benih jagung di
Jawa Timur kurang efisien. Dengan pendekatan yang sama (SCP),
Septiani (2013) menganalisis struktur-perilaku-kinerja dalam persaingan
industri pakan ternak di Indonesia dan menyimpulkan bahwa struktur
pasar industri pakan ternak di Indonesia adalah struktur pasar oligopoli
longgar. Sedangkan perilaku industri pakan ternak di Indonesia
menggunakan strategi harga, produk dan promosi. Di sisi kinerja,
didapat kesimpulan bahwa kinerja industri pakan ternak di Indonesia
masih kurang baik.
2.5. Kerangka Pemikiran STRUKTURINDUSTRI
AYAMBROILER
Terintegrasi Non–Terintegrasi/Mandiri
LIVEBIRD
StrukturBiayaProduksi Analisis
StrukturBiaya- DOC
- Pakan- Vaksin
SCP
REKOMENDASIKEBIJAKAN
Kemitraan
Peternak
PedagangPengumpul
PedagangBesar
(Grosir)
RumahPotongAyam
PedagangEceran Rumusan
kebijakanyangmendorong
efisiensidistribusiayambroiler.
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Kajian Sumber: Tim Peneliti
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 23
3. BAB III METODE PENGKAJIAN
3.1. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah terdiri dari
2 tools analysis yaitu analisis struktur biaya produksi dan Structure
Conduct Performance (SCP). Tujuan penelitian pertama akan dijawab
dengan menggunakan metode analisis struktur biaya produksi
sedangkan tujuan ketiga akan dijawab dengan menggunakan metode
SCP.
3.1.1. Analisis Struktur Biaya Pokok Produksi Peternak Kemitraan dan Peternak Mandiri
Analisis struktur biaya produksi digunakan untuk melihat
perbedaan struktur biaya antara peternak kemitraan dan peternak
mandiri dalam menghasilkan produk ayam broiler. Meskipun
secara hipotesa dapat dipastikan bahwa struktur biaya produksi
peternak kemitraan lebih kecil yang artinya lebih efisien, namun
penelitian ini ingin melihat sejauh mana perbedaan struktur biaya
antara keduanya. Hal ini akan bermanfaat bagi pengambil
kebijakan dalam merespon semakin berkurangnya keberadaan
peternak mandiri akibat sulit bersaing dengan perusahaan
terintegrasi.
Selain itu, analisis struktur biaya ini juga untuk melihat
tingkat pendapatan sehingga masing-masing dapat dibandingkan
tingkat pendapatan per unit produksi. Untuk mengetahui struktur
biaya (biaya sapronak dan biaya operasional), penerimaan dan
pendapatan dilakukan dengan analisis diskriptif, yakni dengan
mengetahui besarnya masing jenis biaya dengan persentase.
Sementara untuk melihat tingkat pendapatan digunakan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 24
perhitungan sebagaimana dikembangkan oleh Soekartawi (1993)
yaitu sebagai berikut :
π = TR – TC
dimana: π = keuntungan (margin) usaha ternak
TR = total penerimaan
TC = total biaya
Return/Cost (R/C) ratio adalah merupakan perbandingan antara
total penerimaan dengan total biaya dengan rumusan sebagai
berikut (Soekartawi, 1993):
a = R / C
R = Py x Y
C = FC + VC
a = Py x Y / (FC+VC)
keterangan :
a = R / C ratio
R = penerimaan (revenue)
C = biaya (cost)
Py = harga output
Y = output
FC = biaya tetap (fixed cost)
VC = biaya variable (variable cost)
Kriteria keputusan: R/C > 1, usaha ternak untung
- R / C < 1, usaha ternak rugi
- R / C = 1, usaha ternak impas (tidak untung/tidak rugi)
Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa semakin besar R/C
ratio maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh
peternak.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 25
3.1.2. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Distribusi Ayam Broiler dengan Pendekatan Structure, Conduct and Performance (SCP)
Pendekatan SCP merupakan pendekatan analisis yang
dikembangkan oleh Edward S. Mason (1949) dan Joe S. Bain
(1959). Mason dan Bain menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang langsung dan kuat antara struktur pasar sebuah industri
(market structure), praktek bisnis dan perilaku pihak-pihak
pembentuk pasar (market conduct) dan kinerja industri itu sendiri
(market performance). Model ini pertama kali dikembangkan
dalam bidang organisasi industri, memiliki keunggulan antara lain
analisis yang lebih komprehensif dan kesimpulan yang dihasilkan
jauh lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan analisis
tradisional yang memiliki kecenderungan menggunakan analisis
parsial.
Gambar 3.1 Hubungan Sebab Akibat Antara Struktur,
Perilaku dan Kinerja Sumber: Sayaka B, 2006
A. Structure Secara teoritis struktur pasar dapat dibedakan menjadi
dua yaitu persaingan sempurna dan persaingan tidak
sempurna. Persaingan tidak sempurna dibedakan menjadi
tiga yaitu persaingan monopoli, oligopoli dan monopolistik.
Struktur pasar dapat dilihat dari tiga hal yaitu jumlah
perusahaan, tipe produksi dan hambatan masuk.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 26
1) Pangsa Pasar (Market Share) Pangsa pasar adalah perbandingan antara hasil
penjualan suatu perusahaan dengan total penjualan.
Pangsa pasar mencerminkan proksi keuntungan bagi
perusahaan karena pangsa pasar yang besar biasanya
menandakan kekuatan pasar yang besar dalam
menghadapi persaingan dan sebaliknya. Pangsa pasar
dapat dihitung dengan beberapa cara yaitu berdasarkan
nilai penjualan. Pada produk yang bersifat homogen
seperti ayam broiler pangsa pasar diukur dengan
menggunakan unit atau volume penjualan.
2) Konsentrasi (Concentration) Konsentrasi sering digunakan sebagai ukuran
tingkat persaingan. Konsentrasi juga sering dipakai
sebagai alat analisis struktur pasar, perilaku dan kinerja
perusahaan yang beroperasi di dalamnya dan secara
tidak langsung menjadi indikator perilaku anti persaingan
atau kolusi. Nilai konsentrasi pasar dapat menunjukkan
derajat oligopoli. Pada penelitian ini untuk menganalisis
konsentrasi menggunakan jumlah pelaku usaha yang
terlibat dalam satu pasar.
3) Hambatan Untuk Masuk (Barrier to Entry)
Barrier to entry dapat didefenisikan sebagai setiap
bentuk karakteristik pasar yang menghambat pendatang
baru (new entrant) untuk bersaing atas dasar yang sama
dengan perusahaan yang sudah ada. Dalam definisi ini,
kombinasi biaya dan skala ekonomi dapat menjadi barrier
to entry. Secara operasional hambatan masuk dapat
dilakukan dengan melihat perbandingan struktur biaya,
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 27
harga jual, dan keuntungan antar pelaku usaha dalam
sistem distribusi/pemasaran ayam broiler.
B. Conduct (Perilaku) Perilaku pasar merupakan tindakan-tindakan yang
dilakukan perusahaan untuk mencapai tujuan tertentu.
Terdapat tiga kriteria untuk melihat perilaku industri yaitu
strategi harga, kondisi entry dan tipe produk. Perilaku
pasar mencakup (Asmarantaka, 2009; Saptana dan
Saliem, 2015): (a) Penentuan harga dan setting level of
output, secara bersama-sama atau price leadership; (b)
Perilaku dalam kerjasama antar pelaku usaha dapat
direfleksikan oleh pola interaksi dan koordinasi antar
pelaku dengan demikian perilaku pasar dapat diukur juga
dengan menggunakan tingkat integrasi pasar, secara
kuantitatif dapat menggunakan integrasi pasar (Ravallion,
1986); (c) Kebijakan promosi produk (product promotion
policy), melalui pameran atau iklan atas nama
perusahaan (Commodity Check of Program & Levy
System); dan (d) Predatory and Exclusivenary, strategi ini
bersifat ilegal karena bertujuan untuk mendorong
perusahaan pesaing keluar dari pasar.
Perilaku pasar juga mengenal adanya integrasi
horisontal oleh perusahaan peternakan, integrasi vertikal
dari hulu hingga hilir, pola-pola kemitraan usaha antara
perusahaan peternakan sebagai inti dan peternak mandiri
sebagai plasma. Integrasi horisontal dan vertikal dapat
menimbulkan efisisiensi, namun dapat berdampak anti
persaingan secara sehat.
Salah satu model yang dapat digunakan untuk
melihat tingkat efisiensi harga adalah Model Ravallion
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 28
(1986). Model ini telah digunakan secara luas dan
dikembangkan serta didiskusikan dalam analisis integrasi
pasar spasial.
Dimana Pit adalah harga di eceran i di waktu t, Plt adalah
harga di produsen, dan Xit adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi harga di eceran.
Kelebihan model Ravallion adalah Integrasi pasar
dengan menggunakan model Ravallion dapat
menentukan leading market diantara pasar-pasar lokal.
Sementara itu, beberapa kekurangannya adalah: (1)
Adanya asumsi bahwa ada satu pasar pusat yang
dikelilingi beberapa pasar lokal sehingga perlu
pengetahuan tentang struktur pasar; (2) Derajat
keterpaduan pasar juga tidak dapat diukur dengan model
ini; (3) Model Ravallion sesuai untuk menganalisis
keterpaduan jangka pendek dan juga sesuai untuk data
bulanan, tetapi tidak cocok untuk menganalisis
keterpaduan jangka panjang.
Untuk menangkap besarnya pengaruh kedua
variabel tersebut terhadap harga di tingkat petani,
Timmer (1987) mengembangkan suatu indeks hubungan
pasar yang dikenal dengan nama IMC (Index of Market
Conection). IMC merupakan rasio dari koefisien dua
variabel harga yang mempengaruhi harga yang terjadi di
tingkat petani, yaitu (1 + b1)/( b3- b1) atau β1/β3. Apabila
nilai indeks IMC = 0 yaitu b1 = -1, dikatakan pasar
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 29
terintegrasi dan apabila indeks IMC = ~, yaitu jika b1 =
b3, dikatakan pasar tidak terintegrasi.
C. Performance (Kinerja)
Kinerja adalah hasil dari kekuatan perusahaan dan
perilaku perusahaan. Kinerja merupakan tolok ukur dari
keberhasilan strategi perusahaan. Apabila kinerja
perusahaan baik maka dapat dianggap strategi
perusahaan berhasil. Analisis Keragaan pasar (market
performance) menekankan pada analisis pasar serta
pengaruhnya terhadap jumlah output dan harga yang
terjadi di pasar. Keragaan pasar mencakup tingkat
efisiensi pemasaran, margin pemasaran, kapasitas
penggunaan atau pemanfaatan, proses inovasi dan
insentif (dalam mengurangi biaya, peningkatan produk,
dan kepuasan konsumen).
Beberapa indikator utama pengukur kinerja
(performance) adalah sebagai berikut:
1) Keuntungan Neoklasik mengasumsikan bahwa pendapatan
yang tinggi adalah hasil dari pangsa pasar
perusahaan dominan. Menurut aliran Chicago School
pendapatan yang tinggi merupakan hasil dari
efisiensi biaya produksi. Menurut ahli ekonomi lain,
pendapatan yang tinggi adalah hasil dari inovasi,
atau hasil dari manajerial yang baik. Keluar atau
bertahannya suatu perusahaan dalam suatu industri
ditentukan oleh keuntungan yang didapat. Variabel ini
merupakan dampak langsung dari struktur pasar.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 30
2) Margin Tata Niaga Dalam memainkan perannya pelaku tataniaga
tersebut memperoleh imbalan sebesar perbedaan
harga yang diterima produsen dengan harga yang
dibayar konsumen. Perbedaan harga tersebut dikenal
dengan istilah marjin tataniaga (marketing margin)
yang terdiri atas biaya pemasaran (marketing cost)
yang dikeluarkan pelaku tataniaga dan keuntungan
pemasaran (profit margin) yang diterima pelaku
tataniaga (Tomeck dan Robinson, 1990). Secara
matematis digunakan rumus sebagai berikut:
∑ ∑= =
∏+=m
i
n
jjCiM
1 1 Dimana :
M = marjin pemasaran
Ci = biaya pemasaran I (I = 1,2,3, … , m)
m = jumlah jenis pembiayaan
π = keuntungan yang diperoleh lembaga niaga j (j =
1,2,3, …n)
n = jumlah lembaga niaga yang ikut ambil bagian
dalam proses pemasaran tersebut.
Dengan menggunakan persamaan ini dimana rata-
rata biaya pemasaran Ci dan keuntungan πi
dikumpulkan melalui survei, maka marjin pemasaran
dapat dihitung. Dengan demikian bagian yang
diterima petani produsen dari harga pedagang besar
atau pengecer dapat ditentukan.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 31
3.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data
3.2.1. Data dan Sumber Data Mengacu pada metode analisis yang akan dilakukan, data
yang dibutuhkan adalah:
- Biaya produksi peternak mandiri dan non-mandiri
- Perkembangan harga eceran
- Perkembangan harga bibit (DOC)
- Perkembangan harga pakan
- Jumlah pelaku dalam setiap simpul (dalam satu level)
- Proses bisnis dalam setiap simpul (dalam satu level)
- Biaya distribusi pedagang eceran
- Profil perusahaan yang terkait dengan industri pakan
menyangkut produksi, kapasitas produksi, tenaga kerja,
segmen pasar dan lain-lain.
- Profil perusahaan yang terkait dengan industri ayam broiler
menyangkut produksi, kapasitas produksi, tenaga kerja,
segmen pasar dan lain-lain.
Data-data yang dibutuhkan di atas akan dikumpulkan melalui
pengumpulan langsung di daerah (primer) dan melalui publikasi
dari berbagai sumber.
3.2.2. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu
pengumpulan data sekunder dan primer. Data sekunder
diperoleh dari berbagai sumber meliputi Ditjen Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, BPS, dan
Sekretariat Negara.
Diskusi terbatas yang diselenggarakan di Jakarta akan
dilaksanakan sebanyak 3 (tiga) kali. Diskusi pertama
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 32
dilaksanakan untuk mendapatkan masukan mengenai rumusan
masalah, ruang lingkup kajian dan metode analisis serta teknik
wawancara dan pengambilan data. Diskusi terbatas kedua akan
dilaksanakan setelah pelaksanaan survei tim ke beberapa
daerah. Pelaksanaan diskusi terbatas kedua bertujuan untuk
mendapatkan masukan mengenai hasil pengolahan data
sementara dan hasil analisis. Sementara diskusi ketiga dilakukan
untuk mendapatkan masukan dari pakar dan stakeholder
perunggasan dalam rangka perumusan usulan kebijakan sektor
perunggasan sekaligus perumusan draft memo kebijakan.
Diskusi terbatas juga dilaksanakan di masing-masing
wilayah survei yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat,
Kalimantan Timur dan Bali. Pelaksanaan diskusi terbatas di
daerah survei ini untuk mendapatkan masukan sekligus klarifikasi
atas hasil wawancara di daerah. Selain melalui diskusi terbatas,
pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara di
beberapa daerah dengan panduan kuesioner.
3.2.3. PerencanaanSamplingPenelitian akan dilakukan di lima provinsi yaitu Provinsi
Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Bali dan Sumatera
Barat. Dari masing-masing provinsi akan ditentukan dua
kabupaten/kota yang masing-masing mewakili daerah sentra
produksi dan kabupaten/kota pusat konsumsi/pasar.
Responden penelitian ini relatif luas yang dapat
dikelompokkan menjadi 5 katagori utama yaitu: (1) peternak
mandiri; (2) peternak plasma; (3) pedagang pengumpul di daerah
sentra produksi; (4) pedagang besar antar wilayah dari daerah
sentra produksi ke pusat-pusat konsumsi/pasar; (5) pedagang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 33
grosir di pasar tradisional; (6) pedagang pengecer di pasar
tradisional; (7) pedagang retail di pasar modern (meat shop,
super market/hyper market, pasar swalayan); (8) Rumah Potong
Ayam (RPA); dan (9) dinas atau instansi terkait di tingkat pusat
dan provinsi penelitian, serta informan kunci di lapangan
(Assosiasi Peternak dan Assosiasi lainnya). Secara rinci
cakupan, jenis, dan jumlah responden ditampilkan pada Tabel
3.1.
Tabel 3.1 Sebaran, Cakupan dan Jumlah Responden di Lima
Provinsi, Indonesia, 2016
Jenis responden
Jabar
Jateng
Jatim
Bali Sumbar Total
1. Peternak Mandiri 4 4 4 4 4 20 2. Peternak Plasma 3 3 3 3 3 15 3. Pedagang
Pengumpul 2 2 2 2 2 10
4. Pedagang Besar antar Wilayah
2 2 2 2 2 10
5. Pedagang Grosir pasar
2 2 2 2 2 10
6. Pedagang pengecer pasar
3 3 3 3 3 15
7. Ritel pasar modern 2 2 2 2 2 10 8. RPA/RPU 2 2 2 2 2 10
Total 20 20 20 20 20 100
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 34
4. BAB IV ANALISIS BIAYA PRODUKSI DAN PERSAINGAN USAHA PADA
DISTRIBUSI AYAM BROILER
4.1. Karakteristik dan Struktur Pasar Perdagangan Ayam Broiler di Beberapa Wilayah di Indonesia
Peternakan broiler di Indonesia umumnya berlokasi di daerah-daerah
dimana konsumen broiler cukup besar terutama di kota-kota besar seperti
Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Pontianak, Makasar, serta kota-kota
pusat pasar termasuk Samarinda dan Balikpapan dan daerah-daerah
sentra produksi dengan dukungan bahan baku pakan ternak. Secara
empiris daerah sentra produksi broiler terkonsentrasi pada daerah yang
dekat dengan pusat pasar dan merupakan sentra produksi bahan baku
pakan utama yaitu jagung.
Usahaternak broiler memiliki karakteristik yang hampir sama di
seluruh wilayah survei. Sistem usahaternak broiler terdiri dari peternak
mandiri, peternak kemitraan internal dan peternak kemitraan eksternal.
Peternak mandiri adalah peternak yang menyediakan semua input atas
biaya sendiri dan memiliki kebebasan dalam menjual hasil produksi broiler.
Peternak dengan sistem kemitraan internal atau biasa juga disebut
peternak mitra pabrikan adalah peternak yang bermitra dengan perusahan
melalui perjanjian kemitraan yang dituangkan dalam kontrak kerjasama.
Pabrikan (perusahaan inti terintegrasi) menyediakan bibit, pakan, dan
obat-obatan kepada peternak. Peternak bertanggung jawab memelihara
ayam broiler hingga siap panen dimana hasil panen akan diambil oleh
perusahaan sesuai dengan harga yang sudah disepakati dalam perjanjian.
Sementara, peternakan dengan sistem peternak kemitraan eksternal
adalah peternak yang bekerjasama/bermitra dengan pemodal yang
menyediakan bibit, pakan, dan obat-obatan. Pihak pemodal bisa dari
perusahaan perseorangan, peternak skala besar, dan atau toko sarana
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 35
produksi peternakan (poultry shop). Ayam broiler yang siap panen
kemudian dijual kepada mitra sesuai dengan kesepakatan awal yang
tertuang dalam kontrak kemitraan.
4.1.1. Karakteristik Perdagangan Ayam Broiler A. Provinsi Jawa Timur
Peternak ayam broiler di wilayah Jawa Timur terdiri dari
peternak kemitraan pabrikan terintegrasi (kemitraan internal),
kemitraan non pabrikan (kemitraan eksternal) dan peternak mandiri.
Jalur distribusi ayam broiler di wilayah Jawa Timur secara umum
adalah dari peternak dijual dalam kilogram berat hidup kepada mitra
yang biasanya diarahkan kepada rumah potong ayam (RPA) untuk
kemudian dijual ke pedagang besar. Pedagang besar kemudian
menyalurkan ke pedagang bakulan untuk seterusnya didistribusikan
kepada pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional.
Provinsi Jawa Timur sebagai sentra utama ayam broiler
memiliki peran yang cukup besar dalam produksi daging ayam dan
merupakan salah satu penentu harga yang terjadi di wilayah Jawa dan
luar Jawa. Hal ini disebabkan peran Jawa Timur dalam perdagangan
antar pulau untuk ayam dan telur tergolong cukup besar karena
pasokan untuk wilayah Indonesia timur sebagian besar berasal dari
Jawa Timur.
Saat ini produksi ayam broiler di Jawa Timur telah mencapai
sekitar 35 juta ekor per periode. Dinas Peternakan menginformasikan
bahwa peternak mandiri seringkali mendapatkan bibit dan pakan
dengan kualitas yang kurang baik jika dibandingkan pakan dan bibit
DOC yang digunakan untuk budidaya sendiri dan diberikan
perusahaan kepada mitra plasma. Hal ini mengakibatkan kualitas
ayam yang dihasilkan peternak mandiri lebih rendah dibandingkan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 36
hasil produksi perusahaan terintegrasi dan peternak mitra perusahaan
pabrikan.
Besaran biaya produksi peternakan dengan sistem kemitraan
eksternal dan pabrikan pada prinsipnya sama dalam hal besaran biaya
yang dikeluarkan. Pada pabrikan biaya produksi relatif lebih kecil
namun biaya manajemen cukup tinggi karena perusahaan harus
menggaji manajer beserta fasilitasnya sehingga biaya operasional
manajemen tinggi. Sebaliknya, peternakan kemitraan eksternal
memiliki biaya produksi yang relatif lebih tinggi karena adanya biaya
transportasi sarana produksi peternakan (sapronak), namun biaya
manajemen yang lebih rendah.
