"jas merah" untuk pemimpin baru

Upload: kadek-indah-kusuma-dewi

Post on 13-Oct-2015

556 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Buletin 3

TRANSCRIPT

  • Taki - Takining Sewaka Guna Widya

    ISSN: 09854-1678

    Budaya:Mebayuh Sapuh Leger

    Resensi film: Captain Phillips, Perjuangan itu Nyata

    Laporan Khusus:Peristiwa Enam Lima: Korban Rekayasa Sejarah

    Opini:DPD RI: Antara Wakil Rakyat atau LSM Ber-plat Merah

    Essay Foto: Wisata Damai di Tengah Hingar-bingar Legian

    Jejak:Wisata Tempat Suci di Bali Utara

    JaS MERAHUNTUK PEMIMPIN BARU

    Buletin AKADEMIKA Edisi 3 - Juni 2014

  • 2 BULETIN AKADEMIKA EDISI III - JUNI 2014

    DAFTAR ISI

    Salam Persma!

    Buletin Edisi ke-3 akhirnya terbit

    di bulan Juli 2014 ini. Edisi kali ini

    membawa tema besar mengenai

    kepemimpinan dalam bahasannya.

    Suasana pemilihan presiden Indonesia

    di tahun ini membuat kami yakin untuk

    membahas mengenai kepemimpinan.

    Dengan mengambil sudut pandang

    kepemimpinan sejak awal kemerdekaan,

    laporan utama edisi ini mengajak kita

    flashback pada pemimpin pemimpin

    sebelumnya. Gaya kepemimpinan dan

    Asta Brata sebagai tipe kepemimpinan

    berdasarkan kepercayaan umat Hindu

    kemudian melengkapi pemberitaan kami.

    Tidak kalah menariknya, ingatan kita

    akan dipaksa untuk menolak lupa kisah

    tragis di tahun 1965 yang diceritakan

    lewat laporan khusus buletin ini.

    Banyak informasi menarik yang sangat

    ingin kami bagikan kepada seluruh

    pembaca. Dengan penuh kerja keras

    seluruh redaksi, berikut adalah buletin

    yang kami sajikan dengan sepenuh

    hati.

    Selamat membaca

    Pemimpin Redaksi

    Editorial / 3

    Laporan Utama / 4

    Profil / 8

    Essay Foto / 14

    Resensi / 16

    Laporan Khusus / 18

    Jejak / 22

    Budaya / 24

    Opini / 26

    Diterbitkan oleh: Pers Mahasiswa Akade-

    mika

    Universitas Udayana.

    Izin terbit: SK Rektor Unud 499/SK/PT/07/

    OM/LA/83.

    Alamat Sekretariat:

    Gedung Student Center Lantai 2,

    Jalan Dr. R. Goris, Denpasar-Bali.

    Email: [email protected]

    Bukan posisi yang menjadikan seseorang pemimpin; justru kepemimpinannyalah yang

    membuat posisi tersebut - Stanley Huffty

  • www.persakademika.com / @persakademika 3

    EDITORIAL

    Memang, setiap zaman melahirkan

    gaya kepemimpinan yang berbeda.

    Gaya kepemimpinan mencakup tentang

    bagaimana seseorang bertindak dalam

    konteks organisasi, maka dengan

    menggambarkan jenis organisasi atau

    situasi yang dihasilkan adalah cara

    termudah untuk membahas berbagai jenis

    gaya kepemimpinan.

    Teori kepemimpinan secara umum

    mengenal ada tiga tipe kepemimpinan,

    yaitu kepemimpinan otokratis, demokratis,

    dan laissez-fair (semau gue). Ketiga tipe

    kepemimpinan tersebut memiliki arti

    tersendiri terhadap orang yang dipimpin.

    Konteks demokrasi memiliki arti

    bahwa seorang pemimpin yang dapat

    memberikan ruang bagi rakyat untuk

    berperan guna menentukan masa

    depannya melalui institusi pemerintahan.

    Tipe kepemimpinan ini tentu akan

    menghasilkan komitmen yang antusiastik

    dari masyarakat.

    Namun dalam praktiknya,

    masih saja ada unsur otokratis yang

    membuat masyarakat menjadi pasif

    dari kepatuhan. Sedangkan pada gaya

    kepemimpinan laissez-faire menganggap

    bahwa organisasinya berjalan sedemikian

    baik sehingga pemimpin tidak perlu ikut

    campur. Dengan kata lain, membiarkan

    segala sesuatunya berjalan dengan

    sendirinya.

    Tentu saja dalam hal ini demokratis

    merupakan tipe kepemimpinan yang

    ideal. Mengapa menolak otokratis?

    Pemimpin otokratis kerap melanggar hak

    asasi manusia, terutama kebebasan setiap

    individu untuk menentukan nasibnya

    sendiri. Dengan kata lain, benar atau baik

    bagi pemimpin, itulah kebenaran dan

    kebaikan yang harus diterima masyarakat.

    Jika ini terjadi, Indonesia akan menjadi

    rimba di tengah arus globalisasi, baik fisik

    maupun mental. Padahal pemimpin tak

    lain adalah orang yang mendapat mandat

    dari rakyat untuk menjalankan fungsinya

    untuk kepentingan bersama.

    Oleh karena itu, masyarakatlah

    yang harus mengawal agar demokratisasi

    berjalan sesuai dengan relnya. Sehingga,

    demokrasi tak akan menjadi sebatas

    prosedural, melainkan secara substantif

    dan konstitusional. (red)

    Bukan posisi yang menjadikan seseorang pemimpin; justru kepemimpinannyalah yang

    membuat posisi tersebut - Stanley Huffty

    Demokratis Tanpa Otokratis!

  • 4 BULETIN AKADEMIKA EDISI III - JUNI 2014

    Tahun ini, Republik Indonesia memasuki usia ke-69 pasca memproklamasikan kemerdekaannya. Selama itu, ada enam

    presiden pernah menduduki pucuk

    pimpinan negeri ini. Masing-masing

    presiden memiliki gaya kepemimpinan

    tersendiri beserta kekuatan dan

    kelemahan. Meskipun berbeda, setiap

    presiden telah membawa negara

    berkembang ini terus melakukan gerakan

    ke arah yang lebih baik agar dipandang di

    mata dunia. Muara dari kepemimpinan

    mereka adalah untuk mempertahankan

    kedaulatan dan kesejahteraan bangsa

    Indonesia.

    Salah satu pemimpin bangsa

    dengan gaya kepemimpinan yang

    paling fenomenal adalah Soekarno.

    Gebrakan proklamasi kemerdekaan yang

    Menuju RI Satu, Menanti Pemimpin Baru

    Republik ini telah memiliki enam presiden, dimulai dari Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Selanjutnya, siapa yang pantas?

