jarah wa tadil

16
You are here: Home » Artikel » AL JARH WA TA’DIL: SALAH SATU BUKTI KEHEBATAN KEILMUAN DALAM ISLAM AL JARH WA TA’DIL: SALAH SATU BUKTI KEHEBATAN KEILMUAN DALAM ISLAM 28/04/2013 | By anwar | Reply Oleh Difa, Peneliti InPAS Pendahuluan Rasulullah SAW tidaklah mewariskan harta benda dan kekayaan kepada umatnya. Namun Rasulullah SAW mewariskan kepada kita dua perkara, yaitu Al-qur an dan Sunnah. Al-qur an adalah kalam Allah yang telah dijamin kemurnian dan keabsahannya. Sedangkan Sunnah atau sabda Rasul SAW tidak semuanya berpredikat mutawatir, sehingga tidak semua sabda Rasul SAW tersebut bisa diterima karena belum tentu setiap kalimat hadits itu berasal dari Rasulullah SAW. Sebagai umat Islam, tentunya kita sudah tahu bahwa hadits merupakan sumber kedua setelah Al-Qur an, sehingga hadits sangat diperlukan untuk memperjelas ayat-ayat Al-Qur an yang belum jelas maknanya. Oleh karena itu hadits atau sunnah Nabi SAW mempunyai kedudukan yang penting sebagai sumber ajaran Islam, selain Al-Qur an. Proses penulisan hadits berlangsung setelah Nabi SAW wafat hingga 200 tahun setelahnya. Dalam rentang waktu yang panjang itu, kemungkinan terjadinya pemalsuan dan perubahan yang sangat besar, serta menimbulkan berbagai hal yang dapat menjadikan para periwayat hadits menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi SAW. Oleh karenanya muncullah ilmu yang berkaitan dengan hadits atau biasa disebut dengan istilah ‘Ulumul Hadits. Dari berbagai macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadits, ada satu cabang ilmu yang membahas tentang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian, yaitu ilmu al- jarh wa ta’dil. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui komentar-komentar para kritikus hadits tentang keadaan setiap perawi, apakah diterima ( maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantinya bisa ditentukan status dan derajat hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut. Kalaulah ilmu al-Jarh wa al-Ta dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits dinilai sama. Padahal, perjalanan hadits semenjak Rasulullah SAW sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW kemurnian sebuah hadits perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian di bidang politik, ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan hadits. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentingan golongannya. Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadits yang benar-benar dari Rasulullah SAW dan hadits yang palsu (maudhu ). Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa al-ta dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadits shahih, hasan, ataupun hadits dha if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya. Pengertian Ilmu Al-Jarh wa Ta’dil Menurut bahasa, kata jarh merupakan masdar dari kata jaraha-yajrahu-jarhan ( رح ج رح ج ي رحا ج) yang berati melukai . Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, ataupun berkaitan dengan non fisik, misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang. Apabila kata jaraha ( رح ج) dipakai oleh hakim pengadilan yang ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti menggugurkan keabsahan saksi . Menurut istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk di bidang hafalannya dan kecermatannya, yang keadaan itu menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh

Upload: kewan-wan

Post on 21-Jan-2016

157 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jarah Wa Tadil

You are here: Home » Artikel » AL JARH WA TA’DIL: SALAH SATU BUKTI KEHEBATAN KEILMUAN DALAM ISLAM

AL JARH WA TA’DIL: SALAH SATU BUKTI KEHEBATAN KEILMUAN DALAM ISLAM 28/04/2013 | By anwar | Reply

Oleh Difa, Peneliti InPAS Pendahuluan

Rasulullah SAW tidaklah mewariskan harta benda dan kekayaan kepada umatnya. Namun Rasulullah SAW mewariskan kepada kita dua perkara, yaitu Al-qur’an dan Sunnah. Al-qur’an adalah kalam Allah yang telah dijamin kemurnian dan keabsahannya. Sedangkan Sunnah atau sabda Rasul SAW tidak semuanya berpredikat mutawatir, sehingga tidak semua sabda Rasul SAW tersebut bisa diterima karena belum tentu setiap kalimat hadits itu berasal dari Rasulullah SAW.

Sebagai umat Islam, tentunya kita sudah tahu bahwa hadits merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an, sehingga hadits sangat diperlukan untuk memperjelas ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas maknanya. Oleh karena itu hadits atau sunnah Nabi SAW mempunyai kedudukan yang penting sebagai sumber ajaran Islam, selain Al-Qur’an.

Proses penulisan hadits berlangsung setelah Nabi SAW wafat hingga 200 tahun setelahnya. Dalam rentang waktu yang panjang itu, kemungkinan terjadinya pemalsuan dan perubahan yang sangat besar, serta menimbulkan berbagai hal yang dapat menjadikan para periwayat hadits menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi SAW. Oleh karenanya muncullah ilmu yang berkaitan dengan hadits atau biasa disebut dengan istilah ‘Ulumul Hadits.

Dari berbagai macam cabang ilmu yang berkaitan dengan hadits, ada satu cabang ilmu yang membahas tentang keadaan perawi dari segi celaan dan pujian, yaitu ilmu al-jarh wa ta’dil. Dari ilmu inilah kita bisa mengetahui komentar-komentar para kritikus hadits tentang keadaan setiap perawi, apakah diterima (maqbul) atau ditolak (mardud) sehingga nantinya bisa ditentukan status dan derajat hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut.

Kalaulah ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits dinilai sama. Padahal, perjalanan hadits semenjak Rasulullah SAW sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW kemurnian sebuah hadits perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian di bidang politik, ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan hadits. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentingan golongannya. Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadits yang benar-benar dari Rasulullah SAW dan hadits yang palsu (maudhu’).

Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa al-ta’dil, kita juga akan bisa menyeleksi mana hadits shahih, hasan, ataupun hadits dha’if, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya. Pengertian Ilmu Al-Jarh wa Ta’dil

Menurut bahasa, kata jarh merupakan masdar dari kata jaraha-yajrahu-jarhan (جرحا – يجرح – جرح ) yang berati “melukai”. Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan

dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, ataupun berkaitan dengan non fisik, misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang. Apabila katajaraha (جرح) dipakai oleh hakim pengadilan yang ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti “menggugurkan keabsahan saksi”.

Menurut istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk di bidang hafalannya dan kecermatannya,

Page 2: Jarah Wa Tadil

yang keadaan itu menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut. Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarh dantajrih; dan sebagian ulama lagi membedakan penggunaan kedua kata itu. Mereka yang membedakan beralasan bahwa kata al-jarhberkonotasi tidak mencari-cari ketercelaan seseorang; namun ketercelaan memang telah tampak pada diri seseorang itu. Sedangkanat-tajrih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang.

Adapun kata at-ta’dil, asal katanya adalah masdar dari kata kerja ‘addala-yu’addilu-ta’dilan ( تعّديال – يعّدDل – عّدDل ), artinya mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Menurut istilah ilmu hadits, kata at-ta’dil mempunyai arti mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada periwayat, sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa al-jarh wa ta’dil merupakan ilmu yang membahas keadaan para rawi hadits dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Sejarah Ilmu Al-Jarh Wwa Ta’dil

Sejarah pertumbuhan ilmu al-jarh wa ta’dil selalu seiring dan sejalan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan periwayatan hadits, karena bagaimanapun juga untuk memilah dan memilih hadits-hadits shahih melewati penelitian terhadap rawi-rawi dalam sanadnya, yang pada akhirnya memungkinkan untuk membedakan antara hadits yang maqbul dan yang mardud.

Embrio praktek men-jarh dan men-ta’dil sudah tampak pada masa Rasulullah SAW yang beliau contohkan sendiri secara langsung dengan mencela bi’sa akh al-‘asyirah (saudara kerabat yang buruk) dan pernah pula beliau memuji sahabat Khalid bin Walid dengan sebutan: “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid. Dia adalah pedang dari sekian banyak pedang Allah”.

Selain dari riwayat-riwayat yang kita peroleh dari Rasulullah SAW tentang al-jarh dan at-ta’dil ini, banyak pula kita menemukan pandangan dan pendapat para Sahabat. Kita dapat menemukan banyak kasus di mana Sahabat yang satu memberikan penilaian terhadap Sahabat yang lainnya dalam kaitannya sebagai perawi hadits. Keadaan demikian berlanjut dan dilanjutkan oleh tabi’in, atba’ at-tabi’in serta para pakar ilmu hadits berikutnya. Dalam hal ini mereka menerangkan keadaan para perawi semata-mata dilandasi semangat religius dan mengharap ridha Allah. Maka, apa yang mereka katakan tentang kebaikan maupun kejelekan seorang perawi akan mereka katakan dengan sebenarnya, tanpa tenggang rasa, meski yang dinilai negatif adalah keluarganya.

Syu’bah bin al-Hajjaj (82-160 H) pernah ditanya tentang hadits yang diriwayatkan Hakim bin Jubair. Syu’bah yang dikenal sangat keras terhadap para pendusta hadits berujar: أخافالنلر. Karena ketegasan dan keteguhannya inilah yang menjadikan Imam Syafi’i berkomentar:لوالشعبةماعرفالحّديثبالعراق. “Seandainya tidak ada Syu’bah, niscaya hadits tidak dikenal di Irak”.

Suatu kali pernah seorang laki-laki bertanya kepada ‘Ali al-Madini tentang kualitas ayahnya. ‘Ali hanya menjawab: Tanyalah kepada orang lain”. Orang yang bertanya tersebut rupanya masih menginginkan jawaban ‘Ali al-Madini sendiri, sehingga ia tetap mengulang-ulang pertanyaannya. Setelah menundukkan kepala sejenak lalu mengangkatnya kembali, ‘Ali berujar: هضعيفD ini masalah agama, dia (ayah ‘Ali“ .هذاالّدينأّنal-Madini) itu dla’if”.

Menyadari betapa urgen-nya sebuah penilaian hadits dalam hal rawi hadits, para ulama hadits di samping teguh, keras dan tegas dalam memberikan penilaian, juga dikenal teliti dalam mempelajari kehidupan para rawi. Sebegitu telitinya, Imam Asy-Sya’bi pernah mengatakan: “Demi Allah, sekiranya aku melakukan kebenaran sembilan puluh kali dan kesalahan sekali saja, tentulah mereka menilaiku berdasarkan yang satu kali itu”.

Demikianlah para ulama telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap keberadaan ilmu al-jarh wa ta’dil. Di samping mengiprahkan diri, para ulama juga memotivasi para muridnya untuk turut andil mencari tahu keadaan rawi tertentu dan menjelaskan kepada yang lainnya.

Page 3: Jarah Wa Tadil

Begitu besar rasa tanggung jawab para ulama hadits dalam menilai kualitas rawi, mereka mengibaratkan amanah tersebut lebih berat dibanding menyimpan emas, perak dan barang-barang berharga lainnya. Kiprah menilai keadaan para perawi ditegaskan berulang kali oleh para ulama hadits dalam rangka menjaga sunnah dari tangan-tangan perusak dan pemalsu hadits, yang pada gilirannya menjadiwasilah mengetahui kualitas dan nilai hadits.

Dengan demikan pada dasarnya ilmu al-jarh wa ta’dil tumbuh dan berkembang bersamaan dengan periwayatan hadits, yakni semenjak masa Rasulullah SAW dan para Sahabatnya. Ulama-ulama sesudahnyalah yang kemudian melanjutkan uswah dan tradisi semacam itu. Sebagaimana firman Allah yang tertuang dalam (Q.S. al-Ahzab [33]: 70-71): “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar, Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” Tujuan Pokok Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil

Tujuan pokok dalam mempelajari al-jarh wa ta’dil adalah:1.   Untuk menghukumi/mengetahui status perawi hadits2.   Untuk mengetahui kedudukan hadits / martabat hadits, karena tidak mungkin

mengetahui status suatu hadits tanpa mengetahui kaidah ilmu al-jarh wa ta’dil3.   Mengetahui syarat-syarat perawi yang maqbul. Bagaimana keadilannya, ke-dlabitan-

nya serta perkara yang berkaitan dengannya. Tingkatan-Tingkatan Lafadz Al Jarh dan Al Ta’dil

Para ulama ahli hadits telah menentukan istilah-istilah yang mereka pergunakan untuk menyifati karakteristik para rawi dari segi diterima atau tidaknya riwayat haditsnya. Para ulama telah banyak menulis tentang klasifikasi para rawi ini. Mereka berupaya keras untuk membaginya dan menjelaskan status-statusnya.

Tulisan yang pertama kali sampai kepada kita adalah karya tokoh kritikus al-Imam bin al-Imam Abdurrahman bin Abi Hatim al-Razi (w. 327 H) dalam kitabnya yang besar “Al-jarh wa al-Ta’dil”. Ia telah menyusun martabat al-jarh wa al-ta’dil masing-masing terdiri atas empat martabat.

Banyak ulama hadits yang mengikuti jejak al-Razi dalam mengklasifikasi al-jarh wa al-ta’dil ini. Di antaranya adalah Ibnu ash-Shalah dan al-Nawawi. Mereka mengikutinya tanpa menyalahinya sedikitpun. Kemudian datang ulama lain dan berpendapat sama dalam klasifikasi dan hukum-hukumnya secara global. Namun, mereka menambahkan beberapa perincian. Di antara ulama terakhir ini yang paling masyhur adalah al-Dzahabi, al-‘Iraqi, Ibnu Hajar, dan al-Sakhawi.

Kemudian datanglah al-‘Iraqi yang mengikuti al-Dzahabi dalam pembagian al-jarh wa al-ta’dil. Beliau lebih merinci dan menjelaskan, dengan mencantumkan kata-kata martabat pertama, martabat kedua, dan seterusnya sebagai ganti kata kemudian (tsumma). Di samping itu beliau juga menyebutkan lebih banyak lafazh-lafazh julukan pada setiap martabat, serta menjelaskan hukum masing-masing martabat.

Kemudian datanglah al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Dalam kitabnya al-Nukhbah ia menambahkan dalam ta’dil satu martabat lagi yang lebih tinggi daripada martabat yang ditambahkan oleh al-Dzahabi dan al-‘Iraqi. Yaitu tingkatan yang dijuluki dengan bentuk kata af’al al-tafdhil, seperti autsaq an-nas. Adapun martabat jarh, al-Hafizh menambahi satu martabat yang melebih-lebihkan jarh, seperti julukan Akdzab an-Nas. Penambahan ini diikuti oleh al-Sakhawi. Dengan demikian martabat jarh menjadi enam.          Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama-ulama Hadits di atas merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat kecacatan dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Sebagai contoh sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:         Tingkatan lafadz ta’dil

Secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut.[16]Pertama,   , , mرn qِظoي ّن rُهq ل ليس oاِسv الن ضبط أ vاِس الن ثق orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling)أوdabit, tiada bandingan baginya),Kedua,  oُهo nل مoث nْنqع nو

q أ rُهn عqن rأل nْسq ي q ال mٌنq si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau)فrال

Page 4: Jarah Wa Tadil

diragukan lagi keadilannya),Ketiga,  , , mٌظoِفqح mةqَقo ث mٌنnوrم

n مqأ mةqَقo ث mةqَقo ث mةqَقo terpercaya)ث lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik),Keempat, ,  , , , ضابطثبت, عّدل حافٌظ عّدل إمام حجة kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi)متَقْنhafiz, adil lagi dabit)Kelima, ,  قصّدو, بُه بأِس ال Lafal-lafal tersebut hanya .(benar, jujur, tidak ada masalah)مأموٌنmenunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke-dabitannya.Keenam,  , , اللُه, شاء إٌن صّدوق صويلح الصواب مْن ببعيّد ليس syeikh, tidak jauh dari benar, agak)شيخbaik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.

Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya.         Tingkatan lafadz al-Jarh.Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh-nya, sampai kepada yang paling ringan jarh-nya.

Pertama, menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata:   الناِس، الكذب  أكذب ركْن  (Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan.

Kedua, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: ,كذاب ,pendusta) وضاع pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.

Ketiga, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi dituduh berdusta. Lafadz yang digunakan misalnya:

, , , , , oَقqة� oث ب qسn qي ل mقnو rرn مrت mٌكoالqه qَثn nحqّدoي ال rقoر nْسq ي oِعnضqوn oال ب mٌمqهv مrت oبoذq nك oال ب mٌمqهv مrت(tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis, celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat).

