interkonektivitas jalan restorasi (makalah kak mad)

7
INTERKONEKTIVITAS: JALAN RESTORASI MENUJU RESOLUSI AHMAD HM ALI Saya ingin mengawali pemaparan ini dengan sebuah renungan. Frederich Oetinger, seorang Theosophis Jerman abad 18 pernah berujar: “Tuhan memberikan kita kekuatan untuk menerima apa yang tak bisa kita rubah, keberanian untuk mengubah apa yang mungkin, dan kebijaksanaan untuk memahami perbedaan diantara keduanya.” Ungkapan ini layak untuk kita renungkan bersama terkait dengan tema diskusi kita saat ini. Evaluasi kinerja anggota DPR RI asal Sulawesi Tengah (Sulteng), sesungguhnya adalah kehendak untuk menilai upaya. Dan upaya itulah, yang pada gilirannya menopang dan menjustifikasi tanggung jawab. Demikianlah relasi antara konstituen dengan wakilnya; hak konstituen untuk memilih bertransformasi menjadi tanggung jawab kepada yang dipilih. Demikianlah saya memaknai perhelatan hari ini. Tapi, saya juga ingn menggarisbawahi satu hal: bahwa saya tidak ingin terjebak menjadikan forum ini sebagai gembar-gembor prestasi. Prestasi mungkin bisa mengatakan banyak hal, tapi selalu tak cukup. Prestasi selalu relatif dihadapan waktu. Orang yang selalu menggembar-gemborkan prestasi dan lantas berpuas diri, hanya berarti satu hal: romantika yang mengkompensasikan ketidakmampuan. Ringkasnya, orang yang berpuas diri dengan * Disampaikan pada Kegiatan Panel Diskusi Tentang Peran dan Kinerja Wakil Sulteng, yang diselenggarakan oleh FISIP Universitas Tadulako (Untad). **Anggota DPR-RI Sulteng, Fraksi Nasdem, Komisi V DPR RI.

Upload: andri

Post on 15-Jan-2016

21 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Makalah tentang politik infrastruktur

TRANSCRIPT

Page 1: Interkonektivitas Jalan Restorasi (Makalah Kak Mad)

INTERKONEKTIVITAS: JALAN RESTORASI MENUJU RESOLUSI

AHMAD HM ALI

Saya ingin mengawali pemaparan ini dengan sebuah renungan. Frederich Oetinger,

seorang Theosophis Jerman abad 18 pernah berujar: “Tuhan memberikan kita kekuatan untuk

menerima apa yang tak bisa kita rubah, keberanian untuk mengubah apa yang mungkin, dan

kebijaksanaan untuk memahami perbedaan diantara keduanya.” Ungkapan ini layak untuk kita

renungkan bersama terkait dengan tema diskusi kita saat ini. Evaluasi kinerja anggota DPR RI

asal Sulawesi Tengah (Sulteng), sesungguhnya adalah kehendak untuk menilai upaya. Dan upaya

itulah, yang pada gilirannya menopang dan menjustifikasi tanggung jawab. Demikianlah relasi

antara konstituen dengan wakilnya; hak konstituen untuk memilih bertransformasi menjadi

tanggung jawab kepada yang dipilih. Demikianlah saya memaknai perhelatan hari ini.

Tapi, saya juga ingn menggarisbawahi satu hal: bahwa saya tidak ingin terjebak

menjadikan forum ini sebagai gembar-gembor prestasi. Prestasi mungkin bisa mengatakan

banyak hal, tapi selalu tak cukup. Prestasi selalu relatif dihadapan waktu. Orang yang selalu

menggembar-gemborkan prestasi dan lantas berpuas diri, hanya berarti satu hal: romantika yang

mengkompensasikan ketidakmampuan. Ringkasnya, orang yang berpuas diri dengan prestasi

sesungguhnya adalah orang yang telah selesai. Bagi saya, harapan adalah hal yang tak pernah

mengenal titik usai. Harapan selalu lebih dekat pada makna lebih baik, sehingga tidak dapat

diringkus dengan terbaik. Sehingga merawat harapan adalah ikhtiar tak kenal henti untuk

menjadi lebih baik. Upaya merawat harapan inilah yang menjadi titik acuan, bukan gembar-

gembor prestasi.

Dalam upaya merawat harapan, maka dalam perhelatan ini saya lebih memilih untuk

menjelaskan pendekatan yang saya ambil menjadi acuan perjuangan sebagai anggota DPR RI.