  • www.persakademika.com / @persakademika 5

    LAPUT 1

    Menuju RI Satu, Menanti Pemimpin Baru

    dilakukannya menjadikan dia sebagai

    salah satu aktor politik Indonesia yang

    paling fenomenal. Tidak hanya disegani

    di dalam negeri, dunia barat dan timur

    pun sangat kagum terhadap sikap berani,

    tegas, dan nasionalis. Ketika orde lama

    waktu zamannya Soekarno memang

    gaya kepimpinannya lebih mengarah

    kepada bagaimana membuat Indonesia ini

    merdeka dari yang namanya penjajahan,

    ujar Clara Listya Dewi, mahasiswa HI FISIP

    UNUD sekaligus Menteri Pendidikan di

    dalam BEM PM UNUD.

    Kepemimpinan Soekarno banyak

    diibaratkan sebagai mercusuar.

    Kepemimpinannya mampu menunjukkan

    sinar kekuatan ke seluruh penjuru

    dunia. Setelah era orde lama, Soeharto

    mengambil alih kepemimpinan Republik

    Indonesia. Presiden dengan julukan

    Bapak Pembangunan ini melakukan

    perbaikan kehidupan sosial ekonomi

    rakyat. Gaya otoriter menjadi ciri khas

    kepemimpinannya pada orde baru.

    Pasca runtuhnya era kepemimpinan

    Soeharto, B.J. Habibie menjadi presiden

    ketiga Republik Indonesia dengan

    latar belakang pendidikan berbasis

    teknologinya. Presiden berikutnya

    adalah Abdurrahman Wahid atau akrab

  • 6 BULETIN AKADEMIKA EDISI III - JUNI 2014

    disapa Gus Dur. Presiden keempat ini

    memimpin Republik Indonesia dengan

    gaya pluralisme dan egaliterismenya.

    Megawati Soekarnoputri akhirnya

    menjabat posisi RI 1 sebagai satu-satunya

    presiden wanita di Indonesia. Selain

    itu, Megawati menjadi istimewa karena

    ia adalah putri dari Sang Proklamator,

    Soekarno. Sejak tahun 2004 hingga

    sekarang Susilo Bambang Yudhoyono

    (SBY) berhasil memenangkan pemilihan

    umum selama dua periode berturut-turut.

    SBY merupakan pemimpin negara yang

    sangat berhati hati dalam mengambil

    keputusan meskipun ia memiliki latar

    belakang militer.

    Bagi Idin Fasisaka, Dosen

    Hubungan Internasional FISIP Unud,

    gaya kepemimpinan masing-masing

    pemimpin tidak dapat dipungkiri

    membawa Indonesia menjadi lebih baik.

    Secara general, semua (pemimpin)

    membawa Indonesia menjadi lebih baik.

    Gaya kepemimpinan dan perspektiflah

    yang membedakan mereka, ujar dosen

    lulusan salah satu universitas di India ini.

    Jika melihat calon pemimpin masa kini,

    lalu figur pemimpin seperti apakah yang

    bisa memimpin Indonesia? Idin Fasisaka

    mengatakan tidaklah mungkin untuk

    membicarakan berhasil atau gagalnya

    suatu kepemimpinan dari hasil akhir saja.

    Hal yang terpenting adalah cara pandang

    pemimpin dalam melihat masalah. Tidak

    hanya untuk memikirkan solusi, seorang

    pemimpin juga harus melihat akar

    permasalahan dalam segala bidang.

    Komisi Pemilihan Umum (KPU)

    telah menetapkan dua pasang calon

    presiden dan wakil presiden (capres-

    cawapres) pada tanggal 31 Mei 2014.

    Sehari kemudian, para capres-cawapres

    pun mengambil undian nomor urut

    pemilihan. Hasil undian menunjukkan

    pasangan Prabowo Subianto dan Hatta

    Rajasa mendapatkan nomor urut 1,

    sedangkan nomor urut 2 menjadi milik

    pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

    Kedua pasangan telah memperoleh waktu

    berkampanye mulai tanggal 4 Juni dan

    berakhir pada tanggal 5 Juli 2014. Pesta

    demokrasi tahun ini tampak berwarna

    dengan gaya kampanye yang bermacam-

    macam. Tentu tujuan utamanya merebut

    suara untuk duduk di Istana Negara

    periode 2014-2019. Namun, saat-saat

    yang paling menentukan adalah pada

    hari pemilihan presiden tanggal 9 Juli

    2014.

    Berdasarkan dua pasang capres-

    cawapres yang sedang bersaing saat ini,

    Idin berpendapat bahwa keduanya adalah

  • www.persakademika.com / @persakademika 7

    figur yang cukup berbeda. Sebelum

    berbicara siapa yang pantas, kita harus

    melihat level analisa kebijakan pemimpin

    secara individu. Dalam hal ini yaitu

    figurnya. Contohnya terkait kebijakan luar

    negeri. Ada figur yang memang belum

    terlihat bagaimana kebijakannya terkait

    dunia luar dan bagaimana figur lainnya

    telah membangun hubungan dengan

    dunia luar, ujar Idin.

    Memang tidak dapat dipungkiri,

    setiap pemimpin mempunyai gaya

    kepemimpinan mereka masing-

    masing. Hal ini kemudian akan sangat

    mempengaruhi bentuk kebijakan publik

    yang akan diambilnya. Cara pandang dan

    cara identifikasi masalah oleh pemimpin

    menjadi hal yang lebih penting sebagai

    suatu apresiasi atas proses. Dua figur

    capres-cawapres pun muncul dengan

    gaya kepemimpinan masing-masing yang

    menjadi ciri khas.

    Jika melihat kilas balik kepe-

    mimpinan Indonesia, figur-figur dengan

    gaya yang berbeda memberikan dampak

    yang juga berbeda. Teringat jelas bagaimana

    keadaan sosial rakyat Indonesia pada

    masa orde baru saat militer menguasai

    pemerintahan. Indonesia sudah terbiasa

    dipimpin dengan gaya kepemimpinan

    yang tegas dan keras, karena itu militer

    dinilai cocok, ujar Nyoman Wijaya, Dosen

    Sejarah Universitas Udayana. Namun,

    kelanggengan masa kepemimpinan militer

    pun tergoyahkan oleh masyarakat yang

    ingin kebebasan. Namun untuk sekarang

    Indonesia butuh yang merakyat, yang

    mengerti kondisi rakyat, tambahnya.

    Indonesia akan selalu tumbuh dan

    berkembang. Segala aspek kenegaraan

    akan terus berubah. Pemimpin sebagai

    tonggak kesuksesan pemerintahanlah yang

    dipercaya mampu membawa perubahan.

    Rakyat mengharapkan pemimpin yang

    mampu melihat dari segala aspek. Tidak

    hanya fokus pada satu pembangunan

    secara fisik, namun pembangunan secara

    keseluruhan yang bersifat fundamental.

    Bangsa ini pernah mengecap segala bentuk

    kepemimpinan oleh para presiden yang

    pernah menjabat. Lalu, siapakah presiden

    dan wakil presiden yang ideal bagi rakyat

    Indonesia saat ini? Presiden dan wakil

    presiden terpilih bukan lagi hanya sekadar

    mengatasi masalah negara, namun juga

    mampu mensejahterakan kehidupan

    bangsa. Setiap rakyat Indonesia pun berhak

    memilih dan menentukan pemimpinnya

    yang ideal baginya. (Resita, Mentari)

    LAPUT 1

  • 8 BULETIN AKADEMIKA EDISI III - JUNI 2014

    PROFIL

    Siapa yang tak kenal wanita ini. Gerakan tubuh, tatapan mata, gaya bicara, gudangnya akan pertanyaan yang menelanjangi

    narasumbernya sampai akhirnya

    tidak berkutik. Najwa Shihab lahir di

    Makassar 36 tahun silam merupakan

    alumni Fakultas Hukum Universitas

    Indonesia. Wanita berambut pendek

    ini dikenal dengan aksi-aksinya yang

    menggugah tanah air dengan jiwa sosial

    dan pertanyaan yang mampu memainkan

    emosi penonton hingga terenyuh. Dengan

    gaya bahasa yang simpel namun dapat

    mengungkit segalanya. Ya, wanita yang

    mengawali karirnya dengan kebetulan

    mendapat kesempatan untuk magang di

    RCTI pada saat semester akhir kuliahnya

    ini justru membuat ia menjadi jatuh cinta

    akan dunia jurnalistik.

    Perjalanan menjadi seorang jurnalis

    yang sukses seperti saat ini bukan

    sebuah perjalanan instan. Semua

    butuh proses, saya percaya kerja

    keras pasti akan membuahkan

    hasil, ungkap wanita

    yang memandang tajam

    Persistensi, kuncinya! Wartawan yang

    sukses itu wartawan yang kekeuh jangan

    pernah mau ditolak narasumber. Go for

    what you want, be proud for what you

    do and persistent, ungkapnya sembari

    menyodorkan tubuh dan pandangannya

    ke depan menandakan keseriusannya

    mendengarkan lawan bicara.

    Go For What You Want!

  • www.persakademika.com / @persakademika 9

    narasumbernya ketika berdialog. Diawali

    dengan menjadi wartawan pemburu

    berita, reporter yang meliput ke lapangan,

    presenter, asisten produser, produser,

    eksekutif produser atau program

    owner hingga sekarang menjadi wakil

    pemimpin redaksi Metro TV. Perjuangan

    dimulai dari bawah, sampai akhirnya

    sekarang mempunyai program dengan

    nama sendiri. Semua itu dilakukan secara

    bertahap dan berjenjang dengan penuh

    perjuangan.

    Perjuangan turun ke lapangan

    seperti yang pernah dirasakan Najwa,

    ketika sepuluh tahun silam menjadi

    wartawan pertama yang meliput Tsunami

    di Aceh. Suasana ketegangan dan

    kepanikan meliput peristiwa di Aceh

    baginya merupakan hal yang berkesan.

    Ia beranggapan bahwa dengan profesi

    sebagai seorang wartawan harus bisa

    berada dekat melihat langsung peristiwa

    yang terjadi.

    Air mata pada saat meliput

    Tsunami di Aceh itu bukanlah sebuah

    ajang mencari popularitas dan terkesan

    dibuat-buat. Baginya, berita itu harus

    menggunakan seluruh panca indera

    tidak cukup dengan rumus jurnalistik

    yang hanya 5W + 1H saja. Jurnalistik

    itu bisa menggunakan mata untuk

    melihat kejadian yang terjadi, hidung

    untuk mencium aroma yang menusuk,

    dan telinga untuk mendengar jerit

    tangis rakyat. Dengan itulah, mampu

    menciptakan sebuah tayangan yang

    membuat penonton turut merasakan

    betapa getirnya penderitaan korban.

    Empat belas tahun merambah dunia

    jurnalistik, lantas membuat wanita yang

    awal tahun 2014 ini melalui program

    acara yang dipandunya mampu menyabet

    tiga penghargaan sekaligus, yaitu salah

    satunya Indihome Inspiring Women. Terus

    mencari hal baru, membuat hal yang

    berbeda dan membuat news kreatif.

    Alhamdulillah, semua ini terjadi karena

    dukungan keluarga yang percaya serta

    memberikan peluang dan waktu untuk

    mewujudkan impian saya, ungkapnya

    saat ditemui di Gedung Rektorat lantai 2

    Universitas Udayana seusai mengisi acara

    Metro TV On Campus.

    Terakhir, pesan Najwa yang

    memotivasi adalah, Go for what you

    want, bangga terhadap profesi jangan

    menggangap enteng sebuah profesi,

    ini profesi yang mulia dalam mewakili

    keingintahuan publik, tegasnya dengan

    penuh semangat. (Tina/YRS)

  • 10 BULETIN AKADEMIKA EDISI III - JUNI 2014

    Asta Brata dalam Balutan Jas Merah

    Lika-liku kehidupan mereka pun tak habis jika disoroti sepanjang zaman,

    karena salah satu pesan dari pemimpin kita Koesno Sosrodihardjo (Ir.

    Soekarno) adalah Jas Merah (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah).

  • www.persakademika.com / @persakademika 11

    LAPUT 2

    Sederet putra bangsa terlahir dalam balutan jiwa nasionalisme di Republik Indonesia ini tak terkecuali Bali, yang sejatinya telah memberikan

    sumbangsih yang cukup besar. Pemimpin

    yang berasal atau lahir di pulau dewata ini

    memiliki proses yang berbeda dan peran

    yang berbeda pula di setiap perjalanan

    kepemimpinan mereka.

    Ketenaran pemimpin yang berasal

    dari Bali di masa lampau, tentunya tidak

    terlepas dari adanya sifat inti yang perlu

    dimiliki oleh pemimpin yang dikenal

    dalam tradisi Hindu dan Jawa disebut

    dengan Asta Brata. Dalam terjemahan

    bebas diartikan sebagai delapan ajaran

    utama tentang kepemimpinan yang secara

    simbolis merupakan sifat-sifat mulia yang

    diambil dari alam semesta dan patut

    untuk dijadikan pedoman bagi seluruh

    pemimpin di Bali pada khususnya.

    Menurut Manawadharmasastra dan

    dalam Itihasa Ramayana, Asta Brata terdiri

    atas 1) Indra Brata adalah pemimpin

    yang mengusahakan kemakmuran bagi

    rakyat; 2) Yama Brata adalah pemimpin

    menegakkan keadilan menurut peraturan

    yang berlaku; 3) Surya Brata adalah yang

    mampu memberikan semangat dan

    kekuatan pada kehidupan yang penuh

    dinamika dan sebagai sumber energi;

    4) Candra Brata adalah pemimpin yang

    mampu memberikan penerangan bagi

    rakyat yang berada dalam kegelapan atau

    kebodohan, dengan menampilkan wajah

    yang penuh kesejukan dan penuh simpati;

    5) Wayu Brata (Maruta) adalah pemimpin

    yang senantiasa berada di tengah-tengah

    masyarakatnya; 6) Bhumi adalah pemimpin

    yang memiliki sifat teguh dan kuat sebagai

    landasan berpijak dan memberikan

    kesejahteraan kepada masyarakatnya; 7)

    Waruna Brata adalah pemimpin memiliki

    wawasan yang luas dan mampu mengatasi

    setiap gejolak dengan baik, penuh kearifan

    dan kebijaksanaan; serta 8) Agni Brata

    adalah pemimpin yang memberi semangat

    kepada masyarakat untuk berpartisipasi

    dalam pembangunan, tetap teguh dan

    tegak dalam prinsip dan menindak dengan

    tegas yang bersalah tanpa pilih kasih.

    Pemimpin Bali yang dapat dijadikan

    contoh untuk konsep Asta Brata itu adalah

    Raja Dalem Waturenggong dengan

    penasihatnya Danghyang Nirartha,

    berkuasa sekitar tahun 1500-an pada

    Kerajaan Gelgel. Sesuai dengan pendapat

    Socrates bahwa kepemimpinan itu harus

    merupakan perpaduan antara kekuasaan

    dengan kebijaksanaan. Kekuasaan tersebut

    terdapat dalam diri Raja dan kebijaksanaan

    dalam diri penasihat (tokoh agama) Raja,

  • 12 BULETIN AKADEMIKA EDISI III - JUNI 2014

    papar Dr. I Nyoman Wijaya, M.Hum.

    Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra

    dan Budaya Unud.

    Hal senada diutarakan oleh pakar

    politik I Made Anom Wiranatha, S.IP.,

    Ma. Pada awal berdirinya peradaban

    Bali, kepemimpinan itu akan dilihat

    dari ketulusan orang dan kemampuan

    spiritual seseorang. Kita dapat melihat

    bagaimana Rsi Markandya mengajak

    ribuan orang ke Bali dari Gunung Raung

    di Jawa Timur sampai ke Bali untuk

    menjalankan sebuah pawisik, papar

    Anom Wiranatha.

    Namun, Nyoman Wijaya

    menganggap bahwa Asta Brata me-

    rupakan sesuatu yang normatif, sehingga

    akan sulit apabila diwujudkan secara

    empiris. Susah sekali mendapatkan

    pemimpin yang bisa bersikap seperti

    matahari (Surya Brata), yang mampu

    menyinari kotoran dan tanah yang penuh

    kuman sekalipun. Dalam artian, matahari

    tidak pernah membedakan siapapun

    yang berada di sekitarnya, jelas Nyoman

    Wijaya. Asta Brata dipandang sebagai

    pembentukan moralitas suatu pemimpin

    terhadap yang ia pimpin atau negaranya.

    Susah jika Asta Brata diterapkan

    dalam kebijakan kepemimpinan.

    Buktinya kalau Asta Brata tersebut

    dilaksanakan pasti kita sudah take off, kita

    sudah menjadi negara maju. Keadaan kita,

    ekonomi mundur, politik amburadul.

    Jadi jangan harap Asta Brata itu akan

    ada dan diterapkan oleh pemimpin kita,

    bahkan Amerika pun tidak bisa. Orang

    Hindu sendiri juga tidak akan bisa

    melaksanakan kedelapan Asta Brata itu,

    jelasnya.

    Pemimpin yang berasal dari Bali dan

    nama beliau tercatat sebagai pahlawan

    nasional berdasarkan SK Presiden No.

    106/TK/1975 tanggal 3 November 1975

    adalah Surawiroaji yang lebih dikenal

    sebagai Untung Suropati. Walaupun

    berasal dari Bali, tetapi pahlawan

    ini merupakan tokoh dalam sejarah

    Nusantara yang tercatat dalam Babad

    Tanah Jawi. Kisah perjuangan beliau

    menjadi legendaris karena mengisahkan

    kehidupan beliau sebagai seorang anak

    rakyat jelata dan budak VOC yang

    berhasil menjadi seorang bangsawan dan

    Tumenggung (Bupati) Pasuruan.

    Beralih ke sosok lainnya, ada juga

    I Gusti Ketut Jelantik. Beliau adalah

    pahlawan nasional yang berasal dari

    Karangasem, Bali. Beliau adalah patih

    Kerajaan Buleleng yang berperang

    dalam Perang Jagaraga pada tahun 1849

    di Bali. Perlawanan tersebut bermula

  • www.persakademika.com / @persakademika 13

    karena pemerintah Hindia Belanda ingin

    menghapus Hak Tawan Karang yaitu hak

    bagi raja-raja yang berkuasa di Bali untuk

    mengambil kapal yang kandas di perairan

    Bali serta seluruh isinya.

    Satu abad kemudian, juga ada

    tokoh fenomenal yakni I Gusti Ngurah

    Rai. Beliau memiliki pasukan bernama

    TOKRING (Kotok Garing) yang melakukan

    pertempuran Puputan Margarana.

    Puputan berarti habis-habisan, sedangkan

    Margarana berarti pertempuran di Desa

    Marga, Tabanan. Perjuangan sepenuh hati

    yang dilakukan oleh pemimpin terdahulu

    tidak menutup kemungkinan akan terulang

    lagi di zaman ini, tapi masih adakah

    kepercayaan publik terhadap pemimpin

    saat ini? Perbandingan pemimpin zaman

    dulu dengan pemimpin zaman sekarang

    terletak pada tujuan dan latar belakang

    dalam kepemimpinannya, ujar Nyoman

    Arif Budiman seorang mahasiswa Fakultas

    Hukum yang juga merupakan Wakil

    Mentri Dalam Negeri BEM PM Unud

    periode 2012-2013. Pemimpin zaman dulu

    tujuannya memang pure untuk rakyat,

    sedangkan sekarang lebih kepada mencari

    jabatan dan kekayaan semata.

    Pemimpin kita harus memiliki

    integritas, dalam artian apa yang di-

    pikirkan, dikatakan, dan dilakukan apakah

    sudah terbukti melalui tindakannya.

    Action, work, louder than speak jadi tindakan

    itu harus jauh lebih banyak daripada

    sekumpulan kata-kata, papar I Made

    Anom Wiranatha, S.IP., Ma.

    Berbicara mengenai dua calon dalam

    Pemilihan Presiden tahun ini, Anom

    Wiranatha mengungkapkan bahwa kedua

    calon merepresentasikan dua zaman yang

    berbeda dan dibentuk dalam zaman yang

    berbeda pula. Terlihat mana pemimpin

    yang pencitraan dan memiliki track record

    yang jelas. Pencitraan bisa menunjukkan

    jati diri yang sebenarnya dan dapat

    memunculkan kamuflase. Itulah sekarang

    yang mengakibatkan adanya kampanye

    hitam (black campaign) atau bahasa

    kasarnya fitnah, tambahnya.

    Hal ini juga diamini oleh Widyartha

    Suryawan yang duduk di Fakultas Ilmu

    Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Prodi

    Hubungan Internasional, bahwa pemimpin

    harusnya berkaca pada pemimpin

    terdahulu karena sejarah bukan hanya

    dikenang tetapi juga harus diteruskan

    dan diciptakan kembali. Pemimpin

    yang akan terpilih nanti ini diharapkan

    dapat meluruskan cita-cita reformasi,

    menjalankan isi daripada Undang-undang

    Dasar dan juga dasar negara, harap Surya.

    (YRS/Andis)

    LAPUT 2

  • 14 BULETIN AKADEMIKA EDISI III - JUNI 2014

    Duaaarrr!!! Tepat satu tahun,

    satu bulan, dan satu hari, setelah

    serangan terhadap menara World

    Trade Centre di New York - Amerika

    Serikat, Bali diguncang bom yang

    menelan 202 korban jiwa. 12 Oktober

    2012, menjadi malam berdarah yang

    sangat mengerikan di Legian. Untuk

    menghormati dan mengenang para

    Tampak barisan kendaraan yang melintas di depan Monumen Ground Zero.

    korban maka dibangun sebuah

    monumen yang diresmikan pada

    tanggal 12 Oktober 2004. Monumen

    Tragedi Kemanusiaan Peledakan Bom 12

    Oktober 2002 atau lebih dikenal dengan

    Ground Zero, kini menjadi salah satu

    tujuan wisatawan yang melintas di Jalan

    Legian. (Dhamma)

  • www.persakademika.com / @persakademika 15

    Pelancong sedang berfoto dengan Monumen Ground Zero sebagai latar belakang

    ESAI FOTO

    Monumen Ground Zero, monumen pengingat untuk kita agar terus menjaga keamanan dan kedamaian di Bali. Beberapa wisatawan menikmati sore di Ground Zero.

  • 16 BULETIN AKADEMIKA EDISI III - JUNI 2014

    RESENSI FILM

    Perjuangan itu NyataCAPTAIN PHILLIPS

    Sutradara : Paul GreengrassProduser : Scott Rudin, Michael DeLuca, Kevin Spacey, Dana Brunetti

    Penulis Naskah : Billy RayPemain : Tom Hanks, Barkhad Abdi, Catherine Keener dllGenre : Drama, Aksi, BiografiDurasi : 134 menitStudio : Columbia PicturesTanggal Rilis Perdana : 11 Oktober 2013

    Kapal Maersk Alabama mengangkut kargo sebesar 17.000 ton bersama dengan 20 orang awak

    dan Kapten Richard Phillips.

    Kapten Phillips cukup mengerti

    bahwa mereka akan melewati

    area pesisir yang berbahaya

    karena adanya aktivitas

    perompak laut, sampai di hari

    berikutnya mereka menyadari

    ada dua kapal kecil yang

    tengah mengikuti mereka

    dari belakang. Kapten Phillips

    sudah menduga bahwa kedua

    kapal tersebut adalah kapal

    perompak. Usaha keras pun

    dilakukan untuk menghindari

    Diangkat dari kisah

    nyata, film ini mengingatkan

    bahwa perompakan bukan hanya ada di dunia

    dongeng.

    Foto : Google

  • www.persakademika.com / @persakademika 17

    CAPTAIN PHILLIPS

    kedua kapal perompak mencapai kapal

    Maersk Alabama.

    Namun, usaha Kapten Richard Phillips

    menjauhkan kapal Maersk Alabama

    dari kapal perompak gagal. Perompak

    bersenjata api berhasil naik ke atas

    kapal, Kapten Phillips beserta beberapa

    kru yang berada bersamanya ditawan.

    Kapten Philips yang akhir cerita berhasil

    diselamatkan harus berlumuran darah

    dari sang perompak yang tertembak tim

    penyelamat.

    Film yang kabarnya adalah kisah nyata

    ini mampu membuat penonton turut

    merasakan kengerian serta ketegangan

    dari bahaya yang harus pemain

    alami dalam film. Tak hanya sekedar

    memberikan unsur thriller, karakter

    Kapten Richard Phillips yang dimainkan

    Tom Hanks mampu memperlihatkan

    emosi serta kepribadian seorang kapten

    kapal yang bertanggung jawab dan

    berjuang menyelamatkan kapal beserta

    awaknya.

    Sayangnya, awal cerita film yang

    disutradarai Paul Greengrass ini alurnya

    sangat datar. Film ini juga terfokus

    untuk menonjolkan karakter dari Kapten

    Phillips dan keempat perompak kapal,

    sedangkan karakter lain tidak begitu

    ditampilkan secara mendalam. Namun,

    kekuatan karakter Sang Kapten Philips

    dapat menjadi fokus yang menarik.

    Film Captain Phillips yang

    dirilis tahun 2013 ini bisa dikatakan

    sebagai salah satu film yang berhasil

    menggambarkan ulang insiden

    pembajakan kapal dengan cukup baik.

    Berhasil menyelami emosi penonton.

    Pengalaman mencekam teror di laut,

    bumbu drama yang cukup emosional,

    serta kemampuan akting dari para tokoh

    utamanya membuat film berdurasi

    134 menit ini layak menjadi salah satu

    tontonan yang menarik. (Yuni)

  • 18 BULETIN AKADEMIKA EDISI III - JUNI 2014

    LAPORAN KHUSUS

    Sang cakra jingga mulai menghilang

    bersama keanggunannya di langit senja.

    Kini, sinar rembulan yang menggantikan

    singgasana di langit penuh bintang. Gde

    Putra memarkir motornya di halaman

    rumah. Pria jangkung berambut ikal

    itu menuju ruang tamu. Tampak ada

    seorang wanita dan dua orang pria lain

    telah datang lebih dulu di sana. Mereka

    sering bertemu di rumah ini untuk

    sekadar bercengkrama dan bertukar

    pikiran. Gde Putra memperkenalkan

    Roro dan dua orang temannya yang

    lain. Suasana perkenalan yang hangat

    membuka perbincangan kecil ini. Lalu,

    Putra menceritakan tentang Taman 65.

    Taman 65 merupakan suatu

    komunitas yang statusnya tentu berbeda

    dengan LSM. Komunitas ini tidak

    mengenal istilah anggota, ketua, dan

    sebagainya, tuturnya santai.

    Putra, salah satu anggota komunitas

    ini mengatakan Taman 65 muncul dari

    keluarganya sebab ada sekitar empat

    kakek di rumahnya menghilang pada saat

    peristiwa tahun 1965. Orang tua Putra

    Orang Bali yang sering dicitrakan damai, polos, sopan, dan berbudaya, sebaiknya harus melihat kembali apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 1965.

    Peristiwa Enam Lima:Korban Rekayasa Sejarah

  • www.persakademika.com / @persakademika 19

    pun tidak pernah menerangkan ke mana

    para kakek ini pergi. Demi menghalau

    rasa penasaran, Putra membentuk Taman

    65 dengan tujuan mempelajari sejarah

    peristiwa tersebut sebelum semakin

    digelapkan oleh pemerintah. Taman

    65 juga sering mendatangkan eks tapol

    (bekas tahanan politik) untuk berdiskusi

    dan mempelajari sejarah peristiwa 1965

    secara mendalam.

    Roro, yang juga anggota dari Taman

    65 bercerita tentang pembantaian massal

    di Tegalbadeng. Pembantaian tersebut

    berawal dari seorang tentara bernama Pan

    Santun yang sedang mengadakan sebuah

    rapat dengan keluarganya di sebelah barat

    Pura Pande di Tegalbadeng.

    Rapat keluarga tersebut membahas

    tentang rencana penyelenggaraan upacara

    adat. Namun, rapat ini diisukan sebagai

    rapat gelap PKI yang akan menyerbu Kota

    Negara, Jembrana, cerita Roro.

    Mereka pun diserbu oleh gerakan

    pemuda Anshor dan tentara lokal, saat

    tengah mengadakan rapat tersebut pada

    30 November 1965. Satu orang tentara

    dan satu orang pemuda Anshor tewas.

    Tewasnya dua orang ini tentu memicu

    kemarahan yang sangat dahsyat dari pihak

    tentara dan masyarakat. Sebelumnya,

    penyerangan sempat terjadi di Tegal-

    badeng pada tanggal 1 November 1965.

    Foto : ArySandy/Aka

    Toko Wong - saksi bisu pembantaian tahanan yang tetap kokoh berdiri.

  • 20 BULETIN AKADEMIKA EDISI III - JUNI 2014

    Sehari kemudian terjadi peristiwa

    penembakan serta pembantaian di Toko

    Wong. Roro mengetahui hal ini dari

    seorang teman yang juga anggota Taman

    65.

    Antara peristiwa G30S/PKI dan 1965

    harus dipisahkan. Roro mengungkapkan

    bahwa peristiwa 1965 tersebut bermula

    dari kematian 7 jenderal di Jakarta.

    Kabarnya mereka berperan penting

    dalam perpolitikan Indonesia saat itu.

    Lalu muncul isu-isu yang disebarluaskan

    oleh media propagandis yang kemudian

    masuk ke Bali dan membakar amarah

    masyarakat. Hal ini membuat ketakutan

    yang luar biasa, baik dari sisi PKI maupun

    masyarakat. Walaupun sebenarnya

    orang-orang tidak begitu tahu apa yang

    terjadi di Jakarta.

    Peristiwa pembunuhan tujuh

    jenderal ini merupakan induk dari

    peristiwa lain seperti pembunuhan jutaan

    warga Indonesia tanpa proses hukum.

    Kemudian berlanjut pada pemenjaraan,

    pemerkosaan, perampasan hingga

    pembuangan orang tanpa proses hukum.

    Terakhir, ada dominasi persepektif

    sejarah Indonesia yang membutakan

    masyarakat.

    Sejarah peristiwa 1965 masih

    menjadi misteri karena ditutupi dengan

    sejarah palsu yang dibuat oleh pemerintah

    yang berkuasa saat itu. Pemerintah

    mengeluarkan banyak buku dan tayangan

    yang mendominasi persepsi masyarakat.

    Sejarah yang dibuat oleh

    Foto : ArySandy/Aka

    Bale Bengong - Lokasi pembantaian sebelum akhirnya korban ditanam di Pantai Candi Kesuma

    LAPORAN KHUSUS

  • www.persakademika.com / @persakademika 21

    pemerintah sangat monolitik. Pemerintah,

    dalam hal ini dari zaman orde baru sampai

    reformasi juga bisa dikatakan sebagai

    tersangka karena membiarkan hal tersebut

    terjadi. Mereka membiarkan banyak

    nyawa melayang tanpa proses hukum,

    tegas Roro.

    Sebelum dibumihanguskan, PKI

    merupakan partai yang progresif, sebuah

    partai yang ingin me-nasionalisasi-kan

    segalanya, mendukung nasionalisasi

    dan gerakan buruh, mereka juga

    meminimalisir investor asing. Namun saat

    PKI dibumihanguskan, saat itulah investor

    mulai berjamuran, terutama di Bali. Pada

    saat itu di Bali sendiri 80.000 orang tercatat

    tewas dalam buku yang ditulis oleh Robert

    Cribb, belum lagi yang tidak tercatat.

    Kita sudah diracuni oleh pariwisata.

    Para intelektual Bali lebih suka menulis

    yang indah-indah tentang Bali. Justru

    para intelektual Barat yang lebih tertarik

    mengupas tentang peristiwa ini, sambung

    Putra. Sembari menutup perbincangan

    hari itu, Roro menganalogikan peristiwa

    1965 seperti luka borok. Jika luka tersebut

    sudah ada, maka luka itu akan memakan

    kita terus. Sekarang pilihannya adalah

    apakah kita akan mengobati luka tersebut,

    atau membiarkannya. Resikonya, kalau

    kita biarkan luka itu, kita akan mati

    olehnya, karena luka itu terus ada. Jika kita

    mengambil resiko untuk mengobatinya,

    kita juga tidak akan tahu apakah kita akan

    hidup atau mati, ungkap Roro.

    Respon dari keluarga korban pun

    bermacam-macam. Ada tiga jenis respon

    keluarga korban mengenai peristiwa

    1965 ini, yakni dari keluarga korban dari

    golongan atas, tidak ingin kompensasi tapi

    pengakuan kesalahan dari pemerintah.

    Sedangkan korban dari golongan bawah

    menuntut kompensasi dan ada juga

    dari mereka yang apatis, bersikap acuh

    terhadap kasus ini. Namun menurut Putra,

    kebanyakan keluarga korban sudah ikhlas.

    Ada banyak cara untuk mengikhlaskan

    kepergian keluarga dari orang-orang

    yang terbunuh, salah satunya upacara

    ngaben secara simbolis sekitar tahun 1972

    seperti halnya yang Putra lakukan untuk

    mendiang kakeknya. Hal ini dilakukan

    karena keluarga korban merasa dihantui

    korban yang tak bersalah.

    Membunuh orang atas dasar

    nasionalisme, diibaratkan sesuatu

    yang sah. Itulah mengapa kita harus

    membongkar peristiwa itu, agar ada

    jaminan ketika mengkritisi pemerintah

    atau saat kita melakukan sesuatu yang

    baik, kita tidak bisa dijadikan tumbal,

    tutup Putra dengan semangat. (Ary, Santia)

  • 22 BULETIN AKADEMIKA EDISI III - JUNI 2014

    JEJAK

    Bali, terkenal akan pesona keindahannya. Kebanyakan wisatawan hanya mengetahui daya tarik wisata di kawasan Bali

    Selatan tempat wisata yang ada di Bali

    Selatan. Pernahkah tertarik mengunjungi

    daya tarik wisata di kawasan Bali

    Utara? Brahmavihara-Arama, salah satu

    pilihannya.

    Brahmavihara-Arama adalah

    tempat suci agama Budha yang terletak

    di Kecamatan Banjar, Kabupaten

    Buleleng. Tempatnya agak jauh dari

    keramaian kota. Perjalanan menuju

    Wihara ini memakan waktu sekitar

    empat jam dari Kota Denpasar. Sesampai

    di Wihara, rasa lelah saat perjalanan

    pun seolah terbayar. Pemandangan

    bangunan suci yang indah siap membuat

    pengunjung berdecak kagum.

    Bukan hanya datang untuk

    sembahyang saja datang ke tempat ini,

    ada juga yang sekedar lancong. Tempat

    ini selalu ramai pengunjung saat hari-

    hari besar, yaitu Waisak, Katina, Asada,

    dan Maga Puja, ujar Made Antara,

    penjaga Brahmavihara-Arama.

    Bangunan suci Wihara ini terbagi

    menjadi tiga, yaitu halaman depan

    (tengah, kanan, kiri), halaman tengah,

    Brahmavihara-Arama, Wisata Tempat Suci di Kawasan Bali Utara

    Borobudur mini atau miniatur Borobudur, salah satu bangunan suci yang berfungsi sebagai tempat meditasi.

  • www.persakademika.com / @persakademika 23

    dan halaman atas. Setiap halaman

    memiliki beberapa bangunan suci yang

    berbeda sesuai dengan fungsinya.

    Persembahyangan di Wihara ini

    dilakukan pada periode tertentu sesuai

    dengan ajaran agama Buddha.

    Saya dan keluarga selalu

    bersembahyang di sini setiap 15 hari,

    seperti dalam agama Hindu setiap

    Purnama dan Tilem, sahut Putu Pariasa,

    salah seorang pengunjung yang datang

    bersama keluarganya.

    Wihara ini tak serta merta dibangun

    begitu saja, namun sarat akan sejarah.

    Oleh karena itu, pengurus Brahmavihara-

    Arama menyusun buku yang berjudul

    Sekelumit Tentang Brahmavihara-

    Arama pada tahun 1986. Berdasarkan

    buku tersebut, Wihara ini dibangun

    oleh seorang Bhikkhu penyebar Buddha

    Dharma, yaitu Bhikkhu Girirakkhito.

    Bhikkhu Girirakkhito memilih Kecamatan

    Banjar untuk membangun Wihara ini

    karena mudah dijangkau oleh umat dan

    suasana yang tenang. (Yoga)

    Salah satu patung Buddha yang sedang bermeditasi di bawah pohon

  • 24 BULETIN AKADEMIKA EDISI III - JUNI 2014

    BUDAYA

    Was was adalah perasaan setiap orang tua di Bali (yang beragama Hindu) ke-tika menerima kenyataan bahwa anakn-

    ya lahir pada Wuku Wayang. Sifat keras

    kepala dan beberapa hal buruk lainnya

    diyakini akan menimpa putranya jika

    tidak segera melakukan ruatan. Lantas

    ruatan apa yang mereka laksanakan?

    Berbicara tentang kelahiran anak

    pada wuku wayang, maka yang terbersit

    di benak kita tentang sosok Dewa Kala

    yang merupakan putra dari Dewa Siwa

    dan Dewi Uma. Selanjutnya, Dewa Ka-

    la-lah yang akan menjadi tokoh utama

    dalam cerita mebayuh Wayang Sapuh

    Leger.

    Pada suatu hari Dewa Kala bertan-

    ya pada ayahnya Makanan apa yang

    boleh aku makan? Sang ayah men-

    jawab, Makanan yang boleh kau san-

    tap adalah adalah orang orang yang

    lahir menyamai kelahirannya. Ternyata

    lahirlah Putra Dewa Siwa yakni Rare

    Kumara yang lahir menyamai kelahiran

    Mebayuh Sapuh Leger,Jauhkan Anak Wuku Wayangdari Mala

    Dewa Kala. Di sinilah keyakinan tentang

    ruatan Wayang Sapuh Leger berkem-

    bang.

    Tatkala dikejar oleh Dewa Kala,

    Rare Kumara lari terbarat birit hing-

    ga tiba di alam manusia. Setelah lama

    bersembunyi akhirnya Rare Kumara

    menonton pertunjukan wayang namun

    hampir saja tertangkap Dewa Kala.

    Mula mula Rare Kumara bersembunyi

    di balik punggung sang dalang. Den-

    gan sigap Dewa Kala mengejar, hingga

    Rare Kumara lari menuju ke belakang

    kekayon. Melihat wajah Rare Kumara

    sang dalang iba, atas bantuan dari sang

    dalang, Rare Kumara bersembunyi pada

    daun gender.

    Dewa Kala yang lelah mengejar

    akhirnya langsung menyantap sesajen

    pertunjukan wayang. Sang dalang mar-

    ah dan untuk merendamkan kemarahan

    sang Dalang, Dewa Kala menyebutkan

    sebuah mantra yang luar biasa untuk

    menangkal hal hal yang buruk yang

    akan menimpa anak yang lahir pada

  • www.persakademika.com / @persakademika 25

    wuku wayang. Tentunya dengan tambah-

    an sesaji dan tirta dari yang lemah sapuh

    leger tersebut.

    Kata Sepuh Leger berasal dari kata

    Sepuh dan Leger yang artinya pembersi-

    han dari kekotoran dan masyarakat lakon

    ini ditampilkan melalui pertunjukkan

    wayang. Secara keseluruhan, Wayang

    Sapuh Leger adalah drama ritual den-

    gan sarana pertunjukkan wayang kulit

    yang bertujuan untuk pembersihan atau

    penyucian diri seorang akibat tercemar

    atau kotor secara rohani. Banyak versi

    lain yang menggambarkan cerita dan

    mitologi ini. Namun keyakinan ten-

    tang anak anak yang lahir pada

    wuku wayang harus diruat masih ber-

    tahan hingga saat ini.

    Dilihat dari segi ekonomi,

    bayuhan wayang sapuh leger me-

    mang memerlukan

    biaya yang relatif

    besar. Selain mem-

    buat persembahan

    seperti banten, orang tua dari

    anak anak yang lahir pada

    wuku wayang (lebih lebih pada

    Tumpek Wayang) harus ngupah

    wayang (mengadakan pertun-

    jukan wayang). Wayang yang di-

    upah biasanya dipentaskan pada

    siang hari (saat matahari masih tampak

    dan disebut sebagai wayang lemah).