Adapun permasalahan seputar harga yang terus mengalami
penurunan di tingkat peternak, hal ini diduga akibat kelebihan produksi
(over supply) ayam broiler. Kelebihan produksi ini dinilai karena
tidak/belum adanya audit atas produksi Grand Parents (GP) dan Great
Grand Parents (GPS). Hal ini mengakibatkan tidak adanya kepastian
data atas kebutuhan total bibit DOC yang dibutuhkan sehingga terjadi
kelebihan suplai atas bibit DOC. Informasi mengenai jumlah kebutuhan
DOC dapat digunakan sebagai dasar atau acuan dalam perhitungan
final stock dan kebutuhan peternak. Pengaturan impor untuk GP, GPP,
dan DOC perlu dilakukan terutama bagi perusahaan-perusahaan
besar sehingga dapat menciptakan ruang usaha yang lebih
berkeadilan. Saat ini di Provinsi Jawa Timur belum ada Peraturan
Daerah yang mengatur secara khusus mengenai sistem kemitraan,
sehingga kemitraan yang ada hanya didasarkan atas perjanjian dua
pihak yang bermitra.
Hasil kajian empiris di lokasi penelitian Jawa Timur memberikan
temuan sebagai berikut: (1) Penguasaan oleh perusahaan peternakan
skala besar melalui budidaya sendiri, kemitraan usaha internal, dan
terakhir melalui pengembangan kandang ayam tertutup (close hause)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 37
skala besar-besaran diperkirakan mencapai (60%); (2) Penguasaan
pemodal besar yang berperan sebagai inti dalam kemitraan eksternal
(20%); dan (3) Penguasaan peternak mandiri, meskipun secara
individu memiliki skala dari kecil hingga cukup besar (20%).
Beberapa perusahaan peternakan skala besar (PT. Charoen
Phokphan Indonesia, PT. Japfa Comfeed, PT. Anwar Sierad Produce,
dan PT. Cargill) melakukan integrasi vertikal dalam usahanya.
Integrasi dilakukan dengan penguasaan atas seluruh atau sebagian
besar jaringan agribisnis dari industri hulu hingga hilir (breeding farm,
feed mill, budidaya, RPU/RPA, pengolahan), di mana keseluruhan unit
usaha berada dalam satu managemen pengambilan keputusan.
Dari hasil kajian di lapang di Jawa Timur menunjukkan adanya
indikasi terjadinya integrasi vertikal dalam industri perunggasan, baik
integrasi secara penuh maupun integrasi secara parsial. Beberapa
alasan pokok perusahaan peternakan skala besar melakukan integrasi
vertikal adalah: (1) Bisnis perunggasan (broiler) tergolong jenis bisnis
berintensitas tinggi yang tingkat keberhasilannya bersandar pada
ketepatan pengelolaan pada setiap fase-fase pertumbuhan broiler; (2)
Produktivitas broiler sangat tergantung pada pakan ternak baik dari
jumlah maupun mutunya, hal ini mengharuskan anggota mitra harus
menggunakan pakan produksi perusahaan inti atau perusahaan yang
menjadi induk perusahaan dari inti; dan (3) Produk akhir (final product)
dari industri broiler merupakan produk yang dihasilkan melalui
tahapan-tahapan produksi mulai dari hulu hingga ke hilir, di mana
produk antara adalah makluk biologis bernilai ekonomi tinggi, sehingga
mensyaratkan peternak mitra menggunakan DOC yang dihasilkan
perusahaan inti atau perusahaan yang menjadi induk perusahaan dari
inti.
Dengan karakteristik dasar yang demikian menuntut
pengelolaan bisnis broiler dilakukan terintegrasi secara vertikal. Dalam
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 38
hal ini terdapat beberapa implikasi sebagai berikut: (1) Bagi peternak
mitra mendapatkan jaminan pasokan sarana produksi peternakan dan
penjualan hasil, namun harus mengikuti aturan-aturan dalam
kemitraan usaha tergantuk pola kemitraan yang dipilih; (2) Bagi
peternak mitra mendapatkan jaminan keuntungan dan terbaginya
resiko, dengan syarat mencapai standar-standar teknis yang
ditetapkan, terutama tingkat kematian (mortalitas), nilai rasio konversi
pakan (feed convertion ratio/FCR), umur panen dan indeks prestasi;
(3) Bagi peternak rakyat (peternak mandiri) akan menghadapi masalah
ganda yaitu menghadapi struktur pasar oligopoli pada pasar input
(DOC, pakan, serta vitamin dan obat-obatan) dan struktur pasar
oligopsonistik dipasar output. Implikasinya adalah peternak akan
membayar harga input produksi yang lebih tinggi dari yang seharusnya
dan menerima harga jual broiler lebih rendah dari yang seharusnya.
Kondisi ini menyebabkan peternak mandiri di Jawa Timur
memiliki posisi tawar yang relatif rendah. Beberapa faktor penjelas
sulitnya peternak rakyat adalah: (1) Integrasi vertikal yang dijalankan
perusahaan peternakan skala besar adalah integrasi vertikal yang
semu, sehingga menciptakan masalah margin ganda; (2) Struktur
perusahaan peternakan yang melakukan integrasi vertikal adalah
perusahaan yang oligopolistik di pasar input produksi (DOC dan pakan
ternak) dalam bentuk oligopoli terpimpin, jika perusahaan pemimpin
melakukan kebijakan harga akan diikuti perusahaan-perusahaan
lainnya; dan (3) Secara empiris di lapang struktur oligopolistik pada
pasar output ditunjukkan adanya kesepakan harga melalui penentuan
harga posko yang ditentukan melalui kelembagaan PINSAR sebagai
harga acuan dalam penebusan harga broiler oleh pedagang ke
peternak yang menjadi anggota mitra perusahaan peternakan skala
besar dan pemodal besar.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 39
Perusahaan-perusahaan peternakan skala besar baik secara
nasional maupun di lokasi penelitian Jawa Timur di samping
melakukan integrasi vertikal juga melakukan integrasi horisontal, yaitu
penggabungan penguasaan perusahaan yang menghasilkan barang
atau produk sejenis yang saling bersaing di pasar. Dalam batas-batas
tertentu integrasi horisontal dapat dilakukan tanpa penggabungan
penguasaan perusahaan yang sejenis, namun secara empiris dilapang
hanya dalam bentuk assosiasi-assosiasi dalam mencapai
kesepakatan-kesepakatan bisnis broiler.
B. Provinsi Sumatera Barat
Sebagaimana peternak di Jawa Timur, peternak ayam broiler di
wilayah Sumatera Barat juga terdiri dari peternak kemitraan pabrikan
terintegrasi (kemitraan internal), kemitraan non pabrikan (kemitraan
eksternal) dan peternak mandiri. Di wilayah Sumatera Barat, jumlah
peternak mandiri masih ada namun sangat sedikit. Peternak yang
masih bertahan hanya peternak yang memiliki modal besar dengan
skala usaha yang tergolong besar.
Mekanisme penjualan ayam broiler dari peternak kemitraan
pabrikan yaitu pedagang besar membeli ke perusahaan dalam bentuk
DO yang kemudian DO akan dikirim ke peternak untuk diambil ayam
broiler yang sudah dipanen sesuai jumlah ayam broiler dengan
pemesanan (DO). Peternak tidak mengetahui berapa harga jual yang
ditetapkan oleh perusahaan ke pedagang besar yang akan membeli.
Harga yang diterima peternak hanya menerima harga berdasarkan
kontrak yang ditetapkan oleh perusahaan.
Jalur distribusi ayam broiler secara umum di wilayah Sumatera
Barat adalah dari peternak dijual dalam kilogram berat hidup atau per
ekor. Peternak Kemitraan menjual ayam broiler yang sudah dipanen
dalam bentuk per kg berat hidup atau ekor ke perusahaan mitra
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 40
dengan harga sesuai dengan perjanjian. Harga minimal dalam
perjanjian ditetapkan sebesar Rp 16.000/kg berat hidup. Jika harga
dipasar saat ini sebesar Rp 18.000/kg berat hidup, maka peternak
akan mendapat insentif sebesar 30% dari selisih harga di pasar.
Namun, sebaliknya jika harga di pasar lebih rendah peternak tidak
mendapat insentif. Kemudian pedagang pengumpul atau pedagang
besar atau RPA dapat membeli langsung ke perusahaan inti melalui
DO. Kemudian pedagang pengumpul akan mendistribusikan ayam
hidup ke pedagang besar (grosir) dan pengecer di pasar tradisional.
Di Sumatera Barat, Rumah Potong Ayam (RPA) berperan
sebagai jasa pemotong dan jual beli ayam hidup. RPA membeli ayam
hidup dari perusahaan bukan dari peternak mandiri, karena harga beli
di perusahaan lebih murah. Kemudian menjual ayam hidup ke
pedagag besar (grosir) dan pedagang pengecer atau rumah tangga.
Karakteristik masyarakat di Sumatera Barat adalah lebih suka
membeli ayam hidup yang kemudian langsung di potong di pasar
dibandingkan membeli dalam bentuk karkas. Kondisi ini membuat
relatif sedikit ayam dalam bentuk karkas yang beredar di pasar-pasar
tradisional. Selain itu karakteristik penjualan daging ayam di wilayah
Sumatera Barat adalah dalam satuan ekor dan tidak dijual per
kilogram. Namun untuk pasar ritel modern, daging ayam dijual dalam
bentuk karkas dan perbagian (parting).
Pedagang pengumpul atau bakul dapat langsung membeli
ayam hidup dari perusahaan (pabrikan) sesuai harga pasar dan
kemudian menjual ayam hidup secara langsung di pasar tradisional.
Kondisi ini menjadi masalah bagi pedagang pengecer di pasar
tradisional, karena harga jual bakul menjadi relatif lebih murah
dibandingkan harga jual pedagang pengecer. Sebenarnya bakul
menjual ayam hidup dengan jumlah yang lebih besar karena perannya
sebagai pedagang pengumpul. Namun, faktanya bakul dapat menjual
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 41
ayam hidup secara eceran ke pasar tradisional dengan harga yang
lebih murah dari harga pedagang pengecer. Selain bakul, RPA juga
bisa menjual ayam potongnya langsung ke konsumen akhir. Untuk itu,
pemerintah daerah Provinsi Sumatera Barat berencana akan membuat
peraturan terkait dengan tataniaga ayam broiler, khususnya untuk
pengaturan pedagang pengumpul atau bakul dalam menjual ayam
hidup.
Di wilayah Sumatera Barat, kenaikan harga daging ayam
merupakan salah satu penyumbang inflasi terbesar selain cabe dan
bawang merah. Terdapat dua perusahaan inti di Sumatera Barat yaitu
Jafpa Comfeed dan Charoen Phokpand Indonesia dimana pangsa
pasar kedua perusahaan tersebut sekitar 60% di Sumatera Barat.
Pada tahun 2015 semester I, serapan pasar PT. Charoen Phokpan
Indonesia sebanyak 110 ribu ekor/hari, sementara PT.Jafpa Comfeed
sebanyak 100 ribu ekor/hari. Terdapat juga pola kemitraan eksternal
yaitu peternak dengan Poultry Shop (PS) dan peternak mandiri.
Namun saat ini, jumlah peternak yang non kemitraan (mandiri)
maupun kemitraan eksternal sudah mulai berkurang jumlahnya yang
tersisa sekitar 10%.
Dalam rangka melindungi eksistensi peternak mandiri dan
peternak mitra, saat ini pemerintah daerah telah mengeluarkan
Peraturan Gubernur No 40 tahun 2015 tentang pedoman pelaksanaan
pola kemitraan ayam pedaging (broiler). Dalam peraturan tersebut
pada pasal 12 peran pemerintah dalam hal pembinaan, pengendalian
dan pengawasan meliputi: (i) memberikan fasilitasi pada perusahaan
inti, plasma dan semua stakeholder dalam pengembangan usaha baik
teknis maupun non teknis, (ii) penetapan biaya pokok produksi (HPP),
serta (iii) memfasilitasi pengendalian ketersediaan bahan baku pakan,
DOC, penawaran-permintaan (supply demand) dan kuota produksi.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 42
Saat ini di Provinsi Sumatera Barat sudah mengeluarkan
Peraturan Gubernur tentang kemitraan. Dalam implementasi dengan
pola kemitraan, perusahaan inti diharapkan dapat bersikap adil dalam
melaksanaan pola kemitraan yang tertuang dalam kontrak terutama
dalam pembagian hak dan kewajiban. Meskipun sudah ada
pengaturan, peternak menginginkan agar dibuat pengaturan harga
ayam hidup berdasarkan ukuran yang dicantumkan dalam surat
perjanjian atau kontrak. Keluhan dari pelaksanaan pola kemitraan
yang lain adalah adanya batasan pasokan khususnya pada hari raya
lebaran dimana perusahaan inti membatasi pasokan DOC yang
menyebabkan jumlah ayam di pasaran terbatas, sehingga peternak
mitra terbatas skala usahanya.
C. Provinsi Bali
Peternak ayam broiler di wilayah Bali terdiri dari peternak
kemitraan pabrikan terintegrasi (kemitraan internal), kemitraan non
pabrikan (kemitraan eksternal) dan peternak mandiri. Peternakan di
Bali didominasi oleh peternak kemitraan pabrikan. Namun demikian
masih ditemukan peternak-peternak mandiri yang jumlahnya kurang
lebih 15 orang dengan skala usaha 10000 – 100000 ekor yang
tersebar di seluruh Bali. Terdapat juga peternak model kemitraan
eksternal yang masih eksis di Bali. Jalur distribusi ayam broiler secara umum di wilayah Bali adalah
dari peternak dijual ke pedagang pengumpul yang kemudian dialirkan
kepada pedagang grosir dan atau pengecer, selanjutnya dijual kepada
konsumen rumah tangga atau konsumen lainnya (rumah
makan/restaurant). Untuk peternak mandiri dan peternak kemitraan
eksternal, jalur distribusinya adalah dari peternak langsung ke
penangkap atau lebih dikenal ke pedagang pengepul yang merangkap
RPA rumahan yang volume pembelianya relatif kecil berkisar 100 –
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 43
200 kg ayam hidup sebelum disalurkan ke pedagang pengecer yang
disalurkan ke konsumen rumah tangga. Sementara itu, untuk peternak
mitra pabrikan, ayam hasil produksinya akan diambil pihak perusahaan
dan dijual ke RPA yang merupakan afiliasi dari perusahaan induknya. Menurut Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Dinas Peternakan Provinsi Bali kondisi peternak mandiri di Bali saat ini
sedang terhimpit dan mendapat tekanan dari sisi hulu dan hilir bahkan
ada beberapa peternak yang mengalami gulung tikar. Dinas
Peternakan Provinsi Bali berupaya untuk mendorong peternak ayam
mandiri agar lebih mampu bersaing melalui kegiatan fasilitasi dan
penguatan sumber daya peternak ayam mandiri. Ketua Gabungan Peternak Unggas Bali menyampaikan
pertumbuhan peternak ayam mandiri di Provinsi Bali dari tahun 2007 –
2010 cukup baik, namun lima tahun pasca dikeluarkannnya UU No. 18
tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kondisi
peternakan mulai berat dan bertambah parah. Dalam UU tersebut
dinyatakan bahwa korporasi bisa bergerak di sektor budidaya baik
melalui kemitraan atau diusahakan sendiri. Pasca UU tersebut jumlah
peternak kemitraan semakin bertambah dan jumlah peternak mandiri
semakin berkurang. Salah satu dampak implementasi UU ini adalah
meningkatnya jumlah pasokan bibit ayam DOC yang masuk ke
provinsi Bali yang menyebabkan harga ayam broiler ditingkat peternak
turun. Kepala RPA PT. Ciomas Adisatwa Region Bali menyampaikan
bahwa prinsip operasi RPA didasarkan pada harga pasar dan kualitas
produk ayam. RPA akan memotong ayam sebanyak-banyaknya jika
mendapatkan ayam dengan harga murah dan sehat. Pengiriman ayam
hasil potongan didasarkan pada permintaan, sementara ayam yang
tidak terjual pada hari itu bisa disimpan dalam cold storage sampai
dengan 1 bulan kedepan.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 44
Pengaturan impor untuk GP, GGP, dan DOC perlu dilakukan
terutama bagi perusahaan-perusahaan besar sehingga jumlah
pasokan bibit DOC yang dihasilkan sesuai dengan jumlah kebutuhan.
Selain itu, audit atas Grand Parents dan Great Grand Parents perlu
dilakukan untuk menghindari terjadinya pasokan berlebih (over
supply). Informasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam
perhitungan kebutuhan final stock dan kebutuhan peternak. Dalam hal kemitraan, diharapkan inti dapat menerapkan sistem
yang lebih berkeadilan sehingga keuntungan dapat dirasakan baik
bagi inti maupun plasma. Prinsip dasar yang harus diterapkan dalam
kemitraan adalah adanya pembagian manfaat yang adil berdasarkan
kontribusinya masing-masing. Pada sisi pemasaran perlu adanya
perbaikan rantai pemasaran agar lebih pendek dengan memanfaatkan
cold storage sehingga stabilisasi harga dapat dicapai.
D. Provinsi Kalimantan Timur
Peternak ayam broiler di wilayah Balikpapan terdiri dari 95 %
peternak kemitraan dan 5% peternak mandiri, komposisi tersebut akan
sedikit berubah pada masa lebaran yaitu menjadi 90% kemitraan dan
10% mandiri. Jumlah peternak kemitraan di Kota Balikpapan yang
tercatat oleh asosiasi pada tahun 2016 terdiri 14 perusahaan
sedangkan untuk Kota Samarinda sebanyak 20 Perusahaan. Dari 14
perusahaan kemitraan yang ada di Kota Balikpapan terbagi menjadi 2
jenis yaitu kemitraan Internal yaitu kemitraan peternak mitra dengan
perusahaan besar seperti PT. Charond Phokpand Indonesia dengan
proporsi sekitar 40% dan kemitraan eksternal, yaitu kemitraan
peternak mitra dengan pemilik modal seperti perusahaan yang
memiliki kemampuan membeli pakan dalam skala besar dengan
proporsi sekitar 60%. Perusahaan Pakan Besar (perusahaan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 45
integrator) yang ada di kota Balikpapan hanya ada 2 yaitu Charoen
Phokpan Group dan Samsung Super Unggas.
Jumlah peternak ayam broiler yang berada di wilayah
Balikpapan berjumlah 125 peternak. Pada umumnya peternak bermitra
dengan pemilik modal (60%) atau disebut dengan kemitraan eskternal
dan sekitar 40% bermitra dengan perusahaan/pabrikan atau disebut
kemitraan internal. Total pasokan ayam broiler oleh peternak untuk
wilayah Balikpapan sebanyak 37 ribu ekor/hari, sementara untuk
wilayah Samarinda sebanyak 41-47 ribu ekor/hari dengan berat hidup
sekitar 1,2 – 2 kg/ekor.
Ayam dalam bentuk karkas berasal dari peternakan yang ada di
dalam kota Balikpapan dan dijual dengan harga sekitar Rp 16.000
sampai Rp. 16.300 per kg atau jika dijual dalam bentuk ayam hidup
dengan harga Rp 30.000 – Rp 35.000 per ekor (rata-rata berat 1,6-1,7
kg).
Permasalahan yang dihadapi oleh UPT pasar di wilayah
Balikpapan, khususnya pasar Pandansari adalah masih banyaknya
pedagang PKL yang menjual ayam broiler di luar kios pasar yang telah
ditetapkan dengan harga yang relatif murah sehingga merusak harga
di tingkat eceran di dalam pasar.
Jumlah permintaan atau kebutuhan ayam perhari di Kota
Balikpapan pada saat normal rata-rata sebanyak 37.000 ekor,
sedangkan kebutuhan terendah sekitar 31.000 ekor dan tertinggi
sekitar 41.000 ekor. Untuk Kota Samarinda kebutuhan ayam perhari
pada saat normal rata-rata sebanyak 47.000 ekor/hari, sedangkan
kebutuhan terendah sekitar 43.000 ekor/hari dan tertinggi 51.000
ekor/hari. Apabila dilihat dari kebutuhan ayam antara kota Balikpapan
dan kota Samarinda terlihat Balikpapan rata-rata lebih rendah 10.000
ekor/hari dibandingkan dengan kota Samarinda. Jumlah kebutuhan
ayam harian sepanjang tahun rata-rata sama namun ada peningkatan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 46
seminggu menjelang puasa kemudian turun pada tiga minggu pertama
bulan puasa kemudian puncaknya peningkatan pada seminggu
menjelang lebaran. Untuk hari besar lainnya seperti natal dan tahun
baru relatif tidak ada peningkatan yang berarti kecuali pada hari raya
idul adha mengalami sedikit penurunan.
Harga Ayam pada bulan April 2016 merupakan masa harga
ayam rendah, contohnya harga kontrak pada saat ayam mulai masuk
kandang Rp. 19.000/kg (ayam hidup) namun pada saat panen dijual ke
pedagang pengepul hanya sebesar Rp. 15.500/kg (ayam hidup).
Tingkat kematian ayam pada masa pembesaran berkisar 3-5%,
namun pernah mengalami kejadian luar biasa seperti adanya
serangan penyakit, tingkat kematian ayam dapat mencapai 10-50%.
Tingkat FCR rata-rata pertahun 1,58 -1,60 dengan gambaran dalam
setahun 4 periode nilai FCR baik dan 2 periode nilai FCR buruk. Nilai
FCR baik jika nilainya relatif kecil dan buruk jika nilainya relatif tinggi.
Nilai FCR sangat ditentukan oleh kualitas pakan dan kualitas DOC,
sedangkan kualitas DOC biasanya ditentukan oleh siklus parent stock.
Saat ini sumber pasokan ayam di wilayah kota Balikpapan
hampir 80 persen berasal dari dalam wilayah kota Balikpapan
sedangkan sisa nya 10 persen dari kabupaten Kutai Kartanegara dan
10 persen lagi berasal dari Banjarmasin atau luar Kalimantan yaitu
Jawa Timur. Pasokan ayam dari wilayah luar Kalimantan biasanya
berbentuk ayam beku dalam kemasan sterofoam.