Keempat, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:

, , , , rُهr nث حqّدoي rُبq nت rك ي q ال ْيnء� qَشo ب qسn qي ل جoّد�ا mفn ضqعoي rُهr nث حqّدoي qحoرrُط rُهr nث حqّدoي vَّد rر(ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).

Kelima, menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:

mفn ضqعoي ،rُهnوrِفvعqض ،oُهo ب rُجq ت nحr qي ال ، oَثn nحqّدoي مrضnطvرoبr ال(goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah).

Keenam, mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:

منُه ,  ثق , , أو غير ضعيف فيُه بحجة، ليس ل مَقا فيُه الَقوي بذلٌك ليس(tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).

Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.          Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:

        Haruslah orang tersebut ‘âlim (berilmu pengetahuan),       Bertaqwa,       Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-

dosa kecil dan makruhat-makruhat),       Jujur,

Page 5: Jarah Wa Tadil

        Belum pernah dijarh,       Menjauhi fanatik golongan,       Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.

Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak diterima. 

Kitab-Kitab yang membahas tentang Al-jarh wat-Ta’dilPenyusunan karya dalam ilmu Al-jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad

ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut. Para penyusun mempunyai metode yang berlainan:1. Sebagian di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dha’if saja dalam karyanya.2. Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja.3. Dan sebagian lagi menggabungkan antara yang dha’if dan yang tsiqaat. Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada mereka [28]:1.    Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang lain: At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir[/I].3.    Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.4.    Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.5.    Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).6.    Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Ahmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’karya Imam Bukhari.7.    Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr bin Musa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.8.    Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip. 

Dan di antara karya-karya mereka adalah tentang sejarah perawi hadits secara umum, tidak hanya terbatas pada biografi tokoh-tokoh saja, atau biografi para tsiqaat saja, atau para dlu’afaa’ saja; seperti :9.    Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315 biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nomor.10.  Kitab Al-jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan para imam Al-jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum. 

Kemudian karya-karya mengenai perawi hadits yang disebutkan dalam kutubus-sittah dan lainnya, sebagian di antaranya khusus pada perawi satu kitab, dan sebagian yang lain mencakup kitab-kitab hadits dan lainnya.[29] 11. Kitab Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan – Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.

Page 6: Jarah Wa Tadil

12. Kitab Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.13. Kitab Al-Hidayah wal-Irsyaad fii Ma’rifati Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad Al-kalabadzi (wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam Bukhari; manuskrip.14. Kitab At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, karya Abul-Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi (wafat tahun 474 H), manuskrip.15. Kitab At-Ta’rif bi Rijaal Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’ At-tamimi (wafat tahun 416 H); manuskrip.16.  Kitab Rijaal Shahih Muslim, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Manjawaih Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H); manuskrip.17. Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abul-hasan Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H); manuskrip.18. Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.19. Kitab Al-Jam’I baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.20. Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas perawi kutub sittah. Kitab ini dianggap sebagai asal bagi orang setelahnya dalam bab ini. Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.21. Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).22. Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).23. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi juga.24. Kitab Al-Kasyif fii Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.25. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu Hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut-Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detil.26. Kitab Taqribut-Tahdzib, karya Ibnu Hajar juga.27. Kitab Khulashah Tahdzibul-Kamal, karya Shafiyyuddin Ahmad bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).28. Kitab Ta’jilul-Manfa’ah bi Zawaid Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalany.29. Kitab Mizaanul-I’tidaal fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). dan termasuk kitab yang paling lengkap tentang biografi orang-orang yang di-jarh.30. Kitab Lisaanul-Mizaan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani.31.  Kitab At-Tadzkiratul bir-Rijaal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Husaini Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H). Kitab ini mencakup atas biografi sepuluh perawi dari kitab-kitab hadits, yaitu: al-kutubus-sittah, yang menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi, ditambah empat kitab lagi karya Imam empat madzhab: Al-Muwaththa’, Musnad Asy-Syafi’I, Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin Muhammad bin Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah ini. Kesimpulan

Hadits sebagai salah satu pedoman Islam kini tidak hanya sebagai suatu alat legitimasi belaka. Tapi hadits kini telah menjadi suatu ilmu tersendiri (‘Ulumul Hadits) yang patut untuk dipelajari dan dikaji umat Islam pada khususnya dan manusia yang cinta ilmu pada umumnya. Sebagai salah satu khazanah keilmuan Islam, hadits memiliki beberapa cabang ilmu,  salah satunya adalah ilmu al-jarh wa ta’dil. Yaitu cabang dari ‘ulumul hadits yang membahas tentang celaan dan pujian kepada para periwayat hadits. Telah meninggalnya mereka para periwayat membuat kita tidak mudah untuk

Page 7: Jarah Wa Tadil

menelitinya. Dari kitab-kitab yang mengkaji ilmu  inilah kita bisa mengetahui tsiqoh tidaknya mereka. 

Dari sini kita bisa tahu bahwa kepedulian para ulama ahli hadits untuk menjaga dan membentengi risalah yang agung ini dari upaya-upaya pemalsuan dan kepentingan-kepentingan yang hanya mementingkan kelompok saja. Dan dari sini pula kita bisa tahu bahwa keilmuan dalam Islam begitu hebat, begitu besar karena para ulama hanya mengharap ridho Allah semata. Karena inilah yang diwariskan Rasulullah SAW untuk kita umatnya hingga akhir zaman. Daftar PustakaAl-Khatib, Ajaz, “Ulum al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu,

(Damaskus: Dar al-Fikr, 1975).Isma’il, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi,

(Jakarta: PT Bulan Bintang, 2007).Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadits,

(Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003).Thahan, Mahmud, Usul al-takhrij wa Dirasat al-Asanid,

(Riyad: Maktabah al-ma’arif li an-nasyr wa at-tauzi’, t.th). http://fentirakhmawati.blogspot.com/2012/10/al-jarh-wa-al-tadil.html 

ILMU JARH WA AL TA'DIL  

BAB I

Pendahuluan

Bila melihat fenomena jarh dan ta'dil saat ini, sungguh penulis sangat

prihatin. Orang begitu mudah menjarh orang lain tanpa didasari ilmu. Baik

alasannya, karena beda golongan, pemahaman maupun takut tersaingi. Dengan

demikian pihak yang dijarh sangat dirugikan. Kenapa? Karena dengan ia dijarh,

ia dijauhi sahabat-sahabatnya ataupun murid-muridnya, bahkan ta'lim pun yang

biasa ia bisa bubar.

Page 8: Jarah Wa Tadil

Selain itu dia (yang suka menjarh) belum tentu terpenuhi syarat-syarat

sebagai penjarh. Atau bahkan dalam dirinya juga terdapat perbuatan yang

menjadikannya ia dijarh. Bagaimana ia akan menjarh orang lain sedang dalam

dirinya terdapat perbuatan yang menjadikan ia dijarh?

Kalau memang orang yang dijarh memang melakukan perbuatan yang

menyebabkan ia dijarh sudahkah ia klarifikasi? Kalau sudah, sudah kah ia

menasehatinya, agar ia bertaubat? Bila hal ini dilakukan sudah barang tentu

tidak akan terjadi jarh secara serampangan. Sehingga dengan makalah ini

penulis ingin menjelaskan kepada siapa saja yang menginginkan pengetahuan

seputar pembasan al-jarh dan at-ta'dil. Diharapkan makalah ini bermanfaat bagi

kita semua.

Untuk memberikan sedikit gambaran perlu saya sampaikan pengertian

ilmu al-jarh dan at-ta'dil. Ilmu al-jarh dan at-ta'dil adalah ilmu yang

menerangkan tentang cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang

penetapan adil dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima

atau menolak riwayat mereka.

BAB II

Pembahasan

1.      Pengertian Ilmu Jarh wa Ta’dil

Secara bahasa, al-jarh merupakan masdar dari kata jaraha – yajrahu yang

berarti akibat atau bekas luka pada tubuh disebabkan oleh senjata. Luka yang

dimaksud dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam,

atau berkaitan dengan non fisik misalnya luka hati karena kata-kata kasar yang

dilontarkan seseorang. Apabila kata jaraha dipakai oleh hakim pengadilan yang

ditujukan kepada masalah kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti

menggugurkan keabsahan saksi.

Secara istilah ilmu hadits, kata al-jarh berarti tampak jelasnya sifat pribadi

atau keadaan seorang rawi yang tidak adil dan menyebabkan gugurnya atau

lemahnya riwayat yang disampaikan. Kata al-tajrih menurut istilah berarti

pengungkapan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang tercela yang

menyebabkan lemahnya atau tertolaknya riwayat oleh periwayat tersebut. 

Page 9: Jarah Wa Tadil

Sebagian ulama menyamakan penggunaan kata al-jarhu dan al-tajrih, dan

sebagian ulama lagi membedakan penggunaannya dengan alasan bahwa al-

jarhberkonotasi tidak mencari-cari cela seseorang, yang biasanya telah tampak

pada diri seseorang. Sedang al-tajrih berkonotasi ada upaya aktif untuk mencari

dan mengungkap sifat-sifat tercela seseorang.

Adapun kata ta’dil berasal dari kata ‘addala, yang berarti mengemukakan

sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang. Menurut istilah ilmu hadits, kata

ta’dilberarti mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat,

sehingga dengan demikian tampak jelas keadilan pribadi periwayat itu dan

riwayatnya dapat diterima.

‘Abdurrahman Al-Mu’allimi Al-Yamani mengatakan bahwa ilmu al-jarh wa

ta’dil ialah ilmu yang mempelajari tentang etika dan aturan dalam menilai cacat

(kritik: al-jarh) dan sekaligus mengungkap dan memberi rekomendasi positif

atas (kesalehan: al-ta’dil) terhadap seorang rawi melalui lafadz-lafadz penilaian

yang tertentu, juga untuk mengetahui tingkatan lafadz-lafadz tersebut.

Pada prinsipnya, ilmu jarh wa ta’dil adalah bentuk lain dari upaya untuk

meneliti kualitas hadits bisa diterima (maqbul) atau ditolak (mardud). Adapun

yang menjadi objek penelitian suatu hadits selalu mengarah pada dua hal

penting, yang pertama berkaitan dengan sanad/rawi (rangkaian yang

menyampaikan) hadits, dan kedua berkaitan dengan matan (redaksi) hadits.

Dengan demikian keberadaan sanad dan matan menjadi dua hal yang tidak bisa

dipisahkan.

2.      Apakah Jarh Harus Diterangkan Sebabnya?

Dalam hal ini ulama berpendapat, sebagian ulama tidak mengharuskan

menjelaskan jarh selama syarat-syarat sebagai Jarih telah terpenuhi. Sedangkan

sebagian yang lain mengharuskan menjelaskan sebab-sebab jarh. Di antara

alasannya:

1.      Menjelaskan sebab-sebab jarh tidak sulit, karena dengan satu sebab sudah

cukup.