    Kekhasan lainnya, karena wayang ini

    adalah wayang lemah maka pertunjukan

    wayang ini tidak menggunakan kelir, lay-

    aknya wayang wayang pada umumnya.

    (Dharma)

  • 26 BULETIN AKADEMIKA EDISI III - JUNI 2014

    OPINI

    ANTARA WAKIL RAKYATATAU LSM BERPLAT MERAH

    DPD RI :

    Sejak dilakukannya amandemen keempat UUD 1945 pada 11 Agustus 2002, Indonesia mengarah pada sistem parlemen dua kamar

    (bicameral system). DPD dilembagakan

    berdasarkan Bab VII A Pasal 22C dan

    22D. Namun menurut ahli hukum tata

    negara dari Universitas Brawijaya,

    Malang, M. Ali Syafaat, adopsi sistem

    ini masih setengah hati. Karena dalam

    Pasal 22D UUD 1945, kewenangan yang

    diberikan kepada DPD masih terbatas.

    Ada peribahasa yang mengatakan:

    tiada rotan akar pun jadi. Peribahasa ini

    agaknya ungkapan yang tepat untuk

    mengungkap peran DPD dalam proses

    legislasi. Sebab, rotan yang dibutuhkan

    wewenang penuh DPD dalam proses

    legislasi- tidak dimiliki oleh DPD.

    Sudah digariskan dalam konstitusi,

    wewenang DPD yang hanya memberikan

    pertimbangan dalam keseluruhan

    fungsi lembaga perwakilan: legislasi,

    pengawasan, dan anggaran (budgeter).

    Sementara keseluruhan pengambilan

    keputusan dilakukan oleh DPR.

    Sitem demokrasi yang kita anut

    sekarang, sumber kekuasaan atau

    sumber mandat untuk berkuasa adalah

    pada rakyat, yang dalam hal ini lewat

    pemilihan umum. Mandat DPR dan

    DPD sama-sama berasal dari rakyat.

    Tapi keduanya punya perbedaan

    yang sangat fundamental secara

    konstitusional: DPR berkuasa, DPD tidak

    berkuasa. Ketimpangan itu sah secara

    Oleh : Ni Ketut Ari Puspita Dewi

    Fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tidak begitu menggigit karena desain konstitusinya salah. Suaranya hanya sekadar suara yang tidak terlalu diperhitungkan oleh DPR, maka itulah DPD ibarat LSM berplat merah. Banyak masyarakat yang tidak paham dengan peran DPD. Lantas, perlukah masyarakat memilih anggota DPD?

    Foto : Google

  • www.persakademika.com / @persakademika 27

    konstitusional, tapi belum tentu sah secara

    demokratik atau menurut keinginan rakyat.

    Apakah betul rakyat mendukung

    ketentuan bahwa DPD tidak perlu

    punya wewenang untuk membuat

    keputusan tentang undang-undang yang

    berkaitan dengan daerah? Tanpa ada

    peningkatan peran dan fungsi seperti

    selama ini, yaitu menampung aspirasi

    kemudian menyerahkan sepenuhnya

    tindak lanjut aspirasi masyarakat

    kepada DPR, DPD tak ubahnya seperti

    lembaga swadaya masyarakat (LSM).

    Lembaga Swadaya Masyarakat

    atau yang biasa kita sebut dengan nama

    LSM adalah organisasi yang dibangun

    oleh seseorang atau kelompok untuk

    memberikan layanan dan bantuan kepada

    masyarakat tanpa mengambil untung.

    LSM berbeda dengan lembaga

    negara lain di Indonesia. Salah satu

    perbedaannya adalah LSM bukan dimiliki

    oleh pemerintah. Oleh karena itu, LSM

    mempunyai program kerja sendiri yaitu

    mendengarkan aspirasi masyarakat,

    pemberdayaan masyarakat, bantuan ke

    masyarakat, sampai pada fungsi kontrol

    terhadap pemerintah dan aparat yang ada.

    Namun dilihat lebih dalam lagi,

    terdapat banyak LSM yang tidak memiliki

    tugas dan juga program kerja jelas di

    Indonesia ini. LSM tidak dipegang atau

    dikontrol oleh pemerintah. Jadi, LSM

    tersebut dapat menjalankan pekerjaannya

    dengan sesuka hati atau bahkan jarang

    melaksanakan program kerjanya.

    Sama halnya seperti DPD. Ia dibentuk

    hanya untuk mengakomodasi keinginan

    tokoh-tokoh daerah atau nasional yang

    ingin masuk ke dalam lingkaran kekuasaan

    tanpa melalui partai politik. Tak dipikirkan

    lebih jauh mengenai fungsi yang ideal

    bagi DPD. Berapa besar anggaran negara

    yang dihabiskan hanya untuk membiayai

    pemilihan anggota DPD dan membayar

    penghasilan anggota DPD tanpa dapat

    mengukur hasil kerjanya? Apakah kinerja

    DPD dapat begitu saja diukur dari

    banyaknya pertimbangan yang diberikan

    kepada DPR? Perlukah masyarakat

    untuk memilih anggota DPD RI?

    Sebaiknya masyarakat berpikir

    ulang untuk memilih anggota DPD RI,

    karena menurut saya tidak ada peran

    dan fungsi yang kuat dari DPD RI. Buat

    apa masyarakat menggunakan hak

    suaranya untuk memilih calon wakil

    daerah jika mereka tidak bisa berbuat

    banyak untuk daerah atau konstituen

    yang diwakilinya? Lebih baik hapuskan

    saja jabatan DPD daripada perannya

    layaknya LSM yang berplat merah.

  • Pelindung: Rektor Universitas Udayana.

    Penasihat: Pembantu Rektor III Universitas

    Udayana.

    Ketua Unit/Pemimpin Umum: Jaya Kusuma.

    Pemimpin Redaksi: Alit Purwaningsih.

    Redaktur Pelaksana: Nila Pertina Dewi, Dharma

    Yanti, Resita Yuana, Indah Kusuma.

    Editor: Ary Pratiwi, Vera Aryantini, Diah

    Dharmapatni.

    Tim Redaksi: Resita, Mentari, Yuni R.S., Andis,

    Santia, Ary Sandy, Hartina, Yuni Surya, Ari

    Puspita, Dhamma, Yoga, Dharma.

    Layouter: Sangga, Bagus, Sui.

    Ilustrasi: Sangga.

    Redaksi menerima kiriman artikel, opini,

    masukkan, kritik, saran atau tanggapan

    tentang kehidupan civitas akademika

    Universitas Udayana.

    Tulisan bisa dialamatkan langsung ke

    Sekretariat Pers Mahasiswa Akademika

    Jl. Dr. R. Goris No. 7A, Denpasar

    atau dikirim lewat email ke

    [email protected].

    redaksi berhak menyunting isi tulisan

    sepanjang tidak

    menyimpang esensi tulisan.

    www.persakademika.com

    @persakademika

    Taki - Takining Sewaka Guna Widya