Pasokan ayam hidup dapat bersumber dari Banjarmasin apabila
selisih harga sebesar Rp. 4.000, -/kg lebih rendah dibandingan harga
di kota Balikpapan contohnya apabila harga ayam hidup di
Banjarmasin Rp. 12.000/kg baru bisa masuk ke Balikpapan yang di
tingkat pedagang Rp. 16.000, -/kg. Untuk pasokan dari Surabaya
dapat masuk ke Kota Balikpapan apabila selisihnya harga lebih rendah
Rp. 6.000/kg
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 47
Pemasok ayam hidup di Balikpapan adalah 14 perusahaan
seperti daftar diatas dimana merupakan Kemitraan (60 % merupakan
kemitraan pemodal dan peternak, 30 % dari kemitraan peternak dan
perusahaan pakan) dan 10 % mandiri. Ukuran ayam hidup 1,5 -1,6
kg/ekor. Pemasok ayam beku diperkirakan hanya ada 2 perusahaan
yaitu PT. Ciomas Adisatwa dan PT. Wonokoyo dengan ukuran 1,1 -1,2
kg untuk ritel modern sekitar 80% dan 20% ke horeka dengan ukuran
1,4-1,5 kg/ekor.
RPA dipasar Pandansari terdiri dari sekitar 10-12 pelaku usaha
yang belokasi disekitar pasar dengan skala usaha relatif sama yaitu
memotong 1300-2000 ekor ayam perhari. Untuk jasa pemotongan Rp
1.000/ekor untuk segala ukuran ayam dimana jasa itu hanya untuk
proses pemotongan dan pencabutan bulu. Tingkat persaingan antar
RPA dirasa tinggi namun antar RPA telah melakukan kesepakatan
harga jasa pemotongan yaitu Rp. 1.000/ekor. Harga jual karkas beku
dari RPA ke ritel modern adalah Rp. 28.000 (rendah), Rp.30.000
(sedang) dan Rp.34.000-35.000, -/ekor (tinggi). Dalam Perilaku
persaingan antar RPA terjadi kesepakatan harga untuk pemotongan
ayam sedangkan gambaran perilaku persaingan Pedagang ayam
terlihat cenderung mengarah persaingan sempurna di mana harga jual
ayam hidup didasarkan kekuatan penawaran dan permintaan sesuai
dengan harga pasar.
Dalam perilaku persaingan di ritel modern (supermarket),
perdagangan ayam broiler cukup kompetitif dimana para pelaku ritel
modern melakukan saling mengunjungi (visit) untuk perbandingan
harga formal diikuti dengen konsep harga promo pada hari-hari
tertentu, namun rata-rata harga sepanjang waktu relatif sama antar
ritel modern. Perilaku persaingan peternak juga cukup kompetitif
dimana jumlah pemasok (supplier) atau penjual maupun pembeli
cukup banyak. Terdapat kesepakatan harga jual antara pemasok dan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 48
ritel modern sesuai spesifikasi produk ayam broiler yang diminta.
Dalam implementasinya antara pemasok (peternak) dan ritel modern
dilakukan melalui mekanisme kontrak jual beli.
E. Provinsi Jawa Barat
Peternak ayam broiler di wilayah Bogor terdiri dari peternak
kemitraan, yaitu baik kemitraan internal maupun eksternal. Meski
peternak mandiri masih ada, namun saat ini jumlahnya sangat sedikit
karena diperlukan modal yang besar serta kondisi harga daging ayam
yang cukup berfluktuatif sehingga peternak mandiri lebih berisiko.
Keuntungan usaha ternak dengan kemitraan adalah harga jual
terjamin melalui kontrak dan peternak tidak dipusingkan dengan harga
pakan. Namun demikian, salah satu kelemahan dari usaha ternak
melalui kemitraan yaitu peternak yang memelihara ayam tidak
mengetahui kemana ayam itu dijual dan berapa harga yang ditetapkan
oleh perusahaan. Sementara, peternak menjual ayam broiler ke
perusahaan dengan harga sesuai kontrak. Peternak kurang informasi terkait informasi pasar dan harga jual.
Karena selama ini peternak mitra hanya mengetahui jumlah ayam
broiler yang dipelihara. Peternak mitra sangat berupaya untuk
menjaga ayam peliharaannya sehat, FCR rendah, dan tingkat
mortalitas rendah. Mekanisme penjualan ayam broiler dari peternak kemitraan
pabrikan yaitu pedagang besar/pengumpul/pengepul/broker membeli
ke perusahaan dalam bentuk DO. Kemudian DO akan dibawa ke
peternak untuk mengambil ayam broiler yang sudah siap dipanen,
dengan jumlah sesuai dengan pemesanan (DO). Petani tidak
mengetahui berapa harga jual yang ditetapkan oleh perusahaan ke
pedagang besar yang akan membeli ayam broiler dari kandangnya.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 49
Berdasarkan informasi dari peternak, sistem penjualan ayam
broiler kemitraan ekternal dengan kemitraan internal berbeda.
Kemitraan internal harga jual sesuai kontrak, tetapi kemitraan
eksternal harga jual tidak sesuai harga kontral melainkan mengikuti
harga pasar. Secara relatif peternak lebih banyak memilih usaha
dengan sistem kemitraan internal. Jalur distribusi ayam broiler secara umum di wilayah Bogor adalah
dari peternak dijual dalam per kilogram berat hidup atau per ekor.
Untuk peternak kemitraan, mereka menjual ayam broiler yang sudah
dipanen dalam bentuk per kg berat hidup atau ekor ke perusahaan
mitra dengan harga sesuai yang tertuang dalam perjanjian/kontrak.
Harga minimal dalam perjanjian ditetapkan sebesar Rp 16.000/kg
berat hidup. Kemudian pedagang pengumpul/ pedagang besar/
pengepul/ broker atau RPA dapat membeli langsung ke perusahaan
melalui DO. Kemudian pedagang pengumpul/ pengepul/ broker/
pengumpul akan mendistribusikan ayam hidup ke RPA, selanjutnya ke
pedagang grosir dan pedagang pengecer di pasar tradisional.
Rumah potong ayam (RPA) di Bogor berperan sebagai jasa
pemotong dan juga jual beli ayam hidup. RPA membeli ayam hidup
dari pedagang pengumpul. Rata-rata ada 4-5 pedagang pengumpul
yang memasok ayam broiler hidup ke setiap RPA. Pedagang
pengumpul lebih dari satu ini untuk mengantispasi stabilitas dan
kontinyuitas pasokan ayam hidup sebagai alternatif pilihan pemasok.
Pasokan ayam hidup berasal dari Kabupaten Bogor (Pamijahan,
Leuwiliang, Jonggol, Cibinong, Pondok Rajeg dan Jasinga) serta di
luar Bogor (Sukabumi dan Cianjur). Kemudian RPA dapat menjual
ayam hidup atau menjual dalam bentuk karkas (tanpa bulu dan jeroan)
ke pasar. Selain itu, RPA juga menjual ke pedagang grosir dan atau
pengecer dan pedagang keliling namun jumlahnya relatif sedikit.
Meskipun RPA menyalurkan ayam potongnya ke pedagang grosir dan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 50
atau pedagang pengecer atau pedagang, ada juga RPA
mendistribusikan ayamnya ke outlet-outlet retail modern seperti Lotte
Mart, Macro, dan Superindo. Ukuran ayam yang didistribusikan ke ritel
modern yaitu 0,9 – 1,2 kg/ekor (karkas) atau dalam bentuk hidup 1,4 –
1,6 kg/ekor.
Berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholder, dilaporkan bahwa
keluhan dari pola kemitraan adalah pada implementasinya dimana ada
batasan dalam hal memasok pasokan khsusunya pada hari raya
lebaran. Dalam hal ini perusahaan inti membatasi pasokan DOC
sehingga jumlah ayam broiler di pasaran terbatas. Pemerintah juga
harus mengetahui penditribusian DOC sehingga dapat mengontrol
pasokan DOC.
Dari sisi persaingan usaha, perlu adanya penetapan harga yang
transparan serta ketersediaan dan pasokan bibit. Pemerintah harus
dapat mendorong agar perusahaan bisa lebih transparan dalam
kemitraan usaha terutama dalam pengaturan hak dan kewajiban.
Untuk itu pemerintah perlu membuat kebijakan dalam distribusi pasar
produk ayam dalam bentuk parting (cutting) yang disesuaikan dengan
permintaan pasar. Selama ini penditribusian memiliki aturan 80%
pasar basah/pasar tradisional dan 20% pasar bersih (pasar modern).
Kedepan diharapkan agar proporsi tersebut bisa dirubah menjadi 50%
pasar tradisional dan 50% pasar bersih (pasar modern).
4.1.2. Parameter Teknis dan Ekonomi Usaha Ternak Broiler Beberapa parameter teknis untuk usahaternak ayam ras
pedaging (broiler) yang dikaji berdasarkan pola usaha di lokasi
penelitian meliputi rata-rata FCR (feed convertion ratio), tingkat
kematian (mortality), rata-rata umur panen, dan rata-rata bobot badan
saat panen. Rata-rata pencapaian FCR yang menggambarkan
efisiensi teknis, yang menunjukkan konversi pakan menjadi bobot
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 51
ayam hidup adalah 1,69 untuk usahaternak pola mandiri, 1,68 untuk
pola kemitraan internal antara perusahaan pakan dengan peternak
plasma, dan 1,68 untuk pola kemitraan eksternal antara pemodal dan
peternak plasma. Tingkat pencapaian FCR pada pola kemitraan
usaha internal dan eksternal sedikit lebih baik jika dibandingkan
dengan pencapaian FCR pada pola mandiri. Diduga kualitas DOC
dan pakan yang lebih baik dan peran teknisi perusahaan yang yang
diterjunkan kelapang memiliki peranan yang cukup baik dalam
meningkatkan efisiensi penggunaan pakan oleh peternak plasma.
Rata-rata tingkat kematian usahaternak ayam ras pedaging
(broiler) untuk pola usahaternak mandiri 4.08% per siklus produksi,
untuk pola usahaternak kemitraan internal 4.12% persiklus produksi,
dan untuk kemitraan usaha eksternal 4.10%. Besaran tingkat
mortalitas antar pola usahaternak relatif berimbang dan masih
tergolong pada tingkat yang ditoleransi perusahaan inti (4-6 %).
Tingkat kematian pada pola kemitraan baik internal maupun eksternal
yang sedikit lebih tinggi dibandingkan pola usahaternak mandiri
diduga disebabkan ada sebagian yang dipotong atau dijual ke luar
dari perusahaan inti.
Secara umum rata-rata umur panen mengalami percepatan,
yang pada awal pembangunan peternakan (1970-1990) umur panen
42-45 hari. Saat ini, sejalan dengan preferensi konsumen yang
menghendaki ukuran ayam lebih kecil, maka rata-rata umur panen
broiler berkisar antara 32-38 hari atau rata-rata 35 hari dengan bobot
badan 1.90 Kg/ekor. Rata-rata umur panen untuk pola usahaternak
ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan internal berkisar antara
30-36 hari atau rata-rata 33 hari dengan rata-rata bobot badang 1.88
kg/ekor. Sementara itu rata-rata umur panen pada pola usahaternak
pola kemitraan eksternal berkisar antara 30-38 hari atau rata-rata
umur panen 34 hari dengan berat bobot panen 1.89 Kg/ekor.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 52
Penentuan umur panen ayam sangat ditentukan dinamika permintaan
pasar, tingkat harga yang terjadi dipasar, dan preferensi konsumen.
Pada pola usahaternak mandiri peternak memiliki kebebasan kapan
ayam mau dipanen dan dijual ke pasar, sedangkan pada pola
kemitraan baik internal maupun eksternal sangat ditentukan oleh
perusahaan inti yang menjadi mitra usahanya.
Parameter teknis indeks prestasi (IP) merupakan parameter
teknis gabungan dari berbagai parameter teknis yang merupakan
resultante dari berbagai pencapaian parameter teknis dalam
usahaternak. Pada sebagian besar kemitraan usaha melalui sistem
kontrak bagi hasil dan risiko, hal terpenting bagi peternak untuk
mencapai pendapatan yang tinggi adalah melalui pencapaian indek
prestasi (IP) yang tinggi, yaitu dengan FCR efisien, mortalitas rendah,
pencapaian bobot badan sesuai umur panen. Indek Prestasi
Peternak (IP) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
Skala nilai IP adalah sebagai berikut : IP < 235 Kurang/Poor (loss/break-even) IP > 275 Baik (Good) IP > 300 Sangat baik (Very Good) IP > 350 Luar Biasa (Excellent)
Hasil kajian empiris di lapang pada berbagai pola usahaternak
broiler secara kualitatif diperoleh informasi besaran indeks prestasi
(IP) yang dicapai. Pada pola usahaternak mandiri diperoleh nilai IP
sebesar 313.5, pada kemitraan internal dicapai nilai IP sebesar
313.75, dan pada pola usahaternak kemitraan eksternal diperoleh
nilai IP sebesar 313.63. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 53
pada ketiga pola yang diteliti peternak telah mencapai IP sangat baik
atau di atas 300 yang merefleksikan secara teknis peternak telah
menguasai teknologi dan manajemen usahaternak dengan sangat
baik. Informasi secara lengkap dan rinci tentang parameter teknis
usaha ternak broiler dilokasi penelitian pada berbagai pola
usahaternak dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1 Kinerja Usahaternak Broiler berdasarkan Pola Usaha, Tahun 2016
Deskripsi Mandiri Kemitraan Internal
Kemitraan Eksternal
Skala Usaha (ekor) 28,908 7,875 14,300 FCR 1.69 1.68 1.68 Mortalitas (%) 4.08 4.12 4.10 Umur panen (hari) 35 33 34 Rataan Bobot (Kg/ekor)
1.90 1.88 1.89
Indeks Prestasi (IP) 313.50 313.75 313.63 Harga Broiler (Rp/Kg) 17149.31 17147.59 17148.45 Profit (Rp/ekor) 1458.42 1012.32 880.78
Sumber: Data hasil survei, Diolah
Beberapa parameter ekonomi yang dikaji adalah skala usaha,
tingkat harga yang diterima peternak, dan keuntungan peternak.
Pada pola usahaternak mandiri rata-rata skala usaha berkisar antara
5.000-52.000 ekor atau rata-rata sebesar 28.908 ekor per peternak.
Skala usaha pada kemitraan usaha internal berkisar antara 4.000-
12.000 ekor atau rara-rata 7.875 ekor per peternak. Skala usaha
pada pola kemitraan ekternal berkisar antara 1.200-26000 ekor atau
rata-rata 14.300 ekor per peternak. Nampak bahwa rata-rata skala
usaha peternak mandiri adalah yang paling besar, karena hanya
peternak mandiri dalam skala sedang hingga skala besarlah yang
mampu bertahan. Pada skala tersebut peternak mandiri dapat akses
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 54
ke pabrikan pakan dan mampu meningkatkan efisiensi dalam
pengengkutan sara produksi peternakan dan penjualan broiler hidup.
Sementara itu pada pola kemitraan internal mensyaratkan skala
minimal saat ini sebesar 4.000 ekor, sehingga masih ditemukan skala
usaha 4.000 ekor. Perusahaan peternakan multinasional saat ini
mensyaratkan skala usaha minimal 6.000 ekor per peternak. Pada
pola kemitraan eksternal antara pemodal dan peternak plasma tidak
ada syarat minimal, sehingga masih dijumpai skala 1.200 ekor per
peternak.
Pada pola usahaternak mandiri tingkat harga jual yang diterima
berkisar antara Rp. 16.000-18.000/Kg atau rata-rata sebesar Rp
17.149/kg bobot hidup. Tingkat harga jual peternak pada kemitraan
usaha internal berkisar antara 16.000-18.000 ekor atau rara-rata Rp.
17.148/Kg bobot hidup. Tingkat harga jual peternak pada pola
kemitraan ekternal berkisar antara 16.000-18.000 ekor atau rata-rata
Rp 17.148/Kg bobot hidup. Nampak bahwa rata-rata tingkat harga
jual antar pola usahaternak relatif sama. Hal ini terutama disebabkan
sebagian besar harga jual peternak kemitraan ditentukan melalui
kontrak dengan perusahaan inti dan harga penjualan oleh
perusahaan inti ke pedagang pengumpul atau broker ditentukan
melalui harga patokan melalui PINSAR.
Pada pola usahaternak mandiri tingkat keuntungan yang
diterima peternak berkisar antara Rp 646-3.069/Kg atau rata-rata
sebesar Rp 1458/Kg bobot hidup. Tingkat keuntungan peternak pada
kemitraan usaha internal berkisar antara Rp. 801-1,333/Kg atau rara-
rata Rp. 1.012/Kg bobot hidup. Tingkat keuntungan peternak pada
pola kemitraan ekternal berkisar antara Rp 785-978/Kg atau rata-rata
Rp 881/Kg bobot hidup. Nampak bahwa rata-rata tingkat keuntungan
pada peternak mandiri lebih besar jika dibandingkan peternak
kemitraan dan pada peternak kemitraan usaha internal lebih besar
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 55
dibandingkan kemitraan usaha eksternal. Namun variasi keuntungan
pada peternak mandiri lebih besar dibangingkan peternak pola
kemitraan usaha. Hal ini merefleksikan bahwa pada peternak mandiri
menghadapi resiko fluktuasi harga yang lebih tinggi dibandingkan
peternak kemitraan usaha. Hal ini terutama disebabkan pada pola
kemitraan usaha harga jual ditentukan melalui kontrak dengan
perusahaan inti dan harga penjualan oleh perusahaan inti ke
pedagang pengumpul atau broker ditentukan melalui harga patokan
melalui PINSAR. Informasi secara lengkap dan rinci tentang
beberapa parameter ekonomi pada usahaternak broiler di lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1 di atas.
4.1.3. Struktur Pasar Dalam Distribusi Ayam Broiler Beberapa ukuran untuk melihat struktur pasar adalah (Asmarantaka,
2009): (a) konsentrasi pasar (market concentration) diukur berdasarkan
persentase dari penjual atau aset atau pangsa pasar; (b) Kebebasan
keluar-masuk (exit-entry) pasar bagi calon penjual; dan (c) diferensiasi
produk (product differentiation) dengan mengubah kurva permintaan yang
elastis menjadi kurva permintaan yang inelastis (Asmarantaka, 2009).
Pertumbuhan yang pesat dalam industri broiler sejauh ini lebih
banyak dinikmati oleh perusahaan multinasional (MNCs) berskala besar
yang digerakkan oleh adanya keuntungan skala usaha dan globalisasi
sistem rantai nilai dari hulu hingga hilir (Daryanto, 2009). Untuk industri
broiler struktur produksi pada kondisi tahun 1990-2000-an menunjukkan
struktur produksi yang timpang, di mana pangsa produksi dikuasai oleh
perusahaan peternakan skala besar (60 %), skala menengah (20 %) dan
skala kecil tinggal (20%) (Yusdja et al., 1999). Hasil kajian KPPU (2016)
menunjukkan bahwa struktur produksi broiler di Indonesia dikuasai oleh
perusahaan peternakan skala besar baik dengan usahaternak sendiri
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 56
maupun melalui kemitraan usaha dengan pangsa (85%) dan peternak
mandiri tingggal menguasai pangsa (15%).
Secara empiris di lapang, pada kajian ini juga diperoleh informasi
yang relatif sama, secara berturut-turut penguasaan perusahaan
peternakan skala besar baik melalui usahaternak sendiri maupun melalui
divisi kemitraan usaha di Provinsi Jawa Barat diperkirakan mencapai (90-
95%), Kalimantan Timur (90%), Sumatera Barat (85%), Bali (80%), dan
Jawa Timur (70%).
Secara rinci, gambaran mengenai struktur pasar ayam broiler dapat
dilihat pada Tabel 4.2. Dalam kajian ini, struktur pasar dijelaskan dalam 3
kategori yakni konsentrasi pasar, kebebasan exit-entry pasar, dan
diferensiasi produk.
Tabel 4.2 Struktur Pasar Broiler
Wilayah Konsentrasi Pasar Kebebasan Exit-Entry Pasar
Diferensiasi Produk
1. Jawa Timur
a. Pangsa Pasar - Perusahaan besar
60% - Kemitraan eksternal
20% - Mandiri 20%
b. Terjadi integrasi vertikal baik secara penuh maupun parsial.
c. Struktur pasar oligopoli terpimpin di pasar input (pakan ternak).
d. Struktur pasar output - Oligopsoni di peternak - Oligopoli perusahaan
peternakan skala besar
- Persaingan sempurna di pengecer
- Oligopsoni di supermarket/ swalayan
a. Peternak - sedang
b. RPA - sedang c. Pedagang
Pengumpul - mudah
d. Pedagang besar/grosir - sedang
e. Pengecer – mudah
f. Supermarket/ swalayan-sedang
Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas, parting.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 57
Wilayah Konsentrasi Pasar Kebebasan Exit-Entry Pasar
Diferensiasi Produk
2. Bali a. Pangsa Pasar - Perusahaan
peternakan besar 50%
- Kemitraan eksternal 15%
- Mandiri 35% b. Terjadi integrasi vertikal. c. Struktur pasar oligopoli
terpimpin di pasar dan integrasi horizontal input (pakan ternak).
d. Struktur pasar output - Oligopoli mengarah
kartel di peternak perusahaan besar.
- Oligopsoni di peternak kecil.
- Oligopoli di pedagang pengepul.
- Persaingan monopolistik di pengecer
- Oligopsoni di supermarket/ swalayan
a. Peternak - sedang
b. RPA - sedang c. Pengumpul -
mudah d. Pedagang
besar/grosir- sedang
e. Pengecer – mudah
f. Supermarket/ swalayan-tinggi
Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas, parting.
3. Sumatera Barat
a. Pangsa Pasar - Perusahaan besar
65% - Kemitraan eksternal
20% - Mandiri 15%
b. Terjadi integrasi vertikal secara parsial dan integrasi horizontal.
c. Struktur pasar oligopoli terpimpin di pasar input (pakan ternak).
d. Struktur pasar output - Oligopoli mengarah
kartel di perusahaan peternakan skala besar.
- Oligopsoni di peternak kecil.
a. Peternak - sedang
b. RPA - sedang c. Pengumpul -
mudah d. Pedagang
besar - mudah e. Pengecer –
mudah f. Supermarket/
swalayan-tinggi
Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas, parting.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 58
Wilayah Konsentrasi Pasar Kebebasan Exit-Entry Pasar
Diferensiasi Produk
- Oligopoli di pedagang pengepul.
- Persaingan monopolistik di pengecer
- Oligopsoni di supermarket/ swalayan
4. Kalimantan Timur
a. Pangsa Pasar - Perusahaan besar
65% - Kemitraan eksternal
25% - Mandiri 10%
b. Terjadi integrasi vertikal dan integrasi horizontal.
c. Struktur pasar oligopoli terpimpin di pasar input (pakan ternak).
d. Struktur pasar output - Oligopsoni di peternak
kecil. - Oligopoli di pedagang
pengepul. - Persaingan
monopolistik di pengecer
- Oligopsoni di supermarket/ swalayan
a. Peternak - sedang
b. RPA - sedang c. Pengumpul -
mudah d. Pedagang
besar - mudah e. Pengecer –
mudah f. Supermarket/
swalayan-sedang
Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas.
5. Jawa Barat a. Pangsa Pasar - Perusahaan besar
75% - Kemitraan eksternal
20% - Mandiri 5%
b. Terjadi integrasi vertikal dan integrasi horizontal.
c. Struktur pasar oligopoli terpimpin di pasar input (pakan ternak).
d. Struktur pasar output - Oligopsoni di peternak
kecil. - Oligopoli di pedagang
a. Peternak - sedang
b. RPA - sedang c. Pengumpul -
mudah d. Pedagang
besar - mudah e. Pengecer –
mudah f. Supermarket/ swalayan-sedang
Diferensiasi produk berdasarkan berat badan, ayam utuh, karkas dan parting.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 59
Wilayah Konsentrasi Pasar Kebebasan Exit-Entry Pasar
Diferensiasi Produk
pengepul. - Persaingan
monopolistik di pengecer
- Oligopsoni di supermarket/ swalayan
4.2. Kinerja Usaha Ternak Broiler dan Sistem Distribusi 4.2.1. Analisis Usaha Ternak Broiler
Secara empiris di lapang menunjukkan bahwa usaha
peternakan ayam ras pedaging (broiler) sebagian besar diusahakan
dalam bentuk pola-pola kemitraan usaha (Jawa Timur, Kalimantan
Timur, Sumatera Barat, dan Bali), meskipun dibeberapa lokasi
penelitian masih banyak ditemukan pola usahaternak mandiri (kasus
di Provinsi Bali). Beberapa pola kemitraan yang berlangsung secara
garis besar dapat dibedakan kemitraan usaha internal, yaitu
kemitraan usaha antara perusahaan pakan ternak sebagai inti dan
peternak sebagai plasma/mitra dan kemitraan usaha eksternal, yaitu
kemitraan antara pemodal besar sebagai inti dan peternak sebagai
plasma/mitra. Pada bagian ini akan dilakukan analisis kelayakan
usahaternak baik untuk pola mandiri, kemitraan usaha internal dan
kemitraan usaha eksternal.
Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola
mandiri dilakukan pada skala usaha 21.375 ekor. Struktur biaya dan
penerimaan finansial usahaternak ayam ras pedaging pada pola
mandiri kondisi tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut.
Berdasarkan Tabel 4.3 tersebut memberikan beberapa informasi
pokok sebagai berikut: (1) Besarnya total biaya produksi
usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola mandiri sebesar Rp
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 60
614,531,390,-/siklus produksi; (2) Komponen biaya terbesar adalah
biaya pakan yang mencapai Rp 453,602,066/siklus (73.81%) dari
total biaya produksi. Kemudian menyusul biaya untuk pembelian
D.O.C yang mencapai Rp. 119,700,000,-/siklus (19.34%). Biaya-
biaya variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan, biaya
pemanas, penyusutan kandang atau pemeliharaan kandang sebesar
Rp 32,129,952,-/siklus (5,23%). Selanjutnya biaya untuk membayar
tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga maupun upahan sebesar Rp.
7,521,875,-/siklus (1.22%).
Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola
mandiri dengan tingkat produksi 39,256 Kg/siklus dan tingkat harga
jual sebesar Rp. 17,784, -/siklus sehingga diperoleh penerimaan atas
penjualan broiler hidup Rp. 698,123,336/siklus, penjualan ayam afkir
sebesar Rp 196,875/siklus, dan penjualan kotoran ayam Rp.
572,688,-/siklus produksi. Besarnya tingkat pendapatan atau
keuntungan atas biaya produksi total sebesar Rp. 70,589,798,- per
siklus produksi. Dengan tingkat produksi dan harga tersebut
diperoleh biaya pokok produksi ayam broiler pola mandiri sebesar Rp
15,654,-/Kg bobot hidup. Berdasarkan tingkat penerimaan dan biaya
produksi yang dikeluarkan diperoleh besaran nilai R/C ratio sebesar
1.14 . Nilai R/C tersebut menunjukkan bahwa usahaternak broiler pola
kemitraan internal layak diusahakan, namun dengan tingkat
efektivitas pengembalian modal tergolong rendah. Secara umum,
analisis usahaternak broiler pola mandiri dapat disimak pada Tabel
4.3.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 61
Tabel 4.3 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mandiri, (Per Siklus), Tahun 2016
No Deskripsi Mandiri I Biaya produksi Fisik (Unit) Harga
(Rp/Unit) Nilai (Rp)
1 DOC (ekor) 21,375 5,600 119,700,000 2 Prestater (Kg) 29,828 7,100 211,775,250 3 Grower (Kg) 37,204 6,500 241,826,813 4 Vaksinasi (Rp)
2,300,000
5 Obat-obatan (Rp)
3,973,958 6 Mineral/Vitamin (Rp)
2,313,125
7 Jamu (Rp)
46,875 8 Sanitasi (Liter) 7.5 5000 37,500 9 Biaya pemanas (Rp)
14,674,375
10 Biaya variabel lain (air, listrik) (Rp)
3,940,369
11 Penyusutan (Rp)
4,843,750 12 transportasi (Rp)
469,375
13 PBB (Rp)
983,125 14 Lainnya (Rp)
125,000
15 TK Dalam keluarga (Orang) 2.00 1,043,750 2,087,500 16 TK Luar keluarga (Orang) 4.63 1,175,000 5,434,375
Total biaya (Rp)
614,531,390
II Penerimaan 1 Broiler hidup (Kg) 39,256 17,784 698,123,336
2 Ayam Afkir (Kg) 88 2,250 196,875 3 Pupuk kotoran (Kg) 1,041 550 572,688
Penerimaan (Rp) - - 698,892,898
III Pendapatan (Rp) - - 70,589,798 IV R/C
1.14
V Biaya pokok produksi (Rp/Kg)
15,654 VI Harga jual (Rp/Kg)
17,784
VII Keuntungan (Rp/Kg)
1,798
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 62
Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola
kemitraan internal dilakukan pada skala usaha 7,875 ekor. Struktur
biaya dan penerimaan finansial usahaternak ayam ras pedaging pada
pola kemitraan internal kondisi tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel
4.4 berikut. Berdasarkan Tabel 4.4 tersebut memberikan beberapa
gambaran pokok sebagai berikut: (1) Besarnya total biaya produksi
usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan internal
sebesar Rp 195,324,990,-/siklus produksi; (2) Komponen biaya
terbesar adalah biaya pakan yang mencapai Rp 133,427,698,-/siklus
(68,31%) dari total biaya produksi. Kemudian menyusul biaya untuk
pembelian D.O.C yang mencapai Rp. 43,509,375,-/siklus (26.74%).
Biaya-biaya variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan, biaya
pemanas, penyusutan kandang atau pemeliharaan kandang sebesar
Rp 13,432,083,-/siklus (6,88%). Selanjutnya biaya untuk membayar
tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga maupun upahan sebesar Rp.
4,254,167,-/siklus (2.56 %).
Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola
kemitraan internal dengan tingkat produksi 12,926 Kg/siklus dan
tingkat harga jual sebesar Rp. 16,875,-/siklus sehingga diperoleh
penerimaan atas penjualan broiler hidup Rp. 218,130,469,-/siklus,
penjualan ayam afkir sebesar Rp 500,000,-/siklus, dan penjualan
kotoran ayam Rp. 600,000,-/siklus produksi. Besarnya tingkat
pendapatan atau keuntungan atas biaya produksi total sebesar Rp.
23,905,479,- per siklus produksi. Dengan tingkat produksi dan harga
tersebut diperoleh biaya pokok produksi ayam broiler pola kemitraan
internal sebesar Rp 15,111,-/Kg bobot hidup. Berdasarkan tingkat
penerimaan dan biaya produksi yang dikeluarkan diperoleh besaran
nilai R/C ratio sebesar 1.12. Nilai R/C tersebut menunjukkan bahwa
usahaternak broiler pola kemitraan internal layak diusahakan, namun
dengan tingkat efektivitas pengembalian modal tergolong rendah.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 63
Tabel 4.4 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mitra Internal, (Per Siklus), Tahun 2016
No Deskripsi Mitra Internal
I Biaya produksi Fisik (Unit) Harga
(Rp/Unit) Nilai (Rp)
1 DOC (ekor) 7,875 5,525 43,509,375 2 Prestater (Kg) 6,411 7,125 45,680,156 3 Grower (Kg) 12,952 6,775 87,747,542 4 Vaksinasi (Rp)
1,147,500
5 Obat-obatan (Rp)
1,850,000 6 Mineral/Vitamin (Rp)
633,333
7 Jamu (Rp)
0 8 Sanitasi (Liter)
0
9 Biaya pemanas (Rp)
7,263,750
10 Biaya variabel lain (air, listrik) (Rp)
387,500
11 Penyusutan (Rp)
2,150,000 12 transportasi (Rp)
266,667
13 PBB (Rp)
435,000 14 Lainnya (Rp)
0
15 TK Dalam keluarga (Orang) 1.33 1,250,000 1,666,667 16 TK Luar keluarga (Orang) 2.33 1,250,000 2,587,500
Total biaya (Rp)
195,324,990
II Penerimaan 1 Broiler hidup (Kg) 12,926 16,875 218,130,469
2 Ayam Afkir (Kg) 50 10,000 500,000 3 Pupuk kotoran (Kg) 5,000 120 600,000
Penerimaan (Rp) 18,800 16,000 219,230,469
III Pendapatan (Rp)
23,905,479 IV R/C
1.12
V Biaya pokok produksi (Rp/Kg)
15,111 VI Harga jual (Rp/Kg)
16,875
VII Keuntungan (Rp/Kg)
1,849
Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola
kemitraan eksternal dilakukan pada skala usaha 14,300 ekor.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 64
Struktur biaya dan penerimaan finansial usahaternak ayam ras
pedaging pada pola kemitraan eksternal kondisi tahun 2016 dapat
dilihat pada Tabel 4.5 berikut.
Tabel 4.5 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mitra Eksternal, (Per Siklus), Tahun 2016
No Deskripsi Kemitraan eksternal
I Biaya produksi Fisik (Unit) Harga
(Rp/Unit) Nilai (Rp)
1 DOC (ekor) 14,300 5,975 85,442,500 2 Prestater (Kg) 14,229 7,475 106,358,038 3 Grower (Kg) 30,270 7,000 211,891,680 4 Vaksinasi (Rp) 1,630,000 5 Obat-obatan (Rp) 3,773,750 6 Mineral/Vitamin (Rp) 882,500 7 Jamu (Rp) 0 8 Sanitasi (Liter) 450,000 9 Biaya pemanas (Rp) 8,887,500
10 Biaya variabel lain (air, listrik) (Rp) 820,000
11 Penyusutan (Rp) 3,730,645 12 transportasi (Rp) 112,500 13 PBB (Rp) 537,500 14 Lainnya (Rp) 0 15 TK Dalam keluarga (Orang) 2.00 1,250,000 2,500,000 16 TK Luar keluarga (Orang) 4.00 1,250,000 5,000,000
Total biaya (Rp) 432,016,613
II Penerimaan 1 Broiler hidup (Kg) 25,919 17,825 462,004,268 2 Ayam Afkir (Kg) 3 Pupuk kotoran (Kg)
Penerimaan (Rp) 462,004,268
III Pendapatan (Rp) 29,987,655 IV R/C 1.07 V Biaya pokok produksi (Rp/Kg) 16,668 VI Harga jual (Rp/Kg) 17,825 VII Keuntungan (Rp/Kg) 1,157
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 65
Tabel 4.5 merefleksikan beberapa gambaran pokok sebagai
berikut: (1) Besarnya total biaya produksi usahaternak ayam ras
pedaging (broiler) pola kemitraan eksternal sebesar Rp
432,016,613,-/siklus produksi; (2) Komponen biaya terbesar adalah
biaya pakan yang mencapai Rp 318,249,718,-/siklus (73.70%) dari
total biaya produksi. Kemudian menyusul biaya untuk pembelian
D.O.C yang mencapai Rp. 85,442,500,-/siklus (19.78%). Biaya-biaya
variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan, biaya pemanas,
penyusutan kandang atau pemeliharaan kandang sebesar Rp
20,824,395,-/siklus (4,82%). Selanjutnya biaya untuk membayar
tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga maupun upahan sebesar Rp.
7,500,000,-/siklus (1.74%).
Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola
kemitraan eksternal dengan tingkat produksi 25,919 Kg/siklus dan
tingkat harga jual sebesar Rp. 17,825, -/siklus sehingga diperoleh
penerimaan atas penjualan broiler hidup Rp. 462,004,268, -/siklus.
Besarnya tingkat pendapatan atau keuntungan atas biaya produksi
total sebesar Rp. 29,987,655, - per siklus produksi. Dengan tingkat
produksi dan harga tersebut diperoleh biaya pokok produksi ayam
broiler pola kemitraan internal sebesar Rp 16,688, -/Kg bobot hidup.
Berdasarkan tingkat penerimaan dan biaya produksi yang
dikeluarkan diperoleh besaran nilai R/C ratio sebesar 1.07. Nilai R/C
tersebut menunjukkan bahwa usahaternak broiler pola kemitraan
eksternal layak diusahakan, namun dengan tingkat efektivitas
pengembalian modal tergolong rendah.
4.2.2. Saluran Distribusi dan Pemasaran Broiler
Secara empris di lapang (Provinsi Jawa Timur, Sumatera Barat,
Kalimantan Timur, Bali dan Jawa Barat) terdapat tiga pola usaha
peternakan ayam ras pedaging (broiler), yaitu : (a) Pola usahaternak
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 66
mandiri, di mana peternak sebagai tukang ternak sekaligus manajer
sebagai pelaksana dan sekaligus pengambil keputusan dalam
menjalankan usahanya serta menerima keuntungan yang diperoleh
dan menanggung resiko yang mungkin timbul; (b) Pola Kemitraan
Usaha Internal, adalah kerjasama usaha antara peternak dengan
perusahaan peternakan terintegrasi (Breeding Farm, Feed Mill, dan
beberapa juga memiliki industri pengolahan), seperti PT. Charoen
Phokpand Indonesia (PT. CPI), PT Japfa Comfeed, PT Malindo, PT
Chiel Jedang-PIA, PT Indah Bersinar, PT Cibadak Indah Sari Farm,
PT Hybro Indonesia, PT Extravet Nasuba, PT Wonokoyo, CV
Missouri, PT Reza Perkasa, PT Satwa Borneo Jaya, PT. Anwar
Sierad Produce, PT. PKP; dan (c) Pola Kemitraan Usaha Eksternal
yang biasanya merupakan Poultry Shop dan Pemodal atau Peternak
skala besar : TMF (Tunas Mekar Farm), PPC (Putra Perdana
Chicken). Dalam menjalankan usahanya ada pembagian hak dan
kewajiban antara perusahaan inti dan peternak plasma, serta adanya
pembagian manfaat dan resiko yang timbul. Kondisi saat ini, baik
pada pola Kemitraan Usaha Internal dan Kemitraan Usaha Esternal
terdapat sebagian besar dalam bentuk Pola kontrak kandang dan kuli
(buruh), peternak menyebutnya maklun, di mana peternak
menyewakan kandangnya dengan hitungan per ekor DOC dan
sekaligus bekerja sebagai buruh di kandangnya sendiri dengan
hitungan per ekor DOC yang masuk. Meskipun demikian peternak
masih mendapatkan insentif atau bonus jika mencapai parameter
teknis tertentu, seperti FCR, mortalitas dan IP tertentu.
Berdasarkan pola distribusi dan pemasaran yang ada maka
terdapat tiga pola distribusi menurut pola usahaternaknya, yaitu : (1)
Pola distribusi dan pemasaran pada usahaternak mandiri; (2) Pola
distribusi dan pemasaran pada kemitraan usaha internal; dan (3) Pola
distribusi dan pemasaran pada kemitraan usaha eksternal. Pola
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 67
mandiri, masih ditemukan baik di Provinsi Jawa Timur, Sumatera
Barat, Bali dan Kalimantan Timur, namun eksistensinya dari waktu ke
waktu terus menurun. Pola usahaternak mandiri secara dominan
hanya ditemukan di Provinsi Bali (70%), sedangkan pola kemitraan
usaha baik internal maupun eksternal jauh lebih dominan, di Provinsi
Jawa Timur (70-80%), Sumatera Barat (80-90%), dan Kalimantan
Timur (90-95%).
Pada pola mandiri, di mana peternak adalah sebagai tukang
ternak (kultivator) dan sekaligus sebagai menajer akan menerima
segenap keuntungan dan segala risiko yang timbul dari usaha ternak
yang dijalankan. Pada pola mandiri, pada prinsipnya peternak
menyediakan seluruh input produksi dari modal sendiri dan bebas
memasarkan produk broiler yang dihasilkan. Pengambilan keputusan
mencakup kapan memulai berternak dan memanen ternaknya, serta
seluruh keuntungan dan risiko ditanggung sepenuhnya oleh peternak.
Hasil kajian di lapang diperoleh informasi bahwa hanya peternak-
peternak skala besar yang mampu bertahan dari gejolak produksi
dan harga. Peternak mandiri skala besar dengan skala di atas
10.000 ekor memiliki akses untuk memperoleh sarana produksi
peternakan (DOC dan pakan) dari pabrikan langsung, karena
mencapai efisiensi dalam pengangkutan, bahkan sebagian memiliki
armada angkutan sendiri dan sebagian bergabung.
Adapun ciri-ciri peternak mandiri adalah mampu membuat
keputusan sendiri terkait beberapa hal sebagai berikut: (a)
perencanaan usaha peternakan broiler; (b) menentukan fasilitas
perkandangan dan peralatannya; (c) menentukan jenis dan jumlah
sapronak yang akan digunakan; (d) menentukan saat kapan
memasukkan DOC ke dalam kandang dan kapan melakukan panen;
(e) menentukan manajemen produksi usahaternak broiler; (f)
menentukan tempat dan harga penjualan hasil produksi; serta (g)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 68
tidak terikat dalam suatu kemitraan usaha, ikatan biasanya
merupakan pola dagang umum atau transaksional (Rusastra et. al.,
2006).
Gambar 4.1 Saluran distribusi Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Usaha Ternak Mandiri.
Pada saat ini di Provinsi Bali berdasarkan studi eksplorasi dan
wawancara langsung dengan peternak broiler dan pelaku tata niaga
broiler masih cukup ditemukan adanya peternak broiler mandiri,
sedangkan di lokasi penelitian lain sulit ditemukan peternak mandiri.
Peternak mandiri di lokasi-lokasi penelitian yang mampu bertahan
terbatas pada peternak mandiri skala cukup besar, sedangkan
Pengolahan Makanan
- Hotel - Restoran - Rumah sakit - dll
Pedagang Besar/Grosir
di Pasar
Pedagang Pengecer Pasar/Warung
Pedagang Pengumpul
Pasar Modern (hyper
market/Swalayan)
Agen Besar/Broker//
Supplier
Peternak Broiler Rakyat Perusahaan Peternakan Broiler
Rumah Potong Ayam/RPA
Konsumen Rumah Tangga
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 69
peternak mandiri skala kecil banyak yang gulung tikar (colaps),
karena beberapa gejolak eksternal, seperti krisis moneter (1997-
1998), serangan wabah Avian Influence (2003-2005), dan krisis
finansial global (2008). Saat ini beberapa peternak mandiri skala kecil
hanya mengusahakan usahaternak menjelang hari-hari raya
keagamaan terutama menjelang hari raya Idul Fitri dan menjelang
Natal dan Tahun Baru, dan khusus di Provinsi Bali menjelang hari-
hari besar Hindu, seperti Galungan. Rantai distribusi dan pemasaran
pada pola usahaternak mandiri dapat dilihat pada Gambar 4.1
berikut.
Berdasarkan Gambar 4.1 tersebut menunjukkan ada dua
sumber hasil ternak broiler, yaitu peternak mandiri skala besar dan
peternak broiler rakyat (skala kecil) yang eksistensinya makin
berkurang. Hasil usahaternak broiler dari peternak skala besar dijual
ke agen/broker atau supplier, selanjutnya ke RPA (jasa pemotongan),
kemudian dijual untuk tujuan pasar-pasar tradisional dan sebagian
untuk tujuan pasar modern (Carefour, Giant, Yogya Supermarket,
dan Hyper Market) dan konsumen institusi (Restoran/Rumah Makan,
Katering, Hotel, dan Rumah Sakit). Sementara itu, hasil broiler rakyat
di jual kepada pedagang pengumpul, selanjutnya pedagang
pengumpul menjual RPA atau pedagang besar (middle man),
selanjutnya sebagian besar ditujukan untuk pedagang pasar dan
pengecer di pasar-pasar tradisional.
