jejas

28
MAKALAH FARMAKOLOGI UJI ANTIINFLAMASI METODE VOLUME UDEM Oleh : KELOMPOK 2 Rina Ardina Suprapto 201310410311012 Canthika Annisa A 201310410311013 Annisa Puspita Dewi 201310410311016 Annitya Nur Azizah 201310410311017 Winda Hayati 201310410311018 Yasintha Fadiah 201310410311022 Andri Apriandi Rahman 201310410311025 Eka Ismiyanti 201310410311026 Nafiqotut Thoyibah 201310410311292 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Upload: rere-maulidina

Post on 20-Feb-2016

11 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

jejass

TRANSCRIPT

Page 1: jejas

MAKALAH FARMAKOLOGI

UJI ANTIINFLAMASI METODE VOLUME UDEM

Oleh :

KELOMPOK 2

Rina Ardina Suprapto 201310410311012

Canthika Annisa A 201310410311013

Annisa Puspita Dewi 201310410311016

Annitya Nur Azizah 201310410311017

Winda Hayati 201310410311018

Yasintha Fadiah 201310410311022

Andri Apriandi Rahman 201310410311025

Eka Ismiyanti 201310410311026

Nafiqotut Thoyibah 201310410311292

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2014

Page 2: jejas

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan taufik serta hidayah-Nya kepada kita semua sehingga penulisan makalah dengan judul UJI ANTIINFLAMASI METODE VOLUME UDEM dapat terselesaikan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Nailis Syifa’, S.Farm., Apt. selaku Dosen Mata Kuliah Praktikum Farmakologi yang telah memberikan dorongan moril untuk melakukan penulisan makalah.

2. Kakak-kakak asisten yang telah membimbing penyusun dalam menyelesaikan makalah ini.

3. Kedua orang tua penyusun yang telah memberikan dorongan moril dan material.4. Semua pihak yang telah memberi semangat penyusun dalam menyelesaikan makalah ini

yang tidak dapat penyusun sebutkan satu-persatu.Penyusun menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, penyusun bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca guna perbaikan penulisan makalah untuk di masa yang akan datang.

Malang, November 2014

Penyusun

Page 3: jejas

Daftar Isi

Page 4: jejas

Bab I. Pendahuluan

1.1 Rumusan Masalah1. Bagaimana efek antiinflamasi dari Na-diklofenak, infus rimpang temu putih 5%, 10%

dan 20% terhadap udem kaki tikus? 2. Apakah Rimpang temu putih dapat memberikan efek antiinflamasi?3. Bagaimana mekanisme udem pada pada kaki tikus setelah diberikan penginduksi udem

(Karagenin 1%)? 4. Bagaimana mekanisme Na-diklofenak sehingga memberikan efek antiinflamasi?5. Bagaimana hipotesis mekanisme infuse rimpang temu putih sehingga memberikan efek

antiinflamasi?

1.2 Tujuan1. Mengetahui efek antiinflamasi dari Na-diklofenak, infus rimpang temu putih 5%, 10%

dan 20% terhadap udem kaki tikus.2. Mengetahui ada tidaknya potensi infus rimpang temu putih sebagai antiinflamasi.3. Mengetahui efek yang terjadi pada pada kaki tikus setelah diberikan penginduksi udem

(Karagenin 1%)4. 5. Mengetahui mekanisme Na-diklofenak sehingga memberikan efek antiinflamasi.6. Mengetahui hipotesis mekanisme infus rimpang temu putih sehingga memberikan efek

antiinflamasi

1.3 Dasar Teori

1.3.1 InflamasiInflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan

oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi bisa dianggap sebagai rangkaian kejadian komplek yang terjadi karena tubuh mengalami injury, baik yang disebabkan oleh bahan kimia atau mekanis atau proses self-destructive (autoimun). Walaupun ada kecenderungan pada pengobatan klinis untuk memperhatikan respon inflammatory dalam hal reaksi yang dapat membahayakan tubuh, dari sudut pandang yang lebih berimbang sebenarnya inflamasi adalah penting sebagai sebuah respon protektif dimana tubuh berupaya untuk mengembalikan kondisi seperti sebelum terjadi injury (preinjury) atau untuk memperbaiki secara mandiri setelah terkena injury. Respon inflammatory adalah reaksi protektif dan restoratif dari tubuh yang sangat penting karena tubuh berupaya untuk mempertahankan homeostasis dibawah pengaruh lingkungan yang merugikan (Lutfianto, I., 2009)

Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang (Anonim, 2009).

Page 5: jejas

Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik (Anonim, 2009).

Mekanisme terjadinya radang

Terjadinya inflamasi adalah reaksi setempat dari jaringan atau sel terhadap suatu rangsang atau cedera. Setiap ada cedera, terjadi rangsangan untuk dilepaskannya zat kimi tertentu yang akn menstimulasi terjadinya perubahan jaringan pada reaksi radang tersebut, diantaranya adalah histamin, serotonin, bradikinin, leukotrin dan prostaglandin. Histamin bertanggungjawab pada perubahan yang paling awal yaitu menyebabkan vasodilatasi pada arteriol yang didahului dengan vasokonstriksi awal dan peningkatan permeabilitas kapiler. Hal ini menyebabkan perubahan distribusi sel darah merah. Oleh karena aliran darah yang lambat, sel darah merah akan menggumpal, akibatnya sel darah putih terdesak ke pinggir. Makin lambat aliran darah maka sel darah putih akan menempel pada dinding pembuluh darah makin lama makin banyak. Perubahan permeabilitas yang terjadi menyebabkan cairan keluar dari pembuluh darah dan berkumpul dalam jaringan. Bradikinin bereaksi lokal menimbulkan rasa sakit, vasodilatasi, meningkatakan permeabilitas kapiler. Sebagai penyebab radang, prostaglandin berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator lainnya (Lumbanraja, L.B., 2009).

Gejala-gejala terjadinya respons peradangan

a. Kemerahan (Rubor)

Kemerahan atau rubor biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul maka arteri yang mensuplai darah ke daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Pembuluh-pembuluh darah yang sebelumnya kosong atau sebagian saja meregang dengan cepat dan terisi penuh oleh darah. Keadaan ini dinamakan hiperemia atau kongesti menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya hiperemia pada permulaan reaksi peradangan diatur oleh tubuh melalui pengeluaran zat mediator seperti histamin.

b. Panas (kalor)

Panas atau kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan. Panas merupakan sifar reaksi peradangan yang hanya terjadi pada permukaan tubuh yakni kulit. Daerah

Page 6: jejas

peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari sekelilingnya, sebab darah dengan suhu 370C yang disalurkan tubuh ke permukaan daerah yang terkena radang lebih banyak disalurkan daripada ke daerah normal.

c. Rasa sakit (dolor)

Rasa sakit atau dolor dari reaksi peradangan dapat dihasilkan dengan berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf, pengeluaran zat kimia tertentu misalnya mediator histamin atau pembengkakan jaringan yang meradang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dapat menimbulkan rasa sakit.

d. Pembengkakan (tumor)

Gejala yang paling menyolok dari peradangan akut adalah tumor atau pembengkakan. Hal ini terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas dinding kapiler serta pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan yang cedera. Pada peradangan, dinding kapiler tersebut menjadi lebih permeabel dan lebih mudah dilalui oleh leukosit dan protein terutama albumin yang diikuti oleh molekul yang lebih besar sehingga plasma jaringan mengandung lebih banyak protein daripada biasanya yang kemudian meninggalkan kapiler dan masuk ke dalam jaringan sehingga menyebabkan jaringan menjadi bengkak.

e. Perubahan fungsi (fungsio laesa)

Gangguan fungsi yang diketahui merupakan konsekuensi dari suatu proses radang. Gerakan yang terjadi pada daerah radang, baik yang dilakukan secara sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit, pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan (Lumbanraja, L.B., 2009).

Jenis-jenis radang

1. Radang akut

Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama dalam proses radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Anonim, 2009).

Page 7: jejas

Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului oleh vasokonstriksi singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran darah dalam kapiler yang telah berfungsi meningkat dan juga dibukanya anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya anyaman venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan demikian, mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali pada jejas yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada tahap awal akan disusul oleh perlambatan aliran darah, perubahan tekanan intravaskular dan perubahan pada orientasi unsur-unsur berbentuk darah terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari segi waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul dalam beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan tampak setelah 10-30 menit (Anonim, 2009).

Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel darah putih ke dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan gambaran utama reaksi radang akut. Vaskulatur-mikro pada dasarnya terdiri dari saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis endotel yang bercabang-cabang dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput basalis yang berkesinambungan (Anonim, 2009).

Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis 10.000 dalton (Anonim, 2009).

Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya (Anonim, 2009).

Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti (Anonim, 2009).

Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah merah menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar daripada

Page 8: jejas

leukosit sendiri. Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah dalam aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel (Anonim, 2009).

Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata (Anonim, 2009).

Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya produk bakteri (Anonim, 2009).

Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit (Mutschler, E., 1991).

2. Radang kronis

Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel

Page 9: jejas

plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis) (Anonim, 2009).

Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi (Anonim, 2009).

1.3.2 KaragenanKaragenan merupakan suatu mukopolisakarida yang diperoleh dari rumput laut merah

Irlandia (Chondrus crispus). Karagenan juga merupakan suatu zat asing (antigen) yang bila masuk ke dalam tubuh akan merangsang pelepasan mediator radang seperti histamin sehingga menimbulkan radang akibat antibodi tubuh bereaksi terhadap antigen tersebut untuk melawan pengaruhnya. Karagenan terbagi atas tiga fraksi, yaitu kapaa karagenan, iota karagenan, dan lambda karagenan. Karegenan diberi nama berdasarkan persentase kandungan ester sulfatnya, yaitu kappa karagenan mengandung 25-30%, iota karagenan 28-35%, dan lambda karagenan 32-39%. Larut dalam air panas (700C), air dingin, susu dan dalam larutan gula sehingga sering digunakan sebagai pengental/penstabil pada berbagai makanan/minuman (Lumbanraja, L.B., 2009).

a. Kappa karagenan

Kappa karegenan berasal dari spesies Euchema cottonii, Euchema striatum, Euchema speciosum. Bahan ini larut dlam air panas. Kappa karagenan mengekstraksi D-galaktosa yang mengandung 6 ester sulfat dan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang mengandung 2 ester sulfat.

b. Iota karagenan

Iota karagenan berasal dari spesies Euchema spinosuum, Euchema isiforme, dan Euchema uncinatum. Bahan ini larut dalam air dingin. Iota karagenan mengekstraski D-galakatosa yang mengandung 4 ester sulfat dan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang mengandung 2 ester sulfat.

c. Lambda karagenan

Page 10: jejas

Lambda karagenan berasal dari genus Chondrus dan Gigartina. Lambda karagenan larut dalam air dingin. Berbeda dengan kappa karagenan dan iota karagenan, lambda karagenan memiliki disulfat-D-galaktosa (Lumbanraja, L.B., 2009).

1.3.3 Natrium diklofenakNatrium diklofenak adalah suatu senyawa anti-inflamasi non-steroid yang bekerja

sebagai analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Senyawa ini sangat merangsang lambung sehingga untuk mencegah efek samping ini bentuk sediaan oral (tablet) natrium diklofenak disalut enteric. Waktu paruh natarium diklofenak adalah 1,5 jam (Mutschler, E., 1991).

Efektivitas suatu senyawa obat pada pemakaian klinik berhubungan dengan farmakokinetiknya, dan farmakokinetik suatu senyawa dari suatu bentuk sediaan ditentukan oleh ketersediaan hayatinya (bioavailabilitasnya). Bioavailabilitas suatu senyawa obat dari sediaannya ditentukan/dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti: kualitas dan sifat fisiko-kimia bahan baku zat aktif yang dipakai, jenis dan komposisi bahan pembantu, teknik pembuatan, dll. Dengan demikian, sediaan-sediaan obat yang mengandung zat aktif yang sama dalam bentuk sediaan yang sama ("pharmaceutical equivalent") tetapi diproduksi oleh pabrik yang berbeda bisa menghasilkan efektivitas klinik yang berbeda (Mutschler, E., 1991).

1.3.4 Infus Rimpang Temu Putih

Temu Putih (Curcuma zedoaria)

Klasifikasi TanamanDivisio : SpermatophytaSubdivisio : AngiospermaeKelas : MonocotyledonaeBangsa : ZingiberalesSuku : ZingiberaceaeMarga : CurcumaJenis : Curcuma zedoaria

Kandungan Kimia

Kandungan Kimia Rimpangan temu putih mengandung 1-2,5% minyak menguap dengan komposisi utama sesquiterpene. Minyak menguap tersebut mengandung lebih dari 20 komponen seperti curzerenone (zedoarin) yang merupakan komponen terbesar, curzerene, pyrocurcuzerenone, curcumin, curcumemone, epicurcumenol, curcumol (curcumenol), isocurcumenol, procurcumenol, dehydrocurdone, furanodienone, isofuranodienone, furanodiene, zederone, dan curdione. Selain itu mengandung flavonoid, sulfur, gum, resin, tepung, dan sedikit lemak. Curcumol dan curdione berkasiat antikanker.

Page 11: jejas

Bab II. Metodologi Penelitian

2.1 Alat dan Bahan

2.1.1 Alat: Pletismometer

Spuit

Sonde

Spidol

2.1.2 Bahan: Tikus

Larutan Karagenin 1%

Aquadest 2,5ml/20gBB (control negative)

Na diklofenak 6,75mg/kgBB (control positif)

Infus rimpang temu putih 5% (dosis 0,625g/kgBB)

Infus rimpang temu putih 10% (dosis 1,25g/kgBB)

Infus rimpang temu putih 20% (dosis 2,5g/kgBB)

2.2 Prosedur Kerja1. Mula-mula semua hewan uji dipuasakan 6-8jam. Pengosongan lambng bermanfaat

terhadap proses absorbsi obat. Keberadaan makanan dalam gastric seringkali mengganggu proses absorbsi, sehingga terjadi manipulasi efek obat.

2. Salah satu kaki belakang tikus diberi tanda dengan spidol, kemudian diukur volumenya dengan cara mencelupkan ke dalam tabung air raksa pada alat pletismometer sampai dengan baris tanda tersebut.

3. Pemberian bahan uji. Semua kelompok diberikan masing-masing bahan uji secara per oral 2,5ml/20gBB

4. Selang 10-15 menit, kemudian pada masing-masing tikus diberikan penginduksi udem larutan karagenin 1% sebanyak 0,1ml secra subkutan pada bagian dorsal kaki yang sama.

5. Volume kaki tikus diukur kembali pada setiap interval waktu 5 menit sampai efek udemnya hilang.

Page 12: jejas

% hambatan = (x – y) x 100 x

6. Data-data yang perlu dicatat adalah:

Mula kerja dan durasi aksi bahan penginduksi

Mula kerja dan durasi aksi obat antiinflamasi

Cara menghitung volume udem pada kaki tikus:

Persen hambatan udem dihitung sebagai berikut:

2.3 Perhitungan Dosis

Perhitungan Dosis

1) Tikus I= 90g

Kontrol negative (aquadest 2,5ml/20g BB)

2,5 ml 20 g

X 90 g

x=2,5 ml x9 g

20 g = 11,25 ml 0,2801 ml

(volume disamakan dengan Na diklofenak)

2) Tikus II= 83g

Kontrol positive (Na diklofenak 6,75mg/kg BB)

6,75 mg 1000 g

X 83 g

x=6,75 mg x 83 g

1000 g = 0,5603 mg

Yang tersedia 50 mg/ 25 ml

50 mg 25 ml

Volume udem = volume setelah diberi penginduksi radang – volume kaki awal

% hambatan = (x – y) x 100 x

Page 13: jejas

0,5603 g x

x=25 ml x0,5603 mg

50mg = 0,2801 ml

3) Tikus III= 100 g

Infuse rimpang temu putih 5% (0,625 g/kg BB)

0,625 g 1000 g

X 100 g

x=0,625 g x 100 g

1000 g = 0,0625 g

Yang tersedia 5 g/ 100 ml

5 g 100 ml

0,0625 g x

x=100 ml x0,0625 mg

5 g = 1,25 ml

Jadi 0,0625 g/ 1,25 ml

4) Tikus IV= 100 g

Infuse rimpang temu putih 10% (1,25 g/kg BB)

1,25 g 1000 g

X 100 g

x=1,25 g x 100 g

1000 g = 0,125 g

Yang tersedia 10 g/ 100 ml

10 g 100 ml

0,125 g x

x=100 ml x0,125 g

10 g = 1,25 ml

Jadi 0,125 g/1,25 ml5) Tikus V = 100 g

Page 14: jejas

Infuse rimpang temu putih 20% (2,5 g/kg BB)

2, 5 g 1000 g

X 100 g

x=2,5g x 100 g

1000 g = 0,25 g

Yang tersedia 20 g/ 100 ml

20 g 100 ml

0,25 g x

x=100ml x0,25mg

20 g = 1,25 ml

Jadi 0,25 g/ 1,25 ml

Page 15: jejas

Bab III. Pembahasan

3.1 Tabel Pengamatan

Kelompok

Awal

Volume Udem Pada Kaki Tikus (ml) volume

udem

%

5’ 10’ 15’ 20’ 25’ 30’ 35’ 40’ 45’

Kontrol negative 0,6 0,86 0,86 0,69 0,63 0,91 0,8 1 0,71 0,807

5 0,2075

Kontrol positif 0,8 0,69 0,71 1,11 0,63 0,91 0,8 1,03 1 0,86 0,06

Infus 5% 0,66 0,54 0,63 0,89 0,74 1 0,66 0,63 0,68 0,72 0,06

Infus 10% 0,79 0,91 1,77 0,71 0,63 0,91 0,77 0,8 0,68 0,897

5 0,1075

Infus 20% 0,6 0,57 0,91 0,97 0,71 0,77 0,77 0,68 0,63 0,751

3 0,1513

Perhitungan % Hambatan Udem = X-Y/Y x 100%

Pada kontrol positif = 0,06 – 0,2075 / 0,2075 x 100% = 71,08%

Pada Infus 5% = 0,06-0,2075 / 0,2075 x 100% = 71,08%

Pada Infus 10% = 0,1075-0,2075 / 0,2075 x 100% = 48,19%

Pada Infus 20% = 0,1513-0,2075 / 0,2075 x 100% = 27,08%

Berdasarkan hasil % hambatan maka dapat diketahui bahwa Infus rimpang temu putih memiliki % hambatan terhadap kontrol negative (Volume Udem) yang berarti bahwa infuse rimpang temu putih memiliki potensi anti inflamasi. Hal ini diketahui dari data di atas, infus 5% memiliki % hambatan senilai dengan % hambatan dari Na-diklofenak yaitu 71,08% mengurangi edema kaki belakang tikus, sedangka infus 10% dan 20% memiliki % hambatan yang lebih sedikit yaitu 48,19% dan 27,08%(perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh kondisi fisik, usia maupun fisiologis dari hewan uji). Tetapi dari keseluruhan percobaan, infus rimpang temu putih dapat memberikan efek anti inflamasi yakni pengurangan volume udem.