Prinsipnya, mengevaluasi hasil memang perlu, namun juga perlu diimbangi – untuk tidak

mengatakan lebih penting – dengan evaluasi proses. Dengan begitu, publik Sulteng akan

* Disampaikan pada Kegiatan Panel Diskusi Tentang Peran dan Kinerja Wakil Sulteng, yang diselenggarakan oleh FISIP Universitas Tadulako (Untad).

**Anggota DPR-RI Sulteng, Fraksi Nasdem, Komisi V DPR RI.

Page 2: Interkonektivitas Jalan Restorasi (Makalah Kak Mad)

mendapatkan gambaran yang lebih utuh. Saya meyakini bahwa perjuangan mengandaikan dan

sekaligus mempersyaratkan metode. Karena itu, penilaian mengenai akuntabilitas anggota DPR

RI, tidak hanya dilihat pada sisi hasil, tetapi juga pada sisi gagasan dan metode.

Pendekatan, diniscayakan oleh posisi. Karena itu, sebelum mengeksplorasi lebih jauh

tentang pendekatan, adalah perlu untuk menjelaskan tentang posisi. Dalam hal ini, perlu untuk

menguraikan secara garis besar posisi kelembagaan politik tempat saya bernaung: Partai

Nasdem. Dalam hal ini, bagaimana Partai Nasdem memandang dan memposisikan Sulteng.

Karena seorang Ahmad HM Ali (Matsun) tidak bisa dilihat secara terpisah, melainkan mesti

dilihat secara utuh sebagai anggota DPR RI Sulteng dari Partai Nasdem.

Nasdem dan Sulteng: Restorasi Sebagai (Re)solusi

Bagi Partai Nasdem, Sulteng menempati posisi yang istimewa dan penting.

Keistimewaan Sulteng bukan sekadar syarat administratif dalam konteks kelembagaan politik

nasional, tetapi terkait dengan posisi Sulteng dalam dinamika dan konstelasi sosial-politik

kebangsaan kontemporer. Seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto, Sulteng juga terkoyak oleh

konflik berkepanjangan yang bahkan sebagian kalangan menyebutnya sebagai tragedi

kemanusiaan. Konflik yang eksesnya masih kita rasakan hingga hari ini, merentang menjadi

gelombang konflik yang dicirikan oleh aneka kepentingan yang saling tumpang tindih. Konflik

ini lantas bermuara menjadi memori kolektif; sebuah ingatan yang penuh kecemasan. Memori

kolektif inilah yang pada gilirannya mengawetkan spiral kekerasan, sehingga konflik dapat

dengan mudah terpicu.

Sulteng bagi Partai Nasdem adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia, yang

menjadi penting karena menjadi tantangan tersendiri untuk merumuskan substansi baru tentang

bangsa; tentang substansi dan hakikat dari nasionalisme, rasa persatuan segenap anak bangsa

dalam kenyataan yang majemuk. Sejarah konflik di Sulteng telah memberi bukti yang sahih

bahwa nasionalisme baru tidak lagi memadai untuk ditegakkan dan dinyatakan secara represif.

Nasionalisme baru harus diletakkan diatas prinsip keadilan, alih-alih penyeragaman. Namun,

ketimbang merumuskan arah baru nasionalisme dengan meminjam konsep dari luar, Partai

Nasdem memilih untuk mencari substansi nasionalisme baru dari spirit nasionalisme

keindonesiaan itu sendiri, yakni dengan jalan restorasi. Jalan Restorasi bermakna gerakan untuk

Page 3: Interkonektivitas Jalan Restorasi (Makalah Kak Mad)

memulihkan, mengembalikan dan memajukan keindonesiaan kepada cita-cita proklamasi 1945:

melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan berbangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Jalan restorasi ini selanjutnya

diejawantahkan dalam empat kata kerja: memperbaiki, mengembalikan, memulihkan dan

mencerahkan. Ringkasnya, bagi Partai Nasdem, konflik di Sulteng hanya akan dapat diatasi dan

dilampaui dengan jalan restorasi. Sehingga, nilai penting Sulteng bagi Partai Nasdem adalah

wilayah pertaruhan tentang relevansi jalan restorasi.

Interkonektivitas Sebagai Implementasi Jalan Restorasi

Dari perkara posisi Partai Nasdem sebagaimana diuraikan diatas, maka pertanyaan

selanjutnya yang mengemuka adalah dengan cara apa restorasi tersebut diwujudkan untuk

meretas konflik di Sulteng? Pertanyaan tentang cara inilah yang melahirkan metode. Sebagai

anggota DPR RI terpilih dari Sulteng, saya mengemban dua dimensi tanggung jawab sekaligus:

tanggung jawab sebagai anggota DPR RI terpilih untuk memperjuangkan amanah dan aspirasi

masyarakat Sulteng di satu sisi, dan tanggung jawab sebagai anggota Partai Nasdem untuk

mengimplementasikan jalan restorasi di Sulteng. Dua dimensi tanggung jawab inilah yang

menjadi spirit sekaligus konteks dari agenda perjuangan yang saya lakoni.