2.      Kebanyakan manusia menyelisihi perbuatan yang menjadikan seseorang dijarh.

Yang sependapat dengan pendapat ini diantaranya Imam An Nawawi, Mahmud

Ath Thahhan, Ibnu Ash Shalah dan yang lainnya.

3.   Apakah Ta’dil Harus Diterangkan Sebabnya?

Dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat. Di antaranya yaitu:

Page 10: Jarah Wa Tadil

1.      Sebagian para imam berpendapat, harus menyebutkan sebab-sebab

keadilannya. Adapun alasannya ada dua:

  Karena kadang seseorang memberikan rekomendasi keadilan tidak sesuai dengan sebab yang menjadikan seseorang adil. Sebagaimana yang dikatakan kepada Ahmad bin Yunus: “Abdullah bin Al ‘Amari dha’if, maka dia berkata: “Sesungguhnya yang mendha’ifkannya hanyalah orang-orang Rafidhah yang marah kepada bapaknya. Seandainya kalian melihat jenggot dan keadaannya maka Anda akan mengetahui bahwa ia seorang yang tsiqah. “

  Sesungguhnya sebab-sebab tersebut mempunyai peran sangat besar terhadap keadilan seseorang, maka manusia cepat memujinya dengan melihatnya secara dzahir.

2.      Sebagian yang lain tidak mengharuskan penyebutan sebab keadilan. Adapun

alasannya ada dua:

  Ijma’ umat, bahwa ta’dil tidak diambil kecuali dari perkataan orang yang adil pula, yang mengetahui segala sesuatu yang menjadikan seseorang adil atau jarh.

  Sesungguhnya sebab-sebab keadilan sangat banyak sekali. Bila diharuskan menyebutkannya, maka penta’dil harus menyebutkan setiap perbuatan baik yang dilakukan orang yang dita’dilnya yang sesuai dengan syar’i maupun yang bertentangan dengan syar’i, sehingga ini sangat sulit untuk menyebutkannya. Ulama yang berpendapat ini diantaranya Imam An Nawawi, Mahmud Al-Thahhan, Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi. Pendapat yang kedua inilah yang paling banyak dipakai.

4.   Tingkatan-tingkatan dalam Jarh wa ta’dil

Berdasarkan hasil penelitian ulama ahli kritik hadits, ternyata keadaan para periwayat hadits  bermacam-macam. Sesuai  dengan keadaan para periwayat   itu,  maka ulama ahli  kritik hadits menyusun peringkat para periwayat di lihat dari kualitas pribadi dan kapasitas intelektual mereka.  Keadaan para periwayat  yang bermacam-macam  itu  dibedakan dalam  ilmu  jarh wa ta’dil. Urut-urutan lafaz itu dikenal dengan sebutan maratib al- alfaz al-jarh wa ta’dil (peringkat lafaz-lafaz ketercelaan dan keterpujian).

Jumlah peringkat yang berlaku untuk jarh wa ta’dil tidak disepakati oleh ulama ahli hadits. Sebagian ulama ada yang membaginya menjadi empat peringkat untuk al-jarh dan empat peringkat untuk al-ta’dil, sebagian ulama ada yang membaginya menjadi lima peringkat untuk al-jarh dan untuk al-ta’dil. Dan sebagian ulama lagi ada yang membaginya masing-masing (yakni untuk jarh dan ta’dil) kepada enam peringkat.

Page 11: Jarah Wa Tadil

5.   Dengan Apa Jarh Seseorang Ditetapkan

Jarh ditetapkan dengan salah satu dari dua poin berikut:

1.      Kesaksian satu atau dua orang yang adil. Perbedaan pendapat dalam hal ini

sebagaimana yang terjadi pada (dengan apa keadilan ditetapkan). Jadi jarh

dietapkan cukup dengan kesaksian satu orang yang adil, laki-laki atau

perempuan, merdeka atau budak.

2.   Kemasyhuran dikalang ahli ilmu dengan jarh (cacat) nya. Barang siapa yang

terkenal dikalangan ahli ilmu jarh (cacat) nya, maka ia majruh (orang yang

dijarh). Bahkan ini jarhnya lebih kuat dari pada jarh dari kesaksian satu atau

orang yang adil.

6.   Dengan Apa Ta’dil Seseorang Ditetapkan

Keadilan seseroang ditetapkan dengan salah satu dari hal-hal berikut:

1.   Persaksian seorang ulama bahwa ia seorang yang adil. Maka barangsiapa

disaksikan keadilannya maka ia seorang yang adil. Para ulama' berbeda

pendapat tentang jumlah penta'dil dikatakan cukup. Sebagian ulama'

berpendapat penetapan keadilan seseorang perawi harus dua atau lebih. Ini

merupakan qiyas dari persaksian hak seseorang. Namun menurut jumhur ulama'

penatapan keadilan seseorang perawi cukup dengan satu kesaksian seorang

yang adil.

2.   Dengan ketenaran dan kepopuleran keadilannya dikalangan ahli ilmu.

Barangsiapa yang masyhur keadilannya, banyak pujian atas ketsiqahan dan

amanahnya dikalangan ahli ilmu, maka sudah tidak membutuhkan penetapan

adil secara sharih. Dalam kitab At tadrib Ar rawi Imam An Nawawi

menyebutkan contoh, yaitu Malik (bin Anas), dua orang yang bernama As Sufyan

(As Sufyan Ats Tsauri dan As Sufyan bin Uyainah), Al 'Auza'I, Asy Syafi'i dan

Ahmad (bin Hanbal). 

7.    Syarat-syarat Jarih

Selain beberapa ketentuan yang harus diperhatikan oleh Jarih dan

Mu’addil secara umum, ulama’ juga menetapkan beberapa syarat khusus

sebagai Jarih, yaitu:

Page 12: Jarah Wa Tadil

1.      Jarih harus seorang yang adil, agar ia menahan dan berhati-hati dari menuduh

seseorang dengan kebatilan.

2.      Dia harus mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari dan mengetahui

keadaan perawi.

3.      Mengetahui sebab-sebab jarh.

4.      Tidak ta’ashub.

8. Syarat-syarat Mu’addil

Selain itu, para ulama’ juga menetapkan syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi oleh seorang Jarih dan Mu’addil. Di antara syarat-syarat sebagai Mu’addil adalah sebagai berikut:

1.    Mu’addil harus seorang yang adil, yaitu, muslim, baligh, berakal, dan selamat dari sebab-sebab kefasikan dan dari perangai yang buruk.

2.    Mu’addil harus bersungguh-sungguh dalam mencari dan mempelajari keadaan para perawi.

3.    Ia harus mengetahui sebab-sebab yang menjadikan seorang perawi adil atau jarh (cacat). Dan tidak menghukumi kecuali telah pasti kebenaran sebab-sebab tersebut.

4.    Tidak ta’ashub terhadap orang yang dita’dilnya, sehingga ia akan manta’dil dan menjarh dikarenakan ashabiyah madzhab atau negara.

9.    Tingkatan-tingkatan Sebagai Jarih

Dalam Kitab Taisir ‘Ulum Al Hadis li Al Mubtadi’in, Amru Abdul Mun’im

Salim, menyebutkan tingkatan Jarih sebagaimana pada tingkatan Mu’addil di

atas, yaitu:

1.      Mutasyadid dalam menjarh, seperti Abu Hatim Ar Razi dan Al Jauzajani.

2.      Musrifin (terlalu mudah) dalam menjarh, seperti Abu Al Fath Muhammad bin Al

Husain Al Azdi.

3.      Mu’tadil dalam menjarh, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah Ar Razi,

Ibnu Ma’in, Asy Syaikhani.

10. Tingkatan-tingkatan Sebagai Mu’addil

Page 13: Jarah Wa Tadil

Dalam tingkatan –tingkatan Mu’addil, dikenal istilah-istilah sebagai berikut:

1.    Mutasyadid (terlalu ketat dalam memberikan rekomendasi adil kepada seorang perawi). Untuk yang kedua ini ta’dilnya dipegang erat-erat, apalagi terhadap perawi yang diperselisihkan. Diantara para ulama’ yang mutasyadid adalah Abu Hatim Ar Razi, Al-Jurjani dan An Nasa’i. Ibnu Ma’in juga dikatakan sebagai mutasyadid.

2.    Mu’tadil (sikap pertengahan). Untuk tingkatan yang ketiga, perkataan diterima, dan tidak ditolak kecuali bila menyelisihi jumhur. Ulama’ yang termasuk mu’tadil adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Zur’ah Ar Razi, Ibnu Ma’in, Asy Syaikhani dan At Tirmidzi.

11.    Lafaz-lafaz dalam Tajrih

1.      Lafaz yang menunjukan adanya kelemahan (yaitu jarh yang paling ringan),

contohnya fulan layyinun Al Hadis, atau hadisuhu maqalun (hadisnya

diperbincangkan).

2.      Lafaz yang menunjukkan adanya kelemahan terhadap perawi tidak dapat

dijadikan hujjah, contoh fulan laa yuhtaj bihi (fulan tidak bisa dijadikan hujjah),

atau dha’if, lahu manakir (hadis nya munkar).

3.      Lafaz yang menunjukan lemah sekali tidak dapat ditulis hadis nya, contoh :

fulan laa yuktab hadis uhu (fulan hadis nya tidak ditulis), laa tahillu riwayatahu

(tidak boleh meriwayatkan darinya), fulan dha’if jiddan, wahn bi marattin (orang

yang sering melakukan persangkaan).

4.      Lafaz yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta atau pemalsuan hadis.

Contoh fulan muthamun bil kadzb (fulan dituduh berbuat dusta), fulan

muthamun bi Al Wadh’i (fulan dituduh membuat hadis palsu), yasriqu Al

Hadis (dia mencuri hadis), matruk, atau laisa bi tsiqah.

5.      Lafaz yang menunjukkan adanya perbuatan dusta atau yang semacamnya,

contoh kadzab atau dajjal, wadha’ (pemalsu).

6.      Lafaz yang menunjukkan adanya mubalaghah (superlatif) dalam perbuatan

dusta, contoh fulan paling pembohong, ilaihi al muntaha bi al kadzb (dia

pangkalnya kedustaan) dan lainnya.

12. Lafaz-lafaz dalam Ta’dil

Page 14: Jarah Wa Tadil

Ibnu Abi Hatim dalam bagian pendahuluan kitabnya Al Jarh wa At Ta’dil

menetapkan lafaz-lafaz dalam jarh wa ta’dil menjadi empat tingkatan,

sedangkan para ulama lainnya menambah dua point menjadi enam, di antaranya

adalah:

1.      Lafaz menggunakan bentuk superlative (mubalaghah) dalam ketsiqahan atau

mengikuti wazan af’al. , contoh: Fulanun Asbata An Nas (Fulan adalah manusia

yang paling teguh), fulan ilaihi Al Muntaha fi At Tatsabut (fulan yang paling

tinggi keteguhannya) dan lainnya.

2.      Lafaz yang menyebutkan salah satu sifat atau dua sifat yang menguatkan

ketsiqahannya dan keadilan contoh: tsiqah tsiqah, atau tsiqah tsabit.

3.      Ungkapan yang menunjukkan ketsiqahan tanpa adanya penguat contoh: Tsiqah,

tsabit, mutqin.

4.      Lafaz yang menunjukkan ta’dil tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan

ketelitian, contoh: shaduquna (orang yang jujur), ma’mun (terpercaya) laa ba’sa

bih (tidak masalah atau tidak ada cacat).

5.      Lafaz yang tidak menunjukan ketsiqahan atau pun celaan Contoh; Fulanun

Syaikhun, rawiya ‘anhu An Nas (manusia meriwayatkan darinya).

6.      Lafaz yang mendekati adanya jarh contoh: fulan shalih hadis (lumayan) atau

yuktabu hadisuhu (hadisnya dicatat).

Karena terjadi perbedaan peringkat, maka ada lafaz yang sama untuk

peringkat al-jarh dan ta’dil, tetapi memiliki peringkat yang berbeda. Lafaz

saduq, misalnya, ada ulama yang menempatkannya pada peringkat kedua dalam

urutan al-ta’dil dan ada ulama yang menempatkannya pada urutan keempat.

Adanya perbedaan dalam menempatkan peringkat lafaz, untuk jarh wa ta’dil itu

memberi petunjuk bahwa memahami tingkat kualitas yang dimaksudkan oleh

lafaz jarh wa ta’dil diperlukan penelitian misalnya dengan menghubungkan

penggunaan lafaz itu kepada ulama’ yang memakainya.

Untuk memperoleh gambaran lebih jelas tentang macam-macam lafaz untuk

jarh wa ta’dil beserta peringkatnya masing-masing, perlu dipelajari lebih

mendalam kitab-kitab yang membahas al-jarh wa ta’dil.

13.    Hukum Tingkatan-tingkatan Al-Jarh

1.      Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap

hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya

Page 15: Jarah Wa Tadil

orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan

pertama.

2.      Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak

boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.

14. Hukum Tingkatan-tingkatan Ta’dil

1.      Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian

mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.

2.      Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi

hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedhabithan mereka dengan

membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dhabith.

Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak

sesuai, maka ditolak.

3.      Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi

hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk

pengujian, karena mereka tidak dhabith.

Kitab-kitab Tentang Jarh Wa Ta’dil dan Metode Penyusunannya

1.      Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para sahabat Nabi:

Isti’ab fi ma’rifat al-Ashab Susunan Ibnu ‘Abdil Barr (W. 463 H/1071 M).

Usud al-Ghabah fi Ma’rifat al-Sahabah, susunan ‘Izz al-Din Ibnu al-Asir

(W. 630 H/1232 M).

Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, susunan Ibnu Hajar al-Asqalani (W. 652

H/1449 M).

Kitab-kitab yang membahas biografi singkat para periwayat hadits yang disusun

berdasarkan tingkatan para periwayat (tabaqah al-ruwwah), yaitu:

al-Tabaqah al-Kubra, karya Ibnu Saad (W. 230 H)

Tazkirah al-Huffaz karya Muhammad Ibn Ahmad al-Zahabi (W. 748

H/1348 M).

Kitab-kitab yang membahas tentang para periwayat hadis secara umum.

Al-Tarikh al-Kabir, karya al-Bukhari (W. 256 H/870 M).

Al-jarh wa al-ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim al-Razi (W. 328 H).

Page 16: Jarah Wa Tadil

Kitab-kitab yang membahas para periwayat hadis untuk kitab-kitab tertentu.

Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma’rifati Ahli Siqqah wa al-Sadad, karya Ahmad

bin Muhammad al-Kalabazi (W. 318 H). kitab ini membahas khusus para

periwayat hadis pada kitab Sahih Bukhari.

Rijal Sahih Muslim, karya Ahmad ‘Ali al-Asfahani (W. 428 H). kitab ini

membahas khusus para periwayat dalam Sahih Muslim.

Al-Jam’u Baina al-Sahihain, karya Ibnu al-Qaisarani bin Tahir al-Maqdisi

(W. 507 H). Kitab ini membahas para periwayat dalam sahihBukhari

dan sahih Muslim.

Al-Ta’rif bi Rijal al-Muwatta’, karya Muhammad bin Yahya al-Tamimi (W.

416 H). Kitab ini membahas khusus periwayat dalam al-Muwatta’ Imam Malik.

Al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, karya Abdul Gani al-Maqdisi (W. 600 H). Kitab

ini membahas para periwayat hadis dalam kutub al-sittah,

yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan al-Tirmizi, Sunan

al-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah.

BAB IIIKesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tidak mudah dan

gampang untuk menta'dil atau bahkan menjarh seseorang. Sebab ada

persyaratan yang sangat ketat untuk menjarh atau menta'dil seseorang tidak

seenaknya saja kita bilang orang itu jarh atau ta'dil.

Bila perkataan dua orang Imam terhadap seorang perawi, maka kita

harus membahasnya; pertama apakah pertentangan ini hakiki atau tidak? Bila

salah seorang ulama' menjarh disebabkan ketidakdhabitannya, namun ulama'

yang lain menta'dilnya, ada kemungkinan ketidakdhabitannya setelah ia dita'dil.

Bila salah seorang ulama' menjarh disebabkan ikhtilathnya (kelalaiannya), dan

ulama' lain mentsiqahkannya, maka ada kemungkinan dia ta'dil sebelum

ikhtilath, dan yang menjarh setelah ikhtilath, dan seterusnya.