Page 16: jejas

3.2 Mekanisme Karagenin dalam menginduksi udem

Mediator penting dalam peradangan akut adalah oksida nitrat (NO) yang diproduksi dalam kondisi patologis oleh tiga isoform berbeda oksida nitrat sintase (NOS): endotel NOS (eN OS), neuronal N OS (NN OS) dan diinduksi NOS (iNOS) . Karagenan menyebabkan produksi dan pelepasan NO di lokasi cedera.

Karagenin adalah sulfat polisakarida bermolekul sebagai induktor inflamasi.Penggunaan

karagenin sebagai penginduksi radang memiliki beberapa keuntungan antara lain: tidak meninggalkan

bekas, tidak menimbulkan kerusakan jaringan, dan memberikan respon yang lebih peka terhadap obat anti

endotel NOS

induksi NOS

neuronal NOS

LUKA

NO (oksida nitrat)

Karagenan

Page 17: jejas

inflamasi dibanding senyawa iritan lainnya. Zat yang digunakan untuk memicu terbentuknya udema ntara

lain; mustard oil 5%, DEXTRAN 1%, egg white fresh undiluted, serotoninkreatinin sulfat, lamda

karagenin 1% yang diinduksikan secara subplantar pada telapak kaki tikus. Karagenin ada beberapa tipe,

yaitu lamda karagenin, iotakaragenin, dan kappa karagenin/ lamda karagenin ini dibandingkan dengan

jenis lamda yang lain, lamda karagenin paling cepat menyebabkan inflamasi dan memiliki bentuk gel

yang baik dan tidak keras.

3.3 Mekanisme Na-diklofenakSebagai salah satu jenis dari obat NSAID, Na-diklofenak masuk dalam golongan

diklofenak Na-diklofenak memiliki efek analgesik, antirematik, antipiretik dan antiinflamasi. Obat tersebut merupakan COX-inhibitor nonselektif yang bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX). Enzim siklooksigenase berperan dalam produksi sejumlah zat kimia dalam tubuh, salah satunya prostaglandin. Prostaglandin ini diproduksi oleh tubuh sebagai respon dari cedera sehingga syaraf akan lebih sensitif terhadap rasa nyeri.

Na-diklofenak adalah salah satu OAINS yang biasa dijadikan pembanding dalam uji

antiinflamasi. Na-diklofenak adalah derivat sederhana dari asam fenil asetat yang merupakan

penghambat COX yang relatif non selektif. Na-diklofenak juga menghambat jalur lipooksigenase

sehingga mengurangi pembentukan leukotrien. Efektivitas suatu senyawa obat pada pemakaian

klinik berhubungan dengan farmakokinetiknya, dan farmakokinetik suatu senyawa dari suatu

bentuk sediaan ditentukan oleh ketersediaan hayatinya (bioavailabilitasnya). Bioavailabilitas

suatu senyawa obat dari sediaannya ditentukan/dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti:

kualitas dan sifat fisiko-kimia bahan baku zat aktif yang dipakai, jenis dan komposisi bahan

pembantu, teknik pembuatan, dll. Dengan demikian, sediaan-sediaan obat yang mengandung zat

aktif yang sama dalam bentuk sediaan yang sama ("pharmaceutical equivalent") tetapi

diproduksi oleh pabrik yang berbeda bisa menghasilkan efektivitas klinik yang berbeda

(Mutschler, E., 1991).