Berdasarkan wawancara dengan para peternak bahwa sudah
cukup lama terjadi pergeseran dari awalnya dominan peternak
mandiri, kemudian dominasi ke arah kemitraan usaha baik kemitraan
internal maupun eklsternal. Berdasarkan informasi dari FGD dengan
pelaku usaha, Dinas Peternakan setempat dan Dinas Teknis terkait
kemitraan untuk ayam ras pedaging (broiler) di lokasi penelitian
diperoleh informasi pokok: (1) Terdapat dua jenis kemitraan usaha,
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 70
yaitu kemitraan internal, yaitu kemitraan usaha antara perusahaan
peternakan (DOC dan pakan) sebagai inti dengan peternak sebagai
plasma dan kemitraan usaha eksternal antara pemodal sebagai inti
dengan peternak sebagai plasma; (2) terdapat tiga pola kemitraan
usaha antara Perusahaan Inti dengan peternak plasma, yaitu : (a)
Pola Perusahaan Inti Rakyat dengan kesepakatan melalui kontrak
harga pada saat DOC masuk kandang; (b) Pola Perusahaan Inti
Rakyat dengan kesepakatan harga broiler mengikuti harga pasar; dan
(c) Pola Bagi Hasil dan bagi resiko (profit risk sharing).
Beberapa alasan peternak beralih dari pola usahaternak mandiri
ke pola kemitraan usaha baik kemitraan usaha internal maupun
eksternal, antara lain adalah: (a) kekurangan modal usaha, terutama
setelah mengalami kerugian akibat gejolak eksternal; (b) mengurangi
risiko kegagalan/kerugian, melalui kemitraan usaha ada pembagian
resiko (risk sharing); (c) untuk memperoleh jaminan kepastian
penghasilan, melalui kemitraan ada pembagian keuntungan (profit
sharing); (d) memanfaatkan kandang yang kosong; dan (e) untuk
memperoleh jaminan kepastian dalam pemasaran, di mana seluruh
hasil ditampung dan dipasarkan oleh perusahaan inti.
Bagi perusahaan inti pada kemitraan internal beberapa alasan
pokok melakukan kemitraan adalah: (a) untuk mendapatkan jaminan
kepastian dalam penjualan DOC; (b) untuk mendapatkan jaminan
kepastian dalam penjualan pakan; (c) mengurangi biaya investasi
lahan, kandang, serta alat; dan (d) mendapatkan tenaga kerja
terampil dengan upah yang relatif murah.
Sistem distribusi dan pemasaran pada pola kemitraan usaha
internal dengan mengambil kasus di Provinsi Jawa Timur, Kalimantan
Timur, dan Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 71
Gambar 4.2 Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Kemitraan Usaha Internal
Berdasarkan Gambar 4.2 menunjukkan bahwa ada dua sumber
hasil ternak broiler pola kemitraan usaha internal, yaitu peternak
broiler plasma yang menjadi plasma perusahaan peternakan (skala
minimal 4000 ekor) dan hasil produksi yang dihasilkan sendiri oleh
perusahaan inti dari divisi budidaya (skala besar). Sesuai perjanjian
seluruh hasil produksi broiler peternak plsma di tampung sepenuhnya
oleh perusahaan inti (perusahaan peternakan terintegrasi).
Selanjutnya perusahaan inti yang memasarkan hasil broiler.
Pengolahan Makanan
Konsumen Rumah Tangga
- Hotel - Restoran - Rumah sakit - dll
Pedagang Besar/Grosir
di Pasar
Pedagang Pengecer Pasar/Warung
PedagangPengumpul
Pasar Modern (Super market/hiper
market)
AgenBesar/Broker/Supplier
Peternak Plasma Perusahaan Inti: Perusahaan
Peternakan/pabrik pakan
Rumah Potong Ayam/RPA
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 72
Berbeda dengan peternak mandiri yang sebagian besar
pemasaran dilakukan melalui pedagang pengumpul dan sebagian
melalui agen/broker atau supplier, pada kemitraan kemitraan usaha
internal penjualan dilakukan melalui agen/broker melalui sistem DO
selanjutnya agen/broker menjual kepada pedagang besar (grosir
pasar), pedagang besar (grosir) umumnya memiliki RPA/TPA dan
atau menggunakan (RPA) jasa pemotongan selanjutnya sebagian
besar ditujukan untuk pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional
dan sebagian dijual pemasok (supplier) untuk memasok hyper
market, restoran/rumah makan, katering, hotel, dan rumah sakit.
Gambar 4.3 Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Kemitraan Usaha Eksternal
Pengolahan Makanan
Konsumen Rumah Tangga
- Hotel - Restoran - Rumah sakit - dll
Pedagang Besar/Grosir
di Pasar
Pedagang Pengecer Pasar/Warung
PedagangPengumpul
Pasar Modern (Super market/hiper
market)
AgenBesar/Broker/Supplier
Peternak Plasma Perusahaan Inti: Pemodal/Poultry
Shop/Peternak skala besar
Rumah Potong Ayam/RPA
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 73
Sistem distribusi dan pemasaran pada pola kemitraan usaha
eksternal dengan mengambil kasus di Provinsi Jawa Timur,
Kalimantan Timur, dan Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar
4.3. Berdasarkan Gambar 4.3, ditunjukkan bahwa ada dua sumber
hasil ternak broiler pada pola kemitraan usaha eksternal, yaitu
peternak broiler plasma yang menjadi plasma perusahaan inti dan
hasil produksi yang dihasilkan sendiri oleh perusahaan inti yang pada
umumnya skala besar. Sesuai perjanjian seluruh hasil produksi
broiler peternak plasma di tampung sepenuhnya oleh perusahaan inti
(pemodal besar, poultry shop, dan peternak skala besar yang bukan
merupakan perusahaan peternakan terintegrasi). Selanjutnya
perusahaan inti yang memasarkan hasil broiler.
Pada kemitraan eksternal ini dalam saluran distribusi
pemasarannya berada diantara saluran pola usahaternak mandiri dan
kemitraan internal. Pada pola ini peran pedagang pengumpul dan
agen/broker atau supplier relatif berimbang, pada kemitraan usaha
eksternal penjualan dilakukan melalui pedagang pengumpul dan
agen/broker dapat melalui sistem DO atau non DO, selanjutnya
pedagang pengumpul dan agen/broker menjual kepada pedagang
besar (grosir pasar), pedagang besar (grosir) umumnya memiliki
RPA/TPA dan atau menggunakan (RPA) jasa pemotongan
selanjutnya sebagian besar ditujukan untuk pedagang pengecer di
pasar-pasar tradisional dan warung, dan sebagian lainnya dijual
kepada pemasok (supplier) untuk memasok hyper market,
restoran/rumah makan, katering, hotel, dan rumah sakit.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa sistem kerjasama
kemitraan usaha yang dilakukan dalam proses produksi ayam broiler,
perusahaan melakukan pola kemitraan dengan peternak. Dalam hal
ini perusahaan bertindak selaku inti dan peternak sebagai plasma.
Inti bertindak sebagai penyedia sapronak (DOC, pakan, vaksin dan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 74
obat-obatan), memberi bimbingan teknis pemeliharaan kepada
peternak plasmanya dalam melakukan budidaya, dan menangani
pemasaran hasil panen. Mekanisme kemitraan seluruhnya ditentukan
oleh perusahaan inti (meliputi: syarat menjadi peternak plasma,
penetapan harga sapronak dan hasil panen, pengaturan pola
produksi serta pengawasan, pemberian bonus atau sangsi).
Sementara itu peternak plasma berkewajiban untuk menyediakan
kandang dan peralatan produksi serta melakukan pemeliharaan
sebaik-baiknya.
4.2.3. Analisis Margin Tataniaga Ayam Broiler
Tomeck dan Robinson (1990) mendefinisikan margin
pemasaran sebagai: (1) perbedaan harga yang dibayar konsumen
dan harga yang diterima produsen, atau (2) sebagai harga yang
dibayar untuk jasa pemasaran yang dipengaruhi oleh permintaan dan
penawaran jasa tersebut. Termasuk dalam margin tersebut adalah
seluruh biaya pemasaran (marketing cost) yang dikeluarkan oleh
lembaga tataniaga mulai dari gerbang petani sampai konsumen akhir
dan keuntungan pemasaran (marketing profit) yang merupakan
imbalan jasa-jasa lembaga tataniaga dalam menjalankan fungsinya.
Margin tataniaga atau margin pemasaran produk ayam ras pedaging (broiler) dibedakan menurut tiga saluran pemasaran berdasarkan pola usahaternak yang dilakukan, yaitu saluran pemasaran pola usahaternak mandiri, kemitraan usaha internal, dan kemitraan usahaternak eksternal. Margin pemasaran dilakukan pada saluran pemasaran dominan. Untuk pola usaha ternak mandiri margin pemasaran dihitung dari tingkat peternak, pedagang pengumpul/broker, RPA, pedagang besar (grosir), sampai dengan pedagang pengecer pasar. Untuk pola usahaternak kemitraan usaha
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 75
internal akan dihitung dari tingkat peternak, perusahaan inti (perusahaan peternakan), agen/broker, RPA, pedagang besar (grosir) dan pedagang pengecer pasar. Untuk pola usahaternak kemitraan usaha eksternal akan dihitung dari tingkat peternak, perusahaan inti (pemodal), agen/broker, pedagang besar (grosir) sampai ke pedagang pengecer.
Pada Tabel 4.6 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak mandiri di Provinsi Bali.
Tabel 4.6 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Mandiri di Provinsi
Bali, 2016
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 17,600 II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 17,600 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 400
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling 200 d. Biaya Lainnya (retribusi) 15 Sub Total Biaya 615 3. Harga jual 19.400 4. Keuntungan 1.185 III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 19.400 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 400
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 150
d. Biaya Penampungan/penyimpanan 225
e. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 895
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 76
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) 3. Harga jual 21.300 4. Keuntungan 1.005 IV Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 21.300
2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 28.400
2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 300 c. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 50
d. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 1.230 3. Harga jual 30.380 4. Keuntungan 750 V Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 30.380 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 200 b. Bongkar-muat 100 c. Biaya Tenaga Kerja 250 d. Biaya Sewa Tempat 15 e. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 615 3. Harga jual (Kg) 32.500 4. Keuntungan 1.505
Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual
diperoleh beberapa informasi pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 72,21%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 9.033,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya margin tataniaga Rp 4.488,-/Kg daging ayam dan keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 4.545,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.505,-/Kg, pedagang pengumpul sebesar Rp. 1.185,-/Kg, pedagang pengepul/agen/broker
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 77
sebesar Rp. 1.105,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 750; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer.
Pada Tabel 4.7 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak kemitraan internal kasus di Provinsi Jawa Timur.
Tabel 4.7 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal
di Provinsi Jawa Timur, 2016
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 17,500 II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 17,500 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 500
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling 200 d. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 720 3. Harga jual 19.300 4. Keuntungan 1.080 III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 19.300 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 500
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 150
d. Biaya Penampungan/penyimpanan 225
e. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 995 3. Harga jual 21.200
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 78
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) 4. Keuntungan 905 IV Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 21.200
2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 28.250
2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 305 c. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 50
d. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 1.235 3. Harga jual 30.250 4. Keuntungan 765 V Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 30.250 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 200 b. Bongkar-muat 100 c. Biaya Tenaga Kerja 200 d. Biaya Sewa Tempat 10 e. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 615 3. Harga jual (Kg) 32.000 4. Keuntungan 1.200
Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual
diperoleh beberapa informasi pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 72,92%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 8.667,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya tataniaga Rp 4.732,-/Kg daging ayam dan margin keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 3.935,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.200,-/Kg, pedagang pengumpul sebesar Rp. 1.080,-/Kg, pedagang pengepul/broker sebesar Rp. 905,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 79
pasar sebesar Rp. 765,-/Kg; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer.
Pada Tabel 4.8 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak kemitraan internal kasus di Provinsi Sumatera Barat.
Tabel 4.8 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal
di Provinsi Sumatera Barat, 2016
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 16,500 II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 16.500 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 600
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling 200 d. Biaya Lainnya (retribusi) 15 Sub Total Biaya 915 3. Harga jual 18.500 4. Keuntungan 1.085 III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 18.500 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 500
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 150
d. Biaya Penampungan/penyimpanan 225
e. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 995 3. Harga jual 20.500 4. Keuntungan 1.005 IV Pedagang Besar/Grosir
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 80
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 20.500
2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 27.300
2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 275 c. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 50
d. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 1.205 3. Harga jual 29.280 4. Keuntungan 775 V Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 29.280 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 250 b. Bongkar-muat 100 c. Biaya Tenaga Kerja 250 d. Biaya Sewa Tempat 20 e. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 650 3. Harga jual (Kg) 31.300 4. Keuntungan 1.370
Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual
diperoleh beberapa informasi pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 70,29%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 9.300,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya tataniaga Rp 3.815,-/Kg daging ayam dan margin keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 5.485,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.370,-/Kg, pedagang pengumpul sebesar Rp. 1.085,-/Kg, pedagang pengepul/broker sebesar Rp. 995,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 775,-/Kg; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 81
pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer.
Pada Tabel 4.9 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak kemitraan internal kasus di Provinsi Kalimantan Timur.
Tabel 4.9 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal
di Provinsi Kalimantan Timur, 2016
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 17.500 II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 17.500 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 350
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling 150 d. Biaya Lainnya (retribusi) 15 Sub Total Biaya 615 3. Harga jual 19.150 4. Keuntungan 1.035 III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 19.150 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 400
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 150
d. Biaya Penampungan/penyimpanan 225
e. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 895 3. Harga jual 21.000 4. Keuntungan 995 IV Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 21.000
2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 28.000
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 82
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 300 c. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 50
d. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 1.220 3. Harga jual 30.000 4. Keuntungan 780 V Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 30.000 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 200 b. Bongkar-muat 100 c. Biaya Tenaga Kerja 200 d. Biaya Sewa Tempat 15 e. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 545 3. Harga jual (Kg) 32.000 4. Keuntungan 1.455
Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual
diperoleh beberapa gambaran pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 72,92%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 8.667,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya tataniaga Rp 4.402,-/Kg daging ayam dan margin keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 4.265,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.445,-/Kg, pedagang pengumpul sebesar Rp. 1.035,-/Kg, pedagang pengepul/broker sebesar Rp. 995,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 780,-/Kg; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 83
penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer.
Pada Tabel 4.10 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola usahaternak kemitraan eksternal kasus di Provinsi Kalimantan Timur.
Tabel 4.10 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging
melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Eksternal di Provinsi Kalimantan Timur, 2016
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 17,500 II Pedagang Pengumpul 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 17,500 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 300
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling 150 d. Biaya Lainnya (retribusi) 15 Sub Total Biaya 555 3. Harga jual 19.000 4. Keuntungan 1.045 III Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 19.000 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 400
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 150
d. Biaya Penampungan/penyimpanan 225
e. Biaya Lainnya (retribusi) 20 Sub Total Biaya 895 3. Harga jual 21.000 4. Keuntungan 1.105 IV Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 21.000
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 84
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg)
2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 28.000
2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 300 c. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 50
d. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 1.230 3. Harga jual 30.000 4. Keuntungan 770 V Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 30.000 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 200 b. Bongkar-muat 100 c. Biaya Tenaga Kerja 200 d. Biaya Sewa Tempat 15 e. Biaya Lainnya (retribusi) 30 Sub Total Biaya 545 3. Harga jual (Kg) 32.000 4. Keuntungan 1.455
Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual
merefleksikan beberapa gambaran pokok: (a) pangsa harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 72,92%; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 8.667,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya tataniaga Rp 4.302,-/Kg daging ayam dan margin keuntungan yang diterima pelaku tataniaga sebesar Rp. 4.365,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.445,-/Kg, pedagang pengumpul sebesar Rp. 1.045,-/Kg, pedagang pengepul/broker sebesar Rp. 895,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 770,-/Kg; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 85
pengepul/agen/broker dan pedagang besar/grosir dengan volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer.
Marjin tataniaga atau marjin pemasaran produk ayam ras
pedaging (broiler) di Jawa Barat dibedakan menurut tiga saluran
pemasaran berdasarkan pola usahaternak yang dilakukan, yaitu
saluran pemasaran pola usahaternak mandiri, kemitraan usaha
internal, dan kemitraan usahaternak eksternal. Margin pemasaran
dilakukan pada saluran pemasaran dominan. Untuk setiap pola
usaha ternak margin pemasaran dihitung dari tingkat peternak,
pedagang pengumpul/broker, RPA, pedagang besar (grosir), sampai
dengan pedagang pengecer pasar. Untuk pola usahaternak
kemitraan usaha internal akan dihitung dari tingkat peternak,
perusahaan inti (perusahaan peternakan), agen/broker, pedagang
besar (grosir) dan pedagang pengecer pasar.
Pada Tabel 4.11 disajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan
oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang
diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola
usahaternak mandiri. Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli
dan harga jual pada masing-masing tingkatan pelaku tata niaga
diperoleh beberapa informasi pokok sebagai berikut: (a) pangsa
harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 81,18%
setara daging ayam, yang menunjukkan cukup tingginya pangsa
harga yang diterima peternak broiler; (b) Besarnya total margin
tataniaga setara daging ayam sebesar Rp 5,250,-/Kg daging ayam,
yang terdiri atas biaya margin tataniaga Rp 2.150,-/Kg daging ayam
dan keuntungan yang diterima oleh seluruh pelaku tataniaga sebesar
Rp. 3.100,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut biaya yang
dikeluarkan oleh masing-masing pelaku tata niaga adalah pedagang
besar (grosir) Rp 1.125,-/Kg, pedagang pengepul sebesar Rp. 775,-
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 86
/Kg, dan pedagang pengecer sebesar Rp. 250,-/Kg; (d) Secara
berturut-turut keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer
sebesar Rp. 1.250,-/Kg, pedagang pengepul/agen/broker sebesar
Rp. 975,-/Kg, dan pedagang besar/grosir di pasar sebesar Rp. 875,-
/Kg daging ayam; dan (e) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan
total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang besar/grosir
karena menjual dengan volume penjualan yang jauh lebih besar
dibandingkan pedagang pengepul dan pedagang pengecer.
Tabel 4.11 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Mandiri di Jawa Barat, 2016
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 17.900 II Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 17.900 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 400
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 100
d. Biaya Penampungan/penyimpanan 150
e. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 775 3. Harga jual 19.650 4. Keuntungan 975 III Pedagang Besar/Grosir
1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 19.650
2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 28.000
2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 200 c. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 50
d. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 1.125
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 87
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) 3. Harga jual 30.000 4. Keuntungan 875 IV Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 30,000 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 150 b. Bongkar-muat 50 d. Biaya Sewa Tempat 25 e. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 250 3. Harga jual (Kg) 31.500 4. Keuntungan 1.250
Pada Tabel 4.12 disajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan
oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang
diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola
Kemitraan usaha internal.
Tabel 4.12 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Kemitraan Usaha Internal di Jawa Barat, 2016
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 18,000 II Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 18.000 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 350
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 100
d. Biaya Penampungan/penyimpanan 150
e. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 725 3. Harga jual 19.700 4. Keuntungan 975 III Pedagang Besar/Grosir
1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 19.700
2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 28.150
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 88
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 150 c. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 50
d. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 975 3. Harga jual 30.000 4. Keuntungan 875 IV Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 30.000 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 150 b. Bongkar-muat 50 d. Biaya Sewa Tempat 25 e. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 250 3. Harga jual (Kg) 31.500 4. Keuntungan 1.250
Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual pada
masing-masing tingkatan pelaku tata niaga diperoleh beberapa
temuan pokok sebagai berikut: (a) pangsa harga yang diterima petani
setara daging ayam adalah 81,63% setara daging ayam, yang
menunjukkan cukup tingginya pangsa harga yang diterima peternak
broiler; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam
sebesar Rp 5,250,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya margin
tataniaga Rp 1.950,-/Kg daging ayam dan keuntungan yang diterima
oleh seluruh pelaku tataniaga sebesar Rp. 3.100,-/Kg daging ayam;
(c) Secara berturut-turut biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing
pelaku tata niaga adalah pedagang besar (grosir) Rp 975,-/Kg,
pedagang pengepul sebesar Rp. 725,-/Kg, dan pedagang pengecer
sebesar Rp. 250,-/Kg; (d) Secara berturut-turut keuntungan terbesar
diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.250,-/Kg, pedagang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 89
pengepul/agen/broker sebesar Rp. 975,-/Kg, dan pedagang
besar/grosir di pasar sebesar Rp. 875,-/Kg daging ayam; dan (e)
Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan
terbesar diterima oleh pedagang besar/grosir karena menjual dengan
volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang
pengepul dan pedagang pengecer.
Pada Tabel 4.13 disajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan
oleh masing-masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang
diterima pelaku tata niaga ayam ras pedaging (broiler) pada pola
Kemitraan usaha eksternal.
Tabel 4.13 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer pada Pola Kemitraan Usaha Eksternal di Jawa Barat, 2016
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) I Peternak 18,000 II Pedagang Pengepul/agen/broker 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 18,000 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 375
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 100
d. Biaya Penampungan/penyimpanan 150
e. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 750 3. Harga jual 19.750 4. Keuntungan 1.000 III Pedagang Besar/Grosir
1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 19.750
2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 28.225
2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Pemotongan 750 b. Biaya Transportasi 150 c. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 50
d. Biaya Lainnya (retribusi) 25
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 90
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg) Sub Total Biaya 1.075 3. Harga jual 30.175 4. Keuntungan 875 IV Pedagang Pengecer 1. Harga Beli 30,175 2. Biaya yang dikeluarkan a. Biaya Transportasi 150 b. Bongkar-muat 50 d. Biaya Sewa Tempat 25 e. Biaya Lainnya (retribusi) 25 Sub Total Biaya 250 3. Harga jual (Kg) 31,675 4. Keuntungan 1.250
Berdasarkan struktur biaya, serta harga beli dan harga jual pada
masing-masing tingkatan pelaku tata niaga merefleksikan beberapa
hal pokok sebagai berikut: (a) pangsa harga yang diterima petani
setara daging ayam adalah 81,18% setara daging ayam, yang
menunjukkan cukup tingginya pangsa harga yang diterima peternak
broiler; (b) Besarnya total margin tataniaga setara daging ayam
sebesar Rp 5,200,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas biaya margin
tataniaga Rp 2.075,-/Kg daging ayam dan keuntungan yang diterima
oleh seluruh pelaku tataniaga sebesar Rp. 3.125,-/Kg daging ayam;
(c) Secara berturut-turut biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing
pelaku tata niaga adalah pedagang besar (grosir) Rp 1.075,-/Kg,
pedagang pengepul sebesar Rp. 750,-/Kg, dan pedagang pengecer
sebesar Rp. 250,-/Kg; (d) Secara berturut-turut keuntungan terbesar
diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 1.250,-/Kg, pedagang
pengepul/agen/broker sebesar Rp. 1.000,-/Kg, dan pedagang
besar/grosir di pasar sebesar Rp. 875,-/Kg daging ayam; dan (e)
Meskipun demikian jika dilihat keuntungan total maka keuntungan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 91
terbesar diterima oleh pedagang besar/grosir karena menjual dengan
volume penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan pedagang
pengepul dan pedagang pengecer.
Nampak bahwa struktur biaya dan keuntungan antara tiga pola
usahaternak broiler di Jawa Barat hampir sama. Hal ini antara lain
disebabkan oleh: (a) struktur produksi broiler dikuasai oleh
perusahaan peternakan skala besar dengan pangsa (85-90 %); (b)
adanya harga Posko yang ditentukan PINSAR sebagai acuan
pedagang pengepul atau pedagang besar dalam menebus broiler
hidup di peternak yang menjadi anggota mitra usahanya; (c) tujuan
pasar yang relatif sama antara ketiga pola usahaternak tersebut,
yaitu untuk pasar tradisional atau pasar becek. Hasil analisis margin
tataniaga ini juga menunjukkan adanya struktur pasar yang
cenderung oligopolistik dan mengarah kartel pada pasar daging
broiler di Jawa Barat, yaitu dengan adanya penentuan Posko dari
PINSAR yang menjadi harga acuan oleh pedagang ayam yang mau
menebus broiler ke peternak anggota mitra baik internal maupun
eksternal.
4.3. Integrasi Pasar Broiler
Salah satu model yang dapat digunakan untuk melihat tingkat
efisiensi harga adalah Integrasi Pasar Ravallion. Model ini telah
digunakan secara luas dan dikembangkan serta didiskusikan dalam
analisis integrasi pasar spasial. Untuk menangkap besarnya pengaruh
kedua variabel tersebut terhadap harga di tingkat peternak telah
dikembangkan suatu indeks hubungan pasar yang dikenal dengan nama
IMC (Index of Market Conection). IMC merupakan rasio dari koefisien dua
variabel harga yang mempengaruhi harga yang terjadi di tingkat
peternak, yaitu (1 + b1)/( b3- b1) atau β1/β3. Apabila nilai indeks IMC = 0
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 92
yaitu b1 = -1, dikatakan pasar terintegrasi dan apabila indeks IMC = ~,
yaitu jika b1 = b3, dikatakan pasar tidak terintegrasi.
4.3.1. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Jawa Timur Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan pasar,
yaitu: (a) pasar tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) pasar
tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel).
Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas daging
broiler dari tingkat petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di
Provinsi Jawa Timur diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:
Pt = 1028,919* + 0,974 Pt-1*** + 0,308* (Pd – Pd-1) - 0,016 Pd-1
R2 = 0,946
IMC = -59,667 (tidak terintegrasi)
Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%
Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh
harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Surabaya
ditransmisikan ke tingkat peternak. Apabila nilai parameter b2
bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat
pedagang besar (grosir) di Kota Surabaya akan menyebabkan
perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat peternak broiler
di Jawa Timur. Nilai parameter b2 yang diperoleh pada estimasi
diatas diperoleh nilai sebesar 0,308 atau lebih kecil dari 1 (satu).
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 93
Hasil estimasi tersebut menunjukkan bahwa dalam jangka pendek
perubahan harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota
Surabaya tidak tertransmisikan secara sempurna ke tingkat peternak.
Dimana kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat
pedagang besar (grosir) hanya menyebabkan kenaikan harga 0,308
persen ditingkat peternak.
Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga
pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang
berlaku saat ini kurang dari satu baik untuk variabel peternak periode
sebelumnya maupun untuk variabel harga pedagang besar (grosir)
periode sebelumnya. Pengaruh harga pada tingkat peternak pada
periode sebelumnya terhadap harga tingkat peternak saat ini
bertanda positip dan kurang dari satu yaitu sebesar 0,974. Berbeda
halnya dengan pengaruh harga pedagang besar (grosir) broiler
periode sebelumnya yang bertanda negatip dan kontribusinya jauh
dibawah satu yaitu sebesar -0,016. Hasil estimasi ini menunjukkan
bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota
Surabaya periode sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga
ditingkat peternak broiler periode sebelumnya terhadap tingkat harga
saat ini ditingkat peternak. Harga broiler ditingkat pedagang besar
(grosir) periode sebelumnya bukanlah penentu pembentukan utama
harga broiler ditingkat peternak.
Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat
peternak periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang
besar (grosir) periode sebelumnya terhadap pembentukan harga
ditingkat peternak saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya
keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut
indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin
mendekati nol dikatakan adanya keterpaduan pasar jangka panjang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 94
antara pasar di tingkat peternak dengan pasar ditingkat pedagang
besar (grosir) di Kota Surabaya.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar -
59,667 jauh dari 0. Hal ini mengandung arti bahwa keterpaduan
pasar broiler di Kota Surabaya antara harga broiler di tingkat
peternak dan harga broiler di tingkat grosir tidak terintegrasi dengan
baik. Tidak terjadinya integrasi pasar broiler tersebut disebabkan
harga broiler saat ini cenderung mengikuti harga posko yang
ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan
besar peternakan dalam penentuan strategi bersama, diantaranya
dalam penentuan harga posko yang merupakan harga patokan
pedagang dalam menebus broiler peternak yang menjadi anggota
mitra perusahaan tersebut. Sementara itu, penentuan harga posko
lebih ditentukan oleh faktor biaya pokok produksi daging broiler,
dimana besaran biaya pokok produksi broiler sangat ditentukan harga
pakan ternak.
Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,946. Hal ini
mengandung arti bahwa 95 persen variasi harga di tingkat peternak
broiler dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya (independent
variabel), sedangkan selebihnya sebesar 5 persen dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain diluar model. Artinya model yang dibangun dapat
menjelaskan fenomena yang dikaji dengan baik.
Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas
broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer
(ritel) di Provinsi Jawa Timur diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:
Pd = 559,823*** + 0,245 Pd-1 ** + 0,908 (Pc – Pc-1)*** + 0,678 Pc-1***
R2 = 0,999
IMC = 0,361 (terintegrasi)
Keterangan :
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 95
Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%
Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh
harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Surabaya
ditransmisikan ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di
Kota Surabaya. Apabila nilai parameter b2 bernilai 1, maka
perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang
pengecer (ritel) akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu
persen juga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Nilai b2
pada estimasi diatas diperoleh nilai sebesar 0,908 atau mendekati
angka 1. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek
perubahan harga broiler di tingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota
Surabaya ditransmisikan dengan dengan cukup baik ke tingkat
pedagang besar daging broiler. Dimana kenaikan harga daging
broiler satu persen ditingkat pedagang pengecer menyebabkan
kenaikan harga 0,908 persen ditingkat pedagang besar (grosir).
Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga
pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar
(grosir) yang berlaku saat ini kurang dari satu, baik pada tingkat
pedagang besar (grosir) daging broiler maupun pada pedagang
pengecer (ritel). Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar
sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar
(pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu sebesar
0,245. Dengan besaran yang lebih besar juga diperoleh pada
pengaruh harga pedagang pengecer (ritel) broiler sebelumnya yang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 96
kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar 0,678. Hasil estimasi ini
menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang pengecer
(ritel) di Kota Subaya periode sebelumnya lebih besar dibandingkan
dengan harga ditingkat pedagang besar daging broiler periode
sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat pedagang besar
(grosir) daging broiler. Harga broiler ditingkat pengecer (ritel) periode
sebelumnya menjadi salah satu penentu pembentukan harga
ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler saat ini.
Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat
pedagang besar (grosir) periode sebelumnya dengan pengaruh harga
pedagang pengecer (ritel) periode sebelumnya terhadap
pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini,
menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang
bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila
nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan
pasar jangka panjang antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir)
dengan pasar ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Surabaya.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar
0,361. Hal ini menunjukkan tingkat keterpaduan pasar broiler di Kota
Surabaya antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan
harga pengecer (ritel) adalah terintegrasi dengan baik. Secara relatif
dari besaran IMC jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya
keterpaduan pasar di Surabaya dari pedagang besar ke pedagang
pengecer adalah yang terbaik. Lebih terintegrasinya pasar broiler dari
pedagang besar ke pedagang pengecar disebabkan oleh beberapa
faktor: (a) Jawa Timur merupakan daerah sentra produksi broiler
sekaligus daerah sentra produksi pakan dan bahan baku pakan; (b)
Penetapan harga Posko oleh PINSAR tidak selalu diikuti oleh pelaku
pasar, karena jumlah pelaku yang banyak dan memiliki jaringan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 97
masing-masing; (c) Informasi yang secara relatif lebih terbuka
terutama informasi harga.
Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,999. Ini artinya
bahwa 99,9 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir)
daging broiler dapat di Kota Surabaya dapat dijelaskan variabel-
variabel bebasnya (independent variabel), sedangkan selebihnya
sebesar 0,01 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya. Artinya model
yang dibangun dapat menjelaskan fenomena yang dikaji dengan
sangat baik.
4.3.2. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Sumatera Barat Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan pasar,
yaitu: (a) pasar tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) pasar
tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel).
Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas daging
broiler dari tingkat petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di
Provinsi Sumatera Barat diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:
Pt = 948.167 + 0,979 Pt-1 *** + 0,052 (Pd – Pd-1) - 0,017 Pd-1
R2 = 0,956
IMC = -58,111 (tidak terintegrasi)
Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 98
Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh
harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Padang
ditransmisikan ke tingkat petani atau peternak broiler. Apabila nilai
parameter b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen
pada tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Padang akan
menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat
peternak broiler di Sumatera Barat. Nilai b2 yang diperoleh pada
estimasi di atas menunjukkan sebesar 0,052 atau jauh dari angka 1.
Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan
harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Padang tidak
tertransmisikan dengan baik ke tingkat peternak broiler. Dimana
kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat pedagang besar
(grosir) hanya menyebabkan kenaikan harga 0,052 persen ditingkat
peternak broiler.
Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga
pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang
berlaku saat ini lebih dari satu untuk variabel peternak periode
sebelumnya dan kurang dari satu untuk variabel harga pedagang
besar (grosir) periode sebelumnya. Pengaruh harga pada tingkat
peternak periode sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat
peternak (pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu
sebesar 0,979. Berbeda halnya dengan pengaruh harga pedagang
besar (grosir) broiler periode sebelumnya yang bertanda negatip dan
kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar -0,017. Hasil estimasi ini
menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang besar
(grosir) di Kota Padang periode sebelumnya lebih kecil dibandingkan
dengan harga ditingkat peternak broiler periode sebelumnya terhadap
tingkat harga saat ini ditingkat peternak broiler. Harga broiler ditingkat
pedagang besar (grosir) periode sebelumnya bukanlah penentu
pembentukan utama harga ditingkat peternak.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 99
Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat
peternak periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang
besar (grosir) periode sebelumnya terhadap pembentukan harga
ditingkat peternak saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya
keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut
indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin
mendekati nol dikatakan adanya keterpaduan pasar jangka panjang
antara pasar di tingkat peternak dengan pasar ditingkat pedagang
besar (grosir) di Kota Padang.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar -
58,111. Hal ini mengandung arti bahwa keterpaduan pasar broiler di
Kota Padang antara harga broiler di tingkat peternak dan harga grosir
tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terjadinya keterpaduan pasar
broiler tersebut disebabkan harga broiler saat ini cenderung
mengikuti harga posko yang ditentukan PINSAR yang merupakan
wadah perusahaan-perusahaan besar peternakan. Sementara itu
penentuan harga posko lebih ditentukan oleh biaya pokok produksi
daging broiler, dimana besaran biaya pokok produksi broiler sangat
ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota
Padang juga banyak ditentukan oleh supply yang ada di wilayah
Sumatera lainnya terutama Sumatera Utara dan Lampung, karena
lokasinya yang secara spasial berdekatan.
Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,956. Ini artinya
bahwa 96 persen variasi harga di tingkat peternak broiler dapat
dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya (independent variabel),
sedangkan selebihnya sebesar 4 persen dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain diluar model.
Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas
broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 100
(ritel) di Provinsi Sumatera Barat diperoleh hasil estimasi sebagai
berikut:
Pd = 366.878* + 0,618 Pd-1 ** + 0,906 (Pc – Pc-1)*** + 0,343 Pc-1**
R2 = 0,999
IMC = 1,799 (tidak terintegrasi)
Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%
Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh
harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Padang
ditransmisikan ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di
Kota Padang. Apabila nilai parameter b2 bernilai 1, maka perubahan
harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang pengecer (ritel)
akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di
tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Nilai b2 yang diperoleh
pada estimasi diatas menunjukkan sebesar 0,906 atau mendekati
angka 1. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek
perubahan harga broiler di tingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota
Padang ditransmisikan dengan dengan cukup baik ke tingkat
pedagang besar daging broiler. Dimana kenaikan harga daging
broiler satu persen ditingkat pedagang pengecer menyebabkan
kenaikan harga 0,906 persen ditingkat pedagang besar (grosir).
Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga
pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 101
(grosir) yang berlaku saat ini kurang dari satu, baik pada tingkat
pedagang besar (grosir) daging broiler maupun pada pedagang
pengecer (ritel). Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar
sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar
(pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu sebesar
0,618. Dengan besaran yang lebih kecil namun dengan tanda yang
sama juga diperoleh pada pengaruh harga pedagang pengecer (ritel)
broiler sebelumnya yang kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar
0,343. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga
ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Padang periode
sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat
pedagang besar daging broiler periode sebelumnya terhadap tingkat
harga saat ini ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Harga
broiler ditingkat pengecer (ritel) periode sebelumnya bukanlah
penentu pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir)
daging broiler saat ini.
Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat
pedagang besar (grosir) periode sebelumnya dengan pengaruh harga
pedagang pengecer (ritel) periode sebelumnya terhadap
pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini,
menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang
bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila
nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan
pasar jangka panjang antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir)
dengan pasar ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Padang.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar
1,799. Hal ini menunjukkan tingkat keterpaduan pasar broiler di Kota
Padang antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan
harga pengecer (ritel) adalah tidak terpadu atau antara ke dua pasar
peternak dan pasar grosir tidak terintegrasi dengan baik. Namun
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 102
secara relatif dari besaran IMC jika dibandingkan dengan wilayah-
wilayah lainnya keterpaduannya lebih baik. Kurang adanya
keterpaduan pasar tersebut, karena harga broiler pedagang besar
(grosir) saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan
PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan besar
peternakan. Sementara itu harga posko sangat ditentukan biaya
pokok produksi usahaternak dan biaya pokok produksi sangat
ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota
Padang juga banyak ditentukan oleh supply yang ada di wilayah-
wilayah lainnya terutama Sumatera Utara dan Lampung, karena
lokasinya yang secara spasial berdekatan.
Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,999. Ini artinya
bahwa 99,9 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir)
daging broiler dapat di Kota Padang dapat dijelaskan variabel-
variabel bebasnya (independent variabel), sedangkan selebihnya
sebesar 0,01 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya. Artinya model
dapat menjelaskan fenomena yang dikaji dengan sangat baik.
4.3.3. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Bali Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan, yaitu: (a)
tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) tingkat pedagang
besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel). Berdasarkan hasil
analisis integrasi pasar untuk komoditas daging broiler dari tingkat
petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di Provinsi Bali
diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:
Pt = 1164,083 + 0,987 Pt-1*** + 0,342** (Pd – Pd-1) - 0,028 Pd-1
R2 = 0,940
IMC = -35,862 (tidak terintegrasi)
Keterangan :
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 103
Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%
Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh
harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bali ditransmisikan ke
tingkat petani dalam hal ini peternak broiler. Apabila nilai parameter
b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen pada
tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bali akan menyebabkan
perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat peternak broiler.
Nilai b2 yang diperoleh pada estimasi diatas menunjukkan sebesar
0,342. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek
perubahan harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota
Bali tidak tertransmisikan dengan baik ke tingkat peternak broiler.
Dimana kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat
pedagang besar (grosir) hanya menyebabkan kenaikan harga 0,342
persen ditingkat peternak broiler.
Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga
pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang
berlaku sekarang kurang dari satu, baik pada tingkat peternak
maupun pada pedagang besar (grosir). Pengaruh harga pada tingkat
peternak sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat peternak
(pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu sebesar
0,987. Berbeda halnya dengan pengaruh harga pedagang besar
(grosir) broiler sebelumnya yang bertanda negatip dan kontribusinya
kurang dari satu yaitu sebesar -0,028. Hasil estimasi ini menunjukkan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 104
bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bali
sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat peternak
broiler sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat peternak
broiler. Harga broiler di Kota Bali ditingkat pedagang besar (grosir)
bukanlah penentu pembentukan harga ditingkat petani atau peternak.
Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat
petani/peternak sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang
besar (grosir) sebelumnya terhadap pembentukan harga ditingkat
petani saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara
kedua pasar yang bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar
atau IMC. Apabila nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya
keterpaduan pasar jangka panjang antara pasar di tingkat
petani/peternak dengan pasar ditingkat pedagang besar (grosir) di
Kota Bali.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar -
35,862. Hal ini menunjukkan keterpaduan pasar broiler di Kota Bali
antara harga broiler di tingkat petani/peternak dan harga grosir tidak
terpadu atau antara ke dua pasar peternak dan pasar grosir tidak
terintegrasi dengan baik. Tidak terdapatnya keterpaduan pasar
tersebut, karena harga broiler saat ini cenderung mengikuti harga
posko yang ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-
perusahaan besar peternakan dalam menerapkan strategi bersama,
diantaranya dalam menyepakati harga posko sebagai harga acuan
bagi pedagang dalam menebus broiler dipeternak yang menjadi
anggota mitranya. Disamping itu, harga broiler di Kota Bali juga
banyak ditentukan oleh pasokan dari Pulau Jawa terutama Jawa
Timur, karena lokasinya yang secara spasial berdekatan.
Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,94. Ini artinya
bahwa 94 persen variasi harga di tingkat petani/peternak broiler
dapat dijelaskan variabel-variabel bebasnya (independent variabel),
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 105
sedangkan selebihnya sebesar 6 persen dipengaruhi oleh faktor
lainnya.
Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas
broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer
(ritel) di Provinsi Bali diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:
Pd = -74,895 + 0,942 Pd-1*** + 0,902 (Pc – Pc-1)*** + 0,056 Pc-1
R2 = 0,998
IMC = 16,834 (tidak terintegrasi)
Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%
Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh
harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bali ditransmisikan
ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di Kota Bali. Apabila
nilai parameter b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu
persen pada tingkat pedagang pengecer (ritel) akan menyebabkan
perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat pedagang besar
(grosir) daging broiler. Nilai b2 yang diperoleh pada estimasi diatas
menunjukkan sebesar 0,902 atau mendekati angka 1. Hasil estimasi
ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan harga broiler di
tingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bali ditransmisikan dengan
dengan cukup baik ke tingkat pedagang besar daging broiler. Dimana
kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat pedagang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 106
pengecer menyebabkan kenaikan harga 0,902 persen ditingkat
pedagang besar (grosir).
Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga
pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar
(grosir) yang berlaku saat ini kurang dari satu, baik pada tingkat
pedagang besar (grosir) daging broiler maupun pada pedagang
pengecer (ritel). Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar
sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar
(pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu yaitu sebesar
0,942. Dengan besaran yang lebih kecil namun dengan tanda yang
sama juga diperoleh pada pengaruh harga pedagang pengecer (ritel)
broiler sebelumnya yang kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar
0,056. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh harga
ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bali sebelumnya lebih
kecil dibandingkan dengan harga ditingkat pedagang besar daging
broiler sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat pedagang
besar (grosir) daging broiler. Harga broiler ditingkat pengecer (ritel)
sebelumnya bukanlah penentu pembentukan harga ditingkat
pedagang besar (grosir) daging broiler saat ini.
Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat
pedagang besar (grosir) sebelumnya dengan pengaruh harga
pedagang pengecer (ritel) sebelumnya terhadap pembentukan harga
ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini, menunjukkan tinggi
rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang
disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin
mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan pasar jangka panjang
antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir) dengan pasar
ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bali.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar
16,834. Hal ini menunjukkan tingkat keterpaduan pasar broiler di Kota
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 107
Bali antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan harga
pengecer (ritel) adalah tidak terpadu atau antara ke dua pasar
peternak dan pasar grosir tidak terintegrasi dengan baik. Tidak
terdapatnya keterpaduan pasar tersebut, karena harga broiler
pedagang besar (grosir) saat ini cenderung mengikuti harga posko
yang ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-
perusahaan besar peternakan. Sementara itu harga posko sangat
ditentukan biaya pokok produksi usahaternak dan biaya pokok
produksi sangat ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga
broiler di Kota Bali juga banyak ditentukan oleh supply yang ada di
pasar Pulau Jawa terutama Jawa Timur, karena lokasinya yang
secara spasial berdekatan.
Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,998. Ini artinya
bahwa 99,8 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir)
daging broiler dapat dijelaskan variabel-variabel bebasnya
(independent variabel), sedangkan selebihnya sebesar 0,02 persen
dipengaruhi oleh faktor lainnya. Artinya model dapat menjelaskan
fenomena yang dikaji dengan sangat baik.
4.3.4. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Kalimantan Timur Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan, yaitu: (a)
tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) tingkat pedagang
besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel). Berdasarkan hasil
analisis integrasi pasar untuk komoditas daging broiler dari tingkat
petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di Provinsi Kalimantan
Tmur diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:
Pt = 813,709 + 0,945 Pt-1*** + 0,498** (Pd – Pd-1) + 0,019 Pd-1
R2 = 0,924
IMC = 50,767 (tidak terintegrasi)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 108
Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%
Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh
harga ditingkat pedagang besar (grosir) daging ayam di Kota
Samarinda ditransmisikan ke tingkat peternak broiler. Apabila nilai
parameter b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen
pada tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Samarinda akan
menyebabkan perubahan harga sebesar satu persen juga di tingkat
peternak broiler di Kalimantan Timur. Nilai b2 yang diperoleh pada
estimasi diatas menunjukkan sebesar 0,498 atau lebih kecil dari 1
(satu). Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek
perubahan harga daging broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di
Kota Padang tidak tertransmisikan secara sempurna ke tingkat
peternak broiler. Dimana kenaikan harga daging broiler sebesar satu
persen ditingkat pedagang besar (grosir) hanya menyebabkan
kenaikan harga hanya sebesar 0,498 persen atau sekitar
setengahnya ditingkat peternak broiler.
Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga
pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang
berlaku saat ini lebih kecil dari satu baik untuk variabel peternak
periode sebelumnya maupun variabel harga pedagang besar (grosir)
periode sebelumnya. Pengaruh harga pada tingkat peternak periode
sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat peternak (pasar
lokal) saat ini bertanda positip sebesar 0,945 atau dibawah 1 (satu)
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 109
namun sudah mendekati angka 1 (satu). Sama halnya dengan
pengaruh harga pedagang besar (grosir) broiler periode sebelumnya
yang juga bertanda positip, namun kontribusinya jauh lebih kecil dari
1 (satu) yaitu sebesar 0,019. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa
pengaruh harga ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Samarinda
periode sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat
peternak broiler periode sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini
ditingkat peternak broiler. Harga broiler ditingkat pedagang besar
(grosir) periode sebelumnya bukanlah penentu pembentukan utama
harga ditingkat peternak, namun lebih ditentukan harga peternak
sebelumnya.
Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat
peternak periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang
besar (grosir) periode sebelumnya terhadap pembentukan harga
ditingkat peternak saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya
keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut
indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin
mendekati nol dikatakan adanya integrasi pasar jangka panjang
antara pasar di tingkat peternak di Kalimantan Timur dengan pasar
ditingkat pedagang besar (grosir) di Kota Samarinda.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar
50,767. Hal ini mengandung makna bahwa integrasi pasar broiler di
Kota Samarinda antara harga broiler di tingkat peternak Kalimantan
Timur dan harga grosir daging ayam di Samarinda tidak terintegrasi
dengan baik. Tidak terjadinya integrasi pasar daging broiler tersebut
disebabkan harga broiler saat ini cenderung mengikuti harga posko
yang ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-
perusahaan besar peternakan dalam melakukan strategi bersama,
diantaranya adalah penetapan harga posko sebagai acuan bagi
pedagang dalam menebus broiler di tingkat peternak yang menjadi
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 110
anggota mitra usahanya. Sementara itu penentuan harga posko lebih
ditentukan oleh biaya pokok produksi daging broiler, dimana besaran
biaya pokok produksi broiler sangat ditentukan harga pakan ternak.
Disamping itu, harga broiler di Kota Samarinda juga dipengaruhi oleh
pasokan dari Banjar Masin, karena lokasinya yang secara spasial
berdekatan.
Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,924. Artinya
adalah bahwa 92,4 persen variasi harga di tingkat peternak daging
broiler dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya (independent
variabel), sedangkan selebihnya sebesar 7,6 persen dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain diluar model.
Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas
daging broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang
pengecer (ritel) di Provinsi Kalimantan Timur diperoleh hasil estimasi
sebagai berikut:
Pd = -106,910 + 0,857 Pd-1*** + 0,946 (Pc – Pc-1)*** + 0,135 Pc-1
R2 = 0,999
IMC = 6,339 (tidak terintegrasi)
Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1%
Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh
harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Samarinda
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 111
ditransmisikan ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di
Kota Samarinda. Apabila nilai parameter b2 bernilai 1, maka
perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang
pengecer (ritel) akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu
persen juga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Nilai b2
yang diperoleh pada estimasi diatas menunjukkan sebesar 0,946
atau mendekati angka 1. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam
jangka pendek perubahan harga broiler di tingkat pedagang pengecer
(ritel) di Kota Samarinda ditransmisikan dengan dengan cukup baik
ke tingkat pedagang besar daging broiler. Dimana kenaikan harga
daging broiler satu persen ditingkat pedagang pengecer
menyebabkan kenaikan harga 0,946 persen ditingkat pedagang
besar (grosir).
Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga
pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar
(grosir) yang berlaku saat ini kurang dari satu, baik pada tingkat
pedagang besar (grosir) daging broiler maupun pada pedagang
pengecer (ritel). Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar
sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar
(pasar lokal) saat ini bertanda positip dibawah satu, namun cukup
mendekati angka 1 (satu) yaitu sebesar 0,867. Dengan besaran yang
lebih kecil namun dengan tanda yang juga positip diperoleh pada
pengaruh harga pedagang pengecer (ritel) broiler sebelumnya yang
kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar 0,135. Hasil estimasi ini
menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang pengecer
(ritel) di Kota Samarinda periode sebelumnya lebih kecil
dibandingkan dengan harga ditingkat pedagang besar daging broiler
periode sebelumnya terhadap tingkat harga saat ini ditingkat
pedagang besar (grosir) daging broiler. Harga broiler ditingkat
pengecer (ritel) periode sebelumnya bukanlah penentu pembentukan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 112
harga ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler saat ini, namun
lebih ditentukan harga pedagang besar periode sebelumnya.
Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat
pedagang besar (grosir) periode sebelumnya dengan pengaruh harga
pedagang pengecer (ritel) periode sebelumnya terhadap
pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini,
menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang
bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila
nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan
pasar jangka panjang antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir)
daging broiler dengan pasar ditingkat pedagang pengecer (ritel)
daging broiler di Kota Samarinda.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar
6,339. Hal ini menunjukkan tingkat integrasi pasar broiler di Kota
Padang antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan
harga pengecer (ritel) adalah tidak terpadu atau antara ke dua pasar
peternak dan pasar grosir tidak terintegrasi dengan baik. Kurang
adanya keterpaduan pasar tersebut, karena harga broiler pedagang
besar (grosir) saat ini cenderung mengikuti harga posko yang
ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan
besar peternakan dalam menentukan harga bersama. Sementara itu
harga posko sangat ditentukan biaya pokok produksi usahaternak
diantara perusahaan-perusahaan peternakan skala besar dan biaya
pokok produksi tersebut sangat ditentukan harga pakan ternak.
Disamping itu, harga broiler di Kota Samarinda juga banyak
ditentukan oleh pasokan yang berasal dari pasar Banjarmasin karena
lokasinya yang secara spasial berdekatan.
Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,999. Artinya
bahwa 99,9 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir)
daging broiler dapat di Kota Samarinda dapat dijelaskan dengan baik
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 113
oleh variabel-variabel bebasnya (independent variabel), sedangkan
selebihnya sebesar 0,01 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya.
Artinya model dapat yang dibuat dapat menjelaskan fenomena yang
dikaji dengan sangat baik.
4.3.5. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Jawa Barat Analisis integrasi pasar dilakukan pada dua tingkatan, yaitu: (a)
tingkat peternak ke pedagang besar (grosir), (b) tingkat pedagang
besar (grosir) ke pedagang pengecer (ritel). Berdasarkan hasil
analisis integrasi pasar untuk komoditas daging broiler dari tingkat
petani (peternak) ke pedagang besar (grosir) di Provinsi Jawa Barat
diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:
Pt = 1265,167* + 1,024 Pt-1** + 0,046 (Pd – Pd-1) - 0,068 Pd-1**
R2 = 0,957
IMC = -15,057 (tidak terintegrasi)
Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1% Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh
harga ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di Kota
Bandung ditransmisikan ke tingkat peternak. Apabila nilai parameter
b2 bernilai 1, maka perubahan harga sebesar satu persen pada
tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bandung akan menyebabkan
perubahan harga sebesar satu persen di tingkat peternak broiler di
Jawa Barat. Nilai b2 yang diperoleh dari hasil estimasi diatas
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 114
diperoleh nilai sebesar 0,046 atau jauh lebih kecil dari angka 1 (satu).
Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam jangka pendek perubahan
harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota Bandung tidak
ditransmisikan secara baik ke tingkat peternak broiler. Dimana
kenaikan harga daging broiler satu persen ditingkat pedagang besar
(grosir) hanya menyebabkan kenaikan harga 0,046 persen ditingkat
peternak broiler.
Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga
pada periode sebelumnya terhadap harga broiler peternak yang
berlaku saat ini lebih dari satu untuk variabel peternak periode
sebelumnya dan kurang dari satu untuk variabel harga pedagang
besar (grosir) periode sebelumnya. Pengaruh harga pada tingkat
peternak periode sebelumnya (pasar lokal) terhadap harga tingkat
peternak (pasar lokal) saat ini bertanda positip dan diatas satu yaitu
sebesar 1,024. Berbeda halnya dengan pengaruh harga pedagang
besar (grosir) broiler periode sebelumnya yang bertanda negatip dan
kontribusinya kurang dari satu yaitu sebesar -0,068. Hasil estimasi ini
menunjukkan bahwa pengaruh harga ditingkat pedagang besar
(grosir) di Kota Bandung periode sebelumnya lebih kecil
dibandingkan dengan harga ditingkat peternak broiler periode
sebelumnya terhadap tingkat harga ditingkat peternak saat ini. Harga
broiler ditingkat pedagang besar (grosir) periode sebelumnya
bukanlah penentu pembentukan utama harga ditingkat peternak,
namun lebih ditentukan harga peternak periode sebelumnya.
Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat
peternak periode sebelumnya dengan pengaruh harga pedagang
besar (grosir) periode sebelumnya terhadap pembentukan harga
ditingkat peternak saat ini, menunjukkan tinggi rendahnya
keterpaduan antara kedua pasar yang bersangkutan yang disebut
indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila nilai IMC semakin
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 115
mendekati nol dikatakan adanya keterpaduan pasar jangka panjang
antara pasar di tingkat peternak broiler dengan pasar ditingkat
pedagang besar (grosir) di Kota Bandung.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar
15,057. Hal ini berarti bahwa keterpaduan pasar broiler di Kota
Bandung antara harga broiler di tingkat peternak dan harga grosir
tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terjadinya keterpaduan pasar
broiler tersebut disebabkan harga broiler di Jawa Barat saat ini
cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan PINSAR yang
merupakan wadah perusahaan-perusahaan besar peternakan.
Dimana para pedagang membeli broiler ke peternak dengan
berpatokan pada harga posko sebagai harga acuan. Sementara itu,
penentuan harga posko lebih ditentukan oleh biaya pokok produksi
daging broiler, dimana besaran biaya pokok produksi broiler sangat
ditentukan harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota
Bandung juga banyak ditentukan oleh pasokan yang ada di daerah-
daerah sentra produksi di Jawa Barat (Tasikmalaya, Ciamis, Bogor)
dan daerah pusat pasar utama DKI Jakarta, karena lokasinya yang
secara spasial berdekatan.
Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,957. Ini artinya
adalah 96 persen variasi harga di tingkat peternak broiler dapat
dijelaskan oleh variabel-variabel bebasnya (independent variabel),
sedangkan selebihnya sebesar 4 persen dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain diluar model.
Berdasarkan hasil analisis integrasi pasar untuk komoditas
broiler dari tingkat pedagang besar (grosir) ke pedagang pengecer
(ritel) di Provinsi Jawa Barat diperoleh hasil estimasi sebagai berikut:
Pd = -32.506 + 1,274 Pd-1 *** + 0,932 (Pc – Pc-1)*** + 0,322 Pc-1**
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 116
R2 = 0,999
IMC = -3,953 (tidak terintegrasi)
Keterangan : Pt = harga di tingkat peternak saat ini Pt-1 = harga di tingkat peternak periode sebelumnya Pd = harga di tingkat pedagang besar Pd-1= harga di tingkat pedagang besar periode sebelumnya Pc = harga di tingkat pengecer Pc-1= harga di tingkat pengecer periode sebelumnya *) = signifikan 10% **) = signifikan 5 % ***) = signifikan 1% Koefisien b2 pada hasil estimasi menunjukkan seberapa jauh
harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bandung
ditransmisikan ke tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler di
Kota Bandung. Apabila nilai parameter b2 bernilai 1, maka
perubahan harga sebesar satu persen pada tingkat pedagang
pengecer (ritel) akan menyebabkan perubahan harga sebesar satu
persen juga di tingkat pedagang besar (grosir) daging broiler. Nilai b2
yang diperoleh pada estimasi diatas menunjukkan sebesar 0,932
atau mendekati angka 1. Hasil estimasi ini berarti bahwa dalam
jangka pendek perubahan harga broiler di tingkat pedagang pengecer
(ritel) di Kota Bandung ditransmisikan dengan dengan cukup baik ke
tingkat pedagang besar daging broiler. Dimana kenaikan harga
daging broiler satu persen ditingkat pedagang pengecer
menyebabkan kenaikan harga 0,932 persen ditingkat pedagang
besar (grosir).
Dari hasil estimasi juga diperoleh hasil bahwa kontribusi harga
pada periode sebelumnya terhadap harga broiler pedagang besar
(grosir) yang berlaku saat ini lebih besar dari satu, sedangkan pada
pedagang pengecer (ritel) periode sebelumnya lebih kecil dari satu.
Pengaruh harga pada tingkat pedagang besar periode sebelumnya
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 117
(pasar lokal) terhadap harga tingkat pedagang besar (pasar lokal)
saat ini bertanda positip lebih besar dari satu yaitu sebesar 1,274.
Dengan besaran yang lebih kecil dari satu namun dengan tanda yang
juga positip juga diperoleh pada pengaruh harga pedagang pengecer
(ritel) broiler sebelumnya yang kontribusinya kurang dari satu yaitu
sebesar 0,322. Hasil estimasi ini menunjukkan bahwa pengaruh
harga ditingkat pedagang pengecer (ritel) di Kota Bandung periode
sebelumnya lebih kecil dibandingkan dengan harga ditingkat
pedagang besar daging broiler periode sebelumnya terhadap tingkat
pedagang besar (grosir) daging broiler saat ini. Harga broiler ditingkat
pengecer (ritel) periode sebelumnya bukanlah penentu utama
pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) daging broiler
saat ini.
Perbandingan antara koefisien pengaruh harga ditingkat
pedagang besar (grosir) periode sebelumnya dengan pengaruh harga
pedagang pengecer (ritel) periode sebelumnya terhadap
pembentukan harga ditingkat pedagang besar (grosir) saat ini,
menunjukkan tinggi rendahnya keterpaduan antara kedua pasar yang
bersangkutan yang disebut indeks hubungan pasar atau IMC. Apabila
nilai IMC semakin mendekati nol, itu berarti adanya keterpaduan
pasar jangka panjang antara pasar di tingkat pedagang besar (grosir)
daging broiler dengan pasar ditingkat pedagang pengecer (ritel) di
Kota Bandung.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai IMC sebesar -
3,953. Hal ini menunjukkan tingkat keterpaduan pasar broiler di Kota
Bandung antara harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan
harga pengecer (ritel) adalah tidak terintegrasi dengan baik. Kurang
adanya keterpaduan pasar tersebut, karena harga broiler pedagang
besar (grosir) saat ini cenderung mengikuti harga posko yang
ditentukan PINSAR yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 118
besar peternakan dalam melakukan kesepakatan harga posko
bersama. Sementara itu harga posko sangat ditentukan biaya pokok
produksi usahaternak dan biaya pokok produksi sangat ditentukan
harga pakan ternak. Disamping itu, harga broiler di Kota Bandung
juga banyak dipengaruhi oleh pasokan dari daerah sentra produksi
(Tasikmalaya, Ciamis, Bogor) dan harga di tujuan pasar utama DKI
Jakarta, karena lokasinya yang secara spasial berdekatan.
Nilai R2 pada analisis diatas diperoleh sebesar 0,999. Ini artinya
bahwa 99,9 persen variasi harga di tingkat pedagang besar (grosir)
daging broiler dapat di Kota Bandung dapat dijelaskan variabel-
variabel bebasnya (independent variabel), sedangkan selebihnya
sebesar 0,01 persen dipengaruhi oleh faktor lainnya. Artinya model
yang dibangun dapat menjelaskan fenomena yang dikaji dengan
sangat baik.
4.3.6. Variasi Pergerakan Harga Ayam Broiler dan Margin di Peternak dan Pengecer di Beberapa Wilayah
Tingkat integrasi harga dapat juga dilihat dari pola dan
pergerakan harga ayam broiler di tingkat peternak dan pengecer.
Pada gambar 4.4, dapat dilihat pola pergerakan harga peternak dan
pengecer untuk wilayah Surabaya. Jika dilihat pola pergerakan harga,
terlihat bahwa terjadi pergerakan yang simetris antara harga di
tingkat peternak dan pengecer.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 119
-10.000
-5.000
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
5 1426 4 1524 6 1527 6 1827 8 18311221301020 3 7 1627 8 22 3 1223 3 141124 9 18 9 213010 2 1423 6 1526 4 1625 7 1729 7 1827
Agust Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr
2014 2015 2016
Rp/kg
MarginPeternak Peternak Pengecer
Gambar 4.4 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Surabaya
Pada gambar yang sama, juga terdapat tingkat margin
peternak. Terlihat bahwa margin peternak di Surabaya lebih banyak
yang bernilai negatif selama rentang waktu tersebut yang artinya
peternak di Jawa Timur lebih sering mengalami kerugian.
-10000
-5000
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
12 20 28 5 15 23 1 9 17 27 4 12 20 28 8 16 24 6 14 26 5 17 2 2 13 21 29 9 17 25 3 3 11 20 7 15 5 13 21 29 6 16 7 15 23 5 13 21 29
Agust Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr
2014 2015 2016
Rp/Kg
MarginPeternak Pengecer Peternak
Gambar 4.5 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Padang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 120
Pada gambar 4.5, terlihat pergerakan harga tingkat peternak
dan pengecer di Padang. Pola harga keduanya hampir sama dan
diferensiasi nya simetris. Namun jika dilihat margin peternak,
peternak Padang sangat merugi. Hal ini terlihat bahwa pada rentang
waktu Agustus 2014 hingga April 2016 peternak lebih banyak
mengalami kerugian. Hal ini juga sejalan dengan hasil survei yang
dilakukan di kota Padang. Banyak sekali peternak mandiri yang harus
gulung tikar. Sebagian peternak terpaksa berhenti beternak dan
menyewakan asset kandangnya untuk peternak kemitraan skala
kecil.
(10.000)
(5.000)
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
4 1322 2 1122 6 1524 4 1426 5 18311221 2 1123 4 8 17281125
4 1524 6 3 121 10 9 213010 2 1423 61526
41625
81830
112029
Agust Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul AgustSep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr
2014 2015 2016
Rp/kg
MarginPeternak Pengecer Peternak
Gambar 4.6 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Denpasar
Gambar 4.6 menunjukkan pola dan pergerakan harga ayam
broiler di peternak dan pengecer untuk wilayah Denpasar dimana
memiliki tren yang hampir sama dengan Surabaya. Baik harga
peternak maupun harga pengecer memiliki pola yang sama dengan
level diferensiasi yang juga relatif sama (simetri) dalam rentang waktu
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 121
pengamatan. Pada rentang waktu yang sama, margin peternak di
Denpasar relatif lebih baik jika dibandingkan margin peternak di
Surabaya. Hal ini dimungkinkan karena jumlah peternak mandiri di
Denpasar lebih banyak sehingga memiliki pangsa yang lebih besar.
Selain itu, tingkat profit yang lebih tinggi untuk peternak mandiri
mengakibatkan margin peternak di Denpasar cenderung positif. Hal
ini juga didorong oleh kebijakan pemerintah daerah yang membatasi
pasokan ayam broiler dari luar Provinsi Bali.
Lain halnya pola pergerakan harga tingkat peternak dan
pengecer di Samarinda. Pola pergerakan harga dan tingkat
diferensiasi harga keduanya juga tidak simetris sebagaimana di
Surabaya, Denpasar dan Padang. Harga peternak terlihat relative
lebih stabil dibandingkan harga di tingkat pengecer. Margin peternak
di Samarinda juga lebih baik dibandingkan Surabaya dan padang.
Secara agregat, margin peternak di Samarinda positif. Hal ini dapat
dilihat pada gambar 4.7 berikut.