Mengacu pada intensitas dan berkepanjangannya konflik yang terjadi cukup menjadi

indikasi bahwa konflik di Sulteng adalah fenomena yang struktural sifatnya. Karena itu,

mengatasi konflik di Sulteng tidak bisa didekati secara parsial, dan diatasi secara inkremental

(tambal sulam). Tetapi, saya juga menilai bahwa cara dan pendekatan mengatasi konflik yang

dijalankan selama ini ironisnya masih menggunakan cara dan pendekatan lama. Ada dua hal

yang mengemuka sebagai pola dan dampak dari cara dan pendekatan mengatasi konflik yang

dipraktekkan sejauh ini: represifitas dan eksklusifitas. Represifitas mengacu pada pola dan

pendekatan keamanan (security approach) sebagai pendekatan pokok untuk mengatasi konflik,

yang kait kelindan dan berdampak pada eksklusifitas dalam pengertian bahwa penanganan

konflik berujung pada ekslusi sosial atau saling menjauhkan antara pihak-pihak yang berkonflik.

Bagi saya, pola dan pendekatan ini tidak lagi memadai, setidaknya karena tiga alasan: (1) pola

dan pendekatan ini saya istilah sebagai perlu namun tidak cukup (necessary but not sufficient)

untuk mewujudkan resolusi yang lebih permanen; (2) pola dan pendekatan ini tidak lagi relevan

karena situasinya dalam banyak hal telah berubah, dimana seturut dengan perubahan situasi ini

Page 4: Interkonektivitas Jalan Restorasi (Makalah Kak Mad)

yang perlu dikedepankan adalah pendekatan kesejahteraan (welfare approach); (3) dan yang

terpenting adalah pola dan pendekatan yang dipraktekkan selama ini justru mengawetkan

kekerasan (fisik dan struktural, dan justru membuat potensi konflik tejaga dalam titik didih.

Berangkat dari pemahaman diatas, sebagai anggota DPR RI dari Partai Nasdem saya

terpanggil dan bertanggung jawab untuk ikut berkontribusi pada resolusi konflik Sulteng melalui

jalan restorasi. Oleh Partai, saya diberi tugas dan tanggung jawab di Komisi V yang membidangi

masalah infrastruktur. Bagi saya, komisi V selanjutnya menjadi medan perjuangan bagi saya

untuk mewujudkan jalan restorasi dan berkontribusi pada resolusi konflik Sulteng. Maka, metode

dan pendekatan yang saya ajukan dan perjuangkan sebagai jalan restorasi dan resolusi konflik

Sulteng adalah interkonektivitas; keterhubungan dinamis antar aktor, sektor dan wilayah yang

difasilitasi oleh dukungan infrastruktur yang memadai.

Ada dua asumsi yang saya yakini terkait dengan interkonektivitas sebagai pendekatan

resolusi konflik ini. Pertama, infrastruktur yang memadai adalah prasyarat dasar untuk

mewujudkan kesejahteraan publik, yang pada gilirannya menciptakan syarat kondisional bagi

resolusi konflik yang lebih permanen. Kedua, infrastruktur yang baik berupa jalan dan jembatan

memadai, pelabuhan dan bandara yang baik, perumahan yang cukup tersedia, dan pengembangan

kawasan yang terpadu adalah salah satu cara untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif,

yang pada gilirannya memutus mata rantai eksklusi sosial. Dari keyakinan pada pendekatan dan

metode interkonekstivitas inilah, saya berjuang dengan sepenuh-penuhnya untuk mendorong

interkonekstivitas melalui pengembangan infrastruktur: jalan, jembatan dan prasarana air minum,

perhubungan laut dan udara dan pengembangan kawasan. Soal hasil dan capaian dari agenda

tersebut, saya serahkan sepenuhnya kepada publik Sulteng untuk menilai.

Inilah jalan restorasi, metode dan pendekatan yang saya pilih dan pertanggungjawabkan

kepada publik Sulteng. Jalan ini bukannya tanpa resiko. Namun setidaknya, justru karena resiko

tersebut, setidaknya saya ingin menunjukkan – dan sekaligus mewariskan – sebuah watak dan

karakter sebagai memori kolektif baru orang Sulteng: keberanian untuk mengubah apa yang

mungkin!