3.4 Perbedaan Na-diklofenak dan K-diklofenak

Terdapat dua jenis obat yang termasuk dalam golongan diklofenak, yaitu Na diklofenak dan K diklofenak. Perbedaan dari keduanya adalah garam kalium yang ada di obat diklofenak lebih mudah larut dalam air dibandingkan dengan garam natrium. Sehingga kalium diklofenak dapat diabsorpsi lebih cepat dibandingkan dengan natrium diklofenak. Kalium diklofenak

Page 18: jejas

dilepaskan lebih cepat dibandingkan dengan natrium diklofenak. Hal ini berdampak pada penggunaannya secara klinis. Pada keadaan yang akut dan nyeri yang agak berat, lebih baik menggunakan kalium diklofenak dibandingkan dengan natrium diklofenak.

Proses absorpsi dimulai segera setelah obat dikonsumsi, dan rasa nyeri biasanya berkurang dalam 15-30 menit. Kalium diklofenak dilepaskan dengan cepat dalam aliran darah untuk mengurangi rasa nyeri lebih cepat. Sebagian dari diklofenak dimetabolisme di hepar. Sekitar 60% akan diekskresikan melalui urin, dimana 1%nya masih bersifat aktif. Sisanya dieliminasi sebagai metabolit melalui empedu dan di dalam feses.Diklofenak dapat masuk ke dalam cairan sinovial, dan konsentrasi maksimal didapatkan 2-4 jam setelah kadar maksimal di dalam plasma darah didapatkan. Dua jam setelah kadar maksimal dalam plasma didapatkan, konsentrasi diklofenak akan lebih tinggi di dalam cairan sinovial dibandingkan dengan yang ada di dalam plasma. sementara waktu paruh eliminasi dari cairan sinovial sekitar 3-6 jam. Waktu paruh 1-2 jam. Pemberian dosis berulang tiidak menyebabkan akumulasi.

Efek Samping pada umumnya Gangguan Lambung

Obat-obat AINS bekerja dengan cara menghambat sintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri adalah suatu senyawa dalam tubuh yang merupakan mediator nyeri dan radang/inflamasi. Ia terbentuk dari asam arakidonat pada sel-sel tubuh dengan bantuan enzim cyclooxygenase (COX). Dengan penghambatan pada enzim COX, maka prostaglandin tidak terbentuk, dan nyeri atau radang dapat diatasi. COX ada dua jenis, yaitu disebut COX-1 dan COX-2. COX-1 selalu ada dalam tubuh secara normal, untuk membentuk prostaglandin yang dibutuhkan untuk proses-proses normal tubuh, antara lain memberikan efek perlindungan terhadap mukosa lambung. Sedangkan COX-2, adalah enzim yang terbentuk hanya pada saat terjadi peradangan/cedera, yang menghasilkan prostaglandin yang menjadi mediator nyeri/radang. Jadi, sebenarnya yang perlu dihambat hanyalah COX-2 saja yang berperan dalam peradangan, sedangkan COX-1 mestinya tetap dipertahankan. Tapi masalahnya, obat-obat AINS ini bekerja tidak selektif yaitu bisa menghambat COX-1 dan COX-2 sekaligus. Jadi ia bisa menghambat pembentukan prostaglandin pada peradangan, tetapi juga menghambat prostaglandin yang dibutuhkan untuk melindungi mukosa lambung. Itulah sebabnya, sehingga Lambung jadi terganggu.

Cara Mengatasi

Untuk mengatasi efek obat AINS terhadap lambung, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, sebaiknya digunakan setelah makan untuk mengurangi efeknya terhadap lambung.

Page 19: jejas

Kedua, obat golongan AINS umumnya dalam bentuk bersalut selaput yang bertujuan mengurangi efeknya pada lambung, maka JANGAN DIGERUS atau DIKUNYAH.

Ketiga, jika memang menyebabkan lambung perih atau sudah ada riwayat maag atau gangguan lambung sebelumnya, bisa diiringi penggunaannya dengan obat-obat yang menjaga lambung seperti antasid, golongan H2 bloker seperti simetidin atau ranitidin, golongan penghambat pompa proton seperti omeprazol atau lansoprazol, atau dengan sukralfat.