-10000
0
10000
20000
30000
40000
50000
6 1526 4 1524 6 1524 6 1726 5 1629 8 1928 6 20 3 7 1627 8 22 3 1223 3 1412 1 10 1 1222 2 11 3 1528 7 1827 5 1726 8 1830 8 19
Agust Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr
2014 2015 2016
Rp/kg
MarginPeternak Peternak Pengecer
Gambar 4.7 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Samarinda
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 122
5. BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil analisis mengenai struktur pasar dalam pemasaran
ayam broiler, disimpulkan bahwa:
a. Struktur pasar yang dihadapi peternak mandiri di Indonesia adalah
struktur pasar yang bersifat oligopsoni dimana harga lebih ditentukan
oleh pembeli atau pedagang.
b. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul/pengepul (broker)
dan pedagang besar pasar (grosir) di Indonesia terhadap perusahaan
skala besar (inti) adalah struktur pasar oligopoli yang mengarah ke
bentuk kartel.
c. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer di pasar-pasar
tradisional di Kota-Kota Indonesia terhadap pedagang diatasnya
cenderung mengarah ke pasar monopolistik, kecuali di Provinsi Jawa
Timur yang mendekati pasar persaingan sempurna.
d. Struktur pasar yang dihadapi peternak mandiri yang memasok untuk
Super Market/Hypermarket atau Pasar Swalayan di Kota-Kota
Indonesia adalah struktur pasar oligopsoni.
e. Tingkat persaingan usaha antar pedagang pengepul dan antar
pedagang besar di pasar dalam memperoleh broiler tergantung pada
musim dan situasi pasar. Pada saat musim pasar ramai persaingan
tergolong sedang hingga tinggi, sedangkan pada situasai pasar sepi
persaingan rendah hingga sedang. Persaingan dalam menjual broiler
tergolong tinggi. Sementara persaingan dalam mendapatkan informasi
pasar tergolong rendah hingga sedang.
f. Tingkat persaingan usaha antar pedagang pengecer di pasar-pasar
tradisional di Kota Besar di Indonesia dalam perolehan broiler/daging
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 123
ayam tergolong sedang hingga tinggi. Persaingan dalam menjual
produk daging ayam di pasar-pasar tradisional tergolong tinggi yang
direfleksikan tingkat harga yang kompetitif antar pedagang pengecer
satu dengan lainnya. Sementara itu persaingan dalam mendapatkan
informasi pasar tergolong rendah hingga sedang.
g. Kinerja pasar dapat dilihat dari hasil analisis margin tataniaga dan
harga yang terbentuk di setiap rantai pemasaran. Hasil analisis margin
tiap pelaku usaha dalam pemasaran ayam broiler adalah sebagai
berikut:
a. Secara umum, keuntungan pelaku usaha (per unit output) dalam
pemasaran ayam broiler lebih besar dibandingkan biaya yang
dikeluarkan kecuali bagi pedagang besar/grosir dimana biaya per unit
output lebih besar daripada keuntungan. Hal ini merefleksikan cukup
tingginya posisi tawar pedagang.
b. Jika dibandingkan antar pelaku dalam rantai pemasaran, maka
keuntungan terbesar yang diterima oleh pelaku tataniaga secara
berturut-turut adalah pedagang pengecer, pedagang pengumpul, dan
pedagang besar/grosir di pasar. Secara rinci, terlampir grafik yang
menggambarkan keuntungan dan biaya yang dikeluarkan per unit
output oleh masing-masing pelaku tataniaga. Berdasarkan pola
margin (keuntungan) tiap pelaku di semua wilayah survei, dapat
disimpulkan bahwa pemasaran ayam broiler tidak efisien kecuali di
wilayah provinsi Jawa Timur
2. Analisis integrasi pasar menggunakan model Ravallion, diperoleh hasil
bahwa:
a. Keterpaduan (integrasi) pasar yang diindikasikan oleh harga broiler di
tingkat peternak dan di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota-Kota
Besar Indonesia tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terjadinya
integrasi pasar broiler tersebut disebabkan harga broiler saat ini
cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan asosiasi yang
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 124
merupakan wadah perusahaan-perusahaan besar peternakan dalam
penentuan strategi bersama, diantaranya dalam penentuan harga
posko yang merupakan harga patokan pedagang dalam menebus
broiler di peternak mitra perusahaan tersebut.
b. Keterpaduan (integrasi) pasar yang diindikasikan oleh harga broiler di
tingkat pedagang besar (grosir) dan di tingkat pedagang pengecer di
pasar-pasar tradisional di Kota-Kota Besar di Indonesia secara relatif
lebih terintegrasi dibandingkan dari level peternak ke pedagang grosir.
Keterpaduan pasar yang paling baik ditemukan di Provinsi Jawa Timur
yang merupakan daerah sentra produksi broiler dan sekaligus daerah
sentra produksi bahan baku pakan. Lebih terintegrasinya pasar daging
broiler dari pedagang besar ke pedagang pengecer di Kota Surabaya
disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: (a) Jawa Timur merupakan
daerah sentra produksi broiler sekaligus daerah sentra produksi pakan
dan bahan baku pakan; (b) Penetapan harga Posko oleh asosiasi tidak
selalu diikuti oleh semua pelaku pasar; dan (c) Informasi relatif lebih
terbuka terutama informasi mengenai harga. Sementara itu, di
Sumatera Barat, Bali, Kalimantan Timur dan Jawa Barat pasar daging
ayam tidak terintegrasi dengan baik.
3. Pembentukan harga broiler hidup di tingkat produsen (perusahaan skala
besar dan peternak mandiri) sangat ditentukan oleh kekuatan oligopoli
yang cenderung ke bentuk kartel perusahaan peternakan skala besar
melalui penentuan harga posko oleh asosiasi sebagai harga patokan
untuk penebusan pedagang pengepul/broker dan pedagang besar
(grosir). Pada pasar broiler hidup, pengaruh faktor penawaran dan
permintaan relatif kecil. Sementara, pembentukan harga daging ayam di
tingkat pasar eceran (ritel) selain dipengaruhi oleh kekuatan oligopoli
perusahaan peternakan skala besar, faktor kekuatan penawaran (suppy)
dan permintaan (demand) masih cukup berpengaruh (signifikan).
Mekanisme pasar daging ayam berjalan cukup kompetitif dan terintegrasi
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 125
dengan baik pada lokasi daerah sentra produksi utama broiler yang juga
merupakan daerah sentra produksi bahan baku pakan yakni Provinsi
Jawa Timur.
5.2. Rekomendasi 1. Perlu melakukan perbaikan struktur pasar agar lebih kompetitif yakni
dengan: (a) mendorong pelaku usaha baru untuk masuk pada industri
broiler baik di sisi input maupun output; dan (b) menindak tegas pelaku
usaha di industri broiler yang melakukan persaingan usaha tidak sehat
(oligopoli atau kartel).
2. Perlu adanya penyeimbangan sebaran margin pemasaran di antara
pelaku usaha berdasarkan kontribusi masing-masing pelaku sesuai biaya
pemasaran dan resiko yang dihadapi oleh masing-masing pelaku dengan:
(a) menerapkan regulasi tentang harga acuan; (b) penataan pasar yang
lebih baik dari aspek fisik maupun managemen sesuai SNI Pasar Rakyat;
dan (c) meningkatkan peran PD Pasar dalam penataan dan penertiban
pedagang pengecer.
3. Meningkatkan transmisi harga dari pedagang pengecer ke pedagang
besar dan selanjutnya ke perternak melalui peningkatan akses informasi
pasar secara transparan dengan menyediakan fasilitas dan infrastruktur
informasi harga secara online.
4. Memperpendek rantai distribusi melalui: (a) optimalisasi peran rumah
potong unggas tidak hanya sebatas penyediaan jasa pemotongan
melainkan juga sebagai pedagang grosir maupun pengecer; (b) memberi
akses langsung peternak ke retail-retail modern (meat shop) di pusat-
pusat konsumen yang dikelola oleh asosiasi peternak (misalnya Toko
Tani Indonesia, Rumah Pangan Rakyat, BUMD) maupun swasta; serta (c)
membangun infrastruktur distribusi berupa cold storage.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 126
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, C & Wyeth, J 1994 Cointegration and Market Integration: An Application to the Indonesian Rice Market The Journal of Development Studies, Vol 30, No. 2, January 1994 pp. 303-328
Asmarantaka, R. W. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian dalam
Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bahri, D.I, Z. Fanani, dan B.A. Nugroho. 2012. Analisis Struktur Biaya dan Perbedaan Pendapatan Usaha Ternak Ayam Ras Pedaging pada Pola dan Skala Usaha Ternak yang Berbeda di Kota Kendari Provinsi SulawesiI Tenggara, Jurnal Ternak Tropika Vo.13, No. 1:35-46
Dahl, Dale C and Jerome W. Hamond. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. McGraw-Hill. USA.
Djulin, A & Malian, AH 2003 Struktur dan Integrasi Pasar Ekspor Lada Hitam dan Lada Putih di Daerah Produksi Utama, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Ditjen PKH, 2013. Statistik Peternakan 2013. Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, Departemen Pertanian. Indonesia.
Fackler, PL & Goodwin BK 2001 Spatial Price Analysis Departement of Agricultural & Resource Economics, North Carolina State University
Fadilah, R. 2004. Panduan Mengelola Peternakan Aam Broiler Komersial. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Fitriani, Anna, Heny K. Daryanto, Rita Nurmalina dan Sri Heny Susilowati (2014). Impact on Increasing Concentration in Indonesian Brolier Industry. International Journal of Poultry Science 13 (4): 191-197
Fitriani, Anna, Heny K. Daryanto, Rita Nurmalina dan Sri Heny Susilowati (2014). Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Broiler Indonesia: Pendekatan Model Simultan. Jurnal Agro Ekonomi 32 (2): International Journal of Poultry Science 13 (4): 167-186
Henderson, J. M., and R. E. Quandt. 1980. Microeconomic Theory A Mathematical Approach. McGraw Hill International Books Company. London.
Koutsoyannis, A. 1979. Modern Microeconomics. Second Edition. The Macmillan Press LTD. London.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 127
Purcel, Wayne D. 1979. Agriculture Marketing: System, Coordination, Cash and Future Prices. A Prentice-Hall Company. Reston. Virginia. USA.
Ravallion, M 1986 Testing Market Integration American Agricultural Economics Association
Sarwanto, C. 2004. Kemitraan, Produksi dan Pendapatan Peternak Ayam Ras Pedaging (Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar dan Sukohardjo). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Tesis (Tidak Dipublikasikan).
Sayaka, B 2006 Market Structure of The Corn Seed Industry in East Java Jurnal Agro Ekonomi, Volume 24 no. 2 Oktober 2006: 133-156
Saptana dan A. Daryanto. 2013. Dinamika Kemitraan Usaha Agribisnis Berdayasaing dan Berkelanjutan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Saptana dan H. P. Saliem. 2015. Tinjauan Konseptual Makro-Mikro Pemasaran dan Implikasinya Bagi Pembangunan Pertanian. Forum Agro Ekonomi, Volume 38 No. 2, Desember 2015, hal: 1-18.
Tomeck, William G and Kenneth L. Robinson. 1990. Aricultural Product Prices. Third Edition. Cornell University Press.
Tahir, Z 1997 Integration of Agricultural Commodity Markets in the South Punjab, Pakistan National Program, International Irrigation Management Institute Lahore
____PINSAR. 2016. Perkembangan Harga Peternak Ayam Broiler ____Ditjen Pedagangan Dalam Negeri. 2016. Perkembangan Harga Eceran
Daging Ayam di Indonesia
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 129
MEMO KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA SEKTOR PERUNGGASAN DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP EFISIENSI PEMASARAN DAGING AYAM Isu Kebijakan 1. Studi awal Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan
adanya ketimpangan tingkat margin di antara pelaku usaha di setiap rantai pemasaran/distribusi ayam broiler. Di antara pelaku di setiap rantai pemasaran, peternak berada pada posisi yang paling lemah.
2. Struktur pasar yang didominasi oleh perusahaan besar terintegrasi berdampak pada persaingan yang kurang berimbang sehingga mempengaruhi harga daging ayam di tingkat peternak hingga ke pengecer.
3. Perlu adanya analisis mendalam mengenai struktur, perilaku, dan kinerja rantai pemasaran/ distribusi produk unggas di Indonesia untuk melihat tingkat persaingan dan efisiensi pemasaran ayam broiler di tingkat peternak hingga ke pengecer.
Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Ayam Broiler Indonesia dan Implikasinya terhadap Efisiesi Pemasaran 4. Struktur produksi industri broiler di Indonesia didominasi oleh
perusahaan besar terintegrasi dengan pangsa pasar mencapai 85% dan sisanya (15%) merupakan peternak mandiri. Kondisi ini menyebabkan posisi peternak mandiri semakin tertekan.
5. Hasil analisis struktur pasar yang dihadapi pada setiap pelaku usaha dalam pemasaran ayam broiler di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Struktur pasar yang dihadapi peternak mandiri di Indonesia adalah
struktur pasar yang bersifat oligopsoni, karena harga lebih ditentukan oleh pembeli atau pedagang. Sementara itu pada pola usahaternak kemitraan usaha baik kemitraan internal maupun eksternal hanya diposisikan sebagai mitra kerja (plasma) yang dijamin penjualan dengan keuntungan terbatas yang ditetapkan oleh perusahaan inti, dengan syarat melakukan usahaternak dengan standar teknis dan manajemen yang direkomendasikan oleh perusahaan inti.
b. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul/pengepul (broker) dan pedagang besar pasar (grosir) di Indonesia terhadap perusahaan skala besar (inti) adalah struktur pasar oligopoli yang mengarah ke bentuk kartel. Dalam hal ini produsen sejatinya adalah perusahaan inti yang memposisikan sebagai perusahaan oligopoli terhadap pedagang pengepul dan pedagang grosir broiler. Adanya indikasi kartel ini ditunjukkan adanya kesepakatan harga di antara perusahaan peternakan dalam penentuan harga jual melalui penentuan harga posko dimasing-masing wilayah.
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 130
c. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di Kota-Kota Indonesia terhadap pedagang diatasnya cenderung mengarah ke pasar monopolistik, kecuali di Provinsi Jawa Timur yang mendekati pasar persaingan sempurna. Hal ini ditunjukkan: (a) Jumlah pedagang besar (grosir) cukup banyak dan pengecer yang sangat banyak; (b) Penguasaan pangsa produksi broiler masing-masing pedagang besar (grosir) relatif sama besarnya; (c) relatif tingginya hambatan keluar masuk bagi pedagang besar/grosir (misalnya: fasilitas, permodalan, akses pasar untuk memperoleh dan menjual barang) dan relatif rendahnya hambatan keluar masuk pasar bagi pedagang pengecer; dan (d) pedagang pengecer menjual produk yang homogen, daging broiler dengan jenis dan kualitas yang relatif sama.
d. Struktur pasar yang dihadapi peternak mandiri yang memasok untuk Supermarket/ Hypermarket atau Pasar Swalayan di Kota-Kota Indonesia adalah struktur pasar oligopsoni. Secara umum harga ditetapkan oleh pihak Supermarket/ Hypermarket/ Pasar Swalayan, namun dengan tingkat harga yang lebih tinggi dibandingkan harga pasar (selisih harga berkisar Rp 2000-3000/Kg), namun tuntutan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas pasokan sangat tinggi. Kerjasama antara pemasok dan supermarket/ hypermarket adalah dalam bentuk kontrak pemasaran spesifik untuk produk broiler, baik dalam bentuk karkas ayam segar maupun sudah dalam bentuk parting dengan spesifikasi yang telah ditentukan.
e. Tingkat persaingan usaha antar pedagang pengepul dan antar pedagang besar di pasar dalam memperoleh broiler tergantung pada musim dan situasi pasar. Pada saat musim pasar ramai persaingan tergolong sedang hingga tinggi, sedangkan pada situasi pasar sepi persaingan rendah hingga sedang. Persaingan dalam menjual broiler tergolong tinggi. Sementara persaingan dalam mendapatkan informasi pasar tergolong rendah hingga sedang.
f. Tingkat persaingan usaha antar pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di kota besar di Indonesia dalam perolehan broiler/daging ayam tergolong sedang hingga tinggi. Persaingan dalam menjual produk daging ayam di pasar-pasar tradisional tergolong tinggi yang direfleksikan tingkat harga yang kompetitif antar pedagang pengecer satu dengan lainnya. Sementara itu persaingan dalam mendapatkan informasi pasar tergolong rendah hingga sedang.
6. Kinerja pasar dapat dilihat dari hasil analisis margin tataniaga dan harga yang terbentuk di setiap rantai pemasaran. Hasil analisis margin tiap pelaku usaha dalam pemasaran ayam broiler adalah sebagai berikut:
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 131
a. Secara umum, keuntungan pelaku usaha (per unit output) dalam pemasaran ayam broiler lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan, kecuali bagi pedagang besar/grosir dimana biaya per unit output lebih besar daripada keuntungan. Hal ini merefleksikan cukup tingginya posisi tawar pedagang.
b. Jika dibandingkan antar pelaku dalam rantai pemasaran, maka keuntungan terbesar yang diterima oleh pelaku tataniaga secara berturut-turut adalah pedagang pengecer, pedagang pengumpul, dan pedagang besar/grosir di pasar. Secara rinci, terlampir grafik yang menggambarkan keuntungan dan biaya yang dikeluarkan per unit output oleh masing-masing pelaku tataniaga. Berdasarkan pola margin (keuntungan) tiap pelaku di semua wilayah survei, dapat disimpulkan bahwa pemasaran ayam broiler tidak efisien kecuali di wilayah provinsi Jawa Timur
7. Analisis integrasi pasar menggunakan model Ravallion, diperoleh hasil bahwa: a. Keterpaduan (integrasi) pasar yang diindikasikan oleh harga broiler
di tingkat peternak dan di tingkat pedagang besar (grosir) di Kota-Kota Besar Indonesia tidak terintegrasi dengan baik. Tidak terjadinya integrasi pasar broiler tersebut disebabkan harga broiler saat ini cenderung mengikuti harga posko yang ditentukan asosiasi yang merupakan wadah perusahaan-perusahaan besar peternakan dalam penentuan strategi bersama, diantaranya dalam penentuan harga posko yang merupakan harga patokan pedagang dalam menebus broiler di peternak mitra perusahaan tersebut.
b. Keterpaduan (integrasi) pasar yang diindikasikan oleh harga broiler di tingkat pedagang besar (grosir) dan di tingkat pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional di kota-kota besar di Indonesia secara relatif lebih terintegrasi dibandingkan dari level peternak ke pedagang grosir. Keterpaduan pasar yang paling baik ditemukan di Provinsi Jawa Timur yang merupakan daerah sentra produksi broiler dan sekaligus daerah sentra produksi bahan baku pakan. Lebih terintegrasinya pasar daging broiler dari pedagang besar ke pedagang pengecer di kota Surabaya disebabkan oleh beberapa faktor, yakni: (a) Jawa Timur merupakan daerah sentra produksi broiler sekaligus daerah sentra produksi pakan dan bahan baku pakan; (b) Penetapan harga Posko oleh asosiasi tidak selalu diikuti oleh semua pelaku pasar; dan (c) Informasi relatif lebih terbuka terutama informasi mengenai harga. Sementara itu, di Sumatera Barat, Bali, Kalimantan Timur dan Jawa Barat pasar daging ayam tidak terintegrasi dengan baik.
8. Pembentukan harga broiler hidup di tingkat produsen (perusahaan skala besar dan peternak mandiri) sangat ditentukan oleh kekuatan oligopoli yang cenderung ke bentuk kartel perusahaan peternakan skala besar melalui penentuan harga posko oleh asosiasi sebagai harga patokan
Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 132
untuk penebusan pedagang pengepul/ broker dan pedagang besar (grosir). Pada pasar broiler hidup, pengaruh faktor penawaran dan permintaan relatif kecil. Sementara, pembentukan harga daging ayam di tingkat pasar eceran (ritel) selain dipengaruhi oleh kekuatan oligopoli perusahaan peternakan skala besar, faktor kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand) masih cukup berpengaruh (signifikan). Mekanisme pasar daging ayam berjalan cukup kompetitif dan terintegrasi dengan baik pada lokasi daerah sentra produksi utama broiler yang juga merupakan daerah sentra produksi bahan baku pakan yakni Provinsi Jawa Timur.
Rekomendasi Kebijakan 9. Struktur pasar industri broiler secara umum bersifat oligopoli baik untuk
pasar input (bibit, pakan, dan obat-obatan) maupun output (ayam broiler). Untuk itu perlu memperbaiki struktur pasar agar lebih kompetitif yakni dengan: (a) mendorong pelaku usaha baru untuk masuk pada industri broiler baik di sisi input maupun output; dan (b) menindak tegas pelaku usaha di industri broiler yang melakukan persaingan usaha tidak sehat (oligopoli atau kartel).
10. Perlu adanya penyeimbangan sebaran margin pemasaran di antara pelaku usaha berdasarkan kontribusi masing-masing pelaku sesuai biaya pemasaran dan resiko yang dihadapi oleh masing-masing pelaku dengan: (a) menerapkan regulasi tentang harga acuan; (b) penataan pasar yang lebih baik dari aspek fisik maupun managemen sesuai SNI Pasar Rakyat; dan (c) meningkatkan peran PD Pasar dalam penataan dan penertiban pedagang pengecer.
11. Meningkatkan transmisi harga dari pedagang pengecer ke pedagang besar dan selanjutnya ke peternak melalui peningkatan akses informasi pasar secara transparan dengan menyediakan fasilitas dan infrastruktur informasi harga secara online.
12. Memperpendek rantai distribusi melalui: (a) optimalisasi peran rumah potong unggas tidak hanya sebatas penyediaan jasa pemotongan melainkan juga sebagai pedagang grosir maupun pengecer; (b) memberi akses langsung peternak ke retail-retail modern (meat shop) di pusat-pusat konsumen yang dikelola oleh asosiasi peternak (misalnya Toko Tani Indonesia, Rumah Pangan Rakyat, BUMD) maupun swasta; serta (c) membangun infrastruktur distribusi berupa cold storage.