jangan sembarang mengkafirkan

2
TAKFIR Takfir adalah vonis kafir atas seseorang dari kalangan ahli kiblat. Hukum ini adalah hukum terberat yang dialamatkan kepada seorang muslim, maka akibatnya bila hukum tersebut benar, bila tidak maka ia kembali kepada pelontarnya. “Bila seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Hai kafir.’ Maka salah satu dari keduanya mendapatkannya, bila dia sebagaimana yang dikatakannya, bila tidak maka ia kembali kepadanya.” Muttafaq alaihi dari Ibnu Umar. Sekalipun demikian, beberapa kalangan dari kaum muslimin tidak berhati-hati dalam perkara berat ini, mereka bebas mengumbar vonis kafir tanpa kehati-hatian terhadap kaum muslimin yang diduga melakukan hal-hal yang mengkafirkan, padahal bisa jadi hakikatnya tidak demikian. Sama dengan hukum-hukum syar’i lainnya, di mana yang layak untuk berbicara tentangnya adalah para ahli ilmu, demikian halnya dengan masalah takfir ini, hanya mereka-lah yang memiliki kapabelitaas untuk menetapkan, bukan orang-orang awam yang tidak berilmu atau berilmu hanya secuil, karena bila vonis tersebut keliru maka akibatnya adalah kebinasaan dunia dan akhirat. Ushul Takfir Ada beberapa dasar yang patut untuk diketahui setiap muslim di bidang ini: 1- Sunnah adalah penjelas bagi ayat-ayat al-Qur`an, sunnah menerangkan maksud dari ayat-ayat al-Qur`an yang menetapkan batasan-batasan mukmin dengan kafir, musyrik dengan muwahhid dan seterusnya. Maka pintu ini harus tetap dibuka karena bila tidak maka tertutuplah pintu gerbang ilmu yang sangat luas dan menyeret kepada kesesatan bahkan kekufuran. 2- Iman memiliki cabang-cabang, dua kalaimat syahadat adalah cabang tertinggi, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah cabang paling rendah, di antara cabang-cabang iman ada cabang yang bila ia lenyap maka lenyaplah iman, seperti dua kalimat syahadat, namun ada pula cabang yang bila ia lenyap maka iman tidak lenyap seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Di antara keduanya terdapat cabang-cabang yang lebih dekat kepada cabang dua kalimat syahadat, namun ada pula cabang yang lebih dekat kepada menyingkirkan gangguan dari jalan. 3- Kufur juga memiliki cabang-cabang, sebagaimana cabang iman adalah iman, maka cabang kufur juga kufur, sebagaimana ketaatan adalah cabang iman, demikian halnya dengan kemaksiatan, ia adalah cabang kufur sekalipun nama dan hukumnya tidak mesti sama. Siapa yang berbuat syirik tidak sama dengan siapa yang mencuri dan minum khamar. 4- Adanya cabang iman pada seseorang tidak mengotomastiskannya sebagai mukmin, sekalipun cabang tersebut dinamakan iman, demikian sebaliknya, adanya cabang kufur pada seseorang tidak mengotomastiskannya sebagai kafir sekalipun cabang tersebut dinamakan kufur. Hal ini dimaklumi tidak hanya di bidang agama semata. Seseorang yang mengenal ilmu pengobatan tidak otomatis disebut tabib atau dokter. Seseorang yang memiliki sebagian ilmu agama tidak

Upload: abyanuddin-salam

Post on 03-Jul-2015

384 views

Category:

Spiritual


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jangan Sembarang mengkafirkan

TAKFIR

Takfir adalah vonis kafir atas seseorang dari kalangan ahli kiblat. Hukum ini adalah hukum terberat yang dialamatkan kepada seorang muslim, maka akibatnya bila hukum tersebut benar, bila tidak maka ia kembali kepada pelontarnya. “Bila seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Hai kafir.’ Maka salah satu dari keduanya mendapatkannya, bila dia sebagaimana yang dikatakannya, bila tidak maka ia kembali kepadanya.” Muttafaq alaihi dari Ibnu Umar.

Sekalipun demikian, beberapa kalangan dari kaum muslimin tidak berhati-hati dalam perkara berat ini, mereka bebas mengumbar vonis kafir tanpa kehati-hatian terhadap kaum muslimin yang diduga melakukan hal-hal yang mengkafirkan, padahal bisa jadi hakikatnya tidak demikian.

Sama dengan hukum-hukum syar’i lainnya, di mana yang layak untuk berbicara tentangnya adalah para ahli ilmu, demikian halnya dengan masalah takfir ini, hanya mereka-lah yang memiliki kapabelitaas untuk menetapkan, bukan orang-orang awam yang tidak berilmu atau berilmu hanya secuil, karena bila vonis tersebut keliru maka akibatnya adalah kebinasaan dunia dan akhirat.