3.5 Mekanisme Infus Rimpang Temu Putih dalam mengurangi volume udem

Berdasarkan data NCBI, rimpang Kunir (Curcuma longa Linn) memiliki efek antiinflamasi karena kandungan metabolit sekunder : curcumin yang berfungsi sebagai zat antiinflamasi. Rimpang Temu Putih yang juga satu famili dengan Kunir(famili Zingiberaceae) juga mengandung zat curcumin tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa zat yang berperan dalam mekanisme antiinflamasipada rimpang temu putih adalah curcumin.

Adapun mekanisme curcumin sebagai anti inflamasi adalah infiltrasi besar makrofag, neutrofil, dan fibroblast dibandingkan dengan luka yang tidak diobati. Pengobatan mengakibatkan ekspresi ditingkatkan dari fibronektin dan kolagen oleh fibroblast dan meningkatkan tingkat pembentukan jaringan granulasi menunjukkan suatu peningkatan dalam penyembuhan luka. Curcumin ditunjukkan untuk memodulasi angiogenesis dan angiogenesis tidak terkendali telah dikaitkan dengan kondisi patologis seperti pertumbuhan tumor dan metastasis, rheumatoid arthritis, retinopati diabetes, dan hemangioma.

Page 20: jejas

Bab IV. Kesimpulan

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang

disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi bisa

dianggap sebagai rangkaian kejadian komplek yang terjadi karena tubuh mengalami injury, baik

yang disebabkan oleh bahan kimia atau mekanis atau proses self-destructive (autoimun).

Na-diklofenak adalah derivat sederhana dari asam fenil asetat yang merupakan penghambat COX

yang relatif non selektif. Na-diklofenak juga menghambat jalur lipooksigenase sehingga mengurangi

pembentukan leukotrien.

Karagenin adalah sulfat polisakarida bermolekul sebagai induktor inflamasi.Penggunaan karagenin

sebagai penginduksi radang memiliki beberapa keuntungan antara lain: tidak meninggalkan bekas, tidak

menimbulkan kerusakan jaringan, dan memberikan respon yang lebih peka terhadap obat anti inflamasi

dibanding senyawa iritan lainnya.

Dari data praktikum kelompok 2 dapat disimpulkan bahwa infus rimpang temu putih 5% lebih

efektif sebagai anti-inflamasi, karena memiliki persentase hambat yang sama besar dengan kontrol positif.

Sedangkan untuk infus rimpang temu putih dengan konsentrasi 10% dan 20% dapat memberikan efek

antiinflamasi meskipun lebih kecil.

Page 21: jejas

Bab V. Daftar PustakaAnonim. (2008). Obat Antiinflamasi Nonsteroid. http://fkunsri.wordpress.com/2008/02/09/obat-

antiinflamasi-nonsteroid-part-1/

Lumbanraja, L. B. (2009). Skrining Fitokimia dan Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etanol Daun Tempuyung (Sonchus arvenis L.) terhadap Radang pada Tikus.http://repository.usu.ac.id/bitsream/123456789/14501/1/09E02475.pdf

Lutfianto, I. (2009). Mekanisme pada Injury Jaringan Inflamasi. http:// forbetterhealth.wordpress.com/2009/01/25/mekanisme-pada-injury-jaringan-inflamasi/

Meycek. J.M. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta: Widya Medika. Hal. 157-164.

Mutschler, Ernst. (1991). Dinamika Obat. Edisi kelima. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 643-650.

Neal, M.J. (2006). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga. Hal. 55-56.

Pappana, A. (1989). Analgetik dalam Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 280-2291.

Tan, H.T. (2002). Obat-Obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: T.Elex Media Komputindo. Hal.229-239.

J. Necas, L. Bartosikova. Carrageenan: a review . Faculty of Medicine and Dentistry, PalackyUniversity, Olomouc, Czech Republic.