Ushul Takfir

Ada beberapa dasar yang patut untuk diketahui setiap muslim di bidang ini:

1- Sunnah adalah penjelas bagi ayat-ayat al-Qur`an, sunnah menerangkan maksud dari ayat-ayat al-Qur`an yang menetapkan batasan-batasan mukmin dengan kafir, musyrik dengan muwahhid dan seterusnya. Maka pintu ini harus tetap dibuka karena bila tidak maka tertutuplah pintu gerbang ilmu yang sangat luas dan menyeret kepada kesesatan bahkan kekufuran.

2- Iman memiliki cabang-cabang, dua kalaimat syahadat adalah cabang tertinggi, menyingkirkan gangguan dari jalan adalah cabang paling rendah, di antara cabang-cabang iman ada cabang yang bila ia lenyap maka lenyaplah iman, seperti dua kalimat syahadat, namun ada pula cabang yang bila ia lenyap maka iman tidak lenyap seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Di antara keduanya terdapat cabang-cabang yang lebih dekat kepada cabang dua kalimat syahadat, namun ada pula cabang yang lebih dekat kepada menyingkirkan gangguan dari jalan.

3- Kufur juga memiliki cabang-cabang, sebagaimana cabang iman adalah iman, maka cabang kufur juga kufur, sebagaimana ketaatan adalah cabang iman, demikian halnya dengan kemaksiatan, ia adalah cabang kufur sekalipun nama dan hukumnya tidak mesti sama. Siapa yang berbuat syirik tidak sama dengan siapa yang mencuri dan minum khamar.

4- Adanya cabang iman pada seseorang tidak mengotomastiskannya sebagai mukmin, sekalipun cabang tersebut dinamakan iman, demikian sebaliknya, adanya cabang kufur pada seseorang tidak mengotomastiskannya sebagai kafir sekalipun cabang tersebut dinamakan kufur. Hal ini dimaklumi tidak hanya di bidang agama semata. Seseorang yang mengenal ilmu pengobatan tidak otomatis disebut tabib atau dokter. Seseorang yang memiliki sebagian ilmu agama tidak

Page 2: Jangan Sembarang mengkafirkan

serta-merta disebut ulama.

5- Iman tersusun dari perkataan dan perbutan. Yang pertama terbagi menjadi dua, hati dan lisan. Yang kedua juga terbagi menjadi tiga: hati, lisan dan anggota badan. Bila apa yang tertanam dalam hati lenyap, maka lenyap pula iman. Bila yang di lisan atau anggota badan lenyap, maka hal ini menjadi perbincangan di kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

6- Bahwa kufur terbagi menjadi: Kufur Akbar (besar) dan Kufur Ashghar (kecil), yang pertama mengeluarkan dari Islam dan yang kedua tidak, maka sekalipun suatu perbuatan disebut kufur, belum tentu pelakunya kafir dalam arti keluar dari Islam, karena ada kemungkinan yang dimaksuddengankufuradalahkufurkecil.

Takfir Orang Tertentu

Bila takfir ini hendak ditetapkan atas orang tertentu, maka hendaknya kaidah-kaidah berikut diperhatikan:

1- Kehati-hatian dengan memperhatikan terpenuhinya syarat-syarat takfir pada yang bersangkutan dan terangkatnya penghalang-penghalang takfir dari yang bersangkutan, karena hukum memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi dan penghalang-penghalang yang harus disingkirkan.

2- Menetapkan berpijak kepada lahir, berdasarkan pengingkaran Rasulullah saw terhadap seorang laki-laki yang membunuh seseorang padahal dia sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, “Dia telah mengucapkan la ilaha illallah dan kamu tetap membunuhnya?” Laki-laki itu membela diri, “Rasulullah, dia mengucapkannya karena takut pedang.” Nabi saw bersabda, “Mengapa kamu tidak membelah dadanya sehingga kamu mengetahui yang sebenarnya?” Diriwayatkan oleh Muslim.

3- Tegaknya hujjah. Salaf shalih sepakat bahwa seseorang tidak dikafirkan sebelum hujjah tegak atasnya, artinya dia mengetahui bahwa yang dilakukan atau diucapkannya adalah kufur, dia tetap memegangnya dan tidak mau meninggalkannya.

4- Tidak mengkafirkan dengan setiap dosa. Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mengkafirkan seorang muslim karena dosa yang dilakukannya seperti mabuk, mencuri, durhaka kepada orang tua dan lainnya, asalkan dia tidak menghalalkannya, bila dia menghalalkanya maka dia mendustakan Allah dan RasulNya, karena dia dihukumi kafir. Ath-Thahawi berkata, “Kami tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat karena suatu dosa selama tidak menghalalkannya.” Wallahu a’lam.

Dari Aqidah al-Muslim, Dr Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani.